Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi
Volume 1, Nomor 1, Januari -Juni 2017 http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/cjik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
AGAMA DAN BUDAYA MEDIA M. Hatta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected] ABSTRACT The religious life is experiencing rapid development in conjunction with the revolutionary changes in the media. At the stage of modernization, entered the twentieth century, the development of the media is an industry with a wide range of cultures that make it up. But when the religious interests collide with culture media system, there was friction that easily trigger sensitivity. Harmonization of religion and culture media, which never happened in the centuries to write the media triumph, now it is often disturbed and provoked by the dynamics posed by culture media. In the context of the relationship between religion and culture of this media, one major question that deserves to be answered in this paper is; how to bridge the interests of religion (as something divine, sacred and ceremonial) with the media culture as an industrial capitalist. What implications arise and which will result from this relationship. Will a positive effect on the religious or otherwise. Keywords: Media, Culture, Religion, Social Change, Community, Islam ABSTRAK Kehidupan beragama mengalami perkembangan pesat bersamaan dengan terjadinya perubahan revolusioner pada media. Pada tahapan modernisasi, memasuki abad dua puluh, perkembangan media sudah merupakan sebuah industri dengan berbagai budaya yang melengkapinya. Namun ketika kepentingan agama berbenturan dengan sistem budaya media, muncullah gesekan-gesekan yang gampang memicu sensitifitas. Harmonisasi agama dan budaya media, yang pernah terjadi pada abadabad kejayaan media tulis, kini justru sering terganggu dan terprovokasi oleh dinamika yang ditimbulkan oleh budaya media. Pada konteks relasi antara agama dan budaya media ini, satu pertanyaan mayor yang layak untuk dijawab pada tulisan ini ialah; bagaimana menjembatani kepentingan agama (sebagai sesuatu yang ilahi, sakral, dan seremonial) dengan kepentingan budaya media sebagai sebuah industri yang kapitalistik. Implikasi apa timbul dan yang ditimbulkan akibat dari relasi ini. Akankah berdampak positif bagi perkembangan agama atau sebaliknya. Kata Kunci : Media, Budaya, Agama, Perubahan Sosial, Masyarakat, Islam.
Pendahuluan Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta, “a” berarti tidak dan “gama” berarti “kacau”. Jadi agama secara bahasa memberi pengertian “tidak kacau”. Atau dengan kata lain bermakna “keharmonisan”. Namun secara Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
151
M. Hatta
fungsional, agama memberi pengertian tentang adanya integritas dari seorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan sesuatu yang sakral, abadi (immortal) dan power full (sangat berkuasa) yang lazim disebut tuhan. Pada agama diatur tentang moralitas, ada nilai-nilai dalam bentuk seremonial ibadah, serta pantangan-pantangan yang harus dijauhi sebagai bentuk pengakuan tunduk pada tuhan. Pengertian yang sama pada agama juga terdapat pada kata religion (bahasa Inggris), religio (bahasa Latin) yang berarti mengikat. Pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian; bagaimana manusia menbutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal (Sumardi, 1985:71) Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19. Sebagai lembaga Ilahi yang membimbing manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan Tuhan. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin. ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, Berbeda dengan Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47). Ia memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan. Perbedaan sudut pandang anatara “agama sebagai kata benda” dan ”agama sebagai kata kerja” sebetulnya tidak terlalu banyak dipersoalkan. Karena antar keduanya, mempunyai persamaan; sama-sama memandang agama sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan di dunia dan di akhirat. Bagaimana dengan budaya?. Sebagai sistem nilai yang didapat manusia secara turun temurun dalam menjaga dan melestarikan keharmonisan hidup, baik antar sesama manusia, maupun dengan alam. Budaya menurut pandangan Soelaiman Soemardi & Selo Soemardjan; merupakan hasil karya cipta dan rasa suatu masyarakat. Pengertian budaya secara harfiah, merupakan sebuah sistem gagasan dan rasa dari sebuah tindakan, serta karya yang dihasilkan oleh manusia didalam kehidupannya bermasyarakat, yang kemudian diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pada keduanya, agama dan budaya, terdapar perbedaan prinsipil dimana budaya diperoleh melalui belajar. Seperti cara makan, minum, bertani, berinteraksi, dan lain sebagainya. Sementara agama, diterima 152
