PENGARUH TOTALITAS KERJA, TUNTUTAN KERJA DAN SUMBER DAYA PRIBADI TERHADAP SUBJECTIVE WELLBEING Skripsi Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Disusun oleh : Melina Eriadya 1110070000159
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014M
ABSTRACT (A)
Faculty Of Psychology, Islamic State University Jakarta
(B)
September 2014
(C)
Melina Eriadya
(D)
xiv + 111 pages +attachments
(E)
The Effect of Work Engagement, Job Demands and Personal Resources On Subjective Wellbeing
(F)
Subjective well-being of employees is a hot topic in the life of the organization and has been the focus and attention of the public. This study aims to determine the effect of the work engagement, job demands and personal resources to Subjective wellbeing. This study used a sample of 431 Civil Service Ministry of Social Affairs of the Republic of Indonesia.Uji validity of each item was conducted by CFA (Confirmatory Factor Analysis) using LISREL software version 8.70. Then to see the effect of independent variables on Subjective wellbeing, researchers using multiple regression analysis (multiple regression analysis). Based on the data analysis, there is the influence ofwork engagement, job demands and personal resources to Subjective wellbeing. Furthermore, in this study there are only two independent variables which provide signifikn influence on Subjective wellbeing, the dedication or dedication and optimism. Thus, it can be said that there is a significant effect of dedication or dedication and optimism of the Subjective wellbeing. Then if viewed by a donation from each vriabel, it turns out there are three variables were significant contributions. These variables include absorption, dedication and optimism.
(G)
Reading list: 20 books, 47 journal
v
ABSTRAK (A)
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
{B)
September 2014
(C)
Melina Eriadya
(D)
xiv + 111 halaman + lampiran
(E)
Pengaruh Totalitas Kerja, Tuntutan Kerja dan Sumber Daya Pribadi Terhadap Subjective Wellbeing
(F)
Subjective well-being karyawan merupakan topik yang hangat dalam kehidupan organisasi dan telah menjadi fokus dan perhatian masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh totalitas kerja, tuntutan kerja dan sumber daya pribadi terhadap subjective wellbeing. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 431 Pegawai Negeri Sipil Kementerian Sosial Republik Indonesia.Uji validitas masing-masing item dilakukan dengan metode CFA (Confirmatory Factor Analysis) menggunakan software LISREL versi 8.70. Kemudian untuk melihat pengaruh variabel-variabel independen terhadap subjective wellbeing, peneliti menggunakan analisis regresi berganda (multiple regression analysis). Berdasarkan analisis data yang dilakukan, terdapat pengaruh totalitas kerja, tuntutan kerja dan sumber daya pribadi terhadap subjective wellbeing. Selanjutnya, pada penelitian ini hanya terdapat dua variabel independent yang memberikan pengaruh signifikn terhadap subjective wellbeing, yaitu dedication atau dedikasi dan optimisme. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari dedication atau dedikasi dan optimisme terhadap subjective wellbeing. Kemudian jika dilihat berdasarkan sumbangan dari masing-masing vriabel, ternyata terdapat tiga variabel yang signifikan sumbangannya. Variabelvariabel tersebut antara lain absorption, dedication dan optimisme.
(G)
Daftar Bacaan: 20 buku, 47 jurnal
vi
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahirabbil „alamin, puji dan syukur Peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan kasih sayang yang diberikan-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul “PENGARUH TUNTUTAN KERJA DAN SUMBER DAYA PRIBADI TERHADAP SUBJECTIVE WELLBEING DENGAN TOTALITAS KERJA SEBAGAI VARIABEL MEDIATOR” Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, berikut para keluarga dan sahabat. Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini Peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Abdul Mujib M.Ag, M.Si. Terima kasih atas ilmu dan dedikasinya selama ini.
2.
Bapak Dr. Abdul Rahman Saleh, M.Si, sebagai dosen pembimbing I Terima kasih telah membimbing peneliti semenjak KKL hingga penelitian ini selesai, terimakasih kasih atas segala dukungan, bimbingan, arahan dan kritik, serta saran yang membangun bagi peneliti, dan waktu yang diberikan selama bimbingan.
3.
Bapak Miftahuddin,M.Si., sebagai dosen pembimbing II Terima kasih atas segala dukungan, bimbingan, arahan, kritik, serta saran yang membangun bagi peneliti, dan waktu yang diberikan selama bimbingan hingga selesainya penelitian ini.
4.
Para responden karyawan Kementerian Sosial serta Pak Wiwid dan mas Ian selaku Kepala Bagian Biro Kepegawaian Kementiran Sosial dan pamong peneliti, yang telah menolong peneliti dalam penelitian ini .Terimakasih
vii
karena telah meluangkan waktu, bersedia mengisi kuesioner dan membantu peneliti. Semoga kebaikan kalian dibalas oleh Allah SWT. Amin. 5.
Ibu Zulfa, sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membantu, mendukung dan memberi masukan selama masa perkuliahan. Terimakasih atas saran dan perhatian yang telah diberikan selama ini.
6.
Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Terima kasih telah banyak membantu Peneliti selama menjalani perkuliahan hingga selesai.
7.
Bapak Ridwan dan Ibu Endang Rahayu selaku orang tua peneliti. Terima kasih yang tak terhingga untuk setiap dukungan, kasih sayang dan kesabaran serta segala doa yang tak henti-hentinya dipanjatkan untuk putri tercinta, sehingga terciptanya penelitian ini sampai selesai.
8.
Resti Deviani selaku kakak bagi peneliti. Terimakasih atas segala dukungannya, doanya, waktunya, dan ilmunya yang tidak pernah lelah untuk dibagi kepada peneliti hingga penelitian ini selesai.
9.
Semua sahabat terdekat, my luvly alge Baiamal Marissa I.L, Fisqiyatul Rohmah, Khaleda Mutiasari, Rahmania, Saidah C.H, Selvy Rhahmadia, Shentia Rewena Lase, Rosalina Baruz, Winda Natasya. Thanks for being my best guys, luv!
10. Ka Puty, my angel, my hero, terima kasih atas segala bantuannya selama ini kepada peneliti yang sudah sabar membantu, meluangkan waktu, membagi ilmu dan mengajarkan peneliti dalam proses penyelesaian skripsi ini. I luv u! 11. Teman seperjuangan bimbingan skripsi dan geng rumpi Tiara Dean Risa, Sabrina Dwi Maidah yang dari awal sampai akhir penulisan skripsi selalu menemani, memberikan support kepada peneliti, semua teman seperpayungan yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, my sweet gengs Nashwa, Tenry, Amira, Rahma, Yunita, Maul, Aniq dan teman-teman kelas D 2010 yang telah memberika perhatian, keceriaan, canda dan tawa selama berada di kelas maupun luar kelas. Terimakasih atas waktu dan kebersamaan selama ini, peneliti bangga menjadi warga kelas D.
viii
Akhir kata, Peneliti memohon kepada Allah SWT agar seluruh dukungan, bantuan, bimbingan dapat dikabulkan dan dibalas dengan balasan yang sebaikbaiknya. Selain itu melihat kekurangan dan keterbatasan Peneliti, maka segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan sebagai bahan penyempurnaan penelitian ini.
Jakarta, 12 September 2014
Peneliti
ix
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Pembimbing
ii
Lembar Pengesahan Panitia Ujian
iii
Lembar Orisinalitas
iv
Abstrak
v
Kata Pengantar
vii
Daftar Isi
x
Daftar Tabel
xiii
Daftar Gambar
xiv
BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah
1
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah
11
1.2.1 Pembatasan Masalah
11
1.2.2 Perumusan Masalah
12
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
12
1.3.1 Tujuan Penelitian
13
1.3.2 Manfaat Penelitian
13
1.3.2.1 Manfaat Teoritis
13
1.3.2.2 Manfaat Praktis
13
1.4 Sistematika Penulisan
13
BAB 2 Landasan Teori 2.1 Subjective Wellbeing
15
2.1.1 Pengertian Subjective Wellbeing
15
2.1.2 Komponen-komponen Subjective Wellbeing
17
2.1.2.1 Afek Positif dan Afek Negatif
18
2.1.2.2 Kepuasan Hidup (Life Satisfaction)
19
x
2.1.2.3 Kepuasan Terhadap Ranah Kehidupan (Domain Satisfaction)
21
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Wellbeing
23
2.1.4 Pengukuran Subjective Wellbeing
25
2.2 Totalitas Kerja
27
2.2.1 Pengertian Totalitas Kerja
28
2.2.2 Aspek-aspek Totalitas Kerja
28
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Totalitas Kerja
32
2.2.4 Pengukuran Totalitas K erja
33
2.3 Tuntutan Kerja
33
2.3.1 Pengertian Tuntutan Kerja
33
2.3.2 Aspek-aspek Tuntutan Kerja
34
2.3.3 Pengukuran Tuntutan Kerja
36
2.4 Sumber Daya Pribadi
36
2.4.1 Pengertian Sumber Daya Pribadi
36
2.4.2 Aspek-aspek Sumber Daya Priadi
37
2.4.3 Alat Ukur Sumber Daya Pribadi
39
2.5 Kerangka Berpikir
41
2.6 Hipotesis
45
BAB 3 Metode Penelitian 3.1 Populasi dan Sampel
46
3.2 Variabel Penelitian
47
3.3 Definisi Operasional
48
3.4 Instumen Pengumpulan Data
50
3.5 Uji Validitas Konstruk Instrumen Pengumpulan Data
54
3.5.1 Uji Validitas Konstruk Skala Subjective Wellbeing
57
3.5.2 Uji Validitas Konstruk Skala Totalitas Kerja
58
xi
3.5.2.1 Vigor
58
3.5.2.2 Dedication
60
3.5.2.3 Absorption
62
3.5.3 Uji Validitas Konstruk Skala Tuntutan Kerja
64
3.5.3.1 Workload
64
3.5.3.2 Emotional Demands dan Emotionl Dissonance
66
3.5.4 Uji Validitas Konstruk Skala Sumber Daya Pribadi
68
3.5.4.1 Optimisme
68
3.5.4.2 Self-Efficacy
70
3.5.4.3 Self-Esteem
72
3.6 Prosedur Pengumpulan Data
73
3.7 Teknik Analisis Data
74
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Responden Penelitian
77
4.2 Analisis Deskriptif
79
4.3 Kategorisasi Variabel Penelitian
80
4.4 Hasil Uji Hipotesa
84
BAB 5 Kesimpulan, Diskusi, dan Saran 5.1 Kesimpulan
95
5.2 Diskusi
95
5.3 Saran
103
5.3.1 Saran Teoritis
103
5.3.2 Saran Praktis
103
DAFTAR PUSTAKA
105
xii
DAFTAR TABEL Tabel 3.1.
Blue Print Skala Subjective Wellbeing
51
Tabel 3.2.
Blue Print Skala Totalitas Kerja
51
Tabel 3.3
Blue Print Skala Tuntutan Kerja
53
Tabel 3.4
Blue Print Skala Sumber Daya Pribadi
54
Tabel 3.5
Muatan Faktor Item Subjective Wellbeing
58
Tabel 3.6
Muatan Item Vigor
60
Tabel 3.7
Muatan Item Dedication
62
Tabel 3.8
Muatan Item Absorption
64
Tabel 3.9
Muatan Item Workload
66
Tabel 3.10
Muatan Item Emotional Demands dan Emotional Dissonance
67
Tabel 3.11
Muatan Item Optimisme
69
Tabel 3.12
Muatan Item Self-Efficacy
71
Tabel 3.13
Muatan Item Self Esteem
73
Tabel 4.1
Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat pendidikan dan Status Perkawinan
77
Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Jumlah Penghasilan dan Lama Bekerja
78
Tabel 4.3
Deskripsi Statistik Variabel Penelitian
80
Tabel 4.4
Pedoman Interpretasi Skor
81
Tabel 4.5
Kategorisasi Skor Variabel Penelitian
81
Tabel 4.6
Model Summary Analisis Regresi
84
Tabel 4.7
Anova Pengaruh Keseluruhan IV Terhadap DV
85
Tabel 4.8
Koefisien Regresi
86
Tabel 4.9
Proporsi Varians untuk Masing–Masing Independent
Tabel 4.2
Variable
91
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1
Bagan Kerangka Berpikir
44
Gambar 3.1
Uji Validitas Konstruk Skala Subjective Wellbeing
57
Gambar 3.2
Uji Validitas Konstruk Vigor
59
Gambar 3.3
Uji Validitas Konstruk Dedication
61
Gambar 3.4
Uji Validitas Konstruk Absorption
63
Gambar 3.5
Uji Validitas Konstruk Workload
65
Gambar 3.6
Uji Validitas Konstruk Emotional Demands dan Emotional Dissonance
67
Gambar 3.7
Uji Validitas Konstruk Optimisme
69
Gambar 3.8
Uji Validitas Konstruk Self-Efficacy
70
Gambar 3.9
Uji Validitas Konstruk Self Esteem
72
xiv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Well-being adalah istilah umum untuk menggambarkan kondisi individu atau kelompok, misalnya kondisi sosial, ekonomi, psikologis, rohani atau medis seseorang. Well-being yang tinggi berarti bahwa individu atau kelompok memiliki pengalaman yang positif, sementara well-being yang rendah dikaitkan dengan keadaan atau kondisi yang negatif. Walaupun tidak ada definisi yang jelas tentang well-being, well-being dapat didefinisikan sebagai “a special case for attitude” (Guttman, Levy, Louis dan Shlomit, 1982). Well-being itu terbagi dalam dua yaitu subjective well-being dan objective well-being. Subjective well-being adalah evaluasi-evaluasi kognitif dan afektif seseorang dalam hidupnya. Evaluasi-evaluasi tersebut terdiri dari reaksi-reaksi emosi yang dijadikan sebagai penilaian kognitif dalam kepuasan dan pemenuhan. Sedangkan teori objective well-being biasanya didukung oleh daftar persyaratan yang harus dipenuhi orang untuk menjalani kehidupan yang baik, suatu kebutuhan universal dan tidak berbeda di antara masyarakat. Objective well-being berhubungan dengan kepuasan akan kebutuhan dasar. Seperti untuk karakteristik rumah, hal yang perlu dipertimbangkan berkaitan dengan air minum yang bagus, listrik dan kebersihan. Sedangkan dalam hal hubungannya dengan pendidikan seperti frekuensi
1
2
hadir sekolah, tipe sekolah, lokasi sekolah, model transport yang digunakan dan berapa lama jarak yang ditempuh (Royo & Jackeline, 2005). Pada penelitian ini, peneliti lebih fokus kepada subjective well-being agar penelitian tidak terlalu luas. Karena subjective well-being lebih menggambarkan individu mengenai kesejahteraannya secara spesifik dan secara menyeluruh mengenai kepuasan hidup secara subjektif dibandingkan dengan objective well-being yang cenderung lebih bersifat kebutuhan universal dan tidak berbeda di antara masyarakat. Subjective wellbeing merupakan sebuah konsep yang luas yang meliputi emosi yang menyenangkan, rendahnya level mood negatif, dan tingginya kepuasan hidup. Pengalaman positif pada tingginya subjective wellbeing adalah konsep pokok dari positif psikologi karena dapat membuat hidup individu berharga. Subjective wellbeing dapat diukur dengan happiness dan life satisfaction atau kepuasan hidup (Diener, Lucas, Oishi, 2005). Menurut Seligman, Parks & Steen (2004) happiness didefinisikan sebagai “very thing which makes life worth living” atau banyak hal yang membuat hidup layak untuk ditinggali. Sementara Diener memandang bahwa subjective wellbeing merupakan penilaian secara global terhadap kepuasan hidup, berdasarkan pendekatan ini pengetahuan dari subjective wellbeing dilihat dari penilaian individu secara global terhadap kepuasan hidup dan kualitas hidup individu (Diener, 1984; 1994; 2000; Diener, Lucas, Oishi, 2002; Diener, Suh, Smith, 1999; Diener et al., 2005). Subjective wellbeing mengacu pada evaluasi diri dari kepuasan hidup (Robbins & Kliewer, 2000). Pada penelitian ini, peneliti lebih menekankan pada subjective wellbeing yang
3
ditinjau berdasarkan evaluasi diri dari kepuasan hidup. Ketika subjective wellbeing dinilai, apa yang dinilai adalah bagaimana orang berpikir dan merasakan kehidupan mereka. Selanjutnya, subjective well-being karyawan merupakan topik yang hangat dalam kehidupan organisasi (Grant et al., 2007) dan telah menjadi fokus dari masyarakat dan perhatian media (Farid dan Lazarus, 2008). Atas dasar inilah penulis mencoba untuk melakukan penelitian tentang subjective well-being dikalangan karyawan yang ada di Indonesia. Karyawan yang wellbeing adalah karyawan yang bahagia. Carr (2004) mengatakan bahwa kebahagiaan dapat disetarakan dengan istilah subjective wellbeing. Menurut pendapat Diener dan Lucas (1999) subjective well-being adalah evaluasi individu tentang kehidupannya, termasuk penilaian kognitif terhadap kepuasan hidupnya serta penilaian afektif terhadap emosinya. Subjective well-being dapat diketahui dari ada atau tidaknya perasaan bahagia (Diener dan Lucas, 1999). Banyak orang yang merasa puas dengan penghasilan yang didapat sehingga dapat merasakan kesenangan dan ketenangan dalam hidupnya, namun ada juga yang merasa tidak pernah puas dengan penghasilan yang didapat, sehingga tidak dapat merasakan kesenangan dan ketenangan dalam hidupnya. Subjective well-being merupakan konsep yang meliputi emosi, pengalaman menyenangkan, rendahnya tingkat mood negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi. Subjective well-being terdiri dari tiga aspek pembangun yaitu afek positif dan afek negatif serta kepuasan hidup. Afek positif dan negatif merupakan bagian dari aspek
4
afektif, sedangkan kepuasan hidup merupakan aspek yang merepresentasikan aspek kognitif individu. Diener, et.al (dalam Eid dan Larsen, 2008) menambahkan kepuasan terhadap domain spesifik sebagai salah satu aspek subjective well-being. Komponen kognitif subjective well-being meliputi kepuasan hidup secara keseluruhan dan kepuasan terhadap domain spesifik dalam kehidupan individu. Individu dengan subjective well-being yang tinggi menilai hidupnya secara positif dan merasakan kegembiraan dan kebahagiaan. Individu memiliki subjective well-being yang tinggi jika merasakan kepuasan hidup dan kesenangan yang lebih sering dan sedikit sekali merasakan emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan atau kemarahan. Sedangkan individu dengan subjective well-being yang rendah adalah individu yang merasakan sedikit sekali kesenangan, serta lebih sering merasakan emosi negatif seperti kemarahan dan rasa cemas. subjective well-being fokus kepada keseimbangan antara pengalaman mood positif dan negatif setiap harinya dan jumlah kepuasan yang secara umum dirasakan mengenai hidupnya (Diener, Scollon dan Lucas, 2003). Kepuasan hidup secara umum merupakan penilaian individu terhadap kehidupannya, sedangkan kepuasan domain merupakan evaluasi individu terhadap domain-domain spesifik individu. Domain-domain spesifik ini meliputi kesehatan, keuangan, pekerjaan, kekayaan, pernikahan hingga hubungan pertemanan yang dijalani oleh individu. Aspek afektif mengacu pada afek dominan yang dirasakan individu yang akan mempengaruhi tingkat subjective well-being (Diener, Scollon dan Lucas, 2003).
