Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
RUWATAN DI TAMAN MINI INDONESIA INDAH: KAJIAN DINAMIKA RUWATAN MURWAKALA
Lies Mariani S3-Kajian Tradisi Lisan. FIB-Universitas Indonesia
[email protected]
Abstract Ruwatan Murwakala is one of the traditions of Javanese traditional ceremony which is still done with a purwa puppet performance, with Murwakala play. This paper will discuss about Ruwatan Murwakala that is still carried out today, because Ruwatan Murwakala that is usually carried out in Central Java, especially in Surakarta and Yogyakarta, also held in Jakarta, especially in the TMII since 1983's, as a fact that Ruwatan is implemented not only in Centre of Culture, especially in Central Java, but it is also carried out massively in TMII Jakarta, followed by a group of multi-ethnic society. Ruwatan Murwakala is a ritual/ceremony, specially held for children born in a class of Sukerta (children in the list as prey of Kala). Therefore, to avoid the prey of Kala, it must be held Sukerta ruwatan. There is a presumption that a party of Sukerta is not considered in any social level or 'ambiguous' ('betwixt and the between'). Because of the condition, it should be implemented Ruwatan Murwakala as one sacred art tradition. The ritual Murwakala Ruwatan is a form of 'change or transition' as a process of Sukerta to be returned to its normal condition, when associated with a rite of passage (rites of passage) as explained by Gennep (1977). The problem of this paper is why and how the process of ritual in Murwakala Ruwatan held in TMII Jakarta followed by a multi-ethnic people of Jakarta. The purpose of this paper is to find out to what extent there is a change in the implementation of Ruwatan Murwakala rituals held in TMII, Jakarta. The author uses the theory of cultural change as the process. The research methods use qualitative and ethnographic approaches. Keywords: Murwakala, Ruwatan, rite of passage, cultural change
I. Pengantar. Bangsa Indonesia khususnya suku bangsa Jawa mempunyai sifat seremonial, hampir pada setiap peristiwa yang dianggap penting, baik menyangkut segi kehidupan seseorang dalam hal keagamaan, kepercayaan, ataupun mengenai usaha seseorang dalam mencari kehidupan, pelaksanaan nya seringkali disertai dengan upacara (Mulder 1973:58; Pontjosutirto 108—9; Mariani, 2004). Begitu pula ketika dihubungkan dengan berbagai macam upacara yang sampai saat ini masih banyak dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat (Jawa).
1016
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
Salah satu tradisi Jawa yang masih dilaksanakan oleh masyarakatnya sampai sekarang berkaitan dengan daur hidup atau siklus kehidupan manusia (life cycle) adalah ruwatan Murwakala. Ruwatan Murwakala ketika dituangkan sebagai suatu upacara sangat sarat dengan tata cara dan adat Jawa. Dalam upacara ruwatan tersebut unsurunsur simbolis sangat berperan di dalamnya. Unsur-unsur simbolis tersebut yang selalu dihayati dan dipahami oleh masyarakat Jawa khususnya sebagai suatu keinginan dan ungkapan dari masyarakatnya serta yang akan menjadi pedoman hidupnya. Ruwatan telah banyak dibicarakan baik di forum sarasehan dalang maupun dikalangan ilmuwan dan budayawan, serta sudah banyak tulisan yang merupakan hasil penelitian yang membahas tentang ruwatan. Pada kesempatan ini penulis ingin mencoba membahas permasalahan dalam makalah ini mengapa dan bagaimana proses ritual ruwatan Murwakala dilaksanakan di TMII Jakarta, Mengenai Ruwatan di Taman Mini Indonesia Indah: sebagai suatu kajian Dinamika Ruwatan Murwakala. Mengingat ruwatan Murwakala yang sampai sekarang masih banyak dilakukan khususnya oleh masyarakat di Jawa, pada kesempatan ini ingin membahas proses terjadinya perubahan Ruwatan yang telah dilaksanakan sejak masa Jawa Kuna kemudian pada masa jawa baru dan perkembangannya sekarang di Taman Mini Indonesia Indah (selanjutnya akan ditulis sebagai TMII). Ketika dalam pelaksanaannya diikuti oleh masyarakat Jakarta. Akibat dari arus globalisasi maka telah terjadi suatu pergeseran atau perubahan kebudayaan. Adapun tujuan kajian ini untuk mengetahui sejauh apa terjadi proses perubahan dalam pelaksanaan ritual ruwatan Murwakala yang dilaksanakan di TMII di Jakarta. Ketika dikaitkan dengan; a).Urutan upacara, b). Uba rampe atau sesajen, c). Lokasi dan peserta nya. Lebih lanjut setelah dikaitkan dengan upacara ruwatan Murwakala yang dilaksanakan di TMII, kemungkinan adanya beberapa perbedaan antara lain; 1).Cerita ruwatan, 2).Sasaran Pengruwatan, 3). Sesajen, 4).Pentas dan sarana untuk pelaksanaan seni pertunjukan, 5). Waktu pertunjukan ruwatan, 6). Kepercayaan masyarakat dan penonton yang mengikuti upacara pada saat ini. Setelah memperkirakan adanya beberapa perbedaan ketika dikaitkan dengan upacara ruwatan yang dilaksanakan di TMII , maka dalam penulisan ini akan dijelaskan dari : a). Konteks sejarah ruwatan sebagai suatu upacara. II. Konteks Sejarah Upacara Ruwatan Lukat atau ruwat berkembang di Jawa Timur pada masa Singhasari- Majapahit (abad 13—15 Masehi) berdasarkan data fragment artefaktual (relief) dengan data tekstual (susastra), contohnya terdapat pada beberapa bangunan suci candi di Jawa Timur dengan berlatar belakang agama Hindu, Buddha. Lukat di Jawa Timur berkembang di dalam bentuk cerita pada teks-teks (susastra) yang terdapat dalam beberapa teks Jawa kuno dan Jawa Tengahan, antara lain seperti, Garudeya1 yang digubah pada masa raja Sri Dharmawangsa Teguh 1
Garudeya, sebagai teks karya sastra berbahasa Jawa Kuna, diperkirakan pada abad ke -10 digubah pada masa Raja sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa (Zoetmulder, 1983:111). Merupakan petikan dari kisah Adiparwa dalam rangkaian Mahabharata Jawa kuna. Naskah ini pernah dibicarakan oleh G.A.J Hazeu (1901). Het oud Javaansche Adiparwa en zijn sanskrt-origineel’ dalam TBG 44: 289-357. juga oleh H.H.Juynboll (1895).’De Mythe van den Berg Mandara in de Javaansche Letterkunde’. Dalam BKI 45: 79-89(1906).
1017
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
Anantawikramottunggadewa (Zoetmulder, 1983:111). Kunjarakarna2 sebuah teks Jawa Kuna diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-14 (Kern, 1901:4). Sudamala3 sebagai teks Jawa kuna disusun serta berbentuk puisi khas Jawa-Bali, sebagai kidung atau macapat. Menurut Zoetmulder diperkirakan disusun di daerah Banyuwangi setelah Majapahit runtuh (Zoetmulder, 1974: 433—34; Santiko, 1992: 189). Teks Sri Tanjung4 diperkirakan disusun di daerah Banyuwangi rentang waktu penulisan diperkirakan hampir bersamaan dengan kidung Sudamala (1938: 11-19; Santiko, 1992: 189). Nawaruci5 merupakan teks Jawa Kuna berbentuk prosa liris (teks berirama). Menurut Prijohoetomo teks Nawaruci ditulis antara tahun 1500- 1619 M. (Prijohoetomo, 1934: 14). Calonarang6 merupakan teks Jawa Tengahan yang ditulis dalam huruf Bali bercampur dengan bahasa Jawa Kuna, diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh Poerbatjaraka pada tahun 1926 (Poerbatjaraka, 1926: 122). Korawasrama7 merupakan naskah Jawa Kuna yang diterbitkan oleh Swellengrebel tahun 1936. Menurut berpendapatnya bahwa Korawasrama disusun sebelum tahun 1636 M (Swellengrebel 1936: 41—2; Santiko, 1992: 178). Lukat dalam perkembangan nya kemudian terjadi transformasi sebagai ruwat yang sampai saat ini masih dilaksanakan sebagi suatu upacara. Ruwatan dalam perkembangannya kemudian dituliskan dalam Babad Ila-Ila I, Ruwatan yang dilaksanakan oleh Prabu Sri Mahapunggung di negeri Purwacarita pada tahun suryasengkala 1053/candrasengkala 1084. Dalam upacara ini ada 164 orang kawula papa yang dikumpulkan oleh Patih Jugulmudha. Upacara ruwat dipercayakan 2
Kunjarakarna, adalah sebuah naskah Jawa kuna yang diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-14 (Kern 1901:4). Karya sastra Kunjarakarna terdiri dari dua bentuk puisi dan prosa. Pengubah Kunjarakarna belum dapat diketahui, karena hanya menamakan dirinya ;Mpu Dusun’. Naskah prosa ini pernah dibicarakan oleh Kern (1901) ‘De legende van Kunjarakarna’. Kemudian W. Van Der Molen ’Javaanche Tekskritiek (een overzicht en een nieuwe benadering geillusteerd aan de Kunjarakarna). Hooykas dalam TBG (71—6). Een Hypothese omtrent den oorsprong van het Oudjavaanche verhaal van Kunjarakarna’. Teeuw dan R.O.Robson, Kunjarakarna Dharmakathana’ (1981). 3 Sudamala, adalah sebuah naskah Jawa kuna yang disusun dalam bentuk puisi khas Jawa-Bali, yaitu kidung atau macapat. Menurut Zoetmulder disusun di daerah Banyuwangi setelah Majapahit runtuh (Zoetmulder 1974:433—34; Santiko, 1992:184). Kemudian Van Stein Callenfels (1925) dalam VBG 66, (hal,1-181) menulis ‘De Sudamala in de Hindu Javaansche Kunst’. Padmapuspita menulis’ Candi Sukuh dan Kidung Sudamala (tt). 4 Sri Tanjung, adalah sebuah naskah Jawa kuna diperkirakan disusun di daera4h Banyuwangi waktunya diperkirakan hampir bersamaan dengan kidung Sudamala, Menurut Prijono naskah Sri Tanjung disusun antara tahun 1500-1600 M (1938:11-19;Santiko, 1992:189). H.N.van der Tuuk memperkirakan cerita Sri Tanjung memperlihatkan adanya hubungan yang erat dengan cerita Sudamala, diperkirakan cerita ini merupakan terusan cerita Sudamala (Prijono, 1938:1: Santiko, 1992: 189). 5 Nawaruci, adalah sebuah naskah Jawa kuna berbentuk prosa liris (teks berirama). Menurut hasil penelitian Prijohoetomo cerita Nawaruci ditulis antara tahun 1500-1619 M tetapi tidak diketahui nama raja, kepada siapa ditujukan, dan dibawah kekuasaan siapa buku ini dibuat (1934:14). Sebagai sumber acuan akan menggunakan disertasi Prijohoetomo (1934), yang telah diterbitkan di Groningen. Den Haag-Batavia, oleh J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij N.V. 6 Calonarang, adalah sebuah naskah yang ditulis dalam huruf Bali dan bercampur dengan kata-kata Jawa Tengahan. Berbahasa Jawa Kuna. Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Poerbatjaraka pada tahun 1926. Cerita asli Calonarang ini, menurut Poerbatjaraka harus lebih ringkas bentuknya dari naskah Bali dan kemungkinan hanya berupa sebuah kronik atau sebuah naskah ringkasan cerita yang sudah rusak. Naskah Calonarang tertua diperkirakan telah ada pada tahun 1462 Saka ( Poerbatjaraka, 1926: 110—80; Santiko, 1992:164). 7 Korawasrama, adalah sebuah naskah Jawa kuna yang telah diterbitkan oleh Swellengrebel pada tahun 1936. Ia berpendapat bahwa Korawasrama disusun sebelum tahun 1636 M (Swellengrebel, 1936: 41— 2; Santiko, 1992:178).
