1
PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP EKSISTENSI POLA HUBUNGAN JURAGAN DAN BURUH KAMPOENG BATIK LAWEYAN
FAUZIAH KURNIATI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
2
3
PERNYATAAN MENGENAI PENELITIAN DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA1
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan“ benar hasil karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Fauziah Kurniati NIM. I34120090
1
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
4
5
ABSTRAK FAUZIAH KURNIATI. Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan. Dibawah bimbingan MARTUA SIHALOHO. Indonesia memiliki beragam warisan budaya salah satunya adalah batik. Batik telah diakui oleh United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai warisan budaya Indonesia sehingga perlu dijaga eksistensinya. Salah satu kampung batik tertua di Indonesia yaitu Kampoeng Batik Laweyan, pada proses produksi batik juragan dan buruh menjalin hubungan melalui modal sosial dan membentuk pola hubungan patron-klien. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah menganalisis pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh, menganalisis pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan, serta menganalisis pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis pengaruh tersebut adalah pendekatan kuantitatif dengan metode survei yang didukung oleh data kualitatif yang relevan. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh pada setiap kelas perusahaan batik. Terdapat pengaruh signifikan pola hubungan patron-klien terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada setiap kelas perusahaan batik. Terdapat pengaruh signifikan modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada setiap kelas perusahaan batik.
Kata kunci: batik, eksistensi, modal sosial, dan pola hubungan juragan dan buruh ABSTRACT FAUZIAH KURNIATI. The influence of social capital to the existence of a pattern of relationship juragan and buruh Kampoeng Batik Laweyan. Supervised by MARTUA SIHALOHO. Indonesia has a diverse cultural heritage of one of them is batik. Batik has been recognized by the United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) as an Indonesian cultural heritage that needs to be maintained existence. One of the oldest villages in Indonesia, namely Kampoeng Batik Laweyan. Kampoeng Batik Laweyan is one area in the city of Surakarta which has a rich cultural heritage, both tangible (material) or intangible (non-material), the skipper of batik production process and labor relations through social capital and form a pattern of patron-client relationships. The purpose of this paper is to analyze the influence of social capital on the pattern of relationship between juragan and buruh, analyze the influence of a pattern of relationship between juragan and buruh to the existence of Kampoeng Batik Laweyan, and to analyze the influence of social capital to the existence of Kampoeng Batik Laweyan. The approach used to analyze the effect of these is the quantitative approach with survey supported by qualitative data that is relevant. Results of the analysis showed that there is no influence of social capital on pattern of relationship between juragan and buruh at each grade companies batik. There is the influence of the pattern of relationship between juragan dan buruh to the existence of Kampoeng Batik Laweyan at each grade companies batik. There is the influence of social capital on the existence of Kampoeng Batik Laweyan at each grade companies batik.
Keywords: batik, existence, social capital, and a pattern of relationship between juragan and buruh
6
7
PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP EKSISTENSI POLA HUBUNGAN ANTARA JURAGAN DAN BURUH KAMPOENG BATIK LAWEYAN
FAUZIAH KURNIATI I34120090
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
8
11
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini membahas mengenai pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan, Surakarta. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Martua Sihaloho, SP, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Syafi‟i dan Ibu Asnawati selaku orang tua serta Rista Rikiatun dan A. Ridwan Suyuti selaku adik kandung yang selalu memberikan saran, masukan dukungan, dan doa yang sangat berarti untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman terdekat, teman satu bimbingan yaitu Henny Kristikasari dan Suci Ayu Rachmawati, serta kepada seluruh mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 49, yang telah memberikan dukungan semangat dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga hasil penelitian bermanfaat. Bogor, Juli 2016
Fauziah Kurniati NIM. I34120090
14
13
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
vi vi vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
Tinjaun Pustaka
5
Modal Sosial (Social Capital)
5
Eksistensi
9
Pola Hubungan Patron-Klien
10
Kerangka Pemikiran
14
Hipotesis Penelitian
16
PENDEKATAN LAPANG
17
Metode Penelitian
17
Lokasi dan Waktu Penelitian
17
Teknik Pengumpulan Data
18
Teknik Penentuan Informan dan Responden
20
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
21
Definisi Operasional
22
Gambaran Umum Kampoeng Batik Laweyan
29
Kondisi Geografi Kampoeng Batik Laweyan
29
Kondisi Demografi Kampoeng Batik Laweyan
29
Potensi Sumberdaya Manusia Kondisi Sarana Pendidikan Kampoeng Batik Laweyan
29 33
Gambaran Responden Penelitian
34
Sejarah dan Dinamika Kampoeng Batik Laweyan
37
