i
PENGARUH PEMBERIAN ZAT GIZI MIKRO TERHADAP STATUS BESI DAN KEBUGARAN FISIK PEKERJA WANITA USIA SUBUR
YAKTIWORO INDRIANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Pengaruh Pemberian Zat Gizi Mikro terhadap Status Besi dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Usia Subur” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, November 2011
Yaktiworo Indriani NIM I162070071
iv
v
ABSTRACT YAKTIWORO INDRIANI. The effect of Micronutrient Supplementation on the Iron Status and Physical Fitness of the Woman Workers at Reproductive Age. Under direction of ALI KHOMSAN, DADANG SUKANDAR, HADI RIYADI Nowadays, there are many companies employing women as their main workers. In general, the aims of the study are to examine the influence of micronutrients on iron status (hemoglobin, hematocrit, serum ferritin and serum transferin receptor), and to assess the physical fitness (VO2max) of woman workers whose hemoglobin levels were 80 to 125 g/l or marginal and worked at the activity levels classified as moderate to active. The preliminary research was conducted by a survey method with a sample size of 338 households. This research employed an experimental design of double blind, completely randomized design. The experimental unit, taken from the preliminary study, consisted of 39 non-pregnant woman workers of reproductive age whose hemoglobin levels were 80 to 125 g/l or marginal. However, five of them were drop out due to pregnancy or sickness. The treatments applied in the study were by providing three levels of capsules containing: (1) a combination of iron and folic acid (BF), (2) multi-vitamin and mineral (MVM) which contains 15 different vitamins and minerals, and (3) placebo (P) which does not contain vitamins and minerals. The research result showed that the iron status of the woman workers was getting better after the supplementation. The three times per week supplementation with BF could significantly improve Hb 18.2 g/l and SF 10.1 ug/l, while the MVM could increase Hb 16.4 g/l and SF 2.4 ug/l. The increase of Hb levels in group BF and MVM was significantly different from that in group P, but the increase of SF levels was not significantly different among the three groups. The supplements of BF and MVM could significantly improve the physical fitness (VO2max) of the anemia (Hb<120 g/l) woman workers by 12.5% and 13.7%. Keywords: woman workers, reproductive age, iron status, physical fitness, BF, MVM, P
vi
vii
RINGKASAN YAKTIWORO INDRIANI. Pengaruh Pemberian Zat Gizi Mikro terhadap Status Besi dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Usia Subur. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN, DADANG SUKANDAR, HADI RIYADI Pekerja wanita usia subur (WUS) selama ini merupakan sumber daya manusia (SDM) yang utama di banyak industri, terutama industri pengolahan pangan yang pekerjaannya masih banyak dilakukan secara manual. Namun, secara umum status gizi dan kesehatan pekerja WUS di Indonesia belum banyak diperhatikan. Secara umum penelitian bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian zat gizi mikro terhadap status besi (hemoglobin, hematokrit serta serum feritin dan tranferin reseptor) dan kebugaran fisik (VO2maks) pekerja wanita yang anemia yang tingkat aktivitas bekerjanya tergolong sedang sampai aktif. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, di perusahaan pengalengan nanas yang terletak di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Perusahaan tersebut memiliki perkebunannya sendiri, sehingga terjamin bahan bakunya dan dapat berproduksi secara kontinyu. Tahap pertama penelitian adalah studi pendahuluan yang merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul Study on the Nutritional Status and Physical Fitness of the Non Pregnant Woman Workers to Support the Household SocioEconomy (Studi Status Gizi dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Usia Subur Tidak Hamil dalam Mendukung Sosial Ekonomi Keluarga). Secara umum studi pendahuluan bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis status gizi dan kesehatan, prevalensi anemia, kebugaran fisik serta karakteristik sosial ekonomi rumah tangga pekerja wanita tidak sedang hamil yang bekerja di perusahaan pengalengan nanas tersebut di atas. Studi pendahuluan dilakukan menggunakan metode survai yang melibatkan 338 sampel rumah tangga pekerja wanita. Penelitian untuk disertasi ini merupakan penelitian tahap ke dua yang merupakan penelitian eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap-RAL (completely randomized design-CRD). Perlakuan yang diberikan adalah suplementasi atau pemberian tambahan zat gizi mikro dalam kemasan kapsul secara buta ganda (double blind). Unit percobaan penelitian ini adalah pekerja 39 orang wanita usia subur yang memiliki kadar hemmoglobin (Hb) marginal berdasarkan hasil studi pendahuluan. Kriteria Hb marginal adalah mengalami anemia dengan kadar Hb 80—119 g/l, dan Hb termasuk normal namun di ambang batas bawah dengan kadar Hb 120—125 g/l. Studi pendahuluan dilakukan pada bulan Juni—Agustus 2010, sedangkan penelitian eksperimental dilaksanakan bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011. Protokol (Nomor Protokol 021005068) penelitian ini telah mendapatkan persetujuan (Ethical Approval) dari Komisi Etik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Nomor LB.03.04/ KE/5581/2010. Dalam penelitian terdapat tiga perlakuan yang merupakan jenis suplemen dalam bentuk kapsul yaitu besi folat (BF), multivitamin dan mineral (MVM), serta plasebo (P). Kapsul BF berisi ferrous sulfat 200 mg yang setara dengan zat besi elemental 60 mg dan asam folat 400 μg) yang merupakan saran dari
viii International Nutritional Anemia Consultative Group (INACG 2003). Kapsul MVM berisi 15 macam vitamin dan mineral yaitu vitamin A 800 μg, D 200 IU, E 10 mg, C 70 mg, B1 1.4 mg, B2 1.4 mg, B3 18 mg, B6 1.9 mg, B12 1.9 μg, asam folat 400 μg, besi 30 mg, seng 15 mg, copper 2 mg, selenium 65 μg, yodium 150 μg yang merupakan saran UNICEF/WHO/UNU (1999). Adapun kapsul P berisi amilum berfungsi sebagai kontrol. Pemberian kapsul dilakukan tiga kali per minggu selama 10 minggu. Terdapat empat peubah respon untuk status besi dalam darah yaitu Hb, hematokrit (Ht), serum feritin (SF), dan serum transferin reseptor (STfR). Adapun peubah respon untuk kebugaran fisik adalah VO2maks yang diukur melalui uji bangku Astrand Rhyming. Setiap peubah respon diukur dua kali, yaitu sebelum dan sesudah suplementasi. Sebelum uji bangku dilakukan pengukuran tekanan darah untuk memastikan bahwa pekerja tidak terkena tekanan darah tinggi. Seminggu sebelum dimulai suplementasi, dilakukan pemberian obat cacing untuk menghilangkan pengaruh infestasi cacing, dan uji laju endap darah (LED) untuk mengetahui kemungkinan adanya infeksi (radang). Selain itu, dilakukan pengukuran status gizi antropometri (indeks massa tubuh-IMT, lingkar lengan atas-LILA, dan rasio pinggang pinggul-RPP), persentase lemak tubuh (%LB), dan asupan zat gizi melalui recall makanan selama 24 jam sebelumnya. Analisis kadar Hb, Ht, dan LED dilakukan di laboratorium klinik di Bandar Lampung. Kadar SF dan STfR dianalisis di Laboratorium SEAMEO Tropmed RCCN Universitas Indonesia di Jakarta. Pengolahan data menggunakan program komputer Microsoft Excel serta SPSS version 17.0. Analisis statistika yang dilakukan adalah uji beda rata-rata (uji t), ANOVA dengan uji lanjut Duncan serta ANCOVA dan uji lanjut LSD untuk mengetahui adanya peubah pengganggu pada peubah respon. Pelaksanaan suplementasi dilakukan di depan peneliti atau asisten peneliti setiap hari Selasa, Rabu dan Jum’at di balai pengobatan yang terletak di dekat pabrik. Waktu minum kapsul adalah sesudah makan siang, bagi yang bekerja pagi, atau sesudah makan malam bagi yang bekerja malam. Kepatuhan minum kapsul semuanya 100%. Pekerja wanita anemia marginal yang berhasil mengikuti suplementasi sampai selesai berjumlah 34 orang. Terdapat 5 orang (13%) pekerja wanita yang gugur dikarenakan 3 orang hamil, dan 2 orang sakit. Mereka berasal dari grup BF dan MVM masing-masing dua orang, dan seorang dari grup P.Berdasarkan uji t, tidak ada perbedaan yang nyata (p = 0.37-0.96) dalam rataan berat badan (BB), tinggi badan (TB), indeks IMT, Hb, Ht, SF, STfR dan VO2maks antara 39 orang dengan 34 orang yang memiliki data lengkap. Rataan %AKG untuk energi, protein, serta vitamin A dan fosfor pekerja wanita anemia termasuk normal, baik dan berlebih, namun secara individu masih ada yang mengalami defisit pada zat gizi tersebut. Sebagian besar mengalami defisit vitamin C, kalsium dan Fe (<70%AKG) baik sebelum maupun selama perlakuan. Status gizi pekerja WUS termasuk kurus 12%, normal 70%, gemuk 18%, sesudah perlakuan menjadi 6%, 73%, dan 21%. Rataan kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) sebelum perlakuan adalah pada BF 107.5 g/l dan 33.9%, pada MVM 112.0 g/l dan 35.6%, sedangkan pada P 111.7 g/l dan 35.4%. Sesudah perlakuan rataan Hb dan Ht pada BF menjadi 125.7 g/l dan 38.4%, pada MVM 128.6 g/l dan 39.9%, sedangkan pada P 121.3 g/l dan 38.1%. Kenaikan Hb
ix tersebut berbeda nyata namun kenaikan Ht tidak berbeda nyata antar perlakuan. Meskipun reratanya sudah normal, pada MVM masih ada yang berstatus anemia yaitu sebanyak 27%, dan pada P sebanyak 33%, sedangkan pada BF tidak ada lagi yang anemia. Rataan SF , STfR dan jumlah besi dalam tubuh sebelum perlakuan pada BF berturut turut 23.9 ug/l, 6.0 mg/l, dan 2.24 mg/kg; sesudah perlakuan menjadi 34.0 ug/l, 7.4 mg/l, dan 3.2 mg/kg. Pada MVM berturut-turut sebelum perlakuan 28.7 ug/l, 5.8 mg/l, dan 3.2 mg/kg; sesudah perlakuan menjadi 31.2 ug/l, 5.7 mg/l dan 4.2 mg/l. Adapun pada P berturut turut 17.0 ug/l, 6.3 mg/l, dan 1.3 mg/kg; sesudah perlakuan menjadi 16.6 ug/l, 8.0 mg/l, dan 0.4 mg/kg. Rataan sesudah perlakuan tersebut berbeda nyata antar perlakuan (p=0.019-0.049) namun peningkatannya tidak berbeda nyata antar perlakuan (p>0.05). Pada MVM terjadi perbaikan transportasi zat besi dalam jaringan tubuh, ditunjukkan dengan turunnya STfR. Kadar SF secara nyata dipengaruhi oleh perlakuan, kadar SF dan STfR sebelum perlakuan serta asupan zat besi selama perlakuan; sedangkan kadar STfR dipengaruhi oleh perlakuan serta kadar Hb dan STfR sebelum perlakuan. Aktivitas fisik yang dilakukan paling lama adalah untuk bekerja yakni selama 9.6 jam per hari. Kebugaran fisik pekerja WUS yang diukur berdasarkan nilai VO2maks baik sebelum maupun sesudah perlakuan termasuk baik hingga superior. Sesudah perlakuan baik denyut jantung maupun VO2maks membaik, namun perubahannya tidak nyata. Sebelum perlakuan denyut jantung dan VO2maks pada BF 37.2 kali/15” dan 39.5 ml/kg/menit, pada MVM 35.9 kali/15” dan 41.1 ml/kg/menit, sedangkan pada P 36.6 kali/15” dan 40.9 ml/kg/menit. Sesudah perlakuan menjadi BF 33.7 kali/15” dan 44.3 ml/kg/menit, MVM 33.3 kali/15” dan 45.5 ml/kg/menit, sedangkan P 36.9 kali/15” dan 39.8 ml/kg/menit . Penurunan jumlah denyut jantung pada BF dan MVM sesudah perlakuan menunjukkan bahwa ada kecenderungan peningkatan efisiensi kerja jantung, dan ini menyebabkan VO2maks meningkat yang berarti pekerja WUS semakin bugar. Hal yang sebaliknya yang terjadi pada P, yaitu efisiensi kerja jantung dan kebugaran fisiknya cenderung menurun. Kebugaran fisik (VO2maks) pekerja WUS yang anemia dipengaruhi perlakuan, VO2maks sebelum perlakuan serta asupan zat besi selama perlakuan. Kesimpulannya adalah suplementasi tiga kali per minggu dengan BF pada pekerja WUS yang memiliki kadar Hb marginal secara nyata dapat meningkatkan kadar Hb 8%, dan SF 45%; sedangkan dengan MVM secara nyata dapat meningkatkan Hb 6% dan cenderung meningkatkan SF 12%. Suplemen BF dan MVM dapat meningkatkan kebugaran fisik pekerja WUS yang anemia sebesar 12.5% and 13.7%. Tanpa suplemen pekerja WUS cenderung mengalami penurunan kadar SF, jumlah besi tubuh dan kebugaran fisik. Kapsul BF lebih baik dalam meningkatkan status besi hemoglobin, serum feritin dan jumlah besi dalam tubuh dibandingkan MVM; sedangkan MVM lebih baik dalam memperbaiki transportasi zat besi dalam jaringan tubuh serta meningkatkan kebugaran fisik pekerja WUS yang anemia dibandingkan BF. Kata kunci: pekerja wanita usia subur, status besi, kebugaran fisik, BF, MVM, P
x
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2 Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
xi
PENGARUH PEMBERIAN ZAT GIZI MIKRO TERHADAP STATUS BESI DAN KEBUGARAN FISIK PEKERJA WANITA USIA SUBUR
YAKTIWORO INDRIANI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Gizi Manusia
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
xii
Penguji pada Ujian Tertutup
:
Prof . Dr. Ir. Faisal Anwar, M.S. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN.
Penguji pada Ujian Terbuka
:
Dr. Sanjaya, MPH Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S.
xiii
Judul Disertasi: Pengaruh Pemberian Zat Gizi Mikro terhadap Status Besi dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Usia Subur Nama
: Yaktiworo Indriani
NIM
: I162070071
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, M.S. Ketua
Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S. Anggotaram
Mengetahui: Ketua Program Studi Ilmu Gizi Manusia
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Drh.M. Rizal M. Damanik, M.Rep.Sc.Ph.D. M.
Tanggal Ujian: 25 Oktober 2011
Prof. Dr. Ir. Marimin,
Tanggal Lulus:
xiv
xv
PRAKATA Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya pada penulis, sehingga dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul ”Pengaruh Pemberian Zat Gizi Mikro terhadap Status Besi dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Usia Subur”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan MS, selaku ketua komisi pembimbing atas semua arahan, saran, motivasi dan teladan yang diberikan kepada penulis sejak mulai penggalian ide dan sumber dana hingga penulisan disertasi ini. Berikutnya, kepada Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc. dan Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S. sebagai pembimbing anggota yang banyak memberikan saran dan berbagai kemudahan kepada penulis selama proses penelitian dan penulisan disertasi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ditjen Dikti melalui Proyek Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) Universitas Lampung atas beasiswa pendidikan dan dana penelitian yang diberikan melalui Hibah Penelitian Sesuai Prioritas Nasional tahun 2010; kantor WHO di Jakarta atas sumbangan tablet multivitamin dan mineral, Neys-van Hoogstraten Foundation (NHF), the Netherlands, atas dukungan dana dalam penelitian pendahuluan; Pemeritah Provinsi Lampung atas bantuan dana penulisan disertasi, Pimpinan PT GGP di Lampung Tengah atas ijinnya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian ini; Pimpinan dan staf pelaksana Laboratorium Duta Medika di Bandar Lampung dan SEAMEO TROPMED RCCN Universitas Indonesia atas bantuannya dalam analisis darah; dr. Reni Zuraida, M.Si. dan Rettha Aprilian, S.Gz. atas bantuannya pada saat suplementasi, serta teman-teman satu angkatan GMA 2007 atas persaudaraan yang mewarnai proses studi penulis. Kepada suami penulis Ir. Budi Kuspriyanto, MEP dan anak-anak Siti, Lisdia, Boni dan Wati yang telah mengijinkan bahkan mendorong penulis mengambil program doktor dan memberikan perhatian, kasih sayang, pengorbanan serta dukungan moril dan materiil secara terus menerus; serta saudara-saudara penulis di perantauan: Ir. Wuryaningsih DS, MS, Dr. Dwi Hapsoro, Dr. Yusnita, Dr. Warsono, Dr. Sulistyo Arintono, Ir Wiyogo Supriyanto dan Dra. Ari Nurweni, MA sekeluarga yang selalu memberikan semangat dan bersama dalam suka dan duka, penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna. Namun demikian, penulis berharap disertasi ini tetap bermanfaat bagi pembaca dan pengembangan ilmu gizi manusia. Bogor, November 2011 Yaktiworo Indriani
xvi
xvii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 22 Juni 1961 dari ayah Drs. H. Soewardjo Koesoemapraba dengan ibu Hj. Hartadiyah Koesoemapraba. Penulis merupakan putri ke empat dari tujuh bersaudara. Tahun 1984 penulis lulus dari Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis menyelesaikan pendidikan program Strata-2 di University of Kentucky di Lexington, Kentucky USA dan memperoleh gelar Master of Science in Nutrition and Food pada tahun 1991. Pada tahun 2007 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan doktor pada Program Study Ilmu Gizi Manusia Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan beasiswa dari Ditjen Dikti melalui Proyek Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) Universitas Lampung. Penulis bekerja sebagai dosen di Universitas Lampung sejak tahun 1985 hingga sekarang. Selama menempuh pendidikan doktor, penulis berkesempatan untuk mengikuti Program Sandwich selama 3.5 bulan di University of Putra Malaysia atas biaya Ditjen Dikti Depdiknas.
Karya ilmiah yang telah ditulis adalah
“Kebiasaan Makan yang Berhubungan dengan Kesehatan Reproduksi Remaja Putri Di Kabupaten Bogor” (diterbitkan dalam Jurnal Gizi dan Pangan 4(3) bulan November 2009), “Study on Nutritional Status and Physical Fitness of the Non Pregnant Women Workers to Support Household Socio Economy” (ISBN 978602-99330-0-0), “Peningkatan Status Besi dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Usia Subur Anemia” (dalam proses cetak di Jurnal Gizi dan Pangan) dan “Studi Sosial Ekonomi, Tingkat Kecukupan dan Status Gizi Wanita Usia Subur Anemia yang Bekerja di Sektor Agribisnis” (dalam proses cetak di Journal Sosio Ekonomika). Tiga judul yang terakhir merupakan rangkaian yang berhubungan dalam penelitian disertasi ini.
xviii
xix DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. xxiii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xxv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xxvii PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 Latar Belakang ............................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 4 Hipotesis Penelitian ....................................................................................... 5 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 7 Status, Kecukupan serta Masalah Gizi Pekerja Wanita Usia Subur (WUS) ............................................................................................................ 7 Besi dan Interaksinya dengan Zat Gizi Mikro yang Lain .............................. 8 Fungsi dan Metabolisme Besi ............................................................... 9 Kebutuhan, Angka Kecukupan dan Sumber Besi ............................... 13 Interaksi Besi dengan Zat Gizi Mikro Lainnya .................................. 15 Penentuan Status Gizi dan Status Besi ............................................... 17 Kebugaran Fisik ........................................................................................... 20 Definisi dan Komponen Kebugaran Fisik .......................................... 20 Pengukuran Kebugaran Fisik .............................................................. 22 Anemia dan Suplementasi Zat Gizi Mikro pada Wanita Usia Subur .......... 24 Anemia dan Kekurangan Zat Besi ...................................................... 24 Prevalensi Anemia pada WUS di Indonesia ....................................... 27 Suplementasi Besi pada WUS ............................................................ 29 KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................. 37 METODE PENELITIAN ...................................................................................... 41 Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 41 Cara Penentuan Sampel dan Subyek Penelitian ........................................... 42 Pelaksanaan Penelitian ................................................................................. 45
xx Perekrutan Subyek Penelitian.............................................................. 45 Pemberian Zat Gizi Mikro................................................................... 47 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................................... 49 Peubah Respon Percobaan .................................................................. 49 Peubah Pengganggu (Covariate Variables) ........................................ 49 Pengukuran Status Gizi , Status Besi dan Jumlah Besi dalam Tubuh .................................................................................................. 50 Komposisi Tubuh, Aktivitas Fisik dan Kebugaran Fisik WUS .......... 52 Pengendalian, Pengolahan dan Analisis Data .............................................. 54 Model Matematika .............................................................................. 56 Keterbatasan Data ............................................................................... 58 Definisi Operasional ..................................................................................... 58 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 61 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................ 61 Studi Pendahuluan ........................................................................................ 63 Karakteristik Sosial dan Ekonomi Pekerja Wanita ............................. 63 Kebiasaan Makan Pekerja Wanita....................................................... 66 Asupan dan Tingkat Kecukupan Gizi Pekerja Wanita ........................ 69 Status Gizi Antropometri .................................................................... 70 Status Anemia dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita.......................... 72 Penelitian Eksperimental .............................................................................. 74 Karakteristik Pekerja WUS .......................................................................... 74 Pemberian Zat Gizi Mikro ............................................................................ 77 Status Gizi Antropometri.............................................................................. 78 Asupan Zat Gizi dan Tingkat Kecukupan Gizi (%AKG) ............................. 79 Alokasi Waktu, Aktivitas Fisik dan Pengeluaran Energi ............................. 85 Pemeriksaan Darah ....................................................................................... 88 Status Besi .................................................................................................... 91 Hemoglobin dan Hematokrit ............................................................... 92 Serum Ferritin, Transferin Reseptor dan Simpanan Besi .................... 95 Kebugaran Fisik ......................................................................................... 100 Generalisasi Penelitian ............................................................................... 106
xxi KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 109 Kesimpulan ................................................................................................ 109 Saran .......................................................................................................... 110 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 111 LAMPIRAN ........................................................................................................119
xxii
xxiii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk wanita per orang per hari........ 7
2
Perkembangan prevalensi anemia pada WUS di beberapa provinsi di Indonesia ........................................................................................................ 28
3
Komposisi suplemen yang dianjurkan dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan untuk WUS di Indonesia .............. 31
4
Distribusi pekerja wanita di bagian pengalengan berdasarkan usia ............... 42
5
Komposisi zat gizi kapsul menurut kelompok perlakuan .............................. 48
6
Peubah respon dan metode pengukurannya dalam penelitian........................ 49
7
Peubah pengganggu dan metode pengukurannya dalam penelitian ............... 50
8
Astrand-Ryhming Step Test Norms (A-R test norms) untuk menaksir nilai VO2maks dengan menghitung denyut jantung setelah uji naik-turun bangku A-R .................................................................................................... 53
9
Ukuran normatif VO2maks untuk wanita dalam ml/kg/menit ....................... 54
10 Sebaran karyawan tetap PT GGP menurut jenis kelamin dan departemen tahun 2010...................................................................................................... 62 11 Sebaran tenaga kerja harian PT GGP menurut jenis kelamin dan departemen tahun 2010 .................................................................................. 63 12 Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga pekerja wanita menurut posisi kerja (Rp) ....................................................................................................... 65 13 Persentase pekerja wanita menurut beberapa item kebiasaan makan ........... 66 14 Frekuensi konsumsi makanan (kali/minggu) pekerja wanita menurut posisi kerja ............................................................................................................... 67 15 Asupan zat gizi dan tingkat kecukupan gizi (%AKG) pekerja wanita (n=338) .......................................................................................................... 69 16 Karakteristik antropometri pekerja wanita menurut posisi kerja ................... 70 17 Prevalensi anemia pekerja wanita menurut kadar Hb dan posisi kerja .......... 73
xxiv 18 Kebugaran fisik pekerja wanita berdasarkan denyut jantung dan VO2maks menurut posisi kerja....................................................................... 73 19 Nilai rataan beberapa karakteristik fisik dan hematologik sebelum suplementasi....................................................................................................74 20 Beberapa karakteristik sosial ekonomi pekerja WUS (n=34) ........................ 75 21 Sebaran pekerja WUS menurut manfaat minum kapsul yang dirasakannya selama sepuluh minggu .................................................................................. 77 22 Karakteristik antropometri pekerja WUS menurut perlakuan ........................ 79 23 Nilai rataan asupan zat gizi sebelum dan selama perlakuan ........................... 80 24 Tingkat kecukupan gizi (%AKG) pekerja WUS sebelum dan selama perlakuan menurut grup perlakuan ................................................................. 81 25 Distribusi persentase pekerja WUS menurut tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, kalsium dan fosfor ........................................................................ 84 26 Nilai rataan alokasi waktu untuk berbagai aktivitas yang dilakukan oleh pekerja WUS selama satu hari (jam) .............................................................. 86 27 Pengeluaran energi pekerja WUS selama perlakuan ...................................... 89 28 Hasil analisis laju endap darah (LED) dan darah lengkap sebelum dan sesudah perlakuan .......................................................................................... 90 29 Kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) menurut grup perlakuan.......... 92 30 Kadar SF, STfR dan jumlah Fe dalam tubuh menurut grup perlakuan .......... 95 31 Persentase berat lemak badan (%LB) dan air badan (%AB) menurut perlakuan ...................................................................................................... 101 32 Kebugaran fisik berdasarkan denyut jantung dan VO2maks menurut perlakuan ...................................................................................................... 102
xxv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Skema perjalanan Fe di dalam tubuh ............................................................. 10
2
Skema metabolisme besi di dalam tubuh orang dewasa ................................ 12
3
Peranan vitamin dalam metabolisme zat besi ................................................ 17
4
Skema kerangka pemikiran pengaruh pemberian gizi mikro terhadap status besi dan kebugaran fisik pekerja.......................................................... 40
5
Skema tahapan operasional penelitian ........................................................... 46
6
Distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan gizi (%AKG) energi sebelum dan selama perlakuan ...................................................................... 82
7
Distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan gizi (%AKG) protein sebelum dan selama perlakuan ...................................................................... 83
8
Distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan gizi (%AKG) zat besi sebelum dan selama perlakuan ............................................................... 85
9
Alokasi waktu pekerja WUS per hari pada berbagai aktivitas ....................... 86
10 Perbandingan antara asupan dengan pengeluaran energi pekerja WUS pada selama perlakuan ................................................................................... 87 11 Peningkatan Hb dan Ht sesudah perlakuan .................................................... 94 12 Distribusi pekerja WUS menurut kadar SF sebelum (a) dan sesudah perlakuan (b) .................................................................................................. 97 13 Nilai rataan kebugaran fisik (VO2maks) pekerja WUS anemia (Hb<120 g/l) sebelum dan sesudah perlakuan (adjusted)........................... 104 14 Persentase perubahan VO2maks sesudah perlakuan pada pekerja WUS anemia dengan kadar Hb<120 g/l ................................................................ 105
xxvi
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Persetujuan Etik (Ethical Clearance)............................................................. 119 2 Formulir persetujuan untuk mengikuti penelitian (Informed Consent).......... 120 3 Ijin Penelitian ................................................................................................. 121 4 Kuesioner Penelitian ...................................................................................... 122 5 Hasil uji t kadar Hb dan Ht antara studi pendahuluan (Juni 2010) dengan sebelum perlakuan (Oktober 2010) ............................................................... 128 6 Hasil ANOVA selisih Hb dan Ht antara sesudah dengan sebelum perlakuan (n=34)............................................................................................ 128 7 Uji ANOVA kadar SF, STfR dan besi tubuh sesudah perlakuan (n=34) ...... 129 8 Uji ANOVA selisih kadar SF dan STfR antara sebelum dengan sesudah perlakuan (n=34)............................................................................................ 130 9 Uji ANCOVA selisih kadar SF ...................................................................... 130 10 Uji ANCOVA selisih kadar STfR (n=34) ...................................................... 131 11 Uji ANCOVA selisih VO2maks (n=34) ......................................................... 132 12 Kebugaran fisik berdasarkan denyut jantung dan VO2maks menurut perlakuan dengan subyek 28 pekerja WUS anemia (Hb<120 g/l) ................ 132 13 Uji ANCOVA selisih VO2maks pada 28 pekerja WUS anemia (Hb<120 g/l) .................................................................................................. 133 14 Korelasi antar beberapa peubah terpilih ......................................................... 134 15 Prosedur pengambilan darah, penanganan sampel, serta pengujian hemoglobin, hematokrit, serum feritin dan serum transferin reseptor .......... 135 16 Prosedur Pengukuran Kebugaran Fisik .......................................................... 141
PENDAHULUAN Latar Belakang Pekerja wanita usia subur (WUS) selama ini merupakan sumber daya manusia (SDM) yang utama di banyak industri, terutama industri pengolahan pangan yang pekerjaannya masih banyak dilakukan secara manual. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005 (BPS 2009), jumlah penduduk usia kerja di Indonesia mencapai 105.80 juta, di mana yang bekerja sebanyak 94.95 juta, terdiri dari 63.97 persen pekerja laki-laki dan 36.03 persen pekerja wanita. Persentase pekerja wanita tersebut telah mengalami kenaikan sebesar 0.96 persen dibanding tahun 2003. Peningkatan ini selain dapat dilihat sebagai hal yang positif yakni bertambahnya tenaga produktif, juga merupakan tantangan untuk dilakukannya usaha peningkatan perbaikan SDM pekerja tersebut.
Terlebih,
sebagian besar pekerja wanita tersebut adalah WUS berusia 18-45 tahun yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah yang tidak terlepas dari memiliki masalah kesehatan. Kondisi ekonomi keluarga yang lemah membuat pekerja wanita sulit memenuhi kebutuhan zat-zat gizi mikro. Status gizi dan kesehatan pekerja WUS di Indonesia belum banyak diperhatikan. Hal ini bisa terlihat dari tingginya prevalensi anemia pada pekerja WUS yang masih cukup tinggi. Depkes RI (2004), menyatakan bahwa sekitar 50% dari 25 juta pekerja wanita di Indonesia menderita anemia gizi akibat kekurangan zat besi atau disebut sebagai anemia gizi besi (AGB). Secara umum anemia pada WUS di Indonesia menurut BPPK Depkes RI (2008) pada tahun 2007 ditemukan sebesar 19.7 persen dan pada wanita yang sedang hamil lebih tinggi lagi yaitu 24.5 persen. Prevalensi anemia pada ibu hamil yang lebih tinggi dibandingkan WUS secara total, diperkirakan terjadi karena ibu tersebut telah mengalami anemia sejak lama, jauh sebelum hamil dan kondisi tersebut menjadikan anemia pada anak balita lebih tinggi lagi yakni sebesar 27.7 persen. Program penanggulangan anemia dan kekurangan zat besi pada wanita hamil melalui suplementasi besi telah dilakukan Indonesia sejak tahun 1970an. Secara nasional program tersebut telah menyentuh hampir ke seluruh wilayah di Indonesia dan dimonitoring dengan baik. Namun demikian ternyata prevalensi anemia pada WUS di Indonesia hingga tahun 1995 masih relatif tinggi yakni 39.5
2 persen dan pada wanita hamil 50.9 persen. Oleh karena itu, pada tahun 1996 program suplementasi besi diperluas kepada anak balita dan WUS yang tidak sedang hamil, khususnya yang menjadi pekerja-pekerja pabrik. Namun demikian, program suplementasi besi yang ditujukan kepada pekerja WUS di pabrik-pabrik tersebut tidak dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan dan belum ada sistem monitoringnya (Kodyat et al. 1998; Atmarita 2005; Dillon 2005). Pada tahun 1998 Depkes RI telah menerbitkan “Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi untuk Remaja Puteri dan Wanita Usia Subur”. Mulai tahun 2003 Depkes juga telah melaksanakan Program Penanggulangan Anemia untuk WUS melalui suplementasi tablet tambah darah (TTD) mandiri yang diikuti dengan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Selain itu Bappenas (2007) di dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2006-2010 juga telah merencanakan untuk meningkatkan pemberian suplemen tablet besi pada remaja putri, calon pengantin dan tenaga kerja wanita untuk menurunkan prevalensi anemia pada Ibu hamil, ibu nifas, balita dan wanita usia subur (WUS). Namun, rencana-rencana pemberian suplemen besi khususnya kepada pekerja WUS kurang tersosialisasi dan hingga kini tetap belum dilaksanakan di perusahaanperusahaan yang banyak mempekerjakan WUS. Tersedianya TTD, mengandung besi elemental 60 mg dan asam folat 250 µg, di pasaran dengan harga yang relatif murah dan terjangkau sebagai bagian dari program TTD mandiri ternyata juga tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Menurut Atmarita dan Fallah (2004), intervensi anemia secara nasional masih memprioritaskan ibu hamil dengan distribusi tablet besi. Penelitian tentang prevalensi dan penanggulangan anemia di Indonesia selama ini masih lebih banyak dilakukan pada kelompok wanita yang sedang hamil atau menyusui serta bayi dan balita.
Penelitian tentang prevalensi dan suplementasi besi pada
kelompok pekerja WUS masih jarang dilakukan dan kalau pun ada lebih banyak dilakukan di daerah Jawa dan Bali. Studi yang dilakukan sebelum tahun 2000an oleh Basta et al. (1979) dan Husaini et al. (1981) menyimpulkan bahwa kapasitas kerja pada pekerja yang anemia (tingkat hemoglobin di bawah normal) cepat kembali
normal
bahkan
meningkat
dengan
adanya
suplementasi
besi.
Peningkatan produktivitas kerja dan upah kerja berkisar antara 10-30% dari
3 sebelum menerima suplementasi. Penelitian tentang pengaruh suplementasi besi ditambah dengan zat gizi mikro lain pada pekerja WUS di Indonesia setelah tahun 2000 dilakukan antara lain oleh Mulyawati (2003) dan Ekayanti (2005) masingmasing menggunakan dosis dan komposisi yang berbeda. Adapun Dillon (2005) dan Briawan (2008) melakukan pemberian besi ditambah dengan zat gizi mikro lain pada WUS yang masih remaja, juga dengan menggunakan komposisi yang berbeda. Implementasi hasil-hasil penelitian di atas pada pekerja WUS hingga kini belum ditemukan, mungkin karena suplemen yang disarankannya belum diproduksi untuk umum sehingga tidak bisa langsung ditemui di pasaran. INACG (2003) menyarankan bahwa para WUS yang tidak sedang hamil perlu diberi suplementasi 60 mg zat besi yang disertai dengan 400 µg folat sebagai usaha preventif untuk mencegah mengalami kesulitan melahirkan jika dia nanti hamil. Adapun UNICEF/WHO/UNU (1999), sudah lebih dahulu menyarankan bahwa untuk memperbaiki status gizi WUS tidak cukup hanya dengan suplementasi zat besi saja, namun diperlukan suplementasi berbagai zat gizi mikro yaitu 15 macam vitamin dan mineral.
Kedua macam komposisi
suplemen tersebut selama ini dapat ditemui di pasaran, meskipun dengan dosis yang sedikit berbeda antar merk. Provinsi Lampung dikenal sebagai Bumi Agribisnis (Agribisnis Earth) karena menghasilkan banyak produk pertanian. Banyak perkebunan nasional dan internasional serta perusahaan agribisnis yang mengolah hasil-hasil pertanian berada di Lampung. Perusahaan agribisnis yang termasuk besar di antaranya adalah yang memproduksi buah nanas dalam kaleng, terletak di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Perusahaan tersebut cukup banyak mempekerjakan WUS baik yang sudah maupun belum menikah. Para pekerja wanita tersebut ditempatkan di bagian pengolahan dan pengemasan di dalam pabrik. Pekerja WUS melakukan pekerjaannya di dalam pabrik antara 7—10 jam per hari, dengan waktu istirahat kurang lebih selama satu jam. Para pekerja WUS tersebut sebagian besar melakukan pekerjaannya secara bergantian posisi duduk atau berdiri (kegiatan fisiknya tergolong sedang), dan sebagian kecil lainnya bekerja dengan posisi berdiri dan berjalan (kegiatan fisiknya tergolong aktif). Selama melakukan pekerjaan di dalam pabrik mereka memerlukan kebugaran
4 fisik, apalagi biasanya mereka bekerja dalam kondisi ruang yang cukup panas dan tertutup. Kondisi ini dikawatirkan lama-kelamaan akan mengurangi kebugaran fisik dan berakibat pada menurunnya produktivitas kerja mereka. Apalagi, jika asupan gizi mereka tidak baik sehingga mengalami masalah gizi kurang seperti AGB yang ditandai dengan kadar Hb rendah (di bawah standar normal). Hal ini sesuai dengan hasil studi Kosen, Herman, dan Schultink (1998) yang mendapatkan bahwa produktivitas kerja secara negatif dipengaruhi oleh kekurangan zat besi, bukan hanya di antara pekerja yang terlibat dalam pekerjaan berat, tetapi juga di kalangan pekerja pabrik perempuan yang terlibat dalam pekerjaan ringan. Studi WHO pada faktor-faktor risiko menyatakan bahwa gaya hidup duduk terus-menerus dalam bekerja adalah 1 dari 10 penyebab kematian dan kecacatan di dunia. Lebih dari dua juta kematian setiap tahun disebabkan oleh kurangnya bergerak atau kurang melakukan aktivitas fisik (WHO 2006). Namun belum ada laporan, dan karenanya perlu ada penelitian bagaimanakah aktivitas fisik dan status besi para pekerja WUS sebagaimana yang bekerja di perusahaan tersebut di atas. Masalah yang menarik untuk diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimanakah status gizi, status besi, aktivitas fisik, dan kebugaran fisik pekerja WUS yang diketahui memiliki kadar hemoglobin (Hb) marginal? Selanjutnya bagaimanakah status besi dan kebugaran fisik pekerja WUS tersebut jika diberi suplemen gizi mikro besi dan asam folat (BF) atau multivitamin dan mineral (MVM)
sebagaimana
yang
disarankan
oleh
INACG
(2003)
dan
UNICEF/WHO/UNU (1999)? Tujuan Penelitian Secara umum penelitian bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian zat gizi mikro BF dan MVM terhadap status besi (hemoglobin, hematokrit serta serum feritin dan transferin reseptor) dan kebugaran fisik (VO2maks) pekerja wanita yang memiliki kadar Hb marginal dengan tingkat aktivitas kerja yang tergolong sedang sampai aktif. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: 1 menganalisis status gizi, tingkat kecukupan gizi dan status besi pekerja WUS, 2 menganalisis aktivitas fisik dan kebugaran fisik pekerja WUS,
5 3 menganalisis perbedaan pengaruh pemberian zat gizi mikro BF dan MVM terhadap status besi dan kebugaran fisik pekerja WUS, 4 menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan status besi dan kebugaran fisik pekerja WUS sesudah diberi BF dan MVM. Hipotesis Penelitian Tujuan khusus penelitian ke satu dan dua di atas dijawab dengan cara deskriptif statistik. Adapun untuk menjawab tujuan ke tiga dan empat dilakukan analisis statistik dengan menggunakan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1 status besi pekerja WUS setelah perlakuan lebih baik dibandingkan dengan sebelum perlakuan, 2
kebugaran fisik pekerja WUS setelah perlakuan lebih baik dibandingkan dengan sebelum perlakuan,
3
ada perbedaan status besi yang nyata antara pekerja wanita anemia yang diberi perlakuan BF dengan yang diberi MVM,
4 ada perbedaan kebugaran fisik yang nyata antara pekerja WUS yang diberi BF dengan yang diberi MVM, 5
peningkatan status besi pekerja WUS dipengaruhi oleh jenis perlakuan, lama kerja, status besi dan indeks massa tubuh sebelum perlakuan, serta asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, besi, kalsium, dan fosfor dari makanan, dan pengeluaran energi selama perlakuan,
6 perbaikan kebugaran fisik pekerja WUS dipengaruhi oleh jenis perlakuan, lama kerja, status besi dan kebugaran fisik sebelum perlakuan, komposisi tubuh sesudah perlakuan, serta asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, kalsium, dan fosfor dari makanan, dan pengeluaran energi selama perlakuan. Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam melaksanakan program peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) baik oleh pemerintah maupun perusahaan-perusahaan yang banyak mempekerjakan WUS, serta dalam monitoring gizi dan kesehatan yang memerlukan pengujian kebugaran fisik.
Hal ini perlu dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan
6 kewajiban dan kepedulian untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pekerja.
7
TINJAUAN PUSTAKA Status, Kecukupan serta Masalah Gizi Pekerja Wanita Usia Subur (WUS) Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan makanan. Untuk memperoleh status gizi yang baik, seseorang memerlukan makanan yang seimbang yaitu yang mengandung zat gizi: karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air dalam jumlah yang cukup. Keenam macam zat gizi tersebut diperlukan manusia dalam jumlah yang berbedabeda tergantung tahap atau masa perkembangan hidupnya.
