BioSMART Volume 4, Nomor 2 Halaman: 66-69
ISSN: 1411-321X Oktober 2002
Pengaruh Sistem Penggunaan Lahan Hutan terhadap Diversitas Makroinvertebrata Tanah di RPH Jatirejo, Kediri, Jawa Timur The effect of land use systems on soil macroinvertebrate diversities at Jatirejo forest resorts, Kediri, East Java SUGIYARTO 1,3, YOGI SUGITO 2,3, EKO HANDAYANTO 2,3, LILY AGUSTINA 2,3 1
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 2 Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang 3 Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang Diterima: 10 Juni 2002. Disetujui: 31 Juli 2002
ABSTRACT Soil macroinvertebrates have important function on agroecosystems management, especially as soil engineer or organic matter decomposer. The objective of the study was to know the effects of forest land use system on the diversity of soil macroinvertebrates. The samples were took from three sites in Jatirejo forest resorts, District of Kediri, East Java, i.e.: complex forest (HC), monoculture sengons plantation (HSM) and intercropping sengons plantation (HST). Soil macroinvertebrates were collected by hand sorting methods. The results indicated that there were significant effects of land use systems on diversity index as well as species dominancy of soil macroinvertebrates. Intensive land use systems tend to degrade the diversities of soil macroinvertebrate. Key words: diversity, soil macroinvertebrate, forest land use systems, sengons plantation
PENDAHULUAN Tanah merupakan bagian penting ekosistem terestrial dan bersifat fragile. Perubahan lingkungan, terutama sistem penggunaan/pengelolaan lahan akan dengan cepat merubah kondisi dan fungsi tanah, dan selanjutnya akan mengubah struktur dan fungsi biota/organisme, yang kehidupannya sangat tergantung pada daya dukung tanah. Dengan demikian degradasi lahan pada umumnya, maupun tanah pada khususnya, akan mengganggu stabilitas ekosistem serta cenderung menurunkan produktivitas lahan. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, proses degradasi lahan berlangsung relatif cepat akibat tingginya jumlah penduduk. Pengalihfungsian areal hutan menjadi areal pertanian, serta areal pertanian menjadi areal pemukiman, industri dan sebagainya merupakan contoh nyata kegiatan yang mendorong degradasi lahan. Sejak tahun 1999 pengalihfungsian lahan hutan menjadi lahan pertanian terjadi secara besar-besaran, terutama pada hutan tanaman industri (HTI) dengan jenis tegakan sengon (Paraserianthes falcataria), misalnya di RPH Jatirejo, BKPH Pare, KPH Kediri, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Pada pertengahan tahun 2000 hampir semua lahan di bawah tegakan sengon di hutan ini telah dimanfaatkan untuk budidaya intensif tanaman pertanian (data tidak ditunjukkan). Implikasi proses degradasi lahan di daerah tropika akibat deforestasi sangat rumit, unik dan belum banyak dipublikasikan. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan proses kepunahan biodiversitas, baik pada taraf ekosistem, spesies
maupun gen (Brown et al., 1994; Brussaard, 1998). Oleh karena itu kajian tentang hal ini masih sangat dibutuhkan (Lavelle et al, 1994; Hagvar, 1998). Demikian juga penelitian tentang pengaruh perubahan sistem penggunaan lahan di bawah tegakan hutan sengon terhadap produktivitas lahan, dinamika populasi biota dan kondisi faktor lingkungan fisik maupun sosial. Berbagai jenis organisme tanah yang umumnya anggota Invertebrata dilaporkan berperan penting dalam ekosistem terestrial, terutama di daerah tropika. Makroinvertebrata tanah yaitu kelompok invertebrata yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dalam tanah, merupakan salah satu penyusun biodiversitas tanah serta berperan penting dalam perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Diversitas makroinvertebrata