PENGUSAHAAN TANAMAN KEDELAI DALAM SISTEM WANATANI DI LAHAN HUTAN JATI WILAYAH JAWA TIMUR Heru Kuswantoro, Titik Sundari, Suhartina, G.W.A. Susanto, Purwantoro, Fachrur Rozi, dan Novita Nugrahaeni Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umb Jl. Raya Kendalpayak, km. 8 Malang e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Lahan pertanian yang mengalami alih fungsi menjadi area non pertanian merupakan salah satu penyebab lambannya peningkatan produksi tanaman pangan, termasuk kedelai. Oleh karena itu, perlu ekstensifikasi di antaranya ke area hutan yang umumnya tidak banyak mengalami alih fungsi lahan. Untuk mengelola sumberdaya hutan yang lestari dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan diperlukan suatu sistem pemberdayaan masyarakat desa hutan yang terintegrasi. Luas kawasan hutan jati Jawa Timur yang ditanami kedelai bervariasi antar Kesatuan Pemangku Hutan (KPH), tergantung pada kondisi wilayah dan sosial ekonomi masyarakat. KPH terluas ditanami kedelai adalah KPH Banyuwangi Selatan (1440 ha), Padangan (650 ha), dan Ngawi (413 ha). Varietas yang ditanam bervariasi antarkawasan hutan. Di KPH Banyuwangi Selatan, mayoritas menanam varietas Baluran, sedangkan di KPH Ngawi, Blitar dan Bojonegoro pada umumnya menanam Anjasmoro, Orba, Gepak Kuning, Wilis atau varietas campuran Malabar dan Grobogan. Pada umumnya petani menanam kedelai pada awal musim hujan (bulan Desember hingga Januari). Kisaran hasil kedelai yang ditanam juga bervariasi antar KPH yaitu berkisar 0,7–1,8 t/ha. Kata kunci: kedelai, hutan jati, naungan, wanatani
ABSTRACT Cultivation of soybean crop in agroforestry system in East Java teak forest. Agricultural areas that shift to non-agricultural areas is one of the causes in retarding on increasing food crops production, including soybean. Therefore, it is necessary to extend soybean area into the forest areas where the land conversion is relatively low. To manage sustainable forest resources and to improve public welfare village-forest, it is needed an integrated system of community village-forest. Teak-forest area of East Java that were planted with soybeans varied among Kesatuan Pemangku Hutan (KPH-forest management unit), depending on the socioeconomic condition of the area and the community. In East Java, KPH with most widely soybean plantation were KPH of South Banyuwangi (1440 ha), Padangan (650 ha) and Ngawi (413 ha) The planted varieties varied among the forest. In KPH of South Banyuwangi, the majority of plant varieties was Baluran, while at KPH Ngawi, Blitar and Bojonegoro generally grow Anjasmoro, Orba, Gepak Kuning, Wilis or mixed varieties of Malabar and Grobogan. Usually, farmers grow soybeans in early rainy season (December to January). The yield of soybeans grown among KPH also varied from 0.7 to 1.8 t/ha. Keywords: soybean, teak forest, shade, agroforestry
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
209
PENDAHULUAN Alih fungsi lahan yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman kedelai menjadi area perindustrian dan perumahan merupakan salah satu penyebab lambannya peningkatan produksi kedelai. Dampak dari alih fungsi lahan ini diantaranya adalah penurunan luas panen kedelai yang mencapai 3,72% pada periode 1990–2000 dan 4,51% pada periode 2000–2005 (Zakaria 2010). Untuk mengatasi hal tersebut, berbagai upaya telah dilakukan dengan cara membudidayakan kedelai pada berbagai agroekologi, baik di lahan sawah maupun di lahan kering dengan cara penanaman yang berbeda, yaitu penanaman dengan tanaman semusim atau di antara tanaman tahunan dan tanaman kehutanan. Sumberdaya hutan memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia diantaranya menyediakan hasil kayu dan non kayu dan memberikan perlindungan terhadap siklus air di daerah aliran sungai (Supangat dan Paimin 2006). Luas kawasan hutan Jawa Timur yang termasuk wilayah Perlindungan Konservasi Alam (PKA) seluas 1.358.795,8 ha atau 29,3% dari total luas wilayah Provinsi Jawa Timur (4.642.857 ha). Keberadaan PKA tersebut harus dipertahankan, karena sudah berada pada batas minimal ketentuan luas kawasan hutan yang 30% dari luas daratan. Penanggung jawab pengelola hutan dalam hal ini Perum Perhutani dalam kegiatannya menitikberatkan pada pelestarian sumber daya hutan dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan tetap mengupayakan keuntungan berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian. PHBM merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani bersama dengan masyarakat desa atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pemangku kepentingan melalui semangat berbagi sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Program ini dapat memberikan jaminan kesinambungan usaha bagi masyarakat di kawasan hutan (Hakim et al. 2004). Antara pengelola hutan (Perum Perhutani) dan masyarakat terdapat kesepakatan untuk mewujudkan pelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, lahan untuk tumpangsari dengan tanaman pokok hutan (jati, pinus) dapat dikelola apabila umur tanaman pokoknya tidak lebih dari 3 tahun atau tinggi tanaman 2,5 m. Setelah tanaman berumur di atas 3 tahun maka lahan tersebut tidak boleh dimanfaatkan untuk budidaya tumpangsari (jagung, kedelai), karena tanaman tumpangsari akan ternaungi oleh tanaman pokok dengan tingkat penaungan lebih dari 40% sehingga akan menurunkan hasil dan tidak ekonomis. Sedikitnya fraksi cahaya yang lolos dari tajuk pohon akan menghambat pertumbuhan tanaman sela (Sitompul dan Purnomo 2005). Hal ini juga bertujuan untuk menjaga agar tidak terjadi pemotongan batang/ranting tanaman pokok akibat tanaman tumpangsari ternaungi oleh tanaman pokok.
