PENGELOLAAN DAMPAK LIMBAH PEMOTONGAN AYAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MASYARAKAT SEKITAR Dila Cahya Erlita C2B606020 Prof. Drs. H. Waridin, MS., Ph.d
ABSTRACT In an effort to overcome the problem of wastedisposal, PT. Charoen Pokphand Indonesia using engine technology for wastewater before discarded into landfills, that is using a scrapper machin to separate the liquid waste with fat and feathers in the process of separation, mixing machine or aeration systems, and incinerator at incineration process. This study aims to determine whether, after the use of engine technology for wastewater at the PT. Charoen Pokphand Indonesia, still have an impact on the surrounding community or not, and to know te environmental economic valuation received by by the surrounding community. Based on the survey conducted, it is known that there are negative impacts on surronding community. From data obtained, 69 respondents (86,25%) expressed little distrubed by the process of sewage treatment PT. Charoen Pokphand Indonesia, while the remaining 11 respondents (13,75%) declared distrubed. Of any interference received, the total cost incurred to overcome the interference caused by sewage treatment process PT. Charoend Pokphand Indoesia is Rp 5.360.000,00 per year, or Rp 67.000,00 per family per year ( Rp 5.360.000,00 : 80 respondents = Rp 67.000,00 ). Can be see the avarage cost incurred is no too big, it allow the impact received by the public is not to large. In addition to the negative impact of the socially acceptable, there is also a positive impact from waste treatment processes that can be utilized by the community that is in the form of solid waste that can be resold as feathers, claws chicken, liver, as well as the presence of the sewage treatment process, opening jobs for surrounding community by being a laborer to supplement their income. Of the total sales of waste chicken scratch, liver, and feathers, both companies and communities alike benefit. Received by the company's total sales amounted to Rp 39.150.000,00 per day, whereas people can buy the waste with the cheap price and can be resold at higher prices. Keywords: Salatiga, Slaughter House, Waste, Environmental, Economic Valuation
PENDAHULUAN
Industri pemotongan ayam di Indonesia berkembang sesuai dengan kemajuan perunggasan global yang mengarah kepada sasaran mencapai tingkat efisiensi usaha yang optimal, sehingga mampu bersaing dengan produk-produk unggas luar negeri. Produk unggas, yakni daging ayam dan telur, dapat menjadi lebih murah sehingga dapat menjangkau lebih luas masyarakat di Indonesia. Namun seiring kemajuan teknologi yang meningkat dan berkembangnya kegiatan industri pemotongan ayam akan membawa dampak positif dan dampak negatif baik bagi lingkungan maupun manusia. Tumbuh pesatnya industri juga berarti makin banyak limbah yang dikeluarkan dan mengakibatkan permasalahan yang kompleks bagi lingkungan sekitar. Masalah pencemaran semakin menarik perhatian masyarakat, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, hal ini dapat kita lihat dengan semakin banyaknya kasus-kasus pencemaran yang terungkap ke permukaan. Masalah pencemaran semakin menarik perhatian masyarakat, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Hal ini dapat kita lihat dengan semakin banyaknya kasus-kasus pencemaran yang terungkap ke permukaan. Perkembangan industri yang demikian cepat merupakan salah satu penyebab turunnya kualitas lingkungan. Penanganan masalah pencemaran menjadi sangat penting dilakukan dalam kaitannya dengan pembangunan berwawasan lingkungan terutama harus diimbangi dengan teknologi pengendalian pencemaran yang tepat guna (Haryono, 1997 dalam Miftah Fatmasari, 2010). Industri Pemotongan Ayam PT. Charoen Pokphand Indonesia di Kecamatan Tingkir, Salatiga baru berdiri pada tahun 2007. Kegiatan produksi di industri tersebut tentunya menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan sekitarnya. Limbah tersebut terdiri dari limbah cair dan padat. Limbah cair tersebut antara lain air bekas cucian ayam, darah ayam, dan sludge (endapan lemak). Sedangkan limbah padat seperti : bangkai ayam, isi perut (hati, ampela, usus), bulu ayam, dan kotoran ayam. Dengan adanya proses pemotongan sebanyak kurang lebih 18.000 ekor ayam per hari,
dapat dipastikan limbah yang dihasilkan sangat banyak dan dapat menggangu lingkungan sekitar, baik terhadap air, udara, tanah, maupun penduduk sekitar. Pada awal berdirinya PT. Charoen Pokphand Indonesia di tahun 2007, pabrik tersebut belum menggunakan teknologi mesin-mesin untuk pengolahan limbahnya, sehingga dampak pencemaran yang ditimbulkan cukup besar. Oleh karena itu, PT. Charoen Pokphand Indonesia berupaya untuk mengatasi masalah pembungan limbah tersebut dengan menggunakan teknologi mesin untuk mengolah limbah sebelum dibuang menuju tempat pembuangan akhir. Namun
dengan
adanya
penggunaan
teknologi
tersebut,
perusahaan
mengeluarkan biaya yang cukup besar pula, serta belum dapat dipastikan apakah dampak pencemarannya dapat berkurang atau tidak. Dari penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pabrik pemotongan ayam tersebut masih mempunyai beberapa permasalahan yang harus dipecahkan. Antara lain masalah besarnya biaya yang digunakan untuk pengelolaan limbah, serta dampak terhadap masyarakat sekitar. Hal tersebut memotivasi penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut agar dapat mengetahui bagaimana proses pengelolaan limbah tersebut serta memastikan perubahan dampak yang terjadi sesudah adanya penggunaan teknologi tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak apa saja yang ditimbulkan terhadap masyarakat sekitar setelah adanya pengelolaan limbah tersebut, mengetahui biaya apa saja yang dikeluarkan oleh perusahaan maupun masyarakat, serta mengetahui dampak positif apa yang ada.
