BAB V KAJIAN KEBIJAKAN ALTERNATIF ALOKASI BELANJA DAERAH
5.1.
Perkembangan APBD Kabupaten Bogor selama Periode 2003-2008 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana
keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Sementara belanja daerah adalah semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah, sedangkan pembiayaan daerah adalah semua transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus. Berdasarkan pengertian dan batasan di atas, maka pencantuman target pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah dalam dokumen APBD, bukanlah sekedar angka-angka nominal uang, melainkan harus benar-benar diperhitungkan secara cermat, terukur, rasional, memiliki dasar hukum penerimaannya dan yang tidak kalah pentingnya adalah alokasi anggarannya sedapat mungkin dapat dicapai selama satu tahun anggaran, agar pada akhir periode perencanaan atau pada akhir tahun anggaran, kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana ketentuan yang berlaku. Struktur APBD kabupaten/kota di Indonesia, termasuk Kabupaten Bogor mengalami perubahan beberapa kali sesuai dengan dasar hukum yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Struktur APBD kabupaten/kota yang berlaku pada periode 2003-2008, didasarkan pada dua ketentuan : (1) Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri)
Nomor
29
tahun
2002
tentang
Pedoman
Pengurusan,
Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan
Perhitungan APBD. Kepmendagri ini mulai berlaku pada tahun anggaran 2003 hingga tahun anggaran 2006; (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 tahun 2006 dan disempurnakan lagi dengan Permendagri Nomor 59 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan APBD. Permendagri ini mulai berlaku sejak tahun anggaran 2007 hingga sekarang ini. Perbandingan antara keduanya dapat dilihat pada tabel 11. Tabel 11 : Permendagri No I. 1.1.
1.2.
1.3.
II. 2.1.
Perbandingan Struktur APBD Menurut Kepmendagri dan
Kepmendagri Nomor 29 Pendapatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 1.1.1.Hasil Pajak Daerah 1.1.2.Hasil Retribusi Daerah 1.1.3.Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 1.1.4.Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah Dana Perimbangan (DP) 1.2.1. Dana Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak 1.2.2. Dana Alokasi Umum (DAU) 1.2.3. Dana Alokasi Khusus (DAK) Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (LPDS) 1.3.1 Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah lainnya 1.3.2 Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah lainnya. 1.3.3. Dana Bagi Hasil Retribusi dari Provinsi atau Pemerintah Daerah lainya. 1.3.4. Dana Penyesuaian dan otonomi Khusus Belanja Belanja Aparatur Daerah 2.1.1. Belanja Administrasi Umum 2.1.2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan 2.1.3. Belanja Modal 2.1.4. 2.1.5. 2.1.6. -
2.2.
2.3. 2.4. III. 3.1.
3.2.
2.1.7. Belanja Pelayanan Publik 2.2.1. Belanja Administrasi Umum 2.2.1. Belanja Operasi dan Pemeliharaan 2.2.3. Belanja Modal Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Belanja Tidak Terduga Surplus/(Defisit) Pembiayaan Penerimaan Pembiayaan 3.1.1.Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran Sebelumnya (SiLPA) 3.1.2. Transfer dari Dana Cadangan 3.1.3. Penerimaan Piutang Daerah 3.1.4. Hasil penjualan Aset Daerah yang Dipisahkan Pengeluaran Pembiayaan 3.2.1. Transfer ke Dana Cadangan
Permendagri Nomor 13 dan Nomor 59 Pendapatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 1.1.1. Hasil Pajak Daerah 1.1.2. Hasil Retribusi Daerah 1.1.3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 1.1.4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah Dana Perimbangan (DP) 1.2.1. Dana Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak 1.2.2. Dana Alokasi Umum (DAU) 1.2.3. Dana Alokasi Khusus (DAK) Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (LPDS) 1.3.1 Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah lainnya 1.3.2 Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah lainnya. 1.3.3. Dana Bagi Hasil Retribusi dari Provinsi atau Pemerintah Daerah lainya. 1.3.4. Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau Belanja Belanja Tidak Langsung (BTL) 2.1.1. Belanja Pegawai 2.1.2. Belanja Subsidi 2.1.3. Belanja Hibah 2.1.4. Belanja Bantuan Sosial 2.1.5.Belanja Bagi Hasil kepada Provinsi/ Kabupaten/Kota dan Pemerintahan desa 2.1.6.Belanja Bantuan Keuangan kepada Provinsi/ Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Desa 2.1.7. Belanja Tidak Terduga Belanja Langsung (BL) 2.2.1. Belanja Pegawai 2.2.1. Belanja Barang dan Jasa 2.2.3. Belanja Modal 2.3. 2.4. Surplus/(Defisit) Pembiayaan Penerimaan Pembiayaan 3.1.1.Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran Sebelumnya (SiLPA) 3.1.2. Pencairan Dana Cadangan 3.1.3. Penerimaan Piutang Daerah 3.1.4. Pengeluaran Pembiayaan 3.2.1. Pembentukan Dana Cadangan 3.2.2. Penyertaan Modal (Investasi) Daerah
3.3.
3.2.4. Pengeluaran Pihak Ketiga 3.2.5.Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan (SILPA) Pembiayaan Netto
3.2.3. Pembayaran Utang 3.2.4. Pembiayaan Netto Sisa Lebih Pembiayaan Berkenaan (SILPA)
Anggaran
Pada tabel 11 di atas, komponen dari struktur APBD yang paling banyak mengalami perubahan adalah komponen belanja daerah, sedangkan komponen pendapatan daerah dan pembiayaan daerah hanya mengalami perubahan pada istilah atau nomenklatur beserta penempatannya dalam urutan struktur APBD, tetapi tidak merubah keseluruhan substansi atau makna yang terkandung didalamnya. Untuk komponen belanja daerah, perubahan yang terjadi, yaitu : 1. Dalam Kepmendagri Nomor 29 tahun 2002, belanja daerah terdiri dari 4 jenis, yaitu Belanja Aparatur Daerah, Belanja Pelayanan Publik, Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan serta Belanja Tidak Terduga. Nomenklatur Belanja Aparatur Daerah dan Belanja Pelayanan Publik pertama kali diperkenalkan dalam ketentuan tersebut, sebagai pengganti dari istilah Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan yang pernah berlaku selama ini hingga tahun anggaran 2003. Batasan dari Belanja Aparatur Daerah adalah bagian belanja yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik), sedangkan Belanja Pelayanan Publik adalah bagian belanja yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik). Jadi, pada batasan tersebut, terdapat pemisahan yang tegas antara fungsi alokasi anggaran yang ditujukan untuk aparatur maupun masyarakat (publik), sehingga memudahkan bagi setiap pihak untuk memilah mengenai hasil, manfaat maupun dampak dari alokasi APBD yang benar-benar dinikmati secara langsung oleh aparatur maupun masyarakat (publik). 2. Sementara itu, dalam Permendagri Nomor 13 tahun 2006 dan Permendagri Nomor 59 tahun 2007, komponen belanja daerah terdiri dari Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL). Kelompok BTL merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, terdiri dari jenis Belanja Pegawai, Belanja Bunga, Belanja Subsidi, Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, Belanja Bagi Hasil,
Tahun
Belanja Bantuan Keuangan dan Belanja Tidak Terduga, sedangkan kelompok BL merupakan belanja yang dianggarkan untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah di masing-masing alokasi belanja SKPD berkenaan, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya serta urusan wajib dan urusan pilihan yang menjadi kewenangan daerah, terdiri dari jenis belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal. Jika dicermati lebih lanjut, maka jenis Belanja Pegawai dalam Permendagri Nomor 13 dan Nomor 59 seringkali dianggap sama dengan Belanja Aparatur Daerah, sedangkan jenis belanja diluar itu, yaitu, “Belanja Tidak Langsung Non Pegawai (BTL-Non Pegawai), seperti Belanja Bunga, Belanja Subsidi, Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, Belanja Bagi Hasil, Belanja Bantuan Keuangan dan Belanja Tidak Terduga, jika dilihat dari fungsi belanjanya termasuk kedalam batasan Belanja Pelayanan Publik menurut Kepmendagri Nomor 29. Jadi, Belanja Pelayanan Publik saat ini dapat dimaknai sebagai gabungan dari seluruh jenis Belanja Langsung, kemudian ditambah dengan “Belanja Tidak Langsung NonPegawai” sebagaimana dinyatakan di atas, karena fungsi belanjanya dirasakan secara langsung oleh masyarakat (publik), baik hasil, manfaat maupun dampaknya. Untuk itu, pembahasan perkembangan APBD selanjutnya, akan menggunakan pengertian dan batasan menurut struktur APBD yang telah ditetapkan dalam Permendagri Nomor 13 tahun 2006 dan Permendagri Nomor 59 tahun 2007 tersebut. Selama periode 2003-2008, perkembangan APBD Kabupaten Bogor, baik berkenaan dengan pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah beserta masing-masing komponennya dapat dilihat pada tabel 12. Tabel 12 : Struktur APBD Kabupaten Bogor berdasarkan Rencana APBD 20032008 No.
Uraian
Rencana APBD Kabupaten Bogor periode 2003-2008 (Rp. 000,-) 2003
2004
2005
2006
2007
2008
I.
Pendapatan 1.1 PAD 1.2 DP 1.3 LPDS
832.049.101 142.756.041 654.302.720 34.990.340
907.117.331 155.818.029 705.569.302 45.730.000
1.043.646.043 194.224.904 753.846.544 95.574.595
1.327.186.588 222.372.952 976.418.324 128.395.312
1.566.952.830 267.698.550 1.129.919.521 169.334.759
1.770.368.794 290.940.055 1.269.110.457 210.318.282
II.
Belanja 2.1 BTL 2.2 BL
915.081.238 553.430.343 361.650.895
1.043.243.987 553.672.951 489.571.036
1.154.473.800 520.049.207 634.424.593
1.438.060.735 662.490.584 775.570.151
1.711.239.501 863.694.752 847.544.749
2.094.413.998 1.193.992.591 900.421.407
III.
Surplus/Defisit
- 83.032.137
- 136.126.656
- 110.827.757
- 110.874.147
- 144.286.671
- 324.045.204
Pembiayaan 3.1.Penerimaan 3.2.Pengeluaran
83.032.137 156.487.147 73.455.010
136.126.656 183.959.591 47.832.935
110.827.757 162.798.502 51.970.745
110.874.147 219.039.460 108.165.313
144.286.671 197.486.671 53.200.000
324.045.204 346.295.204 22.250.000
Pembiayaan 83.032.137 136.126.656 110.827.757 110.874.147 144.286.671 324.045.204 Netto Sumber : Diolah dari Buku APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008 Ket : PAD = Pendapatan Asli Daerah; DP = Dana Perimbangan; LPDS = Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah BTL = Belanja Tidak Langsung; untuk tahun anggaran 2003-2006, sama dengan Belanja Aparatur Daerah BL = Belanja Langsung
Sejak tahun anggaran 2003, Pemerintah Kabupaten Bogor telah menggunakan pendekatan anggaran defisit dalam struktur APBD-nya, yaitu selisih kurang antara pendapatan daerah dan belanja daerah. Penggunaan pendekatan anggaran defisit dimaksudkan untuk membedakannya
dengan
struktur APBD yang telah berlaku sebelum tahun anggaran 2003, yaitu dengan pendekatan anggaran berimbang dan dinamis. Pada
tabel 12 di atas, tampak
bahwa jumlah pendapatan daerah lebih kecil daripada belanja daerah, sehingga terjadi defisit anggaran pada setiap tahun anggaran, dengan nilai defisit yang terus meningkat, yaitu semula defisitnya sebesar Rp. 83,032 miliar pada tahun 2003, kemudian meningkat menjadi Rp. 324,045 miliar pada tahun 2008, berarti bertambah sebesar
Rp. 241,013 miliar atau rata-rata naik sebesar Rp. 48,20
miliar atau naik 40,02 % pada setiap tahun anggaran selama periode 2003-2008. Pendekatan tersebut, tidak menjadi masalah sepanjang nilai defisitnya masih mampu ditutup dari pembiayaan netto yang terdapat dalam pembiayaan daerah. Sebagaimana terlihat pada tabel 12, bahwa rencana defisit anggaran telah diantisipasi dengan jumlah pembiayaan netto yang sama dengan jumlah defisit pada tahun anggaran yang berkenaan. Namun demikian, jika rencana defisit anggaran yang telah ditetapkan itu, dikaji berdasarkan batas maksimal yang diperkenankan oleh Menteri Keuangan RI, yaitu sebesar 4,5 % dari total pendapatan daerah, maka penentuan jumlah defisitnya telah melampaui ketentuan tersebut, karena proporsi defisitnya berada pada kisaran
terendah sebesar 8,35 %
pada tahun 2006 dan tertinggi sebesar 18,30 % pada tahun 2008.
Dengan struktur anggaran seperti di atas, sesungguhnya masih terdapat pula kelemahan lainnya, yaitu adanya kesulitan bagi pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mengetahui secara tepat berapa jumlah nominal dari APBD Kabupaten Bogor, apakah hanya didasarkan pada jumlah pendapatan daerah semata atau hanya menggunakan jumlah nominal yang tertera dalam belanja daerah. Untuk itu, saat ini telah dikembangkan konsep volume APBD, yang dihitung berdasarkan pada dua cara, yaitu : (1) penjumlahan dari pendapatan daerah dengan penerimaan pada komponen pembiayaan daerah atau (2) penjumlahan dari belanja daerah dengan pengeluaran pada komponen pembiayaan daerah. Berdasarkan cara perhitungan tersebut, maka volume APBD Kabupaten Bogor selama periode 2003-2008 dapat dikelompokkan kembali sebagaimana pada tabel 13 berikut ini.
Tabel 13 : Rencana Volume APBD Kabupaten Bogor periode tahun 2003-2008 No
Uraian
Rencana Volume APBD Kabupaten Bogor periode 2003-2008 (Rp. 000,-) 2003
2004
2005
2006
2007
2008
I.
Pendapatan Penerimaan Jumlah
832.049.101 156.487.147 988.536.248
907.117.331 183.959.591 1.091.076.922
1.043.646.043 162.798.502 1.206.444.545
1.327.186.588 219.039.460 1.546.226.048
1.566.952.830 197.486.671 1.764.439.501
1.770.368.794 346.295.204 2.116.663.998
II.
Belanja Pengeluaran Jumlah
915.081.238 73.455.010 988.536.248
1.043.243.987 47.832.935 1.091.076.922
1.154.473.800 51.970.745 1.206.444.545
1.438.060.735 108.165.313 1.546.226.048
1.711.239.501 53.200.000 1.764.439.501
2.094.413.998 22.250.000 2.116.663.998
Sumber : Diolah dari Buku APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
Dengan konsep volume APBD seperti pada tabel 8, maka pemangku kepentingan akan mudah untuk mengetahui jumlah atau volume APBD pada setiap tahun anggaran, baik dilihat dari sisi pendapatan daerah maupun dari sisi belanja daerah, karena jumlah nominalnya adalah sama besarnya.
Dengan
demikian, dapat dinyatakan bahwa volume APBD Kabupaten Bogor pada tahun anggaran 2003 berjumlah Rp. 988,536 miliar, kemudian bertambah pada setiap tahun anggaran hingga mencapai Rp. 2,116 triliun pada tahun anggaran 2008, artinya selama periode 2003-2008 telah terjadi kenaikan APBD Kabupaten Bogor sebesar Rp. 1,128 triliun atau jika dihitung per tahun anggaran, maka rata-rata
jumlahnya Rp. 225,625 miliar
atau naik sekitar 22,82 % pada setiap tahun
anggaran.
5.1.1. Perkembangan Pendapatan Daerah Untuk menilai perkembangan pendapatan daerah Kabupaten Bogor selama periode 2003-2008, secara sederhana dapat ditinjau dari tiga sisi, yaitu : (1) kenaikan target pendapatan daerah setiap tahun anggaran; (2) over target pendapatan daerah yang telah dicapai pada setiap tahun anggaran dan (3) rasio kecukupan penerimaan (Revenue Adequasy Ratio) antara jumlah PAD terhadap total pendapatan daerah. Data mengenai perkembangan target pendapatan daerah selama periode 2003-2008 dapat dilihat pada tabel 14. Tabel 14 : Kenaikan Target Pendapatan Daerah selama Periode 2003-2008 No
Tahun
Target Pendapatan
Kenaikan
Prosentase
(Rp. 000,-)
(Rp. 000,-)
(%)
1. 2003 832.049.101 2. 2004 907.117.331 75.068.230 3. 2005 1.043.646.043 136.528.712 4. 2006 1.327.186.588 283.540.545 5. 2007 1.566.952.830 239.766.242 6. 2008 1.770.368.794 203.415.964 Sumber : Diolah dari Buku APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
9,02 15,05 27,17 18,07 12,98
Selama periode 2003-2008, target pendapatan daerah mengalami kenaikan yang berfluktuatif, terendah 9,02 % pada tahun 2004 dan tertinggi 27,17 % pada tahun 2006. Tetapi, jika dihitung secara rata-rata maka kenaikannya sebesar Rp. 187,663 miliar atau naik sekitar 16,46 %. Kenaikan tersebut, dikontribusikan oleh kenaikan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) rata-rata sebesar 17,16 %, Dana Perimbangan (DP) sebesar 62,92 %, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (LPDS) sebesar 19,92 % dari target pendapatan daerah selama periode 20032008. Sementara itu, jika dilihat dari over target pendapatan daerah selama periode 2003-2008, maka secara keseluruhan pada setiap tahun anggaran, kondisinya menunjukkan over target atau terlampauinya seluruh target pendapatan daerah pada akhir tahun anggaran, dengan over target berkisar dari terendah 101,64 % pada tahun 2003 hingga tertinggi 109,25 % pada tahun 2004. Hal ini berarti bahwa selama periode 2003-2008, over target pendapatan daerah hanya
berada pada kisaran terendah sebesar 1,64 % hingga tertinggi sebesar 9,25 %. Kondisi over target ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya : 1. Penetapan target pendapatan daerah yang terlalu rendah (under estimate), karena ada unsur kesengajaan atau ada yang sudah diketahui potensinya tetapi masih ditutupi dengan pertimbangan tertentu maupun data potensinya tidak akurat. Sikap ini kemudian diikuti dengan mencoba-coba mengusulkan target pendapatan
daerah
menurut
pengalaman
tahun
sebelumnya,
dengan
menambahkan jumlah tertentu atau prosentase tertentu, asalkan lebih tinggi daripada tahun sebelumnya, dengan harapan pada akhir tahun anggaran dapat tercapai sebagaimana yang diharapkan. 2. Adanya tambahan alokasi penerimaan pendapatan bagi Kabupaten Bogor yang berasal dari pemerintah pusat maupun provinsi, namun seringkali terlambat diterima (karena turunnya ketika perubahan APBD pada triwulan akhir bulan Oktober-Desember), sehingga meskipun sudah dialokasikan kembali kedalam komponen belanja daerah, tetapi karena proses pengadaan barang dan jasanya melebihi tahun anggaran yang berjalan, maka penerimaan dimaksud tidak dapat terserap dan dikembalikan ke kas daerah, sehingga pada akhir tahun anggaran seolah-olah telah terjadi over target pendapatan daerah. 3. Adanya upaya intensifikasi dan ekstensifikasi atas pemungutan pajak maupun retribusi daerah, sehingga beberapa obyek pajak maupun retribusi daerah mengalami kenaikan yang cukup signifikan dan berakibat pada pelampauan target yang telah ditetapkan. 4. Adanya strategi atau taktik dari SKPD penghasil untuk melampaui target yang telah ditetapkan, meskipun jumlah nominalnya relatif sangat kecil (asalkan jumlahnya telah berada sedikit di atas target), agar citra SKPD penghasil di mata Bupati atau DPRD Kabupaten Bogor termasuk kategori baik. Data mengenai pelampauan target atau over target pendapatan daerah selama periode 2003-2008 di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada tabel 15. Tabel 15 : Over Target Pendapatan Daerah selama Periode 2003-2008 No
1. 2. 3.
