l A
Taiwan
L77atY,-a exp(fiay) a=l
I
Siti Astiyah dan rekan (2004)
Mengevaluasi peran BI Undang-Undang no. 23/99 memelihara tentang Bank Indonesia dalam kestabilan nilai rupiah yang mengkaitkan tingkat terhadap inflasi dana penempatan masyarakat di bank
Patrick Kendall (2000)
kebijakan Mengevaluasi suku bunga di Guyana periode 1965-1995
I Hipotesis McKinon-Shaw
St=ao+aiYt+a2ert+a3EXGDPt+a4FSGDPt+ asSt-1 +a6BBGDPt+ a7DEBTSERRATt+ elt
pendapatan berdampak positif berdampak • Inflasi positif riil bunga • Tkt berdampak positif • Beban ketergantungan berdampak negatif • Tidak korelasi antara perubahan umur dan tingkat tabungan. tingkat • Jika pertumbuhan ekonomi tingkat terpelihara, tabungan Taiwan tak akan terancam o1eh struktur demografinya. transmisi Terjadi perubahan suku bunga melelui perubahan harga asset. Sebagian besar responden menarrik simpanan di bank saat suku bunga turun Koefisien suku bunga riil signifikan dan berdampak positif pada peningkatan rasio tabungan terhadap GOP
29
30
Keterangan:
s St-1 GS M2 REALTD CR
YD OD UR LEX TT CAD
LY DLY Inf Pol ins Dummy Sdan Y
Tlar Yt-a
Tingkat Tabungan masyarakat Lag tabungan masyarakat 1 tahun lalu Rasio tabungan pemerintah terhadap GDP Rasio uang dan kuasi uang terhadap GNP Tingkat bunga tabungan riil Rasio Kredit sektor swasta terhadap GDP Rasio anak berusia dibawah 15 tahun terhadap jumlah populasi .Rasio orang berusia diatas 65 tahun terhadap jumlah populasi Prosentase penduduk yang tinggal di daerah urban Tingkat harapan hidup bayi Rasio XfM nominal terhadap XfM riil Rasio defisit neraca berjalan (X-M/GDP) Pendapatan perkapita riil Tingkat pertumbuhan Pendapatan perkapita riil Tingkat inflasi Ketidakstabilan Politik Tahun tahun krisis Agregat tabungan dan agregat pendapatan Jumlah orang yang berusia a pada waktu t
fJaydanf3ac
Tingkat kesejahteraan untuk orang yang lahir pada t-a Dampak usia dalam logaritma profit pendapatan dan konsumsi
St y er EXGDP FSGDP BBGDP DEBTSERRAT
Rasio Tabungan Domestik terhadap GOP Laju pertumbuhan ekonomi Tingkat bunga riil yang diharapkan Rasio ekspor terhadap GDP Rasio tabungan luar negeri terhadap GOP Rasio tabungan pemerintah terhadap GOP Rasio utang luar negeri terhadap ekspor
31
2.2. Kerangka Pemikiran Peranan penting yang dimainkan tabungan dalam pertumbuhan ekonomi telah dimana
dibuktikan oleh para ahli ekonomi sejak terjadinya revolusi industri,
tabungan dianggap bagian yang tidak terpisahkan dengan berlangsungnya revolusi industri. Mengingat pentingnya peran tabungan, maka diperlukan upaya-upaya untuk mengkaji lebih jauh tentang faktor-faktor yang menjadi determinan bagi terciptanya peningkatan
tabungan.
Dalam
cakupan
yang
sempit,
Mishkin
(2000)
mengungkapkan bahwa penempatan dana yang dianggap sebagai asset di bank, memerlukan pertimbangan-pertimbangan seperti tingkat kesejahteraan, tingkat pengembalian yang diharapkan, tingkat risiko, dan tingkat likuiditas.
Sementara
dalam cakupan yang lebih luas, hasil pertemuan para menteri keuangan APEC yang kesembilan di Meksiko yang berdasarkan paper/penelitian yang dipresentasikan disimpulkan hal-hal yang menjadi determinan tabungan domestik meliputi pertumbuhan pendapatan, tabungan pemerintah, sistim pendanaan penuh, dan beban ketergantungan. Namun demikian, dalam rangka upaya peningkatan tabungan domestik terdapat suatu hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu kestabilan ekonomi makro. Kestabilan ekonomi makro tercermin pada tingkat harga barang dan jasa yang stabil serta nilai tukar dan suku bunga yang berada pada tingkat yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dengan kondisi neraca pembayaran intemasional yang sehat. Dengan kondisi ekonomi makro yang stabil, akan tercipta
32
il(lim investasi dan usaha yang kondusif, sehingga berdampak pada peningkatan produktivitas, dan pada akhimya akan terjadi peningkatan tabungan domestik, terutama tabungan masyarakat. Salah satu variabel dari makroekonomi suatu negara adalah tingkat suku bunga, sesuatu yang menurut para ekonom klasik sangat penting dalam perekonomian.
Dalam teori tingkat bunga klasik, kunci dari persoalan antara
penabung dan investor adalah tingkat bunga, dimana tingkat bunga akan berfluktuasi untuk membuat pengusaha ingin menginvestasikan dana yang ingin ditabung rumah tangga.
Keseimbangan hasrat untuk menabung dan hasrat berinvestasi dapat
mempertahankan produksi pada tingkat tenaga kerja penuh.
Tabungan, menurut
ekonomi klasik, adalah suatu fungsi tingkat bunga: semakin tinggi tingkat bunga, semakin banyak yang ditabung, karena pada tingkat bunga yang lebih tinggi orang tidak akan mengkonsumsi lebih. Tingkat bunga adalah pendorong tabungan, suatu hadiah untuk mengkonsumsikan seluruh pendapatan. Menurut Bernstein dan Wild (1998;292) tingkat bunga adalah kompesasi untuk penggunaan uang,
inilah
kelebihan uang tunai yang dibayarkan atau dikumpulkan karena adanya uang yang dipinjam. Dalam kertas kerjanya Keynes (Ritter: 1981) membagi anal isis pendapatan dan pengeluaran ke dalam dua bagian, (a), pilihan rumah tangga antara mengeluarkan pendapatan atau menabung, (b), keputusan perusahaan berkenaan level pengeluaran investasi.
Keduanya mengikuti sistem Keynes melalui aliran: konsumsi, tabungan,
investasi, dan pendapatan selama periode waktu tertentu. Keputusan publik berkaitan
33
dengan komposisi aset finansial yang dipegangnya ditentuk:an oleh tingkat bunga Pennintaan uang (money demand), disebut juga liquidity preference, adalah fungsi dari tingkat bunga. Variabel makroekonomi lainnya, adalah nilai tuk:ar yang merupakan harga mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lainnya. Stabilitas nilai tukar suatu negara dapat berpengaruh terhadap perekonomian negara tersebut. Untuk: itu dalam menetapkan kebijakan nilai tuk:ar perlu didasarkan atas beberapa pertimbangan seperti tingkat keterbukaan perekonomian suatu negara terhadap perekonomian global, tingkat kemandirian suatu negara dalam melaksanakan kebijaksanaan ekonomi di dalam negeri, dan aktivitas perekonomian suatu negara.
Dalam
perkembangannya, nilai tukar mata uang suatu negara dapat mengalami penguatan (apresiasi) maupun pelemahan (depresiasi) terhadap mata uang lainnya. Hal ini akan mempengaruhi neraca perdagangan negara tersebut. Jika nilai tuk:ar suatu negara terdepresiasi, maka harga barang domestik akan lebih murah dibanding harga barang impor, sehingga ekspor bersih negara tersebut akan meningkat, sebaliknya, jika nilai tuk:ar terapresiasi, maka harga barang domestik akan menjadi lebih mahal, akibatnya ekspor bersih akan menurun.
Naik turunnya ekspor bersih akan berpengaruh
terhadap peningkatan pendapatan nasional, kemudian pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan tabungan. Hal lain yang mempunyai peran signifikan dalam peningkatan tabungan masyarakat suatu negara adalah pendapatan nasional.
Pertumbuhan pendapatan
nasional suatu bangsa sangat identik dengan pertumbuhan ekonomi, dimana alat
34
ukurnya adalah Produk Nasional Bruto (PNB) atau Produk Domestik Bruto (PDB). Walaupun keduanya merupakan alat ukur untuk menentukan satu hal yang sama, yaitu pertumhuhan ekonomi, namun, pendekatan yang dipakai adalah herheda. Menurut Tamhunan (2001), PDB adalah jumlah produk yang dihasilkan di dalam negeri yang juga mencakup produksi dari perusahaan-perusahaan asing (PMA) yang ada di Indonesia, tidak termasuk perusahaan-perusahaan Indonesia yang ada di luar negeri.
Sedangkan PNB adalah jumlah produk yang dihasilkan oleh perusahaan-
perusahaan nasional yang ada di dalam dan luar negeri. Terlepas dari permasalahan itu, hukti empiris menunjukkan hahwa PNB atau PDB yang tinggi mencerminkan tingkat pertumhuhan ekonomi yang tinggi, tingkat pertumhuhan yang tinggi cenderung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang pada akhimya akan meningkatkan tahungan. Sementara itu, dari sisi populasi suatu negara terdapat suatu variabel yang dapat herpengaruh terhadap tahungan masyarakat. Bila kita melihat struktur demografi suatu negara, maka kita akan mengetahui seberapa besar tingkat hehan ketergantungan negara tersehut.
Behan ketergantungan, dimana merupakan
perhandingan relatif antara jumlah penduduk usia non produktif (anak-anak dan orang-orang tua) terhadap jumlah penduduk usia produktif (15 tahun hingga 65 1filiun),
pada
dasarnya
akan
mempengaruhi
tingkat
penghasilan.
Behan
ketergantungan yang tinggi akan menyehabkan tingkat penghasilan menurun, sehaliknya semakin rendah beban ketergantungan akan semakin tinggi tingkat penghasilan.
Behan ketergantungan negara-negara sedang berkemhang, seperti
35
Indonesia, biasanya sangat tinggi. Hal itu pada dasamya lebih dikarenakan angka kelahiran di negara-negara sedang berkembang masih cukup tinggi, sementara karena semakin membaiknya tingkat kesehatan menyebabkan angka kematian semakin kecil. Dampak dari hal tersebut akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tabungan nasional. Dari uraian kerangka pemikiran tersebut diatas, maka dibuat alur kerangka pemikiran sebagai berikut:
Stabilitas Makro Ekonomi
POPULASI
I
Ekspor - Impor
,,
~,
Tingkat bunga
Nilai Tukar
I
~
~,
Pendapatan Nasional (PDB Riil)
Beban ketergantu ngan
, .. I ~,
TABUNGAN MASYARAKAT Gambar 2-2 Kerangka Pemikiran
.... ~
36
Dari bagan diatas dapat dibuat spesifikasi model, sebagai berikut: Sd = f(Y, NT, r, DR) ..............................................................(2-14) Dimana: Sd = Y = NT = r = DR =
tabungan masyarakat PDB riil nilai tukar tingkat bunga beban ketergantungan
2.3. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran dan spesifikasi model di atas, diharapkan terdapat dua hipotesa, 1.
bahwa ada kecendrungan pendapatan nasional (PDB riil), nilai tukar, tingkat bunga, dan beban ketergantungan secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan tabungan masyarakat.
2.
bahwa secara parsial terdapat kecendrungan pendapatan nasional, nilai tukar dan tingkat bunga mempunyai
pengaruh positif terhadap tabungan
masyarakat, sedangkan beban ketergantungan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tabungan masyarakat.