TINJAUAN PUSTAKA
Nilai Ekonomi Nilai ekonomi (economic values) dalam paradigma neoklasik dapat dilihat dari sisi kepuasan konsumen (preferences of consumers) dan keuntungan perusahaan (profit of firms). Dalam hal ini konsep dasar yang digunakan adalah surplus ekonomi
(economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus oleh konsumen (consumers surplus; CS) dan surplus oleh produsen (producers surplus; PS), (Grigalunas dan Conger 1995; Freeman III 2003, dalam Luky Adrianto, 2007). Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu, surplus produser (PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pada dasarnya valuation merujuk pada kontribusi sebuah komoditas untuk mencapai tujuan tertentu. Seorang pemain sepakbola dinilai tinggi apabila kontribusi pemain tersebut tinggi pula untuk kemenangan tim-nya. Dalam konteks ekologi, sebuah gen dianggap bernilai tinggi apabila mampu berkontribusi terhadap tingkat survival dari individu yang memiliki gen tersebut. Singkat kata, nilai sebuah komoditas tergantung dari tujuan spesifik dari nilai itu sendiri. Dalam pandangan neoklasik, nilai sebuah komoditas terkait dengan tujuan maksimisasi utilitas/kesejahteraan individu. Dengan demikian apabila ada tujuan lain, maka ada “nilai” yang lain pula. Berbeda dengan pandangan neoklasik, dalam pandangan ecological economics, tujuan economic valuation tidak semata terkait dengan maksimisasi kesejahteraan individu, melainkan juga terkait dengan tujuan keberlanjutan dan keadilan distribusi (Constanza dan Folke, 1997). Bishop (1997) pun menyatakan bahwa economic valuation berbasis pada kesejahteraan individu semata tidak menjamin tercapainya tujuan keberlanjutan dan keadilan distribusi tersebut. Dalam konteks ini, kemudian Constanza (2001) menyatakan bahwa perlu ada ketiga nilai tersebut yang berasal dari tiga tujuan dari penilaian itu sendiri, yaitu tujuan efisiensi, keadilan dan keberlanjutan. Selanjutnya dikatakan bahwa Ilmu Ekonomi Lingkungan menerangkan bahwa kerusakan lingkungan merupakan masalah ekternalitas yang akan mengarah pada
kegagalan pasar, karena tidak memungkinkan untuk membeli atau menjual aset lingkungan dalam pasar karena tidak adanya harga pasar, sehingga barang dan jasa lingkungan tidak diperdagangkan dalam pasar. Dengan demikian produser dan konsumer mengesampingkan masalah lingkungan dalam membuat keputusannya. Pengenyampingan aset lingkungan ini dalam keputusan mereka menyebabkan terjadinya penggunaan sumberdaya lingkungan yang tidak efisien, sehingga menimbulkan kerusakan. Untuk mengatasi tidak adanya nilai ini maka perlu adanya valuasi melalui pemberian nilai moneter (monetizing), sehingga memiliki basis dalam membandingkan antara perlindungan dan pemanfaatan lingkungan (Arianto A. Patunru, LPM FEUI, 2004).
Teori Valuasi Ekonomi Valuasi ekonomi adalah penjumlahan dari preferensi individu dalam keinginannya untuk membayar (willingness to pay) dalam mengkonsumsi lingkungan yang baik. Dengan demikian valuasi ekonomi adalah alat untuk mengukur keinginan masyarakat untuk lingkungan yang baik melawan lingkungan yang buruk. Apa yang dinilai dalam lingkungan terdiri dari dua kategori yang berbeda, yakni: 1.
Nilai
preferensi
masyarakat
terhadap
perubahan
lingkungan,
sehingga
masyarakat memiliki preferensinya dalam tingkat risiko yang dihadapi dalam hidupnya, sehingga memunculkan keinginan untuk membayar willingnes to pay (WTP) agar lingkungan tidak terus memburuk. Hal ini termasuk dalam kategori valuasi ekonomi (economic valuation), yang sering dinyatakan dalam kurva permintaan (demand curve) terhadap lingkungan. 2.
Sumberdaya alam dan lingkungan sebagai asset kehidupan memiliki nilai intrinsic. Hal ini merupakan bentuk dari nilai ekonomi secara intrinsic (intrinsic values) dari eksistensi sumberdaya alam dan lingkungan (Rosalia Ena dalam Achmad Fahrudin, 2009).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, nilai ekonomi suatu komoditas (good) atau jasa (service) lebih diartikan sebagai ”berapa yang harus dibayar” dibanding ”berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan barang/jasa tersebut”. Dengan demikian, apabila lingkungan dan sumberdayanya eksis serta menyediakan barang dan jasa bagi manusia, maka ”kemampuan membayar” (willingness to pay) merupakan proxy bagi nilai sumberdaya tersebut, tanpa mempermasalahkan apakah manusia secara nyata melakukan proses pembayaran (payment) atau tidak. Surplus konsumen merupakan perbedaan antara jumlah yang dibayarkan oleh pembeli untuk suatu produk dan kesediaan untuk membayar. Surplus konsumen timbul karena konsumen menerima lebih dari yang dibayarkan dan bonus ini berakar pada hukum utilitas marginal yang semakin menurun. Sebab munculnya surplus konsumen karena konsumen membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit terakhir. Surplus konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena dapat membeli semua unit barang pada tingkat harga rendah yang sama (Samuelson dan Nordhaus, 1990). Pada pasar yang berfungsi dengan baik, harga pasar mencerminkan nilai marginal, seperti unit terakhir produk yang diperdagangkan merefleksikan nilai dari unit produk yang diperdagangkan (Pomeroy, 1992 dalam Djijono, 2002). Secara sederhana surplus konsumen dapat diukur sebagai bidang yang terletak diantara kurva permintaan dan garis harga (Samuelson dan Nordhaus, 1990).
