PENGARUH SUBJECTIVE WELL-BEING, SOCIAL INFLUENCE, SELF-ESTEEM DAN FAKTOR DEMOGRAFIS TERHADAP IMPULSE BUYING
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Oleh: Rachmawati (1110070000102)
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ii
PENGARUH SUBJECTIVE WELL-BEING, SOCIAL INFLUENCE, SELF-ESTEEM DAN FAKTOR DEMOGRAFIS TERHADAP IMPULSE BUYING
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Oleh: Rachmawati (1110070000102)
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Bukan karena bahagia kita lalu bersyukur, tetapi karena selalu bersyukur kita akan selalu bahagia “
Skripsi ini dipersembahkan untuk orang tua, keluarga dan orang-orang yang telahmembantu dan mendoakan
v
ABSTRAK
(A) (B) (C) (D)
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Januari 2015 Rachmawati Pengaruh Subjective Well-Being, Social Influence, Self-Esteem, dan Faktor Demografis terhadap Impulse Buying.
(E) xiv + 86 halaman + lampiran (F) Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah ada pengaruh dari subjective well-being, social influence, self-esteem, dan faktor demografis terhadap Impulse Buying. Pada penelitian ini peneliti menggunakan dimensi subjective well-being, social influence, self-estee dan faktor demografis sebagai IV. Peneliti berhipotesis bahwa ada pengaruh subjective wellbeing, social influence, self-estee dan faktor demografis terhadap impulse buying. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi berganda. Sampel berjumlah 210 orang pembeli ritel Alfamidi, Alfamart dan Indomart di Jl. Otista Raya Sasak Tinggi Ciputat. Mengunakan teknik pengambilan sampel probability sampling dan peneliti mengadaptasi skala dari Verplanken & Herabadi (2001), Diener et al,. (1985), Clark, Watson & Tellegen (1988), Bearden et al,. (1989), Tafarodi and Swann (2001). Hasil penelitian menunjukkan pengaruh signifikan dari subjective wellbeing (cognitif dan affect), social influence (component normative dan component informational), self-esteem (self-liking dan self-competence) terhadap impulse buying. Hasil uji hipotesis minor menunjukkan hanya ada tiga dimensi yang signifikan dari social influence (component normative dan component informational) dan factor demografis (jenis kelamin). Peneliti berharap implikasi penelitian ini dapat dikaji ulang dan dapat ditingkatkan untuk penelitian masa depan. Misalnya, dengan menambahkan variabel lain yang relevan impulse buying (G) Bahan bacaan: 5 buku + 20 jurnal + 3 tesis + 1 website
vi
ABSTRACT
(A) Faculty of Psychology Jakarta Islamic State University (B) January 2015 (C) Rachmawati (D) Effect subjective well-being, social influence, self-esteem and faktor demografis toward impulse buying. (E) xiv + 86 pages + appendix (F) This study is to examine effect of subjective well-being, social influence, self-esteem and faktor demografis toward impulse buying. On this study researcher use dimensions of subjective well-being, social influence, selfesteem and faktor demografis (IV). Researcher hypothesis that there subjective well-being, social influence, self-esteem and faktor demografis toward impulse buying. This study use quantitative approach with multiple regression analysis. Participants were 210 consumens ritels Alfamidi, Alfamart dan Indomart on Jl. Otista Raya Sasak Tinggi Ciputat. The sampling technique is non probability sampling. In this study, researcher addapt instruments of Verplanken & Herabadi (2001), Diener et al,. (1985), Clark, Watson & Tellegen (1988), Bearden et al,. (1989), Tafarodi and Swann (2001). The results showed a significant influence of subjective well-being (cognitive and Affect), social influence (component of normative and informational component), self-esteem (self-liking and self-competence) against impulse buying. Minor hypothesis test results showed there were only three significant dimensions of social influence (component of normative and informational component) and demographic factors (gender).. Researcher hope the implication of this study can be reexamined and can be improved for future research. For example, by adding other relevant variable with impulse buying (G) References: 5 book + 20 journal + 3 tesis + 1 website
vi
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala berkah, rahmat, hidayah dan kekuatan yang diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul baik “pengaruh subjektif wellbeing, sosial influence, self-esteem dan faktor demografis terhadap impulse buying”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, pemimpin dan tauladan bagi umat manusia, yang membawa manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Si Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif HIdayatullah Jakarta, beserta seluruh jajaran wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, atas arahan dan bimbingannya kepada seluruh mahasiswa demi terciptanya kemajuan ilmu pengetahuan yang disertai perilaku yang mencerminkan akhlak mulia. 2. Drs. Sofiandy Zakaria, M.Psi, selaku dosen Pembimbing Skripsi atas kesabaran dan keikhlasannya meluangkan waktu dan tenaga dalam memberikan bimbingan, arahan serta koreksi kepada penulis agar mampu menghasilkan skripsi yang bermutu dan berkualitas. Juga atas dorongan dan dukungan yang tiada henti agar penulis tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Miftahuddin, M.Si, Dosen pembimbing Akademik atas Motivasinya selama penulis mengerjakan skripsi dan selama penulis menjalani pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas segala bimbingan dan ilmu pengetahuan yang diberikan kepada
vii
penulis demi kesuksesan penulis dimasa yang akan dating dan seluruh Staff bagian Akademik, Umum, Keuangan dan Perpustakaan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam proses birokrasi dan kemudahan bagi penulis dalam pembelajaran dikampus ini. 5. Seluruh responden pengunjung Alfamart, Alfamidi dan Indomart di Jl.Otista Raya, terimakasih banyak atas kesempatan dan izin yang diberikan kepada penulis untuk dapat berpartisipasi dalam penelitian. 6. Kedua orang tua penulis Bapak Matum dan Ibu Ernawati untuk doa, kasih saying, dukungan, semangat dan kepercayaan yang selalu diberikan selama ini. Terima kasih karena tidak pernah bosan untuk mengingatkan, menasehati, membimbing, mendoakan karena berkat mereka penulis selalu termotivasi untuk menyelesaikan satu tanggung jawab ini dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan kebahagiaan yang berlimpah untuk Ibu dan Ayah. Kakak Penulis Arif Rahman serta Adik penulis Maulia Mukhtaromah dan Siti Ghonia yang selalu memberikan dukungan dan mendoakan
penulis
sehigga
penulis
semakin
bersemangat
dalam
menyelesaikan skripsi ini. 7. Sahabat-sahabat penulis GG (Lisa, Mayang, Vina dan Nadiya) yang selalu membagi suka maupun duka bersama. Selalu menemani penulis dalam mengerjakan
skripsi,
kebersamaannya
menyebar
sehingga
dapat
kuesioner memotivasi
dan
terimakasih
penulis
untuk
atas segera
menyelesaikan skripsi ini. 8. Sahabat terdekat penulis andil, anggi, pacil, dan siska yang selalu memberikan semangat dan doa sehingga membuat penulis semakin termotivasi untuk menyelesaikan skripsi. 9. Syahid Izharudin S.Psi dan Muhammad Dwi Rifqi S.Psi yang telah memberikan bantuan yang sebesar-besarnya dalam mengolah data dan segala hal dalam bidang statistik yang penulis tidak mengerti sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
viii
10. Teman-teman kelas C angkatan 2010, terima kasih atas segala kenangan yang indah selama kita kuliah, kita sudah lewati banyak hal penuh makna bersama, semoga kelak kita dapat bertemu kembali dan telah menjadi sesuatu yang telah kita mpikan selama ini. Semoga Allah SWT senantiasa bersama kalian 11. Seseorang yang penulis sayang, Dwi Mohammad Luthfi Yahya. Terima kasih atas perhatian, kasih sayangnya yang tak pernah lelah untuk memotivasi penulis. Serta tempat berbagi suka maupun duka, bimbingannya untuk menjadikan penulis lebih dewasa dalam menyelesaikan skripsi ini. 12. Semua pihak yang belum bisa disebutkan satu persatu, Karena dukungan moral, doa dan pengertian mereka, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Hanya kata terima kasih yang sebesar-besarnya penulis dapat ucapkan, semoga mereka mendapatkan balasan yang setimpal atas apa yang mereka berikan. Hanya asa dan doa yang dapat penulis panjatkan. Semoga semua pihak yang membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini mendapatkan ridho dan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata, sangat besar harapan penulis agar skripsi ini memberikan manfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi siapa saja yang membaca dan berkeinginan untuk mengeksplorasi lebih lanjut.
Tangerang, 8 januari 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL............................................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................. . LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................... LEMBAR PERNYATAAN..................................................................................... . MOTTO DAN PERSEMBAHAN......................................................................... ABSTRAK............................................................................................................... . KATA PENGANTAR .................................................................................... …….. DAFTAR ISI .................................................................................................. …….. DAFTAR TABEL.................................................................................................... . DAFTAR GAMBAR................................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................
i ii iii iv v vi vii x xii xiii xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................... 1.2 Batasan dan Perumusan Masalah ...................................................... 1.2.1 Batasan masalah ...................................................................... 1.2.2 Perumusan masalah ................................................................. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 1.3.1 Tujuan penelitian ..................................................................... 1.3.2 Manfaat penelitian ................................................................... 1.3.2.1 Manfaat teoritis…..................................................…. 1.3.2.2 Manfaat praktis…………………………................... 1.4 SistematikaPenilitian ..........................................................................
1 1 8 8 9 9 9 10 10 10 11
BAB 2 LANDASAN TEORI ................................................................................ 2.1 Impulse Buying .................................................................................. 2.1.1Pengertian impulse buying ........................................................ 2.1.2 Jenis-jenis impulse buying ....................................................... 2.1.3 Karakteristik impulse buying ................................................... 2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi impulse buying ................. 2.1.5 Perbedaan perilaku impulsif dan non impulsive ..................... 2.1.6 Pengukuran impulse buying ..................................................... 2.2 Subjective Well-being ........................................................................ 2.2.1 Pengertian subjective well-being .............................................. 2.2.2 Aspek subjective well-being ..................................................... 2.2.3 Karakteristik subjective well-being…………………………… ... 2.2.4 Pengukuran subjective well-being……………………………… 2.3 Social Influence ................................................................................. 2.3.1 Pengertian social influence ...................................................... 2.3.2 Aspek social influnce ............................................................... 2.3.3 Macam-macam social influence............................................... 2.3.4 Pengukuran social influence…………………………………. 2.4 Self-Esteem……………………………………………………………… 2.4.1 Pengertian self-esteem…………………………………………….
12 12 13 14 15 16 20 21 22 22 24 25 26 27 27 28 30 30 31 31
x
2.4.2 Aspek self-esteem………………………………………………… 2.4.3 Karakteristik individu berdasarkan tingkatan self-esteem……. 2.4.4 Pengukuran self-esteem………………………………………….... 2.5 Faktor Demografis………………………………………………… 2.5.1 Usia…………………………………………………………. 2.5.2 Jenis kelamin ……………………………………………………… 2.6 Kerangka Berfikir.............................................................................. 2.7 Hipotesis Penelitian............................................................................
32 35 36 37 37 38 39 41
BAB 3 METODE PENELITIAN............................................................................ 3.1 Populasi, Sampel danTeknik Pengambilan Sampel.......................... 3.1.1 Populasi dan sampel................................................................ 3.1.2 Teknik pengambilan sampel.................................................... 3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional................................... 3.2.1 Variabel penelitian.................................................................... 3.2.2 Definisi operasional variabel……………………………........ 3.3Instrumen Penelitian………………………………….... ................... 3.3.1 Teknik pengumpulan data ……………………………........ 3.3.2 Alat ukur penelitian ……………………………................. 3.4 Uji Validitas Konstruk…………………………………………….... 3.4.1 Uji validitas konstruk impulse buying……............................ 3.4.2 Uji validitas konstruk subjective well-being............................ 3.4.3 Uji validitas konstruk social influence..…… …………........... 3.4.4 Uji validitas konstruk self-esteem............................................. 3.5 Teknik Analisis Data…………………………………………….... .. 3.6 Prosedur Pengumpulan Data................…….. ...................................
43 43 43 43 44 44 44 45 45 47 50 52 53 56 58 60 64
BAB 4 HASIL PENELITIAN……………….…………………… ....................... 4.1 Analisis Deskriptif……………….……………………………........ 4.1.1. Gambaran umum subjek penelitian….…………….….......... 4.2 Hasil Analisis Deskriptif……………….…………………………. . 4.3 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian……………….…………..... . 4.4 Uji Hipotesis Penelitian……………….…………………………..... 4.5 Proporsi Varian……………….…………………………………......
65 65 65 66 68 69 74
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN…………………………....... . 5.1 Kesimpulan……………….……………………………………..... . 5.2 Diskusi……………….………………………………………….... . 5.3 Saran……………….……………………………………………..... 5.3.1 Saran teoritis……………….………………………................ 5.3.2 Saran praktis……………….…………………………….... ....
78 78 79 84 85 86
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Tabel pilihan jawaban ...................................................................46 Tabel 3.2 Blue print skala impulse buying ....................................................47 Tabel 3.3 Blue print skala subjective well-being ...........................................48 Tabel 3.4 Blue print skala social influence ....................................................49 Tabel 3.5 Blue print skala self-esteem ...........................................................50 Tabel 3.6 Muatan faktor item impulse buying ...............................................53 Tabel 3.7 Muatan faktor item kognitif ...........................................................54 Tabel 3.8 Muatan faktor item affect ...............................................................55 Tabel 3.9 Muatan faktor item component informational ...............................56 Tabel 3.10 Muatan faktor item component normative .....................................57 Tabel 3.11 Muatan faktor item self-liking ........................................................59 Tabel 3.12 Muatan faktor item self-competence ..............................................60 Tabel 4.1 Gambaran umum subjek penelitian ................................................65 Tabel 4.2 Statistik deskriptif ..........................................................................67 Tabel 4.3 Pedoman interpretasi skor ..............................................................68 Tabel 4.4 Kategorisasi skor variabel ..............................................................68 Tabel 4.5 Model Summary Analisis Regresi .................................................70 Tabel 4.6 Tabel ANOVA Pengaruh Keseluruhan IV terhadap DV ...............71 Tabel 4.7 Koefisien Regresi ...........................................................................72 Tabel 4.8 Proporsi Varians Untuk Masing-masing Independent Variable (IV) ................................................................................................................................75
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 KerangkaBerpikir ..................................................................................... 41
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Lampiran B Lampiran C
Kuesioner Path Diagram Syntax & Output CFA Variabel Impulse Buying
xiv
BAB 1 PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian, batasan dan perumusan masalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan
perekonomian
yang
terus
meningkat
menyebabkan
keberadaan berbagai macam toko ritel besar maupun pusat perbelanjaan terus bertumbuh dan berkembang di Indonesia. Munculnya berbagai macam toko ritel di Indonesia juga memberikan pengaruh pada pengusaha karena persaingan bisnis yang semakin ketat, sehingga perusahaan ritel harus mempunyai strategi-strategi perusahan agar dapat terus bertahan dari dunia bisnis. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah mengenai perilaku konsumen yang merupakan kunci dalam merencanakan suatu strategi promosi yang baik dengan mempelajari konsumen yang berbelanja. Pernyataan ini diperkuat dengan data hasil survey yang dilakukan oleh Nielsen Media Research dan Retail Asia Magazine (dalam Rahmasari, 2010) bahwa jumlah gerai hypermarket di tahun 2008 meningkat sekitar 25 persen dari 109 menjadi 146 unit; sementara supermarket pertumbuhannya lebih cepat yakni sekitar 29 persen dari 85 menjadi 120. Peningkatan jumlah gerai yang paling tajam terjadi pada minimarket. Alfamart pada tahun 2005 hanya memiliki 1263 gerai. Kemudian pada tahun 2008
1
2
jumlahnya berkembang menjadi 2750 gerai. Peningkatan Indomart bahkan lebih fantastis, dari 1401 pada tahun 2005 menjadi 3093 pada tahun 2008. Banyaknya penawaran barang oleh ritel yang berkembang pesat diduga akan menimbulkan semakin meningkatnya perilaku impulse buying. Bellenger et.al. (dalam Dincer, 2010) menunjukkan hasil penelitian mereka bahwa 38,7% dari pembelian di department store merupakan perilaku pembelian impulsif. Tingginya insiden perilaku pembelian impulsif juga dilaporkan dalam penelitian lain yang menunjukkan bahwa hampir 90% konsumen kadang-kadang melakukan pembelian impulsif, diantaranya 30% dan 50% dari semua pembelian dapat diklasifikasikan sebagai pembelian impulsif. Sedangkan menurut Bell et.al. (dalam Soeseno, 2011) penelitian di Amerika dan Eropa menemukan kontribusi belanja impulsif ini mencapai 60 sampai 70% dari total penjualan terjadi dalam toko ritel. Nilai belanja impulsif semakin meningkat searah dengan kemajuan ekonomi dan gaya hidup masyarakat setempat. Menurut Abrahams et.al, (dalam kacen & lee, 2002) perilaku pembelian konsumen secara impulsif diakui secara luas berdasarkan fenomena di Amerika Serikat yaitu dengan menyumbang hingga 80% dari semua pembelian di kategori produk tertentu. Sementara itu menurut Ramaun (2010) mengacu pada hasil studi yang dilakukan Nielsen melalui wawancara tatap muka dengan 1.804 responden, dengan belanja rumah tangga lebih dari Rp 1.5 juta per bulan di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan Medan, 21% konsumen mengaku tidak pernah membuat rencana belanja. Di Indonesia sendiri pada tahun 2011 untuk jumlah konsumen
3
dengan perilaku impulse buying meningkat dua kali lipat dari tahun 2003 yang hanya 13%. Secara tidak langsung hal ini dapat meningkatkan pendapatan produsen sendiri, termasuk pusat perbelanjaan yang memanfaatkan kebiasaan pembelian impulsif dari konsumen saat ini. (http://www.antaranews.com). Persaingan antar pusat perbelanjaan semakin kompetitif sehingga menuntut para retailer di pusat perbelanjaan untuk mengembangkan strategi pemasaran yang lebih baik dan efektif lagi sehingga dapat meningkatkan penjualan serta meningkatkan keeksistensiannya di dalam pusat perbelanjaan. Sementara itu menurut hasil penelitian POPAI (Point Of Purchase Advertising Institute, 2007) dan GMA (Grocery Marketing Association, 2007) (dalam Soeseno, 2011) mengindikasikan 75% keputusan pembelian dilakukan di dalam toko adalah keputusan impulsif. Fenomena tersebut mempengaruhi konsumen untuk membeli barang pada sebuah pasar atau perusahaan tanpa perencanaan sebelumnya. Hal ini dapat didorong oleh perhitungan yang hanya melihat kebutuhan jangka pendek, sehingga berhubungan dengan keputusan konsumen untuk membeli barang yang tidak direncanakan. Keadaan ini juga dapat melibatkan kurangnya perencanaan dan emosi konsumen,
terutama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang
bersifat segera. Menurut Rook (1987) impulse buying terjadi ketika seorang konsumen mengalami dorongan tiba-tiba, kuat dan dorongan yang tetap untuk membeli sesuatu dengan segera. Sedangkan menurut Dawson et al. (2009) bahwa isyaratisyarat internal pembelian impulsif mencakup keadaan aspek afektif dan kognitif
4
seseorang. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Verplanken dan Herabadi (dalam Widawati, 2011) yang menjelaskan bahwa impulse buying terdiri dari dua elemen, yaitu: kognisi, dalam hal kurangnya perencanaan dan pertimbangan serta emosi, dalam hal adanya perasaan nikmat dan senang. Sedangkan Coley (2002) yang menyatakan, bahwa kognitif dan afektif bersama-sama mempengaruhi bagaimana dan untuk apa emosi yang besar dan atau alasan-alasan yang menimbulkan impulsif atau kontrol diri. Afektif mencerminkan sebuah dorongan yang tak tertahankan untuk membeli, emosi pembelian
positif,
dan
pengelolaan
suasana
hati.
