PENGEMBANGAN MUSEUM ARKEOLOGI TROWULAN BASED ON MUSEUM INDUSTRY MANAGEMENT Oleh: Ismail Lutfi Abastrak: Museum sebagai sumberdaya budaya (cultural heritage resource) memiliki nilai penting sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dalam penanganannya. Museum bukan sekedar tempat penyimpan (storage) benda-benda koleksi (BCB). Ia harus menjadi pusat informasi yang memiliki magnet sehingga kalayak tertarik datang dan mudah mengakses informasi tersebut. Dengan manajemen industri, museum dapat dikelola secara lebih baik. Museum sudah selayaknya diperlakukan sebagai komoditas yang layak jual. Kata-kata kunci: manajemen, museum, pusat informasi, marketing
ISU-ISU UTAMA Sampai dengan sekarang, situs Trowulan sudah 189 tahun diteliti. Penelitian pertama dilakukan oleh Wardenaar pada tahun 1815 atas perintah Gubernur Jenderal Sir Thomas Stanford Raffles (Arifin, 1983). Adapun awal upaya pengumpulan benda cagar budaya peninggalan masa Majapahit dilakukan oleh Henry Maclaine Pont sepanjang tahun 1924 hingga 1927 (Soekmono, 1977; Arifin, 1983). Hasil pengumpulan tersebut kemudian menjadi embrio koleksi Museum Trowulan. Sampai dengan tahun 1990an ragam benda cagar budaya yang telah menjadi koleksi Museum Trowulan tidak kurang dari 75 jenis (Pojoh, 1990). Kuantitas temuan baru yang terus bertambah
sepanjang tahun semakin
memperkaya koleksi museum Trowulan sekaligus memenuhi ruang yang tersedia. Hal ini tentu saja mensyaratkan penanganan yang sungguh-sungguh. Apa yang terjadi di Museum Trowulan
saat
sekarang
cenderung sebagai
upaya
storage
belaka.
Pengelompokan (clustering objects) masih sebatas jenis bahan, yaitu logam, porselin (termasuk gerabah), dan batu. Pengelompokan koleksi secara tematis belum dilakukan secara sunggung-sungguh sebagai upaya memberi gambaran suatu penggalan aktivitas atau keadaan di masa lampau. Segi kelemahan dari penataan koleksi yang tidak tematis antara lain menyebabkan pengunjung kesulitan mendapatkan gambaran guna atau fungsi
1
koleksi-koleksi tertentu apalagi dengan sangat niminmya keterangan tertulis yang disediakan pihak pengelola museum. Di samping itu, pengunjung juga kesulitan menemukan asosiasi antara satu koleksi dengan koleksi lainnya sekalipun berada dalam fitrin yang sama. Ketidak nyamanan pengunjung semakin terasa manakala mereka tidak mendapatkan keterangan yang memuaskan dari pemandu museum yang selain kurang menguasai materi juga jumlah personilnya terbatas. Belum lagi terbatasnya fasilitas bagi pengunjung maupun non pengunjung, seperti tempat istirahat, perpustakaan, kedai makanan, dan toilet. Secara sepintas, uraian singkat tersebut dapat menjadi cerminan bahwa penanganan Museum Trowulan belum proporsional apalagi profesional. Kondisi ini tentu saja sangat erat kaitannya dengan rendahnya tingkat kunjungan dan pendapatan museum. Hal ini dapat dimengerti mengingat secara organisatoris, Balai Penyelamatan Peninggalan Purbakala (BP3) yang semula bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala selaku induk Museum Trowulan tidak memiliki kewenangan mendirikan museum. Tupoksi BP3 tidak termasuk mendirikan museum, karena kewenangan ini ada di bawah Dirjen Permuseuman. Label museum yang dipampang pada papan nama tidak lebih dari sekadar nama (Keterangan lisan Drs. Gutomo, staf BP3 Jateng pada tanggal 19 Juli 2004). Kewenangan yang ada pada BP3 adalah menyediakan tempat penampungan, penyimpanan atau pengumpulan bcb. Status sebagai “hanya” rumah penyimpanan bcb tentu saja berdampak pada penanganan terhadap bcb itu sendiri. Label museum yang diberikan pada rumah penyimpanan bcb tersebut hanya sebatas nama, bukan cerminan realitas sebagaimana mestinya. Kiranya sebutan yang lebih tepat adalah rumah pengumpulan bcb dari peninggalan Kerajaan Majapahit. Kondisi demikian layak disebut masalah yang semestinya dicarikan jalan keluarnya yang tepat, misalnya rumah penyimpanan bcb tersebut dtingkatkan/dialihkan statusnya sebagai Museum Daerah yang menjadi tanggungjawab pemda setempat. Dengan status baru tersebut, dapat dilakukan pengaturan (manajemen) yang lebih tepat antara lain dengan menerapkan museum industry management. Manajemen ini menempatkan museum sebagai industri (museum industry) sehingga informasi yang
