PENGEMBANGAN BUDAYA KERJA DEPARTEMEN AGAMA
DEPARTEMEN AGAMA RI INSPEKTORAT JENDERAL 2009
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, Inspektorat Jenderal Departemen Agama dapat menyusun buku Pengembangan Budaya Kerja (Menuju Reformasi Birokrasi Departemen Agama). Penyusunan buku ini dilandasi suatu pemikiran bahwa tantangan yang dihadapi Departemen Agama dalam mengimplementasikan reformasi birokrasi masih cukup berat. Hasil pengawasan menunjukkan bahwa penyebab temuan yang paling menonjol dikarenakan kondisi aparatur/Sumber Daya Manusia (SDM) belum memahami hak dan kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil. Disamping itu, perilaku aparatur kurang memperhatikan etika aparatur dan nilai-nilai budaya kerja. Akibatnya menimbulkan dampak lemahnya disiplin, etos kerja, dan produktivitas, serta kinerja pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, nilai dasar, persepsi, dan sikap kerja yang dimiliki sebagai budaya kerja aparatur Departemen Agama secara intensif dan menyeluruh perlu diamalkan, sehingga aparatur/SDM Departemen Agama memiliki perilaku positif dan produktif dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan sesuai tuntutan masyarakat. Dalam konteks reformasi birokrasi Departemen Agama, pengembangan nilai-nilai budaya kerja perlu dilakukan melalui proses perumusan dan kesepakatan nilai dasar, persepsi, sikap kerja dan perilaku kerja. Kesemuanya itu dalam rangka memantapkan konsep diri, persepsi, dan perilaku sebagai pelayan masyarakat; pengembangan kerja sama melalui dinamika kelompok; perbaikan kebijakan publik, penerapan manajemen modern, peningkatan pengawasan, evaluasi kinerja, dan penegakan disiplin bagi aparatur secara konsisten. Sasaran akhir dari pengembangan budaya kerja adalah terwujudnya integritas dan ii
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
produktivitas kerja satuan organisasi/kerja di lingkungan Departemen Agama. Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi aktif dalam penyusunan buku ini. Harapan kami semoga buku ini bermanfaat dalam upaya membangun komitmen bersama untuk mewujudkan reformasi birokrasi Departemen Agama.
Jakarta, April 2009 Inspektur Jenderal,
Dr. H. Mundzir Suparta, M.A.
Pengembangan Budaya Kerja
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................... BAB I
i
PENDAHULUAN ..................................................
1
A. Latar Belakang ......................................... B. Karakteristik Budaya Kerja Departemen Agama ....................................................... C. Reformasi Birokrasi Departemen Agama .. D. Tujuan dan Manfaat Budaya Kerja ........... E. Sistematika ...............................................
1 3 6 12 14
BAB II BUDAYA KERJA .................................................
17
A. B. C. D. E. F.
Pengertian ................................................. Hierarki Budaya Kerja ................................ Nilai-Nilai Dasar ......................................... Persepsi Kerja ........................................... Perilaku dan Hasil Kerja ............................ Sosialisasi Budaya Kerja ...........................
17 23 27 28 30 31
BAB III KERANGKA DASAR BUDAYA KERJA DEPARTEMEN AGAMA ......................................
37
A. B. C. D. E.
Identifikasi Nilai Dasar .............................. Identifikasi Persepsi Kerja ........................ Identifikasi Sikap Kerja ............................. Identifikasi Perilaku Kerja ......................... Sosialisasi Budaya Kerja ..........................
37 46 51 57 59
BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA iv
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
KERJA ..................................................................
62
A. Gugus Tugas ............................................ B. Internalisasi Nilai-Nilai Budaya Kerja ........
62 66
BAB V AGENDA PENGEMBANGAN BUDAYA KERJA DEPARTEMEN AGAMA ......................................
72
A. B. C. D.
Penanggung Jawab .................................. Agenda Rencana Aksi .............................. Koordinasi dan Sinkronisasi ..................... Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan ........
72 75 98 99
BAB VI PENUTUP ............................................................ 105
DAFTAR PUSTAKA ................................................... 107 LAMPIRAN ................................................................. 109
Pengembangan Budaya Kerja
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Sumber : Robbins, 1996) .................................................. 33 Gambar 2: Hubungan antara nilai, sikap, dan perilaku (Sumber : Davis dan Frederick, 1984) .........................
34
Gambar 3: Hubungan Nilai Dasar dengan Persepsi Kerja Departemen Agama ...........................................
56
Gambar 4: Hubungan Persepsi Kerja dengan Sikap Kerja Departemen Agama .................................................... 63 Gambar 5: Hubungan Sikap Kerja dengan Perilaku Kerja
Departemen Agama ....................................................
70
Gambar 6: Diagram Hierarki Budaya Kerja di Lingkungan Departemen Agama .................................................... 75
vi
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi yang bergulir sejak 1998 telah membawa perubahan yang luar biasa. Perubahan itu sebagian membawa angin segar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan masyarakat menjadi kritis atas penyelenggaraan tata kelola pemerintahan terutama terkait dengan pelayanan kepada masyarakat. Kondisi ini mengharuskan pemerintah melakukan perubahan kebijakan yang langsung menyentuh pada kebutuhan riil masyarakat. Perubahan dimaksud sekaligus menjadi jawaban atas tuntutan masyarakat terhadap perwujudan birokrasi yang profesional, akuntabel, bersih, dan bebas dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009, antara lain mengamanatkan bahwa agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean government). Prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik antara lain keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, partisipasi, dan keterpaduan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintah serta pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan, dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Guna mewujudkan tata pemerintahan yang baik, prioritas pembangunan bidang penyelenggaraan negara diarahkan pada upaya peningkatan kinerja birokrasi, yaitu menciptakan kondisi yang kondusif bagi terpenuhinya kebutuhan masyarakat, Pengembangan Budaya Kerja
1
meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dan menekan tingkat penyalahgunaan kewenangan oleh SDM aparatur. Departemen Agama merupakan bagian dari pemerintah Republik Indonesia yang dibentuk untuk meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama kepada seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD Republik Indonesia 1945 guna mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, demokratis, adil makmur, dan berakhlak mulia. Namun demikian, persoalan yang dihadapi dalam pembangunan bidang agama cukup berat karena berkaitan dengan program mewujudkan keadilan dan kemakmuran meliputi dimensi lahir, batin, material, dan spiritual. Realitas yang berkembang, perilaku aparatur negara masih menunjukkan kurangnya perhatian terhadap nilai-nilai moral dan budaya kerja. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan budaya kerja yaitu, pandangan hidup yang berisi nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, pendorong yang tercermin dalam sikap dan perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. Di samping itu, implementasi budaya kerja merupakan tugas berat yang harus dilakukan secara utuh, menyeluruh dalam waktu yang panjang, karena menyangkut proses pembangunan karakter, sikap dan prilaku. Budaya kerja Departemen Agama, dapat digali dari logo Departemen Agama yang bertuliskan “Ikhlas Beramal”. Secara harfiah dimaknai sebagai kesanggupan Departemen Agama untuk “melayani masyarakat dengan prima (execellence) tanpa pamrih. Nilai dasar inilah yang menunjukkan “profesionalisme” aparatur Departemen Agama dalam menjalankan tugas sesuai dengan karateristik Departemen Agama itu sendiri. Dalam konteks reformasi 2
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
birokrasi, nilai dasar tersebut perlu revitalisasi, di mana pemahaman beramal merupakan bentuk produktivitas kerja yang harus dilakukan dari niat yang ikhlas dalam rangka mengabdikan diri kepada bangsa dan negara sekaligus bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Tentu saja pandangan ini akan menggugah kesadaran bersama terhadap kedudukan aparatur negara sebagai pelayan bagi masyarakat (Khadimul Ummah). Dalam pengembangan budaya kerja, terdapat unsurunsur penting yang saling berinteraksi, yaitu nilai dasar, sistem kerja, aparatur, dan lingkungan yang mempengaruhinya. Semua unsur itu harus menjadi perhatian dalam menata budaya kerja, mulai dari memilih nilai apa yang diyakini dan akan dipakai sebagai pedoman, kemudian diinternalisasikan dalam setiap pribadi aparatur dan diimplementasikan dalam setiap sistem, prosedur dan tata laksana sehingga menghasilkan kinerja peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Berbagai prosedur dan tatanan yang mengakibatkan sistem pelayanan kurang berjalan lancar harus segera ditata ulang agar sejalan dengan pengembangan budaya kerja melalui pembinaan SDM aparatur yang etis, bermoral, berdisiplin, profesional. Dengan demikian akan dapat terus ditingkatkan kualitas pelayanan dan produktivitas kerja aparatur di lingkungan Departemen Agama. B. Karakteristik Budaya Kerja Departemen Agama Budaya kerja dalam suatu organisasi diartikan sebagai sistem nilai yang diyakini, dipelajari, dan diterapkan oleh semua anggota organisasi serta dikembangkan secara berkesinambungan. Budaya kerja dapat berfungsi sebagai Pengembangan Budaya Kerja
3
perekat dan dapat dijadikan acuan berprilaku bagi anggota organisasi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Budaya kerja dapat dikenali wujudnya dari nilai-nilai yang terkandung di dalam sikap dan perilaku seseorang, kelompok, organisasi, sistem kerja ketika aparatur melaksanakan tugas. Budaya kerja yang kuat menuntut perilaku seseorang secara terpola dalam pengertian: 1) budaya kerja sebagai suatu sistem kerja; 2) budaya kerja memungkinkan seseorang melaksanakan pekerjaan secara lebih baik dan memuaskan; 3) budaya kerja dapat membangkitkan kesanggupan untuk beradaptasi dengan keadaan yang berbeda. Dengan demikian, budaya kerja SDM aparatur merupakan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok aparatur yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Proses pembentukan sikap dan perilaku aparatur Departemen Agama dalam pengembangan nilai-nilai budaya kerja diarahkan pada usaha mewujudkan aparatur yang mampu melaksanakan tugas secara profesional dan bermoral. Sebab profresionalisme tanpa moral (akhlak mulia) akan membuahkan sosok manusia yang cerdas secara intelektual tetapi tidak cerdas secara moral sehingga memiliki dampak pemikiran dan praktik negatif yang dapat merugikan masyarakat dan negara. Secara umum tugas Departemen Agama dapat diamati dari struktur organisasi dan tata kerja satuan organisasi/kerja sebagai berikut: 1. Sekretariat Jenderal melakukan tugas pelayanan administrasi terhadap satuan organisasi/kerja internal Departemen Agama;
4
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
2. Inspektorat Jenderal melakukan tugas pengawasan fungsional terhadap pelaksaaan tugas satuan organisasi/ kerja di lingkungan Departemen Agama. 3. Badan Penelitian dan Pengembangan serta Diklat melakukan tugas penelitihan dan pengembangan masalah yang dihadapi Departemen Agama serta pendidikan dan pelatihan SDM aparatur. 4. Direktur Jenderal melakukan tugas peyananan umat beragama dan pemberdayaan terhadap lembaga-lembaga keagamaan. 5. Kantor Wilayah Provinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan Perguruan Tinggi serta lembaga pendidikan dasar dan menengah mengikuti pola di atas. Karakteristik tugas Departemen Agama sebagaimana uraian di atas, dapat dikelompokkan dalam 3 ranah, yaitu: a) melayani dengan fokus memudahkan pelayanan; b) memberdayakan dengan fokus memberi peulang membantu memecahkan yang dihadapi; dan c) menjadi teladan dengan fokus pencitraan Departemen Agama sebagai sumber inspirasi dan teladan dalam mengawal bangsa. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi Departemen Agama, persepsi kerja bagi SDM aparatur adalah panggilan Tuhan untuk melahirkan karya-karya nyata yang bermutu dan bermanfaat. Dengan demikian, prestasi dan produktivitas merupakan aktualisasi jati dirinya, sedangkan dalam implikasi sosial atau kelompok dapat meningkatkan kualitas kinerja dan kebanggaan bersama. Oleh karena itu, dalam rangka reformasi birokrasi Departemen Agama, formulasi pengembangan budaya kerja dilakukan melalui: 1. birokrasi yang bersih dan bebas dari praktik KKN (pembenahan sistem pengelolaan anggaran, perbaikan kesePengembangan Budaya Kerja
5
jahteraan pegawai, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum); 2. birokrasi yang efisien dan efektif (program penghematan penggunaan sumber daya, metode kerja, dan waktu); 3. birokrasi yang transparan (pembukaan ruang publik yang dapat diakses secara luas, meliputi penyelenggaraan urusan agama dan pelayanan kepada umat beragama); 4. birokrasi yang melayani (perubahan paragidma dilayani menjadi pelayan bagi masyarakat); dan 5. ibda’ binafsika (perubahan perilaku produktif mulai diri sendiri sehingga mampu menjadi pejuang dan teladan bagi orang lain). Pengembangan budaya organisasi dari aspek SDM aparatur difokuskan pada agenda membangun kemampuan kepemimpinan (managerial agenda), kemampuan intelektual (intellectual agenda), dan perhatian pada pendidikan karakter. Hal ini dipahami karena pengembangan SDM aparatur merupakan salah satu kebijakan untuk membentuk sebuah sistem birokrasi yang efektif dan efisien, tanggap dan cekatan (quick and responsive), terbuka dan bertanggung jawab, membuka seluas mungkin partisipasi masyarakat, serta memiliki kinerja yang tinggi dalam bidang pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Salah satu kebijakan yang dilakukan dalam hal ini adalah memberikan kesempatan kepada seluruh aparatur untuk mengekspresikan ide, cita-cita dan harapannya seluas dan sebebas mungkin. Dengan kata lain, “budaya menggali ide dari bawah” dan pemberian reward kepada aparatur yang berprestasi dan mampu mewujudkan ide yang bagus sebagai bagian dari hak yang patut diterima. Dengan model seperti ini, pimpinan suatu satuan organisiasi/kerja di lingkungan Departemen Agama akan mampu berfungsi sebagai motivator yang dapat mengembangkan budaya kompetetif 6
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
antarpegawai sehingga dapat memacu peningkatan produktivitas kerja secara menyeluruh. Inti dari birokrasi terletak pada kekuatan aparatur. Oleh sebab itu, upaya peningkatan kompetensi aparatur baik kompetensi jabatan (struktural dan fungsional), maupun pembinaan moral dan etika aparatur agar memahami tugas dan kewajibannya harus mendapatkan perhatian serius dan menjadi bagian integral dari proses reformasi birokrasi. Dengan demikian, setiap apatur negara memiliki kewajiban mengembangkan semangat perubahan untuk menjadi motor penggerak bagi sumber daya aparatur yang mampu bekerja secara efektif dan efisien, jujur, adil, konsisten, taat azas, sekaligus menjadi mengawal perubahan dalam mewujudkan visi dan misi organisasi. Potensi aparatur Departemen Agama sebagai individu harus dimaksimalkan untuk membangun kinerja organisasi ke depan. Upaya reformasi birokrasi dilakukan berbasis pada pengembangan potensi, budaya kerja, dan peran para birokratnya. Ketiga basis ini dioptimalkan sebagai faktor penggerak utama untuk mengimplementasikan nilai dasar budaya kerja “ikhlas beramal” guna menjadi mesin penggerak percepatan reformasi birokrasi Departemen Agama. Dengan demikian, tuntutan perubahan Departemen Agama ke arah yang lebih baik dan bebas dari praktik KKN segera terwujud dan dapat dirasakan hasilnya oleh seluruh masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
C. Reformasi Birokrasi Departemen Agama Birokrasi secara etimologis berasal dari bahasa Perancis bureau, artinya meja atau kantor. Istilah ini berkaitan Pengembangan Budaya Kerja
7
dengan kata lain yaitu, burel artinya taplak, dan bahasa Latin burrus. Dalam bahasa Inggris berasal dari kata bureaucracy yang diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, di mana lebih banyak orang berada di tingkat bawah dari pada tingkat atas, dan biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai berikut: 1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah yang tidak dipilih oleh rakyat; dan 2. Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai. Dalam Webster”s Dictonary, istilah birokrasi diartikan sebagai “the administration of government through departments and subdivisions managed by sets of officials following an inflexible rountine” (administrasi pemerintah melalui beberapa departemen dan beberapa sub bagian yang dikelola oleh sekelompok pejabat untuk mengikuti rutinitas yang kaku. Gunawan Wiradi (1989:392) menyatakan bahwa birokrasi merupakan organisasi formal berskala besar yang di dalamnya terdapat pembagian pekerjaan yang ditentukan secara ketat, rumit, dan efisien, melalui peraturan formal dan pembidangan yang diisi oleh ahli yang terlatih. Kegiatannya dikoordinasi oleh garis perintah secara hierarkhis. Birokrasi ditandai oleh suatu sentralisasi kekuasaan, dan ditekankan pada lima ciri, yaitu: disiplin, sikap rasional, hubungan bersifat tak pribadi (impersonal), keahlian, dan segala sesuatu serba terbaku. Konsep birokrasi dalam arti tipe ideal pertama kali diperkenalkan oleh Max Weber, seorang ahli sosiologi Jerman (1864-1920). Menurut Weber, ada enam azas yang merupakan ciri-ciri birokrasi, yaitu: 8
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
1. Azas keresmian secara hukum yang ditetapkan, artinya segala sesuatu ditata dengan peraturan dan undangundang; 2. Azas hierarki, artinya bawahan diawasi oleh atasan; 3. Azas pengelolaan yang didasarkan atas dokumen tertulis; 4. Azas pengelolaan yang didasarkan atas latihan keahlian; 5. Azas kegiatan yang menuntut kapasitas kerja penuh kepada para pegawai meskipun jangka waktu kerja resmi dibatasi secara ketat; dan 6. Azas pengelolaan yang selalu mengikuti peraturan yang kurang lebih tetap, lengkap, dan dapat dipelajari. Dalam birokrasi kedudukan pegawai dapat dicirikan: kedudukan atau jabatan dalam kantor merupakan panggilan profesi, untuk dapat menduduki suatu jabatan, seseorang harus melalui latihan dan ujian; kedudukan merupakan tugas atau kewajiban, tidak merupakan sumber pungli, kesetiaan tidak boleh melahirkan hubungan pribadi melainkan secara fungsional untuk pencapaian tujuan. Pemahaman birokrasi tersebut, menunjukkan sesungguhnya birokrasi itu netral dan merupakan sistem hubungan yang terpola dan senantiasa dalam posisi konstan. Oleh karena itu, birokrasi selalu dalam kondisi baik dan bersih. Hal yang membuat birokrasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya (kotor, korup, suap) karena perilaku para birokrat itu sendiri dalam menjalankan birokrasi. Dengan demikian, perlu dilakukan reformasi dalam arti perubahan secara bertahap dan berkelanjutan untuk membangun, menata ulang, menyempurnakan, dan membina SDM aparatur dalam birokrasi pemerintahan sehingga dapat meningkatkan profesionalitas pelayanan prima kepada masyarakat. Pelaksanaan reformasi birokrasi dilakukan dengan berbagai pendekatan secara teoritis/konseptual dalam rangPengembangan Budaya Kerja
9
ka membangun birokrasi yang efisien, efektif, produktif, serta bebas dari praktik KKN dan perbuatan tercela lainnya. Namun demikian, kondisi dan kinerja birokrasi masih belum menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini mengisyaratkan untuk mencari strategi dan metode reformasi yang efektif untuk membangun model birokrasi yang bersih, sehat, profesional, dan bertanggung jawab. Model reformasi Birokrasi Departemen Agama didasarkan pada Keputusan MENPAN Nomor PER/15/M.PAN /7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Reformasi birokrasi tersebut ditujukan untuk mewujudkan: 1. Birokrasi yang bersih, yaitu birokrasi yang sistem dan aparatnya bekerja atas dasar aturan dan koridor nilainilai yang dapat mencegah timbulnya berbagai tindakan penyimpangan dan perbuatan tercela (mal-administrasi). Dalam birokrasi ini sistem dan aparatur negara bekerja didasarkan atas peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai yang dapat mencegah terjadinya berbagai penyimpangan. Secara umum, birokrasi yang bersih ditandai dengan perilaku apartur: a) keimanan yang kuat, dalam arti benar-benar mengamalkan ajaran agamanya; b) tidak melakukan korupsi karena jabatan dan wewenang yang dimilikinya; c) tidak melakukan kolusi, yaitu suatu persekongkolan jahat yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan dan kepentingan dirinya sendiri dan golongannya; d) tidak melakukan tindakan nepotisme. Karena rekruitmen dan promosi jabatan didasarkan atas merit system; e) jujur dan berjiwa besar; f) mencintai tugas dan pekerjaannya; g) kreatif dan inovatif dalam melaksanakan tugas. 2. Birokrasi yang efisien, efektif, dan produktif, yaitu birokrasi yang mampu memberikan dampak positif kepada masyarakat dan mampu menjalankan tugas secara 10
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