1018
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
kepada Empu Madura dan Empu Sedhah. Mantra yang digunakan untuk mengusir malapetaka adalah Kalacakra. Raja memberi nasihat agar para kawula giat bekerja dan memberi modal untuk bekerja (nn: 1986:200—204, dalam Wahyono, 2009: 13). Setelah Perjanjian Giyanti (1755) menyebabkan kerajaan Mataram Islam pecah menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Sejak terpecahnya kerajaan Mataram menjadi dua, walaupun tetap memperlihatkan kekuasaan politik kekuasaan tunggal tetap diusahakan oleh para keturunan dinasti Mataram. Hal ini dapat diketahui dari gelar para penguasa di kedua wilayah tersebut, yang masing-masing menyebut dirinya sebagai Paku Buwana untuk Kasunanan Surakarta dan Hamengku Buwana untuk Kasultanan Yogyakarta. Berdirinya keraton Yogyakarta (1756) melahirkan sejumlah atribut kebangsawanan dan simbol-simbol serta upacara-upacara yang berbeda dengan keraton Surakarta. Semuanya dilakukan untuk memberikan pengesahan bahwa kemunduran politik tidak berarti pula kemunduran dan kemerosotan wibawa raja. Untuk itulah karya-karya di bidang susastra, kesenian, dan upacaraupacara diciptakan dan dihadirkan agar dapat meningkatkan legitimasi raja dan keluarganya dan membuat kedudukan mereka berbeda dengan rakyat biasa (Budianto, 1998: 3). Lebih lanjut dampak dari terpecahnya kerajaan Mataram ini ternyata mengakibatkan memunculkan perbedaan-perbedaan dalam karya cipta dibidang kesusasteraan, kesenian, serta upacara-upacara yang dihadirkan seperti pakem pangruwatan antara gagrak Surakarta dan gagrak Yogyakarta memiliki perbedaan-perbedaan ketika diamati seperti; Ruwatan Murwakala gagrak Surakarta Hadiningrat ditulis oleh ibu R.Ay. Maktal Dirdjoningrat putra K.R.M.T.A. Yudhanegara, pepatih dalem keraton Surakarta Hadiningrat, berdasarkan buku Tata Cara Ing Surakarta tulisan tangan eyang canggah Kyai Raden Tumenggung Sastradipura ketika menjabat Bupati Anom carik ing Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam menyusun upacara ruwatan Gagrak keraton Surakarta ditambah dengan pengetahuan tentang ahli adat, sesaji, selamatan, dan pelaksanaan upacara adat warisan dari R. Ayu Sastradiningrat almarhum (1874-1962 M). Seorang ahli paes dan upacara adat beserta sajen-sajennya pada masa Sinuwun Pakubuana X,XI,dn XII.(Adiningrat,tt: 13). Brotokusumo salah seorang putra HB VII, dalam tulisannya Serat Babad Tanah Jawi lan Ngarbiu, 1870 an menjelaskan bahwa ruwatan dalam pelaksanaaannya mempunyai tiga macam upacara yaitu, ruwatan Purwosejati (meruwat orang), ruwatan Makukuhan (meruwat bumi), ruwatan watu gunung (meruwat mongso/ bulan). (Brotokusumo, 1870: Manu, tt). Dengan demikian dapat dipahami mengapa muncul upacara ruwatan dengan gagrak Surakarta (solo) dan gagrak Yogyakarta. Pada tahun 1945 awal kemerdekaan serta terbentuknya Negara Republik Indonesia, sebagai dampaknya kerajaan Surakarta dan Yogyakarta kehilangan kekuasaan politiknya. Tetapi tidak berarti menjadikan lenyapnya budaya Jawa beserta upacara-upacara adatnya. Khususnya upacara ruwatan masih tetap ada, bahkan mempunyai beberapa bentuk yang berkembang diluar Jawa Tengah, seperti upacara ruwatan gagrak Jawa Timur, Kediri, Tuban, Banyumasan, gagrak pesisiran (Pekalongan, Tegal, Cirebon, Indramayu), ruwatan di Desa Karangjati, Gombong, ruwatan gagrak Jawa Barat, ruwatan gagrak Betawi, dan ruwatan gaya Bali ruwatan sapuh leger dan ruwatan salah pati (Hinzler, 2011). Lebih lanjut yang membedakan diantara gagrak-gagrak dalam ruwatan tersebut, karena adanya lingkungan 1019
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
budaya yang berbeda. Upacara dengan gagrak–gagrak ruwatan untuk segolongan Sukerta tersebut masing-masing mempunyai perbedaan yang terletak pada pembagian dari segolongan sukerta nya, dalang sebagai pemimpin upacara, pertunjukan wayang kulitnya, judul lakon pertunjukannya, tokoh-tokoh dalam lakon tersebut, sesajen nya. Namun secara umum prinsip dasar upacara ruwatan tetap sama, meruwat segolongan sukerta dilengkapi dengan seni pertunjukan wayang kulit purwa dengan lakon khusus, dipimpin oleh seorang dalang yang akan membacakan mantera-manteranya, dan setelah berakhirnya pertunjukan wayang lukit purwa, dalang melakukan pemotongan rambut dari para sukerta, dan diakhiri dengan memandikan segolongan sukerta dengan air suci, kemudian dalang akan melarung rambut yang telah digunting beserta pakaian-pakaian yang dikenakan oleh para sukerto itu. Ruwat adalah upacara sakral yang masih cukup dikenal pada masyarakat Jawa dewasa ini. Kata ruwat diartikan sebagai ‘lepas atau bebas’ dan upacara ruwat dimaksud untuk membebaskan seseorang dari pengaruh jahat dan kutukan. Apabila tidak diruwat dipercaya orang tersebut akan mendapat malapetaka, dan orang yang harus diruwat ini disebut ‘wong sukerta’(Rassers 1959: 46—7; Santiko, 1992: 279)). Siapa-siapa yang termasuk ‘wong sukerta’, terdapat dalam daftar beberapa kitab pedoman ruwatan, dan jumlah wong sukerta’ ini tidak sama. Misalnya pada dua buah naskah ditulis tangan no. LOR 12.536 terdapat 19 daftar’wong sukerta’, sedangkan dalam LOR 12.538 ada 18 jenis. Bahkan pada beberapa kitab jumlahnya ada yang 17, 22, 60 dan ada yang 147 macam ( dalam Santiko, 2007: 1). Dalam Kitab Centini, karya Sastra Dipura, Rangga Sutrasna dan Mangkunegara V dijelaskan yang termasuk dalam daftar sukerta ada 19 macam. Menurut serat Pedhalangan Ringgit Purwa, karangan Mangkunegoro VII disebutkan 14 macam, di dalam Pakem Pangruwatan Murwakala karangan Ki Demang Reditanoyo disebutkan 60 macam sukerta. Menurut Kepustakaan’Pakem Pengruwataan Murwa Kala daftar sukerta yang harus diruwat ada 60 macam, lebih lanjut menurut kitab Pustaka Raja Purwa (jilid I hal: 194) karya pujangga R.Ng. Ranggawarsita yang termasuk daftar wong sukerta ada 136 macam. Menurut kitab Manikmaya daftar wong sukerta ada 60 macam, Menurut Serat Murwakala, karangan RM. Citrakusuma (1932: 4-9) daftar ‘wong sukerta’ berjumlah 147 macam. Menurut Serat Sarasilah Wayang Purwa, karangan S. Padmosoekotjo yang termasuk daftar sukerta ada 22 macam. Menurut Dr. Seno sastroamidjojo menjelaskan daftar ‘wong sukerta’ yang harus diruwat berjumlah 44 macam (1964: 147), selanjutnya seperti dijelaskan oleh WG Sosropinilih (1892:7,8,9). Bahwa yang termasuk daftar segolongan sukerta ada12 macam. Di antara jumlah dari jenis sukerta yang banyak itu, ada beberapa jenis ‘wong sukerta’8 yang sering disebutkan menurut Serat sarasilah Wayang Purwa karangan 8
Menurut Serat sarasilah Wayang Purwa karangan Padmosoekotjo yang termasuk dalam golongan sukerta adalah: 1). Ontang anting ‘anak laki-laki tunggal’, 2).Unting-unting ‘anak perempuan tunggal’, 3). Lumunting ‘anak lahir tanpa tembuni’,4). Sarimpi ‘empat anak bersaudara, perempuan semua’, 5).Saramba ‘empat anak bersaudara, laki-laki semua’, 6).Pandhawa ‘lima anak bersaudara, laki-laki semua’,7). Pandhawi ‘lima anak bersaudara, perempuan semua’, 8). Pandhawa madangake utawa padang ‘lima anak bersaudara, seorang perempuan empat anak lain laki-laki’, 9). Pandhawa ipil-ipil utawa pipilan ‘lima anak bersaudara, seorang laki-laki, empat anak yang lain perempuan’, 10). Ugeruger lawang ‘dua anak laki-laki semua ‘ (kakak beradik), 11).Kembang sepasang ‘dua anak bersaudara, perempuan semua’ (kakak beradik), 12) .Gedhana-gedhini’dua anak bersaudara, laki-laki dan perempuan’, 13). Gedhini-gedhana ‘dua anak bersaudara, laki-laki dan perempuan’, 14). Sendhang kapit pancuran ‘tiga anak bersaudara, laki-laki perempuan dan laki-laki’, 15). Jisim lelaku ‘orang
1020
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
Padmosoekotjo yang termasuk dalam golongan sukerta. Segolongan sukerta agar terhindar dari mangsa Bethara Kala, maka harus diruwat karena adanya suatu anggapan pada masyarakat Jawa khususnya bahwa sukerta merupakan suatu kondisi dimana seseorang tersebut tidak tergolong dalam lingkungan sosial manapun atau ‘ambigu’ (betwixt and between)(Turner, 1991). Dengan melaksanakan upacara ruwatan Murwakala yang diperuntukkan bagi sukerta, ritual ini merupakan suatu bentuk ‘perubahan atau peralihan’. Suatu proses dari segolongan sukerta untuk dikembalikan ke kondisi atau keadaan normal. Ketika dikaitkan dengan ritus peralihan (rites of passage) (Gennep, 1977). Pada masa Singhasari-Majapahit lukat Jawa kuna sudah banyak dilakukan, setelah dilakukan penelitian dengan sumber-sumber data tekstual (susastra). Unsur cerita lukat juga terdapat pada beberapa bangunan suci candi di Jawa Timur, hal ini dapat diketahui dari pahatan-pahatan reliefnya, antara lain relief, fragmen Garudeya terdapat pada candi Kidal, Rimbi, Kedaton, Relief Kunjarakarna terdapat pada Candi Jago, relief Sri Tanjung terdapat pada Pendopo Teras II Candi Panataran, Candi Jabung, Surawana, Kori Agung Gapura Bajangratu, Relief Sudamala terdapat pada Candi Tegowangi dan Sukuh. Relief Nawaruci terdapat pada Candi Sukuh dan Punden Berundak Candi Kendalisada.