PENGELOLAAN BISNIS BERBASIS NILAI-NILAI ISLAM1 Oleh Alimuddin Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin
[email protected] 1. Pengantar Diriwayatkan oleh Thobrani dan Baihaqi, Nabi Muhammad saw bersabda, bahwa sebaik-baik kamu adalah yang bermanfaat bagi umat yang lain. Ini menunjukkan, bahwa setiap umat manusia harus bisa memanfaatkan segala sumber daya yang dimilikinya untuk berbuat yang terbaik bagi diri dan makhluk lainnya. Aktivitas bisnis merupakan salah satu sarana untuk menggapai hal tersebut. Meskipun demikian, tidak semua aktivitas bisnis memberikan kemaslahatan bagi umat manusia dan makhluk lainnya. Aktivitas bisnis yang didasari sifat materisme dan egoisme merupakan penyebab dari kegagalan bisnis meraih peluang mendapatkan keuntungan yang sangat berharga ini. Bisnis yang dipacu meraih keuntungan materi yang sebesar-besarnya dengan mengabaikan kepentingan orang lain dan merusak lingkungan menjadi faktor kegagalan bisnis mengemban amanah tersebut. Sikap perusahaan yang memuaskan hawa nafsu telah menyebabkan perusahaan-perusahaan berkompetisi satu sama lain sebagai pengkomsumsi, sebagai individu, dan sebagai negara, menyedot sumber daya bumi dengan kecepatan yang terus-menerus bertambah dan menghasilkan limbah dalam level yang tidak bisa didaur ulang oleh bumi. Dengan demikian, perusahaan berkontribusi pada percepatan kerusakan pada habitat dan kehidupan orangorang yang lemah. Perusahaan merusak keseimbangan canggih alam. Perusahaan membantai spesies-spesies lain hingga punah. Perusahaan merampok hak generasi-generasi mendatang. Perusahaan telah sedemikian terperangkap dalam pemuasan diri, hingga kita tidak menyadarinya dan bahkan terlena dengan keberhasilan materi yang diperoleh, meskipun sifatnya jangka pendek. Mengelola bisnis menjadi bermanfaat bagi umat manusia dan lingkungannya, sebagaimana Allah menciptakan alam ini dalam keadaan sempurna, maka perusahaan harus mengacu pada ketentuan yang telah digariskan oleh Sang Pencipta alam ini. Ketentuan tersebut bisa digali dari hakikat penciptaan umat manusia dan mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam bisnis. Dengan mengetahui hakikat penciptaan umat manusia akan mendorong setiap umat untuk menjalankan amanah yang diembannya. Sedangkan penerapan nilai-nilai Islam akan menuntun meraih derajad keimanan yang lebih tinggi. Makalah ini akan mengkaji kedua hal tersebut dan menerapkannya di dalam bisnis. 2. Pengembangan Ekonomi dan Bisnis Islam Tulisan ini berawal dari tulisan berjudul “Memahami Hakikat Hidup: Menggapai Kehidupan Mashlahah melalui Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Bisnis” yang telah dipresentasikan pada International Seminar dengan tema The Islamic Economics: Organizational Ethics Prespective, Strategy and Implementation of Islamic Law in the Economic System in Indonesia. Yang dilaksanakan atas kerja sama Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin dengan The Iranian Corner Unhas pada tanggal 2 Februari 2012 di Gedung IPTEKS Unhas Makassar. 1
2 Pengembangan ekonomi dan bisnis Islam dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya mengamati dan mengkaji sistem ekonomi dan bisnis konvensional yang berkembang dengan mengaitkannya dengan sumber ajaran Islam, yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Apabila sistem ekonomi dan bisnis tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka sistem tersebut dapat diakomodasi ke dalam ekonomi dan bisnis Islam. Cara ini lebih mudah dilakukan karena hanya mencari praktik ekonomi dan bisnis di masyarakat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi memiliki kelemahan yang fundamental karena sangat tergantung pada praktik yang sudah ada tanpa ada motivasi untuk merumuskan sendiri. Cara kedua adalah mengkritisi sistem ekonomi dan bisnis konvensional kemudian mencoba menyempurnakannya dengan sumber ajaran Islam untuk membangun ekonomi dan bisnis Islam. Meskipun cara pengembangan ini lebih maju dari cara pertama karena sudah ada usaha untuk menggali nilai-nilai Islam dan menyempurnakan praktik ekonomi dan bisnis yang berkembang di masyarakat namun demikian masih memiliki kelemahan mendasar, yaitu ketergantungan pada praktik ekonomi dan bisnis di masyarakat. Al-Quran dan asSunnah belum dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan dan hidup bermasyarakat. Cara ketiga adalah meyakini bahwa al-Quran dan as-Sunnah adalah sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian, al-Quran dan as-Sunnah digali dan diteliti sesuai dengan kepentingan bidang keilmuan untuk menemukan ilmu yang mashlahah, termasuk ekonomi dan bisnis Islam. Ini berarti bahwa Islam memiliki sendiri sistem ekonomi dan Bisnis tanpa harus mengikuti sistem ekonomi dan bisnis konvensional. Permasalahan yang bisa muncul adalah perbedaan penafsiran atas isi al-Quran dan as-Sunnah di antara setiap penafsir. Perbedaan ini bisa diakibatkan oleh latarbelakang pendidikan, kepentingan, wawasan, lingkungan penafsir, dan lain sebagainya. Hal ini tidak menjadi masalah yang berarti sepanjang dilakukan dengan niat yang tulus untuk mendapatkan ilmu pengetahuan karena setiap penafsir akan mendapatkan keberuntungan. Semakin banyak orang yang menafsirkannya berarti semakin banyak orang belajar dari alQuran dan as-Sunnah dan itu berarti semakin banyak ilmu pengetahuan yang berkembang di masyarakat dengan basis al-Quran dan as-Sunnah. Dengan demikian tidak ada kesia-siaan di dalam menafsirkan atau menggali al-Quran dan as-Sunnah karena semua mendapat keberuntungan 2. Berkaitan dengan penafsiran ayat-ayat suci al-Quran dan as-Sunnah, Islam memiliki epistemologi tersendiri yang telah lama dipraktikkan oleh cendekiawan muslim pada masa lalu. Mengingat ilmu dalam Islam dipengaruhi dimensi spiritual, wahyu, intuisi, dan memiliki orientasi teosentris, konsekuensi berikutnya sebagai salah satu ciri ilmu tersebut adalah terikat nilai-nilai di dalam Islam. Nilai-nilai tersebut dapat dikembangkan dari sifat-sifat Allah swt (asmaul husnah) dan nilai-nilai luhur dalam Islam, seperti kejujuran, keikhlasan, dan lain sebagainya. 3. Hakikat Penciptaan Manusia Sistem ekonomi dan bisnis yang dikembangkan seharusnya tidak terlepas dari dari tujuan sistem itu diciptakan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup umat manusia. Sedangkan untuk memahami kebutuhan hidup umat manusia perlu digali hakikat penciptaan umat manusia di muka bumi. 2
HR Bukhari dan Muslim: Setiap penafsir al-Quran akan mendapatkan fahala, apabila benar cara penafsirannya maka ia akan mendapatkan fahala 2 sedangkan apabila salah/keliru di dalam menafsirkan maka akan mendapatkan fahala 1.
