PENGARUH SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN MINERAL TERHADAP STATUS GIZI, KADAR HEMOGLOBIN DAN TINGKAT KEBUGARAN FISIK MAHASISWI TPB IPB
NAZHIF GIFARI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh suplementasi multivitamin mineral terhadap status gizi, kadar hemoglobin dan tingkat kebugaran fisik mahasiswi TPB IPB adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2013 Nazhif Gifari NIM I14080118
ABSTRACT NAZHIF GIFARI. The effect of multivitamin mineral supplementation on the nutritional status, hemoglobin concentration and physical fitness of Bogor Agricultural University First Common Year female students. Supervised by RIMBAWAN and MIRA DEWI. The aims of the study are to examine the influence of multivitamin mineral supplementation on the nutritional status, hemoglobin concentration and physical activity of Bogor Agricultural University First Common Year female students. The previous research showed that Bogor Agricultural University First Common Year female students have a high prevalence of anemia (Briawan 2008). The design of the research was a double blind-quasi experimental. Subjects consisted 27 people who were sistematically allocated into two groups. The first group consisted of 14 people (28.5% anemia), received multivitamin mineral (MVM) and the second group consisted of 13 peopole (38.4% anemia), received placebo (control group). The supplements contained of vitamin B 1, B2, B3, B6, B12, vitamin C, Ca, Mn, Fe and Zn which were distributed and consumed everyday during 8 weeks. The data used were primary data in the form of characteristic samples, anthropometry (weight, height and percent body fat), food consumption, level of fitness results of speed (running at 60 meter), endurance and muscle strength (sit-up, push-up and vertical jump), agility (shuttle run 4x10 meter) and VO2max values (bleep test). The results of statistical test (paired samples t-test) showed that there were significant difference of speed (sample at 60 meter of running) (MVM: p>0,060; placebo: p<0,029), push-up (MVM: p<0,008; placebo: p<0,029), sit-up (MVM: p<0,000; placebo: p<0,020) and bleep test (MVM: p<0,011; placebo: p<0,000), but there were no significant difference (p>0,05) in vertical jump and shuttle run test in both MVM and placebo groups. Keywords: multivitamin mineral, hemoglobin concentration, nutritional status, physical fitness, anemia, Bogor Agricultural University First Common Year female students
RINGKASAN NAZHIF GIFARI. Pengaruh suplementasi multivitamin mineral terhadap status gizi, kadar hemoglobin dan tingkat kebugaran fisik mahasiswi TPB IPB. Dibimbing oleh RIMBAWAN dan MIRA DEWI. Salah satu masalah gizi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia adalah anemia. Prevalensi anemia di dunia cukup tinggi, terutama di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Menurut WHO (2008), prevalensi kejadian anemia di dunia antara tahun 1993 sampai 2005 sebanyak 24.8% dari total penduduk dunia. Kondisi anemia juga dapat memengaruhi tingkat kebugaran fisik. Penelitian ini secara umum untuk mengetahui pengaruh suplementasi multivitamin mineral terhadap status gizi, kadar hemoglobin dan tingkat kebugaran fisik mahasiswi TPB IPB. Tujuan khususnya adalah: 1). Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi mahasiswi TPB IPB, 2). Menganalisis status gizi mahasiswi TPB IPB, 3). Menganalisis rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi, protein, vitamin dan mineral (vitamin A, B1, B2, B6, vitamin C, kalsium, besi dan seng) pada mahasiswi TPB IPB, 4). Menganalisis pengaruh pemberian suplemen multivitamin mineral terhadap rata-rata kadar hemoglobin pada mahasiswi TPB IPB, 5). Menganalisis pengaruh pemberian suplemen multivitamin mineral terhadap tingkat kebugaran fisik pada mahasiswi TPB IPB. Desain penelitian ini adalah double blind-quasi experimental paralel dengan 2 kelompok perlakuan. Kelompok pertama mendapat suplemen multivitamin mineral sedangkan kelompok kedua mendapatkan plasebo. Penelitian ini dilakukan di lingkungan asrama Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB selama 6 bulan, mulai bulan April-September 2012. Analisis kadar hemoglobin dilaksanakan di laboratorium klinik Prodia Kota Bogor. Sampel dalam penelitian ini merupakan sebagian sampel dari penelitian payung yang memiliki tujuan mengetahui pengaruh suplementasi multivitamin mineral terhadap status besi, status oksidatif dan kebugaran tubuh pada mahasiswi TPB IPB. Sampel yang digunakan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, serta bersedia mengikuti tahapan penelitian (menandatangani informed consent). Pengelompokkan sampel dilakukan secara sistematis dengan mempertimbangkan rata-rata nilai kadar hemoglobin awal dari setiap kelompok. Pada masing-masing kelompok terdapat 14 orang MVM dan 13 orang plasebo, secara keseluruhan total sampel yang digunakan sebanyak 27 orang. Setiap sampel penelitian diinstruksikan untuk mengonsumsi sirup sebanyak 15 mL/hari sesuai takaran sajinya setiap pagi sebelum makan selama 8 minggu. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data primer. Data primer meliputi, karakteristik sampel, status gizi, kadar hemoglobin dan tingkat kebugaran tubuh. Data yang diperoleh kemudian diolah secara statistik. Pengaruh suplemen diuji dengan menggunakan Uji beda independent samples ttest dan Uji paired samples t-test. Kelompok MVM memiliki rata-rata usia 18.8 ± 0.5 tahun dan kelompok plasebo memiliki rata-rata usia 18.7 ± 0.5 tahun. Sebagian besar sampel mendapatkan biaya pemasukan per bulan antara Rp 500 000 - Rp 1 000 000 dengan rata-rata biaya hidup sampel per bulan sebesar Rp 737 500. Sebesar 60% dari total pengeluaran sampel dialokasikan untuk pangan. Rata-rata biaya pangan perhari sampel sebesar Rp 15 400. Uji independent samples t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) usia dan pemasukan per bulan antar kelompok. Nilai PAL (Physical Activity Level) pada kelompok MVM dan plasebo berada pada selang (1.40-1.56). Nilai ini termasuk dalam kategori
aktivitas ringan. Jenis kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh kelompok MVM dan plasebo termasuk jenis kegiatan ringan pada kelompok MVM (11.1 ± 1.42 jam) dan kelompok plasebo (11.1 ± 2.6 jam). Penilaian status gizi antropometri sampel menggunaan indeks masa tubuh (IMT) dan persen lemak tubuh. Rata-rata IMT sebelum intervensi pada kelompok MVM 22.7 ± 2.8 kg/m 2 dan kelompok plasebo 20.4 ± 2.0 kg/m 2. Setelah intervensi, rata-rata IMT pada kelompok MVM sebesar 22.7 ± 2.8 kg/m 2 dan pada kelompok plasebo sebesar 20.0 ± 1.7 kg/m 2. Rata-rata persen lemak tubuh sebelum intervensi pada kelompok kelompok MVM sebesar 26.2 ± 4.6% dan kelompok plasebo sebesar 29.3 ± 5.4%. Setelah intervensi rata-rata persen lemak tubuh pada kelompok MVM sebesar 25.5 ± 4.0% dan pada kelompok plasebo sebesar 29.2 ± 5.0%. Berdasarkan uji independent samples t-test pada selisih IMT dan persen lemak tubuh tidak terdapat perbedaan yang nyata antara masing-masing kelompok perlakuan (p>0.05), kemudian berdasarkan uji paired samples t-test pada kelompok MVM terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05), namun pada kelompok plasebo tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05). Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan zat gizi diperoleh dari hasil konversi data konsumsi pangan selama 2 kali/minggu (hari kuliah dan hari libur). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asupan energi, protein, vitamin A, B 1, B6, kalsium, seng dan besi sampel pada kelompok plasebo cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok MVM. Berdasarkan uji independent samples ttest perbedaan tersebut tidak terdapatperbedaan yang nyata (p>0.05). Rata-rata tingkat kecukupan zat gizi mikro (tanpa suplemen) sampel masih rendah dan termasuk kategori defisit (<77% AKG). Hanya rata-rata asupan protein dan vitamin A sampel yang mencukupi kebutuhan (protein >90% dan vitamin A >77%). Rata-rata kadar hemoglobin sebelum intervensi pada kelompok MVM 11.93 ± 1.16 g/l dan pada kelompok plasebo 11.60 ± 1.38 g/l. Setelah intervensi, kadar hemoglobin pada kelompok MVM menjadi 12.04 ± 0.98 g/l dan pada kelompok plasebo menjadi 11.79 ± 1.62 g/l. Peningkatan kadar hemoglobin selama intervensi terjadi pada kedua kelompok perlakuan, pada kelompok MVM terdapat peningkatan kadar Hb sebesar 0.07 g/l dan kelompok plasebo meningkat sebesar 0.2 g/l. Berdasarkan uji independent samples t-test antara kedua kelompok tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05). Uji paired samples ttest menunjukkan antara kelompok MVM dan plasebo tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05). Berdasarkan uji paired samples t-test menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p>0.05) sebelum dan sesudah intervensi pada lari cepat 60 meter (MVM: p>0.060; plasebo: p<0.029), push-up (MVM: p<0.008; plasebo:p<0.009), sit-up (MVM:p<0.000; plasebo: p<0.020) dan bleep test (MVM: p<0.011; plasebo: p<0.000), tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada vertical jump dan shuttle run pada kelompok MVM maupun plasebo. Hal ini dikarenakan kedua tes (vertical jump dan shuttle run) ini merupakan olahraga yang dominan menggunakan kapasitas anaerobik, namun pada tes yang dominan yang menggunakan kapasitas aerobik cenderung terlihat perubahan yang berbeda (p<0.05). Hasil penelitian ini diharapakan dapat berguna sebagai infomasi dan wadah pembelajaran bagi wanita usia produktif dan mahasiswi TPB IPB mengenai pentingnya zat gizi terutama multivitamin mineral sehingga tercapainya tingkat kesehatan hidup dan produktifitas yang lebih baik.
PENGARUH SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN MINERAL TERHADAP STATUS GIZI, KADAR HEMOGLOBIN DAN TINGKAT KEBUGARAN FISIK MAHASISWI TPB IPB
NAZHIF GIFARI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul
: Pengaruh suplementasi multivitamin mineral terhadap status gizi, kadar hemoglobin dan tingkat kebugaran fisik mahasiswi TPB IPB
Nama
: Nazhif Gifari
NIM
: I14080118
Disetujui oleh:
Drs. Rimbawan, Ph.D Pembimbing I
dr. Mira Dewi, S.Ked, M.Si Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr.Ir. Budi Setiawan, MS. Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wata’ala atas segala nikmat dan karunia yang senantiasa dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Suplementasi Multivitamin Mineral terhadap Status Gizi, Kadar Hemoglobin dan Tingkat Kebugaran Fisik pada Mahasiswi TPB IPB”. Banyak pihak yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Rimbawan selaku dosen Pembimbing Skripsi dan Pembimbing Akademik yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikiran, memberikan masukan, arahan, kritik, motivasi, nasihat serta semangat dan dorongan untuk penyelesaian skripsi ini. 2. dr. Mira Dewi, S.Ked, M.Si selaku dosen Pembimbing Skripsi yang turut memberikan masukan selama kuliah dan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Kedua orang tua (Ibu dan Bapak) serta keluargaku yang senantiasa memberikan dukungan baik moril maupun materil untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Terima kasih kepada pihak Direktorat Kemahasiswaan IPB yang telah memberikan dukungan materi dalam penelitian ini dan juga pihak Badan Pengelola Asrama TPB IPB yang telah memberikan izin dalam pelaksanaan penelitian ini sehingga dapat terlaksananya peneltian ini. 5. Terima kasih kepada dr. Naufal dan dr. Karina, M.Sc dalam proses screening sampel awal dalam penelitian ini. 6. Teman satu perjuangan dalam penelitian ini yaitu Angga Hardiansyah, Gian Nubekti dan Miftachul Jannah atas kerjasamanya, motivasinya dan semangat kebersamaan dalam menyelesaikan penelitian ini. 7. Mahasiswi-mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB 48 (Nerissa, Ima, Bunga, Ayu Listiana, dll) yang bersedia mengikuti rangkaian penelitian dari awal hingga akhir. 8. Teman-teman yang telah bersedia membantu pelaksanaan penelitian ini (Pak Mury, Umbara, Rahman, Tagor, Soleman, Ayu Sekar, Dini, Dheani) atas dorongan semangat dan kerjasamanya. 9. Teman-teman “three couple” yang telah memberikan semangat, motivasi dan dukungan dalam menyelasaikan penelitian ini (Cunduy, Ade Ayu, Rohadi, Dewanti). Terima kasih juga untuk Gita Wahyu yang telah memberikan
motivasi, saran, pengalaman, pelajaran dan kebersamaan yang akan selalu menjadi kenangan terindah. 10. Adik-adikku
yang penuh semangat (Dinda, Widia, Ramadhani) atas
dukungannya dan teman-teman Gizi Masyarakat 45, adik kelas GM 46, GM 47, kakak kelas GM 44 dan teman-teman yang selama ini telah mendukung penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan, maka dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan dan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Februari 2013
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Adrianus dan Yufiarti. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 November 1990. Pendidikan penulis dimulai SD. Muhammadiyah 24 Jakarta pada Tahun 2002, dilanjutkan di SMP IT Darul Hikmah Bekasi sampai Tahun 2005, pada tahun 2005-2008 penulis melanjutkan pendidikan di SMAI. PB. Soedirman Bekasi 1. Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai sebagai mahasiswa Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia melalui jalur SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa di Departemen Gizi Masyarakat, penulis aktif di organisasi Badan Eksekutif
Mahasiswa
Tingkat
Persiapan
Bersama
(BEM
TPB)
periode
2008/2009, Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi sebagai Anggota Divisi Peduli Pangan dan Gizi HIMAGIZI periode 2009/2010. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan yang diselenggarakan BEM TPB, HIMAGIZI dan BEM FEMA. Penulis pernah mengikuti Kuliah Kerja Profesi di Kelurahan Banyuresmi, Garut pada tahun 2011. Selain itu, penulis pernah mengikuti Internship Dietetic di RSUD Ciawi Bogor. Penulis juga mendapatkan dana hibah dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dalam bidang penelitian pada Tahun 2011. Penulis juga tercatat menjadi asisten praktikum mata kuliah Gizi Olahraga pada Tahun 2012. Penulis melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh suplementasi multivitamin mineral terhadap status gizi, kadar hemoglobin dan tingkat kebugaran fisik mahasisiwi TPB IPB” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor dibawah bimbingan Dr. Rimbawan dan dr. Mira Dewi, M.Si
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................................................... i DAFTAR TABEL .............................................................................................................. ii DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................................iii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................................iii PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1 Tujuan............................................................................................................................ 3 Manfaat Penelitian ........................................................................................................ 3 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 4 Mahasiswi dan Wanita Usia Subur (WUS) ................................................................... 4 Penilaian Status Gizi ..................................................................................................... 5 Hemoglobin dan Sel Darah Merah ............................................................................... 7 Permasalah Anemia pada Wanita ................................................................................ 8 Suplementasi Multivitamin Mineral ............................................................................. 10 Sistem Energi pada Aktivitas ...................................................................................... 15 Olahraga dan Aktivitas Fisik ....................................................................................... 16 Kebugaran Fisik atau Kebugaran Jasmani ................................................................ 18 METODE PENELITIAN .................................................................................................. 22 Tempat dan Waktu ...................................................................................................... 24 Desain Penelitian ........................................................................................................ 24 Jumlah dan Teknik Penarikan Sampel ....................................................................... 24 Pelaksanaan Suplementasi ........................................................................................ 26 Skema Operasional Penelitian ................................................................................... 27 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................................................ 27 Pengolahan dan Analisis Data .................................................................................... 28 KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................................................. 22 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................................... 33 Karakteristik Sampel ................................................................................................... 33 Pelaksanaan Suplementasi Multivitamin dan Mineral (MVM) .................................... 37 Status Gizi dan Persen Lemak Tubuh ........................................................................ 39 Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi ................................................................... 42 Perubahan Kadar Hemoglobin ................................................................................... 50 Pengaruh Suplementasi Multivitamin Mineral Terhadap Kebugaran Tubuh ............. 51
ii
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................................... 58 Kesimpulan.................................................................................................................. 58 Saran ........................................................................................................................... 59 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 60 LAMPIRAN .................................................................................................................... 66
DAFTAR TABEL Halaman 1
Angka kecukupan gizi usia remaja dan dewasa perempuan .................................... 5
2
Klasifikasi status gizi dewasa berdasarkan IMT menurut Depkes (2005) ................ 6
3
Nilai hemoglobin untuk menentukan anemia ............................................................ 9
4
Tingkat relatif penggunaan energi pada otot untuk berbagai jenis latihan ............. 16
5
Kumpulan tes kebugaran jasmani pilihan................................................................ 20
6
Komposisi suplemen multivitamin dan mineral ....................................................... 24
7
Jenis dan cara pengumpulan data penelitian .......................................................... 28
8
Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi .................................................... 29
9
Kategori aktivitas berdasarkan nilai PAR ................................................................ 30
10 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL.............................................. 30 11 Karakteristik sosial-ekonomi sampel menurut kelompok perlakuan ....................... 33 12 Sebaran sampel berdasarkan usia .......................................................................... 34 13 Sebaran uang saku berdasarkan kelompok perlakuan........................................... 35 14 Karakteristik sampel menurut jenis pengeluaran dan kelompok perlakuan ........... 35 15 Sebaran sampel berdasarkan jenis dan durasi berbagai aktivitas fisik yang dilakukan sampel ..................................................................................................... 36 16 Sebaran sampel berdasarkan kebiasaan olahraga ................................................ 37 17 Sebaran sampel berdasarkan frekuensi olahraga .................................................. 37 18 Sebaran sampel berdasarkan sisa suplemen (mL) selama intervensi ................... 38 19 Sebaran sampel berdasarkan tingkat kepatuhan minum (self reported)................ 38 20 Sebaran sampel menurut manfaat minum suplemen pada kelompok perlakuan ................................................................................................................. 39 21 Rata-rata tinggi, berat badan, indeks masa tubuh dan persen lemak tubuh sampel menurut kelompok sebelum dan sesudah intervensi ................................. 41 22 Rata-rata
asupan
energi
dan
protein
menurut
kelompok
selama
suplementasi ............................................................................................................ 42 23 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein dari asupan makanan ................. 43
iii
24 Rata-rata asupan vitamin dari makanan menurut kelompok selama suplementasi ............................................................................................................ 45 25 Rata-rata asupan vitamin dari makanan dan suplemen masing-masing kelompok perlakuan ................................................................................................. 45 26 Rata-rata tingkat kecukupan vitamin dari asupan makanan ................................... 46 27 Rata-rata tingkat kecukupan vitamin dari makanan dan suplemen ........................ 47 28 Rata-rata asupan mineral dari makanan menurut kelompok selama suplementasi ............................................................................................................ 47 29 Rata-rata asupan mineral dari makanan dan suplemen masing-masing kelompok perlakuan ................................................................................................. 48 30 Rata-rata tingkat kecukupan mineral dari asupan makanan .................................. 49 31 Rata-rata tingkat kecukupan mineral dari makanan dan suplemen ....................... 49 32 Perubahan rata-rata kadar hemoglobin selama intervensi ..................................... 50 33 Rata-rata nilai waktu tempuh lari 60 meter, push-up, sit-up, vertical jump, waktu tempuh shuttle run 4x10 meter dan VO2 maks menurut kelompok perlakuan.................................................................................................................. 53
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Metabolisme vitamin C (Berdanier 2000) ................................................................. 12
2 Kerangka operasional penelitian ................................................................................ 23 3 Skema operasional penelitian .................................................................................... 27 4 Tes kebugaran fisik berdasarkan masing-masing komponen kebugaran ................ 31 5 Persentase sampel berdasarkan tingkat kecukupan energi ..................................... 43 6 Persentase sampel berdasarkan tingkat kecukupan protein .................................... 44
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kuisioner penelitian .................................................................................................... 67 2 Karakteristik sampel ................................................................................................... 72 3 Kepatuhan minum sirup berdasarkan pengukuran sisa suplemen ........................... 72 4 Profil biokimia darah sampel ...................................................................................... 72 5 Rata-rata asupan energi, protein dan zat gizi lain dari makanan .............................. 73 6 Rata-rata tingkat kecukupan energi, protein dan zat gizi lain dari makanan ............ 73 7 Rata-rata asupan energi, protein dan zat gizi lain dari makanan dan suplemen ...... 73
iv
8 Rata-rata tingkat kecukupan energi, protein dan zat gizi lain dari makanan dan suplemen .................................................................................................................... 73 9 Profil tingkat kebugaran sampel................................................................................. 74 10 Hasil uji statistik.......................................................................................................... 75 11 Foto-foto sampel saat penelitian ............................................................................... 77
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan gaya hidup masyarakat dewasa ini mengakibatkan adanya perubahan pada pola konsumsi masyarakat demikian juga pada remaja. Pola konsumsi yang cenderung tidak sehat seperti konsumsi zat gizi yang masih kurang karena masih mementingkan body image, kurangnya asupan buah dan sayuran yang mengakibatkan kurangnya asupan vitamin dan mineral. Salah satu masalah gizi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia adalah anemia. Kadar hemoglobin darah yang rendah dalam tubuh mengindikasikan defisiensi zat besi (Fe) dan juga salah satu indikator terjadinya anemia, yaitu kondisi berkurangnya sel darah merah atau menurunnya jumlah hemoglobin. Prevalensi anemia di dunia cukup tinggi, terutama di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Menurut WHO (2008), prevalensi kejadian anemia di dunia antara tahun 1993 sampai 2005 sebanyak 24.8% dari total penduduk dunia. Sebagian besar penyebab anemia terjadi karena difisiensi zat besi, meskipun demikian anemia dapat juga terjadi karena rendahnya asupan zat gizi mikro lainnya seperti asam folat, vitamin A, vitamin C dan vitamin B 12. Remaja putri termasuk mahasiswi merupakan salah satu kelompok umur yang rawan terhadap terjadinya anemia, karena mengalami menstruasi sehingga memiliki resiko terhadap terjadinya anemia. Data nasional menunjukkan prevalensi anemia pada remaja sebesar 26.5-30.0% (Depkes 2005). Hasil studi yang dilakukan Briawan (2008) pada mahasiswi (remaja putri) Tingkat Persiapan Bersama IPB (TPB IPB), menunjukkan adanya prevalensi anemia yang cukup tinggi yaitu 25.1%. Hasil studi lain yang dilakukan oleh Indriani (2011) pada wanita usia subur menunjukkan prevalensi anemia sebesar 16.9%. Anemia memiliki hubungan dengan permasalahan kesehatan yang meliputi kematian ibu, berat badan lahir rendah, buruknya perkembangan mental pada anak dan pada orang dewasa menyebabkan penurunan produktivitas. Menurut Depkes (1998), anemia pada pelajar dapat menurunkan aktivitas belajar, aktivitas fisik, daya tahan tubuh dan produktivitas kerja. Oleh karena itu, penanganan anemia merupakan salah satu program gizi yang sangat penting untuk dilakukan. Menurut Wijaya (2007), suplementasi besi merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan untuk mengendalikan masalah global dari defisiensi besi dan anemia. Hal ini terjadi, karena beberapa zat gizi mikro dapat
2
meningkatkan hemoglobin terhadap besi. Hal ini dapat diasumsikan bahwa beberapa zat gizi mikro akan lebih efektif dalam mengurangi anemia daripada zat besi saja. Suplemen multivitamin dan mineral (MVM) merupakan suplemen yang mengandung kombinasi vitamin serta mineral dan tidak ada bahan-bahan aktif lain.
