PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus Rt 02 Rw 07 Kelurahan Benua Melayu Laut, Kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat)
MERY SILALAHI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ABSTRACT
MERY SILALAHI, Community Based Waste Domestic Management. A Case Study in RT 2 RW 07 Benua Melayu Laut Village, Pontianak Selatan District, Pontianak City, West Kalimantan. Under the supervision of ARYA HADI DHARMAWAN and ADI FAHRUDIN. Community based waste domestic management is one alternative to deal with the waste problem in Pontianak City, and it is supported by the government as well as the society, NGO, and profit agency. The aims of this study are as follow: 1) To make out the pattern of community based waste domestic management in Dwi Ratna Real Estate community in Pontianak City; 2) To comprehend the development of community based waste domestic management for the community of Kapuas Riverside in Pontianak City; 3) The identify the problem of waste domestic management dealt by the community that levis in Kapuas Riverside in Pontianak City; 4) To develop the form of community based waste domestic management programme which can be used for the community of Kapuas Riverside in Pontianak City. The research method used in this community development study is the qualitative approach. Data collecting technique used are (1) Semi-structured interview, (2) FGD, (3) Observation. The conclusion drawn from study conducted in community based waste domestic management RT 02 RW 07 Benua Melayu Laut Village, Pontianak Selatan District using learning transplantation from Dwi Ratna Real Estate area and waste management system in riverside community of Pontianak City are as follow: 1) Community based waste domestic management implementation by Dwi Ratna Real Estate community by means of compost fertilizer production is carried out individually and by mean of handmade craft production is carried out in group; 2) The waste domestic management development in Kapuas Riverside require community and technology development supported by the government; 3) The riverside community has not conducted waste domestic management for the waste is thrown into the river or burned. The problems faced by the community in order to conduct the waste domestic management include the leadership of household, the government and community communication, compost fertilizer marketing, the lack of training, the lack of simple technology which can be used by the people, and the lack of government policy to encourage the community to conduct waste domestic management; 4) The programme is conducted in the level of government, society, and the combination of government and society.
RINGKASAN
MERY SILALAHI, Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat. Studi Kasus RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut, Kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dibimbing oleh : ARYA HADI DHARMAWAN sebagai ketua, ADI FAHRUDIN sebagai anggota komisi pembimbing. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat merupakan salah satu alternatif untuk menangani masalah sampah di Kota Pontianak yang didukung oleh semua pihak baik pemerintah, masyarakat, LSM dan swasta. Adapun tujuan kajian ini adalah 1) Mengetahui pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat di komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna di Kota Pontianak; 2) Memahami pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat bagi komunitas pinggir Sungai Kapuas di Kota Pontianak; 3) Mengidentifikasi masalah pengelolaan sampah yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di pinggir Sungai Kapuas di Kota Pontianak; 4) Mengembangkan bentuk program pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dapat dibangun bagi komunitas pinggir Sungai Kapuas di Kota Pontianak. Metode penelitian yang digunakan dalam kajian pengembangan masyarakat ini adalah pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu (1) Wawancara semi-terstruktur, (2) FGD, (3) Observasi. Pengolahan data dilakukan dengan cara unitasi data, kategorisasi data dan analisis dan interprestasi data yang ada. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat telah diterapkan oleh warga Kompleks Perumahan Dwi Ratna. Pengelolaan sampah tersebut menghasilkan pupuk kompos dan kerajinan tangan. Pembuatan pupuk kompos dari sampah dilakukan secara individu di rumah masing-masing. Sedangkan pembuatan kerajinan tangan dari sampah dilakukan secara kelompok dengan mengumpulkan bungkusan yang bisa dibuat kerajinan tangan di rumah ketua RT. Pola ini dipandang cocok untuk dikembangkan di komunitas pinggir sungai. Pengembangan pengelolaan sampah di pinggir sungai memerlukan upaya pengembangan masyarakat dan pengembangan teknologi yang didukung oleh pemerintah. Pengembangan masyarakat yang dapat dilakukan dengan pembentukan kelompok pengelola sampah. Dengan adanya kelompok pengelola sampah yang bertanggungjawab untuk pengolahan sampah dan masyarakat bertanggungjawab untuk memilah sampah dan membuang sampah ketempat pengolahan sampah. Sedangkan pengembangan teknologi pengelolaan sampah yang dilakukan dengan peranserta masyarakat dan pemerintah. Pemerintah yang menfasilitasi pengembangan teknologi pengelolaan sampah sedangkan masyarakat yang melaksanakan teknologi yang telah dikembangkan oleh pemerintah.
Masyarakat di pinggir sungai belum pernah melakukan pengelolaan sampah karena selama ini sampah dibuang ke sungai atau di bakar. Pelayanan pengangkutan sampah oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan belum pernah dilakukan untuk daerah di pinggir sungai mengingat jalan yang tidak dapat dilalui oleh mobil angkutan. Keadaan tersebut yang telah bertahun-tahun masyarakat di pinggir sungai alami. Hal ini menunjukkan masyarakat belum mampu mengelola sampah. Ketidaktahuan masyarakat di pinggir sungai mengelola sampah dapat diatasi dengan modal sosial yang masyarakat miliki. Pengelolaan sampah yang cocok di masyarakat pinggiran sungai adalah pengelolaan sampah yang dilakukan secara komunal dengan pembentukan kelompok sampah. Kesimpulan yang diperoleh dengan dari kajian yang dilakukan di RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut Kecamatan Pontianak Selatan dengan transplantasi pembelajaran dari komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna adalah sebagai berikut: 1) Pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang diterapkan oleh komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna dengan membuat pupuk kompos dilakukan secara individu dan membuat kerajinan tangan dilakukan dengan kelompok; 2) Pengembangan pengelolaan sampah dipinggiran Sungai Kapuas memerlukan pengembangan masyarakat dan pengembangan teknologi yang didukung oleh pemerintah; 3) Masyarakat dipinggiran sungai belum pernah melakukan pengelolaan sampah karena selama ini sampah dibuang kesungai atau dibakar. Permasalahan yang dihadapi masyarakat untuk dapat melaksanakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah kepemimpinan ketua RT, komunikasi pemerintah dan masyarakat, pemasaran penjualan pupuk kompos, belum adanya pelatihan, belum memiliki teknologi yang sederhana dapat digunakan oleh masyarakat dan belum adanya kebijakan pemerintah untuk mendorong masyarakat melakukan pengelolaan sampah; 4) Program dilakukan pada aras pemerintah, masyarakat dan campuran masyarakat dan pemerintah.
PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus Rt 02 Rw 07 Kelurahan Benua Melayu Laut, Kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat)
MERY SILALAHI
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
iv
RINGKASAN
MERY SILALAHI, Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat. Studi Kasus RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut, Kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dibimbing oleh : ARYA HADI DHARMAWAN sebagai ketua, ADI FAHRUDIN sebagai anggota komisi pembimbing. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat merupakan salah satu alternatif untuk menangani masalah sampah di Kota Pontianak yang didukung oleh semua pihak baik pemerintah, masyarakat, LSM dan swasta. Adapun tujuan kajian ini adalah 1) Mengetahui pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat di komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna di Kota Pontianak; 2) Memahami pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat bagi komunitas pinggir Sungai Kapuas di Kota Pontianak; 3) Mengidentifikasi masalah pengelolaan sampah yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di pinggir Sungai Kapuas di Kota Pontianak; 4) Mengembangkan bentuk program pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dapat dibangun bagi komunitas pinggir Sungai Kapuas di Kota Pontianak. Metode penelitian yang digunakan dalam kajian pengembangan masyarakat ini adalah pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu (1) Wawancara semi-terstruktur, (2) FGD, (3) Observasi. Pengolahan data dilakukan dengan cara unitasi data, kategorisasi data dan analisis dan interprestasi data yang ada. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat telah diterapkan oleh warga Kompleks Perumahan Dwi Ratna. Pengelolaan sampah tersebut menghasilkan pupuk kompos dan kerajinan tangan. Pembuatan pupuk kompos dari sampah dilakukan secara individu di rumah masing-masing. Sedangkan pembuatan kerajinan tangan dari sampah dilakukan secara kelompok dengan mengumpulkan bungkusan yang bisa dibuat kerajinan tangan di rumah ketua RT. Pola ini dipandang cocok untuk dikembangkan di komunitas pinggir sungai. Pengembangan pengelolaan sampah di pinggir sungai memerlukan upaya pengembangan masyarakat dan pengembangan teknologi yang didukung oleh pemerintah. Pengembangan masyarakat yang dapat dilakukan dengan pembentukan kelompok pengelola sampah. Dengan adanya kelompok pengelola sampah yang bertanggungjawab untuk pengolahan sampah dan masyarakat bertanggungjawab untuk memilah sampah dan membuang sampah ketempat pengolahan sampah. Sedangkan pengembangan teknologi pengelolaan sampah yang dilakukan dengan peranserta masyarakat dan pemerintah. Pemerintah yang menfasilitasi pengembangan teknologi pengelolaan sampah sedangkan masyarakat yang melaksanakan teknologi yang telah dikembangkan oleh pemerintah.
v
Masyarakat di pinggir sungai belum pernah melakukan pengelolaan sampah karena selama ini sampah dibuang ke sungai atau di bakar. Pelayanan pengangkutan sampah oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan belum pernah dilakukan untuk daerah di pinggir sungai mengingat jalan yang tidak dapat dilalui oleh mobil angkutan. Keadaan tersebut yang telah bertahun-tahun masyarakat di pinggir sungai alami. Hal ini menunjukkan masyarakat belum mampu mengelola sampah. Ketidaktahuan masyarakat di pinggir sungai mengelola sampah dapat diatasi dengan modal sosial yang masyarakat miliki. Pengelolaan sampah yang cocok di masyarakat pinggiran sungai adalah pengelolaan sampah yang dilakukan secara komunal dengan pembentukan kelompok sampah. Kesimpulan yang diperoleh dengan dari kajian yang dilakukan di RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut Kecamatan Pontianak Selatan dengan transplantasi pembelajaran dari komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna adalah sebagai berikut: 1) Pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang diterapkan oleh komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna dengan membuat pupuk kompos dilakukan secara individu dan membuat kerajinan tangan dilakukan dengan kelompok; 2) Pengembangan pengelolaan sampah dipinggiran Sungai Kapuas memerlukan pengembangan masyarakat dan pengembangan teknologi yang didukung oleh pemerintah; 3) Masyarakat dipinggiran sungai belum pernah melakukan pengelolaan sampah karena selama ini sampah dibuang kesungai atau dibakar. Permasalahan yang dihadapi masyarakat untuk dapat melaksanakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah kepemimpinan ketua RT, komunikasi pemerintah dan masyarakat, pemasaran penjualan pupuk kompos, belum adanya pelatihan, belum memiliki teknologi yang sederhana dapat digunakan oleh masyarakat dan belum adanya kebijakan pemerintah untuk mendorong masyarakat melakukan pengelolaan sampah; 4) Program dilakukan pada aras pemerintah, masyarakat dan campuran masyarakat dan pemerintah.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PRAKATA
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke Khadirat Illahi Robbi, bahwa pada kesempatan yang baik ini penulis telah mendapat limpahan anugrah yang tak terhingga. Berkat izin dan ridho-Nya, penulisan tesis ini bisa diselesaikan sebagaimana mestinya, walaupun tidak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini disadari dan diakui karena terbatasnya pengetahuan, pengalaman dan wawasan yang penulis miliki. Tesis ini berjudul “Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat (Studi Kasus RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut, Kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak)”. Penulisan ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Profesional di Institut Pertanian Bogor. Pengalaman yang berharga dalam proses penulisan tesis ini dengan berbagai kesulitan, hambatan dan tantangan tetapi juga kenangan yang dialami terutama dalam proses penelitian dilapangan, satu dan lain hal dalam bentuk kendala pada akhirnya bisa dilalui sampai terselesainya tugas ini. Dalam menyelesaikan tesis ini, penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya kepada: 1. Bapak Dr. Arya H. Dharmawan, selaku ketua komisi pembimbing yang dengan sabar dan tekun telah membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini; 2. Bapak Adi Fahrudin, Ph.D , selaku anggota komisi pembimbing yang dengan sabar dan tekun telah membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini; 3. Dosen penguji dalam seminar dan ujian penelitian, atas kritik dan arahan sehingga tesis ini menjadi lebih baik; 4. Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Pontianak, atas izinnya melaksanakan penelitian di lapangan; 5. Rekan kerja di dinas-dinas Kota Pontianak, atas izin dan dorongannya, sehingga penulis mampu merampungkan penulisan tesis ini; 6. Masyarakat Kampung Kamboja khususnya komunitas di RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut, atas kerjasama dan informasinya; 7. Rekan-rekan sekelas MPM V STKS-IPB dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas bantuan yang telah banyak diberikan; 8. Pada akhirnya, kepada keluargaku atas dukungan materi, spiritual dan pengertiannya. Semoga tesis ini bermanfaat untuk pendidikan, khususnya meningkatkan kebersihan Kota Pontianak dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Bogor,
Januari 2009 Mery Silalahi
RIWAYAT HIDUP
Terlahir sebagai anak keenam dari pasangan Jasper Perlindungan Silalahi dan Julia Simanjuntak pada tanggal 14 Juli 1982, penulis lahir di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Pada tahun 1992, penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 32, tahun 1998 menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1, dan tahun 2001 tamat pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 1; semuanya di Pontianak. Kemudian tahun 2001 sampai dengan 2005, penulis berkesempatan untuk menjalani program pendidikan Diploma IV di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Jatinangor Sumedang. Semasa di STPDN, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun kedua di sekolah kedinasan tersebut. Setelah lulus pada tahun 2005, penulis ditugaskan di lingkungan Pemerintah Kota Pontianak. Penulis diberikan kepercayaan sebagai staf Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Kota pada tahun 2005. Pada tahun 2007, penulis tergerak untuk kembali memasuki dunia akademis melalui kesempatan yang diberikan oleh Departemen Sosial yang memberikan beasiswa untuk program pascasarjana Magister Profesional Pengembangan Masyarakat kerja sama Institut Pertanian Bogor dengan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung.
x
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ..............................................................................................xii DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................xiii DAFTAR MATRIKS ..........................................................................................xiv DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................xv I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Permasalahan...................................................................................... 4 1.3 Tujuan Kajian ..................................................................................... 6 1.4 Kegunaan Kajian ............................................................................... 7
II.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Penelitian Sebelumnya ......................................................8 2.2 Penanganan Sampah Berbasis Masyarakat ......................................14 2.3 Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah ................16 2.4 Pengolahan Sampah .........................................................................17 2.5 Pengelolaan Lingkungan Sosial .......................................................22 2.6 Komunikasi Kelompok dalam Memecahkan Masalah ....................24 2.7 Kepemimpinan dan Komunikasi Kelompok ....................................25 2.8 Perempuan sebagai Pusat Dapur ......................................................26 2.9 Modal Sosial ....................................................................................27 2.10 Strategi Pengembangan Kelembagaan ..............................................29 2.11 Kerangka Pemikiran ..........................................................................31
III.
METODE PENELITIAN 3.1 Batas Kajian ........................................................................................34 3.2 Strategi Kajian.....................................................................................34 3.3 Tempat dan Waktu Kajian ..................................................................34 3.4 Metode Pengumpulan Kajian ..............................................................35 3.5 Analisis Data .......................................................................................37 3.6 Penyusunan Rancangan Kajian ...........................................................38
IV.
PETA SOSIAL KELURAHAN BENUA MELAYU LAUT KECAMATAN PONTIANAK SELATAN KOTA PONTIANAK 4.1 Lokasi ...................................................................................................40 4.2 Struktur Penduduk................................................................................41 4.3 Mobilitas Penduduk .............................................................................44 4.4 Struktur Nafkah ....................................................................................45 4.5 Struktur Sosial ......................................................................................46 4.5.1 Organisasi Sosial ........................................................................46 4.5.2 Pelapisan Sosial ..........................................................................48 4.5.3 Jejaring Sosial ............................................................................48 4.6 Masalah Sosial .....................................................................................50 4.7 Ikhtisar .................................................................................................52
xi
V.
EVALUASI SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA PONTIANAK 5.1 Gambaran Manajemen dan Organisasi Pengelolaan Sampah di Kota Pontianak ..................................................................................54 5.2 Rencana Strategi Pengelolaan Sampah Tahun 2005 – 2009 .............55 5.3 Teknik Operasionalisasi Pengelolaan Sampah Pasar .........................58 5.4 Pengelolaan Sampah di Wilayah Pemukiman Penduduk Kota Pontianak ...........................................................................................61 5.5 Pengelolaan Sampah Pola Insenerator di Kota Pontianak .................70 5.6 Anggaran Pengelolaan Sampah Kota .................................................73 5.7 Pengaturan Pengelolaan Sampah di Kota Pontianak ........................77 5.8 Pola Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Kecamatan Pontianak Utara ..................................................................................78 5.9 Masalah Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat dan Non- Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat .........................................................................................81 5.10 Ikhtisar ...............................................................................................84
VI.
PEMBELAJARAN PRAKTEK PENGEMBANGAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT DI KOMUNITAS PINGGIRAN SUNGAI KAPUAS DI KECAMATAN PONTIANAK SELATAN 6.1 Pendahuluan .......................................................................................87 6.2 Kondisi Sosial Kemasyarakatan Sebelum Adanya Proses Pembelajaran .......................................................................................89 6.2.1 Pelaksanaan Pengelolaan Sampah ............................................89 6.2.2 Modal Sosial di Komunitas .......................................................92 6.2.3 Ketidakberdayaan Komunitas dalam Pengelolaan Sampah .....95 6.3 Inisiatif Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat ...........................97 6.4 Pengembangan Kelembagaan Di Empat Ruang Stakeholder .............105 6.5 Ikhtisar ................................................................................................113
VII. PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT 7.1 Pendahuluan .......................................................................................116 7.2 Program Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Ruang Pemerintah .........................................................................................116 7.3 Program Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Ruang Masyarakat .........................................................................................121 7.4 Program Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Ruang Pemerintah dan Masyarakat ...............................................................133 7.5 Ikhtisar ...............................................................................................135 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ..........................................................................................157 8.2 Saran.....................................................................................................158 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................144 LAMPIRAN .......................................................................................................149
DAFTAR TABEL
Halaman 2.1 Perbandingan Pengelolaan Sampah oleh Pemerintah dan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat ......................................................................... 11 3.1 Jadwal Pelaksanaan Kajian ............................................................................. 35 4.1 Orbitrasi, Jarak dan Waktu Tempuh ke Kelurahan ......................................... 40 4.2 Jumlah Penduduk menurut Kumulatif Umur .................................................. 42 4.3 Jumlah Penduduk Komunitas RT 2 RW 07 ................................................... 43 4.4 Jumlah Penduduk Menurut Agama ................................................................. 44 4.5 Mutasi Penduduk............................................................................................. 44 4.6 Mata Pencaharian Penduduk ........................................................................... 46 5.1 Data Volume Sampah di Pasar Kota Pontianak, 2007 .................................... 59 5.2 Daftar Armada Pengangkutan Sampah untuk Pemukiman Penduduk Kota Pontianak ................................................................................................ 62 5.3 Tempat Penampungan Sementara di Kota Pontianak ..................................... 67 5.4 Jumlah Tempat Penampungan Sementara Liar di Kota Pontianak ................. 67 7.1 Program Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Ruang Pemerintah .. 137 7.2 Program Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di RuangMasyarakat .... 141 7.3 Program Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Ruang Pemerintah dan Masyarakat ............................................................................ 154
DAFTAR GAMBAR
Halaman 2.1 Pengelolaan Sampah Oleh Pemerintah yang diolah........................................ 8 2.2 Operasional Teknis Pengolahan Sampah (Damanhuri dan Padmi,2005) ....... 21 2.3 Perempuan Sebagai Pusat Rumah Tangga ...................................................... 26 2.4 Kerangka Kebijakan untuk Pengembangan Kelembagaan dan Kawasan Berbasis Masyarakat ....................................................................................... 30 2.5 Kerangka Pemikiran Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat ................... 33 4.1 Komposisi Penduduk Kelurahan Benua Melayu Laut ................................... 42 4.2 Komposisi Penduduk Komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut .................................................................................................... 43 4.3 Jaringan Masyarakat terhadap Pemerintah...................................................... 49 4.4 Jaringan Masyarakat dalam Partai Politik ....................................................... 49 4.5 Jaringan Masyarakat dalam Program NUSSP................................................. 50 5.1 Rencana Strategi Pengelolaan Sampah Kota Pontianak ................................. 56 5.2 Operasionalisasi Pengelolaan Sampah di Pasar .............................................. 61 5.3 Operasionalisasi Pengangkutan Sampah di Wilayah Kota Pontianak ............ 69 5.4 Operasionallisasi Pengangkutan Sampah Untuk Insenerator .......................... 72 5.5 Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Kecamatan Pontianak Utara .............................................................................................................. 80
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2 3 4
Kegiatan Pelatihan Komposting Dan Pembuatan Tempat Sampah ............. 166 Pembuatan Pupuk Kompos dalam Skala Rumah Tangga ........................... 169 Pembuatan Pupuk Kompos dalam Skala Besar ........................................... 170 Informan Program dan Kehidupan Komunitas Pinggir Sungai ................... 171
DAFTAR MATRIKS
Halaman 2.1 Kelebihan dan Kelemahan Alternatif Sistem Pengolahan Sampah ................. 19 3.1 Tujuan dan Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 36 4.1 Telaahan Pemetaan Sosial ................................................................................. 52 5.1 Telaahan Evaluasi Pengelolaan Sampah di Kota Pontianak ............................. 84 6.1 Kondisi Komunitas Perumahan Dwi Ratna dan Pinggir Sungai ....................... 87
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca ke atmosfer pada tingkat tertentu sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi/perubahan iklim disahkan dengan Protokol Kyoto. Dalam konteks perubahan iklim, khususnya dalam implementasi Protokol Kyoto melalui CDM (Clean Development Mechanism). Pengembangan proyek CDM dapat dilakukan oleh berbagai pihak, misalnya lembaga pemerintah, lembaga nonpemerintah atau sektor swasta. Untuk melaksanakan hal tersebut perlu meningkatkan kesadaran masyarakat dalam arti luas, termasuk kalangan pemerintah di berbagai sektor, masyarakat madani, masyarakat ilmiah, dan pelaku bisnis. Masalah mendesak yang harus ditangani dalam rangka meningkatkan kesadaran pemerintah adalah pentingnya melakukan pengurastamaan (main streaming) pembangunan berkelanjutan ke dalam sektorsektor pembangunan salah satunya adalah masalah sampah. Masyarakat madani memiliki persoalan sendiri dalam rangka memberikan kontrol terhadap program pemerintah tentang penanganan program sampah yang berhubungan dengan kepentingan publik. Oleh karena itu, dalam rangka peningkatan kesadaran kelompok ini dan peningkatan peran mereka, penekanan perlu diberikan kepada pentingnya proses yang partisipatif. Permasalahan dalam penanganan sampah terjadi karena ketidakseimbangan antara produksi dengan kemampuan dalam pengelolaannya, volume sampah terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, perubahan kualitas hidup dan dinamika kegiatan masyarakat. Sampah yang tidak dikelola menyebabkan gangguan kesehatan karena sarang penyakit, menjijikkan dan menimbulkan bau yang tidak sedap, pencemaran tanah, air, dan berkurangnya nilai kebersihan dan keindahan lingkungan.
Sistem pengelolaan sampah perkotaan yang sudah ada selama ini adalah pengumpulan/pewadahan, pemindahan/pengangkutan, pemusnahan/penggurugan melalui Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya atau Perusahaan Daerah Kebersihan yang mengangkut sampah dari Tempat Penampungan Sementara - Tempat Penampungan Sementara (TPS-TPS) menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sistem ini dianggap belum optimal, karena kelemahan dalam manajemen operasional dan keterbatasan biaya operasional ditambah dengan langkanya tenaga profesional dalam penanganan sampah merupakan faktor utama permasalahan tersebut. Selain itu permasalahan yang dihadapi dalam teknis operasional persampahan kota diantaranya: kapasitas peralatan yang belum memadai, pemeliharaan alat yang kurang, sulitnya pembinaan tenaga pelaksana khususnya tenaga harian lepas, sulit memilih metode operasional yang sesuai dengan kondisi daerah, siklus operasi
persampahan
tidak
lengkap/terputus
karena
berbedanya
penanggungjawab, koordinasi sektoral antar birokrasi pemerintah seringkali lemah, manajemen operasional lebih dititikberatkan pada aspek pelaksanaan, pengendalian lemah, dan perencanaan operasional seringkali hanya untuk jangka pendek (Damanhuri dan Padmi, 2005). Oleh karena itu, sistem ini akan diintegrasikan ke dalam sistem baru yaitu pengelolaan sampah berbasis masyarakat, agar menutupi beberapa kelemahan dari sistem ini. Untuk mengatasi permasalahan ini dilakukan dengan sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat, karena masyarakat sebagai produsen sampah dan masyarakat pula yang akan menikmati lingkungan bersih dan higienis bila persoalan sampah bisa ditangani secara baik. Kelebihan pengelolaan sampah berbasis masyarakat sebagai berikut: 1. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam pengelolaan sampah. 2. Pengelolaan sampah dilakukan pada tingkat rumah tangga. 3. Pelaksanaan, perencanaan dan pengawasaan pengelolaan sampah dilakukan oleh masyarakat. Sistem ini akan mengadopsi sistem pengelolaan persampahan yang sudah ada dengan menambahkan potensi kelembagaan RT dipacu untuk aktif berperan dan
juga sekaligus mengawasi. Pengelolaan sampah yang diterapkan di Kota Pontianak selama ini adalah dikumpulkan, ditampung di TPS dan akhirnya dibuang ke TPA. Pengelolaan sampah ini menyebabkan penumpukan sampah di setiap lini rumah tangga, TPS dan TPA. Secara internal keadaan ini disebabkan kurang tersedianya sarana dan prasarana pengumpulan, keterbatasan armada personil kebersihan dan sulitnya mencari lembaga swadaya yang dapat bermitra dengan pemerintah dalam pengelolaan sampah secara baik. Selain itu keterbatasan lahan yang digunakan sebagai TPA karena semakin sulitnya memperoleh ruang yang pantas dan jaraknya semakin jauh dari pusat kota, serta diperlukannya dana yang besar untuk pembebasan lahan TPA, merupakan faktor eksternal yang turut mempengaruhi permasalahan persampahan tersebut. Kondisi diatas mendorong upaya pengelolaan sampah kota yang lebih baik berdasarkan pada usaha pengelolaan sampah sedini mungkin, sedekat mungkin dari sumbernya dan sebanyak
mungkin
mendayagunakan
kembali
sampah.
Perubahan
pola
pembuangan sampah serta meningkatnya pemanfaatan dan pengolahan sampah yang lebih baik melalui proses Reduce, Reuse, dan Recycle, dan Composting (3RC). Ditinjau dari segi ekonomi usaha daur ulang dan pengkomposan sampah kota memiliki nilai ekonomis karena sampah diperoleh menjadi barang yang berguna. Oleh karena itu apabila usaha pemanfaatan sampah dapat terlaksana dengan baik, dapat mengatasi masalah ekologi yaitu keterbatasan lahan untuk TPA pada Kota Pontianak yang sudah padat dan pencemaran lingkungan akibat sampah yang tidak terangkut. Selain itu usaha ini juga dapat memberikan manfaat ekonomi yaitu sampah bisa menghasilkan uang bagi masyarakat dengan komposting dan mengatasi permasalahan keterbatasan sumber dana pengelolaan sampah yang selama ini menjadi kendala pemerintah. Di samping itu dari sisi sosial dapat meningkatkan pendapatan penduduk merupakan salah satu penanggulangan kemiskinan dengan membuka lapangan pekerjaan. Pengelolaan sampah pada skala komunal memerlukan peran institusi lokal pada komunitas. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan pengkajian pengelolaan sampah berbasis masyarakat pada tingkat mikro yaitu RT dengan menggunakan peran institusi lokal yang ada
di komunitas dengan konsep modal sosial, pengelolaan lingkungan sosial dan kolaborasi antar stakeholder. Setiap masyarakat memiliki kapasitas untuk mengatasi masalah mereka sendiri, dalam hal ini masalah pengelolaan sampah. Kapasitas masyarakat dapat dikaji dengan menggunakan konsep modal sosial untuk pengorganisasian komunitas dalam pembentukan kelompok pengelolaan sampah untuk merubah paradigma perilaku masyarakat mulai dari tingkat keluarga untuk memilah dan memilih sampah. Dalam hal pengukuran keberlanjutan pengelolaan sampah berbasis masyarakat tersebut dikaji dari konsep pengelolaan lingkungan sosial. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat tidak lepas dari peran pemerintah sebagai institusi yang memberikan pelayanan penanganan sampah di masyarakat sehingga perlu dilakukan kolaborasi antar stakeholder. Dengan adanya pengkajian ini akan memperoleh strategi pengembangan masyarakat dengan program pada ruang pemerintah, masyarakat dan campuran pemerintah dan masyarakat. Diharapkan ini dapat menjadi pedoman dalam rangka merealisasikan UndangUndang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah khususnya di Kota Pontianak terutama daerah di pinggiran Sungai Kapuas yang belum mendapatkan pelayanan pengangkutan sampah.
1.2 Permasalahan
Salah satu komunitas di Kota Pontianak yaitu di Kompleks Perumahan Dwi Ratna telah menerapkan pengelolaan sampah yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat dalam menerapkan pola 3RC dengan cara membuat kompos dan hasil kerajinan tangan dari sampah. Pembuatan kompos dilakukan pada tingkat rumah tangga secara individu dan pembuatan kerajinan tangan secara komunal pada tingkat RT. Hasil pengelolaan sampah ini tidak membuat sampah bersisa di lingkungan RT karena sampah yang tidak dapat di daur ulang diberikan kepada pemulung. Di lain pihak ada komunitas di Kota Pontianak yang belum mengetahui pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Salah satunya adalah masyarakat di pinggiran Sungai Kapuas. Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh
masyarakat masih dengan cara membuang sampah ke sungai dan pembakaran sampah sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan. Setiap masyarakat dapat memiliki kapasitas untuk mengatasi masalah sampah yang terjadi dilingkungan mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan transplantasi pembelajaran dari komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna kepada komunitas yang belum melakukan pengelolaan sampah yaitu masyarakat di pinggir sungai. Proses transplantasi pembelajaran pengelolaan sampah ini memerlukan dukungan dari pemerintah. Pada saat ini pemerintah melakukan pelayanan pengangkutan sampah kepada masyarakat baru dapat mencapai 60 persen di Kota Pontianak sedangkan sisanya oleh masyarakat ada yang dibakar, ditimbun, dibuang ke sungai, dan tempat lainnya. Adapun permasalahan yang belum dapat diselesaikan adalah sebagai berikut: a. Masyarakat akan selalu memerlukan TPS karena pertumbuhan penduduk diiringi dengan bertambah banyaknya sampah. b. Masyarakat mencari TPS di dekat wilayah mereka sehingga masyarakat membuang sampah di lahan yang kosong, parit atau sungai jika tidak tersedia TPS. c. Pemerintah memiliki keterbatasan dana dan prasarana untuk menangani masalah sampah. d. Tidak ada partisipasi masyarakat dalam pengolahan sampah di tingkat rumah tangga. Permasalahan sampah yang dihadapi di atas menunjukkan bahwa pemerintah Kota Pontianak belum mampu mengatasi masalah sampah pada daerah yang tidak terjangkau pengangkutan sampah. Salah satu daerah yang tidak terjangkau pengangkutan sampah adalah daerah pinggiran Sungai Kapuas karena transportasi pengangkutan sampah tidak dapat dilakukan pada daerah pinggiran sungai. Mengingat masalah sampah memerlukan dukungan dari berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat dan perpaduan antara pemerintah dan masyarakat, maka perlu memperhatikan isu kritikal dalam pengelolaan sampah tersebut yaitu:
1. Pada ruang masyarakat yaitu masyarakat yang kurang menguasai teknologi, keterampilan dan pengetahuan. 2. Pada ruang pemerintah yaitu pemerintah kekurangan anggaran, peraturan yang mengatur pengelolaan sampah berbasis masyarakat, dan manajemen pengelolaan sampah. 3. Pada ruang pemerintah dan masyar akat yaitu kurangnya pelatihan dan teknologi. Untuk mengatasi berbagai kendala pada setiap ruang tersebut dengan penciptaan prakondisi pada tingkat pemerintah, masyarakat dan pada tingkat kedua-duanya. Maka pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat di komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna, Kota Pontianak? 2. Bagaimanakah mengembangkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat bagi komunitas pinggir Sungai Kapuas? 3. Apakah masalah pengelolaan sampah yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di pinggir Sungai Kapuas? 4. Apakah bentuk program pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dapat dibangun bagi komunitas di pinggiran Sungai Kapuas di Kota Pontianak?
1.3 Tujuan Kajian Dengan mengacu pada pertanyaan penelitian di atas, maka disusun tujuan studi ini, sebagai berikut: 1. Mengetahui pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat di komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna di Kota Pontianak. 2. Memahami pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat bagi komunitas pinggir Sungai Kapuas di Kota Pontianak. 3. Mengidentifikasi masalah pengelolaan sampah yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di pinggir Sungai Kapuas di Kota Pontianak.
4. Mengembangkan bentuk program pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dapat dibangun bagi komunitas pinggir Sungai Kapuas di Kota Pontianak.
1.4 Kegunaan Kajian
Hasil dari kajian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk : 1. Masyarakat sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan melalui kegiatan ekonomi produktif dan menciptakan lingkungan yang bersih. 2. Pemerintah daerah sebagai bahan pembuatan kebijakan atau keputusan dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat untuk daerah pinggiran Sungai Kapuas. 3. Pengembangan masyarakat sebagai penambah wawasan dan memperkaya pengetahuan akademik tentang pengembangan masyarakat.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Penelitian Sebelumnya
Berdasarkan hasil kajian tentang pengelolaan bersama (joint management) pelayanan persampahan di wilayah perkotaan (Pusat Kajian dan Diklat Aparatur, 2004) dengan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah pada umumnya, dapat digambarkan sebagai berikut:
Swadaya masyarakat
Pengelolan Sampah oleh Dinas Cipta Karya
Pengangkutan secara swadaya Sampah tercampur dari rumah tangga/sekolah/pasar
Pengangkutan
TPS/Depo Sampah
Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Recycling Pemulung
Gambar 2.1 Pengelolaan Sampah oleh Pemerintah yang diolah Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah pada umumnya sampah yang sudah tercampur dari rumah tangga/sekolah/pasar yang berada di TPS diangkut oleh Dinas Cipta Karya ke tempat pembuangan akhir sampah. Sedangkan
untuk
tangga,sekolah,pasar)
pengangkutan
sampah
dari
sumber
sampah
(rumah
ke TPS diangkut secara swadaya oleh masyarakat dan
pemulung memilah sampah di sumber sampah. TPS dan TPA. Sistem ini dianggap belum optimal karena keterbatasan daya angkut sampah yang dimiliki oleh Dinas Cipta Karya atau PD Kebersihan. Masalah ini menyebabkan
9
tidak semua sampah bisa terangkut habis. Kelemahan ini juga ditambah dengan lemahnya penerapan peraturan daerah serta disiplin masyarakat yang kurang menunjang. Selain itu, sistem pengelolaan sampah ini menimbulkan persoalan yaitu: a. Persepsi dan perilaku masyarakat yang masih salah tentang sampah. Persepsi tersebut antara lain: sampah adalah urusan pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya atau PD Kebersihan; sampah dapat dibuang dimana saja, baik di jalan, di pasar, di sungai dan sebagainya; serta masyarakat tidak mengetahui bahaya sampah plastik dan lain-lain (Pusat Kajian dan Diklat Aparatur, 2004). b. Banyaknya pembuangan sampah di luar TPS menunjukkan indikasi bahwa jumlah TPS yang tersedia di suatu wilayah kurang mencukupi (Amin, 2000). c. Pengangkutan sampah umumnya dilakukan dengan menggunakan gerobak atau truk pengangkut sampah yang dikelola oleh kelompok masyarakat maupun dinas kebersihan. Masalah yang terjadi pada saat pengangkutan sampah adalah sampah dan cairan sampah berceceran sepanjang rute pengangkutan, atau terhalangnya arus transportasi akibat truk pengangkut sampah yang digunakan oleh dinas kebersihan kota mengangkut sampah (Pusat Kajian dan Diklat Aparatur, 2004). d. Penanganan TPA yang tidak bijak menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan karena bau yang ditimbulkan dari sampah yang terdekomposisi, bau tersebut kemudian akan mengundang lalat yang dapat menyebabkan berbagai penyakit menular. Selain hal tersebut tanah maupun air tanah dan air bawah tanah terkontaminasi oleh cairan lindi karena TPA tidak dilengkapi dengan kolam pengolah lindi. Hal tersebut menyebabkan kesulitan bagi pengelolaan sampah untuk menyediakan lahan yang akan digunakan sebagai TPA karena umumnya penduduk setempat akan menolak bila sekitar daerahnya akan digunakan sebagai TPA (Arianto dan Darwin, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah tidak mendidik masyarakat untuk menjaga kebersihan agar
10
berperilaku santun terhadap lingkungan. Oleh karena itu, perlunya sistem baru yang menggunakan potensi kelembagaan RT dipicu untuk aktif berperan dan juga sekaligus mengawasi yaitu dengan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian oleh Kusumastuti Rezeki (2003) di TPS Rawa Kerbau Jakarta Pusat bahwa proses yang dirancang dalam usaha kegiatan pengolahan sampah terpadu skala kawasan ini berupa pemilahan dan pembuatan kompos. Sampah lainnya yang bernilai komersial langsung dijual ke bandar. Peralatan dan mesin yang digunakan dalam kegiatan berupa belt conveyor untuk membantu mempermudah pemilahan sampah dan alat pendukung lainnya: sapu lidi, cangkul, sekop, sarung tangan dan sepatu boot. Proses yang sederhana dan penggunaan mesin
yang seminimal mungkin akan lebih memudahkan
pemeliharaannya dan masih memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Manfaat langsung pengolahan sampah terpadu skala kawasan terdiri atas penghasilan dari penjualan pupuk kompos dan pemanfaatan daur ulang sampah komersial sebesar Rp. 203.228.400,00/tahun. Manfaat tak langsung (lingkungan) adalah nilai kualitas lingkungan yang dihasilkan dengan adanya usaha tersebut sebesar Rp. 53.160.000,00/tahun. Biaya yang diperlukan terdiri atas biaya investasi, biaya operasional dan perawatan sebesar Rp. 223.581.000,00/tahun dan biaya perlindungan lingkungan sebesar Rp. 2.500.000,00/tahun. Usaha kegiatan yang akan dilakukan bersifat padat karya sehingga perkiraan penggunaan alat dan biaya semaksimal mungkin mendekati harga yang dapat dijangkau oleh komunitas lokal. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Murdeani (2005) di Kelurahan Sukapura dan Kelurahan Sukagalih di Kota Bandung berkesimpulan bahwa: a. Perilaku memilah/tidak memilah sampah tidak berhubungan dengan tingkat pengetahuan
dan
pemahaman,
tingkat
pendidikan,
tingkat
ekonomi
masyarakat. Tetapi perilaku memilah/tidak memilah berhubungan dengan persepsi responden mengenai tingkat kesulitan memilah sampah; b. Kesediaan responden untuk memilah berhubungan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, persepsi responden mengenai tingkat kesulitan memilah sampah.
11
Tetapi kesediaan responden untuk memilah tidak berhubungan dengan tingkat ekonomi dan kesejahteraan responden; c. Adanya perubahan nyata pada pengetahuan mengenai persampahan setelah diberikan treatment berupa kampanye dengan penyebaran artikel. Berikut ini adalah perbandingan antara pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan pengelolaan sampah dengan sistem pemerintah berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh utami (2008) dan Firnandi (2002) sebagai berikut: Tabel 2.1 Perbandingan Pengelolaan Sampah oleh Pemerintah dan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat No
1.
2.
3.
4.
Aspek-Aspek Pengelolaan Sampah
Efektif Reduksi jumlah sampah Efisiensi a. Teknologi& peralat
b. Waktu pengembangan c. Pelaksanaan sistem pengelolaan Ekologis
Ekonomis a. Pembiayaan
Pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan komposter rumah
Pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan membuat kompos komunal
Pengelolaan sampah oleh pemerinah
57,1% dari total jumlah sampah
70% dari jumlah sampah
10 – 15 % dari jumlah sampah di TPA
- Biaya > 1.000.000 - Perlu banyak komposter individu
- Biaya < 10 juta - Perlu 1 instalasi pengomposan komunal Relative singkat (3-12 bulan) Konsisten
- Biaya > 1 milyar - Perlu banyak angkutan sampah
- Pencemaran akibat pengelolaan sampah dapat dihindari - Adanya keterpaduan antara recycling, reuse dan replant
Pencemaran akibat pengelolaan sampah dapat dihindari
Pencemaran akibat pengelolaan sampah
Tercukupi oleh retribusi sampah
Tercukupi oleh retribusi sampah
Tidak tercukupi oleh retribusi sampah
Lama > 10 tahun Pasang surut (tidak konsisten
Perhari Konsisten
12
5.
Sosial Budaya a. Partisipasi pelaku
b. Peran pemimpin lokal
c. Pemanfaatan hasil pengelolaan sampah
6.
Kelembagaan
7.
Kebijakan
Partisipasi kolaboratif antar pelaku sesuai kapasitanya dalam setiap proses pengelolaan sampah
Tidak dibangun partisipasi pelaku lainnya sesuai kapasitasnya
Tidak menumbuhkan partisipasi
Pendampingan oleh inisiator, block leaders dan pemimpin lokal yang kuat Dinikmati oleh seluruh pelaku terkait
Pendampingan yang kuat dari inisiator
Pelaksana pengangkutan sampah
Hanya dinikmati tukang sampah dan pengelola kelompok pengelola sampah Peranan lembaga tidak optimal
Hanya dinikmati masyarakat yang dapat dilalui oleh angkutan sampah
Peranan dan kemitraan kelembagaan optimal mendukung program pengelolaan sampah - Ada dukungan - Tidak adanya pemerintah dukungan dari daerah pemerintah pasca konflik - Partisipasi dengan dinas masyarakat dalam cipta karya pengelolaan sampah belum - Partisipasi diatur dalam masyarakat perda dalam pengelolaan sampah belum diatur dalam perda
Peranan lembaga tidak optimal
Pengelolaan sampah dengan sistem pengumpulan/pe wadahan,pemin dahan/pengangk utan,pemusnaha n/penggurugan
Sumber: Utami (2008) dan Firnandi (2002) diolah
Sedangkan berdasarkan laporan evaluasi program ADIPURA tahun 2007 dalam Tonny (2007) secara umum masyarakat di seluruh kategori kota (Metrpolitan, Besar, Sedang dan Kecil) memandang ADIPURA sebagai program yang kental dengan kepentingan pemerintah dan tidak mempertimbangkan bagaimana agar masyarakat lebih berpartisipasi terhadap upaya peningkatan kebersihan dan
13
keteduhan kota. Padahal, tanpa adanya partisipasi masyarakat, apapun kebijakan yang diputuskan pemerintah tidak akan dapat diimplementasikan dengan baik. Seharusnya, masalah peningkatan kebersihan dan keteduhan kota bukan untuk kepentingan memperoleh Anugerah ADIPURA, tetapi justru untuk kepentingan masyarakat. Sehingga, yang paling penting adalah bagaimana membudayakan gerakan kebersihan itu sendiri. Bagaimana pemerintah kota bisa menerjemahkan Program ADIPURA hingga ke keseharian masyarakat akar rumput. pelaksanaan Program ADIPURA juga lebih terkesan dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan aparatur pemerintah. upaya membangkitkan peranserta masyarakat telah didukung dengan regulasi pemerintah, seperti Perda tentang Kebersihan.
Akan tetapi,
regulasi tersebut kurang maksimal implementasinya karena tidak menerapkan reward and penalty.
Peranan pemerintah lokal dan pusat sebagai “motor
penggerak” yang dominan dibandingkan peran masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan.
Masyarakat menilai “keberhasilan” tersebut
merupakan “penilaian sesaat” untuk kepentingan pemerintah lokal dan pusat. Sampai sejauh ini masyarakat memandang bahwa peran masyarakat lebih disebabkan karena ada gerakan yang memobilisasi warga masyarakat oleh proyek pemerintah daripada kesadaran dari dalam masyarakat dan cenderung bersifat temporer. Adapun tantangan dan hambatan pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah : a. Inkonsisten kelompok pengelola sampah dalam menghadapi masalah pengelolaan sampah di lingkup kerjanya. b. Perlunya tenaga teknis atau pendamping untuk membuat pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang sangat tergantung dengan karakteristik masyarakat. c. Tergantung kepada kesadaran masyarakat untuk melakukan pemilahan sampah pada tingkat rumah tangga yang akhirnya menjadi kebiasaan masyarakat.
14
d. Perlu waktu yang lama untuk membangun pengelolaan sampah berbasis masyarakat karena menyangkut perubahan perilaku masyarakat untuk memilah sampah.
2.2 Penanganan Sampah Berbasis Masyarakat
Faktor manusia sebagai aktor yang dominan memegang kunci utama dalam pengelolaan sampah. Perilaku dan sistem nilai pada masyarakat merupakan faktor kunci dalam pengelolaan sampah. Kemauan masyarakat untuk berpartisipasi mulai dari pewadahan sampai pengolahan (daur ulang dan pengkomposan) secara nyata berpengaruh pada keberhasilan sistem pengelolaan sampah. Oleh karena itu pengelolaan sampah bisa dilakukan oleh masing-masing penghasil timbunan sampah dengan memilah sampah dari tingkat rumah tangga untuk kemudian dikelola secara kolektif dalam satu kesatuan komunitas berdasarkan wilayah tempat bermukim. Hal ini sejalan dengan kebijakan dan strategi nasional pembangunan bidang persampahan dan penanganan sampah sedekat mungkin dengan sumbernya maka diperlukan pemberdayaan masyarakat sekitar untuk diajak berperan aktif dalam usaha daur ulang (BPPT dalam Utami, 2008). Oleh karena itu menurut penulis pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah pengelolaan sampah yang dilakukan oleh individu atau komunitas atau kelompok di dalam masyarakat dengan partisipasi aktif dari masyarakat untuk ikut serta mendukung pelaksanaan pengelolaan sampah tersebut. Berikut ini adalah sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat: Box 1 Studi Kasus Pengelolaan Kompos di Kebun Karinda, Lebak Bulus, Jakarta Selatan Kebun Karinda mengembangkan teknologi pengomposan dengan sistem aerobik termofilik. Untuk sampah rumah tangga digunakan Takakura Home Method. Kegiatan di Kebun Karinda antara lain: pelatihan dan penyuluhan pengelolaan sampah organik dan pembibitan, kegiatan rutin pengomposan sampah rumah tangga dan halaman, dan pembibitan tanaman hias, tanaman obat, tanaman pelindung dan sayuran organik. Kegiatan-kegiatan tersebut ditujukan untuk peserta dari RT/RW, kelurahan, organisasi, perkumpulan, pemerintahan, lembaga pendidikan (TK, SD, SMP, SMU, PT), kelompok pengajian, pesantren, jemaat gereja. Pelatihan diberikan dalam dua cara: yaitu melalui pemutaran Video CD dalam bahasa yang mudah di mengerti,
15
dan memberikan kesempatan kepada peserta untuk terlibat dalam kegiatan pengomposan. Metode ini secara efektif memungkinkan peserta untuk memahami teknik pengomposan. Bagi murid-murid TK dan SD, lebih ditekankan pada kegiatan memilah, mencacah, memasukkan wadah pengomposan, panen pupuk kompos dan terakhir mencampur media tanam dan menanam tanaman dalam pot. Anak-anak ini ternyata dapat menjadi motivator bagi orangtuanya, yang kemudian mendaftar untuk ikut penyuluhan. Teknik pengomposan yang dipakai cukup sederhana dan mudah dilakukan oleh siapapun, dengan memakai bahan murah yang tersedia di lingkungan sekitar, jadi cocok untuk kondisi daerah. Sumber: Suryohadikusumo,2006.
