WP/3/2016 LHP/
/DKEM/2015
WORKING PAPER
Pengembangan Model DSGE untuk Asesmen Dampak Reformasi Struktural terhadap Perekonomian Indonesia
Sahminan Ginanjar Utama Robbi Nur Rakhman Idham
2016
Ke s i mp u la n , pe n da pa t , da n pa n da n ga n ya n g d isa m pa ik a n o le h pe nu l i s da la m pa pe r i ni me r upa k a n k e si m p ula n, pe n da pa t da n p a nda n ga n pe nu l i s da n b uk a n me r u pa k a n k e s im p u la n , pe nda pa t da n pa n da nga n re s m i B a nk I nd o ne s ia .
Pengembangan Model DSGE untuk Asesmen Dampak Reformasi Struktural terhadap Perekonomian Indonesia 1 Sahminan, Ginanjar Utama, Robbi Nur Rakman, Idham2 Abstrak Salah satu program Pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi adalah meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang berkualitas melalui peningkatan pengeluaran Pemerintah untuk pembangunan infrastruktur.Dalam penelitian itu dibangun suatu model DSGE perekonomian terbuka (small open economy) untuk memperkirakan dampak pengeluaran Pemerintah terhadap output dan welfare di Indonesia. Model DSGE yang dibangun menggunakan parameter yang disesuaikan dengan kondisi perekonomian Indonesia. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan investasi pemerintah sebesar 1% mengakibatkan peningkatan pertumbuhan output sebesar 0,05% dalam jangka pendek, dan output multiplier sebesar 0,20. Kenaikan investasi pemerintah juga mengakibatkan kenaikan welfare dengan multiplier sebesar 0,05. Sementara itu, dalam jangka pendek peningkatan pengeluaran pemerintah untuk konsumsi sebesar 1% berpotensi mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,04%, tetapi output multiplier hanya sebesar 0,03, jauh lebih kecil daripada output multiplier dari pengeluaran pemerintah untuk investasi. Di sisi lain, peningkatan pengeluaran pemerintah untuk konsumsi mengakibatkan penurunan welfare dengan multiplier sebesar -0.001. Keywords
: fiscal policy , DSGE, output multiplier , welfare mulipler
JEL Classification
: C5, E1
1Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan DKEM, peserta Seminar Hasil Riset GRE dan Aditya Rachmanto atas berbagai masukan yang diberikan. 2 Peneliti Ekonomi di DKEM, Bank Indonesia. Pandangan dalam paper itu merupakan pandangan penulis dan tidak serta merta mencerminkan pandangan Bank Indonesia. E-mail penulis:
[email protected];
[email protected];
[email protected];
[email protected]
i
I. I.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Salah satu masalah utama yang dihadapi perekonomian Indonesia adalah keterbatasan
infrastruktur, baik dari sisi ketersediaan maupun kualitas. Hal itu terlihat dari peringkat infrastruktur Indonesia yang masih rendah. Data dari Global Competitiveness Index 2016-2017 menunjukkan bahwa kondisi infrastruktur Indonesia hanya menduduki peringkat ke-80, jauh di bawah Malaysia dan Thailand yang masing-masing menduduki peringkat ke-19 dan ke-49. Rendahnya kondisi infrastruktur telah menjadi penghambat dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan serta dalam upaya meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia. Keterbatasan infrastruktur telah mengakibatkan biaya logistik yang tinggi serta menurunkan daya saing perekonomian dan iklim investasi Indonesia. Faktor utama di balik keterbatasan infrastruktur adalah pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur yang cukup terbatas, terutama sejak krisis finansial Asia tahun 1997/98. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur selama periode 2000-2014 secara rata-rata sekitar 2%dari PDB, jauh di bawah sebelum krisis yang mencapai 6% dari PDB (Tabor, 2015). Di negara-negara peer di kawasan, rasio pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur terhadap PDB dapat mencapai tiga kali lipat dari Indonesia. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur di Tiongkok dan India bahkan mencapai sekitar 10% dari PDB.3 Rendahnya pengeluaran pemerintah Indonesia untuk infrastruktur terutama disebabkan oleh keterbatasan sumbersumber pembiayaan dan beban pengeluaran yang tinggi untuk subsidi, fungsi administratif dan belanja pegawai. Untuk mendorong peningkatan kinerja perekonomian, pemerintahsaat itu telah mengambil langkah-langkah reformasi struktural.4 Salah satu bagian dari reformasi strukturaltersebut adalah memperbaiki kondisi infrastruktur melalui peningkatan pengeluaran untuk investasi dan pengurangan subsidi. Sebagaimana dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, pemerintah telah menetapkan target infrastruktur yang akan dicapai tahun 2015-2019. Proyek infrastruktur yang menjadi proyek strategis nasional berjumlah 225 dengan cakupan yang cukup luas, yang terdiri atas
3
http://www.indonesia-investments.com/business/risks/infrastructure/item381 Reformasi struktural dapat diartikan sebagai upaya memperbaiki regulasi dan institusi agar pasar menjadi lebih efisien (misalnya pasar tenaga kerja dan barang), atau upaya untuk mendorong perekonomian tumbuh lebih tinggi dari kondisi potensialnya (Rodrik, 2015). Area kebijakan reformasi struktural memiliki cakupan yang cukup luas, antara lain pembangunan infrastruktur, pengaturan pajak dan subsidi, peningkatan kualitas SDM, pengaturan upah dan tenaga kerja serta perbaikan birokrasi. 4
2
infrastruktur dasar, konektivitas, kelistrikan, komunikasi, air, dan perumahan. Pembangunan infrastruktur tersebut tidak hanya terbatas dilakukan oleh pemerintah tetapi juga dilakukan oleh swasta melalui berbagai skema. Meskipun begitu, dalam upaya mencapai target pembangunan infrastruktur tersebut, investasi pemerintah tetap memiliki porsi yang cukup besar. Secara teoritis, kenaikan investasi pemerintah untuk infrastruktur dapat mendorong perekonomian melalui dua jalur (IMF, 2014). Dalam jangka pendek, investasi pemerintah akan meningkatkan permintaan agregat melalui fiscal multiplier. Besarnya dampak investasi pemerintah untuk infrastruktur tergantung pada faktor-faktor, antara lain besarnya economic
slack dan monetary accomodation. Dalam jangka menengah-panjang, investasi pemerintah dalam infrastruktur akan mempengaruhi output dari sisi penawaran melalui peningkatan kapasitas perekonomian. Besarnya dampak sisi penawaran dari investasi pemerintah untuk infrastruktur tergantung pada efisiensi dari investasi tersebut. Dengan perkembangan di atas, serta karena pentingnya peranan infrastruktur dalam mendorong perekonomian, analisis kuantitatif terhadap dampak kenaikan investasi infrastruktur pemerintah sangat dibutuhkan untuk memperkirakan dampakpeningkatan infrastruktur terhadap output dan kesejahteraan (welfare). Secara sederhana, dampak kenaikan investasi infrastruktur pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi pada dasarnya dapat dilakukan dengan melihat output multiplier dari pengeluaran pemerintah. Namun, pendekatan tersebut mempunyai kelemahan, seperti keterbatasan data time series yang cukup,terutama terkait dengan adanya kebijakan yang bersifat struktural. Selain itu, pendekatan sederhana juga mempunyai kekurangandalam landasan mikro perilaku agen-agen ekonomi serta keterbatasan dalam menangkap keterkaitan antar variabel makro.
I.2
Tujuan dan Metodologi Penelitian itu bertujuan untuk melakukan analisis kuantitatif terhadap dampak reformasi
struktural khususnya peningkatan investasi infrastruktur oleh pemerintah terhadap output dan kesejahteraan di Indonesia dengan menggunakan model Dynamic Stochastic General
Equilbrium (DSGE). Dengan menggunakan model DSGE, perilaku agen-agen ekonomi dan keterkaitan antar-pelaku ekonomi diformulasikan secara eksplisit. Selain itu, dengan menggunakan model DSGE tidak hanya dampak terhadap output yang akan diperoleh, tetapi juga dampak terhadap welfare. Model DSGE yang akan dikembangkan terdiri atas lima sektor, yaitu rumah tangga, perusahaan, moneter, fiskal dan eksternal. Model yang dibangun melengkapi model-model DSGE yang telah ada di Bank Indonesia yang secara umum lebih memfokuskan pada pemodelan perbankan dan sektor keuangan, serta yang bertujuan untuk analisis simulasi kebijakan moneter, makroprudensial, dan bauran 3
kebijakan moneter-makroprudensial. Model dalam studi itu juga melengkapi model Growth
Diagnosticyang digunakan Bank Indonesia untuk menganalisis hambatan utama pertumbuhan dan dampak reformasi struktural dengan menggunakan model Computable General
Equilibrium (CGE)-INDOTERM (Anugrah et al, 2015). Model CGE yang digunakan dalam Growth Diagnostic belum menangkap dinamika sektor moneter, fiskal, dan/atau eksternal. Di samping itu, model CGE yang digunakan juga tidak memiliki keterkaitan antar waktu dalam hubungan antar variabel.
I.3
Sistematika Penulisan Hasil penelitian itu disusun dengan sistematika sebagai berikut. Bagian I menjelaskan
latar belakang perlunya pengembangan model serta tujuan dari pengembangan tersebut. Bagian II berisi tinjauan literatur. Bagian III menguraikan kondisi infrastruktur fisik di Indonesia. Bagian IV menjelaskan struktur dan spesifikasi model. Bagian V menganalisis hasil simulasi kebijakan dari model. Sementara itu, bagian VI berisi simpulan.
4
II.
Tinjauan Pustaka
Paper itu mempunyai keterkaitan dengan beberapa studi yang terdapat dalam literatur. Di satu sisi, paper itu merujuk pada studi-studi yang menganalisis dampak reformasi struktural terhadap perekonomian di negara-negara lain, terutama yang menggunakan model-model DSGE. Di sisi lain, dari sisi pemodelan di Bank Indonesia paper itu berhubungan dengan beberapa studi di Bank Indonesia yang menggunakan model-model DSGE.