(Mariani, 2004: 12). Menurut pendapat Bernert Kempers, cerita-cerita yang dipahatkan sebagai relief pada bangunan suci candi khususnya di Jawa Timur, menggunakan simbol-simbol tertentu yang memiliki kaitan dengan maksud untuk ‘menolak bahaya’ atau dengan istilah ‘sympatehic magic’, seperti pada cerita Sudamala yang dipahatkan di Candi Tegawangi dan Candi Sukuh (1959: 95). Ketika dihubungkan dengan Murwakala. Ruwatan Murwakala sebagai suatu ritual berasal dari adanya suatu keyakinan di kalangan masyarakat (Jawa) khususnya akan sebuah cerita lama yaitu dari sebuah cerita wayang purwa, Dalam cerita Murwakala sebagai pelengkap dalam ruwatan yang dikhususkan untuk segolongan sukerta, menampilkan tokoh Kala yang dikenal sebagai sebutan Bathara Kala. Kala merupakan nama yang cukup banyak disebutkan dan ditemukan dalam teks-teks Jawa Kuna seperti yang tertulis dalam kitab Uttarakanda, Arjunawijaya dan Hariwijaya yang menyebutkan bahwa Kala merupakan salah satu dewa penghancur dengan sebutannya Kalamrtyu dan Kala rudra (Zoetmulder, 1982: 768). Dalam Smaradahana tokoh yang bernama Mahakala bukan anak Dewa Siwa, melainkan penjaga pintu pertapaan Siwa (Naskah Kirtya Singaraja- No.583). Dalam cerita Krsnakalantaka disebut tokoh Kalantaka, merupakan raja raksasa yang dianugerahi kesaktian oleh Durga. Ia diminta oleh Duryodhana untuk membantu memusnahkan Pandawa (Naskah Kirtya Singaraja No.236). Dalam cerita Partayajna disebut tokoh Nalamala merupakan anak Durga sebelum kelahiran Gana, atau Ganesya. Ketika Nalamala melawan Arjuna, Nalamala menampakkan diri dalam wujud Kala. Arjuna bersamadi dan bersatu dengan Hyang Siwa, maka dahi memancarkan sinar. Kala lari dengan berkata, bahwa kelak pada jaman Kali akan datang dalam bentuk Kalakeya tiga bersaudara dan membunuh dua saudara Arjuna (Naskah Kirtya No.665). bepergian jauh tanpa kawan’, 16). Bathang ucap-ucap ‘dua orang bepergian jauh’, 17), Gotong mayit ‘tiga orang bepergian jauh’, 18). Wong lelungan wayah tengange lan ora manjang ora ngidung’orang bepergian waktu tengah hari, tanpa berdendang tanpa berlaku’, 19).Wong ngrubuhake dandang ‘orang merobohkan dandang’, 20). Wong nugelake gandhik ‘orang mematahkan batu pelindas’, 21). Wong mecahake pipisan ‘orang memecahkan batu alas pelumat obat, 22). Wong gawe omah durung dadi wis ambruk ‘orang mendirikan rumah belum jadi telah roboh.
1021
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
Serta dalam beberapa teks Jawa Baru, antara lain dalam cerita Sudamala muncul tokoh Kalantaka dan Kalanjaya, perubahan dewa Citragada dan Citrasena yang kena kutuk Hyang Guru (Naskah Kirtya Singaraja No. 1119). Dalam Serat Centhini (Naskah Radyapustaka No.160a), cerita Manikmaya (Prijohoetomo, 1937: 14). Serat Murwakala (Redi Tanaya 1964), Tokoh Kala berasal dari kama Hyang Guru yang disebut Kamasalah. Air kama itu jatuh di laut sejak Hyang Guru ketika ingin berhubungan dengan Dewi Uma, tetapi tidak disambut baik. Air kama menjadi makhluk raksasa, yang kemudian diberi nama Kala. J.W.van Dapperen, dalam penelitiannya mengenai cerita ruwatan di Tegal menceritakan asal mula Kala. Kala berasal dari kama Hyang Guru yang jatuh di bumi, ketika Hyang Guru jatuh cinta dan mengejar Dewi Tanana. Air mani yang jatuh itu dibuang ke laut oleh Dewi Pretiwi. Air mani tumbuh menjadi raksasa, setelah bertemu Hyang Guru diberi nama Kala (Dapperen, 1934: XIV,4-6). Begitu pula hasil penelitian Inggris dalam cerita ruwatan di Karangjati Bagelen, menceritakan asal-usul Kala yang berasal dari kama Hyang Indra yang jatuh ke pasir, karena Hyang Indra telah terpesona dengan Dewi Tanana, sehingga tertahan keinginan nafsu. Kama yang jatuh di pasir disebut Kamawedhi. Kamawedhi dihancurkan oleh Narada dan para dewa dengan panah jatuh ke laut, kemudian diberi nama Kamaombak. Kamaombak dihancurkan oleh para dewa dengan panah supaya tidak jadi manusia. Kamaombak menjadi Kamawurung, dan akhirnya menjadi Kamadadi. Kamadadi naik ke kahyangan bertemu dengan Dewi Tanana. Diberi nama Bambang Kumali. Bambang Kumali disuruh membunuh Bathara Kala yang suka makan orang. Bambang Kumali berhasil membunuh Bathara Kala dan makan hatinya. Bambang Kumali berubah menjadi raksasa. Oleh Hyang Indra diberi nama Kandhang kala. Ia disuruh tinggal di Tegal Kapanasan bersama kakak perempuannya, bernama Dewi Larapanas (Inggris, 1923. III.2). Murwakala atau Purwakala, mempunyai suatu pengertian Purwa berarti asal atau permulaan, Kala berarti bencana, jadi Murwakala atau Purwakala adalah ‘asal mula dari bencana’ (Pontjosutirto, 1985:112, dalam Koentjaraningrat, 1985, 108-127). Di berbagai daerah cerita dengan lakon Murwakala ini memiliki berbagai variasi. Walaupun pada dasarnya berasal dari sumber yang sama. Cerita ini mengisahkan tentang asal mula lahirnya dewa raksasa bernama Batara Kala9. Cerita Murwakala disebut juga sebagai Dhalangkarungrungan atau Dhalang Kalunglungan. Dalam tradisi tulis maupun lisan/tutur ditemukan banyak nama lampahan ruwatan ini. Di antaranya adalah Dhalang Karungrungan, Dhalang Kalunglungan, Purwakala, Murwakala, Purwasejati, Dhalang Kandhabawana, Jathusmati (Bilal, 2009: 1). Di Jawa barat, ditemukan dengan nama Kala Purbaka (Gunawan, 2009). Di Bali ruwatan ini dikhususkan bagi segolongan orang yang lahirnya termasuk dalam wuku wayang10, ruwatan akan dilakukan dengan pagelaran lakon Sudamala11. 9
Ki Waluyo,1996. dalam artikelnya Jagad Pedalangan Dan Pewayangan. Menjelaskan mengenai awal keberadaan ‘Bhatara Kala’. Kelahirannya merupakan Akibat dari kesalahan dari kedua orang tuanya yaitu Bhatara Manikmaya dan Dewi Umayi. Ketika saat melakukan hubungan tidak pada tempat dan waktu yang tepat maka lahirlah Bhatara Kala dengan memiliki wujud raksasa dan berwatak gandarwa (hal 11-14). 10 W. Diya. 1996. Dalam artikelnya Wayang Sapuh Leger. Ruwatan Wayang Kulit Bali. Menjelaskan ruwatan dikhususkan bagi seseorang yang lahirnya termasuk dalam ‘Wuku wayang’. Yaitu yang lahir
1022
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
III. Ringkasan Cerita Sesuai urutan upacara lukat pada masa Jawa kuna, uraian berikut untuk memperjelas bahwa lukat telah dilakukan pada masa Jawa kuna yang disebutkan dalam beberapa teks sastra Jawa kuna dan Jawa tengahan antara lain disebutkan: Garudeya merupakan petikan Adiparwa, diceritakan seorang pendeta bernama Kasyapa beristrikan empat belas orang, dua di antaranya adalah Winata dan Kadru. Pada suatu ketika Winata dan Kadru bertaruh tentang warna ekor kuda bernama Uccaisrawa yang keluar dari hasil pengadukan lautan susu. Kadru berbuat licik dalam pertaruhan tersebut dengan cara mengubah warna ekor kuda, sehingga Winata kalah dan menjadi budak Kadru serta anak-anak Kadru berupa ular-ular naga. Sang Garuda anak Winata kemudian berusaha membebaskan ibunya Winata dari perbudakan Kadru, setelah menebusnya dengan Amrta yang dicuri dari kahyangan tempat para Dewa. Setelah Winata dibebaskan, akhirnya Garuda dapat mengembalikan Amrta itu ke tempat para Dewa kembali (Soewito Santoso 1985: 9-21). Kunjarakarna merupakan kakawin yang menceritan sebuah kisah lukat, menggambarkan persahabatan dua raksasa bernama Kunjarakarna dan Purnawijaya yang terkena kutukan. Raksasa Kunjarakarna ingin kembali kepada bentuknya semula yaitu bentuk seorang dewa. Kunjarakarna berhasrat menghadap Werocana di wihara Bhodicipta, untuk mempelajari dharma, yang terdiri dari beberapa unsur (pancagati samsara, pancatma, kelahiran kembali, asal mula terjadi manusia, dasa-mala, pancabhutani). Setelah di lukat dan dasa mala dihilangkan maka ia kembali menjadi bentuknya semula sebagai seorang bidadara (pupuh: 17). Begitu pula dengan Purnawijaya mohon dilukat, dihilangkan mala nya dan setelah diberi ajaran dharma ia dihidupkan kembali dan bertemu dengan istrinya Kusumagandawati, mereka berdua pergi bertapa di lereng gunung Mahameru, setelah terlebih dahulu memperoleh ajaran dharma di wiharabhodicipta. Tapa mereka sangat kuat sehingga dapat mencapai moksa (kalepasan). (Kern 1901: 1-76; Santiko 1980: 138; Teeuw & Robson 1981: 1-167). Sudamala merupakan kidung yang menceritakan mengenai seorang dewi bernama Sri Huma atau Dewi Uma, setelah ketahuan telah bermain serong dengan Brahma, kemudian Hyang Guru mengutuk istrinya menjadi raksasa wanita, dengan nama Ra nini. Berbadan tinggi besar, rambut panjang kusut (hagimbal), mata seperti matahari kembar, mulut seperti guha dengan siungnya (gigi taring) tajam, badan bertotol-totol, serta menjalani hukuman selama dua belas tahun, dan tinggal di sebuah kuburan bernama Ksetra Gandamayu dengan pembantunya Kalika (23-24). Akhirnya setelah dua belas tahun terlampaui Sadewa melukat Durga dengan pertolongan Batara Guru, yang masuk ke tubuh Sadewa. Dengan cara melukat nya Ra nini di minta berdiri pada mulai minggu wage, senen kliwon, selasa legi, rebo paing, kamis pon, jum’at wage, sabtu kliwon. Hari-hari ini merupakan peralihan ’wara’ yaitu hari-hari berkelompok unit: tiga s.d sepuluh, yang dikenal dengan triwara,catur wara, panca wara, sad wara, sabta wara, asta wara,sanga wara, dasa wara. Wuku wayang merupakan menjelang wuku akan beralih. Waspada pada saat ‘peralihan’. Peralihan waktu dikenal dengan sandhi kala, dipahami sebagai saat-saat rawan: posisi matahari tegak lurus pada permukaan bumi, tajag surya, kegiatan sebaiknya dihentikan, dan waktu untuk interospeksi, dan sembahyang, peralihan malam ke siang hari adalah sandhi kala, suprabhata, waktunya orang melaksanakan ‘siwa sewana’, menyatakan pengabdiannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa (hal: 29) 11 Ki Padmapuspita, .tt.menuliskan cerita Sudamala dalam kidung di dalam bukunya. Candi Sukuh Dan Kidung Sudamala. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan. Ditjen. Kebudayaan Dep Pendidikan dan Kebudayaan.RI.
