PENGARUH LETAK SAMBUNGAN TERHADAP SIFAT FISIS MEKANIS BAMBU LAPIS YANG TERBUAT DARI ANYAMAN BAMBU TALI (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz)
ERWIN PUSPANINGTYAS IRJAYANTI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PENGARUH LETAK SAMBUNGAN TERHADAP SIFAT FISIS MEKANIS BAMBU LAPIS YANG TERBUAT DARI ANYAMAN BAMBU TALI (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz)
ERWIN PUSPANINGTYAS IRJAYANTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN ERWIN PUSPANINGTYAS IRJAYANTI. E24104029. Pengaruh Letak Sambungan Terhadap Sifat Fisis Mekanis Bambu Lapis Yang Terbuat Dari Anyaman Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes f.) Kurz). Di bawah bimbingan Ir. Jajang Suryana, MSc. Penelitian mengenai anyaman bambu sebagai bahan baku bambu lapis telah banyak dilakukan, salah satunya oleh Nugraha (2006). Pada penelitiannya, Nugraha menggunakan perekat UF dan PF dengan tiga vinir anyaman bambu untuk membuat satu panil bambu lapis. Anyaman bambu yang dibuat diberi dua macam perlakuan yang berbeda, yaitu ‘dengan perebusan’ dan ‘tanpa perebusan’. Hasilnya, nilai kadar air dan besarnya keteguhan rekat untuk bambu lapis tanpa perlakuan perebusan telah memenuhi standar SNI, JAS, dan ASTM. Sementara bambu lapis yang vinirnya diberi perlakuan perebusan, nilai keteguhan rekatnya sama sekali tidak memenuhi nilai standar yang telah ada. Besarnya MOE dan MOR tidak diketahui karena dua hal tersebut tidak termasuk dalam objek penelitian yang dilakukan.
Penelitian kali ini dilakukan dengan membuat panil bambu lapis berbahan baku anyaman Bambu Tali dengan menerapkan perlakuan terbaik dari hasil penelitian Nugraha (2006) yang menunjukkan bahwa anyaman bambu yang tidak diberi perlakuan perebusan memiliki sifat keteguhan rekat yang lebih baik. Perekat yang digunakan adalah perekat berbahan dasar Isocyanate, dalam hal ini, MDI (Methylene Diphenyl Isocyanate). Pemilihan jenis perekat berbahan dasar Isocyanate berdasarkan pada kenyataan bahwa perekat jenis ini merupakan perekat yang bebas emisi formaldehida sehingga lebih ramah terhadap lingkungan. Panil bambu lapis dibuat berukuran 35 cm x 35 cm x 0,5 cm, dan perlakuan yang diberikan adalah model ‘letak sambungan’. Terdapat lima model ‘letak sambungan’ yang nantinya akan dianalisis untuk menentukan letak sambungan mana yang terbaik untuk diaplikasikan pada kayu lapis berdasarkan hasil pengujian fisis mekanisnya. Pengujian sifat fisis menunjukkan nilai kerapatan berkisar antara 0,875-0,897 kg/cm3, kadar air 10,404-10,554%, pengembangan tebal sebesar 4,703-15,389% dan daya serap air berkisar 28,37-34,457%. Pengujian sifat mekanis menunjukkan sebaran nilai MOE antara 4670-29911 kg/cm2, MOR 178,098-753,024 kg/cm2 dan keteguhan geser tarik antara 0,868-23,275 kg/cm2. Hasil pengujian kadar air dan MOR telah memenuhi standar dalam SNI. Hasil pengujian keteguhan geser tarik, selain bambu lapis kontrol hanya model B, D, dan E yang memenuhi standar SNI. Pada pengujian MOE tidak ada satupun bambu lapis termasuk kontrol yang memenuhi standar SNI. Berbagai hasil pengujian menunjukkan bahwa model letak sambungan B merupakan komposisi sambungan yang terbaik.
Berdasarkan kualitas fisis mekanisnya, bambu lapis terbaik pada penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk penggunaan meja dekorasi, keranjang ayunan bayi, rak buku, lemari pakaian, lemari sepatu, dan untuk kegunaan struktural lain yang menahan beban tidak lebih dari 41,847 kg (pada ukuran 150 cm x 50 cm). Kata kunci : Model ‘letak sambungan’, anyaman bambu, MDI, Bambu Tali.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pengaruh Letak Sambungan Terhadap Sifat Fisis Mekanis Bambu Lapis yang Terbuat dari Anyaman Bmbu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schulttes) Kurz)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2009
Erwin Puspaningtyas Irjayanti NRP E24104029
Judul Skripsi
: Pengaruh Letak Sambungan Terhadap Sifat Fisis Mekanis Bambu Lapis yang Terbuat dari Anyaman Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz)
Nama Mahasiswa
: Erwin Puspaningtyas Irjayanti
NIM
: E24104029
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Jajang Suryana, MSc. NIP. 131 414 987
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. atas segala nikmat, karunia dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabatnya dan kepada umatnya yang senantiasa setia sampai akhir jaman. Penelitian mengenai pengaruh letak sambungan terhadap sifat fisis mekanis bambu lapis yang terbuat dari anyaman bambu tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz) ini dilakukan selama 5 bulan dari bulan Agustus 2008 hingga Desember 2008 di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan, Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, dan Laboratorium Bio-Komposit Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Bapak Ir. Jajang Suryana, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan, kesempatan waktu, arahan, bimbingan, kesabaran, dan dukungan dalam penulisan skripsi ini. 2.
Bapak Dr. Ir. Istomo, MS selaku dosen penguji mewakili Departemen Silvikultur dan Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si selaku dosen penguji mewakili Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata.
3. Seluruh staf dan laboran (Bapak Supriatin, Bapak Abdullah, Mas Gunawan, Mas Irvan, Bapak Kadiman, Bapak Amin, Ibu Esti, dan
mba Lastri)
Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB. 4. Keluarga tercinta (Papa, Mama, Annisa dan Amalia)
yang telah banyak
memberikan kasih sayang, semangat, doa dan restu serta pengorbanan baik moral maupun material kepada penulis. 5. Fuadi beserta keluarga (dr. Adi Teruna Effendi, Ibu dr. Yekti Hartati, Mas Adin, Mba Debbie, dan keluarga besar Fuadi di Aceh) atas perhatian, kasih sayang, doa,
serta dukungannya kepada penulis.
6. Rekan-rekan sebimbingan (Setia Kurniawan dan Yolanda Anastatica) atas bantuan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Rekan-rekan THH 41 (Kusnan, Roni, Helmy, Ady, Tumpal, Citra, Nining, Lukman, Yolanda, Setya, Mona, Risde, Gendis, Hans, Hadi, Nyoman, Emma, Febri, Yanto, Meyta, Maya, Lilis, serta seluruh teman-teman THH 41 yang tidak bisa disebutkan satu persatu) yang selalu bersama dalam suka dan duka. Semoga Allah SWT berikan balasan kebaikan yang setimpal. Amin.
Bogor, Januari 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 3 November 1986 dari pasangan Ir. Erwin Sukirmanto dan Titin, SE sebagai anak ke satu dari tiga bersaudara. Jenjang pendidikan formal yang telah dilalui penulis antara lain di SDN Bareng Lor II Klaten tahun 1992-1998, SMPN 2 Mataram tahun 1998-2001 dan SMAN 2 Mataram tahun 2001-2004. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun 2005 penulis mengambil Sub-Program Studi Pengolahan Hasil Hutan dan pada tahun 2006 memilih Laboratorium BioKomposit sebagai bidang keahlian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan, yaitu menjadi anggota Klub Sastra Tingkat Persiapan Bersama pada tahun 2004-2005, Staf Divisi Public Relation pada International Forestry Student Asosiation (IFSA) LC IPB pada tahun 2004-2006, Staf Departemen Komunikasi dan Informasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2005-2006, serta anggota Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan tahun 2006-2007. Penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Banyumas Barat, KPH Banyumas Timur, KPH Ngawi dan KPH Randublatung pada tahun 2007. Selain itu penulis juga telah melaksanakan Praktek Kerja Lapang di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten dan di Pabrik Gondorukem dan Terpentin Sindangwangi tahun 2008. Di luar kegiatan kampus, penulis aktif sebagai anggota Korp Suka Rela Palang Merah Indonesia (KSR-PMI) cabang Bogor sejak tahun 2005 sampai sekarang. Selain itu, penulis telah menerbitkan beberapa buku dengan nama samaran Annisa Salsabila (2006) dan selanjutnya Waheeda El Humayra (2008 dan seterusnya). Diantara buku-bukunya adalah novel berbasis kisah nyata “Lautan Cinta Lautan Duka” (Ar-Ruz Media, 2006), teenlit “Hot Chocolate Love” (Puspa Swara/Penebar Swadaya, 2006), fiksi berbasis sejarah berjudul “The Sacred
Romance of King Sulaiman and Queen Sheba” (Mizan, 2008), fiksi berbasis sejarah berjudul “Elegi Cinta Maria” (Mizan, 2009), dan merupakan salah satu kontributor dalam proyek pemerintah untuk pengadaan buku bagi anak-anak di Sekolah Dasar. Dalam proyek pemerintah tersebut penulis menulis buku berjudul “Hati Yang Terluka” (Penebar Swadaya, 2008) dan “Sebuah Penantian” (Penebar Swadaya, 2008). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi dengan judul ”Pengaruh Letak Sambungan Terhadap Sifat Fisis Mekanis Bambu Lapis yang Terbuat dari Anyaman Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz)” di bawah bimbingan Ir. Jajang Suryana, MSc.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................ i DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... v BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2 Tujuan ............................................................................................ 2 1.3 Hipotesis ........................................................................................ 2 1.4 Manfaat .......................................................................................... 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bambu ............................................................................................. 3 2.2 Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultess) Kurz) ..... 7 2.3 Perekat ............................................................................................ 8 2.4 Kayu Lapis ...................................................................................... 9 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 11 3.2 Bahan dan alat ................................................................................. 11 3.3 Rancangan Penelitian ...................................................................... 11 3.4 Analisis Data ................................................................................... 14 3.5 Prosedur Penelitian 3.5.1 Pembuatan Anyaman ......................................................... 15 3.5.2 Pembuatan Bambu Lapis ................................................... 15 3.5.3 Pengujian Bambu Lapis ..................................................... 16 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Tali 4.1.1 Kerapatan .................................................................................. 21 4.1.2 Kadar Air................................................................................... 23 4.1.3 Daya Serap Air .......................................................................... 24
