Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
Pengaruh Pembelajaran PKn Terhadap Pembentukan Karakter Siswa Titik Susiatik FPIPS IKIP Veteran Semarang Email :
[email protected] ABSTRAK Latar belakang masalah adalah dewasa ini bangsa Indonesia dilanda krisis moral, tidak hanya pada tataran pimpinan pemerintahan dan birokrat semata, tetapi telah merambah dasar hingga pada anak-anak sekolah. Hal ini bisa dilihat dari tawuran pelajar, kriminal anakanak remaja, dan sebagainya. Ini menunjukkan bangsa kita telah kehilangan jati diri dan karakternya. Di sisi lain karakter merupakan kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas baik, yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa seseorang atau sekelompok orang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma, UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap NKRI, sehingga pendidikan karakter perlu dimiliki dan ditanamkan kepada siswa.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membuktikan pengaruh pembelajaran pendidian kewarganegaraan (PKn) terhadap pembentukan karakter siswa. Hasil penelitian diperoleh kesimpulan: (1) sangat beralasan apabila pendidikan karakter dalam pembelajarannya diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Alasan itu karena pendidikan karakter mampu meningkatkan akhlak luhur siswa, sehingga penanaman karakter menjadi tanggung jawab semua guru. Hal ini senada dengan tujuan pendidikan yaitu membentuk sosok siswa secara utuh, sehingga pencapaian pendidikan harus mencakup dampak instruksional dan dampak pengiring; (2) implementasi pendidikan karakter terintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran, pengembangannya lebih memadai pada model kurikulum terpadu dan pembelajaran terpadu dengan menentukan center core pada mata pelajaran yang akan dibelajarkan, seperti mata pelajaran PKn dan pendidikan agama; dan (3) proses pengembangan pendidikan karakter sebagai pembelajaran terpadu harus diproses seperti kuriklum lain, yaitu sebagai: 1) ide, dokumen, dan proses; 2) kejelian profesional dan penguasaan materi; 3) dukungan pendidikan luar sekolah, arahan spontan dan penguatan segera; 4) penilaian beragam; serta 5) difusi, inovasi dan sosialisasi adalah komitmen-komitmen yang harus diterima dan disikapi dalam pencanangan pembelajaran terpadu pendidikan karakter itu sendiri. Kata Kunci : Pembelajaran PKn, Pembentukan Karakter. LATAR BELAKANG MASALAH Kemerosotan moral dan memudarnya nilai-nilai kearifan bangsa yang pada jaman dahulu menjadi pondasi bagi keanggunan bangsa Indonesia di mata Internasional, sehingga saat ini menjadi kegelisahan semua lapisan masyarakat. Fenomena ini dirasakan sekali perubahannya ketika era demokrastisasi dijalankan Indonesia pada tahun 2008 lalu. Pada prinsipnya, demokratisasi tidaklah identik dengan liberalisasi. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa praktik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat mencerminkan perilaku liberalisasi. Menurut Cholisin (2011) dan Budimansyah (2007); perilaku liberalisasi banyak dipengaruhi pola perekonomian liberal (neo liberal) yang dicirikan tiga hal, yakni: pragmatism, MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
58
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
individualism, dan materialisme. Hal ini berdampak pada berkembangnya sikap dan perilaku politik transaksional dan kartel. Sikap dan perilaku politik yang demikian, politik dijadikan komoditas untuk memperoleh keuntungan kekuasaan dan material yang sebesar-besarnya bagi diri dan kelompoknya. Kemudian ketika ada penyimpangan yang dilakukan di antara mereka, di atasi dengan cara saling menutupi. Pada ranah sosial, dampak sistem ekonomi neo liberal tersebut telah menggerogoti nilai-nilai karakter bangsa yang bersandarkan pada Pancasila dengan lima pilar di dalamnya, yakni: Ketuhanan, Kemanusian, Persatuan, Kerakyatan-Permusyawaratan, dan Keadilan sosial. Gejala kemerosotan nilai-nilai karakter Pancasila tersebut dapat dengan mudah ditemukan dalam kehidupan masyarakat yang banyak diwarnai oleh sikap individualisme, penggunaan kekerasan dalam pemecahan masalah, kehancuran rumah tangga karena tidak adanya nilai-nilai keteladanan, dan lain sebagainya. Melihat situasi yang sedemikian memprihatinkan itu, Pemerintah melalui Kemendikbus telah mencanangkan revitalisasi pendidikan karakter dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, yaitu Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional (Tim Pendidikan Karakter, 2010). Menurut Ramly (2011); pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus untuk mendukung perwujudan cita-cita yang diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Belum lagi ditambah dengan berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa dewasa ini, mendorong pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan karakter bangsa. Karakter adalah nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat-istiadat, dan estetika. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilainilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil (Tim Pendidikan Karakter, 2010). Martin Luther King, Jr., dalam sebuah ceramahnya di Morehouse Colege 1948 menegaskan:
“We must remember that intelligence is not enough. Intelligence plus
character—that is the goal of true education”. Kutipan “ceramah” filosuf handal tersebut menegaskan satu hal bahwa parameter keberhasilan sebuah pendidikan tidak cukup hanya melahirkan siswa yang memiliki kecerdasan secara intelektual saja, namun diperlukan intelejensi tambahan yakni karakter, inilah tujuan dari sebuah pendidikan (Freeforum.org, 2012).
