Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
HARYANTO YATAP
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
2
Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
HARYANTO YATAP
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
3
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2008 Haryanto Yatap NIM 051050181
4
ABSTRACT HARYANTO YATAP. The Influence of Socio-economic Variables on Landuse and Landcover Change in Gunung Halimun Salak National Park. Under direction of HARDJANTO and LILIK BUDI PRASETYO. Gunung Halimun Salak is one of national park in Indonesia, located in West Java and Banten Province. In 2003, government has expanded its area by more than 70000 hectares. It caused a lot of conflicts between local communities and national park officials. Many case studies showed that the local communities has used the natural resources for construction materials, fuel wood, medicine, food, cultural needs, forages, hunting, handicraft, gold mining, agriculture land, and settlement. There was clear evidence that in Gunung Halimun Salak National Park, during 15 years period (1989-2004), forest cover area decreased by more than 25%. The objectives of the research are: 1) to identify socio-economic variables causing landuse and landcover change; 2) to estimate influence of key socio-economic variables; 3) to estimate the need of agricultural land and settlement for local communities; and 4) to estimate the direct benefit value of the national park. Selection of sampling location was used by stratified cluster sampling. Socio-economic data collected from interviews with 900 head of households which lived in 30 villages in and around the national park. The technique of data processing analysis were done using spatial analysis, descriptive analysis, linear regression analysis, population pressure analysis, and substitution and market price analysis. The result of analysis showed that the population growth, population density, land ownership, agricultural land and settlement expansion are the key variables that influenced landuse and landcover change. The need of agricultural land was 0.54 hectares per person, and the direct benefit value of the national park was more than IDR 237 billion per year. Keywords: socio-economic variable, landuse and landcover change, national park, stratified cluster sampling
5
RINGKASAN HARYANTO YATAP. Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dibimbing oleh HARDJANTO dan LILIK BUDI PRASETYO. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang berada di Provinsi Jawa Barat dan Banten. Adanya perluasan kawasan TNGHS pada tahun 2003, telah menimbulkan konflik berkepanjangan antara pengelola TNGHS, pemerintah daerah, dan masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peubah-peubah sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan pada berbagai tipologi desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS. Selain itu, akan diduga pula pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan pada setiap tipologi desa, kebutuhan lahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup warga desa, serta nilai manfaat langsung dari kawasan TNGHS dan trend perubahannya. Untuk mendapatkan berbagai data yang dibutuhkan pada lokasi penelitian, dilakukan pengambilan sampel dengan metode stratified cluster sampling. Pembuatan cluster dilakukan dengan stratifikasi awal terhadap desa-desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS berdasarkan pada: 1) Laju penurunan luas hutan rata-rata: 0-2.0%/tahun, 2.1-4.0%/tahun, 4.1-6.0%/tahun, dan 6.1-8.0%/tahun; 2) Sosial kultural masyarakat: tradisional dan non-tradisional, dan 3) status desa: enclave dan non-enclave. Penarikan sampel terdiri dari dua tahap, yaitu: tahap pertama untuk menetukan primary sampling unit (psu); dan tahap kedua untuk menentukan secondary sampling unit (ssu). Pada tahap pertama adalah berupa pemilihan sampel desa, didasarkan pada hasil stratifikasi yang dilakukan pada tahap awal, dengan sampling fraction sebesar 25%. Pada tahap kedua, pengambilan data dilakukan dengan memilih 30 kepala keluarga yang berada di desa-desa sampel terpilih. Analisis terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS selama periode tahun 1989-2004 dilakukan secara spasial terhadap citra landsat tahun 1989, 1992, 1995, 1998, 2001, dan 2004. Analisis hubungan antara peubah sosial ekonomi kunci/dominan terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan dilakukan dengan menggunakan regresi linier berganda. Pendugaan terhadap kebutuhan lahan bagi anggota masyarakat, dilakukan dengan menggunakan analisis tekanan penduduk. Besarnya nilai manfaat langsung kawasan TNGHS diduga dengan menggunakan analisis harga barang pengganti dan harga pasar. Sejarah penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dapat dibagi menjadi empat periode tahun. Pada periode tahun 1700-1865, kawasan TNGHS ditetapkan oleh Hindia Belanda sebagai kawasan perkebunan. Tetapi pada periode tahun 1865-1942, kawasan TNGHS dirubah menjadi kawasan kehutanan, untuk pengatur ketersediaan air dan memenuhi produksi kayu. Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945), kawasan hutan di TNGHS diperuntukkan sebagai kawasan pertanian, sebagai akibat adanya kewajiban serah-padi yang diterapkan oleh Jepang. Setelah kemerdekaan,
6 kelompok hutan di kawasan TNGHS kembali ditetapkan sebagai kawasan kehutanan, yang dikelola oleh BKSDA, Perhutani, dan Taman Nasional. Aktivitas masyarakat pada pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup, merupakan salah satu penyebab utama terjadinya perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS. Kebutuhan lahan pertanian dan perkebunan, pemukiman, pembuatan sarana dan prasarana, dan pemanfaatan langsung sumber daya hutan, telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap adanya perubahan penutupan lahan di kawasan TNGHS. Selain itu, adanya perubahan peruntukan lahan sebagai akibat dari perubahan rencana pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah, juga merupakan penyebab utama rusaknya sebagian kawasan TNGHS. Berdasarkan pengelompokkan laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa di kawasan TNGHS, sebagian besar desa (47 desa) memiliki laju penurunan sebesar 0-2.0% per tahun. Selain itu, terdapat juga desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 2.1-4.0% per tahun sebanyak 32 desa (33.33%), desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 4.1-6.0% per tahun sebanyak 12 desa (12.50%), dan desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 6.1-8.0% per tahun sebanyak 5 desa (5.21%). Berdasarkan sosial kultural masyarakat, di kawasan TNGHS terdapat 10 desa yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh masyarakat tradisional, yaitu: Desa Sirnaresmi, Kanekes, Cisungsang, Kujangsari, Situmulya, Ciparay, Ciusul, Lebaksitu, Sirnarasa, dan Citorek. Berdasarkan status desa, terdapat 89 desa (83.96%) yang berada di luar kawasan enclave. Sedangkan desa-desa yang berada di dalam kawasan enclave adalah sebanyak 7 desa (16.04%), yaitu: Desa Malasari, Citorek, Ciparay, Ciusul, Cisarua, Lebak Situ, dan Lebak Gedong. Proses stratifikasi desa merupakan pengelompokkan desa berdasarkan kombinasi dari kriteria laju penurunan luas hutan alam, sosial kultural masyarakat, dan status desa. Hasil stratifikasi terhadap seluruh desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS dapat dikelompokkan menjadi 10 strata. Setiap strata desa dianggap mewakili setiap tipologi desa yang ada di kawasan TNGHS. Strata dengan jumlah desa terbanyak adalah strata 1 (38.54%), diikuti oleh strata 5 (3.21%), dan strata 9 (12.50%). Penurunan luas hutan alam di kawasan TNGHS dari tahun ke tahun terjadi secara terus menerus. Selama periode tahun 1989-2004, luas hutan alam pada kawasan TNGHS telah berkurang seluas 21586.1 hektar (25.68%). Pengurangan luas hutan alam terbesar terjadi pada periode tahun 1992-1995, yaitu seluas 5467.5 hektar. Sebaliknya, penurunan luas hutan alam terendah terjadi pada periode tahun 1998-2001, yaitu seluas 2823.5 hektar. Terdapat kecendrungan bahwa laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa yang tidak dipengaruhi oleh masyarakat tradisional dan di luar kawasan enclave adalah lebih tinggi, jika dibandingkan dengan laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa yang dipengaruhi oleh masyarakat tradisional dan berada di dalam kawasan enclave. Pada tahun 2004, total jumlah penduduk yang terdapat di kawasan TNGHS adalah sebanyak 547910 jiwa. Selama periode tahun 1989-2004, terjadi peningkatan jumlah penduduk sebanyak 152151 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2.19% per tahun. Tingkat kepadatan penduduk pada setiap strata desa cenderung terus meningkat, walaupun terdapat fluktuasi laju pertumbuhan penduduk pada setiap strata desa. Sebagian besar sumber mata
7 pencaharian pokok kepala keluarga pada desa-desa sampel adalah pada sektor pertanian, dengan jumlah pendapatan rata-rata setiap kepala keluarga pada tahun 2004 adalah sebesar Rp 5.5 juta per tahun. Kepemilikan dan penguasaan lahan yang ada pada desa-desa di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS, didapatkan dari beberapa cara, yaitu: warisan orang tua, jual beli, sewa, bagi hasil, dan menggarap pada lahan kehutanan. Pada tahun 2004, luas kepemilikan lahan rata-rata setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel adalah seluas 0.95 hektar. Dari tahun ke tahun, terdapat kecendrungan bahwa kepemilikan lahan setiap kepala keluarga semakin sempit. Dari hasil identifikasi terhadap berbagai peubah sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS, dapat diketahui beberapa peubah yang pengaruhnya sangat dominan yaitu: kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan pemukiman, dan perluasan lahan pertanian. Pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan (laju pertumbuhan penduduk/X1, laju perubahan kepemilikan lahan/X2, laju perubahan luas lahan pertanian/X3) terhadap laju penurunan luas hutan alam (Y1), hanya terdapat pada desa-desa yang termasuk strata 9, dengan model persamaan: Y1=3.471 + 5.627X1 + 3.000X2 – 0.230X3 (R2=1). Pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan (kepadatan penduduk/X1, luas kepemilikan lahan/X2, luas pemukiman/X3, luas areal pertanian/X4) terhadap persentase luas hutan alam (Y2) terdapat pada desa-desa strata 1, 2, 5, 7, dan 9. Model persamaan yang didapatkan adalah sebagai berikut: (1) strata 1: Y2=46.550–0.028X1 (R2=0.972); (2) strata 2: Y2=50.878+94.416X2 (R2=0.883); (3) strata 5: Y2=42.844–0.086X1–0.822X3 (R2=0.997); (4) strata 7: Y2=74.437– 0.586X3 (R2=0.995); (5) strata 9: Y2=45.897–0.077X1 (R2=0.994). Pada desa-desa non-tradisional dan non-enclave, terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk dan laju perubahan luas kepemilikan lahan, maka laju penurunan luas hutan alam semakin tinggi. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk dan luas areal pemukiman, maka persentase luas hutan alam semakin rendah. Sedangkan pada desa-desa tradisional dan non-enclave, terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi luas areal pemukiman, maka persentase luas hutan alam semakin rendah. Untuk dapat hidup layak, setiap warga desa pada desa-desa sampel mebutuhkan biaya hidup rata-rata sebesar Rp 3.72 juta per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup layak tersebut, diperlukan lahan garapan rata-rata seluas 0.54 hektar per orang. Secara keseluruhan, diperkirakan pada tahun 2009 dibutuhkan lahan pertanian bagi setiap warga sebanyak empat sampai lima kali lipat dari luas kepemilikan lahan pada tahun 2004. Jika diasumsikan bahwa jumlah desa sampel adalah 25% dari keseluruhan desa, dan jumlah responden terpilih adalah 2% dari seluruh kepala keluarga yang ada di desa, maka total nilai manfaat langsung kawasan TNGHS adalah sebesar Rp 237.68 milyar per tahun. Terdapat kecendrungan bahwa nilai manfaat tersebut dari tahun ke tahun semakin menurun, dengan semakin berkurangnya intensitas dan frekuensi pemanfaatan sumber daya hutan. Kata kunci: peubah sosial ekonomi, penggunaan dan penutupan lahan, taman nasional, stratified cluster sampling
8
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan meperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
9 Judul Tesis
:
Nama NIM
: :
Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Haryanto Yatap E 051050181
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS Ketua
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 30 Mei 2008
Tanggal Lulus:
10
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
11
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.
Penelitian ini
dilaksanakan sejak bulan Maret 2007, untuk mengetahui pengaruh berbagai peubah sosial ekonomi terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS dan Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku Komisi Pembimbing atas arahan dan bimbingannya.
Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS selaku dosen penguji atas koreksi dan saran perbaikannya. Terima kasih dan penghargaan penulis disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc selaku kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan seluruh staf BTNGHS yang telah membantu dan mendukung terlaksananya penelitian ini. Khusus kepada Bapak Hendra Wijaya, S.Hut dan Bapak Edi Suryanto, S.Hut, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Bupati Kabupaten Bengkulu Selatan dan Bapak Ir. Jonior Hafis, MP, atas izin yang diberikan kepada saya untuk melanjutkan studi pada sekolah Pascasarjana IPB.
Kepada Tanoto
Foundation juga disampaikan ucapan terima kasih atas bantuan biaya yang diberikan selama tahun kedua pendidikan saya.
Untuk Bapak Heru Andri
Pujianto S.Hut, Ario Birowo S.Hut, Iwan Irawan S.Hut, Miftahul Ulum S.Hut, dan kawan-kawan seperjuangan di sekolah Pascasarjana, diucapkan terima kasih atas bantuan, dukungan, dan kebersamaannya. Kepada seluruh keluarga, diucapkan terima kasih atas segala dukungan dan doanya. Untuk Bunda dan Puja, terima kasih atas segala pengorbanannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juni 2008 Haryanto Yatap
12
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, Lampung, pada tanggal 12 April 1976, dari ayah Yatap dan ibu Winaria. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2005, penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB, dengan biaya sendiri. Pada semester 3 dan 4, penulis memperoleh beasiswa dari Tanoto Foundation. Sejak tahun 2000, penulis bekerja sebagai pegawai negeri pada Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkulu Selatan. Selama bekerja, penulis banyak terlibat pada kegiatan yang berhubungan dengan inventarisasi dan perpetaan hutan.
13
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
....................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................... Perumusan Masalah ............................................................................... Tujuan Penelitian .................................................................................. Manfaat Penelitian ................................................................................. Kerangka Pemikiran ............................................................................. Hipotesis Penelitian .............................................................................
1 4 7 7 8 11
TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional .................................................................................... Nilai Keanekaragaman Hayati ............................................................ Penggunaan dan Penutupan Lahan ....................................................... SIG dan Penginderaan Jauh ................................................................. Peubah Sosial Ekonomi ........................................................................
12 13 15 17 23
METODOLOGI Waktu Penelitian ................................................................................... Lokasi Penelitian ................................................................................... Alat dan Bahan ...................................................................................... Metode Pengumpulan Data .................................................................. Pengolahan dan Analisis Data ...............................................................
27 27 28 28 34
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Sejarah Pengelolaan dan Tata Batas Kawasan ...................................... Masyarakat Adat .................................................................................... Kawasan Enclave ................................................................................... Strata Desa ............................................................................................
43 48 50 52
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Spasial ........................................................................... Hasil Identifikasi Peubah Sosial Ekonomi ........................................... Peubah Sosial Ekonomi Kunci/Dominan .............................................. Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi Kunci/Dominan ............................. Analisis Tekanan Penduduk ................................................................. Nilai Manfaat Langsung Kawasan TNGHS .........................................
58 80 126 128 134 140
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 151 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 153 LAMPIRAN ................................................................................................... 165
14
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Kombinasi kriteria untuk penentuan strata desa .................................
30
2
Struktur analisis ragam dari regresi linier berganda ...........................
39
3
Sejarah kebijakan penggunaan lahan dan penunjukan kawasan TNGHS ...............................................................................................
43
4
Strata desa di kawasan TNGHS ..........................................................
52
5
Desa-desa strata 1 ...............................................................................
54
6
Desa-desa strata 5 ...............................................................................
56
7
Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 …………………………………............................
63
Persentase luas hutan alam di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 .........................................
64
Perubahan luas semak di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ..........................................
65
Perubahan luas hutan tanaman di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ................................
67
Perubahan luas kebun campuran di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ................................
68
Perubahan luas ladang di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ..........................................
69
Perubahan luas sawah di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ..........................................
70
Perubahan luas lahan terbangun di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004.................................
71
Laju perubahan luas hutan alam di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ................................
73
Jumlah penduduk pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ..........................................................................................
86
Jumlah penduduk pada desa-desa sampel setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ...................................................................
87
Kepadatan penduduk pada desa-desa sampel setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ....................................................................
88
Laju pertumbuhan penduduk pada desa-desa sampel setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ...................................................
89
Mata pencaharian pokok responden pada desa-desa sampel .………
91
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
15 21 22 23 24 25 26 27 28
Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ..........................................
93
Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 1 pada periode tahun 1989-2004 ...........................................................
95
Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 2 pada periode tahun 1989-2004 ............................................................
96
Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 3 pada periode tahun 1989-2004 ............................................................
97
Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 4 pada periode tahun 1989-2004 ...........................................................
97
Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 5 pada periode tahun 1989-2004 ...........................................................
98
Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 6 pada periode tahun 1989-2004 ............................................................
99
Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 7 pada periode tahun 1989-2004 ............................................................
99
29
Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 8 pada periode tahun 1989-2004 ............................................................ 100
30
Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 9 pada periode tahun 1989-2004 ............................................................ 101
31
Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 13 pada periode tahun 1989-2004 ............................................................ 101
32
Perubahan luas kepemilikan lahan masyarakat pada desa-desa sampel setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ................... 106
33
Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 1 pada periode tahun 1989-2004 .............................................. 106
34
Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 2 pada periode tahun 1989-2004 .............................................. 107
35
Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 3 pada periode tahun 1989-2004 ............................................. 107
36
Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 4 pada periode tahun 1989-2004 .............................................. 107
37
Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 5 pada periode tahun 1989-2004 .............................................. 108
38
Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 6 pada periode tahun 1989-2004 .............................................. 108
39
Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 7 pada periode tahun 1989-2004 .............................................. 109
16 40
Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 8 pada periode tahun 1989-2004 .............................................. 109
41
Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 9 pada periode tahun 1989-2004 .............................................. 110
42
Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 13 pada periode tahun 1989-2004 ............................................ 110
43
Tingkat pendidikan kepala keluarga pada desa-desa sampel .............. 116
44
Kebutuhan lahan garapan per orang untuk memenuhi tingkat hidup layak pada desa-desa sampel .............................................................. 137
45
Tekanan penduduk pada desa-desa sampel ........................................ 139
46
Nilai manfaat langsung kawasan TNGHS yang diambil masyarakat .
148
17
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Kerangka pemikiran penelitian ..........................................................
10
2
Lokasi pengambilan data penelitian ...................................................
27
3
Tahapan penarikan sampel .................................................................
29
4
Diagram alir pengolahan data landsat ................................................
35
5
Perubahan tata batas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ...................................................................................................
47
6
Enclave perkebunan teh di Desa Malasari .........................................
52
7
Tipe penggunaan lahan di kawasan TNGHS .....................................
59
8
Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 1989 ...
60
9
Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 1992 ...
60
10
Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 1995 ...
61
11
Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 1998 ...
61
12
Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 2001 ...
62
13
Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 2004 ...
62
14
Lahan garapan masyarakat di sekitar kawasan TNGHS ....................
70
15
Pemindahan lokasi pemukiman di Desa Malasari .............................
72
16
Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel strata 1 ................................................................................................
74
Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel strata 2 ................................................................................................
75
Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel strata 3 ................................................................................................
76
Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel strata 4 ................................................................................................
76
Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel strata 5 ................................................................................................
77
Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel strata 6 ................................................................................................
78
Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel strata 7 ................................................................................................
78
Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel strata 8 ................................................................................................
79
17 18 19 20 21 22 23
18 24
Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel strata 9 ................................................................................................
79
Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel strata 13 ..............................................................................................
80
26
Pekerjaan sampingan anggota masyarakat desa .................................
92
27
Distribusi pengeluaran rumah tangga ................................................
102
28
Jalan desa di dalam kawasan TNGHS ...............................................
111
29
Jaringan jalan di dalam kawasan TNGHS .........................................
112
30
Pengolahan dan penyimpanan hasil panen …………………………. 118
31
Aktivitas ibu rumah tangga …………………………………………
121
32
Keadaan rumah pada desa-desa sampel .............................................
123
33
Pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat .........................................
140
34
Pengambilan kayu bakar oleh anggota keluarga ................................ 143
35
Pengambilan rumput untuk makanan ternak ...................................... 144
36
Kegiatan pembangunan rumah pada desa sampel ………………….. 145
37
Peralatan pengolahan bahan emas ………………………………….. 144
25
19
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Perubahan luas hutan alam pada desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 ....
166
Laju perubahan luas hutan alam pada desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 .........................................................................................
169
Perubahan persentase luas hutan alam terhadap luas wilayah desa, pada desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS selama periode tahun 1989-2004 ......................................
171
Perubahan luas semak pada desa-desa sampel pada periode tahun 1989-2004 ........................................................................................
174
Perubahan luas hutan tanaman pada desa-desa sampel pada periode tahun 1989-2004 …………………………………….........
175
Perubahan luas kebun campuran pada desa-desa sampel pada periode tahun 1989-2004 …………………………….....................
176
Perubahan luas ladang pada desa-desa sampel pada periode tahun 1989-2004 ……………………………………………………….
177
Perubahan luas sawah pada desa-desa sampel selama periode tahun 1989-2004 ..............................................................................
178
Perubahan luas lahan terbangun di wilayah desa-desa sampel selama periode tahun 1989-2004 ………………………………….
179
Perkembangan jumlah penduduk pada desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 ………………………………………………………….
180
Kepadatan penduduk pada desa-desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 ………...
183
Laju pertumbuhan penduduk pada desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 …
186
Jumlah pengeluaran rata-rata setiap rumah tangga pada desa-desa sampel ……………………………………………………………...
189
Perhitungan besarnya nilai Tekanan Penduduk terhadap lahan pertanian pada desa-desa sampel ......................................................
191
15
Nilai manfaat langsung kawasan TNGHS .......................................
192
16
Hasil analisis regresi linier berganda pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan terhadap laju perubahan luas hutan alam pada desa-desa sampel setiap strata desa …………………………
193
2
3
4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14
20 17
18
Hasil analisis regresi linier berganda pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan terhadap perubahan persentase luas hutan alam pada desa-desa sampel setiap strata desa ……………………
203
Kuesioner penelitian ……………………………………………….
218
21
PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) adalah salah satu taman nasional yang terdapat di pulau Jawa, yang merupakan hasil penggabungan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan kawasan Hutan Lindung Gunung Salak. Penunjukan kawasan TNGHS ini didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.175/kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003, dengan luas 113357 hektar. Secara administrasi pemerintahan, kawasan TNGHS berada di dalam wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten, yaitu: Kabupaten Sukabumi, Bogor, dan Lebak. Ekosistem TNGHS berperan penting sebagai pengatur tata air dan iklim mikro, konservasi hidupan liar, tempat penelitian, pendidikan lingkungan, kegiatan ekowisata, dan pelestarian budaya setempat. Vegetasi hutan yang ada di dalam kawasan TNGHS merupakan sumber air bagi masyarakat di sekitarnya, termasuk kota-kota besar seperti Bogor, Sukabumi, Tangerang, Rangkasbitung, dan DKI Jakarta (Harada et al. 2000). Berdasarkan ketinggian di atas permukaan laut, kawasan TNGHS digolongkan ke dalam tiga zona vegetasi: zona hutan dataran rendah (500-1000 mdpl), zona hutan sub montana (1000-1500 mdpl), dan zona hutan montana (1500-2211 mdpl) (Simbolon & Mirmanto 1997). Beberapa spesies tumbuhan yang mendominasi hutan antara lain: rasamala (Altingia excelsa), jamuju (Dacrycarpus imbricatus), dan puspa (Schima wallichii). Sekitar 75 jenis anggrek terdapat di taman nasional ini, dan beberapa jenis diantaranya merupakan jenis langka seperti: Bulbophylum binnendykii,
B. angustifolium, Cymbidium
ensifolium, dan Dendrobium macrophyllum (Dephut 2003). Berbagai jenis satwa yang terdapat di dalam kawasan TNGHS merupakan jenis-jenis primata, karnivora, herbivora, dan berbagai jenis burung.
Satwa
primata yang ada yaitu: Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata), Lutung (Trachypithecus auratus), fascicularis).
dan
Monyet ekor
panjang
(Macaca
Dari kelompok satwa karnivora, terdapat jenis: Macan tutul
(Panthera pardus), dan Kucing hutan (Prionailurus bengalensis). Jenis herbivora
22 yang ada adalah: Kancil (Tragulus javanicus). Terdapat 204 jenis burung, dimana 35 jenis diantaranya merupakan jenis endemik di pulau Jawa. Spesies burung endemik tersebut antara lain: Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Celepuk Jawa (Otus angelinae), dan Luntur Gunung (Harpactes reinwardtii) (Adhikerana 1999). Keanekaragaman jenis flora dan fauna yang ada di dalam kawasan TNGHS, telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat yang ada di dalam dan di sekitarnya. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam terutama dilakukan oleh masyarakat adat kasepuhan, yang sebagian besar bermukim pada wilayah TNGHS.
Pola
pemanfaatan tersebut didasarkan pada pandangan mereka terhadap hutan, yaitu: Hutan Tutupan (leuweung kolot atau leuweung gledegan), Hutan Titipan (leuweung titipan), dan Hutan Sampalan (leuweung sampalan).
Terdapat
anggapan pada masyarakat kasepuhan, bahwa kegiatan ladang berpindah merupakan budaya (tatali paranti karuhun) (Suhaeri 1994). Faktor sosial ekonomi seringkali dijadikan alasan oleh masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam kawasan TNGHS yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan taman nasional. Hal ini erat hubungannya dengan upaya masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Terdapat indikasi bahwa luas kepemilikan lahan garapan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS belum dapat memberikan hasil untuk memenuhi tingkat kehidupan kecukupan. Luas kepemilikan lahan garapan sebagian besar anggota masyarakat yang ada di sekitar kawasan TNGHS tergolong sempit (< 0.25 hektar) (Gunawan 1999; Mudofar 1999; Harada 2005).
Padahal
kehidupan masyarakat masih tergantung pada kegiatan pertanian (Gunawan 1999; Budiman & Adhikerana 2000). Hal ini telah mendorong masyarakat melakukan berbagai kegiatan ilegal dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, seperti: perambahan hutan, penambangan emas tanpa izin, dan perburuan satwa (Suhaeri 1994; Bahrudin 1999; Gunawan 1999; Asep 2000; Sudarmadji 2000, diacu dalam Widada 2004). Pemerintah
telah
menetapkan
bentuk-bentuk
pemanfaatan
yang
diperbolehkan dan tidak diperbolehkan pada kawasan taman nasional. Kawasan taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian,
23 ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam (UU No. 5 Tahun 1990; PP No. 68 Tahun 1990).
Hal-hal yang tidak
diperbolehkan pada kawasan taman nasional adalah melakukan kegiatan yang dapat merubah fungsi kawasan, antara lain: merusak kekhasan potensi, merusak keindahan alam dan gejala alam, mengurangi luas kawasan, serta melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang (PP No. 68 Tahun 1990). Lebih lanjut, menurut MacKinnon et al. (1993), pada kawasan taman nasional tidak diperkenankan adanya kegiatan pemanfaatan sumberdaya tambang. Sebagai wujud pelaksanaan dari berbagai peraturan perundangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, pihak pengelola taman nasional telah melakukan pengawasan dan pembinaan secara terus menerus terhadap berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat.
Terutama
terhadap pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat yang sudah lama mendiami kawasan TNGHS. Pengawasan dan pembinaan tersebut dimaksudkan untuk menjaga ekosistem asli kawasan taman nasional dari kerusakan. Sehingga tidak terjadi penurunan fungsi taman nasional sebagai: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pelestarian terhadap sumberdaya alam dan ekosistem. Akan tetapi, berbagai upaya rehabilitasi dan pengamanan yang dilakukan oleh pengelola taman nasional seringkali mengalami kegagalan.
Hal ini
disebabkan oleh adanya kepentingan yang berbeda antara masyarakat dengan pihak pengelola taman nasional.
Sebagai pengelola taman nasional, upaya
pelestarian dan perlindungan terhadap fungsi taman nasional merupakan prioritas utama. Di lain pihak, masyarakat harus memenuhi kebutuhan hidup mereka yang berasal dari pemanfaatan hasil hutan kawasan taman nasional. Dengan demikian diperlukan bentuk interaksi antara masyarakat dan pengelola TNGHS agar fungsi taman nasional tetap maksimal, dan di sisi lain kesejahteraan masyarakat terpenuhi. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, maka diperlukan beberapa pertimbangan yang dihasilkan dari beberapa penelitian, salah satunya penelitian tentang aspek sosial ekonomi.
24
Perumusan Masalah Penunjukan kawasan TNGHS telah menimbulkan beberapa permasalahan mendasar, antara lain: konflik mengenai kepemilikan lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam.
Permasalahan ini, erat kaitannya dengan pemenuhan
kebutuhan hidup masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS, dengan sumber mata pencaharian utama dari bidang pertanian. Dari hasil studi yang dilakukan Galudra et al. (2005), didapatkan bahwa pada beberapa bagian kawasan hutan yang ditunjuk telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Pemanfaatan sumberdaya alam kawasan TNGHS telah memberikan dampak terhadap aktivitas kehidupan masyarakat. Terdapat berbagai bentuk pemanfaatan keanekaragaman floristik di kawasan TNGHS antara lain: pengambilan kayu untuk bangunan dan peralatan rumah tangga, kayu bakar, rotan, tanaman hias, tumbuhan makanan, tumbuhan obat, dan tumbuhan yang diperlukan untuk perlengkapan upacara adat (Hadi 1994; Suhaeri 1994; Bahrudin 1999; Gunawan 1999; Kurniawan 2002; Rahayu & Harada 2004). Menurut Mudofar (1999), nilai manfaat hasil hutan memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan bagi masyarakat yang memiliki pendapatan dari luar hasil hutan kurang dari Rp 53 ribu per kapita per bulan. Keinginan masyarakat yang kuat dalam pemenuhan kebutuhan hidup, telah menyebabkan terjadinya berbagai aktivitas ilegal pada kawasan TNGHS. Hal ini berhubungan dengan luas kepemilikan lahan dan tingkat pendapatan masyarakat. Menurut Sudarmadji (2000), diacu dalam Widada (2004), dan hasil penelitian Suhaeri (1994), terdapat perilaku masyarakat desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS yang tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan taman nasional, yaitu: (1) kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI); (2) kegiatan ladang berpindah dan perambahan kawasan; (3) perburuan satwa; dan (4) penebangan pohon dan pengambilan kayu bakar dari dalam kawasan. Terdapat kecenderungan yang menunjukkan bahwa semakin sempit penguasaan lahan masyarakat dan semakin dekat jarak tempat tinggal masyarakat dari hutan, maka perilaku masyarakat terhadap tingkat pelestarian sumberdaya hutan akan semakin rendah (Gunawan 1999).
25 Penelitian terhadap trend perubahan penggunaan dan penutupan lahan yang terjadi dari tahun ke tahun telah dilakukan Cahyadi (2003), dimana didapatkan bahwa dalam kurun waktu 11 tahun (tahun 1990-2001), telah terjadi degradasi hutan pada koridor Gunung Halimun dan Gunung Salak seluas 347523 hektar. Lebih lanjut, dari hasil studi yang dilakukan Prasetyo dan Setiawan (2006), diperkirakan bahwa pada periode tahun 1989-2004, telah terjadi deforestasi kawasan TNGHS seluas 22 ribu hektar (± 25%). Deforestasi tersebut diikuti dengan kenaikan secara konsisten semak belukar, ladang, dan lahan terbangun. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat aktivitas sosial ekonomi masyarakat desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS berupa kegiatan pemanenan kayu, perluasan lahan pertanian, dan pembangunan perumahan. Proses kehilangan hutan pada kawasan TNGHS
terbanyak terjadi pada
periode tahun 2001-2003, seluas 4367.79 hektar (Prasetyo & Setiawan 2006). Hal yang cukup memprihatinkan adalah dengan terdapatnya laju deforestasi yang tinggi pada desa-desa yang merupakan tempat bermukim masyarakat tradisional warga kasepuhan.
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan bahwa telah terjadi
penurunan luas hutan secara tajam pada Desa Sirnarasa pada periode tahun 2001-2004, dan pada Desa Citorek secara konsisten sejak tahun 1989. Terdapat kemungkinan bahwa hal ini berhubungan dengan adanya implementasi otonomi daerah, dimana tidak terdapat kepastian hukum. Disamping itu, terdapat juga anggapan bahwa budaya masyarakat tradisional tidak selalu berpengaruh positif terhadap kelestarian sumberdaya alam. Adanya perbedaan kelompok masyarakat yang mendiami desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS menimbulkan perbedaan tipologi desa. Perbedaan karakteristik ini, berhubungan dengan sosial kultural masyarakat dan status desa, dimana terdapat desa tradisional dan desa yang berada di dalam kawasan enclave. Sehingga dalam hubungannya dengan perubahan penggunaan dan penutupan lahan, maka akan terdapat juga kemungkinan bahwa ada perbedaan faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan pada setiap tipologi desa. Berdasarkan studi literatur terhadap hasil penelitian yang dilakukan pada berbagai lokasi di Indonesia dan beberapa negara lain, didapatkan bahwa
26 faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi perubahan penggunaan dan penutupan lahan antara lain: pertumbuhan penduduk dan kemiskinan (Lombardini 1994; Rudel 1994; Verburg et al. 1999; Iverson & Cook 2000; Sader et al. 2000; Dien 2004; Wong AWM & Wong MH 2004; EFTEC 2005; Verbist et al. 2005), kepadatan penduduk (Kummer & Sham 1994; Panayotou & Sungsuwan 1994; Geist & Lambin 2001a), urbanisasi (Geist & Lambin 2001a), luas lahan garapan (Paat 1986; Gunawan 1999), perluasan lahan pertanian (Kummer & Sham 1994; Kant & Redantz 1997; Poudevigne et al. 1997; Verbist et al. 2005; Chowdury 2006; Wilson 2006), perluasan pemukiman (Geist & Lambin 2001a), tingkat pendapatan (Panayotou & Sungsuwan 1994; Bayu 1999; Iverson & Cook 2000; Purnomo et al. 2003; Mulatsih 2005), aksesibilitas terhadap sumberdaya alam (Gunawan 1999; Sader et al. 2000; Geist & Lambin 2001a; Purnomo et al. 2003; Dien 2004; Mulatsih 2005), nilai sumberdaya hutan (Mudofar 1999; Geist & Lambin 2001a; Dien 2004), tingkat pendidikan (Purnomo et al. 2003; Mulatsih 2005), persamaan jender (Oliveira & Anderson 1999; ITTO 2004), kebijakan dan institusi (Chakraborty 1994; Poudevigne et al. 1997; Purnomo et al. 2003; ITTO 2004; EFTEC 2005; Verbist et al. 2005), pengaruh masyarakat lokal (Geist & Lambin 2001a; Purnomo et al. 2003; Dien 2004; ITTO 2004). Diperlukan verifikasi terhadap berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, untuk mengetahui faktor-faktor sosial ekonomi masyarakat yang berpengaruh terhadap laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan yang terjadi di kawasan TNGHS. Dari uraian permasalahan tersebut di atas, timbul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Peubah-peubah sosial ekonomi apa saja yang menyebabkan perubahan penggunaan dan penutupan lahan pada setiap tipologi desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS ? 2. Seberapa besar pengaruh peubah-peubah sosial ekonomi tersebut terhadap laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan pada setiap tipologi desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS ?
27 3. Seberapa luas lahan untuk kegiatan pertanian, perkebunan, dan pemukiman yang dibutuhkan setiap anggota masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS ? 4. Seberapa besar kebutuhan hidup masyarakat agar dapat hidup kecukupan, sehingga tidak menimbulkan tekanan penduduk terhadap sumberdaya alam di kawasan TNGHS ? 5. Seberapa besar daya dukung sumberdaya alam TNGHS terhadap pemenuhan kebutuhan hidup minimal setiap anggota masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS ?
Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi peubah-peubah sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan pada setiap tipologi desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS. 2. Menduga besarnya pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan yang berpengaruh terhadap laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan pada setiap tipologi desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS. 3. Menduga kebutuhan lahan untuk pertanian, perkebunan, dan pemukiman bagi masyarakat desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS untuk mencapai tingkat hidup kecukupan. 4. Menduga besarnya nilai manfaat langsung yang diambil masyarakat dari dalam kawasan TNGHS, dan menduga trend perubahan nilai manfaat langsung kawasan TNGHS.
Manfaat Penelitian 1. Memberikan gambaran secara menyeluruh kepada pengelola TNGHS tentang kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS. 2. Memberikan alternatif pemecahan masalah kepemilikan lahan masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan TNGHS.
28 3. Memberikan bahan acuan bagi semua pihak yang terkait dengan pengelolaan kawasan TNGHS, terhadap upaya rehabilitasi, pengamanan, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan TNGHS.
Kerangka Pemikiran Kerusakan keanekaragaman hayati disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Menurut BAPPENAS (2004), faktor penyebab tersebut dapat dikategorikan menjadi: faktor teknis (kegiatan manusia, teknologi yang digunakan, dan kondisi alam itu sendiri); dan faktor struktural (kebijakan pemerintah, dan tata kelola). Kesadaran, pemahaman, dan kepedulian sebagian besar lapisan masyarakat tentang makna pentingnya keanekaragaman hayati adalah sangat rendah. Hal ini menimbulkan sikap tidak peduli, dan mengarah pada perusakan keanekaragaman hayati,
dengan
dilakukannya
pemanfaatan
sumber
mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
daya
alam
tanpa
Padahal dalam pemenuhan
kebutuhan hidup (sandang, pangan, papan, dan ruang untuk beraktivitas), dipenuhi dari sumberdaya alam yang berkaitan sangat erat dengan keanekaragaman hayati. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat kemiskinan di wilayah pedesaan. Hal ini menyebabkan tekanan pada sumber daya alam semakin meningkat. Apalagi dengan adanya beberapa pihak yang secara serakah mengeksploitasi sumberdaya alam demi keuntungan semata. Oleh sebab itu, diperlukan pola pemanfaatan sumberdaya alam yang bijaksana, dan tidak berorientasi hanya pada pemanfaatan, tetapi juga memperhatikan aspek kelestarian sumber daya alam. Khusus pada taman nasional, prinsip pengelolaannya didasarkan pada konsep konservasi, yang dijabarkan dalam bentuk pelestarian, perlindungan, dan pemanfaatan. Sistem zonasi yang diatur pada pengelolaan taman nasional, telah membagi
kawasan
taman
nasional
menjadi
zona-zona
sesuai
dengan
bentuk-bentuk pemanfaatan yang diperbolehkan. Hal ini kadangkala menjadi dilema, karena seringkali terjadi benturan dengan berbagai aktivitas dari kelompok masyarakat yang memang sudah lama mendiami suatu kawasan pelestarian alam.
Dimana dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, kelompok
29 masyarakat tersebut masih bergantung pada pemanfaatan langsung sumberdaya alam dan tetap mempertahankan sosiobudaya yang telah diwariskan dari para leluhur mereka. Untuk menentukan suatu kebijakan yang nantinya akan dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan kawasan TNGHS, maka dibutuhkan data-data yang akurat mengenai keadaan sosial ekonomi masyarakat dan bentuk-bentuk perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS. Hal ini sangat erat kaitannya dengan implementasi kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau pengelola taman nasional di lapangan. Seringkali berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah atau pihak pengelola taman nasional tidak berpihak kepada keberadaan masyarakat yang sudah lama ada di dalam taman nasional tersebut.
Sehingga berbagai
upaya pelestarian dan
rehabilitasi kawasan sulit untuk dilaksanakan, atau dengan tingkat keberhasilan pelaksanaan yang rendah. Analisis spasial terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS secara multi waktu, akan menghasilkan pola perubahan penggunaan dan penutupan lahan dari tahun ke tahun.
Untuk mengetahui
penyebab perubahan tersebut, harus dilakukan pengecekan lapangan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS. Sehingga akan dapat diketahui peubah-peubah sosial ekonomi yang menyebabkan terjadinya degradasi hutan pada berbagai tipologi desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS, dan sampai sejauh mana pengaruh peubah-peubah tersebut. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah berupa suatu pangkalan data akurat keadaan sosial ekonomi masyarakat di kawasan TNGHS, yang dapat dijadikan sebagai acuan atau data dasar penentuan kebijakan pengelolaan taman nasional di masa yang akan datang. Dengan adanya data-data tersebut, pengelola taman nasional akan dapat menentukan arah kebijakan pengelolaan yang turut memperhatikan keberadaan dan kesejahteraan masyarakat. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
30
Kawasan TNGHS
-
perambahan PETI illegal logging kayu bakar perburuan satwa
Peta Tematik (Rupa Bumi , Tata Batas Kawasan TNGHS, dll)
-
Keanekaragaman hayati Hidroorologis Penelitian & pendidikan Budidaya Budaya Wisata alam
Kesejahteraan masyarakat Degradasi
Analisis Spasial
Citra Satelit Landsat TM path/row: 122/065 (tahun 1989-2004)
Penggunaan dan Penutupan lahan time series
Ground Survey Peubah Sosial Ekonomi (stratified cluster sampling)
Pengelola TNGHS
Analisis Tabulasi, Deskriptif, Regresi, Tekanan Penduduk, Harga Barang Pengganti dan Harga Pasar
- Identifikasi peubah sosial ekonomi - Pengaruh peubah sosial ekonomi kunci - Kebutuhan lahan untuk memenuhi tingkat hidup kecukupan - Nilai manfaat langsung TNGHS
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
31
Hipotesis Penelitian 1. Semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi. 2. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi. 3. Semakin rendah tingkat pendapatan masyarakat, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi. 4. Semakin sempit kepemilikan lahan masyarakat, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi. 5. Semakin mudah aksesibilitas terhadap sumber daya alam, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi. 6. Semakin lemah pengawasan dan penegakan peraturan perundangan yang dilakukan oleh pengelola kawasan, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi. 7. Semakin masyarakat meninggalkan nilai-nilai tradisional, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi. 8. Semakin besar tekanan penduduk terhadap lahan pertanian, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi. 9. Semakin tinggi nilai manfaat langsung kawasan TNGHS, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi.
32
TINJAUAN PUSTAKA
Taman Nasional Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, taman nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa kawasan taman nasional mempunyai peranan yang penting didalam perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya. Terdapat batasan yang jelas mengenai besarnya intensitas penggunaan habitat oleh manusia yang dapat diterima oleh suatu kawasan perlindungan. Taman nasional merupakan suatu wilayah yang luas, dengan keindahan alam dan pemandangan yang dikelola untuk melindungi satu atau lebih ekosistem serta untuk tujuan ilmiah, pendidikan, rekreasi, dan biasanya tidak digunakan untuk tujuan eksploitasi sumberdaya alam secara komersial (IUCN 1984, diacu dalam Primack et al. 1998). Di dalam PP No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian alam, diatur suatu sistem zonasi dalam pengelolaan taman nasional yang membagi kawasan taman nasional menjadi beberapa zona sesuai dengan peruntukannya. Pengaturan sistem zonasi tersebut meliputi: a) zona inti; b) zona pemanfaatan;
c) zona rimba dan atau zona lain yang ditetapkan Menteri
berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam dan ekosistemnya. Penetapan zonasi yang ada pada suatu taman nasional didasarkan pada berbagai kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah. Zona inti merupakan suatu zona yang mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, mewakili formasi biota tertentu, mempunyai kondisi alam yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia, mempunyai luasan yang cukup dan bentuk tertentu, mempunyai ciri khas potensinya, dan mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa yang langka, atau keberadaannya terancam
33 punah. Pada zona ini tidak dimungkinkan adanya perubahan yang menyebabkan pengurangan, hilangnya fungsi dan luas, serta penambahan jenis tumbuhan dan satwa yang tidak asli. Penetapan zona pemanfaatan didasarkan pada adanya daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta geologinya yang indah dan unik, dan kondisi lingkungan yang mendukung upaya pengembangan pariwisata alam. Zona rimba pada taman nasional merupakan kawasan yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan, dan merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.
Nilai Keanekaragaman Hayati Nilai Ekonomi Langsung Nilai ekonomi langsung diberikan kepada produk-produk yang dipanen dan dipergunakan secara langsung.
Nilai ini sering dikalkulasikan dengan
mengobservasi kegiatan dari suatu kelompok representatif, dengan memonitor titik koleksi dari produk alam, dan dengan memperhatikan statistik impor dan ekspor. Nilai ekonomi langsung dapat dibagi menjadi nilai kegunaan konsumtif, untuk barang yang dipergunakan secara lokal, dan nilai kegunaan produktif, untuk barang yang dijual di pasar (Primack et al. 1998). a.
Nilai Kegunaan Konsumtif Nilai ini dapat diberikan kepada barang-barang seperti kayu bakar dan hasil buruan yang dikonsumsi secara lokal dan tidak terlihat dalam pasar nasional atau internasional. Masyarakat yang hidup di sekitar hutan seringkali mengambil hasil hutan untuk keperluan sehari-hari. Barang-barang ini tidak terlihat karena tidak diperjualbelikan.
Tetapi, jika masyarakat sekitar hutan tidak dapat
mengambil hasil hutan ini karena kerusakan lingkungan, eksploitasi sumberdaya yang berlebihan, atau penetapan kawasan perlindungan, maka standar kehidupannya akan berkurang, bahkan sampai ke titik dimana mereka tidak akan bertahan dan harus pindah ke daerah lain.
34
b. Nilai Kegunaan Produktif Merupakan nilai langsung yang diberikan kepada produk yang diambil dari alam dan dijual ke pasar, pada tingkat nasional dan internasional. Produk ini biasanya dinilai dengan metode ekonomi standar pada harga yang dibayarkan sewaktu penjualan dikurangi biaya yang dikeluarkan sampai pada tahap itu, dan bukan pada harga eceran akhir produk. Terdapat perbedaan persepsi dan pengetahuan mengenai nilai pasar di tingkat lokal dan global. Pada umumnya, nilai keanekaragaman hayati lokal belum terdokumentasikan dengan baik sehingga sering tidak terwakili dalam perdebatan maupun perumusan kebijakan mengenai keanekaragaman hayati di tingkat global (Vermeulen & Koziell 2002, diacu dalam BAPPENAS 2004).
Nilai Ekonomi Tidak Langsung Nilai
ekonomi
tidak
langsung
diberikan
untuk
aspek-aspek
keanekaragaman hayati yang berupa proses-proses lingkungan dan jasa ekosistem, dimana keuntungan ekonomi didapatkan tanpa harus memanen atau merusak. a.
Nilai Kegunaan Non Konsumtif Nilai ini merupakan besarnya keuntungan yang didapatkan dari melestarikan keanekaragaman hayati yang ditunjukkan dengan adanya nilai jasa lingkungan yang beragam yang tidak hanya dikonsumsi melalui penggunaan. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh seperti: produktifitas ekosistem, perlindungan sumber air dan tanah, pengatur iklim, dekomposisi, hubungan antar spesies, rekreasi dan pariwisata, ekoturisme, nilai pendidikan dan ilmiah, dan monitor lingkungan. Sebagai jasa ekologis, hutan sebagai salah satu bentuk dari ekosistem keanekaragaman hayati, mempunyai beberapa fungsi bagi lingkungan sebagai: • pelindung keseimbangan siklus hidrologi dan tata air sehingga menghindarkan manusia dari bahaya banjir maupun kekeringan; • penjaga kesuburan tanah melalui pasokan unsur hara dari serasah hutan; • pencegah erosi dan pengendali iklim mikro.
35
b. Nilai Pilihan Nilai pilihan merupakan potensi keanekaragaman hayati dalam memberikan keuntungan bagi masyarakat di masa datang (Primack et al. 1998). Keanekaragaman hayati menyimpan nilai manfaat yang sekarang belum disadari atau belum dapat dimanfaatkan oleh manusia. Akan tetapi, seiring dengan perubahan permintaan, pola konsumsi dan asupan teknologi, nilai ini menjadi penting di masa depan. c.
Nilai Eksistensi Nilai ini merupakan identifikasi abstrak, yang ditunjukkan dengan adanya keinginan untuk mengunjungi habitat suatu spesies yang unik dan melihatnya di alam bebas. Nilai ini menunjukkan seberapa besar jumlah yang bersedia dibayar untuk menghindari suatu spesies dan habitatnya dari kepunahan dan kehancuran (Primack et al. 1998). Nilai eksistensi merupakan nilai yang dimiliki oleh keanekaragaman hayati karena keberadaannya (Ehrenfeld 1991, diacu dalam BAPPENAS 2004). Nilai ini tidak berkaitan dengan potensi suatu organisme tertentu, tetapi berkaitan dengan beberapa faktor berikut: • Faktor hak hidupnya sebagai salah satu bagian dari alam; • Faktor yang dikaitkan dengan etika, misalnya nilainya dari segi etika agama. Berbagai agama dunia menganjurkan manusia untuk memelihara alam ciptaan Tuhan; dan • Faktor estetika bagi manusia. Misalnya, banyak kalangan, baik pecinta alam maupun wisatawan, bersedia mengeluarkan sejumlah uang untuk mengunjungi taman-taman nasional guna melihat satwa di habitat aslinya, meskipun mereka tidak mendapatkan manfaat ekonomi dari kegiatan tersebut.
Penggunaan dan Penutupan Lahan Menurut Helms (1998), penggunaan lahan diartikan sebagai digunakannya lahan oleh manusia untuk berbagai kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, seperti: areal perlindungan, produksi hasil hutan, pertanian, peternakan, dan pemukiman.
36 Penutupan lahan merupakan status lahan secara ekologi dan penampakan permukaan lahan secara fisik, yang dapat berubah karena adanya intervensi manusia, gangguan alam, atau suksesi tumbuhan (Helms 1998).
Perubahan
penggunaan lahan tidak selalu menyebabkan perubahan penutupan lahan secara signifikan. Sebagai contoh, perubahan tipe pengelolaan hutan untuk perlindungan tidak menyebabkan perubahan penutupan lahan yang signifikan. Perubahan penutupan lahan dapat dibagi menjadi dua bentuk (FAO 2000, diacu dalam Phong 2004) yaitu: a. Konversi dari suatu kategori penutupan lahan menjadi kategori yang lain, contohnya dari hutan menjadi padang rumput. b. Modifikasi dari suatu kategori, contohnya dari hutan rapat menjadi hutan jarang. Menurut Lier (1998), pada perencanaan penggunaan lahan terdapat dua dimensi yang saling bertentangan, yaitu: aspek konservasi dan aspek ekonomi. Dari aspek konservasi, dibutuhkan perlindungan terhadap air, udara, tanah, tumbuhan, dan hewan.
Tetapi, dari aspek ekonomi, dibutuhkan peningkatan
terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan, yang berarti perluasan lahan pertanian, peningkatan produksi, relokasi bangunan pertanian, dan pembuatan desa. Perencanaan penggunaan lahan dapat dideskripsikan sebagai: 1) penentuan penggunaan lahan pada masa yang akan datang; 2) peningkatan kondisi fisik lahan; dan 3) pengelolaan lahan sesuai dengan tujuan. Pada studi kasus di Lampung, Sumatera, Verbist et al. (2005) mendapatkan bahwa terjadinya deforestasi merupakan tahap awal dari adanya perubahan penggunaan lahan.
Pada studi tersebut, didapatkan hasil yang mendukung
pendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi deforestasi adalah: demografi, ekonomi, teknologi, kebijakan dan institusi, dan budaya (Geist & Lambin 2002, diacu dalam Verbist et al. 2005). Lebih lanjut, dinyatakan bahwa perluasan lahan pertanian merupakan penyebab utama terjadinya perubahan penggunaan lahan yang berhubungan langsung dengan kasus deforestasi.
37 Menurut Poudevigne et al. (1997), pada studi kasus di Lembah Seine, Normandia, Francis, terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi perubahan lansekap, yaitu: kegiatan pertanian, urbanisasi, dan kebijakan konservasi. Kegiatan pertanian dan urbanisasi akan meningkatkan perubahan global terhadap struktur dan bentuk lansekap. Lebih lanjut, menurut EFTEC (2005), terdapat beberapa faktor penyebab hilangnya keanekaragaman hayati dan kerusakan fungsi ekosistem, yaitu: -
Kegagalan kebijakan pasar dan ekonomi: pertentangan subsisdi, tidak adanya pasar untuk barang dan jasa ekosistem, kurangnya informasi mengenai nilai barang dan jasa.
-
Isu pemerintahan: tidak adanya kepastian kepemilikan lahan, tidak adanya kebijakan lingkungan dan politik yang bersih, lemahnya penegakan hukum, tidak adanya keinginan politikus, korupsi, kurangnya informasi dan ilmu pengetahuan.
-
Demografi dan faktor lainnya: pertumbuhan penduduk, kemiskinan, perang, kerusuhan.
SIG dan Penginderaan Jauh Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG adalah sistem berbasis komputer yang mempunyai empat kemampuan untuk menangani data bereferensi geografis, yaitu (Aronoff 1991): 1) Pemasukan data; 2) Manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan); 3) Analisis dan manipulasi; dan 4) Menghasilkan data. SIG merupakan suatu sistem yang terdiri dari perangkat lunak dan perangkat keras komputer, data, personil untuk dapat melakukan manipulasi, analisis, dan menyajikan informasi yang terkait dengan lokasi keruangan. Penggunaan SIG mencakup bidang-bidang: pengelolaan sumberdaya alam (kehutanan, pertanian, DAS), perencanaan wilayah, kependudukan/demografi, lingkungan, pertanahan, pariwisata, ekonomi, bisnis dan pemasaran, perpajakan, biologi,
telekomunikasi,
hidrografi
dan
kelautan,
pendidikan,
geologi,
pertambangan dan perminyakan, transportasi dan perhubungan, kesehatan, dan militer (Prahasta 2002; Jaya 2002).
38
Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu yang membahas pengumpulan informasi mengenai suatu objek, kejadian, atau area melalui analisis data yang didapat dari pengamatan dengan menggunakan peralatan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kontak langsung dengan objek, kejadian, atau area yang diamati (Prahasta 2002; Jaya 2005).
Pada penginderaan jauh, digunakan
peralatan-peralatan berupa: kamera, scanner, atau sensor-sensor lainnya yang dibawa oleh wahana pengangkut (platform) yang dapat bergerak cepat.
Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh Aplikasi SIG dan penginderaan jauh pada analisis penggunaan dan penutupan lahan merupakan cara yang efektif, terutama hubungannya dengan efisiensi biaya, tenaga kerja, dan waktu. Pekerjaan analisis terhadap areal yang cukup luas dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat, dan dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Penggunaan SIG dan penginderaan jauh pada berbagai negara tidak hanya terbatas pada evaluasi terhadap pemanfaatan sumberdaya lahan, tetapi juga meliputi berbagai aspek kehidupan. Verburg et al. (1999) menggunakan model untuk simulasi perubahan pola penggunaan lahan di China, analisis empiris distribusi spasial tipe penggunaan lahan dikelompokan berdasarkan faktor sosioekonomik dan geofisik. Analisis empiris mengidikasikan bahwa perubahan penggunaan lahan dapat dipengaruhi oleh faktor: demografi, tanah, geomorphologi, dan iklim. Dari hasil simulasi, didapatkan bahwa perubahan penggunaan lahan di China, terutama disebabkan oleh urbanisasi, dan aforestasi. Unruh dan Lefebvre (1995) menggunakan kombinasi data image satelit dan informasi tambahan melalui operasi matrik dan SIG, untuk menghasilkan metode penelitian agroforestri berbasis SIG di subSaharan Afrika. Metode ini digunakan pada skala yang luas, dan merupakan kegiatan pendahuluan untuk menduga areal yang sesuai untuk pengembangan sistem agroforestri di Afrika.
39 Studi yang dilakukan Tucker (2005) terhadap perubahan penutupan lahan di Guatemala Timur dan Honduras Barat, dilakukan dengan menganalisis beberapa image penginderaan jauh, pengukuran lansekap, dan membuat suatu model ekonometrik spasial.
Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa dibutuhkan
perhatian terhadap siklus ekologi dan manusia, seperti: pasar, infrastuktur, dan faktor topografik, untuk pengembangan efektif terhadap upaya konservasi hutan tropika. Menurut Verburg et al. (2005), pendekatan model penggunaan lahan dapat dilakukan untuk menilai perlakuan dan batasan terhadap perlindungan dan pengaturan daerah alami. Berdasarkan studi yang dilakukan di Taman Alami Sierra Madre Utara, dapat dibuat kombinasi analisis perubahan penggunaan lahan pada berbagai skala organisasi hierarkis sistem penggunaan lahan dan pada level pengelolaan areal perlindungan yang berbeda.
Hasilnya menunjukkan bahwa
model perubahan penggunaan lahan sangat berguna dalam memberikan informasi pengelolaan areal perlindungan. Jaya (2006b) memanfaatkan data penginderaan jauh dan SIG untuk membuat model pengembangan pusat-pusat perkotaan di wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pada studi ini dilakukan deteksi perubahan penutupan lahan, khususnya perubahan dari tutupan alami ke tutupan lahan terbangun. Analisis gerombol (cluster analysis), dilakukan untuk mengidentifikasi tipologi wilayah dengan menggunakan peubah sosial ekonomi: kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, mata pencaharian di bidang pertanian, mata pencaharian yang bukan pertanian, sarana kendaraan roda empat, sarana sepeda motor, ketersediaan sarana telekomunikasi, jumlah perumahan permanen dan semi permanen.
Dari
permodelan spasial yang dibuat, dapat diidentifikasi kecamatan-kecamatan yang mempunyai peluang yang tinggi untuk dijadikan pusat pengembangan perkotaan yaitu: Kecamatan Citeureup, Parung, Bojonggede, Dramaga, dan Cisarua. Penggunaan SIG dan penginderaan jauh dapat juga diintegrasikan dengan berbagai metode untuk pengambilan keputusan terhadap penggunaan lahan. Store dan Kangas (2001) mengintegrasikan evaluasi multi kriteria spasial dengan pengetahuan para ahli untuk menentukan model kesesuaian habitat berbasis SIG. Pengolahan data dan analisis spasial dilakukan secara bersamaan dengan tehnik
40 analisis keputusan. Syartinilia (2004) juga menggunakan metode serupa pada penentuan model kesesuian lahan untuk pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, perkebunan, dan pemukiman di DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lebih lanjut, Bentrup dan Leininger (2002) juga menggunakan SIG untuk menganalisis kesesuaian lahan untuk agroforestri di Nebraska. Pada evaluasi terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan dan koridor hutan. Cahyadi (2003) menggunakan SIG untuk menganalisis struktur koridor hutan antara Taman Nasional Gunung Halimun dan Gunung Salak. Berdasarkan hasil klasifikasi data citra satelit, didapatkan bahwa telah terjadi fragmentasi koridor hutan menjadi dua habitat kepulauan, dan degradasi koridor hutan selama 11 tahun (tahun 1990-2001) seluas 347523 hektar. Lebih lanjut, Prasetyo dan Setiawan (2006) menyimpulkan bahwa penutupan hutan di kawasan TNGHS telah mengalami penurunan secara gradual.
Pada periode tahun
1989-2004, diperkirakan telah terjadi deforestasi seluas 22000 ha (± 25%). Berrios (2004), yang melakukan studi pada DAS Telake, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, menggunakan SIG dan penginderaan jauh untuk melihat keadaan penutupan hutan yang sebenarnya. Terdapat perbedaan data antara luas kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah dengan area penggunaan hutan. Untuk itu diperlukan ketegasan terhadap kebijakan penggunaan lahan dan menerapkannya pada kondisi nyata. Dien (2004), menggunakan SIG untuk memetakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kerentanan terjadinya degradasi hutan di Taman Nasional Bach Ma, Vietnam.
Hasil dari penelitian ini adalah berupa peta
bagian-bagian hutan dengan tingkatan kerentanan terhadap degradasi hutan. Faktor-faktor yang dipilih sebagai penyebab degradasi hutan adalah: 1) pengaruh masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan; 2) nilai sumberdaya hutan; dan 3) aksesibilitas terhadap hutan. Dari hasil studi ini, didapatkan bahwa persentase keluarga miskin merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap sumberdaya hutan pada dampak yang disebabkan oleh masyarakat lokal.
Jarak dari stasiun
penjagaan hutan merupakan faktor yang paling berpengaruh dari segi aksesibilitas. Dari ketiga elemen degradasi hutan, aksesibilitas menuju hutan adalah faktor yang paling berpengaruh pada kerentanan degradasi hutan.
41 Thongmanivong dan Fujita (2006) melakukan studi tentang penggunaan lahan dan perubahan kehidupan di Laos Utara, dengan menilai perubahan penggunaan lahan pada tahun 1993-2000.
Dari hasil analisis data spasial,
didapatkan bahwa areal pertanian lahan kering tradisional dan perladangan berpindah semakin menurun. Sedangkan luas areal pertanian menetap semakin meningkat. Pada pendugaan erosi, Hendrawan (2004) menggunakan SIG untuk menduga laju erosi dengan pendekatan USLE, di Sub DAS Cimuntur, Ciamis. Studi yang dilakukan Liu et al. (2004), mengintegrasikan penginderaan jauh dan SIG untuk mengidentifikasi daerah kritis terhadap erosi di Provinsi Almeria, Spanyol Tenggara. SIG digunakan untuk menentukan kriteria kondisi lingkungan yang memungkinkan terjadinya erosi dipercepat dari multi data landsat ETM dan peta geologi. SIG juga digunakan untuk memetakan kawasan berpotensi banjir di beberapa daerah: DAS Kaligarang, Semarang (Utomo 2004), Kabupaten Tangerang, Banten (Nurjanah 2005). Hasil dari penelitian ini berupa pemetaan daerah rawan banjir, dan beberapa parameter yang mempengaruhinya seperti: ketinggian, kelerengan, penutupan dan penggunaan lahan, bentuk lahan, geologi, tekstur tanah, dan iklim. Terdapat berbagai metode yang dapat digunakan pada deteksi perubahan penggunaan dan penutupan lahan. Sader et al. (2000) telah melakukan review berbagai laporan perubahan hutan multi waktu, konversi penutupan dan penggunaan lahan, dan faktor sosial ekonomi yang mempengaruhinya di Peten, Guatemala. Dari beberapa metode deteksi terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan (perbedaan NDVI, analis komponen utama, dan RGB-NDVI), didapatkan bahwa metode RGB-NDVI merupakan metode yang menghasilkan nilai akurasi tertinggi.
Perbandingan trend data penginderaan jauh dengan data
sosial ekonomi tidak dapat diperidiksi hanya dari parameter populasi, tetapi juga berhubungan dengan sejarah dan latar belakang migrasi, tingkat kemiskinan, dan aksesibilitas terhadap lahan. Phong (2004) yang melakukan penelitian di Taman Nasional Bach Ma, Vietnam dan daerah penyangga taman nasional, menggunakan SIG dan
42 penginderaan jauh untuk menganalisis dinamika perubahan penutupan hutan pada periode tahun 1989-1996, dan periode tahun 1996-2003. Pada penelitian ini, dilakukan perbandingan terhadap metode untuk mendeteksi perubahan penutupan hutan: 1) post-classification; 2) perbedaan NDVI; dan 3) metode hybrid. Dari studi ini, diketahui tiga perubahan penting yaitu: deforestasi, pertumbuhan hutan alam, dan perluasan hutan tanaman. Deforestasi semakin menurun pada periode tahun 1996-2003, pertumbuhan hutan alam meningkat, dan perluasan hutan tanaman pada periode tahun 1996-2003 lebih tinggi dari periode tahun 1989-1996. Trigg et al. (2006) menggunakan ETM data untuk melakukan monitoring terhadap perubahan penutupan di Taman Naional Gunung Palung, Kalimantan Barat. Analisis dilakukan dengan menggunakan simulasi post-scan line corrector failure (SLC-off) dari image. Dari hasil studi ini, didapatkan bahwa data SLC-off dan penggunaan berbagai sensor alternatif dapat menghasilkan data penginderaan yang penting untuk melakukan monitor terhadap hutan tropika di Asia Tenggara. Purwadhi dan Dianovita (2006) menggunakan citra SPOT-5 pada pembuatan peta penggunaan lahan dan kesesuaian lahan untuk kebutuhan Rencana Tata Ruang Wilayah di Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur. Dari hasil analisis, didapatkan bahwa citra SPOT-5 yang mempunyai resolusi 2.5 meter, dapat digunakan sebagai dasar kajian untuk mengetahui penggunaan lahan dan kesesuaian lahan. Studi serupa juga dilakukan Baja et al. (2006), dimana didapatkan bahwa terdapat efisiensi kerja pada citra SPOT pada penataan ruang kawasan untuk perencanaan tata ruang wilayah. Chowdhury (2006) telah melakukan review terhadap beberapa metodologi spasial yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penyebab perubahan penggunaan lahan dan aplikasinya untuk mengetahui deforestasi di Meksiko. Klasifikasi image, analisis perubahan, dan model ekonometrik digunakan untuk mengidentifikasi laju, hotspot, dan penyebab deforestasi pada daerah Yucatan Selatan, Meksiko. Dari studi ini, didapatkan bahwa diperlukan pendekatan untuk memahami faktor dominan penyebab deforestasi untuk perluasan lahan pertanian. Wilson (2006) telah melakukan studi dan analisis di Yunnan Barat Laut, China, terhadap citra Landsat tahun 1981-1999 dan data digital lainnya. Klasifikasi penutupan lahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
43 klasifikasi hybrid. Berdasarkan hasil analisis data spasial, didapatkan bahwa terjadi pengurangan luas hutan konifer rata-rata sebesar 23%.
Luas padang
rumput semakin meningkat, dimana sebagian besar disebabkan oleh perluasan lahan pertanian. Peubah Sosial Ekonomi Peubah merupakan karakteristik objek/individu yang diamati (Mattjik & Sumertajaya
2002).
Berdasarkan
skala
pengukurannya
peubah
dapat
dikategorikan menjadi peubah berskala nominal, ordinal, interval, dan rasio. Khusus dalam ilmu sosial, sifatnya lebih abstrak sehingga sukar untuk diukur secara realita (Nazir 2003).
Untuk itu diperlukan suatu skala tertentu untuk
mengubah atribut dengan ciri kualitatif ke dalam bentuk peubah yang bersifat kuantitatif. Untuk melakukan suatu kajian yang menyeluruh, maka peubah sosial harus diikuti dengan kajian di bidang ekonomi.
Menurut Mubyarto (1987), ilmu
ekonomi didefinisikan sebagai suatu sistem yang menggambarkan perikehidupan manusia sehari-hari, yang menyangkut usahanya untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan tersebut tidak berarti hanya aspek material, tetapi juga aspek moral, sosial, politis, dan sosial budaya. Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat desa bertitik tolak pada tingkat pendapatan, sumber pendapatan, distribusi pendapatan, pemenuhan kebutuhan dasar, dan kesempatan kerja (Simon 2004). Terdapat beberapa pengelompokan terhadap berbagai komponen sosial ekonomi.
Menurut Purnomo et al. (2003), komponen sosial ekonomi dapat
dikelompokkan menjadi: 1.
Pendapatan dan Penguatan Komunitas Lokal: Pengembangan kerajinan rakyat, perubahan paradigma pengembangan masyarakat lokal, tingkat kesejahteraan, pendapatan masyarakat, pajak pemerintah, pendapatan per kapita, pendapatan orang minimal, pemasaran hasil hutan, pemasaran, dan bantuan permodalan.
2.
Kelembagaan dan Institusi: pengamanan kawasan oleh masyarakat, kelembagaan dan institusi, hak pengaturan oleh lembaga adat, partispasi
44 masyarakat untuk kelestarian hutan, hukum adat, aksi kolektif, komunikasi, kesatuan masyarakat, dan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. 3.
Pendidikan:
pendidikan
formal,
pengetahuan
umum
dan
agama,
pembangunan, tenaga pengajar, agama dan teknologi, dan kerajinan rakyat. 4.
Kesehatan: kesehatan masyarakat, tingkat pelayanan kesehatan, tenaga medis.
5.
Silvikultur: pelestarian tumbuhan bawah, silvikultur rotan, keanekaragaman hayati, dan teknik pengelolaan tegakan tinggal.
6.
Akses dan Informasi: transportasi, akses informasi, transportasi jalan.
7.
Demografi: pekerjaan, populasi, dan jumlah rumah tangga. Untuk memperbaiki hutan yang terdegradasi diperlukan suatu strategi
pengelolaan terhadap hutan.
ITTO (2004),
telah menuangkan suatu bentuk
strategi pengelolaan hutan terdegradasi dan skunder dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial/budaya, ekonomi dan institusional, dan ekologi.
Faktor
sosial/budaya meliputi: sistem penggunaan lahan saat ini, sistem nilai, organisasi kemasyarakatan, pembagaian biaya/keuntungan, hak kepemilikan, penguasaan lahan,
pengetahuan
tradisional,
dan
persamaan
gender.
Faktor-faktor
ekonomi/institusional meliputi: penyebab degradasi, perhatian lokal dan nasional, sistem insentif, pengorganisasian, pengawasan, dan produksi/pemasaran hasil hutan. Faktor-faktor ekologi meliputi: pendekatan lansekap, spesifikasi tapak, fungsi produksi dan perlindungan, tanah, air, iklim, keanekaragaman habitat, teknologi tradisional, dan pengaturan sumberdaya alam. Faktor manusia sangat dominan pengaruhnya terhadap keberadaan sumberdaya alam.
Menurut Paat (1986), luas tanah garapan akan memberi
pengaruh negatif terhadap kelestarian Danau Tondano, Sulawesi Utara. Lebih lanjut, Laoh (2002) yang melakukan penelitian di lokasi yang sama, mendapatkan bahwa faktor sosial ekonomi dan faktor fisik akan berpengaruh terhadap tata guna lahan dan ekosistem Daerah Tangkapan Air Danau Tondano. Adanya perubahan penggunaan lahan pada berbagai lokasi merupakan suatu bentuk perubahan terhadap penggunaan lahan kering. Menurut Mulatsih (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam menggunakan lahan kering adalah: 1) faktor sosial: tingkat pendidikan petani, dan pengetahuan
45 mengenai agroforestri; 2) faktor ekonomi: sumber utama pendapatan keluarga, kemampuan membentuk modal, dan luas persil lahan kering; dan 3) faktor kondisi lahan: jarak lokasi lahan dengan rumah petani, kemiringan lahan, dan status penguasaan lahan. Prilaku dan persepsi masyarakat juga berpengaruh terhadap pelestarian sumberdaya hutan.
Berdasarkan penelitian Gunawan (1999) di Desa Sirnarasa,
Kabupaten Sukabumi, terdapat kecendrungan yang menunjukkan bahwa semakin sempit penguasaan lahan masyarakat dan semakin dekat jarak tempat tinggal masyarakat dari hutan, maka prilaku masyarakat terhadap tingkat pelestarian sumberdaya hutan akan semakin rendah. Dari hasil penelitian Purnomohadi (1985), mengenai sistem interaksi sosial-ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat Badui di Desa Kanekes Banten Selatan, didapatkan beberapa peubah yang mempunyai pengaruh terhadap pola kependudukan, dan pola usaha tani, yaitu: tingkat kelahiran, tingkat kematian anggota keluarga dewasa karena sakit, tingkat migrasi, persepsi keluarga terhadap norma perkawinan dan keluarga berencana, jumlah konsumsi tanaman pertanian, dan produksi tanaman yang diusahakan. Menurut Bayu (2000), yang melakukan penelitian terhadap hubungan kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam kawasan dengan penggunaan lahan di Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), jumlah anggota keluarga, jenis penggunaan lahan, tingkat pendapatan, dan lamanya penggunaan lahan berkorelasi positif dengan luas penggunaan lahan. Diperlukan berbagai data sosial ekonomi untuk mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam. Welch et al. (2001) yang melakukan penilaian sosial di Hutan Nasional Hoosier, Indiana, mengemukakan bahwa penggunaan sejarah, data sensus sosial ekonomi, yang didukung dengan wawancara dan pemetaan, merupakan alat yang tepat untuk memahami dan memprediksi interaksi antara sumber daya alam dengan sistem kehidupan manusia. Dari aspek demografi, Iverson dan Cook (2000) telah melakukan penelitian hubungan antara hutan kota dengan kepadatan dan pendapatan penduduk di Chicago. Hasil dari studi tersebut, didapatkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara pendapatan dan kepadatan penduduk dengan penutupan lahan.
46 Peningkatan kepadatan penduduk pada daerah perkotaan berbanding lurus dengan keterbukaan lahan, terutama untuk kebutuhan lahan pertanian. Langton et al. (2005) yang melakukan penelitian di Australia, menyatakan bahwa kegiatan pelestarian areal perlindungan harus berorientasi pada masyarakat asli dan lokal. Menurut Oliveira dan Anderson (1999), yang melakukan penelitian di Taman Nasional Jau Brazil, perbedaan jender juga berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat terhadap kegiatan konservasi. Dalam hubungannya dengan kualitas lingkungan, Wong AWM dan Wong MH (2004) telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara perubahan kondisi sosial ekonomi dengan keadaan kualitas lingkungan di delta sungai Mutiara, China. Perubahan keadaan kualitas lingkungan yang terjadi disebabkan oleh adanya kegiatan industri, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan perkembangan pertanian.
47
METODOLOGI Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Maret 2007 sampai dengan bulan Juli 2007. Kegiatan yang dilakukan meliputi: pengumpulan data, analisis data, dan sintesis.
Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di 30 desa terpilih yang berada di dalam dan di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Gambar 2).
Desa-desa
tersebut secara administrasi pemerintahan, berada pada dua wilayah provinsi dan tiga wilayah kabupaten yaitu: (1) Provinsi Jawa Barat: Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi; (2) Provinsi Banten: Kabupaten Lebak.
Gambar 2 Lokasi pengambilan data penelitian. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah Global Positioning System (GPS), kompas, dan seperangkat komputer dengan perangkat lunak: ERDAS versi 9.1, ArcView versi 3.3, dan SPSS versi 13. Bahan-bahan yang digunakan meliputi: citra landsat
48 TM (tahun 1989, 1992, 1995, 1998, 2001, dan 2004), Peta Tata Batas TNGHS, Peta Administrasi Pemerintahan, daftar pertanyaan untuk wawancara, dan kuesioner penelitian.
Metode Pengumpulan Data 1. Survei dan pengambilan data sekunder ke instansi-instansi terkait: PPLH IPB, Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah, dan BPS. 2. Metode survei dengan wawancara mendalam dan/atau alat kuesioner terhadap responden terpilih, untuk memperoleh data dan informasi selama periode tahun 1989-2004 tentang: (a) sejarah penggunaan dan penutupan lahan, (b) data kependudukan, (c) mata pencaharian, (d) tingkat pendapatan, (e) kepemilikan dan penguasaan lahan, (f) kebutuhan lahan garapan, (g) kebutuhan hidup layak, (h) aksesibilitas terhadap sumberdaya alam, (i) pemanfaatan sumberdaya alam, (j) tingkat pendidikan, (k) pengetahuan lokal, (l) adat istiadat, (m) persamaan jender, (n) sarana dan prasarana. Wawancara dilakukan dengan mencoba mengingatkan kembali (recalling) responden terhadap keadaan mereka pada waktu yang telah lalu. 3. Pengumpulan data dan/atau pengamatan di lapang terhadap sub sistem: (a) ekologi, (b) ekonomi-finansial, (c) sosial-budaya. 4. Pengumpulan data koordinat geografis lokasi: dilakukan dengan seperangkat peralatan survey lapangan (GPS, kompas, peta-peta).
Penarikan Sampel Untuk mendapatkan berbagai data yang dibutuhkan pada lokasi penelitian, dilakukan penarikan sampel dengan metode stratified cluster sampling (Gambar 3).
Pada metode penarikan sampel ini, dilakukan pengelompokkan
terhadap unit-unit elementer dalam kelompok kecil yang masih heterogen seperti halnya populasi itu sendiri (Nazir 2003). Penarikan sampel terdiri dari dua tahap, yaitu: tahap pertama untuk menentukan primary sampling unit (psu); dan tahap kedua untuk menentukan secondary sampling unit (ssu).
49 Pada tahap pertama, penarikan sampel adalah berupa pemilihan sampel desa yang akan dijadikan sebagai primary sampling unit (psu). Penarikan sampel didasarkan pada hasil stratifikasi yang dilakukan pada tahap awal, dengan sampling fraction sebesar 25%. Pada tahap kedua, penarikan sampel dilakukan terhadap unit elementer yang ada pada psu.
Untuk menarik sampel dari total unit elementer pada psu,
diperlukan list nama kepala keluarga yang ada pada masing-masing desa terpilih. Seluruh kepala keluarga yang pada desa sampel terpilih merupakan calon responden yang akan memberikan informasi.
Dengan mempertimbangkan
keterbatasan biaya, waktu, dan standar analisis statistika, jumlah responden yang dipilih pada sampling tahap kedua ini adalah sebanyak 30 kepala keluarga. Informasi yang didapatkan dari hasil wawancara dengan responden terpilih, diharapkan sudah dapat mewakili kondisi keluarga yang ada pada desa terpilih.
TNGHS Populasi finit
Desa strata i
D1
Sampel tahap pertama
Sampel tahap kedua
D2
D4
D3
D5
P1
P2
P3
….
Dj
D5
D3
P1
….
Pm
P1
P3
P2
P3
P2
P3
Responden
Gambar 3 Tahapan penarikan sampel.
….
Pn
50 Pada tahap awal penarikan sampel, seluruh desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS dikelompokkan menjadi beberapa strata (Tabel 1). Stratifikasi ini, didasarkan pada: 1. Laju penurunan luas hutan alam: a. Desa dengan laju penurunan rata-rata sebesar 0-2.0 %/tahun b. Desa dengan laju penurunan rata-rata sebesar 2.1-4.0 %/tahun c. Desa dengan laju penurunan rata-rata sebesar 4.1-6.0 %/tahun d. Desa dengan laju penurunan rata-rata sebesar 6.1-8.0 %/tahun 2. Sosial kultural masyarakat: a. Desa tradisional b. Desa non-tradisional 3. Status desa: a. Desa enclave b. Desa non-enclave Tabel 1 Kombinasi kriteria untuk penentuan strata desa No strata 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Laju penurunan luas hutan alam rata-rata (%/tahun) 0 – 2.0 0 – 2.0 0 – 2.0 0 – 2.0 2.1 – 4.0 2.1 – 4.0 2.1 – 4.0 2.1 – 4.0 4.1 – 6.0 4.1 – 6.0 4.1 – 6.0 4.1 – 6.0 6.1 – 8.0 6.1 – 8.0 6.1 – 8.0 6.1 – 8.0
Sosial kultural masyarakat non-tradisional non-tradisional tradisional tradisional non-tradisional non-tradisional tradisional tradisional non-tradisional non-tradisional tradisional tradisional non-tradisional non-tradisional tradisional tradisional
Status desa non-enclave enclave non-enclave enclave non-enclave enclave non-enclave enclave non-enclave enclave non-enclave enclave non-enclave enclave non-enclave enclave
51 Proses stratifikasi desa merupakan pengelompokkan desa berdasarkan kombinasi dari kriteria laju penurunan luas hutan alam, sosial kultural masyarakat, dan status desa. Setiap strata desa dianggap mewakili setiap tipologi desa yang ada di kawasan TNGHS. Sehingga diharapkan bahwa pengambilan sampel desa pada setiap strata desa, juga akan mewakili setiap tipologi desa. Pengelompokkan laju penurunan luas hutan alam pada setiap desa, didasarkan pada hasil studi Prasetyo dan Setiawan (2006). Laju penurunan luas hutan alam ini merupakan persentase penurunan luas hutan alam rata-rata per tahun dalam kurun waktu 15 tahun (1989-2004) pada setiap wilayah desa. Pada penelitian ini, pengelompokkan laju penurunan luas hutan alam pada setiap desa tidak memperhitungkan luasan desa, dan adanya perbedaan laju penurunan pada setiap tahunnya. Sehingga terdapat kemungkinan bahwa desa-desa dengan luasan yang kecil mempunyai laju penurunan luas hutan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan desa-desa yang relatif lebih luas. Disamping itu, terdapat juga kemungkinan bahwa secara rata-rata keseluruhan selama periode tahun 1989-2004, laju penurunan luas hutan alam pada suatu desa lebih kecil jika dibandingkan dengan desa-desa lainnya.
Tetapi pada selang waktu tertentu,
terjadi hal sebaliknya, dimana laju penurunan luas hutan alam pada desa tersebut adalah jauh lebih tinggi dibandingkan desa-desa lainnya. Pada desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 0-2% per tahun, diperkirakan luas hutan alam yang berada pada wilayah desa-desa ini sudah berkurang sebanyak 0-30%. Pada desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 2.1-4.0% per tahun, diperkirakan luas hutan alam pada wilayah desa-desa ini sudah berkurang sebanyak 30.1-60%. Pada desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 4.1-6.0% per tahun, diperkirakan luas hutan alam yang berada pada wilayah desa ini sudah berkurang sebanyak 60.1-90%. Pada desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 6.1-8.0% per tahun diperkirakan luas hutan alam yang berada pada wilayah desa ini sudah berkurang lebih dari 90%. Berdasarkan sosial kultural masyarakat, desa-desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS dapat dibedakan berdasarkan ada tidaknya pengaruh masyarakat tradisional. Desa-desa dimana masih terdapat pengaruh kuat tetua
52 adat dan penerapan aturan-aturan masyarakat tradisional, dikelompokkan pada desa tradisional. Sebaliknya, jika pada suatu desa tidak ada lagi pengaruh tetua adat dan penerapan aturan-aturan masyarakat tradisional, maka desa tersebut dikelompokkan pada desa non-tradisional. Pengelompokkan desa berdasarkan status desa yang dimaksudkan pada penelitian ini, didasarkan pada letak wilayah desa dari sudut pandang pengelola TNGHS. Suatu desa disebut desa enclave jika sebagian atau seluruh wilayah desa tersebut berada di dalam kawasan enclave.
Sebaliknya, jika tidak terdapat
wilayah desa yang berada di dalam kawasan enclave, maka desa tersebut dikelompokkan pada desa non-enclave. Perhitungan terhadap jumlah sampel, dan beberapa nilai pendugaan sampel yang diambil dari populasi awal dihitung berdasarkan rumus-rumus berikut ini: 1. Jumlah sampel tahap pertama: m = f1 x M Keterangan: m : besarnya sampel f1 : sampling fraction tahap pertama M : jumlah psu 2. Jumlah sampel tahap kedua: ni = f2 x Ni Keterangan: ni : jumlah unit elementer yang dipilih dari psu ke-i f2 : sampling fraction tahap kedua Ni : jumlah unit elementer dari psu ke-i 3. Jumlah nilai observasi dari ssu dalam psu ke-i : Xi =
ni
∑X j =1
ij
Keterangan: Xi : jumlah harga observasi pada psu ke-i Xij : nilai observasi ssu ke-i dalam psu ke-j
53 4. Total harga observasi dari semua ssu:
X =
m
∑X i =1
i
Keterangan: X : total harga observasi dari semua ssu Xi : jumlah harga observasi pada psu ke-i 5. Rata-rata nilai observasi per psu terpilih dalam sampel: X m Keterangan: X : rata-rata nilai observasi per psu yang terpilih dalam sampel X : total harga observasi dari semua ssu m : jumlah psu terpilih X =
6. Rata-rata nilai observasi per ssu dalam subsampel dari psu ke-i: Xi =
Xi ni
Keterangan: Xi : rata-rata observasi per ssu dalam subsampel dari psu ke-i Xi : jumlah harga observasi pada ssu dari psu ke-i ni : jumlah ssu terpilih dalam psu ke-i 7. Rata-rata nilai observasi per ssu dalam subsampel: X n Keterangan: X : rata-rata nilai observasi per ssu dalam subsampel X : total nilai observasi dari semua ssu dalam sampling tahap kedua n : jumlah semua ssu X =
8. Pendugaan total nilai observasi dari seluruh populasi: Xt =
1 X f
Keterangan: Xt : pendugaan nilai total observasi dalam populasi X : total nilai observasi dari semua ssu f : sampling fraction akhir (= f1 x f2)
54 9. Pendugaan total unit elementer dalam seluruh populasi:
Yt =
1 Y f
Keterangan: Yt : pendugaan total unit elementer dalam populasi Y : jumlah unit elementer dalam sampel f : sampling fraction akhir (= f1 x f2) 10. Pendugaan rata-rata observasi per unit elementer dari seluruh populasi:
G=
X Y
Keterangan: G : pendugaan rata-rata nilai observasi per unit elementer dari seluruh populasi X : total nilai observasi dari semua ssu Y : jumlah unit elementer dalam sampel Pengolahan dan Analisis Data
Metode-metode yang digunakan adalah analisis spasial, analisis deskriptif, analisis regresi linier berganda, analisis tekanan penduduk, analisis harga barang substitusi dan harga pasar, dengan proses sebagai berikut: 1. Analisis spasial: (a) perubahan penggunaan dan penutupan lahan multi waktu; (b) tampilan/layout peta; dan (c) pemasukan data koordinat geografis lokasi penelitian. 2. Analisis tabulasi dan deskriptif: berupa tabel dan gambar dari data-data hasil
ground survey sosial ekonomi, untuk menentukan peubah-peubah sosial ekonomi kunci/dominan. 3. Analisis regresi linier berganda: untuk menduga besarnya pengaruh peubah-peubah
sosial
ekonomi
kunci/dominan
terhadap
perubahan
penggunaan dan penutupan lahan. 4. Analisis tekanan penduduk: (a) kebutuhan lahan untuk hidup layak; (b) besarnya tekanan penduduk. 5. Analisis harga barang pengganti dan harga pasar: untuk menduga nilai manfaat langsung.
55
Analisis Spasial
Analisis spasial terhadap data landsat lokasi penelitian mengacu pada hasil studi yang dilaksanakan oleh Prasetyo dan Setiawan (2006). Studi dilaksanakan dengan membandingkan data landsat multi waktu, dari tahun 1989-2004. Tahapan pengolahan dan analisis data landsat yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 4. Analisis komparasi multi waktu data landsat dilakukan dengan menggunakan metode preclassification dan postclassification.
Pada proses
preclassification, dilakukan perbandingan nilai dijital pada setiap data landsat secara langsung, dimana seluruh data landsat dinormalkan terlebih dahulu terhadap landsat yang dijadikan acuan. Sedangkan pada proses postclassification, dilakukan perbandingan terhadap data landsat multiwaktu setelah data landsat diklasifikasikan secara individual.
Klasifikasi penggunaan/penutupan lahan
dilakukan secara terbimbing dengan menggunakan metode kemiripan maksimum (maximum likelihood classification).
Landsat tahun 1989-2004
Landsat tahun 1989 - 2004 Normalized (corrected)
Select training area
Accuracy assessement
Supervised Classification (Maximum Likelihood Method)
Pre-processing: 1. Geometric correction 2. Normalize/Radiometric (relative radiometric normalization) 3. Topografic correction 4. Subset to boundary
Pre-Processing Processing Ground Check
Peta Penggunaan Lahan/ Penutupan Lahan
Gambar 4 Diagram alir pengolahan data Landsat (Prasetyo & Setiawan 2006).
56 Koreksi geometri merupakan proses memproyeksikan data peta ke dalam suatu sistem proyeksi peta tertentu. Dalam proses proyeksi ini, digunakan sistem koordinat UTM (Universal Transverse Mercator). Untuk menghasilkan tingkat akurasi yang baik, maka geometric co-registration dilakukan dengan RMSE (root
mean square error) sebesar 0.25-0.5 pixel atau hampir 1 pixel. Citra landsat yang menjadi acuan adalah citra landsat tahun 2003 atau 2001 yang telah dikoreksi terlebih dahulu ke proyeksi UTM. Penentuan data landsat yang akan dijadikan sebagai acuan didasarkan pada kondisi tutupan awan yang paling sedikit. Metode
normalized
radiometric
yang
digunakan
adalah
metode
pseudoinvariant feature (PIF), yaitu dengan membandingkan objek-objek yang tidak mengalami perubahan dari satu data image dengan data image lainnya. Hal ini dapat dilihat pada objek-objek yang tidak tergantung pada musim dan siklus biologi.
Perbedaan kecerahan (brightness) dari objek invarian tersebut
diasumsikan sebagai fungsi linier. Untuk mengurangi kesalahan akibat efek topografi (topographic effect), maka dilakukan koreksi dengan menggunakan data surface zenit angle (slope),
surface azimut angle (aspect), solar zenit angle, dan solar azimut angle. Koreksi topografi dilakukan dengan menggunakan persamaan Non-Lambertian Model (Minnaert function), dimaksudkan untuk mengurangi efek bayangan dengan menurunkan nilai dijital data landsat. Koreksi topografi ini cukup efektif untuk menghilangkan efek topografi. Tetapi untuk daerah dengan kemiringan yang sangat curam (> 40%), koreksi topografi akan menimbulkan nilai-nilai dijital yang berlebihan. Sehingga diperlukan keahlian dari seorang peneliti untuk melakukan koreksi lanjutan dengan menggunakan citra yang lebih tinggi resolusinya. Klasifikasi tipe penggunaan/penutupan lahan dibagi menjadi beberapa kelas yaitu: 1) Hutan alam; 2) Hutan tanaman; 3) Kebun campuran; 4) Kebun teh; 5) Kebun karet; 6) Semak belukar; 7) Rumput; 8) Sawah/lahan basah; 9) Ladang/lahan kering (upland); 10) Lahan terbuka (bareland); 11) Lahan terbangun/pemukiman; 12) Badan air; dan 13) Awan (no data).
Untuk
mendapatkan hasil klasifikasi yang baik, dilakukan pengujian akurasi (accuracy
assessment) terhadap hasil klasifikasi berdasarkan data hasil groundcheck. Hasil klasifikasi diharapkan memiliki nilai akurasi lebih dari 80%.
57
Analisis Tabulasi dan Deskriptif
Data-data sosial ekonomi yang didapatkan dari hasil survey lapangan dan wawancara dianalisis secara tabulasi dan deskriptif. Tampilan data berupa tabel dan gambar, yang menunjukkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di lokasi penelitian. 1. Kependudukan a. Laju pertumbuhan penduduk Dihitung dengan menggunakan persamaan Geometrik (Rusli 1995): Pt = P0 (1 + r)t Keterangan: Pt : jumlah penduduk pada akhir periode waktu t P0 : jumlah penduduk pada awal periode waktu t r : laju pertumbuhan penduduk t : jangka waktu taksiran b. Kepadatan penduduk Merupakan perbandingan antara jumlah warga desa terhadap luasan wilayah desa pada lokasi sampel penelitian. 2. Kegiatan ekonomi a. Mata pencaharian pokok Merupakan pekerjaan utama bagi kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. b. Mata pencaharian sampingan Identifikasi dilakukan terhadap pekerjaan-pekerjaan lain anggota keluarga selain dari pekerjaan utama. 3. Hubungan masyarakat dengan hutan a. Aksesibilitas terhadap sumber daya alam Merupakan gambaran terhadap kesempatan masyarakat di sekitar hutan untuk melakukan pemanfaatan sumber daya hutan. b. Pemanfaatan sumber daya hutan Berbagai kebutuhan pokok masyarakat di sekitar hutan, dipenuhi dengan memanfaatkan sumber daya hutan. Kebutuhan tersebut antara lain berupa kayu bangunan, kayu bakar, bahan makanan, dan pakan ternak. Termasuk juga adanya kegiatan perluasan areal pertanian dan pemukiman.
58 c. Adat istiadat Merupakan kebiasaan masyarakat yang sudah diterapkan dalam kehidupan mereka secara turun temurun. 4. Taraf Hidup a. Pendapatan Pendapatan masyarakat diperoleh dari lahan pertanian, lahan hutan, peternakan rakyat, gaji pegawai, dan upah yang diterima oleh masyarakat yang bekerja di luar sawah, kebun, dan lahan tumpangsari. b. Pengeluaran rumah tangga Bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga dapat dihitung secara sederhana berdasarkan kebutuhan hidup primer. c. Kepemilikan lahan Identifikasi terhadap perubahan luas kepemilikan lahan setiap kepala keluarga yang berada pada desa sampel penelitian. d. Kesempatan kerja Menggambarkan bentuk-bentuk lapangan pekerjaan dan kesempatan kerja bagi setiap anggota masyarakat yang berada di lokasi penelitian. e. Tingkat pendidikan dan pengetahuan lokal Meliputi pendidikan formal dan non-formal yang didapatkan oleh setiap anggota masyarakat yang berada di lokasi penelitian. f. Persamaan jender Pembagian hak dan kewajiban antara lelaki dan perempuan pada berbagai bidang, antara lain: pekerjaan, pendidikan, dan status sosial. g. Keadaan rumah Rumah merupakan salah satu ukuran kemampuan ekonomi seseorang, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan taraf hidup pemiliknya. h. Sarana dan prasarana Kondisi umum sarana dan prasarana yang ada pada lokasi penelitian, meliputi: sarana transportasi, pendidikan, kesehatan, dan perekonomian. i. Pemerataan Diukur dengan menggunakan data-data: pendapatan, kepemilikan lahan pertanian, kelas-kelas rumah, dan lapangan pekerjaan.
59
Analisis Regresi
Analisis dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS dengan metode stepwise regression, untuk melihat hubungan antara peubah-peubah sosial ekonomi kunci/dominan (peubah bebas) terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan (peubah tak bebas) pada setiap strata desa. Analisis regresi yang dilakukan adalah analisis regresi linier berganda, dengan model persamaan sebagai berikut: Yi = β0 + β1X1i + β2X2i + β3X3i + ..... + βiX3i + εi Keterangan: Yi : perubahan penggunaan dan penutupan lahan pada desa strata i β0 : intersep εi : sisaan β1, β2, …, βi : kemiringan/gradien X1i, X2i, …, Xji : peubah sosial ekonomi kunci/dominan Beberapa asumsi yang mendasari model tersebut adalah: i) εi menyebar saling bebas mengikuti sebaran normal (0,σ2); ii) εi memiliki ragam homogen; iii) tidak adanya hubungan antar peubah X (E(Xi,Xj)=0, untuk semua i ≠ j); iv) εi bebas terhadap peubah X. Untuk menguji pengaruh peubah bebas terhadap peubah tak bebas secara simultan, diuji dengan menggunakan uji F (analisis ragam).
Untuk melihat
pengaruh peubah bebas secara parsial, diuji dengan menggunakan uji t-student. Untuk melihat keterandalan model, dilakukan dengan menggunakan koefisien determinasi (R2). a. Analisis Ragam (Uji F) Pengujian ini dimaksudkan untuk melihat pengaruh peubah bebas secara bersama-sama terhadap peubah tak bebas. Komponen ragam dari regresi linier berganda tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Struktur analisis ragam dari regresi linier berganda Sumber Keragaman Regresi Galat Total
Derajat Bebas p n-p-1 n-1
Jumlah Kuadrat (JK) JKR JKG JKT
Kuadrat Tengah (KT)
F-hitung
KTR = JKR/p KTG = JKG/(n-p-1) Sy2 = JKT/(n-1)
KTR/KTG
60 Bentuk hipotesis yang diuji dari analisis ragam di atas adalah: H0 : βi = βi = βi = 0 H1 : ada i dimana βi ≠ 0 Hipotesis nol ditolak jika nilai F-hitung > Fα(p, (n-p-1)), atau jika peluang nyata lebih kecil dari nilai taraf nyata (α) yang ditetapkan. Jika hipotesis nol ditolak berarti dari p peubah bebas yang dilibatkan dalam model regresi linier berganda tersebut diharapkan terdapat paling sedikit terdapat satu peubah bebas yang berpengaruh langsung terhadap peubah tak bebas. b. Uji t-student Pengujian ini akan berguna jika pada pengujian analisis ragam diperoleh kesimpulan bahwa terdapat paling sedikit satu peubah bebas yang berpengaruh terhadap peubah tak bebas. Uji t-student ini bermanfaat untuk menunjukkan peubah bebas mana yang berpengaruh terhadap peubah tak bebas.
Bentuk
hipotesis parsial yang digunakan adalah sebagai berikut ini: H0 : β i = k H1 : βi ≠ k Statistik ujinya dapat dirumuskan sebagai berikut: βˆ − k t hitung = i S β2ˆ Hipotesis nol akan ditolak bila nilai thitung > t tabel (α/2, (n-p-1)), atau jika peluang nyata lebih kecil dari nilai taraf nyata (α) yang ditetapkan. c. Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi menunjukkan kemampuan model yang dihasilkan dalam menerangkan keragaman nilai peubah tak bebas (Y). Semakin besar nilai R2, berarti model semakin mampu menerangkan prilaku peubah Y. Besaran nilai koeifisien determinasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut ini: R2 = JKR / JKT Keterangan: R2 : koefisien determinasi JKR : jumlah kuadrat regresi JKT : jumlah kuadrat total
61
Analisis Tekanan Penduduk
Menurut Soemarwoto (1992), tekanan penduduk didefinisikan sebagai gaya yang mendorong penduduk desa untuk memperluas lahan garapannya atau untuk bermigrasi guna mencari sumber pendapatan baru. Secara matematis, tekanan penduduk dapat dihitung berdasarkan rumus berikut ini (Soemarwoto 1992): TP = z (1 − α
)
f P0 (1 + r ) β L
t
Keterangan: TP = tekanan penduduk; z = luas lahan yang diperlukan untuk mendukung kehidupan pada tingkat hidup yang dianggap layak (ha/orang); z = f (H, C, S, T, M) H = tingkat hidup yang dianggap layak; C = iklim; S = tanah; T = teknologi; M = nilai pasar hasil; α = proporsi pendapatan dari pekerjaan nir-pertanian; 0 ≤ α <1; f = fraksi penduduk yang menjadi petani; 0 < f ≤ 1; P0 = jumlah penduduk pada waktu t0 (orang) r = laju pertumbuhan penduduk (%/tahun); t = waktu perhitungan (tahun); β = proporsi manfaat yang dinikmati oleh penduduk dari usahanya; 0 < β ≤ 1; L = luas lahan pertanian (ha). Nilai α, f, β, didapatkan dari pengamatan, wawancara dengan masyarakat, dan catatan dari desa atau kecamatan. Tekanan penduduk yang diukur pada penelitian ini, merupakan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian. Semakin besar nilai tekanan penduduk pada suatu desa, maka akan semakin luas pula lahan pertanian yang dibutuhkan oleh penduduk desa. Dengan keterbatasan lahan pertanian di desa, maka akan terdapat kemungkinan bahwa akan terjadi perluasan lahan pertanian dengan memanfaatkan kawasan hutan yang ada di sekitar desa. Sebagai alternatif dari tingginya tekanan penduduk, maka dibutuhkan lapangan pekerjaan baru di luar sektor pertanian, adanya perpindahan penduduk ke lokasi pemukiman yang baru, dan adanya usaha untuk menekan laju pertumbuhan penduduk desa.
62
Analisis Harga Barang Pengganti dan Harga Pasar
Untuk menduga besarnya nilai manfaat langsung kawasan TNGHS, dibutuhkan informasi yang meliputi: jumlah pengambil, frekuensi pengambilan, produksi rata-rata per pengambilan, harga jual, dan besarnya biaya pemanfaatan. Pada penentuan harga jual, untuk barang yang bukan barang produktif atau yang tidak diperjualbelikan, digunakan harga barang penggantinya. Sedangkan untuk barang-barang produktif, digunakan harga pasar dari barang tersebut pada tingkat produsen. Besarnya nilai manfaat langsung kawasan TNGHS pada lokasi sampel diduga dengan menggunakan persamaan matematis sebagai berikut: NML = [(P x H) – B] Rp/tahun Keterangan: NML P P jp f jd H B
= = = = = = = =
nilai manfaat langsung (Rp/tahun); jumlah produksi per tahun (volume/tahun); jp x f x jd jumlah pengambil (orang); frekuensi pengambilan (kali/tahun); produksi rata-rata per pengambilan (volume); harga jual (Rp); biaya pemanfaatan (Rp).
Besarnya nilai manfaat langsung untuk seluruh wilayah kawasan TNGHS diduga dengan menggunakan persamaan matematis sebagai berikut:
⎡ 1 ⎤ Yt = ⎢ Y⎥ ⎣ f1 × f 2 ⎦
Rp/tahun
Keterangan: Yt Y f1 f2
= = = =
total nilai manfaat langsung kawasan TNGHS (Rp/tahun); nilai manfaat langsung pada lokasi sampel (Rp/tahun); persentase jumlah desa sampel terhadap jumlah seluruh desa (%); persentase jumlah responden terhadap jumlah KK di desa sampel (%).
63
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Sejarah Pengelolaan dan Tata Batas Kawasan
Menurut Galudra et al. (2005), sejarah penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dapat dibagi menjadi empat periode tahun, dimulai dari zaman penjajahan sampai dengan setelah kemerdekaan Republik Indonesia (Tabel 3). Tabel 3 Sejarah kebijakan penggunaan lahan dan penunjukan kawasan TNGHS Periode Tahun 1700-1865
Hindia Belanda
Penggunaan dan penunjukan kawasan TNGHS kawasan perkebunan
1865-1942
Hindia Belanda
kawasan kehutanan
hutan rimba (>1.570 mdpl), dan hutan cadangan
1942-1945
Jepang
kawasan pertanian
sawah dan kebun
Republik Indonesia
kawasan kehutanan
kelompok hutan dikelola oleh BKSDA, Perhutani, dan Taman Nasional
1945-sekarang
Pemerintahan
Keterangan kopi, indigo, teh, kayu manis, kapas, karet, kina, coklat, kapuk, kelapa, lada
Sumber: Galudra et al. (2005)
Sebagian besar kegiatan penataan batas kawasan TNGHS telah dilaksanakan pada masa penjajahan Belanda, sedangkan sisanya dilaksanakan pada masa pendudukan Jepang dan masa pemerintahan Republik Indonesia.
Pada awal
penunjukannya, Belanda menetapkan kawasan hutan yang sekarang merupakan kawasan TNGHS sebagai kawasan perkebunan. Hal ini berhubungan dengan kondisi geografis, dimana pada beberapa lokasi memang cocok untuk ditanami komoditas perkebunan. Kebijakan Hindia Belanda tersebut telah menyebabkan berkembangnya pemukiman dan lahan pertanian yang berada di dalam kawasan TNGHS. Sebagian besar pekerja pada kawasan perkebunan bermukim di sekitar lokasi perkebunan, dan memanfaatkan lahan di sekitar pemukiman mereka untuk dijadikan sebagai lahan pertanian.
64 Berdasarkan studi Galudra et al. (2005), pada awal tahun 1700-an, terdapat kebijakan pemerintah Hindia Belanda untuk memperluas areal perkebunan kopi di daerah Keresidenan Priangan (Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan Tasikmalaya). Masyarakat setempat diwajibkan untuk menanan tanaman kopi di kawasan terbuka pada ketinggian 700-1400 mdpl. Eksploitasi sumber daya alam dilakukan secara terorganisir, dengan bupati sebagai penanggung jawab utama bagi pasokan komoditi hasil bumi dari tanaman perdagangan yang ditentukan oleh Hindia Belanda.
Setelah tahun 1915, sistem penanaman kopi dihapuskan akibat
penyebaran penyakit tanaman kopi.
Kebun-kebun kopi diserahkan kepada
masyarakat setempat, dengan tujuan untuk membangun perkebunan kopi rakyat. Kebijakan ini mengalami kegagalan, karena masyarakat cenderung menanam tanaman pangan daripada menanam tanaman kopi. Dampak dari kebijakan ini adalah banyaknya masyarakat yang menggarap tanah-tanah di dataran tinggi bekas perkebunan kopi. Selanjutnya, terdapat juga kebijakan Hindia Belanda yang melakukan penjualan tanah sewa kepada tuan tanah pada beberapa daerah di Keresidenan Priangan. Pada awalnya, pemberian hak penguasaan tanah sewa kepada tuan tanah bertujuan untuk menciptakan keamanan dan keuntungan ekonomi bagi Hindia Belanda. Tetapi tidak terdapat peraturan yang mengatur hubungan tuan tanah dan masyarakat, sehingga terjadi kesewenangan tuan tanah terhadap hak masyarakat atas tanah sawah yang telah dibuka. Hal ini menyebabkan terjadinya perlawanan masyarakat terhadap tuan tanah di daerah Priangan.
Untuk
memperbaiki kehidupan masyarakat dan mengurangi tanah-tanah sewa milik tuan tanah non-Belanda yang dapat mengancam kestabilan politik Hindia Belanda, pemerintah telah membeli kembali tanah-tanah sewa tersebut. Pada periode tahun 1830-1870, Hindia Belanda menerapkan sistem tanam paksa di Indonesia. Hal ini, juga berpengaruh terhadap perubahan penguasaan tanah di kawasan Halimun-Salak. Pada periode ini, masyarakat dipaksa untuk menyerahkan seperlima tanah sawah mereka untuk ditanami kopi, indigo, teh, dan kayu manis.
65 Dari berbagai kebijakan Hindia Belanda yang dipaksakan kepada masyarakat, terdapat juga kebijakan yang memperhatikan pelestarian hutan di kawasan Halimun-Salak. Walaupun pada akhirnya, hal ini juga menyebabkan konflik dengan masyarakat yang bermukim pada beberapa daerah di sekitar kawasan Halimun-Salak yang masih melakukan sistem perladangan berpindah. Pada tahun 1865, Hindia Belanda menetapkan hutan yang berada pada ketinggian di atas 1570 mdpl sebagai kawasan hutan rimba. Hutan yang ditetapkan sebagai hutan rimba adalah hutan dengan jenis-jenis pohon non-jati, dengan tujuan untuk mendukung persediaan air irigasi dan persediaan kayu. Pada tahun 1927, pemerintah Hindia Belanda menerbitkan peraturan yang menetapkan beberapa kawasan sebagai hutan cadangan, dengan tujuan untuk kepentingan pelestarian hutan dan produksi kayu.
Hutan cadangan tersebut
meliputi tanah yang bebas dari hak ulayat, dan tanah kosong yang dikelilingi oleh hutan.
Terdapat perlawanan dari pemilik perkebunan swasta dan masyarakat
setempat, karena tanah-tanah mereka diambil untuk dijadikan sebagai hutan cadangan.
Sehingga pemerintah harus membeli tanah-tanah tersebut dari
masyarakat dan pemilik perkebunan swasta. Pada masa pendudukan Jepang, tidak ada kepastian wewenang atas pengaturan hutan. Masyarakat telah membuka hutan yang dulunya dijaga dan dilestarikan, untuk dijadikan sebagai perkampungan, sawah, dan ladang. Penguasa Jepang juga mewajibkan adanya serah-padi, sehingga masyarakat yang berada di sekitar hutan terpaksa membuka hutan untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengalami kesulitan dalam menjaga dan memulihkan kembali kawasan hutan di Halimun-Salak yang sudah rusak.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah telah menerapkan beberapa
kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Halimun-Salak.
Pada tahun 1957,
pengelolaan hutan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Swatantra Tingkat I, kecuali kawasan Cagar Alam dan Suaka Alam yang tetap menjadi urusan Pemerintah Pusat. Pada masa itu, pemerintah daerah tetap mengizinkan masyarakat setempat yang terlanjur menggarap kawasan hutan, tetapi diwajibkan untuk memberikan sebagian hasil panennya kepada pemerintah daerah.
66 Berdasarkan UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan tentang perluasan kawasan hutan di kawasan Halimun-Salak. Pada tahun 1976, dibentuk Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) yang bertanggung jawab untuk mengelola hutan konservasi. Pada tahun 1978, dibentuk juga Perum Perhutani Unit III Jawa Barat yang bertanggung jawab untuk mengelola hutan produksi. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 40/kpts/um/1/1979, beberapa kelompok hutan rimba di kawasan Halimun-Salak seluas 40000 hektar berada di bawah pengelolaan BKSDA, sedangkan sisa hutan di kawasan Halimun-Salak seluas 73357 hektar berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani. Pada sistem pengelolaan hutan produksi di kawasan Halimun-Salak, Perum Perhutani tetap mengizinkan masyarakat yang terlanjur menggarap lahan pada kawasan hutan. Masyarakat hanya diwajibkan untuk membayar pungutan sebesar 10-25% dari hasil panennya. Kebijakan Perum Perhutani ini, merupakan salah satu bentuk ketidaktegasan pengelola kawasan hutan terhadap keberadaan masyarakat yang secara ilegal berada di dalam kawasan hutan. Pengelola hanya memberikan penyelesaian sementara terhadap permasalahan kepemilikan lahan yang terjadi di kawasan Halimun-Salak.
Padahal, kebijakan tersebut tidak
didukung oleh adanya pengawasan yang kuat dan tegas terhadap aktivitas masyarakat dan beberapa pihak yang mengharapkan keuntungan pribadi. Akibat dari kebijakan tersebut, terus dirasakan sampai sekarang, dimana semakin banyak kawasan pemukiman dan lahan garapan masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan. Harada et al. (2001) juga membagi periode pengelolaan kawasan TNGHS pada beberapa periode waktu. Pada zaman penjajahan Belanda, kawasan TNGHS dibagi menjadi: hutan lindung, lahan untuk dikelola masyarakat lokal, lahan milik perkebunan, lahan milik pribadi, dan lahan milik pemerintah lokal. Pada zaman penjajahan Jepang, sistem pengelolaan hutan diserahkan pada masyarakat lokal secara bebas.
Terjadi perpindahan penduduk dari berbagai tempat, sehingga
menyebabkan jumlah populasi penduduk yang berada di sekitar kawasan TNGHS meningkat secara cepat. Setelah kemerdekaan sampai tahun 1960, pemerintah telah membuat sistem pengelolaan dan pengawasan terhadap hutan, dimana
67 kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat lokal telah diubah fungsinya menjadi hutan lindung. Pada tahun 1977, seluruh hutan lindung yang ada di Provinsi Jawa Barat pengawasannya dilakukan oleh Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA). Pada tahun 1979, dengan adanya Perum Perhutani yang melakukan pengelolaan hutan dengan tujuan produksi, kawasan cagar alam tersebut dibagi lagi menjadi: kawasan Cagar Alam, areal perkebunan, dan kawasan hutan produksi.
Pada tahun 1992, areal tersebut dirancang untuk
dijadikan sebagai taman nasional, dimana kawasan perkebunan juga termasuk di dalamnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 282/Kpts-II/1992, Cagar Alam Gunung Halimun ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), dengan luas 40000 hektar [BTNGH 2004]. Pada tahun 2003, pemerintah telah menunjuk kawasan hutan lindung dan hutan produksi pada kelompok hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak yang berada di sekitar TNGH sebagai daerah perluasan taman nasional. Perubahan fungsi kawasan tersebut, menyebabkan penambahan luas kawasan TNGH seluas ± 73357 hektar (Gambar 5).