Tahun
2003 2004 2005
Target
Realisasi
Over Target
(Rp. 000,-)
(Rp. 000,-)
(Rp. 000,-)
832.049.101 907.117.331 1.043.646.043
845.677.874 991.060.451 1.087.081.933
13.628.773 83.943.120 43.435.890
Prosentase (%) 101,64 109,25 104,16
4. 2006 1.327.186.588 1.350.725.674 23.539.086 101,77 5. 2007 1.566.952.830 1.624.534.357 57.581.527 103,67 6. 2008 1.770.368.794 1.870.406.933 100.038.139 105,65 Sumber : Diolah dari Buku Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
Sisi lainnya untuk menilai kemajuan pendapatan daerah di Kabupaten Bogor adalah dengan melihat rasio kecukupan penerimaan (Revenue Adequacy
Ratio) antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Total Pendapatan Daerah selama periode 2003-2008.
Pada tabel 15, tampak bahwa rasio kecukupan
penerimaan Kabupaten Bogor ditinjau dari realisasi PAD terhadap realisasi total pendapatan daerah selama periode 2003-2008 masih berada di bawah 20 %, berarti Kabupaten Bogor belum memenuhi persyaratan minimal sebagai daerah yang telah memiliki kemandirian keuangan daerah di era otonomi daerah saat ini. Kondisi ini disebabkan adanya tambahan kenaikan dari PAD (sebagai pembilang) setiap tahun anggaran yang relatif kecil, sementara tambahan kenaikan dari gabungan Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah relatif besar, sehingga berpengaruh terhadap kenaikan total pendapatan daerah (sebagai penyebut). Berkaitan dengan itu, ketika dilakukan perhitungan rasio kecukupan penerimaan, maka nilainya masih berada pada kisaran sebesar 16,34 % - 18,34 % atau atau rata-rata 17,13 %, berarti hal tersebut belum termasuk kategori daerah yang mandiri, karena kontribusi PAD-nya dibawah 20 % sebagaimana standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Dengan kata lain, Pemerintah
Kabupaten Bogor masih tinggi ketergantungannya terhadap alokasi dana dari pemerintah pusat maupun provinsi, terlihat dari kontribusi dana perimbangan beserta lain-lain pendapatan daerah yang sah yang mencapai di atas 80 % dari total pendapatan daerah Kabupaten Bogor. Rincian datanya disajikan pada tabel 16. Tabel 16 : Rasio Kecukupan Penerimaan (Revenue Adequacy Ratio) PAD terhadap Total Pendapatan Daerah selama Periode 2003-2008 No
Tahun
Realisasi Total Pendapatan Daerah
Realisasi PAD (Rp. 000,-)
(Rp. 000,-) 1. 2. 3.
2003 2004 2005
845.677.874 991.060.451 1.087.081.933
Rasio Kecukupan Penerimaan (%)
148.921.781 166.260.112 199.424.944
17,61 16,78 18,34
4. 2006 1.350.725.674 230.103.978 17,04 5. 2007 1.624.534.357 265.375.124 16,34 6. 2008 1.870.406.933 311.519.251 16,66 Sumber : Diolah dari Buku Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
5.1.2. Perkembangan Belanja Daerah Selama periode 2003-2008, belanja daerah Kabupaten Bogor menurut rencana yang telah ditetapkan dalam APBD Kabupaten Bogor, yaitu berjumlah sebesar Rp. 915,081 miliar pada tahun 2003, kemudian bertambah menjadi sebesar Rp. 2,094 triliun pada tahun 2008, berarti ada kenaikan sebesar Rp. 1,179 triliun selama lima tahun atau rata-rata per tahun sebesar Rp. 235,866 miliar. Jika diperhatikan kenaikan pada setiap tahun anggaran, maka kenaikannya berkisar antara 10,66 % sampai dengan 24,56 % atau rata-rata naik sekitar 18,12 % selama periode 2003-2008. Rincian datanya dapat dilihat pada tabel 17. Tabel 17 : Kenaikan Rencana Belanja Daerah selama Periode 2003-2008 No
Tahun
Rencana Belanja
Kenaikan
Prosentase
(Rp. 000,-)
(Rp. 000,-)
(%)
1. 2003 915.081.238 2. 2004 1.043.243.987 128.162.749 3. 2005 1.154.473.800 111.229.813 4. 2006 1.438.060.735 283.586.935 5. 2007 1.711.239.501 273.178.766 6. 2008 2.094.413.998 383.174.497 Sumber : Diolah dari Buku APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
14,01 10,66 24,56 18,99 22,39
Jika ditinjau dari realisasi belanja daerah selama periode 2003-2008, tampak bahwa tingkat penyerapan anggaran belanja daerah tidak memuaskan, karena tidak dapat direalisasikan seluruhnya sebagaimana rencana alokasi yang telah ditetapkan. Sebagai gambaran bahwa rata-rata penyerapan anggarannya adalah 88,71 % selama periode 2003-2008, dimana penyerapan anggaran terendah terjadi pada tahun 2008 sebesar 83,98 % dan penyerapan anggaran tertinggi terjadi pada tahun 2004 sebesar 93,45 %. Kondisi ini berimplikasi pada terjadinya sisa lebih anggaran pada setiap akhir tahun anggaran, dimana selama periode dimaksud, rata-rata sisa lebih anggaran sebesar Rp. 165,266 miliar atau sekitar 11,29 % dari total rencana belanja daerah yang telah dialokasikan dalam APBD Kabupaten Bogor. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat
penyerapan anggaran atau tingginya sisa lebih anggaran pada setiap tahun anggaran, diantaranya : 1. Adanya upaya efisiensi atas seluruh kelompok belanja, baik Belanja Tidak Langsung (BTL) maupun Belanja Langsung (BL), seperti upaya penghematan atas pengeluaran belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal, karena semua pengeluarannya benar-benar didasarkan pada biaya nyata atau biaya riil selama pelaksanaan operasional SKPD serta pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan. 2. Adanya sisa anggaran lelang/tender, sisa pemilihan langsung atau pun sisa penunjukkan langsung dalam pengadaan barang dan jasa serta belanja modal, karena adanya selisih anggaran antara jumlah yang ditetapkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD dengan dokumen Surat Perjanjian Kerja (SPK) yang dilaksanakan oleh pemborong/penyedia barang dan jasa maupun konsultan. 3. Adanya program dan kegiatan pembangunan yang benar-benar tidak terealisasi hingga akhir tahun anggaran, disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : (1) kegiatan dimaksud terdapat kesalahan dalam administrasinya; (2) adanya kendala teknis ketika akan dilaksanakan, seperti kegiatan pembangunan jalan tetapi pembebasan tanahnya belum rampung seluruhnya hingga akhir tahun anggaran; (3) adanya bencana alam dan bencana sosial, sehingga jumlah anggaran dalam DPA tidak mencukupi lagi untuk kegiatan yang telah ditetapkan di calon lokasi yang terkena bencana tersebut; (4) adanya kesalahan penyusunan rencana anggaran, baik berkenaan dengan kode rekening, salah alokasi, keliru pencantuman lokasi kegiatan maupun kesalahan lainnya dalam proses pengadaannya, sehinga kegiatan tersebut ditunda/dibatalkan; (5) terbitnya ketentuan baru dari pemerintah pusat atau provinsi di akhir Triwulan IV atau melewati waktu perubahan APBD, sehingga menyulitkan bagi SKPD terkait, karena terbatasnya sisa waktu untuk merealisasikan kegiatan tersebut. Implikasi dari semua itu, yaitu terjadinya sisa lebih anggaran belanja yang terhimpun dalam kas daerah, sedangkan kegiatan pembangunan itu sendiri dilakukan verifikasi ulang, apakah akan dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya atau dibatalkan dan diganti dengan kegiatan yang lain sesuai dengan
keputusan dari Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Rincian sisa lebih anggaran belanja daerah selama periode 2003-2008 dapat dilihat pada tabel 18. Tabel 18 : Realisasi Belanja Daerah dan Sisa Lebih Anggaran selama Periode 2003-2008 No
Rencana Realisasi Prosentase Belanja Belanja Realisasi (Rp. 000,-) (Rp. 000,-) (%) 1. 2003 915.081.238 791.982.227 86,55 2. 2004 1.043.243.987 974.948.086 93,45 3. 2005 1.154.473.800 1.039.364.473 90,03 4. 2006 1.438.060.735 1.317.209.232 91,60 5. 2007 1.711.239.501 1.482.616.742 86,64 6. 2008 2.094.413.998 1.758.794.722 83,98 Sumber : Diolah dari Buku APBD dan Buku Pertanggungjawaban Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
5.2.
Tahun
Sisa Lebih (Rp. 000,-) 123.099.011 68.295.901 115.109.327 120.851.503 228.622.759 335.619.276 Pelaksanaan
Prosentase Sisa Lebih (%) 13,45 6,55 9,97 8,40 13,36 16,02 APBD
Analisis Konsistensi antara Perencanaan dan Penganggaran Analisis konsistensi antara perencanaan dan penganggaran didasarkan
pada analisis kesenjangan (gap analysis), yaitu sejauhmana perbedaan antara alokasi anggaran dalam dokumen rencana pembangunan tahunan daerah (KUA dan PPAS) yang telah disepakati dalam bentuk Nota Kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan DPRD Kabupaten Bogor dengan dokumen anggaran (dokumen APBD) yang telah mendapatkan Persetujuan Bersama antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan DPRD Kabupaten Bogor dalam Rapat Paripurna DPRD menjadi Peraturan Daerah (Perda) tentang APBD. Analisis kesenjangan dimaksud, ditinjau dari perbedaan jumlah maupun prosentase dari alokasi belanja dengan realisasi belanja, baik pada kelompok belanja maupun pada urusan pemerintahan/organisasi perangkat daerah (SKPD).
5.3.1. Analisis Kesenjangan Berdasarkan Kelompok Belanja Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kelompok belanja terdiri dari Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL).
Terdapat
kesenjangan antara alokasi BTL dan BL yang telah disepakati dalam dokumen KUA dan PPAS dengan realisasinya dalam dokumen APBD. Selama dua tahun anggaran, yaitu tahun 2007 dan 2008, rata-rata kesenjangannya dapat dilihat pada tabel 19.
Tabel 19 : Rata-rata Kesenjangan (gap) antara Rencana Alokasi Belanja Daerah ( BTL dan BL) dalam KUA dan PPAS Perubahan dengan Realisasi Belanja Daerah (BTL dan BL) dalam APBD Perubahan tahun anggaran 2007 dan 2008 No.
Uraian
% Alokasi
% Realisasi
Jlh Gap Anggaran
% Gap
(Rp. 000,-)
(+/-)
I.
Belanja Tidak Langsung (BTL)
960.616.885
1.028.843.672
68.226.787
6,63
A.
Belanja Pegawai
732.012.136
734.540.380
2.528.244
0,34
B.
BTL Non-Pegawai
228.604.750
294.303.292
65.698.543
22,32
1. Belanja Subsidi
-
-
-
-
2. Belanja Hibah
57.436.009
59.279.028
1.843.019
3,11
3. Belanja Sosial
Bantuan
75.439.299
82.295.869
6.856.570
8,33
4. Belanja Bagi Hasil
31.003.793
31.003.793
-
0,00
5. Belanja Bantuan Keuangan
49.725.650
58.801.272
9.075.622
15,43
6. Belanja Terduga
Tidak
15.000.000
62.923.332
47.923.332
76,16
Langsung
911.066.191
873.983.078
-37.083.113
-4,24
II.
Belanja (BL)
A.
Belanja Pegawai
144.287.787
144.054.739
-233.048
-0,16
B.
Belanja Barang dan Jasa
283.941.084
285.166.344
1.225.260
0,43
C.
Belanja Modal
482.837.320
444.761.996
-38.075.325
-8,56
1.871.683.076
1.902.826.749
31.143.674
1,64
Rata-rata Belanja Daerah tahun 20072008
Sumber : Diolah dari dokumen KUA dan PPAS Perubahan serta dokumen APBD Perubahan tahun anggaran 2007 dan 2008
Pada tabel di atas, terlihat bahwa terdapat kesenjangan (gap) antara rencana alokasi anggaran dalam KUA dan PPAS Perubahan dengan realisasinya dalam APBD Perubahan tahun anggaran 2007 dan 2008, yaitu rata-rata sebesar Rp. 31,143 miliar atau 1,64 % dari rata-rata realisasi APBD selama tahun anggaran 2007 dan 2008, terdiri dari kesenjangan yang cenderung bertambah pada Belanja Tidak Langsung sebesar Rp. 68,226 miliar atau naik
6,63 % dan
kesenjangan yang cenderung berkurang pada Belanja Langsung sebesar
Rp.
37,083 miliar atau turun 4,24 % (-4,24%), dengan penjelasan rinci berikut ini. Kesenjangan yang cenderung bertambah pada Belanja Tidak Langsung (BTL) dengan rata-rata sebesar Rp. 68,226 miliar atau naik 6,63 %, terdiri dari : 1.
Kesenjangan pada belanja pegawai yaitu sebesar Rp. 2,528 miliar atau naik 0,34 %, artinya jumlah realisasi belanja pegawai dalam APBD lebih besar daripada rencana alokasi belanja pegawai yang telah disepakati dalam KUA dan PPAS. Hal ini disebabkan ketika perumusan rencana alokasi belanja pegawai, khususnya untuk gaji dan tunjangan kesejahteraan pegawai, terdapat beberapa SKPD yang belum akurat perhitungan kebutuhan anggarannya, sehingga dilakukan penambahan sesuai dengan kebutuhan riilnya ketika perubahan APBD.
2.
Kesenjangan pada Belanja Tidak Langsung Non Pegawai (BTL Non Pegawai) mencakup
belanja hibah, bantuan sosial, bagi hasil, bantuan
keuangan dan belanja tidak terduga, adalah sebesar Rp. 65,698 miliar atau naik 22,32 %. Hal ini menunjukan bahwa jumlah realisasi BTL Non Pegawai dalam APBD lebih besar daripada rencana alokasi BTL Non Pegawai yang disepakati dalam KUA dan PPAS. Bilamana dirinci pada masing-masing komponennya, maka rata-rata kesenjangan yang cenderung bertambah, yaitu bervariasi dari 3,11 % hingga 76,16 %, dengan rincian sebagai berikut : a. Kesenjangan pada belanja hibah sebesar Rp. 1,843 miliar atau naik 3,11 %, yang disebabkan adanya tambahan alokasi belanja untuk kegiatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), dimana pada tahun anggaran 2008 terdapat agenda Pemilihan Umum Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) untuk pertama kalinya di Kabupaten Bogor dengan dua kali putaran, sehingga membutuhkan alokasi anggaran yang cukup besar untuk merealisasikan agenda putaran kedua dari Pemilukada tersebut. b. Kesenjangan pada belanja bantuan sosial sebesar Rp. 6,856 miliar atau naik 8,33 %, yang disebabkan adanya tambahan belanja bantuan sosial yang ditujukan untuk kegiatan keagamaan/sarana keagamaan, seperti bantuan untuk Grebeg Maulid, insentif guru ngaji, dan tambahan alokasi
untuk
bantuan
sarana
keagamaan
desa/kelurahan di 40 kecamatan.
(masjid,
musholla)
bagi
428
Selain itu, terdapat juga tambahan
alokasi untuk kelompok masyarakat, organisasi kemasyarakatan, bantuan sosial untuk masyarakat kurang mampu dan bantuan sosial untuk organisasi profesi, dimana kecenderungannya semakin tinggi selama periode 2007-2008 yang diindikasikan dengan banyaknya proposal permohonan bantuan sosial yang diajukan oleh masyarakat kepada Pemerintah Kabupaten Bogor. c. Kesenjangan
pada
belanja
bantuan
keuangan
kepada
kabupaten/kota/pemerintahan desa, yaitu sebesar Rp. 9,075 miliar atau naik 0,43 %. Hal ini disebabkan adanya tambahan bantuan keuangan kepada Kota Depok sesuai dengan perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan Kota Depok perihal pengelolaan aset PDAM yang dimiliki oleh Kabupaten Bogor yang berada di wilayah Kota Depok dan berimplikasi kepada kewajiban dari Pemerintah Kabupaten Bogor untuk memberikan transfer/bantuan keuangan kepada Pemerintah Kota Depok. Selain itu, adanya kenaikan jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, berimplikasi pula pada penambahan alokasi bantuan keuangan yang diterima oleh pemerintah desa melalui Alokasi Dana Desa (ADD), dengan ketentuan bahwa 10 % dari total DAU Kabupaten Bogor harus ditransfer kepada pemerintahan desa melalui ADD setelah dikurangi dengan total belanja pegawai, termasuk PNS maupun pegawai honorer daerah. Sementara itu, tambahan alokasi bantuan keuangan lainnya ditujukan pula untuk pemerintahan desa, meliputi bantuan untuk desa/kelurahan berprestasi/lunas PBB, juara lomba desa, dan bantuan keuangan untuk desa/kelurahan yang termasuk kategori pelaksana
terbaik
dalam
kegiatan
pembangunan
infrastruktur
desa/kelurahan. d. Belanja bagi hasil kepada pemerintahan desa tidak terdapat kesenjangan antara rencana alokasi dalam KUA dan PPAS dengan realisasi dalam APBD, karena dasar hitung untuk menentukannnya telah pasti, yaitu realisasi dari pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dicapai pada
tahun anggaran sebelumnya dan sesuai dengan yang tertera dalam Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor, sehingga bagi hasil kepada pemerintahan desa dapat dialokasikan dengan tepat. e. Kesenjangan pada belanja tidak terduga merupakan kesenjangan yang paling besar pada kelompok BTL Non Pegawai, yaitu sebesar Rp. 47,923 miliar atau naik 76,16 %. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) tambahan alokasi belanja untuk mengantisipasi kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang, seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk dalam pengertian ini adalah untuk tanggap darurat dalam rangka pencegahan gangguan terhadap stabilitas penyelenggaraan pemerintahan demi terciptanya keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat di daerah; (2) tambahan alokasi belanja untuk pengembalian atas kelebihan penerimaan
daerah
tahun-tahun
sebelumnya
yang
telah
ditutup
pembukuannya dan disertai dengan bukti-bukti yang sah. Pada belanja tidak terduga ini, termasuk juga penempatan sejumlah anggaran yang belum
mempunyai
atau
belum
terbit
dasar
hukumnya
untuk
pemanfaatannya berupa Juklak dan Juknis ketika penyusunan APBD, namun untuk memenuhi asas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, maka anggaran yang telah diterima dari pemerintah pusat dan provinsi itu harus tetap dicatatkan terlebih dahulu dalam belanja tidak terduga sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Oleh karena itu,
kesenjangan yang cenderung bertambah pada belanja tidak terduga akan semakin besar, sejalan dengan besarnya anggaran yang telah tersedia kredit anggarannya, tetapi belum jelas peruntukkannya karena juklak dan juknisnya tentang prosedur penggunaannya belum terbit secara bersamaan dari pemerintah pusat dan/atau dari pemerintah provinsi ketika dananya telah ada. Jika sudah jelas peruntukannya dan sudah terealisasi, maka pertanggungjawaban dari penggunaan belanja tidak terduga tersebut akan dialihkan administrasinya kepada belanja langsung sesuai dengan jenis penggunaannya.
Sementara itu, rata-rata kesenjangan yang cenderung berkurang pada Belanja Langsung (BL) secara kumulatif, yaitu Rp. 37,083 miliar atau turun 4,24 % (-4,24%), artinya realisasi BL yang disetujui dalam APBD lebih kecil daripada rencana alokasi BL yang telah disepakati dalam KUA dan PPAS. Bilamana dirinci pada masing-masing komponennya, maka kesenjangan yang cenderung berkurang, yaitu bervariasi dari -8,56 % hingga +0,43 %, dengan rincian sebagai berikut : 1.
