PENGEMBANGAN BAMBU LAPIS BERKUALITAS TINGGI
JAJANG SURYANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pengembangan Bambu Lapis Berkualitas Tinggi adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi.
Bogor, Agustus 2012
Jajang Suryana NRP E262070031
ii
iii
ABSTRACT JAJANG SURYANA. Development of High Quality Ply Bamboo. Under supervision of MUH. YUSRAM MASSIJAYA, YUSUF SUDO HADI and DEDE HERMAWAN
Utilization of non wood forest product such as bamboo is one of alternative in reducing wood usage. Some advantages of bamboo among other are very fast growth rate, short rotation, high tensile strength, abundantly in many countries, and traditionaly has been using as building material. The aim of this study was to produce ply bamboo that has high quality in terms of physical and bonding strength properties, and also resistance to termite attack. The raw material used in this study consisted of three bamboos species, namely, tali (Gigantochloa apus), andong (Gigantochloa verticillata) and betung (Dendrocalamus asper); and five kinds of adhesives, namely methylen diphenyl isocyanate (MDI), phenol formaldehyde (PF), melamine formaldehyde (MF), urea formaldehyde (PF) and poly vinyl acetate (PVAc). Fundamental properties of ply bamboo tested according to SNI 01-5008.7-1999. This study consisted of two topics. The aim of first study was to improve mechanical properties of ply bamboo, especially in enhanching perpendicular to grain bonding strength, and the purpose of second study was to improve resistance of ply bamboo to termite attack. The treatments applied in first topic were glue taped and sewn of bamboo strands perpendicular to grain. The distances of each treatment applied in bambo strands of both glue taped and sewn were 5 cm, 10 cm, and 15 cm, respectively; whereas the treatments applied in second topic were soaking in cold water, hot water, and boiled lime solution 5 %. The results of first topic showed that MDI was the best adhesives for ply bamboo, in terms of improving physical and bonding strength properties significantly. The results also indicated that the treatments applied in ply bamboo improved physical and bonding strength properties significantly, especialy in enhancing the perpendicular to grain bonding strength. The results of second topics showed that boiled lime solution 5 % was the best treatments for ply bamboo in improving resistance to termite attack. Key words : bamboo, adhesives, ply bamboo, physical and bonding strength properties, resistance to termite attack.
iii
iv RINGKASAN JAJANG SURYANA. Pengembangan Bambu Lapis Berkualitas Tinggi. Di bawah bimbingan MUH. YUSRAM MASSIJAYA, YUSUF SUDO HADI and DEDE HERMAWAN. Penelitian tentang bambu lapis yang telah dilakukan masih menghadapi beberapa permasalahan (Sulastiningsih et al, 1994; Kliwon et al., 1996; Kliwon, 1997; Nurfaidah, 2002; Kurniawan, 2002; Kristiyanti, 2004; Wahyuni, 2005; Sulastiningsih, 2005; Nugraha, 2006; Irjayanti, 2009; dan Adha, 2008). Permasalahan tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua hal, yaitu : pertama, berkaitan dengan sifat mekanis dan keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan bambu lapis yang nilainya lebih rendah dibandingkan dengan sifat mekanis dan keteguhan rekat sejajar serat permukaan, serta kedua, berkaitan dengan masa pakai bambu lapis yang relatif singkat akibat serangan kumbang bubuk dan rayap tanah. Dua permasalahan tersebut dijadikan topik dalam penelitian ini. Penelitian topik pertama dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan nilai keteguhan rekat tegak lurus permukaan bambu lapis tersebut, yaitu dengan memperkuat lembaran bilah tipis bambu (strands) ke arah tegak lurus serat menggunakan jahitan dan lakban kertas. Upaya ini diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut sekaligus menghasilkan produk bambu lapis yang mempunyai keteguhan rekat yang tinggi, baik ke arah sejajar serat maupun ke arah tegak lurus serat permukaan. Bahan yang digunakan dalam penelitian topik pertama berupa bambu tali (Gigantochoa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz)), bambu andong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro), dan bambu betung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) yang dipanen dari wilayah Kecamatan Leuwiliang, Bogor. Ketiga jenis bambu tersebut dipilih yang sudah masak tebang. Perekat yang digunakan meliputi tiga jenis perekat, yaitu urea formaldehyde (UF), phenol formaldehyde (PF), dan poly vinyl acetate (PVAc). Alat yang digunakan meliputi: gergaji tangan, golok, cutter, amplas, mesin serut; alat tulis, penggaris, caliper, oven, desikator, alat kempa, timbangan, kape; dan Universal Testing Machine (UTM) merk Instron. Lembaran bambu lapis dibuat tiga lapis (tripleks) dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 0,4 cm dengan berat labur sebesar 200 g/m2. Suhu kempa untuk perekat UF adalah 110oC, perekat PF sebesar 140oC, dan perekat PVAc pada suhu kamar. Pengempaan panas dilakukan selama 5 menit, dengan tekanan kempa spesifik sebesar 15 kg/cm2. Khusus untuk kayu lapis yang menggunakan PVAc, dilakukan pengempaan dingin menggunakan klem selama 24 jam. Setelah proses pengempaan dilakukan, bambu lapis dikondisikan di dalam ruangan selama 2 minggu. Pengujian bambu lapis mengacu kepada SNI 01-5008.7-1999 yang meliputi kerapatan, kadar air, keteguhan rekat sejajar serat permukaan, dan keteguhan rekat sejajar lapisan inti. Hasil penelitian topik pertama menunjukkan bahwa perlakuan jahitan dan lakban meningkatkan keteguhan rekat bambu lapis, baik pada arah sejajar serat maupun pada arah tegak lurus serat permukaan tanpa menurunkan sifat fisisnya. Perlakuan jahitan memberikan peningkatan sifat keteguhan rekat yang lebih baik dibanding perlakuan lakban, baik pada arah sejajar serat maupun arah tegak lurus serat permukaan bambu lapis. Bambu lapis terbaik dihasilkan dengan perlakuan iv
v jahitan dengan jarak antar jahitan sebesar 5 cm dengan menggunakan perekat PF. Bambu lapis yang dihasilkan dari penelitian ini secara umum telah memenuhi bahkan melampaui persyaratan standar baik SNI 01-5008.7-1999 maupun standar JIS A 5980- 2003. Penelitian topik kedua dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan ketahanan bambu lapis terhadap serangan kumbang bubuk dan rayap. Dengan perkataan lain penelitian ini ditujukan untuk meningkatkan keawetan bambu lapis. Jenis bambu yang digunakan dalam penelitian topik ke dua sama dengan jenis bambu yang digunakan dalam penelitian topik pertama, yaitu bambu tali, andong, dan betung. Ke tiga jenis bambu tersebut adalah bambu yang sudah masak tebang. Perekat yang digunakan meliputi 4 jenis perekat yaitu poly vinyl acetate (PVAc), urea formaldehyde (UF), methylen diphenyl isocyanate (MDI), dan melamine formaldehyde (MF). Alat yang digunakan dalam penelitian topik ke dua sama dengan alat yang digunakan dalam penelitian topik pertama. Pada penelitian topik ke dua, bilah bambu hasil serutan dengan ukuran yang sama dengan penelitian topik pertama kemudian dipisahkan menjadi empat kelompok dan diberi perlakuan sebagai berikut : (a). Kelompok I direndam dalam air mengalir selama 2 minggu. (b). Kelompok II direbus dalam air mendidih selama 2 jam. (c). Kelompok III direbus dalam air kapur berkonsentrasi 5% selama 2 jam. (d). Kelompok IV tanpa perlakuan tambahan (kontrol). Lembaran bambu lapis dibuat tiga lapis (tripleks) berukuran 40 cm x 40 cm x 0,4 cm dengan berat labur sebesar 200 g/m2. Suhu kempa untuk perekat UF adalah 110 oC, perekat MDI dan PF sebesar 140oC, dan perekat PVAc pada suhu kamar. Pengempaan panas dilakukan selama 5 menit, dengan tekanan kempa spesifik sebesar 15 kg/cm2. Khusus untuk kayu lapis yang menggunakan PVAc, dilakukan pengempaan dingin menggunakan klem selama 24 jam. Setelah proses pengempaan dilakukan, bambu lapis dikondisikan di dalam ruangan selama 2 minggu. Pengujian bambu lapis mengacu pada SNI 01-5008.7-1999 yang meliputi kerapatan, kadar air, stabilitas dimensi, keteguhan rekat, keteguhan lentur patah (MOR), dan kekakuan (MOE). Selain itu dilakukan pengujian ketahanan bambu lapis terhadap serangan rayap tanah Coptotermes curvignathus. Parameter yang diuji meliputi kehilangan berat bambu lapis dan mortalitas rayap. Hasil penelitian topik ke dua menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis kimia terhadap bambu lapis sebelum dan sesudah perlakuan, ternyata perlakuan perebusan dalam air kapur 5 % terbukti mengurangi jumlah kandungan zat ekstraktif pada bambu secara significant. Hal ini berarti peluang bambu lapis untuk diserang kumbang bubuk menjadi semakin kecil, karena kumbang bubuk pada dasarnya memakan sebagian zat ekstraktif berupa pati sebagai sumber makanannya. Selain itu, berdasarkan hasil pengujian ketahanan bambu lapis terhadap serangan rayap, diketahui bahwa perebusan dalam air kapur 5 % merupakan perlakuan terbaik dilihat dari parameter kehilangan berat bambu lapis dan mortalitas rayap. Walaupun demikian, ditinjau dari aspek sifat fisis mekanis, ternyata perlakuan perendaman dalam air sungai selama dua minggu menghasilkan bambu lapis yang terbaik, sedangkan perlakukan perebusan dalam air kapur 5 % menempati urutan ke dua yang nilainya hanya sedikit lebih rendah daripada bambu lapis yang mendapat perlakuan perendaman dalam air sungai, tapi masih memenuhi persyaratan SNI 01-5008.7-1999. Menyikapi hasil ini, maka untuk tujuan mengurangi serangan kumbang bubuk dan serangan rayap tanah Coptetermes curvignathus, perlakuan perebusan dalam air kapur 5 % merupakan v
vi salah satu solusi untuk mendapatkan bambu lapis berkualitas tinggi, dalam konteks memiliki kekuatan yang tinggi sekaligus relatif lebih tahan terhadap serangan kumbang bubuk dan serangan rayap tanah. Perekat yang direkomendasikan untuk keperluan tersebut adalah perekat MDI.
vi
vii
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
vii
viii
PENGEMBANGAN BAMBU LAPIS BERKUALITAS TINGGI
JAJANG SURYANA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Teknologi Serat dan Komposit
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
viii
ix
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. Sucahyo Sadiyo, MS (Staf Pengajar Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB)
Prof. (Ris.) Dr. Ir. Gustan Pari, MS (Peneliti Utama di Puslibang Pengolahan Hasil Hutan, Badan Litbang Kementerian Kehutanan RI)
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS (Staf Pengajar Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB)
Prof. (Ris.) Dr. Drs. Adi Santoso, MS. (Peneliti Utama di Puslibang Pengolahan Hasil Hutan, Badan Litbang Kementerian Kehutanan RI)
ix
x
x
xi
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi berjudul Pengembangan Bambu Lapis Berkualitas Tinggi disusun sebagai tahapan akhir dalam penyelesaian studi untuk meraih gelar Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dengan selesainya disertasi ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Muh. Yusram Massijaya, M.S selaku ketua komisi pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr. dan Bapak Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing. Arahan komisi pembimbing pada berbagai kesempatan, baik dalam sidang komisi maupun selama proses konsultasi disertai dengan diskusi selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi telah mempertajam dan memperdalam kerangka berpikir ilmiah penulis. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada pimpinan Institut Pertanian Bogor, serta pimpinan Fakultas Kehutanan IPB dan Ketua Departemen Hasil Hutan yang telah memberikan izin dan dukungan selama penulis menempuh studi. Ucapan terima kasih yang sama disampaikan kepada seluruh Civitas Akademika Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB atas bantuan dan kerjasamanya selama ini, juga tidak lupa kepada Ditjen Dikti Kemendiknas atas bantuan BPPS (Beasiswa Pendidikan Pascasarjana) selama menjalani studi serta bantuan dana untuk membiayai penelitian melalui Hibah Penelitian Strategis Nasional. Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi penting bagi penyusunan disertasi ini. Untuk itu penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS dan Bapak Prof. (Ris.) Dr. Ir. Subyakto (Bio Material LIPI) selaku penguji dalam ujian kualifikasi, Bapak Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS, Bapak Dr. Ir. Wayan Darmawan, M.Sc. selaku Koordinator Mayor Teknologi Serat dan Komposit sekaligus juga penguji pada ujian kualifikasi lisan, dan ujian tertutup, dan Bapak Prof. (Ris.) Dr. Ir. Gustan Pari, MS (Balitbang Kehutanan Kementerian Kehutanan RI) selaku penguji ujian tertutup, Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS dan Bapak Prof. (Ris.) Dr. Drs. Adi santoso, M.S. (Balitbang Kehutanan Kementerian Kehutanan RI) selaku penguji ujian terbuka, Bapak Dr. Ir. Wayan Darmawan M.Sc. selaku pimpinan sidang mewakili Rektor IPB, dan Bapak Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS yang mewakili Koordinator Mayor Teknologi Serat dan Komposit sekaligus juga penguji pada ujian terbuka penulis. Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis juga mendapat banyak bantuan dari tenaga ahli dari Bio Material LIPI, laboran dan teknisi dalam lingkup Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Sukma Surya Kusumah, S.Hut, M.Si, Bapak Abdullah dan Bapak Mahdi Mubaroq, S.Si di Laboratorium Bio Komposit, Bapak Suprihatin di Bagian Kimia Hasil Hutan, Mas Irvan di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu serta Bapak Suhada dan Bapak Kadiman di Workshop Penggergajian. Bantuan juga penulis terima dari berbagai pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan disertasi ini. Untuk itu penulis xi
xii sampaikan terima kasih kepada Azwar Massijaya, S.Si, Wahyu Hidayat, Dina S.Hut., dan Fetri atas bantuan dalam pengolahan data. Ucapan terima kasih jugas disampaikan kepada Bapak Drs. Mingan, Eri Hikmat Hakim, Diki Sutisna, Agung, dan Didin atas bantuan penyediaan bahan baku bambu dan pembuatan bilah-bilah tipis bambu. Kepada istriku tercinta Enung Kusnaeni dan ketiga anakku tersayang Firman Mulya Nugraha, SP, Johan Maulana Yusuf, dan Tomi Rahmat Gunawan, penulis menyampaikan terimakasih yang tulus atas segala doa, dukungan, kerelaan, dan pengorbanannya selama penulis menempuh studi. Kehadiran mereka adalah karunia yang tak ternilai bagi penulis Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan mereka yang telah ikhlas membantu penulis dengan caranya masing-masing, dan semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pengolahan hasil hutan pada umumnya. Amin!
Bogor, Agustus 2012
Penulis
xii
xiii
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Garut, Jawa Barat pada tanggal 18 Oktober 1958 dari ayah bernama Sumadiraksa dan ibu Titi dan merupakan anak ke enam dari delapan bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB sejak bulan April 1978 dan lulus pada bulan September 1982. Pendidikan strata magister ditempuh sejak bulan Oktober 1995 di Fakultas Kehutanan, Universitas Goettingen, Jerman dan lulus pada bulan September 1997. Penulis melanjutkan ke jenjang Doktoral pada tahun 2007 di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dengan Mayor Teknologi Serat dan Komposit atas biaya dari BPPS (Beasiswa Pendidikan Pascasarjana) Dikti. Setelah menamatkan pendidikan sarjana, penulis menjadi asisten dosen di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB sejak bulan Oktober 1982, dan sampai serkarang tetap mengabdi sebagai staf pengajar di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Selama menjadi staf pengajar, penulis bergabung menjadi anggota Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki) sejak 1982- sekarang dan bergabung menjadi anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) sejak tahun 2002- sekarang. Pada tahun 2005- 2007, penulis pernah mengabdi sebagai Sekretaris Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Pada tahun 2010, penulis bersama Bapak Prof. Dr.Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS dan Bapak Sukma Surya Kusumah, S.Hut.,M.Si. mendapat penghargaan dari Business Innovation Center (BIC) yang didukung sepenuhnya oleh Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia sebagai salah satu tim peneliti dari 102 Inovasi Indonesia (102 Indonesia Innovations). Beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan bambu dan disertasi adalah : “Pengembangan Produk Panel Sandwich dari Bambu” sebagai penulis kedua bersama Dr. Ir. Naresworo Nugroho, Febrian, S Hut. dan Ikhsan S. Hut., dimuat di dalam Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Vol. 19(2), 71-77, 2009, “ Pengaruh Penyambungan Bilah Bambu dan Jenis Perekat terhadap Kualitas Tiga Jenis Bambu Lapis”, dimuat dalam Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan (JITHH) Volume 5 No. 1 tahun 2012, “ Pengaruh Perlakuan Perendaman dan Jenis Perekat terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Andong”, akan dimuat pada Jurnal Perenial Volume 11 No.1 Tahun 2013. Penulis menikah dengan Enung Kusnaeni dan dikaruniai tiga orang putra yang masing-masing bernama Firman Mulya Nugraha, SP, Johan Maulana Yusuf, dan Tomi Rahmat Gunawan.
xiii
xiv
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .....................................................................................
viii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
ix
PRAKATA .....................................................................................................
x
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................
xii
DAFTAR ISI ............................................................................................. ....
xiii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xviii
PENDAHULUAN ...... ...................................................................................
1
Latar Belakang ....................................................................................
1
Perumusan Masalah.............................................................................
1
Tujuan Penelitian.................................................................................
4
Manfaat Penelitian...............................................................................
4
Hipotesis..............................................................................................
4
Novelty................................................................................................
5
Kerangka Pemikiran dan Tahapan Penelitian......................................
5
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
7
Gambaran Umum Bambu ...................................................................
7
Kelebihan Bambu Dibandingkan dengan Kayu ................................
7
Kekurangan Bambu Dibandingkan dengan Kayu ..............................
10
Struktur Anatomi Bambu ...................................................................
12
Sifat Fisis Bambu ...............................................................................
14
Sifat Mekanis Bambu .........................................................................
15
Kandungan Kimia Bambu ..................................................................
16
Sifat-sifat Beberapa Jenis Bambu yang Diteliti .................................
16
Perekat ................................................................................................
18
Sudut Kontak ......................................................................................
29
Pengertian Bambu Lapis ....................................................................
31
Produk Panel Bambu : State of the Art Review ..................................
31
IDENTIFIKASI BAHAN BAKU (SIFAT-SIFAT BAMBU)......................
44
Pendahuluan .......................................................................................
44
Bahan dan Metode..............................................................................
44
xiv
xv Hasil dan pembahasan ........................................................................
47
Kesimpulan ........................................................................................
58
SIFAT-SIFAT DASAR BAMBU LAPIS ......................................................
59
Pendahuluan .......................................................................................
59
Bahan dan Metode...............................................................................
60
Hasil dan pembahasan ................................................................... ....
66
Kesimpulan ........................................................................................
84
PENINGKATAN KUALITAS BAMBU LAPIS.........................................
85
A. PENINGKATAN KEKUATAN BAMBU LAPIS .....................
85
Pendahuluan ................................................................................
85
Bahan dan Metode.......................................................................
85
Hasil dan pembahasan .................................................................
88
Kesimpulan .................................................................................
97
B. PENINGKATAN KEAWETAN BAMBU LAPIS ....................
98
Pendahuluan ................................................................................
98
Bahan dan Metode.......................................................................
99
Hasil dan pembahasan .................................................................
108
Kesimpulan .................................................................................
122
PERBANDINGAN SIFAT-SIFAT DASAR BAMBU LAPIS DENGAN KAYU LAPIS...............................................................................
123
Pendahuluan .......................................................................................
123
Bahan dan Metode...............................................................................
123
Hasil dan pembahasan ........................................................................
124
Kesimpulan ........................................................................................
134
ANALISIS TEKNIS PEMANFAATAN BAMBU LAPIS ...........................
135
PEMBAHASAN UMUM .............................................................................
141
KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
144
Kesimpulan .......................................................................................
144
Saran ...................................................................................................
144
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
145
LAMPIRAN ..................................................................................................
151
xv
xvi
DAFTAR TABEL No. 2.1. 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6. 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7. 4.8. 4.9 4.10. 4.11. 4.12. 4.13. 4.14. 4.15. 4.16. 4.17. 4.18. 4.19. 5.1. 5.2. 5.3.
Halaman Besarnya sudut kontak pada setiap lapisan dinding sel bambu Phyllostachys pubescens .................................................................. Acuan penentuan komponen kimia bambu .................................... Kerapatan bambu bambu tali, andong dan betung .......................... Kadar air bambu tali, andong dan betung ......................................... Permeablitas bambu tali, andong dan betung yang dinyatakan dalam besarnya tekanan vakum (bar) .............................................. Sifat fisis dan mekanis bambu tali, andong, dan betung ................ Sifat kimia bambu tali, andong dan betung Rasio antara tebal lapisan inti dengan lapisan muka ........................ Persyaratan keteguhan rekat kayu lapis ............................................ Kerapatan bambu lapis ..................................................................... Analisis sidik ragam kerapatan bambu lapis .................................... Kadar air bambu lapis ...................................................................... Analisis sidik ragam kadar air bambu lapis ..................................... Nilai pengembangan dimensi bambu lapis ...................................... Analisis keragaman pengembangan panjang bambu lapis. .............. Analisis keragaman pengembangan lebar bambu lapis ................... Analisis keragaman pengembangan tebal bambu lapis .................... Keteguhan rekat bambu lapis .......................................................... Analisis sidik ragam keteguhan rekat sejajar serat permukaan bambu lapis .................................................................... Analisis sidik ragam keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan bambu lapis .................................................................... Keteguhan patah (MOR) bambu lapis ............................................ Analisis sidik ragam keteguhan patah sejajar serat permukaan bambu lapis .................................................................... Analisis sidik ragam keteguhan patah (M)R) tegak lurus serat permukaan bambu lapis ................................................ Kekakuan (MOE) bambu lapis ........................................................ Analisis sidik ragam keteguhan patah sejajar serat permukaan bambu lapis .................................................................... Analisis sidik ragam keteguhan patah sejajar serat permukaan bambu lapis .................................................................... Rata-rata nilai kerapatan bambu lapis berbahan baku bambu tali, andong, dan betung ........................................................................... Analisis sidik ragam kerapatan bambu lapis .................................... Rata-rata kadar air bambu lapis berbahan baku bambu tali, andong, dan betung ...................................................................
31 47 48 49 51 55 57 64 64 67 67 68 69 70 72 72 73 74 75 76 79 79 80 82 82 83 89 90
91 xvi
xvii 5.4.
Analisis sidik ragam kadar air bambu lapis ......................................
Rata-rata keteguhan rekat sejajar serat bambu lapis berbahan baku bambu tali, andong, dan betung ............................... 5.6. Analisis sidik ragam keteguhan rekat sejajar serat permukaan bambu lapis .................................................................... 5.7. Rata-rata keteguhan rekat tegak lurus serat bambu lapis berbahan baku bambu tali, andong, dan betung ............................... Analisis sidik ragam keteguhan rekat tegak lurus serat 5.8 permukaan bambu lapis .................................................................... 5.9. Kelarutan bambu lapis sebelum dan sesudah perlakuan .................. 5.10. Prosentase kehilangan berat bambu lapis dan bambu akibat serangan rayap tanah ........................................................................ 5.11. Mortalitas rayap pada bambu lapis .................................................. 6.1 Perbandingan kadar air bambu lapis dengan kayu lapis ................... 6.2. Perbandingan MOE sejajar serat bambu lapis dengan kayu lapis ......................................................................................... 6.3. Perbandingan MOE sejajar serat bambu lapis dengan kayu lapis..... Perbandingan MOE sejajar serat bambu lapis dengan 6.4 kayu lapis .......................................................................................... Perbandingan MOE tegak lurus serat bambu lapis dengan 6.5 kayu lapis .......................................................................................... Perbandingan keteguhan rekat sejajar serat bambu lapis 6.6 dengan kayu lapis ............................................................................. Perbandingan keteguhan rekat tegak lurus serat bambu 6.7 lapis dengan kayu lapis ................................................................... Hubungan Perekat Kayu dengan Tingkat Resistensi 7.1 terhadap Pengaruh yang Bersifat Degradatif (SHMO). ............
91
5.5.
94 95 96 97 116 119 121 125 126 128 129 131 132 134 140
xvii
xviii
DAFTAR GAMBAR No. 1.1.
Halaman Diagram alir kerangka pemikiran Pengembangan Bambu Lapis Berkualitas Tinggi .........................................................
6
2.1
Struktur mikroskopis tiga jenis bambu pada bidang transversal dengan perbesaran 100 kali ................................................
13
2.2.
Tahap permulaan reaksi pembentukan PVAc ......................................
20
2.3.
Tahap polimerisasi reaksi pembentukan PVAc ....................................
20
2.4.
Tahap terminasi reaksi pembentukan PVAc ........................................
21
2.5.
Reaksi kondensasi urea dan formaldehida ...........................................
23
2.6.
Grafik hubungan antara gel-time dengan suhu .....................................
23
2.7.
Reaksi metilolasi dengan formaldehida ...............................................
28
2.8.
Tahap kondensasi awal.........................................................................
38
2.9.
Tahap kondensasi lanjut .......................................................................
29
4.1.
Pola pemotongan contoh uji ................................................................
61
4.2.
Contoh uji keteguhan rekat ...................................................................
63
4.3
Pengujian MOE dan MOR ..................................................................
65
5.1.
Pola rekatan lembaran bilah bambu .....................................................
89
5.2.
Histogram kerapatan bambu lapis .....................................................
108
5.3.
Histogram kadar air bambu lapis .....................................................
109
5.4.
Histogram pengembangan tebal 2 jam bambu lapis .........................
111
5.5.
Histogram pengembangan tebal 24 jam bambu lapis .......................
111
5.6.
Histogram penyusutan bambu lapis ...................................................
112
5.7.
Histogram keteguhan rekat bambu lapis ..........................................
113
5.8.
Histogram keteguhan patah (MOR) bambu lapis ..............................
114
5.9.
Histogram keteguhan lentur (MOE) bambu Lapis ............................
115
xviii
xix
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1
Data kerapatan, perekat UF ......................................................................
152
2
Data kerapatan, perekat PF ......................................................................
153
3
Data kerapatan, perekat PVAc .................................................................
154
4
Data kadar air, Perekat UF ........................................................................
155
5
Data kadar air, Perekat PF .........................................................................
156
6
Data kadar air, perekat PVAC ..................................................................
157
7
Data keteguhan rekat sejajar serat, perekat UF .........................................
158
8
Data keteguhan rekat sejajar serat, perekat PF...........................................
159
9
Data keteguhan rekat sejajar serat, perekat PVAc ....................................
160
10
Data keteguhan rekat tegak lurus serat, perekat UF ..................................
161
11
Data keteguhan rekat tegak lurus serat, perekat PF...................................
162
12
Data keteguhan rekat tegak lurus serat, perekat PVAc .............................
163
13
Data MOE sejajar serat, perekat UF .........................................................
164
14
Data MOE sejajar serat, perekat PF...........................................................
165
15
Data MOE sejajar serat, perekat UPVAc...................................................
166
16
Data MOE tegak lurus serat, perekat UF ..................................................
167
17
Data MOE tegak lurus serat, perekat PF ...................................................
168
18
Data MOE tegak lurus serat, perekat PVAc ..............................................
169
19
Data MOR sejajar serat, perekat UF .........................................................
170
20
Data MOR sejajar serat, perekat PF ..........................................................
171
21
Data MOR sejajar serat, perekat UPVAc ..................................................
172
22
Data MOR tegak lurus serat, perekat UF ..................................................
173
xix
xx 23
Data MOR tegak lurus serat, perekat PF ...................................................
174
24
Data MOR tegak lurus serat, perekat PVAc .............................................
175
25
Class Level Information untuk kerapatan .................................................
176
26
Analisis keragaman kerapatan bambu lapis ...........................................
177
27
Uji lanjut Duncan untuk kerapatan bambu lapis berdasarkan perlakuan .............................................................................
178
Uji lanjut Duncan untuk kerapatan bambu lapis berdasarkan jenis bambu ........................................................................
179
Uji lanjut Duncan untuk kerapatan bambu lapis berdasarkan perekat ..................................................................................
180
30
Class Level Information untuk kadar air bambu lapis ..............................
181
31
Analisis keragaman kadar air bambu lapis ...............................................
182
32
Uji lanjut Duncan untuk kadar air bambu lapis berdasarkan perlakuan ..................................................................................................
183
33
Uji Lanjut Duncan untuk kadar air berdasarkan perekat ..........................
184
34
Uji Lanjut Duncan untuk kadar air berdasarkan jenis bambu .................
185
35
Class Level Information keteguhan rekat sejajar serat ............................
186
36
Analisis keragaman keteguhan rekat sejajar serat ....................................
187
37
Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat sejajar serat berdasarkan perlakuan ..............................................................................
188
Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat sejajar serat berdasarkan perekat .................................................................................
189
Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat sejajar serat berdasarkan jenis bambu .........................................................................
190
40
Class Level Information keteguhan rekat tegak lurus serat .....................
191
41
Analisis sidik ragam Keteguhan rekat tegak lurus serat ...........................
192
42
Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat tegak lurus serat berdasarkan perlakuan ...............................................................................
193
28
29
38
39
xx
xxi 43
44
Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat tegak lurus serat berdasarkan perekat ..........................................................................
194
Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat tegak lurus serat berdasarkan jenis bambu ..........................................................................
195
xxi
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Bambu banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan potensial dikembangkan untuk menjadi sumber pemasok bahan baku industri. Menurut Bamboo Network (2002), pemanfaatan bambu selama ini sangat beragam dan dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori, yaitu sebagai bahan baku untuk keperluan sandang, papan, pangan, estetika dan budaya, kesehatan, dan sebagainya. Beberapa keunggulan
bambu diantaranya kuat, keras, ringan, mudah
didapat, cepat tumbuh, mudah dalam pengerjaan, dan mempunyai sifat mekanis yang lebih baik dibanding kayu pada arah sejajar serat. Melihat keunggulan tersebut memungkinkan berkembangnya produk panel bambu sebagai wujud upaya diversifikasi produk panel kayu. Bentuk diversifikasi dari bambu menghasilkan papan tiruan yang beragam bentuk meliputi papan partikel, papan serat, papan laminasi bambu ataupun bambu lapis (ply bamboo). Penelitian tentang bambu lapis yang telah dilakukan (Sulastiningsih et al, 1994; Kliwon et al.,1996; Kliwon, 1997; Nurfaidah,2002; Kurniawan,2002; Kristiyanti, 2004; Wahyuni,2005; Sulastiningsih, 2005; Nugraha, 2006; Irjayanti, 2009; dan Adha, 2008) masih menghadapi beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua hal, yaitu : pertama, berkaitan dengan sifat mekanis dan keteguhan rekat tegak lurus serat bambu lapis yang nilainya lebih rendah dibanding sifat mekanis dan keteguhan rekat sejajar serat permukaan, serta kedua, berkaitan dengan masa pakai bambu lapis yang relatif singkat akibat serangan kumbang bubuk dan rayap tanah. Teknik penyatuan bilah-bilah tipis bambu ke arah tegak lurus serat atau ke arah lebar lembaran selama ini dilakukan dengan menggunakan lakban pada kedua ujungnya. Teknik ini tidak memperbaiki sifat mekanis dan keteguhan rekat bambu lapis yang dihasilkan, namun hanya mempermudah proses penyatuan bilah-bilah tipis tersebut dan mempermudah proses pelaburan perekat. Akibatnya, sifat mekanis dan keteguhan rekat bambu lapis
pada arah tegak lurus serat
menjadi lebih rendah dibandingkan dengan sifat mekanis dan keteguhan rekat yang sejajar serat.
Persoalan yang terkait dengan singkatnya masa pakai bambu lapis akibat serangan kumbang bubuk selama ini belum mendapat perhatian sepenuhnya. Beberapa peneliti mencoba untuk menggunakan bahan pengawet yang efektif untuk mengatasi permasalahan tersebut, namun bahan pengawet yang efektif tersebut ini menghadapi resistensi dari berbagai pihak karena tidak ramah lingkungan. Bahan pengawet yang lebih ramah lingkungan (misalnya boraks) akhirnya menjadi pilihan untuk mengawetkan bambu lapis tersebut, namun bahan pengawet tersebut ternyata tidak terlalu efektif untuk mengatasi serangan kumbang bubuk, artinya hanya sedikit meningkatkan masa pakai bambu lapis, yaitu dari tiga tahun menjadi sekitar lima tahun. Teknik pengawetan bambu yang lebih ramah lingkungan sebenarnya sudah diketahui dan diterapkan oleh nenek moyang kita, yaitu dengan merendam bambu dalam kolam dalam jangka waktu enam bulan sampai satu tahun. Teknologi kuno tersebut ternyata sangat efektif mengatasikumbang bubuk (Krisdianto et al., 2006). Hal ini dapat dibuktikan dari semakin lamanya umur pakai dari bambu tersebut yang dapat mencapai puluhan tahun. Berkurangnya serangan kumbang bubuk sehingga dapat meningkatkan masa pakai bambu dapat dimengerti, karena dengan proses perendaman dalam kolam tersebut akan melarutkan sebagian zat ekstraktif yang merupakan sumber makanan kumbang bubuk. Dengan berkurangnya kandungan zat ekstraktif dalam bambu tersebut, maka serangan kumbang bubukpun menjadi berkurang. Meskipun teknologi perendaman tersebut sangat efektif sekaligus ramah lingkungan, namun jika diterapkan pada skala industri dianggap tidak praktis, karena terlalu lamanya menunggu proses perendaman tersebut. Oleh karena itu perlu dicari teknik perendaman yang lebih cepat namun tetap efektif mengatasi serangan kumbang bubuk. Metode perendaman bambu yang lebih singkat dapat ditempuh dengan tetap berpegangan pada konsep melarutkan pati yang terdapat dalam bambu. Metode tersebut dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu memperkecil ukuran bambu menjadi bilah-bilah tipis sehingga kandungan pati dalam bilah-bilah tipis tersebut dapat dilarutkan lebih cepat, dan kedua mempercepat larutnya kandungan pati dalam bilah-bilah tipis bambu tersebut dalam air yang mengalir, yaitu dengan cara merendam bilah-bilah tipis bambu dalam sungai. Cara lainnya untuk mempercepat
3 larutnya kandungan pati dalam bilah-bilah tipis bambu tersebut adalah dengan merendamnya dalam air panas. Metode lainnya untuk meningkatkan masa pakai bambu adalah dengan melapisi bilah-bilah bambu dengan
kapur. Kapur (CaCO3) terbukti efektif
mengatasi serangan hama pengerek. Hal ini dapat dilihat pada bangunanbangunan di pedesaan yang menggunakan lapisan kapur pada bilik atau gedek bambu sebagai dinding atau penutup langit-langitnya. Pemberian lapisan kapur pada anyaman bilik bambu ternyata dapat menurunkan serangan kumbang bubuk, atau dengan perkataan lain meningkatkan masa pakainya anyaman bambu tersebut. Teknik pengapuran ini sebenarnya dapat diterapkan pada produk bambu lapis untuk meningkatkan umur pakai bambu lapis, namun pengaruhnya terhadap sifat fisis, mekanis dan keteguhan rekat bambu lapis yang diberi perlakukan kapur tersebut belum banyak diketahui. Pemberian larutan kapur diduga akan berpengaruh terhadap sifat mekanis dan keteguhan rekat bambu lapis, karena kapur tersebut akan berinteraksi dengan perekat, namun seberapa besar pengaruh interaksi tersebut terhadap sifat mekanis dan keteguhan rekat bambu lapis belum banyak diketahui. Penelitian tentang bambu sebagai bahan baku industri perkayuan sangat penting dan mendesak dilakukan mengingat suplai bahan baku kayu sampai saat ini mengalami penurunan dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
Dengan
demikian dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi
kekurangan
bahan
baku
kayu
sekaligus
juga
mengurangi
ketergantungan terhadap bahan baku kayu. Perumusan Masalah Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, permasalahan utama yang dihadapi terkait kualitas bambu lapis meliputi dua hal, yaitu pertama, keteguhan mekanis bambu lapis pada arah tegak lurus serat yang nilainya lebih rendah dibanding keteguhan mekanis sejajar serat, dan ke dua, masa pakai bambu lapis yang relatif singkat akibat serangan kumbang bubuk. Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu : pertama meningkatkan keteguhan mekanis bambu lapis pada arah tegak lurus serat dengan cara menerapkan teknik penguatan sambungan bilahbilih tipis bambu menjadi lembaran venir menggunakan lakban dan jahitan pada
4 jarak tertentu, dan kedua, dengan menerapkan metode mempercepat pelarutan kandungan pati dalam bambu dengan merendamnnya dalam air yang mengalir, air panas, dan air panas yang diberi larutan kapur. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk bambu lapis berkualitas tinggi, yaitu bambu lapis yang memiliki kekuatan dan keawetan yang tinggi. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Meningkatkan nilai tambah bambu, khususnya bambu tali, andong, dan betung sekaligus juga lebih meningkatkan kegunaannya. 2. Mengembangkan
penggunaan
bambu
sebagai
pengganti
kayu
dalam
pembuatan kayu lapis sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku kayu. 3. Memberikan solusi alternatif penanggulangan kekurangan bahan baku baku bagi industri pengolahan kayu di Indonesia. Hipotesis Berdasarkan uraian sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Perlakuan jahitan dan lakban, serta jenis perekat dan bahan baku bambu berpengaruh terhadap sifat fisis dan mekanis bambu lapis. 2. Perlakuan perendaman bilah tipis bambu berpengaruh terhadap sifat fisis, sifat mekanis dan keawetan bambu lapis. 3. Bambu lapis hasil penelitian ini mempunyai sifat fisis dan mekanis yang memenuhi persyaratan SNI 01-5008.7-1999 dan standar JIS A 5980- 2003. 4. Bambu lapis hasil penelitian ini mempuyai sifat fisis dan mekanis yang lebih baik daripada kayu lapis yang berbahan baku jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species) dan dapat dapat dimanfaatkan untuk mensubstitusi kayu lapis tersebut. Novelty Novelti penelitian adalah ditemukan metode untuk memperbaiki kualitas bambu lapis yang dihasilkan, yaitu metode yang ramah lingkungan dan dapat meningkatkan sifat fisis dan mekanis serta keawetan bambu lapis.
5 Kerangka Pemikiran dan Tahapan Penelitian Penelitian tentang Pengembangan Bambu Lapis Berkualitas Tinggi ini drancang berdasarkan kerangka pemikiran untuk memperbaiki kelemahankelemahan bambu lapis yang yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Upaya perbaikan tersebut diawali dengan mengidentifikasi kelemahan-kelemahan utama bambu lapis, kemudian dilanjutkan dengan analisis yang mendalam terhadap kelemahan tersebut. Langkah selanjutnya adalah upaya pendekatan untuk mengatasinya. Agar upaya pendekatan tersebut tepat sasaran, maka perlu dijabarkan bentuk aplikasi teknologi yang memungkinkan upaya pendekatan tersebut dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Langkah terakhir adalah menemukan indikator pembuktian bahwa teknologi yang diterapkan sesuai dengan harapan. Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahapan. Penelitian diawali dengan identifikasi terhadap sifat-sifat bambu yang digunakan, yaitu bambu tali, andong dan betung. Tahapan berikutnya adalah melakukan identifikasi terhadap sifat-sifat bambu lapis yang telah diteliti dan melakukan analisis tentang kelemahannya. Berdasarkan analisis terhadap kelemahan tersebut dicari pendekatan solusi yang dapat mengatasinya, sehingga pada akhirnya akan didapatkan teknologi terapan ramah lingkungan yang akan menghasilkan bambu lapis berkualitas tinggi, yaitu bambu lapis yang memiliki kekuatan dan keawetan yang tinggi. Diagram alir kerangka pemikiran tersebut dalam rangka berkuaslitas tinggi disajikan Pada Gambar 1.1.
pengembangan bambu lapis
6
BAHAN BAKU (BAMBU)
Identifikasi Sifat-sifat Bambu
Identifikasi Sifat-sifat Bambu Lapis
Keteguhan rekat tegak lurus serat lebih rendah daripada keteguhan rekat sejajar serat permukaan bambu lapis
Penguatan sambungan ke arah lebar venir
Analisis Kelemahan Bambu Lapis
Umur pakai yang relatif singkat
Perendaman bilah bambu untuk melarutkan pati
BAMBU LAPIS (HIGH QUALITY)
Gambar 1.1 Diagram alir kerangka pemikiran Pengembangan Bambu Lapis Berkualitas Tinggi
II. TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Bambu Secara teknis bambu merupakan rumput-rumputan yang termasuk ke dalam famili Graminae, sub famili Bambusoide. Lebih dari 1200 jenis bambu tumbuh di dunia. Sekitar 18 juta ha areal bambu terdistribusi di ekosistem hutan dunia, yang sebagian besar tumbuh di Asia, Afrika dan Amerika Latin. (Bamboo Network, 2002). Namun demikian hanya beberapa jenis saja yang berarti secara ekonomis. Di Indonesia tercatat 143 jenis bambu yang tersebar di areal hutan maupun pekarangan-pekarangan rumah di pedesaan, 60 jenis diantaranya tumbuh di Pulau Jawa (Widjaya, 2001). Belum ada data statistik terbaru yang menunjukkan banyaknya persediaan bambu di Indonesia, namun berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2003, persediaan bambu di Indonesia berjumlah 37.926.278 rumpun yang sebagian besar (76,83 %) terdapat di Pulau Jawa, yaitu sebanyak 29.139.388 rumpun, sedangkan persediaan bambu di luar Pulau Jawa berjumlah 8.786.890 rumpun atau hanya sekitar 23,17 % (Sukadaryati, 2006). Kelebihan Bambu Dibandingkan dengan Kayu Bambu mempunyai kelebihan dibanding kayu. Kelebihan bambu dibanding kayu antara lain adalah sebagai berikut (Bamboo Network, 2002; Sukadaryati, 2006; dan Kackdir.blogspot.com., 2012): 1.
Bambu merupakan salah satu jenis tanaman perintis sehingga untuk tumbuh tidak membutuhkan persyaratan tumbuh yang terlalu rumit sebagaimana tanaman lain. Tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi sesuai dengan jenis.
2.
Memiliki umur yang panjang dengan siklus hidupnya berkisar 30-100 tahun bahkan lebih, tergantung dari jenisnya. Ada jenis yang setelah berbunga langsung mati; kelebihannya pengembangbiakan secara generatif untuk jenis ini relatif sulit, namun pembiakan secara vegetatif sangat mudah. Jenis lain ada yang setiap tahunnya berbunga, kelebihannya pembiakan secara generatif relatif mudah dan vegetatif relatif sulit.
3.
Secara fisik bambu memiliki kelebihan yaitu serat panjang dan rapat, lentur tidak mudah patah, dinding keras dan memiliki keteguhan tarik yang tinggi.
4.
Kecepatan pertumbuhan bambu dalam menyelesaikan masa pertumbuhan vegetatifnya merupakan tercepat dan tidak ada tanaman lain yang sanggup
8 menyamainya. Dari beberapa hasil penelitian, kecepatan pertumbuhan vegetatif bambu dalam 24 jam berkisar 30 cm – 120 cm. 5.
Nilai lebih lain dari bambu dibandingkan kayu adalah sekali tanam, produksi dapat dilakukan secara berulang-ulang, berbeda dengan kayu sekali tanam kemudian produksi selanjutnya perlu menaman lagi. Sifat bambu yang demikian merupakan prospek yang sangat cerah secara ekonomis dan menguntungkan secara investasi. Walaupun demikian agar produksi bambu dapat dilakukan secara berulang-ulang dalam pengelolaannya harus memegang dan memperhatikan titik kritis dari bambu, pengelolaan dalam budidaya bambu harus mengacu pada azas kelestarian (kelestarian produksi dan kelestarian sumberdaya) dan penaganannya harus mendasarkan diri pada silvikultur bambu.
6. Secara ekonomis, produk-produk yang berasal dari bambu memiliki nilai yang cukup baik. Banyak produk-produk yang dihasilkan mencakup mulai dari sandang (serat untuk pembuatan pakaian, dan lain-lain), papan (papan lembaran, lantai, meubel, dan lain-lain), pangan (rebung kalengan, kripik, aneka jenis makanan olahan, dan lain-lain), estetika dan budaya (kertas budaya, pernik-pernik artifisial ruangan, dan lain-lain), kesehatan (arang, vinegar, dan lain-lain) dan sebagainya. Dengan pengolahan berteknologi tinggi, bambu dapat dijadikan kertas kualitas nomor satu, bahan obat-obatan kesehatan berkualitas, dan sebagainya. Masih banyak lagi potensi bambu yang terpendam dan belum tergali, tentunya dibutuhkan suatu inovasi tehnologi kedepan guna dapat mewujudkan potensi tersebut. 7.
Bambu adalah penyerap karbon yang baik. Bambu menyerap karbon dioksida dan melepaskan oksigen 30 % lebih banyak ke atmosfir dibanding pohonpohon pada umumnya.
8.
Regerasi bambu yang cepat. Ketika bambu dipanen, tunas-tunas baru dari sistem perakarannya akan tumbuh terus. Bambu tidak memerlukan pupuk untuk tumbuh dan berkembang. Serasah daun bambu akan menjadi humus dan memberikan nutrisi yang diperlukan.
9.
Tanaman bambu mempunyai ketahanan yang luar biasa. Rumpun bambu yang telah dibakar, masih dapat tumbuh lagi, bahkan pada saat Hiroshima
9 dijatuhi bom atom sampai rata dengan tanah, bambu adalah satu-satunya jenis tanaman yang masih dapat bertahan hidup. 10. Bambu berbentuk pipa sehingga momen kelembabannya tinggi, oleh karena itu bambu cukup baik untuk memikul momen lentur. Ditambah dengan sifat bambu yang elastis, struktur bambu mempunyai ketahan yang tinggi baik terhadap angin maupun gempa. 11. Bambu mencegah terjadinya erosi. Setelah hutan kayu ditebang, humus di bagian tanah atas akan mudah terkikis dan ikut hanyut terbawa aliran air. Hal ini tidak berlaku bagi bambu, karena sistem perakarannya akan terus tumbuh bahkan setelah pemanenan. Tunas baru akan muncul dan akar bambu masih mampu menjaga kestabilan tanah dan mempertahankan nutrisi yang ada. 12. Bambu ternyata anti bakteri. Bambu mengandung bio-agent yang dikenal sebagai kun bambu yang bertindak sebagai zat anti bakteri. Zat ini sangat efektif untuk menghambat dan mencegah lebih dari 70 % bakteri, dan zat ini bisa terdapat dalam bentuk alami bambu atau dalam bentuk kain. Bambu tidak memerlukan pestisida atau pupuk kimia untuk pertumbuhannya yang sehat sehingga tidak mengherankan jika bambu jarang terserang hama atau terinfeksi oleh patogen berkat hasil kerja dari kun bambu tersebut. 13. Bambu dapat menghilangkan bau tak sedap. Arang bambu dapat menghilangkan bau tak sedap karena dapat menyerap sejumlah gas dan bakteri yang meyebabkan bau. Pengharum bambu merupakan alternatif yang baik untuk orang-orang yang alergi terhadap aroma parfum kimia. 14. Serat kain dari bambu dapat mempertahankan suhu. Karakteristik isolasi dari serat bambu membuatnya bermanfaat untuk mempertahankan suhu tubuh penggunanya. 15. Bambu relatif ringan. Bentuk bambu yang seperti pipa menjadikan kerapatan batang bambu menjadi lebih rendah dibanding kayu untuk diameter yang sama. 16. Bambu relatif murah. Untuk ukuran diameter yang sama bambu relatif lebih murah dibanding kayu. 17. Rebung sebagai sumber makanan. Rebung adalah makanan yang rendah lemak, rendah kalori, serta rendah kolesterol. Rebung juga merupakan sumber serat dan potasium yang sangat baik.
