PENGELENGARAAN BADAN PENYELENGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA (STUDI UU NO 5 TAHUN 1999) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh : ADE PUTRA INDRAWAN 1111048000051
KONSENTRASI PROGRAM
HUKUM
STUDI
ILMU
BISNIS HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436H/2015M
i
PENGELOLAAN BADAN PENYELENGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA (STUDI UU NO 5 TAHUN 1999) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh : ADE PUTRA INDRAWAN 1111048000051 Pembimbing
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H, MA NIP. 19500306 197603 1 001
KONSENTRASI PROGRAM
HUKUM
STUDI
ILMU
BISNIS HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436H/2015M
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul PENGELOLAAN BADAN PENGELOLAAN JAMINAN SOSIAL (BPJS) DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA (STUDI UU NO. 5 TAHUN 1999) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 02 April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu Hukum dengan Konsentrasi Hukum Bisnis. Jakarta, 02 April 2015 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. NIP. 19691216 199603 1 001 PANITIA UJIAN MUNAQASYAH: 1. Ketua : Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH. NIP. 19551015 197903 1 002
(…………......…..….….)
2. Sekertaris : Arip Purkon, MA. NIP. 19790427 200312 1 002
(……....…..........….…..)
3. Pembimbing 1 : Drs.H.A. Basiq Djalil, S.H, M,Ag (…………….......…….) NIP. 19500306 197603 1 001 (……………..….……...)
4. Penguji 1 : Dr. Mesraini, M.Ag NIP. 19760213 2003122 2 001
5. Penguji 2 : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H, MH (……………..…….…...) NIP. 19591231 198609 1 003
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan dengan ini menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Unversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hadayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan saya dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Unversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Unversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hadayatullah Jakarta Jakarta, 02 April 2014
Ade Putra Indrawan
iv
ABSTRAK Ade Putra Indrawan, NIM 1111048000051, “PENGELOLAAN BADAN PENYELENGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA (STUDI UU NO 5 TAHUN 1999”, Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436H/2015M. xi + 63 halaman + Halaman Lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui penyelengaraan Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) berdasarkan prinsip-prinsip persaingan sehat. Latar belakang penelitian ini adalah bagaimana penyelengaraan BPJS yang mendapat hak monopoli dari pemerintah sesuai dengan prinsip-prinsip persaingan usaha sehat sebagaimana diatur dalam UU No. 5 tahun 1999, dan sebagai landasan hukum bagi para pelaku usaha untuk mendapat kesempatan yang sama bersaing secara sehat. Penelitian ini mengunakan tipe penelitian library research, yang menkaji berbagai dokumen yang terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan adalah metode penulisan yuridis normative dengan mengunakan pendekatan undang-undang (statue approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum dalam penelitian ini yakni baham hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum. Hasil dari penelitian menujukan bahwa meskipun BPJS mendapat pengecualian dari UU No.5 Tahun 1999 sebagaimana diatur didalam pasal 50 huruf a dan pasal 51, apabila BPJS melakukan kegiatan usaha yang mengarah kepada praktek monopoli maka kegiatan usaha yag dijalankan BPJS tidak lepas dari hukum persaingan usaha dalam hal ini UU No. 5 tahun 1999. Karena yang di kecualikan adalah monopoli bukan praktek monopoli, sebagaimana di jelaskan dalam peraturan komisi (perkom) pasal 51 dikatakan monopoli terkait “stuktur” sedangkan praktek monopoli lebik kepada “prilaku”.
Kata Kunci
:Monopoli, Praktek Monopoli, Persaingan Usaha Sehat, Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pembimbing : Drs. H. Basiq Djalil, S.H, MA Dartar pustaka : Tahun 1984 s.d. Tahun 2013
v
KATA PENGANTAR
ِن ٱلّرَحِيم ِ َِٰبسۡ ِم ٱلّلَ ِه ٱل َّرحۡم Syukur Alhamdulillah Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga, yang telah memberikan Penulis kesehatan dan kekuatan sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S1) di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Shalawat dan salam tidak lupa Penulis ucapkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, Nabi termulia yang telah menunjukkan jalan keselamatan dan rahmat bagi seluruh umat manusia. Semoga Allah SWT menjadikan keluarga dan para sahabat beliau yang senantiasa menjaga amanah sebagai umat pilihan dan ahli surga. Terselesaikannya penelitian dan penyusunan skripsi tidak terlepas dari jasajasa orang tercinta yaitu kedua orang tua Penulis yakni, Ayahanda Indra Wijaya Kusuma dan Ibunda tercinta Innayah yang senantiasa selalu memberikan penulis kasih sayang, nasehat, perhatian, bimbingan, dan selalu setia mendengarkan segala keluhan Penulis serta doanya demi keberhasilan Penulis. Atas jasa-jasa yang tak ternilai dari Ayahanda dan Ibunda tercinta, Penulis hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih dengan segala ketulusan hati. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada adik-adik tersayang yakni Aditya Indrawan, Ahmad Fachri Indrawan, dan
vi
Alya Putri Indrawan, dan keluarga besar lainnya terima kasih atas segala doa, perhatian, dan kasih sayang yang diberikan kepada Penulis selama ini. Melalui kesempatan ini, Penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang berjasa selama proses penulisan penyempurnaan skripsi Penulis. Kepada bapak: 1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Prof.Dr Dede Rosyada. MA. 2. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. 3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Bapak Dr. H. Djawahier Hejazziey, SH,MH,MA. 4. Bapak Drs. H. Basiq Djalil, SH, MA selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran
telah
meluangkan
waktunya
membantu
penulis
untuk
menyelesaikan penelitian ini. 5. Prof.Dr. Atho Mudzar, MSPD dan Bapak Indra Rahmatullah SHI, MH yang telah banyak memberikan masukannya kepada penulis 6. Ahmad bactiarm M.Hum sekalu pembimbing akademin penulis 7. Terima kasih penulis ucapkan kepada keluarga besar Bpk. Muhammad Ahmad Syaefudin. S.Sos, MM yang telah membawa penulis kedalam tata kehidupan intelektual. Khususnya kepada Saudari Fadiah Adlina Ulfah. S,Si yang menjadi alasan kenapa penulis harus lulus dengan segera. Menukil sebuah sajak dari Goenawan Muhammad “ barang kali cinta kita adalah akar
vii
candangan pohon hitam yang menembus ke gua bawah, mencapai langitlangit stalagtit, dimana waktu dan makna tak melapuk, tapi juga tak mengalir, namun menumpuk dan mengeras layaknya batu permata yang indah” 8. Kepada rekan-rekan seperjuangan tim SKRIPsweet. Rekan-rekan Angkatan Muda Peduli Hukum (AMPUH). Rekan-rekan Bisnis Law Community (BLC UIN) yang banyak memperkenalkan penulis tetang HUKUM PERSAINGAN USAHA dan team tiga iket yang berkat perjuangan bersama memberikan sutikan meterill untuk penelitian ini.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................................ii LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................iii LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................iv ABSTRAK .................................................................................................................v KATA PENGANTAR ..............................................................................................vi DAFTAR ISI ..............................................................................................................ix BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................................1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................................6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................7 D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ..........................................................9 E. Kerangka Konseptual ..................................................................................10 F. Metode Penelitian .......................................................................................11 G. Sistematika Penulisan .................................................................................14 BAB II. KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN HUKUM PERSAINGAN USAHA A. Kebijakan persaingan dan Intervensi Pemerintah .......................................16 B. Persaingan Usaha, Monopoli, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat .................................................................................................18 C. Pendekatan dalam Menentukan Pelanggaran Hukum Persaingan Usaha ...23 D. Pengecualian dalam UU No. 5 Tahun 1999 ................................................27 BAB III. PROFIL ASURANSI SOSIAL DI INDONESIA ix
A. Sejarah Singkat Asuransi Sosial di Indonesia .............................................31 B. Pengertian Asuransi Sosial .........................................................................32 C. Pelaksanaan Asuransi Sosial di Indonesia ..................................................34 BAB IV. PENYELENGGARAAN BPJS A. Kebijakan Persaingan Usaha Terhadap Penyelengaraan BPJS ..................48 B. Tugas dan Kewenagan KPPU dalam Mengaja Iklim Persaingan Perusahaan Asuransi di Indonesia .............................................................52 C. Harmonisasi Penyelengaraan BPJS dengan Prinsip-Prinsip Persingan Usaha Sehat ............................................................................................................62 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................................69 B. Saran ...........................................................................................................71 DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................72 LAMPIRAN 1. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf a UndangUndang No.5 Tahun 1999 tentang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat ........................................................................75 2. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 3 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 51 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat ...............................................................................96 x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan salah satu perangkat hukum untuk menunjang kegiatan bisnis dalam upaya menghadapi sistem ekonomi pasar bebas. Hukum persaingan usaha merupakan suatu prasyarat bagi negara industri. Indonesia, sebagai sebuah negara sedang menjalani proses sebagai negara industri memang sudah saatnya untuk memiliki peraturan Perundang-undangan yang mengatur menggenai persaingan usaha. Hukum ini pada dasarnya mempunyai tujuan pokok antara lain menjaga agar persaingan usaha tetap hidup, agar persaingan yang dilakukan antar pelaku usaha dilakukan secara sehat, dan agar konsumen tidak di eksploitas oleh pelaku usaha.1 Seiring
dengan
kebijaksanaan
pemerintah
dalam
memandu
laju
perekonomian melalui mekanisme ekonomi pasar, kegiatan usaha pada setiap lapisan masyarakat serta menyangkut semua kegiatan usaha yang dilakukan oleh para pelaku usaha, perlu dilandasi oleh kekuatan hukum yang mendorong bekerjanya mekanisme ekonomi pasar yang baik dan wajar. Undang-undang Persaingan adalah sintesa dari 2 titik diametral yaitu free fight liberalisme yang
1
Hikmahanto Juwana.Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. Jakarta:Lentera Hati,2001 dalam Hikmahanto Juwana “sekilas tentang hukum persaingan usaha dan UU No.5 Tahun 1999”. Jurnal Magister Hukum Vol 1(September 1999), h.51
1
2
menganut kompetisi bebas tanpa batas dan etatisme yang mengedepankan pemilikan dan kontrol negara dalam ekonomi. Undang-undang persaingan adalah jembatan yang menjamin persaingan dalam koridor pengaturan.2 Sehingga dengan hadirnya Undang-undang No. 5 Tahun 1999 diharapkan dapat menciptakan suasana kondusif bagi pelaku usaha sehingga dapat mengantarkan negara Indonesia ke dalam kancah globalisasi.3 Dengan demikian adanya Undang-undang No 5 Tahun 1999 bertujuan untuk menjamin kelompok usaha kecil untuk dapat memiliki kesempatan yang sama dengan kelompok usaha menengah dan kelompok usaha besar dan/atau konglomerasi dalam perkembangan sistem perekonomian bangsa. Karena pada dasarnya persaingan dalam dunia usaha dapat dipahami sebagai kegiatan positif dan independent dalam upaya mencapai equilibrium. Dalam kehidupan seharihari, setiap pelaku ekonomi yang masuk dalam pasar akan melalui proses persaingan
dimana
produsen
mencoba
memperhitungkan
cara
untuk
meningkatkan kualitas dan pelayanan dalam upaya merebut pasar dan konsumen. Ketika keadaan ini dapat dicapai, maka produsen atau pelaku usaha tersebut berupaya untuk mempertahankan kondisi tersebut atau paling tidak tetap bertahan menjadi incumbent dengan pangsa pasar tertentu pada pasar
2
A.Juanaedi, Dkk. Negara Dan Pasar Dalam Bingkai Kebijakan Persaingan Usaha. Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, 2011.h.4 3
Hikmahanto Juwana. Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, h.51
3
bersangkutan.4 Pada keadaan ini konsumen adalah pihak yang di untungkan karena para pelaku usaha akan cenderung terus meningkatkan kualitas, pelayanan dan menetapkan tarif yang bersaing dengan pelaku usaha sejenis dengan pasar yang sejenis. Dilema yang terjadi adalah ketika pelaku usaha menjadi seorang monopolis di pasar yang mengakibatkan produsen atau pelaku usaha tersebut menjadi tidak efisien dan mampu meningkatkan hambatan masuk pasar (barrier to entry) bagi pesaingnya.5 Bila kondisi ini terjadi maka efeknya adalah kualitas barang atau jasa yang di hasilkan kurang terjamin dan dapat terjadi penetapan harga yang sewenang-wenang. Peraturan menggenai persaingan usaha yang sehat menjadi sangat penting karena apabila tidak ada hukum yang mengatur tentang peraturan usaha yang sehat sangat mungkin terjadi praktek monopoli dan oligopoli atau penguasaan pasar oleh satu atau sekelompok orang tertentu terhadap suatu barang dan jasa, sehingga memungkinkan para pelaku praktek monopoli atau oligopoli ini menetapkan harga secara sewenang-wenang diatas tingkat harga yang wajar kerena tidak ada produk alternatif yang di pilih oleh konsumen. Dampak dari pola yang demikian telah melahirkan konglomerasi yang eksesif merusak tatanan ekonomi dan menghambat demokrasi ekonomi contohnya yang terjadi dimasa orde baru sebelum adanya Undang-undang No 5 Tahun 1999. 4
Andi Fahmi Lubis,et.al. Hukum Persaingan Usaha Antara Konteks.Jakarta:Deutsche Gesellschhaft fur tecnische zusammenarbeit, 2009, h.213 5