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
Agama dan Budaya Media
sebagai sesuatu yang sudah jadi (wahyu). Tidak boleh diubah dan dibantah, tapi wajib diamalkan. Lebih tegas dikatakan Geertz (1992:13), bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya. Atau dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab (wakyu) yang diyakininya. Sementara, interaksi budaya dan agama mengalami lonjakan revolusioner setelah ditemukannya tinta dan mesin cetak. Inilah tahapan awal dimana media, menjadi sarana efektif dalam menginformasikan, menyalurkan, dan memperbanyak ide serta gagasan. Lewat media (cetak) firman tuhan bisa disebar ke segala penjuru dunia. Everett M. Rogers (1978) membagi perkembangan komunikasi manusia dalam empat era, dimulai dari tahun 34000 SM, periode CroMagnon, hingga memasuki era komunikasi interaktif. Rogers membagi perkembangan komunikasi manusia dalam empat yakni: Era Komunikasi Tulisan, Era Komunikasi Cetak, Era Telekomunikasi, dan Era Komunikasi Interaktif. Riwayat perkembangan komunikasi di atas menunjukkan, bahwa ternyata semakin belakangan, ternyata semakin cepat jarak dari inovasi teknologi komunikasi. Kemajuan yang dianggap penting adalah era komunikasi cetak yang ditandai dengan penemuan huruf cetak oleh Johanes Guttenberg (1450). Temuan ini, tentang huruf cetak yang dapat dipindah-pindahkan, memulai era industri media khususnya media cetak. Pada awal perkembangannya, temuan huruf cetak ini justru menjadi babak baru dalam konteks hubungan saling menguntungkan antara perkembangan budaya media (mesin cetak) dengan agama. Karena sejak itu, distribusi kitab Injil (Bibel) mengalami penggandaan dalam jumlah besar dan pendistribusian secara massif dan cepat setelah adanya .mesin cetak. Lewat mesin cetak, komunikasi dapat dilakukan secara tertulis dan visual (written and visual communicarion). Padahal sebelum ada temuan huruf cetak oleh Johanes Guttenberg (1450), penggandaan Injil dengan tulisan tangan terbilang lambat. Namun tahap revolusioner budaya media ini justru sempat membuat pihak gereja kehilangan sebagian otoritasnya. Masyarakat umum yang semula dilarang untuk membaca Injil/Bible atau hanya pendeta yang boleh membacanya, kini setelah ditemukan mesin cetak gereja tidak dapat melarang masyarakat yang ingin membaca Bible. Kejayaan era media cetak hanya mampu bertahan kurang dari tujuh abad. Dengan perkembangan teknologi, era media cetak memasuki abad Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
153
M. Hatta
21 terus mengalami penurunan. Bisnis media cetak tengah dirudung kehancuran. Kolaps media cetak (baik koran maupun majalah), yang ditandai dengan penurunan jumlah tiras koran terjadi mendunia tidak hanya Indonesia. Kini era pemberitaan media, didominasi oleh media elektronik baik televisi maupun internet. Dalam konstelasi baru media, koran atau media cetak disebut ”media konvensional”. (3) Era wartawan memegang notes, pulpen, dan mencatatan omongan nara sumber seperti pada era tahun 50-an hingga akhir 90-an sudah jarang terlihat lagi. Pergantian perangkat alat wartawan dari pulpen ke gadget atau handphone ini sekaligus telah mengubur era stenografi. (4) Inilah realitas yang menandai telah terjadinya pergeseran dominasi media cetak kepada media audio visual, gadget, dan internet. Di Indonesia, peralihan dominasi media ini diperparah dan cenderung berbahaya sejak dimulainya iklim kebebasan pers. Kebebasan pers di era reformasi ini, ternyata tidak menjadikan arus informasi menjadi lebih kondusif. Kebebasan pers tanpa batas ini justru makin diperparah dengan hadirnya media dunia maya dalam jejaring sosial internet. Dengan atas nama kebebasan, semua orang bisa menulis apa saja di ruang publik. Cilakanya, forum media semacam ini mudah dijadikan media provokasi dengan agenda setting dan tujuan tertentu. Dalam kondisi semacam ini, masyarakat – publik – audience, dipaksa untuk mencerna sendiri validitas atau kebenaran dari sebuah informasi yang ada. Termasuk pada media televisi, yang pada kembangannya saat ini telah menjelma sebagai sebuah industri dengan sistem kapitalismenya. Seperti pada media informasi pada umumnya, siaran atau informasi yang disampaikan mempunyai agenda setting dengan tetap mengutamakan pada kepentingan pribadi para pemilik modal atau kepentingan keuntungan bisnis semata. Mengutip pemikir mazhab Frankfurt tentang media telivisi, mereka umumnya berkesimpulan bahwa televisi merupakan media informasi yang melemahkan nilai-nilai kemanusiaaan secara cultural. Theodor Adorno dan Horkheimer sendiri berpendapat, bahwa dalam industri budaya, khususnya tentang keberadaan media massa, telah membuat masyarakat menjadi semakin rendah. (5) Masyarakat diarahkan untuk mempunyai tingkat persepsi yang sama terhadap suatu realitas, entah tentang nilai selera, kebutuhan sampai dengan harkat hidup. Masyarakat dianggap sebagai makhluk yang pasif, 154
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
Agama dan Budaya Media
bisa diarahkan dan dibentuk oleh teks teks yang monolog, seolah olah budaya mereka lebih rendah. Bukannya berdialog, media bahkan tidak melakukan apa-apa selain monolog yang membuat individu tetap berada dalam keadaan audien yang terasing dalam pengertian moral dan sosial. (Keith Teister : 2009 : 87). Pada tahapan inilah, cengkaraman budaya media menjadi demikian kuat, dan bahkan cenderung membentuk ancaman terhadap kebudayaan, kepercayaan atau bahkan keyakinan (agama) masyarakat. Budaya Media Budaya media, dalam pengertian yang sederhana ialah suatu proses dialektika dari berbagai unsur budaya untuk membentuk suatu kebudayaan, yang dalam prosesnya melibatkan banyak interaksi media. (Umar Kayam,1997). Dengan kata lain, intensitas keterlibatan media, akan memberi karaktek atau corak pada pembentukan kebudayaan itu sendiri. Sekalipun mendapat interaksi kuat dari media, sebuah kebudayaan tetap bukan merupakan produk akhir dari pergulatan pikir dan rasa manusia. Kebudayaan senantiasa dibentuk dalam kondisi tesis-antitesis antara berbagai unsur budaya. Dalam perkembangannya, media dalam masyarakat tradisional yang identik dengan “media lisan”, “media telinga dan media mata” serta “media pertunjukan” mengalami transformasi budaya pada masyarakat modern (dengan ciri : bercorak industri, iptek maju, ekonomi pasar bebas, sistem politik terbuka, sistem pendidikan masyarakat luas). Kondisi ini oleh Marshall Mc Luhan diistilahkan dengan “the global village”. Ia menyebut perkembangan sebagai bentuk pergeseran dari; “masyarakat media budaya tradisional - yang menyaksikan informasi bersama dalam suatu komunitas lewat ritual,” menuju ke, “komunitaas masyarakat yang mengasingkan diri - dalam ruang-ruang tertutup menikmati informasi dalam kumpulan keluarga.) Pada tahapan ini, istilah dan pengertian ‘budaya media’ memiliki makna yang sebenarnya. Yakni suatu masyarakat yang memanfaatkan informasi media dari televisi, internet, radio maupun cetak dengan semaksimal mungkin. Sehingga hidup sehari-hari nyaris lumpuh bila pada suatu ketika ‘sang budaya modern’ dari produk budaya media ini hilang tercabut dari masyarakat. Garin Nugroho dalam bukunya, memberi penegasan bahwa televisi adalah urbanisasi kesadaran yang terus menerus terbuka, tidak terbatas, Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
155
M. Hatta
dan mampu mewujudkan dunia ke dalam rumah. Karena itu ia dapat memperkembangkan sekaligus memperlemah pikiran manusia. Televisi sejatinya belum tergantikan kedudukannya oleh internet. Televisi masih menjadi raja dalam ruang keluarga Indonesia. Internet mungkin mulai jadi primadona bagi generasi muda, tetapi bagi generasi orang tua mereka, televisilah yang menyerbu benak mereka dengan gelombang wacana. Fakta bahwa siaran televisi di Indonesia masih cuma-cuma, (kecuali untuk tv kabel), merupakan berkah sekaligus bencana bagi keluarga di Indonesia. Dalam pembentukan suatu budaya, media massa khususnya televisi, memiliki andil yang cukup besar. Sebagai salah satu sarana pembentukan wacana. Media menjadi kekuatan dalam menyebarkan gagasan, bahkan media dapat menentukan apa yang baik dan buruk. Dengan pengaruhnya, budaya media mampu mendefinisikan nilai-nilai tertentu sehingga diterima dan diyakini kebenarannya