Nomor 11 Tahun IX, Januari-Juni 2014
ISSN: 1412-7075
Jurnal Studi Agama dan Budaya Jurnal Studi Agama dan Budaya
Pusat Penelitian, Penerbitan & Pengabdian Masyarakat, UNSIQ
HUMANISME PENDIDIKAN PESANTREN Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I PLURALISME DALAM TASAWUF Nurul Mubin, S. Pd. I., MSI DINAMIKA PERTUMBUHAN PESANTREN (Melacak Akar-Akar Historis Perkembangan Pesantren di Jawa) Drs. Zaenal Sukawi, MA KONSEP PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP (Long Life Education) Haryanto Al-Fandi, M. Pd. I FIQH SOSIAL: PEMIKIRAN KH. MA. SAHAL MAHFUDZ Lutfan Muntaqo, SH., MSI DISKUSI ANTARA AL-SAIRAFI DAN BISYR IBN MATTA DI DALAM KITAB Al-MUQABASAT TENTANG PERSOALAN NAHWU Muhammad Husni Arafat, Lc., MSI
Penerbit: Pusat Penelitian, Penerbitan & Pengabdian Masyarakat (P3M) Universitas Sains Al-Qur’an Wonosobo Jl. Raya kalibeber Km. 3 Mojotengah, Wonosobo, Jawa Tengah Telp. (0286) 321873. Fax: (0286) 324160
Nomor 11 Tahun IX, Januari-Juni 2014
ISSN: 1412-7075
Jurnal Studi Agama dan Budaya
Pusat Penelitian, Penerbitan & Pengabdian Masyarakat, UNSIQ
DEWAN REDAKSI Pengarah Rektor UNSIQWonosobo Pemimpin Redaksi: Nurul Mubin, M.S.I Redaktur Ahli: KH. Mukhotob Hamzah, MM Drs. Zainal Sukawi, MA Dr. Phil. Sahiron Syamsudin, MA Drs. Abdul Kholiq, MA Drs. Mahfudz, MA Drs. Akhsin Wijaya, Alhafidz, M.Ag Dr. Arifin Shidiq, M.Pd.I Drs. Sainsul Munir, Amin, MA Dr. H. Asyhar Kholil, MA Perwajahan: Agung Istiadi - Pustaka Prisma Distributor. Adi Suwondo, M.Kom Hafin Hafiyati, S.S Penerbit: Pusat Penelitian, Penerbitan & Pengabdian Masyarakat (P3M) Universitas Sains Al-Qur'an Wonosobo JI. Raya Kalibeber Km. 03 Mojotengah, Wonosobo, Jawa Tengah Tip. {0286}:321873: Fax:(0286) 324160 Email redaksi; jihadil_akbar@yahoo com
Nomor 11 Tahun IX, Januari-Juni 2014
ISSN: 1412-7075
Jurnal Studi Agama dan Budaya
Pusat Penelitian, Penerbitan & Pengabdian Masyarakat, UNSIQ
Daftar Isi HUMANISME PENDIDIKAN PESANTREN Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I .....................................1 PLURALISME DALAM TASAWUF Nurul Mubin, S. Pd. I., MSI ......................................... 17 DINAMIKA PERTUMBUHAN PESANTREN (Melacak Akar-Akar Historis Perkembangan Pesantren di Jawa) Drs. Zaenal Sukawi, MA ............................................. 35 KONSEP PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP (Long Life Education) Haryanto Al-Fandi, M. Pd. I ........................................ 57 FIQH SOSIAL: PEMIKIRAN KH. MA. SAHAL MAHFUDZ Lutfan Muntaqo, SH., MSI .......................................... 71 DISKUSI ANTARA AL-SAIRAFI DAN BISYR IBN MATTA DI DALAM KITAB Al-MUQABASAT TENTANG PERSOALAN NAHWU Muhammad Husni Arafat ............................................ 87
iii
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
HUMANISME PENDIDIKAN PESANTREN Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UNSIQ Wonosobo
Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama (intelektual) terus menyelenggarakan misinya agar umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya debagai warasat al anbiya’. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang cukup unik karena memiliki elemen dan karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Elemen-elemen Islam yang paling pokok, yaitu: pondok atau tempat tinggal para santri, masjid, kitabkitab klasik, kyai dan santri. Kelima elemen inilah yang menjadi persyaratan terbentuknya sebuah pesantren, dan masing-masing elemen tersebut saling terkait satu sama dengan lain untuk tercapainya tujuan pesantren, khususnya, dan tujuan pendidikan Islam, pada umumnya, yaitu membentuk pribadi muslim seutuhnya (insan kamil). Pesantren Sekarang ini, semakin diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua, tanpa ekslusifisme komunal dan mengembangkan nilai-nilai humanism dalam pendidikan. Kata kunci: Pesantren, Pendidikan, Islam, Humanisme A. Pendahuluan Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang telah melekat dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia sejak ratusan tahun yang silam, dan telah banyak memberikan kontribusi signifikan dalam pembangunan bangsa ini, sehingga tak mengherankan jika pakar pendidikan sekelas Ki Hajar Dewantoro dan Dr. Soetomo pernah mencita-citakan model system pendidikan pesantren sebagai model pendidikan Nasional. Menurut Nurcholis Madjid, secara historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia.1 Karena, sebelum datangnya Islam ke Indonesia pun lembaga serupa pesantren ini sudah 1
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Cet. 1. Jakarta : Paramadina, 1997., hal.: 3
1
ada di Indonesia dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya. Dengan kata lain, pesantren merupakan hasil penyerapan akulturasi kebudayaan HinduBudha dan kebudayaan Islam kemudian menjelma menjadi suatu lembaga yang kita kenal sebagai pesantren sekarang ini. Setelah melalui beberapa kurun waktu, pesantren tumbuh dan berkembang secara subur dengan tetap menyandang ciri-ciri tradisionalnya. Sebagai lembaga pendidikan indigenous, menurut Azra, pesantren memiliki akar sosiohistoris yang cukup kuat sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakatnya dan sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan.2 Bertahannya pesantren hingga kini, tidak hanya karena pesantren identik dengan makna ke-Islaman tetapi karakter eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Ada satu hipotesa bahwa jika kita tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa ITB, UI, IPB, UGM, UNAIR ataupun lainnya tetapi mungkin namanya Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan dengan sistem pendidikan di Barat sendiri. Dimana hampir semua Universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan. Mungkin juga bila kita tidak pernah dijajah, kebanyakan pesantren tidak akan berada jauh terpencil di pedesaaan seperti kita lihat sekarang. Bahkan akhir-akhir ini para pengamat dan praktisi pendidikan dikejutkan dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pedidikan pondok pesantren di tanah air ini. Pertumbuhan pesantren yang semula rural based institution menjadi juga lembaga pendidikan urban, bermunculan juga di kota-kota besar. Hal tersebut tidak terlepas dari kesuksesan pendidikan pesantren yang telah mampu menciptakan generasi yang berintegritas tinggi, bertanggung jawab atas ilmu yang di perolehnya- meminjam istilah pesantrennya “berilmu amaliyah dan beramal ilmiyah”, sadar akan penciptaannya sebagai kholifah di bumi. Semua ini dibuktikan dengan tidak sedikitnya pemimpin-pemimpin bangsa ini, baik pemimpin yang duduk dalam pemerintahan maupun yang bukan, formal atau informal, besar maupun kecil, dilahirkan oleh pondok pesantren. B. Pengertian Pesantren Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua dan khas Indonesia. Ia merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pencinta ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai anatominya dari berbagai demensi. Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama (intelektual) pada umumnya terus menyelenggarakan misinya agar umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya debagai warasat al anbiya. Dari kawahnya, sebagai obyek studi telah lahir doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari antropologi, sosiologi, pendidikan, politik, agama 2
Azyurmardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, cet. I. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998., hal.: 87
2
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
dan lain sebagainya. Sehingga kita melihat pesantren sebagai sistem pendidikan Islam di negeri ini yang kontribusinya tidak kecil bagi pembangunan manusia seutuhnya. Secara terminologis, pendidikan pesantren jika dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Karena, sebelum datangnya Islam ke Indonesia pun lembaga serupa pesantren ini sudah ada di Indonesia dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya. Dan secara etimologi, istilah pesantren berasal dari kata "santri" , yang dengan awalan pe- dan akhiran - an berarti tempat tinggal para santri. Kata "santri" juga merupakan penggabungan antara suku kata sa n t (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat mendidik manusia yang baik.3 Menurut Abdurahman Wahid, “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas”.4 Sementara, Dhofier menyebutkan bahwa menurut Profesor Johns, istilah "santri" berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedang C C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah sh a stri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata sh a stri berasal dari kata sha stra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. 5 Dengan kata lain, istilah santri mempunyai pengertian seorang murid yang belajar buku-buku suci/ilmu-ilmu pengetahuan Agama Islam. Secara definitive, kiranya sulit untuk memberikan batasan yang tegas tentang pondok pesantren, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren. Jadi pondok pesantren belum ada pengertian yang lebih konkrit, karena masih meliputi beberapa unsur untuk dapat mengartikan pondok pesantren secara komprehensif. Bahkan seiring dengan perkembangan dan arus dinamika zaman, definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awalnya pesantren diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional, tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tidak lagi selamanya benar. C. Unsur-Unsur Sebuah Pesantren Di Indonesia sekarang ini telah terdapat ribuan lembaga pendidikan Islam, yang terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa.6 Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa
3 Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo, cet I. Jakarta : P3M, 1986, hal.: 8 4 Abdurohman Wahid,. Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta : LKIS, 2001,. hal. :171 5 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta. 1985, hal.:18 6 Azumardi Azra, Op.cit, hal.: 70
3
dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang cukup unik karena memiliki elemen dan karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Elemen-elemen Islam yang paling pokok, yaitu: pondok atau tempat tinggal para santri, masjid, kitab-kitab klasik, kyai dan santri.7 Kelima elemen inilah yang menjadi persyaratan terbentuknya sebuah pesantren, dan masing-masing elemen tersebut saling terkait satu sama dengan lain untuk tercapainya tujuan pesantren, khususnya, dan tujuan pendidikan Islam, pada umumnya, yaitu membentuk pribadi muslim seutuhnya (insan kamil). 1. Kyai: Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren.8 Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa,9 Zamaksari Dhofier mengatakan; Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: a. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; b. Gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; c. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitabkitab Islam klasik kepada para santrinya. 10 2. Masjid Hubungan pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Sejak zaman Rasulullah kaum muslimin telah memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah, sekaligus tempat belajar (pendidikan Islam). Sebagai pusat kehidupan rohani, sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat muslim. Dilingkungan pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.11 Pada umumnya masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai. 3. Santri 7
Zamakhsari Dhofier, Op. cit, hal.: 44 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999,hal.: 44 9 Ziemek, Op.cit. hal.:130 10 Zamakhsari Dhofier, Op. cit, hal : 55 11 Ibid., hal.: 49 8
4
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren, karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya. Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren.12 4. Pondok Definisi singkat istilah „pondok‟ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya. 13 Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Ada pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki. Selain itu, di dalam komplek sebuah pesantren juga terdapat gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan. Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan.14 5. Kitab-Kitab Islam Klasik Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning. Menurut Dhofier, “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik…. merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” 15 Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan 12
Ibid, hal.:52 Hasbullah, op.cit. hal.:142 14 Zamakhsari Dhofier, op. cit, hal :45 15 Ibid, hal.: 50 13
5
pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan16 Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: nahwu dan saraf (morfologi), fiqh, usul fiqh, hadis, tafsir, tauhid, tasawwuf, etika, dan cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama.17 D. Pendidikan Pondok Pesantren 1. Model Pendidikan Pesantren Sejak lahirnya Islam yang dibawa Rasulullah pusat pendidikan Islam adalah masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar pun biasanya diberikan pada waktu malam hari agar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Menurut Zuhairini, tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren” 18. Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama. Penyelenggaraan pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri dibawah pimpinan kyai atau ulama, dibantu seorang atau beberapa ustadz (pengajar) yang hidup ditengah-tengah para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat peribadatan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri. Kegiatan pendidikannya pun diselenggarakan menurut aturan pesantren itu sendiri dan didasarkan atas prinsip keagamaaan. 2. Tujuan pendidikan pesantren. Dalam hal ini, Nurcholish Madjid mensinyalir bahwa tujuan pendidikan pesantren pada umumnya diserahkan kepada proses improvisasi menurut perkembangan pesantren yang dipilih sendiri oleh Kiai atau bersama-sama pembantunya secara intuitif. Tujuan umum pesantren adalah untuk mendidik dan meningkatkan ketakwaan dan keimanan seseorang sehingga dapat mencapai manusia insan kamil. Hal ini akan lebih laras apabila aspek humanistik berusaha memberikan pengalaman yang memuaskan secara pribadi bagi setiap santri, dan aspek teknologi yang memanfaatkan proses teknologi untuk menghasilkan calon ulama yang kaffah dapat direalisasikan sebagai tambahan tujuan pendidikan pesantren. Selaras dengan al-Qur‟an yang memberikan perhatian seimbang antara kepentingan duniawi dan ukhrawi (QS. 28:77), yakni agar gemar bekerja keras dalam menuntut ilmu hingga 16
Hasbullah, Op.cit, hal.: 144 Zamakhsari Dhofier, Op. cit, hal: 51 18 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta. 1997, hal.: 212 17
6
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
mencapai kemajuan dan kemahiran (QS. 13:11 dan QS. 94:7). Di samping yang umum, perlu adanya tujuan khusus yang justru mengarah pada tujuan lokal yang sesuai dengan situasi dan kondisi pesantren berada. 3. Bahan pembelajaran Meskipun sekarang kebanyakan pesantren telah memasukkan pengajaran pengetahuan umum sebagai satu bagian penting dalam pendidikan pesantren, barangkali yang mendesak saat ini, sesuai dengan gencarnya pengembangan sumber daya manusia (SDM) adalah mengembangkan spesialisasi pesantren dengan disiplin ilmu pengetahuan lain yang bersifat praktis yang melalui jalur aplikasi teknologi sehingga kurikulumnya tidak terlalu bersifat akademik. Tidak mengurangi sifat ilmiah bila dikutip sinyalemen Az-Zarnuji yang mengatakan bahwa sebaik-baik ilmu adalah „ilm hal (ilmu ketrampilan). Dengan demikian, pesantren sebagai basis kekuatan Islam diharapkan memiliki relevansi dengan tuntutan dunia modern, baik untuk masa kini maupun masa mendatang. 4. Proses Pembelajaran Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Rundongan atau Wetonan adalah metode pengajaran dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang membacakan kitab tertentu, sementara santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan-catatan. Disebut dengan istilah Wetonan, berasal dari kata wektu (istilah jawa untuk kata: waktu), karena pelajaran itu disampaikan pada waktu-waktu tertentu seperti sebelum atau sesudah shalat fardhu yang lima atau pada hari-hari tertentu. Sorogan, adalah metode pengajaran individual, santri menghadap Kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Kyai membacakan pelajaran dari kitab tersebut kalimat demi kalimat, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak dan mengesahkan (istilah jawa: ngesah), yaitu dengan memberi catatan pada kitabnya untuk menandai bahwa ilmu itu telah diberikan kyai. Adapun istilah sorogan tersebut berasal dari kata sorog (jawa) yang berarti menyodorkan, maksudnya santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai, sehingga terkadang santri itu sendiri yang membaca kitabnya dihadapan kyai, sedangkan kyai hanya menyimak dan memberikan koreksi bila ada kesalahan dari bacaan santri tersebut. Kedua model ini Kiai aktif dan santri pasif. Secara teknis model sorogan bersifat individual, yaitu santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari, sedangkan model bandongan (weton) lebih bersifat pengajaran klasikal, yaitu santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kiai menerangkan pelajaran secara kuliah dengan terjadual. Meskipun sorogan dan bandongan ini dianggap statis, tetapi bukan berarti tidak menerima inovasi. Malah menurut Suyoto, metode ini sebenarnya konsekuensi daripada layanan yang ingin diberikan kepada santri. Berbagai usaha dewasa ini dalam berinovasi dilakukan justru mengarah kepada layanan secara indivual kepada anak didik. Metode sorogan justru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang.
7
Dalam pada itu, Mastuhu memandang bahwa sorogan adalah metode mengajar secara indivividual langsung dan intensif. Dari segi ilmu pendidikan sebenarnya metode ini adalah metode yang modern karena antara Kiai dan santri saling mengenal secara erat, dan guru menguasai benar materi yang seharusnya diajarkan. Murid juga belajar dan membuat persiapan sebelumnya. Demikian guru telah mengetahui materi apa yang cocok buat murid dan metode apa yang harus digunakan khusus untuk menghadapi muridnya. Di samping itu, metode sorogan juga dilakukan secara bebas (tidak ada paksaan), dan bebas dari hambatan formalitas. 5. Penilaian Pada umumnya pesantren yang belum mencangkok sistem pendidikan modern belum mengenal sistem penilaian (evaluasi). Kenaikan tingkat cukup ditandai dengan bergantinya kitab yang dipelajari. Santri sendiri yang mengukur dan menilai, apakah ia cukup menguasai bahan yang lalu dan mampu untuk mengikuti pengajian kitab berikutnya. Masa belajar tidak ditentukan sehingga memberikan kelonggaran pada santri untuk meninggalkan pesantren setelah merasa puas terhadap ilmu yang telah diperolehnya dan merasa siap terjun di masyarakat; dan kalau santri belum puas, tidak salah baginya untuk pindah pesantren lain dalam rangka mendalami ilmunya. Tentu saja perlu menentukan kriteria penilaian, penyusunan program penilaian, pengumpulan data nilai, menentukan penilaian ke dalam kurikulum. Hal ini perlu waktu yang cukup lama, meng-ingat banyak faktor, terutama tenaga ahli teknik evaluasi maupun hambatan dari lingkungan masyarakat pesantren itu sendiri. Lepas dari pro dan kontra, pengembangan sistem penilaian tidak harus mengikuti model penilaian pendidikan umum, melainkan dikembangkan sistem penilaian yang komprehensif sesuai dengan tenaga pendidikan yang ada di pesantren. Oleh karena itu, ijasah sebagai pengakuan bahwa santri telah menguasai matapelajaran/kitab perlu diberikan, meskipun itu bukan maksud utama bagi santri dan bagi lembaga pesantren. E. Humanisme Dalam Islam Humanisme merupakan salah satu istilah dalam sejarah intelektual yang sering digunakan dalam berbagai bidang khususnya filsafat, pendidikan dan literatur. Dalam konteks historis, paham humanisme berasal dari suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 Masehi, dimana ketika itu agama “digerogoti” dan dikeluarkan dari ring wacana keilmuan dan kehidupan keduniawiaan. Abad ini sering disebut ”abad kegelapan” karena cahaya akal budi manusia tertutup kabut dogma-dogma Gereja. Kuasa manusia dipatahkan oleh pandangan Gereja yang menganggap bahwa hidup manusia telah digariskan oleh kekuatan-kekuatan Ilahi, dan akal budi manusia tidak akan pernah sampai pada misteri dari kekuatan-kekuatan itu. Pikiran-pikiran manusia yang menyimpang dari dogma-dogma tersebut adalah pikiranpikiran sesat dan karenanya harus dicegah dan dikendalikan. Dalam zaman seperti itulah, gerakan humanisme muncul, gerakan ini pada dasarnya bertujuan untuk melepaskan diri dari belenggu dari kekuasaan gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat, melalui pendidikan liberal, mereka mengajarkan bahwa manusia pada
8
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
prinsipnya adalah makhluk bebas dan berkuasa penuh atas eksistensinya sendiri dan masa depannya. Kemunculan paham humanisme pada mulanya ditandai dengan munculnya gagasan-gagasan mengenai kebebasan manusia (free will and free act) untuk menentukan sendiri nasibnya. Kaum humanis bertekad untuk mengembalikan kepada manusia spirit yang pernah dimiliki manusia pada era klasik dan kemudian musnah pada zaman pertengahan. Spirit itu tak lain ialah spirit kebebasan yang telah menjustifikasi klaimklaim mengenai otonomi manusia dan yang telah merestui manusia untuk mencari kemampuan membuat alam natural dan sejarah sebagai wilayah kekuasaannya serta menguasainya tatkala manusia melihat dirinya dibuat tak berdaya oleh faktor alam dan sejarah. Di saat yang sama, kaum humanis telah melenyapkan sebagian kepercayaan dan keyakinan masyarakat abad pertengahan. Faktor yang menstimulasi kaum humanis menaruh perhatian kepada kesusasteraan klasik (syair, makna-makna ekspresif, moral, dan politik) ialah keyakinan mereka bahwa kesusasteraan ini sanggup mendidik manusia agar bisa memanfaatkan kebebasan dan ikhtiarnya secara efektif. 19 Dalam Islam pandangan tentang humanisme dapat dieksplorasi dengan mengembalikan pemaknaan agama pada nilai-nilai kemanusiaan. Manusia perlu ditempatkan sebagai subjek dan objek dalam proses humanisasi agama. Apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan manusia dan masyarakat adalah tujuan dari pembelaan agama. Secara vertikal dan transedental, bisa saja pengamalan agama untuk orientasi kepada Tuhan, tetapi dalam agama juga terkandung dimensi horizontal, imanental, dan humanistik, yaitu beragama untuk manusia dan demi memenuhi harapan kemanusiaan. Abdurahman Mas‟ud menegaskan bahwa “humanisme Islam adalah memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai abdi dan khalifah Allah di bumi ini,20 yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang nyata, fitri dan rasional. Lebih lanjut ia menjelaskan, humanisme Islam merupakan konsep keagamaan yang menempatkan manusia sebagai manusia, serta upaya humanisasi ilmu-ilmu dengan tetap memperhatikan tanggung jawab hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia.21 Humanisme Islam juga dikenal dengan istilah humanisme teosentris, sebagaimana konsep iman yang diaktualisasikan dalam amal saleh. Menurut Kuntowijoyo, humanisme bersifat teosentris (humanisme teosentris), artinya manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, akan tetapi tujuannya untuk manusia itu sendiri.22 Maksudnya, keyakinan religius yang berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan amal atau perbuatan manusia, keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Atas dasar itulah, konsep humanisme Islam melarang mendewakan manusia
19 Paul Edwards (ed.), Encyclopedia of Philosophy, Jilid IV (Macmillan: New York, 1972), hal. 69-70. 20 Abdurahhman Mas‟ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal.130. 21 Ibid.,hal.193. 22 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan,1993), hal. 229.
9
atau makhluk lain, dan juga tidak merendahkan manusia sebagai makhluk yang hina dan berdosa. F. Nilai-Nilai Humanisme Religius dalam Pendidikan Pesantren Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua khas Indonesia. Ia merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pencita ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai anatominya dari berbagai demensi. Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama (intelektual) pada umumnya terus menyelenggarakan misinya agar umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya debagai warasat al anbiya. Sekarang ini, pesantren semakin diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua, tanpa ekslusifisme komunal. Mengingat, pesantren selain jumlah siswa atau santrinya mayoritas, juga mempunyai potensi nilai universal. Sedang terkait dengan milai-nilai kemanusiaan (humanism) yang terdapat dalam pendidikan di pondok pesantren, diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Penghormatan Kepada Ilmu Seorang santri dapat mencapai sesuatu, karena mengagungkan sesuatu yang dicari. Kaum santri tidak dapat mendapatkan kesuksesan di dalam menempuh pendidikannya dan tidak bisa memetik buahnya, baik untuk dirinya sendiri, agama, nusa, dan bangsa kecuali dengan menghormati dan mengagungkan ilmu pengetahuan, ilmuwan dalam hal ini kyai.23 Kegagalan bisa menimpa seseorang hanya karena mengabaikan sesuatu yang dicari. Bukanlah kaum santri telah memaklumi, bahwa seseorang tidak menjadi kafir lantaran melakukan perbuatan maksiat, tetapi karena tidak mengagungkan Allah SWT. 2. Penghormatan Terhadap Kyai Kyai dalam pesantren merupakan tokoh sentral yang memberikan pengajaran. Karena itu seorang kyai adalah salah satu unsur yang paling penting dalam kehidupan suatu pesantren. Perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab ia adalah tokoh sentral dalam pesantren. Ketaatan, ketundukan dan kepercayaan anggota terhadap pemimpinnya terlihat sangat luar biasa, dan tidak bisa dijelaskan secara rasional. Dengan melihat hal yang seperti itulah, jenis kepemimpinan pondok pesantren dikatakan kharismatik. Namun, kepemimpinan yang kharismatik terasa sangat mencekam dalam kehidupan pesantren dan masyarakat sekitarnya. Meskipun demikian, hubungan antara anggota dengan lembaga cukup baik, dalam arti para santri atau pelajar merasa membutuhkan atau tergantung pada lembaga pendidikan yang diselenggarakannya untuk meraih kesempatan belajar secara resmi ke jenjang yang lebih tinggi.
23
A. Mudjab Mahali dan Umi Mujawazah Mahali, Kode etik kaum santri, (Bandung:Al Bayan, 1988) hal: 50.
10
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
Pada masa dulu santri tidak berani berbicara sambil menatap mata kyai. Tetapi sekarang hubungan seperti itu telah berubah, santri tampak sering terlibat diskusi atau dialog dengan pimpinan pesantren mengenai berbagi masalah, seperti dalam penyelesaian masalah tentang agama maupun kehidupan masyarakat melalui kegiatan bahtsul masail. Hal inilah yang menciptakan pesantren masa depan yang humanis. Dengan demikin, dalam perspektif humanisme religius, santri diharapkan menghormati kyai sebagai rasa ta’dhim kepada seorang guru, begitu pula sebaliknya, kyai sendiri harus bisa menerima dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh santri kepadanya sebagai bukti bahwa kyai cinta dan perhatian terhadap santri. 3. Cinta Terhadap Santri Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan mementingkan moral sebagai pedoman hidup sehari-hari. Selain itu pesantren juga sebagai sebuah asrama pendidikan Islam, di mana santri,24 tinggal bersama kyai dan belajar di bawah seorang atau lebih guru pembimbing yang dikenal sebagai kyai. Santri merupakan murid yang memusatkan perhatiannya pada doktrin Islam, khususnya penafsiran moral dan sosialnya. Adapun penekanan di antara para santri sangat berbeda, karena sifat kelompok santri tidak homogin, akan tetapi ada perbedaannya. Santri dalam pesantren mempunyai kewajiban untuk tafaqqahu fi al-din yakni kepentingan umat untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama. Mengingat pentingnya peran santri dalam pesantren, maka dalam perspektif humanisme religius, kyai tidak dibenarkan memandang santri dengan mata sebelah, atau bahkan memandang rendah kemampuan santri. Karena alasanalasan kultural, biasanya kyai sering terjerat dengan pandangan yang salah. Sebagai akibat dari pandangan yang bertentangan dengan humanisme religius, santri akan sulit bahkan tidak mampu mengembangkan diri dan tidak mengalami interaksi yang positif dengan kyai. Dengan begitu maka akan lahir individu-individu yang tidak percaya diri dan inferior. Pada akhirnya santri tidak memberi respek atau penghargaan pada kyainya tersebut. Perlu di ingat, bahwa penghormatan dan keberpihakan terhadap santri kepada kyainya adalah prinsip dasar humanisme, tetapi dalam waktu yang sama manusia tidak bisa lepas dari misi khalifatullah. Ini berarti bahwa humanisme religius mengharuskan seorang kyai atau ustadz untuk mempersiapkan anak didik (santri) dengan kasih sayang sebagai individu yang saleh dalam arti memiliki tanggung jawab terhadap sosial, religius, dan lingkungan hidupnya. Dalam kontek ini kyai tidak sekedar melakukan transfer of knowledge atau menyampaikan pengetahuan kepada santri, namun kyai juga sebagai agent transfer of values atau menyampaikan nilai-nilai kepada para santri-santrinya. 24
Zamakhsyari Dhofier mengungkapkan bahwa santri dibagi menjadi dua, pertama, santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pesantren. Kedua, Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Baca Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal: 51-52.
