Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PETERNAKAN MELALUI PENDEKATAN CORPORATE FARMING UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL TAmim SuDARYANTo dan ERIZAL JAMAI.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Vani 70. Bogor 16161 ABSTRAK Pengembangan usaha peternakan dapat sekaligus meningkatkan ketahanan pangan peternak yang mengusahakannya, apabila peningkatan produktivitas usaha sejalan dengan peningkatan pendapatan peternak. Selama ini peningkatan produksi hasil peternakan belum sepenuhnya dinikmati peternak, karena sebahagian besar dari mereka hanya bergerak pada kegiatan onfarm, dan nilai tambah terbesar justru berada pada kegiatan offfarm agribusiness yang lebih banyak dinikmati industri hulu dan hilir seperti industri pakan, pengolahan dan pemasaran . Selain itu besarnya ketergantungan terhadap komponen impor pada pakan menyebabkan usaha ini rentan sekali terhadap berbagai perubahan dalam lingkungan nasional dan global . Dalam upaya memperkuat posisi tawar peternak, maka selain pengembangan diversifikasi usaha, diperlukan wadah yang dapat menyatukan peternak dalam berhadapan dengan industri hilir dan hulu, atau malah mengembangkan kegiatan yang sama dengan yang dilakukan industri hilir dan hulu. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pengembangan organisasi petani/peternak terbentur sulitnya menyatukan kepentingan mereka dalam satu wadah . Pendekatan melalui pengembangan corporate farming merupakan salah satu alternatif dalam menyatukan peternak. Kelebihan pendekatan ini terletak pada tersedianya manajemen yang diharapkan dapat mencari faktor pengikat ying dapat menyatukan kepentingan petani, serta memperkecil variasi penggunaan input antar peternak/petani dalam mengembangkan usahanya . PENDAHULUAN Dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan masyarakat, terutama yang terkait dengan produk peternakan, tidak cukup hanya dilihat dari kemampuan dalam penyediaan produksi hasil ternak seperti telur, susu dan daging, namun juga harus dilihat seberapa jauh usaha peternakan yang dikembangkan mampu meningkatkan daya beli masyarakat. Peningkatan daya beli melalui peningkatan produktivitas usaha dan pendapatan peternak, dengan sendirinya meningkatkan ketahanan pangan masyarakat dan sekaligus merupakan pasar yang potensial bagi produk peternakan. Dengan penduduk Indonesia pada tahun 2000 melebihi 200 juta orang, dan sebagian besar masih terlibat dalam sektor pertanian dan pedesaan dalam arti luas, maka pendekatan di atas merupakan pilihan terbaik dalam pengembangan usaha peternakan di Indonesia . Pengalaman selama pemerintahan Orde Baru, pendekatan dalam pembangunan pertanian lebih mengarah pada pengembangan produksi dengan menekankan perhatian pada kegiatan onfarm dan cenderung parsial. Semua berjalan sendiri-sendiri dengan sasaran petani yang sama, dan pencapaian sasaran lebih dilihat pada peningkatan produksi . Hasilnya seperti yang sudah kita ketahui semua, produksi hampir semua produk pertanian, termasuk peternakan mengalami peningkatan, namun pendapatan petani yang mengusahakannya tidak banyak berubah malahan cenderung makin menurun secara riil. Persoalannya, karena nilai tambah terbesar dari usaha yang dikembangkan petani justru berada di sektor hilir atau offfarm agribusiness (SA.RAGIH, 1995), yang justru tidak dinikmati petani. 35
Seminar Nasional Peternakan clan Veteriner 2000
Selain itu, karena pendekatannya parsial, sumberdaya yang ada disekitar petani tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Pada Kabinet Persatuan sekarang ini dilakukan perubahan dengan menekankan pada pendekatan agribisnis, dan mulai ada pemikiran melihat pengembangan suatu komoditi secara utuh . Selain itu keterkaitan antara satu komoditi dengan komoditi lainnya juga mulai diperhatikan, sehingga dihasilkanlah beberapa pemikiran tentang keterpaduan pengembangan suatu kawasan. Konsep pengembangan usaha peternakan terpadu, yang melihat pengembangan ternak ayam ras dalam kaitannya dengan industri hilir clan hulu sudah lama dilontarkan oleh Dr . Soehaclji, mantan Dirjen Peternakan dengan konsepnya tentang KINAK (Kawasan Industri Peternakan). Kendala utama yang dihadapi adalah sulitnya menyatukan berbagai usaha yang ada dalam menghadapi pasar dan pesaing, sehingga bargaining position peternak tetap lemah. Pada masa yang akan datang pengembangan pertanian dalam arti luas, termasuk peternakan di dalamnya, tidak mungkin lagi dilakukan secara parsial, dan pendekatannya lebih pada optimalisasi pemanfaatan sumberclaya kawasan. Untuk itu dibutuhkan organisasi petani yang kuat, yang dapat mengayomi kepentingan petani dalam upaya peningkatan produktivitas usaha