PENGARUH PAJAK DAERAH, RETRIBUSI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP ALOKASI BELANJA MODAL
Diah Sulistyowati Dosen Pembimbing : Drs. Dul Muid, M.Si., Akt
ABSTRACT This research is aimed to analyze the influence of Regional Taxes, Regional Retribution, General Allocation Fund, and Specific Allocation Fund toward the Allocation of Capital Expenditure. Capital expenditure has important role in operating government system that is to increase public prosperity and as a form of good governance. The samples which are use in this research are regency/municipality of Java and Bali that report routine the realization report of the estimate income of regional expense (APBD) from 2007 until 2010 for Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah. Based on that criteria, samples which are use in this research are 168 regencies/municipalities. The instrument that use is multiple regression. The result of this research shows that regional taxes, regional retribution, and general allocation fund has positive influence toward the allocation of capital expenditure. Besides specifiic allocation fund has negative influence toward the allocation of capital expenditure.
Password : Regional Taxes, Regional Retribution, General Allocation Fund, Specific Allocation Fund, Capital Expenditure, Good Governance, the realization report of the Estimate Income of Regional Expense (APBD)
1
I. PENDAHULUAN
Pemerintah melakukan reformasi di bidang Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Keuangan pada tahun 1999. Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004) dan UU No. 25 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No. 33 Tahun 2004). Dalam UU No. 32 Tahun 2004 dijelaskan mengenai pembagian dan pembentukan daerah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersifat otonom dan menerapkan asas desentralisasi. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dimana Pemerintah Daerah mempunyai wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri baik dari sektor keuangan maupun dari sektor nonkeuangan. Dalam Khusaini (2006), asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan menurut UU No. 22 tahun 1999 mencakup paling tidak 4 hal yaitu: 1.
Memberikan
kesempatan
dan
keleluasaan
kepada
daerah
untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Keleluasaan otonomi artinya mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. 2.
Otonomi
yang
nyata,
artinya
daerah
punya
keleluasaan
untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada, dibutuhkan, tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. 3.
Otonomi yang bertanggung jawab, berarti sebagai konsekuensi logis dari pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam pemberian pelayanan kepada publik dan peningkatan kesejahteraan bagi rakyat di daerahnya.
4.
Otonomi untuk daerah provinsi diberikan secara terbatas yaitu (a) kewenangan lintas kabupaten/kota; (b) kewenangan yang belum dilaksanakan oleh kabupaten/kota; (c) kewenangan lainnya menurut PP No.25 tahun 2000.
2
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah Daerah menyusun anggaran yang kemudian dijadikan pedoman dalam menjalankan berbagai aktivitasnya. Anggaran dalam Pemerintah Daerah biasa disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Seluruh penerimaan dan pengeluaran Pemerintahan Daerah baik dalam bentuk uang, barang dan/jasa pada tahun anggaran yang berkenaan harus dianggarkan dalam APBD (Kawedar dkk, 2008). APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah (Darise, 2008). Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah dalam organisasi sektor publik adalah mengenai pengalokasian anggaran. Pengalokasian anggaran merupakan jumlah alokasi dana untuk masing-masing program. Dengan sumber daya yang terbatas, Pemerintah Daerah harus dapat mengalokasikan penerimaan yang diperoleh untuk belanja daerah yang bersifat produktif. Belanja daerah merupakan perkiraan beban pengeluaran daerah yang dialokasikan secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi, khususnya dalam pemberian pelayanan umum (Kawedar dkk, 2008). Selama ini, Pemerintah Daerah lebih banyak menggunakan pendapatan daerah untuk keperluan belanja operasi daripada belanja modal. Pemerintah Daerah harus mampu mengalokasikan anggaran belanja modal dengan baik karena belanja modal merupakan salah satu langkah bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan pelayanan kepada publik. Untuk dapat meningkatkan pengalokasian belanja modal, maka perlu diketahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap pengalokasian belanja modal, seperti pajak daerah, retribusi daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dalam
mengelola
keuangannya,
Pemerintah
Daerah
harus
dapat
menerapkan asas kemandirian daerah dengan mengoptimalkan penerimaan dari sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan Pemerintah Daerah yang berasal dari daerah itu sendiri berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah (Kawedar, 2008).