2
terkandung pada benda-benda koleksinya adalah komoditas yang akan dipasarkan kepada masyarakat. Langkah ini diambil guna menempatkan koleksi museum secara khusus dan situs Trowulan secara umum sebagai daya tarik utama bagi siapa saja yang akan belajar atau mendapatkan informasi tentang kehidupan masyarakat Indonesia Kuna pada abad XIII – XV Masehi. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mewujudkan gagasan tersebut secara terpadu dan simultan adalah sebagai berikut. RENCANA PENGEMBANGAN Dengan asumsi rumah penyimpanan bcb di Trowulan dijadikan Museum Daerah, maka perlu dilakukan perencanaan yang baik untuk pengembangannya. Sosok museum yang direncanakan harus mengacu pada kaidah permuseuman yang berlaku menurut standar
International Council of Museums (ICOM). Langkah ini harus diambil
mengingat citra Majapahit sebagai kerajaan kuna selain popular di tanah air juga telah dikenal di tingkat global. Artinya, salah satu targer market pengunjung Museum Arkeologi Trowulan adalah wisatawan manca negara. Berikut ini rencana pengembangan yang diajukan. Disebut rencana pengembangan mengingat dalam hal ini tidak akan mendirikan sebuah museum yang baru sama sekali melainkan mengembangkan apa yang telah dirintis oleh BP3 Jatim. Untuk rencana pengembangan ini dimulai dari redifinisi museum yang dimaksud sampai dengan menyediaan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan.
A. Definisi Museum Museum dalam pengertian moderen dikembangkan di Eropa pada abad ke tujuhbelas. Museum sebagai sebuah istilah pertama kali digunakan di Inggris pada tahun 1682; ia menggambarkan koleksi barang-barang yang asing, jarang dan eksotik yang disumbangkan oleh Elias Ashmole kepada Universitas Oxford. Dari koleksi-koleksi pribadi seseorang, museum menjadi institusi pendidikan publik (Ambrose dan Paine, 1998) yang kita kenal sekarang. Saat ini terdapat sejumlah definisi tentang museum maka perlu ditentukan definisi mana yang dianggap sesuai. Penentuan definisi museum ini diperlukan dan penting sebagai landasan utama arah gerak dan pengembangannya. Dari definisi inilih tercermin visi dan misi museum yang dimaksud. Dalam rencana pengembangan ini akan digunakan definisi museum menurut ICOM: A non-profit making, permanent institution, in the service of society and its development, and open to
3
the public, which acquires, conserves, researches, communicates and exhibits, for the purposes of study, education and enjoyment, material evidence of man and his environment (Ambrose dan Paine, 1998). Definisi ini dipilih dengan alasan memiliki pengertian yang mudah dipahami dan sekaligus jelas bahwa untuk pengelolaan sebuah museum diperlukan kerjasama lintas bidang.
B. Tipe Museum yang Direncanakan Tipe museum dapat diketahui atau ditentukan berdasarkan klasifikasi komponenkomponen museum itu sendiri. Adapun tipe museum yang hendak dipaparkan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut. Klasifikasi berdasarkan koleksinya disebut museum arkeologi. Hal ini didasarkan atas dominasi koleksi yang berasal dari masa silam sekitar abad ke-13 – 15 Masehi. Adapun tema utama museum adalah gambaran kehidupan masyarakat Majapahit terutama masyarakat kota (urban society). Hal ini didasarkan pada hasil penelitian para ahli bahwa situs Trowulan adalah situs kota kuna (Rangkuti (ed.), 2002) terlengkap di Indonesia. Klasifikasi berdasarkan siapa yang mengelola museum dapat disebut sebagai museum negeri atau pemerintah. Dalam hal ini, apabila pada suatu saat pemerintah membuka kesempatan pihak swasta menjalankan tugas pengelolaannya maka museum tersebut akan menjadi museum dengan sistem pengelolaan yang berbeda. Selanjutnya, berdasarkan klasifikasi wilayah pelayanan yang erat kaitannya dengan karakteristik benda-benda koleksi dapat disebut sebagai museum nasional. Adapun dari klasifikasi sasaran mayoritas pengunjungnya, yaitu pelajar dan mahasiswa maka dapat disebut sebagai museum pendidikan.