Ibid,h.213
Teks
dan
4
Monopoli merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap pembahasan pembentukan Undang-undang Hukum Persaingan Usaha dan pada umumnya monopoli merupakan istilah yang dipertentangkan dengan persaingan6. Padahal monopoli sendiri pada dasarnya bukan merupakan suatu kejahatan atau bertentangan dengan hukum, apabila diperoleh dengan cara-cara yang fair dan tidak melanggar hukum. Oleh karena itu monopoli sendiri belum tentu dilarang oleh hukum persaingan usaha. Yang dilarang adalah perbuatan-perbuatan dari perusahaan yang mempunyai monopoli dan mengunakan kekuatanya di pasar bersangkutan yang biasa di sebut praktek monopoli atau monopolizing.7 Praktek monopoli tidak hanya terjadi di kalangan pelaku usaha swasta saja, tetapi juga terjadi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang biasanya didukung atau disetujui oleh pemerintah atau karena Undang-undang. Hal ini sangat jelas dapat dilihat dari pelaksanaan Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang termaktub kembali dalam Pasal 51 UndangUndang No. 5 Tahun 1999 yang mengisyaratkan negara dapat menguasai produk tertentu berupa barang dan jasa yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pada umumnya pemberian status pengecualian ini di berikan kepada industri yang di anggap strategis dan lebih baik pengelolaannya diserahkan 6
Arie Siswanto.Hukum Persaingan Usaha.Jakarta:Ghalia Indonesia, 2002, h.18
7
Andi Fahmi Lubis et.al Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, h.127
5
kepada negara. Terkait dengan pemberian status pengecualian yang berkaitan dengan negara dalam hukum persaingan usaha dikenal dengan adanya, “State action docktrin” yang memungkinkan adanya hak imunitas dan pengecualian dari hukum persaingan usaha terhadap keadaan-keadaan tertentu. Pengecualian tersebut diberikan terhadap perbuatan atau tindakan yang dilakukan pemerintah untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Secara filosofis di bentuknya sistem jaminan sosial yang selanjutnya di implementasikan
melalui
sebuah
badan
penyelenggara
jaminan
sosial
memberikan peluang kepada seluruh rakyat, dimanapun berada, apapun kegiatan dan pekerjaannya, bagaimanapun status sosialnya kaya atau miskin, kecuali mereka yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan, dapat mendapatkan jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dimanapun dan kapanpun di pelosok negeri.8 Dengan demikian setiap warga Indonesia akan mendapatkan manfaat atas asuransi ketika sedang menghadapi hal-hal yang mungkin tidak diinginkan. Usaha yang
dimaksud
berupa
jaminan
sosial
yang
merupakan
perlindungan
kesejahteraan masyarakat yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk menjaga
8
Naskah Akademik UU RI No 24 Tahun 2011
6
dan meningkatkan taraf hidup rakyat9 yang dalam hal ini berwujud jaminan sosial. Pada dasarnya asuransi sosial hampir sama dengan asuransi pada umumnya, tetapi harus ada satu unsur lagi ialah adanya unsur wajib bagi setiap warga negara untuk menjadi perserta program jaminan sosial. Kewajiban setiap warga negera sendiri diatur di dalam Pasal 14 sampai 17 UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelengara Jaminan Sosial. Penyelenggaraan jaminan sosial merupakan salah satu mekanisme yang dituntut untuk disamakan dengan penyelenggaraan bisnis. Salah satu hal yang menjadi perdebatan disini adalah kewajiban setiap masyarakat untuk mengikuti atau menjadi peserta dalam program BPJS. Masyarakat tidak dibiarkan memilih asuransi mana saja yang mereka percaya dan mereka senangi, padahal sebelum adanya program SJSN dan BPJS ini sudah banyak perusahaan yang bergerak baik di bidang asuransi kesehatan mau asuransi keselamatan kerja dan produk-produk asuransi lainnya. B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga dapat mengakibatkan ketidakjelasan maka penulis membuat pembatasan masalah yakni, membahas praktik penyelenggaraan Badan Penyelenggara
9
Djoko Prakoso. Hukum asuransi Indonesia .Jakarta:PT Rineka Cipta, 2004. dalam Harun Alrasjid., Program Jaminan Sosial sebagai Salah Satu Usaha Penangulangan Masalah Kemiskinan di Indonesia, 1978, h.333
7
Jaminan Sosial (BPJS) dan menelaah langkah-langkah yang di lakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha ketika terjadi Penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan oleh BPJS 2. Perumusan Masalah Menurut UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan persaingan tidak sehat pemerintah berkewajiban melalui Undang-undang ini untuk menjaga iklim persaingan sehat di Indonesia, namun kenyataannya pemerintah memberikan hak monopoli kepada BPJS melalui Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang bertedensi kepada praktek monopoli yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Rumusan tersebut diatas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a. Bagaimana Penyelenggaraan BPJS di tinjau dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 b. Bagaimana bentuk penegakan hukum oleh KPPU terhadap penyalahgunaan posisi monopoli yang dilakukan oleh BPJS c. Bagaimana bentuk harmonisasi peraturan penyelenggaraan BPJS terkait hak monopoli dengan prinsip-prinsip persaingan usaha sehat C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penulisan adalah untuk mendalami tentang permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan
8
masalah. Secara khusus tujuan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Untuk mengetahui kesesuaian penyelenggaraan BPJS dengan prinsipprinsip persaingan usaha sehat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 . b. Untuk mengetahui bentuk penegakan hukum persaingan usaha oleh KPPU apabila ada penyalahgunaan posisi monopoli yang dilakukan oleh BPJS c. Untuk mengetahui bentuk harmonisasi penyelenggaraan BPJS yang di beri hak monopoli dengan prinsip-prinsip persaingan usaha sehat. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : a. Secara Teoritis Penelitian ini dapat memeperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam hukum bisnis dalam bidang hukum persaingan usaha di Indonesia, utamanya menggenai segala aspek yang menggenai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Selain dari pada itu adanya tulisan ini dapat menambah perbendaharaan koleksi karya ilmiah dengan memberikan kontribusi juga bagi perkembangan hukum bisnis di Indonesia b. Secara Praktis Penulisan ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan, dan mudah-mudahan dapat memberikan masukan bagi pembaca terutama bagi pembentuk hukum khususnya pembentukan
9
peraturan tentang praktek penyelenggaraan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tanpa menganggu iklim persaingan usaha perusahaan asuransi lainnya. Serta menjadi acuan ketika terjadi penyalahgunaan posisi dominan oleh BPJS dan langkah-langkah yang dapat diambil oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam menjaga iklim persaingan. D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu 1. Sejauh ini belum ada penelitian mengenai PENYELENGGARAAN BPJS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA (Studi UU No 5 Tahun 1999). Namun terdapat penelitian terkait yang dibuat oleh mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 2005 dengan judul “Monopoli Pemerintah Dalam Pengelolaan Asuransi Kesehatan Pegawai Negeri Sipil Menurut UU No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” yang hanya membahas urgensi diberikannya hak monopoli kepada PT. ASKES (BUMN) dengan kepesertaan hanya sebatas para Pegawai Negeri Sipil. Penelitian ini meninjau penyelenggaraan BPJS sesuai dengan prinsip-prinsip persaingan usaha sehat, kemungkinan penyalahgunaan posisi dominan oleh BPJS dari hak monopoli yang dimiliki dan peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam mengawasi kegiatan usaha yang dilakukan oleh BPJS. 2. Buku yang menjadi rujukan utama penelitian ini adalah buku karangan Andi Fahmi Lubis, dkk yang berjudul “Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks” yang di terbitkan oleh RDV Creative Media pada tahun 2009. Buku
10
ini merupakan buku yang membahas aspek-aspek hukum persaingan usaha secara komprehensif. Di dalam buku ini di jelaskan secara rinci menggenai kegiatan monopoli, praktek monopoli dan monopoli alamiah sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 serta menjelaskan dan menjabarkan doktrin-doktrin serta asas-asas yang berkembang di dalam hukum persaingan usaha. E. Kerangka Konseptual Penelitian penulisan ini berangkat dari konsep teoretis mengenai ukuran Negara sejahtera (welfare state) yang selama ini sering kita dengar, apalagi dalam konteks Negara yang sedang berkembang. Setiap Negara di dunia ini berusaha untuk berlomba-lomba menkonsepkan bagaimana seyogyanya sebuah Negara yang sejahtera secara idealnya. Pada masa sebelum reformasi perekonomian Indonesia didominasi oleh struktur yang terkonsentrasi. Pelaku usaha yang memiliki akses terhadap kekuasaan dapat menguasai perekonomian Indonesia. Para pelaku usaha saat itu berlindung kepada sakralnya pasal 33 yang mengariskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Akibatnya, kinerja ekonomi nasional cukup memprihatinkan. Hal tersebut dapat dilihat dengan pilihan bagi konsumen yang terbatas, kelangkaan pasokan, harga yang tak terjangkau, lapangan kerja yang terbatas, pertumbuhan industri yang lambat, daya saing produk melemah serta kesenjangan ekonomi dalam berbagai kehidupan rakyak. Kondisi ini berujung pada runtuhnya ekonomi Indonesia pada
11
krisis 1997. Krisis saat itu menjelaskan kepada kita bahwa fondasi ekonomi Indonesia sangat lemah. Dalam perkembangan sistem ekonomi di Indonesia, hukum persaingan usaha adalah salah satu instrumen hukum yang perlu mendapat perhatian secara khusus. Hal ini di implementasikan dengan dibuatnya Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat. Undang-undang No. 5 Tahun 1999 merupakan tonggak bagi diakuinya persaingan usaha sehat sebagai pilar ekonomi dalam sistem ekonomi di Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Lahirnya Undangundang No. 5 Tahun 1999 adalah sejalan dengan semangat Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33, dan Pasal 34. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan “Pelaku Usaha di Indonesia dalam menjalakan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Memperhatikan hal-hal diatas, secara konseptual Undang-undang No. 5 Tahun 1999 mengenal adanya pengecualian kepada pelaku usaha tertentu, kegiatan tertentu dan perjajian tertentu yang di anggap penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Akan tetapi perlu adanya pengawasan agar kegiatan
yang
dikecualikan
tersebut
bersadarkan
tujuan
diberikannya
pengecualian dan kegiatan usaha yang dilakukan pelaku usaha tidak mengarah kepada praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
12
F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitiaan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder yang mencakup penelitian asas-asas hukum khususnya yang terkait dengan hukum persaingan usaha, hukum asuransi khususnya asuransi sosial yang berkaitan dengan teori negara kesejahteraan welfarestate dimana penulis mengunakan peraturan perundang-undangan, buku-buku bacaan terkait dengan judul penelitian, makalah-makalah, dan dokumen-dokumen lainnya. 2. Pendekatan yang Dipakai Pendekatan Perundang-undangan, berupa: a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat c. Undang-Undang No 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) d. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-undang lain yang terkait. 3. Sumber Penelitian (Bahan yang Dijadikan Rujukan)10 a. Bahan Hukum Primer
10
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta : kencana, 2007.
13
Bahan hukum primer adalah bahan hukum utama dalam penelitian hukum normatif, yang berupa peraturan Perundang-undangan, dalam penulisan bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-undang No 5 tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang tidak mempunyai kekuatan mengikat tapi bersifat membahas menjelaskan topik terkait dengan penelitian berupa buku-buku terkait, artikel dalam majalah/media elektronik, laporan penelitian/jurnal hukum, makalah yang disajikan dalam pertemuan kuliah dan catatan kuliah. c. Bahan Non Hukum Bahan non hukum dalam penelitian ini yaitu wawancara yang dilakukan kepada narasumber yang kompeten di bidang hukum persaingan usaha dan bidang asuransi. 4. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen/kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan pasar modal, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet. 5. Metode Pengelolaan dan Analisa Data
14
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompokan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian, kemudian dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada. 6. Metode Penulisan Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012. G. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi skripsi, maka penulis memberikan sistematikanya secara garis besar. Penulisan penelitian ini di bagi menjadi lima bab, dimana pada setiap bab akan di bahas secara rinci sebagai bagian dari keseluruhan penelitian ini. Dengan maksud untuk mempermudah memahami penulisan penelitian. Adapun susunan sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB Pertama Tentang Pendahuluan Meliputi: Latar belakang penulisan, pokok permasalahan, metode penelitian serta sistematika dalam penulisan penelitian ini.
15
BAB Kedua Tentang Kebijakan Pemerintah dan Hukum Persaingan Meliputi: Pengertian menggenai persaingan, monopoli, praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, teori-teori hukum anti monopoli dan aspek-aspek hukum monopoli. Pengecualian dalam UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat BAB Ketiga Tentang Profil Asuransi Sosial di Indonesia Meliputi: Profil asuransi sosial di Indonesia, menggenai pelaksanaan usaha asuransi sosial pra UU No 24 Tahun 2011 dan pasca UU No 24 tahun 2011. Pada bab ini juga akan dipaparkan apakah usaha yang di jalankan oleh BPJS sebagai Pelaksana Sistem Jaminan Sosial Nasional dan kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat. BAB Keempat Tentang Pengaturan Penyelenggaraan BPJS ditinjau Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Meliputi: Penyelenggaraan BPJS ditinjau dari ketentuan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang No 5 Tahun 1999 serta langkah-langkah yang diambil oleh KPPU dalam rangka menegakan hukum persaingan usaha terkait apabila ada dugaan praktek monopoli yang dilakukan oleh BPJS atas posisi monopoli yang dimilikinya. BAB Kelima Tentang Penutup Meliputi: Yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Dalam bab ini penulis mencoba menyimpulkan dan memberikan usulanusulan menggenai permasalahan yang telah dibahas dalam penulisan penelitian ini.
BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN HUKUM PERSAINGAN USAHA A. Kebijakan Persaingan dan Intervensi Pemerintah Negara memiliki tujuan untuk melindungi kepetingan umum (public interst). Oleh sebab itu negara mempunyai peran dalam mentransformasikan pemahaman akan kompetisi yang sehat diantara pelaku usaha. Negara berperan penting dalam menciptakan “the right tool” untuk lebih mempromosikan kebijakan hukum persaingan usaha secara lebih efektif. Peran negara dalam mengatur persaingan sehat dapat diidentifikasikan dimana negara adalah suatu institusi yang berhak membuat perundang-undangan untuk mengatur persaingan.11 Namun peran negara sendiri juga harus di awasi karena berdasarkan pengalaman, praktek monopoli dapat saja terjadi karena persetujuan pemerintah sendiri (government consent). Beberapa tindakan masa lalu beberapa fakta menujukan bahwa negara memainkan peran yang cukup signifikan dalam tindakan yang bersifak praktek monopoli serta tidak membudayakan persaingan sehat12, seperti : a. Kemudahan yang diberikan pemerintah oleh beberapa pelaku usaha dimana kemudahan itu tidak pernah di kontrol kembali walaupun pelaku usaha jelas telah melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
11
Hikmahanto Juwana, sekilas tentang Hukum persaingan usaha dan UU No. 5 Tahun 1999, Jurnal Magister Hukum 1 (September 1999) h.31 12
Ayuda D, Prayoga, dkk. Persaingan Usaha Dan Hukum yang mengaturnya Di Indonesia. Jakarta: ELIPS, 2005.h. 25
16
17
b. Peran pemerintah yang sedemikian besarnya dalam memberikan kemudahan untuk melakukan monopoli kepada pelaku usaha dari BUMN. c. Demikian juga tidak ada kejelasan menggenai monopoli alamiah yang diperbolehkan dilakukan oleh pemerinah. Perbuatan ini selalu berlindung dibalik sakralnya Pasal 33 UUD 1945 dimana perbuatan monopolitik yang dilakukan oleh perusahaan milik negara ini mengakibatkan perekonomian biaya tinggi serta tidak efisien.13
Kebijakan persaingan (competition policy) merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah di pasar selain dari regulasi ekonomi. Selain untuk meningkatkan efisiensi ekonomi yang relatif bebas nilai yang tidak memihak kepada produsen atau konsumen. Kebijakan persaingan usaha juga dapat bertujuan untuk
melindungi
kepentingan
konsumen
di
pasar
atau
meningkatkan
kesejahteraan konsumen. Karena sering kali dalam bentuk pasar yang tidak sempurna, konsumen menjadi pihak yang dirugikan. 14 Dalam keadaan pasar yang tidak sempurna terjadi inefisiensi ekonomi atau berkurangnya kesejahteraan konsumen disebabkan oleh intervensi baik dari pihak luar maupun dari pemerintah dan prilaku anti persaingan yang dilakukan oleh pelaku ekonomi di pasar. Memperbaiki atau merubah struktur pasar ke arah struktur pasar ke pasar persaingan sempurna dapat membuat pasar menjadi lebih baik. Perbaikan dari struktur (misalnya membatasi atau melarang kepemilikan dominan) akan dapat mengurangi praktik-praktik anti persaingan.
13
Munir Fuady Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Usaha Sehat. Bandung PT. Citra Aditya Bakti, 1999, dikutip dari Frank Fishwick, “srategi persaingan”, Terjemnahan Mohd.Kurd. DJunaidi, 1995,h. 21 14
Andi Fahmi Lubis et.al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.h.38
18
Kebijakan
persaingan
juga
di
arahkan
untuk
membatasi
prilaku
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh perusahaan, terutama perusahaan yang memiliki posisi dominan. Persaingan diarahkan untuk membatasi dan mengurangi hambatan untuk masuk ke dalam pasar. Yang dapat dilakukaan oleh perusahaan yang dominan dalam pasar maupun kerena regulasi pemerintah. Sehingga kebijakan persaingan diharapkan menjadi konsideran utama bagi pemerintah ketika akan mengeluarkan regulasi yang berpotensi menimbulkan dampak di pasar.15 B. Persaingan Usaha, Monopoli, Praktek Monopoli, dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Secara umum tujuan pokok dari hukum persaingan usaha adalah menjaga persaingan antar pelaku usaha tetap hidup, dilakukan secra sehat, dan konsumen tidak di ekploitasi oleh pelaku usaha. Tiga tujuan umum ini sebenarnya ditujukan untuk mendukung sistem pasar yang dianut oleh suatu negara. Tanpa adanya hukum persaingan dalam sistem ekonomi pasar, tidak akan terhindarkan kedudukan monopoli, oligopoli, praktek penetapan harga, dan lain sebagainya.16 Kata persaingan sendiri diambil dari penggantian istilah bahasa inggris yaitu competition, competition sendiri dijelaskan dalam black’s law Dictionary: “contest of two rival. The effort of two or more parties, acting independently, to secure the business of a third party by the effort of the 15
Ibid, h.40
16
Hikmahanto Juwana. Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional.h.60
19
most favourite term; also the relation between different buyers or didifferent sellers which result from this effort. It is the struggle between rivals for the same trade at the same time; the act of seeking.”17 “Kontes antara dua saingan, usaha yang dilakukan oleh dua atau lebih pihak tanpa saling bergantung, untuk mengamankan jalannya usaha atau bisnis dari pihak ketiga dengan memberikan penawaran yang memiliki persyaratan terbaik; suatu perjuangan diantara para saingan dalam satu perdagangan yang sama pada waktu yang sama; tindakan untuk mendapatkan dalam waktu yang bersamaan; berlaku dalam hal mendapatkan atau memperoleh suatu subjek yang sama sebagai hasil akhir oleh dua atau lebih pesaing.” Monopoli merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap pembahasan pembentukan hukum persaingan usaha. Monopoli itu sendiri sebetulnya bukan merupakan suatu kejahatan atau bertentangan dengan hukum, apabila diperoleh dengan cara-cara yang fair dan tidak melanggar hukum. Oleh karenanya monopoli itu sendiri belum tentu dilarang oleh hukum persaingan usaha, akan tetapi yang dilarang justru praktek monopoli untuk mengunakan kekuatannya di pasar bersangkutan yang biasanya disebut praktek monopoli atau monopolizing/monopolisasi.18 Istilah monopoli berasal dari bahasa Inggris yaitu monopoly dan istilah tersebut menurut sejarahnya berasal dari bahasa Yunani yaitu “monos polein” yang berarti sendirian menjual.19 Menurut kamus besar bahasa Indonesia yang di maksud dengan monopoli adalah situasi pengadaan barang daganggan tertentu (di pasar lokal atau nasional) sekurang-kurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu 17
Bryan A. Gardner, ed. Black’s Law Dictionary. Dallas: West Group, 1991.h. 278
18
Andi Fahmi Lubis et.al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.h. 127
19
Ibid. h. 127
20
orang atau satu kelompok, sehingga harganya dapat dikendalikan. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat: “Monopoli adalah penggusaan atas suatu produksi dan/atau pemasaran dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha” UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat melarang monopoli secara rule of reason yang berarti monopoli akan dilarang jika monopoli tersebut merusak persaingan secara signifikan dan pertimbangan bahwa monopoli tersebut akan menimbulkan praktek monopoli. Praktek monopoli merupakan pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa tertentu sehingga dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.20 Yang dimaksud dengan pemusatan kekuatan ekonomi diatas sebagaimana dikatankan dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat adalah “Penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau jasa”.
20
Ibid, h.132
21
Praktek monopoli dapat terbentuk jika hanya satu pelaku mempunyai kontrol eksklusif terhadap pasokan barang dan jasa disuatu pasar dan demikian juga terhadap penentuan harga.21 Hal ini dapat terjadi karena dipasar tidak terdapat barang pengganti atau tidak tersedia lagi barang substitusi atau produk substitusi yang potensial, terjadinya hambatan masuk ke dalam pasar (to entry barrier) dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menetapkan harga produk yang lebih tinggi, tanpa mengikuti persaingan pasar atau hukum tentang penerimaan dan penawaran pasar. 22 Berdasarkan dari uraian di atas maka dapat disimpulkan unsur-unsur praktek monopoli adalah:23 a. Terjadi pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha b. Terdapat penguasaan produksi atau pemasaran barang atau jasa tertentu c. Terjadi persaingan usaha tidak sehat, serta d. Tindakan tersebut merugikan kepentingan umum Adapun pengaruh atau dampak negatif sehubungan dengan dilakukannya praktek monopoli oleh pelaku atau kelompok pelaku usaha yang dapat merugikan konsumen atau pelaku usaha lain, yaitu antara lain:24
21
Suyud Margo. Hukum Antimonopoli. Jakrta:Sinar Grafika,2009.h. 5
22
Munir Fuady. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Usaha Sehat.h. 4
23
Andi Fahmi Lubis et.al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.h. 133
22
a. Adanya peningkatan harga produk barang maupun jasa tertentu sebagai akibat tidak adanya persaingan sehat, sehingga harga yang tinggi dapat memicu/menyebabkan terjadi inflasi yang merugikan masyarakat luas b. Pelaku usaha mendapatkan keuntungan secara tidak wajar, dan dia berpotensi untuk menetapkan harga seenaknya guna mendapatkan keuntungan yang berlipat, tanpa memperhatikan pilihan-pilihan konsumen, sehingga konsumen mau tidak mau tetap mengkonsumsi produk atau jasa tertentu yang dihasilkan c. Terjadi eksploitasi terhadap daya beli konsumen dan tidak memberikan hak pilih pada konsumen untuk mengkonsumsi produk lainnya, sehingga konsumen tidak peduli lagi pada masalah kualitas. d. Terjafi inefisiensi dan tidak efektif dalam menjalankan kegiatan usaha nya yang pada akhirnya dibebankan kepada masyarakat luas/konsumen berkaitan dengan produk yang dihasilkan karena monopolis tidak lagi mampu menekan AC (average cost) secara minimal. e. Terjadi entry barrier, dimana tidak ada perusahaan lain yang mampu menembus pasar monopoli untuk suatu produk yang sejenis, sehingga pada gilirannya perusahaan kecil tidak mampu masuk ke pasar monopoli dan akan mengalami kesulitan untuk dapat berkembang secara wajar dan pada akhirnya akan bangkrut. Untuk meneliti apakah pelaku usaha mempunyai niatan untuk melakukan praktek monopoli atau tidak. Di Amerika terdapat 2 doktrin yang pertama general intent test dan yang kedua specific intent test, dalam general intent test pengadilan harus menguji apakah tindakan yang dilakukan pelaku usaha terdapat usaha adanya kemungkinan yang jelas bahwa tindakan tersebut akan mengkibatkan terjadinya praktek monopoli. Sedangkan dalam specific intent test pengadilan harus menguji apakah tindakan yang dilakukan pelaku usaha mempunyai tujuan kongkrit/nyata yang mencerminkan adanya kehendak atau niatan untuk melakukan praktek monopoli atau tidak.25
24
Ahmad Yani dan Gunawan wijaya, Anti Monopoli. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,1999.h. 30-31 25
Andi Fahmi Lubis et.al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.h. 136
23
C. Pendekatan dalam Menentukan Pelanggaran Hukum Persaingan Dalam hubungan dengan aplikasi hukum persaingan usaha kita mengenal beberapa teori yuridis yang berkembang dalam hukum persaingan usaha untuk menentukan apakah kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha melanggar ketentuan hukum persaingan atau tidak :. 1. Teori Per Se Illegal Pendekatan Per se Illegal adalah pendekatan yang menekankan pada perjanjian atau kegiatan tertentu yang dinyatakan sebagai illegal didalam Undang-undang hukum persaingan usaha, contoh dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat dimana terdapat kalimat “kata dilarang”, tanpa anak kalimat “yang menyebabkan”.26 Artinya suatu perbuatan itu dengan sendirinya telah melanggar ketentuan yang di atur jika perbuatan itu telah memenuhi rumusan dari Undang-undang tanpa ada alasan pembenar atau tanpa harus melakukan penelitian secara mendalam terhadap kondisi pasar.27 2. Rule Of Reason Pendekatan rule of reason adalah model pendekatan yang menyatakan suatu kegiatan tertentu dikatakan illegal, setelah melakukan evaluasi ekonomis 26
Tri Anggraini. Konsep Dasar Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Penerapan Pendekatan “Rule Of Reason dan Per Se Illegal” Dalam Hukum Persaingan. Prosiding rangkaian Lokal Karya terbatas Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya 17-18 mei 2004. Jakarta : Pusat pengkajian Hukum , 2005.h. 89 27
Elyta Ras Ginting. Hukum Anti Monopoli Indonesia “ Analisis Dan Perbandingan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999”, Bandung: PT citra Aditnya bakti, 2001.h. 28
24
menggenai akibat yang ditimbulkan terhadap persaingan.28 Artinya penerapan hukumnya bergantung pada akibat yang ditimbulkannya, apakah perbuatan dari pelaku usaha tersebut telah menimbulkan praktek monopoli atau praktek usaha tidak sehat lainnya 3. Analisis Kekuatan Pasar (Market Power Analysis) Analisis kekuatan pasar ini atau biasa disebut juga analisis struktural (structural analysis) merupakan suatu pendekatan dimana agar suatu tindakan dari pelaku usaha dapat dikatakan melanggar hukum persaingan usaha, maka dalam melakukan analisis terhadap tindakan yang di lakukan dan juga dilihat kepada kekuatan pasar atau struktur pasar.29 Misalnya jika ada tindakan penetapan harga bersama (price fixing) di suatu pasar maka yang dilihat bukan hanya penetapan harga bersama saja. Akan tetapi di tinjau pula efek negatif terhadap pasar, struktur pasar, cara penetapan harga bersama, dan lain-lain faktor yang relevan.30 4. Doktrin Pembatasan Tambahan (Ancillary Restraint) Teori ini mengajarkan bahwa tidak semua monopoli atau pembatasan persaingan usaha bertentangan dengan hukum. Hanya perbuatan-perbuatan yang mempengaruhi persaingan secara langsung dan segera (direct and
28
Tri Anggraini. Konsep Dasar Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Penerapan Pendekatan “Rule Of Reason dan Per Se Illegal” Dalam Hukum Persaingan.h. 89 29
Munir Fuady. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Usaha Sehat, h.48
30
Ibid, h. 49
25
immediate) yang dapat dianggap bertentangan dengan hukum. Apabila efeknya terhadap persaingan terjadi secara tidak langsung atau merupakan efek samping semata-mata, maka tindakan tersebut walaupun menimbulkan efek yang negatif terhadap persaingan pasar tetap dianggap tidak bertentangan dengan hukum persaingan usaha. Sebaliknya apabila efeknya terhadap persaingan secara langsung walaupun tidak tergolong rasionable tetap dikatakan melanggar hukum persaingan usaha.31 5. Pendekatan Paradigma Harvard Paradigma SCP tradisional berpendapat bahwa struktur pasar akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam membuat keputusan untuk berkompetisi atau berkolusi, misalkan tingkat konsentrasi yang tinggi akan mendorong perusahaan untuk melakukan kolusi, yang pada gilirannya akan menentukan kinerja yang dicapai. Kinerja yang baik akan muncul dari struktur dan perilaku yang kompetitif. Pola hubungan linier yang sederhana ini menempatkan struktur sebagai pengaruh utama dari keberhasilan fungsi pasar. Karena hal tersebut, pengikut aliran SCP tradisional dikenal dengan istilah ekonom „strukturalis‟.32 Kinerja = f (struktur, perilaku dan kondisi dasar)33
31
Ibid,.h.49.