10 Kekurangan Bambu Dibandingkan dengan Kayu Selain mempunyai kelebihan, bambu juga memiliki sejumlah kekurangan. Kekurangan atau kelemahan bambu tersebut antara lain sebagai berikut (Sukadaryati 2006; Wancik, 2009; dan Suryana et al., 2010): 1.
Bambu mempunyai durabilitas yang sangat rendah, bambu sangat potensial untuk diserang kumbang bubuk, sehingga bangunan atau perabot yang terbuat dari bambu tidak awet. Oleh karena itu rangka bangunan dari bambu, yang tidak diawetkan, hanya dipandang sebagai komponen bangunan sementara yang hanya tahan tidak lebih dari 5 tahun. Hal ini merupakan kendala yang sangat serius karena minat orang pada bambu jadi berkurang. Betapa ganasnya kumbang bubuk ini dapat diberikan contoh kejadian di pabrik angklung Saung Udjo yang berlokasi di Bandung. Perusahaan ini tiap tahun mendatangkan bambu sampai sekitar 12 truk, tetapi hampir 40 persen dari bambu tersebut telah rusak diserang kumbang bubuk sebelum sempat dijadikan angklung. Mengingat produk bambu kini sudah mulai menjadi komoditi ekspor, maka upaya untuk mencegah serangan bubuk perlu memperoleh perhatian secara khusus agar barang-barang yang terbuat dari bambu tidak mengecewakan pemakainya.
2.
Pemanenan bambu memerlukan cara yang khusus. Batang bambu yang tua terdapat di bagian dalam rumpun. Untuk memanen bambu yang tua harus sedikit mengorbankan bagian batang bambu yang muda. Untuk memperkecil jumlah bambu muda yang dikorbankan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan cara melakukan penebangan bambu berbentuk juring sebagai jalan masuk menuju bambu yang telah tua.
3.
Pemanen bambu tidak dapat dilakukan setiap waktu. Untuk mendapatkan bambu yang rendah kandungan patinya, maka pemanenan bambu harus dilakukan pada musim kemarau.
4.
Bambu banyak mengandung silika. Hal ini akan menyebabkan mata pisau yang digunakan untuk memotong, membelah dan menyerut menjadi lebih cepat tumpul.
5.
Bambu mengandung buku (node). Jarak antar buku (internode) pada setiap batang tidak sama. Kondisi ini menyulitkan mendapatkan panjang bambu bebas buku yang seragam.
11 6.
Batang bambu berbentuk pipa. Tebal dinding sel bambu bervariasi namun secara umum relatif tipis (0,1-1,2 cm). Hal ini ditambah lagi dengan diameter bambu
yang
relatif
kecil
dan
adanya
buku,
menyulitkan
proses
pengupasannya menjadi lembaran venir (memerlukan alat rotary cut yang khusus). Lazimnya, untuk mendapatkan bilah tipis bambu (yang akan disatukan menjadi lembaran), dilakukan proses penyayatan
(slicing cut).
Adanya lubang di tengah batang dan relatif tipisnya dinding bambu tersebut membuat produksi venir per batang bambu sedikit. 7.
Bambu mempunyai keteguhan tarik tegak lurus serat yang rendah (mudah dibelah). Akibatnya lembaran tipis bambu yang dibentuk dari penyatuan bilah-bilah tipis bambu ke arah tegak lurus serat atau ke arah lebar jika tanpa perlakukan penguatan akan mempunyai keteguhan tarik tegak lurus serat yang sangat rendah.
8.
Bambu relatif banyak mengandung pati. Kalau pati ini tidak dihilangkan atau dikurangi, selain akan meningkatkan serangan kumbang bubuk, juga akan akan memperlemah keteguhan rekatnya terutama untuk perekat yang biasa menggunakan ekstender, karena akibat adanya pati tersebut, proporsi ekstender dalam perekat akan meningkat.
9.
Kekuatan sambungan bambu yang pada umumnya sangat rendah karena perangkaian batang-batang struktur bambu sering kali dilakukan secara konvensional memakai paku, pasak, atau tali ijuk. Pada perangkaian batangbatang struktur dari bambu yang dilakukan dengan paku atau pasak, maka serat yang sejajar dengan kekuatan geser yang rendah menjadikan bambu mudah pecah karena paku atau pasak. Penyambungan memakai tali sangat tergantung pada keterampilan pelaksana. Kekuatan sambungan hanya didasarkan pada kekuatan gesek antara tali dan bambu atau antara bambu yang satu dengan bambu lainnya Dengan demikian penyambungan bambu secara konvensional berkekuatan rendah, sehingga kekuatan bambu tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Pada saat tali kendor sebagai akibat kembang susut karena perubahan temperatur, kekuatan gesek itu akan turun, dan bangunan dapat runtuh. Oleh karena itu sambungan bambu yang memakai tali perlu dicek secara berkala, dan tali harus selalu disetel agar tidak kendor.
12 10. Sifat bambu yang mudah terbakar. Sekalipun ada cara-cara untuk menjadikan bambu tahan terhadap api, namun biaya yang dikeluarkan relatif mahal. 11. Kelangkaan buku petunjuk perancangan atau standar berkaitan dengan bangunan yang terbuat dari bambu. 12. Bersifat
sosial
berkaitan
dengan
opini
masyarakat
yang
sering
menghubungkan bambu dengan kemiskinan, sehingga orang segan tinggal di rumah bambu karena takut dianggap miskin. Orang baru mau tinggal di rumah bambu jika tidak ada pilihan lain. Untuk mengatasi kendala ini maka perlu dilibatkan arsitek, agar rumah yang dibuat dari bambu terlihat menarik. Upaya ini tampak pada bangunan-bangunan wisata yang berupa bungalow dan rumah makan yang berhasil menarik wisatawan mancanegara. Struktur Anatomi Bambu Berbeda dengan kayu, bambu tidak memiliki elemen-elemen sel radial. Batang bambu berbentuk pipa yang pada jarak tertentu terdapat sekat (node) (Liese, 1985, Dransfield dan Widjaya, 1995 ; danYap, 1997). Di dalam dan di luar buluh bambu dilapisi oleh oleh kutikula yang keras. Batang mencapai tinggi lengkap dalam setengah tahun pertama dan dalam dua tahun batang menjadi dewasa. Menurut Yap (1997), batang dewasa pada bagian bawah lebih banyak mengandung lignin daripada bagian atas, dan bagian dalam lebih sedikit mengandung lignin daripada bagian luar. Batang bambu terdiri dari sekitar 50 % parenkim, 40% serat dan 10 % sel penghubung (sel pembuluh dan sel pembuluh tapis). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak di temukan pada bagian dalam batang, sedangkan serat lebih banyak terdapat pada bagian luarnya. Serat pada ruas penghubung antar buku (internode) memiliki kecenderungan bertambah besar mulai dari bawah ke atas sedangkan parenkimnya makin berkurang (Dransfield dan Widjaja, 1995). Ilustrasi struktur anatomis tiga jenis bambu pada bidang transversal yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.1.
13
(a)
(b
(c)
Keterangan: (a) bambu betung; (b) bambu andong; (c) bambu tali Gambar 2.1 Struktur mikroskopis tiga jenis bambu pada bidang transversal dengan perbesaran 100 kali Sumber : Kusumah (2009) Ikatan Vaskuler Ikatan vaskuler bambu terdiri dari xylem dan satu atau dua proto xylem yang kecil dan dua meta xylem yang besar (40-120 mikron). Pori bagian dalam batang lebih besar di bambu bagian luar batang. Pori dan phloem di kelilingi oleh selubung sklerenkim yang berbeda dalam bentuk, ukuran dan lokasi menurut posisi di dalam batang dan jenis bambu. Ikatan vaskuler yang memiliki bentuk, ukuran, susunan dan jumlah ruang memberikan ciri suatu jenis bambu (Liese, 1985). Serabut (Fiber) Serabut dicirikan oleh sklerenkim yang berada di sekitar ikatan vaskuler. Panjang dari serabut berbeda-beda tergantung dari spesies, akan tetapi terjadi peningkatan dari panjang serat di bagian luar dan maksimum di bagian tengah dan menurun pada bagian dalam batang. Serat pada bagian dalamnya lebih pendek sekitar 20-40 % di banding serat bagian luar (Dransfield dan Widjaja, 1995). Menurut Leise (1985), serabut di dalam bambu terdapat sebagai tudung pada ikatan vaskuler dan merupakan 40-50 % dari jaringan total atau 60-70% dari berat batang. Panjang serta tergantung spesies dan perbandingan antara panjang dan lebar serabut bervariasi antara 150:1 dan 250:1. Parenkim Menurut Liese (1985), sel parenkim merupakan jaringan di dalam batang bambu dan dapat dibedakan atas dua macam, yaitu sel parenkim panjang yang
14 umumnya tersusun vertikal dan sel parenkim pendek yang terletak berselangseling di antaranya. Sel parenkim panjang memiliki dinding sel yang lebih tebal dan menjalani proses lignifikasi pada awal pertumbuhan puncak, sedangkan sel parenkim pendek berdinding tipis dengan sitoplasma yang tetap aktif serta tetap mengalami proses lignifikasi walaupun telah dewasa. Sel-sel parenkim saling berhubungan satu dengan yang lain melalui noktah sederhana yang terletak pada dinding longitudinal. Sifat Fisis Bambu Menurut Tamolang et al., (1980) BJ bambu cenderung naik ke arah ujung. Selanjutnya Liese (1980) menyatakan BJ bambu bervariasi dari 0.5-0.8, dengan bagian luar dari batang mempunyai BJ lebih besar dari bagian dalamnya. Kadar Air Kadar air bambu sangat penting karena dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanis bambu. Kadar air dari bambu dewasa segar berkisar antara 50 - 99 % dan pada bambu muda berkisar dari 80-150 %, sedangkan kadar air bambu kering berkisar antara 12-8 %. Kadar air batang bambu meningkat dari bawah ke atas dan dari umur 1-3 tahun, selanjutnya menurun pada bambu yang berumur lebih dari 3 tahun. Kadar air meningkat pada musim penghujan jika dibandingkan dengan musim kemarau (Dransfield dan Widjaja, 1995). Perbedaan kadar air pada musim penghujan dan musim kemarau dapat mencapai 100%. Selama musim kemarau, bagian atas bambu mengandung hanya kira-kira 50 % air (Yap, 1997). Tamolang et al. (1980) menyatakan bambu muda mengalami penurunan kadar air lebih cepat dari bambu dewasa selama proses pengeringan, yang dapat menyebabkan terjadinya pecah atau belah pada batang. Berat Jenis Menurut Liese (1985), berat jenis bambu bervariasi dari 0,5 sampai 0,8 dan bagian luar dari batang mempunyai berat jenis lebih besar dari pada bagian dalamnya. Berat jenis akan meningkat di dalam batang dari bagian bawah sampai bagian atas. Dransfield dan Widjaya (1995) menyatakan bahwa berat jenis pada buku bambu lebih besar (0,6-0,8) dibanding antar buku bambu (0,5-0,7).
15 Penyusutan Tidak seperti kayu, bambu langsung menyusut setelah dipanen, tetapi tidak berlangsung seragam. Penyusutan dipengaruhi oleh tebal dinding dan diameter batang bambu (Liese, 1985). Pengeringan bambu dewasa segar hingga kadar air 20 % menyebabkan penyusutan sebesar 4-14 % pada tebal dinding dan 3-12 % pada diameternya. Penyusutan lebih besar terjadi pada arah radial daripada arah tangensialnya (sekitar 7 % berbanding 6 %) tetapi perbedaan penyusutan antara bagian dalam dengan bagian luar dinding batang bambu sangat besar. Penyusutan pada arah lingitudinal kurang dari 0.5 % (Dransfield dan Widjaja, 1995). Sifat Mekanis Bambu Bowyer et.al (2003) menyatakan bahwa kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan satu bahan disebut sebagai sifat-sifat mekanis. Kekuatan adalah kemampuan suatu bahan untuk memikul beban/gaya yang mengenainya. Ketahanan terhadap perubahan bentuk menentukan banyaknya bahan yag dimanfaatkan, terpuntir atau terlengkungkan oleh beban yang mengenainya. Sifat kekuatan meningkat dengan adanya penurunan kadar air dan berhubungan erat dengan posisi dalam batang. Lama pembebanan sangat mempengaruhi sifat fisis dan mekanis bambu (Janssen, 1980). Lebih lanjut Janssen (1981) menyatakan bahwa kekuatan mekanis sangat bergantung pada lapisan sklerenkim, yang dimaksud dengan lapisan sklerenkim adalah jaringan yang berdinding tebal dan kuat terdiri dari sel-sel dewasa yang telah mati. Hal ini sejalan dengan Liese (1980) yang menyatakan bahwa sifat mekanis bambu lebih ditentukan oleh keberadaan ikatan vaskulernya (dimana sklerenkim terdapat didalamnya) dan bukan pada parenkim. Hingga saat ini, parenkim masih belum ditemukan kegunaannya. Selain itu, kekuatan mekanis juga dipengaruhi oleh kulit buluh yang mengandung silika, kehadiran silika meningkatkan kekuatan. Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan bahwa kandungan silika batang bambu umumnya lebih tinggi dari kayu sebesar sekitar 0.5-4.0 %. Disamping itu, jenis bambu yang berbeda akan memberikan sifat mekanis yang meliputi keteguhan lentur, keteguhan tarik dan keteguhan tekan yang berbeda pula.
16 Kandungan Kimia Bambu Kandungan kimia bambu tergantung pada jenis, kondisi tempat tumbuh, umur bambu dan lokasi pada batang. Kandungan pati paling besar terdapat pada musim hujan, dan kandungan pati terbesar terdapat pada bagian dalam batang (Liese, 1985). Lebih lanjut Liese (1985) menjelaskan bahwa komponen utama kimia bambu terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif seperti resin, lilin, dan garam. Kandungan selulosa bambu berkisar 53,6-54,4 %, pentosan 30,8 -32,9 %, lignin 20,0-32,9 %, abu 1,1-1,2 %, dan zat ekstraktif yang larut dalam alkohol benzene 7,5-9,3 %. Zat eksraktif bambu tali yang larut dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH 1% adalah berturut-turut sebesar : 4,6 %, 5,3 %, 2,5 %, dan 23,1 %. Kelarutan bambu andong dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH 1% adalah berturut-turut sebesar : 9,9 %, 10,7 %, 6,9 %, dan 28,0 %, sedangkan kelarutan bambu betung dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH 1% adalah berturut-turut sebesar :4,5%, 6,1%, 0,9 % ,dan 22,2 % (Gusmalina dan Sumadiwangsa, 1988). Sifat-sifat Beberapa Jenis Bambu yang Diteliti Bambu Tali Bambu tali (Gigantochoa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz)) termasuk tanaman simpodial, berdiri tegak, tinggi batang 8-30 m dengan diameter buluh 413 cm dan tebalnya dapat mencapai 1,0 cm. Buluhnya berwarna hijau terang sampai kuning dengan lapisan lilin pada bagian bawah bukunya ketika masih muda. Selain itu terdapat kuping pelepah buluh yang sangat kecil sehingga hampir tidak kelihatan. Percabangannya tidak besar. Cabang primer tumbuh dengan baik yang kemudian diikuti oleh cabang-cabang berikutnya. Pada buku-bukunya tampak adanya penonjolan dan berwarna agak kuning dengan miang coklat kehitam-hitaman yang melekat. Bambu ini mudah dibedakan dari jenis bambu lainnya karena pelepah buluhnya selalu melekat pada buluhnya meskipun umurnya sudah tua. Panjang ruas 20-75 cm, buku sedikit membengkok pada pada bagian luar. Panjang serat sekitar 0,9-5,5 mm. Diameter serat 5,3 µm, tebal dinding sel 1-3 µm. Kadar air
17 rata-rata batang bambu segar adalah 54,3 % dan batang bambu kering 15,1 %. Komponen kimia dari batang bambu tali antara lain holoselulosa 52,1-54,7 %, pentosan 19,1-19,3 %, lignin 24,8 - 25,8 %, kadar abu 2,7-2,9 %, silika 1,8-5,2 %. Kelarutan dalam air dingin 5,2 %, air panas 5,4-6,45 %, alkohol-benzen 1,4-3,2 % dan NaOH 1 % sebesar 21,2-25,1 %. Kadar pati bervariasi antara 0,24-0,71 %, tergantung musim. Pada musim hujan kandungan patinya paling besar. (Disarikan dari Sastrapradja dkk, 1980, Dransfeld dan Widjaja, 1995). Bambu Andong Bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinasea) adalah jenis kedua yang terpenting di Indonesia setelah bambu tali. Bambu andong atau bambu gombong memiliki sinonim antara lain Gigantochloa pseudoarrundinaceace (Steudel) Widjaja, Bambusa pseudoarundinaceae Steudel dan Gigantochloa maxima Kurtz, dan memiliki nama daerah berupa pring sunda, awi andong (Sunda), buluh danto (Padang, Sumatera). Bambu ini mempunyai buluh yang berwarna hijau kekuningkuningan dengan garis-garis kuning yang sejajar dengan buluhnya. Rumpunya tidak terlalu rapat. Tinggi buluhnya dapat 7-30 m , diameter 5-13 cm, dengan ketebalan dinding sampai 1,5 cm. Internodes panjangnya mencapai 40-60 cm Pelebah buluhnya mempunyai daun yang berbentuk lanset. Kuping pelepah buluhnya kecil. Bambu andong termasuk kedalam bambu simpodial yang rimbun dengan pusat rumpunnya lebih tinggi dari permukaan tanah disekitarnya tapi tidak beraturan. Dimensi serat bambu andong adalah : panjang 2,7-3,27 mm, diameter serat 24,55-37,97 µm dengan jumlah serat bertambah sekitar 10 % dari pangkal ke ujung buluh. Berat jenis 0,5-0,7 (antar buku) dan 0,6-0,8 (buku). Kandungan kimia bambu andong terdiri dari holoselulosa 61-71 %, pentosan 16-21 %, lignin 20-30 %, kadar abu 3 %. Kelarutannya dalam air dingin 4,6 %, air panas 6 %, alkohol-benzen 23 %. (Disarikan dari Sastrapradja dkk, 1980; Dransfeld dan Widjaja, 1995, dan Widjaja, 2001). Bambu Betung Bambu betung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) dalam bahasa Sunda dikenal dengan awi bitung. Bambu jenis ini mempunyai rumpun yang sedikit rapat, tinggi buluh dapat mencapai 20-30 m dan berdiameter 8-20
18 cm.
Buku-bukunya mempunyai akar pendek. Panjang ruas 40-60 cm, tebal
dinding buluh dapat mencapai 2 cm. Cabang-cabangnya hanya terdapat pada buku-buku bagian atas dengan cabang primer lebih besar dari pada cabang yang lainnya. Pelepah buluh panjangnya 20-55 cm dan mudah jatuh dengan miang yang berwarna coklat muda keputih-putihan. Panjang serat sekitar 3,78 mm, diameter 19 µm, tebal lumen 7 µm, tebal dinding sel 6
µm, dengan berat jenis 0,7. Kadar airnya pada kondisi basah
bervariasi antara 76 % (pada bagian bawah) dan 36 % (pada bagian atas). Nilai penyusutan arah radial adalah 5-7 %, sedangkan penyusutan arah tangensial 3,5-5 %. Kandungan kimia bambu betung terdiri dari holoselulosa 53 %, pentosan 19 %, lignin 25 %, kadar abu 3 %. Kelarutannya dalam air dingin 4,5 %, air panas 6 %, alkohol - benzen 1 % dan dalam NaOH 1 % sebesar 22 % (Dransfield dan Widjaja, 1995). Perekat Pengertian Perekat Perekat (adhesive) adalah suatu substansi yang dapat menyatukan dua buah benda atau lebih melalui ikatan permukaan. Dilihat dari reaksi perekat terhadap panas, maka perekat dapat dibedakan atas perekat thermossetting dan perekat theroplastik. Perekat thermossetting merupakan perekat yang dapat mengeras bila terkena panas atau reaksi kimia dengan sebuah katalisator yang disebut hardener dan bersifat irreversible. Perekat jenis ini jika sudah mengeras tidak dapat lagi menjadi lunak. Contoh perekat yang termasuk jenis ini adalah polyvinil adhesive, cellulose adhesive dan acrylic resin adhesive (Pizzi, 1983). Dalam penggunaan perekat harus dipilih perekat yang dapat memberikan ikatan yang baik dalam jangka waktu yang panjang pada suatu struktur. Perekat yang ideal untuk kayu mempunyai persyaratan tertentu yaitu harganya murah, mempunyai kadaluarsa yang panjang, cepat mengeras dan cepat matang hanya dengan temperatur yang rendah, mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap kelembaban, tahan panas dan mikroorganisme, serta dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan (Ruhendi dan Widarmana, 1983).
19 Perekat merupakan suatu substansi yang memiliki kemampuan untuk mempersatukan bahan sejenis atau tidak sejenis melalui ikatan permukaan. Selanjutnya, Pizzi (1983) membedakan perekat berdasarkan reaksi terhadap panas menjadi perekat thermosetting dan thermoplastic. Perekat thermosetting merupakan perekat yang dapat mengeras bila terkena panas atau reaksi kimia dengan katalisator (hardener) tertentu dan reaksinya bersifat tidak dapat balik. Perekat jenis ini jika sudah mengeras tidak dapat lagi menjadi lunak. Contoh perekat ini antara lain phenol formaldehid, urea formaldehid, melamine formaldehid dan isocyanate. Perekat thermoplastic adalah perekat yang dapat lunak jika terkena panas dan kembali mengeras jika suhu rendah. Contoh perekat ini antara lain polyvinylacetate, cellulose adhesives, arilic resin adhesives. Perekat Polyvinyl Asetat (PVAc) Menurut Ruhendi dan Hadi (1997), polyvinyl asetat diperoleh dari polimerisasi vinyl asetat dengan cara polimerisasi massa, polimerisasi larutan, maupun polimerisasi emulsi. Yang paling banyak digunakan dalam proses produksi adalah polimerisasi emulsi. Reaksinya dimulai dan dikontrol dengan penggunaan radikal bebas atau katalis ionik, sedangkan untuk tujuan percobaan dapat dilakukan dengan metoda katalis, termasuk katalis redox atau aktivasi dengan cahaya. Secara garis besar reaksinya ada tiga tahap yaitu permulaan, pertumbuhan polimer dan terminasi. Pada tahap permulaan atau tahap awal dimulai dengan adanya radikal bebas dari peroksida seperti benzoil, lauroil, hidrogen peroksida, serta initator lainnya, seperti persulfat, seperti pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Tahap permulaan reaksi pembentukan PVAc
20 Tahap kedua yaitu polimerisasi berlangsung terus dengan adanya gugus aktif di ujung molekul polimer tersebut, seperti terlihat pada Gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3. Tahap polimerisasi reaksi pembentukan PVAc Pada tahap terminasi terjadi apabila readikal bebas satu bertemu dengan radikal bebas lainnya, seperti pada Gambar 2.4 berikut.
21
Gambar 2.4. Tahap terminasi reaksi pembentukan PVAc Tingkat polimerisasi ini akan sangat berpengaruh terhadap sifat PVAc-nya dimana berat molekul yang tinggi akan memberikan kekentalan yang lebih tinggi juga. Untuk perekat kayu biasanya digunakan PVAc dengan berat molekul sekitar 100.000 yang akan larut dalam toluena dan pelarut organik lainnya. Kelebihan polyvinyl asetat yaitu mudah penanganannya, storage life-nya tidak terbatas, tahan terhadap mikroorganisme, tidak mengakibatkan bercak noda pada kayu, mempunyai gap-filling hampir sama dengan perekat hewani serta tekanan kempanya rendah. Kekurangan polyvinyl asetat yaitu sangat sensitif terhadap air, sehingga penggunaanya hanya untuk interior saja, kekuatan rekatnya menurun cepat dengan adanya panas dan air serta sifat visco-elastisitasnya tidak baik, sehingga creep besar dan ketahanan terhadap fatigue rendah.
22 Menurut Shield (1970) dalam Ruhendi dkk. (2007), polyvinyl asetat merupakan perekat sintesis yang bersifat termoplastik. Masa tunggu adalah 10 sampai 15 menit. Perekat ini kurang tahan terhadap cuaca dan kelembaban tertentu, serta digunakan untuk pemakainan interior. Pizzi (1983) menyatakan bahwa faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pengunaan perekat polyvinyl asetat meliputi komponen-komponen perekat (substrate), permukaan bahan yang direkat, viskositas, masa tunggu, kondisi pemakaian, kondisi penyimpanan dan harga. Menurut Pizzi (1983), perekat polyvinyl asetat tidak memerlukan kempa panas. Dalam penggunaan secara luas dapat menghasilkan keteguhan rekat yang baik, dengan biaya yang relatif rendah. Keuntungan utama dari polyvinyl asetat melebihi perekat urea formaldehida, karena kemampuannya menghasilkan ikatan rekat yang cepat pada suhu kamar. Keuntungan lainnya yaitu dapat menghindari kempa panas yang memerlukan biaya tinggi. Perekat polyvinyl asetat mempunyai sifat termoplastik, yang penting untuk menjaga tekanan kempa selama pembentukan ikatan sampai ikatan rekat mempunyai kekuatan yang memadai. Penggunaan khusus polyvinyl asetat dipakai pada pembuatan kayu lapis dan papan blok, karena perekat ini mampu meningkatkan kekuatan rekat secara ekstrim dan cepat (Pizzi, 1983). Perekat Urea Formaldehida Menurut Ruhendi, urea formaldehida merupakan hasil kondensasi dari urea dan formaldehida dengan perbandingan molar 1: (1,5-2). Pada tahap awalnya terbentuk mono-, di-, tri-, dan tetra-methyloluera, reaksinya secara singkat sebagai tampak pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Reaksi kondensasi urea dan formaldehida
23 Urea formaldehida ini larut dalam air dan proses pengerasannya akan terbentuk pola ikatan jaringan (cross-link). Urea formaldehida akan cepat mengeras dengan naiknya temperatur dan/atau turunnya pH. Hubungan antara geltime dengan suhu terlihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Grafik hubungan antara gel-time dengan suhu Apabila pH turun secara drastis maka pot life-nya sangat pendek, dan kekuatan rekat menurun dengan pengaruh waktu. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan garam amonium dari asam kuat, dan sering digunakan adalah amonium chlorida. Dengan adanya dua faktor yang sangat berperan dalam proses pengerasan urea formaldehida ini, maka perekat ini dapat dikempa panas maupun dikempa dingin, yaitu dengan cara mengatur keasaman perekatnya. Kelebihan urea formaldehida yaitu warnanya putih sehingga tidak memberikan warna gelap pada waktu penggunaannya, dapat dicampur perekat melamin formaldehida agar kualitas perekatnya lebih baik, harganya relatif lebih murah dibandingkan perekat sintesis lainnya serta than terhadap biodetriorasi dan air dingin. Kekurangan urea formaldehida yaitu kurang tahan terhadap pengaruh asam dan basa serta penggunaannya terbatas untuk interior saja.
24 Perekat Phenol Formaldehida Phenol formaldehida merupakan hasil kondensasi formaldehida dengan monohidrik fenol phenol, termasuk phenol itu sendiri, creosol dan xylenol. Phenol formaldehida ini dapat dibagi menjadi dua kelas, yaitu resol yang bersifat thermosetting dan novolak yang bersifat thermoplastic. Perbedaan kedua kelas ini disebabkan oleh perbandingan molar phenol dan formaldehida, serta katalis atau kondisi yang terjadi selama berlangsungnya reaksi (Ruhendi dan Hadi, 1977). Secara lebih rinci, Pizzi (1994) menjelaskan bahwa gugus fungsi phenol dapat bereaksi dengan formaldehida dalam dua posisi gugus hidroksil, yaitu ortho dan para. Pada tahap pertama, phenol berkondensasi dengan formaldehida baik dalam kondisi asam mapun basa membentuk phenol metilol. Reaksi awal dapat terjadi pada posisi 2, 4 atau 6 gugus hidroksil. Pada tahap kedua, reaksi melibatkan gugus metilol dengan phenol atau phenol metilol yang tersedia yang pada awalnya membentuk formasi polimer linier dan selanjutnya berubah menjadi struktur yang bercabang pada kondisi perekat yang sudah mengeras. Resol yang banyak digunakan sebagai perekat kayu diperoleh dengan memepergunakan katalis basa disertai dengan formaldehida yang berlebih. Molekul resol mengandung gugus metilol yang reaktif sifatnya. Pemanasan menyebabkan gugus metilol yang reaktif tersebut berkondensasi membentuk molekul besar tanpa penambahan bahan pengeras. Fungsi phenol sebagai nuckleophil diperkuat oleh ionisasi phenol tersebut tanpa mempengaruhi aktifitas aldehidnya (Pizzi, 1994). Menurut Pizzi (1994), dalam proses kondensasi phenol dan formaldehida yang menggunakan katalis basa, reaksi substitusi awalnya (contohnya formaldehida yang menyerang phenol) lebih cepat dibanding reaksi kondensasi lanjutannya. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa alkohol phenolik merupakan senyawa antara yang paling banyak terbentuk. Alkohol phenolik yang mengandung gugus metilol aktif tersebut dapat berkondensasi baik dengan gugus metilol lain (membentuk ikatan ether) maupun gugus hidroksil (ortho atau para) membentuk jembatan methylen. Dalam kedua reaksi tersebut air dihilangkan. Lebih lanjut Pizzi (1994) menjelaskan bahwa dalam resol terdapat sejumlah kecil phenol sederhana, alkohol phenolik, formaldehida, dan air. Pemanasan atau pengasaman perekat tersebut menyebabkan ikatan silang melalui gugus alkohol
25 phenolik yang tidak terkondensasi dan dapat juga melalui reaksi formaldehida yang dilepaskan akibat pecahnya ikatan ether. Seperti halnya novolak, metilol yang terbentuk berkondensasi dengan dengan phenol lainnya membentuk polyphenol jembatan methylen. Selain itu, polyphenol jembatan methylen tersebut dalam kondisi basa bereaksi dengan cepat dengan formaldehida menghasilkan turunan metilol polyphenol. Gugus metilol dapat bereaksi satu dengan lainnya, melepaskan air dan membentuk ikatan etherdimethylen CH2 - O - CH2. Hal ini hanya akan terjadi jika rasio formaldehida/phenol tinggi (Pizzi). Phenol Formaldehida (PF) merupakan polimer sintetis pertama yang sudah dikembangkan secara komesial pada awal abad ke-20 (Pizzi, 1994; dan Detlefsen 2002, diacu dalam Frihart 2005). Perekat ini banyak digunakan dalam papan laminasi dan papan komposit karena memiliki daya tahan yang luar biasa, sehingga menghasilkan perekat yang baik untuk kayu, kekuatan polimer yang tinggi, dan stabilitas perekat yang baik. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan perekat tidak bagus (daya ikatan buruk) yaitu polimerisasi yang tidak sempurna akibat waktu pemberian suhu yang sangat pendek, berat molekul yang terlalu tinggi, keterbasahan dan penetrasi yang buruk, waktu assembly time yang terlalu lama, dan garis rekat yang berlebihan (Frihart 2005).
Kelebihan perekat PF yaitu tahan terhadap perlakuan air, tahan terhadap kelembaban dan temperatur tinggi, tahan terhadap bakteri, jamur, rayap, dan mikroorganisme serta tahan terhadap bahan kimia seperti minyak, basa, dan bahan pengawet kayu. Adapun kelemahan PF yaitu memberikan warna yang gelap, kadar air kayu harus lebih rendah dari perekat UF atau perekat lainnya, serta garis perekatan yang relatif lebih tebal dan mudah patah (Ruhendi et al. 2007). Perekat Isocyanate (MDI) Senyawa kimia organik isocyanate dasar dikembangkan di Jerman pada akhir tahun 1930 dan perekat berdasarkan isocyanate digunakan pertama kali di pertengahan tahun 1940. Penggunaan diisocyanate sebagai perekat kayu sangat menarik perhatian, walaupun diisocyanate telah digunakan 30 tahun yang lalu pada pembuatan polyurethane untuk berbagai produk industri, penggunaannya sebagai perekat kayu merupakan hal yang baru. Pelopor penggunaan diisocyanate sebagai perekat kayu adalah Deppe dan Ernst pada tahun 1951. Sebagai
26 konsekuensi dari pekerjaannya, pembuatan papan partikel komersial dengan menggunakan diisocyanate dimulai di Jerman pada tahun 1975 (Pizzi 1983). Polymeric methylene diphenyl diisocyanate (pMDI) dikembangkan sebagai perekat kayu dengan kekuatan tinggi dan tahan lama. Perekat ini sekarang digunakan secara luas dalam pembuatan produk komposit (Vick 1999). MDI binder bereaksi dengan molekul yang mengandung hidrogen aktif untuk menghasilkan molekul dasar polyurethane dan polyurea. Sumber hidrogen aktif dapat berikatan dengan gugus hidroksil didalam kayu, ekstrakstif kayu, dan atau resin kayu sebagaimana halnya kadar air dalam kayu. Serbuk gergaji yang berasal dari papan yang dibuat dengan MDI aman dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Perekat isocyanate berbasis pada reaktifitas yang tinggi dari radikal isocyanate, ─N=C=O. Ikatan dengan polaritas yang kuat dari senyawa yang juga membawa radikal ini tidak hanya mempunyai potensi daya rekat yang baik tetapi juga potensial untuk membentuk ikatan kovalen dengan substrat yang mempunyai gugus hidrogen reaktif. Jika molekul memuat 2 radikal isocyanate seperti diisocyanate, kombinasi perekat akan memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan kohesi melalui polimerisasi. Reaksi bifungsional isocyanate dengan bifungsional alkohol menghasilkan molekul-molekul linier, dimana molekulmolekul tri- dan tetra fungsional memungkinkan terjadinya ikatan silang. Sifat material ini dapat bervariasi dengan kisaran yang luas dari elastomer ke rigid, yang memungkinkannya untuk dibuat berbagai macam produk (Marra 1992). Isocyanate berbentuk liquid yang mengandung isomer dan oligomer dari methylene diphenyl diisocyanate. Perekat ini berwarna coklat terang dan garis perekatannya tidak terlihat. Diperlukan temperatur dan tekanan yang tinggi untuk menghasilkan perkembangan ikatan yang terbaik pada papan partikel. Penggunaan perekat isocyanate saat ini umumnya untuk produk flakeboard dan OSB. Sifat kekuatan perekat ini yaitu kekuatan kering dan basah tinggi, sangat tahan terhadap air dan udara lembab, serta dapat direkat pada besi dan plastik (Vick 1999). Keuntungan menggunakan perekat isocyanate dibandingkan perekat berbahan dasar resin adalah (Marra 1992) : 1.
Dibutuhkan dalam jumlah sedikit untuk memproduksi papan dengan kekuatan yang sama
2.
Dapat menggunakan suhu kempa yang lebih rendah
27 3.
Memungkinkan penggunaan kempa yang lebih cepat
4.
Lebih toleran pada partikel berkadar air tinggi
5.
Energi untuk pengeringan lebih sedikit dibutuhkan
6.
Stabilitas dimensi papan yang dihasilkan lebih stabil
7.
Tidak ada emisi formaldehyde.
Perekat Melamin Formaldehida Melamin adalah bahan kimia berupa kristal berwarna putih yang kelarutannya sangat rendah dalam air, alkohol atau pelarut umum lainnya. Tapi melamin ini dapat larut dalam formalin yang dihangatkan dan membentuk polimer yang bersifat resin dengan cara dipanaskan dan kondisinya agak basa. Perbandingan antara melamin dan formaldehida adalah 1 : (1,5-3,5), pH antara 8-9, dan temperaturnya mendekati titik didih larutan tersebut, kondisi inilah yang digunakan dalam reaksinya. Bila pH dalam reaksinya di bawah enam maka polimer yang tidak larut akan terbentuk dengan cepat. Menurut Utomo (2011) reaksi pembentukan resin melamin formaldehida merupakan reaksi polikondensasi yang sampai pada tahap akhir penggunaannya terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah reaksi metilolasi dengan formaldehida membentuk melamin termetilolasi . Molekul melamin mengandung tiga gugus amina primer dan setiap gugus tersebut mempunyai potensi untuk bereaksi dengan dua molekul formaldehida hingga dapat membentuk produk heksametilolmelamin, jika rasio formaldehida/melamin cukup tinggi. Dalam medium alkali (pH >9) maka produk yang dihasilkan secara esensial adalah trimetilolmelamin dan heksametilolmelamin. Tahap kedua adalah tahap kondensasi membentuk jembatan ether dan melepaskan air atau pembentukan jembatan metilen dengan melepaskan formaldehida, bergantung pada pH. Sebagai contoh kondensasi dari molekul monometilolmelamin. Tahap akhir adalah tahap kondensasi lanjut yang pada akhirnya membentuk produk polimer terikat silang dengan struktur jejaring tiga dimensi. Reaksi metilosasi dengan formaldehida, tahap kondensi awal, dan tahap kondensasi lanjut bertururt-turut disajikan pada Gambar 2.7, 2.8, dan 2.9.
28
Gambar 2.7. Reaksi metilolasi dengan formaldehida
Gambar 2.8 Tahap kondensasi awal
Gambar 2.9 Tahap kondensasi lanjut
Melamin formaldehida dapat dicampur dengan urea formaldehida untuk mengurangi biaya penggunaannya. Dengan perbandingan 1 : 1 antara urea formaldehida dan melamin formaldehida, maka dapat dihasilkan garis rekat yang tahan air dengan kekuatan 90 % dibanding dengan melamin formaldehida murni.
29 Melamin formaldehida yang proses pengerasannya dengan kempa panas dapat menghasilkan garis rekat yang relatif tahan terhadap pengaruh air dingin maupun air panas. Melamin formaldehida dapat megeras pada suhu yang jauh lebih rendah daripada urea formaldehida dengan cara menurunkan pH-nya tetapi hasil garis rekatnya kurang memuaskan, dimana kohesi dan adhesinya rendah. Selain itu, melamin formaldehida ini dapat dikempa panas dengan suhu 120-130 °C tanpa hardeners dengan waktu yang relatif singkat dan hasilnya memuaskan. Namun demikian, pada umumnya kempa panas yang diberikan adalah sekitar 100 °C dengan adanya penambahan hardeners berupa asam atau garam amonium dari asam kuat. Kelebihan melamin formaldehida adalah cukup tahan terhadap air panas, yakni dapat direbus dalam air selama tiga jam, stabilitas terhadap panasnya tinggi, dapat mengeras pada suhu yang sangat rendah serta dapat digunakan untuk impregnasi. Kekurangan melamin formaldehida adalah harganya relatif mahal dibanding urea formaldehida. Sudut Kontak Pengukuran sudut kontak sering dijadikan dasar untuk menduga sifat-sifat keterbasahan (wettability) bahan. Terdapat tiga metode utama yang dapat diterapkan untuk menganalisis sudut kontak, yaitu metode tetesan sessile (sessile drop method), pelat Wilhelmy atau metode sudut kontak dinamis, dan metode sumbu (wicking method) untuk bahan berbentuk serbuk (Li,2004). Lebih lanjut Li (2004) menjelaskan bahwa dia telah menggunakan metode tetesan sessile untuk mengukur sudut kontak perekat UF pada berbagai lapisan dinding sel bambu Phyllostachys pubescens, yaitu pada bagian permukaan epidermis atau kulit bambu, bagian luar di bawah kulit , bagian tengah, dan bagian dalam atau kutikula bambu. Potongan bambu dari bagian pangkal dengan panjang 2,5 cm dan tebal 1,2 cm direndam dalam air destilata selama empat jam. Lapisan setebal 60 mikron dari setiap bagian dinding bambu disayat
30 menggunakan pisau mikrotone. Lapisan bambu segar yang sangat tipis tersebut selanjutnya dijepit diantara dua gelas preparat dan kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 40oC selama 24 jam untuk diukur sudut kontaknya. Cairan perekat UF sebanyak 0,1 ml diteteskan di atas permukaan lapisan tipis bambu tersebut menggunakan pipet berukuran 5 ml. Begitu tetesan menempel pada permukaan lapisan, foto bentuk tetesan diambil setiap interval waktu 30 detik selama 210 detik menggunakan kamera digital SPOT yang dihubungkan dengan mikroskop dan komputer personal. Hasil penelitian Li (2004) menunjukkan bahwa setiap lapisan dinding bambu Phyllostachys pubescens mempunyai tingkat keterbasahan (wettability) yang berbeda. Tingkat keterbasahan terbaik terdapat pada bagian tengah (middle part) dinding sel bambu yang ditunjukkan oleh nilai sudut kontak tetesan perekat UF pada permukaan lapisan tipis bambu tersebut yang paling kecil, sedangkan tingkat keterbasahan terjelek terdapat pada lapisan permukaan epidermis yang ditunjukkan dari nilai sudut kontak tetesan perekat UF yang paling besar. Sudut kontak akan mengecil dengan bertambahnya waktu kontak antara perekat UF dengan permukaan setiap lapisan tipis bambu tersebut. Data selengkapnya hasil pengujian sudut kontak tersebut disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Besarnya sudut kontak pada setiap lapisan dinding sel bambu Phyllostachys pubescens Lapisan
Nilai sudut kontak (derajat) berdasarnya waktu kontak 0 30 60 90 120 150 180 Epidermis 88 80 78 77 76 76 75 Dalam 74 72 71 70 69 68 67 Luar 74 61 59 55 54 54 54 Tengah 59 44 41 37 36 35 34 Sumber : Li (2004)
210 75 67 54 34
Pengertian Bambu Lapis Bambu lapis adalah suatu produk panel yang diperoleh dengan cara menyusun bersilangan tegak lurus beberapa lembar lapisan tipis bambu (yang disatukan baik menggunakan lakban, jahitan ataupun anyaman) yang diikat dengan perekat (Sulastiningsih et al. 2005, Suryana et al. 2009). Bambu lapis merupakan analog dari produk kayu lapis dengan bahan baku venir penyusunnya berupa bambu.
31 Bambu lapis dapat seluruhnya terbuat dari bambu atau dikombinasikan dengan bahan lain seperti venir kayu. Pembuatan bambu lapis dari bambu memiliki beberapa keuntungan yaitu mempunyai ukuran panjang yang besar sehingga dapat menghasilkan bambu lapis yang panjang (Kliwon, 1997). Bambu lapis merupakan inovasi baru yang pengerjaannya mengacu pada prosedur pengerjaan dan standar kayu lapis. Bambu lapis memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan baku bambunya. Kelebihan tersebut meliputi: ukuran yang lebih lebar, stabilitas dimensinya yang tinggi karena jumlah lapis yang ganjil dipasang sedemikian rupa saling tegak lurus, mempunyai sifat mekanis yang lebih baik, mudah dikerjakan, dan dapat dibuat dari hampir semua jenis bambu. Produk Panel Bambu : State of the Art Review Produksi pertama panel berbahan baku bambu tercatat di China. Selama Perang Dunia Kedua, teknologi sederhana telah dikembangkan di China untuk membuat panel bambu yang direkat dengan perekat casein, dan digunakan sebagai pengganti kayu lapis pada bagian interior pesawat. Pada waktu yang hampir bersamaan, penelitian telah dimulai di India untuk mengembangkan panel bambu yang direkat dengan perekat resin dan teknologinya tersedia satu dekade kemudian. Sejak itu penelitian telah dilaksanakan di beberapa negara dan sebanyak 28 produk panel bambu dan produk kombinasi bambu dengan kayu dan/atau bahan anorganik telah dikembangkan. Walaupun upaya pengembangan dan penelitian sebagian besar di lakukan di Asia (China, India, Indonesia. Laos, Malaysia, Philipina,China Taiwan, Thailand and Vietnam), Kanada bekerjasama dengan Costa Rica telah juga melaksanakan penelitian panel bambu (Ganapathy, 1992; Zhu, 1996; Zoolagud, 1990; Subyanto dan Subyakto. 1996). Menurut Zhu (1996), Cina telah mengembangkan produk panel dalam jumlah terbesar, walaupun banyak diantaranya dibuat dan dipasarkan dengan teknologi yang tidak jelas. Pertumbuhan industri panel bambu di China dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, pasokan bahan di Cina baku tidak mencukupi. Laju pertumbuhan dan siklus pemanenan bambu di daerah temperate lebih lama dibandingkan dengan jenis bambu di daerah tropis. Oleh karena itu, walapun areal tanaman bambu di China cukup luas, namun ketersedian batang bambu tidak terlalu banyak. Lagi pula penggunaan bambu untuk panel secara
32 tardisional harus bersaing dengan penggunaan lainnya seperti untuk
barang
kerajinan, keranjang, chopstick, dan tiang bangunan. Kedua, biaya yang berkaitan dengan bambu meningkat secara perlahan tapi pasti, membuat ekonomi panel menjadi tersendat. Walaupun beberapa pekerjaan pionir dilakukan dan produk inovatif seperti bambu lapis ataupun kayu lapis yang dilapisi venir bambu, dan glulam lengkung dari bambu dikembangkan di China Taiwan, industri panel bambu di wilayah ini telah menurun akibat meningkatnya upah secara tajam dan kekurangan bahan baku. Hal ini telah menyebabkan para pembuat produk tersebut berpindah ke negara lain (Zhu, 1996). Di India, walaupun beberapa produk telah dikembangkan, anyaman bambu (bamboo mat boards) merupakan satu-satunya produk yang menarik para pengusaha serta dapat diterima konsumen. Di Thailand anyaman bambu yang direkat dengan perekat urea formaldehida (UF) sedang diproduksi terutama untuk diekspor. Di negara seperti Laos, Philipina, dan Vietnam, ketertarikan pada panel bambu baru dimulai dan masih dalam tahap penelitian atau pada tahap uji coba produksi (Rao dan Sastry, 1995). Ganapathy (1992) menjelaskan bahwa karena produk panel bambu belum mempunyai aturan pengelompokan khusus produk yang berlaku secara umum dalam kompilasi statistik, data produksi yang terpercaya tidak tersedia. Ketidaadaan statistik produksi dan pemasaran merupakan kendala terbesar dalam mengevaluasi status pada saat ini dan prospek panel bambu di masa yang akan datang. Walaupun demikian, proyeksi telah menunjukkan pentingnya peranan panel bambu mengingat kelangkaan pasokan kayu. Dalam ketiadaan metode pengujian standar, dan informasi yang belum dsitandarisasi pada beberapa sifat seperti yang terdapat pada panel yang berbahan baku kayu, data untuk produk individual diungkapkan sebagaimana dilaporkan oleh beberapa penulis. Hingga metode pengujian distandarkan dan format pelaporan data sifat dan kinerja disesuaikan, masih sulit membandingkan produk yang dibuat di beberapa wilayah atau negara yang berbeda. Tabel 2. Menyajikan data beberapa produk sebagai langkah awal menuju standarisasi (Ganapathy, 1992; Zhu, 1996).