C. Peran Museum sebagai Lembaga Pelayanan Masyarakat (public service) Pemanfaatan bcb koleksi museum sejalan dengan pengertian museum menurut International Council of Museums (ICOM) bahwa museum merupakan badan tetap, nirlaba, dan harus terbuka untuk umum. Sebagai sarana sosial-budaya yang terbuka, melalui benda-benda koleksinya, museum dapat memberikan informasi berharga kepada masyarakat luas (informative function). Hal ini merupakan representasi museum sebagai lembaga pelayanan publik.
4
Fungsi edukatif museum dapat dipaparkan sebagai berikut. Melalui benda-benda koleksi yang dipamerkan, museum menyajikan informasi kepada masyarakat. Dengan mengunjungi museum, seseorang dapat belajar maupun menambah pengetahuannya misalnya ia dapat mengetahui perkembangan peradaban manusia lewat benda-benda koleksi museum. Dari waktu ke waktu, relevansi museum sebagai sumber data dan informasi semakin meningkat. Bahkan akhir-akhir ini bermunculan museum khusus yang hanya berkaitan dengan disiplin ilmu, lembaga atau bidang tertentu (Tanudirjo, 1998). Selain itu, museum Trowulan dapat memiliki fungsi rekreatif dalam arti sebagai tempat yang menarik bagi pengunjung yang ingin sekedar rekreasi. Dalam hal ini yang menjadi prioritas adalah membuat pengunjung senang, betah (tinggal lebih lama), dan pulang dengan membawa kesan baik. Kesan baik merupakan salah satu ujung tombak cara meningkatkan jumlah kunjungan.
D. Lokasi Museum Lokasi Museum Arkeologi Trowulan direncanakan menempati tempat yang sama dengan rumah penyimpanan bcb BP3 Jatim. Alasan yang diajukan adalah (1) areal yang ada sudah memadai dari segi luas lahan guna antisipasi perkembangan ke depan (in the future), (2) mudah dijangkau dengan segala macam kendaraan, (3) sudah berdiri bangunan yang cukup representatif, (4) lokasinya relatif sudah dikenal masyarakat, dan (5) memiliki fasilitas field museum (museum lapang). Satu-satunya kekurangan atau hal yang tidak tepat, museum itu berdiri di atas situs yang semestinya tidak dibenarkan terdapat bangunan di atasnya (UURI No.5 Tahun 1992). Lahan dan bangunan yang ada saat ini setidaknya sudah cukup untuk menampung bcb yang jumlahnya mencapai ribuan. Di samping itu telah tersedia areal parkir yang dapat menampung setidaknya 20 buah kendaraan roda empat dan 50 buah sepeda motor. Sisa lahan yang masih ada dapat dicadangkan untuk rencana pengembangan di masa mendatang. Prasarana jalan menuju lokasi museum cukup memadai dengan kualifikasi kelas dua beraspal dan mampu dilewati kendaraan besar seperti bus. Wisatawan yang melalui jalur Yogya – Surabaya dapat dengan mudah mencapai lokasi museum. Di masa mendatang, saat menentuan zonasi di situs Trowulan telah ditetapkan dan ternyata bangunan museum berada pada zona inti maka ia harus dipindahkan.
5
Sekalipun namanya Museum Arkeologi Trowulan tidak berarti ia harus berada di areal situs Trowulan. Apalagi kalau keberadaannya justru menjadi contoh pelanggaran UU tentang BCB. Untuk sementara waktu lokasi yang ada sekarang dapat dianggap “aman” dalam arti tidak akan tergusur untuk waktu yang singkat setidaknya sepuluh tahun ke depan..
E. Museum Dan Penggunanya 1. Museum untuk Masyarakat Sejak dini hal ini harus ditegaskan bahwa sekalipun disebut museum arkeologi tidak berarti hanya melayani kebutuhan para arkeolog dan sejawatnya. Museum arkeologi juga tetap merupakan salah satu upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat luas akan pengetahuan, khususnya mengenai masa silam manusia (Crowther, 1991). Dalam rangka itu, museum tidak dapat bersikap pasif menunggu datangnya para pengunjung. Masyarakar luas harus dirangsang untuk datang ke museum dengan menerapkan mekanisme pasar. Museum sebagai komoditas yang dipasarkan. Museum sebagai bagian dari sumberdaya budaya (cultural resource) yang perlu dilestarikan pada dasarnya adalah warisan untuk seluruh masyarakat, sehingga segala sesuatu yang akan terjadi padanya harus sepengetahuan masyarakat luas (Cleer, 1990). Semakin jelas bahwa museum adalah untuk masyarakat, bukan untuk golongan tertentu. 2. Pemasaran Museum Dalam memasarkan museum, sebagaimana prinsip dasar pemasaran (marketing) maka sejak awal harus ditegaskan hal produk, harga, tempat, dan strategi promosi. Setiap pengelola museum harus mengetahui apa produk yang menjadi andalan museumnya. Produk museum pada dasarnya adalah layanan (services) khususnya tentang informasi bagi para pengunjung. Produk layanan utama museum
pencaharian, dan ekonomi. Informasi
arkeologi Trowulan adalah informasi
tersebut
komprehensif
kemasan baik lisan, cetakan, maupun
mengenai
kehidupan
masyarakat kota pada masa Majapahit.
disediakan
dalam
berbagai
audio visual serta webside.