Sementara
itu,
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
Down
berdasarkan
pengalamannya
di
berbagai
negara 59
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
menyimpulkan, bahwa tujuan pendidikan itu ada dua, yakni: membantu anak-anak muda menjadi pintar dan membantu mereka menjadi orang yang baik. Lebih lanjut, Down menegaskan; karakter yang baik tidak bisa dibentuk secara otomatis. Ia dibentuk melalui proses waktu dalam pendidikan yang berkelanjutan, melalui teladan, belajar dan praktik (“Good character is not formed automatically; it is developed over time through a sustained process of teaching, example, learning and practice. It is developed through character education”). Dalam konteks Indonesia, pendidikan karakter saat ini sangat penting dilakukan bagi anak-anak muda di tengah derasnya gempuran pengaruh negatif dari media massa dan lingkungan. Menyadari kondisi itu, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan telah melakukan langkah yang mendorong dunia pendidikan untuk mulai mengintegrasikan pendidikan karakter dalam proses pendidikan. Terkait dengan hal itu, posisi guru PKn dalam mengajarkan pendidikan karakter sangat strategis dalam membangun kepribadian siswa menjadi generasi muda yang tidak hanya memiliki kecerdasan secara intelektual saja, namun juga kebaikan karakter sosial, moral, dan agama. Penelitian ini mengambil kasus di SMA 15 Semarang yang sudah menerapkan pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran PKn. Oleh sebab itu, untuk mengetahui hasil yang dicapai dari proses pembelajaran PKn
dalam kaitannya dengan pembentukan
karakter siswa, maka diperlukan kajian yang komprehensif. SMA Negeri 15 Semarang merupakan salah satu SMA favorit di Kota Semarang dengan tingkat kelulusan yang selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya, ditambah lagi dengan ekstrakurikuler yang berprestasi seperti halnya PASKIBRA. Hal ini mengindikasikan bahwa proses pembelajaran di sekolah tersebut berjalan dengan baik.
TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pendidikan Karakter Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang ia buat. Frye (2002) dan Alberta (2005) mendefinisikan karakter sebagai watak yang melandasi perilaku individu dalam merespon stimulasi dari luar dirinya dengan moralitas yang baik. Dengan demikian dalam karakter terdapat tiga elemen penting, yakni: pengetahua moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral behavior). Definisi ini menegaskan adanya konsistensi ketiga aspek dalam diri seseorang antara pengetahuan, internalisasi dalam diri, dan refleksi dalam perilakunya.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
60
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
Sementara itu Suyanto (2010) menyatakan; pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action), tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dinyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia (Sapriya, 2012). Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values) yang dimaksud antara lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun. Dalam
rangka
lebih
memperkuat
pelaksanaan
pendidikan
karakter
telah
teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. B. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong-royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Pendidikan karakter berfungsi: (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Berdasar fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Atas (SMA) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat (Suyanto, 2010). Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh SMA di Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
61
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya. Melalui program ini diharapkan lulusan SMA memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah (Sudrajat, 2010). Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis (Alberta, 2005; ChaoSun, 2004). Hunter (2001) mengemukakan ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai luhur universal: (1) karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) kemandirian dan tanggungjawab; (3) kejujuran/amanah, diplomatis; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka tolong-menolong dan gotong-royong/kerjasama; (6) percaya diri dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik dan rendah hati; dan (9) karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan pilar karakter itu diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan, sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan. Gagasan yang luhur tersebut disinyalir oleh sebagian kalangan sangat strategis dihidupkan kembali di sekolah untuk memperbaiki kondisi bangsa yang sedang mengalami “kebangkrutan moral” dan berkembangnya kekerasan di masyarakat. Kondisi tersebut sangat terkait dengan lemahnya pendidikan karakter di Sekolah. Bahkan sebagian masyarakat mensinyalir; kegagalan pendidikan karakter di sekolah terkait dengan peran guru yang kurang maksimal.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
62
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
C. Pendidikan Karakter dalam Materi PKn PKn sebagai pendidikan karakter merupakan salah satu misi yang harus diemban. Misi lain adalah sebagai pendidikan politik/pendidikan demokrasi, pendidikan hukum, pendidikan HAM, dan bahkan sebagai pendidikan anti korupsi. Dibandingkan dengan mata pelajaran lain, mata pelajaran PKn dan Agama memiliki posisi sebagai ujung tombak dalam pendidikan karakter. Maksudnya dalam kedua mata pelajaran itu, pendidikan karakter harus menjadi tujuan pembelajaran. Perubahan karakter peserta didik
merupakan
usaha
yang
disengaja/direncakan,
bukan
sekedar
dampak
ikutan/pengiring (Draf Panduan Guru Mata pelajaran PKn, 2010). Hal ini dapat ditunjukkan bahwa komponen PKn adalah pengetahuan, keterampilan dan karakter kewarganegaraan. Dengan kata lain, tanpa ada kebijakan pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam berbagai mata pelajaran, PKn harus mengembangkan pendidikan karakter (Winataputra, 2007; Budimansyah, 2007). Lebih-lebih dengan adanya kebijakan pengembangan pendidikan karakter yang terintegrasi, maka hal ini merupakan tantangan untuk menunjukkan bahwa PKn sebagai ujung tombak yang tajam bukan tumpul bagi pendidikan karakter. PKn sebagai pendidikan karakter dapat dikenali dari konsep, tujuan, fungsi, tuntutan kualifikasi dan keunikan PKn itu sendiri. PKn (Civic Education) adalah pembelajaran yang menggugah rasa ingin tahu dan kepercayaan (trust) terhadap norma– norma sosial yang mengatur hubungan personal dalam masyarakat sebagaimana mengatur partisipasi politik (Alberta, 2005). PKn merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajiban untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 194”. Adapun tujuan PKn bagi siswa adalah agar peserta didik memiliki kemampuan: 1) Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; 2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi; 3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter masyarakat agar dapat hidup bersama dengan bangsa lainnya; dan 4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Sementara fungsi PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 (Cholisin, 2011). Dalam kaitan itu, pemerintah melalui Permendiknas No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