33 Tabe l . Profil beberapa produk panel No. Nama Produk
Negra asal
I
Bamboo Mat Plywood
China
II
Bamboo Mat Plywood
India
III
Bamboo Sliver Laminated Board (Lamboo)
China
IV
Bamboo Curtain Plywood
China
V
Bamboo Strip Plywood/Bamboo Plywood
China
VI
Bamboo Strip Board
VII
Bamboo Particleboard
VII
Bamboard
Vietnam China Canada dan Costa Rica
Jenis-jenis Panel Bambu Ganapathy (1992), Zhu (1996); dan Zoolagud (1990) lebih lanjut menjelaskan bahwa berdasarkan konversi terhadap batang bambu yang digunakan, panel bambu dapat dikelompokkan dalam kategori berikut : 1. Batang bambu dikonversi menjadi slivers, strips atau laths dengan cara diratakan dan/atau dipotong, dan diproses lebih lanjut; 2. Batang bambu dikupas menjadi venir dan diproses lebih lanjut; 3. Batang bambu dikonversi menjadi partikel, serat, wafer atau bilah tipis (stands) dan direkonstitusi; dan 4. Kombinasi dari satu atau lebih produk di atas atau bahan lainnya dan diproses lebih lanjut sebagai komposit. Komposit tersebut meliputi beberapa jenis panel bambu, kayu atau bahan yang berlignoselulosa, dan bahan anorganik. Panel bambu dari slivers, strips, atau laths Bilah-bilah tipis (slivers) bambu dengan lebar dan tebal yang seragam dianyam menjadi lembaran, mengikuti desain tradisional atau inovatif dan dikempa dingin atau panas menjadi panel untuk menghasilkan : Bamboo mat board Vietnam - Di buat di China, India, dan Philipina Corrugated sheet- Pelapisan permukaan atau laminasi dilakukan di China, India, Philipina, dan Vietnam untuk digunakan sebagai atap rumah. Strips/slivers disususn dalam beberapa lapisan, direkat menghasilkan : Parallel gluelam –Dikembangkan secara terbatas di China
dan dikempa untuk
34 Parallel curved gluelam (Bamboo)- Dilakukan di China Taiwan untuk bahan meubel. Bamboo curtain board - Dilakukan di China. Bamboo strip board/bamboo plywood – Dilakukan di China, dan juga secara terbatas dikembangkan di Costa Rica, Malaysia, China Taiwan dan Vietnam. Bamboo lath board/bamboo block board - Dilakukan di Indonesia pada skala percobaan. Bamboo "semi-fiber" board – Sebuah produk menyerupai kayu “ zephyr”, yang dalam hal ini batang bambu ditekan hingga rata dan disusun dalam beberapa lapisan (skala percobaan di Indonesia) Bamboo net board – Dalam jumlah terbatas dilakukan di China. Bamboo moulded shuttle & picking stick -Dalam jumlah terbatas dilakukan di China. Panel Bambu dari Venir Bambu lapis (Plybamboo) - Sebuah produk bernilai dekoratif tinggi yang berasal dari venir hasil pengupasan bambu, digunakan sebagai venir muka (face) atau venir inti (core), diproduksi belakangan ini di Cina dalam jumlah terbatas. Panel dari partikel, strands, atau serat yang direkonstitusi Papan partikel bambu - Secara luas mengikuti teknologi yang digunakan untuk papan partikel kayu, papan partikel bambu telah dikembangkan di Kanada (bekerjasama derngan Costa Rica), China, India, dan Vietnam. Walaupun sifatsifat produknya sebanding dengan papan partikel kayu, produksinya masih terbatas karena teknologi yang ada belum mampu mengatasi kendala yang berkaitan dengan bambu sebagai bahan baku. Oriented strand board - Penelitian dilaporkan dilakukan di Vietnam. Bamboo fiberboard and medium density fiberboard (MDF) - Penelitian dikembangkan di China dan India. Sejumlah kecil produk diproduksi di China. Panel komposit (Composite boards) Bamboo mat/bamboo curtain board - Dikembangkan di China. Bamboo mat/bamboo particleboard – Diproduksi dalam jumlah terbatas di China Plybamboo-(Lihat informasi di atas).
35 Bamboo plywood – Lembaran anyaman bambu (bamboo mats) digunakan sebagai face atau core jika dikombinasikan dengan venir kayu. Produk yang terkenal di China dan India. Bamboo curtain plywood – Produk ini digunakan sebagai face dan core jika dikombinasikan dengan venir kayu. Sejumlah kecil diproduksi di China. Bamboo mat and wood particleboard – Produk ini digunakan sebagai face dan core untuk papan partikel kayu. Diproduksi dalam jumlah terbatas di China. Bamboo mat and rice husk board – Produk ini digunakan sebagai face dan core untuk panel dari sekam padi (rice husk board). Diproduksi dalam jumlah kecil di India. Bamboo strip, wood veneer and particleboard - Bamboo strip board digunakan untuk face. Venir kayu dan papan partikel digunakan untuk core. Bamboo moulded shuttle beating club- Sebuah produk yang kuat (tough product), hasil rekatan antara sliver bambu dan venir kayu. Dibuat dalam jumlah terbatas di China. Gypsum-bonded bamboo particleboard - Diprodiksi dalam skala percobaan di Philipina. Cement-bonded particleboard and wool board - Diproduksi dalam skala percobaan di China yang awalnya diproduksi di Malaysia. Bamboo plaster board – Sebuah produk inovatif yang dikembangkan di China. Bamboo reinforced plastic – Sebuah bahan teknologi tinggi dicoba dibuat di di India.
Lembaran
plastik
yang
diperkuat
dengan
serat
bambu
sedang
dikembangkan. Dari jenis panel bambu yang disebutkan di atas, hanya panel anyaman bambu (panel bambu yang sangat menjanjikan) dan panel bamboo strip yang telah dieksploitasi dalam skala industri, digunakan untuk berbagai keperluan, sedangkan teknologi lainnya sedang dalam pengembangan. Standar National Standar nasional sedang dirumuskan di China untuk produk bamboo mat plywood dan bamboo strip plywood yang digunakan untuk bak truk, dan di India untuk panel anyaman bambu yang digunakan untuk berbagai keperluan. Baik China maupun India telah memiliki standar pengujian untuk panel anyaman bambu.
36 Tinjauan Teknologi Panel Bambu Teknologi panel bamboo yang selama ini tersedia dihasilkan dari : 1. Penelitian, pengembangan, dan percobaan skala industri yang dilakukan oleh laboratorium nasional, baik program yang direncakan oleh mereka maupun bantuan proyek bantuan luar negeri. 2. Penelitian yang dilaksanakan oleh laboratorium nasional dan diteruskan ke para pengusaha untuk uji coba dan adaptasi. 3. Pengembangan dilakukan oleh para pengusaha sendiri. Teknologi yang dikembangkan oleh lembaga penelitian sebagian besar didokumentasikan
dan/atau
dipublikasikan,
sedangkan
teknologi
yang
dikembangkan oleh para pengusaha jarang dipublikasikan. Pengembangan teknologi panel bambu pada dasarnya dapat dibedakan atas dua kelompok : teknologi yang telah dikembangkan dan teknologi yang masih dikembangkan. Berikut ini diuraikan teknologi panel bambu yang telah dikembangkan. Bamboo mat board (BMB) BMB adalah panel berbahan baku bambu pertama yang diproduksi secara komersial. Teknologi dan penggunaan produknya telah dikenal secara luas dan penelitain lanjutannya masih terus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, memperluas potensi aplikasi dan mengoptimalkan biaya produksi. Produknya secara komersial diproduksi di China (dengan nama bamboo mat plywood ), India, Thailand dan Vietnam, sementara produksi skala laboratorium dilaporkan dilakukan di Philipina. Teknologi yang telah dikembangkan tersebut diuraikan berikut ini. China BMB yang direkat casein Panel pertama yang diproduksi dengan perekat casein dan digunakan untuk interior pesawat terbang. Jenis bambu yang digunakan hanya yang mempunyai ruas (internode) yang panjang. Tahapan pembuatannya adalah sebagai berikut: -
Pemotongan bambu bebas buku;
-
Pembelahan bambu menjadi bilah (strips) selebar 5-6 cm;
-
Penyayatan bilah searah tangensial menjadi bilah-bilah tipis (slivers);
-
Pemisahan kulit bambu yang mempunyai kekuatan dan kekakuan besar;
-
Penganyaman bilah tipis menjadi lembaran dalam berbagai pola anyaman;
37 -
Pelaburan perekat casein;
-
Penyatuan lembaran dua atau tiga lapisan anyaman;
-
Pengempaan dingin; dan
-
Pemotongan (trimming)
BMB yang direkat dengan perekat sintetis BMB yang direkat dengan perekat sintetis dikembangkan di China pada tahun 1970-an. Walaupun urea formaldehyde (UF), phenol formaldehyde (PF) dan phenol tannin formaldehyde (PTF) telah digunakan secara luas sebagai perekat, namun perekat UF adalah yang paling banyak digunakan. Tahapan pembuatan BMB adalah sebagai berikut : -
Konversi batang bambu menjadi bilah tipis (slivers) dengan lebar 12-16 mm dan tebal 0,61-0,20 mm secara manual atau menggunakan mesin. Bagian kulit bambu dibuang;
-
Penganyaman bilah-bilah tipis tersebut secara manual atau menggunakan mesin menjadi lembaran berukuran 2.500 mm x 1.300 mm;
-
Pengeringan anyaman sampai mencapai kadar air 8-16 %;
-
Pelaburan perekat dengan berat labur 280-500 g/m2. Tepung kedelai digunakan sebagai filler sebanyak 5-10 %. Ammonium chloride (NH4Cl) dengan konsentrasi 0,5 % digunakan sebagai curing agent;
-
Pengempaan panas (suhu 110-120 oC untuk perekat UF, 140-150 oC untuk perekat PF; waktu kempa : 1,5- 2 menit/mm ketebalan; tekanan spesifik 4-5 Mpa
-
Pengkondisian
-
Pemotongan (trimming) Dalam produksi panel anyaman bambu dekoratif, bilah-bilah tipis
diampelas, diputihkan (bleached) dan kadang-kadang diwarnai (dyed). Dua metode pemutihan yang sering digunakan adalah sebagai berikut : 1.
Rendam bilah tipis (slivers) bambu dalam 1 % sodium hydroxide (NaOH) selama 2-4 jam, kemudian direndam dalam 25 % hydrogen peroxide (H2O2) selama 5-10 jam. Bilah-bilah tipis selanjutnya dicuci dengan air dan dikeringkan sampai kadar air 8 -16 %; dan
38 2.
Rendam bilah-bilah tipis bambu dalam larutan 1 % asam oksalat (oxalic acid) dan 0,5 % NaOH selama 10-16 jam.
Bilah tipis tersebut dicuci dan
dikeringkan. BMB digunakan sebagai kemasan (packing), meubel dan aplikasi interior seperti dinding dan partisi. Terdapat 16 pabrik pembuatan panel ini di China dan produksi tahunannya sekitar 20.000 m3. India Pengembangan teknologi BMB di India mengalami tiga tahapan seperti diuraikan berikut ini. Teknologi awal BMB pertama yang diproduksi di India direkat dengan perekat PF. Proses produksinya adalah sebagai berikut : -
Pemotongan batang bambu dengan atau tanpa buku sepanjang 0,6 m;
-
Pembelahan batang bambu menjadi bilah (strips);
-
Perebusan bilah selama 12 jam;
-
Penyayatan bilah menjadi bilah tipis dengan ketebalan yang seragam;
-
Pemisahan bagian kuli bambu dari bagian lainnya. Kulit bambu dapat digunakan untuk keperluan lain.
-
Pengeringan bilah sampai kadar air 10-12 %;
-
Penganyaman bilah menjadi lembaran dengan berbagai macam pola anyaman.
-
Perendaman dalam larutan perekat PF;
-
Pengeringan sampai kadar air 10 -12 %;
-
Pengempaan panas lembaran anyaman yang terdiri dari 2, 3, atau 5 lapisan selama 20-30 menit dengan tekanan spesifik 2,8-3,5 Mpa; dan
-
Pemotongan Walaupun panel bambu yang diproduksi sangat kuat dan menarik, teknologi
tersebut tidak dapat dipasarkan karena biaya produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan kayu lapis. Teknologi yang dimodifikasi Dalam tahun 1979, upaya perbaikan teknologi dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi biaya produksi. Modifikasi penting yang dilakukan adalah penggantian sebagian perekat PF, metode aplikasi perekat dan pengurangan suhu dan waktu kempa. Perekat PF diganti dengan sebagian dengan 40 % Cardanol
39 (turunan dari cairan cangkang kacang mede). Perekat
cardanol-phenol
formaldehyde (CPF) digunakan sebagai perekat. Tahapan proses pembuatan BMB adalah sebagai berikut: -
Pengeringan lembaran anyaman sampai kadar air 6-8 %;
-
Pelaburan perekat menggunakan glue spreader seperti dalam pabrik kayu lapis;
-
Pengempaan panas selama 6 menit (untuk 3-4 mm tebal panel) pada suhu 140145 oC dengan tekanan kempa spesifik 1,6 Mpa; dan
-
Open assembly time selama 2-24 jam untuk mengurangi kadar air lembaran sampai 15 %. Jumlah perekat yang diperlukan sebanyak 1,3 kg/m2 dari panel yang terdiri
dari tiga lapis. Sebuah pabrik di Negara Bagian Kerala mulai memproduksi BMB pada tahun 1984 menggunakan teknologi yang telah domodifikasi tersebut. Pabrik ini masih memproduksi BMB dengan sedikit modifikasi dalam proses pembuatannya dan memasarkan untuk penggunaan meubel, rumah, dan penyekat (shuttering).Walaupun para pengusaha sangat tertarik akan produk ini, namun produk ini tidak dapat berkembang karena masalah berikut : -
Kebutuhan perekat yang terlalu tinggi (1,3 kg/m2 untuk panel yang terdiri dari tiga lapis);
-
Tidak meratanya perekat pada bagian bilah yang tumpang tindih karena dianyam;
-
Adanya “bisul” pada permukaan BMB yang disebabkan perekat terdorong ke permukaan pada waktu pengempaan panas;
-
Sangat sulitnya mengeluarkan panel dari alat kempa panas;
-
Produk BMB yang masa pakainya tidak tahan lama (low durability).
Teknologi yang ditingkatkan Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, upaya terbaru dibuat melalui sebuah proyek yang disponsori oleh International Development Research Centre (IDRC) of Canada. Hasilnya adalah dikembangkannya papan BMB yang meningkat kualitasnya dengan biaya yang lebih murah. Teknologi ini telah distandarisasi setelah diselesaikannya proyek percontohan dan uji coba skla industri.
Sebagai bukti dari kematangan teknologi ini, tujuh unit pabrik berdiri
dan berproduksi setelah teknologi yang telah ditingkatkan tersebut diapaparkan.
40 Beberapa lagi perusahaan skala kecil dalam berbagai tahapan dibangun. Tim ahli yang digerakkan oleh IDRC menyatakan bahwa teknologi tersebut sesuai untuk diadopsi oleh negara lain. Oleh karena itu pelatihan yang diselenggarakan oleh INBAR mendapat sambutan positif dan
melibatkan partisipasi dari negara
Bangladesh, Canada, China, India, Lao PDR, Malaysia, Nepal, Philipina dan Thailand. Dalam pelatihan ini, teknologi tersebut didemonstrasikan dan dialihkan. Peningkatan teknologi yang berpengaruh terhadap proses adalah : -
Pengurangan jumlah perekat PF dari 1,3 kg/m2 menjadi 0,3 kg/m2;
-
Metode aplikasi perekat yang menjamin keseragaman perekatan dan tampilan permukan yang lebih baik;
-
Permukaan panel yang bersih, halus dan rata;
-
Masa pakai yang lebih lama karena dalam proses perekatan ditambahkan bahan pengawet. Informasi penting lainnya dari teknologi ini adalah penggantian perekat
phenol sampai 30-40 % oleh lignin yang didapatkan dari limbah industri pulp berupa black liquor. Tahapan proses produksi BMB dengan menggunakan teknologi ini adalah sebagai berikut : -
Perendaman lembaran anyaman dalam perekat phenol liquor formaldehyde (PLF) dengan penembahan bahan pengawet. Rasio molar dari phenol, formaldehyde dan sodium hydroxyde adalah 1 : 2,2 : 0,18. Berat labur perekat adalah 0,11 PLF dari 48 solid content perekat/m2, sedangkan perbandingan perekat dengan pelarut air adalah 1:2;
-
Pembersihan kelebihan perekat;
-
Pengeringan sampai kadar air 8-12 %;
-
Pengempaan panas selama enam menit (panel dengan tiga lapisan) pada suhu 140 -145 oC dan tekanan kempa 1,6 MPA; dan
-
Pemotongan Tujuh pabrik yang ada di India membuat produk BMB dengan produksi
tahunan sekitar 2000 m3. Kegunaan produk BMB ini adalah untuk : -
Perumahan : partisi, panelling, meubel, dan cladding
-
Kemasan : kotak kemasan buah-buahan, kotak amunisi
-
Wadah penyimpanan : wadah penyimpanan biji-bijian
-
Transportasi : gerobak sapi, delman
41 Thailand BMB diproduksi sejak 1985 dan sebagian besar diekspor ke negara-negara Eropa. Perekat UF digunakan untuk merekat anyaman panel. Sekarang, dua pabrik membuat panel tersebut dan masing-masing menggunakan teknologi yang dikembangkan di lingkungan pabriknya. Informasi yang penting menyangkut teknologinya
tidak
pernah
dipublikasikan
ataupun
dipaparkan.
Proses
pembuatannya adalah sebagai berikut :
-
Konversi batang bambu menjadi bilah dan kemudian menjadi bilah tipis;
-
Penganyaman bilah menjadi lembaran baik secara manual ataupun menggunakan mesin dengan berbagai pola anyaman yang menarik;
-
Pelaburan perekat;
-
Pengempaan panas;
-
Penyelesaian akhir (finishing) berupa pengampelasan (sanding); dan
-
Pemotongan (trimming) Tampilan estetik dari penel ini merupakan daya tarik utama. Ketebalan
panel disesuaikan dengan tujuan pemakaian sebagai berikut : 1 mm, untuk panelling; 3-4 mm, untuk langit-langit dan partisi; 6 mm, untuk pintu, jendela, dan meubel; 8-10 mm, untuk pekerjaan cor beton Vietnam Dua lapis BMB dibuat dengan menggunakan perekat PF dan perekat PF yang dimodifikasi dengan cairan lignosulphate yang diperoleh dari pabrik kertas. Karena berwarna gelap, konsumen tidak menyukai produk yang direkat dengan perekat PF yang telah domodifikasi tersebut. Penggunaan panel ini adalah untuk : Perumahan : untuk langit-langit dan rak; Penyimpanan : untuk wadah beras; Untuk pekerjaan cor beton Bambu Lapis (ply bamboo) Bambu Lapis (ply bamboo) merupakan produk berkualitas tinggi (high-class product) yang dikembangkan di China. Produk ini juga dibuat di China Taiwan dan merupakan pruduk panel bambu utama sampai sekarang ini. Batang lurus
42 bambu dari jenis yang berdinding tebal seperti Phyllostachys pubescent dikupas menjadi venir. Proses produksinya adalah sebagai berikut : -
Pemotongan batang terpilih bambu sepanjang 120- 150 cm,
-
Perebusan dalam air yang mengandung 10 % NaOH
-
Pemotongan lanjutan sepanjang 30-60 cm
-
Pengupasan batang bambu menjadi venir dengan parameter sebagai berikut : (1). Sudut belakang (rear angle) : 1,5 o; (2). Sudut gerinda (grinding angle): 20”; (3). Sudut potong (cutting angle) : 21,5’; (4). Ketebalan venir : 0,3-0,4 mm, maksimum 0,6 mm; (5). Pengeringan hingga mencapai kadar air 8-12 % ; (6).Pedmotongan
venir
(clipping);
(7).
Pemutihan
(bleaching);
(8).
Pengeringan lagi; dan (9). Pewarnaan (coloring). Venir bambu digunakan sebagai pelapis permukaan
pada berbagai dan
digunakan pada meubel (furniture), dinding, dan barang-barang kerajinan. Karena hanya bambu terpilih yang dapat dikupas,serta diperlukan operator yang terampil, maka adopsi pada skala komersial menjadi terbatas.
III. IDENTIFIKASI BAHAN BAKU (SIFAT-SIFAT BAMBU) Pendahuluan Menurut Rao dan Sastry (1995), perhatian terhadap bambu sebagai alternatif bahan baku untuk keperluan industri di beberapa negara tropis dan subtropis dimulai sejak tahun 1980 ketika menghadapi permasalahan kelangkaan bahan baku kayu. Fakta bahwa bambu menghasilkan biomassa kayu lebih cepat daripada kayu cepat tumbuh (fast growing species), dan bahwa beberapa sifat bambu telah menyaingi kayu remaja yang dihasilkan dari kayu cepat tumbuh tersebut telah membangkitkan minat yang sangat besar dalam penelitian bambu sebagai substitusi kayu untuk bangunan, meubel, pengepakan (packing), transportasi dan lain-lain. Pemahaman yang holistik tentang sifat sifat bambu sebagai bahan baku merupakan hal yang sangat penting dan berkontribusi besar dalam pemanfaatan bahan baku tersebut menjadi berbagai produk. Sifat-sifat dasar bambu yang perlu dipahami meliputi struktur anbatomi, sifat fisis, sifat mekanis, dan kandungan kimianya. Bahan dan Metode Jenis bambu yang menjadi fokus perhatian untuk diteliti sifar-sifat dasarnya adalah bambu tali, andong, dan betung yang dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk pembuatan bambu lapis. Penelitian dilakukan terhadap beberapa sifat dasar sepert sifat sifat fisis dan mekanis, kandungan kimia bambu, serta kelarutannya dalam berbagai pelarut seperti etanol-benzen, Na(OH) 1 %, air dingin, dan air panas, sedangkan penelitian tentang struktur anatomi bambu dilakukan dilakukan dalam bentuk studi pustaka. 3.1.
Struktur anatomi bambu Penelitian tentang struktur anatomi dilakukan berdasarkan studi pustaka
yang terkait dengan jenis bambu tali, andong, dan betung. 3.2.
Sifat Fisis Bambu Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa bambu tali (Gigantochoa
apus
(J.A.
dan
J.H.
Schultes)
Kurz)),
bambu
andong
(Gigantochloa
pseudoarundinaceae (Stuude l(Widjaja), dan bambu betung (Dendrocalamus asper (Schult.f.)Backer ex Heyne)
yang didapat dari wilayah Kecamatan
Leuwiliang, Bogor. Ketiga jenis bambu tersebut dipilih yang sudah masak tebang.
44 Sifat fisis bambu lapis yang diteliti meliputi kerapatan, penyusutan, dan permeabilitas bambu. 3.2.1. Kerapatan Contoh uji kerapatan bambu tali dalam keaadaan kering udara berukuran 5 cm x 5 cm x 0,5 cm, sedangkan contoh uji kerapatan bambu andong dan betung berukuran sama, yaitu 5 cm x 5 cm x 1,0 cm. Contoh uji tersebut ditimbang beratnya dan kemudian ditentukan volume contoh uji ditentukan secara gravimetri.. Kerapatan bambu dihitung dengan menggunakan rumus: Kerapatan (g/cm³) =
Keterangan: M = Berat kering udara contoh uji (g) V = Volume contoh uji (g/cm³) 3.2.2.
Kadar air (Moisture Content) Contoh uji kadar air yang berukuran sama dengan contoh uji kerapatan
ditimbang untuk mendapatkan berat (m1), lalu dioven pada suhu 103±20C selama 24 jam sampai beratnya konstan; kemudian dimasukkan ke dalam desikator sampai mencapai suhu kamar dan ditimbang kembali (m2). Nilai kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar air (%) =
x 100%
Keterangan : m1 = Berat awal (kering udara) m2 = Berat kering oven 3.2.3. Permeabilitas Penentuan permeabilitas ke tiga jenis bambu dilakukan dengan contoh uji berupa produk bambu laminasi. Hal ini dilakukan mengingat dimensi penampang lintang bambu berukuran kecil, yaitu berkisar mulai dari 1 cm (pada bambu tali) sampai 2 cm (pada bambu betung), padahal kondisi alat pengujian untuk penentuan permeabilitas mengharuskan contoh uji yang berukuran lebih besar. Produk laminasi yang dibuat dalam penelitian ini mula-mula dirancang berukuran panjang 10 cm, lebar 5 cm, dan tebal 5 cm. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam proses pembuatan bambu laminasinya, karena kalau ukuran laminanya
45 terlalu kecil akan sulit dalam proses pengempaannya (menggunakan
klem).
Produk bambu laminasi yang sudah dibuat selanjutnya dipotong lagi sehingga contoh uji berukuran panjang 5 cm, lebar 5 cm, dan tebal 1 cm. Dimensi yang terkecil, yaitu tebal berorientasi longitudinal, sedangkan panjang dan lebarnya berorientasi radial dan tangensial. Untuk setiap jenis bambu, contoh ujinya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu contoh yang tanpa buku (internode), dan yang mengandung buku (node). Penentuan permeabilitas ditentukan berdasarkan metode pendekatan, yaitu dengan cara mengukur besarnya tekanan vakum pada masing-masing contoh uji. Waktu yang diperlukan baik untuk proses pemakuman maupun waktu releas-nya dicatat. Waktu releas adalah waktu yang diperlukan agar tekanan di dalam tabung vakum kembali menjadi nol. 3.3. Sifat Mekanis Bambu Penelitian tentang sifat mekanis bambu dilakukan berdasarkan studi pustaka yang terkait dengan jenis bambu tali, andong, dan betung. 3.4. Sifat Kimia Bambu Sifat kimia bambu yang diteliti meliputi komponen utama kimia bambu yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif . Bahan yang digunakan adalah bambu tali, andong, betung, sedangkan prosedur penentuannya mengacu pada TAPPI seperti disajikan pada Tabel 3.1, dan deskripsi dapat dilihat pada Bab V.
46 Tabel 3.1 Acuan penentuan komponen kimia bambu No. Komponen kimia yang diteliti 1. Penyiapan bahan baku untuk analisis kimia (termasuk penentuan kadar air)
Acuan penentuan TAPPI T 264 om-88
2.
Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin
TAPPI T207 om-93
3.
Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air panas
TAPPI T 207 0m-93
4.
Kelarutan bambu dan kayu dalam natrium hidroksida 1%
TAPPI T 212 om-93
5.
Penentuan holoselulosa
TAPPI 9 m-54
6.
Penentuan selulosa
TAPPI 17-m-55
7.
Penentuan kadar hemiselulosa
7
Penentuan kadar lignin
TAPPI 223cm-84 TAPPI T 203 os-74
Hasil dan Pembahasan 3.1. Sifat Fisis 3.1.1. Kerapatan bambu Data hasil pengujian kerapatan bambu tali, andong dan betung disajikan pada Tabel 3.2. Berdasarkan data tersebut nampak ada perbedaan kerapatan, baik antar jenis bambu maupun kondisi bambunya (tanpa buku dan dengan buku). Secara umum dapat diketahui bahwa bambu betung mempunyai kerapatan terbesar, diikuti oleh bambu andong dan bambu tali. Berdasarkan Tabel 3.2, kerapatan bambu betung yang mengandung buku lebih besar dibandingkan dengan bambu betung yang tidak mengandung buku, yaitu masing-masing sebesar 0,82 g/cm3 dan 0,76 g/cm3. Hal yang serupa terjadi pada bambu andong, dan bambu tali. Kerapatan bambu andong yang mengandung buku dan yang tidak mengandung buku masing-masing sebesar 0,76 g/cm3 dan 0,72 g/cm3, sedangkan kerapatan bambu tali pada kondisi yang sama berturutturut sebesar 0,72 g/cm3 dan 0,67 g/cm3. Pada semua jenis bambu yang diteliti, terdapat kecenderungan bahwa bambu yang mengandung buku memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibanding bambu yang tidak mengandung buku. Hal ini diduga disebabkan oleh struktur anatomis yang lebih komplek dan kandungan lignin yang lebih tinggi pada bagian buku sehingga mengakibatkan berat jenis atau kerapatanya menjadi lebih tinggi
47 dibanding bagian bambu yang tidak mengandung buku. Hasil ini sejalan dengan Dransfeld dan Widjaja( 1995) yang menyatakan bahwa berat jenis pada buku bambu lebih besar (0,6-0,8) dibandingkan dengan antar buku bambu (0,5-0,7).
Tabel 3.2 Kerapatan bambu bambu tali, andong dan betung Jenis bambu Kondisi Ulangan BKU Volume (g) (cm3) 1 8,268 12,34 tanpa buku 2 8,257 12,51 3 8,486 12,48 Bambu tali Rata-rata 1 8,960 12,62 dengan buku 2 9,450 12,77 3 9.122 12,67 Rata-rata 1 18,346 25,48 tanpa buku 2 17,528 25,04 3 18,520 25,37 Bambu Rata-rata andong 1 17,344 26,14 dengan buku 2 19,593 25,78 3 19,650 25,52 Rata-rata 1 19,389 25,18 tanpa buku 2 19,509 25,67 3 19,616 25,81 Bambu betung Rata-rata 1 20,582 25,10 dengan buku 2 20,340 25,18 3 21,107 25,74 Rata-rata
Kerapatan (g/ cm3) 0,67 0,66 0,68 0,67 0,71 0,74 0,72 0,72 0,72 0,70 0,73 0,72 0,74 0,76 0,77 0,76 0,77 0,76 0,76 0,76 0,82 0,81 0,82 0,82
3.1.2. Kadar air Hasil pengujian kadar air pada bambu laminasi yang dibuat dari bambu tali dan andong disajikan pada Tabel 3.2. Data tersebut menunjukkan bahwa bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok antara kadar air pada bambu tali, andong, dan betung. Rata-rata kadar air bambu tali yang tidak mengandung buku adalah 14,20 %, sedangkan rata-rata kadar air bambu tali yang mengandung buku adalah 14,59 %. Pada bambu andong, kadar air rata-rata untuk bambu yang tidak mengandung buku dan yang mengandung buku adalah masing-masing sebesar 13,77 % dan
48 14,56 %. Hasil yang hampir sama terdapat pada bambu betung, yang kadar air rata-ratanya berkisar antara 14,03 % (tanpa buku) dan 14,52 %. Berdasarkan data pada Tabel 3.3, terdapat kecenderungan bahwa kadar air pada bambu yang mengandung buku lebih besar dari pada bambu yang tidak mengandung buku. Hal tersebut diduga disebabkan oleh struktur anatomi pada bagian buku lebih kompleks dan mengandung lignin yang lebih banyak yang berakibat air pada bagian buku tersebut relatif lebih sukar keluar. Tabel 3.3 Kadar air bambu tali, andong dan betung Jenis bambu Kondisi Ulangan Berat Awal (g) tanpa buku 1 18,23 2 18,88 3 18,57 Tali Rata-rata dengan buku 1 18,24 2 18,23 3 17,61 Rata-rata tanpa buku 1 18,28 2 17,50 3 17,93 Andong Rata-rata dengan buku 1 17,36 2 17,86 3 17,68 Rata-rata tanpa buku 1 17,32 2 17,93 3 18,33 Betung Rata-rata dengan buku 1 17,35 2 18,01 3 16,76 Rata-rata
BKT (g) 15,93 16,53 16,30 15,91 15,86 15,42 16,89 17,06 16,18 16,02 15,77 16,84 15,14 15,75 16,10 15,14 15,73 14,64
KA 14,44 14,22 13,93 14,20 14,64 14,94 14,20 14,59 14,10 13,48 13,72 13,77 14,54 14,71 14,43 14,56 14,40 13,84 13,85 14,03 14,60 14,49 14,48 14,52
3.1.3. Permeabilitas Permeabilitas bambu tali, andong, dan betung baik yang mengandung buku (node) maupun yang tidak mengandung buku (internode) selengkapnya disajikan pada Tabel 3.4. Berdasarkan Tabel 3.4 tersebut, besarnya tekanan vakum pada bambu tali yang tanpa buku adalah berkisar antara 5,2 bar dan 5,8 bar dengan nilai rata-rata, sedangkan besarnya tekanan vakum pada bambu tali yang ada bukunya berkisar
49 antara 6,3 dan 7,7 dengan nilai rata-rata 6,8. Data tersebut menunjukkan bahwa nilai tekanan vakum pada bambu yang tanpa buku lebih besar dibanding bambu yang berbuku. Hal ini berarti bahwa bambu yang tanpa buku lebih permeabel dibanding dengan bambu yang berbuku. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk mencapai nilai vakum tersebut, pada bambu tali yang tanpa buku ternyata lebih cepat (27,1 detik) dibanding bambu tali yang berbuku (34,0 detik). Begitu pula yang terjadi pada waktu releasenya. Rata-rata waktu release untuk bambu tali tanpa buku ternyata lebih cepat (9,4 detik) dibanding untuk bambu tali yang berbuku (17,63 detik). Pada bambu andong yang tidak berbuku, rata-rata tekanan vakum ternata lebih kecil (6,3 bar) dibandingkan dengan bambu andong yang berbuku (8,3 bar. Data ini menunjukkan bahwa bambu andong yang tanpa buku buku lebih permeabel dibanding bambu andong yang berbuku. Pada bambu betung, gejala yang serupa dengan bambu tali dan bambu andong juga terjadi, yaitu bambu yang tidak mengandung buku ternyata lebih lebih permeabel dibanding bambu yang mengandung buku. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pengujiannya, yaitu nilai rata-rata tekanan vakum pada pada bambu betung yang tidak mengandung buku lebih kecil
(6,9 bar) dari pada bambu
betung yang mengandung buku (8,8 bar). Rata-rata waktu yang diperlukan untuk mencapai tekanan tersebut masing-masing selama 38,4 detik untuk bambu betung yang tidak berbuku, dan 42,7 detik untuk bambu betung yang berbuku. Rata-rata waktu release untuk bambu betung tanpa buku dan bambu betung yang berbuku masing-masing adalah rata 16,9 detik dan 18,8 detik.
50 Tabel 3.4 Permeablitas bambu tali, andong dan betung yang dinyatakan dalam besarnya tekanan vakum (bar) Jenis bambu Kondisi Ulangan Tekanan Waktu Waktu (bar) (detik) release
1 2 3 Rata-rata dengan buku 1 2 3 Rata-rata tanpa buku 1 2 3
5,2 5,8 5,6 5,5 6,3 6,4 7,7 6,8 5,8 6,8 6,2
22,5 28,7 30,2 27.1 33,4 32,1 36,5 34,0 29,7 38,3 32,7
(detik) 8,6 9,4 10,2 9,4 17,8 16,3 18,2 17,6 11,7 14,4 10,8
Rata-rata dengan buku 1 2 3 Rata-rata tanpa buku 1 2 3 Rata-rata dengan buku 1 2 3 Rata-rata
6,3 7,8 7,6 9,5 8,3 6,8 7,5 6,5 6,9 8,1 8,9 9,5 8,8
33,6 40,1 38,4 51,2 43,2 36,8 45,5 33,0 38,4 43,6 42,6 42,0 42,7
12,3 18,3 18,4 29,5 22,1 15,2 20,7 14,8 16,9 18,5 19,8 18,1 18,8
tanpa buku
Bambu tali
Bambu andong
Bambu betung
Secara umum hasil pengujian tersebut di atas mengindikasikan bahwa bambu yang tidak mengandung buku lebih permeabel dinding dengan bambu yang mengadung buku. Waktu yang diperlukan untuk mencapai nilai tekanan vakum serta waktu release-nya, pada bambu yang lebih permeabel (yang tidak menandung buku) ternyata lebih cepat dibanding yang tidak permeabel. Hasil tersebut ternyata berlaku untuk semua jenis bambu yang diuji, yaitu bambu tali, andong dan betung. Bahasan tentang fenomena tersebut akan dipaparkan di bawah ini. Pada bambu yang mengandung buku, strukturan anatominya lebih komplek dibanding bambu yang tidak mengandung buku. Arah orientasi serat pada bagian buku berbeda dibanding yang tanpa buku, yaitu tidak lagi lurus sebagaimana pada
51 pada bagian yang tidak mengandung buku, tapi berbelok. Hal ini di duga akan menyebabkan permeabilitas bambu menurun. Kandungan lignin pada bagian buku yang lebih banyak juga diduga kan menyebabkan penurunan peremeabilitas. Pada bagian buku terdapat lebih banyak parenkim pendek yang akan tetap mengalami peroses lignifikasi walaupun umur bambu sudah tua. Terkait dengan permeabilitas yang dipengaruhi oleh oleh struktur anatomi bambu di bawah ini akan dipaparkan secara ringkas struktur anatomi bambu secara umum. Sebagaimana diketahui bahwa struktur anatomi bambu mengandung ikatan vaskuler yang terdiri dari xylem dan satu atau dua proto xylem yang kecil dan dua meta xylem yang besar (40-120 mikron). Pori bagian dalam batang lebih besar di bambu bagian luar batang. Pori dan phloem di kelilingi oleh selubung sklerenkim yang berbeda dalam bentuk, ukuran dan lokasi menurut posisi di dalam batang dan jenis bambu. Iktan vaskuler yang memiliki bentuk, ukuran, susunan dan jumlah ruang memberikan ciri suatu jenis bambu (Liese, 1985). Serabut dicirikan oleh sklerenkim yang berada di sekitar ikatan vaskuler. Panjang dari serabut berbeda-beda tergantung dari species, akan tetapi terjadi peningkatan dari panjang serat di bagian luar dan maksimum di bagian tengah dan menurun pada bagian dalam batang. Serat pada bagian dalamnya lebih pendek sekitar 20 – 40 % di banding serat bagian luar (Dransfield dan Widjaja, 1995). Menurut Leise (1985), serabut di dalam bambu terdapat sebagai tudung pada ikatan vasculer dan merupakan 40-50 % dari jaringan total atau 60-70% dari berat batang. Panjang serta tergantung spesies dan perbandingan antara panjang dan lebar serabut bervariasi antara 150:1 dan 250:1. Lebih lanjut Liese (1985) menjelaskan bahwa sel parenkim merupakan jaringan di dalam batang bambu dan dapat dibedakan atas dua macam, yaitu sel parenkim panjang yang umumnya tersusun vertikal dan sel parenkim pendek yang terletak bersilang-silang di antaranya. Sel parenkim panjang memiliki dinding sel yang lebih tebal dan menjalani proses lignifikasi pada awal pertumbuhan puncak, sedangkan sel parenkim pendek berdinding tipis dengan sitoplasma yang tetap aktif serta tetap mengalami proses lignifikasi walaupun telah dewasa. Sel-sel parenkim saling berhubungan satu dengan yang lain melalui noktah sederhana yang terletak pada dinding longitudinal. Ditinjau dari waktu yang dibutuhkan oleh bambu untuk mencapai tekanan vakum, data hasil pengujian juga menunjukkan ada korelasi.
Korelasi antara
52 permeabilitas dan waktu tersebut adalah hubungan yang berbanding terbalik, yaitu semakin tinggi nilai permeabilitas bambu semakin sedikit waktu yang diperlukan untuk mencapai tekanan vakum tersebut. Dengan perkataan lain semakin permeabel suatu benda, maka semakin cepat waktu yang diperlukan untuk mencapai tekanan vakum tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada waktu release-nya. 3.2.
Sifat Mekanis Bambu
Sifat mekanis bambu meliputi keteguhan belah, MOE (modulus of elasticity), MOR (modulus of rupture), tekan sejajar serat, dan tekan tegak lurus serat. Hasil studi pustaka tentang sifat mekanis bambu dirangkum dalam satu tabel dan disajikan pada Tabel 3.5. Pada tabel ini sengaja dimasukkan juga sifat fisis bambu hasil studi pustaka. Terkait dengan sifat mekanis bambu, Janssen (1981) menyatakan bahwa kekuatan mekanis sangat bergantung pada lapisan sklerenkim, yaitu jaringan yang berdinding tebal dan kuat terdiri dari sel-sel dewasa yang telah mati. Hal ini sejalan dengan Liese (1980) yang menyatakan bahwa sifat mekanis bambu lebih ditentukan oleh keberadaan ikatan vaskulernya (dimana sklerenkim terdapat didalamnya) dan bukan pada parenkim. Hingga saat ini, parenkim masih belum ditemukan kegunaannya. Selain itu, kekuatan mekanis juga dipengaruhi oleh kulit buluh yang mengandung silika, kehadiran silika meningkatkan kekuatan. Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan kandungan silika batang bambu umumnya lebih tinggi dari kayu, yaitu sekitar 0.5-4.0 %. Disamping itu, jenis bambu yang berbeda akan memberikan sifat mekanis yang berbeda pula. Penelitian tentang sifat fisis dan mekanis
beberapa jenis bambu di
Indonesia telah dilakuan oleh beberapa peneliti antara lain Ginoga (1977), Syafii (1984), Hadjib dan Karnasudirdja (1986), Nurhayati (1986 dan 1994), Krisdianto dkk. (2006), Sukadaryati (2006), Suryana (2008), Irjayanti (2009), Suryana dkk.(2009 dan 2010), Mardiana (2010), Sembiring (2012), Iriayanto (2012), dan Lestari, 2012. Rangkuman dari hasil penelitian sifat fisis dan mekanis bambu tersebut disajikan pada Tabel 3.5.
53 Tabel 3.5 Sifat fisis dan mekanis bambu tali, andong, dan betung No.
Sifat yang diuji
1.
Kerapatan
2.
Susut Volume (%) Basah-Kering udara
Jenis bambu Tali
Andong
Betung
0,67 (0,58-0,76)
0,72 (0,64- 0,80)
0,76 (0,66 - 0,86)
12,45 (10,22-14,68)
14,36 (11,36-17,36)
16,82 (14,2219,42)
3.
4.
5 6. 7. 8. 9. 10.
Susut tebal (%) Basah-Kering udara
6,83 (5,42-8,24)
7,94 (6,22- 9,66)
8,02 (6,46-9,58)
Kering udara-Kering tanur Susut lebar (%)
5,36 (4,96-5,76)
5,75 (5,10-6,4)
6,30 (5,26-7,34)
Basah- Kering udara
5,30 (4,21-6,39)
6,18 (5,52-6,84)
6,21 (5,64-6,78)
Kering udara-Kering
3,60 (2,96-4,24)
4,84 (3,72-5,96)
5,10 (4,72-5,48)
49,5 (40,8-58,2)
56,58 (52,4-60,76)
62,5(54,6-70,4)
79,6 (58,2-101,0)
82,3 (54,2-110,4)
92,2 (53,2-131,2)
433 (320-546)
457 (358-556)
490 (342- 638)
504 (442-556)
521 (457-585)
605 (570- 640)
2.004 (1.980-2.028)
1.914 (1.767-2.061)
2.127 (1.988-2.266)
5,5 (5.1-5,9)
6,3 (5,6-7,0)
6,9 (5,8-8)
tanur Keteguhan belah (kgf/cm2) MOE (x 1000 kgf/cm2) MOR (kgf/cm2) Tekan sejajar serat (kgf/cm2) Tekan tegak lurus serat (kgf/cm2) Permeabilitas tanpa buku (tekanan
vacum, bar) Permeabilitas dengan 6,8 (5,4-8,2) 8,3 (6,8-9,8) 8,8 (7,4-10,2) buku (tekanan vacum, bar) Keterangan: Angka dalam kurung adalah kisaran angka hasil penelitian Ginoga, 1977; Syafii, 1984 ; Nurhayati, 1986 dan 1994; Krisdianto,dkk, 2000; Hadjib dan Karnasudirdja, 2006;; Sukadaryati, 2006, Irjayanti, 2009; Mardiana, 2010; Sembiring, 2012, Iriayanto, 2012, dan Lestari, 2012 11.
Sifat Kimia Bambu Kandungan kimia bambu tali, andong, dan betung disajikan pada Tabel 3.6. Tabel 3.3 menunjukkan bahwa proses perendaman dalam air dingin yang mengalir, air panas, dan perebusan dalam air kapur 5 % ternyata dapat menurunkan nilai kelarutan dalam etanol/benzen, Na OH 1 %, air dingin, dan air panas. Hal ini berarti bahwa proses perlakuan perendaman tersebut dapat
54 menurunkan kandungan pati yang larut dalam air dingin dan air panas. Dengan demikian proses perlakuan perendaman tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu metode untuk menurunkan kandungan pati, yang pada gilirannya nanti dapat meningkatkan ketahanan bambu terhadap serangan organisme perusak bambu yang menjadikan pati sebagai makanannya, yaitu serangan kumbang bubuk. Kandungan kimia bambu tergantung pada jenis, kondisi tempat tumbuh, umur bambu dan lokasi pada batang. Kandungan pati paling besar terdapat pada musim hujan, dan kandungan pati terbesar terdapat pada bagian dalam batang (Liese, 1985). Lebih lanjut Liese (1985) menjelaskan bahwa komponen utama kimia bambu terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif seperti resin, lilin, dan garam. Kandungan selulosa bambu berkisar 53,6 -54,4 %, pentosan 30,8 -32,9 %, lignin 20,0-32,9 %, abu 1,1-1,2 %, dan zat ekstraktif yang larut dalam alkohol benzene 7,5-9,3 % (Liese, 1985). Zat eksraktif bambu tali yang larut dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH 1% adalah berturut-turut sebesar : 4,6 %, 5,3 %, 2,5 %, dan 23,1 %. Kelarutan bambu andong dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH 1% adalah berturut-turut sebesar : 9,9 %, 10,7 %, 6,9 %, dan 28,0 %, sedangkan kelarutan bambu betung dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH 1% adalah berturut-turut sebesar : 4,5%, 6,1%, 0,9 % ,dan 22,2 % (Gusmalina dan Sumadiwangsa, 1988).
55 Tabel 3.6. Sifat kimia bambu tali, andong dan betung Nama
Holoselulosa
Selulo sa
Sampel ( %)
Hemiselulos a
Lignin (%)
(%)
Kelarutan dalam (%) EtOH /Benz.
