Peningkatan Pertumbuhan Sapi Bali Jantan Muda Melalui Perbaikan Manajemen Pakan (Increasing Young Bali Bull Growth by Improving Feeding Management) TAKDIR SAILI1*, ALI BAIN1, LA ODE NAFIU1, 1
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari 93232 *E-mail:
[email protected] ABSTRAK
Petani memberikan pakan hijauan kepada ternaknya dari berbagai sumber yang diperoleh dari sekeliling tempatnya tanpa mempertimbangkan aspek kualitas pakan yang diberikan. Demikian halnya dengan status fisiologi ternak bukan salah satu pertimbangan peternak dalam mengatur pemberian pakan kepada ternaknya. Hal ini akan berakibat pada tidak optimalnya pertumbuhan ternak pada periode tertentu. Oleh karena itu pada penelitian ini telah dikaji pemanfaatan beberapa sumber pakan hijauan dan kombinasinya untuk meningkatkan pertumbuhan ternak sapi Bali jantan muda yang dipelihara pada kandang individu. Sapi percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah sapi Bali jantan muda berjumlah 24 ekor. Rancangan acak kelompok digunakan untuk mengetahui efek 4 jenis perlakuan pakan (R1= hijauan ad lib; R2=Gamal 1% BB + hijauan ad lib; R3=Gamal ad lib; R4=dedak padi 1%BB + gamal ad lib). Data berupa konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, kecernaan bahan kering dan bahan organik pakan disajikan dalam bentuk rataan, selanjutnya dianalisis menggunakan analisis ragam dan perbedaan antar perlakuan ditetapkan berdasarkan hasil uji BNT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik variable tingkat konsumsi bahan kering maupun pertambahan bobot badan, nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan R4 masing-masing 2.837 kg/hari dan 0.269 kg/hari. Demikian halnya dengan variabel kecernaan bahan organik juga diperoleh pada perlakuan R4 pada periode pertama sedangkan pada periode kedua kecernaan bahan organik tertinggi diperoleh pada perlakuan R1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kombinasi pakan daun gamal dan dedak padi mampu memberikan pertambahan bobot badan yang cukup tinggi, tetapi nilai kecernaan pakan yang mengandung daun gamal mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu pemberian daun gamal. Kata kunci: Sapi Bali, gamal, pertumbuhan, kecernaan.
ABSTRACT Farmer is feeding their cattle with various sources of fresh forage taking from surrounding which possibly have less nutrient content. Moreover, the farmer has not taken into consideration the physiology condition of the cattle when they feed the cattle. Consequently, the optimum growth of the cattle in certain period of growth has never been reached. The objective of this experiment is to induce growth rate of young bull Bali cattle by combine various of native grass. Twenty four young Bali bull was used in this experiment and randomized block design was applied to evaluate the effect of four different feeding formula treatments (R1= native grass ad lib; R2=Gliriciadia 10g DM/kg W/day + native grass ad lib; R3=Gliricidia ad lib; R4=rice bran 10g DM/kg W/day + gliricidia ad lib). Data on feed intake, live weight gain, drymatter and organic matter digestibility were analyzed using variance analysis and differences between treatment was decided based on the results of least significant differences analysis. Results of