PEMANFAATAN HUTAN DALAM SISTEM WANATANI Pembangunan bukan hanya berdampak pada alih fungsi lahan pertanian menjadi hutan, tetapi juga terjadinya alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian. Kondisi ini akhirnya menimbulkan berbagai masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir dan kekeringan. Untuk mengatasi masalah tersebut, sistem wanatani yang merupakan sistem pengelolaan lahan hutan dengan penanaman tanaman pertanian perlu dilakukan. Pelaksanaan sistem ini juga bermanfaat dalam mengatasi
210
Kuswantoro et al.: Pengusahaan Kedelai dalam Sistem Wanatani di Lahan Hutan Jati Wilayah Jawa Timur
masalah ketersediaan pangan. Dengan demikian, wanatani dapat bermanfaat mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumberdaya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. Wanatani dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem wanatani sederhana dan kompleks (De Foresta dan Michon 1997). Sistem wanatani sederhana merupakan sistem pertanian dengan penanaman pepohonan secara tumpangsari menggunakan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Tanaman pepohonan dapat berfungsi sebagai pagar yang mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau secara berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Sistem wanatani kompleks merupakan sistem pertanian menetap dengan penanaman banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) yang secara sengaja ditanam maupun yang tumbuh alami pada sebidang lahan yang dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem hutan. Kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam, baik hutan primer maupun hutan sekunder, merupakan ciri utama dari sistem wanatani kompleks ini. Pada dasarnya wanatani terdiri atas tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan (Hairiah et al. 2003). Tiga komponen tersebut adalah (1) agrisilvikultur yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan komponen pertanian, (2) silvopastura yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan, dan (3) agrosilvopastura yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan. Di samping ketiga kombinasi tersebut, terdapat sistem-sistem lainnya yang dapat dikategorikan sebagai wanatani yang lebih spesifik seperti (1) silvofishery yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan perikanan, dan (2) apiculture yaitu budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam kegiatan atau komponen kehutanan. Wanatani merupakan sistem yang terdiri atas beberapa komponen dalam susunan tertentu (struktur), di mana satu sama lain saling berpengaruh dalam melaksanakan fungsinya. Berkaitan dengan struktur dan fungsi tersebut, wanatani memiliki sifat-sifat tertentu yang juga dapat berubah. Sebagai suatu sistem, wanatani bukan hanya terdiri atas komponen kehutanan, pertanian dan/atau peternakan, tetapi juga merupakan sistem buatan yang di dalamnya terdapat manusia sebagai komponen sistem dan aplikasi praktis dari interaksi manusia dengan sumber daya alam di sekitarnya. Keberadaan manusia sebagai salah satu komponen sistem tersebut karena pada dasarnya wanatani dikembangkan untuk memecahkan permasalahan pemanfaatan lahan dan pengembangan pedesaan; serta memanfaatkan potensi-potensi dan peluang-peluang yang ada untuk kesejahteraan manusia dengan dukungan kelestarian sumber daya beserta lingkungannya. Oleh karena itu manusia merupakan komponen yang terpenting dari suatu sistem wanatani (Hairiah et al. 2003).
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN Hutan sebagai suatu sumber daya alam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang berada di sekitarnya. Hal ini menjadi sangat penting karena masyarakat di sekitar hutan dapat mengubah kondisi hutan menjadi lebih baik atau lebih buruk. Apalagi dengan bertambahnya penduduk di sekitar hutan, diperlukan pula tambahan sumber daya untuk mendukung kehidupan masyarakat sehingga dapat mengancam kelestarian hutan di sekitarnya. Oleh karena itu perlu adanya pemberdayaan masyarakat di
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
211
sekitar hutan sehingga masyarakat setempat dapat memperoleh manfaat dari hutan, dan sebaliknya kelestarian hutan dapat terjaga karena hutan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sekitarnya. Kontribusi sektor kehutanan terhadap pembangunan daerah di sekitarnya dapat terlihat dari relatif besarnya persentase PDRB (produk domestik regional bruto) yang disumbang hutan pada kawasan tersebut. Sebagai contoh, kontribusi sektor kehutanan pada pembangunan daerah Kabupaten Blora mencapai 16% (Suparmoko 2008) Proses pemberdayaan masyarakat desa hutan dalam Sistem PHBM bertujuan untuk mencapai pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan. Program PHBM diharapkan dapat memberikan bimbingan dan pendampingan kepada masyarakat dan pelaku usaha dalam meningkatkan produktivitas lahan dan menjaga kelestarian hutan, serta dapat membantu meyelesaikan berbagai masalah perdesaan lainnya (Hakim et al. 2004). Oleh karena itu kegiatan berbagi dalam PHBM merupakan salah satu kegiatan penting yang bertujuan untuk meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi serta manfaat sumberdaya hutan. Untuk mendukung pengelolaan lahan dan hasil pemanfaatan lahan hutan untuk usahatani diperlukan suatu lembaga yang disebut Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Lembaga ini dibentuk oleh masyarakat desa yang berada di dalam atau di sekitar hutan untuk mengatur dan memenuhi kebutuhannya melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya (Awang et al. 2008). Prinsip sistem PHBM oleh LMDH adalah pemanfaatan lahan/ruang/waktu kegiatan pengelolaan komoditas dan pemanfaatan hasil dengan saling menguntungkan, saling memperkuat, dan saling mendukung. Dasar kaidah pengelolaannya adalah: (1) keseimbangan ekologi (ekologi, ekonomi, sosial); (2) kesesuaian kultur budaya setempat; (3) keselarasan pembangunan regional; (4) keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan. Dengan demikian tujuan pengelolaan hutan merupakan simbiosis mutualistik (saling menguntungkan) bagi perusahaan (pengelola hutan) dan masyarakat desa hutan (Khususiyah et al. 2009).
PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI DI BAWAH TEGAKAN HUTAN Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman bergantung pada intensitas cahaya, lama penyinaran dan kualitas cahaya. Dari ketiga komponen tersebut, intensitas cahaya merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi fotosintesis, di mana laju fotosintesis akan terhambat apabila intensitas cahaya lebih besar atau lebih kecil dari batas optimum (Treshow 1970). Tanaman yang ternaungi akan mengalami perpanjangan ruas batang, pengurangan jumlah daun dan pengecilan helaian daun (Arifin 1988). Namun demikian, meskipun tinggi tanaman meningkat, tetapi anatomi tanaman (jumlah, panjang, dan diameter stomata) tidak berubah (Pantilu et al. 2012). Tingkat penaungan yang terlalu berat mengakibatkan tanaman lebih sulit berkembang, karena cahaya yang diterima untuk fotosintesis tidak mampu mengimbangi kebutuhan energi untuk respirasi, akibatnya tanaman atau sebagian dari organ-organ tanaman cepat mengalami kematian (Leopold dan Kriedeman 1975). Kualitas cahaya berhubungan dengan pertumbuhan tanaman, terutama pada pertumbuhan panjang dan cabang. Hal ini disebabkan oleh adanya efek fotomorfogenesis yang disebabkan oleh tumbuhan hijau terkena cahaya merah (yang bekerja melalui fitokrom) dan cahaya biru (yang bekerja melalui kriptoleran) sehingga pemanjangan tanaman terhambat. Sebaliknya pada tanaman yang hidup di bawah kanopi daun, cahaya diserap adalah cahaya merah sehingga fitokrom akan hilang dari daun dan
212
Kuswantoro et al.: Pengusahaan Kedelai dalam Sistem Wanatani di Lahan Hutan Jati Wilayah Jawa Timur
batang menjadi lebih panjang (Salisbury dan Ross 1992). Oleh karena itu, tanaman yang ditanam pada lajur terluar seringkali mempunyai pertumbuhan lebih pendek dan banyak bercabang dibanding tanaman yang terdapat di tengah populasi. Tanaman kedelai merupakan tanaman hari pendek dan memerlukan intensitas cahaya yang tinggi. Penurunan radiasi matahari selama atau pada stadia pertumbuhan tertentu akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai (Asadi dan Arsyad 1991). Tanaman yang menerima penurunan intensitas cahaya sampai 40% menyebabkan penurunan hasil sampai 32% dan jumlah polong sampai 28% (Whigham dan Minor 1978). Respons tanaman kedelai terhadap naungan juga dipengaruhi oleh varietas yang dibudidayakan. Naungan sebesar 33% menurunkan hasil galur Lam/1248-4-4, Tidar, Willis, Lompobatang dan Lokon berturut-turut sebesar 6%, 12%, 32%, 43% dan 56% (Asadi dan Arsyad 1991). Penelitian menggunakan beberapa genotipe pada tumpangsari juga menunjukkan adanya perbedaan respons, di mana kedelai lokal lebih adaptif terhadap tumpangsari dengan jagung dibandingkan kedelai introduksi atau galur hasil persilangan (Anwari, 1991). Hal ini menunjukkan terdapat beberapa genotipe yang mempunyai toleransi terhadap naungan. Dalam sistem wanatani juga sudah dilakukan penelitian tentang respons varietas kedelai terhadap intensitas cahaya, dan varietas Pangrango lebih tanggap terhadap peningkatan kuanta cahaya daripada varietas Wilis dan Brawijaya. Oleh karena itu, Pangrango dapat menjadi alternatif pilihan tanaman sela pada sistem wanatani. Di bawah tegakan hutan, pertumbuhan tanaman kedelai tidak hanya dipengaruhi oleh cahaya, tetapi juga ketersediaan air dan unsur hara. Peningkatan dosis pupuk N dapat meningkatkan biomassa tanaman kedelai varietas Pangrango, di mana hasil biji tertinggi pada sistem wanatani adalah 1,34 t/ha dengan dosis 45 kg N /ha (Sitompul dan Purnomo 2004).