tepat, cepat, berdaya guna dan berhasil guna. Selain itu, birokrasi ini mampu mengelola kekuatan dan peluang yang ada serta meminimalisir kelemahan dan ancaman demi pencapaian produktivitas kerja. 3. Birokrasi yang transparan, yaitu birokrasi yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak diskriminatif dengan tetap perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Inti dari transparansi di sini adalah kejujuran dalam pengelolaan birokrasi utamanya yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak. 4. Birokrasi yang melayani masyarakat, yaitu birokrasi yang tidak minta dilayani masyarakat, tetapi birokrasi yang memberikan pelayanan prima kepada publik. Pelayanan prima adalah kepuasan yang dirasakan oleh publik sebagai dampak dari hasil kerja birokrasi yang profesional. 5. Birokrasi yang akuntabel, yaitu birokrasi yang bertanggung jawab atas setiap proses dan kinerja hasil akhir dari program maupun kegiatan sehubungan dengan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan untuk mencapai tujuan. Hal ini dilakukan secara periodik melalui media pertanggungjawaban yang telah ditetapkan kepada negara dan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, reformasi birokrasi Departemen Agama merupakan sebuah proses dan tuntutan yang tidak bisa ditunda lagi. Sebab, birokrasi pada hakikatnya adalah mesin negara (the machine of the state) yang berfungsi menjalankan seluruh tugas pemerintahan dan pembangunan dalam rangka mewujudkan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam konstitusi negara. Sebagai bagian dari keseluruhan dalam penyelenggaraan reformasi birokrasi pemerintahan, maka pelaksanaan reformasi birokrasi Departemen Pengembangan Budaya Kerja
11
Agama akan dilakukan secara sistemik dan komprehensif dengan memerhatikan kondisi obyektif dari berbagai aspek yaitu: 1) kelembagaan/organisasi masih sangat gemuk; 2) SDM aparatur dengan jumlah, kompetensi, penyebaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan, tingkat etos kerja, etika kerja, budaya kerja dan kesejahteraan yang rendah; 3) ketatalaksanaan masih banyak yang kurang efektif, rumit, dan belum mempunyai standar operasional prosedur yang jelas. Strategi yang dikembangkan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan Departemen Agama, yaitu: Pertama, membangun kepercayaan masyarakat (public trust), melalui program pencegahan dan pemberantasan korupsi untuk peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Sejak reformasi bergulir, pemberantasan korupsi dan perwujudan penyelenggaraan kepemerintahan yang baik merupakan agenda nasional seluruh komponen bangsa. Komitmen nasional untuk memberantas praktik KKN dan menumbuhkan budaya penyelenggaraan dengan prinsip good governance secara nyata telah dilakukan dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berikut Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Sejalan dengan itu, Departemen Agama telah menyusun Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi Melalui Pendekatan Agama dengan Instruksi Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006. Implementasi dari kegiatan ini telah dilakukan penandatanganan Pakta Integritas oleh Menteri Agama dan para pejabat eselon I pusat serta perwakilan pimpinan unit kerja di daerah pada Raker Nasional Departemen Agama tanggal 9-11 Maret 2007. Hasil nyata masih harus kita upayakan secara bersama-sama. Namun, momentum pemberantasan korupsi harus terus bergulir dan memelihara momen12
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
tum tersebut untuk mewujudkan aparatur Departemen Agama yang bersih dan menjadi teladan bagi departemen lainnya. Sehubungan dengan konsepsi tersebut, kiranya relevan bagi Inspektorat Jenderal Departemen Agama sebagai aparat pengawasan fungsional untuk mengedepankan potensi dan kompetensi yang dimiliki guna peningkatan kinerja pengawasan melalui peningkatan kualitas pelaksanaan pengawasan dan mutu pelaporan. Salah satu kata kunci untuk meningkatkan kinerja pengawasan adalah meningkatkan profesionalisme dan kompetensi aparatur pengawasan baik melalui pendidikan/pelatihan yang berkesinambungan maupun sertifikasi jabatan fungsional auditor. Sebagai lembaga controlling dalam organisasi Departemen Agama, Inspektorat Jenderal pada saatnya harus mampu menjalankan perannya sebagai lembaga pengendali mutu (quality control) dan sebagai penjamin mutu (quality assurance), serta mampu melakukan audit kinerja dan audit keuangan secara akuntabel. Dengan demikian, audit kinerja pada seluruh satuan organisiasi/kerja di lingkungan Departemen Agama merupakan prioritas sasaran dalam mewujudkan Departemen yang bersih dan bebas dari praktik KKN. Kedua, melakukan penataan kelembagaan dan tata laksana sesuai kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka penyesuaian kebutuhan masyarakat, perkembangan kebijakan pemerintah, dan dinamika administrasi publik. Tujuannya menjadikan Departemen Agama sebagai organisasi birokrasi yang peka terhadap tuntutan pelayanan masyarakat dan menghasilkan layanan yang adil dan profesional. Kondisi ini mengharuskan Departemen Agama melakukan perubahan kebijakan yang langsung menyentuh pada kebutuhan riil masyarakat. Perubahan ini sekaligus merupakan jawaban manifestasi tuntutan akan perwujudan organisasi yang miskin struktur dan kaya fungsi. Pengembangan Budaya Kerja
13
Penataan organisasi ini meliputi: pemisahan, penggabungan, dan penajaman fungsi, serta modernisasi organisasi. Upaya penajaman dilakukan di berbagai unit eselon I pusat baik di Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal, Inspektorat Jenderal, dan Badan Penelitian dan Pengembangan serta Diklat. Modernisasi dilakukan dalam upaya membangun pelayanan satu atap di semua sektor, dengan menetapkan unit pelayanan percontohan di beberapa KUA Kecamatan. Sebagai organisasi yang memerhatikan tuntutan publik, maka ketatalaksanaan menjadi penting dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi untuk mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat. Tujuannya supaya jajaran Departemen Agama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat lebih mudah, terukur, dan menjamin kepastian baik waktu maupun biayanya. Kegiatan ketatalaksanaan dilakukan meliputi: analisis jabatan, evaluasi jabatan, analisis beban tugas, dan penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Ketiga, meningkatkan profesionalisme SDM aparatur, melalui program diklat aparatur (termasuk diklat luar negeri); penegakan etika jabatan/profesi; pengembangan budaya kerja; pengembangan teknologi informasi; penegakan disiplin dan peningkatan kesejahteraan pegawai. Penggunaan istilah SDM dalam reformasi birokrasi tidak sekedar masalah kepegawaian saja, namun lebih diarahkan pada sistem pengelolaan dan pembinanan SDM. Pengembangan SDM berbasis kompetensi merupakan tujuan pembinaan SDM di masa depan. Seluruh kegiatan tersebut merupakan bagian integral dari program dan pengembangan SDM sehingga Departemen Agama ke depan akan memiliki SDM yang profesional, bertanggung jawab dan bermoral. Dengan demikian, tugas yang diberikan akan dilakukan secara efektif, efisien, dan produktif. Prinsip peningkatan 14
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
manajemen SDM meliputi kualitas, penempatan SDM yang kompetensi pada waktu yang sesuai, sistem karier yang jelas dan terukur, pengelolaan SDM berbasis kompetensi serta keakuratan penyajian informasi SDM sesuai kebutuhan manajamen. D. Tujuan dan Manfaat Budaya Kerja Penyusunan pengembangan buku budaya kerja merupakan upaya yang sangat strategis sebagai sarana pembentukan sikap dan perilaku kerja yang unggul bagi aparatur Departemen Agama yang didasarkan atas nilai dasar ikhlas beramal guna menghadapi tantangan masa depan. Dengan kata lain, pengembangan budaya kerja bertujuan untuk meningkatkan kinerja Departemen Agama melalui pembinaan dan perubahan sikap dan perilaku SDM aparatur yang jujur, disiplin, profesional, bertanggung jawab, dan produktif dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan buku pengembangan budaya kerja, sebagai berikut: 1. Menumbuhkembangkan nilai-nilai budaya kerja produktif kepada setiap aparatur Departemen Agama yang bersumber dari ide dasar motto; “Ikhlas Beramal” sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2. Memperbaiki persepsi, pola pikir, dan perilaku aparatur Departemen Agama yang menyimpang dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, serta pemberian pelayanan kepada masyarakat, sekaligus upaya percepatan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 3. Membina tingkat kepekaan sosial, kreatif, dan dinamis untuk memperbaiki kinerjanya secara berkelanjutan dan mampu menjadi teladan bagi aparatur lainnya. Pengembangan Budaya Kerja
15
4. Membangun citra aparatur Departemen Agama yang lebih baik dan dipercaya oleh masyarakat. Manfaat dari pengembangan budaya kerja menuju reformasi birokrasi Departemen Agama, sebagai berikut: 1. Bagi aparatur Departemen Agama, yaitu memperoleh kesempatan untuk berperan, berprestasi, kebanggaan kerja, menjamin hasil kerja dengan kualitas yang lebih baik, rasa ikut memiliki dan bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas dan pengabdian sebagai aparatur Departemen Agama. 2. Bagi instansi Departemen Agama, yaitu membuka jaringan komunikasi, keterbukaan, kebersamaan, menumbuhkan kepemimpinan yang partisipatif, menciptakan suasana kerja yang kondusif, mengembangkan jiwa gotong royong, dan menciptakan suasana kerja yang menyenangkan. Pelaksanaan budaya kerja juga dapat membantu pengembangan sistem ketatalaksanaan dan metode kerja praktis yang semakin efisien melalui sentuhan nilai-nilai moral dan agama, dan berfikir positif, memperbaharui sikap mental dan perilaku sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat yang etis bermoral dan profesional. Dengan demikian, diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan masyarakat dan produktivitas kinerja Departemen Agama. 3. Bagi bangsa dan negara, yaitu mampu menjawab masalah-masalah mendasar bangsa terutama pembangunan moral bangsa, mensinergikan program pembangunan nasional, membangun tata pemerintahan yang baik dan memperbaiki sistem manajemen pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Di samping itu, mempercepat proses pemberantasan KKN sekaligus menumbuhkembangkan kepemimpinan partisipatif di lingkungan aparatur negara. 16
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
E. Sistematika Berangkat dari beberapa pertanyaan mengapa perlu pengembangan budaya kerja, apakah reformasi birokrasi sebagai tuntutan perwujudan tata kelola kepemerintahan yang baik harus dilandasi dengan budaya kerja yang baik, apakah pengembangan budaya kerja menjadi dasar aktualisasi reformasi birokrasi, bagaimana dengan reformasi birokrasi Departemen Agama, mampukah gerakan ini mengubah citra dan membangun kepercayaan masyarakat dan mampu mewujudkan kinerja aparatur yang lebih produktif dan anti korupsi. Jawabnya, kiranya semua sepakat bahwa reformasi atau perubahan ke arah yang lebih baik adalah keharusan. Reformasi birokrasi Departemen Agama harus dimulai dengan pengambangan nilai-nilai budaya kerja yang berakar dari motto “Ikhlas Beramal”. Reformasi birokrasi dalam konteks peningkatan pelayanan kepada masyarakat di lingkungan Departemen Agama, yaitu perubahan paradigma lama 'sayyidul ummah' menjadi ‘khodimul ummah’. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan pembenahan sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan termasuk di dalamnya sistem remunerasi atau pemberian gaji yang proporsional sehingga mampu memenuhi hajat hidup yang paling mendesak. Remunerasi yang belum proporsional selama ini mendorong birokrasi menggunakan kekuasaan yang ada, sebagaimana anekdot yang telah membudaya di masyarakat 'kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah'. Akhirnya bermuara pada perilaku birokrasi yang korup. Budaya korupsi ini menjadi bagian yang paling sulit dalam melakukan reformasi birokrasi. Mengapa? Karena praktek korupsi di birokrasi pemerintah sudah membudaya. Kebijakan reformasi birokrasi secara total harus dipersiapkan sehingga dapat mengubah Pengembangan Budaya Kerja
17
cara berpikir dan budaya yang tidak profesional dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Dalam rangka menjabarkan pengembangan budaya kerja sebagai landasan pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan Departemen Agama, maka sistematika buku dibagi dalam beberapa bab, yaitu: Bab I, Pendahuluan, berisi garis-garis besar pengembangan budaya kerja Departemen Agama. Berangkat dari satu pemikiran bahwa reformasi birokrasi merupakan tuntutan, maka Departemen Agama dalam upaya meningkatkan kinerja dan eksistensi organisasi harus melakukan langkah kongkrit reformasi birokrasi yang tujuannya antara lain mengubah cara berfikir dan budaya kerja. Langkah kongkrit ini dimulai dari penyamaan persepsi tentang reformasi birokrasi Departemen Agama, tujuan dan manfaat pengembangan budaya kerja aparatur Departemen Agama. Bab II, Budaya Kerja, membahas tentang konsep, di mana Budaya Kerja adalah sesuatu yang abstrak akan tetapi bila dipraktikkan manfaatnya dapat dirasakan. Hierarki budaya kerja, nilai dasar, persepsi kerja, perilaku dan hasil kerja, dan proses sosialisasi juga dikaji dalam bab ini sehingga dapat mempermudah proses transformasi yang paling efektif dalam internalisasi kepada aparatur negara. Bab III, Pengembangan Budaya Kerja Departemen Agama membahas pengembangan budaya kerja yang dimulai dengan identifikasi nilai dasar dan persepsi kerja Departemen Agama. Filosofi kerja Departemen Agama tercantum dalam logo Ikhlas Beramal sebagai nilai dasar (core values) bagi aparatur Departemen Agama dalam bekerja. Budaya kerja ini akan menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan dan memuaskan para pemangku kepentingan. Melalui matrik perilaku kerja dapat diketahui indikator perilaku kerja yang kuat, sedang, dan lemah. Dengan demikian peri18
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
laku kerja yang kuat akan dapat memberikan konstribusi positif terhadap peningkatan produktivitas kerja Departemen Agama. Bab IV, Strategi Pengembangan Budaya Kerja, membahas tentang strategi yang ditempuh dalam pengembangan budaya kerja. Hal ini disadari mengingat cakupan pengembangan budaya kerja yang cukup luas, maka strategi yang dilakukan menyangkut nilai dasar, persepsi kerja dan perilaku kerja. Oleh karena itu, bab ini menawarkan pembentukan gugus tugas dengan berbagai strategi pengembangannya baik nilai dasar, persepsi kerja, dan perilaku kerja. Berbagai alternatif untuk pengembangan budaya kerja antara lain diklat/orientasi bagi pegawai, statement leader, dan kegiatan lainnya. Maka mempersiapkan materi dan kegiatan ini menjadi penting dalam upaya pengembangan budaya kerja di lingkungan Departemen Agama. Bab V, Agenda Pengembangan Budaya Kerja Departemen Agama, membahas rencana aksi pelaksanaan budaya kerja yang secara teknis akan ditunjuk penanggungjawabnya, agenda rencana aksi, indikator yang ditetapkan dan langkah-langkah koordinasi, monitoring dan evaluasi, serta pelaporan kegiatan secara berkala. Bab VI, Penutup, merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan kata penutup.
Pengembangan Budaya Kerja
19
BAB II BUDAYA KERJA A. Pengertian Budaya berasal dari bahasa Sansekerta “budhayah” sebagai bentuk jamak dari kata dasar “budhi” yang artinya akal atau segala sesuatu yang berkaitan dengan akal pikiran, nilai-nilai dan sikap mental (Keputusan MENPAN Nomor 5/KEP/M.PAN/04/2002). Budidaya berarti memberdayakan budi sebagaimana dalam bahasa Inggris dikenal sebagai culture (latin: cotere) yang semula artinya mengolah atau mengerjakan sesuatu (mengolah tanah pertanian), kemudian berkembang sebagai cara manusia mengaktualisasikan nilai (value), karsa (creativity), dan hasil karyanya (performance). Budidaya dapat juga diartikan sebagai keseluruhan usaha rohani dan materi termasuk potensi-potensi maupun keterampilan masyarakat atau kelompok manusia. Budaya selalu bersifat sosial dalam arti penerusan tradisi sekelompok manusia yang dari segi materialnya dialihkan secara historis dan diserap oleh generasi-generasi menurut “nilai” yang berlaku. Nilai disini adalah ukuran-ukuran yang tertinggi bagi perilaku manusia. Slocum (1995) dalam West (2000) mendefinisikan budaya sebagai asumsi-asumsi dan pola-pola makna yang mendasar, yang dianggap sudah selayaknya dianut dan dimanifestasikan oleh semua pihak yang berpartisipasi dalam organisasi. Budaya diartikan juga sebagai seperangkat perilaku, perasaan dan kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota organisasi (Osborn dan Plastrik, 2000). Untuk mengubah sebuah budaya harus pula mengubah paradigma orang yang telah melekat. Pada bagian lain Sofo (2003) memandang budaya 20
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
sebagai sesuatu yang mengacu pada nilai-nilai, keyakinan, praktik, ritual dan kebiasaan-kebiasaan dari sebuah organisasi, serta membantu membentuk perilaku dan menyesuaikan persepsi. Newstrom dan Davis (1993) menyatakan pentingnya budaya kerja dalam mendukung keberhasilan satuan kerja. Budaya memberikan identitas pegawainya, budaya juga sebagai sumber stabilitas serta kontinyuitas organisasi yang memberikan rasa aman bagi pegawainya, dan yang lebih penting adalah budaya membantu merangsang pegawai untuk antusias akan tugasnya. Tujuan fundamental budaya adalah untuk membangun sumber daya manusia seutuhnya agar setiap orang sadar bahwa mereka berada dalam suatu hubungan sifat peran sebagai pelanggan pemasok dalam komunikasi dengan orang lain secara efektif dan efisien serta menggembirakan (Triguno, 2004). Budaya organisasi adalah “nilai dan kebiasaan kerja seluruh anggotanya yang dibakukan serta diterima sebagai standar perilaku kerja dalam rangka pencapaian sasaran dan hasil yang telah direncanakan terlebih dahulu, yang dapat memberi arah bagi setiap pekerja untuk mencapai tujuan perusahaan”. Budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota organisasi dan yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Budaya organisasi pada hakikatnya merupakan pondasi suatu organisasi, jika pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh, maka betapa pun bagusnya suatu bangunan, ia tidak akan cukup kokoh untuk menopangnya. Yang diharapkan pada akhirnya adalah agar setiap individu dalam organisasi dapat menghayati budaya organisasinya, sebagai sumber semangat, pemberi arah, dan identitas khas mereka sebagai anggota dari suatu kelompok. Pengembangan Budaya Kerja
21
Secara sederhana, kerja didefinisikan sebagai segala aktivitas manusia mengerahkan energi biopsiko-spiritual dirinya dengan tujuan memperoleh hasil tertentu (Sinamo. JH. 2002). Menurut Hasibuan (2000) kerja adalah pengorbanan jasa, jasmani, dan pikiran untuk menghasilkan barang-barang atau jasa-jasa dengan memperoleh imbalan prestasi tertentu. Kerja perlu diartikan sebagai kegiatan luhur manusia. Bukan saja karena kerja manusia dapat bertahan hidup tetapi juga kerja merupakan penciptaan manusia terhadap alam sekitarnya menjadi manusiawi. Dengan demikian, kerja juga merupakan aktualisasi diri (S. Poepowardojo,1985). Pada hakikatnya bekerja merupakan bentuk atau cara manusia untuk mengaktualisasikan dirinya. Bekerja merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai, keyakinan-keyakinan yang dianutnya dan dapat menjadi motivasi untuk melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian suatu tujuan (Keputusan MENPAN Nomor 25/KEP/M.PAN/04/2002). Dalam ajaran Islam, bekerja adalah ibadah, karena perintah Tuhan atau panggilan mulia. Sinamo (2002) membagi kerja dalam delapan doktrin, yaitu kerja sebagai rahmat, kerja adalah amanah, kerja adalah panggilan, kerja adalah aktualisasi, kerja adalah ibadah, kerja adalah seni, kerja adalah kehormatan, dan kerja adalah pelayanan. Dostoyevsky dalam Sofo (2003) mengganti istilah kerja dengan kata “pembelajaran”. Triguno (2003) mengartikan budaya kerja sebagai suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuasaan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat, dan tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja. Dalam buku “Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur”, 22
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
yang diterbitkan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (2002), budaya kerja diartikan secara bervariasi dengan maksud yang sama. Di bawah ini disajikan beberapa pengertian budaya kerja yang terdapat dalam keputusan tersebut. Budaya kerja adalah cara pandang seseorang dalam memberi makna terhadap kerja. Dengan demikian, budaya kerja merupakan cara pandang seseorang terhadap bidang yang ditekuninya dan prinsip-prinsip moral yang dimiliki, yang menumbuhkan keyakinan yang kuat atas dasar nilainilai yang diyakini, memiliki semangat yang tinggi dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkan prestasi terbaik. Secara sederhana, budaya kerja dapat juga berarti cara pandang atau cara seseorang memberikan makna terhadap kerja. Dengan demikian, budaya kerja aparatur negara dapat dipahami sebagai cara pandang serta suasana hati yang menumbuhkan keyakinan yang kuat atas dasar nilai-nilai yang diyakininya, serta memiliki semangat yang tinggi dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkan prestasi kerja terbaik. Semestinya budaya kerja mengarahkan dan menjadi landasan nilai bagi kerja aparatur sehingga pekerjaan mereka menjadi bermutu, penuh motivasi, selalu berkembang menjadi lebih baik, dan memuaskan bagi masyarakat. Secara praktis dapat dikatakan bahwa budaya kerja mengandung beberapa pengertian, yaitu: 1. Pola nilai, sikap, tingkah laku, hasil karsa dan karya termasuk segala instrumen, sistem kerja, teknologi dan bahasa yang digunakannya. 2. Budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilainilai dan lingkungannya yang melahirkan makna dan pandangan hidup, yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam bekerja. Pengembangan Budaya Kerja
23
3. Budaya merupakan hasil dari pengalaman hidup, kebiasaan-kebiasaan, serta proses seleksi (menerima atau menolak) norma yang ada dalam cara berinteraksi sosial atau menempatkan dirinya di tengah-tengah lingkungan kerja tertentu. 4. Dalam proses budaya terdapat saling mempengaruhi dan saling ketergantungan (interdepensi), baik sosial maupun lingkungan sosial. Tinjauan ajaran Islam membagi budaya kerja ke dalam beberapa indikator, antara lain: 1. Kerja keras dan kerjasama (QS. Al-Insyiqoq: 6, Al-Mulk: 15, An-Naba: 11 dan At-taubah: 105); 2. Pekerjaan harus unggul/profesional/menjadi khalifah (An-Nahl: 93. Az-Zumar: 9, Al-An’am: 165); 3. Harus mendayagunakan hikmah Ilahi (Al-Baqoroh: 13); 4. Harus jujur, tidak saling menipu, harus bekerja sama, saling menguntungkan; 5. Kelemahlembutan; 6. Kebersihan; 7. Tidak mengotak-kotakan diri/ukhuwah; dan 8. Menentang permusuhan. Dalam ajaran agama Kristen terdapat landasan theologis dalam bekerja: 1. Hagai 2:5b : Bekerjalah sebab Aku ini menyertai kamu, demikianlah Firman Tuhan semesta alam. 2. Yohanes 6:27a : Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasam melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal. 3. 2 Tes 3:10b : Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.