Pola Hubungan Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan
45
Pengaruh Modal Sosial terhadap Pola Hubungan Juragan dan Buruh
51
Pengaruh Pola Hubungan Juragan dan Buruh terhadap Eksistensi Kampoeng Batik Laweyan
59
Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Kampoeng Batik Laweyan
63
16
15
PENUTUP Simpulan DAFTAR PUSTAKA
67 67 69
17
DAFTAR TABEL 1 Dua unsur komplemen modal sosial 2 Metode pengumpulan data 3 Definisi operasional modal sosial 4 Definisi operasional pola hubungan patron-klien 5 Definisi operasional eksistensi 6 Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis kelamin di Kampoeng Batik Laweyan 2016 7 Jumlah dan persentase penduduk menurut mata pencaharian (umur 10 tahun keatas) Februari 2016 8 Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan (umur 5 tahun keatas) Februari 2016 9 Jumlah dan persentase penduduk menurut penganut agama di Kampoeng Batik Laweyan 2016 10 Jumlah sarana pendidikan di Kampoeng Batik Laweyan 11 Frekuensi modal sosial pada perusahaan batik kelas besar (large) 12 Frekuensi modal sosial pada perusahaan batik kelas menengah (medium) 13 Frekuensi modal sosial pada perusahaan batik kelas kecil (small)
6 19 22 24 27 29 31 32 33 33 51 53 54
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran 2 Sebaran jenis kelamin responden pada perusahaan batik kelas besar (large) 3 Sebaran jenis kelamin responden pada perusahaan batik kelas menengah (medium) 4 Sebaran jenis kelamin pada perusahaan batik kelas kecil (small)
16 34 35 35
DAFTAR LAMPIRAN
1 Sketsa Kampoeng Batik Laweyan 75 2 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2016 76 3 Kerangka sampling 77 4 Daftar nama responden 87 5 Frekuensi pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas besar (large) 91 6 Frekuensi pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas menengah (medium) 92 7 Frekuensi pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas kecil (small) 93 8 Panduan wawancara mendalam 94 9 Kebutuhan data dan metode pengumpulan data 103 10 Hasil uji validitas dan reabilitas modal sosial, pola hubungan, dan eksistensi 109 11 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas besar (large) 119
18
19
12 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas menengah (medium) 121 13 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas kecil (small) 125 14 Hasil olah data pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan
128
15 Hasil olah data pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan
132
16 Hasil olah data pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan
136
17 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan batik kelas besar (large) 140 18 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan batik kelas menengah (medium) 144 19 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan batik kelas kecil (small) 148 20 Dokumentasi lapang 152 21 Tulisan tematik 155
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki beragam warisan budaya salah satunya adalah batik. Batik telah diakui oleh United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai warisan budaya Indonesia sehingga perlu dijaga keberadaan dan keasliannya2. Industri batik di Indonesia umumnya merupakan industri Usaha Kecil Menengah (UKM) yang menjadi mata pencaharian sebagian masyarakat Kebijakan pemerintah untuk mendukung Usaha Kecil dihitung dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah3. Batik selain sebagai karya kreatif yang sudah berkembang sejak zaman dahulu serta sebagai hasil seni budaya, maka kerajinan dan industri batik merupakan sumber kehidupan perekonomian masyarakat diberbagai kota maupun konsentrasi industri seperti halnya di Surakarta. Kota Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa memiliki dua kawasan kerajinan batik yaitu Kawasan Kauman dan Kawasan Laweyan. Kawasan Kauman merupakan bagian dari pusat kota Surakarta, sedangkan Kawasan Laweyan atau dikenal dengan sebutan Kampoeng Batik Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik, dan bersejarah. Kampoeng Batik Laweyan adalah satu kawasan di kota Surakarta yang memiliki kekayaan pusaka budaya, baik yang tangible (bendawi) maupun intangible (non bendawi). Kampoeng Batik Laweyan ini merupakan kampung batik tertua di Indonesia yang berasal dari kata lawe, yakni semacam benang sebagai bahan pembuat kain4. Adapun produk batik yang dihasilkan oleh masyarakat Kampoeng Batik Laweyan yaitu batik tulis, stamp batiks, dan printing batiks. Proses pewarnaan batik yang dilakukan oleh para pengusa batik menggunakan pewarna alami dan pewarna buatan. Wardani (2015) dalam penelitiannya mengungkapkan industri yang menggunakan pewarna buatan di Kampung Batik Laweyan sebesar 61%, sedangkan yang menggunakan pewarna alami 39%. Pewarna alami yang digunakan berasal dari produk pertanian, yang terdapat di lingkungan sekitar maupun dari pemasok. Pewarna alami dapat diperoleh dari ekstrak daun, batang, akar, biji dari tumbuh-tumbuhan. Kampoeng Batik Laweyan resmi dinyatakan sebagai kawasan cagar budaya pada tahun 2010 berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.03/PW.007/MKP/2010 tentang benda cagar budaya, situs atau kawasan cagar budaya yang dilindungi UU No. 5 tahun 1992 yang kemudian diperbaharui
2
http://www.kemendag.go.id/files/regulasi/2015/07/14/53m-dagper72015-id1438313436.pdf diakses pada tanggal 16 Februari 2016. 3 http://www.bi.go.id/id/tentang-bi/uu-bi/Documents/UU20Tahun2008UMKM.pdf diakses pada tanggal 16 Februari 2016. 4 Dikutip dari buku “Sekilas tentang Kami Kampoeng LAWEYAN”.