Kekurangan atau
kelebihan salah satu atau lebih zat gizi tersebut jika berlangsung lama akan menimbulkan masalah gizi atau malnutrition (Almatsir 2002). Pada Tabel 1 dapat dilihat angka kecukupan berbagai macam zat gizi untuk wanita di Indonesia. Tabel 1 Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk wanita per orang per hari Deskripsi Berat badan (kg) Tinggi badan (cm) Energi (Kal) Protein(g) Vitamin A (μg) Vitamin D (IU) Vitamin E (mg) Vitamin C (mg) Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Vitamin B-6 (mg) Vitamin B-12 (μg) Asam Folat (μg) Vitamin K (μg) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Magnesium (mg) Fluor (mg) Besi (mg) Mangan (mg) Seng (mg) Selenium (μg) Yodium (μg) Sumber: LIPI (2004)
16-8 tahun 50 150 2 200 55 600 5 15 75 1.1 1.0 14 1.2 2.4 400 55 1 000 240 1 000 2.5 26 1.6 14 30 150
19-29 tahun 52 156 1 900 50 500 200 15 75 1.0 1.1 14 1.3 2.4 400 55 800 240 600 2.5 26 1.8 9.3 30 150
30-49 tahun 55 156 1 800 50 500 200 15 75 0.9 1.1 14 1.3 2.4 400 55 800 270 600 2.7 26 1.8 9.8 30 150
8 Sebagaimana negara yang sedang berkembang, hingga kini Indonesia masih mengalami berbagai masalah gizi, khususnya gizi kurang yang terutama dialami oleh keluarga miskin. Secara khusus, terdapat empat masalah gizi utama yang masih dihadapi Indonesia yaitu gangguan akibat kurang iodium (GAKI), anemia gizi besi (AGB), kurang vitamin A (KVA), dan kurang energi dan protein (KEP). Masalah gizi yang banyak ditemui pada kelompok WUS 18-45 tahun adalah AGB (Atmarita 2005). Pertumbuhan WUS masih dipengaruhi oleh perubahan hormonal, kognitif, serta emosi. Pada masanya ini WUS memerlukan makanan dengan zat-zat gizi yang optimal agar pembentukan butir darah merahnya cukup. Bila konsumsi makanan tidak mencukupi, sehingga gizi yang dibutuhkan pun kurang, maka status gizinya akan terganggu. Hal ini berpengaruh pula pada menurunnya kebugaran
tubuhnya
apalagi
jika sebagai
pekerja,
energi
yang harus
dikeluarkannya cukup banyak (Almatsier 2002). Menurut PKK Depkes RI (2004), para pekerja WUS selama ini kebanyakan lebih tergiur pada makanan yang sedang ngetren, yang sebagian besar tidak mengacu pada pola makan yang mencukupi asupan zat gizi optimal
Selain itu,
rendahnya upah yang diterimanya sering menjadi alasan mengapa untuk makan siangnya para pekerja wanita tersebut hanya membeli makanan kecil/jajanan yang tidak akan mampu memenuhi kebutuhan gizi mereka. Kondisi ini yang membuat mereka sulit memenuhi kebutuhan zat-zat gizi mikro, terutama zat besi sehingga mengakibatkan AGB. Besi dan Interaksinya dengan Zat Gizi Mikro yang Lain Zat gizi mikro dibutuhkan dan terdapat dalam jumlah yang sangat kecil di dalam tubuh namun memiliki peranan yang penting untuk kehidupan. Di antara keenam macam zat gizi, beberapa mineral dan semua jenis vitamin digolongkan ke dalam zat gizi mikro. Termasuk ke dalam golongan mineral mikro tubuh yang telah ditetapkan angka kecukupannya di Indonesia adalah besi (Fe), seng (Zn), selenium (Se), yodium (I), Fluor (F) dan mangan (Mn). Besi (Fe) merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan. Besi merupakan elemen kunci dalam metabolisme hampir semua organisme hidup. Pada manusia, besi merupakan komponen
9 penting dari ratusan protein dan enzim. Dalam bentuk padat, besi sebagai metal atau senyawa besi. Dalam larutan, besi ada dalam bentuk ferro dan bentuk ferri. Besi dalam bentuk senyawa dengan protein membentuk hemoglobin sebagai pembawa oksigen dalam darah.
Sekitar 85% besi dalam tubuh ada dalam
senyawa dengan protein dan sekitar 5% ada dalam protein otot juga ada dalam sel. Semua senyawa itu sangat vital untuk pernafasan sel dimana oksigen dan karbon dioksida bertukar. Sisanya digunakan dalam enzim. Besi dapat disimpan sementara dalam suatu bentuk larut protein plasma atau bentuk tak larut dalam hati (IOM 2001-FNB; Gibson 2005). Selain pada Hb, besi juga ditemukan pada mioglobin, hemosiderin, feritin serta sejumlah protein dan enzim (misalnya, enzim sitokrom e oksidasi). Kadar total besi dalam senyawa-senyawa tersebut sekitar 15-40 persen. Mioglobin juga berfungsi untuk mengangkut oksigen. Oksigen pada mioglobin juga terikat pada Fe++. Oksigen yang telah diangkut Hb dari paru-paru ke jaringan tubuh akan diberikan ke mioglobin. Mioglobin akan memberikan oksigen tersebut ke organel sel yang mengkonsumsi oksigen yaitu mitokondria. Oksigen pada mitokondria digunakan untuk proses oksidasi sehingga dihasilkan energi. Fungsi dan Metabolisme Besi Besi mempunyai fungsi penting seperti sebagai alat angkut oksigen, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Fungsi besi dalam senyawa besi sebagai hemoglobin, myoglobin, enzim diperlukan dalam fungsi metabolisme. Besi mengangkut dan menyimpan oksigen, mengangkut elektron mitokondria dan sintesis DNA. Total besi tubuh pada manusia adalah sekitar 3.8 g, pada wanita kurang lebih 2.3 gram (Vijayaraghavan 2009), adapun menurut Almatsier (2002) besi tubuh pada manusia dewasa mencapai 3-5 gram. Sebesar 60 sampai 80 persen besi dalam tubuh manusia terdapat pada Hb. Dalam tubuh, senyawa besi dikelompokkan menjadi dua yaitu (a) senyawa fungsional (esensial) dan berhubungan dengan fungsi enzimatik atau metabolik seperti hemoglobin (Hb), mioglobin, non heme enzim, transferin dan (b) senyawa besi yang berhubungan dengan transportasi dan penyimpanan. Alur perjalanan besi dalam tubuh dapat dilihat pada Gambar 1.
10 Fe dalam saluran cerna
Fe diangkut Transferin mukosa
Sel mukosa usus halus: Fe pindah ke alat transport transferin reseptor Kelebihan disimpan sebagai feritin Fe dalam alat transport transferin reseptor
Fe dibawa darah oleh transferin
Sebagian hilang dalam keringat, kulit, urin
Kelebihan disimpan sebagai feritin & hemosiderrin Hati & limfa mengeluarkan Fe dari sel darah merah dan mengikatkan ke transferin
Sebagian hilang melalui sel usus halus yang dibuang
Sumsum tulang mengikatkan Fe ke Hb sel darah merah
Menyimpan kelebihan sebagai metalotionin
Sebagian hilang melalui darah Darah mengangkut Fe sebagai Hb sel darah merah
Gambar 1 Skema perjalanan Fe di dalam tubuh (Whitney & Rolfes 1999) Dalam tubuh, besi disimpan dalam bentuk feritin atau hemosiderin dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Simpanan besi ada di hati, sumsum tulang yaitu sebagai feritin dan hemosiderin. Simpanan zat besi sebagai feritin dan hemosiderin sebanyak 30%, sumsum tulang belakang 30% dan selebihnya di dalam limfa dan otot. Dari simpanan besi tersebut hingga 50 mg sehari dapat dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti pembentukan Hb (IOM-FNB 2001; Almatsier, 2002). Feritin bersirkulasi dalam darah mencerminkan simpanan besi di dalam tubuh. Pengukuran feritin didalam serum merupakan indikator penting untuk menilai status besi. Jumlah besi dalam tubuh bervariasi dari 0-1000 mg dimana
11 jumlah pada wanita lebih rendah dari pria. Pada pria dewasa simpanan besi berkisar 500-1000 mg, sedangkan pada wanita dewasa lebih rendah dan jarang melebihi 500 mg. Banyak wanita di negara sedang berkembang tidak mempunyai cadangan besi karena ketersediaan biologis rendah dan sumber besi heme dalam makanan terbatas (O’ Brien et.al, 1999).
Total besi pada manusia sangat
bervariasi dengan berat badan, jenis kelamin, jumlah kompartemen simpanan besi dan konsentrasi Hb. mengandung Fe
++
Hemoglobin merupakan senyawa protein heme yang
. Hemoglobin adalah senyawa yang paling banyak dan sangat
mudah disampel dari protein-protein heme; diperkirakan berisi lebih dari 65% besi tubuh. Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen melalui aliran darah dari paru-paru ke jaringan tubuh yang lain. Dalam keadaan normal 100 ml darah mengandung 15 gram Hb. Jumlah tersebut dapat mengangkut 0,03 gram oksigen (Gibson 2005). Metabolisme besi termasuk unik karena kecilnya pertukaran besi dengan lingkungan setiap harinya. Hal ini tergambar dari hanya 1 mg yang harus diserap tubuh untuk mempertahankan keseimbangan besi karena ekskresi. Rangkaian metabolisme besi di dalam tubuh terdiri dari lima tahap yaitu penyerapan, transportasi, pemanfaatan/pengawetan, penyimpanan dan ekskresi. Pada Gambar 2 dapat dilihat skema metabolisme besi di dalam tubuh orang dewasa. Penyerapan besi dalam tubuh terjadi di bagian atas duodenum dengan bantuan alat angkut protein khusus. Dalam bahan makanan besi terdapat dalam bentuk besi-hem (seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani) dan besi-nonheme (dalam makanan nabati). Absorpsi besi hem dapat mencapai 25%, sedangkan besi-nonhem (ion besi) hanya 5%. Agar dapat diabsorpsi besi nonhem harus berada dalam bentuk terlarut. Di dalam lambung besi nonhem diionisasi oleh asam lambung, direduksi menjadi ferro dan dilarutkan dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula dan asam amino yang mengandung sulfur. Pada suasana pH hingga 7 di dalam duodenum, sebagian besar besi dalam bentuk ferri akan mengendap, kecuali dalam keadaan terlarut seperti di atas.
Besi fero larut pada pH 7 sehingga dapat diserap.
Taraf
penyerapan besi diatur oleh mukosa saluran cerna yang ditentukan oleh kebutuhan
12
DESQUAMASI SEL-SEL
Gambar 2 Skema metabolisme besi di dalam tubuh orang dewasa (Krause & Mahan 2004) tubuh. Transferin mukosa yang dikeluarkan ke dalam empedu berperan sebagai alat angkut protein yang berbolak-balik membawa besi ke permukaan sel usus halus untuk diikat oleh transferin reseptor dan kembali ke rongga saluran cerna untuk mengangkut besi lain. Di dalam sel mukosa besi dapat mengikat apoferitin dan membentuk feritin sebagai simpanan besi sementara dalam sel. Di dalam sel mukosa apoferitin dan feritin bergabung masuk melewati membran basoteral secara difusi dan siap untuk diabsorpsi melalui transpor aktif. Penyebaran (transpor) besi dari sel mukosa ke sel-sel tubuh berlangsung lebih lambat dibandingkan penerimaannya pada saluran cerna, bergantung pada simpanan besi dalam tubuh dan kandungan besi dalam makanan. Laju transpor besi diatur oleh jumlah dan tingkat kejenuhan transferin. Besi dilepaskan dari feritin dalam bentuk ferro masuk ke plasma darah, sedangkan apoferitin yang
13 terbentuk kembali akan bergabung lagi dengan ferri hasil oksidasi di dalam sel mukosa.
Setelah masuk kedalam plasma, maka besi ferro segera dioksidasi
menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang mengikat besi yaitu transferin. Plasma darah selain menerima besi yang berasal dari penyerapan makanan, juga menerima besi dari simpanan, pemecahan hemoglobin dan sel-sel yang telah mati. Plasma juga harus mengirim besi ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin, ke sel endothelial untuk disimpan, dan ke semua sel untuk fungsi enzim yang mengandung besi. Jumlah besi yang setiap hari yang diganti (turnover) sebanyak 20-25 mg per hari, di mana hanya sekitar 1 mg yang berasal dari makanan. Banyaknya besi yang dimanfaatkan untuk pembentukan hemoglobin umumnya sebesar 20-25 mg per hari. Pada sumsum tulang yang berfungsi baik, dapat memproduksikan sel darah merah dan hemoglobin sebanyak enam kali. Besi yang berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk feritin dan hemosiderin di dalam sel parenkhim hepatic, sel retikuloendotelial sumsum tulang, hati dan limfa. Ekskresi dari besi sebanyak 0,5-1,0 mg per hari, dikeluarkan bersama-sama urin, keringat dan fases. Dapat pula besi dalam hemoglobin keluar dari tubuh melalui perdarahan, menstruasi dan saluran urin. Sisanya dibawa ke bagian tubuh lain yang membutuhkan, sedangkan kelebihan besi yang dapat mencapai 200 hingga 1.500 mg disimpan sebagai protein feritin dan hemosiderin di dalam hati (30%), sumsum tulang belakang (30%) dan selebihnya di dalam limpa dan otot. Simpanan besi dapat mencapai 50 mg per hari yang dapat dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti membuat hemoglobin (Krause & Mahan 2004) Kebutuhan, Angka Kecukupan dan Sumber Besi Faktor yang mempengaruhi kebutuhan besi adalah keasaman lambung dan bioavailabilitas termasuk pemacu dan penghambat penyerapan besi nonheme. Menurunnya keasaman lambung karena berbagai sebab, misalnya konsumsi antasida berlebihan, dapat menghambat penyerapan besi. Vitamin C dan asam organik lain merupakan pemacu penyerapan besi nonheme. Adapun fitat, polyfenol, protein nabati dan kalsium merupakan penghambat penyerapan besi nonheme (IOM-FNB 2001).
14 Angka kecukupan besi pada kelompok wanita di atas 18 tahun adalah 26 mg/hari yang didasarkan pada tingkat penyerapan 10% dan estimated average requirement (EAR) = 14.6.
Estimated average requirement (EAR) adalah
rata-rata level intik zat gizi harian yang diduga memenuhi kebutuhan zat gizi dari setengah populasi sehat pada kelompok umur dan jenis kelamin tertentu. Untuk wanita menopause, karena tidak ada lagi kehilangan besi akibat menstruasi sehingga kecukupan besi adalah 12 mg/hari. Pada wanita hamil, kebutuhan besi selama masa kehamilan sangat tinggi, FAO/WHO/UNU (2001) menganjurkan agar wanita hamil, khususnya trimester 2 dan 3, mendapatkan tambahan (pil) besi dengan dosis 100 mg/hari. Selama masa kehamilan (280 hari) terjadi kehilangan besi basal 250 mg, kebutuhan janin dan plasenta 315 mg dan kebutuhan untuk meningkatkan massa hemoglobin (termasuk simpanan) 500 mg atau total sekitar 1.1 gram.
Adapun bagi wanita yang sedang menyusui,
kecukupan besi selama masa menyusui memperhitungkan kehilangan besi akibat menstruasi serta kebutuhan untuk mempertahankan kualitas besi ASI. Jika kecukupan besi pada keadaan normal (tidak hamil) adalah 26 mg/hari. Ekskresi besi melalui ASI sekitar 0.25 mg/hari atau dibutuhkan sekitar 2.5 mg/hari jika tingkat penyerapan 10%. Oleh sebab itu, kecukupan besinya adalah 32 mg/hari (Kartono & Soekatri 2004). Makanan sumber besi antara lain daging, jeroan, ikan dan unggas yang mengandung tinggi besi heme. Adapun sumber besi non-heme adalah dari nabati kedele, kacangan, sayuran daun hijau dan rumput laut. Besi dari sumber nabati (non-heme) bioavailabilitasnya lebih rendah dibanding heme yang terdapat dalam besi dari sumber hewani (Almatsier 2002; Gibson 2005). Besi yang berasal dari sumber hewani (heme) dapat diserap (30%) lebih baik dibanding yang berasal dari sumber nabati (5%). Sumber heme (ikan, ayam dan daging) sendiri mengandung non heme (60%) dan heme (40%). Konsumsi heme mempunyai keuntungan ganda, yakni selain besinya mudah diserap (23%) dibanding besi dari non heme (2-20%), heme juga membantu penyerapan non heme. Adanya asam fitat, asam oksalat dan serat berpengaruh negatif terhadap penyerapan besi. Adapun vitamin C dapat meningkatkan penyerapan besi. Perhitungan perkiraan penyerapan besi dapat didasarkan pola konsumsi makanan
15 yaitu penyerapan besi tinggi (15%), penyerapan besi sedang (10%) dan penyerapan besi rendah (5%). Menu makanan yang porsi sumber hewaninya besar, penyerapan besinya menjadi maksimal dan sebaliknya (Gibson 2005; IOMFNB 2001). Interaksi Besi dengan Zat Gizi Mikro Lainnya Penyerapan mineral dalam usus halus dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah adanya interaksi dengan zat gizi lain. Interaksi ini dapat dalam
bentuk
interaksi
sinergistik
(saling
bekerjasama/menguntungkan),
antagonistik (mengurangi kerja yang lain) maupun kombinasi keduanya. Interaksi zat besi antagonistik terlihat antara zat besi dengan mineral seng dan antara zat besi dengan kalsium. Pada pemberian suplemen besi dosis tinggi bersamaan dengan seng, zat besi akan menghambat penyerapan seng. Menurut O’Brien et al. (1999), jika rasio antara besi dan seng lebih dari 2:1 akan mengakibatkan gangguan penyerapan pada unsur yang lebih sedikit.
Besi dan seng saling
berkompetensi pada saat transportasi karena keduanya sama-sama diangkut oleh transferin. Menurut Almatsier (2002), sintesis hem akan terganggu bila terjadi kekurangan seng, hal ini dikarenakan seng merupakan ko-faktor dari asam amino levulinik dehidrase (ALA Dehidrase).
Salah satu peranan seng dalam tubuh
adalah meningkatkan kekebalan, oleh karenanya kekurangan seng akan dapat meningkatkan infeksi yang pada akhirnya mengganggu metabolisme besi. Interaksi zat besi dengan tembaga (Cu) dan interaksi zat besi dengan vitamin A adalah contoh interaksi sinergistik di mana status tembaga yang cukup diperlukan untuk zat besi ke sumsum tulang untuk membentuk sel darah merah. Vitamin A bersama dengan asam folat, vitamin B12, riboflavin dan vitamin B6 diperlukan untuk produksi sel darah merah secara normal. Vitamin A bersama vitamin C
dan
riboflavin
juga dapat
mencegah
anemia
dengan
cara
meningkatkan penyerapan besi dari usus atau dengan membantu mobilisasi besi dari simpanan tubuh (Fishman, Christian & West 2000). Efek pemberian vitamin A sangat menguntungkan dalam peningkatan status besi pada penderita defisiensi anemia defisiensi zat besi. Review beberapa studi yang dilakukan MIP (2000) dalam Briawan (2008) menunjukkan bahwa penambahan vitamin A yang cukup dapat membantu pemeliharaan besi di dalam
16 plasma dan jaringan sehingga akhirnya membantu peningkatan pembentukan sel darah merah. Ekayanti (2005) dalam penelitian membuktikan bahwa penambahan vitamin A (betakaroten 10.000 IU) pada suplemen besi folat (ferro fumarat 250 mg dan asam folat 0,5 mg) dapat meningkatkan hemoglobin pekerja WUS anemik sebesar 1,31±1,23 g/dl. Angka peningkatan ini lebih tinggi dibandingkan jika tidak ditambahkan vitamin A yakni sebesar hanya 0,53±1,09 g/dl. Hasil penelitian ini mirip pula dengan penelitian Ahmed et al. (2001) di Bangladesh. Besi berinteraksi sinergis dengan vitamin B kompleks. Vitamin B12 dan asam folat diperlukan pula dalam pembentukan sel darah merah, sehingga kekurangan kedua vitamin tersebut juga dapat mengakibatkan anemia akibat penurunan produksi darah merah (anemia megaloblastik). Selama ini asam folat selalu ditambahkan pada suplemen besi untuk wanita hamil, namun penambahan vitamin B12 ke dalam suplemen besi masih jarang dilakukan. Vitamin B2 (riboflavin) berperanan dalam proses penyerapan, mobilisasi simpanan besi dan eritropoiesis.
Kekurangan
riboflavin
dalam
jangka
waktu
lama
dapat
menyebabkan anemia normositik normokromik. Piridoksin merupakan kofaktor enzim untuk sintesis heme, sehingga defisiensi vitamin ini dapat menyebabkan anemia sideroblastik. Adapun thiamin, niasin dan asam pantotenat berperanan penting pada beberapa enzim yang secara tidak langsung berhubungan dengan meatabolisme besi dan eritropoiesis.
Pada Gambar 3 dapat dilihat peranan
vitamin pada metabolisme zat besi. Interaksi zat besi juga dapat terjadi dengan Mangan (Mn) dan Kobal (Co), yang mana penyerapan mangan yang banyak akan meningkatkan resiko defisiensi zat besi, sedangkan interaksi kekurangan kobalamin dengan zat besi dapat menyebabkan anemia pernisiosa. Zat besi juga dapat berinteraksi dengan beberapa logam berbahaya seperti aluminium (Al), timah (Pb) dan cadmium (Cd) (Crichton, 2001).
17 Kehilangan Darah (haid, pendararahan)
Eritrosit darah
Retikulosit
Eritropoesis: Vitamin A Asam Folat Vitamin B12 Riboflavin Vitamin B6
Eritroblast
ProEritroblast
Fungsi Antioksidan: Vitamin E VitaminC
Stem sel Sumsum Tulang
Penyerapan di usus: Vitamin A Vitamin C Riboflavin
Mukosa Usus
Sel Retikulo endothelial (Hati, Limpa)
Simpanan Besi (Feritin, hemosiderin) (dalam hati, darah)
Transferin Darah
Mobilisasi besi: Vitamin A Vitamin C Riboflavin
Jaringan Periferal (contoh: otot, plasenta)
Asupan besi
Kehilangan besi di feses
Gambar 3 Peranan vitamin dalam metabolisme zat besi (Hughes-Jones & Wickramasinghe 1996 dalam Fishman et al. 2000) Penentuan Status Gizi dan Status Besi Status gizi seseorang dapat dinilai melalui berbagai metode, antara lain, pemeriksanaan fisik (klinis), pemeriksaan biokimiawi (laboratoris), antropometri, studi konsumsi pangan dan studi faktor-faktor ekologi. Pemeriksanaan klinis dilakukan dengan cara mengevaluasi tanda fisik yang ditimbulkan sebagai akibat gangguan kesehatan dan penyakit gizi, sedangkan pemeriksaan laboratoris
18 dilakukan untuk mendektesi defisiensi zat gizi marjinal (batas antara kurang dan cukup), terutama bila data riwayat makanan tidak lengkap dan tidak tersedia. Kedua pemeriksaan di atas memerlukan tenaga ahli yaitu paramedis dan teknisi laboratorium. Penilaian status gizi yang paling sering dilakukan karena cukup mudah dan praktis adalah antropometri menggunakan indeks masa tubuh (IMT) dan studi konsumsi pangan menggunakan metode mengingat kembali (recall) dan kuesioner frekuensi makan (food frequency questionnaires). Indek masa tubuh (IMT) atau Body Mask Indeks (BMI) merupakan ukuran antropometri yang baik digunakan pada orang dewasa yang memberikan gambaran mengenai asupan gizi seseorang pada masa lampau. Ukuran antropometri lainnya adalah rasio lingkar pinggang-pinggul
(RPP) yang
menggambarkan simpanan lemak di bagian pinggang dan pinggul, dan lingkar lengan atas (LILA) yang menggambarkan simpanan lemak di dalam tubuh. IMT dapat dihitung dengan menggunakan rumus: IMT
BB TB 2
di mana IMT = indeks massa tubuh dalam kg/m2 BB = Berat Badan dalam kg, dan TB = Tinggi Badan dalam m Status gizi menurut IMT untuk orang dewasa dapat dikategorikan sebagai berikut: kurus (<18.5 kg/m2), normal (18.5-25.0 kg/m2) dan gemuk (>25 kg/m2). Adapun rasio lingkar pinggang-pinggul yang ideal adalah ≤0,8 untuk wanita dewasa dan ≤ 0,9 untuk pria dewasa. Ukuran LILA menggunakan cut-off point ≤ 23,5 untuk mendeteksi adanya kekurangan energi kronis (KEK) (Gibson, 2005). Sesuai dengan rekomendasi INACG (2003), untuk mengkaji status besi dalam suatu populasi selama ini umumnya menggunakan biomarker yang memungkinkan
secara rutin
dilakukan di lapangan yaitu hemoglobin atau
hematokrit darah. Hal ini juga sesuai dengan WHO (2008) yang menyatakan bahwa konsentrasi hemoglobin adalah indikator anemia yang paling handal di tingkat populasi. Pengukuran konsentrasi hemoglobin secara relatif mudah dan murah dilakukan, dan pengukuran ini paling sering digunakan sebagai satu
19 indikator kekurangan zat besi. Selain itu, hematokrit juga salah satu biomarker yang pada umumnya dilakukan dalam pengkajian klinis dan sering digunakan dalam survai anemia karena kesederhanaan dan kemudahan dalam penyediaan peralatan yang diperlukan. Sementara itu WHO (2005) menyatakan bahwa serum ferritin (SF) adalah indikator terbaik untuk mengukur respon suatu intervensi yang bertujuan untuk mengatasi kekurangan zat besi, sehingga harus diukur bersamaan dengan konsentrasi hemoglobin dalam evaluasi program. Namun demikian pengukuran feritin cenderung tinggi pada sampel yang mengalami infeksi sehingga tidak menggambarkan simpanan besi tubuh secara tepat. Adapun pengukuran serum transferin reseptor (STfR) lebih sesuai digunakan pada yang mengalami infeksi karena kurang begitu terpengaruh oleh kondisi infeksi. Menurut WHO (2007), pengukuran SF dikombinasikan dengan STfR memberikan pendekatan terbaik untuk mengukur status zat besi populasi. Pada umumnya konsentrasi STfR tidak naik dalam respon terhadap peradangan sehingga bila dikombinasikan dengan konsentrasi serum feritin memungkinkan untuk membedakan antara defisiensi besi dan peradangan. Keuntungan lainnya adalah jumlah zat besi dalam tubuh dapat dihitung dari rasio STfR dan SF yang diperkirakan dengan menggunakan formula Cook et al. (2003) yaitu: Fe = -[log(STfR:SF)-2.8229] / 0.1207 di mana: Fe
= jumlah zat besi di dalam tubuh dalam mg/kg berat badan
Log = logaritma 10 STfR = serum transferin reseptor dalam mg/lx103 SF
= serum feritin dalam ug/l
Penelitian pada 409 wanita berusia 20 sampai dengan 45 tahun di Amerika, rataan simpanan besi tubuhnya sebesar 4.87±4.14 mg/kg. Namun demikian analisis distribusinya menunjukkan bahwa terdapat dua populasi, 93% memiliki rataan simpanan besi tubuh sebesar 5.5±3.35 mg/kg, sedangkan sisanya 7% mengalami kekurangan besi dalam jaringan sebesar -3.87±3.23 mg/kg. Ukuran tingkat bawah (cuttoff) hemoglobin dan hematokrit untuk mendeteksi anemia pada suatu wanita usia subur yang tidak sedang hamil adalah 120 g/l dan 36% (WHO 2001, BPPK Depkes 2008). Berdasarkan konsentrasi SF,
20 ukuran relatif simpanan besi dalam tubuh termasuk kurang jika < 15 ug/l dan kelebihan (beresiko berat) jika > 150 ug/l. Namun pada yang mengalami infeksi ambang batas yang ditetapkan lebih tinggi yakni < 30 ug/l (WHO 2007). Salah satu cara untuk mengetahui ada tidaknya infeksi dalam tubuh dapat dilakukan dengan pemeriksaan laju endap darah (LED). Laju Endap Darah (LED) atau Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk darah. Proses pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah diukur dengan memasukkan darah ke dalam tabung khusus selama satu jam. Makin banyak sel darah merah yang mengendap maka makin tinggi Laju Endap Darah (LED)-nya. Tinggi rendahnya nilai pada Laju LED dipengaruhi oleh keadaan tubuh, terutama selama ada peradangan. Standar normal LED adalah 10 ml/jam pada 1 jam pertama dan 20 ml/jam pada 1 jam berikutnya atau setelah 2 jam. Seseorang yang anemia biasanya memiliki nilai LED yang tinggi. Untuk standar konsentrasi STfR, hingga kini belum ada yang baku karena tergantung kepada prosedur yang digunakan. Prosedur pengukuran STfR dalam penelitian ini mengacu kepada Erhardt (2004) yang mengemukakan bahwa nilai cut-off STfR yang dapat digunakan berdasarkan penelitiannya adalah 8.3 mg/l. Kebugaran Fisik Definisi dan Komponen Kebugaran Fisik Kebugaran fisik atau jasmani didefinisikan sebagai kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas pekerjaannya sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggang serta untuk keperluan mendadak. Kebugaran fisik dalam bahasa Inggris adalah physical fitness. Physic artinya kondisi fisik sementara fitness artinya kecocokan, keserasian serta secara lebih jauh lagi kemampuan tubuh kita untuk beradaptasi, menjaga keseimbangan proses faali dan biokimiawi tubuh dalam keadaan stres berat termasuk kerja fisik. Kebugaran fisik dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kebugaran fisik yang statis (static), dinamis (dynamice) dan keterampilan motorik (motor skills). Kebugaran fisik statis artinya ketidakadaan atau keadaan terbebas dari kecacatan atau penyakit. Kebugaran fisik dinamis atau fungsional artinya kemampuan untuk melakukan pekerjaan fisik yang berat. Adapun kebugaran fisik keterampilan motorik adalah kemampuan
21 untuk melakukan gerakan koordinasi yang kompleks. Selain pengkategorian di atas, kebugaran fisik meliputi komponen-komponen seperti daya tahan jantungparu, kekuatan otot, daya tahan otot, kelenturan, berat badan seimbang, daya ledak otot, kecepatan, kelincahan, koordinasi, dan keseimbangan (Marley 1982; Sharky 1991). Adapun Quinn (2008) sebagaimana banyak pakar lainnya menetapkan bahwa komponen kebugaran fisik yang diperlukan untuk menunjang kegiatan sehari-hari adalah daya tahan jantung-paru, daya tahan otot, kekuatan otot, kelenturan dan komposisi tubuh. Daya
tahan
jantung-paru
(cardiovascular
endurance)
merupakan
kemampuan untuk melakukan aktivitas yang sedang secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Hal ini merefleksikan seberapa baik jantung dan paru-paru bekerjasama untuk menyuplai oksigen ke tubuh seseorang selama melakukan kegiatan atau latihan. Daya tahan jantung-paru juga disebut kebugaran aerobik (aerobic fitness). Daya tahan otot (muscular endurance) adalah kemampuan untuk bertahan pada satu posisi tertentu pada satu periode waktu atau pada satu pergerakan yang berulang-ulang. Kekuatan otot (muscular strength) adalah kemampuan untuk menggunakan kekuatan maksimum otot sekali, seperti mengangkat beban paling berat yang bisa diangkat. Kekuatan otot seseorang dapat pada satu area tubuhnya saja, misalnya lengan tangan, sementara area lainnya seperti kakinya lemah. Kelenturan (fleksibility) adalah kemampuan untuk menggerakkan satu sendi dengan suatu gerakan menekuk, meregang dan memuntir. Kelenturan yang baik akan memberikan keleluasaan gerak tubuh tanpa mengalami cedera. Komposisi tubuh (body composition) adalah proporsi lemak dalam tubuh dibandingkan dengan tulang dan otot, ini tidak ada hubungannya dengan berat badan atau penampilan seseorang. Komposisi tubuh juga digambarkan sebagai berat badan tanpa lemak dan berat lemak. Berat badan tanpa lemak terdiri dari massa otot (40-50%) tulang (16-18%) dan organ tubuh (29-39%). Lemak badan yang berlebihan akan mengurangi komponen kebugaran lain, mengurangi kinerja, menganggu penampilan, dan akan berpengaruh negatif terhadap kesehatan secara umum.
Berat lemak (body fat-BF) dinyatakan dalam persentase berat lemak
badan terhadap berat badan total (%LB).
Ketidakmampuan tubuh dalam
22 melakukan aktivitas sering dikaitkan dengan berat (penimbunan) lemak (Marley 1982; Quinn 2008). Pengukuran Kebugaran Fisik Kebugaran fisik sangat penting dalam menunjang aktivitas kehidupan sehari-hari para pekerja.
Akan tetapi nilai kebugaran fisik tiap-tiap orang
berbeda-beda sesuai dengan tugas atau profesi masing-masing. Kebugaran fisik dapat diukur secara kuantitatif dengan beberapa metode. Memperhatikan komponen kebugaran fisik, maka telah dikembangkan pula beberapa jenis pengukuran untuk mengetahui daya tahan jantung-paru, kekuatan, daya tahan dan kelenturan otot dan sebagainya. Kriteria kebugaran fisik berdasarkan daya tahan jantung-paru (cardiorespiratory endurance) paling sering dilakukan di lapangan dan paling baik dinilai dengan mengukur VO2 maksimal (VO2Maks). VO2Maks merupakan satu ukuran seberapa bugar (fit) seseorang, dengan menyatakan volume oksigen yang dikonsumsi tubuh per menit sehingga satuannya adalah ml/kg/menit (Marley 1982; Sharkey 1991; Quinn 2008.). Performa seorang pekerja sebagaimana juga seorang atlet berhubungan langsung dengan jumlah oksigen yang disuplai ke otot. Suplai oksigen ditentukan oleh seberapa sering jantung berdenyut, volume darah yang ditransportasikan oleh tiap denyutan dan jumlah oksigen di dalam darah tersebut. Juga tergantung kepada seberapa baik jaringan atau otot mengekstrak oksigen. Volume gerakan biasanya diukur dalam ml per denyut. Output jantung merupakan produk dari volume gerakan dan kecepatan jantung dan diukur dalam ml per menit.
Hasilnya
dikalikan dengan perbedaan konsentrasi oksigen maka didapatkan liter O2 yang diproses per menit. Jika melakukan pengukuran ini ketika seseorang bekerja pada kecepatan jantung maksimumnya, maka didapat VO2maks. Dengan bertambahnya usia akan semakin rendah nilai VO2maks-nya. Berdasarkan usia, puncak nilai VO2maks adalah pada usia 18-20 tahun (Quinn 2008). Berdasarkan kondisi dengan memperhatikan jenis kelamin dan usia, maka kriteria kebugaran fisik seseorang berdasarkan nilai VO2maks untuk wanita usia 20-29 tahun adalah sebagai berikut: bila kurang atau sama dengan 28 ml/kg/menit maka derajat kebugarannya sangat kurang, antara 28 dan 34 kurang, antara 35 dan
23 43 sedang, antara 44 dan 48 baik dan bila lebih dari 48 adalah baik sekali (RHSFNS 2008). Kebugaran fisik seseorang yang beraktivitas aktif selain dapat ditentukan melalui pengukuran kapasitas aerobik, juga melalui pengukuran komposisi tubuh, serta test pemeriksaan beberapa parameter biomarker antara lain kadar hemoglobin, serum feritin serta tekanan darah dan denyut jantung dalam keadaan istirahat (Golding 1989; Sharkey 1991). Menurut Culpepper and Francis (1987), uji kapasitas aerobik adalah salah satu cara yang paling valid dalam menilai kebugaran fisik. Kapasitas aerobik terbesar adalah tingkat di mana tubuh dapat mengkonsumsi oksigen dan paling efisien mewakili integrasi dari berbagai proses fisiologis yang menyusun sistem transportasi oksigen. Namun demikian, pengukuran langsung dari kapasitas aerobik memerlukan peralatan laboratorium yang canggih, dan menimbulkan ketidaknyamanan subjek. Untuk memperkirakan kapasitas aerobik seseorang, uji yang paling banyak digunakan selama ini adalah step test (uji naik turun bangku) karena korelasinya terhadap VO2maks cukup tinggi dengan peralatan yang mudah dan praktis dioperasikan baik untuk di dalam maupun di luar ruangan.
Peralatan yang
diperlukan pada uji ini adalah bangku dengan ketinggian bervariasi antara 15-50 cm atau 6-20 inch, stopwach dan pengukur denyut jantung. Protokol Uji bangku Harvard (Harvard step test-HST) merupakan salah satu uji bangku tertua yang dikembangkan oleh Harvard Fatigue Laboratory (Brouha, Graybiel, and Heath 1943).
Beberapa protokol uji bangku yang muncul berikutnya banyak yang
merupakan pengembangan dari HST, seperti Astrand-Ryhming (A-R) step test (Astrand 1960). Pengujian kebugaran fisik dengan Astrand-Ryhming (A-R) step test (Astrand 1960), memiliki beberapa keuntungan antara lain adalah: membutuhkan peralatan dan biaya minimal, memerlukan waktu sebentar sehingga memungkinkan untuk dikelola dengan lebih baik. Alat yang diperlukan bangku setinggi 33 cm (13 inci) untuk wanita dan 40 cm (16 inci) untuk pria, stopwatch dan metronome. Peserta diminta untuk naik-turun bangku selama 5 menit dengan frekuensi 22.5 kali per menit (dijaga stabil dengan mengikuti irama yang disetel dari metronome diset pada 90 ketuk/menit). Pada akhir menit ke lima, peserta diminta untuk tetap
24 berdiri dan denyut jantungnya segera dicek selama 15 detik sejak 15 detik pemulihan.
Pengukuran denyut jantung dilakukan secara palpasi pada leher
(carotid artery). Selain HST dan A-Rstep test, uji naik turun bangku lain yang cukup sering digunakan sebagai acuan adalah Queens College Step Test – QCST serta the National Young Men's Christian Association (YMCA) three minutes step test. Kedua protokol tersebut juga merupakan modifikasi dari protokol uji naik turun Bangku Harvard (Harvard Step Test) yang telah banyak diuji validitas dan reabilitasnya antara lain oleh McArdle et al. (1972), Culpepper and Francis (1987), dan Lee et al. (2008). Setiap protokol di atas bergantung pada pengamatan bahwa ada hubungan linear antara denyut jantung dan tingkat kerja. Seseorang yang bugar (fit) akan memiliki respons denyut jantung lebih rendah pada suatu tingkat kerja, dan akan menunjukkan suatu perubahan dalam detak jantung yang rendah dengan adanya perubahan tingkat pekerjaan. Seseorang yang memiliki kapasitas aerobik tinggi akan memiliki denyut jantung pasca kerja (pemulihan) yang lebih rendah, karena denyut jantung mereka tidak naik terlalu tinggi pada saat melakukan pekerjaan fisik. Anemia dan Suplementasi Zat Gizi Mikro pada Wanita Usia Subur Anemia dan Kekurangan Zat Besi Anemia secara klinis didefinisikan sebagai tidakcukupnya massa sel darah merah yang beredar di dalam tubuh. Adapun dalam kesehatan masyarakat anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin yang rendah, yakni berada di bawah ambang batas menurut umur dan jenis kelamin. Ambang batas hemoglobin untuk wanita dewasa sebesar 120 g/l; sedangkan untuk wanita hamil 110 g/l. Penyebab anemia yang paling banyak ditemui adalah akibat kekurangan zat besi. Penyebab anemia lainnya adalah adanya infeksi yang akut maupun kronis yang menyebabkan peradangan, kekurangan zat gizi mikro lain terutama asam folat, vitamin B12 dan vitamin A, serta sifat-sifat genetis yang diwariskan seperti talasemia (WHO 2007). Kekurangan zat besi adalah suatu keadaan di mana jumlah zat besi di dalam tubuh tidak cukup untuk mempertahankan fungsi fisiologis normal jaringan
25 seperti darah, otak, dan otot. Kekurangan zat besi dapat terjadi tanpa anemia jika berlangsung belum cukup lama atau jika belum cukup parah yang menyebabkan konsentrasi hemoglobin berada di bawah ambang batas. Faktor-faktor yang menyebabkan kekurangan zat besi dalam tubuh adalah rendahnya asupan zat besi dan ketersediaan biologi zat besi dalam makanan, adanya faktor penghambat zat besi dan rendahnya makanan atau zat yang memperlancar penyerapan zat besi. Kekurangan zat besi yang menyebabkan anemia gizi besi (AGB) ditandai dengan kulit pucat, lemah/letih, dan nafasnya pendek akibat kekurangan oksigen. Anemia dapat menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan menurunkan kognitif.
Selain itu juga dapat menurunkan daya tahan tubuh.
Kekurangan zat besi terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama terjadi kehabisan besi simpanan cadangan. Simpanan besi berkurang terlihat dari penurunan feritin dalam plasma hingga 12-15 μg/l.
Hal ini dikompensasi dengan peningkatan
penyerapan besi yang terlihat dari pengangkutan total iron binding capacity (TIBC). Pada tahap ini belum terlihat perubahan fungsional pada tubuh. Tahap ke dua terlihat perubahan dengan habisnya simpanan besi dan menurunnya transferin jenuh hingga kurang dari 16% dan meningkatnya protoporfirin (prekursor heme). Pada tahap ini hemoglobin di dalam darah masih berada pada 95% nilai normal.