32
Andi Fahmi Lubis et.al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.h.42.
33
Ibid, h.42.
26
Ukuran kinerja yang diambil biasanya tingkat keuntungan, variable struktur mencakup tingkat konsentrasi dan hambatan masuk, kondisi dasar dapat berupa kondisi permintaan, pertumbuhan ekonomi dan sebagainya. 6. Paradigma Chicago Berbeda dengan aliran SCP tradisional yang berbasiskan studi empiric, tradisi aliran Chicago menekankan pada pentingnya analisis teoritis. Pandangan-pandangan yang berasal dari paradigm Chicago memiliki banyak perbedaan dengan aliran SCP tradisional. Perbedaan yang mendasar adalah jika aliran SCP tradisional menggunakan model persaingan tidak sempurna sebagai „teropong‟ yang paling tepat dalam memandang perilaku industri, maka aliran Chicago memilih model persaingan sempurna, karena dianggap memiliki kekuatan penjelasan (explanatory power) yang lebih baik.34 Dengan kata lain munculnya monopoli atau perilaku anti kompetisi berasal dari struktur pasar yang timpang (terkonsentrasi). Dengan perilaku strategisnya, perusahaan-perusahaan besar yang ada di pasar berusaha mencegah masuknya perusahaan-perusahaan baru untuk ikut berkompetisi dan dapat menetapkan harga secara tidak wajar. Implikasi dari argument ini adalah pemerintah perlu turun tangan untuk dapat mencegah dan menghentikan perilaku strategis yang merugikan pasar tersebut.35
34
Ibid, h.43
35
Ibid, h.43
27
D. Pengecualian dalam Undang-undang No 5. Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Hukum persaingan usaha adalah element esensial sehingga dibutuhkan adanya Undang-undang sebagai “code of conduct” bagi pelaku usaha untuk bersaing di pasar sesuai dengan peraturan Undang-undang yang berlaku.36 Sehingga ada kepastian hukum bagi para pelaku usaha, dengan kapastian yang adil dan keadilan yang pasti dan kebergunaan hukum itulah dapat menjamin kebebasan yang teratur dalam dinamika perekonomian. Sehingga pada gilirirannya dapat membawa kesejahteraan bersama dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini negara berkepentingan membuat kebijakan persaingan yang bertujuan menjaga proses keberlangsungan proses kebebasan persaingan itu sendiri yang di selaraskan dengan freedom of trade (kebebasan berusaha), freedom of choice (kebebasan untuk memilih), dan access to market (akses untuk memasuki pasar). Di samping tujuan tersebut sesuai dengan pancasila dan UUD 1945 secara ekplisit UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menegaskan bahwa ada kebijakan persaingan yang berorientasi pada jaminan kesempatan berusaha yang sama bagi para pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil. Oleh sebab itu kebijakan persaingan suatu negara dalam penegakan hukum persaingan akan
36
Jimly Ashiddiqie. Konstitusi Ekonomi, Jakarta:Kompas,2010.h. 12
28
sangat menentukan efektif atau tidaknya suatu Undang-undang hukum persaingan.37 Hukum persaingan usaha mengenal adanya pengecualian (exception) untuk menegaskan bahwa aturan hukum persaingan dinyatakan tidak berlaku bagi jenis pelaku ataupun prilaku/kegiatan tertentu. Pada umumnya status pengecualian ini diberikan kepada industri yang dianggap strategis dan lebih baik pengelolaannya diserahkan kepada negara. Pasal 33 UUD 1945 menghendaki adanya monopoli negara untuk menguasai bumi dan air berikut kekayaan alam yang terkandung didalamnya, serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.38 Oleh sebab itu perlu adanya suatu acuan yang dipergunakan untuk pengecualian apakah suatu kegiatan, industry/badan, pelaku usaha yang bagaimanakah yang dikecualikan dari pengaturan hukum persaingan usaha. Dalam hal yang dikecualikan dalam hukum persaingan umumnya di dasarkan kepada beberapa pertimbangan antara lain: 1. Adanya instruksi atau perintah dari UUD Tahun 1945. 2. Adanya instruksi atau perintah dari UU atau peraturan Perundang-undangan lainnya.
37
38
Andi Fahmi Lubis et.al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.h. 218
Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha “Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia”. Malang:Bayumedia Publishing,2007.h. 40
29
3. Instruksi
atau
pengaturan
berdasarkan
regulasi
dalam
suatu
badan
administrasi.39 Dalam Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menggenai pengecualian ini di tentukan dalam Pasal 50 dan ketentuan Pasal 51 yang menyatakan Pasal 50 Yang dikecualikan dari ketentuan Undang-undang ini adalah: a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan Perundang-undangan yang berlaku; b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; h. pelaku usaha yang tergolong dalam Usaha Kecil; ataukegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya. Dalam Pasal 51 ini diatur menggenai ketentuan monopoli oleh negara: “Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang 39
Andi Fahmi Lubis et.al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks. Mengutip Thomas jorde et.al. Gilberl Law Summaries – Anti Trust, 9th Ed (Harcourt Brece Legal And Professional Publications.Inc, 1996).h. 219
30
banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan Undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.” Khusus menggenai pemberian status pengecualian yang berkaitan dengan negara dalam hukum persaingan dikenal dengan adanya “state action doktrin” dimana perbuatan atau tindakan yang dilakukan pemerintah (atau yang diberikan kewenang) dari atau yang mewakili pemerintah akan dikecualikan dari ketentuan peraturan undang-undang hukum persaingan. Doktirn ini banyak memberikan keuntungan kepada pemerintah sepanjang status ini dipergunakan sesuai tujuannya terutama efisiensi pada level nasional.40 Disamping dampak positif, perlu diingatkan bahwa adanya dampak negatif bila pengawasan tidak dijalankan dengan baik sesuai dengan kebijakan persaingan akan berdampak terhadap ekonomi secara nasional. Oleh sebab kebijakan harus dibatasi agar pemerintah tidak bertindak oportunis misalnya dengan memastikan apakah kegiatan tersebut benar-benar bertujuan untuk kepentingsan umum, kepentingan hajat orang banyak atau memang di perintah oleh konstitusi (active supervision).
Dalam
implementasinya
pengawasan
juga
penting
untuk
menghindari terjadinya prilaku anti persaingan yang bersifat privat (bukan negara) tetapi dengan melaksanakan doktrin ini.41
40
Ibid.h 221
41
Ibid.h 222
BAB III PROFIL ASURANSI SOSIAL DI INDONESIA A. Sejarah Singkat Asuransi Sosial di Indonesia Usaha asuransi di Indonesia sudah mulai terbentuk pada permulaan abad ke 19, namun jenis asuransi ini belum dapat berkembang secara merata dalam setiap lapisan masyarakat. Akibatnya sebagian besar masyarakat di pedesaan belum mengetahui arti dan manfaat asuransi sebagai pengalihan resiko apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atau diluar dugaan yang menimbulkan kerugian, namun secara tradisional sebenarnya masyarakat Indonesia memiliki bentuk atau cara penyelenggaraan usaha-usaha bantuan untuk kepentingan bersama. Usaha tersebut dikenal dengan sebutan gotong-royong.42 Gotong-royong merupakan ciri yang hakiki dari diri kepribadian bangsa Indonesia yang disimpulkan dalam Pancasila, dan ideology Pancasila ini berakar pada nilai-nilai budaya Indonesia. Dimasukannya asas gotong-royong dalam asuransi sosial, merupakan salah satu sebab mengapa asurasi sosial dapat diterima dan berkembang didalam masyrakat. Dalam hubungan ini dapat menggutip pendapat Von Savighny yang mengatakan bahwa seharusnya ada hubungan organis antara hukum suatu bangsa dengan jiwa dan sifat-sifat bangsa itu sendiri.43 Usaha ini merupakan modal atau dasar yang kuat bagi terwujudnya serta berkembangnya asuransi sosial di Indonesia. 42
T. Sumarnogroho. Sistem Intervensi Kesejahteraan sosial.Yogyakarta: Hanindita,1984.h
153
31
32
Secara formal masuknya asuransi dan lembaga asuransi di Indonesia ialah sejak berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Belanda di Indonesia pada tahun 1848. Berlakunya KUHD Belanda di Indonesia ini adalah atas dasar konkordasi yang dimuat dalam Stb 1943 No.23, yang di undangkan pada tanggal 30 April 1947 dan mulai berlaku pada 1 Mei 1848.44 B. Pengertian Asuransi Sosial Asuransi atau dalam bahasa Belanda “verzekering”
yang berarti
pertanggungan. Dalam suatu asuransi terlibat dua pihak, yaitu: pihak yang satu bersedia untuk menjadi penanggung atau penjamin dan pihak yang lain mendapat pengantian suatu kerugian, yang mungkin akan ia derita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi atau semula belum di tentukan saat akan terjadinya.45 Sedangkan dalam Pasal 246 KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) “ Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dimana penangung dengan menikmati premi dari tertanggung mengikatkan diri untuk memberikan ganti rugi kepadanya karena suatu kehilangan kerugian atau ketidak untungan yang diharapkan yang mungkin dapat diderita olehnya karena suatu peristiwa yang tidak pasti.