Suplemen
multivitamin
dan
mineral
merupakan
suplemen
yang
mengandung vitamin B kompleks, vitamin C, besi, kalsium, mangan dan seng (Skeie et al. 2009). Suplemen multivitamin mineral banyak digunakan untuk perbaikan kadar hemoglobin karena banyaknya mahasiswi (remaja putri) yang defisit zat gizi mikro sehingga pemberian multivitamin mineral merupakan salah satu upaya yang dapat diberikan. Hasil penelitian Indriani (2011) menujukkan bahwa pemberian besi folat dan MVM cenderung meningkatkan kebugaran fisik sebesar 12.5% dan 13.7% dengan menggunakan tes bangku Astrand Rhyming. Menurut Gleason dan Scrimsaw (2007), anemia gizi besi dapat menurunkan kinerja fisik dan aktivitas fisik. Pengukuran kinerja dengan treadmill pada pekerja kebun di Guatemala menunjukkan kapasitas fisik berhubungan linier dengan status hemoglobin mereka. Penurunan kapasitas kerja (misalnya utilitas maksimal O2 atau VO2 maksimum) akibat dari anemia gizi besi telah banyak diteliti dan berhubungan dengan tidak adekuatnya transportasi O 2 oleh Hb (Hemoglobin) ke jaringan perifer. Anemia merupakan suatu kondisi yang ditandai konsentrasi hemoglobin dalam darah yang lebih rendah dari normal. Oleh karena itu, hemoglobin memegang peranan penting dalam fungsi transport oksigen dalam darah, kemudian anemia dapat mengurangi pengiriman oksigen ke jaringan tubuh, sehingga mengganggu proses metabolik aerobik jaringan. Konsentrasi hemoglobin yang rendah dapat mengurangi angka maksimal pengiriman oksigen ke jaringan, sehingga akan mengurangi VO 2 maksimum dan menurunkan aktivitas fisik. Tingkat kebugaran fisik setiap individu dapat ditentukan oleh beberapa komponen. Komponen yang digunakan meliputi kecepatan, kekuatan dan daya tahan otot, kelincahan dan daya tahan jantung (VO 2 maksimum). Secara sederhana tingkat kebugaran tubuh seorang dapat diukur dengan menggunakan VO2 maksimum. VO2 maksimum merupakan indikator suatu kesegaran jasmani dan kapasitas fisik seseorang. VO2 maksimum merupakan jumlah rata-rata oksigen maksimal yang dapat dikonsumsi oleh tubuh selama melakukan aktivitas fisik dan bernafas pada kerapatan oksigen normal sehingga semakin tinggi VO2
3
maksimum maka semakin tinggi pula tingkat ketahanan dan adaptasi seseorang terhadap suatu aktivitas fisik (Hoeger dan Hoeger 2005). Pemberian suplementasi multivitamin mineral ini diharapkan mampu memperbaiki konsumsi pangan, status gizi, meningkatkan produktivitas dan meningkatkan kadar hemoglobin mahasiswi dengan status anemia. Mahasiswi yang sehat akan menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas, produktif dan nantinya akan melahirkan generasi selanjutnya yang berkualitas. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi multivitamin mineral terhadap status gizi, kadar hemoglobin dan tingkat kebugaran fisik mahasiswi TPB IPB. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi mahasiswi TPB IPB. 2. Menganalisis status gizi mahasiswi TPB IPB. 3. Menganalisis rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi, protein, vitamin dan mineral (vitamin A, B1, B2, B6, vitamin C, besi, kalsium dan seng) pada mahasiswi TPB IPB. 4. Menganalisis pengaruh pemberian suplemen multivitamin mineral terhadap rata-rata kadar hemoglobin pada mahasiswi TPB IPB. 5. Menganalisis pengaruh pemberian suplemen multivitamin mineral terhadap tingkat kebugaran fisik pada mahasiswi TPB IPB. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh pemberian suplemen multivitamin dan mineral terhadap status gizi, kadar hemoglobin dan tingkat kebugaran fisik pada mahasiswi TPB IPB. Prevalensi anemia pada remaja khususnya mahasiswi TPB IPB yang semakin meningkat setiap tahun sehingga perlu adanya pemberian informasi mengenai pemberian solusi bagi mahasiswi yang anemia.
4
TINJAUAN PUSTAKA Mahasiswi dan Wanita Usia Subur (WUS) Mahasiswa merupakan bagian dari remaja sering dianggap sebagai orang yang telah mencapai tingkat kedewasaan ketika memasuki dunia Perguruan Tinggi. Pada umunya mahasiswa berada pada masa remaja akhir atau dewasa awal. Dari segi kesehatan, masa remaja merupakan masa yang paling rawan terhadap kesehatan. Kondisi kejiwaan dan gaya hidup merupakan penyebab yang paling umum terjadinya masalah kesehatan. Permasalahan yang paling sering dijumpai adalah kebiasaan makan yang salah (eating disorder), pemakaian dan penyalahgunaan obat-obatan (Ahmadi dan Sholeh 2005). Mahasiswi merupakan kelompok populasi yang rawan terhadap defisiensi gizi khususnya defisiensi zat besi. Pada saat remaja putri sedang dalam masa pertumbuhan puncak (peak growth) dibutuhkan zat besi yang lebih tinggi yaitu untuk kebutuhan basal tubuh dan pertumbuhan itu sendiri. Kebutuhan zat besi yang tinggi pada saat peak growth akan menetap karena selanjutnya diperlukan untuk menggantikan zat besi yang hilang pada saat menstruasi atau haid (Sediaoetomo 2002). Tingginya kebutuhan zat besi pada remaja putri lebih baik diimbangi dengan ketersediaan zat besi yang cukup dari makanan seimbang dan adekuat, karena bila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka kadar hemoglobin akan rendah sehingga dapat terjadi anemia gizi (Dewa 2004). Pertumbuhan Wanita Usia Subur (WUS) masih dipengaruhi oleh perubahan hormonal, kognitif, serta emosi. Pada masa ini WUS memerlukan makanan dengan zat-zat gizi yang optimal agar pembentukan butir darah merah cukup. Apabila konsumsi makanan tidak mencukupi, kebutuhan gizi yang dibutuhkan tidak dapat terpenuhi sehingga status gizi akan terganggu. Hal ini berpengaruh pula pada penurunan tingkat kebugaran tubuh, terutama jika berprofesi sebagai pekerja berat, dibutuhkan cukup banyak energi yang harus dikeluarkan (Almatsier 2002). Menurut Usfar et al. (2009), prevalensi defisiensi besi di seluruh dunia adalah 30%. Di negara-negara yang sedang berkembang, prevalensi defisiensi besi adalah 40-50%, sedangkan di negara maju prevalensi defisiensi besi sebesar 10%. Penyebab utama kekurangan zat besi adalah rendahnya bioavaibilitas asupan besi, kenaikan kebutuhan besi dan kecacingan serta adanya infeksi Helicobacter Pylori (Hp). Kelompok penduduk yang berisiko mengalami defisiensi besi adalah bayi dan anak-anak, remaja putri, wanita usia
5
subur dan wanita hamil. Angka kecukupan gizi usia remaja dan dewasa perempuan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Angka kecukupan gizi usia remaja dan dewasa perempuan Perempuan
Zat Gizi
16-18 tahun Energi (kkal) 2200 Protein (g) 55 Vitamin A (RE) 600 Vitamin D (μg) 5 Vitamin E (mg) 15 Vitamin K (μg) 55 Tiamin (mg) 1.1 Riboflavin (mg) 1 Niasin (mg) 14 Asam folat (mg) 400 Piridoksin (mg) 1.2 Vitamin B12 (μg) 2.4 Vitamin C (mg) 75 Kalsium (mg) 1000 Fosfor (mg) 1000 Magnesium (mg) 240 Besi (mg) 26 Yodium (μg) 150 Seng (mg) 14 Selenium (μg) 30 Mangan (mg) 1.6 Fluor (mg) 2.5 Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004
19-29 tahun 1900 50 500 5 15 55 1 1.1 14 400 1.3 2.4 75 800 600 240 26 150 9.3 30 1.8 2.5
Penilaian Status Gizi Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi dibedakan atas status gizi buruk, kurang, normal dan lebih (Almatsier 2004). Menurut Riyadi (2001), status gizi dipengaruhi oleh faktor langsung seperti intake makanan dan status kesehatan. Kedua faktor tersebut saling tergantung satu sama lainnya. Determinan tidak langsung dari status gizi meliputi ketahanan pangan, perawatan ibu dan anak, dan lingkungan kesehatan yang tepat, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan. Penilaian status gizi masyarakat dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Penilaian secara langsung antara lain dengan menilai diet harian, menggunakan indikator biokimia (laboratorium), pengukuran antropometri dan mengamati gejala klinis (Gibson 2005). Penilaian status gizi secara antropometri banyak dilakukan karena relatif mudah, murah dan cepat dilakukan. Akan tetapi, pengukuran antropometri tidak dapat digunakan untuk menilai defisiensi zat gizi secara spesifik (Gibson 2005). Menurut Suparriasa (2001), secara umum antropometri merupakan suatu metode untuk pengukuran tubuh manusia.
6
Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat
umur
dan
tingkat
gizi.
Antropometri
digunakan
untuk
melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi yang terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Selain antropometri, metode penilaian konsumsi pangan merupakan identifikasi tahap awal defisiensi zat gizi. Pada tahap ini terjadi kekurangan satu atau lebih zat gizi dalam intake makanan. Terdapat dua faktor penyebab defisiensi gizi, yaitu faktor primer dan sekunder. Pada defisiensi sekunder, jumlah konsumsi pangan sudah cukup namun karena kondisi tertentu (obat atau keadaan penyakit) menyebabkan adanya gangguan penyerapan, transportasi, utilisasi, atau ekskresi zat-zat gizi (Riyadi 2001). Pengukuran antropometri merupakan pengukuran terhadap dimensi tubuh dan komposisi tubuh. Pengukuran status gizi dapat dihitung dengan indikator antropometri berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) serta berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Gibson 2005). Pengukuran sederhana untuk menentukan status gizi orang dewasa dapat dilakukan dengan indeks massa tubuh (IMT). IMT merupakan penilaian sederhana yang memperlihatkan hubungan antara berat dan tinggi badan. IMT berkorelasi dengan simpanan lemak tubuh (Morrow et al. 2010). IMT sangat mudah untuk dihitung dengan rumus sebagai berikut: IMT = berat/tinggi2 Pada perhitungan dengan rumus tersebut, berat badan diukur dalam satuan kilogram (kg) sedangkan tinggi badan diukur dalam satuan meter (m) (Gibson 2005; Morrow et al. 2010). Penentuan standar IMT bagi orang Indonesia dapat mengguankan standar dari Depkes (2005). Standar IMT berdasarkan Depkes tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi status gizi dewasa berdasarkan IMT menurut Depkes (2005) No Kategori IMT (kg/m2) 1 Kurus 2 Normal 3 Gemuk Sumber: Depkes (2005)
<18.5 18.5-25.0 >25
Persen lemak tubuh merupakan persentase lemak (%BF) yang digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat kandungan lemak tubuh. Termasuk didalamnya semua lemak yang dapat diekstrak dari jaringan adiposa dan jaringan-jaringan
7
lain. Pengukuran persen lemak tubuh dapat diukur dengan menggunakan alat yang disebut Body Fat Monitor. Hasil studi yang dilakukan oleh Flagel et al. (2012) menyatakan bahwa nilai IMT, waist circumference (WC) dan waist-stature ratio (WSR) merupakan indikator dalam penentuan persen lemak tubuh, akan tetapi ketiga indaktor ini memiliki hubungan yang lebih dekat sesamanya jika dihubungkan dengan persen lemak tubuh. Hemoglobin dan Sel Darah Merah Darah terdiri dari dua komponen utama, yaitu plasma dan elemen (sel-sel). Plasma sebagian besar terdiri dari air, dan selebihnya berupa protein yang dan larutan zat gizi lainnya. Tiga komponen penyusun elemen (sel darah) sebagian besar adalah sel darah merah, dan selebihnya adalah sel darah putih dan trombosit. Sel darah merah merupakan bagian dari darah yang tidak memiliki inti sel, mitokondria, atau ribosom. Sel ini tidak dapat melakukan mitosis, fosforilasi oksidatif sel atau pembentukan protein. Sel darah merah mengandung hemoglobin yang mengangkut sebagian besar oksigen yang di ambil dari paruparu dan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh. Hemoglobin menempati sebagian besar ruang intrasel eritrosit (Wardlaw dan Hampl 2007). Proses
pembentukan
sel
darah
merah
dinamakan
Eritropoiesis dimulai dengan perubahan hemositoblas
eritropoiesis.
menjadi proeritroblas.
Proeritroblas menjadi eritroblas awal yang kemudian berkembang menjadi intermediet erittroblas, dan pada tahapan ini hemoglobin mulai terbentuk. Tahap selanjutnya yaitu terbentuknya eritroblas akhir dimana sintesis hemoglobin mencapai batas maksimum. Eritroblas akhir ini kemudian berkembang menjadi retikulosit, sebuah sel yang berisi 34% hemoglobin, beberapa mitokondria dan ribosom serta kehilangan inti sel. Retikulosit ini kemudian dilepaskan dari sumsum tulang ke dalam aliran darah. Di dalam aliran darah, umumnya retikulosit ini berkembang menjadi eritrosit yang merupakan sel darah merah matang. Pematangan ini umumnya berlangsung selama 1 hingga 2 hari setelah retikulosit dilepaskan dari sumsum tulang. Proporsi normal retikulosit di dalam darah adalah 0.5 – 1.5%. Sel darah merah hidup sekitar 120 hari sebelum mengalami disintegrasi dan mati. Sel darah merah yang mati diganti oleh sel baru yang dihasilkan oleh sumsum tulang. Apabila sel darah merah tersebut mulai berdisintegrasi pada akhir masa hidupnya, sel tersebut mengeluarkan hemoglobinnya ke dalam sirkulasi (Corwin 2000; Wardlaw dan Hampl 2007).
8
Hemoglobin terdiri dari bahan yang mengandung besi yang disebut hem dan protein globulin. Terdapat sekitar 300 molekul hemoglobin dalam setiap sel darah merah. Setiap molekul hemoglobin memiliki empat tempat sisi pengikatan untuk oksigen. Selain berfungsi sebagai pengangkut oksigen, hemoglobin ini juga membawa karbondioksida dan hidrogen ke paru-paru tempat zat-zat tersebut dilepaskan dari hemoglobin. Hemoglobin diuraikan di hati dan di limpa. Molekul globulin diuraikan menjadi asm-asam amino yang digunakan kembali oleh tubuh. Besi disimpan di hati dan limpa sampai digunakan kembali. Sisa molekul lainnya diubah menjadi bilirubin, yang kemudian diekskresikan melalui tinja sebagai empedu atau melalui urin (Corwin 2000; Wardlaw dan Hampl 2007). Permasalah Anemia pada Wanita Anemia dan Kekurangan Zat Besi Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang dapat berpengaruh besar terhadap kesehatan manusia serta pembangunan sosial dan kemajuan ekonomi. Anemia dapat terjadi pada semua tahap siklus hidup, umumnya penyakit ini sering terjadi pada wanita hamil dan anak-anak. Secara umum, penyebab utama anemia adalah kekurangan atau defisiensi besi sehingga IDA (iron deficiency anemia) dan anemia sering dikategorikan sama, kemudian prevalensi anemia telah sering digunakan sebagai tanda untuk IDA. Biasanya diasumsikan bahwa 50% dari kasus-kasus anemia yang disebabkan oleh kekurangan besi, tetapi proporsi dapat bervariasi di antara kelompok penduduk dan di wilayah yang berbeda menurut kondisi-kondisi. Faktor-faktor risiko utama untuk IDA termasuk asupan rendah besi, rendahnya penyerapan zat besi akibat senyawa phytate atau phenolic, periode dan waktu (pertumbuhan dan kehamilan) (WHO 2008). Anemia didefinisikan dengan rendahnya hemoglobin dalam darah, seperti yang dibuktikan oleh penurunan kualitas atau kuantitas sel darah merah. Hal ini memengaruhi banyak aspek kehidupan, yakni meningkatnya angka kematian pada wanita dan anak-anak, penurunan kapasitas untuk belajar dan penurunan produktivitas kerja individu. Hemoglobin didefinisikan substansi dalam sel darah merah yang membawa oksigen ke dalam sel-sel tubuh. Sel-sel tubuh membutuhkan oksigen untuk melakukan fungsi dan memungkinkan seseorang untuk melakukan semua aktivitas kegiatan fisik dan mental. Ketika kadar hemoglobin rendah, seperti pada orang yang mengidap anemia, sel-sel tubuh
9
kekurangan oksigen sehingga tidak dapat bekerja secara maksimal (USAID 2004). Nilai hemoglobin untuk menentukan anemia dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai hemoglobin untuk menentukan anemia Umur dan Jenis Kelamin Anak umur 6-59 bulan Anak umur 5-11 tahun Anak umur 12-14 tahun Wanita tidak sedang hamil > 15 tahun Laki-laki >15 tahun Sumber: WHO/UNICEF/UNU (2001)
Nilai Hemoglobin unutk mementukan anemia < 11.0 <11.5 <12.0 <12.0 <13.0
Secara klinis anemia didefinisikan sebagai tidakcukupnya massa sel darah merah yang beredar di dalam tubuh. Dalam kesehatan masyarakat anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin yang rendah, yakni berada di bawah ambang batas menurut umur dan jenis kelamin. Ambang batas hemoglobin untuk wanita dewasa sebesar 120 g/l. Penyebab anemia yang paling banyak ditemui adalah akibat kekurangan zat besi. Penyebab anemia lainnya adalah adanya infeksi yang akut maupun kronis yang menyebabkan peradangan, kekurangan zat gizi mikro lain terutama asam folat, vitamin B12 dan vitamin A, serta sifat-sifat genetis yang diwariskan seperti talasemia (WHO 2007). Kekurangan zat besi yang menyebabkan anemia gizi besi (AGB) memiliki ciri-ciri yaitu kulit pucat, lemah atau letih, lesu dan nafas pendek akibat kekurangan oksigen dalam darah. Anemia dapat menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan menurunkan kognitif. Selain itu juga dapat menurunkan daya tahan tubuh atau sistem imun tubuh. Kekurangan zat besi terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama terjadi kehabisan cadangan besi. Simpanan besi yang berkurang dapat terlihat dari penurunan feritin dalam plasma hingga 12-15 μg/l. Hal ini dikompensasi dengan peningkatan penyerapan besi yang terlihat dari pengangkutan total iron binding capacity (TIBC). Pada tahap ini belum terlihat perubahan fungsional pada tubuh. Tahap ke dua terlihat perubahan dengan habisnya simpanan besi dan menurunnya transferin jenuh hingga kurang dari 16% dan meningkatnya protoporfirin (prekursor heme). Pada tahap ini hemoglobin di dalam darah masih berada pada 95% nilai normal. Hal ini dapat mengganggu metabolisme energi, sehingga menyebabkan menurunnya kemampuan belajar karena malas, cepat lelah, letih, lesu, pusing, menurunnya nafsu makan, karena terjadi gangguan produksi hemoglobin (defisiensi besi tanpa anemia). Tahap ke tiga terjadi anemia defisiensi besi, pada tahap ini kadar hemoglobin total menurun hingga di bawah nilai normal. Anemia defisiensi
10
tingkat berat ditandai oleh sel darah merah yang mengecil (mikrositosis) dan nilai hemoglobin rendah (hipokromia) (Almatsier 2002). Penyebab lain dari permasalahan anemia adalah kehilangan darah yang berat sebagai akibat dari haid, atau parasit infeksi seperti hookworms, ascaris, dan schistosomiasis yang dapat menurunkan konsentrasi hemoglobin (Hb) darah. Infeksi akut dan kronis, termasuk kanker, tuberkulosis, malaria dan HIV juga dapat menurunkan konsentrasi Hb darah. Kekurangan mikronutrient lainnya, termasuk vitamin A dan B12, folat, riboflavin dan tembaga dapat meningkatkan risiko anemia. Suplementasi Multivitamin Mineral Suplemen
multivitamin
dan
mineral
merupakan
suplemen
yang
mengandung kombinasi vitamin dan mineral, dan tidak mengandung bahanbahan aktif lain. Suplemen vitamin dan mineral disarankan mengandung minimal 10 vitamin atau mineral dengan dosis yang bervariasi, yaitu dapat berupa vitamin C, vitamin B kompleks, vitamin D, seng, selenium, magnesium, besi dan kalsium (Skeie et al. 2009). Peran Multivitamin Mineral dalam Kebugaran Fisik Peranan vitamin mineral adalah sebagai antioksidan yang sangat memengaruhi kualitas
hidup
manusia.