II.1
Model DSGE untuk Menganalisis Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Perekonomian Salah satu model yang digunakan untuk menganalisis dampak reformasi struktural
berupa pengeluaran pemerintah adalah model DSGE. Ganelli dan Tervalla (2015) menganalisis dampak pembangunan infrastruktur (public investment) terhadap output dan kesejahteraan dengan menggunakan model DSGE New Keynesian dengan struktur model dua negara. Dalam model itu, konsumsi pemerintah dimasukkan ke dalam fungsi utilitas rumah tangga. Pengeluaran pemerintah terdiri atas dua jenis, yaitu pengeluaran konsumsi dan pengeluaran investasi, sedangkan pendapatan pemerintah berasal dari pajak. Investasi pemerintah itu akan mengakumulasi public capital good. Perusahaan memaksimalisasi profit dengan Calvo Pricing berdasarkan fungsi produksi bergantung pada labor input dan juga bergantung pada stok kapital infrastruktur publik. Hasil penelitian Ganeli dan Tervalla menunjukkan bahwa investasi pemerintah meningkatkan output jangka menengah. Investasi pemerintah secara efisien diperlukan untuk memastikan multiplier kesejahteraan yang positif. Bom dan Ligthart (2014) melihat dampak pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur terhadap output dan kesejahteraan untuk small open economy anggota OECD dengan menggunakan model Real Business Cycle (RBC). Studi Bom dan Lighthart mencoba menjawab pertanyaan apakah investasi pemerintah dapat secara efektif medorong output dan meningkatkan kesejahteraan pada saat pemerintah harus terikat pada balanced-budget fiscal
rule. Selain itu, mereka juga melihat dinamika dari dampak investasi pemerintah tersebut.Salah satu karakteristik dari spesifikasi model yang mereka bangun adalah preferensi yang digambarkan dengan constant elasticity of substitution (CES), yaitu intratemporal susbstitution
effect dari labor supply dapat dipisahkan dari intertemporal substitution effect-nya. Dalam modelnya, investasi pemerintah dibiayai dengan distortionary labor tax. Bom dan Lighthart menemukan bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur mempunyai multiplier negatif dalam jangka pendek, tetapi berdampak positif dalam jangka panjang dan kesejahteraan secara keseluruhan. Dampak negatif dalam jangka pendek terjadi karena penurunan labor supply yang disebabkan oleh distortionary labor tax. 5
Untuk Indonesia, studi terkait dampak pengeluaran pemerintah terhadap output telah dilakukan antara lain oleh Jha et al (2010) dan Tang et al (2013). Kedua paper tersebut difokuskan pada estimasi fiscal multiplier di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia.5 Jha et
al menggunakan model SVAR untuk mengestimasi efektivitas kebijakan fiskal di 10 negara berkembang di Asia. Hasil penelitian Jha et al menemukan bahwa peningkatan pengeluaran Pemerintah dapat memberikan dampak yang positif terhadap PDB negaa masing-masing. Sementara itu, kebijakan fiskal kontraktif melalui kenaikan pajak justru mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi untuk beberapa negara,antara lain Singapura dan Taiwan. Hasil penelitian Jha et al menunjukkan bahwa cumulative fiscal multiplier dari pengeluaran pemerintah di Indonesia adalah 0,19 lebih tinggi daripada fiscal multiplier akibat penurunan pajak (0,18). Tang et al (2013) melakukan estimasi fiscal multiplier untuk 5 negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) dengan menggunakan model SVAR. Hasil estimasi Tang et al menunjukkan bahwa kebijakan fiskal berupa penurunan pajak dapat memberikan dampak yang positif untuk kelima negara ASEAN. Untuk Indonesia, fiscal multiplier dari penurunan pajak dapat mencapai 0,43. Sebaliknya, kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah dapat memberikan dampak multiplier negatif khususnya bagi Indonesia (-0,34), Singapura (-0,16), dan Thailand (-0,27). Faktor utama yang diduga menjadi penyebab dampak negatif adalah impor yang meningkat karena tergolong small dan highly open economy. Berbeda dengan kedua studi di atas yang melihat dampak pengeluaran pemerintah secara total terhadap output, dalam penelitian itu pengeluaran pemerintah yang dilihat bukan secara agregat tetapi dari tiap-tiap komponen, yaitu pengeluaran untuk investasi dan pengeluaran untuk konsumsi. Dengan demikian, dampak dari upaya pemerintah meningkatkan pengeluaran investasi dapat dikuantifisir dengan model DSGE yang dibangun.Selain itu, mengingat model DSGE adalah model yang berlandaskan pada ekonomi mikro (microfounded
model), besarnya dampak pengeluaran pemerintah tidak hanya dapat dilihat terhadap output, tetapi juga terhadap besaran makro lainnya (seperti inflasi dan trade balance) serta kesejahteraan.
5
Fiscal multiplier merupakan indikator yang sering digunakan untuk mengukur dampak kebijakan fiskal terhadap kondisi perekonomian. Konsep multiplier pertama sekali diperkenalkan oleh Kahn (1931) dan Keynes (1936). Fiscal multiplier dapat dihitung dari rasio perubahan pendapatan nasional terhadap perubahan pengeluaran Pemerintah atau penerimaan pajak. 6
II.2
Model-model DSGE di Bank Indonesia Sebagaimana banyak bank sentral lain, Bank Indonesia juga telah mengembangkan
model-model berbasis DSGE. Penelitian itu menambahkan penggunaan model DSGE yang telah ada di Bank Indonesia. Pasca-krisis keuangan global, pemodelan DSGE di Bank Indonesia lebih difokuskan pada penambahan sektor finansial. Tjahjono dan Waluyo (2010) mengembangkan model DSGE dengan memasukkan faktor financial accelerator (efek procyclicality). Penelitian tersebut bertujuan untuk menangkap financial accelerator dan dampaknya terhadap makroekonomi ketika terjadi shock, menangkap keterkaitan antara sektor moneter dan makroprudensial, melakukan simulasi dampak kenaikan harga BBM dan menganalisis bauran kebijakan dalam menghadapi resesi ekonomi dan krisis perbankan. Hasil simulasinya menunjukkan kekonsistenan jika dibandingkan dengan model VAR. Ketika terjadi monetary
shocks, model dengan financial accelerator memiliki dampak makroekonomi yang lebih besar daripada tanpa financial accelerator. Kenaikan harga minyak berpotensi memberikan dampak negatif berupa penurunan output, peningkatan inflasi, dan depresiasi rupiah. Dampak kebijakan moneter tercatat lebih besar dari kebijakan perbankan berupa Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Namun, bauran kebijakan tetap diperlukan untuk menjaga besaran rasio kecukupan modal dan menghindari risiko sistemik. Harmanta et al (2012) mengembangkan model DSGE yang dilengkapi dengan sektor perbankan dan menggunakan financial friction pada sektor rumah tangga, yaitu berupa
collateral constraints. Model itu dapat digunakan sebagai salah satu alat bantu dalam melakukan formulasi bauran kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Hasil simulasinya menunjukkan bahwa peningkatan BI rate akanmeningkatkan suku bunga retail perbankan, mengurangi penyaluran pinjaman, dan meningkatkan risk-free aset, sehingga pada akhirnya menurunkan PDB dan inflasi. Peningkatan rasio reserve requirement (GWM) tidak memiliki dampak yang signifikan karena ekses likuiditas perbankan Indonesia. Peningkatan rasio loan to
value (LTV) untuk kredit rumah tangga/perusahaan dapat mendorong peningkatan output dan inflasi. Harmanta et al (2013) menyempurnakan model sebelumnya dengan menambah
financial frictions pada sisi entrepreneurs berupa financial accelerator, disamping frictions pada sisi household berupa collateral constraints. Hasil simulasinya menunjukkan bahwa peningkatan BI rate akan meningkatkan suku bunga retail perbankan, mengurangi penyaluran pinjaman, dan meningkatkan risk-free aset, sehingga pada akhirnya menurunkan PDB dan inflasi. Bank juga menanggung risiko akibat tergerusnya modal karena peningkatan non-performing loans (NPL). Peningkatan rasio LTV rumah tangga akan meningkatkan pembelian aset, output, dan inflasi. Peningkatan capital adequacy ratio (CAR) akan menurunkan loan to deposit ratio (LDR), 7
investasi, dan produksi, sehingga PDB dan inflasi mengalami penurunan. Bauran kebijakan antara moneter dan makroprudensial akan menghasilkan PDB dan inflasi yang stabil sertamengendalikan konsumsi dan permintaan impor. Harmanta et al (2014) melengkapi model sebelumnya dengan mekanisme interbank
market sebagai financial frictions dari sisi supply, sedangkan dari sisi demand digunakan financial frictions berupa collateral constraint dan financial accelerator. Hasil simulasinya menunjukkan bahwa shock yang terjadi pada interbank market akan memengaruhi kondisi bank secara umum, terutama pada modal bank, rasio kecukupan modal, dan LDR. Model mereka mampu menangkap prosiklikalitas dan financial accelerator yang terjadi. Bauran kebijakan moneter dan makroprudensial akan menghasilkan dinamika PDB dan inflasi yang cenderung lebih stabil daripada menggunakan hanya satu instrumen kebijakan.
II.3
Kondisi Infrastruktur Indonesia Dalam beberapa tahun terakhir kondisi infrastruktur Indonesia telah mengalami
perbaikan. Perbaikan tersebut tercermin dari indeks daya saing infrastruktur Indonesia yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF) yang mengalami perbaikan selama lima tahun terakhir, yaitu meningkat pesat dari peringkat 81 pada tahun 2015 menjadi peringkat 60 pada tahun 2016 (Gambar 1a). Perbaikan menonjol terjadi pada kualitas rel kereta api, jalan, dan pelabuhan (Gambar 1b).
Gambar 1(a)
Gambar 1(b)
Sumber: WEF The Global Competitiveness Report 2010-2016 Catatan: Indeks yang lebih kecil menunjukkan peringkat yang semakin baik sedangkan nilai menggunakan skala 1-7 dan semakin besar semakin baik.
Gambar 1.Indeks Infrastruktur Indonesia Meskipun telah mengalami perbaikan, dalam beberapa aspek infrastruktur Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara peer di kawasan. Data dari The Global
Competitiveness Report tahun 2016-2017 yang dirilis oleh World Economic Forum menunjukkan bahwa skor infrastruktur Indonesia secara keseluruhan sebesar 3,8 (peringkat 80) 8
masih jauh di bawah Malaysia dan Thailand, yang masing-masing memiliki skor 5,5, (peringkat 19) dan 4,0 (peringkat 72) (Gambar 2). Secara terperinci, untuk kualitas jalan raya Indonesia mendapatkan skor 3,9 (peringkat 75 dunia), berada di bawah Malaysia dengan skor 5,5 (peringkat 20) dan Thailand dengan skor 4,4 (peringkat 60). Sementara itu, kualitas infrastruktur rel kereta api Indonesia mendapat skor 3,8 (peringkat 39) juga berada di bawah Malaysia sebesar 5,1 (peringkat 15). Skor kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia sebesar 3,9 (peringkat 75) juga di bawah Malaysia dengan skor 5,4 (peringkat 17) dan Thailand dengan skor 4,2 (peringkat 65). Untuk kualitas infrastruktur bandara Indonesia mendapatkan skor 4,5 (peringkat 62), sementara Malaysia dan Thailand masing-masing telah mencapai skor 5,7 (peringkat 20) dan skor 5,0 (peringkat 42).
140 120 100 80 60 40 20 0 Infrastruktur
Jalan
Kereta Api
Indonesia
Pelabuhan Transportasi udara
Malaysia
Thailand
Vietnam
Listrik
Telepon bergerak
Telepon tetap
Philippines
Sumber: WEF The Global Competitiveness Report 2016-2017
Gambar 2. Indeks Infrastruktur Beberapa Negara ASEAN Laporan WEF juga menyebutkan bahwa minimnya penyediaan infrastruktur menempati urutan ketiga sebagai penghambat utama berkembangnya dunia usaha selama beberapa tahun terakhir, setelah faktor korupsi dan inefisiensi birokrasi pemerintah (Gambar 3).