Kesenjangan pada belanja pegawai rata-rata sebesar Rp 233,048 juta atau turun 0,16 %
(-0,16 %), disebabkan adanya pengurangan pada belanja
honorarium dan upah/gaji bagi pegawai pada setiap kegiatan, sehingga memenuhi standar harga yang berlaku. Sedangkan untuk belanja barang dan jasa terdapat kesenjangan sebesar Rp. 1,225 miliar atau naik 0,43 % (+0,43%), disebabkan adanya tambahan kebutuhan belanja barang pakai habis dan untuk kebutuhan perjalanan dinas di triwulan IV (bulan OktoberDesember) bagi semua SKPD sesuai dengan hasil evaluasi penggunaan dana pada semester I pelaksanaan APBD pada tahun anggaran berkenaan. Sementara itu, terdapat kesenjangan terbesar pada belanja modal dengan kecenderungan berkurang rata-rata sebesar Rp. 38,075 miliar atau turun 8,56 % (-8,56%), disebabkan adanya pengurangan dan penundaan jenis kegiatan fisik (belanja modal) dan pengadaan barang/aset di beberapa SKPD, karena dikhawatirkan tidak akan mencukupi waktunya untuk proses pengadaan barangnya maupun pelaksanaan konstruksinya, sehingga alokasi belanjanya dikurangi dan ditunda pelaksanaan hingga tahun anggaran yang akan datang. 2.
Keseluruhan kondisi yang dijelaskan di atas mengindikasikan bahwa Pemerintah Kabupaten Bogor dan DPRD Kabupaten Bogor pada tahun anggaran 2007 dan 2008, cenderung untuk merealisasikan tambahan alokasi Belanja Tidak Langsung, karena sudah ditetapkan secara quota terlebih dahulu, terutama untuk komponen BTL Non Pegawai daripada untuk menambah alokasi Belanja Langsung, terutama kegiatan fisik dan pengadaan barang/aset (belanja
modal),
sehingga
berimplikasi pada
terjadinya
kesenjangan antara rencana alokasi yang telah disepakati dalam dokumen KUA dan PPAS dengan realisasinya dalam dokumen APBD.
Hal ini
sesungguhnya tidak sejalan dengan prinsip yang berlaku umum dalam pengelolaan APBD, dimana belanja langsung yang memuat program dan kegiatan pembangunan untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan sesuai dengan lingkup tugas pokok dan fungsi dari masing-masing SKPD, semestinya dipenuhi terlebih dahulu alokasi anggarannya, sedangkan alokasi belanja tidak langsung non pegawai adalah urusan sisa (residu) yang dapat dibiayai dengan APBD Kabupaten Bogor bilamana keseluruhan alokasi anggaran untuk urusan wajib dan urusan pilihan telah terpenuhi terlebih dahulu sebagaimana rencana yang telah ditetapkan.
5.3.2. Analisis Kesenjangan Berdasarkan Urusan Pemerintahan/SKPD Analisis kesenjangan berdasarkan urusan pemerintahan/SKPD didasarkan pada perbedaan antara rencana alokasi belanja daerah dalam dokumen KUA dan PPAS dengan realisasi belanja daerah dalam dokumen APBD, khususnya pada Belanja Langsung (BL) sebagai contoh kasus dalam kajian ini, baik dilihat dari perbedaan jumlah alokasi maupun proporsinya pada tahun anggaran 2007 dan 2008.
Berdasarkan data pada tabel 20 bahwa terdapat kesenjangan yang
cenderung berkurang pada alokasi belanja belanja langsung dengan realisasinya sebesar Rp. 459,623 miliar atau turun 34,46 % (-34,46%). Jumlah atau proporsi kesenjangan yang relatif tinggi ini dipengaruhi oleh : 1. Rencana alokasi belanja langsung yang telah disepakati dalam dokumen KUA dan PPAS antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan DPRD Kabupaten Bogor masih dipandang sebagai pagu atau plafon anggaran sementara. Oleh karena itu, usulan belanja untuk masing-masing kegiatan dan program pembangunan belum didasarkan pada perhitungan tingkat kewajaran biaya atau analisis standar belanja yang memadai, sehingga jumlah belanjanya tidak mencerminkan kebutuhan yang wajar dari setiap urusan pemerintahan/SKPD. Selain itu, ketika penyusunan dokumen KUA dan PPAS tidak dilakukan seleksi dan verifikasi kembali oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) atas seluruh usulan belanja kegiatan yang telah dihimpun dalam dokumen RKPD, sehingga pagu anggaran atau plafon anggaran sementara untuk setiap kegiatan pembangunan relatif tinggi.
Hal ini bertitik-tolak dari sikap
pragmatis dari seluruh SKPD bahwa dokumen KUA dan PPAS sifatnya hanya
sementara, diindikasikan dari nama PPAS yang berarti “Prioritas dan Plafon
Anggaran Sementara”, dimana kepastian alokasi belanja untuk masing-masing kegiatan pembangunan, nantinya akan diperhitungkan secara wajar ketika penyusunan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD). Sikap dimaksud dipengaruhi juga oleh ketentuan dalam permendagri tentang pedoman penyusunan APBD bahwa adanya penambahan atau pengurangan kegiatan dan program serta pagu anggaran dapat dilakukan ketika proses pembahasan APBD, asalkan dalam Nota Kesepakatan KUA dan PPAS terlebih dahulu dicantumkan klausul yang menyatakan bahwa apabila terjadi pergeseran asumsi yang melandasi kesepakatan KUA dan PPAS, seperti adanya kebijakan pemerintah pusat dan provinsi bagi kabupaten/kota dan adanya
penambahan/pengurangan
sumber
pendapatan
daerah
setelah
ditandatanganinya Nota Kesepakatan KUA dan PPAS, dapat dilakukan penambahan atau pengurangan kegiatan dan program serta pagu anggaran apabila belum ditampung dalam Nota Kesepakatan (Permendagri Nomor 30 tahun 2007 dan Permendagri Nomor 32 tahun 2008). 2. Jumlah kegiatan dan program pembangunan beserta alokasi belanjanya kemungkinan telah diprediksi atau diproyeksi dengan tepat oleh TAPD, tetapi ketika memasuki tahapan pembahasan APBD, ternyata informasi tentang penetapan alokasi dana dari pusat dan bantuan dari provinsi jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan hasil prediksi atau proyeksi yang dilakukan oleh TAPD, sehingga terdapat kesenjangan yang cukup besar antara usulan yang akan dibiayai dari sumber dana APBN maupun APBD Provinsi dan karenanya dilakukan penyesuaian kembali menurut penetapan pagu yang telah diterbitkan oleh pemerintah pusat maupun provinsi tersebut.
Penjelasan rinci untuk
kesenjangan yang cenderung berkurang untuk belanja langsung dari setiap urusan pemerintahan/SKPD dapat dilihat pada tabel 20. Tabel 20 : Kesenjangan (gap) antara Alokasi Belanja Langsung (BL) dalam KUA dan PPAS dengan Realisasi Belanja Langsung (BL) dalam APBD menurut Urusan Pemerintahan/SKPD tahun anggaran 2007 dan 2008 No
A
Urusan Pemerintahan/ SKPD Urusan Wajib
Jumlah Alokasi (Rp.)
Jumlah Realisasi (Rp.)
Jumlah Gap
1.273.808.045.605
827.865.379.835
(445.942.665.770)
Gap (%)
(Rp.) (35,01)
1
2
3
4
5
6 7
8 9
10
11 12
13
14 15
B 1
2
387.780.598.120 383.758.040.120 4.022.558.000 218.148.849.150 138.725.793.650 36.409.180.000 43.013.875.500
145.429.174.055 142.490.112.385 2.939.061.670 117.418.282.735 57.079.469.060 31.649.754.675 28.689.059.000
(242.351.424.065) (241.267.927.735) (1.083.496.330) (100.730.566.415) (81.646.324.590) (4.759.425.325) (14.324.816.500)
(62,50) (62,87) (26,94) (46,18) (58,85) (13,07) (33,30)
372.120.546.000 302.595.005.000 69.525.541.000
345.029.208.995 306.947.284.385 38.081.924.610
(27.091.337.005) 4.352.279.385 (31.443.616.390)
(7,28) 1,44 (45,23)
6.561.490.000 6.561.490.000
3.647.968.660 3.647.968.660
(2.913.521.340) (2.913.521.340)
(44,40) (44,40)
15.679.122.500 15.679.122.500 33.015.825.150 33.015.825.150
10.899.562.550 10.899.562.550 20.003.213.300 20.003.213.300
(4.779.559.950) (4.779.559.950) (13.012.611.850) (13.012.611.850)
(30,48) (30,48) (39,41) (39,41)
17.077.619.500 17.077.619.500 9.228.492.375 9.228.492.375
10.119.524.940 10.119.524.940 5.270.911.395 5.270.911.395
(6.958.094.560) (6.958.094.560) (3.957.580.980) (3.957.580.980)
(40,74) (40,74) (42,88) (42,88)
3.722.805.500 3.722.805.500
2.605.591.155 2.605.591.155
(1.117.214.345) (1.117.214.345)
(30,01) (30,01)
2.848.795.000 2.848.795.000 11.533.028.460 11.533.028.460
2.326.229.560 2.326.229.560 7.857.375.545 7.857.375.545
(522.565.440) (522.565.440) (3.675.652.915) (3.675.652.915)
(18,34) (18,34) (31,87) (31,87)
34.033.721.000 23.913.392.500 10.120.328.500
13.556.709.050 8.002.282.515 5.554.426.535
(20.477.011.950) (15.911.109.985) (4.565.901.965)
(60,17) (66,54) (45,12)
138.341.643.600 -
124.946.309.270 -
(13.395.334.330) -
(9,68) -
93.743.749.350 14.888.276.500 5.510.244.500 11.801.084.750 12.398.288.500 13.117.495.500 13.117.495.500
76.501.505.825 16.010.873.095 5.509.288.180 15.007.134.220 11.917.507.950 11.204.842.465 11.204.842.465
(17.242.243.525) 1.122.596.595 (956.320) 3.206.049.470 (480.780.550) (1.912.653.035) (1.912.653.035)
(18,39) 7,54 (0,02) 27,17 (3,88) (14,58) (14,58)
10.598.013.750 10.598.013.750
7.550.476.160 7.550.476.160
(3.047.537.590) (3.047.537.590)
(28,76) (28,76)
59.798.348.245 31.181.996.245
46.117.698.165 24.080.280.080
(13.680.650.080) (7.101.716.165)
(22,88) (22,78)
1.1. Dstanhut
20.205.859.825
16.060.007.965
(4.145.851.860)
(20,52)
1.2. Disnakan Urusan ESDM
10.976.136.420 19.335.322.000
8.020.272.115 16.658.893.690
(2.955.864.305) (2.676.428.310)
(26,93) (13,84)
Urusan Pendidikan 1.1.Dinas Pendidikan 1.2. KAPD Urusan Kesehatan 2.1.Dinas Kesehatan 2.2.BRSD Cibinong 2.3.BRSD Ciawi Urusan Pekerjaan Umum 3.1. DBMP 3.2.Dinas Cipta Karya Urusan Penataan Ruang 4.1. DTR&LH Urusan Perencanaan Pembangunan 5.1.Bappeda Urusan Perhubungan 6.1.Dinas Perhubungan Urusan Kependudukan dan Catatan Sipil 7.1.Disdukcapil-KB Urusan Tenaga Kerja 8.1.Disnakertrans Urusan Koperasi dan UKM 9.1. Kankop UKM Urusan Penanaman Modal 10.1. KPMD Urusan Kebudayaan 11.1. Disbudpar Urusan Kesatuan Bangsa & Politik dalam Negeri 12.1.Kesbang Linmas 12.2. Satuan Pol PP Urusan Pemerintahan Umum 13.1. DPRD 13.2. KDH/WKDH 13.3. Sekretariat Daerah 13.4. Sekretariat DPRD 13.5. Bawasda 13.6. Kecamatan 13.7. Dispenda Urusan Kepegawaian 14.1. Badiklat Urusan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa 15.1. BPMKS Urusan Pilihan Urusan Pertanian
3
2.1.Dinas Pertambangan Urusan Perindustrian 3.1. Dinas Perindag Jumlah
19.335.322.000 9.281.030.000 9.281.030.000
16.658.893.690 5.378.524.395 5.378.524.395
(2.676.428.310) (3.902.505.605) (3.902.505.605)
(13,84) (42,05) (42,05)
1.333.606.393.850
873.983.078.000
(459.623.315.850)
(34,46)
Sumber : Hasil analisis
Bilamana diperhatikan pada masing-masing urusan pemerintahan/SKPD, maka kesenjangan yang terjadi dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok, yaitu : (1) kesenjangan yang cenderung bertambah atau gapnya bernilai positif (+) dan (2) kesenjangan yang cenderung berkurang atau gapnya bernilai negatif (-). Untuk kesenjangan yang cenderung bertambah atau gapnya positif, terdapat pada : 1. Urusan pekerjaan umum/Dinas Bina Marga dan Pengairan (DBMP), yaitu bertambahnya realisasi belanja langsung dalam APBD sebesar Rp. 4,352 miliar atau naik 1,44 % dari rencana alokasi belanja yang telah disepakati dalam KUA dan PPAS. Hal ini disebabkan adanya tambahan kegiatan pada DBMP sebanyak 47 kegiatan, yaitu dari rencana sebanyak 622 kegiatan dalam KUA dan PPAS, kemudian berubah menjadi 668 kegiatan pada dokumen APBD, diantaranya : (1) pembebasan tanah untuk ruas jalan Banjarwaru-Nagrog, kecamatan Ciawi; (2) pembebasan tanah untuk ruas jalan alternatif terminal Laladon; (3) pembebasan tanah untuk ruas jalan lingkar Leuwiliang; (4) peningkatan, rehabilitasi dan pemeliharaan ruas jalan kabupaten yang tersebar di 40 kecamatan. 2. Urusan pemerintahan umum/Sekretariat Dewan (Setwan) yaitu bertambahnya realisasi belanja langsung sebesar Rp. 1,122 miliar atau naik 7,54 % dari rencana alokasi belanja yang telah disepakati dalam KUA dan PPAS. Hal ini disebabkan adanya tambahan pengadaan mobil dinas/operasional dan mobil jabatan untuk pimpinan DPRD. 3. Urusan pemerintahan umum/Kecamatan yaitu bertambahnya realisasi belanja langsung sebesar Rp. 3,206 miliar atau naik 27,17 % dari rencana alokasi belanja yang telah disepakati dalam KUA dan PPAS. Hal ini disebabkan adanya tambahan biaya operasional untuk masing-masing kecamatan, yaitu semula sebesar Rp. 10 juta per bulan, kemudian bertambah menjadi sebesar
Rp. 15 juta per bulan, sejalan dengan adanya pelimpahan kewenangan untuk beberapa jenis urusan pemerintahan dari Bupati Bogor kepada Camat. Sementara itu, untuk kesenjangan yang cenderung berkurang atau gapnya negatif, terdapat pada : 1. Urusan pemerintahan/SKPD dengan gap negatif yang termasuk kategori rendah, yaitu sebesar 0,02 % - 18,39 %, terjadi pada 5 SKPD, diantaranya terjadi pada Badan Pengawasan Daerah (Bawasda), kemudian Badan Rumah Sakit Daerah Cibinong (BRSD Cibinong), Dinas Pertambagan, Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) hingga Sekretariat Daerah. 2. Urusan pemerintahan/SKPD dengan gap negatif
yang termasuk kategori
sedang, yaitu antara 20,52 % - 39,41 %, terjadi pada 9 SKPD, diantaranya Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut), kemudian Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakan), Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah (KAPD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Kantor Koperasi dan UKM (Kankop-UKM),
Kecamatan,
Badan
Pemberdayaan
Masyarakat
dan
Kesejahteraan Sosial (BPMKS) serta Dinas Perhubungan. 3. Urusan pemerintahan/SKPD dengan gap negatif yang termasuk kategori besar, yaitu antara 20,52 % - 39,41 %, terjadi pada 9 SKPD, diantaranya Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Cipta Karya, Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup (DTR & LH), Dinas Kependudukan Catatan Sipil dan KB (Disdukcapil-KB), Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Linmas), Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Diperindag). Untuk kesenjangan yang cenderung berkurang atau
gapnya negatif di atas mengungkapkan bahwa semakin besar proporsinya, semakin banyak kegiatan dan program pembangunan yang tidak mendapatkan alokasi belanja dalam APBD, berarti kegiatan dimaksud tidak dibiayai lagi untuk tahun anggaran yang berkenaan. Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu : (1) kegiatan dimaksud dibatalkan atau ditunda pelaksanaannya (didrop); (2) kegiatan dimaksud tetap disetujui untuk dialokasikan belanjanya, tetapi target kinerja/volumenya berkurang; (3) kegiatan tersebut disesuaikan kembali secara teknis, dalam arti dihitung
kembali antara standar harga yang digunakan dengan rencana output yang akan dihasilkan; (4) kegiatan dimaksud dilakukan penggantian, pergeseran maupun pemecahan
anggaran
ke
belanja
yang
relatif
kecil,
asalkan
dapat
mengakomodir sejumlah aspirasi yang terlanjur sudah dijanjikan, agar tetap dilaksanakan pada tahun anggaran yang berkenaan. Keseluruhan dari uraian di atas menunjukan bahwa tidak adanya konsistensi antara perencanaan dan pengganggaran belanja daerah selama tahun anggaran 2007 dan 2008. Hal itu ditunjukkan dari kesenjangan antara alokasi belanja daerah yang telah disepakati dalam dokumen KUA dan PPAS dengan realisasi belanja daerah dalam dokumen APBD, baik berdasarkan kelompok belanja, yakni Belanja Tidak Langsung (BTL) maupun Belanja Langsung (BL) serta kesenjangan yang terjadi pada urusan pemerintahan/SKPD. Kesenjangan dimaksud disebabkan oleh beberapa hal yaitu : (1) berkurangnya jumlah kegiatan, sehingga berimplikasi pada berkurangnya realisasi alokasi belanja dalam APBD; (2) bertambahnya jumlah kegiatan, sehingga berakibat pada bertambahnya realisasi alokasi belanja dalam APBD; (3) bertambahnya jumlah kegiatan dengan alokasi anggaran yang relatif kecil, sebagai akibat dilakukannya pergeseran, penggantian kegiatan atau pun penyesuaian kegiatan, dalam arti dilakukan pemecahan kegiatan ke beberapa kegiatan dengan anggaran yang relatif kecil, tetapi total anggarannya tidak berubah. Pilihan terhadap tindakan penyesuaian belanja seringkali jadi alternatif pilihan kebijakan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan DPRD Kabupaten Bogor, karena adanya keterbatasan kemampuan pendapatan daerah, maka target kinerjanya/volumenya dikurangi sedemikian rupa, agar sebagian besar aspirasi masyarakat yang belum masuk dalam skala prioritas, baik yang berasal dari hasil Musrenbang, Jum’at Keliling (Jumling), hasil Reses DPRD, maupun dari rencana kerja SKPD dapat terakomodir dan menjadi kegiatan prioritas untuk dibiayai dalam APBD pada tahun anggaran yang berkenaan.
