PENGEMBANGAN KEBIJAKAN ALTERNATIF ALOKASI BELANJA DAERAH MENURUT PENDEKATAN TEMATIK DI KABUPATEN BOGOR
OLEH : M. ZAIRIN
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir yang berjudul “Pengembangan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah menurut Pendekatan Tematik di Kabupaten Bogor” adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari Tugas Akhir ini.
Bogor, Maret 20011
M. Zairin NRP A153054135
AABSTRACT
M. ZAIRIN. Alternative Policy Development of Spending Allocation by Thematic Approach in Bogor Regency. Under Direction of Dedi Budiman Hakim and Lala M. Kolopaking. The results of analysis with the gap method (gap analysis) shows that there is no consistency between the policy of regional spending allocations agreed in the document KUA and PPAS with the realization of regional spending allocations which have been specified in the budget document (APBD). It was shown from the gap that tends to increase for the allocation of Indirect Cost (BTL) and the gap is likely to be reduced to Direct Cost (BL). Results of mapping analysis of regional spending allocations policy by using the method of Klassen typology revealed that the policy of regional spending allocations applied by the government and the DPRD Bogor Regency, on the one hand to apply the principle of "safety first", in the sense of fulfillment of the rights of employees in the form of personnel spending are still fulfilled first, for the smooth implementation of the Bogor regency administration, but on the other hand also implement regional spending allocation policies to improve public services by prioritizing the development of infrastructure/physical region during the period 2003-2008. In addition, the study results with analytical hierarchy process method (Analytical Hierarchy Process - AHP) explains that the aspects/criteria of the most dominant in the allocation policy spending in Bogor Regency is an indication of the activities and program development and performance targets set in RPJMD. While the approach chosen by the determinant of development policy to implement the aspects/criteria have been determined, the comprised of thematic approaches, thematic and regional approaches and regional approaches. Further analysis with a thematic approach to indicate that an alternative policy development of spending allocation is based on Bogor regency government mission statement, then formulated the central idea of the mission, which raises the themes (thematic) and will be set as a regional development priority area during the period of the RPJMD. With reference to the themes (thematic), be formulated policy focus, strategic objectives, performance targets and thematic activities that must get certainty in the formulation of KUA and PPAS in each fiscal year. Thus, consistency between regional spending allocation policies in the document KUA and PPAS with their realization in the budget document (APBD) will be realized in the future.
Keywords : Alternative Policies Developmen of Spending Allocation, Thematic Approach
RINGKASAN
M. ZAIRIN. Pengembangan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah menurut Pendekatan Tematik di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan LALA M. KOLOPAKING Hasil analisis dengan metode kesenjangan (gap analysis) menunjukkan bahwa tidak ada konsistensi antara kebijakan alokasi belanja daerah yang telah disepakati dalam dokumen KUA dan PPAS dengan realisasi alokasi belanja daerah yang telah ditetapkan dalam dokumen APBD. Hal itu ditunjukan dari adanya kesenjangan yang cenderung bertambah untuk alokasi belanja daerah pada kelompok Belanja Tidak Langsung (BTL) dan kesenjangan yang cenderung berkurang untuk Belanja Langsung (BL). Selain itu, kesenjangan yang cenderung bertambah juga terjadi pada urusan pemerintahan/SKPD, yaitu Dinas Bina Marga dan Pengairan, Sekretariat DPRD dan Kecamatan, sedangkan SKPD
lainnya
kesenjangannya
cenderung
berkurang.
Kondisi
ini
mengungkapkan bahwa kebijakan alokasi belanja daerah yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan DPRD Kabupaten Bogor adalah cenderung untuk mendahulukan pemenuhan alokasi belanja daerah untuk BTL Nonpegawai yang menjadi urusan sisa (residu) daripada alokasi belanja daerah untuk komponen BL yang menjadi urusan wajib dan urusan pilihan serta menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Bogor. Hasil analisis pemetaan kebijakan alokasi belanja daerah dengan menggunakan metode Tipologi Klassen mengungkapkan bahwa kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan DPRD Kabupaten Bogor, yaitu : (1) belanja pegawai pada BTL dan belanja modal pada BL termasuk dalam klasifikasi sangat prioritas, artinya rata-rata pertumbuhan dan rata-rata kontribusi dari belanja pegawai, lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan dan rata-rata kontribusi dari total belanja daerah, sedangkan komponen belanja lainnya termasuk dalam klasifikasi cukup prioritas, kurang prioritas dan tidak prioritas; (2) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang termasuk dalam
klasifikasi sangat prioritas dalam alokasi belanja daerah hanya 1 SKPD, yaitu Dinas Bina Marga dan Pengairan, sisanya terdapat 9 SKPD yang termasuk dalam klasifikasi cukup prioritas, 2 SKPD termasuk dalam klasifikasi kurang prioritas dan 16 SKPD yang termasuk dalam klasifikasi tidak prioritas. Sementara itu, berdasarkan pengelompokan urusan pemerintahan/prioritas pembangunan daerah, maka klasifikasi urusan pemerintahan yang sangat prioritas adalah infrastruktur, cukup prioritas adalah kesehatan serta kurang prioritas adalah pendidikan dan tata kelola pemerintahan, kemudian yang tidak prioritas adalah perekonomian dan sosial kemasyarakatan.
Kondisi ini
mengungkapkan bahwa kebijakan alokasi belanja daerah yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan DPRD Kabupaten Bogor, pada satu sisi menerapkan prinsip “safety first”, dalam arti pemenuhan terlebih dahulu hakhak pegawai berupa belanja pegawai demi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Bogor, tetapi pada sisi lain menerapkan juga kebijakan alokasi belanja daerah untuk meningkatkan pelayanan publik dengan memprioritaskan pada pembangunan infrastruktur/fisik wilayah selama periode 2003-2008. Selain itu, hasil kajian dengan metode analisis hirarki proses (Analytical Hierarchy Process - AHP) menjelaskan bahwa penentu kebijakan alokasi belanja daerah di Kabupaten Bogor yang lebih dominan adalah Pemerintah Kabupaten Bogor/TAPD daripada DPRD/Banang DPRD. Sementara itu, aspek/kriteria yang paling dominan dalam penenetuan kebijakan alokasi belanja daerah di Kabupaten Bogor yaitu indikasi kegiatan dan program pembangunan serta target kinerja yang telah ditetapkan dalam RPJMD, dengan pendekatan yang dipilih terdiri dari pendekatan tematik, gabungan pendekatan tematik dan kewilayahan serta pendekatan kewilayahan.
Analisis lanjutan dengan pendekatan tematik
menunjukan bahwa pengembangan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah bertitik-tolak dari pernyataan misi Pemerintah Kabupaten Bogor, kemudian dirumuskan ide sentral dari misi tersebut, sehingga memunculkan tema-tema (tematik) yang akan ditetapkan sebagai prioritas pembangunan daerah selama periode berlakunya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dengan mengacu pada prioritas pembangunan daerah tersebut, selanjutnya
dirumuskan fokus kebijakan, sasaran strategis, target kinerja dan kegiatan tematik yang harus mendapatkan kepastian alokasi belanja daerah dalam perumusan Kebijakan Umum APBD (KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) pada setiap tahun anggaran.
Dengan demikian, konsistensi
antara
kebijakan alokasi belanja daerah dalam dokumen KUA dan PPAS dengan realisasinya dalam dokumen APBD akan dapat diwujudkan pada masa yang akan datang.
Kata Kunci : Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah, Pendekatan Tematik
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, dan tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar dari IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGEMBANGAN KEBIJAKAN ALTERNATIF ALOKASI BELANJA DAERAH MENURUT PENDEKATAN TEMATIK DI KABUPATEN BOGOR
M. ZAIRIN
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Magister Manajeman Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Dr. M.Firdaus, MS
Judul Tugas Akhir
: Pengembangan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah menurut Pendekatan Tematik di Kabupaten Bogor
Nama
: M. Zairin
NRP
: A153054135
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 5 Februari 2011
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Judul yang dipilih dalam karya ilmiah ini adalah “Pengembangan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah Menurut Pendekatan Tematik di Kabupaten Bogor”. Melalui prakata ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc dan Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, selaku dosen pembimbing serta segenap staf pengajar dan karyawan di Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah (MPD) yang dipimpin oleh Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan MPD Bogor angkatan ke-2 (2006/2007) atas kekompakkan dan kebersamaannya selama ini. Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua, Ayahanda Drs. H. Syamsuddin Nur dan Ibunda Dra. Hj. Siti Habibah serta Kakak Azrin dan adik-adik, atas dukungan moral dan do’a yang telah diberikan selama ini. Hal yang sama juga penulis sampaikan untuk istri tercinta Dra. Dewi Lestari dan anak-anak, Syafrina Tijjani, Husna Ghaisani dan Nurhasna Ghaisani atas do’a dan dorongan semangat serta pengertiannya yang tulus dan ikhlas untuk menunda kebersamaan di hari-hari libur keluarga demi penyelesaian studi di MPD IPB. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya, Amin Ya Rabbal Alamin.
Bogor,
Maret 2011
M. Z airin
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tente-Bima (NTB) pada tanggal 15 Juli 1964 dari ayah Drs. H. Syamsuddin Nur dan Ibu Dra. Hj. Siti Habibah. Penulis adalah anak kedua dari enam bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dari SD hingga SMP di Tente dan menyelesaikan jenjang pendidikan menengah atas di SMA Negeri Bima pada tahun 1983. Pada tahun ajaran 1983/1984, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan PMDK dan lulus sebagai Sarjana Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian IPB, dengan bidang keahlian ekonomi sumberdaya pada tahun 1989. Penulis pernah bekerja sebagai tenaga professional dalam bidang AgroEconomist pada konsultan PT. INDEC and Association di Jakarta hingga tahun 1991. Kemudian pada tahun 1992, penulis pindah kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bogor, tepatnya di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor hingga saat ini. Sejak tahun 2009, penulis diangkat oleh Bupati Bogor sebagai Kepala Bappeda Kabupaten Bogor. Pada tahun 2006/2007 penulis melanjutkan studi ke jenjang S2 dengan mengambil Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah (MPD) di Institut Pertanian Bogor (IPB).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
v vii viii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................
1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................................
5
1.3. Tujuan dan Kegunaan .............................................................................
9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
11
2.1. Kebijakan Publik ...................................................................................
11
2.2. Reformasi Keuangan Daerah ..................................................................
13
2.3. Kebijakan Alokasi Belanja Daerah..........................................................
22
BAB III. METODOLOGI KAJIAN .................................................................
29
3.1. Kerangka Pemikiran ...............................................................................
29
3.2. Metode Penelitian ...................................................................................
37
BAB IV. GAMBARAN UMUM LOKASI ......................................................
48
4.1. Kondisi Fisik Wilayah dan Administrasi Pemerintahan ...........................
48
4.2. Kondisi Demografi dan Sosial Budaya ....................................................
49
4.3. Kondisi Perekonomian ............................................................................
52
4.4. Kondisi Taraf Kesejahteraan Rakyat .......................................................
55
4.5. Kondisi Sarana dan Prasarana .................................................................
56
4.6. Kondisi Pemerintahan Kabupaten Bogor.................................................
58
BAB V. KAJIAN KEBIJAKAN ALTERNATIF ALOKASI BELANJA DAERAH ........................................................................................
62
5.1. Perkembangan APBD Kabupaten Bogor selama Periode 2003-2008 ......
62
5.2. Analisis Konsistensi antara Perencanaan dan Penganggaran....................
72
5.3. Analisis Pemetaan Alokasi Belanja Daerah .............................................
82
5.4. Penentuan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah .........................
106
5.5. Implikasi terhadap Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah menurut Pendekatan Tematik................................................................................
117
BAB VI. PENUTUP ........................................................................................
122
6.1. Kesimpulan.............................................................................................
122
6.2. Saran ......................................................................................................
123
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
124
LAMPIRAN ....................................................................................................
127
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9
:
: : : : : : : :
Tabel 10 : Tabel 11 : Tabel 12 : Tabel 13 : Tabel 14 : Tabel 15 : Tabel 16 : Tabel 17 : Tabel 18 : Tabel 19 :
Tabel 20 :
Perkembangan Peraturan Perundang-undangan yang berkenaan dengan Pengelolaan Keuangan Daerah sejak Orde Baru hingga hingga Orde Reformasi ............................................................. Metode Pengumpulan dan Analisis Data ................................... Klasifikasi Belanja Daerah menurut Tipologi Klassen............... Penilaian Kriteria berdasarkan Skala Perbandingan Saaty ......... Format Perumusan Rancangan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah menurut Pendekatan Tematik ........................... Contoh Penentuan Plafon Anggaran Sementara untuk Kegiatan Tematik ................................................................................... Data Indikator Demografi Kabupaten Bogor Tahun 2005-2008 Data Indikator Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2005-2008 ... Data Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Bogor Tahun 2005-2008 ................................................................................ Jumlah dan Jenis SKPD di Kabupaten Bogor periode tahun 2007-2008 ................................................................................ Perbandingan Struktur APBD menurut Kepmendagri dan Permendagri ............................................................................. Struktur APBD Kabupaten Bogor berdasarkan Rencana APBD 2003-2008 ................................................................................ Rencana Volume APBD Kabupaten Bogor periode tahun 20032008 ......................................................................................... Kenaikan Target Pendapatan Daerah selama Periode 2003-2008 Over Target Pendapatan Daerah selama Periode 2003-2008 ...... Rasio Kecukupan Penerimaan (Revenue Adequacy Ratio) PAD terhadap Total Pendapatan Daerah selama Periode 2003-2008 .. Kenaikan Rencana Belanja Daerah selama Periode 2003-2008 . Realisasi Belanja Daerah dan Sisa Lebih Anggaran selama Periode 2003-2008 .................................................................... Rata-rata Kesenjangan (gap) antara Rencana Alokasi Belanja Daerah (BTL dan BL) dalam dokumen KUA dan PPAS Perubahan dengan Realisasi Belanja Daerah (BTL dan BL) dalam dokumen APBD Perubahan tahun anggaran 2007-2008 ............ Kesenjangan (gap) antara Alokasi Belanja Langsung dalam KUA dan PPAS dengan Realisasi Belanja Langsung dalam APBD menurut Urusan Pemerintahan/SKPD tahun anggaran 2007 dan 2008 ..........................................................................
22 39 42 43 46 47 52 54 56 60 63 65 67 67 69 70 70 72
73
79
Tabel 21 :
Tabel 22 :
Tabel 23 :
Tabel 24 : Tabel 25 : Tabel 26 : Tabel 27 : Tabel 28 : Tabel 29 : Tabel 30 : Tabel 31 : Tabel 32 : Tabel 33 : Tabel 34 :
Rencana Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL) dalam APBD Kabupaten Bogor selama Periode 2003 2008 ......................................................................................... Kenaikan Rencana Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL) dalam APBD Kabupaten Bogor selama Periode 2003-2008 ................................................................................ Hasil Analisis dengan Tipologi Klassen untuk Belanja Daerah menurut Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL) .......................................................................................... Klasifikasi Belanja Daerah menurut urusan Pemerintahan/SKPD Jumlah Program dan Kegiatan pada Urusan Pekerjaan Umum/ Dinas Bina Marga dan Pengairan tahun 2007-2008 ................... Rekapitulasi Rumusan Prioritas Pembangunan Daerah periode 2003-2008 ................................................................................ Klasifikasi Belanja Daerah berdasarkan Prioritas Pembangunan Posisi Prioritas Pembangunan Daerah dalam Matriks Tipologi Klassen ..................................................................................... Pelaku Penentu Kebijakan Alokasi Belanja Daerah di Kabupaten Bogor ................................................................................. Aspek yang berpengaruh dalam Penentuan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah di Kabupaten Bogor ............................ Urutan Pilihan Kebijakan Alternatif oleh Pemda/TAPD dan DPRD/Banang DPRD dengan Aspek Penentuan Kebijakan ...... Urutan Pilihan Kebijakan Alternatif oleh Pemda/TAPD dan DPRD/Banang DPRD ............................................................... Contoh Format Implementasi dari Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja daerah ......................................................................... Contoh Penenetuan Plafon Anggaran Sementara untuk Kegiatan Tematik ................................................................................
83
85
85 93 96 103 104 105 108 110 116 116 118 121
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 1 : Gambar 2 :
Gambar 3 :
Gambar 4 :
Gambar 5 :
Kedudukan dan Keterkaitan dokumen KUA dan PPAS dalam Alur Perencanaan dan Penganggaran di Pusat dan Daerah......... 31 Keterkaitan antara Kebijakan Alokasi Belanja Daerah menurut Pendekatan Tematik terhadap Jenis-Jenis Layanan dan Kinerja Pelayanan ................................................................................. 34 Keterkiatan antara Pengembangan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah menurut Pendekatan Tematik dengan FaktorFaktor yang Mempengaruhinya ................................................. 36 Keterkaitan antara Metode Analisis dengan Rancangan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah menurut Pendekatan Tematik .................................................................................... 44 Aspek/Kriteria yang Mempengaruhi Pengembangan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah di Kabupaten Bogor ............ 107
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 1 : Rata-rata Nominal (Kontribusi) Anggaran Belanja Daerah berdasarkan urusan Pemerintahan/SKPD selama Periode 20032008 ......................................................................................... Lampiran 2 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Belanja Daerah berdasarkan Urusan Pemerintahan/SKPD selama periode 2003-2008 ................. Lampiran 3 : Rata-rata Nominal dan Rata-rata Laju Pertumbuhan Belanja Daerah berdasarkan Kelompok Belanja Tidak Langsung untuk setiap Urusan Pemerintahan/SKPD selama Periode 2003-2008 . Lampiran 4 : Rata-rata Nominal dan Rata-rata Laju Pertumbuhan Belanja Daerah berdasarkan Kelompok Belanja Langsung untuk setiap Urusan Pemerintahan/Prioritas Pembangunan ........................... Lampiran 5 : Kuesioner AHP (Analytical Hierarchy Process) ........................ Lampiran 6 : Hasil Analisis AHP untuk Pelaku Kebijakan ............................. Lampiran 7 : Hasil Analisis AHP untuk Aspek/Kriteria Kebijakan ................ Lampiran 8 : Hasil Analisis AHP untuk Pilihan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah Berdasarkan Pendekatan Tematik, Tematik dan
127 134
142
144 145 165 172
............................................................................................................... Ke wilayahan serta Pendekatan Kewilayahan ...............................................
2
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Sejak tahun 2001, pemerintah daerah telah melaksanakan secara serentak
otonomi daerah dengan berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 22 & 25 tahun 1999, kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undangundang tersebut telah menetapkan pelimpahan kewenangan otonomi daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Sebagai konsekuensinya bahwa pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan dua perubahan mendasar, yaitu pemberian kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah dan pelimpahan sumber-sumber keuangan daerah melalui dana perimbangan dan perluasan basis pajak dan retribusi daerah. Penyerahan atau pelimpahan kewenangan pemerintahan akan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan yang telah diterima oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini berlaku prinsip money follow function, yaitu anggaran mengikuti
fungsi/kewenangan
yang
diberikan,
artinya
semakin
banyak
kewenangan yang telah dilimpahkan, maka kecenderungannya akan semakin besar pula anggaran yang dibutuhkan oleh daerah untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Jika kewenangan sudah diberikan secara penuh kepada pemerintah daerah, maka pemerintah daerah seharusnya mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan. Sementara itu, pelimpahan sumber-sumber keuangan daerah melalui dana perimbangan akan berpengaruh secara langsung terhadap kemampuan penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada masing-masing daerah. Dengan semakin besarnya sumber-sumber penerimaan daerah, maka volume keuangan yang akan dikelola oleh pemerintah daerah dalam APBD semakin besar, sehingga semakin besar pula peluang bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan seluruh kewenangan yang telah diterimanya. Selama periode
2003-2008, Pemerintah Kabupaten Bogor telah menerima dana perimbangan dengan jumlah nominal yang semakin besar pada setiap tahun anggaran, yaitu semula berjumlah Rp. 654,302 miliar pada tahun 2003, kemudian meningkat menjadi
Rp. 1,269 triliun pada tahun 2008, berarti selama periode 2003-
2008, rata-rata kenaikannya mencapai 18,79 %.
Bilamana jumlah dana
perimbangan ini dihitung kontribusinya terhadap total penerimaan dalam APBD Kabupaten Bogor, maka rata-rata proporsinya telah mencapai 74,34 % dari total penerimaan APBD Kabupaten Bogor selama periode 2003-2008, sedangkan kontribusi lainnya berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 17,13 % dan lain-lain pendapatan yang sah sebesar 8,53 % (Bappeda Kabupaten Bogor, 2010).
Kondisi ini mengungkapkan bahwa Pemerintah Kabupaten Bogor,
sesungguhnya sangat tinggi ketergantungannya pada anggaran yang berasal dari pemerintah pusat terlihat dari
rasio kecukupan penerimaan PAD (Revenue
Adequacy Ratio) yang belum mencapai proporsi
20 %, sebagaimana standar
yang berlaku di era otonomi daerah saat ini. Fenomena umum yang terjadi pada setiap daerah bahwa adanya desentralisasi fiskal melalui dana perimbangan menyebabkan perubahan terhadap pola alokasi anggaran atau pola pembiayaan pembangunan yang terkait dengan kepentingan publik. Selama ini, kecenderungan yang terjadi yaitu setiap daerah selalu mendahulukan pemenuhan alokasi anggaran untuk belanja aparatur dibandingkan dengan belanja publik, dengan argumentasi bahwa biaya tetap (fixed cost), berupa gaji dan tunjangan pegawai serta biaya operasional instansi pemerintah merupakan satu kewajiban yang harus didahulukan, agar proses pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan sebagaimana mestinya. Sementara itu, sejumlah urusan pemerintahan yang wajib dilaksanakan, seperti bidang pendidikan, kesehatan dan
transportasi/infrastruktur wilayah dan bidang
pelayanan kebutuhan dasar lainnya belum mampu memenuhi rasio alokasi belanja daerah yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau pun belum memenuhi standar pelayanan minimal, sehingga kinerja pelayanan publik cenderung tidak tercapai pada setiap tahun anggaran. Sebagai gambaran, bahwa proporsi dari alokasi belanja publik rata-rata sekitar 32,1 %, lebih kecil dibandingkan dengan
alokasi dari belanja aparatur yang rata-rata mencapai 67,9 % pada periode 20012006 (Bappeda Kabupaten Bogor, 2008). Bilamana alokasi belanja publik di Kabupaten Bogor dihitung rasio-nya terhadap total penerimaan APBD, Dana Perimbangan (DP) maupun terhadap total Pendapatan
Asli
Daerah
(PAD)
selama
periode
2001-2006
maka
kecenderungannya adalah terus menurun pada setiap tahun anggaran, yakni : (1) rasio belanja publik terhadap total APBD, yaitu menurun dari 3,98 % pada tahun 2001,
kemudian menjadi 2,02 % pada tahun 2006; (2) rasio belanja publik
terhadap Dana Perimbangan juga menurun dari 3,29 % pada tahun 2001, kemudian menjadi 1,63 % pada tahun 2006; (3) rasio belanja publik terhadap PAD yaitu menurun dari 0,57 % pada tahun 2001, kemudian menjadi 0,34 % pada tahun 2006. Data ini menunjukkan bahwa rasio dari belanja publik terhadap pendapatan dalam APBD belum mencapai alokasi minimal sebagaimana patokan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kondisi dimaksud mengungkapkan pula bahwa kebijakan alokasi belanja publik dalam APBD Kabupaten Bogor selama periode 2001-2006 belum mengaitkan antara tambahan kenaikan penerimaan daerah dengan tambahan alokasi belanja publik yang proporsional pada setiap tahun anggaran. Kebijakan alokasi belanja daerah yang telah ditempuh, justru mengarah pada kondisi yang kontra produktif atau tidak berimbang, yaitu adanya tambahan kenaikan penerimaan daerah tidak dijadikan sebagai dasar perhitungan untuk penentuan kebijakan bagi penambahan alokasi belanja publik yang seimbang dalam APBD Kabupaten Bogor selama periode 2001-2006. Kondisi alokasi belanja publik yang relatif rendah di atas, baik ditinjau dari proporsinya terhadap total belanja daerah maupun rasio-nya terhadap total penerimaan daerah dalam APBD berimplikasi pada pencapain tingkat kinerja pelayanan publik di Kabupaten Bogor. Sebagai gambaran bahwa salah satu indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur kinerja pelayanan publik atau pun taraf kesejahteraan rakyat adalah dengan ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM - Human Development Index). Pada periode 2001-2006, tingkat pencapaian IPM Kabupaten Bogor, yaitu semula sebesar 66,70 poin pada tahun 2001, kemudian meningkat menjadi 69,45 poin pada tahun 2006, berarti terdapat
kenaikan sebesar 0,55 poin selama periode 2001-2006 dan tingkat pencapaian IPM dimaksud menurut klasifikasi yang berlaku termasuk dalam kategori lamban (BPS Kabupaten Bogor, 2008). Oleh karena itu, kondisi ini dianggap tidak sebanding dengan kenaikan rencana belanja daerah dalam APBD yang mencapai rata-rata 21,14 % selama periode 2001-2006 (Bappeda Kabupaten Bogor, 2008). Konsekwensi dan keterkaitan antara alokasi belanja daerah dengan kinerja pelayanan publik didasarkan pada anggapan bahwa alokasi belanja publik dalam APBD Kabupaten Bogor merupakan salah satu masukan (input) yang sangat menentukan bagi penciptaan keluaran (output) dari setiap kegiatan dan program pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. Sementara itu, hasil (outcome) dari kegiatan dan program pembangunan yang termasuk dalam kelompok belanja publik akan dirasakan secara langsung manfaatnya oleh masyarakat melalui ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, infrastruktur wilayah ataupun fasilitas pelayanan dasar masyarakat lainnya di Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, besaran alokasi belanja publik dalam APBD sangat berpengaruh terhadap pencapaian kinerja pelayanan publik di Kabupaten Bogor. Kondisi di atas, sesungguhnya sangat terkait pula dengan pola alokasi anggaran yang diterapkan oleh pemerintah daerah selama ini, dimana pola-pola alokasi anggarannya masih menggunakan pendekatan tradisional, diantaranya yaitu : (1) pola incrementalism, yaitu penentuan alokasi anggaran belanja didasarkan pada perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat umum, seperti tingkat inflasi atau jumlah penduduk. Maksudnya, jika tingkat inflasi atau jumlah penduduk meningkat, maka alokasi anggaran untuk program dan kegiatan pada setiap urusan pemerintahan/SKPD akan meningkat pula alokasi anggarannya; (2) pola line item, yaitu perumusan alokasi anggaran belanja didasarkan atas pos anggaran atau kode rekening yang telah ada atau yang telah tersedia dalam struktur APBD sesuai dengan pedoman penyusunan APBD yang berlaku dan karenanya untuk tahun anggaran berikutnya, hanya ditambambahkan saja alokasi anggaran yang baru dengan besaran yang sama dengan tingkat inflasi atau pertambahan jumlah penduduk maupun pertimbangan lainnya; (3) pola quota, yaitu penentuan alokasi anggaran belanja didasarkan pada nilai atau prosentase
tertentu terhadap total alokasi belanja daerah menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Namun demikian, pola quota ini mulai diterapkan atau diterjemahkan secara pragmatis oleh lembaga legislatif dengan argumentasi bahwa hal tersebut telah mengacu pada hak budget dewan, dimana setiap anggota dewan memperoleh jatah alokasi anggaran berdasarkan posisinya sebagai anggota dewan, anggota komisi/alat kelengkapan dewan, pimpinan dewan dan jatah alokasi anggaran berdasarkan daerah pemilihannya (dapil) menurut jumlah dan/atau proporsi tertentu, dengan ketentuan bahwa distribusi dari jatah alokasi anggaran dimaksud sepenuhnya berada dibawah kendali anggota dewan. Ketiga pola alokasi belanja di atas sangat menentukan besaran pagu anggaran atau plafon anggaran sementara, untuk setiap urusan pemerintahan maupun untuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang akan ditetapkan dalam dokumen APBD. Dampak dari pola alokasi anggaran tersebut, yaitu semakin sulitnya untuk mencapai target kinerja yang telah ditetapkan atau pun yang telah disepakati dan pada gilirannya akan sulit untuk menerapkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) maupun pemenuhan pelayanan publik yang berkualitas serta perbaikan taraf kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, ketepatan dalam penentuan kebijakan alokasi belanja daerah, terutama untuk belanja publik akan berpengaruh terhadap pencapaian kinerja pelayanan dasar, khususnya pelayanan dalam bidang pendidikan, kesehatan, transportasi/ infrastruktur wilayah dan perbaikan taraf hidup atau kemampuan daya beli masyarakat serta kinerja pelayanan dasar masyarakat lainnya. Untuk itu, pertanyaan utama dalam kajian kali ini adalah bagaimana kebijakan alternatif alokasi belanja daerah yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor pada masa yang akan datang ? menjadi fokus kajian dalam tesis ini.
Jawaban atas pertanyaan ini
1.2.
Perumusan Masalah Anggaran kinerja telah diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor
dalam pengelolaan APBD Kabupaten Bogor dimulai pada tahun anggaran 2001, tetapi secara efektif dan komprehensif baru dilaksanakan pada tahun anggaran 2003. Dalam anggaran kinerja, pagu anggaran atau plafon anggaran sementara selalu dikaitkan dengan rencana atau target kinerja yang akan dicapai pada tahun anggaran yang berkenaan. Prinsipnya bahwa semakin tinggi kinerja yang akan dicapai, semakin besar juga pagu anggaran yang akan disediakan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya prinsip dari anggaran kinerja tersebut, tidak selalu diterapkan sebagaimana mestinya. Kebijakan alokasi anggaran yang diterapkan pada setiap unit kerja atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pada kenyataannya masih ditentukan menurut kompleksitas masalah yang dihadapi. Prinsip yang berlaku selama ini, yaitu semakin kompleks masalah yang dihadapi atau semakin banyak kuantitas masalah yang diajukan oleh SKPD, semakin besar pula anggaran yang dialokasikan.
Hal itu berarti bahwa
Pemerintah Kabupaten Bogor masih membiayai masukan dan tidak mengaitkan antara target kinerja yang akan dicapai dengan alokasi anggaran/alokasi belanja yang akan diserap. Kebijakan seperti ini kelihatannya secara akal sehat sangat logis dan adil, tetapi yang terjadi adalah setiap SKPD tidak punya insentif untuk memperbaiki kinerjanya.
Justru yang terjadi, yakni setiap SKPD memiliki
peluang baru, yaitu semakin lama permasalahan dapat dipecahkan, semakin banyak anggaran yang akan diperoleh. Semestinya, pemerintah daerah yang berorientasi pada hasil/kinerja harus berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif bagi setiap SKPD, yaitu dengan membiayai hasil dan bukan masukan serta mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu SKPD mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya, maka semakin banyak pula anggaran yang akan dialokasikan untuk mengkompensasi semua biaya yang telah dikeluarkan oleh SKPD yang bersangkutan. Dengan demikian, pertanyaan utama kajian kali ini adalah bagaimana kebijakan alternatif alokasi belanja daerah yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor pada masa yang akan datang ?
Kebijakan dan prioritas pembangunan daerah, sesungguhnya telah dirumuskan
secara normatif dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Pemerintah Kabupaten Bogor atau Rencana Strategis (Renstra) SKPD, dimana tahapan dan rencana pencapaian kinerjanya dijabarkan lebih lanjut kedalam dokumen kebijakan tahunan daerah yang terdiri atas Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), Kebijakan Umum APBD (KUA), Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) dan pada akhirnya bermuara pada dokumen Rancangan APBD (RAPBD) yang akan disetujui secara bersama-sama antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan DPRD Kabupaten Bogor pada setiap tahun anggaran.
Pada tahap perumusan kebijakan tahunan daerah, seringkali
terjadi inkonsistensi atau tidak adanya kesinambungan antara rumusan kebijakan dalam dokumen perencanaan yang disebutkan di atas, dengan plafon anggaran yang tertuang dalam dokumen APBD. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya kerangka pengeluaran jangka menengah (Medium Term Expenditure Fund = MTEF) dalam dokumen RPJMD Pemerintah Kabupaten Bogor atau Renstra SKPD sebagai salah satu pendekatan penganggaran kebijakan, yakni pengambilan keputusan yang didasarkan pada perspektif belanja daerah lebih dari satu tahun anggaran atau selama lima tahun anggaran dengan mempertimbangkan implikasinya terhadap belanja pada tahun berikutnya, yakni dengan cara mencantumkan prakiraan maju rencana alokasi belanja selama lima tahun ke depan dalam dokumen rencana kerja dan anggaran setiap SKPD. Kendala lainnya yang dihadapi, diantaranya yaitu ketika perumusan kebijakan tahunan daerah, selain harus mengacu pada dokumen RPJMD atau Renstra, maka pemerintah daerah harus berpedoman juga pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Pusat, RKPD Propinsi dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (SE-Mendagri) atau Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tentang Pedoman Penyusunan APBD yang diterbitkan oleh pemerintah pusat pada setiap tahun anggaran. Permasalahan alokasi belanja akan semakin dilematis, bilamana proyeksi maupun target-target kinerja dalam dokumen RPJMD atau Renstra yang telah ditetapkan, sangat berbeda dengan kondisi dan permasalahan yang sedang dihadapi ketika penyusunan dokumen kebijakan tahunan daerah. Kebiasaan yang lazim ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, yaitu melakukan upaya
sinergi dan sinkronisasi antara arahan dari pemerintah pusat dan propinsi dengan aspirasi yang berkembang dari hasil penjaringan aspirasi masyarakat sejak dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat desa/kelurahan, kecamatan, forum SKPD/Pra-Musrenbang hingga Musrenbang tingkat kabupaten. Pilihan kebijakan dan prioritas pembangunan beserta alokasi belanja daerah yang akan ditetapkan seringkali bias ke atas atau cenderung mengikuti arah kebijakan dari
pemerintah pusat dan propinsi, sehingga beberapa usulan dari hasil
penjaringan aspirasi masyarakat maupun tuntutan pembangunan yang telah dihimpun melaui Musrenbang semakin sulit untuk direalisasikan anggarannya. Oleh karena itu, pertanyaan pertama yang akan diajukan, yaitu bagaimana konsistensi antara kebijakan alokasi belanja daerah yang telah disepakati dalam dokumen perencanaan (dokumen KUA dan PPAS) dengan realisasi alokasi belanja daerah yang telah ditetapkan dalam dokumen penganggaran (dokumen APBD) Kabupaten Bogor ? Implikasi ditetapkannya kebijakan dan prioritas pembangunan daerah dalam dokumen kebijakan tahunan daerah seringkali berpengaruh terhadap penetapan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara yang menunjukkan besarnya alokasi belanja daerah beserta target maupun tolok ukur kinerja yang akan dicapai oleh setiap SKPD untuk satu tahun yang akan datang. Selama ini, prinsip yang dianut oleh setiap SKPD, yaitu target kinerja yang akan dicapai harus mengacu pada pagu anggaran atau alokasi belanja daerah yang telah ditetapkan bagi SKPD yang bersangkutan. Artinya, semakin rendah pagu anggaran atau alokasi belanja daerah yang ditetapkan bagi SKPD yang bersangkutan, maka semakin rendah pula target kinerja yang direncanakan atau yang akan dicapai pada tahun yang akan datang, meskipun target kinerja tersebut telah menyimpang dari target yang telah ditetapkan sebelumnya dalam dokumen RPJMD atau Renstra SKPD. Kondisi sebaliknya seringkali terjadi, yaitu bilamana tambahan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara ditetapkan relatif besar dibandingkan dengan tahun lalu, maka tidak serta-merta target kinerjanya semakin besar sebagaimana yang diharapkan. Dengan kata lain, prinsip yang dianut adalah “function follow money” dan bukan “money follow function”, yang menunjukkan bahwa target kinerja “dicocok-cocokan” atau “diatur sedemikian rupa”, sehingga
pagu anggaran atau plafon anggaran sementara diperkirakan akan mampu mencapai atau pun melampaui target kinerja yang telah ditetapkan. Dengan kata lain bahwa sistem pagu anggaran atau plafon anggaran sementara, seringkali dijadikan sebagai “tameng” atau “pelindung” untuk menetapkan tinggi atau rendahnya target kinerja yang akan dicapai pada tahun anggaran yang akan datang. Saat ini, tuntutan yang berkembang di masyarakat, yaitu agar alokasi belanja daerah dalam APBD untuk belanja pelayanan dasar harus senantiasa meningkat pada setiap tahun anggaran dan diharapkan dapat mencapai rasio yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi, pada sisi lain tambahan kenaikan dari alokasi belanja daerah untuk kepentingan publik itu tidak sebanding dengan pencapaian kinerja pelayanan dasar yang telah dicapai oleh pemerintah daerah. Hasil evaluasi terhadap beberapa indikator kinerja yang terukur menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang semakin besar antara harapan yang akan diraih untuk pelayanan dasar, seperti bidang pendidikan, kesehatan, transportasi/infrastruktur wilayah, bidang ekonomi dan bidang pelayanan dasar lainnya dengan alokasi belanja daerah yang telah ditetapkan, sehingga secara kumulatif berdampak pada rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, pertanyaan kedua yaitu bagaimana pemetaan kebijakan alokasi belanja daerah yang telah diterapkan selama ini di Kabupaten Bogor ? Kinerja pelayanan publik, khususnya yang berkenaan dengan pelayanan dasar,
seperti
pelayanan
dalam
bidang
pendidikan,
kesehatan,
transportasi/infrastruktur wilayah, bidang ekonomi dan pelayanan bidang pelayanan dasar lainnya di Kabupaten Bogor yang secara kumulatif diindikasikan oleh tingkat pencapaian angka IPM selama periode 2001-2006, yang termasuk dalam klasifikasi lamban mengungkapkan bahwa kebijakan alokasi belanja daerah yang telah diterapkan selama ini belum mencapai hasil yang optimal. Pada tataran kebijakan, hal itu disebabkan belum diterapkannya suatu kebijakan alternatif yang memadukan sejumlah kriteria/prioritas pembangunan, topik atau tema-tema tertentu (tematik) yang sejalan dengan rumusan misi yang telah ditetapkan dalam dokumen RPJMD atau Renstra SKPD. Selama ini, prioritas alokasi belanja daerah hanya mengikuti pengelompokkan atau klasifikasi belanja daerah menurut
nomenklatur
yang
(Permendagri),
dan
ditetapkan fungsi
dalam belanja
Peraturan daerah
Menteri
dalam
Dalam
kaitannya
Negeri dengan
pengelompokkan belanja menurut fungsi belanja di tingkat negara. Oleh karena itu, kebijakan alokasi belanja yang diterapkan selama ini, seringkali prioritasnya berubah-ubah, fokusnya beragam dan obyek yang menjadi sasaran pada masingmasing fokus dan prioritas pembangunannya tidak berkesinambungan pada setiap tahun anggaran, sehingga target kinerjanya tidak pernah terlampaui sebagaimana target yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pencapaian kinerja dimaksud, perlu dirumuskan kembali kebijakan alternatif alokasi belanja daerah dalam pengelolaan APBD Kabupaten Bogor untuk tahun anggaran yang akan datang.
Pengembangan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah
dimaksud, tidak hanya mempertimbangkan sistem pagu atau plafon anggaran sementara yang berlaku selama ini, melainkan didasarkan pula pada pertimbangan alokasi belanja daerah menurut sistem tematik atau menurut tema-tema yang terdapat dalam rumusan misi yang telah ditetapkan dalam RPJMD, sehingga keterkaitan antara pagu anggaran atau plafon anggaran sementara dengan target kinerja menurut tematik yang telah dipilih, kiranya berpengaruh terhadap pencapaian kinerja pelayanan dasar pada tahun yang akan datang. Pertanyaan ketiga yang akan diajukan, yaitu bagaimana rancangan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik yang dapat diterapkan di Pemerintah Kabupaten Bogor ?
1.3.
Tujuan dan Kegunaan Tujuan umum yang akan dicapai dalam kajian pembangunan daerah ini
adalah untuk merumuskan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah yang dapat diterapkan untuk mengoptimalkan pencapaian kinerja pelayanan dasar di Kabupaten Bogor. Untuk memenuhi tujuan umum itu, maka tujuan spesifik dari kajian ini adalah : 1.
Mengevaluasi konsistensi antara kebijakan alokasi belanja daerah yang telah disepakati dalam dokumen perencanaan dengan realisasi alokasi
belanja daerah yang telah ditetapkan dalam dokumen penganggaran oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. 2.
Mengidentifikasi dan melakukan pemetaan atas kebijakan alokasi belanja daerah yang telah diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor.
3.
Merancang kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor pada tahun yang akan datang. Hasil kajian ini diharapkan berguna untuk :
1.
Memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kabupaten Bogor sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi dalam penentuan kebijakan dan prioritas alokasi belanja daerah untuk mengoptimalkan pencapaian pelayanan dasar masyarakat di Kabupaten Bogor.
2.
Sebagai bahan masukan untuk pembelajaran (learning process) mengenai penerapan kebijakan alokasi belanja daerah dalam pengelolaan APBD, khususnya di Kabupaten Bogor dan kabupaten/kota lainnya di Indonesia.
3.
Sebagai bahan rujukan dan rekomendasi bagi komponen masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya kepada Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Bogor berkenaan dengan kebijakan alokasi belanja daerah dalam pengelolaan APBD dan peningkatan kinerja pelayanan dasar masyarakat di Kabupaten Bogor.
4.
Sebagai salah satu bahan pembanding dan bahan kajian bagi mahasiswa untuk penelitian selanjutnya mengenai kebijakan alokasi belanja daerah dan optimalisasi pencapaian kinerja pelayanan dasar masyarakat di setiap kabupaten/kota di Indonesia.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kebijakan Publik William N. Dunn (1992) mengemukakan bahwa dalam sistem kebijakan
terdapat tiga elemen, yaitu stakeholders kebijakan (policy actors atau political actors), kebijakan publik (public policy) dan lingkungan kebijakan (policy environment). Pendapat serupa dinyatakan oleh Thomas R. Dye (1978) bahwa dalam sistem kebijakan terdapat tiga elemen, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Namun demikian, Mustopadijaja (1992) menambahkan satu elemen kebijakan, selain dari tiga elemen di atas, yaitu kelompok sasaran kebijakan (target groups).