Hal ini dapat mengganggu metabolisme energi, sehingga
menyebabkan menurunnya kemampuan belajar karena malas, cepat lelah, letih, lesu, pusing, menurunnya nafsu makan, karena terjadi gangguan produksi hemoglobin (defisiensi besi tanpa anemia).
Tahap ke tiga terjadi anemia
defisiensi besi, di sini kadar Hb total menurun hingga di bawah nilai normal. Anemia defisiensi berat ditandai oleh sel darah merah yang mengecil (mikrositosis) dan nilai Hb rendah (hipokromia) (Almatsier 2002). Pemeriksaan hitung sel darah dapat digunakan sebagai tes skrining untuk memeriksa kemungkinan adanya anemia dan tipenya. Konsentrasi hemoglobin mencerminkan pengaruh gabungan dari mekanisme yang mengontrol ukuran massa sel darah merah dan volume plasma. Sel darah merah beredar dalam darah selama sekitar 90-120 hari dan satu persen di antaranya diganti setiap hari. Pada manusia normal massa sel darah merah dikontrol oleh laju produksi sel darah merah, sebab kehilangan sel darah merah karena penuaan relatif tetap.
26 Sel-sel yang beredar di dalam aliran darah dibagi menjadi tiga jenis: sel darah putih (leukosit), sel darah merah (eritrosit), dan platelet (trombosit).
Tinggi
rendahnya hasil penghitungan mungkin menunjukkan adanya berbagai bentuk kelainan, penyakit atau status kesehatan seseorang.
Standar normal leukosit
adalah 4—10 x 103/ul, eritrosit 4.2—5.4 x 106/ul sedangkan trombosit adalah 150—400 x 103/ul (WHO, 2007). Sel darah merah meliputi mean corpuscular volume (MCV), mean corpuscular hemoglobin (MCH) dan mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC). Mean corpuscular volume (MCV) adalah ukuran atau volume rata-rata eritrosit dengan standar normal sebesar 81-90 fl. Jika eritrosit lebih besar dari biasanya (makrositik) MCV meningkat, misalnya pada anemia karena kekurangan vitamin B12. Sebaliknya MCV menurun jika eritrosit lebih kecil dari biasanya (mikrositik) seperti pada anemia karena kekurangan zat besi. Mean corpuscular hemoglobin (MCH) adalah jumlah rata-rata hemoglobin dalam eritrosit, dengan standar normal sebesar 26.0-30.6 pg.
Eritrosit yang lebih besar (makrositik)
cenderung memiliki MCH yang lebih tinggi. Sebaliknya, pada eritrosit yang lebih kecil (mikrositik) akan memiliki nilai MCH yang lebih rendah.
Mean
corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) adalah perhitungan rata-rata konsentrasi hemoglobin di dalam eritrosit, standar normalnya 32.0-33.9 g/l. Kadar MCHC menurun (hipokromia) ditemukan pada kondisi di mana hemoglobin abnormal diencerkan di dalam eritrosit, seperti pada anemia dan kekurangan zat besi dalam talasemia (WHO 2007).
Adapun
jenis anemia
menurut BPPK Depkes (2008) sesuai bentuk dan warna (morfologi) sel darah merah untuk wanita adalah anemia mikrositik (MCV <96 fl), anemia normositik (MCV = 96 – 108 fl), anemia makrositik (MCV >108 fl), anemia hipokromik (MCHC <33 %), anemia normokromik (MCHC = 33–36%), anemia hiperkromik (MCHC >36 %), serta kombinasi dari jenis-jenis di atas. Anemia mikrositikhipokromik, biasanya karena kekurangan zat besi, penyakit kronis tingkat lanjut, atau keracunan timbal. Anemia normositik- normokromik biasanya karena penyakit kronis fase awal atau perdarahan akut. Anemia makrositik biasanya karena kekurangan vitamin B12.
27 Kekurangan zat besi dan anemia dapat mengurangi kapasitas kerja serta menurunkan produktivitas seseorang bahkan populasi secara keseluruhan. Secara nasional hal ini akan menjadi serius karena dapat menyebabkan terganggunya ekonomi serta terganggunya pembangunan nasional. Anemia gizi besi (AGB) dapat menurunkan kapasitas kerja fisik seseorang melalui menurunnya ketersediaan oksigen bagi jaringan. Selain itu AGB juga mengakibatkan turunnya kekebalan dan fungsi kognitif pada penderitanya (WHO 2001). Kekurangan zat besi dapat mempengaruhi aktivitas fisik melalui terutama dua jalur. Pertama, sebagai akibat turunnya kadar hemoglobin dalam darah,maka jumlah maksimum oksigen yang dapat digunakan oleh tubuh (kapasitas aerobik) juga menurun. Ke dua, sebagai akibat berkurang atau habisnya simpanan zat besi, maka jumlah oksigen yang tersedia untuk otot pun berkurang, sehingga mengurangi daya tahan dan jantung menjadi bekerja lebih keras untuk dapat menghasilkan sejumlah aktivitas yang sama.
Penelitian baik pada binatang
maupun manusia telah mendemonstrasikan adanya satu hubungan sebab akibat antara kekurangan zat besi dengan menurunnya kapasitas aerobik maksimum (VO2maks). Beberapa penelitian membuktikan bahwa AGB berhubungan dengan berkurangnya daya tahan pada tingkat kerja yang di bawah maksimal (Haas & Brownlie 2001). Prevalensi Anemia pada WUS di Indonesia Anemia merupakan masalah gizi yang relatif sukar ditanggulangi. Masalah ini cukup luas terjadi di masyarakat, melanda sejumlah besar anak-anak dan wanita di negara-negara yang sedang berkembang, serta menjadi satu-satunya zat gizi yang angka kekurangannya juga masih nyata dijumpai pula di negara-negara industri. Lebih dari 30% penduduk di dunia ini menderita anemia yang sebagian besar diakibatkan oleh kekurangan zat besi, serta di beberapa daerah diperburuk oleh adanya penyakit infeksi. Pada umumnya, penduduk miskin dan berpendidikan rendah merupakan golongan yang paling rawan terkena kekurangan zat besi dan mereka itu pula yang akan paling merasakan penurunan itu (WHO 2008). Menurut Usfar et al. (2009), prevalensi defisiensi besi di seluruh dunia adalah 30%, di mana di negara-negara yang sedang berkembang adalah 40-50%,
28 sedangkan di negara maju 10%. Konsekuensi utama kekurangan zat besi adalah meningkatkan risiko kelahiran prematur, meningkatkan frekuensi kematian ibu dan bayi baru lahir, penurunan perkembangan psikomotorik, serta penurunan kapasitas kerja dan produktivitas. Penyebab utama kekurangan zat besi adalah rendahnya asupan besi, rendahnya bioavailabilitas asupan besi, kenaikan kebutuhan besi, dan kecacingan serta adanya infeksi Helicobacter pylori (Hp). Kelompok penduduk yang beresiko mengalami defisiensi besi adalah bayi dan anak-anak, remaja putri, wanita usia subur, dan wanita hamil. Hasil pemetaan yang tidak lengkap pada tahun 1999 dan 2000 menyingkap secara keseluruhan bahwa prevalensi anemia pada balita masih cukup tinggi yakni berkisar antara 40-70%, dan pada WUS berkisar antara 20-40%. Kisaran angka yang cukup tinggi ini masih tetap bertahan hingga tahun 2007 sebagaimana terlihat pada Tabel 2 (Almatsir & Fallah 2004; BPPK Depkes RI 2008). Tabel 2 Perkembangan prevalensi anemia pada WUS di beberapa provinsi di Indonesia Provinsi Sumbar Lampung Sulsel Jatim Jabar Jateng Jakarta a)
a)
1999 29.2 Na Na 28.7 28.9 23.4 42.5
Atmarita dan Fallah (2004);
b)
Tahun 2000a) 34.0 24.1 27.8 26.5 26.5 25.8 33.3
2007b) 29.8 25.9 19.7 15.6 13.4 22.8 27.6
BPPK Depkes RI (2008); Na, data tidak tersedia
Penelitian tentang prevalensi anemia di Indonesia selama ini masih lebih banyak dilakukan pada kelompok wanita yang sedang hamil atau menyusui serta bayi dan balita. Adapun penelitian pada kelompok pekerja WUS masih jarang dilakukan dan kalau pun ada lebih banyak dilakukan di daerah Jawa dan Bali. Beberapa studi yang telah lama dilakukan oleh Husaini et al. (1981) di Jawa Barat Suharjo (1986) di Jawa Barat, Scholz et al. (1997) di Jakarta dan Untoro et al. (1998) di Kudus Jawa Tengah mendapatkan prevalensi anemia pada pekerja wanita berkisar antara 35.5%-50%. Adapun studi Husaini et al. (1999) melaporkan bahwa hasil studinya di Tangerang tahun 1999 menunjukkan prevalensi anemia pada pekerja wanita mencapai 69%.
29 Studi yang dilakukan oleh Mulyawati (2003) menemukan bahwa dari 72 pekerja wanita di sebuah perusahaan plywood di Jakarta ditemukan 56 orang (77.77%) menderita anemia, di mana 54 responden di antaranya tergolong usia reproduksi berkisar antara 19 sampai dengan 35 tahun (rataan 23 tahun). Prevalensi anemia pada wanita lebih besar dibandingkan dengan pria yang dikarenakan pada usia reproduksi sesuai dengan kodratnya, wanita harus mengalami haid setiap bulannya. Darah yang keluar pada waktu haid menyebabkan kehilangan zat besi 1.3 mg per hari. Ditinjau dari faktor resikonya, maka yang berpendidikan rendah mempunyai resiko menderita anemia 2.05 kali dibandingkan dengan yang berpendidikan sedang dan tinggi. Adapun Depkes RI (2004), menyatakan bahwa sekitar 50% dari 25 juta pekerja wanita di Indonesia menderita anemia gizi atau kekurangan zat besi. Data dari Direktorat Bina Gizi Masyarakat pada tahun 1997 menunjukkan prevalensi anemia pada pekerja wanita usia produktif yang berpenghasilan rendah berkisar antara 30-40%. Menurut WHO (2001), prevalensi anemia antara 20.0-39.9% sudah tergolong sebagai masalah kesehatan masyarakat pada kategori sedang. Secara umum prevalensi AGB di kalangan pekerja wanita Indonesia masih tinggi. Menurut laporan WHO (2008), prevalensi AGB di Indonesia pada wanita usia subur yang tidak hamil tahun 2006 mencapai 33% atau kategori sedang. Pada wanita yang hamil dan anak-anak ditemukan lebih tinggi lagi yakni 44.5% dan 44.3% atau kategori berat. Adapun berdasarkan hasil Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) 2007 oleh BPPK Depkes RI (2008) diketahui bahwa prevalensi anemia tahun 2007 pada wanita 19.7%, khusus pada wanita dewasa 14.8%, wanita hamil 24.5% dan anak balita 27.7%. WHO (2008) menyarankan bahwa untuk menurunkan prevalensi kekurangan zat besi pada bayi dan wanita hamil maka seharusnya wanita sudah disuplementasi sebelum hamil. Suplementasi Besi pada WUS Supplementasi besi untuk wanita hamil di Indonesia sudah dimulai pada 1974 dengan cakupan 60% selama 90 hari berturut-turut. Adapun suplementasi besi pada bayi dan anak-anak melalui sirup yang diperkaya dengan zat besi dimulai di desa-desa yang kurang berkembang di kawasan timur Indonesia pada tahun 1996. Hal yang mendasari ini disinyalir bayi dan anak-anak tidak dapat
30 memenuhi kecukupan besi melalui diet saja, kecuali jika mengkonsumsi makanan yang difortifikasi dengan zat besi. Selain itu sejak tahun 1996, pabrik-pabrik di Indonesia sudah diharuskan memberikan suplemen zat besi kepada pekerja wanita sekali per minggu, 16 minggu per tahun secara mandiri, guna meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas pekerja wanita (Kodyat et al. 1998). Namun demikian menurut Atmarita dan Fallah (2004), intervensi anemia secara nasional masih memprioritaskan ibu hamil dengan distribusi tablet besi yang cakupannya pun masih sulit dipantau. Studi Husaini et al. (1999) melaporkan bahwa di kalangan tenaga kerja, pekerja yang menderita anemia dari hasil penelitian produktivitasnya 20% lebih rendah dari pada pekerja yang sehat. Hasil penelitian yang lain menjelaskan bahwa peningkatan status gizi besi dapat meningkatkan produktivitas pekerja. Sudah lama INACG (2003) menyarankan agar para WUS yang sedang tidak hamil juga diberi suplemen berisis 60 mg besi elemental yang disertai dengan 400 µg folat sebagai usaha preventif untuk mencegah anemia dan kesulitan melahirkan pada selama dia nanti hamil. Adapun UNICEF/WHO/UNU (1999), menyarankan untuk memperbaiki status gizi WUS dengan suplementasi berbagai mineral mikro yaitu 15 macam vitamin dan mineral, tidak cukup hanya dengan suplementasi zat besi saja. Kedua suplemen tersebut sama seperti yang diberikan kepada wanita hamil. Perbedaannya hanya pada dosis pemberiannya, jika pada wanita hamil adalah dianjurkan minum setiap hari atau sekurang-kurangnya 90 hari pada saat hamil; sedangkan pada yang tidak hamil dianjurkan sekali seminggu dan setiap hari pada selama menstruasi.
Pada Tabel 3 dapat dilihat komposisi kedua
suplemen tersebut. Adanya hubungan linear antara kekurangan zat besi dan kapasitas kerja pada pekerja di sektor pertanian banyak dilaporkan pada penelitian-penelitian yang sudah cukup lama yakni dilakukan sebelum tahun 2000. Studi di China oleh Li et al. (1994) yang dilakukan di pabrik katun menemukan bahwa diantara 447 orang pekerja wanita terdapat 83 pekerja wanita yang tidak sedang hamil (usia 19—44 tahun) terdiagnosa kekurangan zat gizi besi.
Bahkan 10 orang diantaranya
mengalami anemia gizi besi (AGB) dengan kadar hemoglobin yang kurang dari 100 g/dl. Kepada 40 orang wanita tersebut kemudian diberi perlakuan dengan
31 Tabel 3 Komposisi suplemen yang dianjurkan dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan untuk WUS di Indonesia Jenis zat gizi mikro Vitamin A (μg) Vitamin D (IU) Vitamin E (mg) Vitamin C (mg) Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Vitamin B-6 (mg) Vitamin B-12 (μg) Asam Folat (μg) Besi (mg) Seng (mg) Copper (mg) Selenium (μg) Yodium (μg)
Suplemen* IFA MMN — 800 — 200 — 10 — 70 — 1.4 — 1.4 — 18 — 1.9 — 2.6 400 400 60 30 — 15 — 2 — 65 — 150
AKG WUS** 19-29 tahun 30-49 tahun 500 500 200 200 15 15 75 75 1.0 0.9 1.1 1.1 14 14 1.3 1.3 2.4 2.4 400 400 26 26 9.3 9.8 2*** 2*** 30 30 150 150
*
MMN, multiple micronutrients (UNICEF/WHO/UNU 1999); IFA, iron and folate acid-besi dan asam folat (INACG 2003). ** LIPI (2004) *** NRC (1989)
memberikan suplemen tablet ferro sulfat yang berisi 60 mg Fe per hari dan 40 orang lainnya diberi plasebo, sedangkan tiga lainnya tidak bersedia disertakan dalam penelitian. Setelah pemberian suplemen Fe selama 12 minggu, maka pada grup perlakuan memiliki kadar hemoglobin (Hb) dan serum feritin (SF) yang meningkat (p<0.05), sedangkan Free erythrocyte protoporphyrin (FEP), Heart Rate at Work (HRW) dan Energy Expenditure at Work (EEW) turun secara nyata (p<0.01). Nilai Hb, SF, dan FEP sebelum perlakuan tidak berbeda nyata, dan setelah perlakuan perbedaan nilainya (sebelum vs sesudah intervensi) nyata antar grup (p<0.01). Selain itu, perbedaan nilai HRW dan EEW sebelum dan sesudah perlakuan juga nyata antar grup (p<0.01). Penelitian ini menjelaskan bahwa suplementasi gizi besi pada pekerja WUS selain dapat memperbaiki status besi juga memungkinkannya untuk bekerja dengan menggunakan energi yang lebih rendah atau lebih hemat energi. Studi lainnya yang mirip dengan penelitian di atas telah lebih dulu dilakukan di Colombia (Spurr et al. 1978), Guatemala (Viteri & Torun 1974), Indonesia (Basta et al. 1979; Husaini et al. 1981), Kenya (Davies et al. 1973), Sri Lanka
32 (Edgerton et al. 1981; Gardner et al, 1977), dan Philipina (Popkin 1978) serta di negara-negara lain.
Dari hasil studi-studi tersebut dapat disimpulkan bahwa
kapasitas kerja pada pekerja yang anemia dapat kembali normal bahkan meningkat dengan adanya suplementasi besi serta produktivitas kerja dan upah kerjanya
meningkat
10-30%
dibandingkan
dengan
sebelum
menerima
suplementasi. Beberapa penelitian tentang pengaruh suplementasi zat besi pada wanita tidak hamil yang dilakukan di Indonesia setelah tahun 2000 dilakukan antara lain oleh Mulyawati (2003), Baharudin (2004), Dillon (2005), Ekayanti (2005) dan Briawan (2008).
Adapun di negara lain pernah dilakukan antara lain di
Bangladesh (Ahmed et al. 2005) dan di Amerika (Kolb & Beard 2007). Pada studi Mulyawati (2003) di sebuah perusahaan Plywood yang berlokasi di Jakarta, dilaporkan bahwa dari 72 pekerja wanita 56 orang (77.77%) diantaranya ditemukan menderita anemia.
Setelah dilakukan perlakuan yakni dengan
memberikan Tablet Tambah Darah/TTD (200 mg ferro sulfat dan 0.25 mg asam folat) dengan dan tanpa 100 mg vitamin C, 1 kapsul per minggu dan 1 kapsul selama 10 hari (waktu haid), dalam jangka waktu 16 minggu; maka prevalensi anemia menurun tinggal menjadi 8.95% (6 responden).
Meskipun masih
dinyatakan anemia, keenam responden tersebut telah mengalami kenaikan Hb dari rata-rata 8.5 g/dl menjadi 11.9 g/dl. Dengan intervensi selama 16 minggu telah berhasil meningkatkan kadar hemoglobin dan serum ferritin secara bermakna p< 0.05 pada kelompok I (dengan vitamin C) dan kelompok II (tanpa vitamin C). Walaupun demikian, peningkatan kadar Hb, SF, dan indeks masa tubuh yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan (I dan II) dibandingkan kelompok kontrol, secara statistik tidak bermakna. Mirip dengan studi Mulyawati di atas, Baharudin (2004) dalam studinya di Aceh juga memberikan suplementasi Pil Besi dan vitamin C pada mahasiswi yang anemik. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa dengan pemberian pil besi (60 mg) saja sebanyak 2 (dua) kali seminggu selama 2 (dua) bulan dapat meningkatkan Hb secara nyata sebesar 1.72 g/dl. Adapun pemberian pil besi (60 mg) ditambah dengan vitamin C (50 mg) sebanyak 2 (dua) kali seminggu selama 2 (dua) bulan memberi pengaruh secara nyata (p=0.000) terhadap peningkatan
33 kadar Hb yang lebih tinggi (naik sebesar 3.28 g/dl) dan peningkatan kebugaran fisik mahasiswi dengan menggunakan tes Ergocycle Sepeda Monar. Ekayanti (2005) dalam penelitiannya memberikan suplementasi zat besi selama delapan minggu kepada 83 orang WUS (15-44 tahun) anemia yang bekerja di pabrik kerupuk, dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok P1 menerima zat besiasam folat (250 mg Ferro Fumarat dan 0.5 mg asam folat) dibandingkan dengan kelompok P2 menerima besi-asam folat ditambah dengan vitamin A (betakaroten 10.000 IU), dan kelompok P3 menerima besi-asam folat + kombinasi vitamin A, seng-tembaga (betakaroten 10.000 IU, seng 15 mg, dan tembaga 1.5 mg). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan kadar Hemoglobin dan hematokrit antarkelompok berbeda nyata. Peningkatan hemoglobin yang tertinggi dialami oleh kelompok P3 (1.76±0.93 g/dl), diikuti oleh P2 (1.31±1.23 g/dl) dan P1 (0.53±1.09 g/dl), demikian pula peningkatan hematokrit yang tertinggi pada kelompok P3 (4.29±2.14%) diikuti P2 dan terendah P1 (1.85±3.45%). Adapun peningkatan serum ferritin paling tinggi juga dialami oleh P3 (6.33±21.24 ng/l), ini nyata lebih tinggi (p=0.045) dibandingkan dengan P2 (1.41±14.28 ng/l), sedangkan pada P1 tidak terjadi peningkatan serum ferritin yang nyata. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyertaan pemberian kombinasi vitamin A, seng dan tembaga dalam suplementasi besi dapat membantu meningkatkan keberhasilan suplementasi besi. Studi pemberian zat besi dan vitamin (multivitamin) yang lebih baru, dilakukan pada remaja lanjut oleh Briawan (2008). Dalam penelitian ini 224 remaja berusia 17-20 tahun yang merupakan mahasiswi tingkat satu dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan secara acak. Kelompok tersebut adalah kelompok kontrol yang diberi plasebo, kelompok B-F yang diberi besi 60 mg dan folat 250 μg, serta kelompok B-MV yang diberi besi 60 mg, folat 800 μg, vitamin A 4200 μg, vitamin C 500 mg, dan vitamin B12 16.8μg. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa pemberian plasebo, besi dengan folat dan besi dengan multivitamin dapat meningkatkan kadar Hb berturut-turut sebesar 8.3 g/l; 11.2 g/l dan 10.5 g/l.
Namun demikian, perbedaan peningkatan Hb antara ketiga
kelompok tersebut tidak nyata (p>0,05). Suplementasi kedua kapsul tersebut berhasil meningkatkan serum ferritin lebih tinggi dibandingkan kontrol dengan
34 peningkatan SF pada kelompok kontrol 1.1 ug/l; B-F 4.2 ug/l; dan B-MV 11.0 ug/l. Adapun efek suplementasi terhadap serum transferin reseptor (STfR) adalah kelompok B-MV berhasil menurunkan STfR lebih besar dibandingkan dengan kelompok B-F dan kontrol. Perubahan STfR berturut-turut pada kontrol, B-F dan B-MV adalah 0.5 mg/l; 1.3 mg/l dan -3.8 mg/l. Perubahan STfR antar ketiga kelompok tersebut significan (p<0,05) Studi yang lebih baru suplementasi zat besi pada WUS yang tidak hamil dilakukan di negara lain yakni Amerika (Kolb & Beard 2007). Pada studi ini suplementasi zat besi diberikan kepada WUS (18-35 tahun) yang mendapatkan hasil bahwa penambahan zat besi 60 mg per hari selama empat bulan dapat meningkatkan Serum Feritin dan Hemoglobin WUS. Peningkatan Serum Feritin berhubungan dengan meningkatnya performa kognitif (p=0.001), sedangkan peningkatan Hemoglobin berhubungan dengan kecepatan menyelesaikan soal-soal pada tes kognitif (p=0.038). Penelitian Ahmed et al. (2005) di Bangladesh merupakan penelitian yang melakukan suplementasi pada wanita anemik yang tidak hamil dengan komposisi yang
sesuai
dengan
anjuran
UNICEF/WHO/UNU
(1999)
sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 2 di atas. Pada penelitian ini, remaja wanita (14-18 tahun) yang anemik, tidak sedang hamil dan masih sekolah dibagi menjadi dua grup. Grup-1 menerima suplemen besi folat (IFA) dan grup-2 menerima multimicro nutrient (MMN) sebagaimana tercantum pada Tabel 1, masing-masing dua kali per minggu selama 12 minggu.
Setelah perlakuan, kedua grup mengalami
kenaikan dalam hemoglobin dan serum ferritin namun perbedaan rata-rata antar grup tidak nyata. Disimpulkan bahwa suplementasi MMN dua kali per minggu selama 12 minggu secara nyata dapat meningkatkan status gizi mikro yang diukur (serum vitamin A, plasma vitamin C, asam folat sel darah merah, dan riboflavin); namun dalam meningkatkan hemoglobin darah tidak seefikasi suplementasi IFA dan disarankannya suplementasi sebaiknya diberikan lebih dari dua kali per minggu. Penelitian sebagaimana yang dilakukan oleh Ahmed et al. (2005), dan Briawan (2008) sebaiknya juga dilakukan pada pekerja WUS yang sudah menikah dan merencanakan untuk hamil sehingga pada selama kehamilannya nanti tetap
35 memiliki status gizi yang baik.
Menurut Briawan (2008), sasaran program
perbaikan gizi pada wanita yang tidak hamil ini dianggap strategis dalam upaya memutus simpul siklus masalah gizi (inter generation malnutrition problem) agar tidak meluas ke generasi selanjutnya.
36
37 KERANGKA PEMIKIRAN
Pekerja WUS merupakan salah satu kelompok produktif dalam masyarakat yang rentan terkena anemia gizi besi (AGB). Kekurangan zat besi dan anemia dapat mengurangi kapasitas kerja atau kapasitas aerobik maksimum (VO2maks) serta mengakibatkan menurunnya produktivitas pekerja melalui menurunnya ketersediaan oksigen bagi jaringan.
Suplai oksigen ditentukan oleh seberapa
sering jantung berdenyut, volume darah yang ditransportasikan oleh tiap denyutan dan jumlah oksigen di dalam darah. Nilai VO2maks adalah volume oksigen yang dikonsumsi tubuh per menit (ml/kg/menit) selama bekerja pada kecepatan jantung maksimum dan mengkan seberapa bugar (fit) seseorang. Menurut WHO (2008) prevalensi AGB di Indonesia pada WUS yang tidak hamil tahun 2006 mencapai 33% atau kategori sedang. Adapun pada wanita yang hamil dan anak-anak ditemukan lebih tinggi lagi yakni 44.5% dan 44.3% atau kategori berat. Prevalensi anemia di Indonesia pada tahun berikutnya memang sudah menurun namun masih tetap berada pada kategori sedang, yakni menurut data Riskedas tahun 2007 (BPPK Depkes RI 2008) pada wanita, wanita hamil dan anak balita berturut-turut mencapai 19.7%, 24.5% dan 27.7%. Upaya untuk menurunkan prevalensi kekurangan zat besi pada bayi dan wanita hamil dianjurkan dimulai jauh sebelum seorang wanita hamil dengan mengkonsumsi tablet besi. Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa pemberian zat besi dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan produktivitas pekerja wanita yang anemik (Edgerton et al. 1981; Soehardjo 1986). Selain itu, pemberian zat besi 60 mg juga dapat meningkatkan hemoglobin dan serum ferritin serta menurunkan denyut jantung dan pengeluaran energi saat bekerja serta meningkatkan produktivitas kerja dan pengeluaran energi saat istirahat (Li 1993) Berbagai penelitian lainnya membuktikan pemberian zat besi pada remaja putri atau WUS yang dikombinasikan dengan zat gizi mikro antara lain vitamin A, vitamin C, vitamin B12, asam folat, seng dan tembaga dapat memperbaiki status gizi besi (kadar hemoglobin, hematokrit dan serum ferritin darah) dan menurunkan prevalensi anemia (Mulyawati 2003; Ekayanti 2005; Briawan 2008).
38 Adapun pemberian zat besi dikombinasi dengan folat atau multi vitamin dan mineral kepada remaja putri yang anemik membuktikan bahwa selain mampu meningkatkan hemoglobin dan serum ferritin juga secara nyata dapat menurunkan prevalensi kekurangan beberapa vitamin (Ahmed et al. 2005) Menurut WHO (2007), anemia selain disebabkan karena kekurangan zat besi juga diakibatkan oleh kekurangan zat gizi mikro lain terutama asam folat, vitamin B12 dan vitamin A, serta rendahnya asupan zat gizi lain yang berperan dalam metabolisme besi dan eritropoisis (vitamin B2, vitamin B6, vitamin B12, vitamin C, tembaga, seng dan mineral mikro lainnya). Selain itu, pendarahan dan menstruasi yang berlebihan pada WUS juga dapat menyebabkan anemia. Karena itu INACG (2003) menganjurkan suplemen zat gizi mikro yang dipilih untuk diberikan kepada WUS adalah zat besi ditambah asam folat (BF); adapun UNICEF/WHO/UNU (1999) menganjurkan multi vitamin dan mineral (MVM) yang berisi 15 macam vitamin dan mineral. Dari hasil studi pendahuluan di perusahaan nanas di Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung ditemukan bahwa dari 338 sampel pekerja WUS yang sudah menikah namun tidak sedang hamil memiliki kadar Hb rata-rata sebesar 129 g/l. Meskipun rata-rata tersebut tergolong normal namun secara individu ditemukan 16.9 persen mengalami anemia dengan kadar Hb<120 g/l dan 16.0 persen di ambang batas anemia karena memiliki kadar Hb antara 120-125 g/l (Indriani, Riyadi dan Zuraida 2011). Kadar Hb yang rendah pada pekerja WUS tersebut sudah terdeteksi pada selama pemeriksaan yang dilakukan dua bulan sebelum bulan puasa tahun 2010. Pada pemeriksaan berikutnya yang dilakukan sebulan setelah bulan puasa, sebagian besar kadar Hb mereka terdeteksi semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa secara alami dan melalui diet sehariharinya, tubuh mereka belum mampu meningkatkan kadar Hbnya. Meskipun program suplementasi tablet tambah darah yang berisi zat besi dan asam folat bagi remaja putri dan WUS terutama pekerja telah dicanangkan dengan panduan yang lengkap, namun ternyata belum pernah dilakukan di perusahaan tersebut. Oleh karena itu diperlukan ada suatu tindakan yaitu pemberian suplemen BF sebagaimana disarankan oleh INACG (2003) atau MVM yang disarankan UNICEF/WHO/UNU (1999) untuk memperbaiki status besi, status gizi dan
39 kebugaran fisik mereka. Hal ini penting dilakukan karena para pekerja WUS tersebut perlu mempersiapkan kesehatan dan kebugaran dirinya seawal mungkin sebelum hamil lagi serta sebagai usaha preventif karena pekerjaan mereka termasuk cukup berat dan dilakukan secara terus-menerus.. Frekuensi pemberian suplemen yang disarankan untuk WUS tidak hamil adalah satu kali per minggu dan setiap hari pada selama menstruasi. Dengan asumsi masa menstruasi seorang pekerja WUS selama 4-8 hari, maka dalam satu bulan dia harus mengonsumsi 8-12 kapsul/pil suplemen. Dalam penelitian ini frekuensi pemberiannya adalah tiga kali per minggu atau 12 kapsul per bulan. Jumlah ini berarti sama dengan jumlah maksimal anjuran di atas namun tidak ada yang diberikan dengan frekuensi setiap hari selama menstruasi. Pertimbangannya adalah memberi kesempatan pada mukosal usus untuk berganti dan beradaptasi, selain itu jika diberikan setiap hari akan menimbulkan banyak keluhan sehingga tingkat kepatuhannya akan rendah (Angeles-Agdeppa et al. 1997). Adapun jika frekuensinya hanya dua kali per minggu (8 kapsul/pil per bulan) pada penelitian terdahulu (Ahmed et al. 2005) belum memberikan perbedaan yang nyata pada peningkatan kadar hemoglobin. Pemberian zat gizi mikro sebagai perlakuan diberikan untuk memperbaiki status besi kepada pekerja WUS dengan kadar Hb marginal, terutama untuk meningkatkan kadar Hb sehingga tidak lagi marginal. Selain itu, diharapkan perlakuan tersebut dapat meningkatkan kebugaran fisik dan status gizi pekerja WUS. Untuk mengetahui efek bersih atas perlakuan yang diberikan yaitu BF dan MVM maka diperlukan satu perlakuan lain yaitu plasebo (P) sebagai kontrol. Dengan demikian terdapat tiga perlakuan yaitu BF, MVM dan P.
Proses
metabolisme ketiga jenis perlakuan dalam tubuh pada penelitian ini tidak diukur dan dianalisis. Namun demikian dampak proses tersebut diukur dan dianalisis melalui indikator status besi dalam simpanan dan transpor tubuh (serum feritin dan serum transferin reseptor) serta hemoglobin dan hematokrit. Selain itu juga diukur dan dianalisis dampaknya terhadap kebugaran fisik melalui indikator VO2maks. Pada Gambar 4 dapat dilihat kerangka pemikiran penelitian ini sebagaimana penjelasannya ada di sub-bab sebelumnya.
40
Konsumsi makanan
Pemberian Zat Gizi Mikro BF MVM Plasebo
Total Asupan Energi dan Zat Gizi Protein Vitamin A Vitamin C Kalsium Fosfor Zat Besi
Status dan Status Gizi dan Komposisi Komposisi tubuh IMT, tubuh RPP, LILA IMT, RPP,badan LILA % lemak %%lemak badan air badan % air badan
Metabolisme Metabolisme Penyerapan Transportasi, Pemanfaatan Penyimpanan Ekskresi
Kebugaran Fisik Kebugaran Fisik Denyut jantung VO2maks
Status Besi Status Besi Hemoglobin, Hematokrit, Serum Feritin, Serum Transferin Reseptor
Gambar 4 Skema kerangka pemikiran pengaruh pemberian gizi mikro terhadap status besi dan kebugaran fisik pekerja Keterangan:
dianalisis deskriptif dan statistik dianalisis deskritif BF = Kapsul berisi zat besi + asam folat MVM = Kapsul berisi multivitamin dan mineral IMT = Indeks massa tubuh RPP = Rasio pinggang pinggul LILA = Lingkar lengan atas
41
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini adalah penelitian ekperimental yang merupakan penelitian lanjutan dari penelitian studi pendahuluan yang berjudul Study on the Nutritional Status and Physical Fitness of the Non Pregnant Women Workers to Support the Household Socio-Economy (Studi Status Gizi dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Usia Subur Tidak Hamil dalam Mendukung Sosial Ekonomi Keluarga) (Indriani et al. 2011). Studi pendahuluan tersebut menggunakan metode survai. Sebagian data dalam penelitian tersebut digunakan pula dalam penelitian eksperimental ini, terutama data pribadi dan sosial ekonomi keluarga, kebiasaan makan, asupan zat gizi, serta status anemia dan status besi pekerja wanita. Protokol (Nomor Protokol 021005068) kedua tahap penelitian ini telah mendapatkan persetujuan Etik (Ethical Approval) dari Komisi Etik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Nomor LB.03.04/ KE/5581/ 2010. Penelitian
eksperimental
ini
menggunakan
rancangan
percobaan
(experimental design) sebagai rancangan dasar yaitu rancangan acak lengkapRAL (completely randomized design-CRD). Perlakuan yang diberikan adalah suplementasi atau pemberian zat gizi mikro dalam kemasan kapsul secara buta ganda (double blind) kepada pekerja WUS yang memiliki kadar Hb marginal (kadar Hb 80-125 g/l). Perlakuan yang diterapkan dalam penelitian ada tiga yang merupakan jenis kapsul suplemen yaitu BF (zat besi dan asam folat), MVM (multi vitamin dan mineral yang terdiri dari 15 macam vitamin dan mineral), dan plasebo yang berfungsi sebagai kontrol dalam percobaan. Ketiga macam kapsul disajikan dalam bentuk, ukuran dan warna yang sama. Baik peneliti, petugas distribusi dan laboran, serta masing-masing subyek penelitian tidak mengetahui jenis perlakuan yang diterimanya. Selama periode suplementasi, kode sampel hanya dipegang oleh apoteker dan dokter pendamping peneliti. Penelitian ini dilakukan di PT Great Giant Pineapple (GGP), sebuah perusahaan pengolahan buah nanas yang terletak di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.
Perusahaan tersebut memiliki perkebunannya sendiri,
sehingga terjamin bahan bakunya dan dapat berproduksi secara kontinyu.
42 Pengambilan data awal penelitian dilakukan pada bulan Juni dan Juli 2010 bersama-sama dengan studi pendahuluan.
Idealnya suplementasi langsung
dilakukan pada bulan Agustus 2010, namun dikarenakan sudah memasuki bulan Ramadhan maka pelaksanaan suplementasi ditunda hingga selesai libur puasa dan Idul Fitri 1431 H. Beberapa data awal diambil kembali khususnya yang berkaitan dengan biomarker yang kemungkinan berubah setelah bulan puasa dan liburan Idul Fitri 1431 H.
Pengumpulan data awal (sebelum perlakuan) tersebut
dilakukan pada akhir bulan September 2010. Selanjutnya suplementasi zat gizi mikro dilakukan pada bulan Oktober hingga Desember
2010.
Pengambilan
sampel darah sesudah suplementasi dilakukan pada awal bulan Januari 2011. Cara Penentuan Sampel dan Subyek Penelitian Sampel pada studi pendahuluan berjumlah 338 orang pekerja wanita usia subur (WUS) berusia antara 18-45 tahun yang sudah menikah dan tidak sedang hamil. Sampel tersebut dipilih melalui sampling acak stratififikasi ganda (double stratified random sampling) dengan alokasi proporsional berdasarkan formula Cochran (1982) dari populasi berjumlah 2 861 orang. Dalam hal ini posisi kerja dan usia pekerja wanita masing-masing menjadi dasar dalam melakukan stratifikasi yang pertama dan ke dua. Adapun ukuran sampel diperoleh melalui sampling acak sederhana tanpa pengembalian. Alasan dipilihnya kelompok umur 18-45 tahun adalah karena secara biologis kisaran umur ini merupakan masa produktif, sehingga intervensi gizi pada kisaran umur ini memberikan manfaat ganda yakni selain memperbaiki status gizi wanita juga dapat meningkatkan status gizi bayi yang dikandung jika dia hamil (Indriani et al. 2011). Pada Tabel 4 dapat dilihat distribusi jumlah pekerja wanita di dalam pabrik pengolahan buah nanas yang menjadi dasar pengambilan sampel dalam studi pendahuluan. Tabel 4 Distribusi pekerja wanita di bagian pengalengan berdasarkan usia Usia (tahun)
< 20
20-24
25-29
30-34
35-39
40+
Total (N)
Jumlah
247
591
945
683
303
92
2861
%
8.63
20.66
33.03
23.87
10.59
3.22
100
Sumber: HRD PT GGP (2009, tidak dipublikasikan)
43 Unit percobaan yang menjadi subyek dalam penelitian eksperimental ini adalah pekerja wanita usia subur (WUS) yang pada selama studi pendahuluan dan pengambilan data awal dinyatakan memiliki kadar Hb marginal (80-125 g/l), untuk selanjutnya dalam pembahasan disebut sebagai pekerja WUS. Salah satu asumsi subyek pada penelitian eksperimental ini adalah homogen, karena itu tidak ada lagi pengelompokan subyek menurut usia dan posisi kerja sebagaimana yang dilakukan dalam studi pendahuluan. Pekerja WUS yang memenuhi syarat (kriteria inklusi) untuk dilibatkan dalam penelitian eksperimental selain memiliki kadar Hb marginal dan sudah menikah adalah tidak sedang sakit, tidak sedang hamil dan jika merencanakan untuk hamil lagi tidak dalam waktu tiga bulan ke depan terhitung sejak dimulai suplementasi, tidak minum alhohol serta tidak merokok serta bersedia menjadi peserta (participant) penelitian ini dengan cara mengisi dan menandatangani surat pernyataan (informed consent). Kriteria kadar Hb marginal yang digunakan adalah yang termasuk mengalami anemia sedang (kadar Hb 80-99 g/l), anemia ringan (kadar Hb 100-119 g/l) dan yang tidak anemia namun memiliki kadar Hb di ambang batas bawah yakni 120-125 g/l dimana kelompok ini masih termasuk kelompok yang perlu mendapatkan tindakan gizi melalui pendidikan dan pencegahan (USDHHS 2002 dalam Carley 2003). Banyaknya subyek dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan pada hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif
(H1) pada pekerja WUS yang
diformulasikan sebagai berikut. H0: μ1 = μ0 H1: μ1 = μ0 + δ Keterangan: H0 = nilai rataan kadar hemoglobin atau feritin pekerja WUS setelah diberi suplemen MVM sama dengan nilai rataan kadar hemoglobin atau feritin pekerja WUS yang tidak diberi suplemen (plasebo) H1 = nilai rataan kadar hemoglobin atau feritin pekerja WUS setelah diberi suplemen MVM lebih tinggi sebesar δ (δ>0) dari nilai rataan kadar hemoglobin atau feritin pekerja WUS yang tidak diberi suplemen (plasebo). μ1 = nilai rataan kadar hemoglobin atau feritin pekerja WUS yang diberi suplemen
44 μ0 = nilai rataan kadar hemoglobin atau feritin pekerja WUS yang tidak diberi suplemen MVM δ = kenaikan nilai rataan kadar hemoglobin atau feritin sebagai akibat pemberian suplemen MVM Jumlah subyek minimal dalam penelitian ini ditentukan dengan salah jenis pertama sebesar α dan kuasa uji (power of test) sebesar 1-β, simpangan baku peubah respon sebesar σ, dan perbedaan nilai rataan peubah respon sebesar δ. Formulasi jumlah subyek (n) adalah sebagai berikut (Cochran 1982).
n
( Z Z ) 2 x 2 2
2
Di mana: Zα = suatu nilai sehingga P (Z> Zα)=1-α, Z adalah peubah acak normal baku Zβ = suatu nilai sehingga P (Z>Zβ)=1-β, Z adalah peubah acak normal baku Dengan pertimbangan α = 0.05 dan power of test=80% serta berdasarkan penelitian Li et al. (1994) tentang suplementasi zat besi pada wanita usia reproduktif yang anemik. a. Hemoglobin: dengan σ= 12 g/l dan δ= 13 g/l maka didapatkan subyek minimal penelitian ini adalah: n
( Z Z ) 2 x 2 2
2
(1.64 0.84) 2 x 2(12) 2 (13)
2
6.1504 x 2 x144 10.48 10 169
b. Serum feritin (SF): dengan σ=18.9 g/l dan δ=20.3 g/l didapatkan subyek minimal penelitian ini adalah: n
( Z Z ) 2 x 2 2
2
(1.64 0.84) 2 x 2(18.9) 2 (20.3)
2
6.1504 x 2 x357.21 10.66 11 412.09
Memperhitungkan kemungkinan adanya subyek yang gugur, maka perhitungan ditambah dua orang (±20%) sehingga jumlah subyek per perlakuan dalam penelitian ini untuk hemoglobin= 12 orang ; untuk serum feritin (SF) = 13 orang.
