BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan temuan dan pembahasan sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut: 1. Secara keseluruhan, kualitas belanja daerah (APBD) di Kabupaten Halmahera Barat relatif belum berkualitas. 2. Indikator disiplin belanja daerah Terdapat
3
(tiga)
faktor
utama
yang
cenderung
menyebabkan
ketidakdisiplinan belanja terhadap prioritas pembangunan daerah, yaitu (1) Kualitas dokumen perencanaan dan penganggaran yang masih rendah; (2) Pelaksanaannya yang belum konsisten; (3) Politik anggaran yang cenderung belum memihak pada konsistensi pelaksanaan prioritas pembangunan daerah. 3. Indikator ketepatan alokasi belanja modal, ketepatan alokasi belanja pegawai, serta ketepatan alokasi belanja hibah dan bantuan sosial a. Alokasi belanja modal Kabupaten Halmahera Barat belum dapat ditingkatkan hingga 30%. Sebabnya adalah kemampuan keuangan daerah yang masih rendah, serta kebijakan pimpinan „level atas‟ yang sering mendistorsi nilai alokasi anggaran sehingga belanja modal yang ditentukan sebelumnya dapat berubah pada tahap selanjutnya. b. Alokasi belanja pegawai cenderung menurun di bawah 50% dari total belanja daerah. Dari tahun 2011-2015, rata-ratanya 46,58%. Namun, kondisi
1
pembangunan di Kabupaten Halmahera Barat yang relatif masih tertinggal, maka nilai alokasi belanja pegawai dalam temuan ini, dinilai masih memberatkan APBD. c. Belanja hibah dan bantuan sosial relatif belum tepat sasaran. Pengelolaannya belum transparan dan akuntabel, sehingga sering terjadi perilaku oportunistik. Pada kasus bantuan sosial, perilaku ini terindikasi ketika ada pihak SKPD yang sengaja merancang kelompok atau kegiatan fiktif. Sementara di tingkat masyarakat, belum terwujud pembinaan yang komprehensif sehingga ada masyarakat yang „berinisiatif‟ menjual bantuan tersebut. Kondisi ini kemudian melahirkan masalah pada tahap pertanggungjawaban anggaran. 4. Indikator penetapan APBD Kabupaten Halmahera Barat Dalam 5 tahun terakhir (2011-2015) sudah tepat waktu, yaitu sebelum tanggal 30 Desember tahun berjalan. Namun, sering terlambat dalam proses penyusunan dan penyerahan KUA-PPAS ke DPRD. Keterlambatan ini tentunya akan memengaruhi
pendalaman
kajian
DRPD
terhadap
dokumen
tersebut.
Implikasinya, produk dokumen berupa APBD relatif sulit memenuhi kualitas dokumen yang diharapkan. 5. Indikator efisiensi dan Efektifitas Belanja a. Pengelolaan belanja daerah di Kabupaten Halmahera Barat relatif belum efisien, terutama pada kegiatan seperti perjalanan dinas, pengelolaan anggaran Festival Teluk Jailolo, kegiatan „sosialisasi‟, serta tugas dan fungsi yang berlebihan (overlapping) sehingga cenderung menciptakan pemborosan
2
anggaran. Di lain sisi, terindikasi adanya penyalahgunaan (korupsi) anggaran publik (APBD) oleh „pejabat daerah‟, yang berarti mencerminkan pengelolaan belanja semakin tidak efisien. b. Pengelolaan belanja daerah di Kabupaten Halmahera Barat relatif belum efektif. Hal ini ditandai: (1) Keberpihakan alokasi belanja masih kecil untuk kepentingan publik; (2) Masih terdapat kegiatan-kegiatan yang sudah dilaksanakan tetapi belum dapat digunakan (dinikmati) masyarakat; (3) Pada beberapa kasus, masih terdapat alokasi anggaran fiktif; (4) Belanja daerah belum optimal dalam menggerakkan aktifitas perekonomian di daerah; (5) Umumnya, pengelolaan belanja daerah belum berdampak signifikan sebagai problem solving atas permasalahan pembangunan di daerah c. Penyusunan anggaran masih cenderung mengikuti paradigma incrementalism dan line-item budget. Hal ini terindikasi dari lemahnya tolok ukur indikator kinerja dalam setiap program dan kegiatan yang dianggarkan oleh sebagian besar SKPD. Termasuk di dalamnya adalah penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang belum optimal. Di lain sisi belum ada keseriusan dalam penyusunan Analissi Standar Biaya (ASB) sebagai metode menilai kewajaran penggunaan anggaran. 6. Indikator pertanggungjawaban dan dapat diakses publik (akuntabilitas dan transparansi pengelolaan belanja daerah) a. Pada indikator pertanggungjawaban, pengelolaan belanja daerah belum sepenuhnya dapat dipertanggungjawaban. Kecenderungan ini teridentifikasi
3
dari pengelolaan belanja yang relatif belum ekonomis, efisien, dan efektif (pertanggungjawaban atas value for maney). Jika pengelolaan belum sepenuhnya memenuhi nilai-nilai tersebut, maka ada indikasi pemborosan, atau juga penyimpangan. Secara implisit, ini menandakan ada bagian dari anggaran publik yang pada akhirnya cenderung sulit dipertanggungjawabkan. Indikasi yang lain adalah
