PENGARUH FREKUENSI LATIHAN SENAM AEROBIK INTENSITAS SEDANG (LOW IMPACT) TERHADAP STATUS GIZI DAN KEBUGARAN MAHASISWI
MURY KUSWARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Frekuensi Latihan Senam Aerobik Intensitas Sedang (Low Impact) terhadap Status Gizi dan Kebugaran Mahasiswi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2013 Mury Kuswari NIM. I151100081
RINGKASAN MURY KUSWARI. Pengaruh Frekuensi Latihan Senam Aerobik Intensitas Sedang (Low Impact) terhadan Status Gizi dan Kebugaran Mahasiswi. Dibimbing oleh BUDI SETIAWAN dan RIMBAWAN.
Obesitas merupakan resiko penyakit degeneratif yang cenderung mengalami peningkatan dari tahun-ketahun dan merupakan faktor penyebab tertinggi kematian penduduk dunia. Obesitas dapat dicegah dengan melakukan aktivitas fisik yang teratur salah satunya dengan senam aerobik intensitas sedang. Senam aerobik adalah jenis olahraga kesehatan, yaitu gerakannya sub maksimal, tidak boleh melakukan gerakan maksimal atau eksplosif, tanpa henti minimal 10 menit, non kompetisi dengan frekwensi 3-5 kali dalam seminggu dan intensitasnya sedang adalah 60-80% denyut nadi maksimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh frekuensi senam aerobik intensitas sedang terhadap status gizi dan kebugaran mahasiswi. Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimen dengan jumlah sampel 21 mahasiswi yang dibagi menjadi 3 kelompok intervensi senam aerobik intensitas sedang setiap minggunya selama 8 minggu. Kelompok pertama dengan frekuensi 2x seminggu, kelompok kedua dengan frekuensi 3x seminggu dan kelompok 3 dengan 4x seminggu. Masing-masing kelompok memperoleh latihan dengan intensitas yang sama yaitu 60-80% tetapi memiliki jumlah frekuensi latihan yang berbeda. Setiap intevensi senam aerobik intensitas sedang (Low impact) dalam setiap pelaksanaanya dilakukan secara sama yaitu dimulai dengan pemanasan (stretching) selama 5-10 menit tempo yang digunakan antara 100-115 ketukan permenit kemudian dilanjutkan dengan inti selama 20-30 menit temponya 115-135 ketukan permenit dan diakhiri dengan pendinginan 5-10 menit. Data diperoleh semuanya menggunakan data primer meliputi : antropometri (IMT), lemak bawah kulit (triceps,abdomen dan paha), komposisi tubuh (lean body mass, soft body mass, total body water, mass body fat dan precent of mass body fat), profil lipid serum (kolesterol, HDL-kolesterol, HDL-kolesterol dan trigliserida), kebugaran (kecepatan, kekuatan, fleksibilitas dan daya tahan), konsumsi (energi dan protein). Seluruh data rasio dari variable konsumsi, aktivitas fisik, status gizi dan juga kebugaran antara sebelum dan sesudah perlakuan diuji dengan menggunakan uji skala data yang digunakan Paired Sample T Test untuk melihan pengaruh sebelum dan sesudah perlakuan. Setelah itu dilakukan analisis menggunakan Uji One Way ANOVA untuk membandingkan perbedaan rata-rata variabel bebas dan terikat dua atau lebih kelompok baik sebelum maupun sesudah perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan pada variable yang signifikan. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa frekuensi senam aerobik intensitas sedang berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap vertical jump dan konsumsi protein hari non-intervensi, namun tidak berpengaruh nyata terhadap status gizi, lemak bawah kulit, komposisi tubuh dan profoil lipid serum (P>0.05). Kata kunci: senam aerobik, intensitas sedang, status gizi, kebugaran
SUMMARY MURY KUSWARI. The Effect Frequency of Moderate-Intensity Aerobic Exercise on Nutritional Status and Fitness of Female University Students. Supervised by BUDI SETIAWAN and RIMBAWAN. Obesity is one risk of degenerative diseases that usually increase in years and is the leading cause of death in the world. Obesity can be prevented with regular physical activities, one of them is physical activity with moderate intensity aerobic exercise. The purpose of this study was to analyze the effect of the frequency of moderate-intensity aerobic exercise on nutritional status and fitness of female university students. This study used a quasi experimental design with sample of 21 students who were divided into three groups of moderate-intensity aerobic exercise intervention for eight weeks. The first group with a frequency of two times a week, the second group with a frequency of three times a week, and third group with frequency four times a week. Primary data collected include: anthropometry (BMI), subcutaneous fat (triceps, abdomen and thigh), body composition (lean body mass, soft body mass, total body water, body fat mass and body mass percent of fat), serum lipid profile (cholesterol, HDL-cholesterol, HDL-cholesterol and triglycerides), fitness (speed, strength, flexibility and endurance), consumptions (energy and protein). The results of statistical tests showed that the difference in frequency (oneway ANOVA) were significant different in vertical jump and protein intake (P <0.05), while the anthropometry, subcutaneous fat, body composition and serum lipid profiles were not significant (P>0.05). Keyword: Aerobic exercise, moderate-intensity, nutritional status, fitness
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH FREKUENSI LATIHAN SENAM AEROBIK INTENSITAS SEDANG (LOW IMPACT) TERHADAP STATUS GIZI DAN KEBUGARAN MAHASISWI
MURY KUSWARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi : Dr Ir Hadi Riyadi, MS
Judul Tesis Nama NIM
: Pengaruh Frekuensi Latihan Aerobik Intensitas Sedang (Low Impact) terhadap Status Gizi dan Kebugaran Mahasiswi : Mury Kuswari : I151100081
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Budi Setiawan, MS Ketua
Dr Rimbawan Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
drh M Rizal M Damanik, MRepScPhD
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 21 Desember 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Frekuensi Latihan Aerobik Intensitas Sedang (Low Impact) terhadap Status Gizi dan Kebugaran Mahasiswi”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis meyampaikan terimakasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi kepada bapak Dr. Ir. Budi Setiawan, MS dan Dr. Rimbawan selaku pembimbing tesis yang senantiasa memberikan semangat kepada penulis untuk tetap istiqomah dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor dan juga bapak Dr.Ir. Hadi Riyadi, MS selaku penguji yang telah memberikan masukan dan juga saran untuk menyempurnakan tulisan ini. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. Rimbawan (Direktur Kehasiswaan IPB) dan Prof. Dr. Siti Madanijah, MS (Dosen Gizi Masyarakat IPB) dan Dr. Ir. Irzaman, MS (Ketua Departemen Fisika IPB) yang telah memberikan rekomendasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Gizi Masyarakat di IPB. Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Koordinator Program Pascasarjana Gizi Masyarakat, para dosen dan seluruh staf yang telah memberikan motivasi dan dukungan selama menempuh pendidikan sehingga semua dapat terlaksana dengan baik. Penulis menyampaikan terimakasih kepada mahasiswi Ilmu Gizi Masyarakat yang telah berpartisipasi menjadi sampel dalam penelitian ini, dengan mengikuti intervensi latihan senam aerobik intensitas sedang (low impact) selama 2 bulan di ruang Audit GMSK IPB. Tidak lupa ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman seangkatan pada Program Magister Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana angkatan 2010 atas semangat kebersamaan, persahabatan dan dukungannya selama menempuh pendidikan di Program Magister Ilmu Gizi Masyarakat, SPS - IPB serta program Doktor Gizi Manusia, SPS - IPB angkatan 2009-2011 atas semangat kebersamaan, persahabatan dan dukungannya terutama pada pelaksanaan kolokium, seminar hasil hingga pelaksanaan ujian. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan secara tulus dan mendalam khususnya kepada kedua orang tua yang selalu saya hormati dan banggakan Bapak Kusnadi, S.Pd dan Ibu Rusmini Bakin, serta adik-adik tersayang Adhitya Pratiwi, S.Pd beserta suami, Rian Gautama S.Kom dan Wisnu Wardhana dan juga buat Harsyi Melisanda Putriciana beserta keluarga atas segala dukungan doa dan kasih sayang yang telah tercurahkan. Semoga karya ini bermanfaat. Bogor, Januari 2013
Mury Kuswari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Hipotesis Manfaat Penelitian
1 1 3 3 3 1 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Obesitas Remaja Aktivitas Fisik, Olahraga dan Latihan Aktivitas Fisik Olahraga Latihan Senam Aerobik Senam Aerobik Intensitas Sedang Status Gizi Profil Lipid Kolesterol Total LDL (Low Density Lipoprotein) HDL (High Density Lipoprotein) Trigliserida Kebugaran Jasmani Daya Tahan (Endurance) Kekuatan (Strength) Kecepatan (Speed) Kelentukan (Flexibility) Kerangka Pemikiran
4 4 5 6 6 7 9 11 12 14 15 16 16 16 16 17 17 18 18 18 19
3 METODE Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data Prosedur dan Analisis Data Prosedur Penelitian
20 20 21 22 23 24
Analisis Status Gizi dan Status Kebugaran
24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Karakteristik Subyek Penelitian Pengaruh Intervensi terhadap Status Antropometri Pengaruh Intervensi terhadap Lemak Bawah Kulit Pengaruh Intervensi terhadap Komposisi Tubuh Pengaruh Intervensi terhadap Profil Lipid Darah Pengaruh Intervensi terhadap Status Kebugaran Pengaruh Intervensi terhadap Konsumsi Energi dan Protein Pengaruh Intervensi terhadap Aktivitas Fisik Pembahasan Status Gizi Status Kebugaran
26 26 26 27 29 31 35 36 39 42 43 43 46
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
47 47 48
DAFTAR PUSTAKA
48
LAMPIRAN
54
RIWAYAT HIDUP
61
DAFTAR TABEL 1 Klasifikasi status gizi yang diusulkan berdasarkan indeks masa tubuh 2 Karakteristik dan komposisi very low density lipoprotein, low density lipoprotein dan high density lipoprotein 3 Nilai profil lipid darah 4 Klasifikasi nilai low density lipoprotein bagi orang normal 5 Pengukuran status gizi antropometri 6 Pengukuran status gizi biokimia 7 Pengukuran kebugaran 8 Pengukuran tingkat konsumsi 9 Pengukuran aktivitas fisik 10 Data karakteristik sampel
5 15 15 16 22 23 23 23 23 26
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Kerangka pemikiran Rata-rata umur subjek penelitian Rata-rata tinggi badan subjek penelitian Rata-rata berat badan awal dan akhir sampel Rata-rata indek masa tubuh awal dan akhir sampel Rata-rata lipatan lemak triceps tubuh awal dan akhir sampel Rata-rata lipatan lemak abdomen awal dan akhir sampel Rata-rata lipatan lemak paha awal dan akhir sampel Rata-rata lean body mass (LBM) awal dan akhir sampel Rata-rata soft lean mass (SLM) awal dan akhir sampel Rata-rata total body water (TBW) awal dan akhir sampel Rata-rata percent of body fat (PBF) awal dan akhir sampel Rata-rata mass of body fat (MBF) awal dan akhir sampel Rata-rata total kolesterol awal dan akhir sampel Rata-rata high density lipoprotein (HDL) awal dan akhir sampel Rata-rata low density lipoprotein (LDL) awal dan akhir sampel Rata-rata trigliserida awal dan akhir sampel Rata-rata push up awal dan akhir sampel Rata-rata sit up awal dan akhir sampel Rata-rata vertical jump awal dan akhir sampel Rata-rata waktu tempuh lari 60 meter awal dan akhir sampel Rata-rata waktu tempuh lari jarak 1000 meter awal dan akhir sampel Rata-rata konsumsi energi intervensi awal dan akhir sampel Rata-rata konsumsi energi non-intervensi awal dan akhir sampel Rata-rata konsumsi protein intervensi awal dan akhir sampel Rata-rata konsumsi protein non-intervensi awal dan akhir sampel Rata-rata aktivitas fisik intervensi Rata-rata aktivitas fisik non-intervensi
20 27 27 28 28 29 30 30 31 32 32 33 33 34 35 35 36 36 37 38 38 39 40 40 41 41 42 43
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Hasil uji paired sample T test Hasil uji one way ANOVA variabel penelitian Kuesioner food record hari intervensi 2x24 jam Kuesioner food record hari non-intervensi 2x24 jam Kuesioner aktivitas fisik hari intervensi dan non-intervensi 2x24 jam
54 55 57 58 59
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit kronik akibat pola hidup adalah sekelompok penyakit yang mempunyai faktor resiko yang sama sebagai akibat dari perjalanan selama beberapa dekade, seperti merokok, pola makan, kurang aktivitas, stress dan lainlain. Faktor-faktor tersebut akan menghasilkan berbagai penyakit tidak menular atau penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif meningkat dengan pesat di negara-negara berkembang (WHO 2004) yang sedang mengalami transisi demografi dan perubahan hidup dalam masyarakatnya (Anies 2006). Seiring perkembangan waktu, masalah kesehatan saat ini mulai bergeser dari penyakitpenyakit infeksi menjadi penyakit-penyakit degeneratif dan kelompok usia yang mengalami penyakit degeneratif juga mengalami pergeseran yaitu dari kelompok usia tua ke kelompok usia muda. Penyakit degeneratif mempunyai resiko yang besar sebagai faktor penyebab kematian penduduk dunia yaitu 63% bila dibandingkan penyakit menular yang hanya 23% dan kecelakaan sebesar 9% (WHO 2011). Obesitas merupakan salah satu faktor risiko penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, artritis, beberapa jenis kanker dan gangguan fungsi pernapasan (Arisman 2004). Salah-satu kelompok usia yang rentan terhadap kegemukan adalah kelompok remaja (Tsiros et al. 2008). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Lewis et al. (2000) menyebutkan bahwa masa remaja merupakan masa yang paling tinggi mengalami pergeseran dari status normal dan overweight menjadi obesitas. Survey WHO (2011) menunjukkan bahwa lebih dari 1.5 milyar remaja usia 20 tahunan adalah overweight dan lebih dari 500 juta adalah obesitas. Selain itu juga hampir 43 milyar orang berumur 5 tahun lebih mempunyai status gizi overweight pada tahun 2010. Penelitian yang dilakukan oleh Esperanza et al. (2000) di Mexico dan Amerika Serikat menunjukkan adanya indikasi penurunan aktivitas fisik akan meningkatkan prevalensi obesitas. Studi kohort yang dilakukan selama 2 tahun yang dilakukan pada 689 wanita dengan IMT normal dan overweight menunjukkan bahwa orang yang mempunyai aktivitas fisik rendah mempunyai resiko 2x lebih tinggi pergeseran dari IMT normal menjadi obesitas dalam waktu 2 tahun (Hillemeir 2011). Prevalensi obesitas berdasarkan IMT>25 pada perempuan menunjukkan 22.8 % lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki sebesar 13 % hal ini menunjukkan bahwa perempuan beresiko lebih tinggi untuk terkena penyakit kardiovaskuler (Riskesdas 2007). Data Riskesdas (2010) menunjukkan adanya peningkatan prevalensi Obesitas yaitu menjadi 16.3% pada laki-laki dan 26.9% pada perempuan. Obesitas dapat juga terjadi tidak hanya karena makan berlebihan, tetapi karena aktivitas fisik berkurang sehingga terjadi kelebihan energi (Moehyi 1992). Menurut Hoeger dan Hoeger (2005) aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot skeletal dan membutuhkan pengeluaran energi. Obesitas berhubungan dengan penurunan level aktivitas fisik, dimana aktivitas fisik orang kurus akan bertolak belakang dengan orang yang mengalami obesitas. Dewasa ini
2 seiring dengan kemajuan dan jaman serta perkembangan teknologi membuat segala sesuatu dikerjakan dengan alat elektronik. Kendaraan bermotor sudah menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dalam aktivitas apapun, menaiki gedung dengan menggunakan lift dan sebagainya yang membuat aktivitas fisik menjadi berkurang dan terjadi ketidakseimbangan antara masukan energi dan pengeluaran energi. Penelitian deskriptif yang dilakukan pada remaja putri obesitas menunjukkan bahwa remaja yang obesitas cenderung kurang dalam aktivitas fisik (Citra dan Retnaningsih 2009). Aktivitas fisik yang rutin dapat memberikan dampak positif bagi kebugaran seseorang individu, yaitu meningkatkan kemampuan pemakaian oksigen dan curah jantung, peningkatan detak jantung, penurunan tekanan darah, peningkatan efisiensi kerja jantung, mencegah mortalitas dan morbiditas akibat gangguan jantung, peningkatan ketahanan saat melakukan latihan fisik, peningkatan metabolisme tubuh, meningkatkan kemampuan otot dan mencegah obesitas (Fatmah 2011). Berbagai bentuk aktifitas fisik dapat dilakukan yaitu salah satunya dengan olahraga. Olahraga merupakan suatu aktifitas gerak yang dilakukan secara teratur dan terencana yang dilakukan secara berulang ulang. Olahraga yang dilakukan dengan benar dan teratur berhubungan dengan status gizi dan juga kebugaran dari setiap individu. Sebuah survey di Amerika Serikat (AS) menyatakan bahwa era tahun 1960an dan 1970an dibandingkan dengan sekarang kebugaran remaja AS menurun, sementara persen lemak tubuhnya meningkat (Hoeger dan Hoeger 2005). Orang yang mempunyai aktivitas fisik yang rendah mempunyai resiko 2x lebih tinggi dari BMI normal menjadi obesitas dalam kurun waktu 2 tahun (Hillemier et al. 2011). Wei et al. (1999) melaporkan bahwa kebugaran kardiorespirasi adalah prediktor yang signifikan bagi penyakit kardiovaskular dan semua penyebab kematian di seluruh kategori pria dengan berat badan normal, kelebihan berat badan, dan obesitas. Temuan serupa telah dilaporkan pada wanita, dengan tingkat kebugaran kardiorespirasi rendah sebagai prediktor kuat daripada indeks massa tubuh sebagai penyebab kematian. Selain itu sebuah penelitian mengenai kebugaran yang dilakukan kepada para calon mahasiswa di Karmataka, India menyatakan bahwa berdasarkan metode ergometer step test, 93% berada pada kondisi buruk dan batas rata-rata bawah (Hasalkar et al. 2005). Di Indonesia, penelitian yang dimuat pada Majalah Ilmu Faal Indonesia menyatakan dari 30 orang responden remaja usia 18 hingga 23 tahun yang diteliti, sebanyak 22 orang berada pada level buruk, 8 orang pada level sedang dan tidak ada yang berada pada level baik (Indriawati 2005). Pada penelitian lainnya, yaitu survey pendahuluan pada mahasiswi Program Studi Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) menyatakan bahwa dari 11 orang yang diuji, hanya terdapat tiga orang yang tergolong bugar (Indrawagita 2009). Hasil penelitian tentang hubungan kebugaran dan status gizi (IMT) yang dilakukan pada mahasiswi Akademi Keperawatan Pemerintah Daerah Serang, Banten, bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi (IMT) dengan kebugaran, yaitu kelompok dengan IMT normal lebih bugar (Trismanto 2003). Penelitian lain yang dilakukan pada PNS Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) wanita yang berumur 19 hingga 52 tahun menyatakan bahwa terdapat
3 hubungan yang bermakna antara persen lemak tubuh dengan kebugaran (Wijayanti 2006). Salah satu jenis olahraga dilihat dari tujuan yang hendak dicapai yaitu olahraga kesehatan. Ciri umum olahraga kesehatan antara lain masal, mudah, murah, meriah, manfaat dan aman sedangkan cirri khususnya adalah homogen dan sub maksimal, adanya kesatuan takaran, adekuat, dan juga bebas stress psikis, sehingga dari ciri umum dan ciri khusus olahraga kesehatan dapat dilakukan dengan senam aerobik, jalan santai, sepeda santai, renang dan berbagai olahraga lainnya yang memenuhi kriteria sebagai olahraga kesehatan. Berbagai macam olahraga kesehatan yang dapat dilakukan, senam aerobik adalah yang paling baik untuk dilakukan (Giriwijoyo 2005). Penelitian yang dilakukan pada 54 orang yang diberikan latihan aerobik secara teratur terbukti menurunkan total kolesterol, LDL, Trigliserida dan lemak tubuh selain itu juga meningkatkan kadar HDL dalam darah (Koc 2011). Senam aerobik yang dilakukan secara teratur setiap minggunya dengan frekuensi 3-5 kali dalam seminggu akan membantu meningkatkan kebugaran tubuh jasmani (Suharjana dan Sumaryanti 2003). Hasil penelitian Dehghan (2009) menunjukkan adanya pengaruh pemberian latihan aerobik intensitas sedang terhadap indek masa tubuh dan komposisi lemak tubuh dalam waktu 8 minggu. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Brooks dan Farey dalam Sajoto (1995) menunjukkan bahwa waktu yang digunakan dengan lama latihan 6 – 15 minggu, sudah dapat menggambarkan peningkatan kapasitas yang berarti. Dengan memperhatikan berbagai fakta dan masalah yang dijelaskan sebelumnya, maka dilakukan penelitian eksperimen untuk mengetahui pengaruh latihan senam aerobik intensitas sedang (low impact) terhadap status gizi dan juga kebugaran pada mahasiswi. Perumusan Masalah 1. Apakah frekuensi latihan senam aerobik intensitas sedang (low impact) berpengaruh terhadap status gizi mahasiswi. 2. Apakah frekuensi latihan senam aerobik intensitas sedang (low impact) berpengaruh terhadap kebugaran mahasiswi. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji efektivitas frekuensi latihan senam aerobik intensitas sedang (low impact) terhadap status gizi dan status kebugaran mahasiswi. Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji perubahan status gizi antropometri yaitu indeks masa tubuh (IMT) mahasiswi sebelum dan setelah intervensi. 2. Mengkaji perubahan komposisi tubuh meliputi lean body mass (LBM), soft lean mass (SLM), total body water (TBW), percent of body fat (PBF),
4 mass body fat (MBF) dan lemak bawah kulit mahasiswi sebelum dan setelah intervensi. 3. Mengkaji perubahan profil lipid serum meliputi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida pada mahasiswi sebelum dan setelah intervensi. 4. Mengkaji perubahan status kebugaran meliputi daya tahan, kecepatan, kekuatan dan kelentukan mahasiswi sebelum dan setelah intervensi. 5. Mengkaji konsumsi energi dan protein mahasiswi sebelum dan setelah intervensi. Hipotesis 1. Terdapat perbedaan status gizi antropometri, biokmiawi, persentase lemak tubuh dan persentasi lemak bawah kulit pada kelompok pada latihan aerobik intensitas sedang (low impact) dengan frekuensi 2 kali 3 kali dan 4 kali dalam seminggu. 2. Terdapat perbedaan kebugaran pada kelompok pada latihan aerobik intensitas sedang (low impact) dengan frekuensi 2 kali 3 kali dan 4 kali dalam seminggu. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan pengetahuan dan teknologi serta memberikan informasi kepada masyarakat mengenai efektivitas pengaruh frekuensi latihan senam aerobik intensitas sedang (low impact) terhadap status gizi dan status kebugaran mahasiswi. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan memberi manfaat kepada mahasiswi untuk melakukan latihan senam aerobik intensitas sedang sesuai dengan kaidah latihan senam aerobik intensitas sedang sehingga hasilnya akan baik untuk kesehatan. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
2 TINJAUAN PUSTAKA Obesitas Kegemukan atau obesitas adalah dampak dari konsumsi energi yang berlebihan, dimana energi disimpan dalam tubuh sebagai lemak, sehingga akibatnya dari waktu ke waktu badan menjadi bertambah berat (Muchtadi 1996). Salah-satu kelompok usia yang rentan terhadap kegemukan adalah kelompok remaja (Tsiros et al. 2008). Masa remaja adalah tahap terakhir dari proses pertumbuhan dan perkembangan manusia. Kondisi seseorang pada masa dewasa banyak ditentukan oleh keadaan gizi dan kesehatan pada masa remaja (Husaini 1991).