this experiment showed that highest results of dry matter intake (2.837 kg.day-1) and daily gain (0.269 kg.day-1) was occured in treatment R4 thorough out of experiment. Digestibility of organic matter was high in treatment R4 during period-1 and R1 during period-2. Finally, it was concluded that the combinantion of gliricidia and rice brand could support growth of young Bali bull fairly, but digestibility of feed contained gliricidia tended to decrease as time increase. Key words: Bali bull, gliricidia, growth, digestibility PENDAHULUAN Luas wilayah dan kondisi agroklimat Sulawesi Tenggara sangat mendukung usaha untuk mengembangkan ternak sapi khususnya sapi Bali. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dengan pola pemeliharaan sederhana yang diterapkan oleh petani, populasi ternak sapi, khususnya sapi Bali telah menunjukkan pertumbuhan yang baik. Sulawesi Tenggara telah dikenal sebagai salah satu daerah pemasok ternak potong dan bibit sapi Bali untuk wilayah lain di jazirah Sulawesi, terutama Sulawesi Selatan. Hal ini dapat terjadi karena ketersediaan pakan alami masih cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pertumbuhan ternak sapi. Namun demikian, kualitas sapi Bali di Sulawesi Tenggara dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Sapi Bali jantan yang berumur 2-3 tahun dengan kondisi pakan yang baik seharusnya telah mencapai bobot badan minimal 200-250 kg berat hidup. Akan tetapi, saat ini sangat sulit ditemukan sapi Bali yang berumur 2-3 tahun dengan bobot badan demikian. Berbagai faktor telah diklaim sebagai penyebab munculya fenomena ini, antara lain kebiasaan petani memotong atau menjual ternak sapi jantan dengan bobot badan tertinggi untuk mendapatkan penghasilan yang tinggi pula. Akibatnya, sapi jantan yang mempunyai peluang mengawini sapi-sapi betina adalah sapi-sapi jantan dengan rataan bobot badan yang rendah.
Konsekuensi dari hasil
perkawinan ini adalah keturunan dengan kualitas yang tidak optimal. Dari sisi pola pemberian pakan, petani ternak juga belum mempertimbangkan fase pertumbuhan sapi Bali di dalam menyusun dan memberikan pakan kepada ternaknya. Demikian halnya dengan faktor kandungan nutrisi pakan yang diberikan pada ternak juga belum mendapat perhatian utama petani ternak sehingga kondisi pertumbuhan ternak sangat bervariasi walaupun telah mendapatkan jumlah pakan yang cukup memadai. Pada kondisi normal, sapi Bali akan bertumbuh dengan pesat sampai mencapai umur dewasa tubuh sekitar 2 tahun. Sapi Bali yang telah mencapai dewasa tubuh (lebih dari 2 tahun) dapat memanfaatkan pakan dengan kualitas sedang sampai rendah untuk mempertahankan kondisi tubuhnya. Sedangkan sapi Bali muda harus mendapatkan pakan yang berkualitas baik karena nutrisi yang diperolehnya
2
selain dipergunakan untuk mempertahankan kondisi tubuhnya juga digunakan untuk proses pertumbuhan. Selama fase awal pertumbuhan tersebut sebagian besar nutrisi yang dikonsumsi oleh ternak akan digunakan untuk mendukung pertumbuhan kerangka tubuhnya secara optimal. Jika kerangka tubuh seekor ternak dapat bertumbuh secara optimal, maka bobot badan yang dicapai ternak tersebut setelah mencapai dewasa tubuh akan optimal pula. Oleh karena itu, pola pemberian pakan bagi ternak yang sedang mengalami proses pertumbuhan harus dikelola sebaik-baiknya agar ternak dapat bertumbuh secara optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan strategi pemberian pakan yang optimal untuk mendukung perkembangan sapi Bali jantan muda yang sedang bertumbuh. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan bagi para petani ternak di dalam mengelola pemberian pakan pada ternak terutama pada sapi Bali jantan muda yang mereka miliki.