Tujuan dari studi valuasi adalah untuk menentukan besarnya Total Economic Value (TEV) pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan. Dimana nilai TEV, merupakan jumlah dari Nilai Guna (Use Value), yaitu nilai yang diperoleh dari pemakaian langsung atau yang berkaitan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang dikaji atau diteliti. Nilai ini terdiri dari nilai yang berkaitan dengan kegiatan komersial, subsistensi, leisure dan aktivitas lain yang bertautan dengan sumberdaya alam yang ditelaah. Sedangkan Nilai Guna Tak Langsung (In Direct Use Value), berkaitan dengan perlindungan atau dukungan terhadap kegiatan ekonomis dan harta benda yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam dan Nilai Pilihan (Option Use
Value) nilai guna dari sumberdaya alam dan lingkungan di masa mendatang. Untuk Nilai Guna Tak Langsung (In Direct Use Value) yaitu nilai-nilai yang tidak ada kaitan langsung dengan kemungkinan pemakaian sumberdaya alam dan lingkungan itu, biasanya berupa Existence Value dan Bequest Value yang merupakan total dari Nilai Keberadaan (Existence Value) yaitu nilai yang diberikan (secara semata-mata) karena keberadaan suatu sumberdaya alam dan lingkungan, ditambah Nilai Pewarisan (Bequest Value) yaitu nilai yang diberikan kepada anak cucu agar dapat diwariskan suatu sumberdaya alam dan lingkungan tersebut (Diana Igunawati, 2010). Untuk
menyatakan
bagaimana
kelanjutan
sumberdaya
alam
dan
lingkungannya dihitung, dikenal 2 (dua) konsep. Pertama, yaitu konsep strong sustainability dan kedua, konsep weak sustainability. Parce & Babier (2000) dalam A. Tutut (2004) menyatakan bahwa jika sumbrdaya capital (modal) dapat dibagi menjadi capital sumberdaya alam dan lingkungan (KN, natural capital), capital fisik (KP, physical capital), dan capital sumber daya manusia (KH, human capital). Maka konsep Weak sustainability menganggap bahwa semua jenis (KN, natural capital), dapat digantikan dengan jenis kapital lainnya (KP maupun KH). Dengan pendekatan lain, konsep Weak sustainability beranggapan bahwa kapital sumberdaya alam dan lingkungan tidak begitu esensial untuk dipertahankan keberadaannya, sepanjang dapat digantikan dengan jenis kapital-kapital lainnya. Sebaliknya, konsep strong sustainability beranggapan bahwa ada beberapa kapital sumberdaya alam dan lingkungan (KN) yang tidak boleh berkurang. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa kapital fisik (KP) dan kapital manusia (KH) tidak sepenuhnya dapat menggantikan peran kapital sumberdaya alam (imperfect substitution). Dimana hilangnya suatu kapital sumberdaya alam dan lingkungan dapat bersifat tidak terpulihkan (irreversible). San yang kemudian sangatlah sulit menentukan besarnya nilai sumberdaya alam dan lingkungan yang punah atau hilang. Valuasi ekonomi merupakan suatu cara untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam dan lingkungan terlepas dari apakah nilai pasar (market value) tersedia atau tidak.
Walaupun manfaat lingkungan sering tidak dapat dihitung dan tidak dapat dinilai dengan harga, nilai yang sesungguhnya dari penggunaan barang secara kolektif bisa lebih besar karena keunikannya, sehingga jika digunakan secara berlebihan dapat menyebabkan kepunahan.
Analisis Manfaat dan Biaya Manfaat merupakan nilai barang dan jasa bagi konsumen, sedangkan biaya merupakan manfaat yang yang tidak diambil, atau lepas dan hilang (opportunity cost). Biaya pencegahan polusi adalah biaya yang dikeluarkan baik oleh perusahaan, perorangan dan/atau pemerintah untuk mencegah sebagian atau keseluruhan polusi sebagai akibat kegiatan produksi. Biaya polusi dibagi kedalam (a) biaya yang digunakan pemerintah atau swasta untuk menghindari kerusakan akibat polusi, dan (b) kerusakan kesejahteraan masyarakat sebagai akibat polusi. Apabila analisis tersebut diterapkan pada masalah lingkungan, khususnya usaha menanggulangi pencemaran lingkungan, maka analisis manfaat dan biaya merupakan penilaian sistematis terhadap keuntungan serta kerugian
segala
perubahan
dalam
produksi
dan
konsumsi
masyarakat
(Reksohadiprojo, 2000).
Teori Biaya Dalam ilmu ekonomi biaya diartikan sebagai semua pengorbanan yang perlu untuk suatu proses produksi, dinyatakan dalam uang menurut pasar yang berlaku. Besarnya biaya produksi yang dihasilkan : dengan menambah jumlah barang yang dihasilkan, biaya produksi akan ikut bertambah (T.Gilarso, 2003). Biaya terdiri atas : a. Biaya Tetap (Fixed Cost) Biaya yang jumlahnya secara keseluruhan tetap, tidak berubah, jika ada perubahan dalam besar kecilnya jumlah produk yang dihasilkan (sampai batas
tertentu), misalnya sewa tanah atau bangunan, penyusutan bangunan dan lainlain. b. Biaya Variabel (Variable Cost) Biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan (tergantung dari) besar kecilnya jumlah produksi. Misalnya biaya bahan-bahan, upah buruh harian. c. Biaya Total (Total Cost) Jumlah biaya tetap dan biaya variabel : TC = FC + VC d. Biaya Sosial (Social Cost) Pentingnya mengukur biaya secara akurat sering diabaikan dalam analisis manfaat dan biaya. Hasil suatu analisis menjadi kurang baik akibat memperkirakan biaya yang terlalu besar atau memperkirakan manfaat yang terlalu rendah.