5 Data dari dua survei di Amerika yang dilakukan oleh Lembaga Survei Gizi dan Kesehatan Nasional (NHANES) pada periode 1976-1980 dan 2007-2008 menunjukkan bahwa prevalensi kegemukan terus meningkat secara nyata pada beberapa kelompok usia salah-satunya usia remaja, yakni pada kelompok 12-19 tahun prevalensinya meningkat dari 5% menjadi 18.1% (Odgen et al. 2009). Berdasarkan Riskesdas 2010, status gizi pada kelompok usia di atas 18 tahun didominasi dengan masalah obesitas dan kegemukan. Angka obesitas dan kegemukan pada perempuan cenderung lebih tinggi dibanding laki-laki. Menurut Riyadi (2001) bahwa pengukuran status gizi dapat dilakukan dengan metode antropometri. Metode ini menggunakan pengukuran terhadap berat badan, tinggi badan, lingkaran bagian-bagian tubuh dan tebal lapisan kulit. Pengukuran tersebut bervariasi menurut umur dan derajat gizi. Antropometri dapat memberikan informasi tentang riwayat gizi masa lampau. Tingkat kegemukan atau obesitas dapat diketahui dengan menghitung indeks massa tubuh (IMT) atau body mass index (BMI). Indeks masa tubuh (IMT) dihitung dengan cara membagi berat tubuh (kg) dengan kuadrat tinggi tubuh (m) atau IMT = BB / TB2 dengan keterangan BB adalah berat badan dan TB adalah tinggi badan. Batas baku nilai IMT (cut off point) dalam menentukan status gizi seseorang yang ditetapkan oleh Badan kesehatan dunia (WHO) tahun 2005 mengenai kategori IMT yang cocok untuk masyarakat Asia melalui tabel 1 di bawah ini. Tabel 1 Klasifikasi status gizi berdasarkan indek masa tubuh (IMT) untuk usia dewasa Kategori Underweight
BMI (kg/m2) < 18.5 kg/m2
Normal Overweight At Risk Obese I Obese II Sumber : WHO (2000).
18.5-22.9 kg/m2 > 23 kg/m2 23.0–24.9 Kg/m2 25.0- 29.9kg/m2 > 30.0 kg/m2
Risiko Kematian Rendah (tetapi resiko terhadap masalah klinis lain meningkat) Rata rata Rendah Meningkat Sedang Berbahaya
Remaja Istilah remaja adolesence berasal dari kata adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1994). Monks et al. (1982) mengemukakan suatu analisis yang cermat mengenai semua aspek perkembangan dalam masa remaja yang secara global berlangsung antara umur12-21 tahun, dengan pembagiannya: (1) 12-15 tahun termasuk masa remaja awal, (2) 15-18 tahun termasuk masa remaja pertengahan, dan (3) 18-21 tahun termasuk remaja akhir. Masa remaja adalah periode yang penting pada pertumbuhan dan kematangan manusia (Riyadi 2001). Pada periode ini banyak terjadi perubahan unik serta banyak pemantapan pola-pola dewasa. Remaja merupakan fase transisi
6 sebelum anak menjadi dewasa. Selama remaja perubahan-perubahan hormon mempercepat pertumbuhan tinggi badannya. Banyak para ahli mengemukakan berbagai pendapat mengenai batasan usia remaja. Dari berbagai pendapat tersebut disimpulkan bahwa secara teoritis dan empiris, rentang usia remaja berada dalam usia 12-21 tahun bagi wanita dan 13-22 tahun bagi pria. Jika dibedakan atas remaja awal dan akhir, maka remaja awal berada pada usia 12 atau 13 tahun sampai 17 atau 18 tahun dan remaja akhir pada rentang usia 17 atau 18 tahun hingga usia 21 atau 22 tahun (Panuju & Umami 1999). Pada masa ini terjadi keunikan pertumbuhan dan perkembangan yang karakteristiknya adalah sebagai berikut (Husaini 1989): 1. Pertumbuhan fisik yang sangat cepat (adolescent growth spurt) 2. Pertumbuhan dan perkembangan pada remaja putri terjadi lebih awal, yaitu pada usia 11-13 tahun, sehingga pada usia 13-14 tahun remaja putri terlihat lebih tinggi dan besar. 3. Pertumbuhan remaja putra dan putri berbeda dalam besar dan susunan tubuh sehingga kebutuhan gizinya pun berbeda. 4. Pertumbuhan fisik dan pematangan fungsi-fungsi tubuh adalah proses akhir dari masa remaja. Keadaan ini menentukan pada waktu dewasa seperti bertambah pendek atau tinggi, lamban atau energik, ulet atau pasrah. 5. Terjadi perubahan hormon seks. Remaja tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi juga tidak termasuk golongan dewasa atau orang tua sehingga remaja berada diantara anak-anak dan dewasa. Pada umumnya mereka masih belajar di sekolah menengah atau perguruan tinggi, Pertumbuhan cepat, perubahan emosional dan perubahan sosial merupakan ciri yang spesifik pada usia remaja (Monks et al. 1994 dalam Novikasari 2003). Pertumbuhan pada remaja segala sesuatunya cepat berubah dan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan ini menjadikan makanan sehari-hari penting baik kualitas maupun jumlahnya. Badan yang mengalami pertumbuhan perlu mendapat masukan zat-zat gizi dari makanan yang seimbang tetapi kenyataannya tidak selalu sejalan dengan tuntutan diantaraya jajanan yang kurang bergizi, makan makanan kaya energi tetapi rendah zat-zat gizi seperti gula-gula, coklat, fast food dan minuman berkarbonat sering dijumpai pada remaja. Pertumbuhan yang cepat ini biasanya diiringi pertambahan aktifitas fisik sehingga kebutuhan zat-zat gizi bertambah pula. Nafsu makan anak laki-laki yang lebih tinggi hingga tidak akan menemukan kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya, sedangkan anak perempuan lebih mementingkan penampilan sehingga akan lebih membatasi diri dalam memilih makanan. Mereka harus diyakinkan bahwa masukan zat gizi yang kurang akan berakibat pada kesehatannya (Pudjiadi 1997). Aktivitas Fisik, Olahraga dan Latihan Aktivitas Fisik Aktivitas fisik atau disebut juga aktivitas eksternal adalah kegiatan yang menggunakan tenaga atau energi untuk melakukan berbagai kegiatan fisik seperti
7 berjalan, berlari, berolahraga dan lain-lain. Setiap kegiatan fisik menentukan energi yang berbeda menurut lamanya intensitas dan sifat kerja otot (FKM-UI 2007). Menurut Hoeger dan Hoeger (2005) aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot skeletal dan membutuhkan pengeluaran energi. Obesitas berhubungan dengan penurunan level aktivitas fisik, dimana aktivitas fisik orang kurus akan bertolak belakang dengan orang obes. Penelitian yang dilakukan oleh Esperanza et al. (2000) di Mexico dan Amerika Serikat menunjukkan adanya indikasi penurunan aktivitas fisik akan meningkatkan prevalensi obesitas. Menurut Wirakusumah (1994), gaya hidup yang kurang menggunakan aktivitas fisik akan berpengaruh terhadap kondisi tubuh seseorang. Aktivitas fisik diperlukan untuk membakar energi dalam tubuh. Bila pemasukan energi berlebihan dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang seimbang akan memudahkan seseorang untuk menjadi gemuk. Lebih lanjut, dikemukakan pula bahwa modernisasi yang terjadi saat ini menyebabkan segalanya dimudahkan dengan fasilitas-fasilitas teknologi yang berakibat pada terbatasnya gerak dan aktivitas, hidup terasa lebih santai. Penelitian di Jepang menunjukkan pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olah raga berisiko 0,48 kali mengalami obesitas. Penelitian lain yang dilakukan terhadap anak di Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang menonton televisi 5 jam perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibandingkan mereka yang menonton televisi 2 jam setiap harinya (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam physical activity level (PAL) atau tingkat aktivitas fisik. PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut FAO/WHO/UNU (2004) adalah PAL = (PAR x alokasi waktu tiap aktivitas) / 24 jam. Keterangan: PAL adalah Physical Activity Level (tingkat aktivitas fisik) dan PAR adalah Physical Activity Ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis kegiatan per satuan waktu tertentu). Selanjutnya tingkat aktivitas fisik dikategorikan sebagai berikut: ringan dengan nilai PAL 1,40–1,69, sedang dengan nilai PAL 1,70-1,99, dan berat dengan nilai PAL 2,00-2,40 (FAO/WHO/UNU 2001). Olahraga Olahraga merupakan suatu kata yang sering diucapkan dan digunakan oleh sebagian besar orang dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian olahraga sendiri di masyarakat mengandung pengertian yang beragam, olahraga dapat diartikan sebagai melakukan aktivitas, atau dapat juga diartikan melakukan cabang olahraga, ungkapan ini sebanarnya kurang tepat apabila ditelaah dari definisi olahraga itu sendiri, sehingga terdapat perbedaan yang jelas antara aktivitas fisik, olahraga dan juga latihan. Pengertian olahraga menurut Giriwijoyo (2005) adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana yang dilakukan orang dengan sadar untuk meningkatkan kemampuan fungsionalnya, sesuai dengan tujuannya melakukan olahraga. Definisi ini menunjukkan bahwa pengertian olahraga berbeda dengan pengertian aktivitas fisik. Aktivitas fisik adalah segala aktivitas yang menghasilkan kalori dan memerlukan energi (Hoeger & Hoeger 2005).
8 Olahraga dapat dibagi berdasarkan sifat dan tujuannya menjadi olahraga kesehatan, olahraga rekreasi dan juga olahraga prestasi (Giriwijoyo 2005). Olahraga kesehatan adalah olahraga yang bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, olahraga rekreasi adalah olahraga yang dilakukan dengan aktivitas rekreasi, seperti naik gunung, outbond dan sebagainya, sedangkan olahraga prestasi adalah olahraga untuk menghasilkan kemampuan puncak yang dimiliki seseorang untuk mencapai prestasi yang maksimal. Olahraga kesehatan biasanya dilakukan dengan intensitas yang setingkat di atas intensitas gerak raga yang biasa dilakukan untuk pelaksanaan tugas kehidupan sehari-hari, sehingga setiap orang memiliki dosis olahraganya masing masing. Ada beberapa syarat umum dan khusus dari olahraga kesehatan. Untuk syarat umum yaitu massal, mudah, murah, meriah, manfaat dan aman (Giriwijoyo 2005). Massal yaitu olahraga kesehatan harus mampu menampung sejumlah besar peserta secara bersama-sama, mudah yaitu gerakannya mudah sehingga dapat diikuti oleh kebanyakan orang (peserta) yang menjadikan kemampuan dan keterampilan gerak dasar menjadi meningkat, murah yaitu peralatannya sangat minim atau bahkan tanpa peralatan sama sekali, meriah yaitu mampu membangkitkan kegembiraan dan tidak membosankan, manfaat dan aman yaitu manfaatnya jelas dirasakan oleh setiap peserta dengan tingkat umur dan derajat sehat dinamis yang berbeda-beda. Syarat khusus dari olahraga kesehatan antara lain yaitu homogen dan submaksimal dalam intensitas atau beban olahraganya, adanya kesatuan takaran atau dosis, adekuat dan bebas dari stress psikis. Homogen dan submaksimal dalam intensitas atau beban olahraganya yaitu olahraga dengan intensitas yang rata, tidak ada gerakan-gerakan dengan beban yang maksimal, tidak ada pengerahan kemampuan maksimal. Intensitas yang homogen diperlukan untuk mempermudah mengatur dosis olahraga secara tepat dan intensitas yang submaksimal diperlukan sebagai faktor keamanannya. Adanya kesatuan takaran atau dosis yaitu dapat diatur intensitas (dengan mengatur beban/kekuatan dan pengulangan) dan juga lama waktu atau durasi pelaksanaannya. Adekuat yaitu ada batasan tertentu mengenai intensitas dan waktu pelaksanaan olahraga kesehatan agar dapat menghasilkan manfaat, khususnya dapat meningkatkan kemampuan fungsional perangkat pendukung gerak dilaksanakan 2-5 kali seminggu (Giriwijoyo 2005), selain itu dapat mencapai intensitas antara 60-80% denyut nadi maksimal (DNM) sesuai umur. Bebas stress psikis yaitu dilakukan dengan santai tanpa beban emosional dan bukanlah suatu perlombaan atau pertandingan. Olahraga kesehatan mampu memelihara dan meningkatkan kemampuan fungsional jasmaniah pesertanya dengan pembebanan yang dapat diatur secara bertahap dalam dosis-dosis latihan. Dengan demikian terlihat bahwa olahraga kesehatan memang terutama menggarap aspek jasmaniah, tetapi dapat pula menjangkau aspek rohaniah dan aspek sosialnya sehingga olahraga kesehatan dapat memelihara dan bahkan meningkatkan derajat kesehatan. Olahraga kesehatan merupakan salah satu saja dari berbagai bantuk upaya pembinaan kesehatan, tetapi merupakan satu-satunya cara untuk meningkatkan derajat kesehatan dinamis, hal ini berarti untuk meningkatkan kemampuan fungsional jasmani (sehat dinamis) hanyalah dapat dilaksanakan bila ada kemauan untuk mendinamiskan dirinya sendiri dengan jalan melatih jasmani (tubuhnya)
9 mulai dengan intensitas yang rendah sampai intensitas yang memenuhi kriteria olahraga aerobik sesuai dengan umur seseorang. Fungsi olahraga kesehatan adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan statis dan dinamis. Sehat statis adalah sehat pada waktu istirahat, sedangkan sehat dinamis adalah sehat pada waktu bergerak atau bekerja. Orang yang sehat dinamis pasti sehat statis sedangkan orang yang sehat statis belum tentu sehat dinamis. Olahraga kesehatan melatih fungsi alat-alat tubuh secara bertahap agar tetap normal pada waktu bergerak dengan sendirinya juga akan normal pada waktu istrahat. Oleh karena itu, olahraga kesehatan membuat orang menjadi lebih sehat dinamis, menjadi lebih mampu bergerak dan menjadi tidak mudah lelah. Sasaran olahraga kesehatan mempunyai 3 tahapan, yaitu sasaran minimal, sasaran antara dan sasaran utama (Giriwijoyo 2005). Sasaran minimal tujuan utamanya adalah memelihara dan meningkatkan kemampuan gerak yang masih ada dengan pemeliharaan dan mengusahakan meningkatkan luas pergerakan semua persendian (kelentukan/fleksibilitas) melalui latihan pemanasan pada semua persendian. Sasaran antara yaitu memelihara dan meningkatkan kemampuan otot untuk kemampuan gerakannya lebih lanjut. Latihan pada tahapan ini dapat dilakukan dengan gerakan statis dan dinamis. Gerakan statis dilakukan dengan kontraksi isometrik diikuti dengan pemanasan secara umum.Sedangkan untuk latihan dinamis dilakukan dengan melakukan gerakan-gerakan yang cepat, berulang-ulang dan dengan sentakan (latihan pliometrik) yang dilakukan secara bertahap dan tidak melebihi kemampuan pada saat itu. Sasaran utama dari olahraga kesehatan adalah memelihara kemampuan kapasitas aerobik yang telah memadai atau meningkatkan kemampuan aerobik untuk mencapai kategori minimal sedang. Olahraga aerobik memiliki ciri-ciri yaitu olahraga yang mengaktifkan otot sekitar 40% atau lebih, secara simultan dan serentak, dengan intensitas yang adekuat dan sesuai dengan umur dan dilakukan secara terus-menerus dengan waktu minimal 10 menit (Giriwijoyo 2005). Olahraga yang memenuhi kriteria sebagai olahraga aerobik antara lain lari/jogging, lari ditempat, renang, senam. Latihan Latihan adalah suatu proses kerja yang dilakukan secara sistematis, berkelanjutan, beban dan intensitas latihan makin hari makin bertambah yang pada akhirnya memberikan rangsangan secara menyeluruh terhadap tubuh dan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan fisik dan mental secara bersama-sama (Harsono 1997). Ada tiga aspek utama dalam latihan yang harus diperhatikan yaitu jenis latihan, intensitas latihan dan lamanya waktu latihan (Mougios 2006). Selama proses latihan fisik harus dapat menampakkan pengaruh yang positif terhadap kebugaran jasmani para olahragawan. Selama proses latihan akan ditemukan beberapa gejala gejala baik fisik maupun mental selama proses latihan itu berjalan seperti: kebosanan, jenuh, apatis, kekuatan otot, daya tahan meningkat, gesit dan berbagai pengaruh lainnya. Perlu disadari bahwa hal itu terjadi karena adanya perubahan perubahan dalam jaringan tubuh dan fungsi fungsi fisiologis, anatomis lainnya karena pengaruh dari latihan. Faktor-faktor tersebut haruslah diketahui dan dimonitor secara jelas penyebabnya hingga tidak menjadikan olahragawan itu frustasi, sehingga prestasinya kian hari kian menurun.