Informasi yang disediakan mencakup bidang teknologi, kesenian, religi, mata
6
Contoh publikasi untuk kepentingan pemasaran
Hal kedua setelah produk adalah harga dari layanan itu sendiri. Penentuan berapa besar harga untuk setiap unit layanan merupakan pekerjaan yang tidak sederhana, hal itu memerlukan pertimbangan yang masak dan teliti dari pihak pengelola. Besarnya harga layanan merupakan hasil pertimbangan berdasarkan total pengeluaran atau biaya operasional museum dibandingkan dengan prediksi penerimaannya. Untuk tiket masuk museum, besarnya harga dibedakan antara wisatawan domestik dan wisatawan manca negara. Tempat dilakukan aktivitas pemasaran museum erat kaitannya dengan strategi yang akan diambil. Tempat pertama adalah museum itu sendiri. Di sini hampir semua bentuk cara pemasaran dapat dilakukan mulai dari penyampaian secara lisan, pemberian brosur/leaflet, pemasangan poster, dan penayangan situs di webside. Kedua, memasang sejumlah poster, spanduk, dan baliho di berbagai tempat strategis. Ketiga, menitipkan brosur/leflet pada biro-biro perjalanan, hotel dan restoran, dan tempat-tempat umum lainnya seperti bandara, stasiun kereta api, perpustakaan umum, taman hiburan, bahkan pusat-pusat perbelanjaan (mall atau plasa). Keempat, mengadakan kerja sama dengan stasiun radio dan televisi untuk mengadakan talkshow secara terjadwal dengan topik seputar museum. Kelima, sekali waktu mengadakan kegiatan di luar museum yang melibatkan kalayak ramai seperti lomba membuat tiruan gerabah kuna, gerak jalan mengelilingi situs Trowulan, dan lomba sepeda ala tour d’majapahit. Pemasaran dapat dilakukan oleh pengelola museum baik secara aktif maupun pasif. Secara aktif dapat ditempuh melalui pemanfaatan media cetak maupun media elektronika. Sedangkan secara pasif musem dapat memperoleh pemasaran dari penularan secara lisan kesan/kepuasan pengunjung. Seringkali cara yang terakhir ini sangat efektif 7
meningkatkan jumlah pengunjung. Oleh karena itu, upaya memberikan kesan baik dan kepuasan pada pengunjung menjadi prioritas.
F. Layanan Pendidikan di dalam dan di luar Museum Pendidikan pada dasarnya adalah proses alih pengetahuan (transfer of knowledge) baik dilakukan melalui pendidikan formal maupun pendidikan luar sekolah (informal). Dalam aspek pendidikan, museum menyimpan berbagai informasi bagi dunia ilmu pengetahuan berbagai disiplin: teknologi, geologi, geografi, ilmu lingkungan hidup, sosial-ekonomi, antropologi budaya, dan lain-lain. Bagi peserta didik (para murid), peninggalan arkeologis selain mampu memperkaya pengetahuan mereka juga dapat menjadi media pendidikan moral dalam rangka pengembangan kepribadian (character building). Proses pembelajaran dalam arti luas tidak terbatas hanya di ruang kelas (class room) dan lingkungan sekolah. Lingkungan sekitar pada mana proses pembelajaran tersebut diselenggarakan juga tercakup di dalamnya. Cakupan arti yang demikian bukan hanya berlaku untuk Pendidikan Luar Sekolah (PLS), tetapi juga diterapkan pada pendidikan formal baik dalam rangka pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), maupun Ilmu Pengetahuan Budaya (IPB). Urgensi lingkungan sekitar sebagai sumber belajar dirasakan semakin besar ketika dikaitkan dengan kebutuhan akan muatan lokal di dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Muatan lokal meliputi berbagai aspek kehidupan yang khas bagi wilayah tertentu, baik yang berkenaan dengan pengetahuan alam maupun budaya. Keduanya merupakan kondisi-kondisi khas di setiap daerah (Sedyawati, 1996). Seorang pengunjung museum
yang baik
tentu berusaha untuk dapat
"berkomunikasi" dengan benda-benda koleksi museum. Mengingat tidak semua pengunjung museum memiliki kemampuan yang sama untuk menangkap (memahami) informasi dari benda koleksi, maka idealnya museum melengkapi koleksi-koleksinya dengan keterangan ringkas dan mudah dimengerti pengunjung yang beragam latar kemampuannya. Setidaknya ada delapan katagori pengunjung musium, yaitu professional arkeologi dan antropologi, arkeologi amatir, kolektor, akademisi, turis, masyarakat umum, pendidik, dan pelajar dan mahasiswa (Iseminger, 1997). Guna mengatasi hal ini
