i
EFEK SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN MINERAL TERHADAP KADAR MALONDIALDEHID (MDA) PLASMA REMAJA PUTRI
GIAN NUBEKTI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
ABSTRACT GIAN NUBEKTI. The effect of multivitamin mineral supplementation to malondialdehyde plasma of female adolescent. Supervised by RIMBAWAN & MIRA DEWI. The objective of this study was to analyze effect of multivitamin mineral (MVM) supplementation to malondyaldehide plasma of female adolescent. Design of this study was the quasi experimental with control, double blind. Samples were First Common Year female students of Bogor Agricultural University (TPB-IPB). The 28 samples consisted of 11 anemia and 17 nonanemia were divided into control and intervention group. There were control anemia group (6 samples), intervention anemia group (5 sampels), control nonanemia group (7 samples) and intervention non anemia group (10 samples). Intervention group received MVM supplement 15 ml/day that contained vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3, vitamin B6, vitamin B12, vitamin C, ferro gluconate, calcium gluconate, mangan sulfate, and zinc sulfate, whereas control group received placebo syrup. The malondialdehyde plasma was analyzed by TBARS method. The statistical test (Anova) showed that malondialdehyde were relatively homogenous in baseline and also endline (p>0,05). The results of paired sample t-test showed that there were no significant changing in plasma malondyaldehide concentration in all groups (p>0.05) respectively. Based on this result, we concluded that there was no influence of multivitamin mineral suplementation to plasma malondialdehyde on female adolescent. Keyword: Anemia, female adolescent, multivitamin mineral supplement, hemoglobin, plasma malondialdehyde.
iii
RINGKASAN GIAN NUBEKTI. Efek Suplementasi Multivitamin Mineral Terhadap Kadar Malondialdehid (MDA) Plasma Remaja Putri. Dibimbing oleh RIMBAWAN dan MIRA DEWI. Anemia memberikan banyak dampak dalam kehidupan. Penelitian yang dilakukan El Azab et al. (2008) dan Emokpae et al. (2010) menunjukkan bahwa kondisi kekurangan hemoglobin dapat menyebabkan penurunan sistem pertahanan tubuh. Salah satu penanganan anemia dapat dilakukan dengan pemberian suplementasi Fe ataupun suplemen multivitamin mineral (MVM). Beberapa hasil penelitian menunjukkan pemberian MVM lebih efektif dalam menangani anemia. Pemberian suplemen besi saja dalam kasus tertentu dapat menyebabkan peningkatan stres oksidatif dalam tubuh. Dalam penelitian ini sampel diberikan suplemen multivitamin mineral yang selain diharapkan dapat memperbaiki status besi tubuh juga dapat memperbaiki status oksidatif tubuh. Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian suplemen multivitamin mineral terhadap kadar malondialdehid remaja putri. Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1) Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi dan status gizi sampel, 2) Menganalisis frekuensi pangan antioksidan sampel, 3) Menganalisis asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi rata-rata sampel, 4) Menganalisis hubungan antara kadar hemoglobin dan kadar malondialdehid, dan 5) Menganalisis pengaruh pemberian suplemen multivitamin mineral terhadap kadar MDA plasma. Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimental tersamar ganda dengan kontrol. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 28 orang yang terbagi kedalam 4 kelompok perlakuan: Kontrol anemia, kontrol non-anemia, intervensi anemia, dan intervensi non-anemia. Analisis kadar MDA dilakukan di laboratorium Biokimia Gizi Departemen Gizi Masyarakat, IPB, dengan metode TBARs. Analisis kadar Hb dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia dengan metode cyanmethemoglobin. Penelitian dilaksanakan pada April-September 2012. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer berupa data karakteristik sampel, status gizi, konsumsi, dan data kadar MDA. Data karakteristik sampel dan data konsumsi diperoleh melalui wawancara kuisioner. Data status gizi diperoleh melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan serta persen lemak tubuh pada saat sebelum dan sesudah intervensi. Data konsumsi diperoleh melalui kuisioner food frequency dan food record. Wawancara food frequency dilakukan di awal penelitian, sedangkan pengisian food record dilakukan sebanyak dua kali dalam seminggu pada hari kerja dan hari libur selama 56 hari intervensi. Data-data dari food record diolah menggunakan Nutrisurvey untuk memperoleh asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi. Selanjutnya data tersebut digunakan untuk memperkirakan total asupan antioksidan pangan antioksidan sampel. Kandungan antioksidan pangan diperoleh melalui The Antioxidant Food Table (Carlsen et al. 2010). Analisis MDA dilakukan di awal dan akhir penelitian. Seluruh data diolah menggunakan Ms. Excel dan SPSS 16. Pengelompokan tingkat kecukupan energi dan protein adalah <70% defisit berat, 70-79.9% defisit sedang, 80-89.9% defisit ringan, 90-109.9% normal, dan >110% berlebih (Depkes 1996). Tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikelompokkan menjadi <77% kurang dan ≥77% cukup (Gibson 2005). Kadar Hb dikelompokkan menjadi normal (≥12 mg/dl), anemia ringan (10-12 mg/dl), dan anemia sedang
iv
(<10 mg/dl). Parameter kadar malondialdehid yang digunakan adalah normal (<1.01 μmol/L), dan tidak normal (>1,01 μmol/L) (Wasowicz et al. 1993). Rata-rata usia seluruh sampel adalah 18.80±0.25 tahun, dan dengan uji Anova ditunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata usia sampel (p>0.05) pada seluruh kelompok perlakuan. Rata-rata pendapatan sampel adalah sebesar Rp 736 846±235. Rata-rata biaya konsumsi pangan sampel adalah sebesar Rp 15 383/hari. Berdasarkan uji Anova, tidak terdapat perbedaan nyata pendapatan dan pengeluaran pangan sampel pada masing-masing kelompok perlakuan (p>0.05). Asupan dan tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, vitamin B1, B2, B6, kalsium, Fe dan seng dari makanan tidak berbeda nyata pada seluruh kelompok perlakuan (p>0.05). Dengan adanya suplementasi, asupan vitamin C, vitamin B1, B2, B6, Fe, dan seng berbeda nyata antara kelompok kontrol anemia dan non anemia dengan kelompok intervensi anemia dan nonanemia, sedangkan asupan dan tingkat kecukupan kalsium masih tetap relatif sama pada seluruh kelompok perlakuan. Rata-rata asupan antioksidan pangan seluruh kelompok perlakuan adalah sebesar 2.44 mmol/hari. Tingkat kecukupan energi sampel sebanyak 43% (n=12) berada pada kategori defisit berat dan 40% (n=11) sampel dalam kategori defisit sedang. Tingkat kecukupan protein sampel sebagian besar berada dalam kategori normal (57%). Tingkat kecukupan vitamin A sampel 100% (n=28) berada dalam kategori cukup, sedangkan tingkat kecukupan vitamin E, vitamin C, vitamin B1, zat besi, vitamin B2, B6 sampel sebagian besar berada dalam kategori kurang. Rata-rata berat badan (BB) seluruh sampel sebelum dan sesudah intervensi adalah 51.98±7.07 kg dan 51.46±7,65 kg. Rata-rata tinggi badan sampel sebelum dan sesudah intervensi adalah 154.3±5.77 cm. Rata-rata persen lemak tubuh sampel pada sebelum dan sesudah intervensi adalah sebesar 27.21% dan 27.24±4.51%. Tidak terdapat perbedaan nyata berat badan dan tinggi badan antar kelompok perlakuan baik sebelum dan sesudah intervensi. IMT dan persen lemak tubuh setelah intervensi berbeda nyata antara kelompok perlakuan. Berdasarkan uji Paired t-test, berat badan, IMT dan persen lemak tubuh tidak berubah secara nyata. Rata-rata kadar malondialdehid plasma sebelum dan sesudah intervensi adalah sebesar 1.44±0.27 μmol/L dan 1.37±10.19 μmol/L. Berdasarkan uji Anova, tidak terdapat perbedaan nyata kadar MDA pada seluruh kelompok perlakuan, baik sebelum dan sesudah intervensi. Uji paired t-test menunjukkan tidak terdapat perubahan yang nyata kadar MDA sebelum dan sesudah intervensi pada seluruh kelompok perlakuan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian suplemen MVM tidak berpengaruh terhadap kadar MDA plasma. Berdasarkan uji Korelasi ditunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar hemoglobin dengan kadar malondialdehid. Namun berdasarkan data penelitian awal dan akhir penelitian menunjukkan adanya kecenderungan bahwa sampel dengan kadar hemoglobin lebih rendah memiliki kadar MDA lebih tinggi. Selain itu semakin besar peningkatan hemoglobin maka semakin besar pula penurunan kadar malondialdehid.
v
EFEK SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN MINERAL TERHADAP KADAR MALONDIALDEHID (MDA) PLASMA REMAJA PUTRI
GIAN NUBEKTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
vi
Judul
:
Efek Suplementasi Multivitamin Mineral terhadap Kadar Malondialdehid (MDA) Plasma Remaja Putri : Gian Nubekti : I14080004
Nama NIM
Disetujui oleh
Dr. Rimbawan Pembimbing 1
dr. Mira Dewi, S.Ked, M.Si Pembimbing 2
Diketahui oleh
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
vii
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efek Suplementasi Multivitamin Mineral Terhadap Kadar Malondialdehid (MDA) Plasma Darah Remaja Putri” sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan usulan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1.
Mama dan Papa tercinta yang selalu memberikan kasih sayang dan senantiasa berdoa untuk kesuksesan penulis. Adikku tersayang atas dukungan persaudaraan yang selalu diberikan kepada penulis.
2.
Dr. Rimbawan dan dr. Mira Dewi, S.Ked, M.Si selaku dosen pembimbing yang senantiasa membimbing, memberikan saran, masukan, dan arahannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih banyak atas semua bimbingan dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis.
3.
Dr.Ir. Hadi Riyadi, MS selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji atas segala kritik, saran, dan masukan yang telah diberikan kepada penulis.
4.
Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan dan masukannya selama ini.
5.
Bapak Mashudi, sebagai pembimbing di Laboratorium Biokimia Gizi dan Analisis Pangan dan Gizi atas segala ilmu dan bimbingan yang luar biasa diberikan kepada penulis.
6.
Direktorat Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor yang telah menyediakan dana untuk penelitian ini.
7.
Mahasiswi-mahasiswi
Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB, sebagai
responden dalam penelitian yang bersedia mengikuti rangkaian penelitian dari awal hingga akhir. 8.
Rama Andhita Setiawan, Miftahul Jannah, Angga Hardiansyah, Nazhif Giffari, Dea Amanda, Finata Rastic Andrari, Ni Putu Ayuning Wulandari, Rani Prawitasari D, Rahayu Kania R, Megah Stefani, Dheanni Fitria Y, Desti Sagita P, Marsha, Dini, Kenyar, Ayu Sekar, Wina, Ishlah, Ina, Encang, Raya, Restu, dan Viga. Terima kasih atas semangat, kebersamaan dan perjuangan dalam penelitian dan penyusunan tugas akhir ini.
viii
9.
Seluruh Staf Tata Usaha Gizi Masyarakat, atas semua kelancaran administratif dan bantuan yang telah diberikan selama penulis kuliah di Departemen Gizi Masyarakat.
10. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber informasi bagi penelitian selanjutnya.
Bogor, Maret 2013
Gian Nubekti
ix
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Banjarnegara pada tanggal 08 September 1989. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Sarbini dan Ibu Supriyati. Pendidikan SD ditempuh di SDN Korpri III Baleendah dan SDN 1 Semampir, kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMPN 1 Banjarnegara dan SMPN 1 Mataram. Pada tahun 2008, penulis lulus dari SMAN 1 Mataram dan mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswi penulis aktif dalam berbagai kegiatan kampus. Pada tahun 2009-2012, penulis aktif dalam himpunan keprofesian HIMAGIZI (Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi) sebagai staf Informasi dan Komunikasi, serta Staf Hubungan Kemasyarakatan. Pada tahun 2012, penulis menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Gizi Dalam Daur Kehidupan (GDDK) dan Ekonomi Pangan dan Gizi (EPG). Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif sebagai anggota dalam
Perkumpulan Pecinta Tari Saman Institut Pertanian
Bogor (IPB), Bungong Puteh. Penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitian baik skala regional maupun nasional. Selain itu, penulis merupakan penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) periode 2011-2012. Penelitian yang berjudul “Efek Suplementasi Multivitamin Mineral Terhadap Kadar Malondialdehid (MDA) Plasma Darah Remaja Putri” dilakukan sebagai tugas akhir penulis untuk meraih gelar Sarjana Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini merupakan salah satu program Direktorat Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor dalam upaya menangani berbagai masalah gizi anemia di Tingkat Persiapan
Bersama (TPB-IPB)
dan mendapatkan
dana dari
Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2012.
Direktorat
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI
x
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
3
Tujuan umum
3
Tujuan khusus
3
Hipotesis
4
Manfaat Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
Remaja
5
Anemia
6
Suplementasi Zat Besi
8
Zat Besi
9
Vitamin C
9
Kalsium
10
Mangan
11
Seng
11
Radikal Bebas
12
Antioksidan
14
Parameter untuk Menilai Status Oksidatif (Kadar MDA)
15
KERANGKA PEMIKIRAN
17
METODOLOGI PENELITIAN
19
Tempat dan Waktu
19
Desain Penelitian
19
Teknik dan Penarikan Contoh
19
Pelaksanaan Suplementasi
20
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
21
Pengolahan dan Analisis Data
23
xi
Halaman HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sampel
27 27
Latar Belakang Sosial Ekonomi Keluarga
27
Umur
29
Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Sampel
29
Status Gizi Antropometri
30
Konsumsi Pangan
33
Kebiasaan Konsumsi Pangan Antioksidan Asupan dan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi
34 36
Asupan dan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein
36
Asupan dan Tingkat Kecukupan Vitamin
39
Asupan dan Tingkat Kecukupan Mineral
44
Asupan Antioksidan Pangan
47
Suplementasi Multivitamin Mineral
47
Kepatuhan Konsumsi Suplemen
47
Konsumsi Suplemen
49
Kadar Malondialdehid Plasma
50
Kadar Malondialdehid Plasma Sebelum Intervensi
50
Kadar Malondialdehid Plasma Setelah Intervensi
52
Pengaruh Pemberian Suplemen Multivitamin Mineral terhadap Kadar Malondialdehid Plasma
53
Hubungan Kadar Hemoglobin dengan Kadar Malondialdehid
55
KESIMPULAN DAN SARAN
59
Kesimpulan
59
Saran
60
DAFTAR PUSTAKA
61
LAMPIRAN
66
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20 21 22 23 24
Angka kecukupan gizi usia remaja perempuan Batas normal kadar hemoglobin Kandungan zat gizi suplemen multivitamin mineral Variabel, indikator dan cara pengumpulan data Kategori dan kriteria untuk setiap variabel penelitian Karakteristik sosial-ekonomi sampel dan keluarga sampel menurut kelompok perlakuan Rata-rata sebaran umur sampel pada masing-masing kelompok Pemasukan dan pengeluaran pangan perbulan sampel pada masingmasing kelompok Rata-rata berat badan, tinggi badan, indeks masa tubuh dan persen lemak tubuh sampel menurut kelompok sebelum dan sesudah suplementasi Rata-rata frekuensi konsumsi pangan tinggi dan kaya antioksidan Asupan energi dan protein dari makanan dan suplemen multivitamin mineral pada masing-masing kelompok perlakuan Tingkat kecukupan gizi energi dan protein masing-masing kelompok perlakuan Sebaran sampel menurut tingkat kecukupan energi dan protein pada masing-masing kelompok perlakuan Asupan vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin B6 dengan dan tanpa asupan suplemen multivitamin mineral Angka kecukupan vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin B6 dari makanan dan suplemen pada masing-masing kelompok perlakuan Sebaran sampel menurut tingkat kecukupan vitamin A, vitamin E, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin B6 pada masing-masing kelompok perlakuan Asupan mineral dari makanan dan suplemen pada masing-masing kelompok perlakuan1 Tingkat kecukupan zat gizi kalsium, zat besi dan seng dari makanan dan suplemen pada masing-masing kelompok perlakuan Sebaran sampel menurut tingkat kecukupan kalsium, zat besi, dan seng dari makanan dan suplemen pada masing-masing kelompok perlakuan Asupan antioksidan pangan per hari sampel selama suplementasi Tingkat kepatuhan konsumsi suplemen multivitamin mineral berdasarkan kuisioner kepatuhan dan penimbangan sisa suplemen Rata-rata asupan zat gizi dari suplemen multivitamin mineral per hari sampel selama intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan Sebaran kadar malondialdehid plasma sampel sebelum intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan Sebaran sampel menurut kadar malondialdehid plasma sebelum intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan
6 7 21 22 24 28 29 29
30 34 37 38 38 39
42 42 44 46 46 47 48 50 51 53
xiii
25 Kadar malondialdehid plasma sebelum dan sesudah intervensi 26 Rata-rata kadar malondialdehid berdasarkan kategori anemia pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi
Halaman 53 56
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Reaksi oksidasi dan reduksi vitamin C 2 Sistematika eliminasi ROS di dalam tubuh dan pembentukan radikal hidroksil (OH*) melalui reaksi Haberr-Weiss dan Fenton 3 Diagram alir kerangka pemikiran pengaruh pemberian suplemen multi vitamin mineral terhadap kadar MDA 4 Rancangan penelitian 5 Rata-rata kadar malondialdehid plasma sebelum intervensi masingmasing kelompok perlakuan 6 Rata-rata kadar malondialdehid plasma sesudah intervensi masingmasing kelompok perlakuan 7 Kadar Hb dan malondialdehid sebelum dan sesudah intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan
10 13 18 21 51 52 55
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Langkah-langkah analisis kadar malondialdehid metode TBARs (Soewoto et al. 2001) 2 Kadar malondialdehid dan kadar hemoglobin seluruh sampel sebelum dan sesudah intervensi 3 Analisis uji statistik oneway Anova kadar malondialdehid plasma sebelum, sesudah dan selisih MDA intervensi 4 Uji Paired T-test kadar malondialdehid sebelum dan sesudah intervensi 5 Uji korelasi kadar hemoglobin dengan kadar malondialdehid 6 Kuisioner penelitian
67 68 69 69 70 71
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Remaja merupakan periode penting karena merupakan kehidupan di antara periode anak-anak dan dewasa (Turner & Helms 1991). Perkembangan seorang anak menjadi dewasa merupakan suatu tahap yang penting. Remaja merupakan periode dalam kehidupan yang secara gizi perlu dipertimbangkan karena tiga sebab, yaitu adanya peningkatan energi dan zat gizi yang sangat besar akibat pertumbuhan dan perkembangan fisik yang pesat, perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan remaja yang mempengaruhi asupan dan zat gizi, serta adanya kelompok remaja yang memiliki kebutuhan gizi khusus (Ricket 1995). Secara khusus, terdapat empat masalah gizi utama yang masih dihadapi Indonesia yaitu gangguan akibat kurang iodium (GAKI), anemia gizi besi (AGB), kurang vitamin A (KVA), dan kurang energi dan protein (KEP) (Atmarita 2005). Ruel (2001) menyatakan kekurangan zat besi atau lebih dikenal dengan anemia gizi besi (AGB) merupakan masalah gizi kurang yang banyak diderita oleh remaja putri. Anemia adalah suatu kondisi kekurangan sejumlah eritosit dan hemoglobin (salah satu bentuk heme) yang membatasi pertukaran oksigen dan karbondioksida dari darah ke jaringan (Stopler dalam Mahan & Stump 2008). World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa dari 2 milyar penduduk dunia, sekitar 40% dari total penduduk tersebut mengalami anemia. Grup populasi yang memiliki prevalensi anemia paling besar adalah wanita hamil dan tua (50%), bayi dan anak-anak usia 1-2 tahun (48%), anak sekolah (40%), wanita tidak hamil (35%), dan anak usia prasekolah (25%). Empat dari enam penelitian pada remaja menunjukkan prevalensi anemia remaja berkisar antara 32-55% pada masing-masing gender (Kurz et al. dalam Kraemer & Zimmermann 2007). Berdasarkan data Departemen Kesehatan (2008), prevalensi anemia di Indonesia masih cukup tinggi yaitu pada remaja wanita (26,50%), wanita usia subur (40,1%), dan anak balita (47,0%). Berdasarkan data prevalensi yang disebutkan, defisiensi besi merupakan suatu masalah endemik yang merupakan masalah paling umum terjadi dalam dunia kesehatan wanita. Selain itu, dampak yang dapat ditimbulkan oleh anemia juga begitu tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Emokpae et al (2010) menunjukkan bahwa salah satu dampak yang ditimbulkan dari anemia adalah rendahnya sistem pertahanan tubuh terhadap radikal bebas yang diperlihatkan
2
melalui rendahnya serum glutation peroksidase, superoxide dismutase dan katalase yang lebih rendah dibandingkan pada kelompok kontrol. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh El-Azab et al (2008) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar Hb dengan stres oksidatif. Semakin rendah kadar hemoglobin, maka stres oksidatif meningkat. Hal ini mengharuskan diberikannya pencegahan dan pengobatan menggunakan zat besi (Fe) pada penderita anemia (Orozco et al. 2010). WHO merekomendasikan pencegahan anemia pada usia reproduktif dengan memberikan
suplementasi zat besi
sebanyak 60 mg/hari. Dalam kondisi tertentu, pemberian suplemen besi yang berlebih pada tubuh dapat menyebabkan peningkatan stres oksidatif tubuh. Penelitian yang dilakukan pada binatang dan manusia telah menunjukkan bahwa suplementasi besi dan stres oksidatif saling berkaitan (Kamp & Donangelo 2008). Lund et al. dalam Orozco et al. (2010) menyatakan bahwa pada penelitian yang dilakukan di Norwich, UK pemberian suplementasi Fe sebesar 60 mg/hari (sesuai rekomendasi WHO) dan sebesar 240 mg/hari pada populasi dengan status defisiensi anemia sangat tinggi, keduanya dapat menyebabkan terjadinya peningkatan stres oksidatif di usus (intestinal lumen). Hasil penelitian Lund et al. (1999), menunjukkan bahwa suplementasi besi sebanyak 19 mg/hari selama 2 minggu dapat meningkatkan stres oksidatif secara in vitro sebanyak 40% pada feses sampel yang dikumpulkan selama intervensi. Baik kondisi anemia maupun suplementasi besi saja dapat menyebabkan efek peningkatan stres oksidatif tubuh atau peningkatan kadar MDA. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Knutson et al (2000) yang menyatakan bahwa baik defisiensi besi maupun suplemen besi dapat meningkatkan stres oksidatif. Kondisi stres oksidatif pada subjek anemia baik dengan atau tanpa suplementasi besi dalam berbagai penelitian tersebut menarik peneliti untuk menganalisis stres oksidatif pada remaja putri dengan anemia dan tidak anemia. Stres oksidatif terjadi apabila jumlah radikal yang ada dalam tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah antioksidan tubuh. Radikal bebas dalam tubuh akan paling mudah menyerang komponen makro seperti protein, lemak, dan unsur DNA termasuk karbohidrat (Winarsi 2007). Pengukuran radikal bebas dalam tubuh yang paling umum adalah mengukur kerusakan jaringan lipid dengan mengukur senyawa malondialdehid (MDA) yang peroksidasi lipid (Reilly et al 1991 dalam Arkhaesi 2008).
merupakan produk
3
Pada penelitian ini sampel diberi suplemen multivitamin mineral. Suplemen multivitamin mineral dalam berbagai penelitian menunjukkan peranan yang lebih baik dalam mengatasi anemia dan sistem pertahanan tubuh. Briawan (2008) menyatakan bahwa kapsul B-MV (multivitamin mineral) berhasil memperbaiki status besi lebih baik dibandingkan perlakuan lain (kapsul besifolat).