Selain itu, keterlibatan mahasiswa di dalam
penelitian ini akan dapat membantu mereka menyelesaikan tugas akhir dalam rangka penulisan skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana peternakan. MATERI DAN METODE Materi Penelitian Ternak percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi Bali jantan muda sebanyak 24 ekor dengan kisaran bobot badan 74,0 – 112,5 kg. Ternak dipelihara pada kandang individu yang berukuran 2,40 x 1,25 meter. Setiap petak dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat air minum berukuran 100 x 50 x 42 cm. Selama periode penampungan feses tempat air minum disediakan dari ember plastik dengan kapasitas 10 liter. Pakan percobaan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas hijauan lapangan, gamal, dan dedak yang diberikan sesuai dengan perlakuan masing-masing. Untuk menimbang pakan yang diberikan (pakan beri) dan pakan sisa serta feses digunakan timbangan digital kapasitas 30 kg dengan tingkat ketelitian 0,002 kg (Merk GSC Type AW-30). Selain itu juga digunakan timbangan digital kapasitas 2 ton dengan ketelitian 0,5 kg untuk menimbang ternak. Sedangkan peralatan yang digunakan di Laboratorium untuk analisis bahan kering dan bahan organik adalah cawan porselin, blender, sendok, timbangan analitik, oven, tanur, dan desikator. Pelaksanaan Penelitian
3
Penelitian ini terdiri atas tiga tahap yaitu tahap preliminari (pendahuluan) selama satu minggu, tahap pangambilan data selama delapan minggu dan tahap analisis sampel di laboratorium selama satu minggu. Pada tahap pendahuluan, pakan percobaan diberikan kepada ternak secara bertahap hingga mencapai porsi perlakuan. Pakan yang diberikan kepada ternak terlebih dahulu ditimbang dan diberikan sesuai perlakuan. Sedangkan pakan sisa dikumpulkan setiap hari untuk masing-masing ternak dan ditimbang pada hari terakhir setiap minggu. Pertumbuhan ternak sapi dikontrol dengan melakukan penimbangan dua kali seminggu, kecuali pada saat pengambilan sampel feses penimbangan hanya dilakukan sekali seminggu. Air minum diberikan secara ad libitum pada semua ternak sapi percobaan. Variabel Pengamatan dan Cara Pengukurannya Variabel
yang
diamati dalam
penelitian
ini
adalah
konsumsi
pakan,
pertambahan bobot badan, kecernaan bahan kering dan bahan organik pakan. Konsumsi pakan diperoleh dari selisih pakan beri dan pakan sisa yang ditimbang setiap hari, sedangkan pertambahan bobot badan sapi percobaan diketahui dengan melakukan penimbangan dua kali seminggu. Pengukuran bahan kering dilakukan terhadap pakan beri, pakan sisa dan feses. Sampel pakan beri disiapkan setiap hari, sedangkan pakan sisa dikumpulkan selama seminggu kemudian dicampur dan diambil sampel. Pada setiap periode koleksi feses, sampel feses diambil setiap hari sebanyak ±10% total feses harian per ekor dan dikumpulkan selama satu minggu. Selanjutnya feses yang telah dikumpulkan selama satu minggu tersebut dihomogenkan dan diambil sampel sebanyak ±800 g. Pengukuran persentase bahan kering sampel dilakukan dengan mengikuti prosedur sebagai berikut. Sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 65 sampai 70oC selama ± 24 jam atau sampai mencapai berat konstan. Sampel yang telah kering kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender. Untuk mengukur persentase bahan kering maka ditimbang sampel sebanyak 5g lalu dimasukkan ke dalam cawan dan diovenkan pada suhu 103oC selama 48 jam.
Selanjutnya cawan yang berisi
sampel dimasukkan ke dalam desikator hingga dingin, lalu ditimbang. Pengukuran persentase bahan organik sampel dapat diketahui dengan cara sebagai berikut. Sampel bahan kering yang telah ditimbang beserta cawannya dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 550oC selama 4 jam. Cawan beserta sampel selanjutnya didinginkan di dalam desikator sebelum ditimbang.
4
Perhitungan kecernaan bahan kering dan bahan organik pakan dilakukan dengan menggunakan data hasil analisis bahan organik pakan beri, pakan sisa dan feses ternak percoban. Adapan rumus kecernaan bahan organik tersebut adalah:
KcBO
Konsumsi BO BO Feses x 100 % Konsumsi BO
Keterangan : KcBO = Kecernaan Bahan Organik BO = Bahan Organik Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan dan enam ulangan (blok/kelompok).