Bahkan menurut David Easton
(1992) bahwa sistem kebijakan publik terdiri atas lima unsur, yaitu inputs (demand/claims dan support), process, outputs, feedback dan environment (intra dan extra societal environment). Bagi
William N. Dunn (1992) penggunaan
istilah analisis kebijakan lebih dikedepankan daripada pengertian kebijakan, karena analisis kebijakan merupakan sisi baru dari perkembangan ilmu sosial untuk pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, analisis
kebijakan didefinisikan sebagai disiplin ilmu terapan (policy sciences) yang memanfaatkan berbagai metode dan teknik dalam ilmu sosial untuk menghasilkan informasi yang relevan dan diperlukan dalam praktek pengambilan keputusan di sektor publik dan perumusan sebuah kebijakan publik. Bahkan analisis kebijakan dianggap sebagai salah satu unsur sistem kebijakan (policy system) atau seluruh institusional tempat di dalam kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik di antara tiga unsur atau elemen kebijakan, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan (Lala M Kolopaking dan Soeryo Adiwibowo, 2007). Lebih lanjut, Thomas R. Dye (1978) menyebutkan bahwa kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do). Hal serupa dikemukakan oleh George
C. Edward III dan Ira Sharkansky (1978)
bahwa kebijakan publik
sebagai apa yang pemerintah katakan dan lakukan atau pun yang tidak dilakukan dan karenanya menjadi maksud atau tujuan dari program pemerintah (what government say and do, or not to do. It is the goals or purpose of government programs). Demikian juga dengan Leslie A. Pal dalam Sony Yuwono dkk (2008) mengartikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan atau pun bukan tindakan yang dipilih oleh otoritas publik yang ditujukan pada masalah tertentu atau hubungan diantara sejumlah masalah (as a course of action or inaction chosen by public authorities to address a given problem or interrelated set of problems). Sementara itu, Charles Jones dalam Said Zainal Abidin (2002) mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan adalah adanya tujuan (goal), sasaran (objective) atau kehendak (purpose). Oleh karena itu, kebijakan dipandang sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu (a course of action intended to accomplish some end). Dalam mencapai tujuan tertentu itu, terdapat beberapa substansi/isi dari kebijakan, yaitu : (1) tujuan, yang dimaksudkan disini adalah tujuan tertentu yang dikehendaki untuk dicapai; (2) rencana, yaitu dokumen hasil perencanaan yang merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapai tujuan; (3) program, adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran; (4) keputusan, yaitu tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program; (5) dampak, yakni dampak yang timbul dari suatu program dalam masyarakat. Dengan memperhatikan batasan dan definisi di atas, terdapat beberapa ciri umum dari kebijakan publik sebagaimana dijelaskan oleh Anderson et al dalam Said Zainal Abidin (2002), yaitu : (1) setiap kebijakan publik mesti ada tujuannya, dan jika tidak ada tujuan yang jelas untuk dicapai, maka tidak perlu ada kebijakan publik (public policy is purpose, goal oriented behavior rather than random or chance behavior); (2) suatu kebijakan publik tidak berdiri sendiri atau terpisah dari kebijakan yang lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan lain yang ditetapkan oleh pejabat pemerintah (public policy consist of course of action– rather than separate, discrete decision or action-performed by government officials); (3) kebijakan publik adalah apa yang dilakukan oleh pemerintah dan
bukan apa yang ingin atau diniatkan akan dilakukan oleh pemerintah (public policy is what government do – not what they say will do or what they intend to do); (4) kebijakan publik dapat berbentuk larangan atau dapat juga berupa anjuran, arahan atau perintah untuk melaksanakan sesuatu (public policy may be either nagative or positive); (5) kebijakan publik didasarkan pada hukum yang berlaku, karena itu memiliki kewenangan untuk memaksa masyarakat untuk mematuhinya (public policy is based on law and is authoritative). Pendapat senada dikemukakan juga oleh Riant Nugroho (2004) yang menyatakan bahwa kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah sebagai tokoh sentral kebijakan publik. Dengan demikian, kebijakan publik erat kaitannya dengan berbagai produk kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah untuk kepentingan masyarakat melalui berbagai strategi dan program pembangunan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa produk dari kebijakan publik tertuang dalam suatu produk hukum untuk mengatur masyarakat dan dilihat dari bentuknya, secara luas terdiri dari dua, yaitu : (1) kebijakan dalam bentuk peraturan pemerintah yang tertuang secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan; (2) kebijakan dalam bentuk peraturan-peraturan yang tidak tertulis namun disepakati (konvensi).
2.2.
Reformasi Keuangan Daerah Isu sentral yang mencuat ke permukaan pada tataran pemerintah daerah
pasca reformasi tahun 1998, selain isu desentralisasi dan otonomi daerah adalah isu keuangan daerah. Hal itu disebabkan begitu cepatnya perubahan yang terjadi atas berbagai peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah. Reformasi pengelolaan keuangan daerah dimaksud seiring pula dengan dinamika perubahan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah. Oleh karena itu, reformasi keuangan daerah didasari sepenuhnya oleh adanya perubahan dari peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah, yang dapat dikelompokkan dalam dua tahap reformasi, yaitu : 1. Tahap
pertama,
reformasi
ditujukan
pada
pemberian
kewenangan
pemerintahan kepada pemerintah daerah dan pelimpahan sumber-sumber keuangan daerah
1) Pelimpahan kewenangan dan/atau urusan pemerintahan Pada tahap pertama ini ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah beserta peraturan pemerintah sebagai pengganti dari peraturan yang pernah terbit pada masa pemerintahan orde baru. Kedua undang-undang inilah yang menadai dimulainya pelaksanaan desentralisasi dan/atau otonomi daerah. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan pemerintah daerah. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan atau susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi dan agama serta bagian tertentu urusan pemerintahan lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat konkuren adalah urusan pemerintahan diluar urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah, yang diselenggarakan bersama oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang konkuren secara proporsioanal antara pemerintah, daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota maka disusunlah kriteria yang meliputi kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintah. Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria dimaksud menjadi kewenangannya yang terdiri atas urusan wajib dan urusan
pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintah daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi ungulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Diluar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan, setiap tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa. Urusan wajib meliputi : (1) pendidikan; (2) kesehatan; (3) lingkungan hidup; (4) pekerjaan umum; (5) penataan ruang; (6) perencanaan pembangunan; (7) perumahan; (8) kepemudaan dan olah raga; (9) penanaman modal; (10) koperasi dan usaha kecil dan menengah; (11) kependudukan dan catatan sipil; (12) ketenagakerjaan; (13) ketahanan pangan; (14) pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; (15) keluarga berencana dan keluarga sejahtera; (16) perhubungan; (17) komunikasi dan informatika; (18) pertanahan; (19) kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; (20) otonomi daerah, pemerintahan umum, adminisrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian; (21) pemberdayaan masyarakat dan desa; (22) sosial; (23) kebudayaan; (24) statistik; (25) kearsipan; (26) perpustakaan. Sementara itu, urusan pilihan meliputi : (1) kelautan dan perikanan; (2) pertanian; (3) kehutanan; (4) energi dan sumber daya mineral; (5) pariwisata; (6) industri; (7) perdagangan; (8) ketransmigrasian. Penyelenggaraan urusan wajib berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan pemerintah.
Berkaitan dengan kemampuan anggaran yang masih terbatas
maka penetapan dan pelaksanaan SPM pada bidang yang menjadi urusan wajib
pemerintahan
daerah
dilaksanakan
secara
bertahap
dengan
mendahulukan sub-sub bidang urusan wajib yang bersifat prioritas. Sementara
itu,
menteri/kepala
lembaga
pemerintah
non-departemen
menetapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan yang telah ditetapkan.
2) Perangkat daerah Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari : (1) unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat; (2) unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat; (3) unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk badan; (4) unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah; (5) unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah. Jadi, perangkat daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang terdiri dari, Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah (Badan dan Kantor), Kecamatan dan Kelurahan. Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk organisasi yang disebut dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk kedalam organisasi tersendiri. Oleh karena itu, di Pemerintah Kabupaten Bogor pada periode 2003-2008, meskipun jumlah urusan wajib yang telah dilimpahkan sebanyak 26 jenis dan urusan pilihan sebanyak 6 jenis, namun jumlah SKPD yang menangani urusan wajib sebanyak 23 SKPD dan jumlah SKPD yang menangani urusan pilihan sebanyak 4 SKPD. Tetapi, mulai tahun 2009, jumlah SKPD di Kabupaten Bogor mengalami perubahan dan disesuaikan kembali dengan peraturan perundang-undangan yang terbaru mengenai organisasi perangkat daerah, yaitu didasarkan pada Peraturan pemerintah Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang operasionalnya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Teknis Organisasi Perangkat Daerah. Besaran organisasi perangkat daerah sekurangkurangnya mempertimbangkan faktor-faktor, yaitu : (1) keuangan; (2) kebutuhan daerah; (3) cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan; (4) jenis dan banyaknya tugas; (5) luas wilayah kerja dan kondisi geografis; (6) jumlah dan kepadatan penduduk; (7) potensi daerah yang
berkaitan dengan urusan yang akan ditangani; (7) sarana dan prasarana penunjang tugas.
Oleh karena itu, kebutuhan akan organisasi perangkat
daerah bagi masing-masing kabupaten/kota tidak senantiasa sama atau seragam, tergantunga dari hasil perhitungan atas faktor-faktor di atas dan variabel menurut bobot tertentu, yaitu : (1) 40 % untuk variabel jumlah penduduk; (2) 35 % untuk variabel luas wilayah; (3) 25 % untuk variabel jumlah APBD. 3) Keuangan daerah Pelimpahan kewenangan pemerintahan akan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan yang telah diterima oleh pemerintah daerah.
Hal ini sejalan dengan prinsip “money
follow function”, yaitu anggaran mengikuti kewenangan/fungsi, artinya semakin
banyak
kewenangan
yang
telah
dilimpahkan,
maka
kecenderungannya akan semakin besar pula anggaran yang dibutuhkan daerah untuk melaksanakan kewenangan tersebut.
Untuk itu, sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 dan diikuti dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, maka pemerintah kabupaten/kota diberikan hak untuk mendapatkan sumber-sumber keuangan yang antara lain berupa kepastian tersedianya dana dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintahan yang telah diserahkan. Dengan dasar tersebut, maka pemerintah menetapkan kebijakan desentralisasi fiskal yang implementasinya melalui dana perimbangan. Selain itu, kabupaten/kota juga memiliki kewenangan untuk : (1) memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah; (2) hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerahnya; (3) berhak mendapatkan dana perimbangan lainnya; (4) hak untuk mengelola kekayaan daerah yang dipisah atau yang tidak dipisah; (5) hak untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; (6) hak untuk mendapatkan sumber-sumber pembiayaan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Jadi, dengan pengaturan tersebut, sesungguhnya pemerintah telah
menetapkan prinsip “uang mengikuti fungsi” atau “money follow function”, agar terselenggaranya pemerintahan daerah. Pada periode awal berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut, tepatnya pada periode 1999-2001, sesungguhnya pengelolaan keuangan daerah masih menggunakan produk hukum yang disusun pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, sesuai dengan aturan peralihan UUD 1945 atau lebih dikenal dengan Indische Comptabiliteits Wet (ICW Stbl. 1925 No. 448) yang selanjutnya diubah dan diundangkan terakhir dengan UndangUndang Nomor 9 tahun 1968. Selain itu, acuan lainnya adalah berdasarkan produk hukum yang diterbitkan oleh pemerintahan orde baru, diantaranya berupa : (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1975 tentang Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Implementasi dari kedua peraturan tersebut, secara teknis ditetapkan lebih lanjut dalam Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) yang berfungsi sebagai pedoman teknis dalam pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu,
reformasi hukum di bidang keuangan daerah terus dilakukan
penyempurnaan,
bersama-sama
dengan
penyempurnaan
pengaturan
pengelolaan keuangan negara. Untuk pengelolaan keuangan daerah pada periode awal 1999-2001, pemerintah telah menerbitkan terlebih dahulu Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan penjabarannya berupa Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD, meskipun undang-undangnya ditetapkan belakangan pada tahun 2003, yaitu berupa Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Reformasi keuangan daerah yang terjadi pada tahapan pertama ini, yaitu : (1) reformasi yang berkenaan dengan pendekatan anggaran yang akan digunakan, yaitu dari sistem anggaran tradisional
kemudian berubah menjadi anggaran berbasis kinerja (performance budget), yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan pencapaian output atau hasil kerja dari rencana alokasi anggaran atau input yang telah ditetapkan; (2) pengelolaan keuangann daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,
penganggaran,
pelaksanaan,
penatausahaan,
pelaporan,
pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah; (3) Asas umum pengelolaan keuangan daerah, yaitu keuangan daerah harus dikelola dengan tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatuhan dan manfaat untuk masyarakat; (4) struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah, dan karenanya tidak digunakan lagi struktur APBD menurut T-Count, melainkan I-Count; (5) pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja; (6) semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening Kas Umum daerah; (7) kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan kekuasaannya
keuangan yang
daerah
berupa
melimpahkan
perencanaan,
sebagian
penganggaran,
atau
seluruh
pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah kepada sekretaris daerah, pejabat pengelola keuangan daerah dan kepala SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah; (8) pelimpahan sebagain atau seluruh kekuasaan didasarkan pada prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahan, menguji dan yang menerima/mengeluarkan uang yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah; (9) belanja daerah terdiri dari bagian belanja aparatur daerah dan bagian belanja pelayanan publik.
Jadi, pada tahap pertama inilah, istilah
anggaran untuk aparatur dan publik mulai diberlakukan, meskipun nomenklatur ini tidak digunakan lagi pada reformasi tahap kedua; (10) pada bagian dari pembiayaan daerah, mulai digunakan pembentukan dana cadangan, yang berarti tidak semua sisa lebih anggaran tahun berkenaan
dihabiskan atau dialokasikan kembali untuk program dan kegiatan pembangunan tahun berikutnya, melainkan dapat disisihkan pula untuk rencana pembentukan dana cadangan 2. Tahap kedua, reformasi ditujukan untuk pemantapan pengelolaan keuangan daerah Langkah-langkah reformasi untuk pemantapan pengelolaan keuangan daerah dilakukan sejak tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban hingga pengawasan keuangan daerah.
Untuk itu, Mardiasmo (2002) mengemukakan bahwa reformasi
keuangan daerah meliputi : 1) Reformasi sistem pembiayaan (financing reform).
Salah satu yang
mendesak untuk dilaksanakan adalah membentuk dana cadangan dengan cara menyisihkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun yang lalu atau pun mengalihkan kelebihan penerimaan daerah yang melampaui target pada setiap tahun anggaran dengan proporsi tertentu, sehingga tidak dihabiskan seluruhnya pada tahun anggaran yang berjalan.
Dengan adanya dana
cadangan, maka daerah akan memiliki kemampuan untuk membiayai program/kegiatan pembangunan yang sifatnya multi-year atau yang strategis
untuk
percepatan
pembangunan
daerah
sehingga
tidak
menggantungkan lagi pada dana pinjaman. 2) Reformasi sistem penganggaran (budgeting reform), yaitu memantapkan kembali penerapan anggaran berbasis kinerja, agar bertumpu sepenuhnya pada kepentingan publik serta mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran. 3) Reformasi
sistem
akuntansi
(accounting
reform),
yaitu
mulai
mengaplikasikan accrual basis dan tidak lagi menggunakan cash basis, karena teknik akuntansi accrual basis menghasilkan laporan keuangan yang lebih dapat dipercaya serta dapat digunakan untuk mengetahui besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan pelayanan bagi publik (cost of service) serta menentukan harga pelayanan yang dibebankan kepada publik (charging for service). Demikian juga dengan
penyusunan laporan keuangan, agar menggunakan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4) Reformasi sistem pemeriksaan (audit reform), yaitu merubah sistem pemeriksaan dari conventional audit menuju value for money audit. Jika dalam pemeriksaan yang konvensional, lingkupnya hanya sebatas audit terhadap administrasi keuangan dan kepatuhan, maka dalam pemeriksaan dengan metode baru ini, juga dilengkapi dengan audit kinerja pemerintah daerah (performance audit) atau disebut juga management audit. Tujuannya adalah untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai tuntutan atas tindakan dan kejadian ekonomi serta kesesuaiannya dengan kriteria/standar yang telah ditetapkan dan kemudian mengkomunikasikan hasilnya kepada pehak-pihak pengguna laporan hasil pemeriksaan, terutama kepada DPRD. 5) Reformasi sistem manajemen keuangan daerah (financial management reform), yaitu anggaran daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah (work better and cost less) serta memberikan keleluasaan bagi para pelaksananya untuk memaksimalkan pengelolaan dananya dengan memperhatikan konsep nilai uang. Untuk itu, pada saat menyusun anggaran berbasis kinerja, maka instrumen yang harus digunakan adalah Analisis Standar Belanja (ASB) dan bukan lagi sekedar Standar Satuan Harga (SSH) atau Daftar Harga Tertinggi, disertai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah ditetapkan untuk setiap pengguna anggaran/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai dengan kewenangan dan tugas pokok serta fungsinya masing-masing. Dalam pengelolaan keuangan daerah, prinsip di atas menurut Mardiasmo (2002), diaplikasikan kedalam konsep nilai uang (value for money) yang meliputi tiga prinsip dalam proses penganggaran dalam APBD, yaitu prinsip Ekonomi, Efisiensi dan Efektivitas (3E). Prinsip ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu dan pada harga yang paling murah (ekonomi berarti pula perolehan input
dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga yang termurah, dengan formula yaitu perbandingan antara input dengan input value). Sedangkan prinsip efisiensi berarti penggunaan dana rakyat tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal/berdaya guna (efisiensi berarti pula tercapainya output yang maksimum dengan input tertentu, dengan formula, yaitu perbandingan antara output dengan input atau sebaliknya input/output). Sementara itu, prinsip efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target
atau tujuan kepentingan publik (efektivitas
menggambarkan tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan secara sederhana, dengan formula yaitu perbandingan antara outcome dengan output atau outcome/output). Konsep value for money sangat penting bagi pemerintah daerah sebagai pelayan masyarakat, karena konsep tersebut bermanfaat untuk : (1) efektivitas pelayanan publik dalam arti pelayanan yang diberikan tepat sasaran; (2) meningkatnya mutu pelayanan publik; (3) biaya pelayanan yang murah karena hilangnya in-efisiensi dan penghematan dalam penggunaan sumber daya; (4) alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik; (5) meningkatnya public cost awareness sebagai dasar pelaksanaan pertanggungjawaban publik. Dalam konteks otonomi daerah, konsep value for money merupakan media atau jembatan untuk menghantarkan pemerintah daerah mencapai tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Untuk itu, sejumlah peraturan perundang-undangan, baik yang ditujukan untuk penyempurnaan pengelolaan keuangan negara sekaligus perbaikan pengelolaan keuangan daerah telah ditetapkan oleh pemerintah, diantaranya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah hingga peraturan menteri dalam negeri, sehingga keseluruhannya membentuk semacam “Omnibus Regulation”. Perkembangan peraturan perundang-undangan sejak zaman orde baru hingga orde reformasi dalam pengelolaan keuangan daerah dapat dilihat pada tabel 1. Tabel
1:
Perkembangan Peraturan Perundang-undangan yang Berkenaan dengan Pengelolaan Keuangan Daerah sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi
Orde Baru UU No. 5/1974
Tahap I UU No. 22 /1999 UU No. 25/1999
PP No.5/1975 PP No.6/1975
PP No.105/2000
Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA)
Kepemendagri No. 29/2002
Orde Reformasi Tahap II Pemerintahan daerah Keungan Daerah - UU No.32 /2004 - UU No. 17/2003 - UU No. 33/2004 - UU No. 1/2003 - UU No. 25/2004 - UU No. 15/2003 - PP No. 24/2005 - PP No. 58/2005 - Permendagri Nomor 13/2006 dan Disempurnakan dengan Permendagri Nomor 59/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah - Permendagri tentang pedoman penyusunan APBD pada setiap tahun anggaran berkenaan
Peraturan Daerah tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah Peraturan Kepala Daerah tentang Petunjuk Pelaksanaan APBD Sumber : Pengelolaan Keuangan Daerah (Rangkuman 7 UU, 30 PP dan 15 Permendagri). 2009. 2.3.
Kebijakan Alokasi Belanja Daerah Dalam konteks anggaran pembangunan, Suparmoko (2000) menjelaskan
bahwa anggaran pembangunan yang diwujudkan dalam bentuk pengeluaran pemerintah/belanja daerah dapat dinilai dan dibedakan dari beberapa segi, yaitu : (1) pengeluaran itu merupakan investasi yang menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi di masa-masa mendatang; (2) pengeluaran itu langsung memberikan kesejahteraan dan kegembiraan bagi masyarakat (social overhead cost) sekaligus penghematan bagi pengeluaran pada masa yang akan datang; (3) pengeluaran berfungsi untuk menyediakan kesempatan kerja yang lebih banyak dan penyebaran kemampuan daya masyarakat yang lebih luas. Sejalan dengan pendapat diatas, Musgrave & Musgrave (1989) mengemukakan fungsi-fungsi utama dari kebijakan anggaran, yaitu :
1. Fungsi alokasi, yaitu penyediaan barang sosial atau proses pembagian keseluruhan sumber daya untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang sosial serta bagaimana gabungan/komposisi barang sosial ditentukan. Dengan demikian, fungsi alokasi anggaran belanja dapat diartikan sebagai suatu kebijakan anggaran pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat yang tidak bisa dipenuhi oleh pasar. Kebutuhan dimaksud adalah suatu kebutuhan yang bersifat umum, dimana setiap anggota masyarakat dapat memanfaatkannya secara bersama-sama. Pengeluaran untuk alokasi anggaran ini sangat vital karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan berpengaruh terhadap mobilitas masyarakat dan pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan barang dan jasa publik untuk memperlancar aktivitas pembangunan masyarakat. 2. Fungsi distribusi, yaitu penyediaan terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai suatu distribusi yang “merata” dan “adil”. Fungsi distribusi anggaran ini terkait secara langsung dengan pelaksanaan otonomi daerah, karena tercermin dari perumusan dan pelaksanaan kebijakan alokasi penerimaan daerah, misalnya alokasi dari PAD dan Lain-lain PAD yang sah lainnya. 3. Fungsi stabilisasi, yaitu penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan laju pertumbuhan ekonomi yang tepat, dengan mempertimbangkan segala akibatnya terhadap perdagangan dan neraca pembanyaran.
Fungsi stabilisasi anggaran merupakan suatu kebijakan
anggaran yang digunakan oleh pemerintah untuk mengatasi situasi moneter atau situasi pasar tertentu yang menyebabkan pemerintah memandang perlu untuk melakukan suatu kebijakan pengeluaran yang dapat menstabilkan hargaharga barang yang langsung berdampak terhadap kepentingan ekonomi publik. Fungsi stabilitas ini lebih banyak menjadi kewenangan pemerintah pusat dan diaktualisasikan melalui kebijakan moneter dan/atau kebijakan fiskal. Sementara itu, dalam peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan daerah dinyatakan bahwa keuangan daerah/APBD mempunyai fungsi
otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi, dengan penjelasan sebagi berikut : (1) fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja daerah pada tahun yang bersangkutan; (2) fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan; (3) fungsi alokasi mengandung arti bahwa
anggaran
kerja/mengurangi
daerah
harus
pengangguran
diarahkan dan
untuk
pemborosan
menciptakan sumber
lapangan
daya
serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian; (4) fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan; (5) fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah. Sejalan dengan ide di atas, Shah dalam Muluk (2002) mengungkapkan beberapa pertimbangan dalam penentuan pengeluaran pemerintah, yaitu ditujukan untuk penyediaan layanan publik yang efisien, efisiensi fiskal, keadilan regional (horizontal), peran distributif sektor publik, penyediaan barang-barang semi privat, stabilisasi ekonomi dan kekuatan pengeluaran itu sendiri.
Semua
pertimbangan ini menjadi dasar bagi pelimpahan tanggungjawab pelayanan publik tertentu kepada pemerintah daerah. Tetapi, Sukirno (2000) menyatakan bahwa ada tiga faktor penting yang akan menentukan pengeluaran pemerintah, yaitu : (1) pajak yang diharapkan untuk mendorong pembangunan yang lebih cepat; (2) pertimbangan politik untuk membangun infrastruktur yang lebih banyak dalam rangka mempercepat proses pembangunan di masa depan; (3) persoalan ekonomi yang dihadapi, terutama dalam rangka menghadapi pengangguran yang tinggi. Berkenaan dengan hal di atas, Schick (1998) menyebutkan bahwa ada tiga prinsip dalam manajemen pengeluaran publik modern yang mendukung terwujudnya penyusunan anggaran dengan baik, yaitu Aggregate Fiscal Dicipline, Allocative Efficiency dan Operational Efficiency, dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Aggregate Fiscal Dicipline.
Prinsip ini adalah untuk mengontrol total
pengeluaran yang merupakan tujuan pokok dari sistem anggaran.
Tanpa
adanya pembatasan pada pengeluaran akan berakibat pada defisit anggaran dan secara progresif akan meningkatkan perbandingan rasio pajak pendapatan dan pengeluaran publik terhadap GNP. Aggregate Fiscal Dicipline meliputi total pendapatan, keseimbangan fiskal, hutang publik yang kesemuanya berpengaruh pada total pengeluaran. Prinsip ini mengutamakan bahwa total anggaran harus mencerminkan hasil secara jelas dan dijalankan dengan kebijakan yang ketat, tidak hanya mengakomodasi tuntutan pengeluaran, akan tetapi total pengeluaran harus disusun sebelum kebijakan pengeluaran publik dibuat dan ditindaklanjuti dalam kerangka jangka menengah dan jangka panjang. 2. Allocative Efficiency. Prinsip ini merupakan perwujudan penyusunan alokasi pengeluaran pemerintah kedalam sektor, program dan proyek (saat ini digunakan sebutan urusan, program dan kegiatan) dengan skala prioritas dan efektivitas program publik yang berlandaskan pada kerangka manajemen strategis. Sistem anggaran harus mendorong realokasi program, yaitu dari program yang rendah dan kurang efektif ke program dengan prioritas tinggi dan lebih efektif. Untuk itu, elemen dasar dalam sistem pengeluaran publik yang berorientasi pada realokasi meliputi : (1) pemerintah menetapkan tujuan strategis dan prioritas sebelum unit kerja mengusulkan sumber anggaran; (2) pemerintah menetapkan tujuan fiskal dalam medium-term termasuk untuk inisiatif pengeluaran atau tabungan bersih/sisa lebih yang memerlukan target fiskal; (3) sisa lebih dialokasikan untuk unit kerja yang terkait dengan prioritas strategis pemerintah; (4) pemerintah memperkirakan kondisi anggaran masa depan, menetapkan target dan mengukur dampak fiskal dari perubahan kebijakan; (5) pemerintah meningkatkan realokasi yang mengutamakan efektivitas program dengan meminta setiap unit kerja untuk secara berkala dan sistematis mengevaluasi kinerja kegiatannya; (6) unit-unit kerja mereview alokasi anggaran pada perubahan kebijkan/perubahan anggaran yang kemudian menjadi titik awal untuk penentuan kebijakan alokasi anggaran pada periode berikutnya. 3. Operational Efficiency. Prinsip ini menekankan bagaimana pemerintah dapat menghasilkan barang dan jasa publik pada tingkat biaya yang lebih efisien dan
kompetitif dari harga pasar. Operational Efficiency merupakan cermin dari pengeluaran pemerintah yang dialokasikan pada kepentingan masyarakat dan karenanya setiap unit kerja selalu didorong untuk menghasilkan pendapatan (profit center) daripada menjadi sumber pemborosan biaya (cost center). Salah satu caranya, yaitu dengan mengefektifkan sistem pengawasan, baik internal maupun eksternal, serta penekanannya tidak hanya pada biaya/belanja daerah dan penegakkan peraturan, tetapi unit kerja dituntut agar target kinerja dapat dioptimalkan. Sejalan dengan prinsip Operational Efficiency di atas, Bird dan Vaillancourt (2000) mengungkapkan bahwa pemerintah daerah harus mampu melakukan manajemen pengeluaran anggaran publik secara tepat, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : (1) secara memadai pemerintah daerah harus mampu mengendalikan keseluruhan pendapatan dan belanja daerah; (2) pemerintah daerah secara tepat mengalokasikan sumber-sumber publik kedalam berbagai sektor dan program pembagunan; (3) pemerintah daerah menjamin bahwa lembaga pemerintah beroperasi seefisien mungkin. Dalam pengelolaan keuangan daerah, prinsip di atas menurut Mardiasmo (2002), diaplikasikan kedalam konsep nilai uang (value for money) yang meliputi tiga prinsip dalam proses penganggaran dalam APBD, yaitu prinsip Ekonomi, Efisiensi dan Efektivitas (3E). Prinsip ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu dan pada harga yang paling murah (ekonomi berarti pula perolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga yang termurah, dengan formula yaitu perbandingan antara input dengan input value). Sedangkan prinsip efisiensi berarti penggunaan dana rakyat tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal/berdaya guna (efisiensi berarti pula tercapainya output yang maksimum dengan input tertentu, dengan formula, yaitu perbandingan antara output dengan input atau sebaliknya input/output). Sementara itu, prinsip efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik (efektivitas menggambarkan tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan secara sederhana, dengan formula yaitu perbandingan antara outcome dengan output atau outcome/output).
Konsep value for money sangat penting bagi pemerintah daerah sebagai pelayan masyarakat, karena konsep tersebut bermanfaat untuk : (1) efektivitas pelayanan publik dalam arti pelayanan yang diberikan tepat sasaran; (2) meningkatnya mutu pelayanan publik; (3) biaya pelayanan yang murah karena hilangnya in-efisiensi dan penghematan dalam penggunaan sumber daya; (4) alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik; (5) meningkatnya public cost awareness sebagai dasar pelaksanaan pertanggungjawaban publik. Dalam konteks otonomi daerah, konsep value for money merupakan media atau jembatan untuk menghantarkan pemerintah daerah mencapai tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada dasarnya adalah kebijakan keuangan pemerintah daerah yang terkait dengan strategi pembangunan ekonomi daerah.
Dengan adanya perencanaan alokasi belanja daerah, maka
pemerintah daerah berupaya merangsang pertumbuhan ekonomi serta mengurangi hambatan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, perencanaan alokasi belanja daerah dalam APBD dapat juga diartikan sebagai alokasi sumber daya pembangunan di daerah. Fungsi-fungsi anggaran daerah dalam proses pembangunan di daerah, menurut PAU-SE UGM (2000) sebagai berikut : 1. Instrumen politik (political tools).
Anggaran daerah adalah salah satu
instrmen formal yang menghubungkan eksekutif daerah dengan tuntutan dan kebutuhan publik yang diwakili oleh legislatif daerah. 2. Instrumen kebijakan fiskal (fiscal tools). Dengan mengubah prioritas dan besaran alokasi dana, maka anggaran daerah dapat digunakan untuk mendorong, memberikan fasilitas dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat guna mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah. 3. Instrumen perencanaan (planning tools).
Di dalam anggaran daerah
disebutkan tujuan yang ingin dicapai, tolok-ukur kinerja, biaya dan hasil serta capaian dari sasaran program yang diharapkan dari setiap kegiatan pada masing-masing unit kerja. 4. Instrumen pengendalian (control tools).
Anggaran daerah berisi rencana
penerimaan dan pengeluaran secara rinci pada setiap unit kerja.
Hal ini
dilakukan agar unit kerja tidak melakukan overspending, underspending atau pun mengalokasikan anggaran pada bidang/urusan kewenangan yang lainnya diluar yang telah ditetapkan. Alokasi belanja daerah harus dilakukan oleh pemerintah daerah guna membiayai berbagai aktivitas atau fungsi yang menjadi tanggungjawabnya. Untuk itu, terdapat lima peran yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam mengelola segala macam urusan dan/atau fungsinya sesuai dengan kewenangan yang telah diterimanya. Menurut Premchand dalam Muluk (2002), bahwa peran tersebut mencakup peran sebagai penyedia layanan,
pembeli layanan, badan
penyandang dana, koordinator penyedia layanan publik dan sebagai regulator. Pelaksanaan dari semua peran atau pilihan dari peran tersebut membutuhkan dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Dalam prakteknya, berbagai peran dari pemerintah daerah dalam penyediaan layanan publik di atas, dapat berlangsung dalam dua kategori bentuk sebagaimana dijelaskan oleh Norton (1994), yaitu dengan direct provision dan indirect or delegated management of service.
Untuk kategori pertama, pada hakikatnya menempatkan pemerintah
sebagai penyedia langsung pelayanan publik dengan berbagai macam variasinya dan secara langsung berada di bawah kendali dan dibiayai oleh pemerintah. Sedangkan kategori kedua, hakikatnya adalah menempatkan pemerintah sebagai pengatur (regulator), sementara pelayanan publik dapat dilakukan oleh swasta, masyarakat, atau lembaga atau organisasi kemasyarakatan lainnya. Cara yang biasa dilakukan pada kategori kedua, antara lain konsesi, contracting out, regulasi, kerjasama dan sebagainya.
Dengan memperhatikan hal ini, berarti dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, pola pelaksanaannya dapat dilaksanakan sendiri atau swakelola oleh pemerintah, kerjasama dengan pihak lain dan dilelangkan kepada asosiasi pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, beberapa pengertian pelayanan publik yang dikemukakan oleh para ahli yang relevan dengan sudut pandang diatas, diantaranya dikemukanan oleh Bird and Vaillancourt (2000), yaitu segala bentuk kegiatan unit kerja/lembaga yang merupakan perwujudan dari tugas dan fungsi pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam prakteknya, pelayanan publik terdiri atas pelayanan dasar, pelayanan administrasi, pelayanan dalam menyediakan sarana dan prasarana publik, pelayanan dalam penyediaan lapangan kerja serta pelayanan terhadap perlindungan dan keamanan masyarakat. Dengan kata lain, pelayanan publik adalah pemenuhan kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan layanan civil (civil service) yang tidak dapat diprivatisasi atau pelayanan publik yang menjadi domain pemerintah di setiap tingkatan pemerintahan (Taliziduhu Ndraha, 2003). Dalam kajian ini, maka pengembangan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah yang dirumuskan adalah yang mengarah pada perbaikan pelayanan dasar (basic services) yang menjadi kewenangan/urusan wajib Pemerintah Kabupaten Bogor, antara lain mencakup urusan pendidikan, kesehatan dan transportasi/infrastruktur wilayah serta urusan pemerintahan lainnya yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah.
BAB III METODOLOGI KAJIAN
3.1. Kerangka Pemikiran 3.1.1. Keterkaitan antara Perencanaan dan Penganggaran Dalam kaitan dengan sistem perencanaan pembangunan nasional sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), maka keberadaan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan satu bagian yang utuh dari manajemen kerja di lingkungan pemerintah daerah, khususnya dalam menjalankan agenda pembangunan yang telah tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka panjang Daerah (RPJPD) maupun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) serta dari keberadaannya akan dijadikan sebagai pedoman bagi seluruh SKPD untuk penyusunan Rencana Strategis (Renstra) SKPD. Selanjutnya, untuk setiap tahunnya selama periode perencanaan jangka menengah, maka dijabarkan dan disusun rencana tahunan daerah dalam bentuk dokumen Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dan keberadaan dokumen ini akan dijadikan sebagai acuan atau pedoman bagi SKPD untuk menyusun Rencana Kerja (Renja) SKPD. Berkenaan dengan sistem keuangan negara dan mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara bahwa penjabaran RPJMD kedalam RKPD untuk setiap tahunnya, akan dijadikan sebagai dasar bagi penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), serta selanjutnya dijadikan sebagai pedoman bagi penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) dan muara terakhirnya untuk penyusunan APBD kabupaten/kota pada setiap tahun anggaran. Kedua dokumen berupa KUA dan PPAS adalah dokumen penghubung atau “jembatan” yang menggabungkan antara komitmen kinerja yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan, baik dalam RPJMD maupun RKPD dengan pemenuhan alokasi anggarannya dalam dokumen anggaran, dengan mempertimbangkan terlebih dahulu arah/kebijakan
umum dan prioritas pembangunan yang harus dipedomani dalam perumusan program dan kegiatan pembangunan. Kebijakan Umum APBD yang selanjutnya disingkat KUA adalah dokumen yang memuat kebijakan pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun. KUA memuat kondisi ekonomi makro daerah, asumsi-asumsi yang mendasari penyusunan RAPBD dan kebijakan pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah serta strategi pencapaiannya. Sedangkan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya disingkat PPAS terdiri atas Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara. Definisi dari prioritas adalah suatu upaya untuk mengutamakan sesuatu daripada yang lain. Prioritas merupakan proses dinamis dalam pembuatan keputusan yang saat ini dinilai paling penting dengan dukungan komitmen untuk melaksanakan keputusan tersebut.
Penetapan prioritas tidak
hanya mencakup keputusan apa yang penting untuk dilakukan, tetapi juga menentukan skala atau peringkat wewenang/urusan/fungsi atau pun program dan kegiatan yang harus dilakukan terlebih dahulu dibandingkan dengan program dan kegiatan pembangunan yang lainnya.
Dengan demikian, tujuan dari prioritas
adalah terpenuhinya skala dan lingkup kebutuhan masyarakat yang dianggap paling penting dan paling luas jangkauannya, agar alokasi sumber daya dapat digunakan/dimanfaatkan secara ekonomis, efisien dan efektif, mengurangi tingkat resiko dan ketidakpastian serta tersusunnya program dan kegiatan pembangunan yang lebih realistis. Sementara itu, Plafon Anggaran Sementara adalah jumlah rupiah batas tertinggi atau plafon/pagu anggaran yang dapat dianggarkan oleh setiap SKPD, baik belanja pegawai pada Belanja Tidak Langsung (BTL) maupun pegawai, barang dan jasa serta belanja modal pada Belanja Langsung (BL), sehingga penentuan batas maksimal anggaran dapat dilakukan setelah memperhitungkan seluruh komponen dan obyek belanja tersebut. Oleh karena itu, Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya disingkat PPAS adalah rancangan program dan kegiatan prioritas pembangunan yang merupakan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD sebagai acuan dalam penyusunan RKA SKPD.
Rancangan PPAS disusun dengan tahapan sebagai
berikut : (1) menentukan skala prioritas pembangunan daerah; (2) menentukan prioritas program untuk masing-masing urusan; (3) menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing program/kegiatan pembangunan. Didalam PPAS memuat : (1) rancangan penerimaan pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan; (2) prioritas belanja daerah; (3) plafon anggaran sementara berdasarkan urusan pemerintahan dan program dan kegiatan; (4) rencana pembiayaan.
Gambaran
tentang hubungan antara dokumen RPJMD dengan
dokumen perencanaan daerah lainnya, baik dengan sistem perencanaan pembangunan maupun dengan sistem keuangan/penganggaran, terutama dengan dokumen KUA dan PPAS disajikan pada gambar 1 berikut ini.
Gambar 1: Kedudukan dan Keterkaitan dokumen KUA dan PPAS dalam Alur Perencanaan dan Penganggaran di Pusat dan Daerah
3.1.2. Keterkaitan antara kebijakan alokasi belanja dengan tingkat pelayanan Kebijakan desentralisasi fiskal yang mulai diterapkan oleh pemerintah pusat berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan APBD bagi setiap kabupaten/kota di Indonesia. Secara mendasar, pengaruh kebijakan desentralisasi
fiskal tampak dari adanya dana perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan ini diklasifikasikan menjadi tiga bagian utama, yaitu : (1) Dana Bagi Hasil (DBH); (2) Dana Alokasi Umum (DAU); (3) Dana Alokasi Khusus (DAK). Untuk beberapa pemerintah daerah masih ada yang akan mendapatkan dana penyesuaian dan dana otonomi khusus. Dari beberapa jenis dana perimbangan tersebut, sebenarnya dapat dipilah antara jenis dana perimbangan yang dapat dipengaruhi oleh pemerintah daerah dan jenis dana perimbangan yang tidak dapat dipengaruhi oleh pemerintah daerah. Dana bagi hasil merupakan jenis dana perimbangan yang dapat dipengaruhi oleh pemerintah daerah, dalam arti jumlah penerimaannya sangat ditentukan oleh data potensi penerimaan di daerah dan kinerja yang diraih oleh pemerintah daerah, misalnya dana bagi hasil dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sedangkan untuk Dana Alokasi Umum relatif kecil dapat dipengaruhi oleh pemerintah daerah karena dihitung dengan formula tertentu, dengan menggunakan data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik.
Sementara itu, untuk Dana Alokasi
Khusus pemerintah daerah hingga tingkat tertentu masih mungkin dapat mempengaruhi jumlah penerimaannya, meskipun kebijakan alokasinya tetap sepenuhnya tergantung pada pemerintah pusat. Kebijakan pemerintah pusat mengenai dana perimbangan, tentunya akan berdampak secara signifikan pada dua hal, yaitu : (1) Kemampuan APBD pemerintah daerah dalam arti jumlah nominal APBD beserta proporsinya terhadap total pendapatan APBD meningkat secara drastis; (2) Alokasi anggaran, terutama alokasi untuk belanja daerah memungkinkan
bagi
pemerintah
daerah
untuk
menentukan
prioritas
penggunaannya dengan leluasa, baik yang ditujukan untuk belanja aparatur maupun untuk belanja publik. Kebijakan alokasi anggaran dari pemerintah daerah merupakan salah satu instrumen yang akan menentukan jenis-jenis layanan yang akan diberikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat pada setiap tahun anggaran. Jenis-jenis layanan oleh pemerintah daerah sangat terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah sebagaimana tercermin dari pembagian urusan pemerintahan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Urusan pemerintahan, sesungguhnya terdiri atas urusan pemerintahan
yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.
Dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri
urusan
pemerintahan
berdasarkan
asas
otonomi/tugas
desentralisasi dan tugas pembantuan. Untuk urusan yang diserahkan kepada daerah, pemerintah pusat wajib menyertainya dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Urusan pemerintahan daerah yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah
diselenggarakan
berdasarkan
kriteria
eksternalitas,
akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan
pemerintahan,
terdiri
atas
urusan
wajib
dan
urusan
pilihan.
Penyelenggaraan urusan yang bersifat wajib harus berpedoman pada standar pelayanan minimal serta dilaksanakan secara bertahap oleh pemerintahan daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Alokasi anggaran yang ditujukan pada setiap urusan pemerintahan dan organisasi perangkat daerah/SKPD, selama ini hanya mengikuti acuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan provinsi, namun sedikit sekali kreasi atau inovasi dari pemerintah daerah. Kalau pun pemerintah daerah hendak menentukan suatu kebijakan alokasi anggaran yang sedikit berbeda dengan ketentuan dari pemerintah pusat dan provinsi, maka koridornya harus tetap dalam arahan yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, kemudian memperhatikan hasil kesepakatan dengan DPRD.
Pada tataran implementasi, perumusan
kebijakan alokasi anggaran khususnya belanja daerah, seringkali didasarkan pada kompilasi dari setiap usulan pada saat Musrenbang, Jum’at keliling (Jumling), hasil reses DPRD, usulan Rencana Kerja (Renja) dari organisasi perangkat daerah/SKPD dan arahan khusus dari kepala daerah, dimana selanjutnya dikelompokkan dan dirumuskan menjadi arah kebijakan alokasi belanja daerah untuk satu tahun anggaran yang akan datang. Jadi, agenda pembangunan dan
target kinerja yang telah dirumuskan sebelumnya dalam dokumen RPJMD hanya berfungsi sebagai titik-tolak atau pedoman semata, namun jenis-jenis layanan yang akan diberikan serta target kinerja yang akan dicapai, selalu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang selama proses mekanisme pembangunan tahunan dan ditambah dengan agenda pembangunan lainnya yang sudah ditetapkan terlebih dahulu menjadi kegiatan tahun jamak (multy years). Oleh karena itu, perlu dirumuskan suatu kebijakan alternatif alokasi belanja daerah yang bertitik-tolak dari dokumen RPJMD, kemudian secara konsisten dijabarkan dalam RKPD, KUA dan PPAS hingga APBD pada setiap tahun anggaran. Kebijakan dimaksud dirumuskan secara sederhana kedalam sejumlah tema (tematik) yang mencerminkan substansi dari misi pemerintah daerah. Rumusan tematik ini, kemudian dijabarakan lagi menjadi prioritas pembangunan daerah, dan pada setiap prioritas ditetapkan pula mengenai fokus pada obyek yang menjadi sasaran di masing-masing urusan pemerintahan/SKPD, sehingga akhirnya bermuara pada jenis-jenis layanan dan target kinerja pelayanan yang akan dicapai pada tahun anggaran yang berkenaan. Ringkasan dari alur pikir mengenai pendekatan tematik dalam alokasi anggaran dan pengaruhnya terhadap jenis-jenis layanan beserta target kinerja yang akan dicapai, dapat dilihat pada gambar 2 berikut ini.
Gambar 2.
Keterkaitan antara Kebijakan Alokasi Belanja Daerah menurut Pendekatan Tematik terhadap Jenis-Jenis Layanan dan Kinerja Pelayanan.
3.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan alokasi belanja daerah Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengendalian, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah.