24
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
4. Efesus 4:28b
: Tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan. 5. Keluaran 5:13 : Selesaikan pekerjaanmu, yaitu tugas sehari, seperti pada waktu ada jerami. 6. Pkh 9:10 : Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi. 7. 1Kor 16:14 : Lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih. 8. Kolose 3:17a : Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukan semua itu dalam nama Tuhan Yesus. 9. Titus 3:8 : Perkataan ini benar dan aku mau supaya engkau dengan yakin menguatkannya, agar mereka yang sudah percaya kepada Allah sungguh-sungguh berusaha melakukan pekerjaan yang baik. Ajaran agama Katolik mendalilkan budaya kerja sebagai berikut: 1. Bekerjalah selalu “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga”. (Yoh 5:17). “Aku, Tuhan dan Gurumu, telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama Pengembangan Budaya Kerja
25
2.
3.
4.
5.
26
seperti yang telah Kuperbuat kepadamu”. (Yoh 13:1415). Inilah dasar dari theologi kerja, kesecitraan manusia dengan Allah Sang Pencipta, yang dihayati dan direalisasikan oleh Yesus dalam Inkarnasi-Nya dan yang dikehendaki-Nya dilanjutkan oleh pengikut-pengikut-Nya di dalam Gereja-Nya. Jangan bermalas-malasan “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak”. (Ams 6:6). Binatang yang begitu kecil dan kelihatannya tidak berguna, rajin bekerja untuk tetap hidup. Apakah manusia, yang jauh lebih mulia dan lebih luhur daripada binatang, tidak harus merasa malu direndahkan martabatnya karena kemalasan bekerja? Hidup adalah kerja “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan”. (2Tes 3:10). Untuk hidup orang harus makan. Tetapi untuk dapat makan orang harus bekerja. Makan dari hasil kerja sendiri “Orang-orang yang tidak bekerja kami peringati dan nasihati dalam Tuhan Yesus Kristus, supaya mereka tetap tenang melakukan pekerjaannya dan dengan demikian makan makanannya sendiri”. (2Tes 3:12). Jangan menjadi Workaholic, ambillah juga istirahat, untuk beribadat “Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; ... sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya Inspektorat Jenderal Departemen Agama
TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya”. (Kel 20:9-11). 6. Bukan hanya teori, tetapi praktik “Jikalau kamu tahu semua ini, makan berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya”. (Yoh 13:17). Dalam pandangan Hindu, melalukan kegiatan kerja adalah suatu kewajiban yang esensial dalam hidup dan kehidupan itu sendiri. Bekerja bagi manusia merupakan bagian dari kesadaran eksistensial baik secara biologis maupun religius. Kerja merupakan bagian dari kesatuan kosmis, bahkan untuk menjaga keajegan dan kelangsungan alam semesta ini Brahman sendiri senantiasa bekerja (krida Brahman) tiada pernah berhenti. Dalam Bhagavadgita III.4 dikatakan: “Tanpa kerja orang tak akan mencapai kebebasan, demikian juga ia tak akan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja” (Na karmanām anarambhān naiskarmyam puruso‘snute, na ca samnyasanād eva siddhim samadhigacchati). Oleh karena itu, “bekerjalah seperti yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik daripada tidak berbuat, dan bahkan tubuhpun tak akan berhasil terpelihara tanpa berkarya” (Bhagavadgita III.8). Sesungguhnya dunia ini terikat oleh hukum karma, karena itu setiap makhluk hidup tak mampu untuk tidak berbuat walau untuk sesaat. Begitulah karma memutar gerak roda kehidupan, orang yang tak ikut memutarnya ataupun orang yang bekerja hanya untuk memenuhi nafsu indrianya, ia akan hidup dalam dosa dan sia-sia. Oleh karena itu, jika orang menginginkan kesejahteraan di dunia ini, maka dia harus meninggalkan enam jenis sifat yang tidak baik, yaitu: suka tidur, malas, takut, marah, tidak bersemangat, dan selalu mengulur waktu dalam menyelesaikan pekerjaannya. (Udyogaparva 33.78). Pengembangan Budaya Kerja
27
Kerja adalah wahana pembentuk kesadaran eksistensialisme manusia sebagai vaber mundi (pencipta dan pengada/cocreate dalam kerja). Dalam Atharva Veda XII.1.45, dikatakan: “Janam bibhrati bahuda mima-sacam nana dharmanam prthivi yatokasam, satastram dhana dravinasya me duham druveva dhenur anapaspuranti”. (Bekerjalah untuk tanah air dan bangsamu dengan berbagai cara. Hormatilah cita-cita bangsamu. Ibu Pertiwi memikul beban, dihuni oleh berbagai suku bangsa dan bahasa, telah mengalirkan sungi kemakmuran dengan ratusan cabang. Engkau hendaknya hidup saling mengasihi seperti induk sapi dengan anak-anaknya. Dengan demikian hakikat kerja dalam pandangan Hindu merupakan perwujudan dari Sradha dan Bhakti yang tulus kepada Brahman. Setiap kegiatan kerja yang dilakukan pada dasarnya merupakan perwujudan dari sebuah bentuk ibadah religius (yajña). Dengan demikian maka yajña dapat diwujudkan dalam bentuk kreativitas kerja. Ajaran agama Buddha mengajarkan Budaya adalah serangkaian pada aksi dan reaksi, yang menunjukan ciri-ciri tingkah laku individu-individu dalam suatu kelompok tertentu, di mana kita melihat seseorang bertindak, bereaksi, bertingkah laku, berpikir, dan sebagainya. Dalam Agama Budha, budaya dalam arti mental, moral dan spiritual disebut dengan bhavana, yang bersal dari akar kata “ Bhav”, berarti ‘ Pengembangan, pencapaian”. Budaya/pembinaan ini dibagi dalam tiga pola pembinaan yaitu : pembinaan jasmani (kaya), pembinaan batin (Citta), dan pembinaan kebajikan (panna). Ketiga pola pembinaan tersebut membentuk dan mewujudkan cara hidup Budhis. Siswa sang Budha diharapkan untuk memperoleh, mengembangkan dan melatih diri dalam ketiga pola pembinaan.
28
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
Kerja adalah perbuatan baik yang dilakukan melalui badan jasmani, pikiran maupun ucapan. Dalam agama Budha disebut dengan Karma atau Kamma. Umat Budha memiliki keyakinan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan baik melalui perbuatan jasmani, pikiran maupun ucapan, akan mendapatkan akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Budha mengajarkan bahwa : “ Sesuai dengan benih yang telah ditabur, begitulah buah yang akan diperoleh darinya. Pelaku kebaikan akan mendapatkan buah kebaikan. Pelaku kejahatan akan memetik buah kejahatan. Taburlah benih itu dan tertanam baik, engkau akan menikmati buah darinya” (Samyutta Nikaya, I,222} Untuk itu Budha mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berbuat kebijakan yang dimulai dari sedikit demi sedikit, “bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh air setetes” (Dhammapada, 122). Agar semua perbuatan yang akan dilakukan menjadi bernilai baik atau bermamfaat, maka Budha memberikan pedoman agar setiap perbuatan yang dilakukan hendaklah dilandasi dengan kesucian hati dan pikiran, sebagaimana tertuang dalam kitab Dhammapada, 183” Janganlah berbuat jahat, berbuatlah kebajikan, sucikan hati dan pikiran”. Perbuatan kebajikan yang dilakukan terus menerus dan dilatihkan setiap saat maka akan menjadi kebiasaan, yang pada akhirnya dapat menjadi perilaku luhur yang disepakati dan dipedomani bersama. Dengan demikian Budaya Kerja dalam pandangan agama Budha adalah perwujudan dari setiap bentuk pembinaan yang memberikan mamfaat kepada semua makhluk dengan dilandasi hati yang suci dan pikiran yang jernih. Menurut Didin Hafidhuddin (2003), budaya kerja pada perusahaan bernuansa Islam harus mengandung unsur-unsur atau memiliki ciri-ciri kejujuran (shiddiq), konsisten Pengembangan Budaya Kerja
29
(istiqomah), pandai (fathanah), bertanggung jawab (amanah), dan mengajak (tablig). 1. Shiddiq, artinya memiliki kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan, serta perbuatan berdasarkan ajaran islam. Tidak ada kontradiksi dan pertentangan yang disengaja antara ucapan dan perbuatan. Oleh karena itu, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk senantiasa memiliki sifat shiddiq. Firman Allah SWT.: ”Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. Dalam kerja dan usaha kejujuran ditampilkan dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan (mujahadah dan itqan), baik ketepatan waktu, janji, pelayanan, pelaporan, mengakui kelemahan, dan kekurangan (tidak ditutup-tutupi) untuk kemudian diperbaiki secara terus menerus. Juga, menjauhi diri dari perbuatan bohong dan menipu (baik pada diri sendiri, teman sejawat, perusahaan, maupun mitra kerja). (Q.S. At Taubah: 119). 2. Istiqomah, artinya konsisten dalam iman dan nilai-nilai yang baik meskipun menghadapi berbagai godaan dan tantangan. Istiqomah dalam kebaikan ditampilkan dengan keteguhan, kesabaran, serta keuletan sehingga menghasilkan sesuatu yang optimal. Orang dan lembaga yang istiqomah dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan sekaligus mendapatkan solusi serta jalan keluar dari segala persoalan yang ada, sebagaimana firman Allah dalam surat Fushilat: 30-31: ”Sesungguhnya orangorang yang mengatakan, Tuhan kami adalah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (mem30
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
peroleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu pinta”. 3. Fathanah, berarti mengerti, memahami, dan menghayati secara mendalam segala hal yang terjadi dalam tugas dan kewajiban. Sifat ini akan menumbuhkan kreativitas dan kemampuan untuk melakukan berbagai macam inovasi yang bermanfaat. Kreativitas dan inovatif hanya mungkin dimiliki ketika seseorang selalu berusaha menambah berbagai ilmu pengetahuan, peraturan dan informasi baik yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun perusahaan secara umum. 4. Amanah, artinya memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal. Sifat amanah harus dimiliki oleh setiap mukmin, apalagi yang memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan bagi masyarakat, sebagaimana terdapat dalam surat An-Nisa: 58, ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Melihat”. Dalam sebuah hadist dikemukakan bahwa Rasullullah SAW. Bersabda: ”bahwa amanah akan menarik rezeki dan sebaliknya khianat akan mengakibatkan kefakiran”. 5. Tablig, artinya mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk melaksanakan ketentuan-ketenPengembangan Budaya Kerja
31
tuan ajaran Islam dalam kehidupan kita sehari-hari. Tablig yang disampaikan dengan hikmah, sabar, argumentatif, dan persuasif akan menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang semakin solid dan kuat. B. Hierarki Budaya Kerja Dalam praktiknya, budaya organisasi merupakan bangunan yang terdiri atas dua tingkat karakteristik, yaitu yang tampak dan yang tidak tampak. Pada tingkat yang tampak, ia mencakup beberapa aspek organisasi pola perilaku, sistem dan prosedur, bahasa dan kebiasaan yang dilakukan perusahaan. Pada tingkat yang tidak tampak, ia mencakup nilai nilai yang disebut "shared values", norma-norma, kepercayaan, asumsi-asumsi para anggota organisasi untuk mengelola masalah dan pengaruh di sekitarnya. John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) mengklasifikasikan budaya organisasi menjadi dua tingkatan yang berbeda. Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang penting dalam kehidupan, dan dapat sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda, dalam beberapa hal orang sangat mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah, sebagian karena anggota kelompok sering tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama. Pada tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku sejawatnya. Sebagai 32
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah bertahun-tahun menjadi “pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap orang asing” dan lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yang sangat konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah, tetapi tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar. Untuk lebih jelasnya lagi mengenai tingkatan budaya ini dapat dilihat dalam bagan 1. Tak Tampak ———————————— sulit berubah Nilai yang dianut bersama: keyakinan dan tujuan penting yang dimiliki bersama oleh kebanyakan orang dalam kelompok yang cenderung membentuk perilaku kelompok, dan sering bertahan lama, bahkan walaupun sudah terjadi perubahan dalam anggota kelompok. Contoh: para manajer yang mempedulikan pelanggan; eksekutif yang suka dengan pertimbangan jangka panjang. Norma perilaku kelompok: cara bertindak yang sudah lazim atau sudah meresap yang ditemukan dalam satu kelompok dan bertahan karena anggota kelompok cenderung berperilaku dengan cara mengajarkan praktik-praktik (juga nilai-nilai yang mereka anut bersama) kepada para anggota baru memberi imbalan kepada mereka yang menyesuaikan dirinya dan menghukum yang tidak. Contoh: para karyawan cepat menanggapi permintaan pelanggan; para menajer yang sering melibatkan karyawan tingkat bawah dalam pengambilan keputusan. Tampak ————————————— mudah berubah Bagan 2. Budaya dalam Sebuah Organisasi (sumber: John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998) Persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan Pengembangan Budaya Kerja 33
kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka (Robbins, 1996). Alfian (1985) mendefinisikan persepsi sebagai penghayatan langsung oleh seorang pribadi atau proses-proses yang menghasilkan penghayatan langsung. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuan seseorang (Mar’at 1984). Manusia mengamati obyek dengan inderanya sendiri yang diwarnai oleh nilai dari kepribadiannya, sedangkan obyeknya dapat berupa kejadian, ide atau situasi tertentu. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki seseorang akan terjadi keyakinan terhadap obyek tersebut. Robbins (1996) membagi beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi berdasarkan keberadaan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi itu sendiri, apakah berada di pihak perilaku persepsi, dalam obyeknya atau target yang dipersepsikan, atau dalam konteks dari situasi dalam mana persepsi itu dilakukan. Sebagaimana gambar berikut: l Faktor dalam situasi • Waktu • Keadaan / tempat kerja • Keadaan sosial Faktor pada pemersepsi • Sikap • Motif • Kepentingan • Pengalaman • Pengharapan
PERSEPSI
Faktor pada target • Hal baru • Gerakan • Bunyi • Ukuran • Latar belakang • Kedekatan
Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Sumber : Robbins, 1996) Hal tersebut menunjukkan bagaimana pegawai mempersepsikan kerja berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki akan 34
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
membentuk persepsi tertentu mengenai kerja. Oleh karena itu, setiap pegawai memberikan makna yang berbeda dalam memandang nilai-nilai budaya kerja yang ada. Hubungan antara persepsi pegawai terhadap nilai, sikap, dan perilaku sesuai dengan yang diinginkan dapat terjadi apabila terdapat kesesuaian antara persepsi yang didasarkan pada nilai-nilai yang diyakini dengan nilai-nilai budaya kerja yang ada. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
BEHAVIOR (Action/Decision)
ATTITUDES (Inclination to Act)
VALUES (Basic Belief) Gambar 2 Hubungan antara nilai, sikap, dan perilaku (Sumber : Davis dan Frederick, 1984)
Pengembangan Budaya Kerja
35
C. Nilai-nilai Dasar Nilai-nilai yang berlaku dalam organisasi disurvei, ditampung, dan disaring sehingga diperoleh nilai-nilai utama yang berlaku dalam organisasi tersebut. Nilai-nilai utama yang telah diperoleh merupakan titik tolak dalam mengembangkan budaya kerja organisasi. Nilai dasar dapat ditemukenali dari sejarah berdiri dan berkembangnya suatu organisasi, termasuk Departemen Agama, yang telah memiliki nilai-nilai dasar yakni Ikhlas Beramal, seperti termuat dalam logonya. Kultur dan nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh para pendiri Departemen Agama sejak awal, selanjutnya diwujudkan iklim yang sehat, dinamis, terbuka, saling menghargai, memelihara budaya silaturrahim, serta selalu menjaga martabat Departemen Agama sesuai dengan motto lkhlas Beramal. Menurut arti dan esensi yang lebih dalam, yaitu ikhlas berkhidmat sebagai pelayan umat. Nilai dasar harus diyakini kebenarannya sehingga memberikan inspirasi untuk membentuk persepsi dan perilaku kerja. Persepsi kerja sebagai lembaga pemerintahan adalah melayani, memberdayakan, merumuskan/membuat/menjalankan/menegakkan aturan, mengorganisasikan sumber daya, dan membangun/mengadakan fasilitas/sarana untuk kerja organisasi dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Persepsi kerja Departemen Agama sesuai dengan tugas dan fungsi organisasi adalah melayani, membina, dan membimbing. Tugas dan fungsi ini dapat dikristalisasikan menjadi 3 (tiga) elemen, yakni: melayani, memberdayakan (membina dan membimbing), dan meneladani (dalam hal berkehidupan, bersilaturahmi, dan berorganisasi).
36
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
Contoh nilai-nilai dasar pada organisasi lain dapat dilihat pada tabel berikut: Nama Organisasi Bank Negara Indonesia 1946 Itjen Depag Bank Rakyat Indonesia BPKP Dirjen Perbendaharaan Depkeu Singapore Airlines
Wonokoyo
Nilai Dasar Organisasi Profesionalisme, Integritas, Orientasi Pelanggan, Perbaikkan Tiada Henti Cerdas, Profesional dan Bermoral Integritas, Profesionalisme, Kepuasan Nasabah, Keteladanan, dan Penghargaan pada SDM Profesionalisme, Integritas, Kepentingan Bersama Kompetensi, Integritas, Transparansi, Akuntabel, Layanan Prima, dan Kebersamaan Pursuit of Excellence, Safety, Customer First, Concern for Staff, Integrity, Teamwork Jujur, Disiplin, Tanggung jawab, Bersih dan Rapi, Semangat, Kerja sama, Keteladanan, dan Maju
Sumber: berbagai sumber diolah (2008) D. Persepsi Kerja Pada hakikatnya, bekerja merupakan bentuk atau cara manusia untuk mengaktualisasikan dirinya. Bekerja merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai, keyakinan-keyakinan yang dianut dan dapat menjadi motivasi untuk melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian suatu tujuan. Bahkan dalam konsep agama (Islam), bahwa bekerja dimaknai sebaPengembangan Budaya Kerja
37
gai ibadah, karena memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Dalam hal ini, bekerja merupakan perintah Tuhan atau panggilan tugas mulia dan menempatkannya sebagai bentuk ibadah. Budaya organisasi yang mengandung nilai-nilai agama karena selalu mendahulukan pembinaan terhadap akhlakul karimah, sejak tahap awal perlu dimantapkan sebagai manifestasi utama dari budaya organisasi. Budaya organisasi akan terekspresi dalam seremoni dan ritual yang substansinya adalah substansi agamawi. Maka tahap confontation of dependency and authority dapat dilembutkan melalui budaya jujur, sabar, tidak mudah iri dan terpancing untuk melakukan hal-hal yang dimurkai agama. Para pemimpin yang mewakili budaya organisasi, akan menentukan bahwa bila tahap pertama upaya karyawan menyesuaikan diri dengan budaya organisasi berhasil sukses, maka pada tahap berikutnya akan tercapai confontation of intimacy, role differentiation and peer relationship. Tahap ini menggambarkan tercapainya konsensus normatif dan kerja sama dalam tim yang harmonis. Dalam agama Islam manusia ditentukan untuk: 1. Berusaha (effort) seluas dan sebaik-baiknya agar tercapai suatu hasil yang halal. Pada tahap ini, dengan dukungan Budaya Perusahaan, karyawan akan mencoba berusaha dan menghasilkan prestasi terbaiknya, apalagi bila performance appraisalnya dilakukan dengan adil dan obyektif. Melakukan pekerjaan dengan ikhlas adalah ajaran utama dalam Islam. Dalam Budaya Perusahaan dapat dibina suasana bekerja dengan ikhlas, suatu effort yang diupayakan hanya karena Allah semata-mata. Effort yang dilandasi keikhlasan, dapat mencegah SDM dari stres atau jenis emosi lain yang merugikan.