5.3. Analisis Pemetaan Alokasi Belanja Daerah 5.2.1. Pemetaan Alokasi Belanja Daerah Menurut Kelompok Belanja Secara nominal, rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bogor ditinjau dari total belanja daerah mengalami kenaikan
dari tahun ke tahun. Demikian juga dengan kelompok belanja yang terdiri dari, Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL) juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Rincian rencana belanja daerah, baik BTL maupun BL dapat dilihat pada tabel 21. Tabel 21 :
Rencana Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL) dalam APBD Kabupaten Bogor selama Periode 2003-2008
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tahun
2003 2004 2005 2006 2007 2008 Ratarata
Rencana Anggaran Belanja dalam APBD Kab. Bogor selama Periode 2003-2008 % % % BTL BL Total (Rp. 000,-) (Rp. 000,-) (Rp. 000,-) 553.430.343 64,48 361.650.895 35,52 915.081.238 100,00 553.672.951 53,07 489.571.036 46,93 1.043.243.987 100,00 520.049.207 45,05 634.424.593 54,95 1.154.473.800 100,00 662.490.584 46,07 775.570.151 53,93 1.438.060.735 100,00 863.694.752 50,47 847.544.749 49,53 1.711.239.501 100,00 1.193.992.591 57,01 900.421.407 42,99 2.094.413.998 100,00 724.555.071 52,69 668.197.138 47,31 1.392.752.210 100,00
Sumber : Diolah dari Buku APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
Jika ditinjau dari kelompok Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL), maka rata-rata proporsi dari BTL sebesar 52,69 % dan BL sebesar 47,31 %, berarti alokasi untuk BTL lebih besar daripada BL selama periode 2003-2008. Kebutuhan BTL yang relatif tinggi tersebut, terutama untuk memenuhi kebutuhan belanja pegawai, seperti untuk membayar gaji, tunjangan dan tambahan penghasilan bagi pegawai demi kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal itu terkait dengan kebutuhan pembayaran bagi belanja pegawai sebanyak 19.725 orang, terdiri dari pegawai yang telah menduduki jabatan struktural sebanyak 994 orang atau 5,04 % (Eselon II sebanyak 28 orang, Eselon III sebanyak 155 orang, Eselon IV sebanyak 740 orang dan Eselon V sebanyak 71 orang) dan pegawai non-eselon sebanyak 18.731 orang atau 94,96 % (tenaga fungsional sebanyak 13.733 orang dan staf sebanyak 4.998 orang). Jika dirinci berdasarkan pangkat/ golongan, maka komposisinya terdiri dari golongan I sebanyak 539 orang (2,73 %), golongan II sebanyak 4.666 orang (23,66%), golongan III sebanyak 7.801 orang (39,55%) dan golongan IV sebanyak 6.719 orang (34,06%),
dan bilamana diklasifikasikan menurut status kepegawaian,
maka jumlah pegawai sebanyak 19.725 orang itu, terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 17.184 orang (87,12%) dan yang berstatus tenaga kontrak
berjumlah 2.541 orang (12,88%), dengan jenjang pendidikan terdiri atas ; jenjang SD 2,30 %, SLTP 3,10 %, SLTA 19.60 %, Diploma 46,30 %, dan sarjana 28,70 % (Bappeda, tahun 2008). Proporsi dari alokasi BTL sebesar 52,69 % itu menimbulkan pandangan negatif masyarakat atas kebijakan alokasi belanja daerah yang telah diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan karenanya dinilai hanya mengutamakan kebutuhan belanja aparatur dibandingkan dengan belanja pelayanan publik. Padahal, didalam proporsi BTL sebesar 52,69 %, terdapat dua fungsi belanja, yaitu : (1) belanja pegawai berupa gaji dan tunjangan serta tambahan penghasilan bagi aparatur, termasuk didalamnya untuk membayar tenaga honorer daerah dengan alokasi belanja sebesar 36,57 %. Proporsi inilah yang benar-benar fungsi belanjanya ditujukan untuk membiayai aparatur daerah semata; (2) belanja tidak langsung “Non-Pegawai” (BTL-Non Pegawai), terdiri dari belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan dan belanja tidak terduga, mendapat alokasi belanja sebesar 16,12 %. Proporsi ini dilihat dari fungsi belanjanya tidak dirasakan secara langsung oleh aparat, baik hasil, manfaat maupun dampaknya, karena semuanya ditujukan untuk masyarakat (publik) dan karenanya tidak tepat diperhitungkan sebagai komponen dari BTL. Hanya saja, pengelompokkannya kedalam kelompok BTL karena telah dibakukan secara administrasi keuangan menurut ketentuan dalam Permendagri Nomor 13 tahun 2006 dan Permendagri Nomor 59 tahun 2007. Dengan demikian, jika dilakukan pengelompokkan kembali/perhitungan kembali belanja daerah berdasarkan fungsi belanja, maka dapat dinyatakan bahwa alokasi BL yang ditujukan untuk pelayanan publik telah mencapai sebesar 63,43 %, berarti lebih besar dari alokasi BTL sebesar 36,57 %. Jadi, kebijakan alokasi belanja daerah jika ditinjau dari fungsi belanja selama periode 2003-2008, maka kebijakan alokasinya, justru lebih besar untuk pemenuhan pelayanan publik, dibandingkan dengan kebutuhan aparatur daerah. Sementara itu, jika dilihat dari rata-rata kenaikan dari rencana BTL maupun BL, tampak bahwa rata-rata kenaikan BTL sebesar 18,00 %, lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata kenaikan BL sebesar 20,55 %. Untuk kenaikan dari BTL, hal ini dipengaruhi oleh kebijakan alokasi belanja yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat, seperti adanya kebijakan kenaikan gaji dan tunjangan, gaji ke13 maupun tambahan penghasilan bagi pegawai serta adanya ketentuan untuk mengalokasikan belanja “Accress” yaitu alokasi anggaran untuk mengantisipasi adanya kenaikan gaji berkala, kenaikan pangkat, tunjangan keluarga, mutasi atau pindah tugas pegawai dan penambahan PNS daerah yang besarnya dibatasi maksimum 2,5 % dari jumlah belanja pegawai, sedangkan untuk kenaikan dari BL, kecenderungannya cukup fluktuatifnya, karena sangat terkait dengan kebijakan alokasi belanja daerah pada setiap urusan pemerintahan/SKPD atau pun pilihan prioritas pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor pada tahun anggaran berkenaan. Rinciannya dapat dilihat pada tabel 22. Tabel 22 : Kenaikan Rencana Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL) dalam APBD Kabupaten Bogor selama Periode 2003-2008 No.
Tahun
Rata-rata Kenaikan Rencana BTL dan BL dalam APBD Kabupaten Bogor %
BTL (Rp. 000,-) 553.430.343 553.672.951 520.049.207 662.490.584 863.694.752 1.193.992.591 724.555.071
1. 2. 3. 4. 5. 6.
BL (Rp. 000,-) 361.650.895 489.571.036 634.424.593 775.570.151 847.544.749 900.421.407 668.197.138
%
2003 2004 0,04 35,37 2005 -6,07 29,59 2006 27,39 22,25 2007 30,37 9,28 2008 38,24 6,24 Rata18,00 20,55 rata Sumber : Diolah dari Buku APBD Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
Total (Rp. 000,-) 915.081.238 1.043.243.987 1.154.473.800 1.438.060.735 1.711.239.501 2.094.413.998 1.392.752.210
% 14,01 10,66 24,56 19,00 22,39 18,12
Untuk mengetahui lebih rinci mengenai kebijakan alokasi belanja daerah menurut kelompok belanja yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor selama periode tahun 2003-2008, yang terdiri dari Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL) beserta komponennya maka dilakukan analisis dengan Tipologi Klassen, dengan hasil analisis sebagaimana dapat dilihat pada tabel 23. Tabel 23: Hasil Analisis dengan Tipologi Klassen untuk Belanja Daerah menurut Belanja Tidak Langsung (BTL) dan Belanja Langsung (BL) No A.
Uraian Belanja Tidak Langsung (BTL) 1. B. Pegawai
Rata-rata Pertumbuhan
Rata-rata Kontribusi
(G)
(S)
18,00 19,79
Tipologi Klassen
gi thd G
si thd S
Kuadran
Ket
724.555.071
<
>
III
Kurang prioritas
502.897.999
>
>
I
Sangat prioritas
B.
-
2. BTL Non Pegawai Belanja Langsung (BL) 1. B. Pegawai 2. B. Barang & Jasa 3. B. Modal Belanja Daerah menurut Kelompok Belanja Belanja Daerah menurut Komponen Belanja
15,55 20,55 9,97 16,61 30,49
221.657.072 668.197.138 129.763.764 222.461.623 315.971.751
19,28
696.376.105
18,48
278.550.442
< > < < >
< < < < >
IV II IV IV I
Tidak prioritas Cukup prioritas Tidak prioritas Tidak prioritas Sangat prioritas
Sumber : Hasil Analisis Keterangan : Kelompok belanja terdiri dari BTL dan BL, sedangkan komponen belanja, terdiri dari belanja pegawai, barang dan jasa serta belanja modal
Pada tabel di atas, terlihat bahwa kebijakan alokasi belanja daerah yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dalam APBD tahun anggaran 20032008, yaitu : 1. Untuk kelompok Belanja Tidak Langsung (BTL) menurut analisis Tipologi Klassen termasuk dalam klasifikasi kuadran III atau Kurang Prioritas, dengan rata-rata kontribusi sebesar Rp. 724,555 miliar dan rata-rata pertumbuhan 18,00 %, artinya rata-rata kontribusinya berada diatas rata-rata belanja daerah, tetapi rata-rata pertumbuhannya selama periode 2003-2008 berada di bawah rata-rata belanja daerah.
Kondisi ini hanyalah implikasi pengelompokkan
belanja atau penggabungan dari komponen pembentuknya, yaitu belanja pegawai yang termasuk dalam klasifikasi Sangat Prioritas dan BTL Non Pegawai yang termasuk dalam klasifikasi Tidak Prioritas. Sementara itu, untuk kelompok Belanja Langsung (BL) menurut analisis Tipologi Klassen termasuk dalam klasifikasi kuadran II atau Cukup Prioritas, dengan rata-rata kontribusi sebesar Rp. 668,197 miliar dan rata-rata pertumbuhan 20,55 %, artinya ratarata kontribusinya berada dibawah rata-rata belanja daerah, tetapi rata-rata pertumbuhannya selama periode 2003-2008 berada di atas rata-rata belanja daerah. Kondisi ini hanyalah implikasi dari pengelompokkan belanja atau penggabungan dari komponen pembentuknya, yaitu belanja pegawai serta belanja barang dan jasa yang termasuk dalam klasifikasi Tidak Prioritas dan belanja modal termasuk dalam klasifikasi Sangat Prioritas, sehingga kumulatifnya menjadi Cukup Prioritas. 2. Untuk belanja pegawai dalam kelompok BTL, hasil analisis dengan Tipologi Klassen menunjukkan bahwa belanja pegawai termasuk dalam klasifikasi kuadran I atau Sangat Prioritas. Kondisi ini disebabkan adanya kebijakan
alokasi anggaran selama periode 2003-2008 yang cenderung meningkatkan gaji dan tunjangan bagi PNS di daerah sebagai berikut : (1) adanya kebijakan kenaikan gaji bagi PNS pada setiap tahun anggaran dengan tingkat kenaikan minimal 10 % dari gaji pokok; (2) adanya kebijakan untuk memberikan gaji ke-13 pada setiap tahun anggaran dengan besaran satu kali gaji pokok; (3) pada dua tahun terakhir, yaitu 2007-2008 adanya kebijakan yang memperkenankan bagi PNS/CPNS daerah
untuk mendapatkan tambahan penghasilan atau
semacam remunerasi berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah yang ditetapkan dengan peraturan kepala daerah setelah memperoleh persetujuan dan/atau kesepakatan dengan DPRD dalam pembahasan dokumen KUA dan PPAS. Pertimbangan obyektif dimaksud adalah pertimbangan berdasarkan beban kerja, prestasi kerja,
kondisi
kerja,
tempat
bertugas,
kelangkaan
profesi
dan/atau
pertimbangan obyektif lainnya, yang kriteria dan besarannya ditetapkan dengan keputusan kepala daerah dan/atau peraturan kepala daerah. Ketentuan ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas PNS daerah sebagaimana ditegaskan dalam Permendagri Nomor 30 tahun 2007 dan Permendagri Nomor 32 tahun 2008 tentang Pedoman penyusunan APBD; (3) kenaikan belanja pegawai karena dipengaruhi juga oleh pertimbangan “safety
first” dari Pemerintah Kabupaten Bogor, dalam arti bahwa Pemerintah Kabupaten Bogor harus memenuhi terlebih dahulu kewajibannya terhadap hakhak pegawai berupa belanja gaji dan tunjangan, tambahan penghasilan dan kesejahteraan bagi setiap pegawai, serta belanja operasi dan pemeliharaan kantor yang sifatnya tertentu dan sudah tetap (fixed cost), agar selalu terjaga kelancaran dan kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan kepada masyarakat sepanjang tahun. 3. Untuk Belanja Tidak Langsung Non Pegawai (BTL Non Pegawai), hasil analisis dengan Tipologi Klassen menunjukkan bahwa BTL Non Pegawai termasuk dalam klasifikasi kuadran IV atau Tidak Prioritas.
Kondisi ini
dipengaruhi oleh komponen pembentuk dari BTL Non Pegawai, terdiri dari belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Hal ini terkait
dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam permendagri tentang pedoman penyusunan APBD, khususnya pada periode tahun anggaran 2003-2006 bahwa BTL Non-pegawai hanya dibatasi untuk dua jenis obyek belanja, yaitu belanja bagi hasil dan bantuan keuangan serta belanja tidak terduga, tetapi periode 2007-2008, seluruh komponen yang tercakup dalam BTL Non-pegawai dapat diterapkan, karenanya hasil dari analisis Tipologi Klassen ini berbeda dengan hasil analisis kesenjangan pada bab sebelumnya, karena data untuk analisis Tipologi Klassen adalah data gabungan dari periode 2003 hingga 2008, sedangkan analisis kesenjangan hanya periode 2007-2008. Untuk itu, hasil analisis Tipologi Klassen ini menunjukan bahwa BTL Non-pegawai termasuk dalam klasifikasi kuadran IV atau Tidak Prioritas, disebabkan oleh : (1) belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, seperti bagi hasil pendapatan asli daerah berupa bagi hasil pajak dan retribusi daerah kepada daerah bawahan atau kepada pemerintahan desa, pemerintahan daerah lainnya serta bantuan keuangan yang bersifat umum dan khusus dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan pemerintahan desa sesuai dengan aturan, dasar hitung
maupun jenis-jenis
obyek yang boleh dan tidak boleh dilakukan menurut realisasi dari pajak dan retribusi daerah tahun sebelumnya, sehingga alokasinya relatif kecil pada setiap tahun anggaran; (2) belanja tidak terduga adalah belanja yang dialokasikan untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan terjadi berulangulang, seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya. Alokasi anggaran pada obyek belanja ini jumlahnya relatif tetap pada APBD pada periode 2003-2006, yaitu sebesar Rp. 10 miliar sampai Rp. 15 miliar, tetapi pada periode 2007-2008 mengalami peningkatan, tetapi tambahan kenaikannya secara rata-rata relatif keci. Alokasi dari belanja tidak terduga ini ditujukan untuk tanggap darurat dalam rangka pemulihan sementara, agar tetap terjaga kondisi stabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah serta ketentraman dan ketertiban masyarakat, bukan penanganan permanen, sehingga kenaikan alokasi anggarannya setiap tahun berada dibawah rata-rata komponen belanja daerah.
4. Sementara itu, komponen belanja lainnya dalam BTL Non Pegawai, berupa belanja hibah dan bantuan sosial mulai diimplementasikan pada tahun anggaran 2007, sedangkan belanja bunga dan belanja subsidi hanya sebatas pencantuman nomenklatur dalam struktur APBD, tetapi belum pernah diimplementasikan selama periode 2003-2008.
Untuk belanja hibah dan
belanja bantuan sosial, kebijakan yang diterapkan selama 2007-2008 ditujukan pada : (1) belanja hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat serta tidak secara terus menerus. Implementasi dari pemberian hibah di Kabupaten Bogor adalah untuk mendukung fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilakukan oleh pemerintah/instansi vertikal (seperti Pemilukada oleh KPUD, TMMD oleh KODIM, Penyuluhan sadar hukum oleh Kejaksaan Negeri dan lain-lain) serta “semi-pemerintah” (seperti PMI, KONI, Pramuka, KORPRI, PKK, MUI, PGRI dan lain-lain), pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, serta masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan dapat dianggarkan dalam APBD dengan dilengkapi terlebih dahulu dengan Naskah Perjanjian Hibah Daerah antara penerima hibah dengan Pemerintah Daerah serta kewajiban penerima hibah mempertanggungjawabkan penggunaan dana yang diterima sesuai dengan persyaratan dalam naskah perjanjian hibah daerah tersebut; (2) belanja bantuan sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemberian
bantuan sosial tersebut tidak secara terus menerus/tidak berulang setiap tahun anggaran, selektif, dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya. Selain itu, pengalokasian bantuan sosial tahun demi tahun harus menunjukan jumlah yang semakin berkurang, agar APBD berfungsi sebagai instrumen pemerataan dan keadilan dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat. Pengurangan jumlah bantuan sosial bertujuan agar dana APBD dapat dialokasikan untuk membiayai program dan kegiatan pemerintahan daerah yang dapat dinikmati
oleh seluruh lapisan masyarakat, menciptakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran maupun pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian daerah.
Dengan demikian, dapat dihindari
adanya diskriminasi pengalokasian dana APBD melalui bantuan sosial yang hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu saja. Implementasi dari bantuan sosial di Kabupaten Bogor adalah ditujukan kepada bantuan sosial untuk : (1) kegiatan keagamaan/sarana keagamaan (seperti bantuan untuk masjid, musholla, pondok pesantren, majelis ta’lim, madrasyah, tempat pendidikan Al Qur’an, perayaan hari-hari besar Agama Islam, Jum’at keliling (Jumling), tarawih keliling (Tarling), bantuan ongkos naik haji, bantuan untuk guru ngaji dan bantuan untuk lain-lain sarana keagamaan; (2) bantuan untuk kelompok masyarkat dan organisasi kemasyarakatan (seperti bakti sosial, lembaga swadaya masyarakat, yayasan, kesenian dan kebudayaan, kegiatan organisasi kemahasiswaan, keolahragaan, kepemudaan, kegiatan perempuan, penguatan kelembagaan organisasi kemasyarakatan dan lain-lain organisasi kemasyarakatan); (3) bantuan untuk masyarakat kurang mampu yang ditujukan untuk biaya pengobatan, pendidikan, distribusi beras untuk masyarakat miskin, santunan hari raya dan ongkos perjalanan bagi musafir; (4) bantuan sosial untuk organisasi profesi (seperti organisasi kewartawanan, IKAPRI, HKTI, KTNA, IWAPI, PERTUNI, Serikat Pekerja, IGTK/IGRA, GOW, PWRI, Dewan
Pendidikan,
DMI,
IPHI,
APKASI/ADKASI,
Karang Taruna,
TAGANA, NU, Muhammadiyah, Mathlaul Anwar, Muslimat NU, Aisyah Muhammadiyah, Warakawuri TNI dan POLRI, Cacat Veteran, dan lain-lain organisasi profesi); (5) khusus untuk bantuan keuangan kepada partai politik, sejak tahun anggaran 2008 dimasukan kedalam jenis bantuan sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, komponen dari jenis bantuan sosial semakin beragam yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor pada dua tahun terakhir serta pada tahun yang akan datang diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya proposal dari masyarakat. Oleh karena itu, bagi para penerima bantuan sosial, ke depan harus berkewajiban menyampaikan laporann pertanggungjawaban atas penggunaan dana bantuan tersebut kepada kepala daerah serta ditetapkan pula
sebagai obyek untuk diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan, agar memenuhi prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan bantuan sosial tersebut. Sementara itu, untuk komponen Belanja Langsung (BL), yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal, maka klasifikasinya menurut tipologi Klassen adalah : 1. Belanja pegawai pada komponen BL termasuk dalam klasifikasi kuadran IV atau Tidak Prioritas, artinya rata-rata kontribusi maupun rata-rata pertumbuhan belanja pegawai pada komponen BL berada dibawah rata-rata belanja daerah. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) penganggaran belanja pegawai pada setiap program dan kegiatan telah dilakukan terlebih dahulu analisis kewajaran biaya yang dikaitkan dengan output yang dihasilkan dari satu kegiatan. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya pemborosan, maka belanja pegawai berupa honorarium kegiatan direncanakan dengan didasarkan pada kebutuhan riil dan prinsip kewajaran serta kepatutan; (2) penganggaran honorarium bagi pegawai telah dibatasi frekuensinya sesuai dengan kewajaran beban tugas yang bersangkutan.