11
Menghormati teman belajar dan ustadz termasuk menghormati ilmu pengetahuan. Sebab, teman adalah orang yang bisa diajak berdialog dan berdiskusi dalam mengkaji suatu disiplin ilmu. 4. Cinta Terhadap Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar seseorang dari manusia sampai hal-hal lainnya yang besar pengaruhnya terhadap baik buruknya kepribadian seseorang itu. Oleh karena itu, seharusnya lingkungan yang ada hendaknya dicarikan atau diciptakan yang serba mendidik. Lingkungan yang dimaksud dalam pesantren adalah keluarga, masyarakat dan keadaan pesantren dimana para santri berkembang. Ketiga hal tersebut sudah menjadi bagian yang harus dikembangkan dalam pesantren. Dengan demikian, lembaga pendidikan yang memakai sistem pemondokan merupakan lembaga yang ideal karena dari ketiga pusat pendidikan dapat dijalankan secara langsung, terpadu, dan terkontrol dari segi edukasinya. Apabila lingkungan pesantren seperti ini dapat tercipta dan berjalan dengan baik, maka tak diragukan lagi pengaruh-pengaruh positif ini akan meresap dan tertanam dalam pribadi santri, sampai ia akan kembali ke masyarakat dan pesantren itu sendiri akan hidup dinamis dengan penuh nuansa kedamaian dan semakin exist keberadaannya. Pengabdian santri kepada masyarakat memberikan rumusan mereka akan sikapnya terhadap masyarakat sejak masih dalam status kesantriannya. Kehidupan di pesantren itu sendiri merupakan deskripsi ideal bagi kehidupan luas di masyarakat. Atau dapat juga dikatakan bahwa kehidupan di pesantren adalah miniatur kehidupan masyarakat, sehingga fungsi sosial pesantren seperti di atas mempunyai arti penting di dalam penyebaran gagasan baru atau perambatan modernisasi di masyarakat melalui kegiatan-kegiatan dakwah dan pelayanan masyarakat. Para santri tahu bahwa dirinya sebagai makhluk sosial yang di dalam hidup nyata tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan orang lain dan alam. Sebagaimana orang lain dan alam pun tidak bisa lepas dari keterkaitan mereka dalam berbagai konteks sosial, di mana mereka berarti mempunyai tanggung jawab atas apapun yang mereka lakukan terhadap dirinya sendiri dan orang lain maupun terhadap Allah SWT. Dengan demikian nampak sekali bahwa pesantren banyak memberikan kontribusi humanistis sebagai pengejawantahan dari hablun min Allah dan hablun min an-nas. 5. Pendidikan Integratif Pendidikan Integratif adalah sebuah konsep pendidikan dengan mengkolaborasikan antara pendidikan formal, non-formal dan infornal, dengan kyai, guru dan santri yang hidup dalam satu kampus 24 jam sehari, memungkinkan untuk dapat menerapkan sekaligus mandat pendidikan yang dibebankan persekolahan, perguruan, organisasi kepemudaan, keluarga dan tempat-tempat ibadah. Dengan demikian kyai sekaligus berfungsi sebagai pendidik, guru, orang tua, pembina dan pemimpin kegiatan-kegiatan keagamaan santri-santrinya. Antara kyai dan santri pola hubungannya seperti orang tua dan anak, sehingga sampai sekarang tidak pernah ada istilah mantan kyai atau mantan guru dan tidak ada sejarahnya santri mendemo kyai, yang ada hanyalah mengagumi dan menghormati dengan tulus, tidak hanya ketika
12
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
mereka menuntut ilmu kepadanya tetapi setelah pulang ke rumah masing-masing rasa hormat dan kagum itu tetap bersemayam di hati para santri. Dengan sistem asrama (pondok), kebersamaan antara kyai, guru dan santri dapat berlangsung terus menerus dan hubungan mereka menjadi semakin luas. Dengan keleluasaan ini dan frekuensi kontak yang lebih intens, segala persoalan segera akan mendapatkan perhatian dan pemecahannya. Perjumpaan Kyai, guru dan santri tidak hanya dibatasi oleh jam-jam belajar di kelas. Kondisi ini sangat baik bagi proses pembentukan kepribadian santri. Apabila kondisi seperti ini dipergunakan secara efektif, maka semakin besar peluang untuk dapat mencapai tujuan akhir pendidikan, yaitu mengaktualisasikan segala potensi yang dikaruniakan Tuhan sebagai wujud penghambaan kepada Sang Khaliq. Suasana pendidikan seperti diuraikan diatas tidak terdapat dalam pendidikan lain, baik dalam sistem persekolahan, perguruan, kepemudaan dan keluarga. Siswa-siswi sekolah umum, misalnya, akan mengatakan "itu dulu guru saya" ketika mereka sudah tidak diajar oleh guru tersebut. Hubungan mereka hanya sebatas luasnya gedung sekolah, atau bahkan hanya seluas ruang kelas. Karena kebanyakan sekolah hanya Transfer of knowledge dan tidak diikuti oleh Transfer of values. 6.
Pendidikan Seutuhnya Dalam dunia pesantren, disamping memberikan ilmu pengetahuan secara formal yang tertuang dalam teks, juga langsung mempraktekkan secara kontekstual atau memadukan teori dengan praktek. Pendidikan di pesantren tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga berorientasi pada proses, yaitu mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri peserta didik (manusia) itu dengan selalu memperhatikan ketiga ranah kemanusiaan, yakni ranah kognitif (intelektual), ranah afektif (emosional), dan ranah psikomotorik. Tidak ada proses pendidikan yang dianggap sempurna jika meninggalkan salah satu dari ketiga runah ini. Oleh karena itu keterpaduan antara transfer of knowleclge, transfer of value dan transfer of skill sebagai wujud penggarapan ketiga ranah tersebut, menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Di sisi lain, hal itu juga didasarkan pada tujuan pendidikan Islam yang jelas mengarah kepada terbentuknya insan kamil yang berkepribadian muslim, yang mcrupakan perwujudan manusia seutuhnya, taqwa, cerdas, baik budi pekertinya (berakhlaq mulia), terampil, kuat kepribadiannya, berguna bagi agama, diri sendiri dan sesama. Bertolak dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, maka sistem pendidikan juga berorientasi pada persoalan dunia dan ukhrawi sekaligus, dan memperhatikan keseimbangan dua kehidupan tersebut. Dengan menyadari bahwa penciptaan manusia menjadi khalifah di muka bumi Allah, maka untuk mengemban tugas kekhalifahan ini harus pula membekali diri dengan ilmu-ilmu keduniawian dan perkembangannya. Dalam konteks pondok pesantren, santri dibekali dengan pendidikan ketrampilan (vocational), atau dengan kegiatan-kegitan ekstrakurikuler untuk melatih dan membina sikap kepemimpinan santri. Sementara itu, lembaga pendidikan lain pada umumnya berorientasi pada hasil (produk) dan lebih mementingkan transfer of knowledge daripada transfer of
13
value dan transfer of skill. Ini berimplikasi pada menguatnya paradigma bahwa kesuksesan seseorang atau suatu bangsa dinilai dengan hal-hal yang sifatnya harus terukur dan teramati. Padahal ada hal lain yang amat penting, yakni terbentuknya generasi yang memiliki kekukuhan sikap, watak, dan budi pekerti. Pendidikan yang cenderung bertumpu pada ranah kognitif akan melahirkan generasi genius secara intelektual, tetapi kering emosional dan rendah kualitasnya. Pengetahuan kognitif dan diikuti dengan kesadaran emosi saja tidak dapat menggali potensi menjadi realitas secara optimal, namun harus diikuti dengan penggarapan ranah psikomotorik. Penggarapan ranah psikomotorik terkait dengan pengembangan etos kejujuran, kerja keras, profesional, kesopanan dan kepekaan sosial dalam bentuk disiplin dan latihan-latihan nyata. G. KESIMPULAN Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama (intelektual) terus menyelenggarakan misinya agar umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya debagai warasat al anbiya’. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang cukup unik karena memiliki elemen dan karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Elemen-elemen Islam yang paling pokok, yaitu: pondok atau tempat tinggal para santri, masjid, kitab-kitab klasik, kyai dan santri. Kelima elemen inilah yang menjadi persyaratan terbentuknya sebuah pesantren, dan masing-masing elemen tersebut saling terkait satu sama dengan lain untuk tercapainya tujuan pesantren, khususnya, dan tujuan pendidikan Islam, pada umumnya, yaitu membentuk pribadi muslim seutuhnya (insan kamil). Pesantren Sekarang ini, semakin diharapkan tampil dengan tawarantawaran kultural yang produktif dan konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua, tanpa ekslusifisme komunal dan mengembangkan nilai-nilai humanism dalam pendidikan. Nilai-nilai kemanusiaan (humanism) yang terdapat dalam pendidikan di pondok pesantren, diantaranya; Penghormatan Kepada Ilmu; Penghormatan Terhadap Kyai; Cinta Terhadap sesama (Santri); Sikap kekeluargaan dan kebersamaan, Cinta Terhadap Lingkungan; Pola Pendidikan yang Integratif dan Pendidikan holistik. DAFTAR PUSTAKA Azra, Azyumardi. 1998, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, cet. I Jakarta : Logos Wacana Ilmu. Dhofier, Zamakhsyari. 1982, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta. Edwards, Paul (ed.). 1972. Encyclopedia of Philosophy, Jilid IV (Macmillan: New York.
14
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
Hasbullah.1999, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta : PT Grafindo Persada. Kuntowijoyo. 1993, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan Madjid, Nurcholish.1997, Bili-Bilik Pesantren:Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Paramadina. Mahali, A. Mudjab dan Umi Mujawazah Mahali. 1988. Kode etik kaum santri, Bandung:Al Bayan, 1988 Mas‟ud, Abdurahhman. 2002., Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Gama Media. Wahid, Abdurahman. 2001, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta : LKIS Ziemek, Manfred. 1986, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo, Jakarta : P3M Zuhairini. 1997, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta.
15
PLURALISME DALAM TASAWUF Nurul Mubin, M. Pd. I., MSI Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UNSIQ
ABSTRAKSI Wahdatul Al-Adyan (kesatuan agama-agama) yang merupakan pandangan awal dari Al Hallaj pada dasarnya memandang bahwa agama yang dipeluk oleh seseorang merupakan hasil pilihan dan kehendak Tuhan, bukan sepenuhnya pilihan manusia sendiri. Oleh karenanya pandangannya bersikeras jangan sekali-kali mengajak seseorang kepada suatu agama, karena sesungguhnya itu akan menghalangi untuk sampai kepada tujuan yang kokoh. Tetapi ajaklah melihat asal atau sumber segala kemuliaan dan makna, maka dia akan memahaminya. Pandangan ini melihat bahwa wahdatul al-adyan memandang sumber agama adalah satu, yakni Tuhan yang sama, sehingga wujud agama hanya bungkus lahirnya saja. Berbicara tentang konsep yang satu dan banyak, kalangan sufi memulainya dari konsep wahdat al wujud (kesatuan wujud) yang merupakan kerangka pemahaman dari Ibnu Arabi sebagai kelanjutan dari pemahaman hululnya Al Hallaj. Tuhan tidak bisa dipahami kecuali dengan memadukan dua sifat yang berlawanan pada-Nya, bahwa wujud hakiki hanyalah satu, yakni al Haqq. Meski wujud-Nya hanya satu, Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalli) dalam banyak bentuk yang tidak terbatas pada alam.
Kata kunci: Agama, Tasawuf, Pluralisme, wahdatul al-adyan A.
PENDAHULUAN
1. Pengertian Pluralisme Agama Para ahli menggarisbawahi ada dua komitmen penting yang harus dipegang oleh para pelaku dialog antar agama, yaitu toleransi dan pluralisme. Akan sulit bagi para pelaku dialog antar agama untuk mencapai pengertian dan respek, apabila salah satu pihak tidak toleran. Namun toleransi saja tanpa sikap pluralistik tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antar umat beragama yang langgeng.1
1
Alwi Sihab, Islam Inklusif ; Menuju Sikap terbuka Umumnya, Mizan, Bandung, 1999, Cet, I, hlm. 41
Pluralisme berasal dari bahasa latin pluralis, dari pluris yaitu lebih dari satu, jamak.2 Pengertian tersebut sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Elga Sarapung dan Zuly Qodir yang secara harfiah pluralisme berarti jamak, beberapa berbagai hal, banyak. Oleh sebab itu sesuatu yang dikatakan plural senantiasa terdiri dari banyak hal, berbagai jenis, berbagai sudut pandang serta latar belakang.3. Pluralisme juga, menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing. Pengertian pluralisme dalam tasawuf secara garis besar dapat disimpulkan sebagaimana berikut : pertama, pluralisme tidak semata menunjukkan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Jadi pluralisme agama adalah tiap pemeluk agama yang dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak aliran lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami persamaan dan perbedaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita dimana aneka ragam budaya, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil misal Kota New York, kota ini adalah kota kosmopolitan, di kota ini terdapat orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang tanpa agama sekalipun, seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya dibidang agama, sangat minim, kalaupun ada. Ketiga, bahwa pluralisme yang dimaksudkan disini bukan berarti mencampuradukkan (sinkritisme) atau membuat "gado-gado" tasawuf, namun justru penghargaan dan penggalian nilai-nilai kebenaran universal agama untuk kebaikan bersama. Seperti yang ditegaskan oleh Alwi Sihab, bahwa pluralisme bukanlah relativisme an sich, namun juga menekankan adanya komitmen yang kukuh pada agama masing-masing dan membuka diri atau bersifat empati terhadap kebenaran agama lainnya. Jadi yang perlu digaris
2 3
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995, Cet. I, hlm. 255 Syafa'atun Elmirzanah, dkk, Pluralisme ; Konflik dan Perdamaian, Dian/Interfidei, Yogyakarta, 20002, hlm. 7. Pluralisme dalam bahasa Inggris adalah pluralism, yang memiliki definisi (eng) pluralism adalah "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation". Atau dalam bahasa Indonesia : "Sesuatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran atau pembiasaan). Selengkapnya baca: http://id.wikipedia.org/wiki/polemik pluralisme di Indonesia, diakses 9 Nopember 2008
18
Nurul Mubin, M. Pd. I., MSI – Pluralisme dalam Tasawuf
bawahi adalah sikap menjunjung tinggi kebaikan bersama dan menghindari klaim tunggal kebenaran.4 2
Sejarah Pluralisme Agama
Sejarah pluralisme agama secara umum berawal dari Eropa timbul disebabkan adanya plotestantime (15-17 – Luther), dimana agama timbul sebagai pemberontakan terhadap Gereja Katolik Roma yang menyatukan Eropa – Kristen Selama abad pertengahan (Abad 5 – Abad ke 16). Agama sebagai kekuatan sosial – politik, baik Katolik maupun Protestan dengan berbagai alirannya, ternyata berperan penting dalam menimbulkan perang agama-agama di seluruh Eropa. Perang tersebut telah menghancurkan berbagai masyarakat dan kerajaan-kerajaan juga imperium-imperium. Lepasnya Nederland dari imperium Hansburg Spanyol (1588 – 1548) dalam peperangan selama 80 tahun adalah contohnya. Meski harus diakui, ada berbagai faktor lain di luar agama yang juga ikut mempengaruhi. Di Perancis, tindakan Raja Henry IV serta sikap rakyat Paris yang setia pada agama Katolik menunjukkan model kesatuan agama dan politik pada zaman tersebut (1517-1789). Sejak timbulnya proletanisme dalam tubuh Kristen Eropa ada perpecahan agama, politik dan masyarakat. Konflik atau kontradiksi realitas perpecahan agama politik ini, oleh para elit Eropa pada waktu itu yang terdiri dari kaum bangsawan dan agamawan tinggi, lalu disebut dengan prinsip "Civius regio ilius est religio (agama raja adalah agama para kawula atau rakyatnya)" prinsip ini terutama dilaksanakan di Jerman yang terdiri dari puluhan kesatuan politik, dari raja sampai ke pangeran, graf, baron, uskup, kota merdeka dan lainlain. Kalau ada rakyat yang tidak seagama dengan rajanya, maka ia harus pindah.5 Dari kenyataan tersebut maka pluralisme tidak ada tempat sama sekali. Akhir abad XVIII, negara Eropa pada umumnya mulai mengakui kemajemukan agama dalam masyarakat dan menghilangkan rintangan-rintangan (barriers) sosial politik bagi agama-agama anehnya, kenyataan di lapangan ekonomi berbeda dengan di lapangan sosial politik. Di bidang ekonomi tidak pernah ada rintangan bagi mereka yang berbeda agama, bahkan kehadiran agama-agama kelak mampu menggerakkan dinamisme tersendiri. Dalam pembentukan negara-negara modern, artinya dalam pembentukan negara-negara dari imperium-imperium Eropa khususnya Inggris, prinsip
4
Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Libratif, Buku Kompas, Jakarta, 2004,
5
Abdurrahman Wahid, dkk, Dialog Kritik dan Identitas Agama, Dian / Interfidei, Yogyakarta, 1993, hlm. 150
hlm. 7
19
homogenitas agama atau prinsip "agama raja adalah agama rakyat" 6 masih dianut, misalnya dalam pembentukan irish free state (1920-an) minus Irlandia Utara (Ulster), negara Israel, Pakistan, dan India. Dalam kasus terakhir, kita melihat dalam pembagian British India menjadi Pakistan (Negara Islam) dan India (Negara Sekuler) terjadi perpindahan penduduk secara besar-besaran yang diiringi pertumpahan darah dan perang antar India dan Pakistan serta berbagai ketegangan lainnya. Kini konsep homogenitas versus kemajemukan (plulralisme) dalam masyarakat memasuki babak baru dengan munculnya pergolakan di negaranegara bekas Uni Soviet, Eropa Timur, dan Balkan. Dalam hal ini yang perlu dicatat adalah bahwa homogenitas agar sering meski tidak selalu, hadir bersama dengan homogenitas ras dan regio. Hal ini relevan dikemukakan ketika kita ingin membicarakan masalah yang sama di Indonesia.7. Pada era sekarang paham pluralisme agama merupakan suatu keharusan, maka usaha untuk mendialogkan terus dilaksanakan dalam rangka mencari titik temu agama-agama dan kerjasama antar umat beragama. Pluralisme yang hidup di Indonesia adalah kenyataan historis yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Proses munculnya pluralisme agama di Indonesia dapat diamati secara empiris historis. Kepercayaan animisme dan dinamisme sudah lama sekali menjadi kepercayaan nenek moyang cikal bakal penghuni Indonesia pada abad VI perkembangan secara luas, agama Budha dan Hindu. Berdirinya kerajaan Sriwijaya yang bercorak Budha dan Majapahit yang bercorak Hindu, merupakan sebagian bukti tersebar dan kuatnya kedua agama tersebut dalam perkembangan selanjutnya datang dan berkembang agama Islam dan Kristen.
3.
Pluralisme Agama dalam Perspektif Islam
Doktrin ajaran Islam sesungguhnya sejak awal menegaskan penghargaan terhadap pluralis (kemajemukan). Hal tersebut tentu saja sangat bersesuaian dengan jargon Islam sendiri sebagai agama rahmatan lil alamin. Pluralisme adalah hukum Tuhan (sunnatullah) yang diciptakan untuk kebaikan manusia 6
Dalam ajaran Islam juga dikenal ungkapan al-Naasu „ala din mulukihim – manusia/rakyat senantiasa mengikuti keyakinan agama rajannya. Baca Mukhotob Hamzah, Fikih Politik, Yayasan Narasi Unggul dan Poles, Wonosobo, 2003. hlm l67
7
Ongkhokham, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sejarah, dalam Abdurrahman Wahid Dialog Kritik dan Identitas Agama, hlm. 152
20
Nurul Mubin, M. Pd. I., MSI – Pluralisme dalam Tasawuf
sendiri. Sebab jika Tuhan menghendaki, Dia bisa saja hanya menciptakan satu agama dan satu golongan masyarakat. Namun Tuhan menginginkan keberagaman (pluralitas) agar manusia bisa saling menolong, membantu, bekerja sama dan saling berlomba untuk mencapai kebaikan.8 Ayat al-Qur‟an yang sangat berkaitan dengan penegasan bahwa keseragaman merupakan sunatullah adalah : ث ِِلَتٔ ه َّلَ ْْ شَب َء ه... ْ َّللاُ لَ َج َعلَ ُك ْن أُ ههتً َّا ِح َدةً َّلَ ِكيْ لَِ٘ ْبلُ َْ ُك ْن فِٖ َهب آَتَب ُك ْن فَب َِّللا ِ ستََبُُِْا ا ْل َ ْ٘ت َزا ُ ْ ْ ُ ﴾84: ﴿الوبئدة ََه ْز ِج ُع ُك ْن َج ِو٘ ًعب فٌََُ٘بِّئُ ُك ْن بِ َوب كٌَُ ْن فِ٘ َِ تَ ََلِفْى "Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan itu".9 Ayat tersebut menandaskan bahwa ide pluralitas merupakan prinsip dasar dalam Islam. Karena ayat al-Qur‟an sendiri telah mengatakan tentang intisari dari problem dan sekaligus solusi tentang pluralitas dan pluralisme menurut pemahaman Islam. Ayat tersebut di mulai dengan kenyataan tentang fakta bahwa masyarakat dalam dirinya sendiri terbagi kedalam berbagai macam kelompok dan komunitas yang masing-masing memiliki orientasi kehidupannya sendiri yang memberikannya arah petunjuk. Sesuai dengan petunjuk al-Qur‟an, sudah menjadi fakta sejarahlah bahwa Allah menciptakan manusia terbagi dalam berbagai kelompok dan komunitas, yang masing-masing memiliki orientasi atau tujuan hidupnya sendiri sesuai dengan keyakinannya. Oleh karena itu, pada masing-masing komunitas atau kelompok diharapkan dapat menerima kenyataan keragaman (pluralitas) sosiokultural, dan saling toleran dan memberikan kebebasan serta kesempatan pada mereka untuk menjalankan sistem kepercayaan (agama) yang diyakininya. Hal dipertegas oleh ayat al-Qur‟an yang berbunyi : َّللاُ َج ِو٘ ًعب ِِىه ه ث بِ ُك ُن ه َّللاَ َعلَٔ ُك ِّل ْ َّلِ ُك ٍّل ِّ ْج َِتٌ ُُ َْ ُه َْلِّ٘ َِب فَب ِ ْث أَْٗيَ َهب تَ ُكًُْْا َٗأ ِ سََبُُِْا ا ْل َ ْ٘ َزا ﴾884 : َٖ ٍء قَ ِدٗ ٌز ﴿البُزة ْ ش "Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Dimana 8 9
Ahmad Fuad Fanani, op.cit., hlm. 36 Prof. R.H.A. Soenarjo, SH, Al-Quran dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir alQur‟an, Jakarta, 1971, hlm. 168
21
saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu".10 Oleh karena itu tidak boleh ada paksaan dalam menyiarkan agama kepada orang lain. Menurut Dr. Nurcholish Madjid ayat tersebut dimulai dengan kenyataan tentang fakta bahwa masyarakat dalam dirinya sendiri terbagi ke dalam berbagai macam kelompok dan komunitas, yang masing-masing memiliki orientasi kehidupannya sendiri yang memberikannya arah petunjuk. Komunitas-komunitas tersebut menurutnya diharapkan dapat menerima kenyataan tentang adanya keragaman. Sosio kultural dan saling toleran dalam memberikan kebebasan dan kesempatan setiap orang untuk menjalani kehidupan sesuai dengan sistem kepercayaan mereka masing-masing, dan komunitas yang berbeda tersebut saling berlomba-lomba dalam cara yang dapat dibenarkan dan sehat, guna meraih sesuatu yang baik bagi semuanya.11 Selain itu pemaksaan dalam hal beragama sendiri adalah bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka. Dalam QS. Al-Baqarah : 256 ث َُّٗؤْ ِهيْ بِ ه س َك ْ الز ْ بَّللِ فََُ ِد ا ُّ َََل ِِ ْك َزاٍَ فِٖ الدِّٗ ِي قَ ْد تَبَ٘هي َ سََ ْو ِ ْش ُد ِهيَ ا ْل َغ ِّٖ فَ َويْ َٗ ْكفُ ْز بِبلطهب ُغ صب َم لَ َِب َّ ه ﴾652 :س ِو٘ ٌع َعلِ٘ ٌن ﴿البُزة َ َُّللا َ ِبِب ْل ُع ْز َّ ِة ا ْل ُْ ْثَُٔ ََل ا ًْف "Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada Buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." Kutipan al-Qur‟an di atas bisa dikatakan inti dan sekaligus pemahaman masalah kebebasan beragama dan pluralisme, menurut pandangan Islam. Itu dimulai dengan fakta bahwa umat manusia terbagi dalam berbagai kelompok masing-masing mempunyai tujuan hidup berbeda menjunjung tinggi nilai-nilai agama berarti juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang mewujud pada penghargaan dan pembebasan. Sebab keberagaman yang bersumber pada keyakinan dirilah yang bisa mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan yang bisa ditransformasikan pada nilai sosial. Jadi sikap menghargai pluralisme
10
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, CV.
11
Dr. Nurcholish Madjid, Pluralisme Agama di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 62
Adi Grafika, Semarang, 1994, hlm. 38
22
Nurul Mubin, M. Pd. I., MSI – Pluralisme dalam Tasawuf
keberagaman sebagaimana anjuran Islam merupakan wujud dari tingkat kedewasaan seseorang dalam menerima kenyataan sejarah.12 Toleransi beragama dalam Islam merupakan misi kebaikan, dan prinsip kesetaraan dalam Islam tidak hanya melandasi hubungan antar komunitas beragama, tetapi juga antar kelompok etnis. Dengan demikian, maka pembahasan tentang hubungan antar komunitas beragama juga perlu memaparkan pola hubungan antar etnis dalam komunitas muslim. Hal ini dapat terjadi karena Islam memiliki kepedulian tinggi terhadap persoalan kesetaraan antar kelompok etnis. Sebenarnya hubungan Islam dan pluralisme terletak pada semangat humanitas dan universalitas Islam. Wujud humanitasnya yaitu Islam adalah agama kemanusiaan (fitrah) yang sangat peduli pada urusan-urusan sosial dan kemasyarakatan. Maka Islam menjadi agama yang mewujudkan rahmat bagi seluruh dan manusia. Jadi bukan untuk semata-mata menguntungkan komunitas Islam saja.13 Sedangkan universalitas Islam yang dimaksud adalah, secara teologis perkataan al-Islam berarti sikap pasrah pada Tuhan atau perdamaian. Maka dengan itu, Islam juga mengakui kebenaran agama-agama lain yang berada di muka bumi. Karena semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan, perdamaian, persaudaraan dan pasti menolak segala bentuk kejahatan. Posisi Islam dalam kenyataan ini mengharuskan umat Islam menjadi umat penengah (ummatan wasathan) dan saksi (syuhada) diantara manusia. Hal ini telah ditunjukkan dan dicontohkan dengan kehidupan Nabi saat berada di Madinah, yaitu dengan menciptakan piagam Madinah dan menghargai non Muslim. Hal ini juga membuktikan bahwa Islam sebenarnya adalah agama yang terbuka, dalam pengertian menolak absolutisme dan eksklusivme kebenaran agama, namun memberikan apresiasi yang tinggi terhadap keberagaman (pluralitas)
B. Realitas keberadaan kehidupan keagamaan
Isu keagamaan diatas kiranya menarik untuk ditelaah kembali dalam kehidupan keberagamaan kita saat ini. Dalam dunia tasawuf dikenal banyak memiliki konsep tentang realitas kesatuan (al Wahdah), seperti wahdah al syuhud (kesatuan penyaksian), wahdah al wujud (kesatuan kejadian), wahdah al Ummah 12
Ahmad Fuad Fanani, op.cit., hlm. 38
13
Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama atas Pemikiran Muhammad Arkom, Bentang, Jakarta, 2000, hlm. 158
23
(kesatuan umat), wahdah al Adyan ( kesatuan agama-agama). Konsep ini berawal dari penjabaran bahwa pada hakekatnya semua agama bertujuan sama dan mengabdi kepada Tuhan yang sama pula. Perbedaan yang ada hanyalah pada aspek lahiriyah yakni penampilan-penampilan dan tata cara dalam melakukan ibadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam konsep ini tak ada superioritas dan inferioritas agama, karena berasal dari satu sumber yakni Tuhan. Dengan kata lain konsep tauhid “la ilaha illallah” yang mempunyai implikasi sangat dalam bagi kehidupan umat tauhid. Sebab konsep ini menerangkan secara universal bagaimana sebenarnya manusia hidup memandang diri, manusia dan alam dalam kaitannya dengan yang mutlak (Tuhan)14. Tidak seperti umumnya kita yang mengartikan “la ilaha illallah “ sebagi tidak ada Tuhan selain Allah. Para sufi mengartikan kata “ilah” sebagai realitas, sehingga kalimat syahadat itu bermaksud tidak ada realitas (haqiqi) yang sejati kecuali Allah. Dari sini mereka memahami hanya Allah lah yang real, yang hakiki, sedangkan yang lain adalah semu dan nisbi. Kebenaran yang universal dalam ajaran agama adalah prinsip tahuhid, yaitu pengesaan Tuhan dan kesatuan umat, hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Q.S Al Anbiya‟ ayat 92 ِِىه َُ ِذ ٍِ أُ ههَُ ُك ْن أُ ههتً َّا ِح َدةً َّأًََب َربُّ ُك ْن فَب ْعبُدُّ ِى “ Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku”. Yang telah dibawa oleh para nabi dan rasul yang memiliki kesatuan tugas yang sama dalam pokok-pokok kepercayaan dan pokok-pokok Syari'at sejak awal yaitu kesamaan tauhid. Keberadaan wahdah al Adyan (kesatuan agama-agama) dalam masyarakat banyak mengalami pro dan kontra sejak dahulu, ada yang tidak sepaham dengan adanya wahdah al adyan (kesatuan agama-agama) yang meyakini bahwa pluralisme agama merupakan ancaman bagi agama-agama. Mereka ada yang mengatakan bahwa pluralisme agama dengan toleransi beragama merupakan entitas yang beda yang tidak sama. Bedanya, kalau pluralisme agama adalah mengakui agama lain sebagai yang absah atua “valid and authentic”. Sedangkan toleransi hanya mengakui keberadaan agama-agama lain sebagai gejala kemajemukan, tanpa harus menghilangkan keyakinan dalam agama diri sendiri. Dengan kata lain toleransi ada karena ada perbedaan, kalau tidak ada perbedaan maka tidak muncul istilah toleransi. Toleransi bukanlah pluralisme ia hanya menghargai penganut agama lain dan hak hidupnya. Sementara pluralisme agama pada hakekatnya akan 14
Fatimah Usman, Wahdah al Adyan (Pluralisme Agama), Penemu dan latar belakang sosialnya dalam Tasawuf dan Kritis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 203
24
Nurul Mubin, M. Pd. I., MSI – Pluralisme dalam Tasawuf
menghancurkan agama-agama yang ada, ketika ia mengklaim sebagai tafsir yang paling benar, justru ia hendak memaksakan paham agama lain ditinggalkan dan mengambil tafsir agama universal15. Namun pada dasarnya apa yang dikatakan oleh Dr. Anis diatas perlu dipertanyakan kembali ketika kita melihat firman Allah pada Q.S Al Baqoroh ayat 62 صببِئِ٘يَ َهيْ آ َهيَ بِ ه صبلِ ًحب صب َرٓ َّال ه َ ِخ ِز َّ َع ِو َلٙبَّللِ َّا ْلَ٘ ْْ ِم ْا َ ِِىه ال ه ِذٗيَ آ َهٌُْا َّاله ِذٗيَ َُبدُّا َّالٌ ه َفَلَ ُِ ْن أَ ْج ُز ُُ ْن ِعٌْ َد َربِّ ِِ ْن َّ ََل َخ ْْفٌ َعلَ ْ٘ ِِ ْن َّ ََل ُُ ْن َٗ ْح َزًُْى “ Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Shabiin[a], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[b], hari Kemudian dan beramal saleh[c], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [a] Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa. [b] orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah. [c] ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak.