8
disediakan tenaga atau petugas pemandu bagi para pengunjung museum. Dengan cara demikian, museum dapat memainkan fungsi yang diembannya sebagai sumber informasi kepada khalayak. Masyarakat sering memiliki konsep yang tidak tepat mengenai masa lalu bangsa kita khususnya Kerajaan Majapahit disebabkan oleh pengaruh media cetak maupun elektronika dan pewarisan sejarah secara lisan. Bahkan para guru sekalipun sering salah dalam memahami peristiwa sejarah hanya berdasarkan buku yang dibacanya. Museum arkeologi harus dapat meluruskan kesalahan tersebut dengan menyajikan informasi selengkap mungkin melalui pameran benda-benda koleksinya baik secara kronologis maupun tematis. Contoh pameran tematis sederhana seperti gambaran kehidupan ekonomi masyarakat majapahit yang telah mengenal timbangan dan mata uang sebagai alat pembayaran. Pameran ini mempertunjukkan artefak-artefak berupa bandul timbangan, mata uang, celebngan (tabungan dari gerabah), relief perdagangan, relief layanan jasa, parasasti yang memuat pajak, dan berbagai alat untuk mencari nafkah. Selain melakukan layanan pendidikan di dalam lokasi museum, pengelola museum dapat melakukannya di luar. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah program museum goes to school atau museum goes to mall. Intinya, museum bertindak lebih aktif mendekati calon pelanggannya. Dengan melakukan kegiatan seperti ini, museum dapat meraih beberapa faedah. Pertama, publik lebih mengenal sosok museum. Kedua, museum dapat mengetahui apa yang kira-kira merupakan kemauan publik terhadap museum. Ketiga, kegiatan museum ke luar ini dapat memupuk rasa bangga masyarakat terhadap kekayaan budaya sendiri. Keempat, pemasukan museum akan meningkat.
G. Penciptaan Program Kegiatan Penyelenggaraan program kegiatan dan acara sangat membantu meningkatkan layanan utama museum dan mempertemukan kebutuhan dari sasaran pasar tertentu (specific target market). Program kegiatan tidak saja dilakukan di lokasi museum, tetapi juga diorganisir di tempat lain untuk menjaring pengunjung baru bagi museum. Berbagai program kegiatan dapat diciptakan dan dikembangkan oleh pengelola museum baik
9
kegiatan indoor maupun outdoor. Kegiatan indoor yang direncanakan adalah …. Adapun kgiatan outdoor yang direncanakan adalah … Kegiatan dan acara yang diprogramkan museum secara hidup (live) akan banyak memberikan andil bagi museum. Aktivitas tersebut secara nyata mampu menaikkan apresiasi publik terhadap museum dan sekaligus meningkatkan pemasaran. Kegiatan dan acara yang dilakukan di dalam lingkungan museum terutama diperuntukkan bagi pengunjung yang telah mengenal/terbiasa dengan museum. Adapun kegiatan dan acara yang diprogramkan museum dengan mengambil lokasi di luar lingkungan museum diperuntukkan bagi pengunjung yang tertarik dan menjaring calon pengunjung baru. Secara sederhana macam dan jenis kegiatan dan acara tersebut dapat dilihat pada table berikut. Tempat pelaksanaan
gabungan
outdoors
Program pemutaran film/video Pameran keliling Pameran tematis Buka stan pada pamesan lokal Menyelenggarakan festifal seni Pameran kerajinan gerabah Peluncuran buku baru Lomba lukis anak Demonstrasi perawatan barang antik Workshop pembuatan gerabah dan alat logam
Di luar museum indoors
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
gabungan
Jenis/macam kegiatan dan acara
outdoors
No
indoors
Di dalam museum
Program kegiatan dan acara tersebut dipilih untuk dilaksanakan atas dasar pertimbangan: (1) calon peserta yang bakal tertarik atau menjadi target peserta relatif banyak, (2) adanya peluang kerjasama antara museum dengan organisasi lain, (3) sumberdaya yang ada memadai, dan (4) tidak banyak mengganggu tugas tetap staf museum (Ambrose dan Paine, 1998).