dalam masyarakat. Ia bahkan dapat memberi legitimasi untuk gagasan tertentu dan mendeligitimasi gagasan yang dianggapnya menyimpang. Dengan pengaruhnya yang luar biasa ini, maka hampir sangat mustahil untuk berharap pada media sebagai pihak yang netral. Budaya media, memiliki ideologinya sendiri. Informasi yang disampaikan dan dibentuk oleh media massa bukan berasal dari ruang yang hampa, tapi diproduksi oleh ideologi tertentu. Begitu besarnya pengaruh ideologi dalam media massa sehingga ideologi berperan menampilkan pesan dan realitas hasil konstruksi tampak seperti nyata, alami dan benar. Melalui bahasa dan kata-kata, ideologi menjelma menjadi “realitas” yang harus dipahami oleh khalayak. Dan realitas informasi yang disampaikan media, selama ini adalah realitas yang telah dikonstruksikan sesuai dengan kepentingannya. Media tentu saja memilih, realitas apa yang diambil dan mana yang dicampakkan. Lewat bahasa dan gambar, media bisa menggiring opini publik dalam menentukan seseorang pahlawan atau pecundang. Kritik Atas Dominasi Budaya Media Terkait dengan kekuasaan media, Theodor W. Adorno berpendapat bahwa cengkraman media terhadap audiens itu sungguh-sungguh nyata dan sangat merusak. Bersama rekannya Max Horkheimer, dua sosiolog dann filosof Jerman ini menulis sebuah buku “Dialectic of Enlightenment“ yang pertama kali diterbikan tahun 1947, di mana didalamnya terdapat esai berjudul “ The Culture Industry : Enlightenment as 156
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
Agama dan Budaya Media
Mass Deception.” Kedua filosof ini mencoba menyodorkan idenya mengenai media massa dan dampaknya terhadap masyarakat. Esai itu merupakan penuangan gagasan di seputar sifat-sifat masyarakat massa. Adorno kemudian membuat edisi revisi menjadi sebuah esai yang lebih pendek berjudul Cultural Industry Reconsidered yang dipublikasi di Inggris setelah dia tutup usia. Media massa dipahami dalam kerangka “industri budaya” oleh Adorno dan Hockheimer yang dianalogikan dengan sifat sebagai berikut : sebuah mesin yang menghasilkan produk-produk hiburan untuk meraup keuntungan finansial. Mereka menolak adanya bisnis “mass culture” karena menurut mereka itu bukanlah budaya yang dihasilkan oleh manusia/masyarakat. Sebaliknya, budaya konsumer yang dipaksakan dari oleh industri budaya. Dikarenakan konteks komersialisasi ini, produk media ( apakah itu film, musik, drama Televisi, atau apapun ) tidak akan menjadi sebuah “art” karena tidak lebih dari sebuah komoditas ( Adorno. 1991:86). Itulah sisi buruk dari budaya media yang ditangkap Adorno dan Max Horkheimer. Dalam menjalankan bisnis media, menurut keduanya, kepentingan ideologi politik atau bisnis dari pemilik modal akan selalu tampak lebih dominan saat harus bergesekan dengan realitas atau budaya yang terkait dengan selesa dan keinginan masyarakat. Seperti pada kasus peristiwa Gempa di Sumatera; sejumlah media televisi lebih mengutamakan program favoritnya daripada harus menunda sejenak untuk melaporkan dampak gempa terhadap korban dan bangunan milik warga. Meskipun tentu saja pemikiran dua ilmuawan Jerman ini, tidak sepenuhnya benar. Artinya, tetap saja masih ada sisi baik budaya media yang bisa mendorong terciptanya keharmonisan dalam mengawal dan menciptakan budaya masyarakat. Teori Kritis ini juga memiliki kemampuan dalam mendeksripsikan secara lanjut hubungan antara budaya dengan media itu sendiri. Teori kritis pertama kali ditemukan Max Horkheimer pada tahun 1930-an. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan. Teori ini percaya, dapat melihat dampak yang dihasilkan oleh media, bukanlah efek yang terjadi secara monoton, namun sebagai sebuah proses timbal balik. Pada proses timbal balik ini memberi porsi yang seimbang dalam interaksi komunikasi antara media dengan penonton, audience maupun pembacanya. Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
157
M. Hatta