LUAS PEMANFAATAN LAHAN HUTAN JATI UNTUK KEDELAI DI JAWA TIMUR Wilayah kerja Perum Perhutani Unit II Jawa Timur meliputi seluruh hutan negara yang berada di Provinsi Jawa Timur, tersebar di seluruh wilayah Kabupaten di Jawa Timur, Madura dan sebagian Jawa Tengah (sebagian Kabupaten Blora). Wilayah kerja ini terbagi dalam 23 KPH (Kesatuan Pemangku Hutan) yaitu Padangan, Bojonegoro, Parengan, Jatirogo, Tuban, Ngawi, Madiun, Saradan, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Madura, Lawu, Kediri, Blitar, Malang, Pasuruan, Probolinggo, Jember, Bondowoso, Banyuwangi Selatan, Banyuwangi Utara, dan Banyuwangi Barat. Tidak semua kawasan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani Unit II Jawa Timur memanfaatkan lahannya dengan penanaman kedelai. Kesatuan Pemangku Hutan yang banyak melakukan penanaman kedelai di antaranya KPH Banyuwangi Selatan dan KPH Blitar. Di KPH Jember?? Tabel 1. Luas tanaman pangan di KPH Banyuwangi Selatan Tahun 2009–2012. Tahun 2009 2010 2011 2012* Jumlah
Padi 13,00 0,00 30,10 0,00 43,10
Luas (ha) Jagung 124,90 214,08 149,85 57,25 546,08
Kedelai 70,10 148,15 154,50 12,50 385,25
Jumlah (ha) 208,00 362,23 334,45 69,75 974,43
* Perkiraan luas lahan yang memungkinkan ditanami secara tumpangsari.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
213
Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Banyuwangi dibagi menjadi tiga kawasan, yaitu KPH Banyuwangi Utara, KPH Banyuwangi Barat, dan KPH Banyuwangi Selatan. Pada umumnya, pemanfaatan lahan di luar tanaman pokok (jati, pinus dan mahoni) oleh LMDH untuk KPH Banyuwangi Utara adalah untuk tanaman jagung, KPH Banyuwangi Barat tidak dimanfaatkan karena terletak di dataran tinggi (600 m dpl), sedangkan KPH Banyuwangi Selatan dimanfaatkan untuk kedelai. Usahatani kedelai banyak dilakukan di Banyuwangi Selatan, baik di lahan sawah dan lahan kering maupun lahan hutan. Data luas tanaman pangan Tahun 2009–2012 dari Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan berdasarkan nota kesepakatan yaitu pengelolaan pada lahan yang ditanami tanaman pokok sampai umur 3 tahun disajikan pada Tabel 1. Peningkatan luas tanam jagung dan kedelai terjadi pada tahun 2010 dan kemudian menurun pada tahun 2011, bahkan perkiraan akan terjadi penurunan yang drastis pada tahun 2012 (Tabel 1). Hal ini terjadi karena adanya batasan penanaman tanaman sela sampai pohon jati berumur tiga tahun. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui batas umur tanaman pokok sehingga pertanaman kedelai masih bisa tumbuh optimal. Di samping itu juga perlu dilakukan perakitan varietas kedelai yang toleran naungan sehingga diperoleh varietas kedelai yang mampu tumbuh dan menghasilkan biji yang relatif tinggi meskipun berada dalam kondisi ternaungi/intensitas cahaya rendah. Tabel 2. Penetapan kelompok tani penerima bantuan cadangan benih nasional (CBN) pengembangan tanaman kedelai di lahan perhutani di KPH Banyuwangi Selatan. Kecamatan
Desa
Luas (ha)
Kebutuhan benih (kg)
Jumlah Kelompok Tani
Jumlah petani anggota
Tegaldlimo Purwoharjo Pesanggaran Siliragung Bangorejo Jumlah
3 4 4 3 1 15
285 380 170 300 305 1.440
11.400 15.200 6.800 12.000 12.200 57.600
5 14 17 3 8 47
622 832 767 1.205 596 4.022
Varietas Baluran Baluran Baluran Baluran Baluran
Di KPH Banyuwangi Selatan pada tahun 2010/2011 terdapat 47 kelompok tani dengan 4.022 anggota yang ditetapkan menerima CBN (cadangan benih nasional) kedelai dengan luas lahan hutan 1.440 ha yang tersebar di lima kecamatan (Tabel 2). Kecamatan dengan anggota petani terbanyak adalah Kec. Siliragung dengan jumlah anggota 1.205 petani, meskpiun luas pertanamannya tidak seluas di Kec. Purwoharjo. Ini berarti bahwa masing-masing anggota di Kec. Siliragung memiliki pengusahaan lahan lebih rendah. Kecamatan yang terbanyak menerima CBN adalah Kec. Purwoharjo yang menerima 15 t benih kedelai yang diikuti oleh Kec. Bangorejo dan Siliragung dengan bantuan benih 12,2 t dan 12 t kg benih kedelai. Kedelai yang dominan ditanam petani di KPH Banyuwangi Selatan adalah varietas Baluran, bekerjasama dengan pihak ketiga yang menyediakan benih. Lahan hutan ini banyak dimanfaatkan untuk memproduksi benih karena musim tanam jatuh pada MH dan MK I sehingga dapat digunakan untuk mensuplai kebutuhan benih untuk pertanaman di