Dasar perhitungan besaran honorarium bagi pegawai
disesuaikan dengan standar yang telah ditetapkan dengan keputusan kepala daerah; (3) penganggaran honorarium bagi non-PNS hanya dapat disediakan bagi pegawai tidak tetap yang benar-benar memiliki peranan dan kontribusi serta terkait secara langsung dengan kelancaran pelaksanaan kegiatan di masing-masing SKPD, termasuk bagi narasumber/tenaga ahli yang berasal dari luar instansi pemerintah. Dengan beberapa ketentuan yang telah ditetapkan tersebut, maka penganggaran belanja pegawai pada komponen BL,
baik
jumlah nominal anggaran maupun kenaikan anggaran pada setiap tahun anggaran selama periode 2003-2008 masih berada pada tingkat wajar dan tidak melampaui kenaikan rata-rata dari total belanja daerah. 2. Belanja barang dan jasa
pada komponen BL termasuk dalam klasifikasi
kuadran IV atau Tidak Prioritas, artinya rata-rata kontribusi maupun rata-rata pertumbuhan belanja barang dan jasa pada komponen BL berada dibawah ratarata belanja daerah. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) penganggaran belanja barang pakai habis telah disesuaikan dengan kebutuhan nyata dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsi SKPD, dengan mempertimbangkan
jumlah pegawai dan volume pekerjaan.
Oleh karena itu, perencanaan
pengadaan barang telah didahului dengan evaluasi persediaan barang serta jumlah barang dalam pemakaian; (2) penganggaran untuk pengadaan barang inventaris telah dilakukan secara selektif sesuai dengan kebutuhan masingmasing SKPD. Oleh karena itu, sebelum merencanakan pengadaan barang inventaris, terlebih dahulu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap barangbarang inventaris yang tersedia, baik dari segi kondisi maupun umur ekonomisnya; (3) Penganggaran belanja perjalanan dinas dalam daerah dan luar daerah telah dibatasi, baik jumlah orang, jumlah hari maupun frekuensinya dan dilakukan secara selektif. Bahkan perjalanan dinas dalam rangka studi banding dibatasi, sepanjang memiliki nilai manfaat bagi kemajuan daerah yang hasilnya dipublikasikan kepada masyarakat; (4) Penganggaran untuk penyelenggaraan rapat-rapat yang dilaksanakan di luar kantor SKPD atau pertemuan sejenisnya (workshop, seminar, lokakarya dan lain-lain) telah dikurangi frekuensinya dan selektif sesuai dengan kebutuhan dan sejalan pula dengan lingkup tugas pokok dan fungsi dari SKPD; (5) pengangaran untuk mengikuti pelatihan terkait dengan peningkatan sumber daya manusia hanya diperkenankan untuk pelatihan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah atau lembaga non pemerintah yang bekerjasama dan/atau direkomendasikan oleh departemen terkait, namun tetap dilakukan secara selektif dalam rangka penghematan anggaran; (6) penganggaran belanja pemeliharaan barang inventaris kantor telah disesuaikan dengan kondisi fisik barang yang akan dipelihara dan lebih diprioritaskan untuk mempertahankan kembali fungsi barang inventaris yang bersangkutan; (7) keseluruhan penyusunan rencana kebutuhan pengadaan barang dan jasa telah berpedoman pada ketentuan tentang standar satuan harga tertinggi barang dan jasa yang telah ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Dengan memperhatikan beberapa batasan yang telah ditetapkan tersebut, maka penganggaran belanja barang dan jasa pada komponen BL, baik jumlah nominal anggaran maupun kenaikan anggaran pada setiap tahun anggaran selama periode 2003-2008 masih berada pada tingkat wajar dan tidak melampaui kenaikan rata-rata dari total belanja daerah.
3. Belanja modal pada komponen BL termasuk dalam klasifikasi kuadran I atau
Sangat Prioritas, artinya rata-rata kontribusi maupun rata-rata pertumbuhan belanja modal pada komponen BL berada diatas rata-rata belanja daerah. Hal ini terkait dengan kebijakan dari Pemerintah Kabupaten Bogor, yaitu : (1) proses pengadaan belanja modal, senantiasa mengikuti prosedur, mekanisme dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Keppres 80 dan telah beberapa kali direvisi dan terakhir dengan Perpres 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, sehingga prosesnya semakin panjang dan membutuhkan tambahan alokasi belanja untuk merealisasikannya; (2) belanja modal, terutama kegiatan fisik adalah salah satu upaya untuk pemenuhan kebutuhan pelayanan kepada masyarakat, baik berupa sarana, prasarana dan infrastruktur, utilitas umum lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Bogor; (3) penganggaran belanja modal ditujukan untuk pembangunan, peningkatan, perluasan, rehabilitasi, pembelian, pengadaan atau pembangunan aset tetap yang digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan aset tetap lainnya yang memiliki kriteria, yaitu masa manfaatnya lebih dari 12 bulan dan merupakan obyek pemeliharaan di tahun berikutnya serta jumlah nilai rupiahnya atas rencana belanja modal tersebut, diusulkan besarannya sesuai dengan kebijakan akuntansi (artinya harga beli, harga pengadaan dan harga bangun aset tetap harus ditambahkan seluruh belanja yang terkait dengan proses pengadaan/pembangunan aset sampai dengan aset tersebut siap digunakan).
Meskipun masa manfaatnya diatas 12 bulan, namun siklus
pengadaan belanja modal berupa aset tetap tersebut, seringkali lebih cepat tingkat penyusutan, kerusakan dan penggantian asetnya daripada standar umur ekonomis yang telah ditetapkan, sehingga setiap tahun anggaran kebutuhan belanja modal senantiasa lebih tinggi daripada belanja barang dan jasa maupun belanja pegawai. Dengan demikian, penganggaran belanja modal cenderung meningkat pada setiap tahun anggaran, baik dari segi jumlah nominal maupun kenaikan alokasi anggarannya, karena bertambahnya jumlah, kualitas dan standar harga atau biaya per unit (unit cost) yang semakin tinggi untuk
menghasilkan sebuah aset tetap pemerintah, sehingga rata-rata nominal maupun rata-rata pertumbuhannya berada di atas rata-rata belanja daerah.
5.2.2.
Pemetaan
Alokasi
Belanja
Daerah
menurut
Urusan
Pemerintahan/SKPD Hasil analisis dengan Tipologi Klassen untuk alokasi belanja daerah menurut Urusan Pemerintahan/SKPD selama periode 2003-2008 dapat dilihat pada tabel 24. Tabel 24 : Klasifikasi Belanja Daerah menurut urusan Pemerintahan/SKPD No
Uraian
A. Urusan Wajib 1. Pendidikan 1.1. Dinas Pendidikan 1.2. Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah 2. Kesehatan 2.1. Dinas Kesehatan 2.2. RS Cibinong 2.3. RS Ciawi 3. Pekerjaan Umum 3.1. Dinas Bina Marga & Pengairan 3.2. Dinas Cipta Karya 4. Penataan Ruang 4.1. Dinas Tata Ruang & LH 5. Perencanaan Pembangunan 5.1. Bappeda 6. Perhubungan 6.1. Dinas Perhubungan 7. Kependudukan dan Catatan Sipil 7.1. Disdukcapil-KB 8. Tenaga Kerja 8.1.Disnakertrans 9. Koperasi dan UKM 9.1.Kantor Koperasi dan UKM 10. Penanaman Modal 10.1. Kantor Penanaman Modal Daerah 11. Kebudayaan 11.1. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 12. Kesatuan Bangsa & Politik dalam Negeri 12.1. Kesbang Linmas 12.2. Satuan Polisi Pamong Praja 13. Pemerintahan Umum 13.1. Kepala Daerah & Wakil Kepala Daerah 13.2. DPRD 13.3. Setda 13.4. Setwan 13.5. Dispenda 13.6. Bawasda 14. Kepegawaian 14.1. Badiklat 15. Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Klasifikasi belanja daerah gi thd si thd Kuadran Ket G S
Rata-rata Pertumbuhan (G)
Rata-rata Kontribusi (S)
16,63 30,82
438.928 3,097
< >
> <
III II
Kurang prioritas Cukup prioritas
17,34 28,22 36,07
74.520 29.431 25.526
< > >
< < <
IV II II
Tidak prioritas Cukup prioritas Cukup prioritas
34,59 17,16
208.127 37.188
> <
> <
I IV
Sangat prioritas Tidak prioritas
14,09
6.052
<
<
IV
Tidak prioritas
19,90
12.063
<
<
IV
Tidak prioritas
43,61
14.939
>
<
II
Cukup prioritas
46,59
16.029
>
<
II
Cukup prioritas
14,96
7.036
<
<
IV
Tidak prioritas
10,17
14.159
<
<
IV
Tidak prioritas
5,14
3.152
<
<
IV
Tidak prioritas
34,58
7.637
>
<
II
Cukup prioritas
71,36 21.69
5.484 6.627
> <
< <
II IV
Cukup prioritas Tidak prioritas
(4,58)
1.420
<
<
IV
Tidak prioritas
4,86 19,92 83,82 4,68 14,78
8.373 140.488 15.488 29.392 7.159
< < > < <
< > < < <
IV III II IV IV
Tidak prioritas Kurang prioritas Cukup prioritas Tidak prioritas Tidak prioritas
11,90
12.816
<
<
IV
Tidak prioritas
15.1. BPMKS B. Urusan Pilihan 1. Pertanian 1.1. Dinas Pertanian dan Kehutanan 1.2. Dinas Peternakan dan Perikanan 2. Energi dan Sumber Daya Mineral 2.1.Dinas Pertambangan 3. Perindustrian 3.1. Disperindag Belanja Daerah Belanja per urusan / SKPD
30,93
6.565
>
<
II
Cukup prioritas
12,15 20,06
22.257 9.527
< <
< <
IV IV
Tidak prioritas Tidak prioritas
44,14
10.500
>
<
II
Cukup prioritas
10,17
14.159
<
<
IV
Tidak prioritas
26,81 21,98
207.503 48.025
Sumber : Hasil Analisis
Pada tabel diatas, hasil analisis dengan Tipologi Klassen menunjukan bahwa urusan pemerintahan/SKPD yang termasuk dalam kuadran I atau Sangat Prioritas, artinya rata-rata kontribusi maupun rata-rata pertumbuhan belanjanya berada di atas rata-rata belanja daerah dan hanya mencakup urusan pekerjaan umum/Dinas Bina Marga dan Pengairan (DBMP), dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Jumlah rencana program dan kegiatan pembangunan lingkup urusan pekerjaan umum/DBMP terus bertambah pada setiap tahun anggaran, baik yang diusulkan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), Jum’at Keliling (Jumling), hasil Reses DPRD, usulan langsung masyarakat melalui proposal maupun usulan Rencana kerja (Renja) dari SKPD. Sebagai contoh kasus bahwa selama tahun anggaran 2007 dan 2008, jumlah usulan kegiatan untuk urusan pekerjaan umum/DBMP, yaitu dari 545 kegiatan pada tahun 2007, kemudian bertambah menjadi 785 kegiatan pada tahun 2008. Penambahan kegiatan dimaksud, tidak saja berkaitan dengan usulan jalan dan jembatan kabupaten yang telah bernomor ruas, tetapi sudah mengakomodir usulan jalan desa yang tidak bernomor ruas yang tersebar di 428 desa/kelurahan, jalan sentra produksi dan jalan tertentu yang menuju ke sarana publik, sehingga alokasi anggarannya juga bertambah. Demikian juga dengan usulan kegiatan yang berkaitan dengan irigasi, baik irigasi pemerintah maupun irigasi desa,
bahkan beberapa setu/danau
yang semestinya
menjadi
kewenangan provinsi, karena pertimbangan tertentu dibiayai juga oleh Pemerintah Kabupaten Bogor.
2. Jenis penanganan jalan, jembatan, irigasi dan sarana kelengkapan lainnya untuk lingkup urusan pekerjaan umum/DBMP sangat beragam, yaitu berkisar dari pengadaan tanah untuk ruas jalan baru, pembangunan jalan, peningkatan jalan dan jembatan, pembangunan drainase, gorong-gorong, turap, bronjong, tembok penahan tanah, rehabilitasi jalan, jembatan, jaringan irigasi, setu/danau, pemeliharan rutin, pemeliharaan berkala/periodik dan kegiatan untuk sarana kelengkapan/penunjang jalan dan jembatan maupun jaringan irigasi. Sebagai gambaran bahwa jumlah kegiatan yang berkenaan dengan pembangunan, rehabilitasi dan pemeliharaan untuk jalan dan jembatan pada tahun anggaran 2007 berjumlah 402 kegiatan, kemudian pada tahun anggaran 2008 bertambah menjadi 555 kegiatan. Selain itu, proses dan tahapan administrasi perencanaan hingga pembangunan jalan dan jembatan cukup panjang, diantaranya diawali dengan kegiatan survey, perencanaan teknis, penyusunan AMDAL, Detail Engineering Design (DED), pembuatan Rencana Anggaran Biaya (RAB), baik dikerjakan secara swakelola maupun dibantu oleh pihak ketiga. Disamping itu pada tahap pelaksanaannya, maka pihak-pihak yang terlibat tidak terbatas pada kontraktor/pemborong, melainkan didampingi juga oleh konsultan perencana, konsultan pengawas dan aparat SKPD sendiri sesuai dengan lingkup tugas pokok dan fungsinya.
Kesemuanya berimplikasi pada peningkatan alokasi
anggaran untuk lingkup urusan pekerjaan umum/DBMP pada setiap tahun anggaran. 3. Kondisi infrastruktur transportasi, berupa tingkat kerusakan jalan dan jembatan beserta kelengkapannya, meskipun tetap ditangani pada setiap tahun anggaran, tetapi tingkat kerusakannya tidak pernah menurun dengan drastis. Sebagai gambaran bahwa panjang jalan yang ada di Kabupaten Bogor adalah sepanjang 1.758,041 km, terdiri dari jalan nasional sepanjang 121,497 km, jalan provinsi sepanjang 129,989 km dan jalan kabupaten yang bernomor ruas sepanjang 1.506,57 km. Untuk jalan kabupaten, panjangnya sedikit meningkat pada tahun 2008, sehingga menjadi sepanjang 1.507,52 km.
Dengan panjang jalan
1.507,52 km tersebut, maka kondisi jalan baik dan sedang adalah sepanjang 1.032,60 km atau 68,54 %, tetapi sisanya sepanjang 473,97 km atau 31,46 % dalam kondisi rusak, sedangkan kondisi rusak yang mampu dibiayai pada
setiap tahun anggaran mencapai
75 %, sehingga sisanya yang tidak
tertangani akan terus berakumulasi dengan kerusakan yang baru terjadi, sehingga penanganan jalan tidak pernah tuntas pada setiap tahun anggaran yang berkenaan (Bappeda Kabupaten Bogor, 2008). 4. Jenis konstruksi yang dipilih untuk penanganan jalan dan jembatan terus ditingkatkan kualitasnya, tidak hanya berkisar dari pengaspalan dengan lapisan penetrasi (Lapen), tetapi tuntutan masyarakat terus meningkat ke jenis konstruksi hotmix (flexible), cor beton (rigid) hingga gabungan antara rigid
dan flexible, sehingga biaya per unit (unit cost), baik dihitung berdasarkan per meter jalan maupun per ruas jalan, semakin tinggi standar biayanya untuk mendapatkan satu unit outputnya dan berimplikasi pada tingginya jumlah anggaran di masing-masing kegiatan lingkup jalan dan jembatan 5. Sumber dana untuk pembiayaan lingkup pekerjaan umum/DBMP, tidak terbatas pada APBD Kabupaten Bogor, tetapi diupayakan juga dari sumber APBD Provinsi dan APBN sektoral. Selain itu, sumber pembiayaan lainnya adalah berasal dari Tugas Pembantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat maupun provinsi untuk menangani jalan dan jembatan sebagaimana telah ditetapkan jenis peruntukannya, sehingga kumulatif anggaran untuk lingkup urusan pekerjaan umum/DBMP semakin besar pada setiap tahun anggaran. 6. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor yang senantiasa memasukan urusan pekerjaan umum, khususnya jalan, jembatan dan irigasi sebagai prioritas utama dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum APBD (KUA) maupun dokumen Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), karena infrastruktur jalan dinilai akan memudahkan pergerakan orang dan barang serta membuka aksesibilitas masyarakat ke berbagai wilayah, sehingga memacu pergerakan ekonomi di Kabupaten Bogor. Selain itu, dalam dokumen RPJMD, target kinerja mengenai penanganan jalan ditetapkan relatif progresif
dengan
indikator
yang
terukur,
sehingga
korelasi
antara
penganggaran dengan target kinerja dapat dihitung kebutuhan pembiayaannya pada setiap tahun anggaran. Sebagai gambaran, data rencana program dan kegiatan untuk lingkup urusan pekerjaan umum/DBMP dapat dilihat pada tabel 25.
Tabel 25 : Jumlah Program dan Kegiatan pada Urusan Pekerjaan Umum/Dinas Bina Marga dan Pengairan tahun 2007-2008 Nomor
Program dan kegiatan
2007
2008
1.
Jumlah program
16
14
2.
Jumlah kegiatan
545
785
3.
Pembangunan/peningkatan jalan
118
143
4.
Pembangunan Drainase/gorong
3
22
5.
Pembangunan Turap/Bronjong
19
77
6.