Sedangkan
kognitif
mencerminkan pertimbangan kognitif, pembelian yang tidak direncanakan, dan mengabaikan masa depan. Selain itu komponen kognitif mengacu pada struktur mental dan proses yang terlibat dalam pemikiran. Sehingga dapat dimungkinkan konsumen yang lebih mementingkan afektifnya dari pada kognitifnya dalam melakukan pembelian, memiliki kecenderungan lebih besar dalam melakukan pembelian impulsif. Dari beberapa fenomena mengenai impulse buying terdapat bebarapa faktor yang mempengaruhi impulse buying. Menurut Chang dan Lucas (dalam David et al., 2008) salah satunya faktor yang mempengaruhi impulse buying adalah subjective well-being yang berhubungan positif dengan optimisme, selfesteem dan berhubungan negatif dengan depresi. Subjective well-being adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman hidupnya, yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afektif terhadap hidup dan merepresentasikan kesejahteraan
5
psikologisnya. Menurut Argyle (dalam David et al., 2008) menyimpulkan bahwa faktor eksternal, termasuk faktor-faktor demografi seperti pendidikan dan status sosial ekonomi, secara kolektif menyumbang sekitar 15% terhadap subjektif wellbeing. Meskipun subjective well-being telah dipelajari secara luas dalam psikolog, ada relatif sedikit riset pemasaran terhadap subjective well-being. Menurut Oropesa (dalam David et al., 2008) penelitian dalam pemasaran memfokuskan pada bagaimana perolehan barang material berhubungan dengan kepuasan kehidupan, dimana impulse buying berfungsi terutama sebagai cara untuk menghindari keadaan psikologis yang negatif pada seseorang. Selain subjective well-being, impulse buying juga dipengaruhi oleh faktor social influence. Menurut Bearden (1992) sosial influence telah diperiksa dalam konteks CSII (consumer susceptibility to interpersonal influence) dimana CSII adalah suatu kondisi dimana pilihan konsumen akan suatu barang dipengaruhi oleh orang lain. Menurut Bearden et al. (dalam Kropp et al., 2005) juga menguji hubungan antara CSII dan sensitivitas atributional dan menemukan bahwa konsumen cenderung rentan terhadap pengaruh orang lain untuk membeli produk yang mereka anggap akan menyebabkan orang lain membuat atribusi yang menguntungkan tentang mereka. Menurut David et.al (2008) Social influence mengandung dua dimensi yaitu komponen informasi dan komponen normatif. Komponen informasi mengukur kecenderungan individu untuk memperoleh informasi tentang produk atau layanan dengan mengamati atau mencari informasi langsung dari orang lain.
6
Komponen normatif mengukur kebutuhan individu dengan menggunakan pembelian untuk mengidentifikasi atau meningkatkan gambarannya di mata orang lain yang signifikan dan kemauan agar sesuai dengan harapan orang lain dalam membuat keputusan pembelian. Selain itu faktor lain yang juga mempengaruhi impulse buying adalah selfesteem. Self-esteem adalah penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Bagaimana seseorang dapat menilai dirinya secara umum maupun secara keseluruhan dirinya. Penelitian yang dilakukan O'Guinn dan Faber (1989) menemukan bahwa seseorang yang melakukan compulsive buying memiliki self-esteem yang rendah. Terlepas dari kenyataan bahwa ada perbedaan penting antara compulsive buying dan impulsive buying (Rook dalam David et al., 2008). Dimana compulsive buying yaitu pembelian kronis yang berulang yang menjadi respon utama terhadap kejadian atau perasaan negatif, sedangkan impulse buying yaitu pembelian yang terjadi ketika seseorang membeli barang dan tiba-tiba ingin membeli barang tersebut. Menurut O'Guinn dan Faber (1989) hasil ini konsisten dengan proposisi bahwa impulse buying bisa berfungsi sebagai pelarian dari keadaan psikologis seperti keadaan self-esteem seseorang yang rendah. Selain itu, Verplanken et al. (dalam David et al., 2008) menyatakan bahwa self-esteem yang rendah cenderung menjadi sumber yang sangat kuat dari keadaan psikologis negatif yang terkait dengan impulse buying. Selain faktor-faktor diatas yang mempengaruhi impulse buying, ternyata faktor demografis seperti usia dan jenis kelamin juga berpengaruh terhadap impulse buying. Menurut Ditmar (dalam Lin & Lin, 2005) perempuan cenderung
7
bergerak di bidang pembelian impuls untuk alasan emosional dengan demikian mungkin remaja perempuan lebih cenderung tertarik ke sebuah obyek dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan dengan segera. Rook dan Hoch (1985) menemukan bahwa perbedaan jenis kelamin dalam impulsif konsumen sebagian bisa mencerminkan fakta bahwa pria dan wanita biasanya berbelanja untuk berbagai jenis produk. Pada umumnya di dalam toko ritel konsumen dapat menemukan produk laki-laki, produk perempuan, dan produk anak-anak, baik kebutuhan pribadi konsumen maupun pakaian dan mainan yang telah disegmentasi oleh pembagian pada lantai belanja di toko ritel. Perbedaan usia dan jenis kelamin membuat pengaruh berbeda terhadap belanja impulsif. Bellenger et al. (dalam Kaceen & lee, 2002) menemukan pembeli di bawah usia 35 lebih rentan terhadap impulse buying dibandingkan dengan mereka yang memiliki usia lebih dari 35 tahun. Sedangkan menurut Eysenck et al. (dalam Kaceen & lee, 2002) individu-individu yang lebih muda memiliki skor yang lebih tinggi pada tindakan impulsif dibandingkan dengan orang yang lebih tua dan menunjukkan kurang kontrol diri dari pada orang dewasa. Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, penting untuk mengkaji lebih lanjut pengaruh subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis terhadap impulse buying. Judul skripsi ini adalah pengaruh subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis terhadap impulse buying
8
1.2 Batasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Batasan masalah Dalam batasan dan perumusan masalah penelitian ini hanya dibatasi mengenai pengaruh subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis terhadap impulse buying. Selain itu subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsumen yang belanja pada pusat perbelanjaan seperti ritel dan peniliti memfokuskannya pada Alfamidi, Alfamart dan Indomart di Jl. Otista Raya Sasak Tinggi Ciputat. Adapun mengenai konsep-konsep variabel yang menjadi fokus penelitian dibatasi sebagai berikut: 1. Impulse buying dalam penelitian ini adalah sebagai pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang cepat dan tidak direncanakan, diikuti oleh konflik fikiran dan dorongan emosional (Verplanken & Herabadi, 2001). 2. Subjektif well-being dalam penelitian ini adalah evaluasi kognitif dan afektif individu terhadap hidupnya, evaluasi ini mencakup reaksi emosional terhadap peristiwa serta pertimbangan kognitif mengenai kepuasan dan pemenuhan kehidupan (Diener et al., 2005) 3. Social influence dalam penelitian ini adalah kecenderungan seseorang untuk belajar tentang produk dan jasa dengan mengamati, mencari informasi agar sesuai dengan harapan orang lain (Bearden et al., 1992). 4. Self-Esteem dalam penelitian ini adalah mengukur sikap negatif dan positif seseorang secara keseluruhan terhadap dirinya (Tafarodi & Swann, 1995).
9
5. Adapun variabel demografis dalam penelitian ini adalah usia dan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). a.
Aspek demografis usia diukur dari data identitas sampel yang diperoleh.
b.
Aspek demografis jenis kelamin dari data identitas sampel yang diperoleh
1.2.2 Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas mengenai Pengaruh subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis terhadap impulse buying, maka penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah ada pengaruh subjective well-being terhadap impulse buying? 2. Apakah ada pengaruh social influence terhadap impulse buying? 3. Apakah ada pengaruh self-esteem terhadap impulse buying? 4. Apakah ada pengaruh faktor demografis (usia dan jenis kelamin) terhadap impulse buying? 1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaruh subjektif well-being, sosial influence, selfesteem dan faktor demografis (jenis kelamin dan usia) terhadap impulse buying.
10
2. Untuk mengukur kontribusi pengaruh setiap Independent Variable (IV) terhadap Dependent Variabel (DV). 3. Untuk mengetahui kategori setiap Independent Variable (IV).
1.3.2 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan berbagai pihak baik konsumen yang melakukan pembelian maupun pihak lain yang terkait dalam penelitian ini yaitu: 1.3.2.1 Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang faktorfaktor yang secara potensial dapat menyebabkan konsumen melakukan impulse buying. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan dan memberikan manfaat berupa kerangka teoritis tentang perilaku impulse buying yang dilakukan konsumen serta faktor-faktor penyebabnya dan nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan
penelitian
lebih
lanjut
variabel-variabel
lain
yang
mempengaruhi impulse buying. 1.3.2.2 Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan yang bermanfaat bagi para praktisi produk yang rentan terhadap impulse buying. Sehingga temuan dari penelitian ini dapat dijadikan masukan dan bahan pertimbangan bagi manager dalam menyusun strategi pemasaran yang tepat. Bagi konsumen agar dapat lebih cermat dalam memenuhi kebutuhan
11
dan keinginannya berbelanja sesuai dengan kemampuan ekonomi yang dimilikinya dan pertimbangan rasional lainnya. 1.4 Sistematika Penelitian Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut : BAB 1 : Pendahuluan Bab ini menguraikan secara singkat isi dari penelitian yang meliputi Latar Belakang Penelitian, Pembatasan dan Perumusan masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Peneltian dan Sistematika Penelitian. BAB 2 : Landasan Teori Bab ini menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan impulse buying, subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis, kerangka berfikir, dan pengajuan hipotesis. BAB 3 : Metode Penelitian Bab ini menguraikan populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel, variabel penelitian dan definisi operasional variabel, instrumen pengumpulan data, teknik analisis data, dan prosedur penelitian. BAB 4 : Hasil Penelitian Bab ini menguraikan hasil penelitian yang telah dilakukan. Pembahasan tersebut meliputi dua bagian yaitu, analisis deskriptif dan pengujian hipotesis penelitian. BAB 5 : Kesimpulan, Diskusi dan Saran Bab ini menguraikan kesimpulan, diskusi dan saran dari hasil penelitian.
BAB 2 LANDASAN TEORI Bab ini mencakup tujuh subbab, yaitu pembahasan teoritis mengenai impulse buying sebagai Dependent Vaiabel (DV). Selanjutnya pembahasan teoritis mengenai subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis sebagai Independent Variabel (IV). Dan akan dibahas juga mengenai instrument serta analisis data yang digunakan untuk menemukan jawaban atas hipotesis penelitian
2.1 Impulse Buying 2.1.1 Pengertian impulse buying Impulse buying merupakan pembelian yang tidak direncanakan, dimana karekteristiknya adalah pengambilan keputusan yang dilakukan dalam waktu relatif cepat, pada saat melihat barang dan mengingat barang yang persediannya hampir habis, karena adanya kebutuhan dan penawaran yang menarik. Menurut Rook (1987) impulse buying adalah pembelian yang terjadi ketika seorang konsumen mengalami dorongan tiba-tiba, kuat dan dorongan yang tetap untuk membeli sesuatu dengan segera. Selain itu menurut Rook (1987) impulse buying cenderung mengganggu perilaku konsumen, sedangkan pembelian kontemplatif lebih mungkin untuk menjadi bagian dari rutinitas seseorang, karena seseorang yang melakukan impulse buying lebih menggunakan emosional dari pada rasionalnya, dan lebih cenderung dianggap
12
13
sebagai sesuatu yang "buruk" dari pada yang "baik" sehingga konsumen lebih cenderung merasa lepas kendali saat pembelian impulsif dari pada ketika melakukan pembelian kontemplatif. Sedangkan Piron (dalam Madhavaram
& laverie, 2004) berbeda
pendapat dengan definisi Rook (1987), ia menyiratkan bahwa reaksi emosional dan kognitif harus menyertai pembelian, karena reaksi pengalaman emosional dan kognitif konsumen tergantung pada faktor-faktor ekonomi, kepribadian, dan budaya atas nama konsumen sedangkan karakteristik dan harga atas nama produk. Selain itu Beatty dan Ferrel (1998) memperluas definisi dari Rook (1987), ia menyatakan bahwa impulse buying adalah pembelian tiba-tiba dan langsung tanpa niat sebelum berbelanja baik untuk membeli kategori produk tertentu atau untuk memenuhi tugas membeli tertentu. Perilaku tersebut terjadi setelah mengalami dorongan untuk membeli dan cenderung spontan tanpa banyak refleksi dan tidak termasuk pembelian item sederhana, yang merupakan item yang hanya persediaan barang di rumah telah habis. Sedangkan Verplanken dan Herabadi (2001) sebagai pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang cepat dan tidak direncanakan, diikuti oleh konflik fikiran dan dorongan emosional. Menurut Dincer (2010) impulse buying dapat didefinisikan sebagai sejauh mana seorang individu mungkin membeli sesuatu yang tidak diinginkan, segera, dan unreflective. Konsumen dengan kecenderungan
14
impulse buying yang tinggi memiliki kecenderungan dorongan secara umum untuk membeli barang-barang dari semua kategori produk. Berdasarkan penjelasan dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa impulse buying adalah pembelian yang tidak di rencanakan, disertai dorongan emosional yang kuat serta reaksi kognitif harus menyertai pembelian, pengambilan keputusan yang cepat dan berlangsung secara tiba-tiba serta, mengabaikan konsekuensi berbahaya yang berujung kepada penyesalan. Adapun teori yang digunakan untuk variabel impulse buying yang menjadi landasan penilitian yaitu teori yang digunakan oleh Verplanken dan Herabadi (2001) . 2.1.2 Jenis-jenis impulse buying Beberapa ilmuwan menyatakan tentang beberapa jenis impulse buying, salah satunya menurut Loudon dan Bitta (1993) terdapat beberapa jenis impulse buying yaitu : 1. Pure impulse buying yaitu dorongan untuk membeli produk baru, mencari variasi baru, atau pembelian terhadap produk diluar kebiasaan pembelinya. 2. Reminder impulse buying yaitu dorongan saat melihat barang pada rak toko, display, atau mengingat iklan dan informasi lain tentang sebuah produk. 3. Sugestion impulse buying yaitu dorongan yang didasarkan pada toko dan ditunjang dengan pemberian saran, baik dari sales promotion, pramuniaga, maupun teman.