63
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
Guru, memberikan standar kualifikasi kompetensi guru PKn yang bersifat khusus meliputi: (1)
memahami materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang
mendukung mata pelajaran PKn; (2)
memahami substansi PKn yang meliputi
pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), nilai dan sikap kewarganegaraan (civic disposition), dan keterampilan kewarganegaraan (civic skills); dan (3) menunjukkan manfaat mata pelajaran PKn. Keunikan PKn yang demikian digambarkan oleh Potter (2002), yaitu memiliki tiga keunikan yang membedakannya dengan mata pelajaran lain, yaitu: (1) linked with other subject, maksudnya sekolah harus mendukung secara eksplisit untuk mengkaitkan PKn dengan mata pelajaran lain; (2) a way of life, maksudnya PKn harus mengakar dalam pandangan hidup dan etos sekolah secara keseluruhan; dan (3) partcipation, maksudnya PKn memerlukan generasi muda (young people) untuk belajar melalui partisipasi dan pengalaman nyata. Secara komprehensif, Cholisin (2011) menguraikan komponen substansi PKn yang meliputi: pengetahuan kewarganegaraan, ketrampilan kewarganegaraan dan karakter kewarganegaraan. Dengan demikian PKn telah memiliki kawasan pembelajaran sendiri yang khas. Hal ini disebabkan dalam taksonomi Bloom, karakter merupakan aspek afektif, padahal karakter tidak hanya memiliki dimensi sikap tetapi juga perilaku/tindakan yang telah menjadi watak/perilaku sehari-hari. Begitu pula ketrampilan kewarganegaraan yang pada intinya merupakan ketrampilan partisipasi/keterampilan sosial (versi CCE termasuk di dalamnya ketrampilan intelektual), tidak terdapat dalam taksonomi Bloom. Hal ini yang merupakan latar belakang PKn harus memiliki kawasan pembelajaran yang merupakan komponen substansi PKn. Terkait dengan hal itu, proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan fungsi totalitas sosio-kultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Adapun nilai-nilai karakter untuk mata pelajaran PKn meliputi nilai karakter pokok dan nilai karakter utama. Nilai karakter pokok meliputi; kereligiusan, kejujuran, kecerdasan, ketangguhan, kedemokratisan, dan kepedulian. Sedangkan nilai karakter utama meliputi: nasionalis, kepatuhan pada aturan sosial, menghargai keberagaman, kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, bertanggungjawab, berpikir logis, kritis, kreatif, inovatif, dan kemandirian (Dirjendikmen, 2011). D. Kerangka Pikir Salah satu misi mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan telah termuat dalam GBHN yaitu mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas
guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan
kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin dan bertanggungjawab, berketerampilan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
64
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
manusia Indonesia.
Terlihat dengan jelas GBHN mengamanatkan arah kebijakan di
bidang pendidikan yaitu: meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal, terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan, memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun pendidikan luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai,
sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan
partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Di sisi lain, UU No. 20 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif,
mandiri,
dan
menjadi
warga
negara
yang
demokratis
serta
bertanggungjawab. Berangkat dari pemikiran di atas, secara formal upaya menyiapkan kondisi, sarana dan
prasarana,
kegiatan,
pendidikan,
dan
kurikulum
yang
mengarah
kepada