3
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan 2 sumber PAD yang terbesar. Setiap daerah mempunyai dasar pengenaan pajak yang berbeda-beda tergantung dari kebijakan Pemerintah Daerah setempat. Untuk daerah dengan kondisi perekonomian yang memadai, akan dapat diperoleh pajak yang cukup besar. Tetapi untuk daerah tertinggal, Pemerintah Daerah hanya dapat memungut pajak dalam jumlah yang terbatas. Demikian halnya dengan retribusi daerah yang berbeda-beda untuk tiap daerah. Kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari daerah sangat tergantung pada kemampuan merealisasikan potensi ekonomi tersebut menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan (Darwanto dan Yulia Yustikasari, 2007). Pendelegasian wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah disertai dengan pengalihan dana, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia. Pengalihan dana dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah diwujudkan dalam bentuk dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana yang bersumber dari APBN yang disalurkan ke Pemerintah Daerah untuk mengatasi kesenjangan keuangan antardaerah. Fungsi DAU sebagai pemerataan kapasitas fiskal (Darise, 2008). DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah (Darise, 2008). Dana dari Pemerintah Pusat digunakan oleh Pemerintah Daerah secara efektif dan efisien untuk meningkatkan pelayanan kepada publik (dapat digunakan untuk meningkatkan belanja modal). Pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya dapat dilihat dari seberapa besar daerah akan memperoleh dana perimbangan, tetapi hal tersebut harus diimbangi dengan sejauh mana instrumen atau sistem pengelolaan keuangan daerah mampu memberikan nuansa manajemen keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab (Darise, 2008). Pelaksanaan pemerintahan
4
yang bertanggung jawab dan transparan akan mewujudkan terciptanya good governance. Menurut World Bank, good governance merupakan suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, dan menjalankan disiplin anggaran. Pengalokasian dana investasi merupakan suatu aktivitas pendanaan, dimana pendapatan yang diperoleh Pemerintah Daerah digunakan untuk membiayai sejumlah kegiatan yang manfaatnya dapat dirasakan dalam jangka panjang. Salah satu bentuk pengalokasian dana investasi dalam sistem pemerintahan adalah belanja modal.
Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: pertama, apakah pajak daerah berpengaruh terhadap alokasi belanja modal? Kedua, apakah retribusi daerah berpengaruh terhadap alokasi belanja modal? Ketiga, apakah Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh terhadap alokasi belanja modal? Keempat, apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh terhadap alokasi belanja modal? Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris pada: 1.
Pengaruh Pajak Daerah terhadap alokasi belanja modal
2.
Pengaruh Retribusi Daerah terhadap alokasi belanja modal
3.
Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap alokasi belanja modal
4.
Pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap alokasi belanja modal
5
II. TELAAH PUSTAKA 1.1. Anggaran Daerah Berbasis Kinerja Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran (Mardiasmo, 2004). Dalam Ghozali (2008), anggaran pemerintah merupakan dokumen formal hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan pemerintah dan pendapatan yang diharapkan untuk menutup keperluan belanja tersebut atau pembiayaan yang diperlukan bila diperkirakan akan defisit atau surplus. Anggaran yang disusun oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah akan disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan yaitu untuk memberikan pelayanan dan kesejahteraan bagi rakyat. Anggaran daerah merupakan instrumen yang dapat menjamin terciptanya disiplin dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan pendapatan maupun belanja daerah (Rohman, 2009). Sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2003, penyusunan anggaran daerah atau sering disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan pendekatan anggaran berbasis kinerja. Menurut Warsito Kawedar dkk (2008), dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan. Hal ini disebut dengan anggaran berbasis kinerja (ABK). Dalam Warsito Kawedar (2008) disebutkan bahwa penyusunan APBD harus berorientasi pada anggaran berbasis kinerja yaitu suatu pendekatan penganggaran yang mengutamakan keluaran atau hasil dari program dan kegiatan yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Jadi ABK dalam pemerintahan daerah yang dimaksud yaitu Pemerintah Daerah merencanakan terlebih dahulu program yang akan dijalankan, kemudian menganggarkan semua belanja yang dibutuhkan, dan terakhir merencanakan penerimaan untuk dapat menjalankan program tersebut.
6
1.2. Proses Penyusunan APBD Proses
penyusunan
APBD
diawali
dengan
penyusunan
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk periode 1 tahun. Berdasarkan RKPD tersebut, Pemerintah Daerah (Pemda) menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang akan dijadikan dasar dalam penyusunan APBD. Kemudian Pemerintah Daerah menyusun Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) untuk selanjutnya diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Setelah PPAS telah disetujui DPRD, maka disusunlah Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang kemudian disahkan menjadi APBD.