15
4. Planned impulse buying yaitu pembelian yang terjadi ketika kondisi penjualan
tertentu
diberikan.
Dorongan
berupa
intensi
membeli
berdasarkan harga khusus, kupon, diskon lain sebagainya tanpa merencanakan produk yang akan dibeliya. Dalam penelitian ini peneliti tidak membatasi jenis impulse buying yang dilakukan oleh partisipan karena tidak adanya wawancara langsung terhadap partisipan. 2.1.3 Karakteristik impulse buying Rook (dalam Eangle et al., 1995) menggolongkan seseorang yang melakukan impulse buying dapat memiliki satu atau lebih karakteristik, ia menggolongkan kedalam empat karakteristik yaitu spontanitas, kekuatan, paksaan, dan intensitas, kegembiraan dan stimulasi serta mengabaikan konsekuensi. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Spontanitas. Artinya bahwa pembelian dilakukan secara tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk membeli saat itu juga, sering dalam menanggapi rangsangan visual langsung. 2. Kekuasaan, paksaan dan intensitas. Hal ini dapat menjadi motivasi untuk menempatkan dan mengenyampingkan segalanya dan segera bertindak. 3. Kegembiraan dan stimulasi. Artinya dorongan seseorang yang mendadak untuk membeli seringkali disertai oleh emosi yang ditandai sebagai hal yang "menggembirakan," "sangat gembira" atau "liar."
16
4. Mengabaikan konsekuensi. Artinya dorongan seseorang untuk membeli barang bisa begitu tak tertahankan dengan konsekuensi yang berpotensi negatif yang diabaikan. 2.1.4 Faktor yang mempengaruhi impulse buying Menurut Dawson dan Kim (2009) faktor yang mempengaruhi impulse buying dibagi ke dalam dua faktor yaitu faktor eksternal dan internal berikut penjelasannya: 1. Faktor eksternal Menurut Youn dan Faber (dalam Dawson & Kim, 2009) faktor eksternal impulse buying mengacu pada isyarat pemasaran atau rangsangan yang ditempatkan dan dikendalikan oleh pemasar dalam upaya untuk memikat konsumen dalam perilaku pembelian. 2. Faktor internal Menurut Kacen dan lee (dalam Dawson & Kim, 2009) Faktor internal impulse buying fokus langsung pada individu, faktor internal dan karakteristik individu yang membuat mereka terlibat dalam perilaku pembelian impuls. Faktor-faktor eksternal tersebut melibatkan ciri kepribadian konsumen yang menentukan tingkat impulse buying mereka, seperti kondisi emosional, component normative, dan faktor demografi. Stimulus internal diproses oleh konsumen melalui afektif atau kognitif yang menghasilkan perilaku impulsif atau non impulsif. Menurut Coley dan Burgess (dalam Dawson & Kim, 2009) Perasaan mungkin
17
mencakup dorongan tak tertahankan untuk membeli, emosi membeli yang positif, dan manajemen mood. Sedangkan component normative menurut Rook dan Fisher (dalam Dawson & Kim, 2009) sebagai penilaian konsumen tentang kesesuaian yang membuat pembelian impulsif dalam situasi pembelian tertentu. Konsumen terlibat dalam impulse buying hanya ketika mereka merasa sesuai dengan orang lain. Kecenderungan impuls konsumen digagalkan ketika mereka percaya impulse buying secara sosial tidak pantas.
Selain itu Stern (1986) menyebutkan bahwa terdapat sembilan faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan impulse buying. Faktor-faktor tersebut yaitu low price, Marginal Need for Hem, Mass Distribution, Mass Distribution, Self-Service, Mass Advertising, Prominent Store Display, Short Product Life, Small Size or Light Weight, Ease of Storage. Penjelasannya adalah sebagai berikut yaitu: 1. Low Price. Dari beberapa faktor yang paling banyak mempengaruhi impulse buying adalah harga, harga mungkin faktor yang paling langsung dapat dirasakan oleh pembeli. Harga juga mempengaruhi pembelian impulsif barang kenyamanan misalnya, jika pembeli berencana untuk membeli dua batang sabun dengan harga sekitar Rp. 3000 masing-masing tetapi menemukan sabun pada penjualan khusus tiga buah sabun Rp. 7500, mungkin pembeli
18
akan membeli 3 buah sabun dengan harga khusus tersebut, sehingga hal ini memungkinkan pembeli untuk melakukan impulse buying. 2. Marginal Need for Item Beberapa barang yang dapat membuat nyaman atau dapat menyenangkan konsumen. Banyak barang kenyamanan dalam kategori bukan kebutuhan, karena barang-barang ini bukan tujuan utama dari perjalanan belanja, dan kebutuhan mereka tidak mendesak, mereka cenderung menjadi pembelian yang tidak direncanakan dan lebih cenderung menjadi barang impuls. 3. Mass Distribution Semakin banyak outlet di mana suatu barang dapat tersedia, semakin banyak peluang konsumen harus mencari dan membelinya. Karena ia tidak belanja khusus untuk suatu barang, tetapi harus dibuat tersedia baginya di banyak tempat di mana dia mungkin berbelanja. 4. Self-Service Tentu saja pelayanan diri sendiri memungkinkan pembeli untuk membeli lebih cepat dan dengan kebebasan yang lebih besar dari pada pelayanan petugas. Karena lebih banyak barang yang tersedia untuk pembeli untuk melayani dirinya sendiri, terjadi peningkatan kesempatan untuk membeli impuls. 5. Mass Advertising Sebagian besar impulse buying didasarkan pada pengetahuan konsumen tentang suatu barang. Pengetahuan ini diperoleh dari pengalaman sebelumnya dengan barang atau melalui iklan.
19
6. Prominent Store Display Display yang menonjol dari barang-barang tersebut diperlukan untuk meningkatkan kesempatan bagi konsumen melakukan impulse buying. Tampilan disini termasuk posisi peletakan rak, promosi dan kemasan yang menarik. 7. Short Product Life Fakta bahwa pembeli cenderung membeli barang yang memiliki jangka waktu kadarluarsa lebih lama dibandingkan kadaluarsa yang lebih singkat sehingga pembeli sering mengurangi kebutuhannya untuk merencanakan hal tersebut. 8. Small Size or Light Weight Berat atau ukuran adalah masalah yang berhubungan dengan barang yang mewajibkan pembeli untuk melakukan beberapa perencanaan khusus dan dengan demikian mengurangi impulse buying. Di sisi lain, kecil, ringan, barang yang mudah diangkut menjadi tidak masalah dan lebih memungkinkan pembeli untuk menjadi impulse buying. 9. Ease of Storage Masalah di mana pembelanja harus menempatkan barangnya di dalam rumah juga mempengaruhi impulse buying. Misalnya, pembelanja terdorong untuk membeli banyak es krim tetapi, dia tidak memiliki ruang untuk menyimpan dalam freezer. Sebaliknya, barang-barang yang tidak ada masalah penyimpanan lebih mungkin menjadi barang impuls.
20
Jadi faktor yang mempengaruhi dalam penelitian ini adalah menurut Dawson dan Kim (2009) dimana component normative dan faktor demografis digunakan sebagai independent variabel (IV) dalam penelitian ini. 2.1.5 Perbedaan perilaku impulsif dan nonimpulsif Perilaku impulse buying memiliki beberapa perbedaan dengan perilaku nonimpulsif. Menurut Rook dan Hock (1985), terdapat lima elemen penting yang membedakan perilaku konsumen impulsif dengan non impulsif yaitu: 1. Perilaku impulsif melibatkan keinginan tiba-tiba dan spontan untuk bertindak, mewakili perilaku sebelumnya yang sedang berlangsung, gagasan perubahan yang cepat dalam keadaan psikologis sesuai dengan representasi neurofisiologis, dimana dorongan digambarkan sesuai dengan gelombang perubahan aktif disepanjang serat saraf (Wolman dalam Rook, 1985). Dengan cara yang sama bahwa impuls saraf memicu beberapa respon biologi, impuls psikologis dapat dilihat sebagai agen stimulasi didorong oleh proses mental sadar dan bawah sadar. 2. Dorongan tiba-tiba untuk melakukan suatu kegiatan belanja yang menempatkan konsumen dalam keadaan di sekuilibrium secara psikologis, dimana impulse buying dapat menyebabkan seseorang merasa kehilangan kendali untu sementara waktu. 3. Elemen yang ketiga dari impulse buying yaitu konflik psikologis dan perjuangan yang mungkin terjadi (Thaler & Sherin, dalam Rook, 1985). Freud (dalam Rook, 1985) melihat impuls seperti pertarungan antara dua
21
kekuatan yang bersaing, kesenangan dan prinsip realitas (id dan superego). Konsumen ditarik didalam dua arah, dan harus mempertimbangkan manfaat dari kepuasan untuk segera melawan apapun konsekuensi jangka panjang yang mungkin diakibatkan. 4. Elemen yang keempat aspek-aspek yang membedakan pembelian impulsif adalah evaluasi kognitif mereka dari atribut produk. Sebagian besar perilaku yang dimunculkan ketika impulse buying ialah otomatis, aktifasi efektif tinggi, dan kontrol yang rendah saat keputusan membeli. 5. Akhirnya
seseorang
sering
mengkonsumsi
secara
impulsif
tanpa
mempertimbangkan konsekuensinya. Indivdu hanya sedikit memikirkan konsekuensi dari perilakunya saat ini. 2.1.4 Pengukuran impulse buying Seseorang memiliki tingkat impulse buying yang berbeda-beda, untuk mengetahui tingkat impulse buying pada seseorang dapat menggunakan skala impulse buying yang digunakan oleh skala Asugman dan Cote (1993). Sebelumnya Asugman dan Cote mengadaptasi skala afektif dari Larsen dan Diener yaitu Affect Intensity Measure Questionaire (AIMQ) (1993), skala kognisi dari Cacioppo, Petty dan Kao masing-masing dengan jumlah 18 item. Dari dua skala tersebut didapat 17 item yang sesuai untuk diklasifikasikan kedalam karakteristik dekriptif reactive buying (9 item) dan reminder buying (8 item). Asugman dan Cote merevisi semua skala tersebut setelah mengujinya dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA). Dari hasil uji CFA
22
terdapat delapan item yang valid, lima item mengukur reactive buying dan tiga item mengukur reminder buying. Selain itu Verplanken dan Herabadi (2001) mengukur impulse buying dengan menggunakan impulse buying tendency scale (IBTS). IBTS terdiri dari 20 item yang mengukur dua apsek kognitif dan afektif. Aspek kognitif melihat mengenai kurangnya perencanaan dan kehati-hatian, sedangkan pada aspek afektifnya mengukur perasaan menyenangkan, kegairahan, tekanan, kontrol yang rendah dan rasa penyesalan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat ukur yang digunakan oleh Verplanken dan Herabadi (2001), karena peneliti tidak membatasi jenis impulse buying yang dilakukan partisipan dan hanya melihat secara kognitif dan afektifnya saja. 2.2 Subjective Well-Being 2.2.1 Pengertian subjective well-being Dalam hidup ini, kebahagiaan merupakan tujuan dari kehidupan. Kebahagiaan dapat merujuk ke banyak arti seperti rasa senang (pleasure), kepuasan hidup, emosi positif, hidup bermakna, atau bisa juga merasakan kebermaknaan (contentment). Beberapa peneliti menulis kebahagiaan sebagai sinonim dari subjective well-being . Menurut Diener et.al. (2005) subjective well-being adalah evaluasi kognitif dan afektif individu terhadap hidupnya, yang mana evaluasi ini termasuk reaksi emosional terhadap peristiwa serta penilaian kognitif terhadap
23
kepuasan dan pemenuhan kehidupan. Dengan demikian, subjective well-being merupakan suatu konsep umum yang mencakup mengalami emosi yang menyenangkan, rendahnya tingkat suasana hati negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi. Pengalaman positif yang terkandung dalam kesejahteraan subjektif yang tinggi adalah konsep inti dari psikologi positif karena mereka membuat hidup mereka berharga. Meskipun subjectif well-being telah banyak dipelajari dalam psikologi, terdapat riset pemasaran yang relatif kecil pada subjectif well-being. Menurut Oropesa (dalam David et.al., 2008) penelitian yang berfokus pada bagaimana perolehan barang material berhubungan dengan kepuasan kehidupan. Selain itu Penelitian sebelumnya yang dilakukan Deneve dan Cooper (dalam David et.al., 2008) menunjukkan bahwa kepuasan hidup secara langsung berkaitan dengan pengaruh positif dan berbanding terbalik dengan pengaruh negatif. Pengaruh negatif terkait dengan neurotisisme dan pengaruh positif terkait dengan extraversion, keramahan, kesadaran dan keterbukaan terhadap pengalaman. Adapun teori yang digunakan untuk variabel subjectif well-being yang menjadi landasan penilitian yaitu teori yang digunakan oleh Diener et.al., (2005) menyatakan bahwa subjectif well-being adalah evaluasi kognitif dan afektif individu terhadap hidupnya, yang mana evaluasi ini termasuk reaksi emosional terhadap peristiwa serta penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan kehidupan.
24
2.2.2 Aspek subjective well-being Subjective well-being mencangkup beberapa aspek. Beberapa ilmuwan menyatakan tentang aspek-aspek subjective well-being. Menurut Diener aspek tersebut dibagi menjadi dua yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif mencangkup evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global dan evaluasi terhadap kepuasan domain tertentu. Sedangkan aspek afektif mencangkup evaluasi terhadap keberadaan afek positif dan evaluasi terhadap keberadaan afek negatif. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Aspek kognitif dari subjective well-being adalah evaluasi terhadap kepuasan hidup individu. Evaluasi tersebut dapat dikategorikan menjadi evaluasi umum (global) dan evaluasi khusus (domain tertentu). Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai kedua penilaian tersebut. a. Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global, yaitu evaluasi individu terhadap kehidupannya secara menyeluruh. Penilaian umum ini merupakan penilaian individu yang bersifat reflektif terhadap kepuasan hidupnya (Diener et.al., 2005). b. Evaluasi terhadap kepuasan domain tertentu, yaitu penilaian yang dibuat individu dalam mengevaluasi domain atau aspek tertentu dalam kehidupannya, seperti kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, rekreasi, hubungan sosial, kehidupan dengan pasangan dan kehidupan dengan keluarga (Diener et.al., 2005). 2. Aspek afektif dari subjective well-being merefleksikan pengalaman dasar yang terjadi dalam hidup seseorang. Dimana aspek tersebut dikategorikan
25
menjadi evaluasi terhadap keberadaan afek-afek positif dan evaluasi terhadap afek-afek negatif. a. Evaluasi terhadap keberadaan afek positif. Afek-afek positif dianggap bagian
dari
subjective
well-being
karena
afek-afek
tersebut
merefleksikan reaksi individu terhadap sejumlah peristiwa dalam hidup yang menunjukkan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan Diener et.al. (2005). b. Evaluasi
terhadap
keberadaan
afek
negatif.