Analisis: Untuk menumbuhkan kesadaran pengelolaan sampah dapat dilakukan pada RT/RW, kelurahan, organisasi, perkumpulan, pemerintahan, lembaga pendidikan, kelompok pengajian, pesantren, dan jemaat gereja. Cara yang dapat dilakukan dalam menumbuhkan kesadaran pengelolaan sampah dengan memutar film tentang pengelolaan sampah dan pelatihan langsung pengelolaan sampah. Boks 2 Studi Kasus Pengelolaan Sampah Terpadu di Surabaya (Menggunakan Takakura Home Method) KITA (Kitakyushu International Techno-Cooperative Association) memberikan bantuan teknis kepada LSM untuk menumbuh-kembangkan teknologi pengomposan bernama “Takakura Home Method (THM)” di Indonesia sejak 2004. Pengolahan yang dilakukan adalah pengelolaan limbah rumah tangga yang dimulai pada tahun 2000, LSM mengorganisir masyarakat Kampung Rungkut Lor untuk memilah sampah organik dan anorganik sebelum meletakkan di luar rumah untuk dikumpulkan. Selain itu program pertanian perkotaan yaitu LSM dan masyarakat Rungkut Lor membudidayakan sayuran dan tanaman obat di halaman rumah dengan memakai kompos yang dihasilkan. Kegiatan ini telah memberi penghasilan bagi masyarakat karena mereka dapat membuat jamu dan minuman untuk dijual ke pasar. Selain itu, program pertanian ini juga telah memberikan bukan hanya manfaat ekonomi tapi juga meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan menciptakan lingkungan yang semakin hijau di Kampung Rungkut Lor. Disamping itu, sanitasi ekologi yaitu program sanitasi ekologi bertujuan untuk mengelola septik tank rumah-tangga secara benar. Sistem dasar sanitasi ekologi adalah mengubah limbah manusia menjadi pupuk organik. Sanitasi ekologi bermanfaat bagi masyarakat karena dapat mengurangi volume septik tank rumah-tangga dan meningkatkan kualitas air tanah. Selain itu, riset terkait dengan sanitasi ekologi telah dirancang untuk menemukan metode yang tepat untuk menerapkan sanitasi ekologi yang efektif di masyarakat. Sumber: Suryanto, 2000
Analisis: Pengkomposan diawali dengan pemilahan sampah pada tingkat rumah tangga dan hasil pupuk tersebut diintegrasikan pada bidang pertanian sehingga bermanfaat bagi masyarakat secara langsung penggunaan pupuk kompos.
16
2.3 Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah
Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah menurut Damanhuri dan Padmi (2005) adalah dengan melakukan perubahan bentuk perilaku yang didasarkan pada kebutuhan atas kondisi lingkungan yang bersih yang pada akhirnya dapat menumbuhkan dan mengembangkan peran serta dalam bidang kebersihan. Perubahan bentuk perilaku masyarakat dapat terwujud apabila ada usaha membangkitkan masyarakat dengan mengubah kebiasaan, sikap dan perilaku terhadap kebersihan/sampah tidak lagi didasarkan kepada keharusan atau kewajibannya, tetapi lebih didasarkan kepada nilai kebutuhan. Untuk mengubah kebiasaan tersebut, maka diperlukan sosialisasi terhadap peran serta masyarakat yang dilakukan secara menyeluruh, yaitu kalangan pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan masyarakat. Hal ini merupakan kolaborasi seluruh stakeholder untuk berperanserta dalam mengelola sampah. Keberhasilan pengelolaan sampah sangat tergantung kepada kesadaran dan kemauan untuk ikut berperanserta dari stakeholder. Senada dengan pikiran diatas, Freire dalam Mudiyono,et al (2005) menilai bahwa pemberdayaan sebagai metode yang mengubah persepsi sehingga memungkinkan individu beradaptasi dengan lingkungannya, dan oleh karena itu perlu intervensi dan stimulus dari luar. Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Karena itu, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Tujuan pemberdayaan untuk menambah kekuasaan yang kurang beruntung. Pernyataan terdiri dari dua konsep yang berbeda ‘kekuasaan’ dan ‘kurang beruntung’ (Ife, 2003) yaitu: a. Kekuasaan terhadap definisi kebutuhan Salah satu ciri masyarakat modern adalah kediktatoran terhadap kebutuhan. Dalam kasus ini dapat dilihat bahwa orang diberi kekuasaan untuk mendefinisikan
kebutuhan
mereka
karena
mereka
juga memerlukan
pengetahuan dan keahlian yang relevan, proses pemberdayaan ini memerlukan pendidikan dan penerimaan informasi.
17
b. Kelompok yang kurang beruntung lainnya Yang termasuk kelompok yang kurang beruntung yaitu lanjut usia, masyarakat terasing, mereka yang tinggal di daerah terpencil, gay dan lesbian.
2.4 Pengolahan Sampah
Pengolahan sampah didefinisikan sebagai kontrol terhadap timbunan sampah, pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, proses dan pembuangan akhir sampah yang mana semua hal tersebut dikaitkan dengan prinsip-prinsip terbaik untuk kesehatan, ekonomi, keteknikan dan engineering, konservasi, estetika, lingkungan dan juga sikap masyarakat. Sistem pengelolaan sampah pada dasarnya dilihat sebagai komponen-komponen subsistem yang saling mendukung satu sama lain dan saling berinteraksi untuk mencapai tujuan yaitu kota yang bersih, sehat dan teratur. Komponen-komponen tersebut dalam Damanhuri dan Padmi (2005) yaitu : a. Organisasi dan Manajemen Aspek organisasi dan manajemen merupakan suatu kegiatan yang multi disiplin yang bertumpu pada prinsip teknik dan manajemen yang menyangkut aspek ekonomi, sosial dan budaya dan kondisi fisik wilayah kota serta memperhatikan pihak yang dilayani, yaitu masyarakat kota. Perancangan dan pemilihan bentuk organisasi disesuaikan dengan: a) Peraturan pemerintah yang membinanya; b) Pada sistem operasional yang diterapkan; c) Kapasitas kerja sistem; d) Lingkup pekerjaan dan tugas yang harus di tangani. b. Teknik operasional Penanganan sampah yang dianjurkan saat ini adalah tidak mengganggu sampah hingga terbentuk, tetapi berupaya agar: a) Limbah yang dihasilkan mudah ditangani, misalnya dipisahkan sesuai jenisnya; b) Limbah yang dihasilkan lebih sedikit, misalnya dengan daur ulang; c) Sifat limbah menjadi tidak
berbahaya.
Pendekatan
tersebut
dikenal
sebagai
pendekatan
berhubungan dengan urutan prioritas penanganan limbahnya sebagai berikut:
18
a) Menghilangkan atau mengurangi timbunan sampah di sumber misalnya melalui penghematan penggunaan bahan dan sebagainya. b) Mendaur ulang sampah, terutama pada sumber sampah itu sendiri. c) Menggunakan teknologi pengelolaan limbah yang aman ke lingkungan, misalnya pada sebuah landfill yang dirancang, dibangun, dioperasikan dan dimonitor secara baik. Untuk mencapai tujuan diatas maka perlu adanya teknik operasional sampah secara terpadu. Secara umum teknik operasional pengelolaan sampah mengenal beberapa komponen yang diterapkan oleh pemerintah yang terdiri dari: 1) Pewadahan Pewadahan adalah penampungan sementara sampah yang dihasilkan di sumber tiap saat. Syarat wadah sampah yang baik adalah: (a) Tidak mudah rusak dan kedap air kecuali kantong plastik; (b) Ekonomis; (c) Mudah diperbaiki; (d) Mudah diperoleh atau dibuat oleh masyarakat; (e) Mudah dan cepat dikosongkan; (f) Kuat dan tahan terhadap korosi; (g) Tidak mengeluarkan bau dan tidak dapat dimasuki serangga/binatang; (h) Kapasitasnya sesuai dengan sampah yang dihasilkan. Penentuan ukuran volume sampah yang digunakan adalah jumlah penghuni tiap rumah, tingkat hidup masyarakat, frekuensi pengambilan atau pengumpulan sampah, cara pengambilan sampah (manual/mekanik), sistem pelayanan (individual/manual). Dalam peletakkan atau penempatan wadah sebaiknya mudah dijangkau oleh petugas sehingga waktu pengambilan dapat lebih cepat dan singkat, aman dari gangguan binatang ataupun dari pemungut barang bekas sehingga sampah tidak dalam keadaan berserakan, sesuai ukuran yang tersedia. 2) Pengumpulan Pengumpulan merupakan kegiatan awal dari proses pengelolaan sampah disamping kegiatan pewadahan. Tujuan dari pengumpulan ini adalah untuk keseimbangan pembebanan tugas, optimalisasi penggunaan peralatan, waktu
dan
petugas
serta
minimasi
jarak
operasi.
Perencanaan
19
pengumpulan sampah harus memperhatikan: (a) Ritasi antara satu - empat rit/hari; (b) Periodisasi: satu hari, dua hari atau tiga hari satu kali tergantung dari kondisi komposisi sampah semakin besar persentase sampah organik, periodisasi pelayanan maksimal satu hari; (c) Kapasitas kerja; (d) Desain peralatan; (e) Kualitas pelayanan. 3) Pemindahan dan Pengangkutan Pengangkutan sampah adalah subsistem yang bersasaran membawa sampah dari lokasi pemindahan atau dari sampah secara langsung tempat pembuangan akhir atau TPA. Alat pengangkutan sampah harus memenuhi persyaratan yaitu: (a) Alat pengangkut sampah harus dilengkapi dengan penutup sampah, minimal dengan jaring; (b) Tinggi bak maksimal 1,6 m, sebaiknya ada alat ungkit; (c) Kapasitas disesuaikan dengan kondisi/kelas jalan yang akan dilalui; (d) Bak truk/dasar kontainer sebaiknya dilengkapi pengaman air sampah. 4) Pengolahan Sampah Pengolahan sampah sangat penting untuk dilakukan sebelum sampai ke TPA. Tujuan pengolahan sampah adalah reduksi sampah, recovery (pemulihan), recycling (daur ulang), reuse (pemanfaatan kembali) dan konversi bentuk fisik. Pola pengolahan persampahan yang selama ini dilaksanakan di Indonesia, hendaknya dikembangkan dengan memasukkan pilihan pemprosesan dan pengolahan untuk menjadikan sampah sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan, baik di tingkat kawasan maupun TPA sebagaimana terlihat dalam matriks 2.1 sehingga sampah yang akan diurug ke dalam tanah diminimalkan. Matriks 2.1 Kelebihan dan Kelemahan Alternatif Sistem Pengolahan Sampah Jenis Pengolahan Composting (Pengkomposan) 1. High Rate (modern)
Kelebihan - Proses pengomposan lebih cepat. - Volume sampah yang terbuang berkurang.
Kelemahan
Catatan
- Memerlukan peralatan lebih banyak dan kompleks. - Biaya investasi mahal.
- Harga kompos yang dihasilkan lebih mahal daripada pupuk kimia. - Biaya operasional lebih tinggi dari harga jual.
20
2. Windrow Composting (sederhana)
Baling (Pemadatan)
Incinerator (Pembakaran)
Recycling (Daur Ulang)
- Tidak memerlukan banyak peralatan. - Sesuai untuk sampah yang banyak mengandung unsur organik. - Volume sampah yang terbuang berkurang. - Biaya investasi lebih murah. - Volume sampah yang terbuang dapat dikurangi. - Praktis/efisien dalam pengangkutan ke TPA. - Untuk kapasitas besar hasil sampingan dari pembakaran dapat dimanfaatkan antara lain untuk pembangkit tenaga listrik. - Volume sampah menjadi sangat berkurang - Hygienes.
- Perlu perawatan yang baik dan kontinu. - Proses pengkomposan lebih lama. - Memerlukan tenaga lebih banyak.
- Pemanfaataan kembali bahanbahan (anorganik) yang sudah terpakai. - Merupakan lapangan kerja bagi pemulung sampah (informal). - Volume sampah yang terbuang berkurang, menghemat lahan pembuangan akhir.
- Biaya investasi, operasi dan pemeliharaan relative mahal.
Dianjurkan bila jarak ke pembuangan sampah akhir lebih dari 25 km.
- Biaya investasi dan operasi mahal. - Dapat menimbulkan polusi udara.
Ada dua tipe: - Sistem pembakaran berkesinambunga n untuk kapasitas besar (>100 ton/hari). - Sistem pembakaran terputus untuk kapasitas kecil (<100 ton/hari).
- Tidak semua jenis sampah bisa didaur ulang. - Memerlukan peralatan yang relatif mahal bila dilaksanakan secara mekanis. - Kurang sehat bagi pemulung sampah (informal).
Dianjurkan pemisahan mulai dari sumber sampahnya.
Sumber: Damanhuri dan Padmi, 2005
5) Pembuangan Akhir Lahan urug merupakan salah satu cara yang dapat dipakai dalam upaya penyingkiran dan pemusnahan sampah. Sistem urug tidak menjamin bahwa
21
tidak akan terjadi dampak atau efek samping akan tetapi dengan penanganan yang baik semua dampak dari pelaksanaan lahan urug dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam pelaksanaannya sistem lahan urug masih memiliki resiko dari timbunan sampah. a) System Open Dumping Sistem ini dilakukan dengan cara sampah hanya ditumpuk dan dibiarin pada lokasinya yang telah dipilih sebagai lahan urug tanpa melakukan pengolahan apapun. b) Sanitary Landfill Upaya yang dilakukan untuk mengurangi limbah sampah kota dimana lahan dibagi menjadi beberapa area dilakukan penutupan setiap hari.
Timbunan Sampah Penanganan Sampah: Pemilahan, Pewadahan- Proses Di Sumber Pengumpulan Pemindahan dan Pengangkutan
Pemisahan - Pemprosesan Pengolahan Sampah Pembuangan Akhir
Gambar 2.2 Operasionalisasi Teknis Pengolahan Sampah (Damanhuri dan Padmi, 2005)
c. Pembiayaan Aspek pembiayaan merupakan sumber daya penggerak agar roda sistem pengelolaan persampahan di kota tersebut dapat berjalan dengan lancar. Diharapkan sistem pengelolaan persampahan di Indonesia akan menuju pada pembiayaan sendiri. Syarat pembiayaan ini menyangkut beberapa aspek seperti:
22
a) Bagaimana proporsi APBN dan anggaran pengelolaan persampahan, antara retribusi dan biaya pengelolaan persampahan. b) Bagaimana proporsi komponen biaya tersebut untuk gaji, transportasi, pemeliharaan pendidikan, dan pengembangan serta administrasi. c) Bagaimana proporsi antara retribusi dengan pendapatan masyarakat. d) Bagaimana struktur dan penarikan retribusi yang berlaku. d. Pengaturan Aspek pengaturan didasarkan atas kenyataan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, dimana sendi-sendi kehidupan bertumpu pada hukum yang berlaku. Manajemen persampahan kota di Indonesia membutuhkan kekuatan dan dasar hukum seperti dalam pembentukan organisasi, pemungutan retribusi, ketertiban masyarakat dan sebagainya. e. Partisipasi Tanpa adanya partisipasi masyarakat semua program pengelolaan sampah yang direncanakan akan sia-sia, salah satu pendekatan kepada masyarakat untuk dapat membantu program pengelolaan persampahan adalah: a) Bagaimana mengubah persepsi masyarakat terhadap pengelolaan sampah yang tertib, lancar dan merata. b) Faktor-faktor sosial, struktur dan budaya setempat. c) Kebiasan dalam pengelolaan sampah selama ini.
2.5. Pengelolaan Lingkungan Sosial
Dalam rangka pengelolaan lingkungan sosial, sesuai konsep pembangunan berkelanjutan, maka titik berat perhatiannya adalah pada kesinambungan dari interaksi-interaksi di dalam lingkungan sosial itu sendiri dan dengan lingkunganlingkungan yang lain. Hal ini digunakan untuk mengetahui keberlanjutan pengelolaan sampah di komunitas. Terkait dengan kesinambungan lingkungan sosial maka setidak-tidaknya terdapat enam komponen atau ruang lingkup
23
lingkungan sosial yang perlu diperhatikan (disinambungkan). Keenam komponen tersebut ialah (Purba, 2001): a. Adanya pengelompokan sosial Individu sebagai mahluk sosial tidak bisa dihindarkan dengan interaksi sosial. Di lain pihak individu juga tidak dapat dilepaskan dari situasi tempat ia berada dan situasi ini sangat berpengaruh terhadap kelompok yang terbentuk akibat situasi tersebut. Sejumlah orang-orang, dilihat kesatuan tunggal, merupakan satu kelompok sosial, tetapi kita mempunyai perhatian terhadap interaksi kelompok dan terhadap ciri-cirinya yang relative stabil. Menurut Muzafer Sherif dalam Goldberg dan Larson (2006) ciri-ciri kelompok sosial adalah sebagai berikut: 1) Adanya dorongan/motif yang sama pada setiap individu sehingga terjadi interaksi sosial sesamanya dan tertuju dalam tujuan bersama. 2) Adanya reaksi dan kecakapan yang berbeda di antara individu satu dengan yang lain akibat terjadinya interaksi sosial. 3) Adanya pembentukan dan penegasan struktur kelompok yang jelas, terdiri dari peranan kedudukan yang berkembang dengan sendirinya dalam rangka mencapai tujuan bersama. 4) Adanya penegasan dan peneguhan norma-norma pedoman tingkah laku anggota kelompok yang mengatur interaksi dan kegiatan anggota kelompok dalam merealisasi tujuan kelompok. b. Penataan sosial Penataan sosial sangat diperlukan untuk mengatur ketertiban hidup dalam masyarakat yang mempersatukan lebih dari satu orang. Penataan itu dapat berupa aturan-aturan sebagai pedoman bersama dalam menggalang kerjasama dan pergaulan sehari-hari antar anggotanya. c. Media sosial Untuk
menggalang kerjasama
yang mempersatukan
sejumlah
orang
diperlukan media baik yang berupa simbol-simbol maupun kepentingankepentingan yang tidak mungkin dikerjakan sendiri-sendiri secara terpisah.
24
d. Pranata sosial Suatu kesatuan sosial, betapa kecilnya, memerlukan aturan-aturan sebagai pedoman bersama dalam mengembangkan sikap dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan bersama. e. Pengendalian dan pengawasan sosial Untuk menjamin ketertiban masyarakat, lebih-lebih dalam masyarakat yang majemuk dan sedang mengalami perkembangan yang pesat kearah masyarakat industri dewasa ini, pengendalian dan pengawasan sosial menjadi amat penting artinya. Setiap kesatuan sosial mengembangkan pola-pola dan mekanisme pengendalian yang sampai batas tertentu sangat efektif. f. Kebutuhan sosial Lingkungan sosial itu terbentuk didorong oleh keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana diketahui, bahwa tidak semua kebutuhan hidup manusia itu bisa dipenuhi oleh seorang diri, terutama kebutuhan sosial (social needs). Kebutuhan sosial, antara lain mencakup kebutuhan untuk hidup bersama, pembentukan komuniti, kelompok sosial, keteraturan atau ketertiban masyarakat dan sebagainya. Berdasarkan pendapat diatas, penulis mengkaitkan pengelolaan lingkungan sosial dengan pengelolaan sampah berbasis masyarakat yaitu bagaimana prinsip pengelolaan lingkungan sosial sesuai dengan mekanisme pembentukan kelompok pengelolaan sampah yang akan dibentuk.
2.6 Komunikasi Kelompok dalam Memecahkan Masalah
Komunikasi kelompok diperlukan dalam kelompok pengelola sampah untuk memecahkan masalah yang dihadapi kelompok dalam merubah perilaku anggota kelompok. Dalam rangka memecahkan masalah pada kelompok menurut McBurney dan Hance dalam Goldberg dan Larson (2006), masalah-masalah seharusnya diungkapkan dalam bentuk pertanyaan dan bukan dalam bentuk perintah atau usulan, karena diskusi adalah suatu bentuk penyelidikan dan suatu pertanyaan yang mengarahkan para peserta diskusi ke jalur yang benar. Suatu
25
pertanyaan yang baik dalam diskusi, menurut Crowell dalam Goldberg dan Larson (2006), haruslah sesuai dengan sasaran kelompok maupun dengan waktu yang tersedia. Selain itu juga harus menarik dan bermanfaat. Menurut Wegner dan Arnold dalam Goldberg dan Larson (2006) menyarankan agar suatu pertanyaan sebaiknya didasarkan pada cara berpikir yang reflektif, serta melibatkan lebih dari dua cara pemecahan masalah. Harnack dan Fest dalam Goldberg dan Larson (2006) mengingatkan bahwa suatu pertanyaan tidak boleh ditujukan secara langsung pada cara pemecahan dan harus jelas menentukan tingkah laku siapa yang kira-kira harus diubah. Dalam kelompok menghadapi masalah, perlunya bentuk pemecahan masalah yang ideal, mengharuskan kelompok-kelompok bekerja melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Apakah kita semua sudah setuju pada sifat masalah? b. Cara pemecahan mana yang paling ideal jika dilihat dari sudut pandang semua pihak yang terlibat dalam masalah? c. Kondisi-kondisi apa dalam masalah yang dapat diubah agar cara pemecahan yang ideal mungkin dapat dicapai? d. Dari sekian cara pemecahan yang tersedia pada kita, yang manakah yang kirakira paling baik untuk menjadi cara pemecahan yang ideal? Komunikan dari bentuk analisis ini bahwa bentuk memusatkan perhatiannya pada hambatan-hambatan di dalam situasi masalah, asumsinya ialah bahwa kalau hambatan-hambatan ini dapat diatasi, atau kalau syarat dalam situasi.
2.7 Kepemimpinan dan Komunikasi Kelompok
Pengelompokkan sosial untuk penanganan sampah memerlukan kelompok yang memiliki tingkah laku kepemimpinan yang “kelompok sentris” (group-centered) dengan yang “pemimpin-sentris’ (leader-centered). Yang dimaksud dengan “kelompok sentris” ialah jika seorang pemimpin secara aktif mendorong anggota kelompok untuk sama-sama ikut bertanggungjawab dalam merencanakan, mengarahkan, mengkoordinasikan, dan mengevaluasi kegiatan kelompok.
26
Sedangkan yang dimaksud dngan “pemimpin-sentris” ialah kalau pemimpin formal dari kelompok menganggap dirinya bertanggungjawab sepenuhnya terhadap fungsi-fungsi diatas. Perbandingan antara dua bentuk tingkah laku pemimpin tersebut diatas menghasilkan hal-hal sebagai berikut: a. Pemimpin-pemimpin yang pemimpin sentris dinilai lebih tinggi daripada pemimpin yang kelompok-sentris dalam hal nilai andil mereka terhadap kelompok. b. Diskusi kelompok-sentris dinilai lebih baik daripada diskusi pemimpin-sentris dan dianggap memiliki tingkatan lebih tinggi dalam hal keterlibatan, kerjasama, situasi yang hangat dan ramah, dan kemudahan untuk memberi sumbangan pendapat. Diskusi kelompok-sentris nampak menghasilkan kepuasan yang lebih besar dalam hal keputusan yang dicapai serta interaksi anggota yang lebih tinggi.
2.8 Perempuan sebagai Pusat Dapur
Keluarga sebagai salah satu komponen terpenting dari sistem sosial, yang turut mendukung atau mempertahankan keseimbangan di tengah masyarakat. Keluarga adalah penyumbang yang positif bagi tatanan sosial. Rumah tangga yaitu keluarga beserta dengan konteks internalnya, seringkali didefinisikan keberadaannya via dapur. Di ruangan inilah bercokol seorang perempuan sebagai pusatnya. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut (Budiman,2006): Masyarakat Keluarga/Rumah Tangga Dapur Dapur Perempuan Perempuan
Gambar 2.3 Perempuan Sebagai Pusat Rumah Tangga
27
Berdasarkan gambar diatas maka dapat dikatakan bahwa dalam pengelolaan sampah yang mempunyai peranan penting dalam rumah tangga adalah perempuan. Sumber sampah terbesar berada di dapur. Oleh karena itu pengelolaan sampah pada tingkat rumah tangga dilakukan pemberdayaan pada perempuan dalam pembentukan kelompok pengelola sampah.
2.9 Modal Sosial
Modal sosial dapat diartikan sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas. Namun demikian, pengukuran modal sosial jarang melibatkan pengukuran terhadap interaksi itu sendiri. Melainkan, hasil interaksi tersebut, seperti terciptanya atau terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat. Sebuah interaksi dapat terjadi dalam skala individu maupun institusional. Secara individual, interaksi terjadi manakala relasi intim antara individu terbentuk satu sama lain yang kemudian ikatan emosional. Setiap masyarakat memiliki sumberdaya tertentu yang dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah bersama. Dengan asumsi tersebut maka potensi ini dalam masyarakat dapat digunakan untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Merujuk pada Ridell dalam Suharto (2008), ada tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks). a. Kepercayaan Kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. b. Norma Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapanharapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang.
28
c. Jaringan Infrastruktur dinamis dari modal sosial terwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia menurut Putnam dalam Suharto (2008). Jaringan tersebut menfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Pengembangan modal sosial dan komunitas terdapat tujuh pendekatan yang khas atau unik untuk komunitas dan modal sosial didalamnya yang dapat diintervensi dalam pengembangan masyarakat (Kolopaking dan Tonny, 2007), yaitu: a. Kepemimpinan komunitas Tokoh-tokoh masyarakat diharapkan berperan penting dalam setiap kegiatan pengembangan program. b. Dana komunitas Dana komunitas merupakan segala bentuk dana yang dapat dihimpun oleh dan dari masyarakat. c. Sumberdaya material Sumberdaya material merupakan kelengkapan sarana organisasi di komunitas. d. Pengetahuan komunitas Diperlukannya berbagai kegiatan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. e. Proses pengambilan keputusan Proses pengambilan keputusan merupakan suatu proses dimana masyarakat sebagai anggota komunitas berhak menyampaikan aspirasi yang menyangkut kepentingan bersama anggota. f. Teknologi komunitas Teknologi komunitas merupakan teknologi tepat guna yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat/organisasi untuk menjalankan peran sesuai yang diharapkan. g. Organisasi komunitas Organisasi komunitas merupakan perkumpulan orang dalam masyarakat yang mengelola kegiatan tertentu.
29
Berdasarkan hal diatas penulis akan mengkaji modal sosial yang ada di masyarakat yang dapat digunakan untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
2.10 Strategi Pengembangan Kelembagaan
Perubahan bentuk perilaku masyarakat dapat terwujud apabila ada usaha membangkitkan masyarakat dengan mengubah kebiasaan sikap dan perilaku terhadap kebersihan/sampah tidak lagi didasarkan kepada keharusan atau kewajibannya, tetapi lebih didasarkan kepada nilai kebutuhan. Untuk mengubah kebiasaan tersebut, maka diperlukan sosialisasi terhadap peran serta masyarakat yang dilakukan secara menyeluruh, yaitu kalangan pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan masyarakat. Peranserta masyarakat adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat baik individu maupun kelompok, yang merupakan bagian dari penyelenggaraan pengelolaan sampah kota dan bersifat menunjang program pengelolaan sampah kota. Tujuan program peranserta masyarakat dalam Kolopaking dan Tonny (2007) adalah: a. Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang adanya program pengelolaan sampah. b. Memperoleh dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan program. c. Meningkatkan kinerja keseluruhan sistem pengelolaan sampah kota. Keterlibatan
peranserta
masyarakat
harus
bersifat
menyeluruh
terhadap
serangkaian proses implementasi pengelolaan sampah dan juga bersifat terus menerus. Pergeseran paradigma pembangunan (kesejahteraan sosial) dengan (Kolopaking dan Tonny, 2007): 1. Pengembangan masyarakat yang bersumber dari manusia. 2. Partisipasi. 3. Sistem pemerintahan yang baik (publik; swasta).
30
Asumsi dasar pengembangan kemitraan antar kelembagaan ini adalah proses desentralisasi dan otonomi daerah yang diikuti dengan perubahan pola-pola peran serta antara organisasi dan kelembagaan (organizational and institutional coevolution) dalam pembangunan di tingkat daerah (kabupaten/kota) hingga komunitas. Dalam konteks desentralisasi, otonomi daerah dan otonomi komunitas (tanpa mengharuskan wewenang pemerintah pusat), pemberdayaan komunitas perkomunitasan dipahami sebagai suatu hasil dari interaksi atau hubungan sebabakibat antara “proses pembangunan yang bottom up” yang dalam kajian ini diartikan sebagai pembangunan berbasis komunitas perkomunitasan (rural community based development program) dan “proses pembangunan yang topdown” yang dalam kajian ini dipahami sebagai implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah lokal (local government policies). Artinya, komunitas perkomunitasan yang berdaya diindikasikan tidak hanya oleh tingkat pendapatan, tetapi lebih dari itu sampai sejauh mana dinamika warga komunitas hidup dengan bertumpu pada kelembagaan di tingkat komunitas dan lokal yang berkelanjutan yang kemudian mampu memberikan dampak ganda pada aktivitas ekonomi dan usaha-usaha produktif di tingkat komunitas perkomunitasan. Berikut ini adalah gambar kerangka kebijakan untuk pengembangan kelembagaan: Insentif- Insentif Kelembagaan (Institutional Incentive) TOP-DOWN
Pemerintah • Aras makro kebijakan • Infrastruktur • Fasilitasi program
Ruang dialog/komunikasi masyarakat dengan pemerintah
Masyarakat: • Aras mikro-aksi kolektif • Program pemberdayaan dan partisipasi
BOTTOM-UP
Kapasitas Kelembagaan (Institutional Capacity)
Catatan: dikembangkan dari Kolopaking dan Tonny (2007) Gambar 2.4
Kerangka Kebijakan untuk Pengembangan Kelembagaan dan Kawasan Berbasis Masyarakat
31
2.11 Kerangka Pemikiran
Pengelolaan sampah merupakan rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan sampah pada wadah di sumber (penghasil), dikumpulkan menuju TPS kemudian diangkut ke tempat pemprosesan dan daur ulang. Pengelolaan sampah bukan hanya menyangkut aspek teknis, tetapi menyangkut juga aspek non teknis, seperti bagaimana mengorganisir, bagaimana membiayai dan bagaimana melibatkan masyarakat penghasil sampah agar ikut berpartisipasi secara aktif dalam akivitas penanganan tersebut. Untuk menumbuhkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan sampah dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah khususnya perempuan. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat dapat dilakukan dengan mengembangkan
modal
sosial
yang
ada
di
komunitas.
Keberlanjutan
pengembangan modal sosial dalam pengelolaan sampah dapat dilihat dari syaratsyarat pengelolaan lingkungan sosial oleh komunitas yang akan diaktualisasikan dalam pengorganisasian komunitas dalam kelompok pengelola sampah. Pengembangan
modal
sosial
dilakukan
dengan
strategi
pengembangan
kelembagaan pengelola sampah di pinggiran Sungai Kapuas. Pengorganisasian kelompok pengelola sampah di pinggir Sungai Kapuas sebagai eksperimen dengan melakukan transplantasi pembelajaran dari pengelolaan sampah di Kompleks Perumahan Dwi Ratna. Proses transplantasi tersebut dilakukan di komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut. Pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat tersebut memerlukan kesiapan pada tingkat pemerintah, masyarakat dan perpaduan pemerintah dan masyarakat. Perbedaan karakteristik dan geografis kedua komunitas tidak menjadi penghalang untuk melaksanakan proses transplantasi karena pengelolaan sampah rumah tangga sangat tergantung kepada persepsi dan kemauan masyarakat untuk memilah sampah dan megolah sampah.
32
Pengembangan
pengelolaan
sampah
berbasis
masyarakat
tersebut
akan
menghadapi masalah pada ruang pemerintah yaitu kurangnya anggaran, kurangnya kapasitas penanganan sampah, kurangnya manajemen pengelolaan lingkungan dan teknologi yang sederhana. Pada ruang masyarakat dan pemerintah yaitu kurangnya pendidikan terhadap masyarakat. Selain itu pada ruang masyarakat yaitu adanya solidaritas, kemauan mengelola sampah di tingkat kelompok, dan mau belajar. Dengan adanya penanganan masalah pengelolaan sampah pada dimensi pemerintah, dimensi masyarakat dan dimensi pemerintah dan masyarakat. Maka penanganan sampah yang selama ini 40 persen tidak terurus dapat tertangani. Pengelolaan
sampah
berbasis
masyarakat
akan
terciptanya
program
pengembangan kelompok, pengembangan teknologi pupuk kompos, komunikasi dan edukasi. Dengan adanya hal tersebut akan menjaga kelestarian lingkungan dengan 40 persen sampah kota dapat ditangani, meningkatkan ekonomi masyarakat dan meningkatkan kehidupan sosial. Berikut ini adalah analisis kerangka pemikiran penulis dalam membangun pengelolaan sampah berbasis masyarakat:
33
Masalah Pengelolaan Sampah Kota Pontianak Hanya 60 persen yang tertangani
Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna
Sukses
Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Komunitas Pinggir Sungai Kapuas Dimensi Pemerintah
Dimensi Pemerintah dan Masyarakat
Ketidakberdayaan Pemerintah: - Kurangnya anggaran - Kurangnya kapasitas pengelola sampah - Kurangnya manajemen pengelolaan lingkungan
- Kurangnya kerjasama masyarakat dan pemerintah - Kurangnya pendidikan terhadap masyarakat
Eksperimen
Dimensi Masyarakat Ada potensi kelompok masyarakat yang potensial: - Solidaritas - Kemauan mengelola sampah di tingkat kelompok - Mau belajar
Penanganan sampah yang selama ini 40 persen tidak terurus
-
Cita-Cita: Lingkungan lestari Lingkungan bersih dan sehat Masyarakat berdaya
Pengelolaan sampah berbasis masyarakat: - Pengembangan kelompok - Pengembangan teknologi pupuk kompos - Komunikasi - Edukasi -
Kelestarian lingkungan : 40 persen sampah kota dapat ditangani Meningkatkan ekonomi masyarakat Meningkatkan sosial
Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
34
III. METODE KAJIAN
3.1 Batas Kajian
Karena keterbatasan waktu dan dana maka penulis membatasi kajian ini pada satu komunitas yaitu komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut Kecamatan Pontianak Selatan yang mewakili masyarakat yang berada di tepi Sungai Kapuas di Kota Pontianak. Batas kajian ini adalah kajian terapan deskriptif, yaitu berupaya untuk memahami ciri-ciri dan sumber-sumber masalah manusia dan masyarakat, menyumbangkan kepada konsep yang dapat digunakan untuk merumuskan program dan intervensi penanganan masalah. Adapun aras kajian yang digunakan adalah objektif mikro, yaitu membahas tentang pola perilaku, tindakan interaksi langsung antara pengkaji dan anggota komunitas dalam suatu lingkungan masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat dalam penanganan sampah.
3.2 Strategi Kajian Strategi yang digunakan pada kajian ini adalah studi kasus karena studi kasus menggunakan pertanyaan-pertanyaan ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ lebih eksplanatori. Hal ini disebabkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini berkenan dengan kaitan-kaitan operasional yang menuntut pelacakan waktu tersendiri dan bukan sekedar frekuensi atau kemunculan. Hal ini tidak bisa mengandalkan survey atau telaah rekaman arsip melainkan harus menyelenggarakan apa yang disebut dengan analisis histories atau studi kasus. Sehingga dengan studi kasus merupakan instrumental yang bersifat deskriptif terhadap permasalahan komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut Kecamatan Pontianak Selatan yang tinggal di sekitar daerah tumpukan sampah.
3.3 Tempat dan Waktu Kajian
35
Kajian ini dilakukan di RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak. Alasan memilih lokasi penelitian ini karena selama berpuluh-puluh tahun masyarakat hidup dengan sungai yang penuh sampah dan tidak mendapatkan pelayanan pengangkutan sampah dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Pelaksanaan kajian akan dilakukan pada saat pelaksanaan Praktek Lapangan I, Praktek Lapangan II dan Pelaksanaan Kajian. Waktu pelaksanaan kajian dilaksanakan dengan rincian sebagai berikut: Tabel 3.1 Jadwal Pelaksanaan Kajian No
Tahun 2008 (bulan)
Kegiatan
1.
Pemetaan sosial komunitas
2.
Evaluasi program
3.
Pembuatan rencana kerja lapangan (proposal)
4.
Pengumpulan data kajian
5.
Pengelolaan, analisis data dan penyusunan laporan
2 √
3 √
4
5
6
√
√
7
8
√
√
9
10
11
12
√
√
√
Tahun 2009 (bulan) 1 2
√ √
√
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan teknik yang berkaitan dengan alat-alat atau instrumen sarana untuk memperoleh data. Menurut sifatnya data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data primer yang digunakan adalah: 1. Wawancara semi-terstruktur yaitu pada wawancara yang semi-terstruktur ini menggunakan pertanyaan yang terbuka. Isu-isu relevan diharapkan diikuti lagi oleh pertanyaan lanjutan untuk menggali lebih banyak informasi. Informan yang diwawancarai adalah para pejabat teras, atau kelompok yang dipilih, atau
36
campuran
kelompok-kelompok.
Pelaksanaan
wawancara
dengan
memperhatikan: a. Rangkaian wawancara. Rangkaian wawancara yang dilakukan dengan tokoh-tokoh kunci yang berbeda, kelompok yang berbeda, serta dengan orang yang mempunyai spesialisasi, merupakan urutan yang sangat berguna dalam pengumpulan data. b. Pengajuan pertanyaan. Pengajuan pertanyaan yang langsung pada pokok masalah tanpa banyak bertele-tele membuat wawancara menjadi lebih dinamis. 2. Focus Group Discussion (FGD) yaitu kegiatan untuk memahami kemampuan dan kemauan masyarakat berdasarkan potensi dan permasalahan yang ada untuk merancang program pengembangan masyarakat. FGD dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti. 3. Pengamatan langsung/observasi yaitu pengamatan terhadap struktur fisik, perbedaan-perbedaan sosial, sikap, tindakan-tindakan, dan simbol baik sendiri-sendiri maupun kebersamaan memberikan informasi yang penting untuk menyusun pertanyaan yang terfokus. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui dokumentasi yaitu mempelajari arsip-arsip atau dokumen-dokumen yang terkait dengan penanganan sampah. Matriks 3.1 Tujuan dan Teknik Pengumpulan Data No.
1.
2.
Tujuan
Mengetahui pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat di komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna di Kota Pontianak. Memahami pengembangan pengelolaan sampah
Aspek
Sumber data
- Cara pengelolaan sampah - Pembentukan pengelolaan sampah secara swadaya
- Komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna
Operasional penanganan sosial: - Pewadahan sampah
- Komunitas RT 02 RW 07
Cara Pengumpulan Data - Wawancara - Observasi
- Wawancara - Observasi
37
3.
4.
berbasis masyarakat bagi komunitas pinggir Sungai Kapuas di Kota Pontianak Mengidentifikasi masalah pengelolaan sampah yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di pinggir Sungai Kapuas di Kota Pontianak
Mengembangkan bentuk program pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dapat dibangun bagi komunitas pinggir Sungai Kapuas di Kota Pontianak
- Pengumpulan sampah - Pembuangan sampah - Pengolahan sampah Fakor penghambat dan pendorong masyarakat dalam pengelolaan sampah Ketidakberdayaan komunitas: - Ketidakberuntunga n - Kekuasaan terhadap definisi kebutuhan Modal sosial komunitas: - Kepemimpinan komunitas - Dana komunitas - Sumberdaya material - Pengetahuan komunitas - Proses pengambilan keputusan - Teknologi komunitas - Organisasi komunitas Pengelolaan lingkungan sosial: - Pengelompokan sosial - Penataan sosial - Media sosial - Pranata sosial - Pengendalian dan pengawasan sosial Strategi pengembangan kelembagaan
3.5 Analisis Data
- Tokoh masyarakat - Ketua RT
- Komunitas RT 02 RW 07 - Tokoh masyarakat - Ketua RT
- FGD - Wawancara
- Komunitas - Wawancara RT 02 RW - Observasi 07 - FGD - Tokoh masyarakat - Ketua RT - Dinas terkait - LSM - Pengusaha
38
Pada tahap awal adalah pengumpulan data primer dan data sekunder yang telah diperoleh di lapangan menurut subjek penelitian. Data yang terkumpul disunting untuk menentukan kelengkapan dan keabsahan data. Selanjutnya data ditelaah dan dihimpun berdasarkan fakta-fakta menurut unit analisisnya. Adapun tahap reduksi data yang dilakukan sebagai berikut: 1. Unitasi data, yaitu melakukan identifikasi informasi hasil dialog yang memiliki makna dan relevan dengan konsep-konsep yang diteliti. Informasi yang diperoleh dari lapangan (hasil wawancara, hasil diskusi kelompok terfokus, dan foto) pada umumnya direkam dan dicatat, sehingga memudahkan melakukan tahapan unitasi informasi. 2. Kategorisasi data, merupakan kegiatan pengelompokkan informasi hasil unitasi.
Kategorisasi
data
tidak
hanya
dilakukan
melalui
kegiatan
pengelompokkan aspek-aspek penelitian, namun juga mulai pilah-pilah tingkatan informasi yang relevan. 3. Analisis dan interprestasi, yaitu langkah yang sepenuhnya dilakukan oleh penulis untuk konseptualisasi informasi yang telah dikategorikan, termasuk dalam langkah ini dilakukan juga analisis data secara induktif dengan menggunakan content analysis yaitu satu proses yang tujuannya membuat informasi yang berhasil dihimpun menjadi jelas dan membuatnya menjadi eksplisit.
3.6 Penyusunan Rancangan Program
Penyusunan rancangan program menggunakan pendekatan partisipasi yang mengutamakan peran serta sesuai dengan keinginan dan kemauan komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut Kecamatan Pontianak Selatan sebagai subjek dari pengembangan masyarakat. Model yang digunakan adalah model pengembangan masyarakat. Teknik yang akan digunakan adalah FGD dengan masyarakat dalam rangka pemberdayaan komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak. Rancangan program disusun dengan langkah-langkah sebagai berikut:
39
1. Membahas dan menentukan masalah yang dihadapi sesuai dengan pendapat komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut. 2. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat dan membuat pilihan berbagai alternative penanganan sampah sesuai dengan keinginan masyarakat sehingga penyusunan rancangan program.
40
IV. PETA SOSIAL KELURAHAN BENUA MELAYU LAUT KECAMATAN PONTIANAK SELATAN KOTA PONTIANAK
Pemetaan sosial dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan dalam penanganan masalah sosial. Pemetaan sosial (social mapping) adalah proses penggambaran masyarakat yang sistemik serta melibatkan pengumpulan data dan informasi mengenai masyarakat termasuk di dalamnya profil dan masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Salah satu bentuk atau hasil akhir pemetaan sosial biasanya berupa suatu peta sosial yang sudah diformat sedemikian rupa sehingga
menghasilkan
suatu
image
mengenai
pemusatan
karakteristik
masyarakat atau masalah sosial.
4.1 Lokasi
Kelurahan Benua Melayu Laut merupakan kelurahan yang berada di tengah pusat perdagangan, yang memiliki luas 84,431 Ha. Orbitasi (jarak dari pusat pemerintahan kelurahan) dapat dilihat tabel sebagai berikut: Tabel 4.1 Orbitasi, Jarak dan Waktu Tempuh Ke Kelurahan No. Orbitasi 1. Kelurahan yang terjauh 2. Pusat kedudukan wilayah kerja 3. Ibukota propinsi
Jarak (km) 7 3 2,5
Waktu (jam) ½ 1/6 1/6
Sumber: Monografi Kelurahan Benua Melayu Laut, 2007.
Kampung Kamboja berada di Kelurahan Benua Melayu Laut Kecamatan Pontianak Selatan dan memiliki beberapa RT yang salah satunya adalah RT 02 RW 07 yang berada di pinggir Sungai Kapuas. Posisi RT 02 RW 07 berada di tengah Kampung Kamboja. Secara geografi Kampung Kamboja berbatasan dengan beberapa wilayah, meliputi: Sebelah utara berbatasan dengan Sungai Kapuas. Sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Tanjung Pura. Sebelah barat berbatasan dengan Gang Baru.
41
Sebelah timur berbatasan dengan Jalan Perintis Kemerdekaan. Warga asli Kampung Kamboja merupakan suku melayu yang bertempat tinggal di pinggir sungai sedangkan masyarakat yang berada di darat merupakan warga pendatang di Kampung Kamboja dengan suku cina. Adanya perbedaan etnis di Kampung Kamboja tidak menimbulkan masalah. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh warga Kampung Kamboja, warga pendatang di Kampung Kamboja ikut berpartisipasi memberikan dana untuk kegiatan yang akan diadakan di Kampung Kamboja.
4.2 Struktur Penduduk
Untuk mengetahui suatu wilayah apakah struktur penduduknya merupakan beban pembangunan atau telah menjadi modal pembangunan yang produktif adalah sebagai berikut: a. Rasio jenis kelamin Diketahui jumlah penduduk Kelurahan Benua Melayu Laut dengan jumlah laki-laki 5316 orang dan jumlah perempuan 5188 orang. Sehingga diperoleh rasio sebagai berikut: Rasio Jenis Kelamin =
Penduduk laki - laki xk Penduduk perempuan
Rasio Jenis Kelamin =
5316 x100 5188
Rasio jenis kelamin adalah 102,5 berarti jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan lebih banyak laki-laki sebesar 2,5 % dari perempuan. b. Struktur Umur Penduduk Struktur umur penduduk juga ditunjukkan oleh umur median. Umur median adalah umur yang membagi dua penduduk suatu wilayah. Semakin tinggi umur median merupakan indikasi penduduk yang semakin tua, sebaliknya semakin rendah umur median menunjukkan semakin muda penduduk suatu wilayah. Biasanya penduduk yang umur median kurang dari 20 tahun di
42
golongkan sebagai “penduduk muda”, dan yang umur median 30 tahun keatas di golongkan sebagai “penduduk tua”. Umur penduduk yang tua merupakan modal pembangunan sebagai sumberdaya manusia untuk masa yang akan datang. Penduduk yang tua akan lebih produktif untuk menanggung beban penduduk yang tidak produktif. Tabel 4.2 Jumlah Penduduk menurut Kumulatif Umur No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Usia (tahun)
Jumlah Penduduk (orang) 388 427 494 1114 1184 1189 1076 863 3768 10503
0–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 tahun ke atas Jumlah
Kumulatif Jumlah Penduduk (orang) 388 815 1309 2423 3607 4796 5872 6735 10503
Sumber: Monografi Kelurahan Benua Melayu Laut, 2007. Pr
Lk
40 keatas 35-39 30-34 25-29 20-24 15-19 10-14 5-9 0-4
1,000
0
1,000
2,000
3,000
Gambar 4.1 Komposisi Penduduk Kelurahan Benua Melayu Laut P − Fzm Um = Bum + ( 2 )k Fzm 10503 − 5872 Um = 34,5 + ( 2 )5 1184
4,000
43
Um = 34,5 – 2,6 Um = 37,1 Sehingga dapat disimpulkan bahwa penduduk Kelurahan Benua Melayu Laut adalah penduduk tua karena umur mediumnya diatas 30 tahun. Warga RT 02 RW 07 memiliki banyak umur yang produktif sehingga memiliki banyak tenaga kerja. Dengan keterbatasan lapangan pekerjaan maka warga masih banyak yang belum bekerja. Oleh karena itu di wilayah ini perlu dibangun lapangan pekerjaan yang baru. Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Komunitas RT 02 RW 07 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Usia (tahun) 0–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 + Jumlah
Laki-Laki (orang) 10 9 9 13 20 29 18 12 12 11 8 8 13 167
Perempuan (orang) 6 11 12 15 13 21 14 9 16 10 7 9 10 153
Sumber: Olahan Penulis dari Kartu Keluarga RT 02 RW 07 Lk
Pr
60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29 20-24 15-19 10-14 5-9 0-4
40
30
20
10
0
10
20
30
Gambar 4.2 Komposisi Penduduk Komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut
44
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa struktur penduduk RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut merupakan penduduk tua sehingga banyak penduduk produktif yang bisa menjadi modal pembangunan. Hal ini menunjukkan adanya tenaga kerja untuk menjadi kelompok pengelola sampah. Untuk menjadi pengelola sampah tidak memerlukan pendidikan tinggi. Sedangkan jumlah penduduk menurut agama adalah sebagai berikut: Tabel 4.4 Jumlah Penduduk menurut Agama No 1. 2. 3. 4. 5.