pembentukan watak dan budi pekerti generasi muda yang memiliki landasan yuridis kuat. Namun sinyal tersebut baru disadari ketika terjadi krisis akhlak yang menerpa semua lapisan masyarakat, tidak terkecuali juga pada anak-anak usia sekolah. Untuk mencegah lebih parah krisis akhlak, kini upaya tersebut mulai dirintis melalui pendidikan karakter bangsa. Dalam pemberian pendidikan karakter sekolah, para pakar berbeda pendapat. Setidaknya ada tiga pendapat yang berkembang; (1) pendidikan karakter bangsa diberikan berdiri sendiri sebagai suatu mata pelajaran; (2) pendidikan karakter bangsa diberikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran PKn, pendidikan agama dan mata pelajaran lain yang relevan; dan (3) pendidikan karakter bangsa terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran. Terlepas dari pro dan kontra dan melihat kondisi lapangan yang belum mencantumkan pendidikan karakter berdiri sendiri sebagai sebuah mata pelajaran, kajian ini lebih menekankan pendidikan karakter yang terintegrasi dengan mata pelajaran PKn. Dengan demikian diharapkan setelah siswa menerima materi pembelajaran PKn, anak akan memiliki karakter sesuai dengan tingkat usia dan pemahaman dalam jenjang pendidikan sebagai sebuah ciri atau karakter bangsa. E. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, hipotesis yang diajukan adalah: Ada pengruh positif pemberian materi pembelajaran PKn terhadap pembentukan karakter siswa SMA Negeri 15 Semarang. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
65
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah korelasional, mengingat penelitian sejenis di lokasi penelitian ini belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu, sebagai sebuah penelitian korelasi untuk mengetahui pengaruh pembelajaran PKn terhadap pembentukan karakter siswa. B. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan 1 (satu) semester, yaitu semester gasal tahun ajaran 2012/2013, sedangkan tempat penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 15 Semarang. C. Subjek Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X
SMA Negeri 15
Semarang yang berjumlah 258 anak, namun karena jumlah subjek tersebut dirasa terlalu besar sehingga dilakukan penelitian secara sampel. Cara
pengambilan
sampel
penelitian ini digunakan Nomogram Harry King dengan standar kepercayaan 95% yang diperoleh sampel sebesar 52% dari jumlah populasi, sehingga perhitungannya adalah: 52% x 258 = 134,16, namun setelah dilakukan pembulatan setiap dijit atau kelas diperoleh jumlah sampel sebanyak
137 anak,
dengan teknik pengambilan sampel
random sampling. D. Variabel Penelitian Ada dua jenis variabel dalam penelitian ini, yakni variabel bebas (independent) berupa pembelajaran PKn (X), dan variabel terpengaruh (dependent) berupa karakter siswa (Y). Kedua variabel tersebut akan diteliti mengenai pengaruhnya satu sama lain sebagai objek materiil dari penelitian ini. E. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data primer digunakan instrumen angket atau kuesioner terhadap sampel yang berisi ungkapan atau respon terhadap
pertanyaan yang
dituangkan dalam angket secara lugas. Sedangkan dokumentasi untuk memperoleh jumlah
kelas yang ada, jumlah siswa setiap kelas, prestasi belajar siswa, dan data
pendukung lainnya. Adapun data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka. F. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Sebelum
angket
digunakan
untuk
memperoleh data,
terlebih dahulu
diujicobakan kepada 15 anak yang masih termasuk dalam populasi, tetapi kedudukan mereka bukan sebagai sampel. Hasil hitung validitas dan reliabilitas di atas atau lebih besar dari angka dalam tabel r product moment untuk N = 15 sebesar 0,514, sehingga secara keseluruhan item dalam angket digunakan bisa digunakan untuk mengambil data di lapangan.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
66
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
G. Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik dengan menggunakan rumus regresi linier sederhana (Hadi, 2006), yaitu: ^ Y = a + bX, Berdasarkan analisis data dengan menggunakan rumus regresi diperoleh hasil F hitung atau F regresi = 14,927, angka tersebut kemudian dikonsultasikan dengan F tabel pada N (subjek) = 137, namun karena N = 137 tidak terdapat dalam tabel maka dikonsultasikan dengan N = 120 ∞ yang diperoleh angka 1,645 untuk taraf signifikan 5% atau taraf
kepercayaan 95%. Berdasarkan hasil hitung
bisa dibuat persamaan
matematika: 14,927 > 1,645, karena F hitung lebih besar dari F tabel maka hipotesis kerja (Ha) yang berbunyi; “Ada pengaruh positif pemberian materi pembelajaran PKn terhadap pembentukan karakter siswa SMA Negeri 15 Semarang” diterima.
PEMBAHASAN Menurut teori penelitian, hipotesis yang dapat diuji adalah hipotesis nihil, adapun hipotesis kerja adalah sebagai hasil analog, yaitu kebalikan dari hipotesis nihil. Berdasar teori tersebut, maka hipotesis kerja (Ha) yang diajukan: “Ada pengruh positif pemberian materi pembelajaran PKn terhadap pembentukan karakter siswa SMA Negeri 15 Semarang” harus diubah agar menjadi hipotesis nihil yaitu: "Tidak
ada pengruh positif pemberian
materi pembelajaran PKn terhadap pembentukan karakter siswa SMA Negeri 15 Semarang”. Berdasar perhitungan diketahui dikonsultasikan dengan tabel F
pada
hasilnya 14,927, kemudian angka tersebut N (subjek) 137 yang diperoleh 1,645, sehingga