Afek
negatif
merepresentasikan mood dan emosi yang tidak menyenangkan dan merefleksikan respon negatif yang dialami individu sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan, dan peristiwa yang mereka alami (Diener et.al., 2005). 2.2.3 Karakteristik subjective well-being Subjective well-being memiliki beberapa karakteristik. Menurut Diener (dalam Diener, Suh & Oishi, 1997) terdapat tiga karakteristik dasar subjective wellbeing. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Subjective well-being
mencangkup faktor-faktor
yang membedakan
seseorang yang cukup bahagia dan sangat bahagia, kepuasan hidup dan kepuasan spesifik. Selain itu subjective well-being juga mencakup keadaan yang tidak diinginkan seperti depresi atau anxiety. Individu yang memiliki subjective well-being yang tinggi dalam satu faktor, dapat memiliki subjective well-being yang rendah pada faktor lainnya. Karenanya, untuk
26
mengukur keseluruhan subjective well-being perlu dilakukan pengkuran mental lainnya. 2. Subjective well-being merupakan pengalaman pribadi individu, bukan sudut pandang para ahli dan peneliti. 3. Subjective well-being merupakan fokus jangka panjang dan bukan merupakan emosi sesaat. 2.2.4 Pengukuran subjective well-being Salah satu alat ukur untuk mengukur subjective well-being adalah Satisfaction with life scale (SWLS) yang dikembangkan oleh Diener et.al (1985). Skala SWLS ini berisi lima item dengan mengukur penilaian kognitif seseorang terhadap kepuasan kehidupannya. Selain itu untuk mengukur subjective well-being dapat juga menggunakan Flourishing Scale (FS). Skala tersebut dikembangkan oleh Diener et.al (dalam Diener et al., 2010) yang terdiri dari delapan item yang dirancang untuk mengukur social-psychological prosperity, untuk melengkapi keberadaan pada pegukuran subjective wellbeing. Untuk mengukur komponen afektif seseorang terdapat beberapa jenis skala yang dapat digunakan, salah satunya yaitu Positive Affect Negative Affect Schedule (PANAS) dari Watson, Clark dan Tellegen (1988). PANAS scale mengukur tingkat afek positif dan afek negatif individu yang terdiri dari 20 item. Selain itu terdapat Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) untuk mengukur perasaan positif dan negatif terlepas dari asal mereka, tingkat
27
gairah, atau sifat dalam budaya barat di mana sebagian skala telah diciptakan yang terdiri dari 12 item (Diener et al., 2010). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala SWLS dari Diener et.al (1985) dan PANAS dari Watson, Clark dan Tellegen (1988). Alasan peneliti menggunakan skala tersebut karena ingin melihat kepuasan hidup seseorang secara kognitif dan afektif seseorang.
2.3 Social Influence 2.3.1 Pengertian social influence Social influence adalah perubahan sikap, keyakinan, dan opini individu setelah berinteraksi dengan individu atau kelompok lain. Menurut Coleman et.al. (dalam Zagenczyk, 2006) social influence adalah seseorang yang menjaga hubungan satu sama lain akan memiliki kesamaan interpersonal yang lebih besar mengenai persepsi atau sikap. Selain itu menurut Bearden (dalam Bearden et.al., 1992) social influence adalah kecenderungan seseorang untuk belajar tentang produk dan jasa dengan mengamati, mencari informasi agar sesuai dengan harapan orang lain. Menurut McGuire (Hoffman & Broekhuizen) social influence adalah sifat umum yang bervariasi pada seseorang dan pengaruh kemampuan relatif seseorang dalam satu situasi cenderung memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap kemampuan mempengaruhi seseorang dalam berbagai situasi sosial lainnya. Adapun teori yang digunakan untuk variabel social influence yang menjadi landasan penilitian yaitu teori yang digunakan oleh Bearden et.al. (1992).
28
2.3.2 Aspek social influence Beberapa ilmuwan menyatakan tentang beberapa aspek social influence. Menurut Bearden et.al. (1992) terdapat dua aspek social influence yaitu component normative dan component informational penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Component normative Menurut Bearden et.al (dalam Bearden et.al., 1992) component normative dianggap sebagai nilai ekspresif atau utilitarian. Nilai ekspresi mencerminkan keinginan untuk meningkatkan citra seseorang di mata orang lain yang relevan dan beroperasi melalui proses identifikasi. Pengaruh utilitarian menurut Burnkrant et.al (dalam Bearden et.al., 1992) adalah mencerminkan upaya individu untuk memenuhi harapan referen untuk mencapai rewads atau menghindari sanksi dari rujukan tersebut dan beroperasi melalui prosess kepatuhan. Dengan demikian, individu-individu yang tinggi component normativenya cenderung untuk membeli produk dimana mereka merasa orang lain akan menyetujui atau melihat positif. Sedangkan menurut Kropp et.al. (2005) component normative adalah seorang individu perlu menggunakan produk atau merek untuk mengidentifikasi citra mereka di mata orang lain (nilai ekspresif) dan kemauan individu untuk menyesuaikan diri dengan harapan orang lain dalam membuat keputusan pembelian (utilitarian). Sedangkan menurut Cialdini dan Goldstein (dalam Hoffman & Broekhuizen) component normative adalah kerentanan terhadap pengaruh
29
yang didorong oleh keinginan untuk mencapai rasa memiliki, untuk mengidentifikasi dengan orang lain atau untuk mendapatkan persetujuan sosial. 2. Component informational Menurut Deutsch et.al (dalam Bearden et.al., 1992) component informational
dipandang
sebagai
kecenderungan
untuk
menerima
informasi sebagai bukti realitas dengan mengamati orang lain atau aktif mencari informasi dari orang lain yang memiliki pengetahuan. Component informational tercermin dalam keinginan untuk memperoleh informasi yang obyektif tentang produk dan merek. Selain itu menurut Kropp et.al. (2005) komponen informasi mengukur kecenderungan individu untuk mendapatkan informasi tentang produk atau jasa dengan mengamati atau langsung mencari informasi dari orang lain. Sedangkan menurut Bearden et al. (dalam Hoffmann & Broekhuizen) component informatinal adalah kerentanan terhadap pengaruh informasi antar seseorang yang mencerminkan kecenderungan individu untuk menerima informasi dari orang lain sebagai bukti kredibel tentang realitas. Selain menurut Park dan Lessig (dalam Hoffman & Broekhuizen) pengaruh informasi dapat diperoleh dengan meminta informasi dari orang lain atau dengan mengamati orang lain Menurut Cialdini dan Goldstein (dalam Hoffman & Broekhuizen) component normative beroperasi melalui proses internalisasi yang terjadi
30
jika informasi dari orang lain meningkatkan pengetahuan individu tentang beberapa aspek lingkungan. Pengaruh informasi didorong oleh keinginan untuk membentuk interpretasi yang akurat tentang realitas dalam rangka untuk membuat keputusan yang lebih dan berperilaku dengan cara yang benar. 2.3.3 Macam-macam social influence Beberapa ilmuwan menyatakan tentang macam-macam social influence salah satunya yaitu menurut Kelman (1958) terdapat tiga proses social influence yang dapat dibedakan yaitu: 1. Compliance yaitu induvidu menerima pengaruh karena ia berharap untuk mencapai reaksi baik dari seseorang atau kelompok lain. 2. Identification yaitu ketika seorang individu menerima pengaruh karena dia ingin membangun atau mempertahankan hubungan untuk memuaskan seseorang atau kelompok lain. 3. Internalization yaitu ketika seorang individu menerima pengaruh karena terdorong perilaku yang berisi ide-ide dan tindakan yang bermanfaat. 2.3.4 Pengukuran social influence Lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap keputusan yang diambil oleh seseorang termasuk dalam melakukan pembelian suatu barang. Oleh sebab itu faktor penting dari perilaku individu dipengaruhi oleh orang lain. Pengukuran social influence dalam penelitian ini menggunakan skala Consumers Susceptibility to Interpersonal Influence (CSII) dari Bearden et.al.
31
(1989) dimana skala ini mengukur seberapa besar seseorang akan terpengaruh terhadap lingkungan sosialnya. Skala Consumers Susceptibility to Interpersonal Influence (CSII) terdiri dari 12 item yang mengukur dua subskala. Subskala pertama melihat pengaruh komponen informational yang mencakup tiga item untuk mengukur sejauh mana individu mencari informasi yang berkaitan dengan pembelian dari lingkungan sosialnya. Sedangkan subskala kedua melihat pengaruh komponen normatif yang mencakup sembilan item mengukur sejauh mana konsumen mendapatkan persetujuan atau penegasan dari lingkungan sosial mereka.
2.4 Self-Esteem 2.4.1 Pengertian self-esteem Self-esteem adalah sikap, yaitu evaluasi individu dari konsep diri. Selfesteem menurut Tafarodi dan Swann (1995) harus mengukur sikap negatif dan positif secara keseluruhan terhadap dirinya. Sedangkan menurut Rosenberg (dalam Guindon,2009) self-esteem adalah sikap terhadap objek tertentu setiap karakteristik diri dievaluasi dan menghasilkan perkiraan karakteristik tersebut dan setiap elemen diri dievaluasi sesuai dengan nilai yang telah berkembang selama masa kanak-kanak dan remaja. Selain itu menurut Minchington (1993) self-esteem adalah nilai yang kita tempatkan pada diri kita sendiri. Nilai tersebut adalah penilaian kita sebagai manusia, berdasarkan persetujuan atau ketidaksetujuan dari diri kita sendiri dan perilaku kita. Self-esteem juga bisa menggambarkan sebagai hal untuk menahan diri, atau perasaan tentang diri sendiri berdasarkan pada siapa dan apa
32
yang kita percaya. Meskipun kita berpikir apakah kita sebagai seseorang yang baik. Self-esteem menurut Minchington (1993) bukanlah kualitas tunggal atau aspek dalam arti yang lebih luas, tetapi self-esteem adalah kombinasi dari sifatsifat dan sikap yang berhubungan dan merupakan pusat dasar di mana kita membangun kehidupan kita dan karena kita tidak hidup terisolasi dengan lingkungan, cara kita merasa tentang diri kita dapat mempengaruhi bagaimana kita berhubungan dengan orang-orang di sekitar kita dan setiap aspek kehidupan lainnya. Adapun teori yang digunakan untuk variabel self-esteem yang menjadi landasan penelitian yaitu teori yang digunakan oleh Tafarodi and Swann (1995). 2.4.2 Aspek self-esteem Beberapa ilmuwan menyatakan tentang aspek-aspek self-esteem, salah satunya yaitu menurut Tafarodi dan Swann (1995) membagi self esteem menjadi dua aspek atau dua dimensi yaitu self-liking dan self-competence penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Self-liking adalah penilaian afektif kita tentang diri kita, persetujuan atau ketidaksetujuan
dari
diri
kita,
sejalan
dengan
nilai-nilai
sosial
diinternalisasi, keinginan diri yang tinggi ditandai dengan positif mempengaruhi, penerimaan diri, dan kenyamanan dalam pengaturan sosial Rogers (dalam Tafarodi & Swann, 1995). 2. Self-competence adalah rasa keseluruhan dalam diri yang mampu, efektif dan terkendali. Jika seseorang memiliki self-competence yang tinggi maka
33
ia akan memiliki afektif dan evaluatif karakteristik yang positif (Tafarodi & Swann, 1995). Sedangkan menurut Michington (1993) self-esteem bukanlah sifat atau aspek tunggal saja, melainkan sebuah kombinasi dari beragam sifat dan perilaku kemudian ia membagi aspek self-esteem menjadi tiga aspek yaitu: 1. Perasaan mengenai diri sendiri a. Menerima diri sendiri Individu dapat menerima dirinya secara penuh, merasa nyaman dengan keadaan dirinya dan memandang baik tentang dirinya apapun kondisinya. Oleh karena itu, apapun yang terjadi individu mampu menilai dirinya memiliki keunikan tersendiri, menghargai setiap potensi yang dimiliki tanpa pernah mengeluh. b. Memaafkan diri sendiri Memaafkan diri sendiri atas ketidaksempurnaan dan kesalahan yang dibuatnya. Jika seseorang tidak menyukai dirinya sendiri, membiarkan orang lain merendahkannya, kerap mencela dirinya sendiri, serta merendahkan diri maka ia akan merasakan kepedihan dan penderitaan mental. Dua hal ini pada puncaknya akan termanifestasikan dalam harga diri yang rendah c. Menghargai diri sendiri. Dengan menghargai dirinya sendiri, perasaannya tentang kompetensi lebih tinggi dan tidak bergantung pada kondisi eksternal. Dimana perasaannya akan gembira saat dipuji orang lain. Seseorang dengan
34
self-esteem
rendah berusaha membuktikan
dirinya
dan
ingin
mengesankan orang lain. Apabila melakukan kesalahan dan orang lain mencacinya, maka ia pun akan menghukum dirinya sendiri. Dengan demikian orang dengan self-esteem rendah tidak akan berani mencoba, karena tidak berani mengambil resiko. d. Mengendalikan emosi diri Seseorang dengan harga diri yang tinggi memegang kendali atas emosinya
sendiri.
Sebaliknya,
keadaan
yang
buruk
dapat
mempengaruhi perasaan seseorang dengan self-esteem yang rendah. 2. Perasaan terhadap hidup a. Menerima realita (kenyataan) Perasaan terhadap realitas berarti menerima tanggung jawab atas setiap bagian hidup yang dijalaninya. Maksudnya, seseorang dengan selfesteem tinggi akan lapang dada dan tidak menyalahkan orang lain atas segala masalah yang dihadapinya. Ia sadar bahwa semuanya itu terjadi berkaitan dengan pilihan dan keputusannya sendiri, bukan karena faktor eksternal. b. Harapan yang realitas seseorang yang memiliki self-esteem yang tinggi akan membangun harapan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Perasaan seseorang terhadap hidup juga menentukan apakah ia akan menganggap sebuah masalah adalah rintangan hebat atau kesempatan bagus untuk mengembangkan diri.
35
c. Memegang kendali atas diri sendiri Seseorang dengan self-estem tinggi tidak akan berusaha untuk mengendalikan orang lain, sebaliknya ia akan dengan mudah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. 3. Hubungan dengan orang lain a. Menghargai orang lain Seseorang dengan toleransi dan penghargaan yang sama terhadap semua orang berarti memiliki self-esteem yang baik. Ia percaya bahwa setiap orang termasuk dirinya, mempunyai hak yang sama dan patut dihormati. b. Bijaksana dalam melakukan hubungan Seseorang dengan self-esteem yang tinggi mampu memandang hubungannya dengan orang lain secara lebih bijaksana. c. Bersikap asertif Secara alami seseorang dengan self-esteem yang tinggi akan menjadi seseorang yang asertif. Ia menghormati kebutuhan dirinya serta mengakui kebutuhan orang lain. Ia tahu apa yang ia inginkan dan tidak takut mewujudkannya.
2.4.3 Karakteristik individu berdasarkan tingkatan self-esteem Michington (1993) menjelaskan beberapa karakteristik individu ditinjau dari tinggi rendahnya atau positif negatifnya self-esteem. Oleh karena itu setiap orang memiliki karakteristik yang berbeda-beda sebagai individu maka penjelasan lebih lanjut akan dijelaskan sebagi berikut :
36
1. Karakteristik individu dengan self-esteem tinggi a. Seseorang dapat menerima dirinya tanpa syarat, seperti ia menghargai nilai dirinya sebagai manusia. b. Seseorang yang memiliki self-esteem yang tinggi memliki suatu keyakinan bahwa ia memiliki rasa bertanggung jawab dan merasa mampu mengontrol setiap bagian kehidupannya. c. Tingginya self-esteem dapat terlihat dari bagaimana cara seseorang dalam bentuk rasa penghormatan, toleransi, kerja sama dan saling memiliki antara satu dengan yang lain. 2. Karakteristik individu dengan self-esteem yang rendah: a. Seseorang dengan self-esteem yang rendah meyakini bahwa dirinya memiliki kemampuan instrinsik yang kecil, merasa bahwa keberhasilan yang diperolehnya merupakan sebuah prestasinya. b. Seseorang dengan self-esteem yang rendah merasa bahwa kehidupan ini sering berada diluar kontrol atau kendali dirinya. c. Seseorang dengan self-esteem yang rendah kita kurang menghormati dasar bagi orang lain, tidak toleran terhadap orang-orang dan percaya bahwa mereka harus hidup dengan cara yang kita inginkan. 2.4.4 Pengukuran self-esteem Beberapa ilmuan mengemukakan beberapa pengukuran mengenai selfesteem. Diantaranya yaitu Rosenberg Self-Esteem (RSE) (1965), skala ini terdiri dari sepuluh item dan skala ini cukup sensitif terhadap manipulasi eksperimenal. Selain itu self-esteem inventory yang dikembangkan oleh
37
Michinton (1993) terdiri dari 25 item yang mengukur perasaan terhadap diri sendiri, perasaan terhadap orang lain dan perasaan terhadap kehidupan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala yang diperkenalkan oleh Tafarodi and Swann (2001) yaitu Self-Lliking and Competence ScaleRevised (SLCS-R). SLCS-R berisi dua sub-skala, yang masing-masing diukur dengan delapan item. Self-liking subskala merupakan senilai sosial (misalnya "saya merasa hebat tentang siapa saya"), dan self-competence merupakan subskala perasaan keberhasilan dan kontrol (misalnya "Saya hampir selalu mampu untuk mencapai apa yang saya coba" ). Tanggapan pada semua item diberikan dengan menggunakan skala likert.