10 Pelaksanaan latihan haruslah memperhatikan prinsip prinsip latihan yang menjadi acuan dalam melakukan suatu latihan. Harsono (1997) menjelaskan bahwa ada beberapa dasar dari program latihan fisik yang harus dilaksanakan untuk memperoleh hasil yang maksimal. Prinsip Overload (beban lebih) adalah suatu proses latihan yang menekankan pada pembebanan latihan yang semakin berat atau menambah jumlah beban latihannya. Setiap bentuk latihan, baik latihan untuk keterampilan teknik, taktik, fisik dan mental sekalipun haruslah berpedoman pada prinsip beban lebih ini. Latihan yang terlalu ringan artinya di bawah kemampuan yang dimilikinya, maka berapa lama latihan dilakukan dan betapa seringnya latihan dilakukan sampai bagaimanapun capainya mengulang-ngulang latihan itu, prestasinya tidak akan meningkat. Akan tetapi yang perlu diperhatikan pula ialah, meskipun beban latihan harus lebih berat, beban tersebut haruslah masih berada dalam batas batas kemampuan untuk dilakukan. Beban yang terlalu berat menyebabkan pengulangan tidak akan terjadi. Banyak orang yang tidak mau atau tidak berani untuk berlatih dengan beban latihan yang melebihi kemampuannya padahal mereka semua mampu untuk menanggung beban yang lebih berat dari pada yang diperkirakannya. Persoalan sebenarnya tergantung kepada kata hati (inner speaking). Kata hati mengatakan mampu untuk melakukan dan menyelesaikan latihan yang terlihat berat, sehingga latihan yang berat akan dapat diselesaikan. Persoalan sebenarnya adalah berakar pada perasaan semu, yakni adanya hambatan psikologis yang berpengaruh terhadap keterampilan fisik. Banyak orang yang sering kali memanjakan dirinya dengan perasaan negatif yang demikian, seakan akan merasa lemah atau tidak berdaya. Padahal mereka sebenarnya lebih kuat dan lebih mampu dari pada yang mereka rasakan atau pikirkan. Metode latihan merupakan suatu cara untuk mempercepat peningkatan prestasi, latihan tidak cukup hanya dilakukan secara motorik (dengan gerakan saja). Banyak penelitian yang membuktikan bahwa latihan motorik harus dibarengi dengan latihan nir-motorik (tanpa gerakan). Latihan nir-motorik bisa dilakukan dengan membayangkan gerakan yang akan dilakukan atau memvisualisasikan gerakan yang akan dipelajari. Para ahli mengatakan bahwa meskipun kita tidak bergarak, kita bisa memperbaiki perilaku kita. Syaratnya ialah kita harus mencurahkan konsentrasi dan pikiran kita secara intensif pada pola gerakan yang akan kita lakukan. Dalam latihan nir-motorik, konsentrasi mengenai gerakan yang akan dilakukan adalah sangat penting agar kita dapat memperoleh dimensi kognitif yang sangat kuat mengenai gerakan yang akan kita lakukan dan kita latih. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa selalu ada hubungan antara otak dan otot (brain-muscle connection). Misalnya saat kita akan mempelajari gerakan salto atau melempar bola. Dalam benak kita, kita harus bisa membayangkan gerakan tersebut sejelas mungkin, seakan akan kita bisa “melihat” dengan jelas gerakan yang kita lakukan. Intensitas latihan merupakan perubahan fisiologis (yang berkenaan dengan fungsi organ tubuh) dan psikologis hanyalah mungkin terjadi apabila latihan dilakukan secara intensif. Latihan intensif adalah bahwa proses latihan haruslah kian berat dengan cara menambah daya kerjanya, jumlah repetisi gerakan, serta kadar intensitas pengulangan gerak. Latihan yang ringan tidak akan dapat merangsang perubahan dalam fungsi organ tubuh maupun hal yang bersifat
11 kejiwaan. Batasan untuk menentukan kadar intensitas latihan khususnya untuk perkembangan daya tahan kardiovaskuler yaitu menghitung denyut nadi maximal (DNM) permenit dengan rumus denyut nadi maximal = 220-umur (Katch dan Mc Ardle 1983). Takaran denyut nadi maksimal seorang atlet olahraga prestasi intensitas latihannya sebaiknya antara, 80% hingga 95% dari DNM. Intensitas latihan juga ditentukan oleh lamanya berlatih dalam zona latihan. Seorang atlet harus berlatih dalam zona latihan selama 45 – 120 menit untuk benar benar disebut berlatih intensif. Seorang non atlet yang menganggap olahraga hanya untuk sekedar menjaga kesehatan atau memelihara kondisi fisiknya mempunyai intensitas latihan yang tidak perlu sebesar untuk atlet. Patokannya ialah 60-80 % dari DNM dan juga untuk waktu latihan pun tidak perlu seberat atlet yaitu antara 20 -30 menit saja berlatih dalam zona latihan. Kualitas latihan merupakan mutu dari latihan yang dilakukan. Berlatih secara intensif belum cukup menjamin tercapainya peningkatan prestasi, terutama jika latihannya tidak bermutu. Orang bisa saja berlatih keras, intensif, sampai habis tenaga, tetapi karena latihannya tidak bermutu, maka peningkatan prestasi pun tidak terjadi. Latihan yang bermutu memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu: latihan atau drill yang diberikan oleh pelatih adalah benar benar bermamfaat dan sesuai kebutuhan atlet, koreksi yang tepat dan konstruktif selalu diberikan manakala atlet melakukan kesalahan kesalahan, pengawasan terhadap setiap gerakan dilakukan secara teliti, setiap kesalahan gerak segera diperbaiki. Latihan yang bermutu tetapi tidak intensif seringkali lebih bermanfaat ketimbang latihan yang intensif akan tetapi tidak bermutu. Bermutu tidaknya latihan tergantung pada kepandaian dan kejelian pelatih dalam merancang program latihan. Kekeliruan kebanyakan pelatih atau atlet adalah bahwa mereka lebih menekankan pada lamanya berlatih ketimbang pada mutu dan penambahan beban latihannya. Oleh karena itu, sebaiknya waktu latihan jangan berlangsung terlampau lama, pendek, berisi dan padat dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Variasi Latihan dapat dilakukan dengan latihan yang benar dan biasanya menuntut banyak waktu, pikiran dan tenaga sehingga bukan mustahil jika latihan yang intensif dan berkelanjutan kadang-kadang bisa menimbulkan rasa bosan berlatih (boredom). Rasa bosan yang timbul membuat gairah dan motivasinya biasanya menurun yang akan menjadi penyebab menurunnya semangat untuk kembali melakukan latihan dan untuk mencapai kondisi sehat dinamis pada diri seseorang. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha untuk mencegah kebosanan dalam berlatih, yaitu dengan menyelenggarakan dan merencanakan latihan latihan bervariasi sehingga seorang pelatih harus kreatif dan pandai merancang serta menerapkan berbagai variasi dalam latihannya. Senam Aerobik Olahraga yang sangat dianjurkan untuk keperluan kesehatan adalah aktivitas gerak raga dengan intensitas yang setingkat di atas intensitas gerak raga yang biasa dilakukan untuk kegiatan sehari-hari yaitu senam aerobik (Giriwijoyo 2004). Senam aerobik bertujuan untuk meningkatkan dan memelihara kapasitas aerobik yang merupakan sasaran utama olahraga kesehatan, selain itu pada senam aerobik gerakannya dapat dibuat menjangkau seluruh persendian dan otot, gerakannya juga mempunyai dosis-dosis mulai dari yang paling ringan sampai gerakan yang
12 dapat meningkatkan kemampuan kekuatan dan daya tahan otot. Tujuan senam aerobik adalah untuk meningkatkan kapasitas aerobik, meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot serta meningkatkan luas pergerakan persendian (Giriwijoyo 2005). Pada hakikatnya olahraga senam aerobik adalah jenis olahraga kesehatan, yaitu gerakannya sub maksimal, tidak boleh melakukan gerakan maksimal atau eksplosif, tanpa henti minimal 10 menit, non kompetisi dengan frekwensi 3-5 kali dalam seminggu dan intensitasnya sedang adalah 60-80% denyut nadi maksimal (Giriwijoyo 2007). Secara umum latihan dalam senam aerobik disusun dalam empat fase latihan, yaitu fase warm up, fase skill review, fase aerobik dan fase cooling down (Sumardianto 2007). Dalam setiap fasenya, senam aerobik mempunyai tujuan dan manfaat khusus, sehingga apabila tidak dilakukan maka latihan tidak akan memperoleh hasil yang maksimal. Senam Aerobik Intensitas Sedang (Low Impact) Senam aerobik merupakan latihan yang menggunakan seluruh otot terutama otot-otot besar, secara terus-menerus, berirama, maju dan berkelanjutan. Biasanya, senam aerobik dilaksanakan dengan iringan musik untuk meningkatkan motivasi latihan, pengaturan waktu latihan, dan kecepatan latihan, serta menjaga agar latihan dapat dilakukan dengan gerakan yang bersamaan. Intensitas latihan dapat diatur dengan pengaturan tempo musik yang mengiringinya (Hodder & Stonghton 1997). Tempo yang digunakan dapat menjadi acuan dalam intensitas latihan yang dilakukan. Senam aerobik dibagi menjadi dua jenis yaitu aerobik intensitas rendah (low impact) dan intensitas tinggi (high impact). Senam aerobik intensitas rendah (low impact) adalah kedua kaki atau salah satu kaki selalu kontak dengan lantai, sehingga gerakan jogging diganti dengan gerakan jalan cepat (Sadoso 1996). Pelaksanaan senam aerobik intensitas rendah (low impact) dapat dilakukan setelah pemanasan 5-10 menit dengan tempo antara 100-120 ketukan permenit kemudian dilanjutkan dengan inti selama 20-30 menit dengan tempo 115-135 ketukan permenit. Pada senam aerobik terdapat variasi-variasi gerakan yang banyak terutama gerakan dasar pada kaki dan jalan dapat memenuhi kriteria CRIPE (continous, rhythmical, interval, progresif dan endurance) sehingga sesuai dengan tahapan kegiatan yang harus dilakukan. Selain itu senam aerobik yang dilakukan secara berkelompok akan memberi rasa senang pada anggota dan juga dapat memotivasi anggota yang lain untuk terus melakukan olah raga secara terus-menerus dan teratur (Soegondo 1995). Gerakan senam aerobik yang pertama kali diperkenalkan di Indonesia adalah gerakan dengan benturan-benturan keras dan gerakan yang energik yang dikategorikan dengan high impact. Pada gerakan, ini ada kalanya kedua kaki tidak berpijak, seperti gerakan melompat. Gerakan ini dimodifikasi oleh Sadoso tahun 1984, yaitu dengan salah satu kaki selalu berada di lantai guna mengurangi benturan-benturan yang keras. Modifikasi ini disebut dengan low impact atau soft impact (aerobik benturan ringan). Modifikasi ketiga disebut non impact, tanpa menggunakan benturan. Gerakan badan hanya berkisar antara Uitvaal (memindahkan berat badan) dan navere (gerak ngeper) (Soekarno et al. 1996).
13 Dewasa ini berbagai macam variasi gerakan senam aerobik yang dapat dilakukan seperti aerobik hiphop, aerobik salsa, body pump, RPM, circuit training, high intensity interval training (HIIT) dan berbagai variasi gerakan lainnya yang dapat meningkatkan kebugaran tubuh seseorang. Variasi dari latihan ini sekarang banyak dilakukan di pusat-pusat kebugaran yang populer sebagai jasa latihan yang ditawarkan untuk masyarakat. Latihan aerobik dapat memberikan hasil yang diinginkan apabila dilakukan dengan frekuensi, intensitas serta durasi yang cukup. Frekuensi adalah jumlah latihan seminggu, intensitas adalah seberapa berat badan bekerja atau latihan dilakukan, dan durasi adalah lama setiap kali latihan (Giam & Teh 1993). Menurut American College of Sport Medicine (ACSM) intensitas latihan aerobik harus mencapai target zone sebesar 60-90% dari frekuensi denyut jantung maksimal atau Maximal Heart Rate (MHR). Berdasarkan MHR yang dicapai, intensitas latihan aerobik dapat dibagi menjadi: ringan (35-59% MHR), sedang (60-79% MHR), dan tinggi (80-89% MHR). Peningkatan intensitas latihan dapat dilakukan melalui penambahan beban latihan, yaitu dengan gerakan meloncatloncat, atau dengan mempercepat frekuensi gerak (Pollock & Wilmore 1990). Latihan aerobik sebaiknya dilakukan dengan frekuensi 3-5 kali seminggu, dengan durasi latihan 20-30 menit setiap kali latihan (Wilmore & Costill 1994). Giam & Teh (1993) mengatakan bahwa durasi latihan 15-30 menit sudah dinilai cukup, dengan syarat didahului 3-5 menit pemanasan dan diakhiri dengan 3-5 menit pendinginan, serta dilakukan secara terus menerus. Kontraksi otot yang terjadi memerlukan energi terutama berasal dari pemecahan cadangan ATP (adenosin trifosfat) yang terdapat di dalam otot rangka. ATP di dalam serabut otot diperoleh melalui tiga cara, jalur fosfokreatin-ATP, jalur glikolitik, dan jalur oksidatif. Jalur fosfokreatin-ATP dan jalur glikolitik, yang bersifat anaerobik, hanya menghasilkan sedikit ATP. Kedua jalur ini berlangsung pada awal aktivitas, sebelum sistem sirkulasi mampu memasok peningkatan kebutuhan oksigen ke otot. Tanpa pasokan oksigen, kedua jalur hanya dapat menyediakan energi selama 3 - 15 detik (Newsholme & Leech, 1984). Untuk aktivitas fisik yang lebih lama, misalnya senam aerobik, jalur oksidatif merupakan sumber utama produksi ATP. Pada jalur ini ATP diproduksi melalui oksidasi karbohidrat, yang bersumber dari diet maupun dari timbunan glikogen di dalam sel, dan oksidasi asam lemak bebas (free fatty acid =FFA) yang berasal dari hidrolisis trigliserid dari jaringan adiposa maupun dari diet (Wilmore & Costill 1994). Setiap molekul untuk oksidasi lemak memerlukan oksigen jauh lebih banyak dibandingkan dengan karbohidrat. Kebutuhan oksigen untuk aktivitas aerobik dicukupi oleh sistem kardiovaskuler dan respirasi (McArdle et al. 1996). Sistem kardiovaskuler mempunyai keterbatasan dalam memasok oksigen ke otot skelet. Pasokan oksigen akan kurang apabila kebutuhan oksigen untuk oksidasi energi selama latihan aerobik melebihi kemampuan sistem kardiovaskuler untuk memasok oksigen. Senam aerobik intensitas tinggi (SAIT) memerlukan ATP yang banyak dalam waktu singkat sehingga akan terjadi defisit oksigen ke otot yang aktif karena keterbatasan sistem kardiovaskuler dalam memasok oksigen. Akibat keterbatasan oksigen tersebut sumber energi utama untuk kontraksi otot pada SAIT adalah karbohidrat.
14 Pada senam aerobik intensitas ringan (SAIR) dengan waktu yang panjang memungkinkan sistem kardiovaskuler masih mampu memenuhi kebutuhan oksigen otot yang berkontraksi sehingga sebagai sumber energi utama untuk kontraksi otot adalah lemak. Adapun sumber energi pada senam aerobik intensitas sedang (SAIS) adalah karbohidrat dan lemak secara seimbang (McArdle et al. 1986; Wilmore & Costill 1994). Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbs) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Status gizi seseorang tersebut dapat diukur dan dinilai sehingga dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik ataukah tidak baik (Riyadi 2006). Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat yang setinggi mungkin (Almatsier 2003). Menurut Supariasa (2001), penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penilaian status gizi secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu survey konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros dimana kata anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh. Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa 2001). Menurut Hartono (2006) bahwa pengukuran antropometri khususnya pengukuran berat badan, merupakan prinsip dasar pengkajian gizi dalam asuhan medik. Untuk mengkaji status gizi secara akurat, beberapa pengukuran yang spesifik juga diperlukan dan pengukuran ini mencakup indeks massa tubuh (IMT). Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Selain itu dapat digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit (Supariasa 2001). Penilaian status gizi dengan biokomia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan
15 bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faal dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik (Supariasa 2001). Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik (epidemic of night blindnes). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap (Supariasa 2001).
Profil Lipid Darah Pengukuran profil lipoprotein standar termasuk kadar total kolesterol, low density lipoprotein kolesterol (LDL-C), high density lipoprotein kolesterol (HDLC) dan total trigliserida. Pengukuran dapat dilakukan setelah subyek berpuasa 812 jam. Pengukuran LDL-kolesterol biasa dilakukan dengan menggunakan rumus Friedewald, yaitu: LDL-C= TC – (HDL-C) – (TG/5). Keterangan: LDL-C merupakan LDL-kolesterol, TC merupakan total kolesterol, HDL-C merupakan HDL-kolesterol dan TG merupakan trigliserida. Berikut adalah tabel karakteristik dan komposisi VLDL, LDL-C dan HDL-C. Tabel 2 Karakteristik dan komposisi very low density lipoprotein, low density lipoprotein, high density lipoprotein Karakteristik VLDL LDL HDL 0.951.019Densitas (g/ml) 1.063-1.210 1.006 1.063 Komposisi (%) Trigliserida 60 10 5 Kolesterol 10 50 20 Fosfolipid 18 15 25 Protein 10 25 50 Sumber: Mahan dan Escott-Stump (2008). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah antara lain: usia, diet tinggi lemak jenuh dan kolesterol, genetik, hormon, berat badan, tingkat aktivitas fisik dan penyakit lain (Mahan dan Escott-Stump 2008). Berikut adalah tabel nilai profil lipid darah yang dianjurkan American Heart Association (2011). Tabel 3 Nilai profil lipid darah Profil lipid Kolesterol total Kolesterol LDL Kolesterol HDL Trigliserida Sumber: American Heart Association (2011).
Nilai normal < 200 mg/dl < 100 mg/dl > 40 mg/dl < 150 mg/dl
16 Kolesterol Total Kolesterol merupakan bentuk lipid yang tidak larut dalam darah, kecuali terikat oleh protein (Santoso dan Setiawan 2005). Total kolesterol mencangkup kolesterol yang yang berada dalam seluruh fraksi lipoprotein, yaitu 60-70% dibawa oleh LDL, 20-30% dibawa oleh HDL dan 10-15% dibawa oleh VLDL (Mahan dan Escott-Stump 2008). LDL (Low Density Lipoprotein) LDL merupakan pembawa kolesterol utama dalam darah. LDL-Kolesterol terbentuk dari pemecahan VLDL. Setelah LDL-Kolesterol terbentuk, 60% LDL dibawa oleh reseptor LDL menuju hati, adrenal dan jaringan lainnya. Jumlah dan aktivitas reseptor ini sangat mempengaruhi kadar LDL-kolesterol dalam darah. Diketahui penurunan 1 mg/dl LDL-kolesterol, menurunkan 1-2% resiko terkena penyakit jantung koroner. Berikut adalah tabel klasifikasi nilai LDL bagi orang normal. Tabel 4 Klasifikasi nilai LDL bagi orang normal Klasifikasi Optimal Hampir optimal Borderline High risk Very high risk Sumber: Mahan dan Escott-Stump (2008).
Nilai LDL ≤ 100 mg/dl ≤ 129 mg/dl 130-159 mg/dl 160-189 mg/dl ≥ 190 mg/dl
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kadar LDL adalah usia, genetik, diet, diabetes, obesitas dan lain-lain. Diet tinggi lemak jenuh dan kolesterol meningkatkan LDL-Kolesterol dengan berkurangnya kontrol reseptor LDLKolesterol dalam hati. Dengan demikian mengakibatkan semakin sedikitnya LDLKolesterol yang dibuang dari plasma darah sehingga kadarnya meningkat. Obesitas meningkatkan produksi lipoprotein yang mengandung apoB, yaitu VLDL dan LDL-Kolesterol. Oksidasi LDL-Kolesterol di pembuluh darah mempercepat proses aterogenesis dengan memperbanyak makrofag dan menstimulasi autoantibodi. Menurunkan LDL-kolesterol dapat mengecilkan ukuran lesi, menghambat pertumbuhan aterogenesis, serta mengurangi kematian. Seseorang yang memiliki faktor resiko tinggi sebaiknya mengontrol kadar LDL-kolesterolnya di bawah 70 mg/dl (Mahan dan Escott-Stump 2008). HDL (High Density Lipoprotein) Partikel HDL-Kolesterol mengandung lebih banyak protein dari lipoprotein lainnya. Apolipoprotein utama pada HDL-Kolesterol yang merupakan salah satu protein antioksidan yang membantu membuang kolesterol dari dinding pembuluh arteri menuju hati. Trigliserida Trigliserida dalam tubuh dapat diperoleh dari lemak makanan atau hasil perubahan unsur-unsur energi yang berlebihan seperti konsumsi karbohidrat
17 sederhana yang berlebih (Almatsier 2004). Nilai trigliserida dikaitkan dengan faktor resiko lain seperti intolerans glukosa, hipertensi, rendahnya kadar HDLkolesterol dan tingginya kadar LDL-kolesterol, yang memiliki hubungan dengan sindrom metabolik. Kadar trigliserida dapat diturunkan dengan adanya latihan aerobik intensitas sedang setelah melakukan latihan kekuatan (Dure 2008). Kebugaran Jasmani Kebugaran jasmani atau kebugaran fisik merupakan kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas dan pekerjaan sehari-hari, kegiatan rekreasi atau kegiatan lainnya yang bersifat mendadak tanpa mengalami kelelahan yang berarti (Riyadi 2007). Menurut Giriwijoyo (2005) kebugaran jasmani sesungguhnya adalah derajat sehat dinamis tertentu yang dapat menanggulangi tuntutan jasmani dalam menjalankan tugas hidup sehari-hari dengan selalu masih mempunyai cadangan kemampuan untuk melakukan kegiatan aktivitas fisik ekstra serta pulih kembali sebelum menjalani tugasnya sehari-hari. Menurut Rejeski et al. (2009) bahwa olahraga yang dilakukan secara rutin, seseorang dapat mencapai tingkat kebugaran yang baik dan menjadi awet muda. Unsur-unsur kebugaran jasmani saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya yaitu: daya tahan, kekuatan, kecepatan, dan kelentukan (Moelek 1984). Unsur kebugaran jasmani ini merupakan unsur dasar dari kondisi fisik yang dimiliki oleh seseorang dan dapat meningkat dengan adanya latihan rutin yang dilakukan. Daya Tahan (Endurance) Daya tahan merupakan keadaan yang menekankan pada kapasitas melakukan kerja secara terus-menerus dalam suasana aerobik (Moelek 1984), sehingga dapat berlaku bagi seluruh tubuh, suatu sistem dalam tubuh, daerah tertentu dan sebagainya. Pada umumnya daya tahan yang paling banyak dibahas adalah daya tahan kardiovaskuler dan otot. Daya tahan kardiovaskuler merupakan faktor utama dalam kesegaran jasmani. Pengukuran daya tahan kardiovaskuler dapat dilakukan dengan mengukur aspek denyut nadi dan tekanan darah (Nurhasan 2007). Kedua aspek ini merupakan indikator yang menggambarkan mengenai kemampuan kardiovaskuler seseorang. Adapun pengukuran daya tahan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, diantaranya: berjalan, jogging, treadmill, sepeda ergometer, dayung ergometer dan sebagainya. Metode yang digunakan untuk mengukur daya tahan yaitu: Bleep Test, Cooper Test, Balke Test, Harvad StepTest dan berbagai macam metode lainnya. Faktor-faktor fisiologis yang mempengaruhi kemampuan daya tahan kardiovaskuler antara lain yaitu keturunan, usia, jenis kelamin dan juga aktivitas fisik yang saling mempengaruhi dan berhubungan antara satu dengan lainnya. Selain itu, daya tahan dapat ditingkatkan dengan metode latihan seperti continuousrun, interval run, speed play dan berbagai metode latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan.