Adapun perlakuan yang dicobakan
pada penelitian ini adalah: R1 = Hijauan lapangan potongan (diberikan secara ad lib) R2 = Gamal 1% bobot badan + hijauan lapangan potongan (diberikan secara ad lib) R3 = Gamal (diberikan secara ad lib) R4 = Dedak padi 1% bobot badan + gamal ( diberikan secara ad lib) Sedangkan kelompok ternak dibedakan berdasarkan berat hidup dengan jumlah empat ekor per kelompok sebagai berikut: Kelompok 1 = 74,0 – 84,0 kg Kelompok 2 = 85,0 – 91,5 kg Kelompok 3 = 91,5 – 96,0 kg Kelompok 4 = 96,5 – 102,5 kg Kelompok 5 = 103,0 – 108,5 kg Kelompok 6 = 109,0 – 112,5 kg Analisis Data Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis ragam.
Apabila
perlakuan berpengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut antar perlakuan menggunakan uji beda nyata terkecil (BNT) (Gaspersz, 1991). HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering Sapi Percobaan Rataan konsumsi bahan kering sapi percobaan yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan Konsumsi Bahan Kering (kg/hari) Sapi Percobaan Selama Penelitian
5
Perlakuan R1 R2 R3 R4 1 2,377 2,226 2,096 2,504 2 2,751 2,940 2,617 2,935 3 2,703 3,085 2,224 2,893 4 2,232 2,421 2,137 2,556 5 2,412 2,487 2,290 2,828 6 2,545 2,494 2,424 2,867 7 2,640 2,658 2,517 3,005 8 2,441 2,636 2,416 3,106 ab b a Rataan 2,513 2,619 2,340 2,837b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) Minggu ke-
Sapi percobaan yang mendapat perlakuan R4 memperlihatkan rataan tingkat konsumsi bahan kering per hari yang cukup tinggi dibandingkan dengan sapi percobaan pada perlakuan lainnya.
Namun demikian, rataan konsumsi sapi
percobaan pada perlakuan R4 hanya berbeda nyata (P<0.05) dengan rataan konsumsi bahan kering sapi percobaan pada perlakuan R3. Sapi percobaan pada perlakuan R4 yang mendapat pakan kombinasi antara legum (daun gamal) dan dedak terbukti memiliki palatabilitas yang cukup tinggi dibandingkan dengan palatabilitas pakan yang diberikan secara tunggal, seperti pada perlakuan R3 (daun gamal). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya variasi jenis dan tekstur pakan sehingga ternak sapi cenderung untuk meningkatkan jumlah konsumsinya. Pertumbuhan Sapi Percobaan Hasil penimbangan berat badan sapi percobaan selama penelitian berdasarkan perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 3. Rataan pertambahan bobot badan tertinggi pada penelitian ini ditunjukkan oleh sapi percobaan yang mendapat perlakukan R4 (gamal dan dedak) yang berbeda nyata secara statistik dengan ketiga perlakuan lainnya.