214
Kuswantoro et al.: Pengusahaan Kedelai dalam Sistem Wanatani di Lahan Hutan Jati Wilayah Jawa Timur
lahan sawah pada MK II. Dengan demikian benih kedelai selalu tersedia dalam kondisi daya tumbuh yang baik untuk pertanaman berikutnya. KPH Jember terdiri dari atas BKPH yaitu (1) Bagian Hutan Lereng Selatan meliputi BKPH Lereng Barat dan Lereng Timur, dengan potensi utama kayu rimba Mahoni; (2) Bagian Hutan Sempolan meliputi BKPH Sumberjambe dan Sempolan, dengan potensi utama kayu rimba Pinus; dan (3) Bagian Hutan Jember Selatan meliputi BKPH Mayang, Ambulu dan Wuluhan dengan potensi utama kayu jati. Di kawasan ini, tanaman tumpangsari dengan kedelai diusahakan di wilayah hutan Jember Selatan seperti wilayah Ambulu dan Wuluhan. Dalam perencanaan tahun 2011 pertanaman kedelai seluas 73,80 ha (Tabel 3). Penanaman direncanakan pada awal bulan Juni dengan bantuan benih dari BLBU. Penunjukan calon petani calon lokasi (CPCL) sudah ditetapkan dan varietas kedelai yang direncanakan adalah Anjasmoro, Wilis, dan Baluran yang biasa ditanam petani di lahan sawah. Tabel 3. Rencana calon petani dan calon lokasi (CPCL) penanaman kedelai di lahan hutan Kabupaten Jember Tahun 2011. BKPH
RPH
Luas (ha)
Ambulu
Sabrang
9,30
Manciku Curahtakir Wuluhan Glundengan
Jumlah
Kecamatan Ambulu
38,00 Tempurejo 5,00 Tempurejo 5,50 Wuluhan 4,00
Wuluhan
2,00
Wuluhan
2,00
Wuluhan
8,00
Ambulu
73,80
Rencana penanaman Desa LMDH Jml Varietas (kg) Sabrang Harapan Anjasmoro, 372 Makmur Wilis, dan Sidodadi Sidomukti Baluran 1520 Curahtakir Sumberjaya 200 Tanjungrejo Guyub 220 Rukun Kesilir Mangga 160 Lestari Glundengan Alam 80 Sejahtera Abadi Glundengan Alam 80 Sejahtera Abadi Karanganyar Manggar 320 Sejahtera 2.952
Tanam Rencana awal bulan Juni 2011
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Blitar masuk dalam wilayah kerja Perhutani Unit II di Jawa Timur. Wilayah kerja KPH Blitar meliputi Kabupaten Blitar, Tulungagung, dan Malang, yang tersebar dalam sembilan Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) dan membawahi 121 desa. Petani di masing-masing desa diwadahi dalam bentuk LMDH (Tabel 4). Luas lahan KPH Blitar sekitar 57.000 ha dan yang bisa dimanfaatkan untuk tanaman pangan seluas 15.809,04 ha. Dari 15.809,04 ha yang bisa dimanfaatkan untuk tanaman pangan (padi, jagung, dan kedelai) yang berada pada tiga daerah yaitu Blitar (8.137,64 ha), Tulungagung (7.511,50 ha), dan Malang (159,90 ha). Namun potensi lahan yang bisa dimanfaatkan untuk tanaman kedelai adalah 5.450,96 ha yang terdiri atas Blitar (2.589,97 ha), Tulungagung (2.805,86 ha), dan Malang (55,13 ha). Varietas yang
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
215
ditanam adalah Anjasmoro, Orba, Gepak Kuning dan Wilis dengan kisaran hasil 1,2–1,8 t/ha. Area KPH Padangan berada di daerah Kabupaten Bojonegoro dan Tuban, dengan luas lahan 27.830 ha. KPH Padangan dibagi dalam beberapa BKPH (Bagian Kesatuan Pemangku Hutan) yaitu Sukorejo, Tobo, Tegaron, Kaliaran Timur dan Barat, Ngampel, Napis, Kates, Ngraho dan Ngelo. BKPH mencakup RPH (Resort Pemangku Hutan). Beberapa RPH yang mempunyai area pertanaman kedelai adalah RPH Tegaron (BKPH Tegaron), RPH Sukorejo (BKPH Sukorejo) dan RPH Donan (BKPH Tobo). Luas pertanaman kedelai di RPH Tegaron adalah sekitar 20 ha dari luas area 786 ha, sedangkan sisanya ditanami komoditas padi, jagung dan kacang tanah. RPH Sukorejo dengan luas area 700 ha hampir semuanya ditanami dengan kedelai seluas 630 ha. RPH Donan memiliki luas paling sempit yaitu 21 ha dan 5–10 ha ditanami kedelai. Di ketiga daerah ini, benih kedelai berasal dari Jawa Tengah dan diperkirakan merupakan campuran varietas Malabar dan Grobogan dengan kisaran produktivitas 0,7–1,1 t/ha. Tabel 4. Potensi tanaman pangan (kedelai, padi dan jagung) dalam kawasan hutan tahun 2010 Perum Perhutani KPH Blitar. Jumlah Desa