Sementara itu, keuangan daerah
adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena itu, pengelolaan keuangan daerah akan selalu melekat (embedded) dengan nomenklatur APBD dan seringkali dianggap sama dengan pengelolaan APBD. Dalam kaitan itu, APBD dipahami sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD dimaksud merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah. Pada sisi lain, APBD dinilai sebagai pencerminan dari program kerja yang diwujudkan dalam bentuk uang (anggaran) dengan didasarkan pada : (1) komitmen politik dari penyelenggara pemerintahan daerah untuk mendanai seluruh program dan kegiatan pembangunan yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana lima tahunan berupa RPJMD maupun dokumen rencana tahunan berupa RKPD; (2) kesepakatan antara Pemerintah Daerah dan DPRD yang telah ditetapkan dalam dokumen KUA dan PPAS bermuara pada penetapan APBD dengan peraturan daerah. Oleh karena itu, APBD adalah identik dengan perencanaan jangka pendek yang merupakan penjabaran dari perencanaan jangka menengah daerah sebagai bagian dari perencanaan jangka panjang daerah, dengan tahapan yang dimulai dari penyusunan APBD, penyampaian kepada DPRD, pembahasan dan klarifikasi dengan Badan Anggaran DPRD, persetujuan bersama, kemudian evaluasi oleh Gubernur dan perbaikan sesuai dengan hasil evaluasi Gubernur hingga akhirnya penetapan APBD dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
Dengan memperhatikan tahapan di atas, berarti posisi dari pokok kajian yang berkenaan dengan Pengembangan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah berada pada tahap awal, yaitu tahapan penyusunan APBD.
Menurut
Kepmendagri Nomor 29 tahun 2002 bahwa secara konseptual, penyusunan APBD adalah proses penganggaran daerah yang terdiri atas Formulasi Kebijakan Anggaran (budget policy formulation) dan Perencanaan Operasional Anggaran (budget operational planning). Sebagai bagian dari kebijakan anggaran tersebut, pemerintah daerah menyampaikan rancangan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) kepada DPRD secara bersamaan, paling lambat pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan, untuk selanjutnya dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD serta disepakati bersama dalam bentuk Nota Kesepakatan. Kedua dokumen dimaksud, baik KUA maupun PPAS berfungsi sebagai landasan dalam penyusunan RAPBD pada tahun anggaran berikutnya. Oleh karena itu, penyusunan KUA dan PPAS termasuk dalam kategori Formulasi Kebijakan Anggaran (budget policy formulation) yang menjadi acuan dalam Perencanaan Operasional Anggaran (budget operational planning) dalam hal ini penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD).
Untuk itu, Formulasi Kebijakan Anggaran,
dalam hal ini dimplementasikan kedalam dokumen KUA dan PPAS, didalamnya berkaitan dengan analisis fiskal, baik formulasi pendapatan derah, belanja daerah maupun pembiayaan daerah, sedangkan Perencanaan Operasional Anggaran lebih ditekankan pada alokasi sumber daya keuangan kedalam obyek dan rincian obyek RKA- SKPD sesuai dengan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara yang telah ditetapkan dan disepakati dalam dokumen KUA dan PPAS. Secara ringkas, kerangka pemikiran yang digunakan dalam kajian ini dapat dilihat pada 3 berikut ini.
gambar
Gambar 3
: Keterkiat terkiatan antara Pengembangan Kebijakan Alternatif ernatif Alokasi Belanja lanja Daerah menurut Pendekatan Tematik dengan FaktorFaktor tor yang ya Mempengaruhinya
Dengan mengacu engacu pada gambar 3 di atas, maka dalam Kajian Pengembangan Kebijakan bijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah ini, maka fokusnya ditekankan pada perumu erumusan kebijakan yang akan diterapkan dalam alam dokumen KUA dan PPAS hingga ingga dijadikan sebagai pedoman dalam penyusuna yusunan RKA-
SKPD dan bermuara pada pa penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD. Oleh karenaa itu, kriteria yang berpengaruh terhadap penentuan ntuan kkebijakan alternatif alokasi belanja daerah, yaitu : (1) indikasi program dan kegiatan pembangunan serta target kinerja yang telah ditetapkan dalam dokumen umen RPJMD; (2)
hasil
Musrenbang
Musyawarah warah
Perencanaan
Desa/Kelu a/Kelurahan,
SKPD/Pra-Musrenbang
Pembangunan
Musrenbang
maupun
(Musrenbang enbang),
Kecamatan,
Musrenbang
termasuk masuk
Kabupaten;
(3)
baik Forum
prediksi
kemampuan APBD D pada pad tahun yang bersangkutan; (4) evaluasi aluasi kinerja penyelenggaraan pemeri emerintahan daerah; (5) hasil aspirasi yangg disa disampaikan melalui Reses DPRD, RD, Jumat J keliling (Jumling), dan aspirasi melalu elalui Daerah pemilihan (Dapil) anggotan angg DPRD; (6) Agenda pembangunan an ya yang telah
ditetapkan oleh pemerinta erintah pusat dan/atau pemerintah provinsi dann (7) peraturan dan ketentuan yang tertuang tertua dalam pedoman penyusunan APBD yang ang ditetapkan d
pada setiap tahun anggaran oleh Mendagri.
Ketujuh kriteria di atas, diduga
berpengaruh terhadap penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah di Kabupaten Bogor.
3.2.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam Kajian Pembangunan Daerah ini meliputi
metode pengumpulan data, metode pengolahan dan analisis data serta metode rancangan program. Hasil akhir dari kajian ini adalah berupa rekomendasi kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dalam penyusunan KUA dan PPAS yang bermuara pada penyusunan APBD Kabupaten Bogor pada setiap tahun anggaran.
3.2.1. Lokasi Penelitian Lokasi Kajian Pembangunan Daerah dilaksanakan di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kajian ini dilaksanakan selama empat bulan dari Januari sampai dengan April 2010. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purpose) dengan beberapa pertimbangan, antara lain : (1) Pemerintah Kabupaten Bogor telah melaksanakan anggaran berbasis kinerja sejak tahun anggaran 2001 hingga sekarang ; (2) Pemerintah Kabupaten Bogor telah merealisasikan RPJMD (dulu disebut Renstra) tahap pertama, yaitu periode 2003-2008, sehingga sejalan dengan rencana pengumpulan data bagi kajian tersebut.
3.2.2. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam Kajian Pembangunan Daerah ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan narasumber dari Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Badan Anggaran DPRD (Banang DPRD) serta pengisian kuisioner dengan program AHP. Responden dipilih secara sengaja (purposive sampling) terdiri atas anggota TAPD dan Banang DPRD yang memahami dan terlibat secara langsung dengan
penentuan kebijakan alokasi belanja daerah pada setiap tahun anggaran. Data primer dimaksud diperoleh dari hasil wawancara/pengisian kuesioner dari responden/nara sumber sebanyak 5 orang, terdiri dari unsur Tim Anggaran Pemerintah Daerah dan anggota Banang DPRD untuk mengetahui persepsi dari responden tentang kebijakan alternatif alokasi belanja daerah yang dapat diterapkan di Pemerintah Kabupaten Bogor pada tahun yang akan datang. Pengolahan data dari hasil wawancara adalah dengan menggunakan perangkat lunak EXPERT CHOICE 2000 yang dibuat oleh Expert Choice Inc. Sementara itu, jenis data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) berupa data pokok perencanaan pembangunan daerah, data dari Dokumen RKPD, KUA dan PPAS, serta dari Dinas Pendapatan, Keuangan dan Barang Daerah (DPKBD) Kabupaten Bogor, berupa Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Bogor, Perda tentang APBD dan Peraturan Bupati
tentang
Penjabaran
APBD
selama
2003-2008,
Laporan
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (LPJP) berupa Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kemudian dari Badan Pusata Statistik Kabupaten Bogor, publikasi beberapa penelitian terdahulu dan sumber terkait lainnya dari internet. Ringkasan metode pengumpulan data yang akan digunakan dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Metode Analisis
Tujuan
Data yang Diperlukan
Sumber Data
Analisis Kesenjangan (gap analysis)
Mengevaluasi konsistensi antara rencana alokasi belanja daerah dalam dokumen perencanaan (KUA dan PPAS) dengan realisasi alokasi belanja daerah yang telah ditetapkan dalam dokumen penganggaran, dalam hal ini dokumen APBD
- Buku KUA dan PPAS tahun anggaran 20072008 - Buku APBD, Perubahan APBD dan Penjabaran APBD tahun anggaran 20072008 - Buku LKPJ dan LPJP Bupati Bogor tahun anggaran 2007-2008
Analisis Tipologi Klassen
Mengidentifikasi dan melakukan pemetaan atas kebijakan alokasi belanja daerah yang telah diterapkan selama ini di Kabupaten Bogor
- Data rencana alokasi belanja daerah, baik jumlah maupun prosentase yang disepakati dalam dokumen KUA dan PPAS dengan realisasi alokasi belanja daerah yang telah ditetapkan dalam dokumen APBD selama 2 tahun anggaran, yaitu 2007 dan 2008 - Data target/alokasi belanja daerah dalam APBD selama tahun 2003- 2008 - Data laju pertumbuhan dan kontribusi dari setiap alokasi belanja menurut urusan pemerintahan/SKPD, kelompok belanja dan prioritas pembangunan - Data hasil wawancara dengan TAPD dan Banang DPRD melalui metode AHP
- Data hasil formulasi dan simulasi
- Data hasil kajian ini
AHP (Analytichal Hierarchy Process)
Merancang kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik di Kabupaten Bogor Pendekatan Melakukan sinergi antara Tematik rumusan rencana hingga target kinerja dengan alokasi pagu anggaran atau plafon anggaran sementara Sumber : Hasil Analisis
- Buku APBD, Perubahan APBD dan Penjabaran APBD tahun anggaran 20032008 - Buku LKPJ dan LPJP Bupati Bogor tahun anggaran 2003-2008
- Anggota TAPD dan Banang DPRD yang menjadi narasumber
3.2.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam Kajian Pembangunan Daerah ini antara lain metode Statistik Deskriptif dan metode Kuantitatif. Alat analisis yang digunakan dalam kajian pembangunan daerah ini secara umum terdiri atas : (1) analisis konsistensi antara kebijakan alokasi belanja daerah yang telah disepakati dalam dokumen perencanaan (dokumen KUA dan PPAS) dengan realisasi alokasi belanja daerah yang telah ditetapkan dalam dokumen penganggaran (dokumen APBD) dengan metode analisis kesenjangan (Gap
Analysis), yaitu perbandingan antara jumlah dan proposi dari alokasi belanja daerah dalam dokumen KUA dan PPAS dengan realisasi alokasi belanja daerah dalam dokumen APBD; (2) analisis pola kebijakan atau pemetaan kebijakan alokasi belanja daerah yang telah diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dengan metode Tipologi Klassen (modifikasi untuk kebutuhan kajian ini), dimana hasilnya berupa klasifikasi belanja daerah sangat prioritas, cukup prioritas, kurang prioritas dan tidak perioritas; (3) analisis kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik, yaitu dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Pengolahan data untuk analisis pertama dan kedua menggunakan program Microsoft Excel sedangkan analisis ketiga dengan menggunakan Program Expert Choice 2000. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai tiga jenis metode analisis di atas, dijelaskan secara rinci sebagai berikut.
3.2.3.1. Metode Analisis Kesenjangan (Gap Analysis) Analisis konsistensi antara kebijakan alokasi belanja daerah dalam dokuen KUA dan PPAS dengan realisasi alokasi belanja daerah dalam dokumen APBD adalah dengan menggunakan analisis kesenjangan (Gap Analysis), yaitu perbedaan antara jumlah dan proporsi belanja daerah yang telah disepakati dalam Nota Kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan DPRD Kabupaten Bogor tentang Kebijakan Umum APBD (KUA) serta
Prioritas dan Plafon
Anggaran Sementara (PPAS) dengan realisasi alokasi belanja daerah yang telah menjadi keputusan bersama antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan DPRD Kabupaten Bogor dan telah disahkan pula dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang APBD selama dua tahun anggaran yaitu periode 2007-2008.
Berdasarkan
perbedaan proporsi antara rencana dan realisasi alokasi belanja daerah tersebut, maka dapat diklasifikasikan tingkat kesenjangannya (gap) kedalam kategori tinggi, sedang dan rendah.
3.2.3.1. Metode Analisis Tipologi Klassen (Klassen Tipologi) Alat analisis Tipologi Klassen (Klassen Tipologi) digunakan untuk mengetahui pola kebijakan atau pemetaan kebijakan alokasi belanja daerah yang telah diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, baik berkenaan dengan kebijakan pada tataran urusan pemerintahan/SKPD, kelompok belanja daerah maupun prioritas pembangunan selama periode 2003-2008. Analisis Tipologi Klassen pada dasarnya membagi belanja daerah berdasarkan 2 indikator utama, yaitu : (1) rata-rata laju pertumbuhan alokasi belanja daerah; (2) rata-rata jumlah nominal (kontribusi) dari alokasi belanja daerah. Bertitik-tolak dari dua indikator utama tersebut, maka diperoleh 4 karakteristik gambaran atau pemetaan alokasi belanja daerah yang berbeda-beda sebagai berikut : 1. Belanja Daerah Sangat Prioritas (high growth and high budget), yaitu urusan pemerintahan/SKPD, kelompok belanja dan prioritas pembangunan daerah yang memiliki rata-rata laju pertumbuhan belanja daerah dan rata-rata nominal (kontribusi) belanja daerah yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata belanja daerah Kabupaten Bogor. 2. Belanja Daerah Cukup Prioritas (high growth and low budget), yaitu urusan pemerintahan/SKPD, kelompok belanja daerah dan prioritas pembangunan daerah yang memiliki rata-rata laju pertumbuhan belanja daerah lebih tinggi, tetapi rata-rata nominal (kontribusi) belanja daerah yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata belanja daerah Kabupaten Bogor. 3. Belanja Daerah Kurang Prioritas (low growth and high budget), yaitu urusan pemerintahan/SKPD, kelompok belanja daerah dan prioritas pembangunan daerah yang memiliki rata-rata laju pertumbuhan belanja daerah lebih rendah, tetapi rata-rata nominal (kontribusi) belanja daerah yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata belanja daerah Kabupaten Bogor. 4. Belanja Daerah Tidak Prioritas (low growth and low budget), yaitu urusan pemerintahan/SKPD, kelompok belanja daerah dan prioritas pembangunan daerah yang memiliki rata-rata laju pertumbuhan belanja daerah dan rata-rata nominal (kontribusi) belanja daerah yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata belanja daerah Kabupaten Bogor.
Langkah-langkah yang dilakukan untuk mendapatkan klasifikasi sesuai dengan analisis tipologi Klassen, yaitu : (1) menghitung rata-rata nominal (kontribusi) dari alokasi belanja daerah menurut kelompok belanja, komponen belanja, urusan pemerintahan/SKPD dan prioritas pembangunan daerah; (2) menghitung rata-rata laju pertumbuhan dari
alokasi belanja daerah menurut
kelompok belanja, komponen belanja, urusan pemerintahan/SKPD dan prioritas pembangunan daerah; (3) mengklasifikasikan masing-masing data rata-rata nominal dan rata-rata laju belanja daerah pada poin (1) dan poin (2) di atas, kedalam matriks tipologi Klassen (Mahmudi, 2010). Dengan mengadopsi model analisis Tipologi Klassen maka dapat diketahui empat klasifikasi pola kebijakan atau pemetaan alokasi belanja daerah sebagaimana dinyatakan diatas, yaitu belanja daerah sangat prioritas, cukup prioritas, kurang prioritas dan belanja daerah tidak prioritas. Ringkasannya dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3 : Klasifikasi Belanja Daerah menurut Tipologi Klassen si > S
si <S
Kontribusi
Laju Pertumbuhan gi > G
Belanja Daerah Sangat Prioritas
Belanja Prioritas
Daerah
Cukup
Kuadran II Belanja Daerah Prioritas
Tidak
Kuadran I gi < G
Belanja Daerah Kurang Prioritas
Kuadran III Kuadran IV Ket: gi = Laju pertumbuhan belanja daerah menurut kelompok belanja, komponen belanja, urusan pemerintahan/SKPD dan prioritas pembangunan daerah si = Kontribusi belanja daerah menurut kelompok belanja, komponen belanja, urusan pemerintahan/ SKPD dan prioritas pembangunan daerah G = Laju pertumbuhan belanja daerah secara total S = Kontribusi belanja daerah secara total
3.2.3.2. Metode Analisis Hirarki Proses (Analitycal Hierarchy Process) Kebijakan
alternatif
alokasi
belanja
daerah
dirancang
dengan
menggunakan metode Analisis Hirarki Proses atau Analytical Hierarchy Process
(AHP). Metode ini adalah satu metode analisis yang digunakan untuk mengamati keputusan yang kompleks dengan menggunakan pendekatan matematika dan psikologi atau persepsi manusia. Selain itu, metode ini dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan informasi dan berbagai keputusan secara rasional (judgement)
agar dapat memilih alternatif yang paling disukai (Saaty, 1991). Metode ini pula dimaksudkan untuk membantu memecahkan masalah kualitatif yang kompleks dengan memakai perhitungan kuantitatif, melalui proses pengekspresian masalah dimaksud dalam kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dilakukannya proses pengambilan keputusan secara efektif. Prinsip kerja AHP adalah menyederhanakan suatu persoalan kompleks dan tidak terstruktur, serta bersifat strategik dan dinamis melalui upaya penataan rangkaian variabelnya dalam suatu hirarki. Beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam menerapkan AHP adalah : (1) menentukan hirarki, yaitu merumuskan persoalan menjadi unsur-unsur dalam wujud kriteria dan alternatif yang disusun dalam bentuk hirarki, biasanya dalam bentuk struktur berupa diagram pohon yang terdiri dari tujuan, pelaku, aspek dan alternatif kebijakan; (2) tahap menentukan aspek atau kriteria, digunakan untuk membuat keputusan yang dapat dilengkapi juga dengan sub aspek/sub kriteria hingga bentuk alternatif kebijakan yang terkait dengan masing-masing aspek/kriteria tersebut; (3) tahap penilaian aspek/kriteria, yaitu untuk melihat pengaruh strategis terhadap pencapaian tujuan, yang dinilai melalui perbandingan berpasangan.
Nilai
dan
definisi
pendapat
kualitatif
berdasarkan
skala
perbandingan Saaty (1991) pada tabel dibawah ini; (4) tahap menetapkan prioritas yaitu menentukan prioritas dengan teknik perbandingan berpasangan (pairwise
comparison) dari masing-masing aspek/kriteria atau sub kriteria dengan membandingkan satu sama lain dengan skala banding yang telah ditetapkan tersebut; (5) tahap sintesis yaitu penyatuan keputusan dengan cara pembobotan dan penjumlahan untuk menghasilkan satu bilangan yang menunjukkan prioritas setiap elemen; (6) tahap mempertimbangkan konsistensi untuk menjamin semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkat secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis.
Penilaian kriteria atas aspek/kriteria melalui
perbandingan berpasangan dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini. Tabel 4 : Penilaian Kriteria berdasarkan Skala Perbandingan Saaty Nilai
Keterangan
1
A dan B sama penting
3
A sedikit lebih penting dari B
5
A lebih penting dari B
7
A sangat lebih penting dari B
9
A mutlak lebih penting dari B
2,4,6,8
Ragu-ragu dalam menentukan dua nilai yang berdekatan
Sumber : Saaty, Thomas L. 1991. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin. PT. Pustaka Binaman Presindo. Jakarta Metode AHP dalam kajian ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak EXPERT CHOICE 2000 yang dibuat oleh Expert Choice Inc. Hasil akhir dari keputusan yang dibuat dengan AHP adalah rekomendasi bagi kebijakan alternatif
alokasi
belanja
daerah
menurut
pendekatan
tematik
dengan
mempertimbangkan aspek/kriteria yang mempengaruhi kebijakan dimaksud. Uraian rinci berkenaan dengan kuesioner pengumpulan data dengan metode AHP disajikan pada lampiran. Ketiga metode analisis yang telah dijelaskan di atas, secara keseluruhan akan bermuara pada perumusan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah dengan alur pikir sebagai berikut.
Klasifikasi Kesenjangan Analisis Kesenjangan
Metode Analisis
- Kesenjangan Tinggi - Kesenjangan Sedang - Kesenjangan Rendah
Tipologi Klassen
Pemetaan atau Klasifikasi Kebijakan Alokasi Belanja Daerah - Belanja Daerah Sangat Prioritas - Belanja Daerah Cukup Prioritas - Belanja Daerah Kurang Prioritas - Belanja Daerah Tidak Prioritas
Analytical Hierarchy Process (AHP)
Pilihan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah
Pendekatan Tematik
Rancangan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah Menurut Pendekatan Tematik - Misi dan Prioritas Pembangunan - Fokus dan Obyek menurut tema-tema (tematik)
Gambar 4 : Keterkaitan antara Metode Analisis dengan Rancangan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah menurut Pendekatan Tematik
3.2.4. Pendekatan Tematik untuk Rancangan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah Tema adalah pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988). Selanjutnya, tema merupakan alat atau wadah untuk mengedepankan berbagai konsep agar mudah difahami secara utuh. Dalam implementasi, tema disampaikan dengan maksud untuk menyatukan substansi atau konsepsi, agar idenya terangkum kedalam satu kesatuan yang utuh. Sementara itu, tematik adalah bersifat tema atau menjadi
tema ataupun sesuatu yang dikemas dalam suatu tema disebut dengan tematik. Jadi, pendekatan tematik adalah pendekatan yang menggunakan tema sebagai pemersatu konsepsi, substansi atau ide pemikiran sesuai dengan yang ingin dikembangkan.
Pendekatan
tematik
ini
merupakan
satu
usaha
untuk
mengintegrasikan atau mengaitkan beberapa konsep dengan konsep lain yang telah dipahami, sehingga bermakna bagi pembentukan konsepsi baru sesuai dengan kebutuhan. Dalam pelaksanaannya, pendekatan tematik ini bertolak dari suatu tema yang dipilih dan dikembangkan, kemudian dengan memperhatikan keterkaitannya dengan berbagai aspek lainnya, maka menjadi sentral yang harus dikembangkan. Pilihan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik adalah suatu rancangan kebijakan alokasi belanja daerah yang menggunakan teknik analisis tema (themes analysis) sebagai alatnya atau dikenal dengan pendekatan tematik (thematic approach). Menurut Burhan Bungin (2003) bahwa teknik analisis tema memiliki bentuk yang sama dengan teknik analisis domain, tetapi muatan analisisnya berbeda. Dalam menganalisis data dengan teknik analisis tema, hasilnya akan menyerupai seperti “sarang laba-laba”, maksudnya setiap domain atau tema-tema yang dianalisis akan memiliki garis simpul satu sama lainnya, sehingga pada akhirnya tampak menyerupai sarang laba-laba yang terstruktur. Dengan teknis analisis tema akan dicoba dihimpun beberapa tema yang terkonsentrasi pada domain-domain tertentu, kemudian menemukan hubungan-hubungan yang terdapat pada domain-domain yang dianalisis, sehingga akan membentuk suatu kesatuan yang holistik, dan terpola dalam suatu “complex pattern” yang pada akhirnya akan menampakkan tentang tema-tema yang paling mendominasi suatu domain yang sedang dirancang. Dengan memperhatikan pengertian di atas, maka batasan dari pendekatan tematik adalah kebijakan alokasi belanja daerah yang didasarkan pada tema-tema tertentu, berawal dari rumusan misi pemerintah daerah, kemudian dijabarkan kedalam prioritas pembangunan, fokus kebijakan, sasaran strategis, target kinerja hingga kegiatan tematik untuk mengatasi masalah kronis dan perbaikan kinerja yang senantiasa muncul pada setiap tahun anggaran, kemudian dipilih dan ditetapkan menjadi tema-tema (tematik) kebijakan yang diterapkan secara
berkesinambungan dan mendapatkan kepastian alokasi belanja pada setiap tahun anggaran hingga akhir periode berlakunya dokumen RPJMD. Langkah-langkah untuk implementasi dari pendekatan tematik terdiri dari dua tahap, yaitu : (1) merumuskan terlebih dahulu tema-tema (tematik) dalam dokumen perencanaan tahunan sebagai penjabaran dari dokumen lima tahunan/RPJMD; (2) menentukan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara yang sifatnya permanen, baik alokasi dasar maupun alokasi proporsional menurut tema-tema (tematik) yang telah ditetapkan dan mengaitkannya dengan target kinerja yang telah ditetapkan. Kedua langkah tersebut, jika sudah dirumuskan tematiknya dan ditetapkan pagu anggaran atau plafon anggaran sementaranya, maka langkah terakhir adalah mengadopsinya dan memasukannya kedalam dokumen KUA dan PPAS sebagai kebijakan alokasi belanja daerah pada setiap tahun anggaran. Untuk implementasi tahap pertama yaitu perumusan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik dilakukan dengan contoh format berikut ini. Tabel 5 : Contoh Format Implementasi dari Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah Misi Pertama : Meningkatkan Kualitas Infrastruktur Wilayah Prioritas Pembangunan Daerah 1.
Peningkata n Kualitas Infrastrukt ur Wilayah
Fokus Kebijakan
Sasaran Strategis
Target Kinerja
1. Jalan kabupaten yang bernomor ruas
1. Bertambahnya kondisi mantap jalan kabupaten
1. Jalan mantap kabupaten sepanjang 300 km
Kegiatan Tematik
1. Pembangunan jalan
2. Peningkatan jalan 3. Rehabilitasi jalan 4. Pemeliharan jalan
2.dst…….
Sumber : Hasil analisis Tahap kedua adalah menentukan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara, baik alokasi dasar maupun alokasi proporsional menurut tema-tema (tematik kegiatan) yang telah ditetapkan dan mengaitkannya dengan target kinerja yang telah ditetapkan. Dengan mengacu pada contoh rumusan kegiatan tematik pada tabel 5, maka dapat ditentukan besaran alokasi belanja daerah untuk setiap kegiatan dengan bertitik-tolak dari : (1) target kinerja dari kegiatan tematik ditentukan terlebih dahulu pada tahun anggaran yang berkenaan dengan
mengaitkan antara target kinerja lima tahunan dengan penjabarannya pada setiap tahun; (2) persyaratan lainnya, yaitu sudah tersedianya analisis standar belanja (ASB) untuk masing-masing jenis kegiatan tematik. Dengan demikian, diketahui jumlah pagu anggaran atau plafon anggaran sementara untuk setiap kegiatan tematik, dengan formula, yaitu : Plafon anggaran sementara = Target Kinerja x
ASB. Akhirnya, penetapan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara untuk setiap kegiatan tematik dapat diurutkan dengan format pada tabel di bawah ini. Tabel 6 : Contoh Penentuan Plafon Anggaran Sementara untuk Kegiatan Tematik Misi Pertama Prioritas Pembangunan Daerah Fokus Kebijakan Sasaran Strategis Target Kinerja
1. Jalan mantap kabupaten sepanjang 300 km
2.dst……
: Meningkatkan Kualitas Infrastruktur Wilayah : Peningkatan Kualitas Infrastruktur Wilayah : Jalan kabupaten yang bernomor ruas : Bertambahnya kondisi mantap jalan kabupaten Kegiatan Tematik Plafon Anggaran Sementara Periode 2003-2008 (Rp. Miliar) 2004
2005
2006
2007
2008
-
-
-
-
-
2. Peningkatan jalan
60
60
60
60
60
3. Rehabilitasi jalan
-
-
-
-
-
4. Pemeliharan jalan
dst
dst
Dst
dst
dst
-
-
-
-
-
1. Pembangunan jalan
1.dst…….
Sumber : Hasil analisis
Tahap terakhir dari penerapan dua format implementasi dari kebijakan alternatif alokasi belanja daerah di atas, yaitu setiap SKPD mengajukan usulan Pra-Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (Pra-RKA SKPD) sesuai dengan format dan tahapan di atas, kemudian diikuti dengan tahapan verifikasi Pra-RKA oleh anggota Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), agar diketahui konsistensi antara rumusan rencana hingga target kinerja dengan penganggaran berupa pagu anggaran
atau
plafon
anggaran
sementara,
agar
memudahkan
untuk
memasukannya kedalam format penyusunan dokumen KUA dan PPAS pada setiap tahun anggaran.
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 1.4.
Kondisi Fisik Wilayah dan Administratif Pemerintahan Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten dalam lingkungan
Propinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kabupaten Bogor adalah 298.939,304 Ha, dan secara geografis terletak antara 6° 19’ - 6° 47’ Lintang Selatan dan 106° 1’ - 107° 103’ Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kabupaten Tangerang Selatan, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Depok di sebelah Utara, kemudian dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Karawang di sebelah Timur, sedangkan di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur, sementara di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak, Propinsi Banten serta di tengah-tengah terletak Kota Bogor. Topografi wilayah Kabupaten Bogor sangat bervariasi, yaitu berupa daerah pegunungan di bagian Selatan, hingga daerah dataran rendah di sebelah Utara. Keberadaan sungai-sungai di wilayah Kabupaten Bogor posisinya membentang dan mengalir dari daerah pegunungan di bagian Selatan ke arah Utara. Di wilayah Kabupaten Bogor terdapat 6 Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Cidurian, DAS Cimanceuri, DAS Cisadane, DAS Ciliwung, Sub DAS Kali Bekasi serta Sub DAS Cipamingkis dan Cibeet. Sungai-sungai pada masingmasing DAS tersebut mempunyai fungsi dan peranan yang sangat strategis yaitu sebagai sumber air untuk irigasi, rumah tangga dan industri serta berfungsi sebagai drainase utama wilayah. Disamping itu, di Kabupaten Bogor terdapat 91 danau atau situ dengan luas total 496,28 Ha serta 63 mata air. Situ-situ dimaksud berfungsi sebagai reservoir atau tempat peresapan air dan beberapa diantaranya dimanfaatkan sebagai obyek wisata atau tempat rekreasi dan budidaya perikanan. Komposisi pemanfaatan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 2000 menurut luas wilayah diatas, yaitu untuk kawasan hutan lindung 42.175 Ha (13,30 %), kawasan lahan basah 56.888 Ha (17,94 %), kawasan lahan kering 47.756 Ha (15,06 %), kawasan tanaman tahunan 24.797 Ha (7,82 %), kawasan hutan produksi 51.529 Ha (16,25 %), kawasan pariwisata 1.681 Ha (0,53 %), kawasan permukiman perdesaan 20.326 Ha (6,41%),
kawasan permukiman
perkotaan 52.036 Ha (16,41 %), kawasan pengembangan perkotaan 14.527 Ha (4,60 %) dan kawasan peruntukan industri 5.327 Ha (1,68 %). Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 411 desa dan 17 kelurahan (428 desa/kelurahan), 3.639 RW dan 14.403 RT yang tercakup dalam 40 Kecamatan.
Jumlah kecamatan
sebanyak 40 tersebut merupakan jumlah
kumulatif setelah adanya hasil pemekaran 5 Kecamatan di tahun 2005, yaitu dengan membentuk Kecamatan Leuwisadeng (pemekaran dari Kecamatan Leuwiliang), Kecamatan Tenjolaya (pemekaran dari Kecamatan Ciampea), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran dari Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran dari Kecamatan Cijeruk), dan Kecamatan Tajurhalang (pemekaran dari Kecamatan Bojonggede). Selain itu, pada tingkatan desa, telah dibentuk pula sebuah desa baru pada akhir tahun 2006, yaitu Desa Wirajaya, sebagai hasil pemekaran dari Desa Curug pada Kecamatan Jasinga, sehingga jumlah keseluruhan menjadi 428 desa/kelurahan. Berdasarkan strategi perwilayahan pembangunan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor, maka wilayah Kabupaten Bogor dikelompokkan ke dalam 3 Wilayah Pembangunan, yaitu : (1) Strategi percepatan di wilayah Bogor Barat, yang mencakup 13 Kecamatan, yaitu Kecamatan Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea,
Tenjolaya,
Rumpin,
Cigudeg,
Sukajaya,
Jasinga,
Tenjo
dan
Parungpanjang, dengan total wilayah seluas 128.750 Ha; (2) Strategi pengendalian di wilayah Bogor Tengah, yang mencakup 20 Kecamatan, yaitu Kecamatan Dramaga, Ciomas, Tamansari, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi, Cisarua, Megamendung, Sukaraja, Babakan Madang, Citeureup, Cibinong, Bojonggede, Tajurhalang, Kemang, Rancabungur, Parung, Ciseeng dan Kecamatan Gunung Sindur, dengan total wilayah seluas 87.552 Ha; (3) Strategi pemantapan di wilayah Bogor Timur, yang mencakup 7 Kecamatan, yaitu Kecamatan Sukamakmur, Cariu, Tanjungsari, Jonggol, Cileungsi, Klapanunggal dan Kecamatan Gunung Putri, dengan total wilayah seluas 100.800 Ha.
1.5.
Kondisi Demografi dan Sosial Budaya Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2008 telah mencapai
4.302.974 jiwa, lebih tinggi dari jumlah penduduk pada tahun 2007 yang berjumlah 4.237.692 jiwa, berarti ada penambahan jumlah penduduk sebanyak 65.282 jiwa periode 2007-2008, yang disebabkan oleh pertumbuhan alami dan migrasi masuk ke Kabupaten Bogor. Jika dihitung Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kabupaten Bogor pada periode 2007-2008, maka LPP-nya adalah 1,53 %, lebih tinggi daripada LPP pada periode 2006-2007 yang mencapai 0,53 %. Sementara itu, dengan memperhatikan jumlah penduduk pada tahun 2008 dan luas wilayah Kabupaten Bogor di atas, maka tingkat kepadatan penduduk pada tahun 2008 telah mencapai 1.440 jiwa/km2 atau rata-rata 14 orang per hektar. Tingkat kepadatan penduduk tersebut bervariasi pada masing-masing kecamatan, dimana tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Ciomas, Bojonggede dan Kecamatan Cibinong, sedangkan kecamatan yang rendah kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Tanjungsari, Sukamakmur dan Kecamatan Sukajaya. Jumlah penduduk sebanyak 4.302.974 jiwa diatas, terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 2.212.158 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 2.090.816 jiwa, dan jika dihitung rasio jenis kelamin (sex ratio) diperoleh angkanya 105, artinya tiap 100 perempuan terdapat 105 laki-laki. Sementara itu, komposisi umur penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2008, yaitu usia 0-14 tahun sebanyak 1.227.638 jiwa, usia 15-64 tahun sebanyak 2.915.264 jiwa, dan usia 65 tahun ke atas sebanyak 160.072 jiwa. Dari komposisi umur tersebut, maka angka beban ketergantungan (dependency ratio) adalah 48, artinya bahwa tiap 100 orang yang produktif (umur 15-64 tahun) terdapat 48 orang yang tidak produktif (umur 0-14 tahun dan 65 tahun keatas). Pada tahun 2008, jumlah rumah tangga yang bermukim di wilayah Kabupaten Bogor adalah sebanyak 1.040.729 KK. Dengan memperhatikan jumlah penduduk di atas, maka dapat dihitung bahwa jumlah anggota rumah tangga di masing-masing keluarga rata-rata 4-5 jiwa/KK.
Kondisi ini mengindikasikan
bahwa keluarga di Kabupaten Bogor pada umumnya masih menganut konsep keluarga inti (nuclear family) atau konsep keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak sebanyak 2-3 orang. Dengan kata lain bahwa konsep keluarga di
Kabupaten Bogor masih mengikuti prinsip keluarga kecil bahagia dan sejahtera, meskipun pada wilayah kecamatan tertentu masih ditemukan keluarga dengan jumlah anggota di atas rata-rata Kabupaten Bogor atau dikenal dengan keluarga besar (extended family). Jika ditinjau dari agama yang dianut serta diakui oleh negara, maka penduduk Kabupaten Bogor terdiri atas penduduk yang beragama Islam sebanyak 4.206.587 orang (97,76%), Kristen Katholik sebanyak 25.818 orang (0,60%), Kristen Protestan sebanyak 46.472 orang (1,08%), Hindu sebanyak 2.155 orang (0,05%), Budha sebanyak 14.199 orang (0,33%), Kong Hu Chu sebanyak 6.884 orang (0,16%) dan Lainnya sebanyak 860 orang (0,02%).
Kondisi ini
mengungkapkan bahwa mayoritas penduduk Kabupaten Bogor adalah pemeluk agama Islam. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian/profesi, terdiri dari PNS sebanyak 53.783 orang (4,36 %), TNI/Polri sebanyak 11.472 orang (0,93%), karyawan/pegawai
swasta
sebanyak
332.444
orang
(26,95%),
wiraswasta/pengusaha sebanyak 366.983 orang (29,75 %), petani sebanyak 72.163 orang (5,85%), peternak sebanyak 1.233 orang (0,10%), jasa sebanyak 57.237 orang (4,64%), buruh sebanyak 330.596 orang (26,81%) dan profesi lainnya sebanyak 7.648 orang (0,62%). Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separoh penduduk Kabupaten Bogor berkecimpung sebagai karyawan, pegawai swasta, wirausaha mandiri, buruh maupun jasa, dan hanya sebagian kecil yang masih bertahan sebagai petani/peternak/pembudidaya ikan. Sementara itu, jumlah penduduk yang berumur 15 tahun keatas menurut jenjang pendidikan yang telah ditamatkan, yaitu tamat SD/sederajat sebanyak 1.837.922 orang (47,28%), SLTP/sederajat sebanyak 1.339.957 orang (34,47%), SLTA/sederajat sebanyak 558.218 orang (14,36%), Diploma I/II sebanyak 31.098 orang (0,80%), Diploma
Diploma III/Sarjana Muda sebanyak 31.487 orang (0,81%),
IV/Sarjana
(S-1)
sebanyak
63.363
orang
(1,63%),
Pasca
Sarjana/Magister (S-2) sebanyak 23.712 orang (0,61%) dan Pasca Sarjana/Doktor (S-3) sebanyak 1.554 orang (0,04 %).
Kondisi ini mengungkapkan bahwa
sebagian besar atau 81,75 % dari penduduk yang berusia 15 tahun ke atas, baru
menamatkan pendidikan dasar sembilan tahun atau setingkat SLTP/sederajat, sedangkan sisanya telah tamat SLTA hingga Sarjana. Jumlah penduduk dalam usia kerja (10-64 tahun) pada tahun 2008 berjumlah 3.386.010 orang, terdiri dari penduduk usia kerja yang berumur (10-14 tahun) sebanyak 470.656 orang dan penduduk usia kerja yang berumur (15-64 tahun) sebanyak 2.915.354 orang. Dari penduduk usia kerja 10-14 tahun, terdapat sebanyak 6.589 orang atau 1,40 %, yang telah bekerja atau disebut sebagai pekerja anak. Sementara itu, pada penduduk usia kerja 15-64 tahun, maka yang telah bekerja sebanyak 1.233.486 orang (42,31%), yang tidak/belum bekerja, seperti mahasiswa/pelajar, ibu rumah tangga dan lainnya sebanyak 351.300 orang (12,05%) dan yang sedang mencari kerja/pengangguran terbuka berjumlah sebanyak 598.032 (20,51%). Jadi, dari data ini, maka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja mencapai 38,42% dan tingkat pengangguran terbukanya telah mencapai 20,51%. Jumlah pengangguran terbuka yang mencapai 598.032 orang atau 20,51 % itu adalah yang tertinggi di Jawa Barat. Tingginya jumlah pengangguran ini disebabkan oleh rendahnya peluang kerja dan kesempatan kerja yang bisa dimasuki oleh tenaga kerja yang ada di wilayah Kabupaten Bogor. Bila dibandingkan dengan jumlah pengangguran terbuka yang berjumlah 459.167 orang atau 15,99% pada tahun 2007, maka angka tersebut
mengalami
peningkatan yang signifikan yaitu sebanyak 138.865 orang atau naik 4,52 %. Kondisi ini selain dipengaruhi oleh menurunnya laju pertumbuhan ekonomi juga disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk usia kerja yang mulai memasuki pasar kerja dengan peluang kerja dan kesempatan kerja yang tersedia, akibatnya peningkatan jumlah pengangguran terbuka sulit untuk dihindari.
Alasan-alasan yang dikemukakan berkenaan dengan tingginya
pengangguran terbuka, diantaranya mereka sedang mencari kerja/melamar, sementara belum/tidak bekerja, merasa tidak akan memperoleh pekerjaan, merasa sudah cukup dan tidak ingin mencari kerja dan alasan lainnya. Data indikator demografi Kabupaten Bogor secara umum dapat dilihat pada tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7 : Data Indikator Demografi Kabupaten Bogor Tahun 2005-2008 No
Indikator
Realisasi Kinerja 2006 2007 4.215.585 4.237.962 2,79 0,53
2008 4.302.974 1,53
459.167
598.032
42,31
38,42
2005 Jumlah penduduk (jiwa) 4.100.934 Laju pertumbuhan penduduk 3,94 (%) 3 Jumlah pengangguran terbuka 204.858 193.244 (org) 4 Tingkat Partisipasi Angkatan 50,66 50,41 Kerja (%) Sumber : Buku LKPJ Bupati Bogor Tahun Anggaran 2005-2008 1 2
1.6.
Kondisi Perekonomian Pergerakan ekonomi dapat diperhatikan dari nilai Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bogor berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Bogor, diketahui bahwa PDRB Kabupaten Bogor berdasarkan harga berlaku, yaitu sebesar Rp. 51,83 triliun pada tahun 2007, kemudian naik menjadi Rp. 59,60 triliun pada tahun 2008.
Demikian juga dengan nilai PDRB berdasarkan harga konstan, yaitu
sebesar Rp. 28,15 triliun pada tahun 2007, kemudian naik menjadi Rp. 29,76 triliun pada tahun 2008. Berkenaan dengan nilai PDRB di atas, maka dapat dihitung pula tingkat pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Bogor (PDRB dibagi dengan jumlah penduduk), maka pendapatan per kapita menurut PDRB harga berlaku pada tahun 2008, yaitu sebesar Rp. 13.851.605/kapita/tahun, sedangkan menurut PDRB harga konstan (setelah memperhitungkan tingkat inflasi), yaitu sebesar Rp. 6.917.362/kapita/tahun. Jika dilihat dari struktur ekonomi Kabupaten Bogor menurut nilai PDRB atas harga berlaku, maka kelompok sektor sekunder (industri manufaktur, listrik, gas & air serta bangunan) memberikan kontribusi terbesar setiap tahun, yaitu 69,81 %, kemudian sektor tersier (perdagangan, hotel & restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaaan dan jasa perusahaan, jasa-jasa lainnya) memberikan kontribusi berikutnya sebesar 23,97 % dan kontribusi terkecil adalah dari sektor primer (pertanian dan pertambangan), yaitu hanya 6,23 % dari total PDRB Kabupaten Bogor dan kontribusi sektor primer ini semakin menurun dari tahun ke tahun.
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor umumnya diukur melalui indikator pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan. Selama empat tahun terakhir, Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor menunjukkan peningkatan yang fluktuatif pada setiap tahun, yaitu semula 5,85% pada tahun 2005, kemudian secara berurutan meningkat menjadi 5,95% pada tahun 2006 dan 6,04 % tahun 2007, kemudian menurun lagi menjadi 5,74 % pada tahun 2008. Kondisi
ini
mengungkapkan
bahwa
periode
2005-2007
telah
terjadi
perkembangan ekonomi yang menggembirakan, namun di tahun 2008 mengalami penurunan, meskipun kontribusi terbesarnya masih berasal dari sektor sekunder. Selain itu, sektor tersier terus meningkat secara bertahap dan mengindikasikan mulai adanya pergeseran struktur ekonomi yang mengarah kepada sektor jasa. Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah pada tahun 2008 dibanding dengan tahun 2007, diantaranya karena kontribusi terbesarnya dari tingkat konsumsi dan pengeluaran pemerintah, sedangkan tingkat investasi dan ekspor neto Kabupaten Bogor relatif kecil, sehingga mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun 2008. Data indikator makro ekonomi Kabupaten Bogor dapat dilihat pada tabel 8 di bawah ini. Tabel 8 : Data Indikator Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2005-2008 NO
INDIKATOR
1
Nilai PDRB (Rp. Juta) a. Berdasarkan Harga Berlaku Primer Sekunder Tersier b.
Berdasarkan Harga Konstan Primer Sekunder
Tersier
2005
REALISASI KINERJA 2006 2007
2008
35.893.216
44.792.710
51.830.580
59.603.096
2.358.184 6,57% 24.317.654 67,75% 9.217.378 25,68% 23.558.830
2.610.580 5,83% 31.708.400 70,79% 10.473.730 23,28% 26.546.200
3.131.730 6,04% 36.733.750 70,87% 11.965.100 23,09% 28.150.050
3.712.268 6,23% 41.606.154 69,81% 14.284.674 23,97% 29.765.228
1.665.609 7,07% 15.805.619 67,09% 6.087.601 25,86%
1.673.750 6,31% 18.556.420 69,90% 6.316.030 23,79%
1.790.150 6,36% 19.617.100 69,69% 6.742.800 23,95%
1.827.117 6,14% 20.617.187 69,27% 7.320.924 24,60%
2
Pendapatan perkapita (PDRB perkapita) a. Harga Berlaku (Rp.)
