KASNO ET AL.: PENGEMBANGAN PANGAN BERBASIS KACANG-KACANGAN DAN UMBI-UMBIAN
PENGEMBANGAN PANGAN BERBASIS KACANG-KACANGAN DAN UMBI-UMBIAN GUNA PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Astanto Kasno, Nasir Saleh, dan E. Ginting1)
ABSTRAK Pemenuhan kebutuhan karbohidrat dan protein bangsa Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh padi-padian, termasuk beras dan terigu. Untuk keperluan tersebut Pemerintah terpaksa harus selalu mengimpor beras apabila sedikit terjadi goncangan dalam produksi beras di dalam negeri. Sedangkan impor terigu telah mencapai 4,5 juta ton per tahun. Impor sumber karbohidrat dan protein tersebut tentu menggunakan devisa yang besarnya signifikan. Upaya menekan impor beras dan terigu melalui peningkatan kemampuan produksi dalam negeri dan diversifikasi pangan pada hakekatnya adalah meningkatkan ketahanan pangan nasional yang sekaligus pula meningkatkan kesempatan ekonomi bangsa Indonesia. Sejalan dengan itu, ketergantungan terhadap beras dan terigu dapat diperlonggar dengan penganekaragaman pangan melalui perubahan citra bahan pangan pokok selain beras. Pengubahan citra bahan pangan selain beras yang secara alami inferior harus dilakukan melalui pengembangan atau pengolahan menjadi bentuk komoditas baru yang diperkaya dengan nutrisi sehingga lebih menarik. Umbi-umbian merupakan tanaman tradisional yang sudah lama dikenal dan dibudidayakan masyarakat sebagai sumber karbohidrat yang dapat diandalkan sebagai komplemen dan suplemen beras, namun bahan pangan tersebut dalam bentuk segar memiliki kandungan kalori dan protein yang rendah. Karakteristik kalori ubi segar dapat dihilangkan dengan memprosesnya menjadi bahan kering berupa irisan atau tepung dengan kadar air setara beras dan aman disimpan. Kandungan protein yang rendah dapat ditingkatkan dengan menambahkan tepung kacangkacangan sehingga menjadi tepung komposit kaya nutrisi. Dari tepung ubi-ubian atau komposit dapat dikembangkan aneka produk olahan dengan citra rasa baru yang menarik. Penganekaragaman pangan berbasis umbi-umbian dan kacang-kacangan merupakan alternatif yang paling rasional untuk memecahkan permasalahan pangan dan memantapkan ketahanan pangan.
1)
Peneliti Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Kotak Pos 66 Malang 65101, Telp. (0341) 801468, e-mail:
[email protected]
Diterbitkan di Bul. Palawija No. 12: 43–51 (2006).
Kata kunci: kacang-kacangan, umbi-umbian, ketahanan pangan.
ABSTRACT Fulfillment of protein and carbohydrate requirement in Indonesia is still predominated by grain, including wheat and rice. In the event of reduced domestic rice production, the government always imported. While wheat import have reached 4,5 million ton per year. Import of rice and wheat uses significant amount of foreign exchange. Effort to reduce rice and wheat import through increasing domestic production and diversification is eessentially to improve national food resilience at the same time improving the economic opportunity of Indonesia. In line with that, dependence to wheat and rice could be minimized with diversification of food through change of image of food other than rice. Improving the image of food which were inferior to rice must be done through processing or product development into new commodity enriched with nutrition, so that it can be more interesting. Tuber crops are traditional crop which have been cultivated by farmers as source of carbohydrate to complement and suplemen rice. However, in the fresh form tuber have low calorie and protein content. This characteristic can be eliminated by processing it into the form of flour or slice with equivalent water content of rice. Low protein content could be improved by adding legume flour so that it become a nutrition rich composite flour. The composite flour can be developed into various products with better image. Food diversification base on legume and tuber crops is most rational alternative to solve the food problems and stabilize food resilience. Key words: legumes, tuber crops, food resilience.
PENDAHULUAN Dalam kurun waktu lima tahun (2000–2005), jumlah penduduk Indonesia meningkat dengan laju pertumbuhan 1,34%/tahun yaitu dari 205,132 juta orang menjadi 219,205 juta. Sebagai konsekuensinya adalah beban pemerintah untuk menyediakan bahan pangan menjadi semakin berat. Sejarah membuktikan bahwa terbengkalainya penanganan pangan bagi negara yang berpenduduk besar dapat menimbulkan masalah 43
BULETIN PALAWIJA NO. 12, 2006 Tabel 1. Pemenuhan konsumsi kalori dan protein/kapita/hari.
Sumber
1996 Kalori
1999
Protein
Kalori
Protein
2002
2003
2004
Kalori Protein
Kalori Protein
Kalori
Protein
Padi-padian Umbian Kacangan Lain-lain
1152 58 60 749
27,0 0,4 5,1 22,0
1066 61 52 670
25,0 0,4 4,8 18,5
1040 55 72 820
24,4 0,4 6,4 23,3
1035 56 64 835
24,3 0,4 6,4 24,3
1024 67 62 833
24,0 0,5 5,5 24,6
Total
2019
54,5
1849
48,7
1987
54,5
1990
55,4
1986
54,6
Sumber: BPS (2002; 2004).
politik dan ekonomi yang berujung pada disintegrasi bangsa sebagaimana terjadi di Uni Soviet.
tambah perekonomian (Budianto 2000).