perolehan opini Wajar Dengan Pengecualian
(WDP) dari BPK, yang berarti bahwa masih terdapat unsur-unsur pengelolaan keuangan daerah yang belum dapat dipertanggungjawabkan. b. Pada indikator dapat diakses publik, pengelolaan belanja daerah belum sepenuhnya dapat diakses publik. Wujud transparansi masih sebatas transparansi „formalistik‟, yang tercermin dari forum Musrembang dan keterwakilan masyarakat di DPRD. Permasalahan yang menjadi tantangan saat ini adalah belum tersedianya akses alternatif bagi masyarakat umum untuk mengevaluasi keberhasilan program pemerintah dalam setiap tahun anggaran. Hal ini dipandang penting, karena berhasil tidaknya sebuah program merupakan cermin dari kebijakan pengelolaan belanja daerah. B. Saran 1. Meningkatkan disiplin belanja daerah Untuk meningkatkan disiplin belanja daerah, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, di antaranya: a. Memperkuat tolok ukur dokumen perencanaan dan penganggaran agar program pembangunan benar-benar terselektif untuk dianggarkan
4
b. Penguatan sumberdaya perencana dan komitmen eksekutif terhadap nilai alokasi anggaran yang sudah direncanakan c. Penguatan pengawasan oleh DPRD terhadap proses dan tahapan perencanaan, mulai dari Musrembang hingga pelaksanaan APBD d. Komitmen eksekutif dan legislatif untuk meminimalisir „faktor politik‟ dalam pembahasan anggaran. 2. Meningkatkan ketepatan alokasi belanja daerah a. Meningkatkan alokasi belanja modal 1) Dalam rangka meningkatkan alokasi belanja modal, maka pemerintah perlu memperkuat peran sumberdaya manusia guna menggali sumber-sumber pendapatan yang dapat membantu mendanai kebutuhan daerah. Salah satu program strategis yang perlu didorong adalah menggagas hadirnya Perusahan
Daerah
(BUMD)
yang
dikelola
secara
profesional.
Pertimbangan ini menjadi penting, karena BUMD seharusnya juga didesain sebagai media „transit‟ hasil-hasil usaha ekonomi masyarakat untuk dipasarkan. Dalam konteks ini, BUMD diharapkan menjadi penggerak aktifitas perekonomian di daerah, dan dari sini Pemerintah Daerah dapat „merekayasa‟ sumber-sumber pendapatan baru yang lebih realistis, dan tidak terkesan membebani masyarakat. 2) Di lain sisi, komitmen pimpinan terhadap peningkatan alokasi belanja modal sangat diperlukan. Wujud dari komitmen tersebut terlihat ketika
5
pimpinan tidak dengan „sewenang-wenang‟ mengganggu nilai alokasi belanja yang sudah direncanakan sebelumnya. b. Untuk alokasi belanja pegawai, Pemerintah Daerah belum perlu menerima pegawai baru. Perlu dilakukan adalah mengefektifkan posisi dan peran aparatur untuk meningkatkan produktifitas kerja. c. Untuk meningkatkan ketepatan alokasi belanja hibah dan bantuan sosial, Pemerintah Daerah perlu memperketat aspek regulasi untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi pemberian hibah dan bantuan sosial. Salah satunya adalah pemerintah dapat mengumumkan penerima hibah dan bantuan sosial melalui media yang mudah diakses publik. Dengan demikian, kelayakan serta kewajarannya dapat dievaluasi dan diketahui publik. 3. Penetapan APBD a. Dalam rangka meningkatkan kualitas APBD, proses penyusunannya harus tepat waktu mulai dari Musrembang hingga pembahasan anggaran. Hal ini dimakudkan agar baik eksekutif maupun legislatif memiliki waktu yang cukup untuk melakukan kajian lebih mendalam. b. Dalam konteks penetapan APBD, rekomendasi TADF (2013a) perlu dipertimbangkan. Aspek regulasi dalam mekanisme penyusunan anggaran saat ini dinilai terlalu panjang, sehingga berpotensi membuka ruang yang relatif besar terjadinya „gangguan politik‟. Mekanisme saat ini dimulai dari Pemerintah Daerah merancang KUA-PPAS, ke DPRD untuk pembahasan rancangannya menjadi KUA-PPAS, kembali lagi ke Pemerintah Daerah untuk
6