Beberapa
vitamin
mineral yang
mempunyai peran sebagai antioksidan adalah vitamin E, vitamin C, vitamin A, selenium, zat besi dan seng. Zat-zat ini seringkali disebut zat gizi antioksidan (IOM 2000). Penyebab anemia tidak hanya disebabkan karena defisiensi zat besi saja, multivitamin dan mineral juga memiliki peran terhadap absorbsi dan metabolisme besi. Multivitamin dan mineral lain yang memiliki hubungan dengan penyebab anemia adalah asam folat, vitamin B12, vitamin A, riboflavin dan piridoksin (WHO/UNICEF 2004). Multivitamin dan mineral ini berperan dalam proses metabolisme zat besi (penyerapan dan mobilisasi) dan eritropoiesis (MIP 2000). Selain itu, masing-masing zat gizi dan mineral tersebut memiliki pengaruh dalam tubuh, hal ini memungkinkan adanya pengaruh terhadap kebugaran fisik. Vitamin B1 (Tiamin) Vitamin B1 (Tiamin) atau dikenal dengan nama Tiamin merupakan vitamin yang berfungsi sebagai koenzim yang penting dalam metabolisme energi dari karbohidrat. Tiamin dalam betuk koenzim dikenal sebagai Tiamin Pirofisfat (TPP) atau Trifosfat (TTP). Tiamin terdapat pada seluruh jaringan tubuh, tapi tidak terdapat jaringan cadangan tiamin, sehingga asupan sehari-hari sangat penting
11
untuk mencukupi kebutuhan tubuh. Jumlah tiamin yang dianjurkan dalam kebutuhan harus berdasarkan pada jumlah karbohidrat dalam makanan (Setiawan & Rahayuningsih 2004). Kebutuhan tiamin dipengaruhi oleh umur, asupan energi, asupan karbohidrat dan berat badan. Angka kecukupan tiamin sehari-hari pada wanita yang berumur 19-29
tahun adalah 1 mg per hari
menurut WNPG tahun 2004. Vitamin B2 (Riboflavin) Di dalam tubuh manusia, riboflavin berfungsi untuk mengikat asam folat dan menjadi bagian dari dua jenis koenzim FMN dan FAD. Kedua jenis koenzim ini berperan dalam sistem transpor elektron dalam mitokondria. Keduanya juga merupakan koenzim dehidrogenase yang mengkatalis langkah pertama dalam oksidasi berbagai tahap metabolisme glukosa dan asam lemak. FMN digunakan untuk mengubah piridoksin (vitamin B 6) menjadi koenzim fungsionalnya, sedangkan FAD berperan dalam perubahan triptofan menjadi niasin (Almatsier 2006). Angka kecukupan riboflavin sehari-hari pada wanita yang berumur 19-29 tahun adalah 1.1 mg per hari menurut WNPG tahun 2004. Hubungan status riboflavin memiliki pengaruh terhadap aktivitas fisik, kebutuhan riboflavin akan meningkat pada orang yang memiliki aktivitas fisik yang cukup tinggi (DRI 1998). Vitamin B3 (Niasin) Vitamin B3 juga dikenal dengan istilah niasin. Niasin berperan penting pada metabolisme dalam tubuh manusia, seperti metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein untuk menghasilkan energi yang digunakan untuk melakukan aktivitas fisik sehari-hari. Berbagai jenis senyawa racun dapat dinetralisir dengan bantuan vitamin ini. Niasin termasuk jenis vitamin yang banyak ditemukan pada pangan hewani, seperti ragi, hati, ginjal, daging unggas dan ikan. Angka kecukupan niasin sehari-hari pada wanita yang berumur 19-29 tahun adalah 14 mg per hari menurut WNPG tahun 2004. Walaupun suplementasi niasin membuktikan adanya penurunan konsentrasi asam lemak bebas dan mengurangi excess postexercise oxygen consumption, suplementasi ini tidak memperlihatkan adanya perbaikan kemampuan kerja secara keseluruhan selama melakukan latihan (Laing 2006). Vitamin B6 (Pridoksin) Vitamin B6, atau dikenal juga dengan istilah piridoksin, merupakan vitamin yang esensial bagi pertumbuhan tubuh. Vitamin ini berperan sebagai salah satu senyawa koenzim A yang digunakan tubuh untuk menghasilkan energi melalui
12
jalur sintesis asam lemak. Selain itu, vitamin ini juga berperan dalam metabolisme nutrisi dan memproduksi antibodi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap antigen atau senyawa asing yang berbahaya bagi tubuh. Vitamin ini banyak terdapat di dalam beras, jagung, kacang-kacangan, daging dan ikan. Angka kecukupan piridoksin sehari-hari pada wanita yang berumur 19-29 tahun adalah 1.2 mg per hari menurut WNPG tahun 2004. Piridoksin dibutuhkan dalam kebugaran fisik individu selama melakukan aktivitas. Selama latihan, pyridoxal phospate dibutuhkan dalam proses glukoneogenesis dan glikogenolisis dalam proses metabolisme. Vitamin B12 (Cobalamin) Vitamin B12 atau Cobalamin merupakan jenis vitamin yang ditemukan hanya pada pangan hewani. Pada vegetarian banyak ditemukan gangguan kesehatan tubuh akibat kekurangan cobalamin. Telur, hati dan daging merupakan sumber makanan yang baik untuk memenuhi kebutuhan vitamin B 12. Vitamin ini banyak berperan dalam metabolisme energi di dalam tubuh, meliputi pemeliharaan kesehatan sel saraf, pembentukkan molekul DNA dan RNA, pembentukkan platelet darah. Kekurangan vitamin ini akan menyebabkan anemia (kekurangan darah), mudah lelah lesu dan iritasi kulit. Angka kecukupan cobalamin sehari-hari pada wanita yang berumur 19-29 tahun adalah 2.4 mg per hari menurut WNPG tahun 2004. Studi yang dilakukan oleh Arsenault et al. (2009) di Columbia mendapatkan hasil bahwa konsentrasi kadar hemoglobin berhubungan
terbalik
dengan
konsentrasi
folat
dalam
eritrosit,
terjadi
peningkatan dalam status vitamin B12, namun hal ini harus diteliti lebih lanjut. Vitamin C Vitamin C yang disebut juga sebagai asam ascorbat merupakan vitamin yang larut dalam air. Vitamin C mudah rusak karena bersentuhan dengan udara (oksidasi) terutama apabila terkena panas, namun stabil dalam kedaan kering. Vitamin C tidak stabil dalam larutan alkali, tetapi cukup stabil dalam larutan asam (Almatsier 2004). Metabolisme vitamin C dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Metabolisme vitamin C (Berdanier 2000)
13
Vitamin C berfungsi dalam sintesis kolagen, karena vitamin C mempunyai kaitan yang sangat penting dalam pembentukan kolagen. Vitamin C diperlukan untuk hidroksilasi prolin dan lisin menjadi hidroksiprolin yang merupakan bahan penting dalam pembentukan kolagen. Kolagen merupakan senyawa protein yang memengaruhi integritas struktur sel di semua jaringan ikat, seperti pada tulang rawan, matriks tulang, gigi, membran kapiler kulit dan tendon. Asam askorbat penting untuk mengaktifkan enzim prolil hidroksilase. Enzim tersebut menunjang tahap hidroksilasi dalam pembentukan hidroksipolin, yaitu suatu unsur integral kolagen. Oleh sebab itu, vitamin ini penting untuk pertumbuhan dan mencegah kekurangan serabut di jaringan subkutan, kartilago, tulang dan gigi (Guyton 2007). Fungsi lain dari vitamin C adalah membantu absorbsi dan metabolisme besi, vitamin C mereduksi besi menjadi feri dan menjadi fero dalam usus halus sehingga mudah untuk diabsorbsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sulit dibebaskan oleh besi apabila diperlukan. Absorbsi besi dalam bentuk nonhem meningkat empat kali lipat apabila terdapat vitamin C. Vitamin C juga berfungsi untuk mencegah infeksi, yaitu dengan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi (Whitney dan Rolfes 2008). Asam Askorbat memiliki peranan dalam mensintesis dan metabolisme dari beberapa substansi penting dalam melakukan kebugaran fisik. Peranan vitamin C termasuk dalam produksi kolagen, epinephrin, norephineprhine, carnitin dan penyerapan zat besi. Menurut Evans (2000), pemberian suplemen vitamin C tidak berpengaruh pada atlet yang tidak defisiensi vitamin C, akan tetapi pemberian suplemen ini penting untuk meningkatan kebugaran fisik. Besi Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Zat besi mempunyai beberapa fungsi essensial di dalam tubuh, yaitu sebagai alat angkut elektron di dalam sel dan sebagai bahan terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier 2004). Zat besi terdapat pada hampir semua bentuk makanan dan minuman. Dalam bentuk padat, besi dikenal sebagai metal atau senyawa besi, sedangkan dalam larutan besi terdapat dalam bentuk ferro maupun ferri (Kartono & Soekarti 2004). Bentuk heme besi merupakan sumber zat besi yang baik karena lebih efektif dalam penyerapan di tubuh daripada non-heme. Kecukupan zat besi yang dianjurkan oleh WNPG tahun 2004 untuk pria berumur 19-29 tahun adalah sebanyak 13 mg. Zat besi
14
juga merupakan komponen hemoglobin, myoglobin, sitokrom dan berbagai macam enzim yang ada di dalam tubuh, semua komponen ini memegang peranan penting dalam metabolisme dan pengaturan oksigen yang digunakan untuk sistem aerobik selama melakukan latihan (Williams 2005). Hasil studi oleh Brownlie et al. (2004) menyatakan bahwa defisiensi besi tanpa anemia dapat menurunkan daya tahan kapasitas aerobik pada wanita yang tidak terlatih. Penurunan daya tahan ini dapat diperbaiki dengan pemberian suplementasi besi. Kalsium Kalsium mempunyai fungsi dalam pembentukan tulang dan gigi. Di dalam tulang, kalsium berfungsi sebagai bagian integral dari struktur tulang. Tulang merupakan tempat simpanan kalsium yang memberikan suplai kepada kebutuhan tubuh jika kalsium dari diet tidak mencukupi. Kalsium juga berfungsi sebagai bagian integral dari struktur gigi (Almatsier 2004). Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh. Kalsium dibutuhkan di semua jaringan tubuh, khususnya tulang. Sekitar 99% kalsium tubuh berada pada tulang dan sisanya tersebar di seluruh tubuh dalam aneka cairan tubuh. Tubuh orang dewasa mengandung sekitar 1000-1300 g kalsium yang kurang dari 2% berat tubuh. Kalsium mempunyai dua fungsi yaitu penyusunan dan pengaturan. Hampir seluruh kalsium bersama fosfor berperan sebagai komponen utama tulang dan gigi. Kalsium cairan tubuh hanya berkisar 1% dan beredar sebagi ion kalsium. Ion kalsium bertanggung jawab pada kontraksi otot, pembekuan darah, penerusan impuls saraf, sekresi hormon dan mengaktifkan reaksi beberapa enzim (Kartono & Soekarti 2004). Kecukupan kalsium yang dianjurkan oleh WNPG 2004 untuk pria yang berumur 19-29 tahun adalah sebanyak 800 mg setiap harinya. Seng Seng memegang peranan esensial dalam banyak fungsi tubuh. Sebagai bagian dari enzim atau sebagai kofaktor enzim, seng memiliki peran dalam berbagai aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida dan asam nukleat. Sebagai bagian dari karbonik anhidrase dalam sel darah merah, seng berperan dalam keseimbangan asam basa di dalam tubuh. Peran penting lain dari seng adalah sebagai bagian integral enzim DNA polimerase dan RNA polimerase yang diperlukan dalam sintesis DNA dan RNA. Seng juga berperan dalam perkembangan fungsi reproduksi (Almatsier 2004).
15
Seng dibutuhkan untuk pembentukan stuktur dan aktivitas berbagai enzim. Menurut Laing (2006) peran seng dalam tubuh adalah untuk pertumbuhan dan perbaiakan
jaringan
otot
dan
tulang,
perkembangan
dan
reproduksi,
penyembuhan luka dan produksi energi. Hasil penelitiannya juga memperlihatkan bahwa suplementasi seng memberikan peningkatan otot dan daya tahan pada wanita normal. Sistem Energi pada Aktivitas Penggunaan energi dalam olahraga dibagi menjadi dua bagian yaitu sistem energi anaerobik dan sistem energi aerobik. Sistem energi anaerobik merupakan olahraga yang proses anaerobik di otot lebih menonjol daripada proses aerobik dengan intensitas kerja otot yang berat atau cepat, contohnya lari cepat 60 meter, angkat besi dan tolak peluru. Sistem energi aerobik merupakan olahraga yang memberi kesempatan otot untuk melaksanakan proses aerobik secara lebih menonjol, seperti sepak bola, tenis dan bulu tangkis (Sediaotama 1992). Sistem Energi Dalam melakukan aktivitas sehari-hari
tubuh menggunakan otot untuk
bergerak. Otot yang digunakan untuk bergerak memerlukan energi agar dapat berfungsi dengan baik. Energi ini terdapat dalam sebuah ikatan molekul yang disebut adenosin tri-posphate (ATP). Dalam proses metabolismenya, ATP dipindahkan ke otot yang sedang berkontraksi maka adenosin tri-posphate (ADP) dan phospate (Pi) terbentuk: ATP
ADP + Pi
Energi tambahan diperlukan untuk merubah arah reaksi. Siklus hidrolis ATP melalui kontraksi otot dan pembentukan kembali ATP melalui metabolisme biokimia anaerobik dan aerobik disebut
dengan istilah ATP turnover (Scott
2005). Sistem Energi Anaerobik Pemecahan karbohidrat menjadi glukosa dan glikogen menggunakan sistem energi anaerobik dan aerobik. Oksidasi karbohidrat terus meningkat dengan peningkatan intensitas latihan. Ketika otot berkontraksi, energi yang segera
dipakai
adalah
simpanan
ATP
yang
terdapat
pada
sel
otot.
Phosphocreatin (PC) yang disimpan dalam otot sebagai cadangan phospat energi tinggi akan dipecah menjadi: PC
Creatin + Pi + energi
16
Sistem energi seperti ini hanya dapat berlangsung selama 5-10 detik (Plowman & Smith 2008). Sistem lain yang dikenal sebagai bagian dari sistem anaerobik adalah glikolisis anaerobik dan sistem asam laktat. Sistem asam laktat ini merupakan sistem anaerobik dimana ATP dihasilkan pada otot skelet melalui glikolisis. Sistem asam laktat ini penting untuk olahraga dengan intensitas tinggi seperti sprint 200-800 meter. Sistem Energi Aerobik Sistem metabolisme ini membutuhkan oksigen untuk memecahkan glikogen menjadi CO2 dan H2O melalui siklus krebs (trycarboxylic acid= TCA) dan sistem tranport elektron. Glikogen atau glukosa dipecah secara kimia menjadi asam piruvat dan dengan adanya O2 maka asam laktat tidak menumpuk. Asam piruvat yang terbentuk selanjutnya memasuki siklus kreb dan sistem taransport elektron (Miharja 2004). Pembentukan kembali ATP secara aerobik berlangsung di dalam organel sel tertentu yang disebut mitokondria. Sistem aerobik menghasilkan ATP lebih lambat daripada sistem ATP-CP dan asam laktat, namun produksi ATP jauh lebih besar. Bahan yang dapat dipecah untuk sistem aerobik berasal dari glikogen, lemak (asam lemak) ataupun protein (asam amino) yang didalamnya terkandung energi potensial yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara maksimal. Tingkat relatif penggunaan energi pada otot untuk berbagai jenis latihan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Tingkat relatif penggunaan energi pada otot untuk berbagai jenis latihan Kondisi latihan Intensitas sangat tinggi durasi sangat pendek (<3 menit) dan kontraksi statis
Intensitas tinggi (8085% max), durasi pendek (<40 menit)
Intensitas tinggi (7080% max), durasi sedang (40150 menit)
Intensitas rendah (<50% max), durasi panjang (>150 menit)
Intensitas sedang (60-70% max), durasi panjang (>150 menit)
Sumber energi
Saat berhenti
Glikogen otot Glokogen hati/glukosa darah Asam lemak bebas (FFA)
Dapat diabaikan
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Sedang Dapat diabaikan
Rendah Dapat diabaikan
Rendah Dapat diabaikan
Sedang
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Asam amino
Sumber: Plowman & Smith (2008)
Olahraga dan Aktivitas Fisik Olahraga adalah kegiatan pelatihan jasmani, yaitu kegiatan jasmani untuk memperkaya, meningkatkan kemampuan dan keterampilan gerak dasar maupun
17
gerak keterampilan (kecabangan olahraga). Olahraga merupakan bentuk pendekatan ke aspek sejahtera jasmani atau sehat jasmani yang berarti juga sehat dinamis. Sehat dinamis merupakan sehat yang disertai dengan kemampuan gerak yang memenuhi segala tuntutan gerak kehidupan sehari-hari, dengan kata lain memiliki tingkat kebugaran jasmani yang memadai. Aktivitas dalam olahraga dapat dibedakan menjadi aktivitas aerobik, anaerobik dan kombinasi antara aktivitas aerobik dan anaerobik. Aktivitas aerobik merupakan aktivitas kegiatan fisik yang dilakukan pada tingkat intensitas sedang untuk jangka waktu tertentu. Dalam hal ini, oksigen digunakan untuk "membakar" lemak dan gula untuk menghasilkan adenosin trifosfat yang merupakan pembawa dasar dari energi di tingkat sel. Contoh olahraga aerobik yaitu gerak jalan cepat, jogging, bola basket, sepak bola, senam, renang. Olahraga anaerobik (tanpa oksigen) adalah kebalikan dari olahraga aerobik (dengan oksigen). Olahraga anaerobik lebih banyak membakar kalori serta membutuhkan oksigen yang lebih besar dimana oksigen tersebut tidak tersedia dalam jumlah yang cukup untuk sel-sel membakar lemak. Contoh olahraga anaerobik yaitu angkat besi, sprint 100 meter (Riyadi 2007). Olahraga merupakan bagian dari aktivitas fisik. Aktivitas fisik merupakan parameter untuk menentukan kondisi kesehatan seseorang. Pengertian aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama
melakukan
aktivitas
fisik,
otot
membutuhkan
energi
untuk
menghantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan mengeluarkan sisa-sisa tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan tergantung pada jumlah otot yang bergerak, durasi dan tingkat kesulitan pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2002). Menurut WHO (2010) aktivitas fisik adalah gerakan tubuh secara keseluruhan yang menggunakan otot-otot tubuh, sehingga meningkatkan pengeluaran energi secara maksimal. Terdapat perbedaan antara aktivitas fisik dengan olahraga. Aktivitas fisik merupakan bentuk dari perilaku yang menghasilkan energy expenditure karena pergerakan otot tubuh, termasuk lengan dan kaki, sedangkan olahraga merupakan bagian dari aktivitas fisik yang terencana, terstruktur dan dilakukan berulang pada pergerakan tubuh untuk meningkatkan atau mencapai kebugaran. Menurut WHO (2010) aktivitas fisik dibagi atas beberapa bagian yaitu, waktu tidur, waktu sekolah, waktu luang, waktu mengerjakan tugas, waktu
18
perjalanan ke sekolah dan waktu olahraga. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi dari luar metabolisme untuk beraktivitas, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk menghantarkan zatzat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Riyadi (2006) menyatakan bahwa jika diketahui jumlah energi tubuh yang telah dikeluarkan selama aktivitas sehari, maka sebenarnya jumlah tersebut merupakan aktivitas normal sehari-hari untuk hidup sehat. Menurut FAO/WHO/UNO (2001) aktivitas fisik dan angka metabolisme basal merupakan variabel utama dalam perhitungan pengeluaran energi. Pengeluaran energi dapat menjadi gambaran kebutuhan energi seseorang untuk dapat hidup berkualitas secara kesesluruhan. Tingkat aktivitas fisik yang dilakukan seseorang secara 24 jam dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level) atau tingkat aktivitas fisik. Kebugaran Fisik atau Kebugaran Jasmani Definisi dan komponen kebugaran Fisik Kebugaran merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat kesehatan manusia. Seseorang yang memiliki fisik yang sehat dan bugar maka dapat menjalankan aktivitas harian secara optimal. Kebugaran dapat disebut juga kesegaran jasmani, dimana menurut Sumosardjuno (1992) diacu dalam Fatmah (2011) diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menunaikan tugasnya sehari-hari dengan mudah, tanpa merasa lelah yang berlebihan dan masih mempunyai sisa atau cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggangnya dan untuk keperluan yang mendadak. Hasil studi yang dilakukan oleh Indriani (2011) menyatakan bahwa pemberian suplemen besi-folat dan multivitamin mineral (MVM) dapat meningkatkan kebugaran fisik pekerja wanita usia subur (WUS) yang anemia sebesar 12.5% dan 13.7%. Kebugaran dibagi menjadi dua kategori yaitu kebugaran yang berhubungan dengan kesehatan dan kebugaran yang berhubungan dengan olahraga atau keterampilan (Williams 2002). Kebugaran yang berhubungan dengan kesehatan digambarkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari dengan kekuatan dan berhubungan dengan rendahnya risiko penyakit degeneratif. Kebugaran yang berhubungan dengan keterampilan atau skill-related fitnees adalah kebugaran yang penting untuk melakukan gerakan-gerakan fisik dalam aktivitas atletik atau olahraga. Kebugaran dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, umur jenis
19
kelamin, keturunan, makanan dan gizi yang seimbang, serta kebiasaan merokok (Fatmah 2011). Unsur-unsur kebugaran jasmani yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya adalah daya tahan, kekuatan, kecepatan dan kelentukan (Moelek dan Tjokronegoro 1984). Unsur kebugaran jasmani ini merupakan unsur dasar dari kondisi fisik yang dimiliki oleh seseorang. Kebugaran jasmani dapat meningkat dengan latihan yang rutin. Daya Tahan (Endurance) Daya tahan merupakan keadaan yang menekankan pada kapasitas melakukan kerja secara terus-menerus dalam suasana aerobik (Moelek 1984), sehingga dapat berlaku bagi seluruh tubuh, suatu sistem dalam tubuh, daerah tertentu dan sebagainya. Pada umumnya daya tahan yang paling banyak dibahas adalah daya tahan jantung. Daya tahan jantung merupakan faktor utama dalam pengukuran kesegaran jasmani. Pengukuran daya tahan jantung dapat dilakukan dengan mengukur aspek denyut nadi dan tekanan darah (Nurhasanah & Cholil 2007). Kedua aspek ini merupakan
indikator
yang
menggambarkan
mengenai
kemampuan
kardiovaskuler seseorang. Adapun pengukuran daya tahan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, diantaranya: berjalan, jogging, treadmill, sepeda ergometer, dayung ergometer dan sebagainya. Metode yang digunakan untuk mengukur daya tahan yaitu: bleep test, cooper test, balke test, harvad step test dan berbagai macam metode lainnya. Kekuatan (Strength) Kekuatan dalam hal ini merupakan kekuatan otot yang menggambarkan kemampuan maksimal yang dihasilkan oleh otot atau sekelompok otot terhadap suatu tahanan atau beban (Moeloek 1984). Pada kontraksi otot memendek dan besarnya pemendekan bergantung pada beban yang harus ditahan. Latihan kekuatan dapat dilakukan dengan latihan angkat beban (weight training) yang pembebanannya disesuaikan dengan prinsip dan kaedah latihan. Kecepatan (Speed) Kecepatan adalah kemampuan untuk melakukan gerakan sejenis secara berturut-turut dalam waktu sesingkat-singkatnya atau kemampuan untuk menempuh suatu jarak dalam waktu sesingkat-singkatnya (Harsono 1997). Kecepatan sangat dipengaruhi oleh faktor kekuatan, waktu reaksi dan fleksibilitas (Harsono 1997). Untuk dapat meningkatkan kecepatan, dibutuhkan latihan
20
kekuatan, kecepatan reaksi dan kelentukan agar didapatkan kecepatan maksimal. Faktor-faktor yang memengaruhi kecepatan yaitu kelenturan, tipe tubuh dan usia (Moeloek 1984). Kecepatan yang dimiliki seseorang akan menurun seiring dengan usia seseorang yang bertambah, tipe tubuh dan perubahan kelenturan yang dimiliki seseorang juga akan memengaruhi kecepatannya. Kelentukan (Fleksibility) Latihan kelentukan merupakan bagian dari latihan kerangka (skelet) khususnya latihan untuk memperluas pergerakan persendian, yang berarti meningkatkan kelentukan (Giriwijoyo 2005). Pengertian lain menyebutkan bahwa kelentukan adalah kemampuan untuk melakukan gerakan dalam ruang gerak sendi (Harsono 1997). Dengan demikian,kelentukan merupakan kemampuan untuk menggerakkan satu sendi dengan suatu gerakan menekuk, merenggang, dan memuntir, kelentukan yang baik akan memberikan keleluasan gerak tubuh tanpa mengalami cedera. Manfaat dari latihan kelentukan adalah mengurangi kemungkinan terjadinya cedera pada otot dan sendi, membantu dalam mengembangkan
kecepatan,
koordinasi
dan
kelincahan,
membantu
perkembangan prestasi, menghemat pengeluaran tenaga (efisiensi) pada waktu melakukan gerakan gerakan dan membantu memperbaiki sikap tubuh (Harsono 1997). Pengukuran dan Penilaian Kebugaran Fisik Kebugaran fisik sangat penting dalam menunjang aktivitas kehidupan sehari-hari. Akan tetapi nilai kebugaran fisik tiap orang berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing individu. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kebugaran jasmani adalah genetik, umur, jenis kelamin, aktivitas fisik, kesehatan, kebiasaan hidup dan zat gizi. Faktor-faktor ini memegang peranan penting dalam menentukan
pengukuran,
penilaian
dan
tingkat
kebugaran
seseorang.
Kebugaran fisik dapat diukur secara kuantitatif dengan beberapa metode. Pada Tabel 5, dapat dilihat kumpulan tes kebugaran jasmani untuk menentukan kebugaran seseorang. Tabel 5 Kumpulan tes kebugaran jasmani pilihan No 1
2
Kumpulan Tes Health related componenets of physical fitness (Haskel & Kiernan 2000)
Health related physical firness tests in european adolescents (Ortega et al. 2008)
Tes Kebugaran Ketahan Kardiorespiratori, ketahanan otot, kekuatan otot, kelentukan, keseimbangan, kelincahan, koordinasi Ketahanan kardiorespiratori, kecepatan dan kelincahan,
21
3
National council on physical fitness on sports in Taiwan (2003)
4
Tes kesegaran jasmani Indonesia (Nurhasanah & Cholil 2007)
kelentukan, kekuatan otot Komposisi tubuh, kekuatan otot dan stamina, kelentukan, ketahanan kardiorespiratori Kecepatan, kekuatan dan ketahanan otot, ketahanan kardorespiratori
Kebugaran fisik sangat penting dalam menunjang aktivitas kehidupan sehari-hari para pekerja. Akan tetapi nilai kebugaran fisik setiap orang berbeda sesuai dengan tugas atau profesi masing-masing. Kebugaran fisik dapat diukur secara
kuantitatif
dengan
beberapa metode.
Memperhatikan
komponen
kebugaran fisik, maka telah dikembangkan pula beberapa jenis pengukuran untuk mengetahui daya tahan jantung-paru, kekuatan, daya tahan dan kelenturan otot dan sebagainya. Kriteria kebugaran fisik berdasarkan daya tahan jantung-paru (cardiorespiratory endurance) yang paling sering digunakan di lapangan dan paling baik dinilai dengan mengukur VO 2 maksimal.