Dengan demikian jumlah subyek minimal per perlakuan yang dipilih
untuk penelitian ini adalah yang terbesar (n=13) sehingga jumlah total subyek penelitian untuk ketiga jenis perlakuan = n x jumlah perlakuan =13 x 3 = 39 orang.
45 Pengacakan subyek dilakukan dua kali, pertama untuk menempatkan setiap pekerja wanita pada grupnya, dan kedua untuk mengacak grup perlakuannya. Dengan demikian penempatan subyek dan perlakuan terjadi secara bebas. Pengacakan subyek dan perlakuan hanya diketahui oleh petugas khusus yang tidak terlibat secara langsung dengan subyek dalam pemberian kapsul, yaitu apoteker dan dokter yang mendampingi peneliti. Adapun peneliti sendiri baru mengetahui hasil pengacakan ini setelah suplementasi, pengambilan data akhir dan analisis darah selesai dilakukan. Pembagian unit percobaan dan tahapan operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5. Pelaksanaan Penelitian Perekrutan Subyek Penelitian Proses perekrutan pekerja WUS yang menjadi subyek penelitian ini secara lengkap adalah sebagai berikut. 1 Mengumpulkan daftar nama pekerja wanita di perusahaan pengalengan buah yang berusia 18-45 tahun, sudah menikah namun tidak sedang hamil dan terdeteksi memiliki Hb marginal pada studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Juni-Juli 2010. 2 Mengirimkan surat undangan untuk bersedia menjadi peserta berdasarkan daftar nama pada poin 1. 3 Melakukan skrining ulang untuk menguji kadar Hb sebelum memulai penelitian eksperimental pada bulan September 2010. 4 Mengadakan pertemuan dengan calon subyek yaitu pekerja WUS yang terdeteksi memiliki kadar Hb marginal pada poin 3 untuk menjelaskan proses penelitian. 5 Mengumpulkan surat persetujuan yang telah ditandatangani pekerja WUS . 6 Melakukan pengacakan terhadap peserta ke dalam tiga grup perlakuan. Pengacakan dilakukan secara buta ganda (double blind), dimana baik peneliti, asisten peneliti maupun peserta tidak mengetahui seseorang peserta termasuk ke dalam grup yang mana.
46 POPULASI PEKERJA WUS 18-45 TH N=2861 Sampling acak stratifikasi ganda Sampel Studi Pendahuluan Pekerja WUS 18-45 tahun (n=338) Sampel WUS 18-45 tahun, kadar Hb marginal Hb<120 g/l dan Hb 120-125 g/l Inklusi Eksklusi Pekerja WUS 18—45 tahun dengan kadar Hb marginal (n=39)
Pemeriksaan awal: - Pemerisaan darah lengkap dan laju endap darah - Status besi (Hb, Ht, SF, STfR) - Status gizi antropometri (IMT, RPP, LILA,) - Kebugaran fisik (%LB & %AB, laju denyut jantung,VO2maks)
BF (n=13)
MVM (n=13)
Plasebo (n=13)
Pemeriksaan akhir: - Pemerisaan darah lengkap dan laju endap darah - Status besi (Hb, Ht, SF, STfR) - Status gizi antropometri (IMT, RPP, LILA,) - Kebugaran fisik (%LB & %AB, laju denyut jantung,VO2maks)
ANALISIS
Gambar 5 Skema tahapan operasional penelitian Keterangan: BF= besi + asam folat; MVM= multi vitamin dan mineral (terdiri dari 15 macam vitamin dan mineral)
47 Pemberian Zat Gizi Mikro Pemberian zat gizi mikro sebagai perlakuan yang dicobakan dalam penelitian ini ada tiga jenis yaitu BF (zat besi 60 mg dan asam folat 400µg), MVM (multi vitamin dan mineral yang terdiri dari 15 macam vitamin dan mineral) serta plasebo yang berfungsi sebagai kontrol. Ketiga jenis perlakuan tersebut masing-masing dikemas dalam kapsul dengan ukuran dan warna yang sama, selanjutnya disebut sebagai kapsul suplemen. Suplemen besi folat (BF) yang mengandung 60 mg zat besi elemental dan 400 µg folat merupakan dosis yang disarankan oleh INACG (2003) untuk para WUS sebagai usaha preventif untuk mencegah mengalami kesulitan melahirkan andaikan dia nanti hamil. Ditambahkannya asam folat dikarenakan vitamin ini merupakan salah satu penyebab anemia sesudah kekurangan besi. Adapun multi vitamin dan mineral (MVM) yang mengandung 15 macam vitamin dan mineral merupakan saran UNICEF/WHO/UNU (1999), untuk memperbaiki status gizi WUS dengan pertimbangan bahwa mereka tidak cukup hanya dengan suplementasi zat besi saja, namun diperlukan suplementasi berbagai mineral mikro yaitu 15 macam vitamin dan mineral. Penggunaan 15 macam vitamin dan mineral termasuk zat besi yang ada dalam kapsul MVM diharapkan dapat memenuhi kekurangan zat gizi mikro lain yang juga dapat menyebabkan anemia, serta memelihara homeostasis zat besi dalam darah.
Dosis dan bahan pembuatan kapsul suplemen yang digunakan
dalam penelitian ini sengaja dipilih dari yang sudah teruji dalam penelitian sebelumnya dan tersedia secara komersial di pasaran. Hal ini untuk memudahkan pemahaman dan penerapan hasil penelitian ini nantinya oleh pengguna. Sebelum dimulai suplementasi, lebih dahulu dilakukan pemberian obat cacing (250 pyrantel pamoate) untuk menghilangkan pengaruh infestasi cacing. Dalam penelitian ini suplemen diberikan tiga kali per minggu karena menurut Ahmed et al. (2005) frekuensi pemberian BF atau MVM dua kali per minggu belum begitu efektif dalam meningkatkan dan menjaga kadar hemoglobin darah meskipun lebih baik dibandingkan dengan pemberian seminggu sekali. Jika dihitung maka setiap bulan subyek penelitian ini diberi 12 kapsul, jumlah ini hampir sama dengan yang dianjurkan yaitu sekali per minggu dan setiap hari selama menstruasi. Pemberian kapsul tiga kali per minggu tersebut diberikan
48 selama 2.5 bulan (10 minggu). Hal ini sesuai dengan saran WHO (2005), yakni untuk dapat melihat efek suatu intervensi yang menggunakan suplemen sekurangkurangnya dilakukan selama dua bulan (8 minggu), karena metabolisme zat gizi dalam darah baru mulai menunjukkan adaptasi normal setelah pemberian suplemen selama dua bulan. Pada Tabel 5 dapat dilihat ketiga grup perlakuan, dosis dan komposisi kapsul suplemen yang diberikan kepada pekerja WUS. Pembuatan kapsul BF dan MVM dari kaplet suplemen dilakukan oleh seorang apoteker di bawah pengawasan seorang dokter yang memegang kode sampel pada setiap awal minggu. Kapsul kemudian dimasukkan ke dalam tabung obat yang telah diberi label nama masing-masing sampel. Setiap pekerja WUS dibuatkan tiga kapsul yang dimasukkan ke dalam tiga tabung obat untuk tiga kali minum setiap hari Selasa, Rabu dan Jum’at di balai pengobatan yang terletak di dekat pabrik, di bawah pengawasan peneliti secara langsung dan atau asisten peneliti yang telah dilatih sebelumnya. Tabel 5 Komposisi zat gizi kapsul menurut kelompok perlakuan Perlakuan
Jenis Kapsul
Dosis dan komposisi zat gizi mikro
BF
Besi Folat INACG
ferrous sulfat 200 mg yang setara dengan
(2003)
zat besi elemental 60 mg dan asam folat 400 μg
MVM
Multivitamin dan
vitamin A 800 μg, vitamin D 200 IU,
mineral (UNICEF/
vitamin E 10 mg, vitamin C 70 mg,
WHO/UNU 1999)
thiamin 1.4 mg, riboflavin 1.4 mg, niasin 18 mg, vitamin B-6 1.9 mg, vitamin B-12 1.9 μg, asam folat 400 μg, besi 30 mg, seng 15 mg, tembaga 2 mg, selenium 65 μg, iodium 150 μg
Kontrol
Plasebo
Amilum
49 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Peubah Respon Percobaan Peubah respon adalah penanda (marker) peubah status besi dan kebugaran fisik pada WUS yang dihipotesiskan
dipengaruhi oleh pemberian kapsul
suplemen yang dilakukan selama 10 minggu. Terdapat empat peubah respon untuk status besi dan dua peubah respon untuk kebugaran fisik dalam penelitian ini sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6. Selama percobaan setiap peubah respon diukur sebanyak dua kali, yaitu sebelum dan sesudah pemberian kapsul suplemen. Tabel 6 Peubah respon dan metode pengukurannya dalam penelitian Peubah 1. Status besi
Peubah respon - Hemoglobin (Hb) - Hematokrit (Ht) - serum ferritin (SF)
2. Kebugaran fisik
- serum transferin reseptor (STfR) - VO2max (ml/kg/menit)
Metode dan frekuensi pengukuran Ditetapkan secara otomatis menggunakan alat hematology analyzer (Sysmex), dua kali ELISA (Enzym-linked immunoassays) mengunakan alat Labsystem, dua kali Uji naik turun bangku menggunakan protocol AstrandRyhming Step Test dan Pengukuran laju denyut jantung (denyut/15 detik), dua kali
Peubah Pengganggu (Covariate Variables) Dalam penelitian ini semua peubah yang diperkirakan mempengaruhi respon perlu diidentifikasi. Peubah yang diidentifikasi sebagai covariate yaitu status gizi (IMT) sebelum
perlakuan, komposisi tubuh (persentase berat air dan lemak
tubuh) sesudah perlakuan, serta asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, kalsium, dan fosfor dan aktivitas fisik selama perlakuan. Asupan vitamin dan mineral lainnya tidak diukur karena alasan ketiadaan informasinya dalam Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Pada Tabel 7 dapat dilihat indikator serta metode pengukuran untuk setiap peubah pengganggu dalam penelitian ini. Untuk mengetahui gambaran status gizi dan kesehatan WUS sebelum menerima perlakuan, selain dilakukan pengukuran peubah-peubah pengganggu di atas, maka ditanyakan pula kebiasaan makan dan riwayat kesehatan WUS
50 menggunakan kuesioner dan diverifikasi oleh seorang dokter. Kebiasaan makan ditanyakan dengan menggunakan kuesioner food recall dan frekuensi makan (Food Frequency Questionnaires -FFQ). Kuesioner food recall meliputi jenis dan jumlah makanan yang dimakan selama 24 jam yang lalu (dalam ukuran rumah tangga-URT yang kemudian dikonversikan ke berat dalam gram), tempat membeli dan harga makanan. Kuesioner frekuensi makan terdiri dari frekuensi makan (kali per hari/minggu/bulan) dan asal pangan (Lampiran 4). Tabel 7 Peubah pengganggu dan metode pengukurannya dalam penelitian Jenis Peubah
Peubah pengganggu
Metode pengukuran
1. Status Gizi
IMT sebelum perlakuan
Penimbangan badan (kg) dan Pengukuran tinggi (cm) Pengukuran lingkar pinggang dan lingkar pinggul (cm)
2. Asupan Zat Gizi dari selain suplemen
Asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, Fe, Ca dan P selama perlakuan
Food Recall 24 jam yang lalu
3. Komposisi tubuh
Persentase berat lemak badan (%LB) dan berat air badan (%AB) sesudah perlakuan
Pengukuran persentase lemak dan air badan menggunakan Body fat/hydration monitor (%)
4. Aktivitas fisik
Pengeluaran energi per hari (kkal) selama perlakuan
Pengisian mandiri menggunakan log book aktivitas fisik dan wawancara
Pengukuran Status Gizi , Status Besi dan Jumlah Besi dalam Tubuh Status gizi antropometri WUS ditentukan dengan mengukur indeks massa tubuh (IMT) dan rasio lingkar pinggang-pinggul – RPP (waist-hip ratio – WHR), lingkar lengan atas – LILA (mid upper arm circumference – MUAC). Berat badan pekerja WUS ditimbang menggunakan alat timbang dengan ketelitian 0.1 kg dan tinggi badan diukur menggunakan mikrotoise dengan ketelitian 0.1 cm. Adapun lingkar pinggang dan lingkar pinggul diukur menggunakan meteran kain, sedangkan lingkar lengan atas diukur menggunakan alat ukur LILA masingmasing dengan ketelitian 0.1 cm.
51 Status besi di dalam tubuh diukur dengan menggunakan indikator tingkat hemoglobin, hematokrit, serum ferritin, dan transferin reseptor dalam darah. Untuk mengetahui kemungkinan adanya infeksi yang dapat mempengaruhi kadar serum feritin pada pekerja WUS dilakukan pula pengukuran laju endap darah. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan darah lengkap yang berguna untuk memberikan informasi tentang sel-sel darah dan mendeteksi penyebab anemia pada pekerja WUS. Pengambilan contoh darah sebanyak 3 ml dari vena cubiti dilakukan oleh petugas medis. Darah yang diperoleh dibagi menjadi dua tabung. Sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung pertama yang telah diberi EDTA untuk pemeriksaan darah lengkap, hemoglobin dan hematokrit dan laju endap darah (dijaga jangan sampai beku, ditaruh dalam cool box). Tabung lainnya tanpa EDTA diisi 2.0 ml darah untuk pemeriksaan kadar serum ferritin dan transferin reseptor, darah di dalam tabung dijaga agar tetap beku, dimasukkan ke dalam freeze box. Kadar hemoglobin, hematokrit, pemeriksaan darah lengkap, laju endap darah dan pemisahan serum dalam penelitian ini dianalisis di dalam Laboratorium Duta Medika yang bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung di Bandar Lampung. Adapun analisis serum feritin dan transferrin reseptor dilakukan di Laboratorium South East Asean Ministers of Education (SEAMEO) Tropical Medicine and Public Health (TROPMED) Regional Center for Community Nutrition (RCCN). Sebelum dibawa ke Jakarta serum disimpan di dalam alat pendingin bersuhu -200C. Jumlah zat besi dalam tubuh juga dihitung berdasarkan rasio STfR dan SF yang diperkirakan dengan menggunakan formula Cook et al. (2003) yaitu: Fe = -[log(STfR:SF)-2.8229] / 0.1207 di mana: Fe
= jumlah zat besi di dalam tubuh dalam mg/kg berat badan
Log = logaritma 10 STfR = serum transferin reseptor dalam mg/lx103 SF
= serum feritin dalam ug/l
Apabila jumlah zat besi dalam tubuh (mg/kg) nilainya negatif menunjukkan kekurangan (defisit) zat besi di dalam jaringan dan sebaliknya jika nilainya positif berarti terjadi surplus dalam simpanan di jaringan.
52 Komposisi Tubuh, Aktivitas Fisik dan Kebugaran Fisik WUS Komposisi tubuh ditentukan dengan mengukur persentase berat lemak dan air tubuh dengan menggunakan alat Body fat/hydration monitor. Aktivitas fisik diukur guna menghitung total pengeluaran energi (total energy expenditure-TEE) per hari menggunakan logbook aktivitas fisik yang dilakukan dalam 24 jam yang diisi secara mandiri oleh sampel kemudian dikonfirmasi melalui wawancara. Cara perhitungan total pengeluaran energi dilakukan menurut FAO/WHO/UNU (2001). Kebugaran fisik pekerja WUS diukur
dengan cara menghitung VO2maks.
Kebugaran fisik merupakan fungsi kerja jantung, pembuluh darah, paru-paru, dan otot pada efisiensi optimum.
Kebugaran fisik didefinisikan sebagai
kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang menggunakan otot secara memuaskan pada kondisi khusus (Marley 1982). Satuan ukuran VO2maks adalah mililiter oksigen dalam satu menit untuk setiap kilogram berat badan (ml/kg/min). Pengukuran secara umum dijadikan indikator kebugaran kardiovaskular dan daya tahan aerobik seseorang yang terbaik. VO2maks pekerja WUS dihitung dengan cara melakukan uji bangku A-R (Astrand-Ryhming Step Test ) dengan mengadopsi protokol Astrand-Ryhming Step Test Norms For College Students (Marley & Linnerud 1976). Uji bangku AR merupakan modifikasi dari Uji bangku Harvard.
Uji ini dirancang untuk
mengukur daya tahan kardiovaskular. Daya tahan kardiovaskular atau daya tahan aerobik adalah kemampuan untuk melakukan aktivitas pada kategori sedang secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Ini merefleksikan bagaimana kerjasama antara jantung dan paru-paru untuk mensuplai oksigen ke tubuh selama melakukan pekerjaan berat dan latihan. Penilaian VO2maks untuk wanita sesudah uji bangku A-R dihitung dengan menggunakan Tabel Astrand-Ryhming Step Test Norms (Tabel 8). Adapun ukuran normatif VO2maks dapat dilihat pada Tabel 9.
53 Tabel 8 Astrand-Ryhming Step Test Norms (A-R test norms) untuk menaksir nilai VO2maks dengan menghitung denyut jantung setelah uji naik-turun bangku A-R Pulse Count (bps15) 18.0 19.0 19.5 20.0 20.5 21.0 21.5 22.0 22.5 23.0 23.5 24.0 24.5 25.0 25.5 26.0 26.5 27.0 27.5 28.0 28.5 29.0 29.5 30.0 30.5 31.0 31.5 32.0 32.5 33.0 33.5 34.0 34.5 35.0 35.5 36.0 36.5 37.0 37.5 38.0 38.5 39.0 39.5 40.0 40.5 41.0 41.5 42.0 42.5 43.0 43.5 44.0 44.5 45.0 45.5 46.0 46.5 47.0 48.5
.n
3 3 1 4 4 1 3 6 1 3 1 6 5 6 4 6 6 6 7 11 9 24 10 28 29 33 15 35 26 63 33 60 35 93 42 86 43 93 43 79 36 82 31 85 33 39 19 36 13 17 6 16 5 4 4 6 1 1 1
Max V02 * ml 02/kg/min (Estimated)
T-Score
Sigma Scale
Standard Score
Percentile
Z Percentile
87 85 84 83 82 81 80 79 78 77 76 75 74 73 72 71 70 69 67 66 65 64 63 62 61 60 59 58 57 56 55 54 53 52 51 50 48 47 46 45 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 34 33 32 31 30 28 27 26 2
112 109 107 105 104 102 100 98 97 95 93 91 90 88 86 84 83 81 79 77 76 74 72 70 69 67 65 63 62 60 58 56 55 53 51 49 47 46 44 42 40 39 37 35 33 32 30 28 26 25 23 21 19 18 16 14 12 11 5
3.75 3.54 3.43 3.33 3.22 3.12 3.01 2.91 2.80 2.70 2.59 2.49 2.38 2.27 2.17 2.06 1.96 1.85 1.75 1.64 1.54 1.43 1.33 1.22 1.11 1.01 0.90 0.80 0.69 0.59 0.48 0.38 0.27 0.17 0.06 -0.04 -0.15 -0.26 -0.36 -0.47 -0.57 -0.68 -0.78 -0.89 -0.99 -1.10 -1.20 -1.31 -1.41 -1.52 -1.63 -1.73 -1.84 -1.94 -2.05 -2.15 -2.26 -2.36 -2.68
99.71 99.57 99.50 99.21 98.93 98.86 98.64 98.22 98.14 97.93 97.86 97.43 97.07 96.65 96.36 95.93 95.50 95.07 94.58 93.79 93.15 91.43 90.72 88.72 86.65 84.30 83.23 80.73 78.87 74.38 72.02 67.74 65.24 58.60 55.60 49.46 46.40 39.76 36.69 31.05 28.48 22.63 20.41 14.35 11.99 9.21 7.85 5.28 4.35 3.14 2.71 1.57 1.21 .93 .64 .21 .14 .07 .00
99.99 99.98 99.97 99.96 99.94 99.91 99.87 99.82 99.75 99.65 99.52 99.35 99.13 98.85 98.50 98.05 97.49 96.80 95.97 94.97 93.78 92.38 90.75 88.88 86.75 84.36 81.70 78.77 75.59 72.17 68.52 64.69 60.70 56.60 52.42 48.22 44.04 39.92 35.91 32.05 28.38 24.92 21.70 18.73 16.03 13.59 11.43 9.52 7.85 6.42 5.20 4.17 3.31 2.61 2.03 1.57 1.20 .90 .37
72.5 70.5 68.6 66.8 65.0 63.4 61.9 60.4 59.0 57.6 56.3 55.1 53.9 52.8 51.7 50.7 49.7 48.7 47.8 46.9 46.1 45.3 44.5 43.7 42.9 42.2 41.5 40.9 40.2 39.6 39.0 38.4 37.8 37.3 36.7 36.2 35.7 35.2 34.7 34.2 33.8 33.3 32.9 32.4 32.1 31.7 31.3
Sumber: Marley & Linnerud (1976)
54 Tabel 9 Ukuran normatif VO2maks untuk wanita dalam ml/kg/menit Umur
Sangat buruk
Buruk
Sedang
Baik
Sangat baik
Superior
13-19
<25.0
25.0 – 30.9
31.0 – 34.9
35.0 – 38.9
39.0 – 41.9
>41.9
20-29
<23.6
23.6 – 28.9
29.0 – 32.9
33.0 – 36.9
37.0 – 41.0
>41.0
30-39
<22.8
22.8 – 26.9
27.0 – 31.4
31.5 – 35.6
35.7 – 40.0
>40.0
40-49
<21.0
21.0 – 24.4
24.5 – 28.9
29.0 – 32.8
32.9 – 36.9
>36.9
50-59
<20.2
20.2 – 22.7
22.8 – 26.9
27.0 – 31.4
31.5 – 35.7
>35.7
60+
<17.5
17.5 – 20.1
20.2 – 24.4
24.5 – 30.2
30.3 – 31.4
>31.4
Sumber: RHSFNS (2008) Pengendalian, Pengolahan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan semuanya merupakan data primer yang diambil menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner), observasi dan pengukuran serta analisis biokimiawi darah secara langsung, meliputi peubah-peubah: status gizi, status besi, kebugaran fisik, komposisi tubuh serta aktivitas fisik, konsumsi makan dan tingkat kecukupan gizi (%AKG) pekerja WUS.
Untuk mengendalikan
kualitas data, wawancara dilakukan langsung oleh peneliti dibantu asisten peneliti bergelar sarjana gizi yang sudah berpengalaman dalam beberapa penelitian sebelumnya serta diberi pelatihan sebelum melakukan wawancara dalam penelitian ini. Pengumpulan contoh darah dan laju denyut jantung dilakukan oleh paramedis di bawah supervisi seorang dokter. Pengolahan data mencakup pengeditan kuesioner, pengkodean, penyusunan file, pemasukan data, pengeditan file, penyusunan variabel, pengombinasian dan pemisahan file. Pengolahan data dan analisis menggunakan program komputer Microsoft Excel serta SPSS version 17 for Windows. Data jumlah pangan yang dikonsumsi dikonversikan ke dalam energi dan zat gizi meliputi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, kalsium, dan fosfor dengan menggunakan template microsoft Excel yang berbasiskan database DKBM (Depkes RI 1970, 1995, 2001, 2005).
Penghitungan tingkat kecukupan gizi
(%AKG) dilakukan dengan membandingkan kandungan zat gizi semua makanan yang dimakan oleh pekerja WUS selama 24 jam dengan AKG 2004 (LIPI, 2004) dalam persen. Selain energi, zat gizi lain yang dihitung tingkat kecukupannya adalah protein, vitamin A, vitamin C, fosfor, kalsium, dan zat besi. Kategori
55 tingkat kecukupan gizi (%AKG) untuk energi dan protein adalah <70% defisit berat, 70-80% defisit ringan, 80-90% cukup, 90-110% normal, >110% kelebihan. Untuk vitamin dan mineral menggunakan batas 2/3 (70% AKG). IMT merupakan rasio antara berat badan (kg) dengan tinggi badan yang dikuadratkan (m2). Kategori untuk IMT adalah kurus (<18.5 kg/m2), normal (18.5-22.9 kg/m2), beresiko ( 23-24.9 kg/m2), gemuk I (25-29.9 kg/m2) dan gemuk II (≥30 kg/m2). Rasio lingkar pinggang-pinggul menggambarkan simpanan lemak di bagian pinggang dan pinggul. Adapun rasio lingkar pinggang-pinggul yang ideal untuk wanita adalah ≤0.8.
LILA menggambarkan simpanan lemak di
lengan. Cut off point untuk LILA <23.5 cm digunakan untuk mengidentifikasi adanya kekurangan energi kronik (KEK). Kategori untuk persentase berat lemak dan air tubuh adalah kurus sekali (≤ 20% dan ≥ 55%), kurus (20.1-25% dan 54.951.6%). normal (25.1-30.0% dan 48.0-44.7%). tinggi (30.1-35% dan 48.0-44.7%). serta tinggi (35.1-45.0% dan 44.6-37.8%). Ukuran tingkat bawah (cut-off) hemoglobin dan hematokrit untuk mendeteksi anemia pada wanita usia subur yang tidak sedang hamil adalah 120 g/l dan 36% (WHO 2001).
Kategori anemia yang digunakan adalah anemia berat
(kadar Hb<80 g/l), anemia sedang (kadar Hb 80-99 g/l), dan anemia ringan (kadar Hb100-119 g/l). Berdasarkan konsentrasi SF, ukuran relatif simpanan zat besi dalam tubuh termasuk kurang jika < 15 ug/l dan kelebihan (berisiko berat) jika > 150 ug/l (WHO 2007). Adapun standar konsentrasi STfR belum ada yang baku karena tergantung kepada prosedur yang digunakan. Prosedur pengukuran STfR dalam penelitian ini mengacu kepada Erhardt (2004) yang mengemukakan bahwa nilai cut-off STfR yang dapat digunakan berdasarkan penelitiannya adalah 8.3 mg/l. Penghitungan nilai duga rataan, simpangan baku, nilai minimum dan maksimum
dilakukan untuk semua variabel kuantitatif.
Nilai duga proporsi
dilakukan untuk semua variabel kualitatif dan kuantitatif. Uji t berpasangan digunakan untuk menganalisis perbedaan rataan antara sebelum dan sesudah perlakuan dalam grup perlakuan yang sama. Selisih (delta) antara sesudah dengan sebelum perlakuan yang merupakan manfaat perlakuan terhadap peubah respon status besi (peningkatan kadar Hb dan SF serta penurunan STfR) dan kebugaran
56 fisik (peningkatan VO2maks) diuji statistik secara bertahap. Uji ANOVA dengan uji lanjut Duncan dilakukan untuk menguji perbedaan rataan antar perlakuan baik sebelum dan sesudah perlakuan maupun selisih antara sesudah dan sebelum perlakuan. Analisis covarian (ANCOVA) dengan uji lanjut LSD (least signficant difference) menggunakan general linear model (GLM) univariate dilakukan setelah pada uji ANOVA terhadap rataan selisih antara sesudah dengan sebelum perlakuan antar perlakuan tidak terbukti nyata.
Hal ini diduga karena
kemungkinan adanya peubah-peubah pengganggu pada perlakuan tersebut. Uji ANCOVA dilakukan untuk mengoreksi (adjusted) peubah yang diduga potensial menjadi pengganggu (confounder), yaitu konsentrasi biomarker (hemoglobin, serum ferritin dan transferin reseptor), VO2maks dan IMT sebelum perlakuan; berat air badan (%AB) dan berat lemak badan (%LB) sesudah perlakuan; serta pengeluaran energi dan asupan zat gizi selama perlakuan. Semua pengujian di atas dilakukan pada taraf nyata ( ) = 0.05. Pada kondisi khusus pengujian dapat dilakukan hingga taraf =0.15 untuk melihat kecenderungannya. Transformasi data dinilai perlu dilakukan hanya jika dalam analisis ANOVA dan ANCOVA tidak nyata, yang mungkin dikarenakan ada salah satu atau lebih peubah yang tidak memenuhi asumsi-asumsi model. Model Matematika Model matematika untuk peubah-peubah respon status besi dan kebugaran fisik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Model matematika untuk menghitung peubah respon status besi dan kebugaran fisik sebelum dan sesudah perlakuan serta selisihnya dengan analysis of varian (ANOVA) adalah sebagai berikut: Yij = + j + ij Keterangan : Yij = Nilai peubah respon (Hb/Ht/SF/STfR)pada pada pekerja WUS ke i yang mendapat perlakuan ke j = Parameter rataan umum Yij j = Pengaruh dari perlakuan ke-j ij = Pengaruh galat pada pekerja WUS ke-i yang mendapat perlakuan ke-j i= 1 menunjukkan pekerja WUS ke-1 dan seterusnya sampai dengan ke 13
57 2. Model matematika untuk menghitung selisih peubah respon status besi sesudah perlakuan dengan analysis of covarian (ANCOVA) adalah sebagai berikut: Yij = +
13
X l
l
+ j + ij
l 1
Keterangan: Yij X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8
= = = = = = = = = =
X9
=
X10 X11 X12 X13 i “j
= = = = = =
j ij “i
= = =
Selisih peubah respon status besi (Hb/SF/STfR) parameter rataan umum Yij Nilai Hb sebelum perlakuan (g/l) Nilai SF sebelum perlakuan (ug/l) Nilai STfR sebelum perlakuan (mg/l) Lama bekerja (tahun) Indeks Massa Tubuh sebelum perlakuan (kg/m2) Asupan Energi selama perlakuan (kkal)) Asupan Protein selama perlakuan (g) Asupan vitamin A yang berasal dari makanan selama perlakuan (RE) Asupan vitamin C yang berasal dari makanan selama perlakuan (mg) Asupan zat besi yang berasal dari makanan selama perlakuan (mg) Asupan kalsium yang berasal dari makanan selama perlakuan (mg) Asupan fosfor yang berasal dari makanan selama perlakuan (mg) Pengeluaran energi per hari selama perlakuan (kkal) parameter koefisien dari peubah covariate Xi, i=1,2,..13 1diberi zat besi dan asam folat (BF); 2 diberi multi vitamin dan mineral (MVM); 3 diberi plasebo; Pegaruh perlakuan ke-j Pengaruh galat pekerja WUS ke-i yang mendapat perlakuan ke-j 1 menunjukkan pekerja WUS ke-1 dan seterusnya sampai dengan ke 13
3. Model matematika untuk menghitung selisih peubah respon kebugaran fisik sesudah perlakuan dengan analysis of covarian (ANCOVA) adalah sebagai berikut: Yij = +
16
X l
l
+ j + ij
l 1
Keterangan: Yjk X1 X2 X3
= = = = =
Selisih peubah respon VO2maks (ml/kg/menit) sesudah perlakuan Parameter rataan umum Yij VO2maks (ml/kg/menit) sebelum perlakuan Lama kerja (tahun) Nilai Hb sebelum perlakuan (g/l)
58 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12
= = = = = = = = =
X13 = X14 X15 X16 i “j
= = = = =
j ij “i
= = =
Nilai SF sebelum perlakuan (ug/l) Nilai STfR sebelum perlakuan (mg/l) Indeks Massa Tubuh sebelum perlakuan (kg/m2) Berat air badan sesudah perlakuan (%) Berat lemak badan sesudah perlakuan (%) Pengeluaran energi selama perlakuan (kkal) Asupan Energi selama perlakuan (kkal) Asupan Protein selama perlakuan (g) Asupan vitamin A yang berasal dari makanan selama perlakuan (RE) Asupan vitamin C yang berasal dari makanan selama perlakuan (mg) Asupan zat besi yang berasal dari makanan selama perlakuan (mg) Asupan kalsium yang berasal dari makanan selama perlakuan (mg) Asupan fosfor yang berasal dari makanan selama perlakuan (mg) Parameter koefisien dari peubah covariate Xi, i=1,2,..16 1 diberi zat besi dan asam folat (BF); 2 diberi multi vitamin dan mineral (MVM); 3 diberi plasebo Pengaruh perlakuan ke-j Pengaruh galat pekerja WUS ke-i yang mendapat perlakuan ke-j 1 menunjukkan pekerja WUS ke-1 dan seterusnya sampai dengan ke 13
Keterbatasan Data Data asupan gizi dan aktivitas fisik diperoleh dengan cara melakukan wawancara untuk mengingat kembali (recall) apa yang telah dimakan dan kegiatan fisik selama 24 jam yang lalu selama dua hari. Salah satu keterbatasan metoda ini adalah kemampuan sampel dalam mengingat.
Oleh karena itu, food
recall 1X24 jam dan kebiasaan makanan juga diperoleh dengan menggunakan daftar pertanyaan frekuensi makanan (Food Frequensi Quesionaire - FFQ). Ini dikelola dalam rangka untuk mengecek silang berbagai makanan yang dikonsumsi WUS. Dengan begitu, dua metoda pengumpulan data konsumsi ini diharapkan dapat saling melengkapi satu sama lain untuk mengkan konsumsi makan peserta. Recall makanan diambil dua kali, sebelum dan selama perlakuan, sedangkan aktivitas fisik diambil hanya pada selama perlakuan masih berlangsung. Definisi Operasional Zat Gizi mikro: Zat gizi yang dibutuhkan dan terdapat dalam jumlah yang sangat kecil di dalam tubuh namun memiliki peranan yang penting untuk kehidupan. Di antara keenam macam zat gizi, beberapa mineral dan semua jenis vitamin digolongkan ke dalam zat gizi mikro. Termasuk ke dalam
59 golongan mineral mikro tubuh yang telah ditetapkan angka kecukupannya di Indonesia adalah besi (Fe), seng (Zn), selenium (Se), yodium (I), Fluor (F) dan mangan (Mn) Status Gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, pencernaan, dan pemanfaatan makanan, dalam penelitian ini dinilai melalui pengukuran indikator status gizi yaitu indeks massa tubuh (IMT), rasio pinggang pinggul (RPP), dan lingkar lengan atas (LILA) Status anemia: suatu keadaan kadar hemoglobin di darah lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan nilai normal untuk jenis kelamin dan usianya. Untuk WUS, dinyatakan anemia jika Hb < 120 g/l dan normal jika Hb ≥ 120 g/l. Kadar hemoglobin termasuk marginal jika rentang Hb antara 80-125 g/l. Status besi adalah keadaan atau an kecukupan zat besi di dalam tubuh yang dapat dinilai dari biomarker meliputi kadar hemoglobin (Hb), serum ferritin (SF) dan serum transferin reseptor (TSfR). Defisiensi zat besi adalah keadaan tubuh yang mengalami defisit (kekurangan) besi tahap pertama (depleted iron) maupun tahap ke dua (iron deficiency erythropoiesis), yang dapat terjadi karena anemia maupun tidak anemia. Anemia gizi besi (AGB) atau iron deficiency anemia (IDA) adalah keadaan tubuh kekurangan zat besi pada tahap ke tiga, dimana zat besi tubuh tidak cukup baik dalam simpanan maupun untuk sintesa hemoglobin.
Indikator
keadaan ini adalah kadar hemoglobin di bawah normal (<120 g/l) dan serum feritin rendah (<15ug/l). Suplementasi adalah pemberian zat gizi dalam bentuk kapsul/tablet/injeksi (jika efek yang dikehendaki lebih cepat) yang dilakukan secara teratur kepada kelompok yang membutuhkan atau orang-orang yang berisiko kekurangan zat gizi Besi folat (BF) adalah kapsul suplemen yang berisi campuran antara ferrous sulfat 200 mg yang setara dengan zat besi elemental 60 mg dan asam folat 400 μg Multivitamin dan mineral (MVM) dalam penelitian ini adalah kapsul suplemen yang berisi campuran 15 macam vitamin dan mineral yaitu vitamin A 800 μg, vitamin D 200 IU, vitamin E 10 mg, vitamin C 70 mg, tiamin 1.4 mg, riboflavin 1.4 mg, niasin 18 mg, vitamin B6 1.9 mg, vitamin B12 1.9 μg,
60 asam folat 400 μg, zat besi elemental 30 mg, seng 15 mg, copper 2 mg, selenium 65 μg, iodium 150 μg Komposisi tubuh (body composition) adalah proporsi
lemak dalam tubuh
dibandingkan dengan tulang dan otot, ini tidak ada hubungannya dengan berat badan atau penampilan seseorang. Komposisi tubuh juga dikan sebagai berat badan tanpa lemak dan berat lemak. Kebugaran fisik:
kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas
pekerjaannya sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggang dinilai dengan mengukur VO2maks melalui uji naik turun bangku AstrandRhyming. VO2maks:
merupakan satu ukuran seberapa bugar (fit) seseorang, dengan
menyatakan volume oksigen yang dikonsumsi tubuh per menit sehingga sering ditulis satuannya adalah ml/kg/menit (Marley 1982; Sharkey 1991; Quinn 2008). Uji bangku Astrand-Rhyming : naik-turun bangku (untuk wanita setinggi 33 cm) selama 5 menit dengan sebanyak 22.5 kali per menit (dijaga stabil dengan mengikuti irama dari metronome yang diset pada 90 step/menit). Naik turun bangku dimulai dengan naik menggunakan satu kaki, diikuti dengan kaki yang lain dan kemudian turun dengan satu kaki dan diikuti kaki yang lain. Pada akhir menit ke lima, berhenti dengan tetap berdiri dan denyut jantungnya segera dicek selama 15 detik sejak 15 detik pemulihan. Pengukuran denyut jantung dilakukan secara palpasi pada leher (carotid artery) kemudian dikonversikan ke VO2maks mengunakan tabel AstrandRhyming. Indeks massa tubuh (IMT) merupakan perbandingan antara berat badan (kg) dengan tinggi badan dikuadratkan (m2) Rasio pinggang pinggul (RPP) adalah perbandingan antara lingkar pinggang (cm) dengan lingkar pinggul (cm) Lingkar lengan atas (LILA) adalah besarnya lingkar lengan atas yang diukur pada pertengahan jarak antara bahu dengan siku lengan sebelah kiri (cm).
61
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di PT Great Giant Pineapple (GGP), yang terletak di Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. PT GGP berjarak kurang lebih 90 km dari Bandar Lampung, ibukota Provinsi Lampung. Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan agrobisnis terbesar di Provinsi Lampung yang memproduksi buah nanas dalam kaleng yang memiliki kebun nanas terbesar ke tiga di dunia yakni seluas kurang lebih 30.000 hektar. PT GGP dibangun 32 tahun yang lalu dan merupakan perusahaan modal asing yang semua produknya ditujukan hanya untuk ekspor ke 33 negara. Perusahaan ini telah mendapatkan berbagai sertifikasi antara lain ISO SA 8000 (Social Accountability) tahun 2001. Selain itu, juga sudah mendapatkan OHSAS 18001 (Occupational Health and Safety Management System for Requirement) pada tahun 1999 dari Sucofindo International Certification Services, serta Sertifikat Audit untuk Sistem Management, Kesehatan dan Keselamatan Kerja tahun 2007 dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Pada tahun 2008, PT GGP mendapatkan sertifikat Grade A untuk Global Standar for Food Safety . Jumlah pekerja di dalam pabrik nanas di PT GGP berfluktuasi mengikuti musim panen nanas dan sebagian besar adalah wanita usia subur (WUS) yang berasal dari keluarga berekonomi menengah ke bawah. Pada kondisi biasa jumlah pekerja wanita kurang lebih 2 860 orang yang terdiri dari pekerja harian tetap dan kontrak; sedangkan selama musim panen raya nanas jumlah pekerja WUS dapat mencapai 3 500 orang karena jumlah pekerja kontraknya ditambah. Para pekerja tersebut berasal dari daerah di sekitar pabrik/perkebunan yaitu Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Utara, dan Tulang Bawang.