4.1.4 Pengembangan Tebal ................................................................ 26 4.2 Sifat Mekanis Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Tali 4.2.1 Modulus of Rupture (MOR) .................................................... 27 4.2.2 Modulus of Elasticity (MOE) .................................................. 29 4.2.3 Keteguhan Geser Tarik ............................................................ 31 4.3 Kualitas Bambu Lapis ..................................................................... 33 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan .................................................................................... 35 5.2 Saran............................................................................................... 35 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 36 LAMPIRAN ................................................................................................. 39
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1 Sifat fisis mekanis beberapa jenis bambu di Indonesia............................ 6 2 Analisis sidik ragam kerapatan bambu lapis ............................................ 22 3 Analisis sidik ragam kadar air bambu lapis ............................................. 24 4 Analisis sidik ragam daya serap air bambu lapis ..................................... 25 5 Analisis sidik ragam pengembangan tebal bambu lapis .......................... 27 6 Analisis sidik ragam keteguhan patah bambu lapis ................................. 29 7 Analisis sidik ragam keteguhan lentur bambu lapis ................................. 30 8 Analisis sidik ragam keteguhan geser tarik bambu lapis ......................... 32
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1 Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schulttes) Kurz ........................................ 7 2 Pola pemotongan sampel untuk pengujian fisis mekanis .......................... 15 3 Pengujian MOE dan MOR ...................................................................... 18 4 Pembuatan Potongan Uji Keteguhan Geser Tarik .................................. 19 5 Histogram nilai rata-rata kerapatan bambu lapis .................................... 21 6 Histogram nilai rata-rata kadar air bambu lapis ...................................... 23 7 Histogram nilai rata-rata daya serap air bambu lapis .............................. 24 8 Histogram nilai rata-rata pengembangan tebal bambu lapis ................... 26 9 Histogram nilai rata-rata MOR bambu lapis ........................................... 28 10 Histogram nilai rata-rata MOE bambu lapis ........................................... 30 11 Histogram nilai rata-rata keteguhan geser tarik bambu lapis .................. 31
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1 Rekapitulasi data hasil pengujian sifat fisis dan mekanis ....................... 39 2 Hasil uji lanjut Duncan untuk pengembangan tebal ............................... 41 3 Hasil uji lanjut Duncan untuk MOR ....................................................... 42 4 Hasil uji lanjut Duncan untuk MOE ....................................................... 43 5 Hasil uji lanjut Duncan untuk keteguhan geser tarik .............................. 44
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian mengenai penggunaan bambu sebagai alternatif bahan baku kayu lapis telah banyak dilakukan. Salah satu faktor pendorongnya adalah karena semakin berkurangnya jumlah kayu di Indonesia, sifat kekuatan bambu yang tergolong baik, dan mudahnya jenis tanaman ini untuk dibudidayakan. Dari banyaknya jenis bambu yang telah diteliti untuk dijadikan sebagai alternatif kayu lapis, salah satunya adalah jenis bambu tali. Di masyarakat luas, jenis bambu ini banyak digunakan sebagai bahan baku anyaman bambu untuk kerajinan, membuat keranjang, dan sebagai bilik untuk dinding rumah. Pada 2006, Nugraha melakukan penelitian mengenai anyaman bambu tali sebagai bahan baku bambu lapis. Pada penelitian tersebut digunakan perekat UF dan PF dengan tiga vinir anyaman bambu untuk membuat satu panil bambu lapis. Anyaman bambu yang dibuat diberi dua macam perlakuan yang berbeda, yaitu ‘dengan perebusan’ dan ‘tanpa perebusan’. Hasilnya, nilai kadar air dan besarnya keteguhan rekat untuk bambu lapis tanpa perlakuan perebusan telah memenuhi standar SNI, JAS, dan ASTM. Sementara bambu lapis yang vinirnya diberi perlakuan perebusan, nilai keteguhan rekatnya sama sekali tidak memenuhi nilai standar yang telah ada. Besarnya MOE dan MOR tidak diketahui karena dua hal tersebut tidak termasuk dalam objek penelitian yang dilakukan. Penelitian kali ini dilakukan dengan membuat panil bambu lapis berbahan baku anyaman bambu tali dengan menerapkan perlakuan terbaik dari hasil penelitian Nugraha (2006) yang menunjukkan bahwa anyaman bambu yang tidak diberi perlakuan perebusan memiliki sifat keteguhan rekat yang lebih baik. Perekat yang digunakan adalah perekat berbahan dasar Isocyanate, dalam hal ini, MDI (Methylene Diphenyl Isocyanate). Pemilihan jenis perekat berbahan dasar Isocyanate berdasarkan pada kenyataan bahwa perekat jenis ini merupakan perekat yang bebas emisi formaldehida sehingga lebih ramah terhadap
lingkungan. Panil bambu lapis dibuat berukuran 35 cm x 35 cm x 0,5 cm, dan perlakuan yang diberikan adalah model ‘letak sambungan’. Terdapat lima model ‘letak sambungan’ yang nantinya akan dianalisis untuk menentukan letak sambungan mana yang terbaik untuk diaplikasikan pada bambu lapis berdasarkan hasil pengujian fisis mekanisnya.
1.2 Tujuan 1. Membandingkan hasil pengujian bambu lapis yang memiliki sambungan dengan kontrol (bambu lapis tanpa sambungan). 2. Mengetahui komposisi terbaik letak sambungan pada bambu lapis yang telah dihasilkan berdasarkan hasil pengujian. 3. Memberikan saran terhadap pemanfaatan bambu lapis yang memiliki kualifikasi sebagaimana bambu lapis hasil penelitian.
1.3 Hipotesis 1. Adanya sambungan pada bambu lapis akan mengakibatkan penurunan kekuatan sifat mekanis. 2. Model letak sambungan akan mempengaruhi kekuatan mekanis pada bambu lapis.
1.4 Manfaat Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
informasi
mengenai
pemanfaatan anyaman bambu dalam pengembangan bambu lapis struktural dan dapat diaplikasikan dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bambu 2.1.1 Sifat Umum Bambu Bambu merupakan sumberdaya hutan bukan kayu dalam keluarga Graminae, suku Bambuseae, dan sub famili Bambusoideae yang terdiri dari batang, akar rhizoma yang kompleks dan mempunyai sistem percabangan dan tangkai daun yang menyelubungi batang (Dransfield dan widjaya, 1995). Pada umumnya, tanaman bambu di Indonesia ditemukan di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 3000 mdpl, di tempat-tempat yang terbuka dan daerah bebas genangan air (Krisdianto et al., 2000). Menurut Widjaya (2001), jumlah bambu di Indonesia terdiri dari 143 jenis dimana sebanyak 60 jenis diantaranya tumbuh di Pulau Jawa. Lebih lanjut Widjaya (2001) menyatakan bahwa bambu mudah sekali dibedakan dengan tumbuhan lainnya karena tumbuhnya merumpun, batangnya bulat, berlubang dan beruas-ruas, percabangannya kompleks, setiap daun bertangkai dan bunga-bunganya terdiri dari sekam, sekam kelopak, dan sekam mahkota. Menurut Dransfield dan Widjaya (1995), diameter batang bambu tergantung dari spesiesnya dan lingkungan tempatnya tumbuh dengan variasi besar diameter antara 0,5-20 cm. Berbagai metode yang digunakan untuk memperbanyak bambu antara lain perbanyakan secara generatif melalui biji, secara vegetatif dengan metode pemotongan rimpang akar, stek batang, stek cabang, stump batang dalam rumpun bambu dan kultur jaringan. Perbanyakan generatif melalui biji sangat jarang dilakukan karena biji bambu umumnya sangat sulit diperoleh di lapangan. Pemanenan bambu bergantung pada umur, musim dan bagian yang digunakan—batang atau rebung. Sulthoni (1987) dalam Dransfield dan Widjaya (1995) mengatakan bahwa pemanenan bambu untuk produksi batang dilakukan selama musim kemarau untuk mencegah bambu terserang penggerek. Hal ini terkait dengan menurunnya kandungan pati dalam bambu selama musim kemarau.
Selanjutnya Tamolang et al. (1980) dalam Fadli (2006) menyatakan bahwa perendaman bambu pada air laut atau air mengalir selama 2-3 bulan dapat mengurangi kadar pati yang berimplikasi pada berkurangnya serangan kumbang. Pada umur 1-2 tahun batang bambu cocok dipanen untuk tujuan produksi pulp dan barang kerajinan tangan, sedangkan batang bambu yang berumur 3 tahun cocok dipanen sebagai bahan bangunan dan furniture. a. Sifat Fisis Bambu ¾ Berat Jenis Haygreen dan Bowyer (1989) mendefinisikan berat jenis (BJ) sebagai perbandingan antara kerapatan kayu (atas dasar berat kering tanur dan volume basah) dengan kerapatan air pada suhu 4ºC. Menurut Tamolang et al. (1980) dalam Fadli (2006) BJ bambu cenderung naik ke arah ujung. Selanjutnya Liese (1985) menyatakan bahwa BJ bambu bevariasi dari 0,5-0,8 dengan bagian luar dari batang mempunyai BJ lebih besar dari bagian dalamnya. ¾ Kadar Air Kadar air bambu sangat penting karena dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanis bambu. Kadar air bambu dewasa segar berkisar antara 50-99% dan pada bambu muda berkisar 80-150%, sedangkan kadar air bambu kering berkiar antara 8-12%. Kadar air batang bambu meningkat dari bawah ke atas dan dari umur 1-3 tahun, selanjutnya menurun pada bambu yang berumur lebih dari 3 tahun. Kadar air meningkat pada musim penghujan jika dibandingkan dengan musim kemarau (Dransfield dan Widjaya, 1995). Perbedaan kadar air pada musim kemarau dapat mencapai 100%. Selama musim kemarau, bagian atas bambu hanya mengandung kira-kira 50% air (Yap, 1967). Tamolang et al. (1980) dalam Fadli (2006) menyatakan bahwa bambu muda mengalami penurunan kadar air lebih cepat dari bambu dewasa selama proses pengeringan, yang dapat menyebabkan terjadinya pecah atau belah pada batang.