22
KERANGKA PEMIKIRAN Karakteristik keluarga meliputi asal daerah sampel dan karakteristik individu meliputi usia dan pemasukan per bulan. Uang pemasukan yang diterima digunakan oleh sampel untuk kebutuhan sehari-hari, diantaranya adalah kebutuhan pangan dan perawatan kesehatannya. Karakteristik individu dan karakteristik keluarga akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan individu. Uang pemasukan per bulan diduga berpengaruh terhadap status anemia melalui alokasi pengeluaran untuk konsumsi pangan. Konsumsi pangan inilah yang secara langsung berhubungan dengan status anemia karena konsumsi pangan mencerminkan asupan zat gizi seseorang. Suplementasi
yang
diberikan
berupa
multivitamin
mineral
dengan
kandungan zat gizi mikro (vitamin dan mineral) yang menyumbang besar AKG sehari. Bahkan beberapa zat gizi mikro memenuhi AKG sehari dalam satu takaran saji (15 mL setiap hari). Pemberian suplemen ditetapkan sebagai peubah terkontrol. Suplemen tersebut diberikan kepada sampel untuk perbaikan status anemia. Pemberian suplemen dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan yang diberi suplemen multivitamin mineral (MVM) dan kelompok kontrol yang mendapatkan plasebo. Konsumsi makanan akan berpengaruh terhadap asupan dan tingkat kecukupan energi, protein dan zat gizi lain. Asupan dan tingkat kecukupan yang baik akan meningkatkan status gizi sampel, namun bisa juga sebaliknya. Pemberian asupan dari makanan dan suplemen cenderung berpengaruh terhadap metabolisme zat gizi di dalam tubuh. Suplementasi ini diharapakan dapat meningkatkan kadar hemogobin. Peran hemoglobin dalam darah untuk mentranspor oksigen dalam tubuh yang akan digunakan untuk beraktifitas. Aktifitas fisik yang teratur dan terencana dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang. Olahraga merupakan bagian dari aktivitas fisik dan merupakan indikator yang kuat untuk menentukan tingkat kebugaran seseorang. Tingkat kebugaran fisik dapat diukur dengan komponen kebugaran, meliputi kecepatan, kelincahan, daya tahan dan kekuatan otot dan VO 2 maksimum. Kebugaran tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat kecukupan gizi seseorang saja namun dipengaruhi juga oleh beberapa hal lainnya yaitu umur, jenis kelamin, genetik, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan faktor lingkungan. Kerangka operasional penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
23
Karakteristik Individu: - Usia - Pemasukan per Bulan - Status Gizi (Antropometri)
Karakteristik Keluarga
Konsumsi Pangan Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Pemberian Zat Gizi Mikro
Kehilangan darah: - Menstruasi - Pendarahan
-Metabolisme zat gizi -Metabolisme zat besi dan pematangan sel darah merah (eritropoiesis)
Kadar Hemoglobin
Kecepatan (lari cepat)
Kelincahan (shuttle run)
Kekuatan dan Daya tahan otot (push-up, sit-up, vertical jump)
Kebugaran Fisik
Keterangan : ____ : Variabel yang diteliti ----- : Variabel yang tidak diteliti Gambar 2 Kerangka operasional penelitian
Daya tahan jantung (bleep test)
24
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di lingkungan asrama Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB selama 6 bulan, yaitu dimulai pada bulan April 2012 dan berakhir pada bulan September 2012. Analisis kadar hemoglobin dilaksanakan di laboratorium klinik Prodia Kota Bogor, sedangkan analisis kandungan suplemen dilaksanakan di SIG (Sarawanti Indo Genetech). Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah quasi experimental dengan 2 kelompok perlakuan. Kelompok pertama, yaitu kelompok multivitamin mineral (MVM), mendapatkan intervensi berupa suplementasi multivitamin mineral, sedangkan kelompok kedua merupakan kelompok plasebo (kontrol). Penelitian yang dilakukan bersifat tersamar ganda (double blind),
yaitu baik peneliti maupun
sampel tidak mengetahui apakah suplementasi yang diberikan mengandung multivitamin dan mineral atau tidak (plasebo). Sampel penelitian adalah mahasiswi TPB IPB yang berusia 18-21 tahun dan bersedia terlibat dalam penelitian ini (informed consent). Komposisi suplemen multivitamin dan mineral dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi suplemen multivitamin dan mineral Multivitamin Mineral Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin B3 (mg) Vitamin B6 (mg) Vitamin B12 (mg) Vitamin C (mg) Zat Besi (mg) Kalsium (mg) Mangan (mg) Seng (mg)
Kandungan/15 mL 15 mg 2.25 mg 22.5 mg 3 mg 15 µg 150 mg 20 mg 100 mg 2 mg 5 mg
AKG Sehari 1.0 mg 1.1 mg 14 mg 1.3 mg 2.4 g 75 mg 26 mg 800 mg `1.8 mg 9.3 mg
% AKG 1500 205 161 231 625 200 77 13 111 54
Sumber: Nurtition Fact label kemasan produk (kandungan suplemen) Tabel Angka Kecukupan Gizi untuk kelompok usia 18-19 ahun (WNPG 2004)
Tabel 6 menujukkan komposisi suplemen multivitamin mineral lebih tinggi dibandingkan dengan AKG per hari hasil Widya Karya Pangan dan Gizi (WNPG) untuk wanita usia 19-29 tahun. Komposisi zat gizi yang digunakan dalam suplemen multivitamin mineral ini meliputi vitamin B kompleks (B1, B2, B3, B6, B12) yang diberikan cukup tinggi karena vitamin B kompleks berperan penting dalam proses metabolisme energi, namun keseluruhan komposisi ini masih dalam batas aman untuk dikonsumsi dan juga masih di bawah batas UL (upper level) yag direkomendasikan.
25
Jumlah dan Teknik Penarikan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah remaja wanita (usia 18-21 tahun) yang berstatus sebagai mahasiswi TPB IPB dan tinggal di Asrama Putri TPB IPB. Pemilihan sampel dilakukan dengan melakukan screening kadar hemoglobin terhadap populasi. Screening dilakukan oleh dokter terhadap mahasiswi yang mempunyai keluhan-keluhan terkait anemia (lemah, letih, lesu, lunglai, mudah ngantuk) dan memiliki kadar Hb <12.5 mg/dL dengan nesco finger pick yaitu sebanyak 250 orang. Berdasarkan hasil screening, didapatkan 150 orang kemudian dilakukan pemeriksaan kadar Hb lebih lanjut kepada mahasiswi yang diduga anemia dengan metode cyanmethemoglobin. Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswi TPB IPB yang memiliki kadar hemoglobin ≤ 12.6 mg/dL berdasarkan metode cyanmethemoglobin, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yang diterapkan terdiri dari: berusia 18 – 21 tahun, sudah mengalami menarche (menstruasi), tidak sedang mengonsumsi suplemen multimivitamin atau mineral serupa dan bersedia mengikuti tahap penelitian. Sedangkan kriteria ekslusi terdiri dari: menderita penyakit kronis, sedang hamil, peminum alkohol dan atau obat-obatan terlarang dan merokok. Jumlah sampel minimal dihitung berdasarkan asumsi bahwa nilai α= 5% (Zα=1.645), kekuatan uji= 80% (Zβ=0.84), simpangan baku hemoglobin peubah respon (σ=0.12 mg/L) dan kenaikan nilai hemoglobin sebagai akibat pemberian suplemen multivitamin mineral ( =0.13 mg/L) (Li et al. 2004), rumus perhitungannya adalah sebagai berikut: n n n Jumlah sampel yang telah diperoleh tersebut ditambahkan sebanyak 10% untuk mempertimbangkan adannya sampel yang drop out, sehingga diperoleh jumlah sampel minimal untuk setiap kelompok adalah 13 orang. Pada penelitian ini dibutuhkan 2 kelompok perlakuan, oleh karena itu sampel minimal yang dibutuhkan adalah 26 orang. Pengelompokkan sampel ke dalam masing-masing kelompok intervensi (kelompok MVM dan plasebo) dilakukan secara sistematis dengan mempertimbangkan rata-rata nilai kadar Hb awal dari setiap kelompok. Hal ini bertujuan supaya tidak ada perbedaan rataan kadar Hb yang nyata antara
26
kedua kelompok. Untuk memastikan tidak adanya perbedaan yang nyata pada kadar Hb antar kelompok maka dilakukan uji independent samples t-test. Jumlah sampel saat awal penelitian adalah 29 orang, yaitu terbagi atas 15 orang pada kelompok MVM dan 14 orang pada kelompok plasebo. Selama pelaksanaan intervensi, 1 orang pada kelompok MVM dinyatakan drop out karena tidak mau melanjutkan tahapan-tahapan penelitian dan 1 orang pada kelompok plasebo juga dinyatakan drop out karena mengalami cidera sehingga tidak dapat melanjutkan penelitian. Jumlah keseluruhan sampel yang berhasil mengikuti penelitian ini hingga akhir adalah 27 orang mahasiswi, yaitu terbagi atas 14 orang pada kelompok MVM dan 13 orang pada kelompok plasebo. Pelaksanaan Suplementasi Keseluruhan suplemen multivitamin dan mineral dan plasebo diproduksi oleh suatu perusahaan suplemen komersial. Suplemen multivitamin mineral dan plasebo berbentuk sirup dan dikemas dalam botol kaca gelap yang diberi label A dan B. Suplemen multivitamin mineral (MVM) dan plasebo diberikan secara acak kepada masing-masing kelompok intervensi. Kelompok 1 mendapatkan sirup dengan label A dan kelompok 2 mendapatkan sirup dengan label B. Setiap sampel penelitian diinstruksikan untuk mengonsumsi sirup sebanyak 15 mL/hari (sesuai takaran saji) setiap pagi sebelum makan. Pelaksanaan suplementasi ini dilakukan selama 8 minggu. Untuk menjaga kepatuhan konsumsi sirup, dilakukan berbagai upaya diantaranya melalui sosialisasi pada awal kegiatan, penjelasan pada saat pengumpulan data baseline dan dilakukan penyuluhan setiap minggu terkait konsumsi suplemen tersebut. Skema operasional penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
27
Skema Operasional Penelitian Screening Hb sebanyak 250 mahasiswi oleh dokter dengan Nesco Finger Pick
Didapatkan mahasiswi sebanyak 150 orang yang diduga anemia berdasarkan screening dengan kadar Hb (<12.6 g/dl)
Dilakukan seleksi sampel berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi
Pemeriksaan lanjutan Hb dengan metode cyanmethemoglobin baseline
Persetujuan mengikuti penelitian dengan penandatangan informed consent
Diperoleh sampel sebanyak 27 orang
Kelompok MVM 14 orang
Intervensi sirup suplemen selama 8 minggu dan tes kesehatan jasmani
Kelompok plasebo 13 orang
Intervensi sirup plasebo selama 8 minggu dan tes kesehatan jasmani
Pemeriksaan Hb dan hematologi dengan metode cyanmethemoglobin endline
Gambar 3 Skema operasional penelitian
28
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Peubah yang dikumpulkan selama pelaksanaan penelitian meliputi karakteristik sampel, riwayat dan keluhan menstruasi, konsumsi pangan, alokasi pengeluaran, status kesehatan dan riwayat penyakit, status gizi (ukuran antropometri), status anemia (biokimia darah), aktivitas fisik dan tingkat kebugaran fisik. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer. Data dikumpulkan melalui tiga cara yaitu dengan yaitu dengan wawancara langsung, pengukuran langsung dan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh dokter. Tabel 7 Jenis dan cara pengumpulan data penelitian No 1.
Variabel Karakteristik sampel Konsumsi Pangan
Data - Usia - Pemasukan per bulan - Konsumsi pangan
Metode Wawancara dengan kuisioner Food Record
3.
Status gizi antropometri
- Indeks massa tubuh - Persen lemak tubuh
4.
Kadar hemoglobin Aktivitas Fisik
- Kadar hemoglobin
Penimbangan BB, pengukuran TB dan fat body monitor cyanmethemoglo bin Record aktivitas fisik dan wawancara
Tingkat Kebugaran Fisik
Lari cepat 60 m, pushup, sit-up, vertical jump, shuttle run dan bleep test
2.
5.
6.
- Aktivitas fisik
Tes Kesegaran Jasmani
Waktu Sebelum intervensi (baseline) Baseline, 2 hari setiap minggu (hari libur dan hari kuliah) selama intervensi Sebelum dan sesudah intervensi
Sebelum dan sesudah intervensi Pengisian kuisioner record 2x24 jam pada hari kuliah dan hari libur Sebelum dan sesudah intervensi
Pengolahan dan Analisis Data Keadaan sosial ekonomi, total pemasukan per bulan dan aktivitas fisik yang diperoleh dari kuisioner diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif. Uji statistik dilakukan untuk mengetahui perbedaan keragaman keseluruhan peubah antar kelompok perlakuan (baseline dan endline). Uji beda independent samples t-test digunakan untuk membandingkan perbedaan peubah parametrik sebelum perlakuan seperti, asupan dan tingkat kecukupan gizi, data antropometri, kadar hemoglobin dan tingkat kebugaran. Uji paired samples t-test digunakan untuk membandingkan
signifikansi
peubah
parametrik
sebelum
dan
sesudah
suplementasi. Data konsumsi dari food record direkap untuk diidentifikasi berbagai jenis, ukuran dan frekuensi pangan yang telah dikonsumsi oleh sampel. Kemudian dari
29
daftar tersebut dilakukan survei ke tempat penjual makanan di sekitar kampus (luar dan dalam) untuk menentukan harga dan porsinya (dari URT menjadi gram). Data jenis pangan yang telah berhasil diidentifikasi kemudian dikonversi ke dalam zat gizi menggunakan database DKBM dan software Nutrisurvey. Jenis zat gizi yang diidentifikasi adalah energi, karbohidrat, lemak, protein dan beberapa zat gizi mikro (Vitamin A, B 1, B2, B6, Vitamin C, kalsium, besi dan seng). Beberapa zat gizi mikro seperti Vitamin B 3, B12 dan mangan tidak dapat diidentifikasi karena keterbatasan instrumen yang digunakan. Tingkat kecukupan energi dan protein
sampel dihitung dengan
membandingkan antara asupan energi dan protein dengan kebutuhan masingmasing sampel (IOM 2002). Kelompok umur wanita pada WNPG (2004) dibagi menjadi kategori 16 – 18 dan 19 – 29 tahun. Untuk beberapa zat gizi ditetapkan dengan angka yang berbeda. Perhitungan AKG energi dan protein dikoreksi dengan berat berat badan aktual masing-masing sampel. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi sampel dinyatakan dalam persen. Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi Energi dan Zat Gizi Energi dan Protein
Vitamin dan mineral
a. b. c. d. e. a. b.
Klasifikasi Tingkat Kecukupan Defisit tingkat berat (< 70% angka kebutuhan) Defisit tingkat sedang (70 – 79% angka kebutuhan) Defisit tingkat ringan (80 – 89% angka kebutuhan) Normal (90 – 119% angka kebutuhan) Di atas angka kebutuhan (≥ 120% angka kebutuhan) Kurang (< 77% angka kebutuhan) Cukup (≥ 77% angka kebutuhan)
Sumber : Depkes (1996)
Aktivitas fisik dibagi menjadi lima kegiatan, yaitu tidur, kegiatan akademik dan non-akademik, kegiatan ringan, kegiatan sedang dan kegiatan berat. Pada penelitian ini kegiatan akademik dan non-akademik meliputi semua aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan di kampus. Kegiatan ringan mahasiswa meliputi duduk, kebersihan diri, makan, ibadah dan kegiatan waktu luang. Kegiatan sedang meliputi berpergian dan melakukan pekerjaan rumah tangga, sedangkan kegiatan berat meliputi olahraga (basket, sepak bola, voli, renang dan badminton) (Hardinsyah & Martianto 1992). Data aktivitas fisik didapatkan dengan metode record dan wawancara langsung, hasilnya akan diolah dengan cara mengalikan bobot nilai per aktivitas dikalikan dengan lamanya waktu yang digunakan untuk beraktivitas. Menurut FAO/WHO/UNU (2001) besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang dalam
30
24 jam dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level) atau tingkat aktivitas fisik. PAL ditentukan dengan rumus berikut: PAL =
𝑃𝐴𝑅 𝑥 𝑎𝑙𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 24 𝑗𝑎𝑚
Keterangan : PAL = Physical activity level (tingkat aktivitas fisik) PAR = Physical activity ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis aktivitas per satuan waktu tertentu) Jenis aktivitas yang dapat dilakukan dikategorikan menjadi 18 jenis kategori berdasarkan PAR seperti yang dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9 Kategori aktivitas berdasarkan nilai PAR Kategori PAL1 PAL2 PAL3 PAL4 PAL5 PAL6 PAL7 PAL8 PAL9 PAL10 PAL11 PAL12 PAL13 PAL14 PAL15 PAL16 PAL17 PAL18
Keterangan Tidur (tidur siang dan malam) Tidur-tiduran (tidak tidur), duduk diam, dan membaca Duduk sambil menonton TV Berdiri diam, beribadah, menunggu (berdiri), berhias Makan dan minum Jalan santai Berbelanja (membawa beban) Mengendarai kendaraan Menjaga anak Melakukan pekerjaan rumah (bersih-bersih) Setrika pakaian (duduk) Kegiatan berkebun Office worker (duduk di depan meja, menulis, dan mengetik) Office worker (berjalan-jalan mondar-mandir membawa arsip) Olahraga (badminton) Olahraga (jogging, lari jarak jauh) Olahraga (bersepeda) Olahraga (aerobic, berenang, sepak bola, dan lain-lain)
PAR 1 1.2 1.72 1.5 1.6 2.5 5 2.4 2.5 2.75 1.7 2.7 1.3 1.6 4.85 6.5 3.6 7.5
Sumber : FAO/WHO/UNU (2001)
Selanjutnya PAL akan dikategorikan menjadi tiga kategori menurut FAO/WHO/UNU (2001), seperti yang disajikan dalam tabel 10. Tabel 10 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL Kategori Aktivitas Sangat Ringan Aktivitas Ringan Aktivitas Sedang Aktivitas Berat Sumber : FAO/WHO/UNU (2001)
Nilai PAL < 1.40 1.40- 1.69 1.70-1.99 2.00-2.40
Data tingkat kebugaran diperoleh menggunakan tes kesehatan jasmani yakni meliputi tes lari cepat 60 meter, tes push-up, tes sit-up, tes vertical jump, tes shuttle run 4x10 meter dan Bleep test. Data tes lari cepat 60 meter diambil pada catatan waktu tercepat dalam satu kali kesempatan, waktu dicatat dalam satuan detik. Data tes push-up yang diambil merupakan hasil jumlah push-up
31
yang dilakukan sampel dengan benar selama 60 detik. Data tes sit-up diambil dari jumlah sit-up yang dilakukan dengan benar selama 60 detik oleh sampel. Data tes vertical jump merupakan selisih yang terbesar antara tinggi jangkauan sesudah melompat dengan tinggi jangkauan sebelum melompat, tinggi jangkauan diukur dalam satuan centimeter. Data tes shuttle run 4x10 meter yang digunakan merupakan hasil waktu tempuh yang dicatat oleh sampel dalam menempuh jarak 4 x 10 meter, satuan waktu yang digunakan dalam data ini adalah sepersepuluh detik. Data Bleep test merupakan jumlah terbanyak dari level yang berhasil diperoleh sampel, data tersebut selanjutnya dicatat sebagai skor-skor. Semakin tinggi level yang dituntaskan maka semakin tinggi nilai VO 2 maksimum. Tes kebugaran fisik berdasarkan masing-masing komponen kebugran dapat dilihat pada Gambar 4. Tes Kebugaran Fisik
Kecepatan
Waktu tempuh lari cepat 60 meter
Kekuatan dan Daya tahan Otot
Kelincahan
Push-up, Sit-up Vertical Jump
Waktu tempuh shuttle run 4x10 meter
Daya Tahan Jantung
Bleep test
Gambar 4 Tes kebugaran fisik berdasarkan masing-masing komponen kebugaran Data tingkat kebugaran menggunakan tes kebugaran jasmani Indonesia (TKJI) meliputi waktu tempuh lari cepat 60 meter, push-up, sit-up dan vertical jump (Nurhasanah & Cholil 2007). Waktu tempuh shuttle run 4x10 meter menggunakan standar Internasional (Ortega et al. 2011), sedangkan bleep test menggunakan standar Oleh Sharkley (2011).
Keseluruhan tes kebugaran
tersebut diklasifikasikan berdasarkan tingkatan sangat rendah, rendah, cukup, baik dan baik sekali. Definisi Operasional Suplementasi adalah pemberian zat gizi dalam bentuk sirup (jika efek yang dikehendaki lebih cepat) yang dilakukan secara teratur kepada kelompok
yang
membutuhkan
kekurangan zat gizi.
atau
orang-orang
yang
berisiko
32
Multivitamin dan mineral (MVM) adalah suplemen yang berisi campuran 10 macam vitamin dan mineral yaitu vitamin B 1 15 mg, vitamin B2 2.25 mg, vitamin B3 22.5 mg, vitamin B6 3mg, vitamin B12 15 μg, vitamin C 150 mg, besi 20 mg, kalsium 100 mg, mangan 2 mg dan seng 5 mg. Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, pencernaan, dan pemanfaatan makanan, termasuk proses pemeriksaan keadaan gizi individu dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Anemia merupakan keadaan kadar hemoglobin (Hb) darah lebih rendah dari 12.6 g/dL yang dapat diakibatkan oleh defisiensi zat gizi atau infeksi. Hemoglobin merupakan substansi dalam sel darah merah yang membawa oksigen ke dalam sel-sel tubuh. Tingkat kebugaran fisik adalah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas pekerjaannya sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggang dinilai dengan komponen kebugaran yakni kecepatan, kekuatan dan daya tahan otot, kelincahan dan daya tahan jantung (VO2maks). VO2maks merupakan indikator suatu kesegaran jasmani dan kapasitas fisik seseorang dengan menyatakan volume oksigen yang dikonsumsi tubuh per menit sehingga sering ditulis satuannya adalah mL/kg/menit.
33
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sampel Latar Belakang Sosial Ekonomi Keluarga Berdasarkan sebaran suku, sebagian besar sampel berasal dari suku Jawa dan Sunda, baik pada kelompok plasebo maupun MVM. Hal ini dipengaruhi oleh mayoritas mahasiswa IPB yang berasal dari Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Pada kelompok MVM, jumlah sampel yang berasal dari suku Jawa dan Sunda memiliki persentase yang sama yaitu sebesar 36%. Selain itu, terdapat sampel yang berasal dari suku Minang (21%) dan suku lainnya (7%). Pada kelompok plasebo, jumlah sampel yang berasal dari suku Jawa dan Sunda juga memiliki persentase yang sama, yaitu masing-masing sebanyak 38%, sedangkan sisanya berasal dari suku lainnya (23%). Pekerjaan orang tua pada kelompok MVM meliputi wiraswasta (23%), PNS (36%), dan swasta (21%). Pada kelompok plasebo, sebagian besar orang tua sampel bekerja sebagai PNS (38%), sedangkan sisanya bekerja sebagai wiraswasta (23%), swasta (15%), buruh (15%) dan petani (8%). Sebaran karakter sosial-ekonomi sampel dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Karakteristik sosial-ekonomi sampel menurut kelompok perlakuan Sosial-ekonomi keluarga Suku: Jawa Sunda Minang Lainnya Pekerjaan Orang tua: Wiraswasta PNS Swasta Buruh Petani Biaya Pendidikan: Orangtua Beasiswa Lainnya
Kelompok
Total
MVM n 5 (36%) 5 (36%) 3 (21%) 1 (7%)
Plasebo n 5 (38%) 5 (38%) 0 3 (23%)
n 10 (37%) 10 (37%) 3 (11%) 4 (15%)
6 (23%) 5 (36%) 3 (21%) 0 0
3 (23%) 5 (38%) 2 (15%) 2 (15%) 1 (8%)
9 (33%) 10 (37%) 5 (18%) 2 ( 8%) 1 ( 4%)
11 (79%) 3 (21%) 0
9 (69%) 3 (23%) 1 (8%)
20 (74%) 6 (22%) 1 (4%)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar biaya pendidikan sampel masih dibiayai oleh orang tua/wali. Jumlah sampel yang masih dibiayai oleh orang tua/wali pada kelompok MVM sebesar 69%, sedangkan pada kelompok plasebo sebesar 79%. Selain berasal dari orang tua/wali, biaya pendidikan sampel juga dapat diperoleh dari beasiswa. Sebanyak 21% sampel pada kelompok MVM dan 23% sampel pada kelompok plasebo mendapatkan beasiswa untuk biaya pendidikan. Sebanyak 8% sampel pada kelompok plasebo
34
mendapatkan biaya pendidikan dari sumber lainnya, yaitu berasal dari kerabat sampel. Usia Sampel yang diambil dalam penelitian ini merupakan mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB.