1.3. Hubungan Keagenan Dalam Sektor Publik Teori keagenan merupakan suatu hubungan yang terjalin berdasarkan kontrak perjanjian antara 2 pihak atau lebih dimana pihak pertama disebut prinsipal dan pihak yang lainnya disebut dengan agen. Prinsipal merupakan pihak yang bertindak sebagai pemberi perintah dan bertugas untuk mengawasi, memberikan penilaian dan masukan atas tugas yang telah dijalankan oleh agen. Sedangkan agen adalah pihak yang menerima dan menjalankan tugas sesuai dengan kehendak prinsipal. Menurut Lane (2003a) dalam Halim (2006), teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik. Menurut Andvig et al. (2001) dalam Halim (2008), principal-agent model merupakan rerangka analitik yang sangat berguna dalam menjelaskan masalah insentif dalam institusi publik dengan dua kemungkinan kondisi, yakni (1) terdapat beberapa prinsipal dengan masingmasing tujuan dan kepentingan yang tidak koheren dan (2) prinsipal juga bisa bertindak tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat, tetapi mengutamakan kepentingannya yang sifatnya lebih sempit. Hubungan keagenan dalam pemerintahan dijalankan berdasarkan peraturan daerah dan bukan semata-mata hanya untuk memenuhi kepentingan prinsipal saja. Hal ini dikarenakan ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam membangun suatu daerah. Jadi
7
tujuan prinsipal harus mengiringi tujuan untuk mengembangkan suatu daerah dan untuk membuat rakyatnya sejahtera. Teori keagenan dalam sektor publik merupakan sistem keagenan yang bertingkat. Bertingkat yang dimaksudkan disini adalah karena hubungan keagenan dalam pemerintahan terjadi dalam dua bentuk, yaitu:
1.3.1. Hubungan Keagenan antara Legislatif dan Eksekutif Dalam perspektif keagenan sektor publik, legislatif (DPRD) merupakan pihak yang berperan sebagai prinsipal dan eksekutif (Pemda) bertindak sebagai agen. Anggaran daerah disusun oleh Pemda sesuai dengan program yang akan dijalankan. Setelah anggaran disusun dalam bentuk RAPBD, kemudian RAPBD tersebut diserahkan kepada DPRD untuk kemudian diperiksa. Jika RAPBD yang telah diajukan Pemda tersebut dianggap telah sesuai dengan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah), maka DPRD akan mengesahkannya menjadi APBD. APBD tersebut yang akan menjadi alat kontrol bagi DPRD untuk memantau kinerja Pemda.
1.3.2. Hubungan Keagenan antara Legislatif dan Publik Dalam hal memberikan pelayanan kepada publik, legislatif (DPRD) bertindak sebagai agen dan publik (rakyat) bertindak sebagai prinsipal. Legislatif merupakan perwakilan dari rakyat yang dipercaya untuk dapat menjalankan tugasnya dalam mensejahterakan rakyat dan mengembangkan daerahnya. Legislatif bertindak berdasarkan keinginan rakyat dan rakyat memantau kinerja dari legislatif. Jadi walaupun di satu sisi legislatif menjadi prinsipal, tapi dalam hubungannya dengan publik, legislatif bertindak sebagai agen. Sehingga dalam menjalankan tugasnya, legislatif menempatkan dirinya sebagai pihak yang menerima tugas dari publik, kemudian melakukan pendelegasian tugas kepada eksekutif untuk melakukan penganggaran.
8
Hipotesis Penelitian Salah satu sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Dari beberapa komponen PAD tersebut, pajak dan retribusi daerah mempunyai kontribusi terbesar dalam memberikan pendapatan bagi daerah. Pajak daerah merupakan PAD yang tarifnya ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda). Pajak daerah dapat berupa pajak hotel, pajak restoran, pajak tempat hiburan, pajak reklame, pajak galian golongan C, pajak parkir, dan pajak penerangan jalan. Menurut Sianturi (2009), terdapat keterkaitan antara pajak daerah dengan alokasi belanja modal. Semakin besar pajak yang diterima oleh Pemerintah Daerah, maka semakin besar pula PAD. Pemerintah Daerah mempunyai wewenang untuk mengalokasikan pendapatannya dalam sektor belanja langsung ataupun untuk belanja modal. Berdasarkan landasan teori tersebut, hipotesis dapat dinyatakan sebagai berikut : H1 : Pajak Daerah berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal Peningkatan pelayanan kepada masyarakat dapat ditingkatkan apabila pendapatan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah juga memadai. Meskipun Pemerintah Daerah mendapatkan bantuan dana dari Pemerintah Pusat, namun Pemerintah Daerah juga tetap harus dapat mengoptimalkan potensi daerahnya untuk dapat meningkatkan PAD. Dengan meningkatnya PAD maka daerah tersebut akan menjadi daerah yang mandiri sesuai dengan tujuan otonomi daerah. Kemandirian daerah dapat diwujudkan dengan salah satu cara yaitu dengan meningkatkan PAD dari sektor retribusi daerah. Jika retribusi daerah meningkat, maka PAD juga akan meningkat sehingga dapat meningkatkan pengalokasian belanja modal untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dalam Harianto (2007) disebutkan bahwa pendapatan asli daerah yang semakin tinggi akan
merangsang
pemerintah
daerah
untuk
lebih
meningkatkan
mutu
pelayanannya kepada publik. Landasan teori tersebut menghasilkan hipotesis sebagai berikut : H2 : Retribusi Daerah berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal.