5
Subjective well-being pada karyawan menjadi penting untuk diteliti karena memiliki pengaruh terhadap banyak aspek psikologi. Russell (2008) menyimpulkan bahwa subjective well-being memiliki pengaruh yang positif terhadap kinerja (work performance) dan kepuasan kerja. Artinya semakin tinggi subjective well-being, maka semakin tinggi pula kinerja (work performance) dan kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Soini, Aro & Niemivirta (2007) menyimpulkan bahwa subjective well-being memiliki pengaruh positif terhadap self-improvement (pengembangan diri) serta achievement goal orientation. Artinya semakin tinggi subjective well-being, maka semakin tinggi pula self-improvement (pengembangan diri) serta achievement goal orientation. Terdapat berbagai penelitian tentang subjective well-being misalnya oleh Diener dan Diener (1996) dalam laporan penelitiannya yang meneliti tentang sebagian besar orang bahagia. Dalam penelitian ini peneliti bertanya kepada orang yang mempunyai kesempatan untuk melaporkan secara lisan seberapa bahagia atau puas mereka. Pertanyaan yang diberikan bertujuan untuk melihat fakta siapa yang lebih atau kurang bahagia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang merasa puas dengan pernikahannya, pekerjaannya, dan waktu luang yang dimiliki. Selanjutnya, Campbell, Converse, dan Rogers (1976) menyimpulkan bahwa efek dari variabel-variabel demografis berpengaruh kecil pada subjective well-being, karena itulah pada penelitian ini peneliti tidak meneliti pengaruh variabel-variabel demografis terhadap subjective well-being. Peneliti lain menunjukkan bahwa subjective well-being terutama ditentukan oleh sifat daripada situasi kehidupan
6
eksternal (Costa dan McCrae, 1980, 1984; Costa, McCrae, dan Zonderman, 1987; Diener, Sandvik, Pavot, dan Fujita, 1992 dalam Eunkook Suh, Diener, dan Fujita, 1996). Banyak faktor yang menjadi variabel penentu munculnya subjective wellbeing pekerja di suatu perusahaan. Bakker dan Oerlemans (2010) menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara work engagement dengan subjective well-being. Istilah work engagement dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai keterlibatan kerja, keterikatan kerja, keterlarutan kerja dan totalitas kerja. Namun, dalam penelitian ini peneliti menggunakan istilah work engagement sebagai totalitas kerja (Shaleh, 2013). Totalitas kerja biasanya didefinisikan sebagai hal positif, yang terkait dengan keadaan pikiran yang ditandai dengan semangat, dedikasi dan absorbsi atau penyerapan (Schaufeli, Salanova, Gonzales- Roma, dan Bakker, 2002). Semangat mengacu pada memiliki tingkat energi dan ketahanan mental yang tinggi dalam satu pekerjaan serta bersedia berupaya dan tekun. Dedikasi mengacu pada antusiasme, inspirasi, merasa dipentingkan, kebanggaan dan tantangan. Penyerapan atau absorption dalam kegiatan kerja mengacu pada konsentrasi penuh dalam pekerjaan (Salanova dan Schaufeli, 2008). Pekerja yang engaged adalah pekerja yang energik, memiliki self-efficacy yang tinggi. Selain itu, sikap positif dan aktivitas mereka menyebabkan mereka mendapatkan feedback yang positif (Bakker dan Leiter, 2010). Menurut Sonnentag, 2003 (dalam Bakker dan Oerlemans (2010) totalitas kerja merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan subjective well-being karyawan, dan
7
perilaku bekerja untuk beberapa alasan. Pertama, totalitas kerja merupakan pengalaman positif pada diri individu (Schaufeli et.al, 2002). Kedua, totalitas kerja berkaitan dengan kesehatan yang baik dan afeksi kerja yang positif (Damerouti, Bakker, de Jonge, Jansen, & Schaufeli, 2001; Rothbard, 2001). Ketiga, totalitas kerja membantu individu mengambil keuntungan dari pekerjaan yang membuat stres (Brit, Adler, & Bartone, 2001). Keempat, totalitas kerja memiliki kaitan yang positif terhadap komitmen kerja (Demorouti et.al, 2001) dan diharapkan dapat meningkatkan performa karyawan ( Kahn, 1990). Menurut Maslach, et al. (2001), rendahnya tingkat burnout dan tingkat totalitas kerja yang tinggi dapat dianggap mempengaruhi wellbeing pekerja. Watson dan Tellegen (1985) berpendapat bahwa burnout dan totalitas kerja adalah bagian dari sebuah taksonomi wellbeing yang lebih komprehensif yang terdiri dari dua dimensi independen, yakni pleasure atau kesenangan dan aktivasi. Burnout ditandai dengan masih rendahnya tingkat aktivasi dan kesenangan, dan totalitas kerja di sisi lain ditandai oleh tingginya tingkat aktivasi dan kesenangan. Bertentangan dengan pendapat Watson dan Tellegen, Schaufeli, et al. (2002) mengatakan bahwa kesenangan tidak termasuk dalam totalitas kerja. Dengan demikian dalam merepresentasikan wellbeing, work engagement mencerminkan tingkat aktivasi yang tinggi. Selama tiga dekade terakhir, Bakker dan Demerouti (2006) menyatakan bahwa banyak studi yang menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan (job characteristics), yang meliputi job demands, job control, dan job resources, dapat
8
memiliki dampak yang mendalam pada well-being pekerja. Tuntutan kerja atau job demands merujuk pada aspek-aspek fisik, psikologis, sosial, atau organisasi dari suatu pekerjaan yang membutuhkan usaha atau kemampuan secara fisik dan/atau psikologis yang terus-menerus dan oleh karena itu diasosiasikan dengan biaya fisik dan/atau psikologis tertentu (Bakker dan Demerouti, 2006). Wood, Stride, Threapleton, Wearn, Nolan, Osborn, Paul, dan Johnson (2010) menjelaskan bahwa rendahnya level tuntutan kerja (job demands) seseorang yang dikombinasikan dengan tingginya kontrol akan pekerjaan (job control) dan hubungan yang suportif di tempat kerja meningkatkan kesejahteraan pekerja (staff well-being). Lebih lanjut, Love, Irani, Standing, dan Themistocleous (2007) menjelaskan bahwa tuntutan kerja (job demands) dan variabel lainnya yang dijelaskan dalam model Karasek, yakni Job-Strain Model (JSM), menjadi prediktor yang signifikan terhadap well-being pekerja pada pekerja kesehatan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tuntutan kerja memiliki pengaruh terhadap stres, depresi, dan burnout. Karasek (1979) yang menjelaskan Job Strain Model (JSM) mendefinisikan tuntutan kerja sebagai aspek yang menimbulkan stres atau stressor dari pekerjaan. Hal ini juga didukung oleh Kristensen et al., (2004) yang mengungkapkan bahwa tuntutan kerja menjadi konstruk paling penting dalam menjelaskan stres pada pekerjaan. Penelitian Kitaoka-Higashiguchi, Nakagawa, Morikawa, Ishizaki, Miura, Naruse, dan Kido (2002) menunjukkan bahwa semakin tinggi tuntutan kerja maka semakin tinggi pula tingkat depresi seseorang.
9
Grebner, Semmer, dan Elfering, 2005 (dalam Panari, Guglielmi, Ricci, Tabanelli, dan Violante, 2012) menyatakan bahwa stresor pekerjaan (dalam hal ini, tuntutan kerja) adalah satu hal yang mungkin menjadi penyebab buruknya wellbeing, kesehatan, dan performa kerja (job performance). Pekerja menjadi bosan dengan kegiatan pekerjaan sehari-hari mereka, tetapi energi mereka
harus cukup untuk
memenuhi tuntutan tugas. Ketika seorang individu bekerja dengan beban kerja mental yang tinggi dan merasa lelah, tambahan energi diperlukan untuk memastikan bahwa kinerja mereka tetap baik. Hal ini dapat mengakibatkan kelelahan akut yang pada gilirannya dapat mengakibatkan efek kronis pada kesehatan dan kesejahteraan (Demerouti, et al. 2001). Dengan demikian, tuntutan kerja dapat dikatakan memiliki hubungan yang terbalik atau negatif dengan well-being, dimana semakin rendah tingkat tuntutan kerja maka semakin tinggi tingkat well-being dan sebaliknya. Selain itu, terdapat faktor lain yang mempengaruhi subjective well-being pekerja, yakni personal resources atau sumber daya pribadi. Personal resources atau sumber daya pribadi adalah evaluasi diri yang positif terkait dengan ketahanan dan merujuk kepada individu yang memiliki kemampuan untuk mengontrol dan memberikan dampak yang baik pada lingkungan mereka (Hobfoll, Johnson, Ennis, dan Jackson, 2003). Dengan demikian, personal resources atau sumber daya pribadi adalah (a) berfungsi untuk mencapai tujuan, (b) melindungi dari ancaman dan biaya fisiologis dan psikologis yang terkait, dan (c) merangsang pertumbuhan dan perkembangan pribadi. Evaluasi diri yang positif sangat berhubungan dengan berbagai aspek kesejahteraan. Semakin tinggi sumber daya pribadi, maka individu
10
tersebut menganggap diri sendiri sebagai individu-individu yang lebih positif. Pada gilirannya, ada kemungkinan bahwa individu akan mencapai tujuan yang mereka tetapkan dengan kemampuan mereka. Individu menjadi termotivasi (motivasi intrinsik) untuk mengejar tujuan-tujuan mereka dan sebagai akibatnya mereka akan mendapatkan kepuasan, yang dalam hal ini adalah bagian dari subjective wellbeing (Luthans dan Youssef, 2007). Sumber daya pribadi terdiri dari 3 aspek, yakni self-efficacy, organizationalbased self-esteem, dan optimism. Sumber daya pribadi telah diakui penting untuk kesejahteraan psikologis individu secara umum, dan untuk kesejahteraan yang berhubungan dengan pekerjaan secara khusus (Xanthopoulou, D., Bakker, A. B., Demerouti, E., dan Schaufeli, 2007). Tidak seperti ciri-ciri kepribadian yang stabil dan relatif tetap, sumber daya pribadi ini lunak dan terbuka terhadap perubahan dan perkembangan, dan dengan demikian dianggap paling sesuai untuk penelitian ini. Self-efficacy (yaitu persepsi individu mengenai kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan; Chen, Gully, dan Eden, 2001) berkontribusi untuk memotivasi individu dalam menjawab tantangan, berupaya dan tekun dalam menghadapi rintangan (Bandura, 1989). Lebih lanjut, Pierce dan Gardner (2004) dalam studinya menunjukkan bahwa self-esteem yang berbasis organisasi (OBSE), yaitu tingkat dimana anggota organisasi percaya bahwa mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka dengan berpartisipasi dan berperan dalam organisasi, adalah sangat berhubungan dengan kepuasan kerja dan komitmen. Selain itu, dalam studi longitudinal baru antara personil kesehatan di Finlandia, OBSE ternyata menjadi
11
salah satu prediktor paling penting dari variabel work engagement atau totalitas kerja ketika diukur dua tahun kemudian (Mauno, S., Kinnunen, U., Ruokolainen, M. 2007). Demikian pula, optimisme, yang merupakan kecenderungan untuk percaya bahwa individu akan mendapatkan hasil yang baik dalam hidup (Scheier, Carver, dan Bridge, 2001). Individu yang optimis lebih mampu menghadapi situasi yang mengancam karena individu yang optimis mengadopsi strategi-strategi aktif (Iwanaga, Yokoyama, dan Seiwa, 2004), dan mereka dapat beradaptasi dengan baik di tempat kerja (Luthans dan Youssef, 2007). Penelitian- penelitian Psikologi Industri dan Organisasi, khususnya tentang subjective wellbeing yang dihubungkan dengan variabel-variabel seperti totalitas kerja, tuntutan tugas, dan sumber daya pribadi belum banyak dilakukan. Atas dasar itulah peneliti memilih judul “Pengaruh Totalitas Kerja, Tuntutan Kerja dan Sumber Daya Pribadi Terhadap Subjective Wellbeing”. 1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1
Pembatasan Masalah
Untuk membatasi agar permasalahan penelitian tidak meluas, maka masalah dalam penelitian ini dibatasi pada subjective well-being, totalitas kerja, tuntutan kerja, dan sumber daya pribadi. Adapun variabel yang diteliti adalah sebagai berikut: 1. Diener memandang bahwa subjective wellbeing merupakan penilaian secara global terhadap kepuasan hidup, berdasarkan pendekatan ini pengetahuan dari subjective wellbeing dilihat dari penilaian individu secara global terhadap kepuasan hidup dan kualitas hidup individu (Diener, 1984; 1994; 2000;
12
Diener, Lucas, Oishi, 2002; Diener, Suh, Smith, 1999; Diener et al., 2005). Pada penelitian ini, peneliti lebih menekankan pada subjective wellbeing yang ditinjau berdasarkan evaluasi diri dari kepuasan hidup. 2. Seseorang yang meliliki totalitas kerja adalah seseorang yang akan bekerja keras, memberikan usaha yang lebih (extra effort), aktif terlibat, fokus terhadap pekerjaan, hadir secara fisik dan memberikan energi terhadap apa yang dikerjakan (Schaufeli dan Bakker, 2004). 3. Tuntutan kerja mengacu pada aspek fisik, psikologis, sosial atau organisasi pada pekerjaan yang memerlukan dukungan upaya fisik dan/atau psikologis (seperti, kognitif atau emosional) dan oleh karena itu dikaitkan dengan biaya fisik dan/atau psikologis tertentu (seperti, tekanan kerja, kelebihan peran, dan tuntutan emosional) (Schaufeli dan Bakker, 2004). 4. Sumber daya pribadi merupakan aspek diri yang secara umum dihubungkan dengan kegembiraan dan merujuk pada perasaan individu mengenai kemampuan mereka untuk mengontrol dan memberikan dampak pada lingkungan mereka (Xanthopoulou et al., 2007). 1.2.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Apakah terdapat pengaruh tuntutan kerja dan sumber daya pribadi terhadap subjective wellbeing melalui totalitas kerja sebagai variabel mediator? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
13
1.3.1 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pengaruh tuntutan kerja dan sumber daya pribadi terhadap subjective wellbeing yang dimediasi oleh variabel totalitas kerja. 1.3.2 Manfaat Penelitian 1.3.2.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfat terhadap disiplin ilmu pengetahuan khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi (PIO) dengan memberikan buktibukti empiris pada penelitian ini. Penelitian ini diharapkan menjadi referensi teoritis dan empiris atau masukan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin mengukur tentang subjective wellbeing pekerja. 1.3.2.2 Manfaat Praktis Bagi Penulis : Menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai materi Sumber Daya Manusia khususnya yang berkaitan dengan tuntutan kerja, sumber daya pribadi, totalitas kerja, dan subjective wellbeing pegawai. Bagi Kementerian Sosial RI memberikan gambaran dan informasi mengenai kondisi fisik dan psikis pegawainya, khususnya untuk memberikan masukan tentang bagaimana agar kesejahteraan pegawai dapat meningkat. 1.4 Sistematika Penulisan BAB 1 : PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang penelitian yang di dalamnya tercantum alasan pentingnya penelitian dilakukan, kemudian dilanjutkan dalam sub bab pertanyaan penelitian,
14
serta menjelaskan tujuan, manfaat, serta sistematika penulisan dari hasil penelitian ini. BAB 2 : LANDASAN TEORI Dalam bab ini, dilakukan penguraian tentang landasan teori yang digunakan sebagai dasar dalam melihat hubungan antara variabel-variabel yang ingin diteliti. Yaitu meliputi definisi-definisi, aspek-aspek, faktor-faktor yang mempengaruhi, dan pengukuran. BAB 3: METODE PENELITIAN Pada bab ini memuat jenis penelitian, populasi, sampel, dan teknik pengambilan sampel, variabel penelitian, alat ukur yang digunakan, uji validitas konstruk, prosedur penelitian dan teknik analisis data. BAB 4 : HASIL PENELITIAN Merupakan presentasi dan analisis data yang berisi tentang analisa hasil uji hipotesis. BAB 5 : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Subjective Well-Being Konsep subjective wellbeing berkenaan dengan fungsi psikologis dan pengalaman secara optimal. Ryan dan Deci (2001) menerapkan dua pendekatan untuk memahami wellbeing, yakni pendekatan eudaimonic dan pendekatan hedonic. Pendekatan eudaimonic berfokus pada kebermaknaan dan realisasi diri serta mendefinisikan wellbeing sebagai sebuah tingkat ketika seseorang dapat berfungsi secara penuh. Lalu, pendekatan eudaimonic ini dapat disebut sebagai psychological wellbeing. Sedangkan, pendekatan hedonic berbeda dengan pendekatan eudaimonic, pendekatan eudaimonic berfokus pada kebahagiaan seseorang ketika seseorang telah mencapai kesenangan lalu hedonic dihubungkan dengan wellbeing, maka didapatkan pengertian bahwa hedonic sebagai pencapaian kesenangan dan menghindari hal-hal yang menyakitkan atau menyedihkan. Selanjutnya, pendekatan hedonic ini disebut dengan istilah subjective wellbeing (Ryan dan Deci, 2001). 2.1.1 Pengertian Subjective Well-Being Menurut Diener et al., (2005) subjective well-being mencakup kedalam komponen yang luas, seperti kebahagian, kepuasan hidup, keseimbangan kesenangan, pemenuhan, dan stress serta penanganan secara afektif dan evaluasi kognitif hidup seseorang. Banyak pendekatan yang mendefinisikan subjective well-being dalam beberapa cara. Diener et al., (2005) mengemukakan ada 3 pendekatan yang 15
16
mengindetifikasikan subjective well-being yaitu yang pertama memandang bahwa subjective well-being merupakan penilaian secara global terhadap kepuasan hidup, berdasarkan pendekatan ini pengetahuan dari subjective well-being membutuhkan akses pada penilaian individu secara global terhadap kepuasan hidup dan kualitas hidup. Pandangan yang kedua memandang subjective well-being sebagai pengumpul dari pengalaman-pengalaman emosi, dan pendekatan ketiga mengatakan bahwa subjective well-being sebagai pengumpul dari multi reaksi emosi sepanjang waktu (Kaheman, 1999). Menurut Diener dan Lucas (1999) subjective well-being adalah evaluasi individu tentang kehidupannya, termasuk penilaian kognitif terhadap kepuasan hidupnya serta penilaian afektif terhadap emosinya. Seseorang dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika mereka merasa puas dengan kondisi hidup mereka, sering merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif. subjective well-bein dapat diketahui dari ada atau tidaknya perasaan bahagia (Diener & Lucas, 1999). Ketika seseorang mengkarakteristikan atau mencirikan suatu kehidupan yang baik maka ia akan membicarakan tentang kebahagiaan, kesehatan, dan umur yang panjang (Diener & Chan, 2011). Diener memandang bahwa subjective wellbeing merupakan penilaian secara global terhadap kepuasan hidup, berdasarkan pendekatan ini pengetahuan dari subjective wellbeing dilihat dari penilaian individu secara global terhadap kepuasan hidup dan kualitas hidup individu (Diener, 1984; 1994; 2000; Diener, Lucas, Oishi,
17
2002; Diener, Suh, Smith, 1999; Diener, 2005). Definisi dari Diener tersebut yang peneliti gunakan dalam penelitian ini. Lebih lanjut, Diener (2005) menggunakan Satisfaction With Life Scale (SWLS) yang ia kembangkan pada tahun 1984 untuk mengukur subjective wellbeing seseorang. Hal tersebut dikarenakan subjective well being berkenaan dengan evaluasi hidup seseorang yang dapat dilihat dari kepuasaan hidup mereka, yang didasarkan kepada perasaan, termasuk suasana hati dan emosi. Ketika seseorang merasakan sedih atau mereka merasa gembira itu dikarenakan mereka merasakan apakah hidup mereka baik atau tidak (Diener & Chan, 2011). 2.1.2 Komponen-komponen Subjective Well-being Subjective well-being tersusun dari beberapa komponen utama, termasuk kepuasan hidup secara umum, kepuasan terhadap ranah spesifik kehidupan, adanya afek yang positif (mood dan emosi yang menyenangkan), dan ketiadaan afek negatif (mood dan emosi yang tidak menyenangkan) (Eddington & Shuman, 2005). Keempat komponen utama ini, yaitu afek positif, afek negatif, kepuasan hidup dan kepuasan ranah kehidupan, memilki korelasi sedang satu sama lain, dan secara konseptual berkaitan satu sama lain. Namun, dari tiap-tiap komponen menyediakan informasi unik mengenai kualitas subjektif kehidupan seseorang (Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Afek positif dan afek negatif termasuk ke dalam komponen afektif, sementara kepuasan hidup dan domain kepuasan termasuk ke dalam komponen kognitif. Komponen-komponen utama kemudian direduksi ke dalam beberapa elemen khusus. Afek positif meliputi kegembiraan, keriangan hati, kesenangan, kebahagiaan
18
hati, kebanggaan, afeksi, dan kebahagiaan. Afek negatif meliputi munculnya perasaan bersalah, malu, kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, kemarahan, stress, depresi, dan rasa iri. Kepuasan hidup dikategorikan melalui kepuasan terhadap hidup saat ini, kepuasan dengan masa lalu, dan kepuasan dengan masa depan. Kepuasan ranah kehidupan muncul terhadap pekerjaan, keluarga, waktu, kesehatan, keuangan, dirinya sendiri, dan kelompoknya (Eddington & Shuman, 2005). Berikut ini adalah penjelasan untuk tiap-tiap komponen yang membentuk subjective well-being. 2.1.2.1 Afek Positif dan Afek Negatif Emosi Emosi atau mood, yang keduanya diberi label afek, mencerminkan penilaian seseorang terhadap peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Larsen dan Diener, 1992 (dalam Carr, 2004) dan Averill, 1997 (dalam Carr, 2004) menjelaskan bahwa pengalaman emosi setidaknya memiliki dua dimensi, yaitu activation atau arousal; dan pleasantness atau evaluation. Afek positif adalah kombinasi arousal dan pleasantness, dan emosi yang termasuk di dalamnya antara lain aktif, siap sedia, dan senang. Afek negatif adalah kombinasi arousal dan unpleasantness, dan didalamnya terdapat emosi seperti cemas, sedih, dan ketakutan. Lucas, Diener dan Suh, 1996 (dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005) mendemonstrasikan bahwa item yang banyak dari skala kepuasan hidup, perasaan senang (pleasant affect), dan perasaan tidak senang (unpleasant affect) membentuk faktor-faktor yang bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam hal ini, afek memiliki dimensi frekuensi dan intensitas. Dimensi frekuensi merupakan keseluruhan jumlah predominasi afek positif dan afek negatif. Afek positif dan afek negatif bersifat
19
independen, meskipun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa keduanya berkorelasi negatif. Semakin sering seseorang merasakan salah satu afek, semakin rendah frekuensi afek lain yang dirasakannya. Dimensi intensitas mengacu pada kuat lemahnya afek yang dirasakan oleh seseorang. Hal inilah yang menjelaskan mengapa kedua afek yang independen ini muncul secara bersamaan. Diener, 1991 (dalam Diener, Scollon, dan Lucas, 2003) menyatakan dalam penelitian-penelitian well-being, sebaiknya menggunakan frekuensi dalam meneliti mengenai afek positif dan negatif. Alasannya, karena well-being berbicara mengenai evaluasi kondisi emosi yang sifatnya relatif jangka panjang, sedangkan intensitas lebih bisa menjelaskan suasana emosi yang bersifat lebih sementara, seperti mood. Selain itu, jika afek positif dan negatif terasa kuat secara bersamaan maka akan membingungkan dalam penentuan well-being seseorang. 2.1.2.2 Kepuasan Hidup (Life Satisfaction) Kepuasan hidup yang sering kali disebut dengan istilah penilaian kehidupan secara global (Diener, Scollon, & Lucas, 2003), merefleksikan penilaian individu bahwa kehidupannya ini berjalan dengan baik. Setiap individu dapat menelaah kondisi kehidupannya sendiri, menimbang pentingnya kondisi-kondisi tersebut, dan kemudian mengevaluasi kehidupannya ke dalam skala memuaskan dan tidak memuaskan. Evaluasi global semacam ini disebut sebagai penilaian kognitif atas kepuasan hidup. Dikatakan demikian karena penilaian ini membutuhkan proses kognitif.