Dan Q.S Ali Imron ayat 64 س َْا ٍء بَ ٌٌََْ٘ب َّبَ ٌَْ٘ ُك ْن أَ هَل ًَ ْعب ُ َد ِِ هَل ه ش ْ٘ئًب َّ ََل ََٗه ِ َذ ْ ُ ً َّللاَ َّ ََل َ َِ ِش ِز َك ب َ ة تَ َعبلَ ْْا ِِلَٔ َكلِ َو ٍت ِ قُ ْل َٗبأَ ُْ َل ا ْل ِكََب ضب أَ ْربَببًب ِهيْ دُّ ِى ه ْ َّللاِ فَإِىْ تَ َْل ه ْْا فَُُْلُْا ا َسلِ ُوْى ْ ش َِدُّا بِأًَهب ُه ُ بَ ْع ً ضٌَب بَ ْع “ Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". 15
Lihat dalam Pluralisme Agama Ancaman bagi Agama-agama Dr. Anis Malik Toha dosen Perbandingan Agama di Universitas Islam antar bangsa (UIA) Malaysia, dalam Hidayatullah.com, pada 12 Februari 2008
25
Ketika kita melihat kedua ayat diatas kita bisa mengatakan bahwa keimanan kita kepada Allah (pencipta alam seisinya dan hari akhir), tanpa bentuk organisasi agamanya, lebih jauh lagi pluralisme lebih dulu ada dikalangan Islam, ambillah contoh Ali tidak pernah mengkafirkan Muawiyah, demikian pula Muawiyah tidak pernah mengkafirkan Ali, meskipun dalam percaturan politik mereka sangat berbeda pemahaman. Agama mereka satu dan menaungi semuanya. Mereka berada dalam kesatuan yang melingkupi semuanya, sementara perselisihan dan pertikaian itu hanya pada masalah sikap atas "darah" Utsman r.a. saja. Ali r.a lalu menangkis pemikiran dan pendapat Khawarij yang buruk yang. Mereka mengkafirkan Mu'awiyah dan penduduk Syam. Ali r.a. berkata: "Demi Allah, sesungguhnya kita memerangi penduduk Syam bukan karena sebab yang diduga oleh mereka itu (kaum Khawarij) yang mengkafirkan mereka dan menganggap mereka telah keluar dari agama Islam. Kita memerangi mereka hanyalah untuk mengembalikan mereka kepada jama'ah (artinya: jama'ah politik) dan mereka tetap saudara kita dalam agama, dan kiblat kita tetap satu. Sementara itu, yang terjadi, menurut pendapat kita, adalah: kita berada dalam kebenaran, sementara mereka berbuat kesalahan!."16. Kebenaran universal bisa datang dari mana saja tidak memandang dari agama apa dan siapa, masing-msing agama bahkan masing-masing kelompok intern suatu agama mempunyai idiom yang khas, yang hanya berlaku secara intern. Oleh karena itu, ikut campur penganut agama tertentu terhadap rasa kesucian orang dari agama lain adalah tidak masuk akal dan hasilnya pun nihil. Bahkan di Al Qur‟an melarang umatnya berbantahan dengan para penganut kitab suci lain, melainkan dengan cara yang sebak-baiknya, termasuk menjaga kesopanan dan tenggang rasa, kecuali terhadap mereka yang bertindak zalim seperti firman Allah dalam Q.S al Ankabut ayat 46 سيُ ِِ هَل ال ه ِذٗيَ ظَلَ ُوْا ِه ٌْ ُِ ْن َّقُْلُْا آ َهٌهب بِبل ه ِذٕ أُ ًْ ِز ََ ِِلَ ٌَْ٘ب َ ة ِِ هَل بِبلهَِٖ ُِ َٖ أَ ْح ِ َّ ََل ت َُجب ِدلُْا أَ ُْ َل ا ْل ِكََب َ َ ُ َسلِ ُوْى ْ َّأُ ًْ ِز ََ ِِلَ ْ٘ ُك ْن َِِّلَ ٌَُِب َِِّلَ ُِك ْن َّا ِح ٌد ًَّ ْحيُ لَُ ُه “ Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[d], dan Katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan 16
Al Baqillani, At Tamhid fir Raddi alal Mulhidah wal Mu'aththilah, war Rafidhah, wal Khawarij, wal tahqiq: Mahmud Muhammad al Khudhairi, Dr. Muhammad Abdul Hadi Abu Raidah, cet. Kairo, tahun 1947 M. Mu'tazilah, hal. 237-238.
26
Nurul Mubin, M. Pd. I., MSI – Pluralisme dalam Tasawuf
kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami Hanya kepada-Nya berserah diri".
[d] yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim ialah: orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasanpenjelasan dengan cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan. Oleh karenanya terjadinya konflik sosial yang berlindung di bawah bendera agama atau mengatas namakan kepentingan agama bukanlah merupakan justifikasi dari doktrin agama karena semua agama mengajarkan kepada umatnya sikap toleransi dan menghormati sesama. Bahkan semakin saleh (pious) seseorang dalam penghayatan agama dan kepercayaannya akan semakin toleran dan menghargai eksistensi agama lain17. Konflik keagamaan bermunculan dan meruyak diberbagai daerah, bak jamur di musim hujan. Radikalisme (umat) beragama dipertontonkan secara kasat mata tanpa tedeng aling-aling oleh berbagai kelompok berbasis agama. Pembakaran pengeboman tempat-tempat ibadah, penghancuran fasilitas umum, pembunuhan dan pembantaian berdarah menjadi sorotan utama mnghiasi media setiap hari. Tak nampak lagi wajah agama yang dianggap sebagai pengkhutbah pesan-pesan keselamatan yang diyakini umatnya mampu menghantarkan umatnya kepada kebahagiaan yang hakiki. Wajah agama telah berubah menjadi beringas dan bengis. Fenomena diatas ditengarai karena selain faktor-faktor sosio politik, ekonomi juga karen masih kukuhnya truth claim dan salvation claim yang terjelmakan kepada monopoli kebenaran agama yang diusung oleh para agamawan. Mereka mematok harga mati atas klaim-klaim tersebut. Akibatnya, nyaris tak ada ruang untuk bernegosiasi, diskusi, dan dialog karena argumen yang diangkat selalu undebatable. Munculnya berbagai doktrin keagamaan yang “kaku” dan “rigid” seperti jihad, perang demi melaksanakan misi suci untuk saling menyingkirkan kelompok lain yang berbeda, adalah konsekuensi logis dari kenyataan di atas. Lebih jauh lagi, "kesatuan umat Islam" masih dapat merangkum dan mentolerir beberapa bentuk pergulatan politik sampai pada bentrokan bersenjata, karena orang-orang yang bertikai itu masih tetap menjaga loyalitas mereka kepada "negara yang satu". Mereka tetap menjaga kesatuan politik dan tetap loyal kepada "agama yang satu", sehingga mereka masih tetap menjaga faktor kesatuan agama. Peperangan mereka adalah semata karena "takwil” (perbedaan 17
Fahrudin Salim, Pluralisme dan Toleransi Keberagamaan dalam Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keberagamaan, (ed) Nur Rahmad, PT Kompas Media Utama, Jakarta, 2001, hlm. 19
27
memahami teks agama), bukan karena "tanzil" (teks agama yang berbeda yang diimani), dan mereka, meskipun melakukan peperangan, berada dalam loyalitas kepada kesatuan negara dan kesatuan agama. Pertikaian yang terjadi dalam peristiwa yang terkenal dengan "fitnah al kubra" pada zaman khulafa rasyidin berada dalam kerangka ini. Masing-masing pihak yang bertikai dan terlibat dalam peristiwa itu masih berada dalam naungan kesatuan umat. Dan peperangan yang terjadi di antara mereka tidak membuat salah satu pihak keluar dari umat, agama, atau negara. Dalam kejadian Perang Shiffin (37H/657M), yang merupakan puncak fitnah itu, Imam Ali bin Abi Thalib berbicara tentang kesatuan agama yang menyatukan seluruh pihak yang bertikai dalam peperangan itu. Demikian juga kesatuan negara masih menaungi mereka. Ali bin Abi Thalib berkata: "Kita berdiri berhadap-hadapan (dalam perang), sedangkan Tuhan kita satu, Nabi kita satu, dakwah kita dalam Islam satu, kami tidak menganggap keimanan kami kepada Allah SWT dan pembenaran kepada Rasulullah Saw lebih dari kalian, dan kalian pun tidak mengganggap diri kalian lebih dari kami. Semuanya satu, kecuali satu hal yang menjadi perselisihan di antara kita, yaitu tentang sikap atas darah Utsman. Sedangkan, kita semua dalam masalah itu (darah Utsman, penj.) tidak mempunyai kesalahan."18. Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan besar ikhwal plurallitas sebagai suatu signifikasi dialog yang sering dikampanyekan oleh para agamawan untuk merajut tali kerukunan dan perdamaian antar agama. C. Konsep Wahdah al Adyan (Kesatuan agama-agama) Wahdah al Adyan (kesatuan agama-agama) demikian konsep tersebut dinamai sebagai sebuah konsep yang mengajarkan pada hakikatnya semua agama bertujuan sama dan mengabdi kepada Tuhan yang sama pula. Dialah Al Hallaj 19 yang pertama kali membawa paham wahdah al Adyan yang merupakan untaian dari teori hulul dan Nur Muhammad, hulul dalam pandangan Harun Nasution merupakan sebuah paham yang menyatakan bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh
18
Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjil Balaghah, juz 17, hal. 141, tahqiq: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, cet. Kairo, tahun 1959 M
19
Al Hallaj nama lengpnya Al Husein bin Manshur al Hallaj dilahirkan sekitar pertengahan abad ke 3H, ayahnya bekerja di produksi perusahaan pembusaran kapas. Pada masa mudanya dia giat mempelajari tsawuf dibawah bimbingan seorang sufi terkenal „Amar al Makky, setelah pertemuan singkat dengan Sahal al tustury yang juga salah satu sufi yang terkenal, lihat dalam Sebuah Drama Puisi dalam Shalah Abdurrahman diambil pada situs 6 Nopember 2004
28
Nurul Mubin, M. Pd. I., MSI – Pluralisme dalam Tasawuf
manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya20, sedangkan Nur Muhammad ( al haqiqoh Al Muhammadiah ) diciptakan Tuhan sejak azal sesuai dengan bentuk-Nya sendiri. Oleh karena itu orang yang ingin tahu Tuhan, harus berusaha mencapai persatuan dengan al haqiqoh Al Muhammadiah21. Dalam pemahaman hulul yang diajarkan Al Hallaj menjelaskan tentang keadaan „kerasukan Tuhan‟ atau Tuhan menitis pada diri seseorang yang telah mampu „menyatu‟ dengan-Nya, dengan kondisi dimana manusia itu benar-benar telah mendapatkan prestasi yang baik, karena dalam diri manusia terdapat dua potensi sifat dasar, yakni unsur nasut (kemanusiaan) dan unsur lahut (ketuhanan), yakni roh manusia yang berasal dari roh Tuhan22. Sedangkan Nasut mengandung tabiat kemanuisaan, baik yang rohaniah maupun jasmaniah, karena Tuhan tidak dapat bersatu dengan tabiat ini, kecuali dengan „menjasadkan diri‟23. Ketika terjadi hulul pada diri mausia, Allah menjadi pendengaran, penglihatan, tangan dan kaki yang dipergunakannya untuk mendengar, melihat, memegang dan berjalan. Artinya semua yang ada dikehendaki atas perintah Allah. Maka semua aktivitas manusia merupakan aktivitas-Nya, dan semua urusan adalah urusan Allah24. Ajaran yang kedua dari Al Hallaj adalah konsep Nur Muhammad menurtunya adalah cahaya purba yang melewati nabi ke nabi yang lain, yang berlanjut kepada para imam / wali yang merupakan rantai penasbihan25. Menurut Al Hallaj, Muhammad memiliki dua hakikat yakni pertama, merupakan hakikat cahaya azali yang telah ada sebelum adanya segala sesuatu, dan menjadi landasan ilmu serta ma‟rifat26. Kedua, hakikat yang baru 20
Harun Nasution Islam di tinjau dari berbagai aspeknya, jilid II, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 87 21
26
Ibid, hlm. 89, 22
Ibid, Fatimah usman, hlm. 227
23
Ibid
24
Ibid, hlm. 229
25
Ibid, hlm. 231
lihat juga dalam Nur Muhammad yang dinamakan Ruh terbesar, menurut mereka dialah mula-mula yang dijadikan Allah sebelum menjadikan segala sesuatu yang lain, bahkan Nur Muhammad diperluas sedemikian rupa sehingga kejadian Adam pun bersal daripadanya. Di ceritakan antar lain “tatkala Jibril” diperintahkan mencari tanah untuk membuat nabi Muhammad, Jibril mengambil sekepal tanah putih yang indah bercahaya yang kemudian menjadi kuburnya (Madinah), sehingga ia menjadi kepalan permata yang berkilauan sinarnya. Sesudah itu dibenamkan permata itu di sungai-sungai dan dikeluarkan. Tuhan lalu memandang kepada permata suci itu. Dengan pandangan karena takutnya kepaa pemilikan tuhan itu berteteslah air daripaanya sebanyak seratus dua puluh empat ribu tetes kemudian dijadikan bahan menciptakan semua nabi dari padanya. Kemudian tanah permata itu diedarkan ketjuh langit dan bumi, sehingga semua malaikat itu
29
dalam kedudukannya sebagaiu seorang nabi, pada ruang dan waktu tertentu. Cahaya pertama itulah yang menajdi landasan semua para nabi dan para imam / wali yang lahir sesudahnya27. Al Hallaj juga menjelaskan bahwa Allah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum penciptaan Adam, bahkan eksistensi Muhammad telah terjadi bahkan sebelum non eksistensi, dan namanya pun sebelum kalam / pena. Dalam perkembangannya konsep Nur Muhammad ini dilanjutkan oleh Ibnu Arabi dengan konsep insan kamil yang diwakili oleh Muhammad, apa yang ingin disampaikan oleh Ibnu Arabi, Muhammad mempunyai dua versi pemahaman Yaitu, seorang nabi, manusia yang hidup di Mekah dan di Madinah serta Muhammad yang hidup abadi. Muhammad dalam pengertian yang kedua sebagi faktor yang essensial dengan memperlihatkan keberagaman dari apa yang kita sebut seorang individu. Berkaitan dengan ini Ibnu Arabi berpendapat baha manusia adalah wujud satu-satunya yang di dalamnya prinsip Nur Muhammad ini dimanifestasikan dengan derajat yang sangat tinggi, sehingga ia patut disebut khalifah (wakil tuhan) dan image dari tuhan. Pemikiran Ibnu Arabi ini kemudian terkenal dengan sebutan wahdatul wujud (kesatuan wujud), dalam kitabnya Fushusul hikam, Ibnu Arabi mengatakan bahwa wujud ini satu namun Dia memiliki penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyiannya yang dikenal dengan asma (nama-nama), dan memiliki pemisah yang disebut dengan barzakh yang menghimpun dan memisahkan antara batin dan lahir itulah yang disebut insan kamil. Al Hallaj sosok tokoh sufi yang sangat kontroversial, disebutsebut sebagai penggagas konsep ini, karena konsep ini merupakan untaian dari teori hulul dan Nur Muhammad-nya. Keterkaitan antara kedua konsep tersebut dengan wahdatul al Adyan sangatlah erat, terutama dengan Nur Muhammad karena menurut Al Hallaj, Nur Muhammad merupakan jalan hidayah (petunjuk) dari semua Nabi. Karena itu agama yang dibawa oleh para Nabi merupakan “emanasi wujud” sebagai terumus dalam teori hulul-nya. Bagi Al Hallaj, pada dasarnya agama-agama berasal dari dan akan kembali kepada pokok yang satu, karena memancar dari cahaya yang satu. Pandangan Al Hallaj tegas, bahwa pada dasarnya agama yang dipeluh oleh seseorang merupakan hasil pilihan dan kehendak Tuhan, bukan sepenuhnya pilihan manusia sendiri. Dan dalam hal ini merupakan konsekuensi dari kesadaran diri atas “kehadiran” Tuhan di setiap tempat (tajalli) dalam semua mengenal akan nabi Muhammad sebelum mengenal Adam, lihat dalam Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1989, hlm. 182 27
Op.Cit, hllm. 232
30
Nurul Mubin, M. Pd. I., MSI – Pluralisme dalam Tasawuf
agama. Menurutnya, penyembahan melalui konsep monoteisme atau politeisme tak masalah bagi Tuhan karena pada dasarnya hanya berkaiatan dengan logika, yakni yang satu dan yang banyak. Dari situ, jika ditelusuri akan dijumpai kepercayaan-kepercayaan yang apabila ditafsirkan akan mengarah kepada satu Tuhan. Dia berkata “al kufru wa al –imanu yaftariqani min haitsu al ism, wa amma haitsu al haqiqah fala farqa bainahuma”, artinya kekufuran dan keimanan dari segi nama memang berbeda namun apabila dilihat dari segi hakikatnya, maka keduanya tidak ada bedanya28. Wahdatul Al Adyan memandang bahwa sumber agama adalah satu, wujud agama hanya bungkus lahirnya saja. Banyak orang sulit memahami jalan pikiran ini, karena nampak ada sesuatu yang kontradiktif. Bagaimana mungkin dapat terjadi, tauhid menghendaki konsep Tuhan secara mutlak, sementara wahdatul al adyan “mempersilahkan” kehadiran konsep ketuhanan yang bagaimanapun bentuknya, bagi Al Hallaj, Tuhan itu Satu, Unik, Sendiri dan terbukti Satu. Seorang sufi yang mempunyai pandangan pluralisme agama, itu karena mereka memandang segala sesuatu pada hakekatnya, bukan pada segi lahiriyahnya, sehingga hakikat Tuhan dipandang sebagai dzat yang menciptakan alam semesta. Dan jika demikian, maka antara agama satu dengan yang lain tidak ada perbedaan, semua mengakui-Nya dan mengabdikan diri pada-Nya29 Dalam konsep wahdatul al Adyan, pengakuan dan penghargaan tradisi-tradisi keagamaan dan kepercayaan lain sebagi tradisi yang sederajat menajdi sebuah tuntutan. Tak ada lagi tradisi yang menjadi “anak tunggal” dengan segala privelese yang dimilikinya. Setiap tradisi keagamaan dan kepercayaan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah karenanya memiliki hak hidup yang sama. Kalau dalam tradisi keberagamaan kita masih menempatkan semua agama pada level dan tingkatan yang sama (egaliter). Konsep ini menegaskan bahwa kesungguhan dalam beragama tidak boleh disertai dengan anggapan bahwa agama yang lain salah. Wahdatul Al Adyan juga menghilangkan batas-batas dan sekat-sekat yang selama ini menjadi penghalang (barrier) dalam melakukan dialog dan transformasi nilai-nilai universal antar agama. Dalam konsep ini rasa saling mencurigai dan mengawasi dan diawasi oleh yang lain harus dibuang jauh-jauh mengingat sikap seperti ini sering memunculkan ketegangan dan disharmoni sebuah hubungan yang selama ini di bangun bersama. Wahdatul Al Adyan merupakan konsep yang sangat fair karena ia sangat respek terhadap umat 28
. Abdul Hakim Hassan, lihat dalam Amin Syukur dalam Tasawuf Sosil, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 40
29
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf Sufisme dan tanggung jawab Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet ke II 2002, hlm. 121
31
beragama lain, karena terasa sama sekali tidak ada “jarak” antara yang satu dengan yang lain. Konsep Al Hallaj ini memaknai pluralisme lebih sebagi upaya bagaimana memahami dan menghormati perbedaan bukan sebagai mempermasalahkan perbedaan. Namun bukan berarti menghendaki usaha penyatuan agama (sinkretisme) atau pencampuradukan agama-agama atau mempersalahkan melompat-lompat dari satu agama ke agama lain, justru konsep ini menghendaki seseorang memeluk dengan konsekuen agama yang diyakininya tanpa embel-embel dan pemberian label (stereotip) negatif terhadap agama yang lain. Wahdatul Al Adyan mengandaikan terciptanya sebuah iklim keberagamaan yang saling terbuka satu sama lain, saling belajar, mengedepankan sikap inklusif untuk kemudian diwujudkan dalam tindakan dan aksi yang jelas, tanpa harus mencurigai satu kelompok, satu agama sebagi musuh yang akan berakibat terjadinya interaksi negatif yang akhirnya dapat menimbulkan aksi sepihak yang bahkan memvonis bahkan dengan menggunakan dalil-dalil agama, pembenaran akan Tuhan atas dasar perang suci. D. Penutup Wahatul Al Adyan (kesatuan agama-agama) yang merupakan pandangan awal dari Al Hallaj pada dasarnya memandang bahwa agama yang dipeluk oleh seseorang merupakan hasil pilihan dan kehendak Tuhan, bukan sepenuhnya pilihan manusia sendiri. Oleh karenanya pandangannya bersikeras jangan sekali-kali mengajak seseorang kepada suatu agama, karena sesungguhnya itu akan menghalangi untuk sampai kepada tujuan yang kokoh. Tetapi ajaklah melihat asal atau sumber segala kemuliaan dan makna, maka dia akan memahaminya. Pandangan ini melihat bahwa wahdatul al adyan memandang bahwa sumber agama adalah satu, yakni Tuhan yang sama, sehingga wujud agama hanya bungkus lahirnya saja. Berbicara tentang konsep yang satu dan banyak, kalangan sufi memulainya dari konsep wahdat al wujud (kesatuan wujud) yang merupakan kerangka pemahaman dari Ibnu Arabi sebagai kelanjutan dari pemahaman hululnya Al Hallaj. Tuhan tidak bisa dipahami kecuali dengan memadukan dua sifat yang berlawanan pada-Nya, bahwa wujud hakiki hanyalah satu, yakni al Haqq. Meski wujud-Nya hanya satu, Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalli) dalam banyak bentuk yang tidak terbatas pada alam. Oleh karena itu menurut para sufi, orang yang telah mencapai sebuah maqom ma‟rifat ( melihat Tuhan dengan mata hatinya), seorang sufi tidak perlu jauh-jauh untuk mencari keberadaan Tuhan, cukup ia masuk ke dalam dirinya, dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya. Betapa dekatnya Tuhan dalam pandangan ini bahkan disemua tempat adalah tempat tajallinya Tuhan.
32
Nurul Mubin, M. Pd. I., MSI – Pluralisme dalam Tasawuf
Ketika dikaitkan dengan wujud maka Tuhan adalah satu-satunya yang betul-betul ada. Dialah realitas terakhir yang berarti wujudnya sejati. Tanpa mengetahui maksud dan latar belakang munculnya pernyataan Al Hallaj, salah paham terhadapnya sudah bisa dibayangkan. Dalam kenyataan sejarah Al Hallaj membayar pernyataan itu dengan nyawanya. Orang menuduhnya telah menjadi kafir karena pernyataan itu. Sedangkan ucapannya itu ditafsirkan sebagai kesombongan tak terampukan karena ia telah mengatakan klaim ketuhanan. Tetapi orang yang mengerti apa arti yang sesungguhnya dari ungkapan tersebut justru akan melihat didalamnya sebuah ungkapan kerendahan hati (tawadhu‟)30. Wallahu a‟lam DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman Wahid, dkk, Dialog Kritik dan Identitas Agama, Dian / Interfidei, Yogyakarta, 1993 Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1989. Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif, Buku Kompas, Jakarta, 2004, Al Baqillani, At Tamhid fir Raddi alal Mulhidah wal Mu'aththilah, war Rafidhah, wal Khawarij, wal tahqiq: Mahmud Muhammad al Khudhairi, Dr. Muhammad Abdul Hadi Abu Raidah, cet. Kairo, tahun 1947 M. Mu'tazilah Alwi Sihab, Islam Inklusif ; Menuju Sikap terbuka Umumnya, Mizan, Bandung, 1999, Cet, I, Amin Syukur dalam Tasawuf Sosil, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004 ______________ Menggugat Tasawuf Sufisme dan tanggung jawab Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet ke II 2002. Anis Malik Toha dosen Perbandingan Agama di Universitas Islam antar bangsa (UIA) Malaysia, dalam Hidayatullah.com, pada 12 Februari 2008 A. Soenarjo, SH, Al-Quran dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir al-Qur‟an, Jakarta, 1971. Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, CV. Adi Grafika, Semarang, 1994 Fahrudin Salim, Pluralisme dan Toleransi Keberagamaan dalam Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keberagamaan, (ed) Nur Rahmad, PT Kompas Media Utama, Jakarta, 2001.
30
Mulyadi Kertanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Erlangga, Jakarta, 2006, hlm. 33
33
Fatimah Usman, Wahdah al Adyan (Pluralisme Agama), Penemu dan latar belakang sosialnya dalam Tasawuf dan Kritis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001 Harun Nasution Islam di tinjau dari berbagai asdpeknya, jilid II, UI Press, Jakarta, 1986. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjil Balaghah, juz 17, hal. 141, tahqiq: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, cet. Kairo, tahun 1959 M Mukhotob Hamzah, Fikih Politik, Yayasan Narasi Unggul dan Poles, Wonosobo, 2003. Mulyadi Kertanegara, Menyelami Lubuk taawuf, Erlangga, Jakarta, 2006. Nurcholish Madjid, Pluralisme Agama di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998. Ongkhokham, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sejarah, dalam Abdurrahman Wahid Dialog Kritik dan Identitas Agama Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama atas Pemikiran Muhammad Arkom, Bentang, Jakarta, 2000. Syafa'atun Elmirzanah, dkk, Pluralisme ; Konflik dan Perdamaian, Dian/Interfidei, Yogyakarta, 20002, .Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995, Cet. I,
34
DINAMIKA PERTUMBUHAN PESANTREN (Melacak Akar-Akar Historis Perkembangan Pesantren di Jawa) Drs. Zaenal Sukawi, MA Dosen Fakultas Komunikasi dan Sosial Politik UNSIQ Pesantren telah ada di Indonesia sejak dua abad lalu dan tidak mengalami penurunan peran. Bahkan justru semakin eksis dan diminati masyarakat. Ini bisa dilihat dari pertumbuhan jumlah pesantren dalam tiga dasa warsa terakhir. Jumlah lembaga pendidikan pesantren di seluruh Indonesia pada kurun waktu 20 tahun terakhir, berkembang sangat cepat. Pada tahun 2020 mendatang jumlah lembaga pesantren kemungkinan akan mencapai sekitar 25.000. Jumlah lembaga pesantren yang terus berlanjut tersebut disebabkan karena lembaga pendidikan pesantren inilah yang dengan cepat dapat memberikan santunan pendidikan bagi generasi muda pedesaan yang memerlukan pendidikan tingkat menengah dan tinggi. Di samping itu, dewasa ini juga banyak sekali generasi muda yang berlatarbelakang pendidikan pesantren berhasil menyelesaikan pendidikan guru di berbagai perguruan tinggi. Pesantren kini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah). Proses modernisasi pondok pesantren ini merupakan upaya untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren.