BABIII OBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian 3.1.1 Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah mengenai pertumbuhan tabungan masyarakat Indonesia yang diobservasi selama periode tahun 1983 hingga tahun 2002. Disamping itu, diteliti pula data-data pendapatan nasional, tingkat inflasi, dan tingkat suku bunga nominal, dan beban ketergantungan yang dijadikan sebagai regresor. 3.1.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif sekunder yang bersumber dari Biro Pusat Statistik Bandung, Bank Indonesia, Nota Keungan, dan IMF.
Disamping itu, data kualitatif berdasarkan referensi
studi kepustakaan diperoleh melalui jumal, makalah, artikel dan bahan-bahan dari Perpustakaan
MET
,
Perpustakaan
Bank
Indonesia
Cabang
Bandung,
Perpustakaan CISRAL UNPAD, serta dengan mengakses internet.
3.2 Metoda Penelitian 3.2.1
Metoda Penelitian Metoda penelitian yang digunakan adalah metode analisis kualitatif dan
analisis
kuantitatif.
Analisis kualitatif berupa penjelasan data dengan
37
38
menggunakan tabel dan graftk, sedangkan analisis kuantitatif berupa penarikan kesirnpulan berdasarkan pada perhitungan statistik dan matematis.
3.2.2
Operasionalisasi Variabel Berdasarkan judul penelitian, maka variabel dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: Variabel Bebas atau Independen (X) Variabel bebas pada penelitian ini terdiri dari Tingkat Pendapatan nasional, tingkat intlasi, tingkat suku bunga riil, dan beban ketergantungan .
Pendapatan nasional, yaitu ukuran pertumbuhan ekonomi yang mengukur prosentase penambahan dalam produk domestik bruto (Tambunan: 200 1), indikator yang digunakan adalah pertumbuhan PDB riil.
Nilai Tukar, yaitu harga mata uang suatu negara yang dikaitkan dengan mata uang negara lain atau mata uang intemasional. (Schiller: 1991 ), indikator yang digunakan adalah nilai tukar nominal.
Tingkat hunga, yaitu kompesasi untuk penggunaan uang, inilah kelebihan uang tunai yang dibayarkan atau dikumpulkan karena adanya uang yang dipinjam (Bernstein dan Wild : 1998)
Behan ketergantungan, yaitu perbandingan antara jumlah seluruh penduduk usia non produktifdanjumlah penduduk usia produktif(Todaro: 1994). Variabel terikat atau variabel dependen CY) Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pertumbuhan tabungan masyarakat pada bank umum.
39
Tabel 3.1. Operasional Variabel Penelitian Variabel Tabungan Masyarakat Pertumbuhan Pendapatan Nasional Nilai Tukar
Tingkat bunga
Beban ketergantungan
3.2.3
Konsep Variabel Jumlah rata-rata simpanan masyarakat pada bank umum Pertumbuhan PDB riil
Harga rata-rata mata uang rupiah terhadap mata uang USD per tahun. Tingkat bunga nominal 12 bulan usia Penduduk non produktif berbanding relatif dengan penduduk usia produktif
Skala Rasio (milyar per tahun) Rasio (prosen per tahun)
Sumber BI Dep Keu RI (data sekundel')_ Dep Keu RI (data sekunder)
Rasio (Rp per USD)
BPS (data sekunder)
Rasio (prosen per tahun)
BI (data sekunder)
Rasio (poin per tahun)
BPS (data sekunder)
Metoda Analisis Untuk lebih aplikatif dalam model penelitian, maka variabel bebas, X,
kami notasikan dengan singkatan atau simbol yang
menggambarkan tiap-tiap
variabel bebas. Mengacu pada model penelitian Kivicilim, namun dengan variabel bebas yang lebih sederhana, maka model regresi yang dapat digambarkan dari kedua variabel tersebut adalah sebagai berikut: lnSdt =at+ Pl Yt + P21nNTt+ fORt+ P4DRt+ ut Dimana:
(3-1)
40
lnSd
Pertumbuhan Tabungan masyarakat per tahun
a
Konstanta
y
Pertumbuhan PDB riil per tahun
In NT
=
Pertumbuhan nilai tukar nominal per tahun Tingkat bunga per tahun
R DR
=
Tingkat beban ketergantungan per tahun
u
Kesalahan prediksi atau penyebab oleh faktor lain
t
Periode waktu (tahun)
Analisis regresi pada dasamya ingin mempelajari bagaimana eratnya hubungan antara satu atau beberapa variabel bebas dengan variabel terikat. Dalam analisis ini terdapat empat usaha pokok yang akan dilaksanakan, yaitu: •
Mengadakan estimasi terhadap parameter berdasarkan data empiris
•
Menguji berapa besar variasi variabel dependen dapat diterangkan
oleh
variasi variabel independen •
Menguji apakah estimasi parameter tersebut signifikan atau tidak
•
Melihat apakah tanda dari estimasi parameter cocok dengan teori.
Dalam analisis regresi kita akan menggunakan metoda Least Squares atau secara umum disebut Ordinary Least Squares (OLS) yang merupakan dalil untuk menghitung koefisien regresi. Gujarati (2003:65-75) mengungkapkan bahwa dalam OLS asumsi yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: 1. Model regresi yang digunakan adalah linear 2. Data yang digunakan adalah tepat; meskipun sampling diulang nilai regresor, X, adalah tetap.
41
3. Rata-rata variabel pengganggu,
Uj,
adalah not.
4. .Homoscedastis: varians dari variabel pengganggu, Uj, adalah konstan. 5. Tidak terdapat oto-korelasi dalam variabel pengganggu. 6. Covarians antara variabel pengganggu dan variabel eksplanatori, X, adalah not. 7. Jumlah data, n, harus lebih besar daripadajumlah variabel. 8. Data harus bervariasi besarannya; secara teknis varians data tidak sama dengan not. 9. Spesiflkasi model regresi sudah tepat. 10. Tidak terdapat multikolinear sempurna diantara variabel eksplanatori.
3.2.4 Uji Validitas Model Dalam penelitian ini data observasi diambil berdasarkan runtun waktu (time series).
Adapun pengujian-pengujian variabel yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: a)
Uji R2
(
multiple coefficient of determination ) yaitu untuk melihat
kemampuan variabel-variabel bebas menerangkan variabel terikat untuk mengukur kebenaran korelasi antara variabel dan model yang digunakan. R2 berkisar antara 0 sampai dengan I, dimana model dengan R2 yang mendekati 1 dikatakan baik karena model mampu menjelaskan variasi dalam variabel terikat.
42
b)
Uji t: ·Untuk menguji secara parsial tingkat signiflkansi variabel bebas kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengujian dua arah (two tailed signij1canceleve~.
Hipotesis dalam uji t statistik adalah sebagai berikut: Ho : a=O, koeflsien masing-masing variabel bebas bemilai nol Ht : a;f::O, koeflsien masing-masing variabel bebas tidak bemilai nol. Pengujiannya adalah sebagai berikut: jika t stat> t tabel atau t tabel < t stat berarti signiflkan, maka Ho diterima jika t
stat
berada diantara kedua nilai tersebut berarti pengaruhnya tidak
signiflkan, maka Ho ditolak. c)
UjiF: Untuk menguji secara bersamaan bahwa seluruh koeflsien regresi adalah signiflkan dalam mempengaruhi variabel terikat. Uji F juga sekaligus menguji signiflkansi nilai koeflsien determinannya (R2 ) dimana uji F yang signiflkan akan menyebabkan nilai R2 yang diperoleh secara statistik tidak sama dengan nol. Hasil Pengujiannya adalah:
Ho diterimajika F-Statistik
Uji multikolinearitas Pindyck (1998) menjelaskan bahwa salah satu asumsi dalam model regresi kompleks adalah tidak adanya hubungan linear diantara masing-masing
43
variabel bebas dalam model.
Katika dua atau lebih variabel bebas
memiliki tingkat korelasi yang tinggi (tetapi tidak sempuma), masalah multikolinear akan muncul. Jika hal itu terjadi, maka interpretasi terhadap koefisien-koefisien
akan
menjadi
Adanya
sulit.
multikolinear
mengimplikasikan bahwa akan terdapat sedikit data dalam sampel yang memberikan satu keyakinan tentang interpretasi tersebut. Uji multikolinearitas dilakukan jika dalam pengolahan data ditemukan: ( 1) R2 besar ( mendekati 1 ) akan tetapi tidak ada koefisien atau sangat sedikit koefisien yang signifikan ( secara statistik tidak penting ) yang dilihat melalui tes individual t test, (2) hubungan antara variabel bebas yang tinggi. Multikolinearitas dapat diketahui dengan pengujian VIF pada program SPSS dimana batas toleransinya adalah 10. Jika suatu variabel bebas nilai VIF nya diatas 10, maka terdapat multikolinearitas. e)
Uji Otokorelasi Otokorelasi
dapat
didefmisikan
sebagai
korelasi
antara
anggota
serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (dalam deret waktu) atau ruang (dalam data cross section). Adanya otokorelasi diuji dengan Durbin Watson. Adapun hipotesis yang akan diuji dalam tes ini adalah sebagai berikut: Ho : tidak terdapat otokorelasi H 1 : terdapat otokorelasi
44
Jika otokorelasi tidak dapat disimpulkan, maka perlu dilakukan pengujian berikutnya yaitu dengan menggunakan Breusch-Godfrey LM Test. f) Uj i Heteroskedastisitas
Uji heteroscedastis merupakan metode yang digunakan untuk menguji jika varians error term yang konstan untuk seluruh observasi tidak dapat dipertahankan
Salah
satu
metoda
untuk
mengujinya
menggunakan uji White's General Heteroscedasticity. pengujian ini adalah: Ho : tidak terdapat heteroskedastisitas H 1 : terdapat heteroskedastisitas
dengan
Hipotesis dalam
BABIV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian 4.1.1
Kondisi Umum Variabel-Variabel Yang Diteliti
4.1.1.1 Produk Domestik Bruto Indonesia Produk domestik bruto (PDB) merupakan data statistik yang merangkum perolehan nilai tambah dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu negara sehingga merupakan
indikator penting
untuk
perekonomian negara secara makro.
mengamati
perubahan
tingkah
laku
Dari data tersebut dapat diketahui secara
rinci laju pertumbuhan ekonomi suatu negara dan juga trend pertumbuhannya dari tahun
ke tahun.