dan pendekatan mereka, sehingga pada akhirnya mereka memiliki ketahanan pangan yang baik . Corporate Farming merupakan salah satu alternatif kelembagaan yang cocok untuk itu. Uraian dalam makalah ini akan didahului oleh paparan tentang kinerja usaha peternakan clan uraian tentang pentingnya pendekatan agribisnis dalam pembangunan pertanian yang berorientasi ketahanan pangan . Selanjutnya dikemukakan berbagai persoalan yang dihadapi bila konsep itu direalisasikan clan pada bagian terakhir diuraikan beberapa alternatif pemecahan, terutama yang terkait dengan konsep Corporate Farming yang berbasis komoditas peternakan . KINERJA USAHA PETERNAKAN SELAMA KRISIS Besarnya ketergantungan terhadap bahan baku impor, dalam pengadaan pakan ternak, merupakan persoalan utama yang dihadapi peternak selama sepuluh tahun terakhir, terutama peternak ayam broiler clan pedaging . Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tiga tahun terakhir makin menyulitkan posisi peternak. Sebagai gambaran seperti diungkapkan SOEDJANA et al. (2000), selama 11 bulan (Agustus 1997-Juni 1998), harga eceran pakan lengkap untuk broiler meningkat hampir empat kali lipat dari Rp .765/kg menjadi Rp .2800/kg . Kondisi ini menyebabkan banyak usaha peternakan ayam yang terpaksa menutup usahanya, dan produksi telur dalam negeri turun sekitar 10,4 persen selama tiga tahun terakhir . Keadaan yang sama dihadapi oleh usaha peternakan sapi perah dan sapi potong, yang mengimpor sapi bakalan. Populasi sapi potong pada beberapa perusahaan penggemukan menurun tajam, sehingga ada usaha penggemukan yang terpaksa tutup. Produksi daging selama 1996-1998 menurun dari 1 .632,2 ribu ton pada tahun 1996, menjadi 1 .472,3 ribu ton pada tahun 1998 (Tabel 1) . Pada usaha peternakan sapi perah, terjadi penurunan populasi sapi perah, karena terbatasnya pengadaan bakalan impor. Karenanya ketergantungan terhadap susu impor tetap saja tinggi . Sejalan dengan keadaan di atas, terjadi peningkatan harga jual produk peternakan di pasar. Sementara itu masyarakat termasuk peternak mengalami penurunan daya belinya, sehingga konsumsi produk peternakan cenderung menurun (Tabel 2) . Banyak pelajaran berharga yang dapat diperoleh selama krisis ekonomi tiga tahun terakhir, antara lain betapa rapuhnya usaha peternakan yang acla karena besarnya ketergantungan terhadap komponen impor, baik itu terkait dengan pakan ataupun bakalan. Hal pokok lainnya adalah pengembangan peternakan selama ini tidak didasarkan pada basis 36
Seminar Nasional Pefernakan dan Veteriner 2000
sumberdaya lokal, serta pengembangan ternak lokal seperti itik, ayam buras kurang mendapat perhatian . Selain itu penggalian sumber pakan lokal, terutama untuk sapi potong, belum dilakukan secara maksimal. Sebagai contoh upaya pemenfaatan jerami sebagai pakan pada sistem usaha terintegrasi antara tanaman dan ternak belum berkembang sebagaimana yang diharapkan. Tabel 1. Produks1, impor, dan permintaan daging, telur, dan susu di Indonesia (x 1000 ton), 1969-1998 Thn 1969 1970 1971
1972 1973
1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995
1996 1997 1998
Prod.
309,3 313,6 332,2 366,2 379,4 403,1 435,0 448,9 467,7 474,6 486,5
571,3 596,0 628,5 651,5 742,2
808,9 879,0 895,5
937,0 971,1 1027,7 1099,2 1239,2 1378,3 1492,9 1507,1 1632,2 1555,1 1472,3
Daging Impor 2,1
6,0 1,0 1,3
1,6 2,1 1,0 1,4 1,3
1,7 1,6
1,6 2,2 2,6 2,9 2,2
l,l
1,5 1,7 1,6
2,0 4,0
6,0 12,0 10,0
15,6 22,0 29,0
33,4 15,6
Permin . 311,4 319,6 333,2
Prod. 57,7 58,6
367,5
68,4 77,5
436,0 450,3
112,2 115,6
381,0 405,2
469,0 476,3 488,1 572,9 598,2 631,1 654,4 744,4 810,0 880,5 897,2 938,6
973,1 1031,7
1105,2 1251,2 1388,3 1508,5 1530,2 1661,2
1588,5 1488,4
81,4 98,1
131,4
151,0 164,5 262,6
275,2 297,0 316,0 355,3 369,9 437,2 451,5 443,1
456,2 484,0 510,4
572,3 572,9
668,6 736,0 779,8 765,0 599,9
Sumlur : DITJENNAK, 1998 dalam SOEDJANA (2000)
Telur Impor
Susu Impor
Permin .
Prod.
149,0 198,5 186,6
0,1 0,1 0,1
57,8 58,7 68,4
28,9 29,3 35,8
0,1 0,1
81,5 98,2
35,0 49,5
168,9 200,4
131,5
49,2 52,8
328,6 365,2
0,2
262,7 275,4
68,6 75,1
0,1 1,5
316,1 356,8
0,1
0,1 0,1 0,1
0,1 0,2
O,l
0,2
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0
0 0
77,6
112,3 115,7 151,1 164,7
297,2 _
369,9 437,2
37,7
44,5
54,2 58,5
497,8
602,8
339,0 373,3
572,3 572,9 645.8 687,8 691,8 527,9
594,3
236,8
510,4
393,7
452,7
377,8 418,0
662,9
596,2 638,1
518,2 622,8 541,7 571,9 658,2 734,6
365,2 304,0
661,1 621,4
446,8
785,8
295,7
507,8 514,4
379,2
533,2 974,7
341,7
692,9
386,0 357,2
203,9
494,5 532,7
462,2 353,1 392,7
295,9 317,4 299,2
206,1
440,3 474,2
188,6 179,2
205,5
227,8 222,4
249,9 254,2
102,1
124,5 160,6
177,9
209,7
521,1 536,0'
451,5 443,1 456,2 484,0
168,4
Permin.