NaOH 1%
Air Dingin
Air Panas
(%) Andong-R14
76,1322
46,3706
29,7616
26,1400
2,5819
19,6593
1,2116
1,3325
Betung-R14
77,7848
46,7667
3,0181
24,9682
2,6539
19,0237
1,0203
1,3650
Tali-R14
77,3626
49,5336
27,8290
26,0600
2,8840
18,2133
1,0176
0,9522
Andong-RSR
75,0497
49,8500
25,1996
22,3512
0,3270
10,6596
2,1543
2,1839
Betung-RSR
72,7208
50,3215
22,3993
23,5483
0,2174
11,9191
1,0917
1,2793
Tali-RSR
76,0774
52,6231
23,4543
27,4381
0,3611
11,6969
2,6534
2,9071
Andong-K
79,5948
51,5079
28,0870
21,6270
3,6719
22,2826
2,9929
5,6437
Betung-K
79,4361
47,8592
31,5769
28,4377
4,0307
21,3622
3,2632
7,1316
Tali-K
80,1816
48,9439
31,2377
27,9108
4,7053
25,2979
4,2321
7,7697
Andong-R2
78,2091
49,0153
29,1938
26,9209
1,6562
20,1287
1,2315
1,4388
Betung-R2
78,9129
45,9491
32,9637
27,4343
2,5201
19,4376
1,8647
3,4083
Tali-R2
80,3638
57,1130
23,2507
22,0656
4,1274
18,3880
4,0063
4,6762
Keterangan:
R14 = Rendaman selama 14 hari, RSR = Rebusan air kapur 2 jam, K = Kontrol,R2 = Perebusan 2 jam
Tabel 3.6 menunjukkan bahwa kelarutan bambu tali, andong dan betung dalam etanol/benzene, NaOH 1 %, air dingin, air panas, setelah diberi perlakuan perendaman dalam air sungai, perebusan, dan perebusan dalam larutan air kapur 5 % umumnya menurun secara signifikanl dibandingkan dengan sebelum diberi perlakuan. Hal ini berarti zat ekstraktif yang terkandung dalam bambu tersebut telah jauh berkurang akibat perlakuan tersebut. Dengan demikian peluang bambu tersebut untuk diserang oleh kumbang bubuk akan berkurang pula karena sebagian zat ekstraktif yang berupa pati yang menjadi makanannya telah banyak berkurang. Walaupun demikian, perlakuan tersebut tidak mengurangi kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin secara signifikan.
56
Kesimpulan Sifat-sifat bambu sebagai bahan baku ditentukan oleh struktur anatomi, sifat fisis, sifat mekanis, dan kandungan kimia bambu. Perbedaan diantara sifat bambu tali, andong, dan betung ditentukan oleh sifat-sifat tersebut di atas. Pada semua jenis bambu yang diteliti, terdapat kecenderungan bahwa bambu yang mengandung buku memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibanding bambu yang tidak mengandung buku. Terdapat kecenderungan bahwa kadar air pada bambu yang mengandung buku lebih besar dari pada bambu yang tidak mengandung buku. Hasil pengujian mengindikasikan bahwa bambu yang tidak mengandung buku lebih permeabel dinding dengan bambu yang mengadung buku. Penyusutan tebal bambu lebih besar dibandingkan penyusutan lebar bambu. Keteguhan belah bambu tali, andong, dan betung relatif kecil dan masingmasing berkisar 40,8-58,2 kgf/cm2; 52,4-60,76 kg/cm2; dan 54,6-70,4 kg/cm2. Dengan nilai sekecil ini berarti bambu tersebut
mudah dibelah. Nilai MOR
bambu tali, andong, dan betung berturut turut berkisar 320-546 kgf/cm2; 358-556 kgf/cm2; dan 342-638 kgf/cm2 Kisaran nilai MOE bambu tali andong, dan betung adalah 58.200-101.000 kgf/cm2; 54.200-110.000 kgf/cm2; dan 53.200- 131.200 kgf/cm2. Kelarutan bambu tali, andong dan betung dalam etanol/benzene, NaOH 1 %, air dingin, air panas, setelah diberi perlakuan perendaman dalam air sungai, perebusan, dan perebusan dalam larutan air kapur 5 % umumnya lebih kecil dibandingakan dengan sebelum diberi perlakuan. Hal ini berarti zat ekstraktif yang terkandung dalam bambu tersebut telah berkurang akibat perlakuan tersebut.
IV. SIFAT-SIFAT DASAR BAMBU LAPIS Pendahuluan Untuk mengatasi ketidakmampuan hutan dalam memenuhi kebutuhan kayu yang terus meningkat, perlu dilakukan tindakan-tindakan antisipasi dengan mencari bahan baku selain kayu yang dapat digunakan sebagai substitusi kayu dari hutan alam. Salah satunya dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu berupa bambu. Keadaan ini ditunjang oleh kenyataan bahwa Indonesia memang kaya akan jenis bambu yang berpotensi ekonomi baik secara lokal maupun dalam skala nasional dan bahkan untuk keperluan regional dan internasional. Potensi bambu di Indonesia meliputi lebih dari 143 jenis bambu dan 9 jenis diantaranya merupakan bambu yang hidup endemik di Jawa (Widjaja, 2001). Bambu banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan potensial dikembangkan untuk menjadi sumber pemasok bahan baku industri. Pemanfaatan bambu diantaranya untuk keperluan alat-alat rumah tangga, sebagai penghara industri sumpit, barang kerajinan, bilik, tanaman hias, dan lain sebagainya. Bambu juga merupakan bahan bangunan siap pakai, tergantung kebutuhan yang diinginkan sedangkan rebungya untuk jenis tertentu dapat dimanfaatkan sebagai sayuran. Beberapa keunggulan bambu diantaranya kuat, keras, ringan, mudah didapat, cepat tumbuh, mudah dalam pengerjaan, dan mempunyai sifat mekanis yang lebih baik pada arah sejajar serat. Melihat keunggulan-keunggulan tersebut memungkinakan berkembangnya produk-produk panel bambu sebagai wujud upaya diversifikasi produk panel kayu. Bentuk-bentuk diversifikasi dari bambu menghasilkan papan tiruan yang beragam bentuk meliputi papan partikel, papan serat, papan laminasi bambu ataupun bambu lapis (ply bamboo). Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan bambu tali, bambu andong dan bambu betung sebagai bahan baku bambu lapis serta mengetahui pengaruh jenis bambu dan jenis perekat terhadap sifat fisis dan mekanis bambu lapis.
58 Bahan dan Metode Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa bambu tali (Gigantochoa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz)), bambu andong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro), dan bambu betung (Dendrocalamus asper(Schult.f.)Backer ex Heyne) yang didapat dari wilayah Kecamatan Leuwiliang, Bogor. Ketiga jenis bambu tersebut dipilih yang sudah masak tebang. Perekat yang digunakan meliputi lima jenis perekat, yaitu methylen diphenyl isocianate (MDI), phenol formaldehyde (PF), melamine formaldehyde (MF), urea formaldehyde (UF), dan poly vinyl acetate (PVAc). Alat yang digunakan meliputi : gergaji tangan, golok, cutter, amplas, mesin serut, alat tulis, penggaris, caliper, oven, desikator, alat kempa, timbangan, kape, dan Universal Testing Machine (UTM) merk Instron. Persiapan Bahan Batang bambu terlebih dahulu dipotong sepanjang 40 cm tanpa menyertakan buku bambu, selanjutnya dibuat menjadi bilah dengan cara dibelah. Bilah bambu kemudian diserut menggunakan alat serut dengan lebar 2 cm dan ketebalan yang berbeda, yaitu sebesar 1 mm, dan 2 mm. Ketebalan bilah bambu sebesar 2 mm digunakan sebagai lapisan inti (core) panel bambu, sedangkan ketebalan 1 mm digunakan sebagai lapisan muka dan belakang (face-back) panel bambu. Bambu kemudian dioven pada suhu 60- 80 °C hingga mencapai kadar air 8-10%. Pembentukan Lembaran Bilah bambu serutan yang telah dikeringkan disusun sedemikian rupa menurut ketebalannya masing-masing sehingga berukuran 40 x 40 cm. Susunan bilah bambu tersebut kemudian disatukan dengan cara merekat kedua ujungnya menggunakan lakban sehingga terbentuk suatu lembaran bilah bambu. Pembuatan dan pengujian bambu lapis Lembaran bambu lapis dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 0,4 cm (tiga lapis) dengan berat labur sebesar 200 g/m2. Suhu kempa untuk perekat UF adalah 110 oC, perekat PF, MF, dan MDI sebesar 140oC, dan perekat PVAc pada suhu kamar. Pengempaan panas dilakukan selama 5 menit, dengan tekanan kempa spesifik sebesar 15 kg/cm2. Khusus untuk kayu lapis yang mengunakan PVAc,
59 dilakukan pengempaan dingin menggunakan klem selama 24 jam. Setelah proses pengempaan dilakukan, bambu lapis dikondisikan di ruangan selama 2 minggu. Pengujian bambu lapis mengacu kepada SNI 01-5008.7-1999, meliputi kerapatan, kadar air, pengembangan dimensi, keteguhan rekat sejajar serat permukaan, keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan, MOE sejajar serat permukaan, MOE tegak lurus serat permukaan, MOR sejajar serat permukaan, dan MOR tegak lurus serat permukaan. Pola pemotongan contoh uji pada setiap papan dapat dilihat pada Gambar 4.1. lakban A
c B
A
Sampel
c
B
EE
D
lakban
Keterangan : A = Contoh uji MOE , dan MOR (20 cm x 5 cm), B = Contoh uji kadar air dan kerapatan (10 cm x 10 cm), C = Contoh uji pengembangan tebal (5 cm x5 cm), D = Contoh uji keteguhan rekat (2,5 cm x 7,5cm).
Gambar 4.1 Pola pemotongan contoh uji Penentuan Kerapatan Kerapatan panel bambu lapis ditentukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan kadar air berukuran 10 cm x 10 cm. Contoh uji ditimbang
60 beratnya (kondisi kering udara) dan dilakukan pengukuran dimensinya (panjang, tebal, dan lebar). Besar nilai kerapatan ditentukan dengan perhitungan: Kr =
BKU P × L ×T
Keterangan : Kr
= Kearapatan (g/cm3)
BKU = Berat Kering Udara (g) P
= Panjang (cm)
L
= Lebar (cm)
T
= Tebal (cm)
Penentuan Kadar Air Contoh uji berukuran 10 cm x 10 cm ditimbang untuk mengetahui berat awal. Kemudaian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 103 ± 2 °C sampai beratnya konstan. Contoh uji kemudian didinginkan selama kurang lebih 15 menit di dalam desikator. Selanjutnya contoh uji ditimbang kembali. Besar nilai kadar air dihitung dengan persamaan: KA(%) =
BA × BKT × 100% BKT
Keterangan: KA = Kadar Air BA = Berat Awal (gram) BKT = Berat Kering Tanur (gram) Penentuan Pengembangan Dimensi Contoh uji berukuran (5 cm x 2,5 cm) diukur dimensinya (panjang, tebal, dan lebar) dalam kondisi kering udara, selanjutnya direndam dalam air (suhu 25°C) selama 24 jam, kemudian diukur kembali dimensinya. Besar nilai pengembangannya diperoleh dari perhitungan: Pg =
Keterangan:
Db − Dku × 100% Dku
61 Pg
= Pengembangan dimensi (%)
Dku
= Dimensi keadaan kering udara (cm)
Db
= Dimensi keadaan basah (cm)
Penentuan Keteguhan Rekat Prosedur pengujian keteguhan rekat mengikuti SNI 01-5008.7-1999 dan dilakukan dengan menggunakan alat uji UTM merk Instron. Berdasarkan jenis perekat yang digunakan, pengujian keteguhan rekat dilakukan dalam kondisi kering dimana perekat PVAc termasuk perekat tipe interior II. Gambar contoh uji keteguhan rekat dan keteguhan lentur masing-masing dapat dilihat pada Gambar 4.2 dan Gambar 4.3.
I-----------35mm -------- I I -25 mm-I I ---------35 mm ----------I Gambar 4.2 Contoh uji keteguhan rekat.
Nilai keteguhan rekat diperoleh dengan perhitungan: KR = Keteguhan Geser Tarik × f Nilai keteguhan geser rekat ditentukan dengan persamaan: KGT =
B P× L
Keterangan : KR
= Keteguhan Rekat (kg/cm2)
f
= Koefesien, nilainya tergantung rasio tebal lapisan inti dengan lapisan
muka. KGT = Keteguhan Geser Tarik (kg/cm3) P
= Panjang bidang geser (cm)
L
= Lebar bidang geser (cm)
B
= Beban tarik (kg)
Tabel 4.1. Rasio antara tebal lapisan inti dengan lapisan muka
62 No.
Rasio antara tebal lapisan inti dan lapisan muka
Koefisien(f)
1.
1,5 -< 2,0
1,1
2.
2,0 -< 2,5
1,2
3.
2,5 -< 3,0
1,3
4.
3,0 -< 3,5
1,4
5.
3,5 -< 4,0
1,5
6.
4,0 -< 4,5
1,7
7.
≥ 4,5
2,0
Untuk menentukan potensi kerusakan panel bambu dihitung dengan persamaan: KK =
LK × 100% LB
Keterangan : KK = kerusakan kayu (%) LK = luas kerusakan kayu pada bidang geser (cm2) LB = luas bidang geser (cm2) Persyaratan nilai keteguhan rekat kayu lapis tertera pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Persyaratan keteguhan rekat kayu lapis No. Keteguhan rekat rata-rata (kgf/cm2) Kerusakan kayu rata-rata (%) 1. >7 Tidak dipersyaratkan 2.
3,5-7
>50
Penentuan Kekakuan (MOE) dan Keteguhan Patah (MOR) Contoh uji yang berukuran 5 cm x (5 cm +24t
cm) diukur tebal dan
lebarnya, kemudian diletakan pada alat uji dengan beban berada ditengah bentang. Pembebanan dilakukan dengan laju pembebanan tidak melebihi 150 kg/cm2 permenit (atau 6 mm/mm pada mesin UTM merk Instron). Posisi contoh uji dan letak beban dapat dilihat pada Gambar 5.3
63
L L/2
L/2
Gambar 4.3 Pengujian MOE dan MOR Keteguhan lentur statis berupa modulus patah (MOR) dan kekakuan (MOE) dapat dihitung dengan persamaan:
MOR ( kg / cm 2 ) =
3Pml 2bh 2
MOE ( kg / cm ) = 2
Pl 3 4Ybh3
Keterangan : MOR = Modulus patah MOE = Modulus elastisitas (kekakuan) P
= Beban sampai batas proporsional (kg)
Pm
= Beban maksimal (kg)
Y
= Defleksi yang terjadi (cm)
b
= Lebar contoh uji (cm)
h
= Tabal contoh uji (cm)
l
= Panjang bentang (cm)
Analisis data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Faktorial Acak Lengkap dengan 2 faktor, yaitu faktor A: jenis bambu (3 jenis), dan faktor B: jenis perekat (5 jenis) dengan ulangan sebanyak 3 kali. Model umum rancangannya untuk semua pengujian adalah sebagai berikut: Yijkl = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : i = 1, 2, 3 (jenis bambu : tali, andong, dan betung) j = 1, 2,3,4,5 ( jenis perekat: MDI, PF, MF, UF, dan PVAc)
64 k = 1, 2, 3 (banyaknya ulangan) Yijk = Nilai respon pengamatan pada ulangan ke-k yang disebabkan oleh taraf k-i faktor α, dan taraf ke-j faktor β. μ
= Nilai rata-rata
αi
= Pengaruh jenis bambu
βj
= Pengaruh jenis perekat
(αβ)ij = Pengaruh interaksi antara jenis bambu ke-i dan jenisperekat ke- j εijk
=
Kesalahan percobaan dari jenis bambu ke-i, jenis perekatke-j, dan ulangan pada taraf ke-l.
Untuk mengetahui bambu lapis yang memperoleh pengaruh dari perlaukan dibuat analisis keragaman (Anova) dengan kriteria sebagai beriku: Jiak F hitung < F tabel, maka Ho diterima atau perlakuan tidak memberikan pengaruh pada selang kepercayaan. Jika F hitung > F tabel, maka Ho ditolak atau perlakuan memberikan pengaruh pada suatu selang kepercayaan. Untuk mengetahui faktor mana yang berpengaruh maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan. Hasil dan Pembahasan 1.
Sifat Fisis Bambu Lapis
1.1. Kerapatan Nilai kerapatan bambu lapis berkisar antara 0,63 dan 0,78 g/cm3. Nilai kerapatan terendah terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu tali dengan perekat PVAc, sedangkan nilai kerapatan tertinggi terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu betung. Data kerapatan bambu lapis selengkapnya disajikan pada Tabel 4.3, sedangkan analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Tabel 4.4.
65 Tabel 4.3 Kerapatan bambu lapis No.
Nilai rata-rata kerapatan (g/cm3)
Jenis Perekat
Tali
Andong
Betung
1
MDI
0,66 (0,030)
0,72 (0,030)
0,75 (0,031)
2
PF
0,67 (0,041)
0,73 (0,035)
0,78 (0,036)
3
MF
0,66 (0,021)
0,70 (0,036)
0.74 (0,030)
4
UF
0,64 (0,035)
0,71 (0,035)
0,75(0,031)
5
PVAc
0,63 (0,025)
0,69 (0,035)
0,73 (0,035)
Keterangan : MDI = methylene diphenyl isocianate, PF = phenol formaldehyde, MF = melamine formaldehyde,UF = urea formaldehyde, PVAc = poly vinyl acetate. Angka dalam kurung adalah nilai simpangan baku.
Tabel 4.4. Analisis sidik ragam kerapatan bambu lapis Sumber DB JK KT
F
Sig. <,0001**
Jenis bambu
2
0,30525185
0,15262593
407,89
Jenis perekat
4
0,00579788
0,00289894
7,75
Jenis bambu* Jenis perekat Kesalahan percobaan
8 30
0,00064974 0,05612804
0,00016243 0,00037419
Total terkoreksi
44
0,61164233
0,43
0,0465* 0,7838tn
Hasil uji sidik ragam seperti tercantum pada pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa kerapatan bambu lapis dipengaruhi oleh jenis bambu dan jenis perekat. Jenis bambu yang digunakan secara alamiah mempunyai kerapatan yang berbeda. Bambu betung mempunyai kerapatan terbesar (0,66-0,86 g/cm3), diikuti oleh bambu andong (0,64-0,80 g/cm3) dan bambu tali (0,58-0,76) (Syafii, 1984; Krisdianto et al., 2006; Suryana et al., 2009). Perekat yang digunakan dalam penelitian ini juga mempunyai berat jenis (BJ) yang beragam, yaitu perekat MDI dengan kisaran BJ1,15-1,20; perekat PF dengan kisaran BJ 1,22-1,25; perekat MF dengan kisaran BJ 1,10-1,20; perekat UF dengan kisaran BJ 1,15-1,20; dan perekat PVAc dengan BJ 1,10-1,20 (Pizzi, 1994; Frihart, 2005; PAI, 2007). Dengan demikian mudah dipahami bahwa kerapatan bahan baku bambu yang berbeda serta berat jenis perekat yang beragam akan menghasilkan kerapatan bambu lapis yang berbeda. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, bambu lapis yang berbahan baku bambu tali, andong dan betung, ketiganya menunjukkan kerapatan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Mengacu pada jenis perekat yang digunakan, bambu
66 lapis yang dibuat dengan perekat MDI, PF, dan MF tidak menunjukkan perbedaan, tetapi bambu lapis yang dibuat dengan perekat UF dan PVAc memberikan hasil yang berbeda dengan bambu lapis yang dibuat dengan perekat MDI dan PF. 1.2. Kadar air Kadar air bambu lapis berkisar antara 7,34 % dan 13,42 %. Kadar air bambu lapis terendah terdapat pada bambu lapis yang berbehan baku bambu tali dengan menggunakan perekat PF, sedangkan kadar air tertinggi terdapat pada bambu lapis berbahan baku bambu betung dengan menggunakan perekat PVAc. Data kadar air bambu lapis selengkapnya dan analisis sidik ragamnya disajikan pada Tabel 4.5 dan Tabel 4.6. Tabel 4.5 Kadar air bambu lapis No.
Jenis Perekat
Nilai rata-rata kadar air(%) Tali
Andong
Betung
1
MDI
8,20 (0,31)
8,75 (0,24)
8,84 (0,38)
2
PF
7,34 (0,11)
7,84 (0,22)
7,95 (0,41)
3
MF
8,90 (0,24)
9,29(0,30)
9,80 (0,47)
4
UF
11,28 (0,22)
12,63 (0,43)
12,49 (0,32)
5
PVAc
12,92 (0,27)
13,15 (0.33)
13,42 (0,38)
Keterangan : MDI = methylene diphenyl isocyanate, PF = phenol formaldehyde, MF = melamine formaldehyde,UF = urea formaldehyde, PVAc = poly vinyl acetate. Angka dalam kurung adalah nilai simpangan baku.
Berdasarkan sidik ragam (anova), seperti dapat dilihat pada Tabel 4.6, jenis jenis perekat berpengaruh sangat nyata, artinya tinggi rendahnya kadar air bambu lapis sangat ditentukan oleh faktor perekat, sedangkan jenis bambu tidak mempengaruhi kadar air bambu lapis. Bambu lapis yang berbahan baku bambu tali dan direkat dengan perekat PF menunjukkan nilai kadar air yang terbaik, yaitu kadar air terendah; sedangkan bambu lapis yang berbahan baku bambu betung dan direkat dengan perekat PVAc menunjukkan nilai kadar air terjelek, yaitu kadar air tertinggi. Hal ini mudah dipahami mengingat perekat PF menurut
Pizzi (1994) dan Ruhendi
(2007)
adalah perekat yang tahan terhadap air, tahan terhadap kelembaban dan temperatur tinggi, tahan terhadap bakteri, jamur, rayap, dan mikroorganisme serta
67 tahan terhadap bahan kimia seperti minyak, basa, dan bahan pengawet kayu; sedangkan perekat PVAc menurut Ruhendi (2007) lebih sensitif terhadap air, sehingga penggunaanya hanya untuk interior saja, kekuatan rekatnya menurun cepat dengan adanya panas dan air serta sifat visco-elastisitasnya tidak baik, sehingga creep besar dan ketahan terhadap fatigue rendah. Tabel 4.6. Analisis sidik ragam kadar air bambu lapis Sumber Keragaman DB JK
KT
F
Sig.
Jenis bambu
2
233,89 116,945 2,383 0.094tn
Jenis perekat
4
894,852 223.713 4.558 0.021*
Jenis bambu* Jenis perekat
8
111,296
13.912 0.269 0.946tn
Kesalahan percobaan
30
1472,34
49.078
Total terkoreksi
44
450,34
Keterangan: DB = Derajat Bebas, J K = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, * = nyata ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Meskipun secara statistik jenis bambu tidak berpengaruh terhadap kadar air, namun berdasarkan Tabel 4.5 ada kecenderungan bahwa kadar air pada ke tiga jenis bambu tersebut menunjukkan perbedaan, yaitu kadar air bambu lapis yang berbahan baku bambu tali cenderung lebih kecil dari bambu andong dan bambu betung. Kerapatan bambu tali yang lebih rendah dari bambu andong dan bambu betung diduga sebagai sebab dari kecenderungan tersebut, khususnya pada kondisi kadar air di bawah titik jenuh serat. Pada kondisi ini, tebal dan tipisnya dinding sel akan berpengaruh terhadap daya serap air. Bambu tali yang memiliki kerapatan paling kecil diantara ketiga jenis bambu yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai dinding sel yang paling tipis sehingga berpotensi menyerap air dan kelembaban pada kondisi kadar air di bawah titik jenuh serat yang paling kecil. Faktor lainnya yang menentukan tinggi rendahnya kadar air adalah faktor pengeringan dan lingkungan seperti yang dijelaskan oleh Bowyer et al (2003) yang menyatakan banyaknya air yang tetap tinggal di dalam dinding sel suatu produk akhir tergantung pada tingkat pengeringan selama pembuatan dan lingkungan tempat produk tersebut ditempatkan di kemudian hari. Secara keseluruhan, kadar air bambu lapis telah memenuhi standar SNI 01-5008.7-1999
68 dan JIS A 5980-2003 yang mensyaratkan kadar air masing-masing maksimal sebesar 14 % dan 13 %. Pengembangan Dimensi Nilai rata-rata pengembangan dimensi bambu lapis setelah perendaman selama 24 jam dapat dilihat Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Nilai pengembangan dimensi bambu lapis. Jenis bambu dan jenis perekat
T MDI A MDI B MDI T PF A PF B PF T MF A MF B MF T UF A UF B UF T PVAc A PVAc B PVAc
Pengembangan dimensi (%) ke arah Panjang
0,27 (0,036) 0,28 (0,021) 0,28 (0,025) 0,27 (0,020) 0,28 (0,025) 0,36 (0,030) 0,53 (0,045) 0,58 (0,025) 0,65 (0,023) 0,73 (0,025) 0,75 (0,050) 0,86 (0,045) 1,22 (0,065) 1,25 (0,041) 1,43 (0,035)
Lebar
0,29 (0,030) 0,29 (0,025) 0,30 (0,020) 0,28 (0,020) 0,29 (0,030) 0,38 (0,035) 0,57 (0,035) 0,61 (0,030) 0,66 (0,035) 0,76 (0,035) 0,77 (0,030) 0,87 (0,040) 1,27 (0,075) 1,29 (0,080) 1,49 (0,070)
Tebal
2,55 (0,050) 2,56 (0,030) 3,13 (0,070) 3,33 (0,060) 3,41 (0,055) 3,66 (0,078) 5,09 (0,070) 6,14 (0,075) 7,71 (0,095) 14,2 (0,271) 15,47 (0,529) 16,31 (0,301) 18,1 (0,447) 18,67 (0,450) 20,28 (0,415)
Keterangan : T = tali, A = andong, B = betung, MDI = methylene diphenyl isocianate, PF = phenol formaldehyde, MF = melamine formaldehyde, UF = urea formaldehyde, PVAc = poly vinyl acetate. Angka dalam kurung adalah nilai simpangan baku.
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa nilai rata-rata pengembangan panjang bambu lapis berkisar antara 0,27 % dan 1,43 %. Nilai pengembangan panjang terendah terdapat pada bambu lapis berbahan baku bambu tali dengan menggunakan perekat MDI dan PF, sedangkan nilai pengembangan panjang terbesar terdapat pada bambu lapis berbahan baku bambu betung dengan menggunakan perekat PVAc. Nilai pengembangan lebar bambu lapis tidak berbeda jauh dengan nilai pengembangan panjang bambu lapis, yang nilainya berkisar antara 0,29 % dan 1,49.%. Pengembangan tebal bambu lapis menunjukkan nilai yang jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai pengembangan panjang dan lebar bambu lapis. Nilai terendah pengembangan tebal bambu lapis adalah sebesar 2,55 % terdapat pada bambu lapis berbahan baku bambu tali dengan menggunakan perekat MDI; sedangkan nilai tertinggi pengembangan tebal bambu lapis adalah sebesar 20,28
69 % terdapat pada bambu lapis berbahan baku bambu betung dengan menggunakan perekat PVAc. Pada Tabel 4.7 juga terlihat bahwa urutan nilai pengembangan dimensi untuk ketiga jenis bambu dan kelima jenis perekat dari yang terbesar sampai terkecil berturut-turut tebal, lebar, dan panjang. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Nurfaridah (2002), dan Fadli (2006) yang menyatakan bahwa urutan besarnya nilai pengembangan bambu lapis berbeda dengan kayu lapis atau kayu utuh. Pengembangan dimensi pada kayu maupun kayu lapis dari yang terbesar sampai yang terkecil berturut-turut tangensial (lebar), radial (tebal), dan longitudinal (panjang), sedangkan urutan pengembangan dimensi pada bambu dari yang terbesar adalah bagian tebal, lebar, dan panjang. Kecenderungan
pengembangan
tebal
lebih
besar
dibandingkan
pengembangan panjang dan lebar disebabkan oleh sifat anatomis bambu. Bambu tidak memiliki jari-jari pada arah radial (tebal) kecuali pada bagian yang berbuku sehingga penyerapan air pada bagian radial bambu menjadi lebih mudah dan tidak terhambat oleh sel jari-jari sebagaimana halnya pada kayu. Ketidakadaan jari-jari pada bambu juga akan berakibat tdak adanya tahanan jari-jari untuk mengurangi pengembangan dan penyusutan ke arah radial (tebal) sesuai dengan teori tahanan jari jari kayu (Mac Millen and Wengert, 1978; Siau, 1995; Bowyer et al. ,2003). Tidak adanya jari-jari pada bambu juga dapat menyebabkan air dapat dengan mudah masuk melalui pori-pori
dari bagian radial bambu sehingga
pengembangan dan penyusustan pada arah ini lebih besar dibandingkan dengan arah panjang dan lebar bambu lapis (Fadly, 2006; Suryana, 2009). Untuk mengetahui pengaruh jenis bambu, jenis perekat dan interaksi antar keduanya dilakukan analisis ragam (ANOVA) yang tersaji pada Tabel 4.8, Tabel 4.9, dan Tabel 4.10.
Tabel 4.8 Analisis keragaman pengembangan panjang bambu lapis.
70 Sumber Keragaman
DB
JK
KT
F-hit
Sig.
Bambu
2
0,11304583
0,03768194
0,66
0,5879 tn
Perekat
4
0,18550417
0,18550417
3,25
0,0901 tn
Bambu*Perekat
8
0,00914583
0,00304861
0,05
0,9831tn
Kesalahan percobaan Total terkoreksi
30 44
1,7103327 2,21969583
005701109
Keterangan: DB = Derajat Bebas, J K = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, * = nyata ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa perlakuan pada bambu, perekat, dan interaksi antara perlakuan bambu dan jenis perekat tidak memberikan pengaruh yang nyata pada pengembanga panjang. Hal yang sama terjadi juga untuk pengembangan lebar seperti ditunjukkan oleh Tabel 4.9 Tabel 4.9 Analisis keragaman pengembangan lebar bambu lapis. Sumber keragaman DB JK KT F-hit
Sig.
Bambu
2
0,0 7787538
0,03893769
0,60
0,8226 tn
Perekat
4
0,82026648
0,20506662
3,09
0,1677 tn
Bambu*Perekat
8
0,02542224
0,00317778
0,07
0,9758 tn
Kesalahan percobaan
30
1,83975690
0,06132523
Total terkoreksi
44
1,54342986
Keterangan: DB = Derajat Bebas, J K = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, * = nyata ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Berbeda dengan
pengembangan
panjang dan
lebar bambu
lapis,
pengembangan tebal bambu lapis dipengaruhi oleh jenis bambu dan jenis perekat seperti ditunjukkan oleh Tabel 4.10
yang memuat analisi keragaman
pengembangan bambu lapis.
Tabel 4.10 Analisis keragaman pengembangan tebal bambu lapis.
71 Sumber Keragaman
DB
JK
KT
F-hit
Sig
Bambu
2
29,0796006
14,5398003
5,18
0,0108 *
Perekat
4
95,3227060
23,8306765
8,49
0,0102 *
Bambu*Perekat
8
14,3713856
1,7964232
0,64
0,6011 tn
Kesalahan percobaan
30
84,2073376
2,8069113
Total terkoreksi
44 220,7403833
Keterangan: DB = Derajat Bebas, J K = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, * = nyata
** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Tabel 4.10 menunjukkan bahwa pengembangan dimensi tebal bambu lapis dipengaruhi oleh
jenis bambu dan jenis perekat.
Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa pengembangan tebal bambu tali berbeda dengan bambu andong dan betung, namun pengembangan tebal bambu andong dan bambu betung tidak berbeda. Perekat MDI, PF dan MF tidak memberikan perbedaan dalam hal pengembangan tebal bambu lapis. Namun perekat PVAc memberikan hasil yang berbeda dalam hal pengembangan tebal dibanding dengan ke tiga perekat tersebut, sedangkan perekat UF berada diantara kedua kondisi tersebut. Berdasarkan urain tersebut di atas, perekat MDI, PF, dan MF memberikan hasil pengembangan tebal bambu lapis yang lebih baik daripada perekat UF maupun PVAC. Hasil pengembangan tebal terbaik terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu tali yang direkat dengan menggunakan perekat MDI. 2. Sifat Mekanis Bambu Lapis 2.1. Keteguhan rekat bambu lapis Keteguhan rekat bambu lapis meliputi keteguhan rekat sejajar serat permukaan dan keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan bambu lapis. Nilai keteguhan rekat sejajar serat permukaan bambu lapis berkisar antara 7,46 kgf/cm2 dan 38,12 kgf/cm2. Nilai terendah terdapat pada bambu lapis berbahan baku bambu andong yang direkat dengan perekat PVAc, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada bambu lapis berbahan baku bambu tali yang direkat dengan perekat MDI. Nilai keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan bambu lapis berkisar antara 5,46 kgf/cm2 dan 27,24 kgf/cm2. Nilai terendah terdapat pada bambu lapis
72 berbahan baku bambu andong yang direkat dengan perekat PVAc, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada bambu lapis
berbahan baku bambu tali yang direkat
dengan perekat MDI. Data selengkapnya nilai keteguhan rekat bambu lapis disajikan pada Tabel 4.11, sedangkan analisis sidik ragam untuk keteguhan rekat sejajar dan tegak lurus serat permukaan bambu lapis dapat dilihat masing-masing pada Tabel 4.12 dan Tabel 4.13. Tabel 4.11. Keteguhan rekat bambu lapis Nilai rata-rata keteguhan rekat bambu lapis (kgf/cm2) Jenis bambu dan Sejajar serat permukaan Tegak lurus (a) serat permukaan jenis perekat (b) 36,12 (3,54) 25,81 (3,12) T MDI 35,44 (3,28) 25,18 (3,22) A MDI 34,48 (3,16) 24,58 (2,88) B MDI 27,42 (2,43) 19,54 (2,25) T PF 24,45 (2,64) 17,48 (2,32) A PF 25,28 (2,78) 17,78 (2,54) B PF 25,32 (3,43) 18,34 (2,18) T MF 23,48 (2,74) 16,10 (2,68) A MF 21,46 (2,16) 15,36 (2,44) B MF 16,34 (2,72) 11,73 (1,41) T UF 15,32 (2,44) 10,88 (1,52) A UF 14,74 (2,40) 10,56 (1,76) B UF 9,32 (1,22) 7,12 (0,82) T PVAc 8,46 (1,18) 6,19 (0,77) A PVAc 8,54 (1,27) 6,18 (0,86) B PVAc
Rasio a/b (%) 71,46 71,05 71,29 71,26 71,49 70,33 72,43 68,57 71,58 71,79 71,02 71,64 76,39 73,17 72,37
Keterangan : T = tali, A = andong, B = betung, MDI = methylene diphenyl isocianate, PF = phenol formaldehyde, MF = melamine formaldehyde, UF = urea formaldehyde, PVAc = poly vinyl acetate. Angka dalam kurung adalah nilai simpangan baku.
Pada Tabel 4.11 dapat dilihat juga bahwa nilai keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan bambu lapis ternyata lebih rendah daripada nilai keteguhan rekat sejajar seratnya, dengan rasio yang berkisar antara 68,57 % dan 76,39 %. Nilai rasio ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurfaridah (2002), Nugraha (2006), Suryana et al. (2009), Iriayanto (2012), Lestari(2012), dan Sembiring (2012). Nilai keteguhan rekat tegak lurus serat bambu lapis yang lebih rendah dari nilai keteguhan rekat sejajar serat.
73 Berdasarkan analisis sidik ragam yang disajikan pada Tabel 4.10, nilai keteguhan rekat sejajar serat bambu lapis tidak dipengaruhi oleh jenis bambu, tapi lebih dipengaruhi oleh jenis perekat yang digunakan, serta dipengaruhi oleh kombinasi antara jenis bambu dan perekat yang ditunjukkan oleh interaksinya yang secara statistik berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perekat PF dan MF tidak berbeda nyata, tapi ke dua jenis perekat ini berbeda dengan perekat MDI dan perekat PVAc. Tabel 4.12 Analisis sidik ragam keteguhan rekat sejajar serat permukaan bambu lapis. Sumber Keragaman DB JK KT F-hit Sig. 170,69041
3,14
0,0318 tn
4
9400,42885 2350,07213
43,22
<,0001 **
Bambu*Perekat
8
4515,38041
564,42255
10,38
<,0031**
Kesalahan percobaan
30
1631,28342
54,37611
Total terkoreksi
44
1539,21086
Bambu
2
Perekat
341,38082
Keterangan: DB = Derajat Bebas, J K = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, * = nyata ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Berdasarkan data yang tercantum pada Tabel 4.11, dapat disimpulkan bahwa keteguhan rekat sejajar serat permukaan terbaik terdapat pada bambu lapis yang dibuat dari bahan baku bambu tali dan perekat MDI, sedangkan keteguhan rekat sejajar serat terjelek terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu andong yang direkat dengan perekat PVAc. Fenomena
mengapa nilai keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan
bambu lapis lebih rendah dibandingkan dengan nilai keteguhan rekat sejajar seratnya dapat diterangkan sebagai berikut. Konstruksi bambu lapis yang diuji keteguhan rekatnya teridiri dari tiga lapisan, terlepas apakah bambu lapis yang dibuat terdiri dari tiga lapisan atau lebih. Untuk bambu lapis yang terdiri dari tiga lapisan, proporsi tebal antara lapisan muka (face), lapisan tengah (core), dan lapisan belakang (back) adalah 1: 2 : 1. Contoh uji untuk untuk pengujian keteguhan rekat dibuat dibuat koakan yang kedalaman dari bagian permukaan dan bagian dalam belakang dibuat sama, yaitu tiga per empat dari tebal bambu
74 lapis. Ilustrasi tentang hal ini dapat dilihat pada
Gambar 4.2. Pada waktu
pengujian, gaya yang bekerja pada contoh uji adalah gaya geser pada kedua permukaan yang direkat.
Tabel 4.13 Analisis sidik ragam keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan bambu lapis. Sumber Keragaman DB JK KT F-hit Sig. Bambu
2
245,515716
122,757858
3,18
0,0268 tn
Perekat
4
594,381012
1485,84525
38,49
0,0002 **
Bambu*Perekat
8
2816,50472
352,06309
9,12
0,0048 *
Kesalahan percobaan
30
1158,10230
38,60341
Total terkoreksi
44
1092,83971
Keterangan: DB = Derajat Bebas, J K = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, * = nyata ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Pada pengujian keteguhan rekat sejajar serat permukaan, gaya geser terjadi pada dua bidang permukaan yang direkat. Bidang permukaan pertama yang mengalami gaya geser adalah antara permukaan lapisan tengah yang yang arahnya tegak lurus serat bambu dan lapisan belakang yang arahnya sejajar serat bambu; sedangkan bidang permukaan ke dua yang mengalami gaya geser adalah antara permukaan lapisan tengah yang arahnya tegak lurus serat bambu dan lapisan muka yang arahnya sejajar serat bambu. Meskipun lapisan tengah ini digeser atau ditarik ke arah tegak lurus serat, namun lapisan tengah ini lebih tebal sehingga mempunyai nilai keteguhan tarik yang cukup besar. Sebaliknya lapisan belakang maupun lapisan muka, walaupun lebih tipis daripada lapisan tengah, namun gaya yang bekerja pada lapisan ini adalah gaya tarik sejajar serat bambu yang nilainya jauh lebih besar daripada tarik tegak lurus serat. Pada waktu pengujian, gaya geser ini terjadi secara bersamaan pada ke dua bidang tersebut . Karena lapisan muka dan lapisan belakang mempunyai nilai keteguhan tarik sejajar serat bambu yang sangat besar bahkan mempunyai keteguhan tarik yang hampir sama dengan baja, maka titik terlemah terdapat pada lapisan tengah yang digeser atau ditarik ke arah tegak lurus serat bambu yang nilainya jauh lebih kecil
75 dibandingkan dengan tarik sejajar serat. Walaupun lapisan tengah ini mempunyai keteguhan tarik yang rendah, namun karena lapisan tengah umumnya dua kali lebih tebal daripada lapisan muka dan belakang, maka nilainya keteguhan geser tariknya cukup besar. Pada pengujian keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan, juga terjadi gaya geser pada dua bidang permukaan yang direkat. Dalam hal ini, bidang pertama yang mengalami gaya geser adalah antara permukaan lapisan tengah yang yang arahnya sejajar serat bambu dan lapisan belakang yang arahnya tegak lurus serat bambu, sedangkan bidang ke dua yang mengalami gaya geser adalah antara permukaan lapisan tengah yang arahnya sejajar serat bambu dan lapisan muka yang yang arahnya tegak lurus serat bambu. Lapisan tengah yang lebih tebal ini digeser atau ditarik ke arah sejajar serat bambu, sehingga lapisan tengah ini mempunyai nilai keteguhan tarik yang sangat tinggi. Hal yang sebaliknya terjadi pada lapisan muka dan belakang. Ke dua lapisan muka dan belakang ini ditarik ke arah tegak lurus serat, bambu yang diketahui mempunyai nilai keteguhan tarik atau keteguhan belah yang rendah (40-80 kgf/cm2), sehingga mudah dimengerti bahwa yang menjadi titik lemah dari keadaan ini adalah lapisan muka dan belakang. Berdasarkan uraian di atas, ditinjau dari faktor bambu sebagai bahan baku bambu lapis, dapat dipahami bahwa nilai keteguhan rekat sejajar serat permukaan bambu lapis lebih tinggi dibandingkan dengan nilai keteguhan rekat tegak lurus lapisan permukaan. Selain faktor bahan baku, keteguhan rekat bambu lapis ditentukan oleh faktor perekat dan faktor pengempaan.
Jenis perekat yang
digunakan sangat menentukan tinggi rendahnya nilai keteguhan rekat tersebut, baik ke arah sejajar serat permukaan maupun ke arah tegak lurus permukaan bambu lapis. Dalam penelitian ini perekat MDI diketahui mempunyai kinerja yang lebih baik dibandingakn perekat PF dan MF, apalagi kalau dibandingakan dengan perekat UF dan PVAc. Faktor lainnya yang menentukan tinggi rendahnya nilai keteguhan rekat khususnya dan sifat fisis dan mekanis pada umumnya adalah faktor pengempaan yang dilakukan pada waktu pembuatan bambu lapis. Faktor pengempaan tersebut adalah suhu kempa, tekanan kempa, dan lamanya waktu kempa yang diaplikasikan pada waktu pembuatan bambu lapis.
76 Suhu pengempaan sangat menentukan keberhasilan proses perekatan bambu lapis. Jenis perekat yang biasa digunakan dalam pembuatan bambu lapis terdiri dari berbagai macam, ada yang memerkan suhu yang tinggi, ada juga yang hanya memerlukan suhu kamar untuk terjadinya proses pengerasan. Perekat yang memerlukan suhu tinggi adalah
UF (110 oC), PF dan MDI (140 oC),
sedangkan perekat MF dapat digunakan pada suhu yang lebih rendah, yaitu sekitar 60oC tergantung tipe dan karakteristiknya, bahkan perekat PVAc dapat digunakan dan berhasil dengan baik pada suhu kamar, Suhu tersebut diperlukan agar terjadi proses polimerisasi pada perekat. Sebagai contoh, menurut Pizzi (1994), perekat UF akan mengalami proses polimerisasi atau proses pengerasan dimulai pada pada suhu sekitar 104 o C, sehinga perekat UF jika ingin digunakan maka suhunya harus lebih tinggi dari 104 oC, dan biasanya digunakan pada suhu 110 oC. Tekanan kempa diperlukan agar permukaan yang akan direkat betul-betul menyatu secara baik, sehingga tidak ada celah antara kedua bidang yang akan direkat. Waktu kempa diperlukan karena dalam proses pengempaan, proses polimerisasi perekat terjadi pada bagian dalam bambu lapis, dan panas dari alat kempa harus mencapai bagaian dalam tersebut, yang untuk itu diperlukan waktu. Semakin tebal bambu lapis yang akan dibuat, maka waktu kempa yang diperlukan akan semakin lama. 2.2. Keteguhan patah (MOR) bambu lapis
Nilai keteguhan patah (MOR) sejajar serat permukaan bambu lapis yang diteliti berkisar antara 634 kgf/cm2 dan 1520 kgf/ cm2. Nilai terendah terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu tali yang direkat dengan perekat UF, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada bambu lapis yang dibuat dari bambu betung dan perekat MDI. Nilai keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan bambu lapis menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan nilai sejajar seratnya, dengan kisaran nilai antara 425 kgf/cm2 dan
1132 kgf/cm2.
Perbandingan antara nilai keteguhan patah tegak lurus serat bambu lapis dan sejajar serat berkisar antara 64,51 % dan 75, 91 %. NIlai keteguhan rekat bambu lapis selengkapnya tercantum pada Tabel 4.14.
Tabel 4.14 Keteguhan patah (MOR) bambu lapis Nilai rata-rata keteguhan patah (MOR)
77 Jenis bambu dan jenis perekat
bambu lapis (kgf/cm2) Sejajar serat Tegak lurus serat permukaan (a) permukaan (b) 820 (83) 1.052 (104) 1.520 (160) 714 (63) 815 (75) 1.235134) 756 (73) 826 (76) 1.125 (116) 727 (62) 818 (74) 1.123(116) 634 (52) 715 (64) 931 (102)
T MDI A MDI B MDI T PF A PF B PF T MF A MF B MF T UF A UF B UF T PVAc A PVAc B PVAc
617 (54) 783 (72) 1.132 (98) 542 (56) 607 (56) 910 (78) 524(61) 567 (58) 734 (72) 469 (38) 533 (44) 786 (76) 425 (39) 493 (40) 626 (55)
Rasio a/b (%) 75,24 74,29 74,47 75,91 74,48 73,68 69,31 68,64 65,24 64,51 65,16 69,99 67,06 68,95 67,24
Keterangan : T = tali, A = andong, B = betung, MDI = methylene diphenyl isocianate, PF = phenol formaldehyde, MF = melamine formaldehyde, UF = urea formaldehyde, PVAc = poly vinyl acetate. Angka dalam kurung adalah nilai simpangan baku.
Berdasarkan analisis sidik ragam yang disajikan pada Tabel 4.15 dan Tabel 4.16, jenis bambu sangat berpengaruh terhadap keteguhan patah bambu lapis, dan perekat juga berpengaruh terhadap keteguhan patah bambu lapis meskipun tidak sebesar pengaruh jenis bambu; begitu pula interaksi antara jenis bambu dan perekat berpengaruh terhadap keteguhan patah bambu lapis .
Tabel 4.15 Analisis sidik ragam keteguhan patah sejajar serat permukaan bambu lapis.
78 Sumber Keragaman
DB
JK
KT
F-hit
Sig.