38
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
2. Dalam Islam, umat dituntut untuk meminta tolong kepada Allah dan mengakui keterbatasan dirinya. Allah lebih mencintai orang-orang yang selalu meminta daripada yang enggan meminta, karena seolah-olah manusia itu berkecukupan. Allah SWT, berfirman: “Berdoalah kepadaKu, niscaya akan kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orangorang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina” (QS. 40:60). Rasullah SAW bersabda: “Sesungguhnya siapa saja yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan marah kepadanya”. (HR. At-Tarmizi dan Abu Hurairoh). Apabila manusia rajin bekerja dan berupaya, ia akan menciptakan Budaya Kerja yang disiplin, keras kemauan dan tidak cepat putus asa. Sementara itu, individu itu terus menerus berdo’a dan meminta tolong dan ridhoNya, agar usahanya membuahkan hasil. Sifat ini akan membawa manusia ke perilaku rendah hati, takut takabur dan senantiasa menyadari baik kelemahan maupun kekuatannya. 3. Pada tahap berikutnya, dituntut sikap penerimaan yang ikhlas, sekalipun susah dan permintaan tolongnya belum mendatangkan hasil seperti yang diharapkan. E. Perilaku dan Hasil Kerja Perilaku dan hasil kerja yang diharapkan dari kelembagaan pemerintahan yang baik (good governance) adalah agar aparatur akan memperoleh kesempatan untuk berperan, berprestasi, aktualisasi diri, mendapat pengakuan, penghargaan, kebanggaan kerja, rasa ikut memiliki dan bertanggung jawab, meningkatkan kemampuan memimpin, mePengembangan Budaya Kerja
39
mecahkan masalah, memperluas wawasan, lebih memahami makna hidup dan pengabdiannya sebagai aparatur negara dengan cara bekerja sebaik-baiknya dan berprestasi dalam lingkungan tugas kerja/instansinya. Dapat meningkatkan kerja sama, mengefektifkan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi, keselarasan dan dinamika organisasi, memperlancar komunikasi dan hubungan kerja, menumbuhkan kepemimpinan yang partisipatif, mengeliminasi hambatan-hambatan psikologis dan kultural (feodalisme), menciptakan suasana yang menyenangkan dan mendorong kreativitas aparatur. Budaya kerja juga dapat membantu pengembangan sistem ketatalaksanaan dan metode kerja praktis yang semakin efisien melalui sentuhan-sentuhan nilai-nilai moral, agama, dan budaya agar berpikir positif, memperbaharui sikap mental dan perilaku sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat yang etis, bermoral dan profesional, sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan kinerja organisasi serta kualitas pelayanan masyarakat. Pengembangan budaya kerja sangat penting bagi bangsa dan negara, karena kemampuan potensial seluruh aparatur dapat diarahkan untuk menjawab masalah-masalah mendasar nasional jangka panjang terutama untuk membangun moral, sikap mental dan perilaku positif aparatur. Diarahkan juga untuk meningkatkan sinergi program-program pembangunan nasional, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, membangun ekonomi kerakyatan yang berorientasi pada mekanisme pasar, pengembangan iklim politik dan tata pemerintahan yang baik serta memperbaiki pelaksanaan sistem manajemen pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Selain itu juga dapat diarahkan untuk mempercepat proses pemberantasan KKN, sekaligus menumbuhkembangkan kepemimpinan partisipatif di lingkungan aparatur negara. 40
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
F. Sosialisasi Budaya Kerja Sosialisasi budaya kerja merupakan bagian yang sangat penting dalam membangun budaya inti yang kuat untuk menjamin tindakan bersama (cooperative action). Walaupun konsepsi budaya kerja sudah dirumuskan dengan baik, apabila tidak didukung sosialisasi yang tepat, aplikasinya belum tentu mencapai hasil optimal. Banyak cara yang bisa ditempuh dalam sosialisasi budaya kerja, namun dua hal pokok perlu dilakukan, yaitu: 1)menyampaikan informasi yang jelas dan kontinyu tentang budaya kerja, dan 2)menjaring masukan bagi upaya perbaikan selanjutnya. Proses sosialisasi dilakukan dalam bentuk advokasi bagi karyawan baru untuk penyesuaian diri dengan budaya organisasi. Sosialisasi dilakukan ketika mereka sedang dalam tahap penyeleksian atau pra-kedatangan. Tiap calon karyawan mengikuti pembelajaran sebelum diterima. Setelah diterima para karyawan baru melihat kondisi organisasi sebenarnya dan menganalisis harapan-kenyataan, antara lain lewat proses orientasi kerja. Pada tahap tersebut para karyawan berada dalam tahap “perjuangan” untuk menentukan keputusan apakah sudah siap menjadi anggota sistem sosial perusahaan, raguragu ataukah mengundurkan diri. Ketika karyawan sudah memutuskan untuk terus bekerja, namun proses perubahan relatif masih membutuhkan waktu yang lama, maka tiap karyawan perlu difasilitasi dengan pelatihan dan pengembangan diri secara terencana. Dalam hal ini, karyawan harus membuktikan kemampuan diri dalam penguasaan keterampilan kerja yang disesuaikan dengan peran dan nilai serta norma yang berlaku dalam kelompok kerjanya sampai mencapai tahap metamorfosis. Secara keseluruhan keberhasilan proses sosialisasi akan sampai pada tahap interPengembangan Budaya Kerja
41
nalisasi yang diukur dari: 1)produktivitas kerja; 2)komitmen pada tujuan organisasi; dan 3)kebersamaan dalam organisasi. 1. Langkah pokok sosialisasi dan pengembangan budaya kerja aparatur, sebagai berikut: a. Internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai budaya kerja ke dalam proses dan sistem pelaksanaan tugas dan pekerjaan sehari-hari di setiap unit kerja instansi pemerintah, melalui: 1) komitmen dan keteladanan dari pimpinan instansi untuk melaksanakan secara nyata dan konsisten nilai-nilai budaya kerja sesuai dengan visi dan misi, aturan-aturan dalam melaksanakan tugas sehari-hari; 2) pengembangan dinamika kelompok kerja untuk meningkatkan kinerja dan memperbaiki tata laksana serta metode kerja secara berkelanjutan; 3) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pengembangan budaya kerja, baik melalui diklat reguler maupun diklat teknis budaya kerja di semua jenjang. b. Mengembangkan partisipasi dan opini publik untuk menciptakan lingkungan yang kondusif guna mendukung program pengembangan budaya kerja aparatur. Untuk itu, sejauh mungkin memanfaatkan jenis media massa, serta mengundang para pakar, tokoh masyarakat dan LSM untuk berpartisipasi dan menyampaikan pandangan mengenai budaya kerja untuk meningkatkan kinerja aparatur, utamanya dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. 2. Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan Budaya Kerja Setiap aparatur dituntut agar memiliki kemampuan mewujudkan nilai-nilai budaya kerja menjadi kenyataan 42
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
dengan hasil kerja yang bermutu. Untuk itu dapat dilakukan melalui program pendidikan dan pelatihan (diklat): a. Memasukkan kurikulum pengembangan budaya kerja ke dalam diklat kepemimpinan (Diklatpim). b. Khusus untuk pelatihan bagi fasilitator budaya kerja, melalui diklat teknis dengan kurikulum khusus yang dilakukan oleh fasilitator profesional. c. Materi pokok diklat teknis memuat antara lain: 1) perubahan sikap dan perilaku; 2) nilai-nilai budaya kerja; 3) visi, misi, dan kebijakan strategis; 4) penerapan nilai-nilai budaya kerja; 5) pengembangan kreativitas individu dan kelompok serta simulasi; 6) teknik-teknik pemecahan masalah dan pengambilan keputusan; 7) total Quality Management (TQM) pelayanan masyarakat. Di samping itu, beberapa hal lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan sosialisasi budaya kerja melalui diklat adalah: kurikulum pelatihan, teknik penyampaian, fasilitator, peserta pelatihan, dan jangka waktu pelatihan. Sosialisasi Pengembangan Budaya Kerja Melalui Media Massa Untuk memperkuat komitmen dan menciptakan lingkungan yang kondusif serta dukungan dari para pemimpin dalam jajaran eksekutif, legislatif, para akademisi, pers, perusahaan swasta, LSM, dan pimpinan informal lainnya, perlu segera digiatkan sosialisasi pengembangan budaya kerja secara luas, intensif dan berkelanjutan, dengan cara sebagai berikut: Pengembangan Budaya Kerja
43
1. Menggelar komunikasi sosial secara luas dan terbuka bagi semua lapisan masyarakat baik melalui siaran TV, radio, media cetak, dan karya seni lainnya secara teratur dan intensif dengan muatan nilai-nilai moral dan nilai kerja produktif yang benar-benar diperlukan bangsa Indonesia pada saat ini dan yang akan datang. 2. Disampaikan oleh para pakar yang berintegritas tinggi, dari semua komponen bangsa, melalui pembahasan topik-topik tertentu dan terpilih, secara dialogis dalam suasana konstruktif, dinamis, sejuk, sehingga dapat menyentuh rasa, kalbu dan hati nurani masyarakat pemirsa/pendengar/pembaca, dan tidak bersifat indoktrinasi. 3. Memberikan informasi dan pengertian secara lugas, benar dan jujur mengenai berbagai hal kepada masyarakat agar dapat menyentuh hati nuraninya dan menggugah kesadaran, sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat menilai dan mengoreksi kekeliruan-kekeliruan mendasar terhadap cara pikir, persepsi dan perilaku di masa lalu yang menyimpang, baik oleh aparat birokrasi pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. 4. Secara bertahap diarahkan untuk membangun moral, integritas, profesionalisme, kualitas kinerja pemerintah dan pelayanan masyarakat dari hal-hal yang nampaknya sederhana, tetapi sangat diperlukan masyarakat sehingga dapat memperbaiki citra aparatur birokrasi pemerintah, dan kepercayaan masyarakat. 5. Sedangkan ke dalam lingkungan jajaran birokrasi pemerintah sendiri, perlu dilakukan sosialisasi dan usahausaha terpadu dengan pelaksanaan program kerja dan evaluasi laporan kinerja/standar kinerja yang telah ditetapkan.
44
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
Budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic. Menurut Vijay Sathe (1985) dengan melihat asumsi dasar yang diterapkan dalam suatu organisasi yang membagi “Sharing Assumption”. Sharing berarti berbagi nilai yang sama atau nilai yang sama dianut oleh sebanyak mungkin warga organisasi. Asumsi nilai yang berlaku sama ini dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk budaya organisasi yang dapat dibagi menjadi: 1. Share thing, misalnya pakaian seragam, seperti pakaian Korpri untuk PNS, batik PGRI yang menjadi ciri khas organisasi tersebut. 2. Share saying, misalnya ungkapan-ungkapan bersayap, ungkapan slogan, dan pameo, seperti di dunia pendidikan terdapat istilah “Tut Wuri Handayani”. 3. Share doing, misalnya pertemuan, kerja bakti, kegiatan sosial sebagai bentuk aktifitas rutin yang menjadi ciri khas suatu organisasi seperti istilah “mapalus” di Sulawesi, “nguopin” di Bali. 4. Share feeling, turut bela sungkawa, aniversary, ucapan selamat, acara wisuda mahasiswa, dan lain sebagainya.
Pengembangan Budaya Kerja
45
BAB III KERANGKA DASAR BUDAYA KERJA DEPARTEMEN AGAMA A. Identifikasi Nilai Dasar Semua aparatur Departemen Agama pada dasarnya mengetahui dan memerhatikan kata-kata yang tertulis pada logo Departemen Agama, yaitu “Ikhlas Beramal”. Namun, patut diakui bahwa hanya sedikit yang memahami “ikhlas beramal” yang pada hakikatnya merupakan nilai dasar bagi Departemen Agama. Selama ini “ikhlas beramal” dipahami sebagai “motto” atau semangat kerja aparatur Departemen Agama. Dalam ruang lingkup “Pengembangan Budaya Kerja Departemen Agama”, kata-kata “ikhlas beramal” ini diidentifikasi dan disepakati sebagai perwujudan “nilai dasar” bagi kelembagaan Departemen Agama. Penetapan “Ikhlas beramal” sebagai nilai dasar bagi kelembagaan Departemen Agama dan merupakan pondasi bangunan budaya organisasi yang harus diperkuat agar mampu menopang elemen budaya kerja lainnya, yakni persepsi kerja, sikap kerja, dan perilaku kerja. Makna “ikhlas beramal” perlu dituliskan pengertian dan penafsirannya agar dapat dimengerti, diterima, dan diyakini oleh semua aparatur. Secara etimologi “ikhlas” berarti murni, tidak tercampur, bersih, jernih, bebas, terhindar, dan selamat dari keburukan (Kamus al-Munawwir: 388). Secara terminologi, “ikhlas” adalah suatu perbuatan hati yang dapat mendekatkan diri pada Allah SWT., dengan menjauhkan diri dari perasaan pamer (riya). Menurut Sahal, “ikhlas” adalah adanya konsistensi perbuatan seseorang hanya kepada Allah SWT. semata (Ihya Ulumuddin: 369). Ibrahim bin Adham mendefinisikan 46
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
“ikhlas” adalah kebenaran niat (dalam hati) karena Allah SWT. (Ihya Ulumuddin: 369). Imam Ghazali menegaskan lagi, “ikhlas” dalam dimensi tauhid adalah antonim dengan kata syirik (Ihya Ulumuddin: 367). Hal ini dapat diartikan apabila seseorang dalam menjalankan sesuatu tidak ikhlas maka dapat dikategorikan orang yang menyekutukan Allah SWT. Berbagai definisi di atas menunjukkan bahwa perbuatan seseorang sebagai hamba Allah SWT hanya diukur dari kadar tinggi rendahnya keikhlasan. Beberapa ayat AlQur’an dan Hadits yang memuat makna “ikhlas beramal”, sebagai berikut: "Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. Al-An'am: 162-163). “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. At-Taubah: 105). “Maha suci Allah yang di tangan-Nya seluruh kerajaan dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Allah yang telah menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang paling baik kualitas amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Al-Muluk :1-2). “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang dia kerjakan” (QS. Al-An’am:132). "Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan Pengembangan Budaya Kerja
47
pekerjaan mereka itu di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan merugi. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka". (QS. 11: 15-16). "Barangsiapa yang menghendaki keuntungan akhirat, akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu kebahagiaan pun di akhirat". (QS. Asy-Syuraa: 20). "Bahwasanya segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwasanya bagi tiap-tiap orang memperoleh menurut apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, dan barangsiapa hijrahnya kepada dunia yang ingin didapatkannya, atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang ditujunya". (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tarmidzi dan An-Nasa'I). "Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali jika (pelaku) amal itu ikhlas dan mencari keridhaan Allah dengannya". (HR. Nasa'i). Pendiri dan penerus perjuangan pengembangan institusi di lingkungan Departemen Agama tentu memiliki keyakinan yang kuat atas makna kata “ikhlas beramal” dan memiliki alasan yang kuat pula mengapa kata “ikhlas beramal” menjadi bagian dari logo Departemen Agama. Namun sebagai item nilai dasar yang merupakan bagian dari kerangka budaya kerja yang diformalkan, maka nilai dasar tersebut harus secara sistematis diinstitusionalisasikan, dikomunikasikan, dan diinternalisasikan. Harus diakui bahwa proses sosialisasi pemahaman kata “ikhlas beramal” sebagai bagian dari logo Departemen Agama telah berlangsung lama dari masa ke masa dan menjadi jati diri kelembagaan pada berbagai atribut organisasi. Makna “ikhlas beramal” sering disampaikan pada aca48
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
ra-acara kelembagaan resmi, baik yang ditujukan kepada aparatur (stakeholders internal) maupun mitra kerja dan masyarakat (stakeholders eksternal), seperti pada kegiatan tahunan penyelenggaraan “Hari Amal Bakti” atau biasa disingkat HAB. Namun derajat penerimaan dan penghayatan, serta pengamalan nilai “ikhlas beramal” dalam aktivitas kerja (internalisasi) belum sepenuhnya dikaji secara menyeluruh. Sebagian aparatur masih merasakan adanya penafsiran yang dapat mendangkalkan makna kata “ikhlas beramal”, demikian pula bagi publik yang mulai meragukan aktualisasi makna “ikhlas beramal” setelah melihat praktik pelayanan kelembagaan Departemen Agama yang dikeluhkan oleh sebagian masyarakat, yaitu: 1. “Ikhlas beramal” memberi kesan bahwa aparatur Departemen Agama secara umum “berbuat/bekerja seadanya”, sehingga menjadi ungkapan seloroh “beramal seikhlasnya”. Kesan ini justru dapat menjadi penghambat dalam upaya meningkatkan produktivitas dan profesionalitas kerja. 2. “Ikhlas beramal” dalam praktik pelayanan kelembagaan (pada satuan organisasi/kerja tertentu) justru menimbulkan perilaku yang “antagonis”, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pemahaman tersebut perlu diluruskan agar tidak menjadi “salah persepsi” terhadap makna kata “ikhlas beramal”, yang membuat kata “ikhlas beramal” menjadi tidak bernilai. Dengan melakukan kajian dokumentasi terhadap beberapa naskah atau dokumen yang dimiliki dan diterbitkan oleh Departemen Agama, kata “ikhlas beramal” dapat diidentifikasi memiliki 3 (tiga) fungsi, yakni: 1. Fungsi jati diri: fungsi ini berlaku bagi individu aparatur Departemen Agama yang merefleksikan karakter dan Pengembangan Budaya Kerja
49
kesiapan untuk berbuat “ikhlas beramal”, baik dalam kehidupan diri sendiri, berkeluarga, dan bermasyarakat. 2. Fungsi kinerja: fungsi ini berlaku sebagai landasan komitmen bekerja aparatur yang siap “mengabdikan dirinya”, sejak melamar, bekerja, dan berkarir, dengan penuh “keikhlasan” dan senantiasa meningkatkan “amaliah” (produktivitas dan profesionalitas), untuk melaksanakan tugas dan fungsi Departemen Agama. 3. Fungsi dakwah: fungsi ini berlaku sebagai landasan misi kelembagaan yang menjadi penjaga moral bagi Bangsa Indonesia. Keutamaan dan keberhasilan menebarkan benih semangat “ikhlas beramal” mencerminkan eksistensi Departemen Agama sebagai “garda reformasi” dan “garda revitalisasi”. Garda reformasi adalah peran pengawal reformasi birokrasi pemerintahan sebagai koreksi atas tindak penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Garda revitalisasi adalah peran penyeru perbuatan baik dan mencegah/melawan tindak kejahatan (amar ma’ruf nahi munkar) serta mengajak berlomba-lomba berbuat kebajikan (fastabiqul khairat). Sejalan dengan formulasi ketiga fungsi di atas, Bahrul Hayat. Ph.D (Sekjen Departemen Agama) mengemukakan bahwa Ikhlas Beramal memiliki tiga ranah dalam implementasinya, yakni: 1. Ranah Sistem, di mana motto Ikhlas Beramal diterjemahkan menjadi aturan dan regulasi yang memaksa semua komponen system untuk menerapkannya. 2. Ranah Manajemen, di mana motto Ikhlas Beramal diterjemahkan oleh semua pejabat dalam berbagai tingkatan untuk menjadi role model, inspirator, dan motivator.
50
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
3. Ranah Individu, di mana semua komponen sistem menjadikan motto Ikhlas Beramal sebagai nilai dasar, sikap, dan perilaku sehari-hari. Tahapan implementasi motto Ikhlas Beramal memerlukan proses panjang dan upaya secara terus menerus sehingga menjadi budaya kerja organisasi yang sehat dan kuat. Formulasi tahapan implementasi tersebut dimulai dari, dipaksa, terpaksa, bisa, biasa, dan akhirnya menjadi budaya. Pada upacara peringatan “Hari Amal Bakti” ke-62 pada tanggal 3 Januari 2008, Menteri Agama dalam sambutan tertulisnya antara lain memunculkan wacana reformulasi makna “ikhlas beramal”, dengan bingkai nilai “berkhidmat”. Bingkai nilai “berkhidmat” itu pada hakikatnya adalah berkhidmat kepada bangsa dan negara, berkhidmat kepada organisasi, dan berkhidmat sebagai pelayan umat sehingga gagasan untuk memunculkan makna “berkhidmat” tetap dapat menyatu dalam kata “ikhlas beramal”. Secara keseluruhan formulasi “ikhlas beramal” sebagai nilai dasar Departemen Agama adalah: “Nilai yang melandasi niat yang tulus untuk beramal, bekerja, dan berdakwah sebagai bagian ibadah kepada Allah SWT., diinspirasi oleh pemikiran yang lurus dan benar, dilaksanakan melalui ikhtiar yang terarah untuk kemashlahatan, dan ditujukan dalam rangka pencapaian hasil kerja, yang bermuara kepada kemakmuran umat manusia lahir dan batin, sebagai wujud berkhidmat kepada bangsa dan negara, organisasi, dan umat”. Untuk menginstusionalisasikan, mengkomunikasikan, dan menginternalisasikan nilai dasar ini diperlukan langkahlangkah penting yang tersaji pada tabel berikut ini.