Perusahaan ini
menyediakan asrama (camp) yang dapat menampung lebih dari 1 500 orang pekerja wanita, dikhususkan bagi yang belum menikah dan yang tempat tinggalnya agak jauh. Namun demikian, dalam prakteknya yang sudah menikah dan punya rumah tidak jauh dari lokasi kerja banyak yang tidak mau melepaskan
62 kamarnya dengan alasan diperlukan untuk tidur-tiduran pada saat jam istirahat kerja atau jika tidak berani pulang dini hari pada saat masuk kerja malam. Pekerja wanita di dalam pabrik terbagi menjadi dua shift kerja, yaitu pagi dan malam, sebagian besar merupakan pekerja di divisi cannary. Waktu kerja masuk pagi dimulai pukul 07.00 hingga 16.00 dan untuk yang malam mulai pukul 19.00 hingga 04.00 esok harinya. Bagi yang masuk malam, mereka diberi makanan ekstra (extra fooding) berupa nasi bungkus (berisi nasi dan lauk-pauk) pada waktu istirahat tengah malam. Adapun mereka yang masuk siang, jika kelebihan jam kerjanya melebihi 3 jam, maka kepada mereka juga dibagikan extra fooding dalam bentuk kupon makanan seharga Rp2 500.00. Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari di perusahaan terdapat food court yang terdiri dari 23 kantin. Adapun untuk pelayanan kesehatan, terdapat tiga balai pengobatan (BP) yang berlokasi di dekat pabrik, di perkebunan dan di pusat administrasi. Semua pekerja PT GGP memperoleh perlindungan kesehatan dan sosial dari Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Pada Tabel 10 dan 11 dapat dilihat
sebaran karyawan tetap dan tenaga kerja harian berdasarkan pendataan pada bulan Mei 2010.
Tabel 10 Sebaran karyawan tetap PT GGP menurut jenis kelamin dan departemen tahun 2010 Departemen
Pria (P) Adm
Pelaksana
Wanita (W) ∑ (P)
Adm
Mesin kaleng 14 76 90 0 Pengalengan buah 24 247 271 5 Jus & konsentrat 12 61 73 0 Label & Kemasan 9 66 75 0 Perlengkapan 11 67 78 3 pabrik Pejabat pabrik 22 74 96 0 Pengawasan Mutu 6 52 58 1 Jumlah 98 643 741 9 Sumber: HRD PT GGP (Mei 2010, tidak dipublikasikan)
Pelaksana
∑ (W)
Total P&W
7 118 0 7
7 123 0 7
97 394 73 82
8
11
89
6 63 209
6 64 218
102 122 959
63 Tabel 11 Sebaran tenaga kerja harian PT GGP menurut jenis kelamin dan departemen tahun 2010 Departemen Mesin kaleng Pengalengan buah Jus & konsentrat Label & pengepakan Perlengkapan pabrik Pejabat pabrik Pengawasan mutu
Pria (P)
Wanita (W)
Tetap
Kontrak
∑ (P)
Tetap
Kontrak
∑ (W)
Total P&W
82 113 41
5 1 4
87 114 45
38 1 798 8
4 1 174 1
42 2 972 9
129 3 086 54
111
4
115
130
117
247
362
0 0 2 1 298
8 8 69 3 355
61 54 121 3 867
49 4 53 8 46 0 46 8 47 5 52 67 Jumlah 489 23 512 2 057 Sumber: HRD PT GGP (Mei 2010, dipublikasikan)
Total tenaga kerja PT GGP sebanyak 4 826 orang terdiri dari pria 1 253 orang (26%) dan wanita 3 573 orang (74%). Sebagian besar tenaga kerja pria (60%) sudah menjadi karyawan tetap, sedangkan sebagian besar tenaga kerja wanita (73%) adalah tenaga kerja harian tetap maupun kontrak. Pada jajaran kantor administrasi perusahaan, berbagai jabatan yang ada mulai dari kepala seksi hingga manajer dan direktur didominasi (92%) oleh pria.
Studi Pendahuluan Studi pendahuluan ini merupakan penelitian awal atau tahap satu dari penelitian payung yang mengambil data dasar melalui survai. Beberapa data pada studi pendahuluan yang terkait dengan penelitian eksperimental dilaporkan di bawah ini. Adapun hasil studi pendahuluan secara lengkap dilaporkan dalam Indriani et al. (2011). Karakteristik Sosial dan Ekonomi Pekerja Wanita Pekerja wanita yang menjadi responden dalam penelitian pendahuluan berjumlah 338 orang yang berasal dari populasi yang berjumlah 2861. Mereka terbagi menjadi dua shift kerja yakni masuk pagi atau malam secara bergantian setiap minggu. Persentase pekerja wanita yang berasal dari shift A lebih banyak yaitu sebesar 56.8% bila dibandingkan dengan shift B sebesar 43.2%. Dalam melakukan pekerjaannya mereka mempunyai posisi kerja yang berbeda-beda.
64 Posisi kerja mereka ditentukan oleh baris (line) tempat mereka bekerja dan pembagian kerjanya. Berdasarkan posisi kerjanya mereka dibagi menjadi tiga yaitu pekerja dengan posisi kerja yang (1) lebih banyak duduk, (2) lebih banyak berdiri, serta (3) selalu berdiri-berjalan. Paling banyak pekerja wanita berasal dari yang posisi kerjanya banyak duduk yakni 178 orang (52.7%), diikuti oleh yang berdiri-berjalan 113 orang (33.4%) dan paling sedikit adalah yang posisi kerjanya banyak berdiri yaitu 47 orang (13.9%). Sebagian besar pekerja wanita (98.2%) beragama Islam dan berasal dari suku Jawa sebanyak 51.2%, suku Lampung sebanyak 38.5%; sisanya tersebar pada suku Palembang, Batak, Bali, Sunda, dan Minang. Nilai rataan usia mereka 31.4±5.0 tahun dan memiliki masa kerja di perusahaan 9.9±4.9 tahun (minimal 3 bulan dan maksimal 22 tahun 10 bulan). Nilai rataan pendidikan pekerja wanita 9.9±2.1 tahun, 46.4% lulus SLTP dan 41.1% lulus SLTA. Rumah tangga mereka tergolong kecil, dengan rataan anggota rumah tangga sebanyak 4.3±1.8 jiwa. Lebih dari separuh (53.8%) suami pekerja wanita bekerja sebagai buruh nontani dan hanya 14.8% suami pekerja wanita yang bekerja sebagai petani, sedangkan sisanya bekerja sebagai pedagang, buruh tani, PNS/ABRI, bekerja di bidang jasa, dan lain-lain.
Dilihat dari jenis pekerjaan kepala rumah tangga
pekerja wanita ini, dapat dikatakan bahwa meskipun mereka tinggal di perdesaan namun tidak bekerja di sektor pertanian sebagaimana kebanyakan rumah tangga perdesaan. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran mata pencaharian rumah tangga perdesaan dari rumah tangga agraria ke non-agraria, ini membuktikan bahwa sektor pertanian mulai kurang diminati oleh rumah tangga muda. Rumah tangga pekerja wanita termasuk sejahtera, dapat diihat dari pendapatannya. Nilai rataan pendapatan pekerja wanita adalah Rp1 377 147.00 dan rataan pendapatan rumah tangga sebesar Rp2 716 790.00. Adapun rataan kontribusi pendapatan pekerja wanita terhadap total pendapatan rumah tangga adalah 50.6%. dengan kisaran antara 13-100%. Hal ini menggambarkan bahwa pekerja wanita tersebut memiliki peranan yang cukup tinggi sebagai pencari nafkah dalam rumah tangganya. Nilai rataan pendapatan per kapita rumah tangga pekerja wanita tergolong baik yaitu Rp707 663/kapita/bulan, rataan pendapatan ini sudah di atas US $2 per hari (setara dengan Rp600 000/kapita/bulan).
65 Dilihat dari sisi proporsi pengeluaran pangan, rumah tangga pekerja wanita sudah tergolong sejahtera. Proporsi pengeluaran pangan sebesar 47% dan proporsi pengeluaran non pangan sebesar 53 %. Hal ini menunjukkan bahwa para pekerja sudah mampu memenuhi kebutuhan pangannya dan sudah beralih perhatiannya kepada pemenuhan kebutuhan non pangan. Pengeluaran non pangan terbesar adalah untuk bahan bakar sebesar 10%, diikuti pengeluaran untuk kredit sebesar 8%, rokok sebesar 5%, dan sosial sebesar 5%. Pada Tabel 12 dapat dilihat pendapatan dan pengeluaran rumah tangga pekerja wanita. Tabel 12 Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga pekerja wanita menurut posisi kerja (Rp) Pendapatan
Duduk (n=147)
Berdiri (n=47)
Berdiri dan Berjalan (n=113)
Rumah tangga
2 746 070±1 196 743
2 891 694±1 318 730
2 185 394±711 023
Pekerja wanita
1 395 967±449 265
1 420 623±508 910
1 201 343±283 430
56.3±18.9
54.2±18.2
58.5±16.9
725 735 ± 391 371
633 972 ± 397 874
709 846 ± 399 686
Kontribusi pekerja wanita (%) Pendapatan/kapita Pengeluaran/kapita Pangan
242 726 ± 110 299
230 958 ± 139 799
250 339 ± 127 081
Non-pangan
309 248 ± 201 186
313 784 ± 256 643
295 391 ± 217 746
Kesejahteraan rumah tangga pekerja wanita dapat dilihat dari kepemilikan aset, semua responden memiliki perabotan rumah tangga yang lengkap dan 50% sudah tinggal di rumahnya sendiri, 29.0% tinggal dengan orang tua dan 21.0% tinggal baik di rumah saudara, rumah milik perusahaan, dan lain-lain. Sebagian besar rumah mereka memiliki dapur (93%), memiliki sumber mata air dari sumur (89.3%) dan memiliki WC (95.6%) meskipun sebagian besar (53.9%) WC mereka berada di luar rumah. Selain perabotan rumah tangga, berbagai barang elektronik dan telepon seluler (handphone-HP) dimiliki oleh rumah tangga pekerja wanita. Selain sudah menjadi kebutuhan utama di dalam rumah tangganya, kepemilikan barang-barang ini di dalam masyarakat juga dapat menjadi salah satu simbol gaya hidup rumah tangga yang mulai mapan. Hampir semua rumah tangga pekerja wanita memiliki HP, hanya ada 6.5% yang menyatakan tidak memilikinya; namun hanya 6.5% rumah tangga yang memiliki telepon rumah, hal ini dikarenakan fungsi telepon rumah sudah digantikan dengan HP.
66 Kebiasaan Makan Pekerja Wanita Hampir semua pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga pekerja wanita diperoleh dengan cara membeli. Pada Tabel 13 dapat dilihat beberapa kebiasan makan mereka. Adapun pada Tabel 14 dapat dilihat frekuensi makan berbagai bahan makanan. Tabel 13 Persentase pekerja wanita menurut beberapa item kebiasaan makan Posisi Kerja Perilaku Gizi No. 1.
2.
3. 4.
5. 6.
7.
8. 9.
10. 11. 12. 13.
Mengonsumsi makanan beranekaragam setiap hari Menggunakan garam beryodium ketika memasak Biasa sarapan pagi Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan Melakukan olahraga secara teratur Mencuci dan merebus sayuran sebelum dimakan Membaca label gizi dan tanggal kadaluarsa pada makanan kemasan Makan 3 kali per hari Setiap hari makan sumber karbohidrat (nasi, mie, umbiumbian, roti) Setiap hari makan sumber protein hewani Setiap hari makan sumber protein nabati Setiap hari makan sayuran Setiap hari makan buah-buahan
Total (n=338)
Duduk (n=178)
Berdiri (n=47)
.n
%
n
%
Berdiri dan Berjalan (n=113) n %
78
43.8
0
0.0
47
41.6
125 37.0
164 92.1 43 91.5
107
94.7
314 92.9
129 72.5 34 72.3
76
67.3
239 70.7
118 66.3 34 72.3
72
63.7
224 66.3
13
2.1
3
2.7
17
145 81.5 37 78.7
90
79.7
272 80.5
144 80.9 40 85.1
79
70.0
263 77.8
0.0
77
68.1
77
173 97.2 46 97.9
113
100.0
332 98.2
115 64.6 13 27.7
81
71.7
209 61.8
157 88.2 41 87.2
102
90.3
300 88.8
159 89.3 41 87.2
96
85.0
296 87.6
56
43
38.1
112 33.1
0
7.3
0.0
1
0
31.5 13 27.7
n
%
5.0
22.8
67 Tabel 14 Frekuensi konsumsi makanan (kali/minggu) pekerja wanita menurut posisi kerja
Jenis Makanan
Beras Kerupuk Gula Pasir Terigu Tahu Tempe Telur Ikan asin Ikan tawar segar Ikan laut Ayam Daging sapi Kacang2an Tomat kecil D singkong Kc panjang Wortel Terung Bayam kubis/kol Buncis Kangkung Nanas Pisang Jeruk Jambu Teh/kopi Saos Vetsin/MSG Garam beryodium
Posisi Kerja Duduk Berdiri Berdiri dan Berjalan (n=178) (n=47) (n=113) sumber karbohidrat 19.4 ± 3.4 19.6 ± 2.8 19.3 ± 3.4 19.4 ± 3.4 19.6 ± 2.8 19.3 ± 3.4 8.9 ± 8.0 8.7 ± 7.6 9.6 ± 8.0 5.2 ± 4.7 5.7 ± 4.9 6.0 ± 5.4 5.8 ± 5.0 6.0 ± 5.0 6.1 ± 5.7 Sumber protein 7.3 ± 5.9 7.7 ± 6.0 7.9 ± 6.4 6.4 ± 5.7 6.0 ± 4.8 6.3 ± 5.1 3.0 ± 3.2 3.0 ± 3.7 3.4 ± 4.2 3.3 ± 4.2 2.8 ± 3.2 2.8 ± 3.1 1.8 ± 2.9 1.6 ± 1.9 1.9 ± 2.5 1.4 ± 2.2 1.3 ± 1.6 1.3 ± 1.5 0.3 ± 0.9 0.3 ± 0.8 0.3 ± 0.7 1.4 ± 2.1 1.9 ± 2.8 1.3 ± 2.4 Sumber vitamin dan mineral 10.3 ± 7.8 9.6 ± 7.7 10.1 ± 8.0 3.3 ± 4.3 3.2 ± 3.3 3.3 ± 4.1 3.4 ± 3.0 3.8 ± 3.8 3.4 ± 3.2 3.0 ± 3.3 3.3 ± 3.3 3.0 ± 3.3 2.5 ± 3.0 2.6 ± 2.4 2.5 ± 3.6 2.5 ± 2.7 2.1 ± 1.9 2.6 ± 3.4 2.1 ± 2.7 2.8 ± 3.0 2.6 ± 3.0 2.2 ± 3.4 2.5 ± 2.5 2.2 ± 3.0 2.5 ± 2.5 1.8 ± 1.7 1.9 ± 2.7 3.2 ± 5.2 4.1 ± 6.0 3.2 ± 5.7 2.5 ± 3.3 1.7 ± 2.1 3.3 ± 4.5 1.6 ± 2.2 1.6 ± 2.1 1.8 ± 2.5 1.1 ± 2.5 1.0 ± 1.8 1.1 ± 2.4 Lain-lain 5.0 ± 5.1 5.4 ± 5.1 5.9 ± 6.0 1.2 ± 2.1 1.1 ± 1.4 1.0 ± 1.7 18.1 ± 5.4 18.9 ± 4.8 16.9 ± 7.1 18.4 ± 5.2 18.3 ± 5.8 19.1 ± 4.2
Total (n=338) 19.4 ± 3.3 19.4 ± 3.3 9.1 ± 7.9 5.5 ± 5.0 6.0 ± 5.2 7.6 ± 6.1 6.3 ± 5.4 3.1 ± 3.7 3.1 ± 3.8 1.8 ± 2.6 1.4 ± 1.9 0.3 ± 0.8 1.5 ± 2.3 10.1 ± 7.8 3.3 ± 4.1 3.4 ± 3.2 3.0 ± 3.3 2.5 ± 3.2 2.5 ± 2.9 2.4 ± 2.9 2.3 ± 3.1 2.2 ± 2.5 3.4 ± 5.5 2.7 ± 3.6 1.7 ± 2.3 1.1 ± 2.4 5.4 ± 5.4 1.1 ± 1.9 17.8 ± 5.9 18.6 ± 5.0
Pada pada Tabel 13 di atas dapat dilihat hanya 37.0% yang memiliki kebiasaan mengonsumsi makanan beranekaragam (nasi, lauk pauk, sayur, dan buah-buahan) setiap hari. Kebiasaan makan 3 kali sehari hanya dilakukan oleh 22.8% dari seluruh pekerja wanita, selebihnya hanya makan dua kali sehari. Frekuensi makan 2 kali sehari ini sudah merupakan kebiasaan penduduk
68 perdesaan karena mereka jarang sarapan. Frekuensi makan yang hanya 2 kali sehari ini dapat mengurangi peluang seseorang untuk tercukupi kebutuhan gizinya. Nilai rataan porsi konsumsi nasi, sumber karbohidrat, per hari adalah 2.6 piring. Beras, gula, kerupuk dan terigu adalah makanan yang paling sering dikonsumsi, yaitu masing-masing sekitar 19, 9, 8 dan 5 kali per minggu. Nilai rataan porsi konsumsi pangan hewani masih rendah yaitu hanya 1.3 potong per hari sebaliknya porsi pangan nabati hampir mencapai 2 kali lipatnya yaitu 2.5 potong per hari. Hal tersebut dapat dimaklumi karena harga bahan pangan nabati lebih murah dibandingkan sumber pangan hewani. Tempe, telur, dan tahu sebagai sumber protein adalah makanan yang paling sering dikonsumsi, yaitu masingmasing sekitar 7, 6, dan 5 kali per minggu. Ikan asin dan ikan air tawar juga sering dikonsumsi yaitu sekitar 3 kali per minggu, sedangkan ikan laut, ayam dan kacang-kacangan kurang sering dikonsumsi yaitu hanya sekitar 1 kali per minggu. Daging sapi sangat jarang dikonsumsi yaitu hanya 0.33 kali per minggu. Porsi konsumsi sayuran dan buah masih sangat rendah dari yang dianjurkan yaitu hanya 1.4 mangkuk dan 0.6 porsi per hari, padahal kebutuhan sayur adalah 3 porsi dan buah 2 porsi per hari (Soekirman dan Atmawikarta 2004) Sebagian besar pekerja wanita telah mengonsumsi sayur setiap hari (87.6%) namun masih dalam jumlah yang sangat rendah. Buah dibandingkan sayuran harganya lebih mahal sehingga wajar bila sebagian besar pekerja wanita di perusahaan ini tidak mengonsumsi buah setiap hari (68.0%), hanya sepertiga (32.0%) dari mereka yang mampu mengonsumsi buah setiap hari. Tomat adalah sayur yang paling sering dikonsumsi yaitu 10 kali per minggu. Makanan lain yang merupakan sumber vitamin dan mineral yang relatif sering dikonsumsi yaitu daun singkong, kangkung, kacang panjang, bayam, wortel, buncis dan terung dengan frekuensi konsumsi sebanyak 2 atau 3 kali per minggu. Jenis buahbuahan yang biasa dikonsumsi oleh para pekerja ada sebanyak 10 jenis yaitu jeruk, pisang, pepaya, bengkoang, semangka, mangga, nangka, nenas, durian dan jambu batu. Nanas dan pisang adalah buah yang paling sering dikonsumsi yaitu sekitar 3 kali per minggu. Jeruk dan jambu batu menempati urutan kedua yaitu dikonsumsi 1.6 dan sekitar 1 kali per minggu. Buah-buahan lainnya tergolong
69 jarang dikonsumsi karena frekuensi konsumsinya kurang dari 1 kali per minggu. Konsumsi air per hari pekerja wanita masih kurang dari yang dianjurkan, yaitu hanya 6.6 gelas per hari. Kebutuhan air minum yang dianjurkan adalah ± 2 liter sehari atau setara dengan delapan gelas air sehari, Air minum harus bersih dan aman (bebas dari kuman). Tercukupinya air minum dapat mencegah terjadinya dehidrasi dan menurunkan risiko batu ginjal. Asupan dan Tingkat Kecukupan Gizi Pekerja Wanita Nilai rataan asupan energi dan zat gizi yang diukur pada pekerja wanita untuk protein, vitamin A, vitamin C, kalsium dan zat besi dapat dilihat pada Tabel 15. Asupan energi, vitamin C dan zat besi tersebut lebih rendah; sedangkan asupan vitamin A, kalsium dan fosfor lebih tinggi dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk ketujuh macam zat gizi tersebut reratanya adalah energi 2 016 kkal, protein 44.0 g, vitamin A 500 RE, vitamin C 60 mg, kalsium 500 mg, fosfor 450 mg, dan zat besi 26 mg. Berdasarkan hasil Riskesdas 2007 (BPPK Depkes RI 2008), jika dibandingkan dengan rataan asupan energi dan protein untuk Provinsi Lampung sebesar 1 376 kkal dan 47.7 gram, rataan asupan energi pekerja wanita tersebut sudah lebih tinggi; sedangkan asupan proteinnya sedikit lebih rendah. Namun demikian asupan energi dan protein tersebut lebih rendah dibandingkan dengan rataan asupan energi dan protein untuk nasional yang mencapai 1 736 kkal dan 55.5 g. Tabel 15 Asupan zat gizi dan tingkat kecukupan gizi (%AKG) pekerja wanita (n=338) Deskripsi Asupan Rataan SD %AKG Rataan SD
Energi (kka)
Protein (g)
Vit.A (RE)
Vit.C (mg)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
1680 541
47.1 21.1
1330 1130
44 80
543 959
1423 3171
15 10
84 27
107 48
266 226
73 134
109 192
316 705
59 37
Persentase perbandingan antara asupan zat gizi dengan angka kecukupan zat gizi (AKG) yang dianjurkan menghasilkan tingkat kecukupan gizi atau
70 %AKG. Hasil perhitungan %AKG makro pada pekerja wanita untuk energi dan protein sebesar 83.6% dan 107.5% termasuk kategori cukup dan normal. Adapun %AKG mikronya, untuk vitamin A 266.1% atau melebihi normal, sedangkan vitamin C yaitu 73.0% meskipun ini termasuk dalam kategori tidak defisit namun relatif rendah. Pada kelompok mineral, %AKG kalsium 108.6% (normal), fosfor 316.2% (melebihi normal) dan zat besi 59.2% (defisit). Dari ketujuh macam %AKG di atas dapat dilihat bahwa yang tidak mencapai kategori normal atau lebih adalah energi, vitamin C dan zat besi. Ada keterkaitan antara vitamin C dengan zat besi di dalam tubuh.
Vitamin C selain merupakan vitamin anti
skorbut, pencegah dan penyembuh skurvi, juga sebagai koenzim maupun kofaktor dan diperlukan untuk membantu mereduksi besi dari bentuk feri menjadi fero di dalam sel usus untuk memudahkan penyerapan dan pengangkutan besi dari plasma transferin ke feritin di hati (Almatsier, 2002). Terjadinya anemia gizi besi, selain disebabkan oleh kekurangan asupan zat besi bisa jadi juga akibat kurang mencukupinya asupan vitamin C. Hal ini terjadi karena sebagian besar pekerja WUS jarang mengonsumsi buah-buahan sebagai sumber vitamin C dan meskipun sering mengonsumsi pangan hewani dan sayuran sebagai sumber Fe namun masih dalam jumlah yang sedikit (Tabel 13 dan 14). Status Gizi Antropometri Status gizi antropometri pekerja wanita yang diukur adalah berat badan, tinggi badan, IMT, lingkar lengan atas dan rasio pinggang pinggul. Pada Tabel 16 dapat dilihat hasl pengukuran tersebut. Tabel 16 Karakteristik antropometri pekerja wanita menurut posisi kerja
Usia (tahun)
Duduk (n=178) 31.4 ± 4.4
Posisi Kerja Berdiri Berdiri dan Berjalan (n=47) (n=113) 32.3 ± 6.2 30.9 ± 5.4
31.4 ± 5.0
Berat Badan (kg)
52.7 ± 8.7
51.4 ± 8.9
52.4 ± 9.0
52.4 ± 8.8
Tinggi badan (cm)
150.9 ± 5.0
148.9 ± 4.6
151.2 ± 5.5
150.7 ± 5.2
Indeks Massa Tubuh (kg/m2)
23.2 ± 3.9
23.2 ± 4.3
22.9 ± 3.7
23.1 ± 3.9
Lingkar Pinggang (cm)
74.3 ± 8.9
73.9 ± 8.9
73.8 ± 8.5
74.1 ± 8.9
Lingkar Pinggul (cm)
91.2 ± 8.3
90.1 ± 8.6
90.6 ± 9.1
90.8 ± 8.6
Lingkar lengan atas LILA (cm)
27.6 ± 8.8
27.0 ± 3.4
27.0 ± 3.3
27.3 ± 6.8
Diskripsi
Total (n=338)
71 Nilai rataan berat badan pekerja wanita adalah 52.4 kg, dengan berat badan terendah 31 kg dan tertinggi 78 kg. Nilai rataan tinggi badan pekerja wanita adalah 150.7 cm, dengan tinggi badan terendah 140.8 cm dan tertinggi 170.0 cm. Nilai rataan indeks massa tubuh (IMT) adalah 23.1 kg/m2, dengan IMT terendah 14.7 kg/m2 dan tertinggi 36.2 kg/m2. Nilai rataan lingkar pinggang (waist) pekerja wanita adalah 75.6 cm, dengan lingkar pinggang terendah 55.0 cm dan tertinggi 102.3 cm. Nilai rataan lingkar pinggul (hip) adalah 90.8 cm, dengan lingkar pinggul terendah 55.0 cm dan tertinggi 114.7 cm. Ukuran rasio lingkar pinggang pinggul (RPP) merupakan indikator status gizi penduduk usia dewasa untuk mengetahui adanya obesitas abdomen.
Ukuran RPP memberikan pendugaan akumulasi lemak abdomin,
karena peningkatan RPP dapat memprediksi peningkatan resiko penyakit jantung, diabetes dan penyakit kronis lainnya yang berkaitan dengan obesitas (Lau et al. 2007). Ukuran RPP yang ideal untuk wanita adalah di bawah 0.80. Berdasarkan analisis didapatkan prevalensi RPP di atas 0.8 (tidak ideal) pada pekerja wanita adalah 57%.
Nilai rataan (RPP) pekerja wanita sebesar 0.82, dengan selang
terendah 0.66 dan tertinggi 1.40. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil Survai Kesehatan Nasional (SURKESNAS) 2001 yang mendapatkan bahwa RPP wanita usia subur yang anemia sebesar 0.83±0.07 tidak berbeda nyata dengan yang nonanemia sebesar 0.82±0.07 (Briawan & Hardinsyah 2010). Nilai rataan lingkar lengan atas (LILA) adalah 27.0 cm, dengan LILA terendah 19.5 cm dan tertinggi 38.0 cm. Sebanyak 9% pekerja wanita diduga mengalami malnutrisi (thinness) dengan IMT<18.5 kg/m2, 44% normal (IMT 18.5-22.9 kg/m2), 21% beresiko gemuk (IMT 23-24.9 kg/m2) dan 26% mengalami kegemukan (IMT 25-29.9 kg/m2) atau overweight (obes) (IMT≥30 kg/m2). Prevalensi thinnes tersebut lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi thinnes pada orang dewasa (laki-laki dan perempuan) hasil riskesdas 2007 di Provinsi Lampung yang besarnya, yaitu 14.7%. Berdasarkan klasifikasi masalah kesehatan masyarakat (public health problem) dari IMT rendah (thinness) pada wanita dewasa maka prevalensi sembilan persen tersebut tergolong prevalensi rendah (low prevalence) yang merupakan isyarat waspada (warning sign) yang perlu selalu dimonitor (WHO, 1995). Prevalensi kegemukan tersebut jauh lebih tinggi
72 daripada prevalensi kegemukan pada wanita dewasa (15 tahun ke atas) hasil Riskesdas tahun 2007, yang hanya 20.3%.
Banyak penelitian menunjukkan
bahwa terdapat kaitan erat antara kegemukan dengan morbiditas dan mortalitas (WHO 1995; Eckel 2010). Penelitian Riskesdas di Lampung menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan maka semakin tinggi juga prevalensi kegemukan. Masalah kegemukan pada wanita pekerja ini dikhawatirkan akan meningkatkan risiko masalah kesehatan, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi kapasitas dan produktivitas kerjanya. Berdasarkan analisis statistik, usia pekerja wanita nyata berhubungan positif dengan IMT dan LILA (p=0.00). Hal ini berarti semakin bertambah usia, pekerja wanita semakin gemuk dan memiliki LILA yang semakin besar. Status Anemia dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Nilai rataan kadar hemoglobin (Hb) pekerja wanita 129±12.0 g/l atau tergolong normal. Prevalensi anemia (HB<120 g/l) ditemukan sebesar 16.9%, dan yang ambang batas anemia (Hb 120-125 g/l) sebesar 16.0%.
Kadar
Hematokrit (Ht) pekerja wanita reratanya juga tergolong normal, sekitar tiga kali kadar Hb. Prevalensi pekerja wanita dengan kadar hematokrit kurang dari 36% tergolong rendah yaitu hanya 7.4%, selebihnya (92.6%) memiliki kadar hematokrit normal (≥36%).
Pada Tabel 17 dapat dilihat prevalensi anemia
pekerja wanita. Tidak ada perbedaan yang nyata antara kadar Hb dan Ht pekerja wanita menurut posisi kerjanya. Artinya dalam melaksanakan kerja fisik, kadar Hb dan Ht pekerja wanita tidak menjadi pembatas. Berdasarkan analisis statistik, kadar hemoglobin nyata berhubungan positif dengan IMT (r=0.153, p= 0.005) dan sekaligus juga nyata berhubungan dengan LILA (r=0.191, p=0.000). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskedas) 2007, rataan Hb dan prevalensi anemia khusus untuk wanita dewasa di Provinsi Lampung adalah 128.2 g/l dan 25.9%; sedangkan rataan nasional adalah 130 g/l dan 19.7% (BPPK Depkes 2008). Hal ini berarti rataan Hb pekerja wanita sedikit lebih tinggi dan prevalensi anemianya lebih rendah dibandingkan dengan rataan untuk Provinsi Lampung. Jika dibandingkan dengan angka nasional rataan Hb pekerja wanita hampir sama dan prevalensi anemianya lebih rendah dari rataan nasional. Hal ini mengkan bahwa pekerja wanita yang kesejahteraan rumah tangganya sudah baik
73 memiliki status anemia yang lebih baik dibandingkan dengan rataan Provinsi maupun nasional. Tabel 17 Prevalensi anemia pekerja wanita menurut kadar Hb dan posisi kerja Posisi Kerja Kategori anemia
Kadar Hb (g/l)
Duduk (n=178)
Berdiri (n=47)
Berdiri dan Berjalan (n=113) .n %
n
%
n
%
≥125
115
64.6
26
55.3
86
120-125
31
17.4
19
40.4
Ringan
100-119
28
15.7
0
Sedang
80-99
4
2.2
Berat
≤ 80
0
0.0
Normal (Tidak Anemia)
Total (n=338) n
%
76.2
227
67.1
4
3.5
54
16.0
0.0
21
18.6
49
14.5
1
2.1
2
1.8
7
2.1
1
2.1
0
0
1
0.3
Anemia
Kebugaran fisik sebagian besar pekerja wanita tergolong baik, ini ditandai dengan rataan denyut jantung pasca pemulihan setelah uji bangku selama lima menit sebanyak 36.8 kali per 15 detik (22.0-55.0x/15"). Nilai rataan VO2maks mereka sebesar 40.3 ml/kg/menit dengan selang VO2maks terendah 28.0 ml/kg/menit dan tertinggi 72.5 (Tabel 18). Nilai rataan VO2max pada pekerja wania dengan posisi duduk cenderung lebih rendah dibandingkan VO2max pada posisi lainnya. Rendahnya VO2max tersebut mungkin terkait dengan pola aktivitasnya yang cenderung lebih ringan pada posisi duduk. Tabel 18
Kebugaran fisik pekerja wanita berdasarkan denyut jantung dan VO2maks menurut posisi kerja
Denyut jantung/15 detik
Duduk (n=178) 37.3 ± 5.2
Posisi Kerja Berdiri Berdiri dan Berjalan (n=47) (n=113) 36.0 ± 4.7 36.4 ± 4.8
36.8 ± 5.0
VO2maks (ml/kg/menit)
39.7 ± 6.4
41.1 ± 6.0
40.3 ± 6.8
Deskripsi
40.8 ± 7.6
Nilai rataan VO2maks di atas tergolong sangat baik.
Total (n=338)
Berdasarkan
RHSFNS (2008) distribusi pekerja wanita menurut kategori VO2maks adalah sebagai berikut: 46.4% superior, 28.1% sangat baik, 15.1% baik, 10.1% sedang, dan 0.3% buruk.
Nilai rataan VO2maks yang baik pada pekerja wanita ini
membuktikan bahwa aktivitas sedang sampai aktif yang mereka lakukan secara rutin pada kondisi ruangan yang cukup panas dan bising dapat menjadikan
74 jantung-paru menjadi terlatih sehingga bekerja semakin efisien. Kalau dibandingkan sebaran antar ketiga posisi kerja, maka wanita pada posisi kerja duduk memiliki proporsi yang paling rendah pada kategori superior dan memiliki proporsi yang paling tinggi pada kategori sedang. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kebugaran fisik wanita pada posisi kerja duduk cenderung lebih rendah dibandingkan posisi lainnya. Hal ini juga membuktikan bahwa aktivitas fisik yang lebih aktif (berdiri dan atau berjalan) menghasilkan kerja jantung-paru yang lebih efisien dibandingkan dengan aktivitas fisik yang ringan (duduk).
Penelitian Eksperimental Karakteristik Pekerja WUS Pekerja WUS dengan kadar Hb marjinal yang berhasil mengikuti suplementasi dan memenuhi syarat inklusi selama 10 minggu berjumlah 34 orang. Terdapat 5 orang (13%) pekerja WUS yang gugur dikarenakan 3 orang hamil, dan 2 orang sakit. Mereka berasal dari grup BF dan MVM masing-masing dua orang, dan seorang dari grup P. Tidak ada perbedaan yang nyata dalam karakteristik fisik dan hematologik sebelum suplementasi antara 39 orang dengan 34 orang yang memiliki data lengkap (p = 0.45-0.97). Pada Tabel 19 dapat dilihat hasil uji beda beberapa karakteristik awal antara seluruh subyek (n=39) dengan subyek yang memiliki data lengkap hingga akhir penelitian (n=34). Tabel 19 Nilai rataan beberapa karakteristik fisik dan hematologik sebelum suplementasi Karakteristik Fisik Berat badan (kg) Tinggi badan (cm) Indeks Massa Tubuh (kg/m2) Rasio pinggang pinggul Lingkar lengan atas (cm) VO2maks (ml/kg/menit) Hematologik Hemoglobin (g/l) Hematokrit (%) Serum Feritin (ug/l) Serum transferin reseptor (mg/l) 1
p-value, hasil uji t
Seluruh subyek (n=39)
Subyek dengan data lengkap (n=34)
pvalue1
50.3±8.0 150.8±5.9 22.2±3.7 0.78±0.05 24.6±3.3 40.45±5.8
48.7±6.8 150.5±5.5 21.6±3.2 0.77±0.05 24.0±2.8 40.5±6.1
0.972 0.794 0.462 0.608 0.466 0.964
110.3±9.3 35.1±2.3 28.4±35.2 6.2±2.4
110.5±9.8 35.0±2.4 23.1±21.5 6.1±2.5
0.933 0.889 0.446 0.873
75 Subyek penelitian ini, pekerja WUS dengan Hb marginal, selanjutnya disebut sebagai pekerja WUS, yang dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini berjumlah 34 orang. Mereka dibagi menjadi tiga grup perlakuan yaitu BF (n=11), MVM (n=11) dan Plasebo (n=12).
Tidak ada perbedaan yang nyata antar grup
perlakuan dalam beberapa karakteristik sosial ekonomi yang diukur (p>0.05). Pada Tabel 20 disajikan data beberapa karakteristik sosial ekonomi pekerja WUS. Tabel 20 Beberapa karakteristik sosial ekonomi pekerja WUS (n=34) Deskripsi
Rataan
Umur (tahun) 30.9 Masa kerja di perusahaan (tahun) 10.6 Pendapatan Pekerja WUS (Rp/bulan) 1 932 559 Pendapatan Rumah Tangga (Rp/kap/bulan) 1 071 564 Pengeluaran Rumah Tangga (Rp/kap//bulan) 647 200 Pangan 298 567 Nonpangan 348 634 Rokok 38 980 Bahanbakar 67 319 Kesehatan 4 578 Kebersihan 17 890 Kosmetik 10 618 Pendidikan 11 101 Bajusepatu 21 553 Sosial 37 416 Tabungan 39 755 Transport 28 098 Komunikasi 16 858 Cicilan 34 222 Pembantu 15 343 Perbaikan rumah 4 902 Kontribusi Pekerja WUS ke pendapatan RT (%) 68.7 Persentase pengeluaran Rumah Tangga (%) Nonpangan 52.00 Pangan 48.00
SD 4.6 4.3 320 803 403 864 284 855 127 544 205 658 71 905 37 425 6 710 11 287 10 253 21 872 20 424 55 625 57 102 45 716 14 339 75 734 42 746 28 583 14.7 12.41 12.41
SD= standard deviation (simpangan baku)
Pekerja WUS sebagian besar berumur antara 21-30 tahun (47%), diikuti oleh umur 31-35 (35%), 36-40 tahun (15%) dan di atas 40 tahun (3%). Sebagian besar memiliki seorang anak (62%), selebihnya 23% belum memiliki anak, 12% memiliki dua orang anak, serta hanya ada satu orang (3%) yang memiliki lebih dari dua anak, Sebagian besar berpendidikan lulus SMP (44%) dan SMA (41%), selebihnya hanya lulus SD (15%). Masa kerja mereka di perusahaan sebagian
76 besar pada selang 10-15 tahun (41%), diikuti 5-10 tahun (33%), di atas 15 tahun (15%), dan di bawah 5 tahun (12%). Nilai rataan pendapatan pekerja WUS sebagaimana dapat dilihat dalam tabel di atas hampir dua setengah kali lipat dari upah minimum kabupaten (UMK) Kabupaten Lampung Tengah tahun 2010 sebesar Rp776.000 (berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Lampung Nomor G/001/III.05/HK/2010). Pendapatan mereka yang relatif tinggi tersebut dikarenakan setiap minggu mereka mendapatkan giliran kerja piket yakni datang lebih awal dari yang lain untuk bersih-bersih yang dihitung sebagai lembur. Setiap kelebihan bekerja selama minimal 30 menit dari 40 jam per minggu dihitung sebagai lembur yang upahnya dua kali lipat. Antara bulan November hingga Maret biasanya terjadi panen raya buah nanas dan karenanya mereka bisa bekerja hingga 10 jam per hari. Penelitian ini dilakukan pada saat panen raya nanas, karena itu pendapatan mereka jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rataan pendapatannya pada saat studi pendahuluan di bulan Juni sebesar Rp1 377 147.00. Pendapatan rumah tangga mereka hampir 70% disumbang oleh hasil kerja mereka. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa mereka merupakan pencari nafkah utama dalam rumah tangganya. Rumah tangga pekerja WUS sudah termasuk sejahtera, hal ini terlihat dari total pengeluaran rumah tangga mereka yang lebih kecil dari total pendapatan dan sudah tidak lagi didominasi oleh pengeluaran pangan. Pada tabel di atas terlihat ada perbedaan yang cukup tinggi antara pendapatan dengan pengeluaran, hal ini dikarenakan waktu pengambilan data pendapatan di atas adalah selama panen raya sedangkan pengambilan data pengeluaran pada saat panen biasa. Adanya surplus pendapatan dari pengeluaran pada rumah tangga mereka di musim panen raya tersebut sulit digali peruntukannya. Persentase pengeluaran pangan rumah tangga lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran nonpangan. Hal ini menunjukkan pertanda baik karena mereka telah mampu memenuhi pengeluarannya dan dapat menabung pendapatannya.
Persentase pengeluaran nonpangan yang tertinggi
adalah untuk bahan bakar 10.5%, diikuti oleh rokok 6.1%, tabungan 5.67%, sosial 5.4%, cicilan 5.3% dan transportasi 4.71%. Selanjutnya pengeluaran untuk baju dan sepatu, kebersihan, komunikasi, pendidikan serta pembantu rumah tangga masing-masing berkisar 2-4 persen.
Adapun pengeluaran untuk kosmetik,
77 perbaikan rumah dan kesehatan menempati posisi terakhir yakni masing-masing di bawah dua persen. Dapat dilihat bahwa mereka juga sudah memiliki kemauan untuk menabung dan mengeluarkan uang untuk kebutuhan sosial.
Namun
demikian rumah tangga mereka mengeluarkan uang cukup banyak untuk rokok dan membayar kredit.