Hal ini sangat wajar terjadi sebagai konsekuensi dari tingginya
rataan konsumsi bahan kering pakan harian yang ditunjukkan oleh sapi percobaan pada perlakuan R4. Tebel 3. Rataan Pertambahan Bobot Badan (kg/hari) Sapi Percobaan Selama Penelitian Minggu ke1 2 3 4 5
R1 0,190 0,119 0,202 0,119 0,107
Perlakuan R2 R3 0,167 0,107 0,190 0,226 0,155 0,155 0,167 0,107 0,107 0,083
R4 0,238 0,298 0,298 0,298 0,262
6
6 0,143 0,143 0,131 0,226 7 0,214 0,155 0,107 0,298 8 0,155 0,143 0,179 0,238 Rataan 0,156a 0,153a 0,137a 0,269b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) Satu hal yang menarik adalah rataan konsumsi bahan kering sapi percobaan pada perlakuan R1 (rumput) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan R2 (rumput dan gamal), tetapi memiliki pertambahan bobot badan harian yang lebih besar. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya zat anti nutrisi yang dimiliki oleh gamal sehingga walaupun
tingkat
konsumsinya
tinggi
tetapi
nilai
konversinya
lebih
rendah
dibandingkan dengan pakan tunggal berupa rumput. Kecernaan Bahan Organik Periode Pertama Kecernaan bahan organik beberapa jenis pakan yang dikonsumsi sapi Bali pada minggu kedua disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kecernaan bahan organik (%) sapi Bali yang diberi pakan berbeda pada periode pertama (Pemeliharaan Minggu I - Minggu II). Perlakuan
Ulangan
R1 R2 R3 R4 1 28,266 35,872 43,696 45,289 2 34,202 37,501 39,130 43,390 3 33,133 35,935 40,780 44,100 4 36,788 42,654 39,924 45,361 5 53,559 47,456 40,849 51,561 6 37,506 41,526 45,704 54,411 Rata-Rata 37,242b 40,157b 41,681a 47,352a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) Rataan kecernaan bahan organik pakan sapi Bali dalam penelitian ini yang tertinggi sampai yang terendah secara berturut-turut adalah R4 (47,352 %), R3 (41,681%), selanjutnya R2 (40,157%) dan yang terendah adalah R1 (37,242%). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pakan yang diberikan pada sapi Bali berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kecernaan bahan organiknya. Sedangkan hasil uji BNT menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik rasum R4 (47,352 %) nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan ransum R1 (37,242%) dan R2
(40,157%),
tetapi
berbeda
tidak
nyata
dengan
ransum
R3
(41,681%).
Kecenderungan kecernaan bahan organik sapi Bali pada perlakuan R4 lebih tinggi dibandingkan perlakuan R2, dan R1 kemungkinan disebabkan oleh tingginya jumlah nutrien atau bahan organik yang terdapat pada perlakuan R4 sehingga jumlah nutrien
7
dan bahan organik yang terdeposit ke dalam tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan kedua perlakuan lainya. Hal ini terjadi karena perlakuan R4 terdiri atas kombinasi dedak (sumber energi tercerna) dan gamal sebagai sumber protein. Dedak sebagai sumber energi di dalam ransum dan legum (gamal) sebagai sumber protein diharapkan mampu memberikan asupan nutrisi yang relatif lebih baik untuk menciptakan ekosistem rumen atau saluran pencernaan yang lebih optimal. Sehingga proses pencernaan fermentatif maupun hidrolistis juga relatif berlangsung secara baik pada perlakuan
R4
dibanding
ketiga
perlakuan
lainnya.