Agama Islam Khatolik Protestan Hindu Budha
Jumlah (orang) 5538 317 741 20 3888
Frekuensi (%) 53 3 7 0.1 37
Sumber: Monografi Kelurahan Benua Melayu Laut, 2007.
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa 37 % jumlah penganut agama budha karena sebagian besar warga beretnis cina di Kelurahan Benua Melayu Laut. Kelurahan Benua Melayu Laut memiliki banyak warganya yang beretnis cina karena kelurahan ini merupakan pusat perdagangan. Mayoritas penduduk di Kota Pontianak beragama islam dengan 53% dari jumlah penduduk di kelurahan.
4.3 Mobilitas Penduduk Mobilitas penduduk adalah perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain. Mobilitas penduduk akan berpengaruh kepada kepadatan penduduk pada suatu wilayah tertentu. Hal ini mengakibatkan kepadatan penduduk yang tidak sama antar satu wilayah dengan wilayah lainnya. Terjadinya mobilitas penduduk di Kelurahan Benua Melayu Laut karena pindah antar kelurahan, datang, lahir dan mati dengan data sebagai berikut: Tabel 4.5 Mutasi Penduduk No. 1. 2.
Penyebab Mutasi Penduduk Pindah antar kelurahan Datang
Laki-laki (orang) 71 53
Perempuan (orang) 76 47
Jumlah (orang) 147 100
45
3. 4. 5. 6.
Lahir Mati Mati < 5 tahun Mati > 5 tahun
43 51 51
93 35 35
136 86 86
Sumber: Monografi Kelurahan Benua Melayu Laut, 2007.
Terjadinya perpindahan penduduk antar kelurahan karena pernikahan warga dengan warga kelurahan lain. Disamping itu juga disebabkan warga mencari pekerjaan di daerah lain. Adanya perpindahan penduduk ke Kelurahan Benua Melayu Laut karena kelurahan merupakan pusat perdagangan sehingga orang mencari pekerjaan di tempat tersebut dan menetap di kelurahan.
4.4 Struktur Nafkah Struktur nafkah adalah mata pencaharian seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Struktur nafkah dipengaruhi oleh kondisi wilayah tempat tinggal warga apakah termasuk perkotaan atau pedesaan. Struktur nafkah di perkotaan akan lebih bervariasi dibandingkan dengan pedesaan. Untuk mata pencaharian di Kelurahan Benua Melayu Laut termasuk wilayah pusat perdagangan Kota Pontianak. Adapun mata pencaharian penduduk yang ada di Kelurahan Benua Melayu Laut adalah sebagai berikut : Tabel 4.6 Mata Pencaharian Penduduk No 1. 2. 3.
Mata Pencaharian Pegawai negeri Pengusaha Buruh
Jumlah Penduduk (orang) 383 1165 3658
Frekuensi(%) 8 22 70
Sumber: Monografi Kelurahan Benua Melayu Laut, 2007.
Berdasarkan data di atas menunjukkan 70% pekerjaan sebagai buruh karena sebagian besar pemilik toko adalah etnis Cina sehingga merekrut karyawan dari etnis yang sama untuk pekerjaan administrasi sedangkan untuk pekerjaan kasar ditempatkan orang-orang pribumi. Sebagian besar pemilik toko tidak tinggal di daerah tersebut sehingga data hanya menunjukkan 98 pengusaha yang berada di kelurahan. Pengusaha yang tinggal di wilayah kelurahan merupakan pengusaha
46
yang menengah. Bagi pemilik toko yang besar akan bertempat tinggal di kompleks perumahan elit Kota Pontianak.
4.5 Struktur Sosial
Interaksi dalam sistem sosial merupakan aspek fungsional manusia menempati posisi-posisi dan menjalankan peran-perannya. Implikasi dari proses diatas terwujud unsur-unsur sosial dalam sebuah jejaring yang dikonsepkan sebagai struktur sosial. Unsur memahami struktur sosial terdiri dari lembaga, kelompok dan pelapisan sosial. Ketiga unsur yang tidak lain bagian dari konsep masyarakat. Sedangkan dalam kerangka masyarakat sendiri tidak terpisahkan apa yang disebut dengan kebudayaan.
4.5.1 Organisasi Sosial
Terselenggaranya kegiatan bersama kelompok manusia dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama memerlukan sarana dan alat yang dapat dijadikan wadah atau tempat terselenggaranya kegiatan tersebut, adapun wadah atau tempat yang dimaksud yaitu organisasi. Organisasi sosial yang ada di RT 03 RW 07 yaitu : 1. Generasi Melayu Kampung Kamboja (GMKK) GMKK merupakan perkumpulan pemuda melayu yang ada di Kampung Kamboja dengan kegiatan sebagai berikut : a. Kerja bakti membersihkan kuburan dan sampah yang di parit. b. Pada saat idul fitri menyiapkan meriam karbit di tepi Sungai Kapuas. c. Pada saat 17 Agustus mengadakan kegiatan di kampung seperti panjat pinang dan mainan anak-anak. d. Pada saat Maulid mengadakan ceramah yang diurus oleh GMKK. e. Kegiatan olah raga yaitu sepak bola dan panjat tebing. Kegiatan olah raga tersebut biasa ikut dalam pertandingan di Kota Pontianak.
47
2. Posyandu Kegiatan posyandu dilaksanakan setiap bulan pada tanggal 18. Adapun kegiatan posyandu ini adalah pengukuran tensi ibu hamil dan penyuluhanpenyuluhan kesehatan seperti pencegahan DBD, pemakaian kontrasepsi dan lain-lain. Kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan pada saat posyandu masih sebatas bidang kesehatan belum mengarah kepada kebersihan lingkungan. Pelaksanaan posyandu ini telah berlangsung lama dan pernah mengalami perpindahan pada tahun 1992 di rumah Pak Tha sebagai tempat posyandu karena sedikit ibu-ibu yang membawa anaknya ke posyandu. 3. Adrasah Adrasah adalah kesenian adat melayu. Kesenian adrasah adalah nyanyian menggunakan gendang. Para pemain adrasah adalah pemuda Kampung Kamboja. Latihan adrasah dilakukan minimal sebulan sekali. Perkumpulan adrasah merupakan peninggalan dari nenek moyang dulu yang diwariskan kepada pemuda Kampung Kamboja. Perkumpulan ini telah mengikuti perlombaan tingkat nasional. Penampilan adrasah biasa digunakan pada saat ada panggilan nikahan atau acara-acara lain dari masyarakat. Kesenian adrasah ini dapat tampil dalam segala acara dengan nyanyian gendang yang disesuaikan dengan tema acara. Bagi penduduk adrasah merupakan kegiatan untuk mempererat persaudaraan pemuda Kampung Kamboja dan juga merupakan kebanggaan masyarakat Kampung Kamboja yang dahulu sering menang dalam kejuaraan nasional. 4. Posyandu Lansia Di Kampung Kamboja memiliki perkumpulan lansia dengan kegiatan pengecekan tensi dan memberikan vitamin kepada para lansia oleh bidan dari Dinas Kesehatan. Pengecekan tensi ini dilakukan sebulan sekali pada tanggal 20. Kegiatan lain yang dilakukan adalah senam lansia yang hanya berlangsung selama 4 bulan karena ketergantungan para lansia kepada ketua sehingga pada saat ketua tidak aktif dalam kegiatan senam maka para lansia tidak mengikuti senam tersebut. Kegiatan posyandu belum pernah menangani masalah kebersihan lingkungan.
48
5. Pengajian Pengajian dilakukan setiap hari Selasa pukul 13.00 – 15.00 Wib. Tujuan pengajian untuk memperdalam Alquran dengan peserta yang terdiri dari ibu rumah tangga berjumlah 50 orang. Pelaksanaan pengajian tidak pernah diikuti oleh penyuluhan atau sosialisasi tentang kebersihan lingkungan.
4.5.2 Pelapisan Sosial
Pembedaan sosial dikenal dalam hubungan antar manusia. Pembedaan sosial individu ini kemudian mengenal kesamaan ciri dalam satuan kumpulan orang, yang secara sosiologis dikenal sebagai pelapisan sosial. Sistem pelapisan sosial dalam masyarakat terjadi karena terdapat hal-hal tertentu yang dihargai di dalam masyarakat, seperti kekayaan yang dimiliki, kekuasaan, pendidikan formal yang ditempuh, keaktifan dalam kegiatan keagamaan/kemasyarakatan serta pekerjaan. Pelapisan sosial yang ada berdasarkan petuah atau orang yang dituakan, pekerjaan dan pendidikan. Adanya pelapisan sosial di kampung tersebut tidak menimbulkan konflik tetapi saling melengkapi antara yang kurang mampu dan mampu. Hal ini dapat dilihat pada saat kemarau masyarakat mengalami kesulitan air bersih untuk minum maka penduduk yang tidak memiliki air hujan sebagai persediaan air minum, mereka dapat meminta kepada warga yang memiliki PDAM. Setiap hari warga memiliki jatah satu ember air. 4.5.3 Jejaring Sosial
Jejaring sosial adalah adanya ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal. Jejaring yang terbentuk dapat bersifat horizontal dan vertikal. Sehingga jejaring sosial yang terjalin di komunitas RT 02 RW 07 adalah sebagai berikut: 1.
Ketua RT yang mengikuti pengarahan dari kepala kelurahan berupa sosialisasi maupun bantuan dana dari Pemerintah Kota Pontianak berupa bantuan gerobak, dana bergulir dan lain-lain. Ketua RT memiliki jaringan lebih luas karena ketua RT yang mengurus surat-menyurat dari warga untuk pembuatan KTP, KK dan lain-lain. Oleh karena itu, Ketua RT lebih banyak
49
kenalan dengan pegawai kecamatan/dinas/kantor dan badan Kota Pontianak. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut: Masyarakat Kampung Kamboja
Ketua RT
Kelurahan/Kecamatan/Dinas/Kan tor/Badan - Dalam pembuatan surat - Pemberian Bantuan - Musrenbang Kelurahan
Gambar 4.3 Jaringan Masyarakat terhadap Pemerintah 2.
Partai melakukan kampanye di Kampung Kamboja berupa ceramah dari Calon Walikota Pontianak, pelayanan kesehatan dengan pemeriksaan dari dokter dan bantuan obat secara gratis, pemberian bantuan mesin potong rumput yang diserahkan kepada Ketua RT untuk Kampung Kamboja membersihkan kuburan bagi kepentingan warganya. Partai Politik
Ketua RT
Komunitas RT 02 RW 07
Gambar 4.4 Jaringan Masyarakat dalam Partai Politik 3.
Komunitas RT 02 RW 07 mendapatkan bantuan dari NUSSP (Neighborhhod Upgrading and Shelter Sector Project) sebagai pencanangan “Gerakan Masyarakat Peningkatan Lingkungan Kumuh”, maka diperlukan penanganan lingkungan permukiman kumuh yang memiliki salah satu program persampahan. Tetapi peluang tersebut tidak digunakan oleh masyarakat karena belum mampu mengidentifikasi masalah persampahan dan masih sebatas pada penerangan jalan. Berikut ini adalah jaringan yang dilakukan komunitas.
50
Dinas Pekerjaan Umum Kota Pontianak Konsultan Badan Keswadayaan Masyarakat Melaksanakan program NUSSP wujud partisipasi
Masyarakat Kampung Kamboja
Kelompok Keswadayaan Masyarakat
Gambar 4.5 Jaringan Masyarakat dalam Program NUSSP
4.6 Masalah sosial
Masalah pada hakekatnya merupakan kebutuhan, karena masalah mencerminkan adanya kebutuhan dan sebaliknya kebutuhan apabila tidak dipenuhi akan menimbulkan masalah. Masalah pada dasarnya merupakan pernyataan status kondisi secara ‘negatif’ sedangkan kebutuhan menyatakan secara ‘positif’. Menurut Horton dan Leslie dalam Suharto (2006) masalah sosial adalah status kondisi yang dirasakan banyak orang tidak menyenangkan serta menuntut pemecahan melalui aksi sosial secara kolektif. Masalah sosial yang belum dapat tertangani oleh komunitas RT 02 RW 07 adalah sebagai berikut: Banyaknya sampah di sekitar rumah penduduk yang berada di pinggir sungai. Hal ini terjadi karena warga membuang sampah ke sungai dan sampah yang berada di Sungai Kapuas menepi sehingga sampah memenuhi di bawah rumah penduduk. Sampah tersebut datang dari hulu dan hilir Sungai Kapuas yang menepi di bawah rumah penduduk. Secara kultur komunitas pinggir sungai menganggap sungai adalah tempat pembuangan. Selain itu, masyarakat yang berada di pinggir sungai tidak pernah mendapatkan pengangkutan sampah dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan karena pengangkutan sampah hanya dilakukan di TPS yang tersedia pada wilayah kelurahan tersebut. Mengingat masyarakat yang berada di pinggir
51
sungai berada dalam gang maka pengangkutan sampah di daerah tersebut tidak mendapatkan pelayanan pengangkutan sampah. Berikut ini adalah beberapa pandangan permasalahan sampah yang ada di komunitas: 1.
Dari sudut pandang penanganan sampah dari pemerintah Secara historis warga Kampung Kamboja merupakan -
Penduduk yang kurang pendidikan,
-
Sejarah tahun 70an ada warga Kampung Kamboja yang terkena tembak misterius karena melakukan kejahatan,
-
Pemuda yang banyak pengangguran.
Berdasarkan hal tersebut menimbulkan kesan terhadap warga Kampung Kamboja yang berada di tepi sungai -
Budaya yang turun temurun membuang sampah di tepi sungai,
-
Orang yang tidak peduli terhadap kebersihan.
Menurut pandangan pemerintah tidak adanya tempat sampah di Kampung Kamboja karena -
Kurangnya dana dari pemerintah,
-
Kebijakan pemda yang mengurangi jumlah TPS agar kota tanpa lebih bersih dengan pengurangan TPS,
-
Pemda yang menfokuskan penanganan sampah diperkotaan yang belum tertangani,
2.
Masyarakat yang tidak mau membuang sampah di TPS yang tersedia.
Dari sudut pandang penanganan sampah dari masyarakat Kampung Kamboja yang peduli sampah Menurut masyarakat Kampung Kamboja bahwa TPS dihilangkan dan tidak ada disediakan tempat sampah untuk pengangkutan bagi warga yang berada di pinggiran sungai. Dengan keadaan ini, masyarakat membuat tempat sampah tetapi tidak ada yang membakar dan petugas kebersihan tidak mengangkut sampah tersebut yang berada di dalam gang. Masyarakat merasa pelaksanaan pengangkutan adalah kewajiban pemda karena adanya pembayaran retribusi sampah. Karena masyarakat pinggir sungai tidak memiliki tempat sampah sehingga membuang sampah ke sungai.
52
3.
Dari sudut pandang masyarakat dalam penanganan sampah masyarakat Kampung Kamboja yang kurang peduli penanganan sampah. Masyarakat Kampung Kamboja telah turun temurun membuang sampah di sungai. Dulu sampah yang dibuang ke sungai terbuat dari dedaunan, belum berkembangnya plastik. Kebiasaan membuang sampah disungai tidak hilang sampai sekarang karena tidak mempunyai dampak langsung terhadap mereka. Masyarakat mengetahui dampak sampah yang akan mendangkalkan Sungai Kapuas karena selama turun temurun Sungai Kapuas tetap ada dan menjadi tempat sampah. Membuang sampah kesungai tidak akan berdampak apapun terhadap kebersihan sungai karena sampah rumah tangga sedikit dan sungai Kapuas besar kapasitas untuk menampung sampah.
4.7 Ikhtisar Pemetaan sosial diatas dapat ditelaah sebagai berikut: Matriks 4.1 Telahaan Pemetaan Sosial No. 1. 2.
Telaahan terhadap Struktur penduduk Mobilitas penduduk
3.
Struktur nafkah
4.
Struktur sosial
5.
Masalah sosial
Fakta Banyak penduduk yang produktif Mayoritas perpindahan penduduk karena adanya pernikahan dan pekerjaan di tempat yang berbeda Matapencaharian terbesar adalah buruh sehingga penduduk memiliki pendapatan rendah Organisasi sosial yang dimiliki masyarakat adalah GMKK, posyandu, adrasah, pengajian. Pelapisan sosial yang ada di komunitas berdasarkan tingkat pendidikan dan kekayaan. Sampah yang menumpuk di bawah rumah penduduk. Sampah tersebut dari hulu dan hilir sungai yang menei di bawah rumah penduduk.
Sedangkan pola pengelolaan sampah secara umum di Kelurahan Benua Melayu Laut Kecamatan Pontianak Selatan selama ini ditandai dengan karakteristik sebagai berikut:
53
a. Pelayanan pengangkutan sampah hanya dilakukan di TPS yang tersedia sehingga bagi masyarakat yang berada di dalam gang tidak mendapatkan pelayanan pengangkutan sampah. b. Pengelolaan sampah yang ada di komunitas pinggir sungai masih berupa bakar dan buang sampah ke sungai. c. Komunitas pinggir sungai sudah lama membuang sampah ke sungai. d. Masyarakat sudah terbiasa hidup dengan sampah di bawah rumah mereka karena terbawa arus dari sungai ke pinggir sungai. Oleh karena itu sejumlah persoalan yang perlu diperhitungkan bila pengelolaan sampah berbasis masyarakat akan diterapkan, adalah: a. Kebijakan dari pemerintah untuk mendukung penerapan pengelolaan sampah berbasis masyarakat bagi tempat yang tidak pernah mendapatkan pelayanan pengangkutan sampah. b. Kolaborasi dari stakeholder agar turut berpartisipasi dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. c. Masyarakat yang turut berpartisipasi dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. d. Teknologi merubah sampah menjadi nilai ekonomi yang mudah dilakukan masyarakat pada tingkat rumah tangga dan komunal.
54
V. EVALUASI SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH OLEH DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KOTA PONTIANAK
5.1 Gambaran Manajemen dan Organisasi Pengelolaan Sampah di Kota Pontianak
Pengelolaan sampah di Kota Pontianak merupakan tanggungjawab Dinas Kebersihan dan Pertamanan yang mencakup pelayanan sampah dengan jumlah penduduk Kota Pontianak saat ini lebih dari 500 juta jiwa dengan jumlah timbunan sampah yang harus dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan adalah sekitar 1.400 m3 setiap harinya. Dari pelayanan persampahan di Kota Pontianak meliputi 5 kecamatan yaitu: 1. Kecamatan Pontianak Kota 2. Kecamatan Pontianak Barat 3. Kecamatan Pontianak Selatan 4. Kecamatan Pontianak Timar 5. Kecamatan Pontinaak Utara Cakupan pelayanan persampahan khususnya pelayanan angkutan baru mencapai 60 persen pada daerah pemukiman dari total jumlah penduduk. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sampah dalam memberikan pelayanan di Dinas Kebersihan dan Pertamanan adalah : 1. Sumberdaya manusia yang kurang memahami untuk mengikutsertakan masyarakat dalam menerapkan 3RC. Hal ini karena pemerintah belum melaksanakan pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah secara swadaya untuk masyarakat yang belum mengetahui pengelolaan sampah secara swadaya. 2. Sedikitnya intensitas penyuluhan yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan untuk memberikan pengarahan masyarakat dalam
mengelola
sampah. Setiap tahun penyuluhan dilakukan 24 kali dengan jumlah kelurahan
55
sebanyak 24 sehingga setahun sekali satu kelurahan mendapatkan penyuluhan dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan. 3. Adanya ego sektoral dalam pengelolaan sampah yang dilakukan oleh instansi terkait. Instansi terkait tidak melibatkan Dinas Kebersihan dan Pertamanan dalam melakukan pengelolaan sampah. Hal ini menyebabkan penanganan sampah masih bersifat parsial. Pengelolaan sampah memerlukan pelibatan seluruh instansi terkait yang saling berhubungan satu sama lain yang membutuhkan integrasi sehingga tercapai lingkungan yang bersih. 4. Kurangnya tenaga teknis yang ikut dalam pelatihan untuk mengorganisasikan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Hal ini yang menyebabkan kegiatan yang dilakukan Dinas Kebersihan dan Pertamanan masih mengandalkan teknologi. Masyarakat belum digerakkan dalam pengelolaan sampah. 5. Bantuan pengelolaan sampah akan diberikan kepada pemerintah jika masyarakat sudah melaksanakan pengelolaan sampah secara swadaya terlebih dahulu. 6. Belum diterapkannya paradigma pengembangan masyarakat dalam mengelola sampah dengan memberdayakan masyarakat yang belum mampu melakukan pengelolaan sampah. 7. Kurang disiplin pegawai melaksanakan tugas pelayanan sampah untuk menempati jadwal pengangkutan sampah yang telah ditentukan. Hal ini dapat dikatakan bahwa pemerintah belum mampu mengelola sampah seluruh Kota Pontianak.
5.2 Rencana Strategi Pengelolaan Sampah Tahun 2005 - 2009
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Pontianak akhir-akhir ini menjadi sorotan oleh masyarakat kota dalam pelayanan publik terutama tentang pelayanan kebersihan yang masih dianggap kurang memuaskan. Masyarakat mulai mempertanyakan akan nilai yang diperolah atas pelayanan yang dilakukan baik kualitas maupun kuantitas. Dalam era otonomi daerah sekarang ini sasaran yang diperlukan adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat umum sekaligus menampung aspirasi masyarakat itu sendiri. Adapun rencana strategi tahun 2005 – 2009 Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Pontianak sebagai berikut:
56
VISI Mewujudkan Kota Pontianak yang Bersih, Hijau, Teduh didukung Peran Serta Masyarakat
MISI Meningkatkan pengelolaan pelayanan kebersihan dan sanitasi pada masyarakat Meningkatkan peran serta masyarakat instansi pemerintah dan swasta dalam pengelolaan kebersihan lingkungan Meningkatkan peran serta masyarakat, instansi pemerintah dan swasta dalam pengelolaan 1. Terbentuknya kelompok kebersihan di masyarakat 2. Tersedianya sarana kebersihan swadaya masyarakat 3. Jumlah kemitraan masyarakat pengelolaan sampah 4. Jumlah kemitraan instansi
Meningkatkan peran serta dan kemitraan dalam pengelolaan persampahan/kebersihan
TUJUAN
SASARAN
INDIKATOR
KEBIJAKAN
Meningkatkan pengelolaan pemusnahan sampah (insenerasi) agar kualitas lingkungan hidup terjaga Tercapainya desentralisasi pembuangan sampah akhir dengan alat insenerator
1. Jumlah SDM yang memadai 2. Luas insenerasi yang memadai 3. Jumlah sampah yang dapat dimusnahkan
Menempatkan personil sesuai dengan bidang kegiatannya dan penguasaan management pengelolaan insenerasi untuk menunjang kelancaran alat pemusnah sampah
PROGRAM Peningkatan dan pemeliharaan kebersihan
Peningkatan dan pemeliharaan kebersihan
Peningkatan sarana dan prasarana kebersihan
Peningkatan peralatan kebersihan
KEGIATAN 1. Operasional Pengendalian TPA 2. Kerjasama operasional swakelola dan mitra kerja
1. Operasional pengendalian kegiatan pemusnah sampah (insenerasi) 2. Operasional pemusnah sampah dengan alat insenerator
1. Pembangunan dan pengadaan insenerator 2. Pembangunan jalam masuk insenerator 3. Pembangunan pagar insenerator
Gambar 5.1 Rencana Strategi Pengelolaan Sampah Kota Pontianak
1. Pengadaan kendaraan operasional 2. Pengadaan Genset 5000wat 3. Pengadaan karung plastik
57
Hal yang tersirat dalam visi Kota Pontianak bahwa pengelolaan lingkungan dilakukan dengan peranserta masyarakat. Untuk membangun peranserta masyarakat perlunya pengembangan masyarakat yang tertuang dalam misi. Dalam rangka mencapai misi tersebut Kota Pontianak memiliki tujuan yang benar dengan membangun jejaring, partisipasi masyarakat tetapi untuk tujuan menggunakan insenerasi kurang tepat karena penggunaan insenerator tidak mengubah perilaku masyarakat untuk melakukan pengelolaan sampah dengan cara memilah sampah organik dan anorganik. Dengan mengubah kebiasaan masyarakat memilah sampah akan lebih mudah mendaur ulang sampah. Dengan daur ulang sampah, akan menghasilkan nilai ekonomi. Hal ini akan membuka lapangan kerja baru dan memberdayakan masyarakat. Kelemahan menggunakan insenerator adalah pengelolaan sampah tergantung kepada teknologi. Pada saat teknologi rusak maka sampah akan bertumpuk. Selain itu biaya perawatan dan perbaikan mesin lebih besar daripada memberdayakan masyarakat untuk mengelola sampah. Adanya ketidaksesuaian antara indikator yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu terbentuknya kelompok kebersihan di masyarakat dengan realisasi program. Program yang ada masih sebatas kerjasama pihak ketiga dan operasional di TPA. Hal ini tidak mengarah kepada pembentukan kelompok sampah di masyarakat. Kebijakan pemerintah meningkatkan peran serta dan kemitraan dalam pengelolaan persampahan/kebersihan dapat dilakukan dengan program kolaborasi antara stakeholder yaitu dana Coorporate Social Responsibility (CSR) dan dana dari LSM yang dapat dikombinasikan dengan dana pemerintah untuk mewujudkan visi Kota Pontianak. Sedangkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat
dapat
dilakukan
dengan
pengembangan
masyarakat
seperti
pembentukan kelompok sampah. Selain itu kebijakan untuk menempatkan personil sesuai dengan kegiatannya dan penguasaan manajemen pengelolaan insenerator untuk menunjang kelancaran
alat pemusnah sampah sebaiknya
dengan menempatkan personil dengan kegiatan pengorganisasian masyarakat untuk
menunjang
pengelolaan
sampah
berbasis
masyarakat.
Dengan
menggerakkan masyarakat dalam mengelola sampah akan meringankan beban pemerintah untuk melakukan perencanaan, pengawasan dan pengevaluasian karena masyarakat dapat melakukan hal tersebut secara mandiri.
58
Program yang dilakukan pemerintah kurang tepat karena belum mengedepankan tujuan Kota Pontianak yaitu pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Adanya program peningkatan dan pemeliharaan kebersihan dengan kegiatan operasional pengendalian TPA dan kerjasama operasional swakelola dan mitra kerja, masih menunjukkan
kepada
pola kerjasama
dengan
pihak
ketiga dan
tidak
menggerakkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Sedangkan untuk program peningkatan dan pemeliharaan kebersihan, peningkatan sarana dan prasarana kebersihan dan peningkatan peralatan kebersihan sudah benar tetapi program tersebut sebaiknya tidak melalui kegiatan insenerasi tetapi dengan kekuatan masyarakat dalam mengelola sampah yang difasilitasi oleh program tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa rencana strategisbelum mengarah kepada basis komunitas – pengembangan masyarakat – CSR.
5.3 Teknik Operasionalisasi Pengelolaan Sampah Pasar Pengelolaan sampah yang diserahkan kepada swasta pertama kali pada Pasar Flamboyan dan Pasar Mawar yang menjadi pengelolaan sampah oleh swasta. Hal ini dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2000 yang dilaksanakan selama enam bulan dimulai dari Agustus sampai Januari 2001. Kerjasama ini diteruskan sampai tahun 2007. Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban Pemerintah Daerah Kota Pontianak dalam penanganan sampah. Adapun kerjasama operasional Pasar Mawar dan Pasar Flamboyan dengan kegiatan: 1. Melakukan penyapuan pada lorong-lorong dan bawah meja pedagang. 2. Melakukan pengangkutan sampah hasil penyapuan ke TPS. 3. Melakukan pembersihan saluran dalam lingkungan pasar. 4. Melakukan penyapuan pada lingkungan luar pasar/tempat parkir. 5. Memelihara sarana operasional kebersihan pasar. Sedangkan untuk pengumpulan sampah pada pasar-pasar tradisional dilakukan tenaga dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Pengumpulan sampah dilakukan setiap hari. Kegiatan dimulai dari penyapuan los-los, meja-meja jualan, lapak
59
halaman trotoar jalan sampai dengan sampah saluran got. Kegiatan ini dilakukan setiap hari oleh pekerja yang dikoordinir oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan mulai pukul 08.00 – 13.00 Wib. Sampah tersebut diangkut dengan gerobak sampah untuk dimasukkan kedalam dump truk/kontainer dan ada pula yang ditampung pada TPS yang di bangun disekitar pasar tersebut. Kemudian sampahsampah tersebut diangkut dengan dump truk/kontainer untuk dibawa ke TPA Batu Layang. Sampah pasar volumenya relatif meningkat pada saat tiba hari-hari besar, seperti Tahun Baru Masehi, Imlek, Cap Goh Me, Idhul Adha, Idul Firti, Hari Natal, Momentum Hari Nasional, Kegiatan Besar Propinsi dan Kota. Demikian pula pada musim buah, pada musim ini Kota Pontianak akan dibanjiri berbagai jenis buah sesuai dengan musimnya, terutama buah durian. Oleh karena itu, jika musim buah ini tiba maka timbunan volume sampah meningkat. Pada umumnya pada pada hari-hari besar volume sampah meningkat mencapai 100 persen -200 persen. Jenis buah-buah yang datang dari daerah adalah durian, rambutan, langsat, rambai, jambu, semagka, jeruk, melon dan mangga. Data volume sampah pada pasar-pasar sebagai berikut: Tabel 5.1 Data Volume Sampah di Pasar Kota Pontianak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Pasar Flamboyan Dahlia Mawar Kemuning Teratai Siantan Kenanga Puring Nipah Kuning Pasar Tengah Jumlah
Vol.sampah (M3)
Ritasi/hari 8 4 4 4 4 4 2 1 1 4 36
48 32 32 32 32 32 12 6 6 24 256
Sumber : Diolah Tim DKP, 2007.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sampah di pasar adalah sebagai berikut:
60
1.
Penempatan posisi antara pedagang belum tertib sehingga lorong-lorong tertutup menyebabkan kebersihan di los-los dan kios-kios disepanjang jalan masuk sulit dilakukan karena tempat estela dagangan tidak dirapikan kembali (banyak menggunakan meja permanen yang tidak bisa dipindahkan).
2.
Para pedagang membuang sampah tidak menggunakan kantong atau keranjang sampah. Sampah dibiarkan berserakan di tempat jualan sehingga memperlama kerja petugas mengumpulkan sampah untuk dibuang ke TPS.
3.
Banyak pedagang yang berjualan disepanjang jalan masuk pasar serta dilingkungan tempat parkir sehingga menyulitkan dalam penyapuan jalan luar/tempat parkir.
4.
Pasar di sapu pada pukul 08.00 – 13.00 Wib dan pasar tutup pada pukul 15.00 Wib sehingga pasar tidak bersih.
5.
Operasional pengangkutan sampah dari TPS pasar dilakukan dengan dua mobil. Pengangkutan sampah dapat diatasi dengan dua mobil pengangkutan. Pada saat satu mobil rusak maka sampah di TPS tidak dapat terangkut dan sampah menumpuk di TPS.
Tindakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang ada dengan kerjasama kepada pihak ke tiga. Hal ini tidak membuat perubahan yang signifikan untuk merubah perilaku masyarakat dalam mengelola sampah. Pelaksanaan pelayanan yang dilakukan masih sebatas membersihkan sehingga hal tersebut tidak mendapatkan perubahan perilaku masyarakat untuk membuang sampah pada tempat dan waktu yang telah ditentukan. Hal ini dibuktikan dengan ketidaktahuan pedagang tentang pengelolaan sampah yang dilakukan Dinas Kebersihan dan Pertamanan sehingga tidak mungkin menumbuhkan partisipasi pedagang dalam pengelolaan sampah untuk mengatasi masalah sampah di pasar. Masalah sampah adalah masalah perilaku manusia dalam mengelola sampah yang dihasilkan jika pelayanan yang dilakukan hanya sebatas pada pelayanan membersihkan maka Kota Pontianak tidak akan pernah bersih. Pertumbuhan sampah seiring dengan pertumbuhan penduduk. Kegiatan membersihkan bukan merupakan tanggungjawab dari pemerintah tetapi tanggungjawab masyarakat juga. Tetapi pelayanan yang dilakukan pemerintah belum pada tahap pemberi kesadaran masalah sampah merupakan masalah bersama untuk menciptakan lingkungan yang bersih. Berikut ini gambar adalah operasionalisasi pengangkutan sampah pasar, sebagai berikut:
61
Sampah
1. Buang sampah tidak pada tempatnya. 2. Wadah sampah tidak sesuai dengan volume sampah. 3. Pedagang tidak mengetahui pengelolaan sampah.
Pedagang membuang pada tempat sampah
Petugas mengangkut sampah di tempat sampah
1. Tidak ada ketentuan waktu pengangkutan sampah untuk pedagang. 2. Penyapuan dilakukan pada saat aktivitas pasar berlangsung. 3. Tidak ada sangsi atas kelalaian membuang sampah. 4. Tidak ada sosialisasi partisipasi untuk serta dalam pengelolaan sampah.
Pengangkutan ke kendaraan pengangkutan sampah
1. Petugas pasar dengan mobil angkutan tidak ada ketentuan waktu pengangkutan 2. Pengangkutan sampah dilakukan pada saat masih aktivitas pasar berlangsung.
Mengangkut sampah ke TPA
1. Sampah tidak ditutup dengan terpal. 2. Diangkut pada saat siang hari, masyarakat sedang beraktivitas menimbulkan pencemaran udara.
Gambar 5.2 Operasionalisasi Pengelolaan Sampah di Pasar
5.4 Pengelolaan Sampah Di Wilayah Pemukiman Penduduk Kota Pontianak
Operasionalisasi pengangkutan sampah di pemukiman Kota Pontianak dengan sistem Angkut - Kumpul – Buang. Pelayanan angkutan dilakukan di TPS yang akan diangkut oleh mobil angkutan sampah untuk diangkut ke TPA. Berdasarkan kemampuan operasional sarana angkutan yang ada diperkirakan yang terangkut ke TPA sebanyak 1600 m3/hari atau 534,40 ton/hari, sedangkan sisanya 496,04 m3/hari atau 165,35 ton/hari oleh masyarakat ada yang dibakar, ditimbun, dibuang ke sungai, dan tempat lainnya. Volume sampah kota yang terangkut dari TPS ke TPA tahun 2006 sebanyak 1.404 m3/hari atau 512.460 m3/tahun. Karakteristik pola pemindahan yang diterapkan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan adalah menggunakan pola pemindahan berupa kontainer berkapasitas sembilan m3/hari, sehingga termasuk dalam jenis transfer depo yaitu pemindahan berkapasitas
62
delapan sampai 16 m3/hari. TPS ini digunakan untuk melayani 5.000 – 10.000 jiwa/unit dengan radius standar + 500 m, sedangkan umur teknisnya adalah sepuluh tahun pemakaian. Transportasi angkutan sampah yang tersedia adalah sebagai berikut: Tabel 5.2 Daftar Armada Pengangkutan Sampah Untuk Pemukiman Kota Pontianak No
Jenis
Jumlah (unit)
Kondisi
1
Amr Roll Truck
9
Baik
2
Dump Truck Tipper
22
Baik
3
Compacktor
1
Baik
Sumber: Kondisi Bulan Nopember 2007, Diolah Tim DKP, 2007.
Cara pelayanan yang dilakukan dengan pengangkutan sampah adalah sebagai berikut: 1. Pelayanan Pengangkutan dengan Dump Truk Tipper Proses pengangkutan menggunakan dump truk tiper dengan kapasitas enam m3 dilakukan oleh pekerja Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Dump truk ini berjumlah 31 unit dengan rata-rata ritasi perhari tiga sampai lima rit/unit. Jadi ritasi yang terjadi dalam satu hari bisa mencapai 69 rit. Satu unit truk diwakili oleh satu orang supir disertai kru pengangkut sebanyak lima orang. Masingmasing truk yang ada dibagi tugas mengangkut beberapa TPS dan depo sesuai dengan kapasitas truk dan disesuaikan dengan hasil survey timbunan sampah oleh tim survey. Prakteknya dua orang pekerja berada diatas truk dan tiga orang lainnya dibawah (dua orang menaikkan keranjang dan satu menyusun sampah di dalam dump truk). Setelah sampah di dalam bak dan depo selesai dikerjakan maka lokasi tempat sampah tersebut juga dibersihkan dengan cara disapu. Peralatan standar digunakan adalah: keranjang rotan besar, sekop, penggaruk besar dan kecil dan sapu lidi ikat besar. Truk melakukan pengangkutan tiga kali dengan waktu: pagi, siang dan sore hari. Sampahsampah tersebut langsung diangkut ke TPA melalui jalur darat melewati dua
63
buah jembatan setiap hari non stop sepanjang tahun. Permasalahan yang dihadapi dengan sistem pengangkutan ini adalah: a. Pengangkutan sampah hanya akan dilakukan di daerah yang telah tersedia TPS. Bagi wilayah yang tidak tersedia TPS, tidak mendapatkan pelayanan pengangkutan sampah. b. Kerusakan satu mobil akan mengakibatkan penumpukan sampah di TPS; c. Pelayanan pengangkutan ini tidak menyadarkan masyarakat untuk tidak membuang sampah setelah pengangkutan
sampah agar menjaga
keindahan Kota Pontianak dari tumpukan sampah di TPS. d. Menimbulkan pencemaran udara pada saat mobil angkutan sampah lewat karena bak truk tidak ditutup dengan terpal. e. Air sampah dari mobil angkutan berceceran di sepanjang jalan menuju ke TPA. 2. Pelayanan Angkutan Sampah dengan Arm Roll Kendaraan arm roll mengangkut kontainer setiap hari sebanyak tiga rit yaitu pagi, siang dan sore hari. Pagi sekitar pukul 05.00, siang pukul 13.00 dan sore pukul 15.00. Dalam satu hari, satu unit arm roll dapat mengangkut sebanyak dua sampai tiga rit. Kendaraan ini difungsikan untuk mengangkut kontainer yang terbuat dari plat besi tebal dengan kapasitas rata-rata sembilan m3 dan dibuat tertutup rapat serta dikunci. Sekaligus kedap/tidak tembus air. Truk arm roll ini beroperasi sesuai dengan pembagian lokasi kontainer. Jumlah pekerja sebanyak tiga orang terdiri: satu orang supir dan dua orang kru pengangkut. Tugas dua orang ini membantu pada saat naik turunnya kontainer ke truk arm roll dan membersihkan lokasi atau landasan kontainer dari sampah dan cairan/kotoran lain. Kontainer pada umumnya ditempatkan pada kawasan perdagangan dan jalur jalan protokol dalam rangka mewujudkan dan menuju kondisi keindahan jalan. Pada umumnya satu unit truk arm roll melayani dua sampai tiga kontainer setiap hari non stop sepanjang tahun. Permasalahan yang dihadapi dalam pengangkutan sampah ini adalah: a. Kerusakan angkutan akan menyebabkan sampah bertumpuk.
64
b. Terbatasnya angkutan ini membuat pemerintah menjaga pencemaran akibat sampah hanya sebatas pada daerah protokol. Sedangkan masyarakat juga berhak untuk mendapatkan pelayanan pengangkutan sampah tanpa pencemaran udara dan air sampah di jalan. 3. Pelayanan Angkutan dengan Truk Compactor Kendaraan angkutan jenis ini berfungsi sebagai pengangkut juga berfungsi sebagai pemadat sampah. Jumlah pekerja sebanyak tiga orang terdiri dari: satu orang supir dan dua orang kru pengangkut. Proses kerja yang dilakukan adalah sampah pada kawasan perdagangan yang terdiri dari plastik dan kertas biasanya memakan volume pewadahan yang relatif besar. Sampah ini sebelum masuk pada bak pewadahan dilakukan pemadatan atau pengepresan agar padat dan menghemat ruang bak pewadahan. Setelah sampah menjadi padat, lalu didorong masuk kedalam bak truk sampah dan diangkut ke TPA atau dilakukan proses pemusnahan (insenerasi). Permasalahan yang dihadapi dengan sistem pengangkutan ini adalah: a. Proses pengangkutan ini tidak menimbulkan nilai ekonomi bagi masyarakat dengan melakukan pembakaran kertas dan plastik di TPA. Padahal plastik dan kertas bekas memiliki harga jual yang tinggi jika di pilah dan di jual ke lapak. b. Pelayanan ini tidak menimbulkan persepsi masyarakat untuk berperanserta melaksanakan 3RC dalam mengelola sampah yang memiliki nilai ekonomi. Hal ini membuat tidak tercapainya visi Kota Pontianak untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah. c. Kerusakan angkutan akan menyebabkan sampah bertumpuk. Untuk melakukan pelayanan pengumpulan sampah harus memperhatikan beberapa syarat yaitu: 1. Ritasi sampah antara satu sampai empat per hari. Pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah telah melewati standar yang sebaiknya dilakukan untuk menjaga pelayanan pengumpulan sampah karena pengangkutan sampah dalam
65
sehari dapat dilakukan sampai lima ritasi. Hal ini menunjukkan pemerintah memiliki beban pelayanan yang terlalu besar. Sehingga perlunya kerjasama dengan pihak lain untuk mengurangi beban pengangkutan sampah. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah. 2. Periodisasi pelayanan maksimal satu hari. Pelayanan yang dilakukan Pemerintah Kota Pontianak telah memenuhi standar dengan periodisasi pelayanan satu hari. Hal ini dilakukan karena luasnya pelayanan pewadahan sampah yang menjadi tanggungjawab pemerintah. 3. Kapasitas kerja. Kapasitas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah kota mencakup seluruh Kota Pontianak. Dengan jumlah armada yang tersedia tidak memungkinkan dapat mencapai 100 persen pelayanan dan menciptakan kota bersih dari sampah. Oleh karena itu perlunya kerjasama dengan pihak lain untuk mengurangi beban pengangkutan sampah. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah. 4. Desain peralatan. Peralatan yang digunakan oleh pemerintah masih kurang memperhatikan pencemaran yang terjadi dalam proses pengangkutan sampah menuju ke TPA seperti bak sampah terbuka dan air sampah berceceran. Pemerintah belum merancang peralatan yang dapat melayani pengangkutan sampah untuk daerah gang yang sulit dilewati dengan angkutan mobil. 5. Kualitas pelayanan. Pemerintah belum memiliki standar pelayanan dalam hal pengangkutan sampah dilihat dari ketepatan jam pengangkutan sampah. Selain itu masih banyak sampah yang tidak dapat diangkut oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Sedangkan standar untuk pemindahan dan pengangkutan sampah harus memenuhi standar yaitu: 1. Alat pengangkutan sampah harus dilengkapi dengan penutup sampah, minimal dengan jaring. Mobil angkutan yang dimiliki Kota Pontianak belum memenuhi standar penutup sampah. Mobil angkutan masih menggunakan bak terbuka. Hal ini membuat pencemaran udara.
66
2. Kapasitas disesuaikan dengan kondisi/kelas jalan yang akan dilalui. Pelayanan pengangkutan sampah belum tersedia untuk daerah dalam gang sehingga semua kendaraan yang dilalui oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan adalah jalan besar. Pelayanan pengangkuatan sampah yang tersedia hanya berupa mobil angkutan. 3. Bak/dasar kontainer sebaiknya dilengkapi dengan pengaman air sampah. Kontainer yang tersedia di Kota Pontianak tidak menggunakan pengaman air sampah sehingga air sampah berserakan di jalan. Permasalahan yang timbul selama tahun 2000 – 2007 dengan pelayanan yang mengandalkan transportasi sebagai berikut: Box 1. Kapasitas Armada Pengangkutan Sampah yang Mengandalkan Transportasi di Kota Pontianak Tahun 2000 – 2007 Harian Pontianak Post, 15 Agustus 2000, Untuk saat ini armada angkutan sampah yang dimiliki hanya 28 kendaraan diantara tiga armada rusak berat. Sementara untuk menambah rit, memang tidak memungkinkan karena terbentur masalah dana. Karena kalau tambah rit tetap akan menambah biaya perharinya. Setiap hari per mobil hanya mampu mengangkut sampah dari TPS ke TPA hanya empat rit, per rit rata-rata memakan waktu dua jam. Sedangkan pada Harian Pontianak Post, 7 Desember 2001, Dari 27 kendaraan operasi yang ada di Dinas Kebersihan dan Pertamanan untuk sekarang ini hanya tinggal 23 kendaraan yang dapat dioperasikan, sedangkan empat kendaraan mengalami kerusakan pada mesinnya. Musibah banjir yang melanda Pontianak beberapa pekan lalu mengakibatkan TPA tersumbat dan mobil angkutan sampah Dinas Kebersihan dan Pertamanan mengalami kerusakan. Ini otomatis akan mengakibatkan bertambahnya volume sampah yang terangkut dari TPS-TPS. Banyak perusahaan yang ada di Pontianak yang membuang sampahnya di TPS. Padahal menurut perda sampah perusahaan tersebut harus di buang di TPA. Dan Harian Equator, 13 Januari 2007, Adapun volume sampah mencapai 300 ribu ton, menurut Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Pontianak, sampah-sampah ini terangkut setiap harinya dengan menggunakan 22 dump truk dan sembilan arm roll.
Kelemahan mengandalkan angkutan sebagai pusat pelayanan sampah, tidak merubah perilaku masyarakat membuang sampah. Diketahui bahwa masalah persampahan
berkaitan
dengan
pertumbuhan
penduduk
diiringi
dengan
pertumbuhan sampah, sehingga sampah dari tahun ke tahun akan terus meningkat. Oleh karena itu penanganan sampah ini dapat dilakukan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah ditingkat rumah tangga. Dengan jumlah TPS yang tiap tahun meningkat dan tetapnya jumlah armada angkutan yang ada untuk mengangkut sampah di TPS. Maka penambahan armada
67
belum cukup menutupi jumlah TPS yang ikut bertambah. Berikut ini adalah jumlah TPS yang tersedia dan jumlah TPS liar yang ada dimasyarakat. Tabel 5.3 Tempat Penampungan Sementara di Kota Pontianak Jenis TPS
No 1. 2. 3.
Container Batako,bak plat dari semen Transfer depo Jumlah
Tahun 2005
Tahun 2006
50 115 4 169
35 178 4 217
Sumber: Diolah Tim DKP, 2007.
Pertambahan TPS tiap tahun oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan diikuti dengan pertambahan TPS liar juga oleh masyarakat. Berikut ini adalah pertambahan TPS liar di Kota Pontianak. Tabel 5.4 Jumlah Tempat Penampungan Sementara Liar di Kota Pontianak No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jumlah TPS Liar Pontianak Kota Pontianak Barat Pontianak Selatan Pontianak Timur Pontianak Utara Jumlah
Tahun 2005 (buah) 17 18 19 10 28 92
Sumber: Diolah Tim DKP, 2007.
Pertumbuhan TPS liar membuktikan masyarakat tidak ikut mengurangi beban pemerintah
dalam
memberikan
pelayanan
pengangkutan
sampah.