¾ Penyusutan Tidak seperti kayu, bambu langsung menyusut setelah dipanen, tetapi tidak berlangsung seragam. Penyusutan dipengaruhi oleh tebal dinding dan diameter batang bambu (Liese, 1985 dalam Dransfield dan Widjaya, 1995). Pengeringan bambu dewasa segar hingga kadar air 20% menyebabkan penyusutan sebesar 4-14% pada tebal dinding dan 3-12% pada diameternya. Penyusutan lebih besar terjadi pada arah radial daripada arah tangensialnya (sekitar 7% berbanding 6%), tetapi penyusutan antara bagian dalam dengan bagian luar dinding batang bambu sangat besar. Penyusutan pada arah longitudinal kurang dari 0,5% (Dransfield dan Widjaya, 1995). b. Sifat Mekanis Bambu Haygreen dan Bowyer (1989) menyatakan kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan suatu bahan disebut sebagai sifat mekanis. Kekuatan adalah kemampuan suatu bahan untuk memikul beban/gaya yang mengenainya. Ketahanan terhadap perubahan bentuk menentukan banyaknya bahan yang dimanfaatkan, terpuntir atau terlengkungkan oleh beban yang mengenainya. Sifat kekuatan meningkat dengan adanya penurunan kadar air dan berhubungan erat dengan berat jenis (Dransfield dan Widjaya, 1995). Kekuatan maupun kekakuan kayu akan naik dengan semakin besarnya berat jenis (Haygreen dan Bowyer, (1989). Umur bambu, kondisi bambu, kadar air, bentuk dan ukuran contoh uji, berbuku atau tidaknya, posisi dalam batang dan lama pembebanan sangat mempengaruhi sifat fisis dan mekanis bambu. Kekuatan mekanis sangat bergantung pada lapisan sklerenkim, yaitu jaringan yang berdinding tebal dan kuat yang terdiri dari sel-sel dewasa yang telah mati (Janssen, 1988). Hal ini sejalan dengan Liese (1985) yang menyatakan bahwa sifat mekanis bambu lebih ditentukan oleh keberadaan ikatan vaskulernya (dimana sklerenkim terdapat di dalamnya) dan bukan pada parenkim. Hingga saat ini, parenkim masih belum ditemukan kegunaannya.
Selain itu, kekuatan mekanis juga dipengaruhi oleh kulit buluh yang mengandung silika, dimana kehadiran silika berimplikassi pada meningkatnya kekuatan bambu. Dransfield dan Widjaya (1985) menyatakan bahwa kandungan silika batang bambu umumnya lebih tinggi dari kayu yaitu sebesar 0,5-4%. Disamping itu, jenis bambu yang berbeda akan memberikan sifat mekanis yang meliputi keteguhan lentur, keteuhan tarik dan keteguhan tekan yang berbeda pula. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Syafi’i (1984). Sifat fisis mekanis 5 jenis bambu pernah diteliti oleh Syafi’i (1984) antara lain seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Sifat fisis mekanis beberapa jenis bambu di Indonesia Jenis Bambu Sifat yang diuji Betung Gombong 1. BJ
Kuning
Tali
Sembilang
0.61
0.55
0.52
0.65
0.71
Basah - Kering Udara
10.62
12.36
11.29
12.45
11.05
Kering Udara Kering Tanur
4.99
4.96
4.74
4.6
4.49
Basah - Kering Udara
6.02
7.94
4.31
5.83
3.04
Kering Udara Kering Tanur
4.3
5.75
5.47
5.32
7.03
Basah – Kering
4.81
6.58
3.19
6.3
2.48
Kering Udara Kering Tanur
4.83
5.96
4.19
3.6
7.57
3. MOR (kg/cm3)
1.64
1.36
1.15
*)
627
2. Susut volume (%)
Susut tebal (%)
Susut lebar (%)
4. MOE (kg/cm3)
131.19
98.29
76.21
*)
143.21
5. Tekan sejajar serat (kg/cm2)
605
521
455
*)
627
6. Tekan tegak lurus serat (kg/cm2)
2.13
1.91
1.32
2.01
1.91
Sumber : Syafi’i (1984) *) tidak dapat dibuat spesimen percobaan karena dinding bambu terlalu tipis Beberapa kelebihan bambu antara lain (a) pertumbuhannya cepat, dapat diolah dan ditanam di berbagai tempat sehingga dapat memberikan keuntungan secara kontinyu, (b) memiliki sifat mekanis yang baik, (c) hanya memerlukan alat yang sederhana, (d) kulit luar yang mengandung silikat dapat melindungi bambu. Sedangkan beberapa diantara kelemahannya adalah (a) keawetan bambu relatif rendah sehingga memerlukan upaya pengawetan, (b) sangat rentan terhadap resiko api, dan (c) bentuknya silinder sehingga menyulitkan proses penyambungan (Krisdianto dkk., 2000). Selanjutnya, Krisdianto juga menyatakan bahwa dalam penggunaannya di masyarakat, bahan bambu terkadang menemui beberapa keterbatasan. Sebagai bahan bangunan, faktor yang sangat mempengaruhi bahan bambu adalah sifat fisik bambu yang membuat sukar dikerjakan secara mekanis, variasi dimensi dan ketidakseragaman panjang ruasnya serta ketidakawetan bahan bambu tersebut menjadikan bambu tidak dipilih sebagai bahan komponen konstruksi bangunan. Sering ditemui barang-barang yang berasal dari bambu yang dikuliti, khususnya dalam keadaan basah mudah diserang oleh jamur biru dan bulukan, sedangkan bambu bulat utuh dalam keadaan kering dapat diserang serangga bubuk kering dan rayap kayu kering. 2.2 Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz) Widjaya (2001) menyatakan bahwa banbu tali termasuk family Graminae yang tersebar luas di seluruh kepulauan Indonesia dan diduga berasal dari Burma, tumbuh di daerah tropis yang lembab dan daerah yang kering, berumpun simpodial, rapat dan tegak, tersebar di seluruh Jawa dan tumbuh meliar di Taman
Nasional Alas Purwo dan Meru Betiri. Jenis bambu ini mmpunyai nama daerah bambu tali (Indonesia), pring tali, pring apus (Jawa), awi tali (Sunda). Jenis bambu ini umumnya mempunyai rumpun yang rapat, buluhnya mencapai tinggi 10-20 meter, berwarna hijau terang sampai kekuning-kuningan, percabangannya tidak besar, cabang primer tumbuh dengan baik yang kemudian diikuti oleh cabang-cabang berikutnya seperti yang terlihat pada Gambar 1. Pada buku-bukunya tampak adanya penonjolan dan berwarna agak kuning dengan miang cokelat kehitaman yang melekat. Pelepah bulunya tidak mudah lepas dari buluhnya meskipun umur buluh sudah tua (Sastrapradja et al., 1980).
Gambar 1 Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz Dransfield dan Widjaya (1995) mendeskripsikan bambu tali sebagai tanaman bambu simpodial, berdiri tegak, tinggi batang 8-30 meter dengan buluh 4-13 cm dan tebalnya bisa mencapai 1,5 cm. Berwarna hijau terang sampai kuning, panjang ruas 20-75 cm, buku sedikit membengkok pada bagian luar. Panjang serat sekitar 0,9-5,5 mm; diameter serat 56,3µm; tebal dinding 1-3µm. Kadar air rata-rata batang bambu segar adalah 54,3% dan batang bambu kering 15,1%. Komponen-komponen kimia dari batang bambu tali diantaranya holoselulosa 52,1-54,7%; pentosan 19,1-19,3%; lignin 24,8-25,8%; kadar abu 2,72,9%; silika 1,8-5,2%. Kelarutan dalam air dingin 5,2%; air panas 5,4-6,45%; dan kadar patinya berfluktuasi antara 0,24-0,71%, tergantung pada musim. Kegunaan bambu tali cukup banyak. Umumnya, penduduk setempat menggunakan buluhnya untuk bahan bangunan (dinding, lantai, langit-langit dan
atap), keranjang tradisional dan kerajinan tangan. Di Jawa Barat telah dimanfaatkan sebagai bahan baku industri papan serat bambu (Widjaya, 2001). 2.3 Perekat Perekat (adhesive) adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan mengikat dua benda melalui ikatan permukaan (Blomquist et al., 1983; Forest Product Society, 1999, diacu dalam Surdiding et al., 2007). Menurut Vick (1999), perekat adalah substansi yang memiliki kemampuan untuk mempersatukan bahan sejenis/tidak sejenis melalui ikatan permukaannya. Melekatnya dua buah benda yang direkat disebabkan adanya gaya tarik menarik antara perekat dengan bahan yang direkat (gaya adhesi) dan gaya tarik menarik (kohesi) antara perekat dengan perekat. Dalam penggunaan perekat harus dipilih perekat yang dapat memberikan ikatan yang baik dalam jangka waktu yang panjang pada suatu struktur. Perekat yang ideal untuk kayu mempunyai persyaratan tertentu yaitu harganya murah, mempunyai waktu kadaluarsa yang panjang, cepat mengeras dan cepat matang hanya dengan temperatur rendah, mempunyai ketahanan tinggi terhadap kelembaban, tahan panas dan mikroorganisme, serta dapat digunakan untuk berbagai keperluan (Ruhendi, 1988). Bahan kimia Isocyanate Resins adalah sejenis bahan perekat yang meningkatkan kualitas dalam menghasilkan kayu lapis yang tahan air, tahan api dan tahan terhadap serangan ulat dan serangga. Selain itu kayu lapis diharapkan memiliki tingkat pelepasan formaldehid yang rendah sesuai dengan aturan yang mengharuskan low formaldehyde emission yang selaras dengan permintaan pangsa pasar, terutama Jepang dan Eropa. Isocyanate juga dapat membantu ketahanan mekanis papan partikel dan kayu lapis (Ministry of Plantation Industries and Commodities Malaysia, 2007). Perekat MDI (Methylene Diphenyl Isocyanate) pertama kali digunakan untuk produk komersil seperti waferboard pada tahun 1985. Sejak saat itu, penggunaan MDI terus berkembang sehingga saat ini sekitar 15-20% pasar waferboard dan plywood menggunakannya. Marra (1992) menyatakan bahwa