2.5 Faktor Demografis 2.5.1 Usia Usia merupakan suatu tahapan perkembangan individu, yang tumbuh dan berkembang secara potensial. Variabel demografis ini atau usia dapat membedakan variasi tingkat impulse buying pada setiap
jenjang hidup
manusia. Menurut Rawlings (dalam Činjarević, 2010) bahwa seseorang yang memliki usia muda memiliki impulsif yang lebih dibandingkan dengan orang tua. Selain itu, konsumen yang lebih muda lebih cenderung mengalami dorongan untuk membeli hal-hal secara spontan ketika terkena benda-benda yang relevan dan untuk bertindak berdasarkan dorongan. Sedangkan konsumen orang tua dapat menunjukkan kemampuan lebih baik untuk mengendalikan impuls pembelian mereka.
38
Menurut Schiffman dan Kanuk (dalam Antasari & sahrah) menunjukkan bahwa remaja putri pada usia 16-21 tahun tergolong konsumen yang konsumtif, karena dalam pembelian suatu produk hanya ditujukan untuk prestise dan harga diri, bukan berdasarkan pada kebutuhan yang sebenarnya. Selain itu menurut Antasari dan sahrah alasan seorang remaja melakukan impulse buying biasanya tertarik dengan kemasan, warna atau banyak temantemannya juga memiliki. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Widawati (2011) usia di atas 42 tahun, lebih banyak yang menunjukkan perilaku impluse buying yang tinggi dibanding sampel yang berusiadi bawah 42 tahun. Kondisi ini menjadi menarik, mengingat bila merujuk pada tahap perkembangan manusia, pada masa usia di atas 42 tahun, adalah masa dewasa madya. Pada masa ini, manusia memiliki kebutuhan untuk menampilkan eksistensi diri melalui kemapanan dari sisi status sosial. Dengan status sosial dan ekonomi yang mapan, memberi peluang bagi konsumen untuk dengan mudah menentukan perilaku pembelian. Kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan sisi pengakuan atau penghargaan sosial menjadi hal yang signifikan penting untuk dipenuhi, dan hal tersebut memberi peluang untuk melakukan pembelian-pembelian secara spontan.
2.5.2 Jenis Kelamin Menurut Underhill (dalam Coley, 2002) wanita pada umumnya lebih sabar dan ingin tahu dari pada pria mengenai keputusan pembelian dan mereka bangga dengan kemampuan mereka untuk memilih item yang sempurna.
39
Perempuan memiliki tuntutan yang lebih tinggi dari lingkungan belanja dari pada laki-laki. Secara umum, pria bergerak lebih cepat dari pada wanita melalui lorong toko, menghabiskan lebih sedikit waktu melihat- lihat barang, biasanya tidak suka untuk bertanya mengenai suatu hal atau pertanyaan lain, dan dalam banyak pengaturan cenderung tidak melihat sesuatu yang mereka tidak bermaksud untuk membelinya. Widawati (2011) menemukan bahwa sejalan dengan sifat wanita yang menyenangi belanja, maka dibanding konsumen laki-laki, wanita tetap memiliki kecenderungan impulse buying tinggi yang lebih banyak dibanding konsumen laki-laki. Sisi emosi yang cenderung mendominasi perasaan dan pikiran wanita menjadi sumber mengapa mereka menjadi mudah tergugah oleh stimulasi dari lingkungan yang ditawarkan, sekalipun mereka menyadari bahwa barang-barang tersebut belum tentu dibutuhkan. 2.6 Kerangka Berfikir Kehidupan konsumtif semakin menjadi gaya hidup masyarakat, hal ini tampak dari semakin banyaknya pusat perbelanjaan yang melayani penyediaan barang-barang kebutuhan konsumen dalam berbagai kebutuhan. Banyak alasan yang menyebabkan konsumen melakukan kegiatan konsumtif, semua alasan dapat digolongkan dalam keinginan untuk memenuhi kebutuhan (needs) bahkan keinginan (wants). Aktifitas pemenuhan kebutuhan konsumtif dilakukan dengan istilah belanja. Berbelanja yang dilakukan konsumen pada dasarnya tidak hanya dilakukan untuk pembelian yang direncanakan tetapi termasuk juga untuk pembelian barang-barang yang tidak direncanakan.
40
Impulse buying atau pembelian dengan dorongan tanpa perencanaan sebelumnya mungkin saja terjadi
dengan adanya stimuli-stimuli yang
diberikan oleh perusahaan untuk mempengaruhi emosi konsumen. Impulse buying biasanya ditandai dengan pembelian yang dilakukan secara spontan, tidak direncanakan sebelumnya, dan keinginan membeli sesegera mungkin oleh konsumen. Selain itu impulse buying juga terjadi karena adanya pengaruh dalam diri orang tersebut, seperti menurut Chang dan Lucas (dalam David et. al, 2008) salah satunya adalah subjective well-being berhubungan positif dengan optimisme dan self-esteem. Sebagian orang mungkin akan merasa kepuasan dalam hidupnya dengan melakukan impulse buying karena ia juga merasa akan terangkat harga dirinya. Selain itu seseorang melakukan impulse buying karena adanya pengaruh dari lingkungan sekitar atau pengaruh dari orang lain. Selanjutnya dalam penelitian ini variabel demografis seperti usia dan jenis kelamin juga dilihat pengaruhnya terhadap impulse buying. Untuk demografis usia dapat berpengaruh terhadap pembelian impuls. Menurut Rawlings (dalam Činjarević, 2010) bahwa seseorang yang memliki usia muda memiliki impulsif yang lebih dibandingkan dengan orang tua jadi konsumen dengan usia muda dianggap sangat berpengaruh terhadap pembelian impuls. Selain usia jenis kelamin juga mempengaruhi impulse buying. Dittmar et al. (dalam Kaceen & Lee, 2002) berhipotesis bahwa pembelian impulsif lebih mungkin untuk menjadi item yang melambangkan hal yang disukai atau ideal, dengan demikian seharusnya dipengaruhi oleh kategori sosial seperti gender. Ia
41
berpendapat bahwa perempuan menghargai harta mereka karena alasan emosional dan berorientasi pada hubungan, sedangkan laki-laki menghargai harta mereka untuk alasan fungsional dan instrumental. Skema Kerangka Berfikir
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir Penelitian
2.7 Hipotesis Penelitian Bserdasarkan kerangka berfikir yang sudah dijelaskan diatas, maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
42
Hipotesis Mayor Terdapat pengaruh signifikan dari variabel subjective well-being, social influence, self-esteem, dan faktor demografis terhadap impulse buying? Hipotesis Minor H1
: Apakah ada pengaruh kognitif terhadap impulse buying?
H2
: Apakah ada pengaruh affect terhadap impulse buying?
H3
:
Apakah ada pengaruh informational component terhadap impulse buying?
H4
:
Apakah ada pengaruh normative component terhadap impulse buying?
H5
:
Apakah ada pengaruh self-liking terhadap impulse buying?
H6
:
Apakah ada pengaruh self-competence terhadap impulse buying?
H7
:
Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap impulse buying?
H8
:
Apakah ada pengaruh usia terhadap impulse buying?
BAB 3 METODE PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai populasi dan sampel, variabel penelitian dan definisi operasional, instrumen penelitian, teknik analisa data, dan uji hipotesis. 3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 3.1.1 Populasi dan sampel Populasi dalam penelitian ini adalah individu yang belanja di sebuah ritel, khususnya pada Alfamidi, Alfamart dan Indomart di Jl.Otista Sasak Tinggi Ciputat. Peniliti mengambil sampel pada tanggal 16-18 Oktober 2014, banyaknya sampel yang diambil adalah 210 orang. Peneliti memilih orang-orang yang belanja di ritel khususnya pada Alfamidi, Alfamart dan Indomart di Jl. Otista Sasak Tinggi Ciputat sebagai sampel penelitian karena dianggap sesuai dengan tujuan penelitian yaitu karena banyakya barang yang ditawarkan pada sebuah ritel yang memungkinkan terjadinya impulse buying. Adapun kriteria populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Berusia >16 tahun 2. Berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. 3.1.2 Teknik pengambilan sample Metode dalam penelitan ini adalah nonprobability sampling yaitu dengan menggunakan teknik accidental sampling. Peneliti mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan atau ritel didaerah Ciputat dan membagikan kuesioner pada
43
44
responden yang memiliki karakteristik tertentu yaitu berusia diatas 16 tahun dan berjenis kelamin laki-laki maupun peremuan.
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel 3.2.1 Variabel penelitian Dalam penelitian ini secara keseluruhan memiliki sembilan variabel yang terdiri dari delapan variabel bebas atau Independent Variabel (IV) dan satu variabel terikat atau Dependent Variabel (DV). Adapun delapan Independent Variabel (IV) sebagai berikut: 1. Penilaian kognitif (X1) 2. Penilaian afektif (X2) 3. Component normatif (X3) 4. Component informational (X4) 5. Self-liking (X5) 6. Self-competence (X6) 7. Jenis kelamin (X7) 8. Usia (X8) Sedangkan yang menjadi variabel terikat atau Dependent Variabel (DV) yaitu impulse buying
3.2.2 Definisi operasional variabel Setelah menentukan variabel mana yang menjadi variabel terikat dan variabel bebas, maka selanjutnya menentukan definisi operasional dari variabelvariabel yang kemudian akan digunakan dalam penelitian ini. Adapun definisi
45
operasional dari masing-masing variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Impulse buying dalam penelitian ini adalah sebagai pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang cepat dan tidak direncanakan, diikuti oleh konflik fikiran dan dorongan emosional (Verplanken & Herabadi, 2001). 2. Subjektif well-being dalam penelitian ini adalah evaluasi kognitif dan afektif individu terhadap hidupnya, evaluasi ini mencakup reaksi emosional terhadap peristiwa serta pertimbangan kognitif mengenai kepuasan dan pemenuhan kehidupan (Diener et al., 2005) 3. Social influence dalam penelitian ini adalah kecenderungan seseorang untuk belajar tentang produk dan jasa dengan mengamati, mencari informasi agar sesuai dengan harapan orang lain (Bearden et al., 1992). 4. Self-esteem dalam penelitian ini adalah mengukur sikap negatif dan positif seseorang secara keseluruhan terhadap dirinya (Tafarodi & Swann, 1995). 5. Adapun variabel demografis dalam penelitian ini adalah usia dan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). a. Aspek demografis usia diukur dari data identitas sampel yang diperoleh. b. Aspek demografis jenis kelamin dari data identitas sampel yang diperoleh.
3.3 Instrumen Penelitian 3.3.1 Teknik pengumpulan data Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan established instrument yaitu alat ukur yang sudah dikembangkan oleh peneliti lain. Instrumen
46
pengukuran subjective well-being, social influence, self-esteem, dan faktor demografis terhadap impulse buying diadaptasi dalam bahasa inggris, sehingga kemudian dilakukan penerjemahan item-item dalam instrument tersebut kedalam bahasa Indonesia. Format pengukuran menggunakan model Likert dengan empat pilihan jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. 1. Sangat setuju, apabila subjek merasa sangat sesuai berdasarkan pernyataan yang diberikan. 2. Setuju, apabila subjek merasa sesuai berdasarkan pernyataan yang diberikan. 3. Tidak setuju, apabila subjek merasa tidak sesuai berdasarkan pernyataan yang diberikan . 4. Sangat tidak setuju, apabila subjek merasa sangat tidak sesuai berdasarkan pernyataan yang diberikan.
Tabel 3.1 Pilihan Jawaban Jawaban Sangat Setuju (SS) Setuju (S) Tidak Setuju (TS) Sangat Tidak Setuju (STS)
Favorabel 4 3 2 1
Nilai Unfavorabel 1 2 3 4
Berdasarkan tabel, skala disajikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga responden tinggal memberi tanda checklist (√) pada kolom atau tempat yang telah disediakan.
47
3.3.2 Alat ukur penelitian Dalam penelitian ini alat ukur yang digunakan terdiri dari: 1. Skala impulse buying Untuk mengukur impulse buying, alat ukur yang digunakan adalah skala impulse buying yang diperkenalkan oleh Verplanken dan Herabadi (2001). Alat ukur terdiri dari 20 item dan dibagi menjadi 2 aspek, yaitu aspek kognitif berjumlah 10 item dan aspek afektif berjumlah 10 item. Aspek kognitif pada alat ukur ini melihat mengenai kurangnya perencanaan dan kehati-hatian, sedangkan pada aspek afektifnya mengukur perasaan menyenangkan, kegairahan, tekanan, kontrol yang rendah, dan rasa penyesalan. Tabel 3.2 Blue print skala impulse buying No
Dimensi
1
Aspek kognitif
Indikator Kurang perencanaan
Fav
Unfav
Jml
Contoh item
3,8,9, 10
1,2,4,5, 6,7
10 item
Kebanyakan barang yang saya beli tidak direncanakan sebelumnya
11,12 ,15,1 6,17, 18,19 ,20
13,14
10 item
Saya bisa menjadi sangat tertarik apabila saya melihat sesuatu yang ingin saya beli
Spontanitas dalam membeli
2
Aspek afektif
Berhati-hati dalam membeli Ada perasaan menyenangkan ketika membeli. Adanya kegairahan dalam membeli Kurangnya kontrol dalam membeli Adanya rasa penyesalan
48
2. Skala subjective well-being Untuk mengukur subjective well-being alat ukur yang digunakan adalah skala yang diperkenalkan oleh Diener et.al. (1985) yaitu SWLS (satisfaction with life scale) dan skala dari Watson, Clark dan Tellegen (1988) yaitu PANAS (positive affect negative affect schedule). Alat ukur SWLS terdiri dari 5 item dan alat ukur PANAS terdiri dari 20 item. Tabel 3.3 Blue print skala subjective well-being No
Dimensi
1
Kognitif
Indikator
Nomer item 1, 3, 5
3 item
2,4
2 item
3, 10
2 item
Merasa bersemangat mengerjakan sesuatu
1, 9, 14, 16, 19
5 item
Memiliki fokus perhatian terhadap sesuatu
5, 12,3 17
3 item
Merasakan kesedihan
2,4
2 item
Merasakan kecemasan
6, 7, 15, 18, 20 11,13,8
5 item
Merasa puas dengan kehidupan Menilai kondisi hidup individu menyenangkan
2
Afektif
Memiliki perasaan bahagia
Mudah tersinggung
Jml
Contoh item Saya puas dengan kehidupan saya
Saya merasa gembira
3 item
3. Skala social influence Untuk mengukur social influence alat ukur yang digunakan adalah skala yang diperkenalkan oleh Bearden et.al. (1989) yaitu skala susceptibility to interpersonal influence (CSII) yang terdiri dari 12 item yang mengukur dua
49
subskala. Sub skala pertama melihat pengaruh component informational yang mencakup tiga item untuk mengukur sejauh mana individu mencari informasi yang berkaitan dengan pembelian dari lingkungan sosialnya. Sedangkan subskala kedua melihat pengaruh component normative yang mencakup sembilan item mengukur sejauh mana konsumen mendapatkan persetujuan atau penegasan dari lingkungan sosial mereka. Tabel 3.4 Blue print skala social influence No 1
2
Dimensi Component informational
component normative
Indikator Berkosultasi dengan orang lain. mencari informasi berkaitan dengan pembelian dari lingkungan sosialnya mendapatkan persetujuan dari lingkungan sosial. Konsumen mendapatkan penegasan atas pembelian mereka pada lingkungan sosialnya.
Fav
Jml
1, 7,10,
3 item
2, 3, 4, 5, 6, 8, 9,11,12
9 item
Contoh item Saya biasanya berkonsultasi kepada orang, untuk memilih alternative terbaik yang tersedia dari sebuah produk
4. Skala self-esteem Untuk mengkur self-esteem alat ukur yang digunakan adalah skala yang diperkenalkan Tafarodi dan Swann (2001) yaitu self-liking and competence scalerevised (SLCS-R). SLCS-R berisi dua sub-skala, yang masing-masing diukur dengan delapan item. Self-liking subskala merupakan senilai sosial (misalnya "Saya merasa hebat tentang siapa saya"), dan self-competence merupakan
50
subskala perasaan keberhasilan dan control (misalnya "Saya hampir selalu mampu untuk mencapai apa yang saya coba" ). Tabel 3.5 Blue print skala self-esteem No
Dimensi
Indikator
1
Self-liking
Memberikan penilaian terhadap diri sendiri Menghargai diri sendiri Menerima diri sendiri.
Fav
Unfav
Jml
3, 5, 9
1, 6, 10,11, 15
8 item
2, 4, 12, 14, 16
7,8,13
8 item
Contoh item Saya cenderung tidak menghargai diri sendiri
Merasa nyaman dengan dirinya 2
Selfcompetence
Perasaan akan keberhasilan Dapat mengontrol dirinya
Saya sangat berbakat
3.4 Uji Validitas Konstruk Untuk menguji validitas alat ukur dalam penelitian ini, peneliti menggunkan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dengan software Lisrel 8.70 adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk mendapat kriteria hasil CFA yang baik dijelaskan oleh Umar (dalam Adiprasetyo, 2011), yaitu: 1. dilakukan uji CFA dengan model satu faktor dan dilihat nilai Chi-Square yang dihasilkan. Jika nilai Chi-Square tidak signifikan (p> 0.05) berarti semua item hanya mengukur satu faktor saja. Namun jika Chi-Square signifikan (p< 0,05), maka perlu dilakukan modifikasi terhadap model pengukuran yang diuji sesuai langkah kedua berikut ini.