Bambu
2
196289,426
98144,713
8,12
<,0001* *
Perekat
4
202110,204
50527,551
4,16
0,0039*
Bambu*Perekat
8
3446832,936
43489,117
3,60
<,0049*
Kesalahan percobaan
30
362532,2401
12084,408
Total terkoreksi
44
2877542,238
Tabel 4.16 Analisis sidik ragam keteguhan patah (M)R) tegak lurus serat permukaan bambu lapis. Sumber Keragaman DB JK KT F-hit Sig. Bambu
2
182979,442
91489,721
12,04
<,0001* *
Perekat
4
144073,512
36018,378
4,74
0,0018*
Bambu*Perekat
8
253478,953
31684,869
4,17
<,0026*
Kesalahan percobaan
30
227964,420
7598,814
Total terkoreksi
44
215394,214
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bambu tali berbeda dengan bambu andong dan betung, begitu juga antara bambu andong dan bambu betung menunjukkan perbedaan. Perekat PF dan MF tidak berbeda satu dengan lainnya, tapi kedua perekat ini berbeda, baik dengan MDI maupun UF dan PVAC. Dalam kaitannya dengan keteguhan patah bambu lapis, urutan perekat terbaik berturutturut adalah MDI, PF,MF, UF,dan PVAc. Jenis bambu yang memberikan nilai terbesar pada keteguhan rekat adalah bambu betung, diikuti oleh bambu andong, dan yang terkecil adalah bambu tali. Bambu andong sebagai bahan baku mempunyai berat jenis ataupun kerapatan terbesar dibandingkan dengan bambu andong dan bambu tali. Dengan berat jenis yang besar maka sangat logis jika bambu andong mempunyai kekuatan mekanis yang lebih baik daripada kedua jenis bambu lainnyu seperti dinyatakan oleh Bowyer et al (2003) yang menjelaskan menghasilan kekuatan yang tinggi pula.
bahwa kerapatan
yang tinggi akan
79 Dari hasil penelitian sifat mekanis bambu lapis yang berkaitan dengan keteguhan patah bambu lapis, posisi contoh uji kayu lapis turut menentukan besar kecilnya nilai keteguhan patah bambu lapis. Pada pengujian keteguhan patah sejajar serat, maka panjang bentang contoh uji sejajar dengan permukaan kayu lapis baik bagian muka (face) maupun bagian belakang (back). Pada kondisi ini, maka ketiga ketiga lapisan bambu lapis mengalami tegangan yang berbeda. Pada lapisan atas akan
terjadi tegangan tekan, pada lapisan
bawah atau lapisan
belakang bambu lapis akan terjadi tegangan tarik, sedangkan pada lapisan tengah netral.Kondisi kritis akan terjadi pada bagaian yang mengalami tegangan tarik yaitu pada bagian bawah contoh uji. Pada kondisi pengujian seperti ini, pada bagian bawah ,akan terjadi gaya yang menarik bambu pada arah sejajar seratnya. Karena bambu dikenal mempunyai kekuatan tarik sejajar serat yang tinggi, maka bambu lapis tersebut akan memeiliki keteguhan patah yang cukup tinggi. Hal yang sebaliknya terjadi manakala arah pengujian diputar 90o, yang dalam kondisi ini, bagian yang yang mengalami tegangan tarik adalah bambu yang tegak lurus arah seratnya yang diketahui mempunyai keteguhan yang rendah. Oleh karena mudah dipahami mengapa keteguhan bambu lapis ke arah tegak lurus serta bernilai lebih kecil dibandingkan keteguhan bambu lapis pada arah sejajar seratnya. Berdasarkan uraian di atas, dari hasil penelitian ini dapat ditunjukkan bahwa nilai keteguhan patah bambu lapis ke arah sejajar permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan ke arah tegak lurus seratnya. Selain itu dapat dapat pula diketahui bahwa jenis bambu dan perekat sangat mentukan tinggi rendahnya nilai tersebut. Dalam konteks penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kombinasi dari jenis bambu tali dan perekat PVAc akan menghasilkan bambu lapis dengan keteguhan patah terendah, sedangkan kombinasi antara bambu betung dan perekat MDI akan menghasilkan bambu lapis yang mempunyai keteguhan patah terbaik. 2.3. Kekakuan (MOE) bambu lapis Nilai kekakuan (MOE) sejajar serat permukaan bambu lapis yang diteliti berkisar antara 17.453 kgf/cm2 dan 62.578kgf/ cm2. Nilai terendah terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu tali yang direkat dengan perekat UF, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada bambu lapis yang dibuat dari bambu betung dan perekat MDI. Nilai keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan
80 bambu lapis menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan nilai sejajar seratnya, dengan kisaran nilai antara 425 kgf/cm2 dan
1.132 kgf/cm2.
Perbandingan antara nilai kekakuan tegak lurus serat bambu lapis dan sejajar serat berkisar antara 69,61 % dan 76,97 %. NIlai keteguhan rekat bambu lapis selengkapnya tercantum pada Tabel 4.17. Tabel 4.17. Kekakuan (MOE) bambu lapis Nilai rata-rata kekakuan (MOE) Jenis bambu dan jenis perekat T MDI A MDI B MDI T PF A PF B PF T MF A MF B MF T UF A UF B UF T PVAc A PVAc B PVAc
bambu lapis (kgf/cm2) Sejajar serat permukaan (a) Tegak lurus serat permukaan (b) 48348 (3654) 33654 (3022) 53245 (5436) 37342 (4023) 62578 (5534) 46872 (4236) 42386 (3934) 29542 (3062) 46342 (4432) 32543 (3120) 56635 (4932) 40348 (4287) 32765 (3067) 23327 (2054) 35245 (3488) 24673 (2541) 56763 (4944) 43098 (4764) 27786 (2543) 19342 (1834) 31872 (2984) 22547 (2432) 42983 (4032) 30563 (2953) 17453 (1534) 12547 (1156) 19329 (1834) 14064 (1398) 27853 (2523) 21439 (1845)
Rasio a/b (%) 69,61 70,13 74,82 69,70 70,23 71,24 71,19 70,00 75,92 69,61 70,74 71,10 71,89 72,76 76,97
Keterangan : T = tali, A = andong, B = betung, MDI = methylene diphenyl isocianate, PF = phenol formaldehyde, MF = melamine formaldehyde, UF = urea formaldehyde, PVAc = poly vinyl acetate. Angka dalam kurung adalah nilai simpangan baku. Angka dalam kurung adalah nilai simpangan baku.
Berdasarkan analisis sidik ragam yang disajikan pada Tabel 4.18 dan Tabel 4.19, jenis bambu sangat berpengaruh terhadap keteguhan patah bambu lapis, dan perekat juga berpengaruh terhadap keteguhan patah bambu lapis meskipun tidak sebesar pengaruh jenis bambu; begitu pula interaksi antara jenis bambu dan perekat berpengaruh terhadap keteguhan patah bambu lapis . Tabel 4.18 Analisis sidik ragam keteguhan patah sejajar serat permukaan bambu lapis. Sumber Keragaman DB JK KT F-hit Sig.
81 Bambu
2
2,998E9
1,499 E9
9,14
<,0001* *
Perekat
4
2,790E9
6,976 E8
4,36
0,0039*
Bambu*Perekat
8
5,143E9
6,429 E8
3,92
<,0049*
Kesalahan percobaan
30
4,920E9
1,640E8
Total terkoreksi
44
2,778E11
Tabel 4.19 Analisis sidik ragam keteguhan patah sejajar serat permukaan bambu lapis. Sumber Keragaman DB JK KT F-hit Sig. Bambu
2
1,573E9
1,254E9
8,12
<,0001* *
Perekat
4
2,569E9
6,423E8
4,16
0,0039*
Bambu*Perekat
8
4,446E9
5,558E8
3,60
<,0049*
Kesalahan percobaan
30
4,632E9
1,544 E8
Total terkoreksi
44
2,443E11
Berdasarkan analisis sidik ragam yang disajikan pada Tabel 4.18 dan Tabel 4.19, jenis bambu sangat berpengaruh terhadap keteguhan patah bambu lapis, dan perekat juga berpengaruh terhadap keteguhan patah bambu lapis meskipun tidak sebesar pengaruh jenis bambu; begitu pula interaksi antara jenis bambu dan perekat berpengaruh terhadap keteguhan patah bambu lapis . Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bambu tali berbeda dengan bambu andong dan betung, begitu juga antara bambu andong dan bambu betung menunjukkan perbedaan. Perekat PF dan MF tidak berbeda satu dengan lainnya, tapi kedua perekat ini berbeda, baik dengan MDI maupun UF dan PVAC. Dalam kaitannya dengan keteguhan patah bambu lapis, urutan perekat terbaik berturutturut adalah MDI, PF,MF, UF, dan PVAc. Jenis bambu yang memberikan nilai terbesar pada keteguhan rekat adalah bambu betung, diikuti oleh bambu andong, dan yang terkecil adalah bambu tali. Bambu betung sebagai bahan baku mempunyai berat jenis ataupun kerapatan terbesar dibandingkan dengan bambu andong dan bambu tali. Dengan berat jenis
82 yang besar maka sangat logis jika bambu betung mempunyai kekuatan mekanis yang lebih baik daripada kedua jenis bambu lainnyu seperti dinyatakan oleh Bowyer et al. (2003) bahwa kerapatan yang tinggi akan menghasilan kekuatan yang tinggi pula. Dalam konteks penelitian ini, kombinasi dari jenis bambu tali dan perekat PVAc akan menghasilkan bambu lapis dengan kekakuan terendah, sedangkan kombinasi antara bambu betung dan perekat MDI akan menghasilkan bambu lapis yang mempunyai kekakuan terbaik Kesimpulan Pengembangan dimensi pada bambu lapis dari yang terbesar sampai yang terkecil berturut turut adalah bagian tebal, lebar, dan panjang, sedangkan urutan pengembangan dimensi pada kayu maupun kayu lapis dari yang terbesar sampai yang terkecil berturut-turut tangensial (lebar), radial (tebal), dan longitudinal (panjang). Bambu lapis yang menghasilkan sifat fisis dan mekanis terbaik diperoleh dari bahan baku bambu betung dengan menggunakan perekat MDI. Hasil yang hampir sama diperoleh dengan menggunakan perekat MDI atau PF dari bahan baku bambu tali.
V. PENINGKATAN KUALITAS BAMBU LAPIS A. PENINGKATAN KEKUATAN BAMBU LAPIS Pendahuluan Bambu banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan potensial dikembangkan untuk menjadi sumber pemasok bahan baku industri. Menurut Bamboo Network (2002), pemanfaatan bambu selama ini sangat beragam dan dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori, yaitu sebagai bahan baku untuk keperluan sandang, papan, pangan, estetika, budaya, kesehatan,
dan
sebagainya. Beberapa keunggulan batang bambu diantaranya kuat, keras, ringan, mudah didapat, cepat tumbuh, mudah dalam pengerjaan, dan mempunyai sifat mekanis yang lebih baik dibanding kayu pada arah sejajar serat. Melihat keunggulankeunggulan tersebut memungkinkan berkembangnya produk-produk panel bambu sebagai wujud upaya diversifikasi produk panel kayu. Bentuk-bentuk diversifikasi bambu menghasilkan papan tiruan yang beragam bentuk antara lain papan partikel, papan serat, papan laminasi bambu ataupun bambu lapis (ply bamboo)(Bamboo Network, 2002; Sukadaryati, 2006; dan Kackdir.blogspot.com., 2012). Salah satu permasalahan dalam pembuatan bambu lapis yaitu keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan bambu lapis yang nilainya lebih rendah dibandingkan
dengan
nilai
keteguhan
rekat
sejajar
serat
permukaan
(Sulastiningsih dan Sutigno,1994; Kliwon et al.,1996; Kliwon, 1997; Nurfaridah, 2002; Kurniawan, 2002; Sulastiningsih et al., 2005; dan Nugraha, 2006; Suryana et al., 2009; Suryana et al., 2010). Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan nilai keteguhan rekat tegak lurus permukaan tersebut, yaitu dengan memperkuat lembaran bilah tipis bambu ke arah tegak lurus serat menggunakan jahitan dan lakban kertas. Dengan upaya tersebut diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut sekaligus menghasilkan produk bambu lapis yang mempunyai keteguhan rekat yang tinggi. Bahan dan Metode Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa bambu tali (Gigantochoa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz)), bambu andong (Gigantochloa verticillata
84 (Willd.) Munro), dan bambu betung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) yang dipanen dari wilayah Kecamatan Leuwiliang, Bogor. Ketiga jenis bambu tersebut dipilih yang sudah masak tebang. Perekat yang digunakan meliputi tiga jenis perekat, yaitu urea formaldehyde (UF), phenol formaldehyde (PF), dan poly vinyl acetate (PVAc). Alat yang digunakan meliputi: gergaji tangan, golok, cutter, amplas, mesin serut; alat tulis, penggaris, caliper, oven, desikator, alat kempa, timbangan, kape; dan Universal Testing Machine (UTM) merk Instron. Persiapan bahan baku Batang bambu terlebih dahulu dipotong-potong sepanjang 40 cm tanpa menyertakan buku bambu, selanjutnya dibuat menjadi bilah dengan cara dibelah. Bilah bambu kemudian diserut menggunakan alat serut dengan lebar 2 cm serta ketebalan yang berbeda, yaitu sebesar 1 mm, dan 2 mm. Ketebalan bilah bambu sebesar 2 mm digunakan sebagai lapisan inti (core) bambu lapis, sedangkan ketebalan 1 mm
digunakan sebagai lapisan muka dan belakang (face-back)
bambu lapis. Penyambungan bilah bambu menjadi lembaran venir Bilah tipis bambu yang dijadikan lembaran venir diberi perlakuan berupa teknik penyambungan sebagai berikut: 1) kontrol (tanpa dijahit maupun dilakban), 2) dijahit mengunakan benang nilon dengan jarak antar jahitan 5 cm, 10 cm, dan15 cm, 3) dilakban dengan jarak antar lakban 5 cm, 10 cm, dan 15 cm. Lakban berupa lakban kertas dengan lebar 1 cm dan ketebalan 0,2 mm. Pembuatan dan pengujian bambu lapis Lembaran bambu lapis dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 0,4 cm (tiga lapis) dengan berat labur sebesar 200 g/m2. Suhu kempa untuk perekat UF adalah 110 o
C, perekat PF sebesar 140oC, dan perekat PVAc pada suhu kamar. Pengempaan
panas dilakukan selama 5 menit, dengan tekanan kempa spesifik sebesar 15 kg/cm2. Khusus untuk kayu lapis yang mengunakan PVAc, dilakukan pengempaan dingin menggunakan klem selama 24 jam. Setelah proses pengempaan dilakukan, bambu lapis dikondisikan di ruangan selama 2 minggu. Pengujian bambu lapis mengacu kepada SNI 01-5008.7-1999, meliputi kerapatan, kadar air, keteguhan rekat sejajar serat permukaan, dan keteguhan rekat sejajar
85 lapisan inti. Pola pemotongan contoh uji pada setiap papan sama dengan Gambar 4.1 pada Bab IV. Prosedur pengujian. Prosedur pengujian dan cara penentuan kerapatan, kadar air, pengembangan dimensi, keteguhan rekat, serta keteguhan patah (MOR) dan kekakuan (MOE) bambu lapis sama dengan prosedur pengujian parameter tersebut pada Bab IV. Analisis data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Faktorial Acak Lengkap dengan 3 faktor, yaitu faktor A: jenis penguat sambungan (7 jenis), faktor B: jenis perekat (3 jenis), dan faktor C: jenis bambu (3 jenis) dengan ulangan sebanyak 3 kali. Model umum rancangannya untuk semua pengujian adalah sebagai berikut: Yijkl = μ + αi + βj + θk +(αβ)ij + (άθ)ik +(βθ)jk + εijkl Keterangan : i = 1, 2, 3, 4, 5,6,7 (jenis penguat sambungan : kontrol, dijahit dengan jarak 5 cm, dijahit dengan jarak 10 cm, dijahit dengan jarak 15 cm, dilakban dengan jarak 5 cm, dilakban dengan jarak 10 cm, dan dilakban dengan jarak 15 cm) j = 1, 2,3 ( jenis perekat: UF, PF, dan PVAc) k = 1, 2, 3 (jenis bambu: tali, andong, dan betung) l = 1,2,3 (banyaknya ulangan) Yijk
= Nilai respon pengamatan pada ulangan ke-l yang disebabkan oleh taraf k-i
faktor α, taraf ke-j faktor β, taraf ke k faktor θ.
μ
= Nilai rata-rata
αi
= Pengaruh jenis penguat sambungan
βj
= Pengaruh jenis perekat
θk
= Pengaruh jenis bambu
(αβ)ij
=
Pengaruh interaksi antara jenis penguat sambungan ke-i dan jenis perekat ke- j
αθ)ik
= Pengaruh interaksi antara jenis penguat sambungan ke- i dan jenis bambu ke-k
(βθ)jk
= Pengaruh interaksi antara jenis perekat ke- k dan jenis bambu ke – l
(αβθ)ijk = Pengaruh interaksi antara jenis penguat ke i, jenis perekat ke j, dan jenis bambu ke k
86 εijkl
= Kesalahan percobaan dari jenis bambu ke-i, jenis perekat ke-j, penguat sambungan ke - k dan ulangan pada taraf ke-l. Untuk mengetahui bambu lapis yang memperoleh pengaruh dari perlaukan
dibuat analisis keragaman (Anova) dengan kriteria sebagai beriku: Jiak F hitung < F tabel, maka Ho diterima atau perlakuan tidak memberikan pengaruh pada selang kepercayaan. Jika F hitung > F tabel, maka Ho ditolak atau perlakuan memberikan pengaruh pada suatu selang kepercayaan. Untuk mengetahui faktor mana yang berpengaruh maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan. Hasil dan Pembahasan 1.
Sifat fisis bambu lapis
1.2. Kerapatan. Nilai kerapatan bambu lapis berkisar antara 0,68 dan 0,83 g/cm3. Nilai kerapatan terendah terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu tali dengan perekat PVAc yang diberi perlakuan jahitan yang berjarak 10 cm dan 15 cm, sedangkan nilai kerapatan tertinggi terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu betung yang diberi perlakuan jahitan berjarak 15 cm dan lakban berjarak 5 cm. Data kerapatan bambu lapis selengkapnya disajikan pada Tabel 5.1, sedangkan analisis sidik ragam kerapatan bambu lapis dapat dilihat pada Tabel 5.2.
87
Tabel 5.1 Rata-rata nilai kerapatan bambu lapis berbahan baku bambu tali, andong, dan betung No. Perlakuan Nilai rata- rata (g/cm3) dan perekat
Tali
Andong
1
UF Kontrol
0,69 (0,02)
0,74 (0,02)
0.79 (0,03)
2
UF J5
0,72 (0.02)
0,73 (0,02)
0,82 (0,02)
3
UFJ10
0,69 (0,01)
0,72 (0,03)
0,80 (0,02)
4
UFJ15
0,69 (0,01)
0,72 (0,03)
0,78 (0,06)
5
UFL5
0,73 (0,01)
0,74 (0,02)
0,83 (0,01)
6
UFL10
0,70 (0,01)
0,75 (0,02)
0,79 (0,02)
7
UFL15
0.69 (0,01)
0,72 (0,02)
0,80 (0,02)
8
PF Kontrol
0,71 (0,03)
0,76 (0,02)
0,80 (0,02)
9
PFJ5
0,73 (0,01)
0,74 (0,02)
0,83 (0,01)
10
PFJ10
0,71 (0,01)
0,73 (0,02)
0,80 (0,03)
11
PFJ15
0,69 (0,02)
0,73 (0,02)
0,80 (0,03)
12
PFL5
0,73 (0,01)
0,74 (0,02)
0,82 (0,02)
13
PFL10
0,71 (0,02)
0,76 (0,02)
0,80 (0,02)
14
PFL15
0,71 (0,03)
0,72 (0,02)
0,80 (0,02)
15
PVAc Kontrol
0,68 (0,03)
0,74 (0,03)
0,78 (0,03)
16
PVAc J5
0,71 (0,02)
0,73 (0,02)
0,81 (0,02)
17
PVAc J10
0,68 (0,020
0,72 (0,02)
0,80 (0,02)
18
PVAc J15
0,68 (0,02)
0,73 (0,02)
0,78 (0,02)
19
PVAc L5
0,73 (0,01)
0,74 (0,01)
0,81 (0,01)
20
PVAc L10
0,69 (0,02)
0,75 (0,02)
0,79 (0,02)
21
PAc L15
0,69 (0,01)
0,72 (0,02)
0,79 (0,01)
Betung
Keterangan : UF= perekat UF, PF = perekat PF, PVAC = perekat PVAc, J5 = jahit berjarak 5 cm, J10 = jahit berjarak 10 cm, J15 = jahit berjarak 15 cm, L5 = lakban berjarak 5 cm,
88 L10 = lakban berjarak 10 cm, L15 = lakban berjarak 15 cm. Angka dalam kurung adalah simpangan baku.
Hasil uji sidik ragam seperti disajikan pada Tabel 5.4 menunjukkan bahwa kerapatan bambu lapis sangat dipengaruhi oleh jenis bambu, perlakuan dan jenis perekat. Jenis bambu yang digunakan secara alamiah mepunyai kerapatan yang berbeda. Bambu betung mempunyai kisaran kerapatan terbesar (0,66-0,86 g/cm3), diikuti oleh bambu andong (0,64 - 0,80 g/cm3), dan bambu tali (0,58-0,76) (Syafii, 1984 ; Krisdianto,dkk, 2006; Suryana dkk, 2009; Suryana dkk, 2010). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kerapatan bambu lapis berbahan baku bambu betung berbeda dengan bambu lapis berbahan baku bambu andong maupun bambu tali. Begitu juga kerapatan bambu lapis berbahan baku bambu andong berbeda dengan bambu tali.
Tabel 5.2. Analisis sidik ragam kerapatan bambu lapis Sumber Keragaman DB JK KT
F
Sig.
Perlakuan
6
0,02573122
0,00428854
10,18
<,0001 **
Perekat
2
0,00579788
0,00289894
6,88
0,0015 *
Bambu
2
0,30525185
0,15262593
36,39
<,0001 **
Perlakuan*Perekat
12
0,00317989
0,00026499
0,63
0,8141 tn
Perlakuan*Bambu
12
0,01490370
0,00124198
2,95
0,0012 **
4
0,00064974
0,00016243
0,39
0,8186 tn
24
0,00306138
0,00012756
0,30
0,9994 tn
Kesalahan percobaan
126
0,05306667
0,00042116
Total terkoreksi
188
0,41164233
Perekat*Bambu Perlakuan*Perekat*Bambu
Keterangan : DB = Derajat Bebas, JK = Jumlah Kuadrat, KT = KuadratTengah, * = nyata ** = sangat nyata, tn : tidak nyata ragam kerapatan bambu lapis.
Penggunaan lakban kertas dan jahitan diduga akan meningkatkan kerapatan bambu lapis yang dihasilkan. Penggunaan lakban kertas dan jahitan yang lebih rapat (berjarak 5 cm) akan meningkatkan kerapatan bambu lapis lebih tinggi daripada penggunaan lakban dan jahitan yang lebih jarang (berjarak 10 cm dan 15 cm) maupun kontrol . Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penggunaan lakban dan jahitan yang lebih rapat (5 cm) menghasilkan kerapatan bambu lapis
89 yang berbeda dengan bambu lapis yang menggunakan lakban dan jahitan yang lebih jarang (berjarak 10 cm dan 15 cm ) maupun kontrol. Begitu pula kerapatan bambu lapis yang menggunakan lakban dan jahitan berjarak 10 cm berbeda dengan bambu lapis yang menggunakan lakban dan jahitan Kerapatan bambu lapis akan dipengaruhi oleh berat jenis perekat yang digunakan. Perekat yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai berat jenis yang berbeda, yaitu perekat PF dengan kisaran BJ 1,22 - 1,25; perekat UF dengan kisaran BJ 1,10 - 1,20, dan perekat PVAc dengan kisaran BJ 1,03 - 1,10 ( Pizzi, 1994; Frihart, 2005; dan PAI, 2007). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bambu lapis yang menggunakan perekat PF mempunyai kerapatan yang berbeda dengan bambu lapis yang menggunakan perekat UF dan PVAc, sedangkan bambu lapis yang dibuat dengan perekat UF dan PVAc tidak menghasilkan perbedaan kerapatan. 1.2.
Kadar air Kadar air bambu lapis berkisar antara 7,00 % dan 10,25 %. Kadar air bambu
lapis terendah terdapat pada bambu lapis kontrol yang dibuat dari bambu tali dengan menggunakan perekat PF, sedang kadar air tertinggi terdapat pada bambu lapis berbahan baku bambu betung yang diberi perlakuan lakban berjarak 5 cm dengan menggunakan perekat PVAc. Data kadar air bambu lapis selengkapnya dan analisis sidik ragamnya disajikan pada Tabel 5.3 dan Tabel 5.4.
90
Tabel 5.3 Rata-rata kadar air bambu lapis berbahan baku bambu tali, andong, dan betung No.
Perlakuan dan perekat
Nilai rata- rata (%) Tali
Andong
Betung
1
UF Kontrol
7,54 (0,50)
7,94 (0,21)
8,21 (0,27)
2
UF J5
7,97 (0,14)
8,33 (0,16)
8,48 (0,19)
3
UFJ10
7,33 (0,17)
7,72 (0,20)
7,81 (0,17
4
UFJ15
7,80 (0,39)
7,61 (0,20)
7,27 (0,22
5
UFL5
7,90 (0,21)
8,02 (0,10)
9,07 (0,15
6
UFL10
7,66 (0,18)
8,49 (0,18)
8,39 (0,06
7
UFL15
7,43 (0,24)
8,41 (0,19)
8,28 (0,29
8
PF Kontrol
7,40 (0,17)
7,91 (0,31)
8,07 (0,07
9
PFJ5
7,47 (0,10)
7,76 (0,11)
8,43 (0,13
10
PFJ10
7,05 (0,11)
7,27 (0,04)
7,61 (0,12
11
PFJ15
7,33 (0,26)
7,53 (0,28)
7,00 (0,27
12
PFL5
7,73 (0,28)
8,25 (0,16)
9,05 (0,54
13
PFL10
7,16 (0,17)
7,72 (0,30)
8,38 (0,19
14
PFL15
7,18 (0,10)
7,48 (0,09)
7,41 (0,25
15
PVAc Kontrol
9,32 (0,21)
9,25 (0,53)
10,11 (0,12
)16
PVAc J5
10,25 (0,31)
9,36 (0,21)
10,43 (0,12
17
PVAc J10
9,79 (0,21)
9,92 (0,41)
10,53 (0,21
18
PVAc J15
9,25 (0,22)
9,51 (0,30)
10,10 (0,21
19
PVAc L5
10,07 (0,15)
10,24 (1,42)
11,05 (0,52)
20
PVAc L10
10,06 (0,54)
8,82 (1,02)
10,36 (0,24
21
PAc L15
9,76 (0,12)
9,82 (0,04)
9,71 (0,14
Keterangan : UF= perekat UF, PF = perekat PF, PVAC = perekat PVAc, J5 = jahit berjarak 5 cm, J10 = jahit berjarak 10 cm, J15 = jahit berjarak 15 cm, L5 =
91 lakban berjarak 5 cm, L10 = lakban berjarak 10 cm, L15 = lakban berjarak 15 cm. Angka dalam kurung adalah simpangan baku.
Tabel 5.4. Analisis sidik ragam kadar air bambu lapis Sumber Keragaman DB JK KT
F
Sig.
Perlakuan
6
11,0845471
1,8474245
16,99
<,0001**
Perekat
2
175,3374317
87,6687159
806,21
<,0001**
Bambu
2
13,0564222
6,5282111
60,03
<,0001**
Perlakuan*Perekat
12
4,3070720
0,3589227
3,30
0,0004**
Perlakuan*Bambu
12
3,6163481
0,3013623
2,77
0,0022
Perekat*Bambu
24
3,8023175
0,9505794
8,74
<,0001**
Perlakuan*Perekat*Bambu
126
4,8626899
0,2026121
1,86
0,0148tn
Kesalahan percobaan
126
13,7014000
0,1087413
Total terkoreksi
188
229,7682286
Keterangan : DB = Derajat Bebas, JK= Jumlah Kuadrat, KT = KuadratTengah, * = nyata
** : sangat nyata, tn : tidak nyata
Berdasarkan sidik ragam (anova), seperti dapat dilihat pada Tabel 5.4, ketiga jenis faktor yaitu perlakuan, jenis perekat, dan jenis bambu berpengaruh sangat nyata, artinya tinggi rendahnya kadar air bambu lapis sangat ditentukan oleh ketiga faktor tersebut. Berdasarkan Tabel 5.4 tersebut, faktor perekat paling berpengaruh terhadap kadar air bambu lapis yang ditunjukkan oleh nilai F hitungnya yang paling besar, yaitu 806,21 diikuti oleh faktor jenis bambu dan faktor jenis perlakuan. Bambu lapis yang direkat dengan perekat PF menunjukkan nilai kadar air yang terbaik, yaitu kadar air terendah; sedangkan bambu lapis yang direkat dengan perekat PVAc menunjukkan nilai kadar air terjelek, yaitu kadar air tertinggi. Hal ini mudah dipahami mengingat perekat PF menurut Pizzi (1994) dan Ruhendi (2007) adalah perekat yang tahan terhadap air, tahan terhadap kelembaban dan temperatur tinggi, tahan terhadap bakteri, jamur, rayap, dan mikroorganisme serta tahan terhadap bahan kimia seperti minyak, basa, dan bahan pengawet kayu; sedangkan perekat PVAc menurut Ruhendi (2007) lebih sensitif terhadap air, sehingga penggunaanya hanya untuk interior saja, kekuatan rekatnya menurun
92 cepat dengan adanya panas dan air serta sifat visco-elastisitasnya tidak baik, sehingga creep besar dan ketahan terhadap fatigue rendah. Jenis bambu juga akan berpengaruh terhadap kadar air, khususnya kadar air di bawah titik jenuh serat. Pada kondisi ini, tebal dan tipisnya dinding sel akan berpengaruh terhadap daya serap air. Bambu betung yang memiliki kerapatan paling besar diantara ketiga jenis bambu lainnya akan mempunyai dinding sel yang paling tebal sehingga berpotensi menyerap air dan kelembaban pada kondisi kadar air di bawah titik jenuh serat yang paling besar. Faktor perlakuan terutama lakban juga mempengaruhi tinggi rendahnya bambu lapis. Keberadaan lakban yang terbuat dari kertas akan berkontribusi terhadap penyerapan air dan kelembaban dalam bambu lapis, sehingga mudah dipahami
bahwa
perlakuan
dengan
menggunakan
lakban
kertas
akan
meningkatkan kadar air bambu lapis. Faktor lainnya yang menentukan tinggi rendahnya kadar air adalah faktor pengeringan dan lingkungan seperti yang dijelaskan oleh Bowyer et al (2003) yang menyatakan banyaknya air yang tetap tinggal di dalam dinding sel suatu produk akhir tergantung pada tingkat pengeringan selama pembuatan dan lingkungan tempat produk tersebut ditempatkan di kemudian hari. Secara keseluruhan, kadar air bambu lapis telah memenuhi standar SNI 01-5008.7-1999 dan JIS A 5980-2003 yang mensyaratkan kadar air masing-masing maksimal sebesar 14 % dan 13 %. 2. Sifat Mekanis Bambu Lapis 2.1.
Keteguhan rekat sejajar serat permukaan Nilai rataan keteguhan rekat sejajar serat permukaan bambu lapis berkisar
antara 7,09 dan 30,16 kgf/cm2. Nilai terendah terjadi pada bambu lapis kontrol yang berbahan baku bambu tali dengan menggunakan perekat PVAc, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu betung dengan menggunakan perekat PF dengan perlakuan berupa jahitan yang berjarak 5 cm. Data selengkapnya tentang keteguhan rekat sejajar serat permukaan bambu lapis sejajar serat disajikan pada Tabel 5.5. Berdasarkan Tabel 5.5 tersebut, nampak bahwa perlakuan berupa jahitan maupun pemberian lakban pada jarak 5 cm (sampel uji berkode belakang J5 dan L5) dapat meningkatkan nilai keteguhan rekat sejajar serat permukaan bambu
93 lapis. Analisis sidik ragam yang disajikan pada Tabel 5.6 menunjukkan bahwa perlakuan dan perekat dapat meningkatkan nilai keteguhan rekat sejajar serat permukaan bambu lapis, sedangkan faktor jenis bambu tidak menentukan nilai tersebut. Pada penelitian ini, perlakuan jahitan memberikan nilai keteguhan rekat yang lebih baik daripada pemberian lakban. Pemberian jahitan maupun lakban yang lebih rapat, ternyata memberikan nilai keteguhan rekat sejajar serat yang lebih baik dibanding pemberian perlakuan jahitan dan lakban yang lebih jarang. Dengan perkataan lain, dalam konteks peneltian ini, semakin kecil jarak jahitan maupun jarak lakban, akan memberikan nilai keteguhan rekat sejajar serat yang lebih tinggi. Meskipun perlakuan jahitan dan lakban dapat meningkatkan nilai keteguhan rekat bambu lapis, namun bahan penguat berupa jahitan mempunyai kecenderungan yang lebih baik dibandingkan dengan penguat berupa lakban. Hal tersebut disebabkan bahan penguat berupa jahitan berukuran lebih kecil daripada lakban, sehingga tidak akan menghalangi kontak antara permukaan lembaran yang direkat secara berarti.
94
Tabel 5.5 Rata-rata keteguhan rekat sejajar serat bambu lapis berbahan baku bambu tali, andong, dan betung No.
Perlakuan
Nilai rata- rata (%)
dan perekat
Tali
Andong
Betung
1
UF Kontrol
8,73 (0,33)
8,10 (0,71)
8,80 (0,40)
2
UF J5
24,40 (1,71)
25,20 (0,71)
25,12 (2,94)
3
UFJ10
17,27 (0,91)
18,25 (0,81)
17,42 (1,40)
4
UFJ15
15,35 (0,95)
16,12 (2,32)
16,02 (2,37)
5
UFL5
20,11 (0,84)
18,12 (2,66)
21,45 (2,84)
6
UFL10
16,20 (1,48)
17,15 (2,02)
17,21 (1,93)
7
UFL15
14,26 (0,89)
15,60 (2,18)
15,22 (2,10)
8
PF Kontrol
8,16 (0,64)
11,12 (2,02)
12,16 (2,42)
9
PFJ5
22.12 (0.95)
22.16 (2.01)
30.16 (1.96)
10
PFJ10
19,40 (1,11)
18,12 (2,02)
20,42 (2,24)
11
PFJ15
16,15 (1,02)
16,14 (2,01)
17,25 (1,99)
12
PFL5
22,16 (0,63)
21,40 (2,64)
24,14 (2,12)
13
PFL10
18,12 (0,89)
17,52 (2,23)
18,40 (2,32)
14
PFL15
16,18 (1,09)
16,20 (1,89)
16,81 (2,02)
15
PVAc Kontrol
7,09 (0,60)
9,20 (0,92)
8,16 (0,10)
16
PVAc J5
18,77 (0,83)
26,40 (2,70)
16,12 (1,75)
17
PVAc J10
15,22 (0,82)
14,20 (1,74)
15,14 (2,17)
18
PVAc J15
18,47 (1,15)
12,16 (1,96)
12,45 (2,26)
19
PVAc L5
12,60 (0,96)
18,20 (2,96)
11,60 (2,140
20
PVAc L10
10,14 (0,52)
16,40 (2,24)
8,90 (0,22)
21
PAc L15
11,66 (1,25)
15,70 (2,23)
7,45 (0,68)
Keterangan : UF= Urea Formaldehida , PF =Phenol Formaldehida, PVAc = Poly Vinyl Acetate, J5 = jahit berjarak 5 cm, J10 = jahit berjarak 10 cm, J15 = jahit berjarak 15 cm, L5 = lakban berjarak 5 cm, L10 = lakban berjarak 10 cm, L15 = lakban berjarak 15 cm. Angka dalam kurung adalah simpangan baku.
95 Berdasarkan data yang tercantum pada Tabel 5.7 tersebut, nilai keteguhan rekat sejajar serat umumnya telah memenuhi standar JIS A 5980- 2003 yang mensyaratkan keteguhan rekat bambu lapis sejajar serat permukaan sebesar 8,24 kgf/cm2, kecuali untuk bambu lapis kontrol berbahan baku bambu tali dan andong yang dibuat dengan menggunakan perekat UF dan PVAc. Jika mengacu pada standar SNI 01-5008.7-1999, maka semua contoh uji bambu lapis yang dibuat telah memenuhi standar yang hanya mensyaratkan keteguhan rekat bambu lapis sebesar 7,0 kgf/cm2. Tabel 5.6 Analisis sidik ragam keteguhan rekat sejajar serat permukaan bambu lapis Sumber
DB
JK
KT
F
Perlakuan
6
3564,313895
594,052316
91,00
<,0001 **
Perekat
2
829,611331
414,805666
63,54
<,0001 **
Bambu
2
14,935531
7,467766
1,14
0,3218 tn
Perlakuan*Perekat
12
221,969543
18,497462
2,83
0,0018 *
Perlakuan*Bambu
12
94,240743
7,853396
1,20
0,2881tn
4
278,358605
69,589651
10,66
<,0001**
24
385,881876
16,078412
2,46
0,0007**
Kesalahan percobaan
126
822,507067
6,527834
Total terkoreksi
188
6211,818592
Perekat*Bambu Perlakuan*Perekat*Bambu
Sig.
Keterangan : DB = Derajat Bebas, JK =Jumlah Kuadrat , KT : Kuadrat Tengah * =nyata ** : sangat nyata , tn : tidak nyata
2.2. Keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan Nilai rataan keteguhan rekat tegak lurus bambu lapis berkisar antara 8,32 sampai dengan 30,16 kgf/cm2. Nilai terendah terjadi pada bambu lapis kontrol yang berbahan baku bambu tali dengan menggunakan perekat PVAc, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu tali dan bambu andong yang masing-masing menggunakan perekat PF dengan perlakuan berupa jahitan yang berjarak 5 cm. Data selengkapnya tentang keteguhan rekat bambu lapis dan analisis sidik ragamnya berturut-turut disajikan pada Tabel 5.9 dan Tabel 5.10. Berdasarkan data pada Tabel 5.9 tersebut, nampak bahwa perlakuan berupa jahitan maupun pemberian lakban mempunyai kecenderungan memberikan nilai
96 keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan yang lebih baik daripada kontrol pada setiap jenis bambu dan jenis perekat. Analisi sidik ragam seperti tercantum pada Tabel 5.10 menegaskan bahwa perlakuan pemberian jahitan dan lakban serta jenis perekat ternyata dapat meningkatkan nilai keteguhan rekat tegak lurus serat bambu lapis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan jahitan memberikan nilai keteguhan rekat yang lebih baik daripada pemberian lakban. Pemberian jahitan maupun lakban yang lebih rapat, ternyata memberikan nilai keteguhan rekat tegak lurus serat yang lebih baik dibanding pemberian perlakuan jahitan dan lakban yang lebih jarang. Dengan perkataan lain, dalam konteks peneltian ini, semakin kecil jarak jahitan maupun jarak lakban, akan memberikan nilai keteguhan rekat tegak lurus serat yang lebih tinggi.
Hal ini mudah
dimengerti mengingat jahitan akan meningkatkan kekuatan tarik tegak lurus serat daripada lakban, karena kekuatan tarik benang (4 kgf) lebih besar daripada kekuatan tarik lakban (2 kgf).
97
Tabel 5.7 Rata-rata keteguhan rekat tegak lurus serat bambu lapis berbahan baku bambu tali, andong, dan betung No.
Perlakuan dan perekat
Nilai rata- rata (%) Tali
Andong
Betung
9,10 (0,92)
8,22 (0,77)
8,46 (0,16)
1
UF Kontrol
2
UF J5
26,25 (2.98)
24,16 (2,10)
24,48 (3,03)
3
UFJ10
16,40 (1,99)
14,26 (1,96)
16,22 (1,81)
4
UFJ15
18,16 (2,02)
14,12 (2,77)
14,65 (2,19)
5
UFL5
14,40 (2,23)
12,48 (2,11)
13,72 (2,11)
6
UFL10
13,20 (1,09)
11,65 (2,29)
12,67 (2,03)
7
UFL15
11,16 (0,92)
10,72 (2,02)
10,82 (1,48)
8
PF Kontrol
12,14 (1,74)
12,14 (2,12)
14,72 (2,02)
9
PFJ5
30,00 (3,31)
30,00 (3,06)
30,16 ( 2,68)
10
PFJ10
20,16 (1,71)
20,16 (1,73)
22,14 (1,89)
11
PFJ15
16,44 (2,10)
16,44 (2,64)
17,16 (1,86)
12
PFL5
21,25 (1,32)
21,25 (2,41)
24,16 (1,96)
13
PFL10
18,22 (0,92)
18,22 (2,79)
18,22 (2,94)
14
PFL15
15,60 (1,21)
15,60 (2,30)
16,81 (2,02)
15
PVAc Kontrol
8,32 (0,81)
8,32 (1,32)
9,40 (0,97)
16
PVAc J5
21,26 (3,15)
21,26 (1,96)
18,22 (2,04)
17
PVAc J10
16,22 (0,82)
16,22 (1,17)
15,16 (2,11)
18
PVAc J15
10,16 (0,86)
10,16 (0,97)
12,40 (2,18)
19
PVAc L5
18,12 (0,83)
18,12 (2,09)
10,22 (2,09)
20
PVAc L10
14,72 (1,18)
14,72 (2,30)
8,40 (1,28)
21
PAc L15
12,65 (1,11)
12,65 (2,18)
7,60 (1,00)
Keterangan : UF= Urea Formaldehida , PF =Phenol Formaldehida, PVAc = Poly Vinyl Acetate, J5 = jahit berjarak 5 cm, J10 = jahit berjarak 10 cm, J15 = jahit berjarak 15 cm, L5 = lakban berjarak 5 cm, L10 = lakban berjarak 10 cm,
98 L15 = lakban berjarak 15 cm. Angka dalam kurung adalah simpangan baku.
Nilai keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan untuk semua contoh uji telah memenuhi persyaratan standar baik SNI 01-5008.7-1999 maupun JIS 2003, yang masing-masing mensyaratkan nilai keteguhan rekat tegak lurus serat sebesar 7,0 kgf/cm2 dan 8,24 kgf/cm2. Nilai keteguhan rekat tegak lurus serat merupkan indikator untuk keteguhan tarik tegak lurus serat bambu lapis. Semakin tinggi nilai keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan, maka semakin tinggi pula nilai keteguhan tarik tegak lurus serat permukaan bambu lapis tersebut.
Tabel 5.8. Analisis sidik ragam keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan bambu lapis Sumber Keragaman DB JK KT F Sig. Perlakuan
6
4175,402346
695,900391
81,38
<,0001**
Perekat
2 1.322,351141
66,175570
77,32
<,0001**
Bambu
2
21,288560
10,644280
1,24
0,2915 tn
Perlakuan*Perekat
12
241,290978
20,107531
2.35
0.0093 tn
Perlakuan*Bambu
12
77,443225
6,453602
0,75
0,6954 tn
4
20,042672
50,510608
5,91
0,0002 **
24
174.804765
7,283532
0,85
0,6650 tn
Kesalahan percobaan
126 1.077,396067
8,550762
Total terkoreksi
188 7.292,019153
Perekat*Bambu Perlakuan*Perekat*Bambu
Keterangan : DB = Derajat Bebas, JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, * = nyata ** : sangat nyata, tn : tidak nyata
Selama ini, salah satu kelemahan bambu lapis adalah nilai keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai keteguhan tarik sejajar serat permukaannya, yang nilainya berkisar 69 % - 76 % dari nilai keteguhan sejajar serat permukaan, seperti ditunjukkan oleh hasil penelitian yang diuraikan pada Bab IV mengenai Sifat-sifat Dasar Bambu Lapis, dan hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Kliwon et al (1996), Krisdianto et al (2006), Tamolang et al (1980), Lestari (2012), Sembiring (2012), dan Iriayanto (2012). Dari hasil penelitian ini dapat ditunjukkan bahwa perlakuan berupa jahitan dan pemberian lakban dapat meningkatkan nilai keteguhan rekat
99 bambu lapis tegak lurus permukaan secara signifikan, yaitu mencapai sekitar 90% -100 % dari nilai keteguhan rekat sejajar serat permukaan. Kesimpulan Perlakuan jahitan dan lakban meningkatkan keteguhan rekat bambu lapis, baik pada arah sejajar serat maupun pada arah tegak lurus serat tanpa menurunkan sifat fisisnya. Perlakuan jahitan memberikan peningkatan sifat keteguhan rekat yang lebih baik dibanding perlakuan lakban, baik pada arah sejajar serat maupun arah tegak lurus serat. Bambu lapis terbaik dihasilkan dari bambu betung dengan perlakuan jahitan dengan jarak antar jahitan sebesar 5 cm dengan menggunakan perekat PF. Bambu lapis yang dihasilkan dari penelitian ini secara umum telah memenuhi bahkan melampau persyaratan standar
baik SNI 01-5008.7-1999
maupun standar JIS A 5980- 2003.
B. PENINGKATAN KEAWETAN BAMBU LAPIS Pendahuluan Usaha pengawetan bambu secara tradisional sudah dikenal oleh masyarakat pedesaan. Pengawetan itu dilakukan dengan cara merendamnya di dalam air mengalir, air tergenang, lumpur atau di air laut dan pengasapan. Selain itu juga sering ditemukan cara pengawetan dengan pelaburan kapur dan kotoran sapi pada gedek dan bilik bambu (Krisdianto et al.,2006). Lebih lanjut Krisdianto et al.(2006) melaporkan bahwa penelitian pengawetan bambu dengan menggunakan bahan kimia disertai metode yang tepat dan efisien terus dilakukan. Pengawetan bambu mempunyai tujuan untuk mencegah serangan jamur (pewarna dan pelapuk) maupun serangga (bubuk kering,
rayap
kayu
kering
dan
rayap
tanah).
