Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
PENGARUH PERBAIKAN PAKAN TERHADAP PRODUKTIVITAS SAPI BALI JANTAN YANG SEDANG DIGEMUKKAN (Influence of Feeding Improvement on Beef Production of Fattening Bali Cattle) DANIEL PASAMBE, MATHIUS SARIUBANG dan NURHAYU Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Jl. Perintis Kemerdekaan Km 17,5 Makassar
ABSTRACT This study has been executed in Tatae and Pekkabata Villages, Sub District of Duampanua, District of Pinrang, Province of South Sulawesi, since February up to December 2005. That location was known as a center of beef cattle producer. Eighteen heads of Bali Cattle belongings of to the farmers were used and looked offer in cage collectively (average body weight of 130 – 200 kg), with 2 – 3 years old. Before treatment, all animals were vaccinated by anthrax and SE vaccine and given worm drug. In order to keep the animals healthy, multivitamin was given pikuten counted 25 g/head/day. This study was carried out for 3.5 months. Basal diet given was done by feeding local feedstuffs. The animals were divided randomly in 3 treatments, namely treatment A as control diet (traditionally model), treatment B composed of concentrate (1% LW) and native grasses ad libitum, and treatment C was composed of concentrate (1% LW), native grasses (50%) and hay fermented (50%). The concentrate was consisted of 70% rice bran, 20%cdoconut oil meal, 4.5% fish meal, 4.5% gold snail meal, 0.5% bone meal and 0.5% salt. Data analysis showed that treatment had an effect on average daily gain (P < 0.05), witch good feed formulation will increase growth rate. BNT test showed that treatment C was not different significantly (P > 0.05) with treatment B, but treatment A (P < 0.05). Economically, treatment B obtains higher advantage as much as Rp. 55.287,2/head/month and followed by treatment C gave advantage of Rp. 55.287,3/head/month. Mean while treatment A (control diet) gave a profit of Rp. 28.500/head/month. Key Words: Fattening, Feedstuff, Beef Cattle ABSTRAK Kajian ini telah dilaksanakan di Kelurahan Tatae dan Pekkabata, Kecamtan Duampanua ,Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan sejak bulan Februari sampai dengan bulan Desember 2005 yang merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Sulawesi Selatan. Materi yang digunakan dalam pengkajian ini sebanyak 18 ekor sapi jantan bakalan milik petani yang dipelihara dalam kandang secara kolektif (dengan rataan bobot badan berayun 130 – 200 kg) dengan umur 2 – 3 tahun. Sebelum ternak diberi perlakuan terlebih dahulu dilakukan vaksinansi Antraks, SE, diberikan obat cacing dan multivitamin untuk menjaga agar ternak tersebut selalu dalam keadaan sehat dan untuk mengantisipasi kekurangan mineral makan semua ternak diberikan pikuten sebanyak 25 g/ekor/hari, lama penggemukan selama 3,5 bulan. Adapun pemberian pakan yang diberikan dengan memanfaatkan bahan lokal sesuai dengan fase penggemukan. Ternak tersebut dibagi secara acak dalam 3 perlakuan dengan pemberian pakan sebagai berikut: (1) Perlakuan A = Kontrol (kebiasaan petani/penggemukan tradisional); (2) Perlakuan B = Konsentrat 1% dari bobot badan + Rumput lapangan secara adlibitum; (3) Perlakuan C = Konsentrat 1% dari bobot badan + Rumput lapangan 50% + fermentasi jerami 50%. Adapun formulasi konsentrat dengan komposisi sebagai berikut: dedak 70%; bungkil kelapa 20%; tepung ikan 4,5% ; tepung keong mas 4,5% tepung tulang 0,5% dan garam 0,5%. Berdasarkan analisis Sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan harian (P < 0,05), dimana formula pakan yang baik akan mempercepat laju pertumbuhan yang optimal. Berdasarkan hasil analisis uji BNT perlakuan C tidak berbeda nyata dengan perlakuan B (P > 0.05), dan berbeda nyata dengan perlakuan A sedangkan perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan A. (P > 0.05). Berdasarkan analisis ekonomi perlakuan B memperoleh keuntungan lebih tinggi yakni Rp. 57.931,7 perekor/bulan disusul dengan perlakuan C memberikan