43
Bernard l Tanya,dkk,. Teori Hukum “Strategi Terbib Manusia Lintas Ruang dan Generasi”.Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.h. 84 44
Sri Rejeki Hartono. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta:Sinar Grafika,1995.h 51 45
Wirjono Projodikoro.Hukum Asuransi di Indonesia. Jakarta:PT.Intermasa,1994.h. 1
33
Dari pengertian asuransi diatas maka dapat diambil beberapa unsur penting dalam asuransi; 1. Adanya pihak penanggung dan tertanggung, sehinnga ia merupakan perjanjian timbal balik. Oleh karna itu harus terdapat kesepakatan antara penanggung dan tertanggung. 2. Peralihan risiko dari tertanggung kepada penanggung karena penanggung tidak mampu menghadapi risiko yang akan terjadi. 3. Adanya kewajiban membayar premi dari pihak tertanggung kepada pihak penanggung 4. Adanya peristiwa yang tidak tertentu, yang semula belum jelas terjadi dan tidak diharapkan terjadinya 5. Adanya ganti kerugian, bilamana peristiwa yang tidak tertentu itu benar-benar terjadi, maka penanggung berkewajiban mambayar ganti rugi. Pengertian Asuransi sosial sendiri menurut Mehr dan Cammack dalam buku yang berjudul “Principil of Insurance” yang ditermahkan oleh A.Hasim dengan judul “Badan Usaha Asuransi”, memberikan definisi tentang asuransi sosial adalah “alat untuk menghimpun risiko dengan memindahkan kepada organsasi yang biasanya adalah organisasi pemerintah, yang diharuskan oleh Undangundang untuk memberikan manfaat keuangan atau pelayanan kepada atau atas nama orang-orang yang diasuransikan itu pada waktu terjadinya kerugian tertentu
34
yang telah ditetapkan sebelumnya.46 Berdasarkan pengertian di atas asuransi sosial mempunyai sifat wajib dan besarnya santunan (benefit) pada umumnya di tetapkan pemerihtah. Golongan asuransi ini tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan, tetapi lebih banyak ditekankan kepada kepantasan masyarakat (sosial adequacy). Penyelenggaraan biasanya diselengarakan oleh pemerintah sehinnga sering pula disebut Social Government Insurance.47 Oleh karena itu Asuransi Sosial memiliki ciri-ciri khusus, yaitu 1. Penanggung (Biasanya organisasi di bawah wewenang pemerintah) 2. Tertanggung (Biasanya masyarakat luar anggota/golongan masyarakat tertentu) 3. Risiko (Suatu kerugian yang sudah di atur dan di tentukan terlebih dahulu) 4. Wajib (Berdasarka suatu ketentuan Undang-undang atau ketentuan lain).48 C. Pelaksanaan Asuransi Sosial di Indonesia 1. Pra BPJS a. Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil Sejak tahun 1963 bagi pegawai negeri telah berlaku suatu jenis asuransi sosial yaitu tabungan dan asuransi sosial pegawai negeri sipil (Taspen). Setelah mengalami beberapa perubahan, setelah tahun 1981 dengan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1981 Taspen perubah menjadi Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil. Dengan penyelenggaraan Persero
46
Djoko Prakoso. Hukum Asuransi Indonesia.Jakarta:PT.Rineka Cipta,2004.h. 339
47
Man Suparman Sastrawidjaja. Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga. Bandung: P.T Alumni,2003.h. 89-90 48
Sri Rejeki Hartono. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi.h. 146-147
35
Taspen dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1981 yang merubah Perusahaan Umum Taspen menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).49 Perserta Asuransi Pegawai Negeri Sipil adalah semua Pegawai Negeri Sipil, kecuali Pegawai Negeri Sipil yang berada di lingkungan Departemen Pertahanan dan Keamanan. Untuk pegawai lain termasuk Badan Usaha Miliki Negara dapat ditetapkan sebagai perserta Asuransi Sosial dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Pada prekteknya dana taspen bersumber dari pembayaran premi oleh peserta asuransi sosial ini sebesar 4,75% dari penghasilan sebulan (gaji pokok+tunjangan keluarga) berdasarka Kepres No. 8 Tahun 1977. Program yang dikelola oleh Taspen: 1) Program tabungan hari tua. 2) Program asuransi sosial tenaga kerja. 3) Program pensiun.50 b. Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Jenis asuransi sosial diatas diatur dalam Undang-undang No. 33 Tahun 1964 jo Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1965. Asuransi ini diselengarakan untuk menanggung orang-orang yang menerima ganti rugi akibat dari suatu kecelakaan atau ongeval yang menggenai tubuh pihak
49
Djoko Prakoso. Hukum Asuransi Indonesia.h.340
50
Man Suparman Sastrawidjaja. Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga.h. 118
36
tertanggung.51 Adapun yang ditunjuk sebagai penyelenggaranya adalah PT. Persero Asuransi kerugian Jasa Raharja. Menurut ketentuan diatas, setiap penumpang kendaraan umum baik darat dan udara diwajibkan membayar iuran wajib kepada PT. Persero Asuransi Kecelakaan Jasa Raharja disatukan dengan harga tiket. Apabila terjadi kecelakaan yang menimpa kendaraan tersebut, maka penumpang atau ahli warisnya akan mendapat satunan dari PT. Persero Asuransi Kecelakaan Jasa Raharja yang jumlahnya ditetapkan dengan keputusan Mentri Keuangan.52 c. Dana Kecelakaan Lalu Lintas Asuransi yang dimaksud untuk memberikan santunan bagi korban kecelakaan lalu lintas jalan ini diatur didalam Undang-undang No. 34 Tahun 1964 jo Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1965 ditetapkan bahwa setiap pengusaha atau pemilik alat angkutan lalu lintas jalan diwajibkan memberi sumbangan setiap tahunnya untuk dana kecelakaan lalu lintas jalan. Pada prakteknya pemungutan sembangan disatukan dengan pembayaran pajak untuk memperoleh/ memperpanjang Surat Tanda Nomor Kendaraan bermotor (STNK) setiap tahunnya. Adapun
51
Djoko Prakoso. Hukum Asuransi Indonesia, h. 270
52
Man Suparman Sastrawidjaja. Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga.h. 119
37
yang mendapat santunan adalah korban diluar kendaraan yang mendapat musibah sebagai pengguna kendaraan tersebut.53 d. Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil dan Penerima Pensiun Program pemeliharaan kesehatan Pegawai Negeri Sipil dan Peneriman Pensiun atau yang lebih dikenal dengan (ASKES) diatur dalam Peraturan Pemerinta No. 22 tahun 1984. Untuk memperoleh jaminan kesehatan dengan sistem asuransi ini, setiap pegawai negeri sipil wajib membayar iuran setiap bulannya sebesar 2% dari penghasilannya setiap bulan.54 Pada perkembangannya sejak 23 Desember 1991 Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1984 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1991 Tentang Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran, Pejuang Kemerdekan. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) PP No. 69 Tahun 1991 yang menjadi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran, Pejuang Kemerdekan serta keluargannya, selain itu pegawai dan penerima pensiun badan usaha dan badan lainnya dapat menjadi peserta penyelenggara dapat menjadi peserta penyelenggaraan yang diselenggarakan oleh askes.55
53
Ibid, h. 118
54
Ibid, h. 199
55
Abdulkadir Muhammad,Hukum Asuransi Indonesia, Bandung:PT.Citra Aditnya Bakti,2011,
h.250
38
e. Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) ASABRI dibentuk tahun 1963, seperti halnya pegawai negeri sipil anggota ABRI termasuk dalam peserta Taspen yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1963. Dengan beberapa pertimbangan kemudian anggota ABRI dibentuk asuransi sosial sendiri, yaitu ASABRI dengan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1971.56 Sejak tanggal 17 Desember 1991 Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1971 diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1991 yang mengatur tentang ASABRI. Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerinta No. 67 tahun 1991 program ASABRI terdiri dari satuan asuransi, santunan resiko kematian, santunan nilai tunai asuransi dan biaya pemakaman.57 Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 ini dimaksudkan Pegawai Negeri adalah Pegawai Negeri Sipil dan anggota ABRI, dimana anggota ABRI terdiri dari prajuritTNI dan anggota Polri. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 ini ditindaklanjuti dengan Keppres Nomor 56 Tahun 1974 tentang Pembagian, Penggunaan, Cara Pemotongan, Penyetoran dan Besarnya Iuran-iuran yang dipungut dari 4 % sebagaimana tercantum dalam pasal 1 Keppres tersebut dan diubah menjadi 4,75 % pada Keppres
56
Man Suparman Sastrawidjaja. Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga,h.120
57
Ibid, h.121
39
Nomor 8 Tahun 1977, untuk Tunjangan Hari Tua dan Perumahan sebesar 3,25 % dan Dana Kesehatan sebesar 2 % dari gaji.58 f. Jaminan Sosial Tenaga Kerja Menggenai asuransi tenaga kerja pengaturannya terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1977 dan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1977. Kemudian sejak tanggal 17 Februari 1992, ASTEK di ubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1992 menjadi Jaminan Sosial tenaga Kerja mengenai kewajiban pembayaran premi berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) PP No. 14 Tahun tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, pengusaha menanggung penuh iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dan untuk iuran jaminan Hari Tua 3,70% ditanggung oleh pengusaha dan 2% ditanggung oleh tenaga kerja. yang ruang lingkupnya meliputi: 1) Jaminan kecelakaan kerja 2) Jaminan hari tua 3) Jaminan kematian 4) Jaminan pemeliharaan kesehatan.59 2. Pasca BPJS
58
http://www.asabri.co.id/index.php/info_syarat/info_pensiun diunduh pada 5 April 2015, Pada pukul 14:30 59
Ibid,h.121
40
Usaha memajukan kesejahteraan rakyat, berarti suatu usaha untuk mewujudkan suatu tingkat kehidupan masyarakat yang optimal berupa kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin dengan kualitas kehidupan yang dapat memenuhi unsur-unsur kebutuhan dasar manusia diantaranya kesehatan. Bidang pelayanan kesehatan sebagai salah satu unsur perbekalan kesehatan merupakan faktor yang paling dominan dalam memenuhi kebutuhan untuk mewujudkan derajat kesehatan tersebut.60 Status hukum Persero Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes pasca putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 31 Agustus 2005 terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005 dalam posisi transisi. Karena Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) nnUU SJSN yang menyatakan ke-4 Persero tersebut sebagai BPJS menurut UU SJSN dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi
dalam
pertimbangan
hukumnya
menyatakan
antara
lain:
“seandainya pembentuk undang-undang bermaksud menyatakan bahwa selama ini belum terbentuk BPJS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) badan-badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatas diberi hak untuk bertindak sebagai BPJS, maka hal itu sudah cukup tertampung dalam Ketentuan Pasal 52 UU SJSN.61 Selanjutnya Mahkamah Konstitusi
60
Muhammad Djumhana. Hukum Ekonomi Sosial Indonesia.Bandung:PT.Citra Aditya Bakti,1994.h 51 61
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005, h. 198
41
berpendapat bahwa ketentuan Pasal 52 UU SJSN justru dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum (rechstsvacuum) dan menjamin kepastian hukum (rechtszckerheid) karena belum adanya badan penyelenggara jaminan sosial yang memenuhi persyaratan agar UU SJSN dapat dilaksanakan.62 Bertitik tolak dari uraian diatas dapat dikemukakan beberapa alasan yang dijadikan pertimbangan mengapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosiasl harus segera di buat: a. Sebagai pelaksanaan UU SJSN pasca putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005. b. Untuk memberikan kepastian hukum bagi badan penyelenggara jaminan sosial dalam melaksanakan program jaminan sosial berdasarkan UU SJSN.63 Untuk itu sebagaimana diaut di dalam amanat Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 51 maka Tranformasi keempat Badan Usaha Milik Negara BUMN PT. Askes
PT. Jaminan Sosial tenaga kerja, PT. Asuransi Sosial Angkatan
bersenjata (Asabri), dan PT. Taspen menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan a. BPJS Kesehatan
62
Ibid, h,199
63
Ibid, h.200
42
Peserta BPJS Kesehatan adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.64 meliputi : 1) Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI) : fakir miskin dan orang tidak mampu, dengan penetapan peserta sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 2) Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Non PBI), terdiri dari : a) Peneriman upah dan anggota keluarganya. b) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya. c) Bukan pekerja dan anggota keluarganya.65 Anggota Keluarga yang ditanggung 1) Pekerja Penerima upah : Keluarga inti meliputi istri/suami dan anak yang sah (anak kandung, anak tiri, dan/atau anak angkat), sebanyak banyaknya 5 (lima) orang. 2) Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja: peserta dapat mengikut sertakan anggota keluarga yang diinginkan (tidak terbatas) 64
65
http://bpjs-kesehatan.go.id/m/ di unduh pada 23 Desember 2013 pukul 19.35
Ibid, http://bpjs-kesehatan.go.id/m/. Dalam penjelasan UU No.24 Tahun 2011 yang dimaksud dengan : a) Yang dimaksud penerima upah adalah pegawai yang memliki gaji pokok baik pegawai negeri sipil maupun pegawai swasta seperti: Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri, Pegawai swasta dan Pekerja yang tidak termasuk huruf a s/d f yang menerima upah termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat selama 6 bulan. b) Yang dimakud bukan peneriman upah adalah pekerja di luar hubungan atau pekerja mandiri dan Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang tidak meneriman upah termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat selama 6 bulan. c) Yang dimaksud bukan pekerja adalah Investor, Pemberi Kerja, Penerima Pensiun, Veteran, perintis kemerdekaan, Janda duda anak yatim piatudari Veteran atau Perintis Kemerdekaan dan bukan pekerja yang tidal termasuk huruf a s/d yang mampu membayar iuran
43
3) Peserta yang dapat mengikut sertakan anggota tambahan, yang meliputi anak ke-4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua 4) Peserta dapat mengikut sertakan anggota keluarga tambahan, yang meliputi kerabat lain seperti saudara kandung/ipar, sisten ruah tangga, dll.66 b. BPJS Ketenagakerjaan 1) Program Jaminan Hari Tua Program
Jaminan
Hari
Tua
ditujukan
sebagai
pengganti
terputusnya penghasilan tenaga kerja karena meninggal, cacat, atau hari tua dan diselenggarakan dengan sistem tabungan hari tua. Program Jaminan Hari Tua memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 tahun atau telah memenuhi persyaratan tertentu. Iuran program jaminan hari tua: a) Ditanggung perusahaan 3,7% b) Ditanggung pekerja 2 %.67 Kemanfaatan Jaminan Hari Tua adalah sebesar akumulasi iuran ditambah
hasil
pengembangannya.
Jaminan
Hari
Tua
akan
dikembalikan/dibayarkan sebesar iuran yang terkumpul ditambah dengan hasil pengembangannya.68 2) Program Jaminan Kecelakaan Kerja : 66
http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id di unduh pada 23 Desember 2014 pukul 21.15
67
Ibid, http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id.