18 Kekuatan (Strength) Kekuatan dalam hal ini adalah kekuatan otot yang menggambarkan kemampuan maksimal yang dihasilkan oleh otot atau sekelompok otot terhadap suatu tahanan atau beban (Moeloek 1984). Pada kontraksi otot memendek dan besarnya pemendekan bergantung pada beban yang harus ditahan. Latihan kekuatan dapat dilakukan dengan latihan angkat beban (weight training) dengan pembebanan yang sesuai dengan prinsip dan kaedah latihan. Kecepatan (Speed) Kecepatan adalah kemampuan untuk melakukan gerakan sejenis secara berturut-turut dalam waktu sesingkat-singkatnya atau kemampuan untuk menempuh suatu jarak dalam waktu sesingkat-singkatnya (Harsono 1997). Banyak cabang olahraga yang menggunakan kecepatan sebagai komponen fisik yang esesensial. Kecepatan menjadi faktor penentu pada cabang olahraga seperti: nomor sprint, tinju, anggar dan beberapa cabang olahraga permainan. Kecepatan tergantung kepada beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu kekuatan, waktu reaksi dan fleksibilitas (Harsono 1997). Untuk melatih kecepatan yang dimiliki oleh seseorang tidak hanya harus memiliki kecepatan saja,tetapi juga harus memiliki kekuatan, kecepatan reaksi dan juga kelentukan. Faktor faktor yang mempengaruhi kecepatan yaitu kelenturan, tipe tubuh dan usia (Moeloek 1984). Kecepatan yang dimiliki seseorang akan menurun seiring dengan usia seseorang yang bertambah, kelenturan yang dimiliki seseorang yang berubah juga akan mempengaruhi kecepatannya dan juga tipe tubuh dari seseorang. Kelentukan (Fleksibility) Latihan kelentukan merupakan bagian dari latihan kerangka (skelet) khususnya latihan untuk memperluas pergerakan persendian, yang berarti meningkatkan kelentukan (Giriwijoyo 2005). Pengertian lain menyebutkan bahwa kelentukan adalah kemampuan untuk melakukan gerakan dalam ruang gerak sendi (Harsono 1997). Dengan demikian kelentukan berarti adanya kemampuan sendi dan otot untuk melakukan kontraksi seluas-luasnya. Kelentukan penting sekali dalam hampir semua cabang olahraga, terutama cabang-cabang olahraga yang menuntut banyak gerak sendi, seperti senam, loncat indah, anggar, gulat, atletik dan sebagainya. Selain itu kelentukan juga penting bagi semua kelompok umur, terutama orang-orang tua. Oleh karena itu kalau orang semakin tua, sendi, ligamen dan tendonnya menjadi kaku sehingga mengurangi kelentukannnya. Untuk itu orang tua penting untuk melakukan latihan kelentukan. Adapun manfaat dari latihan kelentukan adalah mengurangi kemungkinan terjadinya cedera pada otot dan sendi, membantu dalam mengembangkan kecepatan, koordinasi dan kelincahan, membantu perkembangan prestasi, menghemat pengeluaran tenaga (efisiensi) pada waktu melakukan gerakan gerakan dan membantu memperbaiki sikap tubuh (Harsono 1997). Terdapat empat metode latihan kelentukan, yaitu dinamis, statis, pasif dan PNF (Proprioceptor Neuromascular Facilitation). Metode dinamis dilakukan dengan melakukan renggutan-renggutan untuk mencapai sebesar mungkin luas pergerakan persendian melampaui batas kemampuan pada saat ini. Metode stastis
19 adalah tanpa adanya renggutan dengan maksud memperluas ruang gerak persendian dilakukan sejauh mungkin secara terus-menerus sesuai dengan kemampuan. Metode pasif adalah dengan melakukan metode statis dengan bantuan orang lain mendorong gerakan menjadi gerakan lebih lanjut sehingga menambah luas pergerakan persendian yang bersangkutan. Metode PNF adalah kelanjutan dari metode pasif dilanjutkan dengan gerakan lebih jauh, tetapi atlet tersebut harus melakukan perlawanan dan atas gerakan yang dilakukan sehingga pendorong menambah kekuatan dorongan sehingga kontraksi otot menjadi lebih kuat (Harsono 1997). Kerangka Pemikiran Olahraga kesehatan yaitu latihan senam aerobik yang dilakukan dengan baik dan rutin akan meningkatkan kebugaran tubuh (Budiharjo 2005). Senam aerobik intensitas sedang (low impact) dapat dilakukan setelah pemanasan 5-10 menit dengan tempo antara 100-120 ketukan permenit kemudian dilanjutkan dengan inti selama 20-30 menit dengan tempo 115-135 ketukan permenit. Latihan aerobik intensitas sedang yang dilakukan dengan frekuensi 3 kali seminggu ternyata akan menunjukkan hasil meningkatkan kebugaran jasmani seseorang (Sudarno 1992). Menurut Dehghan (2009) menunjukkan adanya pengaruh pemberian latihan aerobik intensitas sedang terhadap indek masa tubuh dan komposisi lemak tubuh dalam waktu 8 minggu. Penelitian lain yang dilakukan Anderson et al. (1991) melakukan penelitian dengan merekrut pria obesitas dan perempuan obesitas dalam tiga bulan program pelatihan fisik. Setelah tiga bulan program, baik pria maupun wanita kehilangan berat badan sekitar dua kilogram (kg) dengan penurunan 2,6-2,9 kg lemak tubuh. Latihan yang sesuai dengan kaidah yang benar akan dapat mencegah dan bahkan mengurangi kelebihan berat badan dan juga meningkatkan kebugaran jasmani adalah dengan olahraga kesehatan yaitu dengan latihan senam aerobik intensitas sedang (low impact) yang dilakukan 3x seminggu (Fauzi 1996). Kebugaran jasmani adalah derajat sehat dinamis tertentu yang dapat menanggulangi tuntutan jasmani dalam melaksanakan tugas hidup sehari-hari dan selalu masih mempunyai cadangan kemampuan (tidak lelah berlebih) untuk melakukan kegiatan fisik ekstra serta telah pulih kembali esok harinya saat melakukan tugas sehari-hari (Giriwijoyo, 2005). Aktifitas fisik yang dilakukan dengan rutin akan membuat tubuh menjadi bugar dan menjadi faktor protektif beberapa penyakit seperti hipertensi, jantung dan berbagai penyakit degeneratif lainnya (Moreira 2011). Giriwijoyo (2005) menyebutkan bahwa olahraga yang paling baik dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan adalah senam aerobik. Penelitian lain menyebutkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara latihan aerobik intensitas sedang dengan frekwensi 2 kali dalam seminggu dan juga 3 kali dalam seminggu dan berpengaruh nyata terhadap kebugaran jasmani (Suharjana dan Sumaryanti 2003). Dengan demikian peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh latihan aerobik intensitas sedang (low impact) dengan frekuensi kurang dari 3 kali seminggu (2 kali), 3 kali seminggu dan lebih dari 3 kali seminggu (4 kali)
20 terhadap status gizi dan juga kebugaran mahasiswi. Berikut ini adalah kerangka pemikiran dari penelitiaan ini :
Keterangan : Variabel yang diukur Variabel yang tidak diukur Gambar 1. Kerangka Pemikiran
3 METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi eksperimental pretest dan postest dengan 3 kelompok perlakuan. Populasi pada penelitian ini adalah mahasiswi yang berusia antara 18-21 tahun yang kemudian dipilih secara acak untuk menjadi sampel penelitian ini. Penempatan sampel pada kelompok perlakuan dilakukan secara acak (random assignment). Kelompok perlakuan I diberi latihan aerobik intensitas sedang (low impact) dengan frekuensi 2 kali dalam seminggu, kelompok II diberi latihan aerobik intensitas sedang (low impact) dengan frekuensi 3 kali dalam seminggu, kelompok III diberi latihan aerobik intensitas sedang (low impact) dengan frekuensi 4 kali dalam seminggu. Ketiga kelompok ini mendapatkan perlakuan yang sama pada
21 setiap sesi latihannya yaitu dengan waktu 40 menit dan intensitas 60-80% dan dilakukan selama 8 minggu. Latihan dilaksanakan setiap hari Senin, Rabu, Jumat dan Minggu pada setiap minggunya dimulai pada jam 17.00 sampai 17.40 di ruang Auditorium Departemen Gizi Masyarakat IPB. Intervensi dilaksanakan dan dipimpin oleh seorang instruktur aerobik dengan mengikuti kaidah latihan aerobik. Lama latihan dan intensitas latihan diatur dengan program dari komputer yaitu Virtual DJ for Windows sehingga ketukan musik mengikuti ketentuan senam aerobik intensitas sedang (low impact) yaitu antara 100-135 ketukan permenit. Penelitian dilakukan di Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor pada bulan Maret – Mei 2012. Intervensi latihan senam aerobik intensitas sedang (low impact) dilaksanakan di kampus Institut Pertanian Bogor dan Analisis laboratorium dilaksanakan di laboratorium Gizi Olahraga IPB dan klinik Nugroho Bogor. Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah Mahasiswi IPB yang berumur 18-21 tahun. Pemilihan sampel dilakukan dengan melakukan pengacakan terhadap mahasiswi dan bersedia mengikuti penelitian yang akan dilakukan untuk kemudian dipilih masing-masing untuk setiap kelompok sampel. Kemudian peneliti memilih sampel yang sesuai dengan kriteri ekslusi dan inklusi yang kemudian dijadikan sampel dari penelitian ini. Adapun kriteria inklusi dari penelitian ini diantaranya remaja berusia antara 18-21 tahun, mahasiswa jurusan ilmu gizi masyarakat IPB, memiliki indeks masa tubuh >22, tidak menderita penyakit berat dan bersedia mengikuti penelitian ini sampai selesai. Sedangkan untuk kriteria ekslusi dari penelitian ini adalah merokok, mengkonsumsi suplemen tinggi protein atau lemak, mengikuti program latihan yang berat dan tergabung dalam penelitian lainnya. Penentuan jumlah sampel yang digunakan untuk mengukur peubah respon dilakukan melalui pendekatan dengan menggunakan rumus berikut ini (Lameshow 1997) : n = (Zα + Zβ)2 σ2 δ2 keterangan : H o : μ = μo, H 1 : μ = μo + δ, Power test = 95%, n = sampel Zα = nilai peubah acak normal baku sehingga P(Z>Zα) = α = 0,05 = 1.96 Zβ = nilai peubah acak normal baku sehingga P(Z>Zβ>) = β = 0,05 = 1.64 σ2 = ragam kebugaran jasmani mahasiswi, diasumsikan = 1 δ = perkiraan peningkatan kebugaran jasmani putri = 1,35 L/menit Berdasaarkan rumus tersebut, maka perolehan jumlah subjek yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebanyak n= 5.67 6 orang. Adapun pertimbangan sampel yang drop out maka sampel ditambah menjadi 7 orang untuk tiap kelompoknya sehingga total sampel pada tiga kelompok perlakuan berjumlah 21 orang. Pada penelitian ini terjadi drop out pada 1 orang sampel kelompok 1 dan 1 orang pada kelompok 2 dengan alasan sakit, sehingga jumlah sampel penelitian ini menjadi 19 orang dengan status gizi overweight dan obesitas.
22 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data penelitian yang akan dikumpulkan menggunakan data primer melalui pengkukuran dengan berbagai alat yang sesuai dengan pengukuran yang akan dilakukan. Data ini meliputi data berat badan (kg) dengan menggunakan timbangan scale person dan mempunyai ketelitian 0.1 kg, tinggi badan (cm) dengan menggunakan microtoise yang memiliki ketelitian 0.1 cm kemudian dikonversi menjadi indek masa tubuh (kg/m2) dengan rumus BB (kg)/TB2 (m). Pengukuran lemak bawah kulit (triceps, abdomen dan paha) dengan menggunakan skinfold. Pengukuran komposisi tubuh meliputi lean body mass (LBM), soft lean mass (SLM), total body water (TBW), percent of body fat (PBF), mass body fat (MBF) dengan menggunakan metode Body Impedance Analyzer (BIA) menggunakan alat Body Composition Analyzer dengan merk Olympia 3.5TM. Pengukuran profil lipid serum (kolesterol total, HDL-C, LDL-C dan trigliserida) dengan menggunakan metode enzymatic colorimetric test. Metode dan pengukuran kebugaran jasmani meliputi kekuatan (sprint 60m) kekuatan (push up dan sit up) kelentukan (vertical jump) dan daya tahan (lari 1000m). Pengukuran konsumsi energi dan protein dengan menggunakan metode food record 2x24 jam pada hari intervensi dan hari non-intervensi dan juga pengukuran aktivitas fisik menggunakan physical activity record 2x24 jam. Tabel 5 Pengukuran Status Gizi Antropometri Variabel Status Gizi Antropometrik
Indikator – Indeks masa tubuh
–
Komposisi tubuh
–
Komposisi lemak tubuh
Metode Waktu Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan scale person yang berkapasitas 100 Sebelum dan kg dan tinggi sesudah badan diukur intervensi dengan microtoise somatometre dengan ketelitian 0.1 cm dengan merk Tanaka®. (Supriasa 2001) LBM,SLM,TBW, PBF dan MBF (body composition analyzer) merk Olimpia 3.5® (Supriasa 2001) (skinfold) : tricep, abdomen dan paha depan (Supriasa 2001)
23
Tabel 6 Pengukuran Status Gizi Biokimia Variabel Status Gizi Biokimiawi
Indikator Profil Lipid Serum (kolesterol, LDL, HDL dan Trigliserida)
Metode enzymatic colorimetric test (Arora 2007) Klinik Nugroho Bogor
Waktu Sebelum dan sesudah intervensi
Metode – lari cepat 60 meter – Push up 60 detik – Sit up 60 detik – Vertical jump – Lari 1000 meter
Waktu Sebelum dan sesudah intervensi
Tabel 7 Pengukuran Kebugaran Variabel Kebugaran
Indikator – Kecepatan – Kekuatan – Kelentukan – Daya tahan
Tabel 8 Pengukuran Tingkat Konsumsi Variabel Tingkat Konsumsi
Indikator Energi total dan jumlah protein
Metode Food Record
Waktu 2x 24 jam sebelum dan setelah intervensi
Tabel 9 Pengukuran Tingkat Aktivitas Fisik Variabel Tingkat Aktivitas Fisik
Indikator Pengeluaran energi
Metode Physical Activity Record
Waktu 2x 24 jam sebelum dan setelah intervensi
Prosedur Analisis Data Analisa dilakukan dengan cara bertahap mulai dari data yang terkumpul di lapangan maupun data kuesioner sampai data siap untuk dianalisis. Data yang terkumpul di lapangan dan juga melalui kuesioner kemudian melalui tahapan editing, coding dan entry. Untuk mengetahui sebaran data secara deskriptif menggunakan analisis univariat. Kemudian seluruh data rasio dari variable
24 konsumsi, aktivitas fisik, status gizi dan juga kebugaran antara sebelum dan sesudah perlakuan diuji dengan menggunakan uji skala data yang digunakan Paired Sample T Test untuk melihan pengaruh sebelum dan sesudah perlakuan. Setelah itu menggunakan analisis Uji One Way ANOVA untuk membandingkan perbedaan rata-rata variabel bebas dan terikat dua atau lebih kelompok baik sebelum maupun sesudah perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan pada variable yang signifikan. Dalam penelitian ini kelompok perlakuannya terdiri atas 3 variabel, yaitu antar perlakuan senam aerobik intensitas sedang (low impact) 2x latihan dalam seminggu, 3x latihan dalam seminggu dan 4x latihan dalam seminggu. Tingkat significant yang digunakan adalah 5 %.Pengolahan data menggunakan SPSS versi 20.0. Prosedur Penelitian Pelaksanaan penelitian dimulai dengan membagi kelompok intervensi menjadi tiga yang mendapat intervensi latihan senam aerobik intensitas sedang (low impact) selama 8 minggu, dimana setiap minggunya masing-masing kelompok mendapatkan latihan dengan frekuensi yang berbeda. Hasil penelitian Dehghan (2009) menunjukkan adanya pengaruh pemberian latihan aerobik intensitas sedang terhadap indek masa tubuh dan komposisi lemak tubuh dalam waktu 8 minggu. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Brooks dan Farey dalam Sajoto (1995) bahwa menjelaskan bahwa waktu yang digunakan dengan lama latihan 6-15 minggu, sudah dapat menggambarkan peningkatan kapasitas yang berarti. Masing-masing kelompok intervensi memiliki perbedaan frekuensi latihan yaitu: kelompok pertama mendapatkan 2x latihan, kelompok kedua mendapatkan 3x latihan dan kelompok ketiga memperoleh 4x latihan. Masing-masing kelompok memperoleh latihan dengan intensitas yang sama yaitu 60-80% tetapi memiliki jumlah frekuensi latihan yang berbeda. Setiap intevensi senam aerobik intensitas sedang (low impact) dalam setiap pelaksanaanya dilakukan secara sama yaitu dimulai dengan pemanasan (stretching) selama 5-10 menit tempo yang digunakan antara 100-115 ketukan permenit kemudian dilanjutkan dengan inti selama 20-30 menit temponya 115-135 ketukan permenit dan diakhiri dengan pendinginan 5-10 menit. Gerakan yang diberikan merupakan rangkaian dari gerakan-gerakan dasar senam aerobik. Gerakan kaki dan tangan dikombinasikan membentuk suatu rangkaian gerakan yang asik dan menyenangkan sehingga peserta senam aerobik menjadi tidak bosan dalam mengikuti latihan ini. Setiap latihan senam aerobik intensitas sedang (low impact) berbeda dari tiap pelaksanaan intervensinya, hal ini dilakukan untuk mencegah kebosanan dan meningkatkan semangat dalam pelaksanaannya tetapi intensitas latihan menjadi patokannya, yaitu intensitas yang diberikan pada setiap intervensi yaitu 60-80% DNM. Analisis Status Gizi dan Status Kebugaran Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorb) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Status gizi seseorang dapat diukur dan dinilai, sehingga dapat diketahui baik tidak tubuhnya untuk digunakan dalam aktifitas. Status gizi yang baik dan optimal menjadikan pertumbuhan fisik, perkembangan
25 otak, kemampuan tubuh pada tingkatan setinggi mungkin. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung dapat dilakukan melalui pengukuran antripometri, klinis, biokimia dan biofisik sedangkan untuk pengukuran secara tidak langsung melalui survey konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Pengukuran antropometri khususnya pengukuran berat badan merupakan prinsip dasar pengkajian gizi dalam asuhan medik. Selain itu, untuk mengkaji status gizi secara akurat dan spesifik digunakan pengukuran yang mencakup indek masa tubuh (IMT) dengan menggunakan timbangan Scale Person dan untuk mengukur tinggi badan dengan menggunakan microtoise somatrometre dengan merk Tanaka®. Pengukuran lemak bawah kulit dilakukan dengan menggunakan skin fold calipers slim guide yang mempunyai standar atau jangkauan jepitan 2040 mm2 dengan ketelitian 0,1 mm, tekanan yang konstan 10 gram/mm2 (Supriasa 2001). Pengukuran klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan gizi di dalam tubuh. Dalam penelitian ini digunakan pengukuran komposisi tubuh dan komposisi lemak tubuh dengan menggunakan alat Body Composition Analizer dengan merk Olympia 3.5®. Pengukuran status biokimia adalah pemeriksaan yang diuji secara labolatories yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh antara lain darah, urin, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Pada penelitian ini menggunakan pemeriksaan profil lipid darah yaitu total kolesterol, HDL, LDL dan Trigliserida. Sehari sebelum pelaksanaan tes, sampel diminta untuk menjalani puasa antara 10-12 jam, dengan tetap boleh minum air putih kemudian dilakukan pengambilan darah secara serentak antara jam 07.00-08.00, selanjutnya darah dibawa ke labolaturium Klinik Nugroho dan kemudian didapat parameter dari pengukuran total kolesterol, HDL, LDL dan trigliserida. Pengukuran kebugaran dilakukan untuk mengetahui kemampuan tubuh untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Unsur-unsur kebugaran jasmani berkaitan antara satu dengan yang lainnya yaitu daya tahan (endurance), kekuatan (strength), kecepatan (speed) dan kelentukan (flexibility). Keempat komponen ini merupakan unsur dasar dari kondisi fisik yang dimiliki oleh seseorang dan dapat meningkat dengan adanya latihan rutin yang dilakukan. Pengukuran tes kebugaran dilakukan secara serempak pada pagi hari diawal dan di akhir intervensi yaitu antara pukul 06.00-09.00 satu hari setelah pemeriksaan status gizi dilakukan. Pengukuran tes kebugaran pada kelompok mahasiswi yaitu lari cepat 60 meter, push up 60 detik, sit up 60 detik, vertical jump dan lari 1000 meter. Pengukuran dimulai dengan lari cepat 60 sejauh meter dan catatan waktu dalam detik yang menjadi parameter dalam pengukuran ini, semakin cepat lari yang dilakukan menunjukkan seseorang memiliki kemampuan dalam kecepatan dan kekuatan otot tungkai. Selanjutnya pengukuran dilakukan dengan pull up selama 60 detik dimana parameternya adalah jumlah angkatan yang berhasil dilakukan. Hal ini menunjukkan kekuatan otot lengan untuk melakukan aktivitas mengangkat berat tubuh sendiri. Pelaksanaan tes dilanjutkan dengan sit up yang dilakukan selama 60 detik untuk mengukur kekuatan dan kelentukan otot perut, semakin banyak angkatan yang dilakukan menunjukkan kekuatan dan kelentukan ototnya baik.