Pengeluaran untuk rokok, yang bisa dipastikan hanya
dilakukan oleh suaminya, masih relatif tinggi yaitu sebesar 6.1% dari total pengeluaran mereka sebesar Rp647 200.00 per kapita per bulan. Pemberian Zat Gizi Mikro Pelaksanaan perlakuan yaitu pemberian zat gizi mikro atau suplementasi dilakukan di depan peneliti atau asisten peneliti setiap hari Selasa, Rabu dan Jum’at di balai pengobatan yang terletak di dekat pabrik. Hampir semua pekerja WUS
memiliki
telepon seluler, sehingga
memudahkan peneliti
dalam
berkomunikasi dengan mereka. Sehari sebelum jadual minum kapsul, mereka selalu diingatkan melalui pesan singkat ke telepon masing-masing. Selama suplementasi berlangsung, baik peneliti, asisten peneliti maupun pekerja WUS tidak mengetahui jenis yang diberikan karena semua suplemen dikemas dalam kapsul dengan warna dan ukuran yang sama. Waktu minum kapsul adalah sesudah makan siang, bagi yang kerja pagi, atau sesudah makan malam bagi yang kerja malam. Jika pada saat hari suplementasi ada yang tidak masuk kerja maka akan diganti pada hari lain setelah dia masuk.
Dengan
demikian kepatuhan minum kapsul suplemen semuanya 100%. Manfaat minum kapsul yang dirasakan pekerja WUS cukup bervariasi, paling banyak adalah merasa badan lebih enak dan bertenaga diikuti oleh nafsu makan bertambah. Berbagai manfaat minum kapsul yang dirasakan pekerja WUS sejak minggu ke-2 hingga ke-10 dapat dilihat pada Tabel 21. Manfaat minum kapsul yang dirasakan tersebut selain merupakan pengaruh dari perlakuan yang diberikan juga berasal dari adanya sugesti yang terbentuk selama suplementasi yaitu mereka mendapatkan vitamin yang berguna untuk meningkatkan kesehatan. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 21 bahwa selama minum kapsul nafsu makan bertambah, lebih banyak dilaporkan oleh grup P yang merasakan tubuhnya menjadi lebih sehat. Ini menunjukkan bahwa terbentuknya sugesti di awal saja dapat berpengaruh positif terhadap grup plasebo (plasebo
78 effect), bahkan pekerja WUS yang paling banyak melaporkan tidur jadi lebih nyenyak juga berasal dari grup P. Tabel 21 Sebaran pekerja WUS menurut manfaat minum kapsul yang dirasakannya selama sepuluh minggu Perlakuan
Biasa saja
Badan lebih segar dan kuat
Nafsu makan bertambah
Tidak mudah mengantuk
Rasa lelah berkurang
Tidur lebih nyenyak
BF
4
6
5
4
3
2
MVM
3
9
3
0
3
2
P
2
6
8
2
3
4
Status Gizi Antropometri Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan makanan. Indek masa tubuh (IMT) merupakan ukuran antropometri yang baik digunakan pada orang dewasa yang memberikan gambaran mengenai asupan gizi seseorang pada masa lampau. Lingkar lengan atas (LILA) mencerminkan simpanan energi berupa lemak di bawah kulit. Adapun rasio lingkar pinggang pinggul (RPP) menggambarkan simpanan lemak di bagian pinggang dan pinggul pada wanita dewasa. Pada Tabel 22 dapat dilihat status gizi antropometri pekerja WUS sebelum dan sesudah suplementasi. Secara umum tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan pada beberapa peubah status gizi antropometri sebelum perlakuan (p>0.05). Sebelum perlakuan, 12% pekerja WUS termasuk kurus (IMT<18.5 kg/m2), 70% normal, dan 18% gemuk (IMT>25 kg/m2). menjadi 6%, 73%, dan 21%.
Sesudah perlakuan, angka-angka tersebut
Sesudah perlakuan, BB dan IMT pada ketiga
perlakuan meningkat secara nyata (p<0.00-0.035), namun peningkatannya tidak berbeda nyata antar perlakuan (p>0.05).
Terjadinya peningkatan ini sesuai
dengan pernyataan pekerja WUS di atas bahwa selama perlakuan nafsu makan bertambah, sehingga IMT mereka naik. Peningkatan yang terjadi pada ketiga peubah tersebut dapat menjelaskan bahwa perlakuan yang dilakukan kepada pekerja WUS dapat diterima.
79 Tabel 22 Karakteristik antropometri pekerja WUS menurut perlakuan Karakteristik antropometri BF (n=11) MVM (n=11) P (n=12) p-value1 BB (kg) Sebelum 47.4±6.7 50.1±7.5 Sesudah 48.52±6.7 51.73±6.9 Δ BB 1.1±1.3 0.7±0.8 TB (cm) Sebelum 151.8±4.5 150.7±7.4 Sesudah 152.0±4.6 150.5±7.4 Δ TB 0.2±0.2 -0.3±0.2 IMT (kg/m2) Sebelum 20.6±2.8 22.5±3.4 Sesudah 21.02±2.8 22.93±3.5 Δ IMT 0.5±0.6 0.4±0.5 RPP Sebelum 0.76±0.05 0.76±0.04 Sesudah 0.732±0.03 0.75±0.04 Δ RPP -0.03±0.04 0.01±0.05 LILA (cm) Sebelum 23.1±2.7 24.9±3.0 Sesudah 23.6±2.5 24.6±2.7 Δ LILA 0.4±0.05 -0.3±1.2 1 p-value, hasil analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama 2,3 Berbeda nyata dari sebelum suplementasi (uji-t: 2p<0.01, 3p<0.05)
48.0±7.2 48.83±6.6 0.9±1.1
0.410 0.487 0.620
149.0±4.8 149.0±4.3 -0.03±0.2
0.475 0.426 0.085
21.6±3.2 22.13±3.3 0.4±0.5
0.361 0.400 0.952
0.78±0.05 0.76±0.03 -0.02±0.05
0.356 0.136 0.542
24.1±2.4 24.3±2.6 0.2±0.9
0.340 0.643 0.187
Asupan Zat Gizi dan Tingkat Kecukupan Gizi (%AKG) Asupan semua jenis zat gizi pekerja WUS sebelum dan selama perlakuan tidak berbeda nyata antar perlakuan. Pada Tabel 23 disajikan asupan zat gizi mereka. Dapat dilihat pada tabel tersebut bahwa asupan gizi selama perlakuan (kecuali vitamin C) dari total ketiga grup lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya.
Hal ini sesuai dengan respon di atas yang menyatakan nafsu
makannya bertambah sehingga selama perlakuan asupan gizinya meningkat. Meskipun asupan zat gizi (kecuali vitamin C) selama perlakuan meningkat, namun perbedaan yang nyata untuk asupan energi, protein, vitamin A dan kalsium selama perlakuan dibandingkan dengan sebelum perlakuan hanya ditunjukkan oleh grup P. Hal ini membuktikan adanya efek plasebo. Sebaliknya asupan Fe selama perlakuan pada grup BF dan MVM berbeda nyata, sedangkan pada P tidak berbeda nyata dibandingkan dengan sebelum perlakuan. Dengan demikian grup P yang tidak menerima suplemen Fe dapat diperkirakan status besinya sesudah perlakuan menurun, sebaliknya grup BF dan MVM meningkat. Secara keseluruhan rataan %AKG untuk energi sebelum perlakuan termasuk normal menjadi berlebih selama perlakuan, sedangkan untuk protein dari cukup menjadi normal. Pada Tabel 24 dapat dilihat tingkat kecukupan gizi pekerja WUS.
80 Tabel 23 Nilai rataan asupan zat gizi sebelum dan selama perlakuan Zat Gizi Energi (kkal) Sebelum Selama Δ Energi Protein (g) Sebelum Selama Δ Protein Vitamin A (RE) Sebelum Selama Δ Vit A Vitamin C (mg) Sebelum Selama Δ Vit C Fe (mg) Sebelum Selama Δ Fe Ca (mg) Sebelum Selama Δ Ca P (mg) Sebelum Selama ΔP 1 2,3
BF (n=11)
MVM (n=11)
P (n=12)
TOTAL (n=34)
pvalue1
1709±722 1692±345 -23.4±661.3
1596±560 1819±280 214.1±577.6
1454±531 18132±335 358.7±406.0
1582±599 17763±317 194.0±561.6
0.606 0.582 0.277
47.0±21.0 46.9±21.0 -0.6±23.0
45.2±18.9 48.5±6.6 2.8±19.1
36.1±13.0 47.93±12.3 11.8±15.5
42.56±18.0 47.8±10.3 5.2±19.5
0.300 0.935 0.320
823±1106 1815±1586 711±2200
997±1310 1639±834 296±1866
728±486 13902±607 438±785
846±991 16082±1062 762±1498
0.815 0.599 0.835
45.9±72.9 45.7±49.3 -0.12±78.9
43.6±55.0 32.4±35.4 -11.32±72.2
61.5±91.2 56.1±92.1 -5.42±58.7
50.7±73.3 45.0±63.7 -5.6±68.1
0.937 0.823 0.932
13.9±6.4 14.22±6.5 0.5±8.7
13.9±7.2 14.32±3.1 0.5±7.1
12.8±8.9 14.7±5.2 1.8±10.3
13.5±7.4 14.4±5.0 0.8±8.7
0.929 0.970 0.896
357.5±297.9 450.2±495.3 96.3±622.7
311.0±169.6 1276.5±1603.2 968.9±1634.3
246.7±143.4 865.23±964.7 488.6±934.2
303.4±211.3 863.92±1130.1 560.6±1163.2
0.601 0.235 0.212
535.4±300.3 1250.63±1024 715.1±996.8
597±304 826±610 541.7±1344.9
1077.9±2327.5 1059.4±1247 788.1±2750.7
747.3±1386.8 1045.8±989.6 298.6±1110.8
0.601 0.537 0.286
p-value, hasil analisis ragam antar tiga grup perlakuan pada baris yang sama Berbeda nyata dari sebelum perlakuan (uji-t: 2p<0.01, 3p<0.05) Meskipun rataan %AKG energi pekerja WUS sebelum perlakuan mencapai
kategori normal, namun jika ditinjau lebih lanjut sebagian besar yakni 47% belum mencapai kategori ini. defisit berat.
Bahkan 26.5% diantaranya pada kategori mengalami
Hal ini diperkirakan karena kebiasaan mengonsumsi makanan
sumber karbohidrat masih kurang yakni hanya 2.6 piring, sebagaimana dijelaskan di depan. Pada kelompok zat gizi mikro, baik sebelum maupun selama perlakuan untuk vitamin A dan fosfor termasuk berlebih. Sebaliknya untuk vitamin C dan Fe baik sebelum maupun selama perlakuan termasuk defisit berat (%AKG<70%), sedangkan Ca dari defisit menjadi normal. Nilai rataan %AKG tersebut di atas belum dapat menggambarkan %AKG yang sesungguhnya pada masing-masing individu.
81 Tabel 24 Tingkat kecukupan gizi (%AKG) pekerja WUS sebelum dan selama perlakuan menurut grup perlakuan Zat Gizi Energi Sebelum Selama Δ energi Protein Sebelum Selama Δ protein Vitamin A Sebelum Selama Δ Vit A Vitamin C Sebelum Selama Δ Vit C Fe Sebelum Selama Δ Fe Ca Sebelum Selama Δ Ca P Sebelum Selama ΔP
BF (n=11)
MVM (n=11)
P (n=12)
TOTAL (n=44)
pvalue1
104.2±43.8 102.8±24.2 -1.4±39.6
96.8±41.1 105.5±18.5 8.7±35.1
92.0±40.1 111.3±29.7 19.3±28.0
97.5±40.7 106.7±24.3 9.2±34.4
0.780 0.707 0.365
94.8±39.2 95.3±24.7 0.6±45.6
90.2±42.7 93.7±16.8 3.5±40.1
76.9±33.9 98.0±29.5 21.1±32.5
87.0±38.3 95.7±23.7 8.8±39.4
0.517 0.916 0.410
198.4±423.9 199.5±262.0 164.6±221.3 327.9±166.8 363.0±317.3 128.4±301.8
145.6±97.3 278.0±121.5 132.4±142.2
169.2±198.3 321.6±212.4 152.4±299.7
0.815 0.642 0.835
61.1±97.2 61.0±66.0 -0.1±105.2
58.2±73.4 43.1±47.2 -15.1±96.3
82.0±121.6 74.8±122.9 -7.2±78.3
67.5±97.7 60.12±84.9 -7.5±90.8
0.823 0.683 0.932
53.4±24.5 54.5±24.9 1.1±32.9
53.6±27.9 54.9±11.9 1.2±28.9
49.5±34.4 56.4±19.8 6.9±39.5
52.1±28.6 55.3±19.1 3.2±33.3
0.929 0.969 0.896
44.7±37.2 38.9±21.2 56.3±61.9 159.5±200.4 11.6±78.0 120.7±204.7
30.9±17.9 108.1±120.6 77.3±117.3
37.9±26.4 108.0±141.3 70.1±145.4
0.462 0.236 0.212
239.5±517.2 166.1±308.2 235.4±277.0 232.42±219.9 -4.1±316.2 66.3±246.8
0.601 0.616 0.286
119.1±66.8 132.8±67.7 277.9±227.8 183.6±135.7 158.8±221.3 50.8±162.7
1 2,3
p-value, hasil analisis ragam antar tiga grup perlakuan pada baris yang sama Berbeda nyata dari sebelum perlakuan (uji-t: 2p<0.01, 3p<0.05)
Pada Gambar 6 dapat dilihat distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan energi sebelum dan selama menerima perlakuan.
Pada gambar
tersebut dapat dilihat bahwa sebelum perlakuan cukup banyak yang %AKG untuk energi berada dalam kategori defisit berat, sedangkan yang sudah mencapai normal hingga berlebih hanya berkisar 50%. Selama perlakuan, hampir tidak ada lagi yang defisit berat energi. Selama perlakuan sebagian besar (73.5%) tingkat kecukupan energinya meningkat hingga pada kategori normal sampai berlebih.
82 Pada grup BF tidak ada lagi yang mengalami defisit energi. Hal ini sesuai dengan pernyataan mereka bahwa nafsu makannya bertambah selama perlakuan.
%
60 50 40 27
30 20
36
33 27
18
25
27
25
18 18 17
18 BF
9
10
MVM 0
0
P
0 <70 %
70-79 %
80-89 %
90-110 %
>110 %
a Sebelum Perlakuan
a Sebelum Perlakuan % 60 50
45
45 42
36
40
33 27
30
10
18
17
20 9
8
9
BF
9
MVM P
<70 %
70-79 %
80-89 %
90-110 %
>110 %
b Saat Perlakuan b Selama Perlakuan
Gambar 6 Distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan gizi (%AKG) energi sebelum dan selama perlakuan Demikian pula untuk protein, yang memiliki tingkat kecukupan normal hingga berlebih meningkat dari semula 47% menjadi 62% selama perlakuan, ditunjukkan pada Gambar 7. Peningkatan asupan energi dan protein di atas meskipun secara statistik tidak nyata, namun dilihat dari kategori %AKG menunjukkan ada perbaikan. Pada grup MVM tidak ada lagi yang mengalami defisit energi dan tidak ada lagi yang defisit berat protein.
83 % 60 50 50
45 36
40 27
30 20
18
18
18
25 18 18
17
BF 8
10 0
0
MVM
0
P
0 <70 %
70-79 %
80-89 %
90-110 %
>110 %
Sebelumperlakuan Perlakuan a aSebelum % 60 50
45
40 30 20
33 27
27 17
25
27 27
27
25
18 BF MVM
10
P <70 %
70-79 %
80-89 %
90-110 %
>110 %
b Saat Perlakuan
b Selama Perlakuan
Gambar 7 Distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan gizi (%AKG) protein sebelum dan selama perlakuan Untuk zat gizi mikro, asupan vitamin C, Ca dan zat besi sebagian besar pekerja baik sebelum maupun selama perlakuan berada dalam kategori defisit (%AKG<70%). Sebelum dan selama perlakuan sebagian besar (>60%) pekerja WUS mengalami defisit untuk vitamin C, Ca dan Fe. Bahkan untuk tingkat kecukupann Fe, jika semula 18% berada pada kategori normal atau berlebih, maka pada selama perlakuan turun tinggal menjadi 6%. Kemungkinan ini salah satu penyebab mereka mengalami anemia. Vitamin C berperan membantu penyerapan zat besi non-heme dengan merubah bentuk ferri menjadi bentuk ferro dan merupakan salah satu senyawa yang paling dikenal sebagai enhancher, yang mempengaruhi ketersediaan mineral besi usus.
Pada Tabel 25 dapat dilihat
distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan gizi mikro.
84 Tabel 25 Distribusi persentase pekerja WUS menurut tingkat kecukupan vitamin dan mineral Vitamin A
Kategori
Vitamin C
Kalsium
Fosfor
BF
MVM
P
BF
MVM
P
BF
MVM
P
BF
MVM
P
55 73
36 82
33 75
82 73
82 82
67 75
18 91
91 73
92 67
82 0
64 0
25 8
45 27
64 18
67 25
18 27
18 18
33 25
82 8
9 27
8 33
18 100
36 100
75 92
Defisit (<70%)
Sebelum Selama Tidak defisit (≥70%)
Sebelum Selama
Pada Tabel 25 dapat dilihat bahwa sebelum dan selama perlakuan pekerja WUS tidak memiliki asupan yang baik untuk zat gizi mikro. Jika dibandingkan dengan gizi makro yang asupannya meningkat selama perlakuan, maka tidak demikian halnya untuk asupan zat gizi mikro.
Hal ini membuktikan bahwa
konsumsi makanan pada kalangan mereka masih lebih diperuntukkan untuk menghilangkan rasa lapar saja, belum untuk memenuhi kebutuhan.
Hal ini
tercermin dari jenis bahan makanan dan frekuensi makan mereka yang belum sesuai dengan pedoman umum gizi seimbang sebagaimana disajikan pada Tabel 14 dan 15. Asupan vitamin A dan C yang rendah dapat berpengaruh terhadap metabolisme Fe.
Vitamin A merupakan salah satu vitamin yang diperlukan
untuk produksi sel darah merah secara normal, sementara vitamin C merupakan antioksidan yang berfungsi untuk melindungi sel darah merah matang dari kerusakan dini oleh oksidasi radikal bebas. Vitamin A dan vitamin C dapat mencegah anemia dengan meningkatkan penyerapan besi dari usus atau dengan membantu memobilisasi besi dari simpanan tubuh (Fishman et al. 2000). Sebagaimana dengan asupan vitamin A dan C, dapat dilihat bahwa sebagian besar pekerja anemia mengalami defisit zat besi baik pada waktu sebelum maupun selama perlakuan (Gambar 8). Hal ini mungkin termasuk faktor utama terjadinya anemia pada diri mereka. Rendahnya asupan vitamin A dan zat besi yang berasal dari makanan ini termasuk salah satu masalah nasional (Atmarita 2005). Dengan kebiasaan makan yang ada dan kegiatan fisik yang dimiliki pekerja WUS, sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan gizi mikro dari makanan. Oleh karena itu, untuk menangani anemi yang mereka alami perlu dilakukan suplementasi. Pada Gambar 8 dapat dilihat tingkat kecukupan gizi (%AKG) untuk besi mereka.
85 % 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
82 73 73 64
75
Sebelum
67
36
33
27 27 18
BF
MVM <70%
P
BF≥70% MVM
25
Selama Sebelum Selama Sebelum Selama
P
Gambar 8 Distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan gizi (%AKG) zat besi sebelum dan selama perlakuan Alokasi Waktu, Aktivitas Fisik dan Pengeluaran Energi Berbagai jenis dan lamanya aktivitas fisik yang dilakukan pekerja WUS dalam satu hari dapat digunakan untuk menghitung berapa banyak energi yang mereka keluarkan untuk beraktivitas. Alokasi waktu per hari mereka dapat dilihat pada Tabel 26. Pada Tabel 26 dapat dilihat jenis aktivitas pekerja WUS yang dapat digolongkan menjadi lima yaitu tidur, aktivitas pribadi, kerja rumah tangga, persiapan kerja dan bekerja. Kesemua jenis aktivitas tersebut reratanya antar perlakuan tidak ada yang berbeda nyata (p>0.05).
Mereka menghabiskan
sebagian besar waktunya dalam satu hari untuk bekerja yakni selama 9.65 jam. Kecapaian dalam bekerja mereka imbangi dengan menghabiskan waktu terbanyak berikutnya untuk tidur dan melakukan kegiatan-kegiatan pribadi yakni selama 6.36 jam dan 5.15 jam. Pada akhirnya mereka tidak mengalokasikan banyak waktu untuk melakukan pekerjaan rumah tangga.
Nilai rataan waktu yang
digunakan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga sebesar 1.69 jam, terutama dilakukan pada pagi hari. Selebihnya 1.19 jam per hari mereka manfaatkan untuk persiapan bekerja. Selanjutnya pada Gambar 9 dapat dilihat perbandingan alokasi waktu pekerja WUS per hari berdasarkan perlakuan
86 Tabel 26 Nilai rataan alokasi waktu untuk berbagai aktivitas yang dilakukan oleh pekerja WUS selama satu hari (jam) No Aktivitas 1 2
BF (n=11)
MVM (n=11)
Tidur 6.55±1.04 Aktivitas pribadi Tidur-tiduran 0.59±0.27 Mandi, shalat, 1.38±0.33 berpakaian Makan 0.86±0.55 Duduk santai 2.17±0.99 Pekerjaan rumah tangga Menyapu, masak 0.64±0.52 Mengepel 0.02±0.04 Menyetrika 0.25±0.40 Lainnya 0.74±0.53 Persiapan kerja Naik motor 0.00±0.00 Jalan 0.99±0.35 Berdiri tegak 0.05±0.08 Berdiri santai 0.03±0.05 aktivitas lain: Ringan 0.24±0.47 Sedang 0.00±0.00 Bekerja: sambil duduk 4.73±1.01 sambil berdiri 4.48±0.94 sambil berjalan 0.35±0.63
3
5
6
P (n=12)
Total (n=34)
.pvalue1
6.45±0.95 6.10±0.74 6.36±0.91
0.475
0.56±0.53 0.58±0.74 0.58±0.54 1.27±0.58 1.53±0.40 1.40±0.45
0.993 0.414
0.51±0.21 0.78±0.33 0.72±0.41 2.55±0.59 2.63±0.80 2.46±0.81
0.099 0.372
0.53±0.31 0.01±0.03 0.15±0.26 0.98±0.69
0.76±0.55 0.00±0.00 0.11±0.24 0.89±0.49
0.64±0.47 0.01±0.03 0.16±0.30 0.87±0.56
0.514 0.328 0.546 0.599
0.05±0.18 0.92±0.31 0.01±0.03 0.16±0.25
0.00±0.00 0.84±0.33 0.03±0.09 0.10±0.13
0.02±0.10 0.91±0.33 0.03±0.07 0.10±0.17
0.363 0.565 0.495 0.164
0.01±0.03 0.00±0.00 0.08±0.28 0.16±0.54 0.01±0.03 0.06±0.31
0.079 0.382
4.91±2.15 5.37±1.59 5.01±1.62 3.95±2.08 4.11±1.80 4.18±1.64 0.85±1.80 0.20±0.51 0.46±1.13
0.633 0.746 0.362
1
p-value, hasil analisis ragam antar tiga grup perlakuan pada baris yang sama
12.0 9.5 9.7 9.7
10.0
(jam)
8.0 6.6 6.5
6.1
6.0
5.0 4.9
5.5
4.0 1.6 1.7 1.8
2.0
1.3 1.3
BF (n=11) MVM (n=11) P (n=12)
1.0
0.0 Tidur
Pribadi
Rumah tangga
Persiapan kerja
Bekerja
Jenis Aktivitas
Gambar 9 Alokasi waktu pekerja WUS per hari pada berbagai aktivitas
87 Berdasarkan jenis dan lamanya aktivitas yang dilakukan oleh pekerja WUS dapat dihitung pengeluaran energi mereka per hari. Perhitungan pengeluaran energi mereka selama perlakuan yakni pada minggu ke sembilan suplementasi dapat dilihat pada Tabel 27. Nilai rataan pengeluaran energi selama perlakuan yang merupakan kebutuhan energi pekerja WUS yang sesungguhnya lebih tinggi dibandingkan dengan asupan energinya meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Ini menunjukkan bahwa meskipun asupan selama perlakuan lebih tinggi dibandingkan sebelumnya, tetapi tetap belum bisa memenuhi kebutuhan rielnya. Pada
Gambar 10 dapat dilihat perbandingan antara asupan dan pengeluaran
energi per hari pada pekerja WUS.
2500 2000
2283
2150 1693
1819
2159 1813
1500 1000 Asupan
500
Pengeluaran 0 BF
MVM
P
Gambar 10 Perbandingan antara asupan dengan pengeluaran energi pekerja WUS pada saat perlakuan Jika dibandingkan dengan kebutuhan rielnya pada pekerja WUS maka kekurangan asupan energi untuk grup BF sebesar 457 kkal, MVM 464 kkal dan P 346 kkal. Sebagai pekerja yang aktif, kebutuhan energi pekerja WUS selama bekerja seharusnya terpenuhi karena akan mempengaruhi produktivitas kerjanya. Kebutuhan energi pekerja WUS selama bekerja kurang lebih selama sembilan jam adalah 35-40% dari kebutuhan per hari atau kurang lebih 750-950 kkal. Kekurangan energi seyogyanya dapat diatasi dengan menambah porsi makan makanan yang padat energi pada saat istirahat makan siang atau makan extra fooding di malam hari.
Penambahan porsi makanan padat energi juga harus
diikuti dengan makanan sumber zat besi dan vitamin C yang masih defisit pada
88 sebagian besar pekerja WUS. Namun demikian berdasarkan keterangan lisan yang diperoleh, sebagian besar meraka bahkan malas makan pada saat istirahat makan karena merasa sangat capai dan inginnya segera istirahat dengan tidurtiduran di camp. Untuk itu diperlukan pula suatu usaha lain yang dapat meningkatkan perilaku makan makanan seimbang pada para pekerja WUS, antara lain melalui penyuluhan sadar gizi. Pada Tabel 27 dapat dilihat bahwa total pengeluaran energi antar perlakuan tidak berbeda nyata.
Hal ini bisa dimengerti karena semua pekerja WUS
menghabiskan waktu terbanyak untuk bekerja pada rentang waktu dan intensitas kerja yang hampir sama. Aktivitas yang mereka lakukan dalam rumah tangganya baik sebelum kerja maupun setelah pulang kerja juga tidak berbeda nyata. Kelelahan dalam
bekerja di pabrik membuat mereka rata-rata tidak banyak
melakukan pekerjaan rumah tangga (Tabel 26). Pemeriksaan Darah Pemeriksaan laju endap darah (LED) dan hitung darah lengkap (complete blood count) dilakukan untuk memberikan informasi kemungkinan adanya gangguan kesehatan serta jumlah sel-sel darah sebagai petunjuk untuk mengetahui tipe anemia. Pada Tabel 28 dapat dilihat hasil analisis LED dan hitung sel darah. Pemeriksaan LED bermanfaat untuk mengikuti perjalanan penyakit, jika dilakukan secara berulang dapat digunakan untuk memonitor keberhasilan terapi atau pengobatan. Hasil analisis untuk laju endap darah (LED) 1 jam dan 2 jam sebelum perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan. Nilai rataan LED 1 jam dan 2 jam sebelum perlakuan cukup tinggi yakni 26.2 ml/jam
dan
49.6
ml/jam,
ini
merupakan
kesehatan (infeksi) dalam tubuh pekerja WUS.
indikasi
adanya gangguan
Hal ini dapat mempengaruhi
pengukuran feritin, dimana pada sampel yang mengalami infeksi kadar feritin cenderung tinggi sehingga tidak menggambarkan simpanan besi tubuh secara tepat (WHO 2005).
Namun demikian berdasarkan analisis statistik, korelasi
antara LED dengan kadar feritin tidak nyata (r=-0.118 dan p=0.506), sehingga kadar feritin yang tinggi pada beberapa pekerja WUS bukan hanya disebabkan oleh LED yang tinggi.
89
Tabel 27 Pengeluaran energi pekerja WUS selama perlakuan Deskripsi
BF
MVM (n=11)
(n=11)
P
Total (n=34)
p-value1
(n=12)
Total energi aktivitas (kkal/kg BB)
15.2±1.2
15.57±1.77
14.9±1.4
15.21±147
0.581
Berat badan (kg)
48.5±6.7
51.7±6.9
48.8±6.6
48.8±6.6
0.487
731.6±79.5
804.2±141.2
727.7±116.0
753.7±117.1
0.225
BMR (kkal/hari)
1 223±91
1 271±67
1 235±86
1 243±82
0.370
SDA (kkal/hari)
195.5±15.8
207.5±19.7
196.3±18.4
199.7±18.4
0.228
Total Pengeluaran Energi (kkal/hari)
2 150±174
2 283±217
2 159±202
2 196±202
0.227
Total pengeluaran energi aktivitas (kkal/hari)
1
p-value, hasil analisis ragam antar tiga grup perlakuan pada baris yang sama BMR = basal metabolism rate (rataan energi metabolisme basal) SDA = specific dynamic action (energi yang digunakan khusus untuk proses pencernaan)
89
90 Pada penderita anemia LED cenderung tinggi seiring dengan rendahnya Hb. Sesudah perlakuan, LED pekerja WUS pada semua perlakuan turun (p<0.05), namun perbedaan penurunan LED antar perlakuan tidak berbeda nyata. Nilai rataan LED 1 jam dan 2 jam menjadi 12.4 ml/jam dan 25.1 ml/jam. Ini mendekati standar normal (10-20 ml/jam) dan berarti menunjukkan terjadi perbaikan kesehatan melalui pemberian zat gizi mikro. Tabel 28 Hasil analisis laju endap darah (LED) dan darah lengkap sebelum dan sesudah perlakuan Deskripsi LED 1 jam (ml/jam) Sebelum Sesudah Δ LED1
LED 2 jam (ml/jam) Sebelum Sesudah Δ LED2
Leukosit (x103/ul) Sebelum Sesudah Δ leukosit Trombosit (x103/ul) Sebelum Sesudah Δ trombosit
Eritrosit (x106/ul) Sebelum Sesudah Δ eritrosit
MCV (fl) Sebelum Sesudah Δ MCV
MCH (pg) Sebelum Sesudah Δ MCH
MCHC (%) Sebelum Sesudah Δ MCHC 1
BF
MVM
P
p-value1
27.27±17.67 12.453±8.87 -14.82±18.73
27.18±19.75 12.643±5.08 -14.55±21.01
24.33±10.94 12.252±8.06 -12.08±13.42
0.887 0.992 0.921
51.09±26.83 26.643±17.07 -24.45±29.15
49.27±29.64 25.553±9.53 -23.73±31.65
48.67±20.07 23.422±10.75 -25.25±22.34
0.973 0.829 0.991
6.45±0.97 7.00±1.15 0.55ab±1.24
7.15±1.58 6.85±1.46 -0.29a±1.50
6.75±1.74 8.103±2.04 1.35b±1.64
0.544 0.143 0.041
279.09±71.73 272.9a±64.5 -6.18a±77.68
250.91±35.13 262.5a±37.67 11.55ab±26.05
283.92±65.26 331.73b±55.97 47.83b±70.42
0.39 0.009 0.124
4.47±0.47 4.833±0.46 0.36±0.52
4.32±0.48 4.752±0.45 0.43±0.20
4.26±0.38 4.562±0.30 0.31±0.20
0.523 0.299 0.682
76.80±8.87 80.05±7.32 3.25±8.09
82.78±8.15 84.60±7.00 1.82±3.93
83.59±7.32 83.49±6.71 -0.10±1.13
0.112 0.296 0.306
24.36±3.98 26.02±3.26 1.65±3.75
26.19±3.13 27.22±2.61 1.03±1.61
26.42±3.22 26.74±3.06 0.33±0.59
0.318 0.643 0.407
31.56±1.75 32.38±1.29 0.82±1.63
31.59±1.28 32.13±0.80 0.54±1.12
31.51±1.51 31.93±1.602 0.43±0.45
0.991 0.707 0.708
p-value, hasil analisis ragam antar tiga grup perlakuan pada baris yang sama 2,3 Berbeda nyata dari sebelum perlakuan (uji-t: 2p<0.01, 3p<0.05) a,b Huruf yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan (uji ANOVA, p>0.05)
91 Standar normal jumlah sel darah yang ditetapkan untuk wanita oleh BPPK Depkes (2008) adalah eritrosit
4.0–5.2 juta/μl, leukosit 5.7–10.1 ribu/μl,
trombosit 193.5–354.5 ribu/μl, MCV 96-108 fl, MCHC 33-36%. Pada Tabel 28 dapat dilihat jumlah leukosit, trombosit dan eritrosit sebelum dan sesudah perlakuan pada semua grup termasuk normal, meskipun hanya grup P yang mengalami peningkatan leukosit dan trombosit secara nyata.
Untuk eritrosit,
sesudah perlakuan semua grup mengalami kenaikan secara nyata, namun peningkatannya tidak berbeda antar perlakuan. Adapun jika dilihat dari nilai MCV, MCH, dan MCHC sebelum perlakuan, maka dapat dinyatakan bahwa pekerja WUS sebelum dan sesudah perlakuan termasuk mengalami anemia mikrositik hipokromik (ukuran dan warna sel darah merah di bawah normal). Nilai MCV dan MCHC yang di bawah nilai normal (mikrositik dan hipokronik) sebelum dan sesudah perlakuan terjadi pada ketiga grup menunjukkan bahwa anemia mereka memang disebabkan oleh kekurangan zat besi, ini memperkuat alasan perlunya dilakukan pemberian zat besi. Tipe anemia yang dialami oleh pekerja WUS tersebut sama dengan hasil Riskesdas 2007 (BPPK Depkes 2008) yang menemukan bahwa tipe anemia yang paling banyak dijumpai adalah mikrositik hipokromik yakni pada wanita dewasa sebesar 59.9% dan pada wanita hamil 59%. Tipe anemia ini terbanyak ditemui pada anak-anak yaitu hingga 70%. Sesudah perlakuan nilai MCV, MHC, dan MCHC beranjak naik (kecuali MCV pada grup P), hal ini mencerminkan bahwa perlakuan yang diberikan dapat diterima atau tidak ada penolakan di dalam tubuh pekerja WUS. Namun demikian kenaikan tersebut belum mampu sepenuhnya memperbaiki kesehatan darah mereka karena masih tetap di bawah standar normal. Status Besi Zat besi dalam saluran cerna tubuh diangkut oleh transferin mukosa dan dalam aliran darah diangkut oleh transferin reseptor. Banyaknya serum transferin reseptor (STfR) mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan besi seluler dan pasokan besi. Bentuk simpanan besi dalam tubuh adalah feritin atau hemosiderin dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Feritin yang bersirkulasi dalam darah mencerminkan simpanan besi di dalam tubuh. Pengukuran feritin di serum (SF) merupakan indikator penting untuk menilai status besi
(IOM-FNB 2001).
92 Sebagian simpanan besi akan dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti pembentukan hemoglobin. Hemoglobin merupakan bagian sel darah merah yang berfungsi mengangkut oksigen melalui aliran darah dari paru-paru ke jaringan tubuh yang lain dan merupakan indikator utama untuk menunjukkan tingkat kekurangan zat besi. Adapun hematokrit adalah perbandingan sel darah merah terhadap volume darah total (Gibson 2005). Hemoglobin dan Hematokrit Nilai rataan kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) pekerja WUS sebelum perlakuan adalah 110 g/l dan 35.0%. Ini lebih rendah dibandingkan dengan selama studi pendahuluan sebesar 112 g/l (p=0.12) dan 35.9% (p=0.005) (Lampiran 5). Ini mengindikasikan bahwa dalam kurun waktu empat (4) bulan status anemia mereka tidak berubah oleh karena itu memang mereka perlu diberi suplemen Fe. Sesudah suplementasi rataan Hb dan Ht menjadi 125 g/l dan 38.8% Kategori status anemia sebelum perlakuan adalah anemia sedang 18%, ringan 64%, dan sisanya di ambang batas normal 18%.
Sesudah perlakuan
menjadi anemia sedang 3%, anemia ringan 18%, ambang batas normal 26%, dan normal (Hb>125 g/l) 53%. Kadar Hb dan Ht sebelum dan sesudah perlakuan antar ketiga perlakuan tidak berbeda nyata. Namun demikian sesudah perlakuan semua pekerja WUS mengalami peningkatan Hb dan Ht secara nyata dibandingkan sebelumnya.
Pada Tabel 29 dapat dilihat hasil analisis kadar Hb
dan Ht sebelum dan sesudah perlakuan. Tabel 29 Kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) menurut grup perlakuan Peubah Respon Hb (g/l) Sebelum Sesudah Δ Hb Ht (%) Sebelum Sesudah Δ Ht 1
BF (n=11)
MVM (n=11)
P (n=12)
.p-value1
107.5±11.3 125.72±4.5 18.2 a ±11.6
112.0±7.4 128.62±8.7 16.4 a ±7.3
111.7±10.5 121.32±10.1 9.6 b ±4.0
0.499 0.114 0.039
33.9±2.1 38.42±1.5 4.5±3.1
35.6±2.6 39.92±2.8 4.3±2.4
35.4±2.3 38.12±2.0 2.7±1.6
0.188 0.117 0.166
p-value, hasil analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama Berbeda nyata dari sebelum perlakuan (uji-t: 2p<0.01, 3p<0.05) a,b Huruf yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan (uji ANOVA, p>0.05)
2,3
93 Implikasi dari hasil analisis ini adalah bahwa pekerja WUS cenderung berada pada kondisi yang sama, dimana pada awalnya sebelum diberi perlakuan Hb mereka tidak berbeda nyata dan sesudah perlakuan pun tetap tidak berbeda nyata.
Perbedaan hanya pada selisih peningkatan Hb di mana selisih antar
perlakuan untuk Hb berbeda nyata (p<0.05), namun untuk Ht tidak nyata (p>0.05) (Lampiran 6). Kadar Hb berkisar 3.57 (3.03-4.33) kalinya Ht dan korelasi antar keduanya sangat tinggi (r=0.847, p=0.00); maka untuk analisis lebih lanjut (deskriptif) hanya dilakukan pada Hb. Meskipun Hb meningkat, pada grup MVM dan P masih ada yang tetap anemia masing-masing sebanyak 27% dan 33%, sedangkan pada BF tidak ada lagi yang anemia. Secara total, pekerja WUS yang anemia tinggal 21%. Persentase peningkatan Hb dan Ht tertinggi pada BF yaitu 17% dan 13%, diikuti MVM 15% dan 12% serta P 9% dan 8%. Berdasarkan uji ANOVA dan uji lanjut Duncan didapatkan hasil bahwa selisih Hb pada BF dan MVM berbeda nyata dengan selisih Hb pada P, namun antar keduanya tidak berbeda nyata. Meskipun peningkatan Hb pada MVM lebih rendah dibandingkan BF namun perbedaannya tidak nyata sehingga dapat dikatakan bahwa BF dan MVM sama baiknya dalam meningkatkan Hb. Peningkatan Hb pada BF dan MVM di atas lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian dengan subyek remaja putri yang dilakukan oleh Ahmed et al. (2005) sebesar 6.2 g/l dan 6.3 g/l. Demikian pula jika dibandingkan Briawan (2008), dengan memberikan BF dan B-MV (besi + multivitamin) dapat meningkatkan Hb remaja wanita (late adolescent) sebesar 11.2 g/l dan 10.5 g/l. Peningkatan kadar Hb yang terjadi pada plasebo mungkin karena selama perlakuan terjadi peningkatan asupan energi 358 kkal, protein 11.8 g, dan zat besi 1.9 mg. Peningkatan tersebut lebih tinggi dibandingkan pada BF berturut-turut sebesar -23.4 kkal, -0.6 g dan 0.4 mg; serta pada MVM sebesar 214 kkal, 2.7 g, 0.5 mg. Selain itu, dengan minum kapsul muncul sugesti yang membuat tubuh secara alami mampu meningkatkan kadar Hb (plasebo effect).
Meskipun
meningkat, secara statistik peningkatan Hb pada P tersebut lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan pada BF (p<0.05) dan MVM (p<0.10). Selisih bersih Hb pada BF dan MVM jika dikoreksi dengan P adalah 8.6 g/l (8%) dan 6.8
94 g/l (6%). Ini lebih tinggi dibandingkan dengan selisih bersih BF dan B-MV berkisar 2—3 g/l dalam Briawan (2008). Pada Gambar 11 dapat dilihat kenaikan Hb dan Ht sesudah perlakuan. 20%
Persentase Kenaikan
17% 16%
15% 14% 12%
12% 9%
8%
8% 4%
Selisih Hb Selisih Ht
0% BF
MVM
P
Gambar 11 Peningkatan Hb dan Ht sesudah perlakuan Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa persentase peningkatan Hb yang lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan Ht terjadi pada semua grup dan kenaikan yang tertinggi terjadi pada grup BF. Ini mengindikasikan bahwa dengan kadar zat besi dua kali lipat dibandingkan MVM (kadar asam folat yang sama), BF dapat diprioritaskan kepada penderita anemia agar kadar Hb-nya lebih cepat naik.
Selain itu juga membuktikan bahwa bahwa penggunaan zat besi pada
MVM, meskipun dosisnya hanya separo BF, namun lebih efektif karena dilengkapi dengan beberapa vitamin dan mineral lainnya yang membantu metabolisme besi dalam tubuh.