1023
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
tegak di sebelah kanan Sadewa. Sadewa bersemedi berdiri pada satu kaki (hasuku tunggal). Beras dan bunga ditaburkan pada sang dewi. Dengan mengucapkan mantra Om (hungkara). Sadewa memercikkan air suci dan Durga Ra nini berubah kembali menjadi bentuk Huma. Peristiwa kedua ialah menyembuhkan pendeta Tambapetra dari penyakit kebutaan dengan melukat. Peristiwa ketiga melukat raksasa Kalanjaya dan Kalantaka, setelah terjadi peperangan dengan Sadewa dan kedua raksasa tersebut terbunuh oleh Sadewa maka kedua raksasa itu berubah wujud kembali menjadi dua bidadara-dan bidadari yaitu Citranggada dan Citrasena (Callenfels, 1925:10-18; Padmapuspita tt:25-110). Kidung Sri Tanjung menceritakan mengenai cucu seorang pertapa Citragotra bernama Sri Tanjung yang merupakan anak Sadewa. Sri Tanjung dilarikan oleh seorang ksatria bernama Sidapaksa yang mengabdi pada ratu Sindupati, Sidapaksa yang sebenarnya diutus mengambil obat ke Prangalas, tempat Tambapetra. Obat tidak didapatkan malaah melarikan cucu Tambapetra. Raja Sulakrama merasa cemburu karena Sidapaksa mempunyai istri cantik, kemudian sang raja memberi tugas Sidapaksa, sehingga meninggalkan istrinya cukup lama. Raja Sulakrama mempunyai kesempatan mendekati Sri Tanjung namun tidak berhasil. Karena malu dan marah karena ditolak oleh Sri Tanjung. Maka setelah pulang dari tugasnya. Raja Sulakrama memutar balik cerita dengan menfitnah kepada Sidapaksa. Mendengar cerita sang raja Sidapaksa marah dan membunuh Sri Tanjung. Tetapi karena belum waktunya meninggal, nyawa (atma) Sri Tanjung ditolak oleh Dorakala penjaga pintu sorga. Sri tanjung ditolong oleh Ra nini dan dihidupkan kembali. Sri Tanjung menghormat serta mohon agar ia dibebaskan dari tujuh tenung serta kutukan dan semua kesulitan pemintaanya dikabulkan. Sri Tanjung dimandikan dengan air dari dalam kendi (kamandalu) oleh Ra nini. Ia menjadi bersih dari dosa dan cacad, menjadi lebih cantik dan tidak akaan terkena kutukan. Kemudian Sri Tanjung dianugrahi sebuah mustika wadon agar dikasihi serta dapat menghidupkan orang mati (pupuh 5: 180). Nawaruci menceritakan perjalanan Bima atau wrekodara yang mencari air kehidupan ‘banumaha pawitra’. Wrekodara ketika sedang mencari air kehidupan di sumur Dorangga, bertemu dua ekor ular ganas yang melilit dan menggigitnya, tetapi berhasil dibunuh dan kemudian berubah wujud semula menjadi widyadara Carasambha dan widyadari Harsanandi. Mereka menjadi ular karena kutukan Hyang Guru yang telah dijalani selama 12 tahun. (.... lukat tekang malaning widyadara widyadari lawas denyanggemasi papa dadi naga dwadasa warsa...) (pupuh I:5) (Prijohutomo, 1934: 2829). Disamping itu terdapat pula cerita tentang dewa Indra dan dewa Bayu dikutuk oleh sang hyang Pramesthi menjadi raksasa yang bernama rukmuka dan Rukmakala mereka juga dipulihkan oleh Bima (Prijohutomo, 1934: 29-30,98). Calonarang telah banyak, Raja Erlangga mohon pertolongan Dewa. Dewa Siwa datang dalam jelmaannya sebagai api penujaan dan mengatakan bahwa negara Erlangga akan tenteram kembali setelah ‘dilukat’oleh Mpu Bharadah, pendeta sempurna yang tinggal di kuburan Lemah tulis, Negara Erlangga harus dilukat untuk menghilangkan dari kekotoran dunia (pupuh 4). Peristiwa kedua ketika Calonarang minta dilukat oleh Mpu Bharadah karena dosanya kepada rakyat telah sangat besar ( pupuh 7: 129), Tetapi Mpu Bharadah menolak sehingga terjadi perang dan Calonarang terbunuh, tetapi tibatiba Mpu Bharadah ingat bahwa ia belum memberi pelajaran mengenai pengetahuan moksa, sehingga Calonarang dihidupkan kembali dan diberi pelajaran moksa (pupuh 7) (Poerbatjaraka 1926: 130; Santiko 1980: 139). 1024
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
Korawasrama dalam kitab ini menceritakan dua peristiwa, pertama peristiwa Uma menjadi raksasa karena ulah dan perbuatannya sendiri telah merobek pustaka milik Batara gana, karena itu Uma kena kutuk (tulah) dan berubah menjadi Durga (Swellengrebel 1936: 102). Kemudian mohon kepada Gana untuk dilukat. Gana bersedia melukat Durga dengan bantuan Tripurusi, dengan: ............melakukan panastuti diawali dengan melakukan aradhana (pemujaan dewa) terhadap Tripurusi yang terdiri atas Uma, Sri dan saraswati dengan mengucap mantra tiga bait maka ke tiga dewi tersebut turun dan masuk ke bagian tubuh Durga. Batari Sri masuk di telapak kaki, batari Saraswati berada pada atma dan daya ingat sang dewi, batari sawitri berada di hidung dan muka batari Durga. Upacara lukat dengan air suci yang dibawa oleh bidadari dari telaga Dhwaja serta air dari tengah samudra pemberian batara Baruna. Gana melakukan upacara Diksa terhadap Uma dengan membaca mantra untuk air suci, serta dengan sikap mapatananan (memainkan tangan dengan sikap tertentu) memuterganitri (memutar bijibiji tasbih), matalabhedana (memperbedakan tala, satuan ukuran arca), mamilang anguli (menghitung anguli). Gana mengenakan busana amuja ( pakaian untuk melakukan puja) yang lengkap yaitu, kain jaladasuksma, sabuk sawangatra, karawista dari kusyaraga yang halus, kalpika dari gandhapura yang wangi dari Suprabha, lumur kusuma wicitra, dan bunga saroja dari tempat dewa. Durga ditaburi bunga urai, dan disabet dengan sabuk tiga kali serta disirami dengan air kehidupan yang diletakkan dalam jambangan putih. Maka Durga pun menjadi Uma kembali dan pulang ke kahyangan........ (Swellengrebel 1936: 145-148, dalam Sedyawati 1994: 237: Mariani, 2004: 110). Peristiwa kedua ketika Siwa dan Uma berubah menjadi batari Durga dengan Batara kala dengan muka yang menakutkan mereka datang menghadap sang Hyang Tunggal-tunggal mohon untuk di lukat. Maka dilukatlah batara Kala dan batari Durga oleh sang Hyang Ekasuksma; Ya ta linukatnira bhattara Kala mwang bhattari Durga de sang hyang Akawicesa, napa ta lekasnira sang hyang Tunggal-tunggal, yan manucyani bhattara Kala mwang bhattari Durga ana mapatanganan, atalabhedana, amilang angguli, amuter ganitri, manguccarana mantra mangkana pwa ya denira mandiksani sira (Swellengrebel 1936: 148: Mariani 2004: 110). Mengutip Sebuah keterangan tentang jalannya upacara ‘ruwat’ yang ditulisan oleh IS Purbonegoro (1973: 4,5). Antara lain: Pertama Kedua Ketiga Keempat
: Anak-anak atau sukerta yang akan diruwat membersihkan dirinya dahulu beserta dengan kedua orang tuanya. : Dalang melakukan pemeriksaan terhadap gamelan kothak wayang serta panggung dan seluruh sesaji ruwat. : Setelah semua dianggap sudah beres dan lengkap, para sukerta yang akan diruwat bersama dengan orang tuanya bersiap-siap menanti-kan kedatangan dalang. : Dalang telah tiba diadakan penyambutan oleh anak sukerta bersama bapak-ibunya. 1025
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
Kelima
: Dilakukan upacara pasrah ruwat yang dilakukan dari orang tua kepada dalang yang akan meruwat. Keenam : Setelah itu dilanjutkan dengan upacara pasrah sesaji ruwat dari orang tua sukerta kepada dalang, sesaji-sesaji itu satu persatu diumumkan. Ketujuh : Pagelaran wayang kulit dimulai. Kedelapan : Sementara itu ketika pagelaran sedang berjalan ditengahi sebentar untuk mengadakan upacara suwuk dan playon dengan obor klari budeg, menengahi kadang kala. Kesembilan : Dilanjutkan dengan upacara siraman kembang setaman. Kesepuluh : Setelah upacara siraman selesai dilanjutkan dengan upacara selamatan terakhir. Kesebelas : Dilakukan lagi upacara penyerahan semua sarana dan sesaji serta peralatan ruwat untuk dilarung Keduabelas : Setelah upacara larungan diakhiri dengan bubaran. Demikian rangkaian jalannya pelaksanaan upacara ‘ruwat’ dalam pembahasan dari data kepustakaan. IV. Ubarampe atau sajen Dalam pelaksanaan upacara ruwatan biasanya selalu dilengkapi dengan unsurunsur uba rampe, sesaji atau sajian yang diperlukan di dalam upacara tersebut. Ada beberapa keterangan tentang sesaji yang diperlukan ini. Sajian (sajen) merupakan salah satu unsur kepercayaan menurut Van Baal, sesakji kepada para dewa dan kepada makhluk halus dalam dunia gaib umumnya mempunyai fungsi sebagai suatu pemberian. Van Baal mengambil alih pendirian seorang ahli antropologis Perancis Marcel Mauss tentang fungsi dan pemberian (hadiah) dalam interaksi sosial ialah sebagai lambang (symbol) untuk mengukuhkan suatu hubungan