persamaannya: 14,927 > 1,645. Mengingat hasil hitung (F hitung) lebih besar dari F tabel maka hipotesis nihil (Ho): "Tidak ada pengruh positif pemberian materi pembelajaran PKn terhadap pembentukan karakter siswa SMA Negeri 15 Semarang” ditolak, sebaliknya hipotesis kerja (Ha): “Ada pengruh positif pemberian materi pembelajaran PKn terhadap pembentukan karakter siswa SMA Negeri 15 Semarang” diterima. Dari penolakan hipotesis nihil dan penerimaan hipotesis kerja ini memberikan arti, pemberian materi pembelajaran PKn memiliki pengaruh positif terhadap pembentukan karakter siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara praktik memang ada pengaruh signifikan pemberian materi pembelajaran PKn terhadap pembentukan karakter siswa, namun sebetulnya tidak hanya pada pemberian materi pembelajaran PKn yang dapat memberikan sisipan materi pembentukan karakter anak. Pengaruh pemberian materi pembelajaran PKn terhadap pembentukan karakter siswa adalah menjadikan PKn sebagai mata pelajaran yang mampu membentuk kebiasaan yang baik, agar senantiasa menjaga perilaku yang baik. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
67
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
Dikatakan perilaku dan karakter yang baik, diharapkan siswa dapat hidup dalam “kebaikan”, baik yang berhubungan dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Implementasi dari pembentukan moral dalam karakter peserta didik dapat dilakukan dengan merealisasikan pendidikan karakter di sekolah, khususnya dalam pembentukan moral peserta didik. Perlu dicatat bahwa yang berperan dalam pembentukan moral peserta didik bukan hanya guru (PKn) saja, melainkan juga adanya partisipasi aktif dari orang tua dan masyarakat. Walau pembahasan ini mengarah ke PKn namun untuk mata pelajaran lain tidak dapat terlepas dari kewajiban untuk memberikan pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam materi pembelajaran, hal ini didasari dari ruang lingkup pendidikan karakter yang sangat luas dan beragam. Dapat dikemukakan bahwa pendidikan ke arah terbentuknya karakter bangsa bagi para siswa merupakan tanggung jawab semua guru. Oleh karena itu, pembinaannya harus oleh semua guru. Dengan demikian, kurang tepat jika dikatakan mendidik para siswa agar memiliki karakter bangsa hanya ditimpahkan kepada guru mata pelajaran tertentu, semisal guru PKn
atau guru pendidikan agama. Walaupun dapat dipahami bahwa porsi yang
dominan untuk mengajarkan pendidikan karakter bangsa adalah para guru yang relevan dengan pendidikan karaktrer bangsa. Tanpa terkecuali, semua guru harus menjadikan dirinya sebagai sosok teladan yang berwibawa bagi para siswa, sebab tidak akan memiliki makna apapun bila seorang guru PKn mengajarkan menyelesaikan suatu masalah yang bertentangan dengan cara demokrasi, sementara guru lain dengan cara otoriter. Sesungguhnya setiap guru yang mengajar harus sesuai dengan tujuan utuh pendidikan. Tujuan utuh pendidikan jauh lebih luas dari misi pengajaran yang dikemas dalam
Kompetensi
Dasar
(KD).
Rumusan
tujuan
yang
berdasarkan
pandangan
behaviorisme dan menghafal sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Para guru harus dapat membuka diri dalam mengembangkan pendekatan rumusan tujuan, sebab tidak semua kualitas manusia dapat dinyatakan dan terukur berdasarkan hafalan tertentu. Oleh karena itu,
pemaksaan suatu pengembangan tujuan dalam kompetensi dasar tidak dapat
dipertahankan lagi bila hanya mengacu pada hafalan semata. Hasil belajar atau pengalaman belajar dari sebuah proses pembelajaran dapat berdampak langsung dan tidak langsung.
Dampak langsung pengajaran yang sering
dinamakan dampak instruksional (instrucional effects), sedangkan dampak tidak langsung dari keterlibatan para siswa dalam berbagai kegiatan belajar yang khas yang dirancang oleh guru yang disebut dampak pengiring (nurturant effects). Dikemukakan lebih lanjut bahwa tujuan utuh dari pengalaman belajar harus dapat menampilkan dampak instruksional dan dampak pengiring. Dampak pengiring adalah pendidikan karakter
bangsa yang harus
dikembangkan, tidak dapat dicapai secara langsung, baru dapat tercapai setelah beberapa kegiatan belajar berlangsung. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
68
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
Dalam penilaian hasil belajar, semua guru akan dan seharusnya mengukur kemampuan siswa dalam semua ranah (kognitif, afektif, psikomotor). Dengan penilaian seperti itu maka akan tergambar sosok utuh siswa yang sebenarnya. Artinya, dalam menentukan keberhasilan siswa harus dinilai dari berbagai ranah seperti pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan perilaku (psikomotor). Sebagai gambaran; seorang siswa yang menempuh ujian matematika secara tertulis, sebenarnya siswa tersebut dinilai kemampuan penalarannya yaitu kemampuan mengerjakan soal-soal matematika.