Penelitian
yang
dilakukan
Ernawati
(2009)
menunjukkan
bahwa
multivitamin mineral lebih mampu memperbaiki status antioksidan primer dalam tubuh dibandingkan perlakuan lain (plasebo, plasebo + TT, vitamin C, vitamin C + TT, dan MVM+TT). Pemberian multivitamin mineral dalam penelitian ini selain mengandung zat besi juga mengandung zat gizi lain seperti vitamin C dan seng sebagai vitamin antioksidan, sehingga diharapkan selain dapat memperbaiki status besi juga dapat memperbaiki status antioksidan dalam tubuh yang ditunjukkan oleh penurunan kadar malondialdehid. Tujuan 1. Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian suplemen multivitamin mineral terhadap kadar malondialdehid remaja putri. 2. Tujuan khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi sampel 2. Mengidentifikasi status gizi antropometri sampel 3. Menganalisis frekuensi pangan sumber antioksidan sampel 4. Menganalisis asupan dan tingkat kecukupan energi dan
zat gizi, serta
asupan total antioksidan pangan sampel 5. Mengetahui kadar malondialdehid plasma sampel sebelum dan sesudah intervensi 6. Menganalisis pengaruh pemberian suplemen multivitamin mineral terhadap kadar malondialdehid 7. Menganalisis hubungan kadar hemoglobin dengan kadar malondialdehid plasma
4
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terjadi perbaikan status antioksidan dalam tubuh sampel setelah intervensi yang diperlihatkan oleh menurunnya kadar malondialdehid. 2. Terdapat hubungan antara kadar malondialdehid dengan kadar hemoglobin sampel 3. Kadar malondialdehid plasma pada sampel anemia lebih tinggi dibandingkan dengan sampel tidak anemia Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam pemilihan suplementasi Fe yang tepat kepada remaja anemia. Pemberian suplementasi yang tepat selain dapat meningkatkan kadar hemoglobin, semakin baik jika mampu
meningkatkan
status
oksidatif
dengan
menurunkan
kadar
malondialdehid. Penelitian ini penting untuk menambah pengetahuan ilmiah, bahwasannya dampak yang ditimbulkan anemia secara lebih luas kembali adalah adanya pengaruh terhadap status oksidatif tubuh, sehingga diperlukan penanggulangan yang lebih baik.
5
TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja (adolescent) adalah individu yang berkembang dari masa kanakkanak menuju kedewasaan (Neufeldt & Guralnik 1996 dalam Valentini & Nisfiannoor 2006). Valentini & Nisfiannoor (2006) mengemukakan definisi remaja yang dikemukakan WHO pada tahun 1974 yaitu individu yang berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menuju dewasa, dan individu yang mengalami peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menjadi suatu kemandirian. Rentang usia individu sebagai remaja berbeda-beda. Menurut Papalia et al. (2004), individu pada masa remaja berusia antara 11 tahun sampai dengan 20 tahun. Menurut Valentini & Nisfiannoor (2006), usia remaja yakni antara 12 tahun sampai dengan 21 tahun. Sarwono (2003) dalam Valentini & Nisfiannoor (2006), mengemukakan bahwa usia remaja berkisar antara 13 tahun sampai dengan 19 tahun, namun definisi remaja untuk masyarakat Indonesia adalah individu yang berusia antara 11 tahun sampai dengan 24 tahun dan belum menikah. Secara umum, masa remaja terbagi dalam beberapa kelas yaitu remaja awal (early adolescent) usia antara 10-13 tahun, remaja pertengahan (middle adolescent) usia 14-17 tahun, dan remaja akhir (late adolescent) usia 18-21 tahun (Badriah 2005). Usia remaja (10-18 tahun) merupakan periode rentan gizi karena berbagai sebab. Pertama, remaja memerlukan zat gizi yang lebih tinggi karena peningkatan pertumbuhan fisik dan perkembangan yang dramatis. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan remaja mempengaruhi baik asupan maupun kebutuhan gizinya. Ketiga, remaja yang mempunyai kebutuhan gizi khusus yaitu remaja yang aktif dalam kegiatan olahraga, menderita penyakit kronis, sedang hamil, melakukan diet secara berlebihan, pecandu alkohol atau obat terlarang (Almatsier et al. 2011). Penetapan Angka Kecukupan Gizi (AKG) energi dan protein usia remaja sukar ditentukan karena besarnya variasi pada kecepatan pertumbuhan, aktivitas fisik, laju metabolisme, keadaan fisiologis, dan kemampuan beradaptasi pada usia remaja. Untuk alasan praktis, Angka Kecukupan Gizi remaja dikategorikan berdasarkan
usia
kronologis
dan
bukan
berdasarkan
perkembangan
6
kematangannya. Dengan demikian para praktisi hendaknya berhati-hati dalam menggunakan AKG, terutama dalam penilaian perorangan. Untuk kelompok remaja, AKG dapat digunakan sebagai pedoman umum dalam menilai penduduk yang
beresiko
kurang
mengkonsumsi
membandingkan asupan perorangan, mempertimbangkan
faktor
makanan.
perlu diingat
keamanan,
dengan
Akan bahwa
demikian
tetapi
dalam
AKG
sudah
maka
asupan
perorangan di bawah AKG tidak secara otomatis berarti asupan gizinya kurang atau tidak mencukupi kebutuhannya (Almatsier et al. 2011). Angka kecukupan gizi usia remaja ditampilkan dalam Tabel 1. Tabel 1
Angka kecukupan gizi usia remaja perempuan
Zat Gizi Energi (kkal) Protein (g) Vitamin A (RE) Vitamin D (μg) Vitamin E (mg) Vitamin K (μg) Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin Asam folat Piridoksin (mg) Vitamin B12 (μg) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Magnesium (mg) Besi (mg) Yodium (μg) Seng (mg) Selenium (μg) Mangan (mg) Fluor (mg)
10-12 (tahun) 2050 50 600 5 11 35 1 1 12 300 1.2 1.8 50 1000 1000 180 20 120 12.6 20 1.6 1.8
Remaja 13-15 (tahun) 2350 57 600 5 15 55 1.1 1 13 400 1.2 2.4 65 1000 1000 230 26 150 15.4 30 1.6 2.4
16-18 (tahun) 2200 55 600 5 15 55 1.1 1 14 400 1.2 2.4 75 1000 1000 240 26 150 14 30 1.6 2.5
Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004
Anemia Anemia adalah defisiensi sel darah merah atau kekurangan hemoglobin. Hal ini mengakibatkan jumlah sel darah merah berkurang atau jumlah sel darah merah normal namun hemoglobin subnormal (Sloane 1995). Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar hemoglobin kurang dari normal (Depkes 2008). Nilai tersebut berbeda-beda untuk kelompok umur dan jenis kelamin sebagaimana ditetapkan oleh WHO seperti tercantum pada Tabel 2.
7
Tabel 2 Batas normal kadar hemoglobin Kelompok Anak
Dewasa
Umur 1-4 tahun 5-11 tahun 12-14 tahun Laki-laki (≥15 tahun) Wanita (≥15 tahun) Wanita hamil
Hemoglobin (g/dl) 11 11.5 12 13 12 11
*WHO (2001)
Berikut ini adalah beberap jenis anemia berdasarkan Sloane (1995): 1. Anemia hemoragi terjadi akibat kehilangan darah akut. Sumsum tulang secara bertahap akan memproduksi sel darah merah baru untuk kembali ke kondisi normal 2. Anemia defisiensi zat besi terjadi akibat penurunan asupan makanan, penurunan daya absorbsi, atau kehilangan zat besi secara berlebihan 3. Anemia apiastik (sumsum tulang tidak aktif), ditandai dengan penurunan sel darah merah secara besar-besaran. Hal ini dapat terjadi karena pajanan radiasi berlebihan, keracunan zat kimia atau kanker 4. Anemia sel sabit (sickle sel anemia) adalah penyakit keturunan dimana hemoglobin berbeda dari hemoglobin normal dikarenakan ada pergantian satu asam amino pada rantai polipetida beta. Faktor resiko anemia berdasarkan Gibney et al. (2009) adalah simpanan zat besi yang buruk, ketidak cukupan gizi, peningkatan kebutuhan, malabsorbsi dan kehilangan, hemoglobinopati (pembentukan hemoglobin yang abnormal), dan obat serta faktor lainnya. Anemia merupakan salah satu masalah gizi yang banyak memberikan dampak negatif. Emokpae et al. (2010) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pada subjek anemia khususnya kelompok subjek yang mengalami anemia hemolitik kronik memiliki serum glutation peroksidase, superoxide dismutase dan katalase yang lebih rendah dibandingkan pada kelompok kontrol. Selain itu, malondialdehid, C-reactive protein dan fibrinogen secara signifikan meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Malondialdehid berkolerasi negatif dengan superoksida dismutase (SOD) (p < 0,01), glutathione peroxidase (p < 0,05) dan berkolerasi positif dengan C - reactive protein dan fibrinogen. Hemoglobin yang merupakan bagian dari sel darah merah sangat berpotensi terkena stres oksidatif yang disebabkan adanya ketidakseimbangan antara produksi Reaktive Oxygen Species (ROS) dengan antioksidan yang ada dalam tubuh.
8
Penelitian yang dilakukan oleh El-Azab et al. (2008) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar Hb dengan stres oksidatif (MDA). Penelitiannya dilakukan terhadap pasien yang mengalami anemia berat akibat hemodialisis ginjal. Dalam penelitian tersebut ditunjukkan bahwa rata-rata kadar MDA pada pasien hemodialisis signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,0001). Aktifitas SOD, GSH-Px, level selenium plasma dan hemoglobin lebih rendah sangat signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,0001). Dengan demikian, terdapat hubungan korelasi negatif yang signifikan antara kadar MDA dan konsentrasi hemoglobin (r=0,62, p=0,002). Suplementasi Zat Besi Prinsip dasar dalam pencegahan dan pengendalian anemia karena gizi besi adalah memastikan konsumsi zat besi secara teratur untuk memenuhi kebutuhan tubuh dan untuk meningkatkan kandungan serta bioavailabilitas (ketersediaan hayati) dalam makanan. Terdapat empat pendekatan utama dalam pencegahan anemia gizi besi yaitu 1) penyediaan suplemen zat besi, 2) fortifikasi bahan pangan yang biasa dikonsumsi dengan zat besi, 3) edukasi gizi, dan 4) pendekatan berbasis hortikultura untuk memperbaiki ketersediaan hayati zat besi pada bahan pangan yang umum (Gibney et al. 2009). Prinsip esensial dalam manajemen anemia yang disebabkan karena defisiensi zat besi adalah terapi sulih zat besi dan penanganan penyebab yang mendasar seperti infeksi parasit atau perdarahan gastrointestinal. Terapi zat besi per oral merupakan bentuk penanganan yang disukai. Ferro sulfat merupakan preparat zat besi oral yang paling murah dan banyak digunakan. Preparat lainnya seperti ferro glukonat atau ferro fumarat juga dapat diberikan. Dosis total yang ekuivalen dengan 60 mg zat besi elemental (300 mg ferro sulfat) per hari sudah cukup bagi orang dewasa dan harus diberikan di antara saat-saat makan pada pagi hari atau waktu akan tidur. Umumnya setelah waktu lebih dari 4 minggu akan terjadi kenaikan kadar hemoglobin sekitar 2 g/dl. Penting untuk diingatkan bahwa terapi zat besi harus dilanjutkan selama sekitar 3 bulan sekalipun kadar hemoglobin sudah kembali normal. Efek samping yang lazim terjadi pada suplementasi zat besi adalah mual, konstipasi, tinja berwarna hitam dan diare. Selain itu penggunaan terapi dalam waktu yang lama dapat menimbulkan nyeri pada sendi. Resiko efek samping tersebut sebanding dengan dosis zat besi yang diberikan. Ketidak patuhan
pasien
dalam
menjalani
terapi
merupakan
penyebab
utama
9
ketidakberhasilan dalam merespon terapi dan diperlukan konseling individual yang dilaksanakan dengan tepat serta simultan. Zat Besi Salah satu mineral penting yang sangat diperlukan tubuh manusia untuk membentuk komponen haem dari hemoglobin. Zat besi merupakan komponen darah yang membawa oksigen dari paru ke seluruh tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru. Zat besi juga merupakan bagian dari mioglobin yang membantu otot menyimpan oksigen, beberapa jenis enzim, dan jaringan tubuh lainnya. Zat besi disimpan dalam hati dalam bentuk feritin, di dalam jaringan tubuh dalam bentuk hemosiderin, dan dalam darah dalam bentuk transferin. Pada tubuh orang dewasa terdapat 4-5 gram zat besi, di mana 6070% dalam komponen haem dari hemoglobin. Konsumsi zat besi rata-rata 10-15 miligram per hari di mana 0.5-1.5 miligram dapat diserap tubuh. Penyerapan zat besi bervariasi menurut jenis makanan (zat besi dari makanan hewani lebih baik penyerapannya dibanding dengan zat besi dari makanan nabati), adanya zat pemacu penyerapan (vitamin C) dan penghambat (kalsium, fosfat, asam fitat), serta status besi tubuh. Zat besi dikeluarkan tubuh melalui tinja, menstruasi, keringat, kulit, rambut, dan air seni. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan anemia, akibatnya mudah lelah karena tubuh kekurangan oksigen karena adenosine triphosphate (ATP) tidak dapat disintesis dengan baik (Sanjaja et al. 2010). Vitamin C Vitamin C merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh terhadap reaktif dalam plasma dan sel. Dalam keadaan murni, vitamin C berbentuk kristal putih dengan berat molekul 176.13 dan rumus molekul C6H6O6. Vitamin C juga mudah teroksidasai secara reversibel membentuk asam dehidro-L-asam askorbat dan kehilangan 2 atom hidrogen. Vitamin C memiliki struktur yang mirip dengan struktur monosakarida, tetapi mengandung gugus enadiol (Zakaria et al. 1996). Secara alami bentuk vitamin C adalah isomer-L. Isomer ini memiliki aktivitas lebih besar dibandingkan dengan bentuk isomer D (Winarsi 2007). Aktivitas vitamin C bentuk isomer D hanya 10% dari aktivitas isomer L (Muchtadi et al. 1993). Askorbat, bersifat hidrofilik dan berfungsi paling baik dalam lingkungan air. Sebagai zat penyapu radikal bebas, vitamin ini dapat secara langsung bereaksi dengan superoksida dan anion hidroksil, serta berbagai hidroperoksida
10
lemak. L-askorbat (asam askorbat) adalah penyapu radikal bebas yang efisien dalam lingkungan air. Vitamin ini menerima elektron tunggal dari superoksida, hidrogen peroksida, hipoklorit, dan radikal hidroksil dan peroksil. Vitamin ini dapat bereaksi dengan NO2, salah satu polutan toksik yang terdapat dalam gas buangan mobil dan asap rokok. Vitamin ini juga bereaksi dengan vitamin E untuk memperbaharui vitamin E (Marks et al. 2000). Reaksi oksidasi dan reduksi vitamin C ditampilkan dalam Gambar 1.
Gambar 1 Reaksi oksidasi dan reduksi vitamin C Pada level molekular, askorbat dan dehidroaskorbat mempunyai sifat pereduksi (reducing agent), sifat umum yang penting yaitu sebagai antioksidan yang mempengaruhi redoks-potensial tubuh (status relatif dalam oksidasi/reduksi zat zat yang larut dalam air dan luar sel). Beberapa reaksi enzim sudah diperlihatkan secara khusus membutuhkan vitamin C seperti proses hidrosilasi yang menggunakan molekul oksigen dan sering mempunyai kofaktor Fe++ atau Cu++. Dalam reaksi tersebut asam askorbat mempunyai 2 peranan: (1) sebagai sumber elektron untuk mereduksi oksigen (misalnya sebagai kosubstrat) atau (2) sebagai zat pelindung untuk memelihara status reduksi besi (Fe) (Linder MC 1992). Fungsi vitamin C dalam metabolisme Fe, terutama mempercepat (melalui proses kilat) penyerapan Fe di usus dan pemindahannya ke dalam darah. Vitamin C dapat juga terlibat dalam mobilisasi simpanan Fe terutama hemosiderin dalam limpa (Linder 1992).
Berdasarkan Wen Y et al. (1997),
vitamin C tidak dapat merubah oksidasi LDL tetapi vitamin C memiliki kemampuan melindungi LDL dalam melawan peroksidasi lipid yang dibuktikan dengan penurunan kadar MDA plasma. Kalsium Kalsium merupakan mineral makro nomor lima terbanyak dalam tubuh manusia dan hewan. Sembilan puluh sembilan persen berada pada tulang dalam
11
bentuk hydroxylapalit. Sisa Ca tubuh ada dalam intra dan ekstraseluler dimana memegang peranan yang sangat vital dalam mengatur fungsi sel dan impuls syaraf. Kalsium juga merupakan komponen integral dalam mekanisme pembekuan darah. Konsentrasi Ca dalam plasma, terutama ion Ca bebas, secara hati-hati dipelihara/dipertahankan sedemikian rupa, seperti menyediakan Ca++ yang dibutuhkan dalam transmisi impuls syaraf dan kontraksi urat daging, mengatur beberapa fungsi yang diawali oleh beberapa hormon (Linder 1992). Kebutuhan kalsium untuk orang dewasa di USA direkomendasikan 800 mg/hari, lebih tinggi pada wanita hamil dan menyusui. Kebutuhan secara resmi adalah sebesar 400-1000 mg/hari di seluruh dunia (Linder 1992). Kebutuhan kalsium pada remaja seperti tercantum dalam Tabel 1 adalah 1000 mg hari untuk seluruh kriteria remaja di Indonesia pada rentang usia 10-18 tahun (WNPG 2004). Mangan Mangan adalah mineral mikro yang berkaitan dengan sejumlah besar enzim dalam beberapa metabolisme, termasuk piruvat dan karboksilase asetilCoA dan dehidrogenase isositrat dalam siklus Krebs dan mitokondria; bentuk mitokondria; dismutase superoksida yang menolong melindungi membran mitokodnria (Hurley 1982 dalam Linder 1992); arginase, enzim terminal dalam produksi urea; enzim sitosol lain yang terlibat dalam lintasan pentosa-fosfatshunt, glikolisis (glukosinase) dan metabolisme serin (transferase hidroksimetil) (Linder 1978 dalam Linder 1992). Mangan sangat sedikit (dibanding dengan Fe, Mg, Zn atau Cu) didapatkan dalam tubuh dan penyerapannya pun relatif kurang (Linder 1992). Kebutuhan mangan pada remaja perempuan adalah sebesar 1.6 mg/hari untuk usia 10-18 tahun (WNPG 2004). Seng Seng (Zn) adalah mikromineral yang ada dimana-mana dalam jaringan manusia/hewan dan terlibat dalam fungsi berbagai enzim dalam proses metabolisme serta sifatnya yang paling kurang beracun di antara mikromineral yang lainnya. Zn diperlukan untuk aktivitas lebih dari 90 enzim yang ada hubungannya dengan metabolisme karbohidrat dan energi, degradasi/sintesis protein, sintesis asam nukleat, biosintesis heme, transpor CO2 (anhidrase karbonik) dan reaksi-reaksi lain. Superoksida dismutase (yang membutuhkan Cu dan Zn) didapatkan dalam semua sel, dimana diperkirakan memainkan peranan
12
pertahanan/difusi dalam pembuangan anion-anion superoksida yang rusak (Bab 5, gambar 5-33) (Linder 1992). Tingkat penyerapan Zn (dalam intestin) sedikit banyaknya ada hubungan dengan status Zn, lebih besar dari normal dalam defisiensi Zn. Penyerapan seng (Zn++) sedikit banyaknya berkompetisi dengan ion metal transisi, terutama rasio Fe++/Fe+++ dan Cu++; faktor ini harus dipertimbangkan bila menggunakan suplemen. Penyerapan Zn memerlukan energi dan ditingkatkan oleh sitrat (Linder 1992). Radikal Bebas Radikal bebas adalah senyawa reaktif yang terjadi selama metabolisme oksidasi normal, sebagai akibat dari paparan oksigen radiasi, penyakit infeksi, bahan kimia, atau faktor-faktor lingkungan tertentu (Sanjaja et al 2010). Radikal bebas merupakan zat yang sangat reaktif, dan struktur yang demikian membuat radikal bebas cenderung “mencuri” atau mengekstrasi satu elektron dari molekul lain di dedaktnya untuk melengkapi dan selanjutnya mencetuskan reaksi berantai yang dapat mengakibatkan cedera sel (Suryohudoyo 2000). Radikal bebas dapat berasal dari sinar ultraviolet, metabolisme dalam tubuh, radiasi ion, asap rokok, asap kendaraan bermotor dan udara yang tidak sehat (Ide 2010). Dalam kehidupan sehari-hari sering dibaurkan pengertian antara radikal bebas dan oksidan, meskipun setiap radikal bebas adalah oksidan sementara oksidan tidak selalu radikal bebas. Kemiripan antara radikal bebas dan oksigen terletak pada agresivitasnya untuk menarik elektron di sekelilingnya. Baik radikal bebas maupun oksidan mengakibatkan hasil yang sama meskipun proses berbeda. Namun, radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan senyawa oksidan non-radikal. Hal tersebut berkaitan dengan tingginya reaktivitas radikal bebas yang mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru secara terus menerus (chain reactions) hingga reaktivitasnya diredam oleh senyawa yang bersifat antioksidan (Winarsi 2007). Jika radikal bebas berikatan dengan eletron yang bersifat ionik dampak yang timbul tidak begitu berbahaya. Namun, jika radikal berikatan dengan molekul kovalen, dampak yang ditimbulkan menjadi sangat berbahaya. Umumnya senyawa yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul-molekul besar (biomakromolekul), seperti lipid, protein maupun DNA (Winarsi 2007). Sesuai dalam Sanjaja (2010), radikal bebas dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan pada asam lemak pada dinding sel. Kerusakan tersebut selanjutnya akan
13
merusak jaringan tubuh dan DNA. Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohirat (Winarsi 2007). Radikal bebas dalam tubuh dapat berasal dari dalam (endogen) dan dari luar (eksogen). Radikal terpenting yang terdapat dalam tubuh merupakan derivat oksigen atau oksi-radikal yang sering disebut Reactive Oxygen Species (ROS) (Helliwell & Gutteridge 1999). Sudiana (2008) dijelaskan bahwa ROS merupakan senyawa oksigen yang bersifat reaktif (toxic mutagenic gas). Senyawa ini pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu senyawa oksigen yang bersifat radikal [seperti radikal superoksida (O2), radikal hidroksil (OH+), radikal peroksil (RO2-), radikal hidroperoksil (HO2)], dan senyawa oksigen reaktif yang bersifat non radikal (oxidant) [seperti hidrogen peroksida (H2O2), asam hipoklorat (HOCl), ozon (O2), singlet oksigen (-O2), dan peroxynitrit (ONOO)]. Pembentukan radikal hidroksil (OH*) dapat melalui reaksi Haber W dan reasi Fenton yang digambarkan sebagai berikut: 1. Reaksi Haber-Weiss O2- + H2O2 → O2 + OH* Fe2+ + H2O2 → Fe3+ + OH* + OH2. Reaksi Fenton Cu+ + H2O2 → Cu2+ + OH* + OHRadikal hidroksil yang dihasilkan dari reaksi ini sangat reaktif terhadap DNA, yang kemungkinan besar dapat memicu terjadinya suatu kerusakan atau mutasi DNA. Apabila terjadi kerusakan DNA maka sel akan mengalami kematian. Jika dilihat secara sistematis, nasib dari ROS yang terbentuk di dalam tubuh adalah sebagai berikut (Sudiana 2008):
Gambar 2 Sistematika eliminasi ROS di dalam tubuh dan pembentukan radikal hidroksil (OH*) melalui reaksi Haberr-Weiss dan Fenton
14
Besi merupakan salah satu zat gizi yang dapat memperantarai reaksi Fenton untuk merubah H2O2 menjadi radikal hidroksil (Marks DB et al. 1996). Secara fisiologis tubuh memang menghasilkan ROS (radikal bebas atau oksidan). Adapun sumber penghasil ROS antara lain mitokondria, fagosit, xantin oxidase, peroksisome, iskemi, jalur pada pembentukan asam arakhidonat, endoplastic reticulum, inti sel dan sebagainya yang digunakan untuk membunuh bakteri yang masuk ke tubuh (Sudiana 2008 dan Muchtadi 2009). Radikal bebas secara terus menerus dapat terbentuk dalam tubuh melalui proses metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi, dan akibat respons terhadap pengaruh dari luar tubuh, seperti polusi lingkungan, ultraviolet (UV), asap rokok, dan lainlain (Winarsi 2007). Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas mirip dengan rancidity oxidative, yaitu melalui 3 tahapan reaksi berikut: 1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas 2. Tahap propagasi, yaitu perpanjangan rantai radikal 3. Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain, atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah. Antioksidan Antioksidan adalah segala bentuk substansi yang pada kadar rendah secara bermakna dapat mencegah atau memperlambat proses oksidasi (proses dimana terjadi pengurangan atau pemindahan jumlah lektron dalam reaksi kimia) (Alam et al. 2004). Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (elektron donor) atau reduktan. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Winarsi 2007). Berdasarkan Nursalam dan Kurniawati (2007), ada dua jenis antioksidan yaitu antioksidan endogen dan antioksidan eksogen. Antioksidan endogen adalah antioksidan yang sudah ada dalam tubuh, sedangkan antioksidan eksogen adalah antioksidan yang diperoleh dari luar tubuh. Berdasarkan Winarsi (2007) terdapat 3 bentuk antioksidan yaitu antioksidan enzimatis, vitamin dan senyawa lain. Antioksidan enzimatis terdiri dari superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan enzimatis merupakan sistem pertahanan utama (primer) terhadap kondisi stres oksidatif. Enzim-enzim tersebut merupakan metaloenzim yang aktivitasnya sangat bergantung pada ion logam. Aktivitas SOD bergantung pada logam Fe,
15
Cu, Zn, dan Mn, enzim katalase bergantung pada Fe (besi), dan enzim glutation peroksidase bergantung pada Se (selenium). Antioksidan enzimatis bekerja dengan cara mencegah terbentuknya senyawa radikal baru (Marks et al 2000 dan Winarsi 2007). Antioksidan non-enzimatis dapat berupa vitamin maupun senyawa nutrisi dan non nutrisi dikelompokan kedalam kedalam antioksidan sekunder didapatkan melalui asupan bahan makanan, seperti citamin C, E, A dan β-karoten. Glutation, asam urat, bilirubin, albumin, dan flavonoid juga termasuk ke dalam kelompok ini (Winarsi 2007). Parameter untuk Menilai Status Oksidatif (Kadar MDA) Tingginya kadar radikal bebas dalam tubuh dapat ditunjukkan oleh rendahnya aktivitas enzim antioksidan dan tingginya kadar malondialdehid (MDA) dalam plasma (Zakaria et al. 2000, Winarsi et al. 2003). Kerusakan jaringan lipid akibat SOR dapat diperiksa dengan mengukur senyawa Malondialdehyde (MDA) yang merupakan produk peroksidasi lipid (Reilly et al. 1991). Seperti yang dijelaskan McCord (2004), target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga molekul tersebut yang paling rentan adalah asam lemak tak jenuh. Salah satu bentuk merusak dari iron bebas redoksiaktiif dengan sel adalah inisiasi dari lipid peroksida. Lipid peroksidasi adalah reaksi rantai radikal bebas dengan grup polyunsaturated fatty acyl di membran sel dan oksigen molekular. Hal tersebut meninggalkan disfungsi membran dan kematian sel. Pengukuran kadar MDA serum dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu sebagai berikut: 1.