3 Oleh karena itu, untuk membangun sistem ekonomi dan bisnis Islam maka kita perlu memahami hakikat penciptaan umat manusia. Menurut Alimuddin (2011: 243), pada dasarnya hakikat penciptaan manusia di muka bumi ini hanya untuk mengemban tiga tugas utama, yaitu menyembah kepada Allah 3 , memakmurkan bumi 4 , dan sebagai khalifah 5 . Sebagai hamba, manusia hanya bekerja seoptimal mungkin sesuai ketentuan yang diwakili (khalifah) agar kehidupan ini (sekarang dan dimasa yang akan datang) menjadi lebih baik (makmur) dan tidak merusak bumi ini. Hasil yang diperoleh, bukanlah ditentukan oleh manusia tetapi oleh Sang Pemberi Rezeki. Dengan demikian, pada hakikatnya hasil yang diperoleh berupa harta adalah pemberian Allah berupa amanah untuk dinikmati dan dimanfaatkan seoptimal mungkin sesuai ketentuan-Nya. Hakikat penciptaan umat manusia Pertama, untuk penyembah Allah. Semua makhluk yang diciptakan Allah diperintahkan untuk menyembah hanya kepada-Nya 6 . Tujuan ini berimplikasi kepada segala perbuatan manusia harus didasari dan dilakukan sesuai dengan tuntunan-Nya, dan ditujukan hanya kepada-Nya. Penyembahan ini tidak dimaksudkan untuk memperbesar posisi atau kedudukan yang disembah karena Allah tidak membutuhkan itu. Disembah atau tidak disembah, Dia sudah tertinggi kedudukannya. Penyembahan ini, mengajarkan kepada umat manusia, bahwa yang patut disembah adalah yang memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Tujuan penyembahan ini, adalah untuk kebaikan umat manusia sendiri agar bisa merdeka dengan sebenar-benarnya merdeka dan tidak menyembah kepada makhluk yang memiliki keterbatasan tetapi hanya menyembah kepada zat yang memiliki kekuasaan yang tak terhingga dan tidak mengharapkan balasan dari kebaikan-Nya kepada setiap umat-Nya, Dia sudah memiliki segala-galanya dan tidak sedikit pun berkurang dengan Dia berbuat baik. Dengan demikian, manusia tidak terjebak kepada penyembahan yang sifatnya jangka pendek, penyembahan harta benda, penyembahan kepada atasan, penyembahan kepada makhluk lainnya yang tidak memiliki kekuatan, tetapi sesembahan yang sifatnya abadi sehinga bisa berhasil menjalankan amanah di dunia dan meraih keuntungan di akhirat kelak. Penyembahan kepada Allah akan menguntungkan manusia itu sendiri karena tidak menimbulkan kesulitan dalam proses penyembahan. Hal ini disebabkan karena yang disembah hanya satu dan jelas tuntunannya. Berbeda halnya, jika sesembahan itu lebih dari satu akan memusingkan penyembah memenuhi ketentuan setiap yang disembah karena setiap sesembahan akan berbeda-beda harapan dan keinginannya. Kedua, sebagai khalifah Allah, mengharuskan makhluk yang diserahi tugas untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk yang memberi tugas dan wewenang. Pelaksanaan tugas dan wewenang yang tidak sesuai dengan kehendakNya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifaan. Dalam pemahaman yang lain, kata khalifah sering diartikan sebagai „pengganti‟ (yang berarti selalu berada di belakang, sesudah yang digantinya). Menurut Al-Raghib Al-Isfahani, bahwa menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya. Dalam pemahaman terakhir ini, mengharuskan adanya interaksi antara manusia dengan pemberi tugas, dan interaksi manusia dengan manusia, serta interaksi manusia dengan alam raya. Keharmonisan hubungan ini hanya bisa dicapai dengan menerapkan nilai-nilai di dalam Islam. Nilai-nilai tersebut dapat 3
QS. adz-Dzariyat [51]: 56. QS. Hud [11]: 61. 5 QS. al-‘Araaf [7]: 129 dan al-Baqarah [2]: 30. 6 QS. adz-Dzariyat [51]: 56. 4
4 digali dan dikembangkan dari al-Quran dan as-Sunnah. Nilai-nilai misalnya dari ajaran Islam dapat dikembangkan dari asmaulhusnah. Penerpan nilai-nilai Islam akan menciptakan kemaslahatan umat manusia. Kemasalahatan yang bisa dicapai di dunia adalah terciptanya kemajuan dan perkembangan masyarakat yang ideal, seperti digambarkan Allah dalam al-Quran, surat Saba‟ ayat 15, menjadi negeri yang makmur yang diridhai Allah (baldatun thayiibatun warabbun ghafuur). Ketiga, memakmurkan bumi, mengharuskan umat manusia untuk bekerja keras dan cerdas yang dilandasi nilai-nilai Islam dan tidak berpangku tangan apalagi meminta-minta. Bekerja dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan keluarga, untuk kemaslahatan umat, dan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah. Meskipun seseorang tidak membutuhkan pekerjaan karena semua kebutuhannya telah terpenuhi, baik untuk dirinya maupun untuk keluarganya tetapi di dalam Islam mereka tetap diwajibkan untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitarnya dan umat lainnya. Kewajiban bekerja ini bukan hanya diperuntukkan bagi mereka yang masih kuat tetapi bagi siapa saja meskipun dia tidak akan menikmati hasilnya. Setiap hasil karya yang halal yang dinikmati manusia, burung, atau hewan, kecuali baginya sedekah 7. Begitu pentingnya memakmurkan bumi ini, sehingga walaupun kiamat datang tetapi pada tangan seorang ada biji/bibit untuk ditanam, maka jika ia bisa menanamnya, tanamlah sebelum tiba kiamat. Menurut Bell (2001) dan McAndrew (2002), setiap ciri ditentukan oleh gen yang memiliki nilai survival yang tinggi, yang membantu individu untuk bertahan dengan kecenderungan untuk diwariskan kepada keturunannya. Sedangkan menurut Trivers (1971), perilaku menolong, memungkinkan adanya basis biologis dari altruism mutual atau reciprocal. Menurutnya, biaya atau risiko potensial bagi individu dalam memberi pertolongan kepada pihak lain akan diimbangi oleh kemungkinan untuk mendapatkan pertolongan dari pihak lain sekarang atau dimasa yang akan datang. Hal ini sejalan dengan hukum ketertarikan (law of attraction) yang tunduk pada prinsip-prinsip alam yang mengatakan energi yang ada disekitar kita akan merespon sesuai dengan energi yang kita pancarkan, jika energi yang kita pancarkan adalah cinta dan kasih sayang maka energi di sekitar akan memancarkan balik energi yang sama sifatnya dengan lebih banyak (Losier, 2009: 9-19). Lima belas abad sebelum Losier mengimplementasikan hukum ini dalam kehidupan, Allah swt telah berfirman di dalam al-Quranul karim, jika engkau berbuat baik maka kebaikan itu untuk dirimu sendiri, tetapi jika engkau berbuat jahat maka kejahatan itu untuk dirimu sendiri juga8. Hal ini mengandung makna, bahwa seseorang atau perusahaan yang berbuat baik, misalnya menolong sesama makhluk jangan menunggu imbalan atau balasan pada saat dia berbuat baik dari makhluk tersebut, tetapi lakukan saja dengan ikhlas sebagai pertanda ketundukan kita kepada Sang Pengatur. Biarkan Dia yang menentukan balasannya yang pasti sesuai dengan kebutuhan kita. 4. Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Bisnis Di dalam ajaran Islam terdapat berbagai macam nilai yang dapat digali untuk dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai tersebut mulai dari nilai yang berkaitan dengan hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan sesama makhluk, hingga nilai-nilai dalam berperilaku. Kajian tentang nilai dalam ilmu pengetahuan menjadi salah satu perbedaan utama antara pandangan Sains Barat dengan pandangan ilmu pengetahuan Islam. Di dalam Islam, ilmu pengetahuan harus didasarkan pada nilai dan harus 7 8
HR Bukhari. QS. al-Israa’ [17]: 7.
5 memiliki fungsi dan tujuan. Bahkan menurut Sumarna, nilai sebagai ruhnya ilmu. Ilmu tanpa nilai seperti tubuh tanpa ruh yang berarti tidak berguna (2006: 183). Dalam al-Quran terdapat banyak macam nilai yang dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, diantaranya tauhid, amanah, mashlahah, ikhlash, ‘adl, ihsan, istikhlaf, ukhuwwah, shiddiiq, dan lain sebagainya. Tauhid merupakan prinsip utama di dalam beragama. Prinsip ini menunjukkan bahwa setiap manusia diciptakan adalah sama kedudukannya dan tidak boleh ada yang memposisikan dirinya sebagai yang disembah dan yang lain adalah penyembah tetapi satu-satunya yang bisa disembah adalah Allah swt, tuhan alam semesta. Tugas manusia bukanlah untuk makan dan menikmati kehidupan lainnya sebagaimana makhluk lainnya, tetapi mengemban amanah untuk menyembah Allah Yang Esa, berbuat kebajikan untuk mendapat ridha-Nya, mencegah kemungkaran dan berpegang teguh dengan tali yang kuat (Islam), dan sabar dalam menghadapi setiap cobaan (Qardhawi, 2000a: 34). Amanah adalah lawan dari khianat, merupakan kepercayaan atau pertanggungjawaban moral atas semua tugas atau kewajiban yang diemban seseorang, termasuk pula segala yang telah ditetapkan Allah kepada hamba-Nya (Kahhar dan Fatahillah, 2007: 14). Adapun mashlahah dalam ekonomi menurut Siddiqi, 1992: 11-34, adalah segala kegiatan produksi harus bisa memberikan kemaslahatan maksimum bagi konsumen dan produsen yang bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk, diantaranya pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkat moderat, menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya, menyiapkan persediaan barang dan jasa di masa depan, dan tidak merusak lingkungan hanya demi untuk mendapatkan keuntungan materi atau memenuhi kebutuhan umat manusia. Sedangkan ikhlash adalah menyengajakan perbuatan semata-mata mencari keridhaan Allah dan memurnikan perbuatan dan segala bentuk kesenangan duniawi (Qardhawi, 2004: 13). Sementara „adl adalah kata benda abstrak yang berasal dari kata kerja adala yang berarti: pertama, meluruskan atau duduk lurus, mengamandemen atau mengubah; kedua, melarikan diri, berangkat atau mengelak dari suatu jalan yang keliru/salah menuju jalan yang benar; ketiga, sama atau sepadan atau menyamakan; dan keempat, menyeimbangkan atau mengimbangi, sebanding atau berada dalam suatu keadaan yang seimbang (state of equilibrium) (Khadduri, 1984: 8). Dan ihsan adalah melakukan perbuatan baik karena dilandasi kasih sayang sehingga perbuatan baik tersebut melebihi ketentuan yang ada. Istikhlaf, yaitu apa saja yang dimiliki manusia merupakan titipan Allah swt (Qardhawi, 2000a: 40-1). Dengan demikian Allah-lah Yang Maha Pemilik seluruh apa dan siapa yang ada di dunia ini 9 . Sementara ukhuwwah adalah hubungan yang menyatu diantara umat manusia, antara umat manusia dengan umat lainnya, dan antara umat manusia dengan lingkungannya (Shihab, 1997: 489). Sedangkan shiddiq merupakan merupakan kesesuaian antara ucapan dengan kenyataan atau antara keadaan yang terlihat dengan yang tersebunyi (Al-Mishri, 2008: 24-8). Dalam tulisan ini, ada tiga nilai utama yang mencoba digali untuk dapat diterapkan (tidak berarti nilai yang lain tidak bermanfaat, tetapi hanya untuk memberi contoh bagaimana nilai-nilai dalam Islam dapat diaplikasikan dalam dunia bisnis yang berbeda filosofinya dengan bisnis yang dikelola secara konvensional), yaitu nilai kejujuran (shiddiiq), keadilan („adl), dan kemanunggalan (ukhuwwah). Ketiga jenis nilai utama ini dalam implementasinya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. 4.1 . Nilai Kejujuran dalam Berbisnis 9
QS. an-Najm [53]: 31; Thaha [20]: 6; dan Yunus [10]: 66.