2
dengan UU No. 11 tahun 20105. Majah (2015) mengatakan bahwa sejak ditetapkannya sebagai kawasan wisata, Laweyan menjadi tempat yang banyak dikunjungi oleh wisatawan yang berkunjung ke kota Surakarta, dalam bidang kebudayaan mulai dibukanya Laweyan sebagai kawasan wisata telah memberikan peluang bagi masyarakat Laweyan untuk melestarikan tradisi tradisionalnya dengan cara memperkenalkan kepada wisatawan. Kampoeng Batik Laweyan mengalami masa kejayaan pada abad 20 M dan pada saat itu muncul metode pembuatan batik dengan cara cap, dengan metode ini pembuatan batik bisa menjadi lebih mudah dan cepat. Era 1970-an mulai muncul teknik baru untuk membuat batik tanpa menggunakan lilin panas namun menggunakan screen sablon, pada saat itu disebut sebagai printing. Namun, kemunculan batik printing yang dinilai lebih murah dan proses produksinya sangat cepat, pada saat itu mampu menyaingi pemasaran batik tulis dan batik cap. Kemudian, satu persatu industri batik di Laweyan mengalami kebangkrutan. Geertz (1960) membagi struktur masyarakat Jawa menjadi 3 golongan yaitu priyayi, santri dan abangan. Sementara Menurut Priyatmono dan Fabela (2004) menyebutkan di Laweyan terdapat beberapa kelompok sosial dalam kehidupan masyarakatnya, kelompok tersebut terdiri dari juragan (pedagang), wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim ulama), dan priyayi (bangsawan atau pejabat). Selain itu dikenal pula golongan saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik yang biasa disebut istilah mbok mase. Menurut Karl Marx (1848) perbedaan kelompok sosial tersebut akan menciptakan konflik, sebagaimana padangan Karl Marx yang dikutip Magnis dan Suseno (2005). “... Akan terlihat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Selama sistem ekonomi berdasarkan monopoli hak kekuasaan kelas pemilik atas proses produksi berlangsung, niscaya akan terjadi pertentangan antara kedua kelas itu ...”.
Berbeda halnya dengan Probowati (2011) yang menyatakan bahwa meskipun berbeda kelas antara juragan dan buruh, buruh sudah sadar akan posisinya sehingga pola hubungan keduanya tetap terjalin baik, melalui modal sosial. Modal sosial (social capital) menggambarkan modalitas di masyarakat sosial yang menggambarkan kekuatan masyarakat untuk memperkuat integritas sosialnya. Putnam (1993) menyatakan bahwa modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. Berdasarkan data dari Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, Kampoeng Batik Laweyan memiliki 72 perusahaan batik yang terbagi kedalam tiga kelas perusahaan yaitu besar (large), menengah (medium), dan kecil (small), namun saat ini jumlah perusahaan batik yang masih tetap eksistensi untuk memproduksi batik hanya mencapai 40% dari seluruh jumlah perusahaan batik.
Oleh karena itu menjadi penting untuk diteliti Pengaruh modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan. 5
http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/siteregnas/uploads/file_dokumen/44062112520140904-121701.pdf diakses pada tanggal 16 Februari 2016.