Pengembangan Budaya Kerja
51
Tabel Ruang Lingkup Sosialisasi, Langkah-Langkah, dan Indikasi Sosialisasi Nilai Dasar “Ikhlas Beramal” Ruang lingkup sosialisasi
Langkah-langkah
Indikasi dilakukannya sosialisasi
Institusionali- • “Ikhlas Beramal” ditetapkan • Diterbitkannya Keputusan sasi sebagai nilai dasar kelemMenteri Agama (KMA) yang bagaan Departemen Agaberisi penetapan “Ikhlas ma dalam bentuk KeputusBeramal” sebagai nilai daan Menteri Agama (KMA). sar dalam kerangka Budaya Kerja Departemen Agama. • Dibuatnya dokumen penje- • Terumuskannya dokumen lasan aktualisasi nilai dasar “Aktualisasi Nilai Ikhlas Ber“Ikhlas Beramal” yang beramal sebagai Fungsi Jati laku untuk fungsi jati diri, Diri, Fungsi Kinerja, dan fungsi kinerja, dan fungsi Fungsi Dakwah bagi aparadakwah. tur Departemen Agama”. Komunikasi • “Ikhlas Beramal” sebagai • Diketahui dan dipahaminya nilai dasar kelembagaan secara meluas, baik bagi Departemen Agama disam- kalangan aparatur, stakepaikan pada acara-acara holders kelembagaan, dan resmi kelembagaan dalam masyarakat tentang “Ikhlas bentuk sambutan, pidato, Beramal” sebagai nilai daceramah, dan materi sar kelembagaan Departepelatihan. men Agama. • Materi “Aktualisasi Nilai Ikh- • Diketahui dan dipahaminya las Beramal sebagai fungsi “Aktualisasi Nilai Ikhlas Berjati diri, fungsi kinerja, dan amal sebagai fungsi jati diri, 52
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
Ruang lingkup sosialisasi
Langkah-langkah
Indikasi dilakukannya sosialisasi
fungsi kinerja, dan fungsi fungsi dakwah bagi aparadakwah bagi aparatur Detur Departemen Agama” dipartemen Agama”. sampaikan pada diklat prajabatan, struktural, fungsio- • Timbulnya rasa memiliki nal dan teknis. dan hasrat untuk mengaktualisasikan “Ikhlas Beramal” sebagai fungsi jati diri, fungsi kinerja, dan fungsi dakwah. Internalisasi • Prakarsa dan keteladanan • Timbulnya rasa hormat figur pimpinan untuk mekepada figur pimpinan yang nunjukkan perbuatan-permenjadi referensi (panutan) buatan yang merefleksikan perilaku. nilai “Ikhlas Beramal”, baik • Timbul dan menguatnya di lingkungan keluarga, keyakinan bahwa dengan kerja, maupun masyarakat. menjalankan nilai “Ikhlas Beramal” sebagai prinsip kehidupan, maka keberhasilan dan kebahagiaan hidup dapat dicapai. • Menginspirasikan kisah/sejarah Rasulullah, para nabi, tokoh agama, pahlawan bangsa, dan figur pemimpin organisasi yang telah merefleksikan perbuatan yang bersendikan nilai “Ikhlas Beramal”. Pengembangan Budaya Kerja
• Terinspirasinya para aparatur untuk mengaktualisasi nilai “Ikhlas Beramal” dalam berkehidupan, bekerja, dan berdakwah.
53
Selanjutnya hal yang harus dipertimbangkan dan dilakukan adalah memberikan pemahaman dan keyakinan bahwa nilai dasar “ikhlas beramal” menjadi landasan filosofis untuk membentuk persepsi kerja aparatur yang diberlakukan dan dikembangkan Departemen Agama. Persepsi kerja di lingkungan Departemen Agama dimaksud adalah melayani, memberdayakan, dan meneladani. Pentingnya nilai dasar ini ditransformasikan kepada persepsi kerja, agar nilai dasar menjadi bagian yang tidak terpisahkan, sebagai elemen dari kerangka Budaya Kerja Departemen Agama. Sejalan dengan formulasi ketiga persepsi kerja dimaksud, Husni Rahim (guru besar UIN Syahid) mengemukakan pendapat yang hampir sama berkaitan dengan karakteristik tugas Departemen Agama berdasarkan struktur organisasi dan tugas pokoknya yaitu: 1. Melayani dengan fokus memudahkan pelayanan 2. Memberdayakan dengan fokus member peluang, mendorong dan membantu memecahkan masalah yang dihadapi. 3. Menjadi teladan dengan fokus mengembalikan citra Departemen Agama sebagai sumber inspirasi dan teladan moral bangsa. Hubungan antara nilai dasar “ikhlas beramal” dengan persepsi kerja “melayani, memberdayakan, dan meneladani” disajikan pada gambar berikut ini.
54
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
Gambar 3 Hubungan Nilai Dasar dengan Persepsi Kerja di Lingkungan Departemen Agama Gambar di atas menjelaskan hubungan antara nilai dasar dengan persepsi kerja Departemen Agama adalah bahwa bila nilai dasar telah dapat diterima dan diyakini serta telah membentuk komitmen pada diri semua aparatur, maka nilai dasar dimaksud akan menjadi landasan filosofis dalam membangun persepsi bekerja di lingkungan Departemen Agama, yakni bahwa bekerja adalah melayani, memberdayakan, dan meneladani. B. Identifikasi Persepsi Kerja Persepsi kerja dalam membentuk budaya kerja sangat penting. Demikian pula hal ini menjadi pertimbangan dalam mengembangkan Budaya Kerja Departemen Agama. Pengembangan Budaya Kerja
55
Pada saat seseorang melamar, bekerja, dan memilih terus berkarir di Departemen Agama, dapat dipastikan bahwa para calon pegawai atau pegawai tersebut memiliki motivasi yang berbeda. Perbedaan ini bersifat manusiawi dan merupakan hak privasi. Namun demikian, hal yang patut dihindari bahwa motivasi tersebut akan melahirkan persepsi atas pekerjaan yang dilamarnya/ditekuninya yang bertentangan dengan ruang lingkup kerja yang dipersepsikan oleh organisasi (lembaga yang memberikan pekerjaan). Sebagaimana dimaklumi bahwa ruang lingkup kerja sebuah departemen atau instansi pemerintahan telah digariskan dalam bentuk “Tugas dan Fungsi Organisasi”. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa Departemen Agama mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang keagamaan. Selanjutnya dalam melaksanakan tugas dimaksud, dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa Departemen Agama menyelenggarakan fungsi: 1. Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang keagamaan. 2. Pelaksanaan urusan Pemerintahan di bidang keagamaan. 3. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara. 4. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang pembinaan kehidupan keagamaan. 5. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang pelaksanaan tugas dan fungsi Departemen kepada Presiden. Dengan memerhatikan fungsi Departemen Agama di atas, maka secara umum fungsi dimaksud sebagaimana fungsi pada instansi pemerintahan lainnya adalah melayani, 56
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
memberdayakan, merumuskan/membuat/menjalankan/menegakkan aturan, mengorganisasikan sumber daya, dan membangun/mengadakan fasilitas/sarana untuk bekerjanya organisasi dan melayani masyarakat. Pada hakikatnya dari 5 (lima) fungsi dimaksud, yakni melayani (servicing), memberdayakan (empowering), mengatur (regulating), mengelola (managing), dan membangun (developing), dapat disarikan menjadi 2 (dua) esensi yang penting, yakni melayani dan memberdayakan masyarakat. Hasil identifikasi terhadap sejumlah fungsi satuan organisasi/kerja di lingkungan Departemen Agama, maka fungsi memberdayakan meliputi aspek pembinaan dan bimbingan. Selain itu, berdasarkan sejarah pendirian dan perkembangan kelembagaan Departemen Agama, status sebagai pejuang penjaga moral bangsa juga diemban oleh kelembagaan Departemen Agama. Untuk mampu berlaku sebagai pejuang penjaga moral bangsa, maka salah satu fungsi lainnya perlu dikembangkan, yakni meneladani, dalam pengertian bahwa setiap aparatur Departemen Agama memiliki kesadaran untuk menjadi teladan bagi rekan sejawat, masyarakat, dan organisasi lain. Meneladani dalam bersilaturrahim, berkehidupan, dan berorganisasi. Dengan demikian persepsi kerja dalam kerangka Budaya Kerja Departemen Agama dapat diformulasikan menjadi 3 (tiga) elemen, yakni: melayani, memberdayakan, dan meneladani. Pada hakikatnya persepsi terhadap pekerjaan (jabatan) adalah amanah dari Allah SWT. Kualitas pelayanan yang baik sebagaimana yang diharapkan masyarakat (kepuasan pelanggan) dan yang ditetapkan organisasi (standar pelayanan minimum) harus digali dan dipenuhi, sehingga prinsip pelayanan Departemen Agama dapat dikenali dan membentuk citra pelayanan prima. Konsep pelayanan 5 (lima) S perlu ditumbuhkemPengembangan Budaya Kerja
57
bangkan di lingkungan Departemen Agama, yakni: Salam, Senyum, Segera, Selesai, dan Sempurna. Kelima prinsip fungsi pelayanan dimaksud secara khusus perlu dijiwai melalui pelatihan dan pembiasaan dalam praktik bekerja melayani masyarakat. Pengelompokan jenis pelayanan harus dapat dikenali dengan baik yang mungkin berbeda di antara satuan organisasi/kerja di lingkungan Departemen Agama, secara garis besar umumnya pelayanan kepada masyarakat meliputi: pelayanan administrasi, data dan informasi, perizinan, urusan agama, pendidikan agama/keagamaan, haji dan umrah, dan pelayanan atas keluhan/saran. Waktu pelayanan dan lama pelayanan (jenis tertentu) yang dapat diberikan oleh satuan organisasi/kerja tertentu di lingkungan Departemen Agama perlu ditetapkan, disanggupi bersama oleh semua pegawai yang terlibat pada pekerjaan pelayanan dimaksud, dan disampaikan kepada masyarakat. Pelayanan prima juga harus dipahami oleh para aparatur, bukan saja tertuju kepada masyarakat sebagai pelanggan, tetapi juga harus dapat diberikan kepada mitra kerja baik instansi pemerintahan lainnya maupun organisasi swasta. Demikian pula makna “melayani” dengan prinsip yang sama juga harus dapat dibangun, dengan tanpa rasa canggung, kepada rekan sejawat, juga kepada satuan organisasi/kerja baik horizontal maupun vertikal di lingkungan Departemen Agama, sebagai pelanggan internal organisasi. Persepsi aparatur terhadap fungsi memberdayakan masyarakat harus dibangun dan ditumbuhkembangkan. Peran instansi pemerintahan harus dapat mengupayakan tumbuhnya kesadaran, kemauan, dan kemampuan pihak swasta dan masyarakat agar menjadi mitra pemerintah yang handal, secara bersama-sama menciptakan iklim yang sehat dan harmonis dalam mengelola bidang keagamaan, dalam 58
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
ruang lingkup peribadatan, dakwah, pendidikan keagamaan, dan kerukunan hidup beragama. Konsep “capacity building” di bidang keagamaan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat bidang keagamaan perlu dikembangkan, sehingga kemakmuran umat beragama dapat tercipta secara adil dan merata, di seluruh wilayah tanah air, dalam bentuk pembinaan dan bimbingan. Inovasi program dan kegiatan yang telah dirintis dan berhasil dikembangkan oleh kelembagaan yang didirikan oleh masyarakat di bidang keagamaan juga perlu mendapat apresiasi oleh Departemen Agama. Sehingga potensi kelembagaan yang didirikan oleh masyarakat di bidang keagamaan yang sudah ada dan berkembang memiliki tanggung jawab dan komitmen, bersama-sama dan bersinergi dengan Departemen Agama, membangun bidang keagamaan di tanah air. Pada akhirnya kepercayaan dan kewibawaan atas kedudukan dan tugas Departemen Agama sebagai departemen yang membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang keagaaman dapat ditegakkan. Terkait dengan tekad “positioning” Departemen Agama sebagai “garda reformasi”, maka segala bentuk tindak penyimpangan yang terjadi pada birokrasi pemerintahan dan “garda revitalisasi” perbuatan (amalan) baik yang perlu ditumbuhkan dan dikembangkan dalam perikehidupan bangsa, maka persepsi kerja aparatur Departemen Agama untuk menjalankan fungsi meneladani juga harus menjadi tekad dan keyakinan bersama. Persepsi kerja meneladani harus didudukkan sebagai fitrah ikhlas beramal bagi semua pegawai di lingkungan Departemen Agama. Dilandasi dengan status pejuang penjaga moral bangsa yang diemban oleh Departemen Agama, maka komitmen untuk menjalankan fungsi meneladani, harus dijadikan Pakta Integritas yang melekat kepada setiap aparatur, sejak ia melamar, Pengembangan Budaya Kerja
59
diterima, mulai bekerja, dan berkarir di lingkungan Departemen Agama. Meneladani yang dimaksud mencakup meneladani dalam kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, berorganisasi, berbangsa, dan bernegara. Secara keseluruhan formulasi melayani, memberdayakan, dan meneladani sebagai persepsi kerja Departemen Agama telah diuraikan. Agar persepsi kerja ini mampu diinstitusionalisasikan, dikomunikasikan, dan diinternalisasikan kepada semua aparatur, maka disusun format yang sama seperti halnya dilakukan institusionalisasi, komunikasi, dan internalisasi “ikhlas beramal” sebagai nilai dasar. Selanjutnya, hal yang harus dipertimbangkan dan dilakukan adalah memberikan pemahaman dan keyakinan bahwa persepsi aparatur terhadap ruang lingkup fungsi kerja Departemen Agama, yakni “melayani, memberdayakan, dan meneladani”, menjadi landasan fungsional bagi pembentukan sikap kerja aparatur yang diberlakukan dan dikembangkan di lingkungan Departemen Agama. Hubungan antara persepsi kerja “melayani, memberdayakan, dan meneladani” dengan pembentukan sikap kerja disajikan pada gambar berikut ini.
60
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
Gambar 4 Hubungan Persepsi Kerja dengan Sikap Kerja di Lingkungan Departemen Agama Gambar tersebut di atas, menunjukkan hubungan antara persepsi kerja dengan sikap kerja Departemen Agama adalah bahwa bila terhadap aparatur dapat diinternalisasikan tentang persepsi kerja Departemen Agama, yakni bekerja untuk melayani, memberdayakan, dan meneladani, maka persepsi kerja dimaksud akan menjadi landasan fungsional untuk membentuk 9 (sembilan) sikap kerja yang dikembangkan di lingkungan Departemen Agama, yaitu: 1. Menjunjung tinggi kejujuran dan integritas pada organisasi. 2. Menjunjung tinggi etika, akhlak mulia, dan keteladanan. 3. Menghormati apa yang diatur dan keputusan yang yang telah disepakati. 4. Menunjukkan sikap tanggungjawab kepada pekerjaan dan mampu melaporkan kinerja Pengembangan Budaya Kerja
61
5. Menghormati hak-hak orang lain dan tidak mudah menyalahkan orang lain. 6. Mencintai pekerjaan dan mau bekerja keras 7. Menunjukkan sikap keterbukaan dan kerjasama. 8. Menunjukkan sikap disiplin yang tinggi. 9. Menunjukkan sikap bersahaja dalam hidup dan kehidupan. C. Identifikasi Sikap Kerja Banyak pegawai, baik di perusahaan swasta maupun instansi pemerintahan yang gagal dalam melaksanakan tugas, bukan hanya disebabkan kemampuan intelektualnya yang rendah atau kemampuan manajerialnya yang lemah, namun disebabkan kegagalan dalam mengelola sikapnya dalam lingkungan kerja. Faktor negatif sikap kerja dimaksud, meliputi bagaimana sikapnya terhadap rekan sejawat, pimpinan, dan organisasi. Sikap kerja yang tidak bersahabat, suka berbohong, egois, tidak mau mengakui keberhasilan orang lain, suka membicarakan kelemahan orang lain, merasa diri paling benar atau hebat, cari selamat, dan berkhianat terhadap rekan sejawat atau terhadap bawahan, menjadi sumber kegagalan utama dalam menapak karir di sebuah lingkungan kerja. Namun bisa juga, seseorang dengan sikap bekerja yang seperti digambarkan malah mendapatkan posisi tertentu yang memungkinkan dirinya memperoleh dukungan dari sejumlah rekan kerja. Apabila kondisi ini terjadi maka potensi bahaya dari kegagalan sikap kerja ini akan semakin besar bagi organisasi. Demikian pula sikap kerja yang tidak obyektif terhadap pimpinan, didasari sikap “bersaing” dan motif “menjatuhkan” martabat pimpinan, mengambil jalan pintas untuk pro62
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
mosi, melakukan sabotase, mengelak dari penugasan, mencari faktor penyebab kesalahan diri atau kegagalan kerja yang ditudingkan kepada pihak lain, tidak konsekuen atas keputusan yang sudah disepakati di dalam rapat, merasa diri lebih baik atau hebat seandainya ia yang memimpin, menutup informasi, mematikan koordinasi, dan membicarakan keburukan pimpinan, merupakan faktor kegagalan sikap kerja yang membuat seseorang tidak mampu dengan tekun menjalani “masa pembelajaran” selama menjadi bawahan, tidak dapat menuai kearifan dan kedewasaan, dalam menyikapi pemikiran, pertimbangan, dan langkah yang berbeda dengan apa yang diperbuat oleh pimpinan. Kesempatan emas selama “masa pembelajaran” menjadi bawahan untuk menimba pengalaman dari penugasan yang keliru, keputusan yang tidak tepat, atau lemahnya pembinaan dan pengawasan dari pimpinan, menjadi terlewatkan, karena sikap kerja yang tidak proaktif, bersifat emosional, dan konfrontatif terhadap pimpinan. Faktor kegagalan sikap kerja berikutnya adalah sikap kerja yang negatif terhadap organisasi. Sikap kerja yang tidak bertanggung jawab atas kedudukan dan martabat organisasi, malas bekerja, tidak disiplin terhadap waktu kerja, tidak mau berubah, penggunaan properti kantor yang tidak efektif bahkan melakukan penggelapan aset organisasi, pemborosan anggaran, korupsi, penyalahgunaan kewenangan, dan pencemaran citra organisasi, yang seharusnya dijunjung tinggi. Sikap kerja yang negatif terhadap organisasi ini justru menimbulkan bahaya yang besar berdampak buruk, dan merugikan kepada semua pegawai, akibat menurunnya kepercayaan dan apresiasi atas keberadaan fungsi organisasi. Sikap kerja negatif yang kronis bukan hanya menimbulkan kegagalan perilaku kerja produktif, namun juga menPengembangan Budaya Kerja
63
jadi faktor penghambat dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja. Dengan sikap kerja negatif yang “tidak mau berubah dan tidak mau belajar” di kalangan aparatur, maka segala bentuk upaya peningkatan perilaku kerja akan mengalami hambatan dan kegagalan, karena sejak awal upaya dimaksud sudah direspon dengan sikap ragu, pesimis, bahkan curiga. Menurut Dr. H. M. Suparta, M.A. (2008), Budaya Kerja yang secara umum akan dibangun di lingkungan Departemen Agama, dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi Departemen Agama, dinilai sangat strategis terhadap upaya memulihkan dan memperkuat kepercayaan publik atas keberadaan, fungsi, dan kinerja Departemen Agama. Gagasan atas pengembangan sikap kerja yang positif diyakini dapat menciptakan atmosfir yang baik dalam membentuk perilaku kerja produktif di Departemen Agama. Kesembilan sikap kerja dimaksud, yaitu: 1. jujur dan memiliki integritas tinggi; 2. memiliki etika, akhlak mulia, dan memberi suri tauladan; 3. menghormati hukum dan aturan-aturan yang berlaku; 4. bertanggung jawab dan akuntabel; 5. hormat kepada hak-hak orang lain dan tidak mudah menyalahkan orang lain; 6. mencintai pekerjaan dan mau bekerja keras; 7. meningkatkan transparansi dan koordinasi; 8. disiplin yang tinggi; dan 9. bersahaja dalam hidup dan kehidupan. Melalui proses internalisasi kesembilan sikap kerja dimaksud, maka situasi yang kondusif untuk bekerja dan berprestasi dapat terbangun, serta potensi tumbuhnya perilaku organisasi yang menyimpang dapat dicegah, dikurangi, bahkan dihilangkan. Kesembilan sikap kerja tersebut mampu membentuk etos kerja: “bekerja dengan sebaik-baiknya se64
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
suai dengan aturan yang berlaku dan tidak bersikap permisif terhadap perilaku birokrasi yang menyimpang (amar ma’ruf nahi munkar), dan berlomba-lomba melakukan kebaikan (fastabiqul khairat)”. Beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits berikut ini menjadi landasan hukum dan inspirasi untuk bersikap dan berbuat ”Amar Ma’ruf Nahi Munkar”. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. AtTaubah: 71). “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Ali Imran: 110). Dari Abi Sa'id Al-Khudri ra. telah berkata: Aku telah dengar Rasulullah SAW. bersabda: "Barang siapa di antaramu melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tak sanggup maka dengan lidahnya dan jika tak sanggup maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemahlemahnya iman". (HR. Muslim). Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "Barangsiapa berbuat zalim kepada saudaranya yang seiman dari hartanya atau sebagian dari itu, maka hendaklah ia menyelesaikannya pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari di mana Dinar dan Dirham tidak memberi manfaat apa-apa. Bila ia mempunyai amal shaleh, maka Pengembangan Budaya Kerja
65
amal tersebut diberikan kepada saudaranya yang dizaliminya. Namun jika ia tidak memiliki amal shaleh maka dosa orang yang dizaliminya, ditimpakan kepadanya". (HR. Bukhari - Muslim, Tirmidzi dan Abu Daud). Ayat Al-Qur’an dan Hadits berikut ini menjadi sumber hukum dan inspirasi untuk bersikap dan berbuat ”Fastabiqul Khairat”. “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepada-Nya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 148). Dari An-Nawas bin Sam'an ra. berkata: Rasulullah saw bersabda: "Kebaikan itu adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa-apa yang meragukan jiwamu dan engkau tidak suka dilihat orang lain dalam melakukan hal itu". (HR. Muslim). Di tengah kegamangan untuk berbuat sesuatu amal kebaikan, sementara orang lain juga tidak atau belum melakukan. Di tengah keresahan kita untuk melakukan sesuatu amal kebaikan, sementara orang lain menilai bahwa niat atau perbuatan kita dilandasi oleh motif pribadi. Di tengah keraguan kita untuk mengerjakan sesuatu amal kebaikan, sementara orang lain sudah dapat diduga tidak mungkin akan memberikan penghormatan/penghargaan (yang setimpal atas jasa kita). Dalam menghadapi 3 (tiga) kondisi dimaksud, aparatur Departemen Agama diingatkan tentang makna ”Fastabiqul Khairat”, tanpa rasa ragu dan bimbang, apa yang diniatkan sebagai sesuatu amal kebaikan dapat diamalkan. Selanjutnya hal yang harus dipertimbangkan dan dilakukan adalah memberikan pemahaman dan keyakinan bahwa 9 (sembilan) sikap kerja, menjadi landasan efektif 66
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
bagi pembentukan perilaku kerja produktif aparatur yang diberlakukan dan dikembangkan di lingkungan Departemen Agama. Hubungan antara sikap kerja dengan pembentukan perilaku kerja disajikan pada gambar berikut ini.