8.559.766
10.625.503
12.230.072
13.851.605
Harga Konstan 5.618.278 6.297.157 6.642.355 (Rp.) 3 Laju Pertumbuhan 5,85 5,95 6,04 ekonomi (%) Sumber : Indikator Ekonomi Daerah Kabupaten Bogor, kerjasama antara Bappeda Kabupaten Bogor dan BPS Kabupaten Bogor.
6.917.362
b.
1.7.
Kondisi Taraf Kesejahteraan Rakyat Selain kondisi ekonomi yang telah dikemukakan di atas, salah satu
indikator dari taraf kesejahteraan rakyat yang biasa digunakan adalah indikator jumlah penduduk miskin dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin selama periode 2005-2008 sangat fluktuatif, tetapi secara rata-rata mencapai 26,16 % dari jumlah penduduk Kabupaten Bogor, dimana pada tahun 2005 adalah 1.084.718 jiwa (26,45 %), kemudian meningkat menjadi 1.157.391 jiwa (27,46 %) pada tahun 2006 dan berkurang kembali pada tahun 2007 menjadi 1.017.879 jiwa (24,02%) serta pada tahun 2008 menjadi 1.149.508 jiwa (26,71%).
Data tahun 2008 ini didasarkan pada data yang
diterbitkan oleh BPS dan digunakan oleh Departemen Kesehatan RI untuk menetapkan quota bagi masyarakat miskin di Kabupaten Bogor yang berhak mendapatkan pelayanan dari Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) mulai tahun anggaran 2009.
Hal ini antara lain
disebabkan oleh krisis ekonomi dan krisis multi dimensi yang terus berkelanjutan, diikuti pula oleh pengurangan subsidi BBM dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, sehingga kelompok masyarakat yang semula belum termasuk kategori penduduk miskin, dengan bertambahnya beban hidup, maka posisinya turun atau bergeser ke dalam kategori penduduk miskin. Dengan demikian, jika dihitung laju kenaikan penduduk miskin selama periode 2005-2008, maka jumlahnya adalah sebesar 1,99 % dari total jumlah penduduk Kabupaten Bogor. Sementara itu, kondisi taraf kesejahteraan rakyat Kabupaten Bogor yang diukur berdasarkan Indeks
Pembangunan Manusia
(IPM) menunjukkan
kecenderungan meningkat pada setiap tahun, yaitu semula angka IPM pada tahun
5,74
2005 adalah 68,99 poin, kemudian naik menjadi 69,45 poin pada tahun 2006, dan 70,18 poin pada tahun 2007, selanjutnya pada tahun 2008 telah mencapai 70,76 poin. Jika dihitung laju kenaikannya maka selama empat tahun, yaitu selama periode 2005-2008 rata-rata kenaikannya adalah 0,59 poin per tahun. Tingkat pencapaian rata-rata sebesar 0,59 poin tersebut, berdasarkan klasifikasi dari UNDP, maka tingkat kenaikannya termasuk dalam kategori pertumbuhan yang lamban, karena masih berada di bawah kenaikan 1,5 poin. Kondisi ini berkaitan erat dengan rendahnya kontribusi dari masing-masing indeks penyusun dari angka IPM itu sendiri, diantaranya mencakup indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks daya beli. Indeks-indeks dimaksud adalah akibat lanjutan dari rendahnya pencapaian dari komponen pembentuk angka IPM tersebut, yaitu Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Kemampuan Daya Beli masyarakat (menurut konsumsi riil per kapita). Namun demikian, angka pencapaian IPM sebesar 70,76 poin itu menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Bogor termasuk dalam klasifikasi masyarakat dengan taraf kesejahteraan menengah atas, tetapi belum termasuk taraf kesejahteraan atas atau masyarakat maju, karena angka IPM-nya belum mencapai angka IPM 80 sebagaimana standar yang telah ditetapkan oleh UNDP.
Data indikator
kesejahteraan rakyat dapat dilihat pada tabel 9 di bawah. Tabel 9 : Data Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Bogor Tahun 20052008 NO
INDIKATOR
1
Indeks Pembangunan Manusia (IPM-Komposit) a. Indeks Pendidikan b. Indeks Kesehatan c. Indeks Daya Beli Komponen IPM terdiri dari; a. Angka Harapan Hidup (AHH) (tahun) b. Angka Melek Huruf (AMH) (%) c. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) (tahun) d. Kemampuan Daya Beli Masyarakat (Konsumsi riil per kapita) (Rp/kap/bln)
2005 68,99
REALISASI KINERJA 2006 2007 69,45 70,18
2008 70,76
77,47 70,17 59,33
78,19 70,33 59,82
79,65 70,97 59,92
81,07 71,13 60,09
67,10
67,20
67,58
67,68
93,91
94,28
95,78
97,57
6,69
6,90
7,11
7,21
556.750
558.870
559.300
560.000
2
3
Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) Proporsi penduduk miskin (%)
1.084.718
1.157.391
1.017.879
1.149.508
26,45
27,46
24,02
26,71
Sumber : BPS dan Bappeda Kabupaten Bogor, 2008.
1.8.
Kondisi Sarana dan Prasarana Panjang jalan di wilayah Kabupaten Bogor adalah 1.758,056 km, terdiri
dari jalan Negara sepanjang 121,497 km (5 ruas), jalan Propinsi 129,989 km (5 ruas) dan jalan Kabupaten yang bernomor ruas 1.506,57 km (371 ruas). Selain itu, terdapat pula jalan-jalan yang tidak bernomor ruas atau jalan desa. Sampai dengan akhir tahun 2006, jalan Kabupaten yang berada dalam kondisi mantap (kondisi baik sampai dengan sedang) adalah sepanjang 928,2 km atau sebesar 61,61%, sedangkan sisanya sepanjang 578,37 km atau sebesar 38,39% berada dalam kondisi rusak. Sementara itu, jumlah jembatan di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 adalah sebanyak 682 buah, yang terdiri dari jembatan negara sebanyak 25 buah, jembatan provinsi sebanyak 98 buah, dan jembatan kabupaten pada jalan yang bernomor ruas sebanyak 559 buah dengan total panjang 5.784,4 m. Dari 559 jembatan pada jalan Kabupaten yang bernomor ruas, terdapat 392 buah (70,13%) berada dalam kondisi baik, 132 buah (23,61%) dalam kondisi sedang dan 35 buah (6,26%) dalam kondisi rusak. Belum memadainya infrastruktur transportasi disebabkan antara lain rendahnya jumlah pembangunan jalan baru, kemudian kemantapan jalan dan kondisi struktur jalan yang labil, serta tingginya frekuensi bencana alam dan beban lalu lintas/transporatsi yang sering melampaui kapasitas yang ditentukan. Jaringan irigasi yang ada di Kabupaten Bogor sangat berperan dalam mendukung produksi pertanian, karena dengan kontinuitas aliran air irigasi ke lahan-lahan pertanian akan menentukan tingkat produksi komoditas pertanian. Jaringan irigasi dalam kondisi rusak adalah 39,02 % dari 879 buah dan kondisi setu sebagai sumber air dalam kondisi rusak sebanyak 15 buah atau 16,48 % dari 91 buah setu. Selanjutnya, jumlah rumah di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 sebanyak 635.662 unit, dengan jumlah rumah terbanyak terdapat di Kecamatan Ciampea sebanyak 32.243 unit (rumah permanen 13.834 unit dan rumah tidak permanen
18.409 unit), sementara jumlah rumah paling sedikit di Kecamatan Rancabungur sebanyak 8.324 unit. Sementara itu, permukiman kumuh di Kabupaten Bogor tersebar di 187 lokasi dengan luas lahan sebanyak 240 Ha dan jumlah bangunan sebanyak 7.797 unit serta dihuni oleh 11.220 keluarga (KK). Sedangkan untuk jaringan listrik, maka rasio elektrifikasinya baru mencapai 50,96%, berarti masih sekitar 49,14 % kepala keluarga di Kabupaten Bogor yang belum menikmati listrik, terutama pada kantong-kantong permukiman/kampung yang sulit dijangkau oleh jaringan listrik. Hal ini disebabkan tingginya kebutuhan energi listrik akibat pertambahan penduduk, tetapi pada sisi lain tidak diimbangi dengan peningkatan pengadaan listrik sebagaimana yang diharapkan. Demikian juga dengan sarana dan prasarana permukiman, seperti persampahan baru terlayani sebanyak 736 m3/hari atau 24,17 % dari timbunan sampah di wilayah perkotaan atau hanya 22 kecamatan dari 40 kecamatan di Kabupaten Bogor. Selain itu, cakupan pelayanan air bersih baru mencapai 25 kecamatan dari 40 kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor. Cakupan tersebut merupakan gabungan dari pelayanan air bersih yang dilakukan oleh PDAM di 80 desa/kelurahan di 19 kecamatan dan cakupan pelayanan air bersih di luar PDAM, baru mencapai 56,86 % dari jumlah penduduk Kabupaten Bogor. Rendahnya cakupan pelayanan air bersih, diantaranya karena menurunnya ketersediaan sumber daya air baku dan daya dukung lingkungan, akibat tersumbatnya badan air/sungai oleh sedimentasi dan sebagainya.
1.9.
Kondisi Pemerintahan Kabupaten Bogor Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 2 Tahun 2004
tentang Rencana Strategis Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2003-2008 bahwa Rencana Strategis atau disebut Renstra adalah rencana lima tahunan yang menggambarakan visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, program dan kegiatan daerah.
Sejak tahun anggaran 2009 sampai saat ini, istilah Renstra hanya
digunakan untuk tataran SKPD, sedangkan pada tataran Pemerintah Kabupaten Bogor telah diganti dengan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Visi Pemerintah
Kabupaten Bogor adalah perpaduan dari visi kepala daerah dengan perangkat daerahnya untuk tahun 2003-2008, yaitu : “Tercapainya Pelayanan Prima demi
Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Bogor yang Maju, Mandiri, Sejahtera Berlandaskan iman dan Takwa”. Kata kunci yang berkenaan dengan pernyataan visi di atas, adalah kata “Tercapainya Pelayanan Prima”, yaitu wujud konkrit dari upaya pengelolaan dan pemberian pelayanan terbaik (excellence service), bermutu dan berkualitas untuk semua jenis pelayanan dari Pemerintah Kabupaten Bogor kepada masyarakat, sehingga pelayanannya menjadi lebih baik (better), lebih cepat (faster), lebih murah (cheaper) dan memenuhi tuntutan, kebutuhan serta kepuasan public (public satisfaction) sebagaimana standar pelayanan yang telah dibakukan menurut ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kata kunci lainnya adalah kata Mandiri dan Sejahtera. Untuk kata “Mandiri”, berarti masyarakat telah mencapai keadaan dapat berdiri sendiri atau tidak tergantung
pada
orang
lain
yang
diindikasikan
dengan
kemampuan
mendayagunakan dan mengoptimalkan segala potensi daerah dan segenap potensi masyarakat sesuai dengan sumber daya yang dimiliki oleh daerah sendiri, sedangkan kata “Sejahtera”, berarti masyarakat telah berada dalam kondisi makmur, aman dan sentosa atau pun masyarakat telah berada dalam kondisi selamat serta terlepas dari segala gangguan, kesukaran dan sebagainya menurut ukuran tertentu yang disepakati oleh seluruh pihak yang berkepentingan. Pernyataan visi di atas, kemudian dijabarkan lagi kedalam pernyataan misi yang terdiri dari 6 (enam) misi, yaitu : 1.
Melakukan Reformasi Pelayanan Publik menuju Tata Pemerintahan yang Baik (good governance)
2.
Meningkatkan
Profesionalisme
Aparatur
dalam
Penyelenggraan
Pemerintahan 3.
Meningkatkan Kualitas Pelayanan Pendidikan dan Kesehatan
4.
Menumbuhkembangkan Potensi Industri, Pertanian dan Pariwisata secara Optimal dan Lestari
5.
Meningkatkan Kualitas dan Menata Sarana, Prasarana dan Infrastruktur Wilayah
6.
Memajukan Kehidupan Keagamaan dan Kondisi Sosial Kemasyarakatan
Keenam misi diatas, kemudian diimplementasikan kedalam prioritas pembangunan daerah yang terdapat dalam dokumen RKPD, KUA dan PPAS pada setiap tahun anggaran. Rumusan prioritas pembangunan daerah yang terdapat dalam dokumen tersebut, seringkali jumlah prioritas dan rumusan prioritasnya berbeda-beda pada setiap tahun anggaran, Hanya saja, fokus dari masing-masing prioritas pembangunan tidak konsisten urutannya dan tidak berkesinambungan pada setiap tahun anggaran, sehingga berimplikasi juga terhadap jumlah alokasi anggaran
di
masing-masing
prioritas
pembangunan.
Namun
bilamana
dikelompokkan substansinya, maka prioritas pembangunan daerah yang telah dilaksanakan selama periode 2003-2008 terdiri atas 6 prioritas pembangunan, yaitu : (1) pendidikan; (2) kesehatan; (3) infrastruktur dan lingkungan hidup; (4) perekonomian; (5) tata kelola pemerintahan yang baik; (6) sosial kemasyarakatan. Rencana pembangunan yang telah ditetapkan dalam dokumen RPJMD itu dilaksanakan oleh Pemerintahan Kabupaten Bogor yang terdiri dari Pemerintah Kabupaten Bogor dan DPRD Kabupaten Bogor. Pemerintah Kabupaten Bogor dipimpin oleh Bupati Bogor dan dalam pelaksanaanya dibantu oleh perangkat daerah atau dikenal dengan sebutan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), sedangkan DPRD dipimpin oleh Ketua DPRD. Struktur organisasi Pemerintah Kabupaten Bogor telah beberapa kali mengalami perubahan selama periode 20032008, hal ini disebabkan adanya perubahan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, Bupati Bogor dibantu oleh perangkat daerah/SKPD yang terdiri dari : (1) unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam Sekretariat Daerah; (2) unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk Inspektorat (sebelumnya disebut Badan Pengawasan Daerah); (3) unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk Badan; (4) unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam Lembaga Teknis Daerah (Lemtekda); (5) unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam Dinas Daerah.
Jadi, perangkat daerah Kabupaten
Bogor/SKPD adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang terdiri dari, Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah (Badan dan Kantor), Kecamatan dan Kelurahan.
Pada tahun 2008, jumlah dan jenis organisasi perangkat daerah/SKPD di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 10 : Jumlah dan Jenis SKPD di Kabupaten Bogor periode tahun 20072008 Unsur Staf 1.Sekretariat Daerah 2.Sekretariat Dewan 3.Kecamatan 4.Kelurahan
Unsur Lemtekda 1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 2. Badan Pengawasan Daerah 3. Badan Pendidikan dan Pelatihan 4. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial 5. Kantor Arsip dan perpustakaan Daerah 6. Kantor Koperasi dan UKM 7. Kantor Penanaman Modal Daerah 8.Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat 9. Satuan Polisi Pamong Praja 10. Badan Rumah Sakit Daerah Cibinong 11. Badan Rumah Sakit Daerah Ciawi
Unsur Pelaksana 1. Dinas Pendidikan 2. Dinas Kesehatan 3. Dinas Pertanian dan Kehutanan 4.Dinas Peternakan dan Perikanan 5. Dinas Pertambangan 6.Dinas perindustrian dan Perdagangan 7.Dinas Pariwisata dan Kebudayaan 8.Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi 9.Dinas Bina Marga dan Pengairan 10. Dinas Cipta Karya 11.Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup 12. Dinas Perhubungan 13.Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan KB 14. Dinas Pendapatan Daerah
Sumber : Data Pokok Pembangunan Kabupaten Bogor, 2008.
Sementara itu, pada lembaga legislatif atau DPRD Kabupaten Bogor terdiri dari Ketua, Para Wakil Ketua sekaligus merangkat sebagai anggota DPRD, 4 Komisi (Komisi A, B, C dan D) dengan total anggota sebanyak 45 anggota DPRD pada tahun 2008. Selain itu, DPRD Kabupaten Bogor memiliki Panitia Anggaran Legislatif (sekarang disebut Badan Anggaran) yang bertugas untuk merancang APBD bersama-sama dengan Panitia Anggaran Eksekutif (sekarang disebut Tim Anggaran Pemerintah Daerah ) dan kedua panitia inilah yang menentukan kebijakan alokasi anggaran dalam APBD Kabupaten Bogor pada setiap tahun anggaran. Untuk membahas peraturan daerah, kebijakan daerah dan tugas-tugas tertentu, DPRD dapat membentuk panitia legislasi dan panitia khusus. Sementara itu, untuk mengawasi kinerja dan pelanggaran kode etik oleh anggota DPRD, maka DPRD memiliki Badan kehormatan DPRD. Adapun fungsi DPRD sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terdiri dari tiga, yaitu : (1) fungsi legislasi adalah fungsi DPRD untuk membentuk peraturan daerah
bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten Bogor; (2) fungsi anggaran adalah fungsi DPRD untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten Bogor; (3) fungsi pengawasan adalah fungsi DPRD dalam mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Bogor.
BAB V KAJIAN KEBIJAKAN ALTERNATIF ALOKASI BELANJA DAERAH
5.1.
Perkembangan APBD Kabupaten Bogor selama Periode 2003-2008 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana
keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Sementara belanja daerah adalah semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah, sedangkan pembiayaan daerah adalah semua transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus. Berdasarkan pengertian dan batasan di atas, maka pencantuman target pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah dalam dokumen APBD, bukanlah sekedar angka-angka nominal uang, melainkan harus benar-benar diperhitungkan secara cermat, terukur, rasional, memiliki dasar hukum penerimaannya dan yang tidak kalah pentingnya adalah alokasi anggarannya sedapat mungkin dapat dicapai selama satu tahun anggaran, agar pada akhir periode perencanaan atau pada akhir tahun anggaran, kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana ketentuan yang berlaku. Struktur APBD kabupaten/kota di Indonesia, termasuk Kabupaten Bogor mengalami perubahan beberapa kali sesuai dengan dasar hukum yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Struktur APBD kabupaten/kota yang berlaku pada periode 2003-2008, didasarkan pada dua ketentuan : (1) Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri)
Nomor
29
tahun
2002
tentang
Pedoman
Pengurusan,
Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan
Perhitungan APBD. Kepmendagri ini mulai berlaku pada tahun anggaran 2003 hingga tahun anggaran 2006; (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 tahun 2006 dan disempurnakan lagi dengan Permendagri Nomor 59 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan APBD. Permendagri ini mulai berlaku sejak tahun anggaran 2007 hingga sekarang ini. Perbandingan antara keduanya dapat dilihat pada tabel 11. Tabel 11 : Permendagri No I. 1.1.
1.2.
1.3.
II. 2.1.
Perbandingan Struktur APBD Menurut Kepmendagri dan
Kepmendagri Nomor 29 Pendapatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 1.1.1.Hasil Pajak Daerah 1.1.2.Hasil Retribusi Daerah 1.1.3.Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 1.1.4.Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah Dana Perimbangan (DP) 1.2.1. Dana Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak 1.2.2. Dana Alokasi Umum (DAU) 1.2.3. Dana Alokasi Khusus (DAK) Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (LPDS) 1.3.1 Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah lainnya 1.3.2 Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah lainnya. 1.3.3. Dana Bagi Hasil Retribusi dari Provinsi atau Pemerintah Daerah lainya. 1.3.4. Dana Penyesuaian dan otonomi Khusus Belanja Belanja Aparatur Daerah 2.1.1. Belanja Administrasi Umum 2.1.2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan 2.1.3. Belanja Modal 2.1.4. 2.1.5. 2.1.6. -
2.2.
2.3. 2.4. III. 3.1.
3.2.
2.1.7. Belanja Pelayanan Publik 2.2.1. Belanja Administrasi Umum 2.2.1. Belanja Operasi dan Pemeliharaan 2.2.3. Belanja Modal Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Belanja Tidak Terduga Surplus/(Defisit) Pembiayaan Penerimaan Pembiayaan 3.1.1.Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran Sebelumnya (SiLPA) 3.1.2. Transfer dari Dana Cadangan 3.1.3. Penerimaan Piutang Daerah 3.1.4. Hasil penjualan Aset Daerah yang Dipisahkan Pengeluaran Pembiayaan 3.2.1. Transfer ke Dana Cadangan
Permendagri Nomor 13 dan Nomor 59 Pendapatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 1.1.1. Hasil Pajak Daerah 1.1.2. Hasil Retribusi Daerah 1.1.3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 1.1.4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah Dana Perimbangan (DP) 1.2.1. Dana Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak 1.2.2. Dana Alokasi Umum (DAU) 1.2.3. Dana Alokasi Khusus (DAK) Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (LPDS) 1.3.1 Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah lainnya 1.3.2 Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah lainnya. 1.3.3. Dana Bagi Hasil Retribusi dari Provinsi atau Pemerintah Daerah lainya. 1.3.4. Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau Belanja Belanja Tidak Langsung (BTL) 2.1.1. Belanja Pegawai 2.1.2. Belanja Subsidi 2.1.3. Belanja Hibah 2.1.4. Belanja Bantuan Sosial 2.1.5.Belanja Bagi Hasil kepada Provinsi/ Kabupaten/Kota dan Pemerintahan desa 2.1.6.Belanja Bantuan Keuangan kepada Provinsi/ Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Desa 2.1.7. Belanja Tidak Terduga Belanja Langsung (BL) 2.2.1. Belanja Pegawai 2.2.1. Belanja Barang dan Jasa 2.2.3. Belanja Modal 2.3. 2.4. Surplus/(Defisit) Pembiayaan Penerimaan Pembiayaan 3.1.1.Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran Sebelumnya (SiLPA) 3.1.2. Pencairan Dana Cadangan 3.1.3. Penerimaan Piutang Daerah 3.1.4. Pengeluaran Pembiayaan 3.2.1. Pembentukan Dana Cadangan 3.2.2. Penyertaan Modal (Investasi) Daerah
3.3.
3.2.4. Pengeluaran Pihak Ketiga 3.2.5.Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan (SILPA) Pembiayaan Netto
3.2.3. Pembayaran Utang 3.2.4. Pembiayaan Netto Sisa Lebih Pembiayaan Berkenaan (SILPA)
Anggaran
Pada tabel 11 di atas, komponen dari struktur APBD yang paling banyak mengalami perubahan adalah komponen belanja daerah, sedangkan komponen pendapatan daerah dan pembiayaan daerah hanya mengalami perubahan pada istilah atau nomenklatur beserta penempatannya dalam urutan struktur APBD, tetapi tidak merubah keseluruhan substansi atau makna yang terkandung didalamnya. Untuk komponen belanja daerah, perubahan yang terjadi, yaitu : 1. Dalam Kepmendagri Nomor 29 tahun 2002, belanja daerah terdiri dari 4 jenis, yaitu Belanja Aparatur Daerah, Belanja Pelayanan Publik, Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan serta Belanja Tidak Terduga. Nomenklatur Belanja Aparatur Daerah dan Belanja Pelayanan Publik pertama kali diperkenalkan dalam ketentuan tersebut, sebagai pengganti dari istilah Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan yang pernah berlaku selama ini hingga tahun anggaran 2003. Batasan dari Belanja Aparatur Daerah adalah bagian belanja yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik), sedangkan Belanja Pelayanan Publik adalah bagian belanja yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik). Jadi, pada batasan tersebut, terdapat pemisahan yang tegas antara fungsi alokasi anggaran yang ditujukan untuk aparatur maupun masyarakat (publik), sehingga memudahkan bagi setiap pihak untuk memilah mengenai hasil, manfaat maupun dampak dari alokasi APBD yang benar-benar dinikmati secara langsung oleh aparatur maupun masyarakat (publik). 2. Sementara itu, dalam Permendagri Nomor 13 tahun 2006 dan Permendagri Nomor 59 tahun 2007, komponen belanja daerah terdiri dari Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL). Kelompok BTL merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, terdiri dari jenis Belanja Pegawai, Belanja Bunga, Belanja Subsidi, Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, Belanja Bagi Hasil,
Tahun
Belanja Bantuan Keuangan dan Belanja Tidak Terduga, sedangkan kelompok BL merupakan belanja yang dianggarkan untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah di masing-masing alokasi belanja SKPD berkenaan, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya serta urusan wajib dan urusan pilihan yang menjadi kewenangan daerah, terdiri dari jenis belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal. Jika dicermati lebih lanjut, maka jenis Belanja Pegawai dalam Permendagri Nomor 13 dan Nomor 59 seringkali dianggap sama dengan Belanja Aparatur Daerah, sedangkan jenis belanja diluar itu, yaitu, “Belanja Tidak Langsung Non Pegawai (BTL-Non Pegawai), seperti Belanja Bunga, Belanja Subsidi, Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, Belanja Bagi Hasil, Belanja Bantuan Keuangan dan Belanja Tidak Terduga, jika dilihat dari fungsi belanjanya termasuk kedalam batasan Belanja Pelayanan Publik menurut Kepmendagri Nomor 29. Jadi, Belanja Pelayanan Publik saat ini dapat dimaknai sebagai gabungan dari seluruh jenis Belanja Langsung, kemudian ditambah dengan “Belanja Tidak Langsung NonPegawai” sebagaimana dinyatakan di atas, karena fungsi belanjanya dirasakan secara langsung oleh masyarakat (publik), baik hasil, manfaat maupun dampaknya. Untuk itu, pembahasan perkembangan APBD selanjutnya, akan menggunakan pengertian dan batasan menurut struktur APBD yang telah ditetapkan dalam Permendagri Nomor 13 tahun 2006 dan Permendagri Nomor 59 tahun 2007 tersebut. Selama periode 2003-2008, perkembangan APBD Kabupaten Bogor, baik berkenaan dengan pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah beserta masing-masing komponennya dapat dilihat pada tabel 12. Tabel 12 : Struktur APBD Kabupaten Bogor berdasarkan Rencana APBD 20032008 No.
Uraian
Rencana APBD Kabupaten Bogor periode 2003-2008 (Rp. 000,-) 2003
2004
2005
2006
2007
2008
I.
Pendapatan 1.1 PAD 1.2 DP 1.3 LPDS
832.049.101 142.756.041 654.302.720 34.990.340
907.117.331 155.818.029 705.569.302 45.730.000
1.043.646.043 194.224.904 753.846.544 95.574.595
1.327.186.588 222.372.952 976.418.324 128.395.312
1.566.952.830 267.698.550 1.129.919.521 169.334.759
1.770.368.794 290.940.055 1.269.110.457 210.318.282
II.
Belanja 2.1 BTL 2.2 BL
915.081.238 553.430.343 361.650.895
1.043.243.987 553.672.951 489.571.036
1.154.473.800 520.049.207 634.424.593
1.438.060.735 662.490.584 775.570.151
1.711.239.501 863.694.752 847.544.749
2.094.413.998 1.193.992.591 900.421.407
III.
Surplus/Defisit
- 83.032.137
- 136.126.656
- 110.827.757
- 110.874.147
- 144.286.671
- 324.045.204
Pembiayaan 3.1.Penerimaan 3.2.Pengeluaran
83.032.137 156.487.147 73.455.010
136.126.656 183.959.591 47.832.935
110.827.757 162.798.502 51.970.745
110.874.147 219.039.460 108.165.313
144.286.671 197.486.671 53.200.000
324.045.204 346.295.204 22.250.000
Pembiayaan 83.032.137 136.126.656 110.827.757 110.874.147 144.286.671 324.045.204 Netto Sumber : Diolah dari Buku APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008 Ket : PAD = Pendapatan Asli Daerah; DP = Dana Perimbangan; LPDS = Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah BTL = Belanja Tidak Langsung; untuk tahun anggaran 2003-2006, sama dengan Belanja Aparatur Daerah BL = Belanja Langsung
Sejak tahun anggaran 2003, Pemerintah Kabupaten Bogor telah menggunakan pendekatan anggaran defisit dalam struktur APBD-nya, yaitu selisih kurang antara pendapatan daerah dan belanja daerah. Penggunaan pendekatan anggaran defisit dimaksudkan untuk membedakannya
dengan
struktur APBD yang telah berlaku sebelum tahun anggaran 2003, yaitu dengan pendekatan anggaran berimbang dan dinamis. Pada
tabel 12 di atas, tampak
bahwa jumlah pendapatan daerah lebih kecil daripada belanja daerah, sehingga terjadi defisit anggaran pada setiap tahun anggaran, dengan nilai defisit yang terus meningkat, yaitu semula defisitnya sebesar Rp. 83,032 miliar pada tahun 2003, kemudian meningkat menjadi Rp. 324,045 miliar pada tahun 2008, berarti bertambah sebesar
Rp. 241,013 miliar atau rata-rata naik sebesar Rp. 48,20
miliar atau naik 40,02 % pada setiap tahun anggaran selama periode 2003-2008. Pendekatan tersebut, tidak menjadi masalah sepanjang nilai defisitnya masih mampu ditutup dari pembiayaan netto yang terdapat dalam pembiayaan daerah. Sebagaimana terlihat pada tabel 12, bahwa rencana defisit anggaran telah diantisipasi dengan jumlah pembiayaan netto yang sama dengan jumlah defisit pada tahun anggaran yang berkenaan. Namun demikian, jika rencana defisit anggaran yang telah ditetapkan itu, dikaji berdasarkan batas maksimal yang diperkenankan oleh Menteri Keuangan RI, yaitu sebesar 4,5 % dari total pendapatan daerah, maka penentuan jumlah defisitnya telah melampaui ketentuan tersebut, karena proporsi defisitnya berada pada kisaran
terendah sebesar 8,35 %
pada tahun 2006 dan tertinggi sebesar 18,30 % pada tahun 2008.
Dengan struktur anggaran seperti di atas, sesungguhnya masih terdapat pula kelemahan lainnya, yaitu adanya kesulitan bagi pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mengetahui secara tepat berapa jumlah nominal dari APBD Kabupaten Bogor, apakah hanya didasarkan pada jumlah pendapatan daerah semata atau hanya menggunakan jumlah nominal yang tertera dalam belanja daerah. Untuk itu, saat ini telah dikembangkan konsep volume APBD, yang dihitung berdasarkan pada dua cara, yaitu : (1) penjumlahan dari pendapatan daerah dengan penerimaan pada komponen pembiayaan daerah atau (2) penjumlahan dari belanja daerah dengan pengeluaran pada komponen pembiayaan daerah. Berdasarkan cara perhitungan tersebut, maka volume APBD Kabupaten Bogor selama periode 2003-2008 dapat dikelompokkan kembali sebagaimana pada tabel 13 berikut ini.
Tabel 13 : Rencana Volume APBD Kabupaten Bogor periode tahun 2003-2008 No
Uraian
Rencana Volume APBD Kabupaten Bogor periode 2003-2008 (Rp. 000,-) 2003
2004
2005
2006
2007
2008
I.
Pendapatan Penerimaan Jumlah
832.049.101 156.487.147 988.536.248
907.117.331 183.959.591 1.091.076.922
1.043.646.043 162.798.502 1.206.444.545
1.327.186.588 219.039.460 1.546.226.048
1.566.952.830 197.486.671 1.764.439.501
1.770.368.794 346.295.204 2.116.663.998
II.
Belanja Pengeluaran Jumlah
915.081.238 73.455.010 988.536.248
1.043.243.987 47.832.935 1.091.076.922
1.154.473.800 51.970.745 1.206.444.545
1.438.060.735 108.165.313 1.546.226.048
1.711.239.501 53.200.000 1.764.439.501
2.094.413.998 22.250.000 2.116.663.998
Sumber : Diolah dari Buku APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
Dengan konsep volume APBD seperti pada tabel 8, maka pemangku kepentingan akan mudah untuk mengetahui jumlah atau volume APBD pada setiap tahun anggaran, baik dilihat dari sisi pendapatan daerah maupun dari sisi belanja daerah, karena jumlah nominalnya adalah sama besarnya.
Dengan
demikian, dapat dinyatakan bahwa volume APBD Kabupaten Bogor pada tahun anggaran 2003 berjumlah Rp. 988,536 miliar, kemudian bertambah pada setiap tahun anggaran hingga mencapai Rp. 2,116 triliun pada tahun anggaran 2008, artinya selama periode 2003-2008 telah terjadi kenaikan APBD Kabupaten Bogor sebesar Rp. 1,128 triliun atau jika dihitung per tahun anggaran, maka rata-rata
jumlahnya Rp. 225,625 miliar
atau naik sekitar 22,82 % pada setiap tahun
anggaran.
5.1.1. Perkembangan Pendapatan Daerah Untuk menilai perkembangan pendapatan daerah Kabupaten Bogor selama periode 2003-2008, secara sederhana dapat ditinjau dari tiga sisi, yaitu : (1) kenaikan target pendapatan daerah setiap tahun anggaran; (2) over target pendapatan daerah yang telah dicapai pada setiap tahun anggaran dan (3) rasio kecukupan penerimaan (Revenue Adequasy Ratio) antara jumlah PAD terhadap total pendapatan daerah. Data mengenai perkembangan target pendapatan daerah selama periode 2003-2008 dapat dilihat pada tabel 14. Tabel 14 : Kenaikan Target Pendapatan Daerah selama Periode 2003-2008 No
Tahun
Target Pendapatan
Kenaikan
Prosentase
(Rp. 000,-)
(Rp. 000,-)
(%)
1. 2003 832.049.101 2. 2004 907.117.331 75.068.230 3. 2005 1.043.646.043 136.528.712 4. 2006 1.327.186.588 283.540.545 5. 2007 1.566.952.830 239.766.242 6. 2008 1.770.368.794 203.415.964 Sumber : Diolah dari Buku APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
9,02 15,05 27,17 18,07 12,98
Selama periode 2003-2008, target pendapatan daerah mengalami kenaikan yang berfluktuatif, terendah 9,02 % pada tahun 2004 dan tertinggi 27,17 % pada tahun 2006. Tetapi, jika dihitung secara rata-rata maka kenaikannya sebesar Rp. 187,663 miliar atau naik sekitar 16,46 %. Kenaikan tersebut, dikontribusikan oleh kenaikan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) rata-rata sebesar 17,16 %, Dana Perimbangan (DP) sebesar 62,92 %, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (LPDS) sebesar 19,92 % dari target pendapatan daerah selama periode 20032008. Sementara itu, jika dilihat dari over target pendapatan daerah selama periode 2003-2008, maka secara keseluruhan pada setiap tahun anggaran, kondisinya menunjukkan over target atau terlampauinya seluruh target pendapatan daerah pada akhir tahun anggaran, dengan over target berkisar dari terendah 101,64 % pada tahun 2003 hingga tertinggi 109,25 % pada tahun 2004. Hal ini berarti bahwa selama periode 2003-2008, over target pendapatan daerah hanya
berada pada kisaran terendah sebesar 1,64 % hingga tertinggi sebesar 9,25 %. Kondisi over target ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya : 1. Penetapan target pendapatan daerah yang terlalu rendah (under estimate), karena ada unsur kesengajaan atau ada yang sudah diketahui potensinya tetapi masih ditutupi dengan pertimbangan tertentu maupun data potensinya tidak akurat. Sikap ini kemudian diikuti dengan mencoba-coba mengusulkan target pendapatan
daerah
menurut
pengalaman
tahun
sebelumnya,
dengan
menambahkan jumlah tertentu atau prosentase tertentu, asalkan lebih tinggi daripada tahun sebelumnya, dengan harapan pada akhir tahun anggaran dapat tercapai sebagaimana yang diharapkan. 2. Adanya tambahan alokasi penerimaan pendapatan bagi Kabupaten Bogor yang berasal dari pemerintah pusat maupun provinsi, namun seringkali terlambat diterima (karena turunnya ketika perubahan APBD pada triwulan akhir bulan Oktober-Desember), sehingga meskipun sudah dialokasikan kembali kedalam komponen belanja daerah, tetapi karena proses pengadaan barang dan jasanya melebihi tahun anggaran yang berjalan, maka penerimaan dimaksud tidak dapat terserap dan dikembalikan ke kas daerah, sehingga pada akhir tahun anggaran seolah-olah telah terjadi over target pendapatan daerah. 3. Adanya upaya intensifikasi dan ekstensifikasi atas pemungutan pajak maupun retribusi daerah, sehingga beberapa obyek pajak maupun retribusi daerah mengalami kenaikan yang cukup signifikan dan berakibat pada pelampauan target yang telah ditetapkan. 4. Adanya strategi atau taktik dari SKPD penghasil untuk melampaui target yang telah ditetapkan, meskipun jumlah nominalnya relatif sangat kecil (asalkan jumlahnya telah berada sedikit di atas target), agar citra SKPD penghasil di mata Bupati atau DPRD Kabupaten Bogor termasuk kategori baik. Data mengenai pelampauan target atau over target pendapatan daerah selama periode 2003-2008 di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada tabel 15. Tabel 15 : Over Target Pendapatan Daerah selama Periode 2003-2008 No
1. 2. 3.
Tahun
2003 2004 2005
Target
Realisasi
Over Target
(Rp. 000,-)
(Rp. 000,-)
(Rp. 000,-)
832.049.101 907.117.331 1.043.646.043
845.677.874 991.060.451 1.087.081.933
13.628.773 83.943.120 43.435.890
Prosentase (%) 101,64 109,25 104,16
4. 2006 1.327.186.588 1.350.725.674 23.539.086 101,77 5. 2007 1.566.952.830 1.624.534.357 57.581.527 103,67 6. 2008 1.770.368.794 1.870.406.933 100.038.139 105,65 Sumber : Diolah dari Buku Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
Sisi lainnya untuk menilai kemajuan pendapatan daerah di Kabupaten Bogor adalah dengan melihat rasio kecukupan penerimaan (Revenue Adequacy
Ratio) antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Total Pendapatan Daerah selama periode 2003-2008.
Pada tabel 15, tampak bahwa rasio kecukupan
penerimaan Kabupaten Bogor ditinjau dari realisasi PAD terhadap realisasi total pendapatan daerah selama periode 2003-2008 masih berada di bawah 20 %, berarti Kabupaten Bogor belum memenuhi persyaratan minimal sebagai daerah yang telah memiliki kemandirian keuangan daerah di era otonomi daerah saat ini. Kondisi ini disebabkan adanya tambahan kenaikan dari PAD (sebagai pembilang) setiap tahun anggaran yang relatif kecil, sementara tambahan kenaikan dari gabungan Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah relatif besar, sehingga berpengaruh terhadap kenaikan total pendapatan daerah (sebagai penyebut). Berkaitan dengan itu, ketika dilakukan perhitungan rasio kecukupan penerimaan, maka nilainya masih berada pada kisaran sebesar 16,34 % - 18,34 % atau atau rata-rata 17,13 %, berarti hal tersebut belum termasuk kategori daerah yang mandiri, karena kontribusi PAD-nya dibawah 20 % sebagaimana standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Dengan kata lain, Pemerintah
Kabupaten Bogor masih tinggi ketergantungannya terhadap alokasi dana dari pemerintah pusat maupun provinsi, terlihat dari kontribusi dana perimbangan beserta lain-lain pendapatan daerah yang sah yang mencapai di atas 80 % dari total pendapatan daerah Kabupaten Bogor. Rincian datanya disajikan pada tabel 16. Tabel 16 : Rasio Kecukupan Penerimaan (Revenue Adequacy Ratio) PAD terhadap Total Pendapatan Daerah selama Periode 2003-2008 No
Tahun
Realisasi Total Pendapatan Daerah
Realisasi PAD (Rp. 000,-)
(Rp. 000,-) 1. 2. 3.
2003 2004 2005
845.677.874 991.060.451 1.087.081.933
Rasio Kecukupan Penerimaan (%)
148.921.781 166.260.112 199.424.944
17,61 16,78 18,34
4. 2006 1.350.725.674 230.103.978 17,04 5. 2007 1.624.534.357 265.375.124 16,34 6. 2008 1.870.406.933 311.519.251 16,66 Sumber : Diolah dari Buku Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
5.1.2. Perkembangan Belanja Daerah Selama periode 2003-2008, belanja daerah Kabupaten Bogor menurut rencana yang telah ditetapkan dalam APBD Kabupaten Bogor, yaitu berjumlah sebesar Rp. 915,081 miliar pada tahun 2003, kemudian bertambah menjadi sebesar Rp. 2,094 triliun pada tahun 2008, berarti ada kenaikan sebesar Rp. 1,179 triliun selama lima tahun atau rata-rata per tahun sebesar Rp. 235,866 miliar. Jika diperhatikan kenaikan pada setiap tahun anggaran, maka kenaikannya berkisar antara 10,66 % sampai dengan 24,56 % atau rata-rata naik sekitar 18,12 % selama periode 2003-2008. Rincian datanya dapat dilihat pada tabel 17. Tabel 17 : Kenaikan Rencana Belanja Daerah selama Periode 2003-2008 No
Tahun
Rencana Belanja
Kenaikan
Prosentase
(Rp. 000,-)
(Rp. 000,-)
(%)
1. 2003 915.081.238 2. 2004 1.043.243.987 128.162.749 3. 2005 1.154.473.800 111.229.813 4. 2006 1.438.060.735 283.586.935 5. 2007 1.711.239.501 273.178.766 6. 2008 2.094.413.998 383.174.497 Sumber : Diolah dari Buku APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
14,01 10,66 24,56 18,99 22,39
Jika ditinjau dari realisasi belanja daerah selama periode 2003-2008, tampak bahwa tingkat penyerapan anggaran belanja daerah tidak memuaskan, karena tidak dapat direalisasikan seluruhnya sebagaimana rencana alokasi yang telah ditetapkan. Sebagai gambaran bahwa rata-rata penyerapan anggarannya adalah 88,71 % selama periode 2003-2008, dimana penyerapan anggaran terendah terjadi pada tahun 2008 sebesar 83,98 % dan penyerapan anggaran tertinggi terjadi pada tahun 2004 sebesar 93,45 %. Kondisi ini berimplikasi pada terjadinya sisa lebih anggaran pada setiap akhir tahun anggaran, dimana selama periode dimaksud, rata-rata sisa lebih anggaran sebesar Rp. 165,266 miliar atau sekitar 11,29 % dari total rencana belanja daerah yang telah dialokasikan dalam APBD Kabupaten Bogor. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat
penyerapan anggaran atau tingginya sisa lebih anggaran pada setiap tahun anggaran, diantaranya : 1. Adanya upaya efisiensi atas seluruh kelompok belanja, baik Belanja Tidak Langsung (BTL) maupun Belanja Langsung (BL), seperti upaya penghematan atas pengeluaran belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal, karena semua pengeluarannya benar-benar didasarkan pada biaya nyata atau biaya riil selama pelaksanaan operasional SKPD serta pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan. 2. Adanya sisa anggaran lelang/tender, sisa pemilihan langsung atau pun sisa penunjukkan langsung dalam pengadaan barang dan jasa serta belanja modal, karena adanya selisih anggaran antara jumlah yang ditetapkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD dengan dokumen Surat Perjanjian Kerja (SPK) yang dilaksanakan oleh pemborong/penyedia barang dan jasa maupun konsultan. 3. Adanya program dan kegiatan pembangunan yang benar-benar tidak terealisasi hingga akhir tahun anggaran, disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : (1) kegiatan dimaksud terdapat kesalahan dalam administrasinya; (2) adanya kendala teknis ketika akan dilaksanakan, seperti kegiatan pembangunan jalan tetapi pembebasan tanahnya belum rampung seluruhnya hingga akhir tahun anggaran; (3) adanya bencana alam dan bencana sosial, sehingga jumlah anggaran dalam DPA tidak mencukupi lagi untuk kegiatan yang telah ditetapkan di calon lokasi yang terkena bencana tersebut; (4) adanya kesalahan penyusunan rencana anggaran, baik berkenaan dengan kode rekening, salah alokasi, keliru pencantuman lokasi kegiatan maupun kesalahan lainnya dalam proses pengadaannya, sehinga kegiatan tersebut ditunda/dibatalkan; (5) terbitnya ketentuan baru dari pemerintah pusat atau provinsi di akhir Triwulan IV atau melewati waktu perubahan APBD, sehingga menyulitkan bagi SKPD terkait, karena terbatasnya sisa waktu untuk merealisasikan kegiatan tersebut. Implikasi dari semua itu, yaitu terjadinya sisa lebih anggaran belanja yang terhimpun dalam kas daerah, sedangkan kegiatan pembangunan itu sendiri dilakukan verifikasi ulang, apakah akan dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya atau dibatalkan dan diganti dengan kegiatan yang lain sesuai dengan
keputusan dari Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Rincian sisa lebih anggaran belanja daerah selama periode 2003-2008 dapat dilihat pada tabel 18. Tabel 18 : Realisasi Belanja Daerah dan Sisa Lebih Anggaran selama Periode 2003-2008 No
Rencana Realisasi Prosentase Belanja Belanja Realisasi (Rp. 000,-) (Rp. 000,-) (%) 1. 2003 915.081.238 791.982.227 86,55 2. 2004 1.043.243.987 974.948.086 93,45 3. 2005 1.154.473.800 1.039.364.473 90,03 4. 2006 1.438.060.735 1.317.209.232 91,60 5. 2007 1.711.239.501 1.482.616.742 86,64 6. 2008 2.094.413.998 1.758.794.722 83,98 Sumber : Diolah dari Buku APBD dan Buku Pertanggungjawaban Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
5.2.