Gambar 5 Perubahan tata batas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
68
Masyarakat Adat
Masyarakat adat yang ada di kawasan TNGHS dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu: (1) masyarakat Badui, dan (2) masyarakat Kasepuhan. Masyarakat Badui hanya terdapat pada Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Sedangkan desa-desa yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh adat kasepuhan yaitu: di Kabupaten Lebak (Desa Citorek, Ciparay, Ciusul, Cisungsang, Lebak Situ, Kujangsari, dan Situmulya), dan di Kabupaten Sukabumi (Desa Sirnarasa dan Sirnaresmi). Menurut Purnomohadi (1985), masyarakat Badui adalah masyarakat peladang berpindah, dimana pada pengelolaan lahan pertanian menerapkan pola bercocok tanam padi ladang dengan masa bera yang cukup panjang. Berdasarkan kepercayaan mereka, lahan huma harus diberakan setidak-tidaknya selama 7 atau 9 tahun (bilangan ganjil). Tetapi pada kenyataannya, sebagian besar warga Desa Kanekes mulai tidak mengikuti aturan adat dan kepercayaannya, dengan memberakan lahan humanya hanya selama 4 tahun. Pada pengolahan tanah, masyarakat Badui tidak melakukan penggemburan dan perataan tanah, dimana penggunaan cangkul dan alat-alat pertanian tidak diperbolehkan oleh peraturan adat. Alat yang dipakai pada pengolahan tanah hanyalah aseuk atau tugal dari cabang kayu, yang digunakan untuk membuat lubang-lubang tempat menanam bibit tanaman. Kegiatan pemeliharaan tanaman masih sangat tradisional, dimana tidak diperbolehkan adanya penggunaan pupuk dan obat-obatan pembasmi hama dan penyakit tanaman. Pada masyarakat adat kasepuhan, pola kehidupan dan aktivitas harian mereka tidak berbeda dengan kebiasaan sehari-hari masyarakat pedesaan pada umumnya. Sistem pengelolaan hutan di kawasan masyarakat adat kasepuhan merupakan perwujudan filosofi hidup ”Ibu Bumi, Bapak Langit” yang bermakna bahwa keutuhan bumi beserta segala isinya harus dijaga dengan seksama, sebab apabila salah satu unsur dirusak maka akan menyebabkan rusaknya keseimbangan alam (Karyono & Herawati 2005). Pada sistem pengelolaan hutan, masyarakat adat kasepuhan membagi kawasan hutan menjadi (Karyono & Herawati 2005): 1. Leuweung Awisan, adalah hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu untuk kepentingan apapun, merupakan warisan leluhur yang harus selalu dijaga.
69 2. Leuweung Tutupan, adalah hutan yang berfungsi untuk menutupi Leuweung Awisan, dimana hutan ini dilindungi oleh negara. 3. Leuweung Titipan, adalah hutan yang dicadangkan untuk daerah pemukiman dan lahan garapan masyarakat adat kasepuhan di masa yang akan datang. 4. Leuweung Garapan atau Sampalan, adalah hutan yang telah dibuka dan menjadi lahan garapan masyarakat. Sebelum adanya perluasan kawasan taman nasional, kesatuan masyarakat kasepuhan di sekitar kawasan TNGHS terdiri dari 6 kasepuhan, yaitu: Citorek, Bayah, Cisungsang, Cicarucup, Sirnaresmi, dan Ciptarasa (Hadi 1994). Menurut sejarahnya, kasepuhan Banten Kidul telah ada sejak tahun 1369 yang pada awalnya berlokasi di Bogor. Selanjutnya terjadi beberapa kali perpindahan lokasi pemukiman masyarakat kasepuhan.
Menurut Setyono et al. (2003), lokasi
pemukiman masyarakat kasepuhan yang berada di Bogor telah pindah ke wilayah Kabupaten Sukabumi yaitu di Desa Sirnarasa (Kampung Cicemet, Kampung Cicadas, dan Kampung Ciganas), yang kemudian berkembang menjadi Kasepuhan Sirnarasa. Selanjutnya, pada tahun 1982 sebagian dari masyarakat kasepuhan terebut pindah ke Kampung Ciptarasa, dan akhirnya pada tahun 2000 terjadi lagi perpindahan ke Kampung Ciptagelar, yang selanjutnya berkembang menjadi Kasepuhan Ciptagelar. Menurut Suhaeri (1994), kebiasaan warga kasepuhan memindahkan kampung utama (lembur gede) yang dijadikan sebagai pusat kegiatan warga kasepuhan telah dilakukan sebanyak 13 kali.
Kegiatan tersebut cenderung
mengarah kepada kegiatan deforestasi, dimana pada lokasi kampung yang baru akan berkembang kegiatan pencetakan sawah, perladangan, pembuatan jalan, dan pengambilan hasil hutan. Terdapat pula pemahaman dan pandangan masyarakat adat kasepuhan bahwa hutan yang berada di sekitar pemukiman adalah hutan sampalan, dimana diperbolehkan adanya eksploitasi terhadap hasil hutan, perburuan satwa, serta pembuatan ladang dan sawah. Pengaruh tetua adat dalam tatanan kehidupan masyarakat yang ada pada desa-desa tradisional dapat dilihat dari pola bercocok tanam dan ketaatan masyarakat terhadap tetua adat (Abah, Olot).
Pada desa dengan pengaruh
adat/kasepuhan yang masih sangat kuat, maka hanya diperbolehkan bercocok
70 tanam padi satu musim saja (satu kali setiap tahun). Terdapat juga kepercayaan dari anggota masyarakat akan adanya hukuman dari alam ghaib (kualat) jika tidak menuruti apa yang diperintahkan oleh tetua adat. Menurut Suhaeri (1994), penegakan hukum adat oleh tetua adat terhadap warga masyarakat yang melanggar aturan adat hampir tidak pernah dilakukan. Hal ini disebabkan oleh adanya kesadaran dari warga kasepuhan bahwa adanya pelanggaran terhadap sesuatu yang ditabukan oleh nenek moyang mereka akan berakibat pada seluruh warga kasepuhan, bukan hanya dirasakan oleh warga yang melakukan pelanggaran saja. Sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, pada beberapa desa sampel telah terjadi perubahan terhadap pengaruh adat istiadat. Perubahan ini terutama disebabkan oleh adanya pengaruh dari perkembangan informasi dan teknologi, serta masuknya pemahaman-pemahaman baru pada warga masyarakat. Tingkat pendidikan formal dan pengetahuan terhadap agama yang diterima oleh warga masyarakat telah membawa perubahan terhadap pengaruh tetua adat. Terdapat indikasi bahwa tetua adat hanya diperlukan jika terdapat kegiatan yang berhubungan dengan adat, tetapi untuk keperluan di luar adat lebih dibutuhkan peran aparat pemerintahan atau tokoh agama.
Kawasan Enclave
Enclave adalah pemilikan hak-hak pihak ketiga di dalam kawasan hutan yang dapat berupa pemukiman dan atau lahan garapan. Secara kewilayahan, enclave berada di dalam kawasan hutan, tetapi secara hukum tidak termasuk kawasan hutan. kawasan TNGHS.
Pada penelitian ini kawasan hutan yang dimaksud adalah Penetapan kawasan enclave ini didasarkan pada analisis
kelayakan enclave yang meliputi: kelayakan fisik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, serta sejarah pemukiman dan lahan garapan (Dephut 1997). Adanya aktivitas masyarakat dalam penggunaan lahan untuk pemukiman dan kegiatan budidaya pertanian merupakan salah satu bahan pertimbangan penetapan kawasan enclave. Departemen Kehutanan telah menetapkan bahwa status pemukiman penduduk dan lahan usahanya yang berada di dalam kawasan hutan harus diselesaikan untuk ditetapkan sebagai enclave atau karena
71 pertimbangan lain dikeluarkan dari kawasan hutan. Tujuan penyelesaian enclave adalah untuk memantapkan status kawasan hutan dan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di dalam kawasan enclave. Suatu areal juga dapat dijadikan langsung sebagai kawasan enclave apabila areal tersebut (Dephut 1997): 1) sudah memiliki Sertifikat Hak Milik; 2) secara administrasi pemerintahan merupakan kecamatan/desa yang sudah definitif; dan 3) mempunyai kepentingan khusus yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Berdasarkan data dari pemerintah daerah kabupaten, desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS adalah desa yang sudah definitif. Bahkan pada beberapa desa sampel, sudah ada sertifikat hak milik atas tanah yang digarap oleh warga desa.
Hal ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi
pemerintah untuk menyelesaikan konflik antara warga masyarakat, pemerintah daerah, dan pengelola TNGHS. Sehingga tata batas kawasan TNGHS di lapangan benar-benar dapat diakui oleh warga desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan taman nasional. Terdapat 7 desa di kawasan TNGHS yang wilayahnya merupakan kawasan enclave. Berdasarkan pengamatan di lapangan, kawasan enclave yang ada di kawasan TNGHS adalah lokasi perkebunan (Desa Malasari), kawasan pemukiman masyarakat adat kasepuhan (Desa Citorek, Ciparay, Ciusul, Cisarua, Lebak Situ), dan situs benda purbakala (Desa Lebak Gedong). Penetapan kawasan enclave pada desa-desa yang termasuk lokasi perkebunan dan situs benda purbakala sudah dilaksanakan sebelum adanya perluasan kawasan TNGHS. Tetapi, penetapan beberapa desa yang merupakan pemukiman warga kasepuhan (Desa Citorek, Ciusul, Ciparay) sebagai kawasan enclave baru dilaksanakan pada tahun 2003, dimana desa-desa tersebut adalah desa yang termasuk pada daerah perluasan kawasan TNGHS. Pada desa-desa yang pada wilayahnya merupakan lokasi perkebunan (Gambar 6), sebagian besar warga desa merupakan pekerja pada perusahaan perkebunan, sebagai tenaga kerja harian, dan mengolah sawah tadah hujan yang berada di pinggir lokasi perkebunan. Beberapa warga desa juga bekerja sebagai penunjuk jalan, dan mengelola tempat wisata yang berada di kawasan enclave.
72
Gambar 6 Enclave perkebunan teh di Desa Malasari.
Strata Desa
Hasil stratifikasi terhadap seluruh desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS dapat dikelompokkan menjadi 10 strata (Tabel 4).
Strata
dengan jumlah desa terbanyak adalah strata 1 (38.54%), diikuti oleh strata 5 (3.21%), dan strata 9 (12.50%). Desa-desa yang termasuk ke dalam tiga strata tersebut merupakan desa-desa non-tradisional dan non-enclave.
Hal ini
mengindikasikan bahwa pada sebagian besar desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS, tidak terdapat lagi adanya pengaruh masyarakat tradisional, dan hampir semua wilayah desa berada di luar kawasan enclave. Tabel 4 Strata desa di kawasan TNGHS No strata 1 2 3 4 5 6 7 8 9 13
Laju penurunan luas hutan alam rata-rata (%/tahun) 0 – 2.0 0 – 2.0 0 – 2.0 0 – 2.0 2.1 – 4.0 2.1 – 4.0 2.1 – 4.0 2.1 – 4.0 4.1 – 6.0 6.1 – 8.0 Jumlah
Sosial kultural masyarakat non-tradisional non-tradisional tradisional tradisional non-tradisional non-tradisional tradisional tradisional non-tradisional non-tradisional
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
Status desa
non-enclave enclave non-enclave enclave non-enclave enclave non-enclave enclave non-enclave non-enclave
Jumlah desa 37 2 5 3 29 1 1 1 12 5 96
Persentase (%) 38.54 2.08 5.21 3.13 30.21 1.04 1.04 1.04 12.50 5.21 100.00
73 Dari Tabel 4 di atas, dapat dilihat bahwa desa-desa tradisional di kawasan TNGHS hanya terdapat pada strata 3, 4, 7, dan 8. Terdapat 8 desa (strata 3 dan 4) dengan laju penurunan luas hutan alam rata-rata sebesar 0-2%, dan 2 desa (strata 7 dan 8) dengan laju penurunan luas hutan alam rata-rata sebesar 2.1-4%. Sebaliknya, pada sebagian besar desa-desa non-tradisional (47 desa) terdapat laju penurunan luas hutan alam rata-rata lebih dari 2% per tahun.
Bahkan pada
beberapa wilayah desa strata 13, dapat diidentifikasi bahwa tidak terdapat lagi adanya hutan alam. Jika dibandingkan dengan desa-desa non-tradisional, terdapat kecendrungan bahwa laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa tradisional masih lebih rendah dari desa-desa non-tradisional. Berdasarkan pengelompokkan laju penurunan luas hutan alam pada setiap desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS (Lampiran 2), sebagian besar desa (47 desa) memiliki laju penurunan sebesar 0-2.0% per tahun. Selain itu, terdapat juga desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 2.1-4.0% per tahun sebanyak 32 desa (33.33%), desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 4.1-6.0% per tahun sebanyak 12 desa (12.50%), dan desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 6.1-8.0% per tahun sebanyak 5 desa (5.21%). Berdasarkan sosial kultural masyarakat, di kawasan TNGHS terdapat 10 desa yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh masyarakat tradisional, yaitu: Desa Sirnaresmi, Kanekes, Cisungsang, Kujangsari, Situmulya, Ciparay, Ciusul, Lebaksitu, Sirnarasa, dan Citorek. Pengaruh masyarakat tradisional dapat dilihat dari ada tidaknya tetua adat yang bermukim pada desa tersebut, dan tingkat kepatuhan warga desa terhadap perintah atau larangan tetua adat. Berdasarkan status desa, terdapat 89 desa (83.96%) yang berada di luar kawasan enclave. Sedangkan desa-desa yang berada di dalam kawasan enclave adalah sebanyak 7 desa (16.04%), yaitu: Desa Malasari, Citorek, Ciparay, Ciusul, Cisarua, Lebak Situ, dan Lebak Gedong.
Dari sudut pandang peraturan
perundangan di bidang kehutanan, desa-desa yang berada pada kawasan enclave merupakan desa-desa yang legal, walaupun secara geografis berada di dalam kawasan taman nasional.
74
Desa Strata 1
Desa-desa yang termasuk ke dalam strata ini adalah desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam rata-rata sebesar 0-2.0% per tahun, tidak ada pengaruh masyarakat tradisional, dan wilayah desa berada di luar kawasan enclave. Dari 37 desa yang termasuk ke dalam strata ini (Tabel 5), pengambilan data dilakukan pada 10 desa sampel yaitu: Desa Bantar Karet, Sukajaya, Tugu Jaya, Sukaharja, Cijeruk, Cileungsing, Cikiray, Cipeuteuy, Pulosari, dan Kujang Jaya. Tabel 5 Desa-desa strata 1 Kabupaten Bogor
Kecamatan Sukajaya Nanggung Tamansari Pamijahan
Tenjolaya/ Ciampea Cigombong Cijeruk
Sukabumi
Cikakak Cidahu Cikidang Cicurug Kabandungan
Kalapanunggal Parakansalak Lebak
Sobang Cibeber
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
Desa Kiarasari Bantarkaret Tamansari Sukajadi Sukajaya Gunungsari Ciasihan Gn. Bunder 2 Purwabakti Ciasmara Tapos 1 Gn. Malang Tugujaya Pasirjaya Cipelang Sukaharja Tajurhalang Cijeruk Cileungsing Cidahu Cikiray Cisaat Pasawahan Kutajaya Kabandungan Cipeuteuy Mekarjaya Cihamerang Pulosari Parakansalak Sukatani Sukakersa Majasari Citujah Hegarmanah Kujang Jaya Sukamulya
75
Desa Strata 2
Desa-desa yang termasuk ke dalam strata ini adalah desa-desa dengan laju perubahan luas hutan alam rata-rata sebesar 0-2.0% per tahun, tidak ada pengaruh masyarakat tradisional, tetapi wilayah desa berada di dalam kawasan enclave. Terdapat 2 desa yang termasuk dalam strata ini yaitu: Desa Malasari dan Cisarua, di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Pada strata ini, lokasi pengambilan data yang terpilih adalah di Desa Malasari.
Desa Strata 3
Desa-desa yang termasuk ke dalam strata ini adalah desa-desa dengan laju perubahan luas hutan alam rata-rata sebesar 0-2.0% per tahun, terdapat pengaruh masyarakat tradisional, tetapi wilayah desa berada di luar kawasan enclave. Terdapat 5 desa yang termasuk ke dalam strata ini, yaitu: Desa Sirnaresmi, Kanekes, Cisungsang, Kujangsari, dan Situmulya. Pengambilan data di lakukan pada 2 desa terpilih yaitu: Desa Sirnaresmi dan Cisungsang.
Desa Strata 4
Desa-desa yang termasuk ke dalam strata ini adalah desa-desa dengan laju perubahan luas hutan alam rata-rata sebesar 0-2.0% per tahun, terdapat pengaruh masyarakat tradisional, dan wilayah desa berada di dalam kawasan enclave. Terdapat 3 desa yang termasuk dalam strata ini, yaitu Desa Lebak Situ, Ciparay, dan Ciusul. Pengambilan data dilakukan pada 2 desa sampel terpilih yaitu: Desa Ciparay dan Lebak Situ.
Desa Strata 5
Desa-desa yang termasuk ke dalam strata ini adalah desa-desa dengan laju perubahan luas hutan alam rata-rata sebesar 2.1-4.0% per tahun, tidak terdapat pengaruh masyarakat tradisional, dan berada di luar kawasan enclave. Pada Tabel 6, dapat dilihat bahwa terdapat 29 desa yang termasuk ke dalam strata ini, dimana sebanyak 18 desa (62.07%) berada di wilayah administrasi Kabupaten Lebak. Pengambilan data dilakukan pada 7 desa sampel, yaitu: Desa Sukamulih, Mekarnangka, Pasir Haur, Cikate, Cirompang, dan Sirnagalih.
76 Tabel 6 Desa-desa strata 5 Kabupaten Bogor
Kecamatan Sukajaya Jasinga Nanggung Leuwiliang Pamijahan
Sukabumi Lebak
Cidahu Cikidang Kalapanunggal Muncang Cipanas
Cijaku Sobang
Cibeber Bayah Panggarangan
Desa Cileuksa Sukamulih Jugalajaya Pangradin Curugbitung Purasari Gunungpicung Cibunian Girijaya Mekar Nangka Gn. Endut Cikarang Leuwicoo Pasir Haur Girilaya Giriharja Cipanas Lebak Sangka Cikate Cirompang Hariang Cilebang Sindang Laya Cihambali Mekarsari Sirnagalih Cisuren Gunung Gede Jatake
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
Desa Strata 6
Desa yang termasuk ke dalam strata ini adalah desa-desa dengan laju perubahan luas hutan alam rata-rata sebesar 2.1-4.0% per tahun, tidak ada pengaruh masyarakat tradisional, tetapi berada di dalam kawasan enclave. Hanya terdapat satu desa yang termasuk ke dalam strata ini, yaitu Desa Lebak Gedong.
Desa Strata 7
Desa yang termasuk ke dalam strata ini adalah desa-desa dengan laju perubahan luas hutan alam rata-rata sebesar 2.1-4.0% per tahun, terdapat pengaruh masyarakat tradisional, tetapi berada di luar kawasan enclave. Hanya terdapat satu desa yang termasuk ke dalam strata ini, yaitu Desa Sirnarasa.
77
Desa Strata 8
Desa yang termasuk ke dalam strata ini adalah desa-desa dengan laju perubahan luas hutan alam rata-rata sebesar 2.1-4.0% per tahun, terdapat pengaruh masyarakat tradisional, dan wilayah desa berada di dalam kawasan enclave. Hanya terdapat satu desa yang termasuk ke dalam strata ini, yaitu Desa Citorek.
Desa Strata 9
Desa-desa yang termasuk ke dalam strata ini adalah desa-desa dengan laju perubahan luas hutan alam rata-rata sebesar 4.1-6.0% per tahun, tidak ada pengaruh masyarakat tradisional, dan wilayah desa berada di luar kawasan enclave. Dari hasil stratifikasi, terdapat 12 desa yang termasuk ke dalam strata ini,
yaitu:
Desa
Kiarapandak,
Pasirmadang,
Curug,
Cicadas,
Cikelat,
Karangpapak, Pasirnangka, Karangcombong, Maraya, Banjar irigasi, Banjar Sari, dan Sobang.
Pengambilan data dilakukan pada 3 desa sampel, yaitu: Desa
Pasirmadang, Cikelat, dan Banjar Irigasi.
Desa Strata 13
Desa-desa yang termasuk ke dalam strata ini adalah desa-desa dengan laju perubahan luas hutan alam rata-rata sebesar 6.0-8.0% per tahun, tidak ada pengaruh masyarakat tradisional, dan wilayah desa berada di luar kawasan enclave.
Terdapat 5 desa yang termasuk ke dalam strata ini, yaitu: Desa
Margalaksana, Ridogalih, Cimaja, Ciminyak, dan Luhurjaya. Pengambilan data dilakukan pada 2 desa terpilih, yaitu: Desa Margalaksana dan Luhur Jaya.
78
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Spasial Penggunaan dan Penutupan Lahan
Penggunaan lahan merupakan perubahan keadaan lahan yang disebabkan oleh adanya kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia untuk berbagai kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Penutupan lahan merupakan status lahan secara ekologi dan penampakan permukaan lahan secara fisik, yang dapat berubah karena adanya intervensi manusia, gangguan alam, dan suksesi tumbuhan secara alami. Untuk mengetahui bentuk-bentuk penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS, dilakukan analisis spasial dengan menggunakan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak pemetaan.
Hasil analisis
spasial yang digunakan pada penelitian ini, mengacu pada hasil analisis yang dilakukan oleh Prasetyo dan Setiawan (2006). Hasil analisis menunjukkan bahwa tipe penggunaan dan penutupan lahan yang ada di kawasan TNGHS adalah berupa: (1) penggunaan lahan: hutan tanaman, kebun campuran, kebun karet, kebun teh, sawah, ladang, dan lahan terbangun; (2) penutupan lahan: hutan alam, semak, rumput, lahan kosong, dan badan air. Beberapa bentuk penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS yang ditemukan di lapangan, dapat dilihat pada Gambar 7. Tutupan hutan alam masih terdapat pada bagian kawasan yang lokasinya jauh dari pemukiman. Pada lokasi yang dekat dengan pemukiman, sebagian besar lahan telah digunakan untuk dijadikan kebun, sawah, dan ladang.
Pembuatan hutan tanaman biasanya
dilakukan dengan menggunakan jenis cepat tumbuh, daur pendek, dan laku di pasaran lokal. Kebun campuran merupakan hasil perkembangan dari kegiatan perladangan, dimana lahan ditanami berbagai jenis tanaman kayu dan non-kayu dengan jarak tanam yang tidak teratur.
Penentuan penggunaan lahan sangat
ditentukan oleh kesesuaian jenis tanaman terhadap kondisi lahan. Perkebunan karet yang dimiliki masyarakat berada pada dataran rendah dan dekat dengan lokasi pemukiman. Hal ini sangat berbeda dengan lokasi perkebunan teh milik swasta yang berada pada daerah dataran tinggi.
79
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Gambar 7 Tipe penggunaan lahan di kawasan TNGHS: (a) hutan; (b) hutan tanaman; (c) kebun campuran; (d) kebun karet; (e) kebun teh; (f) sawah; (g) ladang; (h) pemukiman. Berdasarkan analisis terhadap penggunaan dan penutupan lahan yang dilakukan oleh Prasetyo dan Setiawan (2006), diketahui bahwa selama periode tahun 1989-2004 telah terjadi penurunan luas hutan alam di kawasan TNGHS secara gradual (Gambar 8, 9, 10, 11, 12, dan 13). Proses penurunan luas hutan alam diikuti oleh kenaikan semak belukar, ladang, dan lahan terbangun. Terdapat indikasi adanya kegiatan pemanenan kayu, perluasan areal pertanian, dan perluasan daerah pemukiman.
80
Gambar 8 Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 1989 (diolah dari Prasetyo & Setiawan 2006).
Gambar 9 Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 1992 (diolah dari Prasetyo & Setiawan 2006).
81
Gambar 10
Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 1995 (diolah dari Prasetyo & Setiawan 2006).
Gambar 11 Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 1998 (diolah dari Prasetyo & Setiawan 2006).
82
Gambar 12 Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 2001 (diolah dari Prasetyo & Setiawan 2006).
Gambar 13 Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 2004 (diolah dari Prasetyo & Setiawan 2006).
83 Luasan setiap tipe penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS selama periode tahun 1989-2004 disajikan pada Tabel 7. Dapat dilihat bahwa selama periode tahun 1989-2004, luas hutan alam pada kawasan TNGHS telah berkurang seluas 21586.1 hektar (25.68%).
Pengurangan luas hutan alam
tertinggi terjadi pada periode tahun 1992-1995, yaitu seluas 5467.5 hektar. Sebaliknya, penurunan luas hutan alam terendah terjadi pada periode tahun 1998-2001, yaitu seluas 2823.5 hektar.
Hal ini mengindikasikan bahwa
penurunan luas hutan alam di kawasan TNGHS dari tahun ke tahun terjadi secara terus menerus. Tabel 7 Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 Klasifikasi penutupan lahan
1989
1992
Hutan alam Hutan tanaman Kebun campuran Kebun karet Kebun teh Semak Rumput Sawah Ladang Lahan kosong Lahan terbangun Badan air
84066.4 2934.1 3198.2 2194.3 322.6 5328.3 1311.5 2781.7 5000.0 217.0 16.6 9.8
80263.5 4417.7 756.0 2365.8 991.4 8994.0 799.5 3203.6 5051.8 456.8 64.1 16.0
Tahun 1995 1998 Luas (ha) 74795.8 69923.3 2133.1 4209.8 6867.7 4742.3 1594.4 6163.2 1366.6 1207.3 6300.2 10428.9 228.3 964.8 2534.9 2062.8 10706.9 5830.4 497.3 1204.4 349.6 614.5 4.9 26.5
2001
2004
67100.0 5762.0 6356.7 2743.8 788.9 12199.3 972.8 4945.1 5299.7 477.5 754.3 4.9
62480.3 3986.3 4708.6 5531.4 2649.0 16386.0 824.8 2958.8 6365.9 586.8 874.8 25.4
Sumber: Prasetyo dan Setiawan (2006)
Perubahan Luas Penggunaan dan Penutupan Lahan
Perubahan penggunaan dan penutupan lahan yang terjadi di kawasan TNGHS dapat dilihat dari perubahan setiap tipe tutupan lahan.
Secara umum,
perubahan ini dapat dilihat dari adanya perubahan tutupan hutan alam, lahan garapan, dan daerah pemukiman. Hutan Alam. Jika dilihat dari persentase luas hutan alam yang termasuk ke
dalam wilayah desa, pada awalnya sebagian besar wilayah desa merupakan daerah berhutan (Tabel 8). Pada tahun 1989, rata-rata persentase luas hutan alam pada desa-desa yang termasuk strata 2, 3, dan 4, adalah lebih dari 60%. Tetapi pada
84 desa-desa yang termasuk strata 9 dan 13, persentase luas hutan alam memang hanya sekitar 15% dari wilayah desa. Penurunan persentase luas hutan alam yang tinggi, terjadi pada desa-desa yang termasuk strata 6 dan 7, dimana terjadi penurunan lebih dari 30%. Hal ini mengindikasikan bahwa pada wilayah desa-desa strata tersebut, sebagian besar hutan alam telah berubah dan dimodifikasi menjadi tutupan lain, sebagai akibat adanya kegiatan penggunaan lahan dan gejala alam. Tabel 8 Persentase luas hutan alam di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 Strata Desa 1989 1 2 3 4 5 6 7 8 9 13
33.03 93.38 82.35 76.92 30.59 76.79 75.00 61.83 15.16 10.07
Tahun 1992 1995 1998 2001 Persentase luas hutan rata-rata (%) 31.86 30.54 29.38 28.69 89.68 84.76 81.01 80.39 81.26 79.43 75.44 72.67 71.61 66.36 62.36 61.96 28.10 24.94 21.86 19.82 64.04 58.05 48.42 49.20 73.78 69.22 66.78 56.21 57.33 52.29 47.35 44.67 12.78 10.57 8.45 6.93 9.49 8.90 7.55 3.94
2004 27.68 79.04 70.48 58.91 17.93 42.43 45.39 42.10 3.83 0.29
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, dapat diidentifikasi bahwa pemenuhan kebutuhan kayu pertukangan, lahan pertanian, dan lokasi pemukiman merupakan penyebab langsung terjadinya penurunan luas hutan di kawasan TNGHS. Hal ini memperkuat beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti lain. Menurut Geist dan Lambin (2001a, 2001b), terjadinya deforestasi pada sebagian besar negara di Benua Asia dan Amerika disebabkan oleh adanya aktivitas pemanenan kayu.
Hasil hutan kayu yang dipanen berupa kayu
pertukangan, bambu, pancang, kayu bakar, dan pembuatan arang. Menurut Kant dan Redantz (1997), konsumsi kayu di sekitar pemukiman merupakan salah satu penyebab terjadinya deforestasi.
Lebih lanjut, Kummer dan Sham (2001)
menyimpulkan bahwa kegiatan pemanenan kayu merupakan faktor terpenting penyebab deforestasi di Philipina. Peningkatan harga kayu juga diduga menjadi
85 penyebab terjadinya penurunan luas hutan di Timur Laut Thailand (Panayotou & Sungsuwan 2001). Lebih tegas lagi, menurut Osgood (2001), produksi kayu telah menyebabkan pengurangan kekayaan hutan di Indonesia. Modifikasi tutupan hutan di kawasan TNGHS, dapat juga dilihat dari perubahan luas tutupan semak belukar. Penurunan persentase luas hutan pada setiap strata desa, diikuti oleh meningkatnya tutupan semak belukar (Tabel 9). Pada desa-desa strata 4, 5, dan 8, peningkatan tutupan semak belukar jauh lebih cepat dari strata desa lainnya. Selama periode tahun 1989-2004, pada desa-desa strata tersebut terjadi peningkatan luas semak belukar lebih dari 1000 hektar. Bahkan pada desa-desa strata 8, peningkatan luas semak belukar yang terjadi adalah lebih dari tiga kali lipat. Padahal pada tahun 1989, lebih dari 60% dari luas desa yang termasuk strata 8 merupakan daerah berhutan. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar tutupan hutan pada wilayah strata desa tersebut telah berubah menjadi semak belukar. Tabel 9 Perubahan luas semak di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 Strata desa 1989 1 2 3 4 5 6 7 8 9 13
25.53 72.39 68.58 150.49 57.15 106.68 209.54 514.34 26.67 19.05
Tahun 1995 1998 2001 Luas semak rata-rata (ha) 28.96 25.91 41.15 68.58 95.25 179.07 224.78 297.17 116.20 85.72 238.12 203.83 281.93 333.37 302.89 396.23 88.72 63.14 118.65 134.44 232.40 186.69 213.35 320.03 289.55 137.16 548.63 415.28 937.24 339.08 803.89 1036.30 74.93 68.58 93.98 99.06 28.57 1.90 32.38 28.57 1992
2004 83.06 236.21 281.93 630.54 199.75 354.32 289.55 2251.66 132.08 9.52
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
Lahan Garapan.
Kebutuhan lahan garapan merupakan salah satu
kebutuhan utama bagi warga masyarakat desa dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Sebagian besar warga desa yang berada di sekitar dan di dalam kawasan TNGHS merupakan petani, sehingga lahan garapan merupakan kebutuhan yang penting bagi mereka.
Bentuk-bentuk pemanfaatan lahan garapan yang dapat
diidentifikasi adalah berupa: hutan tanaman, kebun campuran, sawah, dan ladang.
86 Kondisi topografi yang berbukit-bukit dan keterbatasan sumber air, merupakan salah satu faktor pembatas pembuatan sawah pada sebagian besar wilayah desa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pada lahan yang dianggap tidak memungkinkan untuk dibuat menjadi sawah, dialokasikan oleh warga desa untuk dijadikan kebun dan ladang. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, tidak dijumpai lagi anggota masyarakat yang masih menerapkan sistem perladangan berpindah. Sistem pertanian yang diterapkan masyarakat di kawasan TNGHS dapat digolongkan sebagai sistem pertanian menetap.
Bahkan pada
beberapa wilayah desa, terdapat sawah dengan sistem irigasi semi teknis. Pertambahan jumlah penduduk dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang ada di desa merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan luas lahan garapan pada setiap wilayah desa. Terdapat kecendrungan bahwa kebutuhan masyarakat terhadap lahan garapan akan semakin bertambah. Hal ini sangat wajar, karena semakin banyak penduduk pada suatu desa, maka semakin luas lahan garapan yang dibutuhkan sebagai akibat adanya pertambahan angkatan kerja. Dengan keterbatasan tingkat pendidikan dan keahlian, maka pilihan pekerjaan yang paling memungkinkan bagi warga desa adalah menjadi petani. Untuk itu diperlukan perluasan lahan garapan, yang otomatis mengarah pada adanya kegiatan pemanfaatan lahan hutan. Pengaruh perluasan lahan garapan masyarakat terhadap penurunan luas hutan di kawasan TNGHS, menunjukkan kecendrungan yang sama dengan hasil penelitian beberapa peneliti lain. Menurut Kant dan Redantz (1997), perluasan lahan pertanian merupakan salah satu penyebab terjadinya deforestasi. Geist dan Lambin (2001a, 2001b) juga menyatakan bahwa adanya kegiatan pertanian menetap dan perladangan berpindah merupakan penyebab utama terjadinya penurunan luas hutan.
Lebih lanjut, menurut Kummer dan Sham (2001) yang
melakukan penelitian di Philipina, menyatakan bahwa perluasan lahan pertanian adalah faktor terpenting sebagai penyebab terjadinya deforestasi. Pada negara-negara berkembang, tidak terdapat penggunaan teknologi dan manajemen lahan yang baik, sehingga akumulasi tekanan penduduk sangat berpengaruh terhadap kebutuhan lahan pertanian.
Penurunan kualitas lahan
pertanian telah menyebabkan perpindahan keluarga ke tempat yang baru, dengan
87 meninggalkan lahan pertanian mereka yang lama. Dimana pada lokasi desa dan lahan pertanian yang baru, dilakukan pembersihan lahan dan pengolahan lahan kembali. Setelah beberapa tahun, lahan yang diolah tersebut menjadi gersang dan dikonversi untuk lahan kebun.
Terdapat korelasi positif antara pertumbuhan
penduduk, peningkatan luas lahan pertanian, intensifikasi lahan, dan deforestasi (Bisborrow & Geores 2001).
Menurut Lombardini (2001), penyebab utama
terjadinya deforestasi di Thailand adalah kebutuhan lahan pertanian untuk penyediaan bahan makanan dan penyerapan tenaga kerja sebagai akibat adanya pertumbuhan penduduk. Adanya perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS dapat juga dilihat dari perubahan luas hutan tanaman. Pada Tabel 10, dapat dilihat bahwa selama periode tahun 1989-2004, terjadi fluktuasi luas hutan tanaman pada setiap strata desa. Hal ini berkaitan dengan sistem pengelolaan hutan produksi dan pola pemanfaatan tanah-tanah milik masyarakat, dimana sampai tahun 2003 masih terdapat kegiatan pengelolaan hutan produksi yang dilakukan Perum Perhutani. Disamping itu, sebagian warga masyarakat juga telah memanfaatkan lahan mereka untuk ditanami beberapa jenis tanaman berkayu yang berdaur pendek (5-8 tahun).
Jenis pohon yang ditanam oleh warga desa biasanya
merupakan jenis cepat tumbuh, antara lain adalah jenis sengon dan afrika. Tabel 10 Perubahan luas hutan tanaman di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 Strata desa 1989 1 2 3 4 5 6 7 8 9 13
17.91 41.91 19.05 66.67 34.29 49.53 87.63 426.71 30.48 9.52
Tahun 1992 1995 1998 2001 Luas hutan tanaman rata-rata (ha) 19.05 9.91 19.43 22.10 80.01 38.10 68.58 121.92 32.38 20.95 47.62 57.15 121.92 28.57 106.68 198.12 65.86 29.93 51.16 47.35 83.82 22.86 38.10 68.58 106.68 99.06 175.26 110.49 537.20 232.40 361.94 544.82 73.66 11.43 38.10 81.28 11.43 0.00 13.33 13.33
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
2004 19.43 41.91 19.05 127.63 32.66 83.82 26.67 373.37 41.91 3.81
88 Hampir pada seluruh wilayah desa di kawasan TNGHS, terdapat aktivitas masyarakat berupa pembuatan kebun campuran.
Pada umumnya, kebun
campuran milik masyarakat merupakan bentuk perkembangan dari kegiatan perladangan. Setelah produktivitas lahan mulai menurun, masyarakat menanami lahan mereka dengan berbagai jenis tanaman buah-buahan dan kayu-kayuan. Terjadi fluktuasi luas kebun campuran yang ada pada wilayah setiap strata desa. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan lahan kebun, dimana komposisi tanaman sangat beragam baik dari jenis tanaman musiman maupun tanaman tahunan. Sehingga pada setiap tahunnya, kegiatan pemanenan hasil kebun dapat berlangsung secara terus menerus. Perubahan luas kebun campuran pada setiap strata desa selama periode tahun 1989-2004 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Perubahan luas kebun campuran di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 Strata desa 1989 1 2 3 4 5 6 7 8 9 13
6.10 7.62 15.24 97.15 30.48 30.48 30.48 350.51 83.82 9.52
Tahun 1992 1995 1998 2001 Luas kebun campuran rata-rata (ha) 0.76 25.91 16.00 29.72 26.67 156.21 80.01 175.26 0.00 66.67 24.76 137.16 19.05 234.31 150.49 146.68 7.08 80.01 37.01 79.46 26.67 243.83 266.69 95.25 19.05 125.73 26.67 335.27 38.10 373.37 232.40 499.10 12.70 66.04 76.20 69.85 1.90 15.24 13.33 40.00
2004 9.91 7.62 64.77 78.10 26.67 110.49 864.85 201.93 88.90 20.95
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
Bentuk lain dari penggunaan lahan garapan adalah berupa kegiatan perladangan.
Berdasarkan hasil analisis spasial, peningkatan luas ladang di
kawasan TNGHS tertinggi terjadi pada tahun 1995, terutama pada desa-desa strata 4, 6, 7, 8, dan 9 (Tabel 12). Bahkan pada strata desa 7 dan 8, luas ladang adalah dua kali lebih luas dari tahun-tahun lainnya. Secara keseluruhan, selama periode tahun 1989-2004 terjadi peningkatan luas ladang pada setiap strata desa.
89 Tabel 12 Perubahan luas ladang di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 Strata desa 1989 1 2 3 4 5 6 7 8 9 13
12.57 76.20 85.72 291.46 50.07 60.96 129.54 918.19 63.50 5.71
Tahun 1995 1998 2001 Luas ladang rata-rata (ha) 17.14 38.48 12.95 24.76 156.21 57.15 167.64 201.93 175.26 184.78 60.96 120.01 247.64 451.47 379.09 241.93 80.55 90.89 56.60 74.57 57.15 102.87 102.87 91.44 152.40 445.76 15.24 163.83 636.25 2114.50 1455.39 514.34 38.10 152.40 48.26 58.42 3.81 43.81 7.62 13.33 1992
2004 22.10 255.26 205.74 367.66 107.77 26.67 121.92 796.27 17.78 11.43
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
Pada beberapa wilayah desa, penanaman padi ladang merupakan salah satu alternatif untuk pemenuhan kebutuhan bahan makanan pokok keluarga. Terbatasnya luas lahan yang dapat dijadikan areal persawahan merupakan salah satu alasan dipilihnya kegiatan perladangan. Selain itu, kegiatan perladangan juga dianggap sebagai budaya tradisional yang dilakukan secara turun temurun, sehingga sulit untuk ditinggalkan. Beberapa jenis padi lahan kering dapat tumbuh dengan baik pada lahan-lahan garapan milik masyarakat di kawasan TNGHS. Disamping itu, ladang dapat juga ditanami oleh berbagai sumber bahan pangan alternatif, seperti: ubi kayu, ubi jalar, dan buah-buahan. Pada pemanfaatan lahan garapan sebagai sawah, dapat diidentifikasi bahwa tutupan sawah pada setiap wilayah desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS tergolong sempit. Hanya pada beberapa desa yang terdapat hamparan sawah yang cukup luas.
Kondisi topografi yang berbukit, tidak
memungkinkan dibentuknya sawah pada satu hamparan. Perubahan luas sawah pada setiap strata desa selama periode tahun 1989-2004, dapat dilihat pada Tabel 13. Secara keseluruhan, luas sawah pada setiap strata desa dari tahun ke tahun cenderung tetap. Perubahan luas sawah pada hasil analisis spasial kemungkinan disebabkan oleh adanya perubahan musim tanam, dan masa bera. Sehingga lahan sawah yang sedang dalam masa bera dapat saja teridentifikasi sebagai padang rumput atau tanah kosong.
90 Tabel 13 Perubahan luas sawah di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 Strata desa 1989 1 2 3 4 5 6 7 8 9 13
7.62 60.96 133.35 93.34 52.79 53.34 87.63 110.49 34.29 9.52
Tahun 1995 1998 Luas sawah rata-rata (ha) 7.62 4.95 6.48 30.48 64.77 45.72 40.00 70.48 91.44 232.40 53.34 38.10 32.11 53.34 59.33 22.86 34.29 7.62 87.63 68.58 22.86 659.11 224.78 133.35 63.50 40.64 16.51 19.05 13.33 0.00 1992
2001
2004
8.76 68.58 184.78 209.54 90.89 45.72 247.64 895.33 38.10 9.52
7.24 144.78 120.01 68.58 78.92 53.34 163.83 179.07 35.56 13.33
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
Pemanfaatan lahan yang ada di sekitar desa sebagai ladang dan sawah, dapat dilihat pada Gambar 14. Lokasi ladang berada di daerah perbukitan, sedangkan sawah berada pada dataran rendah. Ketersediaan air untuk pengairan memegang peranan penting dalam pemilihan penggunaan lahan ini, dimana pada lahan sawah kebutuhan air sangat menentukan keberhasilan kegiatan penanaman padi.
Gambar 14 Lahan garapan masyarakat di sekitar kawasan TNGHS.
Pemukiman.
Perluasan daerah pemukiman penduduk merupakan dampak
dari adanya pertambahan penduduk yang bermukim pada suatu wilayah, dimana dibutuhkan tempat tinggal bagi setiap keluarga.
Pada umumnya, dibutuhkan
sebuah rumah untuk setiap kepala keluarga yang berada di desa. Pembentukan
91 keluarga baru akan menyebabkan dibangunnya rumah tinggal yang baru. Dengan keterbatasan lahan yang ada di desa, terdapat kecendrungan bahwa perluasan lokasi pemukiman biasanya dilakukan oleh masyarakat dengan membuka lahan hutan yang berada di sekitar desa.
Hal ini memperkuat pendapat Geist dan
Lambin (2001a, 2001b), bahwa perluasan areal pemukiman merupakan penyebab langsung terjadinya penurunan luas hutan. Identifikasi terhadap adanya kawasan pemukiman di kawasan TNGHS, dilakukan dengan melihat luasan tipe lahan terbangun.
Diperlukan ketelitian
untuk mengidentifikasi adanya lokasi pemukiman di kawasan TNGHS. Pada Tabel 14, dapat dilihat bahwa analisis terhadap data landsat tahun 1989 tidak menunjukkan adanya lokasi pemukiman di kawasan TNGHS.
Padahal sejak
ditunjuknya sebagian kawasan Halimun-Salak untuk dijadikan lokasi perkebunan pada zaman penjajahan, telah terdapat lokasi pemukiman. Hal ini dapat berkaitan dengan adanya kebiasaan masyarakat untuk membuat lokasi pemukiman pada lokasi lahan garapan, sehingga lokasi pemukiman tidak teridentifikasi secara jelas. Dibandingkan dengan strata desa yang lain, peningkatan luas pemukiman pada desa strata 8 adalah paling tinggi.
Hal ini dapat dilihat dari adanya
peningkatan luas lahan terbangun yang jauh lebih besar dari strata lainnya. Secara keseluruhan, dapat diidentifikasi bahwa selama periode tahun 1989-2004 terjadi peningkatan luas daerah pemukiman pada setiap strata desa di kawasan TNGHS. Tabel 14 Perubahan luas lahan terbangun di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 Strata desa 1989 1 2 3 4 5 6 7 8 9 13
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.54 0.00
Tahun 1992 1995 1998 2001 Luas lahan terbangun rata-rata (ha) 0.38 1.14 1.90 2.29 0.00 0.00 3.81 11.43 0.00 0.00 0.00 0.00 1.90 11.43 19.05 20.95 1.63 3.27 5.44 5.99 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.62 15.24 30.48 3.81 53.34 68.58 95.25 2.54 5.08 15.24 15.24 1.90 1.90 1.90 1.90
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
2004 1.90 15.24 3.81 26.67 4.90 3.81 49.53 110.49 21.59 3.81
92 Adanya perluasan daerah terbangun pada beberapa desa sampel dapat diidentifikasi sebagai akibat adanya ancaman bencana alam berupa tanah longsor. Pada beberapa desa sampel, telah terjadi tanah longsor sebagai akibat dibuatnya pemukiman pada lokasi yang mempunyai topografi curam. Pada Gambar 15, dapat dilihat bahwa terdapat aktivitas warga masyarakat untuk membuat lokasi pemukiman baru yang terjadi di Desa Malasari. Hal serupa juga ditemukan pada Desa Bantarkaret, dimana lokasi pemukiman yang baru merupakan areal yang berada di dalam kawasan TNGHS. Perpindahan sebagian warga desa pada pada lokasi pemukiman yang baru, harus didukung oleh pembangunan sarana dan prasarana umum. Pembangunan jalan dan sarana peribadatan pada lokasi pemukiman baru, merupakan sarana utama yang mutlak dibutuhkan. Hal ini juga berdampak pada peningkatan luas lahan yang dibutuhkan untuk membuat lokasi pemukiman yang baru, yang juga berarti bahwa semakin luas kawasan TNGHS yang akan dikonversi menjadi lokasi pemukiman.
Gambar 15 Pemindahan lokasi pemukiman di Desa Malasari.
Laju Perubahan Luas Hutan Alam
Laju perubahan luas hutan alam yang diukur pada penelitian ini merupakan persentase perubahan luas hutan alam yang terjadi pada 5 periode tahun dari tahun 1989 sampai 2004.
Pada desa-desa yang tidak dipengaruhi oleh masyarakat
tradisional dan berada di luar kawasan enclave, terdapat kecenderungan mempunyai laju penurunan luas hutan alam yang lebih tinggi dibandingkan
93 dengan desa-desa yang dipengaruhi oleh masyarakat tradisional dan berada di dalam kawasan enclave (Tabel 15). Tabel 15 Laju perubahan luas hutan alam di wilayah desa-desa sampel pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 Strata desa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 13
Periode tahun 1989-1992 1992-1995 1995-1998 1998-2001 2001-2004 Laju perubahan luas hutan alam rata-rata (%/tahun) -0.87 -1.53 -1.08 -0.73 -1.14 -1.32 -1.83 -1.48 -0.25 -0.56 -0.43 -0.82 -1.74 -1.36 -1.14 -2.18 -2.28 -1.84 -0.16 -1.66 -2.49 -3.46 -4.22 -3.16 -2.76 -5.54 -3.12 -5.53 0.54 -4.59 -0.54 -2.06 -1.18 -5.28 -6.42 -2.43 -2.93 -3.15 -1.89 -1.92 -6.02 -5.77 -6.03 -6.59 -13.04 -2.08 -2.22 -4.76 -18.06 -30.30
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
Laju penurunan luas hutan alam yang tinggi terjadi pada desa-desa strata 9 dan 13. Hampir pada setiap periode tahun, laju penurunan luas hutan alam pada kedua strata desa tersebut adalah yang tertinggi. Bahkan, pada periode tahun 2001-2004, luas hutan alam pada desa strata 9 dan 13 berkurang lebih dari 2 kali lipat dibandingkan strata desa lainnya. Selain itu, pada periode tahun 1998-2004, terdapat juga laju penurunan luas hutan alam yang tinggi pada desa strata 7. Terdapat kemungkinan bahwa hal ini berhubungan dengan terjadinya perpindahan pemukiman masyarakat tradisional yang berada pada desa strata tersebut. Secara keseluruhan, selama periode tahun 1989-2004 terjadi penurunan luas hutan alam di kawasan TNGHS. Tetapi pada periode tahun 1998-2001, pada desa strata 6 terjadi hal sebaliknya, dimana laju perubahan luas hutan alam bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa pada periode tersebut, terjadi peningkatan luas hutan alam yang ada pada wilayah desa. Terdapat indikasi bahwa pada periode tertentu telah terjadi proses perbaikan terhadap hutan alam yang ada di kawasan TNGHS. Meskipun pada periode tahun lainnya, terjadi lagi penurunan luas hutan alam. Tidak dapat diidentifikasi secara jelas, apakah hal ini berkaitan dengan proses suksesi alami, atau sebagai akibat adanya upaya perbaikan yang dilakukan oleh pengelola dan warga masyarakat.
94 Desa Strata 1. Laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa sampel
pada strata ini, tidak menunjukkan kecendrungan yang sama (Gambar 16). Pada Desa Kujang Jaya, laju penurunan luas hutan alam mengalami peningkatan secara drastis pada periode tahun 1992-1995. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi hutan alam pada Desa Tugu Jaya, dimana laju penurunan semakin mengecil. Bahkan pada periode tahun 2001-2004, laju penurunan luas hutan alam nilainya adalah negatif, yang mengindikasikan terjadinya penambahan luas hutan alam. Khusus pada Desa Cijeruk dan Kujang Jaya, selama periode tahun 1998-2004, luas hutan alam pada wilayah desa tidak lagi mengalami perubahan. Terdapat fluktuasi laju perubahan luas hutan alam yang berada pada wilayah desa strata 1. Terdapat kecendrungan bahwa pada periode tahun 1992-1995, laju penurunan luas hutan alam terjadi lebih tinggi daripada periode tahun lainnya. Secara keseluruhan, laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa strata 1 selama periode tahun 1989-2004 cenderung semakin berkurang.
6.00
Tugu Jaya
Laju penurunan luas hutan alam (%/tahun)
5.00
Cijeruk
4.00
Sukaharja
3.00
Bantarkaret
2.00
Sukajaya
1.00
Cileungsing Cikiray
0.00 -1.00
1989-1992 1992-1995 1995-1998 1998-2001 2001-2004
Cipeuteuy Pulosari
-2.00
Kujang Jaya
-3.00
Periode Tahun
Gambar 16 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel strata 1. Desa Strata 2. Pada desa strata ini, laju penurunan luas hutan alam tertinggi
terjadi pada periode tahun 1992-1995 (Gambar 17). Setelah periode tersebut, terdapat kecendrungan bahwa laju penurunan luas hutan alam yang terjadi pada
95 desa strata ini semakin menurun. Dapat dilihat juga bahwa laju penurunan luas hutan alam terendah terjadi pada periode tahun 1998-2001.
Laju penurunan luas hutan alam (%/tahun)
1.60 1.40
Malasari
1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
1989-1992 1992-1995 1995-1998 1998-2001 2001-2004
Periode Tahun
Gambar 17 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa sampel strata 2. Dari keseluruhan periode, terdapat kecendrungan bahwa dari tahun ke tahun laju penurunan luas hutan alam yang berada pada wilayah desa strata ini semakin berkurang. Hal ini mengindikasikan bahwa gangguan terhadap hutan alam yang ada pada wilayah desa strata ini juga semakin berkurang. Desa Strata 3. Pada desa-desa strata ini, terjadi pengurangan luas hutan
alam yang signifikan pada periode tahun 1995-1998. Hal ini ditunjukkan dengan laju penurunan luas hutan alam yang tinggi pada periode ini (Gambar 18). Jika dibandingkan dengan periode tahun 1989-1992, laju penurunan luas hutan alam pada periode tahun 1995-1998 bertambah dua kali lipat. Khusus pada Desa Cisungsang, laju penurunan luas hutan alam hanya bertambah pada periode tahun 1995-1998. Tetapi pada periode tahun yang lain, laju penurunan luas hutan alam semakin mengecil, bahkan hampir mendekati nol. Dari kecendrungan pada kedua desa sampel, terdapat indikasi bahwa sejak periode tahun 1998-2001 laju penurunan luas hutan pada desa-desa strata ini semakin berkurang.
96
Laju penurunan luas hutan alam (%/tahun)
1.80 1.60 1.40 1.20
Sirnaresmi
1.00
Cisungsang
0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 1989-1992
1992-1995
1995-1998
1998-2001
2001-2004
Periode Tahun
Gambar 18 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa sampel strata 3.
Desa Strata 4.
Pada periode tahun 1989-2001, terdapat kecendrungan
bahwa laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa strata 4 semakin berkurang (Gambar 19). Tetapi sebaliknya, pada periode tahun 2001-2004, laju penurunan luas hutan alam semakin bertambah.
Laju perubahan luas hutan alam (%/tahun)
2.50
Ciparay
2.00
Lebak Situ 1.50 1.00 0.50 0.00 1989-1992
1992-1995
1995-1998
1998-2001
2001-2004
Periode Tahun
Gambar 19 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa sampel strata 4.
97 Desa Strata 5. Pada periode tahun 1992-1995, laju penurunan luas hutan
alam di wilayah Desa Cikate, Pasir Haur, Cirompang, Mekarnangka, dan Sirnagalih semakin bertambah (Gambar 20). Tetapi Pada Desa Jugalajaya dan Sukamulih terjadi hal sebaliknya, dimana pada kedua desa ini terdapat penurunan laju. Bahkan pada Desa Sukamulih, sampai dengan periode tahun 2001-2004 tidak terjadi lagi penurunan luas hutan.
Laju perubahan luas hutan alam (%/tahun)
14.00 12.00 Jugalajaya
10.00
Sukamulih
8.00
Mekarnangka
6.00
Sirnagalih
4.00
Cikate
2.00
Pasir Haur Cirompang
0.00 1989-1992 1992-1995 1995-1998 1998-2001 2001-2004 Periode Tahun
Gambar 20 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel strata 5. Pada periode tahun 1995-1998, laju penurunan luas hutan alam yang mengalami peningkatan hanya terjadi pada Desa Sirnagalih dan Cirompang. Sedangkan pada periode tahun 1998-2001, terjadi penambahan laju yang cukup besar di Desa Mekarnangka. Pada periode tahun 2001-2004, pengurangan laju terjadi pada Desa Mekarnangka dan Sirnagalih. Sedangkan pada desa yang lain, terjadi peningkatan laju, walaupun tidak terlalu besar. Terdapat fluktuasi laju penurunan luas hutan alam pada sebagian besar desa strata ini.
Secara keseluruhan, sampai dengan periode tahun 1998-2001 laju
penurunan luas hutan alam pada desa strata 5 semakin berkurang, tetapi mengalami peningkatan pada periode tahun 2001-2004. Desa Strata 6. Pada strata desa ini, dapat dilihat bahwa laju penurunan luas
hutan alam yang cukup tinggi terjadi pada periode tahun 1989-1992, 1995-1998, dan 2001-2004 (Gambar 21). Sebaliknya, pada periode tahun 1992-1995 dan
98 1998-2001, laju penurunan luas hutan alam cenderung lebih kecil. Bahkan pada periode tahun 1998-2001, luas hutan alam yang ada pada desa strata ini semakin bertambah, walaupun pada periode berikutnya mengalami penurunan lagi.
Laju penurunan luas hutan alam (%/tahun)
5.00
Lebak Gedong
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 1989-1992
1992-1995
1995-1998
1998-2001
2001-2004
-1.00
Periode Tahun
Gambar 21 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa sampel strata 6. Desa Strata 7. Pada Gambar 22, dapat dilihat bahwa laju penurunan luas
hutan alam pada desa strata ini terus meningkat secara gradual sampai dengan periode tahun 2001-2004.