Tes thiobarbituric acid-reactive subtance (TBARS) Dasar pemeriksaan adalah reaksi spektrofotometrik sederhana, dimana satu molekul MDA akan terpecah menjadi 2 molekul 2-asam thiobarbiturat. Reaksi ini berjalan pada pH 2-3. TBA akan memberikan warna pink-chromogen yang dapat diperiksa secara spektrofotometrik. Tes TBA selain mengukur kadar MDA yang terbentuk karena proses peroksidasi lipid juga mengukur produk aldehid lainnya termasuk produk non-volatil yang terjadi akibat panas yang ditimbulkan pada saat pengukuran kadar MDA serum yang sebenarnya. Kadar MDA dapat diperiksa baik di plasma, jaringan maupun urin (Reilly et al. 1991, Konig&Berg 2002 dalam Arkhaesi 2008).
16
Beberapa metode pengukuran TBA adalah sebagai berikut: a. Pengukuran reaksi TBA Pengukuran reaksi TBA dapat dilakukan dengan dua cara yaitu metode kalorimetri dan metode fluorosens. Pengukuran reaksi TBA dengan metode kolorimetri dengan spektrofotometer merupakan kadar MDA yang paling sering dilakukan. Metode yang digunakan adalah metode Yagi. Metode ini mudah dilakukan akan tetapi bersifat tidak spesifik oleh karena mengukur produk aldehid lainnya. Metode fluorosens memliki keunggulan dibanding dengan metode kolorimetri oleh karena tidak terganggu oleh beberapa substansi produk reaksi TBA yang larut air. Pemeriksaan dilakukan dengan metode spektrofluorometri (Relly et al. 1991, Konig et al. 2002, Dalle et al. 2006 dalam Arkhaesi 2008) b. Pengukuran
MDA-TBA
dengan
HPLC
(High
Performance
Liquid
Chromatography) 2.
Pengukuran kadar MDA serum bebas dengan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography) Merupakan metode pengukuran kadar MDA serum yang paling sensitif dan spesifik. MDA bukan produk yang spesifik dari proses peroksidasi lipid sehingga dapat menimbulkan positif palsu yang berakibat nilai duga positif yang rendah, dan telah dilaporkan dapat meningkatkan spesifisitas pada pemeriksaan kadar MDA serum (Konig et al. 2002, Dalle et al. 2006 dalam Arkhaesi 2008). Penelitian Al-Rawi NH (2009) terhadap orang dewasa sehat menunjukkan
bahwa kadar MDA mereka adalah rata-rata sebesar 1.12±0.35 μmol/L. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian Wasowicz et al. (1993) yang melakukan pengukuran kadar MDA pada orang dewasa normal yaitu sebesar 1.01 μmol/L. Penelitian yang dilakukan oleh Duandaroz et al. (2003) menunjukkan bahwa kadar MDA plasma pada remaja sehat usia 11-19 tahun adalah sebesar 0.2±0.04 nmol/ml.
17
KERANGKA PEMIKIRAN Anemia adalah kondisi kadar hemoglobin yang rendah di dalam darah. Salah satu penanganan anemia yang dilakukan adalah dengan memberikan suplementasi multivitamin dan mineral. Suplemen multivitamin yang diberikan dalam penelitian ini mengandung mengandung zat besi (Fe) dalam bentuk ferro gluconate sebanyak 20 mg atau sepertiga Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan vitamin mineral lainnya. Dalam berbagai penelitian menunjukkan Fe berkaitan erat dengan status oksidatif di dalam tubuh. Kamp dan Donangelo (2008) menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan pada binatang dan manusia telah menunjukkan bahwa suplementasi besi dan stres oksidatif saling berkaitan. Lund et al. dalam Orozco et al. (2010) menyatakan bahwa pada penelitian yang dilakukan di Norwich, UK pemberian suplementasi Fe sebesar 60 mg/hari (sesuai rekomendasi WHO) dan sebesar 240 mg/hari pada populasi dengan status defisiensi anemia sangat tinggi, keduanya berkonsekuensi terhadap adanya reaksi oksidatif di usus (intestinal lumen). Hasil penelitian Lund et al. (1999) menunjukkan bahwa suplementasi besi sebanyak 19 mg/hari selama 2 minggu dapat meningkatkan produksi radikal bebas secara in vitro sebanyak 40% pada feses sampel yang dikumpulkan selama intervensi. Knutson et al. (2000) menyatakan bahwa pemberian suplementasi besi pada tikus yang mengalami defisiensi besi sebanyak 8000 µg per hari dalam waktu 21 hari dapat meningkatkan nilai plasma MDA menjadi 62.2±5.9 nmol/L dari 57.1±6.4 nmol. MDA atau malondialdehid merupakan salah satu pertanda tingkat stres oksidatif dalam tubuh. Semakin tinggi nilai MDA, semakin tinggi pula tingkat stres oksidatif dalam tubuh. Dalam sel yang sehat, ion besi tidak pernah ditemukan dalam bentuk utuh, melainkan berikatan dengan yang lainnya seperti protein. Jika besi masuk ke dalam sistem transport ataupun disimpan, harus berbentuk spesifik (transferin atau feritin) untuk mengurangi siklus redox. Ketika besi memasuki sistem redox, maka menjadi berbentuk protein aktif. Secara kimia, iron bebas merupakan salah satu bentuk yang membahayakan (McCord 2004). Fe bebas akan membentuk radikal bebas dengan berbagai komponen organik dalam organisme, bahkan antioksidan askorbat, NADH, dan lain-lain (Winarsi 2007). Radikal bebas menurut Soetmaji (1998) dalam Winarsi (2007) adalah suatu senyawa yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan
18
senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya (Winarsi 2007). Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga molekul tersebut yang paling rentan adalah asam lemak tak jenuh. Salah satu bentuk merusak dari iron bebas redoksiaktiif dengan sel adalah inisiasi dari lipid peroksida. Lipid peroksidasi adalah reaksi rantai radikal bebas dengan grup polyunsaturated fatty acid di membran sel dan oksigen molekular. Hal tersebut meninggalkan disfungsi membran dan kematian sel (McCord 2004). Bila kondisi keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas tidak terpenuhi maka akan menyebabkan kerusakan oksidatif (stress oksidatif) (Winarsi 2007). Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat pendek sehingga sangat sulit diukur di laboratorium. Pengukuran radikal bebas dalam tubuh yang paling umum adalah mengukur kerusakan jaringan lipid dengan mengukur senyawa malondialdehyde (MDA) yang merupakan produk peroksidasi lipid (Reilly et al 1991 dalam Arkhaesi 2008). MDA adalah suatu senyawa yang sangat reaktif yang merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid, dan biasanya digunakan sebagai biomarker biologis peroksidasi lipid untuk menilai stres oksidatif (De Zwart 1998 dalam Arkhaesi 2008). Kerangka pemikiran pengaruh pemberian suplemen multi vitamin mineral terhadap kadar MDA pada remaja putri dengan anemia ditampilkan dalam Gambar 3. Karakteristik sampel remaja anemia (Data individu, kondisi sosial ekonomi dan riwayat kesehatan)
Asupan pangan
Asupan suplemen
dan zat gizi
multivitamin mineral
Status gizi
Status Hb
Status oksidatif (Kadar MDA)
Gambar 3 Diagram alir kerangka pemikiran pengaruh pemberian suplemen multi vitamin mineral terhadap kadar MDA
19
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di asrama Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor (IPB) pada bulan Maret-September 2012. Analisis kadar malondialdehid (MDA) plasma dilakukan di laboratorium Biokimia, Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB). Analisis kadar hemoglobin dilakukan di Laboratorium klinik Prodia Bogor. Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah eksperimental semu (Quasi Experimental) dengan 4 kelompok perlakuan, dimana kelompok pertama adalah remaja yang menerima suplemen multivitamin mineral A dan anemia (intervensi anemia), kelompok dua adalah remaja yang menerima suplemen multivitamin mineral A dan tidak anemia (intervensi non-anemia), kelompok ketiga adalah remaja anemia yang menerima suplemen B (kontrol anemia), dan kelompok keempat adalah remaja tidak anemia yang menerima suplemen B (kontrol non-anemia). Penelitian yang dilakukan bersifat tersamar ganda (double blind), di mana baik peneliti maupun subjek tidak mengetahui apakah suplementasi yang diberikan mengandung multivitamin dan mineral atau tidak (plasebo). Teknik dan Penarikan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah remaja wanita tahap akhir di asrama putri Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB berusia 18–21 tahun (Monsk 2002) yang menderita anemia. Sampel adalah mahasiswa putri TPB-IPB tingkat pertama yang merupakan remaja usia 18–21 tahun yang memiliki kadar hemoglobin <12mg/dL yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta bersedia ikut penelitian. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah remaja wanita usia 18-21 tahun, kadar hemoglobin kurang dari 12 g/dl (Hb< 12 g/dl) dan bersedia mengikuti tahap penelitian. Sedangkan kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah menderita penyakit kronis, mengandung, peminum alkohol dan atau obat-obatan yang terlarang, serta merokok. Pemilihan sampel dilakukan dengan melakukan screening kadar hemoglobin terhadap mahasiswa tingkat I IPB.
Mahasiswa yang anemia,
diundang untuk menghadiri acara sosialisasi penelitian dan diajak untuk berpartisipasi dalam penelitian. Dalam sosialisasi tersebut, peneliti menjelaskan mengenai latar belakang, teknis pelaksanaan, manfaat dan resiko penelitian.
20
Mahasiswa yang diundang juga mendapat penjelasan tertulis dan lembar informed consent.
Bagi mereka yang berminat, diminta untuk mengisi dan
mengembalikan lembar informed consent dalam waktu sampai seminggu setelah acara sosialisasi. Penentuan jumlah subjek dilakukan dengan menggunakan minimum sample size for estimating difference mean between groups (Lameshow et al. 1997). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh jumlah subjek minimal, yaitu 4 orang. Untuk menghindari drop out pada saat penelitian ditambahkan minimal 2 orang subjek dari jumlah minimal sehingga total subjek yang digunakan yaitu 24 orang. Perhitungan untuk jumlah subjek adalah sebagai berikut. n
n n Keterangan: n
= Jumlah subjek minimal
Zα
= 1.96 (α= 5%)
Zβ
= 1.28 (β= 10%), power of test = 90%
S2
= standar deviasi (0.14)
X1
= mean kadar MDA setelah intervensi (berdasarkan penelitian Amagase et al. 2008, yaitu 3.48)
X2
= mean kadar MDA sebelum intervensi (berdasarkan penelitian Amagase et al. 2008, yaitu 3.81)
Pengelompokan
sampel
ke
dalam
kelompok-kelompok
tersebut
(intervensi dan kontrol) dilakukan secara purposif dengan mempertimbangkan rata-rata nilai Hb awal dari setiap kelompok. Pengelompokan secara purposif ini bertujuan supaya tidak ada perbedaan rataan kadar Hb yang nyata antara kedua kelompok (intervensi dan kontrol). Pelaksanaan Suplementasi Keseluruhan suplemen multivitamin dan mineral dan plasebo diproduksi dalam waktu yang bersamaan oleh salah satu Perseroan Terbatas di Indonesia. Suplemen dan plasebo dalam bentuk sirup dan dikemas dalam botol kaca gelap dan diberi label A dan B. Peneliti dan subyek penelitian tidak mengetahui label A atau B yang merupakan suplemen atau plasebo.
21
Suplemen multivitamin mineral (MVM) dan plasebo diberikan secara acak kepada 2 kelompok yang berbeda. Setiap subyek penelitian mengonsumsi sirup sebanyak 15 ml/hari sesuai takaran sajinya selama 8 minggu. Untuk menjaga kepatuhan konsumsi sirup, dilakukan berbagai upaya diantaranya melalui sosialisasi pada awal kegiatan, penjelasan pada saat pengumpulan data baseline, dan dilakukan penyuluhan setiap minggu terkait konsumsi suplemen tersebut. Rancangan kelompok perlakuan pemberian suplemen ditampilkan dalam Gambar 4 dan Tabel 3.
Gambar 4 Rancangan penelitian Tabel 3 Kandungan zat gizi suplemen multivitamin mineral No.
Jenis Suplemen Suplemen Multivitamin Mineral
Mikronutrien
Kandungan/15mL
1.
Kelompok perlakuan Intervensi
Vitamin B1 Vitamin B2 Vitamin B3 Vitamin B6 Vitamin B12 Vitamin C Ferro gluconate Calcium gluconate Mangan sulfate Zinc sulfate
15 mg 2.25 mg 22.5 mg 3 mg 15 µg 150 mg 20 mg 100 mg 2 mg 5 mg
2
Kontrol
Plasebo
-
-
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Peubah yang dikumpulkan selama penelitian meliputi karakteristik sampel, status gizi sampel (ukuran antropometri dan persen lemak tubuh), konsumsi pangan dan asupan zat gizi, asupan total antioksidan, dan status oksidatif (MDA plasma).
22
Tabel 4 Variabel, indikator dan cara pengumpulan data No 1
2
Variabel yang diamati Karakteristik sampel
Indikator
Cara pengumpulan data
Tempat dan tanggal lahir, alamat orang tua, lokasi kamar asrama, pemasukan setiap bulan (uang saku, beasiswa, dan penghasilan lain) dan status perkawinan Indeks Massa Tubuh, Komposisi lemak tubuh
Wawancara dengan kuisiner
4
Status gizi sampel (ukuran antropometri) Konsumsi pangan dan asupan zat gizi serta asupan antioksan total
5
Status besi
Kebiasaan makan, frekuensi pangan, dan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi Konsumsi energi, P, Fe, Zn, Mn, Ca, Vit B kompleks, Vit C Asupan total antioksidan Kadar hemoglobin
6
Status oksidatif
Kadar MDA
Penimbangan BB dan pengukuran TB, Pengukuran komposisi lemak tubuh. Food record, food frequency
Analisis laboratorium metode cyanmethemoglobin Analisis di laboratorium dengan pengukuran reaksi TBARS dengan metode kolorimetri
Karakteristik sampel penelitian yang dikumpulkan adalah tanggal lahir, alamat orang tua, lokasi kamar asrama, pemasukan setiap bulan (uang saku, beasiswa, dan penghasilan lain), pengeluaran pangan per bulan dan status perkawinan. Data karakteristik tersebut dikumpulkan pada saat baseline melalui wawancara dengan alat bantu kuisioner. Data antropometri dikumpulkan pada saat sebelum (baseline) dan setelah intervensi (endline). Pengukuran antropometri yang dilakukan adalah pengukuran berat badan, tinggi badan, dan persen lemak tubuh. Pada saat pengukuan antropometri, subjek diminta untuk menggunakan pakaian seminimal mungkin dan diusahakan pada 2 kali pengukuran menggunakan pakaian yang sama untuk memperoleh data yang akurat. Data konsumsi pangan yang dikumpulkan berupa kebiasaan makan (frekuensi pangan) dan jumlah serta jenis pangan yang dikonsumsi. Data kebiasaan makan dikumpulkan pada saat baseline melalui wawancara menggunakan
alat
bantu
kuisioner.
Kuisioner
Semi
Food
Frequency
Questionnaire (semi FFQ) diberikan sebelum intervensi untuk mengetahui frekuensi pangan sebelum. Data jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi diperoleh melalui pengisian kuisioner food record yang dilakukan oleh subyek 2 kali setiap minggu (selama 8 minggu intervensi). Pencatatan konsumsi pangan
23
dilakukan pada hari kuliah dan hari libur. Berdasarkan data Food Record tersebut di hitung total asupan zat gizi dan total antioksidan yang dikonsumsi. Kadar MDA dianalisis di laboratorium pangan dan gizi Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pengukuran kadar MDA dilakukan dengan cara melakukan Tes thiobarbituric acid-reactive subtance (TBARS). Metode pengukuran TBA yang digunakan tersebut adalah metode uji Asam Tiobarbiturat (TBA) (Jamil 2010 dalam Faigayanti 2012). Prinsip analisis MDA dengan metode ini adalah asam lemak tidak jenuh dapat mengalami proses peroksidasi menjadi peroksidasi lipid kemudian mengalami dekomposisi menjadi malondialdehid (MDA). MDA bila direaksikan dengan asam TBA membentuk senyawa merah muda. Tahapan-tahapan analisis kadar malondialdehid tersebut ditampilkan dalam Lampiran 1. Selama intervensi, setiap minggu kepada subyek penelitian juga dibagikan formulir untuk melaporkan pengkonsumsian sirup MVM yang telah diberikan. Selama sintervensi dilakukan, subyek disarankan untuk tidak menggunakan suplemen dalam bentuk apapun kecuali obat dengan resep dokter. Pengolahan dan Analisis Data Data-data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara statistik dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS Statistics 16.0. Data konsumsi dari food record dan semi FFQ direkap untuk diidentifikasi berbagai jenis, ukuran, dan frekuensi pangan yang telah dikonsumsi oleh subyek. Kemudian dari daftar tersebut dilakukan survei ke tempat penjual makanan di sekitar kampus (luar dan dalam) untuk menentukan harga dan porsinya (dari URT menjadi gram). Data jenis pangan yang telah berhasil diidentifikasi kemudian dikonversi ke dalam zat gizi menggunakan Software Nutrisurvey. Jenis zat gizi yang diidentifikasi adalah energi, karbohidrat, lemak, protein dan beberapa zat gizi mikro (vitamin A, B1, B2, B6, vitamin C, kalsium, besi dan seng). Beberapa zat gizi mikro seperti Vitamin B3, B12 dan mangan tidak dapat diidentifikasi karena keterbatasan instrumen yang digunakan. Kecukupan energi dan zat gizi remaja dihitung dengan
menggunakan
Angka
Kecukupan
Gizi
(WNPG
2004).
Asupan
antioksidan dihitung menggunakan perhitungan total antioksidan pangan dalam mmol/100 g yang tercantum dalam Carlsen et al. 2010. Penggolongan pangan dalam kuisioner food frequency juga digolongkan menjadi pangan kaya antioksidan (riched antioxidant), kandungan pangan tinggi
24
antioksidan (high antioxidant food), dan kandungan pangan antioksidan sedang (medium antioxidant), berdasarkan Carlsen et al. (2010). Golongan pangan kaya antioksidan (riched antioxidant) adalah rempah-rempah dan tumbuh-tumbuhan bumbu, obat-obatan herbal/tradisional, dan suplemen vitamin
makanan.