739,4 692,8
807,0 810,1
906,5 1353,9 1125,4 1050,0 1034,6
37
Seminar Nasional Pelernakan clan Veteriner 2000
Tabel 2. Konsumsi per kapita produk daging, telur, clan susu per tahun clan per had di Indonesia, 1969-1998 Thn 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981
1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996
1997 1998
Konsumsi per kapita/thn (kg) Daging
2,74 2,70
2,80 3,02 3,06 3,18 3,34 3,37 3,42
3,41 ", 3,46 3,92 4,00 4,12 4,32
4,64 4,95
5,37 5,27 5,40
5,69 5,70 5,99 6,78 7,40 7,83 7,90 8,41 7,95 7,34
Telur 0,23
0,23
0,29 0,35 0,35 0,45 0,50 0,52 0,80
0,88 0,94 1,44 1,50 1,58
1,66 1,84 1,88
2,13 2,20 2,10 2,12 2,31 2,40 2,73 2,69
3,16 3,33 3,49 3,46 2,60
Susu
1,46 1,82 1,70 1,73
2,64 1,96 1,95 2,82 3,06 3,53 3,72 4,36 3,08 4,17 3,88 3,90 3,31
3,43 3,38 4,20 3,72 3,44 4,46
4,39 4,23 4,75 6,99 5,72 5,25 5,10
Sumber : DITiENNAK, 1998, dalam SOEDIANA
(2000).
Total
4,43 4,75 4,79 5,10 6,05 5,59
Konsumsi per kapita/hari (g)
Daging
1,20 1,20 1,10 1,20 1,42
5,79
1,48 1,27
7,82
1,25 1,25
8,58 9,87
1,43 1,41
6,71 7,26 8,12 9,72
13,90 14,32 15,74 18,22 17,62 16,65 15,04
0,14 0,18
0,26
0,27 0,29
1,21 1,40
1,70 1,74
11,45 12,85
0,13 0,16
0,10 0,20
0,27 0,37 0,43
10,93 10,85 11,70 11,53
0,10
0,15 0,15
1,44 1,55 1,63
1,76 1,80 1,86
1,95 2,15
2,40 2,54 2,52
2,70 2,57 2,36
Susu
0,10 0,10
1,29
9,86 10,38 10,14
Telur
0,10
0,40 0,20
Total
1,40
1,40 1,60 1,60 1,69
0,19
1,82 1,61
0,41 0,36
1,80 1,93 1,94
1,71
0,42
2,25
0,58
0,29 0,34
2,26 2,47
6,74
0,30 0,34
0,45 0,51 0,53
0,64 0,67 0,70 0,72 0,74 0,77 0,86 0,86
1,00 1,06 1,11
1,10 0,82
0,38 0,37
0,28
2,26 2,29
2,55
2,67
0,37
2,82 2,83
0,38 0,38
3,10 3.39
0,33 0,30
0,37 0,42
2,85 2,90
3,63 3,96
0,61
41,9
0,44
3,62
0,50 0,46
4,31 4,13
Hal lainnya yang menyebabkan rapuhnya usaha peternakan yang dikembangkan masyarakat adalah, sebagian besar peternak hanya bergerak pada kegiatan pemeliharaan (onfarm) saja, sementara inclustri hulu clan hilir dikuasai oleh beberapa perusahaan kuat . Sehingga stabilitas usaha sangat rapuh, clan ketergantungan terhadap perusahaan besar tinggi sekali serta penghasilan yang diterima peternak kecil dan fluktuatif. Menurut SIMATUPANG (1995) struktur agribisnis peternakan di Indonesia dapat digolongkan sebagai tipe dispersal, yang dicirikan tidak adanya hubungan organisasi fungsional antara setiap 38
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000 tingkatan usaha. Jaringan agribisnis hanya diikat dan dikoordinir oleh mekanisme pasar, hubungan antara sesama pelaku agribisnis praktis bersifat tidak langsung dan impersonal, sehingga masingmasing hanya memikirkan kepentingan sendiri. Pada usaha peternakan pola agribisnis dispersal ini diperburuk oleh berkembangnya asosiasi pengusaha horizontal yang bersifat asimetri dan cenderung berfungsi sebagai kartel. Sifat asimetri terlihat dari tiadanya asosiasi para pelaku bisnis yang efektif di tingkat petani, sementara asosiasi pelaku bisnis di tingkat hulu dan hilir (industri pakan, pengolahan, pedagang dan eksportir) sangatlah kuat . Keadaan di atas menurut SIMATUPANG (1995) menimbulkan masalah transmisi (pass through problems), yang menyebabkan terjadinya transmisi harga yang tidak simetris, penurunan harga produk ditransmisikan dengan cepat ke petani, sedangkan kenaikan ditransmisikan dengan lambat . Selain itu, informasi pasar, tentang preferensi konsumen, dijadikan alat untuk memperkuat posisi monopsonistik dan monopolistik oleh agribisnis hilir (BELL dan TAI, 1969 ; WHARTON, 1962 dalam SIMATUPANG, 1995). PENGEMBANGAN PETERNAKAN BERORIENTASI KETAHANAN PANGAN Pengembangan usaha peternakan berorientasi ketahanan pangan dapat dicapai apabila kegiatan usaha petemakan yang dikembangkan selain dapat meningkatkan produktivitas usaha, juga menjamin tercukupinya kebutuhan keluarga peternak dari usaha tersebut. Hal ini hanya mungkin dapat dilakukan bila peternak dapat memanfaatkan setiap nilai tambah yang ditimbulkan dari usaha yang dikembangkannya dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang ada disekitarnya melalui diversifikasi usaha. Uraian berikut mencoba melihatnya dalam kaitannya dengan diversifkasi usaha dan pentingnya kebersamaan peternak dalam agribisnis . Diversifikasi usaha Sistem usahatani teringerasi antara tanaman dan ternak, merupakan salah satu upaya untuk memacu pengembangan sektor