antara si pemberi dan si penerima dan yang kemudian harus lebih dikukuhkan lagi dengan suatu pemberian balasan (dalam Koentjaraningrat, 1985: 125). Sajen merupakan syarat yang penting sebagai suatu pelengkap dalam upacara ruwat khususnya. Jumlahnya sangat banyak, bahkan ada kalanya beberapa dari barangbarang itu sekarang sudah langka didapat, sehingga orang susah mencarinya. Meskipun demikian orang tetap diwajibkan menyediakan dengan lengkap, tidak boleh terlupakan sebuahpun. Menurut pakem Murwakala jenis barang sajen itu berjumlah tidak kurang dari 38 macam, ialah: 1). Tuwuhan, yaitu pisang dengan buahnya, cengkir kelapa masih muda, janur, (daun kelapa muda), pohon tebu masing-masing dua pasang dan dipajangkan di kanan kiri kelir (layar atau tabir untuk mempergelarkan wayang); 2).Padi segedheng, empat ikat padi sebelah menyebelah; 3).Cikal, sebuah kelapa yang bertunas sebelah menyebelah; 4). Sebatang tebu sebelah menyebelah; 5).Dua ekor ayam betina dan jantan; 6).Empat batang kayu walikukun masing-masing kira-kira sehasta; 7).Ungker siji, satu penggulung benang; 8). Empat buah ketupat luar (bebas, terlepas); 9). Selembar tikar; 10). Sebuah bantal baru; 11). Sebuah sisir; 12).Sebuah suri (sisir yang bergigi rapat untuk mencari kutu); 13).Sebuah cermin; 14).Sebuah payung; 15).Minyak wangi; 16). Tujuh macam kain batik dengan tujuh motif hiasan ialah;poleng, bang sadodol,luwuh watu, dringin, songer, lawatan, gadhung mlati, pandhang binetot, kembang teloken; 17). Daun lontar satu genggam; 18). Dua buah 1026
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
pisau baja; 19).Dua butir telur ayam; 20). Gedhang ayu, pisang yang sudah masak, biasanya pisang pulut atau pisang raja; suruh ayu dengan perlengkapannya, krambil grondhil (kelapa tanpa sabut) gula setangkep, beras sapitrah, ayam panggang tindhih selawe uang (uang yang diletakkan di atas sajen 25 uang); 21). Air tujuh macam, yang diambil dari tujuh tempat atau sumber; 22).Seikat lawe (benag bahan tenun); 23). Minyak kelapa untuk belencong (lampu khusus untuk penerangan dalam pertunjukan wayang kulit); 24). Nasi gurih dan daging ayam yang dimasak dengan santan; 25). Satu guci badheg (arak dibuat dari kilang enau); 26). Satu guci tetes (dibuat dari kilang tebu); 27).Tujuh macam nasi tumpeng (nasi dibentuk kuncup); 28). Tujuh macam jadah ( kue dibuat dari beras ketan); 29). Jajan pasar (masakan berupa kue-kue dibeli dari pasar); 30). Kupat lepet; 31). Legendah; 32).Pula gimbal, pula gringsing; 33). Jenang abang, jenang bawok, jenang lemu (macam jenang); 34).gecok mentah, gecok bakal, gecok lele urip; 35). Rujak legi, rujak crobo; 36). Dandang dan perkakas masak lengkap; 37).Kendil berisi air penuh; 38).Pelita baru yang dinyalakan; (Pontjosutirto dalam Koentjaraningrat 1985:115). V. Peserta dan Lokasi dalam upacara ruwatan tersebut Dalam teks Garudeya peristiwa melukat Garuda yang ingin membebaskan ibunya Winata dari perbudakan Kadru dengan lokasinya di pinggir pantai. Dalam teks Kunjarakarna, ini yang diruwat adalah raksasa Kunjarakarna dan Purnawijaya di wiharabodhicipta.tempat sang werocana. Dalam teks Sudamala ini yang diruwat oleh Sadewa adalah Durga Ranini di Setra Gandamayu. Dalam teks Sri Tanjung ini yang di lukat adalah Sri Tanjung oleh Ranini di Setra Gandamayu dan kemudian dimandikan di telaga. Dalam teks Nawaruci, ini yang di lukat adalah dua ekor naga yang dikutuk oleh Dewa dan setelah dilukat oleh Bima atau Werkudara berubah bentuk kembali menjadi sepasang bidadara dan bidadari yaitu Sarasamba dan Harsanandi. Yang muncul dari sumur Dorangga. Dalam teks Korawasrama, ini Uma kena kutuk (tulah) dan berubah menjadi Durga (Swellengrebel 1936: 102). Kemudian mohon kepada Gana untuk dilukat. Gana bersedia melukat Durga dengan bantuan Tripurusi, yang kedua peristiwa ketika Siwa dan Uma berubah menjadi batari Durga dengan Batara kala dengan muka yang menakutkan mereka datang menghadap sang Hyang Tunggal-tunggal di kahyangan mohon untuk di lukat. Maka dilukatlah batara Kala dan batari Durga oleh sang Hyang Ekasuksma; VI. Ruwatan Taman Mini Indonesia Indah Ruwatan murwakala sebagai salah satu upacara yang dianggap sakral menurut pandangan sebagian besar masyarakat Jawa, keberadaannya saat ini sebagai suatu praktek budaya masih dilaksanakan, baik sebagai suatu seni tradisi yang bersifat ritual maupun seni pertunjukkan khususnya untuk kepentingan masyarakat pendukungnya. Ruwatan murwakala sebagai suatu ritual/upacara, dalam perkembangannya saat ini masih dilaksanakan sebagai salah satu atraksi budaya pariwisata seperti keberadaannya di TMII di Jakarta. (Anjungan D.I. Yogjakarta, Anjungan Jawa Tengah dan Desa Pariwisata). Upacara ruwatan yang selama ini dilaksanakan di Desa Wisata TMII, Ruwatan Agung 50 tahun sekali, sebagai upacara Ruwatan Maha Diksa Karana. Disertai pagelaran wayang kulit lakon Murwakala. 1027
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
Rencana penulisan ini menitik beratkan ruwatan Murwakala dikaitkan dengan konteks sosial budaya dan lebih difokuskan untuk mengetahui upacara ruwatan yang dilaksanakan di TMII, karena adanya suatu asumsi bahwa upacara ruwatan yang dilaksanakan di TMII ini telah terjadi adanya perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaan upacara ruwatan murwakala versi asli di pusat budayanya (Surakarta-Yogjakarta). Seperti dikemukakan oleh Nugroho bahwa kesenian Tradisi Indonesia pada umumnya dan pertunjukan wayang kulit purwa khususnya, hampir tidak pernah hadir dalam bentuk pagelaran murni dan mandiri yang didesain untuk dipertunjukkan kepada masyarakat umum tanpa dikaitkan dengan fungsi atau keperluan tertentu. Dengan kata lain, pakeliran wayang kulit purwa merupakan seni pertunjukan yang tidak dapat dilepaskan dari konteks perubahan masyarakat Jawa dalam berbagai aspeknya, seperti aspek ekonomi, politik, dan sosio kultural ( dalam Cahnman & Alfin Boskoff, 1964: 140-157; Lauer, 1993: 5-6; Wertheim, 1999: 8; Nugroho, 2009: 24). Ketika dikaitkan dengan upacara ruwatan Murwakala yang dilaksanakan di TMII, kemungkinan adanya beberapa perbedaan antara lain; 6.1. Sejarah Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. TMII mulai dibangun pada tahun 1972 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 20 April 1975, Pembangunan proyek ini diprakasai oleh Yayasan Harapan Kita yang diketuai oleh Ibu Tien Soeharto. Dibangun di atas tanah seluas 250 hektar di Desa Lubang Buaya, Kecamatan Pondok Gede. Termasuk kota administrasi Jakarta Timur. TMII merupakan ‘Proyek Miniatur Indonesia’, tujuan dari pembangunan ini untuk memberikan gambaran tentang Indonesia dalam bentuk yang kecil/ miniatur. TMII dibangun dengan suatu konsep sebagai sinopsis penggambaran budaya dari sukusuku bangsa Indonesia yang dapat diketahui serta dilihat dari semua aspek kehidupan sehari-hari (dengan koleksi arsitektur, pakaian, tarian dan tradisi yang dimiliki dari masing-masing suku bangsa), serta disisi lain juga akan bermanfaat sebagai suatu tempat rekreasi berbasis budaya, diambil dari kenyataan bahwa Indonesia memiliki kekayaan dan keanekaragaman budaya. Dikemas dalam 33 anjungan yang merupakan penggambaran dari 33 provinsi yang ada di seluruh Indonesia. Selain itu dibangun juga beberapa bangunan untuk tempat peribadatan, Beberapa bangunan keagamaan dibangun untuk menampilkan toleransi antar-agama dan kerukunan umat beragama di Indonesia seperti: Masjid Pangeran Diponegoro, Gereja Katolik Santa Catharina, Gereja Protestan Haleluya, Pura Hindu Bali Penataran Agung Kertabhumi, Sasana Arya Dwipa Arama Adirasa Pangeran Samber Nyawa, Peribadatan Konfusianisme (dalam pembangunan). Disamping itu dibangun pula beberapa bangunan teater serta beberapa taman antara lain: taman bunga, taman burung, dan beberapa museum antara lain: museum asmat, museum keprajuritan, museum transportasi dan sebagainya. (http://en.wikipedia.org/wiki/Taman_Mini_ Indonesia_Indah, diunduh 4 Mei 2011). 6.2. Gambaran Masyarakat Secara Umum di TMII Upacara ruwatan yang dilaksanakan di Desa Wisata TMII, yaitu Ruwatan Agung 50 tahun sekali, atau sebagai upacara Ruwatan Maha Diksa Karana. Dalam pelaksanaan upacara ruwatan ini diikuti oleh sekelompok masyarakat yang ada di Jakarta khususnya sebagai masyarakat urban.