Perilaku Kerja
Sikap Kerja
Komitmen
Bekerja atas dasar rencana kerja (plan)
Mencatat dan melaporkan hasil kerja (result)
Merekam/mencatat/ mentabulasikan data informasi (dafo)
Menjalankan monitoring dan evaluasi (monev)
Fastabiqul Khairat
Etika, akhlak mulia, dan keteladanan
Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Jujur dan integritas
Menunaikan amanah waktu kerja (time)
Taat hukum dan keputusan
Melaksanakan pembinaan terhadap bawahan (coaching)
Hormat sejawat Tanggungjawab dan akuntabel Bersahaja
Transparansi dan koordinasi Disiplin
Menjalankan pelayanan, pembinaan, dan bimbingan (servicing)
Melahirkan gagasan untuk pengembangan sistem dan kinerja (developing)
Memelihara martabat diri, harmoni kerja, hormat pimpinan, dan memelihara citra organisasi (performing)
Gambar 5 Hubungan Sikap Kerja dengan Perilaku Kerja di Lingkungan Departemen Agama Gambar di atas menjelaskan bahwa melalui penguatan 9 (sembilan) sikap kerja yang diarahkan melalui semangat “amar ma’ruf nahi munkar” dan “fastabiqul khairat”, dapat membentuk 9 (sembilan) perilaku kerja produktif Departemen Agama, yaitu: 1. bekerja sesuai rencana kerja; 2. mencatat dan melaporkan hasil kerja; 3. menunaikan amanah waktu kerja; 4. merekam/mencatat/mentabulasi data/informasi; 5. melakukan monitoring dan evaluasi; 6. melaksanakan pembinaan terhadap bawahan; Pengembangan Budaya Kerja 67
7. melakukan pelayanan, pembinaan, dan bimbingan kepada pelanggan, stakeholders, dan masyarakat; 8. melahirkan gagasan untuk pengembangan sistem kerja dan pelayanan yang dituangkan dalam rencana kerja; dan 9. memelihara martabat diri, harmoni kerja, hormat pimpinan, dan pencitraan organisasi. D. Identifikasi Perilaku Kerja Dalam ilmu manajemen, perilaku kerja aparatur dalam mengelola organisasi, meliputi: merencanakan, mengorganisasikan sumber daya, menjalankan tugas dan fungsi, dan mengendalikan. Sementara itu menurut teori kepemimpinan, perilaku kerja aparatur dalam memimpin organisasi, meliputi tugas-tugas mengarahkan, menggalang komitmen, memberdayakan bawahan, melatih bawahan, dan memedulikan. Sementara itu hasil kerja yang akan dicapai atau dituju melalui penerapan kaidah-kaidah “Good Governance” di lingkungan instansi pemerintahan sebagai berikut: 1. masyarakat terlayani dengan baik, ramah, dan cepat melalui kaidah profesionalisme aparatur; 2. masyarakat diberdayakan melalui kaidah partisipasi masyarakat; 3. peraturan/disiplin dijalankan dan ditegakkan dengan menganut kaidah supremasi hukum yang merata dan berkeadilan; 4. responsif terhadap aspirasi dan ekspektasi stakeholders dengan memperhatikan kaidah daya tanggap kepada stakeholders; 5. data dan informasi terekam dan tersosialisasikan dengan baik memenuhi kaidah transparansi; 68
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
6. segmen masyarakat yang dilayani juga merata dan berkeadilan sesuai dengan kaidah kesetaraan; 7. organisasi berjalan dan berkembang secara terencana memenuhi kaidah berorientasi pada visi; 8. hasil kerja dapat dilaporkan dan akuntansi penggunaan sumber daya tercatat dengan baik untuk menjadi pertanggungjawaban menurut kaidah akuntabilitas; 9. pimpinan senantiasa melakukan monitoring dan evaluasi agar dapat dicegah adanya tindak penyimpangan dan memungkinkan adanya perubahan/peningkatan/penyempurnaan pada tindak lanjut program/kegiatan dengan menganut kaidah pengawasan; dan 10. sumber daya organisasi (waktu kerja, aparatur, keuangan, dan lainnya) terkelola dengan baik secara efektif dan efisien. Sebagai aparatur instansi pemerintahan, perilaku kerja yang utama adalah melayani masyarakat. Perilaku melayani juga diharapkan tidak statis, aparatur juga dituntut untuk mengembangkan gagasan-gagasan apa yang dapat dikembangkan agar sistem kerja dan pelayanan juga dapat ditingkatkan. Perilaku kerja berikutnya yang juga penting untuk dijalankan oleh aparatur Departemen Agama adalah pembinaan dan bimbingan kepada masyarakat, demikian juga membina bawahannya. Selanjutnya, perilaku yang perlu dibangun adalah bagaimana aparatur dibiasakan “mencatat apa yang akan dikerjakan dan hasil kerjanya”, menuliskan rencana kerja dan melaporkan hasilnya. Demikian pula menganalisis data dan informasi yang penting menyangkut perkembangan yang terjadi, berkaitan dengan ruang lingkup bidang tugasnya. Pada bagian akhir, perilaku kerja yang perlu diinternalisasikan adalah menunaikan amanah. Ruang lingkup menunaikan amanah termasuk disiplin memenuhi waktu kerja, melakukan pengawasan, dan memastikan bahPengembangan Budaya Kerja
69
wa tugas dan fungsi organisasi dijalankan sebaik-baiknya melalui harmoni kerja, kepemimpinan, dan kinerja organisasi secara keseluruhan. Berdasarkan butir-butir hasil kerja yang diharapkan dimaksud dan dengan mempertimbangkan apa yang perlu diperkuat terhadap perilaku kerja di lingkungan Departemen Agama, maka berikut ini dapat diidentifikasi 9 (sembilan) perilaku kerja yang perlu dibangun, diperkuat, dilatih, dibiasakan, dan akhirnya menjadi perilaku kerja produktif yang mengakar, yaitu: 1. bekerja sesuai rencana kerja; 2. mencatat dan melaporkan hasil kerja; 3. menunaikan amanah waktu kerja; 4. merekam/mencatat/mentabulasi data/informasi; 5. melakukan monitoring dan evaluasi; 6. melaksanakan pembinaan terhadap bawahan; 7. melakukan pelayanan, pembinaan, dan bimbingan kepada pelanggan, stakeholders, dan masyarakat; 8. melahirkan gagasan untuk pengembangan sistem kerja dan pelayanan yang dituangkan dalam rencana kerja; dan 9. memelihara martabat diri, harmoni kerja, hormat pimpinan, dan pencitraan organisasi. E. Sosialisasi Budaya Kerja Secara keseluruhan telah teridentifikasi elemen-elemen yang menjadi kerangka Budaya Kerja yang akan dikembangkan di lingkungan Departemen Agama, meliputi: nilai dasar, persepsi kerja, sikap kerja, dan perilaku kerja. Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang konstruksi “Budaya Kerja Departemen Agama”, dapat dilihat pada gambar berikut ini. 70
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
Nilai Dasar : Ikhlas Beramal Perilaku Kerja : Persepsi Kerja : Melayani Memberdayakan Meneladani
Sikap Kerja : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jujur dan Integritas Etika, Akhlak Mulia, dan Keteladanan Taat Hukum dan Keputusan Tanggungjawab dan Akuntabel Hormat Sejawat Cinta Kerja dan Kerja Keras Transparansi dan Koordinasi Disiplin Bersahaja
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bekerja atas dasar rencana kerja (plan) Mencatat dan melaporkan hasil kerja (result) Menunaikan amanah waktu kerja (time) Merekam/Mencatat/Mentabulasikan data/informasi (dafo) Menjalankan monitoring dan evaluasi (monev) Melaksanakan pembinaan terhadap bawahan (coaching) Menjalankan pelayanan, pembinaan, dan bimbingan kepada pelanggan, stakeholders, dan masyarakat (servicing) 8. Melahirkan gagasan untuk pengembangan sistem kerja dan pelayanan yang dituangkan dalam rencana kerja (developing) 9. Memelihara martabat diri, harmoni kerja dengan rekan sejawat, hormat kepada pimpinan, dan memelihara citra organisasi (performing)
Gambar 6 Diagram Hierarki Budaya Kerja di Lingkungan Departemen Agama Nilai dasar, persepsi kerja, sikap kerja, dan perilaku kerja pada hakikatnya sudah ada dan terwujud di lingkungan Departemen Agama, namun perlu dilakukan upaya “penguatan” agar nilai dasar (tertanam pada jiwa), persepsi kerja (terbentuk pada pemikiran), sikap kerja (terpolakan menjadi sikap dan kepribadian), dan perilaku kerja (terbiasa dalam bekerja). Proses sosialisasi budaya kerja dilakukan melalui tahapan: institusionalisasi, komunikasi, dan internalisasi. Yang dimaksud dengan institusionalisasi adalah tahapan “melembagakan” konsep/disain budaya kerja yang sudah benarbenar disepakati di tingkat pimpinan melalui ketetapan yang mengikat kepada semua aparatur. Berikutnya adalah tahapPengembangan Budaya Kerja
71
an “menyampaikan dan membangun pemahaman/penerimaan” melalui berbagai pendekatan komunikasi (lisan, tulisan, pelatihan, simulasi, dan lain-lain). Selanjutnya adalah tahapan “menanamkan dan mematrikan pada jiwa, pemikiran, sikap, dan perilaku” aparatur, sehingga nilai dasar, persepsi kerja, sikap kerja, dan perilaku kerja benar-benar mengakar kuat pada setiap individu aparatur, atau dengan kata lain bahwa budaya kerja telah terinternalisasi dengan baik. Secara khusus terhadap pembentukan perilaku kerja diperlukan monitoring dan evaluasi. Untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pembentukan perilaku kerja dimaksud, maka diperlukan instrumen “matrik analisis perilaku kerja” sebagaimana terlampir.
72
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA KERJA Pengembangan budaya kerja aparatur Departemen Agama diarahkan untuk meningkatkan kinerja departemen melalui pembinaan aparatur yang etis, bermoral, berdisiplin, profesional, produktif, dan bertanggung jawab, dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik. Pengembangan budaya kerja harus dapat menjangkau semua unsur internal yang terlibat di lingkungan Departemen Agama dan unsur eksternal, yaitu masyarakat luas yang membutuhkan pelayanan sebagai pemangku kepentingan terhadap organisasi atau lembaga untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, strategi pengembangan budaya kerja sangat mempengaruhi pencapaian hasil pengembangan budaya kerja. Strategi dipahami sebagai sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan. Strategi bukan sekedar suatu rencana, tetapi strategi merupakan rencana yang disatukan dan mengikat semua bagian dalam organisasi menjadi satu, yang sifatnya menyeluruh meliputi semua aspek penting dalam organisasi. Karena sifatnya menyeluruh, maka strategi harus terpadu satu sama lainnya. Strategi yang baik, harus diikuti dengan pelaksanaan yang efektif untuk mencapai keberhasilan. Karena kedua hal ini merupakan dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Adapun strategi yang diterapkan dalam pengembangan budaya kerja di lingkungan Departemen Agama sebagai berikut: A. Gugus Tugas Dalam rangka efektivitas transformasi budaya kerja Departemen Agama kepada unsur internal dan eksternal lembaga, maka perlu dibentuk Tim yang bertugas untuk Pengembangan Budaya Kerja
73
menularkan nilai-nilai budaya kerja organisasi. Tim diharapkan mampu secara berkesinambungan memelihara agar pengembangan budaya kerja ini dapat mencapai tujuan. Tim dibentuk melalui Surat Keputusan Menteri Agama sehingga dapat memayungi seluruh lapisan aparatur yang ada pada lembaga tersebut. Tim terdiri atas dua tim, yaitu Tim Kerja dan Tim Teknis dengan unsur-unsur sebagaimana tercantum dalam tabel-1. 1. Tim Kerja Tim Kerja adalah tim yang dibentuk untuk mengkoordinasikan pelaksanaan program budaya kerja di lingkungan Departemen Agama secara nasional berdasarkan Keputusan Menteri Agama. Tugas Tim Kerja meliputi: a. membuat pedoman umum budaya kerja; b. merumuskan rencana aksi budaya kerja; c. melakukan pembinaan budaya kerja; d. melakukan evaluasi R & D pelaksanaan. 2. Tim Teknis Tim Teknis adalah tim yang dibentuk oleh Tim Kerja untuk pelaksanaan program budaya kerja di lingkungan Departemen Agama. Anggota Tim Teknis adalah orangorang yang memiliki kemampuan membantu Tim Kerja yang disesuaikan dengan kompetensinya (lihat matrik-1). Tugas Tim Teknis meliputi: a. menyusun juklak budaya kerja; b. melakukan koordinasi dengan tim kerja serta satuan organsiasi/kerja yang ada di lingkungan Departemen Agama dalam rangka pelaksanaan budaya kerja; c. melakukan sosialisasi budaya kerja kepada seluruh jajaran aparatur di lingkungan Departemen Agama; d. melakukan evaluasi pelaksanaan budaya kerja; e. melakukan kajian dan pengembangan budaya kerja; f. menyusun laporan pelaksanaan budaya kerja. 74
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
Matrik-1:
Tugas dan Tanggung Jawab Tim Pengembangan Budaya Kerja
Penanggung Jawab Tim Kerja Tim Teknis 1. Sekretariat Sekretariat Jenderal Jenderal 2. Inspektorat Inspektur Jenderal Jenderal
No
Unit Kerja
3. Direktorat Jenderal
Para Direktur Jenderal 4. Badan Kepala Litbang dan Badan LitDiklat bang dan Diklat 5. PTAN Rektor/ Kepala PTAN 6. Biro KepeKepala Biro gawaian Kepegawaian
7. Satuan Organisasi/ Unit eselon II Pusat
Pengembangan Budaya Kerja
Tugas dan Tanggung Jawab Pembina pusat dalam implementasi budaya kerja Pembina pusat dalam pengawasan implementasi budaya kerja Pembina pusat dalam implentasi budaya kerja pada unit kerja masing-masing Pembina pusat dalam kajian dan pengembangan budaya kerja
Pembina daerah dalam implentasi budaya kerja pada unit masing-masing - Kekuatan pegawai/data kepegawaian - Penyelenggara sosialisasi, implementasi, monev, dan pelaporan budaya kerja - Sistem Reward and Punishment Kepala - Penanggung jawab pembinaan & pengembangan Satuan Organisasi/ budaya kerja pada unit Unit eselon kerja masing-masing II Pusat - Menyampaikan perkembangan pelaksanaan budaya kerja kpd. Sekretaris Jenderal cq. Kepala Biro Kepegawaian
75
Penanggung Jawab Tugas dan Tanggung Jawab Tim Kerja Tim Teknis 8. Satuan Kepala - Penanggung jawab pemOrganisasi/ Satuan binaan & pengembangan Unit eselon Organisasi/ budaya kerja pada unit III dan IV Unit eselon kerja masing-masing Pusat III dan IV - Menyampaikan perkemPusat bangan pelaksanaan budaya kerja kpd. Sekretaris Jenderal cq. Kepala Biro Kepegawaian 9. Kanwil Kepala - Penanggung jawab pemProvinsi Kanwil binaan & pengembangan Provinsi budaya kerja di Provinsi - Menyampaikan perkembangan pelaksanaan budaya kerja jajaran aparatur Depag di Provinsi kepada Inspektur Jenderal dan Sekretaris Jenderal 10. Kandepag Kepala - Penanggung jawab pemKab./Kota Kandepag binaan & pengembangan Kab./Kota budaya kerja di Provinsi - Menyampaikan perkembangan pelaksanaan budaya kerja jajaran aparatur Depag di Kabupaten/Kota kepada Kepala Kanwil Depag. Provinsi No
76
Unit Kerja
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
B. Internalisasi Nilai-nilai Budaya Kerja 1. Sosialisasi Dalam perubahan budaya kerja, terdapat tiga tahap, yaitu: a. Invensi atau proses nilai-nilai budaya kerja diciptakan dan dikembangkan. b. Difusi atau proses di mana nilai-nilai budaya kerja dikomunikasikan ke dalam sistem kerja. c. Konsekuensi, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem kerja akibat internalisasi budaya kerja ataupun sebaliknya (Rogers & Shomaker, 1987). Dari tahapan di atas dapat dipahami bahwa internalisasi nilai-nilai budaya kerja sangat tergantung pada kualitas komunikasi. Komunikasi adalah proses di mana pesanpesan ditransfer dari sumber kepada penerima, sebagaimana model berikut: Model : S-M-C-R Keterangan: Sumber (source=S), pengirim pesan (massage=M) melalui saluran (channel=C) tertentu kepada penerima (receiver=R). Dengan model tersebut dapat dengan mudah melihat bagaimana faktor-faktor komunikasi terlibat dalam aspek-aspek proses internalisasi nilai-nilai budaya kerja yang nantinya menghasilkan budaya kerja yang kuat. Terkait dengan penggunaan saluran komunikasi nilainilai budaya kerja, pada matrik-2 digambarkan metode sebagai saluran komunikasi yang dapat digunakan untuk mensosialisasikan nilai budaya kerja kepada seluruh Pengembangan Budaya Kerja 77
pegawai di lingkungan Departemen Agama sebagai berikut: Matrik-2: Kegiatan dan Metode Pengembangan Budaya Kerja Kegiatan Sosialisasi
Metode/saluran komunikasi a. Antar pribadi 1) Ceramah 2) Seminar 3) Workshop 4) Diskusi panel 5) Unjuk kerja/Pameran 6) Figur contoh/Role Model 7) Game b. Media massa 1) Media Cetak (buku saku, stiker, poster, majalah, spanduk, leaflet, foto, dsb.) 2) Media Elektronik (radio, TV, multi media, knowledge management budaya kerja, CD interaktif, dsb.)