9
Sumber: WEF The Global Competitiveness Report 2016-2017
Gambar 3. Problem Utama Dunia Usaha di Indonesia Salah satu infrastruktur yang jadi perhatian Pemerintah adalah konektivitas antar wilayah.Permasalahan infrastruktur terkait dengan konektivitas seperti keterbatasan pelabuhan dan kualitas jalan yang rendah yang menyebabkan tingginya biaya logistik merupakan permasalahan mendasar yang banyak ditemukan di Indonesia. Penyediaan infrastruktur itu akan mendorong penurunan biaya transportasi dan biaya logistik sehingga dapat meningkatkan daya saing produk, dan mempercepat daya gerak ekonomi. Hasil Indeks Kinerja Logistik atau
Logistics Performance Index (LPI) 2016 yang dirilis Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-63 dari 160 negara yang dipantau, dengan skor 2,98 dan turun 10 peringkat jika dibandingkan pada LPI 2014. Jika dibandingkan dengan negara-negara peer di kawasan, Indonesia masih berada di bawah Malaysia dan Thailand dalam semua aspek LPI, yaitu bea cukai, infrastruktur, pengiriman internasional, kompetensi logistik, pelacakan dan pencatatan, serta aktualitas waktu. Indonesia mencatat nilai 2,69 untuk bea cukai, sedangkan Malaysia dan Thailand masing-masing memiliki skor 3,17 dan 3,11. Untuk infrastruktur, Indonesia mencatat skor 2.65, sedangkan Malaysia dan Thailand masing-masing sebesar 3,45 dan 3,12.Sementara itu, dalam aspek pengiriman internasional skor Indonesia adalah 2,90 juga di bawah Malaysia sebesar 3,48, dan Thailand sebesar 3,37. Dalam aspek kompetensi logistik, Indonesia memperoleh nilai 3,00 sementara Malaysia dan Thailand masing-masing memiliki skor 3,34, dan 3,14 (Gambar 4).
10
Sumber: World Bank
Gambar 4.Perbandingan Kinerja Logistik Dengan Negara Tetangga
II.4
Investasi Pemerintah untuk Infrastruktur Salah satu penyebab utama keterbatasan infrastruktur Indonesia adalah relatif
rendahnya investasi pemerintah.Rasio investasi pemerintah terhadap PDB di Indonesia selama 2006-2014 secara rata-rata hanya sebesar 2%, jauh berada di bawah Malaysia dan Thailand yang masing-masing mecapai 9.9% dan 6.4% (Gambar 5). Pada tahun 2015, investasi Pemerintah telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu dari 2.41% PDB menjadi 3,23% PDB, sedikit melampaui investasi pemerintah di Filipina yang hanya sebesar 2,81%. Namun, masih jauh lebih rendah dari Malaysia dan Thailand.
12
% thd PDB
10 8 6 4 2 0 2006
2007
Indonesia
2008
2009
2010
Malaysia
2011
2012
Thailand
2013
2014
2015
Philippines
Sumber: World Bank
Gambar 5.Perbandingan Investasi Pemerintah dengan Negara Tetangga Untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi dan berkesinambungan, Pemerintah berkomitmen untuk memperbaiki ketersediaan dan kualitas infrastruktur. Hal itu terlihat dari berbagai sasaran pembangunan infrastruktur yang akan dicapai akhir tahun 2019, sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2014-2019 (Tabel 1).
11
Tabel 1. Sasaran Infrastruktur dalam RPJMN (2015-2019) INDIKATOR
Kondisi 2014 KEDAULATAN ENERGI Rasio Elektrifikasi (%) 84.1 Konsumsi listrik per kapita (kWh) 843 Pembangunan FSRU (unit) 2 Jaringan pipa gas (km) 11,960 Pembangunan SPBG (unit) 40 Jaringan gas kota (sambungan 102 ribu rumah) Pembangunan kilang baru (unit) INFRASTRUKTUR DASAR Akses Air Minum layak 68.5% Akses Sanitasi Layak 60.5% Kawasan Kumuh Perkotaan 37.407 Ha Backlog Kebutuhan Rumah 13.5 Juta KONEKTIVITAS Kemantapan Jalan Nasional 94% Biaya Logistik 23.5% Pangsa Angkutan Umum 23% Kab/Kota yang dijangkau pitalebar 72% KETAHANAN AIR Kapasitas Air Baku 51.4 M3/Detik Storage Per Kapita 62.3 M3/Kapita Irigasi yang diairi waduk 11% Jaringan Irigasi Permukaan 7,145 Juta Ha Kapasitas Desain Banjir 5-25 Tahunan
Target Akhir 2019 96.6 1200 3 17,690 118 1 jt 2 100% 100% 0 Ha 6.8 Juta 100% 19.2 % 32% 100% 118.6M/Detik 78.36 M3/Kapita 20% 7,914 Juta Ha 10-100 Tahunan
Sumber: RPJMN 2015-2019
Untuk mencapai target-target tersebut Pemerintah telah menetapkan infrastruktur yang akan dibangun dalam periode 2015-2019 (Tabel 2). Proyek infrastruktur yang menjadi proyek strategis nasional pemerintahan sekarang berjumlah 225 proyek. Di samping itu, terdapat satu proyek kelistrikan nasional sebesar 35,000 megawatt (MW) yang terpisah dari jumlah tersebut, tetapi tetap masuk dalam proyek strategis nasional. Dari keseluruhan proyek tersebut, setidaknya 46 proyek tersebar di wilayah Sumatera, 89 proyek berada di Jawa, 24 proyek ada di Kalimantan, serta 16 proyek berada di Bali dan Nusa Tenggara. Selain itu, Sulawesi juga mendapat 28 proyek, Maluku dan Papua memperoleh 13 proyek,
serta 10 proyek yang
tersebar di beberapa provinsi. Proyek strategis nasional itu didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, serta Intruksi Presiden Nomor 1/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
12
Tabel 2.Target Infrastruktur 2015-2019 Jalan Kereta api Pelabuhan
Transportasi udara Angkutan darat Bendungan dan irigasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Perumahan
Pengelolaan air minum Sanitasi layak
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Jalan baru 2,650 Km Jalan tol 1,000 Km Pemeliharaan jalan 46,770 Km Pembangunan Jalur KA 3,258 km di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan terdiri dari: KA Antar kota 2,159 km dan KA Perkotaan 1,099 km Pembangunan 24 Pelabuhan baru Pengadaan 26 Kapal Barang Perintis Pengadaan 2 Kapal Ternak Pengadaan 500 unit kapal Rakyat Pembangunan Pelabuhan Penyeberangan di 60 lokasi Pengadaan kapal penyeberangan (terutama perintis) sebanyak50 unit Pembangunan 15 Bandara baru Pengadaan 20 Pesawat Perintis Pengembangan Bandara untuk pelayanan Cargo Udara di 6 Lokasi Pembangunan BRT di 29 kota Pembangunan angkutan massal cepat di kawasan perkotaan (6 Kota metropolitan, 17 Kota besar) Pembangunan 49 Waduk Baru dan 33 PLTA Pembangunan/Peningkatan jaringan irigasi 1 Juta Ha Rehabilitasi 3Juta Ha Jaringan Irigasi Jangkauan Pitalebar/broadbanddi 100% kab/kota Indeks e-government mencapai 3.4 (skala 4.0) Pengembangan e-pengadaan, e-kesehatan, e-pendidikan, dan e-logistik Pembangunan Rusanawa 5,257 Twinblok (515,711 rumah tangga) Bantuan stimulan perumahan swadaya 5.5 Juta rumah tangga Penanganan kawasan kumuh 37,407 Ha Fasilitasi kredit perumahan untuk MBR 2.5 Juta rumah tangga Pembangunan SPAM di perkotaan 21.4 juta sambungan rumah (268,680 liter/detik) Pembangunan SPAM di perdesaan 11.1 juta sambungan rumah (22,647 desa) Pembangunan sistem air limbah komunal di 227 kota/kab dan terpusat di 430 kota/kab Pembangunan IPLT untuk pengelolaan lumpur tinja perkotaan di 409 kota/kab Pembangunan TPA sanitary landfill dan fasilitas 3R di 341 kota/kab dan fasilitas 3R terpusat & komunal di 294 kota/kab Pengurangan genangan seluas 22,500 Ha di kawasan permukiman
Sumber: RPJMN 2015-2019
Percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016. Hal-hal yang diatur antara lain berupa perizinan dan non perizinan, pengadaan barang/jasa
oleh
pemerintah,
diskresi
dalam
penyelesaian
masalah
dan
hambatan
(debottlenecking), rencana tata ruang, penyediaan/pembebasan lahan, pendanaan dan jaminan pemerintah, serta penggunaan komponen dalam negeri. Data Kementerian Perekonomian (Kemenko) menyebutkan bahwa pada Juni 2016, 86 (44%) proyek di antaranya sudah masuk tahap konstruksi dan telah dilakukan groundbreaking, sedangkan 139 sisanya masih dalam tahap perencanaan atau baru akan dilaksanakan.Selain itu,hingga Juni 2016, 17,800 MW kontrak proyek kelistrikantelah ditandatangani dari total proyek 35,000 MW.
13
Untuk percepatan pembangunan infrastruktur, Pemerintah telah melakukan reformasi fiskal, institusi, dan regulasi.Reformasi institusi yang dilakukan di antaranya adalah penguatan KPPIP (Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas), dan Perpres Proyek Strategis Nasional. Selain itu, Pemerintah juga melakukan reklasifikasi proyek-proyek agar penyelesaian proyek lebih fokus. Dari 225 proyek strategis nasional dan 1 program listrik yang ada, berdasarkan Permenko Ekonomi No.12 Tahun 2015, pemerintah menetapkan 30 proyek prioritas yang akan dikawal khusus oleh KPPIP. Investasi infrastruktur yang menjadi prioritas pemerintah masih terkendala kurangnya pendanaan. Data Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam RPJMN 20152019 menyebutkan kebutuhan pendanaan infratsruktur prioritas pada periode 2015-2019 diperkirakan senilai Rp5,519.4 triliun. Kebutuhan dana tersebut terdiri atas kebutuhan belanja kementerian/lembaga dan transfer daerah (APBN dan APBD) mencapai Rp 2,760.9 triliun atau sekitar 50.02 persen, juga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp 1,066.2 triliun atau sekitar 19.32 persen, dan partisipasi swasta senilai Rp 1,692.3 triliun atau sekitar 30.66 persen (Tabel 3). Tabel 3.Kebutuhan Pendanaan Infrastruktur RPJMN 2015-2019 Sektor
APBN 1
APBD
BUMN 2
Swasta 3
Total
Jalan
340.0
200.0
65.0
200.0
805.0
Kereta Api
150.0
-
11.0
122.0
283.0
Perhubungan Laut4
498.0
-
238.2
163.8
900.0
Udara
85.0
5.0
50.0
25.0
165.0
Darat (termasuk ASDP)
50.0
-
10.0
-
60.0
Transportasi Perkotaan 5
90.0
15.0
5.0
5.0
115.0
Ketenagalistrikan6
100.0
-
445.0
435.0
980.0
Energi (Migas)
3.6
-
151.5
351.5
506.6
Teknologi Komunikasi dan Informatika
12.5
15.3
27.0
223.0
277.8
Sumber Daya Air
275.5
68.0
7.0
50.0
400.5
Air Minum dan Limbah
227.0
198.0
44.0
30.0
499.0
Perumahan
384.0
44.0
12.5
87.0
527.5
545.3
1,066.2
Total Infrastruktur
1,692.3
5,519.4
2,215.6 Persentase
40.14%
9.88%
19.32 %
30.66%
100.00%
Sumber: BAPPENAS Catatan: 1) Dukungan pendanaan APBN yang diharapkan 2) Dukungan pendanaan BUMN yang diharapkan. 3) Kemampuan maksimal swasta melalui percepatan kerjasama pemerintah dan swasta termasuk business to
business
14
4) 5) 6)
Kenaikan karena pertambahan komponen tol laut serta biaya rutin Alokasi tersebut terdiri untuk kegiatan Angkutan Perkotaan Berbasis Rel dan Jalan. Kemampuan PT PLN hanya sekitar Rp 250 T, selebihnya memerlukan PMN
Sejalan dengan upaya pemerintah untuk memperbaiki ketersediaan dan kualitas infrastruktur, anggaran pemerintah untuk infrastruktur juga mengalami peningkatan yang signifikan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pengeluaran Pemerintah untuk infrastruktur pada tahun 2015 mencapai Rp 290,3 triliun (3,23% dari PDB), dan mengalami peningkatan sebesar 40,5% dari tahun sebelumnya. Kenaikan masih terlihat di tahun 2016 dimana alokasi anggaran infrastruktur mencapai angka Rp 313,5 triliun, sedangkan pada tahun 2017, anggaran infrastruktur dipatok sebesar Rp 346,6 triliun. Dengan peningkatan anggaran untuk infrastruktur sampai dengan tahun 2019, belanja pemerintah untuk infrastruktur diperkirakan akan mencapai 4.21 % terhadap PDB (Gambar 6). Secara total tahun 2015-2019 anggaran infrastruktur pemerintah diperkirakan sekitar Rp 1.796,2 triliun.