Laju
pertumbuhan
ekonomi
menggambarkan
kinerja
perekonomian suatu negara, sedangkan trend pertumbuhan ekonomi menunjukkan stabilitas perekonomian suatu dalam kurun waktu tertentu. Apabila dalam kurun waktu tertentu, trend pertumbuhan ekonomi terlalu fluktuatif dapat dikatakan perekonomian negara tersebut belum stabil, dan sebaliknya apabila tidak atau kurang fluktuatif, berarti stabilitas perekonomian negara tersebut telah terjaga. Tabel 4.1 menggambarkan kondisi PDB Indonesia sejak tahun 1983 hingga 2002. Dalam tabel tersebut ditunjukkan perbandingan PDB berdasarkan harga berlaku dan PDB
berdasarkan harga konstan tahun 2000, serta
pertumbuhannya dari tahun ke tahun, baik secara riil maupun secara prosentase. Dari data tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sangatlah mengagumkan sebelum terjadinya krisis ekonomi pada tahun
45
46
1997, dimana rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode 1983- 1997 mencapai 6.3 %. .Laju pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan tersebut dicapai setelah Indonesia memasuki era industrialisasi (sektor sekunder) dan liberalisasi perbankan (sektor tertier). Namun setelah itu, laju pertumbuhan ekonomi mengalami kemerosotan yang cukup signifikan, dimana rata-rata pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu lima tahun pasca krisis ( 1998 - 2002) yang hanya sebesar 0.14 %. Hal ini terutama disebabkan karena kebijakan liberalisasi Tabel 4.1. Produk Domestik: Bruto atas dasar harga berlaku dan harga konstan tahun 2000 dan pertwnbuhannya ( 1983 - 2002) (dalarn milyar rupiah Pertumbuhan PDB Tahun % Riil (2000} Nominal 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
93122.7 107833.6 116329.5 123186.5 149740.7 170480.7 200568.6 234654.6 273439.5 311778.9 362325.5 419945.8 499375.8 585133.9 689650.6 1050089 1208278 1389770 1684281 1897800
639780.6 684408.7 701259.8 742461.6 779032.2 824064.1 885519.4 949641.1 1018062.6 1081248 1151490.2 1238312.3 1340101.6 1444873.3 1512780.9 1314202 1324599 1389770.2 1442984.6 1504380.6
44628.1 16851.1 41201.8 36570.6 45031.9 61455.3 64121.7 68421.5 63185.4 70242.2 86822.1 101789.3 104771.7 67907.6 -198579 10397 65171.2 53214.4 61396
7 2.5 5.9 4.9 5.8 7.5 7.2 7.2 6.2 6.5 7.5 8.2 7.8 4.7 -13.1 0.8 4.9 3.8 4.3
Sumber. Makroekonomi Indonesia LPE-1811
perbankan yang dilaksanakan pemerintah Indonesia tersebut, yang berdampak pada menjamumya lembaga keuangan bank dan bukan bank dengan variasi
47
kegiatan usaha yang beragam, tidak diiringi adanya pengawasan yang memadai dari Bank Indonesia selaku bank sentral. Berdasarkan data tabel diatas terbukti bahwa trend perekonomian Indonesia mempunyai fluktuasi yang cukup tinggi, dimana laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sebesar 8.2% dan terendah -13.1%.
Hal ini dapat diartikan
bahwa perekonomian Indonesia selama ini masih belum stabil dan sangat rentan terhadap berbagai kondisi, baik kondisi internal maupun kondisi ekstemal. •
Gamba'r 4.1. Pertumbuhan PDB Riil 1983-2002 10 ·,
5 0 ~ 0
..s ~10
-15
Tahun jc:::JPDB Rill-Poly. (PDB Riil)
I
Gambar 4.1 di atas menunjukkan bahwa selama periode 1983 - 2002 terlihat bahwa pendapatan nasional yang diproxy-kan dengan PDB riil mempunyai fluktuasi yang sangat tajam. Pada gambar tersebut terlihat adanya kecenderungan pertumbuhan PDB riil yang meningkat pada dekade 1980-an hingga pertengahan dekade 1990-an, namun sebagai dampak terjadinya krisis moneter sejak pertengahan tahun 1997, trend pertumbuhan PDB riil mengalami penurunan.
48
Sementara jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara, pertumbuhan PDB riil Indonesia mengalami keterpurukan yang paling parah pasca krisis moneter, terutama pada tahun 1998 dan 1999.
Selanjutnya
pertumbuhan PDB riil Indonesia mulai bangkit pada tahun 2000. Hal itu terlihat dari tabel 4.2 berikut ini. Tabel 4.2. Pertumbuhan PDB Riil beberapa negara ASEAN ( 1990- 2000) Tahun
1990-96 1997 1998 1999 2000
Pertumbuhan PDB Riil SiQR~Qura PiljQina
Indonesia
Malaysia
7.9 4.5 -13.2 0.8 4.8
9.6 7.5 -7.5 5.8 8.5
8.9 8.4 0.4 5.4 9.9
2.8 5.2 -0.5 3.3 3.9
Thailand
Vietnam
8.1 -1.8 -10.2 4.2 4.3
8.4 8.2 3.5 4.2 5.5
Sumber: IMF, World Economic Outlook, 2001
Dari tabel diatas terlihat bahwa sebagai dampak dari adanya krisis moneter, pada tahun
1998 sebagian besar negara ASEAN mempunyai
pertumbuhan PDB riil yang negatif. Hal itu mengindikasikan bahwa walaupun pada awal tahun 1990-an hingga 1996 rata-rata pertumbuhan ekonomi negaranegara ASEAN ini sangat tinggi, ternyata stabilitas perekonomian negara-negara dikawasan ini belum cukup kuat. Diantara negara-negara ASEAN yang terkena krisis moneter, hanya Indonesialah yang mengalami dampak paling buruk, hal ini terlihat bahwa pada tahun 1998 dan 1999 pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah yang terendah.
Kondisi ini terutama disebabkan karena, tidak seperti negara-
negara lainnya dimana krisis moneter tidak berkembang lebih jauh, di Indonesia krisis moneter tidak hanya berkembang menjadi krisis ekonomi, tetapi telah menjadi krisis multidimensi, sehingga meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
49
4.1.1.2 Nilai Tukar dan Perkembangannya . Pemilihan rezim nilai tukar pada umumnya didasarkan atas beberapa pertimbangan, seperti tingkat keterbukaan perekonomian suatu negara terhadap perekenomomian global, tingkat kemandirian suatu negara dalam melaksanakan kebijksanaan ekonomi di dalam negeri, dan aktivitas perekonomian suatu negara. Pertimbangan pertama adalah preferensi suatu negara terhadap keterbukaan ekonominya, apakah suatau negara lebih cenderung menerapkan kebijakan ekonomi yang terbuka atau tertutup.
Dalam hal suatu negara lebih cenderung
menganut ekomomi yang lebih tertutup dan ingin mengisolasikan gejolak keuangan dari negara lain (contagion effect) makafLXed exchange rate merupakan prioritas utama. Sementara bila suatu negara lebih condong terbuka maka pilihan nilai tukar yang lebih tleksibel merupakan pilihan utama karena dengan sistem ini capital inflow dapat disterilisasi melalui sistem tersebut.
Dari aspek kemandirian dalam melaksanakan kebijakan ekonomi, misalnya dalam hal melaksanakan kebijakan moneter yang lebih independen, maka sistem nilai tukar tleksibel merupakan pilihan utama. Sementara bila dilihat dari aspek aktivitas ekonomi maka semakin besar skala ekonomi suatu negara berarti semakain besar volume transaksi ekonomi sehingga permintaan akan uang juga semakin meningkat.
Dalam hal ini, sistem yang tepat digunakan adalah
sistem nilai tukar fleksibel karena jika negara tersebut memiliki sistem nilai tukar tetap maka dibutuhkan cadangan devisa yang sangat besar untuk menjaga kredibilitas sistem nilai tukar tersebut.
50
Sementara itu, menurut Garber dan Svenson dalam Gultom (1999), dasar pertimbangan pemilihan nilai tukar dalam konteks terjadinya underlying shock pada pasar uang dan pasar barang (LM dan IS) terdiri dari tiga jenis kondisi. Dalam hal gejolak yang terjadi di pasar uang (LM) relatif lebih besar dari gejolak yang terjadi di pasar barang (IS), maka pilihan yang lebih baik adalah floating
exchange rate, namun hila terjadi sebaliknya, dimana IS lebih besar daripada LM, maka pilihan yang baik adalah fixed exchange rate. Dalam hal keduanya tidak ada yang dominan maka kebijakan yang terbaik adalah managedfloating. Sesuai dengan Undang-undang No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral, salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah. Secara garis besar, sejak tahun 1970 Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar, yaitu: I. Sistem Nilai Tukar Tetap (1970-1978) •
Sesuai dengan Undang-undang No. 32 tahun 1964, Indonesia menganut sistem nilai tukar tetap dengan kurs resmi Rp. 250,- per 1 USD (sebelumnya Rp. 45,- per 1 USD), sementara kurs mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap USD di bursa valuta asing Jakarta dan di pasar intemasional
•
Dalam periode ini, Indonesia menganut sistem kontrol devisa yang relatif ketat.
Para eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya kepada bank
devisa untuk selanjutnya dijual kepada pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia. Namun demikian, dalam rezim ini tidak ada pembatasan dalam hal kepemilikan, penjualan maupun pembelian valuta asing.
Sebagai
51
konsekuensi kewajiban penjualan devisa tersebut maka Bank Indonesia harus dapat memenuhi seluruh kebutuhan valuta asing bank komersial untuk memenuhi permintaan para importir maupun masyarakat yang membutuhkan valuta asing. Pada masa tersebut, pemerintah mem-peg-kan rupiah terhadap US dollar, dimana penentuan nilai tukar mutlak dilakukan oleh pemerintah atas dasar kurs nilai tukar riil. Dengan sistem nilai tukar tetap ini, Bank Indonesia memiliki wewenang penuh dalam mengawasi transaksi devisa.
Sementara untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada
tingkat yang telah ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing. •
Sistem nilai tukar tetap dengan sistem kontrol devisa pada awal tahun 1970-an
masih
dimungkinkan
karena
lembaga
keuangan
belum
berkembang, volume transaksi devisa masih relatif kecil dan belum ada pasar valuta asing serta mata uang rupiah belum menjadi tradable good dan kegiatan valas belum ada.
Disamping itu, pemerintah masih
melakukan pembatasan-pembatasan dalam hal melakukan pinjaman luar negeri, penanaman modal asing, dan portfolio investment, sehingga intervensi langsung yang dilakukan oleh pemerintah dapat bekerja efektif. •
Disadari bahwa nilai tukar yang overvalued dapat mengurangi daya saing produk-produk ekspor di pasar intemasional.
Oleh karena itu, pada
periode ini pemerintah melakukan devaluasi sebanyak tiga kali, masingmasing pada 17 April 1970 dengan kurs sebesar Rp. 3 78,- per 1 USD,
52
tanggal 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp. 415,- per I USD, dan pada tanggal 15 November 1978 dengan kurs sebesar Rp. 625 per 1 USD.
2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali (1978-Juli 1997) •
Pada sistem ini nilai tukar rupiah diambangkan terhadap sekeranjang mata uang (basket of currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Kebijakan
ini
diimplementasikan
bersamaan
dengan
dilakukannya
devaluasi rupiah pada tahun 1978 sebesar 33,6%. Dengan sistem tersebut, pemerintah menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, pemerintah melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah dari spread. •
Perkembangan nilai tukar rupiah selama periode ini terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu managed floating I, managed floating II, dan crawling band.
Periode 1978-1986 dapat dianggap sebagai periode managed
floating I dimana unsur manajemen lebih besar dari floating.
Kondisi
tersebut terlihat dari pergerakan nilai tukar nominal yang re1atif tetap dan perubahan relatif baru terjadi pada tahun-tahun tertentu, yaitu pada saat Bank Indonesia me1akukan devaluasi rupiah.
Cukup kuatnya unsur
manajemen pada periode tersebut tidak terlepas dari kondisi perekonomian yang relatif belum berkembang seperti saat ini, sehingga Bank Indonesia tidak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan nilai tukar sesuai dengan target yang diinginkan dalam rangka mengendalikan inflasi dan daya saing produk-produk ekspor.
53
•
Perkembangan selanjutnya dengan semakin terbukanya perekonomian nasional terhadap perekonomian dunia yang ditandai dengan semakin besarnya
capital
inflow
ke
Indonesia,
serta
semakin
pesatnya
perkembangan sektor keuangan dan dunia usaha maka kebijakan nilai tukar managed floating,
lebih ditekankan pada unsur floatingnya
sementara unsur pengendaliannya (managed) semakin mengecil (periode
managed floating 1111987-1992).
Dalam periode ini, kekuatan pasar
semakin besar sehingga unsur floating semakin dirasakan perlu mengingat manajemen yang terlalu dominan dapat berakibat misalignment pada nilai tukar niil. •
Fleksibilitas nilai tukar rupiah semakin ditingkatkan melalui penerapan kebijakan nilai tukar crawling band sejak tahun 1992 hingga Agustus 1997.