tanah dan fungsi ekosistem menunjukkan hubungan yang sangat kompleks dan belum banyak diketahui. Tetapi telah banyak dilaporkan bahwa penurunan diversitas dan perubahan peran makroinvertebrata tanah terjadi akibat perubahan sistem penggunaan lahan. Tanah yang terdegradasi umumnya menunjukkan penurunan kompleksitas dan biomassa fauna tanah (Lavelle et al., 1994; Giller et al., 1997; Brussaard, 1998). Mengingat tingginya peranan makroinvertebrata tanah serta spesifikasi fungsinya, maka beberapa ahli telah mempromosikan makroinvertebrata tanah sebagai bioindikator kesehatan tanah (Doube and Schmidt, 1997). Meskipun peran makroinvertebrata tanah dalam sistem pertanian telah banyak dilaporkan, terutama dalam sistem tradisional, namun kajian tentang kaidah-kaidah ekologi © 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
SUGIYARTO dkk. – Makroinvertebrata Tanah di RPH Jatirejo, Kediri
seperti faktor-faktor lingkungan yang dominan masih sangat terbatas. Kajian ini diperlukan guna memberikan rekomendasi teknik konservasi serta pengelolaan lebih lanjut (Lavelle et al, 1994; Hagvar, 1998). Dalam hal ini TSBF (Tropical Soil Biology and Fertility) antara lain mengidentifikasi tiga tema besar hubungan antara fungsi fauna tanah dengan kesuburan tanah, yaitu: (i) kuantifikasi struktur komunitas fauna tanah dalam berbagai sistem penggunaan lahan; (ii) kuantifikasi peran fauna tanah dalam proses-proses utama di dalam tanah, dan (iii) manipulasi komunitas fauna tanah untuk memperbaiki kesuburan tanah. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan diversitas makroinvertebrata tanah pada berbagai sistem penggunaan lahan hutan di RPH Jatirejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2001 sampai dengan Januari 2002. Lokasi penelitian lapangan adalah di kawasan hutan tanaman industri dengan jenis tegakan sengon yang termasuk dalam RPH Jatirejo, BKPH Pare, KPH Kediri, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Secara administrasi wilayah tersebut berada di Kecamatan Pare dan Puncu, Kabupaten Kediri. Pembuatan preparat dan identifikasi sampel fauna tanah dilakukan di Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta. Deskripsi lokasi penelitian RPH Jatirejo terletak di daerah aliran sungai (DAS) Brantas di sebelah barat Gunung Kelud. Kondisi topografi datar/landai dengan kemiringan 0-8%. Jenis tanah regosol dengan bahan induk tuff vulkanik intermedier. Sifat fisik tanah lepas, sarang, daya muat udara besar, daya muat air rendah, tidak lekat, tidak pecah dan mudah diolah. Kondisi iklim menurut sistem klasifikasi Schmidt-Ferguson termasuk tipe C. Jenis tegakan yang diusahakan adalah sengon dengan daur (umur tebang) 8 tahun secara monokultur. Di beberapa lokasi masih tersisa tegakan sonokeling, mahoni dan campuran (Kuswandana, 1994; Sugiyarto, 2000). Cara kerja Pengamatan tegakan sengon sistem monokultur (HSM) dilakukan pada 3 stasiun, masing-masing berumur 3, 5 dan 7 tahun. Pengamatan tegakan sengon sistem tumpangsari (HST) dilakukan pada 7 stasiun, yaitu masing-masing 4, 2 dan 1 stasiun dengan sengon berumur 3, 5 dan 7 tahun. Pengamatan untuk hutan campuran (HC) hanya dilakukan pada satu stasiun. Pada setiap stasiun ditentukan 3 titik sampling secara acak. Pada masing-masing titik dilakukan penangkapan sampel makroinvertebrata tanah. Sampel makroinvertebrata tanah diambil dengan metode pengambilan langsung (hand sorting), yaitu dengan cara meletakkan kuadrat (ukuran 25 x 25 cm2) di atas tanah kemudian tanah digali sedalam 30 cm. Tanah galian ditampung pada bak plastik dan makroinvertebrata tanah yang terangkut diambil dan dikoleksi dalam botol koleksi berisi alkohol 76% untuk dibawa ke laboratorium (Wallwork, 1970; Suin, 1997). Di laboratorium spesimen
67