Hal
menyebabkan munculnya TPS liar yang dibuat oleh masyarakat karena: 1. Masyarakat menganggap sudah membayar uang retribusi sampah sehingga pengangkutan sampah merupakan tanggungjawab pemerintah. 2. Masyarakat tidak mau membuang sampah yang jauh dari tempat tinggal mereka. 3. Masyarakat memindahkan sampah ketempat lain tanpa memperdulikan pencemaran tempat penampungan sampah yang mereka buang. 4. Masyarakat kurang memahami pengelolaan sampah yang dapat dilakukan pada tingkat rumah tangga.
68
Permasalahan TPS liar telah terjadi sejak lama, berikut ini adalah contoh kasus yang terjadi dari tahun 2000 sampai 2007 yaitu: 1. Masyarakat yang selalu mengandalkan keberadaan TPS dekat dengan wilayah mereka. Sehingga masyarakat membuang sampah di sembarang tempat dengan harapan akan diangkut oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Oleh karena itu setiap wilayah yang tidak memiliki TPS akan dibuat sendiri oleh masyarakat dengan menumpukan sampah di sembarang tempat. Box 2. Permasalahan Keberadaan TPS di Kota Pontianak Harian Pontianak Post, 13 Juli 2001, Sejumlah warga di Jalan Paris mengeluhkan tidak tersedianya bak sampah yang memadai. Mereka mengeluh harus membuang sampah jauh dari rumah. Bahkan menurut pemantauan mereka bak sampah yang ada hanya satusatunya di kawasan mereka. Jarang dikunjungi petugas kebersihan. Sedangkan Harian Equator, 19 Juli 2006, Sebelumnya keberadaan TPS dikeluhkan oleh warga sekitar karena sering mengeluarkan bau tak sedap, mengganggu lalu lintas dan kenyamanan warga yang beribadah. Dan Harian Equator, 28 Desember 2007, Jika kita melintasi Jalan Veteran, sepanjang trotoar di ruas jalan tersebut menumpuk sampah. Minimnya bak sampah di jalur ini, dan kurangnya kesadaran masyarakat diperkirakan menjadi penyebab tumpukan sampah tersebut. Pemilik bengkel di Jalan Veteran, HR, merasa bahwa sampah di kawasan itu sangat mengganggunya. Letak tumpukan sampah yang tidak jauh dari bengkelnya selain merusak pemandangan, juga menimbulkan bau yang tak sedap.
2. Tidak memiliki TPS, maka parit dan sungai menjadi tempat pembuangan sampah. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan angkut – kumpul – buang membuat
masyarakat
menjadikan
parit
dan
sungai
sebagai
tempat
pembuangan sampah. Tanpa adanya kesadaran ikut menjaga parit dan sungai agar tidak terjadi banjir. Box 3. Sampah Berada di Parit dan Sungai Kota Pontianak Harian Pontianak Post, 5 September 2001, Gajah Mada kawasan ini menjadi tong sampah sehingga terjadi pendangkalan parit akibat endapan sampah tersebut. Setiap bulan, sedikitnya 10.000 karung sampah yang mengendap diangkut dari parit. Sedangkan sampah terapung, sekitar 200 truk sudah diangkut, tidak termasuk lumpur yang sudah mencapai sekitar 300 truk, dalam tiga bulan. Sedangkan Harian Pontianak Post, 5 Januari 2006, Peduli kebersihan parit dilakukan sejumlah warga termasuk di Jalan Alianyang ini. Menggunakan penyekat dari anyaman bambu, sampah bisa terkontrol. Jika diikuti oleh pihak-pihak lain, program bersihnya parit bakal terwujud.
Masalah sampah merupakan masalah perilaku masyarakat dalam mengelola sampah. Selama ini pemerintah tidak melakukan intervensi untuk merubah
69
persepsi masyarakat untuk mengelola sampah. Tetapi pelayanan yang dilakukan masih pada pelayanan membersihkan atau memindahkan sampah dari TPS ke TPA. Masalah sampah adalah masalah persepsi masyarakat tentang pengelolaan sampah. Sistem pelayanan selama ini tidak memuaskan karena pelayanan yang diberikan tidak memperhatikan hal sebagai berikut: 1. Menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga dengan pemilahan sampah. Mengubah persepsi masyarakat bahwa sampah bisa didaur ulang kembali. 2. Menumbuhkan perilaku membuang sampah pada tempatnya. 3. Menumbuhkan rasa tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan sampah bahwa masalah sampah bukan sepenuhnya tanggungjawab Dinas Kebersihan dan Pertamanan dengan membayar uang retribusi sampah. Berdasarkan uraian diatas berikut ini adalah operasional pengangkutan sampah di wilayah Kota Pontianak :
1. Banyak sampah yang tidak dapat diangkut 2. Biaya operasional yang besar sehingga pemerintah tidak mampu mengangkut seluruh sampah di Kota Pontianak 3. Sampah yang berada di gang-gang tidak dapat diangkut sampahnya oleh petugas sampah
Sampah Masyarakat membuang sampah di TPS Pemuatan ke dalam truk angkutan sampah Pengangkutan ke TPA
1. Bagi masyarakat yang jauh dari tempat TPS tidak membuang sampah di TPS tetapi membuang di parit atau membuka TPS baru 2. Sampah masih menghiasi Kota Pontianak 3. Tidak adanya kesadaran masyarakat ikutserta dalam pengelolaan sampah untuk kebersihan Kota Pontianak
Landfill Flaring
Gambar 5.3 Operasionalisasi Pengangkutan Sampah di Wilayah Kota Pontianak
Berdasarkan hal diatas dapat dikatakan bahwa belum terjalinnya pola hubungan kelembagaan lokal di tingkat RT dan kelembagaan pemerintah.
70
5.5 Pengelolaan Sampah Pola Insenerator di Kota Pontianak
Pengadaan insenerator berada di Gedung Olahraga Pangsuma Kota Pontianak. Penyediaan insenerator untuk mengatasi masalah sampah yang belum tertangani untuk di daerah yang belum memiliki TPS. Hal ini sesuai dengan tujuan Dinas Kebersihan dan Pertamanan yaitu meningkatkan pengelolaan pemusnahan sampah (insenerator) agar kualitas lingkungan hidup terjaga. Pengerjaan insenerator ini dilakukan oleh petugas kebersihan dengan membakar sampah yang dibawa oleh petugas sampah yang mengambil sampah dari rumah warga. Insenerator akan dihidupkan jika ada petugas sampah dari warga yang membawa sampah dan siap untuk dibakar. Cara pembakaran insenerator ini dengan menumpukkan kayu di dalam tungku insenerator kemudian disiram dengan minyak tanah. Pengambilan sampah dilakukan oleh petugas sampah di sekitar daerah Jalan Purnama, Jalan Mekar, Jalan Suprapto dan sekitarnya dengan upah petugas sampah setiap rumah sebesar Rp. 10.000,-/bulan. Pembayaran gaji tukang sampah ada yang melalui ketua RT dan langsung dilakukan oleh petugas sampah. Untuk penarikan iuran sampah melalui RT, petugas sampah tidak mengetahui berapa iuran sampah setiap rumah yang dipungut oleh ketua RT untuk pengangkutan sampah. Pengadaan insenerator ini membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan petugas sampah membeli gerobak sampah dan gerobak dorong untuk mengambil sampah dari rumah ke rumah. Rata-rata petugas sampah yang mengangkut sampah sekitar 100 rumah. Kerusakan insenerator pernah terjadi pada tahun 2006 membuat sampah menumpuk di tempat penampungan sampah di insenerator. Berdasarkan hasil penelitian Pratama (2004) mengatakan bahwa perbaikan insenerator diasumsikan biaya perbaikan kurang lebih sama dengan biaya untuk membeli yang baru. Upaya perbaikan insenerator ini dengan mengganti alat blower. Akibat dari kerusakan tersebut menyebabkan asap menggumpal dan petugas yang membakar sampah ke insenerator mengalami penyakit kulit. Berdasarkan hasil penelitian dari Permana (2003) menunjukkan bahwa jika kondisi yang diharapkan mengharuskan
71
penentuan teknologi pengolahan sampah dititikberatkan kepada perhatian: membuka kesempatan kerja, meminimalkan potensi konflik yang mungkin terjadi, menciptakan peluang usaha bagi masyarakat, membuka peluang kepada sektor informal dan formal
untuk terlibat, serta dapat meningkatkan peran serta
masyarakat, maka teknologi pengkomposan adalah prioritas utama untuk diterapkan dibandingkan insenerator. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sampah menggunakan insenerator adalah sebagai berikut: 1. Besarnya biaya operasional dan perawatan mesin insenerator. 2. Pelayanan pengadaan insenerator hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang mampu membayar uang retribusi sampah untuk mengangkut sampah dari rumah ketempat insenerator. Sedangkan masyarakat masih sulit membuang sampah ke TPS yang jauh dari rumah. 3. Ketergantungan masyarakat dengan insenerator. Hal ini ditunjukkan dengan sampah menumpuk pada saat insenerator rusak. 4. Keberadaan insenerator tidak mengubah perilaku masyarakat dan persepsi masyarakat dalam pengelolaan sampah
di tingkat rumah tangga yaitu
pemilahan sampah dan mendaur ulang sampah. 5. Pencemaran yang menimbulkan penyakit bagi petugas. Berikut ini adalah gambar operasionalisasi pengambilan sampah dari rumah sampah ke insenerator sebagai berikut:
72
1. Masyarakat yang tidak mampu membayar tukang sampah harus membuang sampah ke insenerator 2. Pengadaan insenerator hanya bagi masyarakat yang bisa membawa sampah ke tempat insenerator 3. Sampah disekitar wilayah pengangkutan sampah tetap kotor karena masyarakat masih membuang sampah sembarangan
Sampah Pembuangan sampah di depan rumah Penjemputan oleh tukang
Masyarakat tidak berpatisipasi dalam pemilahan sampah
Penjemputan dengan gerobak sampah, sepeda motor Pengangkutan ke transfer depo
Pembongkaran muatan sampah Pemilahan oleh tukang sampah
Ya
Tidak Masih berguna
Penampungan ditempat khusus
Insenerator Debu
Pelapakan
Pemuatan ke dalam truk angkutan sampah
1. Petugas terkena penyakit kulit 2. Pencemaran udara 3. Sampah menumpuk jika insenerator rusak
Pengangkutan ke TPA
Pembuangan ke TPA
Gambar 5.4 Operasionalisasi Pengangkutan Sampah Untuk Insenerator
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa sumberdaya manusia yang rendah dalam pengelolaan sampah dengan menggunakan teknologi. Penggunaan teknologi akan memerlukan biaya yang tinggi untuk perawatan dan perbaikan peralatan.
73
5.6 Anggaran Pengelolaan Sampah Kota
Pembiayaan dari dana APBD Kota Pontianak yang membiayai seluruh pekerjaan pengelolaan sampah di Kota Pontianak baik di pasar dan wilayah Kota Pontianak dengan sistem angkut – kumpul – buang dan operasional insenerator. Biaya operasional pengelolaan sampah melebihi pendapatan retribusi pengangkutan sampah oleh masyarakat. Biaya operasional yang dilakukan masih bertumpu kepada pelayanan pengangkutan sampah atau membersihkan sampah di TPS. Pemerintah belum mengembangkan kekuatan masyarakat dalam mengelola sampah. Permasalahan anggaran selalu menjadi faktor utama tidak dapat dilakukannya
kegiatan
menggerakkan
masyarakat
karena
semua
biaya
pengelolaan sampah diperuntukkan perawatan untuk kendaraan dan mesin insenerator juga biaya operasional pengangkutan sampah seperti upah tenaga harian lepas dan biaya bensin kendaraan pengangkutan sampah. Berikut ini adalah anggaran dalam pengelolaan persampahan Kota Pontianak: 1. Pengadan Conteiner ukuran 6 m3. Pengadaan Conteiner ini bertujuan untuk menampung serta memudahkan sistem pengangkutan sampah melalui amrroll truck ke TPA. Tahun 2007 alokasi dana APBDnya terealisasi sebesar Rp. 235.000.000,-. 2. Peningkatan sampah dengan sistem swakelola dari TPS ke TPA. Kegiatan ini bertujuan untuk mengangkut sumber sampah dari masyarakat kota Pontianak yang ditampung ditempat penampungan sementara (TPS) kemudian dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), agar kota tetap bersih. Tahun 2007, alokasi dana APBD pada kegiatan ini terealisisr sebesar Rp. 4.115.193.300,-. 3. Operasional Penyapuan Kebersihan Pasar dan Jalan Kota. Kegiatan ini dilaksanakan bertujuan agar kondisi pasar dan jalan yang ada di Kota Pontianak, agar terjaga, agar terpeliharan dan tetap dalam keadaan bersih. Pada tahun 2007, realiasasi alokasi dana pada kegiatan ini sebesar Rp. 1.931.516.000,-. 4. Operasional Pemeliharaan Kebersihan Hari-Hari Besar dan APEKSI.
74
Kegiatan ini bertujuan, agar setiap pelaksanaan peringatan hari-hari besar dan APEKSI yang dilaksanakan di Kota Pontianak sebelum dan sesudahnya kebersihan, keindahan dan kerapian tetap terjaga, terpeliharan dan terkelola dengan baik. Sampai berakhirnya tahun anggaran 2007, alokasi dana APBD pada kegiatan ini terealisir sebesar Rp. 44.574.300,-. 5. Operasional Pemeliharaan Kebersihan Hari-Hari Besar. Kegiatan ini dilakukan agar sebelum dan sesudah pelaksanaan kegiatan harihari besar di Kota Pontianak, agar tetap terkontrol terkelola kebersihan dan keindahan Kota Pontianak dengan baik. Pada tahun 2007 alokasi dana APBD yang terserap sampai berakhirnya kegiatan ini Desember sebesar Rp. 63.370.000,-. 6. Kerjasama Operasional, Swakelola dan Mitra Kerja. Kegiatan ini dilakukan, agar pengelolaan sampah dan sebagainya tempat pembuangan Akhir (TPA) tetap berjalan sebagaimana yang diharapkan. Pada Akhir tahun 2007, realisasi alokasi dana APBD Kota Pontianak pada kegiatan ini di TPA sebesar Rp. 1.111.664.400,-. 7. Operasional Pemusnahan Sampah dengan Alat Incenerator. Kegiatan ini dilakukan bertujuan, agar dapat mengurangi penumpukan jumlah sampah diwilayah sekitar Kecamatan Pontianak Selatan atau sekitarnya tidak lagi dibawa ke TPA, tetapi dibakar dengan Alat Incenerator. Tahun 2007 realisasi alokasi dana APBD pada kegiatan ini terserap sebesar Rp. 144.146.790,-. 8. Perrbaikan dan Pemeliharaan TPS. Kegiatan ini bertujuan Tempat Pembuangan Sementara (TPS) samah dari masyarakat Kota Pontianak, tetap dalam kondisi baik dan dapat digunakan agar Kota Pontianak selalu dalam keadaan bersih. Tahun 2007 alokasi dana APBD terealisir sebesar Rp. 138.652.000,-. 9. Perbaikan Landasan Conteiner. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar posisi Conteiner pada waktu diletakkan/ditepatkan di penampungan sementara sampah tidak miring, dan pada waktu ditarik oleh Amroll Truck mudah dilakukan, sehingga pekerjaan
75
menjadi lancar dan cepat. Tahun 2007, realisasi alokasi dana APBD sebesar Rp. 34.778.000,- atau 99,37 % dengan realisasi fisik 100 %. 10. Pemeliharaan Rutin Alat Angkutan Bermotor dengan Sistem Swakelola (UPTD Perbengkelan). Maksud tujuan diadakannya kegiatan adalah untuk memelihara agar semua armada angkutan sampah, dan mobil operasional lainnya tetap terjaga dan terpeliharan dengan baik, sehingga pengangkutan sampah yang ada diseluruh Kota Pontianak dapat terangkut dan Kota Potianak tetap terjaga kebersihannya. Pada tahun 2007, alokasi dana APBD terealisir sebesar Rp. 818.105.825,-. 11. Pemeliharaan Conteiner Maksud dari kegiatan ini adalah agar kondisi Conteiner yang ada selama ini tetap baik dan dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Tahun 2007 anggarannya terealisir sebesar Rp. 95.696.000,-. 12. Pemeliharaan Jalan dan Jembatan di TPA. Kegiatan ini bertujuan agar semua Mobil Angkutan Sampah yang keluar masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) berjalan lancar. Pada tahun 2007, alokasi dana APBD yang terealisir pada kegiatan ini sebesar Rp. 171.969.000,-. 13. Peningkatan Peralatan Kebersihan. Maksud dari diadakannya kegiatan ini untuk menambah alat pengatur / penyusun sampah yang diangkut dan ditumpuk oleh Truck sampah, agar sampah yang dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tetap terkelola dengan baik sesuai pada tempatnya. Pada tahun 2007 realisasi alokasi dana APBD sebesar Rp. 1.316.982.475,-. 14. Peningkatan dan Pemeliharaan Kebersihan. Maksud dari kegiatan ini adalah untuk memberikan berbagai bentuk penyuluhan , khususnya Peraturan tentang Undang-Undang Kebersihan dan Lingkungan,agar masyarakat Kota Pontianak tahu dan mengerti dari arti Pentingnya Kebersihan.Tahun 2007, alokasi dana APBD sampai akhir tahun terealisir sebesar Rp. 521.422.350,-.
76
Pemerintah belum mampu menarik iuran sampah kepada seluruh penduduk Kota Pontianak karena penarikan uang retribusi sampah dilakukan kerjasama dengan PDAM yang dilakukan pada tingkat rumah tangga dan pertokoan sedangkan untuk pasar dan pedagang dilakukan dengan penarikan langsung. Oleh karena itu, masyarakat yang tidak menggunakan fasilitas air PDAM, tidak membayar uang retribusi sampah. Banyak masyarakat yang tidak menggunakan air PDAM. Hal ini memperbesar biaya pemerintah harus mensubsidi pelayanan pengangkutan sampah. Permasalahan lain yang dihadapi pemerintah adalah penarikan iuran sampah terlalu rendah dengan biaya operasional pelayanan yang diberikan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Pemerintah belum dapat menaikkan retribusi karena pelayanan pengangkutan sampah yang dilakukan oleh pemerintah tidak memuaskan masyarakat. Pemerintah dianggap tidak berhasil mengelola sampah Kota Pontianak. Kondisi pemerintah dalam mengelola sampah seperti buah simalakama karena menaikan retribusi sampah, masyarakat dapat protes. Jika retribusi tidak dinaikkan maka pemerintah akan selalu kekurangan dana untuk menambah armada melayani pengangkutan sampah. Kekurangan armada pengangkutan berhubungan erat dengan anggaran membeli armada yang baru. Keterbatasan pemerintah terhadap anggaran seakan-akan sebagai permasalahan yang tidak ada pemecahannya. Sebenarnya pemerintah dapat menggalang stakeholder yang ada untuk mencari solusi yang ada seperti menggalang kerjasama dengan LSM yang memiliki dana untuk menggerakkan masyarakat, dana CSR dari perusahaan yang ada di Pontianak, dana hibah dari donator untuk pengelolaan lingkungan dan dana masyarakat untuk mengelola sampah ditingkat komunitas. Persoalan anggaran ini dapat diatasi dengan pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah. Dengan adanya pemberdayaan menimbulkan dana sharing antara pemerintah dan masyarakat. Selain dapat mengurangi biaya pemerintah juga dapat merubah kebiasaan masyarakat untuk memilah sampah.
77
5.7 Pengaturan Pengelolaan Sampah di Kota Pontianak
Peraturan pengelolaan sampah digunakan sebagai dasar hukum untuk mengikat masyarakat ikut berpartisipasi dalam pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah Kota Pontianak telah mengeluarkan beberapa peraturan daerah tentang persampahan, antara lain : 1. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2004 tentang Ketertiban Umum (Lembar Daerah Kota Pontianak Nomor 11 Tahun 2004 seri E Nomor 5). 2. Peraturan Dearah Kota Pontianak Nomor 13 Tahun 2005 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan. 3. Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 15 Tahun 2005 tentang Perubahan Pertama Peratuan Daerah Nomor 3 Tahun 2004 tentang Ketertiban Umum. Pada saat ini peraturan tersebut belum mengatur tentang: 1. Kewajiban penghasil sampah untuk meminimalkan jumlah sampah yang dihasilkan. 2. Kewajiban penghasil sampah untuk memilah sampah berdasarkan sifat sampah. 3. Definisi tentang sampah berdasarkan kategori fisik, kimia atau biologis. 4. Definisi tentang tahapan operasionalisasi pengelolaan persampahan di kota tersebut. Perda pengelolaan persampahan belum mengatur tentang pengelolaan kebersihan dan cara pengumpulan retribusi, serta mengatur peran masyarakat di persampahan yang bersifat lintas adminitrasi kabupaten/kota/provinsi. Saat ini, pengelolaan persampahan yang dilakukan oleh pemerintah masih menggunakan sistem pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan sampah ke TPA. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa regulasi belum sinergi dengan gagasan pengelolaan sampah berbasis komunitas. Berdasarkan hal diatas peraturan kedepan harus diperhatikan dalam mengelola sampah adalah sebagai berikut:
78
1. Peraturan yang mengedepankan integrasi instansi terkait dalam mengelola lingkungan. 2. Adanya pengaturan tentang mengelola sampah ditingkat rumah tangga dengan memilah sampah. 3. Pemerintah melakukan intervensi untuk melakukan pemasaran hasil olahan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat. 4. Pemerintah melakukan kolaborasi atau kemitraan dengan stakeholder dalam penanganan masalah sampah. 5. Pemerintah membuka jejaring kepada masyarakat dalam penanganan sampah. 6. Pemerintah merubah paradigma yang mengedepankan kekuatan masyarakat daripada kekuatan teknologi. 7. Standar pelayanan minimum Dinas Kebersihan dan Pertamanan untuk pengangkutan sampah. 8. Pemberian
sangsi
kepada
petugas
dan
masyarakat
yang
tidak
bertanggungjawab atas tugas dan peran dalam melaksanakan pengelolaan sampah.
5.8 Pola Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Kecamatan Pontianak Utara
Telah ada pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Kecamatan Pontianak Utara, yang berlokasi di Kompleks Perumahan Dwi Ratna jalur III RT 05/RW 26 Kelurahan Siantan Hulu, Kecamatan Pontianak Utara yang telah dilakukan sejak tahun 2005. Sebagian masyarakat menganggap sampah sebagai suatu benda yang tidak berharga. Namun tidak demikian dengan komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna dengan bekal pengetahuan yang diberikan oleh ketua RT-nya. Masyarakat kompleks tersebut dapat menyulap sampah menjadi uang. Warga yang tinggal disana dapat mendaur ulang sampah menjadi berbagai kerajinan sampah dan pupuk kompos. Pengelolaan sampah yang dilakukan Kompleks Perumahan Dwi Ratna dapat dikatakan berhasil karena memenangkan perlombaan Green and Clean juara I se-Kota Pontianak.
79
Proses pembentukan pengelolaan sampah ini dilakukan oleh ketua RT sebagai berikut: 1. Sejak terpilihnya Bapak SF sebagai ketua RT. Bapak SF pada sore hari memungut sampah di rumah-rumah penduduk. 2. Setelah sekian lama ketua RT melakukan tersebut, dilakukannya program kerjabakti tiap minggu dilingkungan RT. Pada saat kerjabakti Pak RT melakukan diskusi untuk mengelola sampah di tingkat rumah tangga dikalangan bapak-bapak. 3. Bapak SF melakukan sosialisasi merubah sampah menjadi kompos kepada bapak-bapak. 4. Ibu ketua RT sebagai ketua PKK juga melakukan diskusi kepada ibu-ibu pada saat arisan RT yang dilakukan setiap bulan untuk merubah sampah menjadi kompos dan kerajinan tangan dari sampah. 5. Dengan diskusi yang panjang kepada ibu-ibu oleh ibu RT dan bapak-bapak melalui kerja bakti oleh pak RT sehingga warga RT tersebut melaksanakan pemilahan sampah dan merubah sampah menjadi pupuk. Cara kerja masyarakat pengelolaan sampah dengan membuat kompos di rumah masing-masing dan membuat kerajinan sampah adalah sebagai berikut: 1. Sampah telah dipisah pada tingkat rumah tangga. 2. Masyarakat mencincang sampah organik di rumah masing-masing. 3. Sampah yang telah dicincang diletakkan di depan rumah yang memiliki tong sampah komposter kemudian diberi aktivator untuk merubah sampah menjadi pupuk kompos. 4. Sampah anorganik berupa plastik di buat kerajinan sampah dipisahkan dan dikumpulkan di rumah ketua RT. Ibu-ibu pada saat membuka bungkusan barang dari plastik dilakukan dengan rapi sehingga dapat digunakan untuk membuat kerajinan sampah. 5. Ibu-ibu PKK mencuci sampah tersebut dan hasil pencucian tersebut diberikan kepada tukang jahit di kompleks untuk menjadi tas, jas hujan, topi, tempat koran dan lain-lainnya. Hasil kerajinan sampah akan dijual kepada Dinas Kebersihan dan Pertamanan dan orang yang berminat dengan hasil kerajinan sampah. Hasil penjualan kerajinan
80
sampah tersebut diberikan untuk tukang jahit dan kas PKK kompleks tersebut. Pembagian hasil penjualan dibagikan kepada kas PPK sebesar 10 persen yang digunakan untuk kegiatan sosial seperti uang duka cita bagi yang mengalami kedukaan, dan kegiatan kebersamaan di RT tersebut. Sedangkan 90 persen hasil penjualan kerajinan sampah untuk penjahit. Sampah yang tidak bisa di buat kerajinan tangan diberikan kepada pemulung. Sehingga sampah tersebut tidak bersisa di kompleks tersebut. Sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat membuat sampah dapat dimusnakan pada tingkat komunitas. Oleh karena itu pemerintah perlu mendesentralisasi pengelolaan sampah kepada masyarakat dan bukan kepada insenerator. Selain itu pengelolaan sampah berbasis masyarakat akan menghasilkan nilai ekonomi. Semua sampah dapat di daur ulang. Berikut ini operasionalisasi pengelolaan sampah di Kompleks Perumahan Dwi Ratna:
Sampah
Pemilahan sampah di tiap rumah
` Sampah anorganik
Sampah organik
Sampah dicincang Sampah yang tidak bisa dibuat kerajinan
Dikumpulin di beri kepada pemulung
Pelapakan
Sampah buat kerajinan tangan dipotong dengan benar
Di kumpulin pada satu kelompok untuk dicuci
Kerajinan sampah
Diberi aktivator
Dikumpuli di tempat sampah di rumah Pengkomposan
1. Sampah tidak bersisa 2. Sampah menghasilkan
Gambar 5.5 Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Kecamatan Pontianak Utara
81
Pengelolaan sampah yang dilakukan secara individu seperti kasus diatas akan mengalami permasalahan yaitu : 1. Hal ini sulit dilakukan oleh keluarga yang sibuk karena harus mencincang sampah. 2. Pengelolaan ini memengang peran figure seorang pemimpin yaitu ketua RT. Jika figure orang tersebut hilang dapat menyebabkan berhentinya pengelolaan sampah. 3. Kurangnya pemasaran hasil kerajinan tangan dari sampah.
5.9 Masalah Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat dan Non Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan salah satu kunci keberhasilan pengelolaan sampah di Kota Pontianak. Partisipasi ini dapat berupa ikutserta dalam pemilahan sampah, pengolahan sampah, dan memberikan dana untuk pengelolaan sampah pada tingkat komunitas. Membangun partisipasi di masyarakat sangat sulit dilakukan mengingat banyak hal yang harus dilakukan untuk merubah perilaku masyarakat. Berikut ini adalah gambaran umum partisipasi masyarakat dalam penanganan sampah, yaitu: Partisipasi masyarakat dalam menggunakan insenerator yaitu masyarakat hanya ikut serta dalam membuang sampah pada tempatnya dengan membayar uang retribusi sebesar Rp. 10.000,- tiap bulannya. Peran serta yang dilakukan masyarakat adalah mengurangi sampah di TPS dan tidak membuang sampah di pinggiran jalan/parit. Tetapi hal ini tidak membuat masyarakat ikut serta dalam menjaga kebersihan di luar rumah dan kesadaran untuk pemilahan sampah. Partisipasi ini dapat dilakukan oleh masyarakat jika masyarakat tergolong masyarakat menengah keatas karena masyarakat harus membayar dua kali iuran dari retribusi sampah resmi pemerintah dan uang restribusi di komunitas sebagai upah mengangkut sampah dari rumah. Permasalahan yang dihadapi dalam mewujudkan partisipasi masyarakat adalah masyarakat kurang menyadari bahwa
82
peran mereka dalam mengelola sampah tidak hanya sebatas membayar petugas sampah untuk membuang sampah dari rumah ke insenerator tetapi juga harus merubah kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya seperti di jalan dan di tempat umum dan memilah sampah. Sedangkan partisipasi para pedagang di pasar adalah pembayaran uang retribusi sebesar Rp. 1.000,- setiap hari. Pedagang kurang memahami peran mereka untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah. Sehingga kurangnya kesadaran pedagang untuk membuang sampah pada tempat sampah. Keadaan ini membuat pasar tidak bersih dari sampah. Pengetahuan pedagang tentang perannya dalam pengelolaan sampah akan mempengaruhi wujud partisipasi pedagang untuk menjaga kebersihan. Adapun pengetahuan pedagang tentang pengelolaan sampah adalah tanggungjawab dari pemerintah karena sudah membayar uang retribusi. Pedagang tidak menyadari partisipasinya dalam pengelolaan sampah harus diikuti dengan kedisiplinan membuang sampah pada tempatnya. Partisipasi masyarakat di wilayah pemukiman penduduk Kota Pontianak yaitu partisipasi masyarakat yang hanya sebatas membuang sampah ke TPS dan membuat TPS baru bagi wilayah mereka yang tidak memiliki TPS. Masyarakat melimpahkan tanggungjawab pengelolaan sampah kepada pemerintah karena sudah membayar retribusi sampah. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang arti penting partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah untuk menjaga kebersihan Kota Pontianak membuat masalah sampah tidak dapat teratasi. Wujud partisipasi masyarakat sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap perannya dalam menjaga lingkungan bersih. Partisipasi masyarakat khusus dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dilakukan oleh Kompleks Perumahan Dwi Ratna adalah kesediaan warga untuk mencincang sampah, memotong sampah plastik dengan rapi agar dapat dibuat kerajinan tangan, dan memilah sampah organik dan anorganik. Pelaksanaan pencincangan sampah ini dilakukan setiap hari dirumah masing-masing untuk pembuatan pupuk kompos. Dirumah keluarga juga dilatih untuk melakukan
83
pemilahan sampah anorganik dan organik dengan tempat sampah yang terpisah antara sampah anorganik dan organik. Setiap sampah organik yang dimasukkan kedalam tempat sampah di beri aktivator untuk merubah sampah menjadi pupuk. Sedangkan sampah plastik yang telah rapi digunting diberikan kepada ketua RT agar dapat dipakai untuk membuat kerajinan tangan. Partisipasi ketua RT dengan membersihkan sampah plastik sebelum diberikan kepada tukang jahit untuk dibuat kerajinan. Sedangkan partisipasi yang diberikan penjahit adalah menjahit sampah menjadi barang yang siap pakai. Dan warga yang mengumpulkan plastik-plastik dari hasil rumah tangga dikumpulkan di rumah ketua RT.
Partisipasi ini membuat seluruh keluarga terbiasa untuk
memilah sampah dan warga memperoleh manfaat dari pengelolaan sampah. Pengembangan partisipasi ini dilakukan dengan pola penyadaran yang dilakukan oleh ketua RT untuk memberikan contoh kepada warganya dalam membersihkan lingkungan RT. Teladan yang dilakukan ketua RT adalah memunguti sampah di lingkungan RT. Setelah itu ketua RT melakukan diskusi kepada warganya untuk pengelolaan sampah yang dilakukan secara swadaya pada saat kerja bakti. Penyadaran ini dilakukan secara estafet dari tetangga ke tetangga untuk saling mendiskusikan kesediaan untuk pengelolaan sampah. Sesama tetangga saling mendorong tetangga sebelahnya melaksanakan pengelolaan sampah. Seluruh warga yang ikut berpartisipasi untuk mensukseskan pengelolaan sampah. Masalah yang dihadapi dalam membangun partisipasi adalah belum sepenuhnya warga bersedia melakukan pengelolaan sampah karena kurangnya kesadaran, kurangnya pemasaran hasil kerajinan sampah. Selain masalah yang harus diatasi, juga terdapat potensi masyarakat yang perlu dikembangkan yaitu terdapat beranekaragam kerajinan sampah yang dapat dipergunakan sehari-hari seperti tempat koran, jas hujan, topi, map buku dan lain-lainnya yang dapat dibuat sesuai pesanan. Hasil kerajinan tersebut belum rapi dijahit. Selama ini belum ada pelatihan untuk membuat kerajinan yang lebih menarik dan rapi. Pemerintah belum mengeluarkan kebijakan untuk memotivasi warga untuk melakukan pengolahan sampah seperti membuat kerajinan sampah bagi ibu-ibu
84
yang memiliki waktu luang. Salah satu contoh kebijakan tersebut adalah membuat perlombaan kerajinan sampah. Adanya potensi masyarakat ini perlu mendapatkan penghargaan sehingga memotivasi warga lainnya berpartisipasi dalam pengolahan sampah.
5.10 Ikhtisar
Hasil evaluasi pola pengelolaan sampah di Kota Pontianak secara umum adalah sebagai berikut: Matriks 5.1 Telaahan Evaluasi Pengelolaan Sampah Di Kota Pontianak No 1. 2. 3.
Telaahan terhadap
Fakta
Manajemen dan organisasi pengelolaan sampah di Pontiana Rencana strategis pengelolaan sampah tahun 2005-2009 Teknik operasional pengelolaan pasar
Pemerintah Kota Pontianak tidak mampu mengelola sampah Rencana strategis belum merujuk kepada “basis masyarakat” dan CSR Tidak ada kejelasan secara institusional kelembagaan yang mengelola sampah pasar Tidak terjalin suatu hubungan antara kelembagaan di aras RT dan kelembagaan pemerintah dan lainnya Tidak berjalan sebagaimana diharapkan karena diperlukan kualitas SDM, biaya tinggi, institusi tidak berfungsi Anggaran terbatas Regulasi tidak menciptakan “ruang” bagi pengelolaan sampah berbasis masyarakat Leadership dan kondisi sosialekonomi masyarakat menentukan keberhasilan pengelolaan sampah berbasis masyarakat Makna “partisipasi” masih dalam rangka paradigm lama. “Partisipasi” dimaknai sebagai respon masyarakat terhadap program pemerintah bukan semua stakeholder (masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta) berperan serta.
4.
Pengelolaan sampah di wilayah pemukiman penduduk Kota Pontianak
5.
Pengelolaan sampah pola insenerator di Kota Pontianak
6. 7.
Anggaran pengelolaan sampah kota Pengaturan pengelolaan sampah di Kota Pontianak
8.
Pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Kecamatan Pontianak Utara
9.
Masalah partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan non pengelolaan sampah berbasis masyarakat
85
Berdasarkan hal di atas dapat dikatakan bahwa pemerintah tidak memberikan insentif kelembagaan kepada masyarakat. Adapun permasalahan yang dihadapi adalah sebagai berikut: 1. Pada tingkat pemerintah, permasalahan yang dihadapi adalah sumberdaya manusia, teknologi yang digunakan, manajemen pengelolaan sampah, ego sektoral, sarana dan prasarana yang digunakan, besarnya biaya operasional pelayanan sampah, sosialisasi peran masyarakat dalam pengelolaan sampah yang kurang untuk memberikan kesadaran berpartispasi dalam pengelolaan sampah,
belum
mampu
menginterprestasikan
indikator
pembentukan
kelompok dalam penyusunan program untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan program yang dirancang masih bertujuan untuk jangka pendek, program pemerintah tidak memprioritaskan perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah. 2. Pada tingkat masyarakat, permasalahan yang dihadapi adalah kurangnya partisipasi dalam pengelolaan sampah, persepsi masyarakat yang menganggap permasalahan
sampah
adalah
tanggungjawab
pemerintah,
kebiasaan
membuang sampah tidak pada tempatnya, masyarakat belum memahami pengelolaan sampah berbasis masyarakat, masyarakat tidak mengetahui teknologi pengelolaan sampah, kurangnya bantuan pemerintah memberikan pelatihan dalam pengelolaan sampah. 3. Mengatasi masalah sampah membutuhkan penanganan masalah pada aras pemerintah, masyarakat dan
kerjasama masyarakat dan pemerintah yang
harus disinergi yaitu dalam hal pengembangan teknologi, dan pendidikan non formal.
Sedangkan hasil evaluasi permasalahan pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang sudah berjalan di Kecamatan Pontianak Utara adalah sebagai berikut:
86
1. Pengelolaan ini tergantung figure seorang pemimpin yaitu ketua RT. Jika figure orang tersebut hilang dapat menyebabkan berhentinya pengelolaan sampah. 2. Kurangnya pemasaran hasil kerajinan tangan dari sampah. Bila pola ini hendak ditransfer ke masyarakat pinggir sungai maka diperlukan usaha-usaha sebagai berikut: 1. Program pengembangam sampah berbasis masyarakat di ruang pemerintah berupa kebijakan-kebijakan yang memihak kepada pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan kerjasama dengan stakeholder. 2. Program pengembangam sampah berbasis masyarakat di ruang masyarakat berupa penguatan modal sosial yang ada di masyarakat. 3. Program pengembangam sampah berbasis masyarakat di ruang pemerintah dan masyarakat berupa pelatihan dan pengembangan teknologi.
87
VI. PEMBELAJARAN PRAKTEK PENGEMBANGAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT DI KOMUNITAS PINGGIRAN SUNGAI KAPUAS DI KECAMATAN PONTIANAK SELATAN
6.1 Pendahuluan
Perlunya dilakukan pembelajaran pengelolaan sampah berbasis masyarakat pada komunitas di pinggiran sungai karena penulis menganggap bahwa setiap komunitas memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara mandiri. Proses pembelajaran ini akan lebih membantu penulis mengetahui masalah yang dihadapi oleh komunitas karena penulis berusaha merintis membuka akses kepada pemerintah, pengusaha, dan LSM kepada komunitas. Proses pengenalan komunitas dan memahami permasalahan di tingkat komunitas akan lebih mudah dipahami jika penulis terjun langsung melakukan pembelajaran pengembangan masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan cara proses transplantasi pengelolaan sampah berbasis masyarakat dari Kompleks Perumahan Dwi Ratna ke komunitas pinggir sungai. Penulis bisa memahami secara detail permasalahan dan kendala di tingkat komunitas. Kondisi kedua komunitas untuk melaksanakan proses transplantasi adalah sebagai berikut: Matriks 6.1 Kondisi Komunitas Perumahan Dwi Ratna dan Pinggir Sungai No
Tipe
Dwi Ratna
1.
Kepemimpinan
Ketua RT yang mempelopori pengelolaan sampah
2. 3.
Kebersamaan Keterbukaan terhadap teknologi Masalah yang dihadapi
Gotong royong Komposting
4.
5.
Tipe sampah
Pelayanan pengangkutan sampah yang tidak pernah masuk gang Rumah tangga
Komunitas Pinggir Sungai Ada ketua RT yang peduli terhadap kemajuan masyarakat dan Ibu Fa yang sangat tertarik dengan masalah sampah Gotong royong Komposting
Ket Cocok
Cocok Cocok
Pelayanan pengangkutan Cocok sampah yang tidak pernah masuk gang Rumah tangga
Cocok
88
6.
Partisipasi
Komunitas bersedia mengelola sampah Di lingkungan komunitas Buang sampah sembarangan di jalan
Komunitas bersedia mengelola sampah Di lingkungan komunitas Buang sampah sembarangan di sungai
Cocok
7. 8.
Lahan pengelola sampah Karekteristik
9.
Wilayah
Di daratan
Di pinggir sungai
Beda letak geografi s
10.
Kondisi sosial
Di lingkungan sekitar Di lingkungan bawah rumah yang banyak rumah banyak sampah sampah
Cocok Beda karakter
Beda lingkun gan
Perbedaan kondisi kedua komunitas tetap dapat dilakukan tranplantasi proses pembelajaran dari komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna kepada komunitas pinggir sungai karena pengelolaan sampah yang akan dilakukan proses pembelajaran pengelolaan sampah pada sampah rumah tangga. Sampah rumah tangga yang dapat menjadi nilai ekonomi bagi komunitas yang mengelola sampah rumah tangga. Proses transplantasi pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat dari Kompleks Perumahan Dwi Ratna kepada komunitas pinggir sungai dilakukan dengan cara: •
Memanggil ketua RT dari Kompleks Perumahan Dwi Ratna ke forum diskusi dengan warga komunitas pinggir sungai untuk menceritakan historis pengelolaan sampah berbasis masyarakat bisa terlaksana di kompleks perumahan tersebut dan penghasilan dari membuat kerajinan sampah tersebut.
•
Mempraktekkan pengelolaan sampah yang telah dilakukan oleh komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna kepada warga komunitas pinggir sungai dengan cara pembuatan pupuk kompos dan memperlihatkan hasil kerajinan tangan yang dibuat dari sampah.
•
Mancari donator yang akan pengelolaan sampah.
menyediakan sarana tempat sampah untuk
89
6.2 Kondisi Sosial Kemasyarakatan Sebelum Adanya Proses Pembelajaran
6.2.1 Pelaksanaan Pengelolaan Sampah
Pewadahan sampah merupakan cara penampungan sampah sementara di sumber baik individu maupun komunal. Pewadahan sampah yang dilakukan oleh komunitas di RT 02 RW 07 yaitu: 1. Bagi tidak peduli lingkungan Masyarakat golongan ini tidak memiliki tempat sampah dirumah mereka. Cara pewadahan dilakukan dengan membungkus sampah dalam plastik dan dibuang langsung kesungai dari rumah. Hal ini dilakukan karena rumah penduduk yang berada ditepi sungai dan disekitar wilayah mereka tidak memiliki tempat sampah. Oleh karena itu sungai sebagai tempat pembuangan sampah sampah. 2. Bagi yang peduli sampah Masyarakat golongan ini memiliki tempat sampah yang disediakan agar sampah tersebut dibakar. Komunitas RT 02 RW 07 tidak memiliki tempat sampah komunal karena tidak ada yang mengangkut sampah tersebut ke TPS. TPS yang disediakan oleh pemerintah sangat jauh dari tempat tinggal komunitas sehingga mereka tidak mau melakukan pengumpulan sampah secara komunal. Masyarakat pernah mengadakan tempat sampah sementara pada tanah kosong tetapi karena tidak ada yang mau membakar sampah tersebut sehingga menimbulkan bau. Oleh karena itu warga yang dekat tempat sampah tersebut melarang masyarakat membuang sampah di tempat itu. Cara pengumpulan sampah yang dilakukan pada tingkat individu yang langsung dengan pembakaran atau pembuangan sampah ke sungai. RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut merupakan bagian Kampung Kamboja yang berada dipinggiran/bantaran Sungai Kapuas dengan jalan yang disebut gertak yaitu gang kecil. Dari dulu masyarakat Kampung Kamboja tidak
90
memiliki tempat sampah dan membuangnya ke sungai. Sampah yang digunakan pada zaman dahulu adalah sampah yang mudah terurai yaitu pembungkus menggunakan daun sehingga tidak mencemari sungai. Berdasarkan hasil wawancara Ibu RT 02/RW 07 mengemukakan bahwa “Dahulu kami minum dari air sungai ini karena airnya masih jernih dan tidak seperti sekarang hitam. Dulu sampah yang dibuang kesungai pembungkus yang dari daun-daun, sekarang sampah yang dihasilkan dari plastik”. Hal ini didukung hasil penelitian Bustomi (2006) di Bandung bahwa permasalahan sampah yang dihadapi dilihat dari aspek budaya, secara kultural, pada masyarakat Bandung terjadi perubahan pola konsumsi. Ini bisa dilihat dari bahan pembungkus makanan yang tadinya lebih banyak menggunakan daun sehingga sampahnya bersifat organik jadi menggunakan plastik atau styrofoam. Berdasarkan uraian diatas bahwa perubahan gaya hidup, tidak ikuti dengan perubahan budaya buang sampah oleh masyarakat sehingga sampah menjadi masalah bagi masyarakat dipinggiran sungai yang masih menggunakan sungai sebagai sumber kehidupan mereka untuk mencuci dan mandi tetapi masyarakat juga ikut yang mengotori sungai tersebut. Perubahan gaya hidup yang dialami oleh masyarakat dengan kebiasaan membuang sampah menimbulkan berbagai variasi pengelolaan sampah yang di lakukan oleh masyarakat dengan kesadaran membuang sampah yang berbeda yaitu: 1. Pengelolaan sampah dengan memungut, membakar dan pengkomposan. Di komunitas ini memiliki dua ibu rumah tangga yang memungut sampah di sekitar rumahnya. Sampah tersebut berasal dari sampah Sungai Kapuas yang terbawa air pasang masuk di bawah rumah mereka. Disamping itu juga dilakukan pengkomposan sederhana dengan meletakkan sampah sayursayuran di pot bunga dan membakar sampah plastik. Ibu rumah tangga yang melaksanakan hal tersebut adalah Ibu Fa dan Ibu As. Kegiatan sehari-hari Ibu Fa mengurus suaminya yang sakit stroke ditempat tidur. Pada saat ada waktu luang Ibu Fa memungut sampah di sekitar rumahnya. Berikut ini adalah hasil wawancara Ibu Fa mengatakan bahwa:
91
“Saya biasa memunguti sampah yang berada dibawah rumah pada saat air surut dan menjemurnya lebih dahulu dan pada saat sore di bakar dibelakang rumah. Pada saat membakar sampah saya menaburkan belerang agar sampah tersebut tidak menimbulkan penyakit. Sampah yang dibawah kolong menyebabkan banyak nyamuk. Saya juga menimbun sampah sayur-sayuran di sekitar tanaman dan hasilnya tanaman menjadi subur. Hal ini telah saya lakukan sejak dulu. Banyak artikel yang saya baca dari Kompas yang saya simpan dan radio Belanda yang memberikan informasi banjir yang terjadi karena masalah sampah ”. Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhnya kesadaran masyarakat melalui media massa dengan mengimformasikan bencana yang disebabkan oleh sampah. Hal ini sesuai dengan laporan Sijbesma Wijk (1979) yang mengemukakan bahwa : “Mass media audio and audiovisual media such as radio, television, film and slide shows, flannel board presentations, and printed media such as newspapers, magazines, posters, bulletin boards, and handbills), are very suitable for the diffusion of knowledge on larger scale, for they can reach many people in a short time at relatively low cost. Radio, especially, semmed an ideal medium for reaching illiterate audience. For a wile mass media were considered to be answer to the problem of disseminating agricultural, health and family planning knowledge in developing countries”. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu As mengemukakan bahwa: “Saya setiap hari pagi-pagi memunguti sampah yang ada disekitar rumah, menjemur sampah tersebut dan membakarnya pada saat siang hari. Karena anak saya berjualan didepan rumah, sampah sayur-sayuran dibuang ke pot bunga dan dibiarkan. Nantinya sampah tersebut akan menjadi pupuk.” Ibu As adalah pensiunan pegawai negeri di Rumah Sakit Sudarso, dengan pendidikan kesehatan. Ibu As memiliki kesadaran untuk mengelolaan sampah dan tidak membuang sampah di sungai. Hal ini menunjukkan bahwa jika ada pengetahuan masyarakat tentang permasalahan yang ditimbulkan dari sampah, maka masyarakat dapat merubah sikap dan perilaku dalam membuang sampah.