Dampak Limbah Pemotongan Ayam Dalam proses produksi Rumah Pemotongan Ayam dihasilkan limbah cair yang berasal dari darah ayam, proses pencelupan, pencucian ayam dan peralatan produksi. Limbah cair mengandung (Biological Oxygen Demand) BOD, (Chemical Oxyge Demand) COD, (Total Suspended Solid) TSS, minyak dan lemak yang tinggi, dengan komposisi berupa zat organik. Pembuangan air limbah (Efluen) yang mengandung nutrien yang tinggi ke perairan akan menimbulkan eutrofikasi dan mengancam ekosistem aquatik. Untuk mencegah hal itu maka diperlukan cara agar komposisi padatan organik tersuspensi dapat dikurangi. (Moses Laksono, 2010).
Pengelolaan Limbah Opsi dari manajemen penanganan limbah yang dapat dilaksanakan di industri pangan antara lain adalah : 1. Pencegahan
terbentuknya
limbah
yang
berlimpah
mempraktekkan teknologi proses yang lebih efisien
dengan
cara
2. Pelaksanaan proses daur ulang limbah yang dihasilkan atau memanfaatkan limbah sebagai bahan baku industri lainnya, dan 3. Perbaikan kualitas limbah yang dihasilkan melalui proses pengolahan limbah yang sistematis (Winiati P. Rahayu, 2008).
METODE PENELITIAN Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel penelitian dalam penelitian ini adalah
jenis kelamin responden, usia
responden, pendidikan yang ditamatkan oleh responden, pendapatan rata-rata per bulan yang diperoleh responden, limbah asap yang muncul akibat proses pengolahan limbah PT. Charoen Pokphand Indonesia, variabel limbah air pencemaran air yang muncul akibat proses pengolahan limbah PT. Charoen Pokphand Indonesia, variabel gangguan bau yang muncul akibat proses pengolahan limbah PT. Charoen Pokphand Indonesia, variabel gangguan suara mesin yang muncul akibat proses pengolahan limbah PT. Charoen Pokphand Indonesia, serta variabel biaya yang dikeluarkan masyarakat akibat adanya proses pengolahan limbah.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang diambil adalah pada PT. Charoen Pokphand Indonesia. Tepatnya di Jalan Patimura No.1, Desa Dukuh Canden, Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Salatiga Jawa Tengah. dalam penelitian ini populasinya adalah penduduk yang ditentukan dari suatu desa yang paling dekat dengan PT. Charoen Pokphand Indonesia, yaitu Desa Dukuh Canden, Kecamatan Tingkir, Salatiga yang berjumlah 405 kepala keluarga. Populasi dan Sampel Dalam penelitian ini populasinya adalah penduduk yang ditentukan dari suatu desa yang paling dekat dengan PT. Charoen Pokphand Indonesia, yaitu Desa Dukuh Canden, Kecamatan Tingkir, Salatiga yang berjumlah 405 kepala keluarga.
Penetapan besar kecilnya sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan rumus menurut pendapat slovin (Sudikin dan Mundir, 2005), dan dari perhitungan 405 kepala keluarga, menghasilkan sampel sebesar 80 responden.
405 n= 1 + (405) (0,1)² 405
n=
5,05
n=
80,19
n=
80
Keterangan
:
n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = prosentase kelonggaran ketidaktelitian, dalam hal ini 10 persen karena kesalahan sampel masih dapat ditolerir. Jenis dan Sumber Data 1. Data Primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya tanpa melalui perantara. 2. Data sekunder merupakan data penelitian yang diperolah peneliti secara tidak lansung. Data tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan seperti buku-buku literatur, buku diktat, dan jurnal-jurnal dari berbagai sumber yang terkait dengan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Objek Penelitian Keadaan Umum Kota Salatiga
Kota Salatiga terletak antara 1100.27'.56,81" - 1100.32'.4,64" Bujur Timur, dan 0070.17'. - 0070.17'.23" Lintang Selatan. Kota Salatiga di kelilingi wilayah Kabupaten Semarang, secara administrative Kota Salatiga terbagi menjadi 4 kecamatan dan 22 Kelurahan. Luas wilayah Kota Salatiga pada tahun 2006 tercatat sebesar 5.678,110 hektar atau 56.781 km². Luas yang ada terdiri dari 802,297 hektar (14,13%) lahan sawah dan 4.875,813 hektar atau 48.758 km² (85,87%) bukan lahan sawah.
Keadaan Umum PT. Charoen Pokphand Indonesia PT. Charoen Pokphand Indonesia adalah industri yang berdiri pada bulan September tahun 2007 diatas lahan seluas ± 46.459 m2 dan bergerak dalam usaha rumah potong ayam. Pada awal berdirinya, nama perusahaan tersebut adalah PT Primafood International, kemudian pada bulan januari 2008 berganti nama menjadi PT. Charoen Pokphand Indonesia. PT. Charoend Pokphand Indonesia terletak di Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Produk yang dihasilkan PT. Charoend Pokphand Indonesia adalah ayam potong dengan kapasitas produksi ± 18.000 ekor ayam per hari atau 1.296 ton per hari.
Gambaran Umum Responden Profil Sosial Demografi Responden 1. Jenis Kelamin Pria Wanita Jumlah 2. Usia 25-30 th 31-35 th 36-40 th 41-45 th > 45 th Jumlah 3. Pendidikaan SD SLTP SLTA Sarjana Jumlah 4. Pendapatan (rupiah) < 499.999 500.000-999.999 1.000.000-1.499.999 1.500.000-1.999.999 2.000.000-2.499.999 >2.500.000 Jumlah 5. Pekerjaan Buruh tani Petani Pedagang PNS Buruh Industri Jumlah 6. Lama Tinggal < 1 tahun 1-2 tahun 3-5 tahun > 5 tahun Jumlah
Frekuensi
Persen
72 8 80
90.0 10.0 100.00
0 21 58 1 0 80
0.0 26.25 72.5 1.25 0.0 100.0
15 15 39 11 80
18.75 18.75 48.75 13.75 100
2 26 16 22 3 11 80
2.5 32.5 20.0 27.5 3.75 13.75 100.0
8 21 26 8 17 80
10.0 26.25 32.50 10.0 21.25 100.0
0 11 24 45 80
0.0 13.75 30.0 56.25 100.0
Analisis Data Proses Separasi Proses separasi adalah proses dimana sebelum limbah cair bekas cucian ayam diolah, limbah cair tersebut dipisahkan terlebih dahulu antara cairan dan padatan seperti bulu-bulu halus dan lemak. Agar padatan kecil terpisah dari larutan, air bekas cucian diaduk dengan mesin yang memompa udara, sehingga menghasilkan gelembung-gelembung. Setelah air diaduk dengan gelembung, maka lemak dan padatan kecil akan naik, dan padatan tersebut disebut dengan sludge. Kemudian limbah masuk kedalam mesin scrapper, yaitu mesin pemisah sludge dengan cairan. Setelah sludge terpisah, sludge dan darah ditampung di tanki penampungan sementara, kemudian sludge dan darah di sedot ke dalam mobil tanki limbah berijin dan dibuang di IPLT, Tambak Lorok, Semarang.