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
4.21%
3.23% 3.33%
3.50%
3.67%
4.00% 3.50% 3.00%
2.41% 1.93%
4.50%
2.50% 1.81% 1.87% 1.89% 1.79%
1.66% 1.70%
1.90%
2.00% 1.50%
1.18%
% thd PDB
Rp triliun
Belanja Infrastruktur Pemerintah
1.00% 0.50% 0.00%
Total Belanja Infrastruktur
% terhadap PDB
Sumber: BAPPENAS, Kemenkeu, BI diolah.
Gambar 6.Belanja Infrastruktur Pemerintah 2015-2019
15
III.
Model DSGE dengan Sektor Fiskal
Model yang dikembangkan untuk penelitian itu didasarkan pada model Ganelli dan Tervala (2015), karena konsumsi dan investasi pemerintah dimasukkan secara terpisah ke dalam
New Keynesian DSGE Model. Modifikasi utama dilakukan dengan menerapkan asumsi small open economy untuk memperkaya asesmen dampak reformasi struktural di Indonesia. Secara umum, model yang dikembangkan juga telah memuat fitur standar model DSGE berdasarkan model Gali dan Monacelli (2005). Skema model secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Skema Model
III.1 Sisi Permintaan: Rumah Tangga III.1.1 Maksimisasi UtilitasRumah Tangga Seluruh rumah tangga diasumsikan memiliki preferensi yang sama. Rumah tangga memaksimalkan fungsi utilitasnya berdasarkan pilihan tingkat konsumsi 𝐶𝑡 dan waktu yang digunakan untuk istirahat (di luar waktu bekerja 𝑁𝑡 ), dengan mempertimbangkan public
goods 𝐺𝑡𝐶 yang sudah disediakan oleh Pemerintah. 𝐶 1−𝜎
𝑡 𝑡 max 𝐸𝑡 ∑∞ 𝑡=0 𝛽 [ 1−𝜎 −
{𝐶𝑡 ,𝑁𝑡 }
(𝑁𝑡 )1+𝜑 1+𝜑
+ 𝜈 log 𝐺𝑡𝐶 ]
…(3.1)
di mana 𝛽 adalah discount factor, 𝜎 adalah wealth effect, 𝜑 adalah elastisitas labor supply, dan 𝜈 adalah pangsa konsumsi pemerintah relatif terhadap konsumsi swasta.
16
Rumah tangga memiliki pendapatan yang bersumber dari penghasilan atas penyediaan tenaga kerja kepada perusahaan 𝑊𝑡 𝑁𝑡 , pendapatan deposito (1 + 𝑖𝑡 )𝐷𝑡, dan dividen dari perusahaan yang dimilikinya Π𝑡 . Penghasilan tersebut digunakan untuk membayar pajak 𝑇𝑡 dan membiayai pengeluaran konsumsi. Dengan demikian, budget constraint yang dihadapi oleh rumah tangga adalah: 𝑃𝑡 𝐶𝑡 + 𝑄𝑡+1 𝐷𝑡+1 = 𝐷𝑡 + 𝑊𝑡 𝑁𝑡 + Π𝑡 − 𝑃𝑡 𝑇𝑡 𝑄𝑡+1 =
1 1+𝑖𝑡
…(3.2)
adalah stochastic discount factor. Dalam budget constraint, pengeluaran konsumsi
dan pajak dikalikan dengan tingkat harga untuk mendapatkan bentuk nominalnya. Pengoptimalan fungsi tujuan (3.1) dengan budget constraint (3.2) akan menghasilkan solusi optimum (First Order Condition) untuk konsumsi 𝐶𝑡 dan waktu kerja 𝑁𝑡 sebagai berikut: 𝐶𝜎𝑡 = 𝑄𝑡+1 𝐸𝑡 {𝐶𝜎𝑡+1 𝜑
𝑁𝑡 =
𝑃𝑡+1 1 𝑃𝑡
}𝛽
…(3.3)
𝑊𝑡 𝐶𝑡𝜎 𝑃𝑡
…(3.4)
Rumah tangga menetapkan besaran konsumsi pada waktu 𝑡 (𝐶𝑡 ), dengan memperhatikan ekspektasi pengeluaran konsumsi pada waktu yang akan datang 𝐶𝜎𝑡+1 , perubahan harga
𝑃𝑡+1 𝑃𝑡
,
𝜑
dan discount factor. Sementara itu, rumah tangga memilih waktu bekerja sebanyak 𝑁𝑡 sesuai dengan upah yang diterima sebesar 𝑊𝑡 untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya.
III.1.2 Alokasi Optimum Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga 𝐶𝑡 merupakan indeks komposit dari konsumsi barang domestik 𝐶𝐻,𝑡 dan barang luar negeri 𝐶𝐹,𝑡 . 𝜂−1 𝜂
1 𝜂
𝐶𝑡 = [(1 − 𝛼) (𝐶𝐻,𝑡 )
𝜂 𝜂−1 𝜂−1 𝜂
1 𝜂
+ 𝛼 (𝐶𝐹,𝑡 )
]
di mana (1 − 𝛼) adalah derajat home bias konsumsi dan 𝜂 adalah elastisitas substitusi antara barang produksi domestik dan luar negeri. Tiap-tiap konsumsi barang domestik 𝐶𝐻,𝑡 dan luar negeri 𝐶𝐹,𝑡 merupakan konsumsi agregat dari berbagai jenis barang 𝑗, yaitu sebagai berikut: 1
𝜀−1 𝜀
𝐶𝐻,𝑡 = (∫ 𝐶𝐻,𝑡 (𝑗)
𝜀 𝜀−1
𝑑𝑗)
0 1
𝛾−1 𝛾
𝐶𝐹,𝑡 = (∫ 𝐶𝐹,𝑡 (𝑗)
𝛾 𝛾−1
𝑑𝑗)
0
17
di mana 𝜀 adalah elastisitas substitusi antar barang di dalam negeri dan 𝛾 adalah elastisitas substitusi antar barang di luar negeri. Rumah tangga memaksimalkan konsumsi total dengan menetapkan alokasi konsumsi berbagai jenis barang 𝑗, untuk setiap level pengeluaran 𝑍𝑡 . 1
1 𝜗
1−
max (∫ 𝐶𝑥,𝑡 (𝑖) {𝐶𝑥,𝑡 }
𝜗 𝜗−1
𝑑𝑖)
0 1
𝑠. 𝑡 ∫ 𝑃𝑥,𝑡 (𝑖)𝐶𝑥,𝑡 (𝑖)𝑑𝑖 = 𝑍𝑡 0
𝑥 = 𝐻, 𝐹, dan 𝜗 = 𝜀, 𝛾. Solusi optimum (FOC) dari permasalahan itu adalah rumah tangga menetapkan konsumsi barang 𝑗 sesuai dengan perbandingan harga relatif terhadap barang lainnya dan elastisitas substitusi antar barang, sebagaimana dapat dituliskan dalam persamaan berikut: −𝜗
𝐶𝑥,𝑡 (𝑗) = (
𝑃𝑥,𝑡 (𝑗) ) 𝑃𝑡
𝐶𝑡
Lebih jauh, rumah tangga juga akan memaksimalkan alokasi konsumsi antara barang domestik dan luar negeri. Dengan langkah penyelesaian yang sama seperti sebelumnya, diperoleh solusi optimum konsumsi barang domestik dan kondumsi barang lar negeri sebagai berikut: 𝑃𝐻,𝑡 −𝜂 𝐶𝐻,𝑡 = (1 − 𝛼) ( ) 𝐶𝑡 𝑃𝑡 𝑃𝐹,𝑡 −𝜂 𝐶𝐹,𝑡 = 𝛼 ( ) 𝐶𝑡 𝑃𝑡 di mana 1−𝜂
𝑃𝑡 = [(1 − 𝛼)(𝑃𝐻,𝑡 )
1
1−𝜂 𝜂−1
+ 𝛼(𝑃𝐹,𝑡 )
]
…(3.5)
adalah indeks harga konsumen.