Namun demikian keberadaan beberapa jenis
mineral juga dapat mengganggu metabolisme zat besi tubuh sehingga kurang dapat meningkatkan Hb. Hal ini seperti yang dilaporkan dalam penelitian yang dilakukan Craige et al. (2004), membuktikan bahwa suplementasi Fe (60 mg Ferous sulfat) secara tunggal enam kali per minggu terhadap wanita usia subur yang anemia berumur 28.6±7.8 tahun, nyata lebih efektif dalam meningkatkan Hb dibandingkan dengan suplemen Fe yang ditambah dengan multivitamin dan mineral (MVM). Diduga hal ini karena selain besi, zat gizi lain yang ada dalam suplemen
MVM
yaitu
kalsium,
magnesium
dan
seng
dapat
mengganggu penyerapan zat besi. Dalam penelitian ini MVM juga mengandung
95 mengandung seng namun dosisnya yang tidak melebihi yang dianjurkan. Hal yang sama telah dilakukan oleh Ahmed (2005) membuktikan bahwa suplementasi dengan BF dua kali per minggu selama 12 minggu dapat lebih nyata meningkatkan status hematologi remaja putri yang mengalami anemia dibandingkan dengan MVM.
Faktor lain yang mungkin berperanan dalam
pembentukan hemoglobin namun tidak diukur dalam penelitian ini antara lain adalah pada proses metabolisme yang terdiri dari lima tahap yaitu penyerapan, transportasi, pemanfaatan/pengawetan, penyimpanan dan ekskresi. Serum Ferritin, Transferin Reseptor dan Simpanan Besi Sebelum perlakuan kadar SF, STfR dan simpanan besi pekerja WUS tidak berbeda nyata, sedangkan sesudah perlakuan semua menjadi berbeda nyata antar perlakuan (Lampiran 8). Meskipun semua grup mengalami perubahan, sesudah perlakuan hanya kadar SF pada grup BF saja yang berbeda nyata dengan sebelum perlakuan (p<0.05). Pada Tabel 30 dapat dilihat kadar SF, STfR dan jumlah zat besi dalam tubuh pekerja WUS. Tabel 30 Kadar SF, STfR dan jumlah Fe dalam tubuh menurut grup perlakuan BF (n=11)
MVM (n=11)
P (n=12)
.p-value1
23.9±20.2 34.033a ±22.1 10.1±16.8
28.7±26.6 31.2 a ±15.7 2.4±23.4
17.0±17.4 16.6 b ±13.9 -0.5±23.9
0.405 0.031 0.511
6.0±1.7 7.4a ±2.2 1.4±3.1
5.8±2.3 5.7 b ±1.5 -0.2±1.9
6.3±3.3 8.0 a ±2.2 1.0±2.7
0.902 0.028 0.237
Fe dalam tubuh (mg/kg) 2.2±3.1 Sebelum 3.2a±3.8 Sesudah 1.0±3.0 Δ simpanan Fe
3.2±4.0 4.2a±2.4 1.0±2.6
1.3±3.5 0.4b±3.0 -0.8±3.8
0.449 0.019 0.298
Peubah Respon SF (ug/l) Sebelum Sesudah Δ SF STfR(mg/l) Sebelum Sesudah Δ STfR
1
p-value, hasil analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama Berbeda nyata dari sebelum perlakuan (uji-t: 2p<0.01, 3p<0.05) a,b Huruf yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan (uji ANOVA, p>0.05)
2,3
Perubahan kadar SF terbesar sesudah perlakuan terjadi pada BF yakni naik sebesar 42% (p<0.05). Pada MVM, kenaikan SF hanya sebesar 8.4%, berarti
96 dosis MVM dapat digunakan untuk menaikkan Hb dan Ht secara nyata namun tidak untuk menaikkan SF secara nyata. Hal ini dikarenakan sebagian besar asupan zat besi digunakan terutama untuk pembentukan hemoglobin di mana antara 60 sampai 80 persen besi dalam tubuh manusia terdapat pada Hb. Setelah kebutuhan untuk Hb terpenuhi maka asupan Fe baru akan digunakan untuk pembentukan ferritin sebagai bentuk simpanan zat besi dalam tubuh. Adapun pada P terjadi penurunan kadar SF setelah perlakuan, namun secara statistik penurunan tersebut tidak nyata. Penurunan SF pada grup P (-2.8%), terjadi pada sebagian besar (60%) pekerja WUS anemia. Apabila dikoreksi dengan P maka BF dapat meningkatkan SF 45%; sedangkan MVM dapat meningkatkan SF 12% pada pekerja WUS yang semula berkadar Hb marginal. Secara statistik nilai SF sesudah perlakuan berbeda nyata antar perlakuan namun rataan selisih SF antar perlakuan tidak berbeda nyata. Oleh karena itu analisis selisih SF dilanjutkan dengan ANCOVA. Pekerja WUS yang mengalami kekurangan zat besi dapat diidentifikasi dari yang memiliki kadar SF<15 ug/l. Sebelum perlakuan cukup banyak pekerja WUS dapat digolongkan telah mengalami kekurangan zat besi, yaitu pada BF 45%, MVM 36% dan P 75%. Sesudah perlakuan jumlah ini menurun pada semua grup, namun demikian pada P penurunannya relatif kecil, sehingga sebagian besar masih tetap mengalami kekurangan zat besi.
Persentase penurunan jumlah
pekerja WUS yang semula mengalami kekurangan zat besi berturut-turut pada BF, MVM dan P adalah sebesar 40%, 50% dan 22%. Pada Gambar 12 dapat dilihat hasil analisis kadar SF sebelum dan sesudah perlakuan. Pengujian selisih kadar SF sesudah perlakuan selanjutnya dilakukan menggunakan ANCOVA dengan memasukkan peubah pengganggu yang diduga mempengaruhi selisih SF sesudah perlakuan. Peubah tersebut adalah kadar Hb, SF dan STfR awal, lama kerja, IMT awal, pengeluaran energi, serta asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, fosfor dan zat besi. Berdasarkan uji ANCOVA menunjukkan bahwa selisih kadar SF sesudah perlakuan dipengaruhi oleh perlakuan (p=0.032), kadar SF sebelum perlakuan (p=000), kadar STfR sebelum perlakuan (p=0.043), serta asupan zat besi selama perlakuan (p=0.001). Adapun peubah lainnya tidak berpengaruh nyata terhadap selisih SF. Selisih SF
97 sesudah perlakuan (adjusted) yang diestimasi dengan menggunakan seluruh peubah pengganggu di atas pada BF, MVM dan P masing-masing menjadi 10.5 ug/l, 6.7 ug/l dan -4.7 ug/l. Koreksi terhadap nilai SF sesudah perlakuan tersebut
n (%)80
75.0
70 60 50
45.5 36.4
40
36.4
36.4 27.3
30 18.2
20
16.7
BF 8.3
10
MVM P
0 < 15 ug/l
15-30 ug/l
>30 ug/l
a Kadar SF sebelum perlakuan
70
63.6 58.3
60
45.5
n (%)
50 36.4
40 30 20
27.3
25.0 18.2
16.7 9.1
BF MVM
10
P
0 < 15 ug/l
15-30 ug/l
>30 ug/l
b Kadar SF sesudah perlakuan
Gambar 12 Distribusi pekerja WUS menurut kadar SF sebelum (a) dan sesudah perlakuan (b) menghasilkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (p=0.032) dengan nilai R2=0.666 (R2 adjusted=0.606). Ini berarti selisih kadar SF 61% dipengaruhi oleh perlakuan, kadar SF dan STfR sebelum perlakuan, serta asupan Fe selama perlakuan. Pada uji lanjut dengan LSD dapat dilihat bahwa selisih SF antara grup BF dengan P nyata, sedangkan antara grup BF dengan MVM serta antara grup MVM dengan P tidak nyata dapat dilihat pada Lampiran 9. Kadar SF sebelum perlakuan dan asupan zat besi dari makanan berkorelasi negatif terhadap selisih kadar SF, hal ini berarti bahwa peningkatan kadar SF lebih
98 tinggi pada pekerja WUS yang sebelum perlakuan kadar SF dan asupan besinya lebih rendah dibandingkan dengan yang kadar SF dan asupan besinya lebih tinggi. Selain itu, pada pekerja WUS yang asupan besinya rendah maka ternayata penyerapan zat besi yang berasal dari suplemen jadi lebih efisien. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Angeles-Agdeppa et al. (1997) yang menyatakan bahwa peningkatan SF pada remaja putri yang mendapatkan suplemen besi selama delapan minggu pertama lebih tinggi dibandingkan pada empat minggu berikutnya. Peningkatan kadar SF yang tinggi dapat menjadi nol pada saat konsentrasi SF sudah mencapai 40-60 ug/l, meskipun dosis pemberian SF ditambah. Adapun kadar STfR sebelum perlakuan berkorelasi positif dengan selisih SF, hal ini mengindikasikan bahwa STfR sebelum perlakuan yang sudah tinggi ikut membantu proses metabolisme besi yang berasal dari suplemen dalam pembentukan SF. Pada penelitian Briawan (2008), selisih kadar SF remaja putri yang mendapatkan suplemen besi hanya dipengaruhi oleh kadar SF sebelum perlakuan. Berbeda dengan kadar SF, perubahan kadar STfR terbaik terjadi pada MVM dimana sesudah perlakuan kadar STfR pada MVM turun dan berbeda nyata dengan BF dan P. Ini menunjukkan adanya perbaikan transportasi besi dalam jaringan tubuh MVM dan sebaliknya kurang terjadi pada BF dan Plasebo. Hal ini dimungkinkan karena MVM dilengkapi dengan beberapa vitamin dan mineral yang berperan dalam metabolisme zat besi dan interaksi antar zat tersebut memungkinkan adanya perbaikan transportasi zat besi dalam tubuh.
Namun
demikian, selisih kadar STfR tidak berbeda nyata antar perlakuan. Pengujian selisih kadar STfR selanjutnya dilakukan menggunakan ANCOVA
dengan
memasukkan
peubah
pengganggu
yang
mungkin
mempengaruhi selisih kadar STfR sebagaimana pada uji ANCOVA untuk selisih kadar SF di atas. Berdasarkan uji ANCOVA didapatkan bahwa selisih kadar STfR secara nyata dipengaruhi oleh perlakuan (p=0.020), kadar Hb sebelum perlakuan (p=0.008) serta kadar STfR sebelum perlakuan (p=0.000).
Selisih
kadar STfR (adjusted) yang diestimasi dengan menggunakan seluruh peubah pengganggu tersebut pada BF, MVM dan P masing-masing menjadi 1.056 mg/l, -0.204 mg/l dan 1.964 mg/l. Dengan selisih nilai tersebut menghasilkan kadar
99 STfR sesudah perlakuan yang semuanya masih dalam standar normal menurut Enhart et al. (2004). Koreksi terhadap selisih kadar STfR tersebut menghasilkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (p=0.020) dengan R2=0.647 (R2 adjusted=0.504). Hal ini berarti bahwa 50% selisih kadar STfR dipengaruhi oleh perlakuan serta kadar Hb dan kadar STfR sebelum perlakuan; sedangkan yang 50% lainnya dipengaruhi oleh peubah lain. Pada uji lanjut dengan LSD didapatkan bahwa perbedaan selisih kadar STfR berbeda nyata antara grup MVM dengan P, namun perbedaannya tidak nyata antara grup BF dengan MVM serta antara grup BF dengan P (Lampiran 10). Selisih kadar STfR pada BF dan P positif, hal ini berarti telah terjadi peningkatan transportasi dan mobilisasi zat besi pada kedua grup. Sebaliknya selisih kadar STfR pada grup MVM negatif yang berarti terjadi penurunan transportasi dan mobilisasi zat besi tubuh.
Hal ini
menunjukkan bahwa metabolisme besi pada pekerja WUS yang menerima MVM mengalami perbaikan, kemungkinan karena MVM dilengkapi dengan vitamin dan mineral yang berfungsi dalam metabolismen besi. Hal yang sama dihasilkan oleh Briawan (2008), bahwa remaja putri yang menerima suplemen besi dan multi vitamin mengalami penurunan STfR yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang hanya menerima besi dan asam folat.
Selain itu, kadar STfR
setelah
perlakuan dipengaruhi oleh Hb dan STfR sebelum perlakuan sama dengan yang ditemukan dalam penelitian ini. Kadar Hb dan STfR sebelum perlakuan dalam penelitian ini berkorelasi negatif dengan selisih kadar STfR. Ini berarti bahwa semakin rendah Hb dan STfR sebelum perlakuan semakin tinggi STfR sesudah perlakuan, yang berarti semakin banyak simpanan zat besi yang ditransportasikan ke jaringan tubuh. Adapun peubah lainnya tidak berpengaruh nyata terhadap Hb sesudah perlakuan. Berdasarkan kadar SF dan STfR dapat dihitung kemudian jumlah besi dalam tubuh dengan menggunakan formula Cook et al. (2003). Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa jumlah besi tubuh sebelum perlakuan tidak berbeda nyata, namun sesudah perlakuan berbeda nyata antar perlakuan. Jumlah besi dalam tubuh pada BF dan MVM mengalami peningkatan sebesar 43% dan 32%, sedangkan pada P mengalami penurunan hingga 67%. Meskipun demikian selisih antara sebelum dan sesudah perlakuan tidak berbeda nyata antar perlakuan. Jika
100 dilihat dari jumlah besi tubuh sesudah perlakuan, maka pada BF dan MVM jumlah besinya mendekati rataan jumlah besi dari 409 wanita berusia 20 sampai dengan 45 tahun di Amerika sebesar 4.87±4.14 mg/kg (Cook 2003). Adapun pada grup P menunjukkan adanya defisit besi pada jaringan tubuh, meskipun belum sampai di bawah 0 mg/kg. Namun, jika dilihat dari jumlahnya yang mengalami penurunan sesudah perlakuan, maka besi tubuhnya cenderung semakin berkurang dan menjauhi standar normal. Meningkatnya jumlah besi dalam tubuh grup BF dan MVM di atas menandakan bahwa dengan BF dan MVM selain dapat meningkatkan kadar Hb dan SF juga dapat meningkatkan jumlah besi tubuh.
Adapun jika tanpa
suplementasi pekerja WUS semakin mengalami kekurangan zat besi, meskipun kadar Hb mereka terlihat naik sebagaimana penjelasan di atas, namun kenaikan tersebut mungkin berasal dari penggunaan simpanan besi dalam tubuh. Ini terlihat dari turunnya kadar SF pada sebagian besar pekerja WUS di grup P (>60%) dan meningkatnya STfR yang menandai bahwa terjadi peningkatan transportasi besi di dalam jaringan tubuhnya. Sebaliknya pada grup BF dan MVM, mereka berhasil meningkatkan Hb dan SF serta menurunkan STfR (hanya pada MVM) tanpa mengurangi/mengganggu simpanan besi tubuh, bahkan dapat menambah simpanan besi tubuh. Kebugaran Fisik Kebugaran fisik adalah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas pekerjaannya sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggang serta untuk keperluan mendadak. Untuk mendeteksi kebugaran fisik pekerja WUS secara cepat dilakukan dengan pengukuran berat lemak dan air tubuh. Menurut Marley (1982) dan Quinn (2008), lemak badan (%LB) yang berlebihan akan mengurangi komponen kebugaran lain, mengurangi kinerja, menganggu penampilan, dan akan berpengaruh negatif terhadap kesehatan secara umum. Berdasarkan pengukuran, %LB pekerja WUSsebelum perlakuan dan setelah perlakuan tidak berbeda nyata antar perlakuan, dapat dilihat pada Tabel 31. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa %LB masing-masing perlakuan naik, sedangkan %AB (kecuali pada grup P) turun secara nyata.
101 Secara total rataan %LB awal adalah 24.1% dengan selang 14.3-40.1 % naik 25.9% dengan selang menjadi 16.8-41.8%. Nilai rataan %LB ini lebih rendah dibandingkan dengan Li et al. (1994) yang mendapatkan %LB pekerja WUS yang bekerja di pabrik katun sebesar 27%. Meskipun setelah perlakuan %LB semua grup naik, namun selisih %LB antar perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05). Ini berarti perubahan %LB yang terjadi bukan dipengaruhi oleh perlakuan secara langsung, namun karena memang ada peningkatan asupan energi dan protein selama perlakuan. Pekerja WUS yang memiliki %LB di bawah 20% (kurus), di awal sebanyak 35% turun menjadi 20% setelah perlakuan. Namun, yang memiliki %LB berlebih tidak berubah, yakni tetap 26%. Tabel 31 Persentase berat lemak badan (%LB) dan air badan (%AB) menurut perlakuan Peubah Respon %LB Sebelum Sesudah Δ LB %AB Sebelum Sesudah Δ AB 1 2,3
BF (n=11)
MVM (n=11)
P (n=12)
.p-value1
21.99±6.61 23.473±6.08 1.48±1.708
27.02±7.89 28.312±8.40 1.29±1.321
23.47±7.29 25.773±6.30 2.30±3.321
0.264 0.282 0.564
53.67±4.53 52.573±4.19 -1.10±1.211
50.13±5.41 49.212±5.85 -0.92±0.902
52.20±5.07 51.23±4.01 -0.98±2.625
0.265 0.260 0.970
p-value, hasil analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama Berbeda nyata dari sebelum perlakuan (uji-t: 2p<0.01, 3p<0.05) Kebugaran fisik berdasarkan daya tahan jantung-paru (cardiorespiratory
endurance) dalam penelitian ini dinilai dengan mengukur VO2 maksimal (VO2maks) melalui uji bangku. Nilai VO2maks merupakan suatu ukuran seberapa bugar (fit) seseorang, dengan menyatakan volume oksigen yang dikonsumsi tubuh per menit sehingga satuannya adalah ml/kg/menit (Marley 1982; Sharkey 1991; Quinn 2008). Nilai rataan nilai VO2maks pekerja WUS sebelum perlakuan (41.15 ml/kg/menit) tidak berbeda nyata dengan pada saat studi pendahuluan (40.53 ml/kg/menit) yang dilakukan empat bulan sebelumnya. Ini membuktikan bahwa kebugaran fisik pekerja WUS relatif stabil. Pada Tabel 32 dapat dilihat bahwa kebugaran fisik BF dan MVM mengalami kenaikan sedangkan pada P menurun. Pada BF dan MVM denyut
102 jantung pasca uji bangku turun sehingga VO2maks naik, ini menandakan kerja jantung paru bertambah efisien. Meskipun demikian, selisih (Δ) kebugaran fisik antar perlakuan setelah perlakuan hanya nyata pada nilai p=0.160.
Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan Hb yang terjadi di atas belum dapat menaikkan kebugaran fisik pekerja WUS secara nyata. Tabel 32 Kebugaran fisik berdasarkan denyut jantung dan VO2maks menurut perlakuan Peubah respon kebugaran fisik
BF (n=11)
MVM (n=11)
P (n=12)
Denyut jantung (kali/15 detik): 37.2±4.4 35.9±4.6 36.6±5.9 Sebelum 33.7±4.4 33.3±5.1 36.9±4.2 Sesudah -3.5±7.1 -2.6±4.9 0.3±5.5 Δ Denyut jantung VO2maks (ml/kg/menit): 39.5±4.6 41.1±6.0 40.9±7.5 Sebelum 44.3±7.2 45.5±9.4 39.8±5.9 Sesudah 4.8±9.8 4.4±8.4 -1.2±6.2 Δ VO2maks 1 p-value, hasil analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama
,pvalue1 0.842 0.130 0.282 0.787 0.175 0.160
Secara umum kebugaran fisik semua pekerja WUS sudah tergolong baik hingga superior, mungkin dikarenakan mereka terbiasa bekerja keras. Rutinitas aktivitas fisik yang dilakukan oleh pekerja WUS termasuk sedang hingga berat. Para pekerja WUS terbiasa bekerja dalam rentang waktu yang cukup panjang (810 jam) dan istirahat pada rentang waktu yang cukup singkat (1 jam). Dengan demikian jantung dan paru-paru mereka sudah terlatih bekerja pada kondisi bekerja sedang sampai berat dan dapat memanfaatkan waktu istirahat dengan baik. Hal ini sesuai dengan Sharkey (1991) dan Lee et al. (2008), yang menyatakan bahwa denyut jantung istirahat pada orang yang terlatih lebih rendah (lebih cepat turun setelah melakukan aktivitas berat) dibandingkan dengan yang tidak terlatih. Seseorang yang memiliki kapasitas aerobik tinggi memiliki denyut jantung pasca kerja (pemulihan) yang lebih rendah, karena denyut jantung mereka tidak naik terlalu tinggi pada saat melakukan pekerjaan fisik. Pada analisis lanjut yang dilakukan khusus pada pekerja WUS yang anemia (Hb<120 g/l; n=28), rataan penurunan laju denyut jantung yang terjadi pada BF,
103 MVM dan P berubah menjadi -2.2, -2.5 dan 1.6 kali (p=0.098), sedangkan peningkatan VO2maks menjadi 3.32, 3.47, dan -2.42 ml/kg/menit (p=0.087). Ini berarti ada kecenderungan kebugaran fisik pada BF dan MVM naik sebesar 9% dan 10% sedangkan pada P turun sebesar 4%. Selain itu, perbedaan Δ laju denyut jantung dan VO2maks antara BF dan MVM dengan P meningkat (p=0.057). Kebugaran fisik pekerja WUS yang anemia pada BF dan MVM jika dikoreksi dengan P adalah cenderung naik sebesar 13% dan 14%. Kebugaran fisik pekerja WUS cenderung turun bila tidak mengonsumsi suplemen. Pengujian pengaruh perlakuan terhadap selisih VO2maks selanjutnya dilakukan menggunakan ANCOVA dengan memasukkan peubah pengganggu yang mungkin mempengaruhi hasil tersebut yaitu lama kerja, VO2maks atau denyut jantung, Hb, SF, STfR dan IMT sebelum perlakuan, %LB dan %AB sesudah perlakuan, serta asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, Ca, Fosfor, Fe, dan pengeluaran energi selama perlakuan. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa pada taraf nyata=0.05, perlakuan yang diberikan tetap tidak berpengaruh nyata terhadap selisih VO2maks, meskipun sudah dikoreksi dengan beberapa peubah pengganggu.
Peubah tersebut adalah VO2maks, kadar SF dan STfR
sebelum perlakuan serta asupan Fe selama perlakuan yang ternyata hanya cenderung berpengaruh nyata terhadap selisih VO2maks pekerja WUS pada p=0.126 sebagaimana disajikan pada Lampiran 11. Analisis ANCOVA yang sama dilanjutkan untuk selisih VO2maks berikutnya yang dilakukan dengan hanya melibatkan 28 subyek pekerja WUS yang anemia (Hb<120 g/l). Hasilnya adalah selisih VO2maks dipengaruhi oleh perlakuan (p=0.032), VO2maks sebelum perlakuan (p=0.001) dan asupan Fe selama perlakuan.
Nilai selisih VO2maks (adjusted) yang diestimasi dengan
menggunakan peubah pengganggu tersebut pada BF, MVM dan P masing-masing menjadi 2.90,
3.54 dan
-2.11 ml/kg/menit.
Koreksi terhadap nilai selisih
VO2maks tersebut menghasilkan perbedaan antar perlakuan yang nyata pada p=0.032 dengan R2=0.568 (R2 adjusted=0.493) (Lampiran 12). Dalam hal ini peningkatan kebugaran fisik pekerja WUS yang anemia sebesar 49% dipengaruhi oleh perlakuan, VO2maks sebelum perlakuan dan asupan Fe selama perlakuan, sedangkan yang 51% lainnya dipengaruhi oleh peubah lain. Dengan demikian
104 dapat dikatakan bahwa pemberian BF atau MVM khusus bagi pekerja WUS yang anemia secara nyata dapat meningkatkan kebugaran fisiknya ( Gambar 13). Tanpa pemberian suplemen VO2maks grup P mengalami penurunan. Berarti dalam tempo 10 minggu selama perlakuan, kebugaran fisik P menurun. Hasil penelitian ini mirip dengan penelitian Li et al. (1994) yang memberikan suplemen tablet ferro sulfat yang berisi 60 mg Fe per hari kepada 40 orang pekerja anemia
44.7
46 42.4 42
41.15 39.47
40.96 38.9 Sebelum
38
Sesudah 34
30
BF (n=9)
MVM (n=9)
P (n=10)
Perlakuan Gambar 13 Nilai rataan kebugaran fisik (VO2maks) pekerja WUS anemia (Hb<120 g/l) sebelum dan sesudah perlakuan (adjusted) dan plasebo pada 40 orang pekerja anemia lainnya. Setelah pemberian suplemen Fe selama 12 minggu, maka pada grup perlakuan memiliki kadar hemoglobin (Hb) dan serum ferritin (SF) yang nyata meningkat (p<0.05), dan Heart Rate at work (HRW) dan Energy Expenditure at Work (EEW) turun secara nyata (p<0.01) yang berarti kerja jantung semakin efisien. Selain itu, perbedaan nilai HRW dan EEW sebelum dan sesudah perlakuan juga nyata antar grup (p<0.01). Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa suplementasi gizi besi pada pekerja WUS selain dapat memperbaiki status besi juga memungkinkannya untuk bekerja dengan menggunakan energi yang lebih rendah atau lebih hemat energi. Demikian pula jika dibandingkan dengan penelitian Baharudin (2004) yang juga memberikan suplementasi Pil Besi kepada mahasiswi yang anemik. Didapatkan bahwa pemberian pil besi (60 mg) ditambah dengan vitamin C (50 mg) sebanyak
105 2 (dua) kali seminggu selama 2 (dua) bulan selain dapat berpengaruh secara nyata (p=0,000) terhadap peningkatan kadar Hb (naik sebesar 3.28g/dl) dan peningkatan kebugaran fisik mahasiswi dengan menggunakan tes Ergocycle Sepeda Monar. Pada penelitian ini, kapsul MVM mengandung vitamin C 70 mg, lebih tinggi dibandingkan dengan yang digunakan peneliti di atas namun dengan dosis zat besi lebih rendah yaitu 30 mg. Dari ketiga perlakuan, maka peningkatan VO2maks yang diperoleh grup MVM cenderung paling tinggi. Berdasarkan perhitungan, didapatkan kenaikan VO2maks pada BF dan MVM sebesar 7.42% dan 8.03% sedangkan pada P turun sebesar 5.03% (Gambar 14).
12%
8.63%
Perubahan VO 2maks (%)
7.42% 8%
4%
0%
BF (n=9) MVM (n=9) P (n=10)
-4%
-5.03% -8% BF (n=9)
MVM (n=9)
P (n=10)
Perlakuan Gambar 14 Persentase perubahan VO2maks sesudah perlakuan pada pekerja WUS anemia dengan kadar Hb<120 g/l Kebugaran fisik pekerja WUS yang anemia pada BF dan MVM jika dikoreksi dengan P cenderung naik sebesar 12.5% dan 13.7%. Kebugaran fisik pekerja WUS cenderung turun bila tidak mengonsumsi suplemen.
Hal ini
mengisyaratkan bahwa meskipun kebugaran fisiknya tetap baik, pekerja WUS yang anemia harus benar-benar diberi suplemen yang berisi minimal zat besi dan asam folat. Pekerja WUS yang menjadi kontrol dalam penelitian ini meskipun Hbnya naik sesudah 10 minggu masa perlakuan, namun mereka telah mengalami
106 penurunan SF, besi tubuh dan kebugaran fisik serta peningkatan STfR. Hal ini dapat menyebabkan produktivitas kerjanya menurun. Namun, pengukuran produktivitas kerja pada pekerja WUS di perusahaan pengalengan nanas ini tidak dapat diukur karena pekerjaan dilakukan dengan mesin yang terus berjalan. Generalisasi Penelitian Generalisasi suatu studi atau penelitian adalah seberapa jauh hasil suatu penelitian tersebut dapat diterapkan di tempat lain dengan populasi yang berbeda. Secara keseluruhan penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama adalah studi pendahuluan dan tahap kedua adalah penelitian eksperimental. Pada studi pendahuluan melibatkan sampel berjumlah 338 pekerja WUS yang sudah menikah berasal dari populasi (N) berjumlah 2861 orang. Berdasarkan studi pendahuluan didapatkan pekerja WUS yang memiliki Hb marginal berjumlah 115 orang. Adapun yang menjadi subyek dalam penelitian eksperimental sebanyak 34 orang pekerja WUS yang sudah menikah dan memiliki Hb marginal. Mereka semua bekerja pada tingkat aktivitas fisik sedang sampai aktif di dalam ruangan pabrik yang relatif panas dan berisik selama minimal 40 jam per minggu. Mayoritas subyek berasal dari suku Lampung dan Jawa yang merupakan dua suku terbanyak yang berada di Provinsi Lampung. Suku lainnya yang menjadi sampel dalam studi pendahuluan adalah suku Batak, Bali, Sunda, dan Minang. Semua suku tersebut relatif sudah membaur dalam kehidupan masyarakat menengah ke bawah sehingga gaya hidup, kebiasaan makan dan asupan gizinya menjadi relatif sama. Seluruh subyek penelitian ini berasal dari subpopulasi tersebut. Pemilihan sampel dalam penelitian pendahuluan maupun penetapan subyek dalam penelitian eksperimental dilakukan dengan mengacu pada metode penelitian survai dan ekperimental. Oleh karena itu hasil penelitian ini dapat di generalisasikan pada populasinya yaitu pekerja WUS. Generalisasi penelitian ini terutama untuk pekerja WUS yang sudah menikah di Provinsi Lampung yang bekerja di dalam pabrik dan memiliki aktivitas fisik, latar belakang budaya dan keragaman suku yang kurang lebih sama. Adapun pada yang belum menikah masih perlu diteliti lebih dahulu karena gaya hidup, kebiasaan makan dan asupan gizi mereka cenderung berbeda dengan yang sudah menikah.
107 Ada dua macam suplemen zat gizi mikro yang diberikan kepada sampel penelitian ini, pertama adalah suplemen besi folat (BF) yang mengandung 60 mg zat besi yang disertai dengan 400µg folat yang merupakan dosis yang disarankan oleh INACG (2003) untuk para WUS sebagai usaha preventif dalam menjaga kesehatan dan untuk mencegah mengalami kesulitan melahirkan pada selama dia nanti hamil. Suplemen ke dua mengandung 15 macam multi vitamin dan mineral (MVM) merupakan saran UNICEF/WHO/UNU (1999) dengan pertimbangan bahwa wanita usia subur tidak cukup hanya disuplementasi zat besi saja. Kedua macam
suplemen
tersebut
banyak
digunakan
dalam
program-program
penanggulangan anemia pada wanita usia subur di berbagai negara yang dilakukan oleh WHO maupun Bank Dunia sejak tahun 1970an. Berbagai merek dagang suplemen yang kandungannya sama atau kurang lebih sama dengan kedua suplemen tersebut banyak dijual bebas di pasaran dengan harga yang relatif murah dan terjangkau oleh masyarakat seperti pekerja pabrik dalam penelitian ini. Kaplet atau kapsul suplemen yang berisi zat besi dan asam folat saja harganya lebih murah dibandingkan dengan yang ditambah dengan multivitamin dan mineral antara Rp175.00 hingga Rp500.00 per butir. Adapun kaplet yang sama atau mirip dengan MVM yakni berisi zat besi ditambah dengan 14 macam vitamin dan mineral atau lebih juga banyak dijual bebas di pasaran dengan harga yang lebih mahal dan bervariasi yaitu antara Rp500.00 hingga Rp 3 000.00. Jika dihitung bahwa setiap bulan diperlukan 12 butir (WUS dianjurkan untuk minum suplemen berisi zat besi satu kali per minggu dan setiap hari pada saat datang bulan), maka biaya suplementasi untuk BF sebesar Rp2 000.00/orang/bulan; sedangkan untuk MVM sebesar Rp6 000.00/orang/bulan. Saat ini cukup mudah untuk mendapatkan berbagai macam suplemen tersebut karena bisa dengan mudah dibeli di warung, toko-toko obat, apotik atau mini market yang keberadaannya semakin banyak dan tersebar hingga ke desa-desa. Berdasarkan hasil penelitian ini, penggunaan suplemen besi dan asam folat saja sudah dapat mengatasi anemia dengan meningkatkan kadar Hb, Ht , SF dan besi tubuh pekerja WUS.
Pekerja WUS yang anemia dapat disarankan
mengkonsumsi suplemen BF sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian ini secara mandiri dengan membeli suplemen BF tersebut. Demikian pula bagi
108 perusahaan tempat sampel penelitian ini bekerja dapat melakukan suplementasi kepada pekerja WUS lainnya. Hal ini sesuai dengan yang telah dicanangkan pemerintah pada tahun 1996, yang menghimbau agar setiap perusahaan yang mempekerjakan wanita usia subur memberikan suplemen zat besi disertai obat cacing dalam rangka program penanggulangan anemia gizi bagi pekerja WUS. Pelaksanaan program ini dapat mengacu kepada “Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi untuk Remaja Puteri dan Wanita Usia Subur” oleh Depkes RI 1998. Jika dilihat dari konsumsi pekerja WUS yang masih banyak mengalami defisit pada energi dan berbagai zat gizi lain, maka sebaiknya suplementasi berikutnya diikuti pula dengan perbaikan konsumsi energi dan zat gizi lain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian zat besi dan asam folat (BF) selain dapat meningkatkan kadar hemoglobin, serum feritin dan jumlah zat besi dalam tubuh, juga dapat meningkatkan kebugaran fisik pekerja WUS anemia. Adapun pemberian multivitamin dan mineral (MVM) selain dapat meningkatkan ketiga biomarker dan kebugaran fisik tersebut juga dapat memperbaiki transportasi zat besi dalam jaringan namun demikian penggunaan MVM belum bisa menghilangkan anemia secara total. Dengan demikian MVM sebaiknya dikonsumsi bukan oleh yang sedang mengalami anemia namun oleh mereka yang tidak anemia namun mengalami kekurangan zat besi, untuk memperbaiki metabolisme zat besi dalam tubuh. Selain itu kapsul MVM dapat membantu meningkatkan asupan beberapa jenis vitamin dan mineral. Hasil penelitian ini juga telah dipresentasikan di depan manajemen perusahaan tempat penelitian dilaksanakan dan dihadiri pula oleh instansi pemerintah daerah yang terkait dengan pengembangan SDM pekerja WUS. Karena penelitian ini menggunakan suplemen yang secara umum ada dijual bebas di pasaran, maka hasil penelitian ini dapat dipahami dengan lebih mudah dan dijadikan sebagai bahan acuan dalam mengimplementasikannya ke populasi yang lebih luas. Diharapkan perusahaan tersebut dapat segera mengimplementasikan dengan mendapat bimbingan dan pengawasan dari instansi kesehatan pemerintah daerah setempat.
109
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1 Status Gizi, tingkat kecukupan gizi dan status besi pekerja WUS dengan Hb marginal sesudah suplementasi lebih baik dibandingkan sebelum suplementasi. Pekerja WUS yang masih kurus tinggal 6% dari semula 12%. Nilai rataan Hb, SF, STfR dan jumlah besi dalam tubuh sebelum perlakuan pada BF berturut turut 107.5 g/l, 23.9 ug/l,
6.0 mg/l, dan 2.24 mg/kg; sesudah perlakuan
menjadi 125.7 g/l, 34.0 ug/l, 7.4 mg/l, dan 3.2 mg/kg. Pada MVM berturutturut sebelum perlakuan 112.0 g/l, 28.7 ug/l, 5.8 mg/l, dan 3.2 mg/kg; sesudah perlakuan menjadi
128.6 g/l, 31.2 ug/l, 5.7 mg/l dan
4.2 mg/l.
Adapun pada P berturut-turut sebelum perlakuan 111.7 g/l, 17.0 ug/l, 6.3 mg/l, dan 1.3 mg/kg; sesudah perlakuan menjadi 121.3 g/l, 16.6 ug/l, 8.0 mg/l dan 0.4 mg/l. Nilai rataan %AKG energi dan protein pekerja WUS selama perlakuan meningkat, sebagian besar menjadi normal dan berlebih; namun sebagian besar tetap mengalami defisit vitamin A, vitamin C, Ca dan Fe. 2
Aktivitas fisik pekerja WUS dapat digolongkan menjadi lima yaitu tidur, aktivitas pribadi, kerja rumah tangga, persiapan kerja dan bekerja. Aktivitas terlama adalah untuk bekerja yakni selama 9.65 jam per hari. Pengeluaran energi untuk aktivitas selama suplementasi pada pekerja WUS tidak berbeda nyata antar perlakuan dan rataan totalnya sebesar 2 196 kkal per hari. Kebugaran fisik pekerja WUS yang diukur berdasarkan VO2maks termasuk baik hingga superior, juga tidak berbeda nyata antar perlakuan. Nilai rataan VO2maks mereka sebesar 41.15 ml/kg/menit.
3 Suplementasi tiga kali per minggu dengan BF secara nyata dapat meningkatkan kadar Hb sebesar 18.2 g/l, SF 10.1 ug/l dan besi tubuh 1.0 mg/kg; sedangkan dengan MVM dapat meningkatkan Hb 16.4 g/l, SF 2.4 g/l dan besi tubuh 1.0 mg/kg.
Adapun pada grup P mengalami peningkatan Hb 9.6 g/l namun
mengalami penurunan SF dan besi tubuh sebesar -0.5 ug/l dan -0.8 mg/l. Selisih kadar Hb pada grup BF dan MVM berbeda nyata dengan P (p<0.05), namun selisih kadar SF tidak nyata antar perlakuan (p>0.05). Hanya grup MVM yang mengalami penurunan kadar STfR sebesar -0.2 mg/l. Apabila dikoreksi dengan P maka BF dapat meningkatkan kadar Hb 8%, dan SF 45%;
110 sedangkan dengan MVM dapat meningkatkan Hb 6% dan SF 12% pada pekerja WUS yang semula berkadar Hb marginal. Suplemen BF dan MVM dapat meningkatkan kebugaran fisik pekerja WUS yang anemia sebesar 12.5% dan 13.7%.
Kapsul BF lebih baik dalam meningkatkan status besi
hemoglobin, serum feritin dan jumlah besi dalam tubuh; sedangkan MVM lebih baik dalam memperbaiki transportasi zat besi dalam jaringan tubuh pekerja WUS yang anemia serta meningkatkan kebugaran fisik. 4 Kadar hemoglobin secara nyata dipengaruhi oleh perlakuan BF dan MVM; kadar SF secara nyata dipengaruhi oleh perlakuan, kadar SF dan STfR sebelum perlakuan serta asupan zat besi selama perlakuan; sedangkan kadar STfR dipengaruhi oleh perlakuan serta kadar Hb dan STfR sebelum perlakuan. Kebugaran fisik (VO2maks) pekerja WUS yang anemia dipengaruhi perlakuan, VO2maks sebelum perlakuan serta asupan zat besi selama perlakuan. Saran 1
Suplementasi zat besi dan multivitamin mineral pada pekerja WUS perlu dilanjutkan secara mandiri dan terencana oleh perusahaan tempat penelitian dan perusahaan lain yang banyak mempekerjakan WUS. Untuk itu, perlu ada dorongan dan pengawasan dari instansi pemerintah daerah yang terkait dengan penanganan sumberdaya manusia.
2
Mengingat kecukupan energi dan protein belum semuanya baik/normal serta kecukupan vitamin C dan zat besi dalam kategori defisit, maka kepada pekerja WUS perlu diupayakan peningkatan energi, protein dan kedua macam
zat
gizi
mikro
tersebut,
antara
lain
melalui
peningkatan
keanekaragaman makanan sumber energi dan zat gizi tersebut.
Ini bisa
dilakukan melalui penyediaan makanan di kantin perusahaan, serta memanfaatkan waktu pemberian extra fooding baik yang diberikan pada malam maupun siang hari dan ditambah dengan penyuluhan gizi untuk meningkatkan sadar gizi pekerja WUS. 3
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai status besi dan kebugaran fisik pekerja WUS, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan pada pekerja WUS yang belum menikah, karena mereka cenderung memiliki gaya hidup dan kebiasaan makan yang berbeda dengan yang sudah menikah.
111 DAFTAR PUSTAKA Ahmed F, Khan MR, Jackson AA. 2001. Concomitant supplementation with vitaminAenhances response to weekly supplemental iron and folic acid in anaemic teenage women in urban Bangladesh. Am J Clin Nutr; 74:108 –15. Ahmed F et al. 2005. Efficacy of twice-weekly multiple micronutrient supplementation for improving the hemoglobin and micronutrient status of anemic adolescent schoolgirls in Bangladesh. Am J Clin Nutr 82: 829 –35. Angeles-Agdeppa I et al. 1997. Weekly micronutrient supplementation to build iron stores in female Indonesian adolescents. Am J Clin Nutr 66:177—83 . Allen L, Gillespie S. 2001. What Works? Efficacy and Effectiveness of Nutrition Interventions. ACC/SCN Nutrition Policy Paper 19 and ADB Nutrition and Development Series Number 5. Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka, Jakarta. Astrand I. 1960. Aerobic work capasity in men and women with special reference to age. Acta Physiologica Scandinavica 49 (supplement 169): 49—50. Atmarita, Fallah TS. 2004. Analisis situasi gizi dan kesehatan masyarakat. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. _______. 2005. Nutrition problems in Indonesia. An Integrated International Seminar and Workshop on Lifestyle – Related Diseases; Gajah Mada University, 19 – 20 March 2005. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan Dan Gizi 2006 – 2010. Jakarta: Bappenas. Badham J., Zimmermann MB, Kraemer K. 2007. The Guidebook Nutritional Anemia. Basel, Switzerland: Sight And Life Press. Baharuddin. 2004. Pengaruh Pemberian Pil Besi Dan Vitamin C Terhadap Peningkatan Hemoglobin (Hb) Dan Kebugaran Fisik Pada Mahasiswi PGSD-DII FKIP Unsyiah Darussalam Banda Aceh. Master Theses. Surabaya: Sekolah Pascasarjana Unair Basta SS, Soekirman, Karyadi D, Scrimshaw NS. 1979. Iron deficiency anemia and the productivity of adult males in Indonesia. Am. J. Clin. Nut 32: 91625. Benoist B de, McLean E, Egli I, Cogswell M, editor. 2008. Worldwide prevalence of anaemia 1993–2005 : WHO global database on anaemia. Roma: World Health Organization.