6 Menurut Qardhawi (2000a), kejujuran adalah puncak moralitas dan karakteristik yang paling menonjol dari orang-orang beriman. Tanpa kejujuran, agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan dunia tidak akan berjalan baik. Begitu pun bisnis tidak akan berjalan baik tanpa ditopan oleh pemilik dan karyawan yang jujur. Jujur merupakan pancaran dari iman yang dimiliki pemilik dan karyawan, mereka tidak terbiasa berdusta, baik dalam menghasilkan dan menjual produk maupun memanipulasi keuntungan. Hukum ketertarikan (law of attraction), mengatakan bahwa energi universal yang ada di sekitar kita akan merespon setiap getaran yang kita pancarkan (Losier, 2009: 17), maka pada detik itu juga energi universal tersebut sedang menyesuaikan diri dengan getaran yang kita pancarkan dan melipatgandakan apa pun yang dipancarkan. Jika yang dipancarkan adalah nilai kejujuran dalam proses bisnis maka energi di sekitar kita akan memancarkan balik nilai kejujuran yang sama atau lebih. Pancaran kejujuran dalam berproduksi akan menarik pancaran input produksi yang sama bahkan bisa melebihinya, misalnya dengan meningkatnya penjualan atau meningkatnya keuntungan. Tetapi keadaan yang sama akan terjadi jika yang dipancarkan adalah kedustaan maka pancaran baliknya akan sama atau melebihinya. 4.1.1. Nilai Kejujuran dalam Berproduksi Penggunaan merek atau label bisnis syariah (Islami) mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut menggunakan nilai-nilai Islam dalam proses bisnisnya. Dalam kaitannya dengan produksi, maka nilai-nilai tersebut menjadi penggerak di dalam menghasilkan produk, mulai dari mencari masukan, mengolah produk hingga selesainya produk dihasilkan. Hal ini sejalan dengan sabda rasululllah saw, “perumpamaan orang beriman itu bagaikan lebah. Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap di tempat yang bersih dan tidak merusak atau mematahkan yang dihinggapinya” (HR Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Bazzar). Demikianlah seharusnya berproduksi dalam bisnis yang Islami - berasal dari masukan yang bersih (halal), bersih wujudnya, bersih dari najis, bersih dari cara mendapatkannya. Diproses secara bersih, tidak ada yang dizalimi, baik manusia yang berkerja dan disekitar perusahaan maupun lingkungan dimana produk tersebut diolah hingga dinikmati. Dengan demikian produk yang dihasilkan mendatangkan manfaat bagi umat manusia dan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan hadist Nabi Muhammad saw, sebaik-baik kamu adalah yang bermanfaat bagi yang lainnya Contoh kasus dapat dilihat pada pengalaman Pak Ali Rahman, pemilik sekaligus pemimpin perusahaan Bronies Kukus merek Vannisa di Bandung yang sebelumnya memanfaatkan masukan yang bisa menyebabkan kerenyahan produk tanpa memikirkan halal-haramnya bahan yang digunakan, yang penting produk yang dihasilkan disenangi pelanggannya. Dengan bertambahnya pengetahuan agamanya (muamalah), khususnya cara Islam memproduksi barang. Mulailah dia menggantikan bahan masukan dengan bahan yang halal dan tetap menjaga kualitas produksinya sehingga menghasilkan produk yang masukan, proses, dan keluarannya bersertifikat halal dan baik. Meskipun disadari, dengan cara ini biaya produksi sedikit bertambah dan berkurangnya kerenyahan produk yang dihasilkan. Akibatnya, permintaan produk brownis yang dihasilkan mengalami penurunan, meskipun harga jual tidak dinaikkan. Kondisi ini tidak menyebabkan Pak Ali untuk kembali ke bahan baku sebelumnya, malah dia bersyukur karena sudah menjalankan syariah agama Islam dalam berbisnis sehingga tidak ada kekhawatiran untuk mempertanggungjawabkannya kekhadirat Allah swt kelak.
7 Tidak lama berselang, ternyata, setelah pelanggan mengetahui bahan baku yang digunakan bersertifikasi halal, mendapat tanggapan positif dari pelanggan, volume penjualan dan laba meningkat, Alhamdulillah (Alimuddin, 2011a: 104). Di dalam Islam, makanan yang bisa dimakan adalah makanan yang memenuhi dua syarat, yaitu halal dan baik. Halal berarti makanan tersebut tidak bertentangan dengan syariah sedangkan baik adalah baik untuk kesehatan. Perusahaan Vannisa berusaha dengan sekuat tenaga untuk memenuhi kedua persyaratan tersebut meskipun harus mengeluarkan tambahan biaya dan menurunnya kualitas rasa produk yang dihasilkan. Bagi Pak Ali, tidak menjadi masalah, asalkan produk yang dijual sesuai dengan ketentuan syariah. Dia bebas dari tuntutan di akhirat kelak dan jujur menuliskan di kemasan “halal”. Di samping itu, pelanggan terbebas dari makanan haram. Beranjak dari hal tersebut di atas, maka yang dimaksud kejujuran dalam berproduksi menurut Islam apabila produk yang dihasilkan memenuhi dua syarat, yaitu halal wujud produknya dan baik untuk kesehatan. Kehalalan dimaksudkan adalah proses untuk mendapatkan bahan masukan yang halal, wujud bahan yang halal, diproses dengan halal, dan tidak ada yang dizalimi sepanjang proses produksi. Sedangkan baik untuk kesehatan dimaksudkan bahwa produk yang dihasilkan mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia dan lingkungannya. Walapun produk tersebut halal dan baik tetapi mempekerjakan karyawan dengan upah yang rendah sehingga penghasilannya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok karyawan adalah merupakan perbuatan zalim. Demikian juga dengan perbuatan merusak lingkungan merupakan perbuatan zalim. 4.1.2. Nilai Kejujuran dalam Berjualan Produk yang halal dan baik yang dihasilkan tidak bermanfaat jika tidak disenangi atau dibeli oleh pelanggan. Untuk mengatasi hal ini, para produsen/pedagang akan berusaha sekuat tenaga untuk memasarkan hasil produksinya. Ada yang melakukan dengan cara-cara yang syariah tetapi tidak jarang yang mengambil jalan pintas dengan meninggalkan kaidah-kaidah yang telah digariskan dalam ajaran agama. Promosi misalnya, dimaksudkan untuk memperkenalkan produk kepada masyarakat tetapi tidak jarang para pengusaha hanya memperkenalkan keunggulan produknya tanpa menyampaikan kelemahannya. Al-Ghazali dalam kitab Mutiara Ihya Ulumuddin (2008) menulis “hendaklah pedagang tidak memuji barang dagangannya dengan pujian yang sebenarnya tidak melekat padanya. Hendaklah ia tidak menyembunyikan kekurangannya dan hal-hal yang tersamar daripadanya sedikitpun”. Nabi Muhammad saw pernah menjumpai salah seorang penjual makanan di pasar yang menyimpan makanan basah di bawah makanan kering sehingga tidak nampak oleh pembeli. Nabi menegur dengan meminta kepada penjual tersebut untuk menyimpan makanan basah di atas makanan yang kering agar terlihat oleh calon pembeli, atau dengan kata lain, baik dan buruknya produk tersebut harus diperlihatkan kepada calon pembeli. Kemudian Nabi bersabda “barang siapa yang menipu maka ia bukan dari golongan kami”. Menurut Qardhawi, perkataan „bukan golongan kami‟ menunjukkan bahwa menipu (berlaku curang) adalah dosa besar (2000a: 179). Berbeda halnya dengan Jabir bin Abdullah yang memperlihatkan cacat barangnya kepada calon pembeli. Kemudian seorang pembeli menegurnya “jika kamu berbuat begini, niscaya tidak seorang pun membeli barang daganganmu” namun Jabir berkata “saya telah berbaiat kepada Rasulullah untuk berlaku jujur kepada setiap muslim”. Al-Qhazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, menganggap bahwa Jabir telah memahami arti kejujuran, yaitu tidak rela terhadap apa yang menimpa sesamanya kecuali ia rela jika hal itu menimpa dirinya sendiri.