10
H. Penyediaan Fasilitas bagi Pengunjung dan Non-Pengunjung Sebagai tempat yang terbuka untuk umum, sangat wajar bila menyediaan fasilitas umum merupakan suatu keharusan. Warga masyarakat yang datang ke museum tidak semua dapat disebut pengunjung. Setidaknya ada delapan katagori pengunjung museum, yaitu professional arkeologi dan antropologi, arkeologi amatir, kolektor, akademisi, turis, masyarakat umum, pendidik, dan pelajar dan mahasiswa (Iseminger, 1997). Di antara mereka terdapat orang-orang yang memiliki kepentingan lain (non pengunjung), seperti tamu karyawan, tamu dinas, pedagang, dan peserta suatu kegiatan yang dilakukan di lokasi museum. Untuk itulah perlu disediatan fasilitas yang memadai, baik dari segi jumlah, ukuran, kenyamanan, kemudahan diakses dan sebagainya. Ketersediaan fasilitas tersebut dipublikasikan dalam bentuk leaflet, spot iklan di radio maupun surat kabar dan dalam webside. Adapun fasilitas yang sudah tersedia dan yang akan disediakan sebagai berikut.
No
Jenis fasilitas yang dibutuhkan
Kondisi saat ini Tersedia bagi
Belum tersedia bagi
1
MCK
P+NP
2
Areal parkir
P+NP
3
Tempat istirahat
P+NP
4
Kantin
P+NP
5
Kios Cinderamata
6
Ruang pertemuan/ rapat
7
Pusat data museum
P
8
Jalur khusus penyandang cacat yang berkursi roda
P
9
Sudut informasi
10 11 12 13 14 Catatan:
P+NP NP
P+NP
Musholla P+NP Petugas pemandu P Pos Keamanan P+NP Jasa fotokopi, pemesanan Webside & e-mail P = Pengunjung meliputi professional arkeologi dan
P+NP P+NP
antropologi, arkeologi amatir, kolektor, akademisi, turis, masyarakat umum, pendidik, dan pelajar dan mahasiswa). NP = Non pengunjung meliputi tamu karyawan, Tamu dinas,
Peserta kegiatan tertentu, Pedagang, Sopir /pengantar tamu.
11
Kios Cinderamata yang sudah ada Foto: Sugeng R, 2004 Ruang Pertemuan yang diatur sesuai kebutuhan Foto: Sugeng R, 2004
bias
I. Penjelasan tentang Koleksi kepada Pengunjung Setiap benda koleksi museum perlu ditafsirkan (interpretation) arti dan nilai pentingnya .Interpretasi adalah penerjemahan yang dilakukan oleh arkeolog atas artefak antara dulu dan sekarang (Hodder, 1991). Guna menjalankan fungsinya sebagai pusat informasi, museum akan menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat memberikan penjelasan kepada pengunjung mengenai semua koleksi yang ada. Adapun macam dan bentuk fasilitas tersebut harus disesuaikan dengan segmen pengunjung. Secara umum, penjelasan kepada pengunjung dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu (1) teknik grafik, (2) teknik tampilan tiga dimensi, (3) teknik audio-visual, dan (4) teknik menggunakan orang sebagai peraga. Pada umumnya fasilitas-fasilitas tersebut diperuntukkan bagi orang yang normal. Untuk pengunjung yang memiliki cacat tubuh
12
(disable people) tertentu kemungkinan memerlukan fasilitas penjelas lain. Penderita tuna netra misalnya selain diberikan fasilitas khusus boleh meraba atau memegang bendabenda koleksi dengan pendampingan dari petugas museum mereka juga dapat menggunakan perangkat audio. Sedangkan untuk penjelasan tertulis disediakan produk cetakan yang menggunakan huruf Braile. Grafik secara sederhana adalah perpaduan antara kata dan gambar. Grafik ditempatkan dalam satu kesatuan dengan objek/benda koleksi yang dipamerkan. Pembuatan grafik ini setidaknya melibatkan dua orang, yang pertama bertanggungjawab atas isi dan yang lain bertanggungjawab atas disainnya. Dalam tampilan grafik tersebut terdapat dalam suatu panel yang di dalamnya terdiri atas teks, foto-foto, gambar, diagram, dan keterangan foto aatau gambar. Dengan media seperti ini pengunjung hanya dapat membaca dan melihat. Pengunjung museum sering berkeinginan dapat menyentuh benda koleksi museum. Menyentuh merupakan cara yang jitu agar kita memiliki pengalaman terhadap benda tertentu. Pembuatan replica yang baik dari koleksi tertentu akan sangat membantu pemenuhan keinginan pengunjung tersebut. Media penjelasan berupa replica tersebut selain harus persis dengan aslinya juga diberi tanda bahwa mereka itu tiruan. Dari keempat cara penjelasan di atas, cara keempat merupakan yang tertua dan terefektif. Selain menggunakan pemandu (guide), museum dapat memanfaatkan pengajar, pengguna barang tertentu, dan aktor untuk menampilkan suatu adegan sejarah. Di samping itu, pengunjung juga dapat dilibatkan secara aktif untuk melakukan suatu aktivitas yang berhubungan dengan barang koleksi tertentu. Cara ini akan memberikan efek kejiwaan yang khusus bagi pengunjung karena terjalin ikatan emosional antara mereka dengan koleksi tersebut.