hasil koleksi dibuat preparat awetan basah dengan memasukkan ke dalam alkohol 76% secara berulang-ulang hingga eksudatnya hilang sempurna. Selanjutnya dilakukan identifikasi dan kuantifikasi dengan bantuan mikroskop binokuler dan digunakan minyak imersi bila diperlukan. Untuk identifikasi digunakan acuan buku identifikasi antara lain: Suin (1997), Borror et al.(1992), Chu and Cutkomp (1992), Hopkin and Read (1992), South (1992), Dindal (1990), Elzinga (1978) dan Wallwork (1970). Analisis Data Struktur dan komposisi makroinvertebrata tanah dinyatakan dengan nilai indeks diversitas Simpson yang dimodifikasi Suin (1997) dengan rumus sebagai berikut: ID = (1 - Σpi2) (qi); pi: proporsi fauna ke-i di dalam komunitasnya qi: rasio jumlah spesies pada suatu stasiun dengan total spesies yang ditemukan HASIL DAN PEMBAHASAN Diversitas makroinvertebrata tanah Dalam penelitian ini didapatkan 33 spesies makroinvertebrata tanah (Tabel 1), berbeda dengan penelitian sebelumnya. Sugiyarto (2000) telah melaporkan ditemukannya makroinvertebrata tanah sebanyak 27 spesies dengan metode hand sorting dan 26 spesies dengan metode ‘Barber’ di lokasi yang sama. Perbedaan ini dimungkinkan karena pada penelitian terakhir juga dilakukan pengamatan pada tegakan hutan campuran dan tegakan sengon yang ditumpangsarikan dengan berbagai jenis tanaman budidaya, misalnya jagung, nanas, rumput gajah, pepaya, dan cabai. Seperti halnya penelitian sebelumnya seluruh makroinvertebrata tanah yang ditemukan termasuk dalam 3 filum, yaitu Molusca, Annelida dan Arthropoda. Pada Filum Annelida terdapat 2 spesies yang pada penelitian sebelumnya belum ditemukan, yaitu Metaphire capensis dan Megascolex spp. Pada Filum Molusca terdapat satu spesies yang pada penelitian sebelumnya belum ditemukan, yaitu Meghimatium sp. Sedangkan pada Filum Arthropoda terdapat banyak perubahan struktur dan komposisi makroinvertebrata tanah dibandingkan penelitian sebelumnya. Perubahan struktur dan komposisi makroinvertebrata tanah ini menunjukkan terjadinya dinamika populasi pada masing-masing kelompok makroinvertebrata tanah pada habitat hutan tanaman sengon di RPH Jatirejo. Faktorfaktor yang berpotensi mempengaruhi dinamika tersebut antara lain: perubahan cuaca, intensitas pengelolaan lahan dan diversitas tumbuhan sebagai sumber pakan. Tingginya tingkat perubahan struktur dan komposisi Arthropoda menunjukkan bahwa kelompok tersebut mengalami dinamika paling tinggi dibanding kelompok lain. Hal ini dimungkinkan karena anggota Arthropoda, terutama Insecta umumnya memiliki mobilitas tinggi, sehingga dapat dengan mudah bermigrasi jika kondisi habitatnya tidak menguntungkan. Perubahan cuaca secara langsung mempengaruhi kandungan air tanah dan temperatur, sedang secara tidak langsung mempengaruhi laju pertumbuhan tanaman yang ada sehingga menentukan tinggi rendahnya cadangan hara dan tempat perlindungan
BioSMART Vol. 4, No. 2, Oktober 2002, hal. 66-69
68
Tabel 1. Kelompok makroinvertebrata tanah yang ditemukan di tiga macam habitat tegakan hutan di RPH Jatirejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Filum Mollusca
Kelas Ordo Gastropoda Geophila
Annelida
Stylomatophora Chaetopoda Olygochaeta
Familia Achatinidae Discidae Phylomycidae Megascolecidae Glossoscolecidae Lycosidae Loxoscelidae Phalcidae Selenopidae
Arthropoda Arachnida
Araneae
Crustacea
Isopoda
Diplopoda
Spirobolida
Oniscidae Porcellionidae Narceidae
Chilopoda
Lithobiomorpha Scutigeomorpha Geophilomorpha Scolopendromorpha
Lithobiidae Scutigeridae Geophilidae Scolopendridae
Insecta
Dermaptera Hemiptera Homoptera Isoptera Diptera Hymenoptera
Blattaria
Forficulidae Cydnidae Cicadidae Rhinotermitidae Scatopsidae Formicidae Scoliidae Gryllotalpidae Gryllidae Blattidae
Coleoptera
Blatellidae Carabidae
Orthoptera
Scarabaeidae Keterangan: …………….. *) belum teridentifikasi.