Pada saat penelitian dilakukan, sampel
bertempat tinggal di Asrama TPB IPB. Kisaran usia sampel berkisar 18-19 tahun. Berdasarkan kisaran usia tersebut, mahasiswa TPB IPB berada pada masa remaja akhir/adolescent menuju dewasa awal (Ahmadi & Sholeh 2005). Pada kelompok plasebo, sebanyak 77% sampel berusia 18-18.9 tahun dan sebesar 23% sampel berusia 19 - 19.9 tahun. Rata-rata usia sampel pada kelompok plasebo adalah 18.7 ± 0.5 tahun. Sebagian besar (60%) sampel pada kelompok MVM berusia 18-18.9 tahun, sedangkan sisanya (40%) berusia 19 - 19.9 tahun. Rata -rata usia sampel pada kelompok MVM adalah 18.9 ± 0.5 tahun. Sebaran sampel berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran sampel berdasarkan usia Kelompok Usia (Tahun) 18 - <19 tahun 19 - <21 tahun Total Rata-rata
Plasebo n 10 (77%) 3 (23%) 13 (100%) 18.7 ± 0.5
MVM n 9 (60%) 6 (40%) 15 (100%) 18.9 ± 0.5
Total n 19 (68%) 9 (32%) 28 (100%) 18.8 ± 0.5
Biaya Pemasukan per Bulan Biaya pemasukan merupakan uang yang diberikan oleh orang tua, dana beasiswa atau sumber lain yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Biaya pemasukan yang diperoleh dari orang tua, pada umumnya diberikan per minggu atau per bulan. Sampel yang berasal dari Jabodetabek biasanya lebih memilih untuk pulang setiap minggu, sehingga pemberian biaya pemasukan dilakukan per minggu. Perhitungan biaya pemasukan sampel pada penelitian ini menggunakan hitungan biaya pemasukan per bulan. Sampel yang memperoleh biaya pemasukan saku per minggu dikonversi menjadi per bulan. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebagian besar sampel (64%) pada kelompok MVM memiliki biaya pemasukan per bulan sebesar Rp 500 000 Rp 1 000 000, hanya sebesar 2% sampel yang mendapatkan biaya pemasukan > Rp 1 000 000. Pada kelompok plasebo, sebesar 46% sampel mendapatkan biaya pemasukan per bulan sebesar Rp 750 000-Rp 1 000 000, hanya 8% sampel yang mendapatkan biaya pemasukan > Rp 1 000 000. Secara keseluruhan, sebagian besar (75%) sampel memiliki biaya pemasukan per bulan
35
sebesar Rp 500 000- Rp 1 000 000. Sebaran uang saku sampel berdasarkan kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran uang saku berdasarkan kelompok perlakuan Kelompok Uang saku/bulan (Rp) <500 000 500 000 - <750 000 750 000 - 1 000 000 >1 000 000 Total
MVM n 3 (21%) 6 (43%) 3 (21%) 2 (15%) 14 (100%)
Plasebo n 3 (15%) 4 (31%) 5 (46%) 1 (8%) 13 (100%)
Total n 6 (22%) 10 (37%) 8 (30%) 3 (11%) 27 (100%)
Pengeluaran pangan merupakan bagian dari pemasukan per bulan yang digunakan untuk membeli pangan dalam waktu satu bulan. Secara umum, total pengeluaran pangan sampel sebesar 60% dari biaya pemasukan. Biaya pangan per hari pada sampel kelompok plasebo maupun MVM sebesar Rp 15 400, sehingga diperkirakan sejumlah Rp 460 000 digunakan sampel untuk biaya pangan selama sebulan. Berdasarkan uji independent sample t-test diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (p>0.05). Sebaran sampel menurut pengeluaran pangan masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Karakteristik sampel menurut jenis pengeluaran dan kelompok perlakuan Jenis Pengeluaran (Rp/bln) Total pengeluaran Pengeluaran pangan
Kelompok MVM Plasebo 744 000 ± 260 000 731 000 ± 199 000 478 000 ± 105 000 445 400 ± 89 000
p 0.737 0.283
Tingkat Aktivitas Fisik Aktivitas fisik yang diteliti meliputi kebiasaan olahraga dan intensitas olahraga. Aktivitas fisik yang rutin juga dapat memberikan dampak positif bagi kebugaran seseorang individu, yaitu meningkatkan kemampuan pemakaian oksigen dan curah jantung, peningkatan detak jantung, penurunan tekanan darah, peningkatan efisiensi kerja jantung, mencegah mortalitas dan morbiditas akibat gangguan jantung, peningkatan ketahanan saat melakukan latihan fisik, peningkatan metabolisme tubuh, meningkatkan kemampuan otot dan mencegah obesitas (Fatmah 2011). Aktivitas fisik sampel yang diamati adalah rata-rata aktivitas fisik pada hari kuliah dan hari libur. Tingkat aktivitas fisik yang biasa dilakukan oleh kelompok MVM dan kelompok plasebo termasuk dalam kategori ringan. Sebagian besar kegiatan aktivitas fisik pada kelompok plasebo dan kelompok MVM adalah kuliah,
36
mandi, makan dan beribadah. Sebaran sampel berdasarkan jenis dan durasi berbagai aktivitas fisik yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran sampel berdasarkan jenis dan durasi berbagai aktivitas fisik yang dilakukan sampel Jenis Aktivitas Tidur Kegiatan intra dan ektra kulikuler Kegiatan Ringan Kegiatan Sedang Kegiatan Berat PAL
Hari Libur MVM Plasebo durasi (jam) durasi (jam) ± SD ± SD 8.5 ± 1.1 7.8 ± 1.0
Hari Kuliah MVM Plasebo durasi (jam) durasi (jam) ± SD ± SD 7.2 ± 0.79 6.8 ± 1.2
2.6 ± 1.2
2.8 ± 3.2
5.4 ± 1.80
5.7 ± 1.8
11.7 ± 1.2 0.8 ± 0.3 0.3 ± 0.4 1.48
12 ± 3.1 1.2 ± 0.5 0.3 ± 0.5 1.52
10.5 ± 1.64 0.8 ± 0.30 0±0 1.44
10.2 ± 2.1 1.2 ± 0.3 0.1 ± 0.2 1.46
Nilai PAL (Physical Activity Level) pada kelompok MVM dan plasebo berada pada selang 1.40-1.56, nilai ini termasuk dalam kategori aktivitas ringan. Durasi aktivitas ringan pada kelompok MVM adalah 11.7 ± 1.2 jam, sedangkan durasi aktivitas ringan pada kelompok plasebo adalah 12 ± 3.1 jam. Pada hari kuliah, mahasiswi tidur malam sekitar pukul 22.00 WIB dan bangun sekitar pukul 05.00 WIB. Namun, pada saat ujian terjadi perubahan waktu tidur, yaitu sebagian besar mahasiswi tidur antara pukul 23.00 - 24.00 WIB, kemudian bangun sekitar pukul 04.30 WIB. Rata-rata durasi kegiatan tidur pada kelompok MVM adalah 7.85 ± 0.9 jam, sedangkan pada kelompok plasebo adalah 7.3 ± 1.1 jam. Penelitian cross-sectional yang dilakukan oleh Janssen dan Ross (2012) menyatakan bahwa tingkat aktivitas fisik yang dilakukan secara maksimal memiliki peranan penting dalam pencegahan penyakit kardiovaskuler. Dengan demikian, aktivitas fisik pada mahasiswi perlu ditingkatkan dengan cara sering berolahraga sehingga meminimalkan resiko penyakit kardiovaskuler. Hasil studi ini mendapatkan data bahwa sebagian besar mahasiswi TPB IPB memiliki aktivitas fisik yang tergolong ringan. Dapat diduga mahasiswi yang mengalami defisiensi besi mengindikasikan memiliki aktivitas fisik yang rendah. Berbagai penelitian mengkaitkan kondisi lemas, letih dan lelah merupakan salah satu dampak negatif dari anemia. Hal ini dapat berhubungan dengan defisiensi besi dan juga berpengaruh dengan rendahnya aktivitas fisik (Beard 2001). Olahraga merupakan salah satu komponen dari aktivitas fisik. Sebesar 40% sampel pada kelompok MVM dan 69% sampel pada kelompok plasebo terbiasa melakukan kegiatan berolahraga, sedangkan sisanya tidak memiliki kebiasaan olahraga setiap minggunya. Secara umum, kelompok plasebo cenderung memiliki kebiasaan olahraga yang lebih baik dari kelompok MVM. Kebiasaan
37
olahraga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan tingkat kebugaran, semakin sering melakukan olahraga maka tingkat kebugaran akan semakin meningkat. Sebaran sampel berdasarkan kebiasaan olahraga dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran sampel berdasarkan kebiasaan olahraga Kebiasaan Olahraga Ya Tidak Total
MVM n 6 (40%) 9 (60%) 15 (100%)
Plasebo n 9 (69%) 4 (31%) 13 (100%)
Total n 15 (54%) 13 (46%) 28 (100%)
Sebagian besar alasan sampel yang tidak terbiasa melakukan kegiatan olahraga adalah karena mereka tidak mempunyai waktu dan malas. Adanya mata kuliah olahraga selama masa TPB membantu agar mahasiswa TPB lebih mengerti manfaat dari berolahraga. Manfaat aktivitas fisik secara langsung dapat menurunkan resiko stres dan obesitas (Chaput et al. 2011). Oleh karena itu, motivasi dalam berolahraga sangat diperlukan agar tubuh menjadi lebih bugar. Pada masing-masing kelompok intervensi terdapat sampel yang tidak pernah melakukan olahraga secara rutin setiap minggunya, yaitu sebesar 60.0% pada kelompok MVM dan sebesar 30.8% pada kelompok plasebo. Angka ini dapat mencerminkan bahwa sangat sedikit mahasiswi TPB IPB yang memiliki waktu rutin untuk melakukan olahraga. Sampel yang terbiasa melakukan olahraga 1-2 kali seminggu pada kelompok MVM sebesar 40% dan kelompok plasebo sebesar 46.2%. Data pada penelitian ini mendapatkan bahwa hanya sampel pada kelompok plasebo (23.1%) yang secara rutin melakukan olahraga setiap minggunya, sedangkan pada kelompok MVM tidak seorang pun yang berolahga secara rutin. Sebaran sampel berdasarkan frekuensi olahraga disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran sampel berdasarkan frekuensi olahraga Frekuensi olahraga (kali/minggu) Tidak pernah 1-2 3-4 Total Rata-rata ± SD
Kelompok MVM n 9 (62%) 5 (38%) 0 (0%) 14 0.8 ± 1
Plasebo n 4 (31%) 6 (46%) 3 (23%) 13 2.1 ± 1.9
Total n 13 (48%) 11 (41%) 3 (11%) 27 1.2 ± 1.2
Pelaksanaan Suplementasi Multivitamin dan Mineral (MVM) Kepatuhan Suplementasi Sirup suplemen dikonsumsi setiap hari oleh kelompok placebo dan kelompok MVM. Setiap sampel pada masing-masing kelompok perlakuan
38
diharuskan untuk meminum sirup suplemen sebanyak ±15 mL setiap pagi hari ( setelah makan pagi). Untuk dapat meningkatkan kepatuhan dalam mengonsumsi suplemen dilakukan pengawasan oleh peneliti setiap minggu di asrama TPB, yaitu melalui pencatatan laporan (self reported) dan menggunakan SMS untuk mengingatkan. Seluruh kelompok perlakuan mengisi formulir monitoring konsumsi suplemen setiap hari. Setelah 30 hari, formulir monitoring tersebut dikumpulkan dan diberikan kembali formulir yang baru. Kejujuran dalam pengisian formulir monitoring konsumsi dipastikan dengan cara menanyakan kepada sampel secara langsung. Sebaran sampel berdasarkan sisa suplemen selama intervensi dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran sampel berdasarkan sisa suplemen (mL) selama intervensi Suplementasi Rata-rata asupan Tingkat Asupan (%)
MVM (mL) 493 ± 114 58.6
Kelompok Plasebo (mL) 537 ± 78 63.9
p 0.463 0.469
Rata-rata asupan suplemen pada kelompok MVM sebanyak 493 mL dan pada kelompok plasebo sebanyak 537 mL. Jumlah tersebut tidak sesuai dengan jumlah asupan suplemen yang seharusnya dikonsumsi, yaitu sebanyak 840 mL. Tingkat asupan hanya mencapai 58.6% pada kelompok MVM dan 63.9% pada kelompok plasebo. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan dalam menakarkan suplemen sebesar 15 mL/hari. Oleh karena itu, kesulitan dalam menakarkan suplemen ini menyebabkan konsumsi suplemen tidak merata atau tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Sebaran sampel berdasarkan tingkat kepatuhan minum (self reported) dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Sebaran sampel berdasarkan tingkat kepatuhan minum (self reported) Kelompok MVM n 4 (28.5%) 10 (71.5%) 14 (100%) 97 ± 3
Kepatuhan < 90% > 90% Total Rata-rata (%)
Tingkat
kepatuhan
berdasarkan
Plasebo n 0 (0%) 13 (100%) 13 (100) 94 ± 5
hasil
self
reported
Total n 4 (14.8%) 23 (85.2%) 27 (100%) 95 ± 4
menunjukkan
perbedaan jika dibandingkan dengan tingkat kepatuhan berdasarkan jumlah suplemen yang tersisa. Berdasarkan self reported, sebagian besar (90%) sampel pada kelompok plasebo maupun MVM mengonsumsi suplemen dengan baik. Hal ini memperkuat dugaan adanya perbedaan dalam menakarkan suplemen. Peneliti telah beberapa kali mencontohkan takaran yang sesuai dengan anjuran, namun perbedaan takaran dalam mengonsumsi suplemen dapat menyebabkan
39
hal ini terjadi. Perbedaan tingkat kepatuhan berdasarkan sisa suplemen dan self reported menyebabkan perbedaan perhitungan jumlah asupan. Hasil yang lebih akurat dapat diperoleh dengan menggunakan perhitungan sisa suplemen yang dikonsumsi, karena sisa suplemen mencerminkan takaran yang digunakan selama intervensi. Manfaat Setelah Mengonsumsi Suplemen Manfaat setelah mengonsumsi suplemen ditanyakan secara langsung setiap minggu secara subjektif, namun pada akhir intervensi manfaat dan keluhan ditanyakan kembali. Manfaat yang paling banyak dirasakan oleh sampel yaitu lebih bugar, nafsu makan meningkat dan jarang sakit. Pada kelompok plasebo sebagian besar mengalami hal yang sama dengan kelompok MVM. Hal ini diduga
adanya
plasebo effect
selama
intervensi. Sebaran
sampel
berdasarkan manfaat mengonsumsi suplemen selama intervensi dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Sebaran sampel menurut manfaat minum suplemen pada kelompok perlakuan Kelompok Manfaat Nafsu makan Lebih bugar Jarang sakit
MVM n 11 (78.6%) 11 (78.6%) 12 (85.7%)
Total Plasebo n 9 (69.2%) 10 (76.9%) 8 (61.5%)
n 20 (74.1%) 21 (77.8%) 20 (74.1%)
Secara umum persentase sampel yang merasakan manfaat setelah mengonsumsi suplemen pada kelompok MVM lebih besar dibandingkan dengan kelompok plasebo. Manfaat yang paling banyak dirasakan oleh sampel, baik pada kelompok MVM maupun plasebo, adalah merasa lebih bugar (77.8%). Namun, pada kelompok MVM, manfaat yang paling banyak dirasakan adalah menjadi jarang sakit (85.7%), sedangkan pada kelompok plasebo, manfaat yang paling banyak dirasakan adalah lebih bugar (76.9%). Status Gizi dan Persen Lemak Tubuh Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan Rata-rata berat badan (BB) seluruh sampel sebelum suplementasi yaitu 53 ± 7.1 kg. Pada kelompok MVM rata-rata berat badan sebesar 53.8 ± 7.9 kg dan pada kelompok plasebo rata-rata berat badan sebesar 50.2 ± 6.2 kg. Selang berat badan pada kedua kelompok intervensi ini adalah 42.1 - 63.2 kg. Standar berat badan normal bagi remaja wanita adalah 50 kg (WNPG 2004). Sebesar 64.3% sampel pada kelompok MVM
40
dan 38.5% sampel pada kelompok plasebo memiliki berat badan normal. Uji independent samples t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (p>0.05). Setelah intervensi terdapat penurunan berat badan sebesar 0.5 ± 0.4 kg pada kedua kelompok perlakuan, rata-rata berat badan kedua kelompok menjadi 51.8 ± 7.0 kg. Persentase sampel yang mempunyai berat badan dibawah 50 kg tidak berubah setelah intervensi, yaitu pada kelompok MVM sebanyak 64.3% dan pada kelompok plasebo sebanyak 38.5%. Berdasarkan uji independent samples t-test tidak terdapat perbedaan berat badan yang nyata antar kedua kelompok intervensi setelah suplementasi (p>0.05). Uji paired samples t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kelompok MVM dan kelompok plasebo setelah suplementasi (p>0.05). Tinggi badan sampel dalam penelitian ini berada pada selang 148 - 160 cm. Pada kelompok MVM nilai rata-rata tinggi badan sebelum intervensi yaitu 154.3 ± 5.8 cm dan kelompok plasebo yaitu 156.8 ± 3.3 cm. Pengukuran tinggi badan hanya dilakukan sekali karena mempertimbangkan masa pertumbuhan yang sudah mencapai tinggi maksimum. Persentase sampel yang memiliki tinggi badan normal 154 cm (WNPG 2004) cukup besar, yaitu sebesar 64.3% pada kelompok MVM dan 76.9 % pada kelompok plasebo. Penilaian status gizi antropometri sampel menggunaan indeks massa tubuh (IMT). Pada kelompok MVM rata-rata nilai IMT sebelum intervensi sebesar 22.7 ± 2.8 kg/m 2 dan pada kelompok plasebo sebesar 20.4 ± 2.0 kg/m 2. Selang IMT keseluruhan kelompok adalah 17.8-27.5 kg/m2. Setelah intervensi, perubahan IMT antar kelompok perlakuan tidak berbeda jauh. Pada kelompok MVM, rata-rata nilai IMT setelah intervensi sebesar 22.5 ± 2.8 kg/m 2 dan kelompok plasebo sebesar 20.0 ± 1.7 kg/m 2. Selang IMT secara keseluruhan setelah suplementasi yaitu 17.5 - 28.3 kg/m2. Berdasarkan uji paired samples ttest menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai IMT yang nyata pada sebelum dan sesudah suplementasi pada kelompok MVM (p<0.05), sedangkan pada kelompok plasebo tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05). Hal ini diduga karena effect dari mengonsumsi suplemen multivitamin mineral mengalami peningkatan nafsu makan sehingga nilai IMT mengalami perubahan walaupun kedua kelompok mengalami penurunan nilai IMT. Berdasarkan uji independent pada selisih nilai IMT penurunannya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05).
41
Rata-rata persen lemak tubuh sebelum intervensi pada kelompok MVM sebesar 26.2 ± 4.6% dan kelompok plasebo 29.3 ± 5.4% dengan selang antar masing-masing kelompok 16.6-38.8%. Berdasarkan uji statistik independent samples t-test, tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan sebelum intervensi (p>0.05). Setelah intervensi rata-rata persen lemak tubuh pada kelompok MVM sebesar 25.5 ± 4.0% dan pada kelompok plasebo sebesar 29.2 ± 5.0% dengan selang 15.8 - 39.3%. Berdasarkan uji independent samples t-test, terdapat perbedaan yang nyata antar masing-masing kelompok perlakuan setelah intervensi (p<0.05). Berdasarkan uji paired samples t-test, pada kelompok MVM terdapat perbedaan persen lemak tubuh yang nyata (p<0.05), namun pada kelompok plasebo tidak terdapat perbedaan persen lemak tubuh yang nyata (p>0.05). Setelah intervensi, dengan uji independent pada selisih nilai persen lemak tubuh penurunannya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05). Pertambahan berat badan biasanya sejalan dengan peningkatan lemak tubuh, pertambahan lemak ini justru dapat menghambat pergerakan dalam melakukan tes kebugaran fisik. Dapat dipastikan pertambahan lemak dalam tubuh ini dapat menurunkan tingkat kebugaran fisik. Rata-rata tinggi badan, berat badan, persen lemak tubuh dan indeks masa tubuh sampel menurut kelompok sebelum dan sesudah intervensi disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Rata-rata tinggi, berat badan, indeks masa tubuh dan persen lemak tubuh sampel menurut kelompok sebelum dan sesudah intervensi Antropometri Sebelum BB (kg) TB (cm) IMT (kg/m2) Persen Lemak tubuh Sesudah BB (kg) TB (cm) IMT (kg/m2) Persen Lemak tubuh Selisih BB (kg) IMT (kg/m2) Persen Lemak Tubuh
Kelompok MVM
Plasebo
54.2 ± 8.1 a 154.3 ± 5.8 a 22.7 ± 2.8 a 29.3 ± 5.4 a
50.2 ± 6.2 a 156.8 ± 3.3 a 20.4 ± 2.0 a 26.2 ± 4.6 a
p 0.163 0.210 0.021 0.127
53.7 ± 5.7 a 154.3 ± 5.8 a 22.5 ± 2.8 b 29.2 ± 5.0 b
49.2 ± 5.3 a 156 ± 3.3 a 20.0 ± 1.7 a 25.5 ± 4.0 a
0.066 0.210 0.005 0.044
-0.03 ± 1.2 -0.004 ± 0.5 -0.03 ± 1.6
-0.9 ± 2.1 -0.37 ± 0.8 -0.73 ± 1.6
0.616 0.163 0.269
Keterangan: a,b Pada kelompok yang sama, huruf yang sama tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) sebelum dan sesudah suplementasi (Uji beda paired samples t-test)
Hasil penelitian oleh Thong et al. (2012) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif (r=0.33; p<0.001) pada nilai IMT dan persen lemak tubuh.