Sistem Aerasi Setelah melalui proses separasi, dimana cairan telah dipisahkan dari sludge dan darah, selanjutnya air masuk kedalam kolam yang dibuat di lahan kosong dekat pabrik, dan telah dipasang alat pengaduk dan disebut sebagai kolam aerasi. Air yang telah masuk dalam kolam aerasi diberi bakteri pengurai kemudian diaduk dengan mesin pengaduk selama kurang lebih lima belas menit, hal tersebut dilakukan agar bakteri tesebar merata ke dalam air. Setelah proses pengadukan selesai, air di alirkan ke kolam pengendapan, lalu di uji dan di analisa setiap bulan di laboraturium. Apabila lolos uji, air tersebut dibuang dengan cara dialirkan ke tanah.
Proses Insenerasi Selain limbah cair berupa darah dan air bekas cucian ayam, terdapat pula limbah padat seperti bangkai ayam, bulu, dan kotoran ayam. Untuk limbah bulu dapat langsung dijual ke masyarakat yang memanfaatkannya sebagai bahan untuk kemoceng, dan kerajinan lainnya. Sedangkan kotoran ayam, biasanya dimanfaatkan oleh petani sekitar sebagai campuran pupuk. Namun limbah padat seperti bangkai ayam tentunya tidak dapat dimanfaatkan kembali dan harus dibuang. Untuk membuang bangkai ayam, pertama-tama bangkai ayam di letakkan pada tempat penampungan sementara, kemudian di bakar dengan mesin insenerator. Selama proses pembakaran, asap yang ada di dalam dibakar dengan api dan gas elpigi yang dialirkan melalui selang, dengan tujuan agar asap yang keluar bersih. Namun hal ini belum sepenuhnya berhasil karena dalam survey yang dilakukan, masih ada keluhan dari msyarakat sekitar yang terganggu denga asap dari proses insenerasi ini.
Biaya Pengolahan Limbah Dalam proses pengolahan limbah, pabrik pemotongan ayam mengeluarkan biaya tambahan seperti biaya gas elpigi untuk proses insenerasi dan biaya pengangkutan limbah cair ke tempat pembuangan akhir Pada tabel 4.3 berikut dapat dilihat berapa banyak penggunaan gas elpigi pada tahun 2009 dan 2010 :
Tabel 4.3 Jumlah Penggunaan Gas Elpigi Tahun 2009 – 2010 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah
Jumlah (tabung 12kg) 2009 2010 30 46 31 39 28 31 30 38 42 25 25 25 20 28 18 18 22 22 35 15 45 16 38 22 364 325
Sumber : PT. Charoen Pokphand Indonesia
Dari data yang diperoleh, penggunaan gas elpigi yaitu sebesar 364 tabung (12 kg) elpigi pada tahun 2009 dan 325 tabung (12 kg) pada tahun 2010. Dengan demikian dapat dihitung jumlah rata-rata penggunaan gas elpigi per tahun adalah sebanyak 345 ( (364 + 325) : 2 = 344,5 = 345 ) tabung gas elpigi 12kg. Melihat harga pasaran gas elpigi 12 kg saat ini sebesar Rp 77.000,00 maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata perusahaan mengeluarkan biaya tambhan untuk gas elpigi sebesar Rp 26.565.000,00 per tahun (345 x Rp 77.000,00 = Rp 26.565.000,00). Selain biaya gas elpigi, perusahaan jg mengeluarkan biaya tambahan untuk membuang limbah cair berupa sludge dan darah ke instalasi pembuangan limbah Tambak Lorok, Semarang dengan menggunakan mobil tanki limbah berijin. Biaya pembuangan limbah adalah sebesar Rp 512.000 / rit, dan rata-rata pembuangan limbah per hari sebanyak 2 rit.
Dengan demikian dapat diketahui biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk pembuangan limbah cair adalah sebesar Rp 30.720.000,00 per bulan ( (2 x Rp 512.000,00) x 30 = Rp 30.720.000,00 ) atau sebesar Rp 368.640.000,00 per tahun (Rp 30.720.000,00 x 12 = Rp 368.640.000,00).
Persentase Gangguan Berdasarkan Jenis Gangguan Dalam proses pengolahan limbah, terdapat empat gangguan yang berdampak terhadap masyarakat sekitar, yaitu gangguan asap, gangguan pencemaran air, gangguan baud an gangguan suara. Berdasarkan hasil survey yang diperoleh, persentase gangguan terhadap masyarakat berdasarkan jenis gangguan adalah : 1. Gangguan Asap Diketahui bahwa 30 responden (37,5%) menyatakan asap dari proses pengolahan limbah tidak mengganggu, 42 responden (52,5%) menyatakan sedikit mengganggu, dan 8 responden (10%) menyatakan mengganggu. 2. Gangguan Pencemaran Air Diketahui bahwa 32 responden (40%) menyatakan air dari proses pengolahan limbah tidak mencemari air yang digunakan oleh responden, 35 responden (43,75%) menyatakan sedikit mencemari, dan 13 responden (16,25%) menyatakan mencemari. 3. Gangguan Bau Diketahui bahwa 35 responden (43,75%) menyatakan tidak terganggu oleh bau dari proses pengolahan limbah, 44 responden (55%) menyatakan sedikit tergganggu, dan hanya 1 responden (1,25%) menyatakan terganggu. 4. Gangguan Suara Diketahui bahwa 42 responden (52,5%) menyatakan suara dari mesin pengolahan limbah tidak mengganggu, 37 responden (46,25%) menyatakan sedikit mengganggu, dan 1 responden (1,25%) menyatakan mengganggu.