67
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
keuntungan Rp. 55.287,3 per ekor/bulan kemudian terakhir perlakuan A (kontrol) memperoleh keuntungan Rp. 28.500,0 per ekor/bulan. Kata Kunci: Penggemukan, Pakan, Sapi Potong
PENDAHULUAN Ternak sapi potong mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan peternakan dalam mengembangan misi peternakan yaitu sebagai: (a) sumber pangan hewani asal ternak, berupa daging dan susu, (b) sumber pendapatan masyarakat terutama petani ternak, (c) penghasil devisa yang sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan nasional, (d) menciptakan lapangan kerja, (e) sasaran konservasi lingkungan terutama lahan melalui daur ulang pupuk kandang dan (f) pemenuhan sosial budaya masyarakat dalam ritus adat/kebudayaan. Permintaan daging sapi di Indonesia terus meningkat sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan pertambahan penduduk. Mulai akhir tahun 1980-an sampai tahun 2003 senjang antara permintaan dengan pasokan daging dalam negeri semakin besar yang menyebabkan import daging sapi bakalan meningkat terus menerus sekitar 500.000 ekor/tahun, bahkan diperkirakan telah mencapai 1.200.000 ekor yaitu sapi bakalan 400.000 ekor tambah daging setara 400.000 ekor dan jeroan setara 400.000 ekor (DIWYANTO, 2003). Besarnya permintaan daging tidak diikuti dengan suplay daging, sehingga menyebabkan pengurasan sapi potong yang produktif dalam negeri. Misalnya pemotongan betina fertil, jantan muda dan pejantan dan sebagainya (SURYANA, 2000; TAMBING et al., 2000). Hal ini menyebabkan populasi dasar pada daerah sentra produksi sapi potong menjadi tidak stabil dimana pengeluaran sapi lebih banyak dari pada yang lahir. Kalau tidak segera diperbaiki maka pada waktu tertentu sentra produksi sapi potong menjadi punah. Sulawesi Selatan memiliki lahan kering dataran rendah seluas 2.523.762 ha (KANWIL PERTANIAN SULAWESI SELATAN, 1999) yang pada umumnya cocok untuk pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan. Dalam mengoptimalkan usahatani pada lahan tersebut maka pemanfaatan limbah pertanian sangat potensial sebagai sapi potong.
68
MANGUT (2003) mengatakan bahwa hasil penelitian di lapang menunjukkan produkproduk industri peternakan dan bisnis disektor peternakan telah menyumbangkan angka pertumbuhan ekonomi sangat mencolok. Melihat peluang strategis ini, maka pemerintah daerah perlu mengambil kebijakan dan memberi kesempatan yang luas kepada usaha kecil mencegah dan kelompok peternak menjadi industri biologis. Bahan pakan yang tidak berguna yang dimiliki petani dapat diberikan kepada sapi untuk menjadi daging dan dapat dirubah menjadi kotoran sapi yang dapat diolah menjadi pupuk organik yang berkualitas. Disamping pemanfaatan sisa hasil pertanian dan industri pertanian juga perlu diupayakan penanaman hijauan pakan yang berkualitas dengan memanfaatkan lahan yang diperuntukannya tidak bersaing dengan tanaman pangan, bahkan dapat bersinergis antara tanaman pakan dan pangan. Hal ini sangat penting mengingat penyediaan sisa hasil pertanian dan industri juga mengalami fluktuasi, sedangkan kita ketahui bahwa kebutuhan pakan untuk ternak ruminansia mencapai 60 – 70% dari hijauan (NITIS et al., 1992). Berdasarkan hal di atas perlu dilakukan