RUWATAN leh: Media Ade Lestari
Agaknya akan turun hujan, langit yang semula terang berubah menjadi perkamen hitam. Arloji di tangan Analise menunjukkan pukul lima sore. Sementara gesekkan roda kereta dengan rel masih terus berjalan. Asap hitam yang keluar dari cerobong atas kereta membuat langit terlihat lebih gelap dari balik jendela. Analise membersihkan embun dari lensa kameranya. Kemudian iseng saja ia membidik objek seadanya. Ini musim hujan. Harusnya ia tidak pergi jalan-jalan, apalagi hanya dengan memburu foto sebagai alasan. Analise menginjakan kaki di perhentian terakhirnya; Stasiun Banjarnegara. Bola matanya sibuk mencari keberadaan sosok saudara yang kurang lebih dua puluh tahun tidak ditemuinya. Sedangkan dihadapannya berhamburan para ojek payung dan tukang becak yang berebut menawari jasanya. “Analise !” Seorang pemuda melambaikan tangannya dari jarak satu meter. Analise melihatnya samar-samar. Keduanya lalu berjalan, saling bertemu dititik peraduan. “Galiiih, apa kabar?” Uluran tangan Analise menyambut Galih. “Apik to, la kamu, pie?” Keduanya bersalaman. “Aku juga baik, cuma rasanya aku cape sekali.” “Perjalanan kita masih panjang, aku akan ajak kamu menyusuri pelosok daerah biar kamu taunya ndak cuma Ibu Kota. Ayo, kita berangkat sekarang. Nanti keburu malam.” Analise dan Galih melanjutkan perjalanan. Kali ini Dieng Wonosobo yang menjadi tempat tujuan. Sengaja mereka kesana untuk menyaksikan dengan nyata budaya pemotongan rambut gimbal yang ada. ***
Ternyata warga di dataran Dieng begitu antusias. Hampir seluruh warga ikut mempersiapkan sampai menuju “Hari H”. Juga tidak sedikit para orang tua yang mempunyai anak berambut gimbal ikut sibuk membujuk anaknya agar mau dipotong rambutnya. Analise membidik banyak objek disini. Salah satunya di Candi Arjuna, dimana tempat yang akan dijadikan proses ritual nantinya. Disekeliling Candi sudah dikelilingi kain putih, Analise juga tidak begitu mengerti maksudnya. Mungkin bisa jadi karena ini momentum sakral, jawab batinnya. Gambar pertama, kumpulan anak laki-laki berambut gimbal yang ditaksir usianya rata-rata kisaran tujuh sampai sepuluh tahunan. Rambut gimbalnya yang sedikit pirang tanpa polesan, ditambah kulitnya yang hitam legam membuat keunikan tersendiri jika dipandang. Analise masih berjalan menyusuri area Candi, sementara Galih hanya menjadi tour guide mengikuti kemanapun Analise pergi. Lensa kamera terus mencari objek makanannya. Apapun yang ada disekitarnya ia bidik. Tetapi, kali ini retina mata Analise menangkap objek yang sedikit berbeda. Analise berjalan mendekat, namun Galih terus memegang lengannya erat-erat. “Jangan..” bisiknya pelan. Analise mulai mendekat, seorang ibu yang tidak jauh berada didekatnya seolah memberi isyarat. Ibu itu mengibaskan kelima tangannya didepan, lalu jari telunjuknya dimiringkan empat puluh lima derajat tepat didahinya. “His, ojo dipedeki mba, ngko ndak ngamuk.” Analise mengerutkan dahi, tidak dapat mencerna apa yang dimaksudnya. “Jangan dekati dia maksudnya, An.” Tanpa diminta Galih segera menempatkan diri menjadi penerjemah. “Dia itu yo orang gila, mbak. Sering ngamuk-ngamuk, sering teriak-teriak, bahaya. Mbaknya dan Masnya jangan dekati dia”.
Rasa iba Analise menang banyak dibanding himbauan ibu itu. Analise mendekati wanita renta dengan rambut putihnya. Galih mengekor dibelakang pelan-pelan. Sepertinya mereka memasuki lamunannya, namun sama sekali wanita itu tidak mengalihkan pandangannya. Ia sama sekali tidak menggubris kedatangan keduanya. Wanita itu masih dengan posisinya, duduk beralaskan pasir dan bebatuan. Pakaiannya kuno namun terlihat bersih. Atasan kutu baru dan kain tapih yang melilit dipinggangnya memberikan aksen nyentrik jika dikenakan pada jaman sekarang. Analise mengarahkan kembali lensa, dari dekat, objek ini sungguh memikat. Kali ini Analise ingin memunculkan beraneka ragam karakter manusia dan budaya pada kameranya. “Jangan foto saya..” Analise tertegun ketika wanita itu angkat suara. Analise berhenti sejenak. “Dulu anakku juga gimbal seperti anak-anak itu. Anaku masih usia delapan tahun waktu itu, rambutnya gimbalnya, hidungnya mancung seperti bapaknya, kulitnya hitam, tetapi manis.” Analise dan Galih saling berpandangan, kelistrikan otak mereka dipenuhi dengan tanda tanya. Tiba-tiba wanita renta itu mendeskripsikan tanpa ditanya. Dan ketika itu pula mereka masuk kedalam dunia wanita yang mengungkapkan diri bernama Kinanthi. *** Konon sejak abad ke 14 masehi, Kyai Kolo Dete mendapatkan titipan yaitu anak-anak berambut gimbal. Kyai Kolo Dete mendapat amanat dari Ratu Pantai Selatan bahwa perlu adanya pemotongan rambut kepada anak-anak yang lahir berambut gimbal. Namanya ruwatan, ritual tersebut bertujuan untuk membebaskan para Dewa yang dikutuk menjadi hewan dan lain sebagainya. Ruwatan juga bertujuan untuk menjauhkan si anak dan keluarga dari malapetaka. Namun tidak semua anak yang lahir akan tumbuh menjadi anak berambut gimbal, hanya ada beberapa anak saja yang mendapat keistimewaan tersebut. Tidak ada syarat