Beberapa
pengrajin
meubel bambu telah melaksanakan pengawetan dengan menggunakan boraks, campuran kapur barus dengan minyak tanah, atau pengasapan dengan belerang. Namun sejauh ini belum diketahui efektifitas bahan-bahan kimia yang digunakan dan metode pengawetan yang dilaksanakan. Pengembangan metode pengawetan telah dilaksanakan, diantaranya dengan metode Boucheri untuk pengawetan bambu segar yang telah diteliti oleh Permadi
100 danSumarni (1995). Bahan bambu yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah bambu andong
(Gigantochloa
verticillata Munro)
dan bambu tali
(Giganto-chloa apus Kurz.), dengan bahan pengawet borax (Na2B4O7.10H2O) konsentrasi 5%. Pengawetan dengan metode Boucheri memberikan bahan pengawet pada bagian bawah batang bambu dan tidak memotong daun dan rantingnya, agar proses asimilasi dan penyerapan bahan makanan tetap berlangsung (Krisdianto et al., 2006). Suryana et al. (2009) telah berhasil membuat bambu lapis yang memiliki sifat fisis mekanis yang cukup baik ditinjau dari sifat fisis dan mekanis produk yang dihasilkan, namun pada sifat keawetan bambu lapis masih perlu dilakukan perbaikan, sehingga pada penelitian ini akan dilakukan beberapa modifikasi proses pengawetan yang efektif dan ramah lingkungan. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa bambu tali (Gigantochoa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz)), bambu andong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro), dan bambu betung (Dendrocalamus asper(Schult.f.)Backer ex Heyne) yang akan dipanen dari wilayah Kecamatan Leuwiliang, Bogor. Ketiga jenis bambu tersebut adalah bambu yang sudah masak tebang. Perekat yang digunakan meliputi 4 jenis perekat yang sering digunakan, yaitu poly vinyl acetate (PVAc), urea formaldehida (UF), isocyanate (DMI), dan melamine formaldehida (MF). Alat yang digunakan terdiri atas alat penyiapan bahan meliputi: gergaji tangan, golok, cutter, amplas, mesin serut; alat pembuatan panel bambu meliputi: alat tulis, penggaris, caliper, oven, desikator, alat kempa, timbangan, kape; serta alat pengujian panel bambu berupa alat uji Universal Testing Machine (UTM) merk Instron. Persiapan Bahan Batang bambu terlebih dahulu dipotong-potong sepanjang 40 cm tanpa menyertakan buku bambu, kemudian selanjutnya dibuat menjadi bilah dengan cara dibelah. Bilah bambu kemudian diserut menggunakan alat serut dengan lebar 2 cm dengan ketebalan yang berbeda, yaitu sebesar 1 mm, dan 2 mm. Ketebalan
101 bilah bambu sebesar 2 mm digunakan sebagai lapisan inti (core) panel bambu, sedangkan ketebalan 1 mm digunakan sebagai lapisan muka dan belakang (faceback) panel bambu. Bilah bambu hasil serutan dibagi atas empat kelompok yang diberi perlakuan tambahan, yaitu : a. Kelompok bilah bambu I direndam dalam air mengalir selama 2 minggu b. .Kelompok bilah bambu II direbus dalam air mendidih selama 2 jam. c. Kelompok bilah bambu III direbus dalam air kapur (CaCO2) selama 2 jam. d. Kelompok bilah bambu IV tanpa perlakuan (kontrol). Perlakuan tambahan terhadap bilah bambu diberikan dengan tujuan untuk mengurangi kadar pati dalam bambu agar tidak mudah diserang oleh serangga perusak. Setelah proses perlakuan tambahan diberikan, bilah bambu kemudian dioven pada suhu 60- 80 °C hingga mencapai kadar air 8-10%. Pembentukan Lembaran Bilah bambu serutan yang telah dikeringkan disusun sedemikian rupa menurut ketebalannya masing-masing sehingga ukuran 40 x 40 cm. Susunan bilah bambu tersebut kemudian disatukan dengan cara merekat kedua ujungnya menggunakan lakban sehingga terbentuk suatu lembaran bilah bambu. Pola rekatan bilah bambu dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Gambar 5.1. Pola rekatan lembaran bilah bambu Pembuatan dan Pengujian Bambu Lapis Pembuatan dan pengujian bambu lapis Lembaran bambu lapis dibuat tiga lapis (tripleks) berukuran 40 cm x 40 cm x 0,4 cm dengan berat labur sebesar 200 g/m2. Suhu kempa untuk perekat UF
102 adalah 110 oC, perekat MDI dan MF sebesar 140oC, dan perekat PVAc pada suhu kamar. Pengempaan panas dilakukan selama 5 menit, dengan tekanan kempa spesifik sebesar 15 kg/cm2. Khusus untuk kayu lapis yang mengunakan PVAc, dilakukan pengempaan dingin menggunakan klem selama 24 jam. Setelah proses pengempaan dilakukan, bambu lapis dikondisikan di ruangan selama 2 minggu. Pengujian bambu lapis mengacu kepada SNI 01-5008.7-1999, meliputi kerapatan, kadar air, stabilitas dimensi, keteguhan rekat, keteguhan patah (MOR), dan keteguhan lentur (MOE). Analisis kuantitatif perubahan komponen kimia bambu Tahapan penelitian ini dirancang untuk menganalisis perubahan komponen kimia yang terjadi akibat perlakuan perendaman dalam air sungai, perebusan dalam air, dan perebusan dalam air kapur 5%. Komponen yang dianalisis meliputi komponen makro berupa selulosa, hemiselulosa, dan lignin, serta komponen mikro berupa zat ekstraktif. Persiapan bahan untuk analisis Ukuran partikel bahan baku bambu untuk analisi kimia disesuaikan dengan standar TAPPI yaitu lolos saringan 40 mesh dan tertahan pada saringan 60 mesh. Pengambilan sampel dan persiapan bahan untuk analisis merujuk pada TAPPI T 257 om-85 tentang “Sampling and Preparing Wood for Analisis”. Bahan yang dianalisis tersebut terlebih dahulu ditentukan kadar airnya dengan merujuk pada standar TAPPI T 264 om-88 tentang “Preparation of Wood for Chemical Analysis “ Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin (TAPPI T207 om-93) Sebanyak 2,0 ± 0,1 g sampel bambu ditempatkan ke dalam gelas piala 400 ml dan dengan perlahan ditambahkan 300 ml air destilata. Selanjutnya diekstraksi pada suhu 23 ± 2oC selama 48 jam. Sampel kemudian dipindahkan ke dalam gelas filter dan dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu 105 ± 3oC. Sampel dicuci dengan 200 ml air destilata dingin dan kemudian dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu 105 ± 3oC, setelah itu didinginkan dan ditimbang. Kadar Zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin dihitung dengan persamaan :
103 Keterangan: A = Berat awal serbuk kering (g) B = Berat akhir serbuk kering(g) Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air panas (TAPPI T 207 0m-93) Sebanyak 2,0 ± 0,1 g sampel ditempatkan dalam erlemeyer 250 ml, lalu ditambahkan dengan 100 ml air destilata panas dan selanjutnya ditempatkan dalam water bath. Sampel dipanaskan selama 3 jam dengan permukaan air dalam water bath di atas permukaan air dalam erlemeyer. Selanjutnya sampel dipindahkan ke dalam glass filteri yang telah dikeringkan pada suhu 105 ± 3oC hingga beratnya konstan. Sampel kemudian dicuci dengan 200 ml air destilata dingin dan dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu 105 ± 3oC. Perhitungan kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air panas sama dengan persamaan yang digunakan dalam perhitungan kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin. Untuk mengetahui ada tidaknya lignin berberat molekul rendah yang terlarut dalam air panas ini, maka dilakukan pula pengamatan dengan spektofotometer UV. Cara penentuan lignin ini diadopsi dari penentuan lignin terlarut asam berdasarkan TAPPI T 250. Air panas yang digunakan untuk melarutkan ekstraktif diambil sebanyak 15 ml kemudian digenapkan volumenya menjadi 1000 ml. Dari larutan tersebut diambil sebanyak 15 ml untuk diuji dengan spektofotometer UV. Sebagai larutan standar, sampel blanko dibuat dari 5 ml asam sulfat yang digenapkan volumenya menjadi 1000 ml dan juga diambil sampel uji sebanyak 15 ml. Identifikasi lignin dilakukan pada panjang gelombang 205 nm dan koefisien adsorpsi 110 L g-1 cm -1. Kadar lignin yang larut dalam air panas dihitung dengan rumus: Konsentrasi lignin (C)
=
Kadar lignin terlarut (KL)
=
Keterangan: C
= konsentrasi filtrat lignin dalam air panas (g/l)
V
= volume total filtrat (ml)
A
= nilai absorban pada panjang gelombang 205 nm
104 Df
= faktor pengenceran
KL
= kadar lignin dalam air panas
BKT
= berat kering tanur serbuk bambu dan kayu
Kelarutan bambu dan kayu dalam natrium hidroksida 1% (TAPPI T 212 om93) Larutan alkali panas digunakan untuk mengekstrak karbohidrat berbobot molekul rendah terutama yang mengandung hemiselulosa dan selulosa yang terdegradasi dalam sampel. Natrium hidroksida 1% (0,25 N) yang digunakan sebagai pelarut dibuat dengan cara melarutkan 10,0 g NaOH padatan dalam air dan selanjutnya digenapkan menjadi 1000 ml. Asam asetat (CH3COOH) 10 %, dibuat dengan cara mengencerkan 100 ml asam asetat glasial dengan air hingga 1000 ml. Pengujian kelarutan dalam natrium hidroksida dilakukan dengan cara menimbang sampel sebanyak 2,0 ± 0,1 g dan menempatkannya dalam gelas piala 200 ml. Selanjutnya ditambahkan dengan 100 ± 1 ml larutan NaOH 1% dan diaduk dengan pengaduk kaca. Gelas piala ditutup dengan gelas arloji dan ditempatkan dalam water bath dipertahankan agar tetap berada di atas permukaan larutan dalam gelas piala. Larutan diaduk dengan pengaduk kaca selama masingmasing 5 detik setelah pemanasan 10, 15, dan 25 menit. Setelah 60 menit, sampel dipindahkan ke dalam glass filter dan selanjutnya dicuci dengan 100 ml air panas. Kemudian ditambahkan dengan 25 ml asam asetat 10% dan sampel dibiarkan terendam selama 1 menit sebelum larutan asam asetat tersebut dihilangkan. Tahap ini diulangi dengan 25 ml lauratan asam asetat 10 % yang kedua. Selanjutnya sampel dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Glass filter dikeringkan dengan sampel dalam oven pada suhu 105 ± 3o C hingga beratnya konstan, selanjutnya didinginkan dan ditimbang beratnya. Perhitungan kadar zat ekstratktif yang terlarut dalam natrium hidroksida 1 % sama dengan persamaan yang digunakan dalam perhitungan kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin. Penentuan holoselulosa (TAPPI 9 m-54) Sampel bambu bebas ekstraktif ekuivalien 2,0 g berat kering ditempatkan dalam erlenmeyer 250 ml. Sampel uji kemudian ditambahkan dengan 100 ml air
105 destilata, 1 g natrium klorit (NaClO2) dan 1 ml asam asetat glasial (CH3COOH). Sampel kemudian dipanaskan dalam water bath pada suhu 80o C selama 5 jam. Natrium klorit sebanyak 1,0 g dan asam asetat sebanyak 0,2 ml ditambahkan ke dalam contoh uji setiap interval pemanasan 1 jam, penambahan dilakukan sebanyak 4 kali. Sampel uji kemudian disaring dengan menggunakan glass filter, selanjutnya dicuci dengan menggunakan air panas. Sebanyak 25 ml asam asetat 10% ditambahkan ke dalam sampel uji, lalu dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Sampel dioven pada suhu 105 ± 3o C hingga beratnya konstan didinginkan dan ditimbang beratnya. Kadar Holoselulosa dihitung dengan rumus:
Holoselulosa (%) = (A/B) x 100% Keterangan: A = berat holoselulosa (g) B = BKT bebas ekstraktif (g) Penentuan selulosa (TAPPI 17-m-55) Selulosa dipisahkan dari holoselulosa dengan cara melarutkan hemiselulosa. Sebanyak 2,5 g serbuk bambu bebas ekstraktif ditempatkan dalam erlenmeyer 300 ml. Selanjutnya ditambahkan 125 ml larutan asam nitrat (HNO3) 3,5 % ke dalam sampel uji dan selanjutnya dilakukan pemanasan dalam water bath selama 12 jam pada suhu 80 oC. Setelah pemanasan, sampel uji disaring dengan air destilata hingga tidak berwarna dan kemudian dikeringudarakan. Sampel dipindahkan ke dalam erlenmeyer kembali lalu ditambahkan 125 ml larutan campuran NaOH dan Na2SO3 dan dilakukan pemanasan selama 2 jam pada suhu 50 oC. Sampel uji disaring dengan cawan saring dan selanjutnya dicuci dengan air destilata hingga filtrat tidak berwarna. Sebanyak 50 ml larutan natrium klorit 10% ditambahkan dan dilakukan pencucian dengan menggunakan air hingga diperoleh endapan berwarna putih. Selanjutnya sebanyak 100 ml asam asetat 10% ditambahkan ke dalam contoh uji lalu dicuci hingga bebas asam. Sampel uji kemudian dioven pada suhu 105 ± 3o C hingga beratnya konstan. Kadar selulosa dihitung dengan rumus: Selulosa (%) = (A/B) x 100 % Keterangan: A = berat selulosa (g)
106 B = BKT bebas ekstraktif (g) Penentuan kadar hemiselulosa (TAPPI 223cm-84) Kadar hemiselulosa diperoleh dengan mengurangi kadar holoselulosa dengan kadar selulosa dengan menggunakan rumus : Hemiselulolsa (%) = (A-B) x 100% Keterangan: A = Kadar holoselulosa (%) B = Kadar selulosa (%) Penentuan kadar lignin (TAPPI T 203 os-74) Sebanyak 1,0 g serbuk bambu atau kayu bebas ekstraktif dimasukan ke dalam gelas ukur 100 ml, lalu ditambahkan 15 ml H2S04 72% kemudian diaduk rata. Gelas ukur ditempatkan ke dalam nampan yang di sekelilingnya telah diberi es agar suhunya berada pada kisaran 15 – 20o C, lalu diaduk setiap 15 menit selama 2 jam. Larutan kemudian dipindahkan ke dalam erlenmeyer 1000 ml lalu ditambahkan air destilata yang telah dipanaskan sampat tanda tera, kemudian dipanaskan dalam water bath pada suhu ± 80o C selamat 4 jam. Lignin kemudian disaring dengan kertas saring yang telah diketahui BKT-nya, lalu dicuci dengan air destilata sampai bebas asam. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105o C sampai beratnya konstan lalu ditimbang. Kadar lignin dihitung dengan rumus: Lignin (%) = (A/B) x 100% Keterangan: A = Berat lignin (g) B = BKT bebas ekstraktif (g) Penentuan kadar abu (TAPPI T 211 om-93) Abu menunjukan kandungan bahan anorganik dalam bambu atau kayu yang merupakan sisa setelah pembakaran bahan organik. Sebelum pengukuran kadar abu, kadar air sampel ditentukan terlebih dahulu dengan merujuk pada suhu 525 ± 25o C selama 30 – 60 menit. Setelah pemanasan, cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Sampel uji ekuivalen 1,0 g kering oven
107 dipindahkan ke dalam cawan abul. Selanjutnya sampel uji dipanaskan pada suhu 100o C, lalu suhunya ditinkatkan hingga mencapai 525o C secara bertahap sehingga terjadi karbonasi tanpa pembakaran. Suhu pengabuan diatur sekitar 525 ± 25o C. Pembakaran selesai jika partikel hitam telah hilang, lalu cwan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pembakaran dan penimbangan diulangi hingga berat abu konstan. Abu (%) = (A/B) x 100% Keterangan : A = berat abu (g) B = BKT bebas ekstraktif (g)
Pengujian Ketahanan Serangan Rayap Pengujian terhadap rayap tanah menggunakan standar JIS yang telah dimodifikasi, yaitu wadah pengujian diganti dengan pipa pralon yang bagian bawahnya ditutup dengan bahan penambal gigi. Dalam pengujian ini ditambahkan perlakuan kontrol, yaitu contoh uji dari bilah bambu, tali, andong, dan betung. Sebelum dilakukan pengujian, contoh uji terlebih dahulu dikeringkan sampai kering oven. Kedalam botol kaca tersebut dimasukkan rayap tanah sebanyak 160 ekor rayap pekerja. Pipa pralon kemudian ditutup dengan kain hitam lalu ditempatkan di ruangan gelap. Kehilangan berat dan mortalitas dihitung setelah 21 hari pengumpanan. Persentase kehilangan berat akibat serangan rayap dihitung dengan rumus :
Keterangan : Wo
= Berat kering oven contoh uji sebelum diumpankan ke rayap (g)
W1
= Berat kering oven contoh uji setelah diumpankan ke rayap (g)
Persentase jumlah individu rayap yang mati (mortalitas) dihitung dengan rumus:
Keterangan :
108 No
= Jumlah individu rayap sebelum pengumpanan
N1
= Jumlah individu rayap setelah pengujian
Analisis data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Faktorial Acak Lengkap dengan 3 faktor, yaitu faktor A: jenis perlakuan (4 jenis), faktor B: jenis perekat (4 jenis), dan faktor C: jenis bambu (3 jenis) dengan ulangan sebanyak 3 kali. Model umum rancangannya untuk semua pengujian adalah sebagai berikut. Yijkl = μ + αi + βj + θk +(αβ)ij + (άθ)ik +(βθ)jk + εijkl Keterangan : i = 1, 2, 3, 4 (perlakuan perendaman : kontrol, direndam dalam air sungai selama 2 minggu, direbus dalam air, direbus dalam air kapur 5 %) j = 1, 2,3,4 ( jenis perekat: UF, Mf, MDI, dan PVAc) k = 1, 2, 3 (jenis bambu: tali, andong, dan betung) l = 1,2,3 (banyaknya ulangan) Yijk
= Nilai respon pengamatan pada ulangan ke-l yang disebabkan oleh taraf k-i faktor α, taraf ke-j faktor β, taraf ke k faktor θ.
μ
= Nilai rata-rata
αi
= Pengaruh perlakuan perendaman
βj
= Pengaruh jenis perekat
θk
= Pengaruh jenis bambu
(αβ)ij
= Pengaruh interaksi antara perlakuan ke-i dan jenis perekat ke- j
αθ)ik
= Pengaruh interaksi antara perlakuan ke- i dan jenis bambu ke-k
(βθ)jk
= Pengaruh interaksi antara jenis perekat ke- k dan jenis bambu ke – l
(αβθ)ijk = Pengaruh interaksi antara perlakuan ke i, jenis perekat ke j, dan jenis bam-bu ke k εijkl
=
Kesalahan percobaan dari jenis bambu ke-i, jenis perekat ke-j, penguat sambungan ke - k dan ulangan pada taraf ke-l.
Untuk mengetahui bambu lapis yang memperoleh pengaruh dari perlaukan dibuat analisis keragaman (Anova) dengan kriteria sebagai beriku:
109 Jiak F hitung < F tabel, maka Ho diterima atau perlakuan tidak memberikan pengaruh pada selang kepercayaan. Jika F hitung > F tabel, maka Ho ditolak atau perlakuan memberikan pengaruh pada suatu selang kepercayaan. Untuk mengetahui faktor mana yang berpengaruh maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan. Hasil dan Pembahsan 1. Sifat Fisis Bambu Lapis 1.1.
Kerapatan Kerapatan merupakan perbandingan berat terhadap volume.
Kerapatan
yang dimaksud adalah kerapatan pada kondisi kering udara. Berdasarkan hasil perhitungan, kerapatan bambu lapis pada semua perlakuan memiliki rata-rata kerapatan yang relatif sama, seperti tercantum pada Gambar 5.2.
Keterangan : U = Urea Formaldehida, M = Melamin Formaldehida, I = Methylen Diphenyl Isocyanate, V = PVAc, Rb = Rebus, Rn = R,Kn = Kontrol, Kp = Kapur, T = Tali, B = Betung, A = Andong
Gambar 5.2 Histogram kerapatan bambu lapis Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa kerapatan bambu lapis pada semua perlakuan tidak berbeda nyata antara 0,75 – 0,8, kecuali pada bambu lapis kontrol dengan perekat UF. Hal ini terjadi karena pada bagian bambu betung tersebut terdapat banyak buku sehingga memiliki jumlah serat yang lebih banyak, kandungan parenkim yang lebih rendah dan kandungan lignin yang lebih tinggi
110 sehingga memiliki kerapatan yang lebih tinggi, seperti yang dikemukakan oleh Liese (1991). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerapatan kayu solid juga dapat mempengaruhi kerapatan bambu lapis, seperti yang dikemukakan oleh Bowyer et al. (2003). Faktor tersebut antara lain kondisi tempat tumbuh kayu, lokasi dalam pohon, letak dalam kisaran jenis dan sumber-sumber genetik. 1.2.
Kadar Air Kadar air menunjukkan banyaknya jumlah air yang terikat pada dinding sel
bambu lapis terhadap berat kering tanurnya yang dinyatakan dalam persen. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai kadar air bambu lapis sebesar 8,23% sampai dengan 13,28%. Nilai kadar air untuk setiap perlakuan, jenis perekat, dan jenis bambu dapat diamati pada histogram kadar air bambu lapis yang disajikan dalam Gambar 5.3. SNI 01-5008.7-1999
Keterangan : U = Urea Formaldehida, M = Melamin Formaldehida, I = Methylen Diphenyl Isocyanate, V = PVAc, Rb = Rebus, Rn = Rendam, Kn = Kontrol, Kp = Kapur, T = Tali, B = Betung, A = Andong
Gambar 5.3 Histogram kadar air bambu lapis Bowyer et al. (2003) menyatakan banyaknya air yang tetap tinggal di dalam dinding sel suatu produk akhir tergantung pada tingkat pengeringan selama pembuatan dan lingkungan tempat produk tersebut ditempatkan di kemudian hari. Sudrajat (1979) diacu dalam Rosyid (1995) mengemukakan bahwa kemampuan mengikat dan mengeluarkan air dari papan tergantung pada kelembaban dan suhu sekitarya. Apabila suhu dan kelembaban di sekitarnya lebih rendah maka akan
111 terjadi pelepasan air, sebaliknya apabila suhu dan kelembaban di sekitarnya lebih tinggi maka akan terjadi penyerapan air. Hasil analisis sidik ragam kadar air dengan tingkat kepercayaan 99% menunjukkan bahwa perlakuan perendaman tidak berpengaruh terhadap kadar air bambu bambu lapis, sedangkan jenis perekat sangat berpengaruh terhadap kadar air bambu lapis.Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bambu lapis dengan perekat MDI memiliki nilai kadar air yang lebih kecil dibandingkan dengan bambu lapis dengan perekat lainnya. Hal ini disebabkan karena struktur kimia dari perekat MDI memiliki tangan OH bebas lebih sedikit dibandingkan dengan perekat lainnya. Nilai kadar air bambu lapis yang dibuat memenuhi baik standar SNI 01-5008.7-1999 maupun JIS A 5980- 2003. 1.3. Stabilitas Dimensi Stabilitas dimensi menggambarkan kekuatan daya rekat perekat terhadap bahan yang direkatnya akibat pengaruh lingkungan sekitarnya, salah satunya air. Bila ikatan perekat mudah lepas akibat terkena air, maka bambu lapis akan mudah untuk mengembang yang akan mengakibatkan daya pakai bambu lapis berkurang. Untuk mengetahui stabilitas dimensi bambu lapis dilakukan pengujian, dengan melakukan perendaman dalam air selama 2 jam pertama dilanjutkan sampai 24 jam. Stabilitas dimensi ditunjukkan dengan nilai pengembangan dan penyusutan dimensi tebal. 1.3.1. Pengembangan tebal Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, bambu lapis yang tanpa perlakuan perendaman (kontrol) pada semua jenis perekat memiliki nilai pengembangan tebal yang lebih kecil dibandingkan dengan bambu lapis lainnya, baik pada perendaman 2 jam maupun pada perendaman 24 jam. Hal ini disebabkan karena pemberian perlakuan pada bilah bambu menyebabkan penghambatan ikatan perekat dengan bambu. Secara lengkap grafik nilai pengembangan tebal disajikan pada Gambar 5.4 dan Gambar 5.5.
112
Keterangan : U = Urea Formaldehida, M = Melamin Formaldehida, I = Methylen Diphenyl Isocyanate, V = PVAc, Rb = Rebus, Rn = Rendam, Kn = Kontrol, Kp = Kapur, T = Tali, B = Betung, A = Andong Gambar 5.4 Histogram pengembangan tebal 2 jam bambu lapis
Keterangan : U = Urea Formaldehida, M = Melamin Formaldehida, I = Methylen Dimethyl Isocyanate, V = PVAc, Rb = Rebus, Rn = Rendam, Kn = Kontrol, Kp = Kapur, T = Tali, B = Betung, A = Andong
Gambar 5.5 Histogram pengembangan tebal 24 jam bambu lapis
Bambu lapis dengan perlakuan pendahuluan perendaman dan perekat MDI memiliki nilai pengembangan tebal 2 jam yang lebih kecil dibandingkan dengan bambu lapis pada perlakuan lainnya, sedangkan pada perendaman 24 jam, bambu
113 lapis yang memiliki nilai pengembangan tebal yang lebih kecil dibandingkan dengan bambu lapis lainnya adalah bambu lapis pada perlakuan perebusan air panas dengan perekat MF dan perendaman dalam air sungai dengan perekat MDI. 1.3.2. Penyusutan Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai penyusutan bambu lapis dengan nilai yan berbeda nyata antara perlakuan awal dan jenis perekat yang digunakan. Bambu lapis yang menggunakan bambu betung dan perekat MDI dengan perlakuan perendaman dalam air sungai memiliki nilai penyusutan yang lebih baik dibandingkan dengan bambu lapis lainnya, sedangkan bambu lapis kontrol yang menggunakan bambu betung dan perekat PVAc memiliki nilai penyusutan terjelek.
Keterangan : U = Urea Formaldehida, M = Melamin Formaldehida, I = Methylen Diphenyl Isocyanate, V = PVAc, Rb = Rebus, Rn = Rendam, Kn = Kontrol, Kp = Kapur, T = Tali, B = Betung, A = Andong
Gambar 5.6 Histogram penyusutan bambu lapis 2. Sifat Mekanis Bambu Lapis 2.1. Keteguhan Rekat Berdasarkan hasil pengujian, bambu lapis dari bambu tali dengan perekat MDI tanpa perlakuan memiliki nilai keteguhan rekat yang lebih tinggi dibandingkan dengan bambu lapis lainnya serta sesuai dengan nilai keteguhan rekat yang disyaratkan dalam standar SNI 01-5008.7-1999 tentang kayu lapis struktural, seperti yang disajikan pada Gambar 5.7.
114 Hal ini terjadi karena rantai ikatan antara perekat dan bilah bambu pada bambu lapis kontrol terbentuk dengan maksimal. Ikatan fisik yang optimal antara perekat dengan bambu pada bambu lapis kontrol disebabkan karena tidak adanya material lain pada permukaan bilah bambu yang menghambat proses terjadinya ikatan antar perekat dengan bambu, seperti yang terjadi pada bambu lapis dari bambu tali dengan perekat MDI dan perlakuan direndam dalam air kapur, larutan kapur sebagian menempel di permukaan bilah bambu, sehingga menghambat perekat terpenetrasi dengan sempurna ke bagian dalam bambu. Selain daripada hal tersebut di atas, bambu lapis dengan perekat MDI memiliki nilai keteguhan rekat yang lebih tinggi dibandingkan dengan bambu lapis yang menggunakan perekat jenis lainnya. Hal ini terjadi karena ikatan yang terjadi antara perekat MDI dengan bambu merupakan ikatan kimia yaitu ikatan antara senyawa karbon (C) pada struktur kimia perekat MDI dengan senyawa OH bebas pada struktur kimia selulosa bambu, sehingga terdapat gaya vander wals yang lebih besar dibandingkan dengan ikatan fisik yang terjadi pada perekat lainnya.
SNI 01-5008.7-1999
Keterangan : U = Urea Formaldehida, M = Melamin Formaldehida, I = Methylen Diphenyl Isocyanate, V = PVAc, Rb = Rebus, Rn = Rendam, Kn = Kontrol, Kp = Kapur,T = Tali, B = Betung, A = Andong
Gambar 5.7 Histogram keteguhan rekat bambu lapis 2.2. Keteguhan Patah (MOR) Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa nilai rata-rata MOR bambu lapis dari bambu betung pada semua perlakuan dan jenis perekat lebih tinggi dibandingkan dengan bambu lapis dari jenis bambu lainnya serta memenuhi
115 standar SNI 01-5008.7-1999 tentang kayu lapis struktural, yaitu: 1071,41 kgf/cm2 (bambu betung); 833,38 kgf/cm2 (bambu andong); 497,48 kgf/cm2 (bambu tali). Hal ini disebabkan oleh kerapatan bambu betung lebih besar dibandingkan kedua jenis bambu lainnya, seperti yang ditulis pada hasil penelitian Haygreen dan Bowyer, 1982 yang dikutip oleh Bowyer et al. (2003) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kerapatan suatu bahan maka semakin tinggi nilai kekuatan bahan tersebut.
SNI 01-5008.7-1999
Keterangan : U = Urea Formaldehida, M = Melamin Formaldehida, I = Methylen Dimethyl Isocyanate, V = PVAc, Rb = Rebus, Rn = Rendam, Kn = Kontrol, Kp = Kapur, T = Tali, B = Betung, A = Andong
Gambar 5.8 Histogram keteguhan patah (MOR) bambu lapis Bambu lapis dengan perlakuan awal perendaman dalam air dingin memiliki rata-rata nilai MOR yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bambu lapis lainnya seperti yang terlihat pada Gambar 5.8. Hal ini terjadi karena efektivitas pencegahan serangan kumbang bubuk dengan perlakuan perendaman lebih baik dibandingkan dengan perlakuan awal lainnya, karena selain bambu terlindungi dari serangan bubuk yang merusak ikatan selulosa bambu juga tidak merusak struktur sel bambu, oleh karena itu bilah bambu yang digunakan dalam bambu lapis memberikan kekuatan patah (MOR) yang lebih baik dibandingkan dengan bambu lapis dari bambu dengan perlakuan lainnya. 2.3. Keteguhan Lentur (MOE) Bambu lapis dari bambu andong dengan jenis perekat IC pada perlakuan awal perendaman memiliki nilai keteguhan lentur yang lebih tinggi dibandingkan
116 dengan bambu lapis lainnya serta memenuhi standar standar SNI 01-5008.7-1999 tentang kayu lapis struktural, seperti yang disajikan pada Gambar 5.9.
SNI 01-5008.7-1999
Keterangan :
U = Urea Formaldehida, M = Melamin Formaldehida, I = Methylen Dimethyl Isocyanate, V = PVAc, Rb = Rebus, Rn = Rendam, Kn = Kontrol, Kp = Kapur, T = Tali, B = Betung, A = Andong
Gambar 5.9 Histogram kekakuan (MOE) bambu lapis Seperti yang dikemukakan pada pembahasan nilai MOR, tingginya nilai MOE pada bambu lapis tersebut juga disebabkan oleh faktor perlakuan juga dipengaruhi oleh jenis bambu dan jenis perekat. Pada semua jenis bambu dan perlakuan , bambu lapis dengan jenis perekat MDI memiliki rata-rata nilai MOE yang lebih tinggi dibandingkan dengan bambu lapis lainnya. Hal ini terjadi karena ikatan yang terjadi antara perekat dengan bambu adalah ikatan kimia yang memiliki kekuatan ikat yang lebih baik dibandingkan dengan jenis ikatan mekanik atau fisik, sehingga dengan kuatnya ikatan antara perekat dengan bambu memberikan kekuatan geser antar lapisan yang lebih besar yang mengakibatkan lebih lamanya bambu lapis menahan kerusakan akibat dari beban yang diberikan. 3. Sifat kimia bambu lapis Kelarutan bambu lapis yang berbahan baku bambu tali, andong, dan betung dalam pelarut etanol/benzen, NaOH 1 %, air dingin, dan air panas disajikan pada Tabel 5.9. Kelarutan bambu lapis kontrol yang berbahan baku bambu tali, andong, dan betung dalam etanol/benzen berturut-turut sebesar 4,7053 %, 3,6719, dan 4,0307. Nilai kelarutan bambu lapis ini tidak jauh berbeda dengan
hasil penelitian
117 Krisdianto et al.(2006) yang melaporkan bahwa kelarutan bambu andong dan betung dalam etanol/benzen masing-masing sebesar 2,5 % dan 4,3 %. Tabel 5.9 Kelarutan bambu lapis sebelum dan sesudah perlakuan Jenis bambu
Kelarutan dalam
Kontrol (%)
Kelarutan setelah diberi perlakuan (%) Rn
Penurunan
Rb
Penu-
Rk
runan Tali
Andong
Penurunan
Et/Benz
4,7053
2,8840
38,71
4,1274
12.82
0,3611
92,33
NaOH 1 %
25,2979
18,2133
21,80
18,3880
27,31
11,696
53,77
Air dingin
4,2321
2,6534
37,30
4,0063
5,34
1,0176
75,96
Air panas
7,7697
2,9070
62.58
4,6762
39,82
0,9522
87,74
Et/Benz
3,6719
2,5819
29,69
1,6562
54,90
0,3270
91,09
NaOH 1 %
22,2826
1,659
11,77
20,128
9,69
10,6596
52,16
Air dingin
2,9929
2,1543
28,02
1,2315
58,85
1,2116
59,52
Air panas
5,6437
2.1839
61,30
1,4388
74,51
1,3325
76,39
Et/Benz
4,0307
2,6539
34,16
2,5201
49,21
0,2174
94,61
NaOH 1 %
21,3622
19,023
10,95
19.437
9,01
44,21
Air dingin
3,2632
1,0917
66,55
1,8647
42,86
11,919 0 1,0203
Air panas
7,1316
3,4083
52,21
1,2793
80,80
1,3650
80,92
Betung
68,73
Keterangan : Et/Benz = Etanol/Benzen, Rn = direndam dalam air sungai selama dua minggu, Rb = direbus selama dua jam, Rk = direbus dalam air kapur 5 % selama dua jam
Kelarutan bambu lapis kontrol yang berbahan baku bambu tali, andong, dan betung dalam NaOH 1 % berturut-turut sebesar 25,2979 %, 22,2826 %, dan 21,3622 %. Nilai kelarutan bambu lapis ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Krisdianto et al.(2006) yang melaporkan bahwa kelarutan bambu andong dan betung dalam etanol/benzen masing-masing sebesar 28,0 % dan 22,2%. Kelarutan bambu lapis kontrol yang berbahan baku bambu tali, andong, dan betung dalam air dingin berturut-turut sebesar 4,2321%, 2,9929 %, dan 3,2632 %; sedangkan kelarutan bambu lapis kontrol yang berbahan baku bambu tali, andong, dan betung dalam air panas berturut-turut sebesar 7,7697 %, 5,6437 %, dan 7,1316
118 %.
Nilai kelarutan bambu lapis ini juga tidak jauh berbeda dengan
hasil
penelitian Krisdianto et al.(2006) yang melaporkan bahwa kelarutan bambu andong dan betung dalam air dingin masing-masing sebesar 4,6% dan 5,3 %, dan kelarutan dalam air panas masing-masing sebesar 10,7 % dan 9,54 %. Kelarutan bambu lapis yang berbahan baku bambu tali dalam air panas setelah diberi perlakuan perendaman dalam air sungai, perebusan dan perebusan dalam air kapur
5 % ternyata mengalami penurunan. Penurunan kelarutan
tersebut berkisar antara 39,82 % dan 87,74 %. Penurunan kelarutan bambu lapis yang berbahan baku bambu tali terendah terdapat pada perlakuan dengan air panas, yaitu sebesar 39,82 %, diikuti dengan perlakuan air dingin, yaitu sebesar 38,71 %, dan penurunan terbesar terdapat bambu lapis yang diberi perlakukan perebusan dengan air kapur 5 %, yaitu sebesar 87,74 %. Pada bambu lapis yang berbahan baku bambu andong, penurunan kelarutan dalam etanol/benzen untuk perlakuan perendaman dalam air sungai, perebusan dalam air, dan perebusan dalam air kapur adalah masing-masing sebesar 61,30 %, 74,51 %, dan 76,39 %. Pada bambu betung, besarnya penurunan kelarutan akibat perlakuan yang sama adalah masing-masing sebesar 52,21%, 80,80 %, dan 80,92 %. Berdasarkan data yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa perlakuan perebusan dalam air kapur dapat menurunkan kadar zat ekstraktif yang larut dalam air panas terbesar pada ketiga jenis bambu yang diteliti dibandingkan perlakuan perendaman dalam air dingin, perebusan dalam air panas, dan kontrol. Hal itu berarti bahwa zat ekstraktif yang larut dalam air panas pada bambu lapis berbahan baku ketiga jenis yang diteliti telah menurun drastis dari 7,1316 % menjadi 0,9522 % pada bambu tali, dari 5,6437 % menjadi 1,3325 % pada bambu andong, dan dari 7,1316 % menjadi 1,3650 % pada bambu betung. Zat ekstraktif yang larut dalam air panas antara lain adalah glukosa dan pati yang diduga menjadi makanan utama hama penggerek atau bubuk kayu kering. Disamping glukosa dan pati, menurut Balser dan Iseringhausen (1975) yang dikutip oleh Fengel dan Wegener (1995), zat yang dapat larut dalam air dingin dan air panas antara lain adalah metil selulosa (1,3-2,6 %), etil selulosa (0,8-1,3 %), hidroksietilselulosa (0,5-1,0%), dan Na-karboksimetilselulosa (0,5-1,2 %).
119 Dengan menurunnnya kandungan zat ekstraktif yang menjadi makanan bubuk kayu kering tersebut, maka peluang bambu lapis untuk diserang bubuk menjadi lebih kecil atau dengan perkataan lain bambu lapis tersebut lebih tahan terhadap serangan bubuk kayu. Jenis bubuk yang menyerang bambu menurut Krisdianto et al.(2006) adalah Lyctus sp, Dinodeus sp, Minthea sp, dan Hylotrupes. Aequalis Wat. Lebih lanjut Krisdianto et al.(2006) menjelaskan bahwa bambu tali hanya diserang oleh bubuk Dinodeus sp, sedangkan bambu andong dan bambu betung diserang oleh keempat jenis bubuk tersebut. Jasni dan Sumarni (1990) melaporkan bahwa dari tujuh bambu yang diteliti, bambu ampel (Bambusa vulgaris) adalah yang paling rentan terhadap serangan bubuk, diikuti oleh bambu andong (Giantochloa pseudoarundinacea), bambu hitam
(Gigantochloa
atroviolaceae)
dan
bambu
terung
(Gigantochloa
nitrocilliata), sedangkan bambu ater (Gigantochloa atter) dan bambu tali (Gigantochloa apus) relatif tahan terhadap serangan bubuk. 4. Ketahanan bambu lapis terhadap serangan rayap Ketahanan bambu lapis terhadap serangan rayap tanah (Coptotemes cuvignatus) diindikasikan oleh kehilangan berat dan mortalitas rayap. Bahasan tentang hal ini akan diuraikan di bawah ini. 4.1. Prosentase kehilangan berat Nilai kehilangan berat bambu lapis setelah diumpankan kepada rayap berkisar antara 2,32 % dan 20,35 %. Prosentase kehilanganberat terbesar terdapat pada bambu lapis kontrol yang berbahan baku bambu andong dan direkat denga perekat PVAc, sedangkan prosentase kehilangan berat terkecil terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu tali dan direkat dengan perekat MDI. Data selengkapnya tentang prosentase kehilangan berat bambu lapis setelah diumpankan kepada rayap tanah tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.10.
120 Tabel 5.10. Prosentase kehilangan berat bambu lapis dan bambu akibat serangan rayap tanah No. Perlakuan Kehilangan berat (%) dan perekat
Tali
Andong
Betung
1
UF Kontrol
10,22(2,45)
11,63 (3,27)
11,63 (3,27)
2
UF Rn
8,29 (2,54)
9,41 (3,04)
9,41 (3,04)
3
UFRb
7.73 (2,40)
9,18 (2,94)
9,18 (2,94)
4
UFRk
4,98 (1,24)
5,52 (1,72)
5,52 (1,72)
5
MF Kontrol
8,35 (1.14)
9,42 (1,37)
9,42 (1,37)
6
MF Rn
6,82 (1,26)
7,85 (1,54)
7,85 (1,54)
7
MFRb
6,44 (1,32)
7,32 (1,58)
7,32 (1,58)
8
MFRk
6,25 (1,13)
7,86 (1,87)
7,86 (1,87)
9
I Kontrol
7,26 (1,14)
8,46 (1,17)
8,46 (1,17)
10
I Rn
5,22 (1,12)
6.14 (1,45)
6.14 (1,45)
11
IRb
4,14 (1,04)
5,43 (1,28)
5,43 (1,28)
12
I Rk
2,32 (0,78)
3,20 (1,16)
3,20 (1,16)
13
PVAc Kontrol
15,22 (1,74)
18.35 (2,09)
18.35 (2,09)
14
PVAc Rn
10,45 (1,48)
12,47 (1,65)
12,47 (1,65)
15
PVAc Rb
7,12 (1,94)
10,14 (1,72)
10,14 (1,72)
16
PVAc Rk
5,42 (1,25)
7,48 (1,54)
7,48 (1,54)
17
Bambu kontrol
14,19 (0,74)
21,22 (2,59)
21,22 (2,59)
Keterangan : UF= urea formaldehida, MF =melamine formaldehida, I = methylen diphenyl isocyanate, PVAc = poly vinyl acetate, Rn = direndam dalam air sungai selama 2 minggu, Rb = direbus selama 2 jam, Rk = direbus dalam air kapur 5 % selama 2 jam. Angka dalam kurung adalah nilai simpangan baku
Prosentase kehilangan berat bambu lapis tersebut ternyata lebih kecil daripada kehilangan berat bambu kontrol, yaitu bambu asli yang tidak dibuat bambu lapis seperti tercantum pada Tabel 5.10 nomor 17. Berdasarkan data pada Tabel 5.10 tersebut dan hasil sidik ragamnya dapat disimpulkan bahwa perekat yang digunakan dalam pembuatan bambu lapis berpengaruh terhadap prosentase
121 kehilangan berat pada bambu lapis. Perekat yang digunakan bersifat racun atau diduga tidak disukai oleh rayap sehingga intensitas serangan rayap berkurang. Dua diantara perekat mengandung formaldehida (CH2O), yaitu bentuk yang lebih kental dari formalin. Formalin adalah adalah nama yang dikenal secara umum, dan di dalam formalin terkandung sekitar 37 % formaldehida yang dilarutkan dalam air dan ditambahkan 15 % metanol. Formalin dikenal sebagai bahan pembunuh kuman (desinfektant), pembasmi lalat dan serangga lain, bahan pembuat sutra buatan, zat pewarna, bahan yang digunakan dalam pembuatan pupuk urea dal lain-lain. Nama lain formalin adalah formol, methylen aldehyde, paraforin, morbicid, oxomethane, formic aldehyde, dan methylen glycol(Wikipedia, 2012). Oleh karena itu mudah dipahami bahwa rayap tidak menyukai bambu lapis yang mengandung formaldehida, bahkan rayap akan keracunan dan mati. Berdasar analisis sidik ragam prosentase kehilangan berat bambu lapis, diketahui bahwa jenis bambu tidak berpengaruh terhadap prosentase kehilangan berat bambu lapis, walaupun ada kecenderungan bahwa bambu andong lebih rentan dibanding bambu betung dan bambu tali terhadap serangan rayap tanah, sehingga banyak mengalami kehilangan berat pada bambu lapisnya. Perekat, berdasarkan analisis sidikragam berpengaruh terhadap kehilangan berat bambu lapis akibat serangan rayap tanah. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, UF, MF dan MDI tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, sedangakan perekat PVAc menunjukkan hasil yang berbeda dengan ke tiga perekat lainnya. Perlakuan perendaman pada bahan baku bambu ternyata berpengaruh sangat besar terhadap ketahanan bambu lapis akibat serangan rayap berdasarkan hasil analisis keragamannya. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, diketahui bahwa perlakuan perendaman dalam air sungai selama dua minggu tidak berbeda nyata dengan perlakuan perebusan dengan air panas, tapi berbeda dengan, kontrol dan perebusan dengan air kapur. Bambu lapis kontrol merupakan produk yang paling rentan terhadap serangan rayap, sedangkan bambu lapis yang bahan bakunya diberi perlakuan perebusan dengan air kapur 5 % merupakan produk yang paling tahan terhadap serangan rayap tanah. Berdasarkan kombinasi perlakuan, jenis perekat, dan jenis bambu yang diterapkan dalam rancangan penelitian ini, maka hasil terbaik diperoleh dengan
122 cara membuat bambu lapis berbahan baku bambu tali yang mendapat perlakuan perebusan dalam air kapur 5 % dan direkat dengan menggunakan perekat MDI. 4.2.
Mortalitas rayap Nilai mortalitas rayap berkisar antara 78,25 % dan 98,40 %. Nilai terendah
terdapat pada bambu lapis kontrol berbahan baku bambu andong yang direkat dengan perekat PVAc, sedangkan nilai
tertinggi terdapat pada bambu lapis
berbahan baku bambu tali yang mendapat perlakuan perebusan dengan air kapur 5 %. Berdasarkan analisis sidik ragam yang tercantum pada Lampiran 5.11 jenis perlakuan perendaman, dan jenis perekat sangat mempengaruhi besaran nilai mortalitas rayap tanah, sedangkan jenis bambu tidak berpengaruh terhadap mortalitas rayap.
123 Tabel 5.11. Mortalitas rayap pada bambu lapis No. Perlakuan Kehilangan bertat (%) dan perekat
Tali
Andong
Betung
1
UF Kontrol
88,06 (1,42)
21,22(2,59)
81,92 (1,14)
2
UF Rn
88,34 (1,45)
84,40 (1,42)
83,34 (1,34)
3
UFRb
88,24 (1,34)
85,24 (1,62)
84,22 (1,45)
4
UFRk
88,98 (1,23)
86,34 (1,75)
85,65 (1,78)
5
MF Kontrol
84,32 (1.10)
82,42 (1,22)
82,12 (1,42)
6
MF Rn
86,80 (1,24)
83,20 (1,43)
83,34 (1,30)
7
MFRb
88,43 (1,34)
84,32 (1,56)
84,45 (1,38)
8
MFRk
90,26 (1,23)
86,12 (1,87)
85,20 (1,64)
9
I Kontrol
92,34 (1,90)
91,25 (1,99)
91,50 (1,75)
10
I Rn
94,23 (1,45)
93,12 (2,04)
92,72 (2,34)
11
IRb
96,13 (1,24)
94,32 (2,14)
94,12 (2,04)
12
I Rk
96,25 (1,98)
95,38 (2,50)
13
PVAc Kontrol
82,26 (0,71)
78,25 (1,59)
81,38 (1,49)
14
PVAc Rn
84,40 (0,88)
81,42 (1,65)
83,41 (1,60)
15
PVAc Rb
85,12 (0,94)
82,12 (1,70)
84,28 (1,75)
16
PVAc Rk
87,42 (1,24)
84,43 (1,84)
85,12 (1,64)
98,40 (1,45)
Keterangan : UF= urea formaldehida, MF =melamine formaldehida, I = methylen diphenyl isocyanate, PVAc = poly vinyl acetate, Rn = direndam dalam air sungai selama 2 minggu, Rb = direbus selama 2 jam, Rk = direbus dalam air kapur 5 % selama 2 jam. Angka dalam kurung adalah nilai simpangan baku
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bambu lapis yang direkat dengan perekat MDI berbeda dengan, bambu lapis yang direkat UF, MF, maupun PVAc. Bambu lapis yang direkat dengan perekat UF dan MF tidak menunjukkan hasil yang berbeda, sedangakan bambu lapis yang direkat dengan perekat PVAc memberikan hasil yang berbeda dengan ketiga jenis perekat lainnya. Uji lanjut Duncan pada jenis perlakuan menunjukkan bahwa jenis perlakuan berpengaruh terhadap nilai mortalitas rayap.