68
Ibid, http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id
44
. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) memberikan kompensasi dan rehabilitasi bagi tenaga kerja yang mengalami kecelakaan pada saat dimulai berangkat bekerja sampai tiba kembali dirumah atau menderita penyakit akibat hubungan kerja seperti kematian atau cacat karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka diperlukan adanya jaminan kecelakaan kerja. Kesehatan dan keselamatan tenaga kerja merupakan tanggung jawab pengusaha sehingga pengusaha memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan kecelakaan kerja yang berkisar antara 0,24% - 1,74% sesuai kelompok jenis usaha. Iuran untuk program JKK ini sepenuhnya dibayarkan oleh perusahaan. Perincian
besarnya
iuran
berdasarkan
kelompok
jenis
usaha
sebagaimana tercantum pada iuran. 69 3) Program Jaminan Kematian Jaminan Kematian diperuntukkan bagi ahli waris dari peserta program BPJS Ketenagakerjaan yang meninggal bukan karena kecelakaan kerja. Jaminan Kematian diperlukan sebagai upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang. Pengusaha wajib menanggung iuran Program Jaminan Kematian sebesar 0,3% dengan jaminan kematian yang diberikan adalah Rp 21.000.000,- terdiri dari Rp 14.200.000,-
69
http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id di unduh pada 23 Desember 2014 pukul 21.30
45
santunan kematian dan Rp 2 juta biaya pemakaman dan Santunan Berkala: Rp 200.000,-/ bulan (selama 24 bulan) 4) Sektor Informal Tenaga Kerja yang melakukan pekerjaan di Luar Hubungan Kerja (LHK) adalah orang yang berusaha sendiri yang pada umumnya bekerja pada usaha-usaha ekonomi informal. Yang bertujuan memberikan perlindungan jaminan sosial bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan diluar hubungan kerja pada saat tenaga kerja tersebut kehilangan sebagian atau seluruh penghasilannya sebagai akibat terjadinya risiko-risiko antara lain kecelakaan kerja, hari tua dan meninggal dunia dan memperluas cakupan kepesertaan program BPJS Ketenagakerjaan. Iuran ditetapkan berdasarkan nilai nominal tertentu berdasarkan upah sekurang-kurangnya setara dengan Upah Minimum Provinsi/Kabupaten/Kota. Besar iuran jaminan kecelakaan kerja 1%, jaminan hari tua 2% (Minimal), jaminan Kematian 0,3%, iuran ditanggung sepenuhnya oleh peserta. 70 Jenis Program dan Manfaat (sesuai PP 14/1993): a) Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), terdiri dari biaya pengangkutan tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja, biaya perawatan medis, biaya rehabilitasi, penggantian upah Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB), santunan cacat tetap sebagian, santunan cacat total tetap, santunan kematian (sesuai label), biaya pemakaman, santunan berkala bagi yang meninggal dunia dan cacat total tetap. 70
http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id di unduh pada 23 Desember 2014 pukul 21.47
46
b) Jaminan Kematian (JK), terdiri dari biaya pemakaman dan santunan berkala. c) Jaminan Hari Tua (JHT), terdiri dari keseluruhan iuran yang telah disetor, beserta hasil pengembangannya. 5) Sektor Kontruksi Adalah Program Jaminan Sosial bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pada Sektor Jasa Konstruksi yang diatur melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP-196/MEN/1999 Tanggal 29 September 1999 Tahap Kepesertaan Setiap Kontraktor Induk maupun Sub Kontraktor yang melaksanakan proyek Jasa lainnya
wajib
Konstruksi dan pekerjaan borongan
mempertanggungkan
semua
tenaga
kerja
(borongan/harian lepas dan musiman) yang bekerja pada proyek tersebut kedalam Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor dan besarannya ditetapkan sebagai berikut: 1. Pekerjaan Konstruksi sampai dengan Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) sebesar 0,24% dari nilai kontrak kerja konstruksi 2. Pekerjaan Konstruksi diatas Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sebesar penetapan angka 1 ditambah 0,19% dari selisih nilai, yakni dari nilai Kontrak Kerja Konstruksi dikurangi Rp 100.000.000,(seratus juta rupiah) 3. Pekerjaan Konstruksi diatas Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) sebesar penetapan angka 2 ditambah 0,15% dari selisih nilai, yakni
47
dari nilai Kontrak Kerja Konstruksi dikurangi Rp 500.000.000,(lima ratus juta rupiah) 4. Pekerjaan Konstruksi diatas Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) sebesar penetapan angka 3 ditambah 0,12% dari selisih nilai, yakni dari nilai Kontrak Kerja Konstruksi dikurangi Rp 1.000.000.000,(satu miliar rupiah) 5. Pekerjaan Konstruksi diatas Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) sebesar penetapan huruf d ditambah 0,10% dari selisih nilai, yakni dari nilai Kontrak Kerja Konstruksi dikurangi Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) Nilai Kontrak Kerja Konstruksi yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan iuran tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%. Adapun proyek - proyek tersebut meliputi :71 a) Proyek-proyek APBD. b) Proyek-proyek atas Dana Internasional. c) Proyek-proyek APBN. d) Proyek-proyek swasta, dll
71
http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id di unduh pada 23 Desember 2014 pukul 22.04
BAB IV PENYELENGGARAAN BPJS A. Kebijakan Persaingan Usaha Terhadap Penyelenggaraan BPJS BPJS terbentuk sesuai dengan amat UU SJSN yang diwujudkan dengan Uudang-undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk mengelola asuransi sosial di Indonesia. Sejalan dalam perkembangannya, sebenarnya sebelum adanya BPJS sudah ada banyak pelaku usaha asuransi baik berupa asuransi kesehatan, ketenagakerjaan, asuransi jiwa, asuransi jaminan hari tua dan lain-lain, mereka adalah pelaku usaha swasta. Pelaku usaha swasta ini sebenarnya sudah mampu mengelola jenis-jenis asuransi sebagaimana yang telah disebutkan diatas yang diperuntukan bagi masyarakat luas dengan berbagai pelayanan dan fasilitas yang di tawarkan, sehingga pelaku usaha swasta ini dapat dikatakan sebagai pesaing yang potensial yang memang sudah eksis sebelum adanya BPJS. Hal ini dapat dilihat dengan menjamurnya pelaku-pelaku swasta di bidang asuransi. Tetapi pemerintah mengeluarkan kebijakan Melalui Undangundang yang memberikan delegasi kepada BPJS untuk menjalankan program asuransi sosial, dan memberikan BPJS hak monopoli melalui Undang-undang No.24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara jaminan Sosial. Menggenai ketentuan hak monopoli yang dimiliki BPJS di atur di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
48
49
Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 50 huruf a yang menyatakan,Yang dikecualikan dari ketentuan Undang-undnag ini adalah : (a) Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undang Pasal ini menyebabkan monopoli pemerintah melalui BPJS tidak dapat dikatakan melawan hukum, karena ada delegasi dari Undang-undang No. 24 Tahun 2011. Kegiatan usaha yang dilakukan BPJS bersifat melaksanakan perintah Undang-undangan yang menjadi dasar hukum pengecualian bagi BPJS, yang keberadaannya di akui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menggenai pengaturan pelaksanaan monopoli di atur di dalam Pasal 51 UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat: “Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan Undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.”
Karena di dalam penjelasan Pasal 51 dikatakan cukup jelas maka pengaturan lebih lanjut menggenai ketentuan Pasal 51 dijelaskan secara rinci dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 3 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Disana dijelaskan tujuan dari Pasal 51 melalui pedoman pelaksanaan Pasal 51 adalah
50
mengidentifikasi batasan hukum yang jelas menggenai maksud dari kegiatan bidang produksi atau pemasaran barang dan jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang produksi yang penting bagi negara, menjadi pedoman bagi para pihak dalam melakukan kegiatan usaha agar tidak mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.72 Dalam menjabarkan keberadaan Pasal 51, terdapat beberapa bagian yang merupakan elemen utama dalam Pasal ini terkait keberadaan intervensi negara. Keberadaan Pasal 51 memungkinkan adanya monopoli dan pemusatan kegiatan yang di kecualikan dari Undang-undang hukum persaingan usaha, Namun apabila prilaku pelaku usaha melalui posisi dominannya yang bertendensi melakukan praktek monopoli yang berujung pada persaingan usaha tidak sehat, kegiatan tersebut tidak lepas dari penegakan persaingan usaha. Karena kegiatan usaha yang mengarah kepada praktek monopoli akan akan merugikan pelaku usaha, konsumen, dan kepetingan umum, sehingga praktek monopoli menjadi sebuah kegiatan yang dilarang. Sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam, islam juga mendorong para pelaku usahanya bersaing secara sehat. Didalam ekonomi Islam juga melarang pelaku usaha menjalankan usahanya secara curang (batil) atau menjalankan usahanya secara tidak sehat. Pelarangan pelaku usaha untuk tidak melakukan kegiatan usahanya secara curang atau secara tidak sehat sebagaimana Allah SWT
72
Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999. h.6
51
berfirman di dalam Al-Qur‟an Surat An-nisa (4) : 29 dan Al- Baqarah (2) : 279 yang berbunyi ;
) سورة
(4:29 /النساء
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
(2:279
(القرآن الكريم
Artinya : “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” Pasal 51 UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengakui kewenangan negara dalam memberikan hak monopoli kepada BUMN dan/atau kepada badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk pemerintah untuk menyelengarakan monopoli atas barang atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta cabang produksi yang penting bagi negara. Namun terhadap tindakan yang dilakukan oleh pemegang hak monopoli yang bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan usaha tidak sehat tidak dikecualikan. Apabila kita menelaah frasa “ bertujuan melaksanakan” dalam
52
Pasal 50 huruf (a) diartikan bahwa pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha bukan atas otoritasnya sendiri melainkan menjalankan perintah dan kewenanggannya yang di atur secara tegas di dalam Undang-undang. Dengan demikian “perbuatan atau perjanjian” yang dikecualikan dalam ketentuan Pasal 50 huruf (a) adalah perbuatan dan/atau perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha berdasarkan perintah dan kewenanggan yang diberikan oleh Undang-undang untuk dilaksanakan.73 Sebuah monopoli atau pemusatan kegiatan hanya dapat dikecualikan dari ketentuan Pasal 51 tadi selama monopoli atau pemusatan kegiatan tersebut diatur keberadaannya oleh Undang-undang. Dengan kata lain yang di kecualikan adalah tindakan-tindakan yang jelas di atur di dalam Undang-undang dan peraturan pelaksanaanya, namun tidak berlaku ketika monopoli atau pemusatan kegiatan tersebut melahirkan perbuatan yang anti persaingan di Undang-undang terkait atau peraturan pelaksananya. Dengan kata lain kegiatan monopoli yang berujung pada praktek monopoli tanpa memberikan kesempatan pada perusahaan lain yang sejenis untuk menawarkan bentuk kerjasama yang kompetitif, maka potensi benturan dengan prinsip persaingan yang sehat dapat terjadi, khususnya terkait dugaan menghambat persaingan usaha yang sehat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 UU No.5 tahun 1999.74
73
Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 UU No. 5 Tahun 1999.h.15
74
Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999. h.12
53
B. Tugas dan Kewenangan KPPU dalam Menjaga Iklim Persaingan Perusahaan asunransi di Indonesia. Dalam konteks ketatanegaraan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary organ) yang mempunyai wewenang berdasarkan UU No.5 tahun 1999 untuk melakukan penegakan hukum persaingan usaha. Secara khusus pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bertujuan untuk menjamin iklim usaha yang kondusif, dengan adanya persaingan yang sehat memberikan kesempatan usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. Selain itu komisi ini dibentuk untuk mendorong terciptanya efisiensi dan efektivitas dalam kegiatan usaha.75 Dalam Pasal 35 UU No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukan bahwa tugas KPPU terdiri dari : a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16; b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24; c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28; d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36; e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
75
Andi Famhi lubis, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.h 311-313
54
f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini; g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan Pasal 35 diatas salah satu tugas KPPU adalah melakukan penilaian terhadap kegiatan perusahaan atau tindakan pelaku usaha, melakukan penilaian terhadap “ada atau tidaknya” penyalahgunaan posisi dominan, serta memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Karena hal ini merupakan kewajiban dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang harus dipenuhi maka tidak diperlukan lagi adanya permintaan dari pemerintah. Sebaliknya, KPPU berkewajiban memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah apabila dianggap perlu tanpa diminta dengan tujuan untuk mendorong ekonomi pasar berfungsi secara lancar, karena pelaku usaha harus dilindungi dari praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.76 Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa proses pengawasan oleh KPPU dalam bidang hukum persaingan usaha, memiliki tujuan untuk menilai apakah kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha tertentu melanggar hak-hak konsumen atau pelaku usaha dari sebuah tindakan tertentu yang diduga melanggar ketentuan Hukum Persaingan Usaha. Ketentuan persaingan usaha haruslah menjadikan kesejahteraan konsumen dan kepastian untuk para pelaku usaha 76
Knud Hansen, et.al, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 : Undang-undang Antimopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat ( Law Concering probhition of monopolistic practies and unfair business competition), Jakarta:Katalis dan GTZ.h.380
55
menjalankan usahanya, sebagai parameter utama dalam menilai apakah suatu tindakan melanggar prinsip-prinsip persaingan sehat atau tidak. Hal ini berimplikasi pula dalam melakukan pengawasan/supervisi terhadap kegiatan usaha yang memiliki aroma monopoli yang di dapat khususnya karena menjalakan Undang-undang atau monopoli alamiah dimana yang di awasi adalah kegiatan usaha yang keberadaannya berdasarkan intervensi dari pemerintah, untuk mencegah terjadinya praktek monopoli yang mengarah kepada persaingan usaha tidak sehat. Dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang diintervensi oleh pemerintah tersebut. Maka yang digunakan di Indonesia adalah pendekatan dari Mazhab Harvard atau Harvard school yang mengunakan metode analisis dengan pendekatan terhadap Structure, Conduct, Performance (Struktur, Perilaku, dan Kinerja). Mazhab Harvard atau Harvard school adalah pendekatan yang berpendapat bahwa struktur pasar akan mempengaruhi prilaku perusahaan dalam membuat keputusan untuk berkompetisi atau berkolusi. Apabila kinerja pelaku usaha baik akan muncul struktur atau dan prilaku yang kompetitif, namun apabila tingkat konsentrasi tinggi akan mendorong perusahaan melakukan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.77 Sedangkan Mazhab Chicago atau Chicago School mengunakan metode analisis dengan mengunakan pendekatan terhadap Price Theory (Teori Harga). Sedangkan Mazhab Chicago atau Chicago
77
Andi Fahmi Lubis et.al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.h. 42
56
School mengunakan metode analisis dengan mengunakan teori harga, pelaku usaha dikatakan melanggar hukum persaingan usaha apabila menetapkan harga terhadap suatu barang dan/atau jasa secara sewenang-wenang.78 Dalam konteks adanya pengawasan aktif terhadap kebijakan pemeritah, maka yang kita kedepankan adalah pendekatan Mazhab Harvard, karena kebijakan pemerintah dan hukum persaingan usaha harus berjalan secara beriringan. Hukum persaingan usaha harus menjadi parameter utama dalam menilai kenerja perekonomian sebuah negara lewat analisis terhadap pasar. Untuk melihat adanya pengawasan/supervisi aktif akan di jabarkan sebuah perkara hukum persaingan usaha di Indonesia dimana terdapat pengecualian dari negara berupa hak monopoli yang di lakukan untuk menjalankan Undang-undang atau suatu peraturan tertentu. Namun tidak lepas dari pengawasan KPPU dan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Perkara Monopoli Air Bersih di Batam (Putusan Komis Pengawas Persaingan Usaha Perkara Nomor: 11/KPPU-L/2008) : 1. Duduk Perkara Dalam perkara ini PT Adhya Tirta Batam (ATB) adalah perusahaan yang melaksanakan pengelolaan air bersih di batam dengan hak eksklusif konsensi pengolahan air bersih berdasarkan Keputusan Otorita Batam Nomor 063/UM-KPTS/IX/1995.