92
2. Pengelolaan sampah dengan membuang sampah ke sungai Masyarakat yang tidak memiliki tempat sampah dirumah dan membuang sampah tersebut ke sungai. Membuang sampah ke sungai lebih praktis dilakukan daripada membuang sampah ke darat untuk dibakar di lahan yang masih kosong. Keadaan ini terjadi untuk daerah yang berada di pinggiran sungai yang tidak memiliki lahan untuk melakukan pembakaran. Hal ini sudah terjadi turun temurun bahwa masyarakat membuang sampah langsung ke sungai. Masyarakat tidak menyadari bahwa sampah yang dibuang akan mencemari sungai. Mereka berpendapat bahwa sungai yang penuh sampah adalah hasil dari sampah hulu dan hilir sungai dan kontribusi sampah yang mereka buang ke sungai tidak menjadi masalah bagi sungai karena jumlah yang relative sedikit dengan luas sungai yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran masyarakat, jika semua orang membuang sampah ke sungai akan menambah banyak sampah disungai. Mereka melihat masalah secara parsial dalam penumpukan sampah yang ada ditepi sungai. 3. Pengelolaan sampah dengan membakar Sebagian kecil masyarakat yang dekat dengan darat melakukan pembakaran sampah.
6.2.2 Modal Sosial di Komunitas
Modal sosial dewasa ini juga semakin diakui sebagai faktor penting yang menentukan keberhasilan pembangunan suatu negara. Modal sosial dilahirkan dari bawah (bottom-up), tidak hirarkis dan berdasarkan pada interaksi yang saling menguntungkan. Di dalam setiap komunitas terdapat modal sosial. Modal sosial yang dimiliki komunitas adalah sebagai berikut: a. Kepercayaan Kepercayaan masyarakat terhadap Pak RT yang memimpin kegiatan komunitas tersebut dan Ibu Fa yang mengadakan pengelolaan sampah di
93
lingkungan mereka karena sudah bertahun-tahun Ibu Fa peduli terhadap sampah di sekitar rumahnya. b. Norma-norma Norma-norma yang berlaku dengan adanya kepercayaan terhadap ketua RT adalah masyarakat akan mengikuti keputusan ketua RT jika ada kegiatan yang akan dilakukan di RT setempat. Pengadaan pengelolaan sampah di RT setempat sangat tergantung kepada keputusan ketua RT dan kesediaan Ibu Fa yang membentuk kelompok sampah untuk menggerakkan masyarakat. c. Jaringan Adanya hubungan ketua RT dengan pemerintah untuk mengurus surat menyurat dari masyarakat, partai politik dan program pemerintah. Hubungan ini dapat digunakan untuk menggalang kerjasama dengan pemerintah dalam mengelola sampah di komunitasnya. Dalam pengembangan modal sosial dan komunitas terdapat tujuh pendekatan yang khas atau unik yang dapat digunakan untuk pengembangan pengelolaan sampah, yaitu: 1. Kepemimpinan Komunitas (community leader) Tokoh masyarakat yang berpengaruh untuk menggerakkan masyarakat dalam penanganan sampah di RT 02 RW 07 adalah ketua RT sebagai penggerak masyarakat yang dipercayai masyarakat untuk mengambil keputusan bersama di RT tersebut, Ketua Generasi Muda Kampung Kamboja sebagai pelaksana penggerak penanganan sampah beserta anggotanya yaitu seluruh pemuda Kampung Kamboja dan Ibu Fa sebagai ketua kelompok pengelola sampah. 2. Dana Komunitas Dana komunitas merupakan segala bentuk dana yang dapat dihimpun oleh dan dari masyarakat. Pengumpulan dana komunitas dapat dilakukan oleh ketua RT untuk kegiatan bersama di RT setempat. Pemungutan uang tersebut dilakukan dengan mendatangi rumah-rumah warga. Kegiatan ini dilakukan pada saat pesta meriam Idul Fitri, kerja bakti, 17 agustusan dan lain-lain. Pemungutan iuran penanganan sampah menurut ketua GMKK hanya dapat
94
dilakukan ketua RT karena ketua RT dipercaya oleh masyarakat. Sedangkan pengelola keuangan tersebut dapat dilakukan oleh pengurus GMKK. 3. Sumberdaya Material Sumberdaya material merupakan kelengkapan sarana organisasi di komunitas. Salah satu warga di RT 02 RW 07 membeli barang bekas dari masyarakat seperti kertas, plastik dan besi-besi. Penjulan barang bekas yang dilakukan oleh komunitas masih berbentuk koran dan baskom yang pecah. 4. Pengetahuan Komunitas Pengetahuan masyarakat dalam penanganan sampah dengan sistem pungut, bakar dan membuang sampah ke TPS yang akan diangkut ke TPA. 5. Proses Pengambilan Keputusan Proses pengambilan keputusan merupakan suatu proses dimana masyarakat sebagai anggota komunitas berhak menyampaikan aspirasi yang menyangkut kepentingan bersama. Pengambilan keputusan yang dilakukan di RT 02 RW 07 dilakukan dengan musyawarah. Musyawarah ini dilakukan dengan yang mengundang masyarakat ke rumah ketua RT. Setelah dilakukan musyawarah maka hasil tersebut disebarluaskan kepada masyarakat melalui wakil-wakil yang datang pada saat rapat. 6. Teknologi Komunitas Teknologi komunitas merupakan teknologi tepat guna yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat. Teknologi itu digunakan untuk kegiatan produksi sehingga memungkinkan mereka bekerja secara berkelompok. Komunitas RT 02 RW 07 tidak memiliki teknologi yang dapat digunakan untuk penanganan sampah. Tetapi komunitas memiliki lahan yang dapat digunakan untuk pengelolaan sampah. 7. Organisasi komunitas Organisasi komunitas merupakan perkumpulan orang dalam masyarakat yang mengelola kegiatan tertentu. Organisasi yang dimiliki komunitas adalah pengajian, posyandu, GMKK dan pengurus RT. Organisasi ini dapat digunakan sebagai alat untuk menggerakkan masyarakat dalam pengelolaan sampah di lingkungan mereka.
95
Dengan adanya kekuatan modal sosial diatas maka proses pelembagaan yang dibangun adalah melalui mengenal pengolahan sampah berbasis masyarakat mengakui pengelolaan tersebut akan menguntungkan komunitas - menghargai kelompok pengelolaan sampah - mentaati untuk melakukan ketentuan yang menjadi kesepakatan bersama - menerima semua peraturan yang telah berlaku dengan sukarela. Hal ini akan menjadi norma-norma dalam kehidupan seharihari.
6.2.3
Ketidakberdayaan Komunitas dalam Pengelolaan Sampah
Ketidakberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah di RT 02 RW 07 adalah sebagai berikut: 1. Kekuasaan terhadap defenisi kebutuhan Komunitas belum mampu untuk menyelesaikan masalah sampah yang ada dilingkungan mereka. Hal ini terbukti dengan adanya Program Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman Kumuh/P2KLP (Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project/NUSSP). Salah satu upaya untuk mengembangkan kapasitas masyarakat lokal dalam pelaksanaan NUSSP melalui pengukuhan kelembagaan
masyarakat
dengan
membentuk
Badan
Keswadayaan
Masyarakat (BKM) disetiap kelurahan untuk mewakili aspirasi masyarakat. BKM yang mengelola kegiatan tanpa melalui pemerintah sehingga pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh masyarakat sendiri. Di dalam BKM terdapat Unit Pengelola Sosial (UPS) untuk melakukan pemantauan kegiatan yang bersifat sosial dengan tugas sebagai berikut: a. Mempersiapkan usulan investasi untuk pengembangan kelurahan secara integrasi. b. Mengkoordinasi kegiatan pengembangan termasuk kegiatan NUSSP di tingkat kelurahan. c. Memantau kinerja kegiatan pengembangan sosial termasuk kegiatan NUSSP di tingkat kelurahan.
96
Unit
pengelolan
sosial
mendapatkan
pelatihan
dari
NUSSP
untuk
melaksanakan tugasnya. Unit pengelola sosial ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena ketidakmampuan petugas UPS untuk menjalankan tugas di masyarakat. Ketidakmampuan ini membuat masyarakat sulit melihat kebutuhan yang harus dilakukan di komunitas setempat terutama masalah sampah. Kegiatan perbaikan infrastruktur yang dibiayai oleh dana NUSSP di lingkungan permukiman kumuh pada tujuh komponen kegiatan yaitu jalan setapak, jalan lingkungan, drainase mikro, sanitasi, air bersih, lampu penerangan jalan dan persampahan berupa bak sampah RT, konstruksi batu bata, tong sampah komposter (plastik – bekas pakai), bak sampah RT komunal, konstruksi batu bata, gerobak sampah, becak sampah, motor sampah, tempat Pembuangan Sementara (TPS) konstruksi batu bata. Pada tingkat RT terdapat Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang terdiri dari kelompok masyarakat di lingkungannya. KSM dibentuk oleh BKM agar memberikan usulan atas pengelolaan lingkungan yang dibantu oleh NUSSP. Pada kenyataan masyarakat tidak bisa mengelola bantuan tersebut untuk menangani
masalah
pengelolaan
sampah
yang selama ini
menjadi
permasalahan masyarakat. Hal ini sesuai dengan kata Ife (2003) yang mengatakan bahwa orang diberi kekuasaan untuk mendefinisikan kebutuhan mereka karena mereka juga memerlukan pengetahuan dan keahlian yang relevan, proses pemberdayaan ini memerlukan pendidikan dan penerimaan informasi. Komunitas menyadari bahwa sampah yang mereka buang akan kembali kebawah rumah mereka lagi karena mereka percaya kepada aliran Sungai Kapuas yang selalu berputar disekitar mereka. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara Bu Fa mengemukakan bahwa “Sungai Kapuas ini memiliki aliran air yang berputar disekitar sini, sampah yang ada pasti akan kembali ketepi sungai lagi kalo dibuang kesungai”.
97
Mereka mengetahui bahwa adanya real need yang mereka rasakan sebagai kesenjangan antara kesenjangan membuang sampah disungai dengan membuang sampah ditempat sampah yang akan mengurangi jumlah sampah yang ada disungai. Komunitas menyadari mereka memerlukan tempat sampah tetapi mereka tidak berdaya untuk mengelola sampah tersebut. 2. Kelompok yang kurang beruntung lainnya Letak geografis komunitas berada di gang yang hanya bisa dilewati satu motor membuat mereka kurang beruntung. Sehingga komunitas ini jauh dari jangkauan pengangkutan sampah. Kurang beruntungnya komunitas karena: a. Tempat persinggahan sampah yang berasal dari hilir dan hulu sungai sehingga menepi dibawah kolong rumah mereka. Membuat daerah sekitar mereka kotor dengan sampah yang berada dibawah rumah mereka. b. Belum mendapatkan pelayanan pengangkutan sampah karena letak komunitas mereka yang harus masuk gang dan mereka berada di gang kecil yang hanya bisa dilewati satu motor. Sehingga komunitas ini jauh dari jangkauan pengangkutan sampah.
6.3 Inisiatif Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan melakukan perubahan bentuk perilaku yang didasarkan pada kebutuhan atas kondisi lingkungan yang bersih yang pada akhirnya dapat menumbuhkan dan mengembangkan peranserta dalam bidang kebersihan dan dapat memberikan insentif ekonomi kepada masyarakat. Mengetahui ketidakberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah sehingga penulis melakukan focus discussion group bersama-sama Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu mengenai cara penanganan sampah berbasis masyarakat dengan memberikan pandangan dalam pengelolaan sampah yang bernilai uang yaitu pengelolaan sampah dengan komposting dan kerajinan sampah. Komunitas menanggapi dengan antusias topik tersebut karena bernilai uang mengingat banyak pengangguran dikomunitas ini. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan menantu ketua RT yaitu Bagus penanganan sampah ini
98
bernilai uang, akan membuka peluang kerja. Diskusi dilakukan di rumah ketua RT. Hasil diskusi yang dilakukan oleh Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu mengemukakan bahwa : • •
Perlunya pengurus pengelolaan sampah yang diberi gaji dan pengurus yang professional. Adanya penetapan lokasi tempat sampah sebagai tempat pengolahan sampah.
•
Diadakannya komposting diseluruh Kampung Kamboja yang terdiri dari tujuh RT.
•
Dimana setiap RT memiliki pengurus pengelola sampah. Hal ini dilakukan untuk mengatasi jika RT ini yang mengelola sampah dengan komposting, masyarakat lain di Kampung Kamboja tidak membuang sampahnya di RT disini.
•
Kampung Kamboja merupakan perkampungan yang terdiri dari keluarga besar sehingga jika salah satu RT tidak mengadakan komposting akan menimbulkan pertengkaran antara sesama saudara karena saudara tidak boleh membuang sampah di RT sini. Oleh karena itu seluruh Kampung Kamboja harus ikut melaksanakan pengelolaan sampah. Pengadaan tempat sampah.
• • • • • • •
Ada sangsi kepada pengurus jika gagal melakukan tugasnya dalam melakukan pengkomposan dari sampah. Kegagalan mengelola sampah akan menimbulkan sampah yang bertumpuk dan menghasilkan bau. Harus adanya komitmen bersama di masyarakat untuk melakukan pemilahan sampah dengan merembukkan secara bersama-sama warga Kampung Kamboja. Dalam pengelolaan sampah masyarakat hanya mengetahui dengan cara membakar dan mengangkut sampah dari masyarakat ke TPA yang dilakukan oleh pemerintah. Memaparkan proposal pengelolaan sampah di masyarakat. Ketua RT perlu melakukan musyawarah bersama masyarakat sehingga menghasilkan kesepakatan. Masyarakat perlu diajarkan cara membuat kompos dan membuat membuat kerajinan dari sampah.
Menurut Purba (2001) menyatakan terkait dengan kesinambungan lingkungan sosial maka setidak-tidaknya terdapat enam komponen atau ruang lingkup lingkungan sosial yang perlu diperhatikan (disinambungkan). Keenam komponen tersebut ialah adanya pengelompokkan sosial (social grouping), media sosial (social media), pranata sosial (social institution), pengendalian sosial (social control), penataan sosial (social alignment), dan kebutuhan sosial (social need).
99
Berdasarkan hasil FGD diatas kriteria penanganan sampah yang berbasis masyarakat menurut masyarakat dibandingkan dengan pendapat Purba (2001) maka ditambahkan oleh penulis menurut masyarakat dalam pengelolaan penanganan sampah berbasis di komunitas perlunya kesepakatan pemimpin untuk melakukan pengelolaan sampah. Menurut penulis komponen pokok lingkungan sosial yang terpenting adanya kepemimpinan dari tokoh agama/tokoh adat/tokoh masyarakat/ketua RW/RT/masyarakat yang dapat mempengaruhi masyarakat lainnya sehingga dapat bersinergi dengan komponen lain dari pengelolaan lingkungan sosial. Sehingga penulis menyimpulkan adanya tujuh item yang harus berkesinambungan dalam pengelolaan lingkungan sosial di komunitas yaitu : 1. Pengelompokkan sosial Masyarakat menyatakan perlunya pengurus pengelola sampah. 2. Media sosial Adanya pemaparan proposal penanganan sampah di masyarakat. 3. Pratana sosial Harus adanya komitmen bersama di masyarakat untuk melakukan pemilahan sampah dengan merembukkan secara bersama-sama warga. 4. Penataan sosial Ada sangsi kepada pengurus pengelola sampah jika melalaikan tugasnya dalam membuat pupuk kompos dari sampah sehingga membuat sampah bertumpuk dan menghasilkan bau. 5. Pengendalian sosial Diadakannya komposting diseluruh Kampung Kamboja yang terdiri dari tujuh RT. Dimana setiap RT memiliki pengurus pengelolaan sampah. Hal ini dilakukan agar RT yang tidak melakukan komposting tidak membuang sampah di RT yang telah melakukan komposting dengan pemilahan sampah. Komunitas RT 02 RW 07 sebagai plan project pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Kampung Kamboja. 6. Kebutuhan sosial Adanya pelatihan komposting dan kerajinan sampah yang dituangkan dalam proposal pengelolaan sampah agar dapat dilakukan di RT 02 RW 07.
100
7. Kepemimpinan Perlunya ketua RT melakukan musyawarah bersama untuk mencapai kesepakatan
dalam
pembentuk
kelompok
sampah
dan
mekanisme
pengelolaan sampah tersebut. Berdasarkan hasil penelitian penulis memperkuat bahwa konsep diatas sesuai dengan pernyataan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan sosial dengan menambahkan satu item kepemimpinan dalam pengelolaan lingkungan sosial. Berdasarkan hasil diskusi diatas menunjukkan bahwa masyarakat mengetahui cara membangun partisipasi dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Keberhasilan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan partisipasi masyarakat. Masyarakat memiliki kapasitas untuk memberdayakan diri sendiri, serta mengelola lingkungan secara mandiri. Di dalam komunitas terdapat faktor penghambat dan pendorong untuk penanganan sampah di Kampung Kamboja. Faktor pendorong agar menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk membentuk kelompok dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah sebagai berikut: 1. Perlombaan Green and Clean yaitu kerjasama AP Post Pontianak dengan Pemerintah Kota Pontianak. Bagi yang memenangkan Perlombaan Green dan Clean
akan
mendapatkan
penghargaan
dari
pemerintah
dan
akan
dipublikasikan secara besar-besaran di media massa. Program ini akan memotivasi masyarakat untuk melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan penghijauan di lingkungan rumah penduduk. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan ketua RT yang mengatakan bahwa : “Jika ada perlombaan tersebut diberitahukan kepada kami persyaratan untuk memenangkan perlombaan tersebut mungkin masyarakat disini akan termotivasi untuk melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat”. Boks 4. Perlombaan Green and Clean Faktor pendorong adalah Perlombaan Green and Clean yaitu bagi yang memenangkan Perlombaan Green dan Clean maka daerah tersebut akan mendapatkan penghargaan dari pemerintah dan akan dipublikasikan secara besar-besaran di media massa.Hal ini dapat menjadi potensi adalah ada pemimpin yang mempunyai unsur kepentingan untuk menjadi orang terpublikasi di koran-koran dan tenar di Kota Pontianak.
101
2. Adanya kemauan masyarakat untuk melakukan perubahan sikap dalam membuang sampah jika diikuti oleh seluruh masyarakat. Boks 5. Rasa Kebersamaan Faktor pendorong adalah adanya rasa kebersamaan dari masyarakat karena merupakan daerah yang memiliki kekerabatan. Hal yang menjadi motivasi adalah adanya real need untuk memiliki lingkungan yang bersih dan sampah yang sudah mengganggu aktivitas mandi masyarakat. Potensi yang dapat dikembangkan adalah adanya komitmen bersama untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah.
3. Adanya kemauan masyarakat untuk mematuhi ketua RT jika ada arahan dari ketua RT untuk melakukan suatu kegiatan. Boks 6. Kepatuhan kepada Ketua RT Faktor pendorong adalah kepatuhan terhadap keputusan yang diambil oleh Ketua RT. Hal ini dapat digunakan untuk menggerakkan masyarakat untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Dengan adanya penghormatan terhadap Ketua RT sebagai wakil atas keputusan bersama masyarakat. Hal ini tergantung pada kemauan Ketua RT untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan pengumpulan dana dari masyarakat karena masyarakat percaya pengambilan dari Ketua RT.
4. Adanya area tanah yang dapat digunakan untuk meletakkan mesin komposting. Boks 7. Memiliki Tanah Kosong Faktor pendorong adalah tersedianya areal tanah yang dapat dipergunakan untuk pengelolaan sampah. Tanah tersebut dapat digunakan karena pemilik tanah tersebut (Ibu Fa) yang menggunakan areal tanah tersebut untuk tanaman bunganya. Dengan dilakukannya komposting dirumahnya akan mendukung hobinya menanam tanaman hias. Selain itu Ibu Fa yang peduli terhadap permasalahan sampah. Hal ini dapat berjalan jika adanya bantuan hibah dari luar negeri maupun dalam negeri untuk pembangunan gedung komposting dan pembelian peralatan komposting.
5. Adanya seorang ibu rumah tangga yang bersedia mengelola sampah dan memiliki rasa ingin tahu tentang masalah dan manfaat dari sampah seperti lamanya sampah plastik yang tidak dapat terurai yang di buat kipling dari kumpulan koran-koran tentang masalah sampah dan tanaman hias.
102
Boks 8. Ibu Peduli Sampah Faktor pendorong adalah Ibu yang peduli sampah. Ibu tersebut dapat digunakan sebagai orang yang menjadi pelopor pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Ibu tersebut dapat dijadikan sebagai ketua kelompok pengelola sampah.
6. Masyarakat sudah merasa terganggu pada saat mandi dan mencuci dengan keberadaan sampah dipinggiran sungai. Boks 9. Harga Minyak Tanah Mahal Faktor pendorong adalah sampah yang bertumpuk dipinggiran sungai dan sampah yang mengalir ditepi sungai tempat masyarakat mandi dan mencuci. Hal ini dapat menjadi motivasi masyarakat untuk melakukan pengelolaan sampah karena masyarakat merasa terganggu dengan sampah yang mengganggu aktivitas kegiatan mandi dan mencuci. Syarat menjadi potensi adalah tumbuhnya real need masyarakat menjadi felt need yang dilakukan melalui proses pembelajaran orang dewasa.
7. Adanya pengajian, kelompok pemuda Generasi Melayu Kampung Kamboja, posyandu yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk memberikan penyuluhan pengelolaan sampah. Boks 10. Ikatan Kekerabatan Faktor pendorong adalah organisasi yang terbentuk merupakan integrasi yaitu adanya ikatan kekerabatan dan suku. Adanya ikatan kekerabatan ini menumbuhkan rasa kebersamaan di kalangan ibu-ibu dan pemuda untuk melakukan kegiatan bersama. Hal ini dapat menjadi syarat menjadi potensi karena adanya seorang tokoh disalah satu organisasi tersebut yang bersedia untuk menggerakkan anggota lainnya.
8. Adanya program pemerintah yang ingin memperoleh Adipura sehingga pemerintah perhatian kepada komposting. Boks 11. Piagam Adipura Faktor pendorong adalah adanya piagam adipura dari Pemerintah Pusat. Pemerintah Kota Pontianak termotivasi ingin memperoleh adipura tersebut. Hal ini dapat menjadi syarat potensi karena pemerintah peduli terhadap pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat
103
9. Adanya seorang yang menang Perlombaan Green and Clean yang diadakan oleh surat kabar AP Post dan Pemerintah Kota Pontianak sebagai pemicu masyarakat untuk melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Boks 12. Teladan Ketua RT Faktor pendorong adalah adanya contoh seorang ketua RT yang dapat mendorong masyarakat mengelola sampah. Hal ini dapat menjadi contoh bagi ketua RT lainnya bahwa Ketua RT dapat menjadi seorang pemimpin di komunitasnya. Hal ini menjadi potensi adalah ada Ketua RT yang terinspirasi dengan gaya kepemimpinan yang dimiliki pemenang Green and Clean.
10. Adanya Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan Propinsi Kalimantan Barat bersedia menganggarkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat di pinggiran sungai jika ada yang mengajukan program sebelum awal tahun kedepan. Boks 13. Tersedianya Dana oleh Pemda Faktor pendorong adalah adanya program yang dapat dikembangkan oleh Pemda. Hal ini menjadi motivasi pegawai pemerintah karena dapat menambah kegiatan/program di instansinya. Agar pemda dapat membuat program pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan mengajukan proposal yang diajukan oleh masyarakat ke Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan.
11. Adanya tenaga teknis yang melakukan penyuluhan tentang komposting di Kecamatan Pontianak Selatan dari Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak. Boks 14. Ada Penyuluh Dari Dinas Faktor pendorong adalah adanya jabatan fungsional di dinas urusan pangan. Untuk menambah angka kredit dalam jabatan fungsional maka petugas lapangan mau melakukan penyuluhan dilapangan. Petugas dapat menjalankan tugasnya dengan syarat komunitas meminta tenaga penyuluhan untuk daerahnya.
12. Adanya program NUSSP yang memberikan bantuan dana dan pengalaman masyarakat untuk belajar menanggulangi masalah yang ada di lingkungan mereka dengan dana swadaya masyarakat dan dari NUSSP berupa bentuk fisik dalam masalah sampah.
104
Boks 15. Ada Dana NUSSP Faktor pendorong adalah tersedianya dana untuk pembelian alat komposting. Adanya dukungan dana karena untuk untuk mencapai MGDs. Hal ini dapat menjadi potensi jika komunitas dapat membuat proposal usulan untuk meminta bantuan ke BKM.
Faktor penghambat penanganan sampah berbasis masyarakat yaitu: 1. Masyarakat merasa tidak berdaya terhadap keadaan lingkungan mereka karena masalah sampah yang menyangkut berbagai kepentingan dan berbagai pihak. Boks 16. Lingkungan Penuh Sampah Faktor penghambat adalah merasa tidak berdaya terhadap sampah yang penuh. Hal ini menjadi penghambat karena masyarakat mengetahui bahwa aliran Sungai Kapuas yang mengalir dari hulu hingga kehilir sehingga sulit untuk pengelolaannya. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena tidak dilakukan pemberdayaan masyarakat untuk menjaga Sungai Kapuas dari hulu hingga hilir Sungai Kapuas.
2. Masyarakat yang memiliki ketahanan tubuh untuk penyakit tertentu terhadap lingkungan yang kotor. Boks 17. Kekebalan Tubuh Masyarakat Faktor penghambat adalah adanya kekebalan tubuh masyarakat terhadap pencemaran sungai yang digunakan untuk mandi dan cuci pakaian. Hal ini menjadi penghambat karena masyarakat sudah bertahun-tahun mandi dan cuci pakaian di Sugai Kapuas. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena tidak adanya penyadaran untuk mengubah pola hidup yang bersih dan sehat.
3. Belum terbentuknya komitmen dari pemerintah untuk pengelolaan sampah dibantaran sungai. Boks 18. Belum adanya peraturan Faktor penghambat adalah tidak ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk pengelolaan sampah dibantaran sungai. Hal ini menjadi penghambat karena tidak tersedianya dana untuk pengelolaan sampah dipinggiran sungai dan belum tertanganinya permasalahan sampah diperkotaan. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena tidak adanya pemimpin pemerintahan yang peduli terhadap pengelolaan sampah dibantaran sungai dan tidak adanya kolaborasi setiap stakeholder.
105
4. Masyarakat yang mempunyai budaya panas-panas tai ayam dalam pengelolaan sampah. Boks 19. Bosan Terhadap Suatu Kegiatan Faktor penghambat adalah rasa cepat bosan terhadap suatu kegiatan. Hal ini menjadi penghambat karena tidak ada keinginan untuk hidup menjadi lebih baik. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena tidak ada pemimpin lokal yang mendorong masyarakat agar tetap konsisten dengan pengelolaan sampah.
5. Adanya image masyarakat pinggiran sungai daerah yang rawan. Boks 20. Image Masyarakat Faktor penghambat adalah zaman dahulu tahun 80-an banyak terjadi penembakan misterius di bantaran sungai. Hal ini menjadi penghambat karena banyak penduduk yang mati, pengangguran dan pekerjaan tidak tetap di penduduk bantaran sungai. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena para pemuda yang tidak mau kerja dibidang sampah yang bernilai ekonomi.
6. Pandangan masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan pengelolaan sampah adalah hina. Boks 21. Pekerjaan Sampah adalah Hina Faktor penghambat adalah pandangan masyarakat pekerjaan pengelolaan sampah adalah hina. Hal ini menjadi penghambat karena masyarakat berada ditengah perkotaan sehingga memiliki gaya kota dengan gengsi yang tinggi. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena masyarakat tidak melihat peluang bisnis yang dapat dikembangkan dari sampah.
6.4 Pengembangan Kelembagaan Di Empat Ruang Stakeholder
Strategi
pengembangan
kelembagaan
merupakan
hal
penting
dalam
pemberdayaan masyarakat. Untuk itu harus ada kesepakatan yang dimulai dengan penguatan kelembagaan dan alokasi dana. Pemerintah, LSM dan pengusaha sampah juga dapat turut serta untuk membangun kelembagaan dalam mengelola sampah tersebut.
106
1. Tingkat masyarakat Tanggapan ketua RT dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat dilakukan dengan cara mengajarkan masyarakat untuk membuat pupuk kompos secara individu yang harus dipraktekkan kepada ibu-ibu. Berdasarkan hal tersebut maka penulis memanggil Pemenang I Perlombaan Green dan Clean tahun 2007 yaitu Bapak SF yang telah melakukan komposting dan membuat kerajinan sampah di komplek rumahnya untuk mempraktekkan model pengkomposan yang dilakukan di RT-nya di depan ibu-ibu. Bapak SF menceritakan pengalaman pembuatan pupuk kompos di RT-nya dengan cerita bahwa “Saya beserta istri saya yang mengajak ibu-ibu dan bapak-bapak untuk mengolah sampah. Sampah tersebut dibuat pupuk kompos. Tempat komposter tersebut diletakkan didepan rumah masingmasing”. Sebelum acara dimulai kami mendiskusikan bagaimana pengelolaan sampah yang dilakukan di tingkat rumah tangga, ibu-ibu hanya mengetahui pembakaran dan pembuangan sampah di sungai karena tidak memiliki tempat sampah. Ibu-ibu menyadari bahwa makna hidup sehat bagi mereka adalah hidup dengan lingkungan yang bersih. Mereka hidup dibantaran sungai dengan arus sungai yang membawa sampah ke bawah kolong rumah penduduk sehingga mereka tidak bisa memiliki lingkungan bersih. Setelah selesai diskusi tersebut, Bapak SF yang mempraktekkan pembuatan pupuk kompos menggunakan aktivator. Pembuatan pupuk kompos dengan aktivator ini adalah sebagai berikut: sampah organik di cincang halus dan dimasukkan kedalam alat komposter yang kemudian disirami aktivator tersebut. Setiap sampah yang masuk harus dicincang. Setelah itu alat komposter ditutup dan lama-kelamaan sampah tersebut menjadi pupuk. Adapun hasil diskusi yang dilakukan oleh Ibu-Ibu adalah sebagai berikut: • • •
Perlunya obat aktivator untuk melakukan kompos skala rumah tangga. Perlunya waktu yang lama untuk melakukan cincang sampah tersebut. Banyak kesibukan di rumah sehingga tidak ada waktu untuk mencincang sampah organik.
107
Setelah itu Bapak SF membawa contoh hasil kerajinan tangan dari sampah. Bapak SF menceritakan pengalaman di komunitasnya proses pembuatan kerajinan tangan tersebut kepada ibu-ibu yang mengemukakan bahwa: “Setiap ibu rumah tangga membawa bungkusan sampah dari rumah masing-masing yang diberikan kepada istri saya. Kemudian istri saya membersihkan hasil sampah tersebut dan diantarkan kepada tukang jahit yang berada di komplek rumah. Setiap ibu-ibu menggunting sampah plastik dengan rapi sehingga bungkusan tersebut dapat dibuat kerajinan sampah.” Beberapa hari kemudian penulis membelikan aktivator dan alat penyemprot yang diserahkan kepada ketua RT agar dibagikan aktivator tersebut untuk ibuibu yang ingin membuat pupuk kompos dari sampah. Berdasarkan hasil diskusi beberapa ibu-ibu yang berminat membuat pupuk kompos tersebut dan ada beberapa ibu-ibu yang tidak berkenan untuk membuat pupuk kompos di rumah masing-masing karena mengurus anak-anak dan repot untuk melakukan pencincangan sampah tersebut. Melihat situasi tersebut, penulis mencari pemimpin dalam organisasi yang baru untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang peduli terhadap pengelolaan sampah yaitu Ibu Fa karena semua komunitas sudah mengetahui kinerja Ibu Fa selama bertahun-tahun melakukan pemungutan sampah disekitar rumahnya untuk dibakar. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan ibu MN mengatakan bahwa saya akan mengikuti pemilahan sampah jika seluruh masyarakat melakukan hal yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat bersedia melakukan pemilahan sampah jika ada kesepakatan ibu-ibu untuk memilah sampah di rumahnya. Menurut penulis alternative yang dapat dilakukan untuk menghadapi kendala diatas adalah melakukan kelompok pengelola sampah dengan syarat masyarakat yang melakukan pemilahan sampah dan kelompok ibu-ibu pengelola sampah yang melakukan pengkomposan dalam skala besar untuk menampung sampah yang tidak diolah oleh masyarakat. Pengkomposan dilakukan dengan bahan aktivator yaitu promi yang cara penggunaannya lebih
108
mudah dalam skala besar tanpa dilakukan pencacahan agar menghasilkan pupuk kompos. Berdasarkan hal tersebut penulis menawarkan kepada Ibu Fa sebagai ketua kelompok pengelola sampah dan menggunakan lahan rumahnya untuk melakukan pengkomposan. Berikut hasil wawancara dengan Ibu Fa mengatakan bahwa “Hal ini dapat saya lakukan tapi harus dibantu oleh ibu yang lain karena saya kurang banyak memiliki waktu karena mengurus suami yang sedang sakit. Dibelakang rumah saya dapat digunakan untuk pengkomposan.” Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan sampah berbasis masyarakat dapat dilakukan jika masyarakat diajak bersama-sama menyadari bahwa adanya permasalahan sampah yang harus dikelola secara bersama. Pembuatan pupuk kompos ini harus dilakukan juga dengan pembelian alat pencacah karena hasil pengkomposan sampah menggunakan promi tidak halus sehingga perlu alat pencacah agar dapat dijual kepada masyarakat. Kemudian penulis melakukan diskusi kepada pemuda GMKK tentang pengelolaan sampah ditingkat komunitas. Hasil diskusi mengatakan bahwa pengelolaan sampah yang menggunakan komposting dan alat pencacah baru mereka ketahui. Penanganan sampah yang dapat mereka lakukan sekarang hanya sebatas menanam enceng gondok agar dibawah rumah ini tidak dipenuhi dengan sampah. Enceng gondok
bisa menahan sampah masuk
kebawah kolong rumah. Mereka akan mendukung pelaksanaan komposting tersebut. Berdasarkan hasil wawancara ketua GMKK mengatakan bahwa adanya sifat panas-panas tai ayam yang antusias pada awalnya saja dan akhirnya tidak akan antusias lagi sehingga sulit untuk menggerakan pemuda agar berkelanjutan dalam membuat pupuk kompos tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan yang dilakukan oleh pemuda hanya sebatas mendukung kegiatan pemilahan. Menurut pendapat salah satu pemuda GMKK mengatakan bahwa pelaksanaan pengelolaan kompos tersebut mau dikerjakan pemuda jika penghasilan sebulan sekitar Rp.600.000,-. Hal ini menunjukkan belum adanya jiwa wiraswasta untuk membuat pupuk tersebut dapat
109
dipasarkan dengan bantuan dana dari pemerintah dalam membuka peluang kerja baru. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua RT mengatakan bahwa masyarakat pada umumnya menganggap sampah adalah hina. Mereka tinggal dikota masih banyak pekerjaan yang lain dan para pemuda juga gengsi dengan pekerjaan sebagai pengelola sampah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat belum bisa melihat usaha sampah adalah prospek kedepan yang menjanjikan walaupun awalnya belum memperoleh hasil yang memuaskan. Banyak pengusaha sampah yang kaya seperti pengusaha sampah di Bandung. Berkaitan dengan kerajinan sampah yang diperkenalkan kepada ibu-ibu. Ibuibu masih ragu untuk melaksanakan kerajinan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu RT mengatakan bahwa “Tidak ada yang mau beli barang tersebut karena kita berada di tengah kota yang mempunyai barang lebih bagus dari barang buatan sampah. Hal ini sulit dilakukan.” Tersedia sumberdaya untuk membuat kerajinan sampah di masyarakat dan tukang jahit sehingga dengan adanya jaminan pemasaran barang tersebut akan meningkatkan pendapatan tukang jahit dan semangat masyarakat untuk pengelolaan sampah.
Untuk masalah dana komunitas dapat dilakukan
pengumpulan iuran dari komunitas. Hal ini berdasarkan hasil wawancara kepada ketua RT bahwa “Masyarakat sudah terbiasa memberikan sumbangan untuk kegiatan Kampung Kamboja seperti pesta meriam pada saat Idul Fitri, penarikkan uang keikursertaan masyarakat untuk memeriahkan acara tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pemungutan sumbangan dari warga sebesar Rp.10.000,-. Adanya partisipasi masyarakat untuk mengumpulkan uang tersebut dapat dilakukan untuk kegiatan pengadaan kelompok penanganan sampah berbasis masyarakat untuk membeli alat pencacah yang sederhana.” Menurut pendapat ketua GMKK menyatakan adanya kebijakan ketua RT untuk melakukan pungutan iuran untuk pengelolaan sampah maka masyarakat di kampung ini akan bergerak untuk mengumpulkan uang tersebut. Jika ketua
110
RT memahami perlunya penanganan sampah berbasis masyarakat dan bersedia untuk memberikan kebijakan penarikan iuran atas kegiatan tersebut, maka pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini dapat berjalan. 2. Tingkat Pemerintah Daerah Pada tingkat pemerintah daerah penulis membuka akses masyarakat untuk dapat melakukan pengaduan atau permohonan pengelolaan sampah pada pemerintah. Selain itu penulis juga mendiskusikan pengelolaan sampah untuk daerah dipinggiran Sungai Kapuas yaitu sebagai berikut: a. Untuk menyadari masyarakat bahwa pemda peduli terhadap masyarakat dipinggiran sungai penulis menghadap Kepala Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan untuk mendiskusikan program yang dapat dilakukan di komunitas RT 02 RW 07 tersebut. Hasil diskusi mengatakan bahwa adanya kegiatan penyuluhan yang dikoodinator oleh Kapeldalda gabungan dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan dan Dinas Kesehatan untuk masalah sampah. Penyuluhan tersebut dilakukan 24 kali setiap tahun pada 24 kelurahan. Penulis meminta kepada kepala kantor agar penyuluhan di Kelurahan Benua Melayu Laut dilaksanakan di komunitas RT 02 RW 07. Kepala kantor bersedia mengadakan penyuluhan di daerah tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala seksi pengendalian dampak lingkungan mengatakan bahwa “Adanya ketentuan pembelian peralatan dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum sedangkan kantor tidak bisa melakukan pembelian peralatan. Anggaran yang diajukan di tolak oleh DPRD. Sedangkan Dinas Pekerjaan Umum melaksanakan pembangunan WC umum tidak melibatkan kami untuk melihat dari pengendalian lingkungannya. Semua berjalan sendiri-sendiri.” Hal ini menunjukkan belum adanya tujuan yang jelas tentang siapa melakukan apa dan ego sektoral yang menganggap bahwa program dinas adalah milik dinas tanpa adanya koordinasi antara sesama dinas/kantor/badan/kecamatan/kelurahan.
111
b. Untuk mendapatkan bantuan pendampingan dari Dinas Urusan Pangan yang memiliki tenaga fungsional sebagai penyuluh dalam pembuatan kompos cair dan pupuk kompos di wilayah Kelurahan Benua Melayu Laut. Penulis menghadap kepala bagian tata umum untuk meminta tenaga penyuluh melakukan pendampingan di komunitas agar dapat membuat pupuk kompos yang berkualitas. Kepala Bagian Dinas Urusan Pangan dan tenaga penyuluh bersedia melakukan pendampingan pembuatan pupuk kompos tersebut jika masyarakat mempunyai kemauan untuk belajar membuat pupuk kompos. Petugas penyuluh dapat di sms oleh masyarakat untuk mendapatkan pelatihan pembuatan pupuk kompos di rumah mereka. c.
Untuk mendapatkan dukungan penguatan masyarakat dalam pengelolaan sampah, penulis menghadap Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan mengatakan bahwa pengelolaan sampah yang berada di kota belum dapat tertangani dengan anggaran yang ada apalagi untuk pengelolaan sampah yang berada di bantaran sungai. Adanya pandangan dinas kedepan akan mengurangi jumlah TPS untuk memperindah kota dan memindahkan TPS yang berada dipinggir jalan menjadi ke gang agar kota nampak lebih indah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang berada di bantaran sungai belum mendapatkan perhatian dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan karena luasnya pelayanan yang harus diberikan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan sehingga tidak dapat semua tertangani. Penulis juga menghadap kepala seksi penyuluhan, kegiatan yang dilakukan sekarang hanya sebagai penyuluhan yang dilakukan 24 kali dalam setahun sehingga setiap kelurahan hanya dilakukan satu kali penyuluhan yang merupakan gabungan dari Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan dan Dinas Kesehatan yang dapat dilakukan pada saat sore atau malam hari sesuai dengan permintaan masyarakat melalui kelurahan. Hal ini menunjukkan bahwa menumbuhkan kesadaran di tingkat komunitas dengan penyuluhan
112
ini belum dapat dirasakan hasil dari penyuluhan tersebut karena untuk menumbuhkan kesadaran memerlukan waktu dan proses pembelajaran dengan membutuhkan pendampingan. d. Untuk mendapatkan bantuan pelatihan pupuk kompos, penulis menghadap kepala seksi pembangunan di Sekretariat Daerah Kota Pontianak Bagian Ekonomi Pembangunan untuk melihat eksis pemerintah terhadap penanganan sampah. Mengingat nilai adipura Kota Pontianak adalah 63,60 dengan skala nilai sedang dengan nilai komponen pemantau pemanfaatan sampah/komposting adalah 35,00 termasuk klasifikasi jelek, sehingga Pemda Kota Pontianak akan melakukan pelatihan komposting dari 29 kelurahan dengan 145 peserta. Maka penulis meminta kepala seksi untuk mendaftarkan nama salah satu komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut ikut pelatihan tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan karena pemilihan peserta yang ikut pelatihan merupakan rekomendasi kelurahan. e. Untuk mendapatkan dukungan dari kelurahan agar program penanganan sampah di daerah bantaran sungai dapat dilakukan di komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut sebagai project plan maka penulis menghadap Kepala Lurah untuk diskusi tentang praktek pembuatan kompos yang pernah di komunitas tersebut. Dalam hal ini komunitas memerlukan tindak lanjut untuk memotivasi dan mendorong masyarakat. Kepala kelurahan akan mendukung komunitas tersebut dalam pengelolaan sampah tersebut. f. Untuk mendapatkan dukungan dalam pelatihan membuat kerajinan sampah dari pemerintah, penulis menghadap kepala seksi pelatihan Propinsi Kalimantan Barat. Program pelatihan dari badan ini merupakan program dari pemerintah pusat. Dia merekomendasikan penulis untuk mengajukan proposal di Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan dan Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Barat yang mempunyai anggaran untuk pelatihan tersebut dengan mengajukan proposal melampirkan rincian
113
kegiatan yang akan dilaksanakan sehingga dinas dapat menindaklanjuti program tersebut. Penulis diberikan contoh pembuatan program beserta rinciannya. Menurut kepala seksi tersebut, proposal yang diajukan atas permintaan masyarakat akan ditindaklanjuti jika tidak tahun ini, akan diajukan
tahun
depan.
Mengingat
Dinas
Pengendalian
Dampak
Lingkungan memberikan bantuan tong sampah kepada pemenang Perlombaan Green and Clean bagi masyarakat yang membutuhkan. Pemda Propinsi memiliki anggaran untuk pengadaan pengelolaan sampah. 3. Tingkat Pengusaha Untuk membuka jaringan pasar terhadap penjualan sampah, penulis mendatangi pimpinan perusahaan yaitu pengusaha sampah di Riung Bandung tentang pengelolaan sampah di Pontianak. Ternyata perusahaan ingin mengembangkan usahanya di Kota Pontianak, kontribusi yang bisa dilakukan oleh perusahaan adalah memberikan pelatihan secara gratis kepada penduduk di komunitas RT 02 RW 07 untuk memilah jenis plastik dan besi tua. 4. Tingkat LSM Penulis mengunjungi LSM
untuk mendiskusikan tentang pengelolaan
sampah yang dilakukan di komunitas RT 02 RW 07 dalam hal pendampingan dan pendanaan untuk pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan hasil diskusi LSM memiliki tenaga untuk pemberdayaan di komunitas tersebut dan dana untuk melaksanakan pemberdayaan tersebut. LSM memiliki tenaga pemuda cinta lingkungan yang dapat digerakkan untuk pengelolaan sampah di bantaran sungai. Penulis yang diharapkan untuk membuat jenis program yang diperlukan untuk pemberdayaan masyarakat di bantaran sungai yang akan didukung dengan tenaga dan pendanaan.
6.5 Ikhtisar Perbedaan pengelolaan sampah pada komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna dan Komunitas pinggir sungai sebagai berikut:
114
1. Pengelolaan sampah dilakukan secara swadaya oleh masyarakat dengan adanya kesepakatan bersama dari komunitas. 2. Hasil pengelolaan sampah berupa kompos dan kerajinan tangan. 3. Pembuatan pupuk kompos dan kerajinan tangan dilakukan oleh ibu-ibu. 4. Adanya kemauan seluruh komunitas untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah agar dapat menghasilkan kerajinan sampah. 5. Setiap rumah tangga memiliki alat komposter. 6. Setiap rumah tangga memberikan hasil bungkusan sampahnya agar dapat dijadikan kerajinan tangan. 7. Secara geografis komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna berada di daratan/kota Sedangkan pengelolaan sampah yang diterapkan komunitas pinggir sungai dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Sampah dibakar dan dibuang ke sungai dan dua orang ibu yang membuang sampah organik dengan menimbun sampah tersebut ke dalam pot. 2. Tidak memiliki tempat sampah untuk komunitas. 3. Menjual sampah yang dapat menghasilkan uang seperti ember pecah, plastik dan lain-lain. 4. Secara geografis komunitas RT 02 RW 07 berada di pinggir sungai. Persamaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat pada kedua komunitas tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Memiliki ketua RT yang dihormati oleh warganya.
2.
Memiliki tempat untuk pengolahan sampah.
3.
Memiliki tukang jahit yang bisa menjahit kerajinan sampah.
4.
Memiliki orang yang peduli terhadap masalah sampah.
5.
Memiliki warga yang rukun dalam satu RT.
Pada pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang akan ditransfer dari Kecamatan Pontianak Utara (Kompleks Perumahan Dwi Ratna ke Kecamatan
115
Pontianak Selatan) ke komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut disesuaikan dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Pengelolaan sampah menjadi pupuk kompos dapat dilakukan komunitas di pinggir sungai dengan kelompok pengelolan sampah sedangkan pengelolaan sampah yang dilakukan di Kompleks Perumahan Dwi Ratna dilakukan secara individu. 2. Sampah anorganik menjadi kerajinan tangan untuk komunitas di pinggir sungai harus disertai pelatihan cara pembuatan kerajinan tangan dari sampah. Sedangkan Kompleks Perumahan Dwi Ratna membuat kerajinan tangan dari kreatif dan inovasi penjahit kerajinan tangan. 3. Pembuatan pupuk kompos dan kerajinan tangan dilakukan oleh ibu-ibu untuk komuntas pinggir sungai. Sedangkan untuk Kompleks Perumahan Dwi Ratna dilakukan oleh ibu-ibu dan bapak-bapak dalam pembuatan pupuk kompos sedangkan kerajinan tangan dilakukan oleh ibu-ibu. Oleh karena adanya perbedaan karakteristik pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat diatas maka diperlukan cara agar komunitas di RT 02 RW 07 dapat efektif melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat melalui pendekatan kolaborasi antara stakeholder sehingga semua berperanserta mensukseskan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Peranserta stakeholder tersebut dapat dilakukan pada aras pemerintah, masyarakat dan aras masyarakat dan pemerintah.