Perlakuan perebusan
124 dengan air kapur 5 % pada bilah-bilah tipis bambu menjadikan bambu lapis lebih tahan terhadap serangan rayap tanah, seperti ditunjukkan oleh nilai mortalitas rayap yang tinggi. Dalam kaitan ini, hasil terbaik didapatkan pada bambu lapis yang yang diberi perekat MDI. Berdasarkan kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa bambu lapis terbaik dari segi ketahanannya terhadap serangan rayap adalah bambu lapis berbahan baku bambu tali yang bahan bakunya mendapat perlakuan perebusan dengan air kapur serta direkat dengan menggunakan perekat MDI. Kesimpulan Bambu lapis dari bambu betung dengan perekat MDI pada perlakuan perendaman
dalam air sungai selama
dua minggu memiliki sifat fisis dan
mekanis yang lebih baik dibandingkan dengan bambu lapis lainnya, serta memiliki nilai parameter yang memenuhi standar SNI 01-5008.7-1999 tentang kayu lapis struktural. Perlakuan perebusan dalam air kapur dapat menurunkan kadar zat ekstraktif yang larut dalam air panas terbesar pada ketiga jenis bambu yang diteliti dibandingkan perlakuan perendaman dalam air dingin, perebusan dalam air panas, dan kontrol. Bambu lapis terbaik dari segi ketahanannya terhadap serangan rayap adalah bambu lapis berbahan baku bambu tali yang bahan bakunya mendapat perlakuan perebusan dengan air kapur 5 % serta direkat dengan menggunakan perekat MDI.
VI. PERBANDINGAN SIFAT-SIFAT DASAR BAMBU LAPIS DENGAN KAYU LAPIS Pendahuluan Proses pembuatan bambu lapis pada prinsipnya sama dengan pembuatan kayu lapis. Perbedaan yang utama antara bambu lapis dan kayu lapis adalah pada bahan penyusunnyanya. Pada kayu lapis, bahan penyusunnya terdiri dari lembaran-lembaran venir, sedangkan pada bambu lapis berupa lembaran-lembaran yang tersusun dari beberapa bilah tipis bambu (stands) yang digabungkan menggunakan lakban atau cara lainnya. Sebagaimana diuraikan pada bagian pendahuluan, salah satu tujuan pembuatan bambu lapis ini adalah sebagai bahan substitusi kayu lapis, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi kelangkaan bahan baku kayu. Sehubungan dengan hal ini, agar bambu lapis tersebut dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pengganti kayu lapis, maka sudah sewajarnya jika kualitas bambu lapis dibandingkan dengan kayu lapis, terutama sifat-sifat dasarnya, yaitu sifat fisis dan mekanisnya. Bahan dan Metode Mengingat bahwa sekarang ini kayu lapis yang ada di pasaran umunya berasal dari jenis kayu yang cepat tumbuh (fast growing species), maka sangat logis jika kualitas bambu lapis yang dihasilkan dari penelitian ini dibandingakan kayu lapis yang berbahan baku jenis kayu cepat tumbuh tersebut. Kayu lapis yang dibandingkan bukan dari hasil penelitian ini, tapi berupa hasil studi pustaka, yaitu peneltian tentang kayu lapis yang berasal dari jenis kayu cepat tumbuh. Jenis perekat dan prosedur pembuatan kayu lapis tersebut dipilih yang sama dengan jenis perekat dan prosedur pembuatan bambu lapis hasil penelitian ini. Bambu lapis dan kayu lapis yang dibandingkan berupa tripleks yang terdiri dari tiga lapisan. Perekat yang digunakan untuk membuat bambu lapis mapun kayu lapis adalah adalah sama, yaitu perekat UF (urea formaldehida), PF (phenol formaldehida), dan MF (melamin formaldehida). Adapun bahan baku bambu lapis yang digunakan adalah bambu tali (Gigantochoa apus), andong (Gigantochloa pseudoarrundinaceace), dan betung (Dendrocalamus asper), sedangkan bahan baku kayu yang digunakan meliputi sengon (Paraserianthes falcataria), sungkai
126 (Peronema canescens), jabon (Anthocephalus chinensis), kayu afrika (Maesopsis eminii), mahoni (Swietenia macrophila), pinus (Pinus merkusii), dan mangium (Acacia mangium). Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dirata-ratakan dan dibandingakan dengan data sejenis dari kayu lapis yang berbahan baku kayu cepat tumbuh dengan menggunakan perekat dan prosedur pembuatan yang sama. Kedua data yang dibandingkan tersebut kemudian ditabulasi berdasarkan sifat fisis dan mekanis yang sama, dan dianalisis keragamannya menggunakan rancangan acak lengkap faktor tunggal. Hasil dan Pembahasan Perbandingan sifat fisis, mekanis dan keteguhan rekat antara bambu lapis dan kayu lapis disajikan pada uraian di bawah ini. 6.1. Sifat Fisis 6.1.1. Kerapatan Berdasarkan hasil studi pustaka, data bambu lapis yang mengunakan jenis kayu cepat tumbuah yang tersedia terkait dengan kerapatan adalah bambu lapis yang menggunakan perekat phenol formaldehyde (PF). Oleh karena itu data kerapatan yang dibandingkan adalah berdasarkan bambu lapis yang menggunakan perekat PF tersebut. Data perbandingan kerapatan bambu lapis dengan kayu lapis disajikan pada Tabel 6.1, sedangkan analisis keragamannya berdasarkan perekat PF disajikan pada Lampiran 6.1. Tabel 6.1 menunjukkan bahwa kerapatan bambu lapis dan kayu lapis berkisar antara 0,40 g/cm3 dan 0,81 g/cm3. Nilai kerapatan terendah terdapat pada kayu lapis yang berbahan baku kayu sengon, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu betung. Berdasarkan analisis sidik ragam seperti tercantum pada Lampiran 6.2, maka
bahan baku berpengaruh
terhadap kerapatan baik bambu lapis maupun kayu lapis. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kerapatan bambu lapis yang berbahan baku bambu betung berbeda dengan bambu lapis dan kayu lapis lainnya. Bambu lapis yang berbahan baku bambu andong mempunyai kerapatan yang tidak berbeda dengan kayu lapis berbahan baku kayu pinus, serta kerapatan kayu lapis berbahan baku kayu afrika tidak berbeda dengan kayu lapis berbahan baku kayu jabon, sedangkan kayu lapis
127 berbahan baku kayu sengon ternyata memiliki kerapatan yang terendah dan berbeda dengan kayu lapis maupun bambu lapis yang dibandingkan. Tabel 6.1. Perbandingan kerapatan bambu lapis dengan kayu lapis No. Bahan baku Kerapatan(kg/cm3) berdasarkan jenis perekat UF
MF
PF
1.
Bambu tali 1)
0,68
0,69
0,69
2.
Bambu andong2)
0,74
0,74
0,75
3.
Bambu betung3)
0,78
0,79
0,81
4.
Sengon4)
0,54
0,48
0,56
5.
Sungkai4)
0,61
0,60
0,63
6.
Jabon5)
0,45
0,45
0,46
7.
Kayu afrika5)
0,47
0,47
0,48
8.
Mahoni6)
0,59
9.
Pinus6)
0,73
10.
Mangium6)
0,63
Sumber : 1)Suryana et al.,2009 dan Iriayanto. W. 2012 ; 2). Adha, 2008, Suryana. et al, 2009 , dan Lestari, 2012 ; 3). Suryana et al., 2009 dan Sembiring, 2012 4). Fauzia, 2011; 5). Wahyulia, 2011; 6).Rosihan, dan H.A., 2005
6.1.2. Kadar air Hasil penelitian bambu lapis dan studi pustaka tentang kayu lapis seperti tercantum pada Tabel 6.2 menunjukkan bahwa terdapat tujuh bambu lapis yang dibuat dari jenis kayu cepat tumbuh, yaitu sengon, sungkai, jabon, kayu afrika, amhoni, pinus, dan mangium, namun hanya sengon, sungkai, jabon, dan kayu afrika yang menggunakan jenis perekat yang sama dengan bambu lapis, yaitu urea formaldehyde (UF), melamine formaldehyde (MF), dan phenol formaldehyde (PF), sedangkan jenis mahoni, pinus, dan mangium hanya menggunakan perekat PF. Dengan demikian untuk perbandingan kadar air antara bambu lapis dan kayu lapis yang tersedia, maka data yang dianalisis keragamannya adalah bambu lapis dan kayu lapis yang menggunakan perekat PF.
128 Tabel 6.2. Perbandingan kadar air bambu lapis dengan kayu lapis Kadar air (%) berdasarkan jenis perekat No. Bahan baku
UF
MF
PF
1.
Bambu tali 1)
9,54
9,42
9,34
2.
Bambu andong2)
8,87
7,69
8,36
3.
Bambu betung3)
8,89
9,63
9, 45
4.
Sengon4)
11,0
10,79
11,18
5.
Sungkai4)
11,24
10,95
13,42
6.
Jabon5)
9,54
10,54
13, 09
7.
Kayu afrika5)
10,10
10,18
11,70
8.
Mahoni6)
9.
Pinus6)
10,72
10.
Mangium6)
10,81
9,58
Sumber : 1)Suryana et al., 2009 , Iriayanto, 2012 ; 2). Adha, 2008 , Suryana et al., 2009, dan Lestari, 2012; 3). Suryana et al., 2009, dan Sembiring, 2012 4). Fauziah,W.H.,2011; 5). Wahyulia, 2011; 6); dan Rosihan, 2005
Tabel 6.2 menunjukkan bahwa kerapatan bambu lapis dan kayu lapis berkisar antara 8,36 % dan 13,42 %. Nilai kadar air terendah terdapat pada bambu lapis berbahan baku bambu andong, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada kayu lapis yang berbahan baku kayu sungkai. Berdasarkan analisis sidik ragam seperti tercantum pada Lampiran 6.2, maka bahan baku berpengaruh terhadap kadar air, baik untuk bambu lapis maupun kayu lapis. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar air bambu lapis yang berbahan baku bambu tali, andong dan betung tidak memberikan hasil yang berbeda dengan kayu lapis yang berbahan baku kayu mahoni. Kayu Lapis yang berbahan baku sengon tidak berbeda dengan kayu lapis yang berbahan baku kayu afrika dan pinus, sedangkan kayu lapis yang berbahan baku sungkai dan jabon memberikan kadar air tetinggi dan berbeda dengan bambu lapis maupun kayu lapis yang dibandingkan. Namun demikian, baik bambu lapis maupun kayu lapis yang dibandingkan masih memenuhi SNI 01-5008,7-1999 yang mensyaratkan kadar air dibawah 14 %.
129 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun semua bambu lapis dan kayu lapis yang dibandingkan telah memenuhi persyaratan SNI 01-5008,7-1999, namun ternyata kadar air bambu lapis lebih baik dibandingkan kayu lapis. Hal tersebut ditujukkan dengan nilai kadar airnya yang relatif rendah. 6.2. Sifat Mekanis 6.2.2. MOE Sejajar Serat Dari hasil studi pustaka, data bambu lapis yang mengunakan jenis kayu cepat tumbuh yang tersedia terkait dengan MOE sejajar serat adalah bambu lapis yang menggunakan perekat phenol formaldehyde (PF). Oleh karena itu data kerapatan yang dibandingkan adalah berdasarkan bambu lapis yang menggunakan perekat PF tersebut. Data perbandingan kerapatan bambu lapis dengan kayu lapis disajikan pada Tabel 6.3, sedangkan analisis keragamannya berdasarkan perekat PF disajikan pada Lampiran 6.3. Tabel 6.3 menunjukkan bahwa MOE sejajar serat bambu lapis dan kayu lapis berkisar antara 13.765 kgf/cm2 dan 95.786,92 kgf/cm2. Nilai MOE sejajar serat terendah terdapat pada kayu lapis yang berbahan baku kayu sengon, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu betung. Berdasarkan analisis sidik ragam seperti tercantum pada Lampiran 6.3, maka bahan baku berpengaruh terhadap MOE sejajar serat, baik bambu lapis maupun kayu lapis. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa MOE sejajar serat bambu lapis yang berbahan baku tali, andong, danbambu betung tidak berbeda dengan kayu lapis yang berbahan baku kayu mangium, namun keempat jenis bambu lapis dan kayu lapis tersebut berbeda dengan kayu lapis lainnya terkait dengan MOE sejajar serat. MOE sejajar serat kayu lapis dari jenis kayu sengon, mahoni, dan pinus yang direkat menggunakan perekat PF ternyata memberikan nilai yang relatif rendah, yaitu nilainya berkisar antara 13.765 kgf/cm2 dan 18.505 kgf/cm2. Nilai MOE sejajar serat pada ketiga jenis kayu lapis ini ternayata tidak memenuhi persyaratan SNI 01-5008,7-1999 yang mensyaratkan MOE sejajar serat sebesar 55.000 kgf/cm2, sedangkan bambu lapis yang berbahan baku bambu tali, andong, dan betung, serta kayu lapis berbahan baku jenis kayu mangium memenuhi persyaratan SNI tersebut.
130 Tabel 6.3. Perbandingan MOE sejajar serat bambu lapis dengan kayu lapis Nilai MOEsejajar serat (kgf/cm2) berdasarkan perekat No. Bahan baku UF MF PF 1.
Bambu tali 1)
83.424,36
110.151,37
83.868
2.
Bambu andong2)
92.674,56
123.332,32
91.325,60
3.
Bambu betung3)
106.458,15
197.517,87
95.786,92
4.
Mahoni 4)
18.505
5.
Pinus 4)
16.854
6.
Sengon4)
13.765
7.
Mangium4)
99.660
Sumber :1).Suryana J et al., 2009, Mardiana, 2010, dan Iriayanto, 2012 ; 2). Adha, A. ,2008, Suryana J et al., 2009, dan Lestari,R.P., 2012 ; 3). Suryana et al,, 2009 dan Sembiring, 2012; 4).Rosihan, 2005
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari MOE sejajar serat, ternyata hanya bambu lapis dan kayu lapis berbahan baku jenis kayu mangium yang memenuhi persyaratan SNI 01-5008,7-1999, sedangan jenis kayu lapis lainnya tidak memenuhi persyaratan dimaksud. 6.2.3. MOE Tegak Lurus Serat Dari hasil studi pustaka, data bambu lapis yang mengunakan jenis kayu cepat tumbuh yang tersedia terkait dengan MOE sejajar serat adalah bambu lapis yang menggunakan perekat phenol formaldehyde (PF). Oleh karena itu data kerapatan yang dibandingkan adalah berdasarkan bambu lapis yang menggunakan perekat PF tersebut. Data perbandingan kerapatan bambu lapis dengan kayu lapis disajikan pada Tabel 6.4, sedangkan analisis keragamannya berdasarkan perekat PF disajikan pada Lampiran 6.4.
131 Tabel 6.4. Perbandingan MOE tegak lurus serat bambu lapis dengan kayu lapis Nilai MOE tegak lurus serat (kgf/cm2) berdasarkan perekat No.
Bahan baku
UF
MF
PF
1.
Bambu tali 1)
41.729,99
86.151,37
77.453,36
2.
Bambu andong2)
42.345,34
103.332,32
81.325,60
3.
Bambu betung3)
61.458,15
112.356,72
95.786,92
4.
Mahoni 4)
1.505
5.
Pinus 4)
4.180
6.
Sengon4)
1.570
7.
Mangium4)
6.827
Sumber :1).Suryana J et al., 2009, Mardiana, 2010, dan Iriayanto, 2012 ; 2).Adha,A.,2008, Suryana J et al., 2009, dan Lestari,R.P., 2012 ; 3). Suryana et al,, 2009 dan Sembiring, 2012; 4).Rosihan, 2005
Tabel 6.4 menunjukkan bahwa MOE tegak lurus serat bambu lapis dan kayu lapis berkisar antara 1.505 kgf/cm2 dan 95.786,92 kgf/cm2. Nilai MOE sejajar serat terendah terdapat pada kayu lapis yang berbahan baku kayu mahoni, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu betung. Berdasarkan analisis sidik ragam seperti tercantum pada Lampiran 6.4, maka bahan baku berpengaruh terhadap MOE tegak lurus serat, baik bambu lapis maupun kayu lapis. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa MOE tegak lurus serat bambu lapis yang berbahan baku tali dan andong tidak berbeda dengan bambu lapis yang berbahan baku bambu betung, namun ketiga bambu lapis tersebut sangat berbeda dengan keempat kayu lapis yang dibandingkan. Kayu lapis yang terbut dari jenis kayu mahoni, pinus, sengon dan mangium, ternyata mempunyai nilai MOE tegak lurus serat yang sangat rendah, yaitu dengan kisaran nilai 1.505 kgf/cm2 - 6.827 kgf/cm2 dan tentu saja tidak dapat memenuhi persyaratan minimal SNI 01-5008,7-1999 yang mensyaratkan nilai 35.000 kgf/cm2. Hal itu berbeda dengan ketiga bambu lapis yang ternayata memiliki nilai MOR tegak lurus serat yang jauh lebih tinggi daripada nilai minimal yang dipersyaratkan tersebut, yaitu dengan kisaran nilai 77.453,36 kgf/cm2 – 95.786,92 kgf/cm2.
132 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terkait dengan MOE tegak lurus serat, ternyata hanya bambu lapis yang memenuhi persyaratan SNI 015008,7-1999, sedangan jenis kayu lapis lainnya tidak memenuhi persyaratan dimaksud. 6.2.4. MOR Sejajar Serat Dari hasil studi pustaka, data bambu lapis yang mengunakan jenis kayu cepat tumbuh yang tersedia terkait dengan MOE sejajar serat adalah bambu lapis yang menggunakan perekat phenol formaldehyde (PF). Oleh karena itu data kerapatan yang dibandingkan adalah berdasarkan bambu lapis yang menggunakan perekat PF tersebut. Data perbandingan kerapatan bambu lapis dengan kayu lapis disajikan pada Tabel 6.5, sedangkan analisis keragamannya berdasarkan perekat PF disajikan pada Lampiran 6.5. Tabel 6.5 menunjukkan bahwa MOE sejajar serat bambu lapis dan kayu lapis berkisar antara 257,06 kgf/cm2 dan 1.313,22 kgf/cm2. Nilai MOE sejajar serat terendah terdapat pada kayu lapis yang berbahan baku kayu sengon, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu betung. Berdasarkan analisis sidik ragam seperti tercantum pada Lampiran 6.5, maka bahan baku berpengaruh terhadap MOR sejajar serat, baik bambu lapis maupun kayu lapis. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa MOR sejajar serat bambu lapis yang berbahan baku tali tidak berbeda dengan bambu lapis yang berbahan baku bambu betung, namun berbeda dengan bambu lapis berbahan baku bambu andong. Bambu lapis berbahan baku bambu andong tidak berbeda dengan kayu lapis yang berbahan baku kayu pinus, sedangkan kayu lapis yang berbahan baku kayu mahoni, sengon, dan mangium mempunyai nilai MOR sejajar serat yang berbeda dengan ketiga bambu lapis dan kayu lapis berbahan baku kayu pinus yang telah disebutkan tersebut. Urutan nilai MOR sejajar serat berdasarkan bahan bakunya, dimulai dari yang terendah sampai tertinggi adalah : sengon, mahoni, mangium, pinus, andong, tali dan betung. Meskipun nilai MOR sejajar serat sangat beragam, namun semua nilai tersebut telah memenuhi SNI 01-5008,7-1999 yang mensyaratkan nilai minimal 220 kgf/cm2.
133 Tabel 6.5 Perbandingan MOR sejajar serat bambu lapis dengan kayu lapis Nilai MOR sejajar serat (kgf/cm2) berdasarkan perekat No. Bahan baku UF MF PF 1.
Bambu tali 1)
2.
1.139,04
890,23
1.214,42
Bambu andong2)
780,98
900,82
1.009,68
3.
Bambu betung3)
930,35
1.040,90
1.313,221
4.
Mahoni 4)
504,93
5.
Pinus 4)
961,68
6.
Sengon4)
257,06
7.
Mangium4)
751,41
Sumber :1).Suryana J et al., 2009, Mardiana, 2010, dan Iriayanto, 2012 ; 2).Adha,A.,2008, Suryana J et al., 2009, dan Lestari,R.P., 2012; 3). Suryana et al,, 2009 dan Sembiring, 2012; 4).Rosihan, 2005
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks MOR sejar serat, ternyata walaupun ketiga bambu lapis dan keempat kayu lapis dapat memenihi persyaratan SNI 01-5008,7-1999, namun nampak jelas bahwa ketiga bambu lapis mempnyai besaran nilai MOR sejajar serat yang lebih baik. 6.2.5. Keteguhan Rekat sejajar Serat Data bambu lapis yang mengunakan jenis kayu cepat tumbuh dan kayu meranti yang tersedia terkait dengan keteguhan rekat sejajar serat adalah bambu lapis yang menggunakan perekat phenol formaldehyde (PF). Oleh karena itu data kerapatan yang dibandingkan adalah berdasarkan bambu lapis yang menggunakan perekat PF tersebut. Data perbandingan kerapatan bambu lapis dengan kayu lapis disajikan pada Tabel 6.6, sedangkan analisis keragamannya berdasarkan perekat PF disajikan pada Lampiran 6.6.
134 Tabel 6.6. Perbandingan keteguhan rekat sejajar serat bambu lapis dengan kayu lapis Nilai keteguhan rekat sejajar serat (kgf/cm2) berdasarkan jenis perekat No. Bahan baku UF PF MF 1.
Bambu tali 1)
18,25
26,21
20,24
2.
Bambu andong2)
17,49
24,45
22,52
3.
Bambu betung3)
15,78
21,67
23,19
4.
Sengon4)
9,20
10,06
12,16
5.
Sungkai4)
13,10
14,96
18,54
6.
Jabon5)
13,87
17,77
18,87
7.
Kayu afrika5)
14,42
15,03
20,99
8.
Mahoni6)
9.
Pinus6)
10.
Sengon6)
11.
Mangium6)
15,83
12.
Meranti7)
15,36
7,33 11,39 6,91
Sumber : 1)Suryana et al.,2009 dan Iriayanto, 2012 ; 2).Adha, 2008, Suryana. et al., 2009 dan Lestari, 2012 ; 3). Suryana et al., 2009 dan Sembiring, 2012 4). Fauziah, 2011; 5). Wahyulia, 2011; 6).Rosihan, 2005; dan 7) Kliwon,1998.
Tabel 6.6 menunjukkan bahwa nilai keteguhan rekat sejajar serat bambu lapis dan kayu lapis berkisar antara 6,91kgf/cm2 dan 23,19 kgf/cm2. Nilai MOE sejajar serat terendah terdapat pada kayu lapis yang berbahan baku kayu sengon, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu betung. Berdasarkan analisis sidik ragam seperti tercantum pada Lampiran 6.6, maka bahan baku berpengaruh terhadap MOR sejajar serat, baik bambu lapis maupun kayu lapis. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa keteguhan rekat sejajar serat bambu lapis yang berbahan baku tali, andong, dan betung tidak berbeda dengan kayu lapis yang berbahan baku kayu afrika. Nilai keteguhan rekat sejajar serat kayu lapis yang berbahan baku sungkai, tidak berbeda dengan kayu
135 lapis berbahan baku jenis jabon dan kayu afrika. Begitu pula mahoni tidak berbeda dengan sengon, serta pinus tidak berbeda dengan meranti. Secara umum, baik bambu lapis maupun kayu lapis yang dibandingkan memiliki nilai keteguhan rekat sejajar serat memenuhi persyaratan SNI 01-5008,7-1999 dan JIS A 59802003 yang mensraratkan nilai keteguhan rekat sejajar serta masing-masing sebesar 7,00 kgf/cm2 dan 8,24 kgf/cm2, kecuali pada kayu lapis yang dibuat dari kayu sengon yang tidak memenuhi kedua standar tersebut dan kayu lapis yang dibyat dari kayu mahoni yang hanya memenuhi SNI 01-5008,7-1999. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks keteguhan rekat sejar serat, ternyata ketiga bambu lapis
mempunyai nilai
keteguhan rekat yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu lapis. 6.2.6. Keteguhan Rekat Tegak Lurus Serat Berdasarkan studi pustaka yang tersedia, penelitian kayu lapis yang mencamtumkan nilai keteguhan rekat tegak lurus serat, terdapat dua jenis kayu cepat tumbuh yang dijadikan sebagai bahan bakunya, yaitu kayu jabon dan kayu afrika. Perekat yang digunakan juga sama dengan perekat yang digunakan untuk membuat bambu lapis, yaitu UF, MF, dan PF. Oleh karena itu analisis yang dilakukan berdasarkan kedua faktor tersebut. Perbandingan keteguhan rekat tegak lurus serat bambu lapis dan kayu lapis disajikan pada Tabel 6.7, sedangkan analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 6.7. Berdasarkan Tabel 6.7, nilai keteguhan rekat tegak lurus serat berkisar antara 7,50 kgf/cm2 dan 16,23 kgf/cm2. Nilai keteguhan rekat tegak lurus serat terendah terdapat pada kayu lapis yang dibuat dari kayu jabon, sedangkan nilai keteguhan rekat tegak lurus serat tertingi terdapat pada bambu lapis yang dibuat dari bambu betung. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa keteguhan rekat tegak lurus serat bambu lapis dan kayu lapis dipengruhi oleh bahan baku dan jenis perekat. Berdasarkan uji lanjut Duncan, pererkat MF tidak berbeda dengan perekat PF, namun keduanya berbeda dengan perekat UF. Berdasarkan bahan bakunya dan perekat UF, bambu lapis yang dibuat dari bambu tali, andong, dan bambu betung memiliki keteguhan rekat tegak lurus serat yang tidak berbeda dengan kayu lapis yang berbahan baku kayu jabon, sedangkan kayu afrika mempunyai keteguhan rekat tegak lurus serat yang lebih rendah dan berbeda dengan bambu lapis dan kayu lapis yang disaebuitkan terdahulu.
136 Tabel 6.7 Perbandingan keteguhan rekat tegak lurus serat bambu lapis dengan kayu lapis Keteguhan rekat tegak lurus serat (kg/cm2) No. Bahan baku berdasarkan jenis perekat UF MF PF 1.
Bambu tali 1)
11,71
15,73
14,21
2.
Bambu andong2)
11,22
14,21
14,34
3.
Bambu betung3)
12,67
15,14
15,23
6.
Jabon4)
7,50
10,32
13,71
7.
Kayu afrika4)
10,42
9,88
10,74
Sumber : 1)Suryana et al., 2009, dan Iriayanto. W. 2012 ; 2).Adha, 2008, Suryana et al., 2009 dan Lestari, 2012; 3).Suryana et al., 2009 dan Sembiring, 2012; dan 4).Wahyulia, 2011
Hasil yang agak berbeda terdapat pada bambu lapis dan kayu lapis yang dibuat dengan menggunakan perekat UF dan MF. Berdasarkan perekat UF, bambu lapis yang dibuat dari ketiga jenis bambu tidak berbeda dengan kayu lapis yang dibuat dari kayu afrika ditinjau dari nilai keteguhan rekat tegak lurus seratnya, namun kayu lapis yang dibuat dari kayu jabon memiliki nilai yang berbeda dengan ketiga bambu lapis dan kayu lapis yang telah disebutkan. Berdasarkan pereketa MF, maka nilai keteguhan rekat tegak lurus serat dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan bahan bakunya, yaitu bambu lapis dan kayu lapis. Bambu lapis dan kayu lapis tersebut memliki nilai keteguhan rekat yang berbeda. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks keteguhan rekat tegak lurus serat, ternyata ketiga bambu lapis mempunyai nilai keteguhan rekat tegak lurus serat yang lebih baik dibandingkan dengan kayu lapis untuk ketiga jenis perekat yang digunakan.
VII. ANALISIS TEKNIS PEMANFAATAN BAMBU LAPIS Secara umum bambu lapis dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan bahan meubel (furniture). Dalam memanfaatkan bambu lapis sebagai bahan bangunan dan mebel tersebut ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan acuan agar pemanfaatan bambu lapis sesuai dengan yang diharapkan. Kriteria tersebut antara lain : Dimensi bambu lapis, Karakteristik pemanfaatan. Sifat fisis dan mekanis bambu lapis,dan kondisi pemakaian. 1. Dimensi bambu lapis Ukuran standar panel kayu struktural adalah 4 ft x 8 ft (atau 1220 mm x 2440 mm). Pabrik tertentu dapat saja memproduksi panel yang berukuran lebih panjang, misalnya 9 ft, 10 ft atau 12 ft, atau lebih pendek, tapi panel yang berukuran standar menjadi pegangan dalam desain, kecuali ukuran panel yang lain tersebut diketahui. Meskipun kayu lapis dan produk panel kayu lainnya dimesinya cukup stabil, namun perubahan ukuran dapat diprediksi berdasarkan perubahan kelembaban lingkungan. Karena itu dalam aplikasi instruksi instalasi untuk atap, lantai dan sheathing dinding, diharuskan ada celah atau spasi antara bagian samping dan ujung panel .Celah tersebut disarankan berukuran 1/8 in (3 mm). 2. Karakteristik pemanfaatan Bambu lapis termasuk produk bio komposit yang berbentuk panel. Panel bambu lapis yang bersifat struktural dapat digunakan digunakan sebagai bahan bangunan pada berbagai aplikasi, baik yang bersifat struktural maupun non struktural. Menurut Breyer et al. (2007), penggunaan
panel yang bersifat
struktural terutama untuk : a. Atap, lantai, dan pelapis dinding (wall sheating) b. Diafragma (horizontal) dan shearwall (vertikal) c. Komponen struktural (lumber-and –ply wood beams, stressed - skin panels, curved panels, folded plates, dan sandwich panels) d. Gusset plates (Trusses, rigid frame connections) e.
Sistem fondasi kayu (yang telah diberi bahan pengawet)
f. Concrete formwork Dalam konteks bahasan ini, penggunaan untuk butir a dan b menjadi perhatian utama. Lebih lanjut Breyer et al.(2007) menjelaskan bahwa panel kayu
138 struktural sering digunakan sebagai elemen struktural untuk dua keperluan, yaitu (1) desain sistem penyangga beban vertikal (vertical-load carrying system) berupa bentang (beam) dan kolom (colum), serta (2) desain sistem penahan gaya lateral (lateral-force-resisting system/LFRS). Dalam sistem penyangga beban vertikal, panel struktural berfungsi sebagai bahan pelapis atau penutup (sheathing), yang secara langsung mendukung beban-beban atap dan lantai dan mendistribusikan beban tersebut ke sistem rangka (framing system). Dengan cara yang sama, wall sheathing mendistribusikan tekanan angin ke tiang(stud) pada dinding. Produk panel struktural kayu yang paling umum digunakan untuk sheathing lantai dan atap adalah kayu lapis dan OSB. Istilah beban sheathing yang digunakan dalam bahasan ini, mengacu pada beban-beban yang bekerja normal terhadap permukaan sheathing. Beban-beban sheathing untuk lantai dan atap meliputi beban mati dan beban hidup (atau beban salju). Untuk dinding, tekanan angin adalah beban sheathing. (Breyer et al., 2007). Jika perhitungan struktural diperlukan, laminasi silang dalam kayu lapis membuat analisis tegangan menjadi agak kompleks. Kayu lebih kuat pada bagian yang sejajar serat dibanding yang tegak lurus serat. Hal ini benar khususnya dalam regangan, dimana kayu memiliki kekuatan yang rendah pada bagian yang tegak lurus serat. Hal ini berlaku juga untuk tekan, tapi sedikit lebih baik. Sebagai tambahan, kayu lebih kaku pada bagian yang sejajar serat dari pada yang tegak lurus serat. Nilai MOE tegak lurus serat sekitar 1/35 dari pada nilai MOE sejajar serat. Berhubung adanya perbedaan dalam kekuatan dan kekakuan, lapisan yang memiliki serat sejajar terhadap tegangan jauh lebih efektif dibanding lapisan yang memiliki serat tegak lurus terhadap tegangan. Sebagai tambahan, jumlah layer ganjil yang digunakan dalam konstruksi kayu lapis lebih lanjut akan menyebabkan perbedaan dalam sifat-sifat bagian untuk suatu arah (katakanlah, sejajar dengan bagian yang berukuran 8 ft) dibanding dengan sifat-sifat bagian untuk arah lainnya (sejajar dengan bagian yang berukuran 4 ft). Dengan demikian, dua set sifat-sifat bagian silang diaplikasikan pada kayu lapis. Satu set digunakan untuk tegangan-tegangan yang sejajar dengan dimensi 8 ft, dan satu set lainya digunakan untuk tegangan-tegangan yang sejajar sengan dimensi 4 ft. Bahkan jika ketebalan sheathing dan kapasitas beban seragam rujukan (reference uniform load
139 capacity) dapat dibaca pada tabel (perhitungan struktural tidak diperlukan), orientasi panel dan sifat-sifat arahnya merupakan hal yang penting dalam ketepatan penggunaan kayu lapis tersebut. Sheating lantai Menururt Breyer et al. (2007), panel struktural kayu ataupun bambu digunakan untuk konstruksi lantai dengan dua cara. Satu sistem melibatkan dua layer dari panel, dan sistem lainnya melibatkan satu layer. Istilah yang digunakan mengacu pada layer panel yang berbeda adalah : 1. Subfloor – layer bawah dalam sistem dua layer 2. Underlayment – layer atas dalam sistem dua layer 3. Kombinasi subfloor-underlayment – sistem satu layer Penutup lantai seperti lembaran atau ubin vinyl, keramik, kayu daun lebar, atau karpet biasanya tersedia di pasaran. Dalam sistem dua layer, subfloor merupakan bahan sheathing struktural dasar Untuk panel dengan span rating ini, angka yang kedua merupakan span yang direkomendasikan dalam inci jika panel tersebut digunakan sebagai subfloor. Beban hidup lantai masksimum tergantung pada jenis panelnya. Sebagaimana diuraikan pada sheathing atap, Tabel M9.2-1 dalam manual ASD/LRFD menyediakan nilai desain dasar kekuatan dan kekakuan lentur untuk penggunaan sheathing. Perlu dicatat bahwa jenis aplikasi panel struktural kayu untuk sheathing lantai tidak ditentukan oleh kriteria beban seragam, tetapi didasarkan pada defleksi beban terpusat, dan kenyamanan lantai buat penggunanya. Kriteria subjektif ini dan kriteria lainnya berkaitan dengan tingkat keterimaan penggunanya. Panel underlayment memiliki konstruksi venir muka berkualitas C-plug dan lapisan dalam berkualitas C khusus untuk melawan lekukan. Ketebalan underlayment adalah ¼ in. untuk remodeling atau penggunaan di atas subfloor berupa panel , dan 3/8 sampai ½ in untuk digunakan di atas subfloor berupa papan. Jika lantai akhir memiliki kapasitas struktural, layer underlayment tidak diperlukan. Lantai berupa potongan kecil (strip) kayu dan beton ringan adalah contoh lantai akhir yang tidak memerlukan penggunaan underlayment di atas subfloor.
140 Dalam konstruksi subfloor, panel harus digunakan dalam arah yang kuat dan harus nenutupi dua atau lebih span. Diantara dua tepi panel berdekatan yang tidak berpenopang harus diperkuat oleh salah satu unsur berikut : 1.
Tepi T & G (tongue and grouve)
2. Blocking 3. Underlayment setebal ¼ in. dengan tepi panel menutupi subfloor 4. Beton ringan setebal 3/2 in. di atas subfloor 5. Penutup lantai berupa kepingan kayu setebal ¾ in. Sebagaimana bahasan pada sheathing atap, span rating dari sheathing dapat langsung digunakan untuk menentukan sheathing panel yang disyaratkan. Untuk beban yang lebih besar, span rating dapat digunakan secara tidak langsung untuk menentukan sheathing panel yang disyaratkan. Pemanfaatan lain dari bambu lapis adalah untuk bahan baku pembuatan meubel (furniture). Bambu lapis dalam hal ini dapat dimanfaatkan sebagai daun meja, rak buku dan lemari. Berbeda untuk pengunaan penutup dinding yang memerlukan ukuran bambu lapis yang standar, maka untuk keperluan bahan baku mebeul ini, ukuran dapat lebih kecil sesuai dengan tujuan pemakaian. 3. Sifat fisis dan mekanis bambu lapis Sifat fisis bambu lapis yang harus diperhatikan dalam penggunaannya adalah terutama sifat pengembangan dan penyusutannya tebalnya. Hal ini perlu ditegaskan mengingat bambu lapis mempunyai sifat pengembangan dan penyusutan tebal yang jauh lebih besar dibandingkan kayu maupun kayu lapis. Oleh karena itu, untuk penggunaan lantai, jangan menggunakan bambu lapis ini dikombinasikan dengan kayu lapis atau parquet kayu, agat permukaan lantai tetap rata. Sifat mekanis bambu lapis yang perlu mendapat perhatian sesuai dengan penggunaannya adalah MOE, MOR, dan keteguhan rekat. Untuk penggunaan bahan bangunan, karakteristik bambu lapis yang harus mendapat perhatian adalah ketebalan bambu lapis. Hal ini terkait dengan penggunaan bambu lapis baik yang bersifat struktural maupun non struktural. Untuk penggunaan struktural, sifat mekanis yang harus mendapat perhatian adalah nilai MOE dan MOR, serta keteguhan rekat, sedangkan bambu lapis yang digunakan untuk keperluan non
141 struktural, maka sifat mekanis uatama yang harus mendapat perhatian adalah nilai keteguhan rekatnya. 4. Kondisi pemakaian Pemanfaatan bambu lapis juga harus disesuaiakan dengan kondisi lingkungan yang ada. Untuk pemakaian bambu lapis yang yang sering terkena air atau kelembaban yang tinggi dalam jangka waktu yang relatif lama, maka sangat diasnjurkan untuk menggunakan bambu lapis tipe eksterior. Bambu lapis tipe eksterior dibuat dengan menggunakan perekat yang sesuai untuk keperluan itu. Perekat tersebut antara lain phenol formaldehyde (PF), melamine formaldehyde (MF), Methylene dimethyl isocianate (MDI), dan epoxy, sedangakan perekat yang tidak tahan air dan kelembaban dalam jangka waktu relatif lama antara lain poly vinyl acetate (PVAc), poly stirene, dan urea formaldehyde (UF). Kinerja perekat selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.1.
\ \
142 Tabel 7.1 Hubungan perekat kayu dengan tingkat resistensi terhadap pengaruh yang bersifat degradatif (SHMO) Tipe Perekat
Resisten terhadap Penggunaan
Stress
Heat
Moisture
Organism
E
E
E
E
Exterior Pollyood
PF
E
E
E
E
Exterior Pollyood
RF
E
E
E
E
Exterior Laminated Beam
MF
E
E-
E-
E
Exterior Polywood
UF
E
G-
G-
E
Interior Polywood
Casein
E
G
F
P
Interior Laminated Beam
Starch
F
G
P
P
Luber cave paper
Animal Protein
G
F
P
P
Furniture
PVAc
F
F-
P
E
Furniture
Rubber
P
P
F
E
Overlays, paper
MDI
Keterangan : E = Excellent, G= Good, P= Poor, F = Fail
Sumber : Pizzi (1994) dan Ruhendi et al., 2003
VIII. PEMBAHASAN UMUM Berbagai studi yang melibatkan beberapa peneliti telah dilakukan untuk membuat bambu lapis. Meskipun dari capaian telah berhasil membuat bambu lapis yang memenuhi persyaratan sifat fisis dan mekanis yang memnuhi SNI 015008.7-1999 maupun standar JIS A 5980- 2003, namun masih timbul permasalahan. Permasalahan utama yang dihadapi terkait kualitas bambu lapis meliputi dua hal, yaitu pertama, keteguhan mekanis bambu lapis pada arah tegak lurus serat yang nilainya lebih rendah dibanding keteguhan mekanis sejajar serat, dan ke dua, masa pakai bambu lapis yang relatif singkat akibat serangan hama penggerek. Selain itu untuk dapat memahami produk bambu lapis secara holistik, beberapa materi penelitain dan studi pustaka dipaparkan juga dalam tulisan ini. Materi dimaksud dimualai dari pemahaman tentang sifat-sifat bambu sebagai bahan baku, sifat-sifat bambu lapis, dan peningkatan kualitas bambu lapis. Bahasan selanjutnya berkaitan dengan perbandingan sifat-sifat dasar bambu lapis dengan kayu lapis. Perbandingan ini perlu dijelaskan, mengingat salah satu manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah mengembangkan penggunaan bambu sebagai pengganti kayu dalam pembuatan kayu lapis sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku kayu serta memberikan solusi alternatif penanggulangan kekurangan bahan baku baku bagi industri pengolahan kayu di Indonesia. Pada bagian terakhir, dicoba dipaparkan mengenai analisis teknis pemanfaatan dari bambu lapis yang dihasilkan. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa dari aspek bahan baku, bambu ternyata memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Salah satu kelebihan dari bambu adalah keteguhan tarik sejajar seratnya yang sangat tinggi, sedangkan kelemahannya adalah keteguhan tarik tegak lurus seratnya (keteguhan belah) yang sangat rendah. Dengan dibuat menjadi bambu lapis, maka kekurangan bambu tersebut dapat diatasi. Hal ini dapat terjadi karena konstruksi bambu lapis yang tiap lapisan penyusunnya direkat dengan arah serat bersilangan tegak lurus pada lembaran yang berdekatan. Dengan konstruksi yang demikian, maka selain dapat mengatasi kelemahan tersebut, maka bambu lapis yang dihasilkanjuga mempunyai
144 stabilitas dimensi yang lebih seragam, baik ke arah panjang panel maupun ke arah lebar panel. Berkaitan dengan sifat-sifat dasar bambu lapis, maka sifat fisis dan mekanis bambu lapis ternyata bukan saja dipengaruhi oleh jenis bahan bakunya, tetapi juga dipengaruhi oleh perekat yang digunakan. Semakin tinggi kerapatan bahan baku bambunya, maka semakin tinggi pula kerapatan bambu lapis yang dihasilkan, dan sebaliknya, semakin rendah kerapatan bahan baku bambunya, maka semakin rendah pula kerapatan bambu lapis yang didapatkan. Penggunaaan perekat sangat menentukan sifat fisis dan mekanis bambu lapis yang dihasilkan. Semakin baik perekat yang digunakan, maka semakin baik pula sifat fisis dan mekanis bambu lapis yang dihasilkan. Dalam konteks penelitian ini yang menggunakan tiga jenis bambu dan lima jenis perekat, maka bambu lapis terbaik ditinjau
dari sifat fisis mekanisnya, dihasilkan dari perekat DMI dengan
menggunakan bambu betung. Hasil yang hampir sama diperoleh dengan menggunakan perekat DMI atau MF pada bambu tali. Bab V yang membahas mengenai peningkatan kualitas bambu lapis. Dua topik utama yang diteliti merupakan upaya peningkatan sifat mekanis ke arah tegak lurus serat bambu lapis, dan upaya peningkatan keawetan bambu lapis. Pada topik pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan jahitan dan lakban meningkatkan keteguhan rekat bambu lapis, baik pada arah sejajar serat maupun pada arah tegak lurus serat tanpa menurunkan sifat fisisnya. Perlakuan jahitan memberikan peningkatan sifat keteguhan rekat yang lebih baik dibanding perlakuan lakban, baik pada arah sejajar serat maupun arah tegak lurus serat. Bambu lapis terbaik dihasilkan dengan perlakuan jahitan dengan jarak antar jahitan sebesar 5 cm dengan menggunakan perekat PF. Pada topik kedua, berdasarkan analisis kimia pada bambu lapis sebelum dan sesudah perlakuan perendaman, ternyata perlakuan dengan perendaman air kapur terbukti mengurangi jumlah kandungan pati pada bambu. Hal ini berarti peluang bambu lapis untuk diserang hama penggerek menjadi semakin kecil, karena hama penggerek pada dasarnya memakan pati sebagai sumber makanannya. Walaupun demikian, dari sifat fisis mekanis ternyata perlakuan dengan menggunakan perendaman dalam air sungai selama dua minggu menghasilkan bambu lapis yang terbaik, sedangkan perlakukan dengan air kapur menghasilkan sifat fisis dan
145 mekanis bambu lapis yang sedikit lebih rendah dari kayu lapis yang mendapat perlakuan perendaman dalam air sungai. Menyikapi hasil ini, maka untuk tujuan mengurangi serangan hama penggerek, perlakuan dengan air kapur merupakan salah satu solusi untuk mendapatkan bambu lapis berkualitas, dalam konteks memiliki kekuatan yang tinggi sekaligus relatif lebih tahan terhadap serangan hama penggerek. Perekat yang direkomendasikan untuk keperluan tersebut adalah perekat MDI. Pada Bab VI yang membahas mengenai perbandingan antara sifat-sifat dasar bambu lapis dan kayu lapis, dapat diambil kesimpulan bahwa secara keseluruhan bambu lapis yang dibuat mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan kayu lapis yang dibuat dengan bahan baku dari jenis meranti maupun jenis kayu cepat tumbuh. Kualitas bambu lapis yang dicerminkan oleh sifat fisis dan mekanisnya tersebut secara keseluruhan telah memenuhi bahkan melampai standar yang ditetapkan, yaitu SNI 01-5008.7-1999 maupun standar JIS A 5980- 2003. Dengan demikian maka bambu lapis yang dibuat dapat mensubstitusi kayu lapis yang dibuat dari jenis kayu cepat tumbuh yang belakangan mendominasi pasaran kayu lapis. Dari analisis teknis pemanfaatan bambu lapis yang diuraikan pada Bab VII dapat ditarik kesimpulan bahwa bambu lapis pada prinsipnya dapat digunakan sebagai bahan bangunan maupun meubel.
Berkaitan dengan pemanfaatan
tersebut, ada bebrapa kriteria yang perlu diperhatikan agar bambu lapis tersebut dapat dimanfaatkan secara efisien dan efektif. Kriteria tersebut adalah : dimensi bambu lapis, karakteristik pemanfaatan, sifat fisis dan mekanis, dan kondisi pemakaian bambu lapis.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Bambu lapis dari bambu betung dengan perekat isocyanate (MDI) pada perlakuan perendaman memiliki sifat fisis dan mekanis yang lebih baik dibandingkan dengan bambu lapis lainnya, serta memiliki nilai parameter yang memenuhi standar SNI 01-5008.7-1999 tentang kayu lapis struktural. Perlakuan jahitan dan lakban meningkatkan keteguhan rekat bambu lapis, baik pada arah sejajar serat maupun pada arah tegak lurus serat tanpa menurunkan sifat fisisnya. Perlakuan jahitan memberikan peningkatan sifat keteguhan rekat yang lebih baik dibanding perlakuan lakban, baik pada arah sejajar serat maupun arah tegak lurus serat. Bambu lapis terbaik dihasilkan dengan perlakuan jahitan dengan jarak antar jahitan sebesar 5 cm dengan menggunakan perekat PF. Perlakuan dengan perendaman air kapur terbukti mengurangi jumlah kandungan pati pada bambu. Hal ini berarti peluang bambu lapis untuk diserang hama penggerek menjadi semakin kecil Bambu lapis yang dihasilkan dari penelitian ini secara umum telah memenuhi bahkan melampau pesyaratan standar
baik SNI 01-5008.7-1999
maupun standar JIS A 5980- 2003. Bambu lapis berbahan baku bambu tali, andong, dan betung yang dihasilkan dari penelitian ini mempunyai sifat fisis dan mekanis yang lebih baik dibandingkan dengan bambu lapis yang berbahan baku jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species) seperti sengon, kayu afrika, mangium, dan jabon. Dengan demikian bambu lapis tersebut dapat dijadikan sebagai alternatif sebagai bahan substitusi kayu lapis dari jenis kayu cepat tumbuh. Saran Untuk lebih meyakinkan bahwa telah terjadinya peningkatan keawetan bambu setelah diberi perlakuan perendaman, maka perlu dilakukan uji kubur bambu selama satu sampai dua tahun.