20
Beberapa penelitian memfokuskan diri pada bagaimana penilaian ini dibuat. Umumnya
individu
tidak
menguji
semua
aspek
kehidupan
mereka
dan
menimbangnya secara tepat. Mungkin karena proses semacam ini sukar, kebanyakan orang menggunakan berbagai cara singkat dalam menghasilkan penilaian kepuasan. Secara spesifik, orang menggunakan informasi yang menonjol saat melakukan penilaian (Schwarz & Strack, 1999, dalam Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Meskipun menggunakan cara singkat atau jalan pintas, penilaian kepuasan hidup individu secara temporal cukup stabil (Magnus & Diener, 1991; Ehrhard et al., 2000, dalam Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Hal ini terjadi karena informasi yang digunakan pada saat membuat penilaian kepuasan cenderung merupakan informasi yang mudah diakses setiap saat. Dengan kata lain, penilaian kepuasan yang dilakukan seseorang didasarkan pada informasi yang tersedia pada saat penilaian tersebut dilakukan, dan kebanyakan dari informasi tersebut merupakan informasi yang tetap sama dari waktu ke waktu. Di dalam banyak kasus, orang cenderung menggunakan informasi yang relevan dan stabil, yang pada akhirnya akan menghasilkan penilaian kepuasan yang stabil dan bermakna (Diener, Scollon& Lucas, 2003). Pada saat membuat penilaian kepuasan hidup, seseorang juga menggunakan sumber-sumber informasi lain, diantaranya perbandingan dengan standar-standar yang penting (Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Campbell et al. (dalam Diener, Scollon, & Lucas, 2003) menyatakan bahwa individu melihat pada domain yang penting dalam hidup dan membandingkan domain kehidupan ini dengan berbagai
21
standar pembanding, misalnya situasi yang mereka alami di masa lalu, keadaan di lingkungan sekitar mereka masa kini, ataupun harapan akan sesuatu di masa depan. Kepuasan hidup digunakan sebagai salah satu cara mengukur well-being karena dengan cara ini peneliti dapat menangkap well-being dalam bentuk luas dari sudut pandang partisipan itu sendiri (Diener, 1991, dalam Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Selain itu, keuntungan dari melihat kepuasan hidup sebagai ukuran well-being adalah karena tipe pengukuran ini menangkap sensasi secara global akan well-being dari perspektifnya sendiri. 2.1.2.3 Kepuasan Terhadap Ranah Kehidupan ( Domain Satisfaction) Komponen selanjutnya yang termasuk dalam model hirarki subjective wellbeing adalah kepuasan ranah kehidupan (Domain satisfaction). Kepuasan ranah kehidupan mencerminkan penilaian seseorang mengenai domain tertentu dalam kehidupannya. Proses penilaian kepuasan ranah kehidupan digabungkan, dan titik berat yang diberikan pada tiap domain, dapat bervariasi bagi setiap orang. Diener et al. (2002, dalam Diener, Scollon, Lucas, 2003) menemukan bahwa orang-orang yang bahagia cenderung menitikberatkan domain-domain terbaik dalam kehidupan mereka, sedangkan orang-orang yang tidak bahagia cenderung lebih menitikberatkan pada domain-domain terburuk dalam kehidupan mereka. Karena itu, kepuasan ranah kehidupan tidak hanya dapat mencerminkan bagian-bagian komponen dari sebuah penilaian kepuasan hidup, tetapi juga dapat menyediakan informasi
yang
unik
mengenai
keseluruhan
well-being
seseorang.
Ketika
mengkonstruksikan penilaian kepuasan hidup secara global (life satisfaction),
22
seseorang menelaah berbagai domain dalam kehidupannya (kesehatan, kehidupan, keluarga, pekerjaan, dan kehidupan sosial), menimbang pentingnya domain-domain tersebut, dan kemudian mengumpulkan sejumlah penilaian tadi untuk memperoleh keseluruhan evaluasi dari kepuasan hidupnya. Jadi, life satisfaction dihasilkan melalui proses heuristik. Individu tidak memiliki kemampuan untuk menggabungkan dan mengagregasi sederet domain kehidupan. Kepuasan ranah kehidupan akan menjadi penting bagi para peneliti yang tertarik akan pengaruh well-being pada area tertentu. Sebagai contoh, jika peneliti ingin mengetahui peningkatan well-being pekerja, kepuasan terhadap pekerjaan dapat memberikan pengukuran yang lebih sensitif dibanding yang dihasilkan oleh global well-being. Sama halnya jika seorang peneliti ingin meneliti populasi khusus, mungkin diperlukan pengukuran terhadap domain tertentu yang relevan dengan populasi kelompok tersebut (Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Karena itu, selain dapat menyediakan informasi mengenai cara individu melakukan penilaian global, skor yang didapat dari kepuasan ranah kehidupan juga menyediakan informasi lebih detail tentang aspek tertentu dalam kehidupan seseorang yang berjalan dengan baik atau buruk (Diener, Scollon, & Lucas, 2003).
23
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being antara lain: 1. Totalitas Kerja Totalitas kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi subjective wellbeing. Menurut Maslach, et al. (2001) tingkat totalitas kerja yang tinggi dapat dianggap mempengaruhi subjective wellbeing. Watson dan Tellegen (1985) berpendapat bahwa totalitas kerja adalah bagian dari sebuah taksonomi kesejahteraan yang lebih komprehensif yang terdiri dari dua dimensi independen, yakni
pleasure atau
kesenangan dan aktivasi. Bertentangan dengan pendapat Watson dan Tellegen, Schaufeli, et al. (2002) mengatakan bahwa kesenangan tidak termasuk dalam totalitas kerja. Dengan demikian, dalam merepresentasikan subjective wellbeing, totalitas kerja mencerminkan tingkat aktivasi yang tinggi. 2. Tuntutan Kerja Grebner, Semmer, dan Elfering (2005) menyatakan bahwa stresor pekerjaan (dalam hal ini, job demands atau tuntutan kerja) adalah satu hal yang mungkin menjadi penyebab buruknya subjective wellbeing, kesehatan, dan performa kerja (job performance). Pekerja menjadi bosan dengan kegiatan pekerjaan sehari-hari mereka, tetapi energi mereka harus cukup untuk memenuhi tuntutan tugas. Ketika seorang individu bekerja dengan beban kerja mental yang tinggi dan merasa lelah, tambahan energi diperlukan untuk memastikan bahwa kinerja mereka tetap baik. Hal ini dapat mengakibatkan kelelahan akut yang pada gilirannya dapat mengakibatkan efek kronis pada kesehatan dan kesejahteraan (Demerouti, et al. 2001). Dengan demikian, job
24
demands dapat dikatakan memiliki hubungan yang terbalik atau negatif dengan subjective well-being, dimana semakin rendah tingkat job demands maka semakin tinggi tingkat subjective well-being dan sebaliknya. 3. Sumber Daya Pribadi Semakin tinggi sumber daya pribadi, maka individu tersebut menganggap diri sendiri sebagai individu-individu yang lebih positif. Pada gilirannya, ada kemungkinan bahwa individu akan mencapai tujuan yang mereka tetapkan dengan kemampuan mereka. Individu menjadi termotivasi (motivasi intrinsik) untuk mengejar tujuantujuan mereka dan sebagai akibatnya mereka akan mendapatkan kepuasan, yang dalam hal ini adalah bagian dari subjective wellbeing (Luthans dan Youssef, 2007). 4. Kepribadian Wilson (1967 dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005) menyatakan bahwa faktor kepribadian memiliki hubungan dengan subjective well-being. Ia menyatakan bahwa orang yang bahagia adalah seorang yang ekstrovert, optimis, religious, memiliki selfesteem yang tinggi, memiliki semangat kerja dan memiliki cita-cita. Sedangkan Deneve dan Cooper (1998, dalam Diener, Lucas, dan Oishi, 2003) mengidentifikasi 137 trait kepribadian yang berhubungan dengan subjective well-being adalah extraversion dan neurotism. Costa dan McCrae (dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2003) menemukan bahwa extraversion memprediksikan afek yang menyenangkan dan neuroticism memprediksikan afek tidak menyenangkan dalam periode sepuluh tahun. Sementara itu, trait lain dalam model kepribadian “the big five trait factor”, yaitu agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience menunjukkan
25
hubungan yang lebih lemah dengan subjective wellbeing (Watson & Clark dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2003). 2.1.5 Pengukuran Subjective Well-being Subjective well-being telah diukur dengan berbagai macam cara dalam berbagai penelitian. Tidak ada satu skala yang secara khusus digunakan atau lebih baik dari pada skala yang lain. Banyak skala yang ada menggunakan satu item dengan kategori respon yang berbeda-beda. Dengan menggunakan sudut pandang psikometri, pengukuran yang didasarkan dengan satu item cenderung sederhana, tapi juga memiliki kegunaan yang nyata (Andrews dan Robinson, 1991). Meskipun satu item dapat digunakan untuk mengukur kepuasan atau kebahagiaan, dalam level umum ataupun level spesifik dalam aspek kehidupan, pengukuran subjective well-being yang paling luas digunakan merupakan skala dengan multi item. Skala dengan multi item, dalam beberapa pengukuran, secara umum memiliki validitas dan/atau reabilitas yang lebih tinggi karena error dalam pengukuran yang mungkin terjadi dalam skala satu item, paling tidak, bisa dikurangi dengan adanya item-item yang lain. Selain itu, dengan skala multi item, bisa didapatkan informasi yang lebih luas tentang komponen-komponen yang menyusun subjective well-being (Andrews & Robinson, 1991). Ukuran subjective well-being harus mengambil dari perspektif responden sendiri. Untuk alasan ini, kebanyakan studi dari subjective well-being telah mengandalkan langkah-langkah konstruksi self-report. Namun, ada banyak alasan untuk berhati-hati dalam menafsirkan hasil yang hanya didasarkan pada ukuran
26
evaluasi diri. Beberapa orang tampak lebih bahagia daripada yang lain hanya karena mereka menggunakan angka yang lebih tinggi dalam skala respon atau karena mereka ingin menjadi baik di mata eksperimen. Jadi, meskipun self-report memainkan peran sentral dalam penelitian subjective well-being, mereka harus dilengkapi dengan teknik pengukuran untuk mendapatkan pemahaman lengkap konstruksi (Diener, Scollon dan Lucas, 2003). Self-report dalam subjective well-being bervariasi dalam kompleksitasnya. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa bahkan yang paling sederhana ukuran single-item - bisa menunjukkan beberapa tingkat reliabilitas dan validitas. Diener, et al (in press), misalnya, menunjukkan bahwa ukuran item tunggal ("kegembiraan") dapat memprediksi kondisi subjective wellbeing seseorang hingga 18 tahun kemudian. Demikian pula, Lucas et al (in press) menunjukkan bahwa pengukuran dari item kepuasan hidup relatif stabil sepanjang waktu dan sesuai dengan perubahan dalam fenomena kehidupan. Oleh karena itu, jika fokus penelitian adalah untuk mendapatkan subjective well-being dengan ukuran yang dapat diandalkan dan valid serta tidak dapat menggabungkan berbagai indikator self-report, maka untuk dapat menilai konstruk ini dapat menggunakan pengukuran skala kepuasan hidup. Sebagian besar dari pengukuran subjective well-being menggunakan elemen dengan validitas item yang jelas. Sebagai contoh, skala kepuasan hidup dapat meminta responden sejauh mana mereka setuju dengan pernyataan seperti: "Saya
27
puas dengan hidup saya" atau "dalam banyak hal, hidup saya mendekati ideal" Diener et al., 1985 (dalam Diener, Scollon dan Lucas, 2005). Pada penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan skala Satisfaction With Life Scale (SWLS) yang dikembangkan oleh Diener tahun 1984 untuk mengukur subjective wellbeing. Alasan peneliti memilih alat ukur tersebut adalah karena alat ukur ini mempunyai konsistensi internal yang baik, dimana alpha cronbachnya ada di 0,87, dan menunjukkan bahwa SWLS mempunyai kekayaan psikometrik (Diener, et al. 1985). 2.2 Totalitas Kerja Individu dengan totalitas kerja yang tinggi mengidentifikasi pekerjaan mereka sendiri dan termotivasi dalam melaksanakan pekerjaannya. Mereka cenderung untuk bekerja lebih keras dan lebih produktif daripada karyawan lain dan lebih mungkin untuk menghasilkan kepuasan pelanggan dan tercapainya keinginan organisasi. Orang dengan totalitas kerja yang tinggi akan menggunakan kemampuan dan keterampilan mereka dengan baik, merasa tertantang dalam pekerjaan dan berprestasi. Penelitian menunjukkan bahwa karyawan dengan totalitas kerja yang tinggi memiliki energi dan self-efficacy yang tinggi dalam bekerja (Schaufeli et al., 2001). Karena perilaku positifnya, karyawan dengan totalitas kerja yang tinggi mendapatkan feedback yang baik, apresiasi dan kesuksesan. Karyawan dengan totalitas kerja yang tinggi juga memiliki antusias dan energi yang baik di luar pekerjaannya, seperti dalam olahraga, hobi, dan kegiatan volunteer. Karyawan dengan totalitas kerja yang tinggi tidak adiksi dalam bekerja, mereka menikmati hal-hal lain di luar pekerjaan
28
mereka. Berbeda dengan workaholic, karyawan dengan totalitas kerja yang tinggi tidak bekerja karena mereka memiliki dorongan dalam diri yang kuat atau inner drive melainkan karena mereka menganggap bahwa bekerja itu menyenangkan (Bakker dan Oerlemans, 2010) 2.2.1 Pengertian Totalitas Kerja Schaufeli dan Bakker (2004) menjelaskan bahwa seseorang yang total dalam bekerja atau yang memiliki totalitas kerja yang tinggi akan bekerja keras, memberikan usaha yang lebih (extra effort), aktif terlibat, fokus terhadap pekerjaan, hadir secara fisik dan memberikan energi terhadap apa yang dikerjakan. Pengertian dari Schaufeli dan Bakker (2004) tersebut akan menjadi pengertian yang peneliti gunakan dalam penelitian kali ini. Secara lebih spesifik Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma dan Bakker (2002) mendefinisikan totalitas kerja sebagai hal positif, total, yang terkait dengan keadaan pikiran yang ditandai dengan semangat, dedikasi dan absorbsi atau penyerapan. Totalitas kerja lebih daripada keadaan sesaat dan spesifik, mengacu ke keadaan yang begerak tetap meliputi aspek kognitif dan afektif yang tidak fokus pada objek, peristiwa, individu atau perilaku tertentu (Schaufeli dan Martinez, 2002). 2.2.2 Aspek-aspek Totalitas Kerja Totalitas kerja merupakan hal positif, yang terkait dengan keadaan pikiran yang ditandai dengan semangat, dedikasi dan absorbsi atau penyerapan (Schaufeli et. al, 2002). Vigor atau semangat mencerminkan kesiapan untuk mengabdikan upaya dalam pekerjaan seseorang, sebuah usaha untuk terus energik saat bekerja dan
29
kecenderungan untuk tetap berusaha dalam menghadapi kesulitan atau kegagalan tugas. Dedikasi mengacu pada identifikasi yang kuat dengan pekerjaan seseorang dan mencakup perasaan antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan. Dimensi ketiga dari totalitas kerja adalah penyerapan atau Absorbsi. Absorpsi ditandai dengan seseorang menjadi benar-benar tenggelam dalam pekerjaannya, dalam waktu tertentu ia akan merasa sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya. Beberapa studi telah memvalidasi secara empiris instrumen yang mengukur totalitas kerja, Utrecht Work Engagement Scale (UWES) (Schaufeli et al, 2003;. Schaufeli dan Bakker, 2004, Schaufeli, Taris dan Rhenen, 2008). Seorang karyawan yang tergolong memiliki work engagement dengan kata lain dapat didefinisikan dengan melakukan pekerjaan yang ditandai dengan semangat, dedikasi, dan penyerapan dalam menyelesaikan semua penugasannya. Secara ringkas
Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan
Bakker, (2002)
menjelaskan mengenai aspek-aspek yang terdapat dalam totalitas kerja, yaitu: a. Vigor (Semangat) Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam menghadapi kesulitan kerja. Juga kemauan untuk menginvestasikan segala upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan. b. Dedikasi Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan.
30
c. Absorpsi (Penyerapan) Dalam bekerja karyawan selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan. Menurut Development Dimensions International (DDI) dalam Bakker dan Leiter (2010), terdapat 3 komponen dalam totalitas kerja, yaitu: (1) Affection yang merupakan komponen emosional yang menunjuk pada ekspresi perasaan suka/tidak terhadap obyek sikap. Aspek ini bisa kita lihat dari cara seseorang
bersemangat
menghadapi
tugas-tugas
dengan
terus
mempertahankan energi sampai pada tahap outputnya. (2) Behaviour yang merupakan komponen perilaku nyata yang selalu terkait dengan sikap internal seseorang/obyek sikap, hal ini bisa dilihat ketika ia melibatkan diri dengan perilaku seseorang dengan dedikasinya dari dirinya sehingga ketika menjalankan tugasnya dalam pekerjaan ia akan menyerahkan semua potensi dengan harapan dan tujuan mendapatkan sebuah penghargaan untuk aktualisasi dirinya. (3) Cognitive merupakan komponen “gudang” yang terdiri dari berbagai informasi terkait dengan obyek sikap dan seluruh informasi yang terorganisir untuk menanggapi sikap. Pada komponen ini bisa kita lihat apabila seseorang sudah terlibat dalam pekerjaannya ia akan menggunakan pola pikirnya untuk membuat ide yang creative berusaha mencarai inovasi sehingga pekerjaan yang dilakukan terasa ringan dan menyenangkan.
31
Dari ketiga komponen sikap tersebut bisa kita ketahui bahwa karyawan yang total dalam pekerjaannya pasti akan memberikan sikap 1) semangat, (2) dedikasi, dan (3) absorpsi atau penyerapan. Kekuatan pendorong pentingnya totalitas kerja adalah bahwa hal tersebut memberikan dampak bagi organisasi. Sebagai contoh, penelitian empiris mengenai totalitas kerja menunjukkan bahwa tingkat totalitas kerja yang tinggi menyebabkan meningkatnya komitmen organisasi, kepuasan kerja meningkat, ketidakhadiran rendah, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. (Schaufeli dan Salanova, 2007). Menurut Hewitt (Schaufeli & Bakker, 2010), karyawan yang memiliki totalitas kerja yang tinggi akan secara konsisten mendemonstrasikan tiga perilaku umum, yaitu: 1. Say – secara konsisten bebicara positif mengenai organisasi dimana ia bekerja kepada rekan sekerja, calon karyawan yang potensial dan juga kepada pelanggan. 2. Stay – Memiliki keinginan untuk menjadi anggota organisasi dimana ia bekerja dibandingkan kesempatan bekerja di organisasi lain. 3. Strive – Memberikan waktu yang lebih, tenaga dan inisiatif untuk dapat berkontribusi pada kesuksesan bisnis organisasi. Robertson dan Smythe, 2007 (dalam Schaufeli, Taris dan Rhenen, 2008) berpendapat bahwa karyawan yang total menunjukkan antusiasme, hasrat yang nyata mengenai pekerjaannya dan untuk organisasi yang mempekerjakan mereka. Karyawan yang total menikmati pekerjaan yang mereka lakukan dan berkeinginan untuk memberikan segala bantuan yang mereka mampu untuk dapat mensukseskan
32
organisasi dimana mereka bekerja. Karyawan yang total juga mempunyai level energi yang tinggi dan secara antusias terlibat dalam pekerjaannya (Schaufeli, Taris dan Rhenen,, 2008). Leiter & Bakker (2010), ketika karyawan total, mereka merasa terdorong untuk berusaha maju menuju tujuan yang menantang, mereka menginginkan kesuksesan. Lebih lanjut, totalitas kerja merefleksikan energi karyawan yang dibawa dalam pekerjaan. 2.2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Totalitas Kerja Totalitas kerja juga dapat dipengaruhi oleh sumber daya pekerjaan, yaitu aspek-aspek fisik, sosial, maupun organisasi yang berfungsi sebagai media untuk mencapai tujuan pekerjaan, mengurangi tuntutan pekerjaan dan harga secara baik secara fisiologis maupun psikologis yang harus dikeluarkan, serta menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan personal individu (Demerouti et al, 2001, dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007). Dalam Job DemandResources Model, job resources merupakan variabel penahan agar job demands tidak menyebabkan exhaustion pada pekerja, karena pekerja yang mampu memenuhi sumber daya pekerjaannya, maka tuntutan kerja akan lebih cepat teratasi sehingga mempunyai tingkat exhaustion yang lebih rendah (Bakker et al. 2005, dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, dan Schaufeli, 2007). Sumber daya pekerjaan meliputi empat faktor, yaitu: otonomi (autonomy), dukungan sosial (social support), bimbingan dari atasan (supervisory coaching), dan kesempatan untuk berkembang secara profesional (opportunities for professional development).