Fakta juga menunjukkan bahwa pemenuhan konsumsi kalori dan protein bangsa Indonesia saat ini masih didominasi oleh kelompok padi-padian (cereals), sedangkan kelompok umbi-umbian dan kacang-kacangan masing-masing kontribusinya sangat rendah. Pada tahun 2004 dari konsumsi 1986 kalori, 1024 kalori (51%) dipenuhi dari padipadian sedangkan umbi-umbian dan kacangkacangan hanya menyumbang 56 dan 64 kalori atau sekitar 3,36% dan 3,13%. Demikian juga terhadap konsumsi protein sebagian besar (44%) dipenuhi dari padi-padian. Umbi-umbian hanya memberi sumbangan sebesar 0,9% dan 10,10% (Tabel 1).
Pangan yang dikonsumsi dari tingkat individu, keluarga, masyarakat atau bangsa berhubungan erat dengan sikap dan perilaku. Sikap yang terbentuk dari keyakinan, tatanilai, dan kebutuhan personal akan menjadi perilaku setelah melewati beberapa peubah seperti kebiasaan, norma sosial, dan konsekuensi dari perilaku yang diambil (Taryoto 1991). Oleh karena itu, kebijaksanaan pangan harus memperhatikan masalah sikap dan perilaku masyarakat, dan tidak hanya didasarkan pada pasokan dan permintaan beras. Menurut Susanto (1991), pangan dan gizi bersifat pribadi dan individual, namun sangat penting untuk menyebarluaskan pengetahuan kepada masyarakat di semua wilayah dan golongan etnik agar dapat menghargai, menerima dan mengkonsumsi bahan dan jenis pangan setempat yang tersedia guna menghindari ketergantungan terhadap satu atau dua jenis makanan pokok. Sejalan dengan itu, Gunawan (1991) menyatakan bahwa ketergantungan terhadap beras dapat diperlonggar dengan penganekaragaman pangan melalui perubahan citra bahan pangan pokok selain beras, sedangkan perbaikan gizi sepenuhnya tergantung pada peningkatan pendapatan. Pengubahan citra bahan pangan selain beras khususnya yang secara alami inferior harus dilakukan melalui tahapan pengembangan produk atau pengolahan menjadi bentuk komoditas baru yang lebih menarik, dan perlu diperkaya dengan nutrisi. Jika sikap dan perilaku masyarakat tentang pangan tidak segera dibenahi, kesulitan pangan yang lebih besar akan menghadang masa depan bangsa Indonesia.
Kondisi tersebut memaksa pemerintah untuk mengimpor beras dan tepung terigu sebagai cadangan bahan makanan. Pada tahun 2005, Pemerintah tetap mengimpor beras dan tepung terigu untuk memantapkan ketahanan pangan, meskipun disadari bahwa dengan impor tersebut, bangsa Indonesia telah memberikan kesempatan ekonomi kepada petani mancanegara. Upaya menekan impor beras dan terigu melalui program peningkatan produksi bahan pangan dalam negeri dan diversifikasi pangan pada hakekatnya adalah meningkatkan ketahanan pangan nasional yang sekaligus pula meningkatkan kesempatan ekonomi bangsa Indonesia. Pelaksanaan diversifikasi pangan mencakup kegiatankegiatan yang saling terkait, mulai dari kegiatan produksi, pengolahan, distribusi dan perdagangan serta konsumsi masyarakat. Pada gilirannya akan berdampak pada pemanfaatan sumberdaya pertanian lokal secara lebih optimal dan nilai
44
dapat
ditingkatkan
KASNO ET AL.: PENGEMBANGAN PANGAN BERBASIS KACANG-KACANGAN DAN UMBI-UMBIAN Tabel 2. Rata-rata nasional konsumsi kalori dan protein/kapita/hari tahun 1996-2005.
Konsumsi/ kapita/hari
1996
1999
2002
2003
2004
Kalori (kal) 2.019 Protein (g) 54,49
1.849 48,67
1.987 54,45
1.989 55,37
1.986 54,65
Sumber: BPS, 2002 dan 2004.
Pembangunan pangan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional secara keseluruhan. Pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan secara adil dan merata buat kesejahteraan seluruh penduduk Indonesia (Sawit 2000). Pengkajian dan penggalian peran bahan pangan sebagai komplemen beras dirasakan mendesak dan seyogyanya dilakukan berdasarkan kerangka perbaikan gizi sebagai salah satu rantai pembangunan bangsa. Dengan kata lain, bahan pangan selain beras dan produk olahannya harus bergizi. STATUS GIZI MASYARAKAT Salah satu indikator tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi yang lazim disajikan dalam kalori dan protein. Berdasarkan Hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi ke IV (tahun 1998) ditetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein/kapita/ hari masing-masing adalah 2050 kalori dan 44 g protein (BPS 1999). Pada tahun 2004, rata-rata nasional konsumsi kalori dan protein per kapita per hari adalah 1.986 kalori dan 54,65 g protein (BPS 2004). Hal tersebut berarti bahwa kebutuhan kalori masih berada di bawah batas kecukupan, sedangkan proteinnya sudah di atas standar. Apabila kecukupan gizi tahun 2004 tersebut dibandingkan dengan tahun 1996 (sebelum terjadi krisis ekonomi), maka terlihat bahwa ratarata konsumsi kalori tahun 2004 masih di bawah tahun 1996 (Tabel 2). Hal tersebut menunjukkan bahwa dari sisi konsumsi kalori dan protein, hingga tahun 2004 krisis tersebut belum pulih sepenuhnya.