Pengaruh perubahan sistem pertanaman Di RPH Jatirejo terdapat paling Spesies tidak tiga sistem penggunaan lahan Achatina fulica hutan, yaitu tegakan hutan …………….. *) campuran, tegakan sengon monoMeghimatium sp. kultur dan tegakan sengon sistem Metaphire javanica tumpangsari (Tabel 2). Hutan Metaphire capensis Megascolex spp. campuran tersusun atas berbagai Pontoscolex corenthrurus jenis pohon dan semak belukar, Lycosa sp. antara lain: mahoni, flamboyan, Loxosceles sp. kedawung, sengon, ipik, jati …………….. *) (pohon), rotan, Ficus sp. (semak), …………….. *) dan senthe (herba). Vegetasi bawah Oniscus sp. pada hutan tanaman sengon dengan Porcellio sp. sistem monokultur kebanyakan diNarceus sp. dominasi oleh kirinyu (Chromolaena odorata). Sedangkan pada Lithobius forficula tegakan sengon dengan sistem Scutigera sp. Geophilus sp. tumpangsari didapatkan berbagai Scolopendra obscura jenis tanaman budidaya sebagai tanaman sela, antara lain: jagung, Forficula auricularia nanas, rumput gajah, pepaya, cabai, Pangaeus bilineatus Tibicen pruinosa labu siam, ubikayu dan berbagai Reticulitermes sp. jenis kacang-kacangan. Jenis-jenis Rhegmoclema sp. tanaman sela itupun ada yang Lobopelta ocellifera ditanam secara tunggal dan Scolia sp. campuran. Perbedaan ketiga sistem Gryllotalpa sp. pertanaman tersebut menyebabkan Gryllus sp. perbedaan intensitas pengelolaan Blatta orientalis tanaman serta tanah. Tanah pada Blatta sp. hutan campuran tidak mengalami Blatella sp. Calosoma scrutator gangguan (disturbansi) dalam …………….. *) jangka waktu yang lama (ratusan Phyllophaga sp. tahun), sedangkan tanah pada hutan tanaman sengon sistem monokultur akan mengalami gangguan secara periodik dalam kurun waktu 8 tahun (umur rotasi tanaman sengon). Pengolahan tanah dengan intensitas tertinggi
bagi fauna tanah, terutama anggota Arthropoda (Makalew, 2001). Perbedaan intensitas pengelolaan lahan merupakan faktor penting yang mempengaruhi eksistensi Tabel 2. Nilai rata-rata jumlah individu (SI), jumlah spesies (SS) dan indeks diversitas (ID) serta Arthropoda tanah. Giller kelompok makroinvertebrata tanah dominan pada berbagai sistem pertanaman hutan di RPH Jatirejo, et al., (1997) menyebut- Kabupaten Kediri, Jawa Timur. kan bahwa intensifikasi pertanian cenderung Kelompok makroSistem pertanaman SI SS ID invertebrata tanah menurunkan biodiversitas No dominan tanah. Selain itu fauna tanah pada umumnya 1. Hutan sengon tumpangsari (HST): 0,08 Scolopendra obscura 4 18,6 3 tahun (nanas) mengalami metamorfosis, 0,16 Phyllophaga sp. 7 28,0 3 tahun (jagung) dimana sebagian fase 0,08 Phyllophaga sp. 4 10,7 3 tahun (rumput gajah) hidupnya (terutama pada 0,07 Phyllophaga sp. 4 14,0 3 tahun (rumput gajah + nanas) fase dewasa) bersifat 0,07 Phyllophaga sp. 4 12,0 5 tahun (pepaya + labu siam + cabai + ubikayu) arboreal. Misalnya 0,02 Reticulitermes sp. 5 tahun (pepaya + cabai + terong + kacang panjang) 130,0 5 Phyllophaga sp., pada 0,11 Calosoma scrutator 6 7 tahun (pepaya + cabai + jagung + kacang tunggak 62,4 fase larva hidup di dalam Rata-rata 39,4 4,9 0,09 tanah sebagai lundi-lundi 2. Hutan sengon monokultur (HSM): 0,11 Reticulitermes sp. 8 85,3 3 tahun putih (uret/ mbog) dan 0,11 Phyllophaga sp. 5 17,2 5 tahun pada fase dewasa hidup 42,2 11 0,26 Reticulitermes sp. 7 tahun pada tajuk tumbuhan Rata-rata 48,2 8 0,16 (Borror et al., 1992). 3. Hutan campuran (HC) 102,0 17 0,30 Metaphire javanica