Kandungan pangan tinggi antioksidan (high antioxidant) dan sedang (medium antioxidant food) berurutan adalah berries dan produk berry, buah-buahan dan jus buah, sayur-sayuran dan produk olahan sayur, kacang-kacangan dan bijibijian, sereal sarapan, cokelat dan gula-gula, dan berbagi jenis minuman (beverage). Carlsen et al. (2010), megestimasi total antioksidan dengan menggunakan metode The Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP). FRAP adalah alat biomonitoring yang sangat sensitif dan cepat dalam mencari nilai total kekuatan antioksidan (antioxidant power) dari cairan biologis. Metode FRAP dapat digunakan untuk plasma dan berbagai ekstrak cairan dan etanolik dari berbagai makanan, tumbuhan, minuman dan obat-obatan untuk menghasilkan total antioksidan bersih (Nesaretnam & Packer 2001). Analisis data yang digunakan adalah deskriptif dan statistik. Analisis secara deskriptif (persentase dan rata-rata) digunakan dalam menganalisis karakteristik sampel, konsumsi pangan, meliputi tingkat kecukupan energi dan zat gizi remaja, alokasi pengeluaran, status gizi (ukuran antropometri), dan status oksidatif plasma (kadar MDA plasma). Analisis statistik yang digunakan adalah uji paired-sample t-test digunakan untuk membandingkan signifikansi peubah parametrik sebelum dan sesudah suplementasi, uji Anova untuk menguji kehomogenisasian data antar kelompok perlakuan, dan uji Anova Duncan untuk melihat kelompok yang paling berbeda signifikan. Selain itu digunakan pula analisis korelasi untuk melihat hubungan asupan zat gizi antioksidan terhadap perubahan kadar malondialdehid serta melihat korelasi antara hemoglobin dengan kadar malondialdehid. Pengkategorian variabel dan kriteria untuk setiap variabel dapat dilihat dalam Tabel 5. Tabel 5 Kategori dan kriteria untuk setiap variabel penelitian No 1 2
3
Variabel Usia (Badriah 2005) Tingkat kecukupan energi dan protein (Depkes 1996)
Tingkat kecukupan vitamin dan mineral (Gibson 2005)
Kategori Remaja pertengahan Remaja akhir Defisit tingkat Berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Lebih Kurang Cukup
Kriteria 14-17 tahun 18-21 tahun < 70% kebutuhan 70-79% Kebutuhan 80-89% kebutuhan 90-119% kebutuhan ≥120% Kebutuhan <77% AKG ≥77% AKG
25
Tabel lanjutan: No Variabel 4 Status gizi (WHO 2005)
5
6
Kategori Kurang Normal Lebih Obes I Normal Anemia Ringan Anemia Sedang Normal Tidak Normal
Status besi (Kategori Anemia) (ACC/SCN 1991 dalam Briawan 2008) Status oksidatif (Kadar MDA) (Wasowicz et al. 1993)
Kriteria IMT <18.5 18.5 ≤ IMT ≤ 24.9 25 ≤ IMT ≤ 29.9 30.0≤IMT≤39.9 Hb≥12 10.0≤Hb<12.0 Hb<10.0 MDA<1.01 µmol/L MDA>1.01 µmol/L
Definisi Operasional Sampel adalah remaja putri yang berstatus sebagai mahasiswa TPB-IPB tahun 2011/2012 yang berusia 18-21 tahun anemia dan non anemia. Anemia adalah keadaan kadar hemoglobin (Hb) darah lebih rendah dari 12 g/dl yang dapat diakibatkan oleh defisiensi zat gizi atau infeksi Anemia Gizi Besi adalah tahap yang paling parah dari defisiensi zat besi di dalam tubuh, dimana zat besi tidak cukup baik di dalam simpanan atau untuk sintesis hemoglobin. Indikator ini ditunjukkan oleh kadar hemoglobin yang rendah (<12 g/dl) dan serum feritin yang rendah (<15 mikro gram/L). Asupan energi dan zat gizi makan adalah jumlah zat gizi yang dikonsumsi contoh pada hari kerja maupun pada hari libur yang diukur menggunakan Food Record. Suplemen makanan adalah produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi makanan, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam amino, atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan tumbuhan) yang mempunyai nilai gizi dan atau efek fisiologis dalam jumlah terkonsentrasi. Suplemen multi vitamin-mineral adalah jenis suplemen yang berisi berbagai jenis vitamin dan mineral yang dikombinasikan dalam satu bentuk (sirup). Sirup plasebo adalah sirup dengan rasa, tekstur dan aroma yang hampir sama dengan sirup suplemen tetapi tidak mempunyai kandungan zat gizi mikro seperti suplemen. Radikal bebas adalah suatu senyawa yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit terluarnya yang menyebabkan
26
senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya. Antioksidan adalah senyawa yang dalam jumlah cukup dapat memberikan perlindungan untuk melawan serangan oksidatif (Hudson 1990). Stres oksidatif adalah kondisi ketidakseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas. Zat besi (Fe) adalah mikromineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia yang terlibat dalam pengangkutan oksigen dalam darah dan urat daging serta pemindahan/transfer elektron. Malondialdehid (MDA) adalah produk oksidasi asam lemak tidak jenuh oleh radikal bebas yang juga merupakan metabolit komponen sel yang dihasilkan oleh radikal bebas. Konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya oksidasi dalam membran sel (Conti et al. 1991 dalam Winarsi 2007).
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah remaja wanita. Penentuan sampel remaja wanita dalam penelitian ini didasarkan pada pernyataan Departemen Kesehatan pada tahun 2008 yang menyatakan bahwa prevalensi anemia di Indonesia masih cukup tinggi terjadi pada kelompok remaja wanita (26.50%), wanita usia subur (40.1%), dan anak balita (47.0%). Pada awal penelitian, keseluruhan sampel yang berpartisipasi adalah sebanyak 15 orang pada kelompok intervensi, dan 14 orang pada kelompok kontrol. Namun, 1 orang pada kelompok kontrol dinyatakan drop out, yang disebabkan sampel yang bersangkutan tidak bersedia untuk melanjutkan kegiatan penelitian. Selanjutnya, jumlah responden yang bergabung dalam penelitian ini sebanyak 15 orang pada kelompok intervensi dan 13 orang pada kelompok kontrol dibagi menjadi empat kelompok perlakuan. Sebanyak 5 orang pada kelompok intervensi anemia, 10 orang pada kelompok intervensi non-anemia, 6 orang pada kelompok kontrol anemia, dan 7 orang pada kelompok kontrol nonanemia. Karakteristik sampel yang diamati dalam penelitian ini meliputi variabel latar belakang sosial ekonomi keluarga, umur, pendapatan dan pengeluaran bulanan. Latar Belakang Sosial Ekonomi Keluarga Latar belakang sosial ekonomi yang diamati dalam penelitian ini meliputi asal daerah sampel, pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua, dan sumber pemasukan per bulan sampel. Sebagian besar sampel berasal dari Jawa Barat (50%), sementara itu sebanyak 25% sampel berasal dari Sumatera, 14% sampel berasal dari Jawa Tengah, dan masing-masing 3.5% contoh berasal dari Jawa Timur, Yogyakarta, dan Sulawesi. Hasil ini sesuai dengan Briawan (2008), yang menyatakan bahwa sebagian besar mahasiswa TPB-IPB berasal dari wilayah Jawa Barat dengan persentase mencapai 50,7%. Karakteristik pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua dan sumber pemasukan sampel secara lebih rinci ditampilkan dalam Tabel 6.
28
Tabel 6
Karakteristik sosial-ekonomi sampel dan keluarga sampel menurut kelompok perlakuan Kontrol Anemia
Sosial-ekonomi Pekerjaan Ayah: Karyawan swasta Pensiunan Petani PNS Wiraswasta Tidak ada (sudah meninggal) Total Pekerjaan Ibu: Karyawan swasta PNS Wiraswasta Ibu Rumah Tangga Total Rata-rata penghasilan orang-tua (Rp.ribuan) Sumber pemasukan: Orang tua Beasiswa Beasiswa dan orang tua Total
Kelompok Perlakuan [n (%)] Kontrol Intervensi Intervensi NonAnemia Nonanemia anemia
Total
2 (33) 0 (0) 0 (0) 3 (50) 1 (17) 0 (0)
1 (14) 0 (0) 1 (14) 3 (43) 2 (29) 0 (0)
2 (40) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 2 (40) 1 (20)
1 (10) 3 (30) 0 (0) 2 (20) 4 (40) 0 (0)
6 (21) 3 (11) 1 (4) 8 (29) 9 (32) 1 (3.5)
6(100)
7 (100)
5 (100)
10 (100)
28 (100)
1 (17) 2 (33) 0 (0) 3 (50) 6(100)
0 (0) 4 (57) 0 (0) 3 (43) 7(100)
1 (20) 0 (0) 1 (20) 3 (60) 5 (100)
1 (10) 1 (10) 0 (0) 8 (80) 10 (100)
3 (11) 7 (25) 1 (61) 17 (61) 28(100)
2 750
3 571
1 980
2 170
2 610
2 (33) 3 (50) 1 (17) 6 (100)
4 (57) 1 (14) 2 (29) 7 (100)
3 (60) 1 (20) 1 (20) 5 (100)
4 (40) 3 (30) 3 (30) 10 (100)
13 (46) 8 (29) 7 (25) 28 (100)
Latar belakang pekerjaan orang tua sampel cukup beragam yaitu meliputi karyawan swasta, pensiunan, petani, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan wiraswasta. Pekerjaan Ayah sampel, sebanyak 32% adalah wiraswasta, 29% PNS, 21% karyawan swasta, 11% pensiunan, dan 4% petani. Sebanyak 1 (satu) sampel sudah tidak mempunyai ayah karena sudah meninggal. Pekerjaan Ibu sampel, sebanyak 61% adalah Ibu Rumah Tangga (IRT), 25% PNS, 11% karyawan swasta dan 4% wiraswasta. Distribusi penghasilan orang tua sampel beragam yaitu kurang dari 1 juta (22.2%), 1-2 juta (29.6%), 2-3 juta (22.2%), 3-4 juta (3.7%) dan lebih dari 4 juta (22.2%). Rata-rata pendapatan per bulan orang tua sampel adalah sebesar Rp 2 610 700±2 038 700. Rata-rata pendapatan terbesar adalah pada kelompok kontrol non anemia yaitu sebesar Rp 3 571 400±2 370 400, sedangkan rata-rata pendapatan terendah pada kelompok kontrol anemia, sebesar Rp 1 980 000±614 000. Sebagian
besar
sampel
yang
merupakan
mahasiswi
TPB-IPB
mendapatkan biaya pendidikan dari orangtua, beasiswa, dan lainnya. Sebanyak 54% (n=15) sampel mendapatkan beasiswa. Beasiswa yang sebagian besar diperoleh adalah beasiswa Bidik Misi (43%, n=12), beasiswa Etos (7%, n=2), dan
29
beasiswa POM (6%, n=1). Sebanyak 29% (n=8) sampel hanya mendapatkan pemasukan dari beasiswa, dengan rata-rata pemasukan per
bulan sebesar
Rp 618 700±53 000. Sebanyak 25% sampel mendapatkan pemasukan dari beasiswa dan orangtua, dengan rata-rata
pemasukan
per bulan
sebesar
Rp 957 100±209 000, sedangkan sebanyak 46% mendapatkan pemasukan dari orang
tua saja
dengan rata-rata
pemasukan per
bulan sebesar
Rp 733 300±214 600. Umur Pada keempat kelompok perlakuan, rata-rata umur sampel adalah 18.8±0.3 tahun. Berdasarkan uji Anova menunjukkan bahwa rata-rata umur sample adalah relatif sama dan tidak ada perbedaan (p=0.153). Pada keempat kelompok, seluruh sampel (100%) berada pada batasan usia remaja akhir (late adolescence) yaitu antara 18-20 tahun (Badriah 2005). Rata-rata usia sampel ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7 Rata-rata sebaran umur sampel pada masing-masing kelompok Karakteristik 16-18 19-29 Total Rata-rata
Kontrol Anemia 4 (67) 2 (33) 6 (100) 18.96±0,39
Kelompok Perlakuan [ n(%) ] Kontrol Intervensi Intervensi Non-anemia Anemia Non-anemia 6 (86) 3 (60) 6 (60) 1 (14) 2 (40) 4 (40) 7 (100) 5 (100) 10 (100) 18.45±0,37 18.80±0,63 19.0±0,46
Total 19 (68) 9 (32) 28 (100) (p=0.153)
Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Sampel Pada Tabel 5 ditampilkan bahwa sebagian besar sampel mendapatkan pemasukan dari orang tua dengan persentase mencapai 46%, namun tidak sedikit juga sampel yang hanya mendapatkan pemasukan dari beasiswa. Sebanyak 30% sampel pada kelompok intervensi non-anemia, dan 50% sampel pada kelompok kontrol anemia, mendapatkan pemasukan per bulan hanya bersumber pada beasiswa. Besar pemasukan per bulan pada setiap kelompok perlakuan ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8
Pemasukan dan pengeluaran pangan perbulan sampel pada masingmasing kelompok
Pemasukan per Bulan Pemasukan (Rp.ribuan) Pengeluaran konsumsi pangan (Rp.ribuan)
Kontrol Anemia
Kelompok Perlakuan Kontrol Intervensi Non-anemia Anemia
P Intervensi Non-anemia
666±196
786±179
760±321
735±243
0.552
414±117
467±73
540±104
447±96
0.219
30
Berdasarkan Tabel 8, ditunjukkan bahwa rata-rata pemasukan sampel per bulan relatif sama, dengan rata-rata pemasukan sampel per bulan adalah sebesar Rp 736 800±234 900. Pemasukan terbesar yaitu pada kelompok kontrol non-anemia,
dimana pada kelompok
tersebut,
sebagian
besar
sampel
mendapatkan pemasukan dari orang tua (57%). Rata-rata pendapatan orang tua pada kelompok ini adalah paling tinggi dibandingkan dengan ketiga kelompok lainnya. Rata-rata pemasukan terendah sampel per bulan adalah pada kelompok kontrol anemia, dimana sebagian besar sampel pada kelompok ini mendapatkan pemasukan hanya dari beasiswa (50%). Pengeluaran dialokasikan kepada pengeluaran konsumsi pangan dan non-pangan. Rata-rata biaya konsumsi pangan
sampel
adalah sebesar
Rp 15 300/hari. Rata-rata biaya konsumsi pangan tertinggi adalah pada kelompok intervensi anemia sebesar Rp 18 000±3 400/hari, sedangkan rata-rata biaya konsumsi terendah adalah sebesar Rp 13 800±3 800/hari pada kelompok kontrol anemia. Berdasarkan uji Anova ditunjukkan bahwa rata-rata pemasukan per bulan pada tiap-tiap kelompok perlakuan adalah relatif sama, begitu juga dengan rata-rata pengeluaran relatif sama pada seluruh sampel tiap kelompok perlakuan. Status Gizi Antropometri Menurut
Jellife
(1996)
dalam
Gibson
(2005),
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran
antropometri
gizi
dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Pengukuran antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi (Depkes RI 2010). Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran antropometri berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh dan persen lemak tubuh. Data antropometri yang diambil dalam penelitian ini meliputi berat badan, tinggi badan, Indeks Massa Tubuh (IMT) dan persen lemak tubuh (IMT), yang ditampilkan dalam Tabel 9. Tabel 9
Rata-rata berat badan, tinggi badan, indeks masa tubuh dan persen lemak tubuh sampel menurut kelompok sebelum dan sesudah suplementasi1
Antropometri Berat Badan BB (kg) BB (kg)*
Kontrol Anemia 49.9±4.1 49.5±4.1
Kelompok Perlakuan Kontrol Intervensi Non-anemia Anemia 50.4±7.9 48.9±6.4
50.5±6.0 50.2±5.7
Intervensi Non-anemia
p
55.5±8.5 55.5±8.1
0.353 0.176
31
Tabel lanjutan: Antropometri Tinggi Badan TB (cm) TB (cm)* IMT 2 IMT (kg/m ) 2 IMT (kg/m )* % Lemak tubuh % Lemak tubuh % Lemak tubuh* Kategori IMT Kurus Normal Gemuk Obes Kategori IMT* Kurus Normal Gemuk Obes 1 a,b
Kontrol Anemia 155.4±2.7 155.4±2.7
Kelompok Perlakuan Kontrol Intervensi Non-anemia Anemia 157.9±3.5 157.9±3.5
152.9±2.7 152.9±2.7
Intervensi Non-anemia
p
155.0±6.8 155.0±6.8
0.367 0.367
20.6±1.2 b 20.5±1.2
20.1±2.6 a 19.6±2.0
21.5±2.3 b 21.4±2.3
23.1±2.9 b 23.1±2.9
0.103 0.030
27.9±2.2 b 27.4±2.2
24.7±5.8 a 23.8±4.7
25.5±3.6 b 26.0±2.9
30.7±5.2 b 30.5±5.2
1 (17) 5 (83) 0 0
2 (29) 5 (71) 0 0
0 (0) 4 (80) 1 (20) 0 (0)
1 (10) 7 (70) 0 (0) 2 (20)
1 (17) 5 (83) 0 0
2 (29) 5 (71) 0 0
0 (0) 4 (80) 1 (20) 0 (0)
1 (10) 7 (70) 1 (10) 1 (10)
0.062 0.028 Total 4(14.3) 21(75) 1(3.65) 2(7.15) Total 4(14.3) 21(75) 2(7.15) 1(3.65)
X±Sd, n (%) proporsi sampel Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0.05) Data post-test
Rata-rata berat badan (BB) seluruh sampel sebelum intervensi adalah 51.9±7.0 kg. Berat badan sampel berada pada selang antara 42.7 kg sampai dengan 69.5 kg. Berdasarkan uji Anova, berat badan sebelum inervensi sampel relatif sama dan tidak menunjukkan adanya perbedaan (p>0.05). Standar berat badan normal untuk remaja berdasarkan WNPG (2004) adalah 50 kg. Berdasarkan hasil penelitian diperlihatkan bahwa rata-rata berat badan pada kelompok anemia lebih rendah dibandingkan pada kelompok non-anemia, baik pada kelompok intervensi maupun kontrol. Karen et al. (2004) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa, prevalensi defisiensi besi meningkat pada kelompok dengan berat badan overweight dan obese dibandingkan pada kelompok berat badan normal. Hal serupa tidak ditemukan di dalam penelitian ini dapat dikarenakan sebaran berat badan sampel sudah merata dan tidak berbeda nyata. Rata-rata berat badan setelah suplementasi adalah 51.5±7.65 kg. Berat badan sesudah intervensi ini juga sesuai dengan anjuran berat badan remaja yang tertera pada WKNPG (2004). Berat badan sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi anemia, intervensi non-anemia dan kontrol anemia relatif tidak berubah, sedangkan pada kelompok kontrol non-anemia terjadi
32
penurunan berat badan (Δ1.42 kg). Berdasarkan uji Paired T-test menunjukkan tidak terdapat perubahan berat badan yang signifikan pada seluruh kelompok perlakuan antara sebelum intervensi dan sesudah intervensi (p>0.05). Tidak berbeda dengan pengukuran sebelum intervensi, berdasarkan uji Anova ratarata berat badan sampel setelah intervensi juga relatif sama. Rata-rata tinggi badan sampel sebelum suplementasi adalah 154.3±5.7 cm. Selang tinggi badan pada seluruh sampel adalah antara 140.5 cm sampai dengan 163.1 cm. Berdasarkan uji Anova, tinggi badan pada keempat kelompok perlakuan relatif sama dan tidak terdapat perbedaan. Berdasarkan WNPG (2004) ditetapkan
tinggi badan normal untuk kelompok remaja adalah 154 cm.
Meskipun tinggi badan seluruh sampel pada masing-masing kelompok relatif sama, rata-rata tinggi badan pada kelompok anemia lebih rendah dibandingkan pada kelompok non-anemia baik pada kelompok intervensi maupun kontrol. Pengukuran tinggi badan setelah intervensi tidak dilakukan. Hal tersebut dikarenakan, puncak pertumbuhan pada remaja wanita (peak growth velocity) terjadi sekitar 12-18 bulan sebelum mengalami menstruasi pertama, atau sekitar umur 10-14 tahun. Pertumbuhan tinggi badan terus berlangsung sampai 7 tahun setelah terjadi menstruasi. Maksimal tinggi badan wanita diperoleh paling awal usia 16 tahun, atau paling akhir 23 tahun (ADB/SCN 2001). Berdasarkan hal tersebut, pertumbuhan tinggi badan pada seluruh sampel dianggap relatif tidak berubah, dikarenakan seluruh sampel berada pada rentang usia remaja akhir (late adolescent) yaitu 18-20 tahun. Penilaian status gizi sampel menggunakan ukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). Rata-rata IMT pada sampel sebelum intervensi adalah 21.3 kg/m2. Ratarata IMT sampel pada seluruh kelompok berselang antara 17.7 kg/m2 hingga 27.5 kg/m2. Rata-rata indeks massa tubuh pada kelompok anemia adalah sebesar 21.1 kg/m2, sedangkan pada kelompok non anemia 21.6 kg/m2. Berdasarkan uji Anova, rata-rata Indeks Massa Tubuh (IMT) sampel sebelum intervensi relatif sama dan tidak terdapat perbedaan (p>0.05). Rata-rata indeks massa tubuh sampel setelah intervensi adalah sebesar 21.5±2.2 kg/m2. Berdasarkan uji Anova, IMT sampel setelah intervensi relatif tidak seragam dan menunjukkan adanya perbedaan (p<0.05). Berdasarkan uji statistik lanjutan, Anova Duncan yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan IMT pada kelompok kontrol non-anemia dibandingkan dengan ketiga kelompok lainnya (p=0.063). Namun, berdasarkan uji Paired T-test
33
ditunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang signifikan antara sebelum intervensi dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol non-anemia tersebut. Rata-rata persen lemak tubuh sampel pada awal intervensi adalah sebesar 27.2 %. Rataan tersebut menunjukkan bahwa persen lemak tubuh pada keempat kelompok perlakuan masih dalam kisaran normal. Berdasarkan uji Anova menunjukkan persen lemak tubuh antara keempat kelompok perlakuan realtif seragam dan tidak terdapat perbedaan (p>0.05). Persen lemak tubuh normal pada wanita adalah berkisar antara 20-30%. Rata-rata persen lemak pada kelompok anemia lebih rendah dibandingkan pada kelompok non anemia baik yaitu sebesar 26.7% pada kelompok anemia dan 27.7% pada kelompok non-anemia. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zimmermann et al. (2008) di wilayah Switzerland pada remaja putri yang menunjukkan bahwa penimbunan lemak di jaringan adiposa dapat menurunkan penyerapan zat besi, sehingga semakin tinggi persen lemak semakin rendah penyerapan zat besi. Hal ini juga dapat dikarenakan sebaran persen lemak seluruh sampel yang relaitf
seragam dan tidak terdapat perbedaan pada
keempat kelompok perlakuan. Rata-rata persen lemak tubuh sesudah intervensi adalah sebesar 27.24±4.51%. Berdasarkan uji Anova, terdapat perbedaan persen lemak tubuh sampel antara keempat kelompok perlakuan setelah intervensi (p<0.05). Uji statistik lanjutan, Anova Duncan yang dilakukan menunjukkan bahwa persen lemak tubuh pada kelompok kontrol non-anemia berbeda dengan ketiga kelompok perlakuan lainnya secara signifikan (p=0.084). Persen lemak sampel relatif tidak berubah pada kelompok intervensi non-anemia dan kontrol anemia, sedangkan peningkatan persen lemak terjadi pada kelompok intervensi anemia (Δ 0.54±0.68) dan penurunan persen lemak tubuh terjadi pada kelompok kontrol non-anemia (Δ 0.85±1.1). Namun, berdasarkan uji paired T-test ditunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan persen lemak tubuh yang signifikan pada kelompok kontrol non-anemia dan ketiga kelompok yang lainnya tersebut (p>0.05). Konsumsi Pangan Penilaian konsumsi pangan dilakukan dengan kuisioner Food Frequency dan Food Record. Kuisioner Food Frequency digunakan untuk melihat kebiasaan konsumsi pangan sumber antioksidan sampel. Kuisioner Food Record digunakan
34
untuk melihat total konsumsi energi, protein dan zat gizi per hari sampel selama intervensi. Kebiasaan Konsumsi Pangan Antioksidan Kebiasaan konsumsi pangan antioksidan dinilai menggunakan kuisioner Food Frequency. Kebiasaan konsumsi pangan antioksidan dikelompokkan berdasarkan penggolongan pangan sumber antioksidan Carlsen et al. (2010) Kebiasaan konsumsi pangan antioksidan ditampilkan dalam Tabel 10. Tabel 10 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan tinggi dan kaya antioksidan Bahan Makanan
Frekuensi (kali/minggu) Kontrol Intervensi Non-Anemia Anemia Non-anemia
Anemia Pangan Tinggi Antioksidan: Rempah-rempah Jahe 0 0.3 Kunyit 0 0 Kemangi 0.2 0.1 Pangan Kaya Antioksidan: Buah-Buahan Pepaya 5.3 3.1 Jeruk manis 0.2 3.7 Melon 1 1.6 Jambu biji 1.2 0.6 Apel 0.9 0.3 Semangka 0.7 0.7 Sayur-sayuran Bawang merah 5.6 5.3 Wortel 3.8 5.8 Jamur 2.2 6.7 Tomat 1.17 4.1 Kembang kol 1.17 4 Kol 2.5 3 Pangan Kandungan Antioksidan Sedang: Pangan Nabati Tempe 6.2 8.6 Tahu 1.7 5.4 Kacang Hijau 0.8 1.3 Minuman Kopi 1.3 0.3 Teh 0.6 0.9 Makanan Pokok Nasi 16.3 17 Roti 2 5.7 Lontong 2.1 1.7 Mie 1.2 1.9 Pangan hewani Telur ayam 5 10.1 Daging ayam 2.3 3 Daging sapi 0.2 3 Bakso 1.3 1.3 Jajanan Berminyak Gorengan 2.5 5.7
0.6 0.6 0
0.3 0.1 0.3
2 1.6 1 1.6 2 0.4
6.8 1.9 0.8 0.6 0.6 0.6
7 5.4 4.2 0.6 0 0
3 5.2 1.3 3 3.4 3
5.2 5.2 3.4
4.6 4.7 1.5
0.2 2.8
1.0 3.7
16.8 2.6 1.2 1.6
14.7 4.6 1.6 1.9
7 5.2 0.6 1.2
5.4 2.6 1.8 1.3
4.2
4.1
35
Kebiasaan kosumsi rempah-rempah pada seluruh sampel relatif rendah. Rempah-rempah merupakan golongan pangan yang sangat kaya antioksidan (Carlsen et al 2010). Rempah-rempah yang paling sering dikonsumsi oleh sampel adalah jahe, dengan frekuensi rata-rata kurang dari 1 kali per minggu. Kebiasaan konsumsi obat-obatan herbal/tradisional dan suplemen vitamin makanan relatif tidak pernah dilakukan oleh sampel. Kebiasan konsumsi buah-buahan dan jus buah, berbagai sayur-sayuran, pangan nabati, dan berbagi jenis minuman (beverage), yang merupakan kelompok pangan dengan kandungan antioksidan sedang hingga tinggi diamati dalam penelitian ini. Jenis buah-buahan yang paling banyak dikonsumsi oleh seluruh sampel adalah pepaya, jeruk manis, melon, dan jambu biji dengan frekuensi rata-rata sebanyak 4-6 kali per minggu, 1-3 kali per minggu, 1-3 kali per minggu, dan kurang dari 1 kali per minggu. Jenis sayur-sayuran yang paling banyak dikonsumsi oleh sampel adalah bawang merah, wortel, jamur, tomat, dan kembang kol. Frekuensi kebiasaan konsumsi bawang merah, wortel, dan jamur adalah 4-6 kali per minggu, sedangkan tomat dan kembang kol sekitar 1-3 kali per minggu. Jenis pangan nabati yang paling sering dikonsumsi adalah tempe, tahu, dan kacang hijau. Frekuensi kebiasaan konsumsi pangan tersebut masingmasing adalah 4-6 kali per minggu untuk tempe dan tahu, serta sebanyak 1-3 kali per minggu untuk kacang hijau. Golongan pangan selanjutnya yang mengandung antioksidan dalam jumlah sedang adalah golongan
minuman
ringan. Kebiasaan konsumsi minuman ringan yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi teh dan kopi. Rata-rata frekuensi konsumsi teh dan kopi sampel adalah 1-3 kali per minggu untuk teh dan kurang dari 1 kali per minggu untuk kopi. Kebiasaan konsumsi makanan pokok, pangan hewani, dan susu serta hasil olahannya juga diamati dalam penelitian. Carlsen et al. (2010), menjelaskan bahwa makanan hewani juga memiliki kandungan antioksidan. Namun, makanan berbasis tanamanan memiliki kandungan antioksidan yang jauh lebih tinggi daripada makanan hewani tersebut. Makanan pokok yang biasa dikonsumsi oleh sampel adalah nasi, roti, lontong dan mie. Rata-rata sampel mengkonsumsi nasi lebih dari 14 kali per minggu, sedangkan roti dikonsumsi dengan frekuensi sebanyak 3-6 kali per minggu. Lontong dan mie dikonsumsi rata-rata sebanyak 1-3 kali per minggu.