78
Ibid, h.45
57
PT ATB dinilai telah melakukan praktek monopoli berdasarkan Pasal 17 Uudang-undang No. 5 Tahum 1999. PT ATB dengan hak monopolinya telah melakukan praktek monopoli dalam pengolahan air bersih di pulau Batam berupa penghentian atau pengurangan pemasangan sambungan baru yang menyebabkan konsumen terhalangi haknya untuk mendapatkan pasokan air bersih. PT ATB juga diduga telah melakukan deskriminasi berdasarkan Pasal 19 huruf d Undang-undang No .5 Tahun 1999 karena tidak melakukan pemansangan meteran air terhadap perumahan yang telah membangun jaringan air sesuai prosedur.79 Selain dua Pasal tadi, PT ATB juga disebut menyalahgunakan posisi dominan pada Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. PT ATB menetapkan pemasangan meteran baru hanya dapat dilakukan apabila rumah telah selesai dan/atau telah akad kredit.80 Dalam putusannya, Majelis komisi dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutus PT ATB telah melanggar Pasal 17 huruf a,81 namun tidak memenuhi unsur dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 19 huruf d Undangundang No. 5 Tahun 1999. Hal ini disebabkan unsur „barang dan jasa bersaing‟ dalam Pasal yang bersangkutan tidak terpenuhi karena meskipun terdapat pelaku usaha lain yang menyediakan jasa pelayanan air bersih di 79
Putusan Perkara Nomor: 11/KPPU-L/2008, h.4
80
Ibid, h.5
81
Ibid, h.179
58
pulau batam yakni PT PKT dan PT Batamindo, tetapi kedua pelaku usaha tersebut tidak berada pada pasar yang sama dengan PT ATB sehingga ketentuan Pasal ini tidak terpenuhi.82 Dalam konteks adanya supervisi atau pengawasan aktif terhadap kebijakan pemeritah, maka yang kita kedepankan adalah pendekatan Mahzab Harvard. Karena kebijakan pemerintah dan hukum persaingan usaha harus berjalan secara beriringan. Hukum persaingan usaha harus menjadi parameter utama dalam menilai kenerja perekonomian sebuah negara lewat analisis terhadap pasar, yang memberikan hak untuk melaksanakan konsensi pengelolaan air bersih di Pulau Batam mulai tanggal 15 Desember 1995 dengan hak eksklusif. Keberadaan konsensi ini sendiri telah di kuatkan dengan adanya keputusan No. 14/G.TUN/2005/PTUN.BPR tanggal 23 November dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah memutuskan bahwa hak konsensi air PT ATB sesuai dengan perjanjian (kontrak) konsensi dan Keputusan Pemberian Hak Monopoli konsensi Air adalah sah dan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Dalam eksistensi pengecualian dalam kerangka Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, maka PT ATB mendalilkan bahwa berdasarkan Pasal 50 huruf a UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kegiatan monopoli yang mereka lakukan
82
Ibid, h.135
59
merupakan kegiatan yang di kecualikan oleh undang-undang (UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat) karena setiap perbuatan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan
peraturan
Perundang-undangan
yang
berlaku
adalah
dikecualikan dari penegakan Hukum Persaingan Usaha.83 PT ATB kemudian menngajukan keberatan di Pengadilan Negeri Batam dimana atas hal ini Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha(KPPU) dibatalkan PN Batam dengan pertimbangan bahwa PT ATB pengembang amanat Peraturan Daerah Otorita Batam. KPPU kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). MA melalui putusan No. 413/PDT.SUS/2009 tanggal 28 Oktober 2009 Menguatkan Putusan KPPU.84 2. Analisis kasus Posisi yang dimiliki oleh PT. ATB sebagaimana kewenagan yang diberikan oleh Otorita Batam melalui keputusan 063/UM-KPTS/IX/1995 sesuai dengan Pasal 50 huruf a Undang-undang No. 5 tahun 1999 dapat dibenarkan karena ada unsur yang jelas yaitu delegasi yang diberikan oleh pihak yang berwenang yaitu Otorita Pengembang Daerah Industri Pulau Batam (Otoria Batam), namun harus tetap diperhatikan apakah praktek monopoli yang dilakukan oleh PT ATB benar-benar diatur secara formal 83
Ibid, h. 143 KPPU, “MA Menguatkan Putusan Monopoli Air di Batam”, Majalah Kompetisi,Edisi 22,(2010).h.16 84
60
legalistik dan merupakan delegasi yang tegas dari peraturan Perundangundangan tertentu seperti tindakan-tindakan yang diduga melanggar prinsipprinsip persaingan sehat oleh KPPU. Dengan kata lain, ketika praktek monopoli yang dilakukan oleh PT ATB terbukti merugikan atau membuat pelaku usaha lainnya atau konsumen air menderita kerugian. Maka praktek monopoli yang menyebebkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan PT ATB tersebut tidaklah dikecualikan oleh penegakan hukum persaingan usaha. Berdasarkan contoh kasus monopoli PT ATB di atas jelas bahwa yang yang dikecualikan dalam Pasal 50 huruf a Undang-undnag No. 5 Tahun 1999 adalah posisi monopoli yang bermaksud menjalankan perintah Undang-undang. Namun apabila pelaku usaha melakukan praktek monopoli yang tidak di atur di dalam ketentuan Undang-undang yang memberikan delegasi monopolinya maka kegiatan tersebut tidak lepas dari hukum persaingan usaha. Begitu pun juga Badan Penyelerengara Jaminan Sosial (BPJS) yang mendapatkan delegasi dari Undangundang No. 24 tahun 2011 yang menjadi sebuah legitimasi yuridis untuk memonopoli program asuransi dengan mewajibkan seluruh warga negara menjadi perserta program BPJS tersebut. Pada Pasal 51 Undang-undang No.5 Tahun 1999 memlilik unsur tujuan yang jelas dari negara untuk mengecualikan kegiatan tertentu dari hukum persaingan usaha dalam unsur “diatur oleh Undang-undang”. Pasal ini juga berbicara menggenai monopoli bukan praktek monopoli karena yang dikecualikan adalah adalah monopoli atau pemusatan kegiatan, dengan kata lain
61
Pasal 51 UU membenarkan BUMN menguasai sektor strategis sebagai monopoli alamiah yang dihormati, asalkan tidak menyalahgunakannya.85 Dalam melakukan pegawasan terhadap kegiatan usaha yang dilakukan oleh BPJS. KPPU berwenang untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan kepada pelaku usaha,saksi ataupun pihak lain karena adanya laporan (Pasal 39 UU No. 5 Tahun 1999) maupun melakukan pemeriksaan atas dasar inisiatif KPPU sendiri. 1. Pemeriksaan Atas Dasar Laporan Pemeriksaan atas dasar laporan adalah pemeriksaan yang dilakukan karena adanya laporan dari masyarakat yang dirugikan atas dasar laporan dari pelaku usaha yang dirugikan oleh tindakan pelaku usaha yang di laporkan. 2. Pemeriksaan Atas Dasar Inisiatif KPPU Permeriksaan atas dasar inisiatif adalah pemeriksaan yang dilakukan atas dasar inisiatif dari KPPU sendiri karena ada dugaan atau indikasi pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat.86 Apabila BPJS terbukti melakukan penyalahgunaan posisi monopoli atau posisi dominannya, Maka KPPU dapat menjatuhkan sanksi administratif kepada BPJS. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 47, berupa : 1. Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai 13, Pasal 15 dan Pasal 16;
85
A.Juanaedi, Dkk. Negara Dan Pasar Dalam Bingkai Kebijakan Persaingan Usaha.,h.4 Andi Famhi lubis, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.h 326
86
62
2. Perintah untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; 3. Perintah untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; 4. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; 5. Penetapan pembayaran ganti rugi; 6. Penganaan denda minimal Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah).87 Sehingga apabila terjadi praktek monopoli dari kegiatan usaha yang dilakukan BPJS menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, yang lahir dari posisi yang monopoli tadi haruslah tetap mendapat supervisi dari penegakan hukum persaingan usaha. C. Harmonisasi Penyelenggaraan BPJS dengan Prinsip-Prinsip Persaingan Usaha Sehat. Undang-undang hukum persaingan usaha berupaya untuk mengatur menggenai berbagai kegiatan, maupun perjanjian yang dilarang yang dapat menghambat proses persaingan, oleh sebab itu adanya kebutuhan yang mendasar tehadap pengaturan dan regulasi jenis kegiatan, pihak, maupun industri tertentu kedalam pengaturan hukum persaingan usaha. Segala bentuk regulasi yang di buat harus difokuskan adalah perlindungan terhadap pihak yang lemah dalam proses persaingan yang sangat keras, karena pada akhirnya akan mengakibatkan 87
Ibid, 342-343
63
para pelaku usaha tersingkir dari proses persaingan, atau pertimbangan difokuskan pada suatu industri yang memang sebelumnya telah di proteksi Undang-undang seperti kereta api, air minum, atau listrik. Keseluruhan pertimbangan ini haruslah di pikirkan secara matang oleh pemerintah sehingga tidak terjadi kesenjangan kesempatan kepada pelaku usaha yang kurang mampu bersaing dalam pasar, proteksi yang berlebihan pada suatu industri atau pelaku tententu yang juga dapat mengakibatkan terjadinya hambatan pada proses persaingan atau sekedar menjadi proteksi yang tidak efektif pada satu pelaku usaha tertentu. Tetapi apapun permasalahannya, apakah dibutuhkan atau tidak, maka regulasi dalam persaingan usaha harus di lihat sebagai jalan keluar untuk mengatur pasar persaingan.88 Sampai saat ini, hanya ada sedikit panduan yang secara jelas mengukur bagaimana pengaruh suatu peraturan pada persaingan yang sehat. Munculnya berbagai macam kebijakan tidak menutup kemungkinan adanya gesekan dengan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Oleh sebab itu, diperlukan adanya harmonisasi antara kebijakan persaingan dan kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah. “Prinsip-prinsip Analisa Dampak Regulasi” yang meliputi: 1. Bahwa setiap regulasi/kebijakan harus menjamin kesejahteraan rakyat melalui ketersediaan produk di pasar berikut inovasi dan variasinya;
88
Ningrum Natasya Sirait. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia,Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004 h 214-215
64
2. Bahwa setiap regulasi/kebijakan harus mendorong efisiensi ekonomi nasional melalui ketersediaan produk di pasar dengan harga yang ekonomis; 3. Bahwa setiap regulasi/kebijakan harus menjamin kepastian dan kesempatan berusaha bagi setiap pelaku usaha melalui pengurangan hambatan masuk (entry barrier) dan hambatan keluar dari pasar; 4. Bahwa setiap regulasi/kebijakan harus mencegah timbulnya perilaku yang anti persaingan; Selain itu, untuk melakukan analisa dampak regulasi, maka perlu diketahui pula mengenai “Parameter Analisa Dampak Regulasi” yang meliputi: 1. Regulasi/kebijakan akan berdampak negatif terhadap iklim persaingan apabila berakibat pada kenaikan harga dan atau penurunan tingkat (volume) produksi di pasar; 2. Regulasi/kebijakan akan berdampak negatif terhadap iklim persaingan apabila mengakibatkan pengurangan atau pembatasan terhadap variasi dan kualitas produk di pasar; 3. Regulasi/kebijakan akan berdampak negatif terhadap iklim persaingan apabila mengurangi tingkat atau kemampuan pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi; 4. Regulasi/kebijakan akan berdampak negatif terhadap persaingan apabila berakibat kepada penurunan atau pembatasan ruang bagi pelaku usaha untuk melakukan inovasi produk;
65
Menggenai panduan mengukur dampak sebuah kebijakan suatu kebijakan terhadap persaingan usaha dikaitkan dengan Pasal-Pasal dalam Undang-undang No.24 tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Didalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 17, mewajibkan seluruh warga Indonesia termasuk orang asing yang berkerja minimal 6 bulan dan para pemberi kerja menjadi peserta wajib BPJS apabila ditinjau dari ketentuan Pasal 19 Undang-Undnag No.5 tahun 1999 BPJS melalui kewenangannya bertendensi melalukan penguasaan terhadap pasar asuransi di Indonesia. Melalui ketentuan Pasal-Pasal diatas Undang-undang No.24 tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara tidak langsung, tidak memberikan pilihan terhadap konsumen untuk memilih produk asuransi yang dia kehendaki. Di lihat dari ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 17 Undang-undang No.24 tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Undang-undang ini bersifat imperative (memaksa) tanpa memberi pilihan kepada konsumen, hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana diatur didalam Pasal 25 UndangUndang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat akibat pemberian hak monopoli yang diberikan pemerintah kepada BPJS. Mengingat sudah terdapat banyak perusahaan asuransi swasta dan sudah terciptanya pasar persaingan sempurna di bidang jasa asuransi seharusnya UU No.24 Tahun 2011 bersifat fakultatif atau bersifat menganjurkan. Pemerintah dalam