III.1.3 Hubungan antara Harga dan Konsumsi Domestik dengan Luar Negeri Perbandingan harga antara barang domestik dan luar negeri (terms of trade) 𝑃
dinotasikan dengan 𝑆𝑡 = 𝑃𝐹,𝑡 , atau dalam bentuk log-linear menjadi 𝑠𝑡 = 𝑝𝐹,𝑡 − 𝑝𝐻,𝑡 . Sementara 𝐻,𝑡 itu, log-linear dari persamaan indeks harga konsumen (3.5) pada kondisi steady state menghasilkan 𝑝𝑡 = (1 − 𝛼)𝑝𝐻,𝑡 + 𝛼𝑝𝐹,𝑡 , sehingga 𝑝𝑡 = 𝑝𝐻,𝑡 + 𝛼𝑠𝑡 . Dalam terminologi inflasi, perubahan indeks harga konsumen ditentukan oleh perubahan harga dalam negeri dan perubahan terms of trade. 18
𝜋𝑡 = 𝜋𝐻,𝑡 − 𝛼(𝑠𝑡 − 𝑠𝑡−1 ) Harga barang luar negeri dalam mata uang domestik (𝑝𝐹,𝑡 ) sama dengan harga barang dunia dalam mata uang luar negeri (𝑝𝑡∗ ) dikalikan dengan nilai tukar nominal 𝑝𝐹,𝑡 = 𝑒𝑡 + 𝑝𝑡∗ . Dengan demikian,terms of trade juga dapat diformulasikan dengan: 𝑠𝑡 = 𝑒𝑡 + 𝑝𝑡∗ − 𝑝𝐻,𝑡 Sementara itu, nilai tukar riil dapat didefinisikan sebagai perubahan harga luar negeri dalam nilai domestik dibagi dengan harga domestik (indeks harga konsumen): 𝑞𝑡 = 𝑒𝑡 + 𝑝𝑡∗ − 𝑝𝑡 sehingga diperoleh hubungan antara nilai tukar riil dan terms of trade sebagai berikut: 𝑞𝑡 = (1 − 𝛼)𝑠𝑡 Lebih jauh, dengan asumsi linearitas, perubahan nilai tukar riil dan pertumbuhan dunia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri akan menentukan besarnya perubahan konsumsi domestik: 1 𝑐𝑡 = 𝑐𝑡∗ + 𝑞𝑡 𝜎 (1 − 𝛼) 𝑐𝑡 = 𝑐𝑡∗ + 𝑠𝑡 . 𝜎
III.1.4 Market Clearing antara Konsumsi dan Produksi Dalam keseimbangan pasar, perusahaan memproduksi barang dengan jumlah yang sama dengan pengeluaran pemerintah dan konsumsi rumah tangga sedemikian sehingga: 𝑌𝑡 =
𝐺𝐶𝑡
+
𝐺𝐼𝑡
𝑃𝐻,𝑡
+ (1 − 𝛼) (
𝑃𝑡
−𝜂
)
1
( 𝐶𝑡 ) + 𝛼 ∫ ( 0
𝑃𝐻,𝑡
−𝛾
) ℰ𝑖,𝑡 𝑃𝑖𝐹,𝑡
𝑃𝑖𝐹,𝑡
(
𝑃𝑖𝑡
−𝜂
𝐶𝑖𝑡 𝑑𝑖
)
Dengan menggunakan persamaan terms of trade dan nilai tukar, persamaan di atas dapat ditulis kembali dalam bentuk seperti berikut: 1
𝑌𝑡 =
𝐺𝑡𝐶
+
𝐺𝑡𝐼
+
(𝒮𝑡−𝛼 )−𝜂 [(1 −
𝛼)𝐶𝑡 + 𝛼𝐶𝑡 ∫ 0
1
𝛾−𝜂 𝜂− (𝒮𝑡𝑖 𝒮𝑖,𝑡 ) 𝒬𝑖,𝑡 𝜎 𝑑𝑖 ]
III.2 Sisi Penawaran: Perusahaan III.2.1 Minimisasi Biaya Produksi Perusahaan diasumsikan memiliki faktor produksi tenaga kerja dan infrastruktur publik yang telah disediakan oleh Pemerintah.Fungsi produksi juga diasumsikan linear dengan perkembangan teknologi. Setiap perusahaan menghasilkan berbagai produk 𝑗 yang berbeda: 𝑌𝑡 (𝑗) = 𝐴𝑡 (𝐾𝑡𝐺 )Φ 𝑁𝑡 (𝑗)
…(3.6)
19
karena Φ adalah elastisitas output terhadap infrastruktur publik. Parameter Φ diasumsikan bernilai positif, yang berarti bahwa fungsi produksi memiliki sifat increasing return seiring dengan penambahan kapital. Masalah yang dihadapi oleh perusahaan dalam mencari real
marginal cost adalah dengan meminimalkan real total cost dengan kendala produksi barang pada level tertentu. Perusahaan memiliki opsi penggunaan tenaga kerja untuk meminimalkan
real total cost tersebut, yaitu sebagai berikut: min 𝑇𝐶(𝑖) = {𝑁𝑡 }
𝑊𝑡 𝑁𝑡 (𝑖) . 𝑃𝑡
…(3.7)
Optimalisasi fungsi tujuan (3.7) dengan kendala (3.6) menghasilkan fungsi optimum dari biaya marginal 𝑀𝐶𝑡 sebagai berikut: 𝑀𝐶𝑡 (𝑖) =
𝑊𝑡 Φ
𝑃𝑡 𝐴𝑡 (𝐾𝑡𝐺 )
(3.8)
Dengan demikian, diperoleh bahwa biaya marginal setara dengan pengeluaran upah riil 𝑊𝑡 𝑃𝑡
dibagi dengan marginal produksi tenaga kerja 𝐴𝑡 (𝐾𝑡𝐺 )Φ .
III.2.2 Maksimisasi Profit dengan Price Setting Pada model ini, setiap perusahaan diasumsikan menghasilkan berbagai jenis produk 𝑗 yang berbeda, sehingga perusahaan memiliki bargaining power untuk mengubah harga produknya 𝑃𝑡 (𝑗). Diasumsikan bahwa sebagian perusahaan menentukan harga secara fleksibel dengan menerima indeks harga 𝑃𝑡 , dan sebagian perusahaan berusaha mencari harga optimum 𝑃∗𝑡 . Untuk memasukkan konsep rigiditas harga, penentuan harga optimal akan mengikuti
framework yang diperkenalkan oleh Calvo (1983). 𝑘 ∗ ∑∞ max 𝑘=0 𝜃 𝐸𝑡 [𝑄𝑡,𝑡+𝑘 (𝑃𝑡 𝑌𝑡+𝑘|𝑡 − 𝑃𝑡+𝑘 𝑀𝐶𝑡+𝑘|𝑡 𝑌𝑡+𝑘|𝑡 )] ∗ {𝑃𝑡 }
…(3.9)
𝑃𝑡∗ −𝜀 𝑠. 𝑡 𝑌𝑡+𝑘|𝑡 = ( ) 𝑌𝑡+𝑘 𝑃𝑡+𝑘 𝑃𝑡∗
𝑌𝑡+𝑘|𝑡 = (𝑃
𝑡+𝑘
−𝜀
)
𝐶 𝐼 + 𝐺𝑡+𝑘 (𝐶𝑡+𝑘 + 𝐺𝑡+𝑘 )
…(3.10)
Solusi optimum dari fungsi tujuan (3.9) dengan kendala (3.10) menghasilkan persamaan sebagai berikut: 𝜀
𝑃𝑡∗ = (𝜀−1) Nilai
𝜀 (𝜀−1)
𝜀 𝐶 𝐼 𝑘 𝑘 −𝜎 ∑∞ 𝑘=0 𝜃 𝐸𝑡 [𝛽 𝐶𝑡+𝑘 𝑀𝐶𝑡+𝑘 𝑃𝑡+𝑘 (𝐶𝑡+𝑘 +𝐺𝑡+𝑘 +𝐺𝑡+𝑘 )] 𝐶 𝐼 𝑘 𝑘 −𝜎 𝜀−1 ∑∞ 𝑘=0 𝜃 𝐸𝑡 [𝛽 𝐶𝑡+𝑘 𝑃𝑡+𝑘 (𝐶𝑡+𝑘 +𝐺𝑡+𝑘 +𝐺𝑡+𝑘 )]
…(3.11)
disebut sebagai price markup yang ditentukan berdasarkan elastisitas substitusi antar
barang domestik 𝜀.
20
Setiap perusahaan dapat mengoptimalkan atau mengubah harga dengan probabilitas 1 − 𝜃 (independen) di setiap periode, sehingga 𝜃< 1 dapat diartikan sebagai indeks rigiditas harga. Dengan demikian, harga agregat 𝑃𝑡 adalah sebagai berikut: 1−𝜀 𝑃𝑡1−𝜀 = 𝜃𝑃𝑡−1 + (1 − 𝜃)(𝑃𝑡∗ )1−𝜀
Dengan menotasikan bahwa inflasi Π𝑡 =
𝑃𝑡 𝑃𝑡−1
, persamaan (3.11) dapat ditulis kembali dalam
bentuk akhir log-linear sebagai berikut:
𝜋𝑡 =
(1 − 𝜃)(1 − 𝛽𝜃)𝑚𝑐 ̂𝑡 + 𝛽𝐸𝑡 {𝜋𝑡+1 } 𝜃
…(3.12)
Persamaan (3.12) di atas menggambarkan bahwa perubahan harga optimum pada waktu 𝑡 (𝜋𝑡 ) adalah rata-rata tertimbang dari biaya marginal saat itu dan perubahan harga masa yang akan datang. Disamping itu, persamaan (3.8) juga menggambarkan bahwa peningkatan stok infrastruktur publik akan menurunkan besaran harga optimum.
III.3 Kebijakan Fiskal dan Moneter III.3.1 Kebijakan Fiskal Pemerintah memiliki pendapatan dari penerimaan pajak, yang kemudian digunakan untuk pengeluaran konsumsi dan investasi. 𝑃𝑡 𝑇𝑡 = 𝐺𝑡𝐼 + 𝐺𝑡𝐶 Untuk menyederhanakan, pajak 𝑇𝑡 bersifat non-distortionary.Jika pengeluaran pemerintah diperoleh dari pajak yang bersifat distortionary, dampak dari ekspansi kebijakan fiskal akan menjadi lebih kecil, yang kemudian mempengaruhi dampak terhadap kesejahteraan (welfare). Pengeluaran konsumsi dan investasi pemerintah dimodelkan dengan dinamika AR(1): 𝑔̂𝑡𝐶 = 𝜌𝐶 𝑔̂𝑡𝐶 + 𝜀𝑡𝐶 𝑔̂𝑡𝐼 = 𝜌𝐼 𝑔̂𝑡𝐼 + 𝜀𝑡𝐼 Parameter 𝜌𝐶 dan 𝜌𝐼 adalah persistensi dari shock konsumsi dan investasi pemerintah. Sementara itu, 𝜀𝑡𝐶 dan 𝜀𝑡𝐼 merupakan shock i.i.d terhadap pengeluaran pemerintah dengan distribusi normal dan standar deviasi 𝜎𝑔 . Jika mengikuti Ganelli dan Tervala (2015), dalam model ini, kapital swasta diabaikan, sehingga lebih difokuskan pada pengukuran dampak pengeluaran investasi pemerintah. Stok infrastruktur publik dimodelkan dengan persamaan sebagai berikut: 𝐺 𝐾𝑡+1 = (1 − 𝜆)𝐾𝑡𝐺 + 𝐺𝑡𝐼
21
Stok infrastruktur publik mengalami depresiasi sebesar 𝜆 dan bertambah sesuai dengan pengeluaran investasi pemerintah.
III.3.2 Kebijakan Moneter Penetapan suku bunga kebijakan (𝑖𝑡 ) oleh bank sentral dimodelkan dalam bentuk persamaan log-linear Taylor Rule sebagaimana diperkenalkan oleh Clarida, Gali, dan Gertler (2001) berikut: …(3.13)
𝑖̂𝑡 = 𝜌𝑖 𝑖̂𝑡−1 + (1 − 𝜌𝑖 )(𝜙𝜋 𝜋𝑡 + 𝜙𝑦 𝑦̂𝑡 ) + 𝜀𝑖
Parameter 𝜌𝑖 adalah interest rate smoothing, 𝜙𝜋 dan 𝜙𝑦 adalah bobot yang dikenakan terhadap inflasi dan stabilisasi output.𝜀𝑖 adalahshock i.i.d terhadap kebijakan moneter.