menyusun RKA-SKPD menjadi RAPBD, dan dibawa ke DPRD untuk pembahasan RAPBD. c. Pertimbangannya adalah menyederhanakan mekanisme penyusunan dalam dua tahap, yaitu: (1) Tahap I merupakan domain eksekutif, di mana penyusunan RKA-SKPD berdasarkan RKPD yang telah ditetapkan Kepala Daerah. Tahap ini memudahkan Pemerintah Daerah menjabarkan prioritas daerah dalam RKPD hingga ke tingkat RKA-SKPD sehingga meminimalisir potensi gangguan dibandingkan mekanisme lama; (2) Tahap II merupakan domain legislatif, dimana pembahasan anggaran mulai dari pembahasan rancangan KUA, rancangan PPAS dan rancangan APBD. Mekanisme ini memudahkan anggota DPRD memiliki pemahaman yang utuh mengenai logika yang dibangun dari perencanaan hingga penganggaran dengan menyatukan pembahasan RKUA, RPPAS dan RAPBD dalam satu rangkaian persidangan. 4. Meningkatkan Efisiensi dan Efektifitas Belanja Daerah Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas belanja daerah, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, di antaranya: a. Menerapkan prinsip money follow program. Tujuannya agar anggaran yang dibelanjakan tidak lagi disesuaikan dengan banyaknya tugas dan fungsi SKPD. Konsekuensinya, setiap tahun tidak semua SKPD dapat mengelola anggaran dengan jumlah yang relatif sama, kecuali untuk keperluan operasional. Anggaran daerah difokuskan hanya pada program-program
7
pilihan yang sudah diprioritaskan, bukan pada banyaknya SKPD, sehingga tingkat keberhasilannya lebih terjamin. b. Berkomitmen menerapkan anggaran berbasis kinerja. Salah satunya adalah penyusunan Analisis Standar Biaya (ASB) sebagai ukuran kewajaran biaya dalam kegiatan yang dianggarkan. Kecuali itu, Pemerintah Daerah perlu secara maksimal menerapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). c. Menyelenggarakan pelatihan yang intensif untuk memperkuat sumberdaya di bidang perencanaan dan penganggaran keuangan daerah d. Terapkan reward dan punishment pada setiap SKPD yang penyusunan RKASKPD-nya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. e. Diperlukan pemimpin yang berintegritas agar tidak sewenang-wenang memutasi, roling jabatan, hanya karena kepentingan politik. Hal ini menjadi penting, karena jabatan yang diisi oleh sumberdaya yang tidak profesional akan cenderung menciptakan pemborosan anggaran. f. Perkuat sistem pengawasan, baik dari DPRD maupun masyarakat luas atas kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. 5. Meningkatkan Nilai Akuntabilitas dan Transparaansi Pengelolaan Belanja Daerah a. Indikator Pertanggungjawaban 1) Untuk meningkatkan nilai pertanggungjawaban, perlu ada „reformasi‟ cara pandang terhadap makna dari nilai pertanggungjawaban. Artinya, nilai dari sebuah pertanggungjawaban belanja daerah tidak sekedar dan „tidak
8
identik‟ dengan perolehan Opini BPK. Prinsipnya, opini BPK merupakan salah satu indikator, sehingga memang diperlukan (necessary condition), tetapi belum mencukupi (sufficient conditions). Artinya, unsur pemeriksaan BPK masih lebih banyak pada audit laporan keuangan yang melihat tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Implikasinya, daerah
dapat
memperoleh
opini
WTP
jika
penggunaan
dan
pertanggungjawaban anggaran sesuai dengan aturan. Tetapi belum tentu anggaran
tersebut
digunakan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat. 2) Keberhasilan pertanggungjawaban belanja daerah harusnya ditekankan pada meningkat atau tidaknya kinerja pembangunan. Dalam hipotesa yang sederhana, ketika dampak dari pengelolaan belanja daerah mampu menghadirkan sebuah kondisi masyarakat yang „sehat‟, „cerdas‟, dan „mapan‟, maka indikator-indikator ini cenderung lebih „hidup‟ dalam memaknai nilai dari sebuah pertanggungjawaban anggaran publik. Kondisi seperti ini cenderung tercapai ketika pengelolaan belanja daerah benarbenar mengikuti konsep value for money. 3) Diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik, dan itu tercapai apabila Pemerintah Daerah memiliki sistem akuntansi yang baik, sehingga tersedia pemahaman yang memadai atas pengelolaan dan pelaporan keuangan daerah. Dalam capaian ini, tidak mustahil bahwa pengelolaan keuangan daerah relatif mudah memperoleh opini „terbaik‟ (WTP) dari
9
BPK. Dalam konteks ini, BPK perlu menaikan persentase pemeriksaan untuk audit kinerja, sehingga Opini BPK yang diberikan kepada Pemerintah Daerah diharapkan mencerminkan sebuah tolok ukur yang „realistis‟ atas pengelolaan anggaran publik di daerah. 4) Perlu didesain pelatihan untuk DPRD dalam meningkatkan pemahaman terkait manajemen keuangan sektor publik. Posisi DPRD terhadap pertanggungjawabkan anggaran tidak sekedar hadir sebagai „pendengar‟ kemudian mengesahkan. Tetapi perlu dibedah, didiagnosa tolok ukur penggunaan anggaran, sejauh mana nilai ekonomis, efisiensi, dan efektifitas (value for money) atas dana publik yang dianggarkan. DPRD perlu merekayasa fungsi pengawasannya sebagai fungsi „audit‟ terhadap pertanggungjawaban atas kinerja pelaksanaan pembangunan daerah. 5) Jika kondisi di atas tercapai, maka Pemerintah Daerah dinilai relatif lebih berhasil
dalam
mempertanggungjawabkan
anggaran
publik.