9
Sumber pendapatan daerah yang memiliki peran penting dalam memberikan pendapatan bagi daerah selain PAD adalah dana perimbangan. Dana perimbangan meliputi Dana Bagi Hasil Pajak/Non-Pajak, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima Pemerintah Daerah dapat dialokasikan untuk belanja modal. Penelitian HoltzEakin et. Al. (1985) dalam Darwanto (2007) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari Pemerintah Pusat dengan belanja Pemerintah Daerah. Meskipun otonomi daerah telah diberlakukan sejak lama, namun kenyataannya masih terdapat beberapa Kab/Kota yang masih menggantungkan sumber pendanaan pemerintahan daerahnya pada dana perimbangan (dana transfer dari Pemerintah Pusat). Misalnya Kab Cilacap pada tahun 2009 mempunyai PAD Rp 100.784.000.000,00 dan DAU sebesar Rp 782.157.000.000,00. Berdasarkan nilai tersebut dapat dilihat bahwa Kab Cilacap mempunyai nilai DAU yang lebih besar daripada PAD, ini berarti Kab. Cilacap masih sangat tergantung pada dana perimbangan dari Pemerintah Pusat. Besarnya nilai DAU dipastikan akan menambah jumlah pendapatan Pemerintah Daerah. Berdasarkan landasan teori tersebut, dapat menghasilkan hipotesis sebagai berikut: H3 : Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal Sumber dana perimbangan yang kedua adalah dana lokasi khusus. Dengan adanya DAK, maka membantu mengurangi beban biaya kegiatan khusus yang ditanggung oleh Pemerintah Daerah. Lembaga penelitian SMERU (2008), mengungkapkan bahwa sumber pendanaan untuk belanja modal salah satunya berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK). Landasan teori tersebut menghasilkan hipotesis sebagai berikut: H4 : Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal
10
III. METODE PENELITIAN 1.1. Sampel dan Data Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia. Sedangkan sampel yang digunakan adalah Kab/Kota di Jawa dan Bali. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan metode purposive sampling. Kriteria yang digunakan adalah Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali yang telah memasukkan data Laporan Realisasi APBD (sektor pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan belanja modal) di situs Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah secara rutin dari tahun 2007 hingga 2010 .
1.2. Definisi Operasional Variabel Belanja modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi 1 tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum (Halim, 2004). Dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah, disebutkan bahwa pajak daerah yang selanjutnya disebut sebagai pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan pembangunan daerah. Dalam UU No. 34 Tahun 2000 disebutkan bahwa retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antarDaerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN,
11
yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu (UU No. 33 Tahun 2004).
1.3. Kerangka Pemikiran Belanja daerah yang seringkali lebih diperhatikan adalah pengalokasian terhadap belanja operasi. Padahal untuk pengalokasian belanja modal merupakan hal yang penting karena belanja modal pemerintah daerah difokuskan untuk menambah aset daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan terhadap publik. Variabel-variabel dari APBD yang berhubungan dengan pengalokasian belanja modal diantaranya adalah dari sektor pendapatan asli daerah yaitu pajak daerah dan retribusi daerah. Alasan pengambilan 2 variabel ini adalah karena pajak daerah dan retribusi daerah merupakan 2 variabel yang sangat berpengaruh besar terhadap penerimaan yang didapatkan daerah. Sedangkan dari sektor dana perimbangan, variabel yang berpengaruh adalah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Berdasarkan uraian di atas maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pajak Daerah
Retribusi Daerah Belanja Modal Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Khusus 12
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengujian hipotesis yang pertama adalah uji asumsi klasik. Pengujian asumsi klasik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji normalitas, uji multikolonieritas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas. Hasil uji asumsi klasik penelitian ini adalah sebagai berikut:
4.1. Hasil Uji Asumsi Klasik 4.1.1. Hasil Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah data terdistribusi secara normal atau tidak. Penelitian ini menggunakan 2 cara untuk mengetahui tingkat distribusi data yang digunakan. Kedua cara tersebut yaitu grafik distribusi (normal probably plot dan histogram) dan analisis statistik. Salah satu cara termudah untuk melihat normalitas residual adalah dengan melihat grafik histogram yang membandingkan antara data observasi dengan distribusi yang mendekati distribusi normal (Ghozali, 2006). Berdasarkan histogram (gambar 2), dapat dilihat bahwa kenaikan/penurunan data observasi mendekati garis melengkung yang menggambarkan distribusi normal.