8 Sebenarnya Jabir bin Abdullah telah memahami makna kemanunggalan antara dirinya dengan orang lain merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Di dalam Islam, sangat menjunjung tinggi kepastian dan keterbukaan informasi di dalam jual-beli. Diharamkan menjual barang yang tidak jelas ukuran, kualitas, harga, atau waktu (gharar). Demikian juga halnya dengan menyembunyikan informasi baik kepada penjual atau kepada pembeli (tadlis), misalnya membeli barang sebelum sampai di pasar dengan maksud untuk mendapatkan harga yang lebih murah karena penjual tidak mengetahui harga di pasar atau penjual melipatgandakan harga kepada orang yang tidak mengetahui harga pasaran merupakan perbuatan curang. Oleh karena itu, informasi yang berkaitan dengan jual-beli menjadi kebutuhan utama bagi kedua belah pihak. Islam juga tidak memperkenankan penjualan barang yang tidak sesuai dengan kesepakatan (akad). Apabila penjualan telah terjadi dan pembeli telah menerima barang tetapi tidak sesuai spesifikasi yang ada dalam akad, maka pembeli berhak untuk mengembalikan dan mendapatkan penggantinya. Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, yang dimaksud nilai kejujuran dalam bernisnis adalah produk yang dijual harus dijelaskan spesifikasi dan kondisinya oleh penjual, baik diminta maupun tidak diminta penjelasannya oleh calon pembeli. Dengan demikian, menjadi kewajiban setiap penjual untuk memberi informasi spesifikasi dan kondisi produknya sebelum terjadi transaksi jual beli. 4.1.3. Nilai Kejujuran dalam Meraih Keuntungan Dalam paham kapitaslime, keuntungan materi adalah segala-galanya dalam berbisnis, apapun yang dilakukan selalu diarahkan pada peningkatan keuntungan, tidak mengenal halal atau haramnya proses yang dilalui yang penting menghasilkan keuntungan. Sementara dalam pandangan Islam, keuntungan materi merupakan dambaan tetapi bukan segala-galanya, proses produksi harus dalam bingkai kejujuran dan kehalalan. Keuntungan materi hanyalah salah satu bagian dari keuntungan yang lebih besar. Keuntungan dalam pandangan Islam, bukan hanya keuntungan materi tetapi meliputi keuntungan karena telah mengikuti norma, etika dan moral, keuntungan karena bertambah teman, kesenangan melihat orang lain senang, semakin dekatnya hubungan dengan Sang Pemberi Rezeki, dan masih banyak lagi jenis keuntungan. Dalam kisah Yunus bin Ubid menjual berbagai macam pakaian. Ada jenis pakaian yang berharga 400 dirham dan ada juga yang berharga 200 dirham. Ketika akan pergi ke masjid untuk shalat, Yunus meminta anak pamannya untuk menjaga tokonya. Pada saat tokonya dititipkan itu, datang seorang Badui yang ingin membeli pakaian. Oleh anak tersebut, ditunjukkan pakaian yang berharga 200 dirham, yang ternyata diminati oleh pembeli sehingga ia pun membayar dan pergi. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Yunus. Yunus mengetahui persis bahwa pakaian yang dipegang oleh Badui tersebut adalah jenis pakaian yang di jual di tokonya. Ia pun bertanya, berapa kamu belikan? Badui menjawab 400 dirham. Kata Yunus, „harga pakaian ini tidak lebih dari 200 dirham. Mari kembali ke toko dan ku kembalikan kelebihan uangmu‟. Badui pun berkomentar „di kampung kami harga pakaian semacam ini 500 dirham dan saya sudah rela dengan harga 400 dirham‟. Yunus berkata, „mari kembali ! kejujuran lebih baik daripada dunia dan segala isinya‟. Lalu mereka kembali ke toko dan Yunus mengembalikan uang sejumlah 200 dirham kepadanya. Adapun anak tersebut dimarahi dan dinasihati oleh Yunus. Ia berkata, „tidakkah kamu malu dan takut kepada Allah? Kamu untung sebanyak harga barang tetapi meninggalkan kejujuran untuk kaum muslimin‟. Anak itu berkata, „demi Allah ! ia rela dengan harga itu‟. Jawab Yunus, „apakah kamu rela atasnya sebagaimana kamu rela atas dirimu‟. (Qardhawi, 2000: 181).
9 Implementasi kejujuran dalam penjualan produk diutarakan juga oleh Bu Umi, panggilan akrab Ibu Umi Wahidah, pemilik sekaligus pemimpin Kedai Assalamu’alaikum di Malang yang tidak menaikkan harga jual atau menurunkan ukuran produk yang di jual, meskipun harga bahan bakunya sudah naik. Hal ini dilakukan karena dia menjunjung tinggi kejujuran dalam penetapan harga. Selanjutnya dia mengatakan: Pernah suatu ketika harga ayam potong sangat mahal sementara kami tetap harus menjual, pilihannya ada dua jika keuntungan dipertahankan dengan sebelumnya, yaitu menaikkan harga jual atau mengurangi ukurannya. Kami tidak memilih salah satu dari alternatif tersebut tetapi kami tetap bertahan dengan ukuran dan harga yang sama dengan sebelumnya. Meskipun kalau kami naikkan harganya, pelanggan bisa mengerti tetapi kami tidak mau melakukan itu, yang penting kami tidak rugi (Alimuddin, 2011a: 106). Hasil dari kebijakan pimpinan kedai ini menyebabkan pengunjung semakin bertambah bukan hanya pada saat harga bahan baku meningkat tetapi juga setelah harga bahan baku stabil ke harga semula. Bahkan pengunjungnya sudah variatif, kalau sebelumnya lebih banyak mahasiswa tetapi sekarang (pertengahan bulan tahun 2009) sudah mulai banyak masyarakat umum yang berkunjung, khususnya pada hari libur. Perlakuan yang semestinya diterima pelanggan perlu dipertahankan bahkan jika memungkinkan semakin ditingkatkan agar energi balik positif akan lebih besar. Bukan sebaliknya, dengan mengurangi kualitas atau ukuran dari produk yang dijual atau menyerahkan barang yang rusak akan mendatangkan juga energi balik negatif yang lebih besar. Perbuatan negatif bisa saja dalam jangka pendek meningkatkan keuntungan tetapi dalam jangka panjang akan terjadi kerugian atau musibah yang lebih besar. Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penentuan besarnya keuntungan berdasarkan nilai kejujuran tidak ada aturan bakunya, tergantung mekanisme pasar yang terjadi. Namun demikian, tidak berarti penjual seenaknya menaikkan harga, khususnya jika terjadi kenaikan permintaan. Bahkan pada tingkat pemahaman yang lebih dalam, penjual hanya bisa menaikkan harga jualnya jika biaya masukannya mengalami kenaikan. Dengan demikian, perubahan harga jual hanya bisa dilakukan pada produk baru. 4.2. Nilai Keadilan dalam Berbisnis Keadilan sebagai salah satu nilai universal yang dijunjung tinggi dan menjadi dambaan dan harapan umat manusia kapan pun dan dimana pun mereka berada. Dalam pandangan Islam, adil merupakan norma paling utama dalam seluruh aspek perekonomian (Qardhawi, 2000: 182-3). Ini berarti setiap transaksi yang terjadi harus dilakukan secara adil kepada semua pihak tanpa membedakan suku, bangsa, agama, jabatan, dan lain sebagainya. Begitu pentingnya sifat adil ini sehingga Allah pun menjadikannya sebagai salah satu sifat-Nya. Ia menciptakan alam semesta (makrokosmos) ini dalam tatanan keadilan 10 ; manusia (mikrokosmos) juga diciptakan secara adil 11 ; dan menugaskan manusia sebagai khalifah juga untuk menegakkan keadilan di muka bumi 12 . Dengan demikian, penerapan nilai keadilan di dalam setiap aktivitas menjadi pembeda antara manusia yang baik dan benar dengan yang menzalimi sesamanya. Oleh karena itu, keadilan bukan hanya kebutuhan dari salah satu pihak dalam jual-beli tetapi yang lebih hakiki adalah dambaan setiap orang, baik penjual 10
QS. Ar-Rahman [55]: 7. QS. al-Infithar [82]: 7. 12 QS. Shaad [38]: 26. 11
10 maupun pembeli. Itulah sebabnya, jual-beli harus transparan dan melarang bai’ul gharar 13 karena ketidaktahuan terhadap kondisi suatu produk yang bisa merugikan salah satu pihak. Penjual atau pembeli harus mengetahui atau memiliki informasi yang lengkap sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Jika salah satu pihak tidak memiliki informasi, maka kewajiban pihak lain untuk memberitahunya. Demikian juga halnya, Islam menuntut hak dan kewajiban seseorang tidak lebih besar atau lebih kecil dibandingkan hak dan kewajiban orang lain. Peraturan bisnis sama-sama bisa diterapkan kepada semua orang. Tidak ada orang yang bisa mengambil hak milik orang lain dengan cara yang tidak benar. 4.2.1. Nilai Keadilan dalam Berproduksi Afzalurrahman (1982: 211), mengemukakan bahwa al-Quran mempergunakan konsep produksi dalam arti yang sangat luas. al-Quran sangat menekankan pemahaman produk yang diproduksi. Produk tersebut harus berhubungan dengan kebutuhan manusia dan bertujuan untuk memuaskan kebutuhan manusia dan bukan untuk menghasilkan produk bermewah-mewahan. Ajaran Islam tidak melarang umatnya untuk mencari penghidupan yang layak, bahkan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mendapatkan kekayaan sebagai wujud pengabdiannya. Tetapi Islam juga tidak menghendaki umatnya untuk mendapatkan kekayaan dengan mengorbankan orang lain melalui penciptaan produk yang mendorong pola hidup konsumtif. Dengan kata lain, Islam berusaha untuk mengurangi sifat individualistik dan sifat tamak dengan memberi kesempatan untuk melakukan aktivitas-aktivitas produksi secara adil. Namun demikian, produk yang dihasilkan tidak dimaksudkan untuk memenuhi keinginan manusia yang tak terbatas dan bermewah-mewahan. Walaupun setiap orang mendapatkan kesempatan yang adil untuk berusaha, tetapi tidak berarti mereka seenaknya memproduksi barang tanpa batas. Melainkan mereka harus berusaha dalam bingkai norma, etika, dan moral Islam. Norma dalam perdagangan adalah dilarang mengedarkan barang-barang haram14 karena akan merusak kesehatan diri manusia (fisik, akal, dan jiwa) dan lingkungannya sehingga semakin jauh dari Sang Penciptanya. Sedangkan etika dalam berusaha adalah tidak saling mematikan di antara setiap perusahaan. Dan tidak mengambil keuntungan yang besar dari setiap harga jual yang ditetapkan merupakan aspek moral dalam Islam. Seorang pengusaha muslim, tidak saja dituntut untuk menghasilkan produk untuk kebutuhan umat manusia tetapi juga dilakukan secara etis dengan tidak merusak lingkungannya. Berusaha dengan mengabaikan dan bahkan merusak lingkungan akan berdampak pada eksistensi berusaha dan rusaknya tatanan sosial di sekitar tempat usaha. Berusaha pun menjadi tidak nyaman karena ekosistem menjadi rusak dan masyarakat merasa terganggu, yang ujungujungnya akan menciptakan ketidak efisienan dan ketidakberlanjutan dalam berusaha. Untuk menjamin setiap usaha memelihara lingkungannya dalam bingkai yang Islami maka mereka harus menyadari pentingnya menjaga lingkungan, bukan hanya disekitarnya tetapi juga di tempat lain. Keadilan harus dikembangkan di dalam berproduksi melalui pelestarian lingkungan yang dinikmati oleh semua umat.