Luas (ha)
Padi (ha)
Jagung (ha)
Kedelai (ha)
Tulungagung
13
4.136,94
428,17
2.282,35
1.426,42
Kalidawir
Tulungagung
21
3.530,90
365,45
1.948,00
1.217,45
Rejotangan
Tulungagung
8
469,80
48,62
259,19
161,99
Jumlah Tulungagung
42
8.137,64
842,25
4.489,54
2.805,86
Rejotangan
Blitar
14
2.473,20
255,98
1.364,46
852,76
Lodoyo Barat
Blitar
12
2.344,80
242,69
1.293,63
808,49
Lodoyo Timur
Blitar
11
923,30
95,56
509,38
318,35
Wlingi
Blitar
16
515,20
53,32
284,24
177,64
Kesamben
Blitar
19
1.255,00
129,89
692,38
432,72
Jumlah Blitar Sumber Pucung
Malang
72 7
7.511,50 159,90
777,44 16,55
4.144,09 88,22
2.589,97 55,13
7 121
159,90 15.809,04
16,55 1.636,24
88,22 8.721,85
55,13 5.450,96
BKPH
Kabupaten
Campur Darat
Jumlah Malang Jumlah
Area kerja Perum Perhutani KPH Bojonegoro seluas 50.145 ha seluruhnya masuk daerah administratif Kabupaten Bojonegoro. Area efektif untuk produksi luasnya 47.479,3 ha (94,68% dari area kerja) terdiri atas area produksi jati 45.447,8 ha, dan bukan untuk produksi kayu jati 2.031,5 ha. Area yang bukan untuk produksi luasnya 2.666,1 ha terdiri atas alur, jalan, perumahan dinas dan bangunan lainnya, di dalamnya termasuk hutan lindung seluas 1.050,4 ha (2,09% dari area kerja).
216
Kuswantoro et al.: Pengusahaan Kedelai dalam Sistem Wanatani di Lahan Hutan Jati Wilayah Jawa Timur
Wilayah kelola KPH Bojonegoro meliputi enam bagian hutan (Celangap, Deling, Dander, Ngorogunung, Cerme dan Temayang). Masing-masing bagian hutan merupakan satuan unit pengaturan kelestarian yang menjamin kontinuitas sumber daya hutan. Terkait dengan operasional pengelolaan, wilayah KPH Bojonegoro dibagi menjadi 13 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) yang mencakup 50 Resort Pemangkuan Hutan (RPH). BKPH yang ada meliputi BKPH Clangap, Bubulan, Nglambangan, Deling, Tengger, Pradok, Dander, Clebung, Bareng, Tondomulo, Tretes, Temayang, Gondang. Ke 13 BKPH tersebut terkoordinir dalam tiga Sub-Kesatuan Pemangkuan Hutan Bojonegoro Timur, Tengah dan Barat. Beberapa RPH yang memiliki area pertanaman kedelai di KPH Bojonegoro di antaranya RPH Prajekan (BKPH Celangap) dengan luas area 5–10 ha pertanaman kedelai dari 21 ha luas area RPH. Benih kedelai juga berasal dari Jawa Tengah dan diperkirakan merupakan campuran varietas Malabar dan Grobogan dengan produktivitas sekitar 0,8–1,2 t/ha. Area KPH Ngawi memiliki wilayah seluas 45.912 ha. Pada tahun 2009/2010 lahan produktif bagi tanaman pangan di KPH Ngawi seluas 1.841 ha, untuk komoditas kedelai 413 ha. Pada tahun 2010/2011 diproyeksikan untuk pertanaman kedelai seluas 1.016 ha dari lahan produktif tanaman pangan seluas 1.574 ha. Wilayah kelola KPH Ngawi meliputi 13 Bagian Hutan yaitu Banyuasin (Kec. Karanganyar), Begal (Kec. Kedunggalar dan Ngrambe), Sonde (Kec. Pitu dan Kedunggalar), Kedunggalar (Kec. Widodaren dan Kedunggalar), Payak (Kec. Widodaren dan Mantingan), Kedungbanteng (Kec. Mantingan), Ngandong (Kec. Randublatung), Getas (Kec. Pitu dan Kradenan), Pandean (Kec. Mantingan dan Karanganyar), Kedawak Utara (Kec. Margomulyo dan Ngawi), Kedawak Selatan (Kec. Padas), Geneng (Kec. Geneng), Walikukun (Kec. Widodaren) dan Watuninanah (Kec. Karanganyar). Di KPH Ngawi yang mempunyai area pertanaman kedelai di antaranya adalah RPH Sidowayah (BKPH Kedunggalar) dengan luas area pertanaman kedelai 26 ha, dan RPH Pucung (BKPH Kedawak Selatan) dengan luas area pertanaman kedelai 5–6 ha. Benih kedelai berasal dari daerah setempat dengan produktivitas 0,7–1,0 t/ha.