Tahun
Sisa Lebih (Rp. 000,-) 123.099.011 68.295.901 115.109.327 120.851.503 228.622.759 335.619.276 Pelaksanaan
Prosentase Sisa Lebih (%) 13,45 6,55 9,97 8,40 13,36 16,02 APBD
Analisis Konsistensi antara Perencanaan dan Penganggaran Analisis konsistensi antara perencanaan dan penganggaran didasarkan
pada analisis kesenjangan (gap analysis), yaitu sejauhmana perbedaan antara alokasi anggaran dalam dokumen rencana pembangunan tahunan daerah (KUA dan PPAS) yang telah disepakati dalam bentuk Nota Kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan DPRD Kabupaten Bogor dengan dokumen anggaran (dokumen APBD) yang telah mendapatkan Persetujuan Bersama antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan DPRD Kabupaten Bogor dalam Rapat Paripurna DPRD menjadi Peraturan Daerah (Perda) tentang APBD. Analisis kesenjangan dimaksud, ditinjau dari perbedaan jumlah maupun prosentase dari alokasi belanja dengan realisasi belanja, baik pada kelompok belanja maupun pada urusan pemerintahan/organisasi perangkat daerah (SKPD).
5.3.1. Analisis Kesenjangan Berdasarkan Kelompok Belanja Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kelompok belanja terdiri dari Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL).
Terdapat
kesenjangan antara alokasi BTL dan BL yang telah disepakati dalam dokumen KUA dan PPAS dengan realisasinya dalam dokumen APBD. Selama dua tahun anggaran, yaitu tahun 2007 dan 2008, rata-rata kesenjangannya dapat dilihat pada tabel 19.
Tabel 19 : Rata-rata Kesenjangan (gap) antara Rencana Alokasi Belanja Daerah ( BTL dan BL) dalam KUA dan PPAS Perubahan dengan Realisasi Belanja Daerah (BTL dan BL) dalam APBD Perubahan tahun anggaran 2007 dan 2008 No.
Uraian
% Alokasi
% Realisasi
Jlh Gap Anggaran
% Gap
(Rp. 000,-)
(+/-)
I.
Belanja Tidak Langsung (BTL)
960.616.885
1.028.843.672
68.226.787
6,63
A.
Belanja Pegawai
732.012.136
734.540.380
2.528.244
0,34
B.
BTL Non-Pegawai
228.604.750
294.303.292
65.698.543
22,32
1. Belanja Subsidi
-
-
-
-
2. Belanja Hibah
57.436.009
59.279.028
1.843.019
3,11
3. Belanja Sosial
Bantuan
75.439.299
82.295.869
6.856.570
8,33
4. Belanja Bagi Hasil
31.003.793
31.003.793
-
0,00
5. Belanja Bantuan Keuangan
49.725.650
58.801.272
9.075.622
15,43
6. Belanja Terduga
Tidak
15.000.000
62.923.332
47.923.332
76,16
Langsung
911.066.191
873.983.078
-37.083.113
-4,24
II.
Belanja (BL)
A.
Belanja Pegawai
144.287.787
144.054.739
-233.048
-0,16
B.
Belanja Barang dan Jasa
283.941.084
285.166.344
1.225.260
0,43
C.
Belanja Modal
482.837.320
444.761.996
-38.075.325
-8,56
1.871.683.076
1.902.826.749
31.143.674
1,64
Rata-rata Belanja Daerah tahun 20072008
Sumber : Diolah dari dokumen KUA dan PPAS Perubahan serta dokumen APBD Perubahan tahun anggaran 2007 dan 2008
Pada tabel di atas, terlihat bahwa terdapat kesenjangan (gap) antara rencana alokasi anggaran dalam KUA dan PPAS Perubahan dengan realisasinya dalam APBD Perubahan tahun anggaran 2007 dan 2008, yaitu rata-rata sebesar Rp. 31,143 miliar atau 1,64 % dari rata-rata realisasi APBD selama tahun anggaran 2007 dan 2008, terdiri dari kesenjangan yang cenderung bertambah pada Belanja Tidak Langsung sebesar Rp. 68,226 miliar atau naik
6,63 % dan
kesenjangan yang cenderung berkurang pada Belanja Langsung sebesar
Rp.
37,083 miliar atau turun 4,24 % (-4,24%), dengan penjelasan rinci berikut ini. Kesenjangan yang cenderung bertambah pada Belanja Tidak Langsung (BTL) dengan rata-rata sebesar Rp. 68,226 miliar atau naik 6,63 %, terdiri dari : 1.
Kesenjangan pada belanja pegawai yaitu sebesar Rp. 2,528 miliar atau naik 0,34 %, artinya jumlah realisasi belanja pegawai dalam APBD lebih besar daripada rencana alokasi belanja pegawai yang telah disepakati dalam KUA dan PPAS. Hal ini disebabkan ketika perumusan rencana alokasi belanja pegawai, khususnya untuk gaji dan tunjangan kesejahteraan pegawai, terdapat beberapa SKPD yang belum akurat perhitungan kebutuhan anggarannya, sehingga dilakukan penambahan sesuai dengan kebutuhan riilnya ketika perubahan APBD.
2.
Kesenjangan pada Belanja Tidak Langsung Non Pegawai (BTL Non Pegawai) mencakup
belanja hibah, bantuan sosial, bagi hasil, bantuan
keuangan dan belanja tidak terduga, adalah sebesar Rp. 65,698 miliar atau naik 22,32 %. Hal ini menunjukan bahwa jumlah realisasi BTL Non Pegawai dalam APBD lebih besar daripada rencana alokasi BTL Non Pegawai yang disepakati dalam KUA dan PPAS. Bilamana dirinci pada masing-masing komponennya, maka rata-rata kesenjangan yang cenderung bertambah, yaitu bervariasi dari 3,11 % hingga 76,16 %, dengan rincian sebagai berikut : a. Kesenjangan pada belanja hibah sebesar Rp. 1,843 miliar atau naik 3,11 %, yang disebabkan adanya tambahan alokasi belanja untuk kegiatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), dimana pada tahun anggaran 2008 terdapat agenda Pemilihan Umum Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) untuk pertama kalinya di Kabupaten Bogor dengan dua kali putaran, sehingga membutuhkan alokasi anggaran yang cukup besar untuk merealisasikan agenda putaran kedua dari Pemilukada tersebut. b. Kesenjangan pada belanja bantuan sosial sebesar Rp. 6,856 miliar atau naik 8,33 %, yang disebabkan adanya tambahan belanja bantuan sosial yang ditujukan untuk kegiatan keagamaan/sarana keagamaan, seperti bantuan untuk Grebeg Maulid, insentif guru ngaji, dan tambahan alokasi
untuk
bantuan
sarana
keagamaan
desa/kelurahan di 40 kecamatan.
(masjid,
musholla)
bagi
428
Selain itu, terdapat juga tambahan
alokasi untuk kelompok masyarakat, organisasi kemasyarakatan, bantuan sosial untuk masyarakat kurang mampu dan bantuan sosial untuk organisasi profesi, dimana kecenderungannya semakin tinggi selama periode 2007-2008 yang diindikasikan dengan banyaknya proposal permohonan bantuan sosial yang diajukan oleh masyarakat kepada Pemerintah Kabupaten Bogor. c. Kesenjangan
pada
belanja
bantuan
keuangan
kepada
kabupaten/kota/pemerintahan desa, yaitu sebesar Rp. 9,075 miliar atau naik 0,43 %. Hal ini disebabkan adanya tambahan bantuan keuangan kepada Kota Depok sesuai dengan perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan Kota Depok perihal pengelolaan aset PDAM yang dimiliki oleh Kabupaten Bogor yang berada di wilayah Kota Depok dan berimplikasi kepada kewajiban dari Pemerintah Kabupaten Bogor untuk memberikan transfer/bantuan keuangan kepada Pemerintah Kota Depok. Selain itu, adanya kenaikan jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, berimplikasi pula pada penambahan alokasi bantuan keuangan yang diterima oleh pemerintah desa melalui Alokasi Dana Desa (ADD), dengan ketentuan bahwa 10 % dari total DAU Kabupaten Bogor harus ditransfer kepada pemerintahan desa melalui ADD setelah dikurangi dengan total belanja pegawai, termasuk PNS maupun pegawai honorer daerah. Sementara itu, tambahan alokasi bantuan keuangan lainnya ditujukan pula untuk pemerintahan desa, meliputi bantuan untuk desa/kelurahan berprestasi/lunas PBB, juara lomba desa, dan bantuan keuangan untuk desa/kelurahan yang termasuk kategori pelaksana
terbaik
dalam
kegiatan
pembangunan
infrastruktur
desa/kelurahan. d. Belanja bagi hasil kepada pemerintahan desa tidak terdapat kesenjangan antara rencana alokasi dalam KUA dan PPAS dengan realisasi dalam APBD, karena dasar hitung untuk menentukannnya telah pasti, yaitu realisasi dari pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dicapai pada
tahun anggaran sebelumnya dan sesuai dengan yang tertera dalam Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor, sehingga bagi hasil kepada pemerintahan desa dapat dialokasikan dengan tepat. e. Kesenjangan pada belanja tidak terduga merupakan kesenjangan yang paling besar pada kelompok BTL Non Pegawai, yaitu sebesar Rp. 47,923 miliar atau naik 76,16 %. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) tambahan alokasi belanja untuk mengantisipasi kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang, seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk dalam pengertian ini adalah untuk tanggap darurat dalam rangka pencegahan gangguan terhadap stabilitas penyelenggaraan pemerintahan demi terciptanya keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat di daerah; (2) tambahan alokasi belanja untuk pengembalian atas kelebihan penerimaan
daerah
tahun-tahun
sebelumnya
yang
telah
ditutup
pembukuannya dan disertai dengan bukti-bukti yang sah. Pada belanja tidak terduga ini, termasuk juga penempatan sejumlah anggaran yang belum
mempunyai
atau
belum
terbit
dasar
hukumnya
untuk
pemanfaatannya berupa Juklak dan Juknis ketika penyusunan APBD, namun untuk memenuhi asas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, maka anggaran yang telah diterima dari pemerintah pusat dan provinsi itu harus tetap dicatatkan terlebih dahulu dalam belanja tidak terduga sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Oleh karena itu,
kesenjangan yang cenderung bertambah pada belanja tidak terduga akan semakin besar, sejalan dengan besarnya anggaran yang telah tersedia kredit anggarannya, tetapi belum jelas peruntukkannya karena juklak dan juknisnya tentang prosedur penggunaannya belum terbit secara bersamaan dari pemerintah pusat dan/atau dari pemerintah provinsi ketika dananya telah ada. Jika sudah jelas peruntukannya dan sudah terealisasi, maka pertanggungjawaban dari penggunaan belanja tidak terduga tersebut akan dialihkan administrasinya kepada belanja langsung sesuai dengan jenis penggunaannya.
Sementara itu, rata-rata kesenjangan yang cenderung berkurang pada Belanja Langsung (BL) secara kumulatif, yaitu Rp. 37,083 miliar atau turun 4,24 % (-4,24%), artinya realisasi BL yang disetujui dalam APBD lebih kecil daripada rencana alokasi BL yang telah disepakati dalam KUA dan PPAS. Bilamana dirinci pada masing-masing komponennya, maka kesenjangan yang cenderung berkurang, yaitu bervariasi dari -8,56 % hingga +0,43 %, dengan rincian sebagai berikut : 1.
Kesenjangan pada belanja pegawai rata-rata sebesar Rp 233,048 juta atau turun 0,16 %
(-0,16 %), disebabkan adanya pengurangan pada belanja
honorarium dan upah/gaji bagi pegawai pada setiap kegiatan, sehingga memenuhi standar harga yang berlaku. Sedangkan untuk belanja barang dan jasa terdapat kesenjangan sebesar Rp. 1,225 miliar atau naik 0,43 % (+0,43%), disebabkan adanya tambahan kebutuhan belanja barang pakai habis dan untuk kebutuhan perjalanan dinas di triwulan IV (bulan OktoberDesember) bagi semua SKPD sesuai dengan hasil evaluasi penggunaan dana pada semester I pelaksanaan APBD pada tahun anggaran berkenaan. Sementara itu, terdapat kesenjangan terbesar pada belanja modal dengan kecenderungan berkurang rata-rata sebesar Rp. 38,075 miliar atau turun 8,56 % (-8,56%), disebabkan adanya pengurangan dan penundaan jenis kegiatan fisik (belanja modal) dan pengadaan barang/aset di beberapa SKPD, karena dikhawatirkan tidak akan mencukupi waktunya untuk proses pengadaan barangnya maupun pelaksanaan konstruksinya, sehingga alokasi belanjanya dikurangi dan ditunda pelaksanaan hingga tahun anggaran yang akan datang. 2.
Keseluruhan kondisi yang dijelaskan di atas mengindikasikan bahwa Pemerintah Kabupaten Bogor dan DPRD Kabupaten Bogor pada tahun anggaran 2007 dan 2008, cenderung untuk merealisasikan tambahan alokasi Belanja Tidak Langsung, karena sudah ditetapkan secara quota terlebih dahulu, terutama untuk komponen BTL Non Pegawai daripada untuk menambah alokasi Belanja Langsung, terutama kegiatan fisik dan pengadaan barang/aset (belanja
modal),
sehingga
berimplikasi pada
terjadinya
kesenjangan antara rencana alokasi yang telah disepakati dalam dokumen KUA dan PPAS dengan realisasinya dalam dokumen APBD.
Hal ini
sesungguhnya tidak sejalan dengan prinsip yang berlaku umum dalam pengelolaan APBD, dimana belanja langsung yang memuat program dan kegiatan pembangunan untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan sesuai dengan lingkup tugas pokok dan fungsi dari masing-masing SKPD, semestinya dipenuhi terlebih dahulu alokasi anggarannya, sedangkan alokasi belanja tidak langsung non pegawai adalah urusan sisa (residu) yang dapat dibiayai dengan APBD Kabupaten Bogor bilamana keseluruhan alokasi anggaran untuk urusan wajib dan urusan pilihan telah terpenuhi terlebih dahulu sebagaimana rencana yang telah ditetapkan.
5.3.2. Analisis Kesenjangan Berdasarkan Urusan Pemerintahan/SKPD Analisis kesenjangan berdasarkan urusan pemerintahan/SKPD didasarkan pada perbedaan antara rencana alokasi belanja daerah dalam dokumen KUA dan PPAS dengan realisasi belanja daerah dalam dokumen APBD, khususnya pada Belanja Langsung (BL) sebagai contoh kasus dalam kajian ini, baik dilihat dari perbedaan jumlah alokasi maupun proporsinya pada tahun anggaran 2007 dan 2008.
Berdasarkan data pada tabel 20 bahwa terdapat kesenjangan yang
cenderung berkurang pada alokasi belanja belanja langsung dengan realisasinya sebesar Rp. 459,623 miliar atau turun 34,46 % (-34,46%). Jumlah atau proporsi kesenjangan yang relatif tinggi ini dipengaruhi oleh : 1. Rencana alokasi belanja langsung yang telah disepakati dalam dokumen KUA dan PPAS antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan DPRD Kabupaten Bogor masih dipandang sebagai pagu atau plafon anggaran sementara. Oleh karena itu, usulan belanja untuk masing-masing kegiatan dan program pembangunan belum didasarkan pada perhitungan tingkat kewajaran biaya atau analisis standar belanja yang memadai, sehingga jumlah belanjanya tidak mencerminkan kebutuhan yang wajar dari setiap urusan pemerintahan/SKPD. Selain itu, ketika penyusunan dokumen KUA dan PPAS tidak dilakukan seleksi dan verifikasi kembali oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) atas seluruh usulan belanja kegiatan yang telah dihimpun dalam dokumen RKPD, sehingga pagu anggaran atau plafon anggaran sementara untuk setiap kegiatan pembangunan relatif tinggi.
Hal ini bertitik-tolak dari sikap
pragmatis dari seluruh SKPD bahwa dokumen KUA dan PPAS sifatnya hanya
sementara, diindikasikan dari nama PPAS yang berarti “Prioritas dan Plafon
Anggaran Sementara”, dimana kepastian alokasi belanja untuk masing-masing kegiatan pembangunan, nantinya akan diperhitungkan secara wajar ketika penyusunan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD). Sikap dimaksud dipengaruhi juga oleh ketentuan dalam permendagri tentang pedoman penyusunan APBD bahwa adanya penambahan atau pengurangan kegiatan dan program serta pagu anggaran dapat dilakukan ketika proses pembahasan APBD, asalkan dalam Nota Kesepakatan KUA dan PPAS terlebih dahulu dicantumkan klausul yang menyatakan bahwa apabila terjadi pergeseran asumsi yang melandasi kesepakatan KUA dan PPAS, seperti adanya kebijakan pemerintah pusat dan provinsi bagi kabupaten/kota dan adanya
penambahan/pengurangan
sumber
pendapatan
daerah
setelah
ditandatanganinya Nota Kesepakatan KUA dan PPAS, dapat dilakukan penambahan atau pengurangan kegiatan dan program serta pagu anggaran apabila belum ditampung dalam Nota Kesepakatan (Permendagri Nomor 30 tahun 2007 dan Permendagri Nomor 32 tahun 2008). 2. Jumlah kegiatan dan program pembangunan beserta alokasi belanjanya kemungkinan telah diprediksi atau diproyeksi dengan tepat oleh TAPD, tetapi ketika memasuki tahapan pembahasan APBD, ternyata informasi tentang penetapan alokasi dana dari pusat dan bantuan dari provinsi jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan hasil prediksi atau proyeksi yang dilakukan oleh TAPD, sehingga terdapat kesenjangan yang cukup besar antara usulan yang akan dibiayai dari sumber dana APBN maupun APBD Provinsi dan karenanya dilakukan penyesuaian kembali menurut penetapan pagu yang telah diterbitkan oleh pemerintah pusat maupun provinsi tersebut.
Penjelasan rinci untuk
kesenjangan yang cenderung berkurang untuk belanja langsung dari setiap urusan pemerintahan/SKPD dapat dilihat pada tabel 20. Tabel 20 : Kesenjangan (gap) antara Alokasi Belanja Langsung (BL) dalam KUA dan PPAS dengan Realisasi Belanja Langsung (BL) dalam APBD menurut Urusan Pemerintahan/SKPD tahun anggaran 2007 dan 2008 No
A
Urusan Pemerintahan/ SKPD Urusan Wajib
Jumlah Alokasi (Rp.)
Jumlah Realisasi (Rp.)
Jumlah Gap
1.273.808.045.605
827.865.379.835
(445.942.665.770)
Gap (%)
(Rp.) (35,01)
1
2
3
4
5
6 7
8 9
10
11 12
13
14 15
B 1
2
387.780.598.120 383.758.040.120 4.022.558.000 218.148.849.150 138.725.793.650 36.409.180.000 43.013.875.500
145.429.174.055 142.490.112.385 2.939.061.670 117.418.282.735 57.079.469.060 31.649.754.675 28.689.059.000
(242.351.424.065) (241.267.927.735) (1.083.496.330) (100.730.566.415) (81.646.324.590) (4.759.425.325) (14.324.816.500)
(62,50) (62,87) (26,94) (46,18) (58,85) (13,07) (33,30)
372.120.546.000 302.595.005.000 69.525.541.000
345.029.208.995 306.947.284.385 38.081.924.610
(27.091.337.005) 4.352.279.385 (31.443.616.390)
(7,28) 1,44 (45,23)
6.561.490.000 6.561.490.000
3.647.968.660 3.647.968.660
(2.913.521.340) (2.913.521.340)
(44,40) (44,40)
15.679.122.500 15.679.122.500 33.015.825.150 33.015.825.150
10.899.562.550 10.899.562.550 20.003.213.300 20.003.213.300
(4.779.559.950) (4.779.559.950) (13.012.611.850) (13.012.611.850)
(30,48) (30,48) (39,41) (39,41)
17.077.619.500 17.077.619.500 9.228.492.375 9.228.492.375
10.119.524.940 10.119.524.940 5.270.911.395 5.270.911.395
(6.958.094.560) (6.958.094.560) (3.957.580.980) (3.957.580.980)
(40,74) (40,74) (42,88) (42,88)
3.722.805.500 3.722.805.500
2.605.591.155 2.605.591.155
(1.117.214.345) (1.117.214.345)
(30,01) (30,01)
2.848.795.000 2.848.795.000 11.533.028.460 11.533.028.460
2.326.229.560 2.326.229.560 7.857.375.545 7.857.375.545
(522.565.440) (522.565.440) (3.675.652.915) (3.675.652.915)
(18,34) (18,34) (31,87) (31,87)
34.033.721.000 23.913.392.500 10.120.328.500
13.556.709.050 8.002.282.515 5.554.426.535
(20.477.011.950) (15.911.109.985) (4.565.901.965)
(60,17) (66,54) (45,12)
138.341.643.600 -
124.946.309.270 -
(13.395.334.330) -
(9,68) -
93.743.749.350 14.888.276.500 5.510.244.500 11.801.084.750 12.398.288.500 13.117.495.500 13.117.495.500
76.501.505.825 16.010.873.095 5.509.288.180 15.007.134.220 11.917.507.950 11.204.842.465 11.204.842.465
(17.242.243.525) 1.122.596.595 (956.320) 3.206.049.470 (480.780.550) (1.912.653.035) (1.912.653.035)
(18,39) 7,54 (0,02) 27,17 (3,88) (14,58) (14,58)
10.598.013.750 10.598.013.750
7.550.476.160 7.550.476.160
(3.047.537.590) (3.047.537.590)
(28,76) (28,76)
59.798.348.245 31.181.996.245
46.117.698.165 24.080.280.080
(13.680.650.080) (7.101.716.165)
(22,88) (22,78)
1.1. Dstanhut
20.205.859.825
16.060.007.965
(4.145.851.860)
(20,52)
1.2. Disnakan Urusan ESDM
10.976.136.420 19.335.322.000
8.020.272.115 16.658.893.690
(2.955.864.305) (2.676.428.310)
(26,93) (13,84)
Urusan Pendidikan 1.1.Dinas Pendidikan 1.2. KAPD Urusan Kesehatan 2.1.Dinas Kesehatan 2.2.BRSD Cibinong 2.3.BRSD Ciawi Urusan Pekerjaan Umum 3.1. DBMP 3.2.Dinas Cipta Karya Urusan Penataan Ruang 4.1. DTR&LH Urusan Perencanaan Pembangunan 5.1.Bappeda Urusan Perhubungan 6.1.Dinas Perhubungan Urusan Kependudukan dan Catatan Sipil 7.1.Disdukcapil-KB Urusan Tenaga Kerja 8.1.Disnakertrans Urusan Koperasi dan UKM 9.1. Kankop UKM Urusan Penanaman Modal 10.1. KPMD Urusan Kebudayaan 11.1. Disbudpar Urusan Kesatuan Bangsa & Politik dalam Negeri 12.1.Kesbang Linmas 12.2. Satuan Pol PP Urusan Pemerintahan Umum 13.1. DPRD 13.2. KDH/WKDH 13.3. Sekretariat Daerah 13.4. Sekretariat DPRD 13.5. Bawasda 13.6. Kecamatan 13.7. Dispenda Urusan Kepegawaian 14.1. Badiklat Urusan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa 15.1. BPMKS Urusan Pilihan Urusan Pertanian
3
2.1.Dinas Pertambangan Urusan Perindustrian 3.1. Dinas Perindag Jumlah
19.335.322.000 9.281.030.000 9.281.030.000
16.658.893.690 5.378.524.395 5.378.524.395
(2.676.428.310) (3.902.505.605) (3.902.505.605)
(13,84) (42,05) (42,05)
1.333.606.393.850
873.983.078.000
(459.623.315.850)
(34,46)
Sumber : Hasil analisis
Bilamana diperhatikan pada masing-masing urusan pemerintahan/SKPD, maka kesenjangan yang terjadi dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok, yaitu : (1) kesenjangan yang cenderung bertambah atau gapnya bernilai positif (+) dan (2) kesenjangan yang cenderung berkurang atau gapnya bernilai negatif (-). Untuk kesenjangan yang cenderung bertambah atau gapnya positif, terdapat pada : 1. Urusan pekerjaan umum/Dinas Bina Marga dan Pengairan (DBMP), yaitu bertambahnya realisasi belanja langsung dalam APBD sebesar Rp. 4,352 miliar atau naik 1,44 % dari rencana alokasi belanja yang telah disepakati dalam KUA dan PPAS. Hal ini disebabkan adanya tambahan kegiatan pada DBMP sebanyak 47 kegiatan, yaitu dari rencana sebanyak 622 kegiatan dalam KUA dan PPAS, kemudian berubah menjadi 668 kegiatan pada dokumen APBD, diantaranya : (1) pembebasan tanah untuk ruas jalan Banjarwaru-Nagrog, kecamatan Ciawi; (2) pembebasan tanah untuk ruas jalan alternatif terminal Laladon; (3) pembebasan tanah untuk ruas jalan lingkar Leuwiliang; (4) peningkatan, rehabilitasi dan pemeliharaan ruas jalan kabupaten yang tersebar di 40 kecamatan. 2. Urusan pemerintahan umum/Sekretariat Dewan (Setwan) yaitu bertambahnya realisasi belanja langsung sebesar Rp. 1,122 miliar atau naik 7,54 % dari rencana alokasi belanja yang telah disepakati dalam KUA dan PPAS. Hal ini disebabkan adanya tambahan pengadaan mobil dinas/operasional dan mobil jabatan untuk pimpinan DPRD. 3. Urusan pemerintahan umum/Kecamatan yaitu bertambahnya realisasi belanja langsung sebesar Rp. 3,206 miliar atau naik 27,17 % dari rencana alokasi belanja yang telah disepakati dalam KUA dan PPAS. Hal ini disebabkan adanya tambahan biaya operasional untuk masing-masing kecamatan, yaitu semula sebesar Rp. 10 juta per bulan, kemudian bertambah menjadi sebesar
Rp. 15 juta per bulan, sejalan dengan adanya pelimpahan kewenangan untuk beberapa jenis urusan pemerintahan dari Bupati Bogor kepada Camat. Sementara itu, untuk kesenjangan yang cenderung berkurang atau gapnya negatif, terdapat pada : 1. Urusan pemerintahan/SKPD dengan gap negatif yang termasuk kategori rendah, yaitu sebesar 0,02 % - 18,39 %, terjadi pada 5 SKPD, diantaranya terjadi pada Badan Pengawasan Daerah (Bawasda), kemudian Badan Rumah Sakit Daerah Cibinong (BRSD Cibinong), Dinas Pertambagan, Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) hingga Sekretariat Daerah. 2. Urusan pemerintahan/SKPD dengan gap negatif
yang termasuk kategori
sedang, yaitu antara 20,52 % - 39,41 %, terjadi pada 9 SKPD, diantaranya Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut), kemudian Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakan), Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah (KAPD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Kantor Koperasi dan UKM (Kankop-UKM),
Kecamatan,
Badan
Pemberdayaan
Masyarakat
dan
Kesejahteraan Sosial (BPMKS) serta Dinas Perhubungan. 3. Urusan pemerintahan/SKPD dengan gap negatif yang termasuk kategori besar, yaitu antara 20,52 % - 39,41 %, terjadi pada 9 SKPD, diantaranya Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Cipta Karya, Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup (DTR & LH), Dinas Kependudukan Catatan Sipil dan KB (Disdukcapil-KB), Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Linmas), Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Diperindag). Untuk kesenjangan yang cenderung berkurang atau
gapnya negatif di atas mengungkapkan bahwa semakin besar proporsinya, semakin banyak kegiatan dan program pembangunan yang tidak mendapatkan alokasi belanja dalam APBD, berarti kegiatan dimaksud tidak dibiayai lagi untuk tahun anggaran yang berkenaan. Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu : (1) kegiatan dimaksud dibatalkan atau ditunda pelaksanaannya (didrop); (2) kegiatan dimaksud tetap disetujui untuk dialokasikan belanjanya, tetapi target kinerja/volumenya berkurang; (3) kegiatan tersebut disesuaikan kembali secara teknis, dalam arti dihitung
kembali antara standar harga yang digunakan dengan rencana output yang akan dihasilkan; (4) kegiatan dimaksud dilakukan penggantian, pergeseran maupun pemecahan
anggaran
ke
belanja
yang
relatif
kecil,
asalkan
dapat
mengakomodir sejumlah aspirasi yang terlanjur sudah dijanjikan, agar tetap dilaksanakan pada tahun anggaran yang berkenaan. Keseluruhan dari uraian di atas menunjukan bahwa tidak adanya konsistensi antara perencanaan dan pengganggaran belanja daerah selama tahun anggaran 2007 dan 2008. Hal itu ditunjukkan dari kesenjangan antara alokasi belanja daerah yang telah disepakati dalam dokumen KUA dan PPAS dengan realisasi belanja daerah dalam dokumen APBD, baik berdasarkan kelompok belanja, yakni Belanja Tidak Langsung (BTL) maupun Belanja Langsung (BL) serta kesenjangan yang terjadi pada urusan pemerintahan/SKPD. Kesenjangan dimaksud disebabkan oleh beberapa hal yaitu : (1) berkurangnya jumlah kegiatan, sehingga berimplikasi pada berkurangnya realisasi alokasi belanja dalam APBD; (2) bertambahnya jumlah kegiatan, sehingga berakibat pada bertambahnya realisasi alokasi belanja dalam APBD; (3) bertambahnya jumlah kegiatan dengan alokasi anggaran yang relatif kecil, sebagai akibat dilakukannya pergeseran, penggantian kegiatan atau pun penyesuaian kegiatan, dalam arti dilakukan pemecahan kegiatan ke beberapa kegiatan dengan anggaran yang relatif kecil, tetapi total anggarannya tidak berubah. Pilihan terhadap tindakan penyesuaian belanja seringkali jadi alternatif pilihan kebijakan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan DPRD Kabupaten Bogor, karena adanya keterbatasan kemampuan pendapatan daerah, maka target kinerjanya/volumenya dikurangi sedemikian rupa, agar sebagian besar aspirasi masyarakat yang belum masuk dalam skala prioritas, baik yang berasal dari hasil Musrenbang, Jum’at Keliling (Jumling), hasil Reses DPRD, maupun dari rencana kerja SKPD dapat terakomodir dan menjadi kegiatan prioritas untuk dibiayai dalam APBD pada tahun anggaran yang berkenaan.
5.3. Analisis Pemetaan Alokasi Belanja Daerah 5.2.1. Pemetaan Alokasi Belanja Daerah Menurut Kelompok Belanja Secara nominal, rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bogor ditinjau dari total belanja daerah mengalami kenaikan
dari tahun ke tahun. Demikian juga dengan kelompok belanja yang terdiri dari, Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL) juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Rincian rencana belanja daerah, baik BTL maupun BL dapat dilihat pada tabel 21. Tabel 21 :
Rencana Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL) dalam APBD Kabupaten Bogor selama Periode 2003-2008
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tahun
2003 2004 2005 2006 2007 2008 Ratarata
Rencana Anggaran Belanja dalam APBD Kab. Bogor selama Periode 2003-2008 % % % BTL BL Total (Rp. 000,-) (Rp. 000,-) (Rp. 000,-) 553.430.343 64,48 361.650.895 35,52 915.081.238 100,00 553.672.951 53,07 489.571.036 46,93 1.043.243.987 100,00 520.049.207 45,05 634.424.593 54,95 1.154.473.800 100,00 662.490.584 46,07 775.570.151 53,93 1.438.060.735 100,00 863.694.752 50,47 847.544.749 49,53 1.711.239.501 100,00 1.193.992.591 57,01 900.421.407 42,99 2.094.413.998 100,00 724.555.071 52,69 668.197.138 47,31 1.392.752.210 100,00
Sumber : Diolah dari Buku APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
Jika ditinjau dari kelompok Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL), maka rata-rata proporsi dari BTL sebesar 52,69 % dan BL sebesar 47,31 %, berarti alokasi untuk BTL lebih besar daripada BL selama periode 2003-2008. Kebutuhan BTL yang relatif tinggi tersebut, terutama untuk memenuhi kebutuhan belanja pegawai, seperti untuk membayar gaji, tunjangan dan tambahan penghasilan bagi pegawai demi kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal itu terkait dengan kebutuhan pembayaran bagi belanja pegawai sebanyak 19.725 orang, terdiri dari pegawai yang telah menduduki jabatan struktural sebanyak 994 orang atau 5,04 % (Eselon II sebanyak 28 orang, Eselon III sebanyak 155 orang, Eselon IV sebanyak 740 orang dan Eselon V sebanyak 71 orang) dan pegawai non-eselon sebanyak 18.731 orang atau 94,96 % (tenaga fungsional sebanyak 13.733 orang dan staf sebanyak 4.998 orang). Jika dirinci berdasarkan pangkat/ golongan, maka komposisinya terdiri dari golongan I sebanyak 539 orang (2,73 %), golongan II sebanyak 4.666 orang (23,66%), golongan III sebanyak 7.801 orang (39,55%) dan golongan IV sebanyak 6.719 orang (34,06%),
dan bilamana diklasifikasikan menurut status kepegawaian,
maka jumlah pegawai sebanyak 19.725 orang itu, terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 17.184 orang (87,12%) dan yang berstatus tenaga kontrak
berjumlah 2.541 orang (12,88%), dengan jenjang pendidikan terdiri atas ; jenjang SD 2,30 %, SLTP 3,10 %, SLTA 19.60 %, Diploma 46,30 %, dan sarjana 28,70 % (Bappeda, tahun 2008). Proporsi dari alokasi BTL sebesar 52,69 % itu menimbulkan pandangan negatif masyarakat atas kebijakan alokasi belanja daerah yang telah diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan karenanya dinilai hanya mengutamakan kebutuhan belanja aparatur dibandingkan dengan belanja pelayanan publik. Padahal, didalam proporsi BTL sebesar 52,69 %, terdapat dua fungsi belanja, yaitu : (1) belanja pegawai berupa gaji dan tunjangan serta tambahan penghasilan bagi aparatur, termasuk didalamnya untuk membayar tenaga honorer daerah dengan alokasi belanja sebesar 36,57 %. Proporsi inilah yang benar-benar fungsi belanjanya ditujukan untuk membiayai aparatur daerah semata; (2) belanja tidak langsung “Non-Pegawai” (BTL-Non Pegawai), terdiri dari belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan dan belanja tidak terduga, mendapat alokasi belanja sebesar 16,12 %. Proporsi ini dilihat dari fungsi belanjanya tidak dirasakan secara langsung oleh aparat, baik hasil, manfaat maupun dampaknya, karena semuanya ditujukan untuk masyarakat (publik) dan karenanya tidak tepat diperhitungkan sebagai komponen dari BTL. Hanya saja, pengelompokkannya kedalam kelompok BTL karena telah dibakukan secara administrasi keuangan menurut ketentuan dalam Permendagri Nomor 13 tahun 2006 dan Permendagri Nomor 59 tahun 2007. Dengan demikian, jika dilakukan pengelompokkan kembali/perhitungan kembali belanja daerah berdasarkan fungsi belanja, maka dapat dinyatakan bahwa alokasi BL yang ditujukan untuk pelayanan publik telah mencapai sebesar 63,43 %, berarti lebih besar dari alokasi BTL sebesar 36,57 %. Jadi, kebijakan alokasi belanja daerah jika ditinjau dari fungsi belanja selama periode 2003-2008, maka kebijakan alokasinya, justru lebih besar untuk pemenuhan pelayanan publik, dibandingkan dengan kebutuhan aparatur daerah. Sementara itu, jika dilihat dari rata-rata kenaikan dari rencana BTL maupun BL, tampak bahwa rata-rata kenaikan BTL sebesar 18,00 %, lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata kenaikan BL sebesar 20,55 %. Untuk kenaikan dari BTL, hal ini dipengaruhi oleh kebijakan alokasi belanja yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat, seperti adanya kebijakan kenaikan gaji dan tunjangan, gaji ke13 maupun tambahan penghasilan bagi pegawai serta adanya ketentuan untuk mengalokasikan belanja “Accress” yaitu alokasi anggaran untuk mengantisipasi adanya kenaikan gaji berkala, kenaikan pangkat, tunjangan keluarga, mutasi atau pindah tugas pegawai dan penambahan PNS daerah yang besarnya dibatasi maksimum 2,5 % dari jumlah belanja pegawai, sedangkan untuk kenaikan dari BL, kecenderungannya cukup fluktuatifnya, karena sangat terkait dengan kebijakan alokasi belanja daerah pada setiap urusan pemerintahan/SKPD atau pun pilihan prioritas pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor pada tahun anggaran berkenaan. Rinciannya dapat dilihat pada tabel 22. Tabel 22 : Kenaikan Rencana Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL) dalam APBD Kabupaten Bogor selama Periode 2003-2008 No.
Tahun
Rata-rata Kenaikan Rencana BTL dan BL dalam APBD Kabupaten Bogor %
BTL (Rp. 000,-) 553.430.343 553.672.951 520.049.207 662.490.584 863.694.752 1.193.992.591 724.555.071
1. 2. 3. 4. 5. 6.
BL (Rp. 000,-) 361.650.895 489.571.036 634.424.593 775.570.151 847.544.749 900.421.407 668.197.138
%
2003 2004 0,04 35,37 2005 -6,07 29,59 2006 27,39 22,25 2007 30,37 9,28 2008 38,24 6,24 Rata18,00 20,55 rata Sumber : Diolah dari Buku APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
Total (Rp. 000,-) 915.081.238 1.043.243.987 1.154.473.800 1.438.060.735 1.711.239.501 2.094.413.998 1.392.752.210
% 14,01 10,66 24,56 19,00 22,39 18,12
Untuk mengetahui lebih rinci mengenai kebijakan alokasi belanja daerah menurut kelompok belanja yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor selama periode tahun 2003-2008, yang terdiri dari Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL) beserta komponennya maka dilakukan analisis dengan Tipologi Klassen, dengan hasil analisis sebagaimana dapat dilihat pada tabel 23. Tabel 23: Hasil Analisis dengan Tipologi Klassen untuk Belanja Daerah menurut Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL) No A.
Uraian Belanja Tidak Langsung (BTL) 1. B. Pegawai
Rata-rata Pertumbuhan
Rata-rata Kontribusi
(G)
(S)
18,00 19,79
Tipologi Klassen
gi thd G
si thd S
Kuadran
Ket
724.555.071
<
>
III
Kurang prioritas
502.897.999
>
>
I
Sangat prioritas
B.
-
2. BTL Non Pegawai Belanja Langsung (BL) 1. B. Pegawai 2. B. Barang & Jasa 3. B. Modal Belanja Daerah menurut Kelompok Belanja Belanja Daerah menurut Komponen Belanja
15,55 20,55 9,97 16,61 30,49
221.657.072 668.197.138 129.763.764 222.461.623 315.971.751
19,28
696.376.105
18,48
278.550.442
< > < < >
< < < < >
IV II IV IV I
Tidak prioritas Cukup prioritas Tidak prioritas Tidak prioritas Sangat prioritas
Sumber : Hasil Analisis Keterangan : Kelompok belanja terdiri dari BTL dan BL, sedangkan komponen belanja, terdiri dari belanja pegawai, barang dan jasa serta belanja modal
Pada tabel di atas, terlihat bahwa kebijakan alokasi belanja daerah yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dalam APBD tahun anggaran 20032008, yaitu : 1. Untuk kelompok Belanja Tidak Langsung (BTL) menurut analisis Tipologi Klassen termasuk dalam klasifikasi kuadran III atau Kurang Prioritas, dengan rata-rata kontribusi sebesar Rp. 724,555 miliar dan rata-rata pertumbuhan 18,00 %, artinya rata-rata kontribusinya berada diatas rata-rata belanja daerah, tetapi rata-rata pertumbuhannya selama periode 2003-2008 berada di bawah rata-rata belanja daerah.
Kondisi ini hanyalah implikasi pengelompokkan
belanja atau penggabungan dari komponen pembentuknya, yaitu belanja pegawai yang termasuk dalam klasifikasi Sangat Prioritas dan BTL Non Pegawai yang termasuk dalam klasifikasi Tidak Prioritas. Sementara itu, untuk kelompok Belanja Langsung (BL) menurut analisis Tipologi Klassen termasuk dalam klasifikasi kuadran II atau Cukup Prioritas, dengan rata-rata kontribusi sebesar Rp. 668,197 miliar dan rata-rata pertumbuhan 20,55 %, artinya ratarata kontribusinya berada dibawah rata-rata belanja daerah, tetapi rata-rata pertumbuhannya selama periode 2003-2008 berada di atas rata-rata belanja daerah. Kondisi ini hanyalah implikasi dari pengelompokkan belanja atau penggabungan dari komponen pembentuknya, yaitu belanja pegawai serta belanja barang dan jasa yang termasuk dalam klasifikasi Tidak Prioritas dan belanja modal termasuk dalam klasifikasi Sangat Prioritas, sehingga kumulatifnya menjadi Cukup Prioritas. 2. Untuk belanja pegawai dalam kelompok BTL, hasil analisis dengan Tipologi Klassen menunjukkan bahwa belanja pegawai termasuk dalam klasifikasi kuadran I atau Sangat Prioritas. Kondisi ini disebabkan adanya kebijakan
alokasi anggaran selama periode 2003-2008 yang cenderung meningkatkan gaji dan tunjangan bagi PNS di daerah sebagai berikut : (1) adanya kebijakan kenaikan gaji bagi PNS pada setiap tahun anggaran dengan tingkat kenaikan minimal 10 % dari gaji pokok; (2) adanya kebijakan untuk memberikan gaji ke-13 pada setiap tahun anggaran dengan besaran satu kali gaji pokok; (3) pada dua tahun terakhir, yaitu 2007-2008 adanya kebijakan yang memperkenankan bagi PNS/CPNS daerah
untuk mendapatkan tambahan penghasilan atau
semacam remunerasi berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah yang ditetapkan dengan peraturan kepala daerah setelah memperoleh persetujuan dan/atau kesepakatan dengan DPRD dalam pembahasan dokumen KUA dan PPAS. Pertimbangan obyektif dimaksud adalah pertimbangan berdasarkan beban kerja, prestasi kerja,
kondisi
kerja,
tempat
bertugas,
kelangkaan
profesi
dan/atau
pertimbangan obyektif lainnya, yang kriteria dan besarannya ditetapkan dengan keputusan kepala daerah dan/atau peraturan kepala daerah. Ketentuan ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas PNS daerah sebagaimana ditegaskan dalam Permendagri Nomor 30 tahun 2007 dan Permendagri Nomor 32 tahun 2008 tentang Pedoman penyusunan APBD; (3) kenaikan belanja pegawai karena dipengaruhi juga oleh pertimbangan “safety
first” dari Pemerintah Kabupaten Bogor, dalam arti bahwa Pemerintah Kabupaten Bogor harus memenuhi terlebih dahulu kewajibannya terhadap hakhak pegawai berupa belanja gaji dan tunjangan, tambahan penghasilan dan kesejahteraan bagi setiap pegawai, serta belanja operasi dan pemeliharaan kantor yang sifatnya tertentu dan sudah tetap (fixed cost), agar selalu terjaga kelancaran dan kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan kepada masyarakat sepanjang tahun. 3. Untuk Belanja Tidak Langsung Non Pegawai (BTL Non Pegawai), hasil analisis dengan Tipologi Klassen menunjukkan bahwa BTL Non Pegawai termasuk dalam klasifikasi kuadran IV atau Tidak Prioritas.