13
Adalah penjualan produk yang tidak jelas rupa dan sifatnya. Termasuk dalam kelompok ini adalah khamar dalam arti luas, mencakup minumam keras, narkoba dan sejenisnya; produk yang mengancam kesehatan manusia; media informasi yang menyampaikan berita ghibah, mengadu domba, membuka aib orang, dan lain sebagainya; dan produk yang dihasilkan oleh musuh Allah. 14
11 Dari penjelasan tersebut di atas, nilai keadilan di dalam menghasilkan produk yang halal dan baik apabila produk tersebut bermanfaat bagi umat manusia dan tidak merusak lingkungan. 4.2.2. Nilai Keadilan dalam Berjualan Afzalurrahman (1982: 142) mengemukakan bahwa prinsip utama berjualan adalah penegakan nilai keadilan. Ini mengandung dua maksud, pertama, kekayaan harus disebar kepada masyarakat dan tidak terpusat pada beberapa orang saja. Kedua, faktor-faktor produksi yang bersumber dari kekayaan nasional harus dibagi secara adil. Penyebaran kekayaan kepada masyarakat tidak dimaksudkan untuk membagi rata setiap hasil yang diperoleh tetapi memberi kesempatan yang sama kepada setiap anggota masyarakat, terlepas dari struktur sosial, kepercayaan, suku, dan warna kulit. Dengan cara inilah mereka dapat bebas mencari kekayaan sesuai kemampuannya tanpa ada batasan hukum dan sosial. Jadi tujuan utamanya adalah memberikan kesempatan yang sama pada semua orang dalam bidang ekonomi, tanpa memperhatikan status sosial mereka. Dengan demikian, Islam melarang sistem monopoli karena disamping alasan tersebut di atas, juga karena dia hanya mementingkan kepentingan pribadi dan menghiraukan bahaya yang menimpa masyarakat secara keseluruhan. Jika diamati lebih dalam dari penjelasan tersebut di atas, maka makna nilai keadilan dalam berjualan adalah setiap umat manusia mempunyai hak untuk mencari penghidupan yang layak. Dengan demikian tidak boleh ada pembatasan oleh siapa pun kepada siapapun untuk mencari penghidupan yang layak (berjualan). Semua orang berhak memenuhi kebutuhan pokoknya, sebagaimana Allah telah menghamparkan bumi dan segala isinya untuk dinikmati umat manusia. 4.2.3. Nilai Keadilan dalam Meraih Keuntungan Meskipun tidak ada nash khusus untuk menetapkan besarnya keuntungan, namun setiap pengusaha muslim hendaknya memperhatikan rasa keadilan dalam menetapkan harga. Menetapkan keuntungan yang besar di saat permintaan melebihi penawaran merupakan peluang untuk menaikkan tingkat keuntungan dalam sistem ekonomi kapitalisme. Tetapi dalam ajaran Islam, menaikkan harga pada saat terjadi kenaikan permintaan merupakan perbuatan tercela (zalim) karena memanfaatkan peluang di atas penderitaan orang lain. Apalagi menaikkan harga di saat masyarakat sangat membutuhkan produk tersebut merupakan perbuatan yang melanggar norma agama. Keuntungan yang adil adalah keuntungan yang tidak menzalimi orang lain tetapi juga tidak menzalimi diri sendiri. Keuntungan yang terlalu besar, akan menzalimi orang lain dan bisa berpengaruh buruk terhadap perkembangan usaha. Perilaku menzalimi orang lain akan memancarkan energi balik negatif yang lebih besar dari yang dipancarkan (zalimi). Sebaliknya, keuntungan yang terlalu rendah di bawah kebutuhan pokok akan menzalimi diri sendiri yang berarti tidak mampu bertahan hidup secara layak. Keuntungan yang selayaknya di dapatkan dari aktivitas bisnis yang halal sebesar kebutuhan pokok manusia sehingga tidak ada yang merasa dizalimi. Kebutuhan pokok tersebut meliputi kebutuhan pokok materi untuk bisa bertahan hidup dan kebutuhan pokok untuk kehidupan di akhirat kelak, misalnya haji, zakat, qurban, umrah, infaq dan sadaqah, dan lain sebagainya. Disamping kebutuhan pokok tersebut, keuntungan juga perlu memperhitungkan biaya untuk pelestarian lingkungan agar apa yang Allah telah turunkan ke muka bumi ini kepada umat manusia tidak dirusak hanya karena ingin meraih keuntungan materi yang lebih besar.