peternakan, dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di suatu kawasan. Laju pertumbuhan produktivitas usaha pertanian merupakan interaksi antara berbagai faktor yang bekerja di dalam usaha pertanian. Penggunaan sumberdaya usahatani yang optimum lebih mudah dicapai melalui diversifikasi cabang-cabang usaha (HARWOOD, 1979). Azas komplementer di dalam penerapan berbagai keunggulan pengelolaan usaha pertanian, yang menghasilkan interaksi positif, merupakan landasan dasar bagi pengembangan diversifikasi usaha dalam pertanian terpadu. Dalam rangka meningkatkan pembangunan pertanian kawasan lahan usahatani, maka tersedia alternatif teknologi untuk memperbaiki produktivitas lahan serta meningkatkan pendapatan petani melalui penerapan teknologi sistem usaha pertanian berbasis ternak. Ditempatkannya ternak sebagai basis dalam sistem usaha pertanian, mengingat bahwa peranannya disamping sebagai sumber pendapatan harian, juga sebagai salah satu mata rantai di dalam siklus perjalanan unsur hara dalam proses produksi usaha pertanian (PUSLITNAK, 2000). Bahan organik tanah merupakan bagian integral dari tanah dan memegang peranan penting serta menentukan sifat fisik serta kimia tanah. Bahan organik dalam tanah perlu dipertahankan pada tingkat kadar yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Diversifikasi usaha pertanian tersebut di atas tentunya harus diarahkan menuju pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah (LEISA). LEISA merupakan suatu pilihan yang layak bagi banyak petani dan bisa melengkapi bentuk-bentuk produksi pertanian lain . Karena sebagian besar 39
Seminar Nasionat Pelernakan dan Veteriner 2000
petani tidak mampu untuk memanfaatkan input buatan atau penggunaannya dalam jurnlah yang besar, maka perhatian perlu dipusatkan pada teknologi yang bisa memanfaatkan sumberdaya lokal secara efisien . Pengembangan sapi potong di kawasan pengembangan tanaman padi merupakan satu contoh yang menarik untuk ditelaah. Menurut ADNYANA (2000) dari setiap hektar lahan sawah dapat dihasilkan 6-8 ton jerami padi per musim tanam, dengan variasi berdasarkan varietas dan lokasi penanaman. Jerami padi ini dapat digunakan untuk pakan sapi dewasa sebanyak 2-3 ekor sepanjang tahun. Sehingga pada lokasi yang mampu panen 2 kali setahun akan tersedia pakan berserat untuk 46 ekor sapi. Selain jerami pakan sapi dapat diusahakan dengan pemanfaatan pematang sawah, yang luasnya sekitar 5 persen dari luas sawah, dan dapat dmnfatkan untuk ditanami rumput pakan sapi. Pakan ini bersifat komplemen terhadap jerami ditambah dedak dari hasil penggilingan padi. Sementara itu kotoran sapi merupakan pupuk organik yang sangat dibutuhkan sawah (Gambar 1). Hasil penelitian BPTP Karangploso seperti yang dikutip KOMPAs (September 2000) menyebutkan bahwa sawah di Jawa Timur dan Indonesia umumnya sudah miskin bahan organik. Agar nilai tambah dari usaha ini dapat dinikmati petani dan peternak, maka seyogiyanya industri hulu (pengadaan saprodi dan sapronak) dapat dikuasai petani, demikian juga pemasarannya .
Sumber:
ADNYANA (2000)
Gambar 1. Model integrasi usahatani dan usaha ternak (crop-animal system) Dari sini terlihat bahwa pengembangan peternakan dalam satu kawasan merupakan salah satu cara dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya, dan meningkatkan nilai tambah pada produk 40
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000
yang dihasilkan petani. Selain itu, pola-pola semacam ini sangat kenyal sekali menghadapi berbagai perubahan, baik pada tingkat lokal ataupun global sekalipun. Kebersamaan dalam agribisnis peternakan skala kecil Bagian terbesar dari usaha peternakan berada pada skala kecil yang diusahakan oleh rumah tangga petani atau peternak . Usaha ini umumnya bersifat sampingan dan dengan intensitas pengusahaan masih rendah. Berdasarkan kondisi ini maka pengembangan usaha peternakan skala kecil perlu mendapat perhatian utama. Menurut SARAGIH (1995) usaha agribisnis skala kecil memiliki keunggulan karena: 1)
Relatif tidak memerlukan banyak modal investasi terutama yang bergerak di bidang jasa.
2)
Usaha agribisnis skala kecil dapat bergerak luwes menyesuaikan diri dalam situasi yang berubah.
3)
Perubahan selera konsumen dari produk-produk tahan lama yang dihasilkan secara masal ke produk yang lebih manusiawi, lebih tepat dilayani oleh usaha kecil.