mewujudkan
kesejahteraan
negara
(welfare
state)
harus
pula
66
memperhatikan kesejahteraan konsumen (welfare consumer) dalam hal ini pemerintah tetap menyelengarakan asuransi sosial yang kepesertaannya bersifat sukarela dan memberikan kebebasan konsumen untuk memilih atau pemerintah dalam hal ini hanya mewajibkan semua pekerja, pemberi kerja dan setiap orang di luar pekerja dan pemberi kerja mengikuti program asuransi sosial, terlepas nantinya memilih BPJS atau asuransi lain selain BPJS, sehingga menjamin para pelaku usaha asuransi di Indonesia mempunyai kesempatan yang sama dan pangsa pasar yang sama untuk bersaing secara sehat. Pada akhirnya kompetisi diharapkan dapat menjadi suatu mekanisme yang mampu menciptakan efisiensi yang berfungsi sebagai alat untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha. Dari persaingan yang sehat diharapkan akan tercapainya hasil produksi yang efisien, efektif, dan berkualitas tinggi. Sehingga tujuan akhir yang di untungkan adalah konsumen karena di berikan kesempatan untuk memiliki pilihan terhadap produk yang berkualitas dan dapat membeli dengan harga yang bersaing yang cenderung relatif murah. Untuk itu dalam hal melakukan pengaturan dalam posisi monopoli yang didapat pelaku usaha perlu adanya upaya pengaturan pasal-pasal untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan posisi monopoli yang pada akhirnya menyebabkan praktek monopoli yang mengarah pada persaingan usaha tidak sehat. Langkah yang dapat diambil dalam rangka mengharmonisasikan antara kepentingan penyelengaraan BPJS dan kepentingan persaingan usaha. Seperti penetapan bahwa kewajiban untuk mengikuti bersifat konstitusional bersyarat arti
67
melibatkan peran serta dan partisipasi aktif perusahaan asuransi swasta dalam menjalankan program jaminan sosial yang telah mereka laksanakan sebelum terbentuknya BPJS. Sehingga pelaksaan jaminan sosial tidak hanya di selenggarakan BPJS. Dalam hal ini BPJS dapat menjadi regulator yang keputusannya ditaati oleh penyelengara asuransi sosial lainnya. Cabang-cabang yang penting dan menguasai hajat orang banyak memang harus dikuasai oleh negara, tetapi pergetian dikuasai tersebut tidak dimaksudkan untuk dimiliki. Pengertian “dikuasai oleh negara” harus dipahami tidak indentik dengan dengan dimiliki oleh negara. Bahkan dikatakan bahwa pengertian penguasaan oleh negara dalam ketentuan pasal 33 ayat (2) dan (3) tersebut bukan dimaksudkan harus diwujudkan melalui pemilikan oleh negara, dalam hal ini negara hanya berperan sebagai regulator.89 Dalam implemetasinya perwujudan dari harmonisasi pengaturan ini dapat dilakukan dengan membuat Peraturan Pemenritah yang mengatur bentuk penyelengaraan jaminan sosial atau penetapan bahwa kewajiban dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang badan Penyelengara Jaminan Sosial inkonstitusional bersyarat. Perekonomian modern menghendaki efisiensi yang tinggi, sehingga membiarkan badan-badan usaha milik negara untuk eksis selama ini justru sama dengan membiarkan berkembangan inefisiensi dan penggelolaan sumber daya
89
Jimly Asshiddqie, Konstitusi Ekonomi.h. 250
68
ekonomi yang justru merugikan negara dan rakyak banyak. 90 Karena perlu diingat bahwa tujuan dari Undang-undang No. 5 tahun 1999 adalah untuk menegakan proses persaingan yang berlaku bagi semua pihak tanpa terkecuali bagi siapapun juga. Sehingga hormonisasi dan pengakomodasian dari regulasi yang diciptakan haruslah mengikut sertakan pertimbangan bahwa pengaturan tidak akan berbenturan dengan mekanisme pasar, sistem ekonomi yang dianut, maupun peruturan yang sejajar atau peraturan yang lebih tinggi di atasnya. Diantaranya adalah pertimbangan norma hukum yang berlaku dan kepentingan umum sehingga dapat di kombinasikan rasionalisasi kepentingan yang bervariasi tersebut dengan jalan melihat fakta kepentingan serta tujuan keduanya.91
90 91
Ibid,h.250 Ningrum natasya sirait. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia.h 215-216
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kegiatan usaha yang diselengarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sesuai dengan ketentuan pada peraturan UU No.5 Tahun 1999 yaitu Pasal 50 huruf (a) dan Pasal 51 yang mengatur menggenai pengecualian terhadap Undang-undang ini, yang intinya adalah pengecualian bagi perbuatan dan/atau perjanjian yang melaksanakan peraturan perundang-undang dan monopoli. Namun yang harus benar-benar di perhatikan adalah bahwa Undangundang hanya melegitimasi kegiatan monopoli yang di atur sesuai Undangundang baik dari Undang-undang No. 5 tahun 1999 tetang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat maupun Undang-Undang No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Namun apabila kegiatan usaha yang di selengarakan BPJS di luar wewenang yang di berikan Undang-undang No. 24 Tahun 2011 atau mengarah pada penyalahgunaan posisi dominan dari hak monopolinya yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Maka kegiatan usaha yang dilakukan oleh BPJS tidak lepas dari hukum persaingan usaha. 2. Untuk mengetahui apakah ada pelanggaran yang di lakukan BPJS dalam menjalankan kegiatan usahanya, maka di perlukan pengawasan aktif oleh KPPU. Berdasarkan Pasal 35 KPPU mempunyai tugas memberikan saran dan
69
70
pertimbangan, serta melakukan penilaian secara mendalam mengenai apakah kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memegang hak monopoli menyebabkan persaingan usaha tidak sehat atau tidak melalui penilaian terhadap stuktur, prilaku, dan kinerja BPJS dalam menjalankan kegiatan usahanya. Ketika BPJS terbukti melanggar prinsip-prinsip persaingan usaha sehat maka BPJS tidak lepas dari jerat hukum persaingan usaha dan KPPU dapat mejatuhkan sanksi administratif kepada BPJS yang melanggar ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 berupa perintah untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan. 3. Mengingat sudah terdapat banyak perusahaan asuransi swasta dan sudah terciptanya pasar persaingan sempurna di bidang jasa asuransi seharusnya UU No.24 Tahun 2011 bersifat fakultatif atau bersifat menganjurkan, karena apabila bersifat imperative (memaksa) tanpa memberi pilihan kepada konsumen dikhawatirkan akan berdampak pada penyalahgunaan posisi dominan yang dimilikinya. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah penetapan bahwa kewajiban untuk mengikuti bersifat konstitusional bersyarat arti melibatkan peran serta dan partisipasi aktif perusahaan asuransi swasta dalam menjalankan program jaminan sosial. Dalam implemetasinya perwujudan dari harmonisasi pengaturan ini dapat dilakukan dengan membuat Peraturan Pemenritah yang mengatur bentuk penyelengaraan jaminan sosial atau penetapan bahwa kewajiban dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang badan Penyelengara Jaminan Sosial konstitusional bersyarat.
71
B. Saran 1. Seharusnya BPJS dalam menjalankan kegiatan usahanya di berikan sosialisasi melalui seminar pelatihan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menggenai hukum persaingan usaha dan prinsip-prinsip menjalankan usaha secara sehat, agar didalam menjalankan kegiatan usahanya BPJS tidak menyalahgunakan posisi monopoli yang didapatkan melalui Undang-Undang. Sehingga kegiatan usaha yang diselengarakan BPJS sesuai dengan prinsipprinsip persaingan sehat. 2. Penyeleggaraan kegiatan usaha oleh BPJS harus di awasi secara aktif baik oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melalui penilaian KPPU terhadap kegiatan usaha BPJS secara pro aktif maupun oleh masyarakat. Sehingga ketika terjadi penyalahgunaan posisi monopoli atau pelanggaran terhadap prinsipprinsip persaingan sehat yang dilakukan oleh BPJS, dapat segera ditindak lanjuti oleh KPPU. 3. Agar pembahasan tentang BPJS dimasukan di dalam kurikulum pendidikan di Fakultas Hukum maupun Fakultas Syariah dan Hukum didalam mata kuliah Hukum Asuransi yang di dalamnya di masukan pula materi persaingan usaha sehat di lingkungan asuransi di Indonesia.
Daftar Pustaka
Buku : Anggraini, Tri. Konsep Dasar Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Penerapan Pendekatan “Rule Of Reason dan Per Se Illegal” Dalam Hukum Persaingan. Prosiding rangkaian Lokal Karya terbatas Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya 17-18 mei 2004. Jakarta : Pusat pengkajian Hukum , 2005. Ashiddiqie, Jimly. Konstitusi Ekonomi, Jakarta:Kompas,2010. Djumhana,Muhammad. Hukum Ekonomi Sosial Indonesia. Bandung:PT.Citra Aditya Bakti,1994. Fuady,Munir,Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Usaha Sehat. Bandung PT. Citra Aditya Bakti, 1999 Gardner, Bryan A, ed. Black’s Law Dictionary. Dallas: West Group, 1991. Ginting, Elyta Ras. Hukum Anti Monopoli Indonesia “ Analisis Dan Perbandingan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999”, Bandung: PT citra Aditnya bakti, 2001 Hartono,Sri Rejeki. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta:Sinar Grafika,1995. Hansen Knud, et.al, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 : Undang-undang Antimopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat ( Law Concering probhition of monopolistic practies and unfair business competition), Jakarta:Katalis dan GTZ. Ibrahim, Johnny, Hukum Persaingan Usaha “Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia”. Malang:Bayumedia Publishing,2007 Juwana, Hikmahanto.Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. Jakarta:Lentera Hati,2001 Junaedi.A, Dkk. Negara Dan Pasar Dalam Bingkai Kebijakan Persaingan Usaha. Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, 2011.
72
73
Lubis,
Andi
Fahmi,et.al.
Hukum
Persaingan
Usaha
Antara
Teks
dan
Konteks.Jakarta:Deutsche Gesellschhaft fur tecnische zusammenarbeit, 2009, Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum. Jakarta : kencana, 2007. Margo, Suyud, Hukum Antimonopoli. Jakrta:Sinar Grafika,2009. Muhammad, Abdulkadir,Hukum Asuransi Indonesia, Bandung:PT.Citra Aditnya Bakti,2011 Prakoso,Djoko. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta:PT.Rineka Cipta,2004. Prayoga Ayuda D, dkk. Persaingan Usaha Dan Hukum yang mengaturnya Di Indonesia. Jakarta: ELIPS, 2005. Projodikoro,Wirjono.Hukum Asuransi di Indonesia. Jakarta:PT.Intermasa,1994. Sastrawidjaja,Man Suparman. Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga. Bandung: P.T Alumni,2003. Sumarnogroho,T.
Sistem
Intervensi
Kesejahteraan
sosial.
Yogyakarta:
Hanindita,1984. Sirait, Ningrum Natasya. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, medan pustaka bangsa press, 2004 Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha.Jakarta:Ghalia Indonesia, 2002, Tanya,Bernard L,dkk,. Teori Hukum “Steategi Terbib Manusia Lintas Ruang dan Generasi.Yogyakarta: Genta Publishing, 2013. Yani,Ahmad dan Gunawan wijaya, Anti Monopoli. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,1999.
Peraturan Perundang-undangan : Undang-undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Undang-Undang No 24 Tahun 2012 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
74
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 3 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
Putusan Pengadilan : Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nomor: 11/KPPU-L/2008 (Perkara Monopoli Air Bersih di Batam)
Internet : http://bpjs-kesehatan.go.id/m/ http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id http://www.asabri.co.id/index.php/info_syarat/info_pensiun
Majalah: Majalah Kompetisi,Edisi 22,(2010)