BUDI DAYA KEDELAI DI BAWAH TEGAKAN HUTAN DI JAWA TIMUR Pada umumnya kedelai yang ditanam di bawah tegakan hutan diusahakan pada musim hujan. Hal ini karena lahan hutan bukan merupakan lahan beririgasi sehingga penyediaan air bergantung pada curah hujan yang ada. Penanaman kedelai dapat dimulai pada bulan Desember di mana curah hujan sudah mulai stabil dan berakhir pada bulan Januari. Dengan waktu tanam semacam ini diharapkan kedelai pada bulan Maret dan April sudah dapat dipanen. Budi daya kedelai di lahan hutan menggunakan teknik penanaman tanpa olah tanah (TOT). Teknik ini dapat melindungi tanaman pokok dari kerusakan akar akibat pengolahan tanah. Persiapan lahan hanya dilakukan dengan cara membersihkan lahan dari gulma yang dapat mengganggu pertumbuhan kedelai. Pembersihan gulma dilakukan dengan penggunaan herbisida berbahan aktif isopropilamina glifosat 486 g/l, herbisida non selektif yang memiliki spektrum luas, sehingga mampu mengendalikan gulma berdaun sempit, berdaun lebar, dan teki. Setelah gulma mati langsung dilakukan pelarikan, dengan membuat alur tanam sedalam kurang lebih 2 cm dengan jarak antar jalur tanam 30–40 cm. Jarak dalam jalur (barisan) adalah 15–20 cm.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
217
Tabel 5. Varietas kedelai yang digunakan di berbagai KPH di Jawa Timur. Daerah KPH Banyuwangi Selatan KPH Jember KPH Blitar KPH Padangan (Bojonegoro) KPH Bojonegoro KPH Ngawi
Varietas kedelai Baluran Anjasmoro, Wilis, dan Baluran Anjasmoro, Orba, Wilis, dan Gepak Kuning Campuran Malabar dan Grobogan Campuran Malabar dan Grobogan Tidak diketahui
Berbagai macam varietas dapat digunakan dalam budi daya kedelai di bawah tegakan hutan, bergantung pada intensitas naungan. Pada kondisi intensitas naungan rendah pada saat tanaman pokok masih kecil, semua varietas kedelai dapat ditanam. Namun pada umur tertentu di mana tanaman pokok sudah tinggi dan mengakibatkan terjadinya naungan, varietas kedelai yang akan ditanam mempengaruhi hasil yang akan dicapai. Beberapa varietas kedelai yang biasanya ditanam petani pada saat tanaman pokok sudah tinggi adalah Anjasmoro, Wilis, Orba, Gepak Kuning, Baluran dan benih campuran yang diduga adalah Malabar dan Grobogan. Varietas Pangrango dilaporkan lebih toleran terhadap naungan daripada varietas lain (Sitompul 2003 dalam Sitompul dan Purnomo 2004). Soverda (2009) melaporkan bahwa varietas Ringgit dan Petek lebih toleran terhadap naungan dibanding 15 varietas yang diuji. Terdapat peluang perbaikan hasil kedelai di bawah tegakan hutan karena heritabilitas hasil 0,68% (Kisman et al. 2008). Penelitian dosis pupuk untuk tanaman kedelai di bawah tegakan hutan belum banyak diteliti. Dosis pupuk dan varietas memberikan pengaruh pada hasil kedelai. Sitompul (2004) melaporkan bahwa pemupukan N dengan dosis 45 kg/ha dapat memberikan hasil varietas Pangrango sampai 1,34 t/ha, namun Kaba dengan dosis N 75 kg/ha hanya memberikan hasil 1,26 t/ha. Bagi petani, pupuk N biasanya diberikan bersamaan dengan pupuk P dan K dalam bentuk Phonska. Penggunaan pupuk ini umumnya kurang dari 100 kg/ha, setara dengan 15 kg/ha untuk masing-masing unsur N, P, dan K. Pemangkasan atau perompesan daun tanaman pokok diperlukan pada saat kanopi sudah menutup. Namun, perompesan perlu hati-hati karena tanaman pokok akan terganggu pertumbuhannya apabila perompesan terlalu berat. Purnomo dan Sitompul (2006) melaporkan bahwa pemangkasan 50% bagian bawah tajuk pohon dapat meningkatkan penetrasi cahaya dari 63% menjadi 70–80% dan meningkatkan hasil kedelai dari 0,12 t/ha menjadi 0,57 t/ha.
KESIMPULAN Kondisi wilayah dan sosial ekonomi masyarakat berdampak pada luas kawasan hutan jati Jawa Timur yang ditanami kedelai, sehingga luas tanam kedelai bervariasi antar Kesatuan Pemangku Hutan (KPH). Terdapat tiga KPH yang tergolong paling luas ditanami kedelai, yaitu KPH Banyuwangi Selatan dengan luas tanam 1440 ha, KPH Padangan 650 ha, dan KPH Ngawi 413 ha. Beberapa KPH belum menanam kedelai dan masih dalam perencanaan untuk penanaman kedelai, diantaranya KPH Blitar dengan potensi 5.450,96 ha. Antar kawasan hutan, varietas yang ditanam juga bervariasi. Varietas Baluran banyak ditanam di KPH Banyuwangi Selatan, sedangkan Anjasmoro, Orba, Gepak Kuning, Wilis atau varietas campuran Malabar dan Grobogan banyak ditanam di KPH Ngawi, Blitar dan
218
Kuswantoro et al.: Pengusahaan Kedelai dalam Sistem Wanatani di Lahan Hutan Jati Wilayah Jawa Timur
Bojonegoro. Penanaman kedelai biasanya dilakukan petani pada awal musim hujan (bulan Desember – Januari). Hasil kedelai yang ditanam juga bervariasi antar KPH dengan kisaran 0,7–1,8 t/ha.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Korea melalui proyek AFACI (Asian Food and Agriculture Cooperation Initiative) yang telah mendanai survey ini.