Laju penurunan luas hutan alam (%/tahun)
6.00 5.00
Sirnarasa
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 1989-1992
1992-1995
1995-1998
1998-2001
2001-2004
Periode Tahun
Gambar 22 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa sampel strata 7.
99 Desa Strata 8. Pada strata ini, sampai dengan periode tahun 1995-1998 laju
penurunan luas hutan alam semakin bertambah (Gambar 23).
Tetapi setelah
Laju penurunan luas hutan alam (%/tahun)
periode waktu tersebut, laju penurunan luas hutan alam semakin berkurang. 2.50 2.00 1.50 1.00
Citorek
0.50 0.00
1989-1992 1992-1995 1995-1998 1998-2001 2001-2004
Periode Tahun
Gambar 23 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa sampel strata 8. Desa Strata 9. Dari ketiga desa sampel strata ini, dapat dilihat bahwa laju
penurunan luas hutan alam pada Desa Cikelat, cenderung lebih tinggi (Gambar 24). Hal ini terjadi terutama pada periode tahun 1998-2001 dan 2001-2004. Terdapat kecendrungan terjadinya peningkatan laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa strata ini.
Laju penurunan luas hutan alam (%/tahun)
20.00 18.00 16.00
Pasirmadang
14.00
Cikelat
12.00
Banjar Irigasi
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 1989-1992
1992-1995
1995-1998
1998-2001
2001-2004
Periode Tahun
Gambar 24
Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa sampel strata 9.
100 Desa Strata 13. Dari periode tahun 1989-1998, pada desa strata ini terus
terjadi peningkatan laju penurunan luas hutan alam (Gambar 25). Walaupun pada periode tahun 1989-2001, terjadi hal sebaliknya, dimana luas hutan alam pada Desa Luhur Jaya semakin bertambah. Secara keseluruhan, terjadi peningkatan laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa strata ini.
Laju penurunan luas hutan alam (%/tahun)
30.00 25.00 20.00
Margalaksana Luhur Jaya
15.00 10.00 5.00 0.00 -5.00
1989-1992 1992-1995 1995-1998 1998-2001 2001-2004
-10.00
Periode Tahun
Gambar 25
Laju perubahan luas hutan alam TNGHS pada desa sampel strata 13.
Hasil Identifikasi Peubah Sosial Ekonomi
Identifikasi terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS, dilakukan dengan mengumpulkan berbagai data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan wawancara langsung terhadap 900 orang kepala keluarga yang tersebar di 30 desa sampel. Sedangkan data-data sekunder didapatkan dari Balai TNGHS selaku pengelola kawasan, pemerintah daerah (desa, kecamatan, dan kabupaten), instansi pemerintah lainnya yang terkait, dan studi literatur terhadap hasil penelitian serupa yang dilakukan di Indonesia dan negara-negara lain. Untuk menentukan faktor-faktor yang menjadi penyebab utama terjadinya perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS, harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya pihak yang berkepentingan dengan pengelolaannya.
Terdapat tiga pihak yang sangat
berkepentingan dengan pengelolaan kawasan TNGHS, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan
101 TNGHS. Pada penelitian ini, yang menjadi fokus perhatian adalah keberadaan masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS.
Sehingga
diperlukan kajian lain dari segi kebijakan pemerintah pusat dan daerah, untuk mendukung hasil penelitian ini.
Sehingga dapat dipahami bahwa perubahan
penggunaan dan penutupan lahan bukan hanya disebabkan oleh aktivitas masyarakat, tetapi juga disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah. Perubahan kebijakan pengelolaan yang terus menerus terjadi di kawasan TNGHS, juga merupakan penyebab utama terjadinya perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS.
Sejak dari zaman penjajahan sampai
setelah kemerdekaan, terjadi beberapa kali perubahan peruntukan lahan yang ditetapkan oleh pengelola kawasan TNGHS.
Khusus pada periode tahun
1989-2003, sebagian dari daerah perluasan kawasan TNGHS adalah hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani. Pola pengelolaan yang diterapkan oleh Perhutani dengan mengikutsertakan masyarakat di sekitar kawasan hutan pada pengelolaan hutan, tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan. Terdapat indikasi bahwa telah terjadi kegagalan dalam pengelolaan hutan produksi tersebut. Kebijakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu, telah menyebabkan rusaknya sebagian kawasan hutan produksi pada daerah perluasan TNGHS yang dulunya dikelola oleh Perhutani. Perubahan fungsi kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang berada di sekitar kawasan TNGHS telah menyebabkan perubahan sistem pengelolaan kawasan hutan. Kawasan hutan lindung tidak hanya berperan pada perlindungan terhadap tanah dan tata air, tetapi juga ditingkatkan fungsinya sebagai kawasan pelestarian alam. Begitupula halnya dengan kawasan hutan produksi yang semula dikelola oleh Perum Perhutani, dengan adanya perluasan kawasan taman nasional, kawasan hutan produksi telah dirubah peruntukannya dan tidak dapat lagi dikelola dengan tujuan produksi. Penyelesaian proses peralihan fungsi kelompok hutan yang berada di sekitar kawasan taman nasional menjadi kawasan TNGHS, membutuhkan waktu yang cukup lama. Terdapat jeda waktu sebelum dilakukan serah terima pengelolaan dari pihak Perum Perhutani kepada pihak taman nasional. Sehingga sampai akhir tahun 2003 pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh pengelola taman nasional
102 masih pada kawasan yang lama seluas ± 40000 hektar (BTNGH 2004). Sampai saat ini, proses pengukuhan kawasan TNGHS baru sampai pada tahap penunjukan, belum dilakukan proses penataan batas dan penetapan kawasan. Ketidakjelasan tata batas kawasan TNGHS di lapangan, merupakan penyebab kunci dari ketidakpastian pengelolaan pada daerah perluasan TNGHS. Pada beberapa lokasi, lahan garapan masyarakat yang semula berada pada kawasan Perhutani, telah diubah status kepemilikannya oleh warga desa menjadi tanah milik. Adanya desakan kebutuhan terhadap lahan garapan, dan adanya program pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) telah mempercepat laju penurunan luas hutan alam di kawasan TNGHS. Intervensi pemerintah sebagai pemilik sumberdaya alam dapat memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap upaya perlindungan dan pelestarian sumber daya alam. Chakraborty (1994), menyatakan bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah untuk memperluas areal hutan lindung telah menyebabkan penurunan deforestasi di India.
Terdapat kebijakan pemerintah yang menghalangi
penguasaan dan kepemilikan lahan oleh tuan tanah, sehingga sumber daya hutan tetap terjaga kelestariannya. Sebaliknya, menurut Geist dan Lambin (2001a, 2001b), penurunan luas hutan secara tidak langsung juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah, iklim politik, dan hak kepemilikan lahan. Adanya perubahan peruntukan lahan sebagai akibat dari perubahan rencana pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah, telah menimbulkan konflik antara pengelola dan masyarakat yang ada di sekitar kawasan TNGHS. Kebijakan pemerintah untuk menjadikan sebagian kawasan TNGHS sebagai kawasan perkebunan dan produksi kayu, telah menyebabkan rusaknya sebagian kawasan TNGHS. Dibutuhkan dukungan dari semua pihak untuk terwujudnya pelestarian sumber daya alam di kawasan TNGHS. Adanya penolakan yang tegas dari Pemda Kabupaten Lebak terhadap rencana pengelolaan kawasan TNGHS, menunjukkan bahwa belum terdapat kesamaan persepsi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Terdapat indikasi bahwa kebijakan perluasan taman nasional dilakukan tanpa adanya proses identifikasi terhadap kondisi lapangan terlebih dahulu, dan hanya untuk memenuhi kepentingan politis pemerintah.
103 Kesadaran masyarakat berupa pengakuan terhadap tata batas kawasan TNGHS, juga sangat dibutuhkan sebagai bentuk dukungan masyarakat terhadap upaya pelestarian sumber daya alam.
Dapat diidentifikasi bahwa adanya
pengakuan warga masyarakat desa terhadap tata batas kawasan TNGHS hanya terdapat pada desa-desa yang termasuk pada wilayah taman nasional yang lama. Sedangkan pada desa-desa yang termasuk daerah perluasan TNGHS, sebagian besar warga desa menolak adanya perubahan tata batas kawasan TNGHS. Penolakan sebagian besar warga desa terhadap perluasan kawasan TNGHS didasarkan pada kekhawatiran terhadap kesempatan mereka untuk memperoleh lahan garapan. Sebelum adanya perluasan TNGHS, Perum Perhutani memberi kesempatan kepada warga masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan untuk menggarap lahan pada kawasan hutan. Pada saat kawasan hutan dikelola oleh Perhutani, digunakan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM), dimana masyarakat boleh menggarap lahan, tetapi harus turut menjaga tanaman kehutanan yang ditanam pada lahan tersebut. Tetapi setelah adanya perluasan taman nasional, maka tertutup kemungkinan bagi mereka untuk tetap menggarap lahan yang telah menjadi kawasan taman nasional.
Sejarah Penggunaan dan Penutupan Lahan
Bentuk penggunaan lahan oleh masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS adalah berupa lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman. Hal ini merupakan gambaran kehidupan masyarakat pedesaan yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sejak abad ke-19, pada zaman kerajaan Pajajaran, telah terdapat populasi penduduk yang mendiami kawasan Gunung Halimun. Masyarakat lokal tersebut tidak terpengaruh oleh adanya ekonomi pasar, tetapi hanya untuk bertahan hidup. Mereka memanfaatkan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup subsisten (Harada et al. 2001). Masyarakat lokal mengelompokkan sumber daya hutan di kawasan TNGHS menjadi tiga kategori, yaitu: 1) hutan lindung; 2) hutan konservasi; dan 3) hutan terbuka. Telah terdapat pemahaman bahwa rusaknya sumber daya hutan akan mempengaruhi kehidupan mereka, sehingga pemanfaatan dan perlindungan hutan dilakukan secara hati-hati (Harada et al. 2001).
104 Menurut responden pada beberapa desa, wilayah pemukiman warga desa sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang (tahun 1942). Diawali dengan upaya persembuyian dari penjajah dan desakan kebutuhan pangan, selanjutnya terus berkembang sehingga menjadi perkampungan-perkampungan seperti yang ada sekarang ini. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, masyarakat melakukan kegiatan perladangan. Pada awalnya pemanfaatan lahan dilakukan dengan perladangan berpindah, hal ini masih dimungkinkan karena jumlah penduduk masih sedikit, dan lahan untuk garapan masih tersedia luas.
Menurut Hadi (1994), pola hidup
masyarakat inti kasepuhan adalah selalu berpindah-pindah, yang biasanya ditentukan berdasarkan adanya petunjuk/ilham dari leluhur. Untuk mendapatkan lahan garapan, pada awalnya anggota masyarakat melakukan pembukaan hutan, berupa kegiatan penebangan pohon-pohon dan penebasan semak belukar. Setelah dibiarkan beberapa hari, selanjutnya dilakukan kegiatan pembersihan calon lokasi lahan pertanian dengan metode pembakaran. Setelah itu, pada lahan yang sudah bersih dilakukan kegiatan penanaman padi ladang dan sayur-sayuran. Penanaman padi dilakukan dengan metode penugalan, dan hasil panen hanya didapatkan satu kali setahun. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan adalah berupa pembersihan rumput dan tanaman pengganggu lainnya, sampai dengan masa panen tiba. Setelah masa panen, dengan melihat kondisi tanah dan ketersediaan air tanah, masyarakat akan memutuskan penggunaan lahan untuk tahun selanjutnya. Apabila ketersediaan air cukup melimpah, maka lahan yang digarap tersebut akan diolah menjadi sawah. Tetapi jika ketersediaan air tidak mencukupi, maka lahan tersebut akan dibiarkan selama 1-2 tahun dan hanya ditanami tanaman tahunan. Terdapat dua alternatif pilihan pola pemanfaatan lahan setelah lahan menjadi tidak subur lagi untuk kegiatan penanaman padi ladang, yaitu: 1) lahan dibiarkan menjadi semak, dan setelah 3 sampai 4 tahun terbentuk kembali hutan sekunder sebagai akibat adanya suksesi tumbuhan; 2) lahan ditanami tanaman tahunan dan tanaman musiman (jenis pohon dan buah-buahan) sehingga terbentuk kebun talun. Sesuai dengan perkembangan informasi dan teknologi, telah terjadi perubahan pada pola-pola berladang dan pemukiman masyarakat kasepuhan.
105 Mulai dilakukan kegiatan pertanian secara menetap, dengan memanfaatkan lahan pada lokasi yang berada di sekitar pemukiman.
Telah dikenal penanaman
tanaman berkayu, tanaman perkebunan (cengkeh, karet), dan tanaman palawija selain padi (jagung, buah-buahan, dan sayuran). Sehingga terdapat kecendrungan bahwa ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan semakin berkurang. Akan tetapi, harga berbagai komoditas pertanian dan perkebunan sangat berfluktuasi.
Kegagalan pemerintah dalam penentuan kebijakan di bidang
pertanian, telah mengakibatkan jatuhnya harga beberapa komoditas pertanian dan perkebunan.
Hal ini seringkali menyebabkan perubahan jenis tanaman yang
ditanam pada lahan-lahan garapan masyarakat, padahal komoditas tersebut baru bisa memberikan hasil pada selang waktu yang cukup lama (4-5 tahun). Sehingga masyarakat petani seringkali tidak mendapatkan manfaat yang maksimal dari hasil panen lahan garapan mereka.
Kependudukan Jumlah Penduduk.
Berdasarkan kompilasi data kependudukan yang
didapatkan dari instansi terkait, didapatkan bahwa terjadi peningkatan jumlah penduduk pada desa-desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS (Lampiran 10). Pada tahun 1989, total jumlah penduduk adalah sebanyak 395760 jiwa.
Sedangkan pada tahun 2004, total jumlah penduduk tersebut telah
bertambah menjadi 547910 jiwa.
Selama periode tahun 1989-2004, terjadi
peningkatan jumlah penduduk sebanyak 152151 jiwa. Pertambahan jumlah penduduk tertinggi terjadi pada periode tahun 2001-2004 yaitu sebanyak 43054 jiwa. Sedangkan pertambahan jumlah penduduk terendah terjadi pada periode tahun 1995-1998, yaitu sebanyak 23554 jiwa. Dari tahun 1989 sampai 2004, pertambahan jumlah penduduk rata-rata adalah sebanyak 10143 jiwa per tahun, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2.19% per tahun. Jumlah penduduk rata-rata pada setiap strata desa selama periode tahun 1989-2004 dapat dilihat pada Tabel 16. Pertambahan jumlah penduduk rata-rata tertinggi terdapat pada desa-desa strata 1, yaitu sebanyak 2094 jiwa (39.51%). Sedangkan pertambahan jumlah penduduk rata-rata terendah terdapat pada desa
106 strata 8, yaitu sebanyak 309 jiwa (9.32%). Pertambahan jumlah penduduk yang tinggi, tidak selalu mencerminkan adanya laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk yang tinggi pula. Hal ini terkait dengan jumlah penduduk pada awal perhitungan, dan luasan desa. Pada desa-desa strata 1, sejak tahun 1989 memang terdapat jumlah penduduk yang lebih tinggi dari strata lainnya. Begitupula halnya dengan desa strata 8, dimana luas wilayah desa memang lebih luas dari desa-desa strata lainnya (Lampiran 11). Tabel 16 Jumlah penduduk pada setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 Strata desa 1989 1 2 3 4 5 6 7 8 9 13
5 300 3 405 2 821 2 239 3 477 2 241 3 848 3 314 3 760 3 329
Tahun 1992 1995 1998 Jumlah penduduk rata-rata (jiwa) 5 620 6 137 6 473 3 504 3 610 3 647 2 956 3 164 3 306 2 322 2 405 2 488 3 684 3 947 4 152 2 382 2 523 2 664 4 078 4 537 4 756 3 368 3 422 3 478 4 038 4 424 4 674 3 519 3 788 3 933
2001
2004
6 824 4 580 3 434 2 584 4 396 2 865 4 908 3 539 4 902 4 131
7 394 4 767 3 640 2 711 4 806 3 000 5 273 3 623 5 418 4 439
Sumber: diolah dari BPS (2001, 2003, 2004), Dinas KB dan Kependudukan (2004), Kantor Statistik (1990, 1992, 1998)
Pada desa-desa sampel, terdapat jumlah penduduk yang cukup besar pada desa-desa strata 1, strata 2, dan strata 9 dibandingkan dengan desa-desa sampel pada strata lainnya (Tabel 17). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin luas pula lahan pertanian yang dibutuhkan oleh anggota masyarakat pada desa-desa strata tersebut. Dengan jumlah penduduk yang semakin besar, maka semakin besar pula tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian. Penambahan jumlah kepala keluarga, banyaknya tenaga kerja, dan sempitnya lahan di desa yang dialokasikan untuk pertanian, akan menyebabkan adanya perluasan lahan pertanian pada wilayah desa dan lahan yang ada di sekitar wilayah desa.
107 Tabel 17 Jumlah penduduk pada desa-desa sampel setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 Strata desa 1989 1 2 3 4 5 6 7 8 9 13
5 463 4 444 2 406 2 784 2 153 2 241 3 848 3 314 4 138 3 292
Tahun 1992 1995 1998 Jumlah penduduk rata-rata (jiwa) 5 694 6 179 6 537 4 465 4 487 4 494 2 552 2 816 2 911 2 881 2 979 3 076 2 309 2 526 2 674 2 382 2 523 2 664 4 078 4 537 4 756 3 368 3 422 3 478 4 382 4 746 5 002 3 388 3 590 3 683
2001
2004
6 945 6 265 2 989 3 187 3 057 2 865 4 908 3 539 5 247 3 778
7 504 6 499 3 291 3 337 3 379 3 000 5 273 3 623 5 871 4 157
Sumber: diolah dari BPS (2001, 2003, 2004), Dinas KB dan Kependudukan (2004), Kantor Statistik (1990, 1992, 1998)
Kepadatan Penduduk. Secara umum, kepadatan penduduk didefinisikan
sebagai jumlah orang per satuan luas lahan di suatu wilayah. Pada dua wilayah yang kepadatan penduduknya sama-sama tinggi, tidak berarti bahwa tingkat kemakmurannya juga sama.
Karena bisa saja daerah yang kepadatan
penduduknya tinggi, memiliki tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah. Sebaliknya, dengan kepadatan penduduk yang rendah belum tentu menyebabkan tingkat kesejahteraan penduduk menjadi lebih tinggi. Menurut studi Budiman dan Adhikerana (2000), kepadatan penduduk di sekitar kawasan TNGH pada tahun 1995 adalah sebesar 199 jiwa per km2, dengan pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2.29% per tahun. Pada Tabel 18, dapat dilihat bahwa selama periode tahun 1989-2004, kepadatan penduduk pada setiap strata desa terus meningkat. Jika dibandingkan dengan kepadatan penduduk pada tahun 1989, maka pada tahun 2004 peningkatan kepadatan penduduk tertinggi terjadi pada desa-desa strata 1, yang diikuti oleh desa-desa yang termasuk strata 13 dan 5. Pada desa-desa strata 2, 3, 4, 7, dan 8, peningkatan kepadatan penduduk juga cukup tinggi, tetapi masih di bawah 50%. Pada desa-desa yang termasuk pada strata 3 dan 8, tingkat kepadatan penduduk masih di bawah 100 jiwa per km2.
Hal ini mengindikasikan bahwa pada
desa-desa strata 3 dan 8, masih terdapat kemungkinan adanya kepemilikan lahan yang cukup luas pada setiap kepala keluarga.
108 Tabel 18 Kepadatan penduduk pada desa-desa sampel setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 Strata desa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 13
Tahun 1992 1995 1998 2001 Kepadatan penduduk rata-rata (jiwa/km2) 511.58 553.85 590.48 625.20 72.14 72.49 72.61 101.22 65.75 72.17 74.63 76.72 88.79 91.32 93.84 96.72 156.93 175.71 188.44 216.22 162.75 172.38 182.01 195.75 87.07 96.87 101.55 104.79 47.41 48.17 48.95 49.81 424.48 456.57 480.70 503.40 724.02 761.64 782.69 804.85
1989 491.98 71.80 62.08 86.27 143.21 153.11 82.16 46.65 403.92 702.44
2004 675.49 105.00 84.17 100.61 240.87 204.97 112.58 51.00 548.04 873.30
Sumber: diolah dari BPS (2001, 2003, 2004), Dinas KB dan Kependudukan (2004), Kantor Statistik (1990, 1992, 1998), Prasetyo dan Setiawan (2006)
Tingkat kepadatan penduduk pada setiap strata desa di kawasan TNGHS terus meningkat dari tahun ke tahun. Terdapat korelasi negatif antara peningkatan kepadatan penduduk dan persentase luas hutan alam pada setiap strata desa, terutama terjadi pada desa-desa yang termasuk strata 9 dan 13. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk, maka persentase luas hutan alam akan semakin rendah. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Palo (1994), Kaimowitz dan Angelsen (1998), didapatkan bahwa kepadatan penduduk juga berkorelasi negatif terhadap persentase penutupan hutan. Bahkan menurut Palo (1994), kepadatan penduduk merupakan peubah kunci jika dibandingkan dengan pengaruh peubah yang lain pada sistem yang menyebabkan terjadinya deforestasi pada daerah tropis. Walaupun demikian, pengaruh tingkat kepadatan penduduk terhadap perubahan luas hutan alam pada setiap lokasi kajian akan sangat bergantung pada faktor-faktor lainnya.
Terdapat perbedaan pengaruh kepadatan penduduk
terhadap deforestasi yang terjadi pada beberapa negara, dari rendah sampai tinggi (Kummer & Sham 2001). Menurut Geist dan Lambin (2001a, 2001b), salah satu faktor kependudukan yang mendasari terjadinya penurunan luas hutan adalah kepadatan penduduk. Hal yang sama juga terjadi di daerah Timur Laut Thailand, dimana kepadatan penduduk dianggap sebagai faktor tunggal yang terpenting sebagai penyebab terjadinya deforestasi (Panayotou & Sungsuwan 2001).
109
Laju Pertumbuhan Penduduk.
Laju pertumbuhan penduduk (LPP)
merupakan suatu ukuran untuk melihat besarnya pertambahan jumlah penduduk pada suatu wilayah pada interval waktu tertentu. Secara teoritis, perkembangan penduduk berlangsung secara eksponensial, terjadi setiap saat, setiap detik (Rusli 1995). Tetapi pada praktiknya, laju perkembangan penduduk per tahun yang diperoleh dengan persamaan geometrik tidak banyak berbeda dengan laju perkembangan penduduk per tahun menggunakan persamaan eksponensial. Besarnya LPP pada setiap desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS dapat dilihat pada Lampiran 12. Penghitungan LPP didasarkan pada persamaan geometrik, dengan menggunakan data jumlah penduduk pada setiap desa pada tahun 1989, 1992, 1995, 1998, 2001, dan 2004. Besarnya LPP rata-rata pada desa-desa sampel setiap strata desa dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Laju pertumbuhan penduduk pada desa-desa sampel setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 Strata desa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 13
Periode tahun 1989-1992
1992-1995
1995-1998
1998-2001
2001-2004
Laju Pertumbuhan Penduduk rata-rata (%/tahun) 1.50 2.70 1.68 2.06 0.16 0.16 0.05 11.71 0.83 1.43 0.86 6.89 0.50 0.79 0.46 9.30 3.00 3.40 2.16 4.16 2.05 1.94 1.83 2.45 1.96 3.62 1.58 1.05 0.54 0.53 0.54 0.58 1.52 2.03 1.32 1.36 1.03 1.28 0.93 0.97
2.39 1.23 1.81 1.52 3.12 1.55 2.42 0.79 1.58 1.18
Sumber: diolah dari BPS (2001, 2003, 2004), Dinas KB dan Kependudukan (2004), Kantor Statistik (1990, 1992, 1998)
Secara keseluruhan, selama periode tahun 1989-2004, terdapat fluktuasi besarnya LPP pada desa-desa sampel setiap strata. Tetapi terdapat kecendrungan bahwa terdapat LPP yang tinggi pada desa-desa sampel strata 1, strata 5, dan strata 7. Terdapat juga kecendrungan bahwa terdapat LPP yang rendah pada desa-desa sampel strata 2, dan strata 8.
110 Pertumbuhan penduduk akan menyebabkan makin mengecilnya persediaan lahan rata-rata per orang, dan menyebabkan fraksionalisasi lahan (Rusli 1995). Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, maka semakin banyak pula penduduk yang tidak memiliki lahan.
Rudel (2001), menyatakan bahwa pertumbuhan
penduduk di negara Burundi, Rwanda, dan Haiti, yang memiliki sedikit hutan hujan,
telah
memberikan
kontribusi
terhadap
peningkatan
deforestasi.
Pertambahan populasi penduduk akan meningkatkan penyediaan tenaga kerja, tetapi terdapat kecendrungan adanya tingkat upah yang rendah dan perubahan hutan menjadi lahan pertanian adalah lebih menguntungkan (Kaimowitz & Angelsen 1998). Pertumbuhan penduduk juga akan berpengaruh terhadap perluasan lahan pertanian melalui (Maertens et al. 2002): 1) peningkatan jumlah kepala keluarga akan meningkatkan kebutuhan lahan pertanian di desa; 2) dengan semakin banyaknya ketersediaan tenaga kerja, maka upah tenaga kerja akan lebih murah dan sebagian besar lahan akan dialokasikan untuk kegiatan pertanin; 3) secara tidak langsung akan meningkatkan harga bahan makanan pada tingkat lokal.
Mata Pencaharian Mata pencaharian pokok. Sebagian besar sumber mata pencaharian pokok
kepala keluarga responden pada desa-desa sampel adalah dari sektor pertanian (Tabel 20). Bentuk kegiatan yang dilakukan berupa mengolah sawah, mengolah kebun, buruh tani, buruh angkut kayu, dan pekerja pada perkebunan swasta. Sedangkan pada sektor non-pertanian, kepala keluarga bekerja sebagai: pedagang, ojek, tukang, peternak, staf desa, pegawai negeri, penambang emas, dan wiraswasta. Persentase jumlah kepala keluarga yang bekerja di luar sektor pertanian yang cukup besar ditemukan ada empat desa, yaitu: Desa Sukaharja, Cikiray, Mekarnangka, dan Cikelat.
Berdasarkan hasil wawancara, pada desa-desa
tersebut sebagian warga masyarakat bekerja pada sektor industri rumah tangga, perdagangan, dan pariwisata.
111 Tabel 20 Mata pencaharian pokok responden pada desa-desa sampel Kabupaten Kecamatan
Bogor
Desa
Cigombong Cijeruk
Strata
Tugu Jaya Cijeruk Sukaharja Jasinga Jugalajaya Nanggung Bantarkaret Malasari Sukajaya Pasirmadang Sukamulih Taman Sari Sukajaya Sukabumi Cikakak Cileungsing Margalaksana Sirnarasa Cikidang Cikiray Mekarnangka Cisolok Cikelat Sirnaresmi Kabandungan Cipeuteuy Kalapanunggal Pulosari Lebak Cibeber Ciparay Cisungsang Citorek Kujang Jaya Sirnagalih Cijaku Cikate Cipanas Luhur Jaya Pasir Haur Lebak Gedong Banjar Irigasi Lbk. Gedong Lebak Situ Sobang Cirompang Jumlah
1 1 1 5 1 2 5 9 1 1 13 7 1 5 9 3 1 1 4 3 8 1 5 5 13 5 9 6 4 5
Mata pencaharian pokok Pertanian Nonpertanian Σ % Σ % 29 96.67 1 3.33 27 90.00 3 10.00 23 76.67 7 23.33 30 100.00 0 0.00 29 96.67 1 3.33 30 100.00 0 0.00 30 100.00 0 0.00 30 100.00 0 0.00 24 80.00 6 20.00 30 100.00 0 0.00 30 100.00 0 0.00 30 100.00 0 0.00 23 76.67 7 23.33 23 76.67 7 23.33 23 76.67 7 23.33 29 96.67 1 3.33 30 100.00 0 0.00 27 90.00 3 10.00 30 100.00 0 0.00 29 96.67 1 3.33 28 93.33 2 6.67 26 86.67 4 13.33 30 100.00 0 0.00 29 96.67 1 3.33 26 86.67 4 13.33 28 93.33 2 6.67 24 80.00 6 20.00 28 93.33 2 6.67 26 86.67 4 13.33 25 83.33 5 16.67 826 91.78 74 8.22
Terbatasnya jumlah masyarakat yang bekerja di luar sektor pertanian dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Salah satu faktor tersebut adalah dengan
terbatasnya lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian. Hampir pada semua desa sampel, tidak terdapat lapangan pekerjaan lain di luar sektor pertanian. Potensi yang dapat dijadikan alternatif lapangan pekerjaan bagi warga desa hanya terbatas pada kegiatan peternakan. Kendala permodalan merupakan alasan yang sering dijadikan faktor penghambat oleh sebagian warga desa pada usaha penciptaan lapangan kerja baru.
112 Dibutuhkan perubahan terhadap pola pikir warga desa pada usaha mereka dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
Dengan keadaan alam yang kurang
mendukung usaha pertanian pada sebagian besar desa, maka dibutuhkan keahlian baru pada berbagai bidang pekerjaan. Sehingga ketergantungan terhadap usaha di bidang pertanian akan semakin berkurang, beralih pada sektor industri, perdagangan, jasa, dan pariwisata. Mata Pencaharian Sampingan. Ditemukan beberapa bentuk pekerjaan
sampingan yang dilakukan oleh anggota masyarakat selain mengerjakan pekerjaan pokok mereka.
Bentuk-bentuk pekerjaan sampingan ini berupa: berdagang,
membuat kerajinan tangan, membuat dinding dan atap rumah, memproduksi gula aren, menjual buah pisang (Gambar 26).
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 26 Pekerjaan sampingan anggota masyarakat desa: (a) berdagang hasil kerajinan; (b) membuat dinding dari bambu; (c) membuat atap rumah dari daun kirai; (d) produksi gula aren; (e) hasil panen petai; dan (f) hasil panen buah pisang.
113 Beberapa jenis pekerjaan sampingan ada yang setiap hari dikerjakan, dan adapula yang hanya sewaktu-waktu. Penghasilan rutin akan didapatkan warga desa pada usaha warung manisan dan pembuatan gula aren. Bahkan jumlah penghasilan yang diterima dari pekerjaan ini lebih besar dari hasil panen sawah atau kebun. Terdapat indikasi bahwa jumlah pendapatan yang diperoleh dari mata pencaharian sampingan ini, dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari selama menunggu hasil panen padi sawah atau hasil kebun.
Hasil dari pekerjaan
sampingan yang dilakukan oleh warga desa telah menghasilkan barang-barang yang dapat diperjualbelikan dan barang yang langsung dikonsumsi.
Barang
barang tersebut antara lain berupa: makanan, sayur-sayuran, buah-buahan, gula aren, hewan ternak, ikan, dan hasil kerajinan tangan.
Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan merupakan jumlah pendapatan kepala keluarga yang dihitung pada suatu periode waktu tertentu. Jumlah pendapatan tersebut dihitung berdasarkan seluruh penghasilan kepala keluarga yang berasal dari mata pencaharian pokok dan mata pencaharian sampingan. Pada Tabel 21, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan, tidak terdapat perbedaan jumlah pendapatan rata-rata yang terlalu jauh diantara warga desa pada setiap strata desa. Jumlah pendapatan yang cukup berbeda hanya pada desa strata 7, dimana jumlah pendapatan hampir dua kali lipat dari jumlah pendapatan pada desa-desa strata lainnya. Tabel 21 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 Strata desa
1989
1 2 3 4 5 6 7 8 9 13
436 527 593 369 498 515 1 120 555 717 754
Tahun 1992 1995 1998 2001 Jumlah pendapatan rata-rata (Rp 000/tahun) 873 1 746 2 182 3 492 1 053 2 106 2 633 4 213 1 186 2 373 2 966 4 746 738 1 476 1 845 2 952 997 1 993 2 492 3 986 1 030 2 059 2 574 4 119 2 239 4 479 5 598 8 957 1 111 2 221 2 777 4 443 1 435 2 869 3 587 5 739 1 508 3 017 3 771 6 034
2004 3 928 4 739 5 339 3 321 4 485 4 633 10 077 4 998 6 456 6 788
114 Pada Tabel 21, dapat dilihat juga bahwa selama periode tahun 1989-2004, terjadi peningkatan jumlah pendapatan rata-rata kepala keluarga pada setiap strata desa. Walaupun pada kenyataannya, jumlah pendapatan kepala keluarga ini akan cenderung lebih rendah dari jumlah pendapatan sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan responden untuk mengingat seluruh jumlah pendapatan mereka pada waktu yang telah lalu. Peningkatan jumlah pendapatan setiap kepala keluarga tidak selalu berarti meningkatnya nilai pendapatan mereka. Terdapat juga kemungkinan bahwa nilai pendapatan mereka pada saat sekarang, sebenarnya sama saja dengan jumlah pendapatan pada waktu yang telah lalu. Hal ini terkait dengan perubahan harga barang dan jasa yang terjadi akibat pengaruh inflasi dan devaluasi. Pada penelitian ini, jumlah pendapatan setiap kepala keluarga diduga dengan menghitung produktivitas dari lahan garapan milik keluarga. Selanjutnya hasil produksi tersebut dikonversi ke dalam rupiah, dengan menggunakan data statistik harga produsen tanaman pangan dan perkebunan rakyat yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik. Pada beberapa desa sampel, dengan adanya tambahan pendapatan dari sumber mata pencaharian sampingan di kota, telah merubah kebiasaan warga masyarakat pada intensitas pemanfaatan sumber daya hutan kawasan TNGHS. Sebagian warga desa yang biasanya bekerja sebagai pencari bahan emas dan penebang kayu telah beralih pada usaha sampingan di kota. Dengan adanya tambahan pendapatan dari hasil pekerjaan sampingan di kota, terdapat kecendrungan bahwa sebagian warga desa menjadi enggan untuk hidup sebagai petani, dan beralih pada sektor industri dan jasa. Kecendrungan adanya perubahan sumber mata pencaharian yang terjadi pada beberapa desa sampel, telah menguatkan hasil penelitian serupa di daerah lain.
Salah satunya adalah hasil studi Panayotou dan Sungsuwan (2001) di
Thailand, dimana dinyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara tingkat pendapatan dan luas penutupan hutan.
Hal ini terjadi karena ketersediaan
lapangan pekerjaan sebagai akibat adanya kegiatan pembangunan.
Sehingga
terjadi pula penurunan konversi hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan penurunan permintaan terhadap kayu bakar.
115 Desa strata1. Pada strata ini, jumlah pendapatan rata-rata kepala keluarga
tertinggi terdapat pada desa Pulosari (Tabel 22). Bahkan pada desa ini pada tahun 2004, selisih dengan pendapatan rata-rata kepala keluarga pada desa lain hampir Rp 2 juta. Perbedaan jumlah pendapatan yang cukup besar ini, disebabkan oleh adanya tambahan penghasilan dari hasil tanaman pepaya pada lahan pekarangan. Pada desa Cileungsing, sebagian besar kepala keluarga bekerja pada perkebunan karet dan teh milik swasta yang berlokasi di sekitar wilayah desa. Sebagian besar kepala keluarga bekerja sebagai pegawai tetap atau pegawai harian pada perkebunan tersebut.
Sedangkan pada Desa Kujang Jaya, sumber
penghasilan yang cukup berpengaruh terhadap pendapatan adalah dari penjualan hasil kebun, dan kegiatan penambangan emas. Tabel 22 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 1 pada periode tahun 1989-2004 Desa 1989 Tugu Jaya Cijeruk Sukaharja Bantarkaret Sukajaya Cileungsing Cikiray Cipeuteuy Pulosari Kujang Jaya
445 354 463 265 499 535 286 309 681 528
Tahun 1992 1995 1998 2001 Jumlah pendapatan rata-rata (Rp 000/tahun) 890 1 781 2 226 3 561 707 1 415 1 769 2 830 926 1 852 2 315 3 704 530 1 060 1 326 2 121 999 1 997 2 496 3 994 1 071 2 141 2 676 4 282 572 1 144 1 430 2 288 618 1 236 1 545 2 472 1 362 2 723 3 404 5 447 1 055 2 110 2 638 4 220
2004 4 007 3 183 4 167 2 386 4 493 4 818 2 574 2 781 6 127 4 748
Pada Tabel 22, dapat dilihat juga bahwa jumlah pendapatan rata-rata kepala keluarga terendah terdapat pada Desa Bantarkaret. Hal ini berhubungan dengan tingkat produktivitas lahan pertanian yang rendah, dan kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian. Hanya terdapat beberapa kepala keluarga yang mendapatkan penghasilan tambahan, yaitu dari bekerja pada perusahaan penambangan emas dan pada sektor pariwisata. Secara keseluruhan, pada desa-desa sampel pada strata ini, sumber penghasilan utama kepala keluarga berasal dari penjualan hasil pertanian dan upah sebagai karyawan pada perusahaan perkebunan. Walaupun pada beberapa desa,
116 terdapat sumber penghasilan lain dari pemanfaatan bahan emas dan dari penyediaan jasa pariwisata. Desa strata 2. Pada tahun 2004, jumlah pendapatan rata-rata setiap kepala
keluarga pada Desa Malasari meningkat hampir delapan kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 1989 (Tabel 23).
Peningkatan pendapatan yang
cukup besar terjadi pada tahun 2001, dimana pendapatan meningkat hampir dua kali lipat dari periode tahun sebelumnya. Tabel 23 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa sampel strata 2 pada periode tahun 1989-2004 Desa
Tahun 1992 1995 1998 2001 Jumlah pendapatan rata-rata (Rp 000/tahun) 527 1 053 2 106 2 633 4 213
1989 Malasari
2004 4 739
Peningkatan jumlah pendapatan ini banyak dipengaruhi oleh adanya peningkatan produktivitas lahan dan nilai jual komoditas pertanian. Terdapat beberapa lembaga non pemerintah yang memberikan bantuan pembangunan fisik, sarana prasarana, dan berbagai kegiatan pendampingan.
Hal ini berpengaruh
terhadap perubahan pola pikir warga masyarakat, dan kelancaran pemasaran hasil-hasil pertanian yang ada di wilayah desa. Khusus pada warga desa yang bermukim pada kawasan enclave, pendapatan berasal dari upah sebagai tenaga harian di perusahaan perkebunan teh. Selain itu, penghasilan sampingan juga didapatkan dari mengelola lahan perkebunan yang tidak produktif. Pada bagian pinggir kawasan perkebunan, dimanfaatkan sebagai sawah dan kebun. Hasil yang didapatkan cukup memberikan kontribusi pada pemenuhan kebutuhan bahan makanan pokok keluarga. Lahan pekarangan di sekitar pemukiman juga dimanfaatkan sebagai tempat menanam pohon pisang, sebagai sumber penghasilan mingguan dan bulanan. Desa strata 3. Dari hasil perhitungan, jumlah pendapatan pada desa-desa
strata ini cukup besar jika dibandingkan dengan desa-desa pada strata yang lain (Tabel 24). Dibandingkan dengan jumlah pendapatn pada tahun 1989, maka jumlah pendapatan kepala keluarga pada tahun 2004 meningkat hampir sepuluh kali lipat. Terdapat indikasi bahwa hal ini berhubungan dengan luas kepemilikan
117 lahan setiap kepala keluarga.
Khusus pada Desa Cisungsang, setiap kepala
keluarga memiliki lahan garapan dengan luas lebih dari 1.5 hektar. Tabel 24 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 3 pada periode tahun 1989-2004 Desa
Tahun 1992 1995 1998 2001 Jumlah pendapatan rata-rata (Rp 000/tahun) 491 982 1 964 2 454 3 927 696 1 391 2 782 3 478 5 564
1989 Sirnaresmi Cisungsang
2004 4 418 6 260
Kontribusi hasil pertanian terhadap jumlah pendapatan terutama didapatkan dari hasil kebun. Hampir seluruh kepala keluarga memiliki kebun cengkeh, yang memberikan kontribusi hampir 50% dari jumlah pendapatan. Desa strata 4. Pada strata ini, terdapat perbedaan jumlah pendapatan warga
yang cukup besar pada dua sampel desa terpilih. Pada Desa Ciparay, pendapatan rata-rata setiap kepala keluarga hanya separuh dari pendapatan rata-rata kepala keluarga pada Desa Lebak Situ (Tabel 25). Perbedaan yang cukup besar ini, dipengaruhi oleh adanya tambahan penghasilan yang cukup besar pada Desa Lebak Situ dari kegiatan penambangan emas ilegal yang ada pada wilayah desa tersebut.
Jumlah pendapatan dari
kegiatan penambangan emas memang tidak dapat ditentukan secara pasti. Tetapi berdasarkan informasi beberapa responden, dari kegiatan ini didapatkan penghasilan rata-rata sebesar Rp 100-200 ribu per hari. Pada Desa Ciparay, sumber penghasilan hanya bergantung pada hasil pertanian dan perkebunan rakyat, sehingga jumlah pendapatan jauh lebih kecil. Pada tahun 2004, jumlah pendapatan rata-rata setiap kepala keluarga pada desa ini, hanya sepertiga dari jumlah pendapatan warga desa Lebak Situ. Tabel 25 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 4 pada periode tahun 1989-2004 Desa
Tahun 1992 1995 1998 2001 Jumlah pendapatan rata-rata (Rp 000/tahun) 191 383 766 957 1 532 546 1 093 2 186 2 732 4 372
1989 Ciparay Lebak Situ
2004 1 723 4 918
118 Desa strata 5. Pada strata ini, jumlah pendapatan setiap kepala keluarga
pada setiap desa sampel tidak terlalu jauh berbeda. Pada tahun 2004, terdapat dua desa dimana jumlah pendapatan rata-rata kepala keluarga lebih dari Rp 5 juta per tahun, yaitu pada Desa Jugalajaya dan Mekarnangka (Tabel 26). Sedangkan pada desa-desa sampel lainnya, berkisar antara Rp 3.5 juta sampai Rp 4 juta per tahun. Tambahan penghasilan yang didapatkan oleh sebagian warga desa adalah dari kegiatan pemeliharaan hewan ternak, dan hasil kebun cengkeh dan karet. Tetapi, terdapat kecendrungan bahwa tambahan jumlah pendapatan tersebut tidak terlalu memberikan kontribusi terhadap peningkatan jumlah pendapatan. Tidak terlalu jauhnya perbedaan jumlah pendapatan pada setiap desa pada strata ini, juga mengindikasikan bahwa terdapat persamaan sumber mata pencaharian warga desa pada desa-desa tersebut. Tabel 26 Jumlah Pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 5 pada periode tahun 1989-2004 Desa 1989 Jugalajaya Sukamulih Mekarnangka Sirnagalih Cikate Pasir Haur Cirompang
613 469 620 405 405 513 464
Tahun 1992 1995 1998 2001 Jumlah pendapatan rata-rata (Rp 000/tahun) 1 225 2 450 3 063 4 900 937 1 875 2 343 3 749 1 240 2 480 3 100 4 961 810 1 621 2 026 3 241 810 1 620 2 025 3 240 1 026 2 051 2 564 4 103 928 1 856 2 320 3 711
2004 5 513 4 218 5 581 3 647 3 645 4 615 4 175
Desa strata 6. Pada sampel desa strata ini, jumlah pendapatan rata-rata
setiap kepala keluarga dari tahun ke tahun semakin meningkat (Tabel 27). Bila dibandingkan antara tahun 1989 dengan tahun 2004, jumlah pendapatan meningkat lebih dari sembilan kali.
Peningkatan jumlah pendapatan ini
berhubungan dengan peningkatan poduktivitas lahan pertanian dan perkebunan yang dimiliki masyarakat. Disamping itu, terdapat juga perluasan areal pertanian yang dimilki oleh warga desa, sebagai akibat dari adanya proses perubahan kepemilikan lahan perkebunan swasta yang berada di sekitar desa. Sebagian warga telah memanfaatkan lahan bekas lokasi perkebunan tersebut untuk dijadikan sebagai lahan garapan. Bahkan pada beberapa bagian telah dilakukan pembuatan sertifikat kepemilikan tanah.
119 Tabel 27 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa sampel strata 6 pada periode tahun 1989-2004 Desa 1989 Lebak Gedong
515
Tahun 1992 1995 1998 2001 Jumlah pendapatan rata-rata (Rp 000/tahun) 1 030 2 059 2 574 4 119
2004 4 633
Kemudahan aksesibilitas terhadap pemasaran hasil-hail pertanian dan kehutanan, telah menyebabkan peningkatan jumlah pendapatan yang cukup besar. Terutama dari pemasaran kayu dan buah-buahan yang banyak ditanam pada lahan garapan warga. Walaupun produksi kayu hanya menghasilkan setelah tanaman berumur empat sampai lima tahun, tetapi telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi jumlah pendapatan kepala keluarga. Desa strata 7. Pada sampel desa strata ini, jumlah pendapatan rata-rata
setiap kepala keluarga jauh lebih besar dari pendapatan kepala keluarga pada desa-desa strata yang lain (Tabel 28). Besarnya jumlah pendapatan ini terutama didapatkan dari hasil panen perkebunan cengkeh yang dimiliki warga. Disamping itu, luas kepemilikan lahan rata-rata setiap kepala keluarga pada desa strata ini juga jauh lebih besar dari desa-desa strata lainnya. Terdapat juga kecendrungan bahwa luas kepemilikan lahan tersebut tidak berkurang, walaupun pertambahan penduduk terus terjadi. Tabel 28 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa sampel strata 7 pada periode tahun 1989-2004 Desa
Tahun 1992 1995 1998 2001 Jumlah pendapatan rata-rata (Rp 000/tahun) 1 120 2 239 4 479 5 598 8 957 1989
Sirnarasa
2004 10 077
Peningkatan jumlah pendapatan juga disebabkan oleh kenaikan harga komoditas perkebunan, terutama cengkeh. Kenaikan harga jual cengkeh di pasar domestik, menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah pendapatan kepala keluarga secara signifikan. Desa strata 8. Desa yang termasuk strata ini merupakan desa yang masih
masih kuat dipengaruhi oleh masyarakat tradisional. Hal ini sangat erat kaitannya dengan perkembangan jumlah pendapatan warga desa.
Beberapa aturan adat
120 masyarakat tradisional masih diterapkan pada pola penggarapan lahan sawah, dimana salah satunya adalah aturan adat tentang penanaman padi sawah yang hanya boleh dilakukan satu kali setahun. Secara perhitungan sederhana, jika pengolahan sawah dianggap sebagai suatu usaha yang menguntungkan, maka akan terdapat sejumlah kerugian warga desa dari hasil pengolahan sawah yang hanya dilakukan satu kali setahun. Pada Tabel 29, dapat dilihat adanya kecendrungan peningkatan jumlah pendapatan pada desa sampel strata ini. Jika dibandingkan dengan strat desa lainnya, jumlah pendapatan tersebut tidak terlalu jauh berbeda dengan desa-desa strata lainnya. Walaupun kegiatan pengolahan sawah hanya dilakukan satu kali per tahun, hampir setiap kepala keluarga mendapatkan penghasilan sampingan dari kegiatan berdagang di kota. Berbagai hasil kerajinan tangan yang dihasilkan oleh warga desa, dijual ke kota. Pekerjaan ini dilakukan pada saat menunggu hasil panen padi sawah.. Menurut responden, jumlah penghasilan sampingan ini sudah dapat mencukupi kebutuhan hidup harian keluarga sampai menunggu hasil panen pada tahun berikutnya. Setelah dipanen, padi disimpan di dalam lumbung keluarga, untuk keperluan makan sehari-hari. Jika pada saat panen berikutnya masih ada padi yang tersimpan di dalam lumbung, maka akan dijadikan sebagai tabungan keluarga. Tabel 29 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa sampel strata 8 pada periode tahun 1989-2004 Desa
Tahun 1992 1995 1998 2001 Jumlah pendapatan rata-rata (Rp 000/tahun) 555 1 111 2 221 2 777 4 443
1989 Citorek
2004 4 998
Desa strata 9. Pada desa-desa sampel strata ini, didapatkan bahwa jumlah
penghasilan rata-rata kepala keluarga pada tahun 2004 adalah sebesar Rp 6.5 juta per tahun (Tabel 30). Jumlah penghasilan tersebut cukup besar dibandingkan dari desa-desa strata lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya tambahan penghasilan warga desa di luar hasil panen sawah. Sebagian besar warga desa bekerja di daerah perkotaan sebagai buruh pertukangan dengan sistem borongan. Disamping itu tambahan penghasilan juga didapatkan dari hasil penjualan kayu rakyat.
121 Tabel 30 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 9 pada periode tahun 1989-2004 Desa
Tahun 1992 1995 1998 2001 Jumlah pendapatan rata-rata (Rp 000/tahun) 605 1 209 2 419 3 023 4 837 683 1 366 2 731 3 414 5 463 865 1 729 3 458 4 323 6 916
1989 Pasirmadang Cikelat Banjar Irigasi
2004 5 442 6 145 7 781
Dari ketiga desa sampel pada strata ini, jumlah pendapatan rata-rata kepala keluarga tertinggi terdapat pada Desa Banjar Irigasi. Hal ini berhubungan dengan keadaan lahan pertanian warga, dimana pengolahan sawah rata-rata dilakukan dua kali dalam setahun, dengan sistem irigasi teknis yang baik. Pada wilayah desa ini, terdapat bangunan irigasi yang mengatur ketersediaan air bagi lahan sawah milik masyarakat. Sehingga hasil panen padi pada desa ini jauh lebih tinggi dari dua desa sampel lainnya. Desa strata 13. Pada sampel desa strata ini, jumlah pendapatan rata-rata
setiap kepala keluarga pada tahun 2004 tidak berbeda jauh dengan desa-desa strata lainnya (Tabel 31). Tetapi jika dibandingkan dengan jumlah pendapatan pada tahun 1989, terjadi peningkatan jumlah pendapatan kepala keluarga yang sangat drastis pada tahun 2004.
Peningkatan jumlah pendapatan rata-rata kepala
keluarga yang terjadi selama periode waktu tersebut, lebih dari sembilan kali lipat. Tabel 31 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 13 pada periode tahun 1989-2004 Desa
Tahun 1992 1995 1998 2001 Jumlah pendapatan rata-rata (Rp 000/tahun) 684 1 368 2 737 3 421 5 474 824 1 648 3 297 4 121 6 594
1989 Margalaksana Luhur Jaya
2004 6 158 7 418
Dilihat dari kemudahan aksesibilitas terhadap pusat pasar, letak kedua desa sampel pada strata ini, aksesibiltasnya cenderung lebih mudah jika dibandingkan dengan desa-desa pada strata lainnya. Hal ini sangat berpengaruh positif terhadap kelancaran pemasaran hasil-hasil pertanian warga desa, sehingga biaya angkut cenderung lebih murah.
122
Pengeluaran Rumah Tangga
Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk.
Pada dasarnya,
perubahan pola pengeluaran merupakan petunjuk perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi pendapatan, maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan (BPS 2004). Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas terhadap makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya tinggi. Jika tingkat konsumsi makanan sudah mencapai titik jenuh, maka pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bukan bahan makanan atau ditabung. Pada penelitian ini, jumlah pengeluaran rumah tangga dihitung berdasarkan besarnya pengeluaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga per hari (Lampiran 13). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan hidup mendasar yang mutlak dibutuhkan, yaitu: makan, pakaian, kesehatan, pendidikan, dan biaya bercocok tanam.
Secara umum, sebagian besar
pengeluaran rumah tangga pada desa-desa sampel adalah untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 27, dimana sebagian besar pendapatan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan pokok keluarga.
Bercocok tanam 15% Bepergian 6% Sosial 4% Sekolah anak 7%
Beras 54%
Kesehatan 3% Pakaian 11%
Gambar 4
Distribusi pengeluaran rumah tangga.
123 Dilihat dari jumlah pendapatan yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan, dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan sebagian besar rumah tangga yang hidup di sekitar dan di dalam kawasan TNGHS masih termasuk keluarga pra sejahtera. Hal ini erat hubungannya dengan alokasi jumlah pendapatan untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan. Dimana sebagian besar pendapatan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika dibandingkan antara jumlah pendapatan dan jumlah pengeluaran rumah tangga, maka pada beberapa desa sampel, dapat diidentifikasi bahwa terdapat kecendrungan adanya jumlah pengeluaran rumah tangga yang lebih besar dari jumlah pendapatan. Hal ini terjadi pada desa strata 1 (Bantar Karet, Cikiray, Cipeuteuy), desa strata 4 (Ciparay), desa strata 5 (Cikate, Pasir Haur, Cirompang), dan desa strata 9 (Sukamulih). Pada desa-desa sampel, jumlah pengeluaran rumah tangga cenderung lebih kecil dari tingkat kebutuhan hidup layak di desa. Hal ini tercermin dari besarnya jumlah pengeluaran rumah tangga yang hanya mampu memenuhi 70% tingkat kebutuhan hidup layak.
Berdasarkan BPS (2004), maka dapat dikatakan bahwa
sebagian besar penduduk yang berada pada desa-desa sampel merupakan penduduk miskin.
Penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang
pendapatannya (didekati dengan pengeluaran) lebih kecil dari pendapatan yang dibutuhkan untuk hidup secara layak di wilayah tempat tinggalnya (BPS 2004). Terdapat beberapa standar penetapan garis kemiskinan di Indonesia. Menurut Sayogyo 1978, diacu dalam Rusli 1995, penduduk desa dengan pengeluaran per kapita per tahun setara 180 kg beras digolongkan paling miskin, setara kurang dari 240 kg beras digolongkan miskin sekali, dan setara kurang dari 320 kg beras digolongkan miskin. Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan untuk daerah pedesaan adalah sebesar US$ 50 per kapita per tahun. Menurut BPS (1985), diacu dalam Rusli (1995), garis kemiskinan dapat juga ditetapkan berdasarkan kecukupan konsumsi kalori, yaitu sebesar 2100 kalori per kapita per hari. Suatu keluarga digolongkan sangat miskin jika pendapatannya hanya mampu memenuhi kebutuhan minimum kalori. Keluarga miskin adalah jika pendapatan keluarga selain mampu mencukupi kebutuhan kalorinya, juga mampu memenuhi kebutuhan hidup lainnya.
124
Kepemilikan dan Penguasaan Lahan
Kepemilikan dan penguasaan lahan masyarakat pada desa-desa di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS adalah berupa lahan pertanian dan pemukiman. Kepemilikan dan penguasaan lahan tersebut didapatkan melalui: warisan, jual beli, sewa, bagi hasil, dan menggarap pada lahan kehutanan. Sistem kepemilikan dan penguasaan lahan tersebut sudah ada sejak pertama kali adanya pemukiman di desa, walaupun menurut peraturan perundangan kehutanan, tidak memperkenakan adanya sistem warisan dan jual beli lahan yang merupakan kawasan hutan. Pada penelitian ini, data luas kepemilikan lahan didapatkan dari hasil wawancara langsung dengan responden terpilih. Hal ini berhubungan dengan tidak tersedianya data yang akurat terhadap perubahan kepemilikan lahan warga desa, sebagai akibat kurangnya pengetahuan terhadap pentingnya administrasi surat menyurat. Konsep kepemilikan lahan yang dipakai adalah bahwa lahan milik merupakan lahan yang benar-benar dimiliki oleh seorang kepala keluarga, yang berasal dari: sistem pewarisan, jual beli, pemberian orang lain, atau karena adanya perluasan lahan akibat pembukaan lahan baru yang dilakukan sendiri. Bukti terhadap kepemilikan lahan secara sah, dapat dilihat dari adanya bukti tertulis berupa akta jual beli dan sertifikat kepemilikan tanah. Disamping itu, bukti kepemilikan lahan dapat juga didapatkan dari adanya pengakuan oleh pemilik lahan yang ada di sekitar lahan tersebut. Seseorang tidak dapat memiliki lahan yang telah diolah, tanpa adanya persetujuan atau kesepakatan dengan orang yang telah terlebih dahulu mengolah lahan tersebut. Hasil studi pada beberapa negara menunjukkan bahwa kepemilikan lahan garapan sebagian besar petani pada negara berkembang adalah sempit dan belum cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Menurut
Barraclough dan Ghimire (1996), di Brazil dan Guatemala, sebagian besar lahan pertanian dimonopoli oleh sekelompok kecil tuan tanah. Begitupula halnya di Afrika Selatan, Zimbabwe, Kenya, dan beberapa daerah di Afrika, dimana sebagian besar lahan merupakan daerah perkebunan besar, tetapi sebagian besar petani hanya memiliki lahan yang sangat sempit.