Pemilihan penggunaan metode atau saluran komunikasi dalam rangka mensosialisasikan budaya kerja, mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi baik waktu, biaya maupun sumber daya yang dibutuhkan. Karena kedua metode di atas memiliki karakteristik sendiri dalam menyampaikan nilai-nilai budaya kerja. Perbedaan karakteristik dapat digambarkan sebagai berikut: a. arus pesan dua arah pada saluran antar pribadi sedangkan media massa cenderung satu arah; b. kontak komunikasi tatap muka bagi saluran antar pribadi sedangkan media massa berperantara; 78
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
c. kecepatan jangkauan dalam jumlah besar relatif lambat bagi saluran antar pribadi sedangkan media massa relatif cepat; dan d. efek yang dihasilkan saluran antar pribadi adalah perubahan dan pembentukan sikap sedangkan media massa adalah perubahan pengetahuan. Dengan demikian, tahap awal sosialisasi budaya kerja adalah menggunakan saluran komunikasi media massa dalam bentuk pemanfaatan penerbitan yang berskala nasional maupun lokal serta memanfaatkan jurnal-jurnal yang diterbitkan secara rutin oleh Departemen Agama. Kemudian menggunakan saluran komunikasi antar pribadi melalui berbagai pertemuan yang dilakukan oleh Departemen Agama serta memasukkan materi “Budaya Kerja” pada setiap kurikulum pendidikan dan pelatihan baik diklat struktural, fungsional, teknis maupun Latihan Prajabatan bagi CPNS. Dalam proses sosialisasi budaya kerja hingga membuahkan hasil yang maksimal membutuhkan waktu dan tahapan untuk sampai pada penerimaan budaya kerja kepada seluruh aparatur. Tahapan tersebut meliputi: a. Pengenalan; tahapan ini lebih menekankan pada bagaimana memberikan kesan terhadap aparatur tentang pentingnya budaya kerja dalam meningkatkan kinerja lembaga. Hal ini didasari oleh para psikologi bahwa seseorang biasanya cenderung menutup diri terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, untuk menghindari hal demikian diperlukan pengenalan budaya kerja kepada para aparatur hingga mereka menyadari pentingnya budaya kerja. b. Persuasif; membentuk sikap untuk menerima budaya kerja sebagai suatu nilai untuk meningkatkan kinerja. Pengembangan Budaya Kerja
79
c. Keputusan penerimaan; tahapan ini merupakan akumulasi dari tahapan sebelumnya terhadap keputusan penerimaan budaya kerja sebagai penuntun dalam peningkatan kinerja (Beal & Rogers, 1987). Tahapan penerimaan budaya kerja akan direalisasikan melalui “RAN Pengembangan Budaya Kerja Departemen Agama”. 2. Pembentukan Agen Perubah (Change Agent) Untuk keberhasilan sosialisasi nilai budaya kerja, posisi agen perubah sangat strategis. Karena peran agen perubah (change agent) bertanggung jawab atas proses perubahan, agen perubah ini berusaha mempengaruhi dan mengarahkan agar nilai-nilai yang dianut selama ini selaras dengan nilai-nilai budaya kerja Departemen Agama. Fungsi utama agen perubah ini adalah menjadi mata rantai penghubung antara pegawai dengan lembaga. Oleh karena itu, agen perubah dapat bertindak sebagai stimulator dan mungkin sebagai inisiator dalam proses sosialisasi budaya kerja. Agen perubah diangkat melalui Keputusan Menteri Agama, berasal dari unsur internal Departemen Agama yang memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan budaya kerja kepada para pegawai di lingkungan Departemen Agama.
80
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
BAB V AGENDA PENGEMBANGAN BUDAYA KERJA DEPARTEMEN AGAMA Keberhasilan penerapan pengembangan budaya kerja Departemen Agama ditentukan oleh sejumlah agenda rencana aksi yang dirumuskan secara terstruktur, terarah, dan terencana di seluruh jajaran aparatur Departemen Agama. Agenda pengembangan budaya kerja hakikatnya adalah merancang sejumlah rencana kerja untuk mengembangkan budaya kerja yang dimaknai sebagai cara pandang atas kerja. Landasan penyusunan agenda rencana aksi berangkat dari nilai dasar Departemen Agama yang bertumpu kepada ”ikhlas” dan ”amal” yang kemudian dituangkan dalam bentuk persepsi kerja ”melayani, memberdayakan, dan meneladani”. Keterkaitan antara ”nilai” serta ”kerja” diyakini mampu menumbuhkan dan meningkatkan motivasi dan tanggung jawab aparatur terhadap peningkatan kinerja yang dikenal dengan sikap kerja aparatur mencakup: 1. Jujur dan integritas. 2. Etika, akhlak mulia, dan keteladanan. 3. Taat hukum dan keputusan. 4. Tanggung jawab dan akuntabel. 5. Hormat sejawat. 6. Cinta kerja dan kerja keras. 7. Transparansi dan koordinasi. 8. Disiplin. 9. Bersahaja. Agenda pengembangan budaya kerja haruslah berangkat dari pemikiran bahwa baik nilai dasar, persepsi kerja maupun sikap kerja mampu meningkatkan motivasi, komitmen, dan tanggung jawab aparatur dalam meningkatkan kualitas pelayanPengembangan Budaya Kerja
81
an dalam urusan agama kepada masyarakat serta menjamin tingkat kepuasan masyarakat atas pelayanan yang disediakan. A. Penanggung Jawab Terlaksananya pengembangan budaya kerja di lingkungan Departemen Agama sangat tergantung pada kinerja penanggung jawab untuk melaksanakan tugas dan fungsinya baik secara teknis maupun administratif. Penanggung jawab teknis adalah gugus tugas yang dibentuk, ditetapkan, dan disahkan melalui Keputusan Menteri Agama. Gugus tugas terdiri dari Tim Kerja dan Tim Teknis Pengembangan Budaya Kerja yang secara ex officio terdiri dari pejabat struktural dan fungsional pada masing-masing satuan organisasi/kerja di lingkungan Departemen Agama. Tim Kerja adalah Tim yang bertugas mengkoordinasikan upaya pengembangan budaya kerja di lingkungan Departe men Agama. Tim Teknis adalah Tim yang bertugas secara teknis operasional melaksanakan pengembangan budaya kerja di lingkungan Departemen Agama. Tim Kerja dan Tim Teknis Pengembangan Budaya Kerja dibentuk, ditetapkan, dan disahkan melalui pejabat yang berwenang, terdiri dari: a. Tingkat Pusat 1) Di tingkat Pusat perlu dibentuk Tim Pengembangan Budaya Kerja Nasional. 2) Tim Pengembangan Budaya Kerja Nasional dibentuk, ditetapkan, dan disahkan oleh Menteri Agama melalui Keputusan Menteri Agama. 3) Tim bertanggung jawab kepada Menteri Agama, dengan tugas: a) mempersiapkan bahan pengembangan budaya kerja; b) menginternalisasikan pengembangan budaya kerja; 82
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
c) mengendalikan budaya kerja nasional; d) mengkoordinasikan impelementasi budaya kerja nasional; e) memantau, mengevaluasi dan melaporkan kinerja kepada menteri Agama. 4) Tim Pengembangan Budaya Kerja terdiri dari Tim Kerja dan Tim Teknis. b. Tingkat Provinsi 1) Di tingkat Provinsi perlu dibentuk Tim Teknis Budaya Kerja Provinsi. 2) Tim Teknis Provinsi dibentuk, ditetapkan, dan disahkan oleh Kepala Kanwil Dep. Agama Provinsi melalui Keputusan Kepala Kanwil. 3) Tim bertanggung jawab kepada Kepala Kanwil Dep. Agama, dengan tugas: a) mensosialisasikan budaya kerja di provinsi dan kabupaten/kota sampai kecamatan; b) mengendalikan budaya kerja provinsi dan kabupaten/kota; c) mengkoordinasikan impelementasi budaya kerja di kabupaten/kota; d) memantau, mengevaluasi, dan melaporkan hasil kinerja kepada Kepala Kanwil Dep. Agama Provinsi. 4) Tim terdiri dari: a) Pengarah : Kepala Kanwil Dep. Agama Provinsi b) Ketua : Kepala Bagian Tata Usaha c) Wakil ketua : salah seorang Kepala Bidang d) Sekretaris : Kepala Sub Bagian Kepegawaian
Pengembangan Budaya Kerja
83
e) Anggota
: seluruh pejabat eselon III di lingkungan Kanwil Dep. Agama. c. Tingkat Kabupaten/Kota 1) Di tingkat Kabupaten/Kota perlu dibentuk Tim Teknis Kabupaten/Kota. 2) Tim Teknis Kabupaten/Kota dibentuk, ditetapkan dan disahkan oleh Kepala Kantor Dep. Agama Kabupaten/Kota melalui Keputusan Kepala Kandepag Kabupaten/Kota. 3) Tim bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Dep. Agama, dengan tugas: a) mensosialisasikan budaya kerja di kabupaten/ kota dan KUA kecamatan; b) mengendalikan budaya kerja kabupaten/kota dan KUA kecamatan; c) mengkoordinasikan impelementasi budaya kerja di kecamatan; d) memantau, mengevaluasi, dan melaporkan hasil kinerja kepada Kepala Kantor Dep. Agama Kabupaten/Kota. 4) Tim terdiri dari: a) Pengarah : Kepala Kantor Dep. Agama Kabupaten/Kota b) Ketua : Kepala Sub Bagian Tata Usaha c) Wakil ketua : salah seorang Kepala Seksi d) Sekretaris : pelaksana pada Subag. TU e) Anggota : seluruh pejabat eselon IV di lingkungan Kandepag Kabupaten/Kota. d. Pendidikan Tinggi Agama Negeri (UIN, IAIN, IHDN, STAIN, STAKN, STAHN, dan STABN) 84
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
1) Pada setiap pendidikan tinggi agama negeri perlu dibentuk Tim Teknis. 2) Tim Teknis dibentuk, ditetapkan, dan disahkan oleh pimpinan pendidikan tinggi agama negeri yang bersangkutan melalui Keputusan Rektor atau Ketua Perguruan Tinggi Agama Negeri. 3) Tim Teknis bertanggung jawab kepada Pimpinan Pendidikan Tinggi Agama Negeri dengan tugas: a) mensosialisasikan budaya kerja di lingkungan kerjanya masing-masing; b) mengendalikan budaya kerja di lingkungan kerjanya masing-masing; c) memantau, mengevaluasi, dan melaporkan hasil kinerja kepada pimpinan Pendidikan Tinggi Agama Negeri. 4) Tim terdiri dari: a) Pengarah : Rektor atau Ketua b) Ketua : Pembantu Rektor II atau Wakil Ketua c) Wakil ketua : menyesuaikan kebutuhan d) Sekretaris : menyesuaikan kebutuhan e) Anggota : menyesuaikan kebutuhan
B. Agenda Rencana Aksi Dalam rangka mewujudkan nilai dasar, persepsi kerja, sikap kerja, dan perilaku kerja, diperlukan Agenda RencaPengembangan Budaya Kerja
85
na Aksi Pengembangan Budaya Kerja Departemen Agama. Penyusunan agenda dimaksud bertumpu kepada: 1. Implementasi Rencana Aksi a. Arah Agenda Pada dasarnya pengembangan budaya kerja Departemen Agama diarahkan untuk mendorong terwujudnya gugus kendali mutu perilaku dan hasil kerja aparatur Departemen Agama yang bertumpu kepada: 1) bekerja atas dasar rencana kerja; 2) mencatat dan melaporkan hasil kerja; 3) menunaikan amanah waktu kerja 4) merekam/mencatat/mentabulasikan data/informasi; 5) menjalankan monitoring dan evaluasi; 6) melaksanakan pembinaan terhadap bawahan; 7) menjalankan pelayanan, pembinaan dan bimbingan kepada pelanggan, stakeholder, dan masyarakat; 8) melahirkan gagasan untuk pengembangan sistem kerja dan pelayanan yang dituangkan dalam rencana kerja; 9) memelihara martabat diri, harmoni kerja dengan rekan sejawat, hormat kepada pimpinan, dan menjaga citra organisasi. Semuanya itu dilandasi oleh nilai dasar keiklasan, amal, profesional, pekerja keras dan berakhlak mulia dalam kerangka mempercepat perwujudan good governance dan clean government. Oleh sebab itu, agenda rencana aksi bertujuan untuk: 1) mewujudkan gugus mutu kinerja pelayanan yang memuaskan; 2) mewujudkan aparatur yang bersih dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme; 86
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
3) mewujudkan dukungan masyarakat atas kualitas pelayanan yang dilakukan oleh aparatur Departemen Agama; 4) meningkatkan standar mutu penyelenggaraan tugas dan fungsi Departemen Agama; 5) mewujudkan sistem pelayanan yang berkualitas; 6) meningkatkan motivasi, komitmen dan tanggung jawab aparatur untuk menyediakan pelayanan terbaik kepada masyarakat; 7) mewujudkan disiplin dan taat asas atas dasar profesionalisme, keikhlasan, dan kejujuran bagi seluruh aparatur Departemen Agama. b. Kelompok Sasaran Berdasarkan arah agenda rencana aksi tersebut, maka kelompok sasaran rencana aksi dibagi menjadi dua, yaitu: sasaran langsung dan sasaran tidak langsung. 1) Sasaran langsung adalah seluruh aparatur Departemen Agama terdiri dari unsur struktural dan fungsional. 2) Sasaran tidak langsung adalah seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), meliputi berbagai lembaga kemasyarakatan (community institutions), lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, tokoh agama, dan sebagainya yang diperhitungkan memberikan dukungan terhadap pengembangan budaya kerja di lingkungan Departemen Agama. c. Pendekatan Agenda Rencana Aksi Pendekatan dilaksanakan agar agenda rencana aksi dapat berjalan sesuai dengan rencana yang ditetapPengembangan Budaya Kerja
87
kan. Bentuk pendekatan yang dilakukan, di antaranya: 1) Pendekatan siklus kepegawaian, artinya bahwa pengembangan budaya kerja dimulai sejak pengangkatan pertama CPNS hingga memasuki masa pensiun. 2) Pendekatan sistem dukungan (support system), yaitu dukungan formal dan dukungan non formal yang diberikan kepada aparatur Departemen Agama untuk meningkatkan kualitas kinerjanya. Dalam konteks Departemen Agama, pendekatan agenda rencana aksi lebih sesuai didasarkan kepada pendekatan yang terpadu (integrated approach) antara dukungan formal dan informal melalui kombinasi dukungan masyarakat, pemerintah, maupun jati diri aparatur. 2. Agenda Kerja Relevan dengan nilai dasar, persepsi kerja, sikap kerja dan perilaku kerja yang diharapkan, maka perlu direncanakan agenda kerja untuk mendorong peningkatan budaya kerja di lingkungan Departemen Agama sebagai berikut: a. Aksi 1: Penyediaan bahan pengembangan budaya kerja Sasaran aksi ini adalah tersedianya bahan sosialisasi pengembangan budaya kerja di seluruh aparatur Departemen Agama secara sistemik, terstruktur dan taat asas. Aksi ini perlu didukung dengan sejumlah kesiapan baik teknis maupun administrasi yang matang. Aksi dimaksud perlu didukung dengan sejumlah kegiatan sebagai berikut:
88
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
1) menerbitkan Keputusan Menteri Agama untuk rencana aksi pengembangan budaya kerja di lingkungan Departemen Agama; 2) menyusun dan menetapkan rencana kerja dan jadwal kerja tahunan pada masing-masing unit kerja yang didukung sistem anggaran yang transparan dan akuntabel; 3) menyusun dan menetapkan indikator, pedoman/petunjuk teknis, SOP, dan pedoman pelaporan pengembangan budaya kerja; 4) mempersiapkan materi sosialisasi tentang nilai dasar, persepsi kerja, sikap kerja, dan perilaku kerja; 5) membentuk gugus tugas kendali mutu budaya kerja, terdiri dari tim kerja dan tim teknis yang bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pengendalian pengembangan budaya kerja. b. Aksi 2: Intensifikasi sosialisasi pengembangan budaya kerja Sasaran aksi ini adalah dikenal dan dipahaminya arti penting implementasi budaya kerja dalam konteks reformasi birokrasi Departemen Agama. Aksi dimaksud perlu didukung dengan sejumlah kegiatan sebagai berikut: 1) menyebarluaskan SOP pengembangan budaya kerja aparatur Departemen Agama, terutama yang berkaitan dengan 9 perilaku kerja; 2) menyediakan informasi untuk penyebarluasan nilai-nilai budaya kerja; 3) memasang pesan-pesan budaya kerja pada setiap sudut strategis di lingkungan kantor pada lingkup departemen agama dan mitra kerjanya; Pengembangan Budaya Kerja
89
4) menyelenggarakan temu konsultasi/rapat kerja teknis/raker pimpinan secara berjenjang; 5) menyelenggarakan pelatihan instruktur pengembangan budaya kerja; 6) menyelenggarakan sarasehan budaya kerja di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, dan kota; 7) mengadakan visualisasi budaya kerja melalui multi media termasuk elektronik (TV, radio) dan media cetak (koran, brosur, jurnal, booklet, poster, leaflet, pamflet, majalah, komik, karikatur, dan sebagainya) baik dalam bentuk iklan layanan masyarakat, talk show, dialog interaktif, dan sebagainya; 8) membuat situs khusus pengembangan budaya kerja; c. Aksi 3: Internalisasi pengembangan Budaya Kerja Sasaran aksi ini adalah meningkatnya penerimaan konsep budaya kerja dan menguatnya perilaku kerja produktif dalam konteks reformasi birokrasi Departemen Agama. Aksi dimaksud perlu didukung dengan sejumlah kegiatan sebagai berikut: 1) melaksanakan orientasi budaya kerja bagi Calon Pegawai Negeri Sipil/tenaga honorer; 2) mengembangkan keteladanan melalui pemberian penghargaan kepada aparatur yang berprestasi; 3) memasang kotak saran perbaikan kinerja aparatur; 4) memberlakukan pembuatan laporan kinerja setiap aparatur secara berjenjang pada setiap bulan; 5) menegakkan disiplin waktu kerja melalui pengendalian kehadiran aparatur dengan pemanfaatan teknologi komputerisasi; 90
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
6) melaksanakan pembekalan/diklat teknis pengembangan budaya kerja di kalangan aparatur; 7) menyusun silabi/kurikulum budaya kerja sebagai bahan ajar di berbagai pendidikan dan pelatihan teknis, struktural, dan fungsional secara berjenjang baik formal maupun non formal; 8) membentuk dan memantapkan tim evaluasi kinerja pada setiap unit kerja; 9) melaksanakan pekan orientasi budaya kerja bagi seluruh aparatur melalui sejumlah aksi sosial keagamaan; 10) menyelenggarakan kajian dan penelitian pengembangan budaya kerja secara simultan; 11) menyelenggarakan promosi dan kampanye budaya bersih. d. Aksi 4: Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan Pengembangan Budaya Kerja Sasaran aksi ini adalah terwujudnya kelembagaan Pengembangan Budaya Kerja yang terstruktur, dinamis, dan profesional di lingkungan Departemen Agama. Aksi dimaksud perlu didukung dengan sejumlah kegiatan sebagai berikut: 1) melaksanakan pemetaan terhadap lembaga pendidikan agama dan lembaga keagamaan baik di lingkungan Departemen Agama, maupun masyarakat pada setiap tingkatan wilayah (kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional); 2) melaksanakan penataan kelembagaan yang dinilai mendukung atas peningkatan kinerja pelayanan; 3) memfasilitasi pembentukan dan pemantapan unit kerja dengan melalui: Pengembangan Budaya Kerja
91
a) peningkatan profesionalitas sumber daya manusia (SDM) yang ada di kelembagaan, kesempatan untuk sekolah, kursus, pelatihan; b) peningkatan sarana dan prasarana kelembagaan; c) peningkatan publikasi kelembagaan; dan d) pembuatan jejaring atau network antar lembaga baik nasional, lokal maupun internasional yang bergerak dalam bidang keagamaan. e. Aksi 5: Penguatan koordinasi antar satuan organisasi/kerja dan pemangku kepentingan Sasaran aksi ini adalah terwujudnya koordinasi guna mendukung terlaksananya reformasi birokrasi Departemen Agama. Aksi dimaksud perlu didukung dengan sejumlah kegiatan sebagai berikut: 1) membentuk dan menetapkan tim kerja untuk membangun dinamika kelompok dalam pengembangan budaya kerja pada setiap satuan organisasi/kerja; 2) meningkatkan dukungan antar pemangku kepentingan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi; 3) membentuk dan memantapkan satuan koordinasi inter dan antar satuan organisasi/kerja serta institusi terkait agar menghindari tumpang tindih (overlapping) dan kekosongan (blank spot) di dalam penyediaan mutu pelayanan; 4) memadukan program kerja mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan tahap monitoring dan evaluasi program antar unit kerja mulai dari pusat hingga daerah;
92
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
5) menyelenggarakan pertemuan berkala (rapat pimpinan, rapat koordinasi, dan review program) di setiap tingkatan; 6) menetapkan role model untuk rencana aksi yang diinisiasi oleh aparatur yang dianggap memenuhi persyaratan sebagai role model. f. Aksi 6: Penegakan hukum bagi aparatur Sasaran aksi ini adalah terwujudnya kualitas aparatur yang taat hukum. Aksi dimaksud perlu didukung dengan sejumlah kegiatan sebagai berikut: 1) memetakan (mapping) aparatur/SDM yang melakukan pelanggaran disiplin; 2) melakukan audit khusus/investigasi; 3) melaksanakan advokasi hukum atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparatur; 4) menjatuhkan sanksi berdasarkan ketentuan bagi aparatur yang terbukti melakukan pelanggaran/penyimpangan. g. Aksi 7: Peningkatan kendali mutu pelayanan masyarakat Sasaran aksi ini adalah meningkatnya pelayanan prima oleh aparatur Departemen Agama kepada masyarakat. Aksi dimaksud perlu didukung dengan sejumlah kegiatan sebagai berikut: 1) menyusun, menetapkan, dan menyebarluaskan pedoman tentang pengembangan sikap dan perilaku kerja aparatur; 2) memantapkan komitmen melayani masyarakat dengan membangun jiwa yang ikhlas, bekerja keras, dan profesional; Pengembangan Budaya Kerja
93
3) mengembangkan budaya malu bagi seluruh aparatur; 4) mengkaji, menyusun, dan mengembangkan standar pelayanan minimal menuju profesionalisme dalam setiap jenis pelayanan; 5) melaksanakan penataan organisasi pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat menuju terciptanya organisasi dinamis dan responsif; 6) menerapkan sistem pengendalian mutu kinerja dalam kerangka peningkatan kualitas pelayanan masyarakat; 7) mengintensifkan laporan hasil kerja aparatur secara berjenjang baik tertulis maupun lisan. h. Aksi 8: Pemberdayaan aparatur menuju peningkatan kualitas hidup Sasaran aksi ini adalah meningkatnya kesejahteraan aparatur Departemen Agama. Aksi dimaksud perlu didukung dengan sejumlah kegiatan sebagai berikut: 1) menyelenggarakan pendidikan keterampilan atau kursus yang sesuai dengan kemampuan aparatur sebelum memasuki masa pensiun; 2) bantuan modal usaha bagi aparatur yang akan memasuki usia pensiun; 3) mendayagunakan profesi atau kemampuan aparatur sesuai keahliannya; 4) menyediakan fasilitasi pendidikan dan pelatihan baik teknis, administratif maupun diklat pimpinan serta pendidikan formal dengan biaya negara kepada aparatur berprestasi. i. Aksi 9: Peningkatan sarana dan prasarana bagi aparatur 94
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
j.