1028
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
Mengutip pendapat Umar Kayam bahwa masyarakat urban diidentifikasi dan didiskripsikan keberadaan di Indonesia sebagai berikut : 1). Masyarakat urban ialah masyarakat yang setiap harinya menempuh perjalanan ulang-alik (commuter) dari tempat tinggal mereka yang terletak sedikit di luar garis lingkar kota untuk bekerja mencari nafkah di pusatpusat kota. Masyarakat urban adalah masyarakat yang telah meninggalkan sawah ladang mereka di desa, beserta tradisi dan sistem nilai yang tumbuh dari lingkungan itu, lalu mencoba mengadu nasib di kota dengan cara melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berasal dari sistem nilai dan tradisi yang lain: modernitas, 2). Masyarakat urban yang diidentifikasi sebagai sedang berada dalam masa-masa transisi, dari kultur agraris ke industri. Dan dalam masyarakat seperti itu nostalgia atas sensasi-sensasi kenyamanan emosional yang dulu mereka dapat sewaktu masih tinggal di desa, masih besar menemukan bentuknya dalam kebutuhan-kebutuhan untuk mencari hiburan pada seni-seni pertunjukan tradisional, seperti wayang kulit, yang masih menyapa kenyamanan-kenyamanan mereka guna menjaga keseimbangan (equilibrium) masyarakat (dalam Iswantara, 2009: 98). 6.3. Upacara Ruwatan Murwakala: Di TMII Demikian pula kondisi ruwatan Murwakala sebagai suatu seni tradisi yang bersifat ritual, awalnya berasal dari Surakarta-Yogjakarta sebagai pusat budaya, tetapi saat ini ruwatan Murwakala diadakan juga di TMII, dilaksanakan secara berkala pada setiap tahunnya, dan waktunya ditentukan pada satu suro (pertanggalan Jawa). Ruwatan Murwakala ini pada awalnya dipagelarkan di anjungan D.I. Yogjakarta sejak tahun 1983 an, namun sejak beberapa tahun ini berlangsung juga di dua tempat, yaitu Anjungan Jawa Tengah dan di Desa Pariwisata. Semuanya di dalam lokasi TMII. Ruwatan Murwakala yang diselenggarakan di Desa Wisata (TMII). Dapat diketahui beberapa tahap-tahap pelaksanaannya, yaitu; 1). Penyerahan orang sukerta yang dipimpin oleh seorang cucuk ing lampah untuk menghadap Dalang ruwatan Ki. H. Manteb Sudarsono,setelah diterima oleh Dalang sebagai pemimpin ruwatan, disediakan juga perlengkapan upacara, antara lain sesajen/sajen (gedang, tuwuhan, sego/beras, buah-buahan), 2). Kemudian diawali dengan sungkeman yang dilakukan oleh orang sukerta kepada kedua orang tuanya, dilanjutkan sungkeman kepada Dalang, dengan diiringi oleh gending Kidung Restu podo yang dibawakan oleh seorang waranggono Nyi Wulansih, 3). Setelah selesai sungkeman, dalang memulai upacara dengan melaksanakan pagelaran wayang kulit lakon Murwakala. Selama ± 1 ½ jam, setelah selesai pagelaran kemudian dilanjutkan, 4). Dalang didampingi oleh tiga orang penyelenggara upacara, mulai melaksanakan siraman/memandikan orang-orang sukerta tersebut dengan air bunga yang sudah disediakan, 5). Penutup. (ditutup oleh penangung jawab ruwatan). Masyarakat yang mengikuti upacara ruwatan di TMII tersebut berasal dari, suku-suku NTT, Sulawesi/suku Makasar, Sumatra Utara/suku Batak, Kalimantan, Batam, etnis Cina, Arab dan suku Jawa. Ketika dihubungkan dengan keadaan masya1029
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
rakat secara umum yang bermukim di Jakarta. Sebagian besar adalah masyarakat pendatang/urban. VII. Penutup Pada akhirnya sebelum saya akhiri maka upacara ruwatan dapat saya simpulkan sebagai berikut: 1). Dari seluruh pembahasan dapat dikemukakan bahwa ruwat atau lukat pada masa Jawa Kuna tidak sama dengan pengertian dan bentuk upacara pada sekarang. Ruwat yang identik dengan lukat tidak lain adalah upacara diksa, khususnya diksa dalam agama Saiwa (Tantra), yang bertujuan melenyapkan mala atau klesa yang membelenggu jiwa, dengan tujuan agar orang yang diruwat akan mencapai moksa atau kalepasan (Santiko, 2009:5) Tetapi dalam perkembangan ruwat atau ruwatan berasal dari kata ruwat yang berarti luwar saka ing panenung, pangesot, wewujudan sing salah kedaden, luwar saka ing bebadan paukumaning dewa (bebas, lepas dari tenung, kutukan, ujud yang tidak wajar/salah ujud, bebas dari ikatan hukuman dewa). Diruwat artinya disarati murih luwar saka panenung lsp, diluwarake saka bebandaning dewa sarana slametan, lsp, dipateni tumrap kewan lsp sing mbebayani. Ruwatan slametan isp, prelu ngruwat (diruwat artinya dilepaskan dari tenung, kutukan, dsb, dibebaskan dari ikatan hukuman dewa dengan sarana selamatan, dsb, dibunuh untuk hewan dsb yang berbahaya. Ruwatan: selamatan, dsb, perlu meruwat (Poerwadarminta, 1939: 534; Wahyono, 2009: 5). Dewasa ini upacara ruwatan yang diselenggarakan dengan wayang kulit purwa lakon Murwakala yang dilaksanakan sekarang adalah upacara yang diperuntukkan segolongan sukerta agar terhindar dari ancaman dan mangsa Bethara Kala. Ruwatan Murwakala dilaksanakan sebagai upacara serta suatu upaya atau sarana dan jalan pembebasan bagi segolongan sukerta yang menderita keresahan batin akibat terkena ancaman serta mangsa Bethara Kala. 2). Uba rampe atau sajen, pada masa Jawa kuna, ketika dilaksanakan upacara ruwatan maka ubarampe yang disertakan adalah air suci seperti diuraikan pada teks. 3). Garudeya, ketika Garuda akan menebus ibunya Winata yang telah diperbudak oleh Kadru, ia harus mencari air amrta di dalam Kamandalu di gunung Somaka sebagai tebusan untuk sang ibu. 4). Sudamala, ketika Sadewa dibantu Batara Guru akan melukat Durga di setra Gandamayu. Sadewa berdiri dan memusatkan pikiran serta menyucikan jiwa dan bersemadi. Kemudian diambillah beras kuning dan bunga tabur, Semar membunyikan kelintingan upacara. Setelah dibacakan oleh Sadewa mantera Hung kara, kemudian Ranini ditaburi dengan beras kuning dan bunga tabur, maka seketika berubahlah wajahnya kembali menjadi Uma yang cantik (Padmapuspita tt: 82-83). 5). Sri Tanjung ketika di ruwat oleh Ra nini dibawa ke telaga dimandikan dengan air telaga dan air dari dalam kendi (kamandalu) untuk membersihkan dosa dan cacad, menjadi lebih cantik tidak akan terkena kutukan serta diberi hadiah mustika wadon agar dikasihi serta dapat menghidupkan kembali orang mati (pupuh V, 180) (Prijono, 1938: 42, 43, 44). 6). Kunjarakarna ada perbedaanya karena pada teks Kunjarakarna ketika raksasa Kunjarakarna dan Purnawijaya mohon diruwat oleh sang Werocana maka keduanya mendapatkan ajaran dharma serta Werocana setelah memberikan wejangan dharma tersebut, ia melakukan lukat dengan memegang kepala Kunjarakarna, 1030
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
dibenamkannya Kunjarakarna ke dalam tirtapanjitahmala (air untuk menghilangkan kotoran jiwa) dan inilah yang menyebabkan badan Kunjarakarna bercahaya serta menghilangkan dosa-dosanya. 7). Korawasrama Gana melakukan upacara Diksa terhadap Uma dengan membaca mantra untuk air suci, serta dengan sikap mapatananan (memainkan tangan dengan sikap tertentu) memuterganitri (memutar biji-biji tasbih), matalabhedana (memperbedakan tala, satuan ukuran arca), mamilang anguli (menghitung anguli). Gana mengenakan busana amuja (pakaian untuk melakukan puja) yang lengkap yaitu, kain jaladasuksma, sabuk sawangatra, karawista dari kusyaraga yang halus, kalpika dari gandhapura yang wangi dari Suprabha, lumur kusuma wicitra, dan bunga saroja dari tempat dewa. Durga ditaburi bunga urai, dan disabet dengan sabuk tiga kali serta disirami dengan air kehidupan yang diletakkan dalam jambangan putih. Maka Durga pun menjadi Uma kembali dan pulang ke kahyangan (Swellengrebel 1936: 145-148, dalam Sedyawati 1994: 237: Mariani, 2004: 110). 8). Lokasi dan peserta lukat atau ruwat dapat diketahui dari cerita-cerita yang dilukiskan ddalam teks-teks susastra tersebut, seperti dalam teks Garudeya lokasi penebusan Garuda untuk melepaskan ibunya dari perbudakan di pinggir pantai, dalam teks Kunjarakarna lokasi untuk tempat melukat ada di wiharabhodicipta. Dalam teks Sudamala lokasi ketika Sadewa akan melukat Durga Ranini di Ksetra Gandamayu.Dalam teks Sri Tanjung tempat untuk melukat Sri Tanjung oleh Ranini di Setra Gandamayu. Dalam teks Nawaruci tempat Bima atau Wrkodara melukat dua pasang naga di sumur Dorangga dan ketika Wrkodara sedang mencari air kehidupan di Tegal Andadawa bertemu raksasa Indrabahu setelah berperang, raksasa tersebut terbunuh. Tetapi kemudian menjelma menjadi Batara Indra. Dalam teks Calonarang Mpu Bharadah sebagai seorang pendeta yang tinggal di kuburan Lemah Tulis, mendapat tugas dari raja Erlangga untuk melukat Negara Erlangga untuk menghilangkan dari kekotoran dunia (pupuh 4) (Poerbatjaraka 1926: 122). Calonarang terbunuh oleh Mpu Bharadah tetapi kemudian dihidupkan lagi oleh Mpu Bharadah karena belum diberi pengetahuan moksa. Ruwatan pada masa jawa Tengahan sebelum tahun 1960 an, ruwatan dilaksanakan dipedesaan dan juga di perkotaan. Tetapi dalam perkembangan sekarang ruwatan Murwakala dilaksanakan baik secara individu maupun dilaksanakan secara massal seperti yang selama ini dilakukan di TMII Jakarta.
Daftar Pustaka Aditia Gunawan. 2009. Kala Purbaka. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. (hal; 288-328). Anderson.R.O’.G. Benedict. 1972. Gagasan Tentang Kekuasaan Di Dalam Kebudayaan Jawa. Pelayanan Rohani Mahasiswa Yogyakarta. Translation of ‘The Idea of Power in Javanese Culture’. In Claire Holt (ed) Culture and Politics in Indonesia.(Cornell U.P.).