Peningkatan fleksibilitas nilai tukar tersebut telah mendorong
perkembangan pasar valuta asing dalam negeri, yang tercermin dari semakin berkurangnya ketergantungan bank-bank kepada Bank Indonesia dalam melakukan transaksi devisa.
Kegiatan transaksi valas yang
sebelumnya dilakukan bank dengan Bank Indonesia hampir seluruhnya telah bergeser ke pasar valas antarbank. Disamping itu, jumlah pelaku transaksi juga semakin meningkat dan produk pasar valuta asing semakin bervariasi.
Hal ini terlihat dari transaksi swap Bank Indonesia yang
menurun tajam dari sebesar USD 13 miliar pada tahun 1991 menjadi sebesar USD I miliar tahun 1994. Sebaliknya transaksi swap antarbank meningkat dari USD 29 miliar pada tahun 1991 menjadi sebesar USD 596
54
miliar pada talmo 1997. Pada sisi lain, peningkatan fleksibilitas melalui pelebaran rentang intervensi juga telah memberikan keleluasaan kepada Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter sehingga dapat mempermudah perencanaan pelaksanaan operasi pasar terbuka.
3. Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas (sejak 14 Agustus 1997) •
Awal Agustus 1997 rupiah telah menembus Rp. 2.650,- per l USD, sehingga untuk mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang pada tanggal 14 Agustus 1997 pemerintah memutuskan menghapuskan rentang intervensi dan menganut sistem nilai tukar mengambang bebas.
•
Penghapusan rentang intervensi ini dimaksudkan juga untuk mengurangi dampak negatif dari kegiatan spekulatif terhadap rupiah dan memantapkan pelaksanaan kebijakan moneter dalam negeri.
Sementara kegiatan
intervensi tetap dilakukan untuk menghilangkan distorsi-distorsi di pasar valuta asing mengingat pasar ini belum sempuma. •
Dalam periode ini nilai tukar rupiah mempunyai fluktuasi yang sangat tinggi, dimana fluktuasi tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh faktorfaktor ekonomi, tetapi juga oleh faktor nonekonomi.
Faktor-faktor
ekonomi yang mempengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah antara lain: (a) besamya ketergantungan sektor swasta nasional terhadap sektor utang luar negeri, (b) pertumbuhan ekspor yang melam bat sebagai akibat rendahnya efisiensi sektor dunia usaha, dan (c) rapuhnya sektor keuangan sebagai akibat pengelolaan usaha yang lemah dan kurang transparan serta pemberian kredit yang terkait dengan bank.
55
Tabel 4.3. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD berdasarkan Harga Berlaku periode 1983 - 2002 Tahun 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
fl.(%) Nilai Tukar Rp 998 1074 -7.61 1125 -4.75 1641 -45.87 1650 -0.55 1731 -4.91 -3.81 1797 1901 -5.79 -4.79 1992 2062 -3.51 2110 -2.33 -4.26 2200 -4.91 2308 -3.25 2383 4650 -95.13 8025 -72.58 7085 11.7 -35.43 9595 10400 -8.39 14 8940 Keterangan: fl. = Pertumbuhan Sumber: BPS
Tabel 4.3 di atas menunjukkan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap USD dari tahun ke tahun selama periode observasi. Dari data tersebut terlihat jelas bahwa selama kurun waktu tahun 1983 hingga 1996 nilai tukar rupiah relatif stabil, dimana meskipun selalu mengalami depresiasi, nilai tukar rupiah tidak terlalu berfluktuatif.
Hal ini terjadi karena pada selama kurun waktu ini
pemerintah mempunyai campur tangan yang cukup besar dalam mempertahankan kestabilan nilai tukar rupiah. Sementara sejak tahun 1997 rupiah mengalami fluktuasi yang sangat tajam. Fluktuasi nilai tukar rupiah yang tertinggi terjadi pada tahun 1997 dan 1998 dimana pada kedua tahun itu rupiah terdepresiasi sebesar 95.13% dan 72.58%.
Pada masa pasca krisis rupiah juga sempat
mengalami apresiasi terhadap USD yaitu tahun 1999 sebesar 11.7% dan tahun
56
2002 sebesar 14%.
Kondisi ini terjadi setelah Bank Indonesia menetapkan
kebijakan moneter yang me_nghapuskan rentang intervensinya terhadap nilai tukar rupiah sehubungan diberlakukannya sistem nilai tukar rupiah yang mengambang bebas (free floating exchange rate system).
Nilai tukar rupiah sepenuhnya
diserahkan kepada mekanisme pasar yaitu tergantung dari penawaran dan permintaan pada pasar valuta asing. Gambar 4.2. Perkembangan Nilai Tukar Rp terhadap USD Berdasarkan Harga Berlaku (1983-2002) 12000 10000 .c: 8000 CG 6000
·c. :::::s IX
4000
2000 0
Tahun 1-+-Rp/USO -Poly. (Rp/USD)
I
4.1.1.3. Suku Bunga Suku bunga perbankan di Indonesia pada dasamya mengikuti suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). SBI merupakan salah satu instrumen pendukung
open market operation yang berupa surat berharga atas tunjuk dalam rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan hutang jangka waktu pendek dengan sistem diskonto. Bila suku bunga SBI meningkat, maka suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) akan turut meningkat, begitu sebaliknya, hila suku
57
bunga SBI turun, maka suku bunga PUAB pun akan turun.
SBI diharapkan
mampu merangsang dunia perbankan untuk berperan lebih nyata dengan dasar kemampuan untuk menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya lagi dalam investasi (Sinungan: 1997).
SBI memegang peranan sangat penting sejak
digulirkannya deregulasi dibidang moneter dan keuangan tanggal 1 Juni 1983, dimana inti dari deregulasi tersebut adalah bank-bank diberi kebebasan lebih dalam menetapkan kebijaksanaan dibidang kredit dan suku bunga.
Melalui
penggunaan SBI Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat secara tidak langsung mempengaruhi tingkat suku bunga di pasar uang dengan jalan Stop Out Rate, yaitu tingkat suku bunga yang diterima oleh Bank Indonesia atas penawaran tingkat bunga dari peserta pada lelang harian atau mingguan. Tabel
4.4 dibawah ini menunjukkan kondisi tingkat suku bunga SBI
jangka waktu 3 bulanan dan simpanan berjangka di Indonesia selama periode observasi yang terdiri dari suku bunga simpanan berjangka 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan. Dari tabel 4.4 ini juga terlihat bahwa tingkat suku bunga rata-rata SBI lebih rendah jika dibanding dengan tingkat suku bunga rata-rata simpanan berjangka pada masa sebelum krisis, namun setelah krisis tingkat bunga SBI meningkat sangat signifikan sehingga berada di atas tingkat suku bunga simpanan berjangka 6 bulanan dan 12 bulanan. Selanjutnya, pada masa sebelum krisis tingkat suku bunga rata-rata tertinggi adalah tingkat suku bunga untuk simpanan berjangka 12 bulanan, sedangkan pada masa setelah krisis moneter tingkat suku bunga rata-rata tertinggi adalah tingkat suku bunga untuk simpanan berjangka 1 bulanan. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi perekonomian
58
Tabel 4.4. Suku Bunga SBI (3 bin) dan Simpanan Be~angka Periode 1983-2002 ( persen/pertahun) SBI (3 bin) 1 bulan
Tahun
Simpanan
berjangka
3 bulan
6 bulan
12 bulan
17.5 16.5 15.8 15.5 7.5 18.7 18.3 17.5 16.5 16.8 17.8 16.9 15.2 13.9 16 15.7 15.4 14.6 14 15 17.5 18.4 17.5 16.5 16.2 18.5 19 17.8 18.4 18.5 18.6 17.7 17.1 16 15.2 18.5 17.3 17.6 18.2 16.9 22.8 23.4 23.4 22.7 20 21 .1 20.2 19.5 18.3 16.4 16.3 15.1 14.5 13.4 11 .5 13 12.4 12.6 12.4 11 15 15.8 16.8 16.7 14.3 16.7 16.9 17.3 14.1 16.9 16.3 16.2 20.3 23 12.3 .8 21 24.7 40 51 .7 50 27.6 21 .5 25.3 24 12.6 16.2 12.7 12.5 11 .2 14.3 14.2 14.9 15.5 14.5 17.6 15.5 14.4 15.2 14.9 13.1 17.6 17.3 17.17 16.81 14.8 X1 19.06 17.64 21.7 23.26 21 .52 X2 18.33 17.47 19.43 20.03 18.16 X3 Sumber: Bank Indonesia Keterangan: Suku bunga rata-rata sebelum krisis X1 Suku bunga rata-rata sesudah krisis X2 Suku bunga rata-rata periode observasi X3 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
= = =
sebelum krisis sangat stabil sehingga perbankan Indonesia lebih menekankan pada jenis simpanan untuk jangka waktu yang relatif lama. Kondisi ini didukung pula oleh fungsi perbankan lainnya, yaitu sebagai penyaluran kredit, dimana dengan ketersediaan
dana tabungan yang cukup dalam jangka waktu relatif lama,
perbankan akan dapat menyalurkan
~it
lebih banyak lagi.
Sementara pada
masa sesudah krisis, perbankan lebih menekankan pada jenis simpanan untuk
59
jangka waktu yang relatif pendek. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi perekonomian Indonesia yang kurang kondusif dan tidak stabil, sehingga perbankan tidak berani untuk berspekulasi pada jenis simpanan yang lebih lama. Dalam penelitian ini suku bunga yang digunakan adalah suku bunga simpanan berjangka 12 bulanan. Jika dikaitkan dengan tingkat inflasi, tingkat bunga haruslah bersifat fleksibel, artinya bahwa tingkat bunga harus bisa disesuaikan dengan perubahan harga sehingga tingkat bunga riil tidak terlalu rendah waktu harga melonjak dan tidak terlalu tinggi waktu harga turun. Tabel. 4.5. Tingkat suku bunga perbankan 12 bulanan periode 1983-2002 Tahun
r-nominal
r-riil
1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
17.3 18.7 17.8 15.7 17.5 18.5 18.6 18.5 22.8 21.1 16.3 13 15 16.7 16.3 21.8 27.6 16.2 14.2 15.5 17.587 19.06 18.3
5.4 8.3 13.2 9.8 8.4 10.3 12.3 10.6 13.5 13.5 6.7 4.4 5.6 8.7 5.2 -55.8 7.6 6.8 1.6 5.5 9.06 -6.86 1.1
r rata-rata pra krisis r rata-rata pasca krisis r rata-rata Sumber: Bank Indonesia
60
Pada tabel 4.5 diatas ditunjukkan perubahan suku bunga dari tahun ke tahun, baik suku bunga nominal maupun suku bunga riil. tersebut
Dalam tabel
diketahui bahwa selama kurun waktu tersebut rata-rata suku bunga
nominal adalah sebesar 18.3%, sedangkan rata-rata suku bunga riil sebesar 1.1 %. Hal ini seiring dengan rata-rata laju inflasi selama kurun waktu yang sama, yaitu sebesar 17.2%. Selain itu, suku bunga nominal tertinggi terjadi pada tahun 1999, yaitu sebesar 27.6.%. Tingginya suku bunga tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pelarian dana masyarakat keluar negeri dan untuk menjaga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan Indonesia yang saat itu sudah menurun. Gambar 4.3. Trend Tingkat Bunga Nominal (12 bulanan) 1983- 2002 30 25 +-------------------------------~~----c
20t;~~;r~~~~~~~;i~j;=:j ~
15 +-----~-------------=~~~~----~~~ 10 +-------------------------------------~ 5 +---------------~----~=-------------~ o~~~--~~~--~~~~~~~~~~~~
Tahun ·-+-Tingkat Bunga Nominal-Poly. {Tingkat Bunga NominaQ
I
Sumber : Bank Indonesia
Berdasarkan gambar 4.3 di atas diketahui bahwa tingkat bunga nominal untuk simpanan berjangka 12 bulanan di Indonesia selama periode observasi sangat tinggi, yaitu rata-rata diatas 10%. dengan trend tingkat bunga nominal cukup stabil.