36
Pangan hewani yang biasa dikonsumsi oleh sampel adalah telur ayam, ayam, ikan, dan bakso. Rata-rata sampel mengkonsumsi telur ayam dengan frekuensi 7-14 kali per minggu, daging ayam 4-6 kali per minggu, ikan segar dan bakso sebanyak 1-3 kali per minggu. Susu dan hasil olahan susu yang paling banyak dikonsumsi sampel adalah susu segar, susu bubuk, susu kental manis dan es krim. Rata-rata sampel mengkonsumsi susu segar dan susu bubuk sebanyak 4-6 kali per minggu, sedangkan susu kental manis dan es krim dikonsumsi sebanyak 1-3 kali per minggu. Kebiasaan konsumsi gorengan sampel juga relatif tinggi yaitu mencapai 4-6 kali per minggu. Asupan dan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Asupan energi dan zat gizi responden diukur menggunakan kuisioner Food Record. Kuisioner Food Record diberikan kepada sampel sebanyak 2 kali setiap minggu pada hari kerja dan pada hari libur. Data kuisioner Food Record selanjutnya diolah menggunakan Nutri Survey untuk melihat asupan zat gizi makro dan mikro. Selanjutnya, data dalam Food Record digunakan untuk mengestimasi total asupan antioksidan pangan sehari-hari seluruh sampel. Data total antioksidan pangan diperoleh dalam The Antioxidant Food Table (Carlsen et al 2010). Besarnya porsi pangan sampel berdasarkan ukuran rumah tangga (URT) dikonversi ke dalam gram. Jumlah zat gizi yang dikonsumsi dari berbagai jenis dan kelompok pangan diketahui menggunakan nutri survey, sehingga dapat melihat rata-rata asupan masing-masing sampel antar tiap kelompok perlakuan. Asupan zat gizi meliputi zat gizi makro dan zat gizi mikro (vitamin dan mineral). Asupan dan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Rata-rata asupan energi pada seluruh kelompok perlakuan adalah sebesar 1559±52 kkal. Asupan energi sampel berada pada rentang 1190 kkal sampai dengan 1979 kkal. Asupan protein sampel dari makanan berada pada rentang 35.5 gram sampai dengan 56.1 gram per hari. Asupan suplemen multivitamin mineral tidak memberikan sumbangan protein terhadap asupan sehari-hari sampel. Asupan energi dan protein sampel ditampilkan dalam Tabel 11.
37
Tabel 11 Asupan energi dan protein dari makanan dan suplemen multivitamin mineral pada masing-masing kelompok perlakuan1
Zat gizi
Kontrol Anemia
Energi (kkal) (-) suplemen 1649±208 (+) suplemen 1649±208 Protein (gram) (-) suplemen 48.2±6.0 (+) suplemen 48.2±6.0 1
Kelompok Kontrol Intervensi NonAnemia anemia
Intervensi Nonanemia
Rata-rata
p
1577±197 1577±197
1539±287 1539±287
1499±181 1499±181
1558±207 1558±207
0.587 0.587
49.0±5.1 49.0±5.1
47.8±8.6 47.8±8.6
46.3±5.8 46.3±5.8
47.6±6.0 47.6±6.0
0.849 0.849
X±Sd
Berdasarkan uji Anova, asupan energi dan protein pada seluruh kelompok perlakuan relatif sama (p>0,05). Suplementasi multivitamin mineral tidak memberikan perubahan asupan energi dan protein pada seluruh kelompok perlakuan. Angka Kecukupan Gizi untuk wanita usia remaja 18-20 tahun adalah sekitar 1900-2200 kkal. Rata-rata asupan energi sampel pada seluruh kelompok perlakuan masih kurang dari Angka Kecukupan Gizi tersebut. Penelitian Briawan (2008) pada sampel mahasiswi TPB-IPB 2008 yang terbagi menjadi tiga kelompok perlakuan juga menunjukkan bahwa rata-rata asupan energi seluruh sampel masih kurang dari AKG yaitu sebesar 1431 kkal (kontrol), 1509 kkal (kelompok intervensi B-F), dan 1502 kkal (kelompok intervensi B-MV). Penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2005) terhadap mahasiswi IPB juga menunjukkan bahwa, rata-rata mahasiswi mengalami defisit asupan energi sebesar 250-400 kkal per hari. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan keterbatasan uang saku untuk belanja pangan atau perilaku makan yang tidak tepat. Rata-rata asupan protein pada seluruh sampel adalah sebesar 47.6 gram. Asupan protein tersebut masih berada pada range normal. Angka Kecukupan Gizi (AKG) protein untuk wanita pada kategori late adolescent adalah sebesar 50 gram. Perhitungan tingkat kecukupan zat gizi untuk energi dan protein menunjukkan bahwa sebagian besar sampel masih mengalami defisit energi, sedangkan pemenuhan kebutuhan protein sudah cukup baik. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein ditampilkan dalam Tabel 12.
38
Tabel 12
Tingkat kecukupan gizi energi dan protein masing-masing kelompok perlakuan1
Tingkat Kecukupan Zat gizi Energi (%) (-) suplemen (+) suplemen Protein (%) (-) suplemen (+) suplemen 1
Kelompok Kontrol Intervensi NonAnemia anemia
Kontrol Anemia
Rata-rata
P
Intervensi Non-anemia
75.7±17.6 75.7±17.6
75.1±6.4 75.1±6.4
73.9±17.1 73.9±17.1
68.6±8.4 68.6±8.4
72.7±12.0 72.7±12.0
0.624 0.624
101.1±16.3 101.1±16.3
102.0±8.0 102.0±8.0
99.2±19.0 99.2±19.0
88.2±14.1 88.2±14.1
96.4±14.9 96.4±14.9
0.189 0.189
X±Sd
Rata-rata tingkat kecukupan energi sampel adalah sebesar 72.7±12.0%. Rata-rata tingkat kecukupan protein sampel adalah sebesar 96.4±14.9%. Berdasarkan uji Anova, tingkat kecukupan energi dan protein pada seluruh kelompok perlakuan relatif sama (p>0.05) baik tanpa dan dengan suplementasi multivitamin mineral. Tingkat kecukupan energi dan protein seluruh sampel tersebar dalam kategori defisit berat, defisit sedang, defisit ringan, normal, dan lebih (Depkes 1997). Sebaran tingkat kecukupan energi dan protein sampel pada seluruh kelompok perlakuan ditampilkan dalam Tabel 13. Tabel 13 Sebaran sampel menurut tingkat kecukupan energi dan protein pada masing-masing kelompok perlakuan1 Kategori Tingkat kecukupan Energi Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Normal Lebih Protein Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Normal Lebih 1
Kontrol Anemia
Kelompok Kontrol Intervensi Non-anemia Anemia
Total Intervensi Non-anemia
2(33) 2(33) 0(0) 2(33) 0(0)
1(14) 5(71) 1(14) 0(0) 0(0)
3 (60) 1 (20) 0 (0) 1 (20) 0 (0)
6(60) 3(30) 1(10) 0(0) 0(0)
12 (43) 11 (39) 2 (7) 3 (11) 0 (0)
0 (0) 0 (0) 1 (17) 4 (66) 1 (17)
0 (0) 0 (0) 1 (14) 6 (86) 0 (0)
0 (0) 0 (0) 2 (40) 2 (40) 1 (20)
1 (10) 2 (20) 3 (30) 4 (40) 0 (0)
1 (4) 2 (7) 7 (25) 16 (57) 2 (7)
n jumlah ( %) proporsi sampel
Tingkat kecukupan pada Tabel 13 menunjukkan bahwa sebagian besar sampel masih berada pada kategori defisit energi tingkat berat (n=12, 43%). Sebagian besar defisit energi tingkat berat dialami pada kelompok intervensi baik anemia dan non anemia dengan persentase masing-masing sebesar 60% dalam kelompok tersebut. Tingkat kecukupan protein sampel sebagian besar berada dalam kategori normal, dengan persentase sebesar 57% (n=57%). Hanya sebesar 3.6% (n=1)
39
sampel berada dalam kategori defisit berat, 7.1% (n=2) defisit sedang, dan 25% (n=7) defisit ringan. Bahkan sebanyak 7.1% (n=2) sampel berada dalam kategori tingkat kecukupan protein lebih. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa konsumsi asupan protein sampel adalah baik. Asupan dan Tingkat Kecukupan Vitamin Vitamin-vitamin yang diestimasi dalam penelitian ini adalah vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin B6. Suplemen multivitamin mineral tidak memberikan sumbangan vitamin A dan vitamin E, akan tetapi suplemen memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap vitamin C, B1,
B2,
dan
vitamin
B6.
Asupan
vitamin
baik
tanpa
dan
dengan
pengkonsumsisan suplemen ditampilkan dalam Tabel 14. Tabel 14 Asupan vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin B6 dengan dan tanpa asupan suplemen multivitamin mineral Zat Gizi Kontrol Anemia
Kelompok Kontrol Intervensi NonAnemia anemia
1484.5± 387.2 1484.5± 387.2
1317.8± 299.8 1317.8± 299.8 3.7±0.6 3.7±0.6
Intervensi Nonanemia
Ratarata
1230.8± 226.4 1230.8± 226.4
1195.2± 307.5 1195.2± 307.5
1294.2± 315.3 1294.2± 315.3
3.4±1.0 3.4±1.0
3.1±0.6 3.1±0.6
3.4±0.7 3.4±0.7
P
Vitamin A (RE) (-)Suplemen (+)Suplemen
Vitamin E (mg) (-)Suplemen 3.4±0.7 (+)Suplemen 3.4±0.7 Vitamin C (mg) (-)Suplemen 48.7±13.9 a (+)Suplemen 48.7±13.9 Vitamin B1 (-)Suplemen 0.5±0.1 a (+)Suplemen 0.5±0.1 Vitamin B2 (-)Suplemen 0.8±0.2 a (+)Suplemen 0.8±0.2 Vitamin B6 (-)Suplemen 0.9±0.1 a (+)Suplemen 0.9±0.1 1 a,b
36.1±13.4 37.9±23.7 43.4±28.7 41.7±21.4 a b b 36.1±13.4 133.9±27.4 133.2±31,3 91.0±51.9
0.346 0.346 0.480 0.480 0.737 0.000
0.5±0.1 a 0.5±0.1
0.5±0.1 b 10.1±1.5
0.4±0.1 b 9.4±2.3
0.5±0.1 5.4±4.9
0.848 0.000
0.7±0.1 a 0.7±0.1
0.7±0.3 b 2.2±0.3
0.7±0.1 b 2.0±0.4
0.7±0.2 1.5±0.7
0.559 0.000
0.9±0.1 a 0.9±0.1
0.9±0.2 b 2.8±0.3
0.8±0.1 b 2.6±0.5
0.8±0.1 1.8±1.0
0.716 0.000
X±Sd Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0.05)
Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa suplemen multivitamin mineral tidak memberikan sumbangan terhadap vitamin A dan vitamin E. Suplemen multivitamin mineral mampu meningkatkan asupan vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin B6 pada kelompok intervensi. Berdasarkan uji Anova, asupan vitamin A dan vitamin E relatif sama pada seluruh kelompok perlakuan. Berbeda
40
dengan asupan vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin B6, berdasarkan uji Anova terdapat perbedaan yang signifikan asupan antara kelompok perlakuan. Uji lanjut Anova Duncan menunjukkan asupan vitamin-vitamin tersebut signifikan lebih tinggi pada kelompok intervensi setelah adanya suplementasi. Rata-rata asupan vitamin A sampel adalah sebesar 1294.2±315.3 RE, berada pada rentang 845.0 RE sampai dengan 2140.4 RE. Asupan vitamin A tersebut sudah mampu mencukupi Angka Kecukupan Gizi vitamin A untuk usia remaja late adolescent yang sebesar 600 RE. Asupan vitamin A tertinggi terjadi pada kelompok kontrol non-anemia. Secara keseluruhan, asupan vitamin A pada kelompok kontrol lebih tinggi daripada kelompok intervensi. Asupan vitamin A pada kelompok anemia baik kontrol maupun intervensi juga lebih tinggi dibandingkan asupan vitamin A pada kelompok non-anemia. Anemia merupakan permasalah gizi dimana kekurangan zat besi sangat dipengaruhi oleh interaksi mikronutrien lain (Alarcon 2004). Studi intervensi menunjukkan bahwa vitamin A dapat meningkatkan konsentrasi hemoglobin pada anak dan dewasa anemia (Mejia & Chew 1988 dan Semba & Bloem 2002, dalam Alrcon 2004). Rata-rata asupan vitamin E sampel adalah 3.4±0.7 mg, berada pada selang 2.1 mg sampai dengan 4.8 mg per hari. Rata-rata asupan vitamin E ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Ramatina (2011) yang menyatakan bahwa asupan vitamin E pada mahasiswi alih jenis Institut Pertanian Bogor masih tergolong rendah yaitu sekitar 3.6 mg (kelompok kontrol dan intervensi vitamin C), 3.1 mg (kelompok intervensi vitamin E), dan 3.5 mg (kelompok intervensi multivitamin). Asupan vitamin E pada seluruh kelompok perlakuan ini masih sangat jauh dari Angka Kecukupan Gizi vitamin E untuk usia remaja late adolescent yaitu sebesar 15 mg per hari. Vitamin E merupakan vitamin antioksidan. Agar dapat bertindak sebagai antioksidan, seseorang harus mengkonsumsi vitamin E lebih dari AKG, umumnya sekitar 100 mg/hari (Muctadi 2009). Pada penelitian ini, rata-rata asupan vitamin E pada kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan pada kelompok intervensi. Rata-rata asupan vitamin C dari makanan pada seluruh kelompok perlakuan adalah sebesar 41.7±21.4 mg dalam selang 12.7 mg sampai dengan 76 mg. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ramatina (2011), yang menyatakan rata-rata asupan vitamin C pada sampel mahasiswi alih jenis IPB adalah sebesar kurang lebih 41.5 mg. Kebutuhan vitamin C pada sampel remaja late adolescent
41
adalah sebesar 75 mg per hari (AKG 2004). Suplemen multivitamin mineral memberikan sumbangan asupan vitamin C sebanyak 50 mg lebih besar terhadap rata-rata asupan seluruh sampel. Rata-rata asupan vitamin C pada kelompok intervensi bertambah sekitar 100 mg lebih tinggi, sedangkan kelompok kontrol tetap. Vitamin C sebagai salah satu zat gizi antioksidan dalam berbagai penelitian menunjukkan efek suplementasi vitamin C sebagai biomarker dalam oksidasi lipid pada manusia. Penelitian Nadio dan Lux (1998) dalam DRI (2000) menunjukkan bahwa suplementasi vitamin C dengan dosis 500, 750, dan 1000 mg pada 9 orang laki-laki sehat dan 6 orang wanita sehat selama 2 minggu dapat menurunkan MDA plasma. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ramatina (2011) juga menunjukkan bahwa pemberian vitamin C dengan dosis 8 kali AKG ataupun sebesar 500 mg dan pemberian multivitamin mineral mampu menurunkan kadar MDA plasma dari 26.50 nmol/ml menjadi 12.08 nmol/ml. Rata-rata asupan vitamin B1 (tiamin) dari makanan tanpa suplemen adalah sebesar 0.5±0.1 mg, berselang antara 0.3 mg sampai dengan 0.6 mg per hari. Dengan adanya suplementasi rata-rata asupan vitamin B1 meningkat menjadi 5.4±4.9 mg, dengan selang antara 0.4 mg sampai dengan 13.8 mg. Suplemen multivitamin mineral ini mampu menutupi kebutuhan vitamin sampel pada kelompok intervensi yang seharusnya sebesar 1-1.1 mg per hari (AKG 2004). Asupan B2 (riboflavin) pada kelompok intervensi juga meningkat dengan adanya suplementasi multivitamin mineral. Rata-rata asupan vitamin B2 meningkat sebanyak 0.8 mg dengan adanya suplementasi. Hal ini mampu menutupi kebutuhan vitamin B2 pada kelompok intervensi yang sebesar 1-1.1 mg per hari. Begitu pula dengan asupan B6. Rata-rata asupan vitamin B6 dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari adalah sebesar 0.8±0.1 mg, dengan selang antara 0.6 mg sampai dengan 1.1 mg. Suplementasi multivitamin mineral meningkatkan rata-rata asupan vitamin B6 menjadi 1.8±1.0 mg dengan selang antara 0.7 mg sampai dengan 3.4 mg per hari. Kebutuhan vitamin B6 sampel adalah sebesar 1.2-1.3 mg/hari. Suplemen multivitamin mineral mampu memenuhi kebutuhan vitamin B-6 pada kelompok intervensi sedangkan kelompok kontrol masih defisit. Angka Kecukupan Gizi (% AKG) vitamin A, vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin B6 ditampilkan dalam Tabel 15.