Kecenderungan ini dapat terjadi, ketika masyarakat benar-benar menikmati hasil-hasil pembangunan di daerah, yang itu terwujud dari peningkatan kesejahteraan masyarakat. b. Indikator dapat diakses publik 1) Untuk meningkatkan transparansi pengelolaan belanja daerah, selain media Musrembang dan keterwakilan di DPRD, perlu didesain beberapa pilihan akses keterlibatan masyarakat dalam pembahasan anggaran seperti melalui surat, baik konvensional maupun elektronik.
10
2) Pemerintah Daerah perlu mempublikasi sejauhmana keberhasilan program pembangunan. Salah satunya adalah bekerjasama dengan media lokal agar setiap tahunnya dapat menerbitkan edisi khusus tentang kinerja pembangunan daerah. Pola seperti itu, diharapkan mendorong masyarakat berperan aktif untuk mengontrol, mengevaluasi, dan memberikan pertimbangan kritis atas kendala dan berbagai permasalahan yang dihadapi Pemerintah Daerah. Dalam konteks ini, nilai transpransi diharapkan dapat membentuk sebuah dinamika pemerintahan „milik masyarakat‟, bukan milik „birokrat dan politisi‟. C. Implikasi 1. Implikasi Metodologis Berdasarkan proses dan hasi penelitian, terdapat beberapa implikasi metodologis yang dapat dikemukakan, di antaranya: a. Keterbatasan instrumen pengumpulan data. Dalam penelitian ini belum menggunakan teknik Focus Group Discussion (FGD). Di lain sisi, penggunaan kuesioner belum cukup membantu dalam mengeksplorasi pandangan informan. Dalam penelitian lanjutan, perlu penggunaan teknik FGD, karena sangat membantu dalam „menyatukan‟ persepsi informan dalam suatu media komunikasi terfokus. Di lain sisi, perlu dipikirkan pola penyebaran kuesioner agar diperoleh banyak penjelasan-penjelasan empirik maupun teoritis dari informan.
11
b. Pertimbangkan pemilihan unit analisis. Aspek ini perlu mendapat perhatian karena calon peneliti yang mengangkat tema tentang keuangan daerah akan cenderung berhadapan dengan „tuntutan-tuntutan kuantitatif‟. Katakanlah untuk mendeskripsikan indikator efisiensi, cenderung akan mengalami „kelemahan‟ jika sekedar dinarasikan secara kualitatif. Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil yang relatif lebih valid, peneliti fokuskan kajiannya pada unit analisis yang lebih sempit, misalnya unit kerja tertentu dalam struktur pemerintahan di daerah, sehingga dalam contoh efisiensi belanja, peneliti dapat menghitung kewajaran penggunaan anggaran kegiatan, misalnya dengan menggunakan Analisis Standar Biaya (ASB), atau mendeskripsikan efektifitas belanja yang dapat diperkuat dengan kajian mendalam terhadap penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dengan mengfokuskan pada unit yang lebih sempit, memudahkan peniliti untuk menerapkan cara-cara ini. c. Penguatan pengujian validitas data. Penelitian ini dibatasi hanya pada penggunaan review informan, disamping trianggulasi sumber data yang terdiri dari hasil wawancara, studi dokumentasi, observasi dan kuesioner. Menariknya, jika pada kajian selanjutnya memperdalam trianggulasi teori sehingga masalah yang dikaji, misalnya penganggaran publik dapat diinterpretasi dengan berbagai teori dari disiplin ilmu yang berbeda. d. Pertimbangan
terhadap
penguatan
pendekatan
kombinatif
(mixed
methodology). Secara emplisit penelitian ini berusaha membangun corak
12
kombinasi metodologis antara kuantitatif dan kualitatif. Namun disadari, usaha ini belum maksimal dan belum sepenuhnya berhasil menampilkan secara utuh corak yang dimaksud. Perspektif ini dipandang penting, karena fenomena umumnya menunjukan bahwa tema tentang keuangan sektor publik tidak dapat dipisahkan dengan dua hal, yaitu mengenai tema yang bersifat numerik dan tema yang bersentuhan dengan aspek keperilakuan pengelola anggaran publik. Dua sudut pandang ini kiranya dapat menjadi landasan untuk memperkuat pendekatan kombinasi antara kualitatif dan kuantitatif dalam kajian keuangan sektor publik. 2. Impikasi Teoritis a. Hasil penelitian ini cenderung konsisten dengan pola keterkaitan