pengkajian pemanfaatan pakan lokal untuk penggemukan sapi potong. Diharapkan dimasa akan datang Sulawesi Selatan akan menjadi gudang ternak yang utama di Indonesia terutama dalam meningkatkan pendapatan petani peternak dan PAD Provinsi Sulawesi Selatan khususnya kabupaten yang menjadi sentra produksi sapi potong. Masalah utama yang dihadap dalam pengembangan sapi potong di Sulawesi Selatan adalah kecenderungan populasi yang semakin merosot, ini terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat kelahiran dan permintaan semakin meningkat (SARIUBANG et al., 2002) dimana telah mengalami penurunan 2,6% yakni 743.374 ekor pada tahun 1998 menjadi 724.044 ekor pada tahun 2002. Penyebab rendahnya pertambahan populasi tersebut, ada kaitannya dengan tingkat reproduksi yang juga masih rendah, seperti yang dilaporkan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
SONJANA et al. (1996) bahwa calving interval atau jarak kelahiran sapi ini berkisar antara 2 – 3 tahun. Dalam pengembangan sapi potong di Indonesia dewasa ini adalah tidak tersedianya sapi bibit dan bakalan yang cukup sebagai akibat dari pemotongan betina fertil yang berlebihan (pengurasan sumberdaya induk). Keadaan ini di lapang sangat sulit dikendalikan. Sekalipun dibuat berbagai peraturan tentang pelarangan pemotongan betina bunting maupun pemotongan betina fertil, karena pedagang dan jagal selain sulit untuk mendapatkan sapi jantan yang siap potong, mereka berpendapat memotong sapi betina untungnya lebih banyak karena harganya murah. Berbagai alasan dapat dilakukan seperti sapi betina produktif yang masuk RPH (rumah potong hewan) ditolak oleh petugas kemudian dibawa kembali dan dipatahkan kakinya atau dibuat menjadi cacat lalu dimasukkan lagi ke RPH dengan alasan perlu dilakukan pemotongan paksa karena sapi mereka kena musibah maupun menyuap petugas dan sebagainya. Kalau petani peternak menjadi tulang punggung untuk melakukan pembibitan sapi, maka tidak ada jalan lain adalah harus dimulai dari pembentukan populasi dasar induk sapi pada kelompok tani peternak. Hal tersebut dilakukan dengan sistem usahatani pembibitan sapi potong berwawasan agribisnis, karena pembibitan sapi potong secara tradisional sebetulnya merugikan petani sehingga tidak menarik untuk menjadi suatu usaha maupun cabang usahatani. Apabila kajian ini berhasil maka akan tersedia bibit dan bakalan sapi potong yang cukup. Konsep pengembangan sapi potong berdasarkan pengembangan kawasan yang dapat menampung pemeliharaan sapi potong 500 – 600% dari populasi yang ada, antara lain pengembangan sapi potong pada kawasan sawah irigasi, sapi pada tanaman perkebunan, sapi pada lahan kering, sapi pada lahan sawah tadah hujan, sapi pada lahan hortikultura dan sebagainya. Keterbatasan lahan perumputan/pastura tidak lagi menjadi alasan untuk pengembangan sapi potong kedepan. Salah satu cara untuk mempertahankan/ meningkatkan populasi sapi potong adalah melalui peningkatan produktivitas melalui sistem pembibitan sapi potong skala petani,
melakukan penggemukan dan memanfaatkan hijauan unggul. Penggemukan adalah suatu istilah untuk menggambarkan keadaan hewan pada saat-saat akhir stadium pertumbuhan atau usaha memaksimalkan pertumbuhan ternak (TILLMAN et al., 1984). Usaha untuk memaksimalkan produksi ternak dengan memperhatikan faktor pakan khususnya kandungan protein yang merupakan senyawa organik yang kompleks yang berfungsi untuk membangun dan memelihara jaringan dan organ tubuh, menyediakan energi dalam tubuh, menyediakan sumber lemak badan dan menyediakan asam amino. Peranan pakan dalam usaha ternak sapi potong sangat penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan kunci keberhasilan produksi ternak. Jenis pakan ternak yang terpenting adalah hijauan karena merupakan pakan utama ternak ruminansia. Sebanyak 70% dari makanan ternak ruminansia adalah hijauan (NITIS et al., 1992), sehingga ketersediaan pakan baik dari segi kuantitas, kualitas dan secara berkesinambungan sepanjang tahun perlu diperhatikan. Dengan demikian paradigma baru pembangunan peternakan dapat diwujudkan dimana impor daging semakin dikurangi dan promosi ekspor semakin ditingkatkan, sehingga pada saatnya nanti Sulawesi Selatan akan tampil menjadi pengekspor sapi potong di kawasan Asia. MATERI DAN METODE Kajian ini telah dilaksanakan di Kelurahan Tatae dan Pekkabata, Kecamtan Duampanua, Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan sejak bulan Februari sampai dengan bulan Desember 2005 yang merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Sulawesi Selatan. Adapun Materi yang digunakan dalam pengkajian ini sebanyak 18 ekor sapi jantan bakalan milik petani yang dipelihara dalam kandang secara kolektif (dengan rataan bobot badan berayun 130 – 200 kg) dengan umur 2 – 3 tahun. Sebelum ternak diberi perlakuan terlebih dahulu dilakukan vaksinansi Antraks, SE, diberikan obat cacing dan multivitamin untuk menjaga agar ternak tersebut selalu
69
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
dalam keadaan sehat. Untuk mengantisipasi kekurangan mineral makan semua ternak diberikan pikuten sebanyak 25 g/ekor/hari. lama penggemukan selama 3,5 bulan. Adapun pemberian pakan yang diberikan dengan memanfaatkan bahan lokal sesuai dengan fase penggemukan. Ternak dibagi secara acak dalam 3 perlakuan dengan pemberian pakan sebagai berikut: - Perlakuan A = Kontrol (kebiasaan petani/ penggemukan tradisional) - Perlakuan B = Konsentrat 1% dari bobot badan + Rumput lapangan secara adlibitum - Perlakuan C = Konsentrat 1% dari bobot badan + Rumput lapangan 50% + fermentasi jerami 50% Adapun formulasi konsentrat dengan komposisi sebagai berikut 1 dan Gambar 2. Tabel 1. Susunan Konsetrat untuk penggemukan sapi potong Nama bahan Dedak
Data yang dikumpulkan adalah:konsumsi pakan, berat badan, tinggi pundak, panjang badan, lingkar dada, analisis ekonomi. Metode analisis Untuk menghitung badan digunakan rumus
pertambahan
berat
Persentase (%) 70
Bungkil kelapa
20
Tepung ikan
4,5
Tepung Keong Mas
4,5
Tepung tulang
0,5
Garam
0,5
Jumlah
100
FERMENTASI JERAMI SEBAGAI PAKAN Proses fermentasi terbuka dilakukan pada tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung. Proses pembuatan jerami fermentasi dibagi dua tahap, yaitu tahap fermentasi dan tahap pengeringan dan penyimpanan. Tahap pertama, jerami padi yang baru dipanen (kandungan air sekitar 65%) dikumpulkan pada tempat yang telah disediakan. Bahan yang digunakan dalam proses fermentasi jerami adalah urea dan probiotik. Jerami padi segar yang difermentasi ditumpuk hingga ketebalan 20 cm, kemudian
70
ditaburi dengan urea dan probiotik dan diteruskan pada lapisan timbunan jerami berikutnya yang juga setebal sekitar 20 cm. Demikian seterusnya hingga ketebalan tumpukan jerami padi mencapai 1 – 2 m. Takaran urea dan probiotik masing-masing 6 kg untuk setiap ton jerami padi segar. Pencampuran urea dan probiotik pada jerami padi dilakukan secara merata, kemudian didiamkan selama 21 hari agar proses fermentasi dapat berlangsung dengan sempurna. Pada tahap kedua tumpukan jerami padi yang telah mengalami proses fermentasi dikeringkan dengan sinar matahari dan dianginkan sehingga cukup kering sebelum disimpan pada tempat yang terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung.