Menurut Budianto (2000) krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997 mengakibatkan makin rapuhnya ketahanan pangan, karena aksesibilitas pangan yang makin merosot. Hal ini disebabkan karena makin meningkatnya jumlah pengangguran, penduduk miskin bertambah, pendapatan riil masyarakat menurun dan terjadi peningkatan harga pangan di pasar. Penurunan ketahanan pangan di Indonesia juga diakibatkan oleh menurunnya kemampuan pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri karena berbagai hal. Jumlah penduduk yang kini mencapai 219,20 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,34% per tahun (BPS 2004) dan tingkat konsumsi beras per kapita sebesar 99,1 kg merupakan tantangan yang tidak ringan. Sementara produksi padi dihadapkan pada masalah penciutan lahan, penurunan kualitas lahan, terjadi levelling-off dari peningkatan produktivitas dan berbagai masalah lain (Budianto 2000). Sejalan dengan upaya peningkatan produksi padi, penganekaragaman/diversifikasi pangan merupakan alternatif yang paling rasional untuk memecahkan permasalahan kebutuhan pangan (khususnya karbohidrat). Penataan pola makan yang tidak tergantung pada satu sumber pangan (padi), memungkinkan tumbuhnya ketahanan pangan pada masing-masing keluarga yang pada akhirnya dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional. Umbi-umbian merupakan tanaman tradisional yang sudah dikenal masyarakat sejak lama sebagai sumber pangan (karbohidrat) yang dapat diandalkan sebagai komplemen dan suplemen kebutuhan akan beras. Akibat krisis ekonomi sejak 1997 telah mengubah pola makan penduduk yang diindikasikan dengan meningkatnya konsumsi ubi kayu dari 28,16 kalori/kapita/hari pada tahun 1996 menjadi 34,96 kalori/kapita/hari pada tahun 1999 (BPS 1999). KARAKTERISTIK BAHAN PANGAN KACANG-KACANGAN DAN UMBI-UMBIAN Tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian merupakan penghasil protein nabati dan karbohidrat yang efisien, murah dan dapat digunakan sebagai suplemen bahan pangan pokok beras dan terigu. Kacang-kacangan pada umumnya mem45
BULETIN PALAWIJA NO. 12, 2006 Tabel 3. Kandungan gizi beberapa bahan pangan umbi-umbian dibanding beras.
Bahan
Beras giling Ubikayu Ubijalar Talas Gadung Ganyong Gembili Suweg Tepung beras Tepung ubikayu Pati ubikayu Tepung garut
Nilai gizi per 100 g bahan yang dapat dimakan Kalori (kal)
Prot (g)
Lemak (g)
KH (g)
Ca mg
P mg
Fe mg
360 170 106 83 86 62 81 59 364 363 362 355
6,8 0,9 1,6 1,6 1,8 0,7 1,3 0,9 7,0 1,1 0,5 0,7
0,70 0,23 0,60 0,17 0,17 0,07 0,09 0,09 0,50 0,50 0,30 0,20
78,9 26,0 24,0 20,1 19,7 14,7 19,0 13,5 80,0 88,2 86,9 85,2
6,00 24,75 25,80 23,80 17,00 13,65 11,90 53,30 5,00 84,00 0,00 8,00
140 30 42 52 59 45 42 35 140 125 0 22
0,8 0,5 1,6 0,8 0,5 13,0 0,7 3,6 0,8 1,0 0 1,5
Vit.A SI
B1 mg
C mg
Air g
0 0 52 17 m m 0 0 0 0 0 0
0,12 0,05 0,08 0,11 0,09 0,07 0,04 0,06 0,12 0,04 0 0,09
0 22,5 18,9 3,4 7,7 6,5 3,4 4,3 0 0 0 0
13,0 46,9 58,9 62,0 62,5 48,8 63,8 70,5 12,0 9,1 12,0 13,6
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1967).