Rehabilitasi/Pemeliharaan jalan dan jembatan
262
313
Sumber : Diolah dari Buku LKPJ Bupati Bogor tahun anggaran 2007-2008
Selain itu, hasil analisis dengan Tipologi Klassen mengungkapkan bahwa terdapat beberapa urusan pemerintahan/SKPD yang termasuk dalam kuadran II atau Cukup Prioritas, artinya rata-rata pertumbuhan alokasi belanjanya lebih tinggi daripada belanja daerah, tetapi rata-rata kontribusinya berada dibawah ratarata belanja daerah. Hal ini terkait dengan adanya tambahan alokasi anggaran secara kumulatif di setiap urusan pemerintahan/SKPD, meskipun jumlah nominalnya relatif kecil di masing-masing program dan kegiatan, tetapi karena diperhitungkan dari jumlah tahun anggaran sebelumnya maka tambahan kenaikannya cukup signifikan untuk setiap SKPD, meliputi 8 urusan pemerintahan dan 9 SKPD, yaitu : (1) urusan pendidikan/Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah (KAPD); (2) urusan Kesehatan/RS Cibinong dan RS Ciawi; (3) urusan perhubungan/Dinas Perhubungan; (4) urusan kependudukan dan cacatan sipil/Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan KB (Disdukcapil-KB); (5) urusan kebudayaan/Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar); (6) urusan kesatuan bangsa dan politik dalam negeri/Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat; (7) urusan pemerintahan umum/Sekretariat Dewan; (8) urusan pemberdayaan masyarakat dan desa/Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial (BPMKS); (9) urusan energi dan sumber daya mineral/Dinas Pertambangan, dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Pada urusan pendidikan/Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah (KAPD), ratarata pertumbuhannya adalah 30,82 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) kenaikan
anggaran dari program dan kegiatan di lingkup KAPD berawal dari adanya pelimpahan kewenangan pengelolaan perpustakaan dari Dinas Pendidikan kepada KAPD, sehingga berimplikasi pada tambahan alokasi anggaran untuk KAPD, meliputi tambahan anggaran untuk aparat, perlengkapan dan dokumentasi dalam rangka pengelolaan perpustakaan daerah; (2) program dan kegiatan yang bertambah alokasi anggarannya adalah kegiatan-kegiatan dalam rangka program pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan, seperti pengadaan koleksi bahan pustaka, pengadaan ruang baca serta penyediaan
sarana
perpustakaan
keliling,
sedangkan
pada
program
penyelamatan dan pelestarian dokumen/arsip daerah, diantaranya penyediaan sarana penyimpanan arsip media baru dan penataan arsip di depo KAPD. 2. Pada urusan Kesehatan/RS Cibinong dan RS Ciawi, rata-rata pertumbuhannya untuk RS Cibinong adalah 28,22 % dan RS Ciawi adalah 36,07 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun ratarata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) tambahan alokasi untuk jasa medis sejalan dengan kenaikan dari target retribusi yang ditetapkan pada setiap tahun anggaran untuk RS Cibinong maupun RS Ciawi sebagaimana ketentuan yang berlaku; (2) kenaikan alokasi anggaran untuk pelayanan bagi kelurga miskin di rumah sakit, sebagai akibat dari meningkatnya quota atau jumlah keluarga miskin yang akan dilayani di RS Cibinong maupun RS Ciawi; (3) adanya pembangunan gedung rumah sakit serta pengadaan alat-alat dan bahan-bahan logistik rumah sakit Ciawi dan Cibinong dalam rangka memenuhi sarana pelayanan di ruang kelas III dan khusus untuk RS Cibinong, yakni dalam rangka memenuhi persyaratan peningkatan akreditasi RS Cibinong menjadi rumah sakit tipe B. 3. Pada urusan perhubungan/Dinas Perhubungan, rata-rata pertumbuhannya adalah 43,61 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan adanya tambahan anggaran untuk kegiatan pengadaan tanah dan pembangunan terminal serta uji kelayakan sarana transportasi umum guna keselamatan penumpang angkutan umum.
4. Pada urusan kependudukan dan catatan sipil/Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan KB, rata-rata pertumbuhannya adalah 46,59 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) adanya tambahan
anggaran
untuk
kegiatan
pengadaan
barang
cetakan
dan
penggandaan blanko KK, KTP dan dokumen catatan sipil lainnya; (2) pengembangan data base kependudukan serta pembangunan dan pengoperasian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) secara terpadu dengan 40 kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor; (3) adanya tambahan untuk kegiatan pengadaan alat kontrasepsi Keluarga Berencana (KB). 5. Pada urusan kebudayaan/Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, rata-rata pertumbuhannya adalah 34,58 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) adanya pembangunan sarana dan prasarana pariwisata berupa pembangunan gedung kesenian; (2) adanya pembinaan, pelatihan tata graha, higienis dan sanitasi terhadap pelaku usaha hotel non bintang se-Kabupaten Bogor serta fasilitasi untuk festival makanan dan minuman tradisional khas Kabupaten Bogor pada setiap tahun anggaran. 6. Pada urusan kesatuan bangsa dan politik dalam negeri/Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat, rata-rata pertumbuhannya adalah 71,36 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) adanya
pelaksanaan
tugas
satuan
keamanan
lingkungan
dalam
penyelenggaraan Pemilukada Bupati/Wakil Bupati Bogor pada tahun 2008; (2) fasilitasi untuk peningkatan toleransi dan kerukunan dalam kehidupan beragama, diantaranya melalui Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dan fasilitasi untuk forum diskusi dan desiminasi politik bagi kaum perempuan. 7. Pada
urusan
pemerintahan
umum/Sekretariat
Dewan,
rata-rata
pertumbuhannya adalah 83,82 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) tambahan pengadaan komputer untuk DPRD; (2) fasilitasi untuk kegiatan reses, kunjungan kerja dan
peningkatan kapasitas pimpinan DPRD dan anggota DPRD dalam daerah; (3) tambahan anggaran untuk pembahasan rancangan peraturan daerah. 8. Pada urusan pemberdayaan masyarakat dan desa/Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial (BPMKS), rata-rata pertumbuhannya adalah 30,93 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) tambahan anggaran untuk kegiatan pemberdayaan lembaga dan organisasi masyarakat pedesaan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat/Program Pengembangan Kecamatan (PNPM-PPK) dan pendampingan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam membangun desa melalui penunjang PNPM Mandiri Perkotaan; (2) pemberian stimulan pembangunan desa melalui Pola Imbal Swadaya. 9. Pada urusan energi dan sumber daya mineral/Dinas Pertambangan, rata-rata pertumbuhannya adalah 44,14 % lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 % maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar 21,98 %.
Kondisi ini disebabkan adanya tambahan anggaran untuk
pengembangan jaringan listrik pedesaan pada kampung-kampung dan/atau desa yang belum terjangkau oleh aliran listrik dari PLN. Sementara itu, pada tabel 24 diatas bahwa hasil analisis dengan Tipologi Klassen menunjukan pula terdapat beberapa urusan pemerintahan/SKPD yang termasuk dalam kuadran III atau Kurang Prioritas, artinya rata-rata kontribusi belanjanya lebih tinggi daripada belanja daerah, tetapi rata-rata pertumbuhannya berada dibawah rata-rata belanja daerah. Hal ini terkait dengan posisi alokasi anggaran, sejak tahun 2003 yang sudah relatif besar dibandingkan dengan urusan pemerintahan/SKPD lainnya dan walaupun ada tambahan alokasi anggaran untuk program dan kegiatan hingga tahun 2008, tetapi kenaikannya realatif kecil, disebabkan adanya pergeseran dan pergantian jumlah anggaran yang sudah ada, sehingga kumulatif kenaikannya tetap berada di bawah rata-rata kenaikan belanja daerah, meliputi 2 urusan pemerintahan dan 2 SKPD, yaitu : (1) urusan pendidikan/Dinas Pendidikan; (2) urusan pemerintahan/Sekretariat Daerah, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Pada urusan pendidikan/Dinas Pendidikan, rata-rata kontribusinya adalah Rp. 438,928 miliar, lebih tinggi daripada rata-rata kontribusi belanja daerah sebesar Rp. 207,503 miliar maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar Rp. 48,025 miliar. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) adanya alokasi belanja pegawai yang ditujukan untuk gaji dan tunjangan, terutama untuk guru-guru SD hingga SMA/SMK sudah relatif tinggi dan kalaupun ada kenaikan, biasanya ditujukan untuk kenaikan gaji pokok dan tunjangan, gaji ke-13 dan tunjangan kesejahteran guru sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (2) adanya tambahan anggaran yang ditujukan untuk program unggulan atau pun program rintisan, seperti penyediaan beasiswa, penyelenggaraan SMP Terbuka, SMP kelas jauh dan
pengembangan
pendidikan
keaksaraan
fungsional
dalam
rangka
pemberantasan buta aksara; (2) adanya tambahan anggaran untuk peningkatan kualifikasi guru PNS dengan ijazah SMA/Diploma ke Sarjana, agar kompetensi dan keahliannya meningkat serta terpenuhinya persyaratan untuk program sertifikasi guru/tenaga pendidik; (3) adanya tambahan anggaran untuk kegiatan rutin setiap tahun, seperti kegiatan belajar mengajar dan penerimaan siswa, pengadaan tanah dan meubeler, penambahan/pembangunan ruang kelas baru, pemeliharaan dan rehabilitasi gedung, serta dana pendamping untuk bantuan dari Provinsi Jawa Barat dan program pusat. 2. Pada urusan pemerintahan umum/Sekretariat Daerah, rata-rata kontribusinya adalah sebesar Rp. 140,488 miliar, lebih tinggi daripada rata-rata kontribusi belanja daerah sebesar Rp. 207,503 miliar maupun rata-rata per urusan/SKPD sebesar Rp. 48,025 miliar. Kondisi ini disebabkan oleh : (1) jumlah unit kerja yang tercakup didalam organisasi Sekretariat Daerah (meliputi 3 asisten dan 12 bagian) serta masih melekatnya kewenangan untuk mengelola belanja Nonpegawai pada BTL, seperti belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan dan belanja tidak terduga, sehingga berimplikasi pada banyaknya jumlah program dan kegiatan serta alokasi anggaran yang dikelola Sekretariat Daerah. Khusus untuk belanja Non-pegawai tersebut, alokasi belanja yang paling prioritas adalah Belanja Hibah, terutama adanya tambahan alokasi yang sangat besar pada tahun anggaran 2008, karena terkait dengan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah di Kabupaten Bogor;
(2) adanya tambahan anggaran untuk kegiatan rutin, yaitu penyediaan jasa komunikasi, sumber daya air dan listrik, serta
penyediaan makanan dan
minuman; (3) pengadaan kendaraan dinas/operasional serta meubeler; (4) rapat koordinasi pejabat pemerintah daerah serta koordinasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah lainnya; (5) penatausahaan keuangan dan koordinasi pengembangan keuangan daerah; (6) kajian peraturan perundang-undangan, legislasi rancangan peraturan daerah, publikasi peraturan perundang-undangan serta penyebarluasan informasi pembangunan daerah; (7) seleksi penermaan calon PNS; (8) penataan pelayanan prima; (9) verifikasi dan konsolidasi alas hak yang berasal dari penyerahan Fasos dan Fasum pengembang perumahan dan sertifikasi hak tanah; (10) penataan batas desa; (11) fasiloitasi dan koordinasi kegiatan pameran dan promosi; (12) fasilitasi kegiatan Musabaqoh Tilawatil Qur’an dan penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan. Pada tabel 24 diatas, hasil analisis dengan Tipologi Klassen menunjukan bahwa terdapat beberapa urusan pemerintahan/SKPD yang termasuk dalam kuadran IV atau Tidak Prioritas, artinya rata-rata kontribusi belanja dan rata-rata pertumbuhan belanja, kedua-duanya lebih rendah daripada rata-rata belanja daerah,
meliputi 12 urusan pemerintahan dan 16 SKPD, yaitu : (1) urusan
kesehatan/Dinas Kesehatan; (2) urusan pekerjaan umum/Dinas Cipta Karya; (3) urusan penataan ruang/Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup; (4) urusan perencanaan daerah/Badan Perencanaan Pembangunan Daerah; (5) urusan tenaga kerja/Dinas Tenaga Kerja dan Transmigarsi; (6) urusan koperasi dan UKM/Kantor Koperasi dan UKM; (7) urusan penanaman modal/Kantor Penanaman Modal Daerah; (8) urusan kesatuan bangsa dan politik dalam negeri/Satuan Polisi Pamong Praja; (9) urusan pemerintahan umum, terdiri dari Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, DPRD, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) dan Badan Pengawasan Daerah (Bawasda); (10) urusan kepegawaian/Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat); (11) urusan pertanian/Dinas Pertanian dan Kehutanan serta Dinas Peternakan dan Perikanan; (12) urusan perindustrian/Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Keseluruhan dari urusan pemerintahan/SKPD yang tercakup dalam kuadran IV atau Tidak Prioritas ini, rata-rata pertumbuhannya berkisar dari minus 4,58 % hingga tertinggi 21,69%, tetapi rata-rata tersebut masih berada
dibawah rata-rata pertumbuhan belanja daerah sebesar 26,81 %. Demikian juga dengan rata-rata kontribusinya, dimana jumlahnya berkisar dari terendah sebesar Rp.1,420 miliar hingga tertinggi sebesar Rp. 74,520 miliar, tetapi rata-rata tersebut tetap berada di bawah rata-rata kontribusi belanja daerah sebesar Rp. 207,503 miliar. Kondisi di atas disebabkan, antara lain : (1) adanya perubahan jumlah anggaran yang sangat fluktuatif, yakni pada tahun anggaran tertentu, terjadi tambahan alokasi anggaran, tetapi pada tahun anggaran berikutnya mengalami penurunan, sehingga bilamana dijumlahkan justru kenaikannya relatif kecil atau pun tidak mengalami perubahan bahkan secara rata-rata kumulatif, ternyata ada SKPD yang menurun pertumbuhannya, sehingga tetap lebih rendah dari rata-rata kontribusi maupun pertumbuhan dari belanja daerah; (2) selama tahun 2003-2008, SKPD tersebut hanya melaksanakan rutinitas program dan kegiatan yang sudah terpola dan baku dari tahun ke tahun, sehingga untuk tahun berikutnya hanya menambahkan jumlah plafon anggaran semata atau dikenal dengan pola ”incrementalism”; Selain itu, kalaupun ada program dan kegiatan pembangunan yang sifatnya unggulan, rintisan ataupun kegiatan inovatif lainnya, maka jumlahnya tidak banyak sehingga tambahan alokasi anggarannya tidak berdampak secara signifikan terhadap kenaikan rata-rata kontribusi maupun rata-rata pertumbuhan belanjanya.
5.2.3.
Pemetaan Alokasi Belanja Daerah Berdasarkan Prioritas Pembangunan Prioritas pembangunan daerah masih mengacu pada dokumen rencana
lima tahunan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Strategis Daerah (Renstra) Kabupaten Bogor tahun 2003-2008.
Renstra tersebut, pada setiap tahunnya dijabarkan
kedalam dokumen rencana tahunan daerah, terdiri dari Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Oleh karena itu, prioritas pembangunan daerah merupakan salah satu bagian yang terdapat dalam dokumen RKPD, KUA dan PPAS, dimana naskah awalnya ditetapkan dulu dalam RKPD, dan setelah diajukan ke DPRD Kabupaten Bogor melalui pembahasan KUA dan PPAS, maka
disepakati dalam bentuk Nota Kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan DPRD tentang KUA dan PPAS tahun anggaran yang berkenaan. Rumusan pernyataan prioritas pembangunan daerah seringkali mengalami perubahan dan tidak sepenuhnya fokus kepada prioritas yang sama pada setiap tahun anggaran selama tahun anggaran 2003-2008. Rekapitulasi rumusan prioritas pembangunan dapat dilihat pada tabel 26. Tabel 26 : Rekapitulasi Rumusan Prioritas Pembangunan Daerah periode 20032008 No.
Tahun
Prioritas Pembangunan Daerah periode 2003-2008
1.
2003
2.
2004
3.
2005
4.
2006
5.
2007
6.
2008
1. Peningkatan pendidikan masyarakat 2. Peningkatan perekonomian masyarakat/daerah melalui peningkatan pendapatan per kapita penduduk serta peningkatan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi 3. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat 4. Peningkatan penyelenggaraan pemerintahan yang baik 1. Peningkatan perekonomian masyarakat 2. Perwujudan pemerintahan yang baik (good governance) 3. Peningkatan pendidikan kesehatan masyarakat 4. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat 1. Percepatan (akselerasi) perubahan manajemen pelayanan public 2. Peningkatan profesionalisme aparatur dan/atau kompetensi aparat 3. Peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang bermutu serta terjangkau oleh masyarakat 4. Pengembangan Industri, Pertanian dan Pariwisata (Intanpari) yang menjadi unggulan Kabupaten Bogor 5. Penataan dan pengelolaan sarana, prasarana dan infrastruktur wilayah 6. Peningkatan pelayanan kehidupan keagamaan dan perbaikan taraf kehidupan masyarakat 1. Akselerasi pencapaian IPM melalui ; (1) peningkatan aksesibilitas dan kualitas pelayanan pendidikan; (2) peningkatan aksesibilitas dan kualitas pelayanan kesehatan; (3) peningkatan aksesibilitas sumber daya ekonomi bagi masyarakat 2. Peningkatan kinerja pemerintahan daerah 3. Peningkatan upaya rehabilitasi kerusakan lingkungan dan mitigasi bencana alam 4. Perbaikan taraf kesejahteraan sosial 1. Penanggulangan kemiskinan 2. Peningkatan kesempatan kerja dan investasi 3. Revitalisasi pertanian dalam arti luas dan pembangunan perdesaan 4. Peningkatan profesionalisme aparat dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik 5. Mitigasi dan penanggulangan bencana 6. Percepatan pembangunan infrastruktur 7. Pembinaan keagamaan, pemuda dan olah raga, pemberdayaan perempuan dan penangulangan masalah social 1. Peningkatan akses, mutu dan relevansi pendidikan 2. Pengembangan ekonomi lokal yang ditunjang infrastruktur wilayah dan lingkungan hidup yang berkelanjutan 3. Peningkatan pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan 4. Optimalisasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah 5. Pembangunan sosial dan keagamaan
Sumber : Diolah dari Dokumen RKPD, KUA dan PPAS Kabupaten Bogor tahun anggaran 2003-2008
Prioritas pembangunan yang dirumuskan di atas, meskipun jumlah rumusan prioritasnya berbeda-beda, termasuk redaksional bahasa yang digunakan, namun secara substansi dapat dikelompokkan menjadi 6 prioritas pembangunan, terdiri atas : (1) pendidikan; (2) kesehatan; (3) infrastruktur dan lingkungan hidup; (4) perekonomian; (5) tata kelola pemerintahan yang baik; (6) sosial kemasyarakatan. Hanya saja, fokus dari masing-masing prioritas pembangunan tidak konsisten urutannya dan tidak berkesinambungan pada setiap tahun anggaran, sehingga berimplikasi juga terhadap jumlah alokasi anggaran di masing-masing prioritas pembangunan. Dengan mengacu pada urutan prioritas tersebut, dalam pengolahan data untuk analisis tipologi Klassen, maka urusan pemerintahan/SKPD yang termasuk kedalam rumpun dari 6 prioritas tersebut, dilakukan pemilahan dan pengelompokan kembali sehingga diperoleh klasifikasi belanja daerah berdasarkan prioritas pembangunan selama periode 2003-2008. Data yang diolah adalah jumlah total belanja daerah dari masing-masing urusan pemerintahan/SKPD, baik belanja tidak langsung maupun belanja langsung, karena didasarkan pada pertimbangan bahwa setiap SKPD, senantiasa mengelola keseluruhan alokasi belanja tersebut, meskipun fungsi belanjanya ada yang dirasakan secara langsung oleh aparatur dan ada juga yang dirasakan hasil dan manfaatnya oleh masyarakat. Hasil analisis dengan tipologi Klassen dapat dilihat pada tabel 27. Tabel 27 : Klasifikasi Belanja Daerah berdasarkan Prioritas Pembangunan No
A
Uraian
Rata-rata Rata-rata Pertumbuhan Kontribusi (G) (S)
Pendidikan
16,63
438.928
1. Disdik
16,63
438,928
B
Kesehatan 1.Dinas Kesehatan 2.RS Cibinong 3.RS Ciawi
27,21 17,34 28,22 36,07
C
Perekonomian 1.KanKop UKM 2.KPMD
19,49 10,17 5,14
Klasifikasi Tipologi gi thd si thd Kuadran Ket G S
<
>
III
Kurang Prioritas
129.477 74,520 29,431 25,526
>
<
II
Cukup Prioritas
81.391 14,159 3,152
<
<
IV
Tidak Prioritas
3.Disbudpar 4.Distanhut 5.Disnakan 6.Distambang 7.Disperindag
34,58 12,15 20,06 44,14 10,17
7,637 22,257 9,527 10,500 14,159
D
Infrastruktur dan LH 1.DBMP 2.DCK 3.DTRLH 4.Dishub
27,36 34,59 17,16 14,09 43,61
266.306 208,127 37,188 6,052 14,939
>
>
I
Sangat prioritas
E
Tata Kelola Pemerintahan 1.KAPD 2.Bappeda 3.DisdukCapil-KB 4.Kesbang Linmas 5.Sat Pol PP 6.Kepda/Wakil Kepda 7.DPRD 8.Setda 9.Setwan 10.Dispenda 11.Bawasda 12.Badiklat
23,26 30,82 19,90 46,59 71,36 21,69 -4,58 4,86 19,92 83,82 4,68 14,78 11,90
258.436 3,097 12,063 16,029 5,484 6,627 1,420 8,373 140,488 15,488 29,392 7,159 12,816
<
>
III
Kurang Prioritas
F
Sosial Kemasyarakatan 1.Disnakertrans 2.BPMKS
22,95 14,96 30,93
13.601 7,036 6,565
<
<
IV
Tidak Prioritas
Belanja Daerah Belanja per Prioritas
26,81 22,82
207.503 198.023
Sumber : hasil analisis
Bilamana keempat prioritas diatas diletakkan dalam matriks tipologi Klassen, maka posisi untuk masing-masing prioritas pembangunan dapat dilihat pada tabel 28. Tabel 28 Klassen
:
Posisi Prioritas Pembangunan Daerah dalam Matriks Tipologi si > S
gi > G
gi < G
si <S
Belanja Daerah Sangat Prioritas
Belanja Daerah Cukup Prioritas
Infrastruktur
Kesehatan
Kuadran I
Kuadran II
Belanja Daerah Kurang Prioritas
Belanja Daerah Tidak Prioritas
Pendidikan Tata Kelola Pemerintahan
Ekonomi Sosial Kemasyarakatan
Kuadran III
Kuadran IV
Sumber : Hasil Analisis
Berdasarkan pemetaan di atas, maka terdapat 4 prioritas pembangunan yang telah diterapkan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten Bogor selama periode 2003-2008, yaitu : 1. Klasifikasi Sangat Prioritas adalah infrastruktur dan lingkungan hidup. Hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan alokasi belanja daerah yang ditujukan untuk membiayai kegiatan dan program pembangunan yang berkenaan dengan pembangunan fisik, khususnya lingkup pekerjaan umum termasuk klasifikasi sangat prioritas. 2. Klasifikasi Cukup Prioritas adalah kesehatan.