116
VII. PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT
7.1 Pendahuluan Pengelolaan sampah berbasis masyarakat telah dilakukan di Kompleks Perumahan Dwi Ratna. Keberhasilan pengelolaan sampah tersebut akan ditransplantasi pembelajaran kepada komunitas di pinggiran sungai. Ketua RT yang mempelopori pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat tersebut akan menjadi contoh bagi masyarakat di pinggir sungai bahwa pelaksanaan pengelolaan sampah dapat dilakukan secara swadaya. Selama ini komunitas di pinggir sungai belum memahami pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Proses transplantasi pembelajaran ini juga melibatkan pemerintah selaku pemberi pelayanan persampahan kepada masyarakat di Kota Pontianak. Pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dapat terjadi secara efektif jika pemerintah ikutserta dalam membuat kebijakan yang mendukung pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Kota Pontianak. Pemerintah sebagai pemegang tugas utama pelayanan persampahan di Kota Pontianak mempunyai peran besar terhadap suksesnya perubahan masyarakat dalam mengelola sampah pada tingkat rumah tangga. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat perlu melibatkan peran pemerintah untuk menciptakan keadaan yang kondusif dalam pembentukan kelompok pengelola sampah pada masyarakat. Pembentukan kelompok pengelola sampah dilakukan dengan FGD bersama masyarakat. Berdasarkan hasil FGD tersebut perlunya pembentukan kelompok pengelola sampah dengan peran pemerintah dan masyarakat sehingga program yang dilakukan pada aras pemerintah, masyarakat dan campuran aras pemerintah dan masyarakat.
7.2 Program Pengembangam Sampah Berbasis Masyarakat di Ruang Pemerintah Berdasarkan hasil analisis bab sebelumnya terdapat permasalahan pengembangan masyarakat dalam pengelolaan sampah pada aras pemerintah yang memerlukan
117
penanganan program yang mencakup perubahan masyarakat secara kultural dan struktural. Pengembangan program secara kultural mencakup 33 persen dengan program Studi Banding DPRD Kota Pontianak Untuk Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat dan Peningkatan Sumberdaya Manusia. Sedangkan penanganan program secara struktur
mencakup 67 persen dengan program
Advokasi Kebijakan, Penguatan Anggaran Daerah Untuk Penanganan Sampah, Penguatan Koordinasi Antar-Instansi dan Penyusunan Peraturan Tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat. Besarnya persentase pengembangan program untuk perubahan secara struktural pada aras pemerintah karena untuk melakukan perubahan dalam masyarakat memerlukan suatu struktur pemerintah yang akan membawa masyarakat untuk mencapai perubahan yang diinginkan oleh pemerintah. Selama ini pemerintah belum menciptakan suatu struktur yang memungkinkan untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Perubahan sikap dan perilaku masyarakat terhadap sampah sehingga dapat menerapkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat memerlukan struktur dalam pemerintah terhadap pengelolaan sampah berupa peraturan, koordinasi antar instansi terkait, kebijakan yang mendukung untuk pengelolaan sampah, dan anggaran. Kecilnya persentase pengembangan program untuk perubahan masyarakat secara kultur pada aras pemerintah daripada secara struktur karena program sebatas perubahan pola pikir para stakeholder yang membuat kebijakan pengelolaan sampah yang selama ini mengandalkan pengangkutan sampah dan belum menerapkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Berikut ini adalah program yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Advokasi Kebijakan Adanya ketidaksesuaian antara indikator kebijakan dengan kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada Rencana Strategi Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Hal ini menunjukkan pemerintah belum dapat menginterprestasikan kebijakan yang ada dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Oleh Karena itu perlunya program advokasi kebijakan. Diharapkan adanya pendampingan untuk menginterprestasikan kebijakan ke dalam program untuk pemberdayaan
118
masyarakat dalam pengelolaan sampah. Advokasi kebijakan ini dapat terjadi bila pemerintah mau melaksanakan indikator atas kebijakan yang ada. Advokasi ini dapat dilakukan oleh seorang pengembangan masyarakat dan dosen/pakar yang dapat menginterprestasikan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Pelaksanaan advokasi ini dapat dilakukan pada saat penyusunan program yang akan diajukan kepada DPRD Kota Pontianak untuk mengajuan anggaran dan pada saat akan menyusun rencana strategi tahun 2010 – 2015 tahun. 2. Studi Banding DPRD Kota Pontianak Untuk Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat Perubahan paradigma pengelolaan sampah yang mengandalkan kekuatan teknologi dengan kekuatan masyarakat dapat terjadi jika stakeholder penentu kebijakan ikut berperan dalam mensukseskan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Pelaksanaan ini dapat dilakukan jika pemerintah menyediakan anggaran untuk studi banding kepada anggota DPRD. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini dapat berhasil dilakukan jika ada eksistensi anggota DPRD memasukkan paradigma ini kedalam agenda pemerintah dalam penanganan sampah di Kota Pontianak. Hal ini dijabarkan oleh instansi pemerintahan dalam pembuatan program untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat. 3. Peningkatan Sumber Daya Aparatur Pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah sangat tergantung kepada tenaga teknis dilapangan yang dapat melaksanakan pemberdayaan dan memahami pengembangan masyarakat. Aparat pemerintah adalah pelayanan masyarakat yang harus memahami cara menggalang kekuatan masyarakat untuk mengatasi masalah sampah. Oleh karena itu perlunya pelatihan/diklat pengelolaan sampah berbasis masyarakat agar aparat di pemerintahan yang mampu mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Hal ini diharapkan program tidak bersifat top down. Pelaksanaan diklat ini dapat dilakukan pada level penentu kebijakan sampai kepada tenaga teknis dilapangan yang dilakukan secara bertahap dan
119
berkelanjutan. Diharapkan adanya perubahan pemikiran dalam penyusunan program yang top down menjadi bottom up. Diklat ini dapat dilakukan jika adanya kepedulian pemimpin daerah yang menganggap permasalahan sampah adalah masalah pada pemerintahan dan masyarakat. 4. Penguatan Anggaran Daerah Untuk Penanganan Sampah Luasnya pelayanan pengangkutan sampah yang dilakukan pemerintah sehingga memerlukan biaya operasional yang besar. Dana retribusi pengelolaan sampah yang ditarik oleh pemerintah belum mampu menutupi biaya operasional pelayanan pengangkutan sampah. Oleh karena itu perlunya kerjasama dengan masyarakat untuk menggalang dana komunitas dalam mengelola sampah. Cara penguatan anggaran di Kota Pontianak dengan pemetaan potensi masyarakat dalam pengelolaan sampah. Dengan adanya pemetaan diharapkan mengurangi biaya pemerintah untuk melakukan pengelolaan sampah pada tingkat rumah tangga dengan adanya kontribusi dari masyarakat. Asumsi program ini dapat berjalan dengan syarat adanya tenaga teknis yang mampu melakukan pengorganisasian masyarakat/pemetaan sosial dengan modal sosial yang ada dimasyarakat. Jika tidak ada tenaga teknis dari pemerintah maka dapat dilakukan kerjasama dengan perguruan tinggi/LSM untuk melakukan pemetaan sosial. Oleh karena itu program tersebut dapat dilakukan secara bekerjasama dengan LSM. Pelaksanaan ini dapat dilakukan jika ada LSM yang dapat menjadi mitra dengan pemerintah dan pemerintah mempercayakan kegiatan ini kepada LSM yang profesional. Kegiatan ini bisa menjadi pro dan kontra karena selama ini belum ada LSM yang menjadi mitra dalam memberdayakan masyarakat khususnya dalam pengelolaan sampah. Setelah dilakukan pemetaan sosial, maka dilakukan kolaborasi stakeholder dalam penanganan sampah berbasis masyarakat. Dengan program ini diharapkan dapat menggalang kekuatan dana yang dimiliki setiap stakeholder (LSM, Coorporate Social Responsibility dan pemerintah) untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat dalam pengelolaan sampah. Permasalahan yang akan dihadapi dalam
120
pelaksanaan program ini adalah pemerintah belum pernah melakukan kerjasama menggunakan dana yang berasal dari Coorporate Social Responsibility dan LSM dalam pengorganisasian masyarakat untuk pengelolaan sampah karena selama ini image LSM yang selalu mengkritik pekerjaan pemerintah dan belum menjadi mitra kerja yang solid. Selain itu perlunya good will dari pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan sampah. 5. Penguatan Koordinasi Antar-Instansi Adanya tugas, pokok dan fungsi instansi terkait yang berjalan sendiri-sendiri dalam melaksanakan kegiatan yang saling berhubungan. Hal ini terjadi karena instansi saling mementingkan kepentingan tugas dinas untuk menyelesaikan program dinasnya masing-masing tanpa memperhatikan keberlanjutan dari program tersebut yang saling terkait dengan tugas dinas lainnya. Perlunya diintegrasikan kegiatan instansi terkait yang saling berhubungan dalam melakukan pergerakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Sehingga perlunya rapat koordinasi antar dinas terkait dalam pengelolaan sampah. Diharapkan dengan rapat koordinasi dapat mensinergikan fungsi dan tugas instansi terkait untuk melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan petunjuk teknik dan petunjuk pelaksana (juknis dan juklak). Tahapan untuk meningkatkan koordinasi antar instansi adalah melaksanakan rapat teknis antara dinas terkait yang dihadiri oleh kepala dinas tanpa diwakili oleh orang lain. Adanya pembagian tugas dan fungsi tiap dinas dalam mengembangkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dinas tersebut. Selain itu pembentukan tim koordinasi dalam melaksanakan kerja lapangan sesuai dengan juknis dan juklak yang telah ditetapkan bersama mengenai pekerja yang mendampingi masyarakat dalam pengelolaan sampah. Setelah itu membentuk Rencana Strategi Kota Pontianak berdasarkan hasil rapat koordinasi dengan mengharapkan peranan pemerintah agar memiliki acuan dalam pengelolaan lingkungan yang memiliki visi, misi, sasaran, tujuan dan tugas dari setiap dinas sehingga terciptanya kesatuan pengelolaan lingkungan. Pelaksanaan pembentukan rencana strategi dilakukan dengan mengadakan rapat koordinasi
121
untuk
mengintegrasikan
dan
mensinergikan
program
atau
kegiatan
di
dinas/instansi terkait dalam rencana strategi dinas sebagai koordinator pengelolaan sampah berbasis masyarakat. 6. Penyusunan
Peraturan
Tentang
Pengelolaan
Sampah
Berbasis
Masyarakat Penanganan sampah dapat dilakukan oleh masyarakat jika ada peraturan yang mengatur masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sampah pada tingkat rumah tangga. Untuk membuat peraturan secara bottom up maka dilakukan sosialisasi peraturan yang dirancang oleh pemerintah kemudian dilakukan seminar kepada masyarakat dengan mengundang aktivis pecinta lingkungan/LSM, masyarakat yang telah melaksanakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat, perguruan tinggi dan masyarakat umum yang tertarik dengan pembentukan peraturan walikota. Diharapkan dapat menciptakan peraturan walikota yang mencerminkan aspirasi masyarakat. Kemudian dilakukan penyusunan standar pelayanan minimum oleh pemerintah. Pembuatan standar pelayanan minimum untuk pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah sehingga adanya kesesuaian antara tanggungjawab pemerintah dengan masyarakat dalam pengelolaan sampah di Kota Pontianak. Harapan dengan adanya standar pelayanan minimum bagi tenaga lapangan yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik mendapatkan sangsi sehingga menumbuhkan disiplin dalam menjalan tugas pengangkutan sampah dan diikuti dengan kedisiplinan masyarakat dalam membuang sampah. Pelaksanaan penyusunan standar pelayanan minimum ini dilakukan dengan mengundang seluruh stakeholder dalam seminar
untuk menyusun pelayanan yang harus
dilakukan oleh pemerintah dan disertai dengan tanggungjawab masyarakat dalam membuang sampah.
7.3 Program Pengembangam Sampah Berbasis Masyarakat di Ruang Masyarakat
Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan bersama masyarakat dalam pembentukan kelompok pengelola sampah dan analisis bab sebelumnya, terdapat permasalahan
122
pengembangan masyarakat pada aras masyarakat. Pengembangan program mencakup pengembagan program secara kultural dan secara struktural. Pada aras masyarakat pengembangan program secara kultural sebesar 57 persen yaitu penguatan apresiasi pengelolaan sampah berbasis masyarakat, mengembangkan motivasi
terhadap
pengelolaan
sampah
berbasis
masyarakat,
penguatan
komunikasi dalam pengelolaan sampah, penguatan pemahaman pemimpin lokal terhadap pengelolaan sampah berbasis masyarakat, penguatan kader dan regenerasi, penguatan pemahaman pengelolaan sampah bagi warga, penguatan kepemimpinan lokal, dan pendidikan pengelolaan sampah kepada publik. Sedangkan pengembangan program secara struktural sebesar 43 persen yaitu pengembangan forum dialog dalam kelompok, pengembangan forum komunikasi antar warga untuk perilaku bersih, pengembangan kelompok untuk mengatasi masalah bersama, advokasi publik terhadap kelompok, pengembangan/revitalisasi kerjabakti dalam pengelolaan sampah, dan pengembangan forum diskusi warga dengan
pemerintah.
Pengembangan
kultural
lebih
besar
dibandingkan
pengembangan secara sruktural karena pengelolaan sampah berbasis masyarakat sangat tergantung kepada persepsi, kemauan dan kesadaran mengelola sampah seperti membuat pupuk kompos. Oleh karena itu pola pikir seseorang perlu di ubah tentang pengelolaan sampah yang selama ini pengelolaan sampah mengandalkan pengangkutan sampah dan bakar sampah. Untuk mengubah pola pikir seseorang secara kultur perlu di bentuk struktur yang mendukung kultur yang akan dibangun dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Berikut ini adalah program yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Penguatan Apresiasi Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
Masyarakat belum yakin dapat melaksanakan pengelolaan sampah bersama karena selama ini belum pernah dilakukan kegiatan pengelolaan sampah. Oleh karena itu perlunya penyuluhan tentang pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Hal ini dapat dilakukan jika pemerintah/LSM mengundang orang yang telah berhasil mengelola sampah sehingga ada pengalaman nyata yang dapat diterima oleh peserta.
123
Untuk meyakinkan kepada masyarakat bahwa pengelolaan sampah berbasis masyarakat itu dengan kegiatan seminar tentang keberhasilan seorang pengelolaan sampah sehingga menciptakan seorang pengusaha sampah. Adanya kesaksian nyata dari seorang pengusaha untuk membuktikan bahwa sampah mempunyai nilai ekonomi jika dapat dikelola dengan baik. Pengusaha sampah memberikan kesaksian dengan harapan dapat memotivasi masyarakat bahwa sampah mempunyai nilai ekonomis dan merupakan bisnis yang menjanjikan untuk kedepan. Untuk memperkuat pengelolaan sampah berbasis masyarakat secara nyata pelaksanaannya atau kegiatannya maka dilakukan pemutaran film pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Kegiatan ini dilakukan agar masyarakat dapat lebih memahami operasional pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Kegiatan ini dapat berjalan jika tersedianya film-film pengelolaan sampah berbasis masyarakat. 2.
Mengembangkan Motivasi terhadap Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
Masyarakat belum memiliki misi bersama untuk pengelolaan sampah. Untuk membangun misi bersama sebagai pemberi motivasi dengan penciptaan lagu dari musik adrasah. Musik adrasah ini merupakam music tradisional kampung melayu yang menjadi kebanggan kebudayaan masyarakat melayu.
Hal ini dapat
dilakukan jika ada pemerintah/LSM yang membiayai penciptaan lagu tersebut. Menumbuhkan motivasi komunitas menggunakan pendekatan musik karena masyarakat di pinggir sungai memiliki kebanggan terhadap musik adrasah di Kampung Kamboja. Masyarakat pinggir sungai memiliki lagu pengelolaan sampah berbasis masyarakat akan menjadi suatu kebanggaan sehingga hal tersebut akan menjadi suatu pegangan bagi masyarakat disana untuk mengingat pelaksanaan pengelolaan sampah diawali dengan pemilahan sampah dan kekompakkan masyarakat yang bekerjasama dalam mengelola sampah secara komunal. Pelaksanaan penciptaan lagu pengelolaan sampah berbasis masyarakat dibuat oleh kelompok adrasah. Setelah terciptanya lagu tersebut dilakukan sosialisasi lagu
124
tersebut kepada masyarakat dengan melakukan arak-arakan penyanyian lagu tersebut kepada masyarakat. Setelah itu setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat setempat berupa kerjabakti, idul fitri, 17 agustusan dan lain-lain agar menyanyikan lagu tersebut. Selain itu untuk seluruh masyarakat Kota Pontianak dilakukan penciptaan lagu semboyan pengelolaan sampah berbasis masyarakat melalui perlombaan cipta lagu. Setelah ada lagu tersebut diwajibkan setiap SD, SMP, SMU, instansi pemerintah dan perguruan tinggi untuk menghapal dan menyanyikan lagu tersebut. Pembelajaran lagu tersebut pada tingkat perguruan tinggi dilakukan pada saat ospek. Pembelajaran lagu tersebut di instansi pemerintah dilakukan pada saat diadakan diklat penerimaan calon pegawai negeri sipil dan pada saat dilakukan diklat. Sedangkan pada tingkat SD, SMP dan SMU dilakukan pada kegiatan ekstrakulikuler sekolah. 3.
Penguatan Komunikasi dalam Pengelolaan Sampah
Masyarakat belum pernah membahas penanganan sampah di wilayah mereka. Oleh karena itu perlunya musyawarah bersama masyarakat. Kegiatan ini dapat berjalan jika ketua RT mengundang seluruh warga terutama ibu-ibu menghadiri musyawarah. Adanya kata mufakat dalam musyawarah untuk melakukan pengelolaan sampah agar dapat menguntungkan seluruh warga. Kegiatan ini dilakukan dengan mendatangi rumah penduduk untuk diskusi tentang pengelolaan sampah berbasis masyarakat (mendatangi satu rumah penduduk yang dihadiri beberapa tetangga yang dekat diperuntukan untuk ibu-ibu) dan memberikan masukan tentang pentingnya kebersamaan dalam pengelolaan sampah dan nilai ekonomi yang diperoleh. Setelah itu dilakukan diskusi tentang pendapat ibu-ibu terhadap pengelolaan sampah secara komunal. Ibu-ibu yang merumuskan permasalahan yang mereka hadapi. Setiap item permasalahan didiskusikan untuk mencapai penyelesaiaan masalah menurut mereka. Hasil penyelesaian masalah tersebut membahas tentang kebutuhan apa yang dapat dilakukan di tingkat komunitas dan memerlukan bantuan dari pihak luar. Setelah dilakukan pemilahan masalah yang dapat diselesaikan tingkat komunitas
125
kemudian didiskusikan tahapan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hasil rancangan tersebut didiskusikan kepada tingkat komunitas atau seluruh masyarakat yang dipimpin oleh ketua RT untuk mendapatkan dukungan dari seluruh masyarakat baik bapak-bapak, ibu-ibu maupun pemuda setempat. 4.
Penguatan Pemahaman Pemimpin Lokal Terhadap Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
Selama ini pengelolaan sampah yang dilakukan oleh masyarakat dengan membuang sampah ke sungai dan sekitar rumah. Hal ini membuat ketua RT tidak mempercayai kekuatan masyarakat yang dapat digerakkan untuk pengelolaan sampah. Oleh karena itu perlu memberi pandangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Kegiatan ini dilakukan dengan mendiskusikan kepada ketua RT tentang pengelolaan sampah yang telah berhasil dilakukan di daerah lain, mendiskusikan kepada ketua RT tentang Perlombaan Green and Clean, memberikan keyakinan adanya ibu-ibu yang dapat melaksanakan kegiatan pengelolaan sanpah, dan meminta kesediaan ketua RT untuk memimpin seluruh ketua RT untuk membentuk kelompok sampah. Diharapkan dengan memberikan pandangan kepada ketua RT, dapat memberikan pengarahan kepada warga agar bersama-sama merubah perilaku membuang sampah. Selain itu dilakukan juga diskusi ibu-ibu dengan ketua RT. Hal ini dilakukan karena selama ini sampah paling banyak di produksi di dapur dan rata-rata ibu-ibu adalah ibu rumah tangga dan ibu-ibu yang lebih dominan mendidik anak mereka berperilaku dirumah. Hal ini dilakukan dengan mendiskusikan keinginan ibu-ibu yang bisa merubah kebiasaan membuang sampah menjadi memilah sampah, melaksanakan pengelolaan sampah secara komunal dengan ketua RT. Hal ini dapat dilakukan jika ketua RT mengundang ibu-ibu atau sebaliknya ibu-ibu yang mengundang ketua RT untuk melakukan diskusi bersama. 5.
Pengembangan Forum Dialog Dalam Kelompok
Pembentukan
forum
dialog
dalam
kelompok
perlu
dilakukan
dengan
pembentukan kelompok pengelola sampah karena wilayah tersebut tidak memiliki pengelolaan sampah secara komunal sehingga masyarakat membuang sampah di
126
sembarang tempat atau memindahkan sampah dari wilayah rumah mereka ke wilayah lain. Hal ini dilakukan untuk memindahkan masalah sampah dari rumah berubah menjadi masalah lingkungan. Pembentukan kelompok ini dilakukan oleh masyarakat pada tingkat RT. Proses pembentukan kelompok dapat dilakukan dari inisiatif masyarakat sendiri yang didukung oleh pihak luar yang lebih memahami pengelolaan sampah berbasis masyarakat atau inisiatif dari pihak luar yang mendorong masyarakat untuk melakukan pengelolaan sampah. Pembentukan kelompok ini dilakukan dengan melakukan pemetaan dilapangan bersama masyarakat terhadap sarana dan prasarana yang mendukung pengelolaan secara komunal seperti lahan tempat pengelolaan sampah. Jika tersedianya lahan ditingkat komunitas dilakukan diskusi kepada masyarakat untuk kesediaan masyarakat merubah pola membuang sampah dengan cara memilah sampah anorganik dan organik. Dalam diskusi dibahas tentang kesediaan melakukan pemilahan sampah di rumah tangga dengan mengajarkan kedisiplinan membuang sampah di keluarga masing-masing. Bahan diskusi tentang kewajiban dan hak masyarakat dalam pengelolaan sampah, dan pembentukan pengurus kelompok. Pembentukan pengurus dipilih oleh masyarakat setempat karena masyarakat yang memahami warganya yang peduli terhadap lingkungan dan tekun melakukan pekerjaan. Pembentukan kelompok yang dilakukan pada tingkat komunal karena ibu rumah tangga rata-rata memiliki kesibukan mengurus anak dan cucu mereka sehingga sulit dilakukan pengolahan sampah secara individu. Diharapkan dengan pembentukan kelompok pengelola sampah dapat membuat buat pupuk kompos dari hasil pemilahan sampah. Hal ini dapat dilakukan jika ibu-ibu mau bersamasama memilah sampah pada tingkat rumah tangga dan membawa sampah tersebut ketempat pengolahan sampah. 6.
Pengembangan Forum Komunikasi Antar Warga Untuk Perilaku Bersih
Perubahan perilaku memilah sampah pada tingkat rumah tangga dapat dilakukan dengan kesepakatan dari masyarakat yang melakukan pengelolaan sampah
127
berbasis masyarakat sehingga masyarakat sendiri yang bertanggungjawab terhadap kesepakatan bersama dalam memilah sampah. Pengawasan untuk mengubah perilaku masyarakat pada tingkat rumah tangga adalah sesama tetangga yang saling mengingatkan jika sesama tetangga yang dekat tidak disiplin melakukan pemilahan sampah. Selain itu dilakukan pendampingan untuk mengingatkan kesepakatan bersama yang telah disepakati. Untuk mengingatkan warga yang belum disiplin dalam mengelola sampah dilakukan oleh ketua kelompok pengelola sampah. Jika masyarakat telah mulai terbiasa memilah sampah maka dilakukan desentralisasi pengawasan kepada sesama tetangga untuk melakukan pengawasan pemilahan sampah. Hal ini dilakukan dengan membentuk kelompok kecil pengelola sampah. Pembentukan kelompok kecil ini dilakukan dengan musyawarah bersama masyarakat agar memiliki ketua kelompok kecil. Tugasnya untuk membina anggota/tetangganya yang masih belum terbiasa memilah sampah. Kemudian dilakukan diskusi sebulan sekali tentang perilaku masyarakat yang belum bisa menuruti kesepakatan pengelolaan sampah secara komunal. Diharapkan pembentukan kelompok kecil ini ada rasa tanggungjawab terhadap sesama tetangga untuk memberikan kesadaran pentingnya pemilahan sampah. Asumsinya tetangga yang terdekat adalah orang yang dekat dengan tetangganya sehingga lebih mudah melakukan kesadaran untuk memilah sampah. 7.
Pengembangan Kelompok untuk Mengatasi Masalah Bersama
Kelompok sampah yang terbentuk akan menghadapi masalah terhadap sesama anggota kelompok. Pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah sesama kelompok dilakukan dengan musyawarah. Pelaksanaan musyawarah yang dapat menampung aspirasi sesama anggota sehingga keputusan yang diambil dapat mengatasi
masalah
kelompok.
Untuk
membiasakan
masyarakat
dalam
pengambilan keputusan maka dilakukan pelatihan diskusi. Diharapkan dengan pelatihan ini, kelompok dapat bertahan lama dalam pengelolaan sampah dalam menghadapi masalah. Musyawarah akan berjalan baik jika seorang pemimpin yang dapat menampung seluruh aspirasi masyarakat dan gaya kepemimpinan yang dilakukan. Oleh karena
128
itu perlu dilakukan pelatihan kepemimpinan kelompok. Diharapkan dengan pelatihan ini akan membentuk ketua kelompok dengan gaya kepemimpinan yang baik dalam membina dan membimbing anggotanya untuk melakukan pengelolaan sampah dan mengatasi masalah yang dihadapi. 8.
Advokasi Publik Terhadap Kelompok
Masyarakat yang akan melakukan pengelolaan sampah ditingkat komunitas baik RT/RW akan memiliki batas wilayah pembuangan sampah. Hal ini membuat pembatasan komunitas lain membuang sampah pada wilayah komunitas yang telah melakukan pengelolaan sampah. Jika ada wilayah lain yang ingin ikut bergabung dalam pengelolaan sampah maka dilakukan pendampingan untuk mensosialisasikan cara pengelolaan sampah yang dilakukan melalui kelompok pengelola sampah. Pendamping hidup bersama komunitas karena tugas pendamping adalah mendampingi masyarakat pada saat mengalami kesulitan baik dari pemasaran, akses terhadap pemerintah dan permasalahan sesama komunitas dan luar komunitas. Kegiatan pendampingan tidak dilakukan lagi jika masyarakat sudah mandiri mengatasi masalah. Oleh karena itu program ini adalah advokasi publik terhadap kelompok. 9.
Penguatan Kader dan Regenerasi
Sistem kekeluargaan yang ada dipinggiran sungai merupakan potensi masyarakat yang dapat dikembangkan untuk menggerakkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Selama ini masyarakat tidak pernah melakukan pengelolaan sampah secara komunal. Jika salah satu RT bisa melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat maka dapat menggerakkan masyarakat lainnya yang di pinggir sungai. Oleh karena itu diperlukan pembentukan kader peduli lingkungan. Pengkaderan ini dapat dilakukan jika ada kelompok pengelola sampah. Diharapkan kaderisasi dan regenerasi agar pengelolaan sampah tersebut dapat disebarkan kepada masyarakat pinggir sungai lainnya. Selain itu memiliki penerus yang melaksanakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Kegiatan kaderisasi ini dapat dilakukan karena dalam pembentukan kelompok akan melahirkan pemuda-pemuda yang memiliki kepedulian dari komunitas.
129
Dengan adanya forum komunikasi antara warga dengan pemerintah maka pemerintah dapat menggunakan pemuda yang peduli terhadap sampah tersebut sebagai cara untuk masuk dalam menggerakkan masyarakat Kampung Kamboja. 10. Penguatan Pemahaman Pengelolaan Sampah Bagi Warga Dengan adanya plan project sebagai contoh pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dipinggiran sungai dapat digunakan sebagai teladan bagi masyarakat pinggiran sungai lainnya. Agar semua masyarakat dipinggiran sungai melaksanakan pengelolaan sampah maka dilakukan perluas penanganan sampah. Kegiatan ini dapat dilaksanakan dengan mengajak kader untuk bersama-sama menghadap pimpinan RT/RW diskusi tentang pengelolaan sampah dan kader yang meyakinkan ketua RT/RW untuk merubah masyarakat di pinggir sungai. Harapan perluasan penanganan sampah agar masyarakat dipinggiran sungai dapat melakukan pengelolaan sampah. Hal ini dapat dilakukan jika ada ketua RT dan anggota komunitas yang peduli terhadap lingkungan. 11. Penguatan Kepemimpinan Lokal Adanya keraguan ketua RT untuk merubah kebiasaan masyarakat dalam mengelola sampah. Berdasarkan hasil FGD dan wawancara dengan warga bahwa pelaksanaan pengelolaan sampah dapat dilakukan jika seluruh masyarakat bersedia untuk memilah sampah. Oleh karena itu perlunya membuat komitmen bersama untuk pengelolaan sampah. Hal ini dapat dilakukan jika masyarakat mau berkumpul bersama-sama dalam forum besar untuk membuat kesepakatan bersama dalam pengelolaan sampah. Pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat menggunakan seorang pimpinan lokal merupakan salah satu strategi
karena komunitas sangat
mempercayai permasalahan dalam komunitas diputuskan oleh ketua RT sebagai penentu kebijakan setelah dilakukan musyawarah dan pemimpin komunitas dianggap sebagai wakil dari warga untuk memilih kegiatan yang akan dilakukan diwilayahnya. Seorang pemimpin lokal memiliki kewenangan yang diberikan oleh masyarakat untuk menggerakkan warganya. Pemilihan seorang pimpinan lokal
130
oleh komunitasnya disertai dengan kepercayaan warganya untuk mengurus masalah yang ada di komunitas. 12. Pengembangan/Revitalisasi Kerjabakti dalam Pengelolaan Sampah Kegiatan kerjabakti adalah jiwa gotong royong dalam masyarakat Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman berkembangnya individualisme dalam diri seseorang yang kurang memperhatikan kebersamaan dengan para tetangga sehingga kegiatan ini banyak dilakukan dengan mengupah orang untuk membersihkan lingkungan. Kegiatan ini perlu dilakukan revitalisasi agar menumbuhkan rasa kebersamaan dalam masyarakat. Kebersamaan adalah modal sosial dalam masyarakat yang dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah bersama. Dengan adanya kerja bakti akan terjalinnya komunikasi dan diskusi sesama warga dengan bahan pembicaraan masalah lingkungan yang ada di komunitas sehingga dapat memunculkan inisiasi pengelolaan lingkungan secara bersama. Permasalahan lingkungan yang terjadi di komunitas yang dapat diketahui dengan kerjabakti seperti sampah yang menutupi selokan, pencemaran air dan sebagainya. Masyarakat biasa melakukan kerjabakti untuk membersihkan kuburan di RT setempat. Selama ini masyarakat belum pernah melaksanakan kerjabakti mengelola sampah. Oleh karena itu perlu dilakukan kerjabakti memilah sampah. Kegiatan ini dapat dilaksanakan jika ada GMKK dan ketua RT yang menyebarkan undangan untuk melaksanakan kerjabakti. 13. Pengembangan Forum Diskusi Warga dengan Pemerintah Masyarakat belum memiliki akses untuk mengatakan kebutuhan mereka dalam pengelolaan sampah kepada pemerintah. Oleh karena itu perlunya forum komunikasi. Forum komunikasi ini dapat dilakukan jika ada keinginan pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan sampah pada masyarakat. Pembentukan forum ini sangat penting sebagai sarana untuk menyusun progam pemerintah yang berdasarkan kebutuhan masyarakat. Sehingga penerapan penyusunan program bersifat bottom up dan keberhasilan program akan lebih menjamin keberlanjutannya. Selama ini pemerintah yang menganggap mereka yang lebih mengetahui kebutuhan masyarakat dalam penyusunan program dilihat
131
dari sudut pandang pemerintah. Keberadaan forum ini akan memberdayakan masyarakat untuk menentukan pilihan program yang dibutuhkan. Selama ini masyarakat selalu dibekali program berdasarkan persepsi pemerintah, membuat masyarakat tidak bisa mengidentifikasi masalah di komunitasnya. Forum ini akan menjadi proses pembelajaran masyarakat untuk dapat menentukan kebutuhan komunitasnya dan mengajarkan masyarakat untuk mengidentifikasi masalah di komunitasnya. 14. Pendidikan Pengelolaan Sampah kepada Publik Masyarakat belum mengetahui tentang pengelolaan sampah berbasis masyarakat, selama ini masyarakat menganggap masalah sampah adalah tanggungjawab pemerintah. Oleh karena itu pemerintah perlu melakukan sosialisasi peraturan walikota. Sosialisasi ini dapat dilakukan jika pemerintah ingin menggerakkan masyarakat dalam pengelolaan sampah melalui radio, TV, dan surat kabar. Selain itu menyebarkan selebaran kepada warga melalui RT masing-masing yang dikuti dengan promosi Perlombaan Green and Clean. Selain itu untuk menumbuhkan pengetahuan masyarakat dalam mengelola sampah dapat merubah perilaku masyarakat untuk memilah sampah dilakukan pada pendidikan anak sekolah dengan kegiatan ekstrakulikuler dalam mengelola sampah dan memilah sampah. Pelajar diberikan kegiatan/materi tentang pengelolaan sampah dengan memilah sampah. Materi yang diberikan dengan memberikan wawasan dampak sosial dan ekonomi dari sampah yang bertumpuk sehingga perlunya merubah perilaku membuang sampah. Selain itu memutar film anak-anak tentang pengelolaan sampah. Hal ini dilakukan pada tingkat taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Diadakannya perlombaan penciptaan lagu dan semboyan pengelolaan sampah dilakukan pada anak sekolah. Cara menumbuhkan partisipasi pedagang dalam mengelola sampah di pasar dilakukannya melaksanakan
sosialisasi
tentang
pengelolaan
kewajiban
sampahnya.
peranserta
Untuk
pedagang
mendorong
dalam
masyarakat
melaksanakan kegiatan ini maka dilakukan pengawasan oleh petugas kepada pedagang untuk melaksanakan kewajiban mereka dalam mengelola sampahnya.
132
Masyarakat akan membentuk kelompok pengelola sampah jika ada kejelasan pemasaran hasil pupuk kompos. Kelompok pengelola sampah belum mampu mencari pemasaran pupuk kompos. Oleh karena itu perlunya kegiatan mekanisme pemerintah menampung sementara pembelian pupuk kompos dari masyarakat. Hal ini dapat dilakukan jika pemerintah menganggarkan pembelian pupuk tersebut pada APBD. Selain itu pemerintah eksis terhadap pemberdayaan masyarakat yang tidak berorientasi kepada hasil jangka pendek. Setelah diperoleh mekanisme pembelian pupuk maka pemerintah melaksanakan pembelian pupuk kompos dari masyarakat. Pelaksanaan ini dapat dilakukan jika ada kejujuran dari petugas dinas yang mengelola pembelian pupuk dari hasil masyarakat. Agar masyarakat dapat berkembang kepada pemasaran yang bukan hanya pada tingkat daerah tapi pada tingkat nasional maka pemerintah melaksanakan program subsidi uji kualitas pupuk. Pelaksanaan program ini dapat dilakukan jika pemerintah ingin memberdayakan masyarakat menjadi pengusaha pupuk yang mandiri dan tidak berorientasi kepada hasil jangka pendek. Jika ada kelompok sampah yang belum memenuhi standar bahan baku pupuk maka pemerintah melaksanakan pelatihan kepada pengelola pupuk kompos. Pelaksanaan ini dapat dilakukan jika pemerintah menganggap perlu membina masyarakat agar dapat berhasil pada usaha pupuk kompos. Bagi masyarakat yang sudah memenuhi standar pemasaran pupuk kompos maka dilakukan pembentukan koperasi kompos. Pelaksanaan ini dapat dilakukan jika pemerintah melaksanakan kerjasama dengan kabupaten-kabupaten yang masih berorientasi kepada hasil pertanian. Sehingga koperasi yang mengatur pemasaran tersebut. Oleh karena itu dilakukan kegiatan membangun kerjasama dengan perusahaan di Kalimantan Barat. Kegiatan ini akan dapat berjalan jika didukung oleh pemerintah propinsi untuk menggerakkan penggunaan pupuk kompos pada bidang pertanian di Kalimantan Barat. Selain itu kepedulian pemerintah kota dengan keberadaan pupuk kompos sebagai produk yang harus mendapat perhatian dalam memberdayakan masyarakat.
133
Untuk mencegah pemasaran yang belum dapat menampung produk pupuk yang dihasilkan oleh masyarakat maka pemerintah membuka perusahaan daerah tanaman hias. Banyak tanaman hias yang ada di Kalimantan Barat belum dibudidayakan sehingga perlu dikembangkan potensi yang ada untuk dipasarkan pada tingkat nasional. Hal ini dapat dilakukan jika ada pegawai yang mempunyai hobi dan keterampilan untuk mengembangkan jenis-jenis tanaman hias di Kalimantan Barat menggunakan pupuk kompos. Tanaman hias sudah merupakan bang pasar yang memiliki daya jual tinggi khususnya untuk daerah jawa. Pecinta tanaman hias mau membayar mahal untuk tanaman hias yang langka.
7.4
Program Pengembangam Sampah Berbasis Masyarakat di Ruang Pemerintah dan Masyarakat
Berdasarkan hasil analisis bab sebelumnya terdapat permasalahan pengembangan masyarakat dalam pengelolaan sampah pada aras pemerintah dan masyarakat. Kombinasi di ruang ini perlu dilakukan karena pengembangan pengelolaan sampah di masing-masing ruang secara sendiri-sendiri di anggap tidak mencukupi. Pengembangan program hanya dilakukan secara struktural karena pada aras ini mengembangkan teknologi pengelola sampah dan pelatihan pengelolahan sampah. Adapun program pengembangan masyarakat dalam pengelolaan sampah pada aras pemerintah dan masyarakat sebagai berikut: 1. Pengembangan Keahlian untuk Teknologi Pengolahan Sampah Berbasis Masyarakat Pemerintah masih menggunakan kekuatan teknologi dalam pengelolaan sampah sehingga tidak mendidik masyarakat ikut dalam pengelolaan sampah pada tingkat rumah tangga. Untuk merubah paradigma mengatasi masalah dengan kekuatan masyarakat maka pemerintah perlu melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi/lembaga penelitian untuk memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Oleh karena itu membentuk kerjasama dengan perguruan tinggi/lembaga penelitian dalam pengolahan sampah. Hal ini dapat dilakukan jika pemerintah ingin pupuk kompos dari sampah dapat bernilai jual kepada perusahaan/bidang
134
pertanian sehingga masyarakat yang melakukan pengolahan sampah mendapatkan pekerjaan baru. Tenaga ahli yang ikut mengembangkan pengolahan sampah adalah lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang melakukan eksperimen pengembangan teknologi pengolahan sampah. Pengembangan keahlian kepada warga dilakukan dengan memasukkan ke dalam pusat pendidikan teknologi. Bentuk kerjasama antara pemerintah dengan perguruan tinggi/lembaga peneliti dengan membuat MoU dengan perguruan tinggi/lembaga penelitian dalam menyediakan bahan untuk
pengolahan sampah dan hasil eksperimen pengembangan teknologi
mengubah sampah menjadi barang bernilai ekonomi. 2. Pusat Pendidikan Teknologi Pengolahan Sampah
Selama berpuluh-puluh tahun masyarakat tidak melakukan pengelolaan sampah. Agar perencanaan pengelolaan sampah dengan teknologi yang sesuai dengan masyarakat maka dibuat pusat pendidikan teknologi pengelolaan sampah. Pusat pendidikan ini akan diberikan kepada masyarakat untuk didiskusikan bersama masyarakat. Kegiatan ini akan dilaksanakan jika tersedianya dana pengelolaan sampah di daerah pinggir sungai karena masyarakat belum secara penuh mampu memenuhi pengadaan teknologi pengelolaan sampah. Pusat pendidikan ini merupakan tempat masyarakat untuk melakukan pelatihan pembuatan hasil pengolahan sampah agar dapat bernilai ekonomis. Kegiatan yang baru pertama kali dilaksanakan untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat memerlukan pembinaan terhadap pelaksanaan pengolahan sampah yang tersedia di pusat pendidikan teknologi pengolahan sampah. Hal ini dapat dilakukan jika ada tenaga pendamping yang mengarahkan masyarakat cara pembuatan pupuk kompos. Jika masyarakat tidak memiliki tenaga pendamping yang tinggal bersama masyarakat maka diperlukan unit konseling untuk kesulitan pembuatan pupuk. Pengadaan unit konseling ini dapat dilakukan jika pemerintah ingin merubah paradigma pengelolaan sampah.
135
3. Pelatihan Pengelolaan Sampah Pendidikan masyarakat yang rendah belum mampu menginterprestasikan suatu tulisan atau pengarahan tanpa contoh nyata dalam melaksanakan pengelolaan sampah. Oleh karena itu dilakukan praktek pengolahan sampah. Praktek ini dapat dilakukan jika ada tenaga teknis. Pada saat masyarakat berminat untuk melaksanakan pengelolaan sampah maka diberikan pelatihan kepada pengelola pupuk kompos. Pelatihan ini dapat dilakukan jika ada yang membiayai pelatihan tersebut. Kegiatan pelatihan kepada pengelola pupuk kompos dengan: a. Diperuntukan kepada ibu-ibu yang berminat menjadi pengurus kelompok pengelola sampah dan masyarakat yang berminat untuk membuat pupuk kompos di rumah. b. Masyarakat di daftar yang ingin membuat pupuk kompos. c. Diberikan pelatihan dan materi untuk pembuatan pupuk kompos. d. Pelatihan komposting bagi bapak-bapak, ibu-ibu, dan pemuda. e. Pelatihan pembuatan tempat sampah bagi bapak-bapak dan pemuda. 4. Pengembangan Pilot Projek Pengolahan Sampah Pengelolaan sampah dapat dilakukan jika ada tempat untuk melaksanakan pengelolaan sampah. Berdasarkan hasil analisis sebelumnya masyarakat memiliki lahan sebagai tempat pengelolaan sampah. Oleh karena itu perlu pembuatan tempat pengolahan sampah. Kegiatan ini dapat dilaksanakan jika tersedianya dana untuk membangun tempat pengolahan sampah. Pembuatan tempat sampah ini dilakukan secara gotong royong warga yang menentuan lahan untuk penempatan pengolahan sampah, pemungutan iuran dari masyarakat untuk pembangunan tempat pengolahan sampah dan mengerjakan bersama-sama bapak-bapak, pemuda dan ibu-ibu dalam proses pembuatan tempat pengolahan sampah.
7.5 Ikhtisar
Pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat menggunakan ruang pemerintah, masyarakat dan masyarakat dengan pemerinntah. Berikut ini adalah program yang ada pada setiap ruang yaitu
136
1. Di ruang pemerintah a. Advokasi Kebijakan; b. Studi Banding DPRD Kota Pontianak Untuk Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat; c. Peningkatan Sumber Daya Aparatur ; d. Penguatan Anggaran Daerah Untuk Penanganan Sampah; e. Penyusunan Peraturan Tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat; f. Mendorong Pemasaran Pupuk Kompos. 2. Di ruang masyarakat a. Penguatan Apresiasi Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat; b. Mengembangkan Motivasi terhadap Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat; c. Penguatan Komunikasi dalam Pengelolaan Sampah; d. Penguatan Pemahaman Pemimpin Lokal Terhadap Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat; e. Pengembangan Forum Dialog Dalam Kelompok; f. Pengembangan Forum Komunikasi Antar Warga untuk Perilaku Bersih; g. Pengembangan Kelompok untuk Mengatasi Masalah Bersama; h. Advokasi Publik terhadap Kelompok; i. Penguatan Kader dan Regenerasi; j. Penguatan Pemahaman Pengelolaan Sampah Bagi Warga; k. Penguatan Kepemimpinan Lokal; l. Pengembangan/Revitalisasi Kerjabakti dalam Pengelolaan Sampah; m. Pengembangan Forum Diskusi Warga dengan Pemerintah; n. Pendidikan Pengelolaan Sampah kepada Publik. 3. Di ruang pemerintah dan masyarakat a. Pengembangan Keahlian untuk Teknologi Pengolahan Sampah Berbasis Masyarakat; b. Pusat Pendidikan Teknologi Pengolahan Sampah; c. Pelatihan Pengelolaan Sampah; d. Pengembangan Pilot Projek Pengolahan Sampah.
Tabel 7.1 Program Pengembangam Sampah Berbasis Masyarakat di Ruang Pemerintah
No. 1.
2.
Program/ kegiatannya Advokasi Kebijakan
Studi Banding DPRD Kota Pontianak Untuk Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
Alasannya
Kapan
Pihak yang terlibat Pemerintah
- Agar pemerintah dapat menginterprestasikan rencana strategi Dinas Kebersihan dan Pertamanan dalam melaksanakan indikator kebijakan yang telah ada ke dalam program. - Adanya kebijakan dan program yang dihasilkan tidak sesuai dengan indikator kebijakan. - Interprestasi kebijakan kurang tepat.
Pada saat ingin memberdayaka n masyarakat dalam pengelolaan sampah
Agar anggota DPRD dapat merubah paradigma pemerintah dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dituangkan dalam pengajuan peraturan daerah dan anggaran pengelolaan sampah.
Pada saat ingin LSM, memberdayaka Pemerintah n masyarakat dalam pengelolaan sampah
Tempat Pelaksanaan Kantor Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Di wilayah Indonesia yang telah melaksanakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat
Mekanisme - Ada seorang pendamping yang menjelaskan rencana strategi Dinas Kebersihan dan Pertamanan agar dapat dituangkan dalam program pada akhir tahun anggaran agar dapat diajukan kepada DPRD. .
- Anggota DPRD mengunjungi wilayah yang telah berhasil melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. - Dilakukan pendampingan oleh instansi terkait yang menjabarkan kepada anggota DPRD tentang keunggulan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan hambatan yang dihadapi sehingga anggota DPRD memiliki wawasan dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Dengan harapan pada saat pemerintah mengajukan anggaran pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan anggota DPRD dapat memahami
3.
Peningkatan Sumber Daya Aparatur
- Agar merubah cara pandang aparat pemerintah dalam mengatasi masalah sampah. - Agar pemerintah mampu melaksanakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
Pada saat ingin Pemerintah, memberdayaka LSM n masyarakat dalam pengelolaan sampah
Kantor Walikota
4.
Penguatan Anggaran Daerah Untuk Penanganan Sampah
- Besarnya biaya operasional pengangkutan sampah sehingga pemerintah belum mampu melayani pengangkutan sampah seluruh Kota Pontianak. Salah satu yang belum pernah tertangani pelayanan pengangkutan sampah yaitu daerah pinggir sungai. - Masyarakat memiliki kapasitas berupa modal sosial yang dapat dikembangkan untuk pengelolaan sampah. - Setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda sehingga model pengelolaan
Pada saat ingin Pemerintah memberdayaka n masyarakat dalam pengelolaan sampah
Di lokasi penentuan pemberdayaan masyarakat
kekurangan pengajuan program pengelolaan sampah berbasis masyarakat. - Dilaksanakan diklat pengelolaan sampah berbasis masyarakat untuk memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan sampah. - Pelaksanaan diklat dilakukan pada tingkat ekselon dua, tiga dan empat kemudian diikuti dengan staf yang melaksanakan tugas penyusunan program dan tenaga lapangan. - Pelaksanaan diklat diajarkan oleh dosen jurusan pengembangan masyarakat sehingga konsep-konsep dasar pengembangan masyarakat dapat dilaksanakan di lapangan. Pemetaan potensi masyarakat dalam pengolahan sampah dengan kegiatan : - Pegawai pemerintah mengkaji modal sosial yang ada dikomunitas. - Di lakukan diskusi kepada masyarakat model pengelolaan sampah yang bisa dikembangkan oleh masyarakat. - Perencanaan pengelolaan sampah kepada masyarakat dengan menggunakan dana sharing. Jika pemerintah belum mampu melaksanakan dengan pemberdayaan pengelolaan sampah kerjasama dengan LSM yaitu: - Adanya MoU dengan LSM yang sudah
sampah bervariasi setiap wilayah. - Agar mengurangi beban kerja dinas dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat. - Mengatasi kekurangan sumberdaya manusia yang dapat melakukan pemberdayaan. - Mengurangi biaya pemberdayaan penanganan sampah oleh pemerintah. - Menggunakan dana sharing dari LSM, pengusaha dengan coorporate social responsibility dan masyarakat. - Memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan sampah. - Agar program pengelolaan sampah berkelanjutan. 5.