33
Selain faktor yang telah disebutkan terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi totalitas kerja. Menurut Lockwood (2007) totalitas merupakan konsep yang kompleks dan dipengaruhi banyak faktor, diantaranya budaya di dalam tempat bekerja, komunikasi organisasional, gaya manajerial yang memicu kepercayaan dan penghargaan serta kepemimpinan yang dianut dan reputasi perusahaan itu sendiri. Totalitas juga dipengaruhi karakteristik organisasional, seperti reputasi untuk integritas, komunikasi internal yang baik, dan inovasi budaya (Corporate Leadership Council, 2004). 2.2.5 Pengukuran Totalitas Kerja Pengukuran totalitas kerja menggunakan skala Utrecht Work Engagement Scale (UWES) yang dikembangkan oleh Schaufeli, Bakker, dan Salanova (2006), yang terdiri dari tiga sub-skala yakni vigor atau semangat, dedikasi, dan penyerapan atau absorpsi. Skala ini berisi 17 item pernyataan yang masing-masing komponen terdiri dari enam item vigor, enam item dedikasi dan lima item absorpsi atau penyerapan. 2.3 Tuntutan Kerja (Job Demands) 2.3.1 Pengertian Tuntutan Kerja Asumsi utama dari job demands-resources (JDR) model adalah bahwa setiap pekerjaan memiliki faktor-faktor resiko tertentu yang diasosiasikan dengan hubungan stres kerja atau burnout, faktor-faktor ini dapat diklasifikasikan dalam dua kategori umum (seperti, job demands dan job resources), kedua model tersebut dapat diterapkan untuk berbagai pengaturan kerja, terlepas dari tuntutan tertentu dan sumber daya yang terlibat (Bakker, Damerouti, Euwena, 2005).
34
Mikkelsen, et al. (2005) mendefinisikan tuntutan kerja sebagai aspek yang berhubungan dengan pemicu terjadinya stres kerja dan sumber beban kerja di antara para pekerja sosial. Tuntutan kerja merupakan
tugas yang berhubungan dengan
pekerjaan yang membutuhkan usaha dan variasi dari pemecahan masalah yang kompleks untuk berhubungan dengan klien (Tooren, jonge, Vlerick, Daniels & de Ven, 2011). Tuntutan kerja menggambarkan aspek dari pekerjaan yang berpotensi mengakibatkan ketegangan kerja dalam kondisi kerja yang berlebihan (Rothmann, Mostert, Strydom, 2006). Hal ini juga disebut sebagai work stressor. Menurut Schaufeli dan Bakker (2004), tuntutan kerja mengacu pada aspek fisik, psikologis, sosial atau organisasi pada pekerjaan yang memerlukan dukungan upaya fisik dan/atau psikologis (seperti, kognitif atau emosional) dan oleh karena itu dikaitkan dengan biaya fisik dan/atau psikologis tertentu (seperti, tekanan kerja, kelebihan peran, dan tuntutan emosional). Walaupun job demands bukanlah hal yang negatif, mereka bisa berubah menjadi job stressors ketika bertemu tuntutan yang memerlukan usaha besar dan oleh karena itu dikaitkan dengan besarnya biaya yang mendapatkan respon negatif seperti depresi, kecemasan atau burnout (Schaufelli & Bakker, 2004). 2.3.2 Aspek-aspek Tuntutan Kerja Aspek-aspek dari tuntutan kerja menurut Bakker (dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, dan Schaufeli, 2007) adalah sebagai berikut:
35
1. Workload Workload mengacu pada sejauh mana karyawan perlu melakukan banyak tugas dalam jangka waktu yang singkat. Workload ditandai dengan bekerja secara non stop dalam jam kerja yang lama, beban pekerjaan yang terlalu banyak dan terbatasnya waktu yang diberikan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Terdapat 4 skala item workload yang dikembangkan oleh Bakker, Demerouti, dan Verbeke (2004). Salah satu itemnya adalah “apakah anda memiliki banyak pekerjaan yang harus dikerjakan?” 2. Emotional demands Emotional demands atau tuntutan emosional adalah masalah di tempat kerja yang mempengaruhi karyawan secara pribadi dan menguras emosi. Tuntutan emosional fokus pada interaksi emosional yang terjadi di tempat kerja (misalnya, klien yang tidak menyenangkan). Pada kondisi emosional yang menuntut, pekerja diharuskan memiliki investasi energi yang lebih selama bekerja. Ketika energi habis, beban kerja menjadi meningkat (Xanthopoulou, Bakker, dan Fischbach, 2013). 3. Emotional Dissonance Emotional dissonance adalah konflik antara perasaan emosi yang dirasakan pekerja yang sebenarnya dengan emosi yang ditampilkan selama berinteraksi dengan orang lain pada saat bekerja. Pekerja dalam konteks ini harus menampilkan emosi positif dan menekan emosi negatif mereka dalam berinteraksi dengan klien ataupun mitra kerjanya. Pekerja tidak bisa merasakan emosi positif di setiap situasi apalagi disaat
36
mereka harus menghadapi klien yang menuntut dan tidak bersahabat (Xanthopoulou, Bakker, dan Fischbach, 2013). 2.3.3 Pengukuran Tuntutan Kerja Pada penelitian ini, aspek workload diukur dengan menggunakan skala yang dikembangkan oleh Bakker, Demerouti, Taris, Schaufeli, dan Schreurs (2003). Aspek emotional demands dan emotional dissonance diukur dengan menggunakan skala yang dikembangkan oleh Xanthopaulo, Bakker, dan Fischbach (2013). 2.4 Sumber Daya Pribadi (Personal Resources) 2.4.1
Pengertian Sumber Daya Pribadi Pegawai dalam menjalankan fungsinya, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
situasi saja (contoh: pekerjaan), melainkan juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik yang dimilikinya. Hobfoll mendefinisikan sumber daya pribadi sebagai evaluasi diri positif yang terkait dengan ketahanan dan mengacu pada rasa individu dari kemampuan mereka untuk mengendalikan dan memberikan dampak yang baik pada lingkungan mereka (Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and Schaufeli, 2007). Sumber daya pribadi merupakan aspek diri yang secara umum dihubungkan dengan kegembiraan dan merujuk pada perasaan individu mengenai kemampuan mereka untuk mengontrol dan memberikan dampak kepada lingkungan mereka secara sukses (Xanthopoulou et al., 2007). Menurut Van de Heuvel, Damerouti, Bakker, dan Schaufeli (2010) sumber daya pribadi didefinisikan sebagai aspek lower-order, aspek kognitif afektif yang mencerminkan believe positif pada diri individu dan dunianya. Berdasarkan COR teori, sumber daya pribadi dianggap sebagai aspek nilai yang
37
tinggi, berhubungen dengan resiliensi dan berkontribusi terhadap resiliensi individu untuk mengontrol dan mempengaruhi lingkungan dengan sukses. Sumber daya pribadi menjelaskan proses motivasional. Dengan memasukkan sumber daya pribadi, JD-R model menjawab pertanyaan mengenai proses dan hubungan antara karakteristik pekerjaan dan hasil (Broeck, A.,V. & Ruysseveldt, J.V, Vanbelle, E & Witte, H. D. (2013). 2.4.2
Aspek-aspek Sumber Daya Pribadi
Beberapa aspek dalam sumber daya pribadi menurut Hobfoll (dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and Schaufeli, 2007). adalah sebagai berikut: 1. Self-efficacy Self-efficacy yaitu keyakinan individu terhadap kapabilitas yang dimilikinya untuk mengontrol kejadian-kejadian yang dapat mempengaruhi hidupnya (Bandura, 1989 dalam Xanthopoulou, et. al 2007) Chen et al. (dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and Schaufeli, 2007) mendefinisikan Self-efficacy sebagai persepsi individu pada kemampuan mereka dalam menghadapi tuntutan yang berada bahkan diluar kemampuan mereka. Self-efficacy merupakan aspek dalam personal resources yang paling banyak diteliti dan sering digunakan pada penelitian dalam setting pendidikan, klinis maupun organisasional. Self-efficacy dapat mempengaruhi pola berpikir, emosi dan aksi dalam berbagai konstruk motivasi. Dalam setting kerja, korelasi yang signifikan telah banyak ditemukan dalam hal hubungan self-efficacy dengan work performance (Stajkovic & Luthans, 1998). Self-efficacy ditandai dengan kepercayaan diri dapat
38
menyelesaikan semua masalah yang dihadapi, keyakin dapat memberi masukan pada kemajuan oranisasi, keyakinan dan kepercayaan dengan kemampuan diri ketika harus berhubungan dengan orang lain. 2. Organizational-based self-esteem (OBSE) Shahizan (2003) mengungkapkan bahwa self-esteem atau harga diri merupakan evaluasi positif dan negatif tentang diri sendiri yang dimiliki seseorang. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang diperolehnya. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya. Gecas dan Rosenberg mendefinisikan self-esteem sebagai evaluasi positif yang menyeluruh tentang dirinya (Hurlock, 2007). Sedangkan organizational-based self-esteem menurut Pierce adalah suatu keyakinan pekerja yang percaya bahwa mereka mampu memenuhi kebutuhan mereka dengan berpartisipasi dalam peran pada organisasi (Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and Schaufeli, 2007). Self-esteem (organizational based self-esteem) ditandai dengan evaluasi positif yang menyeluruh tentang diri dan keyakinan bahwa diri mampu memenuhi kebutuhan dengan berpartisipasi dalam peran dalam organisasi. 3. Optimisme Optimisme menurut Scheier adalah tendensi untuk percaya bahwa akan mendapatkan hasil baik dalam kehidupannya. Optimisme juga dapat didefinisikan secara umum sebagai perkiraan hasil yang positif. Optimisme ditandai dengan
39
menganggap bahwa setiap masalah selalu ada jalan keluarnya, merasa sangat energik dalam mencapai target kerja, merasa yakin akan meraih kesuksesan dalam karir. Dalam beberapa studi yang dilakukan belakangan ini, optimism ditemukan secara terpisah menjadi mediator hubungan antara job resources dengan work engagement dan secara tidak langsung juga memiliki pengaruh terhadap organizational performance (Xanthopoulou, et al, 2007). 2.4.3
Alat Ukur Sumber Daya Pribadi
Pada penelitian-penelitian sebelumnya skala yang biasanya mereka gunakan untuk mengukur faktor sumber daya personal ini adalah dengan menggabungkan beberapa skala pengukuran dari masing-masing aspek dari faktor tersebut. Alat ukur sumber daya personal tersebut kemudian digabungkan menjadi satu kesatuan instrument pengukuran. Dalam penelitian kali ini, peneliti menggabungkan alat ukur dari masing-masing aspek yang akan peneliti jabarkan berikut ini: 1. Self-efficacy Ada beberapa alat ukur yang telah banyak dikembangkan oleh beberapa peneliti terdahulu.
Salah satunya
adalah skala
General
Self-Efficacy Scale
yang
dikembangkan oleh Schwarzer et. al (dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and Schaufeli, 2007 ) yang terdiri dari 10 (sepuluh) item. Selain itu aspek self-efficacy juga dapat diukur dengan skala yang dikembangkan oleh Luthan et. al (2007) dikenal dengan nama skala psycap questionnaire (PCQ), dalam skala PCQ tersebut terdapat beberapa item yang mengukur aspek self-efficacy tersebut. Dalam penelitian kali ini, meneliti menggunakan 5 (lima) item dari PCQ yang mengukur aspek self-efficacy
40
saja, dengan menggunakan 5 (lima) alternatif jawaban dari 1 (sangat tidak sesuai) hingga 5 (sangat sesuai). 2. Organizational-based on Self-esteem (OBSE) Aspek OBSE dapat diukur dengan menggunakan skala yang dikembangkan oleh Pierce et. al (dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and Schaufeli, 2007) yang terdiri dari 10 item skala termasuk “Saya dianggap orang yang serius.” Peneliti mengadaptasi skala ini sebagai skala yang akan digunakan dalam mengukur organizational-based on self-esteem dengan menggunakan 5 (lima) alternatif jawaban dari 1 (sangat tidak sesuai) hingga 5 (sangat sesuai). 3. Optimisme Pengukuran pada aspek ini bisa dilakukan dengan mengadaptasi skala Life Orientation Test-Revised (LOT-R) yang dikembangkan oleh Scheier et. al (dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and Schaufeli, 2007) yang terdiri dari 10 (sepuluh) item skala meliputi “Saya selalu optimis dengan masa depan saya.” Selain itu aspek ini juga dapat diukur dengan mengadaptasi skala PCQ yang dikembangkan oleh Luthan et. al (2007) dengan mengadaptasi beberapa item skala yang hanya mengukur aspek optimis saja. Dalam penelitian kali ini peneliti mengadaptasi 5 (lima) item yang terdapat dalam skala PCQ untuk mengukur aspek optimis. Salah satu itemnya seperti “Saya merasa yakin bahwa saya akan meraih kesuksesan dalam karir saya,” dengan 5 (lima) pilihan alternatif jawaban, dari 1 (satu) sangat tidak sesuai hingga 5 (lima) sangat sesuai.
41
2.5 Kerangka Berpikir Organisasi modern mengaharapkan pekerjanya untuk lebih proaktif dan menunjukkan inisiatif, mengambil tanggungjawab untuk mengembangkan sikap profesionalnya, dan berkomitmen untuk meningkatkan standar kualitas kinerja. Para pekerja tersebut membutuhkan perasaan energetic dan dedikasi – organisasi membutuhkan pekerja yang total (Bakker dan Schaufeli, 2008). Kemudian, dalam beberapa dekade terakhir hubungan antara pekerjaan dengan subjective wellbeing tidak hanya dilihat dari aspek negatifnya saja, seperti burnout atau psychological distress, tetapi juga dilihat dari aspek positif seperti totalitas kerja (Inoue, A., Kawakami, N., Tsutsumi, A., Shimazu, A., Miyaki, K., Takahashi, M., Kurioka, S., Eguchi, H., Tsuchiya, M., Enta, K., Kosugi, Y., Sakata, T., dan Totsuzaki, T., 2014). Totalitas kerja menjadi salah satu faktor yang menjadi variabel penentu munculnya subjective wellbeing di suatu perusahaan. Bakker dan Oerlemans (2010) menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara work engagement dengan subjective wellbeing. Totalitas kerja berhubungan dengan ekspresi diri melalui kerja dan peran karyawan dalam kegiatan tempatnya bekerja (Kahn, 1990). Untuk beberapa alasan, totalitas kerja adalah sebuah konsep yang relevan dengan subjective well-being karyawan. Pertama, totalitas kerja terkait dengan hasil-hasil positif dalam organisasi seperti kepuasan kerja dan motivasi (Bakker, Demerouti & Schaufeli, 2003; Mei et al., 2004; Schaufeli & Bakker, 2004). Kedua, totalitas kerja terkait dengan perilaku positif dalam organisasi seperti inisiatif pribadi untuk bekerja dan mempunyai
42
keinginan untuk belajar (Sonnentag, 2003). Ketiga, karyawan yang total dalam pekerjaan mereka cenderung berkomitmen untuk organisasi mereka, sedangkan mereka yang totalitas kerjanya rendah cenderung menunjukkan rendahnya komitmen terhadap organisasi mereka (Blizzard, 2002). Individu yang sangat total dalam pekerjaan mereka mengidentifikasi pekerjaan mereka sendiri dan termotivasi dalam melaksanakan pekerjaannya. Mereka cenderung untuk bekerja lebih keras dan lebih produktif daripada karyawan lain dan lebih mungkin untuk menghasilkan kepuasan pelanggan dan tercapainya keinginan organisasi. Orang yang total dalam bekerja akan menggunakan kemampuan dan keterampilan mereka dengan baik, merasa tertantang dalam pekerjaan dan berprestasi. Selanjutnya, Grebner, Semmer, dan Elfering (2005) menyatakan bahwa stresor pekerjaan (dalam hal ini, job demands atau tuntutan kerja) adalah satu hal yang mungkin menjadi penyebab buruknya subjective wellbeing, kesehatan, dan performa kerja (job performance). Pekerja menjadi bosan dengan kegiatan pekerjaan sehari-hari mereka, tetapi energi mereka harus cukup untuk memenuhi tuntutan tugas. Ketika seorang individu bekerja dengan beban kerja mental yang tinggi dan merasa lelah, tambahan energi diperlukan untuk memastikan bahwa kinerja mereka tetap baik. Hal ini dapat mengakibatkan kelelahan akut yang pada gilirannya dapat mengakibatkan efek kronis pada kesehatan dan kesejahteraan (Demerouti, et al. 2001). Dengan demikian, job demands dapat dikatakan memiliki hubungan yang terbalik atau negatif dengan subjective well-being, dimana semakin rendah tingkat job demands maka semakin tinggi tingkat subjective well-being dan sebaliknya.
43
Sama halnya dengan tuntutan kerja, faktor lain yang mempengaruhi subjective wellbeing yaitu sumber daya pribadi (personal resources). Sumber daya pribadi adalah evaluasi diri yang positif terkait dengan ketahanan dan merujuk kepada individu yang memiliki kemampuan untuk mengontrol dan memberikan dampak yang baik pada lingkungan mereka (Hobfoll, Johnson, Ennis, dan Jackson, 2003). Semakin tinggi sumber daya pribadi (personal resources), maka individu tersebut menganggap diri sendiri sebagai individu-individu yang lebih positif. Penelitian membuktikan bahwa evaluasi diri yang positif dapat meningkatkan pencapaian, motivasi, kinerja, kepuasan kerja, kepuasan hidup, dan lain sebagainya (lihat Judge, Van Vianen dan De Pater, 2004, dalam Bakker, 2011). Semakin tinggi sumber daya pribadi, maka individu tersebut menganggap diri sendiri sebagai individu-individu yang lebih positif. Pada gilirannya, ada kemungkinan bahwa individu akan mencapai tujuan yang mereka tetapkan dengan kemampuan mereka. Individu menjadi termotivasi (motivasi intrinsik) untuk mengejar tujuan-tujuan mereka dan sebagai akibatnya mereka akan mendapatkan kepuasan, yang dalam hal ini adalah bagian dari subjective wellbeing (Luthans dan Youssef, 2007).
44
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Totalitas Kerja Absorption Dedication Vigor
Tuntutan Kerja Emotional Dissonance Emotional Demands Workload
Sumber Daya Pribadi Optimisme Self-efficacy Self-esteem (organizational based self-esteem)
Subjective Wellbeing
45
2.6 Hipotesis Penelitian Hipotesis Mayor Ada Pengaruh Totalitas Kerja, Tuntutan Kerja, dan Sumber Daya Pribadi Terhadap Subjective Wellbeing. Hipotesis Minor H1 =
Ada pengaruh absorption terhadap subjective wellbeing.
H2 =
Ada pengaruh dedication terhadap subjective wellbeing.
H3 =
Ada pengaruh vigor terhadap subjective wellbeing.
H4 =
Ada pengaruh emotional dissonance terhadap subjective wellbeing.
H5 =
Ada pengaruh emotional demands terhadap subjective wellbeing.
H6 =
Ada pengaruh workload terhadap subjective wellbeing.
H7 = Ada pengaruh optimisme terhadap subjective wellbeing. H8 =
Ada pengaruh self-efficacy terhadap subjective wellbeing.
H9 =
Ada pengaruh self-esteem (organizational based self-esteem) terhadap subjective wellbeing.