42
Tabel 15 Angka kecukupan vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin B6 dari makanan dan suplemen pada masing-masing kelompok perlakuan1 Zat Gizi
Kelompok Kontrol Intervensi Non-anemia Anemia
Intervensi Non-anemia
Rata-rata
P
261.9±60.5 261.9±60.5
225.3±49.5 225.3±49.5
219.7±32.0 219.7±32.0
214,4±52,5 214,4±52,5
228.3±51.3 228.3±51.3
0.338 0.338
22.7±4.8 22.7±4.8
24.3±3.9 24.3±3.9
22.9±6.8 22.9±6.8
20.9±4.1 20.9±4.1
22.5±4.7 22.5±4.7
0.525 0.525
65.0±18.5 65.0±18.5a
48.2±17.8 48.2±17.8a
50.5±31.7 178.5±36.5b
57.9±38.2 177.6±41.7b
55.7±28.5 121.3±69.2
0.737 0.000
44.6±6.3 44.6±6.3a
42.5±6.4 42.5±6.4a
955.4±157.3
888.3±219.5
42.7±7.4 508.0±462.9
0.419 0.000
78.9±15.2 78.9±15.2a
69.2±10.2 69.2±10.2a
70.9±22.2 209.5±26.8b
67.5±12.1 197.4±40.5b
71.0±14.4 142.1±70.4
0.493 0.000
70.7±11.1 70.7±11.1a
70.4±10.2 70.4±10.2a
69.4±16.5 224.3±19.9b
63.8±8.8 209.0±40.0b
67.9±11.0 147.4±77.4
0.556 0.000
Kontrol Anemia Vitamin A (-) suplemen (+) suplemen Vitamin E (-) suplemen (+) suplemen Vitamin C (-) suplemen (+)suplemen Vitamin B1 (-)suplemen (+)suplemen Vitamin B2 (-)suplemen (+)suplemen Vitamin B6 (-)suplemen (+)suplemen 1 a,b
46.3±11.3
b
40.0±6.2
b
X±Sd Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0.05)
Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa setelah suplementasi angka kecukupan vitamin C, B1, B2 dan vitamin B6 pada kelompok intervensi signifikan berbeda dibandingkan dengan kelompok kontrol, sedangkan tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin E antara kelompok kontrol dan intervensi tidak berbeda signifikan. Tingkat kecukupan vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin B6 dibagi kedalam dua kategori yaitu kurang (<77%) dan lebih (>77%) (Gibson 2005). Sebaran tingkat kecukupan masing-masing vitamin tersebut ditampilkan dalam Tabel 16. Tabel 16 Sebaran sampel menurut tingkat kecukupan vitamin A, vitamin E, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin B6 pada masing-masing kelompok perlakuan1 Zat Gizi Vitamin A Vitamin A* Vitamin E Vitamin E* Vitamin C
TKG Kurang Cukup Kurang Cukup Kurang Cukup Kurang Cukup Kurang Cukup
Kontrol Anemia 0(0) 6(100) 0(0) 6(100) 6(100) 0(0) 6(100) 0(0) 5(83) 1(17)
Kelompok Kontrol Intervensi Non-anemia Anemia 0(0) 0 (0) 7(100) 5 (100) 0(0) 0 (0) 7(100) 5 (100) 7(100) 5 (100) 0(0) 0 (0) 7(100) 5 (100) 0(0) 0 (0) 6(86) 4 (80) 1(14) 1 (20)
Intervensi Non-anemia 0(0) 10(100) 0(0) 10(100) 10(100) 0(0) 10(100) 0(0) 9(90) 1(10)
Total 0 (0) 28(100) 0 (0) 28(100) 28(100) 0 (0) 28(100) 0 (0) 24 (86) 4 (14)
43
Tabel lanjutan: Zat Gizi
TKG
Vitamin C*
Kurang Cukup Kurang Cukup Kurang
Vitamin B1 Vitamin B1* Vitamin B2 Vitamin B2* Vitamin B6 Vitamin B6* 1
Kontrol Anemia 5(83) 1(17) 6 (100) 0 (0) 6 (100)
Kelompok Kontrol Intervensi Non-anemia Anemia 6(86) 0 (0) 1(14) 4 (100) 7 (100) 5(100) 0 (0) 0 (0) 7 (100) 0 (0)
Intervensi Non-anemia 0 (0) 10(100) 10(100) 0 (0) 0 (0)
Cukup Kurang Cukup Kurang
0 (0) 3 (50) 3 (50)
0 (0) 5 (71) 2 (29)
5 (100) 3 (60) 2 (40)
10(100) 6 (60) 4 (40)
3 (50)
5 (71)
0 (0)
0 (0)
Cukup Kurang Cukup Kurang
3 (50) 3 (50) 3 (50)
2 (29) 5 (71) 2 (29)
5 (100) 3 (60) 2 (40)
10(100) 10(100) 0 (0)
3 (50)
5 (71)
0 (0)
0 (0)
Cukup
3 (50)
2 (29)
5 (100)
10(100)
Total 11(39) 16 (61) 28(100) 0 (0) 13 (46) 15 (54) 17 (61) 11 (39) 8 (28) 20 (72) 21 (71) 7 (29) 8 (29) 20 (71)
n jumlah sampel, ( %) proporsi sampel (+) suplemen
Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa, sebagian besar tingkat kecukupan vitamin A sampel adalah cukup (>77%). Rata-rata asupan vitamin A sampel yang mencapai 1294±315 RE dan tingkat kecukupan sampel 223±54%. Asupan dan tingkat kecukupan vitamin A ini jauh berbeda dengan hasil penelitian Briawan (2008), bahwa rata-rata asupan vitamin A sampel mahasiswi TPB-IPB berada pada selang 541 RE sampai dengan 622 RE, dengan tingkat kecukupan 95.1%, 122.9% dan 108.0%. Perbedaan yang begitu tinggi tersebut dapat disebabkan karena pada saat pengolahan data Food Record, penelitian ini menggunakan minyak kelapa sawit dalam Daftar Komposisi Bahan Pangan (DKBM) (WNPG 2004). Kandungan vitamin A pada minyak kelapa sawit adalah sebesar 8000 RE/100 gram. Asupan vitamin A yang tinggi diduga juga dikarenakan asupan minyak yang tinggi oleh para sampel. Dalam menentukan asupan minyak goreng para sampel, digunakan perhitungan penyerapan minyak untuk menghindari perkiraan asupan minyak yang terlalu berlebihan ataupun terlalu rendah. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin E sampel pada masing-masing kelompok perlakuan berada dalam kategori kurang (<77%). Asupan suplemen multivitamin mineral tidak memberikan tambahan asupan vitamin E pada kelompok kontrol maupun kelompok intervensi. Asupan dan tingkat kecukupan vitamin E yang masih kurang dalam penelitian ini serupa dengan penelitian Ramatina (2011) bahwa rata-rata asupan dan tingkat kecukupan vitamin E pada
44
seluruh sampel mahasiswa/i alih jenis Institut Pertanian Bogor masih kurang (<70%). Tingkat kecukupan vitamin C dari makanan tertinggi terjadi pada kelompok kontrol anemia sebesar 65.0±18.5%, sedangkan tingkat kecukupan terendah pada kelompok intervensi anemia sebesar 50.5±31.7%. Asupan vitamin C dari makanan dalam penelitian ini cukup berbeda dengan penelitian Briawan (2010) yang menyatakan bahwa, sebagian besar sampel mahasiswa/i TPB IPB (60.5%) masih mengkonsumsi vitamin C dibawah 70% AKG. Sebelum diberikan suplemen multivitamin mineral, asupan vitamin B1 pada seluruh kelompok perlakuan adalah kurang. Akan tetapi setelah diberikan suplementasi multivitamin mineral, 100% sampel pada kelompok intervensi berada pada kategori cukup, sedangkan pada kelompok kontrol masih berada pada kategori kurang. Begitu pula terhadap asupan vitamin B2 dan vitamin B6. Setelah adanya suplementasi angka 100% sampel pada kelompok intervensi berada pada kategori asupan vitamin B2 dan B6 yang cukup. Asupan dan Tingkat Kecukupan Mineral Mineral yang diamati dalam penelitian ini meliputi mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro yang diamati adalah kalsium, sedangkan mineral mikro yang diamati adalah besi dan seng. Asupan mineral-mineral tersebut ditampilkan dalam Tabel 17. Tabel 17 Asupan mineral dari makanan dan suplemen pada masing-masing kelompok perlakuan1 Kalsium Kontrol Anemia Kalsium (-)suplemen (+)suplemen Besi (-)suplemen (+)suplemen Seng (-)suplemen (+)suplemen 1 a,b
319.2±125.4 319.2±125.4
Kelompok Kontrol Intervensi NonAnemia anemia 226.5±50.6 226.5±50.6 a
262.6±206.7 326.6±209.0 a
Intervensi Nonanemia 219.5±58.8 279.4±57.1 a
Rata-rata
p
250.3±112.0 283.1±111.9
0.348 0.380
7.0±1.5 a 7.0±1.5
a
6.8±0.8 a 6.8±0.8
6.9±1.4 b 19.7±2.1
6.2±0.9 b 18.1±2.9
6.6±1.1 13.2±6.3
0.448 0.000
5.6±0.8 a 5.6±0.8
5.6±0.6 a 5.6±0.6
5.4±1.2 b 8.6±1.1
5.2±0.6 b 8.2±0.9
5.4±0.8 7.1±1.6
0.668 0.000
X±Sd Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0.05)
Rata-rata asupan kalsium dari asupan makanan 250.3±112.0 mg dengan selang antara 107.0 mg sampai dengan 616.0 mg. Rata-rata asupan kalsium sampel tersebut masih kurang. Kebutuhan kalsium sampel adalah sebesar 800-
45
1000 mg per hari (AKG 2004). Suplementasi multivitamin mineral meningkatkan rata-rata asupan kalsium menjadi 283.1±111.9 dengan selang antara 163.1 mg sampai dengan 687.3 mg. Suplementasi multivitamin mineral belum mampu memenuhi kebutuhan kalsium sampel secara maksimal. Berdasarkan uji Anova, asupan dan tingkat kecukupan kalsium baik dari asupan makanan maupun yang sudah ditambah dengan asupan dari suplemen adalah relatif sama. Meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan, rata-rata asupan kalsium pada kelompok kontrol lebih besar daripada kelompok intervensi. Selain itu, asupan kalsium pada kelompok anemia (kontrol+intervensi) juga cenderung lebih tinggi dibandingkan pada kelompok non-anemia (kontrol+intervensi). Rata-rata asupan zat besi dari makanan adalah sebesar 6.6±1.1 mg, dengan selang antara 4.7 mg sampai dengan 8.9 mg. Kebutuhan zat besi sampel adalah sebesar 26 mg per hari (AKG 2004). Suplementasi meningkatkan asupan zat besi menjadi rata-rata sebesar 13.2±6.3 dengan selang antara 5.5 mg sampai dengan 23.0 mg. Berdasarkan uji Anova, baik asupan zat besi dari makanan ditunjukkan relatif sama (p>0.05). Namun, dengan adanya suplementasi menambah asupan zat besi pada kelompok intervensi. Berdasarkan uji Anova Duncan, asupan zat besi antara kelompok kontrol dan intervensi adalah berbeda nyata (p<0.05). Rata-rata asupan seng dari makanan adalah sebesar 5.4±0.8 mg, dengan selang diantara 3.9 mg sampai dengan 6.9 mg. Suplementasi multivitamin mineral meningkatkan rata-rata asupan menjadi 7.1±1.6 mg dengan selang antara 4.5 mg sampai dengan 10.4 mg. Kebutuhan sampel akan seng adalah sebesar 9.3-14 mg per hari (AKG 2004). Hal ini menunjukkan suplementasi multivitamin mineral juga belum mampu memenuhi kebutuhan seng sampel. Berdasarkan Tabel 16, dapat dilihat bahwa suplementasi multivitamin mineral secara keseluruhan belum dapat memenuhi kebutuhan sampel terhadap kalsium, zat besi dan seng. Hal tersebut secara lebih jelas diperlihatkan dalam perhitungan Tingkat Kecukupan Gizi zat gizi tersebut. Tingkat kecukupan gizi kalsium, zat besi dan seng, ditampilkan dalam Tabel 18.
46
Tabel 18 Tingkat kecukupan zat gizi kalsium, zat besi dan seng dari makanan dan suplemen pada masing-masing kelompok perlakuan1 Kalsium
% AKG Kelompok Kontrol Intervensi NonAnemia anemia
Kontrol Anemia Kalsium (-)suplemen (+)suplemen Zat Besi (-)suplemen (+)suplemen Seng (-)suplemen (+)suplemen 1 a,b
Intervensi Nonanemia
Rata-rata
p
24.1±6.9 30.7±6.9
27.2±13.4 30.8±13.8
0,413 0,354
a
34.3±12.5 34.3±12.5
23.5±5.7 23.5±5.7
29.9±26.9 36.9±27.7
26.8±6.0 a 26.8±6.0
a
26.0±2.9 a 26.0±2.9
a
26.5±5.3 b 75.8±8.1
23.7±3.4 b 69.7±11.3
25.4±4.3 50.7±24.4
0,447 0,000
47.3±14.6 a 47.3±14.6
42.9±7.7 a 42.9±7.7
47.4±18.4 b 75.0±25.2
45.2±13.0 b 70.8±19.1
45.5±12.7 59.6±21.6
0,924 0,004
a
X±Sd Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0.05)
Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa suplementasi multivitamin mineral mampu meningkatkan asupan kalsium, zat besi dan seng pada kelompok intervensi. Akan tetapi, peningkatan asupan tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan sampel. Tingkat kecukupan kalsium, zat besi dan seng pada seluruh kelompok perlakuan intervensi dan non intervensi, baik dengan tambahan suplemen dan tanpa tambahan suplemen menunjukkan masih kurang, yaitu <77% AKG. Prevalensi defisiensi zat gizi kalsium, zat besi, dan seng juga tidak menunjukkan penurunan yang signifikan setelah diberikan suplementasi. Sebaran tingkat kecukupan kalsium, zat besi dan seng ditampilkan dalam Tabel 19. Tabel 19 Sebaran sampel menurut tingkat kecukupan kalsium, zat besi, dan seng dari makanan dan suplemen pada masing-masing kelompok perlakuan1
Zat Gizi Kalsium Kalsium* Zat besi Zat besi* Seng Seng* 1
Tingkat kecukupan Kurang Cukup Kurang Cukup Kurang Cukup Kurang Cukup Kurang Cukup Kurang Cukup
n jumlah, ( %) proporsi sampel (+) asupan suplemen
Kontrol Anemia 6(100) 0 (0) 6(100) 0 (0) 6 (100) 0 (0) 6 (100 0 (0 6 (100) 0 (0) 6 (100) 0 (0)
Kelompok Kontrol Intervensi NonAnemia anemia 7 (100) 3 (60) 0 (0) 2 (40) 7 (100) 4 (80) 0 (0) 1 (20) 7 (100) 5 (100) 0 (0) 0 (0) 7 (100) 3 (60) 0 (0) 2 (40) 7 (100) 5 (100) 0 (0) 0 (0) 7 (100) 3 (60) 0 (0) 2 (40%
Intervensi Nonanemia 10(100) 0(0) 10(100) 0(0) 10(100) 0 (0) 7 (70) 3 (30) 10(100) 0 (0) 6 (60) 4 (40)
Total 26 (93) 2 (7) 27 (96) 1 (4) 28 (100) 0 (0) 23 (82) 5 (18) 28 (100) 0 (0) 22 (79) 6 (21)
47
Asupan Antioksidan Pangan Asupan antioksidan sampel dinilai menggunakan The Antioxidant Food Table yang disusun oleh Carlsen et.al (2010). Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Winarsi H 2007). Antioksidan terbagi kedalam tiga bentuk yaitu antioksidan enzimatis, vitamin dan senyawa lain (Winarsi 2007). Antioksidan pangan yang ditampilkan dalam The Antioxidant Food Table merupakan total kandungan antioksidan dalam lebih dari 3100 makanan, minuman, bumbu, herbal dan suplemen yang digunakan di dunia dalam satuan mmol/100 gram pangan. Total asupan antioksidan sampel dari pangan yang dikonsumsi per hari ditampilkan dalam Tabel 20. Tabel 20 Asupan antioksidan pangan per hari sampel selama suplementasi1 Asupan antioksidan (mmol/hari) 1-2 2-3 >3 Rata-rata 1
Kontrol Anemia 1 (17) 3 (50) 2 (33) a 2.61
Kelompok Perlakuan Kontrol Intervensi Intervensi Non-anemia Anemia Non-anemia 0 (0) 3 (60) 1 (10) 7 (100) 1 (20) 9 (90) 0 (0) 1 (20) 0 (0) a a a 2.40 2.42 2.32
Total 5 (21) 20 (67) 3 (12) p= 2.44
n jumlah sampel ( %) proporsi sampel
Rata-rata asupan antioksidan pangan yang dikonsumsi oleh sampel adalah sebesar 2.44 mmol/hari. Sebanyak 66,67% sampel mengkonsumsi antioksidan pangan sebesar 2-3 mmol/hari, hanya sekitar 12.5% sampel yang mengkonsumsi antioksidan mencapai lebih dari 3 mmol per hari. Berdasarkan uji Anova, tidak terdapat perbedaan nyata asupan antioksidan sampel dari keempat kelompok perlakuan (p>0.05). Antioksidan memegang peranan penting dalam melawan radikal bebas. Asupan antioksidan baik oleh sampel anemia maupun non anemia masih jauh dari asupan antioksidan pada remaja normal. Penelitian yang dilakukan oleh Puchau et al (2010) menyatakan bahwa total asupan antioksidan pangan pada 185 remaja normal dan sehat usia 6-18 tahun mencapai 7,8 mmol per hari. Suplementasi Multivitamin Mineral Kepatuhan Konsumsi Suplemen Penilaian tingkat kepatuhan pengkonsumsian suplemen dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah melalui pengisian kuisioner jadwal konsumsi suplemen multivitamin mineral. Pengisian kuisioner dilakukan oleh sampel sendiri (self resported). Pada kuisioner, jadwal konsumsi suplemen
48
sudah tersedia kolom hari dan tanggal seharusnya sampel mengkonsumsi suplemen. Sampel hanya mengisi dengan tanda centang jika mengkonsumsi suplemen berikut disertakan waktu pengkonsumsian dan keluhan yang dialami. Kuisioner jadwal konsumsi suplemen multivitamin mineral terlampir pada Lampiran. Cara kedua pengukuran tingkat kepatuhan adalah dengan menimbang sisa suplemen multivitamin mineral yang telah dikembalikan oleh sampel kepada peneliti. Suplemen multivitamin mineral diberikan dalam tiga tahap. Sisa suplemen pada setiap tahap pemberian suplemen multivitamin mineral ditimbang dan diakumulasikan diakhir. Hasil penimbangan sisa tersebut selanjutnya digunakan untuk mengestimasikan total suplemen yang dikonsumsi oleh masingmasing sampel dengan cara mengurangkan volume total suplemen multivitamin mineral yang diberikan dalam tiga tahap (840 ml) dengan sisa suplemen. Tingkat kepatuhan berdasarkan kuisioner dan sisa suplemen ditampilkan dalam Tabel 21. Tabel 21 Tingkat kepatuhan konsumsi suplemen multivitamin mineral berdasarkan kuisioner kepatuhan dan penimbangan sisa suplemen1 Rata-rata tingkat kepatuhan konsumsi suplemen
Kontrol Anemia
Kelompok Kontrol Intervensi NonAnemia anemia
Intervensi Nonanemia
Rata-rata
p
Pencatatan kuisioner Tidak konsumsi 1.6 (3) 1.8 (4) 2.7 (5) 3.5 (6) 2,4 (4) 0,316 Total konsumsi 54.4 (97) 54.2 (96) 53.3 (95) 52.5 (94) 53.6 (96) 0.314 Penimbangan sisa Sisa (ml) 308.0±59.6 311.7±94.2 325.4±79.6 337.8±137.4 322.1±98.4 0.941 Konsumsi (ml) 532.0±59.6 528.3±94.2 514.6±79.6 486.7±137.4 517.9±98.4 0.979 % Konsumsi 63.3 62.9 61.0 57.9 61.6 0.980 1
n kali, ( %) persentase
Berdasarkan data self reported sampel dalam kuisioner kepatuhan, ratarata sampel pada masing-masing kelompok perlakuan tidak mengkonsumsi suplemen multivitamin mineral sebanyak 2.4 kali selama periode intervensi (56 hari), sehingga rata-rata sampel mengkonsumsi suplemen multivitamin mineral adalah sebanyak 53.6 kali. Berdasarkan hal tersebut, rata-rata tingkat kepatuhan pengkonsumsian suplemen masih tinggi yaitu sebesar 96%. Berdasarkan Briawan (2008), tingkat kepatuhan digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu <60%, 60-80%, dan >80%. Tingkat kepatuhan <60% dinyatakan sangat rendah. Berdasarkan
uji
Anova,
rata-rata
banyakanya
setiap
kelompok
dalam
mengkonsumsi suplemen multivitamin mineral relatif sama dan tidak berbeda nyata (p>0.05).
49
Tingkat kepatuhan berdasarkan penimbangan sisa suplemen lebih akurat dibandingkan dengan tingkat kepatuhan berdasarkan absensi self reported sampel dalam kuisioner kepatuhan. Berdasarkan Briawan (2008), daftar absensi pengambilan PMT tidak dapat digunakan sebagai ukuran tingkat kepatuhan, mengingat bahwa kemungkinan paket yang diambil belum tentu akan dikonsumsi. Dalam penelitian suplementasi multivitamin mineral ini juga berlaku demikian, diindikasikan akan terjadi hal yang sama jika tingkat kepatuhan hanya diukur menggunakan data absensi kuisioner kepatuhan sampel. Tingkat kepatuhan sampel berdasarkan hasil penimbangan sisa sangat berbeda jauh dengan tingkat kepatuhan berdasarkan absensi kuisioner kepatuhan. Rata-rata tingkat kepatuhan sampel berdasarkan penimbangan sisa suplemen masih rendah yaitu sebesar 61.6%, dengan rata-rata suplemen yang dikonsumsi adalah sebesar 517.9±98.4 ml dari 840 ml (15 mlx56 hari) takaran yang seharusnya dikonsumsi. Berdasarkan uji Anova, tingkat kepatuhan berdasarkan penimbangan sisa suplemen antara masing-masing kelompok perlakuan relatif sama (p>0.05). Tingkat kepatuhan berdasarkan hasil penimbangan suplemen sangat jauh dari tingkat kepatuhan berdasarkan absensi kuisioner kepatuhan. Hal tersebut dapat dikarenakan, pengkonsumsian suplemen multivitamin mineral setiap responden tidak sama dengan 1.5 sendok takar yang diberikan. Sebelum kegiatan intervensi dilaksanakan, tim peneliti menimbang 15 ml suplemen dan disesuaikan dengan sendok takar yang tersedia. Sebanyak 15 ml suplemen setara dengan 1.5 sendok takar yang diberikan. Ketidak sesuaian tingkat kecukupan antara absensi kuisioner kepatuhan dengan penimbangan sisa suplemen dapat disebabkan karena tidak seluruh sampel mengkonsumsi suplemen sebanyak 1.5 sendok takar per harinya. Konsumsi Suplemen Berdasarkan sisa suplemen masing-masing sampel, didapatkan hasil total suplemen yang dikonsumsi selama periode intervensi. Total suplemen yang dikonsumsi
masing-masing sampel tersebut dibagi kedalam 56 hari periode
intervensi sehingga diperoleh total asupan suplemen per hari. Selanjutnya digunakan untuk menghitung total asupan zat gizi dari suplemen per hari pada setiap sampel. Suplemen multivitamin mineral memberikan tambahan asupan vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, vitamin C, kalsium, zat besi dan seng pada
50
kelompok intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol tidak. Rata-rata asupan suplemen dari 28 sampel ditampilkan dalam Tabel 22. Tabel 22 Rata-rata asupan zat gizi dari suplemen multivitamin mineral per hari sampel selama intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan Zat Gizi Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin B6 (mg) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Zat Besi (mg) Seng (mg) a,b
Kandungan zat gizi suplemen per takaran saji (15 ml) 15 2.25 3 150 100 20 5
Kontrol Anemia b
0 b 0 b 0 b 0 b 0 b 0 b 0
Kelompok Kontrol Intervensi NonAnemia Anemia b a 0 9.6 b a 0 1.4 b a 0 1.9 b a 0 96 b a 0 64 b a 0 12.8 b a 0 3.2
Intervensi Non Anemia a 9.0 a 1.3 a 1.8 a 89.8 a 59.9 a 120 a 3
Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0.05)
Berdasarkan Tabel 21, dapat dilihat bahwa asupan seluruh zat gizi dari suplemen selama intervensi tidak memenuhi dosis zat gizi yang dianjurkan per hari. Hal tersebut dikarenakan tingkat kepatuhan sampel berdasarkan hasil penimbangan sisa suplemen yang memang sangat rendah. Berdasarkan uji Anova, asupan zat gizi dari suplemen pada masing-masing kelompok perlakuan relatif berbeda. Perbedaan nyata asupan zat gizi dari suplemen terjadi antara kelompok kontrol dan intervensi, yang disebabkan karena pada kelompok kontrol suplemen yang diberikan adalah suplemen placebo yang tidak mengandung vitamin dan mineral. Kadar Malondialdehid Plasma Kadar Malondialdehid Plasma Sebelum Intervensi Rata-rata kadar malondialdehid plasma sebelum intervensi adalah sebesar 1.44±0.27 μmol/L, berselang antara 0.91 μmol/L sampai dengan 1.94 μmol/L.
Rata-rata
malondialdehid
pada
tiap
kelompok
adalah
tinggi.
Berdasarkan, Wasowicz et al (1993) kadar malondialdehid normal adalah sebesar 1.01 μmol/L. Rata-rata dan perbedaan kadar malondialdehid plasma pada masing-masing kelompok perlakuan ditunjukkan dalam Gambar 5.
Kadar Malondialdehid (μmol/L)
51
1,6 1,55 1,5 1,45 1,4 1,35 1,3 1,25
1.55 0.31 1.47 0.26 1.43 0.23 1.37 0.28
Anemia
Non-anemia
Anemia
Intervensi
Non-anemia Kontrol
Kelompok
Gambar 5 Rata-rata kadar malondialdehid plasma sebelum intervensi masing-masing kelompok perlakuan Rata-rata kadar malondialdehid pre intervensi pada seluruh kelompok perlakuan relatif homogen, karena berdasarkan uji statistik tidak berbeda signifikan (p>0.05). Beberapa penelitian mengenai malondialdehid juga telah dilakukan sebelumnya menunjukkan rata-rata kadar malondialdehid pada sebuah populasi tertentu adalah tidak normal. Penelitian Zakaria (2000) yang dilakukan terhadap mahasiswa pesantren di daerah Ulil Albaab Kedung Badak Bogor, menunjukkan bahwa rata-rata kadar malondialdehid plasma sampel adalah sebesar 2.36 µmol/L. Penelitian yang dilakukan oleh Ramatina (2011) terhadap mahasiswi alih jenis IPB menunjukkan bahwa kadar malondialdehid pada seluruh kelompok perlakuan rata-rata masih tidak normal yaitu sebesar 24.37 nmol/L. Hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Duandaroz et al. (2003) menunjukkan bahwa kadar MDA plasma pada remaja sehat usia 11-19 tahun adalah sebesar 0.2±0.04 nmol/ml. Sebaran sampel menurut kadar malondialdehid plasma sampel pada setiap kelompok perlakuan ditampilkan dalam Tabel 23. Tabel 23 Sebaran kadar malondialdehid plasma sampel sebelum intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan1 Kadar MDA <1.01 1.01-1.5 >1.5 1
Kontrol Anemia 0 (0) 3 (50) 3 (50)
Kelompok Kontrol Intervensi Non-anemia Anemia 0 (0) 0 (0) 5 (71) 4 (80) 2 (29) 1 (20)
Intervensi Non-anemia 1 (10) 7 (70) 2 (20)
Jumlah 1 (3.6) 19 (67.9) 8 (28.5)
n jumlah sampel ( %) proporsi sampel
Berdasarkan Tabel 22, dapat dilihat bahwa sebagian besar sampel pada masing-masing kelompok perlakuan memiliki kadar malondialdehid pada rentang
52
antara 1.01 μmol/L sampai dengan 1.5 μmol/L. Rata-rata kadar malondialdehid tertinggi terjadi pada kelompok kontrol anemia. Sebanyak setengah sampel dalam kelompok ini (50%), memiliki kadar malondialdehid lebih dari 1.5 μmol/L. Hal ini sesuai dengan rataan kadar malondialdehid per kelompok, dimana kelompok kontrol anemia memiliki kadar malondialdehid tertinggi dibandingkan dengan yang lain. Berdasarkan grafik diatas juga dapat dilihat bahwa baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol, kadar malondialdehid lebih tinggi terjadi pada kelompok anemia dibandingkan dengan pada kelompok non anemia. Kadar Malondialdehid Plasma Setelah Intervensi Rata-rata kadar malondialdehid setelah intervensi adalah sebesar 1.37±10.19 μmol/L, berselang antara 1.02 μmol/L sampai dengan 1.73 μmol/L. Rata-rata kadar malondialdehid setelah intervensi juga masih tinggi dan melebihi angka normal yaitu diatas 1.01 μmol/L (Wasowicz et al 1993). Rata-rata kadar
Kadar Malondialdehid (μmol/L)
malondialdehid setiap kelompok perlakuan ditampilkan dalam Gambar 6. 1,42 1,4 1,38 1,36 1,34 1,32 1,3 1,28
1.39 0.20
1.39 0.23
Anemia
Non-anemia
1.35 0.09 1.33 0.28
Anemia
Non-anemia
Intervensi
Kontrol Kelompok
Gambar 6 Rata-rata kadar malondialdehid plasma sesudah intervensi masing-masing kelompok perlakuan Tidak berbeda dengan rata-rata kadar malondialdehid sebelum intervensi, kadar malondialdehid sampel setelah intervensi pada setiap kelompok perlakuan juga cukup homogen, karena karena secara statistik tidak berbeda signifikan, dengan nilai p>0.05. Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa meskipun, relaif tidak berbeda, rata-rata malondialdehid pada kelompok intervensi lebih rendah dibandingkan dengan pada kelompok kontrol. Penelitian yang dilakukan oleh Ramatina (2011). Sebaran kadar malondialdehid sample setelah intervensi ditampilkan dalam Tabel 24.