Juga dinilai
kemampuan pendidikan karakter bangsanya, yaitu kemampuan melakukan kejujuran dengan tidak menyontek dan tidak bertanya kepada teman, hal ini disikapi karena perbuatan tersebut tidak baik. Di samping itu, ia dinilai kemampuan gerak-geriknya, yaitu kemampuan mengerjakan soal-soal ujian dengan tulisan yang teratur, rapih, dan mudah dibaca. Berdasarkan pada pemikiran dan prinsip-prinsip tersebut maka dapat dimengerti bahwa pendidikan karakter bangsa menghendaki keterpaduan dalam pembelajaran dengan semua mata pelajaran lain. Pendidikan karakter bangsa diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran, dengan demikian akan meng-hindarkan adanya: mata pelajaran baru, alat kepentingan politik, dan pelajaran hafalan yang cenderung membosankan. Pendidikan karakter bangsa dalam keterpaduan pembelajaran dengan semua mata pelajaran sasaran integrasinya adalah materi pelajaran, prosedur penyampaian, serta pemaknaan pengalaman belajar para siswa. Konsekuensi dari pembelajaran terpadu, maka modus belajar para siswa harus bervariasi sesuai dengan karakter masing-masing siswa. Variasi belajar itu dapat berupa membaca bahan rujukan, melakukan pengamatan, melakukan percobaan, mewawancarai nara sumber, dan sebagainya dengan cara kelompok maupun individual. Terselenggaranya variasi modus belajar para siswa perlu ditunjang oleh variasi modus penyampaian pelajaran oleh para guru. Kebiasaan penyampaian pelajaran secara
eksklusif
dan
pendekatan
ekspositorik
hendaknya
dikembangkan
kepada
pendekatan yang lebih beragam seperti diskoveri dan inkuiri. Kegiatan penyampaian informasi, pemantapan konsep, pengungkapan pengalaman para siswa melalui monolog oleh guru perlu diganti dengan modus penyampaian yang ditandai oleh pelibatan aktif para siswa
baik
secara
intelektual
(bermakna)
maupun
secara
emosional
(dihayati
kemanfaatannya), sehingga lebih responsif terhadap upaya mewujudkan tujuan utuh pendidikan. Dengan bekal varisai modus pembelajaran tersebut, maka skenario pembelajaran yang di dalamnya terkait pendidikan karakter
bangsa dapat dilaksanakan
lebih bermakna. Penempatan pendidikan karakter
bangsa diintegrasikan dengan semua mata
pelajaran tidak berarti tidak memiliki konsekuensi. Oleh karena itu, perlu ada komitmen untuk disepakati dan disikapi dengan saksama sebagai kosekuensi logis. Komitmen tersebut antara lain, pendidikan karakter bangsa yang terintegrasikan dalam semua mata MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
69
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
pelajaran, dalam proses pengembangannya harus mencakupi tiga dimensi yaitu kurikulum sebagai ide, kurikulum sebagai dokumen, dan kurikulum sebagai proses terhadap semua mata
pelajaran
yang
dimuati
pendidikan
karakter
bangsa.
Lebih
lanjut
bahwa
pengembangan ide berkenaan dengan folosifi kurikulum, model kurikukum, pendekatan dan teori belajar, pendekatan atau model evaluasi. Pengembangan dokumen berkaitan dengan keputusan tentang informasi dan jenis dokumen yang akan dihasilkan, bentuk/format silabus dan komponen kurikulum yang harus dikembangkan. Sementara itu, pengembangan proses berkenaan dengan pengembangan pada tataran empirik seperti RPP, proses belajar di kelas, dan evaluasi yang sesuai, agar pengembangan proses tersebut merupakan kelanjutan dari pengembangan ide dan dokumen yang harus didahului oleh sebuah proses sosialisasi oleh orang-orang yang terlibat dalam kedua proses, atau paling tidak pada proses pengembangan kurikulum sebagai dokumen. Dalam pembelajaran terpadu agar pembelajaran efektif dan berjalan sesuai harapan ada persyaratan yang harus dimiliki yaitu (a) kejelian profesional para guru dalam mengantisipasi pemanfaatan berbagai kemungkinan arahan pengkait yang harus dikerjakan para siswa untuk menggiring terwujudnya kaitan-kaitan koseptual intra atau antar mata bidang studi dan (b) penguasaan material terhadap bidang-bidang studi yang perlu dikaitkan. Kedua hal tersebut berkaitan dengan pendidikan karakter sebagai pembelajaran yang terpadu dengan semua mata pelajaran arahan pengkait yang dimaksudkan dapat berupa pertanyaan yang harus dijawab, atau tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh para siswa
yang
mengarah
kepada
perkembangan
pendidikan
karakter
bangsa
dan
pengembangan kualitas kemanusiaan, termasuk di dalamnya para siswa sebagai calon generasi penerus bangsa.