Gambar 2 Hasil Uji Normalitas : Histrogram
13
Cara yang lebih baik dalam menentukan tingkat kenormalan distribusi data selain menggunakan histogram adalah dengan melihat grafik normal probably plot. Berdasarkan hasil uji normalitas dengan menggunakan normal probably plot (gambar 3), dapat dilihat bahwa data (titik) menyebar secara teratur di sekitar garis diagonal. Hal ini menunjukkan bahwa data yang digunakan terdistribusi secara normal sehingga model regresi memenuhi asumsi klasik. Hasil ini sesuai dengan hasil yang diperoleh dengan melihat histogram.
Gambar 3 Hasil Uji Normalitas : Grafik Normal Probably Plot
Uji normalitas dengan menggunakan grafik distribusi merupakan suatu cara yang sangat sederhana dalam menentukan tingkat distribusi data. Untuk memberikan hasil yang lebih valid, maka uji normalitas juga dilakukan dengan menggunakan analisis statistik. Analisis statistik ini bertujuan untuk memperkuat hasil yang diperoleh dari grafik distribusi. Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik nonparametrik Kolmogorov-Smirnov (K-S).
14
Tabel 1 Hasil Uji Normalitas : Kolmogorov-Sminov One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N Normal Parameters
168 a
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
.0000000 .41915672
Absolute
.049
Positive
.049
Negative
-.048
Kolmogorov-Smirnov Z
.641
Asymp. Sig. (2-tailed)
.806
Hasil uji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov (K-S) pada tabel 1 menunjukkan nilai 0,641 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,806. Karena hasil Kolmogorov-Smirnov menunjukkan signifikansi diatas 0,05 (sebesar 0,806) maka hal tersebut menunjukkan bahwa data residual terdistribusi secara normal. Hasil uji ini memperkuat hasil uji normalitas dengan grafik distribusi dimana keduanya menunjukkan hasil bahwa data terdistribusi secara normal.
4.1.2. Hasil Uji Multikolonieritas Uji multikolonieritas dilakukan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan korelasi antarvariabel independen. Jika tidak terjadi korelasi antarvariabel independen maka dapat dikatakan bahwa model regresi tersebut baik. Untuk mengetahui adanya multikolonieritas, dapat dilihat dari nilai Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF). Nilai cut-off yang biasa dipakai untuk menunjukkan adanya multikolonieritas adalah nilai tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10.
15
Tabel 2 Hasil Uji Multikolonieritas Coefficients
Model 1
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
(Constant)
a
Std. Error
4.549
1.042
Pajak
.235
.033
Retribusi
.128
DAU DAK
Beta
Collinearity Statistics t
Sig.
Tolerance
VIF
4.366
.000
.496
7.085
.000
.590
1.694
.054
.164
2.361
.019
.602
1.662
.300
.100
.211
3.008
.003
.590
1.694
-.020
.056
-.023
-.362
.717
.733
1.364
a. Dependent Variable: Belanja.Modal
Berdasarkan hasil uji multikolonieritas (tabel 2), dapat dilihat bahwa nilai tolerance pajak sebesar 0,590, retribusi 0,602, DAU 0,590, dan DAK 0,733. Keempat variabel independen dalam penelitian ini memiliki nilai tolerance diatas 0,10 yang berarti bahwa tidak terjadi korelasi antarvariabel independen. Hasil yang sama dilihat dari nilai VIF keempat variabel independen yang menunjukkan angka dibawah 10 (pajak 1,694, retribusi 1,662, DAU 1,694 dan DAK 1,364). Jadi dapat disimpulkan bahwa model regresi terbebas dari multikolonieritas antarvariabel. 4.1.3. Hasil Uji Autokorelasi Autokorelasi menunjukkan adanya korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Untuk mendeteksi adanya autokorelasi, digunakan pengujian Durbin-Watson dengan ketentuan sebagai berikut:
16
Tabel 3 Pengambilan Keputusan Autokorelasi Hipotesis nol Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada autokorelasi negatif Tidak ada autokorelasi negatif Tidak ada autokorelasi, positif atau negatif
Keputusan Tolak No decision Tolak No decision Tidak ditolak
Jika 0
Tabel 4 Hasil Uji Autokorelasi : Durbin-Watson b
Model Summary
Std. Error of the Model
R
1
R Square .839
a
Adjusted R Square
.703
.696
Estimate
Durbin-Watson
102927.888
1.817
a. Predictors: (Constant), Dana_Alokasi_Khusus, Retribusi_Daerah, Dana_Alokasi_umum, Pajak_Daerah b. Dependent Variable: Belanja_Modal
Berdasarkan hasil pengujian autokorelasi (Tabel 4), maka dapat dilihat bahwa nilai Durbin-Watson adalah sebesar 1,817. Nilai tersebut akan dibandingkan dengan nilai tabel dengan tingkat signifikansi 5%, jumlah sampel 168 dan jumlah variabel independen 4 (k=4). Oleh karena nilai DW 1,817 lebih besar dari batas atas (du) 1,788 dan kurang dari (4-du) 2,212, maka keputusannya adalah H0 tidak ditolak. Maka kesimpulan yang dapat diambil adalah tidak terdapat autokorelasi (sesuai dengan tabel pengambilan keputusan).