W2 – W1 ADG = t 2 – t1 dimana: W2 = Bobot badan akhir W1 = Bobot badan awal t2 = Waktu penimbangan akhir t1 = waktu penimbangan awal Dalam analisa ekonomi digunakan batasan sebagai berikut: penerimaan (output) adalah pertambahan bobot badan selama proses penggemukan yang dinilai dengan harga penjualan. Biaya pakan (input) adalah jumlah biaya makanan yang dikonsumsi selama masa penggemukan baik rumput maupun konsentrat. Pendapatan (net output) adalah selisih antara biaya makanan dengan besarnya penerimaan (output). HASIL DAN PEMBAHASAN Dengan pergeseran dan peningkatan penggunaan lahan untuk pemukiman, industri
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
dan intensifnya tanaman pangan membawa dampak makin menyempitnya padang pengembalaan/perumputan dibeberapa daerah. Kenyataan ini lebih jauh berpengaruh terhadap pengadaan hijauan pakan ternak sebagai kebutuhan dasar ternak sepanjang tahun. Hal ini memberikan perlunya diupayakan langkahlangkah penanggulangan melalui pemanfaatan limbah pertanian yang cukup melimpah namun kendalanya adalah rendahnya kadar protein sehingga diperlukan sentuhan teknologi untuk meningkatkan nilai gizi limbah tersebut melalui proses fermentasi dan memanfaatkan bahan lokal sebagai penyusun konsentrat. Bahan pakan lokal selalu dikaitkan dengan harga yang murah. Akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan suatu bahan pakan, seperti jumlah ketersediaannya, kandungan gizi, harga, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat atau anti nutrisi serta perlu tidaknya bahan tersebut diolah sebelum digunakan. Salah satu jenis bahan pakan lokal yang berpotensi adalah keong mas atau bekicot. Bekicot cukup banyak dijumpai disawah atau tanaman yang cukup basah dan sering sebagai hama tanaman. Bekicot dapat diolah sebagai makanan ternak karena mengandung protein yang cukup tinggi dan dapat digunakan sebagai pengganti tepung sedangkan kulitnya dapat diolah untuk mengantikan tepung tulang dalam pakan. Potensi perkembangan keong mas sangat besar dan cepat karena singkatnya daur hidup (60 – 80 hari sudah dewasa). Tingginya daya adaptasi terhadap lingkungan dan kemampuan bertahan hidup dalam kondisi yang tidak enguntungkan, dan kurang efisiensi pemanfaatan musuh alaminya. Keong mas berpotensi sebagai sumber pakan yang kini menjadi musuh hama padi yang cukup berbahaya (SUSANTO, 1995). HARMENTIS et al. (1998) telah mencoba membuat tepung daging keong mas (Pomacea candiculata) untuk pakan ayam. Tepung daging keong mas dibuat dengan terlebih dahulu direndam dalam larutan kapur 5% selama 60 menit dan kemudian dikeringkan dengan sinar matahari. Tepung keong mas ini mempunyai kandungan protein kasar 46,2% dan dapat digunakan dalam ransum ayam boiler sebanyak 4% dari jumlah ransum. Hasil penelitian yang lain dilaporkan HARRY et al. (1999). Penambahan tepung bekicot dalam
ransum itik berkorelasi positif dengan pertambahan berat badan. Pada ternak lain sebanyak 15% dalam ransum dengan pertambahan berat badan menjadi 520 perekor/hari, meskipun belum diketahui batas maksimal yang dapat ditoleransi hingga memberikan pertambahan berat badan yang optimal. Dengan adanya sumber bahan pakan lokal yang ada dapat disusun suatu formulasi. Berpendoman pada kandungan protein yang dapat diharapkan sama dengan kandungan gizi pakan dari insdustri makanan ternak sehingga biaya pakan dapat ditekan maka keuntungan yang diperoleh peternak dapat memadai (meningkat). Secara umum bahan pakan untuk ternak ruminansia maupun unggas dibagi atas dua kelompok: 1) bahan pakan umum tersedia, yaitu bahan pakan yang sering dan selalu dipakai serta tersedia relatif banyak, contohnya adalah jagung giling, dedak padi, bungkil kelapa, bungkil kedelai, tepung kapur, tepung singkong dan sebagainya, dan 2) Bahan pakan tidak umum tapi bahan tersebut pontensial didaerah tertentu yang dapat dimanfaatkan ternak contohnya adalah: tepung bekicot (keong mas), biji sorghum, tepung kepala udang, bungkil inti sawit, lumpur sawit dll. Selain jenis, harga bahan pakan merupakan suatu hal yang harus diketahui terutama dalam penyusunan formula ransum alternatif yang lebih murah yang mempunyai kualitas yang memadai, ditinjau dari kandungan niali gizi. Proses penggemukan merupakan tahapan penting dalam proses produksi sapi potong sebelum ternak tersebut dipotong. Tujuan penggemukan tidak saja meningkatkan bobot badan sapi agar menjadi gemuk akan tetapi juga meningkatkan kualitas daging. Penggemukan memerlukan pakan yang cukup baik dalam kualitas serta kontinuitas. Pemberian pakan yang berkualitas berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan sapi dimana formula pakan yang baik akan mempercepat laju pertumbuhan dan penggemukan sapi. Bardasarkan data penimbangan selama pengkajian berlangsung disajikan pada Tabel 2. Sedangkan hubungan antara periode pengamatan dengan bobot badan sapi penggemukan disajikan pada Gambar 1. Performans sapi hasil penggemukan di Kec. Duampanuan disajikan pada Tabel 3.