42
Persen lemak tubuh berhubungan negatif dengan nilai VO 2max (r=-0.176; p=0.002) dan kekuatan otot meliputi (handgrip; r= -0.648, p<0.01 ) dan (kekuatan kaki; r=-0.502, p<0.001), kemudian nilai IMT berhubungan negatif dengan juga dengan VO2 maksimum dan kekuatan otot namun dengan uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Penelitian yang dilakukan oleh Freedman et al. (2005) juga memperlihatkan bahwa adanya kaitan nilai IMT dan persen lemak tubuh. Hasil penelitian tersebut menunjukkan rata-rata bahwa anak perempuan cenderung memiliki massa lemak yang lebih tinggi, sementara anak laki-laki memiliki massa tubuh bebas lemak yang lebih tinggi. Kekuatan otot pada laki-laki berkorelasi positif dengan nilai massa tubuh bebas lemak yang lebih tinggi. Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Asupan dan tingkat kecukupan zat gizi makro meliputi energi dan protein. Energi
merupakan
salah
satu
komponen
penting
dalam
menentukan
keberhasilan latihan dan aktivitas fisik, energi yang cukup baik dapat membantu dalam mempertahankan kekuatan, daya tahan dan massa otot (Dorfman 2005). Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan zat gizi diperoleh dari hasil konversi data konsumsi pangan selama 2 kali/minggu (hari kuliah dan hari libur). Asupan dan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Rata-rata asupan energi pada kelompok MVM sebesar 1535 ± 216.1 kkal dan pada kelompok plasebo 1610 ± 202 kkal dengan selang 1164 - 1968 kkal. Rata-rata asupan energi kelompok plasebo lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok MVM, namun perbedaanya tidak terlalu besar. Asupan energi terendah pada kelompok MVM sebesar 1164 kkal dan asupan tertinggi sebesar 1968 kkal sedangkan pada kelompok plasebo asupan energi yang terendah yaitu sebesar 1299 kkal dan asupan tertinggi sebesar 1922 kkal. Hasil uji independent samples t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (p>0.05). Rata-rata asupan energi dan protein menurut kelompok selama suplementasi dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Rata-rata asupan energi dan protein menurut kelompok selama suplementasi Zat Gizi Energi (kkal) Protein (gram)
Kelompok MVM 1535 ± 199 47.5 ± 6.2
Plasebo 1610 ± 197 48.6 ± 5.3
p 0.339 0.632
Kelompok MVM memiliki rata-rata tingkat kecukupan energi sebesar 71% dan kelompok plasebo sebesar 75%. Sebagian besar sampel pada masing-
43
masing kelompok intervensi mengalami defisit energi, pada kelompok MVM sebanyak 46.2% sampel termasuk dalam kriteria defisit energi sedang dan pada kelompok plasebo sebanyak 57.1% mengalami defisit energi berat. Berdasarkan uji independent samples t-test, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat kecukupan energi masing-masing kelompok intervensi (p>0.05). Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein dari asupan makanan dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein dari asupan makanan Zat Gizi
MVM (%) 71.2 ± 11.6 92.7 ± 16.3
Energi (kkal) Protein (gram)
Kelompok Plasebo (%) 75.4 ± 12.2 101.6 ± 11.9
p 0.372 0.123
Banyaknya sampel yang memiliki tingkat kecukupan energi defisit diduga karena masih mempertimbangkan body image dan kurangnya nafsu makan. Sebesar 15.4% sampel pada kelompok MVM dan 7.1% sampel pada kelompok plasebo memiliki tingkat kecukupan energi yang cukup. Tingkat kecukupan energi pada sebagian besar sampel kelompok MVM cenderung lebih baik dibandingkan dengan kelompok plasebo. Tingkat konsumsi yang rendah pada kelompok plasebo dapat menyebabkan menurunya kondisi kesehatan dan menurunnya
kebugaran
tubuh.
Persentase
sampel
berdasarkan
tingkat
Persentase sampel
kecukupan energi dapat dilihat pada Gambar 5.
60 50 40 30 20 10 0
57
54 29
23
8 Defisit berat
MVM
15
Defisit sedang
Defisit ringan
Plasebo
7
7
0 0 Normal
Lebih
Gambar 5 Persentase sampel berdasarkan tingkat kecukupan energi Hasil studi yang dilakukan oleh Briawan (2008) menunjukkan bahwa sekitar 80% mahasiswi TPB IPB mengalami defisit berat energi. Hasil studi Dwiriani (2012) juga melaporkan hal yang sama, yaitu lebih dari 60% sampel penelitiannya yang merupakan remaja putri mengalami defisit energi tingkat berat. Penelitian lain dilakukan oleh Arabaci (2012) di Turkey yang menggunakan sampel mahasiswa pria dan wanita. Peningkatan tingkat aktivitas fisik harus diimbangi dengan
asupan
energi yang
cukup
dan
merekomendasikan
44
mahasiswa baik pria maupun wanita untuk melakukan aktivitas fisik secara rutin sehingga meningkatkan kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup. Konsumsi zat gizi makro selanjutnya yang diamati dalam penelitian ini yaitu protein. Tingkat kecukupan protein dikatakan cukup apabila konsumsi protein mencapai 90% dari angka kecukupan protein yang dianjurkan. Asupan rata-rata protein pada kelompok MVM sebesar 47.8 gram dan kelompok plasebo sebesar 48 gram. Jika dibandingkan dengan rata-rata tingkat kecukupan protein masingmasing kelompok intervensi, diperoleh rata-rata tingkat kecukupan protein pada kelompok MVM sebesar 92% dan pada kelompok plasebo sebesar 101%. Persentase sampel berdasarkan tingkat kecukupan protein dapat dilihat pada
Persentase sampel
Gambar 6. 100
85
80 60
43
20
MVM
29
40 7
0
Plasebo
15
14
7
0
0
0 Defisit berat
Defisit sedang
Defisit ringan
Normal
Lebih
Gambar 6 Persentase sampel berdasarkan tingkat kecukupan protein Berdasarkan Gambar 6, sebagian besar tingkat kecukupan protein sampel termasuk dalam kategori normal baik kelompok MVM maupun kelompok plasebo. Sebesar 57.1% sampel pada kelompok MVM memiliki tingkat kecukupan protein pada kategori normal dan sebesar 28.6% sampel memiliki tingkat kecukupan protein pada kategori defisit sedang. Pada kelompok plasebo sebanyak 76.9% sampel memiliki tingkat kecukupan protein yang termasuk dalam kategori cukup dan sebesar 23.1% sampel memiliki tingkat kecukupan protein berlebih. Tingkat kecukupan protein yang rendah diduga disebabkan oleh rendahnya asupan sumber protein dari hewani maupun nabati. Berdasarkan uji independent samples t-test, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara tingkat kecukupan protein kelompok MVM dan kelompok plasebo. Asupan dan Tingkat Kecukupan Vitamin Asupan dan tingkat kecukupan vitamin yang diteliti dalam penelitian ini mencakup vitamin A, B1, B2, vitamin B6 dan vitamin C. Vitamin A sangat penting dibutuhan untuk pengelihatan dan sirkulasi zat besi dalam tubuh. Angka
45
kecukupan vitamin A untuk remaja usia 19 - 29 tahun menurut WNPG 2004 adalah sebesar 500 RE. Rata-rata asupan vitamin A pada kelompok MVM yaitu 1218 RE dan kelompok plasebo yaitu 1395 RE. Nilai rataan asupan dan tingkat kecukupan gizi vitamin A dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Rata-rata asupan vitamin dari makanan menurut kelompok selama suplementasi Zat Gizi Vitamin A (µg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin B6 (mg) Vitamin C (mg)
Kelompok MVM 1218 ± 282 0.4 ± 0.1 0.7 ± 0.1 0.8 ± 0.1 43.0 ± 26.7
p
Plasebo 1395 ± 339 0.5 ± 0.1 0.8 ± 0.1 0.9 ± 0.1 41.9 ± 14.6
0.152 0.930 0.591 0.520 0.895
Pemberian suplemen multivitamin dapat memberikan peningkatan pada asupan vitamin (vitamin B1, B2, B6 dan vitamin C) pada kelompok MVM. Berdasarkan uji independent samples t-test terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) antara asupan vitamin dari makanan dan makanan yang ditambah dengan suplemen. Rata-rata asupan vitamin dari makanan dan suplemen masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Rata-rata asupan vitamin dari makanan dan suplemen masing-masing kelompok perlakuan Zat Gizi Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin B6 (mg) Vitamin C (mg)
Kelompok MVM 9.5 ± 2.0 a 2.0 ± 0.4 a 2.6 ± 0.4 a 134 ± 30 a
Plasebo 0.5 ± 0.1 b 0.8 ± 0.1 b 0.9 ± 0.1 b 41.9 ± 14.6 b
p 0.000 0.000 0.000 0.000
Keterangan: a,b Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang beda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0.05)
Angka kecukupan vitamin B1 untuk remaja usia 19 - 29 tahun menurut WNPG tahun 2004 adalah sebesar 1.0 mg/hari. Rata-rata asupan vitamin B1 dari makanan pada kelompok MVM sebesar 0.4 mg/hari dan pada kelompok plasebo sebesar 0.5 mg/hari. Berbeda dengan kelompok plasebo, pada kelompok MVM konsumsi suplemen memberikan kontribusi terhadap asupan vitamin B1. Jumlah asupan vitamin B1 yang berasal dari makanan dan suplemen adalah 9.5 mg/hari. Jumlah tersebut sudah memenuhi angka kecukupan yang direkomendasikan. Rendahnya asupan vitamin B1 yang berasal dari makanan dapat dikarenakan kurangnya asupan sumber vitamin B 1 seperti yang terkandung dalam sayuran dan buah-buahan. Angka kecukupan vitamin B2 untuk remaja usia 19-29 tahun menurut WNPG tahun 2004 adalah sebesar 1.1 mg/hari. Rata-rata asupan vitamin B2
46
pada kelompok MVM sebesar 0.7 mg/hari dan pada kelompok plasebo 0.8 mg/hari. Angka kecukupan vitamin B6 untuk remaja usia 19-29 tahun menurut WNPG tahun 2004 adalah sebesar 1.3 mg/hari. Rata-rata asupan vitamin B6 pada kelompok MVM sebesar 0.8 mg/hari dan pada kelompok plasebo sebesar 0.9 mg/hari. Pemberian suplemen multivitamin mineral (vitamin B 2 dan vitamin B6) pada kelompok MVM memberikan dampak peningkatan angka kecukupan zat gizi yang direkomendasikan, hal ini dapat dibuktikan dari hasil uji independent samples t-test (p<0.05). Vitamin C berguna dalam stimulasi sistem imun, mengurangi kelelahan otot, meningkatkan performa dan melindungi sel dari ancaman radikal bebas (Chen 2000). Angka kecukupan vitamin C untuk remaja usia 19-29 tahun menurut WNPG tahun 2004 sebesar 75 mg/hari. Pada kelompok MVM rata-rata asupan vitamin C sebesar 43.0 mg/hari dan pada kelompok plasebo rata-rata asupan vitamin C sebesar 41.9 mg/hari. Asupan vitamin C kedua kelompok masih tergolong kurang, angka kecukupan gizi yang dianjurkan sebesar 75 mg (WNPG 2004). Rata-rata
tingkat
kecukupan
vitamin
A
masing-masing
kelompok
cenderung berlebih, pada kelompok MVM sebesar 211% dan kelompok plasebo sebesar 231%. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin B1 kelompok MVM sebesar 42.9% dan pada kelompok plasebo sebesar 45.6%. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin B2 kelompok MVM sebesar 69.6% dan pada kelompok plasebo sebesar 73.4%. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin B6 pada kelompok MVM sebesar 66.5% dan kelompok plasebo sebesar 73.4%. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin C pada kelompok MVM sebesar 57.4% dan kelompok plasebo sebesar 55.9%. Secara keseluruhan tingkat kecukupan vitamin B1, B2, B6 dan vitamin C dari makanan kedua kelompok masih tergolong kurang (<77%), hanya vitamin A yang sudah mencukupi (>77%). Rata-rata tingkat kecukupan vitamin A, B1, B2, B6 dan vitamin C pada kelompok plasebo lebih baik daripada kelompok MVM. Ratarata tingkat kecukupan vitamin dari asupan makanan dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Rata-rata tingkat kecukupan vitamin dari asupan makanan Zat Gizi Vitamin A (µg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin B6 (mg) Vitamin C (mg)
Kelompok MVM (%) Plasebo (%) 219 ± 45.7 230 ± 62.9 42.9 ± 8.1 45.6 ± 11.4 69.6 ± 15.3 73.4 ± 13.0 66.5 ± 11.6 73.4 ± 12.5 57.4 ± 35.6 55.9 ± 19.4
p 0.578 0.477 0.499 0.152 0.896
47
Rata-rata tingkat kecukupan vitamin dari makanan cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata tingkat kecukupan vitamin dari makanan dan suplemen. Berdasarkan uji independent samples t-test, terdapat perbedaan nyata pada tingkat kecukupan vitamin yang berasal dari makanan dengan tingkat kecukupan vitamin yang berasal dari makanan dan suplemen (p<0.05). Rata-rata tingkat kecukupan vitamin dari makanan dan suplemen dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Rata-rata tingkat kecukupan vitamin dari makanan dan suplemen Zat Gizi Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin B6 (mg) Vitamin C (mg)
Kelompok MVM (%) Plasebo (%) 907.2 ± 204.7 a 45.6 ± 11.4 b a 201 ± 37.3 73.4 ± 13.0 b a 213.4 ± 35.8 73.4 ± 12.5 b a 153.8 ± 52.8 55.9 ± 19.4 b
p 0.000 0.000 0.000 0.000
Keterangan: a,b Pada baris yang sama, angka dengan huruf sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0.05)
Asupan dan Tingkat Kecukupan Mineral Asupan mineral yang diteliti dalam penelitian ini meliputi kalsium, zat besi dan seng. Rata-rata asupan kalsium kelompok MVM sebesar 240.4 mg/hari dan kelompok plasebo sebesar 281.5 mg/hari. Angka kecukupan kalsium menurut WNPG tahun 2004 untuk remaja usia 19-29 tahun sebesar 800 mg/hari. Ratarata asupan kalsium antar masing-masing kelompok terolong dalam kriteria defisit. Kondisi ini disebabkan karena kurangnya konsumsi sumber kalsium. Angka kecukupan zat besi menurut WNPG tahun 2004 untuk remaja usia 19-29 tahun sebesar 26 mg/hari. Rata-rata asupan zat besi dari makanan pada kelompok MVM sebesar 6.4 mg/hari dan kelompok plasebo sebesar 6.9 mg/hari selang antar keseluruhan kelompok yaitu 4.5-9.1 mg/hari. Asupan yang rendah terhadap pangan sumber zat besi merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya kadar hemoglobin. Nilai rataan asupan dan tingkat kecukupan dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Rata-rata asupan mineral dari makanan menurut kelompok selama suplementasi Zat Gizi Kalsium (mg) Besi (mg) Seng (mg)
Kelompok MVM 240.4 ± 123.8 6.5 ± 1.0 5.3 ± 0.8
Plasebo 281.5 ± 137.8 6.9 ± 1.1 5.6 ± 0.7
p 0.515 0.386 0.342
Hasil penelitian Burke et al. (2012) di USA terhadap 28 remaja wanita yang intervensi berupa suplemen berbahan baku dari daging merah diberikan selama 8 minggu menunjukkan bahwa pemberian suplemen berbahan baku dari daging
48
merah berpengaruh terhadap komposisi tubuh dan perbaikan sel darah merah, tetapi tidak secara langsung berpengaruh terhadap performa tubuh. Hasil studi lain yang dilakukan oleh Briawan (2008) menunjukkan bahwa sebesar 85% sampel mengalami defisit besi dan sekitar 60% mengalami defisit vitamin C. Hasil studi Dwiriani (2012) juga melaporkan hal yang sama, yaitu sebesar 80% sampel mengalami defisit besi dan vitamin C. Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja wanita masih mengalami defisit zat gizi mikro. Angka kecukupan seng untuk remaja usia 19-29 tahun menurut WNPG tahun 2004 adalah sebesar 9.3 mg/hari. Rata-rata asupan seng dari makanan pada kelompok MVM sebesar 5.3 mg/hari dan pada kelompok plasebo adalah 5.6 mg/hari dengan selang keseluruhan 4.0 - 7.0 mg/hari. Hasil penelitian oleh Cendani dan Murbawani (2011) yang menggunakan desain cross sectional study memberikan hasil bahwa asupan intake besi, seng, Cu, asam folat dan B 6 berhubungan positif dengan kadar hemoglobin, namun kadar hemoglobin tidak berhubungan dengan tingkat kesegaran jasmani. Tingkat kesegaran jasmani dalam penelitian tersebut diukur menggunakan harvard step test. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa rata-rata remaja wanita memiliki tingkat kebugaran dengan kriteria kurang bugar sampai sangat kurang bugar sebesar 80%. Rata-rata asupan zat gizi dari makanan dan suplemen masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Rata-rata asupan mineral dari makanan dan suplemen masing-masing kelompok perlakuan Zat Gizi Kalsium (mg) Besi (mg) Seng (mg)
Kelompok MVM Plasebo 301.2 ± 125.2 a 269.3 ± 100.7 a 18.6 ± 2.8 a 6.9 ± 1.1 b a 8.4 ± 1.0 5.6 ± 0.7 b
p 0.474 0.000 0.000
Keterangan: a,b Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang beda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0.05)
Konsumsi suplemen pada kelompok MVM menyebabkan peningkatan asupan kalsium, besi dan seng. Berdasarkan uji independent samples t-test terdapat perbedaan yang nyata untuk asupan besi dan seng, namun untuk asupan kalsium tidak berbeda nyata. Hal ini dapat disebabkan oleh minimnya jumlah kandungan kalsium di dalam suplemen. Hasil studi yang dilakukan oleh Brownlie et al. (2004) dengan memberikan intervensi suplemen zat besi 100 mg/hari kepada wanita yang kekurangan zat besi, kemudain sampel diintruksikan untuk melakukan tes kebugaran jasmani. Hasil studi tersebut memberikan
49
informasi bahwa suplemen besi memiliki dampak positif pada fungsi jaringan tubuh. Rata-rata tingkat kecukupan kalsium dari makanan pada kelompok MVM sebesar 27% dan pada kelompok plasebo sebesar 36%. Rata-rata tingkat kecukupan zat besi dari makanan pada kelompok MVM sebesar 25% dan pada kelompok plasebo sebesar 32%. Rata-rata tingkat kecukupan seng dari makanan pada kelompok MVM sebesar 47% dan pada kelompok plasebo sebesar 46.2%. Rata-rata tingkat kecukupan kalisum, besi dan seng yang berasal dari makanan pada kelompok MVM maupun kelompok plasebo termasuk dalam kriteria kurang (<77%). Hasil Ini sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya yaitu zatzat yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi sampel selama intervensi, misalnya serat dan phitat. Zat tersebut dapat memengaruhi penyerapan seng (FAO/WHO 2001; Almatsier 2006). Berdasarkan uji independent samples t-test tingkat kecukupan besi dan seng dari asupan makanan antar kelompok tidak beda nyata (p>0.05). Rata-rata tingkat kecukupan mineral dari asupan makanan dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30 Rata-rata tingkat kecukupan mineral dari asupan makanan Zat Gizi Kalsium (mg) Besi (mg) Seng (mg)
MVM (%) 26.9 ± 15.9 24.9 ± 4.2 47.0 ± 14.3
Kelompok Plasebo (%) 36.0 ± 29.8 32.4 ± 20.9 46.2 ± 13.8
p 0.325 0.199 0.873
Asupan yang rendah terhadap pangan sumber zat besi merupakan salah satu faktor penyebab anemia gizi besi. Penelitian yang dilakukan oleh McLung et al. (2009) menggunakan sampel wanita yang berprofesi sebagai militer. Intervensi dilakukan dengan pemberian suplemen zat besi sebanyak 100 mg/hari. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa suplemen zat besi dapat meningkatkan kebugaran jasmani pada wanita yang mengalami IDA. Rata-rata tingkat kecukupan mineral dari makanan dan suplemen dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31 Rata-rata tingkat kecukupan mineral dari makanan dan suplemen Zat Gizi Kalsium (mg) Besi (mg) Seng (mg)
Kelompok MVM (%) 39.9 ± 17.1 a 53.4 ± 28.3 a 51.5 ± 35.4 a
Plasebo (%) 15.9 ± 29.7 a 32.4 ± 20.8 b 46.1 ± 13.7 a
p 0.676 0.040 0.616
Keterangan: a,b Pada baris yang sama, angka dengan huruf sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0.05)
50
Rata-rata asupan zat gizi dari makanan dan suplemen menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05). Pemberian suplemen multivitamin mineral ini dapat memberikan tambahan asupan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Rata-rata tingkat kecukupan zat gizi mikro (tanpa suplemen) sampel masih rendah dan termasuk kategori defisit (<77% AKG). Hanya rata-rata asupan protein dan vitamin A sampel yang mencukupi kebutuhan (protein >90% dan vitamin A >77%). Rata-rata tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, B 1, B2, B6, vitamin C, kalsium, seng dan besi sampel pada kelompok MVM cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok plasebo. Perubahan kadar Hemoglobin Pada kelompok MVM rata-rata kadar hemoglobin sebelum intervensi sebesar 11.93 ± 1.16 g/L dan kelompok plasebo sebesar 11.60 ± 1.38 g/L selang antara kedua kelompok perlakuan sebesar 9.2 - 13.2 g/L. Berdasarkan uji independent samples t-test antara kedua kelompok tidak terdapat perbedaan kadar hemoglobin yang nyata (p>0.05). Penelitian yang dilakukan oleh Ahmed et al. (2005) di Bangladesh menggunakan sampel remaja wanita sebanyak 197 orang. Sampel diintervensi selama 12 minggu dengan cara diberikan suplemen multivitamin mineral dan besi folat. Hasil studi tersebut memperlihatkan bahwa pemberian suplemen multivitamin mineral tidak memberikan pengaruh secara nyata terdapat perubahan kadar hemoglobin, sedangkan pada intervensi besi dan folat terjadi perubahan kadar hemoglobin pada remaja wanita. Hasil studi lain yang dilakukan oleh Indriani (2011) menujukkan bahwa suplementasi tiga kali per minggu selama 10 minggu dengan besi-folat pada pekerja WUS yang memiliki Hb marginal secara nyata dapat meningkatkan kadar Hb sebesar 8%, sedangkan dengan MVM secara nyata dapat meningkatkan Hb sebesar 6%. Perubahan kadar hemoglobin sampel selama intervensi dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 Perubahan rata-rata kadar hemoglobin selama intervensi Kadar Hemoglobin (g/dL) Sebelum Sesudah Selisih
Kelompok MVM 11.93 ± 1.16 a 12.04 ± 0.98 a 0.07 ± 0.5
Plasebo 11.60 ± 1.38 a 11.79 ± 1.62 a 0.2 ± 0.6
p 0.243 0.381 0.682
Keterangan: a Pada baris yang sama, angka dengan huruf sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0.05)
Setelah
intervensi dilakukan selama 8 minggu,
perubahan kadar
hemoglobin pada kelompok MVM menjadi 12.04 ± 0.98 g/dL dan kelompok
51
plasebo menjadi 11.79 ± 1.62 g/dL. Pada kelompok MVM dan kelompok plasebo terjadi peningkatan kadar hemoglobin setelah intervensi sebesar 0.07 g/dL dan 0.2 g/dL. Hasil uji paired samples t-test pada kelompok MVM dan plasebo juga tidak menunjukkan perbedaan kadar hemoglobin yang nyata (p>0.05). Hasil studi yang dilakukan oleh Hardiansyah (2012) yang menggunakan sebagian besar sampel yang sama, menunjukkan bahwa pada sampel yang mengalami anemia, rata-rata peningkatan kadar Hb pada kelompok MVM 5 kali lebih besar (0.5 g/dL) dibandingkan dengan kelompok plasebo (0.1 gd/L), meskipun ketika di uji beda tidak menunjukkan yang nyata (p>0.05). Lebih lanjut hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa prevalensi anemia sebesar 39.3% (berdasarkan Hb), 91% diantaranya merupakan anemia mikrositik hipokromik dan 9% merupakan anemia normositik hipokromik. Hasil penelitian Oppusunggu (2009) menyatakan bahwa pemberian zat besi selama tiga bulan berhasil meningkatkan kadar hemoglobin sebesar 2.14 g/dL dan diikuti peningkatan produktivitas kerja sebesar 16.28%, hubungan peningkatan kadar hemoglobin dengan produktivitas kerja menunjukkan hasil yang signifikan (p<0.05). Penelitian lain yang dilakukan oleh Permaesih et al. (2011) menyatakan bahwa suplementasi zat gizi mikro seperti vitamin A dan zat besi dapat meningkatkan kadar hemoglobin lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang memperoleh zat besi saja, serta suplementasi vitamin A dan zat besi dapat memberikan dampak positif terhadap perubahan kadar transferin sebagai indikator status besi. Perubahan kadar hemoglobin tidak hanya dipengaruhi oleh suplementasi multivitamin saja akan tetapi juga dipengaruhi juga oleh asupan lain yang berperan dalam pembentukan hemoglobin (vitamin C dan protein) dan zat penghambat (tanin, fitat, oksalat) yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Pengaruh Suplementasi Multivitamin Mineral Terhadap Kebugaran Tubuh Penelitian ini juga melihat tingkat kebugaran fisik sampel dimana kebugaran fisik sampel diukur melalui beberapa tes, yaitu: lari cepat 60 meter, push up, sit up, vertical jump, shuttle run dan bleep test. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata waktu tempuh lari cepat 60 meter yang dihabiskan sampel pada awal pengukuran untuk kelompok MVM dan plasebo adalah 14.09 detik dan 12.45 detik, sedangkan rata-rata waktu tempuh yang dihabiskan sampel pada akhir pengukuran untuk kelompok MVM dan plasebo adalah 13.26 detik dan 13.07 detik. Rata-rata perubahan waktu tempuh yang dihabiskan