Gangguan Kesehatan Akibat Asap Dengan adanya asap dari proses pengolahan limbah, terdapat gangguan kesehatan yang berdampak kepada masyarakat. Berdasarkan gambar 4.6 dapat dikethui bahwa 11 responden (13,75%) menderita sesak nafas akibat asap pengolahan limbah, 23 responden (28,75%) menderita batuk, sedangkan 46 responden (57,5%) tidak mengalami gangguan kesehatan akibat asap pengolahan limbah.
Gangguan Akibat Pencemaran Air Dengan adanya pembuangan air dari proses pengolahan limbah, terdapat gangguan yang berdampak kepada masyarakat. Berdasarkan gambar 4.7 dapat dikethui bahwa 18 responden (22,5%) menderitagatal-gatal akibat air yang tercemar, 15 responden (18,75%) menderita penyakit kulit, 14 responden (17,5%) mengalami gangguan tanaman rusak akibat pencemaran air, dan 33 responden (41,25%) tidak mengalami gangguan akibat pencemaran air.
Dampak Positif Proses Pengolahan Limbah Selain dampak negatif, ada pula dampak positif yang muncul dengan adanya proses pengolahan limbah yaitu menyediakan lapangan pekerjaan dan limbah yang dapat dimanfaatkn. Berdasarkan gambar 4.8 dapat dikethui bahwa 10 responden (12,5%) memperoleh keuntungan dengan menjadi buruh kasar, 43 responden (53,75%) memanfaatkan limbah, dan 27 responden (33.75%) tidak memanfaatkan dampak positif yang ada.
Pemanfaatan Limbah Dalam proses pengolahan limbah pemotongan ayam, terdapat limbah yang masih dapat di manfaatkan oleh masyarakat sekitar. Berdasarkan gambar 4.9 dapat dikethui bahwa 14 responden (17,5%) memanfaatkan limbah berupa hati ampela, 15 responden (18,75%) memanfaatkan limbah cakar ayam, 14 responden (17,5%)
memanfaatkan limbah bulu ayam, dan 37 responden (46,25%) tidak memanfaatkan limbah yang ada. Biaya yang Dikeluarkan Masyarakat Gambar 4.10 Biaya Rata-rata yang Dikeluarkan Masyarakat per Tahun Akibat Gangguan Asap
Rp1,600,000.00
Rp1,340,000.00
Rp1,400,000.00 Rp1,200,000.00 Rp1,000,000.00
Rp890,000.00
Rp800,000.00 Rp600,000.00 Rp400,000.00 Rp200,000.00 Rp0.00 Ba tuk
Sesa k Na fa s Ga nggua n Asa p
Berdasarkan gambar 4.10, dapat dilihat bahwa dari 34 responden yang terkena gangguan asap akibat proses pengolahan limbah PT. Charoend Pokphand Indonesia, dalam
mengatasi
gangguan tersebut, masyarakat mengeluarkan biaya sebesar Rp 2.230.000,00 per tahun, atau rata-rata per kepala keluarga per tahun sebesar Rp 65.600,00 (Rp 2.230.000,00 : 34 = Rp 65.588,00 = Rp 65.600,00). Sedangkan untuk biaya akibat gangguan pencemaran air, dapat dilihat pada gambar 4.11 berikut : Gambar 4.11 Biaya Rata-rata yang Dikeluarkan Masyarakat per Tahun Akibat Gangguan Pencemaran Air Rp1,400,000.00 Rp1,240,000.00 Rp1,200,000.00 Rp1,040,000.00 Rp1,000,000.00 Rp850,000.00 Rp800,000.00 Rp600,000.00 Rp400,000.00 Rp200,000.00 RpTanaman rusak
Gatal-gatal
Gangguan Pencemaran Air
Penyakit kulit
Berdasarkan gambar 4.11 tersebut, dapat dilihat bahwa dari 46 responden yang terkena gangguan pencemaran air akibat proses pengolahan limbah PT. Charoend Pokphand Indonesia, dalam mengatasi gangguan tersebut, masyarakat mengeluarkan biaya sebesar Rp 3.130.000,00 per tahun, atau rata-rata per kepala keluarga per tahun sebesar Rp 68.000,00 (Rp 3.130.000,00 : 46 = Rp 68.043,00 = Rp 68.000,00).
Interpretasi Hasil Valuasi Ekonomi Lingkungan Dari semua gangguan yang diterima oleh 80 responden, biaya total yang dikeluarkan untuk mengatasi gangguan akibat proses pengolahan limbah PT. Charoen Pokphand Indonesia adalah sebesar Rp 5.360.000,00 per tahun, atau sebesar Rp 67.000,00 per kepala keluarga per tahun (Rp 5.360.000,00 : 80 responden = Rp 67.000,00). Selain biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat, masyarakat sekitar juga memperoleh manfaat dari adanya proses pengolahan limbah PT. Charoen Pokphand Indoensia, yaitu dengan memanfaatkan limbah yang ada untuk dijual kembali seperti cakar ayam, hati dan ampela, bulu, serta menjadi buruh kasar pada proses pengolahan limbah, yang dapat menambah pendapatan masyarakat tersebut.
1.