12 Dengan demikian, penerapan nilai keadilan dalam Islam untuk meraih keuntungan adalah keuntungan yang ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan pokok penjual dan untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya. 4.3. Nilai Kemanunggalan15 dalam Berbisnis Ayub (2009: 107) menyatakan bantu-membantu, solidaritas, dan penggantian kerugian serta kerusakan secara bersama-sama adalah beberapa norma penting lain dalam kerangka perekonomian Islami jika dibandingkan dengan struktur perekonomian konvensional di mana kompetisi yang kejam mengakibatkan beberapa praktik yang tidak beretika, seperti penipuan dan pemalsuan. Islam menghargai apabila seseorang membantu orang lain di saat-saat yang dibutuhkan dan melarang tindakan apa pun yang dapat mengakibatkan kerugian serta kerusakan pada orang lain dan makhluk lainnya. Ajaran Islam sangat menganjurkan tolong-menolong dan berbuat kebajikan kepada sesama 16 . Sifat tolong-menolong ini sebagai tanda sifat kemanunggalan dengan sesama (HR. Muslim). Tolong menolong menjadi sangat dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan yang dirasakan umat lain. Oleh Taylor et al. (2009: 457) Perilaku ini digolongkan sebagai altruisme dan perilaku prososial. Dalam kaitannya dengan perdagangan, Islam melarang umat-Nya melakukan jual-beli secara bai’ul mudthar (terpaksa). Menurut Al-Khitabi, bai’ul mudthar adalah suatu keadaan ketika seseorang terpaksa menjual barang miliknya karena terhimpit utang atau tertimpah musibah yang harus segera diatasi (Qardhawi, 2000a: 183). Seorang yang memiliki sifat altruisme tidak akan mengambil kesempatan ini untuk memperkaya diri tetapi dia akan berusaha untuk mencarikan jalan keluar yang tidak memberatkannya atau menolongnya tanpa meminta imbalan. Cara yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan utang ini bukanlah dengan menjual barang miliknya, tetapi yang bersangkutan dipinjami uang untuk menjalankan usahanya dan keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan, bahkan kalau perlu, seluruh keuntungannya diserahkan kepada yang berutang hingga utangnya lunas, atau utangnya dilunasi orang lain yang mampu. 4.3.1.Nilai Kemanunggalan dalam Berproduksi Walaupun seseorang tidak membutuhkan pekerjaan karena seluruh kebutuhan hidupnya telah tersedia, baik untuk dirinya maupun untuk keluarganya, ia tetap wajib bekerja untuk memakmurkan dunia ini demi untuk kemaslahatan umat. Seorang muslim tidak hanya bekerja demi mencapai manfaat komunitasnya, tetapi ia wajib bekerja untuk kemanfaatan seluruh makhluk hidup, termasuk manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk lainnya. Nabi Muhammad saw bersabda, “siapakah dari kaum muslimin yang menanam tanaman atau tumbuh-tumbuhan lalu dimakan oleh burung, manusia atau hewan, kecuali baginya sedekah” (HR Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, setiap produk yang dihasilkan pengusaha muslim bukan hanya berupa wujud produk itu sendiri tetapi juga berdampak pada terciptanya hubungan dengan umat di sekitarnya dan sebagai amal sedekah sepanjang dilakukan dengan niat yang tulus dan dilaksanakan dengan penuh keikhlasan. Dengan demikian, berproduksi secara syariah memiliki tiga keunggulan, yaitu
15
Kemanunggalan (ukhuwwah/unity) adalah luluh menjadi satu dalam sikap, tingkah laku dan kehidupan. Istilah ini lebih dalam maknanya dari sekedar persaudaraan yang umum di pahami sebagai pertalian persahabatan atau pertalian saudara. 16 QS. al-Maa-idah [5]: 2
13 menghasilkan produk, menjalin hubungan dengan umat lainnya, dan sebagai amal ibadah. Akibatnya, berproduksi secara syariah akan memiliki daya pacu yang lebih kuat daripada berproduksi dengan paham lain. Apalagi, jika usaha tersebut dimaksudkan untuk menjalin kerja sama yang Islami dengan masyarakat di sekitar tempat usaha akan menambah keunggulan dan meningkatkan sinergi yang luar biasa sehingga menghasilkan keuntungan yang tak terhingga besarnya. Dengan demikian, makna nilai kemanunggalan di dalam berproduksi adalah menghasilkan produk yang bisa menjalin hubungan dengan makhluk lainnya dan sebagai amal ibadah. Menghasilkan produk yang bermanfaat bagi umat manusia dan lingkungan merupakan perbuatan yang mulia karena membantu umat manusia memenuhi kebutuhan hidupnya dan memberi alternatif pilihan kepada umat manusia memenuhi kebutuhannya. Dampak dari perbuatan ini adalah bertambahnya amal ibadah. 4.3.2. Nilai Kemanunggalan dalam Berjualan Berjualan berbasis nilai kemanunggalan mengandung makna antara penjual dan pembeli adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu, di antara keduanya tidak boleh saling menzalimi. Terdapat lima faktor penentu agar penjualan tersebut dianggap menggunakan nilai kemanunggalan, yaitu pertama, produk yang dijual adalah produk yang halal dan baik. Seorang penjual tidak boleh menjerumuskan saudaranya memakan makanan yang haram dan tidak baik untuk kesehatan tubuh. Kedua, menjunjung tinggi spesifikasi yang telah disepakati/disampaikan dan berlaku jujur dalam menentukan ukuran. Seorang penjual tidak boleh menipu saudaranya dengan mengurangi takaran yang semestinya dan menjual barang yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Ketiga, berlaku manunggal dalam menetapkan harga. Tidak memberlakukan harga yang sama antara pelanggan yang mampu dengan pelanggan yang tidak mampu secara ekonomi. Keempat, berkembang bersama pengusaha lainnya. Seorang pengusaha muslim tidak boleh bersaing untuk saling mematikan, tetapi mereka harus bersinergi untuk meningkatkan usahanya dan masyarakat di sekitarnya. Kelima, ramah di dalam berjualan. Seorang pengusaha muslim, senantiasa ramah kepada konsumennya, baik konsumen tersebut membeli maupun tidak membeli produk. 4.3.3. Nilai Kemanunggalan dalam Meraih Keuntungan Keberlangsungan jalannya usaha tidak terlepas dari dukungan keuntungan materi yang memadai. Betapa tidak, keuntungan materi akan menjamin peningkatan usaha perusahaan melalui peningkatan investasi dan diversifikasi produk atau usaha. Disamping itu, meningkatkan taraf hidup pemilik usaha dan karyawannya serta meningkatkan penerimaan pendapatan negara melalui pajak (Alimuddin, 2008). Dari segi spiritual, akan meningkatkan kedekatan pengusaha dengan Sang Penggenggam Rezeki melalui zakat, infak, dan sedekah serta ibadah lainnya yang membutuhkan dana. Dalam pandangan Islam, keuntungan materi adalah keuntungan yang diperbolehkan tetapi harus melalui proses bisnis yang halal, etis, dan bermoral. Dengan proses seperti ini akan menciptakan kinerja yang tak terhingga karena disamping mendapatkan keuntungan materi, juga yang tak kalah pentingnya adalah menambah persaudaraan dan kedekatan dengan Sang Penggenggam Kekuatan (Alimuddin, 2010). Selanjutnya Alimuddin (2011a: 126) mengemukakan, nilai kemanunggalan yang melekat pada proses mendapatkan keuntungan materi setidak-tidaknya meliputi tiga unsur, yaitu pertama, proses untuk mendapatkan laba dilakukan dari usaha yang menghasilkan produk yang halal dan baik. Kedua, tidak ada unsur penipuan dalam proses bisnis. Ketiga, tidak ada yang terzalimi sepanjang proses bisnis tersebut. Sedangkan keuntungan lainnya yang dirasakan pengusaha
14 muslim dalam kaitannya dengan nilai kemanunggalan adalah, meningkatnya persaudaraan; rasa senang melihat kenikmatan atau keberhasilan yang dicapai orang lain; rasa senang mempekerjakan orang yang tidak mampu secara fisik, mental, dan fikiran; rasa senang membantu orang lain yang tidak berkecukupan, dan lain sebagainya. Kisah Miswar bin Makhramah yang lebih memegang teguh ketundukannya kepada yang disembah dan rasa kasih sayangnya kepada sesama melebihi keuntungan materi yang bisa diperoleh sebagaimana dikemukakan dalam AlHaritsi (2003: 54 dan 615): Miswar bin Makhramah menimbun makanan, lalu dia melihat awan yang menunjukkan akan datangnya musim gugur dan dia pun merasa khawatir. Ketika pagi harinya, dia datang ke pasar seraya berkata, “barang siapa yang datang kepadaku, maka aku akan menjual kepadanya dengan harga beli”. Ketika berita tersebut sampai kepada Umar bin Khattab RA, maka dia mendatanginya ke pasar, lalu berkata kepadanya, “Apakah kamu gila, wahai Miswar?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Amirulmukminim. Aku melihat awan yang menunjukkan akan datangnya musim gugur, aku benci menahan apa yang bermanfaat bagi umat manusia, maka aku putuskan untuk tidak mengambil keuntungan didalamnya”. Maka Umar berkata, “semoga Allah membalas kebaikan kepadamu”. Dengan demikian, makna nilai kemanunggalan dalam meraih keuntungan dalam Islam adalah memperoleh keuntungan dari proses bisnis yang halal dan baik serta menjalin hubungan yang harmonis dengan umat manusia dan lingkungannya. Hubungan yang harmonis menjadi kunci utama dalam meraih keuntungan (Alimuddin, 2010). Tidak ada artinya meraih keuntungan tetapi merusak hubungan di antara sesama umat. Berdasarkan pemaparan dan analisis nilai kejujuran, keadilan, dan kemanunggalan dalam berbisnis dapat disarikan sebagai berikut. No.
Nilai
1.
Kejujuran
2.