keuntungan menggunakan perekat isocyanate dibandingkan perekat berbahan dasar resin adalah (1) dibutuhkan dalam jumlah sedikit untuk memproduksi papan dengan kekuatan yang sama, (2) dapat menggunakan suhu kempa yang lebih rendah, (3) memungkinkan penggunaan kempa yang lebih cepat, (4) lebih toleran pada partikel maupun vinir berkadar air tinggi, (5) energi untuk pengeringan lebih sedikit dibutuhkan, (6) stabilits dimensi papan yang dihasilkan lebih stabil, (7) tidak ada emisi formaldehid. MDI juga berpotensi memaksimalkan sifat fisis penampilan panel plywood, mengefisienkan proses dan menguntungkan karena lebih cepat matang dan terikat kuat yang berimplikasi pada biaya produksi yang lebih rendah. Selain itu penampilan fisik papan tampak bersih (Wikimedia 2006 diacu dalam Nuryawan dan Massijaya 2006). Kayu Lapis Dalam penerapannya baik di dunia industri maupun penelitian ilmiah, bambu lapis umumnya diasosiasikan dengan kayu lapis. Hal ini karena bambu lapis merupakan inovasi baru yang pengerjaannya mengacu pada prosedur pengerjaan dan standar kayu lapis. Kayu lapis adalah produk vinir-vinir kayu yang direkat bersama sehingga arah serat sejumlah vinir tegak lurus dan yang lain sejajar sumbu panjang panel. Pada kebanyakan tipe kayu lapis, setiap dua lapis sekali diletakkan vinir yang arahnya sejajar dengan lapis pertama (Haygreen dan Bowyer, 1989). Pengertian vinir menurut Dumanauw (1990) adalah lembaran kayu tipis dengan ukuran ketebalan seragam berkisar 0,24 -6 mm yang diperoleh dari penyayatan dolok kayu jenis tertentu. Selanjutnya Haygreen dan Bowyer (1989) menyatakan bahwa untuk menyesuaikan kayu lapis dengan penggunaannya yang tepat memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang merupakan faktor utama sebagai penentu kualitas kayu lapis antara lain (a) daya tahan yang diperlukan garis rekat untuk menghindari pengelupasan, (b) persyaratan kekuatan, kekakuan dan daya penahan
paku, (c) kualitas visual permukaannya dan (d) persyarakatan khusus lainnya seperti ketahanan terhadap pembusukan dan api. Kayu lapis memiliki kelebihan dibandingkan bahan jadi kayu lainnya, diantaranya seperti yang dikemukakan oleh Ruhendi dan Widarmana (1983) meliputi (1) stabilitas dimensinya yang tinggi karena jumlah lapisan yang ganjil dipasangkan sedemikian rupa saling tegak lurus, (2) tampak rupa kayu asli dengan ukuran lebih lebar, (3) mempunyai sifat mekanis yang lebih baik, (4) mudah dikerjakan dan (5) dapat dibuat dari hampir semua jenis kayu.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai bulan Desember 2008. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokomposit, Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, dan Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bambu tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H Schultes) Kurz) yang berumur 28 bulan yang diperoleh dari Desa Pabangbon, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor dan perekat MDI (Methane-Diphenyl-Isocyanate) yang terdiri dari resin dan hardener, serta 5 gulung perekat kertas (lakban). Alat-alat yang digunakan adalah mesin kempa, oven, desikator, circular saw, caliper, mikrometer, penggaris, neraca digital, universal testing machine merk Instron serta alat-alat pendukung seperti alat tulis, kalkulator dan gunting. 3.3 Rancangan Penelitian Hingga saat ini, anyaman bambu belum diaplikasikan dalam pembuatan bambu lapis berskala industri. Hal ini berkaitan dengan kendala yang dihadapi antara lain (a) diperlukannya anyaman bambu berukuran besar untuk memenuhi permintaan skala industri, (b) pembuatan anyaman bambu berukuran besar mengakibatkan rendahnya efisiensi bahan baku karena bahan baku berukuran kecil tidak dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, diperlukan suatu penjajakan untuk melihat kemungkinan dibuatnya bambu lapis berukuran besar dengan cara menyambung panil-panil bambu lapis berukuran kecil. Pemilihan lakban sebagai perekat awal antar sambungan dilatarbelakangi antara lain karena (a) mudah diperoleh, (b) murah, (c) berbahan dasar kertas dan berpori sehingga memudahkan penetrasi perekat cair pada pengerjaan perekatan tahap kedua. Adanya sambungan tentu akan mempengaruhi sifat kekuatan bambu lapis. Hipotesis
yang
berkembang
adalah,
adanya
sambungan
mengakibatkan
menurunnya sifat mekanis bambu lapis. Untuk itu diperlukan suatu model penyusunan letak sambungan yang optimal, yaitu suatu model yang dapat meminimalkan penurunan sifat mekanis bambu lapis, atau dengan kata lain, kekuatannya paling mendekati kekuatan bambu lapis tanpa sambungan. Berdasarkan konsep tersebut, maka dibuatlah beberapa model penyusunan letak sambungan. Terdapat 6 model penyusunan letak sambungan (1 diantaranya adalah bambu lapis tanpa sambungan yang berlaku sebagai kontrol) yang diuji sifat fisis mekanisnya untuk kemudian dianalisis secara deskriptif dengan nilai rataan dari 3 ulangan. Dengan demikian contoh uji yang digunakan berjumlah 18. Berikut adalah 6 buah model penyusunan letak sambungan yang dibuat dalam penelitian (gambar tampak samping) : a. Kontrol (tanpa sambungan)
Perlakuan
: tanpa sambungan, berlaku sebagai kontrol.
Asumsi
: dengan tidak adanya sambungan maka kekuatan sifat mekanisnya paling baik
b. Model A (5 sambungan berurutan)
Perlakuan
: sambungan disusun berurutan pada seluruh lapisan.
Asumsi
: model penyusunan sambungan seperti ini diduga merupakan komposisi yang paling lemah sifat mekanisnya.
c. Model B (2 sambungan berurutan)
Perlakuan
: sambungan disusun secara berurutan pada dua lapisan teratas.
Asumsi
: bekerja gaya tekan pada 2 lapisan teratas dan gaya tarik pada 3 lapisan terbawah. Dengan komposisi tersebut diharapkan bambu lapis dapat mencapai kekuatan optimum.
d. Model C (3 sambungan berurutan)
Perlakuan
: sambungan disusun secara berurutan pada tiga lapisan teratas.
Asumsi
: bekerja gaya tekan pada 3 lapisan teratas dan gaya tarik pada dua lapisan terbawah. Komposisi ini dibuat untuk dibandingkan dengan Model B. Diduga bahwa kekuatan komposisi ini lebih rendah daripada kekuatan Model B.
e. Model D (3 sambungan selang-seling)
Perlakuan
: sambungan disusun pada lapisan 1, 3, dan 5.
Asumsi
: selama ini, teknik penyusunan batu bata (yang berselangseling) pada bangunan terbukti dapat mengatasi bekerjanya gaya—tekan
dan
benturan—pada
bangunan
yang
bersangkutan. Diharapkan teknik penyusunan sambungan serupa yang dilakukan pada bambu lapis dapat memberikan hasil yang sama memuaskannya dengan teknik yang diadaptasi. f. Model E (2 sambungan selang-seling)
Perlakuan
: sambungan disusun pada lapisan 2 dan 4.
Asumsi
: komposisi ini masih mengadaptasi teknik penyusunan batu-bata yang berselang-seling. Selain untuk dibandingkan
dengan seluruh model sambungan, komposisi ini juga secara khusus untuk dibandingkan dengan Model D. 3.4 Analisis Data Penelitian ini merupakan percobaan satu faktor dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan yang diberikan berupa model letak sambungan yag terdiri dari 6 taraf yaitu kontrol, model A, model B, model C, model D, dan model E. ulangan yang dilakukan pada masing-masig taraf sebanyak 3 sehingga jumlah total percobaan adalah 18. Pengolahan data penelitian dilakukan dengan menggunakan software SAS versi 6.12. Adapaun model statistik linier dari rancangan percobaan ini dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut: Yij = µ + τi + εij Keterangan: Yij
= respon pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j. Respon pengamatan terdiri dari kerapatan, kadar air, daya serap air 24 jam, pengembangan tebal 24 jam, MOE, MOR, dan KGT
µ
= nilai rata-rata umum.
τi
= pengaruh perlakuan ke-i, dimana i = kontrol, model A, B, C, D, dan E.
εij
= pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j. Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan-perlakuan yang dicoba maka
dilakukan analisis keragaman (ANOVA). Jika Fhitung > Ftabel pada selang kepercayaan 95% dan 99%, berarti faktor tersebut berpengaruh nyata atau sangat nyata terhadap sifat fisis dan mekanis bambu lapis yang diuji. Perlakuan yang dinyatakan berpengaruh terhadap respon dalam analisis ragam kemudian diuji lanjut dengan menggunakan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) .