Tentunya
implikasi
dari
berlangsungnya proses pencernaan yang baik akan meningkatkan tingkat kecernaan bahan pakan dan ransum yang dikonsumsi oleh ternak penelitian. Sebagaimana juga diketahui kecernaan pakan sangat erat kaitannya dengan suplai nutrisi yang cukup baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini dapat dilihat dari kandungan nutrien pada ransum perlakuan R4, dimana kandungan protein yang terdapat dalam dedak sekitar 10-12 % sedangkan gamal (Gliricidia sepium) memiliki kandungan protein kasar 23% (FAO, 2004). Hal ini memungkinkan kandungan protein dalam ransum R4 sangat tinggi sehingga dapat meningkatkan daya cerna semu protein. Menurut Tillman (1989), di dalam 100 gram bahan kering yang dikonsumsi terdapat 3 gram protein, dan misalnya suatu makanan yang mengandung 6% protein apabila protein ini dapat dicerna 100% maka hanya mempunyai daya cerna semu sebesar (6 – 3)/ 6 x 100% atau 50%, tetapi kalau makanan mengandung 9% protein ini dapat mempunyai daya cerna semu sebesar 66,7%. Hal ini dapat dikatakan bahwa makin tinggi protein suatu pakan maka daya cerna semu proteinnya semakin tinggi. Demikian pula persentase kecernaan bahan organik perlakuan R3 lebih tinggi dibandingkan kecernaan bahan organik R2. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh kandungan serat kasar yang relatif lebih tinggi pada ransum R2. Hal ini dapat mempengaruhi daya cerna pakan meskipun ada penambahan gamal dalam pakan yang dianggap memiliki protein yang tinggi. Kecernaan bahan organik pakan perlakuan R2 meskipun tidak berbeda nyata akan tetapi menunjukkan persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan R1. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh sifat palatabiltas pakan pada ternak sapi Bali sebagai akibat kombinasi pakan yang diberikan. Kombinasi beberapa jenis hijauan dalam pakan ternak dapat meningkatkan sifat palatabilitas ternak terhadap pakan tersebut. Sifat palatabilitas yang tinggi dapat meningkatkan kosumsi pakan dan berpengaruh terhadap kecernaannya. Kombinasi beberapa hijauan dalam pakan dianggap mengandung kadar nutrisi yang lebih tinggi dapat memenuhi
8
kebutuhan nutrisi ternak sapi Bali. Hal ini didukung oleh Guntoro (2002) yang menyatakan bahwa hijauan yang diberikan sebaiknya tidak hanya satu jenis, melainkan terdiri atas beberapa jenis. Semakin banyak jenis hijauan yang diberikan pada ternak semakin baik karena unsur zat-zat makanan semakin lengkap. Selain itu kandungan mineral (Si) tanaman leguminosa lebih kecil dari tanaman non-leguminosa, meski pada tanah yang sama. Mineral Si merupakan unsur struktural dinding sel dan terdapat sebagai kompleks organik serta berfungsi seperti halnya lignin dalam pakan hijauan (Arora 1998). Kecernaan bahan organik pakan R1 memiliki kecernaan bahan organik paling rendah secara kuantitatif dibandingkan dengan perlakuan lainya. Hal ini dapat dipahami karena kemungkinan disebabkan oleh kandungan serat kasar yang tinggi pada hijauan lapangan potongan atau nilai nutrisi secara keseluruhan pada perlakuan R1 (100% hijauan) yang relatif rendah sehingga tidak mundukung perbaikan kecernaan, khususnya kecernaan bahan organik. Sebagaimana diketahui bahwa kandungan serat kasar yang tinggi pada hijauan merupakan faktor penghambat bagi daya cerna pakan. Hijauan terutama rumput-rumputan dibandingkan
dengan
mengandung
serat
kasar
yang
tinggi
legum (gamal) dan dedak. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Reksohadiprodjo (1987) bahwa hijauan seperti hay, silase, rumputrumputan, legum dan limbah pertanian merupakan pakan yang mengandung serat kasar yang relatif tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap penambahan 1% serat kasar di dalam tanaman
menyebabkan penurunan
daya
cerna
dalam
bahan