III.4 Neraca Perdagangan Trade balance dinotasikan dengan 𝑛𝑥𝑡 , dengan menggambarkan net ekspor dari ̅. produksi domestik, sebagai rasio dari steady state output 𝑌 1
𝑃
𝑛𝑥𝑡 = 𝑌̅ (𝑌𝑡 − 𝑃 𝑡 𝐶𝑡 − 𝐺𝑡𝐼 − 𝐺𝑡𝐶 )
…(3.14)
𝐻,𝑡
Hasil log-linearisasi dari persamaan (3.14) adalah sebagai berikut: ̂𝐼 − 𝑔 ̂𝑐 𝑛𝑥𝑡 = 𝑌̅𝑦̂𝑡 − 𝐶̅ 𝑐̂𝑡 − 𝛼𝐶̅ 𝑠̂𝑡 − 𝑔 𝑡 𝑡
…(3.15)
Persamaan (3.15) menggambarkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah baik konsumsi maupun investasi secara langsung akan membebani trade balance, sehingga perlu diimbangi dengan selisih antara kenaikan output domestik dan pengeluaran konsumsi.
III.5 Mengukur Output Pemerintah
Multiplier dan
Welfare
Multiplier dari
Pengeluaran
Jika mengikuti Ganelli dan Tervala (2015), output mulitplierdari pengeluaran pemerintah dapat dilihat dengan menggunakan cumulative multiplier(𝐶𝑀)yang dihitung berdasarkan perubahan kumulatif output dibagi dengan perubahan kumulatif dari pengeluaran pemerintah pada jangka waktu tertentu sebagai berikut:
𝐶𝑀 =
∑ℎ𝑡=0 𝑦̂𝑡 ∑ℎ𝑡=0 𝑔̂𝑡𝑥
𝑥 = 𝐶, 𝐼. Selain itu, output multiplier juga dapat diukur berdasarkan net present value fiscal
multiplier (NPVM) yang dihitung dari rasio net present value dari perubahan output terhadap net present value dari pengeluaran pemerintah dalam rentang waktu tertentu. Dalam penelitian
22
ini, rentang waktu yang digunakan adalah 2.000 kuartal sebagaimana diungkapkan dalam Ganelli dan Tervala (2015).
∑ℎ𝑡=0 𝛽𝑡 𝑦̂𝑡 𝑁𝑃𝑉𝑀 = ℎ ∑𝑡=0 𝛽𝑡 𝑔̂𝑡𝑥 𝑥 = 𝐶, 𝐼. Untuk mengukur dampak pengeluaran pemerintah terhadap kesejahteraan (welfare), digunakan net present valueuntuk dampak welfaredari ekspansi fiskal (𝜏𝑡 )yang diukur sebagai bagian dari konsumsi rumah tangga. Mereka bersedia untuk dilepaskan dengan adanya ekspansi fiskal.Nilai 𝜏𝑡 diperoleh sebagai berikut. Berdasarkan fungsi utilitas rumah tangga, net
present value dari welfare rumah tangga tanpa ekspansi fiskal adalah: 𝑡 𝑈𝑡𝑊𝐹𝐸 = ∑∞ 𝑡=0 𝛽 [
𝐶𝑡1−𝜎 1−𝜎
−
(𝑁𝑡 )1+𝜑 1+𝜑
+ 𝜈 log 𝐺𝑡𝐶 ]
…(3.16)
Net present value dari welfare rumah tangga dengan ekspansi fiskal adalah: 1−𝜎
𝑡 𝑈𝑡𝐹𝐸 = ∑∞ 𝑡=0 𝛽 [
((1+𝜏)𝐶𝑡 ) 1−𝜎
−
(𝑁𝑡 )1+𝜑 1+𝜑
+ 𝜈 log 𝐺𝑡𝐶 ]
…(3.17)
Dari persamaan (3.16) dan (3.17) diperoleh solusi untuk net present value dampak welfare dari ekspansi fiskal sebagai berikut: 𝜏 ≈ 100 × [(1 − 𝛽) (𝐶̂𝑡 −
̅)1+𝜑 (𝑁 𝜈 ̂𝑡 + 𝑁 𝐺̂ 𝐶 )] 1 −𝜎 1 ̅ ̅ 𝐶 𝐶 −𝜎 𝑡
Dengan demikian, dampak welfare multiplier diperoleh berdasarkan kumulatif perubahan utilitas (yang telah dikalikan dengan discount factor) dan dibagi dengan kumulatif pengeluaran pemerintah. 1+𝜑
𝑀𝑈 ≈
̅) (𝑁 𝜈 𝑡 ̂ ̂𝐶 ̂ 100 × (1 − 𝛽) ∑∞ 𝑡=0 𝛽 [𝐶𝑡 − 𝐶̅ 1−𝜎 𝑁𝑡 + 𝐶̅ 1−𝜎 𝐺𝑡 ]
̂ 𝑥𝑡 ∑ℎ𝑡=0 𝑔
III.6 Sistem Persamaan Model Sistem persamaan yang telah dibangun berdasarkan kondisi rumah tangga, perusahaan, bank sentral, pemerintah, dan eksternal sebagaimana diuraikan di atas dapat dirangkum di dalam Tabel 4 berikut: Tabel 4. Solusi Optimum dan Log-linearisasi No 1
Solusi Optimum
(First Order Condition)
Bentuk log-linear
Euler Equation: 23
1 𝑐𝑡 = 𝐸𝑡 {𝑐𝑡+1 } − (𝑖𝑡 − 𝐸𝑡 {𝜋𝐻,𝑡+1 } − 𝜌) 𝜎
1 𝑐̂𝑡 = 𝐸𝑡 {𝑐̂𝑡+1 } − (𝑖𝑡 − 𝐸𝑡 {𝜋𝐻,𝑡+1 }) 𝜎
Philips Curve:
2
∞
𝑃𝑡∗ 𝜀 Ψ𝑡1 =( ) (𝜀 − 1) Ψ𝑡2 𝑃𝑡
−𝜎 Ψ𝑡1 = ∑ 𝜃 𝑘 𝐸𝑡 [𝛽𝑘 𝐶𝑡+𝑘 𝑀𝐶𝑡+𝑘 ( 𝑘=0 ∞
𝜋𝐻,𝑡 = 𝛽𝐸𝑡 (𝜋𝐻,𝑡+1 ) + 𝜅𝑚𝑐 ̂𝑡 (1 − 𝜃)(1 − 𝛽𝜃) 𝜅= 𝜃
𝑃𝑡+𝑘 𝜀 𝐶 𝐼 ) (𝐶𝑡+𝑘 + 𝐺𝑡+𝑘 + 𝐺𝑡+𝑘 )] 𝑃𝑡
𝑃𝑡+𝑘 𝜀−1 𝐶 −𝜎 𝐼 Ψ𝑡2 = ∑ 𝜃 𝑘 𝐸𝑡 [𝛽𝑘 𝐶𝑡+𝑘 ( ) (𝐶𝑡+𝑘 + 𝐺𝑡+𝑘 + 𝐺𝑡+𝑘 )] 𝑃𝑡 𝑘=0
3
4 5 6 7
Marginal cost: 𝑀𝐶𝑡 (𝑖) =
𝑊𝑡 𝑃𝑡 𝐴𝑡 (𝐾𝑡𝐺 )Φ
𝑐𝑡 = 𝑐𝑡∗ +
(1 − 𝛼) 𝑠𝑡 𝜎
Consumption: Inflation:
𝑔 𝑚𝑐 ̂ 𝑡 = 𝜎𝑐̂𝑡 + 𝜑𝑛̂𝑡 − 𝑎̂𝑡 − Φ𝑘̂𝑡
𝑐𝑡 = 𝑐𝑡∗ +
𝜋𝑡 = 𝜋𝐻,𝑡 + 𝛼(𝑠𝑡 − 𝑠𝑡−1 ) Terms of trade: 𝑠𝑡 = 𝑠𝑡−1 + (𝑒𝑡 − 𝑒𝑡−1 ) + 𝜋𝑡∗ + 𝜋𝐻,𝑡 Taylor rule: 𝑖̂𝑡 = 𝜌𝑖 𝑖̂𝑡−1 + (1 − 𝜌𝑖 )(𝜙𝜋 𝜋𝑡 + 𝜙𝜋 𝑦𝑡 ) + 𝜀𝑖 Market Clearing:
8
0
10 11
12 13 14 15
𝑠𝑡 = 𝑠𝑡−1 + (𝑒𝑡 − 𝑒𝑡−1 ) + 𝜋𝑡∗ + 𝜋𝐻,𝑡 𝑖̂𝑡 = 𝜌𝑖 𝑖̂𝑡−1 + (1 − 𝜌𝑖 )(𝜙𝜋 𝜋𝑡 + 𝜙𝜋 𝑦𝑡 ) + 𝜀𝑖 1 ̅̅̅̅ ̂𝐶 + ̅̅̅ ̂𝐼 + 𝐶̅ 𝑐̂ 𝐺𝑡𝐼 𝑔 (𝐺 𝐶 𝑔 𝑡 𝑡 𝑌̅ 𝑡 𝑡
𝑌𝑡 = 𝐺𝑡𝐶 + 𝐺𝑡𝐼 + (𝒮𝑡−𝛼 )−𝜂 [(1 − 𝛼)𝐶𝑡 1
9
𝜋𝑡 = 𝜋𝐻,𝑡 + 𝛼(𝑠𝑡 − 𝑠𝑡−1 )
𝑦̂𝑡 =
𝛾−𝜂
+ 𝛼𝐶𝑡 ∫ (𝒮𝑡𝑖 𝒮𝑖,𝑡 )
(1 − 𝛼) 𝑠𝑡 𝜎
+ 𝐶̅ (𝛼𝛾 + 𝛼𝜂 − 𝜂𝛼 2 − 𝜂−
1
𝒬𝑖,𝑡 𝜎 𝑑𝑖 ]
Capital Law of Motion: 𝐺 𝐾𝑡+1 = (1 − 𝜆)𝐾𝑡𝐺 + 𝐺𝑡𝐼 Employment: 𝑌𝑡 (𝑗) = 𝐴𝑡 (𝐾𝑡𝐺 )Φ 𝑁𝑡 (𝑗) Trade Balance: 1 𝑃𝑡 𝑛𝑥𝑡 = (𝑌𝑡 − 𝐶 − 𝐺𝑡𝐼 − 𝐺𝑡𝐶 ) 𝑃𝐻,𝑡 𝑡 𝑌̅ Inflation: 𝜋𝑡 = 𝑝𝑡 − 𝑝𝑡−1 𝜋𝐻,𝑡 = 𝑝𝐻,𝑡 − 𝑝𝐻,𝑡−1 𝜋𝑡∗ = 0 Technology Shock: 𝑎𝑡 = 𝜌𝑎 𝑎𝑡−1 + 𝜀𝑡𝑎 Government Investment Shock: 𝑔 ̂ 𝐼𝑡 = 𝜌𝐼 𝑔̂ 𝐼𝑡 + 𝜀𝐼𝑡 Government Investment Shock: 𝑔̂𝑡𝐶 = 𝜌𝐶 𝑔̂𝑡𝐶 + 𝜀𝑡𝐶
+
𝛼 𝜎
𝛼2 ) 𝓈̂𝑡 ) 𝜎
𝐺 𝐼 𝑘̂𝑡𝐺 = (1 − 𝜆)𝑘̂𝑡−1 + 𝜆𝑔̂𝑡−1 𝑔 𝑦̂𝑡 = 𝑎̂𝑡 + Φ𝑘̂𝑡 + 𝑛̂𝑡
𝑛𝑥𝑡 = 𝑌̅𝑦̂𝑡 − 𝐶̅ 𝑐̂𝑡 − 𝛼𝐶̅ 𝑠̂𝑡 𝜋𝑡 = 𝑝𝑡 − 𝑝𝑡−1 𝜋𝐻,𝑡 = 𝑝𝐻,𝑡 − 𝑝𝐻,𝑡−1 𝜋𝑡∗ = 0 𝑎𝑡 = 𝜌𝑎 𝑎𝑡−1 + 𝜀𝑡𝑎 𝐼
𝐼
𝑔 ̂ 𝑡 = 𝜌𝐼 𝑔̂ 𝑡 + 𝜀𝐼𝑡 𝑔̂𝑡𝐶 = 𝜌𝐶 𝑔̂𝑡𝐶 + 𝜀𝑡𝐶
24
III.7 Nilai Steady State ̅ = 1/3, yang berarti Dalam penelitian ini, steady state dari waktu kerja diasumsikan 𝑁 bahwa tenaga kerja menggunakan 1/3 dari waktunya untuk bekerja. Nilai itu sesuai dengan hasil penelitian Cooley (1995). Sementara itu, steady state dari kapital publik dinormalisasi ̅. menjadi ̅̅̅̅ 𝐾 𝐺 = 1, sehingga berdasarkan fungsi produksi (3.6), steady state dari output 𝑌̅ = 𝑁 Selanjutnya, berdasarkan persamaan market clearing, steady state dari konsumsi adalah 𝐶̅ = 𝑌̅ − ̅̅̅̅ 𝐺𝑡𝐶 − ̅̅̅ 𝐺𝑡𝐼 . Berdasarkan persamaan depresiasi kapital, nilai steady state investasi pemerintah sama dengan tingkat depresiasi ̅̅̅ 𝐺𝑡𝐼 = 𝜆.