53
Tabel 24 Sebaran sampel menurut kadar malondialdehid plasma sebelum intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan1 Kadar MDA
Kontrol Anemia
<1,01 1,01-1,5 >1,5 1
0 (0) 4 (67) 2 (33)
Kelompok Kontrol Intervensi Non-anemia Anemia 0 (0) 0 (0) 5 (71) 4 (80) 2 (29) 1 (20)
Intervensi Non-anemia 0 (0) 10 (100) 0 (0)
Jumlah 0 (0) 23 (82) 5 (18)
n jumlah sampel, ( %) proporsi sampel
Pengaruh Pemberian Suplemen Multivitamin Mineral terhadap Kadar Malondialdehid Plasma Suplemen multivitamin mineral mengandung vitamin C dan seng, yang merupakan penyusun enzim superoksida dismutase (SOD). Enzim ini telah ada dalam tubuh namun membutuhkan bantuan zat-zat gizi mineral seperti mangan (Mn), seng (Zn), dan tembaga (Cu) agar bisa bekerja. Aktivitas enzim SOD memiliki peran penting dalam system pertahanan tubuh terutama terhadap aktivitas senyawa oksigen reaktif yang dapat menyebabkan stress oksidatif (Beyer et al 1991; Bowler et al 1992). Pemberian suplemen multivitamin mineral yang mengandung zat gizi antioksidan penting dalam penurunan kadar malondialdehid sebagai biomarker status oksidatif tubuh. Kadar malondialdehid sebelum dan sesudah intervensi serta selisih kadar malondialdehid keduanya ditampilkan dalam Tabel 25. Tabel 25 Kadar malondialdehid plasma sebelum dan sesudah intervensi1 Kadar Malondialdehid (μmol/L) Sebelum Sesudah Selisih (Δ) 1 b
Kelompok Kontrol Intervensi Non anemia Anemia b b 1.46±0.26 1.43±0.23 b b 1.39±0.23 1.32±0.27 -0.07 -0.11
Kontrol Anemia b 1.55±0.31 b 1.39±0.20 -0.16
Intervensi Non Anemia b 1.36±0.28 b 1.35±0.09 -0.02
p 0.621 0.902 0.397
X±Sd Pada kelompok yang sama tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05) sebelum dan sesudah suplementasi (Uji beda Paired sampe t-test)
Berdasarkan Tabel 25 dapat dilihat bahwa pemberian suplemen multivitamin
mineral
tidak
memberikan
pengaruh
penurunan
kadar
malondialdehid pada seluruh kelompok perlakuan. Kadar malondialdehid sebelum dan sesudah intervensi relatif homogen dikarenakan berdasarkan uji statistik
tidak
terdapat
perbedaan
nyata
(p>0.05).
Perubahan
kadar
malondialdehid sebelum dan sesudah intervensi (ΔMDA) juga relatif sama antara masing-masing kelompok perlakuan (p>0.05). Hasil uji beda paired sampel t-test juga menunjukkan bahwa pada seluruh kelompok perlakuan tidak terdapat perubahan kadar malondialdehid yang signifikan antara sebelum dan sesudah
54
intervensi (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa suplemen multivitamin mineral yang diberikan tidak berpengaruh terhadap perubahan kadar malondialdehid plasma sampel anemia dan non anemia. Hanya saja berdasarkan Gambar 5, dapat dilihat kadar malondialdehid pada akhir intervensi lebih rendah terjadi pada kelompok intervensi dibandingkan pada kelompok kontrol. Tidak berpengaruhnya intervensi multivitamin mineral terhadap kadar malondialdehid diindikasikan disebabkan karena asupan zat-zat gizi antioksidan vitamin E, vitamin C dan seng selama intervensi pada seluruh kelompok perlakuan adalah relatif rendah. Asupan vitamin E dalam penelitian ini masih sangat rendah. Tingkat kecukupan vitamin E pada seluruh kelompok perlakuan masih berada <77% dengan rata-rata asupan per hari sebesar 3.4±0,7 mg. Vitamin E merupakan salah satu zat gizi antioksidan. Agar dapat bertindak sebagai antioksidan, seseorang harus mengonsumsi vitamin E lebih dari AKG, umumnya sekitar 100 mg/hari (Muchtadi 2009). Penelitian Ramatina (2011) mengindikasikan bahwa vitamin E dosis 200 IU (setara dengan 133 mg) dapat mencegah terjadinya peningkatan kadar MDA plasma yang bersifat toksik di dalam tubuh. Rata-rata asupan vitamin C pada seluruh kelompok perlakuan adalah sebesar 91.0±51.9 mg dengan rata-rata tingkat kecukupan 121.3±69.2%. Tingkat kecukupan vitamin C ini adalah baik. Hanya saja dengan asupan sebesar tersebut vitamin C belum mampu menjalankan fungsinya sebagai antioksidan. Naidoo dan Lux (1998) dalam DRI (2000) menunjukkan bahwa penurunan kadar malondialdehid plasma terjadi pada kelompok yang diberikan intervensi vitamin C dengan dosis 500, 750 dan 1000 mg/hari selama 2 minggu. sedangkan pada kelompok yang diberikan intervensi vitamin C dengan dosis 250 mg/hari tidak menunjukkan adanya penurunan kadar malondialdehid plasma. Penelitian Ramatina (2011) juga menunjukkan bahwa agar dapat berfungsi sebagai antioksidan, vitamin C harus dikonsumsi 8 kali melebihi AKG atau sekitar 500 mg per harinya. Rata-rata asupan seng pada seluruh kelompok perlakuan adalah sebesar 7.1±1.6 mg, dengan rata-rata tingkat kecukupan sebesar 59.6±21.6%. Tingkat keuckupan seng sebagian besar sampel (n=22, 79%) masih kurang (<77%). Seng seperti yang sudah dijelaskan diatas merupakan salah satu zat gizi antioksidan yang berperan dalam kerja enzim SOD, enzim pertahanan alami tubuh terhadap radikal bebas. Analisis statistik hubungan antara zat-zat gizi
55
antioksidan
dilakukan
untuk
melihat
pengaruhnya
terhadap
kadar
malondialdehid. Seluruh asupan zat-zat gizi antioksidan selama intervensi yaitu vitamin E, vitamin C, dan seng, menunjukkan tidak berkorelasi terhadap perubahan kadar malondialdehid (p>0.05). Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan tidak berpengaruhnya suplementasi multivitamin mineral dalam penelitian ini dindikasikan dikarenakan jumlah sampel tidak cukup untuk menunjukkan perbedaaan dan perubahan kadar malondialdehid. Hubungan Kadar Hemoglobin dengan Kadar Malondialdehid Berbagai penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara kadar hemoglobin dengan stres oksidatif dalam tubuh. Pada penelitian ini juga dilakukan pengamatan terhadap kadar hemoglobin dan kadar malondialdehid selama intervensi. Kadar hemoglobin dan kadar malondialdehid plasma sampel sebelum dan sesudah intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan ditampilkan dalam Gambar 7 dan Tabel 26.
Hb Sebelum (mg/dl) Hb Sesudah (mg/dl) MDA sebelum (µmol/L) MDA Sesudah (µmol/L)
Intervensi anemia 1,054 10.54 10.98 1,098 1,43 1.43 1.43 1,32 1.32
Intervensi non-anemia 1,262 12.62 1,257 12.57 1,36 1.36 1,34 1.34
Kontrol anemia 10.35 1,035 10.40 1,04 1.55 1,55 1,39 1.39
Kontrol nonanemia 12.67 1,267 1,298 12.98 1.46 1,46 1,39 1.39
Gambar 7 Kadar Hb dan malondialdehid sebelum dan sesudah intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan Hasil uji korelasi menunjukkan tidak terdapat korelasi antara kadar hemoglobin dengan kadar malondialdehid plasma darah, baik sebelum maupun sesudah intervensi (p>0.05). Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh El-Azab et al (2008) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar Hb dengan stres oksidatif (malondialdehid) yang signifikan. Penelitiannya dilakukan terhadap pasien yang mengalami anemia berat akibat hemodialisis ginjal. Dalam penelitian tersebut ditunjukkan bahwa rata-rata kadar
56
malondialdehid pada pasien hemodialisis signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0.0001). Aktifitas SOD, GSH-Px, level selenium plasma dan hemoglobin lebih rendah sangat signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0.0001). Sehingga, terdapat hubungan korelasi negatif yang signifikan antara kadar malondialdehid dan konsentrasi hemoglobin (r=0.62. p=0.002). Tabel 26 Rata-rata kadar malondialdehid berdasarkan kategori anemia pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi Rata-rata kadar Hb dan MDA Kategori Hemoglobin (mg/dl) Normal (≥ 12,0 ) Sebelum intervensi Sesudah intervensi Perubahan (Δ) Anemia Ringan (10,1-11,9) Sebelum intervensi Sesudah intervensi Perubahan (Δ) Anemia sedang (7,0-10,0) Sebelum intervensi Sesudah intervensi Perubahan (Δ)
Kontrol
Intervensi
Kadar Hb
Kadar MDA
Kadar Hb
Kadar MDA
12.67±0.42 12.86±0.63 0.31
1.47±0.26 1.43±0.24 -0.01
12.62±0.35 12.67±0.54 0.05
1.37±0.28 1.36±0.10 -0.01
10.87±0.61 11.20±0.70 0.4
1.50±0.31 1.25±0.27 -0.3
10.95±0.62 11.35±0.20 -0.60
1.34±0.13 1.23±0.19 -0.11
9.30±0.14 9.30±0.15 0.00
1.66±0.40 1.41±0.12 -0.25
8.90±8.90 9.50±9.50 0.60
1.80±1.80 1.73±1.73 -0.07
Penelitian ini juga tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Emokpae et al. (2010) yang dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pada subjek anemia khususnya pada kelompok subjek yang mengalami anemia hemolitik kronik, malondialdehyde, C-reactive protein dan fibrinogen secara signifikan meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Selain itu, sampel yang anemia memiliki serum glutation peroksidase, superoxide dismutase dan katalase yang lebih rendah dibandingkan pada kelompok kontrol. Namun berdasarkan grafik pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa penurunan malondialdehid cenderung terjadi pada kelompok-kelompok yang mengalami peningkatan kadar hemoglobin. Pada Tabel 25 ditunjukkan bahwa disaat terjadi kenaikan hemoglobin, kadar malondialdehid relatif menurun, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh kadar hemoglobin darah terhadap kadar malondialdehid dalam
plasma.
Nilai
hemoglobin sangat terpengaruh oleh ketersediaan zat besi dalam tubuh, mulai dari asupan hingga simpanan zat besi dalam tubuh. Hemoglobin merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur defisit besi tahap ketiga. Defisit besi
57
pada hemoglobin selanjutnya disebut dengan anemia gizi besi (deficiency anema atau IDA) (UNICEF/UNU/WHO 2001). Kondisi hemoglobin yang meningkat menunjukkan simpanan zat besi yang meningkat. Sementara itu, zat besi (Fe) merupakan salah satu mineral mikro yang juga berperan dalam berbagai sistem pertahanan antioksidan tubuh. terutama dalam pertahanan enzimatis tubuh. Zat besi (Fe) digunakan sebagai kofaktor dalam enzim katalase. Katalase merupakan enzim homotetramer yang mengandung ferriheme. Aktifitas katalase banyak ditemukan dalam mitokondria. Sitoplasma dan peroksisom berbagai sel (Asikin 2001, Fridovich 1998 dalam Winarsi 2007). Katalase berperan sebagai enzim peroksidasi dalam reaksi dekomposisi hidrogen
peroksida
menjadi
oksigen
dan air.
Enzim
tersebut
mampu
mengoksidasi 1 molekul hidrogen peroksida menjadi oksigen. Sel-sel yang mengandung katalase dalam jumlah sedikit sangat rentan terhadap serangan peroksidasi. Oleh sebab itu, katalase berperan penting dalam mekanisme pertahanan sel darah merah terhadap oksidator hidrogen peroksida (Winarsi 2007). Berdasarkan hal tersebut dapat diindikasikan bahwa terdapat hubungan antara simpanan besi yang ditunjukkan dari kadar hemoglobin dengan kadar MDA. Simpanan besi yang meningkat akan meningkatkan pertahanan enzimatis tubuh terhadap radikal bebas oleh enzim katalase, yang selanjutnya akan meningkatkan status oksidatif, dan sebaliknya. Meskipun tidak signifikan (p>0.05), hal ini cenderung terlihat dalam penelitian ini, dimana seiring membaiknya status hemoglobin tubuh, diiringi dengan semakin baik pula status oksidatif tubuh yang ditunjukkan dengan penurunan kadar malondialdehid plasma. Dalam
meningkatkan
status
oksdatif
dengan
menurunkan
kadar
malondialdehid sampel anemia, tidak hanya asupan vitamin C saja yang perlu diperhatikan. Asupan zat besi sebagai salah satu zat gizi penting bagi sampel anemia juga perlu diperhatikan. Dosis besi yang digunakan dalam suplementasi harian ini sebesar 20 mg. Berdasarkan hasil pengukuran sisa suplemen, diperkirakan hanya sebesar 12.3 mg besi dari suplemen yang dapat dikonsumsi sampel setiap hari. Jika ditambahkan rata-rata asupan besi sampel dari konsumsi makanan yang sebesar 6.63 mg, maka rata-rata asupan besi sampel sekitar 18.93 mg (73% dari AKG) (WNPG 2004). Asupan besi sampel dalam
58
penelitian ini masih kurang. Dosis zat besi total yang ekuivalen dengan 60 mg zat besi elemental (300 mg ferro sulfat) per hari adalah asupan yang cukup seharihari untuk mengatasi anemia (Gibney et al. 2009). Pemberian suplemen multivitamin mineral yang lebih tinggi kandungan zat besi, baik dilakukan untuk meningkatkan status besi sampel. Zat besi merupakan salah satu zat besi yang berperan kofaktor dalam enzim katalase, sistem pertahanan enzimatis tubuh (Winarsi 2007). Status besi sampel yang semakin baik, juga akan semakin memperbaiki status pertahanan enzimatis tubuh dalam melawan radikal bebas.
59
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Rata-rata usia sampel pada keempat kelompok perlakuan adalah 18.80±0.25 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) baik usia, pendapatan bulanan, pengeluaran pangan, berat badan, tinggi badan, IMT dan %lemak antar kelompok sebelum intervensi. Namun, terdapat perbedaan nyata IMT dan %lemak tubuh setelah intervensi. Kebiasaan pangan kaya antioksidan paling tinggi pada kelompok intervensi anemia sebanyak
<1 kali per minggu. Kebiasaan pangan tinggi
antioksidan paling tinggi pada kelompok kontrol non-anemia dengan frekuensi 1─3 kali per minggu. Kebiasaan konsumsi pangan kandungan antioksidan sedang paling tinggi pada kelompok kontrol non-anemia. Pangan kaya antioksidan yang peling sering dikonsumsi sampel adalah bwang merah, pepaya dan dan wortel dengan frekuensi 4-6 kali per minggu. Rata-rata asupan antioksidan sampel dari makanan adalah sebesar 2.44 mmol/hari. Rata-rata asupan antioksidan sampel adalah homogen karena berdasarkan uji Anova ditunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05). Asupan energi hampir separuh sampel (43%) dalam kategori defisit berat. Asupan protein sebagian besar sampel (57%) sudah terpenuhi. Asupan vitamin A sampel 100% (n=28) berada dalam kategori cukup. Berbeda dengan tingkat kecukupan vitamin A, tingkat kecukupan vitamin E, vitamin C, vitamin B1, zat besi, dan seng sampel 100% (n=28) berada dalam kategori kurang. Dengan suplementasi multivitamin mineral dapat meningkatkan asupan dan tingkat kecukupan vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, zat besi, dan seng pada kelompok intervensi. Dengan adanya suplementasi multivitamin mineral hanya asupan vitamin B1, B2, B6, dan vitamin C yang mencapai angka kecukupan gizi yang dianjurkan, lainnya tidak. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata kadar malondialdehid antar kelompok (p>0.05), baik sebelum maupun sesudah suplementasi. Kadar malondialdehid antara sampel anemia dan non-anemia juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p>0.05). Secara umum suplementasi multivitamin mineral tidak menurunkan kadar malondialdehid seluruh sampel secara nyata (p>0.05). Rata-rata penurunan kadar MDA terjadi pada kelompok anemia lebih besar dibandingkan kelompok non-anemia.
60
Dalam penelitian ini tidak terdapat korelasi antara kadar hemoglobin dan kadar malondialdehid (p>0.05). Terdapat kecenderungan bahwa semakin besar peningkatan hemoglobin maka semakin besar penurunan kadar malondialdehid. Saran Asupan dan tingkat kecukupan energi, protein, vitamin E, vitamin C, vitamin B1, vitaminB2, vitamin B6, kalsium, zat besi dan seng dari makanan pada seluruh sampel adalah masih defisit. Oleh karena itu peningkatan asupan pangan sumber-sumber vitamin tersebut sangat perlu ditingkatkan. Demikian juga dengan asupan antioksidan seluruh sampel yang masih rendah, sebaiknya asupan pangan yang tinggi ataupun kaya antioksidan ditingkat. Berdasarkan PUGS, asupan buah dan sayur yang baik adalah sebanyak 4-5 kali perhari. Selain itu asupan zat gizi antioksidan seperti vitamin C, vitamin E, dan seng perlu ditingkatkan. Berdasarkan Nadioo dan Lux (1998) dalam IOM (2000) asupan vitamin C 500 mg/hari sudah efektif untuk menurunkan kadar malondialdehid. Suplementasi multivitamin mineral memang tidak secara signifikan mampu menurunkan kadar malondialdehid dan meningkatkan kadar hemoglobin pada seluruh kelompok perlakuan, namun berdasarkan hasil penelitian ini memperlihatkan penurunan malondialdehid dan peningkatan hemoglobin relatif lebih tinggi terjadi pada kelompok anemia dibandingkan pada kelompok nonanemia. Oleh karena itu, suplementasi multivitamin mineral memang seharusnya lebih tepat diberikan kepada sampel anemia. Penelitian-penelitian yang serupa perlu dilakukan dalam jumlah sampel yang lebih besar, dan juga bentuk intervensi lainnya, sekaligus dengan penanganan plasma sampel yang lebih hatihati.
61
DAFTAR PUSTAKA [AKG] Angka Kecukupan Gizi. 2004. [DEPKES] Departemen Kesehatan. Departemen Kesehatan RI.
2008.
Gizi
dalam
Angka.
Jakarta:
[IOM] Institute Of Medicine. Detary Reference Intakes for Vitamin C, Vitamin E, Selenum, and Carotenoids. Washington DC: National Academic Press. [WHO] World Health Organization. 2001. Iron Deficiency Anemia Assessment, Prevention, and Control. A guide for Programme Manager. _____________________________. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. ADB/SCN. Asian Development Bank/Standng Commitee on Nutrton. 2001. What works? A review of the effcacy and effectiveness of Nutrition nterventons: 145 pages. Alam S, Hadibroto I, Olovia F. 2004. Seluk Beluk Food Suplement. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Alarcon K et al. 2004. Effects of separate delivery of zinc or zinc and vitamin A on hemoglobin response, growth, and diarrhea in young Peruvian children receiving iron therapy for anemia. Am J Clin Nutr 80:1276–82. Almatsier S, Soetardjo S, Soekarti M. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Al-Rawi N, Jaber FA, Atiyah KM. 2009. Assessment of salivary and serum oxidative stress and antioxidants as plausible parameters in prediction of ischemic stroke among Iraqi Samples. The Internet Journal of Third World Medicine 7:2. http://www.ispub.com/journal/the-internet-journal-ofthird-world-medicine/volume-7-number-2/assessment-of-salivary-andserum-oxidative-stress-and-antioxidants-as-plausible-parameters-inprediction-of-ischemic-stroke-among-iraqisamples.html#sthash.WiZtfkG5.dpbs [5 Feb 2012] Amagase H, Sun B, Borek C. 2008. Lycium barbarum (goji) juice improves in vivo antioxidant biomarkers in serum of healthy adults. Science Direct Nutrition Research 29:19–25. Arkhaesi N. 2008. Kadar malondialdehyde (MDA) serum sebagai indikator prognosis keluaran pada sepsis neonatorum [tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Atmarita. 2005. Nutrition Problems in Indonesia, in Integrated International Seminar and Workshop on Lifestyle – Related Diseases. Yogyakarta, 1920 Maret. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Badriah F. 2005. Boys Only. Jakarta: Gema Insani. Beyer W et al. 1991. Superoxide Dismutase. dalam: Progress in Nucleic Acid Research. 40: 221-253.