26 Tes yang dilakukan selanjutnya adalah tes vertical jump untuk mengukur kekuatan kaki dan daya ledak otot, semakin tinggi loncatan yang dilakukan menunjukkan daya ledak dan kekuatan ototnya baik. Pengukuran dilakukan dengan memberikan 3 kali kesempatan loncatan dimana nilai tertinggi dari lompatan yang dipakai sebagai indikatornya. Pelaksanaan tes yang terakhir adalah pengukuran daya tahan dengan lari 1000 meter atau pada penelitian ini dengan menyelesaikan jarak tempuh 2.5 kali putaran track lari di belakang Gymnasium IPB. Semakin singkat waktu yang diselesaikan menunjukkan bahwa seseorang memiliki daya tahan yang baik. Semua tes kebugaran yang dilakukan dengan memberikan syarat bahwa sampel cukup melakukan istirahat (tidur) yaitu 7-8 jam, sudah melakukan sarapan 1-2 jam sebelumnya, tidak dalam kondisi sakit dan juga menggunakan perlengkapan olahraga sesuai dengan aktivitas yang dilakukan. Selain itu antar tes diberikan waktu istrahat yang cukup (5-10 menit), yaitu dimana kondisi sampel sudah siap kembali untuk melakukan tes berikutnya.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan diperoleh data karaketeristik subjek penelitian dari berbagai macam variabel. Rata-rata umur sampel adalah 20 tahun dengan umur maksimal adalah 22 tahun dan umur minimal adalah 18 tahun. Rata-rata berat badan sampel adalah 64.37 kg dengan berat badan maksimum adalah 87.43 kg dan berat badan minimal 54.5 kg. Indeks masa tubuh (IMT) rata-ratanya adalah 26.8 dengan nilai IMT maksimal adalah 33.7 dan minimal IMT adalah 22.9. Pada Tabel 10 menunjukan nilai minimal, maksimal dan rata-rata karakteristik sampel penelitian. Tabel 10 Data karakteristik sampel Variable awal subjek Penelitian Usia Berat badan Tinggi Badan Indek Masa Tubuh
Minimal 18.2 54.5 142.9 22.9
Maksimal 22.11 87.3 162.4 33.4
Rata-rata 20.21 64.37 154.9 26.8
Pada Tabel 10 diketahui bahwa subjek penelitian semuanya berjenis kelamin perempuan yang mempunyai usia pada rentang remaja akhir dan dewasa awal yaitu antara 18 sampai 22 tahun dimana untuk usia 18 tahun berjumlah 1 orang, usia 19 tahun berjumlah 1 orang, usia 20 tahun berjumlah 11 orang, usia 21 tahun berjumlah 5 orang dan yang berusia 22 tahun berjumlah 1 orang. Subjek dalam penelitian ini juga merupakan mahasiswi dari program studi Gizi Masyarakat IPB angkatan 46 dan 47 yang masih aktif dalam perkuliahan.
27 30 20 10
0
Kelompok 1 19.5
Umur (tahun)
Kelompok 2 20.3
Kelompok 3 20.7
Gambar 2 Rata-rata umur subjek penelitian Pada Gambar 2 di atas dapat dilihat bahwa rata-rata umur sampel pada kelompok 1, 2, dan 3 masing-masing adalah 19.5 tahun, 20.3 tahun, dan 20.7 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa subjek dalam penelitian ini termasuk dalam kategori kelompok remaja dimana rentang usia remaja berada dalam usia 12-21 tahun bagi wanita dan 13-22 tahun bagi pria. Jika dibedakan atas remaja awal dan akhir, maka remaja awal berada pada usia 12 atau 13 tahun sampai 17 atau 18 tahun dan remaja akhir pada rentang usia 17 atau 18 tahun hingga usia 21 atau 22 tahun (Panuju & Umami 1999). Rata-rata tinggi badan sampel kelompok 1, 2, dan 3 pada penelitian ini masing-masing adalah 157.5 cm, 154.5 cm, dan 152.5 cm. Pada penelitian ini tinggi badan digunakan sebagai data karakteristik responden saja. Berikut ini mengenai tinggi badan responden pada Gambar 3. 200
150 100 50 0 Tinggi Badan (cm)
Kelompok 1 157.5
Kelompok 2 154.5
Kelompok 3 152.5
Gambar 3 Rata-rata tinggi badan subjek penelitian Pengaruh Intervensi Terhadap Status Antropometri Pengukuran dalam penelitian ini dilakukan pada masing-masing variabel saat awal maupun akhir penelitian. Rata-rata berat badan awal dan akhir pada ketiga kelompok perlakuan terdapat perubahan dimana terjadi penurunan berat badan sampel pada akhir pengukuran. Untuk rata-rata berat badan sampel pada kelompok 1 adalah 65,4 kg dan berat badan akhir 64.9 kg atau terjadi penurunan berat badan sebesar 0.5 kg. Pada kelompok 2, rata-rata berat badan awal dan akhir adalah yaitu 61 kg dan berat badan akhir pengukuran setelah intervensi sebesar 60.6 atau terjadi penurunan sebesar 0.4 kg. Sedangkan pada kelompok 3 terjadi penurunan berat badan sebesar 0.9 kg. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara berat badan awal dan akhir pengukuran pada kelompok 1, 2 dan 3 (p>0.05). Hasil uji ANOVA juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok
28 intervensi untuk berat badan dengan nilai P = 0.774 atau P>0.05. Hasil berat badan sebelum dan sesudan perlakuan ketiga kelompok intervensi dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini. 80 60 40 20 0 BB awal (kg) BB akhir (kg)
Kelompok 1 65.4 64.9
Kelompok 2 61 60.6
Kelompok 3 66.5 65.6
Gambar 4 Rata-rata berat badan awal dan akhir sampel Indeks Masa Tubuh (IMT) pada penelitian ini diperoleh dari perbandingan antara berat badan sampel (dalam kg) dengan tinggi badan sampel (dalam meter dikuadratkan) sehingga diperoleh hasil yang tidak jauh berbeda dengan berat badan dimana terdapat penurunan IMT pada kelompok 1,2 dan 3. Pada penelitian ini hampir seluruh subjek penelitian mempunyai indek masa tubuh yang menunjukkan status gizi overweight dan obesitas, yaitu rata-rata 26.8 kg/m2 dan merupakan salah satu resiko terjadinya penyakit generatif seperti kolesterol dan jantung (Arisman 2003). Pada kelompok 1 terjadi penurunan IMT sebesar 0.2 kg/m2 dimana IMT awal sampel kelompok 1 adalah 26.3 kg/m2 dan IMT akhir 26.1 kg/m2. IMT awal dan akhir sampel pada kelompok 2 berturut-turut adalah 25.6 kg/m2 dan 25.3 kg/m2atau terjadi penurunan IMT sebesar 0.3 kg/m2, sedangkan pada kelompok 3 adalah 28.3 kg/m2 dan 27.8 kg/m2 dengan penurunan IMT sebesar 0.5 kg/m2. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara IMT awal dan akhir sampel pada kelompok 1, 2 dan 3 (p>0.05). Hasil uji ANOVA juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk IMT dengan nilai P = 0.466 atau P>0.05. Penelitian ini mengungkapkan bahwa dengan latihan senam aerobik intensitas sedang yang dilakukan secara rutin dengan frekuensi 2x seminggu, 3x seminggu dan 4x seminggu telah terbukti mampu menurunkan berat badan dan IMT sampel dan penurunan yang paling besar terjadi pada latihan senam aerobik yang dilakukan dengan frekuensi 4x dalam seminggu. Sebaran IMT sampel pada ketiga kelompok dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini. 30 20 10 0 IMT awal (kg/m2) IMT akhir (kg/m2)
Kelompok 1 26.3 26.1
Kelompok 2 25.6 25.3
Kelompok 3 28.3 27.8
Gambar 5 Rata-rata indek masa tubuh awal dan akhir sampel
29 Pengaruh Intervensi Terhadap Lemak Bawah Kulit Pada penelitian ini dilakukan pengukuran lemak bawah kulit dengan menggunakan skin fold yaitu pada triceps, abdomen (perut) dan paha untuk mengetahui komposisi lemak bawah kulit sampel. Menurut Supriasa (2001) pengukuran lemak bawah kulit dilakukan dengan berbagai macam metode. Pengukuran triceps diperoleh menggunakan skin fold caliper dengan arah sudut vertical, jarak antara penonjolan lateral dari proses acronial dan batas interior dari proses olecranon, dan diukur pada bagian lateral lengan dengan bahu bersudut 90o menggunakan pita pengukur. Titik tengah ditandai pada sisi samping lengan dan pengukuran diambil 1 cm di atas tanda tersebut. Pengukuran abdomen (perut) dilakukan secara horizontal yaitu 3 cm disamping tali pusat dan 1 cm ke pusan ambilicus. Pengukuran paha dilakukan secara vertical dengan lipatan yang diambil di tengah paha antara lipatan inguinal dan batas dari patella. Pengukuran dilakukan 1 cm di bawah jari. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan lipatan lemak triceps pada ketiga kelompok. Pada kelompok 1, rata-rata pengukuran lipatan lemak triceps awal adalah 30.9 cm dan akhir 20.8 cm atau terjadi penurunan lipatan lemak triceps sebesar 10.1 cm. Pada kelompok 2 terjadi penurunan lipatan lemak triceps sebesar 4.1 cm dimana rata-rata pengukuran lipatan lemak triceps awal dan akhir masing-masing 24.5 cm dan 20.4 cm, sedangkan pada kelompok 3 rata-rata pengukuran lipatan lemak triceps awal adalah 29.2 cm dan akhir 21.8 cm atau terjadi penurunan lipatan lemak triceps sampel sebesar 7.4 cm. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara lipatan lemak triceps awal dan akhir sampel pada kelompok 1 dan 3 (p<0.05), sedangkan hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara lipatan lemak triceps awal dan akhir sampel pada kelompok 2 (p>0.05). Berdasarkan Uji ANOVA pada variabel lemak bawah kulit menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk lipatan lemak triceps dengan nilai P=0.241 atau P>0.05. Pada Gambar 6 berikut menyajikan data hasil rata-rata pengukuran lipatan lemak triceps sampel. 40 20
0 triceps awal (cm) triceps akhir (cm)
Kelompok 1 30.9 20.8
Kelompok 2 24.5 20.4
Kelompok 3 29.2 21.8
Gambar 6 Rata-rata lipatan lemak triceps awal dan akhir sampel Pada Gambar 7 di bawah ini menunjukkan hasil rata-rata pengukuran awal dan akhir lipatan lemak abdomen sampel.
30 40 30 20 10 0 Abdomen awal (cm) Abdomen akhir (cm)
Kelompok 1 30.7 23.5
Kelompok 2 19.8 16.7
Kelompok 3 25.1 19.7
Gambar 7 Rata-rata lipatan lemak abdomen awal dan akhir sampel Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan lipatan lemak abdomen pada ketiga kelompok sampel dimana rata-rata lipatan lemak abdomen awal sampel pada kelompok 1, 2, dan 3 adalah 30.7 cm, 19.8 cm dan 25.1 cm. Sedangkan rata-rata lipatan lemak abdomen sampel kelompok 1, 2, dan 3 pada akhir pengukuran adalah 23.5 cm, 16.7 cm., dan 19.7 cm dengan penurunan lemak bawah kulit sampel pada kelompok 1, 2 dan 3 berturut-turut sebesar 7.2 cm, 3.1 cm, dan 5.4 cm. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara lipatan lemak abdomen awal dan akhir sampel pada kelompok 3 (p<0.05), sedangkan hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara lipatan lemak abdomen awal dan akhir sampel pada kelompok 1 dan 2 (p>0.05). Berdasarkan Uji ANOVA pada variabel lemak bawah kulit menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk lipatan lemak abdomen (perut) dengan nilai P=0.63 atau P>0.05. Pada Gambar 8 dapat dilihat perbandingan lipatan lemak paha antar kelompok. 50 40 30 20 10 0
Paha awal (cm) Paha akhir (cm)
Kelompok 1 42 30.5
Kelompok 2 40.5 30.5
Kelompok 3 46.1 37.3
Gambar 8 Rata-rata lipatan lemak paha awal dan akhir sampel Rata-rata paha pada ketiga kelompok menunjukkan adanya penurunan tebal lipatan lemak paha sebelum dan setelah intervensi. Pada kelompok 1 tebal lipatan lemak paha awal adalah 42 cm dan akhir 30.5 cm dengan penurunan tebal lipatan lemak paha sebesar 11.5 cm. Pengukuran tebal paha awal sampel kelompok 2 sebesar 40.5 cm dan pengukuran akhir sebesar 30.5 cm dimana terjadi penurunan tebal lemak lipatan paha sebesar 10 cm. Sedangkan untuk kelompok 3, pengukuran tebal lipatan lemak paha awal sebesar 46.1 dan akhir sebesar 37.3 cm atau terjadi penurunan tebal lipatan lemak paha sebesar 8.5 cm.
31 Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara tebal lipatan lemak paha awal dan akhir sampel pada ketiga kelompok intervensi, yaitu kelompok 1, 2 dan 3 (p<0.05). Berdasarkan Uji ANOVA pada variabel lemak bawah kulit menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk lipatan lemak paha dengan nilai P=0.854 atau P>0.05. Pada penelitian ini, latihan senam aerobik intensitas sedang yang dilakukan dengan frekuensi 2x seminggu, 3x seminggu dan 4x seminggu mampu menurunkan lemak bawah kulit sampel baik triceps, abdomen (lemak perut) maupun paha. Pengaruh Intervensi Terhadap Komposisi Tubuh Komposisi tubuh sampel dalam penelitian ini diketahui dengan pengukuran lean body mass (LBM), soft lean mass (SLM), total body water (TBW), percent of body fat (PBF) dan mass body fat (MBF). Supriasa (2001) mengungkapkaan bahwa komposisi tubuh adalah jumlah seluruh dari bagian-bagia tubuh. Pengertian lain dari Body composition atau komposisi tubuh adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan komponen berbeda yang menyusun tubuh seseorang. Tubuh manusia terdiri dari berbagai jenis jaringan yang berbeda termasuk jaringan otot, tulang, dan organ yang aktif secara metabolik, dan jaringan lemak (adiposa) yang tidak aktif secara metabolik (Quinn 2011). Gambar 9 menunjukkan rata-rata lean body mass (LBM) atau masa tubuh tanpa lemak sampel antar kelompok. 50 40 30 20 10 0 LBM awal (kg) LBM akhir (kg)
Kelompok 1 43.4 43.5
Kelompok 2 40.4 41
Kelompok 3 42.2 42.3
Gambar 9 Rata-rata lean body mass (LBM) awal dan akhir sampel Pada Gambar 9 di atas dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan LBM pada ketiga kelompok. Peningkatan yang cukup besar berada pada kelompok 2 dimana rata-rata LBM awal sampel adalah 40.4 kg, sedangkan pengukuran akhir sebesar 41 kg atau terjadi peningkatan sebesar 0.6 kg. Rata-rata pengukuran LBM awal pada kelompok 1 adalah 43.4 kg dan pengukuran akhir 43.5 kg atau terjadi peningkatan sebesar 0.1 kg. Sedangkan pada kelompok 3 terjadi peningkatan LBM sebesar 0.1 kg dimana pengukuran LBM awal dan akhir masing-masing adalah 4.2 kg dan 4.3 kg. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara LBM awal dan akhir sampel pada kelompok 2 dan 3 (p<0.05), sedangkan hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara LBM awal dan akhir sampel pada kelompok 1 (p>0.05). Berdasarkan uji ANOVA yang dilakukan pada variabel komposisi tubuh menunjukkan bahwa
32 tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi yang dilakukan untuk LBM dengan nilai P=0.355 atau P>0.05. 50 40 30 20 10 0 SLM awal (kg) SLM akhir (kg)
Kelompok 1 39.7 39.8
Kelompok 2 37 37.6
Kelompok 3 38.5 38.6
Gambar 10 Rata-rata soft lean mass (SLM) awal dan akhir sampel Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi kenaikan SLM sampel pada kelompok 1 dengan rata-rata SLM awal sampel adalah 39.7 kg dan SLM akhir 39.8 kg dimana terjadi kenaikan SLM sampel sebesar 0.1 kg. Sedangkan pada kelompok 2 dan 3 menunjukkan peningkatan SLM sampel berturut-turut sebesar 0.6 kg dan 0.1 kg.Pada kelompok 2 dan 3 rata-rata SLM awal sampel adalah 37 kg dan 38.5 kg dengan rata-rata SLM akhir 37.6 kg dan 48.6 kg. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara SLM awal dan akhir sampel pada kelompok 2 (p<0.05), sedangkan hasil analisi paired samples t test juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang antara SLM awal dan akhir sampel pada kelompok 1 dan 3 (p>0.05). Berdasarkan uji ANOVA yang dilakukan pada variabel komposisi tubuh menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi yang dilakukan untuk SLM dengan nilai P=0.365 atau P>0.05. Ratarata total body water (TBW) sampel pada tiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 11 di bawah ini. 40 30 20 10 0 TBW awal (kg) TBW akhir (kg)
Kelompok 1 31.3 31.3
Kelompok 2 29.1 29.5
Kelompok 3 30.4 30.5
Gambar 11 Rata-rata total body water (TBW) awal dan akhir sampel Pada Gambar 11 di atas dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan TBW pada kelompok 2 dan 3 berturut-turut 0.4 kg dan 0.1 kg dimana rata-rata TBW awal pada kelompok 2 dan 3 masing-masing sebesar 29.1 kg dan 30.4 kg dengan ratarata TBW akhir sebesar 29.5 kg dan 30.5 kg, namun kenaikan TBW sampel tidak terjadi pada kelompok 1. Pada kelompok 1 rata-rata TBW sampel tidak mengalami peningkatan, dimana rata-rata TBW awal dan akhir sampel sebesar 31.3 kg. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara TBW awal dan akhir sampel pada kelompok 2 (p<0.05), sedangkan hasil
33 analisis paired samples t test juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara TBW awal dan akhir sampel pada kelompok 1 dan 3 (p>0.05). Berdasarkan uji ANOVA yang dilakukan pada variabel komposisi tubuh menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi yang dilakukan untuk TBW dengan nilai P=0.367 atau P>0.05. Gambar 12 Menunjukkan bahwa rata-rata percent body fat (PBF) pada kelompok 1, 2, dan 3 menunjukkan perubahan yaitu penurunan berturut-turut sebesar 1.1 persen, 1 persen, dan 1 persen. Pada kelompok 1 rata-rata PBF awal sampel adalah 33.9 persen dan rata-rata PBF akhir sampel adalah 32.8 persen. Pada kelompok 2, rata-rata PBF awal sampel adalah 33.4 persen dan rata-rata PBF akhir adalah 32.4 persen. Sedangkan pada kelompok 3, penurunan antara PBF awal dan akhir rata-rata PBF awal sampel adalah 36.2 persen dan PBF akhir sebesar 35.2 persen. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara PBF awal dan akhir sampel pada kelompok 1, 2 dan 3 (p<0.05). Berdasarkan uji ANOVA yang dilakukan pada variabel komposisi tubuh menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi yang dilakukan untuk percent of body fat (PBF) dengan nilai P=0.956 atau P>0.05. 40 30 20 10 0 PBF awal (%) PBF akhir (%)
Kelompok 1 33.9 32.8
Kelompok 2 33.4 32.4
Kelompok 3 36.2 35.2
Gambar 12 Rata-rata percent of body fat (PBF) awal dan akhir sampel Hasil pengukuran mass of body fat (MBF) sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 13. 30 20 10 0 MBF awal (kg) MBF akhir (kg)
Kelompok 1 22.3 21.4
Kelompok 2 20.5 19.8
Kelompok 3 24.2 23.3
Gambar 13 Rata-rata mass of body fat (MBF) awal dan akhir sampel Dari Gambar 13 di atas dapat dilihat bahwa secara keseluruhan baik pada kelompok 1, 2, dan 3 mengalami penurunan yang relatif kecil dimana pada kelompok 1 rata-rata MBF awal dan akhir sampel masing-masing sebesar 22.3 kg dan 21.4 kg atau terjadi penurunan sebesar 0.9 kg. Pada kelompok 2 terjadi peningkatan MBF sebesar 0.7 kg dimana rata-rata MBF awal sampel adalah 20.5 kg dan MBF akhir adalah 19.8 kg, sedangkan pada kelompok 3 rata-rata MBF
34 awal dan akhir sampel adalah 24.2 kg dan 23.3 kg atau terjadi penurunan sebesar 0.9 kg. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara MBF awal dan akhir sampel pada kelompok 1 dan 3 (p<0.05), sedangkan hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara MBF awal dan akhir sampel pada kelompok 2 (p>0.05). Berdasarkan uji ANOVA yang dilakukan pada variabel komposisi tubuh menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi yang dilakukan untuk mass body fat (MBF) dengan nilai P=0.852 atau P>0.05. Pengaruh Intervensi Terhadap Profil Lipid Darah Penilitian ini juga melihat pengaruh intervensi frekuensi senam aerobik intensitas sedang terhadap profil lipid ketiga kelompok sampel. Profil lipid sampel diperoleh melalui pengukuran kadar Kolesterol Total, HDL, LDL, dan Trigliserida sampel. Hasil pengukuran kadar kolesterol awal dan akhir sampel dapat dilihat pada Gambar 14 berikut. 200 150 100 50 0 CL awal (mg/dl) CL akhir (mg/dl)
Kelompok 1 169.3 142.8
Kelompok 2 153.3 150.8
Kelompok 3 167 162.9
Gambar 14 Rata-rata total kolesterol awal dan akhir sampel Dari hasil pengukuran kadar kolesterol sampel secara keseluruhan terjadi penurunan antara awal dan akhir pengukuran. Penurunan rata-rata kadar kolesterol yang cukup besar terdapat pada kelompok 1 yaitu sebesar 26.5 mg/dl dimana ratarata kadar kolesterol awal dan akhir sampel masing-masing adalah 169.3 mg/dl dan 142.8 mg/dl. Pada kelompok 2, rata-rata kadar kolesterol awal sampel adalah 153.3 mg/dl dan kadar kolesterol akhir adalah 150.8 mg/dl atau terjadi peningkatan sebesar 2.2 mg/dl. Sedangkan pada kelompok 3 terjadi penurunan sebesar 4.1 mg/dl dengan rata-rata kadar kolesterol awal dan akhir masing-masing adalah 167 mg/dl dan 162.9 mg/dl. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kolesterol awal dan akhir sampel pada kelompok 1 (p<0.05), sedangkan hasil analisis paired samples t test juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kolesterol awal dan akhir sampel pada kelompok 2 dan 3 (p>0.05). Berdasarkan Uji ANOVA pada variabel profil lipid menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk Total Kolesterol dengan nilai P=0.272 atau P>0.05. Gambar 16 berikut menunjukkan rata-rata kadar high density lipoprotein (HDL) sampel pada awal dan akhir pengukuran.