Limbah Cakar Ayam Limbah cakar ayam yang dihasilkan adalah kurang lebih 2.000 kg per hari.
Perusahaan menjual cakar ayam tersebut kepada masyarakat sekitar dengan harga yang cukup murah, sehingga dapat dijual kembali. Sebagian besar masyarakat yang membeli adalah pedagang lokal yang bertempat tinggal di Desa Dukuh Canden. Limbah cakar dikemas dalam kemasan pack 5 kg, dengan harga Rp 30.000,00 per pack. Dalam sehari perusahaan menjual kurang lebih 400 pack cakar ayam, sehingga dapat diperoleh keuntungan sebesar Rp 12.000.000,00. Sedangkan pedagang lokal yang membeli dengan harga murah, dapat memperoleh keuntungan dengan menjual kembali cakar ayam tersebut setelah menaikkan harganya.
2.
Limbah Hati dan Ampela Limbah hati dan ampela ayam yang dihasilkan tiap harinya kurang lebih sebanyak
3.750 kg per hari. Sama hal nya dengan limbah cakar ayam, hati dan ampela juga dijual kepada pedagang lokal sekitar dengan harga Rp 25.000,00 per pack (5 kg). Dalam satu hari perusahaan menjual kurang lebih 750 pack hati dan ampela, dan memperoleh keuntungan sebesar Rp 18.750.000,00 per hari. Pedagang yang membeli pun juga memperoleh keuntungan dengan menjual kembali hati dan ampela tersebut.
3.
Limbah Bulu Ayam Selain limbah cakar ayam dan hati ampela, limbah padat lain yang dihasilkan adalah
limbah bulu ayam. Limbah bulu ayam yang telah dipisahkan dari proses pencabutan dan pencucian ayam dihasilkan sebanyak kurang lebih 8.400 kg per hari. Limbah bulu tersebut dijual pada masyarakat sekitar maupun diluar lokasi. Biasanya limbah bulu tersebut dijadikan bahan untuk membuat kemoceng. Perusahaan menjual limbah bulu tersebut dengan harga Rp 25.000,00 per karung (25 kg). dalam sehari perusahaan menjual kurang lebih sebanyak 336 karung bulu ayam, dan memperoleh keuntungan sebesar Rp 8.400.000,00.
KESIMPULAN, KETERBATAAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.
Dalam upaya mengatasi masalah pembuangan limbah, PT. Charoen Pokphand Indonesia menggunakan teknologi mesin untuk mengolah limbah sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir, yaitu dengan menggunakan mesin scrapper untuk memisahkan limbah cair dengan lemak dan bulu pada proses separasi, mesin pengaduk pada sistem aerasi, dan insenerator pada proses insenerasi.
2.
Pada proses pengplahan limbah, PT. Charoen Pokphand Indonesia mengeluarkan biaya tambahan untuk mengangkut limbah cair berupa sludge dan darah menuju instalasi pembuangan limbah Tambak Lorok Semarang dengan biaya sebesar Rp 512.000,00 / rit, dan rata-rata pembuangan limbah per hari sebanyak 2 rit, sehingga
biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk pembuangan limbah cair adalah sebesar Rp 30.720.000,00 per bulan ( (2 x Rp 512.000,00) x 30 = Rp 30.720.000,00 ) atau sebesar Rp 368.640.000,00 per tahun (Rp 30.720.000,00 x 12 = Rp 368.640.000,00).
3.
Selain biaya pengangkutan limbah, perusahaan juga mengeluarkan biaya pembelian gas elpigi untuk proses insenerasi dimana rata-rata per tahun penggunaan elpigi adalah sebanyak 345 tabung gas elpigi 12 kg, sehingga rata-rata perusahaan mengeluarkan biaya tambhan untuk gas elpigi sebesar Rp 26.565.000,00 per tahun (345 x Rp 77.000,00 = Rp 26.565.000,00).
4.
Dapat diketahui bahwa dengan adanya prosespengolahan limbah PT. Charoend Pokphand Indoensia tersebut, masih menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat sekitar. Dari data yang diperoleh, 69 responden (86,25%) menyatakan sedikit terganggu dengan adanya proses pengolahan limbah PT. Charoen Pokphand, sedangkan sisanya 11 responden (13,75%) menyatakan terganggu.
5.
Dari semua gangguan yang diterima, biaya total yang dikeluarkan untuk mengatasi gangguan akibat proses pengolahan limbah PT. Charoen Pokphand Indonesia adalah sebesar Rp 5.360.000,00 per tahun, atau sebesar Rp 67.000,00 per kepala keluarga per tahun (Rp 5.360.000,00 : 80 responden = Rp 67.000,00). Dapat dilihat bahwa biaya rata-rata yang dikeluarkan masyarakat tidak terlalu besar, hal tersebut memungkinkan adanya dampak yang diterima masyarakat tidak terlalu besar.
6.
Selain dampak negatif yang diterima masyarakat, ada pula dampak positif dari proses pengolahan limbah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu berupa limbah padat yang dapat dijual kembali seperti bulu, cakar ayam, hati dan ampela, serta dengan adanya proses pengolahan limbah tersebut, membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar dengan menjadi buruh kasar untuk menambah pendapatan mereka.
7.
Dari total penjualan limbah cakar ayam, hati ampela, dan bulu, baik perusahaan maupun masyarakat sekitar sama-sama memperoleh keuntungan. Total penjualan
yang diterima perusahaan per hari adalah sebesar Rp 39.150.000,00 sedangkan masyarakat dapat membeli limbah tersebut dengan harga yang murah dan dapat dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. 5.2
Keterbatasan
1.
Pada penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa sebagian besar gangguan yang diterima masyarakat sekitar berasal dari gangguan asap dan pencemaran air seperti batuk, sesak nafas, gatal-gatal dan tanaman rusak. Tidak menutup kemungkinan masih terdapat gangguan lain yang diterima oleh masyarakat sekitar selain dari kedua gangguan tersebut, dimana dalam penelitian ini belum terdapat informasi lebih lanjut mengenai gangguan lain yang ada.