antar
indikator kualitas belanja daerah yang diadaptasikan dari kajian teoritis TADF (2013a). Secara ringkas, indikator disiplin belanja akan menentukan ketepatan waktu dan ketepatan alokasi. Jika kinerja dari indikator ini rendah, maka berimplikasi pada tingkat efisiensi dan efektifitas. Rendahnya efisiensi dan efektifitas belanja akan berimplikasi pada memburuknya aspek pertanggungjawaban dan transparansi anggaran. Secara implisit, konsistensi dari pola keterkaitan ini sesuai dengan temuan di lapangan. b. Hasil penelitian ini mengungkap adanya dimensi kelogisan dari rujukan teoritik yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pertama, penggunaan teori keagenan, di mana teori ini dapat diadaptasikan untuk menginterpretasi dinamika alokasi belanja daerah sebagai hasil „interaksi‟
13
antara eksekutif (agent), legislatif (principas),
dan publik (the ultimate
principals). Kedua, model Bandura, di mana model ini dapat diadaptasikan untuk menginterpretasi bagaimana sebuah „budaya‟ oportunistik pengelola anggaran publik terbentuk dari hasil „saling mendukung‟ antara tingkah laku, lingkungan, dan manusia beserta muatan kognitifnya. Relevansinya dengan implikasi metodologis sebelumnya, maka penggunaan teori yang tepat sangat bermanfaat untuk menguatkan validitas temuan penelitian. c. Rujukan teoritis dalam penelitian ini perlu dipertimbangkan dan dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya. Menariknya jika dikembangkan dalam pilihan unit analisis yang lebih sempit, sehingga pola dan tingkah laku yang diteliti relatif mudah diamati. Harapannya, agar teori yang digunakan lebih „hidup‟ dalam menginterpreatsi peristiwa yang sedang terjadi.
14
DAFTAR PUSTAKA Arnett, Sarah. 2014. “State Fiscal Condition Ranking the 50 States”. Mercatus Center Working Paper 1402. Adekola. 2014. “Public Investment in Human Capital and Economic Growth in Nigeria: Analysis on Regime Shifts”. JEDS 2(2): 213-231. Afifah, Dista Amalia. 2012. “Praktek Teori Agensi Pada Entitas Publik dan Non Publik”. Jurnal Prestasi 9(1): 1-11. Abdullah, Syukriy. 2013. Defisit/Surplus dan SILPA dalam Anggaran Daerah: Apakah Saling Berhubungan?. https://syukriy.wordpress.cpm/2012/10/16/. Diakses 05 Januari 2016. ………2012. Varian Anggaran Pendapatan https://syukriy.wordpress.cpm/2012/10/16/.
dan Varian Belanja Daerah. Diakses 05 Januari 2016.
Anonim. 2012a. Belanja Pegawai Kuras APBD. http://m.jpnn.com/news.php?id=145. Diakses 14 Agustus 2015. ……….2012b. Menteri Keuangan: Penyerapan Anggaran Bermasalah. http://www.tempo.co/read/news/2012/12/06/. Diakses 22 September 2014. Asmara, Jhon Andra. 2010. “Analisis Perubahan Alokasi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Jurnal Telaah dan Riset Akuntansi 3 (2): 155-172. Abdullah, Syukriy dan Jhon Andra Asmara. 2006. “Perilaku Oportunistik Legislatif dalam Penganggaran Daerah”. Simposium Nasional Akuntansi. Tanggal 23-26 Agustus 2006. Padang. BKD Kabupaten Halmahera Barat. 2016. Jumlah Pegawai Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2015. Jailolo: BKD. BPKAD Kabupaten Halmahera Barat. 2016. Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat 2011-2014danData APBD Tahun 2011-2015. Jailolo: BPKAD. Bappenas. 2015. Forum Pramusrembangnas Pembangunan Daerah Tertinggal Provinsi Maluku Utara. Jakarta: Kementerian Perencanan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
15
………2011. Laporan Akhir: Kajian Kualitas Belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Jakarta: Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah. BPK. 2015. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS-I) Tahun 2015. Jakarta: BPK Republik Indonesia. ………2014a. Penyimpangan Anggaran Naik. Agustus 2015
http://www.bpk.go.id.