35 60 40 20 0 HDL awal (mg/dl) HDL akhir (mg/dl)
Kelompok 1 45.7 47
Kelompok 2 44.2 43.8
Kelompok 3 44.4 47.7
Gambar 15 Rata-rata high density lipoprotein (HDL) awal dan akhir sampel Gambar 15 di atas dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan rata-rata kadar HDL pada kelompok 1 dan 3 berturut-turut sebesar 1.3 mg/dl dan 7.3 mg/dl. Namun pada kelompok 2 terjadi penurunan rata-rata kadar HDL sampel yaitu sebesar 0.4 mg/dl. Pada kelompok 1 dan 3 rata-rata kadar kolesterol awal sampel masing-masing adalah 45.7 mg/dl dan 44.4 mg/dl yang mengalami peningkatan pada pengukuran akhir dimana rata-rata kadar kolesterol akhir sampel kelompok 1 dan 3 masing-masing adalah 47 mg/dl dan 47.7 mg/dl. Pada kelompok 2 mengalami penurunan kadar HDL dimana kadar HDL awal sampel adalah 44.2 mg/dl dan kadar HDL akhir adalah 43.8 mg/dl. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kadar HDL awal dan akhir sampel pada kelompok 1, 2, dan 3 (p>0.05). Hasil Uji ANOVA pada variabel profil lipid menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk HDL dengan nilai P=0.55 atau P>0.05. Rata-rata kadar low density lipoprotein (LDL) awal dan akhir sampel dapat dilihat pada Gambar 16 berikut. 150 100 50
0 LDL awal (mg/dl) LDL akhir (mg/dl)
Kelompok 1 93.5 72.8
Kelompok 2 86 83.7
Kelompok 3 96 92.1
Gambar 16 Rata-rata low density lipoprotein (LDL) awal dan akhir sampel Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan kadar LDL sampel pada kelompok 1, 2, dan 3 yaitu 20.7 mg/dl, 2.3 mg/dl, dan 3.9 mg/dl dimana rata-rata kadar LDL awal sampel pada kelompok 1, 2, dan 3 adalah 93.5 mg/dl, 86 mg/dl, dan 96 mg/dl. Sedangkan rata-rata kadar LDL kelompok 1, 2, dan 3 pada akhir pengukuran adalah 72.8 mg/dl, 83.7 mg/dl, dan 92.1 mg/dl. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara LDL awal dan akhir sampel pada kelompok 1, 2, dan 3 (p>0.05). Hasil Uji ANOVA pada variabel profil lipid menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
36 yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk LDL dengan nilai P=0.481 atau P>0.05. Selain pengukuran kadar kolesterol, HDL, dan LDL, pengukuran kadar Trigliserida juga dilakukan untuk mengetahui profil lipid sampel. Gambar 17 menunjukkan bahwa rata-rata kadar Trigliserida sampel mengalami penurunan. Pada kelompok 1 atau terjadi penurunan kadar Trigliserida sampel sebesar 25 mg/dl. Kadar Trigliserida awal sampel pada kelompok 1 adalah 149.7 mg/dl dan kadar Trigliserida akhir adalah 124.7 mg/dl, sedangkan pada kelompok 2 dan 3 rata-rata kadar Trigliserida awal sampel adalah 117 mg/dl dan 130.7 mg/dl. Ratarata kadar Trigliserida akhir sampel berturut-turut adalah 116.8 mg/dl dan 115.1 mg/dl dimana terjadi penurunan Trigliserida sampel pada kelompok 2 dan 3 sebesar 0.2 mg/dl dan 15.6 mg/dl. 200 150 100 50 0
TG awal (mg/dl) TG akhir (mg/dl)
Kelompok 1 149.7 124.7
Kelompok 2 117 116.8
Kelompok 3 130.7 115.1
Gambar 17 Rata-rata trigliserida awal dan akhir sampel Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara trigliserida awal dan akhir sampel pada kelompok 1, 2 dan 3 (p>0.05). Berdasarkan Uji ANOVA pada variabel profil lipid menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk trigliserida dengan nilai P=0.637 atau P>0.05. Pengaruh Intervensi Terhadap Status Kebugaran Penelitian ini juga melihat kebugaran fisik sampel dimana kebugaran fisik sampel diukur melalui beberapa tes yaitu: push up, sit up, vertical jump, lari cepat 100 m, dan lari 1000 m. Data rata-rata jumlah push up sampel dilihat pada Gambar 18. 25 20 15 10 5 0 PU awal PU akhir
Kelompok 1 17 21
Kelompok 2 16 20
Kelompok 3 17 23
Gambar 18 Rata-rata push up awal dan akhir sampel
37 Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah push up pada ketiga kelompok sampel dimana rata-rata jumlah push up awal sampel dalam 60 detik pada kelompok 1, 2, dan 3 adalah 17x, 16x, dan 17x. Rata-rata jumlah push up dalam 60 detik kelompok 1, 2, dan 3 pada akhir pengukuran adalah 21x, 20x, dan 23x. Rata-rata peningkatan jumlah push up sampel pada kelompok 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah 4x, 4x, dan 6x. Hasil analisisi paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara jumlah push up awal dan akhir sampel pada kelompok 1, 2 dan 3 (p<0.05). Berdasarkan Uji ANOVA pada variabel kebugaran menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk push up dengan nilai 0.367 atau P>0.05. Rata-rata jumlah sit up yang dilakukan sampel dapat dilihat pada Gambar 19 berikut. 30 20 10 0
SU awal SU akhir
Kelompok 1 20 23
Kelompok 2 20 27
Kelompok 3 21 28
Gambar 19 Rata-rata sit up awal dan akhir sampel Pada kelompok 1, rata-rata jumlah sit up awal adalah 20x dan akhir 23x atau terjadi peningkatan jumlah sit up sebesar 3x. Pada kelompok 2 rata-rata jumlah sit up awal dan akhir berturut-turut adalah 20x dan 27x atau terjadi peningkatan jumlah sit up sebesar 7x, sedangkan pada kelompok 3 rata-rata jumlah sit up awal adalah 21x dan akhir 28x atau terjadi peningkatan jumlah sit up sebesar 7x. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara jumlah sit up awal dan akhir sampel pada kelompok 2 dan 3 (p<0.05), sedangkan hasil analisis paired samples t test juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara jumlah sit up awal dan akhir sampel pada kelompok 1 (p>0.05). Hasil Uji ANOVA pada variabel kebugaran menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk sit up dengan nilai P=0.268 atau P>0.05 Gambar 20 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah vertical jump pada ketiga kelompok menunjukkan perubahan (peningkatan) dimana pada kelompok 1 terjadi peningkatan jumlah vertical jump sebesar 1.5 cm dengan rata-rata jumlah vertical jump awal sampel adalah 28.8 cm dan rata-rata jumlah vertical jump akhir sampel adalah 30.3 cm. Pada kelompok 2, rata-rata jumlah vertical jump awal sampel adalah 29.8 cm dan rata-rata jumlah vertical jump akhir adalah 31.7 cm atau terjadi peningkatan jumlah vertical jump sebesar 1.9 cm sedangkan pada kelompok 3 rata-rata jumlah vertical jump awal sampel adalah 29.7 cm dan jumlah vertical jump akhir sebesar 32.7 cm atau terjadi peningkatan jumlah vertical jump sebesar 3 cm.
38 35 30 25 20 15 10 5 0 VJ awal (cm) VJ akhir (cm) Duncan
Kelompok 1 28.8 30.3
Kelompok 2 29.8 31.7
a
Kelompok 3 29.7 32.7
ab
b
Gambar 20 Rata-rata vertical jump awal dan akhir sampel Hasil analisisi paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara jumlah vertical jump awal dan akhir sampel pada kelompok 1, 2 dan 3 (p<0.05). Berdasarkan Uji ANOVA pada variabel kebugaran menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi yaitu antara kelompok 1 dan kelompok 3 untuk vertical jump dengan nilai P=0.027 atau P<0.05 pada kelompok perlakuan pertama dan ketiga setelah dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan Uji Duncan. Pengukuran tes lari cepat 60 meter dan 1000 meter diukur untuk mengetahui waktu tempuh dengan cara sampel diminta lari dengan jarak yang sudah ditentukan (60 m dan 1000 m) kemudian dicatat waktu yang ditempuh pada jarak 60 meter dan 1000 meter dalam satuan detik dan menit yang dihabiskan sampel untuk menempuk jarak tersebut. Data rata-rata waktu tempuh yang dibutuhkan sampel dalam lari 60 meter dapat dilihat pada Gambar 21. 20 15 10 5 0 sprint 60 m awal (detik) sprint 60 m akhir (detik)
Kelompok 1 15.63 13.13
Kelompok 2 14.8 13.3
Kelompok 3 14.15 12.7
Gambar 21 Rata-rata waktu tempuh lari 60 meter awal dan akhir sampel Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata waktu tempuh yang dihabiskan sampel pada awal pengukuran untuk kelompok 1, 2, dan 3 masingmasing adalah 15.63 detik, 14.8 detik dan 14.15 detik, sedangkan rata-rata waktu tempuh yang dihabiskan sampel pada akhir pengukuran untuk kelompok 1, 2, dan 3 masing-masing adalah 13.13 detik, 13.3 detik, dan 12.7 detik. Rata-rata penurunan waktu tempuh yang dihabiskan sampel untuk menempuh jarak 60 m pada kelompok 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah 2.5 detik, 1.5 detik, dan 1.45 detik. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara waktu tempuh awal dan akhir sampel untuk melakukan lari cepat 60 m
39 pada kelompok 1, 2 dan 3 (p<0.05). Hasil Uji ANOVA pada variabel kebugaran menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk waktu tempuh lari cepat 60 meter dengan nilai P=0.295 atau P>0.05. Hasil pengukuran rata-rata waktu yang ditempuh sampel untuk lari 1000 m dapat dilihat pada Gambar 22 di bawah ini dimana pada kelompok 1 rata-rata waktu tempuh yang dibutuhkan sampel pada awal pengukuran adalah 9 menit 1 detik dan waktu tempuh akhir 8 menit 20 detik atau terjadi penurunan waktu tempuh sebesar 41 detik. Pada kelompok 2, rata-rata waktu yang dibutuhkan sampel dalam menempuh jarak 1000 m pada awal pengukuran adalah 8 menit 20 detik dan akhir pengukuran 7 menit 12 detik atau terjadi penurunan waktu tempuh sebesar 68 detik. Kelompok 3 rata-rata waktu tempuh yang dibutuhkan sampel pada awal pengukuran adalah 8 menit 37 detik dan waktu tempuh akhir 7 menit 56 detik menit atau terjadi penurunan waktu tempuh sebesar 41 detik. 10 8 6 4 2 0 lari 1000 m awal lari 1000 m akhir
Kelompok 1 9.02 8.33
Kelompok 2 8.3 7.2
Kelompok 3 8.61 7.94
Gambar 22 Rata-rata waktu tempuh lari jarak 1000 meter awal dan akhir sampel Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara waktu tempuh awal dan akhir sampel untuk melakukan lari 1000 m pada kelompok 1 dan 2 (p<0.05), sedangkan hasil analisis paired samples t test juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara waktu tempuh awal dan akhir sampel untuk melakukan lari 1000 m pada kelompok 3 (p>0.05). Hasil Uji ANOVA pada variabel kebugaran menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk waktu tempuh lari cepat 60 meter dengan nilai P=0.531 atau P>0.05. Pengaruh Intervensi Terhadap Konsumsi Energi dan Protein Konsumsi zat gizi sampel dalam penelitian ini diperoleh melalui metode food record selama 2x24 jam sebelum intervensi pada saat hari intervensi dan hari non-intervensi setelah itu dilanjutkan dengan 2x24 jam pada akhir intervensi yaitu pada minggu ke 8 intervensi pada hari intervensi dan non-intervensi sehingga diperoleh jumlah konsumsi energi, protein, lemak, dan karbohidrat. Konsumsi zat gizi ini dibagi menjadi dua yaitu konsumsi zat gizi pada saat intervensi (awal dan akhir) dan konsumsi zat gizi pada hari non-intervensi (awal dan akhir). Gambar 23 menunjukkan rata-rata konsumsi energi sampel pada saat intervensi.
40 1500 1000 500 0 E intervensi awal (kkal) E intervensi akhir (kkal)
Kelompok 1 963 1069
Kelompok 2 901 1156
Kelompok 3 1054 1065
Gambar 23 Rata-rata konsumsi energi intervensi awal dan akhir sampel Pada Gambar 23 di atas dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan konsumsi energi saat intervensi pada ketiga kelompok. Rata-rata konsumsi energi awal pada kelompok 1 adalah 963 kkal sedangkan rata-rata konsumsi energi akhir sebesar 1069 kkal atau terjadi peningkatan konsumsi energi sebesar 106 kkal. Rata-rata konsumsi energi sampel awal kelompok 2 adalah 901 kkal dan konsumsi energi akhir sebesar 1156 kkal atau terjadi peningkatan konsumsi energi sebesar 255 kkal, sedangkan pada kelompok 3 terjadi peningkatan konsumsi energi sebesar 11 kkal dengan rata-rata konsumsi energi awal dan akhir berturut-turut adalah 1054 kkal dan 1065 kkal. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara konsumsi energi awal dan akhir sampel saat intervensi pada kelompok 1, 2 dan 3 (p<0.05). Berdasarkan Uji ANOVA pada variabel konsumsi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk konsumsi energi hari intervensi dengan nilai P=0.531 atau P>0.05. Rata-rata konsumsi energi pada saat non-intervensi pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada Gambar 24 berikut. 1500 1000 500 0
Kelompok 1 E non-interv awal (kkal) 803 E non-interv akhir 1150 (kkal)
Kelompok 2 769
Kelompok 3 902
1345
1001
Gambar 24 Rata-rata konsumsi energi non-intervensi awal dan akhir sampel Gambar 24 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi non-intervensi sampel mengalami peningkatan. Pada kelompok 1 terjadi peningkatan jumlah konsumsi energi sebesar 347 kkal dengan rata-rata konsumsi energi non-intervensi awal sampel adalah 803 kkal dan rata-rata konsumsi energi non-intervensi akhir adalah 1150 kkal. Pada kelompok 2 dan 3 rata-rata konsumsi energi nonintervensi awal sampel adalah 769 kkal dan 902 kkal sedangkan rata-rata konsumsi energi non-intervensi akhir sampel berturut-turut adalah 1345 kkal dan
41 1001 kkal. Rata-rata peningkatan jumlah konsumsi energi hari non-intervensi sampel pada kelompok 2 dan 3 berturut-turut adalah 576 kkal dan 99 kkal. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara konsumsi energi awal dan akhir sampel saat non-intervensi pada kelompok 1 (p<0.05), sedangkan hasil analisis paired samples t test juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara konsumsi energi awal dan akhir sampel saat non-intervensi pada kelompok 2 dan 3 (p>0.05). Berdasarkan Uji ANOVA pada variabel konsumsi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk konsumsi energi hari non-intervensi dengan nilai P=0.171 atau P>0.05. Data rata-rata konsumsi protein intervensi sampel dilihat pada Gambar 25 berikut. 50 0 P intervensi awal (gr) P intervensi akhir (gr)
Kelompok 1 27.9 37.8
Kelompok 2 30.2 47.8
Kelompok 3 45.4 46.1
Gambar 25 Rata-rata konsumsi protein intervensi awal dan akhir sampel Rata-rata konsumsi protein awal sampel saat intervensi pada kelompok 1 adalah 27.9 gram dan rata-rata konsumsi protein akhir pada saat intervensi adalah 37.8 gram atau terjadi peningkatan konsumsi protein intervensi sebesar 9.9 gram. Pada kelompok 2 terjadi peningkatan konsumsi protein intervensi sampel adalah 17.6 gram dengan rata-rata konsumsi protein awal dan akhir saat intervensi berturut-turut adalah 30.2 gram dan 47.8 gram. Rata-rata konsumsi protein awal dan akhir saat intervensi kelompok 3 adalah 45.4 gram dan 46.1 gram atau terjadi peningkatan konsumsi protein sebesar 0.7 gram. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara konsumsi protein awal dan akhir sampel saat intervensi pada kelompok 2 (p<0.05) dan tidak terdapat perbedaan antara konsumsi protein awal dan akhir sampel saat intervensi pada kelompok 1 dan 3 (p>0.05). Hasil Uji ANOVA pada variabel konsumsi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk konsumsi protein hari intervensi dengan nilai P=0.156 atau P>0.05. Data rata-rata konsumsi protein pada hari non-intervensi sampel dapat dilihat pada Gambar 26 berikut. 60 50 40 30 20 10 0 P non intrv awal (gram) P non intrv akhir (gram) Duncan
Kelompok 1 28.6 31.7
Kelompok 2 24.8 54.3
Kelompok 3 34 36.4
ab
a
b
Gambar 26 Rata-rata konsumsi protein non-intervensi awal dan akhir sampel
42 Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi protein nonintervensi sampel mengalami peningkatan. Pada kelompok 1, terjadi peningkatan konsumsi protein hari non-intervensi sampel sebesar 3.1 gram dengan rata-rata konsumsi protein non-intervensi awal sampel adalah 28.6 gram dan rata-rata konsumsi protein non-intervensi akhir adalah 31.7 gram. Peningkatan konsumsi protein saat non-intervensi yang cukup besar berada pada kelompok 2 yaitu sebesar 29.5 gram dimana rata-rata konsumsi protein awal sampel saat nonintervensi adalah 24.8 gram, sedangkan rata-rata konsumsi protein akhir sampel saat non-intervensi adalah 54.3 gram. Pada kelompok 3, rata-rata konsumsi protein non-intervensi awal dan akhir sampel adalah 34 gram dan 36.4 gram atau terjadi peningkatan konsumsi protein sebesar 2.4 gram. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara konsumsi protein awal dan akhir sampel saat non-intervensi pada kelompok 2 (p<0.05), sedangkan hasil analisis paired samples t test juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara konsumsi protein awal dan akhir sampel saat non-intervensi pada kelompok 1 dan 3 (p>0.05). Berdasarkan Uji ANOVA pada variabel konsumsi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi pada kelompok 2 dan kelompok 3 untuk konsumsi protein hari non-intervensi dengan nilai P=0.029 atau P<0.05. setelah dilakukan uji lanjut dengan Uji Duncan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada kelompok perlakuan 2 dan kelompok 3. Pengaruh Intervensi terhadap Aktivitas Fisik Rata-rata aktifitas fisik sampel saat intervensi dapat dilihat pada Gambar 27 berikut. 3000 2000 1000 0 AF int awal (kkal) AF int akhir (kkal)
Kelompok 1 2405 2209
Kelompok 2 2280 2374
Kelompok 3 2381 2420
Gambar 27 Rata-rata aktivitas fisik intervensi Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan aktivitas fisik sampel saat intervensi pada kelompok 1 yaitu sebesar 196 kkal, sedangkan pada kelompok 2 dan 3 terjadi peningkatan aktifitas fisik sampel berturut-turut sebesar 94 kkal dan 39 kkal. Rata-rata aktifitas fisik awal sampel saat intervensi pada kelompok 1 adalah 2405 kkal. Rata-rata aktifitas akhir sampel saat intervensi pada kelompok 1 adalah 2209 kkal dan pada kelompok 2 dan 3 rata-rata aktifitas fisik awal sampel saat intervensi adalah 2280 kkal dan 2381 kkal, sedangkan rata-rata aktifitas fisik akhir sampel saat intervensi pada kelompok 2 dan 3 berturut-turut adalah 2374 kkal dan 2420 kkal. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara energi aktivitas awal dan akhir sampel saat intervensi pada kelompok 1, 2, dan 3 (p<0.05) Berdasarkan Uji ANOVA pada variabel aktivitas fisik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk aktivitas fisik hari intervensi dengan nilai P=0.012 atau P< 0.05.