punyai kandungan protein yang tinggi, sedangkan umbi-umbian kandungan karbohidrat yang cukup tinggi, meskipun masih lebih rendah dibanding beras. Bahan pangan dari umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, talas, gadung, ganyong, gembili, dan suweg) dalam bentuk segar memiliki kandungan kalori dan protein yang rendah. Untuk memperoleh kalori yang sama dengan beras, harus dikonsumsi ubi sebanyak 2–3 kali beras. Sedangkan untuk memperoleh protein setara beras perlu dikonsumsi ubi segar tujuh kali konsumsi beras. Implikasinya adalah orang sudah merasa kenyang, padahal kebutuhan kalorinya atau proteinnya belum terpenuhi (Hendroatmodjo 1999). Karakteristik rendah kalori ubi segar dapat dihilangkan dengan memprosesnya menjadi bahan kering berupa irisan atau tepung dengan kadar air setara beras aman simpan. Dengan bobot yang sama ubi dalam bentuk kering atau tepung dapat memberikan kalori yang sama dengan beras, akan tetapi proteinnya masih sangat rendah (Tabel 3). Rendahnya kandungan protein tepung ubi dapat ditingkatkan dengan menambahkan tepung kacang-kacangan sehingga menjadi tepung komposit. Berdasarkan karakteristiknya sebagai bahan pangan, beras memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan bahan pangan lainnya, yakni: (1) megandung kalori dan protein memadai, (2) tersedia di sembarang waktu dan di 46
mana-mana, (3) mudah disimpan, tidak mudah rusak dan ringkas, (4) cara masak sederhana dan dan peralatannya mudah diperoleh, (5) cocok dimakan dengan lauk pauk apa saja, dan (6) mudah diadopsi siapa saja dan sudah membudaya bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan keunggulan tersebut, menjadikan beras sangat sulit digantikan peranannya oleh bahan pangan lainnya. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah mengembangkan bahan pangan lain, terutama dari kacang-kacangan dan umbi-umbian sebagai suplemen baik pada saat beras tidak tersedia cukup atau dengan mengurangi konsumsi beras. Pengalaman bangsa lain, seperti Jepang menunjukkan bahwa kontribusi kalori asal beras dapat ditekan tanpa harus terjadi salah gizi. Semakin kecil pangsa kalori asal beras akan semakin baik. Kalori asal beras yang hilang tersebut harus diganti dengan bahan pangan lain. PROSPEK BAHAN PANGAN KACANGKACANGAN DAN UMBI-UMBIAN SEBAGAI SUPLEMEN BERAS Produksi padi pada tahun 2005 mencapai 54,05 juta ton gabah kering panen. Produksi jagung 12,41 juta ton, ubi kayu 19,37 juta ton ubi segar, dan ubi jalar 1,85 juta ton. Apabila semua bahan tersebut digunakan sebagai bahan pangan, maka total produksi bahan pangan sumber karbohidrat tersebut mengandung gizi yang melebihi kebutu-
KASNO ET AL.: PENGEMBANGAN PANGAN BERBASIS KACANG-KACANGAN DAN UMBI-UMBIAN
han kalori dari 219 juta penduduk Indonesia. Perhitungan tersebut didasarkan atas batas kecukupan kalori sebesar 2.310 kalori/kapita/hari dan pada setiap 100 g beras, jagung, ubi kayu dan ubi jalar segar, masing-masing sebesar 360, 361, 170 dan 106 kalori sebagai dasar perhitungan. Pada tahun 2005, Indonesia masih mengimpor beras meskipun sebetulnya dapat dihindari karena sebetulnya masih tersedia sumber kalori yang berasal dari jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Hal itu terjadi karena persepsi yang kurang tepat dari sebagian besar penduduk Indonesia, bahwa pangan hanyalah beras. Untuk memantapkan ketahanan pangan rumah tangga, penganekaragaman komsumsi pangan perlu terus diupayakan. Dari hasil penelitiannya, Ginting (1994) melaporkan bahwa konsumsi beras rata-rata panelis 8,8 kg/kapita/ bulan atau (106 kg/kapita/tahun) dapat dikurangi 27% menjadi rata-rata 6,4 kg/kapita/bulan atau 77 kg/kapita/tahun. Selama pengurangan konsumsi beras, tingkat konsumsi makanan tambahan sebagai bahan substitusi beras mencapai 4,3 kg/kapita/bulan atau 51,6 kg/kapita/tahun. Proporsi ubi jalar sebagai makanan tambahan 7,6% menempati urutan ke-5 setelah buah-buahan (23,4%), terigu (19,1%), beras (12,8%), dan ubi kayu (11,7%). Jenis olahan umbi-umbian umumnya berbentuk segar berupa ubi rebus (49,1%), ubi goreng (27,2%), kolak (15,5%), sawut (4,5%), getuk (3,4%) dan carang mas (<1%). Tampak bahwa kontribusi umbi-umbian sebagai pemenuh kebutuhan karbohidrat masih rendah, dan umumnya masih dikonsumsi dalam bentuk segar. Penganekaragaman pangan bukan perkara mudah dan cepat dinilai keberhasilannya. Perilaku pangan yang sudah terpola pada masyarakat Indonesia tidak mudah diubah begitu saja. Terdapat indikasi kuat bahwa kemajuan teknologi media massa yang gencar mempromosikan aneka produk pangan ”modern” menyebabkan kandungan pangan lokal semakin rendah dikonsumsi masyarakat yang bersangkutan. Selain itu, persepsi masyarakat bahwa belum merasa makan dan puas bila belum makan nasi berpeluang menyebabkan penganekaragaman pangan hanya menambah aneka pangan yang dikonsumsi. Artinya, pola dan konsumsi makan berasnya tetap, sedangkan aneka pangan lain sebagai tambahan.