Penguatan Koordinasi Antar-Instansi
- Agar mensinergikan pengelolaan sampah oleh semua dinas terkait. - Agar terintegrasi program pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. - Agar pemerintah dapat memenangkan adipura. - Agar memiliki acuan dalam pengelolaan lingkungan yang memiliki visi, misi, sasaran, tujuan dan tugas dari setiap dinas sehingga terciptanya kesatuan pengelolaan lingkungan.
profesional melakukan pemberdayaan berupa pendampingan, pelatihan, dan fasilitasi masyarakat dalam membentuk pengelolaan sampah. Setelah tersedianya infrastruktur untuk keberlanjutan program
Pemerintah
Wilayah Kota Pontianak yang belum mendapat pelayanan pengangkutan sampah
Kegiatan selanjutnya adalah melakukan kolaborasi stakeholder dalam penanganan sampah berbasis masyarakat yaitu dengan kegiatan: - Mengundang LSM yang profesional untuk melakukan pemberdayaan dan pengusaha. - Melakukan rapat pembagian tugas dan fungsi dalam memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan sampah. - Membuat kerangka kerja setiap stakeholder sesuai dengan tugas dan fungsi dari stakeholder tersebut.
Pada saat ada keinginan pemerintah melaksanakan kebijakan peningkatan peranserta masyarakat dalam pengelolaan sampah (sebelum anggaran baru)
Pemerintah
Kantor walikota Pontianak
Rapat koordinasi antar dinas terkait dalam pengelolaan sampah - Adanya rapat teknis antara dinas terkait yang dihadiri oleh kepala dinas tanpa diwakili oleh orang lain. - Pembagian tugas dan fungsi tiap dinas dalam mengembangkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dinas tersebut. - Pembentukan tim koordinasi dalam melaksanakan kerja lapangan sesuai dengan juknis yang telah ditetapkan bersama mengenai pekerja yang
mendampingi masyarakat dalam pengelolaan sampah.
6.
Penyusunan Peraturan Tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
- Memperkuat status pemberdayaan masyarakat dalam membuat pupuk oleh dinas. - Adanya dasar hukum melakukan pemberdayaan masyarakat dalam pembuatan pupuk kompos. - Belum adanya peraturan yang mengatur masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah.
Setelah adanya rapat koordinasi penanganan pengelolaan sampah berbasis masyarakat
Pemerintah
Kantor Walikota Pontianak
Setelah adanya pembahasan rapat koordinasi antar dinas terkait
Pemerintah
Kantor Walikota Pontianak
Membentuk rencana strategi Kota Pontianak - Mengadakan rapat koordinasi untuk mengintegrasikan dan mensinergikan program atau kegiatan di dinas/instansi terkait dalam rencana strategi dinas sebagai koordinator pelaksana penanganan sampah berbasis masyarakat. Peraturan Walikota tentang pengelolaan sampah berbasis masyarakat - Dilakukan rapat koordinasi untuk menyusun peraturan walikota yang berpihak kepada kepentingan masyarakat yang melakukan pengkomposan agar membuka pemasaran dari pupuk kompos dan menetapkan koordinator dalam pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. - Draft peraturan sosialisasi melalui seminar kepada masyarakat dengan mengundang aktivis pecinta lingkungan/LSM, perguruan tinggi dann masyarakat yang tertarik dengan pembentukan peraturan walikota. Penyusunan standar pelayanan minimum - Penyusunan standard pelayanan minimum ini dilakukan dengan mengundang seluruh stakeholder dalam
seminar untuk menyusun pelayanan yang harus dilakukan oleh pemerintah dan disertai dengan tanggungjawab masyarakat.
Tabel 7.2 Program Pengembangam Sampah Berbasis Masyarakat di Ruang Masyarakat No 1.
Program/ kegiatannya
Alasannya
Penguatan Apresiasi Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
- Tidak ada apresiasi terhadap pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat. - Agar masyarakat menyadari bahwa perbuatan membuang sampah disungai akan menyebabkan banjir. - Agar masyarakat mempunyai pandangan bahwa sampah harus ditangani secara bersama. - Agar masyarakat mengetahui sampah dapat bernilai ekonomis - Kurangnya percaya diri dalam mengelola persampahan secara bersama. - Memberikan pemahaman kepada masyarakat secara visual audio sehingga mudah memahami pengelolaan sampah secara komunal. - Komunitas mempunyai kredibilitas yang jelek terhadap kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama.
Kapan Pada saat ini juga
Pihak yang terlibat
Tempat Pelaksanaan
Mekanisme
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
- Pada saat pengajian ibuibu - Pada saat posyandu - Gedung Tempat Pengajian Alquran Nurul Islam di Gang Kamnboja pada hari sabtu sore - Pada saat kegiatan PKK di kecamatan/kelur ahan
Penyuluhan - Penyuluhan tentang kebersihan lingkungan, pengelolaan sampah komunal bernilai ekonomis, pentingnya kebersamaan dan kekompokan masyarakat.
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
- Di wilayah komunitas masyarakat
Seminar tentang keberhasilan seorang pengelolaan sampah sehingga menciptakan seorang pengusaha sampah - Dilakukan diskusi kepada
masyarakat dengan pengusaha tersebut tentang nilai ekonomis dari sampah.
2.
Mengembangkan Motivasi terhadap Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
- Belum adanya ikatan kepada masyarakat dalam pengelolaan sampah. - Kurangnya motivasi terhadap pengelolaan sampah berbasis kelompok. - Agar adanya semboyan/slogan pengelolaan sampah yang merupakan kebangga RT yang menjadi sejarah pelaksanaan kegiatan pengelolaan sampah pertama kali di Kampung Kamboja.
Pada saat ini juga
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
- Gedung Tempat Pengajian Alquran Nurul Islam di Gang Kamboja pada hari sabtu sore - Disetiap RT/RW/Kelurah an
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
Gedung Tempat Pengajian Alquran Nurul Islam di Gang Kamboja
Pemutaran film pengelolaan sampah berbasis masyarakat - Memutar film layar tancap tentang pengolahan sampah secara komunal dilapangan tempat pengajian alquran pada saat malam minggu.
Penciptaan lagu dari musik adrasah: - Membuat lagu ciptaan perkumpulan adrasah sebagai semboyan RT dalam melaksanakan pengelolaan sampah komunal di komunitas. - Pelaksanaan penciptaan lagu pengelolaan sampah berbasis masyarakat dibuat oleh kelompok adrasah. Setelah terciptanya lagu tersebut dilakukan sosialisasi lagu tersebut dengan kegiatan mengajarkan kepada masyarakat dengan melakukan arak-arakan penyanyian lagu tersebut kepada masyarakat. Selain itu setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat setempat berupa kerjabakti, idul fitri, 17 agustusan dan lain-lain menyanyikan lagu tersebut.
3.
Penguatan Komunikasi dalam Pengelolaan Sampah
- Agar setiap warga dapat diberi pengarahan tentang pengelolaan sampah secara bersama-sama. - Memberikan pengertian tentang pengelolaan sampah berbasis masyarakat dapat mengatasi
Setelah menyebarnya isu tentang pengelolaan sampah berbasis
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
Sekolah, perguruan tinggi dan instansi pemerintah
Penciptaan lagu semboyan pengelolaan sampah berbasis masyarakat melalui perlombaan ciptaan lagu. - Perlombaan dilakukan untuk semua kalangan. - Setelah ada lagu tersebut diwajibkan setiap sekolah dasar, sekolah menengah menengah pertama, sekolah menengah atas, instansi pemerintah dan perguruan tinggi untuk menghapal dan menyanyikan lagu tersebut. Pembelajaran lagu tersebut pada tingkat perguruan tinggi dilakukan pada saat ospek. Pembelajaran lagu tersebut di instansi pemerintah dilakukan pada saat diadakan diklat penerimaan calon pegawai negeri sipil dan pada saat dilakukan diklat. Sedangkan pada tingkat sekolah dasar, sekolah menengah menengah pertama, sekolah menengah atas dilakukan pada kegiatan ekstrakulikuler sekolah.
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
Rumah penduduk
Musyawarah bersama masyarakat - Mendatangi rumah penduduk untuk diskusi tentang pengelolaan sampah berbasis masyarakat (mendatangi satu rumah penduduk yang dihadiri beberapa tetangga yang dekat
masalah sampah. - Pelaksanaan kegiatan yang dilakukan secara bersama perlu dibicarakan bersama masyarakat - Kurang Komunikasi dalam Pengelolaan Sampah.
masyarakat
diperuntukkan untuk ibu-ibu). - Memberikan masukan tentang pentingnya kebersamaan dalam pengelolaan sampah dan nilai ekonomi yang diperoleh. - Setelah itu dilakukan diskusi tentang pendapat ibu-ibu terhadap pengelolaan sampah secara komunal. Ibu-ibu yang merumuskan permasalahan yang mereka hadapi. Setiap item permasalahan didiskusikan untuk mencapai penyelesaiaan masalah menurut mereka. Hasil penyelesaian masalah tersebut membahas tentang kebutuhan apa yang dapat dilakukan ditingkat komunitas dan memerlukan bantuan dari pihak luar. Setelah dilakukan pemilahan masalah yang dapat diselesaikan tingkat komunitas kemudian dilakukan didiskusikan tahapan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hasil rancangan tersebut dilakukan didiskusikan kepada tingkat komunitas atau seluruh masyarakat yang dipimpin oleh ketua RT untuk mendapatkan dukungan dari seluruh masyarakat baik bapak-bapak, ibu-ibu maupun pemuda setempat.
4.
5.
Penguatan Pemahaman Pemimpin Lokal Terhadap Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
Pengembangan Forum Dialog Dalam Kelompok
- Agar ketua RT berantusias untuk memimpin masyarakat membentuk kelompok pengelolaan sampah. - Agar meyakini ketua RT bahwa pengelolaan sampah dapat dilakukan di RT setempat. - Agar memperoleh persetujuan ketua RT sebagai pemimpin di RT untuk pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. - Ketua RT yang tidak yakin dengan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. - Lemah pemahaman pemimpin lokal terhadap pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
- Tidak ada forum dialog dalam kelompok. - Masyarakat belum pernah
Pada saat ini juga
Pemerintah/ LSM
Rumah ketua RT
Memberi pandangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat : - Mendiskusikan kepada ketua RT tentang pengelolaan sampah yang telah berhasil dilakukan di daerah lain. - Mendiskusikan kepada ketua RT tentang Perlombaan Green and Clean. - Memberikan keyakinan adanya ibuibu yang dapat melaksanakan kegiatan pengelolaan sanpah - Meminta kesediaan ketua RT untuk memimpin seluruh RT untuk membentuk kelompok sampah.
Pada saat ibuibu sudah menyetujui pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat (setelah dilaksanakan musyawarah kepada ketua RT)
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
Rumah ketua RT
Diskusi ibu-ibu dengan ketua RT : Mendiskusikan keinginan ibu-ibu yang bisa merubah kebiasaan membuang sampah menjadi memilah sampah, melaksanakan pengelolaan sampah secara komunal dengan ketua RT.
Setelah masyarakat menyepakati
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
Gedung Tempat Pengajian Alquran Nurul Islam hari
Pembentukan kelompok pengelola sampah: Melakukan pemetaan dilapangan
6.
Pengembangan Forum Komunikasi Antar Warga untuk Perilaku Bersih
melaksanakan diskusi pengelolaan sampah berbasis masyarakat. - Agar masyarakat membentuk pengurus penanganan sampah. - Agar masyarakat melakukan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan perawatan untuk penanganan sampah. - Agar masyarakat membentuk komitmen dalam pengelolaan sampah secara bersama-sama.
untuk melaksanakan kelompok sampah
- Agar kelompok belajar mengatasi masalah dalam pelaksanaan pengelolaan sampah. - Perilaku masyarakat yang tidak pernah mengelola sampah. - Tidak ada forum komunikasi antar warga.
Setelah ada kelompok pengelola sampah
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
sabtu sore
bersama masyarakat terhadap sarana dan prasarana yang mendukung pengelolaan secara komunal seperti lahan tempat pengelolaan sampah. Jika tersedianya lahan ditingkat komunitas dilakukan diskusi kepada masyarakat untuk kesediaan masyarakat merubah pola membuang sampah dengan cara memilah sampah anorganik dan organik. Dalam diskusi dibahas tentang kesediaan melakukan pemilahan sampah di rumah tangga dengan mengajarkan kedisiplinan memilah sampah di keluarga. Selain itu dilakukan juga diskusi tentang kewajiban dan hak masyarakat dalam pengelolaan sampah, pembentukan pengurus kelompok. Pembentukan pengurus dipilih oleh masyarakat setempat karena masyarakat yang memahami warganya yang peduli terhadap lingkungan dan tekun melakukan pekerjaan.
Rumah penduduk
Pembentukan kelompok kecil pengelola sampah: - Pengawasan untuk mengubah perilaku masyarakat pada tingkat rumah tangga adalah sesama tetangga yang saling mengingatkan jika sesama tetangga yang dekat tidak disiplin melakukan pemilahan
sampah. Selain itu dilakukan juga pendampingan untuk mengingatkan kesepakatan bersama yang telah disepakati. Untuk mengingatkan warga yang belum disiplin dalam mengelola sampah dilakukan oleh ketua kelompok. - Jika masyarakat telah mulai terbiasa memilah sampah maka dilakukan desentralisasi pengawasan kepada sesama tetangga untuk melakukan pengawasan pemilahan sampah. Hal ini dilakukan dengan membentuk kelompok kecil pengelola sampah. - Dilakukan musyawarah bersama masyarakat untuk membentuk kelompok kecil yang memiliki ketua kelompok kecil. Tugasnya untuk membina anggota/tetangganya yang masih belum terbiasa memilah sampah. - Dilakukan diskusi sebulan sekali tentang perilaku masyarakat yang belum bisa menuruti kesepakatan pengelolaan sampah secara komunal. 7.
Pengembangan Kelompok untuk Mengatasi Masalah Bersama
- Kelompok ibu-ibu yang belum terbiasa melakukan diskusi kelompok untuk mengatasi masalah secara bersama-sama. - Tidak pernah dibentuk kelompok untuk mengatasi masalah bersama.
Setelah ada kelompok sampah
Pemerintah/ LSM dan pengurus kelompok sampah
- Gedung Tempat Pengajian Alquran Nurul Islam di Gang Kamboja
Pelatihan diskusi: Diadakan lakukan pelatihan dengan studi kasus melalui film kepada ibuibu agar lebih mudah dipahami permasalahannya. Ibu-ibu yang belajar mengatasi masalah tersebut
- Agar kelompok dapat mengatasi masalah dalam melakukan pembinaan terhadap anggota yang tidak melaksanakan komitmen bersama. - Agar menimbulkan kepemimpinan kelompok yang dapat memotivasi anggotanya dan mengatasi masalah pengelolaan sampah.
8.
Advokasi Publik terhadap Kelompok
- Tidak ada advokasi publik. - Masyarakat baru mengetahui pengelolaan sampah berbasis masyarakat. - Untuk menfasilitasi masyarakat jika mengalami kesulitan dalam melakukan penanganan sampah berbasis masyarakat.
yang didampingi oleh tutor untuk mengkoordinir penyelesaian masalah dalam kelompok yang baik yang mencegah dan mengatasi permasalahan perselisihan. Setelah ada kelompok sampah dan kelompok kecil
Pemerintah/ LSM dan ketua kelompok pengelola sampah dan ketua kelompok kecil masyarakat
- Gedung Tempat Pengajian Alquran Nurul Islam di Gang Kamboja - Tempat masyarakat
Setelah berjalannya kelompok pengelola sampah
Pemerintah/ LSM yang profesional dalam mendampingi masalah masyarakat
- Kampung Kamboja - Masyarakat
Pelatihan kepemimpinan kelompok: - Diadakan lakukan pelatihan dengan studi kasus melalui film kepada ibuibu agar lebih mudah dipahami permasalahannya. - Film tentang masalah kepemimpinan kelompok dalam menyelesaikan masalah anggotanya. - Ibu-ibu yang belajar mengatasi masalah tersebut yang didampingi oleh tutor untuk mengkoordinir penyelesaian masalah dalam kelompok yang baik yang mencegah dan mengatasi permasalahan perselisihan. Pendampingan : Pendampingan hidup bersama masyarakat untuk mengarahkan masyarakat dalam pengelolaan sampah tersebut dan lingkungan dengan memberikan pengarahan jika masyarakat mengalami kesulitan baik dari pemasaran, akses terhadap pemerintah dan permasalahan sesama komunitas dan luar komunitas. Kegiatan pendampingan tidak dilakukan lagi jika masyarakat sudah
mandiri mengatasi masalah.
9.
Penguatan Kader dan Regenerasi
- Lemahnya kaderisasi dan regenerasi. - Adanya kader yang akan menyebarkan cara pengelolaan sampah berbasis masyarakat disekitar pinggir Sungai Kapuas sehingga sampah tidak lagi dibuang kesungai. - Sedikit pengarah/orang yang paham tentang pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
Setelah kelompok kuat untuk melaksanakan pengelolaan sampah
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
Di pinggir Sungai Kapuas yang masuk dalam wilayah Kota Pontianak
Pembentuk kader peduli lingkungan : Memberikan pelatihan kepada pemuda dan ibu-ibu untuk melakukan penyebaran informasi dan menfasilitasi/mengajarkan masyarakat dengan pengalaman yang telah ada (masyarakat dibantaran Sungai Kapuas yang berada di Pontianak rata-rata memiliki hubungan kekeluargaan).
10.
Penguatan Pemahaman Pengelolaan Sampah Bagi Warga
- Masyarakat pinggir sungai belum memahami pengelolaan sampah. - Masyarakat masih membuang sampah di sungai. - Agar seluruh daerah dibantaran sungai melaksanakan pengelolaan sampah.
Setelah ada kader yang dapat membantu memperluas pengelolaan sampah
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
Di Bantaran Sungai Kapuas yang masuk dalam wilayah Kota Pontianak
11.
Penguatan Kepemimpinan Lokal
- Sikap ketua RT menunjukkan pesimis terhadap komunitasnya dalam pengelolaan sampah karena adanya ”budaya panas-panas tai ayam”. - Agar masyarakat diseluruh RT saling mendukung pelaksanaan pemilahan sampah.
Pada saat ibuibu dan ketua RT sepakat melaksanakan kegiatan pengelolaan sampah komunal
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
Rumah ketua RT
Perluas penanganan sampah: - Mengajak kader untuk bersamasama menghadap ketua RT/RW diskusi tentang pengelolaan sampah. - Kader yang meyakinkan ketua RT/RW untuk merubah masyarakat di pinggir sungai. Membuat komitmen bersama untuk pengelolaan sampah: Membuat kesepakatan bersama masyarakat untuk sama-sama memilah sampah dan melaksanakan pengelolaan sampah.
12.
Pengembangan/ Revitalisasi Kerjabakti dalam Pengelolaan Sampah
- Masyarakat melaksanakan gotong royong untuk membersihkan kuburan. - Tidak pernah dilakukan kerjabakti dalam pengelolaan sampah. - Agar masyarakat mengetahui cara memilah sampah. - Agar masyarakat mempunyai persepsi mudahnya melaksanakan pemilahan sampah.
Pada saat telah adanya keinginan ibuibu untuk melaksanakan pengelolaan sampah
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
Lingkungan RT
Kerjabakti memilah sampah: - Kerjabakti dilakukan oleh seluruh masyarakat. - Setelah kerja bakti dilakukan menyanyikan lagu adrasah dalam pengelolaan sampah.
13.
Pengembangan Forum Diskusi Warga dengan Pemerintah
- Tidak ada forum yang menghubungkan warga dengan pemerintah. - Komunitas kurang berhubungan dengan pihak Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Sosial yang menangani permasalahan sampah di daerahnya. - Agar masyarakat mengetahui adanya pelayanan dari pemerintah tentang bantuan teknis mengatasi masalah pengelolaan sampah. Salah satu contohnya adanya
Setelah adanya keinginan ibuibu untuk melaksanakan pengelolaan sampah
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
Rumah ketua RT
Forum Komunikasi: - Masyarakat dan pemerintah saling diskusi tentang kebutuhan masyarakat. - Adanya jadwal untuk diskusi dengan pemerintah dan masyarakat.
tenaga teknis mendampingi membuat pupuk kompos.
14.
Pendidikan Pengelolaan Sampah kepada Publik
- Agar masyarakat mengetahui Setelah peraturan walikota yang pengesahan mendorong warga Kota Pontianak SK Walikota untuk mendukung kegiatan pengkomposan yang dilakukan kepada masyarakat. - Masyarakat merasa pemerintah bertanggungjawab terhadap masalah pengelolaan sampah. - Kurangnya pendidikan pengelolaan sampah kepada publik. - Agar memotivasi masyarakat untuk memenangkan Perlombaan Green and Clean dalam mengelola lingkungan secara swadaya. - Adanya persaingan pemasaran pupuk kandang. - Masyarakat membutuhkan pemasaran pupuk kompos yang telah dilakukan. - Agar pemerintah memberikan subsidi kepada masyarakat yang belum mampu bersaing dalam pemasaran. - Agar masyarakat termotivasi untuk membuka usaha dalam pengelolaan sampah. - Agar membuka pemasaran bagi
Pemerintah
Wilayah Kota Pontianak
Sosialisasi Peraturan Walikota - Dilakukkan sosialisasi di tv kalbar dan surat kabar. - Setiap penyuluhan yang dilakukan dinas-dinas/kantor agar menginformasikan Peraturan Walikota ini. - Menyebarkan selebaran kepada warga melalui RT masing-masing. Kegiatan ektrakulikuler di sekolah - Pelajar diberikan kegiatan/materi tentang pengelolaan sampah dengan memilah sampah. Materi yang diberikan dengan memberikan wawasan dampak sosial dan ekonomi dari sampah yang bertumpuk sehingga perlunya merubah perilaku membuang sampah. - Memutar film anak-anak tentang pengelolaan sampah. Hal ini dilakukan pada tingkat taman kanak-kanak dan sekolah dasar. - Perlombaan penciptaan nyanyian dan semboyan pengelolaan sampah dilakukan pada anak sekolah. Pada tingkat pasar - Dilakukannya sosialisasi tentang
kelompok pengelola kompos. - Pemerintah memberikan subsidi terhadap masyarakat. - Pemerintah memanfaatkan pupuk pada dinas pertanian, dinas kebersihan dan dinas kehutanan. - Agar pupuk masyarakat dapat masuk dalam kategori layak dipasarkan dengan unsur hara yang memenuhi standar pemasaran. - Agar ada penampung yang akan memasarkan pupuk kompos tersebut. - Agar adanya koordinator yang memasarkan hasil pupuk kompos ke seluruh Indoensia. - Agar pengelola pupuk kompos yang belum memenuhi standar unsur hara pupuk kompos dapat lebih berkualitas. - Agar mampu bersaing dengan kelompok pupuk kompos yang telah berhasil memenuhi standar unsur hara pupuk kompos - Agar pengelola pupuk kompos yang belum memenuhi standar unsur hara pupuk kompos dapat lebih berkualitas. - Agar mampu bersaing dengan kelompok pupuk kompos yang telah berhasil memenuhi standar unsur hara pupuk kompos. - Membuka akses kerjasama dengan
peranserta pedagang dalam melaksanakan pengelolaan sampah. Untuk mendorong masyarakat melaksanakan kegiatan ini maka dilakukan pengawasan oleh petugas kepada pedagang untuk melaksanakan kewajiban mereka dalam mengelola sampahnya. Promosi Perlombaan Green and Clean Kota Pontianak - Dilakukan sosialisasi di tv kalbar dan surat kabar. - Setiap penyuluhan yang dilakukan dinas-dinas/kantor agar menginformasikan peraturan walikota ini. - Menyebarkan selebaran kepada warga melalui RT masing-masing. (Hal ini dilakukan bersamaan dengan sosialisasi peraturan jika ada pelaksanaan sosialisasi peraturan). Setelah ada tim koordinasi dalam pengelolaan sampah
Pemerintah
Kantor Walikota Pontianak
Mekanisme pemerintah menampung sementara pembelian pengolahan sampah dari masyarakat - Rapat antar dinas terkait untuk menentukan penempatan alokasi dana untuk pembelian pupuk kompos masyarakat, penyaluran pupuk kompos yang dibeli oleh pemerintah kepada dinas lain yang membutuhkan, penentuan harga pembelian pupuk.
perusahaan dengan kualitas yang terjamin. - Agar pemerintah dapat menampung hasil pupuk kompos yang dilakukan oleh masyarakat dalam rangka pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
Setelah terbentuknya kelompok kompos yang di Kota Pontianak
Kelompok pengelola pupuk kompos, pemerintah
Dinas Kebersihan
Pembelian pupuk oleh pemda - Pembelian dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan yang akan didrop ke dinas-dinas yang membutuhkan pupuk kompos tersebut.
Setelah adanya kelompok kompos yang eksis dalam pembuatan pupuk kompos dari sampah
Kelompok pengelola pupuk kompos, pemerintah
Pemerintah
Subsidi uji kualitas pupuk agar dapat dipasarkan - Membuat persyaratan yang berhak mendapatkan subsidi uji kualitas pupuk kompos. - Memberikan secara gratis pengujian kualitas pupuk yang telah memenuhi syarat.
Setelah adanya kelompok pupuk kompos yang memenuhi standar unsur hara pupuk kompos
Kelompok pengelola pupuk kompos, pemerintah
Masyarakat
Koperasi kompos Mencari pemasaran pupuk kompos dari masyarakat yang akan dipasarkan di seluruh Indonesia dengan mengikuti pameran dan mempromosikan hasil pupuk kepada pertanian dan memasang iklan di internat untuk penjualan.
Setelah adanya kelompok pupuk kompos
Pemerintah
Pemerintah daerah yang berada di Kalbar
Membangun kerjasama dengan perusahaan dalam Kalimantan Barat
yang memenuhi standar unsur hara pupuk kompos
- Membuat MoU dengan pemerintah daerah di Kalbar yang memerlukan pupuk kompos untuk pertanian mereka. - Pengelolaan pupuk kompos tersebut adalah koperasi pupuk kompos. Pemerintah
Dinas Urusan Pangan
Perusahaan daerah tanaman hias - Pemerintah membentuk perusahaan tanaman hias yang dikelola oleh pegawai pemerintah agar dapat mengembangkan bunga/tanaman hias yang ada di Kalimantan Barat sehingga dapat bersaing di pasaran tanaman hias tingkat propinsi
Tabel 7.3 Program Pengembangam Sampah Berbasis Masyarakat di Ruang Pemerintah dan Masyarakat No. 1.
Program/ kegiatannya Pengembangan Keahlian untuk Teknologi Pengolahan Sampah Berbasis Masyarakat
Alasannya - Agar meningkatkan kualitas perubahan sampah menjadi pupuk kompos dan sebagainya hasil olahan sampah. - Komunitas belum mengetahui pengelolaan sampah. - Pemerintah belum memiliki tenaga ahli untuk
Kapan Sebelum tahun anggaran baru
Pihak yang terlibat Pemerintah, perguruan tinggi/lemba ga penelitian
Tempat Pelaksanaan Kantor Walikota Pontianak
Mekanisme Kerjasama dengan perguruan tinggi/lembaga penelitian dalam pengolahan sampah: - Membuat MoU dengan perguruan tinggi/lembaga penelitian dalam menyediakan bahan untuk pengolahan sampah dan hasil eksperimen pengembangan teknologi mengubah
pengembangan teknologi pengolahan sampah. 2.
3.
Pusat Pendidikan Teknologi Pengolahan Sampah
Pelatihan Pengelolaan Sampah
sampah menjadi barang bernilai ekonomi.
- Agar masyarakat mengetahui mekanisme pembuatan pupuk yang ditawarkan oleh LSM/pemerintah. - Tidak pernah ada teknologi pengolahan sampah di masyarakat. - Masyarakat belum mengetahui teknologi pengolahan sampah. - Agar masyarakat mendapat pengarahan/bimbingan awal untuk pengelolaan sampah. - Masyarakat belum terbiasa melaksanakan pengelolaan sampah. - Agar masyarakat mendapatkan bimbingan pada saat mengalami kesulitan untuk pembuatan pupuk.
Setelah ada tempat pengolahan sampah
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
Tempat pengolahan sampah
Pembinaan terhadap pelaksanaan pengolahan sampah: - Bersama-sama dengan kelompok sampah untuk mengolah sampah. - Menata penempatan pembuatan pupuk yang baik.
Setelah berjalannya kelompok sampah
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
Kantor LSM/pemerintah
Unit konseling untuk kesulitan pembuatan pupuk: - Adanya pelayanan sms untuk mendapat bantuan teknis dalam pengolahan sampah.
- Agar merubah persepsi masyarakat membuat pupuk kompos itu mudah. - Agar masyarakat mengetahui gambaran tentang pengelolaan sampah. - Sampah selama ini menjadi barang tidak berharga. - Masyarakat ingin mengetahui cara pengolahan sampah.
Setelah proposal pengolahan sampah disetujui
Pemerintah/ LSM
di rumah RT
- Tenaga ahli yang mempraktekkan di depan masyarakat tentang pembuatan pupuk, kerajinan tangan dari sampah. - Kemudian dipraktekkan oleh masyarakat sendiri.
Setelah praktek pengolahan sampah
Pemerintah/ LSM
Gedung tempat Pengajian Alquran Nurul Islam hari sabtu
Pelatihan kepada pengelola pupuk kompos: - Diperuntukan kepada ibu-ibu yang berminat dalam menjadi pengurus kelompok dan masyarakat yang berminat
- Agar masyarakat mengetahui pembuatan pupuk yang berkualitas. - Agar masyarakat berubah cara pandang menilai sampah menjadi barang yang berguna. - Masyarakat hanya mengetahui pengolahan sampah dengan cara membakar, membuang sampah ke TPS. - Tidak pernah dilakukan training pengolahan sampah.
4.
Pengembangan Pilot Projek Pengolahan Sampah
- Agar ada tempat pengolahan sampah. - Masyarakat tidak memiliki tempat pengolahan sampah. - Tidak ada pilot projek pengolahan sampah.
Setelah ada kelompok sampah
Pemerintah/ LSM dan masyarakat
dan sore
untuk membuat pupuk di rumah. - Masyarakat di daftar yang ingin membuat pupuk kompos. - Diberikan pelatihan dan materi untuk pembuatan pupuk kompos. - Pelatihan komposting bagi bapak-bapak, ibu-ibu, dan pemuda. - Pelatihan tempat sampah bagi bapakbapak dan pemuda. - Pelatihan kerajinan sampah bagi Ibu-ibu yang dilaksanakan di Gedung Tempat Pengajian Alquran Nurul Islam oleh petugas pelatihan setiap seminggu sekali untuk per item pelatihan.
Tempat pengolahan sampah
Pembuatan tempat pengolahan sampah: - Penentuan lahan untuk penempatan pengolahan sampah. - Pemungutan iuran dari masyarakat untuk pembangunan tempat pengolahan sampah. - Mengerjakan bersama-sama bapak-bapak, pemuda dan ibu-ibu dalam proses pembuatan tempat pengolahan sampah.
157
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
Pengelolaan sampah berbasis masyarakat telah diterapkan oleh warga Kompleks Perumahan Dwi Ratna. Pengelolaan sampah tersebut menghasilkan pupuk kompos dan kerajinan tangan. Pembuatan pupuk kompos dari sampah dilakukan secara individu di rumah masing-masing. Sedangkan pembuatan kerajinan tangan dari sampah dilakukan secara kelompok dengan mengumpulkan bungkusan yang bisa dibuat kerajinan tangan di rumah ketua RT. Pola ini dipandang cocok untuk dikembangkan di komunitas pinggir sungai. Pengembangan pengelolaan sampah di pinggir sungai memerlukan upaya pengembangan masyarakat dan pengembangan teknologi yang didukung oleh pemerintah.
Pengembangan
masyarakat
yang
dapat
dilakukan
dengan
pembentukan kelompok pengelola sampah. Dengan adanya kelompok pengelola sampah yang bertanggungjawab untuk pengolahan sampah dan masyarakat bertanggungjawab untuk memilah sampah dan membuang sampah ketempat pengolahan sampah. Sedangkan pengembangan teknologi pengelolaan sampah yang dilakukan dengan peranserta masyarakat dan pemerintah. Pemerintah yang menfasilitasi
pengembangan
teknologi
pengelolaan
sampah
sedangkan
masyarakat yang melaksanakan teknologi yang telah dikembangkan oleh pemerintah. Masyarakat di pinggir sungai belum pernah melakukan pengelolaan sampah karena selama ini sampah dibuang ke sungai atau di bakar. Pelayanan pengangkutan sampah oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan belum pernah dilakukan untuk daerah di pinggir sungai mengingat jalan yang tidak dapat dilalui oleh mobil angkutan. Keadaan tersebut yang telah bertahun-tahun masyarakat di pinggir sungai alami. Hal ini menunjukkan masyarakat belum mampu mengelola sampah. Ketidaktahuan masyarakat di pinggir sungai mengelola sampah dapat diatasi dengan modal sosial yang masyarakat miliki. Pengelolaan sampah yang
158
cocok di masyarakat pinggiran sungai adalah pengelolaan sampah yang dilakukan secara komunal dengan pembentukan kelompok sampah. Permasalahan pengelolaan sampah yang dilakukan secara komunal untuk masyarakat di pinggir sungai, adalah: a. Kepemimpinan ketua RT yang kurang yakin warganya dapat melaksanakan pengelolaan sampah. b. Belum adanya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan permasalahan masyarakat dalam mengelola sampah; c. Pemasaran hasil penjualan pupuk kompos yang di buat oleh masyarakat. d. Belum adanya pelatihan dan pendidikan teknologi sederhana yang mudah dan praktis untuk merubah sampah menjadi pupuk kompos. e. Belum adanya kebijakan pemerintah untuk mendorong masyarakat melakukan pengelolaan sampah secara swadaya. Peranserta pemerintah dalam hal ini membuat kebijakan yang kondusif untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat sehingga masyarakat dapat berdaya mengelola sampah. Selain itu peran pemerintah adalah membuat masyarakat memperoleh keuntungan ekonomi dan sosial dalam pengelolaan sampah. Berdasarkan hal tersebut penyusunan program dilakukan pada aras pemerintah, masyarakat dan campuran masyarakat dengan pemerintah. Pada aras pemerintah mengarah kepada kebijakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat menyangkut penguatan koordinasi, penguatan anggaran, peningkatan sumber daya aparatur dan advokasi kebijakan. Pada aras masyarakat mengarah kepada pembentukan kelompok pengelola sampah menyangkut apresiasi warga, motivasi warga, komunikasi warga, dan pemahaman pemimpin lokal. Sedangkan pada aras pemerintah
dan
masyarakat
mengarah
kepada
pengembangan
teknologi
menyangkut pengembangan keahlian, pendidikan, pelatihan untuk teknologi.
8.2 Saran
Untuk mendukung terlaksananya rencana kegiatan yang telah disusun secara partisipatif dalam rangka pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat
159
di RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut, Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak, direkomendasikan sebagai berikut: Upaya-upaya pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat agar lebih membuka peluang dan kesempatan bagi kelembagaan-kelembagaan partisipasi masyarakat, seperti LSM, organisasi masyarakat serta organisasi-organisasi non pemerintah lainnya dalam rangka pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan peningkatan keberdayaan masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah, baik secara sosial, ekonomi dan ekologi. Dorongan terhadap pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat harus disertai proses advokasi dan asistensi serta fasilitasi baik di ranah pengambil kebijakan (pemerintah) dan warga masyarakat secara terus menerus hingga kedua belah pihak paham akan pentingnya pola pengelolaan sampah semacam ini. Oleh karena itu peran lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi menjadi penting sebagai advokator sekaligus fasilitator. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah penanganan sampah untuk jangka pendek. Untuk jangka panjang dengan permasalahan yang baru dan karakteristik masyarakat yang berkembang baik secara teknologi maupun kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks.
160
DAFTAR PUSTAKA
(ACCESS). Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme. 2005. Buletin Triwulan. Edisi 3 April 2005. (ACCESS). Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme. 2006. Buletin Triwulan. Edisi 7 April/Mei 2006. (ACCESS). Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme. 2006. Buletin Triwulan. Edisi 9 November 2006. Agus, R. 2007. Jaringan Sosial dalam Organisasi. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. Amin, M.D. 2000. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Sampah dan Pengaruhnya Terhadap Kebersihan Kota (Studi Kasus Pengelolaan Sampah Oleh Perusahaan Sampah Kebersihan Kotamadya Dati II Medan).Tesis Program Pascasarjana Univeristas Padjadjaran: Bandung. Amurwaraharja, I.P. 2003. Analisis Teknologi Pengolahan Sampah dengan Proses Hirarki Analistik dan Metoda Valuasi Kontingensi (Studi Kasus di Jakarta Timur). Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor: Bogor. Andarusman. 1998. Pengelolaan Kompos di Kampung Cibangkong, Bandung, Jawa Barat http://gtps.ampl.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=57&Ite mid=59. diakseskan pada 13 Maret 2008. Anonymous. 2006. Laporan Antara “Perencanaan Sistem Manajemen Pengelolaan Persampahan Kota Pontianak”. CV Tiara Chrisandi: Pontianak. Anwar. 2007. Manajemen Pemberdayaan Perempuan (Perubahan Sosial Melalui Pembelajaran Vocational Skill Pada Keluarga Nelayan). Alfabeta: Bandung. Arianto, W dan Darwin, T. 2002. Penanganan Sampah Perkotaan Terpadu. Djajawinata.http://www.kkppi.go.id/papbook/Penanganan%20sampah%20per kotaan%20terpadu.pdf. diakseskan pada 13 Maret 2008. Astutik, D. 2005. Pengembangan Model Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah di Jawa Timur. Tesis Program Pascasarjana Universitas Airlangga: Surabaya. Bahtera, S.Y. 2005. Pemberdayaan di Desa RUA. http://www.accessindo.or.id/msc&studiks-indo.htm. diakses pada tanggal 20 Maret 2008.
161
Budiman, Kris. 2006 dalam Abdullah, I. 2006. Sangkan Paran Gender. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Bustomi, T. 2006. Analisisi Pengaruh Koordinasi terhadap Kualitas Pelayanan Persampahan di Kota Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran: Bandung. Brikkĕ, F. 2000. Operation and Maintenance of Rural Water Supply and Sanitation Systems a Training Package for Managers and Planners. World Health Organization: Geneva. Damanhuri, E dan Padmi, T. 2005. Pengelolaan Sampah. Institut Teknologi Bandung: Bandung Depa Widogdo, S.A. 2005. Studi Evaluasi Pengolahan Persampahan di Pasar Ciputat Kabupaten Tanggerang. Program Studi Teknik Lingkungan ITB: Bandung. Djunuryadi, Y. 2003. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Kabupaten Cirebon (Studi pada Kota Sumber Kabupaten Cirebon). Tesis Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung. Firnandi, E. 2002. Pengaruh Implementasi Kebijakan Pengelolaan Sampah Terhadap Kesehatan Lingkungan Kesehatan Masyarakat (Studi Kasus pada PA Sampah Bantar Gebang Kota Bekasi). Tesis Program Pascasarjana Univeristas Padjadjaran: Bandung. Goldberg, A.A dan Larson, E.C. 2006. Komunikasi Kelompok Proses-Proses Diskusi dan Penerapannya. Penerbit Universitas Indonesia: Jakarta. Gozali, L. 2003. Pengelolaan Sampah Terpadu di Pondok Pekayon Indah, Bekasi Selatan. http://gtps.ampl.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=66&Ite mid=59. diakses pada tanggal 13 Maret 2008. Gunardi, et al. 2007. Pengantar Pengembangan Masyarakat. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB: Bogor. Ife, J. 2003. Community Development Community Based Alternatives in an Age Of Globalisation. Pearson Education Australia. Hikmat, H. 2006. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press: Bandung.
162
Kolopaking, L dan Tonny, F. 2007. Pengembangan Masyarakat dan Kelembagaan Pembangunan. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian dan Program Pasca Sarjana IPB: Bogor. Krana, C. 2000. Perencanaan Strategi Komunikasi Advokasi Manual Untuk Fasilitator Pelatihan. BPS-KEMA: Bogor. Kusumastuti Rezeki, S.D. 2003. Kajian Manfaat dan Biaya Pengolahan Sampah Terpadu Skala Kawasan (Studi Kasus: TPS Rawa Kerbau, Jakarta Pusat) http://www.digilib.ui.edu/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=73481&lokasi=loka l. diakses pada tanggal 7 Juni 2008. Lyon, L. 1985. The Community In Urban Society. Dorsey Press Chicago Illiois: USA. Mikkelsen, B. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Mudiyono, et al. 2005. Dimensi-Dimensi Masalah Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat, APMD Press Yogyakarta: Yogyakarta. Murdeani, A.D. 2005. Studi Pemilahan Sampah Berbasis Pengumpulan Terjadwal (Studi Kasus: Kelurahan Sukapura dan Kelurahan Sukagalih, Kota Bandung). Program Studi Teknik Sipil dan perencanaan ITB: Bandung. Nangoi, R. 2004. Pemberdayaan Di Era Ekonomi Pembangunan. Grafindo: Jakarta. Nuryanto, N.S. 2003. Pengelolaan Sampah Terpadu di Kampung Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan. http://gtps.ampl.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id= 58&Itemid=59. diakses pada tanggal 13 Maret 2008. Purba, J. 2001. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Pusat Kajian dan Diklat Aparatur. 2004. Laporan Akhir Kajian Tentang Pengelolaan Bersama (Joint Management) Pelayanan Persampahan Di Wilayah Perkotaan. www.geocities.com/triwidodowu/joint_mgt_kebersihan.pdf. diakses pada tanggal 13 Maret 2008. Pratama, Y. 2004. Studi Pengelolaan Sampah Medis Terpadu Dengan Pendekatan Sistem Dinamik.Program Studi Teknik Lingkungan ITB: Bandung. Prijono, O.S dan Pranaka. 1996. Pemberdayaan Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Center for Strategic dan International Studies: Jakarta.
163
PS. 2008. Penanganan dan Pengolahan Sampah. Penebar Swadaya: Jakarta. Rezeki Kusumastuti, S.D. Kajian Manfaat dan Biaya Pengolahan sampah Terpadu Skala Kawasan (Studi kasus: TPS Rawa Kerbau, Jakarta Pusat) http://www.digilib.ui.edu/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=73481&lokasi=lo kal. diakses pada tanggal 13 Maret 2008. Rukminto Adi, I. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta. Setiana, L. 2005. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Ghalia Indonesia: Bogor. Septianti, A.E. 2006. Perilaku Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah (Kasus Masyarakat Kelurahan Dubung Batu, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor dan Desa Petir, Kecamatan Damaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor: Bogor. Santosa, S. 2004. Dinamika Kelompok Edisi Revisi. Penerbit Bumi Aksara: Jakarta. Sijbesma Wijk, V.C. 1979. Participation and Education in Community Water Supply and Sanitation Programmes. WHO: Netherlands. Sudradjat. 2007. Mengelola Sampah Kota. Penebar Swadaya: Jakarta. Suharto, E. Pendampingan Sosial Dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Konsepsi dan Strategi. http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_32.htm. diakses pada tanggal 20 Maret 2008. Suharto, E. 2007. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Penerbit Alfabeta: Bandung. Suharto, E. 2006. Membanguan Masyarakat Memberdayakan Rakyat. PT Refika Aditama: Bandung. Sulistyowati, et al. 2005. Komunikasi Pemberdayaan. APMD Press: Yogyakarta. Sumodiningrat, G. 2007. Pemberdayaan Sosial. Penerbit Buku Kompas: Jakarta. Suryohadikusumo, D. 2006. Pengelolaan Kompos di Kebun Karinda, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.http://gtps.ampl.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id =67& Itemid=59. diakses pada tanggal 13 Maret 2008.
164
Supriatna, T. 1997. Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Humaniora Utama Press Bandung: Bandung. Suryanto, C. 2000. Pengelolaan Sampah Terpadu di Surabaya (Menggunakan Takakura Home Method).http://gtps.ampl.or.id/index.php?option=com_content&task=view&i d=68&Itemid=59. diakses pada tanggal 13 Maret 2008. Utami, D.B. 2008. Reformulasi Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Pada Sumbernya Berbasis Masyarakat. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor: Bogor. (USAID). Unites States Agency International Development. Studi Kasus Rencana Strategi Sanitasi Kota Jogyakarta, D.I Yogyakarta. http://www.esp.or.id/category/pub-id/cs/. diakses pada tanggal 13 Maret 2008. (USAID). Unites States Agency International Development. Studi Kasus Rencana Strategi Sanitasi Kota Surabaya, Jawa Timur. http://www.esp.or.id/category/pub-id/cs/. diakses pada tanggal 13 Maret 2008. Tan, H.J dan Topatimasang, R. 2003. Mengorganisasi Rakyat Refleksi Pengalaman Rakyat di Asia Tenggara. SEAPCP-Read: Yogyakarta Widiputranti Sri, C. 2005. Pemberdayaan Kaum Marginal. APMD Press Yogyakarta: Yogyakarta Yoandri, T. 2005. Evaluasi dan Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan Kecamatan Rumbai Pesisir Kota Pekan Baru. Program Studi Teknik Lingkungan ITB: Bandung. White, A. 1981. Community Participation In Water And Sanitation. WHO: Netherlands. Widya, A.D. 2005. Sistem Pengelolaan Persampahan di Kawasan Perumahan Tamansari Manglayang Regency. Program Studi Teknik Lingkungan ITB: Bandung.
166
Lampiran 1 Kegiatan Pelatihan Komposting Dan Pembuatan Tempat Sampah 1. Nama Latihan : Membuat Kompos dan Tempat Sampah 2. Uraian Pekerjaan : a. Mempelajari EM4 sebagai activator; b. Mempelajari pembuatan tempat sampah agar memperoleh pupuk kompos dan pupuk cair; c. Mempelajari cara pembuatan pupuk kompos; d. Mengetahui kegunakan pupuk kompos dan pupuk cair; e. Mempelajari kelebihan pupuk kompos dan pupuk buatan; f. Mempelajari kegunaan pupuk dalam dunia usaha. 3. Tujuan Latihan Kerja Setelah mengikuti latihan siswa mampu: a. Mampu membuat pupuk kompos untuk keperluan rumah tangga; b. Memahami bahwa sampah bermanfaat bagi kehidupan mereka; c. Mampu membuat tong sampah agar menghasilkan pupuk cair dan pupuk padat; d. Pupuk kompos mempunyai nilai ekonomi untuk membuka usaha. 4. Persyaratan Peserta Latihan a. Pendidikan sederajat SD, SMP, SMU, S1; b. Usia 17 sampai 70 tahun keatas; c. Jenis kelamin pria dan wanita; d. Asala peserta : masyarakat yang berminat untuk mengetahui pembuatan pupuk kompos. 5. Lama Latihan Lama latihan teori dan praktek sebanyak 21 jam pelajaraan. Pelatihan dilakukan sebanyak 10 -15 orang.