1031
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
----------. 1975. Mitologi Dan Toleransi Orang Jawa. Monograph Series. Modern Indonesia Project Southeast Asia Program Departement of Asian Studies. Cornell University. Alfian. 1985.‘Masyarakat Dalam Persepsi Kebudayaan’. Dalam Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Editor Alfian. Penerbit PT Gramedia, Jakarta. Atmodjo, K. Sukarto. 1990. “Ruwatan Dalam Pewayangan” dalam Catatan Singkat Ruwatan Di Bali. (seminar ruwatan, 1 september 1990). Lembaga Javanologi. Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan Bekerjasama dengan Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional.Yogyakarta. Baal, J. van. 1971. Symbols for Communication: An Introduction to The Antrhropological Study of Religion. Assen:van Gorkum & Comp. NVDr.H.J.Prakke &H.M.G.Prakke. Bascom, R. William. 1965. ‘Four Functionsof Folklore’ The Study of Folklore’ University of California at Berkeley: Prentice-Hall. Berreman, Gerald D. 1968. Ethnography: ‘Method and Product’. Introduction to Cultural Anthropology. J.A.Clifton (Ed.). Houghton Mifflin Company Budianto Meliono Irmayanti. 1998, Simbolisme Dalam Wiwahan: Sebuah Telaah Filosofis Dalam Tradisi Jawa. Disertasi. Program Pascasarjana. Depok. Boediardjo. 1990. Ruwatan Dalam Pewayangan. Seminar Ruwatan 1 September 1990. Lembaga Javanologi. Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan Bekerjasama Dengan Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Bilal, Wasi M. 2009. Ruwatan Purwasejati. (makalah). ‘Ruwatan dalam Berbagai Tradisi (makalah). Graha Sabha Pramana. Bratakusuma. Rd. 1870 Serat Babat Tanah Jawi Lan Ngarbiu.’Serat Pedhalangan Ringgit Finnegan, Ruth. 1992 Oral Poetry. Bloomington and Indianapolis:First Midland Book Edition Geertz, Clifford. ---------. 1969. The Religion of Java, New York: The Free Press ---------. 1984. Culture And Social Change. Southeast Asian Development. Critical Concepts in the Social Sciences..Edited by Jonathan Rigg. Vol.1. Routledge. London And New York. Gennep, Arnold van. 1977. The Rires of Passage, translated by Monika B Visedom Gabrielle L. Caffee, London: Routledge and Kegan Paul. Groenendael, Clara van. 1987 Dalang di balik Wayang. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. ---------. 1998. Released From Kala’s Grip. A wayang Exorcism Performance from East Java. Series Editor: Joan Suyenaga. The Lontar Foundation, Jakarta. Haryoguritno, Haryono. 1996. Mengantar Tradisi Ruwatan Ke Gerbang Abad 21. (makalah) dalam Majalah Campala (Jagad Pedalangan Dan Pewayangan). Penerbit: Humas PEPADI Pusat. TMII. Heringa, Rens. 2010 Nini Towok’s Spinning Wheel. Fowler Museum Textile Series. No.9. At Ucla. Los Angeles. 1032
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
Iswantara, Nur. 2009. Umar Kayam, Teater Kontemporer, dan Universitas Gajah Mada Yogyakarta dalam Dimensi Ruang dan Waktu. Dalam Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang, Dan Waktu. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra (hlm: 90104) Johan, Hulzingan. 1949. Homo Ludens. 1949 London: Routledge & Kegan Paul Ltd. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Hasan Basari dengan judul yang sama, Jakarta:LP3ES, 1990. Kamajaya, Karkono.H. dkk. 1992, Ruwatan Murwakala (Suatu Pedoman). Yogjakarta: Duta Wacana. Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya (Terjemahan oleh Samuel Gunawan dan R.G. Soekadijo). Jakarta: Penerbit Erlangga. Koentjaraningrat. 1984. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. ---------. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. ---------. 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka ---------. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru ---------. 1987. Sejarah Teori Antropologi. 2 jilid. Jakarta: UI. Press. ---------. 1977. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta Gramedia. ---------. 1985. ‘Persepsi Tentang Kebudayaan Nasional’. Dalam Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Editor Alfian. Penerbit PT Gramedia, Jakarta Kuswarsantyo. 2009 ”Art For Art” Dan Art For Mart”: Orientasi Pelestarian Dan Pengembangan Seni Pertunjukan Tradisional. Dalam Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang, Dan Waktu. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra (h: 116128) Lord, A.B. 1960. The Singer of Tales. Cambridge, Mass: Harvard University Press. Malinowski, Bronislaw.1972 “The Role of Magic and Religion” dalam William A Lessa & Evon Z. Vogt (Penyunting). Reader in Comparative Religion : An Anthropological Approach. New York. Evanstor, San Fransisco, London : Harper & Row, Publisher, halaman 63-72. Manu. tt.
Lampahan Dhalang Purwasejati’.Ngajogjakarta (Terj; Manu, tt; 1-52)
Munandar, Agus Aris.dkk. 2009. Lukisan Basoeki Abdullah. Tema Dongeng, Legenda, Mitos, Dan Tokoh. Penerbit: Museum Basoeki Abdullah. Direktorat Jenderal Sejarah danPurbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Mulyono, Sri. 1982. Wayang Dan Filsafat Nusantara. Jakarta: PT Gunung Agung. Mariani, Lies. 2004. Penggambaran Adegan Relief Cerita Bertemakan lukat Pada Bangunan Suci Masa Singhasari-Majapahit (Abad 13—5 Masehi): Suatu RitusUpacara Peralihan.(Tesis). FIB-UI. Depok. Melalatoa, M Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI. Jakarta. 1033
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
Moll van, J.F.A.C & . Mayer. L.Th. 1909. De Sedekahs En Slametans In De Desa. G.L.T. Van Dorp & Co. Semarang- Soerabaia -‘s Hage. (47-51). Murgiyanto, Sal. 2008. Mengenai Kajian Pertunjukan. dalam Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Ed. Pudentia. Jakarta: Penerbit Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). (hlm:1132)’ Murniatmo Gatut dan Sunjata .IW. Panca. 1990. “Ruwatan Dalam Pewayangan” dalam Ruwatan Dalam Tradisi Budaya Jawa. Sebuah Tinjauan Antropologi. (seminar ruwatan, 1 september 1990). Lembaga Javanologi. Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan Bekerjasama dengan Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional.Yogyakarta. Nastiti, S.Titi. 1995. Seni Pertunjukan Wayang: Contoh Proses Akulturasi Pada Masa Jawa Kuna. Kirana. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Hal: 380-395). Nihom, Max. 1997. “Diksa, Kala, and the Stuti of Siwaratrikalpa 33”.1-2 Bijragen. JTTLV. hal 103-111. Nugroho, Sugeng. 2009 Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Gelar Safari Dalang Surakarta 2009. Dalam Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang, Dan Waktu. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra (hlm:13-29). Padmapuspita, Ki. Tt. Candi Sukuh Dan Kidung Sudamala. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan. Ditjen. Kebudayaan Dep Pendidikan dan Kebudayaan.RI. Padmapuspita, Y. 1990. “Ruwatan Dalam Pewayangan” dalam Ruwatan Di Bali.. (seminar ruwatan, 1 september 1990). Lembaga Javanologi. Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan Bekerjasama dengan Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional.Yogyakarta. Pamungkas, Ragil. 2008. Tradisi Ruwatan. Penerbit PT. Buku Kita. Jagakarsa. Jakarta. Pemberton, John. 1994. On The Subject Of “Java”.Cornell University Press. Ithaca and London. Poerbatjaraka, R.M.Ng 1926. De Calon-Arang. Deel 82.s’ Gravenhage-Martinus Nijhoff. Prastiyono, Dhiyan. 2009. Memahami Konsep Ruwat dalam Tradisi Jawa Kuna. ‘Ruwatan Dalam Berbagai Tradisi Kebudayaan’. Grha Sabha Pramana. 17 Juli 2009 Priyohoetomo. 1934. Nawaruci. Groningen: J.B. Wolters. Uitgevers Maatschappij. N.V. Disertasi. Prijono. 1938. Sri Tanjung. Een Oud Javaansch Verhaal. Disertasi. Pigeaud.Th. 1937. Serat Pangroewatan, tjetjepenganipun Dalang ing padoesoenan katedak. R. Tanaja ing Soerakarta. (PN. Kode Koleksi. G.193). Pigeaud.Th. 1937. Tjaranipoen Doekoen Bilih Angroewat. (PN. Kode Koleksi. G.191) (hal;1-36). Rassers, W.H. 1959. Panji The Culture Hero, A Structural Study of Religion in Java. The Hague:Martinus Hijhoff.
1034
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalime. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ---------. 2005. Sastra dan Cultural studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ---------. 2007. Estetika sastra dan Budaya.Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Sachari, Agus. 2007. Budaya Visual Indonesia. (Fakultas Seni Rupa dan Desain). Penerbit Erlangga. Ciracas Jakarta Santiko, Hariani. 1980. Ruwat: Tinjauan dari sumber-sumber kitab Jawa Kuna dan Jawa Tengahan. Seri Penerbitan Ilmiah. FSUI. ---------. 1992. Bhatari Durga. (Buku).Fakultas Sastra Universitas Indonesia.Depok. ---------. 2009. Pengertian Dan Upacara Ruwat Pada Masyarakat Jawa Kuna. ‘Ruwatan Dalam Berbagai Tradisi Kebudayaan’. Grha Sabha Pramana. 17 Juli 2009. Santoso, Soewito. 1975. Calon Arang si Janda dari Girah, diterjemahkan dari karangan asli R.M.Ng. Poerbatjaraka. Jakarta: Balai Pustaka. Sarwono, Wirawan Sarlito. 1987. Masalah-masalah Kemasyarakatan di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Sarman. A. AM. 1990. “Ruwatan Dalam Pewayangan” dalam Makalah Pembanding Terhadap Makalah Ruwatan Dalam Tradisi Budaya Jawa, Sebuah Tinjauan Antropologi. (seminar ruwatan, 1 september 1990). Lembaga Javanologi. Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan Bekerjasama dengan Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional.Yogyakarta. Subalidinata. R.S., Suprayitno Sumarti, Tejo Wirawan, Anung. 1985. Sejarah Dan Perkembangan Cerita Murwakala Dan Ruwatan Dari Sumber-Sumber Sastra Jawa. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan. Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi). Subalidinata, R.S. 1990. “Ruwatan Dalam Pewayangan” dalam Ruwatan Dan Tokoh Kala Dalam Cerita Pewayangan. (seminar ruwatan, 1 september 1990). Lembaga Javanologi. Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan Bekerjasama dengan Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional. Yogyakarta. Soedarsono, Narawati Tati. 1984. Dramatari di Indonesia, Kontinuitas dan Perubahan. Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Soedarsono. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata. Penerbit Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia dengan ArtiLine bantuan Ford Foundation. Sholikin Muhammad. 2002. Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa.Penerbit Narasi. Yogyakarta. Soemardjan, Selo. 1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta.Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Spradley, James.P. 1979 The Ethnographic Inverview. New York: Holt, Rinehart and Winston. Stein Callenfels, P.V.van 1925. De Sudamala in de Hindu-Javaanshe Kunst. VBG LXVI’s-Gravenhage:Martinus Nijhoff 1035
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