Berbagai aspek yang perlu diperhatikan dalam rangka penganekaragaman konsumsi pangan di antaranya adalah stabilitas harga, ketersediaan bahan pangan lokal, citarasa dan pengolahan. Laju perkembangan produksi, tingkat hasil dan luas panen bahan pangan umbi-umbian relatif rendah, namun sarana produksinya rendah dan mampu memenuhi permintaan domestik, baik untuk pangan, pakan dan industri. Dengan demikian komoditas ini dapat diandalkan sebagai komplemen dan atau suplemen beras. Apabila sarana produksi optimal, komoditas umbiumbian sebetulnya mampu menghasilkan karbohidrat per satuan luas dan waktu, yang cukup tinggi. Potensi umbi-umbian sebagai pangan dapat dipilah berdasarkan sudut pandang potensi biologik dan potensi ekonomik. Potensi biologik lebih berhubungan dengan ragam jenis dan kemampuan produksinya, sedangkan potensi ekonomik berkaitan dengan konstituen bahan, ketersediaan, dan pengolahan serta kaitannya dengan bahan yang lain. Walaupun Indonesia bukanlah daerah asal (center of origin) tanaman umbi-umbian, hampir semua jenis tanaman umbi-umbian terdapat di Indonesia. Jenis tanaman umbi-umbian yang telah dibudidayakan dan berstatus komersial adalah ubi kayu (Manihot esculenta), ubi jalar (Ipomea batatas), talas (Colocasia esculenta); dan yang dikelompokkan ke dalam tanaman sayursayuran adalah kentang (Solanum tuberosum). Sebagian besar jenis umbi-umbian lainnya hanya dibudidayakan dengan status subsisten atau setengah komersial seperti garut (Maranta arundinacea), ganyong (Lana edulis), gadung (Dioscorea hispida), uwi (Dioscorea alata), gembili (Dioscurela esculenta), uwi katak (Dioscorea pentaphyla), kimpul (Xanthosoma violeceum), talas belitung (Xanthosoma saggitifolium), suwek (Amorphophalus companulatus), yang masingmasing mempunyai ragam pada tingkat spesies. Potensi biologik jenis tanaman umbi-umbian sangat besar, karena jenis atau ragamnya banyak, persyaratan tumbuhnya tidak terlalu tinggi dan mampu menghasilkan energi yang dapat dicerna cukup tinggi. Akan tetapi untuk untuk menjadi pangan alternatif, potensi biologik yang besar tidaklah cukup. Pangan yang disyaratkan sebagai sumber pembangun intelegensia, 47
BULETIN PALAWIJA NO. 12, 2006 Tabel 4. Jenis tanaman, status pengusahaan, potensi, dan kendala pengembangan.
Jenis tanaman
Status pengembangan
M. esculenta I. batatas C. esculenta M. arundinacea X. violeceum X. saggitifolium D. hispida D. alata D. esculenta D. pentaphyla C. edulis A. companulatus A. macrorhiza C. tuberosus
Komersial, jelas Komersial, jelas Komersial, jelas Subsisten, tidak Subsisten, tidak Subsisten, tidak Subsisten, tidak Subsisten, tidak Subsisten, tidak Subsisten, tidak Subsisten, tidak Subsisten, tidak Subsisten, tidak Subsisten, tidak
Potensi pengembangan
jelas jelas jelas jelas jelas jelas jelas jelas jelas jelas jelas
Tabel 5. Komposisi energi, protein, lemak dan karbohidrat berbagai macam tepung (dalam 100 g bdd).
Jenis tepung Beras Singkong Ubijalar putih Ubijalar merah Ubijalar ungu Tales Kacang hijau Kacang tunggak Kedelai
Energi Protein Lemak (kkal) (g) (g) 364 359 355 363 337 186 369 410
7,0 2,9 5,2 5,3 4,9 3,6 23,7 27,5 40,0
0,5 0,7 2,0 2,1 1,9 0,4 1,3 1,3 20,0
Karbohidrat (g) 80,0 84,9 80,6 83,3 76,4 45,0 67,3 73,9 35,0
Sumber: Marudut dan Sundari (2000).
kesehatan, dan kekuatan menuntut lebih banyak daripada sekedar energi. Potensi ekonomik jenis umbi-umbian tidak disangsikan lagi lebih rendah dibandingkan dengan serealia dan kacang-kacangan, khususnya dalam bentuk segarnya. Hal ini terjadi karena jenis umbiumbian secara umum hanya mampu menawarkan kalori, sedangkan kandungan protein, lemak, dan mineralnya relatif rendah (Tabel 4).