BAB 3 METODE PENELITIAN
Pada bab tiga ini dipaparkan populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi operasional, instrumen pengumpulan data, uji validitas instrumen pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data. 3.1 Populasi dan Sampel Bardasarkan data dari biro kepegawaian Kementerian Sosial RI, populasi seluruh pegawai Kementerian Sosial RI berjumlah 4.460 pegawai. Karena banyaknya anggota populasi dalam penelitian ini, maka peneliti hanya mengambil sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Wakil populasi atau sampel tersebut terdiri dari pegawai biro organisasi dan kepegawaian, biro keuangan, biro humas, dan biro hukum yang berada dalam naungan Kementerian Sosial RI dengan kriteria pegawai negeri sipil yang telah bekerja di Kementerian Sosial RI selama minimal 6 bulan. Adapun dari 600 kuesioner yang peneliti berikan kepada pihak instansi, hanya 431 kuesioner yang kembali. Jumlah kuesioner tersebut yang peneliti jadikan sampel dalam penelitian ini. Pengambilan sampel dalam penelitian ini termasuk kategori non probability sampling karena kemungkinan terpilihnya sampel dari setiap anggota populasi tidak dapat dipastikan
46
47
3.2 Variabel Penelitian Sebelum membahas definisi operasional penelitian, dibawah ini terdapat beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya. Untuk berikutnya, yang disebut dengan variabel adalah dimensi dari totalitas kerja yaitu absorption, dedication dan vigor, dimensi dari tuntutan kerja yaitu emotional dissonance, emotional demands dan workload dan dimensi dari sumber daya pribadi yaitu optimisme, self-efficacy dan self-esteem (organizational based self-esteem). Adapun variabel – variabel yang peneliti gunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Subjective wellbeing 2. Absorption (penyerapan) 3. Dedication (dedikasi) 4. Vigor (semangat) 5. Emotionl dissonance 6. Emotional demands 7. Workload 8. Optimisme 9. Self-efficacy 10. Self-esteem (organizational based self-esteem) Dependent variable dalam penelitian ini adalah subjective wellbeing, sedangkan sisanya adalah independent variable.
48
3.3 Definisi Operasional Variabel Setelah menentukan variabel mana yang menjadi fokus penelitian (DV), variabel mana yang menjadi IV, dan veriabel mana yang menjadi variabel moderator, peneliti menentukan definisi operasional yang akan digunakan dalam penelitian ini, penentuannya didasarkan pada definisi konseptual yang telah dijelaskan pada bab dua. Adapun penjelasannya sebagai berikut: 1. Subjective wellbeing merupakan penilaian secara global terhadap kepuasan hidup, pengetahuan dari subjective wellbeing dilihat dari penilaian individu secara global terhadap kepuasan hidup dan kualitas hidup. Pengukuran subjective well-being yang digunakan dalam penelitian ini adalah satisfaction with life scale (SWLS) atau skala kepuasan hidup, dimana individu melihat pada domain yang penting dalam hidup dan membandingkan domain kehidupan tersebut dengan berbagai standar pembanding, misalnya situasi yang mereka alami di masa lalu, keadaan di lingkungan sekitar mereka masa kini, ataupun harapan akan sesuatu di masa depan. 2. Absorption atau penyerapan ditandai dengan individu yang selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan. 3. Dedication atau dedikasi ditandai dengan individu yang merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan.
49
4. Vigor atau semangat merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, tekun dalam menghadapi kesulitan kerja, juga kemauan untuk menginvestasikan segala upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan. 5. Emotional dissonance adalah konflik antara perasaan emosi yang dirasakan pekerja yang sebenarnya dengan emosi yang ditampilkan selama berinteraksi dengan orang lain pada saat bekerja. Pekerja dalam konteks ini harus menampilkan emosi positif dan menekan emosi negatif mereka dalam berinteraksi dengan klien ataupun mitra kerjanya. 6. Emotional demands atau tuntutan emosional adalah masalah di tempat kerja yang mempengaruhi karyawan secara pribadi dan menguras emosi. Tuntutan emosional fokus pada interaksi emosional yang terjadi di tempat kerja 7. Workload ditandai dengan bekerja secara non stop dalam jam kerja yang lama, beban pekerjaan yang terlalu banyak dan terbatasnya waktu yang diberikan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut 8. Optimisme ditandai dengan menganggap bahwa setiap masalah selalu ada jalan keluarnya, merasa sangat energik dalam mencapai target kerja, merasa yakin akan meraih kesuksesan dalam karir. 9. Self-efficacy ditandai dengan kepercayaan diri dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi, keyakin dapat memberi masukan pada kemajuan
50
oranisasi, keyakinan dan kepercayaan dengan kemampuan diri ketika harus berhubungan dengan orang lain. 10. Sedangkan self-esteem (organizational based self-esteem) ditandai dengan evaluasi positif yang menyeluruh tentang diri dan keyakinan bahwa diri mampu memenuhi kebutuhan dengan berpartisipasi dalam peran dalam organisasi. 3.4 Instrumen Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah alat ukur yang langsung diberikan ke subjek yang akan memberikan jawabannya dengan memilih salah satu jawaban yang sudah tersedia. Alat ukur yang digunakan terdiri dari empat macam, yaitu alat ukur subjective well-being, alat ukur totalitas kerja, alat ukur tuntutan kerja, dan alat ukur sumber daya pribadi. Baik pada keempat skala tersebut disusun berdasarkan model Likert. Subjek diminta menyatakan kesesuaian dan ketidaksesuaian terhadap isi pernyataan dalam lima kategori jawaban, yaitu 1 = Sangat Tidak Sesuai, 2 = Tidak Sesuai, 3 = Agak Sesuai, 4 = Sesuai, 5 = Sangat Sesuai. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Skala Satisfaction With Life Scale (SWLS) Untuk mengukur subjective wellbeing, digunakan skala Satisfaction With Life Scale yang dikembangkan oleh Diener pada tahun 1984. Pada alat ukur ini terdapat 5 pernyataan, Alat ukur ini mempunyai konsistensi internal yang baik,
51
dimana alpha cronbach nya ada di 0,87, dan menunjukkan bahwa SWLS mempunyai kekayaan psikometrik (Diener, et al. 1985). Tabel 3.1 Blue Print Skala Subjective Well-being No 1 Jumlah
Dimensi Subjective well-being
Favorable 1,2,3,4,5
Jumlah 5 5
2. UWES (Utrecht Work Engagement Scale) Skala ini dikembangkan oleh Wilmar B. Schaufeli, Arnold B. Bakker, dan Marisa Salanova pada tahun 2006. Skala ini terdiri dari 17 item. Dimensi vigor atau semangat terdiri dari 6 item, dimensi dedikasi terdiri dari 5 item, dan dimensi absorpsi atau penyerapan terdiri dari 6 item. Tabel 3.2 Blue Print Skala Totalitas Kerja (UWES) Aspek Vigor atau semangat
Indikator 1. Adanya curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja. 2. Keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. 3. Tekun dalam menghadapi kesulitan kerja. 4. Kemauan untuk menginvestasikan segala upaya dalam suatu pekerjaan 5. Tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
Item Favorabel 1,3,4,5,6
Item Unfavorable 2
Jumlah
6
52
Aspek
Indikator
Dedication
1. Menemukan kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan 2. Mengalami rasa kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan.
Absorption atau penyerapan
1. Bekerja penuh konsentrasi. 2. Serius terhadap suatu pekerjaan. 3. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat. 4. Menemukan kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan.
TOTAL
Item Favorabel
Item Unfavorable
12,13, 14,15, 16,17
16
Jumlah
6
1
17
3. Skala Tuntutan Kerja Pada penelitian ini, aspek workload dalam mengukur tuntutan kerja diukur dengan menggunakan skala yang dikembangkan oleh Bakker, Demerouti, Taris, Schaufeli, dan Schreurs (2003). Aspek emotional demands dan emotional dissonance diukur dengan menggunakan skala yang dikembangkan oleh Xanthopaulo, Bakker, dan Fischbach (2013). Adapun blue print dari skala tuntutan kerja akan dijelaskan dalam tabel berikut:
53
Tabel 3.3 Blue Print Skala Tuntutan Kerja Aspek Workload Emotional Demands Emotional Dissonance
Indikator Tugas yang berlebihan dan tenggang waktu yang singkat. Menghadapi situasi emosional dalam pekerjaan. Menampilkan emosi positif dan menekan emosi negatif dalam berinteraksi dengan klien ataupun mitra kerja.
TOTAL
Item Favorabel
Jumlah
1,2,3,4
4
5,6,7
3
8,9,10
3
10
4. Skala Sumber Daya Pribadi Sumber daya pribadi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah skor yang didapat dari pengukuran terhadap sumber daya ribadi, yang dalam penelitian kali ini menggunakan aspek yang dikembangkan oleh Hobfoll 2002, Luthans & Youssef, 2007, yaitu: Self-efficacy, Organizational Based Self-Esteem, dan Optimism. Untuk aspek Self-efficacy akan diukur dengan 6 item yang diadaptasi dari skala PCQ yang dikembangkan oleh Luthan et. al (dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and Schaufeli, 2007) meliputi; “Saya merasa percaya diri dapat menyelesaikan semua masalah yang saya hadapi.” Pada aspek Organizational Based Self-esteem akan diukur dengan 10 item skala yang dikembangkan oleh Pierce, Gardner, Cummings dan Dunham (dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and Schaufeli, 2007) contoh item seperti “Saya orang yang penting”. Untuk aspek optimis peneliti juga mengadaptasi skala PCQ
54
yang dikembangkan oleh Luthan et. al (dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and Schaufeli, 2007). Tabel 3.4 Blue Print Skala Sumber Daya Pribadi Aspek Self-Efficacy
Self-Esteem
Optimisme
Indikator Percaya diri dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi. Yakin dapat memberi masukan pada kemajuan oranisasi. Yakin dan percaya dengan kemampuan diri ketika harus berhubungan dengan orang lain. Evaluasi positif yang menyeluruh tentang diri dan keyakinan untuk mampu memenuhi kebutuhan dengan berpartisipasi dalam peran dalam organisasi. Menganggap bahwa setiap masalah selalu ada jalan keluarnya. Merasa sangat energik dalam mencapai target kerja. Merasa yakin akan meraih kesuksesan dalam karir.
Item Favorable 1,2,3,4,5,6
Jumlah
12,13,14, 15,16,17, 18,19,20, 21
10
7,8,9,10, 11
5
TOTAL
6
21
3.5 Uji Validitas Konstruk Instrumen Pengumpulan Data Sebelum melakukan analisis data, peneliti melakukan pengujian terhadap validitas konstruk alat ukur. Untuk menguji validitas konstruk digunakan analisis Confirmatory Factor Analysis atau CFA, untuk melihat validitas konstruk setiap item serta menguji struktur faktor yang diturunkan secara teoritis. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan teori adalah konsep bahwa seluruh item mengukur satu hal yang sama (unidimensional) yaitu konstruk yang hendak diukur. Analisis faktor adalah alat analisis statistik yang digunakan untuk mereduksi faktor-
55
faktor yang mempengaruhi suatu variabel menjadi beberapa set indikator saja, tanpa kehilangan informasi yang berarti. Dan akan memungkinkan item yang tidak valid akan dibuang dan yang valid akan dihitung dan digunakan dalam penelitian. Setelah diuji validitasnya, selanjutnya akan diuji reabilitasnya dari item-item skala tersebut. Reliabilitas adalah alat ukur untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indicator dari variabel atau konstruk. Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban responden terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu (Sugiyono, 2004). Nilai reliabilitas nantinya akan didapatkan sekaligus ketika melakukan uji validitas dengan menggunakan bantuan software LISREL 8.7 (Joreskog dan Sorbom, 1999). Dalam rangka pengujian validitas alat ukur, peneliti melakukan uji validitas konstruk instrument tersebut. Oleh karena itu, digunakan CFA (Confirmatory Factor Analysis) dengan bantuan software LISREL 8.70 (Joreskog dan Sorbom, 1999) untuk pengujian validitas instrumen. Adapun logika dari CFA (Umar, 2013) yaitu: 1.
Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan untuk mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran terhadap faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-itemnya.
2.
Teori setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga tiap subtes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun subtes bersifat unidimensional.
56
3.
Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks korelasi antar item yang seharusnya diperoleh jika memang unidimensional. Matriks korelasi ini disebut sigma (∑), kemudian dibandingkan dengan matriks dari data empiris, yang disebut matriks S. Jika teori tersebut benar (unidimensional) maka tentunya tidak ada perbedaan antara matriks ∑ - matriks S atau bisa juga dinyatakan dengan ∑ - S = 0.
4.
Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chi square. Jika hasil chi square tidak signifikan p>0.05, maka hipotesis nihil tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut dapat diterima bahwa item ataupun subtes instrumen hanya mengukur satu faktor saja.
5.
Jika model fit, maka langkah selanjutnya menguji apakah item signifikan atau tidak mengukur apa yang hendak diukur, dengan menggunakan t-test. Jika hasil t-test tidak signifikan maka item tersebut tidak signifikan dalam mengukur apa yang hendak diukur, bila perlu item yang demikian di drop dan sebaliknya.
6.
Terakhir, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan faktornya negatif, maka item tersebut harus di drop. Sebab hal ini tidak sesuai dengan sifat item, yang bersifat positif (favorable).
3.5.1 Uji Validitas Konstruk Skala Subjective Well-being Peneliti menguji apakah 5 item yang ada bersifat unidimensional, artinya item-item tersebut benar-benar hanya mengukur subjective well-being. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi Square = 55.08, df = 5, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.153. Namun setelah dilakukan
57
modifikasi sebanyak 2 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka kemudian diperoleh model fit dengan nilai Chi Square menghasilkan P-value > 0.05 (signifikan). Artinya model satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu kesejahteraan subjektif. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah ini :
Gambar 3.1 Uji Validitas Konstruk Skala Subjective Well-being Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu
58
juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran subjective wellbeing disajikan pada tabel 3.5. Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Subjective Well-being No Koefisien Standard Error Nilai t 1 0.64 0.05 12.84 2 0.71 0.05 13.98 3 0.73 0.05 14.89 4 0.73 0.05 14.96 5 0.50 0.05 9.78 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Signifikan V V V V V
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua item signifikan ( t > 1.96) dan semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian item-item tersebut tidak akan di-drop. 3.5.2
Uji Validitas Konstruk Skala Totalitas Kerja
3.5.2.1 Vigor Peneliti menguji apakah 6 item benar-benar bersifat unidimensional, artinya benarbenar hanya mengukur vigor. Dari hasil analisis CFA dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square = 83.13, df = 5, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.191. Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 2 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 2,44 , df = 3 , P-value = 0.48602, RMSEA = 0.000 . Artinya, model dengan satu faktor (unidimensional) dapat
59
diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu vigor. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 3.2 Uji Validitas Konstruk Vigor Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran vigor disajikan pada tabel 3.6.
60
Tabel 3.6 Muatan Item Vigor No 1 2 3 4 5
Koefisien 0.60 0.57 0.65 0.40 0.44
Standard Error 0.08 0.06 0.08 0.06 0.06
Nilai t 7.87 9.01 8.59 6.90 7.66
Signifikan V V V V V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ada semua item signifikan ( t > 1.96) dan semua koefisien sudah bermuatan positif. Dengan demikian item-item tersebut tidak akan didrop. 3.5.2.2 Dedication Peneliti menguji apakah 5 item tersebut benar-benar bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur dedication. Dari hasil analisis CFA dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square = 101.64, df = 5, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.212. Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 2 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 6.17, df = 3, P-value = 0.10378, RMSEA = 0.050. Artinya, model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu dedication. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar 3.3.
61
Gambar 3.3 Uji Validitas Konstruk Dedication Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran dedication disajikan pada tabel 3.7.
62
Tabel 3.7 Muatan Item dedication No Koefisien Standard Error Nilai t 1 0.40 0.05 7.84 2 0.82 0.04 18.72 3 0.81 0.04 18.57 4 0.72 0.05 16.00 5 0.52 0.05 10.68 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Signifikan V V V V V
Dari tabel 3.7 dapat dilihat bahwa semua item signifikan ( t > 1.96) dan semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian itemitem tersebut tidak akan di-drop. 3.5.2.3 Absorption Peneliti menguji apakah 6 item dari absorption benar-benar bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur absorption. Dari hasil analisis CFA dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square = 229.62, df = 9, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.239. Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 5 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara itemitem yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 5.77 df = 4, P-value = 0.21701, RMSEA = 0.032. Artinya, model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu absorption. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
63
Gambar 3.4 Uji Validitas Konstruk Absorption Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran absorption disajikan pada tabel 3.8.
64
Tabel 3.8 Muatan Item Absorption No Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan 1 0.42 0.05 8.43 V 2 0.67 0.05 14.55 V 3 0.91 0.04 21.00 V 4 0.62 0.05 13.14 V 5 0.51 0.05 10.35 V 6 0.54 0.05 11.29 V Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian item-item tersebut tidak akan di-drop. 3.5.3
Uji Validitas Konstruk Skala Tuntutan Tugas
3.5.3.1 Workload Peneliti menguji apakah 4 item benar-benar bersifat unidimensional, artinya benarbenar hanya mengukur tuntutan tugas. Dari hasil analisis CFA dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square = 18.25 , df = 2 , P-value = 0.00011 , RMSEA = 0.137 . Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 1 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 3.22, df = 1, P-value = 0.07297, RMSEA = 0.072. Artinya, model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu workload. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
65
Gambar 3.5 Uji Validitas Konstruk Workload Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran workload disajikan pada tabel 3.9.
66
Tabel 3.9 Muatan Item workload No Koefisien Standard Error Nilai t 1 0.51 0.06 8.96 2 0.41 0.07 5.63 3 0.55 0.06 9.17 4 0.73 0.07 10.19 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Signifikan V V V V
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua item signifikan ( t > 1.96) dan semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian item-item tersebut tidak akan di-drop. 3.5.3.2 Uji Validitas Konstruk Emotional Demands dan Emotional Dissonance Peneliti menguji apakah ketiga item dari emotional demands dan ketiga item dari emotional dissonance benar-benar bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur tuntutan kerja. Dari hasil analisis CFA dengan model satu faktor, model tidak fit dengan Chi Square = 599.76, df = 9, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.391. Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 8 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 2.75, df = 1, P-value = 0.09709, RMSEA = 0.064. Artinya, model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu tuntutan kerja. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
67
Gambar 3.6 Uji Validitas Konstruk Emotional Demands dan Emotional Dissonance Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran emotional demands dan emotional dissonance disajikan pada tabel 3.10.
68
Tabel 3.10 Muatan Item Emotional Demands dan Emotional Dissonance No Koefisien Standard Error Nilai t 1 0.66 0.07 9.99 2 0.85 0.07 12.63 3 0.73 0.06 11.65 4 0.39 0.05 7.33 5 1.00 0.07 14.67 6 1.00 0.07 14.66 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Signifikan V V V V V V
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua item signifikan ( t > 1.96) dan semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian item-item tersebut tidak akan di-drop. 3.5.4
Uji Validitas Konstruk Skala Sumber Daya Pribadi
3.5.4.1 Optimisme Peneliti menguji apakah kelima item benar-benar bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur sumber daya pribadi. Dari hasil analisis CFA dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square = 28.11 , df = 5 , P-value = 0.00000 , RMSEA = 0.124 . Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 1 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara itemitem yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 4.73, df = 4, P-value = 0.31635, RMSEA = 0.021. Artinya, model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu optimisme. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
69
Gambar 3.7 Uji Validitas Konstruk Optimisme Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran optimisme disajikan pada tabel 3.11. Tabel 3.11 Muatan Item optimisme No Koefisien Standard Error Nilai t 1 0.62 0.05 12.73 2 0.73 0.05 15.77 3 0.69 0.05 14.90 4 0.83 0.04 18.68 5 0.59 0.05 12. 28 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Signifikan V V V V V
70
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua item signifikan ( t > 1.96) dan semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian item-item tersebut tidak akan di-drop. 3.5.4.2 Self Efficacy Peneliti menguji apakah keenam item benar-benar bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur sumber daya pribadi. Dari hasil analisis CFA dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square = 92.60, df = 9 , Pvalue = 0.00000 , RMSEA = 0.147 . Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 3 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 9.28, df = 6, P-value = 0.15818, RMSEA = 0.036. Artinya, model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu self-efficacy. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 3.8 Uji Validitas Konstruk Self-Efficacy
71
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran self-efficacy disajikan pada tabel 3.12. Tabel 3.12 Muatan Item Self Efficacy No 1 2 3 4 5 6
Koefisien 0.55 0.77 0.87 0.73 0.86 0.80
Standard Error 0.05 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
Nilai t 11.91 18.19 21.51 17.28 21.32 19.08
Signifikan V V V V V V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua item signifikan ( t > 1.96) dan semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian item-item tersebut tidak akan di-drop. 3.5.4.3 Self Esteem Peneliti menguji apakah keenam item benar-benar bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur sumber daya pribadi. Dari hasil analisis CFA dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square = 5870.04, df = 45 , P-
72
value = 0.00000 , RMSEA = 0.549 . Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 24 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 25.29, df = 21, P-value = 0.23486, RMSEA = 0.022. Artinya, model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu sumber daya pribadi. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 3.9 Uji Validitas Konstruk Self-Esteem Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran self esteem disajikan pada tabel 3.13.
73
Tabel 3.13 Muatan Item Self Esteem No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Koefisien 0.44 0.73 0.39 0.64 0.71 0.77 0.84 0.93 0.90 0.82
Standard Error 0.05 0.04 0.05 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
Nilai t 9.27 17.59 8.42 14.68 16.76 18.74 21.18 25.04 23.75 20.47
Signifikan V V V V V V V V V V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua item signifikan ( t > 1.96) dan semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian item-item tersebut tidak akan di-drop. 3.6
Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut : 1.