Keadilan
3
Kemanunggalan
Aktivitas Bisnis Produksi Penjualan Keuntungan Produksi Penjualan Keuntungan Produksi Penjualan Keuntungan
Makna Nilai Produk yang Halal dan baik Informasi produk terbuka Bebas dan konsisten Produk untuk Kemaslahatan Martabat hidup Kebutuhan pokok maslahat Kebutuhan hidup dan Kemaslahatan Saling Memajukan dan Kasih saying Sesuai Kemampuan Pelanggan dan Harmonisasi
Makna ketiga nilai tersebut di atas dalam paham Islam tidaklah sama dengan paham konvensional. Walaupun ada nilai tertulis yang sama di antara dua paham tersebut tetapi hakikat atau pemahaman yang mendasarinya berbeda. Sebagai contoh, nilai memegang amanah yang dilandasi etika. Dalam paham konvensional, etika yang dipakai adalah etika utilitarianisme dan materialisme, yang tidak mengenal halal-haram dan kemaslahatan umat dalam menjalankan amanah tersebut. Aspek materi menjadi pemacu dalam berusaha. Sementara dalam paham Islam sangat menjunjung tinggi kehalalan dan kebaikan masukan,
15 proses, dan keluaran. Demikian juga, Islam sangat memperhatikan kemaslahatan umat dalam menghasilkan produk dan memperoleh penghasilan. 5. Menggapai Kemaslahatan Melalui Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Bisnis Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa pada dasarnya hakikat penciptaan umat manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah dan sebagai khalifah Allah serta untuk memakmurkan bumi. Adapun rezeki yang didapatkan untuk menjalankan tugas tersebut telah ditentukan oleh Sang Maha Pencipta 17. Oleh karena itu, manusia semestinya meniru sifat-sifat Tuhan-nya dan bekerja optimal sesuai tuntunan-Nya. Berbisnis dengan memahami implementasi nilai-nilai Islam akan menghasilkan berbagai kemanfaatan/kinerja kemaslahatan yang tidak akan dicapai melalui bisnis yang menerapkan nilai-nilai konvensional. Adapun kinerja yang dapat dicapai antara lain: a. Small is Beautiful Konsep harga jual yang menerapkan kekonsistenan menjalankan niat yang telah diikrarkan mendorong setiap perusahaan untuk menikmati keuntungan yang telah ditetapkan meskipun peluang untuk meningkatkan harga jual per unit memungkinkan. Konsekuensinya, perusahaan tersebut akan dikenang dan dipromosikan oleh pelanggan kepada calon pelanggan lainnya bahwa perusahaan tersebut tidak mudah merubah harga jual meskipun harga di sekitarnya telah mengalami kenaikan. Dalam pandangan Purnamasari dan Triyuwono (2011), kenangan dan promosi yang dilakukan pelanggan seperti ini digolongkan sebagai laba kenangan. Dengan demikian, meskipun keuntungan yang kecil per unit akan berdampak pada keuntungan yang lebih besar secara keseluruhan. Disamping itu, kepercayaan yang besar dari pelanggan akan menciptakan hubungan yang lebih harmonis dengan pelanggan dan kekal sehingga berdampak pada perolehan keuntungan yang berkesinambungan dan semakin bertambah (multiplier effect). b. No Barrier to Entry Di dalam penerapan nilai kejujuran, tidak ada manfaatnya membeli barang dagangan yang berlebih. Pengadaan persediaan yang melimpah tidak akan berdampak pada kenaikan harga jual atau keuntungan. Dengan demikian, menjalankan kegiatan bisnis tidak perlu membutuhkan modal yang relatif besar. Konsekuensinya, setiap orang yang memiliki modal meskipun relatif kecil dapat mendirikan usaha tanpa ada perasaan takut akan dipermainkan oleh pengusaha yang memiliki modal yang relatif besar. Akibatnya, aktivitas perdagangan menjadi lebih terbuka bagi siapa saja yang berkeinginan tanpa harus dibatasi oleh kepemilikan modal yang besar. Kesempatan kerja pun akan terbuka luas sehingga dapat mengurangi atau memangkas habis pengangguran. Pemerataan pendapatan pun akan tercipta dan kesejahteraan masyarakat akan semakin merata serta hubungan kemasyarakatan akan semakin harmonis. c. Efisiensi Dalam manajemen modern, efisiensi pengelolaan usaha menjadi persyaratan mutlak menghadapi persaingan yang semakin ketat. Pada pasar yang semakin terbuka, harga jual atas suatu produk adalah given (berlaku umum) sehingga untuk meningkatkan keuntungan, efisiensi pengelolaan usaha menjadi alternatif yang paling memungkinkan untuk dilakukan. Salah satu cara yang dapat 17
QS. al An’aam [6]: 59.
16 dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan persediaan adalah menerapkan just in time (JIT). Penerapan nilai kejujuran mendorong setiap pengusaha untuk menghindari penumpukan persediaan karena tidak memberikan kemanfaatan yang berarti. Penumpukan persediaan akan memacu kenaikan pengeluaran non-value added, berupa investasi, yaitu penambahan ruang atau gedung untuk menampung persediaan (gudang) dan kenaikan kebutuhan modal kerja untuk membiayai persediaan, tenaga kerja, penerangan, asuransi, dan administrasi. Penyiapan persediaan yang tidak berlebih akan mendorong pemanfaatan dana yang lebih produktif pada usaha lain. Akibatnya akan tercipta peningkatan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. d. Mengurangi Risiko Setiap pengusaha akan senantiasa mengurangi risiko dalam berusaha agar tingkat kepastian dapat diprediksi dan keuntungan dapat ditingkatkan. Penyedian persediaan yang tidak berlebih akan mengurangi risiko kerusakan, kehilangan, dan penurunan nilai persediaan sehingga dapat mengakibatkan kenaikan keuntungan atau kenaikan kekayaan materi. Penerapan nilai kejujuran mencegah terjadi penumpukan persediaan yang berlebih karena penumpukan persediaan menyebabkan ketidak produktifan kekayaan. Penumpukan persediaan bertentangan dengan ajaran agama ini yang menghendaki produktivitas kekayaan. Dengan demikian, penerapan nilai-nilai Islam ini akan mengurangi tingkat risiko di dalam berusaha, khususnya risiko pengelolaan persediaan dan menghindari perbuatan tercela. e. Hidup Tawaddhu Hidup dalam kesetaraan akan menghindari pemaksaan kehendak pihak tertentu, khususnya mereka yang hidup bergelimang harta untuk memenuhi keinginannya. Sementara yang lain tidak berdaya dan terpaksa harus memenuhi kemauan mereka guna memenuhi kebutuhan hidupnya meskipun terkadang bertentangan dengan norma-norma etika dan agama. Mendapatkan keuntungan sesuai kebutuhan akan mendorong mereka yang kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merasa mendapat bantuan secara langsung. Setiap umat manusia tidak ada yang diagungkan - yang bisa menjerumuskan ke penyembahan kepada sesama umat dan tidak ada umat yang direndahkan martabatnya - yang bisa memunculkan sifat kesombongan. Akibatnya tercipta kehidupan yang lebih rendah diri dan hanya mengagungkan kebesaran Allah swt. f. Hidup Tenteram Setiap makhluk yang diciptakan memiliki hak untuk hidup. Bagi mereka yang mampu berkewajiban membantu sesamanya yang kurang atau tidak mampu. Bagaikan orang tua yang berkewajiban memberi nafkah kepada anak-anaknya tanpa mengharapkan imbalan. Kondisi demikian akan menciptakan hubungan yang harmonis, baik di dalam keluarga maupun di dalam kehidupan bermasyarakat. Semua akan hidup tenteram dalam bingkai kasih sayang. Penerapan nilai-nilai Islam dalam Bisnis akan tercipta kehidupan harmponis dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tidak ada lagi seorang umat manusia yang kelaparan, tidak ada lagi yang berjalan tanpa pakaian, hidup di bawah kolong jembatan, tidak tahu berhitung dan membaca, dan sakit yang diakibatkan ketidak mampuan membayar.
17
g. Percaya, Bukan Curiga Kebiasaan mencurigai merupakan perbuatan yang bukan hanya menyiksa diri sendiri tetapi juga bisa menimbulkan ketidak harmonisan hubungan dengan sesama umat. Sebaliknya, mempercayai orang lain akan membangkitkan ketenangan batin dan menjalin hubungan persaudaraan yang lebih akrab dan rukun. Kepercayaan merupakan fitrah umat manusia dan watak alam semesta. Seorang ibu sangat mempercayai bayinya yang sedang menangis sebagai tanda dia membutuhkan makanan. Demikian juga alam, misalnya matahari bersinar sebagai tanda panas, tumbuh-tumbuhan mengeluarkan oksigen di siang hari dan menarik/menghirup oksigen di malam hari. Semua berlaku jujur untuk bisa bertahan hidup. Penerapan nilai-nilai Islam dalam Bisnis mendorong setiap pelaku bisnis untuk saling mempercayai. Penjual akan berlaku jujur atas spesifikasi produk yang dihasilkan dan percaya kepada pernyataan saudaranya. Sementara pembeli akan berlaku jujur mengungkapkan kemampuan ekonominya jika mereka berkeinginan mendapatkan pengurangan harga dari harga yang berlaku umum dan percaya atas kualifikasi produk yang ditawarkan saudaranya. h. Mengatasi Masalah, Menggapai Keberkahan Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pokok akan berdampak pada rendahnya kualitas kehidupan, pendidikan, kesehatan, dan peribadatan. Di pihak lain, terdapat sebagaian umat manusia yang hidup bergelimang harta benda tetapi merasa kehidupannya belum tenteram dan bahkan masih merasa serba kekurangan dengan hasil yang diperoleh selama ini. Meskipun disadari juga bahwa sebagian dari mereka yang mampu secara ekonomi berusaha membantu sesamanya tetapi terkadang malah menciptakan ketergantungan. Penerapan nilai-nilai ukhuwwah Islam dalam Bisnis akan menjembatani kedua pihak tersebut dengan cara menetapkan harga sesuai kemampuan pembeli. Bagi mereka yang mampu akan membayar