51
2. Jika Chi-Square signifikan (p< 0,05) , maka dilakukan modifikasi model pengukuran dengan cara membebaskan parameter berupa korelasi kesalahan pengukuran. Ini terjadi ketika suatu item selain mengukur konstruk yang ingin diukur, item tersebut juga mengukur hal yang lain(mengukur lebih dari satu konstruk/ multidimensional), jika setelah beberapa kesalahan pengukuran dibebaskan untuk saling berkorelasi dan akhirnya diperoleh model yang fit, maka model terakhir inilah yang akan digunakan pada langkah selanjutnya. 3. Jika telah diperoleh model yang fit, maka dilakukan analisis item dengan melihat apakah muatan faktor item tersebut signifikan dan mempunyai koefisien positif. Untuk melihat signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktornya, digunakan t-test terhadap koefisien muatan faktor item. Jika t >1.96 maka item tersebut signifikan dan tidak akan di drop, begitupun sebaliknya. 4. Setelah itu dilihat apakah ada item yang muatan faktornya negatif. Dalam hal ini, jika ada pernyataan negatif, maka ketika dilakukan skoring terhadap item, arah skoringnya diubah menjadi positif. Jika setelah diubah arah skoringnya masih terdapat item bermuatan negatif, maka item tersebut akan di drop. 5. Apabila kesalahan pengkurannya berkorelasi terlalu banyak dengan kesalahan pengukuran pada item lain, maka item seperti ini pun dapat di drop karena bersifat multidimensi yang sangat kompleks. Selanjutnya, dengan menggunakan SPSS 17.0 dan model satu faktor kemudian dihitung (di estimasi) nilai satu faktor (true score) bagi setiap orang untuk variabel yang bersangkutan. Dalam hal ini yang dianalisis faktor hanya
52
item yang memiliki nilai faktor positif. Item yang bernilai faktor negatif di drop dan tidak diikut sertakan dalam skoring. Dalam penelitian ini data yang akan dianalisis adalah hasil pengukuran dalam bentuk skor faktor seperti yang diperoleh pada langkah diatas, kecuali untuk variabel usia dan jenis kelamin. 3.4.1 Uji validitas konstruk impulse buying Pertama-tama, diteliti apakah 20 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur impulse buying. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan chi-square = 118.81, df = 170, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.169. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi terhadap model. Di mana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya. Setelah dilakukan 71 kali pembebasan item, diperoleh model fit dengan chi-square = 119.48, df = 99, P-value = 0.07892, RMSEA = 0.031. Nilai chi-square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak signifikan), yang artinya model bersifat satu faktor (unidimensional) di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu impulse buying. Selanjutnya dilihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat T-Value bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.6.
53
Tabel 3.6 Muatan faktor item impulse buying No item Lamda Error T-Value 1 0.23 0.07 3.38 2 0.31 0.07 4.33 3 0.47 0.07 6.91 4 0.39 0.07 5.58 5 0.36 0.07 5.28 6 0.48 0.07 7.31 7 0.70 0.07 10.42 8 0.48 0.07 7.41 9 0.49 0.07 7.46 10 0.59 0.06 9.30 11 0.60 0.07 8.93 12 0.63 0.06 9.53 13 0.60 0.07 8.87 14 0.67 0.07 10.95 15 0.56 0.08 8.71 16 0.70 0.07 10.79 17 0.59 0.07 8.81 18 0.41 0.07 5.74 19 0.48 0.07 7.14 20 0.54 0.07 8.33 Keterangan : tanda V = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan
Signifikan V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V
Dari tabel 3.5, berdasarkan pada muatan faktor (lambda) dan t-value, setiap item dikatakan signifikan. Hal tersebut dikarenakan koefisien muatan faktor tiap item impulse buying yang positif dan nilai koefisien t > 1,96. 3.4.2 Uji validitas konstruk subjective well-being 1. Kognitif Pertama-tama, diteliti apakah 5 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur kognitif. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan chi-square = 49.12, df = 5, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.205. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi terhadap model. Di mana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya. Setelah dilakukan 3 kali pembebasan item, diperoleh model fit
54
dengan chi-square = 1.06, df = 2, P-value = 0.58799, RMSEA = 0.000. Nilai chisquare menghasilkan P-value > 0.0 5 (tidak signifikan), yang artinya model bersifat satu faktor (unidimensional) di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu faktor kognitif. Selanjutnya dilihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat T-Value bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.7. Tabel 3.7 Muatan faktor item kognitif No item Lamda Error T-Value 1 1.43 0.49 2.94 2 0.39 0.15 2.66 3 1.49 0.50 2.96 4 0.86 0.32 2.70 5 0.22 0.10 2.18 Keterangan : tanda V = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan
Signifikan V V V V V
Dari tabel 3.6, berdasarkan pada muatan faktor (lambda) dan t-value, setiap item dikatakan signifikan. Hal tersebut dikarenakan koefisien muatan faktor tiap item subjective well-being yang positif dan nilai koefisien t > 1,96. 2. Affect Pertama-tama, diteliti apakah 20 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur affect. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan chi-square = 536.37, df = 170, Pvalue = 0.00000, RMSEA = 0.102. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi terhadap model. Di mana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi
55
satu sama lainnya. Setelah dilakukan 41 kali pembebasan item, diperoleh model fit dengan chi-square = 155.60, df= 129, P-value = 0.05536, RMSEA = 0.031. Nilai chi-square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak signifikan), yang artinya model bersifat satu faktor (unidimensional) di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu affect. Selanjutnya dilihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat T-Value bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.8. Tabel 3.8 Muatan faktor item affect No item Lamda Error T-Value 1 0.54 0.07 7.84 2 0.65 0.07 9.56 3 0.60 0.07 9.10 4 0.02 0.07 0.32 5 0.35 0.07 4.98 6 0.30 0.07 4.21 7 0.32 0.07 4.62 8 0.52 0.07 7.33 9 0.31 0.07 4.37 10 0.27 0.07 3.97 11 0.53 0.07 8.14 12 0.68 0.06 10.73 13 0.40 0.07 6.00 14 0.74 0.06 11.49 15 0.16 0.07 2.13 16 0.45 0.07 6.52 17 0.12 0.07 1.73 18 0.60 0.07 9.15 19 0.68 0.06 10.87 20 0.38 0.07 5.68 Keterangan : tanda V = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan
Signifikan V V V X V V V V V V V V V V V V X V V V
Dari tabel 3.8, berdasarkan pada muatan faktor (lambda) dan t-value, setiap item dikatakan signifikan tetapi terdapat 2 item yang tidak signifikan
56
koefisien t < 1.96 yaitu item 4 dan 17. Sedangkan item lainnya signifikan (t > 1.96) dan valid. Dengan demikian, bobot nilai pada item 4 dan 17 tidak ikut dianalisis dalam penghitungan faktor skor. 3.4.2 Uji validitas konstruk social influence 1. Component informational Pertama-tama, diteliti apakah 3 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur component informational. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit, dengan chi-square = 0.00, df = 0, P-value = 1.0000, RMSEA = 0.000. Nilai chi-square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak signifikan), yang artinya model bersifat satu faktor (unidimensional) di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu component informational. Selanjutnya dilihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat T-Value bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.9. Tabel 3.9 Muatan faktor item component informational No item Lambda Error T-Value 1 0.54 0.09 6.31 7 0.69 0.09 7.30 10 0.60 0.09 6.72 Keterangan : tanda V = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan
Signifikan V V V
Dari tabel 3.9, berdasarkan pada muatan faktor (lambda) dan t-value, setiap item dikatakan signifikan. Hal tersebut dikarenakan koefisien muatan faktor tiap item component informational yang positif dan nilai koefisien t > 1,96.
57
2. Component normative Pertama-tama, diteliti apakah 9 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur component normative. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan chi-square = 144.24, df = 27, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.144. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi terhadap model. Di mana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya. Setelah dilakukan 7 kali pembebasan item, diperoleh model fit dengan chi-square = 27.93, df = 20, P-value = 0.11112, RMSEA = 0.044. Nilai chi-square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak signifikan), yang artinya model bersifat satu faktor (unidimensional) di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu component normative. Selanjutnya dilihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat T-Value bagi setiap koefisien muatan faktor pada tabel 3.10. Tabel 3.10 Muatan faktor item component normatif No item Lamda Error T-Value 2 0.66 0.07 9.82 3 0.70 0.06 10.92 4 0.57 0.07 8.60 5 0.28 0.07 3.90 6 0.68 0.06 10.82 8 0.77 0.06 12.04 9 0.60 0.07 9.12 11 0.63 0.07 9.28 12 0.77 0.06 12.61 Keterangan : tanda V = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan
Signifikan V V V V V V V V V
58
Dari tabel 3.10, berdasarkan pada muatan faktor (lamda) dan t-value, setiap item dikatakan signifikan. Hal tersebut dikarenakan koefisien muatan faktor tiap item component normative yang positif dan nilai koefisien t > 1,96. 3.4.2 Uji validitas konstruk self-esteem 1. Self-liking Pertama-tama, diteliti apakah 8 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur self-liking. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan chi-square = 536.09, df = 20, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.351. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi terhadap model. Di mana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya. Setelah 14 kali pembebasan item, diperoleh model fit dengan chi-square = 11.49, df = 6, P-value = 0.07430, RMSEA = 0.066. Nilai chi-square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak signifikan), yang artinya model bersifat satu faktor (unidimensional) di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu self -liking. Selanjutnya dilihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat T-Value bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.11.
59
Tabel 3.11 Muatan faktor item self liking No item Lamda Error T-Value 1 0.91 0.07 13.56 3 -0.03 0.07 -0.46 5 -0.19 0.07 -2.62 6 0.38 0.07 5.50 9 -0.18 0.07 -2.35 10 0.52 0.07 7.34 11 0.25 0.09 2.89 15 0.74 0.07 10.95 Keterangan : tanda V = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan
Signifikan V X X V X V V V
Dari tabel 3.11, berdasarkan pada muatan faktor (lamda) dan t-value, setiap item dikatakan signifikan tetapi terdapat 3 item yang tidak signifikan koefisien t < 1.96 yaitu item 3, 5 dan 9. Sedangkan item lainnya signifikan (t > 1.96) dan valid. Dengan demikian, bobot nilai pada item 3,5 dan 9 tidak ikut dianalisis dalam penghitungan faktor skor. 2.Self-competence pertama-tama, diteliti apakah 8 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur self-competence. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan chi-square = 1185.18, df = 20, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.1999. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi terhadap model. Di mana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya. Setelah dilakukan 8 kali pembebasan item, diperoleh model fit dengan chi-square = 19.10, df = 12, P-value = 0.12012, RMSEA = 0.047. Nilai chi-square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak signifikan), yang artinya model bersifat satu faktor (unidimensional) di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu self-competence.
60
Selanjutnya dilihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat T-Value bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.12. Tabel 3.12 Muatan faktor item self-competence No item Lamda Error T-Value 2 0.80 0.07 12.37 4 0.73 0.06 11.41 7 0.29 0.07 3.95 8 0.19 0.07 2.63 12 0.66 0.07 10.11 13 0.52 0.07 7.23 14 0.74 0.07 10.95 16 0.40 0.07 5.49 Keterangan : tanda V = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan
Signifikan V V V V V V V V
Dari tabel 3.12 berdasarkan pada muatan faktor (lamda) dan t-value, setiap item dikatakan signifikan. Hal tersebut dikarenakan koefisien muatan faktor tiap item self-competence yang positif dan nilai koefisien t > 1,96. 3.5 Teknik Analisis Data Untuk menjawab pertanyaan penelitian digunakan teknik analisis regresi berganda. Teknik analisis regresi berganda ini digunakan untuk menentukan ketepatan prediksi dan ditunjukan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari variable bebas (IV), yaitu subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis, yaitu usia dan jenis kelamin terhadap impulse buying (DV).
61
Regresi berganda merupakan metode statistika yang digunakan untuk membentuk model hubungan antara DV dengan lebih dari satu IV. Persamaan regresi berganda penelitian adalah sebagai berikut: Y’ = a + b1 X1 + b2X 2 +b3 X3+ b4X4 + b5X 5 +b6 X6+ b7X7 + b8X8+e Keterangan : Y’
= Impulse Buying
a
= Konstan intersepsi
b
= Koefisien regresi
X1
= Penilaian kognitif
X2
= Penilaian afektif
X3
= Component Informational
X4
= Component Normative
X5
= Self-Liking
X6
= Self-Competence
X7
= Jenis kelamin
X8
= Usia
e
= Residu Dari analisis regresi berganda dapat diperoleh nilai R, yaitu koefisien
korelasi berganda antara impulse buying dengan subjective wellbeing, social influence, self-esteem dan faktor demografis. Besarnya nilai impulse buying disebabkan oleh independent variable yang telah disebutkan ditunjukkan oleh
62
koefisien determinasi berganda atau R2 (R Square). R2 merupakan proporsi varian impulse buying yang dijelaskan oleh subjective wellbeing, social influence, selfesteem dan faktor demografis. Untuk mendapatkan nilai R2, digunakan rumusan sebagai berikut : R2 = SSREG/∑Y2
Dari analisis Multiple Regression ini dapat diperoleh beberapa informasi, di antaranya: 1. R2, yang menunjukkan proporsi varians (persentase varian) dari variable impulse buying yang dijelaskan oleh subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis.. 2. Uji hipotesis mengenai signifikan atau tidaknya masing-masing koefisien regresi. Koefisien regresi yang signifikan menunjukkan dampak yang signifikan dari subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis. 3. Persamaan regresi yang di temukan biasa digunakan untuk membuat prediksi tentang impulse buying jika subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis diketahui. Kemudian untuk membuktikan apakah regresi subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis terhadap impulse buying signifikan, maka digunakan uji F. Dari hasil uji F yang dilakukan, dapat dilihat apakah subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis memiliki pengaruh terhadap impulse buying dengan rumus sebagai berikut :
63
F=
R2/k
(1- R2) / (N-k-1) Keterangan : k = jumlah independent variable N = jumlah sampel. Kemudian, hipotesis minor dianalisa melalui penjelasan tentang apakah terdapat pengaruh signifikan yang diberikan subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis terhadap impulse buyisng terhadap caranya adalah dengan dilakukan uji koefisien regresi dari tiap IV dan DV yang dianalisis. Uji tersebut digunakan untuk melihat apakah pengaruh yang diberikan subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis signifikan terhadap impulse buying secara dimensional atau parsial. Uji ini dilakukan untuk melihat apakah sebuah IV memberikan kontribusi terhadap DV. Sebelum di dapatkan nilai t dari tiap IV, harus di dapat dulu nilai standard error estimate dari b (koefisien regresi) yang di dapatkan melalui akar Msres dibagi dengan SSx. Setelah di dapatkan Sb barulah bias dilakukan uji t, yaitu hasil bagi dari b (koefisien regresi) dengan Sb itu sendiri. Uji t akan dilakukan sebanyak sebelas kali sesuai dengan variabel yang dianalisis. Uji t yang dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut:
64
t=b Sb Keterangan : b = koefisien regresi sb = standar eror dari b Di mana b adalah koefisien regresi dan Sb adalah standard error dari b. Hasil uji t ini akan diperoleh dari hasil regresi yang akan dilakukan oleh peneliti nantinya. 3.6 Prosedur Pengumpulan Data Dalam penelitian ini melalui beberapa tahapan dalam proses pengumpulan data, yaitu: 1. Sebelum turun kelapangan, peneliti menemukan masalah yang akan diteliti kemudian mengadakan studi pustaka untuk melihat masalah tersebut dari sudut pandang teoritis. Setelah mendapatkan teori secara lengkap, penelti kemudian menyiapkan, membuat dan menyusun alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala impulse buying, skala subjective wellbeing, skala social influence dan skala self-esteem. 2. Menentukan sampel penelitian yaitu orang-orang yang melakukan pembelian dipusat perbelanjaan ritel. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode nonprobability sampling, kemudian memberikan angket yang telah disediakan kepada sampel tersebut. 3. Melakukan pengolahan dan pengujian dari hasil skala yan telah didapatkan untuk dianalisis datanya.