Interaksi komunikasi yang semula berjalan wajar atas dasar saling membutuhkan ini pada perkembangannya berubah menjadi interaksi ketergantungan. Pada teori ketergantungan atau (Dependency Theory) ini, publik atau audience menjadi “tersandera” oleh sajian informasi dari media. Teori ketergantungan terhadap media ini awal mulanya digagas oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Teori ini berangkat dari sifat masyarakat modern, dimana media massa diangap sebagai sistem informasi yang memiliki peran penting dalam proses memelihara, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat, kelompok, dan individu dalam aktivitas sosial. Secara ringkas kajian terhadap efek tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: pertama, Kognitif: Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya informative bagi dirinya. Melalui media, seseorang memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita kunjungi secara langsung. Menurut Mc Luhan, “the medium is the message”, media adalah pesan itu sendiri. Media massa juga berart adalah perpanjangan alat indera kita (sense extention theory; teori perpanjangan alat indera) (Rachmat, 2007: 220). Dengan media massa seseorang memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah dilihat atau dikunjunginya secara langsung. Maka ketika media massa khususnya televisi sering menyajikan adegan kekerasan, memberi pengaruh dan pemahaman pada penonton bahwa dunia ini lebih keras, lebih tidak aman dan lebih mengerikan. Kedua, Afeksi: Efek Afektif ini kadarnya lebih tinggi daripada efek kognitif. Tujuan dari komunikasi massa bukan sekedar memberitahu khalayak tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, khalayak diharapkan dapat turut merasakan atau terlibat secara emosional. Dari setelah mendengar atau membaca berita, muncul perasaan sebal, jengkel, marah atau senang pada diri khalayak. Ketiga, Behavioral: Efek ini merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Adegan kekerasan dalam televise atau film akan menyebabkan orang menjadi beringas. Pola pendekatan Dependency Theory ini mirip dengan teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan (uses and gratifications Theory). Perbedaannya, pada sudut pandang audience yang aktif tidak pasif. Teori menggarisbawahi pemahaman bahwa khalayak (audience) tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media. Model ini menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat. 158
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
Agama dan Budaya Media
Sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan melainkan kondisi sosial. Pemirsa dilihat sebagai individu aktif dan memiliki tujuan. Mereka bertanggung jawab dalam pemilihan media yang akan mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka dan individu ini tahu kebutuhan mereka dan bagaimana memenuhinya. Media dianggap hanya menjadi salah satu cara pemenuhan kebutuhan dan individu bisa jadi menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan mereka, atau tidak menggunakan media dan memilih cara lain. Kehidupan Beragama dalam Budaya Media Ketika perkembangan media massa mengalami lonjakan revolusioner, hampir semua tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan dan budaya mengalami perubahan, termasuk dalam kehidupan beragama. Diawal tahun 70-an, ketika media audio-visual televisi tabung hitam putih menjadi barang mewah di ruang tamu keluarga kelas menengah keatas, suara panggilan azan juga masuk televisi. Tidak jelas, apakah gema azan dikumandangkan pada hari pertama siaran TVRI atau beberapa tahun kemudian. Namun hal pasti, ketika kehidupan beragama lewat suara azan mulai terdengar dari dalam tabung kaca, memberi petanda terjadinya tahapan perubahan dalam beragama. Dan tanpa disadari, gema azan maghrib (karena baru cuma azan maghrib yang ditayangkan TVRI) merupakan dahwah Islam yang pertama di tabung kaca, selain sebagai petanda waktu dengan tergelincirnya matahari ke ufuk barat bagi umat agama lain. Karena pada tahapan selanjutnya, bukan hanya gema azan maghrib dan subuh yang berkumandang di televisi, tapi juga khotbah subur, taushiyah, atau siraman rohani mulai menjadi bagian dari acara program siaran televisi. Kalau pada awalnya hanya televisi plat merah (TVRI), kini – dan hingga hari ini – berkumandang serentak pada jam dan waktu yang bersamaan di semua televisi swasta, baik yang ijin siarannya berdomisili di Jakarta maupun yang siaran di daerah. Inilah tahapan revolusi budaya media pada kehidupan beragama. Bahkan mulai tahun 2005, sepanjang bulan Ramadhan tayangan siaran di tabung kaca di ruang tamu keluarga sudah didominasi oleh programprogram keagamaan. Namun ueforia keberagamaan Ramadan di layar tv ini hanya bertahan tujuh tahun atau tujuh kali bulan Ramadan. Sebab memasuki tahun 2013, nuansa keagamaan atau programprogram Ilahiah telah bergeser atau lebih tepatnya didistorsi (digusur) Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