Peneliti mulai merumuskan masalah yang akan di teliti dengan melihat pada fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar.
2.
Kemudian peneliti melanjutkan dengan kajian pustaka untuk melihat masalah tersebut dari sudut pandang teoritis agar dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya, serta untuk mecari variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini.
74
3.
Setelah mendapatkan semua yang dibutuhkan untuk landasan teorinya, peneliti menyiapkan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian. Selanjutnya peneliti menentukan populasi dan sampel (beserta teknik pengambilan sampel dan teknik pengambilan data) yang akan menjadi subjek penelitian nantinya.
4.
Setelah alat ukur sudah siap, peneliti melakukan pengambilan data dengan menyebarkan angket kuesioner kepada responden-responden dibantu oleh Kepala Bagian Formasi Pegawai Biro Kepegawaian Kementerian Sosial RI untuk menentukan jadwal pengisian angket. Proses pengambilan data dilakukan sejak tanggal 1 juli 2014sampai dengan 21 juli 2014.
5.
Hasil skala yang telah diisi kemudian diskoring untuk kemudian dianalisis datanya.
3.7
Teknik Analisis Data
Untuk melihat pengaruh variabel-variabel independen terhadap subjective wellbeing, peneliti menggunakan analisis regresi berganda (multiple regression analysis). Pengolahan data dilakukan dengan analisis data secara statistik sebagai cara untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (independent variabel) : Work Engagement (vigor, dedication, absorption), Tuntutan kerja (workload, emotional demands, emotional dissonance) dan sumber daya pribadi (optimisme, self efficacy dan self esteem) terhadap variabel terikat (dependent variabel) yaitu subjective wellbeing. Ada empat tahap yang akan dilakukan untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen (Pedhazur, 1997). Pertama, peneliti menghitung parameter (α, 𝑏 1 , 𝑏2, …, 𝑏k) dari persamaan regresi Y = a + 𝑏1𝑋1 + 𝑏2𝑋2 + … +𝑏𝑘𝑋𝑘.
75
Dengan begitu, peneliti dapat menggunakan variabel-variabel untuk memprediksi Y partisipan. Dalam hal ini hipotesis yang akan diukur, penulis menggunakan teknik analisis regresi berganda, dengan rumus:
y = a + b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+b6X6+b7X7+ b8X8+ b9X9+e Keterangan: y = subjective wellbeing a = konstan, intercept b = koefisien regresi X1 = absorption X2 = dedication X3 = vigor X4 = emotional dissonance X5 = emotional demands X6 = workload X7 = optimisme X8 = self efficacy X9 = self esteem e = residu (hal yang mempengaruhi DV diluar dari IV) Kedua, peneliti akan menghitung proporsi varians dari subjective wellbeing yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen yang peneliti teliti, yaitu 𝑅2. Ketiga, peneliti akan menguji signifikansi dari hasil yang didapat. Jadi peneliti dapat mengetahui apakah regresi dari totalitas kerja atas delapan variabel signifikan secara
76
statistik. Peneliti juga dapat mengetahui apakah koefisien regresi (b) dari persamaan regresi secara statistik berbeda dari nol. Terakhir, peneliti dapat menentukan relativitas pentingnya masing-masing variabel independen dalam menjelaskan totalitas kerja. Untuk menilai apakah model regresi yang dihasilkan merupakan model yang paling sesuai (memiliki error terkecil), dibutuhkan beberapa pengujian dan analisis. Melalui regresi berganda ini akan diperoleh nilai R, yang merupakan koefisien korelasi berganda antara variabel independen dengan variabel dependen. Kemudian besarnya kemungkinan yang disebabkan oleh faktor-faktor yang telah disebutkan tadi ditunjukkan oleh koefisien determinasi berganda atau 𝑅2. Fungsi 𝑅2 ini digunakan untuk melihat proporsi varians subjective wellbeing yang dipengaruhi work engagement atau totalitas kerja (vigor, dedication, absorption), tuntutan kerja (workload, emotional demands, emotional dissonance) dan sumber daya pribadi (optimisme, self efficacy dan self esteem). Berikutnya, untuk membuktikan apakah regresi Y dan X signifikan atau tidak, maka dapat diuji dengan menggunakan uji F (Pedhazur, 1997). Dari hasil uji F yang dilakukan nantinya, dapat dilihat apakah variabel independen yang diujikan tersebut memiliki pengaruh terhadap variabel dependen. Kemudian untuk menguji apakah pengaruh yang diberikan variabel independen signifikan terhadap variabel dependen, maka peneliti melakukan uji T. Hasil uji t ini akan diperoleh dari hasil regresi yang akan dilakukan oleh peneliti nantinya. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis secara statistik.
BAB 4 HASIL PENELITIAN
Pada bab ini, penulis akan menguraikan mengenai gambaran subjek penelitian, deskripsi data, analisis data dan hasilnya. 4.1 Karakteristik Sampel Penelitian Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah penghasilan, status perkawinan, dan lama bekerja. Responden dalam penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil Kementerian Sosial RI, Kemudian pada tabel 4.1 penulis akan memaparkan karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah penghasilan, status perkawinan, dan lama bekerja sebagai berikut: Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Penelitian Pendidikan dan Status Perkawinan
Berdasarkan
Karakteristik Sampel
Jenis
Kelamin,
N=431 n (%)
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Tingkat Pendidikan SD SMP SMA DIPLOMA S1 S2 Status Perkawinan Belum Menikah Menikah Janda Duda
184 (42.7) 247 (57.3) 6 (1.4) 15 (3.5) 111 (25.7) 58 (13.4) 196 (45.5) 45 (10.5) 42 (9.7) 374 (86.8) 12 (2.8) 3 (0.7)
77
Tingkat
78
Dari 431 responden dalam penelitian ini terlihat bahwa mayoritas responden adalah wanita. Banyaknya jumlah responden wanita adalah sebesar 247 atau 57.3% sedangkan responden laki laki sebesar 184 atau 42.7%. Selanjutnya, berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas responden tingkat pendidikan terakhirnya adalah SMA dan S1. Responden dengan tingkat pendidikan terakhir SMA sebanyak 111 orang atau 25.7% sedangkan responden dengan tingkat pendidikan terakhir S1 sebanyak 196 atau 45.5%. Berdasarkan status perkawinan, sebanyak 42 atau 9.7% responden belum menikah, 374 atau 86.8% responden sudah menikah, 12 atau 2.8% responden adalah janda dan 3 atau 0.7% responden adalah duda. Tabel 4.2 Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Jumlah Penghasilan dan Lama Bekerja Karakteristik Sampel Jumlah Penghasilan 1-3 juta 3,1-5 juta 5,1-7 juta ≥ 7 juta Lama Bekerja 6 bulan -5 tahun 5,1-10 tahun 10,1-15 tahun 15,2-20 tahun 20,1-25 tahun 25,1-30 tahun ≥ 30 tahun
N=431 n (%) 164 (38) 224 (52) 41 (9.5) 2 (0.5) 84 (19) 103 (23) 42 (9) 39 (8) 107 (24) 52 (12) 24 (5)
79
Berdasarkan jumlah penghasilan, mayoritas responden yakni 224 atau 52% berpenghasilan 3,1-5 juta per bulan, sedangkan hanya sedikit responden yang berpenghasilan lebih dari 7 juta per bulan, yakni sebanyak 2 orang atau 0.5%. Sedangkan jika dilihat berdasarkan rentang lama bekerja, responden yang memiliki jumlah terbanyak adalah responden dengan rentang lama bekerja antara 20,1-25 tahun dengan jumlah sebanyak 107 responden atau 24%. Sedangkan responden dengan jumlah yang paling sedikit adalah responden yang bekerja lebih dari 30 tahun yakni sebanyak 24 responden atau 5%. 4.2 Analisis Deskriptif Skor yang digunakan dalam analisis statistik pada penelitian ini adalah skor murni (t-score) yang merupakan hasil proses konversi dari raw score. Proses ini dilakukan untuk memudahkan dalam melakukan perbandingan antar skor hasil penelitian variabel-variabel yang diteliti, dengan demikian semua raw score pada setiap variabel harus diletakkan pada skala yang sama. Hali ini dilakukan dengan mentransformasikan raw score menjadi Z-score, agar nilai Z-score menjadi positif perlu dilakukan perhitungan t-score = 50 + 10*Z. Untuk menjelaskan gambaran umum deskripsi statistic dari variabel-variabel yang diteliti, indeks yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah skor mean, standar deviasi, minimum dan maksimum dari setiap variabel penelitian. Skor tersebut disajikan dalam tabel berikut ini:
80
Tabel 4.3 Deskripsi Statistik Variabel Penelitian Subjective wellbeing Absorption Dedication Vigor Emotional dissonance Emotional demands Workload Optimisme Self-efficacy Self-esteem Valid N (listwise)
N 431 431 431 431
Minimum 18.31 17.31 18.60 26.04
Maximum 62.71 60.51 64.54 72.91
Mean 50.00 50.00 50.00 50.00
Std. Deviation 7.926 7.623 7.522 7.684
431
10.50
52.48
50.00
10.90
431 431 431 431 431 431
11.18 13.11 12.47 14.72 18.75
55.90 62.25 62.36 59.08 57.26
50.00 50.00 50.00 50.00 50.00
9.132 8.164 7.123 7.860 6.252
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa skor subjective wellbeing, absorption, dedication, vigor, emotional dissonance, emotional demands, workload, optimisme, self-efficacy dan self-esteem diletakkan pada skala yang sama, maka mean kesepuluh variabel adalah 50 dan nilai minimum, maximum beserta standar deviasi dapat dilihat dari tabel di atas. 4.3 Kategorisasi Variabel Penelitian Setelah melakukan deskripsi statistik dari masing-masing variabel, maka hal yang perlu dilakukan adalah pengkategorisasian terhadap data penelitian dengan menggunakan standar deviasi dan mean dari t-score. Kategorisasi dalam penelitian ini dibuat menjadi tiga kategori yaitu, tinggi, sedang dan rendah. Dalam hal ini ditetapkan norma sebagai berikut:
81
Tabel 4.4 Pedoman Interpretasi Skor Kategori
Rumus
Tinggi
X < Mean – 1SD
Sedang
Mean – 1SD ≤ X ≤ Mean +1SD
Rendah
X > Mean + 1SD
Uraian mengenai gambaran kategori skor variabel penelitian berdasarkan tinggi, sedang dan rendahnya variabel yang digunakan dalam penelitian ini akan disajikan pada tabel di bawah ini: Tabel 4.5 Kategorisasi Skor Variabel Kategorisasi Skor Variabel Variabel
Tinggi
%
Sedang
%
Rendah
%
Subjective wellbeing
6
1,4
284
65,9
141
32,7
Absorption
3
0,7
181
42
247
57,3
Dedication
20
4,6
331
76,8
80
18.6
Vigor Emotional dissonance Emotional demands Workload
39 0 0 4
9 0 0 0,9
351 103 82 267
81.4 23,9 19 61,9
41 328 349 160
9,5 76,1 81 37,1
Optimisme
6
1,4
341
79,1
84
19,5
Self-efficacy Organizational- based self esteem
0
0
271
62,9
160
37,1
0
0
319
74
112
26
Sebagaimana disebutkan dalam tabel 4.5, dapat dilihat bahwa pegawai yang memiliki subjective wellbeing yang berkategori rendah sebanyak 32,7% dengan jumlah 141 orang, pegawai yang memiliki subjective wellbeing yang sedang sebanyak 65,9% dengan jumlah 284 orang, dan pegawai yang memiliki subjective wellbeing yang tinggi adalah sebanyak 1,39% dengan jumlah 6 orang. Pada penelitian
82
ini, subjective wellbeing pada kategori sedang merupakan jumlah kategori terbanyak yaitu 82,4% dengan jumlah 356 orang. Untuk variabel absorption terlihat bahwa pegawai yang memiliki absorption yang berkategori rendah sebanyak 57,3% dengan jumlah 247 orang, pegawai yang memiliki absorption yang sedang sebanyak 42% dengan jumlah 181 orang, dan pegawai yang memiliki absorption yang rendah 0,7% dengan jumlah 3 orang. Untuk variable dedication terlihat bahwa pegawai yang memiliki dedication yang berkategori rendah sebanyak 18,6% dengan jumlah 80 orang, pegawai yang memiliki dedication yang sedang sebanyak 76.8% dengan jumlah 331 orang, dan pegawai yang memiliki dedication yang rendah 04,6% dengan jumlah 20 orang. . Untuk variabel vigor atau semangat terlihat bahwa pegawai yang memiliki vigor yang berkategori rendah sebanyak 9,5% dengan jumlah 41 orang, pegawai yang memiliki vigor yang sedang sebanyak 81,4% dengan jumlah 351 orang, dan pegawai yang memiliki vigor yang berkategori tinggi yaitu 9% dengan jumlah 6 0rang. Untuk variabel emotional dissonance terlihat bahwa pegawai yang memiliki emotional disonance yang berkategori rendah sebanyak 76,1% dengan jumlah 328 orang, pegawai yang memiliki emotional dissonance dengan kategori
sedang
sebanyak 23,9% dengan jumlah 103 orang, dan tidak ada pegawai yang memiliki emotional dissonance yang berkategori tinggi. Sehingga dapat dikatakan hampir semua pegawai memiliki tingkat emotional dissonance yang rendah. Untuk variabel emotional demands terlihat bahwa pegawai yang memiliki emotional demands yang berkategori rendah sebanyak 81% dengan jumlah 349
83
orang, pegawai yang memiliki emotional demands dengan kategori sedang sebanyak 19% dengan jumlah 82 orang, dan tidak ada pegawai yang memiliki emotional demands yang berkategori tinggi. Sehingga dapat dikatakan hampir semua pegawai memiliki tingkat emotional demands yang rendah. Sedangkan untuk variabel workload terlihat bahwa pegawai yang memiliki workload yang berkategori rendah sebanyak 37,1% dengan jumlah 160 orang, pegawai yang memiliki workload dengan kategori sedang sebanyak 61,93% dengan jumlah 267 orang, dan pegawai yang memiliki workload yang berkategori tinggi yaitu 0,9% dengan jumlah 4 0rang. Untuk variabel optimisme terlihat bahwa pegawai yang memiliki optimisme yang berkategori rendah sebanyak 19,5% dengan jumlah 231 orang, pegawai yang memiliki optimisme dengan kategori sedang sebanyak 79,1% dengan jumlah 341 orang, dan pegawai yang memiliki optimisme yang berkategori tinggi yaitu 1,4% dengan jumlah 9 0rang Untuk variabel self-efficacy terlihat bahwa pegawai yang memiliki self-efficacy yang berkategori rendah sebanyak 37,1% dengan jumlah 160 orang, pegawai yang memiliki self-efficacy dengan kategori sedang sebanyak 62,9% dengan jumlah 271 orang, dan tidak ada pegawai yang memiliki self-efficacy yang berkategori tinggi. Terakhir, pada hasil kategorisasi self-esteem (organizational based selfesteem) terlihat bahwa pegawai yang memiliki self-esteem yang berkategori rendah sebanyak 26% dengan jumlah 112 orang, pegawai yang memiliki self-esteem yang sedang sebanyak 74% dengan jumlah 319 orang, dan pegawai yang memiliki self-
84
esteem yang tinggi. Sehingga kategorisasi self-esteem pegawai terbanyak terdapat pada kategori sedang. 4.4 Hasil Uji Hipotesa Selanjutnya, uji hipotesis untuk mengetahui pengaruh masing-masing IV terhadap DV dalam penelitian ini, analisisnya dilakukan dengan teknik multiple regresion. Data yang dianalisis ialah faktor skor atau true score yang diperoleh dari hasil analisis faktor. Alasan penulis menggunakan faktor skor ini ialah untuk menghindari dampak negatif dari kesalahan pengukuran. Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi berganda dengan menggunakan software SPSS. Dalam regresi ada 3 hal yang dilihat, yaitu melihat besaran R-square untuk mengetahui berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh IV, kedua apakah secara keseluruhan IV berpengaruh secara signifikan terhadap DV, kemudian terakhir melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari IV. Pengujian hipotesis dilakukan dilakukan dengan berapa tahapan. Langkah pertama peneliti melihat besaran R-square untuk mengetahui berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh IV. Lihat tabel 4.5 berikut: Tabel 4.6 Model Summary Analisis Regresi Model Summary
Model
R
R Square a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.128 1 .358 .109 7.480798 a. Predictors: (Constant), esteem, dissonance, absorption, workload, dedication, demands, efficacy, vigor, optimisme
85
Berdasarkan data pada tabel 4.6 dapat kita lihat bahwa perolehan Rsquare sebesar 0,128 atau 12,8%. Artinya proporsi varians dari subjective wellbeing yang dijelaskan oleh semua independen variabel adalah sebesar 12,8%. Sedangkan 87,2 % sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini. Langkah kedua peneliti menganalisis dampak dari seluruh independen variabel terhadap subjective wellbeing. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut: Tabel 4.7 Anova Pengaruh Keseluruhan IV Terhadap DV b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
Regression
3453.533
9
383.726
6.857
.000
Residual
23560.142
421
55.962
Total
27013.675
430
a
a. Predictors: (Constant), esteem, dissonance, absorption, workload, dedication, demands, efficacy, vigor, optimism b. Dependent Variable: swb
Berdasarkan pada tabel di atas, diketahui bahwa nilai Sig. pada kolom paling kanan adalah sebesar 0.000. Dengan demikian diketahui bahwa nilai Sig. < 0.05, maka hipotesis (mayor) nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari dimensi totalitas kerja (vigor, dedication, absorption), dimensi tuntutan kerja (workload, emotional demands, emotional dissonance) dan dimensi sumber daya pribadi (optimisme, self efficacy dan self esteem) terhadap subjective wellbeing ditolak. Artinya, ada pengaruh yang signifikan dari work engagement atau totalitas
86
kerja (vigor, dedication, absorption), tuntutan kerja (workload, emotional demands, emotional dissonance) dan sumber daya pribadi (optimisme, self efficacy dan self esteem) terhadap subjective wellbeing. Langkah terakhir adalah melihat koefisien regresi dari masing-masing IV. Untuk mengetahui signifikan atau tidaknya koefisien regresi yang dihasilkan, dapat dilihat melalui kolom Sig. (kolom keenam). Jika Sig. < 0.05 maka koefisien regresi yang dihasilkan signifikan pengaruhnya terhadap subjective wellbeing, begitupun sebaliknya. Adapun besarnya koefisien regresi dari masing-masing IV terhadap subjective wellbeing dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut ini Tabel 4.8 Koefisien Regresi Coefficients
a
Unstandardized Coefficients Model 1
B
Std. Error
(Constant)
29.759
12.627
Absorption
-.011
.129
Dedication
.526
Vigor Dissonance
Standardized Coefficients Beta
t
Sig.
2.357
.019
-.005
-.087
.931
.258
.144
2.040
.042
-.087
.128
-.053
-.682
.495
-.076
.049
-.084
-1.548
.122
Demands
.001
.074
.001
.012
.991
Workload
.044
.123
.019
.354
.724
Optimism
.396
.160
.258
2.482
.013
Efficacy
.035
.160
.021
.221
.825
Esteem
.025
.072
.021
.346
.730
a. Dependent Variable: swb
Berdasarkan koefisien regresi pada tabel 4.7 dapat disampaikan persamaan regresi sebagai berikut:
87
SWB = 29,759 – 0,011 (absorption) + 0,526 (dedication) - 0,087 (vigor) - 0,076 (dissonance) + 0,001 (demands) + 0,044 (workload) + 0,396 (optimism) + 0,035 (efficacy) + 0,025 (organizational-based self esteem) Dari tabel koefisien regresi di atas, terdapat dua variabel yang dikatakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing yakni dedication atau dedikasi dan optimisme, sedangkan sisa lainnya tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa dari sembilan independen variabel, hanya dua variabel yang dikatakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing yakni dedication atau dedikasi dan optimisme. Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh pada masing-masing IV adalah sebagai berikut: 1.
Variabel absorption atau penyerapan
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.011 dengan signifikansi sebesar 0.931 (> 0.05) dengan demikian Ho1 yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari absorption terhadap subjective wellbeing tidak ditolak. Artinya, absorption tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing. 2.
Variabel dedication atau dedikasi
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,526 dengan signifikansi sebesar 0,042 (< 0,05), dengan demikian Ho2 yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari dedication terhadap subjective wellbeing ditolak. Artinya, dedication atau dedikasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
88
subjective wellbeing. Nilai koefisien variabel menunjukan arah positif artinya semakin tinggi dedication maka semakin tinggi subjective wellbeing individu. 3.