organiknya sekitar 0,7 – 1,0 unit pada ruminansia (Tilman,1989). Kandungan serat kasar pada hijauan berkisar antara 33,7% sampai 48,55%, sedangkan kandungan serat kasar pada gamal berkisar 24% dalam bahan kering. Sebaliknya dedak merupakan bahan makanan suplemen yang memiliki bahan kering yang tinggi dan serat kasar yang rendah sehingga proporsi daya cernanya lebih tinggi dibandingkan dengan hijauan. Hijauan dengan kandungan lignin yang tinggi mempunyai palatabilitas yang rendah dan konsumsi pakannya lebih kecil dari pada hijuan dengan kandungan lignin yang rendah. Konsumsi pakan seekor ternak akan bertambah jika diberikan pakan yang berdaya cerna tinggi dibandingkan dengan pakan yang berdaya cerna rendah (Arora, 1998). Kecenderungan data hasil penelitian selama dua minggu menunjukkan bahwa penggunaan gamal dengan kombinasi gamal dan rumput atau gamal dengan dedak walaupun memberikan sumbangan yang cukup signifikan terhadap total angka kecernaan ransum secara keseluruhan tetapi angka kecernaan belum cukup
9
memberikan hasil yang optimal karena nilai kecernaan yang diperoleh dalam penelitian ini hanya berkisar antara 40,157 % - 47,325%. Kecernaan Bahan Organik Periode Kedua (Minggu III- V). Kecernaan bahan organik sapi Bali yang diberi ransum perlakuan pakan berbeda pada minggu kelima disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Kecernaan Bahan Organik (%) Sapi Bali yang Diberi Pakan Berbeda pada Periode kedua (Pemeliharaan Minggu III – Minggu V). Ulangan
Perlakuan R1
R2
R3
R4
1 63,217 46,692 28,379 56,850 2 45,252 39,689 27,429 31,046 3 45,642 32,110 22,787 33,220 4 29,523 39,059 26,760 32,344 5 40,469 34,319 26,184 44,796 6 41,777 32,214 24,351 29,639 b b a Rataan 44,313 37,347 25,982 37,983b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata pada taraf 1% (P<0.01) Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa rataan kecernaan bahan organik pakan pada sapi Bali dalam penelitian ini yang tertinggi sampai yang terendah secara berturut-turut adalah R1 (44,313 %), R4 (37,983%), R2 (37,347%), dan yang terendah adalah R3 (25,980 %). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis ransum pada sapi Bali berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kercernaan bahan organikmya. Selanjutnya, uji BNT menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik pada sapi Bali yang mendapat ransum R1, R2 dan R4 berbeda sangat nyata (P<0.01) atau lebih tinggi dibandingkan dengan kecernaan bahan organik pakan perlakuan R3. Pada kecernaan bahan organik yang diperoleh pada periode kedua (Minggu III – Minggu V) secara keseluruhan mengalami penurunan jika dibandingkan dengan rataan kecernaan bahan organik yang diperolah pada periode pertama (Minggu I – II). Berdasarkan data pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa kecernaan bahan organik sapi Bali dengan pemberian pakan 100% hijauan lapangan (R1) pada periode pertama adalah 44,313%. Sedangkan kecernaan bahan organik pada pakan perlakuan gamal (Gliricidia sepium) baik sebagai pakan basal maupun substitusi
R2, R3, dan R4
cenderung mengalami penurunan. Pada kecernaan periode kedua (minggu III- minggu V) perlakuan R1 memiliki rataan tingkat kecernaan yang lebih tinggi yakni sebesar 44,13% dibandingkan dengan
10
perlakuan lainnya meskipun diketahui memiliki kandungan serat yang tinggi. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perubahan suasana mikroba rumen yang telah beradaptasi baik dengan jenis pakan rumput yang diberikan sehingga kemampuan ternak dalam mecerna pakan berserat akan semakin baik. Membaiknya populasi dan aktifitas mikroba dalam rumen menyebabkan ternak ruminansia mampu mencerna pakan berserat dan bermutu rendah sehingga kebutuhan asam-asam amino untuk nutrisi protein tidak sepenuhnya bergantung pada kualitas protein pakan yang diberikan.