61
Gambar 4.4. Trend Tingkat Bunga Riil (12 bulanan) 1983-2002 20 10 0 -10 0~
-20 -30
l
-40
II
-50
I I
-60
I
Tahun
1-+- Tingkat Bung a Riil -Poly. (Tingkat Bunga Riil) I Sumber : Bank Indonesia Berdasarkan gambar 4.4 di atas terlihat bahwa terdapat kecenderungan trend tingkat bunga riil untuk simpanan berjangka 12 bulanan di Indonesia semakin menurun dari tahun ke tahun. Hal ini terjadi karena tingkat bunga nominal di Indonesia tidak dapat mengimbangi kondisi perubahan harga barang dan jasa yang terjadi selama ini.
Dampaknya adalah -- berdasarkan hasil regresi sederhana
antara tingkat bunga riil dan pertumbuhan tabungan masyarakat di Indonesia (lihat lampiran) -terdapat pengaruh yang negatif antara tingkat bunga riil dan pertumbuhan tabungan masyarakat Indonesia.
4.1.1.4. Penduduk dan Behan Ketergantungan Penduduk
dan
struktur demografi
suatu negara
dapat menjadi
pendorong utama perekonomian disatu pihak, namun dilain pihak juga dapat menjadi penghambat perekonomian.
Untuk itu, agar keberadaannya tidak
62
menimbulkan' masalah di kemudian hari diperlukan penanganan yang serius dengan berdasar pada perencanaan yang matang. Tabel 4.6. Pertumbuhan Penduduk Indonesia dan Behan Ketergantungan
Tahun
Jml Penduduk Pertumbuhan _(ribuan orQ) (%)
158,082.0 1983 161,579.5 1984 165,154.2 1985 168,347.6 1986 172,009.6 1987 175,588.9 1988 179,136.1 1989 179,247.6 1990 182,940.4 1991 186,042.7 1992 189,135.6 1993 192,216.5 1994 195,294.2 1995 198,320.0 1996 201,353.1 1997 204,392.5 1998 207,437.1 1999 201,242.0 2000 2001 208,436.8 211,063.0 2002 Total Pertumbuhan Rata-rata Pertumbuhan
0.0
Be ban KeterQantunQan
0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
2.16 2.16 1.9 2.13 2.04 1.98 0.06 2.02 1.67 1.64 1.6 1.58 1.53 1.51 1.49 1.47 -3.1 3.45 1.24 34.0 1.7
0.625
Sumber: BPS, data diolah
Pada tabel 4.6. di atas, terlihat bahwa selama periode 1983 - 2002 terjadi kenaikan jumlah penduduk yang cukup signifikan, yaitu sebesar 34% dan ratarata pertumbuhannya mencapai I. 7% pertahun. Selama kurun waktu itu, be ban ketergantungan penduduk usia nonproduktif terhadap penduduk usia produktif terus menurun dari 0.8 menjadi 0.5.
Penurunan ini banyak dipengaruhi oleh
jumlah kelahiran yang semakin berkurang sebagai dampak dari program Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan pemerintah Indonesia sejak era 1980-an.
63
Meskipun terjadi penurunan angka kelahiran di Indonesia, namun sampai saat ini kelompok anak usia dibawah 15 tahun masih merupakan kontributor terbesar beban ketergantungan, yaitu rata-rata 90% pertahun, sementara kontribusi kelompok orang tua yang berusia diatas 65 tahun rata-rata hanya I 0% pertahun. Komposisi penduduk Indonesia berkaitan dengan beban ketergantungan lebih lanjut dapat dilihat dalam tabel 4. 7 dibawah ini. Tabel 4. 7 Komposisi penduduk Indonesia menurut tiga kelompok usia periode 1983 - 2002 (dalam ribuan) Tahun <15 tahun 64,114.3 1983 65,532.9 1984 64,686.1 1985 64,792.9 1986 65,423.5 1987 65,887.1 1988 66,247.0 1989 65,690.3 1990 66,276.2 1991 66,291.4 1992 66,140.1 1993 65,861.6 1994 64,000.9 1995 63,352.6 1996 62,826.7 1997 1998 62,420.8 1999 62,134.1 61,250.2 2000 62,958.4 2001 62,702.3 2002
>65 tahun 15-65 4,727.5 87,868.6 4,832.1 89,812.9 5,034.8 95,433.3 5,362.3 98,192.4 5,656.3 100,929.8 5,947.8 103,753.9 6,238.7 106,650.3 6,201.2 107,351.7 6,207.5 110,456.7 6,351.4 113,399.9 6,611.7 116,383.8 6,975.3 119,379.6 7,545.2 123,748.1 7,857.0 127,110.4 8,193.4 130,333.0 8,548.1 133,423.6 8,914.4 136,388.6 8,405.9 131,574.0 9,038.7 136,439.7 9,265.3 139,095.4
Sumber: BPS, data diolah
Trend be ban ketergantungan penduduk usia nonproduktif terhadap penduduk usia produktif di Indonesia dari tahun ke tahun dapat terlihat dari gambar 4.6 berikut ini.
64
Gam bar 4.5. Trend Beban Ketergantungan Indonesia 1983 - 2002 0.9 0.8 0.7 0.6 0 0.5 c;; ca 0::: 0.4 0.3 0.2 0.1 0
..
~
-
i
;
Tahun 1
Ic::::J Beban Ketergantungan
-Poly. (Beban Ketergantungan)
!
Sumber: BPS
Sementara jika
kita
analisis
pengaruh
beban
ketergantungan
terhadap
pertumbuhan tabungan masyarakat di Indonesia dengan menggunakan regresi sederhana akan terlihat bahwa pengaruh tersebut bersifat negatif (lihat lamp iran).
4.1.2
Hasil Regresi Metoda analisis yang digunakan adalah metoda analisis kuantitatif, yaitu
dalam menarik kesimpulan didasarkan pada perhitungan statistik dan matematis. Dengan mengolah data dari variabel-variabel yang dibutuhkan dalam model persamaan yang ditentukan dalam Bab III, yaitu:
LnSdt =a+ PIYt + P2LnNT + P3Rt + P4DRt + Ut Dimana:
65
=
LnSdt
Pertumbuhan tabungan masyarakat pada tahun t Pertumbuhan PDB riil (Pendapatan Nasional) tahun t
Yt LnNT
=
Pertumbuhan nilai tukar rupiah atas US dollar tahun t
Rt
=
Tingkat bunga nominal (12 bulanan) pada tahun t Beban Ketergantungan pada tahun t
DRt =
Ut
Error Term
Model persamaan tersebut diestimasi dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS) pada program Eviews 3.0 yang dilanjutkan dengan uji asumsi klasik untuk menentukan apakah model tersebut terbebas dari permasalahan dasar sebuah model yang baik. Hasil estimasi dari persamaan tersebut adalah sebagai berikut: LnSdt = I 0.194 + 0.048Yt + 0.80LnNT + 0.024Rt- 8. 750DRt (3.341) (0.021)
(0.272)
D-W Stat= 1.426 ( .... ) = Standard Error
(0.026)
(1.984)
Observed R2 = 5.676 R2 = 0.954
4.1.3. Uji Validitas Model a) Uji koefisien detenninasi (R2 ) Hasil di atas menunjukkan bahwa basil yang dicapai baik dengan koefisien detenninasi (R2) sebesar 0.954 telah mengindikasikan bahwa variabel yang dipilih sudah tepat, dimana sebesar 95.4% dari model tersebut dapat dijelaskan oleh
66
variabel-variabel bebas tersebut, dan hanya 4.6% dari model yang dijelaskan faktor lain.
b) Uji Signifikansi Untuk mengetahui tingkat signifikansi secara parsial antara variabel bebas dan variabel terikat dilakukan dengan menggunakan uji t. Uji ini rnembandingkan antara nilai t tabel dan nilai t hitung dengan uji dua arah pada derajat kebebasan (df) dan signifikansi (a) tertentu. Tabel 4.8 menunjukkan nilai batas kritis untuk uji t, masing-masing pada tingkat signifikansi 1 persen, 5 persen, dan 10 persen. Tabel 4.8. Nilai Batas Kritis Uji t Hasil Regresi Model dengan masa observasi (n) 20 tahun, 1983 - 2002 Tingkat Signifikansi (a) df
0.01
0.05
0.1
15
2.947
2.131
1.753
Keterangan: df= n-k; n = jumlah observas1; k = jumlah variabel Sumber: Ekonometrika Dasar, D. Gujarati (2003) Pengujian dalam uji t menyatakan bahwa Ho diterima jika nilai t hitung > t tabel atau t tabel < t hitung yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel bebas dan variabel terikat.
Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa
selain variabel tingkat bunga, variabel bebas lainnya (tingkat PDB riil, tingkat inflasi, dan beban ketergantungan) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan tabungan masyarakat di Indonesia.
Tabel 4.9 dibawah ini
menunjukkan nilai t hitung tiap-tiap variabel bebas terhadap variabel terikat.
67
Tabel4.9 Uji t-stat dan uji f-stat terhadap Model Pertumbuhan Tabungan Masyarakat Indonesia (1983- 2002) Variabel
T -Statistic
Keterangan
Konstanta
3.050
Signifikan a= 1%
PDBRiil
2.286
Signifikan a=5%
Nilai Tukar
2.940
Signifikan a=5%
Tkt bunga nominal
0.908
Tidak signifikan
Behan ketergantungan
-4.409
Signifikan a= I% 20
Jumlah Observasi (N)
F-Stat
78.209
Signifikan pada a=1%
Sumber: Regresi model penelitian Selanjutnya untuk mengetahui tingkat signifikansi secara bersamaan pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dapat dilakukan dengan uji F. Dari basil pengolahan data terhadap uji F(Tabel 4.9) didapat nilai F hitung = 78.209. Dengan derajat kebebasan (df) pembilang (k-1 = 5-1 = 4) dan derajat kebebasan (df) penyebut (n-k = 20- 5 = 15) didapatkan nilai F tabel = 4.89 pada tingkat kepercayaan 99%, sehingga F hitung > F tabel. Hal ini dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan (bersarnaan) variabel bebas pada model (tingkat PDB riil, tingkat inflasi, tingkat bunga, dan beban ketergantungan) mempunyai pengaruh yang signiftkan secara statistik terhadap variabel terikat pertumbuhan tabungan masyarakat.
68
c)
Uji Otokorelasi Untuk mengetahui apakah data dalam model tersebut terdapat masalah
otokorelasi atau tidak dapat diketahui dengan berbagai altematif pengujian diantaranya dengan uji Dubin-Watson (OW) dan uji Breusch-Godfrey LM. Uji DW dilakukan dengan membandingkan antara nilai d hitung dan d tabel untuk mendapatkan keputusan: ~
•
jika d hitung < dL
•
jika dU< d hitung < 4-dU -+ Ho diterima;
•
jika dl< d hitung < dU -+otokorelasi tidak bisa disimpulkan, bisa
Ho ditolak;
diteruskan dengan uji Breusch-Godfrey LM. Dari hasil regresi model diketahui bahwa nilai d hitung sebesar 1.426, sedangkan dL (batas bawah) dan dl; (batas atas) untuk tingkat signifikansi I prosen dan 5 prosen dapat dilihat dilihat pada tabel 4.10 berikut ini: Tabel 4.1 0. Nilai Batas Kritis d tabel Model dengan masa observasi (n) 20 tahun, 1983 - 2002 Tingkat Signifikansi k
4
1%
5%
dL
dU
dL
dU
0.685
1.567
0.894
1.828
.