Kata kunci: Pesantren, tradisional, Modern, Pendidikan. A. Pendahuluan Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang telah melekat dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia sejak ratusan tahun yang silam, dan telah banyak memberikan kontribusi signifikan dalam pembangunan bangsa ini, sehingga tak mengherankan jika pakar pendidikan sekelas Ki Hajar Dewantoro dan Dr. Soetomo pernah mencita citakan model system pendidikan pesantren sebagai model pendidikan Nasional. Menurut Nurcholis Madjid, secara historis pesantren tidak hanya
identik dengan makna keislaman tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia.1 Karena, sebelum datangnya Islam ke Indonesia pun lembaga serupa pesantren ini sudah ada di Indonesia dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya. Dengan kata lain, pesantren merupakan hasil penyerapan akulturasi kebudayaan HinduBudha dan kebudayaan Islam kemudian menjelma menjadi suatu lembaga yang kita kenal sebagai pesantren sekarang ini. Setelah melalui beberapa kurun waktu, pesantren tumbuh dan berkembang secara subur dengan tetap menyandang ciri-ciri tradisionalnya. Sebagai lembaga pendidikan indigenous, menurut Azra, pesantren memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakatnya dan sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan.2 Bertahannya pesantren hingga kini, tidak hanya karena pesantren identik dengan makna ke-Islaman tetapi karakter eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Ada satu hipotesa bahwa jika kita tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Sehingga perguruanperguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa ITB, UI, IPB, UGM, UNAIR ataupun lainnya tetapi mungkin namanya Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan dengan sistem pendidikan di Barat sendiri. Dimana hampir semua Universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan. Mungkin juga bila kita tidak pernah dijajah, kebanyakan pesantren tidak akan berada jauh terpencil di pedesaaan seperti kita lihat sekarang. Di samping itu dewasa ini, banyak juga pendidikan umum yang mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan pesantren seperti yang di lakukan oleh SMU Madania di Parung, SMU Insan Cendekia-nya BPPT (sekarang MA Unggulan-nya Departemen Agama RI) di Serpong. Assalam di Surakarta, Ketiganya mengadopsi sistem asrama dengan menyebutnya “boarding school”. Sistem”boarding” tentu saja merupakan salah satu karakteristik dasar sistem pendidikan pesantren. Bahkan akhir-akhir ini para pengamat dan praktisi pendidikan 1 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Cet. 1. Jakarta : Paramadina, 1997., hal.: 3 2 Azyurmardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, cet. I. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998., hal.: 87
36
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
dikejutkan dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pedidikan pondok pesantren di tanah air ini. Pertumbuhan pesantren yang semula rural based institution menjadi juga lembaga pendidikan urban, bermunculan juga di kota-kota besar. Hal tersebut tidak terlepas dari kesuksesan pendidikan pesantren yang telah mampu menciptakan generasi yang berinteregitas tinggi, bertanggung jawab atas ilmu yang di perolehnya- meminjam istilah pesantrennya “berilmu amaliyah dan beramal ilmiyah”, sadar akan penciptaannya sebagai kholifah di bumi. Semua ini dibuktikan dengan tidak sedikitnya pemimpin-pemimpin bangsa ini, baik pemimpin yang duduk dalam pemerintahan maupun yang bukan, formal atau informal, besar maupun kecil, dilahirkan oleh pondok pesantren. Dari uraian di atas, maka masalah yang hendak dikaji dalam paper ini adalah, Bagaimanakah akar-akar historis pertumbuhan lembaga pondok pesantren dalam dinamika perubahan social masyarakat Indonesia. B. Pembahasan 1. Pengertian Pesantren Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua dan khas Indonesia. Ia merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pencinta ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai anatominya dari berbagai demensi. Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama (intelektual) pada umumnya terus menyelenggarakan misinya agar umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya debagai warasat al anbiya. Dari kawahnya, sebagai obyek studi telah lahir doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari antropologi, sosiologi, pendidikan, politik, agama dan lain sebagainya. Sehingga kita melihat pesantren sebagai sistem pendidikan Islam di negeri ini yang kontribusinya tidak kecil bagi pembangunan manusia seutuhnya. Secara terminologis, pendidikan pesantren jika dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Karena, sebelum datangnya Islam ke Indonesia pun lembaga serupa pesantren ini sudah ada di Indonesia dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya. Dan secara etimologi, istilah pesantren berasal dari kata "santri" , yang dengan awalan pe- dan akhiran -an berarti tempat tinggal para santri. Kata "santri" juga merupakan penggabungan antara suku kata sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat
37
diartikan sebagai tempat mendidik manusia yang baik.3 Menurut Abdurahman Wahid, “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas”.4 Sementara, Dhofier menyebutkan bahwa menurut Profesor Johns, istilah "santri" berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedang C C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, bukubuku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.5 Dengan kata lain, istilah santri mempunyai pengertian seorang murid yang belajar bukubuku suci/ilmu-ilmu pengetahuan Agama Islam. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat.6 Dalam hubungan dengan usaha pengembangan dan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama, pengertian yang lazim dipergunakan untuk pesantren adalah sebagai berikut: Pertama, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non-klasikal (sistem Bandongan dan Sorogan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulamaulama besar sejak abad pertengahan, (Sistem Bandongan dan Sorongan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad
3
Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo, cet I. Jakarta : P3M, 1986, hal.: 8 4 Abdurohman Wahid,. Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta : LKIS, 2001,. hal. :171 5 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta. 1985, hal.:18 6 Fenomena, 2005., hal: 72
38
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok/asrama dalam lingkungan pesantren tersebut. Kedua, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut diatas tetapi para santrinya tidak disediakan pondokan di kompleks pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (Santri kalong), dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem wetonan, para santri berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu (umpama tiap hari jum'at, ahad, selasa atau tiap-tiap waktu shalat dan sebagainya). Ketiga, pondok pesantren dewasa ini adalah gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan atau wetonan dengan disediakan pondokan untuk para santri yang berasal dari jauh dan juga menerima santri kalong, yang dalam istilah pendidikan modern menuhi kriteria pendidikan non formal serta menyelenggarakan juga pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan sesuai dengan kebutuhan masyarakat masing-masing.7 Secara definitive, kiranya sulit untuk memberikan batasan yang tegas tentang pondok pesantren, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren. Jadi pondok pesantren belum ada pengertian yang lebih konkrit, karena masih meliputi beberapa unsur untuk dapat mengartikan pondok pesantren secara komprehensif. Bahkan seiring dengan perkembangan dan arus dinamika zaman, definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awalnya pesantren diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional, tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tidak lagi selamanya benar. 2. Unsur-Unsur Sebuah Pesantren Di Indonesia sekarang ini telah terdapat ribuan lembaga pendidikan Islam, yang terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa.8 Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak 7
Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Persantren di Indonesia, Jakarta : Dharma Bhakti, 1982,
8
Azumardi Azra, Op.cit, hal.: 70
hal.: 9-10
39
macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang cukup unik karena memiliki elemen dan karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Elemen-elemen Islam yang paling pokok, yaitu: pondok atau tempat tinggal para santri, masjid, kitab-kitab klasik, kyai dan santri. 9 Kelima elemen inilah yang menjadi persyaratan terbentuknya sebuah pesantren, dan masing-masing elemen tersebut saling terkait satu sama dengan lain untuk tercapainya tujuan pesantren, khususnya, dan tujuan pendidikan Islam, pada umumnya, yaitu membentuk pribadi muslim seutuhnya (insan kamil). a. Kyai: Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren.10 Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa,11 Zamaksari Dhofier mengatakan; Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1) Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2) Gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 3) Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.12 b. Masjid: Hubungan pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Sejak zaman Rasulullah kaum muslimin telah memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah, 9
Zamakhsari Dhofier, Op. cit, hal.: 44 Hasbullah, Drs., Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999,hal.: 44 11 Ziemek, Op.cit. hal.:130 12 Zamakhsari Dhofier, Op. cit, hal : 55 10
40
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
sekaligus tempat belajar (pendidikan Islam). Sebagai pusat kehidupan rohani, sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat muslim. Dilingkungan pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.13 Pada umumnya masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai. c. Santri Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren, karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya. Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. d. Pondok Definisi singkat istilah „pondok‟ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya.14 Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Ada pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri lakilaki. e. Kitab-Kitab Islam Klasik Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning. Menurut Dhofier, “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik…. merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.”15 Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga 13
Ibid., hal.: 49 Hasbullah, Op.cit. hal.:142 15 Ibid, hal.: 50 14
41
penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan16 Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: nahwu dan saraf (morfologi), fiqh, usul fiqh, hadis, tafsir, tauhid, tasawwuf, etika, dan cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama.17 3. Model Pendidikan Pesantren Sejak lahirnya Islam yang dibawa Rasulullah pusat pendidikan Islam adalah masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar pun biasanya diberikan pada waktu malam hari agar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Menurut Zuhairini, tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren”.18 Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama. Penyelenggaraan pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri dibawah pimpinan kyai atau ulama, dibantu seorang atau beberapa ustadz (pengajar) yang hidup ditengahtengah para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat peribadatan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri. Kegiatan pendidikannya pun diselenggarakan menurut aturan pesantren itu sendiri dan didasarkan atas prinsip keagamaaan. Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Rundongan atau Wetonan adalah metode pengajaran dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang membacakan kitab tertentu, sementara santri 16
Hasbullah, Op.cit, hal.: 144 Zamakhsari Dhofier, Op. cit, hal: 51 18 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta. 1997, hal.: 212 17
42
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan-catatan. Disebut dengan istilah Wetonan, berasal dari kata wektu (istilah jawa untuk kata: waktu), karena pelajaran itu disampaikan pada waktuwaktu tertentu seperti sebelum atau sesudah shalat fardhu yang lima atau pada hari-hari tertentu. Sorogan, adalah metode pengajaran individual, santri menghadap Kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Kyai membacakan pelajaran dari kitab tersebut kalimat demi kalimat, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak dan mengesahkan (istilah jawa: ngesah), yaitu dengan memberi catatan pada kitabnya untuk menandai bahwa ilmu itu telah diberikan kyai. Adapun istilah sorogan tersebut berasal dari kata sorog (jawa) yang berarti menyodorkan, maksudnya santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai, sehingga terkadang santri itu sendiri yang membaca kitabnya dihadapan kyai, sedangkan kyai hanya menyimak dan memberikan koreksi bila ada kesalahan dari bacaan santri tersebut. 4. Pertumbuhan dan Perkembangan Pesantren Akar-akar historis keberadaan pesantren di Indonesia dapat di lacak jauh ke belakang, yaitu pada masa-masa awal datangnya Islam di bumi Nusantara ini, dan tidak diragukan lagi bahwa pesantren intens terlibat dalam proses islamisasi tersebut. Sementara proses islamisasi itu, pesantren dengan canggihnya telah melakukan akomodasi dan transformasi sosio-kultural terhadap pola kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu, dalam prespektif historis, lahirnya pesantren bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan pentingnya pendidikan, tetapi juga untuk penyiaran agama Islam. Studi yang dilakukan oleh para sarjana kadang-kadang belum menemukan titik temu yang dapat dipakai sebagai sumber informasi yang benar-benar dipercaya mengenai perjalanan kehidupan pesantren. Seperti dikemukakan oleh Geertz sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier, bahwa: "Islam masuk ke Indonesia secara sistematis baru pada abad ke14, herpapasan dengan suatu kebudayaan besar yang telah menciptakan suatu sistern politik, nilai-nilai estetika, dan kehidupan sosial keagamaan ayang sangat maju, yang dukembangkan oleh kerajaan Hindu-Budha di Jawa yang telah sanggup menanamkan akar yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia”19 19
Zamakhsari Dhofier, Op. cit, hal: 6
43
Sesungguhnya proses terbentuknya pesantren dapat dipastikan sebagai upaya untuk melembagakan kegiatan agama, agar memiliki posisi dan peran yang berarti dalam menangani dan menanggulangi berbagai permasalahan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh para pemula penyebar agama Islam yang dilaksanakan melalui kegiatan non formal dengan tatap muka yang kurang terjadwal berubah secara berangsur-angsur menjadi kegiatan yang terorganisasi, terlembaga dalam wujud yayasan-yayasan pendidikan pesantren, dari pesantren dengan sistem pendidikannya yang masih sangat sederhana hingga pesantren yang telah menerapkan sistem pendidikan sebagaimana lembaga pendidikan sekolah atau lebih dikenal dengan sebutan sekolah berasrama (Islamic Boarding School). a. Pesantren Masa Walisongo Asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo pada abad ke-15 - 16 di Jawa. Pada zaman walisongo ini pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Menurut M. Dawam Raharjo, hal itu menjadi identitas pesantren pada awal pertumbuhannya, yaitu sebagai pusat penyebaran agama Islam, disamping sebagai sebuah lembaga pendidikan.20 Dan pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren.21 Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Jawa abad ke-15 - 16 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Girl, Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati. "Wali" dalam bahasa Inggris pada umumnya diartikan "saint", sementara "songo" adalah istilah bahasa jawa yang berarti sembilan. Sedangkan Menurut Prof. Adnan kata “sanga” berasal dari perubahan dari kekeliruan dalam melapalkan kata sana yang berasal dari kata tsana yang searti dengan mahmud (terpuji). Dalam sejarahnya, walisongo merupakan tokoh sentral dalam penyebaran Islam di Jawa. 20 M. Dawam Raharjo, “Perkembangan Masyarakat dalam Perspektif Pesantren”, Pengantar dalam M. Dawam Raharjo (ed), Pergaulan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah, Jakarta : P3M, 1985., hal. vii. 21 Hasbullah, Op.cit. hal.:149
44
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
Dalam pandangan orang jawa (santri jawa), Walisongo adalah pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual religius mereka, bumi jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar terang. Posisi mereka dalam kehidupan sosio-kultural dan religius di jawa demikian memikat. Pada abad ke-15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah mereka hingga mereka memiliki jaringan di kota kota bisnis di sepanjang pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kota-kota inilah komunitas muslim pada mulanya terbentuk. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo mendirikan masjid pertama di Tanah Jawa, yaitu masjid Demak. Masjid ini kemudian menjadi pusat terpenting di Jawa dan memainkan peran besar dalam upaya menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa termasuk daerah-daerah pedalaman. Pendidikan Islam atau juga transmisi Islam yang dipelopori Walisongo merupakan perjuangan brilliant yang diimplementasikan dengan cara sederhana, yaitu menunjukkan jalan dan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, serta mudah ditangkap oleh orang awam karena pendekatan-pendekatan Walisongo yang konkrit realistik, tidak "jlimet" dan menyatu dengan kehidupan masyarakat. Approach dan wisdom Walisongo agaknya terlembaga dalam satu esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri. Melalui konsep modeling, keagungan Muhammad SAW, serta kharisma Walisongo, yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kyai, telah terjunjung tinggi dari masa ke masa. Barangkali karena modeling ini pula gagasan pesantren sederhana yang diperkenalkan Maulana Malik Ibrahim mampu eksis dan berekembanng dari abad ke abad sampai kini. Dan untuk mengantisipasi dan mengakomodasi persoalan-persoalan sosial keagamaan serta merekrut murid-murid baru, Maulana Malik lbrahim tidak merasa kesulitan dalam mendirikan prototipe pesantren dalam bentuk embrio. Pendirian pesantren ini dibarengi dengan keberhasilan tokoh ini dalam menarik simpati massa, dan melengkapi diri dengan modal materi pribadi yang digunakan untuk dakwah lslamiyyah sebagai "a traveling Muslim merchant" dan guru panutan. Pada siang hari, sang guru membawa anak
45
didik ke sawah dan malam hari mengajarkan mereka ilmu-ilmu dasar seperti membaca A1-Qur'an. Karena rekayasa ini, tokoh ini sering disebut sebagai "the father of early pesantren" di Jawa. Langkah beliau ini kemudian diikuti oleh para wali setelahnya, seperti yang dilakukan oleh Raden Rahmat atau lebih dikenal dengan Sunan Ampel dengan mendirikan pesantren di daerah Kembang Kuning (Surabaya) 22 sebagai pusat kegiatan dalam mengajarkan dan mendakwahkan agama 23. Pesantren ini yang terdokumentasi dalam Babad Tanah Djawi sebagai awal mula adanya sebuah lembaga yang disebut "pesantren". 24. Menurut Walisongo mendidik adalah tugas dan panggilan agama. Mendidik murid sama halnya dengan mendidik anak sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini adalah "sayangi, hormati, dan jagalah anak didikmu, hargailah tingkah laku mereka sebagaimana engkau memperlakukan anak turunmu. Beri mereka makanan dan pakaian, hingga mereka bisa menjalankan syari'at Islam dan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan". Sedangkan pola hubungan antara santri dan kyai lebih diwarnai oleh ajaran dari kitab ta'lim al-Muta'allim karya Zarnuji, yang dianggap sebagai pedoman etika mencari ilmu yang melibatkan peran kyai. b. Pesantren Masa Kerajaan Mataram Islam Pada abad berikutnya setelah masa Walisongo, sekitar abad ke-17, lembaga pendidikan pesantren semakin mendapatkan posisi di masyarakat, karena penguasa kerajaan saat itu memberikan perhatian besar terhadap pendidikan agama Islam dengan memelopori usaha-usaha untuk memajukan dunia pendidikan dan pengajaran Islam. Pengaruh Walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah Mataram dari tahun 1613 sampai dengan 1645, Sultan Agung merupakan penguasa terbesar di Jawa setelah pemerintahan Majapahit dan Demak, yang juga dikenal sebagai Sultan Abdurrahman dan Khalifatullah Sayyidin Panotogomo Ing Tanah Jawi, yang berarti pemimpin dan penegak agama di tanah jawa. Sultan Agung adalah pemimpin negara yang salih dan menjadi salah satu rujukan utama bagi dunia santri. Sultan Agung 22
Marwan saridjo, dkk, Sejarah Pondok Persantren di Indonesia, Jakarta : Dharma Bhakti, 1982
23
Dawam Raharjo, Op..cit. Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. I. Jakarta : Logos, 1999, hal.:145
hal.:25 24
46
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
menjalin hubungan intim dengan kelompok ulama. Bersama mereka, Sultan Agung melaksanakan shalat jum'at dan diikuti dengan tradisi musyawarah dan mendengar fatwa-fatwa keagamaan mereka.25 Sebagai wujud besarnya perhatian Sultan Agung terhadap pendidikan Islam, beliau menawarkan tanah pendidikan bagi kaum santri serta menciptakan iklim sehat bagi kehidupan intelektualisme keagamaan hingga komunitas ini berhasil mengembangkan lembaga pendidikan mereka tidak kurang dari 300-an pesantren. Tanah perdikan, tanah dengan beberapa privileges adalah sebuah lokasi untuk kepentingan kehidupan beragama yang dibebaskan dari pajak Negara. Perkembangan berikutnya menunjukkkan bahwa tanah perdikan meluas menjadi sebuah kampong khusus yang memiliki fungsi keagamaan seperti menjaga tempat-tempat suci, merawat dan mengembangkan pesantren serta menghidupkan Masjid. 26 Pendidikan pesantren yang diselenggarakan pada masa kerajaan Mataram, khususnya masa Sultan Agung, dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Tingkat pengajian Al-Qur'an, yang terdapat dalam setiap desa, yang diajarkan meliputi huruf Hijaiyah, membaca Al Qur'an, barjanji, Rukun Iman, Rukun Islam. Gurunya Modin. 2. Tingkat pengajian Kitab, para santri yang belajar pada tingkat ini adalah mereka yang telah khatam Al-Qur'an. Gurunya biasanya modin terpandai di desa itu, atau didatangkan dari luar dengan syarat-syarat tertentu. Guru-guru tersebut diberi gelar Abah Anom. Tempat belajar biasanya di serambi masjid dan mereka umumnya mondok. Kitab yang dipelajari adalah kitab-kitab dasar, seperti Matan Taqrib, Bidayatul Hidayah. Sistem yang digunakan adalah Sorogan 3. Tingkat Pesantren Besar, tingkat ini lengkap dengan pondok dan tergolong tingkat tinggi. Gurunya diberi gelar Kyai Sepuh atau Kanjeng Kyai dan umumnya para priyayi "ulama kerajaan" yang tingkat kedudukannya sama dengan penghulu. Adapun pelajaran yang diberikan pada pondok pesantren tingkat ini pada umumnya berbentuk syarah dan 25 KH. Saefudin Zuhri, Sejarah kebangkitan Islam dan perkembangannya di Indonesia, Bandung : PT Al Ma‟arif , 1979. hal.: 534 - 535 26 Karel A Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke – 19, Jakarta : Bulan Bintang, 1984, hal.:165 -172
47
hasyiyah dalam berbagai disiplin ilmu agama seperti Fiqih, Tafsir, Hadits, llmu Kalam, Tasawuf , Nahwu, Sharaf dan lain-lain. 4. Pondok Pesantren tingkat Keahlian (takhassus). Pelajaran pada pondok pesantren tingkat takhassus ini adalah bersifat memperdalam sesuatu fan atau disiplin ilmu pengetahuan agama seperti hadits, Tafsir, Tarekat dan sebagainya. 27 Sejalan dengan proses dinamis ini pendidikan Islam di Jawa masa kerajaan Mataram, khususnya pada masa Sultan Agung, dipandang oleh Mahmud Yunus, sebagai masa keemasan sistem pendidikan Islam abad ke-19." c. Pesantren Masa Kolonial Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut. Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah.28 27 28
Mahmud Yunus, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mahmudiyah, tt , hal. 196 Zamaksari Dhofier,Op.cit. hal.: 41
48
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
Kemajuan pendidikan dan pengajaran Islam yang pesat pada masa kerajaan Mataram rupanya membuat pemerintah kolonial Belanda merasa khawatir. Sebab, dengan majunya pesantren, pada suatu saat akan mengancam kedudukan Belanda. Oleh karena itu, di kalangan pemerintah Belanda, muncul ada dua alternatif untuk memberikan pendidikan kepada bangsa Indonesia, yaitu mendirikan lembaga pendidikan yang berdasarkan lembaga pendidikan tradisional, pesantren atau mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di Barat waktu itu. Pendidikan yang diselenggarakan secara tradisional di pesantren menurut pemerintah Belanda terlalu jelek dan tidak mungkin dikembangkan menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu, mereka memilih alternatif kedua yaitu mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan yang telah ada.29Pendidikan Kolonial Belanda ini sangat berbeda dengan pendidikan Islam Indonesia yang tradisional, bukan saja dari segi metode, tetapi lebih khusus dari segi isi dan tujuannya. Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda ini khususnya berpusat pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi, yaitu pengetahuan umum. Sedangkan lembaga pendidikan Islam lebih ditekankan pada pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi penghayatan agama.30 Dengan didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan bagi sebagian bangsa Indonesia, terutama bagi golongan priyayi dan pejabat, oleh pemerintah kolonial tersebut maka sejak itu terjadilah persaingan antara lembaga pendidikan tersebut dengan lembaga pendidikan pesantren. Meskipun harus bersaing dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah kolonial, lembaga pendidikan pesantren tetap eksis dan bahkan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Jika pada awal abad ke-19, waktu Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah, jumlah pesantren di Jawa hanya sebanyak 1.853 buah, dengan jumlah santri 16.556 orang. Tetapi pada akhir abad ke-19 jumlah pesantren mencapai 14.929 buah dan jumlah santri sebanyak 222.663 orang. 31 Persaingan yang terjadi tersebut bukan hanya segi-segi ideologis dan citacita pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam 29
Mahmud Yunus, Sejarah pendidikan Islam, Jakarta : Bulan bintang, 1983, hal. 226 - 227 Karel A Steenbrink, Pesantren Sekolah, Madrasah : Pendidikan Islam dalam kurun Modern, ,Jakarta :LP3ES, 1986, hal.: 24 31 Zamakhsari Dhofier, Op. cit. hal.: 33 30
49
bentuk perlawanan politis, bahkan perlawanan fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan ) melawan pemerintah koonial Belanda pada abad ke-19 bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan dari pesantren. Perang-perang besar, seperti Perang Diponegoro, Perang Paderi, Perang Banjar, sampai perlawanan-perlawanan rakyat yang bersifat lokal tersebar di mana-mana, tokoh-tokoh pesantren atau alumni-alumninya memegang peranan utama.32 Menyaksikan kenyataan yang demikian menyebabkan pemerintah kolonial di akhir abad ke-19 mencurigai eksistensi pesantren, yang mereka anggap sebagai sumber perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Oleh karena itu, pemerintah kolonial mulai mengadakan pengawasan dan campur tangan terhadap pendidikan pesantren dengan mengeluarkan ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap perguruan yang mengajarkan agama, seperti pesantren dan guru-guru agama yang akan mengajar juga harus mendapatkan izin dari pemerintah kolonial di wilayah setempat. Sejalan dengan perkembangan sekolah-sekolah Barat yang mulai menjangkau sebagian bangsa Indonesia, pesantren pun mulai mengalami perkembangan yang bersifat kualitatif. Ide-ide pembaharuan dalam Islam, termasuk dalam bidang pendidikan mulai masuk ke Indonesia dan mulai merasuk ke dunia pesantren, serta dunia pendidikan Islam pada umumnya. Ide-ide pembaharuan dalam dunia Islam itu timbul sebagai akibat kemunduran umat Islam dan merajalelanya penjajahan Barat. Umat Islam menyadari akan kelemahan dan ketertinggalannya dari Barat, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi maupun budaya. Olah karena itu usaha pembaharuan pada umumnya ditekankan pada pembaharuan dalam dunia pendidikan. Pada garis besarnya ide pembaharuan dalam bidang pendidikan yang berkembang di dunia Islam, bisa digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1. Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi kepada sistem pendidikan yang berlaku di Barat. 2. Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada ajaran Islam yang murni. 3. Gerakan pembaharuan pendidikan yang berorientasi pada kekuatan-kekuatan dan latar belakang sejarah bangsa masingmasing.
32
Sartono Karto Dirjo, Sejarah Nasional, Jakarta : Balai Pustaka, 1977, hal.: 131
50
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
Ketiga pandangan tersebut, nampaknya mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan pembaharuan pesantren dan sistem pendidikan Islam di Indonesia menjelang abad ke-20. Sistem penyelenggaraan sekolah-sekolah modern klasikal mulai masuk ke dunia pesantren. Sementara itu, di beberapa pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah, sebagaimana sistem yang berlaku di sekolah-sekolah umum, tetapi pelajarannya dititik beratkan pada pelajaran agama saja. Kemudian pada pcrkembangan berikutnya, madrasah-madrasah yang semata-mata bersifat diniyah berubah menjadi madarasah-madrasah yang mengajarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan umum. d. Pesantren Masa Pasca Kemerdekaan hingga Era Reformasi Pesantren sejak masa kebangkitan nasional hingga masa perjuangan kemerdekaan, senantiasa tampil dan berpartisipasi aktif. Oleh karena itu, setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, pesantren masih mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Ki Hajar Dewantoro yang dikenal sebagai tokoh pendidikan nasional dan sekaligus Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.33 Sejak awal kehadiran pesantren dengan sifatnya yang lentur ternyata mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga pada masa kemerdekaan dan pembangunan, pesantren mampu menampilkan dirinya berperan aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, terutama dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas. Meskipun demikian, pesantren juga tidak luput dari berbagai kritik terhadap kelemahan sistem pendidikannya, dengan manajemen tradisional. Tetapi beberapa pesantren dapat segera mengidentifikasi persoalan ini dan melakukan berbagai inovasi untuk pengembangan pesantren. Disamping pengetahuan agama Islam, diajarkan pula pengetahuan umum dan ketrampilan (vocational) sebagai upaya untuk memberikan bekal tambahan kepada santri agar selepas mereka dari pesantren dapat hidup 33
Ki Hajar Dewantara, Pendidikan, bagian Pertama, cet 2, Yogyakarta : Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977,hal.: 371
51
mandiri dan mapan ditengah-tengah masyarakat. Beberapa pesantern juga telah menggunakan sistem klasikal dengan saran dan prasarana pengajaran sebagaimana yang ada di sekolahsekolah umum. Bahkan ada juga pesantren yang lebih cenderung mengelola dan membina lembaga pendidikan. formal, baik madrasah atau sekolah umum mulai dari tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi. Transformasi kelembagaan pondok pesantren ini mengindikasikan terjadinya keberlangsungan dan perubahan dalam sistem pondok pesantren. Dalam konteks ini, pesantren disamping mampu terus menjaga eksistensinya juga sekaligus bisa mengimbangi dan menjawab perubahan dan tuntutan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa tradisi pesantren memiliki kelenturan budaya yang memungkinkannya bisa tetap hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Penting ditegaskan di sini bahwa transformasi tersebut pada kenyataannya tiak menggeser ciri khas dan sekaligus kekuatannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Demikianlah pesantren yang telah ada di Indonesia sejak dua abad lalu tidak mengalami penurunan peran. Bahkan justru semakin eksis dan diminati masyarakat. Ini bisa dilihat dari pertumbuhan jumlah pesantren dalam tiga dasa warsa terakhir, sejak tahun 1970-an. Data Departemen Agama, misalnya, menyebutkan pada 1977 jumlah pesantren sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.384 orang. Jumlah tersebut rnenngalami peningkatan bcrarti pada 1981, dimana pesantren berjumlah sekitar 5.661 buah dengan jumlah santri sebanyak 938.397 orang. Pada 1985 jumlah pesantren mengalami kenaikan lagi menjadi 6.239 dengan jumlah santri mencapai sekitar 1.084.801 orang dan pada 1997/1998 Departemen Agama telah mencatat 9.388 buah pesantren dengan santri sebanyak 1.770.768 orang.34 Jumlah lembaga pendidikan pesantren di seluruh Indonesia pada kurun waktu 20 tahun terakhir, berkembang sangat cepat; pada bulan Desember 2007 yang lalu telah mencapai sebanyak 17.506, dengan jumlah santri sebanyak 3.289.141.35 Dan pada tahun 2020
34 Data Potensi Pondok Pesantren Seluruh Indonesia tahun 1997., Jakarta : Diroktoral Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1997 35 Booklet Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan Tahun Pelajaran 2006-2007, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia, hal. 127 dan 132, dalam Pemaparan
52
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
mendatang jumlah lembaga pesantren kemungkinan akan mencapai sekitar 25.000. Jumlah lembaga pesantren yang terus berlanjut tersebut disebabkan karena lembaga pendidikan pesantren inilah yang dengan cepat dapat memberikan santunan pendidikan bagi generasi muda pedesaan yang memerlukan pendidikan tingkat menengah dan tinggi.36 Disamping itu, dewasa ini juga banyak sekali generasi muda yang berlatar-belakang pendidikan pesantren berhasil menyelesaikan pendidikan guru di berbagai perguruan tinggi.37 Seiring dengan pekembangan zaman, pesantren kini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah). Proses modernisasi pondok pesantren ini merupakan upaya untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Bahkan dewasa ini, pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern diantaranya adalah telah mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.38 Kini di tengah-tengah sistem Pendidikan Nasional yang selalu berubah-rubah dalam jeda waktu yang tidak lama, apresiasi masyarakat Islam Indonesia terhadap pesantren makin hari makin besar, pesantren yang asalnya sebagai Rural Based Institusion telah tumbuh menjadi lembaga pendidikan urban, hal ini dapat dilihat dengan kemunculan sejumlah pesantren kota seperti di Jakarta, Bandung, Medan,Pekanbaru, Jogjakarta, Malang, Semarang, Ujung disampaikan oleh Dr. Zamaksari Dhofier, dalam kegiatan kuliah “Pendidikan Islam Indonesia” di Program Pascasarjana Magister Pendidikan Islam UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo tahun 2008 36 Pemaparan data ini disampaikan oleh Dr. Zamaksari Dhofier, dalam kegiatan kuliah “Pendidikan Islam Indonesia” di Program Pascasarjana Magister Pendidikan Islam UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo tahun 2008 37 Ibid 38 Hasbullah, Op.cit, hal.:155
53
Pandang, atau sub-urban Jakarta seperti Parung, Cilangkap. Atau misalnya pesantren yang muncul pada tahun 1980-an seperti Pesantren Darun Najah, Cianjur, dan Ashidiqiyah di Jakarta; Pesantren Nurul hakim, al-Kautsar, Darul Arafah di Medan, Darul Hadits Hutabaringin,Darul Ikhlas di Dalan-lidang, dan Pesantren Muara Mais, Darul Hikmah di Pekan Baru dan sebagainya. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia, jelas telah mewarnai perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren dengan berbagai kelebihannya, tentunya juga tidak dapat menghindar dari kritik terhadap kekurangannya. Diantara kelebihan pesantren terletak pada kemampuan menciptakan sebuah sikap hidup universal yang merata, yang diikuti oleh semua warga pesantren, dilandasi oleh tata nilai yang menekankan pada fungsi mengutamakan beribadat sebagai pengabdian kepada Sang Khalik dan memuliakan guru sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan agama yang hakiki, yang dikejar adalah totalitas kehidupan yang diridhoi Allah. Sikap hidup yang demikian terlepas dari acuan-acuan struktural yang ada dalam susunan kehidupan masyarakat di luar pesantren. Hal ini dapat membuat santri mampu bersikap hidup tidak menguntungkan diri pada lembaga mesyarakat yang manapun. Sementara kekurangan-kekurangannya antara lain adalah tidak adanya perencanaan yang terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan itu sendiri, tidak adanya keharusan membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah dicerna dan dikuasai oleh santri (anak didik), tidak adanya pembedaan yang jelas antara hal-hal yang benar-benar diperlukan dan yang tidak diperlukan dalam suatu tingkat pendidikan. Pedoman yang digunakan tidak mengandung nilai-nilai pendidikan, akibatnya adalah tidak adanya landasan filsafat pendidikan yang jelas dan terperinci.39 Bagaimanapun keadaan pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kita mengakui besarnya arti pesantren dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya Jawa, dan tidak berlebihan jika pesantren dianggap sebagai bagian historis bangsa Indonesia yang harus dipertahankan. Apalagi pesantren telah dianggap sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia yang mengakar kuat dari masa pra-Islam. 39
Abdurrohman Wahid, Op.cit, hal. 56 - 59
54
Dr. H. Ngarifin Shiddiq, M. Pd. I - Humanisme Pendidikan Pesantren
DAFTAR PUSTAKA Azra, Azyumardi. 1998, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, cet. I Jakarta : Logos Azra, Prof.Dr.Azyumardi, 2001, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Penerbit Kalimah, Jakarta. Dewantoro, Ki Hajar. 1977, Pendidikan, bagian Pertama, cet 2, Yogyakarta : Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa Dhofier, Zamakhsyari, 1985, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta. Fajar, A. Malik. 1995, ”Pengembangan Pendidikan Islam”, dalam Nafis (Ed), Konstekstualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Prof Dr. Munawir Sjadzali, MA, Jakarta : IPHI dan Paramadina Hasbullah, 1996, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta : PT Grafindo Persada Kartodirjo, Sartono. 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Ludjito, Ahmad. 1996, Pendekatatan integratik Pendidikan agama pada sekolah di Indonesia, dalam H.M. Chabib Thoha dkk(ed) Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam Semarang : Pustaka pelajar Madjid, Nurcholish. 1997, Bili-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan,Jakarta : Paramadina Raharjo, Dawam. 1985, “Perkembangan Masyarakat dalam Perspektif Pesantren”, pengantar dalam M. dawam raharjo (ed), Pergaulan Dunia Pesantren : Membangun dri Bawah, Jakarta : P3M Saridjo, Marwan. dkk, 1982, Sejarah Pondok Persantren di Indonesia, Jakarta : Dharma Bhakti Steenbrink, Karel A. 1984, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke – 1990 , Jakarta : Bulan Bintang Tilaar, 1997, Pengembangan Sumber daya manusia dalam Era Globalisasi, Jakarta, Grasindo Tim Redaksi, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3 , Jakarta, PT. Balai Pustaka Wahid, Abdurohman. 2001, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta : LKIS.