71
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 2. Penimbangan sapi penggemukan dengan interval 2 minggu Penimbangan interval 2 minggu (kg)
Perlakuan I
II
III
IV
V
VI
VII
A
153,1
155,9
158,9
161,7
164,5
167,6
170,7
B
157,0
161,8
166,8
171,9
176,8
181,9
186,9
C
161,0
166,4
171,8
177,4
182,9
188,1
193,5
250
Bobot Badan
200
150 A B
100
C
50
0 I
II
III IV V Periode Pengamatan
VI
VII
Gambar 1. Hubungan antara bobot badan dan periode pengamatan
Tabel 3. Performans dan ukuran tubuh sapi hasil penggemukan di Kecamatan Duampanua Perlakuan
Parameter Pertambahan bobot hidup (kg/ekor/hari)
A
B
C
0,209b
0,356a
0,387a
Pertambahan tinggi pundak (cm/ekor/hari)
0,079a
0,068a
0,063a
Pertambahan lingkar dada (cm/ekor/hari)
0,062a
0,117a
0,128a
Pertambahan panjang badan (cm/ekor/hari)
0,079a
0,051a
0,095a
Pertambahan lebar dada (cm/ekor/hari)
0,007a
0,007a
0,011a
a,b = huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P < 0,05)
72
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 4. Pertambahan bobot hidup harian, konsumsi bahan kering, efisiensi pakan Perlakuan
Parameter A
B
C
0,209
0,356
0,387
Konsentrat
-
1,25
1.30
Jerami
-
-
2,30
5,75
4,90
2,45
Pertambahan berat hidup harian (PBHH) Konsumsi bahan kering (kg/ekor/hari)
Rumput lapangan Jumlah Efisien pakan
Dari ketiga formula pakan yang digunakan ternyata bahwa perlakuan C lebih tinggi dari pada perlakuan B maupun A sedangkan perlakuan B lebih tinggi daripada perlakuan A. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh kandungan zat-zat gizi yang terdapat dalam pakan seperti karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Sejalan yang dikemukakan SOEHADJI et al. (1991) bahwa pemberian pakan yang berkualitas berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan, dimana formula pakan yang baik akan mempercepat laju pertumbuhan yang optimal. Berdasarkan hasil analisa statistik pada pertambahan bobot badan ternak sapi menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap perlakuan pakan (Tabel 3). Berdasarkan Uji BNT menunjukkan bahwa perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan terhadap perlakuan B demikian juga perlakuan C. sedangkan B dan C tidak berbeda nyata. Serat kasar mengandung bahan-bahan yang dibutuhkan dari dinding sel tanaman, termasuk didalamnya cellulose, pentosa, lignin dan cutine. Lignin dan cutine tidak dicerna, sedangkan cellulosa dan pentosa dengan bantuan mikroorganisme rumen dapat dicerna dan merupakan sumber energi yang cukup tinggi. Serat kasar termasuk golongan karbohidrat yang berfungsi untuk mengisi dan menjaga agar alat pencernaan bekerja dengan baik, serta mendorong kelenjar-kelenjar pencernaan untuk mengeluarkan enzim-enzim pencernaan. Adanya kandungan serat kasar yang cukup didalam pakan ternak ruminansia menyebabkan jumlah konsumsi bahan kering (dry matter intake) semakin tinggi yang digunakan untuk menyusun sel-sel tubuh. Salah satu alternatif pemecahan masalah
5,75
6.15
6,05
0,036
0,058
0,064
kecernaan hijauan adalah menstimulasi fungsi rumen agar mikroba rumen dapat berkembang lebih baik untuk mencerna serat kasar. Hewan ruminansia akan mengalami gangguan pencernaan apabila serat kasar dalam rumen terlalu rendah, sekurang-kurangnya 13% dari bahan kering dalam ransum terdiri dari serat kasar. Analisis ekonomi Pengkajian ini dilakukan semusim produksi maka model analisis yang digunakan adalah analisis gross margin menurut petunjuk SOEKARTIWI et al. (1988). Hasil analisis menunjukkan bahwa jika tenaga kerja diperhitungkan sebagai biaya variabel maka baik perlakuan B (Konsntrat 1% dari bobot badan + Rumput lapangan 100%) memperoleh kuntungan lebih tinggi yakni Rp. 57.931,7 perekor/bulan disusul dengan perlakuan C (Konsentrat 1% dari bobot badan + 50% jerami fermentasi + 50% Rumput lapangan) memberikan keuntungan Rp. 55.287,3 per ekor/bulan kemudia terakhir perlakuan A (kontrol) memperoleh keuntungan Rp. 28.500 per ekor/bulan disajikan pada Tabel 5. namun tambahan pendapatan lainnya dapat diperoleh dari pengomposan kotoran ternak sapi. menurut hasil penelitian SARIUBANG et al. (2003) menunjukkan bahwa seekor sapi dapat menghasilkan kotoran 5 kg/ekor/hari menjadi 3 kg/ekor/hari dengan harga Rp. 400/kg. Jadi untuk seekor sapi dapat menghasilkan kompos kotoran sapi sebanyak 90 kg/bulan atau Rp. 36.000/bulan.