Kondisi ini
dipengaruhi oleh komponen pembentuk dari BTL Non Pegawai, terdiri dari belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Hal ini terkait
dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam permendagri tentang pedoman penyusunan APBD, khususnya pada periode tahun anggaran 2003-2006 bahwa BTL Non-pegawai hanya dibatasi untuk dua jenis obyek belanja, yaitu belanja bagi hasil dan bantuan keuangan serta belanja tidak terduga, tetapi periode 2007-2008, seluruh komponen yang tercakup dalam BTL Non-pegawai dapat diterapkan, karenanya hasil dari analisis Tipologi Klassen ini berbeda dengan hasil analisis kesenjangan pada bab sebelumnya, karena data untuk analisis Tipologi Klassen adalah data gabungan dari periode 2003 hingga 2008, sedangkan analisis kesenjangan hanya periode 2007-2008. Untuk itu, hasil analisis Tipologi Klassen ini menunjukan bahwa BTL Non-pegawai termasuk dalam klasifikasi kuadran IV atau Tidak Prioritas, disebabkan oleh : (1) belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, seperti bagi hasil pendapatan asli daerah berupa bagi hasil pajak dan retribusi daerah kepada daerah bawahan atau kepada pemerintahan desa, pemerintahan daerah lainnya serta bantuan keuangan yang bersifat umum dan khusus dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan pemerintahan desa sesuai dengan aturan, dasar hitung
maupun jenis-jenis
obyek yang boleh dan tidak boleh dilakukan menurut realisasi dari pajak dan retribusi daerah tahun sebelumnya, sehingga alokasinya relatif kecil pada setiap tahun anggaran; (2) belanja tidak terduga adalah belanja yang dialokasikan untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan terjadi berulangulang, seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya. Alokasi anggaran pada obyek belanja ini jumlahnya relatif tetap pada APBD pada periode 2003-2006, yaitu sebesar Rp. 10 miliar sampai Rp. 15 miliar, tetapi pada periode 2007-2008 mengalami peningkatan, tetapi tambahan kenaikannya secara rata-rata relatif keci. Alokasi dari belanja tidak terduga ini ditujukan untuk tanggap darurat dalam rangka pemulihan sementara, agar tetap terjaga kondisi stabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah serta ketentraman dan ketertiban masyarakat, bukan penanganan permanen, sehingga kenaikan alokasi anggarannya setiap tahun berada dibawah rata-rata komponen belanja daerah.
4. Sementara itu, komponen belanja lainnya dalam BTL Non Pegawai, berupa belanja hibah dan bantuan sosial mulai diimplementasikan pada tahun anggaran 2007, sedangkan belanja bunga dan belanja subsidi hanya sebatas pencantuman nomenklatur dalam struktur APBD, tetapi belum pernah diimplementasikan selama periode 2003-2008.
Untuk belanja hibah dan
belanja bantuan sosial, kebijakan yang diterapkan selama 2007-2008 ditujukan pada : (1) belanja hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat serta tidak secara terus menerus. Implementasi dari pemberian hibah di Kabupaten Bogor adalah untuk mendukung fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilakukan oleh pemerintah/instansi vertikal (seperti Pemilukada oleh KPUD, TMMD oleh KODIM, Penyuluhan sadar hukum oleh Kejaksaan Negeri dan lain-lain) serta “semi-pemerintah” (seperti PMI, KONI, Pramuka, KORPRI, PKK, MUI, PGRI dan lain-lain), pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, serta masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan dapat dianggarkan dalam APBD dengan dilengkapi terlebih dahulu dengan Naskah Perjanjian Hibah Daerah antara penerima hibah dengan Pemerintah Daerah serta kewajiban penerima hibah mempertanggungjawabkan penggunaan dana yang diterima sesuai dengan persyaratan dalam naskah perjanjian hibah daerah tersebut; (2) belanja bantuan sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemberian
bantuan sosial tersebut tidak secara terus menerus/tidak berulang setiap tahun anggaran, selektif, dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya. Selain itu, pengalokasian bantuan sosial tahun demi tahun harus menunjukan jumlah yang semakin berkurang, agar APBD berfungsi sebagai instrumen pemerataan dan keadilan dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat. Pengurangan jumlah bantuan sosial bertujuan agar dana APBD dapat dialokasikan untuk membiayai program dan kegiatan pemerintahan daerah yang dapat dinikmati
oleh seluruh lapisan masyarakat, menciptakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran maupun pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian daerah.
Dengan demikian, dapat dihindari
adanya diskriminasi pengalokasian dana APBD melalui bantuan sosial yang hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu saja. Implementasi dari bantuan sosial di Kabupaten Bogor adalah ditujukan kepada bantuan sosial untuk : (1) kegiatan keagamaan/sarana keagamaan (seperti bantuan untuk masjid, musholla, pondok pesantren, majelis ta’lim, madrasyah, tempat pendidikan Al Qur’an, perayaan hari-hari besar Agama Islam, Jum’at keliling (Jumling), tarawih keliling (Tarling), bantuan ongkos naik haji, bantuan untuk guru ngaji dan bantuan untuk lain-lain sarana keagamaan; (2) bantuan untuk kelompok masyarkat dan organisasi kemasyarakatan (seperti bakti sosial, lembaga swadaya masyarakat, yayasan, kesenian dan kebudayaan, kegiatan organisasi kemahasiswaan, keolahragaan, kepemudaan, kegiatan perempuan, penguatan kelembagaan organisasi kemasyarakatan dan lain-lain organisasi kemasyarakatan); (3) bantuan untuk masyarakat kurang mampu yang ditujukan untuk biaya pengobatan, pendidikan, distribusi beras untuk masyarakat miskin, santunan hari raya dan ongkos perjalanan bagi musafir; (4) bantuan sosial untuk organisasi profesi (seperti organisasi kewartawanan, IKAPRI, HKTI, KTNA, IWAPI, PERTUNI, Serikat Pekerja, IGTK/IGRA, GOW, PWRI, Dewan
Pendidikan,
DMI,
IPHI,
APKASI/ADKASI,
Karang Taruna,
TAGANA, NU, Muhammadiyah, Mathlaul Anwar, Muslimat NU, Aisyah Muhammadiyah, Warakawuri TNI dan POLRI, Cacat Veteran, dan lain-lain organisasi profesi); (5) khusus untuk bantuan keuangan kepada partai politik, sejak tahun anggaran 2008 dimasukan kedalam jenis bantuan sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, komponen dari jenis bantuan sosial semakin beragam yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor pada dua tahun terakhir serta pada tahun yang akan datang diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya proposal dari masyarakat. Oleh karena itu, bagi para penerima bantuan sosial, ke depan harus berkewajiban menyampaikan laporann pertanggungjawaban atas penggunaan dana bantuan tersebut kepada kepala daerah serta ditetapkan pula
sebagai obyek untuk diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan, agar memenuhi prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan bantuan sosial tersebut. Sementara itu, untuk komponen Belanja Langsung (BL), yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal, maka klasifikasinya menurut tipologi Klassen adalah : 1. Belanja pegawai pada komponen BL termasuk dalam klasifikasi kuadran IV atau Tidak Prioritas, artinya rata-rata kontribusi maupun rata-rata pertumbuhan belanja pegawai pada komponen BL berada dibawah rata-rata belanja daerah. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) penganggaran belanja pegawai pada setiap program dan kegiatan telah dilakukan terlebih dahulu analisis kewajaran biaya yang dikaitkan dengan output yang dihasilkan dari satu kegiatan. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya pemborosan, maka belanja pegawai berupa honorarium kegiatan direncanakan dengan didasarkan pada kebutuhan riil dan prinsip kewajaran serta kepatutan; (2) penganggaran honorarium bagi pegawai telah dibatasi frekuensinya sesuai dengan kewajaran beban tugas yang bersangkutan.
Dasar perhitungan besaran honorarium bagi pegawai
disesuaikan dengan standar yang telah ditetapkan dengan keputusan kepala daerah; (3) penganggaran honorarium bagi non-PNS hanya dapat disediakan bagi pegawai tidak tetap yang benar-benar memiliki peranan dan kontribusi serta terkait secara langsung dengan kelancaran pelaksanaan kegiatan di masing-masing SKPD, termasuk bagi narasumber/tenaga ahli yang berasal dari luar instansi pemerintah. Dengan beberapa ketentuan yang telah ditetapkan tersebut, maka penganggaran belanja pegawai pada komponen BL,
baik
jumlah nominal anggaran maupun kenaikan anggaran pada setiap tahun anggaran selama periode 2003-2008 masih berada pada tingkat wajar dan tidak melampaui kenaikan rata-rata dari total belanja daerah. 2. Belanja barang dan jasa
pada komponen BL termasuk dalam klasifikasi
kuadran IV atau Tidak Prioritas, artinya rata-rata kontribusi maupun rata-rata pertumbuhan belanja barang dan jasa pada komponen BL berada dibawah ratarata belanja daerah. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) penganggaran belanja barang pakai habis telah disesuaikan dengan kebutuhan nyata dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsi SKPD, dengan mempertimbangkan
jumlah pegawai dan volume pekerjaan.
Oleh karena itu, perencanaan
pengadaan barang telah didahului dengan evaluasi persediaan barang serta jumlah barang dalam pemakaian; (2) penganggaran untuk pengadaan barang inventaris telah dilakukan secara selektif sesuai dengan kebutuhan masingmasing SKPD. Oleh karena itu, sebelum merencanakan pengadaan barang inventaris, terlebih dahulu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap barangbarang inventaris yang tersedia, baik dari segi kondisi maupun umur ekonomisnya; (3) Penganggaran belanja perjalanan dinas dalam daerah dan luar daerah telah dibatasi, baik jumlah orang, jumlah hari maupun frekuensinya dan dilakukan secara selektif. Bahkan perjalanan dinas dalam rangka studi banding dibatasi, sepanjang memiliki nilai manfaat bagi kemajuan daerah yang hasilnya dipublikasikan kepada masyarakat; (4) Penganggaran untuk penyelenggaraan rapat-rapat yang dilaksanakan di luar kantor SKPD atau pertemuan sejenisnya (workshop, seminar, lokakarya dan lain-lain) telah dikurangi frekuensinya dan selektif sesuai dengan kebutuhan dan sejalan pula dengan lingkup tugas pokok dan fungsi dari SKPD; (5) pengangaran untuk mengikuti pelatihan terkait dengan peningkatan sumber daya manusia hanya diperkenankan untuk pelatihan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah atau lembaga non pemerintah yang bekerjasama dan/atau direkomendasikan oleh departemen terkait, namun tetap dilakukan secara selektif dalam rangka penghematan anggaran; (6) penganggaran belanja pemeliharaan barang inventaris kantor telah disesuaikan dengan kondisi fisik barang yang akan dipelihara dan lebih diprioritaskan untuk mempertahankan kembali fungsi barang inventaris yang bersangkutan; (7) keseluruhan penyusunan rencana kebutuhan pengadaan barang dan jasa telah berpedoman pada ketentuan tentang standar satuan harga tertinggi barang dan jasa yang telah ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Dengan memperhatikan beberapa batasan yang telah ditetapkan tersebut, maka penganggaran belanja barang dan jasa pada komponen BL, baik jumlah nominal anggaran maupun kenaikan anggaran pada setiap tahun anggaran selama periode 2003-2008 masih berada pada tingkat wajar dan tidak melampaui kenaikan rata-rata dari total belanja daerah.
3. Belanja modal pada komponen BL termasuk dalam klasifikasi kuadran I atau
Sangat Prioritas, artinya rata-rata kontribusi maupun rata-rata pertumbuhan belanja modal pada komponen BL berada diatas rata-rata belanja daerah. Hal ini terkait dengan kebijakan dari Pemerintah Kabupaten Bogor, yaitu : (1) proses pengadaan belanja modal, senantiasa mengikuti prosedur, mekanisme dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Keppres 80 dan telah beberapa kali direvisi dan terakhir dengan Perpres 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, sehingga prosesnya semakin panjang dan membutuhkan tambahan alokasi belanja untuk merealisasikannya; (2) belanja modal, terutama kegiatan fisik adalah salah satu upaya untuk pemenuhan kebutuhan pelayanan kepada masyarakat, baik berupa sarana, prasarana dan infrastruktur, utilitas umum lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Bogor; (3) penganggaran belanja modal ditujukan untuk pembangunan, peningkatan, perluasan, rehabilitasi, pembelian, pengadaan atau pembangunan aset tetap yang digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan aset tetap lainnya yang memiliki kriteria, yaitu masa manfaatnya lebih dari 12 bulan dan merupakan obyek pemeliharaan di tahun berikutnya serta jumlah nilai rupiahnya atas rencana belanja modal tersebut, diusulkan besarannya sesuai dengan kebijakan akuntansi (artinya harga beli, harga pengadaan dan harga bangun aset tetap harus ditambahkan seluruh belanja yang terkait dengan proses pengadaan/pembangunan aset sampai dengan aset tersebut siap digunakan).
Meskipun masa manfaatnya diatas 12 bulan, namun siklus
pengadaan belanja modal berupa aset tetap tersebut, seringkali lebih cepat tingkat penyusutan, kerusakan dan penggantian asetnya daripada standar umur ekonomis yang telah ditetapkan, sehingga setiap tahun anggaran kebutuhan belanja modal senantiasa lebih tinggi daripada belanja barang dan jasa maupun belanja pegawai. Dengan demikian, penganggaran belanja modal cenderung meningkat pada setiap tahun anggaran, baik dari segi jumlah nominal maupun kenaikan alokasi anggarannya, karena bertambahnya jumlah, kualitas dan standar harga atau biaya per unit (unit cost) yang semakin tinggi untuk
menghasilkan sebuah aset tetap pemerintah, sehingga rata-rata nominal maupun rata-rata pertumbuhannya berada di atas rata-rata belanja daerah.
5.2.2.
Pemetaan
Alokasi
Belanja
Daerah
menurut
Urusan
Pemerintahan/SKPD Hasil analisis dengan Tipologi Klassen untuk alokasi belanja daerah menurut Urusan Pemerintahan/SKPD selama periode 2003-2008 dapat dilihat pada tabel 24. Tabel 24 : Klasifikasi Belanja Daerah menurut urusan Pemerintahan/SKPD No
Uraian
A. Urusan Wajib 1. Pendidikan 1.1. Dinas Pendidikan 1.2. Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah 2. Kesehatan 2.1. Dinas Kesehatan 2.2. RS Cibinong 2.3. RS Ciawi 3. Pekerjaan Umum 3.1. Dinas Bina Marga & Pengairan 3.2. Dinas Cipta Karya 4. Penataan Ruang 4.1. Dinas Tata Ruang & LH 5. Perencanaan Pembangunan 5.1. Bappeda 6. Perhubungan 6.1. Dinas Perhubungan 7. Kependudukan dan Catatan Sipil 7.1. Disdukcapil-KB 8. Tenaga Kerja 8.1.Disnakertrans 9. Koperasi dan UKM 9.1.Kantor Koperasi dan UKM 10. Penanaman Modal 10.1. Kantor Penanaman Modal Daerah 11. Kebudayaan 11.1. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 12. Kesatuan Bangsa & Politik dalam Negeri 12.1. Kesbang Linmas 12.2. Satuan Polisi Pamong Praja 13. Pemerintahan Umum 13.1. Kepala Daerah & Wakil Kepala Daerah 13.2. DPRD 13.3. Setda 13.4. Setwan 13.5. Dispenda 13.6. Bawasda 14. Kepegawaian 14.1. Badiklat 15. Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Klasifikasi belanja daerah gi thd si thd Kuadran Ket G S
Rata-rata Pertumbuhan (G)
Rata-rata Kontribusi (S)
16,63 30,82
438.928 3,097
< >
> <
III II
Kurang prioritas Cukup prioritas
17,34 28,22 36,07
74.520 29.431 25.526
< > >
< < <
IV II II
Tidak prioritas Cukup prioritas Cukup prioritas
34,59 17,16
208.127 37.188
> <
> <
I IV
Sangat prioritas Tidak prioritas
14,09
6.052
<
<
IV
Tidak prioritas
19,90
12.063
<
<
IV
Tidak prioritas
43,61
14.939
>
<
II
Cukup prioritas
46,59
16.029
>
<
II
Cukup prioritas
14,96
7.036
<
<
IV
Tidak prioritas
10,17
14.159
<
<
IV
Tidak prioritas
5,14
3.152
<
<
IV
Tidak prioritas
34,58
7.637
>
<
II
Cukup prioritas
71,36 21.69
5.484 6.627
> <
< <
II IV
Cukup prioritas Tidak prioritas
(4,58)
1.420
<
<
IV
Tidak prioritas
4,86 19,92 83,82 4,68 14,78
8.373 140.488 15.488 29.392 7.159
< < > < <
< > < < <
IV III II IV IV
Tidak prioritas Kurang prioritas Cukup prioritas Tidak prioritas Tidak prioritas
11,90
12.816
<
<
IV
Tidak prioritas
15.1. BPMKS B. Urusan Pilihan 1. Pertanian 1.1. Dinas Pertanian dan Kehutanan 1.2. Dinas Peternakan dan Perikanan 2. Energi dan Sumber Daya Mineral 2.1.Dinas Pertambangan 3. Perindustrian 3.1. Disperindag Belanja Daerah Belanja per urusan / SKPD
30,93
6.565
>
<
II
Cukup prioritas
12,15 20,06
22.257 9.527
< <
< <
IV IV
Tidak prioritas Tidak prioritas
44,14
10.500
>
<
II
Cukup prioritas
10,17
14.159
<
<
IV
Tidak prioritas
26,81 21,98
207.503 48.025
Sumber : Hasil Analisis
Pada tabel diatas, hasil analisis dengan Tipologi Klassen menunjukan bahwa urusan pemerintahan/SKPD yang termasuk dalam kuadran I atau Sangat Prioritas, artinya rata-rata kontribusi maupun rata-rata pertumbuhan belanjanya berada di atas rata-rata belanja daerah dan hanya mencakup urusan pekerjaan umum/Dinas Bina Marga dan Pengairan (DBMP), dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Jumlah rencana program dan kegiatan pembangunan lingkup urusan pekerjaan umum/DBMP terus bertambah pada setiap tahun anggaran, baik yang diusulkan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), Jum’at Keliling (Jumling), hasil Reses DPRD, usulan langsung masyarakat melalui proposal maupun usulan Rencana kerja (Renja) dari SKPD. Sebagai contoh kasus bahwa selama tahun anggaran 2007 dan 2008, jumlah usulan kegiatan untuk urusan pekerjaan umum/DBMP, yaitu dari 545 kegiatan pada tahun 2007, kemudian bertambah menjadi 785 kegiatan pada tahun 2008. Penambahan kegiatan dimaksud, tidak saja berkaitan dengan usulan jalan dan jembatan kabupaten yang telah bernomor ruas, tetapi sudah mengakomodir usulan jalan desa yang tidak bernomor ruas yang tersebar di 428 desa/kelurahan, jalan sentra produksi dan jalan tertentu yang menuju ke sarana publik, sehingga alokasi anggarannya juga bertambah. Demikian juga dengan usulan kegiatan yang berkaitan dengan irigasi, baik irigasi pemerintah maupun irigasi desa,
bahkan beberapa setu/danau
yang semestinya
menjadi
kewenangan provinsi, karena pertimbangan tertentu dibiayai juga oleh Pemerintah Kabupaten Bogor.
2. Jenis penanganan jalan, jembatan, irigasi dan sarana kelengkapan lainnya untuk lingkup urusan pekerjaan umum/DBMP sangat beragam, yaitu berkisar dari pengadaan tanah untuk ruas jalan baru, pembangunan jalan, peningkatan jalan dan jembatan, pembangunan drainase, gorong-gorong, turap, bronjong, tembok penahan tanah, rehabilitasi jalan, jembatan, jaringan irigasi, setu/danau, pemeliharan rutin, pemeliharaan berkala/periodik dan kegiatan untuk sarana kelengkapan/penunjang jalan dan jembatan maupun jaringan irigasi. Sebagai gambaran bahwa jumlah kegiatan yang berkenaan dengan pembangunan, rehabilitasi dan pemeliharaan untuk jalan dan jembatan pada tahun anggaran 2007 berjumlah 402 kegiatan, kemudian pada tahun anggaran 2008 bertambah menjadi 555 kegiatan. Selain itu, proses dan tahapan administrasi perencanaan hingga pembangunan jalan dan jembatan cukup panjang, diantaranya diawali dengan kegiatan survey, perencanaan teknis, penyusunan AMDAL, Detail Engineering Design (DED), pembuatan Rencana Anggaran Biaya (RAB), baik dikerjakan secara swakelola maupun dibantu oleh pihak ketiga. Disamping itu pada tahap pelaksanaannya, maka pihak-pihak yang terlibat tidak terbatas pada kontraktor/pemborong, melainkan didampingi juga oleh konsultan perencana, konsultan pengawas dan aparat SKPD sendiri sesuai dengan lingkup tugas pokok dan fungsinya.
Kesemuanya berimplikasi pada peningkatan alokasi
anggaran untuk lingkup urusan pekerjaan umum/DBMP pada setiap tahun anggaran. 3. Kondisi infrastruktur transportasi, berupa tingkat kerusakan jalan dan jembatan beserta kelengkapannya, meskipun tetap ditangani pada setiap tahun anggaran, tetapi tingkat kerusakannya tidak pernah menurun dengan drastis. Sebagai gambaran bahwa panjang jalan yang ada di Kabupaten Bogor adalah sepanjang 1.758,041 km, terdiri dari jalan nasional sepanjang 121,497 km, jalan provinsi sepanjang 129,989 km dan jalan kabupaten yang bernomor ruas sepanjang 1.506,57 km. Untuk jalan kabupaten, panjangnya sedikit meningkat pada tahun 2008, sehingga menjadi sepanjang 1.507,52 km.
Dengan panjang jalan
1.507,52 km tersebut, maka kondisi jalan baik dan sedang adalah sepanjang 1.032,60 km atau 68,54 %, tetapi sisanya sepanjang 473,97 km atau 31,46 % dalam kondisi rusak, sedangkan kondisi rusak yang mampu dibiayai pada
setiap tahun anggaran mencapai
75 %, sehingga sisanya yang tidak
tertangani akan terus berakumulasi dengan kerusakan yang baru terjadi, sehingga penanganan jalan tidak pernah tuntas pada setiap tahun anggaran yang berkenaan (Bappeda Kabupaten Bogor, 2008). 4. Jenis konstruksi yang dipilih untuk penanganan jalan dan jembatan terus ditingkatkan kualitasnya, tidak hanya berkisar dari pengaspalan dengan lapisan penetrasi (Lapen), tetapi tuntutan masyarakat terus meningkat ke jenis konstruksi hotmix (flexible), cor beton (rigid) hingga gabungan antara rigid
dan flexible, sehingga biaya per unit (unit cost), baik dihitung berdasarkan per meter jalan maupun per ruas jalan, semakin tinggi standar biayanya untuk mendapatkan satu unit outputnya dan berimplikasi pada tingginya jumlah anggaran di masing-masing kegiatan lingkup jalan dan jembatan 5. Sumber dana untuk pembiayaan lingkup pekerjaan umum/DBMP, tidak terbatas pada APBD Kabupaten Bogor, tetapi diupayakan juga dari sumber APBD Provinsi dan APBN sektoral. Selain itu, sumber pembiayaan lainnya adalah berasal dari Tugas Pembantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat maupun provinsi untuk menangani jalan dan jembatan sebagaimana telah ditetapkan jenis peruntukannya, sehingga kumulatif anggaran untuk lingkup urusan pekerjaan umum/DBMP semakin besar pada setiap tahun anggaran. 6. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor yang senantiasa memasukan urusan pekerjaan umum, khususnya jalan, jembatan dan irigasi sebagai prioritas utama dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum APBD (KUA) maupun dokumen Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), karena infrastruktur jalan dinilai akan memudahkan pergerakan orang dan barang serta membuka aksesibilitas masyarakat ke berbagai wilayah, sehingga memacu pergerakan ekonomi di Kabupaten Bogor. Selain itu, dalam dokumen RPJMD, target kinerja mengenai penanganan jalan ditetapkan relatif progresif
dengan
indikator
yang
terukur,
sehingga
korelasi
antara
penganggaran dengan target kinerja dapat dihitung kebutuhan pembiayaannya pada setiap tahun anggaran. Sebagai gambaran, data rencana program dan kegiatan untuk lingkup urusan pekerjaan umum/DBMP dapat dilihat pada tabel 25.
Tabel 25 : Jumlah Program dan Kegiatan pada Urusan Pekerjaan Umum/Dinas Bina Marga dan Pengairan tahun 2007-2008 Nomor
Program dan kegiatan
2007
2008
1.
Jumlah program
16
14
2.
Jumlah kegiatan
545
785
3.
Pembangunan/peningkatan jalan
118
143
4.
Pembangunan Drainase/gorong
3
22
5.
Pembangunan Turap/Bronjong
19
77
6.
Rehabilitasi/Pemeliharaan jalan dan jembatan
262
313
Sumber : Diolah dari Buku LKPJ Bupati Bogor tahun anggaran 2007-2008
Selain itu, hasil analisis dengan Tipologi Klassen mengungkapkan bahwa terdapat beberapa urusan pemerintahan/SKPD yang termasuk dalam kuadran II atau Cukup Prioritas, artinya rata-rata pertumbuhan alokasi belanjanya lebih tinggi daripada belanja daerah, tetapi rata-rata kontribusinya berada dibawah ratarata belanja daerah. Hal ini terkait dengan adanya tambahan alokasi anggaran secara kumulatif di setiap urusan pemerintahan/SKPD, meskipun jumlah nominalnya relatif kecil di masing-masing program dan kegiatan, tetapi karena diperhitungkan dari jumlah tahun anggaran sebelumnya maka tambahan kenaikannya cukup signifikan untuk setiap SKPD, meliputi 8 urusan pemerintahan dan 9 SKPD, yaitu : (1) urusan pendidikan/Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah (KAPD); (2) urusan Kesehatan/RS Cibinong dan RS Ciawi; (3) urusan perhubungan/Dinas Perhubungan; (4) urusan kependudukan dan cacatan sipil/Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan KB (Disdukcapil-KB); (5) urusan kebudayaan/Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar); (6) urusan kesatuan bangsa dan politik dalam negeri/Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat; (7) urusan pemerintahan umum/Sekretariat Dewan; (8) urusan pemberdayaan masyarakat dan desa/Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial (BPMKS); (9) urusan energi dan sumber daya mineral/Dinas Pertambangan, dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Pada urusan pendidikan/Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah (KAPD), ratarata pertumbuhannya adalah 30,82 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) kenaikan
anggaran dari program dan kegiatan di lingkup KAPD berawal dari adanya pelimpahan kewenangan pengelolaan perpustakaan dari Dinas Pendidikan kepada KAPD, sehingga berimplikasi pada tambahan alokasi anggaran untuk KAPD, meliputi tambahan anggaran untuk aparat, perlengkapan dan dokumentasi dalam rangka pengelolaan perpustakaan daerah; (2) program dan kegiatan yang bertambah alokasi anggarannya adalah kegiatan-kegiatan dalam rangka program pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan, seperti pengadaan koleksi bahan pustaka, pengadaan ruang baca serta penyediaan
sarana
perpustakaan
keliling,
sedangkan
pada
program
penyelamatan dan pelestarian dokumen/arsip daerah, diantaranya penyediaan sarana penyimpanan arsip media baru dan penataan arsip di depo KAPD. 2. Pada urusan Kesehatan/RS Cibinong dan RS Ciawi, rata-rata pertumbuhannya untuk RS Cibinong adalah 28,22 % dan RS Ciawi adalah 36,07 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun ratarata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) tambahan alokasi untuk jasa medis sejalan dengan kenaikan dari target retribusi yang ditetapkan pada setiap tahun anggaran untuk RS Cibinong maupun RS Ciawi sebagaimana ketentuan yang berlaku; (2) kenaikan alokasi anggaran untuk pelayanan bagi kelurga miskin di rumah sakit, sebagai akibat dari meningkatnya quota atau jumlah keluarga miskin yang akan dilayani di RS Cibinong maupun RS Ciawi; (3) adanya pembangunan gedung rumah sakit serta pengadaan alat-alat dan bahan-bahan logistik rumah sakit Ciawi dan Cibinong dalam rangka memenuhi sarana pelayanan di ruang kelas III dan khusus untuk RS Cibinong, yakni dalam rangka memenuhi persyaratan peningkatan akreditasi RS Cibinong menjadi rumah sakit tipe B. 3. Pada urusan perhubungan/Dinas Perhubungan, rata-rata pertumbuhannya adalah 43,61 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan adanya tambahan anggaran untuk kegiatan pengadaan tanah dan pembangunan terminal serta uji kelayakan sarana transportasi umum guna keselamatan penumpang angkutan umum.
4. Pada urusan kependudukan dan catatan sipil/Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan KB, rata-rata pertumbuhannya adalah 46,59 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) adanya tambahan
anggaran
untuk
kegiatan
pengadaan
barang
cetakan
dan
penggandaan blanko KK, KTP dan dokumen catatan sipil lainnya; (2) pengembangan data base kependudukan serta pembangunan dan pengoperasian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) secara terpadu dengan 40 kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor; (3) adanya tambahan untuk kegiatan pengadaan alat kontrasepsi Keluarga Berencana (KB). 5. Pada urusan kebudayaan/Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, rata-rata pertumbuhannya adalah 34,58 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) adanya pembangunan sarana dan prasarana pariwisata berupa pembangunan gedung kesenian; (2) adanya pembinaan, pelatihan tata graha, higienis dan sanitasi terhadap pelaku usaha hotel non bintang se-Kabupaten Bogor serta fasilitasi untuk festival makanan dan minuman tradisional khas Kabupaten Bogor pada setiap tahun anggaran. 6. Pada urusan kesatuan bangsa dan politik dalam negeri/Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat, rata-rata pertumbuhannya adalah 71,36 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) adanya
pelaksanaan
tugas
satuan
keamanan
lingkungan
dalam
penyelenggaraan Pemilukada Bupati/Wakil Bupati Bogor pada tahun 2008; (2) fasilitasi untuk peningkatan toleransi dan kerukunan dalam kehidupan beragama, diantaranya melalui Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dan fasilitasi untuk forum diskusi dan desiminasi politik bagi kaum perempuan. 7. Pada
urusan
pemerintahan
umum/Sekretariat
Dewan,
rata-rata
pertumbuhannya adalah 83,82 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) tambahan pengadaan komputer untuk DPRD; (2) fasilitasi untuk kegiatan reses, kunjungan kerja dan
peningkatan kapasitas pimpinan DPRD dan anggota DPRD dalam daerah; (3) tambahan anggaran untuk pembahasan rancangan peraturan daerah. 8. Pada urusan pemberdayaan masyarakat dan desa/Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial (BPMKS), rata-rata pertumbuhannya adalah 30,93 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) tambahan anggaran untuk kegiatan pemberdayaan lembaga dan organisasi masyarakat pedesaan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat/Program Pengembangan Kecamatan (PNPM-PPK) dan pendampingan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam membangun desa melalui penunjang PNPM Mandiri Perkotaan; (2) pemberian stimulan pembangunan desa melalui Pola Imbal Swadaya. 9. Pada urusan energi dan sumber daya mineral/Dinas Pertambangan, rata-rata pertumbuhannya adalah 44,14 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %.
Kondisi ini disebabkan adanya tambahan anggaran untuk
pengembangan jaringan listrik pedesaan pada kampung-kampung dan/atau desa yang belum terjangkau oleh aliran listrik dari PLN. Sementara itu, pada tabel 24 diatas bahwa hasil analisis dengan Tipologi Klassen menunjukan pula terdapat beberapa urusan pemerintahan/SKPD yang termasuk dalam kuadran III atau Kurang Prioritas, artinya rata-rata kontribusi belanjanya lebih tinggi daripada belanja daerah, tetapi rata-rata pertumbuhannya berada dibawah rata-rata belanja daerah. Hal ini terkait dengan posisi alokasi anggaran, sejak tahun 2003 yang sudah relatif besar dibandingkan dengan urusan pemerintahan/SKPD lainnya dan walaupun ada tambahan alokasi anggaran untuk program dan kegiatan hingga tahun 2008, tetapi kenaikannya realatif kecil, disebabkan adanya pergeseran dan pergantian jumlah anggaran yang sudah ada, sehingga kumulatif kenaikannya tetap berada di bawah rata-rata kenaikan belanja daerah, meliputi 2 urusan pemerintahan dan 2 SKPD, yaitu : (1) urusan pendidikan/Dinas Pendidikan; (2) urusan pemerintahan/Sekretariat Daerah, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Pada urusan pendidikan/Dinas Pendidikan, rata-rata kontribusinya adalah Rp. 438,928 miliar, lebih tinggi daripada rata-rata kontribusi belanja daerah sebesar Rp. 207,503 miliar maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar Rp. 48,025 miliar. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) adanya alokasi belanja pegawai yang ditujukan untuk gaji dan tunjangan, terutama untuk guru-guru SD hingga SMA/SMK sudah relatif tinggi dan kalaupun ada kenaikan, biasanya ditujukan untuk kenaikan gaji pokok dan tunjangan, gaji ke-13 dan tunjangan kesejahteran guru sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (2) adanya tambahan anggaran yang ditujukan untuk program unggulan atau pun program rintisan, seperti penyediaan beasiswa, penyelenggaraan SMP Terbuka, SMP kelas jauh dan
pengembangan
pendidikan
keaksaraan
fungsional
dalam
rangka
pemberantasan buta aksara; (2) adanya tambahan anggaran untuk peningkatan kualifikasi guru PNS dengan ijazah SMA/Diploma ke Sarjana, agar kompetensi dan keahliannya meningkat serta terpenuhinya persyaratan untuk program sertifikasi guru/tenaga pendidik; (3) adanya tambahan anggaran untuk kegiatan rutin setiap tahun, seperti kegiatan belajar mengajar dan penerimaan siswa, pengadaan tanah dan meubeler, penambahan/pembangunan ruang kelas baru, pemeliharaan dan rehabilitasi gedung, serta dana pendamping untuk bantuan dari Provinsi Jawa Barat dan program pusat. 2. Pada urusan pemerintahan umum/Sekretariat Daerah, rata-rata kontribusinya adalah sebesar Rp. 140,488 miliar, lebih tinggi daripada rata-rata kontribusi belanja daerah sebesar Rp. 207,503 miliar maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar Rp. 48,025 miliar. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) jumlah unit kerja yang tercakup didalam organisasi Sekretariat Daerah (meliputi 3 asisten dan 12 bagian) serta masih melekatnya kewenangan untuk mengelola belanja Nonpegawai pada BTL, seperti belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan dan belanja tidak terduga, sehingga berimplikasi pada banyaknya jumlah program dan kegiatan serta alokasi anggaran yang dikelola Sekretariat Daerah. Khusus untuk belanja Non-pegawai tersebut, alokasi belanja yang paling prioritas adalah Belanja Hibah, terutama adanya tambahan alokasi yang sangat besar pada tahun anggaran 2008, karena terkait dengan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah di Kabupaten Bogor;
(2) adanya tambahan anggaran untuk kegiatan rutin, yaitu penyediaan jasa komunikasi, sumber daya air dan listrik, serta
penyediaan makanan dan
minuman; (3) pengadaan kendaraan dinas/operasional serta meubeler; (4) rapat koordinasi pejabat pemerintah daerah serta koordinasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah lainnya; (5) penatausahaan keuangan dan koordinasi pengembangan keuangan daerah; (6) kajian peraturan perundang-undangan, legislasi rancangan peraturan daerah, publikasi peraturan perundang-undangan serta penyebarluasan informasi pembangunan daerah; (7) seleksi penermaan calon PNS; (8) penataan pelayanan prima; (9) verifikasi dan konsolidasi alas hak yang berasal dari penyerahan Fasos dan Fasum pengembang perumahan dan sertifikasi hak tanah; (10) penataan batas desa; (11) fasiloitasi dan koordinasi kegiatan pameran dan promosi; (12) fasilitasi kegiatan Musabaqoh Tilawatil Qur’an dan penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan. Pada tabel 24 diatas, hasil analisis dengan Tipologi Klassen menunjukan bahwa terdapat beberapa urusan pemerintahan/SKPD yang termasuk dalam kuadran IV atau Tidak Prioritas, artinya rata-rata kontribusi belanja dan rata-rata pertumbuhan belanja, kedua-duanya lebih rendah daripada rata-rata belanja daerah,
meliputi 12 urusan pemerintahan dan 16 SKPD, yaitu : (1) urusan
kesehatan/Dinas Kesehatan; (2) urusan pekerjaan umum/Dinas Cipta Karya; (3) urusan penataan ruang/Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup; (4) urusan perencanaan daerah/Badan Perencanaan Pembangunan Daerah; (5) urusan tenaga kerja/Dinas Tenaga Kerja dan Transmigarsi; (6) urusan koperasi dan UKM/Kantor Koperasi dan UKM; (7) urusan penanaman modal/Kantor Penanaman Modal Daerah; (8) urusan kesatuan bangsa dan politik dalam negeri/Satuan Polisi Pamong Praja; (9) urusan pemerintahan umum, terdiri dari Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, DPRD, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) dan Badan Pengawasan Daerah (Bawasda); (10) urusan kepegawaian/Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat); (11) urusan pertanian/Dinas Pertanian dan Kehutanan serta Dinas Peternakan dan Perikanan; (12) urusan perindustrian/Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Keseluruhan dari urusan pemerintahan/SKPD yang tercakup dalam kuadran IV atau Tidak Prioritas ini, rata-rata pertumbuhannya berkisar dari minus 4,58 % hingga tertinggi 21,69%, tetapi rata-rata tersebut masih berada
dibawah rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 %. Demikian juga dengan rata-rata kontribusinya, dimana jumlahnya berkisar dari terendah sebesar Rp.1,420 miliar hingga tertinggi sebesar Rp. 74,520 miliar, tetapi rata-rata tersebut tetap berada di bawah rata-rata kontribusi belanja daerah sebesar Rp. 207,503 miliar. Kondisi di atas disebabkan, antara lain : (1) adanya perubahan jumlah anggaran yang sangat fluktuatif, yakni pada tahun anggaran tertentu, terjadi tambahan alokasi anggaran, tetapi pada tahun anggaran berikutnya mengalami penurunan, sehingga bilamana dijumlahkan justru kenaikannya relatif kecil atau pun tidak mengalami perubahan bahkan secara rata-rata kumulatif, ternyata ada SKPD yang menurun pertumbuhannya, sehingga tetap lebih rendah dari rata-rata kontribusi maupun pertumbuhan dari belanja daerah; (2) selama tahun 2003-2008, SKPD tersebut hanya melaksanakan rutinitas program dan kegiatan yang sudah terpola dan baku dari tahun ke tahun, sehingga untuk tahun berikutnya hanya menambahkan jumlah plafon anggaran semata atau dikenal dengan pola ”incrementalism”; Selain itu, kalaupun ada program dan kegiatan pembangunan yang sifatnya unggulan, rintisan ataupun kegiatan inovatif lainnya, maka jumlahnya tidak banyak sehingga tambahan alokasi anggarannya tidak berdampak secara signifikan terhadap kenaikan rata-rata kontribusi maupun rata-rata pertumbuhan belanjanya.
5.2.3.
Pemetaan Alokasi Belanja Daerah Berdasarkan Prioritas Pembangunan Prioritas pembangunan daerah masih mengacu pada dokumen rencana
lima tahunan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Strategis Daerah (Renstra) Kabupaten Bogor tahun 2003-2008.
Renstra tersebut, pada setiap tahunnya dijabarkan
kedalam dokumen rencana tahunan daerah, terdiri dari Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Oleh karena itu, prioritas pembangunan daerah merupakan salah satu bagian yang terdapat dalam dokumen RKPD, KUA dan PPAS, dimana naskah awalnya ditetapkan dulu dalam RKPD, dan setelah diajukan ke DPRD Kabupaten Bogor melalui pembahasan KUA dan PPAS, maka
disepakati dalam bentuk Nota Kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan DPRD tentang KUA dan PPAS tahun anggaran yang berkenaan. Rumusan pernyataan prioritas pembangunan daerah seringkali mengalami perubahan dan tidak sepenuhnya fokus kepada prioritas yang sama pada setiap tahun anggaran selama tahun anggaran 2003-2008. Rekapitulasi rumusan prioritas pembangunan dapat dilihat pada tabel 26. Tabel 26 : Rekapitulasi Rumusan Prioritas Pembangunan Daerah periode 20032008 No.
Tahun
Prioritas Pembangunan Daerah periode 2003-2008
1.
2003
2.
2004
3.
2005
4.
2006
5.
2007
6.