55
KONSEP PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP (Long Life Education) Haryanto Al-Fandi, M. Pd. I Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UNSIQ
ABSTRAKSI Pendidikan merupakan suatu proses berkelanjutan yang mengandung unsur-unsur pengajaran, latihan, bimbingan dan pimpinan dengan tumpuan khas kepada pemindahan berbagai ilmu, nilai agama dan budaya serta kemahiran yang berguna untuk diaplikasikan oleh individu (pengajar atau pendidik) kepada individu yang memerlukan pendidikan itu. Islam mengajarkan bahwa pendidikan tidak mengenal batas waktu. Setiap manusia harus senantiasa menempuh pendidikan atau mencari ilmu sepanjang hayatnya atau seumur hidupnya.
Kata kunci: Pendidikan, Pengajar, Seumur Hidup A. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan suatu proses berkelanjutan yang mengandung unsur-unsur pengajaran, latihan, bimbingan dan pimpinan dengan tumpuan khas kepada pemindahan berbagai ilmu, nilai agama dan budaya serta kemahiran yang berguna untuk diaplikasikan oleh individu (pengajar atau pendidik) kepada individu yang memerlukan pendidikan itu. Kegiatan pendidikan adalah kegiatan yang menjembatani antara kondisi-kondisi actual dengan kondisi-kondisi ideal, dan ini berlangsung dalam satuan waktu tertentu dan berbentuk dalam berbagai proses pendidikan yang merupakan serangkaian kegiatan atau langkah-langkah yang digunakan untuk mengubah kondisi awal peserta didik sebagai masukan menjadi kondisi ideal sebagai hasilnya1. Untuk lebih memperdalam pengetahuan tentang pendidikan ini, maka akan dikutibkan beberapa difinisi pedidikan dari para ahli yang berkompeten dalam bidang ini,
1
Redja Muyoharajo, “Filsafat Pendidikan” hal : 64
Pakar pendidikan dari Amerika yakni John Dewey, berpandangan bahwa pendidikan ialah satu proses membentuk kecenderungan asas yang berupa akaliah dan perasaan terhadap alam dan manusia2. Prof. Horne, yang juga tokoh pendidik Amerika, berpendapat bahwa pendidikan merupakan proses abadi bagi menyesuaikan perkembangan diri manusia yang merangkumi aspek jasmani, alam, akliah, kebebasan dan perasaan manusia terhadap Tuhan sebagaimana yang ternyata dalam akliah, perasaan dan kemahuan manusia3. Herbert Spencer, seorang ahli falsafah Inggeris (820-903 M), memiliki pandangan bahwa pendidikan ialah mempersiapkan manusia supaya dapat hidup dengan ke hidupan yang sempurna. Sedangkan pakar pendidikan Indonesia yang juga Mantan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI, Drs Fuad Hassan saat menjadi pembicara kunci pada seminar nasional "Rekonstruksi dan Revitalisasi pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Madani", di Widya Graha Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jln. Gatot Subroto Jakarta, berpendapat, pendidikan dalam arti luas merupakan ikhtiar yang ditempuh melalui tiga pendekatan, yaitu pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan. Ketiga aspek itu berlangsung sepanjang perjalanan hidup manusia. Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan ialah proses melatih akal, jasmaniah dan moral manusia (peserta didik) untuk melahirkan warganegara yang baik serta menuju ke arah kesempurnaan bagi mencapai tujuan hidup. B. SILSILAH HADIST, LONG LIFE EDUCATION Islam mengajarkan menuntut ilmu itu berlangsung seumur hidup dan tidak ada batasan waktu dalam mencarinya, muslim yang tua, muda, pria atau wanita, kaya dan miskin wajib atasnya untuk menuntut ilmu, karena ''Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap Muslim.'' (HR Thabrani). Dan bahkan wahyu yang pertama kali turun kepada Rasulullah merupakan uswah pertama dalam menuntut ilmu, wahyu pertama yang beliau terima adalah perintah untuk menjadi orang berilmu melalui membaca (iqro‟)4, hal ini benar-benar menunjukan bahwa Islam mengajak dan memerintahkan kita untuk menjadi orang yang berilmu, yang salah sau jalannya adalah dengan terus belajar, sabda Rasulullah: "Barangsiapa melalui suatu jalan untuk mencari suatu pengetahuan (Agama), Allah akan 2
Lihat Abdul Halim el-Muhammady, Januari 1984. Pendidikan Islam Skop Dan Matlamatnya, Jurnal pendidikan, Tahun 1, bil. 1, ABIM, Selangor, hlm.10, dan lihat juga John Dewey, 1910. “Democracy and Education”, Mac Millan & Co., New York, hlm. 1-2. 3 Hermen Harrel Horne, 1939. The Democratic Philosophy of Education, Mac Millan &Co.,New York, hlm. 6. 4 Lihat QS Al-Alaq [96]: 1-5
58
Haryanto Al-Fandi, M. Pd. I – Konsep Pendidikan Seumur Hidup
memudahkan baginya jalan menuju surga."5 Dan beliau S.a.w juga bersabda: "Sesungguhnya ilmu itu hanya diperoleh dengan belajar”.6 Sehubungan dengan anjuran untuk terus menuntut ilmu ini terdapat beberapa hadist yang cukup populer dikalangan umat Islam, yang juga menjadi landasan teologis konsep “long life education”. Hadist–hadist inilah yang menjadi pokok kajian dari makalah ini. a) Teks Hadist ٔرؼبنى يٍ انُطك ٔلجٕل رؼهى اآلداة ٔانؼهٕو اٌ يًٓم َفغّ ٔيؼشيٓب يٍ انفضبئم ٔلذ حث انشبسع ػهيّ انصالح ٔانغالو ػهى اكزغبثّ حيث لبل طهت انؼهى فشيضخ ٔلبل اطلبىا العلم من المهد الى اللحد اطلبىا العلم ولى بالصين فزح ٔاػهى اٌ اإلَغبٌ يطجٕع ػهى انزؼهى الٌ فشكّ ْٕ شجت ايزيبصِ ػٍ عبئش انحيٕاَبد ٔنًب كبٌ فكش ساغجب ثبنطجغ في رحصيم يب نيظ ػُذِ يٍ االدساكبد نضيّ انشجٕع انى يب شجمّ ثؼهى فيهمٍ يب ػُذِ ثى اٌ فكشِ يزٕجّ انى ٔاحذ يٍ انحمبئك ٔيُظش يب يؼشض نّ نزارّ ٔاحذ ثؼذ ٔاحذ ٔيزًشٌ ػهيّ حزى يصيش انحبق انؼٕاسض ثزهك انحميمخ يهكخ نّ فيكٌٕ ػهًّ حيُئز ثًب يؼشض نزهك انحميمخ ػهًب يخصٕصب ٔيزشٕق َفٕط أْم انمشٌ انثبَي انى رحصيهّ فيفضػٌٕ انى أْهّ فزح ٔكم رؼهيى ٔرؼهى رُْي اًَب يكٌٕ ثؼهى عبثك في يؼهٕو يب يٍ ػبنى نًٍ نيظ ثؼبنى ٔلذ يكٌٕ ثبنطجغ يغزفبدا يٍ ٔلبئغ انضيبٌ ثزشدد األرْبٌ ٔيغًى ػهًب رجشيجيب ٔلذ يكٌٕ ثبنجحث ٔاػهًبل انفكش ٔيغًى ػهًب ليبعيب ٔانؼهى يحصٕس في انزصٕس ٔانزصذيك ٔانزصٕس يطهت ثبأللٕال انشبسحخ ٔانزصذيك يكٌٕ ػٍ يمذيبد في صٕس انميبعبد نهُزبئج فمذ يحصم ثّ انيميٍ ٔلذ ال يحصم اال الُبع ٔلذيٕا في انزؼهيى يب ْٕ ألشة رُبٔال نيكٌٕ عهًب نغيشِ ٔجضد عُخ انمذيبء في انزؼهيى يشبفٓخ دٌٔ كزبة نئال يصم ػهى يغزحمّ ٔنكثشح انًشزغهيٍ ثٓب فهًب ضؼفذ انًٓى انشبح في رذٔيٍ انؼهٕو ٔضُٕا ثجؼضٓب فبعزؼًهٕا انشيض ٔاخزصشٔا يٍ انذالالد ػهىبالنزضاو فًٍ ػشف يمبصذْى حصم ػهى اغشاضٓى فزح ٔاػهى اٌ جًيغ انًؼهٕيبد اًَب رؼشف ثبنذالنخ ػهيٓب ثأحذ األيٕس انثالثخ اإلشبسح ٔانهفع ٔانخظ ٔاإلشبسح رزٕلف ػهى انًشبْذ ٔانهفع يزٕلف ػهى حضٕس انًخبطت ٔعًبػّ ٔايب انخظ فال يزٕلف ػهى شيء فٕٓ اػًٓب َفؼب ٔاششفٓب ْٕٔ خبصخ انُٕع االَغبَي فؼهى انًزؼهى اٌ يجٕدِ ٔنٕ ثُٕع يُّ ٔال شك اَّ ثبنخظ ٔانمشاءح ظٓشد خبصخ انُٕع االَغبَي يٍ انمٕح انى انفؼم ٔايزبص ػٍ عبئش انحيٕاٌ ٔضجطذ األيٕال ٔحفظذ انؼهٕو ٔانكًبل ٔاَزمهذ االخجبس يٍ صيبٌ انى صيبٌ فججهذ غشائض انمٕاثم ػهى لجٕل انكزبثخ ٔانمشاءح نكٍ انغؼي نزحصيم انًهكخ ْٕٔ يٕلٕف ػهى االخز ٔانزؼهى ٔانزًشٌ ٔانزذسة فزح ٔاػهى اٌ انؼهى ٔانُظش ٔجٕدًْب ثبنمٕح في اإلَغبٌ فيفيذ صبحجٓب ػمال الٌ انُفظ انُبطمخ ٔخشٔجٓب يٍ انمٕح
5 Ini juga bagian dari hadits tersebut, dan bagian ini diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya dari hadits Abu Hurairah, juga diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah dalam Al-Ilm 25 dengan tahqiq saya. 6 Ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah (114) dengan sanad sahih dari Abud Darda' secara marfu', dan diriwayatkan oleh lainnya secara marfu'. Ia memiliki dua syahid dari hadits Muawiyah. Saya telah mentakhrij hadits ini dalam Al-Ahaditsush Shahihah 342.
59
b) Sumber Kutipan Hadist ٌُٕ كشف انظٌُٕ ػٍ أعبيي انكزت ٔانف:: اعى انكزبة يصطفى ثٍ ػجذهللا انمغطُطيُي انشٔيي انحُفي:: اعى انًؤنف 0101 :: ٔالدح انًؤنف 0101 :: ٔفبح انًؤنف داس انكزت انؼهًيخ:: داس انُشش ثيشٔد:: يذيُخ انُشش 0991 - 0302 :: عُخ انُشش 2 :: ػذد األجضاء c) Teks Hadist tentang Belajar Seumur Hidup 1) Naskah Hadist اطلبىا العلم من المهد الى اللحد Artinya: “Tuntutlah Ilmu Dari Buaian Sampai Liang Lihat”. Penjelasan: Hadits dengan redaksi diatas, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadist, baik dalam Shahih Al-Bukhariy, Muslim, Ash-haabus Sunan ataupun yang lainnya, tetapi terdapat dalam kitab Kasyfuzh Zhunuun (1/51), yang tidak disebutkan sanad dan derajat keabsahannya, sehingga hadits tersebut tidak bias dikatakan hadist (bukan hadits), melainkan pepatah Arab, dan atau jika dikatakan sebagai hadits maka derajatnya sangat dhoif, karena sanad yang tidak diketahui dari mana asalnya. Kualitas Hadist Dengan demikian maka hadits yang disebutkan diatas, tergolong dalam kategori hadist maudhu (palsu).Sedangkan yang shahih adalah atsar yang diucapkan oleh 'ulama salaf seperti Al-Imam Ahmad bin Hambal, yang mengatakan: "Sesungguhnya aku menuntut ilmu sampai aku masuk kubur." dan ucapan 'ulama lainnya7. 2) Naskah Hadis اطلبىا العلم ولىبالصين Artinya: “Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina." Penjelasan: Redaksi seperti yang disebutkan dalam hadist diatas diriwayatkan Ibnu Addi dalam Al-Kamil (207/2), Abu Nu‟aim dalam Akhbar Ashbihan (2/106), Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (9/364), Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhol (241/324), Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami‟ (1/7-8), dan sebagainya, yang kesemuanya dengan sanad dari al-Hasan bin Athiyah, dari Abu Atikah Tharif bin Salman, dari Anas bin Malik r.a. Kemudian 7
diambil dari “Aadaabu Thaalibil 'Ilmi” hal 73-74
60
Haryanto Al-Fandi, M. Pd. I – Konsep Pendidikan Seumur Hidup
-
-
semuanya menambahkan lafazh “fa inna thalabal ilmi faridlatun 'ala kulli muslimin” Ibnu Adi berkata, tambahan kata “walaw bish Shin” kami tidak mengenalinya kecuali datang dari al-Hasan bin Athiyah." Begitu pula pernyataan al-Khatib dalam kitab Tarikh seperti dikutip Ibnul Muhib dalam al-Fawa'id. Kualitas Hadist Kelemahan hadist diatas terletak pada Abu Atikah yang telah disepakati muhadditsin sebagai perawi sanad yang sangat dha'if. Bahkan oleh Imam Bukhari dinyatakan munkar riwayatnya. Begitu pula jawaban Imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya tentang Abu Atikah ini. Tegasnya hadits diatas adalah dhaif jiddan (lemah sekali), bahkan sebagian ahli hadits menghukuminya sebagai hadits batil, tidak ada asalnya. Dan untuk mempertegas kedhoifan hadist diatas, maka akan dinukilkan pendapat ulama ahalul hadist tentang hadist tersebut, Ibnul Jauziy –rahimahullah- dalam :Al-Maudhu‟at” (1/215) berkata, „‟Ibnu Hibban berkata, hadits ini batil, tidak ada asalnya‟‟. Syaikh Al-Albaniy –rahimahullah- dalam “Silsilatul Ahaadiits AdhDha‟iifah” jilid I nomor hadits 416 menilai hadits ini sebagai hadits batil dan lemah. As-Suyuthiy dalam “Al-La’ali’ Al-Mashnu’ah” (1/193) menyebutkan dua jalur lain bagi hadits ini, akan tetapi ternyata, kedua jalur tersebut sama dengan hadits di atas, bahkan lebih parah. Jalur yang pertama, terdapat seorang rawi pendusta, yaitu Ya‟qub bin Ishaq Al-Asqalaniy. Jalur yang kedua, terdapat rawi yang suka memalsukan hadits, yaitu AlJuwaibariy. al-Sakhawi di dalam “al-Maqasid al-Hasanah” berkata hadist itu lemah, al-Zarqani di dalam “Mukhtasar al-Maqasid” mengatakan hadist lemah, al-’Ajluni di dalam Kasyf al-Khafa‟ mengtakan hadist lemah, di dalamnya ada pendusta. Ringkasnya, hadits ini batil, tidak boleh diamalkan, dijadikan hujjah, dan diyakini sebagai sabda Nabi S.a.w.
C. URGENSI PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP Dalam GBHN termaktub: “Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Karena itu, pendidikan ialah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah”. Ini artinya setiap insan Indonesia dituntut selalu berkembang sepanjang hidupnya. Sementara itu masyarakat dan pemerintah harus menciptakan suasana untuk selalu belajar. Sebab masa
61
sekolah (formal) bukanlah masa “satu-satunya”, tetapi hanya sebagian dari waktu belajar yang berlangsung sepanjang hidup. Dalam sebuah system oprasional pendidikan seumur hidup ini maka haruslah mencangkup beberapa komponen; 1. Tujuan pendidikan seumur hidup 2. Asumsi-asumsi yang mendasari pendidikan seumur hidup 3. Prinsip-prinsip bimbingan untuk mengembangkan pedidikan seumur hidup 4. Bentuk-bentuk belajar (formal/non formal) kompnen-komponen8 Sedangkan mengenai urgensi pendidikan seumur hidup ini Drs H Fuad Ihsan, Pakar pendidikan yang juga mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), dalam buku Dasar-dasar Kependidikan9, mengemukakan beberapa dasar pemikiran --ditinjau dari beberapa aspek-tentang urgensi pendidikan seumur hidup, antara lain: Pertama, Aspek ideologis, setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, meningkatkan pengetahuan dan menambah keterampilannya. pendidikan seumur hidup akan membuka jalan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi diri sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Kedua, Aspek ekonomis, pendidikan merupakan cara yang paling efektif untuk dapat keluar dari “Lingkungan Setan Kemelaratan” akibat kebodohan. pendidikan seumur hidup akan memberi peluang bagi seseorang untuk meningkatkan produktivitas, memelihara dan mengembangkan sumber-sumber yang dimilikinya, hidup di lingkungan yang menyenangkansehat, dan memiliki motivasi dalam mendidik anak-anak secara tepat sehingga pendidikan keluarga menjadi penting. Ketiga, Aspek sosiologis, di negara berkembang banyak orangtua yang kurang menyadari pentingnya pendidikan sekolah bagi anak-anaknya, ada yang putus sekolah bahkan ada yang tidak sekolah sama sekali. pendidikan seumur hidup bagi orang tua merupakan problem solving terhadap fenomena tersebut. Aspek politis, pendidikan kewarganegaraan perlu diberikan kepada seluruh rakyat untuk memahami fungsi pemerintah, DPR, MPR, dan lembaga-lembaga negara lainnya. Tugas pendidikan seumur hidup menjadikan seluruh rakyat menyadari pentingnya hak-hak pada negara demokrasi. Keempat, Aspek teknologis, pendidikan seumur hidup sebagai alternatif bagi para sarjana, teknisi dan pemimpin di negara berkembang untuk memperbaharui pengetahuan dan keterampilan seperti dilakukan 8 Hal ini tidak kami jelaskan secara rinci, sebab cukup panjang, silahkan merujuk pada buku berjudul “Filsafat Pendidikan” suatu pengantar, Dr. Redja Muyoharjo, P. Rosda Karya, Bandung 2006 9 Drs H Fuad Ihsan, 1996, Dasar-dasar Kependidikan, hal : 44-45
62
Haryanto Al-Fandi, M. Pd. I – Konsep Pendidikan Seumur Hidup
negara-negara maju. Aspek psikologis dan pedagogis, sejalan dengan makin luas, dalam dan kompleknya ilmu pengetahuan, tidak mungkin lagi dapat diajarkan seluruhnya di sekolah. Tugas pendidikan sekolah hanya mengajarkan kepada peserta didik tentang metode belajar, menanamkan motivasi yang kuat untuk terus-menerus belajar sepanjang hidup, memberikan keterampilan secara cepat dan mengembangkan daya adaptasi. Untuk menerapkan pendidikan seumur hidup perlu diciptakan suasana yang kondusif. D. KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU Sungguh Islam menghargai ilmu pengetahuan dan mewajibkan seluruh ummat Islam untuk mempelajarinya. “ Menuntut ilmu wajib bagi muslimin dan muslimah” begitulah sabda Rasulullah S.a.w, beliau juga sangat menghargai orang yang berilmu, dan mengatakan bahwa orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris para Nabi”10. Didalam menuntut ilmu Nabi S.a.w menyuruh agar ummat Islam menuntut ilmu secara berkelanjutan hingga ajalnya, dengan kata lain, seorang muslim haruslah berusaha untuk terus belajar setinggi-tingginya. Jangan sampai kalah dengan orang kafir. Ummat Islam jangan cuma mencukupkan belajar sampai SMA saja, tapi berusahalah hingga Sarjana, Master, bahkan Doktor jika mampu. Dan jika ada yang tak mampu secara finansial, maka menjadi kewajiban kaum muslimin yang berkecukupan untuk membantunya. Dan apabila kita mengamati kondisi sekarang ini, ternyata tingkat pengetahuan ummat Islam kalah telak dibandingkan dengan orang-orang kafir, hal ini boleh jadi disebabkan karena umat Islam sekarang tidak mengamalkan ajaran Islam dengan sungguh-sungguh, dan mengabaikan wasiat Rasulullah untuk terus menuntut ilmu. Sementara, orang-orang kafir memiliki tingkat keilmuan yang lebih baik, karena justru merekalah yang mengamalkan ajaran Islam, yakni kewajiban menuntut ilmu setinggitingginya. Dewasa ini akan sangat jarang kita menemukan ilmuwan muslim, sebaliknya, tingkat buta huruf sangat tinggi di negara-negara Islam. Hal itu jelas menunjukkan bahwa kemunduran ummat Islam bukan karena ajaran Islam, tapi karena ulah ummat Islam sendiri yang tidak mengamalkan perintah agamanya. Jika kita menengok sejarah silam pada awal perkembangan Islam, dimana ketika itu ummat Islam bersedia melaksanakan ajaran untuk menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh, giat dan pantang menyerah dalam menuntut ilmu, maka banyak terlahirkan ilmuwan-ilmuwan muslim yang 10
HR Abu Dawud.
63
handal, dimana hasil karyanya masih menjadi referensi utama, baik oleh kaum muslim sendiri dan non muslim diseluruh belahan dunia. Tercatat dalam sejarah, bahwa observatorium pertama didirikan di Damaskus pada tahun 707 oleh Khalifah Amawi Abdul Malik. Universitas Eropa 2 atau 3 abad kemudian seperti Universitas Paris dan Univesitas Oxford semuanya didirikan menurut model Islam. Ketika itu juga lahir ilmuwan muslim, seperti Al-Khawarizmi yang memperkenalkan “Angka Arab” (Arabic Numeral) untuk menggantikan sistem bilangan Romawi yang kaku, yang juga memperkenalkan ilmu Algorithma (yang diambil dari namanya) dan juga Aljabar (Algebra). Omar Khayam menciptakan teori tentang angka-angka “irrational” serta menulis suatu buku sistematik tentang Mu‟adalah (equation). Di dalam ilmu Astronomi ummat Islam juga maju, Al Batani menghitung enklinasi ekleptik: 23.35 derajad (pengukuran sekarang 23,27 derajad). Dunia juga mengenal Ibnu Sina (Avicenna) yang karyanya “Al Qanun fit Thibbi” diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard de Cremone (tahun 1187), yang sampai zaman Renaissance tetap jadi textbook di fakultas kedokteran Eropa. Ar Razi (Razes) adalah seorang jenius multidisiplin. Dia bukan hanya dokter, tapi juga ahli fisika, filosof, ahli theologi, dan ahli syair. Di Eropa juga mengenal Ibnu Rusyid (Averroes) yang ahli dalam filsafat. Dan masih banyak lagi kemajuan yang dicapai oleh ummat Islam di bidang ilmu pengetahuan. Tapi sekarang semua itu hanya tinggal kenangan, ummat Islam sekarang tidak lagi menghargai ilmu pengetahuan, malas untuk belajar, perintah Allah dan motivasi Rasul untuk terus mencari ilmu, hanya sekedar retorika belaka, sehingga tidak mengheran jika umat Islam kini menjadi bangsa yang terbelakang dan selalu tersingkirkan dalam persaingan global. Kondisi yang demikian ini tidak boleh terus terjadi, ummat Islam kini harus bangkit, ilmu pengetahuan yang sesungguhnya milik kita harus diambil kembali, yakni dengan cara terus belajar, belajar sepanjang hayat, dari lahir hingga liang lahat. Dalam pandangan Al Ghazali, sesungguhnya menuntut ilmu itu ada yang fardu „ain (wajib bagi setiap Muslim) ada juga yang fardu kifayah (paling tidak ada segolongan ummat Islam yang mempelajarinya. Ilmu agama tentang mana yang wajib dan mana yang halal seperti cara shalat yang benar itu adalah wajib bagi setiap muslim. Jangan sampai ada seorang ahli Matematika, tapi cara shalat ataupun mengaji dia tidak tahu. Adapun ilmu yang memberikan manfaat bagi ummat Islam seperti kedokteran yang mampu menyelamatkan jiwa manusia, ataupun ilmu teknologi persenjataan seperti pembuatan tank dan pesawat tempur agar ummat Islam bisa
64
Haryanto Al-Fandi, M. Pd. I – Konsep Pendidikan Seumur Hidup
mempertahankan diri dari serangan musuh adalah fardu kifayah. Paling tidak ada segolongan muslim yang harus menguasainya. E. KEDUDUKAN ILMU DALAM ISLAM Islam memberikan perhatian dan penghargaan yang besar terhadap masalah ilmu, orang-orang yang menuntut ilmu (tholabul ilmi) dan para ahlinya (orang-orang yang berilmu:ulama). Dalam konsepsi Islam orang berilmu itu berbeda dengan orang yang tidak berilmu, dikatakan bahwa orang yang berilmu itu lebih baik dan lebih terhormat daripada orang yang tidak memiliki ilmu (bodoh), bagi orang yang berilmu (ahli ilmu/ulama) maka Allah ta‟ala akan mengangkat derajatnya pada kedudukan yang tinggi dan terhormat, firman-Nya yang mengatakan: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”11. Dalam sebuah hadist shahih riwayat Bukhari dan Muslim juga disebutkan bahwasanya Baginda Nabi S.a.w mengatakan bahwa kita (umat Islam) tidak boleh ber-iri hati terkecuali terhadap dua orang, yaitu terhadap seseorang yang dikaruniai Allah harta kekayaan tapi dia memanfaatkannya untuk urusan kebenaran (kebaikan) dan seseorang yang diberikan ilmu pengetahuan oleh Allah lalu dia memanfaatkannya (untuk kebenaran) serta mengajarkannya kepada orang lain”12. Yang demikian ini sungguh-sungguh menunjukan pada kita akan betapa tinggi dan luhurnya kedudukan ilmu, oran-orang yang menuntut ilmu (tholabul ilmi) dan orang-orang yang berilmu (ulama). Ilmu adalah hal terpenting dan paling berharga bagi kehidupan manusia, dan tidak ada yang lebih penting dan berharga daripada-nya, sebab ilmu selain sebagai syarat mutlak bagi kita untuk dapat mencapai kebahagian dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat, ilmu juga dapat meluruskan hati dan memberikan petunjuk pada jalan yang lurus. Selain daripada itu, dengan kita memiliki ilmu maka kita akan menjadi seorang yang arif dan bijaksana dalam bertindak, dan mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai “khalifah Allah” pada satu sisi, dan sebagai “Abdullah” pada sisi yang lain, dengan baik dan sesuai dengan kehendak Allah Ta‟ala. Lebih mendalam, berkenaan dengan kelebihan dan keistimewaan ilmu, orang berilmu dan orang-orang yang bersedia mencarinya (pelajar), diantaranya adalah: 11 12
QS. Al Mujadillah : 11 HR. Bukhari dan Muslim
65
Ilmu memudahkan jalan bagi kita untuk menuju (mendapatkan) surga Allah,13 Menuntut ilmu adalah bagian daripada “Jihad Fisabilillah” yang sangat utama,14 Ahli ilmu (ulama;orang berilmu), yang bersedia mengajarkan pada sesamanya, maka mereka adalah orang yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik dan utama,15 Mencari ilmu akan menjadikan kita orang yang arif dan bijkasana dalam bersikap dan bertindak, serta akan menyelamatkan kita dari kecelakaan dan kebinasaan, Ilmu merupakan syarat utama syah atau tidaknya amal ibadah, ini artinya kita haruslah memiliki ilmu (berilmu) sebelum beramal dan berkata, karena perbuatan dan perkataan tidak akan dinilai disisi Allah Ta‟ala sebagai suatu ibadah jika tidak sesuai dengan syari‟at, sedangkan kita tidaklah akan mengetahui apakah amalan yang itu sesuai dengan syari‟at atau tidak melainkan dengan ilmu. Ibadah yang paling utama (afdhal) adalah pemahaman atas sesuatu secara benar dan mendalam Memiliki Ilmu pengetahuan yang berlebih adalah lebih baik daripada ibadah yang berlebihan, dan ilmu yang sedikit itu lebih baik daripada ibadah yang banyak”16 Mengajarkan satu ayat dari Kitabullah lebih baik daripada shalat (sunnah) seratus rakaat, dan pergi mengajarkan satu bab ilmu pengetahuan baik dilaksanakan atau tidak, itu lebih baik daripada shalat seribu raka'at,17 Ilmu akan menjauhkan kita dari laknat dan murka Allah Ta‟ala,18 Mencari ilmu mendatangkan rahmat dan ampunan Allah, diridhai para Malaikat dan seluruh mahluk Allah akan memintakan ampunan atas dosa-dosa para penuntut ilmu,”19 Hal ini telah dikemukakan Baginda Nabi S.a.w dalam sabdanya: “Seseorang yang keluar dari rumahnya untuk menuntut ilmu niscaya Allah akan mudahkan baginya jalan menuju Syurga” (Shahih Al jami‟) 14 Rasul S.a.w bersabda: “Siapa yang keluar untuk menuntut ilmu maka dia berada di jalan Allah sampai dia kembali” (HR. Ath-Turmudzi) 15 1. Baginda Rasul S.a.w bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Qur'an dan yang mengajarkannya” (HR. Ibnu Majah) 13
16
HR. Ath-Tabarani HR. Ibnu Majah 18 Sabda Rasul S.a.w: “Ketahuilah bahwa dunia ni terlaknat, terlaknat apa yang ada didalamnya, kecuali dzkirullah dan apa yang mengikutinya, orang yang berilmu dan orang yang belajar” (HR. AthTirmidzi) 19 Rasulullah S.a.w bersabda: “Sesungguhnya Malaikat merebahkan sayapnya karena ridha terhadap penuntut ilmu, dan sesungguhnya orang yang berilmu dosa-dosanya akan dimintakan ampun oleh siapa saja 17
66
Haryanto Al-Fandi, M. Pd. I – Konsep Pendidikan Seumur Hidup
Ilmu merupakan sesuatu yang paling berharga, dan tidak ada hal yang lebih baik, lebih berharga dan lebih bermanfaat bagi manusia selain daripada ilmu pengetahuan, sebab ilmu akan memelihara kita dari kesesatan dan kecelakaan, dan merupakan beban bawaan yang tidak berat, bahkan akan semakin bertambah bila diberikan atau digunakan, serta merupakan amalan yang akan tetap mengalir pahalanya, meskipun kita telah wafat,20 Memiliki Ilmu adalah kebutuhan Rohaniah yang sangat mendasar kita21, 1. Berkenaan dengan kelebihan ilmu dibandingkan dengan harta benda dan perhiasan duniawi lainya, Sayidina Ali bin Abu Tholib, sahabat sekaligus menantu tercinta Baginda Rasul S.a.w, juga mengatakan bahwa: Ilmu itu lebih baik dari pada harta karena ilmu adalah warisan para Nabi, sedangkan harta adalah warisan Qorun, Fir‟aun dan sebagainya Ilmu lebih baik dari pada harta sebab ilmu menjaga kita, sementara harta haruslah kita yang menjaga Ilmu lebih baik dari pada harta, karena orang yang banyak harta akan banyak musuhnya sedangkan orang yang yang berilmu akan banyak kawannya. Ilmu lebih baik dari pada harta, karena ilmu apabila diamalkan akan semakin bertambah sedangkan harta apabila diamalkan akan berkurang. Ilmu lebih baik dari harta, karena orang yang berharta akan mendapatkan julukan kemit, medit, kikir dan bakhil, sedangkan orang yang berilmu akan dijuluki dan dipanggil dengan nama yang mulia. Ilmu lebih baik dari harta, karena harta harus kita jaga dari pencuri, sedangkan ilmu tidak perlu kita jaga Ilmu lebih baik dari harta, karena orang yang memiliki harta kelak akan di hisab di hari kiamat, sedangkan ilmu dapat memberikan syafaat pada orang yang memiliki kelak di hari kiamat yang ada di langit dan di bumi termasuk ikan-ikan di dalam air” (HR. Abu Dawud dan Ath-Tirmidzi daripada Anas Rhadiyallahu„anhu) 20 Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Shallallohu „alaihi wa sallam bersabda: “Jika telah meninggal seorang manusia, maka terputuslah semua amalnya. Kecuali tiga perkara, yaitu shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, serta anak sholih yang mendoakannya”. (HR. Muslim) 21 Ahmad bin Hambal berkata: ”Kebutuhan manusia akan ilmu melebihi kebutuhannya akan makanan dan minuman, sebab makanan dan minuman hanya dibutuhkan sekali atau dua kali dalam sehari, namun ilmu dia dibutuhkan sepanjang tarikan nafasnya.”