Tekah dengan upaya peningkatan ketahanan pangan masyarakat, pengembangan usaha kecil akan dengan sendirinya meningkatkan daya beli masyarakat, melalui perluasan kesempatan kerja di pedesaan. Agar pengembangan agribisnis ini dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani atau peternak kecil, maka dalam pengembangan memerlukan kejelian dalam memilih komoditas unggulan. Untuk itu tersedianya informasi pasar yang memadai merupakan dasar bagi pengembangan usaha (Gambar 2). Agar usaha kecil ini mempunyai bargaining position yang kuat dalam berhubungan dengan industri hulu dan hilir, maka kebersamaan mereka dalam satu wadah organisasi menjadi mutlak adanya. Untuk pengembangan kebersamaan diantara pelaku agribisnis ini, SIMATUPANG (1995) memaparkan bahwa dalam era globalisasi, kunci keberhasilan pembangunan pertanian terletak ditangan para pengusaha yang bergerak dalam agribisnis hulu dan hilir (pakan, agroindustri dan eksportir), dan bukan ditangan petani . Karena itu upaya yang disarankan SIMATUPANG adalah pengembangan Unit Agribisnis Industrial Pola Koordinasi Vertikal, dimana pengusaha yang bergerak di hulu clan hilir melakukan koordinasi pada unit agribisnis dari hulu hingga ke petani dalam suatu wadah kuasi organisasi internal . Direktorat Jenderal Peternakan pada awal tahun 1990-an pernah menerapkan konsep Kawasan Industri Peternakan (KINAK), terutama dimaksudkan untuk menjamin keberadaan usaha peternakan ayam skala kecil. Pengembangan pola KINAK didasarkan pada azas manfaat, mitra usaha, keterpaduan dan lingkungan. Pada saat itu pola KINAK dikembangkan atas tiga bentuk yaitu KINAK Peternakan Rakyat Agribisnis, KINAK Perusahaan lnti Rakyat dan KINAK Sentra Usaha Peternakan Ekspor . Pembedaan dilakukan berdasarkan eratnya keterkaitan dengan industri hilir dan hulu, serta sasaran produksi . Pada saat itu yang berkembang adalah KINAK Peternakan Rakyat Agribisnis, khususnya untuk ayam broiler, yang lain relatif tidak berkembang karena bagi perusahaan besar lebih menguntungkan melakukan integrasi vertikal sendiri yang menyatukan usaha budidaya . pemasaran, pembuatan pakan dan pembibitan ayam. Komitmen untuk mengembangkan usaha secara bersama belum terbina dengan baik.
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000
Sumber: ADNYANA (2000)
Gambar 2. Alur dalam pengembangan agribisnis berbasis usaha petemakan Pentingnya pengembangan wadah yang memungkinkan petani untuk bekerjasama dalam mengeliminir berbagai kelemahan yang mereka miliki sudah banyak diungkapkan berbagai kalangan. Berkaitan dengan itu, SARAGIH (1995) mengatakan: Dalam hal ini, petani serta usaha agribisnis dan agroindustri berskala kecil membutuhkan organisasi yang dapat memperjuangkan nasib mereka dalam konteks pemikiran don konsep agribisnis. Organisasi petani tersebut perlu dibangun dalam dimensi integrasi vertikal sistem agribisnis serta mampu memberikan layanan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi pelaku usaha agribisnis dalam hal manajemen don kewirausahaan, modal, dan teknologi, melalui penciptaan mekanisme hubungan antara pelaku (don colon pelaku) usaha agribisnis dengan berbagai kelembagaan penunjang lain, Dengan adanya organisasi ini, kegiatan yang dilakukan petani atau petemak tidak hanya pada usaha onfarm, tapi juga pada kegiatan nonfarm dan offfarm. Sehingga nilai tambah dari produk yang dihasilkan petani lebih banyak kembali kepada petani, agar pendapatan mereka dapat meningkat. PENGALAMAN DALAM PENGEMBANGAN ORGANISASI PETANI Menyatukan beberapa usaha skala kecil dalam satu organisasi yang solid bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Apalagi menyatukan usaha petani dengan pengusaha yang bergerak di hulu dan hilif seperti yang disarankan SIMATUPANG (1995) . Pengalaman selama ini dalam pengembangan 42
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000
kelembagaan peningkatan produksi secara intensif dilakukan oleh pemerintah dalam pengembangan kelembagaan padi. Kelembagaan peningkatan produksi padi yang dilakukan secara intensif dan komprehensif oleh pemerintah dimulai tahun 1958 dengan mendirikan BPMT (Bahan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah) di bawah Departemen Pertanian melalui program Padi Sentra dan IM (Intensifikasi Massal) yang dikelola oleh Jawatan Pertanian Rakyat. Untuk menggerakkan partisipasi petani dibentuk KOGM (Komando Operasi Gerakan Makmur-Inpres 1/1959) yang dipimpin Presiden di fngkat Pusat dan Kepala Daerah di daerah. Selanjutnya dalam rangka swasembada beras, di Jawa Barat telah dibentuk pula OPSSB (Organisasi Pelaksana Swasembada Beras) . Ternyata pengorganisasian model Padi Sentra dan IM dengan dukungan KOGM dan OPSSB dinilai kurang berhasil . Kemudian diganti dengan kelembagaan BIMAS (Bimbingan Massal) yang merupakan sistem bimbingan penerapan panca usaha oleh petani melalui penyuluhan yang dilengkapi dengan paket sarana produksi, perkreditan dan pemasaran hasil. Pengembangan kelembagaan di atas ditujukan untuk meningkatkan aliran teknologi dan modal sebagai faktor peningkatan produktivitas yang berasal