Variabel vigor atau semangat
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,087 dengan signifikansi sebesar 0,495 (> 0,05), dengan demikian Ho3 yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari vigor atau semangat terhadap subjective wellbeing tidak ditolak. Artinya, vigor atau semangat tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing. 4. Variabel emotional dissonance Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,076 dengan signifikansi sebesar 0,122 (> 0,05), dengan demikian Ho4 yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari emotional dissonance terhadap subjective wellbeing tidak ditolak. Artinya, emotional dissonance tidak memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap totalitas kerja. 5. Variabel emotional demands Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,001 dengan signifikansi sebesar 0,991 (> 0,05), dengan demikian Ho5 yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari emotional demands terhadap subjective wellbeing tidak ditolak. Artinya, emotional demands tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing.
89
6. Variabel workload Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,044 dengan signifikansi sebesar 0,724 (> 0,05), dengan demikian Ho6 yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari workload terhadap subjective wellbeing tidak ditolak. Artinya, workload tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing. 7. Variabel optimisme Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,396 dengan signifikansi sebesar 0,013 (< 0.05), dengan demikian Ho7 yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari optimisme terhadap subjective wellbeing ditolak. Artinya, optimisme memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing. Nilai koefisien variabel menunjukan arah positif artinya semakin tinggi optimisme maka semakin tinggi subjective wellbeing individu. 8. Variabel self efficacy Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.035 dengan nilai P-value sebesar 0,825 (> 0,05), dengan demikian Ho8 yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari self efficacy terhadap totalitas kerja karyawan tidak ditolak. Artinya, self efficacy tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing. 9. Variabel organizational-based self esteem Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,025 dengan nilai P-value sebesar 0,730 (> 0,05), dengan demikian Ho7 yang menyatakan tidak ada pengaruh
90
yang signifikan dari organizational-based self esteem terhadap subjective wellbeing tidak ditolak. Artinya, organizational-based self esteem tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing.
Proporsi Varians Selanjutnya, peneliti ingin mengetahui bagaimana sumbangan proporsi varians dari masing-masing independent variable terhadap totalitas kerja. Berikut ini akan disajikan tabel dimana dalam tabel tersebut terdiri atas kolom pertama (model) adalah IV yang dianalisis satu persatu, kolom ketiga (R-Square) merupakan penambahan varians DV dari tiap IV yang dianalisis satu persatu tersebut, kolom keenam (Rsquare change) merupakan nilai murni varians DV dari tiap IV yang dianalisis satu persatu, kolom ketujuh (F change) adalah nilai F hitung bagi IV yang bersangkutan, kemudian kolom df ialah derajat kebebasan atau taraf nyata bagi IV yang bersangkutan dan df terdiri atas numerator dan denumerator. Lalu yang terakhir adalah kolom signifikansi (Sig. F change). Besarnya proporsi varians pada totalitas kerja dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut ini:
91
Tabel 4.9 Proporsi Varians untuk Masing–Masing Independent Variable Model Summary
Model 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Adjusted R Square R Square
R
Change Statistics Std. Error of the R Square F Estimate Change Change df1 df2
Sig. F Change
.171 b .266 c .266 d .273 e .274 f .278 g .357 h .357
a
.029 .071 .071 .075 .075 .077 .128 .128
.027 .066 .064 .066 .064 .064 .113 .111
.781819 .765930 .766783 .766065 .766694 .766837 .746456 .747299
.029 12.948 .041 18.984 .000 .048 .004 1.801 .001 .301 .002 .842 .050 24.470 .000 .046
1 1 1 1 1 1 1 1
429 428 427 426 425 424 423 422
.000 .000 .827 .180 .584 .359 .000 .831
i
.128
.109
.748080
.000
1
421
.730
.358
.120
a. Predictors: (Constant), absorption b. Predictors: (Constant), absorption, dedication c. Predictors: (Constant), absorption, dedication, vigor d. Predictors: (Constant), absorption, dedication, vigor, dissonance e. Predictors: (Constant), absorption, dedication, vigor, dissonance, demands f. Predictors: (Constant), absorption, dedication, vigor, dissonance, demands, workload g. Predictors: (Constant), absorption, dedication, vigor, dissonance, demands, workload, optimism h. Predictors: (Constant), absorption, dedication, vigor, dissonance, demands, workload, optimisme, efficacy i. Predictors: (Constant), absorption, dedication, vigor, dissonance, demands, workload, optimisme, efficacy, esteem
Berdasarkan data pada tabel 4.8 dapat disampaikan informasi sebagai berikut : 1. Variabel absorption memberikan sumbangan sebesar 2,9 % dalam varians subjective wellbeing. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change= 12,948 dan df1= 1 dan df2= 429 dengan Sig.F Change= 0,000 ( <0,05).
92
2. Variabel dedication memberikan sumbangan sebesar 4,1% dalam subjective wellbeing. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change= 18,984 dan df1= 1 dan df2= 428 dengan Sig.F Change= 0,000 ( <0,05). 3. Variabel vigor memberikan sumbangan sebesar 0% dalam varians subjective wellbeing. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F Change= 0,048 dan df1= 1 dan df2= 427 dengan Sig.F Change= 0,827 (>0,05). 4. Variabel emotional dissonance memberikan sumbangan sebesar 4 % dalam varians subjective wellbeing. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F Change= 1,801 dan df1= 1 dan df2= 426 dengan Sig.F Change= 0,180 (>0,05). 5. Variabel emotional demands memberikan sumbangan sebesar 1%
dalam
varians subjective wellbeing. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F Change= 0,301 dan df1= 1 dan df2= 425 dengan Sig.F Change= 0,584 (>0,05). 6. Variabel workload memberikan sumbangan sebesar 2%
dalam varians
subjective wellbeing. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F Change= 0,842 dan df1= 1 dan df2= 424 dengan Sig.F Change= 0,359 (>0,05). 7. Variabel optimisme memberikan sumbangan sebesar 5%
dalam varians
subjective wellbeing. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change= 24,470 dan df1= 1 dan df2= 423 dengan Sig.F Change= 0,000 (<0,05).
93
8. Variabel self-efficacy memberikan sumbangan sebesar 0%
dalam varians
subjective wellbeing. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F Change= 0,046 dan df1= 1 dan df2= 422 dengan Sig.F Change= 0,831 (>0,05). 9. Variabel
self-esteem
(organizational
sumbangan sebesar 0%
based
self-esteem)
memberikan
dalam varians subjective wellbeing. Sumbangan
tersebut tidak signifikan dengan F Change= 0,20 dan df1= 1 dan df2= 421 dengan Sig.F Change= 0,730 (>0,05). Dengan demikian, bahwa terdapat tiga IV dari sembilan IV, yaitu absorption, dedication, dan optimisme yang mempengaruhi subjective wellbeing secara signifikan jika dilihat dari besarnya R2 yang dihasilkan dari sumbangan proporsi variabel yang diberikan. Tabel 4.10 Kontribusi Independent Variable Terhadap Dependent Variable Model Summary Change Statistics
Model
R
Adjusted
Std. Error of
R Square
R Square R Square
the Estimate
Change
Sig. F F Change
df1
df2
Change
1
.266
a
2
.278
b
.077
.064
7.668371
.006
.980
3 424
.402
3
.358
c
.128
.109
7.480798
.051
8.176
3 421
.000
.071
.064
7.667833
.071
10.817
3 427
.000
a. Predictors: (Constant), vigor, absorption, dedication b. Predictors: (Constant), vigor, absorption, dedication, demands, workload, dissonance c. Predictors: (Constant), vigor, absorption, dedication, demands, workload, dissonance, esteem, efficacy, optimism
94
Dari tabel 4.10 diketahui bahwa semua dimensi dalam totalitas kerja (absorption, dedication dan vigor) memberikan kontribusi sebesar 7,1% terhadap subjective wellbeing. Untuk dimensi tuntutan kerja (emotional dissonance, emotional demands dan workload) memberikan kontribusi sebesar 0,6% terhadap subjective wellbeing. Kemudian untuk dimensi sumber daya pribadi (optimisme, self-efficacy dan self-esteem) memberikan kontribusi sebesar 5,1% terhadap subjective wellbeing
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Dalam bagian ini memuat kesimpulan, diskusi, dan saran. Secara rinci dijelaskan sebagai berikut: 5.1 Kesimpulan Setelah melakukan penelitian dan didapatkan hasil-hasil yang kemudian dianalisis oleh peneliti, didapatkan kesimpulan yang juga merupakan jawaban dari permasalahan penelitian. Berdasarkan analisis data penelitian maka kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah : “ada pengaruh yang signifikan totalitas kerja, tuntutan kerja dan sumber daya pribadi terhadap subjective wellbeing”. Selanjutnya, pada penelitian ini
hanya terdapat dua variabel independent yang memberikan
pengaruh signifikn terhadap subjective wellbeing, yaitu dedication atau dedikasi dan optimisme. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari dedication atau dedikasi dan optimisme terhadap subjective wellbeing. Kemudian jika dilihat berdasarkan sumbangan dari masing-masing vriabel, ternyata terdapat tiga variabel yang signifikan sumbangannya. Variabel-variabel tersebut antara lain absorption, dedication dan optimisme. 5.2 Diskusi Hasil pengujian hipotesis pengaruh totalitas kerja, tuntutan kerja dan sumber daya pribadi terhadap subjective wellbeing yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari seluruh independent variable terhadap 95
96
subjective wellbeing. Besarnya pengaruh seluruh independent variable terhadap subjective wellbeing adalah sebesar 12,8%. %. Sedangkan 87,2 % sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini. Totalitas kerja menjadi salah satu faktor yang menjadi variabel penentu munculnya subjective wellbeing di suatu perusahaan atau instansi. Hal ini sejalan dengan penelitian Bakker, Demerouti dan Schaufeli pada tahun 2003 dan Schaufeli & Bakker, 2004 yang menyatakan bahwa totalitas kerja terkait dengan hasil-hasil positif dalam organisasi seperti kepuasan kerja dan motivasi (Bakker et al, 2004). Peneliti lain menyatakan bahwa totalitas kerja terkait dengan perilaku positif dalam organisasi seperti inisiatif pribadi untuk bekerja dan mempunyai keinginan untuk belajar (Sonnentag, 2003). Selanjutnya, karyawan yang total dalam pekerjaan mereka cenderung berkomitmen untuk organisasi mereka, sedangkan mereka yang totalitas kerjanya rendah cenderung menunjukkan rendahnya komitmen terhadap organisasi mereka (Blizzard, 2002). Peneliti lain menunjukkan bahwa karyawan yang total memiliki energi dan self-efficacy yang tinggi dalam bekerja (Schaufeli et al., 2001). Karena perilaku positifnya, karyawan yang total mendapatkan feedback yang baik, apresiasi dan kesuksesan. Hal tersebut juga membuktikan bahwa orang yang total dalam bekerja, subjective wellbeingnya akan meningkat. Berdasarkan analisa yang dilakukan, peneliti menganalisa tiga dimensi totalitas kerja yaitu absorption atau penyerapan, dedication atau dedikasi dan vigor atau semangat. Ternyata diperoleh hasil yaitu variabel dedication
memberikan
97
pengaruh signifikan sebesar 2,9%. Sedangkan jika di lihat dari sumbangan masingmasing IV terhadap DV (proporsi varians), variabel absorption juga memberikan sumbangan yang signifikan yakni 2,9% terhadap subjective wellbeing. Dedikasi dan absorption atau penyerapan merupakan salah satu aspek terpenting pegawai untuk meningkatkan totalitasnya dalam bekerja, sedangkan orang yang total dalam bekerja akan memiliki subjective wellbeing yang tinggi. Semua pegawai pada instansi ini memiliki dedikasi yang rendah sehingga mereka tidak total dalam bekerja. Karena itulah berdasarkan analisis yang dilakukan dedication dan absorption berpengaruh positif terhadap subjective wellbeing, dalam hal ini semakin rendah dedikasi maka semakin rendah subjective wellbeing pegawai. Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis uji hiptoesa penelitian, variabel vigor atau semangat tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing. Hal ini mungkin disebabkan karena pekerjaan tidak menuntut pegawai untuk selalu berusaha dan bersemangat, pegawai tidak terpacu memberikan yang terbaik bagi instansi tempatnya bekerja, semangat atau tidaknya pegawai dalam bekerja dalam hal ini tidak berpengaruh terhadap subjective wellbeing pegawai. Kemudian Grebner, Semmer, dan Elfering (2005) menyatakan tuntutan kerja adalah satu hal yang mungkin menjadi penyebab buruknya wellbeing, kesehatan, dan performa kerja (job performance). Tuntutan kerja dapat dikatakan memiliki hubungan yang terbalik atau negatif dengan well-being, dimana semakin rendah tingkat tuntutan kerja maka semakin tinggi tingkat well-being dan sebaliknya.
98
Pada penelitian ini, ketiga aspek dari tuntutan kerja, yakni emotional dissonance, emotional demands dan workload tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing. Hal ini terjadi karena tuntutan kerja pegawai rendah, subjective wellbeing pegawai pun tidak terlalu tinggi, tergolong sedang atau biasa saja. Seharusnya, semakin rendah pekerjaan maka semakin tinggi tingkat subjective wellbeing pegawai. Karena itulah, pada penelitian ini variabel tuntutan pekerjaan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing. Selanjutnya, penelitian membuktikan bahwa sumber daya pribadi atau evaluasi diri yang positif dapat meningkatkan pencapaian, motivasi, kinerja, kepuasan kerja, kepuasan hidup, dan lain sebagainya (lihat Judge, Van Vianen dan De Pater, 2004, dalam Bakker, 2011). Semakin tinggi sumber daya pribadi individu, semakin tinggi kemungkinan seseorang dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Individu yang memiliki motivasi intrinsik untuk mengejar tujuan-tujuan mereka, memiliki kinerja dan kepuasan hidup yang lebih tinggi (Bakker, 2011). Berdasarkan hasil analisis uji hipotesa, penelitian ini menunjukkan bahwa dari 3 aspek sumber daya pribadi, hanya aspek optimismelah yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Huda Ayyash-Abdo dan María-José Sánchez-Ruiz (2011) yang menyatakan bahwa optimisme berpengaruh terhadap subjective wellbeing diantara mahasiswa Labanese University. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Nursanti, H. D., (2012) menunjukkan variabel optimisme pada subjek penelitian berada pada kategori tinggi. Variabel subjective well-being pada subjek penelitian berada pada kriteria tinggi.
99
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara optimisme dengan subjective well-being dengan nilai r = 0,516 dengan nilai signifikansi atau p = 0,000. Hal ini mengindikasikan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara optimisme dengan subjective well-being pada karyawan outsourcing PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Cilacap. Sehingga semakin tinggi optimisme yang dimiliki karyawan, maka semakin tinggi kebahagiaan dan kepuasan hidupnya. Dalam penelitian ini, variabel self efficacy tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing. Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maria Cristina J. Santos, Cipriano S. Magramo Jr, Faustino Oguan Jr. dan JN Junnile Paat (2014) yang menyatakan bahwa self efficacy dan subjective wellbeing memiliki hubungan yang positif dimana semakin tinggi selfefficacy seseorang maka semakin tinggi subjective wellbeing orang tersebut, dan sebaliknya. Selanjutnya, pada penelitian ini variabel self-esteem atau organizational based self esteem juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing pegawai. Hal ini sejalan dengan Buehler, Griffin, & Ross (dalam Bakker & Leiter, 2010) yang menyatakan tingginya organizational based self esteem dapat menyebabkan seseorang meremehkan waktu sehingga tidak dapat mencapai pencapaian tujuan dan mengakibatkan individu tersebut memiliki subjective wellbeing yang rendah. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Dian-Zhi Liu
100
(2011) menyatakan bahwa self-esteem memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing pada pekerja rural migrant. Berdasarkan data kategorisasi variabel yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya (bab 4), semua pegawai memiliki dedikasi yang rendah terhadap instansi tempatnya bekerja, hal ini berarti pegawai pada instansi ini tidak merasa terlibat dalam pekerjaannya, tidak menganggap pekerjaannya bermakna, tidak memiliki antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan dalam bekerja. Pegawai pada penelitian ini kebanyakan memiliki absorption yang rendah, hal ini berarti kebanyakan pegawai tidak terlalu konsentrasi dan serius terhadap pekerjaannya, pekerja tidak merasa larut atau menyatu dengan pekerjaannya. Hal ini mungkin disebabkan karena tuntutan kerja mereka rendah (baik pada aspek workload, emotional demands maupun emotional dissonance) sehingga pekerjaannya tidak menuntutnya untuk berkonsentrasi, serius, dan terlibat penuh dalam pekerjaannya. Pegawai tidak perlu berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan sehingga pegawai tidak memiliki vigor atau semangat yang tinggi dalam bekerja. Kategorisasi subjective wellbeing pegawai pada instansi ini pun rata-rata termasuk dalam kategorisasi sedang dan rendah. Dari hasil penelitian ini sebenarnya tidak serta-merta ditarik kesimpulan yang menggugurkan teori yang ada. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap sumber error yang menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian antara hasil penelitian dengan teori. Di antara sekian banyak faktor yang berpotensi menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian antara hasil penelitian dengan teori di antaranya adalah kesalahan
101
dalam pengukuran (measurement error), kesalahan spesifikasi variable dan kesalahan dalam sampling (sampling error). Sebaiknya, agar penelitian terhindar dari error dalam penyimpulan, sumber-sumber error ini sebaiknya dapat dikontrol oleh peneliti. Sebenarnya persoalan kesalahan dalam pengukuran sudah dikontrol dengan baik. Bahkan analisis terhadap instrument yang digunakan termasuk salah satu aspek yang difokuskan dalam penelitian ini. Analisis instrument dalam penelitian ini dilakukan melalui dua tahap. Pertama, ketiga instrumen dianalisis dengan pendekatan Confirmatory Factor Analysis (CFA) yang dimaksudkan untuk menguji apakah item yang disusun mampu mengukur konstruk yang ingin diukur. Semua item dalam skala subjective wellbeing, totalitas kerja, tuntutan kerja dan sumber daya pribadi memiliki t-value yang memenuhi persyaratan untuk menentukan validitas item, yaitu >1,96 . hal ini berarti setiap item dalam skala subjective wellbeing, totalitas kerja, tuntutan kerja dan sumber daya pribadi mampu menghasilkan informasi tentang konstruk yang ditetapkan secara teoritis. Kedua, setelah dilakukan uji validitas menggunakan CFA, peneliti memasukkan item yang valid dari setiap variabel ke dalam SPSS untuk dilakukan multiple regression analysis. Akan tetapi sebelumnya seluruh item valid dari masingmasing item tersebut distandarisasi terlebih dahulu menjadi Z-score lalu dikonversi menjadi T-score. T-score dari masing-masing variable inilah yang digunakan untuk melakukan multiple regression analysis.
102
Sumber kesalahan lain yang mempengaruhi hasil adalah spesifikasi variabel yang diteliti. Dalam penelitian ini, subjective wellbeing dipengaruhi oleh
faktor
internal dan eksternal. Totalitas kerja dan sumber daya pribadi merupakan faktor internal yang mempengaruhi subjective wellbeing, sedangkan tuntutan kerja adalah faktor eksternal yang mempengaruhi subjective wellbeing. dilihat dari persoalan spesifikasi variabel ini, penelitian ini sudah menggunakan tiga variabel sebagai predictor.dilihat dari spesifikasi variabel, tidak ditemukan kesalahan dalam menentukan variabel penelitian. Sampling error juga merupakan salah satu sumber yang dapat menimbulkan bias dalam penarikan kesimpulan penelitian. Hal ini bisa disebabkan karena peneliti tidak turun langsung untuk membagi angket dikarenakan akan mengganggu proses bekerja pegawai. Sehingga angket atau kuesioner diserahkah kepada pihak biro organisasi dan kepegawaian instansi untuk disebarkan. Hal tersebut bisa membuat responden tidak sesuai dalam mengisi angket yang menyebabkan sebaran data atau jawaban tidak merata, sehingga mempengaruhi hasil penelitian. Oleh karena itu seharusnya peneliti menggunakan simple random sampling. Tak jarang terjadi penarikan sampel dengan non probability sampling dalam kesimpulannya digeneralisasikan secara umum. Padahal, penelitian yang sampelnya diambil dengan metode non probability sampling tidak bisa mengestimasi populasi. Jadi kesimpulannya hanya berlaku bagi sampel dalam penelitian tersebut.
103
5.3 Saran Berdasarkan penulisan penelitian ini, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan di dalamnya. Untuk itu, peneliti memberikan beberapa saran untuk bahan pertimbangan sebagai penyempurnaan penelitian selanjutnya, baik berupa saran teoritis dan saran praktis. 5.3.1 Saran Teoritis 1.
Untuk penelitian selanjutnya, masih banyak variabel yang belum diteliti seperti burnout, job resources, spiritualitas, psychological capital, dan lain sebagainya jika ingin melakukan penelitian tentang subjective wellbeing dalam konteks pekerjaan.
2.
Penelitian selanjutnya disarankan menggunakan sampel yang berbeda. Sebaiknya sampel yang digunakan adalah subjek yang bekerja pada perusahaan atau pada pekerja kesehatan seperti dokter atau perawat, karena tuntutan kerja dan sumber daya pekerjaan yang berbeda akan menghasilkan hasil penelitian yang bervariasi.
3.