147
X. DAFTAR PUSTAKA Bamboo Network. 2002. Why Bamboo Research ?w.w.w. bamboonetworks.com/why bamboo.asp Bamboo networks/why bamboo.asp (12 Desember 2002). Bowyer JL, Shmulssky R, and Haygreen JG. 2003. Forest Products and Wood Science. An Introduction, Fourth Edition. Oowa State Press, A Blackwell Publishing Company, Iowa 50014. Breyer DE, Fridley KJ, Cobeen KE, Pollock DG. Design of Wood Structures ASD/LRFD. Volume 1. Sixth Edition. The McGraw Hill Companies. New York, NY10121-2298. Departemen Kehutanan. 2004. Neraca Sumberdaya Hutan Nasional Taun 2003. Pusat Informasi dan Statistik Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. Jakarta. Depaetemen Kehutanan. 2009. Data release 2009. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Jakarta. www.dephut.go.id [ 1 Juli 2009] Diver S. 2001. Bamboo : A Multipurpose agroforestry crop. Appropiate Technology Transfer for Rural Areas (ATTRA). www.attra.ncat.org.[1Agustus 2008] Dransfield S, Widjaja EA. 1995. Plants Resources of South East Asia No. 7 Bamboos. Backhuys Publisher. Leiden. Dransfield S, Widjaja EA. 1995. Plant Resources of South East Asia. PROSEA No. 7 : Bamboo, Bachuys Publiser. Leiden. Dumanauw JF. 1990. Mengenal Kayu. Penerbit Kanisius. Semarang. Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu :Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Penerjemah : Sastrohamidjojo H. Gajah Mada University Press. Frihart CR. 2005. Wood Adhesion and Ahesives. In : Rowel, R.M. (Ed.); Handbook of Wood Chemistry and Wood Composite.CRC Press, Washington, USA. Ganapathy PM. 1992. Development of bamboo mat board in the context of diminishing wood supplies in tropical forests. In Proceedings of IUFRO All Division 5 Conference, Nancy, France, 23-28 August 1992 Chap.9. Gusmailina, Suwardi S.1988. Analisis kimia sepuluh jenis bambu dari Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol 5(5): 290-293.
148 Hadi YS dan Ruhendi S. 1997. Perekat dan Perekatan. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Iriayanto W. 2012. Pengaruh Perendaman dan Jenis Perekat Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Lapis dari Bambu Tali (Gigantochloa apus [J. A. & J. H. Schultes] Kurz). Skripsi Departemen Hasil Hutan. Fahutan IPB. Bogor. Irjayanti EP. Pengaruh Letak Sambungan terhadap Sifat Fisis Mekanis Bambu Lapis yang Terbuat dari Anyaman Bambu Tali ((Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz)) Jansen JA. 1985. Mechanical properties of Bamboo. In: Rao AN, Dhanarajan G, Sastry CB, editor. Recent Research on Bamboo. Proseeding of International Bamboo Workshop : Hangzhou, People’s Republiccof China, 6-14 Oct. 1985. w.w.w. inbar.int/publication/txt/INBAR pr 03 htm (12 Desember 2002). Japanese Standard Association. 2003. Japanese Industrial Standard (JIS) A 5980 : 2003. Japan. Kackdir. 2012. Betapa Banyaknya Manfaat Bambu untuk Kehidupan Manusia. w.w.w. Kackdir.blogspot (17 Januari 2012). Kliwon S. 1997. Pembuatan bambu lapis dari Bambu Tali (Gigantochloa apus). Bulletin Penelitian hasil Hutan Vol. 15 (No.3) : 190 – 199. Kliwon S, Iskandar MI, Sutigno P. 1996. Some properties of Bamboo Plywood. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Jenis-Jenis Pohon Serbaguna. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta. Kliwon S. 1998. Extender and Fillers for Pywood Adhesive Properties and Influence on Bonding Strength of Plywood. The Fourth Pacific Rim BioBased Composites Symposium. Bogor, Indonesia, November 2-5, 1998. Krisdianto, Sumarni G, Ismanto A. 2006. Sari Hasil Penelitian Bambu. http//w.w.w.go.id/informasi/litbang/teliti/bambu.htm.21 Nov. 2006. Kurniawan H. 2002. Sifat Mekanis laminasi Lengkung Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schulters.f) Backer ex Heyne) Menggunakan Perekat PVAc. Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fahutan IPB. Bogor. Kusumah SS. 2009. Pengembangan Papan Komposit Ramah Lingkungan dari Bambu, Finir, dan Log Core Kayu Karet (Hevea Brasiliensis Wild). Tesis Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
149 Landrock AH. 1985. Adhesives Technology Handbook. Noyes Publications. New Jersey. Lestari RP. 2012. Pengaruh Perlakuan Perendaman dan Jenis Perekat terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Parquet Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae) (Steudel)Widjaja)). Skripsi Departemen Hasil Hutan. Fahutan IPB. Bogor. Li XB. 2004. Physical,chemical, and mechanical properties of bamboo and its utilization potential for fiber board manufacturing [thesis) Lousiana : Lousiana State University. Li XB, Shufe TF,Hse CY. 2004. Specific gravity and bending properties of bamboo (Phyllostachys pubescens) grown in Central Lousiana. Di dalam Chubunsky M, editor. The Fourth Regional Coordination Council of Wood Science (RCCWS) International Symposium. Wood Structure, Properties, and Quality. St Petersburg Forest Technical Academy. St Peterburg. Hlm 269-271. Liese W. 1980. Jersey.
Adhesives Technology Handbook. Noyes Publications. New
Liese W. 1985. Anatomy of Bamboo. Proceeding Workshop Bamboo Research in Asia, Singapure 28-30 May 1980. Internatinal Development Research Center. Ottawa. Mardiana S. 2010. Pengaruh Jarak Sambungan dan Jenis Perekat terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Lapis dari Bambu Tali (Gigantochloa apus [J. A. & J. H. Schultes] Kurz). Skripsi Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Marra AA. 1992. Technology of Wood Bonding : Principle in Practise. Van Nostrad Reinhold. New York. Noermalicha. 2001. Rekayasa Rancang Bangun Laminasi Lengkungan Bambu. Tesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nugraha PY. 2006. Studi pembuatan bambu lapis dari anyaman Bambu Tali (Gigantochloa apus (J. A & J. H. Schultes) Kurz) dengan menggunakan perekat UF dan PF [skripsi]. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Nurfaridah I. 2002. Studi pembuatan bambu lapis pola anyaman dan jahitan dengan menggunakan perekat UF dan PF [skripsi] Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
150 Nuriyatin N. 2000. Studi analisa sifat-sifat dasar bambu pada beberapa tujuan penggunaan [Tesis]. Bogor; Program Pascasarjana, Institut pertanian Bogor. PAI. 2007. Technical data revisi : 3 01/01/2007. PT. Pamolite Adhesive Industry. Jakarta. Pizzi A. 1983. Wood Adhesive, Chemistry and Technology. Marcell Dekker. New York. Pizzi A. 1994. Advanced Wood Adhesive Technology. Marcell Dekker Inc. New York. Pizzi A dan Mittal KL. 1994. Handbook of Adhesive Technology. Marcel Dekke Inc. Basel. Newyork. Rao R, Sastry CB. 1995. Bamboo, People And the Environment, Vol. 3, Engineering and Utilization, INBAR Technical Report No. 8. Proceedings of the Vth International Bamboo Workshop and IV International Bamboo Congress, Bali, Indonesia, 19-22 June 1995. International Network for Bamboo and Rattan, New Delhi, India. pp. 155-164. Rosihan HA. 2005. Pengujian sifat fisis dan mekanis kayu lapis dari empat jenis kayu tanaman [skripsi]. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bpgor. Ruhendi S, Hadi YS. 1997. Perekat dan Perekatan. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Ruhendi S, Widarmana S. 1983. Kualitas Kayu Lapis Dari Beberapa Jenis Kayu Perdagangan Penting Menggunakan Phenol dan Urea Formaldehid Dengan Campuran Tepung Gadung dan Ubikayu. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fabutan IPB. Bogor. Ruhendi S, Koroh DN, Syamani FA, Yanti H, Nurhaida, Saad S, SuciptoT. 2007. Analisis Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Sastrapradja S, Widjaja, E.A, Prawiroatmodjo, Sunarko S.1980. Beberapa Jenis Bambu. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Bogor. Siau JF. 1995. Wood : Influence of Moisture on Physical Properties. Department of Wood Science and Forest Products,Virginia Polytechnic and State University. NY 12942. Sembiring Y. 2012. Sifat Fisis dan Mekanis Parquet dari Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult. F) Backer ex Heyne) dengan Perekat Epoxy, Isocyanate dan Melamine Formaldehyde. Skripsi Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
151 Standard Nasional Indonesia. 2000. Kayu Lapis Penggunaan Umun SNI 015008.2-2000. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Standard Nasional Indonesia. 1999. Kayu Lapis Struktural SNI 01-5008.7-1999. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Sukadaryati. 2006. Potensi Hutan Rakyat di Indonesia dan Permasalahannya. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 49-57). Subiyanto, B.; Subyakto. 1996. Development of semifiber bamboo board processing technology: shortening the press cycle. In Ramanuja Rao, IV.; Sastry, CB, ed., Bamboo, People & the Environment, Vol. 3, Engineering and Utilization, INBAR Technical Report No. 8. Proceedings of the Vth International Bamboo Workshop and IV International Bamboo Congress, Bali, Indonesia, 19-22 June 1995. International Network for Bamboo and Rattan, New Delhi, India. pp. 155-164. Sulastiningsih IM dan Sutigno P. 1994. Some properties of bamboo plywood (Plybamboo) glued with Urea Formaldehyde. Indonesia Journal of Tropical Agriculture 5 (2) : 67 – 72. Sulastiningsih IM, Nurwati, Yuniarti K. 2005. Teknologi pembuatan bambu lamina dan bambu lapis. Di dalam : Penyelamatan industry kehutanan melalui implementasi hasil ristek. Prosiding seminar hasil Litbang hasil hutan; Bogor, 30 November 2005. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Hlm 131 – 241. Suryana J, Massijaya MY, Kusumah SS. 2009. Peningkatan Kualitas Bambu Lapis Unggulan Menggunakan Lima Jenis Perekat dari Tiga Jenis Bambu Indonesia. Kerjasama antara Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Fakultas Kehutanan IPB. Suryana J, Massijaya MY, Kusumah S. 2010. Peningkatan Kualitas Bambu Lapis Unggulan sebagai Bahan Bangunan. Kerjasama antara Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Fakultas Kehutanan IPB. Syafi’i LI. 1984. Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis Contoh Kecil Bebas Cacat Beberapa Jenis Bambu. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tamolang FN, Lopez FR, Semara SA, Casin RF, Espiloy TB. 1980. Properties and Utilization of Philipines Erect Bamboos. Dalam: Bamboo Research in Asia. Singapore, 28-30 May 1980. International Development Research Centre. Ottawa. Ulfah D. 2006. Analisis sifat anatomi bambu Apus (Gigantochloa apus Kurz) dari dusun Cangkringan Kabupaten Sleman. Di dalam : Pengembangan Teknologi Pemanfaatan Hasil Hutan Berbasis Masyarakat. Prosiding
152 seminar Nasional Masyarakat peneliti Kayu Indonesia (Mapeki) IX; Banjarbaru, 11 – 13 Agustus 2006. Banjarbaru: Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI). Hlm 19 – 25. Utomo GR.2011.Resin Melamin Formaldehida. http:wbilangapax.blogspot.com /2011/02/resin-melamin-formaldehida.html[2Januari 2012] Vick CB. 1999. Wood Handbook, Wood as an Engineering Material. Chapter 9. Adhesive Bonding of Wood Materials. Forest Products Society. USA. Wancik A. 2009. Kelebihan dan kekurangan Material. Wancik.wordpress.com.(28 Maret 2009). Widjaja EA. 1989. Tumbuhan Anyaman Indonesia. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Widjaja EA. 2001. Identifikasi Jenis-Jenis Bambu di Jawa. Puslitbang Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bogor. Yap FKH. 1997. Bambu Sebagai Bahan Bangunan. Lembaga Masalah Bangunan. Bandung. Zhu HM. 1996. Bamboo based boards in China: an introduction. In Ramanuja Rao, I.V.; Sastry, C.B., ed., Bamboo, People & the Environment, Vol. 3, Engineering and Utilization, INBAR Technical Report No. 8. Proceedings of the Vth International Bamboo Workshop and IV International Bamboo Congress, Bali, Indonesia, 19-22 June 1995. International Network for Bamboo and Rattan, New Delhi, India. pp. 140-154 Zoolagud, S.S. 1990. Recent developments in bamboo board manufacture and future research needs. In Ramanuja Rao, I.V.; Gnanaharan, R.; Sastry, C.B., ed., Bamboos: current research. Proceedings of the International Bamboo Workshop, Cochin, India, 14-18 November 1988. Kerala Forest Research Institute, Kerala, India; International Development Research Centre, Ottawa, Canada. pp. 291-293.
152
Lampiran 1 Data kerapatan, perekat UF Perlakuan
Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Ulangan
Jenis bambu Tali
Andong
Betung
1
0.68
0.73
0.77
2
0.72
0.77
0.82
3
0.68
0.73
0.78
1
0.71
0.71
0.80
2
0.74
0.74
0.84
3
0.72
0.75
0.82
1
0.68
0.70
0.80
2
0.69
0.72
0.78
3
0.70
0.75
0.82
1
0.70
0.72
0.81
2
0.66
0.69
0.74
3
0.68
0.74
0.68
1
0.72
0.74
0.82
2
0.72
0.72
0.82
3
0.74
0.76
0.84
1
0.71
0.77
0.81
2
0.69
0.74
0.78
3
0.69
0.74
0.78
1
0.68
0.68
0.78
2
0.70
0.70
0.82
3
0.70
0.72
0.80
153
Lampiran 2 Data kerapatan, perekat PF Perlakuan
Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Ulangan
Jenis bambu Tali
Andong
Betung
1
0.69
0.74
0.78
2
0.74
0.78
0.82
3
0.70
0.75
0.79
1
0.72
0.72
0.82
2
0.74
0.75
0.84
3
0.74
0.76
0.82
1
0.70
0.71
0.80
2
0.71
0.74
0.78
3
0.72
0.75
0.83
1
0.71
0.72
0.82
2
0.68
0.74
0.77
3
0.67
0.75
0.80
1
0.73
0.76
0.82
2
0.73
0.72
0.81
3
0.74
0.74
0.84
1
0.72
0.78
0.81
2
0.69
0.75
0.78
3
0.71
0.75
0.80
1
0.68
0.70
0.78
2
0.71
0.74
0.82
3
0.73
0.72
0.81
153
154 Lampiran 3 Data kerapatan, perekat PVAc Perlakuan Ulangan
Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Jenis bambu Tali
Andong
Betung
1
0.67
0.71
0.76
2
0.71
0.76
0.81
3
0.66
0.74
0.77
1
0.70
0.71
0.79
2
0.73
0.74
0.83
3
0.71
0.75
0.82
1
0.66
0.70
0.79
2
0.68
0.73
0.78
3
0.70
0.74
0.82
1
0.70
0.71
0.80
2
0.66
0.74
0.76
3
0.68
0.74
0.79
1
0.72
0.75
0.82
2
0.72
0.73
0.80
3
0.74
0.74
0.82
1
0.71
0.77
0.81
2
0.68
0.75
0.78
3
0.69
0.74
0.78
1
0.68
0.70
0.78
2
0.70
0.74
0.80
3
0.70
0.72
0.80
155 Lampiran 4. Data Kadar air, perekat UF Perlakuan Ulangan
Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Jenis bambu Tali
Andong
Betung
1
7.69
7.80
8.66
2
7.21
7.82
8.24
3
8.20
8.18
8.15
1
7.82
8.14
8.70
2
7.90
8.42
8.56
3
8.10
8.14
8.32
1
7.54
7.82
8.02
2
7.40
7.84
7.88
3
7.20
7.48
7.68
1
7.12
7.53
7.26
2
7.88
7.74
7.12
3
7.64
7.34
7.56
1
8,20
7.98
8.80
2
7.80
7.96
9.10
3
8.10
8.14
9.00
1
7.54
8.23
8.30
2
7.78
8.44
8.42
3
7.42
8.58
8.34
1
7.12
8.12
8.20
2
7.34
8.50
8.10
3
7.60
8.24
8.64
155
156 Lampiran 5 Data Kadar air, perekat PF Perlakuan Ulangan
Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Jenis bambu Tali
Andong
Betung
1
7.20
7.40
7.96
2
6.91
8.02
8.10
3
7.20
7.68
8.02
1
7.54
7.84
8.64
2
7.40
7.82
8.46
3
7.60
7.64
8.38
1
7.04
7.22
7.82
2
7.12
7.26
7.58
3
6.90
7.30
7.68
1
7.02
7.12
7.16
2
7.48
7.66
6.82
3
7.04
7.28
7.36
1
8,10
8.42
8.10
2
7.60
8.16
9.14
3
8.00
8.44
8.86
1
7.44
8.23
8.68
2
7.18
7.64
8.42
3
7.12
7.88
8.30
1
7.02
7.62
7.80
2
7.16
7.50
7.30
3
7.22
7.44
7.64
157 Lampiran 6 Data Kadar air, perekat PVAc Perlakuan Ulangan
Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Jenis bambu Tali
Andong
Betung
1
9.68
10.10
9.90
2
9.26
9.04
10.10
3
9.45
9.68
10.12
1
9.70
9.46
10.62
2
10.32
9.22
10.46
3
10.12
9.64
10.38
1
10.02
9.20
10.88
2
9.88
9.96
10.46
3
9.60
9.84
10.68
1
9.24
9.30
9.84
2
9.10
9.34
10.02
3
9.54
9.84
10.26
1
9.80
7.82
10.14
2
10.10
10.16
11.16
3
10.00
10.40
10.82
1
9.90
9.24
10.68
2
10.42
9.44
10.44
3
9.34
7.58
10.20
1
9.82
9.88
9.90
2
9.68
9.80
9.64
3
9.92
9.86
9.86
157
158 Lampiran 7 Data keteguhan rekat sejajar serat, perekat UF Perlakuan Ulangan Tali Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Jenis bambu Andong
Betung
1
8.90
7.35
8.40
2
8.94
8.61
8.80
3
8.35
8,34
9.20
1
24.20
22.45
22.48
2
24.80
25.22
24.58
3
26.20
28.18
28.30
1
17.40
15.60
15.20
2
18.11
19.43
16.86
3
16.30
20.32
19.54
1
14.30
13.45
13.28
2
16.15
17.73
17.33
3
16.60
17.18
17.45
1
18.10
15.10
16.34
2
19.83
19.12
23.91
3
22.40
20.14
24.10
1
14.34
15.23
15.40
2
15.98
16.97
16.99
3
18.28
19.25
19.24
1
12.32
13.15
13.10
2
14.22
16.31
15.26
3
16.24
17.34
17.30
159 Lampiran 8 Data Keteguhan rekat sejajar serat, Perekat PF Perlakuan Ulangan Tali Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Jenis bambu Andong
Betung
1
8.40
9.15
9.60
2
7.74
11.01
12.46
3
8.34
13.20
14.42
1
28.40
18.22
26.58
2
31.66
22.02
29.30
3
36.30
26.24
34.42
1
16.17
16.04
16.30
2
19.62
18.08
20.20
3
22.41
20.24
24.76
1
14.20
14.12
15.34
2
16.21
16.05
17.09
3
18.04
18.25
19.32
1
19.06
18.22
20.06
2
22.24
20.64
24.06
3
25.18
25.34
28.30
1
15.25
15.04
15.08
2
17.91
18.14
18.40
3
21.20
19.38
21.72
1
14.20
14.26
14.50
2
16.20
16.30
17.71
3
18.14
18.04
18.22
159
160 Lampiran 9 Data keteguhan rekat sejajar serat, perekat PVAc Perlakuan Ulangan Jenis bambu Tali Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Andong
Betung
1
6,79
8.18
8.23
2
7.34
9.02
8.21
3
7.14
10.22
8.04
1
16.29
22.52
14.30
2
18.69
26.81
16.26
3
21.33
29.87
17.80
1
13.20
12.38
12.88
2
15.22
14.37
15.34
3
17.24
15.85
17.20
1
15.10
10.20
10.04
2
18.45
12.16
12.79
3
21.86
14.12
14.52
1
10.16
15.24
9.42
2
12.84
18.20
11.68
3
14.80
21.16
13.70
1
8.20
13.35
8.72
2
10.06
16.06
8.84
3
12.16
19.79
9.14
1
8.55
12.44
5.40
2
11.73
15.76
7.68
3
14.70
18.90
9.27
161 Lampiran 10 Data keteguhan rekat tegak lurus serat, perekat UF Perlakuan Ulangan Jenis bambu Tali Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Andong
Betung
1
8.35
6.64
8.28
2
8.83
7.92
8.50
3
10.12
10.10
8.60
1
23.28
22.04
21.46
2
26.23
24.20
24.46
3
29.24
26.24
27.52
1
13.38
11.30
12.44
2
16.34
14.26
16.16
3
19.42
17.22
20.06
1
14.60
11.50
11.42
2
17.43
13.84
14.73
3
22.45
17.02
17.80
1
11.22
10.34
10.78
2
14.30
12.54
12.22
3
17.68
14.56
16.60
1
11.03
9.22
9.34
2
13.97
12.00
13.59
3
14.60
13.76
15.08
1
8.70
8.76
8.25
2
10.56
10.60
11.02
3
14.22
12.80
13.19
161
162 Lampiran 11 Data Keteguhan rekat tegak lurus serat, Perekat PF Perlakuan Ulangan Jenis bambu Tali Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Andong
Betung
1
9.39
10.02
11.77
2
12.15
12.14
14.59
3
14.88
14.26
17.80
1
26.44
26.48
28.12
2
30.56
30.60
32.18
3
34.80
34.72
36.18
1
17.48
16.70
18.28
2
20.10
19.70
22.08
3
22.90
24.08
26.06
1
13.30
13.59
14.40
2
16.40
16.93
16.96
3
19.62
18.80
20.12
1
17,20
16.92
20.22
2
21.31
21.09
24.12
3
25.24
25.74
28.14
1
15.31
15.45
15.28
2
18.20
18.17
18.22
3
21.15
21.04
21.16
1
12.44
12.32
13.76
2
15.51
15.54
16.87
3
18.85
18.94
19.80
163 Lampiran 12 Data Keteguhan rekat tegak lurus serat, Perekat PVAc Perlakuan Ulangan Jenis bambu Tali Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Andong
Betung
1
7.43
7.04
8.44
2
8.56
8.24
9.38
3
8.98
9.68
10.38
1
18.42
21.64
15.16
2
20.71
26.44
18.26
3
24.65
31.12
21.24
1
13.40
13.14
12.10
2
16.22
16.06
15.06
3
19.04
19.46
18.32
1
8.32
8.34
10.28
2
10.12
9.90
12.28
3
12.04
12.24
14.64
1
15.54
16.40
8.12
2
17.75
17.51
10.24
3
21.07
20.45
12.30
1
11.46
11.34
5,70
2
14.90
14.88
9.16
3
17.80
17.94
10.34
1
9.52
10.44
5.54
2
12.69
12.71
7.73
3
15.74
14.80
9.53
163
164 Lampiran 13 Data MOE sejajar serat, perekat UF Perlakuan Ulangan
Jenis bambu Tali
Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Andong
Betung
1
66790
83343
99024
2
68742
82874
92997
3
65878
80421
96326
1
69012
85374
95842
2
69158
85070
97408
3
66234
86885
96124
1
67426
85112
95234
2
66468
84754
97272
3
65534
85128
95362
1
64374
84644
93034
2
69592
85250
96248
3
66428
84432
94653
1
64268
86980
97321
2
63662
85890
98900
3
68265
86452
98514
1
69720
83021
94218
2
67009
84219
93918
3
65342
83428
96126
1
64430
84102
92034
2
83951
81636
96575
3
69540
83986
95340
165 Lampiran 14 Data MOE sejajar serat, perekat PF Perlakuan Ulangan
Jenis bambu Tali
Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Andong
Betung
1
59790
96342
108024
2
63742
93874
112997
3
59878
95412
108326
1
61012
98374
116842
2
65158
94070
119408
3
62234
95885
118124
1
60426
95112
109234
2
61468
96754
116272
3
64534
94128
114362
1
61374
94644
108034
2
62592
96250
113248
3
59428
95432
115653
1
65268
98980
110321
2
63662
97890
109900
3
61265
96452
115514
1
63720
95021
119218
2
59009
97219
117918
3
62342
95428
117126
1
59430
94102
109034
2
61951
90636
114575
3
59540
96986
112340
165
166 Lampiran 15 Data MOE sejajar serat, perekat PVAc Perlakuan Ulangan Tali Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Jenis bambu Andong
Betung
1
54332
80342
93024
2
52337
79874
98997
3
50960
80512
95326
1
54724
89374
97842
2
56385
89070
101408
3
51886
86885
101124
1
50397
88112
94234
2
52198
87754
99272
3
55773
85128
97362
1
50928
84644
94034
2
54756
86250
99248
3
51663
86432
96653
1
55228
83980
96321
2
53472
80890
98900
3
51332
86452
98514
1
50105
84021
94218
2
52344
80219
97918
3
54543
80428
94126
1
52554
80102
94034
2
50655
82636
97575
3
53282
80986
95340
167 Lampiran 16 Data MOE tegak lurus serat, perekat UF Perlakuan Ulangan Tali Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Jenis bambu Andong
Betung
1
54329
73343
89024
2
58021
72874
83997
3
55532
70421
86326
1
67032
83374
93842
2
66172
83070
95408
3
64741
84885
94124
1
64426
82112
91234
2
63468
81754
93272
3
62534
82128
91362
1
57374
81644
88034
2
60592
82250
91248
3
58428
81432
89653
1
61268
80980
91321
2
60662
79890
92900
3
68265
80452
93514
1
60720
83021
94218
2
58009
76219
85918
3
57342
73428
86126
1
55430
71102
90034
2
57951
71636
84575
3
59540
73986
87340
167
168 Lampiran 17 Data MOE tegak lurus serat, perekat PF Perlakuan Ulangan Tali Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Jenis bambu Andong
Betung
1
49672
86338
98025
2
53639
83890
102954
3
49721
85430
98347
1
59014
96382
112850
2
63148
92074
115413
3
60242
93876
114134
1
56471
91118
105242
2
57464
92758
111260
3
60540
90130
110347
1
55367
90642
98040
2
56590
92253
103252
3
54430
91436
105660
1
57272
93982
108313
2
55658
92894
105912
3
53274
91458
112525
1
56726
91025
107222
2
50012
92228
106924
3
52338
91434
107132
1
49826
85102
99050
2
51951
84640
104568
3
53538
86988
102338
169 Lampiran 18 Data MOE tegak lurus serat, perekat PVAc Perlakuan Ulangan Tali Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Jenis bambu Andong
Betung
1
44328
70338
83032
2
42412
69866
88995
3
40872
70508
85330
1
52818
86365
95838
2
54475
83062
97414
3
49794
83878
97134
1
47406
84108
90240
2
49227
83746
94284
3
52802
81132
91375
1
45894
78653
87041
2
40880
80246
91255
3
44675
80427
91646
1
50228
78978
90317
2
48483
76886
90914
3
46440
80448
92522
1
46112
78018
89224
2
43338
75222
87920
3
46602
75434
86135
1
44614
70438
88028
2
43701
71642
86581
3
41314
70986
85336
169
170 Lampiran 19 Data MOR sejajar serat, perekat UF Perlakuan Ulangan
Jenis bambu Tali
Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Andong
Betung
1
468,72
700.12
910.30
2
490.50
680.98
880.35
3
524,34
662.05
850.44
1
540.12
720.16
900.22
2
499.45
704.32
860.30
3
466,36
685.10
880.42
1
512.32
715.42
892.34
2
489.74
690.46
865.38
3
468.20
670.34
850.20
1
502.67
702.16
888.14
2
489.46
680.84
850,39
3
458,92
660.42
820.54
1
468.45
700.10
876.40
2
488.88
680.34
845.34
3
510.24
660.65
812.30
1
490.20
698.42
863.24
2
468.92
677.45
838.12
3
453.12
654.38
820.44
1
488.34
690.25
820.10
2
462.40
669.32
803.44
3
440.22
650.40
786.38
171 Lampiran 20 Data MOR sejajar serat, perekat PF Perlakuan Ulangan
Jenis bambu Tali
Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Andong
Betung
1
478,64
720.21
930.10
2
510.48
700.86
900.28
3
544,46
682.20
870.42
1
560.44
725.22
935.24
2
520.20
714.14
905.26
3
488,42
685.15
880.42
1
550.26
724.38
932.34
2
500.68
704.52
905.42
3
476.24
684.27
874.18
1
540.75
720.20
930.14
2
465.38
700.92
900,40
3
468,82
682.36
872.54
1
482.54
730.10
935.40
2
498.88
710.45
906.38
3
520.42
690.70
875.20
1
480.20
718.34
932.26
2
488.88
705.40
900.20
3
510.20
684.28
874.38
1
480.26
720.22
930.10
2
510.40
700.88
903.40
3
448.18
684.25
870.42
171
172 Lampiran 21 Data MOR sejajar serat, perekat PVAc Perlakuan Ulangan Tali Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Jenis bambu Andong
Betung
1
366,20
600.26
811.30
2
390.52
581.14
781.47
3
424,41
562.08
750.25
1
440.06
620.17
815.08
2
399.55
604.20
782.16
3
366,44
585.22
754.42
1
412.30
615.38
812.92
2
389.68
590.40
784.75
3
368.24
570.47
754.46
1
402.70
602.24
812.20
2
389.56
580.90
781,38
3
358,80
560.40
752.22
1
368.34
600.14
817.26
2
388.95
580.45
786.04
3
410.32
560.70
752.25
1
390.06
598.41
813.31
2
368.94
577.60
788.26
3
353.22
554.46
750.40
1
388.30
590.25
812.12
2
362.33
569.28
783.47
3
340.28
550.36
756.45
173
Lampiran 22 Data MOR tegak lurus serat, perekat UF Perlakuan Ulangan Tali Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Jenis bambu Andong
Betung
1
418,70
650.12
800.38
2
440.48
632.95
810.25
3
474,26
612.20
780.42
1
520.12
701.02
870.18
2
479.45
674.25
840.32
3
456,36
655.08
850.36
1
512.32
695.36
862.37
2
469.68
660.50
835.45
3
444.16
650.32
840.27
1
422.75
660.20
808.15
2
449.50
633.84
810,44
3
478,88
610.35
786.50
1
468.45
680.08
846.44
2
448.88
610.53
815.38
3
480.32
650.80
842.35
1
470.20
668.47
833.22
2
460.92
657.38
818.32
3
413.12
644.52
790.30
1
418.34
650.78
805.02
2
442.38
635.15
813.35
3
480.18
619.02
786.45
173
174 Lampiran 23 Data MOR tegak lurus serat, perekat PF Perlakuan Ulangan Tali Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Jenis bambu Andong
Betung
1
568,67
800.12
1010.35
2
590.52
780.98
980.86
3
624,34
762.05
950.45
1
640.12
820.16
1000.23
2
599.45
804.32
960.42
3
569,36
785.10
980.45
1
612.32
815.42
992.44
2
589.74
790.46
965.36
3
568.20
770.34
950.24
1
602.67
802.16
988.20
2
589.46
780.84
950,41
3
578,92
760.42
920.56
1
598.45
800.10
976.38
2
628.88
780.34
945.36
3
570.24
760.65
912.25
1
590.20
798.42
963.37
2
568.92
777.45
938.20
3
553.12
754.38
920.42
1
588.34
790.25
920.15
2
562.40
769.32
803.44
3
540.22
750.40
886.40
175
Lampiran 24 Data MOR tegak lurus serat, perekat PVAc Perlakuan Ulangan Tali Kontrol
Jahit berjarak 5 cm
Jahit berjarak 10 cm
Jahit berjarak 15 cm
Lakban berjarak 5 cm
Lakban berjarak 10 cm
Lakban berjarak 15 cm
Jenis bambu Andong
Betung
1
345,60
590.12
800.30
2
370.42
570.98
770.35
3
404,12
552.05
740.44
1
420.12
710.16
910.22
2
389.45
694.32
860.30
3
366,36
675.10
850.42
1
402.32
705.42
882.34
2
379.74
680.46
755.38
3
358.20
660.34
740.20
1
392.67
592.16
808.14
2
379.46
570.84
770,39
3
348,92
563.42
750.54
1
358.45
700.10
816.40
2
378.88
672.34
775.34
3
400.24
660.65
745.30
1
380.20
688.42
813.24
2
358.92
567.45
778.12
3
443.12
544.38
740.44
1
358.34
590.25
800.65
2
372.40
579.32
783.44
3
410.22
560.40
746.38
175
176
Lampiran 25 Class Level Information untuk kerapatan
The SAS System
14:01 Thursday, June 21, 2012 22 The GLM Procedure Class Level Information
Class
Levels
Perlakuan Perekat Bambu
7 3 3
Values a1 a2 a3 a4 a5 a6 a7 b1 b2 b3 c1 c2 c3
Number of Observations Read
189
Number of Observations Used
189
177
Lampiran 26. Analisis keragaman kerapatan bambu lapis The SAS System
14:01 Thursday, June 21, 2012 23
Dependent Variable: Kerapatan Sum of Source
DF
Squares
Mean Square F Value
Model
38
0.35551429
0.00935564
Error
150
0.05612804
0.00037419
Corrected Total 188
0.41164233 R-Square 0.863649
Source Perlakuan
DF 6
Coeff Var
Pr > F
25.00
<.0001
Root MSE Kerapatan Mean
2.594195
0.019344
0.745661
Type I SS Mean Square F Value 0.02573122 0.00428854 11.46
Pr > F <.0001
Perekat
2
0.00579788
0.00289894
7.75
0.0006
Bambu
2
0.30525185
0.15262593
407.89
<.0001
Perlakuan*Perekat
12
0.00317989
0.00026499
0.71
0.7418
Perlakuan*Bambu
12
0.01490370
0.00124198
3.32
0.0003
4
0.00064974
0.00016243
0.43
0.7838
Mean Square
F Value
Pr > F
Perekat*Bambu Source
DF Type III SS
Perlakuan
6
0.02573122
0.00428854
11.46
<.0001
Perekat
2
0.00579788
0.00289894
7.75
0.0006
Bambu
2
0.30525185
0.15262593
407.89
<.0001
Perlakuan*Perekat
12
0.00317989
0.00026499
0.71
0.7418
Perlakuan*Bambu
12
0.01490370
0.00124198
3.32
0.0003
4
0.00064974
0.00016243
0.43
0.7838
Perekat*Bambu
177
178
Lampiran 27 Uji lanjut Duncan untuk kerapatan bambu lapis berdasarkan perlakuan The SAS System
14:01 Thursday, June 21, 2012 24 Duncan's Multiple Range Test for Kerapatan
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
2 .01040
3 .01095
4
0.000374 5
.01131
150
6 .01158
7 .01179 .01196
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Perlakuan
A
0.763333
27
a5
0.760000
27
a2
0.748519
27
a6
0.742963
27
a1
A A B B C
B
C
B
C
B
0.740000
27
a3
D
0.736667
27
a7
0.728148
27
a4
C C
D D
179
Lampiran 28 Uji lanjut Duncan untuk kerapatan bambu lapis berdasarkan jenis bambu The SAS System
14:01 Thursday, June 21, 2012 2 The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for Kerapatan NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
150
0.000374 2
.006810
3 .007168
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Bambu
A
0.799365
63
c3
B
0.734921
63
c2
C
0.702698
63
c1
179
180
Lampiran 29 Uji lanjut Duncan untuk kerapatan bambu lapis berdasarkan perekat
The SAS System
14:01 Thursday, June 21, 2012 25 The GLM Procedur
Duncan's Multiple Range Test for Kerapatan NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise err rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
150
0.000374 2
3
.006810
.007168
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N Perekat
A
0.753492
63
b2
B
0.741905
63
b1
0.741587
63
b3
B B
181
Lampiran 30 Class Level Information untuk kadar air bambu lapis
The SAS System
13:00 Thursday, June 21, 2012 3
The GLM Procedure
Class Level Information
Class
Levels
Values
Perlakuan
7
a1 a2 a3 a4 a5 a6 a7
Perekat
3
b1 b2 b3
Bambu
3
c1 c2 c3
Number of Observations Read
189
Number of Observations Used
186
181
182
Lampiran 31. Analisis keragaman kadar air bambu lapis The SAS System
13:00 Thursday, June 21, 2012 4
Dependent Variable: KA Sum of Source
DF
Squares
Model
38
2528.762271
66.546376
Error
147
426.779293
2.903260
Corrected Total
185
2955.541564
Source
Mean Square
F Value Pr > F 22.92
R-Square
Coeff Var
Root MSE
0.855600
17.39022
1.703896
DF
Type I SS
<.0001
KA Mean 9.798011
Mean Square F Value
Pr > F
Perlakuan
6
269.231772
44.871962
15.46
<.0001
Perekat
2
1457.769532
728.884766
251.06
<.0001
Bambu
2
60.286171
30.143086
10.38
<.0001
Perlakuan*Perekat
12
465.733055
38.811088
13.37 <.0001
Perlakuan*Bambu
12
106.725740
8.893812
3.06
0.0007
Perekat*Bambu
4
169.016000
42.254000
14.55
<.0001
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value Pr > F
Perlakuan
6
263.476660
43.912777
15.13
<.0001
Perekat
2
1425.494368
712.747184
245.50
<.0001
Bambu
2
65.381754
32.690877
11.26
<.0001
Perlakuan*Perekat
12
472.179965
39.348330
13.55
<.0001
Perlakuan*Bambu
12
109.585845
9.132154
3.15
0.0005
4
169.016000
42.254000
14.55
<.0001
Perekat*Bambu
183 Lampiran 32. Uji Lanjut Duncan untuk kadar air berdasarkan perlakuan The SAS System
13:00 Thursday, June 21, 2012 5 Duncan's Multiple Range Test for KA
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
147 2.90326
Harmonic Mean of Cell Sizes 26.55068 NOTE: Cell sizes are not equal Number of Means Critical Range
2 0.924
3 0.973
4
5
1.005
6
1.029
7 1.047
1.062
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N Perlakuan
A
12.1959
27
a2
B
10.4320
25
a5
9.9430
27
a3
9.6804
27
a4
9.2689
27
a6
8.9892
26
a7
8.0937
27 a1
B C B C B C B C C C C D D D
183
184 Lampiran 33. Uji Lanjut Duncan untuk kadar air berdasarkan perekat
The SAS System
13:00 Thursday, June 21, 2012 6 The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for KA
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise err rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
147
2.90326 2
.6048
3 .6366
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Perekat
A
13.7671
62
b3
B
7.9660
62
b1
7.6610
62
b2
B B
185 Lampiran 34. Uji Lanjut Duncan untuk kadar air berdasarkan jenis bambu
The SAS System
13:00 Thursday, June 21, 2012 7 The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for KA
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
147 2.90326
Harmonic Mean of Cell Sizes 61.98925 NOTE: Cell sizes are not equal. Number of Means Critical Range
2 .6048
3 .6366
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Bambu
A
10.5811
63
c2
B
9.5797
61
c1
9.2171
62
c3
B B
185
186
Lampiran 35. Class Level Information keteguhan rekat sejajar serat The SAS System
19:22 Thursday, June 21, 2012 1 The GLM Procedure Class Level Information
Class
Levels
Perlakuan Perekat Bambu
7
Values a1 a2 a3 a4 a5 a6 a7
3
b1 b2 b3
3
c1 c2 c3
Number of Observations Read
189
Number of Observations Used
186
187
Lampiran 36 Analisis keragaman keteguhan rekat sejajar serat The SAS System
19:22 Thursday, June 21, 2012 2
Dependent Variable: Keteguhan_rekat_ss Sum of Source
DF
Squares
Model
38
4782.761605
125.862148
Error
147
1207.961786
8.217427
Corrected Total
185
Mean Square F Value
Coeff Var
Root MSE
0.798361
17.28237
2.866606
DF
15.32
<.0001
5990.723391
R-Square
Source
Pr > F
Type I SS
Mean Square
16.58688 F Value Pr > F
Perlakuan
6
3349.332966
558.222161
67.93
<.0001
Perekat
2
833.656377
416.828188
50.72
<.0001
Bambu
2
15.015504
7.507752
0.91
0.4033
Perlakuan*Perekat
12
214.030093
17.835841
2.17
0.0159
Perlakuan*Bambu
12
91.994761
7.666230
0.93
0.5160
Perekat*Bambu
4
278.731904
69.682976
8.48
<.0001
Mean Square
F Value
Pr > F
Source
DF
Type III SS
Perlakuan
6
3347.583675
557.930613
67.90
<.0001
Perekat
2
828.884528
414.442264
50.43
<.0001
Bambu
2
14.224729
7.112365
0.87
0.4230
Perlakuan*Perekat
12
214.030093
17.835841
2.17
0.0159
Perlakuan*Bambu
12
93.910532
7.825878
0.95
0.4971
Perekat*Bambu
4
278.731904
69.682976
8.48
<.0001
187
188
Lampiran 37 Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat sejajar serat berdasarkan perlakuan The SAS System
19:22 Thursday, June 21, 2012 3 The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for Keteguhan_rekat_ss NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
147
8.217427
Harmonic Mean of Cell Sizes 26.52632 NOTE: Cell sizes are not equal. Number of Means Critical Range
2 1.556
3 1.637
4
5
1.692
6
1.732
7 1.763
1.788
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Perlakuan
A
24.4970
27
a2
B
18.8644
27
a5
C
17.2689
27
a3
D
15.5678
27
a4
15.5600
27
a6
D
14.3422
27
a7
E
9.1854
24
a1
D D D
189
Lampiran 38 Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat sejajar serat berdasarkan perekat The SAS System
19:22 Thursday, June 21, 2012 The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for Keteguhan_rekat_ss NOTE:
This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
147
8.217427
Harmonic Mean of Cell Sizes 61.96721 NOTE: Cell sizes are not equal. Number of Means Critical Range
2
3
1.018
1.071
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N Perekat
A
18.7729
63
b2
B
17.3273
60
b1
C
13.6957
63
b3
189
190
Lampiran 39 Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat sejajar serat berdasarkan jenis bambu The SAS System
19:22 Thursday, June 21, 2012 5 The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for Keteguhan_rekat_ss NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
147
8.217427 2
1.017
3 1.071
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Bambu
A
16.9792
62
c2
16.4660
62
c1
16.3155
62
c3
A A A A
191
Lampiran 40. Class Level Information keteguhan rekat tegak lurus serat The SAS System
19:34 Thursday, June 21, 2012 4 The GLM Procedure Class Level Information
Class
Levels
Perlakuan Perekat Bambu
7 3 3
Values a1 a2 a3 a4 a5 a6 a7 b1 b2 b3 c1 c2 c3
Number of Observations Read
189
Number of Observations Used
187
191
192
Lampiran 41. Analisis sidik ragam Keteguhan rekat tegak lurus serat The SAS System
19:34 Thursday, June 21, 2012 5
Dependent Variable: Keteguhan_rekat_TLS Sum of Source
DF
Squares
Model
38
5982.036060
157.422002
Error
148
1201.892412
8.120895
Corrected Total
186
7183.928472
R-Square
Mean Square
Coeff Var
0.832697 17.74958 Source
DF
Type I SS
F Value Pr > F 19.38
<.0001
Root MSE Keteguhan_rekat_TLS Mean 2.849718
16.05513
Mean Square F Value
Pr > F
Perlakuan
6
4146.811317
691.135219
85.11
<.0001
Perekat
2
1300.431829
650.215914
80.07
<.0001
Bambu
2
19.148212
9.574106
1.18
0.3105
Perlakuan*Perekat
12
266.779017
22.231585
2.74
0.0022
Perlakuan*Bambu
12
77.511982
6.459332
0.80
0.6547
4
171.353703
42.838426
5.28
0.0005
Perekat*Bambu Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
Perlakuan
6
4170.622726
695.103788
85.59
<.0001
Perekat
2
1324.787725
662.393863
81.57
<.0001
Bambu
2
22.142978
11.071489
1.36
0.2590
Perlakuan*Perekat
12
263.335033
21.944586
2.70
0.0025
Perlakuan*Bambu
12
77.725114
6.477093
0.80
0.6524
4
171.353703
42.838426
5.28
0.0005
Perekat*Bambu
193
Lampiran 42. Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat tegak lurus serat berdasarkan perlakuan The SAS System
19:34 Thursday, June 21, 2012 6 The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for Keteguhan_rekat_TLS NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise erro rate Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
148
8.120895
Harmonic Mean of Cell Sizes 26.70652 NOTE: Cell sizes are not equal. Number of Means Critical Range
2 1.541
3 1.622
4
5
1.676
6
1.716
7 1.746
1.771
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N Perlakuan
A
26.0144
27
a2
B
17.4356
27
a3
B
17.0154
26
a5
C
14.7842
26
a6
14.4100
27
a4
B
C C D
12.6233
27
a7
E
10.0915
27
a1
193
194
Lampiran 43. Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat tegak lurus serat berdasarkan perekat The SAS System
19:34 Thursday, June 21, 2012 7 The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for Keteguhan_rekat_TLS NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
148
8.120895
Harmonic Mean of Cell Sizes 62.32979 NOTE: Cell sizes are not equal. Number of Means Critical Range
2
3
1.009
1.062
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Perekat
A
19.7640
62
b2
B
14.5129
63
b1
13.9134
62
b3
B B
195
Lampiran 44. Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat tegak lurus serat berdasarkan jenis bambu The SAS System
19:34 Thursday, June 21, 2012 8 The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for Keteguhan_rekat_TLS NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
148
8.120895
Harmonic Mean of Cell Sizes 62.32979 NOTE: Cell sizes are not equal. Number of Means Critical Range
2 1.009
3 1.062
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Bambu
A
16.3926
62
c1
16.0295
63
c2
15.7437
62
c3
A A A A
195