4.1.4. Hasil Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. (Ghozali, 2006). Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heteroskedastisitas.
17
Gambar 4 Hasil Uji Heteroskedastisitas
Hasil uji heteroskedastisitas dengan scatterplot menunjukkan titik-titik yang menyebar secara tidak beraturan di sekitar angka 0 pada sumbu Y. Dengan demikian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi, sehingga model regresi layak digunakan
4.2. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda 4.2.1. Koefisien Determinasi Hasil nilai adjusted R-Square (R2) dari regresi digunakan untuk mengetahui besarnya struktur modal yang dipengaruhi oleh variabel-variabel independen.
18
Tabel 5 Hasil Uji Koefisien Determinasi
Model Summary Std. Error of the Model 1
R
R Square .839a
Adjusted R Square
.703
.696
Estimate 102927.888
a. Predictors: (Constant), Dana_Alokasi_Khusus, Retribusi_Daerah, Dana_Alokasi_umum, Pajak_Daerah
Sumber : Data Sekunder diolah (SPSS 16.0)
Berdasarkan hasil pengujian koefisien determinasi dalam tabel 5, dapat dilihat bahwa besarnya Adjusted R2 adalah 0,696. Hal ini berarti 69,6% variasi belanja modal dapat dijelaskan oleh 4 variabel independen yaitu pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Sedangkan sisanya (100% - 69,6% = 30,4%) dijelaskan oleh sebab-sebab lain di luar model.
4.2.2. Hasil Uji Signifikansi Simultan (Uji f) Uji f atau uji ANOVA bertujuan untuk menguji hubungan antara satu variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen. ANOVA digunakan untuk mengetahui pengaruh utama (main effect) dan pengaruh interaksi (interaction effect) dari variabel independen kategorikal (sering disebut faktor) terhadap variabel dependen metrik (Ghozali, 2006). Pengambilan keputusannya adalah jika probabilitas uji f > taraf signifikansi 5% maka secara simultan variabel-variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.
19
Tabel 6 Hasil Uji f ANOVAb Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
32.822
4
8.206
Residual
29.341
163
.180
Total
62.163
167
F 45.585
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), DAK, Retribusi, DAU, Pajak b. Dependent Variable: Belanja.Modal
Sumber : Data Sekunder diolah (SPSS 16.0)
Berdasarkan hasil uji ANOVA atau uji f (tabel 6), diperoleh f hitung sebesar 45.585 dengan nilai probabilitas 0,000 (signifikan). Karena nilai probabilitas lebih kecil daripada 0,05, maka model regresi dapat digunakan untuk memprediksi belanja modal atau dapat dikatakan bahwa pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus secara simultan dengan taraf signifikansi 5% mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap belanja modal.
4.2.3. Hasil Uji Signifikansi Parsial (Uji t) Uji statistik t menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2006).
20
Tabel 7 Hasil Uji t Coefficientsa
Model 1
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B (Constant)
Std. Error 4.549
1.042
Pajak
.235
.033
Retribusi
.128
DAU DAK
Collinearity Statistics
Beta
t
Sig.