167
Mata Latihan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jam Latihan Teori Praktek
Jumlah Jam
Mempelajari cara kerja aktivator Mempelajari pembuatan tempat sampah agar memperoleh pupuk kompos dan pupuk cair Mempelajari cara pembuatan pupuk kompos Mengetahui kegunakan pupuk kompos dan pupuk cair Mempelajari kelebihan pupuk kompos dan pupuk buatan Mempelajari kegunaan pupuk dalam dunia usaha Tes terakhir/evaluasi
3 2
8
2 7
1
1
2
3
1
4
4
-
4
4 3
1 -
5 3
Jumlah
15
6
21
Sylabus : 1. Mempelajari cara kerja aktivator a. Mengetahui fungsi EM4 dan promi dan dalam proses pengkomposan; b. Mengetahui cara kerja EM4 dan promi dalam proses pengkomposan. 2. Mempelajari pembuatan tempat sampah agar memperoleh pupuk kompos dan pupuk cair a. Bahan-bahan yang dapat dibuat untuk tempat sampah; b. Teknik pembuatan tempat sampah pupuk kompos dan pupuk cair; c. Pemodelan tempat sampah; d. Mendekorasi tempat sampah. 3. Mempelajari cara pembuatan pupuk kompos a. Jenis sampah yang dapat digunakan untuk pengkomposan; b. Pencacahan sampah; c. Cara kerja pembuatan pupuk kompos mennggunakan EM4 dan Promi. 4. Mengetahui kegunaan pupuk kompos dan pupuk cair
168
a. Penggunaan pupuk kompos bagi tanaman; b. Penggunaan pupuk cair bagi tanaman; c. Manfaat penggunaan pupuk cair dan pupuk kompos 5. Mempelajari kelebihan pupuk kompos dan pupuk buatan a. Keuntungan menggunakan pupuk kompos bagi tanaman; b. Keuntungan menggunakan pupuk kompos bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan; c. Kekurangan menggunakan pupuk buatan. 6. Mempelajari kegunaan pupuk kompos dalam dunia usaha a. Hasil tanaman menggunakan pupuk kompos dapat memperindah tanaman hias; b. Tanaman hias yang bernilai tinggi dapat dibudidayakan menggunakan pupuk kompos; c. Perawatan tanaman hias yang menggunakan pupuk kompos. 7. Tes akhir Konsep pembuatan pupuk kompos dan tempat sampah.
Bahan yang diperlukan adalah No.
Nama Bahan
1. 2. 3.
Bekas Drum Ember Bekas tong cat
Type/ Ukuran Besar Besar Besar
4. 5. 6. 7. 8.
Pisau Tutup kunci Jaring kawat kecil Palu Obeng
Besar Kecil Kecil Kecil
Satuan
Jumlah
Buah Buah Buah
17 17 17
Buah Buah Meter Buah Buah
17 17 25 17 17
Keterangan Peserta dapat memilih bahan yang ingin digunakan yang sesuai dengan ketersediaan bahan di lingkungan rumah mereka
169
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 29.
Paku Kawat Paralon Cat Kuas Tenir Hand sprayer Gula Air EM4 Dedak/serbuk Gergaji Tanaman hias Pupuk uria Plastik sampah Promi Buku Pulpen Modul Tali Sendok Baskom Garpu
Kecil Kecil Kecil Besar dan kecil Besar dan kecil Kecil Besar Besar dan kecil Kecil Besar Kecil -
Buah Meter Buah Buah Buah Buah Buah Kilo Liter Liter Kilo
17 25 17 17 17 17 17 5 40 17 8
Buah Buah Buah Kilo Buah Buah Buah Meter Buah Buah Buah
8 5 20 17 17 17 17 20 17 17 17
Lampiran 2 Pembuatan Pupuk Kompos dalam Skala Rumah Tangga
Alat : -
Drum untuk composting
-
Hand sprayer kecil
-
Ember
-
Pisau
Bahan: -
Sampah organik (daun, bekas sayur dan lain-lain sampah yang mudah melapuk)
-
Dedak secukupnya (bila ada) fungsinya sebagai makanan bakteri sementara sebelum bakteri mendapatkan makanan
170
-
Gula pasir 1 sendok makan (fungsinya : merangsang bakteri untuk bereaksi/membangunkan bakteri untuk bekerja kembali)
-
Air 1 liter (jangan gunakan air PDAM karenan kandungan bahan kimia kaporit dalam air PDAM dapat membunuh microorganism.
Cara Pembuatan Kompos 1. Larutkan gula sebanyak 1 sendok makan kedalam ember yang berisi 1 liter air. 2. Masukkan laritan EM4/ Super Top Oil sebanyak 6-10 cc (kurang lebih 2 sendok makan) kedalam ember. 3. Aduk sampai merata dan diamkan selama kurang lebih 1 jam. 4. Masukkan larutan tersebut ke dalam hand sprayer kecil. 5. Potong-potong sampah sayuran hijau/ daun-daun kering tersebut 2-3 cm, campurkan dengan dedak secukupnya (kalau ada). 6. Masukkan adonan sampah tadi kedalam drum/composting 7. Semprot adonan sampah organic tadi dengan larutan EM4/Super Top Soil secara merata hingga terasa lembab, lalu tutup drum tersebut. 8. Pertahankan suhu di dalam drum dengan cara mengaduk-aduk (1 kali sehari) adonan sampah tersebut. 9. Setelah 3 minggu sampai 1 bulan kompos siap di panen
Lampiran 3 Pembuatan Pupuk Kompos dalam Skala Besar Bahan: Sampah pasar, sampah rumah tangga dan sampah kota yang sudah dipisahkan dari plastik, logam, kaca dan lain-lain.
Peralatan: -
Ember/bak untuk tempat air dan activator
-
Plastik penutup
-
Tali
-
Sekop
-
Garpu/cangkul
171
Dosis promi adalah ½ kg untuk setiap 1 m3 bahan
Tahapan: 1. Masukkan promi ke dalam bak berisi air sesuai dosis yang diperlukan. Aduk hingga tercampur merata. 2. Campurkan larutan Promi dengan sampah sampai merata, kemudian tumpuk sehingga membentuk bedengan. 3. Tutup bedengan sampah dengan plastic dan biarkan selama 3-4 minggu
171
Lampiran 4. Informan Program dan Kehidupan Komunitas Pinggir Sungai
Ibu Ash, Mengatakan bahwa adanya kendala dalam pembuangan sampah karena penjualan dilakukan akan sulit seperti 180 gelas akan mencapai 1 kg. Sedangkan ratusan plastik perlu ratusan baru akan menjadi 1 kg yang sulit diperoleh ibu-ibu rumah tangga. Jika masyarakat membuang plastic bekas kursi akan langsung dijual kesini dan masyarakat telah mengetahui sampah itu berpenghasilan. Pengusaha sampah ini ada pak ahio yang bersedia mebeli sampah rumah tangga dan juga pak iwan yang ada digertak sebelah. Pengusaha sampah ini terdiri dari banyak agen yang terpisah-pisah sesuai dengan spesifikasinya ada yang plastic, besi tua, dan kertas. Belum ada yang menyeluruh membeli barang bekas dalam satu agen.Usaha kaca baru akan dibuka dan sedang mencari lahan. Sampah rata-rata dibuang langsung ke sungai dan ada juga orang yang dari darat membuang sampah langsung kesungai menggunakan sampan. Pesampan tersebut endapatkan upah dari masyarakat di pertokoan yang mendapat upah perhari 1.500 – 2.000,- yang kemudian dibuang kesungai pada pagi hari. Dan masyarakat biasa membuang sampah pada malam hari. Jika masyarakat diajak untuk melihat nilai ekonomi tersebut maka akan ada kemungkinan besar masyarakat mau mengumpulkan sampah tersebut.
Ibu An Program NUSSP untuk pemberdayaan infrastruktur, drainase, membuat tong sampah, penggilingan dan pengadaan air bersih dengan menyediakan penampungan. Pengerjaan NUSSP dilapangan dilakukan oleh konsultan yang berada di Jalan Putri candramidi atau Jalan Andayani Gang Nur Cahaya Atas nama Pak Asari dengan nomor telepon 765173. NUSSP dikepalai oleh Direktorat Jenderal yang melakukan dibantu oleh Tim Teknis dari pusat untuk membuat program ditingkat kabupaten dilakukan oleh LCO bersama dengan Satker, coordinator kabupatemn/kab (dalam hal ini konsultan). Direktorat jenderal cipta karya memiliki 3 pilar yaitu dibidang perumahan di tingkat nasional yang diurus oleh FPMU (PT.PNM) ditingkat regional (Pontianak termasuk region VI yang terdiri dari Yogyakarta, Rembang dan Pontianak) dilakukkan oleh PNM dan kebawah yang dilakukan oleh LKL/LFI yang dialirkan langsungke BKM – BKm tanpa melalui konsultan/koordinatornya. Pilar kedua dibidang teknis pengadaan proyek ditingkat pusat dilakukan oleh Satker Pusat yang berkoordinasi dengan PMU sebagai pengaturan managemen program dan juga FPMU (PT.PNM) yang mengurus masalah dana bergulir. Tugas satker ini dilimpahkan kepada PC (konsultan) yang
172
berkordinasi dengan NMC (konsultan) yang menangani masalah managemen progam. Pada tingkat regional dilakukan oleh RPT yang berkoordinasi dengan OC yang mengurus manajemen program yang dikoordinasikan juga oleh cabang PNM. OC melimpahkan kegiatan management program kepada coordinator Kota POntianak (konsulan) yang bersama-sama dengan LCO. Koordinator yang membentuk BKM dari dana pengembangan kelembagaan. Dana bergulir yang ada di masyarakat dapat dilakukan dari dana saving community. Karena NUSSP tidak memberikan dana bergulir tersebut. Upah yang diberikan oleh masyaakat hanya 70 % saja. Dan biaya operasional untuk pembelian ATK, bensin urus surat-surat 2,5 % dari kegiatan yang dilakukan.
Ibu Tt Ibu tati sedang melakukan audit pembukuan anggatan yang telah dilakukan oleh BKM di Kelurahan Benua Melayu Darat di kantor konsultan karena dia sebagai tenaga pendamping masyarakat Kelurahan Benua Melayu Darat. Pada awal pelaksanaan program NUSSP ini dilakukan pelatihan UPK dan UPL dan coordinator BKM. Pelatiahn ini termasuk dalam penguatan kelembagaan. Untuk pencairan dana yang pernah dilakukan adalah tambelan sampait yang bagaimana prosedur pencairan dana tersebut tidak diketahui yaitu BKM Mulinium. Jika koordinator BKM sedikit kurang leluasa memberikan informasi maka bisa melalui fasilitator kelurahan sebagai tenaga pendamping. Satker yang ada kota pontianak dulunya adalah tata kota pontianak karena menangani masalah perumahan yang kemudian dialihkan kepada PU karena pembagian kerja masalah perumahan juga dilakukan di PU. Sehingga sampai sekaran PU sebagai Satker Kota Pontianak.
Pak Us, Kepala Seksi Pengendalian Lingkungan Adanya rencana pembangunan pengolahan kotoran manusia yang ramah lingkungan yang di bentuk prototype WC Apug untuk masyarakat di tepi sungai. Karena masyarakat yang berada dipinggiran sungai mandi sungai tersebut dan berak sungai tersebut juga. Pembangunan ini perlunya sharing dengan masyarakat masalah pendanaan yaitu 80 % pemda dan 20 % masyarakat, dimana masyarakat yang memberikan tenaganya dan segala sumbangsi yang dapat diberikan dalam bentuk apapun untuk pembangunan WC tersebut agar masyarakat memiliki rasa memiliki atas WC tersebut. Sebenarnya sungai dapat melakuka ferifikasi keadaan sungai seperti semula tetapi masalahnya adalah jika semua rumah membuang
173
kotorannya di sungai maka sungai tersebut tidak mempunyai kemampuan itu karena terlalu banyak pencemaran yang terjadi. Jika proyek ini disetujuan maka pelaksanaannya pada bulan Juli karena pencairan uangnya pada bulan Juli tersebut. Sekarang juga lagi diusahakan dana tersebut karena ada dana DAK yang perlu dirubah nomenklaturnya, dalam proses menghubungi pusat untuk merubah nomenklatur karena dana DAK yang disediakan pusat untuk pembelian alat laboratorium sudah dimiliki oleh Pemda sehingga dialihkan ke WC prototype. Pembuangan sampah yang ada di Pasar Flamboyan tersebut sudah direncanakan akan diganti dengan Pasar yang ramah lingkungan karena ada pengolahan limbah pasar ikan atau ayamnya sebelum di buang ke sungai. Tetapi pedagang setempat tidak mau melakukan merubah pasar tersebut karena menurut pedagang setempat, usaha mereka tidak mengganggu masyarakat setempat. Tapi mengalami permasalahn dalam pengelolaan sampah karena adanya ketentuan pembelian peralatan dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum sedangkan kantor tidak bisa melakukan pembelian peralatan. Anggaran yang diajukan di tolak oleh DPRD. Sedangkan Dinas Pekerjaan Umum melaksanakan pembangunan WC umum tidak melibatkan kami untuk melihat dari pengendalian lingkungannya. Semua berjalan sendiri-sendiri. Pembangunan Pasar Flamboyan yang baru tersebut ada AMDAL nya. Sehingga menurut saya perlunya tanda tangan masyarakat untuk memberikan keluhan kepada pedagang setempat masalah pencemaran yang dilakukan. Solusi yang ditawarkan oleh pemerintah adalah merubah bangunan pasar tersebut dengan pengolahan limbah dimana sudah ada investor yang bersedia menyediakannya. Sekarang pemerintah akan melakukan pilkada sehingga pimpinan tidak mau melawan masyarakat. Dan pemimpin yang ada sudah duduk tidak berani memberi ketegasan karena jabatannya yang takut di demo oleh masyarakat.
Pak As, Kepala Konsultan NUSSP Saya kerumah Pak asari yang sekalian rumahnnya di jalan Putri Candra Midi Gang Nur Cahaya No. 32 POntianak. Bapak menyambut saya dengan gembira karena telah dihubungkan oleh Ibu Ananta dari Dinas PU yang menangani masalah NUSSP. Pak Asari adalah kepala konsultan NUSSP yang baru berdiri tahun 2006. NUSSP adalah program pengentasan kemiskinan perkotaan yang berharap masyarakat dapat mengatasi masalah secara swadaya sendiri yang selama beberapa tahun didampingi oleh NUSSP. Konsultan menfasiliatsi pembentukan BKM yang terdiri dari a. Unit pengelola lingkungasn, untuk mengawasi lingkungan; b. Unit pengelola sosial, untuk mengatasi kesenjangan sosial yang terjadi masyarakat; c. Unit pengelola keuangan, untuk pembukuan pengelolaan dana. Pembangunan harus berguna untuk mengatasi masalah social yang
174
bertujuan jangan menimbulkan masalah yang lain. Ada 7 komponen NUSSP yaitu: a. Persampahan; b. Jalan terdiri dari jalan lingkungan atau jalan raya dan jalan setapak; c. Air bersih; d. Sanitasi; e. Drainase; f. Lampu jalan. Ketujuh komponen tersebut yang menentukan BKM. Untuk unit pengelola sosial tidak berjalan karena selama ini belum ada mengajukan dana untuk pengelolaan sampah. Belum ada yang mampu mengidentifikasi masalah social sehingga unit pengelolaan sosial. Diharapkan UPS dapat meredam permasalahan yang timbul dari BKM dan KSM. Adanya permasalahan antara BKM dan KSM karena tidak adanya koordinasi antara BKM dan KSM dimana BKM dicurigai oleh KSM yang mengambil keuntungan dari dana NUSSP. Diharapkan kedepan pemerintah yang menentukan tempat pemukiman sehingga jika kedepan adanya BKM yang bisa mengidentifikasi masalah social dan jika pemerintah ingin melaksanakan program tinggal mengambilkan BKM untuk melakukan program dari pemerintah. Dikelurahan Benua Melayu Laut mengajukan dana drainase, MCK, jalan. Dana untuk memperkuat kelembagaan dilakukan adalah a. Menyusun anggaran dasar; b. Menetapkan visi; c. Membuat partisipasi masyarakat: melakukan penentuan masalah melalui FGD dan pemetaan sosial. Saya sangat mendorong sanitasi, persampahan dan air bersih. Urutannya pelaksanaan kegiatan yaitu BKM KSM Bina Lingkungan. Urutan permasalahan : Kantong-kantong masalah Merefleksikan masalah lingkungan Menentukan inti permasalahan Usulan-usulan kegiatan kelompok. Pelatihan dilakukan untuk UPK untuk mengelola keuangan agar efektif dan efesiensi yang menggerakkan partisipasi masyarakat. Diharapkan bahwa BKM tetap dapat berkembang setelah NUSSP telah selesai programnya. Kami melakukan refleksi sosialisasi untuk masyarakat bisa melakukan operasional maintenance (OM). Sosialisasi tersebut untuk mengarahkan 7 komponen tersebut salah satunya adanya pertanyaan sebagai berikut: a. Sampah ada dimana?; b. Bagaimana keamanan disini? Hal ini mengarah kepada penerangan yang akan menimbulkan kriminalnya; c. Apakah ada akses kependudukan? Untuk memberdayakan masyarakat membuka jaringan; d. Apakah ada kesulitan air bersih. Urutan untuk mengajukan dana yaitu Ibu-ibu KSM BKM Menentukan masalah dan permasalahan. Ada dana saving dari BKM yang dapat menabung dai hasil efesiensi, efektif dan sumbangan masyarakarat. Efesiensi dan efektif sebagai contoh adanya kenalan masyarakat untuk membeli barang yang lebih murah dari harga yang ditetapkan. Adanya upah masyarakat yang tidak perlu diupah sehingga dana tersebut dapat disaving dan sumbangan dari masyarakat. Urutan memberdayakan masayarakat dalam kemiskinan yaitu NUSSP Membangun memberdayakan masyarakat Melakukan pengorganisasian yaitu BKM Menyatakan tujuan/kepercayaan masyarakat. Dibawah ini diagram permasalahan yang ada antara BKM dan KSM
175
Dana
BKM KSM Pemerintah Adanya kecurigaan KSM terbiasa dengan proyek Dari pemerintah menberikan uang Salah satu kasus tentang upah kerja yang tidak dibayar sedangkan dalam musyawarah bahwa tenaga tersebut tidak dibayar. Diharapkan bahwa UPS dapat menyelesaikan masalah tersebut. Ternyata UPS tidak berjalan sesuai harapan. Jika dana tersedia 250 juta jika ada efesiensi, efektifitas dan sumbangan masyarakat dengan kegiatan 10 dapat berkembang menjadi 12 kegiatan yang dapat berkembangkan karena adanya dana saving. Dan hasil saving dana tersebut dipublikasikan dana tersebut. Anggotaan BKM dibentuk dengan anggota yang terdiri dari 7,9,11 orang agr putusan bisa menggunakan suara voting. Diharapkan BKM dilakukan mingguan, bulanan dan transpaan oleh masyarakat. Setiap BKM diwajibkan membuat ADRT dan Anggaran Dasar.Dalam proses tersebut diadakan pelatihan untuk UPL dan UPK sedangkan koordinator BKM diberi pelatihan tentang tujuan ari konsep NUSSP. Adanya koordinasi antara Dinas PU dan Konsultan dimana dinas PU memriksa tingkat fisik pengadaan jalannya dari kadar pasir, batu dan semen. Konsultan tersebut menentukan masalah fisik, indikator fisik dari aspek pemberdayaan menyangkut adanya partisipasi dari masyarakat dalam proses musyawarah mencapai pembangunan jalan. Ada unit pengaduan yang tidak berjalan karena kemungkinan karena masyarakat tidak mengadu dan kemungkinan juga aduan tersebut tidak teraspirasi. Permasalahan yang diadukan oleh BKM karena a. Pengaduan karena upah kerja yang tidak ada, sedangkan dalam program NUSSP bertujuan untuk membangunan kesadaran untuk mengelola lingkungan secara swadaya agar adanya rasa memiliki ternyata masih mengangap proyek yang harus di bayar gaji; b. BKM dituduh mengambil untung atas partisipasi atau sumbangan tenaga yang dilakukan sebenarnya dana tersebut masuk saving community. Pembukaan BKM didampingi oleh tenaga pemdamping masyarakat untuk memnbuka akses dan melakukan pengawasan. Tetapi ada juga TPM yang merongrong kegiatan BKM. Masyarakat menanggap bahwa BKM mengambil untung sehingga jika ada kerusakan lingkungan tidak diperbaiki oleh masyarakat. Seharusnya dengan adanya program NUSSP ini masyarakat sadar bahwa permasalahan ini diselsaikan oleh masyarakat. Adanya audit dari konsultan untuk melihat kegiatan UPK masalah pembukuan rincian kegiatan proyek untuk pertanggungjawabannya. Karena UPK adalah masyarakat biasa yang tidak berpendidikan dalam keuangan sehingga adanya kesalahan penulisan pembukuan. Diharapkan dana NUSSP ini dapat membuat usaha untuk menggaji BKM nya sehingga berkelanjutan seterusnya. Karena adanya peluang untuk membubar BKM setelah NUSSP. UPK tidak bertanggung jawab kepada BKM hanya BKM mengawasi jalannya keuangan yang ada yang harus dipertanggungjawabkan kepada UPK. NUUSP tidak bergerak dalam dana bergulir tetapi dapat digunakan
176
menggunakan dana saving tersebut. Dana saving tersebut dapat digunakan untuk penyediaan prasarana lainnya sesuai hasil rembuk masyarakat. Untuk memperjuangkan KSM ibu-ibu yang mengelola sampah, ibu-ibu harus mendesak BKM untuk mengajukan kepada NUSSP atas bantuan dana tersebut. Di lihat dari pembukuan maka yang baik adalah Kelurahan Benua Melayu Laut. Analisis biaya bangunan fisik meenggunakan standar dinas PU yang menyakut stnadar bahan-bahan bangunan yang sesuai dengan pasaran.
Pak SF Sebelum daerah Kompolek Dwi Ratna 3 Kelurahan Hulu Kecamatan Pontianak Utara merupakan daerah yang asri dan enak dipandang mata. Komplek ini merupakan pemenang I kontes Green and Clean yang diadakan antara kerja sama AP Post dan Pemerintah Kota Pontianak.Dulu komplek ini termasuk kumuh dan temasuk daerah tertinggal. Untuk merubah lingkungan yang merupakan modal utama adalah kebersamaan dan gotong royong. Komplek disini terdiri dari berbagai suku dan agama. Suku yang terdiri dari Dayak, Jawa, Sunda, Madura, Cina dan Bugis yang bersatu dalam lingkungan rumah yang tergolong rumah sangat sederhana tipe 21. KK tersebut terdiri dari 70 KK. RT merupakan ujung tombak pembangunan yang menangani semua permasalahan di lingkungan RT tersebut dari masalah pertengkaran, kerusupan, oaring mabuk dan pendataan pilkada. Ketua RT merupakan alat yang bisa untuk memberdayakan masyarakat. Resiko yang dihadapi ketua RT adalah kita benar bisa menjadi salah yang mendapatkan penfitnahan dari masyarakat. Jabatan Ketua RT ini dilakukan sebagai ibadah. Jabatan ketua RT perlu di perdakan dan di undang-undangkan agar mendapatkan pengakuan dari pemerintah karena merupakan ujung tombak pembangunan sehingga Pak RT perlu mendapatkan intensif dari Pemda dengan besar Rp. 10.000,- sampai Rp. 15.000,- per bulan. Honor tersebut temasuk dalam penghargaan atas jasa mengurus masyarakat. Walaupun sebenarnya jabatan Ketua RT adalah jabatan sosial. Banyak yang tidak mau menjadi Ketua RT karena malas mengurus masyarakat yang setiap masalah melalui Ketua RT. Ketua RT merangkul semua masyarakat.Dengan tugas sebagai ketua RT yang berat perlunya DPRD dan Pemda menganggarkan tiap bulan insentif brupa penghargaan atas tugas Ketua RT tersebut. Di RT ini adanya pengolahan sampah yang tidak di buang keluar tetapi di olah oleh masyarakat sendiri. Setiap rumah telah melakukan pemilahan sampah. Setiap sampah tersebut akan dikumpulkan oleh petugas pemulung untuk memilah sampah dan sampah tersebut akan dijual kepada pemulung untuk jenis sampah yang tidak dapat di buat kerajinan. Sampah yang dapat dibuat kerajinan akan dibersihkan oleh ibu
177
PKK atau istri saya yang akan diberikan kepada tukang jahit yang mengolah sampah tersebut. Petugas yang mengolah sampah tersebut adalah adalah Ibu RT dan tukang jahit tersebut. Tukang jahit tersebut mendapatkan inivasi untuk memperindah pembuatan kerajinan sampah tersebut. Ibu tukang jahit termasuk orang yang tidak mampu dengan suaminya yang kerjanya tidak teratur sedangkan dia memiliki keterampilan menjahit. Dengan alat jahit yang sederhana yang menghasilkan kerajinan yang kurang rapi karena kurangnya keterampilan.Dengan modal kegotongroyongan dan kebersamaan yang dipupuk dari adanya kerja bakti setiap minggu merupakan sarana untuk saling memberikan pengarahan kepada masyarakat agar cinta lingkungan. Pada mulanya inisiatif untuk menggerakkan masyarakat karena banyak sampah yang berserakan disekitar rumah. Tiap pagi menyapu rumah setelah solat subuh dan memunguti sampah. Memungut sampah tersebut bukan hanya di rumah sendiri tapi dilingkungan RT setempat. Dengan mengajak anak-anak mengajari mereka budaya buang sampah pada tempatnya. Ada suatu saat anak saya memakan perman di motor, dia menepuk saya dan memberi tahukan kepada saya kelo ada lewat ditempat sampah singgah sebentar karena mau buang sampah. Saya sangat terenyah ternyata anak saya sudah memiliki budaya buang sampah. Anak saya masih kecil. Didikan sejak dini kepada anak-anak akan terbawa sampai dewasa karena anak-anak memiliki daya ingat yang tinggi. Karena saya sering memunguti sampah dirumah tetangga. Tetangga menjadi tidak enak dan berpikir kalo Ketua RT memunguti sampah mereka yang berserakan sehingga mereka meniru kerja saya. Sehingga dengan memberikan contoh akan lebih mudah menggerakkan masyarakat. Karena banyak sampah bungkus indomi salah satu contoh yang dapat dijadikan kerajinan yang dihasilkan dari warung sehingga setiap warung diberi karung untuk membuang sampah tersebut.Karena adanya dana swadaya masyarakat untuk membuat tempat pengkomposan yang dibuat dari tong tapi setiap tong tersebut tidak untuk setiap rumah. Ada 2/3 rumah yang disediakan 1 tong untuk sampah-sampah organik buat pupuk organik. Pupuk organik tersebut akan menghasilkan pupuk cair yang bisa digunakan untuk menyemprot tanaman hias.Adanya pembangunan papan pengumuman didepan rumah agar masyarakat gemar membaca. Pembangunan papan pengumuman untuk pertama-tama orang yang membaca saling mengolok tetapi lama kelamaan mereka terbiasa membaca dipapan pengumuman tersebut. Setiap ada kegiatan yang akan diadakan di RT setempat mengumumkan di papan pengumuman tersebut. Dan masyarakat akan membaca papan pengumuman tersebut.Mata pencaharian penduduk disini ada yang tukang becak, buruh. Kesadaran membuang sampah pada tempatnya harus sudah diterapkan sejak dini dan dimasukkan dalam muatan lokal di sekolah. Ada anak SD 36 yang mengikuti lomba Adiwiata yang membeli kerajinan tersebut untuk ikut dalam perlombaan. Dengan bumi semakin panas kita dapat melakukan sekecil apapun agar bumi ini nampak asri dengan menanam pohon.Barang kerajinan ini biasa di pesan oleh Kapeldalda Kota Pontianak, Dinas Kebersihan Kota Pontianak, dan Bapeldalda
178
Provinsi Kalimantan Barat. Sekarang ada dinas kebersihan yang memesan 300 buah untuk digunakan seminar guru TK. Sejak dini sudah dipromosikan kerajinan sampah tersebut. Hasil penjualan tersebut hanya untuk pekerjaan sosial hasilnya yaitu untuk menyantunin orang yang keluarganya sedang sakit karena sampahnya dari mereka yang memilah dan juga pennghasilan tersebut diberikan kepada tukang jahit karena dia yang menjahit perajinan tersebut. Pengangkatan RT saya sudah 2 tahun yang lalu saya mau dipilih menjadi RT karena kegiatan amal saja. Selama ini banyak yang tidak mau menjadi RT. Cara pendekatan yang dilakukan untuk membangun budaya bersih adalah sebagai berikut: a. Dibiasakan dari keluarga dulu, mengajarkan kepada anak-anak; b. Dekati tokoh agama atau tokoh adatnya untuk diajak dialog dengan keiklasan dan memberikan wawasan tentang kebersihan dan pemilahan sampah agar timbul kesadaran; c. Ada PKK yang mengadakan arisan yang membicarakan masalah lingkungan tentang kebersihan dan pemilahan sampah tersebut; d. Sehingga terbinanya kerajinan dari sampah yang merupakan dari kebersamaan masyarakat; e. Memberikan slogan-slogan tullisan bersih itu indah, rapi itu indah. f. Membuat perkumpulan pengelolaan sampah.Sebelum perlombaan kontes Green and Clean dilaksanakan 2 tahun yang lalu telah dilakukan pemilahan sampah tersebut. Adanya kepemimpinan yang menentukan kebersihan pemberdayaan dari masyarakat. Cara pendekatan harus membicarakan psikologi sosiologi bagaimana menghadapi bapak-bapak, ibu-ibu dan anak-anak untuk mengkomunikasikan tentang kebersihan tersebut. Yang sangat memepengaruhi tingkah lakunya untuk beribah adalah latar belakang pendidikan, lingkungan, budayanya. Jika orang tersebut sulit untuk didekati maka saya mendekati orang yang dekat dengan dia agar dia dapat menularkan pengetahuan dan memberikan dia wawasan. Jika dia masa bodo juga kita ajak dialog pada saat kerja bakti yang saling mendiskusikan tentang tentang kebersihan sampah. Karena disana banyak orang yang akan memberikan masukan kepada orang tersebut. Lamakelamaan orang tersebut akan terpengaruh dan merubah ingkah lakunya membuang sampah, walaupun sampai saat ini ada beberapa orang yang belum disiplin melakukan pengelolaan sampah tersebut. Perlunya kesabaran untuk menyadarkannnya, jika kiri kanannya bersih maka secara otomatis dia akan malu melihat lingkungan ditetangganya bersih, dia juga akan terbawa bersih. Jangan sampai karena kesalahan beberapa orang sehingga semua orang akan terkena dampak atas tingkah laku orang yang menyimpang. Permasalahan persampahan adalah yang bermula dari ibu-ibu yang bisa mengajak keluarganya untuk mengelola sampah dirumahnya. Waktu arisan anak-anak dibukakan film atau foto tentang sampah. Berikut ini adalah certa Pak SF kepada warga komunitas pinggir sungai pada saat diskusi bersama Saya beserta istri saya yang mengajak ibu-ibu dan bapak-bapak untuk mengolah sampah. Sampah tersebut dibuat pupuk kompos. Tempat komposter tersebut diletakkan didepan rumah masing-masing. Setiap ibu rumah tangga membawa bungkusan sampah dari rumah masing-masing yang diberikan
179
kepada istri saya. Kemudian istri saya membersihkan hasil sampah tersebut dan diantarkan kepada tukang jahit yang berada di komplek rumah. Setiap ibu-ibu menggunting sampah plastik dengan rapi sehingga bungkusan tersebut dapat dibuat kerajinan sampah. Berikut ini adalah contoh yang saya bawa dari rumah hasil kerajinan berupa topi, jas, dan map. Ini dilakukan secara gotong royong sesama ibu PKK. Pengolahan sampah dari plastic dilakukan di rumah saya. Ibu yang mencuci plastic dari ibu-ibu lainnya. Yang nantinya udah bersih diberikan kepada tukang jahit.
Pak Ab
Penulis melakukan survey lapangan dan disamping rumah ibu tersebut adanya tong sampah yang menampung sampah organic atau sampah sayuran yang dibuang karena diteras rumah ibu tersebut membuka warung makanan. Kebiasaan saya membuang sampah di tempat sampah yang bungkus dengan kantong plastik. Sampah tersebut akan dibakar dibelakang rumah. Disetiap rumah disediakan tempat sampah. Kalo kardus dan ember pecah dikasih pemulung. Permasalahan yang dihadapi oleh KSM adalah a. Hanya beberapa orang yang mau kerja. b. Kerjaan udah selesai, upah kerja belum diberikan; c. Proses pencairan dana yang melalui proses panjang dari PU, Konsultan. Karena adanya kerja rangkap KSM yang membuat pencairan dana tertunda jika anggota KSM keluar kota maka harus menunggu pencairan dana tersebut. Pembentukan KSM bukan atas rembuk masyarakat tetapi atas penunjukkan RT/RW yang merupakan keluarga sendiri. Seharusnya masyarakat diajak musyawarah. Saya dan suami kerja di Rumah Sakit Sudarso sebagai perawat dan bapak sebagai mantri. Jika masyarakat diberi tong sampah pasti masyarakat akan membuang sampah tersebut dan pemulung yang akan mengangkut sampah tersebut. Sampah yang ada menyangkut semua jenis sampah seperti tikus dan lain-lain. Sampah tersebut dari pasar flamboyant Selain itu adanya budaya masyarakat yang mencari praktis membuang sampah langsung ke sungai. Dulu pada zaman belanda setiap rumah dicat putih jika diganti dengan cat merah akan dikenakan denda. Hal ini menunjukkan bahwa adanya keindahan yang ditanamkan kepada masyarakat. Ini adalah nilai positif didikan Belanda yang peduli terhadap keindahan. Saya terdiri dari 7 anak yang semua sudah menikah yaitu 1. Eko yang tinggal disini dan kerja swasta; 2. Dwi Pengestuti yang kerja di Dinas Kesehatan; 3. Tri Nugrahaini kerja di diklat provinsi; 4. Catur Rahman yang kerja di pajak; 5. Dr. Zulkarnaen yang kerja dosen untan; 6. guru SMA/SMP yang kerja di Sekadau; 7. Wakil kepala pajak yang kerja di Sekadau. Pekerjaan tersebut dari hasil usaha sendiri mencari pekerjaan.Saya setiap pagi setelah solat subuh menyapu/memungut
180
sampah disekitar rumah yang menepi karena menepi dari tepi sungai. Jika sampah kering maka langsung dibakar. Jika sampah tersebut basah maka akan dikeringkan ditepi rumah yang ada dipinggiran kayu yang kemudian sorenya dibakar. Saya sudah tua umur 70an tahun yang sudah tidak mampu duduk lama sehingga untuk ikut acara kegiatan pengajian tidak mampu lagi. Untuk olah raga kerjaan sehari-hari memungut sampah yang berserakan disekitar rumah. Posyandu diadakan oleh Ibu RT sebulan sekali. Masyarakat biasa membuang sampah lewat jendela sehingga kalo berjalan hati-hati dilempari sampah dari jendela orang. Biasa juga sampah dibuang di samping rumah. Saya sudah hidup 40 tahun disini dan pembangunan jalan gang Kamboja adalah atas perjuangan bapak agar adanya pembebasan tanah dan pengaspalan dari dana pemerintah. Ada 2 yang diperlukan oleh masyarakat yaitu wawasan dan emosional untuk mengelola sampah. Sehingga masyarakat mau turun tangan dan menjadi pekerja. Adanya kran air bersih dari PDAM yang disediakan terjadinya konflik antar masyarakat atas pemilikan tanah untuk pembangunan air bersih tersebut dari PDAM. Pembayaran bulanan atas air tersebut dilakukan oleh bapak pada bulan desember sebsar 14.800,- Cara untuk mendidik anak-anak dalam keluarga membuang sampah dirumah dengan menegur langsung agar membuang sampah pada tempatnya. Saya tidak pernah mendengar kalo NUSSP ini menyediakan tujuh komponen persampahan, jalan, drainase, air bersih. Pemerintah tidak memberikan informasi itu. Ibu RT yang suka mengumpulkan orang sebelum pengajian seperti orang lagi demo panci. Pembangunan jalan ini tidak ada rembuk tiba-tiba ada proyek yang keluar langsung.
Pak Sup NUSSP dibiayai oleh APBD dan Bank Development Asia yang menyangkut sampah, jalan dan gorong-gorong. Dibentuk berdasarkan perwakilan setiap RW. Setiap RW diutus 3 orang untuk membentuk BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat). Keanggotaan BKM terdiri dari 9, 11, 13 orang yang keanggotaan terdiri dari: a. Unit Pengelolaan Lingkungan; b. Unit Pengelola Keuangan; c. Unit Pengelola Sosial. Pembentukan ini dilakukan di notaris. Syarat yang harus dilakukan untuk membentuk BKM adalah jujur, iklas, peduli. Adanya pelatihan yang dilakkukan di PU selama 2 minggu mengenai perhitungan pengadaan bangunan jalan. Sebelumnya ada fasilitator kelurahan melakukan survey kelurahan/lingkungan untuk daerah kumuh dan miskin. Adanya UPL yang melakukan survey untuk melakukan perbaikan jalan. Jika ada perbaikan jalan yang harus dilakukan masyarakat di RT tersebut harus melakukan pemborongan sendiri. Tidak boleh BKM melakukan pemborongan kepada pihak ke tiga. Kecuali masyarakat setempat tidak mampu untuk mengadakan pembangunan tersebut. Masyarakat yang akan melakukan perbaikan jalam harus membentuk KSM (Kelompok Swadaya
181
Masyarakat). KSM tersebut yang melakukan pengerjaan program. Ada peringkat untuk mendapatkan dana. Perangkingan dana tersebut dilihat dari kesediaan keswadayaan masyarakat untuk melengkapi dana pembangunan. Upah untuk pengadaan jalan tersebut tersebut 70%, salah satu keswadayaannya adalah siap tidak menerima upah. KSM yang menentukan bisa cair atau gak. Jangka waktu pengadaan NUSSP jangka waktu 3 tahun. Unit Pengelola Sosial yaitu dana untuk membuka usaha, kendala yang dihadapi banyak orang yang mendapatkan dana tersebut akan digunakan untuk menutupi utang, gali lubang tutup lubang. Penyebab keadaan sampah yang mendorong orang membuang sampah adalah Pemkot tidak menyediakan TPS dan tidak ada pengangkutan sampah. Penutupan TPS banyak ditup-tutup karena ada warga masyarakat yang di TPS membuat bau tidak sedap sehingga masyarakat komplain. Sebagai contoh TPS jalan Barito dari fasum. Tapi ditutup karena Bank Republik Indonesia dan PKL yang menutupi jalan fasum. Bau sedap tersebut karena keterlambatan pengangkutan. Penutupan ini dilakukan sejak 3 tahun terakhir. Kelemahan dari kebijakan Pemerintahan Kota untuk menegakkan hukum. Tradisi masyarakat yang gak mau kerja gotong royong (masyarakat melayu yang tidak peduli dengan kebersihan). Adanya semboyan walikota yang mengatakan “Biarlah kumuh daripada rusuh”. Perlunya penegakkan hukum, karena lemahnya penegakkan hukum sehingga masyarakat tidak jera. Pemungutan sampah dianggap hina oleh masyarakat. Penanganan sampah harus dilakukan oleh Pemkot karena telah membayar retribusi sampah sebesar 2500 setiap pembayaran PDAM. Keinginan saya adanya pembangunan jalan di tepi sungai untuk mengurangi kemacetan dijalan raya. Selain itu mengurangi abrasi bisa menjadi tempat wisata. Adanya kebijakan dari pemerintah untuk memberi izin kepada pengusaha yang membuka hotel menghadap sungai. Masyarakat yang berada di sungai adalah masyarakat yang terlupakan oleh masyarakat. Perbedaan masyarakat Jawa dan Melayu adalah orang jawa mau makan cukup dengan tempe. Jika orang melayu kalo makan harus dengan ikan dan lain-lain. Ada yang sistem pemilu yang menggunakan uang sehingga masyarakat terbiasa untuk bertanya adakah uang untuk pelaksanaan tersebut. Unit Pengelola Lingkungan (UPL) adalah unit yang bertugas untuk mengawasi kerjaan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dana PPK (Program Pengembangan Kecamatan). Selama ini saya sebagai pemegang bendahara tidak ada kegiatan LPM. Perlunya kebijakan pemerintah, sirkulasi tiap bangunan yang sudah kusam harus di cat. Dengan adanya pengecatan maka penyerapan tenaga kerja sebagai tukang cat. Adanya pemasaran cat dan pabrik tidak tutup. Pada saat pengiriman cat menggunakan kapal sehingga akan ada tukang pikul. Sehingga adanya sirkulasi ekonomi. Adanya prinsip negara harus rugi untuk membiayai negara. Program pembangunan sudah selesai maka KSM dapat dibubarkan. Pembentukan KSM sesuai dengan kebutuhan. Pengawasan dilakukan oleh masyarakat. Jika ada masalah perlunya
182
mengadu oleh BKM. BOP biayanya 2,5 % saja. Bisa juga keramba penahan sampah.
Ketua RT Adanya GMK generasi Muda Kamboja dengan ketua Pak Yunus. Yang aktif pada saat lebaran. Menurut saya untuk penanganan sampah ini adalah dengan adanya penampungan, pengangkutan, warga yang menampung. Setiap orang yang membuang sampah disungai di kenakan sangsi, pengawasan ini dilakukan oleh pemda. Adanya kebiasaan ingin capat untuk membuang sampah. Perda tidak ada tindak lanjut jika ada yang ketahuan adanya denda atas pembuangan samoah tersebut dan adanya sampah yang silih berganti sampah tersebut keluar. Kami tidak mengetahui adanya perlombaan green and clean. Saya harap jika ada perlombaan tersebut diberitahukan kepada kami persyaratan untuk memenangkan perlombaan tersebut mungkin masyarakat disini akan termotivasi untuk melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Jika jalan rusak maka yang perbaiki adalah penduduk yang berada di dekat rumah tersebut. Adanya proyek jalan digang-gang dari NUUSP yang dikelola oleh PU yang berbasis swakelola dari masyarakat dan bantuan dari pemda. Adanya yang memegang proyek dari Pak Apandi atau abah. Tidak pernah terjadinya banjir paling lama dalam 2 jam air akan keruh lagi. Karena air akan mengalir ke laut. Adanya keran umum yang digunakan masyarakat untuk mencuci dan masak dari PDAM. Kalo untuk minum menggunakan air hujan yang ditampung. Kalo air hujan gak ada minum menggunakan air PDAM. Sejarah berdirinya Kampung Kamboja adalah sebagai berikut: 200 tahun yang lalu kapal layer dari kamboja ingin mencari kehidupan berlayar dan singgah ke kampong Kamboja pada kedatangannya yang kedua membawa perlatan pertanian dan mendirikan rumah di tepi sungai sehingga terbentuknya lah kampong kamboja ini. Masalah yang sering terejadi hanya perkelahian atara tetangga yang diselesaikan secara kekelluargaan dan jika terjadi perkelahian akan dipanggil polisi. Listrik yang ada dipinggiran sungai rata-rata adalah dari rumah tangga. Ketentuan di umah ini adalah jangan mengendarai motor di gertak. Sampah dulu dibuang tidak menjadi masalah karena sampah dulu terbuatdari daun yang mudah terurai. Tetapi sekarang menjadi masalah karena sampah banyak dari plastik. Pemerintah menegakkan perda tentag larangan buang sampah yang di sungai secara konsekuensi. Yang diawasi terus menerus. Sampah dating dan pergi sesuai dengan waktu pasang surut. Masyarakat akan kerja hanya untuk keperluannya diri sendiri. Kegiatan gotong royong yang biasa dilakukan disini adalah sumbangan bersama untuk merayakan hari besar. Masyarakat sudah terbiasa memberikan sumbangan untuk kegiatan Kampung Kamboja seperti pesta meriam pada saat Idul Fitri,
183
penarikkan uang keikursertaan masyarakat untuk memeriahkan acara tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pemungutan sumbangan dari warga sebesar Rp.10.000,-. Adanya partisipasi masyarakat untuk mengumpulkan uang tersebut dapat dilakukan untuk kegiatan pengadaan kelompok penanganan sampah berbasis masyarakat untuk membeli alat pencacah yang sederhana.
Pak Bm Olah raga yang diadakan oleh GMKK adalah sepak bola futsal dan sepakbola lapangan besar. Selain itu ikut panjat tebing yang mengikuti perlombaan-perlombaan. Setiap mengikuti pertandingan di bentuk kelompok-kelompok yang sesuai dengan keahlian pemuda. Kegiatan GMKK ini adalah hasil swadaya masyarakat untuk melakukan kegiatan Maulid untuk mendengarkan ceramah dan memberikan nasi kotak, pada saat Idul Fitri diadakan meriam karbit di tepi sungai, pada saat 17 Agustus mengadakan panjat tebing dan permainan. Diadakan juga kerja bakti membersihkan kuburan dan memberihkan selokan karena sampah. Kegiatan swadaya masyarakat yang dilakukan dengan mendatangi dari rumah ke rumah baik yang di darat maupun yang berada di sungai. Saya juga adalah anggota BKM yang hanya sekali menghadiri rapat 1 kali untuk kegiatan selanjutnya saya tidak tau bagaimana kegiatan itu berlangsung. Pada saat rapat membicarakan tentang penerangan jalan yang tidak ada di kampong ini. Ada anggota BKM yang menyarankan meminjam tiang dari sekolah dasar yang dipanjangkan talinya di dari sana kejalan-jalan. Lebih baik menggunakan tiang sendiri yang disambungkan dari depan jalan raya. Sehingga lebih tahan. Banyak sesama anggota BKM yang buaya padahal uang tersebut adalah proyek. Susah dibicarakan sama anggota BKM tersebut.
Ibu Fa, Warga Kampung Kamboja Saya biasa memunguti sampah yang berada dibawah rumah pada saat air surut dan menjemurnya lebih dahulu dan pada saat sore di bakar dibelakang rumah. Pada saat membakar sampah saya menaburkan belerang agar sampah tersebut tidak menimbulkan penyakit. Sampah yang dibawah kolong menyebabkan banyak nyamuk. Saya juga menimbun sampah sayur-sayuran di sekitar tanaman dan hasilnya tanaman menjadi subur. Hal ini telah saya lakukan sejak dulu. Banyak artikel yang saya baca dari Kompas yang saya simpan dan radio Belanda yang memberikan informasi banjir yang terjadi karena
184
masalah sampah. Saya bersedia melakukan melakukan pengelolaan sampah di belakang rumah yang saya gunakan untuk tanaman saya. Ada rumah gubuk yang dapat digunakan. Hal ini dapat saya lakukan tapi harus dibantu oleh ibu yang lain karena saya kurang banyak memiliki waktu karena mengurus suami yang sedang sakit. Dibelakang rumah saya dapat digunakan untuk pengkomposan.
Ibu As Saya pensiunan kesehatan dari rumah sakit sudarso. Saya mengetahui sampah dapat menjadi pupuk sehingga saya setiap hari pagi-pagi memunguti sampah yang ada disekitar rumah, menjemur sampah tersebut dan membakarnya pada saat siang hari. Karena anak saya berjualan didepan rumah, sampah sayur-sayuran dibuang ke pot bunga dan dibiarkan. Nantinya sampah tersebut akan menjadi pupuk.Saya dengan ibu Fa yang mengubah sampah organik menjadi pupuk kompos.
Ibu RT Ibu-ibu disini banyak yang tidak bekerja dan dapat melakukan pekerjaan pengolahan smapah tersebut. Tetapi jika tidak ada yang mau beli barang tersebut karena kita berada di tengah kota yang mempunyai barang lebih bagus dari barang buatan sampah. Hal ini sulit dilakukan. Kami melakukan pengolahan sampah dengan harapan akan menambah penghasilan dari para ibu yang tidak bekerja. Pembentukan kelompok sampah ada ibu-ibu yang bersedia melakukan hal tersebut. Tetapi denngan harapan pupuk tersebut dapat dijual.