67
Ilmu lebih baik dari pada harta, karena harta dapat habis sedangkan ilmu tidak akan pernah habis Ilmu lebih baik dari harta karena harta dapat menjadikan kerasnya hati, sombong, angkuh dan sebagainya, sedangkan ilmu itu menjadikan terangnya hati Ilmu lebih baik dari pada harta, karena orang yang yang berharta kadang-kadang meniru sifat ketuhananan dan menuhankan harta, sedangkan orang yang berilmu karena ilmu itu menekankan sifat ubudiah. Al-Qur‟an juga mengatakan bahwa orang yang tidak berilmu dengan orang yang berilmu laksanakan gelap dengan terang, seperti orang buta dengan orang yang dapat melihat dengan terang.22 Dan bahkan al-Qur‟an mengibaratkan orang yang tidak berilmu sebagai orang yang mati, sebaliknya orang yang memiliki ilmu pengetahuan adalah orang yang hidup.23 Dikatakan pula bahwa kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang 'abid (ahli ibadah) ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang.24 Perbandingan-perbandingan ini benar-benar menunjukan kepada kita betapa Allah sangat menghargai ilmu pengetahuan, orang-orang yang berilmu (ulama) dan para penuntut ilmu yang ihklas.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Azhim, Ali, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif Islam, Penerj. Khalilullah A.M.H, Rosda, Bandung: 1984 Abdul Halim el-Muhammady, Januari 1984. “Pendidikan Islam Skop Dan Matlamatnya”, Jurnal pendidikan, Tahun 1, bil. 1, ABIM, Selangor, Achmad Sunarto “ Himpunan H a d i s t Q u d s i ” Cetakan: I-2000 Penerbit: Setia Kawan Ahmad Maftuh “Mutiara Hadist Shahih Bukhari”, Bintang Pelajar, Gresik Al Bayan “Hadist Riwayat Bukhari Dan Muslim” keluaran pertama 01. Hak cipta Sakhr.1996 Al Ghazali, Muhamad 1990 “ Mukhtasyar Ihya‟ Ulumudin”. Penerbit Muasasah Al- Kutub Al- Tsaqafiyah. Cet I Bairut.
QS. Al-Fathir : 19 – 22 QS. Az-Zumar : 9 24 HR. Abu Dawud 22 23
68
Haryanto Al-Fandi, M. Pd. I – Konsep Pendidikan Seumur Hidup
----------------------------, 1994. “Ihya Ulumudin”, terj, Semarang : Penerbit Asy Syifa‟ Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani “Kitab Hadits Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam” Depag RI. „Al Qur‟an dan Terjemahannya” Toha putra. Semarang 1989 Departemen Agama RI., Al Quran dan Terjemahnya, Khadim AlHaramain Asy-Syarifain, Madinah Munawarah: 1411 H. Dr. Muhammad Faiz Almath “1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad), Penerbit Gema Insani Press Dr. Redja Muyoharjo, “Filsafat Pendidikan; Suatu Pengantar, P. RosdaKarya, Bandung 2006 Drs H Fuad Ihsan, 1996 “Dasar-dasar Kependidikan” Penerbit. HaditsWeb (kumpulan hadist & referensi belajar hadist) disusun oleh Sofyan Efendi Maret 2006. http://opi.110mb.com Hermen Harrel Horne, 1939. “The Democratic Philosophy of Education, Mac Millan & Co.,New York, John Dewey, 1910. Democracy and Education, Mac Millan & Co., New York, M. Nashiruddin Al-Albani “Ringkasan Shahih Bukhari” Gema Insani Press Qardhawy, Yusuf, As-Sunnah Sumber IPTEK dan Peradaban, penerj. Setiawan Budi Utomo, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta: 1998. Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam “Ringkasan Syarah Arba‟in AnNawawi”
69
FIQH SOSIAL: PEMIKIRAN KH. MA. SAHAL MAHFUDZ Lutfan Muntaqo, SH., MSI Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UNSIQ
ABSTRAKSI KH. Sahal Mahfudz (almarhum) merupakan sosok ulama dengan pemikiran kritis-transformatif. Sebagai seseorang yang lahir dan berkembang dari kalangan santri dan pesantren, Kiai Sahal tidak lagi diragukan keilmuannya terutama dalam bidang ilmu fiqh. Pengembaraan beliau di berbagai macam peradaban pesantren di Indonesia secara tidak langsung membentuk karakter kepribadian dan visi pemikiran yang terus digelorakan beliau. Salah satu pemikiran fenomenal beliau adalah fiqh sosial. Gagasan Fiqh Sosial, dalam tinjauan disiplin ilmu fiqh sendiri, merupakan hal yang cukup menarik, namun masih memerlukan pendalaman dan beberapa perangkat pendukung, terutama sosialisasinya di kalangan pesantren. Pematangan metodologis masih perlu dilakukan, seperti pada konsep taqlid manhaj itu sendiri, termasuk pola korelasi dalam menghadirkan fiqh sebagai etika. Begitu juga masalah pengambilan maslahat dan integrasi hikmah dan illat dalam qiyas perlu terus dimatangkan dalam kerangka metodologis.
Kata kunci: Pesantren, Fiqh, Fiqh Sosial. PENDAHULUAN Beliau lahir pada 17 Desember 1937 di desa Kajen Margoyoso Pati Jawa Tengah. Desa Kajen dikenal sebagai ‚desa santri‛, karena di desa ini bertebaran pondok pesantren dan ribuan santri. Semua itu lahir berkat jejak seorang ulama’ besar, KH Ahmad Mutamakkin, yang (hidup) pada abad ke-18. Mbah Mutamakkin, panggilan akrab KH Ahmad Mutamakkin, inilah yang menjadi ‘cikal bakal’ tanah Kajen. Lambat laun, dari rahim kajen atas didikan Mbah Mutamakkin kemudian melahirkan para ulama’ yang mendirikan pesantren diberbagai daerah di Semenanjung Muria. Salah satu keturunan beliau adalah KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz yang akrab dipanggil Mbah Sahal. Pemikiran kritis-transformatif Kiai Sahal tak lepas dari jejak perjuangan
sosok Mbah Mutamakkin. Artefak perjuangannya pun masih menancap dalam berbagai peninggalan berupa masjid besar dan ratusan pesantren bahkan ribuan santri. Sebagai seseorang yang lahir dan berkembang dari kalangan santri dan pesantren, Kiai Sahal tidak lagi diragukan keilmuannya terutama dalam bidang ilmu fiqh. Pengembaraan beliau di berbagai macam peradaban pesantren di Indonesia secara tidak langsung membentuk karakter kepribadian dan visi pemikiran yang terus digelorakan beliau. Beliau sudah mulai belajar agama sejak umur 6 tahun di MI Kajen, selanjutnya beliau belajar di Madrasah Mathali’ul Falah. Saat itu beliau juga belajar ‚ilmu umum‛ seperti filsafat, bahasa Inggris, administrasi, psikologi, dan tata Negara kepada H. Amin Fauzan.1 Setamat Tsanawyah beliau melanjutkan pendidikannya di Pare Kediri dan di Sarang Rembang, dan selanjutnya beliau ‚nyantri‛ di Mekkah selama 3 tahun di bawah bimbingan KH. M. Yasin Al-Fadani. Kelebihan beliau yang tidak dimiliki orang lain adalah beliau mampu mensemaikan fiqh dengan pemikiran kritis kontemporer, sehingga gagasan pemikiran fiqhnya begitu tidak terlalu fulgar bahkan lebih menuju pada fiqh sosial. Artinya, fiqh tidak hanya menjadi ilmu akhirat yang menafikan kehidupan. Tetapi beliau meracik dan mengapliksaikan dalam bentuk pemberdayaan manusia. Bagaimanapun rumusan fiqh yang dikonstruksi ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Hukum harus berputar sesuai ruang dan waktunya. Jika hanya melulu berlandaskan rumusan teks, bagaimana jika ada masalah hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqh? Apakah harus mauquf? Padahal memauqufkan persoalan hukum sendiri hukumnya tidak boleh bagi ulama. Di sinilah perlunya ‚fiqh baru‛ yag mengakomodir permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat.2 Memang, peradaban fiqh merupakan salah satu produk pemikiran yang pernah dihasilkan peradaban Islam; ia bukan hasil adopsi apalagi jiplakan dari Hukum Romawi (Roman Law) seperti dikatakan sebagian orientalis, tetapi murni kreativitas intelektual Muslim yang sepenuhnya berakar pada pijakan alQuran dan Sunnah Rasulullah. Tidak salah kalau para peneliti Islam banyak berkesimpulan bahwa tidak mungkin mengetahui Islam dengan baik tanpa pengetahuan komprehensif tentang fiqh. Begitu kuatnya pengaruh fiqh, sehingga
1
Ikhwan Sam, Pandu Ulama Ayomi Umat-Kiprah Sosial 70 Tahun Kiai Sahal. (Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia, 2007) h. 2-3 2
Aziz Hakim Syaerozy (Penyunting), Wajah Baru Fiqh Pesantren, (Jakarta: Citra Pustaka, 2004). h.
13.
72
Lutfan Muntaqo, SH., MSI - Fiqh Sosial: Pemikiran KH. M.A. Sahal Mahfudz
tidak salah kalau Islam diidentikkan dengan ‚peradaban fiqh‛, sama dengan Yunani yang diidentikkan dengan ‚peradaban filsafat‛.3 PEMIKIRAN FIQH KIAI SAHAL MAHFUDZ Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz mampu menjalankan doktrin peradaban fiqh sebagai kata kunci dalam program pemberdayaan masyarakat di sekitar pesantrennya. Dasar-dasar fiqh dan kiat sukses Kiai Sahal itu dapat dibaca dalam berbagai karya beliau atau karya tentang beliau, diantaranya Nusansa Fiqh Sosial, Wajah Baru Fiqh Pesantren, Telaah Fiqh Sosial, Pesantren Mencari Makna, Dialog Dengan Kiai Sahal, dan sebagainya. Dasar-dasar pemikiran beliau tidak hanya termaktub dalam buku-buku tersebut, tetapi telah dikaji secara serius oleh berbagai akademisi baik yang ada di S1, S2, bahkan S3. Dalam buku-buku tersebut kita bisa menjelajah ihwal konsep dasar Fiqh sosial Kiai Sahal dalam memberdayakan masyarakat. Di sinilah, Kiai Sahal menjadikan term fiqh sosial sebagai jembatan mempertemukan teks fiqh yang normatif dengan berbagai problem sosial yang kontemporer. Ini sesuai dengan teori Clifford Geertz yang kemudian diperbaiki oleh Horikoshi. Kyai menurut Geertz adalah ‚makelar budaya‛ (cultural broker), yang mana berperan sebagai alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri, menularkan apa yang dianggap berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi mereka. Lebih lanjut menurut Horikoshi, kyai tidak hanya berperan sebagai broker, namun bahkan berperan kreatif dalam perubahan sosial. Bukan karena kyai mencoba neredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan justru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Bukannya melakukan penyaringan informasi, namun menawarkan agenda perubahan yang dianggap sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat yang dipimpinnya. Kyai bukan kurang berperan karena menunda datangnya perubahan melalui proses penyaringan informasi, melainkan ia sepenuhnya berperan karena ia mengerti bahwa perubahan sosial adalah perkembangan yang tak terelakkan.4 Tujuan ideal dalam kehidupan menurut Islam adalah tercapainya kesejahteraan di dunia dan akherat (sa’adah al-darain). Pemenuhan kebutuhan spiritual menjadi utama karena kebahagiaan akherat yang kekal hanya dapat 3
Taufiqurrahman SN, Kiai Sahal, Fiqih Sosial Dan Pemberdayaan Masyarakat, lihat di
http://jabarantha.blogspot.com. Diakses pada 2 Agustus 2012. 4
Hiroko Horikoshi, A Traditional Leader in Time of Change: The Kijaji anda Ulama in West Java,
diterjemahkan oleh Umar Basalim dan Andi Muarly Sunrawa dengan judul Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987) h. xvi-xvii.
73
dicapai dengan terpenuhinya kebutuhan itu. Bersamaan dengan itu manusia dituntut untuk tunduk pada hukum-hukum yeng mengikat kehidupan dunianya saat ini. Maka, kehidupan dunia yang fana ini, bagaimanapun, terikat dengan kehidupan akherat yang kekal. Satu-satunya jalan mencapai kehidupan akherat adalah kehidupan dunia itu sendiri.5 Fiqh, sebagai penuntun kehidupan paling praktis dalam Islam, membicarakan empat aspek pokok kehidupan manusia. Yang pertama yaitu, ubudiyyah, yang mana mengurus hubungan transcendental manusia dengan Tuhannya. Sedangkan tiga lainnya mengurus aspek kehidupan yang mempunyai korelasi langsung dengan kehidupan material dan social yang bersifat duniawi, yaitu mu’amalah (hubungan perdata), munakahah (pernikahan), dan jinayah (pidana). Jika tujuan ideal di atas belum tercapai, bisa dipastikan terjadi ketimpangan dalam paktek. Berarti masyarakat telah meninggalkan fiqh sebagi penuntun kehidupannya secara keseluruhan, atau tidak memahami keutuhannya, tergantung latar belakang pendidikan dan lingkungannya. Apapun yang terjadi, hal itu merupakan akibat ketidakpahaman masyarakat terhadap fiqh. Harus diakui bahwa yang harus bertanggungjawab atas lahirnya kondisi ini adalah kalangan agamawan yang tidak mampu mengkomunikasikan kondisi ideal yang diharapkan, yang tentunya dapat diwujudkan melalui fiqh.6 Bukan hal yang mudah mengingat sudah begitu mengakarnya pola pikir dan perilaku non fiqhy dalam masyarakat. Inilah yang dicoba untuk dicarikan solusi oleh Kiai Sahal. Walaupun beliau hidup di pelosok desa kecil, semisal Kajen, Kiai Sahal justru seperti mendapatakan tantangan riil di tengah masyarakat. Tantangan itulah menjadikan Kiai Sahal untuk menelusuri dan mencari jembatan peradaban fiqh agar mampu menjawab problematika kehidupan masyarakat secara progresif dan transformatif. Bagi Kiai Sahal, fiqh sosial lebih menitik-beratkan pada aspek kemaslahatan publik (mas}a>lih}u al-ummah). Di mana ada maslah}ah, disanalah fiqh sosial dikumandangkan. Dalam menentukan kemaslahatan, ada lima pijakan primer (al-d}aru>riyya.t al-khamsah), yakni menjaga agama (h}ifz} aldi>n), menjaga akal/rasio (h}ifz} al-‘aql), menjaga jiwa (h}ifz} al-nafs), menjaga harta (h}ifz} al-ma>l), dan menjaga keturunan (h}ifz} al-nasl). Bahkan oleh beliau ditambahi dengan menjaga lingkungan (h}ifz} al-bi’ah). Menurut Kiai Sahal wawasan masyarakat tentang fiqh masih perlu dibenahi agar lebih utuh dan menyeluruh. Tidak hanya masyarakat awam tapi 5
Marwan Ja’far (Penyunting), Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999). h. 88.
6
Ibid. h. 89.
74
Lutfan Muntaqo, SH., MSI - Fiqh Sosial: Pemikiran KH. M.A. Sahal Mahfudz
juga kelompok yang telah merasa mampu memahami fiqh secara benar. Kekurangan kelompok yang terakhir tadi adalah bagaimana mereka memposisikan fiqh sekedar sebagai kodifikasi atau kompilasi hukum Islam. Mereka menganggap fiqh adalah baku, karena itu terjatuh dalam asumsi bahwa fiqh sama kuat dan sakralnya dengan Al-Quran atau Hadits. Suatu pandangan yang bukan saja tidak proporsional bagi fiqh itu sendiri, namun bahkan sudah menurunkan derajat kalam Allah dan sunnah Rasul sebagai sumber hukum yang sepenuhnya universal.7 Pemberdayaan Masyarakat Gagasan Kiai Sahal dalam melihat kondisi sosial yang jauh dari realisasi peradaban fiqh, menimbulkan tantangan besar dalam mengkontektualisikan isi dari teks fiqh itu sendiri. Dari sini kemudian muncul usaha-usaha beliau dalam memperdayakan masyarakat lewat peradaban fiqh tersebut. Pertama, Dalam zakat, misalnya, Kiai Sahal bukan sekedar menganjurkan zakat sebagai tanggungjawab agama. Tetapi disana ada spirit pemberdayaan bagi fakir miskin yang sedang menangis merasakan kesusahan hidup dipinggir-pinggir jalan raya. Untuk itu, Zakat menurut Kiai Sahal menjadi ‘jalan strategis’ agar kaum miskin diberbagai pelosok desa dapat bangkit dan bahkan menjadi penopang utama perekonomian nasional.8 Melihat peluang inilah, Kiai Sahal kemudian mendirikan BPPM (Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. Kemudian dari BPPM Kiai Sahal membentuk KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) yang dipertemukan dengan pemerintah dan lembaga swasta. Salah satunya adalah Kelompok Budidaya Kerupuk Pasir, di daerah Kajen kerupuk semacam ini dikenal juga dengan Kerupuk Tayamum, mengingat cara menggorengnya yang tidak menggunakan minyak. Kelompok-kelompok kecil ini kemudian diberikan kredit bergulir (revolving fund) untuk mengembangkan usaha mereka. Selain itu dalam bidang peningkatan kesehatan Kiai Sahal membangun sebuah Rumah Sakit Islam dan BPR Artha Huda Abadi yang melayani simpan pinjam masyarakat kecil. Saat ini bahkan Artha Huda Abadi sudah mendirikan unit Syari’ah. Saat ini aset BPR Artha Huda Abadi sudah bernilai puluhan miliar rupiah. Gedungnya juga sudah diperluas hingga tampak sangat megah.9 7 8
Aziz Hakim Syaerozy, Wajah Baru Fiqh… h. 27. Taufiqurrahman SN, Kiai Sahal, Fiqih Sosial Dan Pemberdayaan Masyarakat, lihat di
http://jabarantha.blogspot.com. Diakses pada 2 Agustus 2012. 9
Grand Opening Unit Usaha Pondok Maslakul Huda: Dakwah Bilhal Beraset Rp 22,5 Miliar. Lihat di
http://www.suaramerdeka.com. Diakses pada 2 Agustus 2012.
75
Program-program seperti inilah yang dianggap Kiai Sahal sebagai realisasi fiqh sosial ditengah kondisi riil masyarakat.10 Kedua, Fiqh sosial juga tercermin dalam komitmen Kiai Sahal dalam pelestarian lingkungan. Beliau menggagas fiqh al-bi’ah (fiqh lingkungan) yang kemudian memberikan spirit pesantren untuk mengkampanyekan penyelamatan bumi dan lingkungan. Selama ini, teks fiqh belum dibenturkan dengan berbagai problem sosial lingkungan, seperti tsunami, banjir, luapan lumpur, gempa bumi, dan yang sedang hangat pemasanan global (global warming). Isu-isu sensitive ini, bagi Kiai Sahal, harus segera mendapatkan sebuah strategis dalam fiqh sosial, sehingga agamawan tidak kikuk dalam menjawab krisis lingkungan yang terus menghantui masyarakat. Pada prinsipnya, fiqh lingkungan membutuhkan adanya revitalisasi us}u>l al-fiqh agar fiqh lingkungan tidak terjebak pada model ushûl al-fiqh yang languange-oriented dan mengabaikan fakta-fakta empirik di lapangan. Model pendekatan us}u>l al-fiqh yang selama ini lebih condong ke deduktif, misalnya, diorientasikan kepada model pendekatan induktif dan empiris yang lebih dekat dan lebih akrab terhadap problem-problem riil yang terjadi. Dalam konteks inilah revitalisasi us}u>l al-fiqh sebagai perangkat metodologis bagi fiqh dirasa sangat penting. Salah satu agenda revitalisasi yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah dengan menempatkan mas}lah}ah sebagai landasan syari'at (maqa>s}id al-syari>’ah). Proyek revitalisasi us}u>l al-fiqh yang dimaksud di sini adalah sebagai proses atau upaya memvitalkan (menjadikan vital) kembali us}u>l al-fiqh untuk memproyeksikan bangunan fiqh yang mempunyai keberpihakan terhadap lingkungan.11
DARI FIQH FORMAL KE FIQH ETOS Di antara beberapa poin penting yang dapat disimpulkan dari pemikiran Fiqh Sosial yang dirumuskan oleh KH. MA. Sahal Mahfudz, adalah sebagai berikut:
10
Beberapa langkah praksis Kiai Sahal di masyarakat kaitannya dengan fiqh sosial dapat dilihat di M.
Cholil Nafis dan Abdullah Ubaid, Keluarga Maslahah: Terapan Fikih Sosial Kiai Sahal (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2010) h. 302-313. 11
Ahmad Syafi'i, SJ , Fiqh Lingkungan: Revitalisasi Ushûl Al-Fiqh Untuk Konservasi Dan Restorasi
Kosmos. Makalah yang dipresentasikan pada Annual Conference of Islamic Studies Direktur Pendidikan Tinggi Islam Depag RI, Surakarta 2-5 Nopember 2009.
76
Lutfan Muntaqo, SH., MSI - Fiqh Sosial: Pemikiran KH. M.A. Sahal Mahfudz
1. Membebaskan fiqh dari kungkungan formalitas-legalistik ke arah etos fiqh. Fiqh tidak seharusnya dipahami dalam dimensi formal-legal semata, tetapi harus dibarengi dimensi etika, agar pengembangannya benar-benar sejalan dengan fungsinya. Fungsi ajaran syariat yang tertuang dalam fiqh adalah membimbing, sekaligus memberi solusi atas persoalan kehidupan praktis, baik bersifat individual maupun sosial. Sistematika dan perangkat penalaran yang dimiliki fiqh sebenarnya rnemungkinkannya dikembangkan secara kontekstual, sehingga tidak akan ketinggalan perkembangan sosial yang ada. Nabi pernah menganjurkan agar kaum rnuslimin memperbanyak keturunannya. Dalam era over populasi seperti sekarang ini, anturan Nabi itu tidak bisa dipahami secara dangkal, yakni bahwa Nabi memerintahkan untuk memperbanyak anak secara kuantitatif. Akan tetapi sebaliknya, anjuran tersebut adalah bermakna pada usaha untuk meningkatkan kualitas hidup keturunan kaum muslimin.12 2. Pengembangan madzhab tekstual (qauly) dan madzhab metodologi (manhajy) Dari awal tulisan sudah disampaikan bahwa pemahaman akan fiqh yang tidak bisa diotak-atik bahkan ‚disamakan‛ dengan Al-Qur’an dan Hadits –yang mana merupakan sumber pokoknya- adalah sesuatu yang salah, bahkan menurunkan derajat Al-Qur’an dan Hadits itu sendiri. Fiqh merupakan produk pemikiran manusia yang memungkinkan untuk dikembangkan, bahkan dirubah. Dari definisinya, fiqh disebut sebagai al-‘ilm bi al-ah}ka>m al-
syari>’ah al-’amaliyyah al-muktasab min adillatiha> al-tafs}i>liyyah (mengetahui hukum syari’ah amaliah yang digali dari petunjukpetunjuk yang bersifat global), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa fiqh memiliki peluang yang sangat luas untuk berjalan seiring dengan perkembangan zaman. 12
Khairussalim (Editor), KH. MA. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS,. 1992).
h. 21.
77
Terma al-muktasab (sesuatu yang digali) menumbuhkan pemahaman bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses sebelum akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis.13 Perkembangan masa dan tempat juga mempengaruhi hasil ijtihad fiqh, dan semua bias diakui. Contoh paling factual adalah keabsahan perbedaan hasil ijtihad al-aimmah al-arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Keempatnya dalam perbedaan yang sangat mendasar sekalipun tetap menghormati pendapat lain, tanpa kemutlakan wewenang untuk menganggap ijtihad yag lain sebagai sesuatu yang membuahkan hasil yang keliru.14 Bahkan mujtahid yang sama terkadang menghasilkan ijtihad yang berbeda, contoh yang sudah umum diketahui adalah Imam Syafi’I dengan qoul qodim dan qoul jadidnya. Semua paparan di atas menunjukkan bahwa fiqh adalah elastic, bias disesuaikan dengan perkembangan zaman, bahkan merupakan keniscayaan. Semua persoalan bias dijawab oleh fiqh, tinggal masalah metodenya saja. Terdapat tiga macam metode penggalian hukum yang biasa diterapkan: Pertama, metode qauly (tekstual); yaitu dengan merujuk langsung pada teks pendapat imam mazhab empat atau pendapat ulama pengikutnya. Kedua, metode ilhaqi; yaitu menyamakan hukum suatu kasus yang belum ada ketentuan hukumnya dengan kasus yang telah ada hukumnya dalam kitab-kitab fikih. Ketiga, metode manhajiy (bermazhab secara manhajiy/metodologis); yaitu menyelesaikan masalah hukum dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam mazhab. Prosedur operasional metode manhajiy adalah dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fiqh) dan qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh). 15
Secara qouly pengembangan fiqh bias diwujudkan dengan melakukan kontekstualisasi kitab kuning atau melalui pengembangan contoh-contoh aplikasi kaidah-kaidah Ushul al-Fi
13
Aziz Hakim Syaerozy, Op. cit. h. 28.
14
Ibid.
15
Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan NU, (Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press, 1997), h. 365-
367.