Suryanto. 2009. Ruwatan Jathusmati Dalam Prespektif Metafisika Moral. ‘Ruwatan Dalam Berbagai Tradisi Kebudayaan’. Grha Sabha Pramana. 17 Juli 2009. Sutarto, Ayu. 1997. Legenda Kasada Dan Karo Orang Tengger Lumajang. Disertasi. Fakultas sastra Universitas Indonesia. Suparlan, Parsudi. 1995 Buku Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Penerbit; Yayasan Obor Indonesia anggota IKAPI DKI Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Penerbit Sinar Harapan. Jakarta. ---------. 2008. “Sastra dalam Kata, Suara, Gerak, dan Rupa’ dalam Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Ed. Pudentia. Jakarta: Penerbit Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Suhardjo. 1990. “Ruwatan Dalam Pewayangan” dalam Lewat Pendidikan Meneropong Ruwatan. (seminar ruwatan, 1 september 1990). Lembaga Javanologi. Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan Bekerjasama dengan Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional.Yogyakarta. Suharyoso. 1979. ‘Teater Tradisional Di Sleman, Yogyakarta: Jenis Dan Persebarannya’. dalam Ketika Orang Jawa Nyeni. Ed Heddy Sri Ahimsa Putra. Penerbit Galang Press. Yogyakarta. Sumintarsih, dkk. 2003. Seni Pertunjukan Tradisional, Nilai, Fungsi Dan Tantangannya. Kementerian Kebudayaan Dan Pariwisata. Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Warnaen, Suwarsih. 2002. Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis. Penerbit: Matabangsa. Jogjakarta. Teeuw, A. 1982. Khasanah Sastra Indonesia: Beberapa Masalah Penelitian dan Penyebarannya. Jakarta: Balai Pustaka ---------. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. ---------. 1994. Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya. Thoyib, Adiningrat Mas’ud, Ki Ageng. tt. Murwakala & Ruwatan gagrak Surakarta Hadiningrat.Penerbit Renaissance Nusantara Foundation. Tjiptawardaja, A. Sangkana. 1990. “Ruwatan Dalam Pewayangan” dalam Ruwatan Dalam Pewayangan. (seminar ruwatan,1 september 1990). Lembaga Javanologi. Yayasan Ilmu Pengetahuan dan KebudayaanPanunggalan Bekerjasama dengan Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional. Yogyakarta. Turner, Victor. 1977. The Ritual Process (Sructure and Anti-Structure). New York: Cornell University Press Moll van, J.F.A.C & .Mayer. L.Th. 1909. De Sedekahs En Slametans In De Desa. G.L.T. Van Dorp & Co.Semarang-Soerabaia – ‘s Hage. (47-51). Wahyono, Pawatri. 2008. ‘Hakikat dan Fungsi Permainan Ritual Magis Nini Thowok bagi Masyarakat Pendukungnya: Sebuah Studi Kasus di Desa BanyumudalGombong’. dalam Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Ed. Pudentia. Jakarta: Penerbit Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
1036
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
---------. 2009. Ruwatan Dalam Berbagai Tradisi Kebudayaan. ‘Ruwatan dalam Berbagai Tradisi (makalah). Graha Sabha Pramana.17 Juli 2009. Walujo, WP. Djoko. 1990. “Ruwatan Dalam Pewayangan” dalam Ruwatan Dan Tokoh Kala Dalam Cerita Pewayangan. (seminar ruwatan, 1 september 1990). Lembaga Javanologi. Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan Bekerjasama dengan Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional.Yogyakarta. Wardhana, Dwi Christiana. 2003. Mantra Aji-Aji Di Surakarta. (Makalah). Seminar Nasional Naskah Kuno Nusantara, Tema: Mantra) Jakarta, 2-3 September 2003. Perpustakaan Nasional. Wiryamartana. I Kuntara. 1990. “Ruwatan Dalam Pewayangan” dalam Ruwatan Dan Tokoh Kala Dalam Cerita Pewayangan. (seminar ruwatan, 1 september 1990). Lembaga Javanologi. Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan Bekerjasama dengan Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional. Yogyakarta. Yendra, I Wayan & Mangku Alit Pekandelan. 2010. Tadah Kala. Lahirnya Bhatara Kala Menimbulkan Malapetaka. Penerbit Paramita Surabaya. Zaimar, Okke. K. S. 2008. ‘Metodologi Penelitian sastra Lisan’. dalam Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Ed. Pudentia. Jakarta: Penerbit Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). ---------. 2008 Semiotik dan Penerapannya dalam Karya sastra. Jakarta: Pusat Bahasa (ix+138 hlm) Zoetmulder.1968. Sekar Semawur, Bunga Rampai Bahasa Jawa Kuno. Djakarta: Obor ---------. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan. ---------. 1990. Manunggaling Kawulo Gusti. (Diterjemahkan oleh Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Zoetmulder. Dan S. O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Taman Mini Indonesia Indah: Sumber :
, diunduh 4 Mei 2011 Suku Jawa:
, diunduh 5 Mei 2011 Sensus Penduduk: diunduh 8 Mei 2011) Demografi: diunduh 8 Mei 2011. Sensus penduduk DKI. Jakarta . diunduh, 8 Mei 2011) Taman Mini Indonesia Indah: Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/, diunduh 4 Mei 2011 Teks: rekaman upacara ruwatan Murwakala di TMII. Jakarta tahun 2010.
1037
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
Majalah Jaya Baya: kalawarti minggon basa Djawa. Yayasan Djojobojo, Surabaya. 2010 65.1-13 No.08.Minggu IV Oktober 2010 ( hal 18-19). Martojo, Moempoeni. 1983. ‘Perbenturan Nilai Dan Masalahnya’. Dalam Perubahan Nilai-Nilai Di Indonesia. ( hal 10-23). Penerbit Alumni-Bandung. Mubarak, Sulaiman. 1983. Gotong Royong Sebagai Nilai Dan KemungkinanKemungkinan Erosinya. Dalam Perubahan Nilai-Nilai Di Indonesia. (hal 2435). Penerbit Alumni-Bandung. Rahardjo, Satjipto. 1983. Sistem Sosial Dan Budaya Indonesia. Dalam Perubahan Nilai-Nilai Di Indonesia. ( hal 24-35). Penerbit Alumni-Bandung. Daldjoeni. N. 1983. Lingkungan Hidup Dalam Hubungannya Dengan Sosial Budaya Masyarakat. Dalam Perubahan Nilai-Nilai Di Indonesia. ( hal 93-104). Penerbit Alumni-Bandung. Sudjoko. 1983. Peranan Dan Sumbangan Seni Dalam Kebudayaan Indonesia. Dalam Perubahan Nilai- Nilai Di Indonesia. ( hal 24-35). Penerbit Alumni-Bandung. Kayam, Umar. 1983. Dialog Antara Ilmu Dan Hukum. Dalam Perubahan Nilai-Nilai Di Indonesia. ( hal 116-120). Penerbit Alumni-Bandung. ---------. 1999. Seni Pertunjukan Kita. (Makalah Pertemuan MSPI- tgl 10 September1999). Di Tirtagangga-Bali. Wirawan, Sarlito Sarwono. 1997. Psikologi Sosial. Individu Dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Penerbit PT Balai Pustaka (Persero). Jakarta. ---------. 1981. Manusia Indonesia Dalam Masyarakat Yang Membangun. Diskusi Intern Tahap I. (24 Januari 1981) PSL.UI. Perkiraan masalah Lingkungan hidup Dalam Pembangunan.
1038
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
Lampiran 1. Ruwatan Pada Masa Jawa Kuna No
Cerita/Lakon
Di lukat
1.
Garudeya
Winata
2
Kunjarakarna
Raksasa Kunjarakarna Purnawijaya
Me lukat
Lokasi
Media
Garuda
Dipinggir pantai
Air amrta
------------
Werocana
Air suci
Mendapat dharma
Air suci, ditaburi beras kuning, bunga tabur,
Meditasi, dengan memusatkan pikiran, Om, Hungkara
3
Sudamala
Durga Ra nini Pendeta Tambapetra Raksasa kalantaka dan Kalanjaya.
Sadewa
Di siksa neraka Gohmukha Serta di wihara bhodicipta Setra Gandamayu
4
Sri Tanjung
Sri Tanjung
Ra nini
Setra Gandamayu
Air dari 7 sumur
5
Korawasrama
Durga Betari Durga dan Betara kala
Gana Hyang Tunggaltunggal
----------------------
6
Nawaruci
Dua naga Carasambha dan Harsanandi Raksasa Indrabahu Wrkodara
Wrkodara/Bima
Sumur Dorangga
kalpika dari gandhapura yang wangi dari Suprabha, lumur kusuma wicitra, dan bunga saroja dari tempat dewa. Durga ditaburi bunga urai, dan disabet dengan sabuk tiga kali serta disirami dengan air kehidupan yang diletakkan dalam jambangan putih Dibunuh dengan kuku pancanaka
Wrkodara/Bima Nawaruci
Padang Andadawa Masuk di dalam perut Nawaruci
Calonarang
Mpu Bharadah
Kuburan Tulis
7
Calonarang
1039
Mantra
dan
Lemah
ajaran
----------------
Uba rampe --------------------------
ditaburi beras kuning, bunga tabur, Mustika wadon -------------
------------Mendapat ajaran-inti kehidupan sejati dibunuh
Pengetahuan moksa untuk dapat mencapai kalepasan
-----------
Ket
1040 Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”
Lampiran 2. Ruwatan dari Teks Tertulis dan Ruwatan Di TMII No
Ruwatan dari Teks Tertulis
Ruwatan di TMII
Mengutip Sebuah keterangan tentang jalannya upacara ‘ruwat’ Ruwatan Murwakala yang diselenggarakan di Desa Wisata yang ditulisan oleh IS Purbonegoro (1973:4,5). Antara lain: (TMII). Dapat diketahui beberapa tahap-tah ap Pertama: anak-anak atau sukerta yang akan diruwat membersihkan dirinya dahulu beserta dengan kedua orang tuanya. dalang melakukan pemeriksaan terhadap gamelan kothak wayang serta panggung dan seluruh sesaji ruwat Ketiga: setelah semua dianggap sudah beres dan lengkap, para sukerta yang akan diruwat bersama dengan orang tuanya bersiap-siap menantikan kedatangan dalang Keempat: Dalang telah tiba diadakan penyambutan oleh anak sukerta bersama bapak-ibunya. Kelima: Dilakukan upacara pasrah ruwat yang dilakukan dari orang tua kepada dalang yang akan meruwat Keenam: Setelah itu dilanjutkan dengan upacara pasrah sesaji ruwat dari orang tua sukerta kepada dalang, sesaji-sesaji itu satu persatu diumumkan. Ketujuh: Pagelaran wayang kulit dimulai Kedelapan: Sementara itu ketika pagelaran sedang berjalan ditengahi sebentar untuk mengadakan upacara suwuk dan playon dengan obor klari budeg, menengahi kadang kala. Kesembilan: Dilanjutkan dengan upacara siraman kembang setaman Kesepuluh: Setelah upacara siraman selesai dilanjutkan dengan upacara selamatan terakhir Kesebelas: Dilakukan lagi upacara penyerahan semua sarana dan sesaji serta peralatan ruwat untuk dilarung Keduabelas: Setelah upacara larungan diakhiri dengan bubaran. Kedua:
pelaksanaannya, yaitu; 1.
2.
3.
4. 5.
Penyerahan orang sukerta yang dipimpin oleh seorang cucuk ing lampah untuk menghadap Dalang ruwatan Ki. H. Manteb Sudarsono,setelah diterima oleh Dalang sebagai pemimpin ruwatan, disediakan juga perlengkapan upacara, antara lain sesajen/sajen (gedang, tuwuhan, sego / beras, buah-buahan), Kemudian diawali dengan sungkeman yang dilakukan oleh orang sukerta kepada kedua orang tuanya, dilanjutkan sungkeman kepada Dalang, dengan diiringi oleh gending Kidung Restu podo yang dibawakan oleh seorang waranggono Nyi Wulansih, Setelah selesai sungkeman, dalang memulai upacara dengan melaksanakan pagelaran wayang kulit lakon Murwakala. Selama ± 1 ½ jam, setelah selesai pagelaran kemudian dilanjutkan, Dalang didampingi oleh tiga orang penyelenggara upacara, mulai melaksanakan siraman/ memandikan orang-orang sukerta tersebut dengan air bunga yang sudah disediakan, Penutup. (ditutup oleh penangung jawab ruwatan).
Masyarakat yang mengikuti upacara ruwatan di TMII tersebut berasal dari, suku-suku NTT, Sulawesi/ suku Makasar, Sumatra Utara/ suku Batak, Kalimantan, Batam, etnis Cina, Arab dan suku Jawa. Ketika dihubungkan dengan keadaan masyarakat secara umum yang bermukim di Jakarta. Sebagian besar adalah masyarakat pendatang/urban.