tertentu juga, hanya saja garis keturunan dari dataran Dieng dan Wonosobo yang mampu melahirkan generasi anak berambut gimbal. Biasanya menginjak usia tujuh tahun ke atas, seorang anak mulai terlihat atau muncul rambut gilmbalnya. Sebagai syarat, setiap anak yang dipotong rambutnya berhak meminta apa yang mereka inginkan. Beraneka ragam permintaannya, ada dari mereka yang meminta mainan, sepeda, meminta sekolah bahkan ada juga anak yang meminta sapi. Semua permintaan tidak menjadi masalah jika masih dalam batas wajar walaupun menghabiskan banyak materi. Namun berbeda yang terjadi dengan anak Kinanthi. Entah atas dasar apa, anak Kinanthi berbeda dengan anak lainnya, ia meminta permintaan yang tidak rasional, yaitu kepala ayahnya. Jelas Kinanthi dan suaminya menolak dengan tegas. Sehingga hanya anak Kinanthi saat itu yang tidak mengikuti prosesi pemotongan rambut gimbal. Kinanthi tidak mempedulikan apa yang akan terjadi. Ia tidak mungkin mengabulkan permintaan anaknya untuk memberikan kepala suaminya. Selang beberapa hari anak Kinanthi sering sakit-sakitan. Kinanthi menganggap sakit anaknya adalah hal yang biasa. Sudah berbagai macam obat diberikan untuk anaknya. Beberapa dukun sudah didatanginya. Tetapi tidak terjadi perubahan apalagi kesembuhan pada anak Kinanthi. Kinanthi sudah putus asa, dan nyatanya Kinanthi kemudian kehilangan nyawa anaknya. Kinanthi semakin terpukul dengan keadaan yang ada. Ditambah kematian suaminya secara tiba-tiba tidak lama menyusul kematian anaknya. Riuh warga setempat berpendapat bahwa anak Kinanthi tersebut menjadi mangsa Batara Kala. Batara Kala sendiri adalah dewa yang telah dikutuk menjadi raksasa. Hal itu terjadi karena anak Kinanthi tidak mengikuti ritual pemotongan rambut gimbal. Disusul dengan kematian suaminya. Keluarga Kinanthi sepertinya telah mendapat malapetaka. Setiap hari Kinanthi berjalan kesana kemari mencari anaknya, sampai ia dikira orang gila oleh sebagian warga.
Mitospun menyebar sampai beberapa keturunan. Entah bagaimana benarnya, tetapi warga sekitar yakin bahwa anak-anak berambut gimbal yang tidak dipotong rambutnya akan menyebabkan dampak buruk untuk keluarganya. Hingga, sampai saat ini budaya ruwatan masih terus dilakukan *** Sekitar area Candi Arjuna ramai bersesakan, rupanya kawasan ini sudah menjadi lautan manusia. Tidak hanya warga Dieng saja yang datang untuk menyaksikan acara, banyak dari luar kota juga yang berkunjung kesana. Beberapa wanita paruh baya menari gemulai dengan pakaian adatnya membuka acara. Sedangkan para pria memukul kendang mengiringi dengan musik seadanya. Dihamparan kain putih berjejeran aneka sesajen. Ada nasi tumpeng, bekakak ayam, bunga tujuh rupa, dan gunting. Dukun yang akan melakukan ritual ruwatan sudah datang. Analise dan Galih menerobos lorong sempit para manusia demi melihat ritual dengan jelas. Satu-persatu anak gimbal dicukur sedikit ujung rambutnya. Katanya, jika seorang anak sudah dipotong rambutnya, maka lama kelamaan rambut gimbal akan hilang dengan sendirinya. Analise menangkap gambar dengan sempurna. Kemudian dukun tersebut memasukan rambut anak-anak tersebut kedalam kain putih yang kemudian akan dihanyutkan ditelaga warna. Warga bersorakan gembira setelah satu persatu anak berambut gimbal melakukan ruwatan. Kemudian orangtua dari mereka segera memberikan apa yang sudah menjadi syarat dari permintaan anak-anaknya. Analise hampir lupa, tadi ia meninggalkan Kinanthi begitu saja. Analise dan Galih mengelilingi sekitar area. Mereka berdua mencari sosok Kinanthi. Berbagai area sudah mereka telusuri dan sama sekali mereka tidak menemukan keberadaan Kinanthi.
Mereka menyerah, senja sudah datang. Mereka melanjutkan persiapan pulang. Tetapi Galih dan Analise juga tidak bisa pulang membawa rasa penasaran. Mereka masih ingin bertemu Kinanthi untuk menceritakan sejarah budaya lebih lanjut lagi. Analise dan Galih tidak kehabisan akal. Akhirnya mereka bertanya denga warga sekitar. Tidak banyak warga setempat yang kenal Kinanthi. Dan ada juga warga yang kenal dengan Kinanthi. Sebagian besar warga menjawab dengan sama. Kinanthi adalah cerita sudah mati beberapa puluh tahun yang lalu.