dari luar wilayah pertanian melalui pengembangan delivery system. Delivery systems tersebut diharapkan juga mampu menjamin arus balik yaitu pemasaran hasil pertanian ke luar wilayah pertanian . Pengembangan kelembagaan di atas dilaksanakan berdasarkan paradigma Mosh-r mengenai pentingnya delivery systems untuk meningkatkan produktivitas sekaligus mentransformasikan pertanian tradisional menjadi pertanian maju yang progresif. Paradigma Mosher tentang delivery systems meyakini tentang pentingnya teknologi dan modal untuk meningkatkan produktivitas, sehingga diperlukan pengembangan insentif ekonomi untuk mengembangkan teknologi dan modal di wilayah pertanian . Dengan pemikiran demikian, maka cukup beralasan bagi Mosher untuk mengembangkan konsep delivery systems untuk memacu pertumbuhan produksi sekaligus pertumbuhan ekonomi wilayah pertanian . Upaya di atas Trnyata kurang berhasil karena kelembagaannya dibangun berdasarkan sistem sosial formal sehingga komunikasi kepemimpinannya bersifat lugas formal, fdak mempunyai sifat keakraban yang menjadi ciri interaksi sosial kelompok kecil yang anggotanya saling mengenal satu sama lainnya . Sistem sosial formal tersebut Trnyata fdak cukup untuk menumbuhkan motivasi dan kendali sosial serta partisipasi petani untuk menggali produktivitas potensial, sehingga terjadilah levelling off dini produksi padi pada periode 1974-1997 . Levelling off dini tersebut terjadi karena kurangnya partisipasi petani dalam menerima teknologi dan modal untuk peningkatan produktivitas . Dengan kata lain levelling off dini tersebut merupakan kekuatan sosial yang terpendam dan dapat diubah menjadi kekuatan yang aktual melalui peningkatan partisipasi petani secara massal dalam penerapan teknologi baru pada usahataninya (PRAKOSA, 2000) . Pola partisipasi petani secara massal yang ditawarkan ADJID (1985) melalui paradigma receiving systems adalah pola partisipasi secara berkelompok sehamparan yang bercirikan interaksi akrab diantara anggotanya untuk bekerja sama mengelola usahataninya dengan menerapkan panca usaha lengkap . ' Pengembangan kerjasama kelompok sehamparan (group farming) itulah yang merupakan paradigma receiving systems dari ABDUL ADJID yang selanjutnya dioperasionalkan dalam program INSUS (Intensifikasi Khusus) . Ternyata program INSUS tersebut mampu mengatasi terjadinya levelling off dini dan mampu mendongkrak produktivitas padi tahun 1980 dan tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Salah satu asumsi dalam paradigma receiving systems mengenai kerjasama kelompok sehamparan adalah adanya pengaruh yang kuat dari kelompok terhadap individu, sehingga fngkah laku individu benar-benar mampu merefleksikan fngkah laku kelompok yang diharapkan mengelola 43
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000
usahataninya dengan menerapkan panca usaha lengkap . Dengan demikian, kelompok sehamparan merupakan agen pembaharu pertanian tradisional menjadi pertanian moderen. Namun kenyataannya tidaklah demikian, banyak kegiatan kelompok sehamparan tidak jalan sehingga konsolidasi usahatani baik produksi maupun pascapanen dan pemasaran tidak terpadu . Ketidakpaduan konsolidasi usahatani padi menyebabkan sistem agribisnis padi saat ini bersifat semu yang dicerminkan oleh ketidakmampuan dalam merespon perubahan permintaan mutu beras dengan atribut tertentu secara cepat. Mutu produk beras saat ini ssngat beragam kurang memenuhi skala bisnis untuk diperdagangkan dalam era globalisasi . Salah satu perubahan lingkungan strategis sektor pertanian yang menonjol adalah meningkatnya intensitas globalisasi perdagangan komoditas pertanian dunia yang diikuti oleh perubahan preferensi konsumen dari komoditas kepada mutu produk dengan atribut tertentu. Model tindakan individu dalam kelompok sehamparan yang diharapkan ADJID (1985) mampu mencerminkan tindakan kelompok yang progresif ternyata tidak seperti yang diharapkan . Hal ini karena masing-masing individu dalam kelompok mempunyai derajad kepentingan yang bebeda terhadap usahataninya. Selain derajad kepentingan yang berbeda terhadap usahataninya, perhatian petani terhadap usahataninya tidak begitu intensif karena kontribusi pendapatan usahatani terhadap total pendapatan rumah tangga sangat kecil. Akibat beragamnya kepentingan dan intensitas perhatian individu terhadap usahataninya dalam kelompok hamparan adalah sulitnya melakukan konsolidasi usahatani dalam skala komersial yang justru hal tersebut sebagai prasyarat pengembangan sistem agribisnis yang terpadu . PERLUNYA PENDEKATAN CORPORATE FARMING Ada empat strategi untuk meningkatkan days saing produk dengan_ mutu tertentu yaitu: (a) penetrasi pasar; (b) pengembangan pasar ; (c) pengembangan produk; dan (d) divesifikasi . Keempat strategi tersebut harus diimplementasikan secara simultan agar diperoleh tingkat daya saing yang tinggi dengan biaya yang paling rendah. Untuk mengimplementasikan keempat strategi tersebut dibutuhkan kesatuan manajemen yang terpadu . Tanpa kesatuan manajemen yang terpadu mustahil tujuan untuk meningkatkan days saing produk tertentu tercapai . Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, maka pendekatan model kelompok sehamparan dimana keputusan dalam melaksanakan kegiatan usaha masih tergantung pada individu tidak dapat mengimplementasikan keempat strategi tersebut, pendekatan yang mampu mengimplementasikan ke empat strategi tersebut adalah pendekatan corporate strategy . Menurut DICKEN dan LLOYD (1995) Corporate Strategy (CS) is the broadbush level of decision making. It is concerned with the overall scope ofthe organization: the kind ofbusiness that thefirm decide to be involved in (including which elements ofthe value chain) . Inti dari pendekatan CS adalah adanya satu keputusan dalam satu kelompok usaha mulai dari kegiatan pendukung (support activities) maupun kegiatan utama (primary activities) . Implementasi CS dapat berupa merger atau akuisasi maupun kerjasama antar usaha . Corporate strategy ini sedang dikaji penerapannya pada kegiatan usahatani berlahan sempit melalui inovasi kelembagaan Corporate Farming (CF). Perbedaan CF dengan group farming terletak pada pengambilan keputusan . Dalam CF keputusan berada dalam satu kesatuan, sedangkan dalam group farming berada pada masing-masing individu dalam group yang bersangkutan . Kelembagaan CF dipandang sesuai dalam menghadapi perubahan lingkungan strategis sektor pertanian karena produsen selain mampu merespon perubahan permintaan dengan mutu tertentu, juga mampu menciptakan biaya terendah dari produk yang bersangkutan melalui kepentngan ekonomi eksternal dan ekonomi internal. 44
Seminar Nasional Peternakan dan Vemriner 2000 Corporate Farming adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi dari sekelompok petani dengan orientasi agribisnis melalui konsolidasi pengelolaan lahan sehamparan dengan tetap menjamin kepemilikan lahan pada masing-masing petani, sehingga efisiensi usaha, standarisasi mutu, clan efektivitas serta efisiensi manajemen pemanfaatan sumber daya dapat dicapai. Proses menuju konsolidasi lahan ini akan berjalan apabila petani dengan pemilikan lahan sempit mempunyai kesempatan, kemampuan dan kemauan mencari alternatif pekerjaan lain (off-farm dan nonfarm) yang memberikan kesejahteraan lebih baik. Proses tersebut dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan petani dan perkembangan lingkungan agribisnis di wilayah yang bersangkutan . Tujuan jangka panjang pengembangan CF adalah mewujudkan suatu usaha pertanian yang mandiri, berdaya saing dan berkesinambungan melalui pengelolaan lahan secara korporasi. Pendekatan dalam pengembangannya adalah pembangunan pedesaan berbasis agribisnis dengan memanfaatkan peluang sumberdaya clan kelembagaan masyarakat secara optimal. Ciri Pokok dari CF adalah sebagai berikut: (1) Sekelompok petani sehamparan mempercayakan pengelolaan lahannya kepada suatu lembaga agribisnis dengan suatu perjanjian kerjasama ekonomi tertentu, dimana petani bertindak sebagai pemegang saham sesuai dengan luas kepemilikannya ; (2) CF dibentuk melalui musyawarah/mufakat antar para anggotanya dengan memperhatikan sosial dan budaya setempat ; (3) CF dipimpin oleh Manajer Profesional, yang dipilih oleh petani serta dikelola secara transparan, demokratis dan sesuai dengan kaidah bisnis komersial; (4) CF mensyaratkan skala usaha optimal, sesuai dengan kondisi clan kapasitas sumberdaya setempat, potensi dan kapasitas pengembangan agroindustri clan pemasaran, clan ketersediaan teknologi dan kemampuan mengadopsi teknologi untuk meningkatkan efisiensi, serta kemampuan teknis pengelolaan dalam satu manajemen; dan (5) Cakupan kegiatan CF tetap bertumpu pada komoditas unggulan di wilayahnya, clan memperhatikan peluang pengembangan clan diversifikasi, baik secara vertikal maupun horizontal . PROSES DAN TAHAPAN PENGEMBANGAN Sebagai salah satu pendekatan dalam pemberdayaan kelompok tani pelaksanaan CF tetap didasari atas sikap hati-hati clan dengan pentahapan yang jelas. Pada tahun anggaran 2000 ini, kegiatan lebih diarahkan untuk melakukan pengkajian di tujuh sentra produksi padi di Indonesia (Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Selatan) . Dalam tahap pengkajian ini, peranan badan Litbang Pertanian sangat penting untuk mengkaji kelayakan pelaksanaan CF dari berbagai aspek. Dengan didahului studi diagnostik secara partisipatif pada satu kelompok tani yang mengusahakan tanaman pangan di satu hamparan, ternak atau komoditas unggulan lainnya, ditelaah potensi, peluang clan tantangan pengembangan CF . Hasil studi diagnostik ini merupakan dasar dalam pembentukan model CF spesifik lokasi . Model CF spesifik lokasi yang disusun secara partisipatif bersama petani mencoba mencari faktor pengikat (bounded factor) petani untuk berkelompok dalam menjalankan usahanya, dan ini diupayakan untuk diperluas pada berbagai kegiatan pertanian lainnya. Pada tahap awal dilakukan konsolidasi manajemen pada kegiatan yang disepakati petani untuk dilaksanakan secara bersamasama . Melalui cara ini diharapkan variasi penerapan teknologi antar individu dalam satu hamparan atau kelompok akan semakin kecil, sehingga tindakan bersama dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya clan investasi publik . Pada tingkatan yahng lebih lanjut, petani melalui kelompok akan mencoba terus mengembangkan kegiatannya melalui diversifikasi usaha baik horisontal maupun vertikal serta mengkondisikan pengembangan kegiatan off-farm clan nonfarm di pedesaan . Upaya ini tidak saja dimaksudkan untuk meningkatkan pendekatan petani, tetapi yang lebih penting lagi adalah 45