112 [BPPK Depkes RI] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta: Depkes RI. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2009. Data Statistik Indonesia. http://www. datastatistik-indonesia.com/. [21 Januari 2009]. Briawan D. 2008. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan status besi remaja wanita. Disertasi. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. __________, Hardinsyah. 2010. Non-food risk factors of anemia among childbering age women (15-45 years) in Indonesia. PGM 33(2): 102-109. Broucha L, Graybiel A, Heath CW. 1943. The step test: A simple method of measuring physical fitness for hard muscular work in adult men. Rev Can Biol 2:86-91 Burger SE, Pierre-Louis JN. 2002. How To Assess Iron Deficiency Anemia and Use The Hemocue? New York: Helen Keller International. Chandyo RK. 2007. Prevalence of iron deficiency and anemia among healthy women of reproductive age in Bhaktapur, Nepal. Eur J Clin Nutr 61: 262– 269. Carley A. 2003. Anemia: When is it iron deficiency?. Pediatric Nursing MarchApril 29, 2: 127-133. Chatterjee S, Chatterjee P, Bandyopadhyay A. 2005. Validity of Queen’s College Step Test for estimation of maximum oxygen uptake in female students. Indian J Med Res 121: 32-35 Chen SM et al. 2006. Validity of the 3 min step test in moderate altitude: environmental temperature as a confounder. Appl. Physiol. Nutr. Metab. 31: 726–730. Craige et al. 2004. Multivitamin-mineral supplementation is not as efficacious as is iron supplementation in improving hemoglobin concentrations in nonpregnant anemic women living in Mexico. Am.J.Clin.Nutr 80:1308–11. Crichton R. 2001. Inorganic Biochemistry of Iron Metabolism: From Molecular Mechanisms to Clinical Consequences. New York: John Wiley & Sons Ltd Cochran WG. 1982. Sampling Techniques. New York: John Wiley & Son, Inc. Cook JD, Flowers CH, Skikne BS. 2003. The quantitative assessment of body iron. Blood 101:3359–3364. Culpepper MI, Francis KT. 1987. An anatomical model to determine step height in step testing for estimating aerobic capacity. Journal of Theoretical Biology 129 (1): 1—8.
113 Davies CT, Chukwuemeka AC, Van Haaren J.P. 1973. Iron deficiency anaemia: its effect on maximum aerobic power and responses to exercise in African males aged 17-40 years. Clinical Science 44:555-562. Davies CT, Van Haaren, JP. 1973. Effect of treatment on physiological responses to exercise in east African industrial workers with iron deficiency anaemia. British Journal of Industrial Medicine, 30:335-40. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1998. “Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi untuk Remaja Puteri dan Wanita Usia Subur”. Jakarta: Depkes RI. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Angka. Jakarta: Depkes RI.
2005. Gizi dalam
[Dinkes Pemda Prov. Lampung] Dinas Kesehatan Pemerintah Daerah Provinsi Lampung. 2007. Profil Kesehatan Provinsi Lampung Tahun 2006. Bandar Lampung: Dinkes Pemda Prov. Lampung. Dillon DHS. 2005. Nutritional health of Indonesian adolescent girls: the role of riboflavin and vitamin A on iron status [disertasi]. Netherlands: Wageningen University. Driskel JA, Wolinsky I, editor. 2008. Sport Nutrition Energy Metabolism and Exercise. New York: CRC Press. Eckel RH (Ed.). 2010. Metabolic risk for cardiovascular disease. American Heart Association Clinical Series. Wiley-Blackwell. West Sussex. Edgerton VR et al. 1981. Elevation of haemoglobin and work performance in iron-deficient subjects. Journal of Nutrition Science, 27:77-86. Edgerton VR et al. 1982. Effects of iron deficiency anaemia on voluntary activities in rats and humans. In: Pollitt E, Leibel RL editors. Iron deficiency: Brain Biochemistry and Behavior: 141-160. New York: Raven Press Ltd. Ekayanti, I. 2005. Efek pemberian gizi mikro terhadap keberhasilan suplementasi zat besi pada wanita anemia. [disertasi]. Surabaya: Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga. FAO/WHO/UNU 2001. Human energy requirements. Report of a Joint FAO/WHO/UNU Expert Consultation, Rome, 17–24 October 2001. Fishman SM, Christian P and West Jr KP. 2000. The role of vitamins in the prevention and control of anaemia. Public Health Nutrition 3(2):125-150 Gardner GW et al. 1977. Physical work capacity and metabolic stress in subjects with iron deficiency anemia. Am J Clin Nutr 30:910-917. Gibson R.S. 2005a. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. New York: Oxford University Press.
114 Gibson R.S. 2005b. Nutritional Assessment Laboratary Manual. Oxford University Press.
Ew York:
Golding LA, Myers CR, Sinning WE, editor. 1989. Y’s Way to Physical Fitness. The Complete Guide to Fitness Testing and Instruction. Champaign, Il: Human Kinetics Publisher. Gross R. 1999. Micronutrient supplementation throughout the life cycle. Report of a Workshop Held by the Ministry of Health, Brazil and UNICEF: Rio de Janeiro, 17-19 November 1999. Haas JD, Brownlie T. 2001. Iron deficiency and reduced work capacity: a critical review of the research to determine a causal relationship. J. Nutr. 131: 676S–690S. Husaini MA, Djojoseobagio S, Karyadi D. 1981. Socioeconomic and dietary correlates of iron deficiency on an Indonesian tea plantation. In: Proceedings of the Eighth Annual INACG Meeting. Denpasar, 14—18 November 1984. __________, Karyadi D, Suharno D. 1989. Study nutritional anemia an assessment of information complication for supporting and formulating national policy and program. Final report for Nutrition Research and Development Center and Directorate of Community nutrition. Ministry of Health. Jakarta. INACG. 2003. Integrating programs to move iron deficiency and anemia control forward. Report of the 2003 International Nutritional Anemia Consultative Group Symposium: Marrakech, Morocco, 6 February 2003. Indriani Y, Riyadi H, Zuraida R. 2011. Study on the Nutritional Status and Physical Fitness of the Non Pregnant Women Workers to Support the Household Socio-Economy. [research report]. Bandar Lampung: Department of Agricultural Social Economic, Faculty of Agriculture, University of Lampung with Neys –van Hoogstraten Foundation. [IOM-FNB] - Institute of Medicine, Food and Nutrition Board. 2001. Dietary Reference Intakes for Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese, Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc. Washington: National Academy Press. Kartono D, Soekatri M. 2004. Angka kecukupan mineral: Besi, yodium, seng, mangan, selenium. Dalam LIPI: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi, Jakarta, 17-19 Mei 2004. Kodyat B, Kosen S, dePee S. 1998. Iron deficiency In Indonesia: current situation and intervention. Nutrition Research 18:1953—1963. Kosen S, Herman S, Schultink W. 1998. An overview of studies on iron deficiency in Indonesia. Nutrition Research 18:193—41
115 [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2004. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi, Jakarta, 17-19 Mei 2004. Lau DCW et al. 2007. Canadian clinical practice guidelines on the management and prevention of obesity in adults and children. CMAJ 176 (8 suppl):1117. Lee O et al. 2008. Correlation between YMCA step-test and maximum oxygen consumption (VO2max) as measurement tools for cardiorespiratory. Korean J Epidemiol, 30 (1):73-81 Li R. 1993. Functional consequences of iron deficiency in chinese female workers. 1993. Thesis, University of Wageningen. Marley WP. 1982. Health and Physical Fitness. Philadelphia, PA: Saunders College Publishing. . McArdle WD et al. 1972. Reliability and interrelationships between maximal oxygen uptake, physical work capacity and step test scores in college women". Medicine and Science in Sports 4:182-186. http://www.topendsports.com/testing/tests/step-queens.htm [19 Januri 2009] Mulyawati Y. 2003. Perbandingan Efek Suplementasi Tablet Tambah Darah Dengan Dan Tanpa Vitamin C terhadap Kadar Hemoglobin Pada Pekerja Wanita Di Perusahaan Plywood, Jakarta 2003. [thesis]. Jakarta: Program Pascasarjana, UI. Kolb MLE, Beard JL. 2007. Iron treatment normalizes cognitive functioning in young women. Am J Clin Nutr; 85:778–87. [NRC] National Research Council. 1989. Recommended dietary allowances. Tenth Edition. Washington, D.C.: National Academy Press. O’Brien KO et al. 1999. Influence of prenatalcronand zinc supplement on supplemental iron absorbtion, red blood cell iron incorporation and iron status in pregnant Peruvian women. Am J Clin Nutr, 69: 509—515. [PBBAUD] Pusat Pembinaan Bulutangkis Anak Usia Dini. 2007. Panduan Kesehatan Olahraga Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: PB Cipta Prima Utama. [PKK Depkes RI] Pusat Kesehatan Kerja. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. “Kesehatan bagi Pekerja Wanita”. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. http://www.depkes.go.id. [14 Januari 2008]. Popkin BM. 1978. Nutrition and Labor Productivity. Soc. Sci. Med. 12 C: 117125. Quinn E. 2008. What Is VO2 Max? http://www.about.com/localhost. Februari 2009].
[13
116 [RHSFNS] Rob’s Home of Sport, Fitness, Nutrition, and Science. 2008. Fitness Testing Queens College Step Test. www.topendsports.com. [1 Januari 2009]. Roedjito D. 1989. Kajian Penelitian Gizi. Jakarta: PT Mediyatama Sarana Perkasa. Scholz B, Gross R, Schultink W, Sastroamidjojo S. 1997. Anemia is associated with reduced productivity of women workers even in less-physicalystreuous task. British Journal of Nutrition 77: 47-57. Sharkey BJ. 1991. New Dimension in Aerobic Fitness. Champaign, Illinois: Human Kinetics Books. Soekirman dan Atmawikarta A. 2004. Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). www.gizinet.com [7 Januari 2007]. Spurr GB, Barac M, Maskud MG. 1978. Childhood undernutrition: implications for adult work capacity and productivity. In Folinsbee LJ et al. editors. Environmental stress: individual human adaptations:165-181. New York: Academic Press. Stoltzfus RJ, Dreyfuss ML. 1998 Guidelines for the Use of Iron Supplements to Prevent and Treat Iron Deficiency Anemia. International Nutritional Anemia Consultative Group (INACG). ILSI PRESS, Washington, D. C. Suhardjo. 1986. Pengaruh Intervensi Besi terhadap Produktivitas Kerja Pemetik Teh. [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Thomas D et al. 2003. Iron deficiency and the well-being of older adults: Early results from a randomized nutrition intervention. Paper presented at the Population Association of America Annual Meetings, Minneapolis, April 2003 and the International Studies in Health and Economic Development Network meeting, San Francisco, May 2003. Thomson C. 2000. Selenium. In: Essentials of Human Nutrition (eds. Mann J. and S.Truswell). New York: Oxford University Press. UNICEF/WHO/UNU. 1999. Composition of a multi-micronutrient supplement to be used in pilot programmes among pregnant women in developing countries. Report of a Unicef, WHO, UNU workshop NICEF/WHO/UNU. New York, NY. Untoro J, Gross R, Schultink W, Sediaoetama. 1998. The association between BMI and hemoglobin and work productivity among Indonesian female factory workers. Eur J Clin Nutr 52: 131-35. Usfar AA et al. 2009. Expert meeting on child growth and micronutrient deficiencies – new initiatives for developing countries to achieve millennium development goals: executive summary report. Asia Pac J Clin Nutr: 8 (3):462-469.
117 Vijayaraghavan K. 2009. Anemia karena defisiensi zat besi. Di dalam: Gibney MJ, Margetts BM, Kearney JM, Arab L, editor. Gizi Kesehatan Masyarakat Hartono A penerjemah; Widyastuti P, Hardiyanti EA editor. Terjemahan dari: Public Health Nutrition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Hlm 276278. Viteri FE, Torun B. 1974. Anemia and physical work capacity. Haematolgy 3:609-626.
Clinics in
Whitney EN, Rolfes SR. 1999. Understading Nutrition. 8th edition. Belmont. California: Wadsworth Publishing Company.. [WB] World Bank. 2006. Repositioning Nutrition as Central to Development a Strategy for Large-Scale Action. Washington, DC: The World Bank. [WHO] World Health Organization. 1995. Physical status: the use and interpretation of anthropometry. Report of a WHO Expert Committee. _______________________________. 2001. Iron Deficiency Anaemia. Assessment, Prevention and Control. A guide for programme managers. Geneva: WHO. _______________________________. 2007. Assessing the iron status of populations. Report of a Joint World Health Organization/Centers for Disease Control and Prevention Technical Consultation on the Assessment of Iron Status at the Population Level. Geneva, Switzerland: 6–8 April 2004. 2nd ed. Joint World Health Organization/Centers for Disease Control and Prevention Technical Consultation on the Assessment of Iron Status at the Population Level. [WHO] World Health Organization. 2008. Worldwide prevalence of anaemia 1993–2005: WHO global database on anaemia/Edited by Bruno de Benoist, Erin McLean, Ines Egli and Mary Cogswell. WHO Press, Geneva. ____________________________. 2009. Micronutrient Deficiency: Deficiency Anaemia. The Challenge. World Health Organization.
Iron
118
L A M P I R A N
119 Lampiran 1 Persetujuan Etik (Ethical Clearance)
120 Lampiran 2 Formulir persetujuan untuk mengikuti penelitian (Informed Consent) Formulir Persetujuan Setelah Mendapat Penjelasan Penelitian (Informed Consent) Studi Status Gizi Dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Usia Subur (WUS) Tidak Hamil dalam Mendukung Sosial Ekonomi Keluarga
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: …………………………….................................................
Umur
: …………………………….................................................
Alamat
: ……………………………………………………….…… ………………………………………………………….…
No. KTP
: …………………………….................................................
Dengan ini menyatakan bahwa setelah mendapat keterangan tentang penelitian “Studi Status Gizi dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Usia Subur (WUS) Tidak Hamil dalam Mendukung Sosial Ekonomi Keluarga”, saya menyadari manfaat dan resiko kegiatan ini serta dengan sukarela menyetujui untuk ikut serta dalam kegiatan penelitian tahap-1/tahap-2*), dengan catatan bila suatu waktu ada gangguan kesehatan pada diri saya, maka saya berhak membatalkan persetujuan ini tanpa ada sanksi apapun dari peneliti.
................., .…………...., 2010 Mengetahui,
Yang Menyetujui,
Penanggungjawab Penelitian
Peserta Penelitian,
(Ir. Yaktiworo Indriani, M.Sc.
(………………………….)
Saksi dari Perusahaan, (…………………………..) *)
Coret salah satu
121 Lampiran 3 Ijin Penelitian
Nomor: 143/RT-GGP/SK/IV/2010 Hal : Pemberitahuan ijin Penelitian Kepada : Yth: Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Di Tempat Dengan hormat, Sehubungan dengan pengajuan surat 260?H.26/DT/2010 tentang Permohonan Ijin Penelitian dengan ini kami dapat menerim pengajuan untuk melaksanakan penelitian tersebut. Adapun nama tersebut adalah sebagai berikut: No 1
Nama Ir. Yaktiworo Indriani, M.Sc.
Departemen HRD
Pendamping Ir. Sumaidi. MM
Pelaksanaan Penelitian mulai tanggal : 01 Mei 2010 s.d. 30 April 2011 Demikian surat tanggapan kami atas perhatian dan minat terhadap perusahaan ini, kami ucapkan terimakasih.
122 Lampiran 4 Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENGARUH PEMBERIAN ZAT GIZI MIKRO TERHADAP STATUS BESI DAN KEBUGARAN FISIK PEKERJA WANITA USIA SUBUR
1. Nomor Responden
: NO_______________________ (mulai no. 1 )
2. Nama Responden
: NAMA_______________________
3. Tanggal Wawancara
: TW_______________________2010
4. Jam Mulai Wawancara
: JMW_______________________
5. Jam Selesai Wawancara
: JSW_______________________
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
123 A. Data Pribadi WUS Nama WUS
:
Umur / Tanggal lahir
:
Alamat Rumah
:
Jarak Rumah—tempat kerja (base camp) (km)
:
Masa kerja di perusahan ini
:
B. Data Sosial Rumah Tangga
No.
Status dalam Klg1)
Nama
Jenis Kelamin (1=L&P=2)
Umur2) Th
Bln
Pendidikan 4) Kelas Tingkat
PekerjaanUtama3) Kode
Sebutkan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Keterangan : 1) : 1= Suami, 2= Isteri (WUS), 3= Anak, 4= Lainnya 2) : Orang dewasa hanya tahun, Balita = tahun dan bulan 3) : 0=Tidak Bekerja, 1=Petani, 2= Pedagang, 3= Buruh tani, 4=Buruh non tani, 5=PNS/ABRI/Polisi, 6=Jasa (tukang ojek, tukang cukur, calo, dan sebagainya), 7=Ibu rumah tangga (IRT), 8=lainnya, sebutkan. 4) : Tingkat 1= tidak sekolah; 2= SD; 3= SLTP; 4=SLTA; 5= Perguruan tinggi; 6=lulus S1; 7= lulus S2; 8= lulus S3
C. Data Ekonomi Rumah Tangga C1. Pendapatan Rumah Tangga Anggota Keluarga
1. Suami 2. Istri 3. Anak 4. Agt klg lain
No
Jenis Pekerjaan
Penghasilan1) : Rp per Hari
Minggu
Bulan2)
Jumlah Hari Kerja Tahun
hari/ mgg
hari/ bln
1 2 3 1 2 1 2 1 2
Keterangan : 1) Pilih salah satu (hari, minggu, bulan, tahun) 2) Kolom bulan digunakan untuk merekap kolom sebelumnya dan harus terisi
Catatan : Semua pendapatan dikonversi ke bulan, dalam perhitungan perhatikan Jumlah waktu kerja
hari/ thn
124 C.2. Data Pengeluaran Rumah Tangga (Rp) (Konversi dalam bulan) No 1.
Jenis pengeluaran
Hari
Pengeluaran Rp/per Minggu Bulan*)
Tahun
Pangan 1. Pangan Pokok (beras, tepung terigu, mie, roti, ubi) 2. Lauk-pauk (telur, daging, ikan, tahu, tempe) 3. Sayuran 4. Buah-buahan 5. Minyak goreng 6. Minuman (kopi, teh, susu, sirup, air isi ulang) 7. Jajanan (chiki, bakso, permen, dll) 8. Makanan (biskuit dan bubur bayi) 9. Lain-lain (bumbu, garam, vetsin, kecap, saos, dll)
2.
Rokok
3.
Bahan Bakar (listrik, minyak tanah, gas, bensin, air)
4.
Kesehatan (obat, suplemen, imunisasi, KB)
5.
Kebersihan (sabun, sabun cuci, pasta gigi, dll)
6.
Kosmetik
7.
Pendidikan anak (SPP, uang saku, buku)
8.
Pakaian dan alas kaki
Sosial (sumbangan) 9. 10. Tabungan 11. Transportasi (angkot, ojek, bis, dll) 12. Komunikasi (telepon, pulsa, surat) 13. Cicilan (rumah, kendaraan, alat rumah tangga) 14. Gaji Pembantu 15. Perbaikan rumah Catatan: - Semua pengeluaran dikonversi ke bulan terakhir
- Semua ditelusuri setahun yang
125 D. Data Frekuensi Makan & Asal Pangan untuk Keluarga No.
Jenis Pangan
Frekuensi Makan…. Kali per1) Hari
1.
SEREALIA: 1. Beras 2. Jagung 3. Singkong 4. Ubi jalar 5. Talas 6. …………………… DAGING, IKAN & TELUR: 1. Daging Ayam 2. Daging Sapi 3. Daging Kambing 4. Ikan Laut 5. Ikan Pindang 6. Ikan Tawar 7. Ikan Asin 8. Susu Sapi 9. Madu 10. Lebah 11. Ulat putih (Albasia) 12. ………………………
2.
3.
KACANG-KACANGAN & POLONG-POLONGAN 1. Tahu 2. Tempe 3. Oncom 4. Kc. Tanah 5. Kc. Tolo (tunggak) 6. Kc. Buncis 7. Kecipir 8. Jengkol 9. Petai 10. …………………………
4.
5.
11. .................................. DAUN-DAUNAN 1. Bayam 2. Kangkung 3. Sawi 4. Wortel 5. Kol 6. Daun Singkong 7. Daun Pepaya 8. Daun Melinjo 9. Kc. Panjang 10. Selada 11. …………………… SAYURAN BUAH 1. Labu Siam 2. Tomat
Minggu
Bulan
Tahun
Asal Pangan2) 1
2
3
4
5
126 No.
Jenis Pangan
Frekuensi Makan…. Kali per1) Hari
6.
7.
8.
Minggu
Bulan
Tahun
Asal Pangan2) 1
2
3
4
5
3. Mentimun 4. Nangka muda 5. Pepaya Muda 6. Terong 7. Melinjo 8. ……………………..... BUAH 1. Jambu 2. Pepaya 3. Mangga 4. Nanas 5. Pisang 6. Nangka tua 7. Rambutan 8. Jeruk 9. Salak 10. Durian 11. …………………… JAJANAN 1. Bakso 2. Siomay 3. Pisang Goreng 4. Mie Ayam 5. Bakwan 6. Tahu Goreng 7. Tempe goreng 8. …………………… LAIN-LAIN 1. Gula 2. Teh 3. Kopi 4. Saos 5. Kerupuk 6. Vetsin/MSG 7. Kecap 8. Garam krosok (kasar, tidak bening, tidak Beryodium 9. Garam non-krosok (halus, bening, tidak Beryodium 10. ………………………
Keterangan :
1) = Pilih salah satu 2) = Disikan dengan angka 1 pada kolom yang sesuai (bisa lebih dari 1 pilihan) : (1) dibeli, (2) ditanam/pelihara sendiri, (3) diberi, (4) barter, (5) dari alam (memancing, berburu)
127 E. Konsumsi Makanan WUS URT No.
Kode1)
0.
158
Pangan/bahan2) Ayam
1
satuan Ptg
Sisa (URT) gr/URT
Satuan
gr/URT sisa
Berat Bersih (gr)3)
2
48
50
sdg
No. 0.
1.
1.
2.
2.
3.
3.
4.
4.
5.
5.
6.
6.
7.
7.
8.
8.
9.
9.
10.
10.
11.
11.
12.
12.
13.
13.
14.
14.
15.
15.
Keterangan: 1) Berikan kode pangan/bahan pada selama editing sesuai kode pangan 2) Sebut nama bahan pangan bila pangan tersebut tidak tercantum pada DKBM 3) Berat bersih = (gr/URT) – (gr/URT sisa)
E. Antropometri, Status Besi dan Kebugaran Fisik WUS No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Peubah Berat badan (kg) Tinggi badan (cm) Lingkar pinggang (cm) Lingkar pinggul (cm) Lingkar lengan atas Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik Kadar hemoglobin (g/l) Hematokrit (l/l) Serum Ferritin (μg/l) Serum Transferin Reseptor (mg/l) Laju denyut jantung (denyut/menit) VO2maks (ml/kg/menit)
Awal
Akhir
128 Lampiran 5 Hasil uji t kadar Hb dan Ht antara studi pendahuluan (Juni 2010) dengan sebelum perlakuan (Oktober 2010) 1. Nilai rataan kadar Hb dan Ht Waktu Pengambilan
n
Hb Juni 2010 (g/l) Hb Oktober 2010 (g/l)
Rataan
Std. Deviation
Std. Error Mean
34 112.00
10.58587
1.81546
Ht Juni 2010 (%)
34 110.47 34 35.88
9.814 2.31
1.683 0.40
Ht Oktober 2010 (%)
34
2.41
0.41
35.00
2. Uji t (bulan Juni vs Oktober 2010) Perbedaan pasangan Rataan 95% CI
Peubah Hb Ht
Rataan
SD
SEM
Bawah
atas
t
-1.52941 -0.882
5.593 1.701
0.95927 0.292
-3.481 -1.476
0.422 -0.289
-1.594 -3.024
db
p
33 0.120 33 0.005
Lampiran 6 Hasil ANOVA selisih Hb dan Ht antara sesudah dengan sebelum perlakuan (n=34) Sumber Keragaman Selisih Hb: Antar grup Di dalam grup Total Selisih Ht Antar grup Di dalam grup Total
db Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F 2 31 33
477.2839 2051.098 2528.382
2 31 33
19.629 172.371 192.000
238.642 3.607 0.0391 66.164
9.814 1.765 5.560
Uji lanjut Duncan: selisih Hb Subset for alpha = 0.05 Perlakuan
n
1
Plasebo
12
9.5833
MVM
11
16.3636
BF
11
Sig.
2 16.3636 18.1818
0.056
Sig.
0.599
0.188
129 Lampiran 7 Uji ANOVA kadar SF, STfR dan besi tubuh sesudah perlakuan (n=34) Sumber Keragaman Kadar SF sesudah: Antar grup Di dalam grup Total Kadar STfR sesudah Antar grup Di dalam grup Total Besi tubuh: Antar grup Di dalam grup Total
db Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F 2 31 33
2042.819 9502.479 11545.298
1021.409 306.532
3.332 0.049
2 31 33
32.097 123.885 155.982
16.049 3.996
4.016 0.028
2 31 33
88.963 304.828 393.791
44.481 9.833
4.524 0.019
Uji lanjut Duncana : Kadar SF sesudah perlakuan Subset for alpha = 0.05 Perlakuan n 1 2 12 16.56 Plasebo MVM
11
BF Sig.
11
31.16
31.16 34.03
0.056
0.70
Kadar STfR sesudah perlakuan Perlakuan MVM BF Plasebo Sig.
n 11 11 12
Subset for alpha = 0.05 1 2 5.69 7.38 7.38 7.98 0.053 0.475
Besi tubuh sesudah perlakuan Perlakuan Plasebo BF MVM Sig.
n 12 11 11
Sig.
Subset for alpha = 0.05 1 2 0.4142 3.2064 4.1873 1.000 0.462
130 Lampiran 8 Uji ANOVA selisih kadar SF dan STfR antara sebelum dengan sesudah perlakuan (n=34) Sumber Keragaman Db Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F Sig. Selisih Kadar SF: Antar grup 2 678.562 339.281 0.721 0.494 Di dalam grup 31 14584.593 470.471 Total 33 15263.155 Selisih Kadar STfR Antar grup 2 21.705 10.852 1.506 0.237 Di dalam grup 31 223.332 7.204 Total 33 245.037 Lampiran 9 Uji ANCOVA selisih kadar SF Peubah respon: selisih kadar SF Sumber Keragaman Jumlah .db Kuadrat Kuadrat tengah a Model 10162.767 5 2032.553 Intersep 2901.743 1 2901.743 SF awal 7285.034 1 7285.034 STfR awal 815.138 1 815.138 Asupan Fe 2716.137 1 2716.137 Perlakuan 1422.286 2 711.143 Galat 5100.388 28 182.157 Total 15776.170 34 Total terkoreksi 15263.155 33 a. R Squared =0.666 (Adjusted R Squared =0.606)
F
pvalue 0.000
11.158 15.930 0.000 39.993 4.475 14.911 3.904
0.000 0.043 0.001 0.032
Estimasi Peubah respon: selisih kadar SF
Grup Perlakuan Rataan BF 10.500
95% Selang Kepercayaan Std. Error Bawah Atas 4.071 2.160 18.840
a
MVM P a
6.738a -4.796a
4.122 3.958
-1.705 -12.903
15.182 3.312
Rataan estimasi kovariat yang didapatkan berdasarkan model regresi dengan nilai: SF awal = 23.0518, STfRawal= 6.0753 dan asupan Fe selama perlakuan = 14.39
131 Perbandingan berpasangan Peubah respon: selisih kadar SF
(I) Grup (J) Grup BF MVM P MVM BF P P BF MVM
Selisih rataan (I-J) 3.761 15.296* -3.761 11.534 -15.296* -11.534
Std. Error 5.783 5.691 5.783 5.794 5.691 5.794
Sig. 0.521 0.012 0.521 0.056 0.012 0.056
95% Selang kepercayaan perbedaan Bawah Atas -8.084 15.606 3.637 26.954 -15.606 8.084 -0.334 23.402 -26.954 -3.637 -23.402 0.334
*
Berbeda nyata (p<0.05)
Lampiran 10 Uji ANCOVA selisih kadar STfR (n=34) Peubah respon: selisih kadar STfR Sumber Jumlah kuadrat db Kuatdrat Keragaman tengah Model 158.440a 4 39.610 Intersep 54.451 1 54.451 Hb awal 23.920 1 23.920 STfR awal 120.646 1 120.646 Perlakuan 26.911 2 13.456 Galat 86.597 29 2.986 Total 276.950 34 Total terkoreksi 245.037 33 a. R Squared = 0.647 (Adjusted R Squared = 0.598)
F 13.265 18.235 8.010 40.403 4.506
.p value 0.000 0.000 0.008 0.000 0.020
Estimasi Peubah respon: selisih STfR
Perlakuan BF MVM P
Rataan 1.056a -0.204a 1.964a
Std. Error 0.529 0.524 0.502
95% Selang kepercayaan untuk selisih Bawah Atas -0.026 2.139 -1.275 0.867 0.938 2.990
a. Rataan estimasi kovariat yang didapatkan berdasarkan model regresi dengan nilai: Hb awal =110.47, STfR awal = 6.0753.
132 Perbandingan berpasangan
(I) (J) Selisih rataan Std. Perlakuan Perlakuan (I-J) Error BF MVM 1.260 0.750 P -0.907 0.735 MVM BF -1.260 0.750 * P -2.167 0.724 P BF 0.907 0.735 * MVM 2.167 0.724 *
Sig.a 0.104 0.227 0.104 0.006 0.227 0.006
95% selang kepercayaan perbedaan Bawah Atas -0.274 2.794 -2.410 0.596 -2.794 0.274 -3.647 -0.687 -0.596 2.410 0.687 3.647
Berbeda nyata (p<0.05)
Lampiran 11 Uji ANCOVA selisih VO2maks (n=34) Sumber Kuadrat Keragaman Jumlah kuadrat .db tengah a Model 14330.225 6 2380.871 Intersep 2410.283 1 2410.283 VO2maks awal 2680.677 1 2680.677 SF awal 1820.637 1 1820.637 STfR awal 2310.786 1 2310.786 Asupan Fe 3940.903 1 3940.903 Perlakuan 1500.422 2 750.211 Galat 9060.040 27 330.557 Total 25600.860 34 Total terkoreksi 23390.265 33 a. R Squared = 0.613 (Adjusted R Squared = 0.527)
F 70.118 70.190 80.007 50.443 60.907 110.768 20.241
.p value 0.000 0.012 0.009 0.027 0.014 0.002 0.126
Lampiran 12 Kebugaran fisik berdasarkan denyut jantung dan VO2maks menurut perlakuan dengan subyek 28 pekerja WUS anemia (Hb<120 g/l)
Peubah respon Denyut jantung sebelum Denyut jantung sesudah
BF .n=9
MVM .n=9
P .n=10
p-value
36.78±2.73 36.11±5.08 36.20±4.69 b a 34.55ab±3.97 33.55 ±4.10 37.80 ±3.46
0.938 0.057
-2.55±4.64
0.098
Δ Denyut jantung
-2.22±4.23
VO2maks sebelum
39.45±3.04 41.01±6.58 40.85±6.79 b ab 42.78a±5.99 44.48 ±7.11 38.43 ±4.22
0.821
3.47±6.81
0.087
VO2maks sesudah Δ VO2maks
3.32±6.26
1.60±4.55
-2.42±5.99
0.084
133 Lampiran 13 Uji ANCOVA selisih VO2maks pada 28 pekerja WUS anemia (Hb<120 g/l) Peubah respon: selisih VO2maks Jumlah Kuadrat Sumber kuadrat .db tengah F a Model 6960.052 4 1740.013 70.557 Intersep 4970.198 1 4970.198 210.592 VO2maks awal 3600.069 1 3600.069 150.637 Asupan Fe 1840.420 1 1840.420 80.009 Perlakuan 1840.177 2 920.089 30.999 Galat 5290.609 23 230.026 Total 12740.290 28 Total terkoreksi 12250.661 27 a. R Squared = 0.568 (Adjusted R Squared = 0.493)
.p value 0.000 0.000 0.001 0.009 0.032
Estimasi Peubah respon: selisih VO2maks 95% Selang kepercayaan Perlakuan
Rataan
Std. Error
Bawah
Atas
BF
2.904a
1.609
-.425
6.233
MVM
3.541a
1.605
.221
6.860
a
1.519
-5.253
1.032
P
-2.110
a. Rataan estimasi kovariat yang didapatkan berdasarkan model regresi dengan nilai: VO2maks awal = 40.454, Asupan Fe selama perlakuan = 14.25.
Perbandingan bberpasangan Peubah respon: selisih VO2maks 95% Selang kepercayaan perbedaana
(I) (J) Perlakuan Perlakuan
Selisih rataan (I-J)
Std. Error
Sig.a
Bawah
Atas
BF
-0.636
2.282
0.783
-5.357
4.084
P
5.015
*
2.217
0.033
0.428
9.601
BF
0.636
2.282
0.783
-4.084
5.357
P
5.651*
2.208
0.018
1.083
10.219
*
2.217
0.033
-9.601
-0.428
*
2.208
0.018
-10.219
-1.083
MVM P
MVM
BF MVM
-5.015 -5.651
134 Lampiran 14 Korelasi antar beberapa peubah terpilih Hb Peubah Laker
Hb awal
STfR
awal
Ht awal
SF awal
awal
Δ HB
Δ SF
Δ STFR
.r
-0.244
-0.269
-0.366*
0.362*
0.136
0.233
-0.089
.p
0.164
0.124
0.033
0.036
0.442
0.184
0.617
.r
1
0.847**
0.375*
-0.076
-0.593**
-0.085
-0.275
0.000
0.029
0.669
0.000
0.633
0.115
-0.031
-0.229
0.860
0.192
.p HT awal
SF awal
STfR awal
VO2maks awal
Pengel energi
Asupan energi
Asupan protein Asupan vitamin A Asupan vitamin C Asupan kalsium Asupan zat besi
.r
0.847
**
1
**
0.175
-0.041
-0.461
0.324
0.817
0.006
.p
0.000
.r
0.375
*
0.175
.p
0.029
0.324
.r
-0.076
-0.041
-0.116
.p
0.669
0.817
0.513
.r
-0.099
0.040
-0.197
.p
0.579
0.822
.r
0.114
.p
-0.353
0.513
0.041
0.000
0.114
1
-0.089
0.161
-0.656**
0.617
0.362
0.000
-0.173
0.124
0.146
0.122
0.264
0.328
0.485
0.409
0.491
0.119
-0.175
0.082
0.030
0.217
-0.023
0.521
0.504
0.322
0.646
0.865
0.217
0.895
.r
-0.144
-0.125
-0.088
0.169
0.159
-0.172
-0.199
.p
0.417
0.482
0.620
0.340
0.370
0.331
0.259
.r
-0.209
-0.272
-0.120
0.311
0.261
-0.118
-0.096
.p
0.235
0.120
0.500
0.073
0.137
0.508
0.589
.r
-0.110
-0.161
-0.178
0.091
0.361*
0.003
0.040
.p
0.535
0.362
0.315
0.609
0.036
0.988
0.821
-0.054
-0.058
-0.340*
.r
-0.381
.p
0.632
**
-0.622
**
-0.116
*
1
*
-0.276
-0.279
-0.190
0.026
0.111
0.282
0.000
0.763
0.744
0.049
.r
0.196
0.283
0.170
0.034
0.091
-0.316
-0.025
.p
0.267
0.105
0.337
0.847
0.609
0.069
0.890
.r
-0.248
-0.261
-0.153
0.323
0.152
-0.274
-0.145
.p
0.156
0.137
0.387
0.062
0.390
0.117
0.414
135 Lampiran 15 Prosedur pengambilan darah, penanganan sampel, serta pengujian hemoglobin, hematokrit, serum feritin dan serum transferin reseptor 1
Pengambilan darah a Darah diambil dari vena kubiti. b Pada kulit di daerah yang akan ditusuk didesinfeksi dengan kapas yang sudah diberi alkohol dengan arah berputar keluar (sentrifugal). c Lengan atas diikat dengan karet. d Petugas menunggu sampai bekas gosokan alkohol mengering. e Petugas menggunakan semprit 3 ml, dibuka tutup jarumnya. f Dengan lubang ujung menghadap keatas, vena ditusuk pelan-pelan. Bila ujung jarum telah masuk vena, maka dirasakan tekanan yang sekonyongkonyong berkurang. Vena yang besar dapat ditusuk langsung, sedangkan vena yang kecil ditusuk secara tidak langsung melalui tusukan disamping vena, lalu ditembus. g Bila berhasil segera terlihat darah memasuki semprit, darah diisap perlahanlahan sampai 3 ml. h Bila darah tidak berhasil diambil, dilakukan pengulangan pengambilan pada lengan yang lain. i Jika darah yang diperlukan sudah cukup, ikatan karet dilepaskan. j Jarum dicabut perlahan-lahan sambil ditempat tusukan ditekan dengan kapas beralkohol. k Bekas tusukan jarum ditutup dengan plester (tensoplast).
2 Penanganan Sampel Darah yang diperoleh pada prosedur di atas dibagi menjadi dua tabung. Sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung pertama yang telah diberi EDTA untuk pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit (dijaga jangan sampai beku, ditaruh dalam cool box) dan segera dianalisis dalam waktu kurang dari 2 jam. Tabung lainnya tanpa EDTA diisi 2.0 ml darah untuk pemeriksaan kadar serum ferritin dan transferin reseptor, darah di dalam tabung dijaga agar tetap beku, dimasukkan ke dalam freeze box.
136 3 Pengujian Analisis Hemoglobin dan Hematokrit Pengujian hemoglobin dan hematokrit menggunakan mesin analisis darah (hematology analyzer Sysmex KX 21) yang dapat mengukur darah lengkap secara otomatis (digital). Tabung dengan EDTA yang berisi 1 ml darah dikocok selama kurang lebih 30 detik dengan tangan, kemudian dipasang ke jarum mesin analisis darah, lalu pencet tombol biru. Setelah darah dalam tabung terhisap oleh jarum mesin, tabung segera dilepaskan dari mesin. Hasil analisis darah lengkap akan keluar dalam tempo kurang lebih 60 detik.
4 Pengujian Serum Feritin
137
138
139
5. Pengujian Serum transferin reseptor
140
141
Lampiran 16 Prosedur Pengukuran Kebugaran Fisik Kebugaran fisik WUS diukur dengan cara menghitung VO2maks. Kebugaran Fisik merupakan fungsi kerja jantung, pembuluh darah, paru-paru, dan otot pada efisiensi optimum. Kebugaran Fisik didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang menggunakan otot secara memuaskan pada kondisi khusus (Marley, 1982). Satuan ukuran VO2maks adalah “milliliter oksigen dalam satu menit untuk setiap kilogram berat badan (ml/kg/min)”. VO2maks WUS dihitung dengan cara melakukan uji bangku A-R (AstrandRyhming Step Test ) dengan mengadopsi protokol Astrand-Ryhming Step Test Norms For College Students (Marley & Linnerud 1976).
Uji bangku A-R
merupakan modifikasi dari Uji bangku Harvard. Test/uji ini dirancang untuk mengukur daya tahan kardiovaskular yang merefleksikan bagaimana kerjasama antara jantung dan paru-paru untuk mensuplai oksigen ke tubuh selama melakukan pekerjaan berat dan latihan. Uji bangku A-R: 1 Alat yang diperlukan: bangku setinggi 13 inci (33 cm), stopwatch dan metronome. 2 Dilakukan di sebuah ruangan yang sejuk. 3 WUS diminta untuk naik-turun bangku selama 5 menit dengan frekuensi untuk wanita sebanyak 22,5 kali per menit (dijaga stabil dengan mengikuti irama yang disetel dari metronome diset pada 90 step/menit).
142 4 Naik turun bangku dimulai dengan naik menggunakan satu kaki, diikuti dengan kaki yang lain dan kemudian turun dengan satu kaki dan diikuti kaki yang lain. 5 Pada akhir menit ke lima, peserta diminta untuk tetap berdiri dan denyut jantungnya akan segera dicek selama 15 detik sejak 15 detik pemulihan. Pengukuran denyut jantung dilakukan secara palpasi pada leher (carotid artery) 6 Penilaian VO2maks untuk wanita dihitung dengan menggunakan Tabel Astrand-Ryhming Step Test Norms.