125 Sistem kepemilikan lahan yang masih berlaku pada masyarakat desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS dapat dikelompokkan menjadi (Harada et al. 2001): 1. Warisan: lahan diwariskan dari orang tua mereka, dimana lahan dibagi secara merata antara anak laki-laki dan perempuan. 2. Mulung: merupakan sistem kepemilikan lahan, dimana seseorang dapat mengklaim kepemilikan lahan pada lokasi yang belum ada pemiliknya. 3. Penjualan berdasarkan upah: pembayaran lahan dilakukan dengan perhitungan jumlah upah terhadap tenaga yang dikeluarkan untuk mengolah lahan. 4. Pemberian: kepemilikan lahan merupakan hasil pemberian dari orang lain, biasanya dari orang yang masih terdapat hubungan keluarga. 5. Jual Beli: kepemilikan lahan didapatkan dari adanya sistem jual beli. 6. Gadai: penguasaan lahan didasarkan pada adanya pinjaman uang dengan jaminan lahan. Apabila pinjaman uang sudah dapat dikembalikan, maka lahan dikembalikan kepada pemiliknya. 7. Maro/Nengah: pengolahan lahan diserahkan kepada orang lain, dengan sistem bagi hasil panen. 8. Numpang Garap: sistem pengolahan lahan, dimana seseorang dapat mengolah lahan pertanian/garapan tanpa harus menyewa kepada pemilik lahan. 9. Sewa: sistem penguasaan lahan, dimana seseorang dapat menggarap lahan sampai beberapa waktu, dengan membayar sewa berdasarkan kesepakatan pemilik lahan dan penyewa. Perubahan luas kepemilikan lahan setiap kepala keluarga yang ada pada setiap strata desa di kawasan TNGHS berhubungan dengan perubahan jumlah anggota keluarga, proses jual beli, dan adanya sistem pewarisan lahan milik kepala keluarga. Bertambahnya jumlah anggota keluarga dapat disebabkan oleh adanya proses kelahiran atau proses perkawinan. Dengan bertambahnya jumlah anak, maka dibutuhkan lahan garapan yang lebih luas untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Jika pada salah satu anak menikah, biasanya sebagian lahan garapan keluarga diberikan kepada anggota keluarga yang telah menikah tersebut. Disamping itu, untuk pemenuhan kebutuhan keluarga yang tak terduga dan sangat mendesak, sebagian lahan garapan dijual dengan harga murah. Terutama jika ada
126 anggota keluarga yang sakit, desakan biaya pendidikan anak, dan jika ada anggota keluarga yang menikah. Jika seorang kepala keluarga meninggal, maka lahan yang dimilikinya akan diwariskan dan dibagikan kepada anggota keluarganya. Hal ini menyebabkan semakin berkurangnya kepemilikan lahan setiap anggota keluarga.
Terdapat kecendrungan bahwa kepemilikan lahan setiap kepala
keluarga pada desa-desa sampel strata ini semakin sempit (Tabel 32). Tabel 32 Perubahan luas kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 Strata desa 1989 1 2 3 4 5 6 7 8 9 13
0.59 0.45 1.15 0.97 0.85 1.02 1.80 1.35 1.61 0.59
Tahun 1992 1995 1998 2001 Kepemilikan lahan rata-rata (ha/kk) 0.53 0.53 0.51 0.49 0.38 0.37 0.34 0.33 1.09 1.09 1.05 1.06 0.94 0.88 0.84 0.84 0.87 0.80 0.78 0.77 1.32 1.32 1.22 1.21 1.82 1.82 1.82 1.82 1.39 1.32 1.34 1.34 1.52 1.48 1.34 1.33 0.56 0.59 0.57 0.57
2004 0.45 0.28 1.05 0.84 0.72 1.19 1.80 1.34 1.29 0.55
Desa Strata 1. Pada strata ini, peningkatan luas kepemilikan lahan terjadi
pada periode tahun 1992-1998 yaitu pada Desa Desa Tugu Jaya, Bantarkaret, Sukajaya, dan Cipeuteuy (Tabel 33). Sedangkan pada periode tahun 1998-2004, luas kepemilikan lahan setiap kepala keluarga cenderung semakin sempit. Tabel 33 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 1 pada periode tahun 1989-2004 Desa 1989 Tugu Jaya Cijeruk Sukaharja Bantarkaret Sukajaya Cileungsing Cikiray Cipeuteuy Pulosari Kujang Jaya
0.39 0.37 0.51 0.78 0.24 0.50 0.31 0.45 1.31 1.04
Tahun 1992 1995 1998 2001 Kepemilikan lahan rata-rata (ha/kk) 0.39 0.39 0.47 0.41 0.30 0.29 0.27 0.27 0.48 0.48 0.41 0.42 0.70 0.61 0.63 0.50 0.20 0.32 0.27 0.26 0.44 0.44 0.38 0.38 0.26 0.26 0.22 0.22 0.45 0.41 0.42 0.40 1.14 1.14 1.12 1.12 0.99 0.99 0.96 0.96
2004 0.41 0.25 0.37 0.34 0.26 0.32 0.22 0.34 1.06 0.91
127
Desa strata 2.
Pada strata ini, sampel desa yang terpilih adalah Desa
Malasari. Dari hasil wawancara, didapatkan bahwa luas kepemilikan lahan setiap kepala keluarga dari tahun 1989 sampai 2004 semakin sempit (Tabel 34). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat korelasi negatif antara pertambahan jumlah penduduk dengan luas kepemilikan lahan keluarga.
Pertambahan jumlah
penduduk akan menyebabkan penurunan luas kepemilikan lahan setiap keluarga. Tabel 34 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa sampel strata 2 pada periode tahun 1989-2004 Desa 1989 Malasari
0.45
Tahun 1992 1995 1998 2001 Kepemilikan lahan rata-rata (ha/kk) 0.38 0.37 0.34 0.33
2004 0.28
Desa strata 3. Pada strata ini, dari dua sampel desa yang terpilih didapatkan
data bahwa luas kepemilikan lahan setiap kepala keluarga dari periode tahun 1989-2004 cenderung tetap (Tabel 35). Hal ini mengindikasikan bahwa walaupun terjadi pertambahan jumlah penduduk, tetapi lahan garapan yang ada pada wilayah desa masih tersedia cukup luas. Tabel 35 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 3 pada periode tahun 1989-2004 Desa 1989 Sirnaresmi Cisungsang
0.55 1.76
Tahun 1992 1995 1998 2001 Kepemilikan lahan rata-rata (ha/kk) 0.44 0.44 0.41 0.42 1.73 1.73 1.69 1.69
2004 0.40 1.70
Desa strata 4. Pada strata ini, luas kepemilikan lahan setiap kepala keluarga
dari periode tahun 1989-2004 cenderung semakin sempit (Tabel 36). Hal ini mengindikasikan bahwa pertambahan jumlah penduduk akan menyebabkan penurunan luas kepemilikan lahan setiap keluarga. Tabel 36 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 4 pada periode tahun 1989-2004 Desa 1989 Ciparay Lebak Situ
0.53 1.41
Tahun 1992 1995 1998 2001 Kepemilikan lahan rata-rata (ha/kk) 0.51 0.51 0.50 0.50 1.37 1.26 1.18 1.18
2004 0.50 1.18
128 Desa strata 5. Pada strata ini, pada sebagian besar terjadi penurunan luas
kepemilikan lahan setiap kepala keluarga. Tetapi pada tahun 1995, pada Desa Cikate terjadi penambahan luas kepemilikan lahan kepala keluarga dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (Tabel 37).
Menurut responden yang ada di desa
tersebut, hal ini disebabkan oleh adanya aktivitas masyarakat yang menggarap lahan pada bekas lokasi perkebunan yang ada pada wilayah desa. Lahan perkebunan yang semula dikelola oleh perusahaan swasta telah dijadikan oleh sebagian warga sebagai lahan garapan mereka. Tabel 37 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 5 pada periode tahun 1989-2004 Desa 1989 Jugalajaya Sukamulih Mekarnangka Sirnagalih Cikate Pasir Haur Cirompang
0.97 0.69 0.69 0.67 0.74 1.15 1.08
Tahun 1992 1995 1998 2001 Kepemilikan lahan rata-rata (ha/kk) 0.97 0.95 0.95 0.95 0.61 0.61 0.60 0.56 0.66 0.62 0.62 0.56 0.67 0.66 0.60 0.57 0.73 0.86 0.86 0.86 1.38 0.95 0.93 0.93 1.08 0.98 0.89 0.98
2004 0.92 0.50 0.56 0.55 0.77 0.93 0.85
Desa strata 6. Pada strata ini, terjadi penambahan luas kepemilikan lahan
kepala keluarga pada tahun 1992. Tetapi pada tahun 1998 luas kepemilikan lahan kepala keluarga ini semakin menurun (Tabel 38). Penambahan luas kepemilikan lahan ini, menurut responden disebabkan oleh adanya program nasional yang mengurus pembuatan sertifikat tanah. Lahan-lahan yang ada pada sekitar desa yang semula bekas areal perkebunan swasta telah dijadikan sebagai lahan milik warga.
Ketidakjelasan tata batas kawasan hutan di lapangan juga dijadikan
sebagai alasan oleh warga untuk membuat sertifikat kepemilikan tanah, sehingga terjadi peningkatan luas kepemilikan lahan keluarga. Tabel 38 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa sampel strata 6 pada periode tahun 1989-2004 Desa 1989 Lebak Gedong
1.02
Tahun 1992 1995 1998 2001 Kepemilikan lahan rata-rata (ha/kk) 1.32 1.32 1.22 1.21
2004 1.19
129 Desa strata 7. Pada strata ini, terdapat penambahan luas kepemilikan lahan
rata-rata kepala keluarga pada tahun 1992, tetapi pada tahun 2004 luas kepemilikan lahan tersebut berkurang kembali (Tabel 39). Tabel 39 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa sampel strata 7 pada periode tahun 1989-2004 Desa 1989 Sirnarasa
1.80
Tahun 1992 1995 1998 2001 Kepemilikan lahan rata-rata (ha/kk) 1.82 1.82 1.82 1.82
2004 1.80
Terdapat indikasi bahwa pertambahan jumlah penduduk tidak berpengaruh terhadap luas kepemilikan lahan setiap kepala keluarga.
Dengan terbatasnya
lahan pertanian yang ada di wilayah desa, terdapat kemungkinan bahwa telah terjadi perluasan lahan garapan pada kawasan hutan di sekitar wilayah desa. Hal ini dimungkinkan karena berdasarkan analisis spasial, pada Desa Sirnarasa telah terjadi penurunan luas hutan alam TNGHS secara konsisten selama periode tahun 1989-2004 (Prasetyo & Setiawan 2006). Desa strata 8. Selama periode tahun 1989-2004 luas kepemilikan lahan
kepala keluarga pada desa strata ini tidak mengalami perubahan (Tabel 40). Hal ini mengindikasikan bahwa adanya pertambahan jumlah penduduk, tidak menyebabkan semakin sempitnya kepemilikan lahan setiap kepala keluarga. Dari data kependudukan, memang didapatkan bahwa LPP dan kepadatan penduduk pada strata desa ini jauh lebih rendah dari strata desa lainnya. Dari data luasan desa, didapatkan juga bahwa luas desa sampel strata ini memang jauh lebih luas dari desa-desa strata lainnya. Terdapat kemungkinan bahwa masih tersedia lahan desa yang cukup luas bagi setiap kepala keluarga baru yang ada di desa tersebut. Walaupun pada kenyataannya, sebagian besar lahan desa tersebut masih berupa hutan. Sehingga terdapat juga laju penurunan luas hutan alam yang cukup tinggi pada periode tahun 1995-1998. Tabel 40 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa sampel strata 8 pada periode tahun 1989-2004 Desa 1989 Citorek
1.35
Tahun 1992 1995 1998 2001 Kepemilikan lahan rata-rata (ha/kk) 1.39 1.32 1.34 1.34
2004 1.34
130 Desa strata 9. Pada strata ini, penambahan luas kepemilikan lahan rata-rata
kepala keluarga hanya terjadi pada Desa Banjar Irigasi yaitu pada periode tahun 1992-1995 seluas 0.06 hektar (Tabel 41).
Sedangkan pada dua desa sampel
lainnya luas kepemilikan lahan kepala keluarga semakin menurun.
Terdapat
indikasi bahwa hal ini berhubungan dengan perubahan kepemilikan lahan pada bekas lokasi perkebunan yang ada pada wilayah desa. Pada periode tahun 1989-1995, di Desa Banjar Irigasi telah terjadi perubahan status kepemilikan lahan lokasi perkebunan yang ada pada wilayah desa. Status kepemilikan lahan perkebunan tersebut yang semula hanya berupa hak guna usaha, telah dijadikan oleh warga desa sebagai tanah milik. Tabel 41 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 9 pada periode tahun 1989-2004 Desa 1989 Pasirmadang Cikelat Banjar Irigasi
Desa strata 13.
2.34 1.15 1.33
Tahun 1992 1995 1998 2001 Kepemilikan lahan rata-rata (ha/kk) 2.19 2.07 1.90 1.90 1.11 1.07 1.01 1.01 1.25 1.31 1.09 1.06
2004 1.89 0.95 1.02
Pada strata ini, penambahan luas kepemilikan lahan
rata-rata kepala keluarga hanya terjadi pada Desa Luhur Jaya yaitu pada tahun 1992-1995 (Tabel 42). Terdapat indikasi bahwa hal ini berhubungan dengan perubahan status kepemilikan lahan bekas lokasi perkebunan yang ada pada wilayah desa. Sedangkan pada Desa Margalaksana, selama periode tahun 1989-2004 terus terjadi penurunan luas kepemilikan lahan. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan bertambahnya jumlah penduduk, telah menyebabkan luas kepemilikan lahan setiap kepala keluarga semakin menurun. Tabel 42 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 13 pada periode tahun 1989-2004 Desa 1989 Margalaksana Luhur Jaya
0.41 0.77
Tahun 1992 1995 1998 2001 Kepemilikan lahan rata-rata (ha/kk) 0.41 0.39 0.37 0.37 0.72 0.79 0.77 0.77
2004 0.36 0.75
131
Aksesibilitas terhadap Sumber Daya Alam
Pada sebagian besar desa sampel, terdapat akses yang mudah terhadap sumber daya alam di kawasan TNGHS. Letak desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS, menyebabkan masyarakat dapat dengan mudah memanfaatkan seumber daya alam yang ada di kawasan TNGHS. Pada beberapa bagian kawasan, terdapat jalan-jalan setapak yang digunakan oleh sebagian besar warga desa untuk menuju lahan garapan mereka. Adanya jaringan jalan juga merupakan salah satu sarana yang akan meningkatkan aktivitas perekonomian desa. Berbagai komoditas pertanian dan perkebunan yang dihasilkan oleh masyarakat akan mudah untuk dipasarkan ke luar desa. Hal ini telah mendorong adanya pembangunan jalan desa, baik dengan bantuan pemerintah daerah maupun swadaya masyarakat (Gambar 28).
Gambar 5
Jalan desa di dalam kawasan TNGHS.
Menurut responden yang berada di Desa Cikate dan Sirnagalih, sulitnya memasarkan hasil produksi pertanian dan perkebunan yang ada di desa disebabkan
oleh
belum
adanya
jaringan
jalan
dengan
kondisi
yang
memungkinkan. Sehingga ongkos angkut hasil-hasil pertanian dan perkebunan lebih tinggi dari harga jualnya di pasar. Hal ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pendapatan, karena dengan tidak dipasarkannya hasil pertanian dan perkebunan maka akan mengurangi pendapatan mereka. Padahal dari informasi yang didapatkan dari aparat desa, sebagian besar anggota masyarakat di desa tersebut bekerja pada sektor pertanian.
132 Berdasarkan hasil analisis spasial, didapatkan bahwa telah terdapat jaringan jalan yang cukup memadai yang menghubungkan desa yang satu dengan yang lain, atau untuk akses ke kota kecamatan dan kota kabupaten. Dari sudut pandang kesejahteraan masyarakat, maka hal ini akan mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi dari aspek kelestarian kawasan hutan, maka pembuatan jaringan jalan ini akan merusak ekosistem hutan, karena sebagian besar jaringan jalan tersebut melewati kawasan TNGHS (Gambar 29).
Gambar 6
Jaringan jalan di dalam kawasan TNGHS.
Kegiatan pembuatan jalan yang dilakukan oleh pemerintah dan swadaya masyarakat merupakan penyebab langsung terjadinya penurunan luas hutan. Pembuatan jalan telah menyebabkan terjadinya keterbukaan lahan hutan, dan berpengaruh terhadap adanya peningkatan deforestasi di Thailand (Crooper et al. 1997). Moran (1996) yang melakukan studi di Brazil, menyebutkan beberapa kebijakan yang dapat diwujudkan untuk mengurangi terjadinya deforestasi, yaitu: 1) penghentian pembuatan jalan yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan menimbulkan dampak sosial; 2) melakukan penelitian tentang sistem pertanian
133 intensif dengan input yang minimal, sehingga pertumbuhan penduduk tidak terlalu berpengaruh terhadap deforestasi, dan 3) adanya alokasi lahan untuk dikelola oleh masyarakat lokal.
Kesempatan Kerja
Pada seluruh wilayah desa sampel, lapangan pekerjaan utama sebagian besar warga desa adalah pada sektor pertanian dan perkebunan. Hasil utama dari lahan yang dimiliki masyarakat adalah padi, sayur-sayuran, buah-buahan, dan kayu rakyat. Pada beberapa desa yang berada di dekat lokasi perkebunan teh dan penambangan emas, sebagian warga desa juga bekerja pada perusahaan perkebunan dan pertambangan tersebut.
Peluang memperoleh pekerjaan bagi
warga desa di kawasan TNGHS hanya terdapat pada empat lokasi perkebunan teh, dua tambang emas legal, dan pada lahan hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani (Budiman & Adhikerana 2000). Dengan keterbatasan lapangan pekerjaan yang ada di desa, maka terdapat beberapa kepala keluarga yang bekerja di luar sektor pertanian, diantaranya adalah sebagai: pedagang, tukang, peternak, dan wiraswasta. Sebagian besar warga desa yang tidak memiliki lahan pertanian, menggarap lahan pertanian milik orang lain, dengan sistem sewa atau bagi hasil. Disamping itu, beberapa warga desa bekerja sebagai tenaga buruh harian sebagai buruh tani, buruh angkut kayu, dan buruh pertukangan. Beberapa warga desa yang memiliki sedikit lahan garapan, juga bekerja sebagai tenaga buruh harian di sela-sela mengelola lahan garapan mereka.
Hal ini dilakukan untuk mendapatkan
penghasilan tambahan pada saat menunggu panen padi sawah atau padi ladang. Selain itu, pada beberapa desa sampel juga terdapat lapangan pekerjaan sebagai penyedia jasa angkutan/ojek kendaraan bermotor roda dua.
Kondisi
seperti ini ditemukan pada desa-desa dimana jalur angkutan mobil umum tidak sampai ke desa, antara lain: Desa Cikate, Cirompang, Sirnagalih, dan Pasir Haur. Biasanya kendaraan ojek ini, digunakan untuk menghubungkan desa dengan pasar, kota kecamatan, atau mengangkut sarana produksi pertanian (pupuk dan obat-obatan).
134 Menurut Simon (2004), permasalahan pembangunan masyarakat desa di sekitar hutan biasanya disebabkan oleh pengaruh pertambahan jumlah penduduk desa.
Pertambahan jumlah penduduk desa akan menyebabkan berkurangnya
kesempatan kerja di bidang pertanian, dan terjadi penurunan tingkat pendapatan per kapita serta taraf hidup masyarakat. Untuk itu diperlukan penciptaan lapangan kerja lain, seperti di bidang industri, perdagangan, dan jasa. Sehingga angkatan kerja yang selama ini bertumpuk di sektor pertanian dapat diserap oleh sektor lain. Sebagai konsekuensi dari ketersediaan lapangan pekerjaan pada bidang pertanian dan perkebunan, maka dibutuhkan lahan garapan bagi setiap warga desa. Luas lahan pertanian yang ada di desa amat terbatas, dan cenderung untuk tetap dari tahun ke tahun. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan lahan pertanian, sebagian besar warga masyarakat menggarap lahan pada kawasan hutan yang berada di sekitar desa. Peluang masyarakat desa untuk mendapatkan pekerjaan di luar sektor pertanian sangat kecil, karena dibatasi oleh tingkat pendidikan formal yang rendah. Dengan tingkat pendidikan rata-rata hanya sampai pada tingkat sekolah dasar, sangat sulit untuk bersaing mencari lapangan pekerjaan di kota. Hal ini mengakibatkan tidak adanya pilihan bagi warga desa, selain bekerja pada sektor pertanian. Padahal dengan semakin mahalnya sarana produksi pertanian, seringkali usaha di bidang pertanian dianggap tidak menguntungkan lagi. Perpindahan penduduk ke kota dan kemajuan di bidang industri berpengaruh secara tidak langsung terhadap penurunan luas hutan (Geist & Lambin 2001a, 2001b). Perpindahan penduduk berpengaruh positif terhadap kelestarian sumber daya hutan, dimana tingkat ketergantungan terhadap sumber daya hutan akan semakin berkurang dengan banyaknya penduduk yang mencari lapangan pekerjaan di kota. Menurut Chakraborty (1994), penurunan deforestasi di India secara signifikan disebabkan oleh peningkatan kepadatan penduduk kota, dimana terjadi pengalihan lapangan pekerjaan pada sektor industri. Untuk mendapatkan pekerjaan di bidang industri di kota, diperlukan tingkat pendidikan formal yang cukup. Dengan tingkat pedidikan formal warga desa yang rata-rata hanya pada tingkat dasar, lapangan pekerjaan yang tersedia adalah berupa pekerjaan kasar sebagai tenaga harian dan berdagang kecil-kecilan. Biasanya warga yang berusaha di kota adalah sebagai buruh bangunan, berdagang
135 buah-buahan dan sayur-sayuran, serta menjual hasil kerajinan tangan dan cindera mata secara keliling. Khusus di desa Pasir Madang, keahlian sebagian warga desa di bidang pertukangan telah memberikan kesempatan kerja kepada mereka untuk mengerjakan pembuatan bangunan perumahan dan pertokoan dengan sistem borongan di daerah perkotaan atau daerah lain di sekitar tempat tinggal mereka. Pada beberapa desa sampel, penduduk perempuan pada usia produktif biasanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dan bekerja pada perusahaan swasta di Sukabumi, Jakarta, Tangerang, dan Bogor.
Kesibukan masyarakat
perkotaan telah menciptakan peluang pekerjaan bagi perempuan untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan pengasuh anak, dengan sistem gaji bulanan. Di bidang industri, pada daerah perkotaan cukup banyak perusahaan swasta yang mengutamakan tenaga kerja perempuan, terutama pada perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan pakaian, sepatu, dan boneka. Berdasarkan hasil wawancara, pada beberapa keluarga di desa-desa sampel, jumlah kiriman dari anggota keluarga perempuan yang bekerja di kota cukup membantu pemenuhan kebutuhan hidup keluarga.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikasi tingkat kesejahteraan masyarakat.
Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka terdapat kemungkinan
untuk lebih mudah memperoleh lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian. Data mengenai pendidikan formal yang diperoleh responden hanya dikelompokkan menjadi dua, yaitu lulus dan tidak lulus sekolah dasar (Tabel 43). Lebih dari setengah jumlah responden, telah mendapatkan pendidikan formal sampai pada tingkat sekolah dasar. Ukuran mendasar yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat pendidikan, adalah kemampuan baca tulis penduduk dewasa.
Menurut BPS
(2004), penduduk yang tidak dapat membaca atau buta huruf lebih banyak pada kelompok penduduk usia 50 tahun ke atas. Selain itu, rata-rata lama sekolah juga menunjukkan jenjang pendidikan yang telah dicapai.
Pada skala nasional,
rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas baru mencapai 7.1 tahun (BPS 2004). Hal ini berarti rata-rata baru sampai pada tingkat pendidikan Sekolah
136 Menengah Pertama pada kelas satu.
Sehingga sangatlah wajar jika rata-rata
tingkat pendidikan warga masyarakat desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS adalah pada tingkat dasar.
Disamping itu, dengan adanya
program pengentasan buta huruf, hampir seluruh warga desa juga sudah dapat membaca dan menulis. Tabel 43 Tingkat pendidikan kepala keluarga pada desa-desa sampel Kabupaten
Bogor
Kecamatan
Cigombong Cijeruk
Desa
Tugu Jaya Cijeruk Sukaharja Jasinga Jugalajaya Nanggung Bantarkaret Malasari Sukajaya Pasirmadang Sukamulih Taman Sari Sukajaya Sukabumi Cikakak Cileungsing Margalaksana Sirnarasa Cikidang Cikiray Mekarnangka Cisolok Cikelat Sirnaresmi Kabandungan Cipeuteuy Klpanunggal Pulosari Lebak Cibeber Ciparay Cisungsang Citorek Kujang Jaya Sirnagalih Cijaku Cikate Cipanas Luhur Jaya Pasir Haur Lbak Gedong Banjar Irigasi Lebak Gedong Lebak Situ Sobang Cirompang Jumlah
Strata
1 1 1 5 1 2 9 5 1 1 13 7 1 5 9 3 1 1 4 3 8 1 5 5 13 5 9 6 4 5
Pendidikan tidak lulus SD Lulus SD Σ % Σ % 6 20.00 24 80.00 0 0.00 30 100.00 7 23.33 23 76.67 22 73.33 8 26.67 0 0.00 30 100.00 1 3.33 29 96.67 24 80.00 6 20.00 17 56.67 13 43.33 3 10.00 27 90.00 3 10.00 27 90.00 20 66.67 10 33.33 23 76.67 7 23.33 23 76.67 7 23.33 18 60.00 12 40.00 8 26.67 22 73.33 17 56.67 13 43.33 4 13.33 26 86.67 0 0.00 30 100.00 30 100.00 0 0.00 7 23.33 23 76.67 24 80.00 6 20.00 8 26.67 22 73.33 12 40.00 18 60.00 22 73.33 8 26.67 30 100.00 0 0.00 22 73.33 8 26.67 14 46.67 16 53.33 17 56.67 13 43.33 20 66.67 10 33.33 30 100.00 0 0.00 432 48.00 468 52.00
Pada umumnya, kesempatan untuk melanjutkan pendidikan formal pada tingkat yang lebih tinggi, hanya dimiliki oleh anak-anak dari keluarga kaya. Hal ini berhubungan dengan jauhnya sarana pendidikan, pertimbangan biaya,
137 kurangnya perhatian dari orang tua akan pentingnya pendidikan, dan keadaan geografis yang kurang menguntungkan.
Pada beberapa desa sampel, banyak
dijumpai anak-anak usia sekolah yang sudah tidak bersekolah atau hanya menamatkan jenjang pendidikan pada tingkat sekolah dasar saja. Walaupun demikian, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, pada setiap desa telah terdapat gedung sekolah dasar.
Hanya saja tidak diimbangi oleh
ketersediaan tenaga pengajar yang memadai.
Lokasi desa yang berada di
pinggiran hutan, menyebabkan keengganan beberapa tenaga pengajar untuk bertahan lama pada sekolah-sekolah yang ada di desa. Padahal dengan kurangnya tenaga pengajar, maka proses belajar mengajar akan sangat terganggu. Untuk mengatasi hal tersebut, pada beberapa desa dijumpai beberapa tenaga pengajar honorer yang turut membantu terlaksananya kegiatan di sekolah. Untuk meningkatkan tingkat partisipasi sekolah, maka harus diikuti oleh peningkatan fasilitas pendidikan, terutama pada daya tampung ruang kelas. Banyaknya murid pada setiap jenjang pendidikan harus diimbangi oleh banyaknya ruang kelas. Sehingga tidak terjadi kekurangan daya tampung sekolah, terutama pada desa-desa dengan tingkat partisipasi sekolah yang tinggi.
Pengetahuan Masyarakat Lokal
Sebagian besar masyarakat sudah mengetahui akan arti pentingnya kawasan hutan.
Bahkan pada beberapa desa telah dilakukan kegiatan yang bertujuan
melestraikan keberadaan kawasan hutan.
Apalagi dengan adanya beberapa
kegiatan lembaga non pemerintah (LSM), yang memberikan bantuan dana dan pendampingan kepada anggota masyarakat. Bentuk-bentuk pengetahuan masyarakat lokal yang dapat diidentifikasi, antara lain: sistem pengairan sederhana, pengendalian hama, pengolahan hasil pertanian, tumbuhan obat, dan pengolahan hasil hutan non kayu (anyaman, dinding rumah, atap daun kirai dan ijuk, gula aren, dan kerajinan tangan lainnya). Sistem pengairan sederhana telah digunakan oleh masyarakat untuk mengairi sawah dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Sumber air yang berasal dari hutan dialirkan melalui bambu dan pipa menuju lahan sawah dan areal pemukiman penduduk.
138 Pengetahuan terhadap manfaat hutan, telah diketahui sejak dulu. Bahkan warga yang masih tunduk kepada aturan adat (warga kasepuhan), masih mengakui adanya pengaturan wilayah hutan dan mematuhi bahwa ada sebagian dari kawasan hutan yang tidak boleh digarap sama sekali. Penanaman padi sawah yang diatur oleh tetua adat adalah satu kali per tahun secara serempak, dan jenis tanaman padi yang ditanam adalah jenis lokal saja. Walaupun umur panen lebih panjang, tetapi jenis padi tersebut lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Aktivitas penanaman padi yang hanya dilakukan satu kali dalam setahun juga dipercayai akan memutuskan siklus hama dan penyakit tanaman. Pada proses pengolahan lahan, hanya digunakan bajak yang ditarik oleh kerbau. Hal ini diyakini oleh masyarakat membuat lahan lebih subur jika dibandingkan dengan menggunakan mesin traktor, di samping kondisi lahan pertanian yang berada pada tempat berbukit juga memang tidak memungkinkan penggunaan mesin traktor. Pada proses penyimpanan hasil panen padi, terlebih dahulu dilakukan penjemuran selama dua minggu sebelum padi dimasukkan ke dalam lumbung (Gambar 31). Konstruksi lumbung padi juga khas, sehingga tikus tidak dapat masuk ke dalam lumbung padi.
Lokasi lumbung padi dibangun secara
berkelompok pada lokasi khusus yang berada cukup jauh dari lokasi pemukiman. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari habisnya cadangan bahan pangan jika terjadi kebakaran pada wilayah pemukiman.
Gambar 7
Pengolahan dan penyimpanan hasil panen.
139 Pada bidang kesehatan, manfaat tumbuhan obat sudah dikenal sejak dulu. Tetapi pada saat ini, hanya sebagian kecil saja dari tumbuhan obat tersebut yang masih dimanfaatkan untuk kepentingan pengobatan. Hal ini berhubungan dengan semakin sulitnya mencari tumbuhan obat, dan juga semakin berkembangnya pengetahuan masyarakat tentang obat-obatan dan pelayanan kesehatan yang dapat diperoleh di desa. Sehingga intensitas pemanfaatan tumbuhan obat yang berada di dalam kawasan TNGHS semakin berkurang, bahkan tidak ada lagi. Bentuk-bentuk pengetahuan masyarakat lokal yang tetap dipertahankan oleh masyarakat kasepuhan dalam pengelolaan lahan pertanian dan kehidupan sehari-hari merupakan cerminan dari upaya pelestarian terhadap lingkungan. Secara tidak langsung telah diterapkan berbagai upaya konservasi terhadap keanekaragaman hayati yang ada di dalam kawasan TNGHS.
Adat Istiadat
Pada beberapa desa, pengaruh tetua adat masih kuat sekali pengaruhnya terhadap aktivitas anggota masyarakat. Hal ini ditemukan pada desa-desa yang termasuk ke dalam strata 3, 4, 7, dan 8. Terdapat beberapa kekurangan dan kelebihan dari kuatnya pengaruh tetua adat. Dampak positif dari pengaruh tetua adat ini adalah adanya rasa kebersamaan dan kekompakan pada pengelolaan sumber daya alam. Adanya aturan adat yang menetapkan pembagian kawasan hutan yang boleh digarap dan yang harus dilestarikan adalah suatu bentuk pelestarian terhadap sumberdaya hutan. Dampak negatif dari adanya aturan adat ini adalah hanya dilakukannya penanaman padi sawah selama satu kali dalam setahun. Dari segi produktivitas lahan, maka hal ini akan menyebabkan berkurangnya penghasilan warga desa, dimana terdapat masa bera yang cukup panjang. Walaupun dari segi pengetahuan tradisional, hal ini dianggap sebagai salah satu cara untuk memutuskan siklus hama. Bila kegiatan pertanian dilakukan secara lebih intensif lagi, maka akan terdapat kemungkinan terjadinya peningkatan produksi hasil pertanian. Sehingga tidak diperlukan lagi penambahan luas lahan garapan, tetapi hanya diperlukan asupan teknologi pertanian yang lebih baik.
140 Terdapat juga kebiasaan warga desa untuk selalu menanami lahan kebun dengan berbagai jenis tanaman buah-buahan dan sayur-sayuran, seperti: pisang, aren, durian, rambutan, pepaya, alpukat, cabe, ubi jalar, dan singkong. Sehingga untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga sehari-hari, sudah bisa tercukupi oleh adanya hasil kebun tersebut. Bahkan, beberapa bahan makanan yang laku di pasaran lokal, telah diperjualbelikan oleh masyarakat. Khusus untuk beras, warga masyarakat adat tidak diperbolehkan memperjualbelikannya. Hal ini dianggap tabu, karena sangat sulit untuk mencari beras jika sudah tidak ada lagi persediaan pada lumbung milik keluarga. Hasil panen padi hanya didapatkan satu tahun sekali, sehingga terdapat kecendrungan di antara warga masyarakat untuk tetap menyimpan hasil panen padi, walaupun jumlah hasil panen sudah melebihi untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga selama menunggu panen padi pada tahun berikutnya. Menurut reponden, adanya ketidakpastian pengelolaan selama masa peralihan pengelolaan dari Perhutani kepada pihak taman nasional juga merupakan salah satu penyebab masih terjadinya penebangan kayu dan perambahan di kawasan TNGHS. Terdapat keinginan dari warga masyarakat adat untuk diberi kepercayaan pada pengelolaan hutan yang berada di sekitar wilayah desa. Hal ini didasari pada keyakinan warga masyarakat adat, bahwa dengan penerapan aturan adat yang selama ini masih diakui oleh warga, maka hutan di kawasan TNGHS akan jauh lebih aman dari gangguan.
Persamaan Jender
Tidak ditemukan adanya pengelompokan pekerjaan berdasarkan jender. Beberapa aktivitas yang biasanya dilakukan oleh laki-laki juga dikerjakan oleh perempuan, termasuk dalam pengolahan lahan pertanian (Gambar 32). Secara bersama-sama setiap anggota keluarga turut membantu dalam mengerjakan lahan garapan mereka. Dalam keluarga, istri kepala keluarga mempunyai tanggungjawab utama pada pengolahan bahan makanan, proses kelahiran anggota keluarga yang baru, serta pengurusan rumah tangga dan anggota keluarga. Tetapi, pada waktu luang dan volume pekerjaan pada lahan garapan sedang membutuhkan tenaga yang
141 cukup banyak untuk pengolahan lahan, mereka juga turut membantu dalam pengolahan lahan pertanian.
Aktivitas memasak bahan makanan sangat
dibutuhkan pada penyediaan makanan bagi setiap anggota keluarga.
Adanya
aturan adat yang tidak memperbolehkan pengunaan mesin penggiling padi, menyebabkan pengolahan padi dilakukan dengan metode tradisional yaitu ditumbuk dengan menggunakan alu dan lesung.
Gambar 8 Aktivitas ibu rumah tangga. Di samping peranan utama pada pengolahan bahan makanan, kaum perempuan juga bertanggungjawab terhadap perawatan kesehatan keluarga, dan berperan pada keberlanjutan silsilah keluarga.
Perawatan kesehatan keluarga
meliputi usaha usaha menjaga kebersihan rumah, dan merawat anggota keluarga yang sakit. Kodrat perempuan untuk melahirkan anak, merupakan indikasi bahwa mereka mempunyai peranan yang sangat penting dalam keberlanjutan silsilah keluarga.
Dengan adanya penambahan jumlah angota keluarga berarti juga
penambahan tenaga kerja yang dapat dimanfaatkan untuk pengolahan lahan pertanian keluarga. Tidak terdapatnya pembedaan perkerjaan antara laki-laki dan perempuan, telah memberi kesempatan kepada perempuan untuk turut berperan pada perubahan dan penggunaan lahan di kawasan TNGHS. Peranan perempuan ini dapat berupa pengolahan lahan secara terus menerus atau hanya secara periodik pada saat pemanenan hasil pertanian. Biasanya untuk menambah penghasilan pada saat lahan sawah atau lahan garapan lainnya belum menghasilkan, maka
142 anggota keluarga perempuan juga bekerja sebagai buruh tani. Hasil pendapatan dari kegiatan ini cukup memberikan kontribusi bagi jumlah pendapatan keluarga. Di Taman Nasional Jau Brazil, sebagian besar populasi perempuan dewasa dan pada usia sekolah adalah buta huruf (Oliveira & Anderson 1999). Perempuan bertanggungjawab pada kesehatan anggota keluarga, dengan memanfaatkan tanaman obat yang ada di kebun mereka.
Di samping itu, mereka juga
mengumpulkan jerami untuk alas rumah, mencari ikan, dan mengumpulkan bahan untuk membuat dinding rumah. Pada desa-desa sampel penelitian, beberapa kepala rumah tangga hanya mengerjakan sawah dan ladang pada tahapan persiapan bercocok tanam. Setelah sawah atau ladang telah ditanami, mereka bekerja di luar desa sebagai penambang emas atau berdagang ke kota. Pada waktu kepala keluarga tidak berada di rumah, maka
istrinya
mempunyai
tanggungjawab
untuk
melanjutkan
kegiatan
pemeliharaan tanaman pada sawah atau ladang, di samping menjalankan aktivitas rumah tangga. Kegiatan pengolahan sawah dan ladang yang biasanya dilakukan oleh perempuan adalah berupa kegiatan pemeliharaan tanaman dan pengolahan lahan yang tidak memerlukan banyak tenaga fisik.
Keadaan Rumah
Adanya tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan manusia selain sandang dan pangan.
hidup pokok
Selain sebagai tempat berteduh dan
berlindung, rumah juga diperlukan untuk memberi rasa aman penghuninya dari gangguan yang tidak diinginkan. Rumah menjadi tempat berkumpul bagi para penghuni rumah yang biasanya masih memiliki satu ikatan keluarga. Keadaan rumah juga dapat dijadikan sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin baik fasilitas yang dimiliki suatu rumah, dapat diasumsikan bahwa semakin sejahtera keluarga yang menempati rumah tersebut.
Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan
tersebut dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas tempat buang air besar, dan tempat penampungan kotoran akhir. Fasilitas pokok yang penting agar rumah nyaman dan sehat untuk ditempati adalah adalah tersedianya penerangan listrik, air bersih, serta jamban dengan tangki septiknya. Menurut
143 BPS (2004), kualitas rumah tinggal dapat dibedakan berdasarkan: 1) luas lantai per kapita; 2) jenis lantai rumah; 3) jenis atap rumah; dan 4) jenis dinding rumah. Bentuk rumah berkaitan dengan cara manusia untuk mengatasi atau menghindarkan diri dari gangguan bahaya.
Sebagian besar rumah pada
desa-desa sampel adalah rumah pangung, dengan lantai dari kayu, atap dari ijuk dan daun kirai, dinding rumah dari anyaman bambu atau kayu (Gambar 28). Tetapi pada beberapa desa, dimana akses ke pusat pasar lebih mudah, rumah telah dibangun dengan konstruksi semen dan batu.
Gambar 9 Keadaan rumah pada desa-desa sampel.
Adanya perubahan bentuk dan konstruksi rumah, juga berpengaruh terhadap pemanfaatan sumber daya kayu di kawasan TNGHS. Hal ini dapat dilihat dari kebutuhan kayu konstruksi untuk membangun rumah yang cenderung semakin berkurang. Penggunaan bahan-bahan konstruksi rumah dari semen, pasir, dan batu, telah menyebabkan berkurangnya penggunaan kayu bangunan. Berdasarkan pengamatan terhadap keadaan rumah pada sebagian besar desa sampel, didapatkan gambaran bahwa tidak terdapat fasilitas yang cukup memadai pada setiap rumah. Terutama pada penyediaan fasilitas MCK, dimana sebagian besar warga masih menggunakan sungai sebagai tempat mandi, mencuci, dan buang air besar. Dilihat dari ketersediaan air bersih, hanya beberapa rumah saja yang terdapat sumur. Sebagian besar masih memanfaatkan air sungai dan sumber mata air yang ada di sekitar desa. Dapat juga dikatakan bahwa sebagian besar warga desa belum memiliki fasilitas yang cukup memadai pada rumah tinggal mereka, terutama dari segi kebersihan dan kesehatan.
144
Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat desa adalah: transportasi, kesehatan, dan pendidikan. Ketersediaan dan kondisi sarana prasarana tersebut akan berpengaruh terhadap taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa. Menurut beberapa responden, kebutuhan sarana yang paling utama adalah sarana transportasi, baik berupa jalan maupun jembatan.
Terdapat dua desa
dengan kondisi transportasi yang cukup sulit untuk dicapai, yaitu Desa Cikate, dan Desa Sirnagalih di Kabupaten Lebak. Pada desa dengan tingkat kelancaran transportasi yang rendah, terdapat kecendrungan akan semakin sulit untuk memasarkan hasil pertanian dan perkebunan. Hal ini akan berimbas terhadap tingkat pendapatan dan kelancaran informasi yang diterima oleh anggota masyarakat yang hidup di desa tersebut. Pada bidang kesehatan, dari data sekunder dan pengamatan lapangan, didapatkan bahwa pada setiap desa telah terdapat sarana dan prasarana yang cukup memadai. Pada tingkat kecamatan telah tersedia Puskesmas, dan pada tingkat desa tersedia Pos Yandu dan Bidan desa.
Untuk pengobatan terhadap
penyakit yang tidak terlalu parah, sudah dapat diobati di kecamatan. Bahkan beberapa keluarga yang cukup mampu, dapat mendatangkan tenaga medis ke desa. Berdasarkan informasi responden, telah terjadi peralihan terhadap pola pengobatan tradisional menjadi pengobatan dengan tenaga medis.
Sehingga
terjadi penurunan pemanfaatan tumbuhan obat yang ada di kawasan TNGHS. Pada bidang pendidikan, didapatkan data bahwa pada semua desa sampel, minimal terdapat satu sekolah dasar. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kesempatan bagi warga desa usia sekolah untuk mendapatkan pendidikan, minimal sampai pada tingkat dasar. Untuk melanjutkan pendidikan pada tingkat yang lebih tinggi, maka harus melanjutkan di kota kecamatan atau kabupaten. Tetapi, terdapat tiga desa di Kabupaten Lebak (Ciparay, Luhur Jaya, dan Cirompang) dimana seluruh responden tidak lulus sekolah dasar. Hal ini menurut responden, karena pendirian sarana pendidikan di desa baru dilakukan pemerintah secara merata pada sekitar tahun 1980-an. Sehingga warga masyarakat yang telah berumur lebih dari 35 tahun rata-rata tidak mendapatkan pendidikan formal.
145
Pemerataan
Tarap hidup masyarakat yang ada pada suatu desa biasanya cukup merata, hal ini dapat dilihat dari data-data responden pada desa-desa sampel. Tingkat pemerataan ini dilihat dari tingkat pendapatan, pemilikan lahan pertanain, kelaskelas rumah, dan lapangan pekerjaan. Sebagian besar responden bekerja pada sektor pertanian, sehingga tidak terdapat perbedaan jumlah pendapatan yang sangat mencolok antara warga yang satu dengan yang lainnya.
Penghasilan sampingan didapatkan dari kegiatan
berdagang, pertukangan, hasil kerajinan tangan, pembuatan dinding dan atap rumah, membuat gula aren, pertambangan emas dan timah, dan sebagai buruh harian. Tingkat pendapatan rata-rata setiap kepala keluarga di desa-desa sampel pada tahun 2004 adalah sebesar Rp 5.5 juta per tahun (Tabel 21). Kepemilikan lahan pertanian dan pemukiman rata-rata setiap kepala keluarga yang ada di desadesa sampel pada tahun 2004 adalah seluas 0.95 hektar (Tabel 32). Tidak terdapat perbedaan tingkat pendapatan dan kepemilikan lahan yang sangat mencolok di antara warga desa pada desa-desa sampel. Sebagian besar rumah responden terbuat dari dinding dan lantai kayu, dan beratap daun kirai yang dilapisi ijuk dari pohon aren. Dari keseluruhan rumah yang ada pada desa-desa sampel, hanya sekitar 10% saja yang sudah menggunakan konstruksi semi permanen, dimana lantai dan dinding terbuat dari semen dan beratap genteng. Pada desa-desa yang sangat jauh lokasinya dari pusat pasar dan berbatasan langsung dengan kawasan hutan, penggunaan bahan kayu merupakan pilihan utama.
Disamping kayu yang masih banyak tersedia,
pengerjaannya juga lebih mudah dan praktis, serta sesuai dengan adat kebiasaan yang diwariskan oleh leluhur mereka. Kesenjangan antar warga masyarakat tidak begitu terasa, karena jumlah pendapatan setiap warga desa hampir sama dan kesempatan memperoleh lapangan pekerjaan di bidang pertanian masih cukup tersedia. Warga yang tidak memiliki lahan, masih dapat bekerja pada sektor pertanian dengan menyewa lahan, menggarap lahan milik orang lain dengan sistem sewa, gadai, maro, atau bagi hasil panen. Jika memang tidak memiliki lahan, dan keterbatasan modal untuk menyewa lahan, maka warga desa masih dapat bekerja sebagai buruh tani.
146
Peubah Sosial Ekonomi Kunci/Dominan
Peubah sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS, dapat dikelompokkan menjadi: a) peubah yang berpengaruh langsung; dan b) peubah yang berpengaruh tidak langsung. Peubah langsung merupakan peubah yang secara langsung mempengaruhi perubahan penggunaan dan penutupan lahan.
Peubah yang termasuk pada
kelompok ini berupa aktivitas pemanfaatan sumber daya alam, antara lain: pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu, perluasan dan pengolahan lahan pertanian, perluasan areal pemukiman, kegiatan pertambangan, dan pembuatan sarana dan prasarana transportasi (jalan dan jembatan). Sedangkan peubah tidak langsung adalah peubah yang secara tidak langsung mempengaruhi perubahan penggunaan dan penutupan lahan.
Peubah sosial
ekonomi yang termasuk pada kelompok ini merupakan peubah-peubah yang berkaitan dengan faktor kependudukan, antara lain: jumlah penduduk, kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, tekanan penduduk, mata pencaharian, tingkat pendapatan, kepemilikan dan penguasaan lahan, kebutuhan lahan garapan dan pemukiman, kebutuhan untuk hidup layak, aksesibilitas terhadap sumber daya alam, tingkat pendidikan, pengetahuan masyarakat lokal, adat istiadat, persamaan jender, serta sarana dan prasarana. Dari hasil identifikasi terhadap berbagai peubah sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS, dapat diketahui beberapa peubah yang pengaruhnya sangat dominan yaitu: kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan lahan pertanian, dan perluasan pemukiman. Hal ini didasarkan pada hasil analisis deskriptif dan tabulasi terhadap data-data yang didapatkan dari hasil pengamatan di lapangan dan data-data sekunder yang didapatkan dari berbagai sumber.
Terdapat kecendrungan bahwa terdapat hubungan yang erat antara
faktor-faktor kependudukan dan adanya aktivitas warga desa dengan perubahan luas hutan alam yang terjadi pada setiap strata desa. Akan tetapi, untuk melihat seberapa besarnya pengaruh dari peubah-peubah yang dianggap sebagai peubah kunci/dominan terhadap laju perubahan pengunaan
147 dan penutupan lahan, maka harus dilakukan pengujian dengan analisis statistik. Masih terdapat kemungkinan bahwa peubah-peubah yang dianggap dominan tersebut, secara statistik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS. Hasil penelitian pada beberapa lokasi di berbagai negara, menunjukkan perbedaan pendapat tentang pengaruh peubah sosial ekonomi terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan. Terdapat juga berbagai perbedaan mengenai peubah yang dianggap bepengaruh. Hal ini mencerminkan bahwa cukup sulit untuk menentukan pengaruh peubah sosial ekonomi terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan, tergantung dengan lokasi dan permasalahan yang menjadi pokok penelitian. Sebagian peneliti berpendapat bahwa terdapat pengaruh berbagai faktor kependudukan terhadap deforestasi, terutama pada daerah atau kawasan hutan yang berdekatan dengan lokasi pemukiman.
Terdapat kecendrungan adanya
pengaruh penduduk yang kuat terhadap pelestarian dan pemanfaatan sumber daya hutan.
Secara teori, penduduk akan mempengaruhi deforestasi melalui:
1) perubahan jumlah keluarga di desa yang membutuhkan lahan pertanian, kayu bakar atau kayu; 2) secara tidak langsung mempengaruhi pemasaran tenaga kerja; 3) permintaan hasil pertanian dan hasil hutan; dan 4) penggunaan teknologi dan kelembagaan (Kaimowitz & Angelsen 1998). Menurut Palo (1994), pada daerah tropis, tekanan penduduk berkorelasi dengan luas penutupan hutan. Walaupun menurut Geist dan Lambin (2001a), pengaruh tekanan penduduk hanya kadangkadang dan masih belum terlalu jelas. Geist dan Lambin (2001a) mengelompokkan peubah yang menjadi penyebab deforestasi pada tiga kelompok, yaitu: 1) perluasan lahan pertanian dan peternakan: perladangan berpindah, perladangan menetap, peternakan, kolonisasi dan transmigrasi;
2) pemanenan kayu: kayu komersial, kayu bakar, arang,
pancang; dan 3) perluasan infrastruktur: transportasi, prasarana pasar, fasilitas umum, pengembangan pemukiman, dan prasarana perusahaan pribadi.
Lebih
lanjut, menurut Geist dan Lambin (2001a) kekuatan yang mendasari terjadinya deforestasi lebih dilihat dari adanya proses sosial. Kekuatan ini dapat dilihat sebagai suatu permasalahan sosial, politik, ekonomi, teknologi, dan budaya,
148 dimana pada awalnya terdapat hubungan yang terstruktur/dinamis antara manusia dan alam.
Faktor-faktor yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah:
1) kependudukan: dinamika populasi manusia, tekanan penduduk; 2) ekonomi: pertumbuhan ekonomi, pembangunan, komersialisasi; 3) teknologi: perubahan dan kemajuan teknologi; 4) kebijakan dan kelembagaan: perubahan atau dampak kelembagaan politik-ekonomi, perubahan kelembagaan; dan 5) budaya: kondisi sosial-politik. Menurut Panayotou dan Sungsuwan (2001), deforestasi pada daerah tropis diakibatkan oleh tiga alasan yang terkait dengan permintaan, yaitu: a) kebutuhan kayu (legal dan ilegal); b) kebutuhan kayu bakar, makanan ternak, dan produk lainnya oleh masyarakat lokal untuk konsumsi langsung; dan c) kebutuhan lahan untuk perladangan berpindah dan pertanian menetap, hutan tanaman, tanaman tahunan, tanaman musiman, dan persediaan makanan ternak. Terkait dengan perluasan areal pertanian, Rudel dan Horowitz (1993) menyatakan bahwa pada lokasi dengan luas hutan yang sedikit, kelompok kecil masyarakat membuka sisa hutan dan memanfaatkannya untuk tanaman pertanian ketika terjadi peningkatan harga komoditas pertanian. Pada lokasi dengan hutan yang luas, kelompok masyarakat tidak dapat membuka hutan lebih luas, karena peningkatan harga tidak berpengaruh terhadap kebutuhan pembangunan jalan untuk memasarkan barang-barang dari areal bukaan yang baru.
Hal ini
disebabkan oleh tidak tersedianya cukup dana untuk membangun jalan, dan pemerintah yang membangun jalan pada daerah tersebut tidak memperoleh manfaat langsung dari adanya peningkatan harga komoditas pertanian.
Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi Kunci/Dominan
Untuk melihat besarnya pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan terhadap laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS pada desa-desa sampel, digunakan model persamaan regresi linier berganda. Hasil pengujian pengaruh tersebut, dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 16 dan Lampiran 17. Pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan dapat dilihat dari pengaruhnya terhadap laju
149 penurunan luas hutan alam dan perubahan persentase luas hutan alam. Pada analisis terhadap laju penurunan luas hutan alam, data-data peubah tak bebas yang digunakan merupakan data pada suatu interval waktu tertentu. Sehingga data-data peubah bebas yang digunakan juga merupakan data pada interval waktu tersebut. Pada penelitian ini, peubah bebas yang digunakan adalah: 1) laju pertumbuhan penduduk; 2) laju perubahan luas kepemilikan lahan; dan 3) laju perubahan luas ladang dan sawah. Pada perubahan persentase luas hutan, data yang digunakan merupakan data pada satu titik, yaitu data-data pada suatu tahun tertentu. Sehingga peubah bebas yang digunakan juga merupakan data-data pada satu titik tahun yang sama. Pada penelitian ini, peubah bebas yang digunakan adalah: 1) kepadatan penduduk; 2) luas kepemilikan lahan; 3) luas areal pemukiman; dan 4) luas ladang dan sawah.