sesuai dengan harga yang berlaku umum, sedangkan bagi mereka yang kurang mampu disesuaikan dengan kondisi ekonominya. Dengan demikian, akan tercipta hubungan kasih sayang yang memacu terciptanya kehidupan yang aman dan damai. Bagi yang kurang mampu, akan merasakan terpenuhinya kebutuhan hidup mereka sehingga memudahkan untuk melaksanakan peribadatan dengan baik dan berkesinambungan. Bagi penjual, akan mendapatkan pengobatan batin dengan merasakan kenikmatan menolong sesama. Raut muka pembeli akan memancarkan sinar kesenangan dan kebahagiaan menerima perlakuan tersebut akan menembus masuk ke dalam lubuk sanubari sang penjual sehingga tercipta suasana kedamaian dan kebahagiaan yang sulit dibeli dengan harta benda. Tentunya penentuan harga ini tidak dimaksudkan untuk menciptakan kemalasan berusaha dan ketergantungan, tetapi semata-mata dilandasi rasa kasih sayang. i. Give and Receive Kebiasaan memberi merupakan sunnatullah dan watak dari alam semesta. Matahari memberi cahaya, bumi memberi tempat berpijak, udara memberi oksigen, sungai memberi air. Mereka semua memberi tanpa mengharapkan imbalan dan tanpa sedikit pun berkurang pada dirinya. Demikian juga Allah swt senantiasa memberi tanpa sedikit pun meminta bayaran dari manusia. Tidak dapat disangkal lagi, memberi kepada siapa saja akan berdampak positif kepada pemberinya (Losier, 2006: 17). Minimal ada dua dampak dari memberi, yaitu: pertama, seperti adagium lama yang menyatakan, „siapa yang
18 menanam, dia pulalah yang menuainya‟. Ini merupakan sunnatullah yang tidak akan pernah berubah. Kedua, pemberian sifatnya kekal dan cenderung berkembang, semacam kekekalan energi (Ismail, 2010: 1). Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah [pemberian sesuai tuntunan-Nya] akan kekal” (QS an-Nahl [16]: 96) dan “sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah [pemberian], itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS an-Nahl [16]: 95). Dengan demikian, kebiasaan memberi akan menghasilkan sesuatu (give and receive) dan bukan menerima atau meminta kemudian memberi (take and give). Kebiasaan memberi bukan hanya dimaksudkan untuk win-win solution tetapi lebih dari itu, yaitu menuju kepada kebesaran (greatness) dan kebahagiaan (happiness) yang kekal (Ismail, 2010: 1). Konsep harga jual berbasis kehambaan merupakan konsep harga jual yang memberi kepada pelanggan dan bukan meminta harga dari pelanggan sebagaimana konsep harga jual konvensional. Keputusan besarnya harga jual ditentukan sepenuhnya oleh pembeli dan penjual hanya menerima hasil penjualan berapapun besarnya. j. Bisnis adalah Ibadah Dikotomi antara bisnis dengan ibadah dalam paham materialis mendorong praktik-praktik bisnis tidak lagi memperhatikan nilai-nilai moral. Dalam pandangan mereka, keberhasilan di dalam berusaha apabila mampu meningkatkan materi sehingga apapun bisa dilakukan yang penting kinerja keuangan meningkat (Estees, 1996: 43). Sementara di dalam Islam, setiap aktivitas yang dilakukan dapat dianggap sebagai ibadah sepanjang dilakukan dengan niat yang tulus dan dilaksanakan dengan ikhlas. Penerapan nilai-nilai Islam dalam bisnis merupakan penjabaran dari aktivitas peribadatan yang hanya mengharapkan datangnya rezeki dari Sang Penabur Rezeki. Dengan demikian, orientasi bisnisnya bukan dengan manusia tetapi dengan Tuhan-nya. Segala yang dia usahakan hanya untuk memenuhi ketentuan-Nya. Dia tidak akan menggantungkan dirinya kepada pelanggan dengan meminta untuk memenuhi harga yang ia tetapkan tetapi ia serahkan penetapan harganya kepada Sang Penentu Harga. Tidak ada penyesalan atas harga yang terjadi karena semua itu dilakukan dengan ikhlas sebagai tanda pengabdian kepada-Nya. k. Saling Membutuhkan Di dalam penerapan nilai ukhuwwah, penjual dan pembeli merupakan satu kesatuan yang dapat mengangkat harkat hidup di antara mereka. Penjual tidak akan mendapatkan kinerja optimal tanpa adanya pembeli dan hidupnya tidak akan berarti. Oleh karena itu, seorang penjual akan berusaha seoptimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan pembeli, karena tanpa usaha itu, kehidupannya tidak akan bermakna. Dengan demikian, dia akan berusaha untuk memuaskan pelanggannya tanpa harus mengabaikan ketentuan yang berlaku. Demikian juga halnya dengan pembeli, akan mencari penjual yang dapat memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan dunia maupun kebutuhan akhirat. Kebutuhan dunia diperoleh dari fisik produk yang diterima meskipun dengan harga yang relatif rendah tetapi sebagai tanda syukurnya mereka akan berusaha mendoakan penjual agar usahanya semakin berkembang. Dengan demikian, akan tercipta hubungan yang saling menguntungkan.
19 Referensi -----------------------.2001. Al Q’uran dan Terjemahannya. Percetakan Al Qur‟anul Karim Kepunyaan Raja Fadh. Madina Al-Munawwarah. Abdullah, Amin. 2007. Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN: dari Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Integratif-Interkoneksf. Dalam Amin Abdullah, dkk. Islamic Studies dalam Paradigma Interkoneksi (Sebuah Antologi). Suka Press. Yogyakarta. Abdullah, Amin. 2004. Filsafat Islam bukan hanya Sejarah Pemikiran. Sebuah Penngantar dalam A. Khudori Shaleh. Wacana Baru Filsafat Islam. Tiara Wacana. Yogyakarta. Afzalurrahman. 1982. Muhammad sebagai Seorang Pedagang. Terjemahan Dewi Nurjulianti, dkk. 2000. Yayasan Swarna Bhumy. Jakarta. Al-Ghazali. 2008. Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin: Ringkasan yang Ditulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam. Mizan. Bandung. Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. 2003. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Khalifa. Jakarta. Alimuddin. 2011a. Konsep Harga Jual Mashlahah Berbasis Nilai-nilai Islam. Program Doktor Ilmu Akuntansi Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Malang. Alimuddin. 2011b. Islamic Pricing Concept Based on Ukhuwwah Value. International Seminar and Conference 2011 on Islamic Economics: Bridging Ideas and Realities Towards Economics Development Sustainability in Emerging Islamic Economic Contries; Islamic Economics in Macro and Micro Perspectives. The Faculty of Economics Universitas Negeri Jakarta. 11 – 12 Oktober. Jakarta. Alimuddin. 2010. Digging in the Hillside: Uncovering the Motivation and Performance of Moslem Entrepreneurs. International Seminar: Towards Knowledge Society. Post-Graduate Program, Brawijaya University, 2nd - 3rd March, Malang. Alimuddin. 2008. Tyranny of the Bottom Line: Tinjauan Kritis terhadap Konsep Kinerja Akuntansi. JAM, Jurnal Aplikasi Manajemen. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya. Malang. Volume 6. Nomor 3. Desember. Halaman 447-457. Al-Mishri, Mahmud. 2008. Hiduplah Bersama Orang-orang Jujur; Langkah Mudah Menikmati Hidup Penuh Berkah. Pustaka Arafah. Solo. Arif, Mahmud. 2008. Pendidikan Islam Transformatif. LKIS. Yogyakarta. Ayub, Muhammad. 2009. Understanding Islamic Finance. Terjemahan Aditya Wisnu Pribadi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Bell, D.C. 2001. Evolution of Parental Caregiving. Personality and Social Psychology Review. Vol 5. Halaman 216-229. Estes, W. Ralph. 1996. Tyranny of the Bottom Line: Why Corporations Make Good People Do Bad Things. Diterjemahkan Nur Basuki Rachmanto. 2005.
20 Tyranny of the Bottom Line: Mengapa Banyak Perusahaan Membuat Orang Baik Bertindak Buruk, Terjemahan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Ismail A. Ilyas. 2010. Memberi bukan Meminta. Republika. 23 Desember. Halaman 1. Kahhar, Joko S. dan Abu R. Fathillah. 2007. Glosarium al-Qur’an dan Ragam Istilah dalam Islam. Sajadah Press. Yogyakarta. Khadduri, Majid. 1984. The Islamic Conception of Justice. Zoerni, H. Mochtar dan Joko S. Kahhar (Penerjemah). Teologi Keadilan, Perspektif Islam. Risalah Gusti. Surabaya. Losier, J. Michael. 2006. Law of Attraction. Arif Subiyanto (Penerjemah). Law of Attraction; Mengungkap Rahasia Kehidupan. Ufuk Press. Jakarta. McAndrew, F.T. 2002. New Evolutionary Perspectives on Altruism: Multilevelselection and Costly-Signaling Theories. Current Directions in Psychology. Vol. 11. Halaman 79-82. Purnamasari, Dian dan Triyuwono, Iwan. 2011.Tafsir Hermeneutika Intensionisme atas “Laba” Yayasan Pendidikan. Jurnal Akuntansi Multiparadigma. Vol.1 No. 3. Halaman 489-513. Qardhawi, Yusuf. 2000b. Sunnah Rasul: Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Gema Insani Press. Jakarta. Qardhawi, Yusuf. 2004. Ikhlas; Sumber Kekuatan Islam. Gema Insani. Jakarta. Qardhawi, Yusuf. 2000a. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Gema Insani Press. Jakarta. Shihab, M. Quraish. 1997. Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan. Bandung. Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju Nilai. Pustaka Bani Quraisy. Bandung Sumarna, Cecep. 2005. Rekonstruksi Ilmu; dari Empirik-Rasional Ateistik ke Empirik- Rasional Teistik.Benang Merah Press. Bandung. Taylor, Shelley E., Letitia Anne Peplau, dan David O. Sears. 2009. Psikologi Sosial. Prenada Media Group. Jakarta. Trivers, Robert L. 1971. The Evolution of Reciprocal Altruism. Quarterly Review of Biology. Vol 46. Halaman 35-37.