43 Data rata-rata aktifitas fisik sampel saat non-intervensi dapat dilihat pada Gambar 28 berikut. 3000 2000 1000 0
Kelompok 1 AF non intrv awl (kkal) 2031 AF non intrv akhr (kkal) 1999
Kelompok 2 2061 2147
Kelompok 3 1955 2001
Gambar 28 Rata-rata aktivitas fisik non-intervensi Rata-rata aktifitas awal sampel saat non-intervensi pada kelompok 1 adalah 2031 kkal dan rata-rata aktifitas akhir pada saat non-intervensi adalah 1999 kkal atau terjadi penurunan sebesar 32 kkal. Pada kelompok 2, rata-rata aktifitas awal dan akhir saat non-intervensi berturut-turut adalah 2061 kkal dan 2147 kkal atau terjadi peningkatan sebesar 86 kkal. Rata-rata aktifitas awal dan akhir saat nonintervensi kelompok 3 adalah 1955 kkal dan 2001 kkal atau terjadi peningkatan sebesar 46 kkal. Hasil analisis paired samples t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara energi aktivitas fisik awal dan akhir sampel saat non-intervensi pada kelompok 1, 2, dan 3 (p<0.05). Hasil Uji ANOVA pada variabel aktivitas fisik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok intervensi untuk aktivitas fisik hari non-intervensi dengan nilai P=0.792 atau P>0.05. Pembahasan Status Gizi Hasil penelitian ini menunjukan adanya pengaruh intervensi latihan senam aerobik intensitas sedang (low impact) terhadap status gizi, seperti antropometri, persentase lemak tubuh, komposisi tubuh, profil lipid pada mahasiswi. Berbagai penelitian lain yang dilakukan menunjukkan adanya hubungan antara aktivitas fisik dan status gizi. Menurut Purniayanti (2012) bahwa faktor aktivitas fisik dan latihan ini dapat menurunkan kelebihan berat badan akibat penumpukan massa lemak yang dapat mempermudah seseorang dalam aktivitas yang melibatkan pergerakan (lari dan lompat). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa aktivitas fisik berperan penting pada pencapaian stabilitas berat badan dan kesehatan secara keseluruhan (Chad et al. 2011). Hasil penelitian Dehghan (2009) menunjukkan adanya pengaruh pemberian latihan aerobik intensitas sedang terhadap indek masa tubuh dan komposisi lemak tubuh dalam waktu 8 minggu. Anderson et al. (1991) melakukan penelitian dengan merekrut pria obesitas dan perempuan obesitas dalam tiga bulan program pelatihan fisik. Setelah tiga bulan program, baik pria maupun wanita kehilangan berat badan sekitar 2 kg dengan penurunan 2.6-2.9 kg lemak tubuh. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa hasil studi intervensi klinis menunjukkan bahwa perubahan dalam asupan energi memiliki dampak yang lebih besar pada berat badan dibandingkan olahraga saja, penelitian menunjukkan
44 bahwa olahraga dapat sama efektifnya dengan diet untuk penurunan berat badan dengan cepat (Jakicic dan Otto 2005). Tingkatan olahraga yang optimal dan efektif untuk pencegahan berat badan masih diperdebatkan, oleh karena itu dianjurkan 150 menit/minggu untuk berolahraga, karena ini merupakan angka minimal aktivitas fisik untuk meningkatan kesehatan dan untuk meningkatkan tingkat latihan yang diperlukan untuk mencegah kenaikan berat badan (Slentz et al. 2004). Pada dua penelitian terpisah, Jakicic et al. (1999) telah melaporkan bahwa penurunan berat badan jangka panjang yang meningkat pada wanita overweight dan obesitas dengan penambahan 200-300 menit/minggu dari aktivitas fisik. Penelitian lain yang dilakukan oleh Kralova-lesna (2009) menunjukan adanya pengaruh penurunan berat badan yang terjadi setelah melakukan latihan aerobik intensitas sedang selama 9 minggu dengan frekuensi 5x dalam seminggu dan 60 menit setiap sesinya terbukti telah menurukan rata-rata berat badan sebesar 7.7% dari berat badannya. Blair et al. (2004) telah menyimpulkan bahwa aktivitas fisik 30 menit/hari dengan intensitas sedang memberikan manfaat kesehatan yang besar. Meningkatkan aktivitas fisik dari rekomendasi kesehatan minimum (150 menit/minggu) mungkin diperlukan untuk meningkatkan penurunan berat badan jangka panjang. Penelitian yang dilakukan di semarang dengan memberikan intervensi olahraga selama 8 minggu dengan frekuensi 3x seminggu dan durasi 30 menit setiap sesinya menunjukan hasil bahwa terjadi penurunan lemak tubuh dan IMT akan meningkatkan kebugaran tubuh (Anam et al. 2010). Setiap molekul oksidasi lemak memerlukan oksigen jauh lebih banyak dibandingkan dengan karbohidrat. Kebutuhan oksigen untuk aktivitas aerobik dicukupi oleh sistem kardiovaskuler dan respirasi (McArdle et al. 1986). Sistem kardiovaskuler mempunyai keterbatasan dalam memasok oksigen ke otot skelet sehingga pasokan oksigen akan kurang apabila kebutuhan oksigen untuk oksidasi energi selama latihan aerobik melebihi kemampuan sistem kardiovaskuler dalam memasok oksigen. Senam aerobik intensitas tinggi (SAIT) memerlukan ATP yang banyak dalam waktu singkat sehingga akan terjadi defisit oksigen ke otot yang aktif karena keterbatasan sistem kardiovaskuler dalam memasok oksigen. Akibatnya, sebagai sumber energi utama untuk kontraksi otot pada SAIT adalah karbohidrat. Sebaliknya, pada senam aerobik intensitas ringan (SAIR) dengan waktu yang lebih lama, sistem kardiovaskuler masih mampu memenuhi kebutuhan oksigen otot yang berkontraksi sehingga sebagai sumber energi utama untuk kontraksi otot adalah lemak. Adapun sumber energi pada senam aerobik intensitas sedang (SAIS) adalah karbohidrat dan lemak secara seimbang (McArdle et al. 1986; Wilmore & Costill 1994). Penelitian yang dilakukan Brook (1978) menyatakan bahwa aktivitas fisik atau latihan yang teratur dan terprogram dapat membantu menurunkan Persentase Lemak Badan (PLB) terutama latihan yang bersifat aerobik. Abe et al. (1997) dalam penelitian lainnya melaporkan bahwa latihan aerobik dengan frekuensi 3-5 kali seminggu seperti yang direkomendasikan oleh ACSM dapat menurunkan masa lemak subkutan dan lemak viseral. Ahli lain, Hodder dan Stonghton (1997) melaporkan bahwa senam aerobik dapat menurunkan PLB serta menambah myofilamen otot, struktur padat tulang dan jaringan ikat yang mempengaruhi
45 lemak badan. Partrilasni et al. (1997) menyimpulkan bahwa senam aerobik tanpa memperhatikan intensitas latihan yang dilakukan selama 12 minggu, dapat menurunkan PLB secara bermakna. Abe et al. (1996) melaporkan bahwa latihan aerobik seperti lari, bersepeda dan senam dapat menurunkan persentase lemak badan (PLB). Fatimah (2011) mengungkapkan bahwa latihan jasmani dapat menghilangkan lipatan-lipatan lemak seseorang dan membakar banyak kalori sehingga tubuh tampak lebih langsing dan berat badan menjadi ideal. Orang yang mengalami kegemukan atau obesitas menyimpan lemaknya di bagian perut, selebihnya di bagian paha dan pinggul. Latihan senam aerobik intensitas sedangan juga menunjukkan adanya hubungan dengan komposisi air dalam tubuh, oleh karena itu komposisi air tubuh mempunyai peranan yang penting. Menurut Almatsir (2006) bahwa air mempunyai berbagai fungsi dalam proses vital tubuh antara lain sebagai pelarut dan alat angkut, katalisator, pelumas, pengatur suhu, dan peredam benturan. Fungsi air dalam tubuh sangat penting untuk menunjang aktivitas yang dilakukan sehingga air dalam tubuh tidak boleh kekurangan yang menyebabkan fungsi dalam tubuh tidak berjalan dengan normal. Penelitian yang dilakukan oleh Kutac (2011) dimana hasil yang diperoleh menunjukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan tingkat sedang dan ringan terhadap total air tubuh dan juga lemak tubuh. Dalam penelitian ini juga memperoleh hasil bahwa dengan aktivitas aerobik juga yang dilakukan 30 menit secara terus-menerus akan membuat total air dalam tubuh akan turun sebesar 0.4% dari berat tubuh dan lemak tubuh juga mengalami penurunan sebesar 2.7% dari berat tubuh. Penelitian yang dilakukan oleh Yun Ma (2011) menunjukan bahwa latihan senam aerobik murni tidak berpengaruh secara nyata terhadap komposisi tubuh, sehingga perlu adanya kombinasi dengan latihan kekuatan sehingga akan mempunyai mempunyai pengaruh yang signifikan. Fakta lain menunjukkan manfaat melakukan senam aerobik adalah mengubah komposisi tubuh. Perubahan komposisi tubuh ditunjukkan oleh perbandingan kumpulan otot, tulang, dan cairan tubuh dibandingkan dengan lemak (Fatimah 2011). Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa latihan senam aerobik intensitas sedang tidak berpengaruh terhadap dengan frekuensi 2x seminggu, 3x seminggu dan 4x seminggu terhadap komposisi tubuh. Penelitian yang dilakukan oleh Fatimah (2011) menunjukkan bahwa kegiatan senam aerobik yang dilakukan 3 kali seminggu secara bermakna tidak mempengaruhi kadar kolesterol total wanita dewasa. Penelitian di Jepang mengenai intervensi senam aerobik 3x seminggu yang menyatakan bahwa tidak ada perubahan signifikan yang diamati dalam konsentrasi serum total kolesterol dan trigliserida, namun konsentrasi serum kolesterol HDL2 meningkat secara signifikan pada 10 minggu terapi latihan. Konsentrasi serum kolesterol HDL2 meningkat secara signifikan pada 10 minggu, namun tidak ada perubahan dalam kolesterol total dan HDL (Ata 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Hiruntrakul (2010) mengungkapkan bahwa dengan latihan daya tahan yang dilakukan secara rutin seminggu sekali terbukti mampu meningkatkan HDL pada remaja. Penelitian Waspadji (2003) diacu dalam Fatimah (2011) mengungkapkan bahwa orang gemuk cenderung memiliki kadar trigliserida tinggi yang disimpan di bawah kulit. Simpanan trigliserida ini merupakan bahan utama pembentukan very low density lipoprotein (VLDL)-
46 kolesterol dan LDL-kolesterol di hati yang akan masuk ke dalam darah. Berkaitan dengan ini maka kegemukan atau obesitas cenderung menjadi penyebab meningkatnya kadar kolesterol total. Penelitan lain juga menunjukkan bahwa senam aerobik intensitas sedang yang dilakukan secara teratur dengan frekuensi 3x seminggu sesuai kondisi tubuh bermanfaat dalam regulasi kolesterol yaitu menurunkan kadar kolesterol total, low density lipoprotein (LDL)-kolesterol, dan trigliserida, sedangkan high density lipoprotein (HDL)-kolesterol meningkat secara bermakna (Fatimah 2011). Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatimah di atas bahwa dengan latihan aerobik yang diberikan dengan perlakuan 2x seminggu, 3x seminggu dan 4x seminggu menunjukkan penurunan kadar trigliserida darah dan LDL. Status Kebugaran Latihan senam aerobik yang dilakukan dengan baik dan rutin akan meningkatkan kebugaran tubuh (Budiharjo 2005). Penelitian lain juga mengungkapkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara latihan aerobik intensitas sedang dengan frekwensi 2 kali dalam seminggu dan juga 3 kali dalam seminggu dan berpengaruh nyata terhadap kebugaran jasmani (Suharjana dan Sumaryanti 2003). Latihan yang sesuai dengan kaidah-kaidah latihan yang benar akan dapat mencegah dan bahkan mengurangi kelebihan berat badan dan juga meningkatkan kebugaran jasmani adalah dengan olahraga kesehatan yaitu dengan latihan senam aerobik intensitas sedang (low impact) yang dilakukan 3x seminggu (Fauzi 1996). Penelitian cross-sectional yang dilakukan Lloyd et al. (1998) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara latihan fisik dengan kebugaran pada remaja maupun dewasa. Witmer et al. (2010) mengungkapkan bahwa latihan squat telah terbukti mampu meningkatkan kekuatan hasil vertical jump. Hal ini menunjukkan bahwa dengan latihan aerobik yang didalamnya terdapat gerakan squat mampu meningkatkan hasil dari tes vertical jump. Penelitian Melzer (2005) pada penelitian yang dilakukannya menunjukkan hasil bahwa pada orang yang obesitas dengan latihan yang meningkat baik volume dan frekuensinya tidak menunjukkan perubahan signifikan terhadap asupan makanan karena adanya kelebihan simpanan energi. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini yang menunjukkan bahwa mahasiswi yang obese dengan latihan senam aerobik intesitas sedang yang frekuensinya 4x seminggu menunjukkan hasil tidak signifikan asupan makannya. Besarnya protein yang dibutuhkan diduga terkait dengan peningkatan sintesis protein yang diperlukan untuk membantu proses perbaikan dan renovasi serat otot rangka yang rusak selama latihan daya tahan atau aerobik (Tarnopolsky 1992). Hal ini sejalan dengan hasil dari penelitian ini mengenai konsumsi protein pada hari intervensi menunjukkan adanya peningkatan jumlahnya pada semua kelompok senam aerobik intensitas sedang dengan frekuensi 2x seminggu, 3x seminggu dan 4x seminggu. Penelitian yang dilakukan Chaput et al. (2010) mengungkapkan bahwa latihan fisik pada tingkat tinggi memiliki hubungan antara asupan energi dengan pengeluaran energi yang menunjukkan bahwa olahraga dapat meningkatkan kontrol nafsu makan. Penelitian di Jordan tahun 2008 juga menunjukkan bahwa
47 senam bermanfaat terhadap penurunan kadar kolesterol, trigliserida, dan kolesterol LDL yang diakibatkan adanya penurunan berat badan disertai dengan perubahan pola makan (Fatimah 2011).
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Tidak terdapat perbedaan yang nyata status antropometri pada kelompok intervensi senam aerobik intensitas sedang (low impact) dengan frekuensi 2x seminggu, 3x seminggu dan 4x seminggu untuk berat badan dan IMT. Latihan senam aerobik intensitas sedang yang dilakukan 4x seminggu mempunyai kecenderungan paling baik untuk menurunkan berat badan dan IMT mahasiswi. 2. Tidak terdapat perbedaan yang nyata komposisi tubuh dan lemak bawah kulit pada kelompok intervensi senam aerobik intensitas sedang (low impact) dengan frekuensi 2x seminggu, 3x seminggu dan 4x seminggu untuk triceps, abdomen, paha, LBM, PBF, MBF,TBW dan SLM. Kelompok intervensi senam aerobik intensitas dengan frekuensi 4x seminggu mempunyai kecenderungan paling baik untuk membuat komposisi tubuh menjadi lebih seimbang dan komposisi lemak menjadi berkurang. 3. Tidak terdapat perbedaan yang nyata profil lipid pada kelompok intervensi senam aerobik intensitas sedang (low impact) dengan frekuensi 2x seminggu, 3x seminggu dan 4x seminggu untuk total kolestrol, LDL,HDL dan trigliserida. Kelompok frekuensi senam aerobik intensitas sedang 4x seminggu mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan kadar HDL darah dan menurunkan total kolestrol, LDL dan juga trigliserida. 4. Terdapat perbedaan yang nyata status kebugaran antara ketiga kelompok intervensi senam aerobik intensitas sedang (low impact) dengan frekuensi 2x seminggu, 3x seminggu dan 4x seminggu untuk vertical jump dan tidak terdapat perbedaan nyata antara ketiga kelompok perlakuan untuk push up, sit up, sprint 100m dan lari jarak 1000m. Latihan senam aerobik intensitas sedang dengan frekuensi 4x seminggu cenderung paling baik untuk meningkatkan status kebugaran mahasiswi. 5. Terdapat perbedaan yang nyata konsumsi pada kelompok intervensi senam aerobik intensitas sedang (low impact) dengan frekuensi 2x seminggu, 3x seminggu dan 4x seminggu untuk konsumsi protein hari non-intervensi, konsumsi lemak hari intervensi. Sedangkan untuk konsumsi energi hari intervensi dan non-intervensi, dan juga konsumsi protein hari intervensi mempunyai perbedaan yang tidak nyata. Kelompok senam aerobik intensitas sedang dengan frekuensi 4x cenderung paling baik dilakukan dalam menjaga asupan makanan agar zat-zat gizi dapat terpenuhi.
48 Saran 1. Latihan aerobik intensitas sedang (low impact) dengan frekwensi 4x dalam seminggu cenderung mempunyai peranan yang paling baik digunakan untuk meningkatkan status kebugaran dan status gizi mahasiswi. 2. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk membandingkan pengaruh senam aerobik intensitas sedang (low impact), senam aerobik intensitas tinggi (high impact) dan juga program diet terhadap status kebugaran dan status gizi remaja. 3. Perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembang dengan pesat sekarang ini semakin banyak memunculkan berbagai bentuk latihan yang dapat meningkatkan status kebugaran dan status gizi salah satunya adalah latihan High Intensity Interval Training (HIIT), Body Pump, Taebo, RPM dll yang dewasa ini sangat popular di pusat-pusat kebugaran yang dapat menjadi pembanding sebagai program yang paling baik untuk dilakukan pada semua kelompok usia.