Hal ini menunjukan bahwa
kebijakan alokasi belanja daerah yang ditujukan untuk kegiatan dan program pembangunan yang berkenaan dengan pelayanan dasar kesehatan, baik kesehatan dasar maupun kesehatan rujukan termasuk klasifikasi cukup prioritas. 3. Klasifikasi Kurang Prioritas adalah pendidikan dan tata kelola pemerintahan
yang baik. Hal ini menunjukan bahwa kebijakan alokasi belanja daerah yang ditujukan untuk kegiatan dan program pembangunan yang berkenaan dengan pelayanan dasar pendidikan dan peningkatan kinerja pelayanan aparatur termasuk klasifikasi kurang prioritas. 4. Klasifikasi Tidak Perioritas adalah perekonomian dan sosial kemasyarakatan. Hal ini berarti bahwa kebijakan alokasi belanja daerah yang ditujukan untuk kegiatan dan program pembangunan yang menggerakkan sektor ekonomi riil/lapangan usaha dan pelayanan sosial kemasyarakat termasuk klasifikasi tidak prioritas
5.4.
Penentuan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah Penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah dilakukan untuk
menentukan beberapa aspek/kriteria yang berorientasi pada pemilihan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah berdasarkan pendekatan tematik. Berdasarkan
hasil kajian dengan menggunakan metode Analytical Hierarchi Process (AHP) bahwa terdapat tujuan, pelaku, aspek/kriteria dan alternatif kebijakan yang perlu ditentukan terlebih dahulu, agar diperoleh pilihan kebijakan alternatif yang layak untuk dipertimbangkan menjadi kebijakan alternatif alokasi belanja daerah di Kabupaten Bogor. Untuk penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik yang berorientasi pada pemenuhan pelayanan dasar, didasarkan pada Analytical Hierarchi Process (AHP) dengan menggunakan program Expert Choice 2000 dengan skema sebagai berikut :
Gambar 5 : Aspek/Kriteria yang Mempengaruhi Pengembangan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah di Kabupaten Bogor
5.4.1. Analisis Pelaku Penentu Kebijakan Hasil analisis dengan metode AHP menunjukkan bahwa pelaku penentu kebijakan alokasi belanja daerah terdiri dari Pemerintah Daerah (Pemda), dalam hal ini dilaksanakan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan DPRD dalam hal ini dilaksanakan oleh Badang Anggaran DPRD (Banang DPRD). Kedua pelaku penentu kebijakan ini berperan penting dalam tataran pengambilan
kebijakan, baik yang berkenaan dengan perumusan kebijakan dalam dokumen KUA dan PPAS hingga ke penetapan pagu anggaran/alokasi belanja daerah untuk masing-masing urusan pemerintahan/SKPD dalam APBD Kabupaten Bogor pada setiap tahun anggaran. Dari hasil analisis AHP, maka pelaku penentu kebijakan alokasi belanja daerah yang paling dominan adalah Pemda/TAPD Kabupaten Bogor dengan nilai AHP sebesar 0,795, lebih tinggi dari DPRD/Banang DPRD Kabupaten Bogor dengan nilai AHP 0,205. Rincian hasil analisis AHP untuk pelaku penentu kebijakan alokasi belanja daerah di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada tabel 29. Tabel 29 : Pelaku Penentu Kebijakan Alokasi Belanja Daerah di Kabupaten Bogor Urutan 1
Pelaku Penentu Kebijakan Pemda / TAPD
2 DPRD / Badan Anggaran DPRD Sumber : Hasil analisis
Nilai AHP 0,795 0,205
Hasil analisis AHP pada tabel 29 di atas, mengungkapkan bahwa Pemerintah Daerah/TAPD memegang peranan penting dalam penentuan kebijakan alokasi belanja daerah, karena hampir seluruh proses perumusan kebijakan yang tertuang dalam dokumen KUA dan PPAS berada pada domain Pemerintah Daerah/TAPD, dalam arti sejak dari perumusan hingga penyampaiannya kepada DPRD Kabupaten Bogor semuanya disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, sedangkan DPRD/Banang DPRD Kabupaten Bogor berperan dalam tahapan pembahasan dan klarifikasi dengan mengacu pada rumusan substansi KUA dan PPAS yang telah telah dipersiapkan oleh Pemerintah Daerah/TAPD.
Selama
tahapan pembahasan dan klarifikasi dengan DPRD/Banang DPRD, rumusan substansi yang terdapat dalam KUA dan PPAS seperti prioritas pembangunan, fokus kebijakan, sasaran prioritas hingga target kinerja pada masing-masing prioritas pembangunan beserta pagu anggaran/plafon anggaran yang diusulkan hanya sedikit mengalami perubahan, karena dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu : (1) Akses data dan informasi yang dimiliki oleh DPRD/Banang DPRD hanya
terbatas pada rancangan KUA dan PPAS yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah/TAPD; (2) Keterbatasan waktu dan kapasitas dari anggota DPRD/Banang DPRD untuk mengkaji substansi dari dokumen KUA dan PPAS, sehingga yang diprioritaskan adalah program-program yang mencuat ke permukaan, seperti permasalahan yang muncul dan dimuat dalam media cetak ataupun ada usulan/keluhan langsung dari konstituen atas permasalahan pelayanan oleh aparatur/SKPD dari masing-masing Dapil anggota DPRD; (3) Jumlah dan volume anggaran belanja beserta program dan kegiatan pembangunan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah/TAPD cukup banyak, sehingga tidak semua usulan yang tertuang dalam KUA dan PPAS dapat dibahas dengan memadai, apalagi dibahas satu per satu sesuai dengan usulan dan akibatnya, yaitu usulan yang tidak dibahas otomatis dianggap sudah disepakati/disetujui oleh DPRD/Banang DPRD; (4) Revisi/perbaikan atas hasil pembahasan/klarifikasi untuk usulan program dan kegiatan pembangunan hanya ditindaklanjuti oleh Pemerintah Deaerah/TAPD, dimana perbaikannya dilakukan secara terpisah oleh Pemerintah Deaerah/TAPD atau
tidak
dihadiri
oleh
DPRD/Banang
DPRD,
kemudian
hasil
penyempurnaannya dibahas kembali dengan sebagian anggota DPRD/Banang DPRD, sehingga terdapat peluang baru bagi Pemerintah Daerah/TAPD untuk menyelaraskannya sesuai dengan skenario dari Pemerintah Daerah/TAPD; (5) pada Nota Kesepakatan yang akan ditandatangani oleh Pimpinan DPRD (Ketua dan para Wakil Ketua) dan Bupati Bogor, ringkasan atas substansi yang telah disepakati dalam pembahasan tidak merinci mengenai substansi dari prioritas pembangunan, fokus kebijakan, sasaran strategis maupun pagu anggaran/plafon anggaran sementara (tentatif) bagi setiap urusan pemerintahan/SKPD, karena hal itu terdapat pada dokumen yang terpisah antara naskah utama dokumen KUA dan PPAS dengan format Nota Kesepakatan yang akan ditandatangani bersama, sehingga terkesan Nota Kesepakatan yang telah ditandatangani hanya formalitas belaka. 5.4.2. Analisis Aspek Penentuan Kebijakan Hasil analisis dengan metode AHP memperlihatkan bahwa terdapat 7 aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah, yaitu : (1) Prediksi kemampuan APBD yang akan datang; (2)
Evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah; (3) Pedoman penyusunan APBD tahun berkenaan; (4) Agenda/prioritas pembangunan dari pemerintah Pusat dan Provinsi; (5) Hasil Musrenbang; (6) Indikasi program/kegiatan dan target kinerja yang telah ditetapkan dalam RPJMD; (7) Hasil aspirasi langsung melalui Reses, Jumling dan konstituen menurut daerah pemilihan (Dapil) anggota DPRD. Dari hasil analisis AHP tersebut, memperlihatkan bahwa aspek yang paling berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah secara berurutan adalah : (1) indikasi program/kegiatan pembangunan dan target kinerja yang telah ditetapkan dalam RPJMD; (2) Hasil Musrenbang; (3) Prediksi kemampuan APBD yang akan datang; (4) Evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah; (5) Hasil Aspirasi langsung melalui Reses, Jumling dan aspirasi dari konstituen menurut Dapil anggota DPRD; (6) Agenda/prioritas pembangunan dari pemerintah pusat/provinsi; (7) Pedoman penyusunan APBD tahun berkenaan.
Rincian datanya berkenaan dengan urutan aspek yang
berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah dapat dilihat pada tabel 30. Tabel 30 : Aspek yang berpengaruh dalam Penentuan Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah di Kabupaten Bogor Urutan 1 2 3 4
5
Aspek Indikasi program/kegiatan dan target kinerja yang telah ditetapkan dalam RPJMD Hasil Musrenbang Prediksi Kemampuan APBD Evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah Hasil Aspirasi langsung melalui Reses, Jumling dan aspirasi dari konstituen menurut Dapil anggota DPRD
6
Agenda/prioritas pembangunan pemerintah pusat/provinsi
7
Pedoman berkenaan
Sumber : Hasil analisis
penyusunan
APBD
Nilai AHP 0,283 0,269 0,169 0,106
0,089
dari
0,049
tahun
0,035
Pada tabel 30 di atas, bahwa aspek yang paling berpengaruh menurut kedua penentu kebijakan, baik Pemda/TAPD maupun DPRD/Banang DPRD dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah adalah indikasi Program/Kegiatan dan target kinerja dalam RPJMD dengan nilai AHP 0,283. Hal ini terkait dengan kedudukan dan fungsi dari
RPJMD, yaitu : (1) sebagai
penjabaran dari visi, misi dan program Kepala Daerah kedalam rencana strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, program prioritas kepala daerah dan arah kebijakan keuangan daerah, dengan mempertimbangkan RPJP Daerah; (2) dokumen perencanaan daerah yang memberikan arah sekaligus acuan bagi seluruh komponen pelaku pembangunan daerah dalam mewujudkan pembangunan daerah secara berkesinambungan; (3) pedoman dalam penyusunan Renstra SKPD, RKPD dan Renja SKPD sekaligus KUA dan PPAS selama lima tahun yang akan datang; (4) dasar penilaian untuk Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati Bogor selama lima tahun yang akan datang atau periode 2003-2008. Untuk dasar penilaian LKPJ dimaksud, kriteria yang seringkali digunakan adalah sejauhmana realisasi dari indikasi program/kegiatan dan target kinerja yang telah ditetapkan dalam dokumen RPJMD oleh kepala daerah. Jika hal-hal tersebut dapat terealisasi atau melampaui target yang telah ditetapkan berarti Bupati Bogor telah mampu memenuhi janjinya, baik yang pernah disampaikan ketika masa kampanye sebagai calon Bupati Bogor maupun setelah duduk dalam jabatan sebagai Bupati Bogor. Jadi, realisasi dari indikasi program/kegiatan dan target kinerja dalam RPJMD adalah ukuran keberhasilan dari seorang kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah selama masa jabatannya. Aspek kedua yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah adalah hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dengan nilai AHP 0,269. Musrenbang adalah forum multi pihak (stakeholder) atau pemangku kepentingan untuk memusyawarahkan usulan program dan kegiatan pembangunan untuk tahun yang akan datang dan dilaksanakan secara berjenjang, mulai dari Musrenbang desa/kelurahan, Musrenbang kecamatan, kemudian diikuti dengan Forum SKPD dan terakhir dengan Musrenbang Kabupaten.
Hal mendasar yang harus diperhatikan dari
seluruh tahapan dan tingkatan pelaksanaan Musrenbang adalah kriteria skala
prioritas yang digunakan untuk menetapkan masuk atau tidak masuknya usulan yang menjadi kebutuhan masyarakat, baik yang berkenaan dengan kegiatan fisik maupun non-fisik dalam anggaran belanja pemerintah atau pun dengan dana swadaya masyarakat. Aspek ketiga yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah adalah prediksi kemampuan APBD untuk tahun anggaran yang akan datang dengan nilai AHP 0,169. Aspek ini, sesungguhnya titik sentral dalam penentuan kebijakan alokasi belanja daerah, karena dengan prinsip Money
Follow Function, minimal prakiraan atau ”ancar-ancar” kemampuan APBD untuk satu tahun yang akan datang sudah dapat teridentifikasi ketika memasuki tahapan perumusan kebijakan alokasi
belanja daerah dalam pembahasan
pendahuluan rancangan APBD dengan DPRD. Berkenaan dengan hal tersebut, pemerintah daerah perlu memberlakukan konsep Anggaran Pengeluaran Jangka Menengah (MTEF=Medium Term Expenditure Fund) sebagai satu skenario prakiraan maju dari rencana alokasi belanja daerah selama periode berlakunya RPJMD. Hal ini dimaksudkan agar program/kegiatan pembangunan, baik satu tahun maupun tahun jamak (multy years) memiliki kepastian ketersediaan alokasi anggaran sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Aspek keempat yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi
belanja
daerah
adalah
hasil
evaluasi
kinerja
penyelenggaraan
pemerintahan daerah dengan nilai AHP 0,106. Laporan hasil evaluasi dimaksud terdiri dari dua hal, yaitu evaluasi capaian kinerja dan evaluasi keuangan daerah. Untuk laporan evaluasi capaian kinerja dapat dinilai menurut substansi dari Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang disampaikan ke Menpan, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) yang disampaikan ke DPRD, Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) yang disampaikan ke Mendagri
melalui
Gubernur
dan
Informasi
Laporan
Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (ILPPD) kepada masyarakat melalui media massa (media cetak dan elektronik). Sedangkan penilaian evaluasi capaian keuangan daerah dapat diperhatikan dalam Laporan Semester I dan Prognosis Semester II pelaksanaan APBD dan Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (LPJP) berupa Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor menurut hasil
audit/penilaian dari BPK yang diterbitkan enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. Dari kedua kelompok laporan evaluasi itu, baik evaluasi capaian kinerja maupun evaluasi capaian keuangan daerah, maka kriteria yang digunakan adalah sejauhmana kesesuaian atau penyimpangan yang terjadi antara rencana dan realisasi sesuai dengan indikator kinerja yang telah ditetapkan. Untuk evaluasi kinerja, kesesuaian atau penyimpangan kinerja harus didasarkan pada capaian dari Indikator Kinerja Utama (IKU) dan Indikator Kinerja Kunci (IKK-Key
Performance Indicators) di 3 tataran penilaian, yaitu : (1) tataran pengambil kebijakan; (2) tataran pelaksana kebijakan; (3) tataran capaian program pembangunan. Sedangkan untuk evaluasi capaian keuangan daerah, sekurangkurangnya meliputi evaluasi atas Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan Atas Laporan Keuangan, yang kesemuanya didasarkan pada opini BPK atas laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor, apakah termasuk kedalam opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP-Unqualified Opinion), Wajar Dengan Pengecualian (WDP-Qualified Opinion),
Tidak Wajar (Adversed
Opinion) dan Pernyataan Menolak Memberikan Opini (Disclaimer of Opinion). Kesimpulan dari hasil evaluasi dimaksud, kepala daerah wajib melakukan penyesuaian, perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pengelolaan keuangan daerah pada tahun yang akan datang. Aspek kelima yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah adalah Hasil Aspirasi Masyarakat melalui Reses, Jumling & aspirasi dari konstituen melalui Dapil anggota DPRD dengan nilai AHP 0,089. Mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) menyatakan bahwa penjaringan aspirasi masyarakat dapat dilakukan melalui jalur eksekutif atau pemerintah daerah maupun melalui jalur legislatif atau DPRD, dengan mekanisme atau tahapan melalui 5 pendekatan, yaitu : (1) pendekatan politik; (2) pendekatan teknokratik; (3) pendekatan partisipatif; (4) Pendekatan atas bawah (Top-Down) dan (5) Pendekatan bawah atas (Bottom-Up). Khusus yang berkenaan dengan pendekatan bawah atas (bottom-up), didalamnya memuat hasil penjaringan aspirasi masyarakat melalui Reses, Jum’at Keliling (Jumling) dan usulan langsung dari konstituen kepada anggota DPRD menurut Daerah
pemilihannya (Dapil), dimana seharusnya DPRD merumuskannya terlebih dahulu kedalam Pokok-pokok Pikiran DPRD, agar
aspirasi tersebut sesuai dengan
batasan kewenangan di masing-masing tingkatan pemerintahan dan untuk selanjutnya dibahas dengan Pemda/TAPD dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD, yaitu ketika dilakukan pembahasan/klarifikasi atas rancangan KUA dan PPAS sesuai dengan agenda/jadwal yang telah ditetapkan. Hasil penjaringan aspirasi dimaksud, seringkali disampaikan ketika pembahasan RAPBD, sehingga kesepakatan yang telah terbangun dan terencana dengan sistematis dalam dokumen KUA dan PPAS mengalami distorsi atau penyimpangan dari rencana yang telah ditetapkan. Aspek keenam yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah adalah agenda/prioritas pembangunan Pemerintah Pusat dan Propinsi dengan nilai AHP 0,049. Sejalan dengan pendekatan atas bawah (Top-Down) dan dalam rangka integrasi/keterpaduan perencanaan secara nasional, Pemerintah Pusat dan Provinsi seringkali memberikan Tugas Pembantuan kepada kabupaten/kota
dan/atau
Tugas
Bersama
(konkuren)
sesuai
dengan
kewenangannya untuk melaksanakan urusan pemerintahan tertentu sesuai dengan agenda/prioritas pembangunan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Provinsi. Agenda/prioritas pembangunan dimaksud, seringkali anggarannya menjadi tanggungjawab penuh dari Pemerintah Pusat dan Provinsi, tetapi ada juga yang memberikan persyaratan harus didukung dengan anggaran dari pemerintah kabupaten/kota, baik berupa dana pendamping, dana penunjang maupun dana yang harus dialokasikan secara khusus (dana urusan bersama) karena tugas yang diberikan termasuk dalam kategori Tugas Bersama yang melibatkan Pemerintah Pusat, Provinsi sekaligus kabupaten/kota. Aspek ketujuh atau aspek terakhir yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah adalah Pedoman penyusunan APBD yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat pada setiap tahun anggaran dengan nilai AHP 0,035.