62
Briawan D. 2008. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan status besi remaja wanita [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Carlsen et al. 2010. The total antioxidant content of more than 3100 foods, beverages, spices, herbs and supplements used worldwide. Nutrition Journal 9:3. Dalle-Donne I, Rossi R, Colombo R, Giustarini D, Milzani A. 2006. Biomarkers of oxidative damage in human disease. Clin Chem 52: 601–23. Dündaröz MR et al. 2003. Antioxidant enzymes and lipid peroxidation in adolescents with inhalant abuse. The Turkish Journal of Pediatrics 45: 4345. El-Azab Sm, Morsy HK, El-Adawy EH, Seleem AK. 2008. Does vitamin E influence oxidative stress and renal anaemia in haemodialysed Patients?. The Internet Journal of Nutrition and Wellness Volume 6 Number 1. DOI: 10.5580/83d. http://www.ispub.com/journal/the-internet-journal-ofnutrition-and-wellness/volume-6-number-1/does-vitamin-e-influenceoxidative-stress-and-renal-anaemia-in-haemodialysed-patients.html. http://www.ispub.com/journal/the-internet-journal-of-nutrition-andwellness/volume-6-number-1/does-vitamin-e-influence-oxidative-stressand-renal-anaemia-in-haemodialysedpatients.html#sthash.fcPwC8T9.dpbs [5 Feb 2012]. Emokpae et el. 2010. Antioxidant enzymes and acute phase proteins correlate with marker of lipid peroxide in adult Nigerian sickle cell disease patients. Iranian Journal of Basic Medical Sciences Vol 13 No. 4: 177-182. Ernawati F. 2009. Pengaruh suplementsi multivitamin-mineral terhadap imunitas humoral, seluler, dan status gizi antioksidan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Faigayanti A. 2012. Angka lempeng total minuman emulsi minyak bekatul-cokelat dan pengaruh intervensinya terhadap kadar malondialdehid (MDA) plasma mahasiswa obes [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Fitri YP. 2005. Identifikasi karakteristik mahasiswi TPB-IPB dengan status gizi kurang [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Gibney JM, Margetts MB, Kearney MJ, Arab L. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Hartono A, penerjemah; Palupi W, Erita AH, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Public Health Nutrition. Gibson RS. 2005. Principles of Nutrtional Asessment. New York: Oxford University Press, Inc. Halliwel B, Gutteridge JM. 1999. Free radicals, reactive species and toxicology. Dalam Free radicals in biology and medicine Third edtion. New York: Oxford University Press: 547-550. Hudson FJB. 1990. Food Antioxidant. Inggris: Elsevier Science Publishers Ltd. Ide Pangkalan. 2010. Health Secret Of Pepin. Jakarta: Penerbit Gramedia.
63
Kamp F, Donangelo MC. 2008. Supplementing young women with both zinc and iron protects zinc-related antioxidant indicators previously impaired by iron supplementation. The Journal of Nutrition 138: 2186–2189. Karen GN, Halterman, Kaczorowski JM, Auinger P, Weitzman M. 2004. Overweght children and adolescents: a risk group for iron deficiency. Pediatrics vol. 114 No. 1 Knutson MD, Walter PB, Ames BN, Viteri FE. 2000. Both iron deficiency and daily iron supplements increase lipid peroxidation in rats. Journal of Nutrition 130: 621–628. Konig D, Berg A. 2002. Exercise and oxidative stress: is there a need for additional antioxidant. Osterreichisches J Fur Sportmedizin 3:6-15. Kraemer K, Zimmermann MB. 2007. Nutritional Anemias. Florida: CRC Press LLC. Lameshow S, Hosmer Jr, Klar J, Lwanga SK. 1997. Besar Subjek Dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Parakkasi A, Penerjemah. Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari: Nutricional Biochemistry and Metabolisme. Lund EK, Wharf SG, Tait SJ, Johnson IT. 1999. Oral ferrous sulfate supplements increase the free radical–generating capacity of feces from healthy volunteers. Am J Clin Nutr 69: 250–5. Mahan LK, Stump SE. 2008. Krause’s Food and Nutrition Therapy 12th Edition. Kanada: Elsever Saunders. Marks DB, Marks AD, Smith C. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar. Brahm U, alih bahasa. Suyono K, Sadikin V, Mandera L, editor. Jakarta: Penerbit EGC. Terjemahan dari: Basic Medical Biochemistry: A Clinical Approach. McCord. 2004. Iron, free radicals, and oxidative injury. American Society for Nutritional Sciences. J. Nutrition 134: 3171S–3172S. Muchtadi D. 2000. Sayuran-sayuran Sumber Serat dan Antioksidan: Mencegah penyakit degeneratif. Bogor: Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Nesaretnam K, Packer L. 2001. Micronutrients and Health, Molecular Biological Mechanism. USA: AOCS Press. Nursalam, Kurniawati ND. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika. Orozco MN. 2010. Antioxidant-rich oral supplements attenuate the effects of oral iron on in situ oxidation susceptibility of human feces. The Journal of Nutrition 140: 1105–1110. Papalia DF, Ols SW, Feldman RD. 2004. Human Development. New York: McGraw-Hill. Puchau B, Ochoa MC, Zulet MA, Marti A, Martinez JA, Members G. 2010. Dietary total antioxidant capacity and obesity in children and adolescents. Int J Food Sci Nutr Vol. 61 (7): 713-21.
64
Puri KD. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia mahasiswi peserta program pemberian makanan tambahan di IPB [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ramatina. 2011. Efektivitas berbagai suplemen antioksidan terhadap penurunan status oksidatif malondialdehid (MDA) plasma pada mahasiswi alih jenis IPB [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Reilly PM, Schiller HJ, Bulkley GB. 1991. Pharmacologic approach to tissue injury mediated by free radical and other reactive oxygen metabolites. Am J Surg 161:488-502 Sanjaja et al. 2010. Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga. Jakarta: Kompas. Saputra A. 2005. Kajian pengaruh konsumsi air minum peambah oksigen terhadap status antioksidan dan profil leukosit pada manusia (studi kasus mahasiswa TPG-IPB Bogor) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sloane E. 1995. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. James V, penerjemah. Widyastuti P, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Anatomi and Phiciology, An Easy Learner. Soehardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Stopler T dalam Mahan KL, Stump ES. 2008. Krause’s Food & Nutrition Therapy. Kanada: Saunders Elsevier. Halaman 811. Subandrio, VU. 1993. Pola Penyakit dan Kematian. Dalam A. Rustiawan, SM, Atmojo, VU. Subandriyo, & YH. Effendi. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sudiana K. 2008. Patobiologi Molekuler Kanker. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Suryohudoyo P. 2000. Oksidan, Antioksidan dan Radikal bebas. Dalam: Ilmu Kedokteran Molekuler. Jakarta: Kapita Selekta, Sagung Seto. Turner, Helms. 1991. Lifespan Development (4th edition). USA: Holt Rinehart and Winston Inc. UNICEF/WHO/UNU. United Nation for Children Education Fund/World Health Organitation/United Nation University. 1999. Composition of multimicronutrient supplement to be used in pilot programmes among pregnant women in developing countries. New York. Valentini V, Nisfiannoor M. 2006. Identity achievement dengan intimacy pada remaja SMA. Journal Provitae Volume 2 No 1:1. Wasowicz W, Neve J, Peretz A. 1993. Optimized steps in fluorometric determination of thiobarbituric acid-reactive substance in serum: importance of extraction pH and influence of sample preservation and storage. Clinical Chemistry Vol. 39 no 12: 2522-2528. Wen Y, Cookie T, Feely J. 1997. The effect of pharmacological supplementation with vitamin C on low-density lipoprotein oxidation. Br J Clin Pharmacol 44: 94–97.
65
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII. 2004. Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Winarsi H, Muchtadi D, Zakaria FR, Purwantara B. 2003. “Status antioksidan wanita premenopause yang diberi minuman suplemen susumeno.” Dalam: Prosiding Seminar Nasional PATPI. Yogyakarta. 22-23 Juli 2003 Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Zakaria FR et al. 1996. Hubungan antara status imunologi dan pola konsumsi makanan jajanan populasi remaja di Bogor Jawa Barat. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 1 (2):50-59. Zakaria FR, Susanto H, Hartoyo A. 2000. Pengaruh konsumsi jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap kadar malonaldehida dan vitamin E plasma pada mahasiswa pesantren Ulil Albab, Kedung Badak, Bogor. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 11(1): 36-40.
66
LAMPIRAN
67
Lampiran 1 Langkah-langkah analisis kadar malondialdehid metode TBARs (Jamil 2010 dalam Faigayanti 2012) Prinsip metode Asam lemak tidak jenuh dapat mengalami proses peroksidasi menjadi peroksidasi lipid kemudian mengalami dekomposisi menjadi malondialdehid (MDA). MDA bila direaksikan dengan asam TBA membentuk senyawa merah muda. Bahan dan alat Bahan-bahan yang digunakan adalah plasma darah, aquades bebas ion, TCA 20%, TBA 1 %, air es. Alat-alat yang digunakan adalah tabung reaksi mikro, pipet mikro 100 μL dan 1000 μL, fortex, penangas air, gelas ukur, sentrifuse, dan spektrofotometer. TCA 20%
= 2 gram TCA + 10 ml aquades bebas ion
TBA 1%
= 0,5 gram TBA + aquades bebas ion hingga 50 ml
HCl 1 N
= 8,361 ml HCl + air bebas ion hingga 100 ml Analisis sampel
Sebanyak 100 μl plasma darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi mikro ↓ Ditambahkan 550 μL aquades bebas ion ↓ Ditambahkan 100 μL TCA 20% ↓ Ditambahkan 100 μL larutan TBA 1% ↓ Dihomogenisasi dengan fortex ↓ Diinkubasi, 100oC, 30 menit, dan dinginkan pada suhu es ↓ Disentrifuse 3000 rpm, 30 menit ↓ Diukur absorbansi dengan spektrofotometer (panjang gelombang 533 nm)
68
Perhitungan kadar malondialdehid (absorbansi sampel - b) / a Kadar malondialdehid = Volume sampel / 1000 x 10000
Lampiran 2 Kadar malondialdehid dan kadar hemoglobin seluruh sampel sebelum dan sesudah intervensi Kode Sampel
Sebelum Kadar MDA Kadar Hb (µmol/L) (mg/dl)
Sesudah Kadar MDA Kadar Hb (µmol/L) (mg/dl)
Kelompok intervensi anemia IA1
1.80
8.9
1.73
9.5
IA2
1.36
10.3
1.48
11.3
IA3
1.45
10.8
1.22
11.1
IA4
1.15
10.9
1.02
11.4
IA5
1.40
11.8
1.18
11.6
INA1
1.46
12
1.29
12.1
INA2
1.27
12.3
1.37
12.7
INA3
1.75
12.3
1.44
12.4
INA4
0.91
12.5
1.25
12.5
INA5
1.15
12.6
1.29
11.7
INA6
1.76
12.7
1.18
13.2
INA7
1.29
12.8
1.46
13.2
INA8
1.07
12.8
1.46
12.2
INA9
1.52
13
1.43
12.1
INA10
1.49
13.2
1.31
13.6
KA1
1.37
9.2
1.55
9.2
KA2
1.94
9.4
1.34
9.5
KA3
1.21
10.3
1.06
10.7
KA4
1.77
10.4
1.34
9.3
KA5
1.26
11.3
1.43
11.7
KA6
1.78
11.5
1.65
12
KNA1
1.64
12.2
1.29
12.9
KNA2
1.44
12.2
1.39
12.2
KNA3
1.42
12.4
1.13
13.8
KNA4
1.16
12.6
1.25
12.6
KNA5
1.15
13
1.26
13.5
KNA6
1.57
13.1
1.73
13.3
KNA7
1.90
13.2
1.72
12.6
Kelompok intervensi non-anemia
Kelompok kontrol anemia
Kelompok kontrol non-anemia
69
Lampiran 3 Analisis uji statistik oneway Anova kadar malondialdehid plasma sebelum, sesudah dan selisih MDA intervensi Uji Beda Kadar MDA Sebelum Intervensi Antar Kelompok Perlakuan Jumlah kwadrat Antara kelompok Dalam kelompok Total
df
.138 1.840 1.978
Rataan kwadrat 3 24 27
F
.046 .077
Sig. .601
.621
Uji Beda Kadar MDA Sesudah Intervensi Antar Kelompok Perlakuan Jumlah kwadrat Antara kelompok Dalam kelompok Total
df
.022 .947 .969
Rataan kwadrat 3 24 27
F
.007 .039
Sig. .190
.902
Uji Beda Perubahan Kadar MDA Sebelum dan Sesudah Intervensi Antar Kelompok Perlakuan Jumlah kwadrat Antara kelompok Dalam kelompok Total
.063 .493 .557
df
Rataan kwadrat 3 24 27
F
.021 .021
Sig.
1.029
.397
Lampiran 4 Uji Paired T-test kadar malondialdehid sebelum dan sesudah intervensi Paired Differences
Mean
Rata-rata 95% Perbedaan standar selang kepercayaan Std. eror Deviasi Terendah Tertinggi
t
Sig. (2tailed)
df
Pair1 Kontrol nonanemia
.07286
.20418
.07717
-.11598
.26169
.944
6
.382
Pair2 Kontrol Anemia
.16000
.31369
.12806
-.16920
.48920 1.249
5
.267
Pair3 Intervensi nonanemia
.01900
.30267
.09571
-.19752
.23552
.199
9
.847
Pair4 Intervensi anemia
.10600
.14258
.06377
-.07104
.28304 1.662
4
.172
70
Lampiran 5 Uji korelasi kadar hemoglobin dengan kadar malondialdehid Uji korelasi kadar malondialdehid dengan kadar hemoglobin MDA MDA
Korelasi pearson
HB 1
Sig. (2-tailed) N HB
Korelasi pearson Sig. (2-tailed) N
-.185 .173
56
56
-.185
1
.173 56
56
71
Lampiran 6 Kuisioner penelitian
KUISIONER PENELITIAN SEBELUM INTERVENSI PENGARUH PENDIDIKAN GIZI & SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN MINERAL TERHADAP PERBAIKAN STATUS GIZI, STATUS OKSIDASI DAN KEBUGARAN TUBUH PADA MAHASISWA PUTRI TINGKAT PERSIAPAN BERSAMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
72
A. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama Lengkap : .................................................................................... 2. Gedung : ................No. Kamar Asrama.................................... 3. Jenis Kelamin : .................................................................................... 4. NRP : .................................................................................... 5. No Tlp/Hp : .................................................................................... 6. Tempat/tanggal lahir : .................................................................................... 7. Asal SMU : SMU...........................Kota......................................... 8. Suku bangsa : .................................................................................... 9. Agama : .................................................................................... 10. Sumber pendapatan per bulan (pilihan sumber pendapatan bisa lebih dari 1) : o Orang tua/ keluarga , besarnya Rp . . . . . . . . o Beasiswa, besarnya Rp . . . . . . . o Lainnya, (Sebutkan)....................................................................................... 11. Apakah Anda pernah menikah sebelumnya? 1. Ya 2. Tidak 12. Apakah Anda pernah hamil sebelumnya? 1. Ya 2. Tidak 13. Data Antropometri a. Berat Badan : b. Tinggi Badan : c. % Lemak Tubuh : B. IDENTITAS KELUARGA 1. Nama Orang tua/Wali a. Ayah : .................................................................................... b. Ibu : .................................................................................... 2. Pekerjaan a. Ayah : .................................................................................... b. Ibu : .................................................................................... 3. Penghasilan/bulan a. Ayah : .................................................................................... b. Ibu : .................................................................................... 4. Alamat rumah : ....................................................................................
73
5. Telpon rumah : .................................................................................... C. RIWAYAT MENSTRUASI 1. Usia berapa Anda pertama kali menstruasi?........................(tahun/bulan) 2. Apakah siklus mentruasi Anda teratur? a. Ya b. Yidak 3. Jika TERATUR, berapa hari (rata-rata) lama siklus menstruasi Anda? ................hari [Siklus menstruasi = waktu sejak awal menstruasi bulan lalu hingga awal menstruasi bulan berikutnya (dalam hari). Contoh : Hari pertama menstruasi bulan lau tanggal 4 Agustus dan hari menstruasi pada bulan September tanggal 1, maka siklus menstruasinya 28 hari] 4. Berapa lama Anda biasanya mengalami menstruasi? ....................hari 5. Jika TIDAK TERATUR, dalam setahun rata-rata mengalami menstruasi berapa kali?......................... 6. Apakah Anda mengalami keluhan menjelang menstruasi? a. Ya b. Tidak 7. Bila menjawab “Ya”, Berilah tanda silang (x) pada jenis keluhan yang anda alami menjelang saat mens. Pilihan lebih dari satu : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Menjelang Menstruasi Sakit/keram di bawah perut Sakit Pinggang Jerawat Sakit kepala/pusing Nyeri pada payudara Lesu Lebih emosional Mual Muntah Lainnya, sebutkan . . . . .
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Saat Menstruasi Sakit/keram di bawah perut Sakit Pinggang Jerawat Sakit kepala/pusing Nyeri pada payudara Lesu Lebih emosional Mual Muntah Lainnya, sebutkan . . . . .
D. KEBIASAAN MAKAN Sebutkan kebiasaan makan Anda dengan menyilang dan mengisi jawaban dengan singkat! No 1 2 3 4 5 6
7 8.
Pertanyaan Berapa rata-rata biaya makan sehari? Berapa kali Anda biasa makan sehari? Apakah Anda biasa sarapan pagi setiap hari? Apakah Anda biasa mengonsumsi camilan ? Apakah Anda biasa mengonsumsi sayur-sayuran? Apakah Anda biasa mengonsumsi buah-buahan atau sari buah? Apakah Anda biasa mengonsumsi susu? Apakah Anda biasa mengonsumsi susu setelah makan?
Selama di Asrama Rp ............................ .......................kali a.Selalu c. Jarang b. Kadang-kadang d. Tidak Pernah a.Selalu c. Jarang b. Kadang-kadang d. Tidak Pernah a.Selalu c. Jarang b. Kadang-kadang d. Tidak Pernah a.Selalu c. Jarang b. Kadang-kadang d. Tidak Pernah a.Selalu b. Kadang-kadang a.Selalu b. Kadang-kadang
c. Jarang d. Tidak Pernah c. Jarang d. Tidak Pernah
74
9
10
11 12 13 14
15 16
Apakah Anda biasa mengonsumsi lauk hewani (misalnya daging, ayam, ikan, telur)? Apakah Anda biasa mengonsumsi lauk nabati? (misalnya tempe, oncom) Apakah anda biasa minum teh setelah makan? Apakah anda biasa minum kopi setelah makan? Apakah Anda memiliki makanan pantangan? Jika memiliki pantangan, apa jenis makanan tersebut dan apa alasannya? Dimana Anda membeli makanan di hari kuliah? Dimana Anda mendapatkan makanan di hari libur?
Keterangan ; a. Selalu b. Kadang-kadang c. Jarang d. Tidak pernah
a.Selalu b. Kadang-kadang
c. Jarang d. Tidak Pernah
a.Selalu b. Kadang-kadang
c. Jarang d. Tidak Pernah
a.Selalu b. Kadang-kadang a.Selalu b. Kadang-kadang a. Ya
c. Jarang d. Tidak Pernah c. Jarang d. Tidak Pernah b. Tidak
........................................................... ........................................................... ...........................................................
: 5-7 kali /minggu : 3-4 kali/ minggu : 1-2 kali/minggu : 0 kali/minggu
75
FORMULIR FOOD RECORD Tuliskan seluruh makanan dan minuman yang telah anda konsumsi selama 24 jam. Upayakan serinci mungkin. Jangan lupa untuk menuliskan juga berbagai bahan tambahan (mentega, minyak, saus, sambal, bumbu) yang ditambahkan pada makanan utama, termasuk juga berbagai suplemen atau multivitamin yang dikonsumsi jika ada.
Waktu Makan Pagi (06.00 – 09.00)
Selingan 1 (09.15 – 11.45)
Nama Makanan
Bahan Penyusun
Jumlah (satuan URT)
Jumlah (gram)
Tempat memperoleh
Proses pemasakan
76
Siang (12.00 – 15.45)
Siang (12.00 – 15.45)
Selingan 2 (16.00 – 17.45)
Malam (18.00 - 05.45)
77
F1 No
F2 Jenis Pangan
1.
Pangan Pokok : Nasi Lontong Mie Bihun Jagung Singkong Ubi Kentang Roti Lainnya . . .
2.
Pangan Nabati : Tempe Tahu Kacang Hijau Kacang Tanah Kedelai Lainnya . . .
3.
Pangan Hewani : Abon Ayam Bebek (Itik) Corned Beef Daging Asap Daging kambing Daging Sapi Hati ayam Hati sapi Usus Paru Bakso Sosis daging ayam Telur Ayam Telur Bebek Telur Puyuh Cumi-Cumi Ikan Asin Ikan Segar Kepiting Kerang Rebon Udang Sarden
Semi Food Frequency Quisioner F3 F4 F5 F6 Frekuensi pangan per Ukuran per kali Hari Minggu Bulan URT gram
F7 Kesukaan Suka
Tidak suka
78
Sosis daging ayam Lainnya. . . .
4.
Susu dan Olahannya : Susu Segar/cair Susu Kental Manis Susu bubuk Keju Yoghurt Es krim Lainnya . . .
5.
Makanan Jajanan : Biskuit Cookies Klepon Siomay Lainnya . . . Sayur-sayuran: Bayam Lada Lada hitam Jamur Bit Brokoli Kol Saus tomat Kubis/kol hijau Bawang merah Tomat Selada Alpukat Kembang kol Labu Terung Buncis Bawang bombay Seledri Wortel Ketimun
6.
7
Buah – buahan : Anggur hijau Anggur hitam Anggur merah Apel Apel kuning Apel merah Buah Zaitun (hijau)
79
Buah Zaitun (hitam) Ceri Jambu air Jambu biji Jeruk manis Jeruk sunkis Kismis Kiwi Lemon Mangga Melon Nanas Pepaya Pir hijau Pir kuning Pisang ambon Pisang raja sereh Semangka Strawberry Sirsak Tangerine Lainnya: ........ 7
8
9
Minuman ringan: Es lemon tea Jus anggur Jus apel Jus jeruk Jus lemon Jus mix buah Jus nanas Jus pir Jus tomat Kopi hitam/ kopi pahit Kopi sachet (Merk: .......) Soft drink, cola (Merk: ..........) Soft drink, Fanta Soft drink, Sprite Teh hijau Teh hitam Teh instant bubuk kering Makanan berlemak dan berminyak Mentega Margarin Minyak Zaitun Minyak kedelai Minyak sayur Gorengan Spices dan
80
herbal Rempah-rempah mix Kemangi Kayu manis Cengkeh Jahe Pala Kunyit Lainnya: ..........
81
Jadwal Konsumsi Suplemen Multivitamin Mineral Konsumsi suplemen ke-
Hari/Tanggal (2012)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Rabu/ 25 April Kamis/ 26 April Jumat/ 27 April Sabtu/ 28 april Minggu/ 29 April Senin/ 30 April Selasa/ 1 Mei Rabu/ 2 Mei Kamis/ 3 Mei Jumat/ 4 Mei Sabtu/ 5 Mei Minggu/ 6 Mei Senin/ 7 Mei Selasa/ 8 Mei Rabu/ 9 Mei Kamis/ 10 Mei Jumat/ 11 Mei Sabtu/ 12 Mei Minggu/ 13 Mei Senin/ 14 Mei Selasa/ 15 Mei Rabu/ 16 Mei Kamis/ 17 Mei Jumat/ 18 Mei Sabtu/ 19 Mei Minggu/ 20 Mei Senin/ 21 Mei Selasa/ 22 Mei Rabu/ 23 Mei Kamis/ 24 Mei
*Waktu Minum Suplemen
Konsumsi Suplemen (Beri tanda pada kolom yang sesuai) Ya Tidak
**Keluhan
82
31 32 33 34 35 36 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Jumat/ 25 Mei Sabtu/ 26 Mei Minggu/ 27 Mei Senin/ 28 Mei Selasa/ 29 Mei Rabu/ 30 Mei Kamis/ 31 Mei Jumat/ 1 Juni Sabtu/ 2 Juni Minggu/ 3 Juni Senin/ 4 Juni Selasa/ 5 Juni Rabu/ 6 Juni Kamis/ 7 Juni Jumat/ 8 Juni Sabtu/ 9 Juni Minggu/ 10 Juni Senin/ 11 Juni Selasa/ 12 Juni Rabu/ 13 Juni Kamis/ 14 Juni Jumat/ 15 Juni Sabtu/ 16 Juni Minggu/ 17 Juni Senin/ 18 Juni Selasa/ 19 Juni Rabu/ 20 Juni Kamis/ 21 Juni Jumat/ 22 Juni
Keterangan : * = Waktu konsumsi suplemen dianjurkan setelah sarapan pagi, tetapi apabila lupa boleh diminum di saat ingat tetapi keterangan waktu konsumsi (jam konsumsi, sebelum atau setelah makan) dituliskan. ** = Suplemen multivitamin mineral ini aman dan sudah beredar di pasaran, tetapi jika terdapat keluhan yang dirasakan setelah konsumsi suplemen harap dituliskan.