78
Lutfan Muntaqo, SH., MSI - Fiqh Sosial: Pemikiran KH. M.A. Sahal Mahfudz
qh maupun Qowa’id al-Fiqhiyah. Sedangkan secara manhajy pengembangan fiqh dilakukan dengan cara pengembangan teori masalik al-‘illat agar fiqh yang dihasilkan sesuai dengan maslahah al‘ammah. 3. Fiqh yang berporos pada konsep maslahat dan kebaikan umat. Fiqh sosial dalam merespon berbagai permasalahan yang muncul di masyarakat lebih mengedepankan solusi fiqh yang lebih bersifat sosial dan berporos pada konsep maslahat dan kebaikan umat. Contoh untuk masalah ini adalah masalah kependudukan. Meningkatnya jumlah penduduk adalah keniscayaan, namun bila tidak diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusianya maka akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar. Mengatasi masalah kependudukan yang kompleks, yang merupakan masalah kehidupan yang penting dalam pandangan syari'at Islam, berarti memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekwen atas kewajiban mewujudkan kemaslahatan umum (al-mashalih al-'ammah) sebagaimana dijabarkan dalam fiqih sosial. Hal ini tercermin misalnya dalam bab-bab zakat, fai', amwal dlai'ah dan lain-lain.16 Dalam hal ini, kemaslahatan umum -kurang lebih- adalah kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya. Baik kebutuhan itu berdimensi dlaruriyah atau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa raga, nasab (keturunan) dan harta benda, rnau pun kebutahan hajiyah (sekunder) dan kebutahan yang berdimensi tahsiniyah atau pelengkap (suplementer). Dalam ikhtiar mengatasi masalah kependudukan yang erat hubungannya dan mempunyai implikasi dengan kesejahteraan masyarakat yang menjadi sasaran syari'at Islam, memang tidak boleh menimbulkan akibat pada hilangnya nilai tawakal dan nilai imani. Bahkan dengan mengaplikasikan syari'at Islam secara aktual dalam konteks upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dengan mengatasi masalah-masalah kependudukan, dapat kiranya lebih dikembangkan nilai tawakal dan nilai imani. Pada gilirannya, keseimbangan antara 16
Khairussalim, Op. cit., h. 24
79
aqidah dan syari'at dapat disadari oleh masyarakat dalam bentuk sikap dan tingkah laku yang rasional dan bertanggungjawab terhadap eratnya hubungan antara keluarga maslahah dengan aspek aspek kehidupan yang meliputi bidang-bidang agama, sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan dan ketertiban dalam rangka mencapai kesejahteraan lahir dan batin.17 4. Pengembalian fiqh agar sesuai dengan prinsip etika. Caranya adalah dengan mengintegrasikan Maqoshid alSyari’ah (maksud-maksud diturunkannya syariat) ke dalam proses pengembangan kerangka teoritis fiqh. Dalam konteks ini, hikmah hukum harus diintegrasikan ke dalam illat (alasan) atau dasar diturunkannya hukum, sehingga diperoleh suatu produk hukum yang bermuara pada kemaslahatan umum. Ini merupakan rekonstruksi atas konsep Qiyas (analogi) secara lebih fleksibel dengan berangkat dari landasan maslahat dan kebaikan umat tadi. Berikutnya dengan membebaskan fiqh yang sarat nuansa politik formalistik yang terpisah dari etika, dan mengembalikannya kepada jalur etika. Ini mungkin yang pernah dikonsepkan oleh al-Ghazali dalam gagasannya dalam mengintegrasikan antara fiqh dan tasawuf. Jadi, upaya apapun yang dilakukan untuk tujuan pengembangan fiqh menuntut kita agar memiliki wawasan tentang watak bidimensional –dimensi kesakralan dan keduniawian-- fiqh itu sendiri. Penglihatan serta penempatan kedua dimensi ini harus dilakukan secara proporsional agar pengembangan fiqh benar-benar sejalan dengan watak aslinya. Fiqh tidak menjadi produk pemikiran ‚liar‛ yang terlepas dari bimbingan dan pada saat yang bersamaan fiqh juga tidak menjadi produk pemikiran yang kehilangan watak elastisitasnya. Dengan demikian factor teologis maupun etika harus menjadi dasar pertimbangan dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam mengembangkan fiqh, disamping sudah barang tentu factor perubahan masyarakat itu sendiri.18
17
Ibid.
18
Aziz Hakim Syaerozy, Op. Cit. h.24.
80
Lutfan Muntaqo, SH., MSI - Fiqh Sosial: Pemikiran KH. M.A. Sahal Mahfudz
Gugatan Atas Stagnasi Fiqh Konvensional Gagasan fiqh sosial yang dimunculkan oleh KH. Sahal Mahfudz dapat dipahami sebagai respon atas stagnasi (jumud) yang dialami oleh fiqh konvensional, khususnya dalam masyarakat pesantren tradisional. Gejala stagnasi tersebut ditandai dengan semakin jauhnya kajian fiqh yang berkembang di dunia pesantren dan masyarakat sekitarnya, dari sumber aslinya, yaitu al-Quran dan Sunnah. Tidak hanya itu, bahkan telah terjadi gejala pengkultusan terhadap fiqh itu sendiri, sehingga yang terjadi adalah menjadikan fiqh yang merupakan produk hukum menjadi sumber hukum. Inilah yang oleh beliau disebut sebagai taqlid qauli,19 yaitu bertaqlid kepada produk fiqh secara buta tanpa memikirkan metodologi dan proses yang melatarbelakanginya, padahal keduanya tersebut terkadang sarat kepentingan dan sering diwarnai oleh kondisi yang menggiring kepada formalisme fiqh. Fenomena Taqlid al-Qaul dan pengkultusan fiqh di masyarakat bila dibiarkan, seperti dikhawatirkan oleh beliau, akan mengantarkan kepada kesalahan metodologis yang sangat fatal dalam memahami syariat karena memposisikan hukum fiqh lebih utama dibanding dengan sumber aslinya, yaitu nash al-Quran dan Sunnah, bahkan dari metodologi yang melahirkan hukum fiqh itu sendiri. Gejala negatif lain yang mungkin muncul akibat merebaknya taqlid qaul dalam memahami fiqh adalah makin luasnya kesenjangan antara pemahaman fiqh dan berbagai problematika yang berkembang di masyarakat. Ini karena yang muncul adalah pemahaman fiqh tekstual, 19
Pada awalnya, persoalan muncul karena adanya ‘pembenaran’ bahwa sumber ajaran Islam itu ada
empat, yaitu : al-Quran, al-Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Ini, tentu saja karena persoalan hidup manusia kian hari kian kompleks dan ruwet. Sehingga, bila orang hanya merujuk pada al-Quran dan al-Sunnah belaka, maka ada kemungkinan tidak menemukan solusi. Untuk mengantisipasi kemungkinan itu, perlu ada sumber rujukan lain yaitu Ijma dan Qiyas sebagai model penggalian baru terhadap dua sumber primer itu. Dua rujukan ini kemudian disebut sumber sekunder. Yang menjadi persoalan, dua sumber sekunder ini seringkali lebih ditonjolkan ketimbang dua sumber primer. Yang primer seakan terlupakan. Apalagi dengan munculnya fatwa kewajiban ber-taqlid bagi orang awam. Mereka akhirnya hanya mengekor pendapat-pendapat sekunder yang sudah matang dari para imam. Ini yang kemudian disebut bermazhab/taqlid secara qauli. Padahal, yang lebih penting sejatinya bermazhab secara manhaji (metodologis), yang langsung merujuk pada kedua sumber primer itu. Dan itu yang dilakukan para imam. Nurul Huda Maarif, Tirani Fiqh dan Bahaya Taqlid. Lihat di http://nuhamaarif.blogspot.com diakses pada 3 Agustus 2012.
81
bukan kontekstual. Perspektif fiqh seperti ini juga makin mempersepsikan fiqh sebagai hukum yang tidak membumi dan pada gilirannya akan semakin statis karena tertinggal jauh dari tuntutan zaman yang melaju sedemikian cepat. Ada sebagian kalangan, yang menjadikan fiqih bukan sebagai cara atau alat untuk memahami doktrin keagamaan, melainkan sebagai dogma yang kaku yang ujung-ujungnya adalah 20 formalisasi syari’at. Peletakan fiqh sebagai hukum formal ini juga merupakan akibat lain dari pemahaman nash fiqh secara qaul dan tekstual. Untuk itu, KH. Sahal Mahfudz mengajak untuk melakukan tansformasi ke arah taqlid manhaj (methodologis) sebagai ajakan agar nuansa sosial fiqh kembali digali dan dibumikan untuk menjawab berbagai permasalahan sosial yang muncul. Dengan demikian, fiqh tidak lagi terlihat berupa hukum-hukum langit yang sangat kaku dalam mensikapi berbagai permasalahan yang timbul. Memahami fiqh secara metodologis juga berarti melepaskan keterkungkungan pemahaman fiqh yang terpidana pada teks-teks turats ke arah pemahaman dengan melalui metodologi yang melahirkan dan melatarbelakangi munculnya fiqh itu sendiri. Ini juga berarti upaya menghadirkan fiqh yang fleksibel, kontekstual dan mampu memberikan solusi yang dibutuhkan masyarakat. Maka, untuk menghadirkan fiqh yang fleksibel tersebut perlu mentransformasikan fiqh ke dalam nilai-nilai etika. Fiqh Sosial dan Teori Maslahat Sejak konsep maslahat dirumuskan oleh para ulama Ushul Fiqh, termasuk nama yang paling populer dalam mengkaji konsep maslahat ini misalnya Imam Syatibi, perkembangan pemikiran fiqh mengalami perubahan yang fundamental. Meskipun terjadi pro kontra antar para ulama, apakah maslahat bisa dijadikan landasan hukum dengan berbagai perinciannya, namun di kalangan para ulama sepertinya telah terjadi kesamaan rasa bahwa munculnya teori maslahat telah menguak aspek fleksibilitas fiqh yang selama ini makin terpendam. Maka yang perlu untuk dikedepankan adalah fiqh al-maqasid, yaitu fiqih yang lebih mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti kemaslahatan, 20
Muriqul Haqqi, FIQIH KONTEKSTUAL, lihat di http://smjsyariah89.wordpress.com. Diakses pada
3 Agustus 2012.
82
Lutfan Muntaqo, SH., MSI - Fiqh Sosial: Pemikiran KH. M.A. Sahal Mahfudz
keadilan, dan kesetaraan dari pada hukum-hukum yang bersifat partikular.21 Gagasan fiqh sosial yang dimunculkan oleh KH. MA. Sahal Mahfudz telah memberikan stressing pada penerapan terori maslahat dengan ketiga kategorinya (1) d}aru>riyya>t (primer), (2) hajjiyya>t (sekunder), (3) tah}siniyya>t (komplementer). Dari situlah muncul semangat mengedepankan teori maslahat dalam mengkaji fiqh dan mengembangkannya. Gagasan ini secara implisit mengingatkan kepada kita kepada realitas dan fenomena yang ada saat ini, bahwa makin banyak produk hukum fiqh yang implementasinya tidak mewujudkan maslahat, dan makin banyak produk fiqh yang tidak mengacu kepada konsep maslahat, yang tidak lain karena selama ini terkungkung kepada nash-nash turats yang dipahami secara tidak metodologis. Untuk itu, menarik sekali seruan kepada pemilahan sistematis dan metodologis terhadap aspek us}u>l dan furu>' dalam agama secara umum. Tentu saja, upaya tersebut dalam rangka meletakkan teori maslahat secara lebih proporsional. Ijtihad Baru Fiqh Sosial juga membuka paradigma baru ijtihad yang selama ini oleh beberapa kalangan (yang dihinggapi pesimisme intelektual) dianggap telah tertutup. Taqlid Manhaj adalah nama lain dari berijtihad sesuai metodologi yang dikembangkan oleh pembuat metodologi tersebut. Bertaqlid secara manhaj kepada seorang imam berarti berijtihad sesuai dengan metodologi yang dikembangkan oleh imam tersebut. Ini menuntut pemahaman terhadap latar belakang dan proses yang dialami oleh imam tersebut dalam memutuskan suatu masalah sesuai tinjuan syariah. Dalam kata lain, aspek historisitas fiqh dan terutama aspek sosio-historis suatu hukum fiqh harus selalu dikaji, karena tanpa ini apa yang disebut taqlid manhaj tidak akan bisa terealisasi. Oleh Nahd}atul ‘Ulama (NU) cara inipun sebenarnya sudah memiliki keabsahan sebagai salah satu bentuk istinbat} jama>’I (ijtihad kolektif di antara para ulama).22 21
Ibid. A.
22
Salah satu keputusan dalam Munas Alim Ulama NU tahun 1992 di Lampung
menyatakan satu poin tentang tata cara bertaqlid secara qauli (tekstual) sebagaimana termaktub dalam
83
Sementara itu, metodologi fiqh atau ushul fiqh, selalu menyangkut korelasi antara produk hukum (fiqh) dengan sumber hukumnya, yaitu nash Qur'an, Hadist dan Ijma. Berbicara metodologi tanpa menyangkut korelasi tersebut sama halnya berbicara masalah produk hukum tanpa meninjau aspek sosiologis dan sumber hukumnya. Dan hal ini akan memunculkan produk hukum yang pincang. Fiqh sebagai produk hukum syariah harus tetap diposisikan sebagai sumber antara (secondary resources), sedangkan nash-nash Qur'an dan Sunnah harus tetap diposisikan sebagai sumber utama (primary resources) dan metodologi adalah yang menghubungkan antara kedua sumber hukum tersebut. Ini mungkin yang oleh beliau disebut dengan menverifikasi antara ajaran pokok dan cabang secara mendasar. H. Hadi Mutammam dalam makalahnya menyebutkan bahwa untuk ijtihad baru, atau dalam istilahnya ijtihad modern, setidaknya perlu memperhatikan langkah-langkah sebagi berikut: 1. Lebih mementingkan atau mendahulukan sumber primer (primary sources) dalam system bermadzhab, atau dalam menentukan rujukan. 2. Berani mengkaji pemikiran ulama atau hasil keputusan hukum Islam oleh organisasi keagamaan tidak secara doktriner atau dogmatis. 3. Semua hasil karya ulama masa lalu diposisikan sebagai pengetahuan (knowledge), baik yang dihasilkan atas dasar deduktif dan verstehen maupun yang dihasilkan secara empiric 4. Mempunyai sikap terbuka dengan dunia luar dan berusaha mengantisipasi terhadap hal-hal yang akan terjadi 5. Hendaknya meningkatkan daya tangkap (responsive) dan cepat terhadap permasalahan yang muncul, di mana biasanya umat ingin cepat mendapatkan jawaban hukum agama dari para ahli hukum Islam 6. Perlunya penafsiran yang aktif dan pro aktif bahkan progresif
aqwa>l (pandangan-pandangan) para imam madzhab atau as}h}a>b al-maz}a>hib. Namun jika dalam situasi tertentu, kemungkinan mengikuti langkah qauli ini mengalami jalan buntu, Munas juga memberi jalan untuk bertaqlid secara manhaji (metodologis). Said Aqil
Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial:
Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi (Jakarta: Penerbit Mizan, 2006) h. 69.
84
Lutfan Muntaqo, SH., MSI - Fiqh Sosial: Pemikiran KH. M.A. Sahal Mahfudz
7. Ajaran al-ahkam al-khamsah berupa wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram agar dapat dijadikan sebagai konsep atau ajaran etika social. 8. Menjadikan ilmu fiqh sebagi bagian dari ilmu hukum secara umum 9. Berbicara mengenai fiqh tidak dapat dilupakan harus pula berorientasi pada ajaran induktif atau empiric, di samping deduktif. 10. Lepas dari apakah mashlahah itu sebagai bentuk induktif, mashalih al-‘ammah hendaknya menjadi landasan penting dalam mewujudkan fiqh atau hukum Islam. 11. Menjadikan wahyu Allah (lewat nash Al-Qur’an dan hadits shahih) sebagai kontrol terhadap hal-hal yang akan dihasilkan lewat ijtihad.23
PENUTUP Gagasan Fiqh Sosial, dalam tinjauan disiplin ilmu fiqh sendiri, merupakan hal yang cukup menarik, namun masih memerlukan pendalaman dan beberapa perangkat pendukung, terutama sosialisasinya di kalangan pesantren. Pematangan metodologis masih perlu dilakukan, seperti pada konsep taqlid manhaj itu sendiri, termasuk pola korelasi dalam menghadirkan fiqh sebagai etika. Begitu juga masalah pengambilan maslahat dan integrasi hikmah dan illat dalam qiyas perlu terus dimatangkan dalam kerangka metodologis. Pemikiran fiqh sosial bila mampu tersosialisasikan dengan baik, khususnya di dunia pesantren tradisional yang sudah cukup berpengalaman dalam bergelut dengan kajian dan pengembangan fiqh, akan sangat luar biasa. Bisa diprediksikan akan terjadi loncatan pemikiran fiqh yang sangat dinamis dengan mengembangkan gagasangagasan yang ada dalam pemikiran fiqh sosial yang dilontarkan oleh KH. MA. Sahal Mahfudz tersebut. Semoga kita bisa mengambil nilai-nilai positif darinya.
23
H. Hadi Mutammam, Ijtihad al-Ilm al-‘Ashri. Jurnal Madzahib Vol IV, No. 2, Desember 2007
85
DAFTAR PUSTAKA Ikhwan Sam, Pandu Ulama Ayomi Umat-Kiprah Sosial 70 Tahun Kiai
Sahal. Majelis Ulama Indonesia. Jakarta 2007. Aziz Hakim Syaerozy (Penyunting), Wajah Baru Fiqh Pesantren, Citra Pustaka, Jakarta, 2004. Marwan Ja’far (Penyunting), Pesantren Mencari Makna, Pustaka Ciganjur, Jakarta 1999 Khairussalim (Editor), KH. MA. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, LKiS, Yogyakarta. 1992. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan NU, (Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press, 1997)
JURNAL/MAKALAH Ahmad Syafi'i, SJ , Fiqh Lingkungan: Revitalisasi Ushûl Al-Fiqh Untuk Konservasi Dan Restorasi Kosmos. Dipresentasikan pada Annual Conference of Islamic Studies Direktur Pendidikan Tinggi Islam Depag RI, Surakarta 2-5 Nopember 2009. H. Hadi Mutammam, Ijtihad al-Ilm al-‘Ashri. Jurnal Madzahib Vol IV, No. 2, Desember 2007
86
DISKUSI ANTARA AL-SAIRAFI DAN BISYR IBN MATTA DI DALAM KITAB Al-MUQABASAT TENTANG PERSOALAN NAHWU (Sebuah Kajian Analitis mengenai Peran dan Pengaruh Logika dalam Kajian Linguistik Arab [Nahwu]) Muhammad Husni Arafat Dosen Fakultas Syari’ah UNISNU Jepara
ABSTRAKSI Untuk dapat berkomunikasi dengan dunia sekitar dan dunia lain (baik sebangsa setanah-air maupun dengan bangsa lain), manusia diharuskan menggunakan sebuah perantara. Media perantara dapat dikatakan sebagai sebuah keniscayaan. Perantara tersebut tidak lain adalah Bahasa (ing. language; ar. lughah). Bahasa, sebagai media komunikasi manusia, di dunia ini beragam, selaras dengan keragaman ruang dan waktu yang melatar-belakangi bahasa tersebut. Beberapa diantaranya adalah bahasa Indonesia (Melayu), bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Jerman, bahasa Persia, bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Arab, bahasa Urdu dan lain-lain. Bahasa Arab adalah salah sekian diantara bahasa yang ada di dunia ini. Bahasa tersebut memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri yang membedakannya dengan bahasa-bahasa lainnya
Kata kunci: Komunikasi, Bahasa, Arab, Nahwu A. PENGANTAR
Untuk dapat berkomunikasi dengan dunia sekitar dan dunia lain (baik sebangsa setanah-air maupun dengan bangsa lain), manusia diharuskan menggunakan sebuah perantara. Media perantara dapat dikatakan sebagai sebuah keniscayaan. Perantara tersebut tidak lain adalah Bahasa (ing. language; ar. lughah). Bahasa, sebagai media komunikasi manusia, di dunia ini beragam, selaras dengan keragaman ruang dan waktu yang melatar-belakangi bahasa tersebut. Beberapa diantaranya adalah bahasa Indonesia (Melayu), bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa
Jerman, bahasa Persia, bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Arab, bahasa Urdu dan lain-lain. Bahasa Arab adalah salah sekian diantara bahasa yang ada di dunia ini. Bahasa tersebut memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri yang membedakannya dengan bahasa-bahasa lainnya, salahsatunya adalah, dikarenakan bahasa Arab adalah salah satu dari bahasa Semitik Kuno1 yang eksistensinya masih terpelihara hingga kini. Bahasa Arab ini banyak dipergunakan sebagai media komunikasi antar kalangan bangsa Arab, dimana bahasa tersebut telah mendarah-daging secara alamiah semenjak lahir. Keunikan lain dari bahasa (Arab) ini adalah dikarenakan ia merupakan bahasa konstitusi agama2 (dengan payung AlQur‟an dan Sunah Nabi Muhammad saw. yang menggunakan mediasi bahasa Arab) yang menjadi referensi pokok para sarjana Muslim. Nilai signifikan bahasa Arab ini begitu terasa dalam agama Islam hingga Allah SWT „memakai‟ bahasa ini sebagai media komunikasi dengan kawulo-kawulo-Nya dalam rangka „menitipkan‟ Maksud-maksudNya (ing. God‟s intentions; ar. Maqashid al-Syari‟ah) agar dapat dipahami dan dimengerti untuk kemudian dijadikan sebagai pedoman kehidupan dunia dan akhirat hingga mempertanggung-jawabkan amal-perbuatan mereka dihadapan-Nya kelak. Dalam konteks ini, maka tidak mengherankan jikalau para sarjana Muslim ber-lomba-lomba ngalap berkah (Al-Qur‟an dan Sunah Nabi Muhammad saw.) dengan sinau bahasa Arab. Dalam konteks persoalan ngaji dan sinau ini, Allah SWT telah menganugerahi manusia „bekal yang cukup‟ berupa panca-indera, akal-pikiran dan hati-nurani. Tentunya, berkah Al-Qur‟an dan Sunah Nabi Muhammad saw. yang ber-bahasa Arab ini dapat dipahami dengan menggunakan mediasi „potensi-potensi‟ yang terpatri dalam diri manusia semenjak lahir. Salah-satu dari sekian hasil sinau dan ngaji tersebut adalah disiplin ilmu Nahwu (semantik Arab). Disiplin ilmu Nahwu ini telah terpelihara dalam khazanah Islam klasik hingga sekarang dan bahkan menjadi disiplin 1
Bahasa Arab adalah salah-satu bahasa yang dipergunakan beragama suku bangsa keturunan Nuh
ibn Sam. Lihat, Al-Iskandari, Ahmad dan „Anani, Musthafa, Al-Wasith fi al-Adab al-„Arabi wa Tarikhihi, (Kairo: Wizarat al-Ma‟arif al-„Umumiyyah, 1919), hal. 4 2
Lihat, Nuruddin, Hasan, Al-Dalil ila Qawa‟id al-Lughah al-„Arabiyyah, (Beirut: Lebanon, 1996),
hal. 7
88
Muhammad Husni Arafat, Lc., MSI – Diskusi Antara Al-Sairafi Dan Bisyr Ibn Matta
ilmu „favorit‟ di kalangan Pesantren. Isu-isu yang sering diperkenalkan disiplin Nahwu ini tidak terlepas dari apa yang disebut dengan Mubtada‟ dan Khabar [Subjek dan Predikat]; Fi‟il dan Fa‟il; Maf‟ul (Bihi; Fihi; Li Ajlihi; Ma‟ahu) [Objek]; Munada; Kana dan Inna wa Akhwatuha dan isuisu lain. Secara sekilas, tampak bahwa keseluruhan isu yang termaktub di dalam disiplin ilmu Nahwu tidak berhubungan dengan „Makna‟ atau dalam arti kata lain hanya berhubungan dengan persoalan „Lafadz‟ (kata) belaka. Benarkah...!. Persoalan inilah yang ingin ditelusuri dan dianalisis penulis sebagaimana juga terekam dalam khazanah linguistik Arab klasik dimana isu persoalan ini (peran dan pengaruh Logika [Makna] dalam kajian Linguistik Arab [Nahwu]) juga terjadi antara al-Sairafi dan Bisyr ibn Matta di dalam Kitab al-Muqabasat karya Abu Hayyan al-Tawhidi. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis dan menelusuri isu tersebut dengan melacak terlebih dahulu: (a). Sejarah dan perkembangan dinamis disiplin Nahwu dan; (b). Melacak pengertian masing-masing istilah (Nahwu dan Logika) serta istilah-istilah lain yang memiliki hubungan yang sangat erat dengan kedua istilah tersebut. Kedua pembahasan awal ini tidak lain adalah dalam rangka mendapatkan „gambaran utuh‟ dari topik dan tema makalah ini sebagaimana tersaji di dalam diskusi antara alSairafi dan Bisyr ibn Matta di dalam Kitab al-Muqabasat-nya Abu Hayyan al-Tauhidi. B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DISIPLIN ILMU NAHWU
Sejarah tidak „terjadi‟ begitu saja, tetapi terbentuk melalui tahapantahapan atau proses-proses tertentu yang berkembang secara dinamis hingga menjadi „sesuatu‟ sebagaimana dikenal dan dipelajari sekarang dan kemudian. Tidak terkecuali dengan disiplin ilmu Nahwu, sebuah prestasi yang sangat membanggakan bagi umatt Islam. Nahwu sebagai sebuah disiplin keilmuan telah terbukti mampu bertahan dengan berlalunya ruang dan waktu. Bukti ketahanan disiplin Nahwu tentu sangat membutuhkan „faktor-faktor‟ yang pada hakikatnya melatar-belakangi dan bahkan menumbuh-kembangkan disiplin keilmuan ini. Berhubungan dengan persoalan tersebut, tentu sangat wajar bagi kita untuk bertanya didalam benak dan pikiran, antara lain:
89
(1). Mengapa umat Islam membutuhkan disiplin ilmu Nahwu sebagai pedoman dan rumusan bahasa (Arab); (2). Tidakkah dahulu bangsa Arab mempergunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibu dan bahasa resmi dan pastinya mereka tidak membutuhkan disiplin ilmu Nahwu; (3). Berdasarkan sebab dan alasan Apakah mereka mengkodifikasikan disiplin ilmu Nahwu sebagai sebuah pedoman dan rumusan dalam berbicara dan berkata; (4). Lantas, Siapakah yang memelopori dan memprakarsai terbentuknya disiplin ilmu Nahwu; (5). Dimana disiplin ilmu Nahwu ini terlahir [hingga dikenal dan bahkan dipelajari sampai kini]; (6). Mengapa disiplin ilmu ini disebut dengan Nahwu, bukan dengan sebutan-sebutan lainnya. Pada hakikatnya bangsa Arab pra-Islam (pada masa Jahiliyyah) adalah bangsa yang terlerak di daerah Padang Pasir (Jazirah Arab) yang menggunakan mediasi bahasa Arab sebagai media komunikasi keseharian. Bahasa Arab adalah bahasa ibu yang menjadi watak, tabiat dan karakter bawaan semenjak lahir,3 sehingga wajar bagi mereka untuk tidak membutuhkan suatu pedoman dan rumusan bahasa Arab yang kemudian dikenal dengan istilah disiplin ilmu Nahwu4 dalam rangka melestarikan warisan budaya Arab yakni bahasa Arab yang menjadi warisan berharga sekaligus kebanggan bangsa Arab. Lantas, „sebab‟ dan „alasan‟ apakah yang melatar-belakangi kemunculan disiplin ilmu Nahwu dan kemudian menumbuh-kembangkannya sebagai suatu disiplin keilmuan yang independen dan mandiri. Menurut pandangan Hassan Nuruddin,5 Syauqi Dlaif,6 dan Muhammad al-Thanthawi,7 serta „Ali al-Najdi Nashif,8 disiplin Nahwu baru berkembang dikemudian hari, terutama pada masa imperium 3 Lihat, Al-Thanthawi, Muhammad, Nasy‟at al-Nahwi wa Tarikh Asyhar al-Nuhat, (Kairo: Dar alMa‟arif, ttp), hal. 20 dan Al-Iskandari, Ahmad dan „Anani, Musthafa, Al-Wasith fi al-Adab al-„Arabi wa Tarikhihi, (Kairo: Wizarat al-Ma‟arif al-„Umumiyyah, 1919), hal. 5 4 Lihat, Nuruddin, Hasan, Al-Dalil ila Qawa‟id al-Lughah al-„Arabiyyah, hal. 10-11 5