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pemerintah
Pusat
perlu
menetapkan
Peraturan
Menteri
Dalam
Negeri
(Permendagri) tentang Pedoman Penyusunan APBD pada setiap tahun anggaran.
Permendagri dimaksud adalah pengaturan yang bersifat khusus pada tahun anggaran berkenaan, karena pengaturan yang bersifat umum sesungguhnya telah ditetapkan terlebih dahulu dalam Permendagri Nomor 13 tahun 2006, sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 59 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam permendagri tentang pedoman penyusunan APBD, terdapat sejumlah arah kebijakan yang harus dipedomani oleh pemerintah kabupaten/kota dalam penyusunan KUA dan PPAS sekaligus penyusunan RAPBD tahun anggaran berikutnya, sekurang-kurangnya memuat : (1) pokok-pokok kebijakan yang memuat sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan pemerintah daerah; (2) prinsip dan kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran yang berkenaan; (3) teknis penyusunan APBD yang merinci substansi kebijakan yang berkenaan dengan pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah.
Khusus untuk belanja daerah, umumnya dirinci
kebijakannnya ke setiap kelompok belanja, komponen belanja, obyek belanja hingga rincian obyek belanja yang diperkenankan atau tidak diperkenankan untuk dialokasikan kedalam lingkup Belanja Tidak Langsung (BTL) maupun Belanja Langsung (BL) serta hal-hal teknis lainnya yang berkenaan administrasi penyusunan APBD; (4) hal-hal khusus lainnya yang dianggap penting untuk dipedomani oleh pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan pedoman penyusunan APBD tersebut, maka substansi yang sangat mempengaruhi kebijakan alokasi belanja daerah adalah sinkronisasi kebijakan, prinsip dan kebijakan penyusunan APBD, baik yang berkenaan dengan kebijakan pendapatan daerah, belanja daerah maupun pembiayaan daerah. Untuk menunjukkan kepatuhan dan ketaatan dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan, seringkali pemerintah daerah mengadopsi sepenuhnya arah kebijakan yang telah ditetapkan dalam permendagri tersebut, sehingga kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah terjadi ”bias
kebijakan ke atas”, dalam arti substansi yang tertuang dalam dokumen KUA dan PPAS seolah-olah adalah substansi kebijakan pusat yang didaerahkan. Kondisi ini sulit dihindari oleh pemerintah daerah, karena kriteria penilaian kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah pada tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir, terutama capaian kinerja yang dilaporkan dalam dokumen Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Menteri Dalam Negeri
melalui Gubernur bahwa salah satu kriteria penilaiannya adalah sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang ditunjukan dengan kepatuhan dan ketaatan dalam implementasi peraturan perundangundangan yang diberlakukan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. 5.4.3. Analisis Urutan Pilihan Kebijakan Alternatif Hasil analisis dengan AHP menunjukkan bahwa prioritas kebijakan alternatif alokasi belanja daerah yang ditentukan oleh pelaku kebijakan (Pemda dan DPRD) setelah mempertimbangkan berbagai aspek yang berpengaruh terhadap penentu kebijakan, yaitu menentukan kebijakan alokasi belanja berdasarkan
pendekatan
pendekatan
tematik
dan
kewilayah.
Dengan
memperhatikan berbagai aspek/kriteria penentuan kebijakan di atas, pelaku kebijakan, baik Pemda/TAPD dan DPRD/Banang DPRD menentukan lebih lanjut kebijakan alternatif alokasi belanja daerah dengan 3 pendekatan, yaitu : (1) pendekatan tematik, yaitu kebijakan alokasi belanja daerah yang didasarkan pada tema-tema tertentu, berawal dari rumusan misi pemerintah daerah, kemudian dijabarkan kedalam prioritas pembangunan, fokus kebijakan, sasaran strategis, target kinerja hingga kegiatan tematik untuk mengatasi masalah kronis dan perbaikan kinerja yang senantiasa muncul pada setiap tahun anggaran, kemudian dipilih dan ditetapkan menjadi tema-tema (tematik) kebijakan untuk tahun anggaran berkenaan; (2) pendekatan kewilayahan adalah kebijakan alokasi belanja daerah yang didasarkan pada pemenuhan alokasi dana pembangunan menurut kriteria/formula tertentu bagi wilayah kecamatan dan/atau wilayah pembangunan yang ada dan berlaku di Kabupaten Bogor; (3) pendekatan tematik dan kewilayahan adalah kebijakan alokasi belanja daerah yang didasarkan pada pemenuhan alokasi dana pembangunan menurut perpaduan/integrasi antara pertimbangan pendekatan tematik dan pendekatan kewilayan sebagaimana batasan di atas. Hasil analisis dengan metode AHP memperlihatkan bahwa kebijakan alternatif yang paling berpengaruh menurut pelaku kebijakan, baik Pemda/TAPD maupun DPRD/Banang DPRD penentuan
kebijakan
adalah
setelah mempertimbangkan
kebijakan
alokasi
belanja
aspek/kriteria
daerah
dengan
pertimbangan tematik dan kewilayahan dengan nilai AHP gabungan 0,489.
Artinya, jika suatu urusan pemerintahan/SKPD telah mendapatkan alokasi anggaran sementara (tentatif) dari Pemda/TAPD dan DPRD/Banang DPRD sebagaimana ditetapkan dalam nota kesepakatan KUA dan PPAS, maka menjadi kewajiban bagi setiap SKPD untuk mempertimbangkan juga aspek pemerataan dari pagu atau plafon anggaran tersebut bagi setiap wilayah kecamatan, selain aspek proporsional sesuai dengan bobot permasalahan bagi kecamatan tertentu, sehingga seluruh wilayah di Kabupaten Bogor akan merasakan intervensi dari setiap SKPD berkenaan dengan kegiatan dan program pembangunan yang menjadi fokus penanganannya selama lima tahun pelaksanaan RPJMD. Tabel 31 : Urutan Pilihan Kebijakan Alternatif oleh Pemda/TAPD dan DPRD/Banang DPRD dengan Aspek Penentuan Kebijakan Pemerintah Daerah / TAPD DPRD / Badan Anggaran DPRD Tematik dan Tematik dan Tematik Kewilayahan Tematik Kewilayahan Kewilayahan Kewilayahan Prediksi APBD 0,514 0,127 0,359 0,280 0,164 0,556 Evaluasi Kinerja 0,186 0,146 0,667 0,421 0,136 0,442 Pedoman APBD 0,187 0,126 0,688 0,462 0,148 0,390 Agenda Pusat & 0,281 0,118 0,601 0,313 0,175 0,512 Provinsi Hasil 0,147 0,480 0,373 0,124 0,393 0,483 Musrenbang Indikasi RPJMD 0,315 0,203 0,482 0,395 0,218 0,387 Hasil aspirasi 0,171 0,415 0,415 0,151 0,347 0,501 DPRD Rata-rata 0,257 0,231 0,512 0,306 0,226 0,467 • Tematik 0,282 Gabungan Pemda 0,229 • Kewilayahan & DPRD 0,489 • Tematik dan Kewilayahan Aspek
Sumber : Hasil analisis Urutan pilihan prioritas kebijakan alternatif yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah/ TAPD adalah sama dengan prioritas kebijakan alternatif yang ditentukan oleh DPRD/Badan Anggaran DPRD, yaitu dengan urutan sebagai berikut. Tabel 32 : Urutan Pilihan Kebijakan Alternatif oleh Pemda/TAPD dan DPRD/Badan Anggaran DPRD/Banang DPRD Urutan Pilihan
Gabungan
Pemerintah Daerah / TAPD
DPRD / Badan Anggaran
DPRD 1. Kebijakan alternatif dengan pendekatan tematik dan kewilayahan 2. Tematik 3. Kewilayahan Sumber : Hasil analisis
5.5.
0,489
0,512
0,467
0,282 0,229
0,257 0,231
0,306 0,226
Implikasi terhadap Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah menurut Pendekatan Tematik Dengan memperhatikan analisis pada bab-bab sebelumnya, terdapat
sejumlah temuan dalam kajian ini yang dapat digunakan untuk merumuskan lebih lanjut implikasinya terhadap kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik, diantaranya bahwa aspek/kriteria yang berpengaruh terhadap penentuan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah dengan nilai AHP terbesar, yaitu aspek indikasi program dan kegiatan beserta target kinerja yang telah ditetapkan dalam dokumen RPJMD, dengan nilai AHP 0,283, sedangkan urutan pilihan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah dengan tiga pendekatan, yaitu urutan dengan AHP 0,489 adalah pendekatan tematik dan kewilayahan, kemudian pendekatan tematik dengan AHP 0,282 serta pendekatan kewilayah dengan AHP 0,229. Berhubung keterbatasan data yang dapat diperoleh untuk merumuskan pendekatan tematik dan kewilayahan sekaligus, maka dalam kajian ini dititikberatkan pada kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik. Batasan dari pendekatan tematik adalah kebijakan alokasi belanja daerah yang didasarkan pada tema-tema tertentu, berawal dari rumusan misi pemerintah daerah, kemudian dijabarkan kedalam prioritas pembangunan, fokus kebijakan, sasaran strategis, target kinerja hingga kegiatan tematik untuk mengatasi masalah kronis dan perbaikan kinerja yang senantiasa muncul pada setiap tahun anggaran, kemudian dipilih dan ditetapkan menjadi tema-tema (tematik) kebijakan yang diterapkan secara berkesinambungan dan mendapatkan kepastian alokasi belanja belanja pada setiap tahun anggaran hingga akhir periode berlakunya dokumen RPJMD. Langkah-langkah untuk implementasi dari pendekatan tematik terdiri
dari dua tahap, yaitu : (1) merumuskan terlebih dahulu tema-tema (tematik) dalam dokumen perencanaan tahunan sebagai penjabaran dari dokumen lima tahunan/RPJMD; (2) menentukan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara yang sifatnya permanen, baik alokasi dasar maupun alokasi proporsional menurut tema-tema (tematik) yang telah ditetapkan dan mengaitkannya dengan target kinerja yang telah ditetapkan. Kedua langkah tersebut, jika sudah dirumuskan tematiknya dan ditetapkan pagu anggaran atau plafon anggaran sementaranya, maka langkah terakhir adalah mengadopsinya dan memasukannya kedalam dokumen KUA dan PPAS sebagai kebijakan alokasi belanja daerah pada setiap tahun anggaran. Tahap pertama adalah perumusan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik secara teknis disusun sebagai berikut : 1.
Pernyataan Misi dari Pemerintah Kabupaten Bogor dikelompokan kedalam prioritas pembangunan sesuai dengan substansi dari rumusan misi tersebut. Berdasarkan hasil kajian ini, maka rumusan 6 misi dari Pemerintah Kabupaten Bogor dapat diklasifikasikan kedalam tema-tema (tematik) sebagai berikut : (1) tata kelola pemerintahan yang baik (good governace); (2) peningkatan kualitas pelayanan pendidikan; (3) peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; (4) pengembangan perekonomian; (5) peningkatan infrastruktur wilayah; (6) peningkatan kehidupan sosial kemasyarakatan. Misi yang telah dirumuskan kembali kedalam tematik di atas, dipilih dan ditetapkan menjadi prioritas pembangunan daerah. Penempatan urutan prioritasnya bisa tetap sama atau diubah, tergantung dari pilihan tingkat penyelesaian masalah dan perbaikan kinerja yang akan dicapai pada tahun anggaran yang berkenaan. Jika dilihat dari hasil kajian ini, maka urutan prioritasnya sebagai berikut : (1) peningkatan infrastruktur wilayah; (2)
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; (3)
peningkatan kualitas pelayanan pendidikan; (4) tata kelola pemerintahan yang baik; (5) pengembangan perekonomian; (6) peningkatan kehidupan sosial kemasyarakatan. 2.
Dengan mengacu pada prioritas pembangunan daerah secara tematik tersebut, maka dapat dirumuskan lebih lanjut fokus kebijakan, sasaran strategis, target
kinerja hingga kegiatan tematiknya yang konsisten dengan seluruh rumusan tersebut. Dengan mengacu pada langkah-langkah di atas, maka sebagai gambaran, berikut ini akan dirumuskan salah satu kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik
untuk misi pertama sebagai kerangka acuan,
sedangkan perumusan untuk misi lainnya kiranya berpatokan pada contoh format tabel di bawah ini. Tabel 33 : Contoh Format Implementasi dari Kebijakan Alternatif Alokasi Belanja Daerah Misi Pertama : Meningkatkan Kualitas Infrastruktur Wilayah Prioritas Pembangunan Daerah 1.
Peningkata n Kualitas Infrastrukt ur Wilayah
Fokus Kebijakan
Sasaran Strategis
1. Jalan kabupaten yang bernomor ruas
1. Bertambahnya kondisi mantap jalan kabupaten
Target Kinerja
1. Jalan mantap kabupaten sepanjang 1.506 km
Kegiatan Tematik
1. Pembangunan jalan
2. Peningkatan jalan 3. Rehabilitasi jalan 4. Pemeliharan jalan
2.Jalan desa
3.Jembatan
2.Bertambahnya kondisi baik jalan desa
2. Jalan desa sepanjang 856 km
1. Peningkatan jalan desa
3.Bertambahnya jumlah dan kondisi baik jembatan
3. Jembatan sebanyak 682 buah
1. Pembangunan jembatan
2. Bantuan keuangan untuk jalan desa
2. Peningkatan jembatan 3. Rehabilitasi jembatan 4. Pemeliharan jembatan
4.Irigasi pemerintah
4.Bertambahnya kondisi baik irigasi pemerintah
4.Irigasi pemerintah sebanyak 32 daerah irigasi
1. Peningkatan jaringan irigasi 2 Rehabilitasi jaringan irigasi 3 Pemeliharan jaringan
5.Irigasi desa
5.Bertambahnya kondisi baik irigasi desa
5.Irigasi desa sebanyak794 daerah irigasi
1. Peningkatan jaringan irigasi desa 2. Rehabilitasi jaringan irigasi desa
2. Bantuan keuangan untuk jaringan irigasi desa 2. dst….
1.…..
1……
1……
1……
Sumber : Hasil Analisis
Tahap kedua adalah menentukan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara, baik alokasi dasar maupun alokasi proporsional menurut tema-tema (tematik kegiatan) yang telah ditetapkan dan mengaitkannya dengan target kinerja yang telah ditetapkan. Berarti pada tahap ini adalah merumuskan lebih lanjut alokasi belanja daerahnya sesuai dengan kegiatan tematik dan dikaitkan dengan target kinerja yang akan dicapai pada tahun anggaran yang berkenaan. Untuk itu, ketika penentuan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara, maka dilakukan pemilahan dan pengelompokan terlebih dahulu jumlah pagu anggaran atau plafon anggaran sementara yang telah ditetapkan dalam RKPD atau pun KUA dan PPAS kedalam kelompok belanja sesuai dengan pedoman pengelolaan keuangan daerah, yaitu kelompok Belanja Tidak Langsung (BTL) dan kelompok Belanja Langsung (BL). Berhubung BTL tidak terkait secara langsung dengan rencana pencapaian kinerja, (meskipun didalamnya terdapat alokasi untuk BTL Non-pegawai yang dapat ditetapkan target kinerjanya), tetapi karena selama ini yang menonjol adalah alokasi yang berkenaan dengan
gaji, tunjangan dan tambahan penghasilan
pegawai, maka secara keseluruhan alokasi dari BTL tidak ditetapkan sebagai komponen dari kinerja pemerintah daerah. Oleh karena itu, perumusan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik hanya terkait dengan belanja langsung yang didalamnya terdapat program dan kegiatan pembangunan beserta target kinerja yang akan dicapai dari setiap program dan kegiatan tersebut. Dengan mengacu pada contoh rumusan kegiatan tematik pada tabel 33, maka dapat ditentukan besaran alokasi belanja daerah untuk setiap kegiatan dengan bertitik-tolak dari hal-hal sebagai berikut : (1) target kinerja dari kegiatan tematik ditentukan terlebih dahulu pada tahun anggaran yang berkenaan dengan mengaitkan antara target kinerja lima tahunan dengan penjabarannya pada setiap tahun.
Misalnya pada contoh di atas, target kinerja jalan mantap kabupaten
sepanjang 1.506 km selama 2003-2008, maka jika kondisi sebelumnya telah
diketahui bahwa panjang jalan yang belum dalam kondisi mantap, yaitu tersisa 300 km, maka target dimaksud dilakukan penyesuaian, dengan demikian target kinerja jalan mantap yang harus dicapai adalah sekitar 300 km untuk periode 2003-2008; (2) persyaratan lainnya, yaitu sudah tersedianya analisis standar belanja (ASB) untuk masing-masing jenis kegiatan tematik.
Sebagai contoh,
untuk peningkatan jalan menjadi jalan mantap dengan konstruksi beton bertulang (cor beton) maka diketahui ASB untuk tiap meter jalan dengan kondisi tersebut, yaitu Rp. 1 juta per meter (didalamya sudah tercakup seluruh tahapan kegiatan sejak dari persiapan, pelaksanaan konstruksi, pengawasan hingga pemeliharaan pasca konstruksi); (3) dengan mengetahui kedua persyaratan tersebut, maka diketahui jumlah pagu anggaran atau plafon anggaran sementara untuk setiap kegiatan tematik, dengan formula, yaitu : Plafon anggaran sementara = Target Kinerja x ASB. Jika target selama periode 2003-2008 diasumsikan sepanjang 300 km, dan diasumsikan dananya sudah tersedia, maka jumlah pagu atau plafon anggaran sementara untuk kegiatan tematik peningkatan jalan kabupaten adalah : 300 km x Rp. 1 juta/m = Rp. 300. 000.000.000,-/selama 5 tahun, berarti jika dibagi rata pada setiap tahun maka target kinerjanya 60 km dan plafon anggaran sementara sebesar 60 miliar. Dengan memperhatikan uraian di atas, maka penetapan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara untuk setiap kegiatan tematik dapat diurutkan dengan rumusan sebagaimana format pada tabel di bawah ini. Tabel 34 : Contoh Penentuan Plafon Anggaran Sementara untuk Kegiatan Tematik Misi Pertama Prioritas Pembangunan Daerah Fokus Kebijakan Sasaran Strategis Target Kinerja
1. Jalan mantap kabupaten sepanjang 300 km
: Meningkatkan Kualitas Infrastruktur Wilayah : Peningkatan Kualitas Infrastruktur Wilayah : Jalan kabupaten yang bernomor ruas : Bertambahnya kondisi mantap jalan kabupaten Kegiatan Tematik Plafon Anggaran Sementara Periode 2003-2008 (Rp. Miliar) 2004
2005
2006
2007
2008
-
-
-
-
-
2. Peningkatan jalan
60
60
60
60
60
3. Rehabilitasi jalan
-
-
-
-
-
4. Pemeliharan jalan
dst
dst
dst
dst
dst
1. Pembangunan jalan
2.dst……
1.dst…….
-
-
-
-
Sumber : Hasil analisis
Tahap terakhir dari penerapan dua format implementasi dari kebijakan alternatif alokasi belanja daerah di atas, yaitu setiap SKPD mengajukan usulan Pra-Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (Pra-RKA SKPD) sesuai dengan format dan tahapan di atas, kemudian diikuti dengan tahapan verifikasi Pra-RKA oleh anggota Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), agar diketahui konsistensi antara rumusan rencana hingga target kinerja (format tabel 33) dengan penganggaran berupa pagu anggaran atau plafon anggaran sementara (format tabel 34), sehingga memudahkan untuk memasukannya kedalam format penyusunan dokumen KUA dan PPAS pada setiap tahun anggaran.
-