Diakses
14
………2014b. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS-I) Tahun 2014. Jakarta: BPK Republik Indonesia. ………2014c. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II (IHPS-II) Tahun 2014. Jakarta: BPK Republik Indonesia. ………2014d. BPK RI akan Tingkatkan Audit Kinerja. www.bpk.go.id. Diakses pada 23 Juni 2016. ………2011. Opini WTP Tidak Menjamin Tidak Ada Korupsi. www.bpk.go.id. Diakses pada 06 Mei 2016. Bappeda Kabupaten Halmahera Barat. 2015. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2015-2016. Jailolo: Bappeda. ………2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2015. Jailolo: Bappeda. ………dan BPS Kabupaten Halmahera Barat. 2014. Monografi Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2013. Jailolo: Kerjasama Bappeda dan BPS. BPS Provinsi Maluku Utara. 2014. Statistik Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara 2013. Ternate: BPS. ………2014. Perkembangan Beberapa Indikator Sosial Provinsi Maluku Utara 2013. Ternate: BPS. ………Kabupaten Halmahera Barat. 2015. Data PDRB Halmahera Barat, Kemiskinan Kabupaten/Kota 2010-2014, dan Data Ketenakerjaan Maluku Utara Tahun 2010-2014. Jailolo: BPS. Bahl, Roy. 1999. “Implementation Rules for Fiscal Decentralization”. International Studies Program Working Paper 30.
16
Calderon, Cesar dan Luis Serven. 2008. “Infrastructure and Economic Development in Sub-Saharan Africa”. Policy Research Working Paper 4712. Chalid, Pheni. 2005. Otonomi daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik. Jakarta: Kemitraan. Daling, Marchelino. 2013. “Analisis Kinerja Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara”. Jurnal EMBA 1(3): 8289. Dhakidae, Daniel. 2013. “Kapital, Korupsi, dan Keadilan”. ESAI. Prisma 32(1): 1-5. Denzin, Norman K dan Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dobell, Peter dan Martin Ulrich. 2002. “Parliament‟s Performance in the Budget Process: A Case Study”. Policy Matters 3(2): 1-24. Dornbusch, Rudiger dan Stanley Fischer.1987. Makroekonomi. (Alih Bahasa: Julius A.Mulyadi). Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga. Fozzard, Adrian. 2001. “The Basic Budgeting Problem: Approaches to Resource Allocation in the Public Sector and Their Implications for Pro-Poor Budgeting. Center for Aid and Public Expenditure, Overseas Development Institute (ODI)”. Working paper 147. Gennaioli, Nicola, Rafael La Porta, Flarencio Lopez-de-Silanes dan Andrei Shleifer, 2011. “Human capital and Regional Development”. USA: NBER. Halim, Abdul (penyunting). 2004. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Revisi. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. ………dan Syam Kusufi (penyunting). 2012. Akuntansi Sektor Publik: Teori, Konsep dan Aplikasi, dari Anggaran Hingga Laporan Keuangan, Dari Pemerintah Hingga Tempat Ibadah. Jakarta: Salemba Empat. Hidayat, Agus Syarip dan Agus Eko Nugroho. 2010. “Dilema Investasi dan Resiko Politik Keuangan Daerah: Studi Kasus di Provinsi Kepualaun Riau”. Jurnal Bhinneka Tunggal Ika 1(1): 101-124. Huntington, Samuel P dan Joan Nelson. 1992. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta. Kompas. 2015. Pansus Pelindo II Harus Terbuka. Edisi Selasa 06 Oktober 2015. 17
………2015. Ini Penjelasan BPK soal Opini WDP yang Diterima Pemprov DKI. http://megapolitan.kompas.com/read/.. Diakses 08 April 2016. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Maluku Utara. 2014. Kajian Fiskal Regional Provinsi Maluku Utara Semester II Tahun 2013. Ternate: KFR. Kemenkeu. 2014. Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Jakarta: DJPK Kemenkeu Republik Indonesia. ………2013a. Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran 2012. Jakarta: DJPK Kemenkeu Republik Indonesia. ………2013b. Laporan Evaluasi Belanja Modal Daerah. Jakarta: DJPK Kemenkeu Republik Indonesia. Kuncoro, Mudrajad. 2012. Perencanaan Daerah : Bagaimana Membangun Ekonomi Lokal, Kota, dan Kawasan?. Jakarta: Salemba Empat. ………2010. Ekonomika Pembangunan: Masalah, Kebijakan, dan Politik. Jakarta: Erlangga. Kurniawati, Tri dan Suhartono. 2010. “Kemampuan Keuangan Daerah dalam Era Otonomi Daerah (Kasus Kabupaten Banyumas Tahun 2003-2008)”. Laporan Penelitian. Jakarta: LPPM Universitas Terbuka. Keefer, Philip dan Stuti Khemani. 2003. “The Political Economy of Public Expenditures”.Background paper for WDR 2004: Making Service Work for Poor People. The World Bank. LKPJ Bupati Halmahera Barat. 2016. Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati Halmahera Barat 2011-2015. Jailolo: LKPJ. Latif, Muh, Andy Fefta Wijaya dan Tjahjanulin Domai. 2014. “Perencanaan Anggaran Belanja Bantuan Sosial Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bantul”. Jurnal Wacana 17(2): 78-87. Lay, Cornelis. 2006. “Otonomi Daerah dan Keindonesian” dalam Abdul Gaffar Karim (editor), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Malut Post. 2016. Kegiatan Bimbingan Diduga Fiktif. Edisi Rabu, 16 Maret 2016.