BAB 4 HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini, dipaparkan mengenai gambaran subjek penelitian, hasil analisis deskriptif, kategorisasi skor variabel penelitian, hasil pengujian hipotesis, pembahasan hasil pengujian hipotesis dan proporsi varians. 4.1 Analisis Deskriptif 4.1.1 Gambaran umum subjek penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah 210 orang yang melakukan pembelian di toko ritel
Alfamart, Indomart dan Alfamidi di Jalan OtistaSasak Tinggi Ciputat.
Selanjutnya akan dijelaskan gambaran subjek berdasarkan data demografis responden yang terdiri dari jenis kelamin dan usia. Hal ini dilakukan untuk mengukur apakah aspek tersebut memberikan kontribusi terhadap Dependent Variabel (DV) yang ingin diteliti. Untuk sampel pada subjek penelitian dapat dilihat dalam tabel 4.1 dibawah ini. Tabel 4.1 Gambaran umum subjek penelitian
Demografis (jenis kelamin) Laki-laki Perempuan Total Demografis (usia) 16– 18 18 – 40 40 – 60 >60
Frekuensi 78 132 210 Frekuensi 8 198 4 0 65
Persentase 37% 63% 100% Persentase 3.8% 94.3% 1,9% 0%
66
Berdasarkan data pada pada tabel 4.1 diatas dapat diketahui bahwa jumlah sampel sebanyak 210 orang.Jumlah sampel dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 78 partisipan atau 37%.Untuk sampel dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 132 orang atau 63%.Sampel untuk perempuan lebih banyak dimungkinkan yang berbelanja lebih banyak perempuan dibandingkan lakilaki.Rook dan Hoch (1985) menemukan bahwa perbedaan jenis kelamin dalam impulsif konsumen sebagian bisa mencerminkan fakta bahwa pria dan wanita biasanya berbelanja untuk berbagai jenis produk.Sedangkan untuk jumlah sampel berdasarkan usianya adalah usia 16-18 tahun sebanyak 8 orang atau 3,8%, usia 18-40 tahun sebanyak 198 orang atau 94.3%, usia 40-60 tahun sebanyak 4 orang atau 1.9%, usia >60 tahun sebanyak 0 atau 0%. Peneliti membedakan jenjang usia partisipan berdasarkan usia perkembangan manusia menurut Harlock (1980). Dari hasil presentase tersebut, usia 18-40 lebih menonjol karena tergolong konsumen yang konsumtif, Eysenck et al,.(dalam Kaceen & lee, 2002) menemukan bahwa individu-individu yang lebih muda memiliki skor yang lebih tinggi pada tindakan impulsif dibandingkan dengan orang yang lebih tua dan menunjukkan kurang kontrol diri daripada orang dewasa. 4.2 Hasil Analisis Deskriptif Pada hasil analisis deskriptif menjelaskan hasil deskriptif statistik dari variabel dalam penelitian ini yang berisi nilai mean, standar deviasi (SD), nilai maksimum dan minimum dari masing-masing variabel. Nilai tersebut disajikan dalam tabel 4.2.
67
Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Descriptive Statistics N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
Impulse
210
30.38
74.38
49.9998
9.31704
Affect
210
5.61
67.32
49.9999
9.13173
Kognitif
210
27.74
72.20
49.9999
8.53502
Normative
210
21.73
75.89
49.9997
9.11779
Informasi
210
30.13
66.14
50.0010
7.39243
Competence
210
28.53
74.83
50.0001
8.69341
Liking
210
21.81
68.96
49.9998
8.91089
Usia
210
4.00
47.00
21.9286
4.47424
Valid N (listwise)
210
Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat diketahui pertama-tama bahwa nilai minimum impulse buying sebesar = 30.38, nilai maksimum = 74.38, mean 49.9998, dan SD = 9.31704. Kedua variabel affectadalah 5.61 dengan nilai maksimum = 67.32, mean = 49.9999, dan SD = 913. Ketiga,kognitifmemiliki nilai minimum = 27.74, nilai maksimum = 72.20, mean = 49.9999, dan SD = 8.53502. Keempat,component normative memiliki nilai minimum = 21.73, nilai maksimum = 75.89, mean = 49.9997 dan SD = 9.11779. Kelima, componentinformational memiliki nilai minimum = 30.13, nilai maksimum = 66.14, mean = 50.0010, dan SD = 7.39243. Keenam, self-competence memiliki nilai minimum = 28.53, nilai maksimum = 74.83, mean = 50.0001, dan SD = 8.69341. Ketujuh, self-liking memiliki nilai minimum = 21.81, nilai maksimum = 68.96, mean = 49.9998, dan SD = 8.91089. Kedelapan, usia memiliki nilai minimum = 4.00, nilai maksimum = 47.00, mean = 21.9286, dan SD = 4.47424. Nilai terendah dari tabel di atas
68
adalahvariabel usia sedangkan nilai tertinggi didapat oleh variabel component normative. 4.3 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian Kategorisasi dalam penelitian ini dibuat menjadi dua kategori, yaitu tinggi dan rendah. Untuk mendapatkan norma kategorisasi tersebut
yaitu dengan
menggunakan pedoman sebagai berikut: Tabel 4.3 Pedoman Interpretasi Skor Norma
Rentang
Interpretasi
X ≥ Nilai Mean
>50
Tinggi
X< Nilai Mean
<50
Rendah
Setelah kategorisasi tersebut didapatkan, maka akan diperoleh nilai persentase kategori untuk variabel impulse buying, kognitif, affect, component informational, component normative, self-liking, self-competence dan faktor demografis (usia dan jenis kelamin). Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Variabel
Variable Impulse Buying Kognitif Affect Component Informational Component Normative Self-Liking Self-Competence
Frekuensi Tinggi Rendah 106 104 118 92 108 102 66 144 102 108 89 121 144 96
Presentase Tinggi Rendah 50.48 49.52 56.2 43.8 51.4 48.6 31.5 68.5 48.5 51.5 42.4 57.6 54.2 45.8
69
Berdasarkan data pada table 4.4, dapat dilihat bahwa skor pada variabelimpulse buying, kognitif, affect dan self-competence cenderung tinggi hal tersebut mungkin dapat terjadi karena seseorang berfikir terlebih dahulu ketika membeli suatu barang dan dapat mengontrol dirinya sehingga setelah melakukan pembelian tidak ada perasaan menyesal dan dapat menimbulkan kepuasan dalam dirinya setelah melakukan pembelian. Sedangkan component informational, component normative dan self-liking cenderung rendah. 4.4 Uji Hipotesis Penelitian Selanjutnya dilakukan uji hipotesis untuk mengetahui pengaruh antara masingmasing IV terhadap DV dalam penelitian ini.Analisisnya dilakukan dengan teknik multiple regression.Data yang dianalisis ialah faktor skor atau true score yang diperoleh dari hasil analisis faktor.Alasan digunakannya faktor skor ini adalah untuk menghindari dampak negatif dari kesalahan pengukuran. Pada tahapan ini dilakukan uji hipotesis dengan teknik analisis regresi berganda dengan menggunakan software SPSS 17.0.Dalam regresi ada 3 hal yang dilihat, yaitu melihat besaran R-square untuk mengetahui berapa persen (%) varian DV yang dijelaskan oleh IV, kedua apakah secara keseluruhan IV berpengaruh secara signifikan terhadap DV, kemudian terakhir melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing -masing IV. Pengujian
hipotesis
dilakukan
dilakukan
dengan
beberapa
tahapan.Langkah pertama peneliti melihat besaran R-square untuk mengetahui
70
berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh IV.Selanjutnya untuk tabel R square, dapat dilihat pada tabel 4.5. Tabel 4.5 Model summary analisis regresi
Model Summary Model 1
R a
.344
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
.118
.083
8.92095
a. Predictors: (Constant), jenis kelamin, component normatif, self-competence, usia, component informational, kognitif, affect, self-liking
Dari tabel 4.11, dapat kita lihat bahwa perolehan R-square sebesar 0.118 atau 11.8%. Artinya proporsi varians dari impulse buying yang dapat dijelaskan oleh semua independent variabel adalah sebesar 11.8%, sedangkan 88.2% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini. Hal ini terjadi dikarenakan ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang berperilaku tertentu.Dalam hal impulse buying, tentu terdapat banyak hal yang memprediksi terjadinya pembelian impulsif selain subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis yang dipakai.Jumlah pendapatan dan status pernikahan merupakan dua diantara faktor penyebab terjadinya impulse buying. Selain itu menurut beberapa penelitian display toko dan
packaging atau kemasan dapat
mempengaruhi terjadinya impulse buying. Karena ketika seseorang melihat kemasan dan penempatan barang yang menarik memungkinkan orang tersebut dengan mudah melihatnya dan membuat seseorang segera untuk membeli barang
71
tersebut. Selain itu adanya penawaran seperti diskon atau sale juga dapat mempengaruhi
seseorang
untuk
melakukan
pembelian
secara
impulsif.
Selanjutnya dianalisis dampak dari seluruh IV terhadap impulse buying.Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.6. Tabel 4.6 Tabel ANOVA pengaruh keseluruhan IV terhadap DV ANOVAb Model 1
Sum of Squares Regression
Df
Mean Square
2146.632
8
268.329
Residual
15996.243
201
79.583
Total
18142.875
209
F 3.372
Sig. .001a
a. Predictors: (Constant), jenis kelamin, component normatif, self-competence, usia, component informational, kognitif, affect, self-liking b. Dependent Variable: impulse buying
Jika melihat kolom ke-6 dari kiri dapat diketahui bahwa jika tabel signifikan (p < 0.05), maka hipotesis nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografisterhadap impulse buying ditolak. Artinya, ada pengaruh yang signifikan dari subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis terhadap impulse buying. Langkah terakhir adalah melihat koefisien regresi tiap independent variable. Jika nilai t> 1,96 maka koefisien regresi tersebut signifikan yang berarti bahwa IV tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap perilaku impulse buying. Adapun penyajiannya ditampilkan pada tabel 4.7.
72
Tabel 4.7Koefisien regresi -Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1 (Constant) Self-competence Self-liking
Standardized Coefficients
B 39.146 .021 -.098
Std. Error 5.062 .101 .099
Beta
Component informational
.345
Component normative Kognitif Affect Usia Jenis kelamin
a.
.068 -.064
T 7.733 .995 -.829
Sig. .000 .321 .408
.090
.145
2.136
.034
-.305
.073
-.0144
-2.167
.031
-.123 .021 .109 2.949
.081 .089 .145 1.316
-.082 .101 .071 .290
-1.230 1314 1.050 4.198
.220 .190 .295 .000
Dependent Variable: impulse buying
Dari tabel 4.7, untuk melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi yang dihasilkan, dengan melihat nilai sig pada kolom paling kanan (kolom ke6), jika P < 0.05, maka koefisien regresi yang dihasilkan signifikan pengaruhnya terhadap impulse buying dan sebaliknya. Dari hasil di atas hanya koefisien regresi component informational, component normative dan faktor demografis (jenis kelamin) saja yang signifikan, sedangkan sisa lainnya tidak signifikan. Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh pada masing-masing IV adalah sebagai berikut : 1. Variabel self-competence Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.068 dengan nilai signifikansi sebesar 0.321 (p >0,05), yang berarti variabel self competence tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap impulse buying. 2. Variabel self-liking Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.064 dengan nilai signifikansi sebesar 0..408 (p >0,05), yang berarti variabel self-liking tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap impulse buying.
73
3. Variabel component informational Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.0145 dengan nilai signifikansi sebesar 0.034 (p < 0,05), yang berarti component informational memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap impulse buying. Artinya semakin tinggi component informational maka semakin tinggipula impulse buying orang tersebut, begitupun sebaliknya. 4. Variabel component normative Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.0144 dengan nilai signifikansi sebesar 0.031 (p < 0,05), yang berarti component normativememiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap impulse buying.Artinya semakin tinggi component normative maka semakin rendah impulse buying orang tersebut, begitupun sebaliknya. 5. Variabel kognitif Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.082 dengan nilai signifikansi sebesar 0.220 (p > 0,05), yang berarti kognitif tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap impulse buying. 6. Variabel affect Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.101 dengan nilai signifikansi sebesar 0.190 (p > 0,05), yang berarti bahwa affect tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap impulse buying.
74
7. Variabel faktor demografis (usia) Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.071 dengan nilai signifikansi sebesar 0.295 (p > 0,05), yang berarti bahwa faktor demografis (usia) tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap impulse buying 8. variabel faktor demografis (jenis kelamin) Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.290 dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 (p < 0,05), yang berarti bahwa variabel faktor demografis (jenis kelamin) memiliki pengaruh positif
dan
signifikan terhadap
impulse buying. Artinya laki-laki dan perempuan secara bersama-sama berpengaruh terhadap impulse buying. Dengan demikian dapat disusun persamaan regresi pada impulse buying yaitu: Impulse buying = 39.146 + 0.068*self-competence - 0.064*self-liking +0.0145*componentinformational0.0144*componentnormative- 0.082*kognitif +0.101*affect + 0.071*usia + 0.290*jenis kelamin. 4.5 Proporsi Varian Selanjutnya, dianalisa bagaimana penambahan proporsi varians dari masingmasing independent variable (IV) terhadap impulse buying. Pada tabel 4.16 kolom pertama adalah IV yang dianalisis secara satu per satu, kolom kedua merupakan penambahan varians DV dari tiap IV yang dianalisis satu per satu, kolom ketiga merupakan nilai murni varians DV dari tiap IV yang dimasukkan secara satu per satu, kolom keempat adalah nilai F hitung bagi IV yang bersangkutan, kolom df
75
adalah derajat bebas bagi IV yang bersangkutan pula, yang terdiri dari numerator dan denumerator, kolom F tabel adalah kolom mengenai nilai IV pada tabel F dengan df yang telah ditentukan sebelumnya, nilai kolom inilah yang akan dibandingkan dengan kolom nilai F hitung. Apabila nilai F hitung lebih besar daripada F tabel, maka kolom selanjutnya, yaitu kolom signifikansi yang akan dituliskan signifikan dan sebaliknya. Besarnya proporsi varians pada impulse buyingdapat dilihat pada tabel 4.8. Tabel 4.8 Proporsi varians untuk masing-masing Independent Variable (IV) Model Summary Change Statistics Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
R Square Change
F Change
df1
df2
Sig. F Change
1
.023a
.001
-.004
9.33700
.001
.109
1
208
.741
2
.077b
.006
-.004
9.33454
.005
1.109
1
207
.293
3
.141c
.020
.006
9.29139
.014
2.927
1
206
.089
4
.167d
.028
.009
9.27501
.008
s1.728
1
205
.190
5
.182e
.033
.009
9.27342
.005
1.070
1
204
.302
6
.182f
.033
.005
9.29503
.000
.052
1
203
.819
7
.203g
.041
.008
9.28079
.008
1.623
1
202
.204
8
.344h
.118
.083
8.92095
.077
17.625
1
201
.000
a. Predictors: (Constant), afektif b. Predictors: (Constant), afektif, kognitif c. Predictors: (Constant), afektif, kognitif,normative d. Predictors: (Constant), afektif, kognitif,normatif, informational e. Predictors: (Constant), afektif, kognitif,normatif, informational, self-liking f. Predictors: (Constant), afektif, kognitif,normatif, informational, self-liking , self-competence g. Predictors: (Constant), afektif, kognitif,normatif, informational, self-liking , self-competence, usia h. Predictors: (Constant), afektif, kognitif,normatif, informational, self-liking, self-competence,usia, jenis kelamin
76
1. Variabel affectmemberikan sumbangan sebesar 0.1% terhadap varians impulse buying. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F Change = 0.109, df1 = 1 dan df2= 208 dengan Sig.F Change = 0.741 (p < 0,05). 2. Variabel kognitifmemberikan sumbangan sebesar 0.5% terhadap varians impulse buying. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F Change = 1.109, df1 = 1 dan df2= 207 dengan Sig.F Change = 0.293 (p < 0,05). 3. Variabel component normative memberikan sumbangan sebesar 1.4% terhadap varians impulse buying. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change = 2.927, df1 = 1 dan df2= 206 dengan Sig.F Change = 0.089 (p < 0,05). 4. Variabel component informationalmemberikan sumbangan sebesar 0.8% terhadap varians impulse buying. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change = 1.728, df1 = 1 dan df2= 205 dengan Sig.F Change = 0.190 (p > 0,05). 5. Variabel self-lkingmemberikan sumbangan sebesar 0.5% terhadap varians impulse buying. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F Change = 1.070, df1 = 1 dan df2= 204 dengan Sig.F Change = 0.302 (p < 0,05). 6. Variabel self-competencememberikan sumbangan sebesar 0.0% terhadap varians impulse buying. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F Change = 0.052, df1 = 1 dan df2= 203 dengan Sig.F Change = 0.819 (p < 0,05). 7. Variabel demografis (usia) memberikan sumbangan sebesar 0.8% terhadap varians impulse buying. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F
77
Change = 1.623, df1 = 1 dan df2= 202 dengan Sig.F Change = 0.204 (p > 0,05). 8. Variabel demografis (jenis kelamin) memberikan sumbangan sebesar 7.7% terhadap varians impulse buying. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change = 17.625, df1 = 1 dan df2= 201 dengan Sig.F Change = 0.000 (p > 0,05). Dengan demikian, terdapat tiga dari delapan IV, yaitu component informational, component normative dan factor demografis jenis kelamin yang mempengaruh impulse buying secara signifikan jika dilihat dari besarnya R2 yang dihasilkan dari sumbangan proporsi variabel yang diberikan.