2008
1. Peningkatan pendidikan masyarakat 2. Peningkatan perekonomian masyarakat/daerah melalui peningkatan pendapatan per kapita penduduk serta peningkatan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi 3. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat 4. Peningkatan penyelenggaraan pemerintahan yang baik 1. Peningkatan perekonomian masyarakat 2. Perwujudan pemerintahan yang baik (good governance) 3. Peningkatan pendidikan kesehatan masyarakat 4. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat 1. Percepatan (akselerasi) perubahan manajemen pelayanan public 2. Peningkatan profesionalisme aparatur dan/atau kompetensi aparat 3. Peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang bermutu serta terjangkau oleh masyarakat 4. Pengembangan Industri, Pertanian dan Pariwisata (Intanpari) yang menjadi unggulan Kabupaten Bogor 5. Penataan dan pengelolaan sarana, prasarana dan infrastruktur wilayah 6. Peningkatan pelayanan kehidupan keagamaan dan perbaikan taraf kehidupan masyarakat 1. Akselerasi pencapaian IPM melalui ; (1) peningkatan aksesibilitas dan kualitas pelayanan pendidikan; (2) peningkatan aksesibilitas dan kualitas pelayanan kesehatan; (3) peningkatan aksesibilitas sumber daya ekonomi bagi masyarakat 2. Peningkatan kinerja pemerintahan daerah 3. Peningkatan upaya rehabilitasi kerusakan lingkungan dan mitigasi bencana alam 4. Perbaikan taraf kesejahteraan sosial 1. Penanggulangan kemiskinan 2. Peningkatan kesempatan kerja dan investasi 3. Revitalisasi pertanian dalam arti luas dan pembangunan perdesaan 4. Peningkatan profesionalisme aparat dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik 5. Mitigasi dan penanggulangan bencana 6. Percepatan pembangunan infrastruktur 7. Pembinaan keagamaan, pemuda dan olah raga, pemberdayaan perempuan dan penangulangan masalah social 1. Peningkatan akses, mutu dan relevansi pendidikan 2. Pengembangan ekonomi lokal yang ditunjang infrastruktur wilayah dan lingkungan hidup yang berkelanjutan 3. Peningkatan pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan 4. Optimalisasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah 5. Pembangunan sosial dan keagamaan
Sumber : Diolah dari Dokumen RKPD, KUA dan PPAS Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
Prioritas pembangunan yang dirumuskan di atas, meskipun jumlah rumusan prioritasnya berbeda-beda, termasuk redaksional bahasa yang digunakan, namun secara substansi dapat dikelompokkan menjadi 6 prioritas pembangunan, terdiri atas : (1) pendidikan; (2) kesehatan; (3) infrastruktur dan lingkungan hidup; (4) perekonomian; (5) tata kelola pemerintahan yang baik; (6) sosial kemasyarakatan. Hanya saja, fokus dari masing-masing prioritas pembangunan tidak konsisten urutannya dan tidak berkesinambungan pada setiap tahun anggaran, sehingga berimplikasi juga terhadap jumlah alokasi anggaran di masing-masing prioritas pembangunan. Dengan mengacu pada urutan prioritas tersebut, dalam pengolahan data untuk analisis tipologi Klassen, maka urusan pemerintahan/SKPD yang termasuk kedalam rumpun dari 6 prioritas tersebut, dilakukan pemilahan dan pengelompokan kembali sehingga diperoleh klasifikasi belanja daerah berdasarkan prioritas pembangunan selama periode 2003-2008. Data yang diolah adalah jumlah total belanja daerah dari masing-masing urusan pemerintahan/SKPD, baik belanja tidak langsung maupun belanja langsung, karena didasarkan pada pertimbangan bahwa setiap SKPD, senantiasa mengelola keseluruhan alokasi belanja tersebut, meskipun fungsi belanjanya ada yang dirasakan secara langsung oleh aparatur dan ada juga yang dirasakan hasil dan manfaatnya oleh masyarakat. Hasil analisis dengan tipologi Klassen dapat dilihat pada tabel 27. Tabel 27 : Klasifikasi Belanja Daerah berdasarkan Prioritas Pembangunan No
A
Uraian
Rata-rata Rata-rata Pertumbuhan Kontribusi (G) (S)
Pendidikan
16,63
438.928
1. Disdik
16,63
438,928
B
Kesehatan 1.Dinas Kesehatan 2.RS Cibinong 3.RS Ciawi
27,21 17,34 28,22 36,07
C
Perekonomian 1.KanKop UKM 2.KPMD
19,49 10,17 5,14
Klasifikasi Tipologi gi thd si thd Kuadran Ket G S
<
>
III
Kurang Prioritas
129.477 74,520 29,431 25,526
>
<
II
Cukup Prioritas
81.391 14,159 3,152
<
<
IV
Tidak Prioritas
3.Disbudpar 4.Distanhut 5.Disnakan 6.Distambang 7.Disperindag
34,58 12,15 20,06 44,14 10,17
7,637 22,257 9,527 10,500 14,159
D
Infrastruktur dan LH 1.DBMP 2.DCK 3.DTRLH 4.Dishub
27,36 34,59 17,16 14,09 43,61
266.306 208,127 37,188 6,052 14,939
>
>
I
Sangat prioritas
E
Tata Kelola Pemerintahan 1.KAPD 2.Bappeda 3.DisdukCapil-KB 4.Kesbang Linmas 5.Sat Pol PP 6.Kepda/Wakil Kepda 7.DPRD 8.Setda 9.Setwan 10.Dispenda 11.Bawasda 12.Badiklat
23,26 30,82 19,90 46,59 71,36 21,69 -4,58 4,86 19,92 83,82 4,68 14,78 11,90
258.436 3,097 12,063 16,029 5,484 6,627 1,420 8,373 140,488 15,488 29,392 7,159 12,816
<
>
III
Kurang Prioritas
F
Sosial Kemasyarakatan 1.Disnakertrans 2.BPMKS
22,95 14,96 30,93
13.601 7,036 6,565
<
<
IV
Tidak Prioritas
Belanja Daerah Belanja per Prioritas
26,81 22,82
207.503 198.023
Sumber : hasil analisis
Bilamana keempat prioritas diatas diletakkan dalam matriks tipologi Klassen, maka posisi untuk masing-masing prioritas pembangunan dapat dilihat pada tabel 28. Tabel 28 Klassen
:
Posisi Prioritas Pembangunan Daerah dalam Matriks Tipologi si > S
gi > G
gi < G
si <S
Belanja Daerah Sangat Prioritas
Belanja Daerah Cukup Prioritas
Infrastruktur
Kesehatan
Kuadran I
Kuadran II
Belanja Daerah Kurang Prioritas
Belanja Daerah Tidak Prioritas
Pendidikan Tata Kelola Pemerintahan
Ekonomi Sosial Kemasyarakatan
Kuadran III
Kuadran IV
Sumber : Hasil Analisis
Berdasarkan pemetaan di atas, maka terdapat 4 prioritas pembangunan yang telah diterapkan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten Bogor selama periode 2003-2008, yaitu : 1. Klasifikasi Sangat Prioritas adalah infrastruktur dan lingkungan hidup. Hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan alokasi belanja daerah yang ditujukan untuk membiayai kegiatan dan program pembangunan yang berkenaan dengan pembangunan fisik, khususnya lingkup pekerjaan umum termasuk klasifikasi sangat prioritas. 2. Klasifikasi Cukup Prioritas adalah kesehatan.
Hal ini menunjukan bahwa
kebijakan alokasi belanja daerah yang ditujukan untuk kegiatan dan program pembangunan yang berkenaan dengan pelayanan dasar kesehatan, baik kesehatan dasar maupun kesehatan rujukan termasuk klasifikasi cukup prioritas. 3. Klasifikasi Kurang Prioritas adalah pendidikan dan tata kelola pemerintahan
yang baik. Hal ini menunjukan bahwa kebijakan alokasi belanja daerah yang ditujukan untuk kegiatan dan program pembangunan yang berkenaan dengan pelayanan dasar pendidikan dan peningkatan kinerja pelayanan aparatur termasuk klasifikasi kurang prioritas. 4. Klasifikasi Tidak Perioritas adalah perekonomian dan sosial kemasyarakatan. Hal ini berarti bahwa kebijakan alokasi belanja daerah yang ditujukan untuk kegiatan dan program pembangunan yang menggerakkan sektor ekonomi riil/lapangan usaha dan pelayanan sosial kemasyarakat termasuk klasifikasi tidak prioritas
5.4.
Penentuan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah Penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah dilakukan untuk
menentukan beberapa aspek/kriteria yang berorientasi pada pemilihan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah berdasarkan pendekatan tematik. Berdasarkan
hasil kajian dengan menggunakan metode Analytical Hierarchi Process (AHP) bahwa terdapat tujuan, pelaku, aspek/kriteria dan alternatif kebijakan yang perlu ditentukan terlebih dahulu, agar diperoleh pilihan kebijakan alternatif yang layak untuk dipertimbangkan menjadi kebijakan alternatif alokasi belanja daerah di Kabupaten Bogor. Untuk penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik yang berorientasi pada pemenuhan pelayanan dasar, didasarkan pada Analytical Hierarchi Process (AHP) dengan menggunakan program Expert Choice 2000 dengan skema sebagai berikut :
Gambar 5 : Aspek/Kriteria yang Mempengaruhi Pengembangan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah di Kabupaten Bogor
5.4.1. Analisis Pelaku Penentu Kebijakan Hasil analisis dengan metode AHP menunjukkan bahwa pelaku penentu kebijakan alokasi belanja daerah terdiri dari Pemerintah Daerah (Pemda), dalam hal ini dilaksanakan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan DPRD dalam hal ini dilaksanakan oleh Badang Anggaran DPRD (Banang DPRD). Kedua pelaku penentu kebijakan ini berperan penting dalam tataran pengambilan
kebijakan, baik yang berkenaan dengan perumusan kebijakan dalam dokumen KUA dan PPAS hingga ke penetapan pagu anggaran/alokasi belanja daerah untuk masing-masing urusan pemerintahan/SKPD dalam APBD Kabupaten Bogor pada setiap tahun anggaran. Dari hasil analisis AHP, maka pelaku penentu kebijakan alokasi belanja daerah yang paling dominan adalah Pemda/TAPD Kabupaten Bogor dengan nilai AHP sebesar 0,795, lebih tinggi dari DPRD/Banang DPRD Kabupaten Bogor dengan nilai AHP 0,205. Rincian hasil analisis AHP untuk pelaku penentu kebijakan alokasi belanja daerah di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada tabel 29. Tabel 29 : Pelaku Penentu Kebijakan Alokasi Belanja Daerah di Kabupaten Bogor Urutan 1
Pelaku Penentu Kebijakan Pemda / TAPD
2 DPRD / Badan Anggaran DPRD Sumber : Hasil analisis
Nilai AHP 0,795 0,205
Hasil analisis AHP pada tabel 29 di atas, mengungkapkan bahwa Pemerintah Daerah/TAPD memegang peranan penting dalam penentuan kebijakan alokasi belanja daerah, karena hampir seluruh proses perumusan kebijakan yang tertuang dalam dokumen KUA dan PPAS berada pada domain Pemerintah Daerah/TAPD, dalam arti sejak dari perumusan hingga penyampaiannya kepada DPRD Kabupaten Bogor semuanya disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, sedangkan DPRD/Banang DPRD Kabupaten Bogor berperan dalam tahapan pembahasan dan klarifikasi dengan mengacu pada rumusan substansi KUA dan PPAS yang telah telah dipersiapkan oleh Pemerintah Daerah/TAPD.
Selama
tahapan pembahasan dan klarifikasi dengan DPRD/Banang DPRD, rumusan substansi yang terdapat dalam KUA dan PPAS seperti prioritas pembangunan, fokus kebijakan, sasaran prioritas hingga target kinerja pada masing-masing prioritas pembangunan beserta pagu anggaran/plafon anggaran yang diusulkan hanya sedikit mengalami perubahan, karena dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu : (1) Akses data dan informasi yang dimiliki oleh DPRD/Banang DPRD hanya
terbatas pada rancangan KUA dan PPAS yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah/TAPD; (2) Keterbatasan waktu dan kapasitas dari anggota DPRD/Banang DPRD untuk mengkaji substansi dari dokumen KUA dan PPAS, sehingga yang diprioritaskan adalah program-program yang mencuat ke permukaan, seperti permasalahan yang muncul dan dimuat dalam media cetak ataupun ada usulan/keluhan langsung dari konstituen atas permasalahan pelayanan oleh aparatur/SKPD dari masing-masing Dapil anggota DPRD; (3) Jumlah dan volume anggaran belanja beserta program dan kegiatan pembangunan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah/TAPD cukup banyak, sehingga tidak semua usulan yang tertuang dalam KUA dan PPAS dapat dibahas dengan memadai, apalagi dibahas satu per satu sesuai dengan usulan dan akibatnya, yaitu usulan yang tidak dibahas otomatis dianggap sudah disepakati/disetujui oleh DPRD/Banang DPRD; (4) Revisi/perbaikan atas hasil pembahasan/klarifikasi untuk usulan program dan kegiatan pembangunan hanya ditindaklanjuti oleh Pemerintah Deaerah/TAPD, dimana perbaikannya dilakukan secara terpisah oleh Pemerintah Deaerah/TAPD atau
tidak
dihadiri
oleh
DPRD/Banang
DPRD,
kemudian
hasil
penyempurnaannya dibahas kembali dengan sebagian anggota DPRD/Banang DPRD, sehingga terdapat peluang baru bagi Pemerintah Daerah/TAPD untuk menyelaraskannya sesuai dengan skenario dari Pemerintah Daerah/TAPD; (5) pada Nota Kesepakatan yang akan ditandatangani oleh Pimpinan DPRD (Ketua dan para Wakil Ketua) dan Bupati Bogor, ringkasan atas substansi yang telah disepakati dalam pembahasan tidak merinci mengenai substansi dari prioritas pembangunan, fokus kebijakan, sasaran strategis maupun pagu anggaran/plafon anggaran sementara (tentatif) bagi setiap urusan pemerintahan/SKPD, karena hal itu terdapat pada dokumen yang terpisah antara naskah utama dokumen KUA dan PPAS dengan format Nota Kesepakatan yang akan ditandatangani bersama, sehingga terkesan Nota Kesepakatan yang telah ditandatangani hanya formalitas belaka. 5.4.2. Analisis Aspek Penentuan Kebijakan Hasil analisis dengan metode AHP memperlihatkan bahwa terdapat 7 aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah, yaitu : (1) Prediksi kemampuan APBD yang akan datang; (2)
Evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah; (3) Pedoman penyusunan APBD tahun berkenaan; (4) Agenda/prioritas pembangunan dari pemerintah Pusat dan Provinsi; (5) Hasil Musrenbang; (6) Indikasi program/kegiatan dan target kinerja yang telah ditetapkan dalam RPJMD; (7) Hasil aspirasi langsung melalui Reses, Jumling dan konstituen menurut daerah pemilihan (Dapil) anggota DPRD. Dari hasil analisis AHP tersebut, memperlihatkan bahwa aspek yang paling berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah secara berurutan adalah : (1) indikasi program/kegiatan pembangunan dan target kinerja yang telah ditetapkan dalam RPJMD; (2) Hasil Musrenbang; (3) Prediksi kemampuan APBD yang akan datang; (4) Evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah; (5) Hasil Aspirasi langsung melalui Reses, Jumling dan aspirasi dari konstituen menurut Dapil anggota DPRD; (6) Agenda/prioritas pembangunan dari pemerintah pusat/provinsi; (7) Pedoman penyusunan APBD tahun berkenaan.
Rincian datanya berkenaan dengan urutan aspek yang
berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah dapat dilihat pada tabel 30. Tabel 30 : Aspek yang berpengaruh dalam Penentuan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah di Kabupaten Bogor Urutan 1 2 3 4
5
Aspek Indikasi program/kegiatan dan target kinerja yang telah ditetapkan dalam RPJMD Hasil Musrenbang Prediksi Kemampuan APBD Evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah Hasil Aspirasi langsung melalui Reses, Jumling dan aspirasi dari konstituen menurut Dapil anggota DPRD
6
Agenda/prioritas pembangunan pemerintah pusat/provinsi
7
Pedoman berkenaan
Sumber : Hasil analisis
penyusunan
APBD
Nilai AHP 0,283 0,269 0,169 0,106
0,089
dari
0,049
tahun
0,035
Pada tabel 30 di atas, bahwa aspek yang paling berpengaruh menurut kedua penentu kebijakan, baik Pemda/TAPD maupun DPRD/Banang DPRD dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah adalah indikasi Program/Kegiatan dan target kinerja dalam RPJMD dengan nilai AHP 0,283. Hal ini terkait dengan kedudukan dan fungsi dari
RPJMD, yaitu : (1) sebagai
penjabaran dari visi, misi dan program Kepala Daerah kedalam rencana strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, program prioritas kepala daerah dan arah kebijakan keuangan daerah, dengan mempertimbangkan RPJP Daerah; (2) dokumen perencanaan daerah yang memberikan arah sekaligus acuan bagi seluruh komponen pelaku pembangunan daerah dalam mewujudkan pembangunan daerah secara berkesinambungan; (3) pedoman dalam penyusunan Renstra SKPD, RKPD dan Renja SKPD sekaligus KUA dan PPAS selama lima tahun yang akan datang; (4) dasar penilaian untuk Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati Bogor selama lima tahun yang akan datang atau periode 2003-2008. Untuk dasar penilaian LKPJ dimaksud, kriteria yang seringkali digunakan adalah sejauhmana realisasi dari indikasi program/kegiatan dan target kinerja yang telah ditetapkan dalam dokumen RPJMD oleh kepala daerah. Jika hal-hal tersebut dapat terealisasi atau melampaui target yang telah ditetapkan berarti Bupati Bogor telah mampu memenuhi janjinya, baik yang pernah disampaikan ketika masa kampanye sebagai calon Bupati Bogor maupun setelah duduk dalam jabatan sebagai Bupati Bogor. Jadi, realisasi dari indikasi program/kegiatan dan target kinerja dalam RPJMD adalah ukuran keberhasilan dari seorang kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah selama masa jabatannya. Aspek kedua yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah adalah hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dengan nilai AHP 0,269. Musrenbang adalah forum multi pihak (stakeholder) atau pemangku kepentingan untuk memusyawarahkan usulan program dan kegiatan pembangunan untuk tahun yang akan datang dan dilaksanakan secara berjenjang, mulai dari Musrenbang desa/kelurahan, Musrenbang kecamatan, kemudian diikuti dengan Forum SKPD dan terakhir dengan Musrenbang Kabupaten.
Hal mendasar yang harus diperhatikan dari
seluruh tahapan dan tingkatan pelaksanaan Musrenbang adalah kriteria skala
prioritas yang digunakan untuk menetapkan masuk atau tidak masuknya usulan yang menjadi kebutuhan masyarakat, baik yang berkenaan dengan kegiatan fisik maupun non-fisik dalam anggaran belanja pemerintah atau pun dengan dana swadaya masyarakat. Aspek ketiga yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah adalah prediksi kemampuan APBD untuk tahun anggaran yang akan datang dengan nilai AHP 0,169. Aspek ini, sesungguhnya titik sentral dalam penentuan kebijakan alokasi belanja daerah, karena dengan prinsip Money
Follow Function, minimal prakiraan atau ”ancar-ancar” kemampuan APBD untuk satu tahun yang akan datang sudah dapat teridentifikasi ketika memasuki tahapan perumusan kebijakan alokasi
belanja daerah dalam pembahasan
pendahuluan rancangan APBD dengan DPRD. Berkenaan dengan hal tersebut, pemerintah daerah perlu memberlakukan konsep Anggaran Pengeluaran Jangka Menengah (MTEF=Medium Term Expenditure Fund) sebagai satu skenario prakiraan maju dari rencana alokasi belanja daerah selama periode berlakunya RPJMD. Hal ini dimaksudkan agar program/kegiatan pembangunan, baik satu tahun maupun tahun jamak (multy years) memiliki kepastian ketersediaan alokasi anggaran sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Aspek keempat yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi
belanja
daerah
adalah
hasil
evaluasi
kinerja
penyelenggaraan
pemerintahan daerah dengan nilai AHP 0,106. Laporan hasil evaluasi dimaksud terdiri dari dua hal, yaitu evaluasi capaian kinerja dan evaluasi keuangan daerah. Untuk laporan evaluasi capaian kinerja dapat dinilai menurut substansi dari Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang disampaikan ke Menpan, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) yang disampaikan ke DPRD, Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) yang disampaikan ke Mendagri
melalui
Gubernur
dan
Informasi
Laporan
Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (ILPPD) kepada masyarakat melalui media massa (media cetak dan elektronik). Sedangkan penilaian evaluasi capaian keuangan daerah dapat diperhatikan dalam Laporan Semester I dan Prognosis Semester II pelaksanaan APBD dan Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (LPJP) berupa Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor menurut hasil
audit/penilaian dari BPK yang diterbitkan enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. Dari kedua kelompok laporan evaluasi itu, baik evaluasi capaian kinerja maupun evaluasi capaian keuangan daerah, maka kriteria yang digunakan adalah sejauhmana kesesuaian atau penyimpangan yang terjadi antara rencana dan realisasi sesuai dengan indikator kinerja yang telah ditetapkan. Untuk evaluasi kinerja, kesesuaian atau penyimpangan kinerja harus didasarkan pada capaian dari Indikator Kinerja Utama (IKU) dan Indikator Kinerja Kunci (IKK-Key
Performance Indicators) di 3 tataran penilaian, yaitu : (1) tataran pengambil kebijakan; (2) tataran pelaksana kebijakan; (3) tataran capaian program pembangunan. Sedangkan untuk evaluasi capaian keuangan daerah, sekurangkurangnya meliputi evaluasi atas Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan Atas Laporan Keuangan, yang kesemuanya didasarkan pada opini BPK atas laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor, apakah termasuk kedalam opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP-Unqualified Opinion), Wajar Dengan Pengecualian (WDP-Qualified Opinion),
Tidak Wajar (Adversed
Opinion) dan Pernyataan Menolak Memberikan Opini (Disclaimer of Opinion). Kesimpulan dari hasil evaluasi dimaksud, kepala daerah wajib melakukan penyesuaian, perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pengelolaan keuangan daerah pada tahun yang akan datang. Aspek kelima yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah adalah Hasil Aspirasi Masyarakat melalui Reses, Jumling & aspirasi dari konstituen melalui Dapil anggota DPRD dengan nilai AHP 0,089. Mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) menyatakan bahwa penjaringan aspirasi masyarakat dapat dilakukan melalui jalur eksekutif atau pemerintah daerah maupun melalui jalur legislatif atau DPRD, dengan mekanisme atau tahapan melalui 5 pendekatan, yaitu : (1) pendekatan politik; (2) pendekatan teknokratik; (3) pendekatan partisipatif; (4) Pendekatan atas bawah (Top-Down) dan (5) Pendekatan bawah atas (Bottom-Up). Khusus yang berkenaan dengan pendekatan bawah atas (bottom-up), didalamnya memuat hasil penjaringan aspirasi masyarakat melalui Reses, Jum’at Keliling (Jumling) dan usulan langsung dari konstituen kepada anggota DPRD menurut Daerah
pemilihannya (Dapil), dimana seharusnya DPRD merumuskannya terlebih dahulu kedalam Pokok-pokok Pikiran DPRD, agar
aspirasi tersebut sesuai dengan
batasan kewenangan di masing-masing tingkatan pemerintahan dan untuk selanjutnya dibahas dengan Pemda/TAPD dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD, yaitu ketika dilakukan pembahasan/klarifikasi atas rancangan KUA dan PPAS sesuai dengan agenda/jadwal yang telah ditetapkan. Hasil penjaringan aspirasi dimaksud, seringkali disampaikan ketika pembahasan RAPBD, sehingga kesepakatan yang telah terbangun dan terencana dengan sistematis dalam dokumen KUA dan PPAS mengalami distorsi atau penyimpangan dari rencana yang telah ditetapkan. Aspek keenam yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah adalah agenda/prioritas pembangunan Pemerintah Pusat dan Propinsi dengan nilai AHP 0,049. Sejalan dengan pendekatan atas bawah (Top-Down) dan dalam rangka integrasi/keterpaduan perencanaan secara nasional, Pemerintah Pusat dan Provinsi seringkali memberikan Tugas Pembantuan kepada kabupaten/kota
dan/atau
Tugas
Bersama
(konkuren)
sesuai
dengan
kewenangannya untuk melaksanakan urusan pemerintahan tertentu sesuai dengan agenda/prioritas pembangunan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Provinsi. Agenda/prioritas pembangunan dimaksud, seringkali anggarannya menjadi tanggungjawab penuh dari Pemerintah Pusat dan Provinsi, tetapi ada juga yang memberikan persyaratan harus didukung dengan anggaran dari pemerintah kabupaten/kota, baik berupa dana pendamping, dana penunjang maupun dana yang harus dialokasikan secara khusus (dana urusan bersama) karena tugas yang diberikan termasuk dalam kategori Tugas Bersama yang melibatkan Pemerintah Pusat, Provinsi sekaligus kabupaten/kota. Aspek ketujuh atau aspek terakhir yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah adalah Pedoman penyusunan APBD yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat pada setiap tahun anggaran dengan nilai AHP 0,035.
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pemerintah
Pusat
perlu
menetapkan
Peraturan
Menteri
Dalam
Negeri
(Permendagri) tentang Pedoman Penyusunan APBD pada setiap tahun anggaran.
Permendagri dimaksud adalah pengaturan yang bersifat khusus pada tahun anggaran berkenaan, karena pengaturan yang bersifat umum sesungguhnya telah ditetapkan terlebih dahulu dalam Permendagri Nomor 13 tahun 2006, sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 59 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam permendagri tentang pedoman penyusunan APBD, terdapat sejumlah arah kebijakan yang harus dipedomani oleh pemerintah kabupaten/kota dalam penyusunan KUA dan PPAS sekaligus penyusunan RAPBD tahun anggaran berikutnya, sekurang-kurangnya memuat : (1) pokok-pokok kebijakan yang memuat sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan pemerintah daerah; (2) prinsip dan kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran yang berkenaan; (3) teknis penyusunan APBD yang merinci substansi kebijakan yang berkenaan dengan pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah.
Khusus untuk belanja daerah, umumnya dirinci
kebijakannnya ke setiap kelompok belanja, komponen belanja, obyek belanja hingga rincian obyek belanja yang diperkenankan atau tidak diperkenankan untuk dialokasikan kedalam lingkup Belanja Tidak Langsung (BTL) maupun Belanja Langsung (BL) serta hal-hal teknis lainnya yang berkenaan administrasi penyusunan APBD; (4) hal-hal khusus lainnya yang dianggap penting untuk dipedomani oleh pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan pedoman penyusunan APBD tersebut, maka substansi yang sangat mempengaruhi kebijakan alokasi belanja daerah adalah sinkronisasi kebijakan, prinsip dan kebijakan penyusunan APBD, baik yang berkenaan dengan kebijakan pendapatan daerah, belanja daerah maupun pembiayaan daerah. Untuk menunjukkan kepatuhan dan ketaatan dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan, seringkali pemerintah daerah mengadopsi sepenuhnya arah kebijakan yang telah ditetapkan dalam permendagri tersebut, sehingga kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah terjadi ”bias
kebijakan ke atas”, dalam arti substansi yang tertuang dalam dokumen KUA dan PPAS seolah-olah adalah substansi kebijakan pusat yang didaerahkan. Kondisi ini sulit dihindari oleh pemerintah daerah, karena kriteria penilaian kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah pada tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir, terutama capaian kinerja yang dilaporkan dalam dokumen Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Menteri Dalam Negeri
melalui Gubernur bahwa salah satu kriteria penilaiannya adalah sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang ditunjukan dengan kepatuhan dan ketaatan dalam implementasi peraturan perundangundangan yang diberlakukan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. 5.4.3. Analisis Urutan Pilihan Kebijakan Alternatif Hasil analisis dengan AHP menunjukkan bahwa prioritas kebijakan alternatif alokasi belanja daerah yang ditentukan oleh pelaku kebijakan (Pemda dan DPRD) setelah mempertimbangkan berbagai aspek yang berpengaruh terhadap penentu kebijakan, yaitu menentukan kebijakan alokasi belanja berdasarkan
pendekatan
pendekatan
tematik
dan
kewilayah.
Dengan
memperhatikan berbagai aspek/kriteria penentuan kebijakan di atas, pelaku kebijakan, baik Pemda/TAPD dan DPRD/Banang DPRD menentukan lebih lanjut kebijakan alternatif alokasi belanja daerah dengan 3 pendekatan, yaitu : (1) pendekatan tematik, yaitu kebijakan alokasi belanja daerah yang didasarkan pada tema-tema tertentu, berawal dari rumusan misi pemerintah daerah, kemudian dijabarkan kedalam prioritas pembangunan, fokus kebijakan, sasaran strategis, target kinerja hingga kegiatan tematik untuk mengatasi masalah kronis dan perbaikan kinerja yang senantiasa muncul pada setiap tahun anggaran, kemudian dipilih dan ditetapkan menjadi tema-tema (tematik) kebijakan untuk tahun anggaran berkenaan; (2) pendekatan kewilayahan adalah kebijakan alokasi belanja daerah yang didasarkan pada pemenuhan alokasi dana pembangunan menurut kriteria/formula tertentu bagi wilayah kecamatan dan/atau wilayah pembangunan yang ada dan berlaku di Kabupaten Bogor; (3) pendekatan tematik dan kewilayahan adalah kebijakan alokasi belanja daerah yang didasarkan pada pemenuhan alokasi dana pembangunan menurut perpaduan/integrasi antara pertimbangan pendekatan tematik dan pendekatan kewilayan sebagaimana batasan di atas. Hasil analisis dengan metode AHP memperlihatkan bahwa kebijakan alternatif yang paling berpengaruh menurut pelaku kebijakan, baik Pemda/TAPD maupun DPRD/Banang DPRD penentuan
kebijakan
adalah
setelah mempertimbangkan
kebijakan
alokasi
belanja
aspek/kriteria
daerah
dengan
pertimbangan tematik dan kewilayahan dengan nilai AHP gabungan 0,489.
Artinya, jika suatu urusan pemerintahan/SKPD telah mendapatkan alokasi anggaran sementara (tentatif) dari Pemda/TAPD dan DPRD/Banang DPRD sebagaimana ditetapkan dalam nota kesepakatan KUA dan PPAS, maka menjadi kewajiban bagi setiap SKPD untuk mempertimbangkan juga aspek pemerataan dari pagu atau plafon anggaran tersebut bagi setiap wilayah kecamatan, selain aspek proporsional sesuai dengan bobot permasalahan bagi kecamatan tertentu, sehingga seluruh wilayah di Kabupaten Bogor akan merasakan intervensi dari setiap SKPD berkenaan dengan kegiatan dan program pembangunan yang menjadi fokus penanganannya selama lima tahun pelaksanaan RPJMD. Tabel 31 : Urutan Pilihan Kebijakan Alternatif oleh Pemda/TAPD dan DPRD/Banang DPRD dengan Aspek Penentuan Kebijakan Pemerintah Daerah / TAPD DPRD / Badan Anggaran DPRD Tematik dan Tematik dan Tematik Kewilayahan Tematik Kewilayahan Kewilayahan Kewilayahan Prediksi APBD 0,514 0,127 0,359 0,280 0,164 0,556 Evaluasi Kinerja 0,186 0,146 0,667 0,421 0,136 0,442 Pedoman APBD 0,187 0,126 0,688 0,462 0,148 0,390 Agenda Pusat & 0,281 0,118 0,601 0,313 0,175 0,512 Provinsi Hasil 0,147 0,480 0,373 0,124 0,393 0,483 Musrenbang Indikasi RPJMD 0,315 0,203 0,482 0,395 0,218 0,387 Hasil aspirasi 0,171 0,415 0,415 0,151 0,347 0,501 DPRD Rata-rata 0,257 0,231 0,512 0,306 0,226 0,467 • Tematik 0,282 Gabungan Pemda 0,229 • Kewilayahan & DPRD 0,489 • Tematik dan Kewilayahan Aspek
Sumber : Hasil analisis Urutan pilihan prioritas kebijakan alternatif yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah/ TAPD adalah sama dengan prioritas kebijakan alternatif yang ditentukan oleh DPRD/Badan Anggaran DPRD, yaitu dengan urutan sebagai berikut. Tabel 32 : Urutan Pilihan Kebijakan Alternatif oleh Pemda/TAPD dan DPRD/Badan Anggaran DPRD/Banang DPRD Urutan Pilihan
Gabungan
Pemerintah Daerah / TAPD
DPRD / Badan Anggaran
DPRD 1. Kebijakan alternatif dengan pendekatan tematik dan kewilayahan 2. Tematik 3. Kewilayahan Sumber : Hasil analisis
5.5.
0,489
0,512
0,467
0,282 0,229
0,257 0,231
0,306 0,226
Implikasi terhadap Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah menurut Pendekatan Tematik Dengan memperhatikan analisis pada bab-bab sebelumnya, terdapat
sejumlah temuan dalam kajian ini yang dapat digunakan untuk merumuskan lebih lanjut implikasinya terhadap kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik, diantaranya bahwa aspek/kriteria yang berpengaruh terhadap penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah dengan nilai AHP terbesar, yaitu aspek indikasi program dan kegiatan beserta target kinerja yang telah ditetapkan dalam dokumen RPJMD, dengan nilai AHP 0,283, sedangkan urutan pilihan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah dengan tiga pendekatan, yaitu urutan dengan AHP 0,489 adalah pendekatan tematik dan kewilayahan, kemudian pendekatan tematik dengan AHP 0,282 serta pendekatan kewilayah dengan AHP 0,229. Berhubung keterbatasan data yang dapat diperoleh untuk merumuskan pendekatan tematik dan kewilayahan sekaligus, maka dalam kajian ini dititikberatkan pada kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik. Batasan dari pendekatan tematik adalah kebijakan alokasi belanja daerah yang didasarkan pada tema-tema tertentu, berawal dari rumusan misi pemerintah daerah, kemudian dijabarkan kedalam prioritas pembangunan, fokus kebijakan, sasaran strategis, target kinerja hingga kegiatan tematik untuk mengatasi masalah kronis dan perbaikan kinerja yang senantiasa muncul pada setiap tahun anggaran, kemudian dipilih dan ditetapkan menjadi tema-tema (tematik) kebijakan yang diterapkan secara berkesinambungan dan mendapatkan kepastian alokasi belanja belanja pada setiap tahun anggaran hingga akhir periode berlakunya dokumen RPJMD. Langkah-langkah untuk implementasi dari pendekatan tematik terdiri
dari dua tahap, yaitu : (1) merumuskan terlebih dahulu tema-tema (tematik) dalam dokumen perencanaan tahunan sebagai penjabaran dari dokumen lima tahunan/RPJMD; (2) menentukan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara yang sifatnya permanen, baik alokasi dasar maupun alokasi proporsional menurut tema-tema (tematik) yang telah ditetapkan dan mengaitkannya dengan target kinerja yang telah ditetapkan. Kedua langkah tersebut, jika sudah dirumuskan tematiknya dan ditetapkan pagu anggaran atau plafon anggaran sementaranya, maka langkah terakhir adalah mengadopsinya dan memasukannya kedalam dokumen KUA dan PPAS sebagai kebijakan alokasi belanja daerah pada setiap tahun anggaran. Tahap pertama adalah perumusan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik secara teknis disusun sebagai berikut : 1.
Pernyataan Misi dari Pemerintah Kabupaten Bogor dikelompokan kedalam prioritas pembangunan sesuai dengan substansi dari rumusan misi tersebut. Berdasarkan hasil kajian ini, maka rumusan 6 misi dari Pemerintah Kabupaten Bogor dapat diklasifikasikan kedalam tema-tema (tematik) sebagai berikut : (1) tata kelola pemerintahan yang baik (good governace); (2) peningkatan kualitas pelayanan pendidikan; (3) peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; (4) pengembangan perekonomian; (5) peningkatan infrastruktur wilayah; (6) peningkatan kehidupan sosial kemasyarakatan. Misi yang telah dirumuskan kembali kedalam tematik di atas, dipilih dan ditetapkan menjadi prioritas pembangunan daerah. Penempatan urutan prioritasnya bisa tetap sama atau diubah, tergantung dari pilihan tingkat penyelesaian masalah dan perbaikan kinerja yang akan dicapai pada tahun anggaran yang berkenaan. Jika dilihat dari hasil kajian ini, maka urutan prioritasnya sebagai berikut : (1) peningkatan infrastruktur wilayah; (2)
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; (3)
peningkatan kualitas pelayanan pendidikan; (4) tata kelola pemerintahan yang baik; (5) pengembangan perekonomian; (6) peningkatan kehidupan sosial kemasyarakatan. 2.
Dengan mengacu pada prioritas pembangunan daerah secara tematik tersebut, maka dapat dirumuskan lebih lanjut fokus kebijakan, sasaran strategis, target
kinerja hingga kegiatan tematiknya yang konsisten dengan seluruh rumusan tersebut. Dengan mengacu pada langkah-langkah di atas, maka sebagai gambaran, berikut ini akan dirumuskan salah satu kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik
untuk misi pertama sebagai kerangka acuan,
sedangkan perumusan untuk misi lainnya kiranya berpatokan pada contoh format tabel di bawah ini. Tabel 33 : Contoh Format Implementasi dari Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah Misi Pertama : Meningkatkan Kualitas Infrastruktur Wilayah Prioritas Pembangunan Daerah 1.
Peningkata n Kualitas Infrastrukt ur Wilayah
Fokus Kebijakan
Sasaran Strategis
1. Jalan kabupaten yang bernomor ruas
1. Bertambahnya kondisi mantap jalan kabupaten
Target Kinerja
1. Jalan mantap kabupaten sepanjang 1.506 km
Kegiatan Tematik
1. Pembangunan jalan
2. Peningkatan jalan 3. Rehabilitasi jalan 4. Pemeliharan jalan
2.Jalan desa
3.Jembatan
2.Bertambahnya kondisi baik jalan desa
2. Jalan desa sepanjang 856 km
1. Peningkatan jalan desa
3.Bertambahnya jumlah dan kondisi baik jembatan
3. Jembatan sebanyak 682 buah
1. Pembangunan jembatan
2. Bantuan keuangan untuk jalan desa
2. Peningkatan jembatan 3. Rehabilitasi jembatan 4. Pemeliharan jembatan
4.Irigasi pemerintah
4.Bertambahnya kondisi baik irigasi pemerintah
4.Irigasi pemerintah sebanyak 32 daerah irigasi
1. Peningkatan jaringan irigasi 2 Rehabilitasi jaringan irigasi 3 Pemeliharan jaringan
5.Irigasi desa
5.Bertambahnya kondisi baik irigasi desa
5.Irigasi desa sebanyak794 daerah irigasi
1. Peningkatan jaringan irigasi desa 2. Rehabilitasi jaringan irigasi desa
2. Bantuan keuangan untuk jaringan irigasi desa 2. dst….
1.…..
1……
1……
1……
Sumber : Hasil Analisis
Tahap kedua adalah menentukan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara, baik alokasi dasar maupun alokasi proporsional menurut tema-tema (tematik kegiatan) yang telah ditetapkan dan mengaitkannya dengan target kinerja yang telah ditetapkan. Berarti pada tahap ini adalah merumuskan lebih lanjut alokasi belanja daerahnya sesuai dengan kegiatan tematik dan dikaitkan dengan target kinerja yang akan dicapai pada tahun anggaran yang berkenaan. Untuk itu, ketika penentuan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara, maka dilakukan pemilahan dan pengelompokan terlebih dahulu jumlah pagu anggaran atau plafon anggaran sementara yang telah ditetapkan dalam RKPD atau pun KUA dan PPAS kedalam kelompok belanja sesuai dengan pedoman pengelolaan keuangan daerah, yaitu kelompok Belanja Tidak Langsung (BTL) dan kelompok Belanja Langsung (BL). Berhubung BTL tidak terkait secara langsung dengan rencana pencapaian kinerja, (meskipun didalamnya terdapat alokasi untuk BTL Non-pegawai yang dapat ditetapkan target kinerjanya), tetapi karena selama ini yang menonjol adalah alokasi yang berkenaan dengan
gaji, tunjangan dan tambahan penghasilan
pegawai, maka secara keseluruhan alokasi dari BTL tidak ditetapkan sebagai komponen dari kinerja pemerintah daerah. Oleh karena itu, perumusan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik hanya terkait dengan belanja langsung yang didalamnya terdapat program dan kegiatan pembangunan beserta target kinerja yang akan dicapai dari setiap program dan kegiatan tersebut. Dengan mengacu pada contoh rumusan kegiatan tematik pada tabel 33, maka dapat ditentukan besaran alokasi belanja daerah untuk setiap kegiatan dengan bertitik-tolak dari hal-hal sebagai berikut : (1) target kinerja dari kegiatan tematik ditentukan terlebih dahulu pada tahun anggaran yang berkenaan dengan mengaitkan antara target kinerja lima tahunan dengan penjabarannya pada setiap tahun.
Misalnya pada contoh di atas, target kinerja jalan mantap kabupaten
sepanjang 1.506 km selama 2003-2008, maka jika kondisi sebelumnya telah
diketahui bahwa panjang jalan yang belum dalam kondisi mantap, yaitu tersisa 300 km, maka target dimaksud dilakukan penyesuaian, dengan demikian target kinerja jalan mantap yang harus dicapai adalah sekitar 300 km untuk periode 2003-2008; (2) persyaratan lainnya, yaitu sudah tersedianya analisis standar belanja (ASB) untuk masing-masing jenis kegiatan tematik.
Sebagai contoh,
untuk peningkatan jalan menjadi jalan mantap dengan konstruksi beton bertulang (cor beton) maka diketahui ASB untuk tiap meter jalan dengan kondisi tersebut, yaitu Rp. 1 juta per meter (didalamya sudah tercakup seluruh tahapan kegiatan sejak dari persiapan, pelaksanaan konstruksi, pengawasan hingga pemeliharaan pasca konstruksi); (3) dengan mengetahui kedua persyaratan tersebut, maka diketahui jumlah pagu anggaran atau plafon anggaran sementara untuk setiap kegiatan tematik, dengan formula, yaitu : Plafon anggaran sementara = Target Kinerja x ASB. Jika target selama periode 2003-2008 diasumsikan sepanjang 300 km, dan diasumsikan dananya sudah tersedia, maka jumlah pagu atau plafon anggaran sementara untuk kegiatan tematik peningkatan jalan kabupaten adalah : 300 km x Rp. 1 juta/m = Rp. 300. 000.000.000,-/selama 5 tahun, berarti jika dibagi rata pada setiap tahun maka target kinerjanya 60 km dan plafon anggaran sementara sebesar 60 miliar. Dengan memperhatikan uraian di atas, maka penetapan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara untuk setiap kegiatan tematik dapat diurutkan dengan rumusan sebagaimana format pada tabel di bawah ini. Tabel 34 : Contoh Penentuan Plafon Anggaran Sementara untuk Kegiatan Tematik Misi Pertama Prioritas Pembangunan Daerah Fokus Kebijakan Sasaran Strategis Target Kinerja
1. Jalan mantap kabupaten sepanjang 300 km
: Meningkatkan Kualitas Infrastruktur Wilayah : Peningkatan Kualitas Infrastruktur Wilayah : Jalan kabupaten yang bernomor ruas : Bertambahnya kondisi mantap jalan kabupaten Kegiatan Tematik Plafon Anggaran Sementara Periode 2003-2008 (Rp. Miliar) 2004
2005
2006
2007
2008
-
-
-
-
-
2. Peningkatan jalan
60
60
60
60
60
3. Rehabilitasi jalan
-
-
-
-
-
4. Pemeliharan jalan
dst
dst
dst
dst
dst
1. Pembangunan jalan
2.dst……
1.dst…….
-
-
-
-
Sumber : Hasil analisis
Tahap terakhir dari penerapan dua format implementasi dari kebijakan alternatif alokasi belanja daerah di atas, yaitu setiap SKPD mengajukan usulan Pra-Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (Pra-RKA SKPD) sesuai dengan format dan tahapan di atas, kemudian diikuti dengan tahapan verifikasi Pra-RKA oleh anggota Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), agar diketahui konsistensi antara rumusan rencana hingga target kinerja (format tabel 33) dengan penganggaran berupa pagu anggaran atau plafon anggaran sementara (format tabel 34), sehingga memudahkan untuk memasukannya kedalam format penyusunan dokumen KUA dan PPAS pada setiap tahun anggaran.
-
BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dari kajian ini, yaitu : 1.
Kajian ini menunjukkan bahwa tidak ada konsistensi antara kebijakan alokasi belanja daerah yang telah disepakati dalam dokumen KUA dan PPAS dengan realisasi alokasi belanja daerah yang telah ditetapkan dalam dokumen APBD.
Hal itu ditunjukan dari adanya kesenjangan yang
cenderung bertambah untuk alokasi belanja daerah pada kelompok Belanja Tidak Langsung (BTL) dan kesenjangan yang cenderung berkurang untuk Belanja Langsung (BL). Kondisi ini mengungkapkan bahwa kebijakan alokasi belanja daerah yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan DPRD Kabupaten Bogor adalah cenderung untuk mendahulukan pemenuhan alokasi belanja daerah untuk BTL Non-pegawai yang merupakan urusan sisa (residu) daripada alokasi belanja daerah untuk komponen BL yang menjadi urusan wajib dan urusan pilihan serta menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Bogor. 2.
Hasil analisis pemetaan kebijakan alokasi belanja daerah yang telah diterapkan mengungkapkan bahwa kebijakan alokasi belanja daerah yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan DPRD Kabupaten Bogor, pada satu sisi menerapkan prinsip “safety first”, dalam arti pemenuhan hak-hak pegawai berupa belanja pegawai tetap dipenuhi terlebih
dahulu,
demi
kelancaran
penyelenggaraan
pemerintahan
Kabupaten Bogor, tetapi pada sisi lain menerapkan juga kebijakan alokasi belanja
daerah
untuk
meningkatkan
pelayanan
publik
dengan
memprioritaskan pada pembangunan infrastruktur/fisik wilayah selama periode 2003-2008. 3.
Hasil kajian ini menjelaskan pula bahwa aspek/kriteria yang paling dominan dalam penenetuan kebijakan alokasi belanja daerah di Kabupaten Bogor yaitu indikasi kegiatan dan program pembangunan serta target
kinerja yang telah ditetapkan dalam RPJMD. Oleh karena itu, pengembangan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik bertitik-tolak dari pernyataan misi Pemerintah Kabupaten Bogor, kemudian dirumuskan ide sentral dari misi tersebut, sehingga memunculkan tema-tema (tematik) yang akan ditetapkan sebagai prioritas pembangunan daerah selama periode perencanaan jangka menengah. Dengan mengacu pada prioritas pembangunan daerah tersebut, selanjutnya dirumuskan fokus kebijakan, sasaran strategis, target kinerja dan kegiatan tematik yang harus mendapatkan kepastian alokasi belanja daerah dalam perumusan Kebijakan Umum APBD (KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) pada setiap tahun anggaran. Dengan demikian, konsistensi antara kebijakan alokasi belanja daerah yang telah disepakti dalam dokumen KUA dan PPAS dengan realisasinya dalam APBD akan dapat diwujudkan pada masa yang akan datang.