Lihat, Nuruddin, Hasan, Al-Dalil ila Qawa‟id al-Lughah al-„Arabiyyah, hal. 13
6
Lihat, Dlaif, Syauqi, Al-Madaris al-Nahwiyyah, (Kairo: Dar al-Ma‟arif, ttp), hal. 20
7
Lihat, Al-Thanthawi, Muhammad, Nasy‟at al-Nahwi wa Tarikh Asyhar al-Nuhat, hal. 20
8
Lihat, Nashif, „Ali al-Najdi, Tarikh al-Nahwi, (Kairo: Dar al-Ma‟arif, ttp), hal. 5
90
Muhammad Husni Arafat, Lc., MSI – Diskusi Antara Al-Sairafi Dan Bisyr Ibn Matta
Umayyah dengan Bashrah (Irak) sebagai sentral kodifikasi disiplin keilmuan ini. Pandangan-pandangan ini dapat dibenarkan berdasarkan bukti-bukti dan argumentasi-argumentasi yang ada, antara lain: karena pada masa-masa pra-Islam dan Islam daerah dan wilayah kekuasaan Arab (Islam) tidak keluar dari 2 (dua) kota utama yakni Mekah dan Madinah9, dimana notabene kedua kota tersebut masih menjadi bagian Arab dan berkomunikasi dengan bahasa Arab. Baru, setelah Islam muncul dan berekspansi „keluar‟ (dalam arti, melebarkan sayap keagamaan di luar Jazirah Arab), dimana bermula dari kebijakan politik keagamaan (relijiuspolitis) yang dilakukan Khalifah „Umar ibn Khaththab10 dan kebijakan politik-relijius ini kemudian diteruskan pemimpin-pemimpin setelahnya terutama pemimpin-pemimpin yang menahkodai Imperium Umayyah.11 Secara logis, perluasan dan ekpansi „kekuasaan‟ ini tentunya berakibat, sebagai konsekuensi hal tersebut adalah, terjadinya asimilasi kebudayaan12 Arab dengan kebudayaan-kebudayaan lain, yang telah menjadi bagian dari Arab (Islam). Kebudayaan-kebudayaan asing (luar) tersebut antara lain adalah kebudayaan Yunani, Persia, Hindia, dan lainlain. Dengan terjadinya „asimilasi kebudayaan‟ ini, tentu membutuhkan sebuah sarana komunikasi yang dapat mengantarkan maksud masingmasing dan media komunikasi tersebut adalah bahasa (Arab).13 Media komunikasi bahasa (Arab) secara mutlak dipergunakan dalam rangka saling memperkenalkan „ identitas diri‟ dan mengenali „ identitas orang lain‟. Dalam konteks ini, tentu dapat dipastikan terjadinya kesalahan 9
Lihat, Nuruddin, Hasan, Al-Dalil ila Qawa‟id al-Lughah al-„Arabiyyah, hal. 12-13
10
Pada masa Khalifah „Umar ibn Khaththab, ekspansi keagamaan yang dilakukannya, telah
mencapai daerah-daerah dan kawasan-kawasan lain di luar Arab dengan sungai Sind dan Jehun di Timur; Syam (sekrang negeri Suriah dan negeri-negeri lain sekitar) dan Mesir di Barat. Lihat lebih lanjut, Al-Thanthawi, Muhammad, Nasy‟at al-Nahwi wa Tarikh Asyhar al-Nuhat, hal. 14 11
Kekuasaan Imperium Umayyah mencapai hingga daerah-daerah luas di luar Jazirah Arab seperti
daerah Siberia di Utara; daerah Sudan di Selatan, dan; daerah Hindia dan China (sekarang Tiongkok) di Barat; serta daerah Andalusia (sekarang termasuk wilayah negeri Spanyol) di Timur. Lihat lebih detil, Al-Thanthawi, Muhammad, Nasy‟at al-Nahwi wa Tarikh Asyhar al-Nuhat, hal. 14 12
Lihat, Nuruddin, Hasan, Al-Dalil ila Qawa‟id al-Lughah al-„Arabiyyah, hal. 13 dan Al-Thanthawi,
Muhammad, Nasy‟at al-Nahwi wa Tarikh Asyhar al-Nuhat, hal. 15 13
Lihat, Al-Thanthawi, Muhammad, Nasy‟at al-Nahwi wa Tarikh Asyhar al-Nuhat, hal. 16
91
dalam berbicara dan berbahasa Arab (ar. al-lahn), terlebih orang-orang luar (Arab) tidak menggunan bahasa Arab sebagai bahasa resmi mereka. Berdasarkan hal ini, dapat diasumsikan faktor utama dan sebab-akibat yang melatar-belakangi kemunculan disiplin ilmu Nahwu. Akan tetapi, “Adakah faktor dan sebab-akibat ini adalah satusatunya yang melatar-belakangi kemunculan Nahwu.” Dalam konteks ini, menurut Ahmad al-Iskandari dan Musthafa „Anani setidaknya terdapat 3 (tiga) faktor utama yang menyebabkan kemunculan Nahwu sebagai disiplin keilmuan mandiri, antara lain: (a). Faktor Relijius (Keagamaan); (b). Faktor Sosial (Kemasyarakatan); (c). Faktor Politik.14 Senada dengan pandangan Ahmad al-Iskandari dan Musthafa „Anani, Syauqi Dlaif, Hassan Nuruddin memandang bahwa (a). Faktor Agama; (b). Faktor Sosial dan; (c). Faktor Politik sebagai faktorfaktor utama yang melatar-belakangi kemunculan disiplin ilmu Nahwu, tetapi disamping itu, tambahnya, terdapat faktor utama lain yang setidaknya turut berperan didalamnya yaitu Faktor Primordial (ar. alqawmi; ind. ras dan kesukuan).15 Faktor lain ini tidak lebih dikarenakan karena bahasa (Arab) adalah salah satu warisan leluhur dan sekaligus menjadi kebanggaan yang harus dilestarikan. Maka, tidak mengherankan jika bangsa Arab keukeuh ingin memelihara bahasa kebanggaan mereka (Arab) daripada penyelewengan dan kesalahan yang tidak dapat ditolerir dimana konsekuensinya adalah mutlak harus dirumuskan sebuah prinsip dan pedoman bahasa yang harus dipergunakan bangsa non-Arab di dalam proses komunikasi. Ketika „faktor-faktor‟ dan sebab-akibat yang melatarbelakangi kelahiran Nahwu, tentu kini muncul pertanyaan lain: “Siapa Pelopor Disiplin Ilmu Nahwu.” Dalam konteks persoalan ini, beredar pandangan yang beragam dengan bukti-bukti dan argumentasiargumentasi masing-masing, dimana “Pelopor dan Pemrakarsa” Nahwu, bagi mereka, tidak terlepas dari tokoh-tokoh ini, antara lain: (a). imam „Ali 14
Lihat, Al-Iskandari, Ahmad dan „Anani, Musthafa, Al-Wasith fi al-Adab al-„Arabi wa Tarikhihi,
15
Lihat lebih detil dalam, Nuruddin, Hasan, Al-Dalil ila Qawa‟id al-Lughah al-„Arabiyyah, hal. 14;
hal. 9
Dlaif, Syauqi, Al-Madaris al-Nahwiyyah, hal. 12
92
Muhammad Husni Arafat, Lc., MSI – Diskusi Antara Al-Sairafi Dan Bisyr Ibn Matta
ibn Abi Thalib; (b). Abu al-Aswad al-Du‟ali dan; (c). „Abdullah ibn Hurmuz al-A‟raj. Menurut sebagian besar sumber historis dengan berdasrkan bukti-bukti dan argumetasi-argumentasi yang kuat, Abu al-Aswad alDu‟ali-lah tokoh pertama yang mempelopori dan memprakarsai kelahiran Nahwu dengan bimbingan imam „Ali ibn Abi Thalib. Disiplin ilmu Nahwu ini kemudian berkembang secara dinamis ditangan seorang Khalil ibn Ahmad al-Farahidi yang diteruskan lagi oleh muridnya yang bernama Sibawaih dan kemudian berkembang diseluruh penjuru dunia. Hal ini dapat dibuktikan dengan kemunculan-kemunculan Madrasah Nahwu yang sangat beragam, antara lain: (a). Madrasah Bashrah; (b). Madrasah Kufah; (c). Madrasah Andalusia; (d). Madrasah Mesir dan Syam (sekarang dikenal dengan negeri Suriah dan sekitarnya).16
C. PENGERTIAN SEMANTIKA ARAB (NAHWU), LOGIKA (MANTHIQ) DAN TERM-TERM LAIN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEDUANYA
Dalam salah-satu bagian Syarh Sullam al-Munawwaraq karya Kyai Ahmad Sya‟roni Ahmadi terdapat istilah Tashawwur (ind. deskripsi dan penggambaran) dan Tashdiq (ind. penilaian).17 Masing-masing istilah Logika (ar. manthiq) ini setidaknya dapat penulis pergunakan di dalam proses pembacaan topik dan materi makalah, terutama bagian ketiga (C) ini. Dalam arti kata bahwa sebelum tergesa-gesa dalam penilaian dan penyimpulan hasil penelitian (tashdiq), sangat penting untuk mendeskripsikan dan menggambarkan (tashawwur) hakikat masingmasing daripada istilah-istilah seperti: (1). Bahasa [Arab] (ar. al-lughah; ing. language); (2). Nahwu (ind. tata bahasa Arab; ing. semantic); (3). Logika (ar. al-manthiq; ing. logic); (4). Akal-[pikiran] (ar. al-„aql; ing. brain); (5). P-[emi]-ikiran (ar. al-fikr; ing. mind, reson; thought). 16
Lihat, Dlaif, Syauqi, Al-Madaris al-Nahwiyyah, hal. 9-372
17
Sya‟roni Ahmadi, Ahmad, Syarh Kitab Sullam al-Munawwaraq li al-Akhdlari, hal. 3
93
Proses pembacaan berupa tashawwur (in. penggambaran dan deskripsi) tidak lain adalah sebagai „jembatan‟ dalam rangka menghubungkan pokok-pokok persoalan dalam Nahwu (Semantika Arab) dan Logika yang menjadi „intisari‟ topik dan tema tulisan ini. (1). Bahasa [Arab] (ar. al-lughah; ing. language); Pada hakikatnya, p-[em]-ikiran mengenai persoalan Bahasa dimulai ketika manusia mengarahkan Akal-pikirannya ke dalam pembahasan mengenai persoalan Hakikat dan Asal-Usul Bahasa. Dalam arti, persoalan-persoalan yang disodorkan adalah seputar: Mengapa manusia tidak berkomunikasi dan tidak berbahasa dengan Bahasa yang sama dan seragam; dan Bagaimana suatu kalimat [yang mengandung katakata dan terekspresikan dalam Bahasa] tersebut muncul dan terlahir.18 Terlepas daripada Apakah persoalan-persoalan ini yang memang sangat penting untuk dianalisa dan dikaji secara mendalam, terdapat persoalan lain yang juga dapat dikatakan sangat penting yaitu pembahasan mengenai Definisi (Pengertian) Bahasa [Arab]. Dalam persoalan mengenai Definisi (Pengertian) Bahasa ini, penting menyimak pengertian Bahasa (ar. al-lughah) yang dikemukakan Ibn Jinni, sebagaimana dinukil Jalaluddin al-Suyuthi dan , dimana menurutnya “[B]ahasa (al-lughah) adalah suara-suara (fonem) yang diungkapkan masing-masing bangsa penggunanya dalam rangka menunjukan maksud-maksud mereka” (ashwat yu‟abbiru biha kullu qawmin „an aghradlihim).19 Senada dengan Ibn Jinni, Jurji Zidan juga mendefinisikan Bahasa sebagaimana pengertian Bahasa menurut Ibn Jinni secara persis.20 Berdasarkan pengertian ini, lantas timbul lagi pertanyaan terdahulu dalam bagian muka yakni Mengapa Bahasa yang dipergunakan manusia sebagai media komunikasi tidak seragam alias berbeda-beda. Dalam 18
Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai persoalan ini, lihat dalam: Al-Suyuthi, „Abd al-Rahman
Jalaluddin, Al-Muzhir fi „Ulum al-Lughah wa Anwa‟iha, ed. „Ali Muhammad al-Bajawi, dkk, (Kairo: Maktabah Dar al-Turats, ttp), vol. 1, hal. 8-14 dan; Hammad, Ahmad „Abd al-Rahman, Al-„Alaqah baina al-Lughah wa al-Fikr: Dirasah li al-„alaqah al-luzumiyyah baina al-fikr wa al-lughah, (Kairo: Dar al-Ma‟rifah al-Jami‟iyyah, 1985), hal. 9 19
Lihat, Al-Suyuthi, „Abd al-Rahman Jalaluddin, Al-Muzhir fi „Ulum al-Lughah wa Anwa‟iha, hal. 9
20
Lihat, Zidan, Jurji, Al-Alfadz al-„Arabiyyah wa al-Falsafah al-Lughawiyyah, (Beirut: Mathba‟ah
al-Qadis Georgeos, 1886), hal. 1
94
Muhammad Husni Arafat, Lc., MSI – Diskusi Antara Al-Sairafi Dan Bisyr Ibn Matta
persoalan ini, Jurji Zidan memandang bahwa “[P]erbedaan Bahasa (yang berbentuk suara-suara dalma rangka menyampaikan maksud dan tujuan pembicara pengguna bahasa tersebut) tersebut tidak lain adalah dikarenakan perbedaan bangsa dan perbedaan ruang yang memisahkan mereka. Dari sini, tambahnya, lantas muncul perbedaan Bahasa.”21 Sebagaimana telah disinggung didalam pembahasan terdahulu (bagian A dan B), Bahasa Arab merupakan salah-satu diantara sekian ragam bahasa yang ada di dunia ini, terlebih bahasa Arab juga merupakan salah-satu dari beberapa bahasa Semitik Kuno yang masih terpelihara hingga kini dan bahkan menjadi bahasa Agama (bahasa Al-Qur‟an dan Sunah Nabi saw. dimana keduanya menjadi referensi dan rujukan pokok umat Islam di dalam menjawab persoalan-persoalan kehidupan di dunia ini dan dunia nanti). Bahasa Arab memiliki cabang-cabang keilmuan yang beragam, antara lain: Sharaf; Nahwu; Rasm; Ma‟ani; Bayan; Badi‟; „Arudl; Qawafi; Syi‟ir; Khitabah; Tarikh al-Adab; Matn al-Lughah, dan Nahwu (serta Sharaf) adalah beberapa disiplin ilmu yang terpenting.22 (2). Nahwu (ind. tata bahasa atau semantika Arab; ing. semantic); Disiplin ilmu Nahwu, sebagaimana disinggung pada bagian terdahulu (C. 1), merupakan disiplin terpenting dalam khazanah keilmuan Arab dan bahkan Islam (dimana dalam persoalan ini, bahasa Arab dipakai dalam rangka menyampaikan Maksud-Maksud Allah SWT yang terekam di dalam Al-Qur‟an dan Sunah Nabi saw.). Signifikansi penting ini-lah yang menjadi faktor penggerak utama kelahiran Nahwu. Nahwu pada masa dahulu tidak dikenal dengan istilah yang dikenal sekarang, tetapi dikenal dengan istilah-istilah lain seperti: Al-I‟ran, Al-„Arabiyyah dan Kalam.23 Pada hakikatnya, secara kebahasaan (istilah etimologiskebahasaan) disiplin Nahwu memiliki 3 (tiga) pengertian, yaitu: (a). Jalan (al-thariq); (b). Maksud dan tujuan (al-qashd) dan; (c). Arah (al-jihat).24 Sedangkan secara terminologis, pengertian Nahwu yang baku adalah seperti yang dikenal kini yaitu “[K]ata-kata yang memiliki faidah dan 21
Lihat, Zidan, Jurji, Al-Alfadz al-„Arabiyyah wa al-Falsafah al-Lughawiyyah, hal. 1
22
Lihat, Nuruddin, Hassan, Al-Dalil ila Qawa‟id al-Lughah al-„Arabiyyah, hal. 9
23
Lihat, Nuruddin, Hassan, Al-Dalil ila Qawa‟id al-Lughah al-„Arabiyyah, hal. 10
24
Lihat, Nuruddin, Hassan, Al-Dalil ila Qawa‟id al-Lughah al-„Arabiyyah, hal. 9
95
kegunaan tertentu dan dapat membungkam lawan bicara” (al-lafdz almufid fa‟idatan yahsunu al-sukut „alaiha).25 (3). Logika (ar. al-manthiq; ing. logic); Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, logika memiliki pengertian antara lain: (a). pengetahuan tentang kaidah-kaidah berpikir dan; (b). jalan pikiran yang masuk-akal.26 Dalam Key Ideas in Linguistics and the Philosophy of Language, Stephen McLeod memaknai Logika sebagai sebuah kajian mengenai argumentasi.27 (4). Akal-[pikiran] (ar. al-„aql; ing. brain); Akal[-pikiran] merupakan salah satu potensi dan daya yang dimiliki manusia selain panca-indera dan hati-nurani. Dengan akal[pikiran] ini, manusia dapat memakmurkan bumi melalui buah p-[em]ikiran. Akal[-pikiran] adalah sebuah daya: untuk berpikir; daya untuk berupaya dan berikhtiar serta daya untuk menipu. (5). P-[em]-ikiran (ar. al-fikr; ing. mind, reason; thought). P-[em]-ikiran adalah buah dari Akal. Sebuah wadah yang mencakup deskripsi (al-tashawwur); takhayul (al-takhayyul); ingatan (aldzakirah) dan kecerdasan (al-dzaka‟). Motor penggeraknya adalah kecerdasan (al-dzaka‟).28 P-[em]-ikiran sangat berhubungan dengan Bahasa [dan kalam] karena keduanya bagaikan 2 (dua) sisi dalam keping logam yang tidak dapat dipisahkan. D. DISKUSI AL-SARAFI DAN BISYR PERSOALAN LOGIKA DAN NAHWU
IBN
MATTA
DALAM
Dalam pembahasan-pembahasan terdahulu (B dan C), telah disinggung masing-masing dari sejarah Nahwu dan perkembangan historis disiplin ilmu tersebut serta pengertian istilah-istilah yang berhubungan 25
Lihat, Ibn „Aqil, Baha‟uddin „Abdullah, Syarh Ibn „Aqil „ala Alfiyah Ibn Malik, (Kairo: Dar al-
Turats, 1980), jil. 1, hal. 14 26
Lihat, Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PUSAT BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL, 2008), hal. 871 27
Lihat, McLeod, Stephen, LOGIC, dalam “Key Ideas in Linguistics and the Philosophy of
Language,” ed. Siobhan Chapman dan Christopher Routledge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2009), hal. 120 28
Lihat, Hammad, Ahmad „Abd al-Rahman, Al-„Alaqah baina al-Lughah wa al-Fikr: Dirasah li al-
„alaqah al-luzumiyyah baina al-fikr wa al-lughah, hal. 17
96
Muhammad Husni Arafat, Lc., MSI – Diskusi Antara Al-Sairafi Dan Bisyr Ibn Matta
dengan Nahwu seperti Bahasa (ar. al-lughah; ing. language); P-[em]ikiran (ar. al-fikr; ing. mind; reason dan thought) dan Akal-Pikran [ar. al„aql; ing. brain]; serta Logika (ar. al-manthiq; ing. logic). Pembahasanpembahasan terdahulu tesebut dipergunakan dalam meneropong topik dan tema tulisan ini yaitu Pengaruh dan Peran Logika di dalam Kajian Linguistik Arab [Nahwu] dengan difokuskan pada isu-isu persoalan yang terekam di dalam diskusi antara al-Sairafi dan Bisyr ibn Matta di dalam Kitab al-Muqabasat. Isu-isu persoalan yang terekam dan diangkat dalam diskusi antara al-Sairafi dan Bisyr ibn Matta tersebut antara lain: (1). Nahwu dan Logika Yunani (al-manthiq al-Yunani); (2). Akal-Pikiran; (3). Bahasa [Arab] sebagai Media Komunikasi beserta pembahasanpembahasan lain seperti isim; fi‟il dan huruf; huruf [wawu; ba‟; fi]; na‟am dan bala; al-i‟rab [harakat; saknat]; (4). Hakikat Bahasa; (5). Hubungan Nahwu dengan Makna Logis.29 Intisari dan maksud utama diskusi tersebut adalah sebuah klaim yang mengatakan bahwa Nahwu hanya terfokus pada persoalan kata-kata semata (alfadz), berbeda dengan Logika yang lebih terfokus pada makna.30 Klaim tersebut diakhiri dengan sebuah kesimpulan bahwa Logika lebih utama dan penting daripada Nahwu berdasarkan dalih makna lebih penting daripada kata-kata (alfadz). Dan persoalan terakhir inilah yang ingin disanggah Abu Sa‟id al-Sairafi dengan mempertanyakan kembali pokok-pokok persoalan. Dalam tulisan ini, akan dikemukakan 2 (dua) contoh persoalan untuk dapat menilai dan menyimpulkan: Apakah benar disiplin Nahwu sangat terpengaruh Logika [Yunani] dan hanya terfokus pada persoalan kata-kata belaka (alfadz), akan dikemukakan 2 (dua) contoh persoalan kebahasaan yaitu: (a). Huruf Wawu dan (b). Hubungan Nahwu dengan Makna Logis dalam contoh-contoh berikut [ ]زيد أفضل االخوةdan [ زيد ]أفضل اخوته. 1. Persoalan Huruf Wawu 29
Lihat, Al-Tauhidi, Abi Hayyan, Kitab al-Muqabasat, ed. Hasan al-Sandubi (Kairo: Dar Sa‟ad al-
Shabah, 1992), hal. 68-83 30
Lihat, Al-Tauhidi, Abi Hayyan, Kitab al-Muqabasat, hal. 74
97
Untuk dapat mengetahui Hakikat huruf wawu berikut akan dikemukakan contoh-contoh dalam rangka tersebut. (a). {akramtu zaidan wa „umaran}; (b). {waLlahi, la qad kana kadza}; (c). {kharajtu wa zaidun qaimun}; (d). {waqqid; washil; wafid}; (e).{wa yukallimu al-nassa fi al-mahdi wa kahla}. Dalam contoh pertama (a). {akramtu zaidan wa „umaran} [saya (telah) memuliakan Zaid dan „Umar] dapat dirasakan adanya penghormatan dan pemuliaan yang telah dilakukan pelaku {saya} pada objek perbuatan {Zaid dan Umar} secara bersamaan. Sikap penghormatan dan pemuliaan {saya} pada {Zaid dan Umar} tersebut dibarengkan dan digabungkan secara bersamaan. Dari sini dapat dilihat karakteristik dan prinsip huruf wawu tersebut adalah memiliki makna dan pengertian penggabungan dan pembarengan; contoh kedua (b) yang mengatakan {waLlahi, la qad kana kadza} [Demi Allah, Dia Telah Melakukan ini-itu]. Huruf Wawu dalam kata { waLlahi } [Demi Allah] adalah berbentuk sumpah. Dalam hal ini jelas, wawu dalam kalimat tersebut memiliki makna dan pengertian sumpah; pada contoh ketiga (c) {kharajtu wa zaidun qaimun} [saya (telah) keluar dan Zaid sedang berdiri]. Kalimat { kharajtu } [saya (telah) keluar] dan { zaidun qaimun } [Zaid sedang berdiri] tersebut diselingi dengan huruf {wawu} [dan]. Tentu, hal tersebut bukan tanpa makna. Makna yang dapat dirasakan dari kehadiran huruf {wawu} yang menyelingi kedua kalimat tersebut dapat dirasakan bermakna memulai kembali (al-isti‟naf); contoh keempat (d) yang berupa kalimat {waqid; washil; wafid} [Wafid; Washil; Wafid] adalah merupakan Nama Orang atau Diri (asma‟ al-dzat), dimana Nama Diri atau Orang yang dimulai dengan huruf wawu tersebut adalah asli. Hal ini dapat dimaknai bahwa huruf wawu yang terdapat pada permulaan masingmasing Nama adalah bersifat asli pada nama-nama; contoh kelima (e). pada kalimat {wa yukallimu al-nassa fi al-mahdi wa kahla} [dan (pelaku gaib) sedang dan akan berbicara pada manusia di dalam (...) kecil dan didalam (...) renta]. Masing-masing kalimat {al-mahdi} [kanak-kanak] dan {kahlan} [renta] diselingi dengan {huruf wawu} [dan]. Tentu, penggunaan huruf wawu yang menyelingi kedua kalimat tersebut memiliki makna dan satu-satunya makna-pengertian yang sesuai adalah keadaan. Dalam arti, Ia
98
Muhammad Husni Arafat, Lc., MSI – Diskusi Antara Al-Sairafi Dan Bisyr Ibn Matta
(pelaku gaib) sedang dan akan senantiasa berbicara pada manusia ketika manusia di dalam [keadaaan] kanak-kanak dan didalam [keadaan renta]. Selain memiliki makna-makna dan pengertia-pengertian tersebut diatas, huruf wawu juga memiliki makna dan pegnertian lainnya antara lain: bermakna sususpan dan selipan; juga bermakna rubba yang berarti sedikit. 2. Persoalan Hubungan Nahwu dengan Makna Logis
Persoalan lain yang diangkat didalam diskusi tersebut adalah persoalan hubungan antara Nahwu dengan Makna Logis. Dalam konteks persoalan ini, penulis akan mencantumkan contoh-contoh yang selaras dengan intisari persoalan ini, sebagai berikut: Kalimat-kalimat {[ }زيد أفضل االخوةZaid adalah Sahabat Terbaik] dan {([ }زيد أفضل اخوته...) Zaid adalah Sahabat Terbaik(-nya)] Secara lahiriah-luar, kedua kalimat ini tampak sama persis tetapi pada hakikatnya masing-masing kalimat memiliki perbedaan makna dan pengertian yang sangat tajam. Dalam arti, kalimat pertama { زيد أفضل [ }االخوةZaid adalah Sahabat Terbaik] adalah [susunan kalimatnya] benar dengan dalih bahwa ketika kalimat ini di-logika-kan dengan memakai contoh lain {man al-ikhwah} [Siapa Sahabat Terbaik...!] yang serupa dan ringkas, maka secara otomotis yang muncul dalam benak-pikiran kita adalah Zaid. Dengan demikian, Zaid termasuk di dalam kalimat (pertanyaan yang ditujukan pada pembaca) yang tersusun dari kata-kata secara benar dan sahih, disamping itu juga memilik makna yang sesuai dengan pemakaian kalimat. Berbeda dengan kalimat kedua {}زيد أفضل اخوته [(...) Zaid adalah Sahabat Terbaik(-nya)] yang bisa dikatakan salah dan keliru, baik secara gramatika maupun secara makna. Hal ini tidak lain adalah dikarenakan ketika kalimat ini dirubah dengan bentuk kalimat ringkas yang serupa yaitu {man afdlal ikhwat Zaid} [Siapakah Teman Terbaik Zaid]. Dari sini dapat dirasakan dan ditegaskan bahwa jawaban dari pertanyaan ringkas lain ini adalah jelas. Dalam arti, ketika menjawab secara otomotis jawaban yang disodorkan adalah tidak memasukkan nama Zaid ke dalam Jawaban tersebut. Bukti-bukti dan argumentasi-argumentasi ini dapat menegaskan bahwa Nahwu adalah Logika (al-manthiq) tetapi [logika] bahasa Arab tersendiri [meskipun dapat memungkinkan dimasukkannya atau terpengaruh logika lain selainnya] dan Logika adalah Nahwu tetapi ia 99
[Nahwu] terpahami melalui bahasa. Masing-masing Bahasa memiliki watak, tabiat dan karakteristik tersendiri. Disamping itu, keunikan dan keistimewaan Nahwu yang membedakannya dengan tata-bahasa lainnya, menurut al-Sairafi, adalah al-i‟rab yang tidak hanya berupa perubahan keadaan akhir kalimat semata tetapi juga termasuk Makna Hakiki-Majaz; Pengawalan dan Pengakhiran; Isim – Fi‟il – Huruf; Tebal – Tipis dan lainlain. E. PENUTUP
Setiap permulaan pasti ada kata akhir. Tidak terkecuali dengan tulisan ini yang hendak diakhiri dengan sebuah kata akhir alias penutup. Demikian halnya dengan tidak ada sesuatu yang begitu sempurna selain Kesempurnaan Hakiki itu sendiri. Tidak terkecuali dengan tulisan ini yang masih sangat jauh dari kesempurnaan. Sebelum memberikan kata akhir maka ada baiknya tulisan ini dihiasi dengan sebuah ringkasan dalam rangka mendapatkan tanggapan dan kritikan-kritikan yang sekiranya dapat membangun diri. Ringkasan-ringkasa dan ikhtisar-ikhtisar sederhana yang dihasilkan dari pembahasan-pembahasan terdahulu (A; B; C; D) adalah sebagai berikut: 1. Disiplin ilmu Nahwu merupakan disiplin ilmu mandiri yang dihasilkan para sarjana Muslim dengan ideologi-ideologi yang berbeda dan faktorfaktor yang melatar-belakangi dan menumbuh-kembangkannya. 2. Kelahiran disiplin ilmu Nahwu adalah di Basrah [Irak] dengan dalih kebutuhan mendesak dan jawaban dari persoalan-persoalan kebahasaan yang harus diatasi dengan segera. 3. Abu al-Aswad al-Dua‟li dapat dikatakan sebagai master architect Nahwu. 4. Nahwu dan Logika berhubungan erat satu sama lain. Tetapi, tidak dapat diartikan bahwa Nahwu terpengaruh pola Logika Yunani [khususnya Logika Aristoteles]. Wallahu A‟lam[u].
100
Muhammad Husni Arafat, Lc., MSI – Diskusi Antara Al-Sairafi Dan Bisyr Ibn Matta
DAFTAR PUSTAKA Al-Iskandari, Ahmad dan „Anani, Musthafa, Al-Wasith fi al-Adab al-„Arabi wa Tarikhihi, (Kairo: Wizarat al-Ma‟arif al-„Umumiyyah, 1919) Nuruddin, Hasan, Al-Dalil ila Qawa‟id al-Lughah al-„Arabiyyah, (Beirut: Lebanon, 1996), hal. 7 Al-Thanthawi, Muhammad, Nasy‟at al-Nahwi wa Tarikh Asyhar al-Nuhat, (Kairo: Dar al-Ma‟arif, ttp) Dlaif, Syauqi, Al-Madaris al-Nahwiyyah, (Kairo: Dar al-Ma‟arif, ttp), hal. 20 Sya‟roni Ahmadi, Ahmad, Syarh Kitab Sullam al-Munawwaraq li al-Akhdlari Al-Suyuthi, „Abd al-Rahman Jalaluddin, Al-Muzhir fi „Ulum al-Lughah wa Anwa‟iha, ed. „Ali Muhammad al-Bajawi, dkk, (Kairo: Maktabah Dar al-Turats, ttp), vol. 1 Hammad, Ahmad „Abd al-Rahman, Al-„Alaqah baina al-Lughah wa al-Fikr: Dirasah li al-„alaqah al-luzumiyyah baina al-fikr wa al-lughah, (Kairo: Dar al-Ma‟rifah al-Jami‟iyyah, 1985) Al-Suyuthi, „Abd al-Rahman Jalaluddin, Al-Muzhir fi „Ulum al-Lughah wa Anwa‟iha Zidan, Jurji, Al-Alfadz al-„Arabiyyah wa al-Falsafah al-Lughawiyyah, (Beirut: Mathba‟ah al-Qadis Georgeos, 1886) Ibn „Aqil, Baha‟uddin „Abdullah, Syarh Ibn „Aqil „ala Alfiyah Ibn Malik, (Kairo: Dar al-Turats, 1980), jilid 1 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PUSAT BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL, 2008), hal. 871 McLeod, Stephen, LOGIC, dalam “Key Ideas in Linguistics and the Philosophy of Language,” ed. Siobhan Chapman dan Christopher Routledge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2009) Al-Tauhidi, Abi Hayyan, Kitab al-Muqabasat, ed. Hasan al-Sandubi (Kairo: Dar Sa‟ad al-Shabah, 1992) Al-Tauhidi, Abi Hayyan, Kitab al-Muqabasat
101