18
………2015. Proyek Air Bersih PNPM Tidak Bermanfaat. http://malutpost.co.id. Diakses 04 Januari 2016. ………2015. DPRD Sebut Jalan di Ibu Tak Sesuai. http://malutpost.co.id. Diakses 04 Januari 2016. ………2015. Tambatan Perahu Tidak Berfungsi. http://malutpost.co.id. Diakses 04 Januari 2016). ………2016. Bupati Tekankan Tiga Program Prioritas. Edisi Rabu, 16 Maret 2016. Mendagri. 2012. Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah. 03 April 2012. www.kemendagri.go.id. Diakses 10 Agustus 2015. Mulyanto, 2007. Modul Mata Kuliah Analisis Keuangan Daerah „Aspek dan Dimensi Keuangan Daerah di Era Otonomi dan Desentralisasi Fiskal‟ ; Kajian Atas Peraturan Perundangan Mutakhir. Surakarta: Program S-2 MM dan S-2 MESP UNS. Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi. Musgrave, Richard A dan Peggy B. Musgrave. 1989. Public Finance in Theory and Practice. Fifth Edition. Mcgraw-Hill International Edition. Mankiw, N. Grogory, David Romer, dan David N. Weil. 1992. “A contribution to the Empirics of Economic Growth”. The Quarterly Journal of Economics 107(2): 407-437. Noor, Isran. 2012. Politik Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI. Jakarta: Seven Strategic Studies. Nordiawan, Deddi, Ayuningtyas Hertianti. 2010. Akuntansi Sektor Publik. Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat. Neuman, W Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Sixth Edition. Pearson Education, Inc. Oates, Wallace E. 2005. “Toward A Second-Generation Theory of Fiscal Federalism”. International Tax and Public Finance 12: 349-373. 19
……...1993. “Fiscal Decentralization and Economic Development”. National Tax Journal 46(2): 237-243. Palilingan, Anastasia Friska, Harijanto Sabijono dan Lidia Mawikere. 2015. “Analisis Kinerja Belanja dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Pada Dinas Pendapatan Kota Manado”. Jurnal EMBA 3(1): 17-25. Prasetya, Ferry. 2012. Modul Ekonomi Publik Bagian II: Teori Sektor Publik. Malang: FEB-UB. Prasetyo, Rindang Bangun dan Muhammad Firdaus. 2009.“Pengaruh infrastruktur pada Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di Indonesia”. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan 2(2): 222-236. Patton, Michael Quinn. 2006. Metode Evaluasi Kualitatif (terjemahan Budi Puspo Priyadi). Yogyakarta: Pustaka Belajar. Petrie, Murray. 2002. “A Framework for Public Sektor Performance Contracting”. Journal on Budgetiing: 117-152. Ritonga, Irwan Taufiq, Colin Clark, dan Guneratne Wickremasinghe. 2012. “Assessing Financial Condition of Local Government in Indonesia: an Exploration”. Public pand Municipal Finance 1(2): 37-50. Rasyid, Ryaas. 2007. “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Syamsudin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: LIPI Press. Rachbini, Didik J. 2001. Analisis Kritis Ekonomi Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sriyana, Jaka. 2015. Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Sulton. 2015. “Siklus Politik Anggaran di Kabupaten Ponorogo (Studi Kasus Dana Hibah dan Bantuan Sosial APBD 2013)”. Jurnal Aristo Vol. 5. Suaib,
Rahmat. 2014. “Evaluasi Kinerja Daerah Otonom Baru Pasca Pemekaran (Studi Kabupaten Halmahera Utara dan Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara)”. Journal of Governance and Public Policy 1(1): 109-140.