Analisis Pengaruh terhadap Laju Penurunan Luas Hutan Alam
Pada model persamaan yang dihasilkan, peubah tak bebas yang digunakan adalah laju penurunan luas hutan alam (Y1). Sedangkan peubah bebas yang digunakan adalah: laju pertumbuhan penduduk rata-rata pada setiap strata desa (X1), laju perubahan luas kepemilikan lahan rata-rata pada setiap strata desa (X2), dan laju perubahan luas ladang dan sawah rata-rata pada setiap strata desa (X3). Dari hasil analisis regresi didapatkan bahwa pengaruh peubah sosial ekonomi terhadap laju perubahan luas hutan alam hanya terjadi pada desa-desa yang termasuk strata 9 (Lampiran 16). Sedangkan pada strata desa yang lainnya, tidak terdapat hubungan antara peubah sosial ekonomi kunci/dominan dengan laju perubahan luas hutan alam. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya nilai peluang nyata hasil pengujian yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan. Pada desa-desa strata 9, ketiga peubah sosial ekonomi kunci/dominan yang diuji semuanya berpengaruh terhadap laju perubahan luas hutan alam, dengan model persamaan sebagai berikut: Y1 = 3.471 + 5.627X1 + 3.000X2 – 0.230X3
150 Dari hasil pengujian, diperoleh hasil bahwa pada taraf nyata 5%, peubah sosial ekonomi kunci/dominan berpengaruh nyata terhadap persentase luas hutan dengan peluang nyata 0.020. Koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 100.00%, yang menunjukkan bahwa semua keragaman dari persentase luas hutan dapat dijelaskan oleh model persamaan regresi. Dari model persamaan, dapat disimpulkan bahwa jika terjadi perubahan pada X1 satu satuan, X2 dan X3 tetap, akan mengakibatkan Y1 berubah sebesar 5.627 satuan. Jika terjadi perubahan pada X2 satu satuan, X1 dan X3 tetap, akan mengakibatkan Y1 berubah sebesar 3.000 satuan. Jika terjadi perubahan pada X3 satu satuan, X2 dan X3 tetap, akan mengakibatkan Y1 berubah sebesar 0.230 satuan. Dapat juga disimpulkan bahwa pada desa-desa strata 9, semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk dan laju perubahan luas kepemilikan lahan, maka laju penurunan luas hutan alam semakin tinggi. Semakin tinggi laju perubahan luas ladang dan sawah, maka laju penurunan luas hutan alam akan semakin rendah.
Analisis Pengaruh terhadap Persentase Luas Hutan Alam
Hasil pengujian statistik pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan terhadap perubahan persentase luas hutan alam pada desa-desa sampel dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 17. Pada analisis, peubah tak bebas yang digunakan adalah persentase luas hutan alam rata-rata pada setiap strata desa (Y2).
Sedangkan peubah bebas yang
digunakan adalah: kepadatan penduduk rata-rata pada setiap strata desa (X1), luas kepemilikan lahan rata-rata pada setiap strata desa (X2), luas areal pemukiman rata-rata pada setiap strata desa (X3), dan luas ladang dan sawah rata-rata pada setiap strata desa (X4). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan terhadap persentase luas hutan terdapat pada desa-desa strata 1, strata 2, strata 5, strata 7, dan strata 9. Sedangkan pada desa-desa strata 3, strata 4, strata 6, strata 8, dan strata 13, tidak terdapat hubungan linier antara peubah sosial ekonomi kunci/dominan dengan persentase luas hutan.
151 Berdasarkan hasil pengujian dengan metode stepwise, pengaruh kepadatan penduduk terdapat pada desa-desa strata 1, strata 5, dan strata 9.
Pengaruh
kepemilikan lahan terdapat pada desa-desa strata 2. Pengaruh luas pemukiman terdapat pada desa-desa strata 5 dan strata 7. Strata 1. Dari hasil pengujian, diperoleh hasil bahwa sampai pada taraf
nyata 10%, peubah sosial ekonomi kunci/dominan berpengaruh terhadap persentase luas hutan. Hal ini ditunjukkan dengan dengan peluang nyata 0.085 yang lebih kecil dari tarat nyata. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan adalah sebesar 99.70%, yang menunjukkan bahwa 99.70% keragaman dari persentase luas hutan dapat dijelaskan oleh model, dengan persamaan regresi sebagai berikut: Y2 = 33.290 – 0.130X1 + 10.676X2 – 0.695X3 – 0.040X4 Dari hasil pengujian dengan metode stepwise, pada taraf nyata 5%, hanya kepadatan penduduk yang berpengaruh nyata terhadap persentase luas hutan alam, dengan peluang nyata 0.000. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan adalah sebesar 97.20%, yang berarti bahwa 97.20% keragaman persentase luas hutan dapat dijelaskan oleh model, dengan persamaan regresi sebagai berikut: Y2 = 46.550 – 0.028X1 Dari model persamaan, dapat disimpulkan bahwa jika terjadi perubahan pada X1 satu satuan, akan mengakibatkan Y1 berubah sebesar 0.028 satuan. Dapat juga disimpulkan bahwa pada desa-desa strata 1, semakin tinggi kepadatan penduduk, maka persentase luas hutan alam akan semakin rendah. Strata 2. Dari hasil pengujian, diperoleh hasil bahwa sampai pada taraf
nyata 5%, peubah sosial ekonomi kunci/dominan berpengaruh terhadap persentase luas hutan. Hal ini ditunjukkan dengan dengan peluang nyata 0.037 yang lebih kecil dari tarat nyata. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan adalah sebesar 99.90%, yang menunjukkan bahwa 99.90% keragaman dari persentase luas hutan dapat dijelaskan oleh model, dengan persamaan regresi sebagai berikut: Y2 = 14.308 + 0.350X1 + 99.328X2 – 1.758X3 + 0.067X4
152 Dari hasil pengujian dengan metode stepwise, pada taraf nyata 5%, hanya luas kepemilikan lahan yang berpengaruh nyata terhadap persentase luas hutan alam, dengan peluang nyata 0.005. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan adalah sebesar 88.30%, yang berarti bahwa 88,30% keragaman persentase luas hutan dapat dijelaskan oleh model, dengan persamaan regresi sebagai berikut: Y2 = 50.878 + 94.416X2 Dari model persamaan, dapat disimpulkan bahwa jika terjadi perubahan pada X2 satu satuan, akan mengakibatkan Y1 berubah sebesar 94.416 satuan. Dapat juga disimpulkan bahwa pada desa-desa strata 2, semakin tinggi luas kepemilikan lahan, maka persentase luas hutan alam juga semakin tinggi. Strata 5. Dari hasil pengujian, diperoleh hasil bahwa sampai pada taraf
nyata 10%, peubah sosial ekonomi kunci/dominan berpengaruh terhadap persentase luas hutan. Hal ini ditunjukkan dengan dengan peluang nyata 0.059 yang lebih kecil dari tarat nyata. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan adalah sebesar 99.80%, yang menunjukkan bahwa 99.80% keragaman dari persentase luas hutan dapat dijelaskan oleh model, dengan persamaan regresi sebagai berikut: Y2 = 35.557 – 0.084X1 + 9.305X2 – 0.753X3 – 0.010X4 Dari hasil pengujian dengan metode stepwise, pada taraf nyata 5%, kepadatan penduduk dan luas pemukiman berpengaruh nyata terhadap persentase luas hutan alam, dengan peluang nyata 0.000. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan adalah sebesar 99.70%, yang berarti bahwa 99.70% keragaman persentase luas hutan dapat dijelaskan oleh model, dengan persamaan regresi sebagai berikut: Y2 = 42.844 – 0.086X1 – 0.822X3 Dari model persamaan, dapat disimpulkan bahwa jika terjadi perubahan pada X1 satu satuan, dan X3 tetap, akan mengakibatkan Y1 berubah sebesar 0.086 satuan.
Jika terjadi perubahan pada X3 satu satuan, dan X1 tetap, akan
mengakibatkan Y1 berubah sebesar 0.822 satuan.
153 Dapat juga disimpulkan bahwa pada desa-desa strata 5, semakin tinggi kepadatan penduduk, maka persentase luas hutan alam semakin rendah. Semakin tinggi luas pemukiman, maka persentase luas hutan alam akan semakin rendah. Strata 7. Dari hasil pengujian, diperoleh hasil bahwa pada taraf nyata 5%,
peubah sosial ekonomi kunci/dominan berpengaruh terhadap persentase luas hutan. Hal ini ditunjukkan dengan dengan peluang nyata 0.044 yang lebih kecil dari tarat nyata.
Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan adalah sebesar
99.90%, yang menunjukkan bahwa 99.90% keragaman dari persentase luas hutan dapat dijelaskan oleh model, dengan persamaan regresi sebagai berikut: Y2 = 143.038 + 0.094X1 – 41.794X2 – 0.693X3 – 0.004X4 Dari hasil pengujian dengan metode stepwise, pada taraf nyata 5%, hanya luas pemukiman yang berpengaruh nyata terhadap persentase luas hutan alam, dengan peluang nyata 0.000. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan adalah sebesar 99.50%, yang berarti bahwa 99.50% keragaman persentase luas hutan dapat dijelaskan oleh model, dengan persamaan regresi sebagai berikut: Y2 = 74.437 – 0.586X3 Dari model persamaan, dapat disimpulkan bahwa jika terjadi perubahan pada X3 satu satuan, akan mengakibatkan Y1 berubah sebesar 0.586 satuan. Dapat juga disimpulkan bahwa pada desa-desa strata 7, semakin tinggi luas pemukiman, maka persentase luas hutan alam semakin rendah. Strata 9. Dari hasil pengujian, diperoleh hasil bahwa pada taraf nyata 5%,
peubah sosial ekonomi kunci/dominan berpengaruh terhadap persentase luas hutan. Hal ini ditunjukkan dengan dengan peluang nyata 0.022 yang lebih kecil dari tarat nyata.
Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan adalah sebesar
100.00%, yang menunjukkan bahwa seluruh keragaman dari persentase luas hutan dapat dijelaskan oleh model, dengan persamaan regresi sebagai berikut: Y2 = 29.314 – 0.073X1 + 9.285X2 + 0.126X3 + 0.002X4 Dari hasil pengujian dengan metode stepwise, pada taraf nyata 5%, hanya kepadatan penduduk yang berpengaruh nyata terhadap persentase luas hutan alam,
154 dengan peluang nyata 0.000. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan adalah sebesar 99.40%, yang berarti bahwa 99.40% keragaman persentase luas hutan dapat dijelaskan oleh model, dengan persamaan regresi sebagai berikut: Y2 = 45.897 – 0.077X1 Dari model persamaan, dapat disimpulkan bahwa jika terjadi perubahan pada X1 satu satuan, akan mengakibatkan Y1 berubah sebesar 0.077 satuan. Dapat juga disimpulkan bahwa pada desa-desa strata 9, semakin tinggi kepadatan penduduk, maka persentase luas hutan alam semakin rendah.
Analisis Tekanan Penduduk
Penghitungan besarnya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dimaksudkan untuk menduga besarnya dorongan masyarakat untuk memperluas lahan pertaniannya pada suatu periode waktu. Keterbatasan lahan pertanian yang ada di desa merupakan salah satu faktor pembatas untuk memperluas lahan garapan. Sehingga jika nilai tekanan penduduk semakin besar, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa semakin besar pula kemungkinan terjadinya perambahan kawasan TNGHS pada wilayah desa tersebut. Untuk menentukan besarnya nilai tekanan penduduk, dibutuhkan beberapa informasi yaitu: 1) luas lahan yang diperlukan untuk mendukung kehidupan yang dianggap layak; 2) proporsi pendapatan dari pekerjaan nir-pertanian; 3) fraksi penduduk yang menjadi petani; 4) jumlah penduduk pada awal penaksiran; 5) laju pertumbuhan penduduk; 6) proporsi manfaat yang dinikmati penduduk dari usahanya; 7) luas lahan pertanian; dan 8) jangka waktu taksiran.
Kebutuhan Hidup Layak
Menurut BPS (2004), kebutuhan hidup layak diterjemahkan sebagai suatu jumlah rupiah yang dapat memenuhi: 1) kebutuhan konsumsi makanan setara 2100 kalori sehari; 2) perumahan; 3) pakaian; 4) kesehatan; dan 5) pendidikan. Jika tingkat pendapatan penduduk berada di bawah jumlah rupiah tersebut, maka disebut sebagai penduduk miskin. Kemiskinan telah memberikan dampak negatif terhadap luas penutupan hutan di Thailand (Lombardini 2001).
155 Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, kebutuhan hidup layak bagi setiap warga desa dapat dirinci sebagai berikut: (1) kebutuhan beras adalah 0.5 kg per orang per hari, dengan harga beras Rp 3 000.00 per kg dibutuhkan biaya sebesar Rp 45 000.00 per bulan; (2) kebutuhan sayur-mayur sebesar Rp 60 000.00 per bulan; (3) untuk perumahan diperlukan biaya sebesar Rp 25 000.00 per bulan; (3) untuk membeli pakaian dibutuhkan Rp 50 000.00 per bulan; (4) pemeriksaan kesehatan dilakukan dua kali sebulan dengan menggunakan kartu asuransi kesehatan, sehingga hanya dikeluarkan biaya Rp 10 000.00 per bulan; (5) untuk keperluan sekolah diperlukan biaya sebesar Rp 50 000.00 per bulan; (6) perjalanan ke luar desa rata-rata dilakukan sebanyak dua kali per bulan dengan biaya sebesar Rp 50 000.00 per bulan; dan (7) untuk menghadiri acara hajatan diperlukan biaya sebesar Rp 20 000.00 per bulan. Secara keseluruhan, didapatkan hasil perhitungan sederhana terhadap jumlah kebutuhan hidup layak setiap warga desa rata-rata per bulan, adalah sebesar Rp 310 000.00. Jika dihitung selama setahun, maka dibutuhkan biaya untuk hidup layak rata-rata adalah sebesar Rp 3.72 juta per orang. Besarnya jumlah biaya hidup yang dibutuhkan setiap keluarga tergantung kepada jumlah anggota keluarga. Berdasarkan hasil wawancara, rata-rata jumlah anggota keluarga pada setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel adalah 4-5 orang.
Sehingga
dibutuhkan biaya untuk hidup layak pada setiap keluarga sebesar Rp 1.24 juta sampai dengan Rp 1.55 juta per bulan. Jika dihitung selama satu tahun, maka dibutuhkan biaya sebesar Rp 14.88 juta sampai dengan Rp 18.60 juta. Dari seluruh responden, hanya ditemukan beberapa orang saja yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak ini. Sehingga diperlukan tambahan penghasilan untuk memenuhi standar kebutuhan hidup layak tersebut.
Kebutuhan Lahan Garapan
Kebutuhan lahan garapan dihitung berdasarkan produktivitas lahan yang dimiliki anggota masyarakat. Untuk menduga kebutuhan lahan garapan ini, harus mempertimbangkan faktor-faktor: tingkat hidup yang dianggap layak, iklim, tanah, teknologi, dan nilai pasar hasil.
156 Menurut Harada et al. (2003), curah hujan di daerah TNGH adalah sangat tinggi (dapat mencapai 2,764 mm/tahun). Berdasarkan sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di kawasan TNGHS digolongkan tipe B. Pada tipe iklim ini tidak terdapat musim kering dan tergolong ke dalam hutan hujan tropika. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan pertanian dapat berlangsung secara terus menerus sepanjang tahun. Hanya saja, pada beberapa desa yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh masyarakat adat, penanaman padi hanya dilakukan satu kali per tahun. Jenis tanah yang ada di dalam kawasan TNGHS digolongkan ke dalam kelompok Andosol dan Latosol. Tekstur tanah didominasi oleh partikel debu yang mudah tercuci, sehingga peka terhadap erosi.
Meskipun porositas dan
permeabilitasnya cukup bagus, tetapi tergolong tanah yang miskin hara (Budiman & Adhikerana 2000). Asupan teknologi telah dilakukan anggota masyarakat, terutama pada penggunaan pupuk dan obat-obatan pada lahan pertanian. Pada desa-desa yang melakukan penanaman padi dengan intensitas satu kali per tahun biasanya tidak menggunakan obat-obatan pembasmi hama, karena siklus hama telah terputus oleh masa bera yang cukup lama.
Sehingga biaya untuk
pemeliharaan tanaman menjadi lebih sedikit. Nilai pasar hasil dihitung berdasarkan pada harga komoditi produsen di desa. Menurut responden, selalu terjadi fluktuasi harga jual beberapa komoditi pertanian selama musim panen. Hal ini disebabkan oleh banyaknya ketersediaan barang pada tingkat produsen, sehingga harga jual seringkali mengalami penurunan. Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan bahwa untuk memenuhi tingkat hidup layak, diperlukan lahan garapan rata-rata seluas 0.54 hektar per orang (Tabel 44). Kebutuhan luas lahan garapan tersebut, dihitung berdasarkan pada tingkat produktivitas lahan rata-rata per tahun.
Pada perhitungan, digunakan
beberapa asumsi yaitu: (1) kebutuhan hidup layak di desa, rata-rata adalah sebesar Rp 3 juta per orang per tahun; (2) produktivitas lahan pertanian dan perkebunan dihitung berdasarkan hasil panen, baik dari tanaman musiman maupun tanaman tahunan; dan (3) nilai pasar hasil diduga berdasarkan harga barang tingkat produsen pada tahun 2007.
157 Tabel 44 Kebutuhan lahan garapan per orang untuk memenuhi tingkat hidup layak pada desa-desa sampel Strata
Desa
Tingkat hidup layak
(Rp 000/tahun) 1
2 3 4 5
6 7 8 9 13
Tugu Jaya Cijeruk Sukaharja Bantarkaret Sukajaya Cileungsing Cikiray Cipeuteuy Pulosari Kujang Jaya Malasari Sirnaresmi Cisungsang Ciparay Lebak Situ Jugalajaya Sukamulih Mekarnangka Sirnagalih Cikate Pasir Haur Cirompang Lbk. Gedong Sirnarasa Citorek Banjar Irigasi Pasirmadang Cikelat Margalaksana Luhur Jaya rata-rata
3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000 3 000
Luas lahan pertanian (ha) Z∞ sawah sawah kebun (ha/orang) IP 200¥ IP 100£ 93.00 0.00 82.10 0.48 109.10 0.00 30.20 0.42 76.10 0.00 218.50 0.41 362.29 0.00 1.55 0.38 97.64 0.00 65.00 0.46 140.00 0.00 506.00 0.55 95.00 0.00 910.25 0.60 545.00 2.73 491.23 0.48 286.40 0.00 518.09 0.33 75.00 270.00 531.00 0.63 222.00 0.00 8.00 0.26 0.00 188.00 406.78 0.61 400.00 0.00 500.00 0.53 0.00 482.03 244.21 0.70 0.00 431.00 539.00 0.78 0.00 161.00 241.00 0.66 110.00 0.00 12.00 0.40 0.00 57.00 162.81 0.64 0.00 300.00 126.44 0.53 0.00 250.00 635.00 0.64 377.00 0.00 306.14 0.54 113.00 0.00 240.00 0.65 0.00 75.00 200.00 0.64 0.00 181.72 536.13 0.64 0.00 500.00 500.00 0.60 143.61 0.00 382.89 0.54 58.00 0.00 254.00 0.56 290.25 0.00 510.00 0.52 82.30 0.00 595.50 0.57 51.18 0.00 157.28 0.54 0.54
Keterangan: ¥intensitas penanaman 2 kali/tahun; £intensitas penanaman 1 kali/tahun; ∞kebutuhan lahan garapan, perhitungan didasarkan pada harga barang produsen tahun 2007
Dari Tabel 44 di atas, dapat dilihat bahwa kebutuhan lahan garapan yang tinggi terdapat pada desa-desa strata 4 (Desa Lebak Situ, dan Ciparay). Tetapi secara keseluruhan, luas lahan garapan yang dibutuhkan bagi setiap warga desa adalah relatif sama. Hal ini mengindikasikan bahwa produktivitas lahan, jumlah pendapatan, dan proporsi penduduk yang menjadi petani pada setiap desa adalah relatif sama. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, diperlukan luas lahan garapan yang relatif sama pula.
158
Tekanan Penduduk
Periode awal yang digunakan pada penghitungan tekanan penduduk ini adalah tahun 2004, hal ini disebabkan oleh ketersediaan data kependudukan yang terbaru dan lengkap pada tahun tersebut (Tabel 45). Nilai tekanan penduduk tertinggi terjadi pada Desa Sukamulih (strata 5) dan terendah pada Desa Citorek (strata 8). Diperkirakan pada selang waktu 5 tahun (tahun 2009), pada Desa Sukamulih diperlukan enam belas kali luas lahan pertanian yang dimiliki masyarakat pada tahun 2004. Sedangkan pada Desa Citorek terdapat indikasi bahwa kepemilikan lahan garapan bagi warga desa pada tahun 2004 sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Nilai tekanan penduduk yang tinggi juga terdapat pada Desa Tugu Jaya, Cijeruk, Bantarkaret, Sukajaya, Jugalajaya, Pasirmadang, dan Luhur Jaya. Pada selang waktu 5 tahun (tahun 2009), setiap anggota masyarakat pada desa-desa tersebut membutuhkan luas lahan pertanian sebanyak delapan kali dari luas kepemilikan lahan pada tahun 2004.
Hal sebaliknya terjadi pada Desa
Cisungsang, Cikate, dan Citorek, dimana nilai tekanan penduduk kurang dari satu. Hal ini mengindikasikan bahwa pada desa-desa tersebut, luas kepemilikan setiap kepala keluarga sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Pada ketiga desa tersebut, hanya diperlukan beberapa usaha intensifikasi pertanian, sehingga produktivitas lahan garapan dapat lebih meningkat lagi.
Secara
keseluruhan, diperkirakan bahwa dalam jangka waktu 5 tahun (tahun 2009) dibutuhkan lahan pertanian bagi setiap warga sebanyak empat sampai lima kali lipat dari kepemilikan lahan pada tahun 2004. Pada desa-desa dengan nilai tekanan penduduk yang tinggi, terdapat dua alternatif, yaitu: (1) memperluas lahan garapan; atau (2) pindah ke lokasi pemukiman yang baru. Jika perluasan lahan garapan pada wilayah desa sudah tidak memungkinkan lagi, maka harus tercipta lahan pekerjaan baru di luar sektor pertanian.
Sehingga kebutuhan lahan garapan dapat dikurangi, dan semakin
banyak warga desa yang bekerja di luar sektor pertanian. Untuk itu, diperlukan perhatian dari pemerintah dan seluruh pihak, pada usaha penciptaan diversifikasi usaha di wilayah pedesaan. Terutama pada wilayah desa yang berada di sekitar kawasan hutan, dimana masyarakat desa dianggap sebagai perusak hutan.
159 Tabel 45 Tekanan penduduk pada desa-desa sampel Strata Desa 1
2 3 4 5
6 7 8 9 13
Desa Tugu Jaya Cijeruk Sukaharja Bantarkaret Sukajaya Cileungsing Cikiray Cipeuteuy Pulosari Kujang Jaya Malasari Sirnaresmi Cisungsang Ciparay Lebak Situ Jugalajaya Sukamulih Mekarnangka Sirnagalih Cikate Pasir Haur Cirompang Lebak Gedong Sirnarasa Citorek Banjar Irigasi Pasirmadang Cikelat Margalaksana Luhur Jaya
Tekanan Penduduk¥ t5 t10 8.70 9.61 9.23 10.03 4.67 5.16 7.62 8.97 10.04 11.43 1.59 1.66 2.81 3.22 3.66 4.08 2.42 2.70 1.51 1.58 4.91 5.60 3.26 3.67 0.99 1.06 3.48 3.59 2.17 2.40 7.71 8.68 16.63 23.58 4.83 5.51 2.37 2.51 0.88 0.92 2.31 2.63 1.31 1.69 2.74 3.03 4.52 5.02 0.84 0.87 3.27 3.50 8.66 10.01 4.89 5.60 2.90 3.23 9.26 9.82
Keterangan: ¥ dihitung dari tahun 2004; t5 : selang waktu 5 tahun; t10 : selang waktu 10 tahun
Berdasarkan besarnya tekanan penduduk rata-rata pada setiap strata desa, dapat dilihat bahwa tekanan penduduk tertinggi terjadi pada strata 13, diikuti oleh strata 9, 1, dan 5. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat laju penurunan luas hutan alam yang tinggi pada desa-desa non-tradisional dan desa-desa di luar kawasan enclave. Jika dihubungkan dengan laju penurunan luas hutan alam, diketahui bahwa memang terdapat laju penurunan yang tinggi pada desa strata 9 dan 13. Tetapi pada desa-desa strata 1, laju penurunan luas hutan alam cenderung lebih rendah dari desa strata lainnya. Walaupun demikian, terdapat kecendrungan bahwa semakin besar tekanan penduduk, maka laju penurunan luas hutan alam juga semakin tinggi.
160
Nilai Manfaat Langsung Kawasan TNGHS Pemanfaatan Sumber Daya Hutan
Dari hasil wawancara dengan responden, didapatkan bahwa bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya alam kawasan TNGHS yang masih di dilakukan oleh masyarakat sampai dengan tahun 2007 antara lain: lokasi pemukiman, kegiatan pertanian dan perkebunan, penyediaan kayu konstruksi, penyediaan kayu bakar, bahan makanan, sumber makanan ternak, penyadapan pohon aren, pembuatan atap, penambangan emas dan timah, pemanfaatan bambu, dan bahan-bahan untuk membuat kerajinan tangan (Gambar 33).
Gambar 10 Pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat. Secara hukum, aktivitas masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS pada pemanfaatan sumber daya hutan adalah ilegal.
Hak
pemilikan pemerintah terhadap sumber daya alam TNGHS telah diatur oleh pemerintah melalui keputusan Menteri Kehutanan. Menurut Fauzi (2004), hak pemilikan adalah klaim yang sah terhadap sumber daya maupun jasa yang dihasilkan dari sumber daya tersebut.
Walaupun hak tersebut tidak bersifat
mutlak, karena sering dibatasi oleh hak orang lain dan mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk melindungi hak pemilikan. Hak pemilikan sumber daya alam umumnya terdiri dari (Gibb & Bromley, diacu dalam Fauzi 2004): 1. State property, dimana klaim pemilikan berada di tangan pemerintah.
161 2. Private property, dimana klaim pemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (koperasi). 3. Common property atau Communal property, dimana individu atau kelompok memiliki klaim terhadap sumber daya alam yang dikelola bersama. Berdasarkan tipe aksesnya, maka sumber daya alam dapat dikelompokkan menjadi sumber daya akses terbuka dan akses terbatas. Pada sumber daya alam akses terbuka, tidak ada pihak yang memiliki klaim yang sah atau memiliki hak pemilikan terhadap sumber daya tersebut. Hal sebaliknya terdapat pada sumber daya akses terbatas, dimana hak pemilikan sudah jelas. Menurut Fauzi (2004), konsumsi terhadap barang publik sering menimbulkan eksternalitas atau dampak eksternal, yang dapat berupa dampak negatif dan positif dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain. Hal ini terjadi jika kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak mempengaruhi kegunaan dari pihak lain secara tidak diinginkan, dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak. Secara umum, beberapa tidakan yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya eksternalitas adalah: 1) memberikan hak pemilikan; 2) internalisasi; dan 3) pemberlakuan pajak. Khusus di kawasan TNGHS, dimana sebagian arealnya merupakan wilayah perluasan, maka pemberian hak pemilikan sebagian sumber daya hutan untuk dikelola oleh masyarakat adalah salah satu langkah efektif. Hal ini berkenaan dengan upaya pengurangan dampak eksternal dari adanya perubahan status kawasan hutan, dimana kerusakan sumber daya hutan dapat dihitung dan tawarmenawar bisa dilakukan. Di samping itu, pemberian hak pemilikan tersebut juga akan meningkatkan manfaat ekonomi yang bisa diambil masyarakat dari kawasan hutan. Dari hasil penelitian yang dilakukan Bahrudin (1999) di Desa Kiarasari, Kecamatan
Cigudeg,
Kabupaten
Bogor,
dapat
diidentifikasi
jenis-jenis
sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat dari kawasan TNGH antara lain: kayu bakar, bahan emas, bambu, aren, rumput, kayu bangunan (rasamala, puspa), burung, babi hutan, tebu telor, dan kerastulang (Psychotria montana).
162 Lebih lanjut, menurut Bahrudin (1999), kayu bakar merupakan sumber daya yang paling banyak dimanfaatkan. Tetapi dari frekuensi pemanfaatan, maka jenis aren merupakan jenis yang paling sering dimanfaatkan. Terdapat indikasi bahwa semakin luas kepemilikan lahan, maka semakin banyak pula jenis sumber daya TNGH yang dimanfaatkan.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Gunawan
(1999) di Desa Sirnarasa, dimana dapat diidentifikasi jenis-jenis sumber daya hutan TNGH yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu: kayu bakar, kayu bangunan, patat (Phrynium pubinerve Bl.), dan rotan. Berdasarkan studi Harada (2005) di kawasan TNGH (kampung Ciptarasa, Leuwijamang, dan Cibedug), pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (kayu bakar, bahan makanan, dan lain-lain), dan bukan untuk tujuan komersial. Dari ketiga lokasi studi, didapatkan bahwa kegiatan penambangan emas memberikan kontribusi rata-rata sebesar 25.77% terhadap pendapatan. Potensi kandungan bahan tambang pada kawasan TNGHS telah diketahui sejak lama. Menurut Budiman dan Adhikerana (2000), sebagian besar kawasan TNGH terdiri atas batuan volkanik, khusus pada bagian utara kawasan terdapat batuan sedimen yang tadinya merupakan kubah. Deposit bijih emas dan perak yang ditemukan di sekitar kawasan taman nasional, mungkin terangkat pada saat munculnya kubah Bayah. Sehingga menghasilkan retakan-retakan tegangan yang terisi batuan kwarsa yang mengandung emas dan perak.
Daerah potensial
pertambangan mineral tersebut dapat ditemukan di daerah Gunung Ciberang, Cisoka, Pongkor, Ciawitali, dan Cikidang. Terdapat kecendrungan bahwa beberapa kebutuhan masyarakat yang dulunya dipenuhi dari pemanfaatan sumberdaya alam kawasan TNGHS, telah dapat dipenuhi dari lahan garapan yang dimiliki.
Apalagi dengan adanya
beberapa program dari pengelola TNGHS dan pemerintah daerah yang berhubungan dengan rehabilitasi hutan dan lahan. Berdasarkan studi Prasetyo dan Setiawan (2006), selama periode waktu tahun 1989 sampai 2004 terjadi penambahan luas hutan tanaman di kawasan TNGHS sebesar 35.86% dan kebun campuran sebesar 47.23%.
163 Kayu Bakar. Kayu bakar digunakan sebagai bahan bakar bagi sebagian
besar warga masyarakat yang berada di desa, terutama digunakan untuk memasak bahan makanan.
Untuk pemenuhan kebutuhan kayu bakar ini, pada awal
dibentuknya pemukiman diambil dari pohon atau bambu yang ada di dalam kawasan TNGHS. Baik dengan cara menebang, atau hanya mengambil potongan ranting yang telah jatuh ke tanah (Gambar 34). Tetapi aktivitas tersebut sudah jauh berkurang setelah terjadi perkembangan perkampungan, dan mulai ditanamnya tanaman berkayu pada lahan garapan masyarakat.
Pada saat ini,
sebagian besar kebutuhan kayu bakar sudah dapat dipenuhi dengan memanfaatkan pohon atau bambu yang ada pada lokasi kebun milik masyarakat.
Gambar 11 Pengambilan kayu bakar oleh anggota keluarga. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, didapatkan bahwa untuk keperluan rumah tangga, diperlukan 1 ikat kayu (± 20 kg) setiap 2-3 hari. Bila dikalkulasikan dengan pemakaian minyak tanah, maka satu ikat kayu bakar ini hampir setara dengan 3 liter minyak tanah. Biasanya satu ikat kayu bakar dihargai Rp 5 000.00, sehingga dalam satu bulan diperkirakan untuk kebutuhan kayu bakar ini setara dengan Rp 50 000.00. Bahan Makanan.
Pemanfaatan bahan makanan yang berada di dalam
kawasan TNGHS oleh masyarakat desa adalah berupa pengambilan daun-daunan
164 sebagai lalapan. Jenis tanaman yang diambil biasanya merupakan jenis-jenis tumbuhan bawah (daun pok pohan).
Tradisi masyarakat sunda yang gemar
memakan lalapan telah dikenal secara luas oleh masyarakat di Indonesia. Konsumsi makanan tersebut dipercayai mempunyai khasiat untuk kesehatan tubuh. Makanan Ternak. Kegiatan peternakan yang dilakukan oleh masyarakat
desa hanya merupakan kegiatan sampingan. Kepemilikan hewan ternak setiap keluarga hanya beberapa ekor saja, dari jenis kambing, kerbau, sapi, dan ayam. Bahan makanan ternak yang dimanfaatkan dari kawasan TNGHS adalah berupa pengambilan rumput (Gambar 35). Intensitas pengambilan rumput ini, tergantung pada jumlah ternak yang dmiliki oleh keluarga. Semakin banyak jumlah kepemilikan ternak, maka semakin banyak dan semakin sering pula pengambilan rumput.
Gambar 12 Pengambilan rumput untuk makanan ternak.
Kayu Bangunan.
Pada awal pembentukan desa atau pemukiman,
pemanfaatan sumber daya alam kawasan TNGHS yang paling utama adalah penebangan kayu untuk kebutuhan konstruksi rumah. Berdasarkan pengalaman responden, dibutuhkan ± 5 m3 kayu olahan untuk mendirikan sebuah rumah bagi setiap kepala keluarga. Untuk bahan atap digunakan daun kirai (sejenis rumbia) ± 200 buah, dan sebagai pelapis atap digunakan ijuk pohon aren ± 20 batang. Dinding rumah terbuat dari anyaman bambu (bilik) dengan ukuran 4 m x 6 m sebanyak 4 buah (Gambar 36).
165
Gambar 13 Kegiatan pembangunan rumah pada desa sampel. Pengambilan kayu dari dalam kawasan TNGHS sudah semakin berkurang, karena pada kebun masyarakat juga telah ditanam jenis-jenis tanaman berkayu. Berdasarkan keterangan responden pada beberapa desa, kebutuhan kayu konstruksi untuk pembuatan rumah sudah dapat dipenuhi dari hasil kebun. Kesadaran terhadap arti pentingnya fungsi hutan telah tumbuh dan dipahami oleh sebagian warga masyarakat, disamping itu terdapat juga rasa takut terhadap petugas pengamanan taman nasional. Akan tetapi, berdasarkan laporan tahunan Balai Taman Nasional Gunung Halimun (2004), masih terdapat gangguan kawasan berupa pencurian hasil hutan dan penebangan liar di kawasan taman nasional sebanyak 83849 batang kayu olahan, dan 1488 batang kayu bulat. Hal ini mengindikasikan bahwa masih ada warga masyarakat yang melakukan aktivitas pemanfaatan kayu secara ilegal di dalam kawasan taman nasional. Bambu.
Pemanfaatan bambu adalah sebagai bahan membuat kerajinan
anyaman. Kerajinan tangan tersebut berupa dinding rumah, tudung, kursi, dan peralatan rumah tangga lainnya. Sebagian besar dinding rumah tempat warga desa bermukim terbuat dari anyaman bambu. Belahan bambu yang telah dihaluskan, dianyam sedemikian rupa sehingga membentuk bahan yang bisa dijadikan sebagai dinding rumah. Beberapa peralatan rumah tangga juga dapat dibuat dengan memanfaatkan bambu. Bahkan beberapa hasil kerajinan tangan telah diperjualbelikan sampai ke pasar di daerah perkotaan.
166 Bahan Tambang. Kegiatan pertambangan merupakan penyebab langsung
terjadinya penurunan luas hutan (Geist & Lambin 2001a, 2001b).
Aktivitas
pemanfaatan bahan tambang ini adalah berupa penggalian lubang untuk mencari kandungan emas dan bahan timah hitam. Kegiatan penambangan emas secara ilegal telah lama dilakukan oleh sebagian warga masyarakat. Deposit bahan emas di kawasan TNGHS telah lama diketahui, apalagi terdapat perusahaan tambang emas legal yang berada di sekitar kawasan TNGHS. Berdasarkan hasil wawancara, kegiatan penambangan emas ini masih dilakukan oleh warga yang berada pada desa-desa sampel, antara lain: Desa Sukamulih, Bantarkaret, Malasari, Lebak Situ, dan Citorek. Bahan emas biasanya diolah dengan menggunakan peralatan sederhana untuk memisahkan bahan emas dari batuan dan tanah (Gambar 37). Untuk mengumpulkan serbuk emas yang sudah terpisah dari batuan dan tanah digunakan air raksa.
Gambar 14 Peralatan pengolahan bahan emas. Gula Merah dan Ijuk. Penyadapan pohon aren merupakan keterampilan
dari sebagian warga desa yang diwariskan secara turun-temurun. Penyadapan dilakukan dengan menampung air yang menetes dari pemotongan tandan buah. Tetesan air tersebut ditampung pada tabung bambu yang digantungkan pada tandan buah tersebut. Pengambilan tabung bambu tersebut biasanya dilakukan dua hari sekali, dan menukarnya dengan tabung bambu yang masih kosong. Pengolahan air sadapan dari pohon aren ini, adalah dengan memanaskannya sampai mengental, dan siap untuk dicetak menjadi gula merah.
167 Untuk memasarkan gula merah, biasanya terdapat pedagang penampung pada tingkat desa. Beberapa warga desa ada juga yang langsung menjual gula merah di pasar kecamatan atau kabupaten.
Pemasaran hasil gula merah ini
berjalan cukup lancar, dengan harga yang relatif stabil. Pengambilan ijuk dilakukan pada pohon aren yang sudah cukup tua, berupa serat berwarna hitam yang membungkus batang aren. Pada beberpa desa sampel, ijuk ini dimanfaatkan oleh warga desa sebagai pelapis atap rumah. Di samping itu, pegambilan ijuk juga merupakan suatu kegiatan pemeliharaan terhadap batang aren. Sehingga batang aren tetap sehat, dan jika disadap akan menghasilkan air sadapan yang banyak.
Nilai Manfaat Langsung
Nilai manfaat langsung kawasan TNGHS pada penelitian ini, diduga berdasarkan tingkat pendapatan yang diperoleh warga masyarakat dengan memanen dan mempergunakan secara langsung berbagai sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan TNGHS. Data yang digunakan pada pendugaan ini, adalah data yang didapatkan dari hasil wawancara terhadap responden pada desa-desa sampel. Adanya aktivitas masyarakat terhadap pemanfaatan sumber daya alam di kawasan TNGHS merupakan kegiatan yang ilegal secara hukum. Sehingga dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di kawasan TNGH/TNGHS, hanya beberapa peneliti yang melakukan perhitungan terhadap besarnya nilai pemanfaatan langsung sumber daya alam kawasan yang dilakukan oleh masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan. Penghitungan secara sederhana terhadap nilai pemanfaatan sumberdaya TNGH oleh masyarakat telah dilakukan oleh Bahrudin (1999), tetapi nilai pemanfaatan tersebut tidak mempertimbangkan adanya biaya produksi. Hasil dari penelitian yang dilaksanakan di Desa Kiarasari, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya taman nasional telah lama dilakukan oleh masyarakat.
Berdasaran hasil perhitungan yang dilakukan,
didapatkan rata-rata nilai pemanfaatan sumberdaya TNGH sebagai berikut: 1) Bahan emas, sebesar Rp 713199.71 per bulan; 2) Terubuk, sebesar
168 Rp 113882.17 per bulan; 3) Kayu bakar, sebesar Rp 28153.93 per bulan; 4) Aren, sebesar Rp 492004 per bulan; 5) Burung, sebesar Rp 36220 per bulan; 6) Rumput, sebesar Rp 11073.41 per bulan; 7) Kerastulang, sebesar Rp 33340 per bulan; 8) Puspa, sebesar Rp 1468.5 per bulan; 9) Babi Hutan, sebesar Rp 2175.33 per bulan; 10) Rasamala, sebesar Rp 1173.22 per bulan; dan 11) Bambu, sebesar Rp 5343.31 per bulan. Berdasarkan hasil penelitian Widada (2004), Nilai Ekonomi Total TNGH adalah sebesar Rp 439.75 milyar per tahun, terdiri dari nilai penyerapan karbon Rp 429.77 milyar (97.73%), nilai ekowisata Rp 1.27 milyar (0.29%), nilai air (domestik dan pertanian) Rp 6.64 milyar (1.51%), nilai pelestarian Rp 0.67 milyar (0.15%), nilai pilihan Rp 0.76 milyar (0.17%), dan nilai keberadaan sebesar Rp 0.64 milyar (0.15%). Nilai manfaat langsung kawasan TNGHS dapat dikelompokkan menjadi: 1) Nilai kegunaan konsumtif: kayu bakar, bahan makanan, dan rumput makanan ternak; 2) Nilai kegunaan produktif: kayu pertukangan/konstruksi, bambu, bahan tambang, gula aren, daun kirai, dan ijuk (Tabel 46). Tabel 46 Nilai manfaat langsung kawasan TNGHS yang diambil masyarakat Jenis Sumber Daya Hutan Manfaat Konsumtif - Kayu bakar - Bahan makanan - Rumput makanan ternak Manfaat Produktif - Kayu konstruksi - Bambu - Bahan tambang (emas, timbal) - Daun kirai - Gula aren - Ijuk Jumlah
Nilai (Rp/tahun) 216 000 000 108 000 000 450 000 000 86 400 000 93 600 000 45 000 000 1 920 000 180 000 000 7 500 000 1 188 420 000
Perhitungan terhadap nilai manfaat langsung kawasan TNGHS secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 15. Untuk manfaat konsumtif, nilai manfaat diduga berdasarkan harga barang pengganti.
Sedangkan untuk bahan-bahan yang
mempunyai manfaat produktif, nilai manfaat diduga berdasarkan nilai jual pada
169 tingkat produsen. Jika diasumsikan bahwa jumlah desa sampel adalah 25% dari keseluruhan desa, dan jumlah responden terpilih adalah 2% dari seluruh kepala keluarga yang ada di desa, maka total nilai manfaat langsung kawasan TNGHS diduga sebagai berikut: Total nilai manfaat langsung = [1/(0.25 x 0.02)] x Rp 1 188 420 000.00 /tahun = Rp 237 684 000 000.00 /tahun Dari hasil perhitungan, didapatkan bahwa nilai manfaat langsung dari sumber daya kawasan TNGHS yang dimanfaatkan langsung oleh masyarakat desa di sekitar dan didalam kawasan TNGHS diperkirakan adalah sebesar Rp 237.68 milyar per tahun. Jika dibandingkan dengan hasil perhitungan nilai ekonomi total kawasan TNGH yang dilakukan Widada (2004), maka nilai manfaat langsung ini lebih dari 50% nilai ekonomi total. Dari sisi masyarakat, tentunya nilai manfaat langsung kawasan TNGHS cukup memberikan kontribusi yang nyata terhadap jumlah pendapatan mereka. Walaupun secara hukum, bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya alam di kawasan TNGHS adalah ilegal. Adanya populasi penduduk yang bermukim pada desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS, merupakan permasalahan mendasar pengelolaan kawasan TNGHS. Adanya aktivitas masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidup akan sangat bertentangan dengan pola pengelolaan kawasan taman nasional.
Walaupun kawasan TNGHS sudah diklaim oleh pemerintah
sebagai hak milik pemerintah, tetapi kenyataan di lapangan, bentuk kepemilikan pemerintah tidak semuanya diakui oleh warga masyarakat. Sehingga sebagian dari kawasan TNGHS masih dianggap sebagai barang publik.
Hal ini
berhubungan dengan tata batas kawasan TNGHS, dan keterbatasan personil untuk mengawasi kepemilikan pemerintah tersebut. Untuk itu, diperlukan suatu sistem pengelolaan dan pengawasan yang terencana dengan pelibatan seluruh pihak, berupa kebijakan khusus yang mengatur pemanfaatan sumber daya di kawasan TNGHS.
Termasuk juga
kompensasi bagi warga masyarakat yang berada pada daerah perluasan kawasan TNGHS. Sehingga aktivitas warga masyarakat tersebut dapat diakomodasi, tetapi kelestarian sumber daya di kawasan TNGHS tetap terjaga.
170
Trend Perubahan Nilai Manfaat Langsung
Nilai manfaat langsung kawasan TNGHS terbesar berasal dari pemanfaatan rumput untuk makanan ternak, diikuti oleh pengambilan kayu bakar. Hal ini berhubungan dengan aktivitas harian warga desa yang bermatapencaharian sampingan sebagai peternak, dan aktivitas harian dalam memasak makanan. Besarnya penilaian terhadap kebutuhan makanan ternak dan kayu bakar berhubungan juga dengan jumlah kepemilikan ternak dan adanya kebijakan pemerintah pada peningkatan harga bahan bakar minyak. Semakin banyak jumlah ternak yang dipelihara, maka semakin banyak pula kebutuhan akan rumput. Sedangkan pemanfaatan kayu bakar, erat hubungannya dengan usaha warga desa untuk penghematan pengeluaran rumah tangga, dimana penggunaan kayu bakar merupakan alternatif termurah.
Terdapat indikasi bahwa penyediaan bahan
makanan ternak dan kayu bakar ini, tidak hanya dipenuhi dari dalam kawasan hutan, tetapi juga sudah banyak tersedia pada lahan-lahan garapan warga masyarakat. Penurunan nilai manfaat langsung kawasan TNGHS yang diambil oleh masyarakat, tidak berarti penurunan nilai manfaat dari kawasan TNGHS. Penurunan nilai manfaat langsung kawasan TNGHS disebabkan oleh semakin berkurangnya aktivitas pemanfaatan sumber daya alam di kawasan TNGHS. Terdapat indikasi bahwa kebutuhan hidup masyarakat desa sudah dapat dipenuhi dari lahan garapan yang mereka olah. Di samping itu, beberapa warga desa juga mulai mencari nafkah ke kota, sehingga terjadi perubahan sumber mata pencaharian, dari kegiatan pertanian ke sektor industri. Berdasarkan perkiraan kasar, dapat dikatakan bahwa besarnya nilai manfaat langsung kawasan TNGHS yang diambil oleh masyarakat dari tahun ke tahun adalah semakin menurun.
Hal ini berkaitan dengan semakin jarangnya
bahan-bahan yang dapat dimanfaatkan secara langsung, dan mahalnya biaya produksi terhadap pemanenan bahan-bahan tersebut.
Di samping itu, jarak
tempuh untuk memanen sumber daya yang ada di dalam kawasan TNGHS sudah semakin jauh, dan terdapat juga kecendrungan bahwa sebagian besar kebutuhan masyarakat sudah dapat dipenuhi dari hasil panenan lahan garapan mereka.
171
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1. Ketidakpastian kepemilikan pemerintah terhadap sumber daya alam di kawasan TNGHS, dan adanya aktivitas pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat yang bermukim pada wilayah desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS, adalah penyebab utama terjadinya perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS. 2. Kebijakan pemerintah terhadap perluasan TNGHS tidak didasarkan pada kajian terpadu terhadap sejarah pengelolaan dan keberadaan masyarakat yang berada pada daerah perluasan TNGHS, serta tidak didukung oleh kegiatan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan secara tegas. 3. Peubah sosial ekonomi yang berpengaruh dominan terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di TNGHS adalah: kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan pemukiman, dan perluasan lahan pertanian. 4. Pada desa-desa non-tradisional dan non-enclave, terdapat kecendrungan bahwa: a. Semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk dan laju perubahan luas kepemilikan lahan, maka laju penurunan luas hutan alam semakin tinggi. b. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk dan luas areal pemukiman, maka persentase luas hutan alam semakin rendah. 5. Pada desa-desa tradisional dan non-enclave, terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi luas areal pemukiman, maka persentase luas hutan alam semakin rendah. 6. Aksesibilitas masyarakat yang bemukim pada desa-desa di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS terhadap sumber daya alam di kawasan TNGHS, tidak berpengaruh terhadap laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS.
Tetapi kegiatan pembangunan jalan menuju pusat
perekonomian dan pemerintahan merupakan salah satu penyebab penurunan luas hutan alam di kawasan TNGHS.
172 7. Tidak semua sistem nilai yang masih berlaku pada masyarakat tradisional berpengaruh positif terhadap kelestarian sumber daya alam di kawasan TNGHS. 8. Untuk mencapai tingkat hidup layak, anggota masyarakat yang bermukim pada desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS membutuhkan lahan garapan seluas 0.54 hektar per orang. Semakin besar tekanan penduduk terhadap lahan pertanian, maka laju penurunan luas hutan alam di kawasan TNGHS semakin tinggi. 9. Nilai manfaat langsung kawasan TNGHS yang diambil masyarakat adalah sebesar Rp 237.68 milyar per tahun.
Dari tahun ke tahun nilai manfaat
langsung tersebut cenderung semakin menurun.
Saran
1. Segera dilakukan proses penetapan kawasan TNGHS yang baru, terutama pelaksanaan penatabatasan kawasan di lapangan dengan mengikutsertakan masyarakat setempat dan pemerintah daerah kabupaten. 2. Diperlukan kajian terpadu dari aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, sejarah, hukum, dan politik, untuk menentukan bentuk kompensasi terbaik bagi masyarakat yang berada pada daerah perluasan TNGHS.
Sehingga
masyarakat dapat tetap memenuhi kebutuhan hidup layak, dan kelestarian alam tetap terjaga.
173
DAFTAR PUSTAKA
Adhikerana AS. 1999. Keanekaragaman Satwa Taman Nasional Gunung Halimun: Seri Pendidikan Konservasi Keanekaragaman Hayati. Bogor: Biodiversity Conservation Project. Arronof S. 1991. Geographic Information System: A management perspective. Ottawa: WDL Publication. Asep. 2000. Kesatuan Adat Banten Kidul: dinamika masyarakat dan budaya Sunda Kasepuhan di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bahrudin AB. 1999. Jenis sumberdaya Taman Naional Gunung Halimun yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Kiarasari Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Baja S, Ramlan A, Rismaneswati. 2006. Pemanfaatan Citra SPOT untuk penataan ruang kawasan. Berita Inderaja V:26-30. [BAPPENAS] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2004. Wilayah Kritis Keanekaragaman Hayati di Indonesia: instrumen penilaian dan pemindaian indikatif/cepat bagi pengambil kebijakan, sebuah studi kasus ekosistem pesisir laut. Jakarta: Bappenas. Barraclough SL, Ghimire KB. 2000. Agricultural expansion and tropical deforestation: poverty, international trade and land use. London: Earthscan Publications Ltd. Bayu A. 2000. Hubungan kondisi sosial ekonomi masyarakat pemukiman dalam kawasan (enclave) dengan penggunaan lahan di Taman Nasional Gunung Halimun: studi kasus di Kampung Ciear, Desa Cisarua, Resort Cigudeg [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. [BCP-PHKA] Biodiversity Conservation Project-Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003. Research and Concervation of Biodiversity in Indonesia Volume XI: Research on Endangered Species in Gunung Halimun National Park. Bogor: BCP-PHKA. Bentrup G, Leininger T. 2002. Agroforestry: mapping the way with GIS. Soil and Water Conservation 57:148A-153A.
174
Berrios HP. 2004. Spatial analysis of differences between forest land use and forest cover using GIS and remote sensing: A case study in Telake Watershed Pasir District, East Kalimantan, Indonesia [thesis]. The Netherlands: International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation. Bilsborrow R, Geores M. 1994. Population, land-use and the environment in developing countries: what can we learn from cross-national data?. Di dalam: Brown K, Pearce DW, editor. The causes of tropical deforestation: the economic and statistical analysis of factors giving rise to the loss of the tropical forests. London: UCL Press Limited. hlm 106-129. [BPS] Biro Pusat Statistik. 1985. Indikator pemerataaan pendapatan. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1996. Data sosial ekonomi masyarakat Jawa Barat tahun 1996. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Kab. Bogor. 2001. Kecamatan (Ciampea, Cigudeg, Cijeruk, Ciomas, Jasinga, Leuwiliang, Nanggung) dalam angka. Bogor: BPS-Bappeda Kab. Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Prov. Jabar. 2001. Hasil sensus penduduk tahun 2000: karakteristik penduduk Kab. Sukabumi. Bandung: BPS Prov. Jabar. [BPS] Badan Pusat Statistik Kab. Sukabumi. 2002. Indeks pembangunan manusia Kab. Sukabumi tahun 2001. Sukabumi: BPS Kab. Sukabumi. [BPS] Badan Pusat Statistik Kab. Lebak. 2002. Kecamatan (Bayah, Cipanas, Leuwidamar, Muncang) dalam angka. Rangkasbitung: BPS Kab. Lebak. [BPS] Badan Pusat Statistik Kab. Bogor. 2003. Kecamatan (Ciampea, Cijeruk, Jasinga, Leuwiliang, Nanggung, Pamijahan Sukajaya, Tamansari) dalam angka. Bogor: BPS-Bappeda Kab. Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Kab. Sukabumi. 2003. Kecamatan (Cikakak, Cikidang, Cisolok, Kabandungan, Kalapanunggal) dalam angka. Sukabumi: BPS Kab. Sukabumi. [BPS] Badan Pusat Statistik. Jakarta: BPS.
2004.
Indikator kesejahteraan rakyat 2003.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kab. Sukabumi. 2004. Indeks pembangunan manusia Kab. Sukabumi tahun 2003. Sukabumi: BPS Kab. Sukabumi. [BPS] Badan Pusat Statistik Kab. Lebak. 2005. Kabupaten Lebak dalam angka tahun 2004. Rangkasbitung: BPS Kab. Lebak.
175
[BPS] Badan Pusat Statistik Kab. Sukabumi. 2006. Indikator kesejahteraan rakyat Kab. Sukabumi tahun 2005. Sukabumi: BPS Kab. Sukabumi. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik harga produsen tanaman pangan dan perkebunan rakyat 2000-2005. Jakarta: BPS. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun. 2004. Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Tahun 2003. Kabandungan: BTNGH. Budiman A, Adhikerana AS. 2000. Rencana pemantapan dan pengelolaan sumberdaya alam Taman Nasional Gunung Halimun. Halimun 02:3-10. Budiyanto E. 2002. Sistem Informasi Geografis Menggunakan ArcView GIS. Yogyakarta: Penerbit Andi. Buongiorno J, Gilless JK. 2003. Decision Methods for Forest Resource Management. California: Academic Press. Burkard G. 2002. Stability or sustainability? Dimensions of socio-economic security in a rain forest margin. Research project on stability of rain forest margins (STORMA) 7. Cahyadi I. 2003. Analisis spasial struktur dan fungsi koridor hutan antara Taman Nasional Gunung Halimun dan Hutan Lindung Gunung Salak [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Chakraborty M. 1994. An analysis of the causes of deforestation in India. Di dalam: Brown K, Pearce DW, editor. The causes of tropical deforestation: the economic and statistical analysis of factors giving rise to the loss of the tropical forests. London: UCL Press Limited. hlm 226-239. Chowdhury RY. 2006. Driving forces of tropical deforestation: the role of remote sensing and spatial models. Singapore Journal of Tropical Geography 27:82-101. Cropper M, Griffiths C, Mani M. 1997. Roads, population pressures, and deforestation in Thailand, 1976-1989. The World Bank: Policy Research Department. Darusman D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Laboratorium Politik, Ekonomi dan Sosial Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Davis SL, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Management: To Sustain Ecological, Economic, and Social Values. Ed ke-4. New York: Mc-GrawHill.
176
Dephut [Departemen Kehutanan]. 1997. Manual perencanaan kesatuan pengusahaan hutan produksi (Buku II). Jakarta: Dephut. . 2003. Buku Panduan 41 Taman Nasional di Indonesia. Bogor: PT. Insan Graphika. . 2004. Peraturan Perundang-undangan Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta: Dephut. Dinas KB dan Kependudukan Kab. Lebak. 2004. Profil data keluarga Kabupaten Lebak. Dinas KB dan Kependudukan Kab. Lebak. Dien VT. 2004. Susceptibility to forest degradation: A case study of the application of remote sensing and GIS application in Bach Ma National Park, Tua Tien Hue Province, Vietnam [thesis]. The Netherlands: International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation. Djajadiningrat ST. 1997. Pengantar Ekonomi Lingkungan. Jakarta: LP3ES. [EFTEC] Economics for the Environmental Consultancy. 2005. The economic, ecological values of ecosystem service: a literature review. London: EFTEC Final Report. Foresta H de, Kusworo A, Michon G, Djatmiko WA. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan: Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan Masyarakat. Jakarta: SMT Grafika Desa Putera. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Galudra G, Sirait M, Ramdhaniaty N, Soenarto F, Nurzaman B. 2005. History of land-use and degradation of Mount Halimun-Salak National Park, sejarah kebijakan tata ruang dan penetapan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Manajemen Hutan Tropika XI:1-13. Geist HJ, Lambin EF. 2001a. What drives tropical deforestation? a meta analysis of proximate and underlying causes of deforestation based on subnational case study evidence. Belgium: LUCC report series 4. Geist HJ, Lambin EF. 2001b. Proximate causes and underlaying driving forces of tropical deforestation. Bioscience 52:143-150. Gibb CJN, Bromley D. 1989. Institutional arrangement for management of rural resources: common property regimes. Di dalam: Berkes F, editor. Common property resources: ecology and community-based sustainable development. London: Belhaven Press.