III.8 Parameterisasi Nilai parameter yang digunakan dalam model ditentukan melalui proses kalibrasi dan estimasi. Discount factor 𝛽ditetapkan sebesar 0.99.Karena model diinterpretasikan sebagai model kuartalan, asumsi itu setara dengan suku bunga 4% dalam satu tahun. Elastisitas substitusi antara barang domestik dan luar negeri diasumsikan sebesar 𝜂 = 3.5, sehingga sesuai dengan hasil temuan Obstfeld dan Rogoff (1998). Sementara itu, elastisitas substitusi antara barang di luar negeri diasumsikan
𝛾 = 1 sebagaimana dalam Gali dan Monacelli (2005).
Elastisitas substitusi dari labor supply diasumsikan 𝜑 = 1.97, seperti pada Sin (2016) dan tidak jauh berbeda dengan Ganelli dan Tervala (2015). Wealth effect dari labor suppy diasumsikan sebesar 𝜎 = 2. Nilai parameter Calvo diasumsikan 𝜃 = 0.5, sebagaimana sering digunakan dalam banyak model New Keynessian dan sama dengan hasil estimasi Tjahjono et al (2009) untuk model Bank Indonesia Structural Macromodel (BISMA). Asumsi itu mengakibatkan penundaan penyesuaian harga selama dua periode (enam bulan). Nilai parameter home bias 𝛼 diperoleh dengan pendekatan rasio impor terhadap PDB Indonesia rata-rata tahun 2005-2015, yaitu 𝛼 = 0,2. Interest rate smoothing diasumsikan bernilai 𝜌𝑖 = 0,75, sementara bobot inflasi dan output masing-masing bernilai 𝜙𝜋 = 1,9 dan 𝜙𝑦 = 0,25. Parameter Taylor Rule tersebut merupakan hasil estimasi Harmanta et al (2012). Kebijakan fiskal diasumsikan memiliki persistensi shock investasi dan konsumsi masingmasing sebesar 𝜌𝐼 = 𝜌𝐶 = 0,75, mengikuti hasil temuan Iwata (2013). Sementara itu, pangsa konsumsi pemerintah relatif terhadap konsumsi domestik diasumsikan bernilai 𝜈 = 0,15, sesuai dengan nilai rata-rata untuk Indonesia dalam kurun waktu 2011-2015. Infrastruktur publik diasumsikan mengalami depresiasi sebesar 𝜆 = 0,025 setiap kuartal. Nilai itu sama dengan tingkat depresiasi yang digunakan dalam model Bom dan Ligthart (2014) yang juga memuat stok infrastruktur publik. Elastisitas output terhadap stok infrastruktur publik 𝜙𝑘 merupakan 25
salah satu parameter kunci dari penelitian ini. Dalam studi itu diasumsikan 𝜙𝑘 = 0,24, sejalan dengan hasil penelitian Aschauer (2000) untuk kasus negara berpendapatan rendah dan menengah. Ringkasan parameter-parameter dari model dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5.Nilai Parameter Hasil Kalibrasi Parameter 𝛽 𝜂
Baseline value 0.99 3.5
𝛾 𝜑 𝜎 𝜃 𝛼 𝜌𝑖 𝜙𝜋 𝜙𝑦 𝜌𝐼 𝜌𝑐
𝜈
1 1.97 2 0.5 0.2 0.75 1.9 0.25 0.75 0.75 0.15
𝜆 𝜙𝑘
0.025 0.24
Deskripsi
Discount factor Elastisitas substitusi antara barang domestik dengan luar negeri Elastisitas substitusi antar barang di luar negeri Elastitisitas substitusi dari labor supply
Intertemporal elasticity of substitution of household Parameter Calvo
Home bias konsumsi Interest rate smoothing Koefisien Taylor Rule untuk inflasi Koefisien Taylor Rule untuk output Persistensi shock investasi Persistensi shock konsumsi Rasio konsumsi pemerintah relatif terhadap konsumsi domestik Rate depresiasi infrastruktur publik Elastisitas output terhadap stok infrastruktur publik
Selanjutnya, hasil kalibrasi parameterdi atas digunakan sebagaiprior untuk melakukan estimasi dengan pendekatan Bayesiansebagaimana dijelaskan dalam Quintana (2012).Dalam penelitian ini, parameter yang diestimasiadalah 𝜎, 𝜑, 𝛾, 𝜃dan 𝜂.Secara lengkap, prior
distribution, jenis distribusi, dan posterior distribution dari hasil estimasi parameterdapat dilihat pada Tabel 6 berikut. Tabel 6.Nilai Parameter Hasil Estimasi Distribusi Parameter 𝜃 𝜎 𝜑 𝛾 𝜂
Deskripsi Parameter Calvo
Intertemporal elasticity of substitution of household Elastitisitas substitusi dari labor supply Elastisitas substitusi antar barang di luar negeri Elastisitas substitusi antara barang domestik dengan luar negeri
Prior distribution Mean Std. Dev.
Posterior distribution
beta gamma
0.67 2.0
0.1 0.1
0.51 2.7
gamma
1.97
0.1
2.67
gamma
1
0.2
2.24
gamma
3.5
0.8
1.75
26
IV.
HASILSIMULASI
Pada bagian itu akandiuraikan dinamika dari impulse response yang dihasilkan oleh model. Pembahasan akan difokuskan pada simulasi dari kebijakan fiskal berupa shock konsumsi pemerintah dan shock investasi pemerintah. Sesuai dengan desain model, selain dampak kebijakan fiskal terhadap besaran-besaran makroekonomi, juga diukur dampak terhadap kesejahteraan rumah tangga. Gambar 8 menunjukan hasil simulasi ekspansi fiskal, garis solid menunjukkan dampak dari shock konsumsi pemerintah, sedangkan garis putus-putus menggambarkan dampak dari shock investasi.Secara umum, hasil shock merupakan deviasi terhadap kondisi steady state tiap-tiap variabel, terkecuali trade balance yang merupakan deviasi terhadap steady state output, dan inflasi dalam persen y on y.
IV.1 Konsumsi Pemerintah Dalam jangka pendek, peningkatan konsumsi Pemerintah sebesar 1% berpotensi mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,04% di atas pertumbuhan baseline tanpa kebijakan (Gambar 9). Hal itu terutama didorong oleh peningkatan permintaan agregat,
wealth effect, dan jam kerja. Pemerintah meningkatkan pajak untuk membiayai peningkatan konsumsi, sementara tenaga kerja mengimbanginya dengan meningkatkan jam kerja untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar. Meskipun rumah tangga mengurangi konsumsi, secara agregat dampak peningkatan konsumsi Pemerintah masih positif. Peningkatan konsumsi Pemerintah secara kumulatif mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,03 (Tabel 7). Surplus neraca perdagangan pada awalnya mengalami penurunan, terutama didorong oleh peningkatan impor akibat konsumsi Pemerintah. Namun, penurunan konsumsi rumah tangga akibat peningkatan pajak dan perbaikan terms of trade dalam jangka menengah panjang akan memperbaiki neraca perdagangan. Perilaku hump-shaped
daritrade balance
tersebut sejalan dengan hasil penelitian empiris yang telah dilakukan oleh Iwata (2013).
27
Gambar 8. Dampak Ekspansi Fiskal Pemerintah terhadap kesejahteraan (welfare) dipengaruhi oleh dua proses yang saling berlawanan. Pada satu sisi, peningkatan pajak akan mempengaruhi konsumsi rumah tangga sehingga menurunkan utilitas, begitu juga dengan jam kerja yang harus ditingkatkan untuk mengimbangi beban pengeluaran. Di sisi lain, konsumsi pemerintah merupakan bagian dari utilitas, sehingga secara langsung mempengaruhi peningkatan welfare.
28
Tabel 7. Dampak Terhadap Output dan Welfare Multiplier
Consumption Investment
CM 4 0.03 0.04
CM 8 0.03 0.06
CM 12 0.03 0.07
CM 16 0.03 0.09
CM 20 0.03 0.11
NPV Output Welfare Multiplier Multiplier 0.03 -0.001 0.20 0.045
Hasil simulasi menunjukkan bahwa welfare multiplier dari peningkatan konsumsi Pemerintah bernilai -0,001. Hal itu berarti bahwa rumah tangga harus mengorbankan konsumsi sebesar Rp0,001 untuk setiap pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar Rp1,00 Hasil itu masih sejalan dengan penelitian Ganelli dan Tervala (2015), bahwa peningkatan konsumsi pemerintah akan menurunkan kesejahteraan rumah tangga. Namun, model yang digunakan juga dapat memberikan dampak welfare multiplier yang positif apabila nilai rasio pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap konsumsi rumah tangga (parameter 𝜈) ≥ 0,2. Hal itu berarti bahwa rasio konsumsi pemerintah minimal adalah 20% dari konsumsi rumah tangga untuk dapat menetralisir dampak negatif dari kenaikan konsumsi Pemerintah.