52
sampel untuk menempuh jarak 60 m pada kelompok MVM dan plasebo berturutturut adalah penurunan 0.83 detik dan peningkatan 0.62 detik. Sebelum intervensi, sebanyak 42.9% sampel pada kelompok MVM mempunyai tingkat kecepatan berkriteria kurang dan sebanyak 57.9% berkriteria sangat kurang. Pada kelompok plasebo, sebanyak 61.5% sampel mempunyai tingkat kecepatan berkriteria kurang dan sebesar 23.1% berkriteria kurang sekali. Setelah intervensi, pada kelompok MVM terdapat 50% sampel yang mempunyai tingkat kecepatan berkriteria kurang dan 50% sampel yang berkriteria kurang sekali. Pada kelompok plasebo sebesar 69.2% sampel mempunyai tingkat kecepatan yang berkriteria kurang dan sebesar 30.8% berkriteria kurang sekali. Berdasarkan uji independent samples t-test, sebelum intervensi terdapat perbedaan tingkat kecepatan yang nyata (p<0.05). Namun, setelah intervensi diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kecepatan yang nyata antara kelompok perlakuan (p>0.05). Berdasarkan uji paired samples t-test, pada kelompok MVM tidak terdapat perbedaan tingkat kecepatan yang nyata (p>0.05), sedangkan pada kelompok plasebo terdapat perbedaan tingkat kecepatan yang nyata (p<0.05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah push up pada kedua kelompok sampel. Jumlah push up dihitung selama 60 detik. Rata-rata jumlah push up awal sampel pada kelompok MVM dan plasebo adalah 24 kali dan 27 kali. Rata-rata jumlah push up kelompok MVM dan plasebo pada akhir pengukuran adalah 29 kali dan 32 kali. Rata-rata peningkatan jumlah push up sampel pada kelompok MVM dan plasebo berturut-turut adalah 5 kali dan 5 kali. Standar push-up yang termasuk dalam kriteria baik yaitu 22–40 kali (Nurhasanah dan Cholil 2007). Sebelum intervensi, sebesar 7.7% kelompok MVM termasuk ke dalam kriteria baik sekali, 69.9% kriteria baik dan 23.1% kriteria sedang, namun pada kelompok plasebo sebesar 50% berkriteria baik dan sebesar 35.7% dalam kriteria sedang. Setelah intervensi, sebesar 92.9% pada kelompok MVM berkriteria baik dan pada kelompok plasebo yang berkriteria baik sudah mencapai 100%. Secara umum, kondisi kebugaran otot tangan antara masing-masing kelompok intervensi termasuk dalam kriteria baik. Berdasarkan uji independent samples t-test antara kelompok intervensi sebelum dan sesudah
intervensi tidak berbeda nyata
(p>0.05). Setelah intervensi, sebagian besar kelompok sudah mencapai kriteria baik. Berdasarkan uji paired samples t-test, pada kelompok plasebo terdapat
53
perbedaan yang nyata (p<0.05), sedangkan pada kelompok MVM tidak terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05). Rata-rata nilai waktu tempuh lari 60 meter, push-up, sit-up, vertical jump, waktu tempuh shuttle run 4x10 meter dan bleep test (VO2 maksimum) menurut kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33 Rata-rata nilai waktu tempuh lari 60 meter, push-up, sit-up, vertical jump, waktu tempuh shuttle run 4x10 meter dan VO2 maks menurut kelompok perlakuan Tes Kebugaran Lari cepat 60 meter (detik) Sebelum Sesudah Selisih Push-up (60 detik) Sebelum Sesudah Selisih Sit-up (60 detik) Sebelum Sesudah Selisih Vertical Jump (cm) Sebelum Sesudah Selisih Shuttle Run 4x10 meter (detik) Sebelum Sesudah Selisih VO2 maks (mL/kg/min) Sebelum Sesudah Selisih
Kelompok
p
MVM
Plasebo
14.09 ± 1.29 a 13.26 ± 0.70 b -0.83 ± 1.5
12.45 ± 0.95 a 13.07 ± 1.01 a 0.62 ± 0.9
0.001 0.564 0.006
23.29 ± 8.8 a 28.64 ± 6.70 a 6.07 ± 7.2
26.69 ± 6.70 a 31.54 ± 4.94 b 4.85 ± 5.58
0.186 0.188 0.628
15.21 ± 7.07 a 22.42 ± 6.57 a 7.21 ± 5.56
18.77 ± 7.74 a 21.77 ± 6.39 b 3 ± 4.04
0.224 0.794 0.034
28 ± 4.4 a 27.57 ± 5.09 a -0.32 ± 4.02
25.75 ± 4.59 a 27.38 ± 3.78 a 2.30 ± 6.04
0.116 0.915 0.192
13.73 ± 0.79 a 14.03 ± 0.83 b 0.29 ± 1.07
13.07 ± 0.54 a 13.40 ± 0.82 a 0.32 ± 0.65
0.018 0.058 0.934
23.04 ± 1.99 a 24.78 ± 1.32 b 1.74 ± 2.19
23.75 ± 2.08 a 26.86 ± 3.09 b 3.11 ± 2.16
0.377 0.040 0.115
Keterangan: a,b Pada kelompok yang sama, huruf yang sama tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) sebelum dan sesudah suplementasi (Uji beda Paired samples t-test)
Terdapat berbagai macam faktor yang memengaruhi waktu tempuh lari cepat, salah satunya asupan makanan dan kemampuan otot (tendon) (Novacheck 1998). Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Marco et al. (2011), menyebutkan bahwa remaja yang memiliki tingkat kekuatan, kecepatan, kelincahan dan nilai VO2maks yang rendah menunjukan rendahnya kandungan mineral yang berkorelasi pada tulang. Lebih lanjut hasilnya menujukkan bahwa remaja yang memiliki aktivitas yang rendah namun memiliki tingkat kebugaran yang tinggi dapat diperkirakan terdapatnya pengaruh genetik, asupan zat gizi, tipe olahraga, hormon dan keadaan tulang. Tes kebugaran fisik sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan daya tahan otot. Menurut Whitney dan Rolfes (2008), latihan kekuatan dan daya tahan otot
54
akan memperkuat otot dan membuat tubuh tidak cepat lelah. Kekuatan otot termasuk komponen dasar dari kebugaran tubuh karena digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Semakin banyak melakukan latihan ketahanan dan daya tahan otot maka otot semakin terlatih. Faktor aktivitas fisik, intensitas, durasi dan latihan yang bersifat rutin dapat meningkatkan adaptasi (ketahanan dan kekuatan) seseorang terhadap berbagai jenis aktivitas atau latihan. Hal ini akan memungkinkan seseorang untuk beraktifitas atau berlatih secara optimal dalam waktu yang relatif lebih lama hingga merasakan kelelahan. Pada kelompok MVM, rata-rata jumlah sit up awal adalah 16 kali dan sit up akhir 23 kali, dengan demikian terjadi peningkatan jumlah sit up sebesar 6 kali. Pada kelompok plasebo rata-rata jumlah sit up awal dan akhir berturut-turut adalah 19 kali dan 22 kali, dengan demikian terjadi peningkatan jumlah sit up sebesar 3 kali. Standar sit-up yang termasuk baik bagi remaja wanita adalah 20 – 28 kali (Nurhasanah dan Cholil 2007). Pada kelompok MVM kemampuan sit-up pada 42.9% sampel tergolong baik, 28.6% sampel tergolong sedang dan 28.6% sampel tergolong kurang, sedangkan pada kelompok plasebo sebesar 15.4% sampel tergolong sangat baik, 53.8% sampel tergolong baik, 23.1% sampel tergolong sedang dan 7.7% sampel tergolong kurang. Setelah intervensi, pada kelompok MVM sebanyak 21.4% sampel memiliki kemampuan sit-up yang tergolong baik sekali, 57.1% sampel tergolong baik, 14.3% sampel tergolong sedang dan 7.1% sampel tergolong kurang. Pada kelompok plasebo sebesar 23.1% sampel mempunyai kemampuan
sit-up yang tergolong sangat baik,
46.2% sampel tergolong baik, 23.1% sampel tergolong sedang dan 30.8% sampel tergolong kurang. Berdasarkan uji independent samples t-test sebelum dan sesudah intervensi pada antar kelompok perlakuan, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05). Berdasarkan uji paired samples t-test, pada kelompok plasebo terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05), sedangkan pada kelompok MVM tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05). Tabel 33 menunjukkan bahwa rata-rata jarak vertical jump pada kedua kelompok mengalami perubahan. Pada kelompok MVM terjadi penurunan jarak vertical jump sebesar 1 cm, rata-rata jarak vertical jump awal sampel adalah 28.0 cm dan rata-rata jarak vertical jump akhir sampel adalah 27.0 cm. Pada kelompok plasebo, rata-rata jarak vertical jump awal sampel adalah 25.7 cm dan rata-rata jarak vertical jump akhir adalah 27.4 cm atau terjadi peningkatan jarak vertical jump sebesar 1.7 cm. Sebelum intervensi, pada kelompok MVM
55
sebanyak 21.4% sampel termasuk dalam kriteria sedang, 71.4% sampel termasuk dalam kriteria kurang dan 7.1% sampel termasuk dalam kriteria kurang sekali. Pada kelompok plasebo sebanyak 23.1% sampel termasuk dalam kriteria sedang, 30.8% sampel termasuk dalam kriteria kurang dan 46.2% sampel termasuk dalam kriteria kurang sekali. Setelah intervensi, persentase kelompok MVM berdasarkan masingmasing kriteria yaitu, sebesar 7.7% sampel termasuk dalam kriteria sedang, 84.6% sampel termasuk dalam kriteria kurang dan 7.7% sampel termasuk dalam kriteria kurang sekali. Pada kelompok plasebo sebesar 7.1% sampel termasuk dalam kriteria baik, 35.7% sampel termasuk dalam kriteria sedang, 42.9% sampel termasuk dalam kriteria kurang dan 14.3% sampel termasuk dalam kriteria kurang sekali. Berdasarkan uji independent samples t-test sebelum intervensi tidak ada perbedaan yang nyata (p<0.05), sedangkan setelah intervensi terdapat perbedaan yang nyata antar masing-masing kelompok perlakuan (p<0.05). Berdasarkan uji paired samples t-test, pada kelompok MVM dan kelompok plasebo tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05). Kelompok plasebo cenderung mengalami kenaikan daripada kelompok MVM, sehingga fakor plasebo effect dapat berpengaruh dalam hasil peneltian ini. Hasil penelitian oleh Stieg et al. (2011) terkait dengan tes vertical jump pada pemain sepak bola wanita, memperlihatkan bahwa pemberian waktu istirahat dan tinggi lutut tidak memberikan pengaruh yang nyata pada peningkatan nilai vertical jump. Rata-rata waktu tempuh shuttle run sebelum intervensi pada kelompok MVM sebesar 13.73 ± 0.79 detik dan pada kelompok plasebo sebesar 13.07 ± 0.54 detik. Pada kelompok MVM sebesar 28.6% termasuk dalam kategori kurang dan sebesar 71.4% kategori kurang sekali, kemudian pada kelompok plasebo sebesar 7.69% termasuk kategori baik, 23.1% kategori kurang dan 69.2% kategori kurang sekali. Setelah diberikan intervensi rata-rata waktu tempuh shuttle run pada kelompok MVM menjadi sebesar 22.42 ± 6.57 detik dan pada kelompok plasebo menjadi sebesar 13.4 ± 0.82 detik. Pada kelompok MVM sebesar 7.1% berkriteria kurang dan sebesar 92.9% berkriteria kurang sekali, sedangakan pada kelompok plasebo sebanyak 23.1% berkriteria kelincahan sedang, 7.69% berkriteria kurang dan 69.2% berkriteria kurang sekali. Berdasarkan uji independent samples t-test sebelum dan setelah intervensi tidak terdapat perberbedaan yang nyata antar masing-masing kelompok perlakuan (p<0.05). Berdasarkan uji paired samples t-test, pada kelompok plasebo tidak
56
terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05), sedangkan pada kelompok MVM terdapat perbedaan nyata (p<0.05). Berdasarkan uji paired tes kebugaran (tes vertical jump dan shuttle run) tidak berbeda nyata (p>0.05). Hal ini disebabkan penggunaan kapasitas anaerob yang lebih cenderung digunakan. Untuk tes kebugaran meliputi lari cepat, pushup dan sit-up mengalami perbedaan yang dibuktikan dengan uji paired. Dapat terlihat bahwa untuk tes kebugaran yang bersifat aerob memiliki hubungan dengan kapasitas oksigen yang terdapat di dalam tubuh. Otot di dalam tubuh berguna untuk menangkap oksigen, kemudian oksigen akan berperan dalam menghasilkan energi. Energi yang dihasilkan dapat digunakan untuk melakukan aktivitas fisik. Akan tetapi, jika oksigen di dalam tubuh berkurang maka akan terbentuk laktat pada proses anaerob. Untuk menilai kapasitas aerobik yang lain dapat menggunakan cooper test, harvard test. Tes ini akan menunjukkan nilai VO2 maksimum seseorang. VO2 maksimum merupakan salah satu standar yang menentukan tingkat kebugaran seseorang. Rata-rata nilai VO2 maksimum sebelum intervensi pada kelompok MVM sebesar 23.04 ± 1.99 mK/kg/min dan pada kelompok plasebo sebesar 23.75 ± 2.08 mL/kg/min. Menurut Ismanto (2011) standar yang digunakan untuk menentukan nilai VO2maks pada sampel yang anemia adalah berkurang 20% dari VO2 maks orang normal. Apabila standar tersebut digunakan pada seluruh sampel, diperoleh hasil yang masih tergolong dalam kriteria kurang. Berdasarkan uji independent samples t-test sebelum intervensi tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05). Hasil studi oleh Zhu dan Haas (1997) mengenai nilai VO 2 maksimum antar kelompok yang kurang zat besi dan kelompok yang cukup zat besi, diperoleh hasil bahwa nilai VO2 maksimum tidak mempunyai hubungan dengan kadar hemoglobin, namun kadar serum ferritin sebagai indikator dalam penilaian status besi yang memiliki pengaruh terhadap nilai VO 2 maksimum. Pada penelitian cross-sectional yang dilakukan Neto et al. (2011) menunjukkan bahwa remaja yang memiliki tingkat aktivitas ringan dan memiliki nilai VO 2maks yang rendah menunjukkan
tingginya
prevalensi sindrom
metabolik. Oleh
karena itu,
pencegahan sejak dini perlu dilakukan dengan cara meningkatkan olahraga secara rutin. Penurunan tingkat kebugaran jasmani pada beberapa tes kebugaran anaerobik mengindikasikan penurunan pada kapasitas anaerobik seseorang.
57
Setelah intervensi, nilai VO2maks lebih cenderung meningkat walaupun sebagian besar kelompok perlakuan masih tergolong dalam kriteria kurang. Pada kelompok plasebo diperoleh sebesar 7.8% sampel yang termasuk dalam kriteria cukup. Rata-rata VO2maks pada kelompok MVM sebesar 24.78 ± 1.32 mL/kg/min dan pada kelompok plasebo sebesar 26.86 ± 3.09 mL/kg/min dengan selang keseluruhan 22.1 -34.6 mL/kg/min. Berdasarkan uji independent samples t-test setelah intervensi terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05). Uji paired samples t-test pada kelompok MVM dan kelompok plasebo menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05). Hal ini dapat diduga terjadi placebo effect dalam bleep test karena kedua kelompok intervensi mengalami peningkatan VO2 maksimum. Pemberian diharapkan menangkap
dapat
meningkatkan
oksigen
meningkat.
Hb
suplemen multivitamin
sehingga
Oksigen
kemampuan
yang
memiliki
otot
peran
mineral untuk dalam
menghasilkan energi akan lebih maksimal, peningkatan oksigen ini akan mengurangi laktat pada metabolisme anaerob. Tingkat kebugaran yang optimal akan meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup mahasiswi (remaja putri) sehingga akan menciptakan generasi muda yang sehat.
58
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kelompok MVM memiliki rata-rata usia 18.8 ± 0.5 tahun dan kelompok plasebo memiliki rata-rata usia 18.7 ± 0.5 tahun. Rata-rata biaya pemasukan keseluruhan kelompok per bulan sebesar Rp 737 500. Sebesar 60% dari total pengeluaran sampel dialokasikan untuk pangan, sehingga rata-rata biaya pangan perhari sampel sebesar Rp 15 400. 2. Penilain status gizi menggunakan nilai IMT dan persen lemak tubuh. Ratarata nilai IMT dan persen lemak tubuh pada kedua kelompok termasuk ke dalam IMT normal (<30 kg/m 2) dan persen lemak tubuh (<30%). Rata-rata nilai IMT sebelum intervensi pada kelompok MVM dan plasebo adalah 22.7 ± 2.8 kg/m2 dan 20.4 ± 2.0 kg/m 2, setelah intervensi menjadi 17.5 - 28.3 kg/m2 dan 20.0 ± 1.7 kg/m 2. Rata-rata persen lemak tubuh pada kelompok MVM dan plasebo sebesar 26.2 ± 4.6% dan 29.3 ± 5.4%, setelah intervensi menjadi sebesar 25.5 ± 4.0% dan plasebo sebesar 29.2 ± 5.0%. 3. Rata-rata asupan energi pada kelompok MVM sebesar 1535 ± 199 kkal dan pada kelompok plasebo sebesar 1610 ± 197 kkal. Rata-rata tingkat kecukupan energi pada kedua kelompok tergolong defisit sedang (7079.9%). Rata-rata asupan protein pada kelompok MVM sebesar 47.5 gram dan pada kelompok plasebo sebesar 48.6 gram, rata-rata tingkat kecukupan protein kedua kelompok sebesar 97.1%. Asupan zat gizi mikro sampel dari makanan secara keseluruhan masih rendah, hanya asupan vitamin A yang sudah mencukupi kebutuhan (>77% AKG). 4. Hasil uji paired samples t-test menunjukkan tidak ada beda kadar Hb pada kelompok MVM dan plasebo (p>0.05) sebelum dan sesudah suplementasi. Suplementasi meningkatkan kadar Hb kedua kelompok, pada kelompok MVM meningkat sebesar 0.07 g/l dan kelompok plasebo meningkat sebesar 0.2 g/l. Peningkatan kadar Hb lebih tinggi terjadi pada sampel yang mengalami anemia. 5. Hasil uji paired samples t-test menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p>0.05) sebelum dan sesudah intervensi pada lari cepat 60 meter (MVM: p>0.060; plasebo: p<0.029), push-up (MVM: p<0.008; plasebo:p<0.009), sit-up (MVM:p<0.000; plasebo: p<0.020), bleep test (MVM: p<0.011; plasebo: p<0.000), tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada vertical jump dan shuttle run pada kelompok MVM maupun plasebo.
59
Saran Penambahan jumlah sampel yang lebih banyak diperlukan agar nilai signifikansinya lebih kuat dan tingkat kepercayaan dalam penelitian selanjutnya lebih dapat dipercaya. Dapat juga digunakan berbagai macam variasi lain dalam menentukan tingkat kebugaran seperti tes bangku, cooper test dan ergonometer test untuk menentukan kapasitas aerobik (VO 2 maks), namun tidak menutup kemungkinan untuk mengukur kapasitas anaerobik juga. Pemberian motivasi, arahan dan petunjuk harus jelas, sehingga tidak terjadi kekeliuran dalam mengikuti tes kebugaran. Jumlah sampel yang mengalami anemia (<12 mg/dL) juga masih sangat kurang. Hal ini akan berdampak pada kurang terlihatnya perubahan kadar Hb yang terjadi karena salah satu indikator keberhasilan dalam proses suplementasi adalah peningkatannya kadar Hb yang diberikan pada sampel yang mengalami anemia. Sebagian besar sampel mengalami defisit energi, hal ini perlu dikaji lebih dalam lagi dalam menentukan jumlah makanan yang dikonsumsi, sehingga tidak berdampak pada kekeliruan dalam menentukan tingkat kecukupan zat gizi. Dapat juga dilakukan penelitian lanjutan dengan indikator status besi seperti serum feritin dan STfR sehingga status besi secara keseluruhan dapat diketahui dan dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan suplementasi. Program olahraga bersama di asrama dapat dijadikan salah satu upaya untuk meningkatkan tingkat kebugaran fisik mahasisiwa TPB IPB. Tingkat kebugaran fisik yang baik diharapkan akan meningkatkan produktifitas mahasiswa TPB IPB sehingga menjadi generasi penerus bangsa yang sehat.
60
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi A dan Sholeh M. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Almatsier. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hardiansyah A. Efek suplementasi multivitamin mineral terhadap kadar hemoglobin mahasiswi TPB IPB [Skripsi]. Gizi Masyarakat: IPB. Arabaci R. 2012. Physical activity, body composition and energy consumption in college students. World Appl Sci J 16(3): 449-456. Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Arsenault JE, Plazas MM, Forero Y, Arana SL, Baylin A, Villamor E. 2009. Hemoglobin concentration in inverserly associated with erythrocyte folate concentartion in Columbia school-age children, especially among children with low vitamin B12 status. European Journal of Clinical Nutrition 842849: 63. Beard JL. 2001. Iron biology in immune function, muscle metabolism and neural functioning. J Nutr 131: 568S-580S. Berdanier CD. 2000. Advanced Nutrition Micronutrients. USA: CRC Press. Briawan D. 2008. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan status besi remaja wanita [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Brownlie T, Utermohlen V, Hinton PS dan Hass JD. 2004. Tissue iron deficiency without anemia impairs adaptation in endurance capacity after aerobic training in previously untrained women. Am J Cin Nutr 79: 437-43. Burke DE, Johnson JC, Vukovich MD, Kattelmann KK. 2012. Effect of lean beef supplementation on iron status, body composition and performance of collegiate distance runners. Food and nutrition science 3: 810-821. Cendani C dan Murbawani EA. 2011. Asupan mikronutrient, kadar hemoglobin dan kesegaran jasmani remaja putri. M Med Indonesia 45: 1. Chaput JP, Klingenberg L, Rosenkilde M, Gilbert JA. 2011. Physical activity plays an important role in body weight regulation. Journal of Obesity 10:11. Chen J. 2000. Vitamin: Effect of exercise on requirements. Oxford: Blackwell Science, Ltd. Corwin. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
61
[Depkes] Departemen Kesehatan. 1998. Pedoman Penanggulangan. Anemia Gizi untuk Remaja Putri dan Wanita Usia Subur. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2005. Gizi dalam Angka. Jakarta: Dekes RI. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Laporan Hasil riset Kesehatan Dasar Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, departemen Kesehatan RI. Dewa. 2004. Penilaian Status Gizi edisi 4. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Dwiriani CM. 2012. Pengaruh pemberian zat multi gizi mikro dan pendidikan gizi terhadap perilaku makan dan status besi remaja siswi SMP [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [DRI] Dietary Refernce Intake. 1998. DRI for Thiamin, Riboflvin, Niacin, Vitamin B6, Folate, Vitamin B12, Panthotenic Acid, Biotin and Choline. Intitute of Medicine. Evans WJ. 2000. Vitamin E, vitamin C and exercise. Am J Clin Nutr 72: 647S52S. Fatmah. 2011. Gizi kebugaran dan olahraga. Bandung: Lubuk Agung. [FAO/WHO] Food Agricultural Organization / World Health Organization. 2001. Human vitamin and mineral requirement. Report of a joint FAO/WHO expert consultation. Bangkok, Thailand, Rome: Food and Nutrition Division. Flagel KM, Shepherd JA, Looker AC, Graubard BI, Ogden CL, et al. 2009. Comparisons of percentage body fat, body mass index, waist circumference and waist-stature ratio in adults. Am J Clin Nutr 89:500–8 Freedman DS, Wang J, Maynard LM, Thronton JC, Mei Z, Pierson Jr RN et al. 2005. Relation of BMI to fat and fat-free mass among chidren and adolescent. Int J of Obesity 29: 1-8. Gibson RS. 2005. Principle of Nutritional Assessment. Oxford University Press. Giriwijoyo S. 2005. Ilmu Faal Olahraga. Bandung: Fak. Pendidkan Olahraga dan Kesehatan. Universitas Pendidikan Indonesia. Gleason G, Scrimshaw NS. 2007. An overview of the functional significance of iron deficiency. Di dalam Nutritional Anemia. Edited by Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland: Sight and Life Press. Guyton. 2007. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Buku Kedokteran. Hardinsyah dan Martianto D. 1992. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein Serta Penilaian Mutu Konsumsi Pangan. Jakarta: Wirasari.