177 Gunawan W. 1999. Persepsi dan prilaku sosial ekonomi masyarakat Desa Sirnarasa terhadap pelestarian sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung Halimun [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Hadi DW. 1994. Keanekaragaman floristik Taman Nasional Gunung Halimun dan pemanafaatannya oleh masyarakat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Harada K. 2005. Local use of agricultural lands and natural resources as the commons in Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia. Sustainable and World Ecology 12:34-37. Harada K, Arif AJ, Widada. 2000. Guide Book: Gunung Halimun National Park. Bogor: Biodiversity Conservation Project. Harada K, Muzakkir A, Rahayu M, Widada. 2001. Traditional people and biodiversity conservation in Gunung Halimun National Park. Bogor: Biodiversity Conservation Project. Helms JA, editor. 1998. The Dictionary of Forestry. Bethesda: SAF and CABI Publishing. Hendrawan H. 2004. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk pendugaan erosi dengan pendekatan USLE (Universal Soil Loss Equation) di sub DAS Cimuntur, Ciamis [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Irhamni M, Resosudarmo B. 1998. Determinants of deforestation in Indonesia with Malaysia and Thailand cases a comparation. Oxford: New International Publications Ltd. [ITTO] International Tropical Timber Organization. 2002. ITTO Policy Development Series No. 13: ITTO guidelines for the restoration, management and rehabilitation of degraded and secondary tropical forests. Iverson LR, Cook EA. 2000. Urban forest of the Chicago region and its relation to household density and income. Urban Ecosystems 4:105-124. Jaya INS. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. . 2005. Analisa Citra Dijital: Persepektif Penginderaan Jauh Untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Laboratorium Inventarisasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
178 . 2006a. Tehnik-tehnik Pemodelan Spasial dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan: dengan Contoh-contoh Pemodelan Tataguna Hutan, Kesesuaian Lahan dan Kerawanan Kebakaran Hutan Menggunakan ArcView. Laboratorium Inventarisasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. . 2006b. Model pengembangan pusat-pusat perkotaan di wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat: menggunakan data penginderaan jauh dan SIG. Berita Inderaja V:12-17. Jepma CJ. 1995. Tropical deforestation: a socio-economic approach. London: Earthscan Publication Ltd. Kahn J, McDonald J. 1994. International debt and deforestation. Di dalam: Brown K, Pearce DW, editor. The causes of tropical deforestation: the economic and statistical analysis of factors giving rise to the loss of the tropical forests. London: UCL Press Limited. hlm 57-66. Kaimowitz D, Angelsen A. 1998. Economic models of tropical deforestation a review. Bogor: CIFOR. Kant S, Redantz A. 1997. An econometric model of tropical deforestation. Journal of Forest Economics 3:51-86. Kantor Statistik Kab. Bogor. 1990. Kecamatan (Ciampea, Cijeruk, Ciomas, Jasinga, Leuwiliang, Nanggung) dalam angka. Bogor: Kantor StatistikBappeda Kab. Bogor. Kantor Statistik Prov. Jawa Barat. 1990. Penduduk Jawa Barat Per Desa: Hasil Registerasi Penduduk akhir tahun 1988. Bandung: Kantor Statistik Prov. Jawa Barat. Kantor Statistik Kab. Bogor. 1992. Kecamatan (Ciampea, Cijeruk, Ciomas, Jasinga, Tenjo) dalam angka. Bogor: Kantor Statistik-Bappeda Kab. Bogor. Kantor Statistik Kab. Bogor. 1998. Kecamatan (Ciampea, Cigudeg, Cijeruk, Ciomas, Jasinga, Leuwiliang, Nanggung, Tenjo) dalam angka. Bogor: Mantri Statistik-Pemerintah Kecamatan. Karyono OK, Herawati T. 2005. Peran masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dalam mendukung kelestarian hutan di kawasan Taman Nasional HalimunSalak. Info Sosial Ekonomi 5:1-8. Kummer D, Sham CH. 1994. The causes of tropical deforestation: a quantitative analysis and case study from the Philippines. Di dalam: Brown K, Pearce DW, editor. The causes of tropical deforestation: the economic and statistical analysis of factors giving rise to the loss of the tropical forests. London: UCL Press Limited. hlm 146-158.
179 Kurniawan I. 2002. Sistem pengelolaan lahan oleh masyarakat Kasepuhan di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Laoh OEH. 2002. Keterkaitan faktor fisik, faktor sosial ekonomi dan tataguna lahan daerah tangkapan air dengan erosi dan sedimentasi: kasus Danau Tondano, Sulawesi Utara [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Langton M, Rhea ZM, Palmer L. 2005. Community-oriented protected areas for indigenous peoples and local communities. Political Ecology 12:23-50. Lier HN van. 1998. The role of land use planning in sustainable rural system. Landscape and Urban Planning 41:83-91. Lillesand TM, dan Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Terjemahan dari: Remote Sensing and Image Interpretation. Liu JG, Mason P, Hilton F, Lee H. 2004. Detection of rapid erosion in SE Spain: A GIS approach based on ERS SAR coherence imagery. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing 70: 1179-1185. Lombardini C. 1994. Deforestation in Thailand. Di dalam: Brown K, Pearce DW, editor. The causes of tropical deforestation: the economic and statistical analysis of factors giving rise to the loss of the tropical forests. London: UCL Press Limited. hlm 211-216. MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J. 1993. Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi di Daerah Tropika. Amir HH, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Managing protected areas in the tropics. Maertens M, Zeller M, Birner R. 2002. Explaining agricultural land use in villages surrounding the Lore Lindu National Park in Central Sulawesi, Indonesia. Research project on stability of rain forest margins (STORMA) 4. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan: Dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. Moran EF. 1996. Deforestation in the Brazilian Amazon. Di dalam: Sponsel LE, Headland TN, Bailey RC, editor. Tropical Deforestation: the human dimension. New York: Columbia Univerity Press. hlm 149-164. Mubyarto. 1987. Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta: LP3ES.
180 Mudofar I. 1999. Manfaat ekonomi hasil hutan Taman Nasional Gunung Halimun bagi masyarakat Desa Sirnarasa Kecamatan Cisolok, Sukabumi. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Mulatsih S. 2005. Faktor sosial ekonomi dan kondisi lahan yang mempengaruhi penggunaan lahan kering: kasus di Desa Pabangbon, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Muslihat LW. 2000. 02:14-17.
Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun.
Halimun
Myers N. 1994. Tropical deforestation: rates and patterns. Di dalam: Brown K, Pearce DW, editor. The causes of tropical deforestation: the economic and statistical analysis of factors giving rise to the loss of the tropical forests. London: UCL Press Limited. hlm 27-40. Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Nurjanah I. 2005. Zonasi tingkat kerawanan banjir dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan penginderaan jauh di Kabupaten Tangerang, Banten [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Oliveira R, Anderson ES. 1999. Gender, conservation, and community participation: the case of the Jau National Park, Brazil. Gender, Community Participation and Natural Resource Management 2:1-13. Osgood D. 1994. Government failure and deforestation in Indonesia. Di dalam: Brown K, Pearce DW, editor. The causes of tropical deforestation: the economic and statistical analysis of factors giving rise to the loss of the tropical forests. London: UCL Press Limited. hlm 217-225. Paat AJT. 1986. Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi pendangkalan Danau Tondano di Kabupaten Minahasa [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Palo M. 1994. Population and deforestation. Di dalam: Brown K, Pearce DW, editor. The causes of tropical deforestation: the economic and statistical analysis of factors giving rise to the loss of the tropical forests. London: UCL Press Limited. hlm 42-56. Palo M, vanhanen H. 2000. World forest from deforestation to transition?. The Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
181 Panayotou T, Sungsuwan S. 1994. An econometric analysis of the causes of tropical deforestation: the case of Northeast Thailand. Di dalam: Brown K, Pearce DW, editor. The causes of tropical deforestation: the economic and statistical analysis of factors giving rise to the loss of the tropical forests. London: UCL Press Limited. hlm 192-207. Pfaff ASP. 1997. What drives deforestation in the Brazilian Amazon?: evidence from satellite and sosioeconomic data. The World Bank: Policy Research Department. Phong LT. 2004. Analysis of forest cover dynamics and their driving forces in Bach Ma National Park and its buffer zone using remote sensing and GIS [thesis]. The Netherlands: International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation. Poudevigne I, Rooij S van, Morin P, Alard D. 1997. Dynamics of rural landscapes and their main driving factors: a case study in the Seine Valley, Normandy, France. Landscape and Urban Planning 38:93-103. Prahasta E. 2002. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Informatika. Prasetyo LB, Kumazaki M. 1995. Land-use changes and their causes in the tropics: a case study in South Sumatera, Indonesia in 1969-1988. Tropics 5:115-128. Prasetyo LB, Setiawan Y. 2006. Land Use dan Land Cover Change Gunung Halimun-Salak National Park 1989-2004. JICA and Ministry of Forestry Indonesia: Management Plan Project. Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
1998.
Biologi
Purnomo H. 2005. Teori Sistem Kompleks, Pemodelan dan Simulasi: untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Purnomo H et al. 2003. Collaborative Modelling to Support Forest Management: Qualitative Systems Analysis at Lumut Mountain, Indonesia. Management and Policy II:259-275. Purnomohadi S. 1985. Sistem interaksi sosial-ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat Badui di Desa Kanekes, Banten Selatan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Purwadhi FSH, Dianovita. 2006. Pembuatan peta penggunaan lahan dan kesesuaian lahan dari Citra SPOT-5. Berita Inderaja V:18-24.
182 Rahayu M, Harada K. 2004. Peran tumbuhan dalam kehidupan tradisional masyarakat lokal di TNGH Jawa Barat. Berita Biologi 7:17-23. Rudel T. 1994. Population, development and tropical deforestation: a crossnational study. Di dalam: Brown K, Pearce DW, editor. The causes of tropical deforestation: the economic and statistical analysis of factors giving rise to the loss of the tropical forests. London: UCL Press Limited. hlm 96103. Rudel TK, Horowitz B. 1993. Tropical deforestation: small farmers and land clearing in the Ecuadorian Amazon. New York: Columbia University Press. Rusli S. 1995. Pengantar ilmu kependudukan. Jakarta: LP3ES. Serneels S, Lambin EF. 2001. Proximate causes of land-use change in Narok District, Kenya: a spatial statistical model. Agriculture, Ecosystem and Environment 85:65-81. Sader SA, Sever T, Soza C, Schwartz NB. 2000. Time series forest change, land cover/land use conversion and socio economic driving foreas in the Peten District Guatemala. NASA-ESE-LCLUC Science Program: progress report. Setyono et al., editor. 2003. Ecotourism guidebook Gunung Halimun National Park: Ciptarasa Village. Bogor: BCP-JICA. Simbolon H, Mirmanto E. 1997. Altitudinal zonation of the forest vegetation in Gunung Halimun National Park. Biodiversity Research and Conservation in Gunung Halimun National Park. LIPI-PHPA-JICA. Simon H. 2004. Membangun Desa Hutan: Kasus Dusun Sambiroto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soemarwoto O. 1989. Analisis Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. . 1992. Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. . 2001. Atur-Diri-Sendiri: Paradigma baru pengelolaan lingkungan hidup. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Southgate D. 1994. Tropical deforestation and agricultural development in Latin America. Di dalam: Brown K, Pearce DW, editor. The causes of tropical deforestation: the economic and statistical analysis of factors giving rise to the loss of the tropical forests. London: UCL Press Limited. hlm 134-143.
183 Stonich SC, Walt BR de. 1996. The political ecology of deforestation in Honduras. Di dalam: Sponsel LE, Headland TN, Bailey RC, editor. Tropical Deforestation: the human dimension. New York: Columbia Univerity Press. hlm 187-215. Store R, Kangas J. 2001. Integrating spatial multi-criteria evaluation and expert knowledge for GIS-based habitat suitability modelling. Landscape and Urban Planning 55: 79-93. Suhaeri. 1994. Pengembangan kelembagaan Taman Nasional Gunung Halimun [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sunderlin WD, Resosudarmo IAP. 1997. Laju dan penyebab deforestasi di Indonesia: penelaahan kerancuan dan penyelesaiannya. Bogor: CIFOR. Sunderlin WD, Resosudarmo IAP, Rianto E, Angelic A. 2000. The effect of Indonesia’s crisis on small farmers and natural forest cover in the outer island. Bogor: CIFOR. Syartinilia. 2004. Penerapan Multi Criteria Decision Making (MCDM) dan Geographical Information System (GIS) pada evaluasi peruntukan lahan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Thongmanivong S, Fujita Y. 2006. Recent land use and livelihood transitions in Northern Laos. Mountain Research and Development 26:237-244. Trigg SN, Curran LM, McDonald AK. 2006. Utility of Landsat 7 satelite data for continued monitoring of forest cover change in protected areas in Southeast Asia. Singapore Journal of Tropical Geography 27:49-66. Trihendradi C. 2005. Step by Step SPSS 13: Analisis Data Statistik. Yogyakarta: Andi. Tucker CM, Munroe DK, Nagendra H, Southworth J. 2005. Comparative spatial analysis of forest conservation and change in Honduras and Guatemala. Conservation and Society 3:174-200. Turner MG, Pearson SM, Bolstad P, Wear DN. 2003. Effects of land-cover change on spatial pattern of forest communities in the Southern Appalachian Mountains (USA). Landscape Ecology 18:449-464. Uji T. 2002. Keanekaragaman dan potensi flora di Gunung Halimun dan sekitarnya di TNGH. Berita Biologi 6:1-12. Unruh JD, Lefebvre PA. 1995. A spatial database approach for estimating area suitable for agroforestry in subSaharan Africa: aggregation and use for agroforestry case studies. Agroforestry System 32:81-96.
184 Utomo WY. 2004. Pemetaan kawasan berpotensi banjir di DAS Kaligarang Semarang dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Veldkamp A, Lambin EF. 2001. Editorial: Predicting land-use change. Agriculture, Ecosystem and Environment 85:1-6. Verbist B, Putra AED, Budidarsono S. 2005. Factors driving land use change: effects on watershed functions in a coffee agroforestry system in Lampung, Sumatra. Agricultural System 85:254-270. Verburg PH, Veldkamp A, Fresco LO. 1999. Simulation of changes in the spatial pattern of land use in China. Applied Geography 19:211-233. Verburgh PH, Ovemars KP, Huigen MGA, Groot WT de, Veldkamp A. 2006. Analysis of the effects of land use change on protected areas in the Philippines. Applied Geography 26:153-173. Verolme HJH, Moussa J. 1999. Addresing the underlying causes of deforestation and degradation: case study, analysis and policy recommendation. Washington DC: Biodiversity Action Network. Ward CB, Mladeniff DJ, Sheller RM. 2005. Simulating landscape-level effect of constraints to public forest regeneration harvest due to adjecent residutial development in Northern Wisconsin. Forest Science 51:616-632. Welch D, Croissant C, Evans T, Ostorm E. 2001. A social assessement Hoosier National Park. CIPEC Summary Report 4. Widada. 2004. Nilai manfaat ekonomi dan pemanfaatan Taman Nasional Gunung Halimun bagi masyarakat [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wilson A. 2006. Forest conversion and land use change in Rural Northwest Yunnan, China: a fine-scale analysis in the context of the ‘Big Picture’. Mountain Research and Development 26:227-236. Wong AWM, Wong MH. 2004. Recent socio economic changes in relation to environmental quality of the Pearl River Delta. Regional Environmental Change 4:28-38. Yadava RS, Rao KS, Talukdar U. 2003. Landuse/landcover change in and around Namdapha National Park in North East India using remote sensing and GIS. Arunachal University Research Journal 6:9-24.
185 Lampiran 1 Perubahan luas hutan alam pada desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 Desa 1989 Banjaririgasi Banjarsari Bantarkaret Ciasihan Ciasmara Cibunian Cicadas Cidahu Cihambali Cihamerang Cijeruk Cikarang Cikate Cikelat Cikiray Cilebang Cileuksa Cileungsing Cimaja Cipanas Ciparay Cipelang Cipeuteuy Cirompang Cisaat Cisarua Cisungsang Cisuren Citorek Citujah Ciusul Curug Curugbitung Giriharja Girijaya Girilaya Gunung Bunder Gununggede Gununggendut Gunungmalang Gunungpicung Gunungsari Hariang Hegarmanah Jatake Jugalajaya
102.87 259.07 1344.90 761.98 659.11 323.84 1649.69 937.24 224.78 2247.85 167.64 464.81 739.12 163.83 1901.14 186.69 1093.44 735.31 57.15 95.25 1859.24 137.16 3066.98 163.83 266.69 3943.26 2552.64 19.05 4392.82 563.87 4937.64 11.43 274.31 38.10 274.31 201.93 464.81 902.95 72.39 765.79 182.88 1142.97 461.00 548.63 750.55 320.03
1992 91.44 186.69 1325.85 731.50 636.25 293.36 1596.35 929.62 209.54 2205.94 163.83 392.42 647.68 144.78 1897.33 175.26 864.85 731.50 53.34 76.20 1703.03 137.16 2956.49 148.59 266.69 3718.47 2514.54 19.05 4072.79 548.63 4762.39 11.43 236.21 34.29 266.69 182.88 453.38 857.23 68.58 735.31 163.83 1101.06 445.76 521.96 723.88 251.45
Tahun 1995 1998 Luas hutan alam (ha) 76.20 57.15 160.02 144.78 1302.99 1276.32 716.26 678.16 617.21 590.54 190.50 179.07 1466.81 1234.41 887.71 845.80 171.45 163.83 2095.45 2026.87 163.83 163.83 342.89 266.69 514.34 434.33 118.11 95.25 1855.43 1828.76 118.11 121.92 735.31 666.73 712.45 704.83 49.53 38.10 80.01 57.15 1543.01 1417.29 133.35 133.35 2712.65 2617.41 129.54 102.87 259.07 224.78 3585.12 3459.40 2495.49 2407.86 19.05 19.05 3714.66 3364.15 529.58 476.24 4526.17 4343.30 11.43 7.62 198.12 194.31 34.29 26.67 228.59 190.50 156.21 137.16 445.76 438.14 739.12 510.53 53.34 49.53 670.54 632.44 125.73 137.16 1047.72 1009.63 400.04 346.70 502.91 480.05 655.30 582.92 205.74 190.50
2001
2004
53.34 152.40 1272.51 681.97 601.97 167.64 868.66 845.80 133.35 1946.86 163.83 274.31 388.61 60.96 1802.09 118.11 643.87 666.73 15.24 53.34 1398.24 137.16 2552.64 102.87 217.16 3467.02 2388.81 15.24 3173.65 468.62 4293.77 7.62 198.12 26.67 190.50 129.54 438.14 461.00 41.91 598.16 121.92 986.77 323.84 449.57 480.05 186.69
26.67 95.25 1253.46 655.30 571.49 133.35 609.59 838.18 129.54 1874.48 163.83 190.50 339.08 15.24 1767.80 91.44 518.15 640.06 3.81 45.72 1333.47 137.16 2430.72 95.25 220.97 3367.96 2381.19 11.43 2990.78 426.71 4068.98 3.81 182.88 15.24 175.26 80.01 396.23 380.99 41.91 491.48 83.82 925.81 285.74 407.66 457.19 167.64
186 Lampiran 1 (lanjutan) Desa Kabandungan Kanekes Karangcombong Karangpapak Kiarapandak Kiarasari Kujangjaya Kujangsari Kutajaya Lebakgedong Lebaksangka Lebaksitu Leuwicoo Luhurjaya Majasari Malasari Margalaksana Mekar Sari Mekarjaya Mekarnangka Minyak Naraya Pangradin Parakansalak Pasawahan Pasirhaur Pasirjaya Pasirmadang Pasirnangka Pulosari Purasari Purwabakti Ridogalih Sindanglaya Sirnagalih Sirnarasa Sirnaresmi Situmulya Sobang Sukaharja Sukajadi Sukajaya Sukakersa Sukamulih Sukamulya Sukatani
1989
1992
1169.64 57.15 110.49 350.51 30.48 2407.86 38.10 1501.10 182.88 1123.92 742.93 3920.40 34.29 15.24 1398.24 5779.63 106.68 7.62 1630.64 373.37 7.62 30.48 259.07 655.30 182.88 304.79 156.21 323.84 213.35 822.94 792.46 2186.89 30.48 1120.11 2369.76 3512.74 3581.31 1904.95 438.14 148.59 19.05 373.37 217.16 7.62 358.13 68.58
1142.97 53.34 118.11 339.08 15.24 2350.71 41.91 1432.53 182.88 937.24 670.54 3699.42 26.67 15.24 1337.28 5551.04 99.06 3.81 1619.21 350.51 11.43 26.67 236.21 659.11 182.88 266.69 156.21 247.64 156.21 777.22 716.26 2042.11 30.48 1062.96 2289.76 3455.59 3539.41 1863.05 441.95 144.78 19.05 335.27 209.54 3.81 350.51 68.58
Tahun 1995 1998 Luas hutan alam (ha) 1055.34 1024.87 57.15 57.15 99.06 49.53 289.55 220.97 7.62 7.62 2324.04 2266.90 34.29 26.67 1394.43 1318.23 182.88 179.07 849.61 708.64 575.30 502.91 3489.88 3337.48 22.86 22.86 15.24 11.43 1234.41 1184.88 5246.24 5013.84 91.44 80.01 3.81 3.81 1562.06 1485.86 312.41 300.98 7.62 3.81 15.24 11.43 190.50 182.88 651.49 647.68 175.26 171.45 217.16 182.88 156.21 156.21 205.74 175.26 140.97 106.68 750.55 662.92 582.92 575.30 1779.23 1729.70 22.86 15.24 929.62 819.13 2164.03 1882.09 3242.23 3127.94 3409.87 3188.89 1752.56 1626.83 380.99 240.02 144.78 144.78 19.05 19.05 308.60 300.98 198.12 190.50 3.81 3.81 335.27 316.22 60.96 57.15
2001
2004
1017.25 60.96 38.10 140.97 3.81 2270.71 26.67 1283.94 175.26 720.07 495.29 3333.67 19.05 15.24 1169.64 4975.74 26.67 3.81 1409.67 236.21 0.00 11.43 179.07 636.25 171.45 182.88 156.21 148.59 106.68 643.87 563.87 1676.36 7.62 796.27 1703.03 2632.65 2979.35 1577.30 247.64 144.78 15.24 281.93 190.50 3.81 281.93 53.34
1017.25 45.72 30.48 118.11 3.81 2232.61 26.67 1249.65 171.45 621.02 342.89 3162.22 15.24 0.00 1074.39 4891.92 3.81 3.81 1318.23 213.35 0.00 3.81 137.16 640.06 175.26 144.78 156.21 118.11 72.39 605.78 533.39 1501.10 0.00 662.92 1607.78 2125.93 2804.09 1512.53 160.02 140.97 15.24 259.07 190.50 3.81 262.88 53.34
187 Lampiran 1 (lanjutan) Desa 1989 Tajurhalang Tamansari Tapos Satu Tugujaya Jumlah total
1992
Tahun 1995 1998 Luas hutan alam (ha)
80.01 902.95 449.57 114.30
80.01 872.47 407.66 110.49
80.01 857.23 400.04 110.49
76.20 853.42 388.61 106.68
85044.78
81006.28
75638.12
70841.44
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
2001 76.20 845.80 384.80 106.68
2004 76.20 807.70 297.17 110.49
67995.44 63244.48
188 Lampiran 2 Laju perubahan luas hutan alam pada desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 Desa Banjaririgasi Banjarsari Bantarkaret Ciasihan Ciasmara Cibunian Cicadas Cidahu Cihambali Cihamerang Cijeruk Cikarang Cikate Cikelat Cikiray Cilebang Cileuksa Cileungsing Cimaja Cipanas Ciparay Cipelang Cipeuteuy Cirompang Cisaat Cisarua Cisungsang Cisuren Citorek Citujah Ciusul Curug Curugbitung Giriharja Girijaya Girilaya Gunung Bunder Gununggede Gununggendut Gunungmalang Gunungpicung Gunungsari Hariang Hegarmanah Jatake Jugalajaya Kabandungan Kanekes
Luas hutan alam (ha) Tahun 1989 Tahun 2004 102.87 26.67 259.07 95.25 1344.90 1253.46 761.98 655.30 659.11 571.49 323.84 133.35 1649.69 609.59 937.24 838.18 224.78 129.54 2247.85 1874.48 167.64 163.83 464.81 190.50 739.12 339.08 163.83 15.24 1901.14 1767.80 186.69 91.44 1093.44 518.15 735.31 640.06 57.15 3.81 95.25 45.72 1859.24 1333.47 137.16 137.16 3066.98 2430.72 163.83 95.25 266.69 220.97 3943.26 3367.96 2552.64 2381.19 19.05 11.43 4392.82 2990.78 563.87 426.71 4937.64 4068.98 11.43 3.81 274.31 182.88 38.10 15.24 274.31 175.26 201.93 80.01 464.81 396.23 902.95 380.99 72.39 41.91 765.79 491.48 182.88 83.82 1142.97 925.81 461.00 285.74 548.63 407.66 750.55 457.19 320.03 167.64 1169.64 1017.25 57.15 45.72
Laju perubahan (%) -74.1 -63.2 -6.8 -14.0 -13.3 -58.8 -63.0 -10.6 -42.4 -16.6 -2.3 -59.0 -54.1 -90.7 -7.0 -51.0 -52.6 -13.0 -93.3 -52.0 -28.3 0.0 -20.7 -41.9 -17.1 -14.6 -6.7 -40.0 -31.9 -24.3 -17.6 -66.7 -33.3 -60.0 -36.1 -60.4 -14.8 -57.8 -42.1 -35.8 -54.2 -19.0 -38.0 -25.7 -39.1 -47.6 -13.0 -20.0
Rata-rata (%/tahun) -4.9 -4.2 -0.5 -0.9 -0.9 -3.9 -4.2 -0.7 -2.8 -1.1 -0.2 -3.9 -3.6 -6.0 -0.5 -3.4 -3.5 -0.9 -6.2 -3.5 -1.9 0.0 -1.4 -2.8 -1.1 -1.0 -0.4 -2.7 -2.1 -1.6 -1.2 -4.4 -2.2 -4.0 -2.4 -4.0 -1.0 -3.9 -2.8 -2.4 -3.6 -1.3 -2.5 -1.7 -2.6 -3.2 -0.9 -1.3
189 Lampiran 2 (lanjutan) Desa Karangcombong Karangpapak Kiarapandak Kiarasari Kujangjaya Kujangsari Kutajaya Lebakgedong Lebaksangka Lebaksitu Leuwicoo Luhurjaya Majasari Malasari Margalaksana Mekar Sari Mekarjaya Mekarnangka Minyak Naraya Pangradin Parakansalak Pasawahan Pasirhaur Pasirjaya Pasirmadang Pasirnangka Pulosari Purasari Purwabakti Ridogalih Sindanglaya Sirnagalih Sirnarasa Sirnaresmi Situmulya Sobang Sukaharja Sukajadi Sukajaya Sukakersa Sukamulih Sukamulya Sukatani Tajurhalang Tamansari Tapos Satu Tugujaya
Luas hutan alam (ha) Tahun 1989 Tahun 2004 110.49 30.48 350.51 118.11 30.48 3.81 2407.86 2232.61 38.10 26.67 1501.10 1249.65 182.88 171.45 1123.92 621.02 742.93 342.89 3920.40 3162.22 34.29 15.24 15.24 0.00 1398.24 1074.39 5779.63 4891.92 106.68 3.81 7.62 3.81 1630.64 1318.23 373.37 213.35 7.62 0.00 30.48 3.81 259.07 137.16 655.30 640.06 182.88 175.26 304.79 144.78 156.21 156.21 323.84 118.11 213.35 72.39 822.94 605.78 792.46 533.39 2186.89 1501.10 30.48 0.00 1120.11 662.92 2369.76 1607.78 3512.74 2125.93 3581.31 2804.09 1904.95 1512.53 438.14 160.02 148.59 140.97 19.05 15.24 373.37 259.07 217.16 190.50 7.62 3.81 358.13 262.88 68.58 53.34 80.01 76.20 902.95 807.70 449.57 297.17 114.30 110.49
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
Laju perubahan (%) -72.4 -66.3 -87.5 -7.3 -30.0 -16.8 -6.3 -44.7 -53.8 -19.3 -55.6 -100.0 -23.2 -15.4 -96.4 -50.0 -19.2 -42.9 -100.0 -87.5 -47.1 -2.3 -4.2 -52.5 0.0 -63.5 -66.1 -26.4 -32.7 -31.4 -100.0 -40.8 -32.2 -39.5 -21.7 -20.6 -63.5 -5.1 -20.0 -30.6 -12.3 -50.0 -26.6 -22.2 -4.8 -10.5 -33.9 -3.3
Rata-rata (%/tahun) -4.8 -4.4 -5.8 -0.5 -2.0 -1.1 -0.4 -3.0 -3.6 -1.3 -3.7 -6.7 -1.5 -1.0 -6.4 -3.3 -1.3 -2.9 -6.7 -5.8 -3.1 -0.2 -0.3 -3.5 0.0 -4.2 -4.4 -1.8 -2.2 -2.1 -6.7 -2.7 -2.1 -2.6 -1.4 -1.4 -4.2 -0.3 -1.3 -2.0 -0.8 -3.3 -1.8 -1.5 -0.3 -0.7 -2.3 -0.2
190 Lampiran 3 Perubahan persentase luas hutan alam terhadap luas wilayah desa, pada desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 Strata Desa 1989 1
2 3
Kiarasari Bantarkaret Tamansari Sukajadi Sukajaya Gunungsari Ciasihan Gn. Bunder 2 Purwabakti Ciasmara Tapos 1 Gn. Malang Tugujaya Pasirjaya Cipelang Sukaharja Tajurhalang Cijeruk Cileungsing Cidahu Cikiray Cisaat Pasawahan Kutajaya Kabandungan Cipeuteuy Mekarjaya Cihamerang Pulosari Parakansalak Sukatani Sukakersa Majasari Citujah Hegarmanah Kujang Jaya Sukamulya Malasari Cisarua Sirnaresmi Kanekes Cisungsang Kujangsari Situmulya
73.82 36.14 57.12 4.17 42.58 65.51 67.95 53.69 75.00 64.59 42.71 54.37 12.70 22.84 16.28 18.92 16.12 20.57 21.41 56.94 50.29 62.01 78.59 49.26 45.01 69.53 77.38 58.23 54.86 44.73 10.89 26.90 53.10 61.75 30.67 3.31 20.93 93.38 87.16 84.62 1.31 80.08 76.76 72.43
Tahun 1992 1995 1998 2001 Persentase luas hutan alam (%) 72.07 71.25 69.50 69.61 35.62 35.01 34.29 34.19 55.19 54.23 53.99 53.50 4.17 4.17 4.17 3.33 38.23 35.19 34.32 32.15 63.11 60.05 57.87 56.56 65.23 63.87 60.47 60.81 52.37 51.49 50.61 50.61 70.04 61.02 59.32 57.49 62.35 60.48 57.87 58.99 38.73 38.01 36.92 36.56 52.20 47.61 44.90 42.47 12.28 12.28 11.86 11.86 22.84 22.84 22.84 22.84 16.28 15.83 15.83 16.28 18.43 18.43 18.43 18.43 16.12 16.12 15.35 15.35 20.10 20.10 20.10 20.10 21.30 20.75 20.52 19.41 56.47 53.93 51.38 51.38 50.19 49.08 48.38 47.67 62.01 60.24 52.26 50.49 78.59 75.31 73.68 73.68 49.26 49.26 48.23 47.21 43.99 40.61 39.44 39.15 67.02 61.50 59.34 57.87 76.83 74.12 70.51 66.89 57.15 54.28 52.51 50.43 51.81 50.03 44.19 42.92 44.99 44.47 44.21 43.43 10.89 9.68 9.07 8.47 25.96 24.54 23.60 23.60 50.79 46.88 45.00 44.42 60.08 58.00 52.15 51.32 29.18 28.11 26.83 25.13 3.64 2.98 2.32 2.32 20.48 19.59 18.48 16.47 89.68 84.76 81.01 80.39 82.19 79.24 76.47 76.63 83.63 80.57 75.34 70.39 1.23 1.31 1.31 1.40 78.88 78.29 75.54 74.94 73.26 71.31 67.41 65.66 70.83 66.63 61.85 59.97
2004 68.44 33.68 51.09 3.33 29.54 53.07 58.44 45.77 51.48 56.00 28.24 34.89 12.28 22.84 16.28 17.95 15.35 20.10 18.64 50.92 46.77 51.38 75.31 46.18 39.15 55.10 62.55 48.56 40.38 43.69 8.47 23.60 40.80 46.73 22.79 2.32 15.36 79.04 74.44 66.25 1.05 74.70 63.90 57.51
191 Lampiran 3 (lanjutan) Strata Desa 1989 4 5
6 7 8 9
Lebak Situ Ciparay Ciusul Cileuksa Sukamulih Jugalajaya Pangradin Curugbitung Purasari Gunungpicung Cibunian Girijaya Mekar Nngka Gn. Endut Cikarang Leuwicoo Pasir Haur Girilaya Giriharja Cipanas Lebak Sangka Cikate Cirompang Hariang Cilebang Sindang Laya Cihambali Mekarsari Sirnagalih Cisuren Gunung Gede Jatake Lebak Gedong Sirnarasa Citorek Kiarapandak Pasirmadang Curug Cicadas Cikelat Karangpapak Pasirnangka Krang Cmbng Maraya Banjar Irigasi Banjar Sari Sobang
83.58 70.27 81.18 38.36 0.55 15.17 19.50 24.03 30.55 22.67 22.10 53.85 38.46 9.50 27.17 4.06 34.14 30.18 6.31 20.57 46.52 17.66 24.33 35.89 14.96 52.27 19.22 0.37 83.81 1.47 16.13 25.28 76.79 75.00 61.83 3.04 16.51 0.62 57.49 12.39 16.66 33.62 8.69 4.42 16.60 32.93 31.53
Tahun 1992 1995 1998 2001 Persentase luas hutan alam (%) 78.87 74.40 71.15 71.07 64.36 58.32 53.56 52.85 78.30 74.42 71.41 70.59 30.34 25.80 23.39 22.59 0.28 0.28 0.28 0.28 11.92 9.75 9.03 8.85 17.78 14.34 13.77 13.48 20.69 17.35 17.02 17.35 27.61 22.47 22.18 21.74 20.31 15.58 17.00 15.11 20.02 13.00 12.22 11.44 52.36 44.88 37.40 37.40 36.11 32.18 31.00 24.33 9.00 7.00 6.50 5.50 22.94 20.04 15.59 16.03 3.15 2.70 2.70 2.25 29.87 24.33 20.48 20.48 27.33 23.34 20.50 19.36 5.68 5.68 4.42 4.42 16.46 17.28 12.34 11.52 41.99 36.02 31.49 31.01 15.48 12.29 10.38 9.29 22.07 19.24 15.28 15.28 34.70 31.14 26.99 25.21 14.05 9.47 9.77 9.47 49.60 43.38 38.22 37.16 17.92 14.66 14.01 11.40 0.19 0.19 0.19 0.19 80.98 76.53 66.56 60.23 1.47 1.47 1.47 1.18 15.32 13.21 9.12 8.24 24.38 22.07 19.63 16.17 64.04 58.05 48.42 49.20 73.78 69.22 66.78 56.21 57.33 52.29 47.35 44.67 1.52 0.76 0.76 0.38 12.62 10.49 8.93 7.57 0.62 0.62 0.41 0.41 55.63 51.11 43.02 30.27 10.95 8.93 7.20 4.61 16.12 13.76 10.50 6.70 24.61 22.21 16.81 16.81 9.29 7.79 3.90 3.00 3.86 2.21 1.66 1.66 14.75 12.29 9.22 8.61 23.73 20.34 18.40 19.37 31.80 27.41 17.27 17.82
2004 67.41 50.40 66.90 18.18 0.28 7.94 10.32 16.02 20.56 10.39 9.10 34.41 21.98 5.50 11.13 1.80 16.22 11.96 2.53 9.87 21.47 8.10 14.15 22.24 7.33 30.94 11.08 0.19 56.86 0.88 6.81 15.40 42.43 45.39 42.10 0.38 6.02 0.21 21.24 1.15 5.61 11.41 2.40 0.55 4.30 12.11 11.51
192 Lampiran 3 (lanjutan) Strata Desa 1989 13
Margalaksana Ridogalih Cimaja Ciminyak Luhurjaya
16.35 4.66 8.09 1.55 3.80
Tahun 1992 1995 1998 2001 Persentase luas hutan alam (%) 15.18 14.01 12.26 4.09 4.66 3.50 2.33 1.17 7.55 7.01 5.39 2.16 2.32 1.55 0.77 0.00 3.80 3.80 2.85 3.80
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
2004 0.58 0.00 0.54 0.00 0.00
193 Lampiran 4 Perubahan luas semak di wilayah desa-desa sampel pada periode tahun 1989-2004 Strata 1
2 3 4 5
6 7 8 9 13
Desa Tugu Jaya Cijeruk Sukaharja Bantarkaret Sukajaya Cileungsing Cikiray Cipeuteuy Pulosari Kujang Jaya Malasari Sirnaresmi Cisungsang Ciparay Lebak Situ Jugalajaya Sukamulih Mekarnangka Sirnagalih Cikate Pasir Haur Cirompang Lebak Gedong Sirnarasa Citorek Banjar Irigasi Pasirmadang Cikelat Margalaksana Luhur Jaya
1989
1992
0.00 0.00 0.00 7.62 64.77 3.81 72.39 80.01 26.67 0.00 72.39 118.11 19.05 129.54 171.45 19.05 3.81 64.77 114.30 148.59 19.05 30.48 106.68 209.54 514.34 11.43 45.72 22.86 38.10 0.00
7.62 3.81 0.00 7.62 106.68 7.62 57.15 45.72 53.34 0.00 95.25 167.64 64.77 133.35 430.52 49.53 0.00 83.82 148.59 259.07 26.67 53.34 232.40 289.55 937.24 26.67 106.68 91.44 53.34 3.81
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
Tahun 1995 1998 2001 Luas semak (ha) 11.43 11.43 15.24 3.81 3.81 3.81 0.00 0.00 0.00 15.24 38.10 30.48 41.91 72.39 87.63 30.48 19.05 49.53 72.39 102.87 140.97 34.29 68.58 240.02 49.53 91.44 118.11 0.00 3.81 0.00 179.07 224.78 297.17 137.16 354.32 327.65 34.29 121.92 80.01 152.40 194.31 320.03 514.34 411.47 472.43 57.15 57.15 83.82 0.00 3.81 0.00 68.58 91.44 140.97 156.21 308.60 259.07 118.11 240.02 320.03 15.24 87.63 76.20 26.67 41.91 60.96 186.69 213.35 320.03 137.16 548.63 415.28 339.08 803.89 1036.30 11.43 38.10 45.72 171.45 91.44 167.64 22.86 152.40 83.82 3.81 57.15 53.34 0.00 7.62 3.81
2004 7.62 3.81 3.81 15.24 198.12 72.39 160.02 251.45 106.68 11.43 236.21 422.90 140.97 590.54 670.54 125.73 3.81 171.45 407.66 468.62 110.49 110.49 354.32 289.55 2251.66 60.96 327.65 7.62 11.43 7.62
194 Lampiran 5 Perubahan luas hutan tanaman di wilayah desa-desa sampel pada periode tahun 1989-2004 Strata
Desa 1989
1
2 3 4 5
6 7 8 9 13
Tugu Jaya Cijeruk Sukaharja Bantarkaret Sukajaya Cileungsing Cikiray Cipeuteuy Pulosari Kujang Jaya Malasari Sirnaresmi Cisungsang Ciparay Lebak Situ Jugalajaya Sukamulih Mekarnangka Sirnagalih Cikate Pasir Haur Cirompang Lebak Gedong Sirnarasa Citorek Banjar Irigasi Pasirmadang Cikelat Margalaksana Luhur Jaya
0.00 0.00 0.00 3.81 53.34 3.81 30.48 57.15 22.86 7.62 41.91 22.86 15.24 57.15 76.20 26.67 0.00 72.39 22.86 87.63 22.86 7.62 49.53 87.63 426.71 3.81 22.86 64.77 19.05 0.00
Tahun 1992 1995 1998 2001 Luas hutan tanaman (ha) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 19.05 7.62 11.43 15.24 64.77 45.72 64.77 72.39 0.00 0.00 0.00 0.00 26.67 3.81 19.05 15.24 49.53 15.24 60.96 76.20 26.67 26.67 30.48 41.91 3.81 0.00 7.62 0.00 80.01 38.10 68.58 121.92 45.72 34.29 72.39 91.44 19.05 7.62 22.86 22.86 110.49 34.29 102.87 110.49 133.35 22.86 110.49 285.74 163.83 15.24 83.82 87.63 0.00 0.00 0.00 0.00 53.34 22.86 30.48 22.86 11.43 30.48 41.91 19.05 171.45 106.68 137.16 137.16 49.53 26.67 53.34 53.34 11.43 7.62 11.43 11.43 83.82 22.86 38.10 68.58 106.68 99.06 175.26 110.49 537.20 232.40 361.94 544.82 26.67 3.81 15.24 45.72 137.16 3.81 41.91 76.20 57.15 26.67 57.15 121.92 19.05 0.00 15.24 7.62 3.81 0.00 11.43 19.05
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
2004 0.00 0.00 0.00 19.05 64.77 7.62 34.29 57.15 11.43 0.00 41.91 26.67 11.43 152.40 102.87 64.77 3.81 11.43 19.05 99.06 22.86 7.62 83.82 26.67 373.37 53.34 64.77 7.62 0.00 7.62
195 Lampiran 6 Perubahan luas kebun campuran di wilayah desa-desa sampel pada periode tahun 1989-2004 Strata
Desa 1989
1
2 3 4 5
6 7 8 9 13
Tugu Jaya Cijeruk Sukaharja Bantarkaret Sukajaya Cileungsing Cikiray Cipeuteuy Pulosari Kujang Jaya Malasari Sirnaresmi Cisungsang Ciparay Lebak Situ Jugalajaya Sukamulih Mekarnangka Sirnagalih Cikate Pasir Haur Cirompang Lebak Gedong Sirnarasa Citorek Banjar Irigasi Pasirmadang Cikelat Margalaksana Luhur Jaya
0.00 0.00 0.00 7.62 15.24 0.00 3.81 19.05 15.24 0.00 7.62 22.86 7.62 118.11 76.20 80.01 0.00 26.67 0.00 68.58 22.86 15.24 30.48 30.48 350.51 60.96 91.44 99.06 0.00 19.05
Tahun 1992 1995 1998 2001 Luas kebun campuran (ha) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 22.86 11.43 11.43 3.81 45.72 64.77 45.72 0.00 3.81 0.00 15.24 3.81 53.34 7.62 15.24 0.00 95.25 41.91 140.97 0.00 38.10 34.29 64.77 0.00 0.00 0.00 3.81 26.67 156.21 80.01 175.26 0.00 110.49 41.91 220.97 0.00 22.86 7.62 53.34 19.05 152.40 68.58 102.87 19.05 316.22 232.40 190.50 11.43 163.83 60.96 64.77 0.00 7.62 0.00 7.62 0.00 60.96 7.62 102.87 7.62 83.82 49.53 125.73 26.67 110.49 95.25 175.26 3.81 87.63 34.29 41.91 0.00 45.72 11.43 38.10 26.67 243.83 266.69 95.25 19.05 125.73 26.67 335.27 38.10 373.37 232.40 499.10 11.43 60.96 91.44 34.29 19.05 99.06 118.11 91.44 7.62 38.10 19.05 83.82 0.00 26.67 0.00 64.77 3.81 3.81 26.67 15.24
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
2004 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.62 19.05 57.15 15.24 0.00 7.62 110.49 19.05 15.24 140.97 26.67 0.00 7.62 15.24 45.72 91.44 0.00 110.49 864.85 201.93 15.24 3.81 247.64 34.29 7.62
196 Lampiran 7 Perubahan luas ladang di wilayah desa-desa sampel pada periode tahun 1989-2004 Strata
Desa 1989
1
2 3 4 5
6 7 8 9 13
Tugu Jaya Cijeruk Sukaharja Bantarkaret Sukajaya Cileungsing Cikiray Cipeuteuy Pulosari Kujang Jaya Malasari Sirnaresmi Cisungsang Ciparay Lebak Situ Jugalajaya Sukamulih Mekarnangka Sirnagalih Cikate Pasir Haur Cirompang Lebak Gedong Sirnarasa Citorek Banjar Irigasi Pasirmadang Cikelat Margalaksana Luhur Jaya
3.81 0.00 0.00 3.81 49.53 0.00 0.00 57.15 11.43 0.00 76.20 118.11 53.34 388.61 194.31 41.91 0.00 3.81 80.01 137.16 72.39 15.24 60.96 129.54 918.19 34.29 106.68 49.53 3.81 7.62
1992 0.00 0.00 0.00 11.43 38.10 0.00 22.86 60.96 38.10 0.00 156.21 289.55 60.96 361.94 133.35 34.29 3.81 26.67 304.79 106.68 60.96 26.67 57.15 152.40 636.25 30.48 41.91 41.91 7.62 0.00
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
Tahun 1995 1998 Luas ladang (ha) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.62 83.82 22.86 0.00 0.00 3.81 0.00 251.45 53.34 38.10 45.72 7.62 0.00 57.15 167.64 270.50 83.82 99.06 38.10 689.59 457.19 213.35 300.98 68.58 49.53 0.00 0.00 11.43 0.00 144.78 99.06 270.50 167.64 110.49 53.34 30.48 26.67 102.87 102.87 445.76 15.24 2114.50 1455.39 133.35 41.91 129.54 95.25 194.31 7.62 60.96 0.00 26.67 15.24
2001
2004
0.00 0.00 0.00 19.05 22.86 0.00 26.67 129.54 41.91 7.62 201.93 190.50 49.53 289.55 194.31 30.48 0.00 22.86 205.74 182.88 53.34 26.67 91.44 163.83 514.34 34.29 83.82 57.15 15.24 11.43
0.00 0.00 0.00 22.86 26.67 3.81 22.86 68.58 76.20 0.00 255.26 339.08 72.39 438.14 297.17 3.81 0.00 87.63 365.75 220.97 38.10 38.10 26.67 121.92 796.27 3.81 41.91 7.62 19.05 3.81
197 Lampiran 8 Perubahan luas sawah di wilayah desa-desa sampel pada periode tahun 1989-2004 Strata
Desa 1989
1
2 3 4 5
6 7 8 9 13
Tugu Jaya Cijeruk Sukaharja Bantarkaret Sukajaya Cileungsing Cikiray Cipeuteuy Pulosari Kujang Jaya Malasari Sirnaresmi Cisungsang Ciparay Lebak Situ Jugalajaya Sukamulih Mekarnangka Sirnagalih Cikate Pasir Haur Cirompang Lebak Gedong Sirnarasa Citorek Banjar Irigasi Pasirmadang Cikelat Margalaksana Luhur Jaya
0.00 0.00 0.00 7.62 19.05 0.00 3.81 0.00 45.72 0.00 60.96 228.59 38.10 26.67 160.02 3.81 0.00 3.81 228.59 106.68 19.05 7.62 53.34 87.63 110.49 76.20 15.24 11.43 0.00 19.05
1992 0.00 0.00 0.00 3.81 19.05 0.00 3.81 3.81 45.72 0.00 30.48 53.34 26.67 259.07 205.74 19.05 0.00 7.62 68.58 72.39 53.34 3.81 22.86 87.63 659.11 91.44 19.05 80.01 0.00 38.10
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
Tahun 1995 1998 Luas sawah (ha) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.81 11.43 34.29 30.48 0.00 0.00 3.81 3.81 7.62 11.43 0.00 7.62 0.00 0.00 64.77 45.72 121.92 133.35 19.05 49.53 49.53 15.24 57.15 60.96 3.81 3.81 0.00 0.00 3.81 3.81 213.35 262.88 99.06 87.63 41.91 57.15 11.43 0.00 34.29 7.62 68.58 22.86 224.78 133.35 57.15 38.10 3.81 11.43 60.96 0.00 3.81 0.00 22.86 0.00
2001
2004
0.00 0.00 0.00 7.62 45.72 0.00 7.62 15.24 11.43 0.00 68.58 293.36 76.20 308.60 110.49 11.43 0.00 3.81 483.86 68.58 60.96 7.62 45.72 247.64 895.33 60.96 19.05 34.29 3.81 15.24
0.00 0.00 0.00 3.81 7.62 3.81 11.43 7.62 38.10 0.00 144.78 190.50 49.53 60.96 76.20 11.43 0.00 3.81 358.13 152.40 26.67 0.00 53.34 163.83 179.07 34.29 7.62 64.77 15.24 11.43
198 Lampiran 9 Perubahan luas lahan terbangun di wilayah desa-desa sampel pada periode tahun 1989-2004 Strata
Desa 1989
1
2 3 4 5
6 7 8 9 13
Tugu Jaya Cijeruk Sukaharja Bantarkaret Sukajaya Cileungsing Cikiray Cipeuteuy Pulosari Kujang Jaya Malasari Sirnaresmi Cisungsang Ciparay Lebak Situ Jugalajaya Sukamulih Mekarnangka Sirnagalih Cikate Pasir Haur Cirompang Lebak Gedong Sirnarasa Citorek Banjar Irigasi Pasirmadang Cikelat Margalaksana Luhur Jaya
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.62 0.00 0.00 0.00 0.00
Tahun 1992 1995 1998 2001 Luas lahan terbangun (ha) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.81 11.43 11.43 11.43 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.81 0.00 0.00 7.62 7.62 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.81 11.43 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 11.43 15.24 15.24 3.81 11.43 22.86 26.67 0.00 0.00 7.62 7.62 0.00 0.00 0.00 0.00 11.43 11.43 11.43 11.43 0.00 0.00 0.00 3.81 0.00 11.43 11.43 11.43 0.00 0.00 7.62 7.62 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.62 15.24 30.48 3.81 53.34 68.58 95.25 7.62 11.43 30.48 30.48 0.00 3.81 11.43 11.43 0.00 0.00 3.81 3.81 0.00 0.00 0.00 0.00 3.81 3.81 3.81 3.81
Sumber: diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006)
2004 0.00 0.00 0.00 0.00 11.43 0.00 0.00 3.81 3.81 0.00 15.24 3.81 3.81 26.67 26.67 7.62 0.00 7.62 3.81 7.62 7.62 0.00 3.81 49.53 110.49 34.29 11.43 19.05 0.00 7.62
199 Lampiran 10 Perkembangan jumlah penduduk pada desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 Strata
Desa 1989
1
2 3
Kiarasari Bantarkaret* Tamansari Sukajadi Sukajaya* Gunungsari Ciasihan Gn. Bunder 2 Purwabakti Ciasmara Tapos 1 Gn. Malang Tugujaya* Pasirjaya Cipelang Sukaharja* Tajurhalang Cijeruk* Cileungsing* Cidahu Cikiray* Cisaat Pasawahan Kutajaya Kabandungan Cipeuteuy* Mekarjaya Cihamerang Pulosari* Parakansalak Sukatani Sukakersa Majasari Citujah Hegarmanah Kujang Jaya* Sukamulya Malasari* Cisarua Sirnaresmi* Kanekes Cisungsang* Kujangsari Situmulya
1982 5786 7700 5185 5472 9824 7610 7136 5021 6767 5661 8492 8816 4209 6634 7519 4092 5242 5445 5594 4426 5376 5697 8301 5017 3867 5307 4802 6036 4921 3943 4388 2570 1686 1245 2025 2314 4444 2365 3461 5678 1351 1512 2105
Tahun 1992 1995 1998 2001 Jumlah penduduk (jiwa) 3249 5325 6279 8980 5856 5926 5950 7961 8250 8698 8711 9679 5225 5619 6144 6599 5840 6203 6299 7185 9878 9932 9950 9985 7644 7679 7690 7739 7139 7142 7143 7145 5379 5762 5896 6015 6815 6864 6880 6928 5845 5922 5836 6144 8695 9196 9677 9904 8854 9467 10306 10490 4396 4508 4977 5178 6842 7427 8033 8127 7836 8682 9551 9790 4190 4508 5222 5271 5271 5804 6562 6613 5497 5687 5782 5847 6315 7357 7850 8197 4837 5506 5752 5921 6156 7279 7691 7978 6362 7329 7952 8397 9861 11952 12935 13635 5417 6067 6485 6780 4308 5024 5178 5283 5710 6361 6800 7110 5020 5459 5820 6073 6567 7363 7805 8114 5351 6037 6510 6846 4226 4747 4933 5061 4775 5416 5600 5726 2717 2864 3011 3168 1833 1986 2127 2279 1321 1402 1483 1564 2079 2133 2187 2250 2368 2422 2476 2539 4465 4487 4494 6265 2542 2732 2799 2895 3700 4172 4309 4402 5950 6358 6766 7125 1405 1459 1513 1576 1566 1620 1674 1737 2159 2213 2267 2330
2004 10023 9344 11018 7360 8061 10019 7791 7146 6466 6979 7076 10087 11860 5438 8805 10135 5570 6723 6149 9130 6656 8743 9621 15555 7481 5369 7962 6946 8412 7437 5553 6261 3337 2450 1651 2334 2623 6499 3035 4921 7386 1660 1821 2414
200 Lampiran 10 (lanjutan) Strata
Desa 1989
4 5
6 7 8 9
Lebak Situ* Ciparay* Ciusul Cileuksa Sukamulih* Jugalajaya* Pangradin Curugbitung Purasari Gunungpicung Cibunian Girijaya Mkar Nangka* Gn. Endut Cikarang Leuwicoo Pasir Haur* Girilaya Giriharja Cipanas Lebak Sangka Cikate* Cirompang* Hariang Cilebang Sindang Laya Cihambali Mekarsari Sirnagalih* Cisuren Gunung Gede Jatake Lbak Gedong* Sirnarasa* Citorek* Kiarapandak Pasirmadang* Curug Cicadas Cikelat* Karangpapak Pasirnangka Krng Cmbong Maraya Banjar Irigasi* Banjar Sari Sobang
2298 3269 1150 4580 1917 3432 3896 3954 7934 9663 9662 4203 2046 4740 3898 4509 2308 2266 2236 2829 1685 3013 676 2380 1042 3372 2572 987 1680 2260 4167 2938 2241 3848 3314 5701 2992 6489 3438 5379 6198 1821 2756 2504 4044 1367 2436
Tahun 1992 1995 1998 2001 Jumlah penduduk (jiwa) 2439 2580 2721 2880 3323 3377 3431 3494 1204 1258 1312 1379 4600 4894 5292 6176 2316 2797 2979 4348 3482 3653 3838 4514 4173 4427 5323 5946 5097 6570 7150 7205 8322 8730 8870 8950 9879 10099 10174 10224 9751 9840 9870 9929 4461 4950 5425 5767 2192 2568 2737 2856 5260 6060 6318 6496 4039 4186 4333 4486 4656 4821 4986 5150 2524 2740 2956 3172 2482 2698 2914 3130 2431 2626 2821 3016 3024 3219 3414 3609 1886 2075 2270 2465 3091 3169 3247 3338 823 970 1117 1269 2527 2674 2821 2973 1189 1336 1483 1635 3529 3666 3813 3965 2626 2680 2734 2797 1041 1095 1149 1212 1734 1788 1842 1902 2392 2524 2656 2793 4297 4492 4687 4882 3022 3106 3190 3274 2382 2523 2664 2865 4078 4537 4756 4908 3368 3422 3478 3539 6616 7677 8068 8377 3108 3229 3327 3526 6546 6775 7288 7806 3678 4151 4420 4609 5886 6661 7136 7472 6910 7928 8243 8460 1956 2074 2232 2378 2894 3032 3170 3308 2664 2829 2994 3177 4152 4347 4542 4744 1508 1649 1790 1940 2538 2730 2877 3029
2004 3096 3578 1459 6678 5421 4893 6605 9375 11740 10357 9981 6007 3035 7274 4729 5205 3415 3343 3259 3821 2660 3464 1440 3144 1806 4136 2880 1296 1984 2946 5077 3403 3000 5273 3623 9784 4588 8443 5060 8066 9372 2546 3446 3380 4960 2165 3200
201 Lampiran 10 (lanjutan) Strata
Desa 1989
13
Margalaksana* 2457 Ridogalih 3237 Cimaja 4377 Ciminyak 2447 Luhurjaya* 4126 Jumlah Total 395760
Tahun 1992 1995 1998 2001 2004 Jumlah penduduk (jiwa) 2509 2771 2816 2847 3389 3474 3651 3918 4493 4608 4749 5371 5491 5573 6066 2594 2741 2888 3035 3206 4267 4408 4549 4708 4924 419398 454271 477826 504857 547910
Keterangan: *desa sampel Sumber: diolah dari BPS (2001, 2003, 2004), Dinas KB dan Kependudukan (2004), Kantor Statistik (1990, 1992, 1998)