DAFTAR PUSTAKA Abe, T., Sakurai, J., Kawakami, Y. & Fukunaga, T. 1996 Subcutaneous and visceral fat distribution and daily physical activity : comparison between young and midle age women. Br. J. Sports Med. 30 : 297 – 300. Abe, T., Kawakami, Y., Sugita, M. & Fukunaga, T. 1997 Relationship between training frequency and subcutaneous and visceral fat in women. Med. Sci. Sports Exerc. 29 : 1549 – 53. Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. American Heart Association. 2011. Cholesterol. http: // www.heart.org/ HEARTORG/ Conditions/ Cholesterol/ About Cholesterol /About-Cholesterol _ UCM_001220 _Article . jsp [15 Juli 2011]. Anam et al. 2010. Pengaruh Diet dan Olahraga Terhadap Indeks Masa tubuh, Lemak Tubuh dan Kesegaran Jasmani Pada Anak Obes. Sari Pediatri. 12(1)3641. Anies. 2006. Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular. PT Gramedia. Jakarta. Andersson, B., Xu, X. F., Rebuffe-Scrive, M., Terning, K., Krotkiewski, M., & Bjorntorp, P. 1991. The effects of exercise, training on body composition and metabolism in men and women. International Journal of Obesity, 15(1), 75-81. Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC. Ata AB, Mansi K, Aburjai T. 2008. Lipid profile of gymnasts of the Jordan National Team. American Journal of Applied Science. Blair SN, LaMonte MJ, Nichaman MZ. 2004. The Evolution Of Physical Activity Recommendations: How Much Is Enough?. Am J Clin Nutr. 79.913S–20S. Brook, C.GD. 1978 Cellular Growth : Adipose Tissue, dalam Fulkner, F. and Tanner, J.M. (eds.) : Human Growth 2 : Principles and Prenatal Growth, pp. 21 – 31. Plenum Press, New York.
49 Budiharjo, dkk. 2005. Pengaruh senam aerobic low impact intensitas sedang terhadap kelenturan badan pada wanita lanjut usia terlatih. Berkala Ilmu Kedokteran. 37(4:178). Chad A. Wilmer, Shala E. Davis and Galvin L. Moir. 2010. The acute effect of back squat on vertical jump performance in men and women. Journal of sport science medicine. Pensyvinia. Chaput J et al. 2010. Physical Activity Olays an Important Role in Body Weigh Regulation. Journal of Obesity. Copenhagen Denmark. 2011. 360257. Citra AF dan Retnaningsih. 2009. Konsep Diri Remaja Awal Putri yang Mengalami Obesitas. Jurnal Psikologi Volume 2(2). [Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia Tahun 2007. Jakarta: Balitbangkes-Depkes RI. Dehghan M, Danesh NA, Merchant AT. 2005. Childhood Obesity, Prevalence, and Prevention. Nutritional Journal 24 (1-8) Dehghan S, Sharifi G, Faramarzi M. 2009. The effect of 8 week low impact rhythmic aerobic training on total plasma homocysteine concentration in older non-athlete women. J Mazand Univ Med Sci ; 19(72). Dipietro L, Kohl HW, Barlow CE, Blair SN. 1998. Improvements In Cardiorespiratory Fitness Attenuate Age-Related Weight Gain In Healthy Men And Women: the Aerobics Center Longitudinal Study. Int J Obes 22: 55–62. Dure ML, Malfatti CRM, Burgos LT. 2008. Triglycerides hydrolysis and blood lactacidemy during aerobic exercise executed after muscular resistance exercise. Fit Perf J.7(6):400-5. Esperanza J et al. 2000. Daily Energy Expenditure in Mexican and USA Pima Indians: Low Physical Activity as a Possible Cause of Obesity. International Journal of Obesity. 2. 55-59. Fatimah. 2011. Senam Aerobik dan Konsumsi Zat Gizi Serta Pengaruhnya Terhadap Kadar kolesterol Darah Wanita. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. Vol.8 23-27. Fatmah. 2011. Gizi Kebugaran dan Olahraga. Bandung: Lubuk Agung. Fauzi D. 1996. PengruhSenam Aerobik Terhadap Kebugaran Jasmani di Bulan Puasa. Majalah Ilmiah Olahraga. Jakarta:Menpora. [FAO] Food And Nutrition. Technical Report Series. 2001. Human Energy Requirements. Rome: FAO/WHO/UNU. [FKM-UI] Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Giam, C.K. & Teh, K.C. 1993. Sport Medicine, Exercise and Fitness. P.G. Publishing Pte Ltd., Singapore. Giriwijoyo S. 2005. Ilmu Faal Olahraga. Bandung. Fak. Pendidkan Olahraga dan Kesehatan. Universitas Pendidikan Indonesia. Harsono. 1997. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis Dalam Coaching. Jakarta: Tambak Kusuma. Hartono A. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta: EGC Hasalkar S, Shivalli R, Biradar N, 2005. Measures and Physical Fitness Level of the College Going Students. Anthropologist, 7(3): 185-187. Hidayati SN, Irawan R, Hidayat B. 2009. Obesitas Pada Anak. Surabaya: Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Unair.
50 Hillemeier et al. 2011. Transition to Overweight or Obesity Among Women of Reproductive Age. Journal Of Women’s Health;20(5). Hiruntrakul A et al. 2010. Effect of Once a Week Endurance Exercise on Fitness Status in Sedentary Subjects. Journal of Medicine Assoc Thai. Thailand. 93 (9): 1070-4. Hodder, Stonghton 1997 Sport Therapy : An Introduction to Theory and Practice. Scotprint Ltd., Musselburg. Hoeger WWK, Hoeger SA. 2005. Lifetime Physical Fitness and Wellness, a Personalized Program. Ed ke-5. USA: Thomson Wadsworth. Hurlock EB. 1994. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Husaini MA.. 1991. Tumbuh Kembang dan Gizi Remaja. Buletin Gizi Prima (27). Bogor. Persatuan Ahli Gizi Indrawagita L. 2009. Hubungan status gizi, aktivitas fisik dan asupan gizi dengan kebugaran pada mahasiswi program studi Gizi FKM UI tahun 2009. [Skripsi]. FKUM-UI Indriawati, Ratna. 2005. Hubungan Tingkat Kebugaran Jasmani dan Kapasitas Vital Paru pada Kelompok Remaja dengan Faal Paru Normal. Majalah Ilmu Faal Indonesia: 135-42. Jakicic JM dan Otto AD. 2005. Physical Activity Considerations fot the Treatment and Preventive of Obesity. Am J Clinic Nutrition. 82; 226S-9S. Jakicic JM, Winters C, Lang W, Wing RR. 1999. Effects Of Intermittent Exercise And Use Of Home Exercise Equipment On Adherence, Weight Loss, And Fitness In Overweight Women: A Randomized Trial. JAMA. 282: 1554–60. Klem ML, Wing RR, McGuire MT, Seagle HM, Hill JO. 1997. A Descriptive Study Of Individuals Successful At Long-Term Maintenance Of Substantial Weight Loss. Am J Clin Nutr. 66:239–46. Koc H. 2011. The comparison of blood lipid levels of athletes and sedentary college students. Pak J Med Sci 27(3). Kutac Petr. 2011. Changes of body Composition Parameters After Maximum Aerobic Load Using BIA Method. Med Sport. Czezh. 15(4); 209-212 Lemeshow S, Hosmer Jr DW, Klar J. 1997. Adequacy of 10 sample size in health studies. Pramono D.1997 (Alih bahasa). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mahan K dan Escott-Stump S. 2008. Krause’s Food Nutrition and Therapy. AS: Elsevier. McArdle, W.D., Katch, F.I. & Katch, V.L. 1986 Exercise Physiology : Energy, Nutrition, and Human Performance. 2nd. Ed. Lea & Febiger, Philadelphia. Melzar K, Kayser B, Saris WH,pilchard C. 2005. Effect of Physical Activity on Food Intake. Clinical Nutrition. Switzerland. 24,885-895. Misnadiarly. 2007. Obesitas: Sebagai Faktor Risiko Beberapa Penyakit. Edisi 1. Jakarta: Pustaka Obor Populer. Moelek D. Tjokronegoro A. 1984. Kesehatan dan Olahraga. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta. Moehyi. 1992. Ilmu Gizi. Jakarta, Bharatara. Monks FJ, Knoers AMP, Haditono SR. 1982. Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam Berbagai Bagian-Bagiannya. Jakarta: UGM Press. Moreira et al. 2011. Metabolic risk factors, physical activity and physical fitness in azorean adolescents: a cross-sectional study. BMC Public Health 11:214.
51 Mougious V. 2006. Exercise Biochemistry. Human Kinetics. New Zealand. Muchtadi D. 1996. Pencegahan Gizi Lebih dan Penyakit Kronis melalui Perbaikan Pola Konsumsi Pangan. Orasi Ilmiah Guru Besar tetap Ilmu Metabolisme Zat Gizi. Fateta. IPB. Novikasari M. 2003. Perubahan Berat Badan dan Status Gizi Mahasiswa Putra Jalur USMI Tahun 2002 pada Empat Bulan Pertama di IPB. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nurhasan. 2007. Modul Tes dan Pengukuran Keolahragaan. UPI Press. Odgen C, Carrol M, Catherine F, Johnson IC. 2009. Prevalence of Obesity Among Children and Adolescents: United States, Trends 1963–1965 Through 2007– 2008. The Journal of the American Medical Association Vol 288 (14): 17281732. Panuju P, Umami. 1999. Psikologi Remaja. Yogyakarta :Tiara Wacana. Partrilasni, A., Noerhadi, M., Priyonoadi, B. & Sukamti, E.R. 1997. Pengaruh Latihan Beban dan Latihan Aerobik Terhadap Penurunan Persentase Lemak Tubuh, dan Peningkatan Kesegaran Kardiorespirasi. Laporan Penelitian, Fak. Pendidikan Olahraga dan Kesehatan IKIP Yogyakarta. Pollock, M.L. & Wilmore, J.H. 1990. Exercise in Health and Disease : Evaluation and Prescription for Prevention and Rehabilitation. 2nd. Ed. Saunders. Philadelphia. Pudjiadi S. 1997. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Purniayanti S. 2012. Hubungan kebugaran jasmani dengan presentase lemak dan indeks massa tubuh pada anak usia 9 dan 10 tahun. [skripsi] FEMA IPB. Quinn Elizabeth. 2011. Body Composition and Percent Body Fat. http://sportsmedicine.about.com/fitnessevalandassessment/a/Body_Fat_Comp. [29 [April 2012]. Rejeski WJ, Marsh AP, Chmelo E, Rejesji JJ. 2009. Obesity, Intentional Weight Loss And Physical Disability In Older Adults. International Association for the Study of Obesity 11, 671–685. [RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. [RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riyadi H. 2003. Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri [diktat]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. . 2006. Gizi dan Kesehatan Keluarga. Jakarta : Universitas Terbuka. Sadoso S 1995. Latihan Olahraga Bagi Orang Dewasa. Jakarta: Pusat Ilmu Olahraga – KONI PUSAT. Sajoto M. 1995. Peningkatan dan Pembinaan Kekuatan Kondis Fisik Dalam Olahraga. Semarang. Dahara Prize. Santoso M dan Setiawan T. 2005. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran No.147: 6-9. Slentz CA, Duscha MS, Johnson JL, et al. 2004. Effects Of The Amount Of Exercise On Body Weight, Body Composition, And Measures Of Central Obesity. STRIDDE: A Randomized Controlled Study. Arch Int Med 164:31–9.
52 Soegondo. 1995. Diabetes Millitus Penatalaksanaan Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Soekarno, W., Kushartanti, B.M.W. & Noerhadi, M. 1996 Dasar-dasar Latihan Senam Aerobik. Fak. Pendidikan Olahraga dan Kesehatan IKIP Yogyakarta. Strong, W.B., Malina, R.M., Blimkie, C.J., Daniels, S.R., Dishman, R.K., Gutin, B., Hergenroeder, A.C., Must, A., Nixon, P.A., Pivarnik, J.M., Rowland, T., Trost, S. and Trudeau, F. 2005. Evidence based physical activity for school age youth. The Journal of Pediatrics 146, 732-737. Sudarno SP. 1992. Pendidikan Kesehatan Jasmani. Jakarta : Depdikbud. Suharjana dan Sumaryanti. 2003. Efektivitas Senam Aerobik Terhadap Kebugaran Jasmani Sekolah Dasar. Olahraga Volume 9 Edisi April. UNY Jogjakarta. Sumardiyanto. 2007. Modul Mata Kuliah Sejarah dan Filsafat Olahraga. Bandung: Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan UPI. Supranto J. 2000. Statistik (Teori dan Aplikasi), Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. Supariasa IDN, B Bakri & I Fajar. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Tarnopolsky MA et al. 1992. Evaluation of Protein Requirements For Trained Strength Athletes. J Appl Physiol. 73:1986–1995. Trismanto A. 2003. Hubungan Status Gizi dan Perilaku Hidup Sehat dengan Tingkat Kesegaran Jasmani Mahasiswa Akademi Keperawatan Pemerintah Daerah Serang Banten Tahun 2003. [Skripsi]. FKM-UI. Tsiros, M. D., Sinn, N., Coates, A. M., Howe, P. R. C., & Buckley, J.D. 2008. Treatment of adolescent overweight and obesity. European Journal of Pediatrics, 167, 9-16. Waspadji S, Suyono S. 2003. Pengkajian status gizi. Pusat Diabetes dan Lipid RSCM/FKUI, Jakarta. Wei M,Kampert J, Arlow CE, et al. 1999. Relationship Between Low Cardiorespiratory Fitness And Mortality In Normal-Weight, Overweight, And Obese Men. JAMA. 282:1547–53. [WHO]. World Health Organization. 2000. Body Mass Index (bmi) = Indeks massa tubuh. http://www.obesitas.web.id/indonesia/bmi(i).htm [Desember 2011]. [WHO]. World Health Organization. 2004. Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health. Geneva. [WHO] World Health Organization. 2011. World Health Statistic. http://www.who.int/whosis/whostat/2011/en/index.html. [1 Februari 2012]. Wijayanti K. 2006. Model Prediksi VO2max dengan Persen Lemak Tubuh, RLPP, dan IMT (Data Pemeriksaan Kebugaran Jasmani PNS Dekdikbudnas Tahun 2005). [Tesis]. IKM-UI. Wilmore JH and DL Costill. 2004 Physiology of Sport and Exercise (3rd Ed.). Champaign, IL. Human Kinetics. Wirakusumah ES. 1994. Cara Aman dan Efektif Menurunkan Berat Badan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Witmer CA, Davis SE, Moir GL. 2010. The acute effects of back squats on vertical jump performance in men and women. Journal of Sports Science and Medicine 9, 206-213.
53 Yun Ma. 2011. An Experimental Study on the Effect of Strength Training and Aerobic Exercise on Female University Students’ BMI and WHR. Asian Social Science. Shandong China. Vol. 7, No.3.
54 Lampiran 1. Hasil uji one way ANOVA variable penelitian Hasil Uji one way ANOVA Variabel Antropometri Sampel Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Antropometri P Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir - Berat badan 65.43 61.2 61.0 61 66.5 57.1 0.774 - IMT 26.3 25.7 25.6 25.6 28.3 24.4 0.466 Hasil Uji ANOVA Variabel Lemak Bawah Kulit Sampel Kelompok 2 Lemak Bawah Kelompok 1 Kulit Awal Akhir Awal Akhir - Triceps 33.4 20.8 24.8 20.4 - Abdomen 32.0 23.5 19.8 16.7 - Paha 42.0 30.5 40.5 30.5
Kelompok 3 Awal Akhir 25.8 21.8 25.1 19.7 46.7 37.3
P 0.241 0.630 0.854
Hasil Uji ANOVA Variabel Komposisi Tubuh Sampel Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Komposisi Tubuh Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir - LBM 40.5 45.7 45.5 46.2 41.2 41.8 - SLM 44.9 38.7 36.5 39.6 39.3 43.6 - TBW 30.0 28.8 32.8 28.9 28.2 28.4 - PBF 32.6 31.4 34.5 31.3 41.2 31.0 - MBF 20.1 21.2 18.9 19.7 19.8 23.7
P 0.355 0.365 0.367 0.956 0.852
Hasil Uji ANOVA Variabel Profil Lipid Sampel Kelompok 1 Kelompok 2 Profil Lipid Awal Akhir Awal Akhir 142.8 153.3 150.8 - Kolesterol 169.3 45.7 47.0 44.2 43.8 - HDL 93.5 72.8 86.0 83.7 - LDL 124.7 117.0 116.8 - Trigliserida 149.7
Kelompok 3 Awal Akhir 167.0 162.9 44.4 47.7 96.0 92.1 130.7 115.1
Hasil Uji ANOVA Variabel Kebugaran Fisik Sampel Kelompok 1 Kelompok 2 Kebugaran Fisik Awal Akhir Awal Akhir 16.5 20.7 16.0 20.3 - Push up 20.0 23.2 20.3 26.8 - Sit up 30.3 29.8 31.7 - Vertical jump 28.8 12.0 13.1 13.0 13.3 - 100 m 7.3 8.3 9.3 7.2 - 1000 m
Kelompok 3 Awal Akhir 16.7 23.1 20.9 27.6 29.7 32.7 11.9 12.7 7.2 7.9
Hasil Uji ANOVA Variabel Konsumsi dan Aktivitas Fisik Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Variable Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Energi intervensi 963 1069 901 1156 1054 1065 Energi non803 1150 769 1345 902 1001 intervensi Protein intervensi 27.9 37.8 30.2 47.8 45.4 46.1 Protein non28.6 31.7 24.8 54.3 34.0 36.4 intervensi
P 0.272 0.550 0.481 0.637
P 0.367 0.268 0.027* 0.295 0.531
P 0.531 0.171 0.156 0.029*
55 Lampiran 2. Hasil uji paired sample T test sebelum dan setelah intervensi Paired Sample T Test Antropometri Kelompok 1 Kelompok 2 1. Berat Badan 0.099 0.449 2. IMT 0.173 0.093
Kelompok 3 0.216 0.100
Paired Sample T Test Lemak Bawah Kulit 1. Triceps 2. Abdomen 3. Paha
Kelompok 2 0.059 0.094 0.047*
Kelompok 3 0.029* 0.005* 0.008*
Kelompok 1 Kelompok 2
Kelompok 3
0.703
0.031*
0.895
0.739
0.026*
0.731
1.000
0.031*
0.854
0.012*
0.032*
0.013*
0.004*
0.061
0.043*
Paired Sample T Test Komposisi Tubuh 1. Lean Body Mass (LBM) 2. Soft Lean Mass (SLM) 3. Total Body Water (TBW) 4. Percent Body Fat (PBF) 5. Mass of Body Fat (MBF) Paired Sample T Test Profil Lipid Darah 1. Kolesterol Total 2. HDL 3. LDL 4. Trigliserida Paired Sample T Test Kebugaran Tubuh 1. Sprint 60 m 2. PushUp 3. Sit Up 4. Vertical Jump 5. Lari 1000 m Paired Sample T Test Kosumsi Zat Gizi
Kelompok 1 0.018* 0.179 0.043*
Kelompok 1 Kelompok 2
Kelompok 3
0.024*
0.830
0.754
0.444 0.051 0.234
0.868 0.864 0.989
0.307 0.762 0.485
Kelompok 1 0.010* 0.005* 0.105
Kelompok 2 0.041* 0.017* 0.027*
Kelompok 3 0.017* 0.005* 0.002*
0.017*
0.000*
0.000*
0.030*
0.010*
0.138
Kelompok 1 Kelompok 2
Kelompok 3
56 1. Energi Intervensi 2. Energi Nonintervensi 3. Protein Intervensi 4. Protein Nonintervensi
0.422
0.071
0.956
0.034*
0.076
0.414
0.182
0.023*
0.900
0.560
0.046*
0.599
Paired Sample T Test Aktifitas Fisik Kelompok 1 Kelompok 2 1. Aktifitas Fisik 0.090 0.149 Intervensi 2. Aktifitas Fisik Non- 0.729 0.615 intervensi
Kelompok 3 0.266
0.677
57 Lampiran 3. Kuesioner food record 2x24 jam (hari intervensi) Nama : NRP/Kel : Tanggal : Waktu Makan Pagi
Selingan1
Siang
Selingan 2
Malam
Menu
Bahan pangan
URT
Berat (gram)
58 Lampiran 4. Kuesioner Food record 2x24 jam (hari non-intervensi) Nama : NRP/Kel : Tanggal : Waktu Makan Pagi
Selingan1
Siang
Selingan 2
Malam
Menu
Bahan pangan
URT
Berat (gram)
59 Lampiran 5. Kuesioner aktivitas fisik 2x24 jam (hari intervensi dan hari nonintervensi) Lama Aktivitas (menit) Waktu 24 5 Jam 04.00 (Pagi) 05.00 06.00 07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 1.700 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
60 00.00 01.00 02.00 03.00
61
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Singkawang Kalimantan Barat tanggal 24 April 1985 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Kusnadi S.Pd dan Ibu Rusmini Bakin. Masa pendidikan dasar hingga menengah atas dilalui di kota Singkawang. Pendidikan dasar diperoleh pada SDN 7 Singkawang periode 1990-1997 dan dilanjutkan di SMPN 3 Singkawang periode 1997-2000. Penulis menamatkan pendidikan menengah atas pada tahun 2003 dari SMUN 1 Singkawang. Kemudian di tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Pendidikan Kepelatihan Olahraga, Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan – Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan memperoleh gelar Sarjana Pendididkan pada tahun 2008 dengan judul skripsi Pengaruh Motivasi Berprestasi Pada mahasiswa Jalur SPMB dan PMDK Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan studinya di Program Magister (S2) Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana IPB.