48
Besar Besar Besar Besar Ada Ada Ada Ada Tidak Tidak Ada Ada Tidak Tidak
jelas jelas jelas jelas
Kendala pengembangan Permintaan Permintaan Permintaan Teknologi Teknologi Teknologi Teknologi Teknologi Teknologi Teknologi Teknologi Teknologi Teknologi Teknologi
PRODUK STRATEGIS DARI KACANGKACANGAN DAN UMBI-UMBIAN Tepung ubi kayu atau ubi jalar memiliki kandungan kalori setara beras untuk satuan berat yang sama, namun kandungan proteinnya tetap masih lebih rendah dibanding tepung beras (Tabel 5). Guna meningkatkan kandungan protein pada tepung ubi jalar atau ubi kayu perlu ditambahkan tepung kacang-kacangan yang kandungan proteinnya mencapai 23–40%. Campuran tepung ubiubian dengan tepung kacang-kacangan disebut dengan tepung komposit. Tepung ubi-ubian atau tepung komposit memiliki daya simpan yang relatif setara dibanding daya simpan beras. Dari tepung ubi-ubian atau tepung komposit dapat dikembangkan beragam produk olahan. Karenanya, tepung ubi-ubian dan tepung komposit disebut dengan produk strategis. Produk strategis tersebut merupakan produk setengah jadi yang berpotensi sebagai bahan baku pada industri pangan suplemen beras. Berikut disampaikan beberapa produk strategis berbahan baku ubi jalar dan ubi kayu. Tepung Ubi Jalar (Bija) Tepung ubi jalar dibuat dengan teknologi sederhana, yakni: ubi dipilih dan dicuci, dikupas, diiris tipis atau disawut dan dikeringkan hingga kadar air 7%. Irisan ubi atau sawut kering kemudian digiling menjadi tepung bija. Tepung
KASNO ET AL.: PENGEMBANGAN PANGAN BERBASIS KACANG-KACANGAN DAN UMBI-UMBIAN
bija tersebut dapat disimpan atau diolah menjadi berbagai macam kue atau cake. Komposisi kimia tepung bija adalah: kadar air 7%, protein 3%, lemak 0,54%, serat kasar 2%, abu 2%, dan pati 60% (Antarlina dan Utomo 1999). Produk olahan dari tepung bija meliputi produk rerotian antara lain: kue kering, kue basah, roti tawar, dan roti manis, serta mie. Substitusi tepung ubi jalar terhadap terigu pada pembuatan kue/ roti dapat mencapai 100%, tergantung dari jenis kue/roti yang dibuat. Jenis roti/kue yang yang menggunakan campuran coklat dan gula merah seperti cookies coklat, spikuk, dan onbeytkuk dapat menggunakan 100% tepung bija. Untuk jenis roti yang memerlukan daya pengembang (gluten) seperti roti manis dan roti tawar, daya substitusi tepung bija hanya 15%. Umbi yang digunakan adalah yang berwarna putih agar dihasilkan tepung yang warnanya putih. Kue kering dan cake menggunakan tepung bija dari umbi berwarna putih, kuning atau unggu. Umbi warna ungu sangat sesuai untuk produk olahan ice cream dan roti. Penggunaan tepung bija untuk pembuatan produk rerotian nyata menghemat penggunaan gula. Pada pembuatan mie, daya substitusi tepung bija maksimum 20%. Ubi yang digunakan berwarna putih atau kuning (Antarlina dan Utomo 2000). Granula Granula merupakan alternatif produk setengah jadi yang tahan disimpan lama dan memiliki karakteristik seperti ubi segar saat diolah, serta dapat digunakan sebagai bahan dasar atau suplemen dari produk yang sudah ada. Granula ubi jalar dibuat dari umbi ubi jalar masak (dikukus) yang dikeringkan, sehingga tahan lama bila disimpan. Granula dibuat dengan cara: mencuci umbi segar, mengukus selama 30 menit, membersihkan kulit umbi, menggiling, mencetak, mengeringkan sehingga menjadi granula. Granula ubi jalar mengandung pati 26–29%. Dari granula dapat dibuat aneka produk seperti pada tepung ubi jalar. Tepung Instan Ubi Jalar Produk tepung setengan jadi ubi jalar lainnya adalah tepung instan yang merupakan produk lanjutan dari granula. Tepung instan ubi jalar sebagai suplementasi produk-produk berbasis ubi
jalar telah berkembang di Afrika. Penambahan tepung instan ubi jalar 20% pada pembuatan dapat menghasilkan produk berkualitas baik. Pada proses pembuatan tepung instan, bentuk atau ukuran dasar dan waktu gelatinisasi merupakan faktor yang menentukan kualitas tepung instan ubi jalar yang dihasilkan (Balitkabi 2000). Nasi Ubi Jalar Ubi jalar dapat diolah menjadi produk setengah jadi berupa sawut atau nasi instan. Nasi ubi jalar merupakan produk olahan ubi jalar instan kering yang berbentuk butiran sehingga mudah dijadikan nasi dengan cara dicampur dengan air panas, diaduk, kemudian dikukus sekitar 10 menit, dan siap dikonsumsi sebagai makanan pokok bersama lauk-pauk lainnya. Proses yang sama dapat dilakukan pada talas dalam membuat nasi talas. Nasi ubi jalar atau nasi talas dapat dikembangkan sebagai bahan pangan di daerah sentra produksi komoditas tersebut seperti di Irian. Pengemasan nasi ubi jalar dengan kantung plastik tidak mengubah citra rasa nasi setelah disimpan 1 bulan (Balitkabi 2000). Sawut Ubi Jalar Sawut adalah produk setengan jadi berupa parutan ubi jalar yang telah dikeringkan, dan dapat disimpan lama. Sawut kering yang direndam dalam air panas selama 5 menit, kemudian dikukus hingga masak sekitar 15 menit siap dikonsumsi dengan sayur dan lauk-pauk (Balitkabi 2000). Serbuk Ubi Kayu Serbuk ubi kayu merupakan produk olahan setengah jadi. Serbuk ubi kayu dibuat dengan mengolah ubi segar menjadi serbuk yang dilakukan dengan: dikupas, diparut, dipres, dan dikeringkan. Larutan hasil pengepresan dapat diproses lebih lanjut menjadi pati. Serbuk ubi kayu memiliki karakteristik: kandungan air <14%, abu <2,5%, dan kandungan serat <4,5% basis basah. Dari serbuk ubi kayu sebagai produk olahan setengah jadi, dapat dibuat aneka produk olahan seperti kue cake dan cookies, aneka lauk pauk (farofa, serundeng, sambal poyah dll.) dan aneka minuman instan. Kue dan cookies yang dihasilkan dari serbuk ubi kayu, masing-masing dapat menggantikan 49