Seminar Nasiona! Peternakan clan Veleriner 2000
menciptakan peluang usaha yang beragam di pedesaan sehingga secara bertahap perhatian terhadap kegiatan onfarm dapat dikurangi. Secara riil di pedesaan saat ini, sektor pertanian atau kegiatan onfarm menjacli sektor dengan produktivitas tenaga kerja renclah, karena harus menanggung beban tenaga kerja yang tidak bisa ditampung sektor lainnya. Bila peluang usaha yang tercipta sudah beragam clan semakin kecil porsi petani yang terlibat dalam kegiatan onfarm, barulah upaya kearah konsoliclasi sumber daya dimasyarakatkan . Pada tahap ini cliharapkan kegiatan di lahan sawah yang dilakukan petani telah dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga perhatian petani besar-benar tercurah untuk kegiatan usahataninya, clan hasil dari kegiatan usahataninya sudah dapat menjamin ketercukupan pangannya. Berdasarkan gambaran di atas terlihat bahwa pengembangan CF di pedesaan dilakukan secara bertahap clan yang prinsip ticlak ada yang akan tersisih clari desa, karena sudah ditampung oleh berbagai peluang usaha yang diciptakan melalui kegiatan ini. Pendekatan yang cligunakan dalam pengembangan program ini tidak lagi parsial seperti yang dilakukan selama ini berdasarkan sub sektor, tetapi bertitik tolak dari pengembangan wilayah . Peranan pemerintah terutama Departemen Pertanian, lebih banyak sebagai fasilitator melalui penyediaan sarana clan prasarana pendukung yang dibutuhkan petani. Demikian juga dukungan penclanaan berupa penyediaan dana awal bagi kelompok yang dikelola oleh petani sendiri, lebih banyak hanya berupa stimulan untuk merangsang peran petani yang lebih besar melalui kelompok CF. PENUTUP Dalam upaya peningkatan ketahanan pangan petemak/petani, maka peningkatan produktivitas dan pendapatan merupakan faktor kunci . Untuk mencapai hal ini hanya mungkin melalui pengembangan diversifikasi usaha clan pemanfaatan nilai tambah dari setiap usaha yang dikembangkan petemak/petani . Agar upaya ini dapat dilaksanakan dibutuhkan organisasi petani yang kuat, yang memungkinkan petanl dapat memanfaatkan semua potensi yang ada di kawasan clan punya bergaining position terhadap industri hilir clan hulu. Corporate farming merupakan salah satu bentuk organisasi yang cocok bagi petani/peternak pada saat ini, untuk mencapai kondisi di atas. Kelebihan dari upaya ini adalah adanya kesatuan manajemen sebagai pengelola, sehingga variasi antar petani dalam mengelola usahanya clapat diperkecil, clan memacu petani untuk lebih optimal memanfaatkan sumberdaya yang acla di sekitarnya melalui pengembangan diversifikasi usaha. Selain itu pengembangan kegiatan yang dilakukan juga diarahkan untuk mengurangi tekanan terhadap lahan, dengan mengurangi petani yang bergerak pada kegiatan onfarm dan mengarahkannya pada kegiatan off-farm clan non farm.
DAFTAR PUSTAKA AwID, D.A. 1985. Pola Partisipasi Masyarakat Pedesaan Dalam Pembangunan Pertanian Berencana: Kasus Usahatani Berkelompok Sehamparan Dalam Intensifikasi Khusus (Insus) Padi. Disertasi Doktor yang tidak dipublikasikan . Universitas Padjadjaran, Bandung. 46
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000
ADNYANA, M.O. et al. 2000 . Assessing the Rural Development Impact of the Crisis in Indonesia. Research Report. Collaboration Between CASER and World Bank. Bogor . ADNYANA, M.O . 2000. Kelompok usaha bersama berbasis komoditas peternakan . Makalah disampaikan dalam pertemuan Koordinasi Penggalian Sumber Pembiayaan dan Pengembangan Petemakan, 28-31 Agustus 2000 . Direktorat Pengembangan Peternakan . DICKEN, P. and PETER E. LLYOD. 1995 .
Location in Space: Theoretical Perspective in Economic Geography.
Third Edition, Harper Collins Publishers .
MosHER, A.T . 1966 .
GettingAgriculture Moving.
The Agriculture Development Council, New York.
PRAKosA, M. 2000 . Pendekatan Corporate Farming dalam Pengembangan Agribisnis . Makalah yang belum dipublikasikan . Departemen Pertanian. Jakarta.
PUSAT PENELITIAN PETERNAKAN . 2000. Program Inti Pengkajian Sistem Usahatani Tanaman Hewan (Crop-
Animal Production System).
Puslit Petemakan. Bogor.
SARAGIH, B. 1995. Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Ekonomi Nasional Menghadapi Abad Ke21 . Orasi I1miah Guru Besar Tetap Ilmu Ekonomi dan Sumberdaya, Faperta, IPB Bogor, 21 Desember 1995 .
SIMATUPANG, P. 1995 . Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Puslit Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor, 27 September 1995 .
SOEDJANA, T.D., B. TANGENDJAYA, dan I. SUMARNO. 2000. Reorientasi kebijakan pembangunan peternakan pasta krisis ekonomi. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI . Jakarta.