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab ini, akan dipaparkan lebih lanjut hasil dari penelitian yang dilakukan. Bab ini terdiri dari kesimpulan, diskusi dan saran. 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data penelitian pada uji hipotesis mayor, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: “terdapat pengaruh yang signifikan dari subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografi terhadap impulse buying”. Selanjutnya, berdasarkan uji hipotesis minor yang menguji signifikansi masing-masing koefisien regresi terhadap dependent variable, diperoleh hanya terdapat tiga koefisien regresi yang signifikan mempengaruhi impulse buying yaitu dimensi component informational, component normative dan factor demografis (jenis kelamin).Dengan demikian terdapat tiga hipotesis yang diterima yaitu terdapat pengaruh yang signifikan dari dimensi component informational, component normative dan faktor demografis (jenis kelamin) terhadap impulse buying.
78
79
5.2 Diskusi Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian hipotesis, didapatkan bahwa terdapat pengaruh yang signifkan dari variabel social influence yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan
impulse buying. Social
influenceadalah kecenderungan seseorang untuk belajar tentang produk dan jasa dengan mengamati, mencari informasi agar sesuai dengan harapan orang lain (Bearden dalam Bearden et.al., 1992). Hal ini menunjukkan bahwa, konsumen dalam melakukan pembelian mudah terpengaruh oleh lingkungan atau orang lain. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh David et.al.(2008) dimensi-dimensi social influence yaitu component informational dan component normative, ternyata keduanya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap impulse buying. Hasil penelitian menunjukan bahwa dimensi component informational memiliki pengaruh signifikan terhadap impulse buying. Hal tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh David et.al.(2008) bahwa component informational memiliki pengaruh signifikan tetapi berhubungan negative dengan impulse buying. Artinya semakin tinggi component informational maka semakin rendah impulse buying orang tersebut, begitupun sebaliknya jika semakin rendah component informational yang seseorang peroleh dari orang lain maka semakin tinggi impulse buying orang tersebut. Dalam penelitian ini hasil koefisien regresi component informational
80
menunjukkan signifikansi yang positif sehingga dapat dikatakan jika semakin banyak informasi yang didapat dari orang lain maka impukse buying orang tersebut juga meningkat, begitupun sebaliknya Selanjutnya dimensi component normative memiliki pengaruh signifikan terhadap impulse buying.Artinya terdapat kecenderungan bahwa individu yang memiliki component normativetinggi maka akan dengan mudah terpengaruh oleh dukungan orang lain. Hal ini tidak sesuaidengan penelitian yang dilakukan olehDavid et.al (2008) bahwa component normative memiliki hubungan signifikan yang positif terhadap impulse buying. Component normative mencangkup kurangnya rasa percaya diri yang mengarah pada ketergantungan orang lain untuk memutuskan apa yang "benar" atau "terbaik." Sehingga dalam melakukan pembelian suatu barang, seseorang cenderung akan merasa perlu untuk mendapatkan persetujuan lingkungannya mengenai keputusan terbaik yang akan diambil oleh orang tersebut.Hal tersebut dapat terjadi karena dalam melakukan pembelian seseorang mudah terpengaruh oleh orang lain. Dalam penelitian ini component normative memiliki koefisien regresi yang negatif berarti jika seseorang yang memiliki component normative yang tinggi maka impulse buying orang tersebutcenderungtinggi pula, begitupun sebaliknya.
81
Kemudian, faktor demografis yang berpengaruh terhadap impulse buying hanyajenis kelamin.Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan olehČinjarević (2010)menunjukkan bahwafaktor demografijenis kelamin, usia dan
status
perkawinan,
dalamkecenderunganmembeli
menghasilkanperbedaan impuls.
yang
signifikan
Impulsebuyingbiasanyatampakjelas
pada perbedaan gender. Temuanyang paling banyak dilaporkanadalahbahwa perempuancenderung melakukanpembelian dari pada pria. Temuan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Widawati (2011) bahwa sejalan dengan sifat wanita yangmenyenangi belanja, maka dibanding sampel laki-laki,konsumen wanita tetap memilikikecenderungan impulse buyingtinggi yang lebihbanyak dibanding konsumen laki-laki. Sisi emosiyang cenderung mendominasi perasaan dan pikiranwanita menjadi sumber mengapa mereka menjadimudah tergugah oleh stimulasi dari lingkunganyang ditawarkan, sekalipun
mereka
menyadaribahwa
barang-barang
tersebut
belum
tentudibutuhkan. Tetapi dalam penelitian ini peneliti tidak menggunakan metode analisis yang sama, sehingga hanya diambil kesimpulan secara menyeluruh bahwa jenis kelamin mempengaruhi impulse buying dan tidak diketahui besarannya masing-masing. Hal tersebut dilakukan peneliti karena jumlah sampel wanita yang lebih dominan dibandingkan laki-laki sehingga tidak
82
dapat dilakukan perbandingan diantara keduanya dan hal tersebut merupakan salah satu kelemahan dalam penelitian ini. Dimensi subjective well-being yang tidak signifikan yaitu dimensi kognitif dan dimensi afektif.Hasil penelitian ini berarti bahwa seseorang melakukan pembelian karena mereka merasakan kepuasan terhadap hal tertentu dalam hidup mereka bukan karena adanya dorongan perasaan untuk membeli barang tanpa adanya perencanaan sebelumnya atau impulse buying.Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Diener et.al.(1997) yaitu suatu aspek afektif dan kognitif individu dimana mereka merasakan kepuasan terhadap aspek-aspek tertentu dari kehidupan mereka. Selain itu dimensi self-esteem yang tidak signifikan adalah self-liking danself-competence.Berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwaself-esteem yang berarti penilaian individu terhadap dirinya dan kurangnya kontrol individu tersebut, tidak berpengaruh terhadap impulse buying. Karena adanya dorongan dalam membeli suatu barang yang dilakukan oleh seseorang tidak hanya berasal dari persetujuan dalam diri orang tersebut saja, tetapi banyak hal lain yang dapat mendorong orang tersebut untuk melakukan pembelian. Misalnya ketidaksungguhan responden dalam mengisi angket, hal tersebut dapat terjadi karena tujuan utama mereka datang ke ritel untuk melakukan pembelanjaan.Selain itu seseorang membutuhkan kenyamanan dalam
83
melakukan pembelian, kenyamanan tersebut tidak hanya datang dari dalam dirinya saja tetapi bisa juga kenyamanan dari lingkungan dimana orang tersebut
melakukan
pembelian.Suasana
toko
yang
tidak
nyaman
dapatmenyebabkan seseoranguntuk lebih banyak melakukan pembelian.Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmasari (2010) bahwa element-element yang ada dalam store environtment, dapat memicu atau menggerakkan pelanggan untuk membeli lebih banyak barang di luar rencana mereka.Oleh sebab itu hal diatas merupakan keterbatasan dalam penelitian ini, ketidaknyamanan suatu tempat pembelanjaan dan kurangnya kontrol dalam berbelanja dapat memicu timbulnya impulse buying. Kemudian faktor demografis yang tidak signifikan yaitu usia. Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan olehČinjarević (2010) bahwafaktor
demografijenis
menghasilkanperbedaan
yang
kelamin,
usia
signifikan
dan
status
perkawinan,
dalamkecenderunganmembeli
impuls.Hasil tes Bonferroni menunjukkanperbedaan yang signifikanstatistik dalamkecenderunganmembeli impulsdi antarakonsumendengan usia 18dan2, dankonsumendarisemua
kelompokusia
inimenunjukkankecenderungan buyingdibandingkan
yang
dengankelompokusia
lainnya, lebih
di
manakonsumen
tinggiterhadapimpulse
lainnya.
Temuan
inimirip
dengantemuanWood(dalam Činjarević, 2010), yang menemukan hubungan terbalik antaraperilaku pembelianimpulsifdantingkat usia.
84
Hal yang patut dicatat berdasarkan adanya keunikan dari hasil penelitian, yaitu tidak signifikannya variabel subjective well-being, selfesteem dan faktor demografis (usia). Hal ini terjadi dikarenakan adanya beberapa keterbatasan atau kelemahan dalam penelitian. Antara lain partisipan yang kurang serius saat mengisi skala sehingga respon menjadi tidak terpola, atau kondisi serta situasi pada saat partisipan mengisi skala yang tidak kondusif
menyebabkan
partisipan
menjadi
tidak
konsentrasi
dalam
memberikan responnya, atau dapat juga dikarenakan oleh banyaknya item dan tidak semua item mencakup konsep yang bisa dimengerti secara jelas oleh partisipan. Pada penelitian ini ternyata pengaruh keseluruhan IV (subjective wellbeing, social influence, self-esteem dan faktor demografis) terhadap DV (impulse buying ) hanya 11.8%. Hal ini membuktikan bahwa masih banyak variabel lain di luar penelitian ini yang ikut mempengaruhi impulse buying. Hal demikian bisa terjadi karena dalam penelitian ini hanya diteliti empat IV saja, sehingga variabel lain yang mungkin ikut berpengaruh tidak ikut diteliti. 5.3 Saran Pada bagian ini, saran dibagi menjadi dua, yaitu saran metodologis dan saran praktis.Penulis memberikan saran secara metodologis sebagai bahan pertimbangan untuk perkembangan penelitian selanjutnya.Selain itu, peneliti
85
juga menguraikan saran secara praktis sebagai bahan kesimpulan dan masukan bagi pembaca sehingga dapat mengambil manfaat dari penelitian ini. 5.3.1 Saran Metodologis 1. Pada penelitian ini, sampel yang digunakan hanya konsumen ritel di Jl.Otista Raya Ciputat. Oleh karena itu pada penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan sampel dari cabang ritel yang lebih luas. 2. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih beragam, variabel lain yang tidak terdapat dalam peelitian ini, seperti lingkungan fisik, atmosfir suatu toko dan factor demografis lainnyauntuk mengetahui pengaruhnya terhadap impulse buying. Hal ini karena lingkungan fisik suatu toko dapat menentuskan kesenangan konsumen untuk berbelanja. 5.3.2 Saran Praktis 1. Bagi akademisi, sebaiknya diadakan seminar mengenai impulse buying dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari, sehingga terhindar dari impulse buying. 2. Pada penelitian ini ditemukan bahwa dimensi dari social influence signifikan mempengaruhi impulse buying. Maka disarankan seseorang yang melakukan pembelian dapat mengendalikan dirinya agar tidak mudah terpengaruh oleh lingkugan sosialnya seperti iklan, promosi atau diskon.
DAFTAR PUSTAKA
Adiprasetyo, P. (2011). Pengaruh personality needs terhadap kepuasan pelanggan. Skripsi Sarjana, tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri: Jakarta. Antasari & Sahrah. Hubungan antara konformitas dengan perilaku membeli impulsif pada remaja putri. Fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggala: Yogyakarta. Bearden, W.O., Netemeyer, R.G., & Teel, J.E. (1989). “Measurement of consumer susceptibility to interpersonal influence”. Journal of Consumer Research. 15, 473-81. Bearden, W.O., Netemeyer, R.G., & Teel, J.E. (1992). Consumer susceptibility to interpersonal influence and atributional sensitivity. Psychology & Marketing: ProQuest Psychology Journals. 9(2), 379.
Beatty, S.E., & Ferrel, M.E. (1998). Impulse buying: Modeling its precursors. Journal of Retailing. 72(2), 169-191. Činjarević, M.M. (2010). Cognitive and affective aspect of impulse buying. Sarajevo Business and Economics Review. 30, 168- 184. Coley, A.L. (2002). Affective and cognitive processes involved in impulse buying. Thesis S2, tidak diterbitkan. BSFCS: The University of Georgia. Engel, F., Blackwell, Roger, Paul, Miniard. (1990). Consumer behavior.(6th. Ed). The Dryden Press. David, H. S. Anne, M. L and Fredric, K. (2008) Impulse buying: The role of affect, social influence, and subjective wellbeing. Journal of Consumer Marketing. 25(1), 23–33. Dawson. S., & Kim, M. (2009). External and internal trigger cues of impulse buying online. International Journal. 3(1), 20-34. Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., & Griffin, S. (1985). The satisfaction with life scale. Journal of Personality Assessment. 49, 71-75. Diener, Ed, Lucas, Richard. E., & Oishi, S. (2005). Subjective well-being : The science of happiness and life satisfaction. dalam C.R. Snyder & SJ. Lopez (edtr.), Handbook of Positive Psychology (hal 63-73). New York: Oxford University Press.
Diener, Suh & Oishi. (1997). Recent findings on subjective well-being. Indian Journal of Clinical Psycholog. 24 (1), 25-41. Dincer, C. (2010). The influence of affect and cognition on impulse buying. Social Responsibility Journal and Review of Social, Economic and Business Studies. 9(33), 153-158. Guidon, M. (2009). Self-esteem across the lifespan issues and interventions. Taylor & Francis Group 270 Madison Avenue New York, NY 10016. Hoffmann, A.O.I., & Broekhuizen. T.L.J. Susceptibility to interpersonal influence in an investment context. Department of Strategy and Innovation, Faculty of Economics and Business. Thesis, tidak diterbitkan University of Groningen. Kacen, J.J., & Anne, L.J. (2002). The influence of culture on consumer. Journal of Consumer Psychology. 12(2), 163–176. Kelman, H.C. (1958). Compliance, identification, and internalization: Three processes of attitude change. J. Conflict Resolut. 2(1), 51–60. Kropp, L., & Silvera. (2005). Values and collective self-esteem as predictors of consumers susceptibility to interpersonal influence among university student. International Marketing Review. 22(1), 7-33. Lin, C.H., & Lin, H.M. (2005). An exploration of taiwanese adolescents impulsive buying tendency. Academic Research Library. 40(157), 215-223. Loudon, DL & Bitta, AJ. (1993). Consumer behavior concept and application. 4th ed. Singapore: McGraw Hill. Madhavaram & laverie. (2004). Exploring impulse purchasing on the Internet. Advances in Consumer Research. 31(61), 59-66. Minchington, J. (1993). Maxium self esteem : The handbook for reclaiming your sense of self worth. Kuala lumpur : Golden Books Center Sdn, Bhd. Muruganantham, G., & Shankar, B.R. (2013). A Review of impulse buying behavior. International Journal of Marketing Studies. 5(3), 149-160. O’Guinn, T., & Faber, R. (1989). Compulsive buying: A phenomenological exploration. Journal of Consumer Research.16(2), 147.
Rahmasari, L. (2010). Menciptakan impulse buying. Majalah Ilmiah informatika. 1(3), 56-68.
Rook, D.W. (1987). The buying impulse. Journal of Consumer Research. 14(2), 189199. Rook, D., & Hoch, S. (1985). Consuming impulses. Advances in Consumer Research, 7(1), 23-27.
Soeseno, B. (2011). Pengaruh in-store stimuli terhadap impulse buying behavior konsumen hypermarket dijakarta. Ultima Management. 3(1), 31-52.
Stern, H. (1962). The significance of impulse buying today. Journal of Marketing. 26(2), 59-62. Tafarodi, R.W., & Swann, W.B. Jr. (1995). Self-liking and self-competence as dimensions of global self-esteem: initial validation of a measure. Journal of Personality Assessment. 65(2), 322-342. Tafarodi, R.W., & Swann, W.B. Jr. (2001). Two-dimensional self-esteem: Theory and measurement. Personality and Individual Differences. 31, 653-73. Zagenczyk, T.J. (2006). A social influence analysis of perceive organizational Support). University of Pittsburgh, ProQuest, UMI Dissertations Publishing, 3224069. 1-115 Verplanken, B., & Herabadi, A.G. (2001). Individual differences in impulse buying tendency: feeling and no thinking.” European Journal of Personality. 5(1), 571-583. Watson, D., Clark, L.A., & Tellegen, A. (1988). Development and validation of brief measures of positive and negative affect: The PANAS scales, Journal of Personality and Social Psychology. 54(10), 63-70. Widawati, L. (2011). Analisis perilaku “impulse buying” dan “locus of control” pada Konsumen di Carrefour Bandung. 2, 125-132. (http://www.antaranews.com/berita/264056/nielsen-pebelanja-makin-impulsif).