SUGIYARTO dkk. – Makroinvertebrata Tanah di RPH Jatirejo, Kediri
terjadi pada hutan tanaman sengon dengan sistem tumpangsari, yaitu hampir setiap bulan. Perbedaan sistem pengelolaan lahan (tanah dan tanamannya) akan berpengaruh terhadap kondisi ekosistem pada umumnya dan sub-sistem tanah pada khususnya. Hal ini antara lain dapat dilihat dengan adanya perbedaan yang jauh antara nilai rata-rata jumlah individu, spesies, indeks diversitas maupun spesies makroinvertebrata tanah yang dominan (memiliki nilai penting tertinggi di habitatnya) pada ketiga habitat yang diteliti. Dari data yang disajikan pada Tabel 2 antara hutan campuran (HC), hutan sengon sistem monokultur (HSM) dan hutan sengon sistem tumpangsari (HST), tampak adanya penurunan nilai ratarata jumlah individu makroinvertebrata tanah secara berturut-turut 102, 48,2, dan 39,4; penurunan jumlah spesies secara berturut-turut 17, 8, dan 4,9, serta penurunan indeks diversitas secara berturut-turut 0,30, 0,16, dan 0,09. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Giller et al. (1997) bahwa intensifikasi pertanian cenderung berpengaruh negatif terhadap diversitas biota tanah. Makalew (2001) juga melaporkan bahwa agroekosistem tanpa olah tanah (TOT) cenderung memiliki lebih banyak pengaruh positif terhadap keanekaragaman biota tanah dibandingkan dengan pengolahan tanah. Sistem pertanaman seperti rotasi tanaman dan konversi vegetasi alami menjadi lahan pertanaman cenderung berpengaruh negatif terhadap keanekaragaman biota tanah. Selain terjadi perubahan struktur dan komposisi makroinvertebrata tanah, fakta menarik lain yang terungkap dalam penelitian ini adalah timbulnya dominansi spesiesspesies makroinvertebrata tanah yang berpotensi sebagai hama tanaman budidaya. Dari 7 stasiun pengamatan di habitat tanaman sengon dengan sistem tumpangsari, 4 stasiun di antaranya didominansi Phyllophaga sp. yang berpotensi sebagai hama pemakan umbi dan perakaran tanaman pada fase larva, serta pemakan daun dan bunga pada fase dewasa. Pada sistem pertanaman sengon monokultur, dengan rotasi tanaman dan pengelolaan lahan semi-intensif, makroinvertebrata tanah yang dominan adalah rayap Reticulitermes sp. (2 stasiun) dan Phyllophaga sp. (1 stasiun). Rayap dengan populasi tinggi juga berperan sebagai hama tanaman pertanian dan kehutanan (pohon), sedangkan di habitat hutan campuran makroinvertebrata tanah yang dominan adalah cacing tanah Metaphire javanica yang berperan penting bagi pemeliharaan kesuburan tanah. Terjadinya dominansi spesies-spesies makroinvertebrata tanah yang berperan sebagai hama diduga karena adanya introduksi jenis-jenis tanaman budidaya yang disukai spesies tersebut, terbatasnya keragaman spesies maupun populasi fauna lain yang berperan sebagai predator maupun kompetitor akibat berkurangnya keragaman tumbuhan sebagai sumber makanan, diaplikasikannya bahan-bahan agrokimia, tingginya intensitas gangguan serta perubahan faktor fisika-kimia lingkungan lainnya. Kecenderungan menurunnya diversitas makroinvertebrata tanah dan munculnya dominansi fauna tanah yang berpotensi sebagai hama tanaman sejalan dengan perubahan penggunaan lahan dari sistem konservatif ke sistem intensif merupakan fenomena ekologi yang menarik. Dari hasil penelitian ini muncul berbagai pertanyaan menarik
69