159
M. Hatta
oleh program hiburan. Dengan kata lain, dimensi keagamaan di bulan Ramadhan berganti menjadi banyolan dan sinetron. Pada Ramadan 2016 yang baru lalu saja misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melayangkan protes pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan pada stasiun televisi yang dituju atas sejumlah program Ramadan. Pelanggaran yang dimaksud mencakup busana, pembawa acara atau bintang tamu, dialog, akting, tema dan dialektika pengisi acara. Program televisi yang dinilai bermasalah adalah Pesbuker Ramadhan (ANTV), OVJ Sahur Lagi (Trans7), Ramadhan di Rumah Uya (Trans7), On the Spot (trans7) dan Mari Kita Sahur (Trans TV). Ketua Umum MUI KH Dr. Ma’ruf Amin menyayangkan adanya siara televisi yang tidak sejalan dengan semangat menjaga kekhusyu’an dan peribadatan Ramadhan. Padahal, menurutnya, umat Islam sangat rindu dengan tayangan televisi yang ramah dengan bulan Ramadhan. Dampak dari revolusi media dalam kehidupan keagamaan juga merambah di dunia maya. Media internet, yang mulai populer di awal tahun 2000-an ini, seperti hutan liar yang bisa diakses atau dieksploitasi oleh siapa saja, dan untuk kepentingan apa saja. Tak terkecuali kepentingan dalam menyebarluaskan faham keagamaan di satu pihak, dan kepentingan untuk mengunduh informasi keagamaan dipihak lain. Di Indonesia, pengguna internet tahun 2012 tercatat ada 63 juta orang atau hampir 24% jumlah penduduk Indonesia. Jumlah ini terus bertambah. Pada tahun 2015, diperkirakan ada 139 juta pengguna internet dengan rata-rata usia 12-34 tahun. Untuk pengguna Facebook mencapai 48 juta orang dan 29 juta orang lainnya menggunakan Twitter.(12) Dominannya kaum muda yang menggunakan internet menandakan masa depan penduduk Indonesia akan beralih ke media massa digital. Internet saat ini juga telah mengubah kebiasaan kita sehari-hari dalam berbagi dan menyerap informasi. Mengubah laku kita dalam menerima informasi dan berkomunikasi.(13) Bahkan internet kini juga berfungsi dan digunakan sebagai tempat menimba ilmu agama. Dari berbagai generasi lintas agama, memanfaatkan media sosial sebagai tempat untuk interaksi antar umat beragama maupun antar mereka yang seiman dan seagama. Fakta ini merupakan fenomena cyberreligion dimana terdapat hubungan yang signifikan antara agama dan internet, baik sebagai medium maupun sebagai ruang kebudayaan. (Fakhruroji, 2011) Maraknya situs-situs keagamaan di internet memperkuat anggapan adanya aktivitas di dunia maya. 160
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
Agama dan Budaya Media
Hasil sebuah penelitian yang diselenggarakan Pew Internet and American Life Project kerjasama dengan Stewart M. Hoover and Lynn Schofield Clark dari Center For Research on Media, Releigion and Culture, Universitas Colorado menemukan fakta bahwa 25 persen pengguna internet di Amerika memperoleh informasi agama dan spiritual secara online. Lebih dari 3 juta orang setiap hari memperoleh materi-materi agama dan spiritual. Lebih mengejutkan lagi, informasi tentang agama Islam banyak diakses lewat internet pasca tragedi peledakan World Trade Center 11 September. Elena Larsen dalam makalahnya “Cyberfaith: How Americans Pursue Religion Online” mengemukakan dari hasil survey terungkap bahwa 23 persen pengguna internet di Amerika mencari informasi tentang Islam secara online. (15) Efektivitas penyebaran informasi dalam dunia digital (internet) memang jauh lebih dahsyat ketimbang media massa cetak. Dunia seakan menjadi rata. Penyebaran arus informasi menghancurkan batas-batas geografis. Menghantam sekat-sekat budaya dan kebiasaan. (Friedman: 2006) Bahkan dalam perkembangan yang ekstrim, budaya media bisa sangat radikal dalam memberi pengaruh buruk dalam pemahaman keagamaan sekelompok masyarakat. Contoh paling anyar (baru) ialah kasus kerusuhan massal bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan aliran kepercayaan) di Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara pada Sabtu 30 Juli 2016 lalu. Peristiwa yang berawal dari proses seorang warga Tionghoa bernama Merliana yang merasa keberatan dengan suara azan ini berujung pembakaran mobil dan perusakan rumah ibadah (kelenteng). Sekalipun tidak menimbulkan korban jiwa, dalam peristiwa ini akhirnya terungkap bahwa amuk massa dipicu oleh pesan singkat yang sebar lewat jejaring sosial facebook. Massa yang terhasut ujaran kebencian ini terlanjut berkumpul dan akhirnya tidak terkendali melakukan tindak anarkis dengan merusak dan pembakaran mobil. Jajaran Subdit IV Cyber Crime Dit Reskrimsus Polda Metro Jaya akhirnya berhasil menangkap AT (41 tahun), pelaku penyebaran ujaran kebencian di media sosial, Facebook, terkait insiden di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Berdasarkan pengakuan pelaku, penyebaran ujaran kebencian ia lakukan karena kecewa kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