SIMPULAN 1) Sangat beralasan apabila pendidikan karakter dalam pembelajarannya diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Alasan itu karena pendidikan karakter mampu meningkatkan akhlak luhur siswa, sehingga penanaman karakter menjadi
tanggung
jawab semua guru. Hal ini senada dengan tujuan pendidikan yaitu membentuk sosok siswa secara utuh, sehingga pencapaian pendidikan harus mencakup dampak instruksional dan dampak pengiring. 2) Implementasi pendidikan karakter terintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran, pengembangannya lebih memadai pada model kurikulum terpadu dan pembelajaran terpadu dengan menentukan center core pada mata pelajaran yang akan dibelajarkan, seperti mata pelajaran PKn dan pendidikan agama. 3) Proses pengembangan pendidikan karakter sebagai pembelajaran terpadu harus diproses seperti kuriklum lain, yaitu sebagai: (1) ide, dokumen, dan proses; (2) kejelian MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
70
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
profesional dan penguasaan materi;
(3) dukungan pendidikan luar sekolah,
arahan
spontan dan penguatan segera; (4)
penilaian beragam; dan (5) difusi, inovasi dan
sosialisasi adalah komitmen-komitmen yang harus diterima dan disikapi dalam pencanangan pembelajaran terpadu pendidikan karakter itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Alberta, 2005. The Heart of the Matter : Character and Citizenship Education in Alberta schools. Alberta Education Learning and Teaching Resources Branch 8th Floor, 44 Capital Boulevard 10044 – 108 Street NW Edmonton, Alberta T5J 5E6. Alsa, Asmadi, 2004, Pendekatan Kuantitatif & Kualitatif Serta Kombinasinya Dalam Penelitian Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Budimansyah, D. 2007. Pendidikan Demokrasi Sebagai Konteks Civic Education di Negara Berkembang, Bandung, Acta Civicus Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Vol.1 No. 1. Chao-Sun, C. dan Ro-Yu, L. 2007. Character
Education
and
Character-trait
Development:An Enrichment for College Students. Paper presented at the 2007 seminar of Kao Yuan University for General Education May 25, 2007 at Kao Yuan University Kaohsiung County, ROC. Cholisin, 2011. Peran Guru PKn Dalam Pendidikan Karakter, Makalah Disampaikan pada Kuliah Umum Jurusan PPKn FKIP UAD Yogyakarta, 5 Februari. Draf Panduan Guru Mata pelajaran PKn: Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran di Sekolah Menengah Pertama, 2010, Kementerian Pendidikan Nasional. Free
Forum,
2012,
Character
Education,
dalam
publications/first/findingcommonground/B13.CharacterEd.pdf>, diakses tanggal 18 Februari 2012. Frye, M., dkk. 2002. Character Education Informational Handbook and Guide, Public Schools of North Carolina State Board of Education Department of Public Instruction Division of Instructional Services Character Education. Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Hunter, S. & Birisbin Jr. 2001. Deptartemen of Political Science West Virginia University, “Civic and Political Education in Political Science A Survey of Practices”, Prepared for presentation at the Annual Meeting of APSA , Boston, MA.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
71
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
Potter, J. “The Challenge of Education for Active Citizenship”, Education + Training, Volume 44- Number 2 -2002. Ramly, dkk. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Kementerian Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Puskurbuk. Sapriya, 2012. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia. Sudrajat, A. 2010, Tentang Pendidikan Karakter, dalam
diakses tanggal 18 Februari 2012. Suyanto, 2010, Urgensi Pendidikan Karakter, dalam
diakses tanggal 18 Februari 2012. Sutrisno Hadi, 2006, Statistik, Yogyakarta: Andi Offset. Tim Pendidikan Karakter, 2010. Pendidikan Karakter di SMP, Kementerian Pendidikan Nasional. Winataputra, 2007. Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas, Bandung Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, UPI. UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
72