Keterangan: k =JUmlah vanabel bebas kecuah konstanta Sumber: Ekonometrika Dasar, D. Gujarati (2003) Berdasarkan data pada tabel 4.10 tersebut, maka diketahui bahwa nilai d hitung berada diantara dL dan dU. baik untuk tingkat signifikansi lprosen maupun 5 prosen. Hal ini menunjukkan bahwa dalam model tersebut otokorelasi tidak dapat
69
disimpulkan. Karena menurut pengujian Durbin-Watson otokorelasi tidak dapat disimpulkan, maka selanjutnya dilakukan pengujian Breusch-Godfrey LM. Ketentuan dalam pengujian ini menyimpulkan bahwa jika nilai F stat signifikan berarti terdapat otokorelasi, sebaliknya jika nilai F stat tidak signifikan berarti otokorelasi tidak terjadi. Dari pengujian Breusch-Godfrey LM didapat hasil: Tabel 4.11. Hasil Uji Breusch-Godfrey LM Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.104476 2.904804
0.360567 0.234007
Probability Probability
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 09/14/05 Time: 10:27 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c
-2.492104 -0.008007 0.204142 -0.016103 1.924839 0.425452 0.132839
3.804750 0.026542 0.306218 0.030913 2.371511 0.355333 0.336266
-0.654998 -0.301658 0.666655 -0.520926 0.811651 1.197334 0.395042
0.5239 0.7677 0.5167 0.6112 0.4316 0.2526 0.6992
y
LOG(NT) R DR RESID(-1) RESID{-2} R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.145240 -0.249264 0.341517 1.516244 -2.583812 1.778282
Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
2.85E-15 0.305552 0.958381 1.306887 0.368159 0.886363
Berdasarkan data tabel 4.11 diatas diketahui bahwa nilai F stat adalah tidak signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada model persamaan tidak terjadi otokorelasi.
70
d)
Uji Heteroskedastisitas Uji ini dilakukan dengan menggunakan White Heteroscedasticity Test,
yang kemudian membandingkan nilai R2 yang diobservasi (W) pada model dan nilai X2 untuk tiap-tiap tingkat signifikansi.
Ketentuan dalam uji
White ini
menyimpulkan bahwa jika nilai W lebih kecil dari pada nilai X2 berarti tidak terjadi heteroskedastisitas, sebaliknya jika nilai
w lebih
besar dari pada nilai X2
berarti terjadi masalah heteroskedastisitas pada model. Dari pengolahan data didapat bahwa nilai W = 5.676, sementara nilai X2 untuk tingkat signifikansi I 0%, 5%, dan I%, masing-masing sebesar 9.236, I1.070, dan I5.0863. menunjukkan bahwa nilai W lebih kecil dari pada nilai X2
Hasil ini
untuk tingkat
signifikansi 5%, I 0%, dan I%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk semua tingkat signifikansi dalam model ini tidak terjadi heteroskedastisitas.
e)
Uji Multikolinearitas
Uji ini digunakan untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan diantara variabel bebas dalam suatu model. Masalah utama bila terjadi keeratan hubungan yang sangat tinggi diantara variabel bebas adalah interpretasi pada basil regresi menjadi bias. Multikolinearitas terjadi jika nilai R2 tinggi (lebih dari 0.75) tetapi hanya sedikit nilai t hitung yang signifikan.
Disamping itu, multikolineritas dapat
dideteksi dari tolerance dan variance inflation factor (VIF).
Tolerance, yang
dihitung dari (1- Ri 2), dimana Ri merupakan koefisien regresi jika variabel bebas ke-i diprediksi dari variabel-variabel bebas lainnya.
Jika tolerance kecil
(mendekati not) , disimpulkan akan adanya multikolinearitas.
VIF, juga
7I
merupakan indikator multikolinearitas, dimana terdapat Rule of Thumb bahwa jika nilai VIF suatu variabel bebas melebihi I 0, maka dapat disimpulkan variabel tersebut mempunyai keeratan hubungan dengan variabel bebas lainnya. Berdasarkan hasil pengolahan data disimpulkan bahwa pada model persamaan di atas tidak terdapat multikolineritas.
4.2. Pembahasan 4.2.1. Produk Domestik Bruto Produk Domestik Bruto riil sebagai proxi dari pendapatan nasional mempunyai pengaruh yang positif dan signiftkan terhadap pertumbuhan tabungan masyarakat Indonesia.
Dengan koefisien 0.048 dan t-hitung sebesar 2.285
mengindikasikan variabel bebas ini secara signifikan dapat meningkatkan tabungan masyarakat, dimana dengan tingkat signifikansi 5% setiap kenaikan pertumbuhan
PDB riil sebesar I% akan dapat meningkatkan pertumbuhan
tabungan masyarakat Indonesia sebesar 0.048%. Hal ini sesuai dengan pandangan ekonom yang menyatakan semakin tinggi pendapatan nasional, maka semakin tinggi tingkat tabungan. Beberapa studi empiris menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan akan diiringi oleh peningkatan konsumsi dalam proporsi yang semakin kecil, sedangkan selebihnya akan ditabung sebagai upaya untuk l}lemelihara kesejahteraan di masa depan. Sementara itu, jika ditinjau dari komposisi kontribusi penyumbang PDB di Indonesia selama ini, Pulau Jawa merupakan kontributor utama dimana lebih dari 80% PDB riil Indonesia bersumber dari Pulau Jawa.
Hal ini merupakan
72
dampak kebijakan pembangunan Indonesia selama ini yang bersifat sentralistik. sehingga terjadi kesenjangan tingkat kesejahteraan yang sangat signifikan antara Pulau Jawa dan kawasan lain di Indonesia. Melihat kesenjangan tingkat kesejahteraan yang demikian tajam tersebut, maka sangatlah wajar jika distribusi tabungan masyarakat Indonesia selama ini sebagian besar masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Tingginya pertumbuhan
ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat di Pulau Jawa kemudian berdampak pada tingginya tabungan masyarakat.
Selain itu, tingkat kesadaran
masyarakat Pulau Jawa akan pentingnya menabung di bank dibanding masyarakat kawasan lain kian menambah besar kesenjangan tabungan masyarakat. Tabel4.12. Posisi Penghimpunan Dana Rupiah Pada Bank Umum Menurut Propinsi diP. Jawa periode 1999-2002 (milyar Rp) Propinsi DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jogjakarta Jawa Timur Banten P. Jawa Nasional Prosentase Sumber: 81
1999
2000
268,548 49,098 26,176 4,960 52,282
401,064 492,868 81.37
292,528 54,645 29,290 5,505 57,532 8,531 448,031 554,549 80.8
2001 327,316 58,683 35,111 6,804 70,532 11,103 509,549 643,530 79.18
2002 352,206 63,584 36,021 7,460 71,390 12,849 543,510 689,412 78.8
Tabel 4.12 menunjukkan kondisi tabungan masyarakat yang terdapat pada bank-bank umum di Pulau Jawa dan nasional setelah krisis moneter dimana Pulau Jawa merupakan kontribusi terbesar dalam tabungan masyarakat di Indonesia.
73
4.2.2. Nilai Tokar Nilai tukar rupiah yang relatif stabil dan bahkan cenderung mengalami apresiasi sebelum Juli 1997 telah mendorong capital inflow yang cukup besar ke Indonesia. Fenomena tersebut merupakan hal yang logis bagi suatu negara yang menganut sistem devisa bebas dan perekonomiannya terbuka karena arus modal akan selalu mengikuti return investasi yang terbesar dan resiko seminimal mungkin.. Namun sejak currency tummoil melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN lainnya pertengahan Juli 1997, capital inflow tersebut telah menjadi menjadi bumerang karena telah berubah menjadi arus balik yang membahayakan baik terhadap nilai tukar maupun terhadap perekonomian nasional. Nilai tukar rupiah secara simultan mendapat tekanan yang cukup berat karena besamya capital outflow akibat hilangnya kepercayaan investor asing terhadap perekonomian Indonesia. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah semakin berat karena semakin maraknya tindakan para spekulan valuta asing, sehingga sejak krisis berlangsung nilai tukar rupiah mengalami depresiasi hingga mencapai 75%. Dampak dari krisis nilai tukar rupiah yang paling nyata adalah terjadinya pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan bahkan mengalami penurunan. Hal itu terutama disebabkan industri manufaktur (sektor riil) di Indonesia yang sebagian besar komponen bahan bakunya masih diimpor mengalami kesulitan dalam produksi akibat harga bahan baku yang melonjak sangat tinggi.
Kondisi itu
diperparah oleh ketidakmampuan industri perbankan (sektor moneter) dalam menjalankan fungsi intermediasi dengan baik karena kesulitan likuiditas.
74
Meskipun demikian, dari basil regresi model diketahui bahwa tingkat inflasi secara parsial mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan tabungan masyarakat di Indonesia. Koefisien inflasi sebesar 0.80 dan t-hitung sebesar 2.940 mengindikasikan bahwa dengan tingkat signifikansi 5% setiap kenaikan pertumbuhan (apresiasi) nilai tukar rupiah terhadap US dollar sebesar 1% akan dapat meningkatkan pertumbuhan tabungan masyarakat Indonesia sebesar 0.80%. Hal ini dapat diartikan bahwa ketika terjadi apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US dollar, tingkat daya beli masyarakat akan meningkat, selanjutnya tingkat daya beli yang meningkat akan mempertinggi tingkat kesejahteraan masyarakat.
Tingkat kesejahteraan masyarakat yang
meningkat akan berdampak pada terjadinya peningkatan tabungan masyarakat.
4.2.3. Tingkat Bunga Tingkat inflasi dan tingkat bunga nominal akan membentuk tingkat bunga riil.
Keeraatan hubungan antara tingkat inflasi dan tingkat bunga riil akan
menyebabkan terjadinya multikolinearitas. Tingkat bunga nominal dipakai dalam model semata-mata untuk menghindari terjadinya multikolinearitas dengan tingkat inflasi.
Disamping itu pula, terdapat indikasi bahwa yang dijadikan
alasan orang menabung di Indonesia adalah tingkat bunga yang diumumkan perbankan nasional. Dalam hal tingkat bunga nominal, secara statistik tidak signifikan terhadap pertumbuhan tabungan masyarakat. Atau dapat dikatakan bahwa tingkat bunga nominal tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tabungan masyarakat di
75
Indonesia.
Hal ini didukung oleh basil estimasi dimana tingkat bunga secara
statistik tidak signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan tabungan masyarakat Indonesia. Hasil estimasi ini juga menunjukkan bahwa tingkat bunga perbankan di Indonesia selama ini bukanlah daya tarik utama masyarakat dalam menanamkan dananya di bank.
Sementara bagi perbankan nasional hal ini
merupakan suatu masalah yang sangat besar, karena urat nadi kelangsungan usaha suatu bank adalah tergantung pada tingkat bunga yang mereka tawarkan, baik kepada masyarakat penabung maupun kepada investor. Dengan adanya kondisi seperti ini, maka wajar jika akhimya perbankan nasional kemudian mencari altematif sumber dana lain, yaitu dengan melakukan pinjaman kepada pihak asing.