Peneliti selanjutnya juga diharapkan bisa langsung turun lapangan untuk menghindari bias atau ketidaksesuaian respondendalam mengisi angket atau kuesioner sehingga jawaban responden merata.
5.3.2 Saran Praktis 1.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan yang positif bagi instansi untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi subjective wellbeing karyawan seperti tuntutan kerja, sumber daya pribadi dan totalitas
104
kerja karena organisasi yang berhasil adalah organisasi dimana karyawannya merasa sejahtera dalam bekerja. 2.
Hendaknya Instansi lebih memperbanyak kegiatan pembinaan mental seperti training motivasi dan kegiatan outbound, yang bertujuan untuk meningkatkan optimisme, dedikasi, absorption pegawai agar memiliki subjective well-being yang tinggi.
.
DAFTAR PUSTAKA Andrews, F., & Robinson, J. (1991). Measures of subjective well being. In J. P. Robinson, P. R. Shaver, & L. S. Wrightsman (Eds.), Measures of personality and social psychological attitudes (61-67). San Diego: Academic Press. Bakker, A. B. & Oerlemans, W. G. M, (2010). Subjective well-being in organizations. In K. Cameron & G. Spreitzer (Eds.), Handbook of Positive Organizational Scholarship. Oxford University Press. Bakker, A. B. & Damerouti, E., (2006). The job demands-resources model: State of the art. Journal of Managerial Psychology, 22 (3), 309-328. Bakker,A.B. & Leiter, M.P. (2010). Work Engagement: Introduction, In Bakker, A.B.,& Leiter, M.P (Eds) Work Engagement : a handbook of essential theory and research. New York: Psychology Press. Books. Bakker, A. B., Damerouti, E. & Schaufeli. W. B. (2003). Dual processes at work in a call centre: An application of the job demands – resources model. Europan Journal Of Work and Organizational Psychology, 12 (4), 393–417. Bakker, A. B., Damerouti, E. & Euwema, M. C. (2005). Job resources buffer the impact of job demands on burnout. Journal of Occupational Health Psychology, 10 (2), 170–180. Bakker, A. B., Damerouti, E. & Verbeke. W. (2004). Using the job demandsresources model to predict burnout and performance. Human Resource Management, 43 (1), 83–104. Bakker, A. B., Demerouti, E., Taris, T. W., Schaufeli, W. B. & Schreurs, P. J. G. (2003). A multigroup snalysis of job demands model in four home care organization. International Journal Of Stres Management, 10 (1), 16-38. Bandura, A. (1989). Social cognitive theory. In R. Vasta (Ed.), Annals of child development. Six theories of child development, 6 (1-60). Greenwich, CT: JAI Press. Broeck, A.,V., Ruysseveldt, J.V., Vanbelle, E & Witte, H. D. (2013). The job demands-resources model: overview and suggestion for the future research. In Bakker, A.B (ed). Advances in Positive Organizational Psychology 1 (83105). UK; Emerald Group Publishing Limited.
105
106
Carr, Alan. (2004). Positive psychology: the science of happiness and human strenght. New-York: Brunner-Routledge. Campbell, A., Converse, P. E., and Rodgers, W. L. 1976. The Quality of American Life: Perceptions, Evaluations, and Satisfactions. NewYork: Russell Sage Foundation. Chen, G., Gully, S. M., & Eden, D. (2001). Validation of a new general self-efficacy scale. Organizational Research Methods, 4 (1), 62-83. Coetzer, C.F & Rothmann, S. (2007). Job demands, job resources and work engagement of employees in a manucfaturing organization. South of Africa Bussines Review, 11(3), 20-35. Damerouti, E., Bakker, A. B., Nachreiner, F. & Schaufeli, W. B. (2001). The job demands–resources model of burnout. Journal of Applied Psychology, 86, 499–512. Diener, E., Wirtz, D., Tov, W., Kim-Prieto, C., Choi. D., Oishi, S., & Biswas-Diener, R.(2009). New measures of well-being: Flourishing and positive and negative feelings. Social Indicators Research, 39, 247-266. Diener, Carol. & Diener, Ed. (1996). Psychological science: research report, most people are happy. American Psychological Society, 7 (3). Diener, E. & Lucas, R.E. (1999). Personality and Subjective Well-Being. Dalam D. Kahneman, E. Diener & N. Schwarz (Eds). Well being the foundations of hedonic psychology (795-814). New York: Oxford University Press, Inc. Diener, Ed., Lucas, Richard. E. & Oishi, Shigero. (2005). Subjective well being: the science of happiness and life satisfaction. Dalam C.R. Snyder & S.J. Lopez (edtr.), Handbook of positive psychology (63-73). New York: Oxford University Press. Diener, Ed., Lucas, Richard. E. & Oihi, Shigero. (2003). Personality, culture, and subjective well being: emotional and cognitive evaluation of life. Annual Reviews, 54, 403-426. Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J. & Griffin, S. (1985). The satisfaction with life scale. Journal of Personality Assessment, 49, 71-75.
107
Eddington, N. & Shuman, R. (2005). Subjective well being (happiness). Continuing psychology education: 6 continuing education hours. Diunduh pada 7 Februari 2014 dari http://www.texcpe.com/cpe/PDF/ca-happiness.pdf. Eid, M. & Larsen, R.J. (2008). The Science of Subjective Well-Being. New York : Guilford Press. Guilford Publications 72 Spring Street New York, NY 10012 212-431-9800 800-365-7006 www.guilford.com. Farid, M. & Lazarus, H. (2008). Subjective well-being in rich and poor countries. Journal of Management Development, 27 (10), 1053-1065. Guttman, Levy, Louis, Shlomit (1982). "On the definition and varieties of attitude and wellbeing". Social Indicators Research 10 (2): 159. doi:10.1007/bf00302508. Grant JE, Kim SW, Odlaug BL. N-acetyl cysteine, a glutamate-modulating agent, in the treatment of pathological gambling: A pilot study. Biol Psychiatry. 2007;62:652–657. Heuvel, M.V., Demerouti, E., Schaufeli. W.B., & Bakker. A.B. (2010). Personal Resources and Work Engagement in the Face of Change. In Houdmont, J & Leka, S (ed) Contemporary Occupational Health Psychology : Global Perspective on Research and Practice (125-150). UK: Jhon Wiley & Sons Ltd. Hobfoll, S E and Leiberman, J R, (1987). Personality and social resources in immediate and continued stress-resistance among women. Journal of Personality and Social Psychology, 52, 18–26. Hobfoll, S. E., Johnson, R. J., Ennis, N., & Jackson, A. P. (2003). Resources loss, resources gain, and emotional outcomes among inner city women. Journal of Personality and Social Psychology, 84, 632–643. doi: 10.1037/00223514.84.3.632. Hurlock, E.B. (2007). Developmental psychology: A life – span approach. New Delhi: Tata McGraw – Hill. Inoue, A., Kawakami, N., Tsutsumi, A., Shimazu, A., Miyaki, K., Takahashi, M., Kurioka, S., Eguchi, H., Tsuchiya, M., Enta, K., Kosugi, Y., Sakata, T., dan Totsuzaki, T. (2014). Association of job demands with work engagement of japanese employees: Comparison of Challenges with Hindrances (J-HOPE). DOI: 10.1371/journal.pone.0091583.
108
Iwanaga, M., Yokoyama, H. & Seiwa, H. (2004). Coping availability and stress reduction for optimistic and pessimistic individuals. Personality and Individual Difference, 36,11-22. Jöreskog, K. G., & Sörbom, D. (1989). Lisrel 7: User’s Reference Guide. Mooresville: Scientific Software, Inc. Karasek, Robert A, Jr. (1979). Job demands, job decision latitude, and mental strain: Implication for Job Redesign. Administrative Science Quarterly, 24, 285-308. Kitaoka-Higashiguchi, K., Nakagawa, H., Morikawa, Y., Ishizaki, M., Miura, K., Naruse, Y., & Kido, T. (2002). The association between job demand, control, and depression, in workplaces in Japan. Journal of Occupational Health, 44, nn 427-428. Kristensen, T. S., Bjorner, J. B., Christensen, K. B., & Borg, V. (2004). Distinction Between Work Pace and Working Hours in the Measurement of Quantitative Demands at Work. Work & Stress, 18, 4, 305-322. Langelaan, S., Bakker, A. B., Doornen, L. J. P., Schaufeli, W. B. (2006) Burnout and work engagement: Do individual differences make a difference?. Personality and Individual Differences 40, 521–532. Lockwood, N. (2007). Leveraging Employee Engagement for Competitive Advantage HR Strategic Role. SHRM Research. Love, P.E.D., Irani, Z., Standing, C., dan Themistocleous, M. (2007). Influence of job demands, job control and social support on information systems professionals’ psychological well-being. International Journal of Manpower, 28, 6, 513-528. Luthans, Youssef & Avolio. (2007). Psychological Capital : Developing the Human Competitive Edge. Oxford University Press. Mauno, S., Kinnunen, U., Ruokolainen, M., 2007. Job demands and resources as antecedents of work engagement: a longitudinal study. Journal of Vocational Behavior, 70 (1), 149–171. Maslach, C., Schaufeli, W.B. and Leiter, M.P. (2001), “Job burnout”, Annual Review of Psychology, 52, 397-422.
109
Mastenbroek, Jaarsma, Scherpbier, van Beukelen & Demerouti. E (2014). The role of personal resources in explaining well-being and performance: A study among young veterinary Professionals. European Journal of Work and Organizational Psychology, 37-41. Mikkelsen TS, Hillier LD, Eichler EE, et al. (11 co-authors). 2005. Initial sequence of the chimpanzee genome and comparison with the human genome. Nature. 437, 69–87. Panari, Guglielmi, Ricci, Tabanelli, & Violante (2012). Assessing and improving health in the workplace: an integration of subjective and objective measures with the STress Assessment and Research Toolkit (St.A.R.T.) method. Journal of Occupational Medicine and Toxicology, 7 (18). Pedhazur, E. J. (1997), Multiple Regression in Behavioral Research: Explanation and Prediction (3rd ed.), Orlando: Harcourt Brace College. Pierce, J. L., Gardner, D. G., (2004). Self-esteem within the work and organizational context: A review of the organization-based self-esteem literature. Journal of Management 30(5) 591–622. Robbins, S. & Kliewer, W. (2000). Advances in theory and research on subjective wellbeing. In S. Brown and R. Lent (Eds.) Handbook of counseling psychology. (p.310-345). USA: John Wiley & Sons. Robertson, I., Cooper, C.L. (2011). Well-being: Productivity and Happiness at Work. London: Palgrave Macmillan. Rothmann, S., Mostert, K., Strydom, M. (2006). A psychometric evaluation of the job demands-resources scale in South Africa. SA Journal of Industrial Psychology, 32 (4), 76-86. Royo, Monica Guillen & Jackeline Velazco. (2005, Juny). Exploring the relationship between happiness, objective and subjective well-being: evidence from rural thailand. ESRC Research Group on Well-being in Developing Countries, University of Bath, Great Britain. Russell, J.E.A. 2008. Promoting subjective well-being at Work. Journal of Career Assessment, 16, 118-132. Ryan, R. M. & Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials: A review of research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Review Psychology 52, 141–66.
110
Salanova, M., & Schaufeli, W.B. (2008). A cross-national study of work engagement as a mediator between job resources and proactive behaviour. The International Journal of Human Resource Management, 19 (1). Schaufeli, W. B. & Bakker, A.,B. (2010). Defining and measuring work engagement: Bring Clarity to the concept, In Bakker, A.B.,&Leiter, M.P (Eds) Work Engagement : a handbook of essential theory and research. New York: Psychology Press. Schaufeli , W. B. & Bakker, A. B. (2001). Dual processes at work in a call centre: An application of the job demands – resources model. Europan Journal Of Work And Organizational Psychology, 2003, 12 (4), 393–417. Schaufeli, W. B., Salanova, M., Gonza´lez-Roma´, V. & Bakker, A. B. (2002). The measurement of engagement and burnout and: a confirmative analytic approach. Journal of Happiness Studies, 3, 71–92. Schaufeli, W. B., Salanova, M., & Bakker, A. B. (2006). The Measurement of Work Engagement With a Short Questionnaire A Cross-National Study. Educational and Psychological Measurement, 66 (4), 701-716. Schaufeli, W.B. & Bakker, A.B. (2004). Job demands, job resources, and their relationship with burnout and engagement: a multi-sample study. Journal of Organizational Behavior, 25, 293–315. Schaufeli, W. B.& Martinez, I. M. (2002). Burnout and engagement in University Students. Journal Of Cross-Cultural Psychology, 33 (5), 464-481. Schaufeli, W. B., Taris, T. W., Rhenan, W. (2008). Workaholism, Burnout, and Work Engagement:Three of a Kind or Three Different Kinds of Employee Wellbeing?. International Association of Applied Psychology. Blackwell Publishing, 9600 Garsington Road, Oxford OX4 2DQ, UK and 350 Main Street, Malden, MA 02148, USA, 57 (2), 173–203. Scheier, Michael F., Charles S. Carver, and Michael W. Bridges. (2001). “Optimism, Pessimism, and Psychological Well-being,” in Optimism & Pessimism: Implications for Theory, Research, and Practice, Edward C. Chang, editor (Washington, DC: American Psychological Association). Seligman, M. E. P., Parks, A., & Steen, T. (2004). A balanced psychology and a full life. The Royal Society, Philosophical Transactions: Biological Sciences, 359, 1379-1381.
111
Shaleh, A.R. (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dosen. Disertasi UGM. Tidak diterbitkan, Sugiyono. (2004). Metode penelitian bisnis. Alfabeta, CV. Bandung. Soini H. T., Katarina S. Aro, M. Niemivirta. (2007). Achievement goal orientations and subjective well-being: A person-centred analysis. Elsevier Learning and Instruction, 18, 251-266. Tooren, M. V., Jonge, J. D., Vlerick, V., Daniels, K. & Ven, B. V. (2011). International.Journal Behavioral Medicine, open access at Springerlink.com, 18, 373–383. Umar, J. (2013). JP3I (Jurnal Pengukuran Psikologi dan Pendidikan Indonesia). Ciputat : Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 11 (5), 338-339. Watson, D. & Tellegen, A. (1985). Toward a consensual structure of mood. Psychological Bulletin, 98, 219-235. Wood, S., Stride, C., Threaplethn, K., Wearn, E., Nolan, F., Osborn, D., Paul, M. & Johnson, S. (2011). Demands, control, supportive relationship and well-being amongst British mental Health Worker. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol, 46, 1055-1068 Wright, T.A. & Bonnet, D.G. 2007. Job satisfaction and psychological well-being as Nonaddictive Predictors of Workplace Turnover. Journal of Management, 33: 141-161. Xanthopoulou, D., Bakker, A. B., Demerouti, E., &Schaufeli, W. B. (2007).The role of personal resources in the job demands-resources model.International Journal of Stress Management, 14, 121–141. Xanthopoulou. D., Bakker, A. B., Fischbach, A. (2013). Work engagement among employees facing emotional demands The role of personal resources. Journal of Personnel Psychology, 12 (2):74–84. Zulkarnain & Akbar, K. P. (2013). Analysis of psychological well-being and turnover intentions of hotel employees: An empirical study. International Journal of Innovation and Applied Studies, 3 (3), 662-671.
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Saya mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saat ini sedang melakukan penelitian yang merupakan persyaratan untuk mencapai gelar sarjana Psikologi. Oleh karena itu kami mengharapkan bantuan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk mengisi angket ini.
Dalam
menjawab
Bapak/Ibu/Saudara/i
angket
bebas
ini
menentukan
tidak
ada
jawaban
jawaban yang
salah
paling
atau sesuai
benar,
maka
dengan
diri
Bapak/Ibu/Saudara/i. Setiap jawaban yang Bapak/Ibu/Saudara/i berikan akan terjamin kerahasiaannya dan hanya dipakai untuk penelitian ini saja.
Bacalah petunjuk pengisian terlebih dahulu. Setelah selesai mengisi angket ini mohon diteliti kembali jawaban Bapak/Ibu/Saudara/i agar tidak ada pernyataan yang tidak terjawab atau terlewati. Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta,
Juli 2014
Hormat saya,
Peneliti
Data Responden Inisial
:
Jenis Kelamin
:
Pendidikan terakhir
:
Jumlah Penghasilan
:
Status
:
Lama Bekerja
:
Petunjuk Pengisian Pernyataan
di
bawah
ini
menggambarkan
bagaimana
Bapak/Ibu/Sdr/i
menilai
diri
Bapak/Ibu/Sdr/i dalam enam bulan terakhir ini. Gunakan skala berikut untuk menunjukkan tingkat kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan kondisi Bapak/Ibu/Sdr/i pada setiap pernyataan. (1= Sangat Sesuai, 2= Tidak Sesuai, 3= Agak Sesuai, 4= Sesuai, 5= Sangat Sesuai).
Contoh
No. Pernyataan 1. Sejauh ini saya merasa kesehatan saya baik.
1
2
3
4
5
Selamat Mengerjakan Skala 1 No
Pernyataan
1
Dalam banyak hal, hidup saya mendekati ideal.
2
Kondisi hidup saya sangat bagus.
3
Saya puas dengan hidup saya.
4 5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Sejauh ini saya mendapatkan hal-hal penting yang saya mau dalam hidup. Jika saya bisa mengubah hidup saya, saya hampir tidak mau mengubah hal sedikit pun.
Skala 2 No
Pernyataan
1
Saya selalu merasa senang berangkat bekerja.
2 3 4
Di tempat saya bekerja, saya sering merasa tidak bertenaga. Saya selalu tekun bekerja, meskipun ada hal yang tidak sesuai dengan harapan saya. Saya dapat bekerja dalam waktu yang lama pada satu periode pekerjaan.
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Saya memiliki mental yang sangat kuat dalam bidang pekerjaan saya. Saya merasa sangat kuat dan bersemangat dalam pekerjaan saya. Bekerja sabagai pegawai negeri menurut saya sangatlah menantang. Pekerjaan saya menginspirasikan diri saya dalam setiap aspek kehidupan saya. Saya sangat antusias dengan segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan saya. Saya bangga dengan pekerjaan yang saya lakukan. Berkaitan dengan pekerjaan, saya telah menemukn satu pekerjaan yang sangat bermakna dan penuh harapan. Pada saat sedang bekerja, saya bisa lupa dengan sekeliling saya. Waktu berjalan tak terasa ketika saya sedang bekerja. Saya merasa terhanyut dalam pekerjaan saat saya bekerja. Sungguh sulit untuk mengalihkan saya dari pekerjaan ketika saya sedang mengerjakannya.
16
Saya sangat menyelami pekerjaan saya.
17
Saya merasa bahagia ketika saya bekerja sangat intense.
Skala 3 No
Pernyataan
1
Saya memiliki terlalu banyak pekerjaan untuk dikerjakan.
2
Saya bekerja dibawah tekanan.
3 4 5
Saya penuh perhatian dalam banyak hal diwaktu yang sama. Saya harus memberikan perhatian terus-menerus terhadap pekerjaan saya. Pekerjaan saya menuntut secara emosional.
1
2
3
4
5
6 7 8 9 10
Dalam pekerjaan saya, saya dihadapkan dengan hal-hal pribadi yang secara personal menyentuh saya. Saya menghadapi situasi emosional dalam pekerjaan saya. Selama bekerja, saya sering menekan perasaan saya. Selama bekerja, saya sering mengekspresikan perasaan positif saya terhadap klien ataupun mitra kerja sementara saya merasa sebaliknya. Selama bekerja, saya harus mengerti klien atau mitra kerja yang mengganggu.
Skala 4 No 1 2 3 4
5
6 7 8 9 10 11 12
Pernyataan Saya merasa percaya diri dapat menyelesaikan semua masalah yang saya hadapi. Saya merasa percaya diri menampilkan karya saya dalam pertemuan apapun yang saya hadiri. Saya yakin sekali dapat memberi masukan pada kemajuan tempat saya bekerja. Saya yakin sekali dapat memberi masukan pada organisasi saya dalam menyusun dan mencapai target-target kerjanya. Saya yakin dan percaya dengan kemampuan saya ketika harus berhubungan dengan orang lain di luar instansi tempat saya bekerja untuk mendiskusikan berbagai masalah yang relevan. Saya percaya diri dalam mempresentasi informasi yang terkait dengan perkembangan pengetahuan di hadapan kolega. Saya dapat menemukan jalan keluar dari setiap tekanan dalam pekerjaan saya. Pada saat ini, saya merasa sangat energik dalam mencapai target kerja saya. Selalu ada jalan keluar untuk setiap masalah. Saya merasa yakin bahwa saya akan meraih kesuksesan dalam karir saya. Saya memiliki banyak cara untuk sukses dalam karir saya. Saya dianggap orang yang serius.
1
2
3
4
5
13
Saya dapat dipercaya.
14
Saya orang yang penting.
15
Saya dapat membuat sebuah perubahan.
16
Saya berharga.
17
Saya suka menolong.
18
Saya cukup bisa diandalkan.
19
Saya cukup bisa diajak bekerja sama.
20
Saya adalah orang yang dapat dipercaya.
21
Saya orang yang efisien.
Mohon periksa kembali lembar angket ini agar tidak ada pernyataan yang terlewat. Terimakasih