73
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 5. Analisis keuntungan penggemukan sapi Bali bakalan selama 3 bulan Perlakuan
Uraian A Input
B
C
153,1
157
161
2.296.500
2.355.000
2.415.000
Konsentrat
-
198.455
202.248
Jerami fermentasi
-
-
60.840
Rumput lapangan
165.000
125.000
75.000
Bibit (bakalan)
Obat-obatan/vitamin
6500
6500
6500
Vaksinasi
5000
5000
5000
Tempat pakan/minum
7000
7.000
7.000
2.475.000
2.696.955
2.771588
2.560.500
2.870.750
2.937.450
85.500
173.795
165.862
28.500,0
57.931,7
55.287,3
Total Output Pertambahan bobot badan Keuntungan total Keuntungan/ekor/bulan
KESIMPULAN Dari rangkaian kegiatan ini dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut: 1. Penggunaan pakan lokal dengan komposisi rumput lapangan 50% + jerami fermentasi 50% + konsentrat 1% dari bobot badan dapat meningkatkan performans sapi penggemukan. 2. Berdasarkan analisis ekonomi perlakuan B (Rumput lapangan 100% + Konsentrat 1% dari bobot badan) memperoleh kuntungan lebih tinggi yakni Rp. 57.931,7 perekor/ bulan. DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 1998. Kebijaksanaan Operasional dan Rencana Kegiatan Sub Sektor Peternakan T.A. 2000/2001. Dirjen Peternakan, Jakarta. DWIYANTO, K. 2003. Pengarahan pada Pelatihan CLS lahan Kering di Sukamandi, Jawa Barat. MASNGUT, I.S. 2003. Strategi Pengembangan Peternakan yang berkesinambungan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 29 – 33.
74
NITIS, I.M., K. LANA, I.B. SUDANA dan N. SUTJI. 1992. Pengaruh Klasifikasi wilayah terhadap komposisi botani hijauan yang diberikan pada kambing di Bali di waktu musim kemarau. Pros. Seminar Penelitian Peternakan, Bogor. SARIUBANG, M., CHALIDJAH, A. PRABOWO dan U. ABDUH. 1992. Hubungan antara pertambahan bobot badan dan ukuran lingkar dada sapi Bali betina yang diberikan perlakuan pakan. Pros. Pertemuan Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Peternakan di Sulawesi Selatan. Sub Balai Penelitian Ternak Gowa, Sulawesi Selatan SOEHADJI. 1991. Kebijaksanaan Pemuliaan Ternak (Breeding policy) khususnya dalam Pembangunan Peternakan. Pros Seminar Nasional. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. SOEKATIWI. 1984. Bahan Makanan Ternak Limbah Pertanian dan Industri. BPFE Yogyakarta. SURYANA. A. 2000. Harapan dan Tantangan bagi Subsektor Peternakan dalam meningkatkan Ketahanan Pangan Nasional. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 September 2000. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 21 – 28. SUSANTO, H. 1995. Siput Murbei Pengendalian dan Pemanfaatannya. Kanisius, Yogyakarta. hlm. 1 – 61.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
TAMBING, S.N., M. SARIUBANG dan CHALIDJAH. 2000. Bobot Lahir dan Kinerja Reproduksi Sapi Hasil Persilangan Bos Taurus X Bos Banteng. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 September 2000. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 75 – 79.
TILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPRODJO, S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1983. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
75