2.
Pada penelitian ini telah dijelaskan beberapa limbah padat yang dapat diolah kembali seperti cakar ayam, bulu, hati dan ampela. Dalam proses pengolahan limbah, masih terdapat beberapa limbah padat yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, dimana belum dijelaskan pada penelitian ini.
5.3
Saran
1.
Dalam upaya mengatasi dampak limbah, PT. Charoen Pokphand Indonesia menggunakan teknologi untuk memproses limbah terlebih dahulu sebelum dibuang, hal tersebut sudah berjalan dengan baik dan dampak yang ditimbulkan berkurang, namun melihat bahwa masih ada dampak yang ditimbulkan dari proses pengolahan limbah tersebut, baiknya perusahaan lebih memperhatikan kembali proses pengolahan limbah yang dilakukan agar kedepannya benar-benar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat sekitar.
2.
Dengan adanya proses pengolahan limbah ini, perusahaan mengeluarkan biaya tambahan yang cukup tinggi, maka untuk mengatasi masalah ini disarankan untuk perusahaan agar lebih meningkatkan kualitas produksinya serta memanfaatkan penjualan limbah dari proses pengolahan limbah tersebut.
3.
Untuk peneliti selanjutnya, hendaknya dapat menggali informasi lebih banyak mengenai dampak negatif dan positif lainnya yang diterima masyarakat, serta upayaupaya apa yang telah dilakukan perusahaan untuk mengatasi dampak yang masih muncul setelah adanya proses pengolahan limbah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Achmad Fahrudin.2009. “Menuju Kesamaan Standard dan Sistem Penilaian Ekonomi Sumberdaya Tanah dan Aset Pertanahan Untuk Kepentingan Rakyat, Bangsa, dan Negara”. Makalah Tidak Dipublikasikan Akhmad Fauzi. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Teori dan Aplikasi). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Arianto A. Patunru. 2004. “Valuasi Ekonomi : Umum”. Jakarta : LPEM-FEUI Arifin dan Bustanul. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia. Jakarta : Erlangga Badan Pusat Statistik. Jawa Tengah Dalam Angka berbagai edisi : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah Diana Igunawati. 2010. “Analisis Permintaan Objek Wisata Tirta Waduk Cacaban, Kabupaten Tegal”. Skripsi Tidak Dipublikasikan, Universitas Diponegoro Semarang Djijono. 2002. “Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan di Taman Wisata Wan AbdulRahman, Propinsi Lampung”. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702). Gilarso, T. 2003. Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro. Yogyakarta : Penerbit Kanisius Gujarati Damodar. 2003. Basic Econometrics. New York : Mc Graw Hill Heston dan Hermawan. “Valuasi Ekonomi Akibat Kerusakan Jalan Nasional di Pantai Utara Jawa” Imam Ghozali. 2005. Aplikasi Analisis Multivariete Dengan Program SPSS. Semarang : Universitas Diponegoro Iwan Berri Prima. 2002. “RPA Sebagai Bagian dari Kesmavet” . Jakarta : Majalah Poultry Indonesia Jamartin Sihite. 2005. “Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan : Studi Kasus di Sub-Das Besai – Das Tulang Bawang, Lampung”. Jakarta : Universitas Trisakti J. Supranto. 2000. Teknik Sampling untuk survey dan Eksperimen. Jakarta : PT. Rineka Cipta Juniadi dan Hatmanto. 2006. “Analisis Teknologi Pengolahan Limbah Cair Pada Industri Tekstil (Studi kasus : PT. Iskandar Indah Printing Textile, Surakarta). Jurnal Presipitasi. Vol. 1 No. 1
Lina Warlina. 2004. “Pencemaran Air : Sumber, Dampak, dan Penanggulangannya”. Makalah Pribadi. Institut Pertanian Bogor Luky Adrianto. 2007. “Konsepsi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Modul Pusat Kajian Sumberdaya pesisir, Institut Pertanian Bogor Miftah Fatmasari. 2010. “Instalasi Pengolahan Air Limbah Industri Farmasi Formulasi”. Tugas Akhir TIdak Dipublikasikan, Institut Pertanian Bogor Moses Laksono S. dan Mera Kariana. 2010. “Peningkatan Produktivitas dan Kinerja Lingkungan dengan Pendekatan Green Productivity Pada Rumah Pemotongan Ayam”. Jurnal Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya M. Zainal Abidin. 2010. “Pengertian dan Pengelompokan Limbah Lingkungan”. Personal Site, http://www.masbied.com/2010/01/14/pengertian-dan-pengelompokkan-limbahlingkungan/ Nurimansjah Hasibuan. 1994. Ekonomi Industri Persaingan Monopoli dan Regulasi. Jakarta : LP3ES Nurtjahya, E. 2003. “Pemanfaatan Limbah Ternak Ruminansia untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan”. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Reksohadiprojo. 2000. Ekonomika Publik. Yogyakarta : BPFE Salvatore, Domonick. 1993. Teori Mikroekonomi. Jakarta : Erlangga. Terjemahan : Rudy Sitompul Sevilla, Consuelo, Ochave. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta : UI Press. Terjemahan : Alimuddin Tuwu Singarimbun, M dan Effendi, S. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta : PT. Pustaka LP3ES, anggota IKAPI Sjamsul Bahri. 2002. “Keamanan Pangan Asal Ternak : Suatu Tuntutan di Era Perdagangan Bebas” WARTAZOA, Vol. 12, No.2 Sugiharto. 1987. Dasar-dasar pengelolaan air limbah. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Suparmoko, M dan Suparmoko, R. 2000. Ekonomika Lingkungan. Yogyakarta : BPFE Winiati P. Rahayu. 2008. “Penanganan Limbah Industri Pangan”. http://www. foodreview.biz/login/preview.php?view&id=33362