BULETIN PALAWIJA NO. 12, 2006
100% dan 35% tepung terigu.Serbuk ubi kayu tidak memiliki citarasa, sehingga bila diolah menjadi lauk pauk seperti farofa telur dan farofa jagung muda memiliki rasa enak. Kandungan proteinnya berkisar 9–12% berat kering (bk), lemak 24–30%, serat 3–4% bk dan energi 311– 474 kalori (Ginting dan Antarlina 2000). Minuman instan dengan konsentrasi kue kering asal serbuk ubi kayu sebesar 40%, susu 30%, dan gula pasir 30% memiliki nilai gizi sama dengan susu cerealia yang beredar di pasaran (kadar air 1,81% bb, abu 2,23% bk, protein 11% bk, lemak 9,2%, serat 0,6%, dan energi 439 kalori) (Ginting 1997). Tepung Komposit Tepung komposit adalah produk olahan setengah jadi yang merupakan campuran dari tepung ubi-ubian dengan tepung kacang-kacangan. Proporsi tepung kacang-kacangan dalam tepung komposit tergantung dari kandungan protein yang diinginkan. Tepung kacang-kacangan dibuat dengan cara: sortasi biji, pencucian, perebusan selama 15 menit dengan suhu 90 oC, pengeringan dengan oven selama 24 jam pada suhu 55 oC, pengupasan kulit, penggilingan, pengayakan (50 mesh) sehingga menjadi tepung. Tepung kacang-kacangan dapat dibedakan ke dalam tepung yang memiliki kandungan lemak tinggi seperti pada kedelai dan tepung dengan lemak rendah seperti pada kacang hijau dan kacang tunggak. Tepung kedelai biasa digunakan sebagi campuran dalam pembuatan makanan bayi, roti, dan industri bahan makanan campuran (BMC). Tepung kacang-kacangan dapat dicampur dengan sembarang tepung seperti tepung beras, tepung tapioka, dan tepung umbiumbian. Mengingat produksi kedelai belum dapat memenuhi permintaan dalam negeri, makan pemanfaatan tepung kacang-kacangan ditekankan pada kacang tunggak dan kacang hijau. Formula tepung komposit yang terdiri dari 20% jagung, 20% kedelai dan 60% kacang hijau memiliki kandungan protein 26,5% bk, sama dengan kandungan protein susu (Ginting 1999). Formula tepung komposit terdiri dari 50% tepung ubi jalar, 30% tepung jagung, dan 20% kacang tunggak, mengandung protein 10%, abu 2% bk, lemak 2% bk dan 409 kalori dapat menghasilkan kue kering yang memiliki kualitas sama dengan 50
kue kering dari terigu (Antarlina 1994). Mie berbahan utama tepung terigu, namun tepung ubi jalar dapat mensubstitusi hingga 20%. Guna meningkatkan mutu mie ubi jalar, tepung ubi jalar perlu ditambahkan 12% konsentrat protein kacang tunggak. Mie kering yang dihasilkan memenuhi standar mutu I SII, yakni: kandungan air (7% bb), abu (1,5% bb), amilosa (19,6 bb), karbohidrat (63,9% bb), serat (0,66 bb), protein (19,2% bb) (Antarlina dan Susilo 2000). Formula tepung komposit terdiri dari 75% tepung ubi jalar, dan 25% kacang hijau, mengandung protein 9% bb, abu 2,7% bb, lemak 0,55% bb, karbohidrat 78,5% dan kadar air 7,12% bb menghasilkan cookies yang memenuhi standar mutu (Susilo dan Antarlina 1997). KESIMPULAN 1. Porsi beras dalam susunan makanan masyarakat Indonesia tergolong tinggi yang secara teknis dapat ditekan melalui diversifikasi pangan yang diimplementasikan melalui pengembangan produk dan pengembangan pasar bahan pangan komplemen beras. Kunci pengembangan pasar adalah sosialisasi dan promosi. 2. Pengembangan produk perlu lebih diarahkan pada produk baru dengan citra dan kualitas tinggi yang secara gradual perlu diubah dari status jajanan atau makanan pendamping menjadi komplemen beras secara penuh. 3. Konsumsi beras yang tinggi dalam kenyataannya dapat dikurangi menjadi sekitar 80 kg/kapita/tahun dan terbukti tidak berpengaruh pada kesehatan dan kinerja tubuh. Energi dari beras yang dikurangi tersebut, dapat diganti dengan bahan pangan selain beras, terutama umbi-umbian dan kacangkacangan. 4. Perlu promosi layanan masyarakat yang gencar bahwa produk strategis umbi-umbian seperti: tepung, granula, tepung instan memiliki daya simpan lama dan dapat dibuat aneka produk (kue kering, kue basah, minuman instan, lauk-pauk dan mie). Kandungan protein dapat ditingkatkan dengan menambahkan tepung kacang-kacangan terutama kacang hijau dan kacang tunggak. Tanpa promosi tersebut, gencarnya promosi pangan modern
KASNO ET AL.: PENGEMBANGAN PANGAN BERBASIS KACANG-KACANGAN DAN UMBI-UMBIAN
oleh media massa berpeluang besar mendesak konsumsi pangan lokal. 5. Guna menunjang pengembangan aneka produk pangan modern dari palawija pemenuh dan pengganti beras yang dikurangi, maka pengembangan agribisnis dan agroindustrinya perlu didorong dan diberikan kemudahankemudahan untuk menarik investor. 6. Ketahanan pangan nasional akan mantap apabila kita mau dan mampu mendayagunakan bahan pangan lain selain beras. Jika sikap dan perilaku masyarakat tentang pangan tidak segera dibenahi, kesulitan pangan yang lebih besar akan menghadang masa depan bangsa Indonesia.