DAFTAR PUSTAKA Anwari, M. 1991. Adaptasi genotipe kedelai terhadap naungan. Hlm. 373–383. Dalam M. Machmud, M. Kosim Kardin, dan Lukman Gunarto (peny.). Pros. Lokakarya Komoditas dan Studi Khusus. Arifin. 1988. Pengelolaan naungan dalam pertumbuhan dan produksi tanaman kacang hijau (Phaseoulus radiatus. L.). Agrivita 11: 17–20 Asadi dan D.M. Arsyad. 1991. Adaptasi varietas kedelai pada pertanaman tumpangsari dan naungan buatan. Dalam Suprapto Hardjosumadi, Muhammad Machmud, Soewito Tjokrowinoto, Djuber Pasaribu, Sutrisno, Adang Kurnia, dan Nono Mulyono (Peny.) Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Bogor, Februari 1991, Vol II. Awang, S.A., W.T. Widayanti, B. Himmah, A. Astuti, R.M. Septiana, Solehudin dan A. Novenanto. 2008. Panduan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). French Agricultural Research Centre for International Development-Research Unit Forest Resources and Public Policies. Center for International Forestry Research. Pusat Kajian Hutan Rakyat-Fakultas Kehutanan-Universitas Gadjah Mada. De Foresta, H. and G. Michon. 1997. The agroforest alternative to Imperata grasslands: when smallholder agriculture and forestry reach sustainability. Agroforestry Systems. Published by ICRAF, ORSTOM, CIRAD-CP and the Ford Foundation. Hairiah, K, M. A. Sardjono, dan S. Sabarnurdin, 2003. Pengantar Agroforestri. Indonesia World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. Hakim, I., S. Irawanti dan Sylviani. 2004. Rehabilitasi lahan dengan pola pengelolaan hutan bersama masyarakat di Pulau Jawa: Studi kasus di KPH Madiun dan KPH Kuningan. Makalah Utama pada Ekspose Penerapan Hasil Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Palembang, 15 Desember 2004. Khususiyah, N., Suyanto dan Y. Buana. 2009. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM): Pembelajaran keberhasilan & kegagalan program. World Agroforestry Centre – ICRAF. http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/files/leaflet/LE0168-10. PDF. (Diakses 21 Juni 2011). Kisman, Trikoesoemaningtyas, Sobir, N. Khumaida dan D. Sopandie. 2008. Pola pewarisan adaptasi kedelai (Glycine max L. Merrill) terhadap cekaman naungan berdasarkan karakter morfo-fisiologi daun .Bul. Agron. 36: 1–7. Leopold, A. C. and P. E. Kriedeman. 1975. Plant growth and development. 2nd Edition. Mc Graw Hill Inc. America. Pantilu, L.I., F.R. Mantiri, N.S. Ai, D. Pandiangan. 2012. Respons morfologi dan anatomi kecambah kacang kedelai (Glycine max (l.) Merill) terhadap intensitas cahaya yang berbeda. Jurnal Bioslogos 2:79–87. Purnomo, D. dan S.M. Sitompul. 2006. Irradiasi pada sistem agroforestri berbasis jati dan pinus serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman kedelai. Biodiversitas 7: 251–255. Salisbury, F and C. W. Ross. 1992. Plant physiologi. Fourth Edition. Words Worth Publ, Comp. California. 315 Hlm. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
219
Sitompul, S.M. dan D. Purnomo. 2004. Peningkatan kinerja tanaman jagung dan kedelai pada sistem agroforestri jati dengan pemupukan nitrogen. Agrosains 6: 79–83. Sitompul, S.M. dan D. Purnomo. 2005. Peningkatan fungsi agronomi sistem agroforestri jati, pinus dengan penggunaan varietas tanaman jagung toleran irradiasi rendah. Agrosains 7: 93–100. Soverda, N., Evita dan Gusniwati. 2009. Evaluasi dan seleksi varietas tanaman kedelai terhadap naungan dan intensitas cahaya rendah. Zuriat 19: 86–97. Supangat, A.B. dan Paimin. 2006. Peran Hutan Tanaman Jati sebagai Pengatur Tata Air: Studi Kasus di SubDAS Kawasan Hutan Jati di KPH Cepu. Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia Bagian Barat (BP2TPDAS-IBB) Kartasura. Suparmoko, M. 2008. Kontribusi sektor kehutanan pada pembangunan daerah Kabupaten Blora. Jurnal Ekonomi Pembangunan 13:217–229. Treshow, M. 1970. Environment and plant response. Mc. Graw. Hill Inc. USA. 422 Hlm. Whigham, D.K. and H.C. Minor. 1978. Agronomic characteristics and environmental stress. Hlm. 77–105. In Geoffrey. A. Norman (ed.) Soybean, Physiology, Agronomy and Utilization. New York, San Francisco, London. Academic Press. Inc. Zakaria, A.K. 2010. Program pengembangan agribisnis kedelai dalam peningkatan produksi dan pendapatan petani. Jurnal Litbang Pertanian 29:147–153.
220
Kuswantoro et al.: Pengusahaan Kedelai dalam Sistem Wanatani di Lahan Hutan Jati Wilayah Jawa Timur