20
Situngkir, Freddy, Sirojuzilam, Erlina, dan Agus Suriadi. 2014. “Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara”. Jurnal Ekonom 17(3): 125-137. Sasana, Hadi dan Ratri Furry P.R. 2013. “Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah terhadap Kinerja Ekonomi dan Kinerja Pelayanan Publik di Kota Serang”. Journal of Economics 2(3): 1-13. Saputra, Bambang. 2012. “Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Korupsi di Indonesia”. Jurnal Borneo Administrator 8(3): 293-309. Saparini, Hendri, BPK, dan DPD. 2010. Analisis atas Temuan BPK tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta: Kerjasama Konsultan Dr. Hendri Saparini dengan Bagian Analisa Pemeriksaan BPK dan Pengawasan DPD. http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/bpkdpd. Diakses 05 November 2015. Sumarsono, Hadi dan Sugeng Hadi Utomo. 2009. “Deliberate Inflation pada Kebijakan Desentralisasi Fiskal Jawa Timur dan Dampaknya bagi Pertumbuhan Daerah”. JESP 1(3): 1-12. Sasana, Hadi. 2009. “Peran Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah”. Jurnal Ekonomi Pembangunan 10(1): 103-124. Suhadak dan Nugroho, Trilaksono. 2007. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Penyusunan APBD di Era Otonomi. Malang: Bayumedia Publishing. Salam, Alfitra. 2007. “Menimbang Kembali Kebijakan Otonomi Daerah” dalam Syamsudin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: LIPI Press. Sutopo H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Edisi kedua. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Sidik, Machfud. 2002. Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang Mengacu pada Pencapaian Tujuan Nasional. Seminar Nasional “Public Sector Scorecard”, 17-18 April 2002. Jakarta. Sharma, Chanchal Kumar. 2005. “When does Decentralization Deliver? The Dilemma of Design”. South Asian Journal of Socio-Political Studies 6(1): 38-45.
21
Seabright, Paul. 1996. “Accountability and Secentralisation in Government: An Incomplete Contracts Models”. European Economic Review 40: 61-89. Shah, Anwar, Zia Qureshi, Amaresh Bagchi, Brian Binder, and Heng-fu Zou. 1994. “Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia”. World Bank Discussion Papers 239. Suparmoko, M. 1994. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: BPFE. Todaro, Michael dan Stephen C. Smith. 2009. Pembangunan Ekonomi. Alih bahasa : Agus Dharma. Edisi Kesebelas. Jilid 1. Jakarta: Erlangga. TADF. 2013a. “Evaluasi Regulasi Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pengaruhnya Terhadap Upaya Peningkatan Kualitas Belanja Daerah”. Laporan Penelitian. Jakarta: TADF Kemenkeu Republik Indonesia. ………2013b. “Pengelolaan DAK: Kondisi dan Strategi Ke Depan”. Laporan Penelitian. Jakarta: TADF Kemenkeu Republik Indonesia. Umar, Husein. 2002. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wijayanti, Anita Wahyu, Mujibur Rahman Khairul Muluk dan Ratih Nurpratiwi. 2012. “Perencanaan Anggaran Berbasis Kinerja di Kabupaten Pasuruan”. Jurnal Wacana 15(3): 10-17. World Bank. 2013. Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia: Tekanan Meningkat. Laporan Indonesia Economic Quarterly. World Bank ………1991. World Development Report 1991: The Challenge of Development. World Development Indicators. New York: Oxford University Press. Wiyono, Vincent(ius) Hadi. 2013. Parasit Pembangunan. Salatiga: Satya Wacana University Press. Widodo, Nurjati. 2012. Teori Politik Keuangan Publik dan Kebijakan Anggaran. http://nurjatiwidodo.lecture.ub.ac.id/files/2012/10/. Diakses 06 Mei 2016. Yustika, Ahmad Erani. 2012. Perekonomian Indonesia: Catatan Dari Luar Pagar. Malang: Bayumedia Publishing.
22
Yin, Robert. K. 1997. Studi Kasus: Desain dan Metode. (terjemahan M. Djauzi Mudzakir). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Zali, Nader, Hassan Ahmadi, dan Seyed Mohammadreza Faroughi. 2013. “An Analysis of Regional Disparities Situation in The East Azarbaijan Province”. Journal of Urban and Environmental Engineering 7(1): 183-194. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah ………Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ………Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah ………Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ………Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara ………Nomor 1 tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan di Provinsi Maluku Utara ………Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah ………Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor Pengelolaan Keuangan Daerah.
58
Tahun
2005 Tentang
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2015 ………Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah ………Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah ………Nomor 26 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2007
23