I. Penulisan Teks Keterangan Koleksi Penulisan, mendisain, dan penempatan teks dan label objek museum merupakan tugas yang paling sulit dan terpenting dilakukan oleh seorang manajer museum. Secara umum dan sederhana teks pameran hendaknya memenuhi tiga bagian, yaitu: (1)
pendahuluan yang menjelaskan tujuan pameran tidak lebih dari 150 kata, teks ini ditempatkan pada bagain depan pameran
13
(2)
teks untuk masing-masing bagian berisi latar belakang benda-benda koleksi pada bagian tersebut dan mengapa dikelompokkan jadi satu, tidak lebih dari 200 kata
(3)
label tiap-tiap objek meberikan informasi yang lebih rinci terhadap benda koleksi tersebut secara individual dan mengapa ia bermakna, tidak lebih dari 40 kata dan ditempatkan di dekat objek yang dipamerkan.
Teks yang disediakan sebaiknya disesuaikan dengan target atau sasaran pengunjung utama. Hal ini perlu diperhatikan mengingat kebutuhan akan informasi dan daya tangkap setiap katagori pengunjung tidak sama. Dala hal ini persoalan penggunaan bahasa (istilah, gaya penyampaian, dan pilihan kata) menjadi penting agar pesan atau informasi yang akan disampaiakan oleh musem dapat diterima pengunjung dengan optimal. Teks yang baik menggunakan tulisan berwarna hitam dengan dasar putih dan ukuran huruf setidaknya 16 pt sehingga mudah dibaca.
J. Penentuan Tipe Koleksi yang Dipamerkan Keberadaan benda cagar budaya (bcb) di museum diatur dalam UURI No.5 Th. 1992 Bab VI pasal 22 ayat (1) sebagai berikut: Benda cagar budaya bergerak atau benda cagar budaya tertentu, baik yang dimiliki oleh negara maupun perorangan dapat disimpan dan atau dirawat di museum. Menurut ketentuan di atas, bermakna bahwa tidak semua BCB dijadikan benda koleksi museum. Adanya kata "tertentu" dalam rumusan di atas menyiratkan hanya bcb dengan kualifikasi khusus sajalah yang dapat dijadikan sebagai benda koleksi museum, baik museum negeri atau swasta. Alasan penempatannya sebagai benda koleksi museum adalah pertimbangan arti penting, perawatan, pengamanan, dan atau pemanfaatannya. Oleh sebab itu, tidak semua koleksi harus dipamerkan. Untuk menentukan koleksi mana yang akan dipamerkan baik di dalam maupun di luar museum dibutuhkan seorang ahli (expert) yang selain memahami dengan baik koleksi tersebut juga memahami tema yang akan menjadi bagian pameran. Hal ini dilakukan untuk memberikan informasi yang benar dan sesuai dengan kebutuhan
14
pengunjung. Pemilihan koleksi yang keliru dan penempatan yang tidak sesuai akan berakibat salah pemahaman oleh pengunjung.