6.2. Saran Pemerintah Kabupaten Bogor perlu merubah kebijakan alokasi belanja daerah yang telah diterapkan selama ini kepada kebijakan alokasi belanja daerah yang konsisten antara perencanaan yang telah ditetapkan dalam dokumen KUA dan PPAS dengan dokumen penganggaran (dokumen APBD), antara lain dengan menerapkan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik sebagaimana hasil kajian ini. Untuk lebih menyempurnakan hasil kajian ini, disarankan hal-hal sebagai berikut : 1.
Perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam berkenaan dengan pendekatan tematik dan kewilayahan, terutama untuk merumuskan formulasi mengenai alokasi belanja daerah bagi setiap kecamatan atau pun wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor, agar alokasi belanja daerah dapat diterapkan secara merata dan/atau proporsional ke setiap wilayah Kabupaten Bogor.
2.
Perlu dilakukan kajian sejenis di daerah lain atau pun di Kabupaten Bogor, dengan metode analisis kuantitatif mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan alternatif alokasi belanja daerah yang akan diterapkan pada daerah lain maupun di Kabupaten Bogor pada masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson et al dalam said Zainal Abidin, 2002. Kebijakan Publik. Yayasan Pancur Siwah. Jakarta. Bappeda Kabupaten Bogor, 2008. Data Pokok Pembangunan Daerah. Bogor. Bird and Vaillancourt, 2000. Fiscal Decentralization in Developing Countries (terjemahan Desentralisasi Fiskal di Negara Negara berkembang). PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarata. Burhan Bungin. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofi dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Charles Jones dalam Said Zainal Abidin, 2002. Kebijakan Publik. Yayasan Pancur Siwah. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta Dunn, William N, 1998. Public Policy Analysis; An Introduction. Second Edition (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. George, C. Edward III and Ira Sharkansky dalam Said Zainal Abidin, 2002. Kebijakan Publik. Yayasan Pancur Siwah. Jakarta.. Lala M Kolopaking dan Soeryo Adiwibowo, 2007. Bahan Kuliah Manajemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Manajemen Pembangunan daerah. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Leslie A, Pal dalam Sony Yudoyono dkk (2008) Memahami APBD dan Permasalahannya (Panduan Pengelolaan Keuangan Daerah). Bayu Media Publishing. Malang. Mahmudi, 2010. Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit Erlangga. Jakarta. Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta. _________. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit Andi. Yogyakarta. Menteri Dalam Negeri, 2002. Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD __________________, 2004. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (SEMendagri) Nomor : 903/3172/SJ Perihal Pedoman Umum Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2005 __________________, 2005. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (SE-Mendagri) Nomor : 903/2429/SJ Perihal Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2006 dan pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2005 __________________, 2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah Permendagri Nomor 59 tahun 2007 Tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan APBD
__________________, 2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 26 tahun 2006 Tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2007 __________________, 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 30 tahun 2007 Tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2008 __________________, 2008. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 32 tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2009 __________________, 2009. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 29 tahun 2009 Tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2010 __________________, 2010. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 37 tahun 2010 Tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011 Musgrave & Musgrave 1989. Public Finance in Theory and Practice (terjemahan; keuangan Negara, dalam Teori dan Praktek) Edisi kelima. Erlangga. Jakarta. Mustopadidjaja, AR. 1992. Studi Kebijaksanaan. Lembaga Penerbit, FE-UI. Jakarta. Nurlan, 2009. Pengelolaan Keuangan Daerah. Pedoman untuk Eksekutif dan legislatif, Rangkuman 7 Undang-undang, 30 Peraturan Pemerintah dan 19 Permendagri. PT. Indeks. Jakarta. Pemerintah Kabupaten Bogor, Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 2 tahun 2004 tentang Rencana Strategis (Renstra) Pemerintah Kabupaten Bogor tahun 2003-2008. Bogor. _______________________, Peraturan Daerah Kabupaten Bogor tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan Tahun Anggaran 2003. Bogor. _______________________, Peraturan Daerah Kabupaten Bogor tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan Tahun Anggaran 2004. Bogor. _______________________, Peraturan Daerah Kabupaten Bogor tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan Tahun Anggaran 2005. Bogor. _______________________, Peraturan Daerah Kabupaten Bogor tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan Tahun Anggaran 2006. Bogor. _______________________, Peraturan Daerah Kabupaten Bogor tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan Tahun Anggaran 2007. Bogor. _______________________, Peraturan Daerah Kabupaten Bogor tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan Tahun Anggaran 2008. Bogor. _______________________, Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 8 tahun 2009 tentang Pokok-pokok Pengelolaan keuangan daerah. Bogor.
_______________________, Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 7 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Pemerintah Kabupaten Bogor tahun 2008-2013. Bogor. _______________________, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Bogor Tahun Anggaran 2003. Bogor. _______________________, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Bogor Tahun Anggaran 2004. Bogor. _______________________, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Bogor Tahun Anggaran 2005. Bogor. _______________________, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Bogor Tahun Anggaran 2006. Bogor. _______________________, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Bogor Tahun Anggaran 2007. Bogor. _______________________, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Bogor Tahun Anggaran 2008. Bogor. _______________________, Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (LPJP) Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2003. Bogor. _______________________, Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (LPJP) Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2004. Bogor. _______________________, Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (LPJP) Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2005. Bogor. _______________________, Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (LPJP) Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2006. Bogor. _______________________, Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (LPJP) Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2007. Bogor. _______________________, Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (LPJP) Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2008. Bogor. R. Dye, Thomas dalam Said Zainal Abidin (2002). Kebijakan Publik. Yayasan Pancur Siwah. Jakarta. Riant Nugroho D, 2007. Analisis Kebijakan. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. Saaty, Thomas L. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Sony Yuwono dkk, 2008. Memahami APBD dan Permasalahannya (Panduan Pengelolaan Keuangan Daerah). Bayu Media Publishing. Malang. Taliziduhu Ndraha. 2003. Bahan Kuliah Ilmu Pemerintahan. Buku I. Penerbit IIP. Jakarta
RATA-RATA NOMINAL ANGGARAN DAN PERTUMBUHAN BELANJA DAERAH BERDASARKAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH / SKPD
NO
2003
2004
2005
2006
2007
2008
RATA-RATA NOMINAL (Rp.)
ALOKASI ANGGARAN
URAIAN
I
PENDIDIKAN
310,953,229,000.00
329,436,707,000.00
356,106,880,000.00
441,842,564,000.00
532,216,391,000.00
663,013,558,000.00
438,928,221,500.00
1
DINAS PENDIDIKAN (termasuk SLTP+SMU)
310,953,229,000.00
329,436,707,000.00
356,106,880,000.00
441,842,564,000.00
532,216,391,000.00
663,013,558,000.00
438,928,221,500.00
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
255,257,435,000.00
260,142,044,000.00
260,897,615,000.00
316,844,528,000.00
398,506,184,000.00
511,751,312,000.00
333,899,853,000.00
BELANJA LANGSUNG :
55,695,794,000.00
69,294,663,000.00
95,209,265,000.00
124,998,036,000.00
133,710,207,000.00
151,262,246,000.00
105,028,368,500.00
II
KESEHATAN
74,511,834,000.00
84,663,274,000.00
110,644,277,000.00
146,983,649,000.00
173,887,903,000.00
186,177,153,000.00
129,478,015,000.00
1
DINAS KESEHATAN
52,972,722,000.00
47,874,902,000.00
57,544,206,000.00
81,949,870,000.00
94,859,854,000.00
111,919,689,000.00
74,520,207,166.67
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
22,170,691,000.00
22,557,106,000.00
23,490,620,000.00
28,211,476,000.00
41,753,766,000.00
50,865,127,000.00
31,508,131,000.00
BELANJA LANGSUNG :
30,802,031,000.00
25,317,796,000.00
34,053,586,000.00
53,738,394,000.00
53,106,088,000.00
61,054,562,000.00
43,012,076,166.67
BADAN RUMAH SAKIT DAERAH CIBINONG
12,962,656,000.00
22,662,799,000.00
31,453,954,000.00
29,961,303,000.00
40,089,351,000.00
39,458,080,000.00
29,431,357,166.67
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
2,694,682,000.00
3,527,193,000.00
3,761,946,000.00
4,533,821,000.00
7,030,395,000.00
9,217,375,000.00
5,127,568,666.67
BELANJA LANGSUNG :
10,267,974,000.00
19,135,606,000.00
27,692,008,000.00
25,427,482,000.00
33,058,956,000.00
30,240,705,000.00
24,303,788,500.00
BADAN RUMAH SAKIT DAERAH CIAWI
8,576,456,000.00
14,125,573,000.00
21,646,117,000.00
35,072,476,000.00
38,938,698,000.00
34,799,384,000.00
25,526,450,666.67
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
2,660,901,000.00
3,292,031,000.00
3,570,628,000.00
3,860,452,000.00
6,587,835,000.00
9,770,884,000.00
4,957,121,833.33
BELANJA LANGSUNG :
5,915,555,000.00
10,833,542,000.00
18,075,489,000.00
31,212,024,000.00
32,350,863,000.00
25,028,500,000.00
20,569,328,833.33
III
EKONOMI
39,260,551,000.00
47,768,998,000.00
61,536,346,000.00
76,854,531,000.00
83,657,387,000.00
88,031,126,000.00
67,235,750,583.33
1
DINAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN
16,238,989,000.00
18,434,628,000.00
18,839,799,000.00
25,225,095,000.00
26,691,883,000.00
28,115,749,000.00
22,257,690,500.00
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
7,868,209,000.00
8,405,540,000.00
7,319,981,000.00
7,888,532,000.00
10,368,086,000.00
12,319,583,000.00
9,028,321,833.33
BELANJA LANGSUNG :
8,370,780,000.00
10,029,088,000.00
11,519,818,000.00
17,336,563,000.00
16,323,797,000.00
15,796,166,000.00
13,229,368,666.67
DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN
6,047,613,000.00
8,240,161,000.00
7,437,422,000.00
9,585,876,000.00
11,491,470,000.00
14,363,946,000.00
9,527,748,000.00
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
2,153,295,000.00
2,382,688,000.00
2,694,926,000.00
3,068,342,000.00
4,315,474,000.00
5,499,486,000.00
3,352,368,500.00
BELANJA LANGSUNG :
3,894,318,000.00
5,857,473,000.00
4,742,496,000.00
6,517,534,000.00
7,175,996,000.00
8,864,460,000.00
6,175,379,500.00
2
3
2
3
DINAS KOPERSI, UKM, PERINDAG (KANTOR KOPERASI &
10,238,885,000.00
12,276,002,000.00
19,783,859,000.00
15,807,211,000.00
12,882,102,000.00
13,966,898,000.00
14,159,159,500.00
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
3,150,554,000.00
3,246,819,000.00
2,988,374,000.00
3,538,846,000.00
4,690,004,000.00
6,190,822,000.00
3,967,569,833.33
BELANJA LANGSUNG :
7,088,331,000.00
9,029,183,000.00
16,795,485,000.00
12,268,365,000.00
8,192,098,000.00
7,776,076,000.00
10,191,589,666.67
DINAS PERTAMBANGAN
3,599,637,000.00
4,215,635,000.00
7,547,862,000.00
9,780,812,000.00
17,643,170,000.00
20,217,966,000.00
10,500,847,000.00
923,204,000.00
932,081,000.00
862,126,000.00
1,079,882,000.00
1,758,147,000.00
2,785,054,000.00
1,390,082,333.33
BELANJA LANGSUNG :
2,676,433,000.00
3,283,554,000.00
6,685,736,000.00
8,700,930,000.00
15,885,023,000.00
17,432,912,000.00
9,110,764,666.67
DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
3,135,427,000.00
4,602,572,000.00
5,129,719,000.00
13,340,399,000.00
11,815,362,000.00
7,801,661,000.00
7,637,523,333.33
980,013,000.00
1,082,408,000.00
964,636,000.00
1,371,373,000.00
1,642,057,000.00
2,260,151,000.00
1,383,439,666.67
2,155,414,000.00
3,520,164,000.00
4,165,083,000.00
11,969,026,000.00
10,173,305,000.00
5,541,510,000.00
6,254,083,666.67
KANTOR PENANAMAN MODAL DAERAH
-
-
2,797,685,000.00
3,115,138,000.00
3,133,400,000.00
3,564,906,000.00
3,152,782,250.00
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
-
-
500,370,000.00
639,909,000.00
930,343,000.00
1,115,540,000.00
796,540,500.00
BELANJA LANGSUNG :
-
-
2,297,315,000.00
2,475,229,000.00
2,203,057,000.00
2,449,366,000.00
2,356,241,750.00
112,103,310,000.00
170,657,002,000.00
242,979,933,000.00
287,788,574,000.00
364,287,560,000.00
420,033,694,000.00
266,308,345,500.00
DINAS BINA MARGA DAN PENGAIRAN
80,306,296,000.00
131,136,723,000.00
184,576,984,000.00
218,791,815,000.00
292,675,017,000.00
341,279,514,000.00
208,127,724,833.33
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
4,821,981,000.00
4,975,903,000.00
4,691,008,000.00
5,954,258,000.00
8,093,835,000.00
11,959,975,000.00
6,749,493,333.33
BELANJA LANGSUNG :
75,484,315,000.00
126,160,820,000.00
179,885,976,000.00
212,837,557,000.00
284,581,182,000.00
329,319,539,000.00
201,378,231,500.00
DINAS CIPTA KARYA
22,037,367,000.00
28,150,227,000.00
41,852,830,000.00
42,209,938,000.00
43,013,905,000.00
45,867,744,000.00
37,188,668,500.00
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
2,733,562,000.00
2,841,686,000.00
2,491,283,000.00
3,335,200,000.00
4,605,538,000.00
8,116,468,000.00
4,020,622,833.33
BELANJA LANGSUNG :
19,303,805,000.00
25,308,541,000.00
39,361,547,000.00
38,874,738,000.00
38,408,367,000.00
37,751,276,000.00
33,168,045,666.67
DINAS TATA RUANG & LH
4,379,377,000.00
4,396,595,000.00
8,050,449,000.00
6,310,205,000.00
6,327,503,000.00
6,852,993,000.00
6,052,853,666.67
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
1,343,162,000.00
1,477,932,000.00
1,354,617,000.00
2,206,342,000.00
2,488,680,000.00
3,395,997,000.00
2,044,455,000.00
BELANJA LANGSUNG :
3,036,215,000.00
2,918,663,000.00
6,695,832,000.00
4,103,863,000.00
3,838,823,000.00
3,456,996,000.00
4,008,398,666.67
DINAS PERINDAG)
4
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
5
BELANJA TIDAK LANGSUNG : BELANJA LANGSUNG :
6
IV
INFRASTRUKTUR, PEKERJAAN UMUM & LINGKUNGAN HIDUP
1
2
3
4
V
DINAS PERHUBUNGAN
5,380,270,000.00
6,973,457,000.00
8,499,670,000.00
20,476,616,000.00
22,271,135,000.00
26,033,443,000.00
14,939,098,500.00
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
1,366,884,000.00
1,499,461,000.00
1,460,089,000.00
1,929,064,000.00
2,492,174,000.00
5,807,002,000.00
2,425,779,000.00
BELANJA LANGSUNG :
4,013,386,000.00
5,473,996,000.00
7,039,581,000.00
18,547,552,000.00
19,778,961,000.00
20,226,441,000.00
12,513,319,500.00
169,521,257,000.00
216,000,403,000.00
220,857,512,000.00
266,330,168,000.00
309,108,898,000.00
357,743,235,000.00
256,593,578,833.33
DPRD
15,370,950,000.00
4,519,660,000.00
5,099,110,000.00
5,743,230,000.00
9,886,584,000.00
9,619,149,000.00
8,373,113,833.33
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
10,993,609,000.00
4,519,660,000.00
5,099,110,000.00
5,743,230,000.00
9,886,584,000.00
9,619,149,000.00
7,643,557,000.00
BELANJA LANGSUNG :
4,377,341,000.00
KEPALA DAERAH & WAKIL KEPALA DAERAH
1,360,801,000.00
1,904,947,000.00
1,998,384,000.00
1,714,887,000.00
763,560,000.00
777,685,000.00
1,420,044,000.00
71,541,000.00
170,947,000.00
166,384,000.00
162,529,000.00
763,560,000.00
777,685,000.00
352,107,666.67
BELANJA LANGSUNG :
1,289,260,000.00
1,734,000,000.00
1,832,000,000.00
1,552,358,000.00
-
SEKRETARIAT DAERAH + BPKAD + KECAMATAN
86,209,615,000.00
104,919,514,000.00
116,786,071,000.00
149,112,118,000.00
173,289,164,000.00
212,614,303,000.00
140,488,464,166.67
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
20,235,141,000.00
21,485,158,000.00
26,439,384,000.00
43,910,864,000.00
80,686,369,000.00
122,195,955,000.00
52,492,145,166.67
BELANJA LANGSUNG :
65,974,474,000.00
83,434,356,000.00
90,346,687,000.00
105,201,254,000.00
92,602,795,000.00
90,418,348,000.00
87,996,319,000.00
SEKRETARIAT DPRD
3,993,902,000.00
21,234,170,000.00
16,165,954,000.00
16,444,554,000.00
16,919,788,000.00
18,052,175,000.00
15,468,423,833.33
526,169,000.00
3,111,151,000.00
1,911,756,000.00
1,170,246,000.00
1,270,951,000.00
1,678,855,000.00
1,611,521,333.33
BELANJA LANGSUNG :
3,467,733,000.00
18,123,019,000.00
14,254,198,000.00
15,274,308,000.00
15,648,837,000.00
16,373,320,000.00
13,856,902,500.00
DINAS PENDAPATAN DAERAH
25,514,484,000.00
28,586,169,000.00
32,734,880,000.00
27,520,513,000.00
30,952,378,000.00
31,049,350,000.00
29,392,962,333.33
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
2,248,040,000.00
2,225,358,000.00
2,093,084,000.00
2,755,282,000.00
17,227,668,000.00
20,938,519,000.00
7,914,658,500.00
BELANJA LANGSUNG :
23,266,444,000.00
26,360,811,000.00
30,641,796,000.00
24,765,231,000.00
13,724,710,000.00
10,110,831,000.00
21,478,303,833.33
BADAN PENGAWASAN DAERAH
4,575,076,000.00
6,568,957,000.00
6,324,958,000.00
7,785,100,000.00
9,155,701,000.00
8,544,475,000.00
7,159,044,500.00
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
1,320,146,000.00
1,552,448,000.00
1,480,846,000.00
1,725,812,000.00
3,122,066,000.00
3,559,838,000.00
2,126,859,333.33
BELANJA LANGSUNG :
3,254,930,000.00
5,016,509,000.00
4,844,112,000.00
6,059,288,000.00
6,033,635,000.00
4,984,637,000.00
5,032,185,166.67
ADMINISTRASI UMUM PEMERINTAHAN / TATA KELOLA PEMERINTAHAN
1
2
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
3
4
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
5
6
4,377,341,000.00
1,601,904,500.00
7
8
9
10
11
12
VI 1
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
13,987,770,000.00
19,053,188,000.00
8,718,939,000.00
9,616,856,000.00
9,513,000,000.00
16,011,342,000.00
12,816,849,166.67
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
1,032,326,000.00
3,867,769,000.00
784,298,000.00
855,989,000.00
1,489,928,000.00
1,625,067,000.00
1,609,229,500.00
BELANJA LANGSUNG :
12,955,444,000.00
15,185,419,000.00
7,934,641,000.00
8,760,867,000.00
8,023,072,000.00
14,386,275,000.00
11,207,619,666.67
KANTOR ARSIP DAERAH & PERPUSTAKAAN DAERAH
1,259,843,000.00
1,760,004,000.00
3,618,424,000.00
3,805,987,000.00
4,229,349,000.00
3,913,237,000.00
3,097,807,333.33
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
423,901,000.00
375,627,000.00
493,961,000.00
585,509,000.00
959,161,000.00
1,305,385,000.00
690,590,666.67
BELANJA LANGSUNG :
835,942,000.00
1,384,377,000.00
3,124,463,000.00
3,220,478,000.00
3,270,188,000.00
2,607,852,000.00
2,407,216,666.67
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
7,913,816,000.00
8,206,200,000.00
8,522,243,000.00
20,309,400,000.00
15,444,805,000.00
11,983,864,000.00
12,063,388,000.00
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
1,275,487,000.00
1,316,636,000.00
1,326,987,000.00
1,580,983,000.00
2,424,476,000.00
3,204,780,000.00
1,854,891,500.00
BELANJA LANGSUNG :
6,638,329,000.00
6,889,564,000.00
7,195,256,000.00
18,728,417,000.00
13,020,329,000.00
8,779,084,000.00
10,208,496,500.00
DINAS KEPENDUDUKAN, CATATAN SIPIL & KB
4,910,774,000.00
13,211,298,000.00
15,148,968,000.00
16,490,339,000.00
23,345,389,000.00
23,072,904,000.00
16,029,945,333.33
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
1,629,083,000.00
8,414,558,000.00
8,167,472,000.00
8,942,443,000.00
11,325,556,000.00
14,853,930,000.00
8,888,840,333.33
BELANJA LANGSUNG :
3,281,691,000.00
4,796,740,000.00
6,981,496,000.00
7,547,896,000.00
12,019,833,000.00
8,218,974,000.00
7,141,105,000.00
KANTOR KESBANG DAN LINMAS
-
-
1,220,290,000.00
2,282,295,000.00
6,054,695,000.00
12,381,428,000.00
3,656,451,333.33
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
-
-
177,472,000.00
482,660,000.00
858,574,000.00
1,572,903,000.00
772,902,250.00
BELANJA LANGSUNG :
-
-
1,042,818,000.00
1,799,635,000.00
5,196,121,000.00
10,808,525,000.00
4,711,774,750.00
POLISI PAMONG PRAJA & LINMAS
4,424,226,000.00
6,036,296,000.00
4,519,291,000.00
5,504,889,000.00
9,554,485,000.00
9,723,323,000.00
6,627,085,000.00
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
1,476,545,000.00
1,538,931,000.00
1,360,041,000.00
1,509,944,000.00
2,559,698,000.00
5,609,488,000.00
2,342,441,166.67
BELANJA LANGSUNG :
2,947,681,000.00
4,497,365,000.00
3,159,250,000.00
3,994,945,000.00
6,994,787,000.00
4,113,835,000.00
4,284,643,833.33
SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN DINSOSNAKERTRANS (DINAS TENAGA KERJA DAN TRANS & DINSOSNAKER)
7,696,927,000.00
9,049,504,000.00
11,977,855,000.00
13,998,627,000.00
18,126,576,000.00
20,763,434,000.00
13,602,153,833.33
4,591,349,000.00
5,507,633,000.00
6,594,605,000.00
7,357,086,000.00
9,075,982,000.00
9,090,933,000.00
7,036,264,666.67
BELANJA TIDAK LANGSUNG :
2,348,457,000.00
2,314,124,000.00
2,047,922,000.00
2,804,159,000.00
3,460,378,000.00
4,164,721,000.00
2,856,626,833.33
BELANJA LANGSUNG :
2,242,892,000.00
3,193,509,000.00
4,546,683,000.00
4,552,927,000.00
5,615,604,000.00
4,926,212,000.00
4,179,637,833.33
2
BPMPD (BPMD & KPM)
3,105,578,000.00
3,541,871,000.00
5,383,250,000.00
6,641,541,000.00
9,050,594,000.00
11,672,501,000.00
6,565,889,166.67
691,195,000.00
749,593,000.00
1,081,274,000.00
1,536,287,000.00
2,442,479,000.00
3,179,742,000.00
1,613,428,333.33
2,414,383,000.00
2,792,278,000.00
4,301,976,000.00
5,105,254,000.00
6,608,115,000.00
8,492,759,000.00
4,952,460,833.33
BELANJA TIDAK LANGSUNG NON PEGAWAI (LAIN-LAIN)
201,034,130,000.00
185,668,099,000.00
150,370,997,000.00
204,262,622,000.00
229,954,786,000.00
358,651,798,000.00
555,617,351,166.67
1
135,242,086,000.00
149,736,055,000.00
135,370,997,000.00
189,262,622,000.00
28,116,421,000.00
33,891,164,000.00
111,936,557,500.00
65,792,044,000.00
35,932,044,000.00
15,000,000,000.00
15,000,000,000.00
51,690,893,000.00
74,155,771,000.00
42,928,458,666.67
BELANJA TIDAK LANGSUNG : BELANJA LANGSUNG :
VII
BELANJA BAGI HASIL KEPADA PROVINSI/ KABUPATEN/KOTA DAN PEMERINTAHAN DESA
2
BELANJA TIDAK TERDUGA
3
BELANJA HIBAH
-
-
-
-
1,250,000,000.00
117,308,055,000.00
118,558,055,000.00
4
BELANJA BANTUAN SOSIAL
-
-
-
-
92,980,987,000.00
71,610,750,000.00
164,591,737,000.00
5
BELANJA BANTUAN KEUANGAN KEPADA
-
-
-
-
55,916,485,000.00
61,686,058,000.00
117,602,543,000.00
TOTAL
915,081,238,000.00
1,043,243,987,000.00
1,154,473,800,000.00
1,438,060,735,000.00
1,711,239,501,000.00
2,094,413,998,000.00
1,392,752,209,833.33
PER URUSAN
130,725,891,142.86
149,034,855,285.71
164,924,828,571.43
205,437,247,857.14
244,462,785,857.14
299,201,999,714.29
198,964,601,404.76
PER SKPD
33,891,897,703.70
38,638,666,185.19
39,809,441,379.31
49,588,301,206.90
59,008,258,655.17
72,221,172,344.83
48,025,938,270.11
PROVINSI/KAB/KOTA DAN PEMERINTAHAN DESA
RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN BELANJA DAERAH BERDASARKAN URUSAN PEMERINTAHAN / SKPD URAIAN
NO
ALOKASI ANGGARAN 2004
2005
-RATA LAJU
2006
2007
2008
(Rp.)
5.94
8.10
24.08
20.45
24.58
16.63
5.94
8.10
24.08
20.45
24.58
16.63
DAK LANGSUNG :
1.91
0.29
21.44
25.77
28.42
15.57
GAWAI
1.91
0.29
21.44
25.77
28.42
15.57
24.42
37.40
31.29
6.97
13.13
22.64
5.73
14.56
95.15
(23.57)
(11.43)
16.09
21.79
(15.85)
(20.08)
21.85
(14.67)
(1.39)
42.80
97.53
27.08
20.48
28.26
43.23
129.91
112.23
99.69
60.58
5.78
68.03
(9.62)
20.20
42.41
15.75
17.98
17.34
DAK LANGSUNG :
1.74
4.14
20.10
48.00
21.82
19.16
GAWAI
1.74
4.14
20.10
48.00
21.82
19.16
(17.80)
34.50
57.81
(1.18)
14.97
17.66
5.69
16.13
42.82
4.31
(11.64)
11.46
26.71
8.99
93.40
5.76
24.25
31.82
(62.33)
122.38
16.26
(20.15)
7.29
12.69
74.83
38.79
(4.75)
33.80
(1.57)
28.22
DAK LANGSUNG :
30.89
6.66
20.52
55.07
31.11
28.85
GAWAI
30.89
6.66
20.52
55.07
31.11
28.85
86.36
44.71
(8.18)
30.01
(8.52)
28.88
56.01
86.89
9.39
(78.52)
0.56
14.86
IDIKAN (termasuk SLTP+SMU)
NGSUNG : GAWAI RANG DAN JASA ODAL
HATAN
NGSUNG : GAWAI RANG DAN JASA ODAL
AH SAKIT DAERAH CIBINONG
NGSUNG : GAWAI
7.68
66.33
45.43
196.29
1.54
63.45
198.35
12.56
(53.53)
(1.40)
(63.33)
18.53
64.70
53.24
62.03
11.02
(10.63)
36.07
DAK LANGSUNG :
23.72
8.46
8.12
70.65
48.32
31.85
GAWAI
23.72
8.46
8.12
70.65
48.32
31.85
83.14
66.85
72.68
3.65
(22.63)
40.73
GAWAI
22.96
36.13
31.87
(56.25)
(20.36)
2.87
RANG DAN JASA
40.55
27.47
70.68
139.44
7.42
57.11
513.73
127.33
96.39
(27.31)
(62.12)
129.60
21.67
28.82
24.89
8.85
5.23
17.89
13.52
2.20
33.89
5.81
5.33
12.15
DAK LANGSUNG :
6.83
(12.91)
7.77
31.43
18.82
10.39
GAWAI
6.83
(12.91)
7.77
31.43
18.82
10.39
19.81
14.86
50.49
(5.84)
(3.23)
15.22
GAWAI
13.06
(27.65)
8.34
99.60
(10.72)
16.53
RANG DAN JASA
34.02
32.71
28.64
3.80
5.79
20.99
(1.87)
58.69
162.26
(69.23)
(23.95)
25.18
36.25
(9.74)
28.89
19.88
25.00
20.06
DAK LANGSUNG :
10.65
13.10
13.86
40.65
27.44
21.14
GAWAI
10.65
13.10
13.86
40.65
27.44
21.14
50.41
(19.04)
37.43
10.10
23.53
20.49
4.67
(8.46)
(1.42)
(14.57)
38.40
3.72
(2.21)
28.51
(5.20)
43.48
21.62
17.24
437.96
(65.27)
232.62
(7.28)
19.48
123.50
RANG DAN JASA ODAL
AH SAKIT DAERAH CIAWI
NGSUNG :
ODAL
ANIAN DAN KEHUTANAN
NGSUNG :
ODAL
RNAKAN DAN PERIKANAN
NGSUNG : GAWAI RANG DAN JASA ODAL
19.90
61.16
(20.10)
(18.50)
8.42
10.17
DAK LANGSUNG :
3.06
(7.96)
18.42
32.53
32.00
15.61
GAWAI
3.06
(7.96)
18.42
32.53
32.00
15.61
27.38
86.01
(26.95)
(33.23)
(5.08)
9.63
7.63
4.20
13.68
(22.46)
(25.81)
(4.55)
24.77
40.29
33.97
(29.34)
6.98
15.33
73.35
249.18
(72.98)
(60.42)
8.51
39.53
RTAMBANGAN
17.11
79.04
29.58
80.39
14.59
44.14
DAK LANGSUNG :
0.96
(7.51)
25.26
62.81
58.41
27.99
GAWAI
0.96
(7.51)
25.26
62.81
58.41
27.99
22.68
103.61
30.14
82.57
9.74
49.75
3.33
15.14
29.39
59.31
(1.83)
21.07
30.82
5.86
(2.07)
(8.61)
5.12
6.22
34.43
445.92
45.13
116.30
12.36
130.83
46.79
11.45
160.06
(11.43)
(33.97)
34.58
DAK LANGSUNG :
10.45
(10.88)
42.16
19.74
37.64
19.82
GAWAI
10.45
(10.88)
42.16
19.74
37.64
19.82
63.32
18.32
187.37
(15.00)
(45.53)
41.69
GAWAI
12.97
(20.64)
24.04
75.44
(3.20)
17.72
RANG DAN JASA
62.24
(24.94)
101.63
(11.51)
2.24
25.93
416.16
255.44
316.29
(25.34)
(79.33)
176.64
NANAMAN MODAL DAERAH
-
-
11.35
0.59
13.77
5.14
DAK LANGSUNG :
-
-
27.89
45.39
19.91
18.64
GAWAI
-
-
27.89
45.39
19.91
18.64
ERSI, UKM, PERINDAG (KANTOR KOPERASI & NDAG)
NGSUNG : GAWAI RANG DAN JASA ODAL
NGSUNG : GAWAI RANG DAN JASA ODAL
DAYAAN DAN PARIWISATA
NGSUNG :
ODAL
-
-
7.74
(11.00)
11.18
1.59
GAWAI
-
-
54.83
34.15
13.13
20.42
RANG DAN JASA
-
-
31.52
(27.30)
20.03
4.85
-
-
(61.71)
3.83
(34.80)
(18.54)
KTUR, PEKERJAAN UMUM & LINGKUNGAN
52.23
42.38
18.44
26.58
15.30
30.99
MARGA DAN PENGAIRAN
63.30
40.75
18.54
33.77
16.61
34.59
DAK LANGSUNG :
3.19
(5.73)
26.93
35.93
47.77
21.62
GAWAI
3.19
(5.73)
26.93
35.93
47.77
21.62
67.14
42.58
18.32
33.71
15.72
35.49
GAWAI
(1.19)
47.16
(3.37)
39.23
117.50
39.87
RANG DAN JASA
16.37
36.39
85.40
13.80
(0.67)
30.26
ODAL
78.52
43.10
12.32
36.81
15.45
37.24
A KARYA
27.74
48.68
0.85
1.90
6.63
17.16
DAK LANGSUNG :
3.96
(12.33)
33.87
38.09
76.23
27.96
GAWAI
3.96
(12.33)
33.87
38.09
76.23
27.96
31.11
55.53
(1.24)
(1.20)
(1.71)
16.50
GAWAI
20.93
34.37
(22.76)
25.78
(2.33)
11.20
RANG DAN JASA
32.71
61.65
13.89
16.17
4.26
25.74
35.52
62.06
(1.08)
(20.09)
(6.80)
13.92
RUANG & LH (1)
0.39
83.11
(21.62)
0.27
8.30
14.09
DAK LANGSUNG :
10.03
(8.34)
62.88
12.80
36.46
22.76
NGSUNG :
ODAL
NGSUNG :
NGSUNG :
ODAL
10.03
(8.34)
62.88
12.80
36.46
22.76
(3.87)
129.41
(38.71)
(6.46)
(9.95)
14.09
7.19
(19.97)
1.94
20.89
(18.06)
(1.60)
(0.92)
94.60
(38.79)
39.62
(14.60)
15.98
ODAL
(46.70)
1,240.83
(53.18)
(82.11)
75.60
226.89
UBUNGAN
29.61
21.89
140.91
8.76
16.89
43.61
DAK LANGSUNG :
9.70
(2.63)
32.12
29.19
133.01
40.28
GAWAI
9.70
(2.63)
32.12
29.19
133.01
40.28
36.39
28.60
163.48
6.64
2.26
47.47
GAWAI
12.83
30.16
14.33
32.23
(17.76)
14.36
RANG DAN JASA
26.46
39.06
(23.13)
25.82
10.24
15.69
566.39
(10.07)
1,672.68
(3.75)
6.52
446.35
27.42
2.25
20.59
16.06
15.73
16.41
(70.60)
12.82
12.63
72.14
(2.71)
4.86
DAK LANGSUNG :
(58.89)
12.82
12.63
72.14
(2.71)
7.20
GAWAI
(58.89)
12.82
12.63
72.14
(2.71)
7.20
-
-
-
-
-
-
GAWAI
-
-
-
-
-
-
RANG DAN JASA
-
-
-
-
-
-
GAWAI
NGSUNG : GAWAI RANG DAN JASA
NGSUNG :
ODAL
ASI UMUM PEMERINTAHAN / TATA KELOLA HAN
NGSUNG :
-
ODAL
39.99
4.90
(14.19)
(55.47)
1.85
(4.58)
DAK LANGSUNG :
138.95
(2.67)
(2.32)
369.80
1.85
101.12
GAWAI
138.95
(2.67)
(2.32)
369.80
1.85
101.12
ERAH & WAKIL KEPALA DAERAH
NGSUNG : GAWAI RANG DAN JASA
34.50
5.65
(15.26)
(100.00)
#DIV/0!
#DIV/0!
(40.88)
27.27
-
(100.00)
#DIV/0!
#DIV/0!
50.28
3.87
(16.81)
(100.00)
#DIV/0!
#DIV/0! -
ODAL
21.70
11.31
27.68
16.21
22.69
19.92
DAK LANGSUNG :
6.18
23.06
66.08
83.75
51.45
46.10
GAWAI
6.18
23.06
66.08
83.75
51.45
46.10
26.46
8.28
16.44
(11.98)
(2.36)
7.37
GAWAI
17.40
56.65
21.74
(1.98)
(0.58)
18.65
RANG DAN JASA
24.77
14.78
25.35
(16.43)
(4.72)
8.75
ODAL
42.63
(57.39)
(65.60)
(29.48)
36.45
(14.68)
AT DPRD
431.66
(23.87)
1.72
2.89
6.69
83.82
DAK LANGSUNG :
491.28
(38.55)
(38.79)
8.61
32.09
90.93
GAWAI
14.40
(7.67)
30.33
75.46
32.09
28.92
#DIV/0!
(45.96)
(67.12)
(100.00)
#DIV/0!
#DIV/0!
422.62
(21.35)
7.16
2.45
4.63
83.10
GAWAI
229.10
51.32
(56.34)
(14.96)
21.12
46.05
RANG DAN JASA
262.50
(9.66)
85.25
0.35
3.30
68.35
1,448.37
(60.09)
(81.07)
105.82
(3.04)
281.99
12.04
14.51
(15.93)
12.47
0.31
4.68
DAK LANGSUNG :
(1.01)
(5.94)
31.64
525.26
21.54
114.30
GAWAI
(1.01)
(5.94)
31.64
525.26
21.54
114.30
13.30
16.24
(19.18)
(44.58)
(26.33)
(12.11)
6.69
98.59
(43.45)
(77.20)
(44.69)
(12.01)
AT DAERAH + BPKAD + KECAMATAN
NGSUNG :
& TUNJANGAN PIMPINAN & PRD
NGSUNG :
ODAL
APATAN DAERAH
NGSUNG : GAWAI
17.89
(64.88)
109.60
(1.54)
(17.17)
8.78
56.75
3.04
14.88
5.30
(45.25)
6.95
GAWASAN DAERAH
43.58
(3.71)
23.09
17.61
(6.68)
14.78
DAK LANGSUNG :
17.60
(4.61)
16.54
80.90
14.02
24.89
GAWAI
17.60
(4.61)
16.54
80.90
14.02
24.89
54.12
(3.44)
25.09
(0.42)
(17.39)
11.59
GAWAI
10.90
15.16
32.05
(15.57)
(1.84)
8.14
RANG DAN JASA
17.70
16.86
32.68
(5.54)
(10.16)
10.31
647.19
(48.04)
(12.24)
74.84
(60.36)
120.28
36.21
(54.24)
10.30
(1.08)
68.31
11.90
DAK LANGSUNG :
274.67
(79.72)
9.14
74.06
9.07
57.44
GAWAI
274.67
(79.72)
9.14
74.06
9.07
57.44
17.21
(47.75)
10.41
(8.42)
79.31
10.15
GAWAI
19.13
(93.92)
(4.24)
330.58
103.42
70.99
RANG DAN JASA
12.84
39.64
17.07
(34.85)
78.71
22.68
24.12
111.12
(36.17)
(0.68)
(43.65)
10.95
39.70
105.59
5.18
11.12
(7.47)
30.82
DAK LANGSUNG :
(11.39)
31.50
18.53
63.82
36.10
27.71
GAWAI
(11.39)
31.50
18.53
63.82
36.10
27.71
65.61
125.69
3.07
1.54
(20.25)
35.13
GAWAI
10.97
31.40
26.97
26.10
(7.42)
17.61
RANG DAN JASA
39.39
43.49
70.40
(0.81)
(4.60)
29.57
1,094.40
374.87
(40.99)
(10.11)
(59.02)
271.83
3.69
3.85
138.31
(23.95)
(22.41)
19.90
RANG DAN JASA ODAL
NGSUNG :
ODAL
DIDIKAN DAN PELATIHAN
NGSUNG :
ODAL
SIP DAERAH & PERPUSTAKAAN DAERAH
NGSUNG :
ODAL
ENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
DAK LANGSUNG :
3.23
0.79
19.14
53.35
32.18
21.74
GAWAI
3.23
0.79
19.14
53.35
32.18
21.74
3.78
4.44
160.29
(30.48)
(32.57)
21.09
GAWAI
27.87
15.28
32.07
181.34
(51.59)
40.99
RANG DAN JASA
(5.62)
3.16
258.33
(71.18)
4.03
37.74
9.81
(12.69)
(8.33)
(27.67)
(41.30)
(16.04)
169.03
14.67
8.85
41.57
(1.17)
46.59
DAK LANGSUNG :
416.52
(2.94)
9.49
26.65
31.15
96.18
GAWAI
416.52
(2.94)
9.49
26.65
31.15
96.18
46.17
45.55
8.11
59.25
(31.62)
25.49
GAWAI
77.43
(0.07)
(3.85)
54.28
(26.17)
20.33
RANG DAN JASA
48.75
67.56
28.10
59.70
(35.03)
33.82
(15.27)
111.04
(44.31)
70.33
(19.50)
20.46
SBANG DAN LINMAS
-
-
87.03
165.29
104.49
71.36
DAK LANGSUNG :
-
-
171.96
77.88
83.20
66.61
GAWAI
-
-
171.96
77.88
83.20
66.61
-
-
72.57
188.73
108.01
73.86
GAWAI
-
-
93.59
266.92
308.52
133.81
RANG DAN JASA
-
-
160.91
95.70
(3.85)
50.55
-
-
(57.39)
587.75
(81.56)
89.76
36.44
(25.13)
21.81
73.56
1.77
21.69
DAK LANGSUNG :
4.23
(11.62)
11.02
69.52
119.15
38.46
GAWAI
4.23
(11.62)
11.02
69.52
119.15
38.46
52.57
(29.75)
26.45
75.09
(41.19)
16.64
NGSUNG :
ODAL
NDUDUKAN, CATATAN SIPIL & KB
NGSUNG :
ODAL
NGSUNG :
ODAL
ONG PRAJA & LINMAS
NGSUNG :
35.67
(5.46)
34.33
71.40
(38.60)
19.47
116.31
(42.43)
11.03
68.24
(33.75)
23.88
(19.03)
(61.45)
60.25
135.37
(80.53)
6.92
17.57
32.36
16.87
29.49
14.55
22.17
19.96
19.74
11.56
23.36
0.16
14.96
ER) DAK LANGSUNG :
(1.46)
(11.50)
36.93
23.40
20.35
13.54
GAWAI
(1.46)
(11.50)
36.93
23.40
20.35
13.54
42.38
42.37
0.14
23.34
(12.28)
19.19
GAWAI
(0.09)
(4.94)
(25.66)
259.55
(4.51)
44.87
RANG DAN JASA
44.81
19.32
14.89
(4.46)
(1.93)
14.53
5,340.49
283.06
(8.26)
(37.86)
(67.84)
1,101.92
14.05
51.99
23.37
36.27
28.97
30.93
DAK LANGSUNG :
8.45
44.25
42.08
58.99
30.19
36.79
GAWAI
8.45
44.25
42.08
58.99
30.19
36.79
15.65
54.07
18.67
29.44
28.52
29.27
31.07
(19.65)
13.17
203.72
33.62
52.39
1.64
80.22
31.15
(7.96)
15.28
24.07
252.96
272.86
(37.42)
(25.62)
150.12
122.58
(7.64)
(19.01)
35.84
12.58
55.97
15.55
10.72
(9.59)
39.81
(85.14)
20.54
(4.73)
(45.39)
(58.25)
-
244.61
43.46
36.89
BAH
-
-
-
-
9,284.64
1,856.93
NTUAN SOSIAL
-
-
-
-
(22.98)
(4.60)
NTUAN KEUANGAN KEPADA
-
-
-
-
10.32
2.06
GAWAI RANG DAN JASA ODAL
KEMASYARAKATAN ERTRANS (DINAS TENAGA KERJA DAN TRANS &
NGSUNG :
ODAL
MD & KPM)
NGSUNG : GAWAI RANG DAN JASA ODAL
IDAK LANGSUNG NON PEGAWAI (LAIN-LAIN) GI HASIL KEPADA PROVINSI/ /KOTA DAN PEMERINTAHAN DESA DAK TERDUGA
AB/KOTA DAN PEMERINTAHAN
35.30
29.59
34.34
24.94
19.59
26.81