Tolerance
VIF
4.366
.000
.496
7.085
.000
.590
1.694
.054
.164
2.361
.019
.602
1.662
.300
.100
.211
3.008
.003
.590
1.694
-.020
.056
-.023
-.362
.717
.733
1.364
a. Dependent Variable: Belanja.Modal
Sumber : Data Sekunder diolah (SPSS 16.0)
Berdasarkan hasil uji t, dapat dilihat bahwa dari keempat variabel independen yang dimasukkan ke dalam model regresi, variabel dana alokasi khusus (DAK) tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas untuk dana alokasi khusus sebesar 0,717 yang jauh di atas taraf signifikansi 0,05. Sedangkan variabel pajak daerah, retribusi daerah, dan dana alokasi umum berpengaruh signifikan terhadap belanja modal, dengan nilai probabilitas masing-masing 0,000, 0,019, dan 0,003. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa variabel belanja modal dipengaruhi oleh pajak daerah, retribusi daerah, dan dana alokasi umum dengan persamaan sistematis sebagai berikut: Alokasi Belanja Modal = 4,549 + 0,235Pajak + 0,128Retribusi + 0,300DAU 0,020 DAK Keterangan : Pajak
: Pajak Daerah
Retribusi
: Retribusi Daerah
DAU
: Dana Alokasi Umum
DAK
: Dana Alokasi Khusus 21
Persamaan tersebut dapat diartikan: Konstanta (nilai mutlak Y) sebesar 4,549 menyatakan bahwa jika variabel independen dianggap konstan, maka alokasi belanja modal tiap daerah sebesar 4,549 (dalam jutaan rupiah). Koefisien regresi Pajak sebesar 0,235 menyatakan bahwa setiap ada kenaikan pajak sebesar 1% maka akan meningkatkan belanja modal sebesar 0,235 atau sebesar 23,5%. Koefisien regresi Retribusi sebesar 0,128 menyatakan bahwa setiap ada kenaikan retribusi sebesar 1% maka akan meningkatkan belanja modal sebesar 0,128 atau 12,8%. Koefisien regresi Dana Alokasi Umum sebesar 0,300 menyatakan bahwa setiap ada kenaikan dana alokasi umum sebesar 1% maka akan meningkatkan belanja modal sebesar 0,300 atau 30%.
4.3. Pembahasan Berdasarkan pengujian t yang telah dilakukan, maka berikut ini adalah ringkasan hasil pengujian hipotesis:
Tabel 4.8 Ringkasan Hasil Uji Hipotesis No Hipotesis H1 Pajak Daerah berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal H2 Retribusi Daerah berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran belanja modal H3 Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran belanja modal H4 Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran belanja modal
Hasil Uji Diterima Diterima Diterima Ditolak
22
Berdasarkan hasil uji t di atas, dapat dilihat bahwa nilai B untuk variabel pajak daerah pada kolom unstandardized coefficients menunjukkan nilai yang positif yaitu 0,235 dan nilai probabilitas untuk variabel pajak daerah adalah 0,000. Karena nilai probabilitas ini lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05, maka kesimpulannya adalah pajak daerah secara individual mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Pada tabel 7, dapat dilihat bahwa Nilai B untuk retribusi daerah menunjukkan nilai yang positif yaitu sebesar 0,128. Nilai probabilitas retribusi daerah sebesar 0,019. Karena nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05. Ini berarti retribusi daerah secara individual mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Dengan demikian maka kesimpulannya adalah hipotesis 2 diterima. Pada output regresi dapat dilihat bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai nilai B yang positif yaitu 0,300 dan nilai probabilitas sebesar 0,003. Nilai probabilitas ini lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa dana alokasi umum secara individual berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Sehingga dapat dikatakan bahwa hipotesis 3 diterima. Pada output regresi dapat dilihat bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) mempunyai nilai B yang negatif yaitu -0,020. Nilai probabilitas untuk dana alokasi khusus adalah sebesar 0,717. Nilai probabilitas ini jauh melebihi taraf signifikansi 0,05 sehingga kesimpulannya adalah dana alokasi khusus secara individual tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Ini berarti hipotesis 4 ditolak. Dalam UU No.34 Tahun 2004, Pemerintah Pusat belum memiliki persentase yang pasti mengenai alokasi DAK untuk Pemerintah Daerah. PP No. 55/2005 menyebutkan bahwa besaran DAK dalam APBN ditentukan setiap tahun dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Alokasi DAK ini hanya merupakan “residu” sebab besaran alokasi transfer lainnya (DAU dan DBH) sudah ditentukan persentasenya dalam UU sehingga penetapannya akan didahulukan (Poesoro, 2008).
23
V. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan pengujian statistik dengan menggunakan regresi linier berganda, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Pajak daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. Sehingga apabila terjadi kenaikan pada pajak daerah, maka akan meningkatkan alokasi belanja modal.
2.
Retribusi daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. Sehingga apabila terjadi kenaikan pada retribusi daerah, maka akan meningkatkan alokasi belanja modal.
3.
Dana Alokasi Umum (DAU) daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. Sehingga apabila terjadi kenaikan pada DAU, maka akan meningkatkan alokasi belanja modal.
4.
Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap alokasi belanja modal. Sehingga apabila terjadi kenaikan pada DAK, maka tidak akan mempengaruhi alokasi belanja modal.
5.
Pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap belanja modal.
Keterbatasan Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan, diantaranya adalah: 1.
Periode penelitian hanya 4 tahun yaitu dari tahun 2007 sampai tahun 2010 sehingga mempengaruhi hasil yang diperoleh.
2.