Pinjaman luar negeri yang dilakukan perbankan nasional mempunyai
tingkat resiko yang cukup tinggi karena berkaitan dengan konversi mata uang rupiah terhadap US dollar dan jangka waktu pengembalian yang singkat. Hal itu menjadi kenyataan pada pertengahan tahun I997 dimana dunia perbankan nasional mengalami kesulitan melakukan pembayaran terhadap pinjaman luar negerinya, sehingga tidak sedikit perbankan nasional yang akhimya mengalami kebangkrutan. Menyoal tingkat bunga dalam rangka menjaring dana masyarakat sebenarnya sudah menjadi perhatian pemerintah sejak tahun I983, yaitu dengan dikeluarkannya paket kebijakan tangal I Juni I983, dimana intinya dunia perbankan diberikan kebebasan untuk menetapkan tingkat bunga dan tidak lagi berdasarkan ketetapan pemerintah. Namun demikian, berdasarkan basil estimasi diatas dapat disimpulkan bahwa paket kebijakan I Juni I983 yang diikuti oleh
76
paket kebijakan Oktober 1988 selama ini kurang efektif. Bahkan timbul kesan bahwa dunia perbankan nasional masih mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap Bank Indonesia dalam penetapan tingkat bunga. Ketergantungan perbankan nasional yang sangat tinggi itulah yang membuat peran Bank Indonesia selaku otoritas moneter semakin berat, terutama dalam menghadapi kondisi dimana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional menurun tajam saat terjadinya krisis.
Kemudian, untuk
mencegah terjadinya pelarian modal (dana masyarakat) ke luar negeri saat terjadi krisis moneter sebagai akibat merosotnya kepercayaan masyarakat, maka Bank Indonesia menaikkan suku bunga SBI cukup tajam yang kemudian diikuti meningkatnya tingkat bunga perbankan Indonesia.
Hal itulah yang merupakan
daya tarik masyarakat untuk menabung pada masa setelah krisis moneter.
4.2.4. Beban Ketergantungan Sementara variabel bebas Jain yang mempengaruhi pertumbuhan tabungan masyarakat dalam model ini adalah beban ketergantungan yang didapat dari rasio jumlah penduduk nonproduktif terhadap jumlah penduduk produktif.
Seperti
yang dinyatakan Todaro, beban ketergantungan yang tinggi merupakan salah satu masalah yang dialami negara-negara sedang berkembang atau negara dunia ketiga.
Hal yang menjadi penyebab kondisi tersebut adalah masih tingginya
angka kelahiran dan berkurangnya angka kematian karena semakin tingginya kesadaran penduduk akan kesehatan serta semakin membaiknya fasilitas kesehatan di negara berkembang. Untuk kasus di Indonesia, meskipun program
77
Keluarga Berencana (KB) telah lama dicanangkan, tetapi masih banyaknya pemikahan usia muda terutama di desa-desa, menyebabkan angka kelahiran masih belum optimal penurunannya. Berdasarkan teori dan studi empiris disimpulkan bahwa semakin tinggi beban ketergantungan akan semakin mengurangi penghasilan, semakin kecil penghasilan akan semakin kecil tabungan. Dengan kata lain terdapat hubungan yang negatif antara beban ketergantungan dan pertumbuhan tabungan masyarakat. Dari hasil regresi terlihat bahwa pengaruh beban ketergantungan di Indonesia adalah negatif dan signifikan. Koefisien beban ketergantungan sebesar -8.750 dan t-hitung sebesar -4.409 mengindikasikan bahwa dengan tingkat signifikansi I%, kenaikan rasio beban ketergantungan sebesar I poin akan dapat menurunkan pertumbuhan
tabungan
masyarakat
Indonesia
sebesar
4.409%.
Hasil
menunjukkan bahwa penambahan prosentase penduduk usia nonproduktif dalam struktur demografi Indonesia akan menjadi faktor yang signifikan terhadap penurunan tabungan masyarakat.
Bertambahnya jumlah penduduk usia
nonproduktif karena adanya kelahiran misalnya, akan merubah komposisi distribusi pengeluaran yang memaksa penduduk usia produktif terutama yang berpenghasilan tetap untuk mengurangi porsi tabungannya.
BABV KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan mengenai faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan tabungan masyarakat Indonesia selama periode observasi 1983-2002, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: I. Hasil estimasi model persamaan menunjukkan hasil bahwa variabel bebas yang digunakan sudah tepat. Hal ini terlihat dari koefisien determinasinya {R2 ) sebesar 0.954, yang berarti bahwa 95.4% dari model tersebut dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas tersebut. Hasil lain dari regresi ini mengungkapkan bahwa variabel pendapatan nasional (PDB Riil) dan nilai tukar masing-masing berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tabungan masyarakat pada tingkat kepercayaan 95%. ketergantungan berpengaruh negatif
Selanjutnya variabel beban
terhadap pertumbuhan tabungan
masyarakat pada tingkat kepercayaan 99%.
Sedangkan tingkat bunga
nominal tidak berpengaruh signifikan pada semua tingkat kepercayaan. 2. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa pertumbuhan tabungan masyarakat Indonesia secara signifikan dipengaruhi secara bersama-sama oleh faktor-faktor pendapatan nasional, nilai tukar, tingkat bunga, dan beban ketergantungan.
Dengan tingkat kepercayaan 99% dapat dikatakan
78
79
bahwa peningkatan tabungan masyarakat Indonesia selama ini didrive oleh faktor-faktor tersebut. 3. Pengaruh parsial pendapatan nasional yang diproxy-kan dengan tingkat Produk Domestik Bruto riil terhadap pertumbuhan tabungan masyarakat Indonesia, adalah positif dan signifikan.
Dengan tingkat kepercayaan
95% disimpulkan bahwa setiap kenaikan tingkat PDB riil sebesar satu prosen (ceteris paribus) akan menyebabkan pertumbuhan tabungan masyarakat Indonesia meningkat sebesar 0.048%. 4. Pengaruh parsial nilai tukar terhadap pertumbuhan tabungan masyarakat Indonesia, adalah positif dan signifikan.
Dengan tingkat kepercayaan
95% didapatkan bahwa setiap kenaikan nilai tukar sebesar satu prosen (ceteris paribus) akan menyebabkan pertumbuhan tabungan masyarakat Indonesia meningkat sebesar 0.80%. 5. Pengaruh
parsial
tingkat
bunga
terhadap
pertumbuhan
tabungan
masyarakat Indonesia tidak signifikan. Hal ini dapat diartikan berapapun besamya kenaikan tingkat bunga tidak mempunyai pengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan tabungan masyarakat Indonesia. 6. Pengaruh parsial beban ketergantungan terhadap pertumbuhan tabungan masyarakat Indonesia, adalah negatif dan signifikan.
Dengan tingkat
kepercayaan 99%, disimpulkan bahwa setiap kenaikan rasio beban ketergantungan
satu
poin
(ceteris
paribus)
akan
menyebabkan
pertumbuhan tabungan masyarakat Indonesia menurun sebesar 8.750%.
80
5.2
Saran-saran Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan dan kesimpulan, maka saran-
saran yang kami ajukan adalah sebagai berikut: I. Pemerintah hendaknya selalu berupaya untuk menciptakan kondisi makro ekonomi yang kondusif, sehingga masyarakat dan dunia usaha merasa nyaman dan aman dalam menanamkan dananya di bank.
Disamping itu,
program Keluarga Berencana dan penyuluhan tentang kesejahteraan keluarga agar segera dihidupkan kembali agar angka kelahiran dapat terkendali. 2. Bank Indonesia selaku bank sentral yang mempunyai wewenang dalam kebijakan moneter di Indonesia diharapkan dapat menerapkan kebijakan nilai tukar yang tepat guna mencapai sasaran utama yaitu target tnflasi yang lebih akurat, mengingat sebagian masyarakat sangat mempedulikan target inflasi Bank Indonesia dalam penempatan dananya di bank. 3. Disamping itu, tingkat bunga perbankan di Indonesia bukan merupakan instrumen/daya tarik utama dalam penempatan dana masyarakat,
maka
Bank Indonesia diharapkan lebih berperanan dalam penetapan tingkat bunga SBI mengingat kecendrungan yang terjadi bahwa tingkat bunga PUAB dan deposito selalu mengikuti tingkat bunga SBI. 4. Bank-bank umum di Indonesia sebaiknya dapat menerapkan strategis pemasaran yang lebih menarik dengan mempertimbangkan prinsip kehatihatian (prudent). Dengan berbagai daya tarik yang ditawarkan perbankan
81
diharapkan kepercayaan masyarakat Indonesia untuk menyimpan dananya di bank akan lebih meningkat.
82
DAFTAR PUSTAKA Arrieta, GMG. 1998. Interest Rates, Savings & Growth in LDCs : An Assesment
of Recent Emperical Research. World Development. vol 16: 589- 605. Asmara, J. Andra. 200 1. Pengaruh Krisis Moneter Terhadap Kinerja Keuangan
Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta. Tesis. Unpad. Astiyah Siti, cs. 2004. Komposisi kepemilikan Asset dan Dampak kebijakan
Moneter terhadap Kepemilikan Asset ; Hasil Survey. Buletin Eko Moneter dan Perbankkan. vol7. no.l. Juni 2004: 13-51. Abdulah, Burhanudin. 2003. Peran Kebijakan Moneter dan Perbankan Dalam
Mengatasi Krisis Moneter di Indonesia. Makalah Gubernur Bank Indonesia. Bank Indonesia. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. beberapa edisi penerbitan. Bank Indonesia. Laporan Tahunan. beberapa penerbitan. Barham, John. 1994. The Anatomy Of Change; Blue Print For A New Era. London. Waidenfeld & Nicholson Inc. BAF, Depkeu. 2004. Prospek Ekoomi 2005 dan sumsi Dasar RAPBN 2005. Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama BPS. Buletin Statistik Bulanan Indikator Ekonomi. beberapa penerbitan. Campbell, Tim S. 1982. Financial Institutions, markets, and Ecoomic Activity. Me Graw- Hill.
83
Campbell, Me Connell & Brue, Stanley . 1993. Economics: Principles, Problems
and Policies. 12 th edition. Me Graw - Hill. Deaton, Angus & Paxson, Christina. 1998. Saving and Growth : another look at
the cohort evidence. Princeton University .. Deaton, Angus & Paxson, Christina. 1999. Growth, Demographic Strusture, and
national saving in Taiwan. Princeton: Princeton University Press. Depkeu. Nota Keuangan. beberapa tahun. Djiwandono, J Sudrajat. 1996. Macroeconomic Policy:
Foundation for
Sustainable Economic Development. Kumpulan Makalah Gubernur Bank Indonesia Juli- Desember 1996, no. 9, Bank Indonesia. Dornbush, Rudiger & F Leslie, CH Helners. 1995. The Open Economy : Tools
for Policy Maters in Developing Countries. Oxford University Press. Fischer, Starley, R. Dornbusch & Scmalese, Richard. 1998. Ecoomics. 2 nd edition. Me Graw - Hill. Fabozzi, Frank J. 1999. Manajemen Investasi. Terjemahan Tim Penterjemah Salemba Empat.Jakarta: Penerbit Salemba Frankel, Jeffrey. 1997. Determinants of Long Term Growth.
NBER Working
Paper. Gillis, M, DH Parkins, M Roemer and Snoodgrass. 1992. Economics of
Development. Third edition. New York: W.W Norton Company. Goeltom, S. Miranda dan Zulverdi, Doddy. 1998. Manajemen Nilai Tukar di
Indonesia dan Permasalahannya . Buletin Eko Moneter dan Perbankkan. vol I. no.2. September: 69 - l 00.