3.5 Prosedur Penelitian 3.5.1 Pembuatan Anyaman Anyaman bambu tali dibuat dari bagian dalam bambu tali yang disayat tipis, kemudian sayatan tipis tersebut dianyam sedemikian rupa sehingga menghasilkan anyaman berukuran 35cm x 35cm dan 17.5cm x 35cm. Selanjutnya, dilakukan penyambungan 2 lembar anyaman bambu yang berukuran 17.5cm x 35cm menjadi 1 lembar berukuran 35cm x 35cm dengan menggunakan perekat kertas (lakban) yang umum dan mudah ditemukan di tengah masyarakat. 3.5.2 Pembuatan Bambu Lapis a. Pelaburan perekat Perekat yang digunakan adalah isocyanate dengan berat labur 250g/m2 per permukaan dan banyaknya perekat yang diperlukan untuk satu luas permukaan adalah 30.625 gram. Untuk menghindari perembesan perekat yang terlalu banyak pada bagian permukaannya maka khusus pelaburan perekat adalah setengah dari kebutuhan perekat untuk satu permukaan. b. Pembuatan lembaran Banyaknya vinir yang disusun untuk membuat satu lembar panil bambu lapis adalah 5 vinir anyaman bambu. Vinir-vinir tersebut disusun berdasarkan model yang telah direncanakan. Ukuran sasaran panil bambu lapis yang dibuat adalah 35cm x 35cm x 0.5cm. c. Pengempaan Untuk pembuatan bambu lapis dengan menggunakan perekat isocyanate dilakukan pengempaan panas dengan tekanan 30 kg/cm2 dan suhu ± 130°C selama 5 menit.
d. Pengkondisian (conditioning) Setelah dilakukan pengempaan, bambu lapis dibiarkan di tempat terbuka selama empatbelas hari yang bertujuan menghilangkan tegangan-tegangan yang terjadi selama pengempaan. 3.5.3 Pengujian Bambu Lapis a. Penyiapan contoh uji
A D
A B
C
Gambar 2. Pola pemotongan sampel untuk pengujian fisis mekanis Keterangan : A = Contoh uji kadar air dan kerapatan (10cm x 10cm) B = Contoh uji pengembangan tebal dan daya serap air (5cm x 5cm) C = Contoh uji keteguhan geser tarik (10cm x 2,5cm) D = Contoh uji MOE dan MOR {(24.tebal + 5cm) x 5cm} b. Pengujian sifat fisis ¾ Kerapatan Contoh uji berukuran 10 cm × 10 cm × 1 cm yang dalam keadaan kering udara ditimbang beratnya dan kemudian ditentukan volume contoh uji dengan melakukan pengukuran pada empat titik di setiap sisinya (panjang, lebar, dan
tebal) yang kemudian dihitung rata-ratanya. Kerapatan papan dihitung menggunakan rumus: Kerapatan (g/cm3) =
Berat ( g ) Volume(cm 3 )
¾ Kadar air Contoh uji berukuran 10 cm × 10 cm × 1 cm ditimbang untuk mendapatkan berat awal (BA), kemudian dioven pada suhu 103±2˚C selama 24 jam kemudian dimasukkan ke dalam desikator sampai mencapai suhu kamar dan ditimbang. Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven kembali selama ± 3 jam, kemudian dimasukkan ke dalam desikator sampai mencapai suhu kamar dan ditimbang. Tahap ini dilakukan sampai mencapai berat konstan, yaitu perbedaan hasil penimbangan terakhir dan sebelumnya maksimum 1%. Nilai kadar air dihitung menggunakan rumus: Kadar air (%) =
BA − BKO × 100 BKO
Keterangan : BA
= berat awal (kering udara)
BKO = berat kering oven ¾ Daya serap air Contoh uji berukuran 5 cm x 5 cm ditimbang berat awalnya (B1) kemudian direndam dalam air dingin selama 24 jam, setelah itu ditimbang beratnya (B2). Nilai daya serap air dapat dihitung menggunakan rumus : Daya serap air (%) =
B 2 − B1 × 100 B1
Keterangan : B1
= berat contoh uji sebelum perendaman (g)
B2
= berat contoh uji setelah perendaman (g)
¾ Pengembangan tebal Contoh uji berukuran 5 cm × 5 cm × 1 cm dalam keadaan kering udara diukur dimensi tebalnya dan diukur pada tiap sudut kemudian dihitung rataratanya (D1). Selanjutnya contoh uji direndam dalam air dingin selama 24 jam dan dilakukan pengukuran dimensinya setelah perendaman (D2). Nilai pengembangan tebal dihitung menggunakan rumus: Pengembangan tebal (%) =
D2 − D1 ×100 D1
Keterangan : D1
= dimensi awal (cm)
D2
= dimensi setelah perendaman (cm)
c. Pengujian sifat mekanis ¾ Modulus of Elasticity (MOE) Pengujian dilakukan dengan menggunakan Universal Testing Machine (UTM) merk Instron. Contoh uji berukuran 5cm × 20cm pada kondisi kering udara dibentangkan dengan jarak sangga 12 cm. Pembebanan dilakukan di tengah-tengah jarak sangga dengan kecepatan pembebanan sebesar 10 mm/menit. Kemudian ukur besarnya beban yang mampu ditahan oleh contoh uji tersebut sampai batas proporsi. Nilai MOE dihitung menggunakan rumus: MOE =
ΔPL3 4Δybh 3
Keterangan : MOE =
Modulus of Elasticity (Kg/cm2)
∆P
=
perubahan beban yang digunakan (kg)
L
=
jarak sangga (cm)
∆y
=
perubahan defleksi setiap perubahan beban (cm)
b
=
lebar contoh uji (cm)
h
=
tebal contoh uji (cm)
¾ Modulus of Rupture (MOR) Pengujian dilakukan dengan menggunakan Universal Testing Machine (UTM) merk Instron. Contoh uji berukuran 5cm × 17cm pada kondisi kering udara dibentangkan dengan jarak sangga 12 cm seperti terlihat pada Gambar 3. Pembebanan dilakukan di tengah-tengah jarak sangga dengan kecepatan pembebanan sebesar 10 mm/menit. Pada pengujian ini, pembebanan pada pengujian MOE dilanjutkan sampai contoh uji mengalami kerusakan (patah). Nilai MOR dihitung menggunakan rumus: MOR =
3PL 2bh 3
Keterangan : MOR =
Modulus of Rupture (Kg/cm2)
P
=
berat beban sampai patah (kg)
L
=
jarak sangga (cm)
b
=
lebar contoh uji (cm)
h
=
tebal contoh uji (cm) P
Contoh Uji
L/2
L/2 L = 12 cm Keteran gan : P = Beban L = Panjang bentang
Gambar 3. Pengujian MOE dan MOR
¾ Keteguhan Geser Tarik Penentuan keteguhan geser tarik panil bambu lapis berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2704-1992) mengenai Kayu Lapis Penggunaan Umum. Contoh uji dengan perekat MDI merupakan tipe eksterior sehingga pada pengujiannya sampel direndam dalam air panas pada suhu 100±3°C selama 4 jam, kemudian dicelupkan ke dalam air dingin sampai suhu mencapai suhu kamar. Selanjutnya contoh uji tersebut diuji dengan alat geser tarik pada waktu masih basah. Beban maksimum yang dapat dicapai dicatat pada saat contoh uji putus atau rusak. Bentuk sampel dari keteguhan rekat ini dapat dilihat pada Gambar 4. 100 mm
34.4mm
3.1mm
25mm 3.1mm
34.4mm
Gambar 4. Pembuatan Potongan Uji Keteguhan Geser Tarik Nilai keteguhan geser tarik diperoleh dengan persamaan: KGT =
B PxL
Keterangan : KGT = nilai keteguhan geser tarik (kg/cm2) B
= beban tarik (kg)
P
= panjang bidang geser (cm)
L
= lebar bidang geser (cm)
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Tali 4.1.1 Kerapatan Kerapatan (density) adalah perbandingan antara massa kayu dengan volumenya. Kerapatan yang dimaksud adalah kerapatan pada saat kering udara (Haygreen dan Bowyer 1993). Hasil penelitian menunjukkan nilai kerapatan bambu lapis yang cenderung seragam dimana nilai kerapatan terendah terdapat pada bambu lapis Model Sambungan C sebesar 0,875 g/cm³ dan tertinggi pada bambu lapis Model Sambungan F sebesar 0,897 g/cm³. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan besarnya kerapatan bambu lapis kontrol yaitu 0,924 kg/cm2 seperti dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5
Histogram hubungan antara kerapatan dengan model letak sambungan.
Kerapatan rata-rata bambu lapis yang diberi perlakuan sambungan adalah 0,886 g/cm³. Nilai ini lebih tinggi dibanding hasil penelitian Kliwon et al. (1993) dalam Monalisa (2008) yang menggunakan pelupuh bambu tali, Nugraha (2006), Monalisa (2008) dan Kusuma (2008) yang berturut-turut sebesar 0,64 g/cm3; 0,76 g/cm³; 0,86 g/cm3; dan 0,82 g/cm3. Hingga saat ini penentuan kualitas bambu
lapis masih belum ada batasan yang jelas tentang besarnya kerapatan yang baik sehingga tidak ada batasan yang jelas untuk nilai kerapatan bambu lapis agar dapat menghasilkan bambu lapis yang berkualitas baik. Menurut Sulastiningsih (2005) kerapatan dipengaruhi oleh kerapatan bahan, berat labur perekat dan besarnya tekanan kempa selama proses pengempaan. Pada penelitian ini digunakan bahan baku berupa anyaman bambu lapis berkerapatan 0,37 g/cm³, berat labur perekat 250 g/cm2, dan besarnya tekanan kempa adalah 30 kg/cm2 selama 5 menit pada suhu ± 130ºC. Menurut Fadli (2006), semakin tinggi nilai kerapatan akan menghasilkan sifat mekanis yang lebih baik. Bambu lapis kontrol memiliki kerapatan yang paling tinggi. Hal ini diduga karena pada bambu lapis kontrol tidak terdapat adanya sambungan, tidak terdapat perekat kertas berupa lakban diantara lapisanlapisan vinir, sehingga perekat isocyanate dapat menyebar dan berpenetrasi lebih merata dan lebih dalam, yang semua itu akan berimplikasi pada terjadinya proses pemadatan yang lebih baik pada saat pengempaan. Dugaan ini selaras dengan pernyataan Surdiding et al. (2007) yang menyatakan bahwa jenis, kekentalan, dan cara pengaplikasian perekat mempengaruhi penyebaran dan penetrasi dari perekat itu sendiri. Sulastiningsih (2005) menyatakan bahwa nilai kerapatan panil bambu lapis akan meningkat seiring dengan semakin baiknya kualitas lapisan perekat dan pemadatan selama pengempaan. Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap kerapatan bambu lapis, dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Analisis sidik ragam kerapatan bambu lapis Sumber F tabel DB JK KT F hit. Pr > F Keragaman 0,05 0,01 Model letak 5 0.0045 0.0009 0.75 0.6018tn 3.106 5.064 sambungan Keterangan : DB : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadarat KT : Kuadrat Tengah * : nyata ** : sangat nyata tn : tidak nyata Dari Tabel 2 terlihat bahwa model letak sambungan tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan bambu lapis. Hal ini berarti bahwa berbagai model letak sambungan yang digunakan memberikan kerapatan bambu lapis yang relatif sama.