yang dapat dikaji lebih lanjut, antara lain: dapatkah diversitas makroinvertebrata tanah digunakan sebagai bioindikator kestabilan ekosistem terutama sub-sistem tanah; apakah perubahan diversitas makroinvertebrata tanah dan munculnya dominansi spesies yang berpotensi sebagai hama terkait dengan proses degradasi lahan pada umumnya atau tanah pada khususnya; bagaimanakah mekanisme munculnya dominansi spesies makroinvertebrata tanah yang berpotensi sebagai hama jika dilihat dari hubungan trofik atau aliran energi; dan adakah teknologi budidaya tanaman yang dapat mengendalikan laju penurunan diversitas makroinvertebrata tanah. KESIMPULAN Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa: (i) perubahan sistem pengelolaan hutan dari hutan campuran menjadi hutan tanaman monokultur maupun tumpangsari cenderung menurunkan diversitas makroinvertebrata tanah, (ii) perubahan pengelolaan hutan dari hutan campuran menjadi hutan tanaman monokultur maupun tumpangsari cenderung memunculkan dominansi spesies makroinvertebrata tanah yang berpotensi sebagai hama tanaman budidaya. DAFTAR PUSTAKA Borror, D.J., C.A. Triplehorn and N.F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga (Penerjemah: S. Partosoedjono dan Mukayat D.B.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Brown, S., J.M Anderson, P.L Woomer, M.J. Swift and E. Barrios. 1994. Soil biological processes in tropical ecosystems. In Woomer, PL and M.J. Swift (Eds.). The Biological Management of Tropical Soil Feretility. ChiChester: John Wiley & Sons. Brussaard, L. 1998. Soil fauna, guilds, functional groups and ecosytem processes. Applied Soil Ecology 9: 123-136. Chu, H.F. and L.K. Cutkomp. 1992. How to Know the Immature Insects. Dubuque: WCB Publishers. Dindal D.L. (Ed.) 1990. Soil Biology Guide. New York: John Wiley & Sons. Doube, B.M., and O. Schmidt. 1997. Can the abundance or activity of soil macrofauna be used to indicate the biologicsl health of soils? In Pankhurst, E.C., B.M. Doube and V.V.S.R. Gupta (Eds.). Biological Indicators of Soil Health. New York: CAB International. Elzinga, R.J. 1978. Fundamental of Entomology. New Delhi: Prentice Hall of India. Giller, K.E, M.H. Beare, P. Lavelle, A.M.N. Izzac, and M.J. Swift. 1997. Agricultural intensification, soil biodiversity and agroecosystem function. Applied Soil Ecology 6: 3-16. Hagvar, S. 1998. The relevance of Rio-convention of biodiversity to conserving the biodiversity of soils. Applied Soil Ecology 9: 1-8. Hopkins, S.P. and H.J. Read. 1992. The Biology of Millipedes. Oxford: Oxford University Press. Kuswandana, J., 1994. Studi pertumbuhan dan riap diameter tegakan Albizia falcataria (L) Forsberg. di KPH Kediri, Jawa Timur. Skripsi. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Lavelle, P., M. Dangerfield, C. Fragoso, V. Eschenbremer, D. LopezFernandez, B. Pashanasi, and L. Brussaard. 1994. The relationships between soil macrofauna and tropical soil fertility. In Woomer, P.L. and M.J. Swift (Eds.). The Biological Management of Tropical Soil Feretility. ChiChester: John Wiley & Sons. Makalew, A.D.N. 2001. Keanekaragaman Biota Tanah pada Agroekosistem Tanpa Olah Tanah (TOT). Bogor: Institut Pertanian Bogor. South, A. 1992. Terrestrial Slug. London: Chapman & Hall. Sugiyarto. 2000. Keanekaragaman makroinvertebrata tanah pada berbagai umur tegakan sengon di RPH Jatirejo, Kabupaten Kediri. Biodiversitas 1 (2): 11-15. Suin, N.M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Bandung: Bumi Aksara. Wallwork, J.A. 1970. Ecology of Soil Animals. London: Mc Graw-Hill.
70
BioSMART Vol. 4, No. 2, Oktober 2002, hal. 66-69