K. Perawatan dan Pengamanan Koleksi Sekalipun ditempatkan di dalam ruangan yang terkunci rapat atau di dalam almari kaca, koleksi museum tetap memerlukan perawatan dan pengamanan sekaligus. Tindakan tersebut dilakukan guna meminimalisir kemungkinan kerusakan koleksi baik karena faktor kemik, mekanik, maupun biologik. Adapun tindakan yang dapat dilakukan sebagai berikut: 1. konservasi secara teratur/periodik 2. pengamanan koleksi dengan perangkat elektrik dan atau fisik 3. Pengamanan koleksi dengan sistem dan prosedur Melalui proses pendidikan, rasa memiliki terhadap peninggalan arkeologis dapat terus dipupuk. Bagi masyarakat setempat, pendidikan yang mereka peroleh mengenai peninggalan yang ada di lingkungannya akan membangkitkan rasa memiliki dan menjaga kelestariannya . Hal demikian sejalan dengan pendapat Lipe (1997:25) bahwa the best protectors of archaeological resources are often the people who live near the sites. Pendidikan memiliki kekuatan menjadi media pelestarian peninggalan arkeologi sebagaimana diungkapkan Arief Rachman (2003):”In educating the world cultural and natural heritage is not only to help young people to appreciate the remakable achievement of the past but to teach them how to participate actively in safeguarding them so that they could contribute to the forging of a better common future. The task of preserving our tangible world heritage of our ancestors extend far beyond the simple preservation of landscape and monuments. By preserving our tangible world heritage, we can contribute also to the preservation of the world’s intangible and its ethical heritage”.
L. Pembangunan Gedung Baru Bangunan museum yang sudah ada tidak mendukung tema museum itu sendiri. Untuk menyelaraskan antara tema dan karakteristik benda-benda koleksinya, bangunan fisik museum harus dirancang dengan arsitektur yang mengadaptasi dari bangunan dari masa Majapahit, misalnya bangunan yang dikenal dengan bale kambang atau rumah
15
panggung. Dengan arsitektur bangunan seperti itu, pengunjung akan diajak untuk memasuki lorong waktu. Selain memberikan suasana yang khas, arsitektur bangunan ala Majapahit tersebut dapat menjadi simbol. Pembangunan gedung baru ini memerlukan kerja sama dari beberapa ahli. Para ahli yang terlibat antara lain berlatarbelakang disiplin arkeologi, arsiteltur, teknik sipil, seni rupa, dan ilmu bahan.
16
Daftar Pustaka Ambrose, T. dan Paine, C. 1998. Museum Basics. London: ICOM and Routledge Arifin, K. 1983. Waduk dan Kanal di Pusat Kerajaan Majapahit, Trowulan – Jawa Timur. Skripsi. Jakarta: FS UI. Cleere, H.F. 1990. “Introduction: the rationale of archaeological management”. Dalam Henry F. Cleere (ed.). Archaeological heritage management in the modern world. London: Unwin-Hyman. Crowther, D. 1991. “Archaeology, Material Culture and Museums”. Dalam Susan M. Pearce (ed.) Museum Studies in Material Culture. Washingtin DC: Smithsonian Institution Press. Hodder, I. 1991. “Interpretive Archaeologi and Its Role”. American Antiquity 56(1): 7-18 Iseminger, W.R. 1997. “Public Archaeology at Caholia”. Dalam John H. Jameson, Jr. (ed.) Presenting Archaeology to the Public. London: Altamira Press. Lipe, W.D. 1977. “A Conservation Model for American Archaeology”. Dalam Michael B. Schiffer dan, George J. Gumerman (Eds.). Conservation Archaeology: A guide for Cultural Resources Management Studies. New York: Academic Press Munandar, A.A. 1994. “Peranan Museum Dalam Pendidikan Sejarah Bangsa”, Museum dan Sejarah. Jakarta: Proyek Pembinaan Permuseuman Jakarta Dirjen Kebudayaan Depdikbud. Pearce, S.M. (Ed.) 1991. Museum Studies in Material Culture. Washington DC: Smithsonian Institution Press Pojoh, I. H.E. 1990. “Terakota dari Situs Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur”, Dalam Monumen, Karya Persembahan untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Jakarta: FS UI. Hlm. 219-245. Rachman, A. 2003. “Educational issues concerning preservation of World Culture Heritage”. Makalah dalam The Fourth International Experts Meeting on Borobudur. Magelang, 4-8 Juli. Sedyawati, E. 1996. Kumpulan Makalah (1993-1995) Direktur Jendral Kebudayaan Prof. Dr. Edi Sedyawati. Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan Depdikbud Sedyawati, E. 2001. “Pembagian Peranan dalam Pengelolaan Sumberdaya Budaya”. Makalah dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi XIII 6 April Denpasar Bali
17
Tanudirjo, D.A. 1998. “Cultural Resources Management sebagai Manajemen Konflik”. Artefak No.19/Februari, hlm. 14-18 Tjahjopurnomo. 1992. “Beberapa Masalah tentang Studi Koleksi Museum”. Museografia: Majalah Ilmu Permuseuman XXI No. 1: 33-38. Jakarta: Dir. Permuseuman Dirjen Kebudayaan Depdikbud. Undang-Undang RI No. 5 Th. 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan Peraturan Pemerintah RI No. 10 Th. 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 Th. 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Diperbanyak oleh SPSP Jawa Timur.
18