4.1.2
Kadar Air Kadar air (moisture content) menunjukkan banyaknya air yang diikat oleh
panil bambu lapis terhadap berat kering tanurnya (oven) yang dinyatakan dalam persen. Dari hasil pengujian diperoleh nilai kadar air rata-rata bambu lapis adalah 10,483% dengan nilai kadar air tertinggi terdapat pada Model Sambungan D yaitu sebesar 10,554% dan terendah pada Model Sambungan A sebesar 10,404% yang tidak terpaut jauh dengan kadar air bambu lapis kontrol sebesar 9,930%. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai kadar air bambu lapis yang dihasilkan cenderung seragam seperti dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Histogram hubungan antara kadar air denngan model letak sambungan. Berpedoman pada standar SNI yang menyatakan bahwa nilai maksimal kadar air pada kayu lapis struktural adalah 14% maka kadar air semua panil bambu lapis berada dibawah nilai kadar air maksimum yang telah ditentukan. Dengan demikian, panil bambu lapis yang dibuat telah memenuhi standar kadar air kayu lapis. Nilai rata-rata kadar air pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Nugraha (2006) yaitu 13,91%. Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap kadar air bambu lapis maka dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Analisis sidik ragam kadar air bambu lapis Sumber F tabel DB JK KT F hit. Pr > F Keragaman 0,05 0,01 Model letak 5 0.000084 0.000017 1.44 0.2799tn 3.106 5.064 sambungan Keterangan : DB : Derajat Bebas * : nyata
JK : Jumlah Kuadarat KT : Kuadrat Tengah ** : sangat nyata tn : tidak nyata
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air bambu lapis. Hal ini berarti bahwa pada berbagai taraf model letak sambungan yang digunakan memberikan nilai kadar air yang relatif sama.
4.1.3
Daya Serap Air Daya serap air merupakan sifat fisis yang tidak disyaratkan dalam SNI 01-
5008.7-1999, namun daya serap air ini perlu diperhatikan karena merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas bambu lapis. Pengujian daya serap air dilakukan untuk mengetahui ketahanan bambu lapis terhadap air jika digunakan untuk penggunaan eksterior atau penggunaan yang sering berhubungan langsung dengan pengaruh cuaca (kelembaban dan hujan). Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai daya serap air seperti terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Histogram hubungan antara daya serap air dengan model letak sambungan Daya serap air tertinggi terdapat pada model letak sambungan D sebesar 34,457% dan terendah pada model letak sambungan E sebesar 28,370%. Sementara itu, daya serap air pada bambu lapis kontrol adalah 32,470%. Ditilik dari segi perekat, isocyanate memiliki karakteristik tahan air, cepat mengeras dan cepat matang pada temperatur rendah dan lebih toleran terhadap partikel maupun vinir berkadar air tinggi (Marra, 1992). Sehingga masih tingginya nilai daya serap air diduga bukan karena jenis perekat yang digunakan, melainkan karena kurang meratanya distribusi perekat sehingga perekat tidak melapisi permukaan vinir dengan baik. Hal ini berimplikasi pada tingkat penyerapan air yang lebih banyak pada bagian permukaan yang tidak terlapisi oleh perekat. Fadli (2006) menyebutkan bahwa selain absorbsi bahan baku dan ketahanan perekat terhadap air, faktor yang mempengaruhi bambu lapis terhadap penyerapan air adalah (1) volume ruang kosong yang dapat menampung air diantara anyamananyaman bambu, (2) saluran kapiler yang menghubungkan ruang satu dengan ruang kosong yang lain, (3) luas permukaan vinir yang tidak dapat ditutup oleh perekat, dan (4) dalamnya penetrasi perekat terhadap vinir. Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap daya serap air maka dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Analisis sidik ragam daya serap air bambu lapis Sumber F Pr > F DB JK KT hit. keragaman Model letak sambungan
5
0.007101
0.001420
0.96 0.4799tn
F tabel 0,05 0,01 3.106
5.064
Keterangan : DB : Derajat Bebas * : nyata
JK : Jumlah Kuadarat ** : sangat nyata
KT : Kuadrat Tengah tn : tidak nyata
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan tidak berpengaruh nyata terhadap daya serap air bambu lapis. Hal ini berarti bahwa pada berbagai taraf model letak sambungan yang digunakan memberikan nilai daya serap air yang sama.
4.1.4
Pengembangan Tebal Nilai pengembangan tebal bambu lapis hasil penelitian berkisar antara
4,703% - 15,389% seperti yang terlihat pada Gambar 8. Pengembangan tebal terendah terdapat pada Model Letak Sambungan C, sedangkan pengembangan tebal bambu lapis tertinggi terdapat pada Model Letak Sambungan D. Sementara itu bambu lapis kontrol memiliki pengembangan tebal 7,888%.
Gambar 8 Histogram hubungan antara pengembangan tebal dengan model letak sambungan Nilai rata-rata pengembangan tebal pada penelitian ini adalah 8,650%, masih lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai rata-rata pengembangan tebal pada penelitian Nugraha (2006) yang besarnya 14,61% dengan kisaran nilai pengembangan tebal terendah 5,79% dan tertinggi 23,25%. Haygreen et al. (1983) menerangkan bahwa semakin banyak perekat yang digunakan dalam pembuatan papan maka dimensi papan yang dihasilkan akan semakin stabil. Nilai pengembangan tebal yang bervariasi diduga dipengaruhi oleh kurang meratanya distribusi perekat pada setiap permukaan vinir sehingga setelah papan direndam dalam air selama 24 jam menyebabkan bagian permukaan papan yang tidak terkena perekat menjadi tebal akibat masuknya air ke dalam papan yang dihasilkan.
Nilai pengembangan tebal yang bervariasi juga menimbulkan pendugaan bahwa model letak sambungan mempengaruhi sifat pengembangan tebal pada bambu lapis. Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap pengembangan tebal bambu lapis, dilakukan analisis sidik ragam dan hasilnya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Analisis sidik ragam pengembangan tebal bambu lapis Sumber F tabel DB JK KT F hit. Pr > F keragaman 0,05 0,01 Model letak 5 0.020832 0.004166 3.95 0.0237* 3.106 5.064 Sambungan Keterangan : DB : Derajat Bebas * : nyata
JK : Jumlah Kuadarat ** : sangat nyata
KT : Kuadrat Tengah tn : tidak nyata
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan berpengaruh nyata terhadap pengembangan tebal bambu lapis. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa pengembangan tebal yang dihasilkan pada model D berbeda nyata dengan seluruh model letak sambungan pada bambu lapis dalam penelitian ini. Dari grafik yang tersaji pada Gambar 8 juga terlihat bahwa Model D, yaitu peletakan sambungan yang disusun pada lapisan 1, 3, dan 5 memiliki nilai pengembangan tebal yang paling tinggi. Sementara Model C, yaitu peletakan sambungan yang disusun secara berurutan pada tiga lapisan teratas, memiliki nilai pengembangan tebal yang paling rendah. Sehingga dapat disarankan penggunaan model letak sambungan C untuk mendapatkan nilai pengembangan tebal yang paling baik yaitu pengembangan tebal bambu lapis yang sekecil mungkin.
4.2 Sifat Mekanis Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Tali 4.2.1
Keteguhan Patah (Modulus of Rupture/MOR) Keteguhan patah atau Modulus of rupture merupakan suatu besaran yang
menyatakan nilai ketahanan suatu bahan atau material sampai patah bila dikenai beban dari luar, atau dengan kata lain, nilai yang menunjukkan beban maksimum yang dapat ditahan oleh suatu persatuan luas sampai bahan tersebut patah (Haygreen dan Bowyer 1993).
Nilai keteguhan patah bambu lapis dalam penelitian ini berkisar antara 178,098 kg/cm² sampai dengan 753,204 kg/cm² seperti yang terlihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Histogram hubungan antara keteguhan patah dengan model letak sambungan. Nilai keteguhan patah terendah terdapat pada Model Letak Sambungan A, dimana pada model ini sambungan disusun berurutan pada seluruh lapisan vinir dengan pendugaan bahwa komposisi ini paling lemah sifat mekanisnya. Hasil pengujian keteguhan patah membuktikan bahwa pendugaan tersebut adalah benar. Nilai keteguhan patah tertinggi terdapat pada Model Letak Sambungan B dimana pada model ini sambungan disusun secara berurutan pada dua lapisan teratas dengan asumsi bahwa bekerja gaya tekan pada 2 lapisan teratas dan gaya tarik pada 3 lapisan terbawah, yang, dengan komposisi tersebut diharapkan bambu lapis dapat
mencapai
kekuatan
optimum.
Hasil
pengujian
keteguhan
patah
menunjukkan bahwa komposisi ini adalah komposisi yang terbaik dipandang dari sifat mekanis keteguhan patahnya. Mekipun demikian, nilai MOR pada Model B masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan nilai MOR bambu lapis kontrol yang sebesar 1475,506 kg/cm2. Keteguhan patah minimum menurut standar SNI sebesar 140 kg/cm2. Nilai tersebut merupakan syarat untuk plywood struktural dengan ketebalan 5,0 mm. Dengan demikian, seluruh model lapisan pada penelitian ini telah melampaui standard minimum MOR yang ditetapkan dalam SNI.
Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap keteguhan patah bambu lapis, dilakukan analisis sidik ragam dan hasilnya disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Analisis sidik ragam keteguhan patah bambu lapis Sumber DB JK KT F hit. Pr > F keragaman Model letak 3297007.52 659401.50 47.43 0.0001** 5 sambungan
F tabel 0,05 0,01 3.106
5.064
Keterangan : DB : Derajat Bebas * : nyata
JK : Jumlah Kuadarat ** : sangat nyata
KT : Kuadrat Tengah tn : tidak nyata
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan patah bambu lapis. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa keteguhan patah bambu lapis pada model B berbeda nyata dengan bambu lapis kontrol dimana bambu lapis kontrol adalah yang terbaik; tidak berbeda nyata dengan model D dan E dimana meski tidak berbeda nyata namun nilai keteguhan patah model B adalah yang terbaik bila dibandingkan dengan model D dan E; dan berbeda nyata dengan model C dan A yang nilai keteguhan patahnya menempati urutan dua terbawah. Sehingga untuk mendapatkan bambu lapis dengan nilai keteguhan patah paling mendekati keteguhan patah bambu lapis kontrol, maka disarankan penggunaan model letak sambungan B.