IV.2 Investasi Pemerintah Hasil simulasi menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, peningkatan investasi pemerintah sebesar 1% berpotensi mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.05% di atas pertumbuhan ekonomi baseline. Hasil itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan dampak dari peningkatan konsumsi pemerintah, bahkan dalam jangka menengah-panjang dampak dari peningkatan investasi pemerintah menjadi semakin besar, yang ditunjukkan oleh kumulatif output multiplier sebesar 0,20 (Tabel 7). Dampak peningkatan output tersebut berasal dari dua sumber, yaitu peningkatan permintaan temporer (temporary demand) dan efek sisi supply. Permintaan temporer mengalami kenaikan akibat dampak langsung dari investasi. Sementara itu, efek sisi supply bersumber dari ketersediaan kapital (infrastruktur) publik yang terus mendukung kapasitas industri untuk berproduksi, meskipun secara perlahan kapital tersebut mengalami depresiasi hingga ke level steady state (baseline). Dampak output multiplier yang diperoleh dalam penelitian itu masih relatif jika kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Ganelli dan Tervala (2015). Namun masih lebih tinggi daripada hasil penelitian Jha et al (2010) dengan multiplier sebesar 0,19 dan Tang et al (2013) dengan multiplier -0,34. Berdasarkan hasil simulasi, output multiplier terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, disebabkan oleh investasi yang terus menurun dengan cukup cepat, sehingga tidak membebani rumah tangga, tetapi infrastruktur publik masih tersedia untuk mendukung kapasitas industri. Hasil tersebut konsisten dengan hasil penelitian Bom dan Lighhart (2013), yang menyatakan bahwa kapital publik lebih produktif dalam jangka panjang 29
daripada dalam jangka pendek. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa output kembali pada
level baseline setelah sepuluh tahun, sejalan dengan hasil penelitian Leduc dan Wilson (2013). Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9, konsumsi mengalami penurunan dalam jangka pendek. Hal itu didorong oleh peningkatan pajak untuk membiayai pengeluaran investasi pemerintah. Peningkatan investasi juga mendorong kenaikan terms of trade, sehingga menambah daya beli dan meningkatkan konsumsi, tetapi secara agregat masih negatif akibat dominasi efek kenaikan pajak. Hal yang sama juga dapat dilihat pada neraca perdagangan. Meskipun konsumsi mengalami penurunan, investasi yang cukup besar menyebabkan neraca perdagangan menjadi defisit. Namun, dalam jangka panjang konsumsi dan neraca perdagangan akan terus membaik akibat industri yang semakin produktif. Hasil itu sejalan dengan Iwata (2013), yaitu shock investasi pemerintah akan memperburuk neraca perdagangan dalam jangka pendek dan kemudian membaik dalam jangka menengah-panjang. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dampak investasi Pemerintah terhadap welfare adalah sebesar 0.05. Hal itu menggambarkan bahwa rumah tangga mendapatkan net-benefit tambahan konsumsi Rp0,05 untuk setiap investasi pemerintah sebesar Rp1,00. Net benefit yang diperoleh tersebut adalah kenaikan konsumsi akibat peningkatan produktivitas tanpa harus menambah jam kerja, sehingga kesejahteraan rumah tangga mengalami peningkatan. Gambar 10 menunjukkan bahwa dampak peningkatan investasi pemerintah terhadap kondisi makroekonomi masih tetap konsisten seiring dengan peningkatan besaran investasi. Makin tinggi nilai investasi, makin besar pula dampak terhadap kenaikan output baik dalam jangka pendek maupun menengah-panjang. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa untuk mencapai peningkatan output sebesar 0,5%, dibutuhkan kenaikan investasi lebih besar dari 10%. Dampak terhadap kondisi makro lainnya seperti konsumsi, neraca perdagangan, inflasi, dan welfare juga menunjukkan hasil yang sama.
30
Gambar 9. Dampak Shock Investasi Pemerintah Bom dan Ligthart (2014) menunjukkan bahwa dampak terhadap kesejahteraan cukup sensitif atas perubahan elastisitas output dari kapital publik. Untuk itu, guna mempelajari hal tersebut, studi itu juga melakukan analisis yang sama seperti pada Tabel 8. Hasil simulasi menunjukkan bahwa apabila infrastruktur publik yang dibangun semakin produktif, potensi kenaikan pertumbuhan ekonomi dan dampak terhadap kesejahteraan juga semakin besar.Hal itu menggambarkan bahwa prioritas pembangunan infrastruktur perlu memperhatikan aspek perbaikan produktivitas sehingga dapat memberikan dampak yang optimal terhadap perekonomian. Tabel 8.Produktivitas Infrastruktur Publik dan Dampak Multiplier CM
CM
16
20
𝜙𝑘 = 0.08
0.05
𝜙𝑘 = 0.15
Ouput elasticity of public capital
NPV Output
Multiplier
Welfare Multiplier
0.05
0.08
0.00
0.07
0.08
0.13
0.02
𝜙𝑘 = 0.20
0.09
0.11
0.20
0.04
𝜙𝑘 = 0.35
0.12
0.15
0.28
0.07
31
V.
SIMPULAN
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi perekonomian Indonesia adalah keterbatasan infrastruktur, baik dari sisi ketersediaan maupun kualitas. Hal itu telah menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi dan membuat daya saing ekonomi Indonesia yang relatif rendah.Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintah sekarang itu berupaya memacu pembangunan infrastruktur sebagai salah satu bagian dari reformasi struktural perekonomian Indonesia. Seberapa besar dampak investasi pemerintah dalam infrastruktur agar perekonomian dan kesejahteraan masyarakat diperlukan analisis kuantitatif untuk dapat memberikan gambaran yang lebih akurat dari dampak investasi pemertintah tersebut. Dalam penelitian itu telah dibangunmodel DSGE untuk mengestimasi dampak pengeluaran investasi dan konsumsi pemerintah terhadap output dan welfare di Indonesia. Secara garis besar, model yang dibangun terdiri atas rumah tangga, perusahaan, Pemerintah dan bank sentral.Rumah tangga memaksimalkan utilitasnya yang dibentuk oleh konsumsi rumah tangga sendiri, leisure, dan konsumsi pemerintah.Perusahaan memaksimalkan profit, yang output-nya merupakan fungsi dari teknologi, tenaga kerja dan kapital pemerintah. Sementara itu, pemerintah diasumsikan membiayai pengeluaran konsumsi dan investasi sepenuhnya dari penerimaan pajak. Model dikalibrasi dengan menggunakan parameter yang sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia. Hasil impulse response functions menunjukkan bahwa dalam jangka pendek peningkatan konsumsi pemerintah sebesar 1% berpotensi mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,04% di atas pertumbuhan ekonomi baseline. Hal itu terutama didorong oleh peningkatan permintaan agregat, wealth effect, dan jam kerja. Secara kumulatif,
output multiplier dari peningkatan konsumsi pemerintah mencapai 0,03. Di sisi lain, peningkatan konsumsi pemerintah mengakibatkan penurunan welfaredengan welfare multiplier sebesar -0,001. Dalam jangka pendek, kenaikan investasi Pemerintah sebesar 1% mengakibatkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,05% di atas pertumbuhan ekonomi baseline. Dalam jangka menengah-panjang dampak tersebut semakin besar, dan output multiplier dari pengeluaran investasi pemerintah mencapai 0,20. Peningkatan output tersebut berasal dari peningkatan permintaan temporer (temporary demand) dan efek sisi supply. Permintaan temporer mengalami kenaikan akibat dampak langsung dari investasi, sedangkan efek sisi
supply bersumber dari ketersediaan kapital (infrastruktur) publik yang terus mendukung kapasitas industri untuk berproduksi. Kenaikan investasi pemerintah juga mengakibatkan kenaikan welfare dengan welfare multiplier sebesar 0,05. Kenaikan tersebut berasal dari
32
kenaikan konsumsi akibat peningkatan produktivitas tanpa harus menambah jam kerja, sehingga kesejahteraan rumah tangga mengalami peningkatan. Dari hasil simulasi terhadap model DSGE yang dibangun terlihat bahwa kebijakan pemerintah untuk mendorong perekonomian jauh lebih efektif melalui pengeluaran investasi daripada pengeluaran konsumsi. Berdasarkan angka-angka hasil simulasi yang diperoleh, reformasi struktural yang dilakukan pemerintah akhir-akhir itu yang salah satunya melalui peningkatan pengeluaran investasi dan mengurangi pengeluran konsumsi, termasuk subsidi, diharapkan akan memberikan dampak positif yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sejauh ini, model yang telah dibangun didasarkan pada asumsi bahwa pengeluaran pemerintah sepenuhnya dibiayai dari pajak. Dalam praktiknya, pemerintah bisa saja membiayai pengeluaran pemerintah melalui pinjaman.Bagaimana implikasi dari pengeluaran pemerintah yang dibiayai dari pinjaman tidak ditangkap dalam studi ini, dan dapat menjadi salah satu topik untuk penelitian berikutnya.
33
DAFTAR PUSTAKA Anugrah D.F., R.N.Rakhman, R.Anglingkusumo, L.Fawaqa, J.Oseva Laporan Hasil Penelitian BI-DKEM. Aschauer, D. Aschauer
Economic Development and Cultural Change Vol. 48(2): 391-
406. Bom, P.R.D.,
Journal of Economic Dynamics & ControlVol. 40: 334
354.
Journal of Monetary
Calvo, G.
EconomicsVol. 12: 383 398.
Cooley, editor. 1995. Frontiers of Business Cycle Research
Princeton University Press.
Gali, Jordi and T. Monacelli. 2005. "Monetary Policy and Exchange Rate Volatility In A Small Open Economy". Review of Economic StudiesVol. 72(252): 707-734. Ganelli, Giovanni and J.
IMF Working Paper No.16/40.
BI Working Paper. Pemodelan Financial Frictions pada Model DSGE-
BI Working Paper.
BI Working Paper. IMF. 2014. World Economic Outlook: Legacies, Clouds and Uncertainties. IMF, Washington, DC. Iwata, Y., 2013. Two fiscal policy puzzles revisited: New evidence and an explanation . Journal of International Money and Finance 33: 188-207. Jha, S., S. Mallick, D. Park, andP. Quising. 2010. Effectiveness of countercyclical fiscal policy: Time-series evidence from developing Asia . ADB Economics Working Paper Series, 211.
The Economic Journal Vol.41(162): 173-198. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
10, Macmillan & Co. LTD: London.
Book III Chapter
NBER Macroeconomics
Evide
Annual 27: 89-142.
Obstfeld M., Rogoff K. 1998. Risk and exchange rates .NBER Working Paper No. 6694. Structural Reform and Greece: Lessons from Other Lands Diunduh dari website Dani Rodrik John F. Kennedy School of Government Harvard University tanggal 27 Maret 2017 Pukul 14.00 WIB, link: http://drodrik.scholar.harvard.edu/links/structural-
Rodrik, Dani. 2015
reform-greece-lessons-other-lands. Sin, Jasmin. 2016
tiplier in a Small Open Economy:The Role of Liquidity
IMF Working Paper.
Indonesia, No.10.
ADB Papers on 34
Journal of Asian Economics 24: 103-116.
Policy on Selected ASEAN
BI Working Paper. Tjahjono, E.D., danJ.
BI Working Paper.
Quintana P.G., James M.N Paper No 12-4.
Accelerator pada Model
FRB of Philadelphia Working
World Economic Forum. 2016. Global Competitiveness Index 2016-2017: Geneva.
35