202 Lampiran 11 Kepadatan penduduk pada desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 Strata 1
2 3
Desa Kiarasari Bantarkaret* Tamansari Sukajadi Sukajaya* Gunungsari Ciasihan Gn. Bunder 2 Purwabakti Ciasmara Tapos 1 Gn. Malang Tugujaya* Pasirjaya Cipelang Sukaharja* Tajurhalang Cijeruk* Cileungsing* Cidahu Cikiray* Cisaat Pasawahan Kutajaya Kabandungan Cipeuteuy* Mekarjaya Cihamerang Pulosari* Parakansalak Sukatani Sukakersa Majasari Citujah Hegarmanah Kujang Jaya* Sukamulya Malasari* Cisarua Sirnaresmi* Kanekes Cisungsang* Kujangsari Situmulya
Luas (km2) 32.62 37.22 15.81 4.57 4.40 17.45 11.21 8.66 29.16 10.20 10.52 14.09 9.00 6.84 8.43 7.86 4.96 8.15 34.34 16.46 37.80 4.30 2.33 3.71 25.98 44.11 21.07 38.60 15.00 14.65 6.30 8.07 26.33 9.13 17.89 11.50 17.11 61.90 45.24 42.32 43.49 31.88 19.56 26.30
1989 61 155 487 1134 1242 563 679 824 172 663 538 603 980 616 787 957 824 643 159 340 117 1250 2448 2236 193 88 252 124 402 336 626 544 98 185 70 176 135 72 52 82 131 42 77 80
Tahun 1992 1995 1998 2001 Kepadatan penduduk (jiwa/km2) 100 163 192 275 157 159 160 214 522 550 551 612 1143 1229 1344 1443 1326 1408 1430 1631 566 569 570 572 682 685 686 690 825 825 825 825 184 198 202 206 668 673 674 679 555 563 554 584 617 653 687 703 984 1052 1146 1166 643 659 728 757 812 881 953 965 998 1105 1216 1246 844 908 1052 1062 647 712 805 811 160 166 168 170 384 447 477 498 128 146 152 157 1431 1692 1788 1855 2734 3150 3417 3609 2656 3219 3484 3673 208 233 250 261 98 114 117 120 271 302 323 337 130 141 151 157 438 491 520 541 365 412 444 467 671 754 783 804 592 671 694 709 103 109 114 120 201 217 233 250 74 78 83 87 181 185 190 196 138 142 145 148 72 72 73 101 56 60 62 64 87 99 102 104 137 146 156 164 44 46 47 49 80 83 86 89 82 84 86 89
2004 307 251 697 1610 1830 574 695 825 222 684 672 716 1318 795 1045 1290 1122 825 179 555 176 2033 4135 4190 288 122 378 180 561 508 882 776 127 268 92 203 153 105 67 116 170 52 93 92
203 Lampiran 11 (lanjutan) Strata 4 5
6 7 8 9
Desa Lebak Situ* Ciparay* Ciusul Cileuksa Sukamulih* Jugalajaya* Pangradin Curugbitung Purasari Gunungpicung Cibunian Girijaya Mekar Nangka* Gn. Endut Cikarang Leuwicoo Pasir Haur* Girilaya Giriharja Cipanas Lebak Sangka Cikate* Cirompang* Hariang Cilebang Sindang Laya Cihambali Mekarsari Sirnagalih* Cisuren Gunung Gede Jatake Lebak Gedong* Sirnarasa* Citorek* Kiarapandak Pasirmadang* Curug Cicadas Cikelat* Karangpapak Pasirnangka Karang Combong Maraya Banjar Irigasi* Banjar Sari Sobang
Luas (km2) 46.91 26.46 60.82 45.24 13.82 21.10 13.28 11.42 25.94 8.07 14.65 5.09 9.71 7.62 17.11 8.45 8.93 6.69 6.03 4.63 15.97 41.84 6.73 12.85 12.48 21.43 11.70 20.52 28.28 12.96 55.97 29.69 14.64 46.84 71.05 10.04 19.62 18.56 28.70 13.22 21.04 6.35 12.71 6.90 6.20 7.87 13.90
1989 49 124 19 52 139 163 293 346 306 1198 659 825 211 622 228 533 259 339 371 611 106 72 100 185 84 157 220 48 59 174 74 99 153 82 47 568 153 350 120 407 295 287 217 363 652 174 175
Tahun 1992 1995 1998 2001 2004 Kepadatan penduduk (jiwa/km2) 52 55 58 61 66 126 128 130 132 135 20 21 22 23 24 56 60 62 64 67 168 202 216 315 392 165 173 182 214 232 314 333 401 448 497 446 575 626 631 821 321 337 342 345 453 1224 1252 1261 1267 1284 665 672 674 678 681 876 972 1065 1132 1179 226 265 282 294 313 690 795 829 852 954 236 245 253 262 276 551 570 590 609 616 283 307 331 355 383 371 403 435 468 500 403 435 467 500 540 653 695 737 779 825 118 130 142 154 167 74 76 78 80 83 122 144 166 188 214 197 208 220 231 245 95 107 119 131 145 165 171 178 185 193 225 229 234 239 246 51 53 56 59 63 61 63 65 67 70 185 195 205 215 227 77 80 84 87 91 102 105 107 110 115 163 172 182 196 205 87 97 102 105 113 47 48 49 50 51 659 765 803 834 974 158 165 170 180 234 353 365 393 421 455 128 145 154 161 176 445 504 540 565 610 328 377 392 402 445 308 327 352 375 401 228 239 249 260 271 386 410 434 460 490 670 701 733 765 800 192 210 228 247 275 183 196 207 218 230
204 Lampiran 11 (lanjutan) Strata 13
Desa Margalaksana* Ridogalih Cimaja Ciminyak Luhurjaya*
Luas (km2) 6.53 6.53 7.07 4.92 4.01
1989 376 495 619 497 1028
Tahun 1992 1995 1998 2001 2004 Kepadatan penduduk (jiwa/km2) 384 425 432 436 519 532 559 600 688 705 672 760 777 789 859 527 557 587 617 651 1064 1099 1134 1173 1227
Keterangan: *desa sampel Sumber: diolah dari BPS (2001, 2003, 2004), Dinas KB dan Kependudukan (2004), Kantor Statistik (1990, 1992, 1998), Prasetyo dan Setiawan (2006)
205 Lampiran 12 Laju pertumbuhan penduduk pada desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 Strata Desa
Periode tahun 1989-1992
1
2 3
Kiarasari Bantarkaret* Tamansari Sukajadi Sukajaya* Gn. Sari Ciasihan Gn. Bunder 2 Purwabakti Ciasmara Tapos 1 Gn. Malang Tugu Jaya* Pasir Jaya Cipelang Sukaharja* Tajurhalang Cijeruk* Cileungsing* Cidahu Cikiray* Cisaat Pasawahan Kutajaya Kabandungan Cipeuteuy* Mekarjaya Cihamerang Pulosari* Parakansalak Sukatani Sukakersa Majasari Citujah Hegarmanah Kujangjaya* Sukamulya Malasari* Cisarua Sirnaresmi* Kanekes Cisungsang* Kujangsari Situmulya
1992-1995
1995-1998
1998-2001
Laju pertumbuhan penduduk (%/tahun) 17.90 17.90 5.64 12.67 0.40 0.40 0.13 10.19 2.33 1.78 0.05 3.57 0.26 2.45 3.02 2.41 2.19 2.03 0.51 4.48 0.18 0.18 0.06 0.12 0.15 0.15 0.05 0.21 0.01 0.01 0.00 0.01 2.32 2.32 0.77 0.67 0.24 0.24 0.08 0.23 1.07 0.44 -0.49 1.73 0.79 1.88 1.72 0.78 0.14 2.26 2.87 0.59 1.46 0.85 3.35 1.33 1.03 2.77 2.65 0.39 1.39 3.48 3.23 0.83 0.79 2.47 5.02 0.31 0.18 3.26 4.18 0.26 0.32 1.14 0.56 0.37 4.13 5.22 2.19 1.45 3.00 4.42 1.47 0.97 4.62 5.75 1.85 1.23 3.75 4.83 2.76 1.83 5.91 6.62 2.67 1.77 2.59 3.85 2.25 1.49 3.66 5.26 1.01 0.67 2.47 3.66 2.25 1.50 1.49 2.83 2.15 1.43 2.85 3.89 1.96 1.30 2.83 4.11 2.55 1.69 2.34 3.95 1.29 0.86 2.86 4.29 1.12 0.74 1.87 1.77 1.68 1.71 2.83 2.71 2.31 2.33 1.99 2.00 1.89 1.79 0.88 0.86 0.84 0.95 0.77 0.75 0.74 0.84 0.16 0.16 0.05 11.71 2.43 2.43 0.81 1.13 2.25 4.08 1.08 0.72 1.57 2.24 2.09 1.74 1.31 1.27 1.22 1.37 1.18 1.14 1.10 1.24 0.85 0.83 0.81 0.92
2001-2004
3.73 5.48 4.41 3.70 3.91 0.11 0.22 0.00 2.44 0.25 4.82 0.61 4.18 1.65 2.71 1.16 1.85 0.55 1.69 3.66 3.98 3.10 4.64 4.49 3.33 0.54 3.84 4.58 1.21 2.80 3.14 3.02 1.75 2.44 1.82 1.23 1.09 1.23 1.58 3.78 1.21 1.75 1.59 1.19
206 Lampiran 12 (lanjutan) Strata Desa
Periode tahun 1989-1992
4 5
6 7 8 9
Lebak Situ* Ciparay* Ciusul Cileuksa Sukamulih* Jugalajaya* Pangradin Curugbitung Purasari Gn. Picung Cibunian Girijaya Mekarnangka* Gn. Endut Cikarang Leuwicoo Pasir Haur* Girilaya Giriharja Cipanas Lbk. Sangka Cikate* Cirompang* Hariang Cilebang Sindanglaya Cihambali Mekarsari Sirnagalih* Cisuren Gn. Gede Jatake Lbk. Gedong* Sirnarasa* Citorek* Kiarapandak Pasir Madang* Curug Cicadas Cikelat* Karangpapak Pasirnangka Kr. Combong Maraya Banjaririgasi* Banjarsari Sobang
1992-1995
1995-1998
1998-2001
Laju pertumbuhan penduduk (%/tahun) 2.00 1.89 1.79 1.91 0.55 0.54 0.53 0.61 1.54 1.47 1.41 1.67 0.15 2.09 2.64 5.28 6.50 6.50 2.12 13.43 0.48 1.61 1.66 5.56 2.32 1.99 6.33 3.76 8.83 8.83 2.86 0.26 1.61 1.61 0.53 0.30 0.74 0.74 0.25 0.16 0.30 0.30 0.10 0.20 2.01 3.53 3.10 2.06 2.33 5.42 2.15 1.43 3.53 4.84 1.40 0.93 1.19 1.20 1.16 1.16 1.08 1.17 1.13 1.08 3.03 2.77 2.56 2.38 3.08 2.82 2.60 2.41 2.83 2.61 2.42 2.25 2.25 2.10 1.98 1.87 3.83 3.23 3.04 2.79 0.86 0.83 0.81 0.93 6.78 5.63 4.82 4.34 2.02 1.90 1.80 1.76 4.50 3.96 3.54 3.31 1.53 1.28 1.32 1.31 0.70 0.68 0.67 0.76 1.79 1.70 1.62 1.80 1.06 1.03 1.00 1.07 1.91 1.81 1.71 1.69 1.03 1.49 1.43 1.37 0.94 0.92 0.89 0.87 2.05 1.94 1.83 2.45 1.96 3.62 1.58 1.05 0.54 0.53 0.54 0.58 5.09 5.09 1.67 1.26 1.28 1.29 1.00 1.96 0.29 1.15 2.46 2.32 2.27 4.12 2.12 1.41 3.05 4.21 2.32 1.54 3.69 4.69 1.31 0.87 2.41 1.97 2.48 2.13 1.64 1.56 1.49 1.43 2.09 2.02 1.91 2.00 0.88 1.54 1.47 1.46 3.33 3.02 2.77 2.72 1.38 2.46 1.76 1.73
2001-2004
2.44 0.80 1.90 2.64 7.63 2.72 3.57 9.17 9.47 0.43 0.17 1.37 2.05 3.84 1.77 0.35 2.49 2.22 2.62 1.92 2.57 1.24 4.30 1.88 3.37 1.42 0.98 2.26 1.42 1.79 1.31 1.30 1.55 2.42 0.79 5.31 9.17 2.65 3.16 2.58 3.47 2.30 1.37 2.09 1.50 3.73 1.85
207 Lampiran 12 (lanjutan) Strata Desa
Periode tahun 1989-1992
13
Margalaksana* Ridogalih Cimaja Ciminyak Luhurjaya*
1992-1995
1995-1998
1998-2001
Laju pertumbuhan penduduk (%/tahun) 0.70 3.36 0.54 0.36 2.38 1.67 2.38 4.67 2.75 4.19 0.74 0.49 1.96 1.85 1.76 1.67 1.13 1.09 1.06 1.15
2001-2004
5.98 0.85 2.86 1.84 1.51
Keterangan: *desa sampel Sumber: diolah dari BPS (2001, 2003, 2004), Dinas KB dan Kependudukan (2004), Kantor Statistik (1990, 1992, 1998)
208
Lampiran 13 Jumlah pengeluaran rata-rata setiap rumah tangga pada desa-desa sampel Strata 1
2 3 4 5
6 7 8
Desa Tugu Jaya Cijeruk Sukaharja Bantarkaret Sukajaya Cileungsing Cikiray Cipeuteuy Pulosari Kujang Jaya Malasari Sirnaresmi Cisungsang Ciparay Lebak Situ Jugalajaya Sukamulih Mekarnangka Sirnagalih Cikate Pasir Haur Cirompang Lebak Gedong Sirnarasa Citorek
Jumlah anggota keluarga rata-rata (orang) 4 4 4 5 4 4 4 4 3 4 5 4 4 4 4 5 6 4 4 5 8 4 5 4 4
Beras 1 760 1 776 1 780 2 437 1 699 1 328 1 627 2 585 1 951 1 512 1 894 1 728 2 333 2 131 2 700 1 613 2 585 1 630 1 867 2 585 2 669 2 908 2 697 1 771 2 315
Pakaian 390 430 377 473 440 387 377 410 347 380 470 403 370 423 417 467 477 387 403 463 770 322 473 500 363
Kebutuhan rumah tangga rata-rata (Rp. 1000/tahun) Kesehatan Sekolah Sosial Bepergian Bercocok anak tanam 100 213 203 217 220 100 170 100 100 337 200 47 200 300 350 100 160 100 300 308 100 250 200 200 203 120 400 200 258 460 100 263 100 100 287 100 53 200 200 387 100 210 200 200 885 200 313 150 300 223 100 190 200 250 288 100 133 100 200 387 100 197 100 200 1 188 100 177 200 200 265 100 187 100 200 797 100 240 100 250 525 123 613 103 251 305 99 198 75 220 542 100 140 100 300 463 100 280 218 275 502 100 757 100 200 1 047 100 511 118 227 316 100 263 210 213 435 200 243 100 500 955 250 330 300 325 803
Total 3 104 3 013 3 253 3 879 3 093 3 153 2 854 3 935 3 893 3 079 3 392 3 051 4 488 3 496 4 500 3 294 4 457 3 151 3 373 4 423 5 643 4 502 4 392 4 270 4 686
2 Lampiran 13 (lanjutan) Strata 9 13
Desa Banjar Irigasi Pasirmadang Cikelat Margalaksana Luhur Jaya
Jumlah anggota keluarga rata-rata (orang) 5 4 4 4 6
Beras 2 297 2 002 1 626 1 728 2 650
Pakaian 507 440 360 420 500
Kebutuhan rumah tangga rata-rata (Rp. 1000/tahun) Kesehatan Sekolah Sosial Bepergian Bercocok anak tanam 100 403 210 210 1 112 100 230 200 272 1 505 100 430 203 120 355 100 183 203 250 780 100 333 200 100 787
Total 4 838 4 749 3 195 3 665 4 670
3
Lampiran 14 Perhitungan besarnya nilai Tekanan Penduduk terhadap lahan pertanian pada desa-desa sampel Strata
Desa
z α f P2004 r β L TP (ha/orang) (jiwa) (%) (ha) t5 t10 1 Tugu Jaya 0.48 0.45 0.60 11860 2.01 0.7 341.00 8.70 9.61 Cijeruk 0.42 0.46 0.70 6723 1.69 0.7 181.30 9.23 10.03 Sukaharja 0.41 0.47 0.70 10135 2.02 0.7 516.24 4.67 5.16 Bantarkaret 0.38 0.29 0.70 9344 3.32 0.7 385.67 7.62 8.97 Sukajaya 0.46 0.36 0.55 8061 2.63 0.7 213.64 10.04 11.43 Cileungsing 0.55 0.52 0.50 6149 0.82 0.7 759.00 1.59 1.66 Cikiray 0.60 0.38 0.70 6656 2.77 0.7 1005.25 2.81 3.22 Cipeuteuy 0.48 0.01 0.80 5369 2.23 0.6 1043.60 3.66 4.08 Pulosari 0.33 0.23 0.70 8412 2.24 0.8 855.49 2.42 2.70 Kujang Jaya 0.63 0.21 0.80 2334 0.95 0.7 918.00 1.51 1.58 2 Malasari 0.26 0.29 0.78 6499 2.66 0.7 313.00 4.91 5.60 3 Sirnaresmi 0.61 0.49 0.94 4921 2.38 0.8 618.78 3.26 3.67 Cisungsang 0.53 0.15 0.90 1660 1.38 0.8 900.00 0.99 1.06 4 Ciparay 0.70 0.11 0.90 3578 0.60 0.8 742.24 3.48 3.59 Lebak Situ 0.78 0.20 0.70 3096 2.01 0.7 980.40 2.17 2.40 5 Jugalajaya 0.66 0.22 0.78 4893 2.41 0.7 410.00 7.71 8.68 Sukamulih 0.40 0.41 0.95 5421 7.24 0.7 147.00 16.63 23.58 Mekarnangka 0.64 0.53 0.80 3035 2.67 0.7 246.13 4.83 5.51 Sirnagalih 0.53 0.16 0.90 1984 1.12 0.8 442.44 2.37 2.51 Cikate 0.64 0.68 0.95 3464 0.93 0.9 892.00 0.88 0.92 Pasir Haur 0.54 0.13 0.70 3415 2.65 0.8 698.14 2.31 2.63 Cirompang 0.65 0.54 0.75 1440 5.17 0.8 394.00 1.31 1.69 6 Lbk. Gedong 0.64 0.32 0.70 3000 1.96 0.7 525.00 2.74 3.03 7 Sirnarasa 0.64 0.28 0.99 5273 2.13 0.8 737.13 4.52 5.02 8 Citorek 0.60 0.66 0.90 3623 0.60 0.8 1020.00 0.84 0.87 9 Banjar Irigasi 0.54 0.42 0.75 4960 1.37 0.7 543.80 3.27 3.50 Pasirmadang 0.56 0.14 0.80 4588 2.94 0.7 336.00 8.66 10.01 Cikelat 0.52 0.32 0.90 8066 2.74 0.7 856.25 4.89 5.60 13 Margalaksana 0.57 0.26 0.90 3389 2.19 0.7 709.80 2.90 3.23 Luhur Jaya 0.54 0.25 0.70 4924 1.19 0.7 230.46 9.26 9.82 Keterangan: z=luas lahan untuk hidup layak; α=proporsi pendapatan dari pekerjaan nir-pertanian (0 ≤ α <1); f=fraksi penduduk yang menjadi petani (0 < f ≤ 1); P2004=jumlah penduduk pada tahun 2004; r=laju pertumbuhan penduduk; β=proporsi manfaat yang dinikmati oleh penduduk dari usahanya (0 < β ≤ 1); L=luas lahan pertanian, TP=tekanan penduduk; t5 = jangka 5 tahun; t10 = jangka 10 tahun; Nilai α, f, β, didapatkan dari pengamatan, wawancara dengan masyarakat, dan catatan dari desa atau kecamatan.
Lampiran 15 Nilai manfaat langsung kawasan TNGHS Jenis sumber daya hutan
Jumlah KK pengambil
Frekuensi pengambilan
Produksi rata-rata/ pengambilan
Manfaat Konsumtif - Kayu bakar - Bahan makanan - Rumput makanan ternak
810 300 125
setiap 3 hari setiap 2 hari setiap hari
2 ikat 1 ikat 1 karung
Manfaat Produktif - Kayu konstruksi - Bambu - Bahan tambang - Daun kirai - Gula aren - Ijuk Jumlah
90 1 kali/tahun 26 4 kali/bulan 13 4 kali/bulan 2 1 kali/minggu 50 setiap 2 hari 300 1 kali/tahun
1 m3 15 batang tidak tentu 10 pelepah 2 kojor 1 gulung
Harga rata-rata (Rp)
Nilai produksi per tahun (Rp/tahun)
Biaya pemanfaatan (Rp)
43.200 ikat 54.000 ikat 45.000 karung
5.000/ikat 2.000/ikat 10.000/karung
216.000.000 108.000.000 450.000.000
0 0 0
216.000.000 108.000.000 450.000.000
1.080 m3 18.720 batang tidak tentu 960 pelepah 18.000 kojor 300 gulung
100.000/m3 5.000/btng macam-macam 2.000/pelepah 10.000/kojor 25.000/gulung
108.000.000 93.600.000 60.600.000 1.920.000 180.000.000 7.500.000
21.600.0001 0 15.600.0002 0 0 0
86.400.000 93.600.000 45.000.000 1.920.000 180.000.000 7.500.000 1.188.420.000
Produksi per tahun
Keterangan: 1biaya produksi Rp 20.000/m3; 2biaya produksi Rp 25.000/minggu
Nilai (Rp/tahun)
2
Lampiran 16 Hasil analisis regresi linear berganda pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan terhadap laju perubahan luas hutan alam pada desa-desa sampel setiap strata desa
1. Desa Strata 1: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, KPMLKANa LHN, LPP
Variables Removed
Method .
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: LAJUHTN
Model Summary Model 1
R .820a
R Square .672
Adjusted R Square -.312
Std. Error of the Estimate .34934
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMLKANLHN, LPP ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares .250 .122 .372
df 3 1 4
Mean Square .083 .122
F .683
Sig. .687a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMLKANLHN, LPP b. Dependent Variable: LAJUHTN
Coefficientsa
Model 1
(Constant) LPP KPMLKANLHN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error .287 .998 .465 .426 .075 .153 -.007 .011
a. Dependent Variable: LAJUHTN
Standardized Coefficients Beta .753 .320 -.406
t .288 1.093 .492 -.616
Sig. .822 .472 .709 .648
2
2. Desa Strata 2: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, LPP, KPMLKAN a LHN
Variables Removed
Method .
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: LAJUHTN
Model Summary Model 1
R R Square .942a .888
Adjusted R Square .550
Std. Error of the Estimate .44221
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, LPP, KPMLKANLHN
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 1.544 .196 1.739
df 3 1 4
Mean Square .515 .196
F 2.631
Sig. .419a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, LPP, KPMLKANLHN b. Dependent Variable: LAJUHTN
Coefficientsa
Model 1
(Constant) LPP KPMLKANLHN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 2.128 .561 -.147 .057 .220 .178 .004 .024
a. Dependent Variable: LAJUHTN
Standardized Coefficients Beta -1.133 .703 .076
t 3.794 -2.563 1.231 .157
Sig. .164 .237 .434 .901
3
3. Desa Strata 3: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, KPMLKANa LHN, LPP
Variables Removed
Method .
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: LAJUHTN
Model Summary Model 1
R R Square .995a .991
Adjusted R Square .964
Std. Error of the Estimate .09517
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMLKANLHN, LPP
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares .997 .009 1.006
df 3 1 4
Mean Square .332 .009
F 36.693
Sig. .121a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMLKANLHN, LPP b. Dependent Variable: LAJUHTN
Coefficientsa
Model 1
(Constant) LPP KPMLKANLHN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error .559 .112 .489 .053 .301 .070 -.079 .008
a. Dependent Variable: LAJUHTN
Standardized Coefficients Beta 2.500 .524 -2.697
t 4.982 9.244 4.326 -9.771
Sig. .126 .069 .145 .065
4
4. Desa Strata 4: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, LPP, KPMLKAN a LHN
Variables Removed
Method .
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: LAJUHTN
Model Summary Model 1
R .994a
R Square .987
Adjusted R Square .950
Std. Error of the Estimate .19147
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, LPP, KPMLKANLHN
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 2.894 .037 2.931
df 3 1 4
Mean Square .965 .037
F 26.313
Sig. .142a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, LPP, KPMLKANLHN b. Dependent Variable: LAJUHTN
Coefficientsa
Model 1
(Constant) LPP KPMLKANLHN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1.932 .210 -.198 .033 -.165 .136 .031 .019
a. Dependent Variable: LAJUHTN
Standardized Coefficients Beta -.885 -.177 .187
t 9.191 -6.080 -1.215 1.649
Sig. .069 .104 .438 .347
5
5. Desa Strata 5: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, KPMLKANa LHN, LPP
Variables Removed
Method .
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: LAJUHTN
Model Summary Model 1
R .637a
R Square .406
Adjusted R Square -1.374
Std. Error of the Estimate 1.03531
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMLKANLHN, LPP
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares .734 1.072 1.806
df 3 1 4
Mean Square .245 1.072
F .228
Sig. .873a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMLKANLHN, LPP b. Dependent Variable: LAJUHTN
Coefficientsa
Model 1
(Constant) LPP KPMLKANLHN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error -2.210 16.039 1.955 5.778 -.297 .508 -.220 .537
a. Dependent Variable: LAJUHTN
Standardized Coefficients Beta 2.100 -.569 -2.544
t -.138 .338 -.586 -.410
Sig. .913 .792 .663 .752
6
6. Desa Strata 6: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, KPMLKANa LHN, LPP
Variables Removed
Method .
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: LAJUHTN
Model Summary Model 1
R .884a
R Square .781
Adjusted R Square .125
Std. Error of the Estimate 2.37652
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMLKANLHN, LPP
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 20.179 5.648 25.827
df 3 1 4
Mean Square 6.726 5.648
F 1.191
Sig. .573a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMLKANLHN, LPP b. Dependent Variable: LAJUHTN
Coefficientsa
Model 1
(Constant) LPP KPMLKANLHN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 15.090 8.371 -5.971 4.293 .224 .271 -.018 .093
a. Dependent Variable: LAJUHTN
Standardized Coefficients Beta -.774 .429 -.112
t 1.803 -1.391 .829 -.198
Sig. .322 .397 .559 .876
7
7. Desa Strata 7: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, KPMLKANa LHN, LPP
Variables Removed
Method .
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: LAJUHTN
Model Summary Model 1
R .930a
R Square .866
Adjusted R Square .462
Std. Error of the Estimate 1.90825
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMLKANLHN, LPP
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 23.455 3.641 27.096
df 3 1 4
Mean Square 7.818 3.641
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMLKANLHN, LPP b. Dependent Variable: LAJUHTN
F 2.147
Sig. .456a
8
Coefficientsa
Model 1
(Constant) LPP KPMLKANLHN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 2.954 2.820 -.173 1.138 -8.197 3.705 .008 .007
Standardized Coefficients Beta -.065 -.824 .443
t 1.048 -.152 -2.213 1.054
Sig. .485 .904 .270 .483
a. Dependent Variable: LAJUHTN
8. Desa Strata 8: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, LPP, KPMLKAN a LHN
Variables Removed
Method .
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: LAJUHTN
Model Summary Model 1
R .685a
R Square .469
Adjusted R Square -1.124
Std. Error of the Estimate .83550
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, LPP, KPMLKANLHN
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares .616 .698 1.314
df 3 1 4
Mean Square .205 .698
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, LPP, KPMLKANLHN b. Dependent Variable: LAJUHTN
F .294
Sig. .838a
9
Coefficientsa
Model 1
(Constant) LPP KPMLKANLHN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 4.824 2.977 -3.938 4.869 -.184 .607 -.009 .044
Standardized Coefficients Beta -.757 -.321 -.250
a. Dependent Variable: LAJUHTN
9. Desa Strata 9: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, LPP, KPMLKAN a LHN
Variables Removed
Method .
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: LAJUHTN
Model Summary Model 1
R 1.000a
R Square 1.000
Adjusted R Square .999
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, LPP, KPMLKANLHN
Std. Error of the Estimate .09955
t 1.621 -.809 -.303 -.203
Sig. .352 .567 .813 .872
10
ANOVAb Model 1
Sum of Squares 38.853 .010 38.863
Regression Residual Total
df 3 1 4
Mean Square 12.951 .010
F 1306.964
Sig. .020a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, LPP, KPMLKANLHN b. Dependent Variable: LAJUHTN
Coefficientsa
Model 1
(Constant) LPP KPMLKANLHN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 3.471 .364 5.627 .231 3.000 .058 -.230 .004
Standardized Coefficients Beta .511 1.171 -1.593
a. Dependent Variable: LAJUHTN
10. Desa Strata 13: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, LPP, KPMLKAN a LHN
Variables Removed
Method .
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: LAJUHTN
Model Summary Model 1
R .425a
R Square .180
Adjusted R Square -2.279
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, LPP, KPMLKANLHN
Std. Error of the Estimate 22.48566
t 9.534 24.365 52.159 -59.557
Sig. .067 .026 .012 .011
11
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 111.150 505.605 616.755
df 3 1 4
Mean Square 37.050 505.605
F .073
Sig. .966a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, LPP, KPMLKANLHN b. Dependent Variable: LAJUHTN
Coefficientsa
Model 1
(Constant) LPP KPMLKANLHN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error -36.094 119.139 38.719 103.337 -7.731 17.039 .132 .423
a. Dependent Variable: LAJUHTN
Standardized Coefficients Beta .460 -.733 .403
t -.303 .375 -.454 .311
Sig. .813 .772 .729 .808
12
Lampiran 17 Hasil analisis regresi linear berganda pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan terhadap perubahan persentase luas hutan alam pada desa-desa sampel setiap strata desa
1. Desa Strata 1: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, KPDTNPD DK, PMUKIMA N, KPMILIKA a NLHN
Variables Removed
Method
.
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: PROSENHTN
Model Summary Model 1
R .998a
R Square .997
Adjusted R Square .984
Std. Error of the Estimate .25559
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPDTNPDDK, PMUKIMAN, KPMILIKANLHN ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 20.118 .065 20.183
df 4 1 5
Mean Square 5.029 .065
F 76.992
Sig. .085a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPDTNPDDK, PMUKIMAN, KPMILIKANLHN b. Dependent Variable: PROSENHTN
13
Coefficientsa
Model 1
(Constant) KPDTNPDDK KPMILIKANLHN PMUKIMAN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 33.296 7.052 -.013 .006 10.676 7.488 -.695 .288 -.004 .013
Standardized Coefficients Beta
t 4.721 -2.096 1.426 -2.413 -.302
-.459 .248 -.319 -.018
Sig. .133 .283 .389 .250 .813
a. Dependent Variable: PROSENHTN Variables Entered/Removeda Model 1
Variables Entered
Variables Removed
KPDTNPD DK
.
Method Stepwise (Criteria: Probabilit y-ofF-to-enter <= .050, Probabilit y-ofF-to-remo ve >= . 100).
a. Dependent Variable: PROSENHTN
Model Summary Model 1
R .986a
R Square .972
Adjusted R Square .964
Std. Error of the Estimate .37864
a. Predictors: (Constant), KPDTNPDDK ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 19.609 .573 20.183
df 1 4 5
Mean Square 19.609 .143
F 136.776
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), KPDTNPDDK b. Dependent Variable: PROSENHTN
Coefficientsa
Model 1
(Constant) KPDTNPDDK
Unstandardized Coefficients B Std. Error 46.551 1.407 -.028 .002
a. Dependent Variable: PROSENHTN
Standardized Coefficients Beta -.986
t 33.087 -11.695
Sig. .000 .000
14
Excluded Variablesb
Model 1
KPMILIKANLHN PMUKIMAN LDNGSWH
Beta In .213a -.306a -.046a
t
Sig. .483 .110 .667
.798 -2.247 -.475
Partial Correlation .418 -.792 -.264
Collinearity Statistics Tolerance .109 .190 .935
a. Predictors in the Model: (Constant), KPDTNPDDK b. Dependent Variable: PROSENHTN
2. Desa Strata 2: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, KPMLIKAN LHN, KPDTNPD DK, PMUKIMA a N
Variables Removed
Method
.
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: PROSENHTN Model Summary Model 1
R 1.000a
R Square .999
Adjusted R Square .997
Std. Error of the Estimate .31629
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMLIKANLHN, KPDTNPDDK, PMUKIMAN
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 164.274 .100 164.374
df 4 1 5
Mean Square 41.068 .100
F 410.509
Sig. .037a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMLIKANLHN, KPDTNPDDK, PMUKIMAN b. Dependent Variable: PROSENHTN
15
Coefficientsa
Model 1
(Constant) KPDTNPDDK KPMLIKANLHN PMUKIMAN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 14.308 3.531 .350 .045 99.328 5.066 -1.758 .158 .067 .005
Standardized Coefficients Beta .974 .989 -2.046 1.201
t 4.052 7.838 19.607 -11.130 13.461
Sig. .154 .081 .032 .057 .047
F 30.210
Sig. .005a
a. Dependent Variable: PROSENHTN
Variables Entered/Removeda Model 1
Variables Entered
Variables Removed
KPMLIKAN LHN
.
Method Stepwise (Criteria: Probabilit y-ofF-to-enter <= .050, Probabilit y-ofF-to-remo ve >= . 100).
a. Dependent Variable: PROSENHTN
Model Summary Model 1
R .940a
R Square .883
Adjusted R Square .854
Std. Error of the Estimate 2.19198
a. Predictors: (Constant), KPMLIKANLHN
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 145.154 19.219 164.374
df 1 4 5
Mean Square 145.154 4.805
a. Predictors: (Constant), KPMLIKANLHN b. Dependent Variable: PROSENHTN Coefficientsa
Model 1
(Constant) KPMLIKANLHN
Unstandardized Coefficients B Std. Error 50.878 6.220 94.416 17.178
a. Dependent Variable: PROSENHTN
Standardized Coefficients Beta .940
t 8.180 5.496
Sig. .001 .005
16
Excluded Variablesb
Model 1
KPDTNPDDK PMUKIMAN LDNGSWH
Beta In .038a .000a .301a
t .128 .000 .905
Sig. .906 1.000 .432
Partial Correlation .074 .000 .463
Collinearity Statistics Tolerance .433 .305 .278
a. Predictors in the Model: (Constant), KPMLIKANLHN b. Dependent Variable: PROSENHTN
3. Desa Strata 3: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, KPMLIKAN LHN, PMUKIMA N, KPDTNPD a DK
Variables Removed
Method
.
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: PROSENHTN Model Summary Model 1
R .961a
R Square .924
Adjusted R Square .620
Std. Error of the Estimate 2.97430
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMLIKANLHN, PMUKIMAN, KPDTNPDDK
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 107.499 8.846 116.345
df 4 1 5
Mean Square 26.875 8.846
F 3.038
Sig. .403a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMLIKANLHN, PMUKIMAN, KPDTNPDDK b. Dependent Variable: PROSENHTN
17
Coefficientsa
Model 1
(Constant) KPDTNPDDK KPMLIKANLHN PMUKIMAN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 110.576 154.556 -.560 .682 7.513 104.249 .214 1.532 -.005 .033
Standardized Coefficients Beta -.918 .059 .069 -.069
a. Dependent Variable: PROSENHTN
4. Desa Strata 4: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, PMUKIMA N, KPMLIKAN LHN, KPDTNPD a DK
Variables Removed
Method
.
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: PROSENHTN Model Summary Model 1
R .997a
R Square .993
Adjusted R Square .966
Std. Error of the Estimate 1.25580
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, PMUKIMAN, KPMLIKANLHN, KPDTNPDDK
t .715 -.821 .072 .140 -.155
Sig. .605 .562 .954 .912 .902
18
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 228.361 1.577 229.938
df 4 1 5
Mean Square 57.090 1.577
F 36.201
Sig. .124a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, PMUKIMAN, KPMLIKANLHN, KPDTNPDDK b. Dependent Variable: PROSENHTN Coefficientsa
Model 1
(Constant) KPDTNPDDK KPMLIKANLHN PMUKIMAN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 55.288 42.804 -.589 .944 78.093 79.595 .064 .823 -.009 .025
a. Dependent Variable: PROSENHTN
5. Desa Strata 5:
Standardized Coefficients Beta -.457 .659 .101 -.059
t 1.292 -.624 .981 .077 -.375
Sig. .419 .645 .506 .951 .772
19
Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, PMUKIMA N, KPMLIKAN LHN, KPDTNPD a DK
Variables Removed
Method
.
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: PROSENHTN Model Summary Model 1
R .999a
R Square .998
Adjusted R Square .992
Std. Error of the Estimate .43153
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, PMUKIMAN, KPMLIKANLHN, KPDTNPDDK ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 119.736 .186 119.922
df 4 1 5
Mean Square 29.934 .186
F 160.748
Sig. .059a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, PMUKIMAN, KPMLIKANLHN, KPDTNPDDK b. Dependent Variable: PROSENHTN Coefficientsa
Model 1
(Constant) KPDTNPDDK KPMLIKANLHN PMUKIMAN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 33.577 11.699 -.084 .027 9.305 10.947 -.753 .178 .010 .018
a. Dependent Variable: PROSENHTN
Standardized Coefficients Beta -.632 .104 -.362 .065
t 2.870 -3.096 .850 -4.230 .538
Sig. .213 .199 .551 .148 .686
20
Variables Entered/Removeda Model 1
Variables Entered
Variables Removed
KPDTNPD DK
.
PMUKIMA N
.
2
Method Stepwise (Criteria: Probabilit y-ofF-to-enter <= .050, Probabilit y-ofF-to-remo ve >= . 100). Stepwise (Criteria: Probabilit y-ofF-to-enter <= .050, Probabilit y-ofF-to-remo ve >= . 100).
a. Dependent Variable: PROSENHTN Model Summary Model 1 2
R R Square .975a .951 .998b .997
Adjusted R Square .939 .995
Std. Error of the Estimate 1.20734 .36082
a. Predictors: (Constant), KPDTNPDDK b. Predictors: (Constant), KPDTNPDDK, PMUKIMAN
ANOVAc Model 1
2
Regression Residual Total Regression Residual Total
Sum of Squares 114.092 5.831 119.922 119.532 .391 119.922
df 1 4 5 2 3 5
Mean Square 114.092 1.458
F 78.270
Sig. .001a
59.766 .130
459.052
.000b
a. Predictors: (Constant), KPDTNPDDK b. Predictors: (Constant), KPDTNPDDK, PMUKIMAN c. Dependent Variable: PROSENHTN
21
Coefficientsa
Model 1 2
Unstandardized Coefficients B Std. Error 48.249 2.799 -.130 .015 42.844 1.183 -.086 .008 -.822 .127
(Constant) KPDTNPDDK (Constant) KPDTNPDDK PMUKIMAN
Standardized Coefficients Beta -.975 -.643 -.395
t 17.238 -8.847 36.222 -10.519 -6.464
Sig. .000 .001 .000 .002 .008
a. Dependent Variable: PROSENHTN Excluded Variablesc
Model 1
2
KPMLIKANLHN PMUKIMAN LDNGSWH KPMLIKANLHN LDNGSWH
Beta In .201a -.395a .341a .110b .074b
t .538 -6.464 1.275 1.120 .660
Sig. .628 .008 .292 .379 .577
Partial Correlation .297 -.966 .593 .621 .423
a. Predictors in the Model: (Constant), KPDTNPDDK b. Predictors in the Model: (Constant), KPDTNPDDK, PMUKIMAN c. Dependent Variable: PROSENHTN
6. Desa Strata 6: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, KPMILKAN LHN, KPDTANP DDK, PMUKIMA a N
Variables Removed
Method
.
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: PROSENHTN
Model Summary Model 1
R .975a
R Square .951
Adjusted R Square .755
Std. Error of the Estimate 6.21105
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMILKANLHN, KPDTANPDDK, PMUKIMAN
Collinearity Statistics Tolerance .106 .291 .147 .104 .108
22
ANOVAb Model 1
Sum of Squares 748.902 38.577 787.479
Regression Residual Total
df 4 1 5
Mean Square 187.225 38.577
F 4.853
Sig. .327a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPMILKANLHN, KPDTANPDDK, PMUKIMAN b. Dependent Variable: PROSENHTN Coefficientsa
Model 1
(Constant) KPDTANPDDK KPMILKANLHN PMUKIMAN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 190.474 39.429 -.650 .248 -20.609 28.754 1.374 3.803 .057 .166
Standardized Coefficients Beta -1.021 -.181 .170 .116
t 4.831 -2.621 -.717 .361 .341
Sig. .130 .232 .604 .779 .791
a. Dependent Variable: PROSENHTN
7. Desa Strata 7: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, PMUKIMA N, KPMILKAN LHN, KPDTANP a DDK
Variables Removed
Method
.
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: PROSENHTN
Model Summary Model 1
R 1.000a
R Square .999
Adjusted R Square .996
Std. Error of the Estimate .75852
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, PMUKIMAN, KPMILKANLHN, KPDTANPDDK ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 657.122 .575 657.697
df 4 1 5
Mean Square 164.280 .575
F 285.528
Sig. .044a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, PMUKIMAN, KPMILKANLHN, KPDTANPDDK b. Dependent Variable: PROSENHTN
23
Coefficientsa
Model 1
(Constant) KPDTANPDDK KPMILKANLHN PMUKIMAN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 143.038 99.771 .094 .137 -41.794 60.292 -.639 .084 -.004 .002
Standardized Coefficients Beta .093 -.038 -1.089 -.053
t 1.434 .685 -.693 -7.614 -1.738
Sig. .388 .618 .614 .083 .332
a. Dependent Variable: PROSENHTN
Variables Entered/Removeda Model 1
Variables Entered
Variables Removed
PMUKIMA N
.
Method Stepwise (Criteria: Probabilit y-ofF-to-enter <= .050, Probabilit y-ofF-to-remo ve >= . 100).
a. Dependent Variable: PROSENHTN Model Summary Model 1
R R Square .998a .995
Adjusted R Square .994
Std. Error of the Estimate .87600
a. Predictors: (Constant), PMUKIMAN
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 654.628 3.070 657.697
df 1 4 5
Mean Square 654.628 .767
F 853.074
Sig. .000a
t 150.059 -29.207
Sig. .000 .000
a. Predictors: (Constant), PMUKIMAN b. Dependent Variable: PROSENHTN Coefficientsa
Model 1
(Constant) PMUKIMAN
Unstandardized Coefficients B Std. Error 74.437 .496 -.586 .020
a. Dependent Variable: PROSENHTN
Standardized Coefficients Beta -.998
24
Excluded Variablesb
Model 1
KPDTANPDDK KPMILKANLHN LDNGSWH
Beta In .005a -.019a -.058a
t
Sig. .966 .660 .071
.046 -.486 -2.739
Collinearity Statistics Tolerance .141 .909 .986
Partial Correlation .027 -.270 -.845
a. Predictors in the Model: (Constant), PMUKIMAN b. Dependent Variable: PROSENHTN
8. Desa Strata 8: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, PMUKIMA N, KPMILKAN LHN, KPDTANP a DDK
Variables Removed
Method
.
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: PROSENHTN
Model Summary Model 1
R .996a
R Square .992
Adjusted R Square .958
Std. Error of the Estimate 1.56586
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, PMUKIMAN, KPMILKANLHN, KPDTANPDDK ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 289.141 2.452 291.592
df 4 1 5
Mean Square 72.285 2.452
F 29.481
Sig. .137a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, PMUKIMAN, KPMILKANLHN, KPDTANPDDK b. Dependent Variable: PROSENHTN
Coefficientsa
Model 1
(Constant) KPDTANPDDK KPMILKANLHN PMUKIMAN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 169.456 122.959 .240 3.783 -86.771 70.200 -.196 .145 -.002 .002
a. Dependent Variable: PROSENHTN
Standardized Coefficients Beta .050 -.266 -1.179 -.113
t 1.378 .063 -1.236 -1.354 -.919
Sig. .400 .960 .433 .405 .527
25
9. Desa Strata 9: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, KPDTANP DDK, KPMILKAN LHN, PMUKIMA a N
Variables Removed
Method
.
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: PROSENHTN Model Summary Model 1
R 1.000a
R Square 1.000
Adjusted R Square .999
Std. Error of the Estimate .13611
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPDTANPDDK, KPMILKANLHN, PMUKIMAN
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 83.690 .019 83.709
df 4 1 5
Mean Square 20.923 .019
F 1129.418
Sig. .022a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPDTANPDDK, KPMILKANLHN, PMUKIMAN b. Dependent Variable: PROSENHTN Coefficientsa
Model 1
(Constant) KPDTANPDDK KPMILKANLHN PMUKIMAN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 29.314 3.989 -.073 .006 9.285 1.828 .126 .052 .002 .002
a. Dependent Variable: PROSENHTN
Standardized Coefficients Beta -.948 .288 .247 .028
t 7.348 -11.969 5.078 2.415 .966
Sig. .086 .053 .124 .250 .511
26
Variables Entered/Removeda Model 1
Variables Entered
Variables Removed
KPDTANP DDK
Method Stepwise (Criteria: Probabilit y-ofF-to-enter <= .050, Probabilit y-ofF-to-remo ve >= . 100).
.
a. Dependent Variable: PROSENHTN Model Summary Model 1
R R Square .997a .994
Adjusted R Square .992
Std. Error of the Estimate .35455
a. Predictors: (Constant), KPDTANPDDK
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 83.206 .503 83.709
df 1 4 5
Mean Square 83.206 .126
F 661.925
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), KPDTANPDDK b. Dependent Variable: PROSENHTN Coefficientsa
Model 1
(Constant) KPDTANPDDK
Unstandardized Coefficients B Std. Error 45.897 1.417 -.077 .003
Standardized Coefficients Beta -.997
t 32.380 -25.728
Sig. .000 .000
a. Dependent Variable: PROSENHTN Excluded Variablesb
Model 1
KPMILKANLHN PMUKIMAN LDNGSWH
Beta In .200a .025a -.010a
t 2.287 .163 -.199
Sig. .106 .881 .855
a. Predictors in the Model: (Constant), KPDTANPDDK b. Dependent Variable: PROSENHTN
Partial Correlation .797 .094 -.114
Collinearity Statistics Tolerance .095 .083 .833
27
10. Desa Strata 13: Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LDNGSW H, KPDTANP DDK, KPMILKAN LHN, PMUKIMA a N
Variables Removed
Method
.
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: PROSENHTN
Model Summary Model 1
R .997a
R Square .993
Adjusted R Square .965
Std. Error of the Estimate .71266
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPDTANPDDK, KPMILKANLHN, PMUKIMAN
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 72.901 .508 73.409
df 4 1 5
Mean Square 18.225 .508
F 35.885
Sig. .124a
a. Predictors: (Constant), LDNGSWH, KPDTANPDDK, KPMILKANLHN, PMUKIMAN b. Dependent Variable: PROSENHTN Coefficientsa
Model 1
(Constant) KPDTANPDDK KPMILKANLHN PMUKIMAN LDNGSWH
Unstandardized Coefficients B Std. Error -49.772 37.638 -.101 .016 224.365 76.721 4.551 1.539 -.102 .046
a. Dependent Variable: PROSENHTN
Standardized Coefficients Beta -1.602 .938 1.431 -.453
t -1.322 -6.192 2.924 2.958 -2.214
Sig. .412 .102 .210 .208 .270
28
Lampiran 18 Kuesioner penelitian
KUESIONER PENELITIAN Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi Terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasinal Gunung Halimun Salak No. : Informasi saat wawancara Hari/Tanggal/Bln/Thn : .............................................................. Waktu : ....................... s/d ............................. Lokasi : .............................................................. Pewawancara : .............................................................. Profil Responden Nama Usia Pekerjaan Pendidikan terakhir Alamat
: : : : :
.............................................................. .............................................................. .............................................................. .............................................................. ..............................................................
1. Sejak kapan Bapak tinggal di desa ini? Tahun …………. Kapan masyarakat pemukim pertama terbentuk? Tahun………… Siapa saja yang termasuk pemukim asli? ……………………………………… Siapa saja yang datang kemudian? …………………………………………….. Apakah Bapak merupakan pemukim asli? Ya/Tidak. Jika pindah dari tempat lain apa alasannya? …………………………………... …………………………………………………………………………………. …………………………………………………………………………………. 2. Apakah Bapak memiliki lahan garapan? a. Ya (lanjut ke pertanyaan 3) b. Tidak (lanjut ke pertanyaan 4) 3. Berapakah luas lahan garapan yang dimiliki Bapak? : ………….. ha a. Sawah : ………….. ha b. Lahan kering/kebun c. Perumahan/pekarangan : ………….. m2 Apakah satus lahan garapan tersebut? a. Lahan milik
29 b. Tanah pemerintah (kawasan kehutanan, perhutani, perkebunan/HGU) Dimana lokasinya?……………………………………………………………... ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. Saat ini, kelompok mana yang menguasai sebagian besar lahan pertanian? ….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. Kelompok mana yang tidak memiliki lahan?…………………………………... ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. Sebutkan dan jelaskan cara memperoleh lahan garapan? ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. 4. Bagaimana sejarah dan proses pembukaan hutan? ……………………………. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. 5. Apa yang menjadi sumber mata pencaharian utama keluarga? ……………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. Apa saja yang menjadi sumber mata pencaharian sampingan?………………... ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. Apakah ada pembagian pekerjaan di antara setiap anggota keluarga? Ya/Tidak Jika Ya, sebutkan dan jelaskan tata cara pembagian pekerjaan dalam keluarga? ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. 6. Berapakah jumlah anggota keluarga yang masih ditanggung Bapak? …………orang Berapakah jumlah anak yang masih sekolah? a. SD/Madrasah : ………… orang b. SMP/pesantren : ………… orang : ………… orang c. SMA/Aliyah : ………… orang d. PT/kuliah Berapakah jumlah pengeluaran rumah tangga per bulan/per tahun? No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Pengeluaran Makan Biaya bercocok tanam Pakaian Perumahan Kesehatan Kebutuhan sosial Biaya pendidikan anak
Jumlah (Rp.)
Keterangan
30 8. 9. 10.
Biaya bepergian ke luar daerah Lainnya
7. Berapakah jumlah penghasilan Bapak? Rp. …………. (per bulan, per tahun) No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Sumber Penghasilan Hasil pertanian: a. Padi b. Sayur-sayuran c. Buah-buahan d. Lainnya Hasil kebun: a. Kayu b. Bambu c. Tumbuhan obat d. Tanaman hias e. Kayu bakar f. Lainnya Hasil buruan: a. Burung b. Hewan buruan c. Lainnya Hasil peternakan/perikanan: a. Kerbau b. Sapi c. Kambing/domba d. Ayam e. Ikan f. Lainnya Kerajinan rakyat: a. Pertukangan b. Anyaman c. Alat rumah tangga d. Lainnya Gaji pegawai: a. Perkebunan b. Pegawai negeri c. Pegawai kantor desa d. Lainnya Upah: a. Buruh tani b. Buruh angkut c. Pertukangan d. Konveksi/menjahit e. Lainnya Lainnya
Jumlah (Rp.)
Keterangan
Apakah dari tahun ke tahun penghasilan Bapak semakin meningkat? Ya/tidak
31 Jelaskan? ....……………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. 8. Apakah Bapak mengetahui batas-batas kawasan TNGHS? Ya/Tidak Seberapa jauh jarak batas kawasan TNGHS dari tempat tinggal Bapak, jelaskan? ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. Apakah Bapak mengetahui manfaat kawasan TNGHS? Ya/Tidak Jika Ya, sebutkan jenis-jenis manfaat tersebut? ………………………………. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. Bagimana perubahan ketersediaan hasil hutan dari kawasan TNGHS? Jelaskan ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. Aktifitas apa saja yang selama ini dilakukan di dalam kawasan TNGHS?……. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. Siapa saja yang mempunyai ketergantungan terhadap sumberdaya hutan di kawasan TNGHS? ……………………………………………………………... ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. Bahan-bahan apa saja yang dimanfaatkan dari dalam kawasan TNGHS? No.
Jenis Manfaat
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kayu bangunan Kayu bakar Rotan Tumbuhan obat Tanaman hias Bahan makanan Keperluan adat Penambangan emas Lainnya
Frekuensi Pengambilan
Volume Per Pengambilan
Biaya Pemanfaatan
Apakah dari tahun ke tahun terjadi perubahan frekuensi dan volume pengambilan? Ya/Tidak Jika Ya, jelaskan ……………………………………………………………...... ………………………………………………………………………………….. …………………………………………………………………………………..
32
9. Apakah di desa Bapak terdapat lembaga adat? Ya/Tidak Apakah Bapak mengetahui tentang adat istiadat masyarakat desa? Ya/Tidak Sebutkan dan jelaskan aturan-aturan adat yang masih diterapkan di desa? ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. Hak apa saja yang dimiliki anggota masyarakat/kelompok dalam menggunakan sumberdaya hutan?................………………………………… ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. Apakah ada perubahan hak-hak tersebut? Jelaskan. ………………………………………………………………………………….. …………………………………………………………………………………..