4.2.2
Keteguhan Lentur (Modulus of Elasticity/MOE) Keteguhan lentur atau Modulus of Elasticity merupakan suatu besaran
yang menunjukkan sifat elastisitas suatu bahan atau material. Nilai keteguhan lentur pada penelitian bambu lapis ini berkisar antara 4.670 kg/cm² sampai dengan 29.911 kg/cm2 seperti yang dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Histogram hubungan antara keteguhan lentur dengan model letak sambungan. Nilai keteguhan lentur terendah terdapat pada Model Letak Sambungan C, dimana peletakan sambungan disusun secara berurutan pada tiga lapisan teratas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa bekerjanya gaya tarik pada tiga lapisan teratas dan gaya tekan pada dua lapisan terbawah merupakan komposisi letak sambungan yang paling lemah nilai keteguhn lenturnya. Sementara itu, nilai keteguhan lentur tertinggi terdapat pada Model Letak Sambungan D, dimana peletakan sambungan disusun secara berselang-seling pada lapisan 1, 3, dan 5 yang merupakan adaptasi dari teknik peletakan batu-bata untuk konstruksi bangunan. Hasil pengujian sifat keteguhan lentur ini menunjukkan bahwa komposisi Model D adalah yang terbaik. Meski demikian, nilai MOE pada Model D ini masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan nilai MOE bambu lapis kontrol yang besarnya 68.329 kg/cm². Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap keteguhan lentur bambu lapis, dilakukan analisis sidik ragam dan hasilnya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Analisis sidik ragam keteguhan lentur bambu lapis Sumber F tabel DB JK KT F hit. Pr > F keragaman 0,05 0,01 Model letak 6711415488 1342283098 8.42 0.0013** 3.106 5.064 5 sambungan Keterangan : DB : Derajat Bebas * : nyata
JK : Jumlah Kuadarat ** : sangat nyata
KT : Kuadrat Tengah tn : tidak nyata
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan lentur bambu lapis. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa keteguhan lentur yang dihasilkan model D tidak berbeda nyata dengan model B, namun berbeda nyata dengan nilai keteguhan patah bambu lapis kontrol. Menurut standard SNI, nilai minimum MOE untuk ketebalan bahan kurang dari 6,0 mm adalah 85.000 kg/cm2. Dengan demikian, seluruh nilai MOE pada hasil penelitian ini tidak memenuhi standar yang ada.
4.2.3 Keteguhan Geser Tarik Keteguhan geser tarik menggambarkan kekuatan daya rekat perekat terhadap bahan yang direkatnya. Rata-rata keteguhan geser tarik bambu lapis pada penelitian ini adalah 11,875 kg/cm2, masih lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Nugraha (2006) yang sebesar 14,800 kg/cm2. Berdasarkan hasil pengujian, nilai keteguhan tarik berkisar antara 0,868 kg/cm² sampai dengan 23,275 kg/cm² seperti dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11
Histogram hubungan antara keteguhan geser tarik dengan model letak sambungan.
Nilai keteguhan geser tarik terendah terdapat pada Model Letak Sambungan A, dimana peletakan sambungan disusun secara berurutan pada
seluruh lapisan dan telah diduga bahwa komposisi inilah yang kekuatan sifat mekanisnya paling lemah. Keteguhan geser tarik tertinggi terdapat pada Model Letak Sambungan B, dimana peletakan sambungan disusun secara berurutan pada 2 lapisan teratas yang dengan komposisi ini diharapkan bambu lapis dapat mencapai kekuatan optimum. Hasil pengujian keteguhan geser tarik menunjukkan bahwa bekerjanya gaya tarik pada dua lapisan teratas dan gaya tekan pada tiga lapisan terbawah pada Model B merupakan model yang terbaik dipandang dari sifat mekanis keteguhan geser tariknya. Meski demikian, nilai tertinggi yang diperoleh pada Model B masih tertinggal dari nilai keteguhan geser tarik bambu lapis kontrol yang besarnya 34,839 kg/cm2. Selain dipengaruhi oleh model letak sambungan, nilai keteguhan geser tarik dipengaruhi oleh suhu dan tekanan kempa. Menurut Shields (1970) dalam Nugraha (2006), suhu yang tinggi dapat menggosongkan perekat, hal ini dapat menghilangkan keteguhan rekatnya dan suhu yang rendah merapuhkan perekat sehingga keteguhan rekatnya menurun. Tekanan kempa yang terlalu tinggi akan menghasilkan keteguhan rekat kurang baik karena banyak perekat yang keluar dari garis rekat sehingga jumlah perekat pada garis rekat terlalu sedikit. Tekanan yang terlalu rendah kurang baik karena penembusan perekat kurang dalam, kontak antar permukaan yang direkat kurang rapat. Nilai minimum keteguhan geser tarik kayu lapis struktural yang disyaratkan SNI adalah 7 kg/cm2. Model B, D, dan E telah melampaui nilai minimum yang disyaratkan, sedangkan Model A dan C tidak memenuhi nilai minimum standar tersebut. Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap keteguhan lentur bambu lapis, dilakukan analisis sidik ragam dan hasilnya disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Analisis sidik ragam keteguhan geser tarik bambu lapis Sumber F tabel DB JK KT F hit. Pr > F Keragaman 0,05 0,01 Model letak 5 2708.865 541.773 11.31 0.0003** 3.106 5.064 Sambungan Keterangan : DB : Derajat Bebas * : nyata
JK : Jumlah Kuadarat ** : sangat nyata
KT : Kuadrat Tengah tn : tidak nyata
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan geser tarik bambu lapis. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5) menunjukkan bahwa nilai keteguhan geser tarik model B tidak berbeda nyata dengan keteguhan geser tarik bambu lapis kontrol. Sehingga disarankan menggunakan model letak sambungan B untuk mendapatkan nilai keteguhan geser tarik yang paling baik yaitu yang paling mendekati keteguhan geser tarik bambu lapis kontrol.
4.3 Kualitas Bambu Lapis Semua bambu lapis yang dibuat dalam penelitian ini memiliki nilai kerapatan, kadar air, dan daya serap air yang cenderung seragam dimana model letak sambungan terbukti tidak berpengaruh nyata terhadap ketiga variabel sifat fisis tersebut. Selanjutnya, penentuan model letak sambungan yang terbaik ditentukan oleh nilai pengembangan tebal, MOE, MOR, dan keteguhan geser tarik. Hal ini karena model letak sambungan terbukti berpengaruh nyata pada nilai keempat variabel tersebut. Seluruh bambu lapis yang dihasilkan telah memenuhi standar nilai kadar air dan MOR yang disyaratkan dalam SNI; tidak memenuhi standar nilai MOE; dan selain bambu lapis kontrol hanya model B, D, dan E yang memenuhi standar minimum nilai keteguhan geser tarik. Nilai kerapatan bambu lapis hasil penelitian adalah yang tertinggi apabila dibandingkan dengan penelitian serupa yang dilakukan oleh Kliwon (1993) dalam Monalisa (2008), Nugraha (2006), Monalisa (2008), dan Kusuma (2008). Selanjutnya, nilai pengembangan tebal bambu lapis yang lebih rendah daripada pengembangan tebal bambu lapis pada penelitian Nugraha (2006) menunjukkan bahwa nilai pengembangan tebal pada penelitian ini lebih baik daripada pengembangan tebal bambu lapis pada penelitian Nugraha (2006). Daya serap air, meski tidak disyaratkan dalam SNI, hasil pengujian menunjukkan bahwa daya serap air bambu lapis dari anyaman bambu tali dengan perekat isocyanate ini cukup tinggi, meski masih dalam kisaran angka yang umum terjadi pada papan komposit lainnya. Jika seluruh hasil pengujian di atas diakumulasikan, maka dapat disimpulkan bahwa bambu lapis hasil penelitian ini belum dapat diterapkan dalam
skala industri dan untuk kepentingan komersil, mengingat bahwa masih ada variabel yang belum bisa dipenuhi nilai standar yang disyaratkan SNI, yaitu nilai MOE dan keteguhan geser tarik. Meski demikian, hasil pengujian bambu lapis pada penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan hasil penelitian sebelumnya yang juga menggunakan anyaman bambu tali dengan jenis perekat UF dan MF yang dilakukan oleh Nugraha (2006). Untuk menentukan model letak sambungan terbaik dalam penelitian ini, digunakan parameter berupa nilai hasil pengujian sifat fisis dan mekanis. Model letak sambungan yang memiliki nilai paling mendekati atau sama dengan nilai bambu lapis kontrol pada variabel sifat fisis mekanis yang diujikan, maka model itulah yang dinyatakan sebagai model letak sambungan yang terbaik. Berdasarkan parameter ini, diperoleh hasil bahwa model B merupakan model letak sambungan yang terbaik, dengan catatan, model tersebut tidak dibalik pada saat penggunaannya (sambungan tetap terletak pada dua lapisan teratas).
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan a. Adanya sambungan tidak mempengaruhi nilai kadar air, kerapatan, dan daya serap air bambu lapis, yang tampak dari nilai hasil pengujian yang relatif seragam antara bambu lapis kontrol dengan bambu lapis yang diberi perlakuan
sambungan.