Melalui
bantuan
mikroba
rumen
tersebut
induk
semang
dapat
memanfaatkan Nitrogen Non Protein (NPN) menjadi protein berkualitas tinggi (Sutardi, 1997 dalam Bain, 1999). Pada penelitian ini kecenaan bahan organik dengan perlakuan R2 meskipun dianggap memiliki kadar nutrisi yang tinggi dengan adanya kombinasi beberapa jenis hijauan tetapi dengan keberadaan gamal (Gliricidia sp) yang mengandung zat anti nutrisi merupakan faktor penghambat bagi tingkat kecernaan sapi Bali. Begitu pula pada perlakuan dengan pemberian perlakuan R4 meskipun dedak memiliki kadar nutrisi yang tinggi dengan kandungan serat kasar yang rendah dan protein yang cukup tinggi tetapi dengan keberadaan gamal (Gliricidia sp) tetap menjadi faktor penghambat tingkat kecernaan sapi Bali. Gamal (Gliricidia sp) dengan komposisi protein yang tinggi yakni sekitar 23 %
di dalamnya memiliki zat anti nutrisi yang mempengaruhi
palatabilitas dan kecernaaanya. Zat anti nutrisi yang terdapat pada gamal (Gliricidia sp) adalah 1-3,5% flavonoid dan 3-5% total phenols atas dasar bahan kering (Manetje dan Jones, 1992). Gamal yang mengandung flavonoid dapat menyebabkan kematian (apoptosis) pada sel. Adanya apoptosi
pada mikroorganisme rumen mengurangi
jumlah dan kemampuannya untuk mendegradasi makanan sehingga berdampak pada tingkat kecernaan yang rendah. Selain itu, pada perlakuan R2, R3 ,dan R4 dengan adanya akumulasi kandungan mimosin dan senyawa phenol yang terdapat dalam daun gamal akan menyebabkan saluran pencernaan ternak sapi percobaan menjadi terganggu untuk mendegradasi fraksi makanan yang dikonsumsi oleh ternak. Gangguan terhadap fungsi ekosistem rumen atau saluran pencernaan akan berimplikasi terhadap asupan nutrisi yang dapat dicerna dan dimanfaatkan oleh ternak. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
11
1. Tingkat konsumsi cenderung dipengaruhi oleh variasi jenis pakan yang diberikan pada satu periode tertentu. 2. Kombinasi pakan legum (daun gamal) dan dedak padi dapat memberikan efek pertambahan bobot sapi yang cukup signifikan dibandingkan dengan pada rumput dan daun gamal yang diberikan secara tunggal dan kombinasi. 3. Kecernaan bahan organik gamal (Gliricidia sepium) pada periode pemeliharaan pertama cenderung memiliki tingkat kecernaan yang lebih tinggi akan tetapi jika gamal (Gliricidia sepium) diberikan pada waktu lama (periode kedua) baik sebagai pakan tunggal maupun kombinasi beberapa jenis hijauan akan lebih rendah dibandingkan dengan pemberian 100 % hijauan lapangan. UCAPAN TERIMA KASIH Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian yang didanai oleh ACIAR melalui proyek SMAR/2007/013. Kami mengucapkan terima kasih kepada Saudara Kamaliddin yang telah banyak membantu dalam proses penelitian dan kepada bapak Prof. Marsetyo yang telah memberikan bimbingan selama pelaksanaan penelitian. Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dennis Poppi dan Dr. Simon Quigley masing-masing sebagai project leader dan research officer pada proyek SMAR/2007/013 yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk melaksanakan penelitian ini di Universitas Haluoleo, Kendari. DAFTAR PUSTAKA Arora, S.P., 1998. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Bain, A., 1999. Efektivitas Transfer Mikroba Rumen Kambing Kaligesing terhadap Katareristik Pencernaan dan Pertumbuhan Domba Merino yang Memperoleh Pakan Bertanin Kaliandra (Calliandra calothyrsus). Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. FAO, 2004. Gliricidia sepium, Glicidia maculata. http://www.fao.org. (18 Februari 2008). Gaspersz, V., 1991. Metode Perancangan Percobaan. Armico. Bandung. Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius. Yogyakarta. Mannetje, LT. and RM. Jones. 1992. Plant Resources of Sonth East Asia. Pubdoc Scientific, Wageningen. Reksohadiprodjo, SK. 1987. Pakan Ternak Gembala. BPFE, Yogyakarta. Tillman, AD., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan Labdosekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
12