62
Haskel WL & Kiernan M. 2000. Methodologic issues in measuring physical activity and physical fitness when evaluating the role of dietary supplements for physically active people. Am J Clin Nutr 72:541S-50S. Harsono. 1997. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis dalam Coaching. Jakarta: Tambak Kusuma. Hoeger WWK dan Hoeger SA. 2005. Lifetime Physical Fitness and Wellness, a Personalized Program. Ed ke-5. USA: Thomson Wadsworth. Indriani Y. 2011. Pengaruh pemberian zat gizi mikro terhadap status besi dan kebugaran fisik pekerja wanita usia subur [Disertasi]. Bogor: Pascasarjana IPB. [IOM] Institute of Medicine. 2000. Dietary Reference Intakes fot Vitamin C, Vitamin E, Selenium and Caratenoids. Washington: National Academy Press. [IOM] Institute of Medicine. 2002. Dietary Reference Intakes for Energy, Carbohydrate, Fiber, Fat, Fatty Acid, Cholestrol, Protein and Amino Acids (Macronutrients). Washington: National Academy Press. Janssen I, Ross R. 2012. Vigorous intensity physical activity is related to the metabolic syndrome independent of the physical activity dose. Int journal of epidemiology 41: 1132-1140. Kartono D, Soekantri M. 2004. Angka Kecukupan Mineral: Kalsium, Fosfor, Magnesium, Fluor. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Laing EM. 2006. Exercise and Nutrien Need. Di dalam Handbook of Nutrition and Food Second Edition by Berdanier CD, Dwyer J dan Feldman EB. CRC Press. Marco LG, Rodriguez GV, Casajuz JA, et al. 2011. Effect of fitness and physical activity on bone mass in adolescent: the HELENA study. Eur J Appl Physiol 111:2671-2680. Moelek D dan Tjokronegoro A. 1984. Kesehatan dan Olahraga. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta. McLung JP, Karl JP, Cable Sj, et al. 2009. Randomized, double-blind, placebocontrolled trial of iron supllementation in female soldier during military training: effect on iron status, physical performance, and mood. Am J Clin Nutr 90: 124-31. [MIP] Micronutrient Intervention Programs. 2000. The role of vitamins in the preventing and control anemia. Miharja L. 2004. Energi dan Zat Gizi yang diperlukan pada Olahraga Aerobik dan Anaerobik. Jakarta: Gizmindo.
63
Morrow JR, Jackson AW, Disch JG & Mood DP. 2010. Measurement and Evaluation in Human Performance 4th Edition. Champaign, IL: Human Kinetics. National Council on Physical Fitness and Sports. 2003. Physical education statistics. Taipei: National council on physical fitness and sport. Nurhasanah H dan Cholil H. 2007. Modul tes dan pengukuran keolahragaan. Bandung: Universitas Pendidikan Bandung. Neto AS, Esaski JE, Mascarenhas et al. 2011. Physical activity, cardiorespiratory fitness, and metabolic syndrom in adolescent: A cross-sectional study. J BMC Public Health 11: 678. Novacheck TF. 1998. Review paper: The biomechanics of runnning. Gait and Posture 77-95. Ortega FB, Ruiz JR, Romero VE, Rodriguez GV et al. 2011. The International fitness scale (IFIS): usefull of self-reported fitness in youth. Int J Epidemiol 1:11. Oppusunggu R. 2009. Pengaruh pemberian tablet tambah darah (Fe) terhadap produktifitas kerja wanita pensortir daun temabakau [Tesis]. Universitas Sumatra Utara. Permaesih D et al. 2011. Pengaruh suplementasi zat gizi mikro terhadap status besi dan status vitamin a pada siswa SLTP. Gizi Indonesia 34(1):14-22 Plowman SA dan Smith DL. 2008. Exercise Physiology for Health, Fitness and Performance. Baltmore, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Riyadi H. 2007. Diktat Mata Kuliah Gizi Olahraga. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Scott KR. 2005. Practical Philosophy of Sport and Physical Activity. USA: Human Kinetics. Setiawan B, Rahayuningsih S. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Air. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Sharkley BJ. 2011. Kebugaran dan kesehatan. Human Kinetics: Jakarta. Skeie G et al. 2009. Use of dietary supplements in the Eurpean Prospective Investigation into Cancer and Nutrition calibration study. European Journal of Clinical Nutrition 63: S226-S238. Sediaoetama AD. 2008. Ilmu Gizi untuk mahasiswa dan profesi jilid I. Jakarta: Dian Rakyat. Stieg JL, Faulkinbury KJ, TranTR, Brown LE et al. 2011. Acute effect of depth jump volume on vertical jump performance in collegiate women soccer players. J Kinesiology 43(1): 25-30. Suparriasa I et al. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
64
Thong et al. 2012. Body mass index and percentage of body fat determined physical performance in healthy personnel. Asian Biomedicine. 6:313-318.
UNICEF. 1998. Preventing Iron Defisiensy in Women and Children : Background and Consensus on Key Technical Issues and resource for advocacy, Planning and Implementing National Programs. Canada: International Nutriti Foundation (INF). Unick JL, Michael JC, dan Jakicic JM. 2012. Affective response to exercise in overweight women: intial insight and possible influence on energy intake. J Psychology sport and exercise 13: 528-532. USAID Micronutrient Program. 2004. A strategic approach to anemia control program. Airlington, Virginis, USA: USAID, Micronutrient Program. Usfar AA et al. 2009. Expert meeting on child growth and micronutrient deficiencies-new initiative for developing countries to achieve millenium development goals :executive summary report. Asia Pac J Clin Nutr: 8(3):462-469. Wardlaw GM dan Hampl JS. 2007. Perspective in Nutrition: Seventh Edition. Mc Graw Hill. [WHO] World Health Organization. 2004. WHO?CDC expert consultation agrees on best indicators to assess iron deficiency, a major cause of anemia. [17 Agustus 2012]. [WHO] World Health Organization. 2007. Assesing the iron status of populations. report of a Joint World Health Organization/Centers for Disease Control and Prevention Technical Consultation on the Assessment of Iron Status at the Population Level. Geneva, Switzerland: 6–8 April 2004. [WHO] World Health Organization. 2008. Worldwide prevalence of anemia 19932005: WHO global database on anemia/Edited by Bruno de Benoist, Erin McLean, Ines Egli and Mary Cogswell. WHO Press, Geneva. [WHO] World Health Organization. 2010. Global Recomendation on Physical Activity for Health. Switzzerland: WHO Press. Whitney E dan Rolfes SR. 2008. Understanding Nutrition: Eleventh edition. Thomson wadswoth: USA. Wijaya M et al. 2007. Effect of daily or weekly multiple-micronutrient and iron foodlike tablets on body iron stores of Indonesian infants aged 6–12 mo: a double-blind, randomized, placebo-controlled trial. Am J Clin Nutr 86:1680. Williams MH. 2002. Nutrition for Health, Fitness & Sport 6th ed. New York: McGraw-Hill.
65
Wlliams MH. 2005. Dietary Supplements and Sports Performance: Minerals. Journal of the international society of Sport Nutrition 2(1):43-49. Zhu YI dan Haas JD. 1997. Iron depletion without anemia and physical performance in young women. Am J Cli Nutr 66: 334-41.
66
LAMPIRAN
67
Lampiran 1 Kuisioner Penelitian
PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN MULTIVITAMIN MINERAL TERHADAP KADAR HEMOGLOBIN MAHASISWI TPB IPB
Nama Responden
: ........................................
Gedung/Kamar/Kelompok
: ........................................
Enumerator
: ........................................
Tanggal Wawancara
: ........................................
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
68
A. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama Lengkap : ........................................................... 2. Gedung : ......No. Kamar Asrama...................... 3. Jenis Kelamin : ........................................................... 4. NRP : ........................................................... 5. No Tlp/Hp : ........................................................... 6. Tempat/tanggal lahir : ........................................................... 7. Asal SMU : SMU....................Kota........................ 8. Suku bangsa : ............................................................ 9. Agama : ............................................................ 10. Sumber pendapatan per bulan (pilihan sumber pendapatan bisa lebih dari 1): o Orang tua/ keluarga , besarnya Rp . . . . . . . . o Beasiswa, besarnya Rp . . . . . . . o Lainnya, (Sebutkan)....................................................................................... 11. Apakah Anda pernah menikah sebelumnya? 1. Ya 2. Tidak 12. Apakah Anda pernah hamil sebelumnya? 1. Ya 2. Tidak 13. Data Antropometri a. Berat Badan : b. Tinggi Badan : c. % Lemak Tubuh : B. IDENTITAS KELUARGA 1. Nama Orang tua/Wali a. Ayah : ................................................................ b. Ibu : ................................................................ 2. Pekerjaan a. Ayah : ................................................................ b. Ibu : ................................................................ 3. Penghasilan/bulan a. Ayah : ................................................................ b. Ibu : ................................................................ 4. Alamat rumah : ................................................................ 5. Telpon rumah : ................................................................ C. RIWAYAT MENSTRUASI 1. Usia berapa Anda pertama kali menstruasi?........................(tahun/bulan) 2. Apakah siklus mentruasi Anda teratur? a. Ya b. Yidak 3. Jika TERATUR, berapa hari (rata-rata) lama siklus menstruasi Anda? ................hari [Siklus menstruasi = waktu sejak awal menstruasi bulan lalu hingga awal menstruasi bulan berikutnya (dalam hari). Contoh : Hari pertama menstruasi bulan lau tanggal 4 Agustus dan hari menstruasi pada bulan September tanggal 1, maka siklus menstruasinya 28 hari] 4. Berapa lama Anda biasanya mengalami menstruasi? ....................hari 5. Jika TIDAK TERATUR, dalam setahun rata-rata mengalami menstruasi berapa kali?......................... 6. Apakah Anda mengalami keluhan menjelang menstruasi? a. Ya b. Tidak
69
D. KEBIASAAN MAKAN Sebutkan kebiasaan makan Anda dengan menyilang dan mengisi jawaban dengan singkat!
No Pertanyaan
Selama di Asrama
1
Rp ............................
2 3 4 5 6 7 8
9
10
Berapa rata-rata biaya makan sehari? Berapa kali Anda biasa makan sehari? Apakah Anda biasa sarapan pagi setiap hari?
13
14 15
c. Jarang
b. Kadang-kadang d. Tidak Pernah
Apakah Anda biasa mengonsumsi a.Selalu sayur-sayuran? b. Kadang-kadang Apakah Anda biasa mengonsumsi a.Selalu buah-buahan atau sari buah? b. Kadang-kadang Apakah Anda biasa mengonsumsi a.Selalu susu? b. Kadang-kadang Apakah Anda biasa mengonsumsi a.Selalu lauk hewani (misalnya daging, b. Kadang-kadang ayam, ikan, telur)? Apakah Anda biasa mengonsumsi a.Selalu lauk nabati? b. Kadang-kadang (misalnya tempe, oncom) Apakah anda biasa minum teh a.Selalu b. Kadang-kadang
Apakah anda biasa minum kopi a.Selalu setelah makan?
12
a.Selalu
Apakah Anda biasa mengonsumsi a.Selalu camilan ? b. Kadang-kadang
setelah makan? 11
.......................kali
b. Kadang-kadang
c. Jarang d. Tidak Pernah c. Jarang d. Tidak Pernah c. Jarang d. Tidak Pernah c. Jarang d. Tidak Pernah c. Jarang d. Tidak Pernah c. Jarang d. Tidak Pernah c. Jarang d. Tidak Pernah c. Jarang d. Tidak Pernah
Apakah Anda memiliki makanan a. Ya b. Tidak pantangan? Jika memiliki pantangan, apa jenis makanan tersebut dan apa ........................................................... alasannya? Dimana Anda membeli makanan di ........................................................... hari kuliah? Dimana Anda mendapatkan ........................................................... makanan di hari libur? Keterangan ; a. Selalu : 5-7 kali /minggu b. Kadang-kadang : 3-4 kali/ minggu c. Jarang : 1-2 kali/minggu d. Tidak pernah : 0 kali/minggu
70
E. FORMULIR KEPATUHAN RESPONDEN (SELF REPORTED) Konsumsi suplemen ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56
Hari/Tanggal 25-Apr-12 26-Apr-12 27-Apr-12 28-Apr-12 29-Apr-12 30-Apr-12 01-Mei-12 02-Mei-12 03-Mei-12 04-Mei-12 05-Mei-12 06-Mei-12 07-Mei-12 08-Mei-12 09-Mei-12 10-Mei-12 11-Mei-12 12-Mei-12 13-Mei-12 14-Mei-12 15-Mei-12 16-Mei-12 17-Mei-12 18-Mei-12 19-Mei-12 20-Mei-12 21-Mei-12 22-Mei-12 23-Mei-12 24-Mei-12 25-Mei-12 26-Mei-12 27-Mei-12 28-Mei-12 29-Mei-12 30-Mei-12 31-Mei-12 01-Jun-12 02-Jun-12 03-Jun-12 04-Jun-12 05-Jun-12 06-Jun-12 07-Jun-12 08-Jun-12 09-Jun-12 10-Jun-12 11-Jun-12 12-Jun-12 13-Jun-12 14-Jun-12 15-Jun-12 16-Jun-12 17-Jun-12 18-Jun-12 19-Jun-12
*Waktu Minum Suplemen
Konsumsi Suplemen (Beri tanda a pada kolom yang sesuai) Ya Tidak
**Keluhan
71
F. FORMULIR FOOD RECORD Tuliskan seluruh makanan dan minuman yang telah anda konsumsi selama 24 jam. Upayakan serinci mungkin. Jangan lupa untuk menuliskan juga berbagai bahan tambahan (mentega, minyak, saus, sambal, bumbu) yang ditambahkan pada makanan utama, termasuk juga berbagai suplemen atau multivitamin yang dikonsumsi jika ada.
Waktu Makan
Pagi (06.00 – 10.00)
Selingan 1 (09.15 – 11.45)
Siang (12.00 – 15.45)
Selingan 2 (16.00 – 17.45)
Malam (18.00 - 05.45)
Nama Makanan
Bahan Penyusun
Jumlah (satuan URT)
Jumlah (gram)
Tempat memperoleh
Proses pemasakan
72
Lampiran 2 Karakteristik sampel Kelompok
Pemasukan per Bulan Pengeluaran pangan (Rp/bulan)
kelompok MVM Standar deviasi kelompok Plasebo Standar deviasi
Rp 760 714
Rp 486 429
Rp 260 309
Rp 104 042
Rp 730 769
Rp 445 385
Rp 189 889
Rp 89 033
Lampiran 3 Kepatuhan minum sirup berdasarkan pengukuran sisa suplemen Rata-rata Kelompok
Rata-rata sisa (mL)
Total
konsumsi (mL)
%
kelompok MVM
348
840
493
59
kelompok Plasebo
303
840
537
64
Lampiran 4 Profil biokimia darah sampel Kelompok kelompok MVM Standar deviasi kelompok Plasebo Standar deviasi
Hemoglobin sebelum (g/l)
Hemoglobin sesudah (g/l)
12.1
12.2
0.9
0.8
11.6
11.8
1.4
1.6
73
Lampiran 5 Rata-rata asupan energi, protein dan zat gizi lain dari makanan Kelompok Kelompok MVM Kelompok Plasebo
B6 (mg)
Vit.C (mg)
energi (kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Vit A (RE)
Vit. E(mg)
Vit B1(mg)
Vit B2(mg)
1536 199.6
47 6.2
46.2 6.5
1218.1 282.1
3.3 0.8
0.5 0.1
0.7 0.2
0.8 0.1
1610 197.0
49 5.3
47 6.2
1395 339.0
4 0.6
0 0.1
1 0.1
1 0.1
Ratarata Stdev Ratarata Stdev
Ca (mg)
Fe (mg)
Zn (mg)
36.7 17.1
240.4 123.8
6.5 1.1
5.3 0.8
42 14.6
269 100.7
7 1.1
6 0.7
B6 (mg)
Vit.C (mg)
Ca (mg)
Lampiran 6 Rata-rata tingkat kecukupan energi, protein dan zat gizi lain dari makanan Kelompok Kelompok MVM Kelompok Plasebo
energi (kkal) Ratarata Stdev Ratarata Stdev
Protein (g)
Lemak (g)
Vit A (RE)
Vit. E(mg)
Vit B1(mg)
Vit B2(mg)
Fe (mg)
Zn (mg)
71 11.6
93 16.4
84.5 12.7
219.1 45.7
21.9 5.0
42.9 8.1
69.7 15.4
66.5 11.6
57.4 35.7
26.9 15.9
24.9 4.2
47.0 14.3
75 12.2
102 12.0
92.8 16.7
230.9 62.9
23.6 4.3
45.6 11.4
73.5 13.1
73.4 12.6
55.9 19.4
36.0 29.8
32.4 20.9
46.2 13.8
Fe (mg) 18.6 2.8 6.9 1.1
Zn (mg) 8.4 1.0 5.6 0.7
Lampiran 7 Rata-rata asupan energi, protein dan zat gizi lain dari makanan dan suplemen Kelompok Kelompok MVM Kelompok Plasebo
Rata-rata Stdev Rata-rata Stdev
energi (kkal) 1536 199.6 1610 197.0
Protein (g) 47 6.2 49 5.3
Lemak (g) 46.2 6.5 47.0 6.2
Vit A (RE) 1218.1 282.1 1394.8 339.0
Vit. E(mg) 3.3 0.8 3.5 0.6
Vit B1(mg) 9.6 2.1 0.5 0.1
Vit B2(mg) 2.1 0.4 0.8 0.1
B6 (mg) 2.6 0.4 0.9 0.1
Vit.C (mg) 134.2 30.0 44.2 17.2
Ca (mg) 301.2 125.2 269.3 100.7
Lampiran 8 Rata-rata tingkat kecukupan energi, protein dan zat gizi lain dari makanan dan suplemen Kelompok Kelompok MVM Kelompok Plassebo
energi (kkal) Ratarata Stdev Ratarata Stdev
Protein (g)
Lemak (g)
Vit A (RE)
Vit. E(mg)
Vit B1(mg)
Vit B2(mg)
B6 (mg)
Vit.C (mg)
Ca (mg)
Fe (mg)
Zn (mg)
1536 199.6
47 6.2
46.2 6.5
1218.1 282.1
3.3 0.8
9.6 2.1
2.1 0.4
2.6 0.4
134.2 30.0
301.2 125.2
18.6 2.8
8.4 1.0
1610 197.0
49 5.3
47.0 6.2
1394.8 339.0
3.5 0.6
0.5 0.1
0.8 0.1
0.9 0.1
44.2 17.2
269.3 100.7
6.9 1.1
5.6 0.7
74
Lampiran 9 Profil tingkat kebugaran sampel
Kelompok Kelompok MVM Kelompok Plasebo
Pre_lari cepat Ratarata Std Ratarata Std
Post_lari cepat
Pre_pu shup
Post_pu shup
Pre_s itup
Post_ situp
Pre_vertic aljump
Post_vertic aljump
Pre_shut telrun
Post_shut tlerun
Pre_Vo 2max
Post_Vo 2max
14.09 1.29
13.3 0.7
22.6 8.8
28.6 6.1
15.2 7.1
22.4 6.6
27.9 4.4
27.6 5.1
13.74 0.79
14.03 0.84
23.04 1.99
24.79 1.32
12.44 0.93
13.1 1.0
26.7 6.7
31.5 4.9
18.8 7.7
21.8 6.4
25.1 4.6
27.4 3.8
13.07 0.54
13.40 0.82
23.75 2.08
26.86 3.09
75
Lampiran 10 Hasil uji statistik Perubahan kadar Hb pada kelompok MVM Rataan
Pair 1
Hb sebelum sebelum
–
Hb
Standar deviasi
-.07857
Paired Samples Test Paired Differences Rataan standar 95% selang kepercayaan dari galat perbedaan Batas bawah Batas atas
.55633
.14869
-.39979
t
.24265
Sig. (2-tailed)
df
-.528
13
.606
Perubahan kadar Hb pada kelompok Plasebo
Rataan Pair 1
HB sebelum sesudah
– HB
Standar deviasi
-.19231
Paired Samples Test Paired Differences 95% selang kepercayaan dari Rataan standar perbedaan galat Batas bawah Batas atas
.60616
.16812
-.55861
.17399
t
Sig. (2-tailed)
df
-1.144
12
.275
Perubahan tingkat kebugaran pada kelompok MVM Rataan Pair 1 Pair 2 Pair 3 Pair 4 Pair 5 Pair 6
Lari sebelum- Lari_sesudah pushup sebelum pushup_sesudah Situp sebelum – Situp sesudah vertical sebelumvertical sesudah shuttl sebelum – shuttle sesudah bleep sebelum – bleep sesudah
Standar deviasi
Paired Samples Test Paired Differences Rataan standar 95% selang kepercayaan dari perbedaan galat Batas bawah Batas atas .40311 -.04016 1.70159
t
df
Sig. (2-tailed)
.83071
1.50831
2.061
13
.060
-6.07143
7.20539
1.92572
-10.23169
-1.91116
-3.153
13
.008
-7.21429
5.56332
1.48686
-10.42645
-4.00212
-4.852
13
.000
.32143
4.02209
1.07495
-2.00086
2.64371
.299
13
.770
-.29643
1.07701
.28784
-.91827
.32542
-1.030
13
.322
-1.74286
2.19219
.58589
-3.00859
-.47712
-2.975
13
.011
76
Perubahan tingkat kebugaran pada kelompok MVM Rataan Pair 1 Pair 2 Pair 3 Pair 4 Pair 5 Pair 6
Lari sebelum- Lari_sesudah pushup sebelum pushup_sesudah Situp sebelum – Situp sesudah vertical sebelumvertical sesudah shuttl sebelum – shuttle sesudah bleep sebelum – bleep sesudah
Standar deviasi
Paired Samples Test Paired Differences Rataan standar 95% selang kepercayaan dari perbedaan galat Batas bawah Batas atas .25049 -1.16884 -.07732
Sig. (2-tailed)
t
df
-2.487
12
.029
-.62308
.90314
-4.84615
5.58041
1.54773
-8.21836
-1.47394
-3.131
12
.009
-3.00000
4.04145
1.12090
-5.44222
-.55778
-2.676
12
.020
-2.30769
6.04683
1.67709
-5.96175
1.34637
-1.376
12
.194
-.32538
.65896
.18276
-.72359
.07282
-1.780
12
.100
-3.11538
2.16943
.60169
-4.42636
-1.80441
-5.178
12
.000
77
Lampiran 11 Foto-foto sampel saat penelitian
Gambar 1 Sampel melakukan puh-up
Gambar 2 Sampel sedang pengambilan darah
Gambar 3 Sampel melakukan lari cepat
Gambar 4 Sampel sedang pengukuran persen lemak tubuh
Gambar 5 Sampel melakukan sit-up
Gambar 6 Sampel melakukan vertical jump