161
M. Hatta
Implikasi Kehidupan Beragama dalam Budaya Media Salah satu ciri dari budaya media adalah globalisasi. Globalisasi budaya media yang ditopang dengan teknologi, menjadikan suatu informasi bisa tersampaikan dengan cepat, singkat, meski belum terntu akurat. Efek Globalisasi dapat kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985. Kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang artinya universal. Globalisasi juga bisa dimaknai sebagai suatu proses sosial, proses sejarah, atau proses alamiah untuk mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan koeksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.(18) Di sudut pandang lain, globalisasi juga bisa difahami sebagai kapitalisme. Dalam bentuknya yang paling mutakhir, dimana negaranegara kuat dan kaya mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sampai saat ini, Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga pemaknaannya sangat tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Jan Aat Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi: yakni universalisasi dan westernisasi. (19) Universalisasi: dengan pengertian semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia. Sedangkan Westernisasi: adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal. (20) Meleburnya norma dan nilai di masyarakat akibat Globalisasi berpotensi untuk terjadinya perubahan pada tingkah laku masyarakat. Perubahan yang timbul akibat dari globalisasi budaya media ini bisa berdampak dampak positf dan negatif. Segi positifnya, informasi yang didapat menjadi lebih cepat. Globalisasi, sudah menyerupai trend masyarakat modern. Karenanya, menjadi bagian dari globalisasi semacam privilage atau hak istimewa. Orang merasa senang bila bisa menjadi bagian dari perkembangan zaman. Mereka tidak mau dikatakan ketinggalan zaman. Dengan globalisasai, seseorang bisa memenuhi kepuasannya tentang semua informasi yang dibutuhkannya. Bahkan termasuk kebutuhan tentang informasi agama dan keagamaan.
162
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
Agama dan Budaya Media
Namun globalisasi, juga mempunyai sisi negatif yang sepadan dengan sisi positifnya. Segala jenis informasi “kemaksiatan” yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan, bisa tumpah ruah dalam budaya media yang sudah mengglobal. Budaya media, dalam konteks globalisasi kerap kali mempunyai kecenderungan “memaksa”. Problematika ini biasanya muncul ketika terjadi benturan dengan budaya lokal. Bahkan benturan bisa terjadi pada informasi terkait dengan informasi keagamaan, akibat perbedaan faham, salah tafsir, dan sebagainya. Misalnya, informasi keagamaan dari stasiun televisi Iran yang menganut faham Syiah, belum tentu cocok dengan selera atau faham Sunni yang dianut mayoritas muslim di Indonesia. Tapi apakah karena perbedaan madzhab ini, pemerintah atau institusi keagamaan di Indonesia punya otoritas melarang siaran televisi Iran? Demikian halnya, informasi budaya media yang tersebar di dunia maya. Contoh, lewat internet, orang bisa gampang dan mudah mengakses situs-situs porno. Dan hanphone bisa digunakan untuk menyimpan data-data yang bertentangan degan nilai-nilai agama. Dengan kata lain, globalisas budaya media, langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan moral dan keberagamaan seseorang. Sebelum ada TV masuk desa atau jejaring internet yang mudah diakses, suatu wilayah yang semula kental dengan nuansa keagamaannya bisa berubah menjadi sekuler. Ketika program-program unggulan (apapun jenis, sinetron maupun kartun) dan diminati audience ditayangkan pada jam 18.00 maka dapat dipastikan jamaah maghrib di mushola atau masjid akan sepi atau berkurang. Sekalipun penayangan program unggulan tersebut, didahuli dengan gema azan. Tidak