Sasaran aksi ini adalah terciptanya dukungan sarana dan prasarana guna menunjang kinerja bagi aparatur. Aksi dimaksud perlu didukung dengan sejumlah kegiatan sebagai berikut: 1) menyediakan sarana kerja yang memadai bagi aparatur disesuaikan dengan kebutuhan kinerja (appropriated, accepted, and accessible tools), baik software maupun hardware; 2) menyediakan sarana pengolah data dan informasi untuk pengembangan budaya kerja. Aksi10: Peningkatan Moral dan Akhlak Aparatur Sasaran aksi ini adalah terwujudnya jati diri aparatur yang memiliki aklak mulia dan moralitas. Aksi dimaksud perlu didukung dengan sejumlah kegiatan sebagai berikut: 1) pembinaan mental dan penanaman nilai kejujuran, keikhlasan dalam menjalankan tugas aparatur; 2) mengembangkan lembaga amal, zakat, infaq, shodaqoh atau dana sosial lainnya untuk kesejahteraan aparatur (lintas agama); 3) memasukkan materi budaya kerja pada setiap kegiatan keagamaan; 4) mengembangkan sikap santun dan kebersamaan; 5) mengharmonisasikan hubungan kerja sama antar rekan sejawat.
k. Aksi 11: Perwujudan organisasi belajar Sasaran aksi ini adalah terwujudnya organisasi yang bertumpu pada proses pembelajaran (learning organization). Pengembangan Budaya Kerja
95
Aksi dimaksud perlu didukung dengan sejumlah kegiatan sebagai berikut: 1) memanfaatkan hasil penelitian dan teknologi untuk peningkatan kualitas pelayanan; 2) membentuk kelompok kajian, penelitian, dan pengembangan; 3) mengembangkan pelayanan prima; 4) mengembangkan organisasi pembelajaran bagi seluruh satuan organisasi/kerja. 3. Jangka Waktu Agenda rencana aksi masing-masing kegiatan dilaksanakan secara simultan oleh satuan organisasi/kerja di lingkungan Departemen Agama. Pelaksanaan rencana aksi perlu memperhatikan pertimbangan skala prioritas karena keterbatasan sumber daya. Jangka waktu pelaksanaan agenda rencana aksi secara umum dikelompokkan dalam tiga tahap: a. Jangka pendek antara tahun 2009–2010; b. Jangka menengah antara tahun 2010–2014; c. Jangka panjang antara 2014–2024 . Matriks agenda Rencana Aksi Pengembangan Budaya Kerja dilakukan berdasarkan jangka waktu, dapat digambarkan sebagai berikut:
96
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
5. Role Model Setiap rencana aksi diperlukan role model atau figur keteladanan yang mampu meprakarsai setiap kegiatan rencana aksi. Role model adalah aparatur yang dinilai dapat dijadikan teladan dan figur berdasarkan kriteria tertentu. Hal ini berarti bahwa 11 rencana aksi yang diagendakan, diperlukan 11 aparatur di lingkungan Departemen Agama yang dapat digunakan pelopor atau teladan atau figur publik untuk melaksanakan setiap rencana aksi. Pemilihan dan penetapan role model dilakukan oleh Tim Kerja dan Tim teknis yang telah ditunjuk. C. Koordinasi dan Sinkronisasi 1. Koordinasi dan Sinkronisasi Kelembagaan Dalam upaya sinkronisasi pengembangan budaya kerja diperlukan satuan-satuan koordinasi yang mempunyai tugas menjamin gugus mutu dan kendali mutu pengembangan budaya kerja secara sinergis. Fungsinya adalah menyusun, mengkoordinasikan dan mengendalikan rencana aksi secara sinergis yang dilaksanakan oleh Departemen Agama. Satuan koordinasi dibentuk secara berjenjang vertikal struktural mulai dari tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat. Bentuk koordinasi dan sinkronisasi melalui Rakor/Raker, Pertemuan Nasional/Daerah/Temu Kelompok Kerja dan bentuk kegiatan lainnya. Koordinasi dilakukan untuk mensinkronisasikan rencana aksi agar dapat terlaksana secara sinergis dan dapat dipertanggungjawabkan. Kegiatan ini bisa dilaksanakan berdasarkan waktu tertentu, antara lain bulanan, triwulanan, semesteran dan/atau tahunan atau pada saat tertentu sesuai kebutuhan.
114
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
2. Koordinasi dan Sinkronisasi Perencanaan Koordinasi perencanaan dimulai dengan proses pemetaan masalah dan pengumpulan data pendukung untuk setiap perencanaan aksi dan kegiatan pada berbagai tingkatan. Koordinasi perencanaan tersebut dilaksanakan dengan menggunakan mekanisme dan forum pertemuan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Sarana yang digunakan untuk kegiatan ini melalui Konsultasi Perencanaan Program (KPP). Penyusunan rencana aksi dituangkan dalam bentuk Daftar Usulan Kegiatan (DUK) dan Rencana Kerja hingga menjadi DIPA. 3. Koordinasi dan Sinkronisasi Pelaksanaan Pelaksanaan rencana aksi pengembangan budaya kerja antara pusat dan daerah perlu dikoordinasikan dengan saling konsultasi secara formal maupun informal. Dalam hal demikian perlu dibentuk suatu kelompok kerja atau tim bersama, agar pelaksanaan dan jadwal kegiatan dapat diserasikan dan disinergikan. Prinsip implementasi agenda rencana aksi dilakukan oleh seluruh unit kerja. D. Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan 1. Monitoring Untuk mewujudkan tingkat keberhasilan kinerja pengembangan budaya kerja, maka salah satu siklus manajeman yaitu monitoring wajib dilakukan. Monitoring adalah proses memantau terhadap kemajuan dan atau perkembangan yang telah dicapai atas hasil sosialisasi pengembangan budaya kerja yang dilakukan. Kegiatan ini dapat memantau kemajuan, perubahan, kendala, dan dukungan yang diperoleh dari proses pengembangan budaya kerja. Tujuannya adalah terpantaunya proses yang terjadi selama pengembangan budaya kerja disosialisasiPengembangan Budaya Kerja
115
kan. Pemantauan dilakukan oleh Tim Kerja dan Tim Teknis yang telah ditunjuk, ditetapkan, dan disahkan oleh pejabat tertinggi dalam satuan organisasi di lingkungan Departemen Agama. Pemantauan dilaksanakan sesuai kebutuhan baik bulanan, triwulanan, caturwulanan, semesteran, dan tahunan. Hasil pemantauan adalah informasi yang digunakan untuk bahan evaluasi. Aspek yang dimonitor antara lain proses rencana aksi yang sedang dilakukan, sasaran beserta target yang ingin dicapai, waktu, pihak mana saja yang dilibatkan, pencapaian hasil, kendala dan dukungan, realisasi pembiayaan, dan penyusunan rencana selanjutnya. 2. Evaluasi Untuk mengidentifikasi capaian kinerja agenda rencana aksi pengembangan budaya kerja, maka diperlukan evaluasi. Bahan baku evaluasi adalah hasil monotoring. Evaluasi adalah proses menghitung, mengukur dan menilai atas proses dan hasil yang telah dicapai dari rencana aksi yang telah dilakukan. Hasil yang dievaluasi antara lain masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impact). Kegiatan ini dapat menilai keberhasilan yang telah dicapai atas rencana aksi yang diterapkan. Tujuannya adalah teridentifikasikannya proses dan hasil yang telah dicapai. Hasil evaluasi kemudian dapat digunakan sebagai bahan laporan dan sekaligus pertanggungjawaban kinerja organisasi. Evaluasi dilakukan oleh Tim Kerja dan Tim Teknis yang telah ditunjuk, ditetapkan, dan disahkan oleh pejabat tertinggi dalam satuan organisasi di lingkungan Departemen Agama. Evaluasi dilaksanakan sesuai kebutuhan, secara bulanan, triwulanan, caturwulanan, semesteran, dan tahunan. Hasil pemantauan menjadi informasi yang digunakan untuk bahan evaluasi. Aspek yang 116
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
dievaluasi antara lain masukan yang ada, proses rencana aksi yang sedang dilakukan, sasaran beserta target yang ingin dicapai, waktu, pihak mana saja yang dilibatkan, pencapaian hasil, kendala dan dukungan, realisasi pembiayaan, dan rekomendasi. 3. Pelaporan Bahan baku pelaporan adalah hasil evaluasi. Evaluasi adalah proses pendokumentasian dan pertanggungjawaban atas semua kegiatan yang dilakukan secara tertulis maupun lisan. Materi pelaporan berkaitan dengan masukan (input), proses, keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact), faktor kendala dan pendukung, upaya pemecahan masalah, kesimpulan dan rekomendasi. Kegiatan ini dapat digunakan sebagai bahan dokumen sekaligus pertanggungjawaban baik secara teknis maupun administratif. Tujuannya adalah teridentifikasikannya tingkat capaian kinerja atas hasil yang telah dicapai. Hasil laporan kemudian dapat digunakan sebagai bahan pertanggungjawaban dan sekaligus perbaikan kinerja organisasi. Pelaporan dilakukan oleh Tim Kerja dan Tim Teknis yang telah ditunjuk, ditetapkan, dan disahkan oleh pejabat tertinggi dalam satuan organisasi di lingkungan Departemen Agama. Laporan disampaikan secara berjenjang dalam bentuk bulanan, triwulanan, caturwulanan, semesteran, dan tahunan. Mekanisme penyampaian laporan adalah sebagai berikut: a. Laporan Tim Teknis Laporan Tim Teknis dilakukan secara berjenjang dengan mekanisme sebagai berikut: 1) Di tingkat Pusat, laporan dibuat oleh Tim Teknis yang disampaikan kepada Ketua Tim Kerja Pengembangan Budaya Kerja
117
dengan tembusan disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Departemen Agama. 2) Di tingkat Provinsi, laporan dibuat oleh Tim Teknis Provinsi, disampaikan kepada Tim Teknis di tingkat Pusat setelah disetujui oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi setempat. 3) Di tingkat Kabupaten/Kota, laporan dibuat oleh Tim Teknis Kabupaten/Kota, disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi setelah memperoleh persetujuan dari Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. b. Laporan Tim Kerja Laporan Tim Kerja terdiri dari 3 (tiga) jenis yang pembuatannya disusun secara berjenjang sebagai berikut: 1) Laporan dari Tim Kerja disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Departemen Agama: a) Ketua Tim Kerja secara periodik wajib membuat laporan budaya kerja semesteran kepada Sekretaris Jenderal Departemen Agama. b) Laporan dibuat dan disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan pertama setelah suatu semester berakhir. c) Bahan laporan dari resume (notulen) kegiatan Tim Kerja selama semester bersangkutan. 2) Laporan dari Sekjen disampaikan kepada Menteri Agama a) Sekjen Depag secara semesteran wajib membuat laporan budaya kerja kepada Menteri Agama.
118
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
b) Laporan dibuat dan disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan pertama setelah suatu semester berakhir. c) Bahan laporan dari laporan budaya kerja dari Tim Kerja. 3) Laporan dari Tim Teknis kepada Tim Kerja Tim Teknis Pusat secara triwulan membuat laporan budaya kerja kepada Tim kerja. Laporan ini isinya ada 2 (dua) bagian, yaitu: a) Kompilasi laporan budaya kerja dari Tim Teknis di tingkat satuan organisasi/kerja. b) Laporan kegiatan Tim Teknis Pusat. Laporan dibuat dan disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan ketiga setelah suatu triwulan berakhir. Bahan laporan berasal dari laporan-laporan budaya kerja Tim Teknis lainnya dan kegiatan-kegiatan budaya kerja yang dilakukan oleh Tim Kerja. Laporan dibuat secara tertulis dan disertakan surat penyampaian laporan secara berjenjang, dengan susunan sebagai berikut: 4) Laporan dari Sekjen kepada Menteri Agama memuat: a) Perencanaan budaya kerja. b) Pelaksanaan, terutama mengungkapkan: (1) kegiatan yang dilaksanakan; (2) hasil/ manfaat kegiatan; (3) hambatan/kendala pelaksanaan budaya kerja; (4) usulan/saran pengembangan budaya kerja; 5) Laporan dari Tim Kerja kepada Sekjen Departemen Agama memuat: Pengembangan Budaya Kerja
119
a) Tim Kerja terutama yang berkaitan dengan pembentukan tim, jumlah tim, dan jumlah anggota tim. b) Perencanaan budaya kerja. c) Pelaksanaan, terutama mengungkapkan: (1) kegiatan yang dilaksanakan; (2) hasil/manfaat kegiatan; (3) hambatan/kendala pelaksanaan; (4) saran. c. Laporan dari Tim Teknis kepada Tim Kerja memuat tentang kompilasi laporan dari para pembina terdiri atas: 1) Pelaporan Mengungkapkan jumlah laporan budaya kerja dari para pembina yang masuk dan yang belum masuk dalam suatu semester. 2) Jumlah Tim Teknis Mengungkapkan pembentukan Tim Teknis pada setiap unit organisasi/kerja dan jumlah Tim Teknis pada seluruh unit organisasi/ kerja Departemen Agama. 3) Perencanaan budaya kerja. 4) Pelaksanaan terutama mengungkapkan: a) kompilasi kegiatan yang dilaksanakan; b) kompilasi hasil/manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan. 5) Hambatan/kendala pelaksanaan. 6) Usulan/saran pengembangan budaya kerja.
120
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
BAB VI PENUTUP Reformasi birokrasi merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda lagi. Hanya dengan tekad, kerja keras, dan komitmen yang tinggi dari seluruh aparatur negara, akan melahirkan perubahan ke arah yang lebih baik. Pelayanan yang baik kepada masyarakat merupakan cerminan tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance). Pelaksanaan reformasi birokrasi Departemen Agama bertujuan untuk mengubah cara berpikir, budaya kerja, dan perubahan manajemen. Hal ini diperlukan dukungan semua pihak termasuk dukungan, kerja sama, dan partisipasi masyarakat. Tanpa dukungan semua itu niscaya reformasi birokrasi tidak akan berhasil dengan baik, karena masyarakat merupakan pihak yang memperoleh layanan yang baik. Pengembangan budaya kerja Departemen Agama diawali dengan penetapan kata “Ikhlas Beramal” sebagai nilai dasar bagi kelembagaan Departemen Agama dan merupakan pondasi bangunan budaya organisasi yang diperkuat dan ditopang dengan elemen budaya kerja lainnya, yakni persepsi kerja, sikap kerja, dan perilaku kerja. Selanjutnya, diperlukan proses sosialisasi, internalisasi, dan institusionalisasi guna memahami konsep diri, persepsi, dan perilaku sebagai pelayan masyarakat, sehingga setiap aparatur Departemen Agama mampu memahami hak dan kewajibannya dengan baik dalam rangka melayani, memberdayakan, dan meneladani bagi aparatur lainnya. Pengembangan budaya kerja Departemen Agama, sebagaimana telah diuraikan di bagian terdahulu merupakan upaya secara sistematis untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja Departemen Agama melalui pembinaan aparatur yang etis, bermoral, berdisiplin, profesional, produktif, dan bertanggung jaPengembangan Budaya Kerja
121
wab. Di sini budaya kerja bukanlah wacana, akan tetapi sebagai perilaku yang perlu dilatih bahkan dipaksa untuk menjadi biasa yang pada akhirnya menjadi budaya. Melalui pengembangan nilai-nilai budaya kerja ini, diharapkan akan terbentuk perilaku kerja aparatur yang tangguh, sehingga di satu pihak dapat memberikan pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien, dan di lain pihak dapat melakukan evaluasi secara reguler tentang sejauh mana kebijakan yang ditetapkan dapat berjalan efektif memenuhi kebutuhan masyarakat dan sejauh mana pelaksanaan pelayanan masyarakat telah menyimpang dari standar pelayanan minimal yang ditetapkan. Budaya kerja yang kuat merupakan daya dorong yang kuat pula untuk menuntun perilaku seseorang, setidaknya akan membantu aparatur mengerjakan tugas penyelenggaraan pemerintah secara lebih baik dan terpola, terutama dalam pengertian: (1) budaya kerja sebagai sistem aturan formal yang mengungkapkan bagaimana aparatur berperilaku dalam sebagian besar waktu mereka; (2) budaya kerja memungkinkan aparatur negara merasa lebih baik tentang apa yang mereka kerjakan sehingga dapat memotivasi semangat kerja; dan (3) budaya kerja dapat membangkitkan kesanggupan aparatur mencari daya kesesuaian dengan keadaan yang berbeda. Memahami, mengimplementasikan, dan mengembangkan budaya kerja merupakan tugas berat yang harus dilakukan secara utuh dan menyeluruh karena menyangkut proses pembangunan karakter, sikap, dan perilaku manusia serta akan memiliki makna yang lebih jika dijiwai dengan spiritualitas. Budaya kerja dalam reformasi birokrasi Departemen Agama dapat dilakukan dalam bentuk penanaman nilai-nilai yang terkandung di dalam motto “Ikhlas Beramal”, sehingga dapat diwujudkan aparatur Departemen Agama sebagai pejuang dan penjaga moral bangsa.
122
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
Pengembangan Budaya Kerja Departemen Agama memerlukan tahapan dan proses panjang secara terus-menerus, sehingga diperlukan komitmen pimpinan dan setiap aparatur Departemen Agama. Penerapan nilai-nilai budaya kerja yang telah disepakati akan mampu menjamin kualitas kinerja yang lebih baik, meningkatkan produktifitas dan pelayanan kepada masyarakat sebagai implementasi reformasi birokrasi di lingkungan Departemen Agama. Jakarta,
Pengembangan Budaya Kerja
April 2009
123
DAFTAR PUSTAKA Conger, Jay, Tichy, MN, and Many More, 2005. Organisasi Abad 21, PT. Indeks, Jakarta. Davis, Keith dan William F, 1984. Business and Society. 5th Ed. McGraw Hill, Japan. Hafidhuddin D., 2003. Islam Aplikatif. Gema Insani Press. Jakarta. Hasibuan, SP, 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia, Ed Revisi. PT. Bumi Aksara, Jakarta. John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). PT. Prehalindo, Jakarta. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25/KEP/M.PAN/04/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara, Jakarta. Mar’at, 1984. Sikap Manusia : Perubahan Serta Pengukurannya. Ghalia Indonesia, Jakarta. Newstorm, JW dan Keith D, 1993. Organization Behavior : Human Behavior at Work. 9th. McGraw-Hill, Inc. p 58-59. Osborn, D dan Peter P, 2000, Memangkas Birokrasi, Ed Revisi. Jakarta. PPM. Puspowardoyo S, 1985. Strategi Kebudayaan. PT. Gramedia, Jakarta. Robbins, SP, 1996. Perilaku Organisasi : Konsep Kontroversi, Aplikasi, Ed Indonesia, PT. Prenhallindo, Jakarta. 124
Inspektorat Jenderal Departemen Agama
Sinamo, Jansen H, 2002. Etos Kerja 21 Etos Kerja Profesional di Era Digital Global, Ed 1. Institut Darma Mahardika, Jakarta. Susanto, A.B, Sujanto, F.X., and Many More, 2008. Corporate Culture & Organization Culture, The Jakarta Consulting Group, Jakarta. Sofo, F, 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia, Ed 1. Airlangga University Press. Surabaya. Triguno, 2003. Budaya Kerja Menciptakan Lingkungan kondusif untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja. Golden Terayon Press, Jakarta. ………., 2004. Budaya Kerja : Menciptakan Lingkungan Yang Kondusive Untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja, Ed 6. PT. Golden Terayon Press, Jakarta. Vijay Sathe, 1985. Culture and Related corporate Realities, (Homewood : Richard D. Irwin, Inc., 1985) West, M.A., 2000. Mengembangkan Kreativitas Dalam Organisasi, Ed 1. Kanisius, Yogjakarta. Qodri A. Azizy, 2007. Change Management dalam Reformasi Birokrasi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Qodri A Azizy, 2004. Membangun Integritas Bangsa. Renaisan, Jakarta.
Pengembangan Budaya Kerja
125