Direktorat Gizi Dep. Kesehatan RI. 1967. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhatara Karya Aksara, Jakarta. 56 hlm. Gunawan, M. 1991. Diversifikasi pangan perlukah mencari bentuk pangan ideal? Majalah Pangan 9(2):66–73. Bulog. Jakarta. Ginting, E. 1994. Proporsi penggunaan ubi jalar dalam menu sehari-hari dalam rangka pengurangan konsumsi beras. Edisi Khusus Balittan Malang 3: 136–144. Ginting, E., dan S.S. Antarlina. 2000. Pemanfaatan serbuk ubi kayu sebagai bahan campuran dalam pembuatan lauk-pauk. Edisi Khusus Balitkabi 16: 193–204.
DAFTAR PUSTAKA
Ginting, E. 1997. Pemanfaatan serbuk ubi kayu sebagai bahan baku pembuatan lauk-pauk dan munuman instan. Edisi Khusus Balitkabi 9: 420– 435.
Antarlina, S.S., E. Ginting dan J.S. Utomo. 2000. Pengaruh karakteristik biji beberapa varietas kedelai terhadap mutu tepung yang dihasilkan. Edisi Khusus Balitkabi 16: 75–89.
Hendroatmodjo, K.H. 1999. Identifikasi kendala dan konsideran dalam pemberdayaan bahan pangan komplemen beras di Indonesia. Edisi Khusus Balitkabi 15: 1–16.
Antarlina, S.S. dan J.S. Utomo. 1999. Proses pembuatan dan penggunaan tepung ubi jalar untuk produk pangan. Edisi Khusus Balitkabi No. 151999. hlm. 30–44.
Marudut dan T. Sundari. 2000. Tepung-tepungan sumber kreativitas tata boga. Seminar Nasional Interaktif: Penganekaragaman makanan untuk memanfaatkan tersedianya pangan. Jakarta, 17 0ktober 2000.
Antarlina, S.S., dan J.S. Utomo. 2000. Peningkatan mutu mie campuran tepung ubi jalar menggunakan konsentrat protein kacang tunggak. Penelitian Pertanian 19(1):39–45. Balitkabi. 2000. Laporan tahunan Balitkabi 1999/ 2000. hlm. 131–141. BPS. 1999. Konsumsi dan protein penduduk Indonesia dan propinsi, 1999. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Buku 2. BPS. Jakarta - Indonesia. 266 hlm. Biro Pusat Statistik (BPS). 2000. Statistik Indonesia 1998. Jakarta. Budianto, J. 2000. Teknologi Pertanian sebagai Pemacu Pengembangan Pangan. Seminar Nasional Interaktif: Penganekaragaman Makanan untuk Memantapkan Tersedianya Pangan. Jakarta, 18 hlm.
Sawit, M.H. 2000. Arah pembangunan pangan dan gizi. Makalah pada Diskusi Round Table Peningkatan Ketahanan Pangan. Deptan, Jakarta. Sumarno. 1999. Ubi jalar dan ubi-ubian, komoditas paling efisien menggunakan sumberdaya. Edisi Khusus Balitkabi 15: xiii–xvi. Susanto, D. 1991. Fungsi sosial dan budaya pangan. Majalah Pangan 9(II):51–56. Bulog. Jakarta. Taryoto, A.H. 1991. Konsumsi bahan pangan, suatu tinjauan sikap dan prilaku indivudu. Majalah Pangan 9(2):39–44. Bulog. Jakarta. Utomo, J.S. dan S.S. Antarlina. 1997. Peningkatan mutu tepung ubi jalar dan hasil olahannya. J. Ilmu dan Tek. Pangan 2(I): 44–49.
51