sedikit program televisi yang menuai resistensi atau penolakan dari masyarakat, karena kontainnya programnya dinilai kurang pantas maupun penempatan jam tayang yang dianggap mengganggu ibadah dan rutinitas belajar keagamaan anak-anak. Tayangan program “Kapten Tsubasa” oleh TV7 milik Group Gramedia sempat mengalami penolakan dengan alasan mengganggu jadual solat maghrib dan agenda belajar serta tadarusan anak-anak. Film animasi Kapten Tsubasa, tayang pada jam lima sore. Program televisi yang juga dinilai mengganggu jadual anak-anak dan remaja belajar ialah sinetron “si doel anak sekolahan”. Ini belum termasuk program sinetron lain, seperti “Ganteng ganteng Srigala”, “Tukang Bubur Naik Haji,” “Tujuh manusia Harimau” dan sebagainya. Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
163
M. Hatta
Umumnya, program televisi yang diprotes masyarakat tersebut langsung pindah jam tayang. Inilah sisi lain, dari efek yang bisa ditimbulkan dari budaya media. Akibat globalisasi, tayangan televisi bisa membuat audience “tega” mengkhianati tuhannya dan mengabaikan perintahnya. Penutup Budaya media, dengan segala konsekwensi pengaruh baik dan buruk yang ditimbulkan, merupakan keniscayaan. Sebuah keharusan atau dalam kondisi keterpaksaan untuk menerima.Sebab dalam dunia modern, yang sarat dengan teknologi, arus informasi yang bertebaran disekitar kita hanya mwemberu dua pilihan; ambil atau tinggalkan. Bahkan pada tahapan paling ekstrim, rutinitas keagamaan bisa terganggu oleh derasnya arus informasi yang dihasilkan oleh budaya media. Ada ketergantungan yang nyata, antara kebutuhan terhadap informasi dengan resistensi yang timbul oleh akibat kecemasan terhadap media. Kehidupan beragama, mau tidak mau atau suka tidak suka harus menyesuaikan diri dalam mensikapi terjadinya perubahan cepat dalam perkembangan arus informasi yang terjadi pada budaya media. Sebab, bersikap menghindar hanya akan membuat kualitas manusia beragama tertinggal dalam segala hal. Daftar Pustaka Bignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. Manchaster University Press: London. Curran, James and Richard Collins, 1986. Media, Culture and Society: A Critical Reader. Sage Publication: London. Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Longman: London. Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. Edward Arnold: New York. Fiske, John. 1982. Introduction of Communication Studies. Routledge: London. Hall, Stuart. 1992. Culture, Media dan Language. Routledge: London. Littlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication. Wadsworth Publishing Company: California. Mills, Sara. 1991. Discourse. Routledge: London. 164
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
Agama dan Budaya Media
Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication. Sage Publication: New York. Reese, Stephen D,. 2001. Framing Public Life. Lawrence Earlbaum Publisher: New Jersey. Riggins, Stephen H,. 1997. The Language and Politics of Exclusion: Others in Discourse. Sage Publication: London. Saverin, Werner. 1997. Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the Mass Media. Longman: New York. Shoemaker, Pamela cs (eds). 1991. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. Longman Group: London. Sumardi, 1985 Zainul Arifin Abbas, 1984 Geertz (1992 Arief Agung Suwasono, http:// dgi indonesia.com, “televisi beserta realitas nilai medianya Keith Teister : 2009 Umar Kayam,1997 Garin Nughroho, “Kekuasaan dan Hiburan”. Yayasan Bentang Budaya. 1998. Eriyanto, “Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media.” Yogyakarta. LKiS. 2012 Eriyanto, “ Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media.” Yogyakarta. LKiS. 2012 Adorno. 1991 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Edisi Revisi), (Bandung: Remaja Eosdakarya, 2007) Luthfie, Nukman. Sarapan Baru: Aktivitas Social Media.8 April 2010. http://www.virtual.co.id/blog/online-behavior/sarapan-baruaktivitas-social-media/ diunduh pada 16 Mei 2013 Moch. Fakhruroji, Islam Digital: Ekspresi Islam di Internet, Sajjad Publishing, Bandung, Maret 2011 Friedman, Thomas L. The world is flat. Jakarta. Dian Rakyat. 2006. Journal_edu.424.wordpress.com. “pengaruh globalisasi terhadap perkembangan moral, 10 Februari 2013
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
165
M. Hatta
166
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017