Model
penyusunan
letak
sambungan
mempengaruhi pengembangan tebal, MOE, MOR, dan keteguhan geser tarik bambu lapis. Hasil pengujian sifat mekanis menunjukkan bahwa tidak satupun bambu lapis yang diberi perlakuan model letak sambungan mengungguli nilai MOE, MOR, dan keteguhan geser tarik bambu lapis kontrol. b. Model letak sambungan terbaik berdasarkan hasil pengujian sifat fisis mekanis adalah Model B yang memiliki nilai kadar air 10,42%, kerapatan 0,875 g/cm3, daya serap air 30,633%, pengembangan tebal 5,858%, MOE 27.957 kg/cm2, MOR 753,204 kg/cm2, dan keteguhan geser tarik 23,275 kg/cm2.. c. Berdasarkan kualitas fisis mekanisnya, bambu lapis terbaik pada penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk penggunaan meja dekorasi, keranjang ayunan bayi, rak buku, lemari pakaian, lemari sepatu, dan untuk kegunaan struktural lain yang menahan beban tidak lebih dari 41,847 kg (pada bambu lapis berukuran 150 cm x 50 cm).
5.2 Saran Penggunaan lakban yang tujuan awalnya untuk menyatukan sambungan dua vinir dan untuk mencegah agar sambungan vinir tersebut tidak terpisah saat dikempa, ternyata berdampak pada proses perekatan, dimana adanya lakban berimplikasi pada tidak meratanya distribusi perekat serta penetrasi perekat yang kurang dalam. Sehingga disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan dengan perlakuan tanpa menggunakan lakban.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1977. Beberapa Jenis Bambu. Proyek Sumberdaya Ekonomi. Lembaga Biologi Nasional. Bogor. Anonim. 2007. The Function of Isocyanate. Ministry of Plantation Industries and Commodities Malaysia. Dransfield S and Widjaya EA. 1995. Plant Resourch of South East Asia (PROSEA) no. 7 : Bamboo, Bachuys Publisher. Leiden. Dumanauw JF. 1990. Mengenal Kayu. Penerbit Kanisius. Semarang. Fadli TM. 2006. Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Lapis dari Bambu Andong (Gigantochloa verticillata (Wild.) Munro). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Haygreen JG, Bowyer JL. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu : Suatu Pengantar. Hadikusumo SA. Penerjemah; Prawiro hatmojo, editor. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Terjemahan dari Forest Product and Wood Science : An Introduction. Holfinger MS. 1990. Dyfurfuryl Diisocyanate Adhesives From Renewable Resources : Preliminary Result. Di dalam Conner et al., editor. Wood Adhesives 1990. Proceeding of A Symposium at The (Madison Wisconsin, 16-18 May 1990). Wisconsin : USDA Forest Fervice Forest Product Laboratory and The Forest Products Research Society. Janssen JJA. 1988. The Importance of Bamboo as a Building Material. Proceesings of the International Bamboo Workshop. Chochin, India. Krisdianto, Sumarni G, Ismanto A. 2000. Sari Hasil Penelitian Rotan dan Bambu. Nalitbang Kehutanan dan Perkebunan. Bogor. Kusuma, HA. 2008. Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Lapis Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz) Dengan Perekat Tanin Rsorsinol Formaldehida [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Liese W. 1985. Anathomy of Bamboo Proceedings Workshop Bamboo Research in Asia, Singapore 28-30 May 1980. International Development Research Center. Ottawa.
Marra AA. 1992. Technology of Wood Bonding Principles in Practice. USA : Van Nostrand Reinhold. Monalisa. 2008. Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Lapis Dengan Variasi Model Lapisan dan Kadar Ekstender Perekat Tanin [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Nugraha PY. 2006. Studi Pembuatan Bambu Lapis dari Anyaman Bamb Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz) Dengan Menggunakan Perekat UF dan PF [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Nuryawan A dan Massijaya MY. 2006. Mengenal Oriented Strand Board (OSB). Kerjasama Fakultas Pertanian USU Medan dan Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Petrie
EM. 2004. Reactive Polyurethane Adhesive for Bonding Wood. http://www.specialchem4adhesive.com/resource/article. [26 November 2007]
Ruhendi S dan Widarmana S. 1983. Kualitas Kayu Lapis Dari Beberapa Jenis Kayu Perdagangan Penting Menggunakan Phenol dan Urea Formaldehid Dengan Campuran Tepung Gandum dan Ubikayu. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ruhendi S. 1988. Perekat dan Perekatan. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sakinah S. 2007. Determinasi Suhu dan Waktu Kempa Optimum Papan Komposit dari Limbah Kayu dan Anyaman Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schultes f.) Backer ex Heyne). Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sastrapradja S, Widjaya EA, Prawiroatmodjo S, Soenarko S. 1980. Beberapa Jenis Bambu. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Bogor. Sulastiningsih, IM. Nurwati. Karnita y. 2005. Teknologi Pembuatan Bambu Lamina dan Bambu Lapis. Di Dalam: Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005; Bogor, 30 November 2005. Bogor: Pusat Litbang Hasil Hutan Badan Litabg Kehutanan Departemen Kehutanan. hlm 131-141. Surdiding R, Koroh DN, Syamani FA, Yanti H, Nurhaida, Saad S, Sucipto T. 2007. Analisis Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Syafi’i, L. I. 1984. Pengujian Sifat-sifat Fisis dan Mekanik Contoh Kecil Bebas Caat Beberapa Jenis Bambu. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.
Vick CB. 1999. Wood Handbook, Wood as an Engineering Material. Chapter 9. Adhesive Bonding of Wood Materials. Forest Product Society. USA. Widjaya EA. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Jawa. Puslitbang-LIPI. Bogor. Yap FKH. 1967. Bambu Sebagai Bahan Bangunan. Lembaga Penyelidikan Bahan Bangunan. Bandung.
Lampiran 1 Rekapitulasi data hasil pengujian sifat fisis dan mekanis
MOR (kg/cm3)
KGT (kg/cm2)
1 2 3
0.888 9.699 0.876 34.508 69922.079 1484.898 0.997 9.641 11.649 28.051 76290.242 1566.837 0.886 10.450 11.139 34.852 58775.310 1374.782
32.819 42.047 29.651
1 2 3
0.924 9.930 7.888 32.470 68781.961 1487.311 0.900 10.430 10.383 34.174 10570.168 151.546 0.891 10.305 8.710 29.211 53950.555 219.656 0.880 10.478 7.069 27.040 19351.551 163.091
34.839 1.457 0.397 0.748
1 2 3
0.890 0.829 0.900 0.896
10.404 10.844 10.393 10.023
8.721 8.136 2.665 6.773
30.142 35.372 33.678 22.848
19616.113 26471.052 23047.895 15731.088
177.227 690.237 833.511 735.865
0.868 26.209 25.836 17.779
1 2 3
0.875 0.875 0.877 0.887
10.420 11.007 10.063 10.593
5.858 6.915 6.697 0.497
30.633 20508.514 31.321 6092.174 33.693 1365.570 33.115 6550.840
757.479 199.028 257.888 256.396
23.275 1.804 1.188 1.033
1 2 3
0.880 0.898 0.880 0.890
10.554 4.703 32.710 4410.364 10.521 13.780 32.274 13963.995 10.581 15.398 36.618 40418.055 10.490 16.989 34.478 35349.734
236.910 405.327 871.096 784.699
1.342 19.002 11.332 35.500
1 2 3
0.889 0.931 0.902 0.860
10.530 15.389 34.457 26060.950 10.211 8.018 27.579 11148.152 10.653 8.650 26.146 32717.467 10.659 9.063 31.385 23220.825
682.168 573.427 578.945 454.613
21.945 20.148 12.301 3.381
Perlakuan Ulangan Kontrol
Ratarata A
Ratarata B
Ratarata C
Ratarata D
Ratarata E
Ratarata Ratarata total Keterangan : Kontrol A B C
Krpt (g/cm3)
KA (%)
PT (%)
DSA (%)
MOE (kg/cm3)
0.897 10.508
8.577 28.370 22381.223
540.189
11.943
0.886 10.483
8.650 31.262 18595.433
478.795
11.874
= bambu lapis tanpa sambungan = sambungan disusun berurutan pada seluruh lapisan. = sambungan disusun secara berurutan pada dua lapisan teratas. = sambungan disusun secara berurutan pada tiga lapisan teratas.
Lampiran 1 Rekapitulasi data hasil pengujian sifat fisis dan mekanis (lanjutan) D E Krpt KA PT DSA MOE MOR KGT
= sambungan disusun pada lapisan 1, 3, dan 5. =sambungan disusun pada lapisan 2 dan 4. = kerapatan = kadar air = pengembangan tebal = daya serap air = modulus of elasticity, keteguhan lentur = modulus of rupture, keteguhan patah = keteguhan geser tarik
Lampiran 2 Hasil uji lanjut Duncan untuk pengembangan tebal
The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class F1
Levels 6
Values
Kontrol A B C D E
Number of observations in data set = 18
General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: Y NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05
df= 12
MSE= 0.001054
Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range .05775 .06045 .06209 .06317 .06392 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
F1
A
0.15400
3
D
B B B B B B B B B
0.08733
3
A
0.08567
3
E
0.07867
3
Kontrol
0.05867
3
B
0.04700
3
C
Lampiran 3 Hasil uji lanjut Duncan untuk MOR The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class
Levels
F1
6
Values
Kontrol A B C D E
Number of observations in data set = 18
The SAS System General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: Y NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05
df= 12
MSE= 13903.7
Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 209.8 219.6 225.5 229.4 232.2 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
F1
A
1475.51
3
Kontrol
B B B B B
753.20
3
B
687.04
3
D
535.66
3
E
C C C
237.77
3
C
178.10
3
A
Lampiran 4 Hasil uji lanjut Duncan untuk MOE
The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class F1
Levels 6
Values
Kontrol A B C D E
Number of observations in data set = 18
General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: Y NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05
df= 12
MSE= 1.5949E8
Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 22467 23516 24152 24573 24865 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
A
68329
B B C C C C C
29911
3
D
27957
3
A
22362
3
E
21750
3
B
B B B B B
3
F1 Kontrol
C C
4670
3
C
Lampiran 5 Hasil uji lanjut Duncan untuk keteguhan geser tarik
The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class F1
Levels 6
Values
Kontrol A B C D E
Number of observations in data set = 18
General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: Y NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05
df= 12
MSE= 47.91941
Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 12.31 12.89 13.24 13.47 13.63 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
F1
A A B B B B B C C C C
A
C
34.839
3
kontrol
23.275
3
B
21.945
3
D
11.943
3
E
1.342
3
C
0.867
3
A