84
Gujarati, Damodar. 1978. Ekonometrika Dasar. Terjemahan Sumamo Zein. Jakarta: Erlangga. Mankiew, N, Gregory. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi 4. Terjemahan Imam Nurmawan. editor Yati Sumiharti. Jakarta: Erlangga. Mikesell, RF, & JE Zinser. 1973. The Nature of Saving Function in Developing
Countries: A Survey of the theorical and Empirical Literature. Journal of Economic Literature. vol XI no. 1 March: 1-25 Mishkin, Frederic, & Stanley Eakins. 2000. Financial Markets and Institutions. 3 rd edition. Addison- Weley Publishing Company. Molho, LM. 1986. Interest Rates, Saving and Investment in Developing
Countries: A Re-Examination of the Me Kinnon -Shaw Hypotheses. IMF StaffPaper. vol 33 no.l : 99-119. Nanga, Muara. 2001. Makroekonomi: Teori, Masalah, dan Kebijakan. edisi perdana. Jakarta Ozcan, Gunay, & Ertac.200 I. Determinants of Private Savings Behaviour in
Turkey. Working Paper. Turkey. Bilkent University. Pyndick, Robert, & Rubinfeld, Daniel. 1998. Econometric Models and Economic
Forecasts. 4th edition. Irwin- Me Graw-Hill, Inc. Ritter, S Lawrence & Silber, William. 1981. Principles of Money, Banking &
Financial Markets. 3 rd edition. revised & Expanded Edition. Basic Book Inc, 1981. Rodrik, Dani. (1998). Saving Transitions. World Bank Working Paper.July: 30.
85
Schiller, R Bradley. 1991. The Economy Today. 5th edition. Me Graw- Hill, Inc. Sinungan, Muchdarsyah.l997. Manajemen Dana Bank. Edisi Kedua, Jakarta: Bumi Aksara Todaro, P Michael. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. jilid I Edisi Keempat. Terjemahan Ir Burhanudin Abdullah, MA. Jakarta: Erlangga. Undang - undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan Van den Berg, Hendrik. 2001. Economic Growth and Development. Me Graw Hill
86 DAFfAR LAMPIRAN
I. HASIL ESTIMASI \
Dependent Variable: LOG(SD) Method: Least Squares Date: 09/13/05 Time: 15:31 Sample: 1983 2002 Included observations: 20 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c
10.19406 0.048288 0.800058 0.023637 -8.750213
3.341527 0.021126 0.272083 0.026043 1.984650
3.050719 2.285774 2.940494 0.907632 -4.408945
0.0081 0.0372 0.0101 0.3784 0.0005
y LOG(K)
R DR R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.954246 0.942044 0.343888 1.773884 -4.153160 1.426597
Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
11.70208 1.428463 0.915316 1.164249 78.20926 0.000000
2. UJI VALIDITAS MODEL a) Uji Otokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-sguared
1. 104476 2.904804
Probability Probability
0.360567 0.234007
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 09/14/05 Time: 10:27 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Pro b.
c
-2.492104 -0.008007 0.204142 -0.016103 1.924839 0.425452 0.132839
3.804750 0.026542 0.306218 0.030913 2.371511 0.355333 0.336266
-0.654998 -0.301658 0.666655 -0.520926 0.811651 1.197334 0.395042
0.5239 0.7677 0.5167 0.6112 0.4316 0.2526 0.6992
y LOG(K) R DR RESID(-1) RESID{-2} R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.145240 -0.249264 0.341517 1.516244 -2.583812 1.778282
Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
2.85E-15 0.305552 0.958381 1.306887 0.368159 0.886363
87 b) Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasti~ Test: Probability Probability
0.544858 5.676024
F-statistic Obs*R-squared
0.800884 0.683470
Test Equation: Dependent Variable: RESID 112 Method: Least Squares Date: 09/14/05 Time: 10:30 Sample: 1983 2002 Included observations: 20 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c
-7.962151 -0.010600 -0.000303 1.635447 -0.098143 -0.034018 0.000688 4.990819 -3.408119
8.712189 0.012352 0.001263 2.174423 0.130235 0.080440 0.001986 6.086423 4.640012
-0.913909 -0.858152 -0.240112 0.752129 -0.753588 -0.422898 0.346351 0.819992 -0.734506
0.3804 0.4091 0.8147 0.4678 0.4669 0.6805 0.7356 0.4296 0.4780
y Y112 LOG(K) (LOG(K)) 112 R R112 DR DR 112 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.283801 -0.237071 0.109431 0.131727 21.84876 1.474037
Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.088694 0.098389 -1.284876 -0.836797 0.544858 0.800884
c) Uji Multikolinearitas Matriks Korelasi Spearman:
DR y
R LnNT
Uji VIF
=
DR
y
R
LnNT
1.000000 0.387915 0.000386 -0.919136
0.387915 1.000000 -0.387040 -0.457071
0.000386 -0.387040 1.000000 0.058343
-0.919136 -0.457071 0.058343 1.000000
II I- r2
=
III-(0.9I9) 2
=
1 I 0.1554 = 6.435
6.435 < 10
-+
Multikolinearitas tidak terjadi
88 3.
REGRESI SEDERHANA
a) LnSdt = w + Pt Yt + Ut Dependent Variable: LOG(Sd) Method: Least Squares Date: 07122105 Time: 05:54 Sample: 1983 2002 Included observations: 20 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c
12.14572 -0.094592
0.452470 0.069752
26.84313 -1.356118
0.0000 0.1918
y
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
b)
0.092699 0.042293 1.397930 35.17575 -34.02502 0.165048
Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
11.70208 1.428463 3.602502 3.702075 1.839056 0.191831
LnSdt =at + pz lnNT + Ut Dependent Variable: LOG(SD) Method: Least Squares Date: 09/26/05 Time: 05:57 Sample: 1983 2002 Included observations: 20 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c
-2.083007 1.743411
1.232243 0.155152
-1.690419 11.23682
0.1082 0.0000
LOG(ND R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
c)
0.875231 0.868299 0.518399 4.837267 -14.18495 0.392360
Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
11.70208 1.428463 1.618495 1.718068 126.2661 0.000000
LnSdt = at + P3 Rt + Ut Dependent Variable: LOG(Sd) Method: Least Squares Date: 07122105 Time: 05:56 Sample: 1983 2002 Included observations: 20 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Pro b.
c
11.54908 0.008521
1.838809 0.100769
6.280738 0.084564
0.0000 0.9335
R R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.000397 -0.055136 1.467315 38.75425 -34.99385 0.030842
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F -statistic)
11.70208 1.428463 3.699385 3.798958 0.007151 0.933542
89 d)
LnSdt = w + 134 DRt + Ut Dependent Variable: LOG(Sd) Method: Least Squares Date: 07122105 Time: 05:57 Sample: 1983 2002 Included observations: 20 Variable
Coefficient
std. Error
t-statistic
Prob.
c
20.09826 -13.43390 0.919346 0.914866 0.416794 3.126910 -9.821901 1.397644
0.593525 0.937860
33.86253 -14.32399
0.0000 0.0000 11.70208 1.428463 1.182190 1.281763 205.1768 0.000000
DR R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
4. DATA PENDUKUNG
a)
Variabel bebas dan variabel terikat ...
Tahun Tab. Masy (milyar)
198 19~
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 199E 1996 1997 1998 1999 2000 2001 200.2
12437 15831 19729 23~
28896 37217 53224 73060 91172 111806 137386 166305 20931:l 269916 40182~
564676 643416 886061 805827 84501..§
N. Tukar PDB Riil Tkt. lnflasi Bunga Nom Bbn Keter (%) !gantungan Nominai_{BPS) (%) {%)
4.2 7 2.5 5.9 4.9 5.8 7.5 7.2 7.2 6.2 6.5 7.5 8.2 7.8 4.7 -13.1 0.8 4.9 3.8 4.3
11.9 10.4 4.6 5.9 9.1 8.2 6.3 7.9 9.3 7.6 9.6 8.6 9.4 8 11.1
n.6 20 9.4 12.6 10
Sumber: BPS, Nota Keuangan, IMF, data diolah
17.:: 18.7 17.8 15.7 17.5 18Ji 18.6 18.5 22.8 21.1 16.3 13 15 16.7 16] 21.8 27.6 16.2 14.2 15.5
0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
998 1074 1125 1641 1650 1731 1797 1901 1991 2062 2110 2200 2308 2383 4650 8025 7085 9595 10400 8940
4. DATA PENDUKUNG
b) Variabel Terikat Tabungan Masyarakat 1981 - 2002 (milyar Rp) tahun 1
giro 2
depo 3
tab
total 4
1981/1982 2314.4 437.9 5507.6 5914.4 1982/1983 3737.2 539.1 6350.4 1983/1984 6348.8 637.9 7187.7 1984/1985 8726 774.1 1985/1986 1211.8 7040.7 12590.4 1586.4 7561.8 14911.8 1986/1987 1987/1988 1835 8480.6 20654.3 10543.1 26474.4 2485.3 1988/1989 1989/1990 15978.1 36350.4 6863.6 9722.2 17949 49839.6 1990/1991 1991/1992 21428.1 56812.3 17471 25076.8 64216 28343.2 1992/1993 75183 37613.4 31802 1993/1994 1994/1995 35434.1 97467.1 40921.8 1995/1996 44143.9 128413.6 51170.3 1996/1997 57003.6 163657 66320.5 72173 108703.4 272060.5 1997/1998 1998/1999 107246.2 412799.3 79453.2 135801 1999/2000 121925 387757 154328 175508 390543 2000 172613 2001 187018 446196 193468 2002 204067 447480 R/ Keu Dep. Keuangan Sumber: Nota
5 8259.9 10190.7 13337.1 16687.8 20842.9 24060 30969.9 39502.8 59192.1 77510.8 95711.4 117636 144598.4 173823 223727.8 286981.1 452936.9 599498.7 645483 720379 805827 845015
Yt-Yt-1 6
1,5/12(6) 4.5/12(6)
1680.9 1930.8 3146.4 3350.7 4155.1 3217.1 6909.9 8532.9 19689.3 18318.7 18200.6 21924.6 26962.4 29224.6 49904.8 63253.3 165955.8 146561.8 45984.3 74896 85448 39188
210.113 241.35 393.3 418.838 519.388 402.138 863.738 1066.61 2461.16 2289.84 2275.08 2740.58 3370.3 3653.08 6238.1 7906.66 20744.5 18320.2 5748.04 9362 10681 4898.5
I 630.338 724.05 1179.9 1256.51 1558.16 1206.41 2591.21 3199.84 7383.49 6869.51 6825.23 8221.73 10110.9 10959.2 18714.3 23720 62233.4 54960.7 17244.1 28086 32043 14695.5
1907.39 2366.66 3039.3 3857.82 4821.18 5713.4 7094.67 9075.74 12952.2 17660.3 22221.5 27353.6 33621.9 40715.9 51253.4 65815.3 97675.9 136135 157060
INTERPOLASI (6) Ill II 2012.447 2487.338 3235.95 4067.241 5080.878 5914.466 7526.541 9609.047 14182.73 18805.24 23359.08 28723.86 35307.03 42542.48 54372.43 69768.61 108048.1 145294.6 159933.7
2117.503 2608.013 3432.6 4276.659 5340.572 6115.534 7958.409 10142.35 15413.32 19950.16 24496.62 30094.14 36992.18 44369.02 57491.48 73721.94 118420.3 154454.7 162807.8
IV 2222.6 2728.7 3629.3 4486.1 5600.3 6316.6 8390.3 10676 16644 21095 25634 31464 38677 46196 60611 77675 128793 163615 165682
tahun TOTAL 10 11 1981* 1982* 1983* 1984* 1985* 1986* 1987* 1988* 1989* 1990* 1991* 1992* 1993* 1994* 1995* 1996* 1997* 1998* 1999* 2000** 2001 2002
7854.1 9684.6 12437 15831 19729 23344 28896 37217 53224 73060 91172 111806! 1373861 166305 209313 269916 401820 564676 643416 886061 8058271 845015
90