Data realisasi anggaran tahun 2010 merupakan data yang sifatnya masih sementara, sehingga belum dapat menggambarkan secara penuh kondisi realisasi APBD untuk tahun tersebut.
3.
Variabel independen yang digunakan hanya terbatas pada komponen yang tercantum dalam laporan realisasi anggaran, tanpa menambahkan variabel lain di luar laporan realisasi anggaran
24
Saran 1.
Untuk Pemerintah Daerah sebaiknya lebih memperhatikan bagaimana meningkatkan pajak daerah, retribusi daerah, dan dana alokasi umum agar pengalokasian anggaran ke belanja modal juga dapat meningkat.
2.
Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya menggunakan rentang waktu penelitian yang lebih panjang agar memperoleh hasil yang lebih relevan.
3.
Penambahan variabel baru sebagai variabel independen maupun variabel dependen sangat penting untuk melengkapi hasil penelitian terdahulu.
25
VI. REFERENSI
Agustina, Wiwit, 2009, Pengaruh Pendapatan Domestik Regional Bruto, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Transfer Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal, Tesis Program Pasca Sarjana Megister Sains Akuntansi Universitas Diponegoro, (tidak dipublikasikan) Bastian, Indra, 2006, Akuntansi Sektor Publik : Suatu Pengantar, Erlangga, Jakarta Bastian, Indra, 2006, Sistem Akuntansi Sektor Publik Edisi 2, Salemba Empat, Jakarta Darise, Nurlan, 2008, Akuntansi Keuangan Daerah (Akuntansi Sektor Publik), PT Indeks, Jakarta Darwanto dan Yulia Yustikasari, 2007, “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal”, Simposium Nasional Akuntansi X Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, “Data Series Keuangan Daerah”, http://www.djpk.depkeu.go.id Ghozali, Imam, 2006, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS : Cetakan IV, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang Ghozali, Imam, 1993, Pokok-Pokok Akuntansi Pemerintahan : Edisi 3, BPFE, Yogyakarta Ghozali, Imam, Dwi Ratmono, 2008, Akuntansi Keuangan Pemerintah Pusat (APBN) dan Daerah (APBD), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang Halim, Abdul, 2004, Akuntansi Keuangan Daerah : Edisi Revisi, Salemba Empat Halim, Abdul & Syukriy Abdullah, 2006, Hubungan dan masalah keagenan di pemerintahan daerah: sebuah peluang penelitian anggaran dan akuntansi, Jurnal Akuntansi Pemerintah 2(1): 53-64 Halim, Abdul & Syukriy Abdullah, 2006, Study atas Belanja Modal pada Anggaran Pemerintah Daerah Dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan dan Sumber Pendapatan, Jurnal Akuntansi Pemerintah Vol.2 No.2
26
Harianto, David dan Priyo Hari Adi, “Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Perkapita” Simposium Nasional Akuntansi X, Unhas Makassar, 26-28Juli 2007 Kawedar, Warsito, Abdul Rohman dan Sri Handayani, 2008, Akuntansi Sektor Publik : Buku 1, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang Khusaini, Mohammad, 2006, Ekonomi Publik Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang Maimunah, Mutiara, “Flypaper Effect Pada Dana Aloaksi Umum (DAU) Dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah Pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera”, Simposium Nasional Akuntansi IX, Padang, 23-26 Agustus 2006 Mardiasmo, 2004, Akuntansi Sektor Publik, Penerbit ANDI, Yogyakarta Mardiasmo, 2006, Perwujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik : Suatu Sarana Good Governance, Jurnal Akuntansi Pemerintah, Vol.2, No.1, Hal 1-17 Poesoro, Adri, 2008, Mekanisme Penetapan Alokasi DAK, Lembaga Penelitian, SMERU, http://www.smeru.or.id Prawira, Vidi Yudha, 2009, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Pada Pemerintah Kab/Kota di Jawa Tengah, Skripsi Program Sarjana Ekonomi Universitas Diponegoro, (tidak dipublikasikan) Robert D Mason, Douglas A.Lind, 1999, Teknik Statistika untuk Bisnis dan Ekonomi : Jilid 2, Erlangga, Jakarta Rohman, Abdul, 2009, Akuntansi Sektor Publik, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang Santosa, Purbayu Budi dan Ashari, 2005, Analisis Statistik dengan Microsoft Excel dan SPSS, Penerbit ANDI, Yogyakarta Sianturi, Agave, 2010, Pengaruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pengalokasian Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, Skripsi Program Sarjana Ekonomi Universitas Sumatera Utara
27
Singgih, Santoso. 2000. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: Elex Media Komputindo ________ . PP No 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan ________ . UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ________ . UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ________ . UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ________ . UU No 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah
28