3
Perumusan Masalah Kampoeng Batik Laweyan memiliki jumlah perusahaan batik sebanyak 72 perusahaan yang terbagi kedalam tiga kelas perusahaan batik yaitu perusahaan batik kelas besar (large), kelas menengah (medium), dan kelas kecil (small). Namun saat ini hanya mencapai 40% dari jumlah perusahaan tersebut yang tetap bertahan untuk memproduksi batik. Tipe pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh pada aktivitas produksi batik yaitu tipe hubungan patron-klien, perusahaan batik yang saat ini masih tetap bertahan menerapkan modal sosial untuk menjaga pola hubungan tersebut. Berdasarkan hal tersebut sehingga muncul pertanyaan pertama
dalam penelitian ini yaitu bagaimana pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan?. Pola hubungan juragan dan buruh di Kampoeng Batik Laweyan yang terjalin sejak lama, selama bertahun-tahun menyebabkan Kampoeng Batik Laweyan hingga saat ini tetap bertahan, meskipun mengalami perubahan baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Berdasarkan hal tersebut sehingga muncul pertanyaan kedua yaitu bagaimana pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan?. Selain itu para pengusaha Kampoeng Batik Laweyan memegang teguh kepercayaan dalam hal penyediaan bahan baku antar sesama juragan, sehingga sampai saat ini Kampoeng Batik Laweyan masih ada. Berdasarkan hal tersebut sehingga muncul pertanyaan ketiga yaitu bagaimana pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan?. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan. 2. Menganalisis pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan. 3. Menganalisis pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi pihakpihak yang berminat maupun yang terkait kajian modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan di suatu wilayah. Secara spesifik dan terperinci manfaat yang didapatkan oleh berbagai pihak.
4
1. Akademisi Bagi akademisi, penelitian ini menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di lapangan. Selain itu diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menambah informasi dari perkembangan fenomena sosial mengenai pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan. Penelitian ini juga dapat menjadi literatur bagi akademisi yang ingin mengkaji lebih lanjut. 2. Pembuat kebijakan Bagi pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat menambah rujukan dalam menganalisis bagaimana seharusnya regulasi dibentuk dan dilaksanakan untuk mengatur Kampoeng Batik Laweyan sebagai kawasan cagar budaya, yang dapat meningkatan pendapatan daerah dan menjaga eksistensi batik sebagai warisan dunia yang dimiliki oleh Indonesia. 3. Masyarakat Bagi masyarakat khususnya pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjaun Pustaka Modal Sosial (Social Capital) Modal sosial (social capital) menggambarkan modalitas di masyarakat sosial yang menggambarkan kekuatan masyarakat untuk memperkuat integritas sosialnya. Istilah modal sosial (social capital) pertama kali digunakan oleh Robert D. Putnam, ia mengartikan modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi (Putnam 1993). Menurut Putnam (1993) modal sosial adalah bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan mengfasilititasi tindakan terkoordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Bourdie yang dikutip oleh Field (2003) mendefiniskan modal sosial sebagai kumpulan sumberdaya yang dibutuhkan oleh individu atau kelompok sehingga dapat memiliki jaringan hubungan institusional yang lebih tahan lama agar saling mengakui dan menghargai. Sementara menurut Coleman (1988) mengatakan bahwa modal sosial mencakup beberapa aspek pada struktur sosial dan melekat pada struktur hubungan yang antara aktor dan diantara aktor. Grootaert (2002) menyatakan bahwa kapital sosial merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan ketersedian kapital ekonomi ditingkat rumah tangga, bahwa menurutnya, kontribusi kapital sosial sebanding dengan modal manusia. Artinya, kapital sosial yang bersifat non fisik diyakini mampu menandingi peran kapital fisik. Selanjutnya Nasdian (2014) menyatakan bahwa konsep modal sosial terbagi kedalam empat dimensi. Pertama adalah integrasi (integration) yaitu ikatan yang kuat antar masyarakat, keluarga dengan tetangga sekitarnya, contohnya ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik, dan agama. Kedua, pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal, contohnya jejaring (network) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik dan agama. Ketiga, integritas organisasional yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya termasuk kepastian hukum dan menegakkan peraturan. Keempat, sinergi yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas ( state-community relations). Hasbullah (2006) mengatakan enam unsur pokok dalam modal sosial berdasarkan berbagai pengertian modal sosial. 1. Participan in network (partisipan dalam jaringan) 2. Resciprocity (pembalasan) 3. Trust (percaya) 4. Social norms (norma sosial) 5. Values (nilai)
6
6. Proactive action (tindakan proaktif). Sementara Coleman (1989) menekankan tiga bentuk modal sosial, yaitu jaminan dan harapan, saluran informasi, dan norma-norma sosial. Harapan, jaminan, dan tegaknya norma-norma sosial tersedia apabila suatu struktur sosial memiliki tatanan dan aturan sosial yang terbuka. Uphoff (1999) membedakan modal sosial kedalam dua dimensi komplementer, yaitu dimensi struktural dan dimensi kognitif. Dimensi struktural bersumber dari peranan dan aturan dalam organisasi sosial dalam jaringan dan hubungan interpersonal, serta prosedurprosedur dan preseden-preseden, yang didorong oleh faktor-faktor dinamis baik vertikal maupun horizontal. Adapun dimensi kognitif bersumber dari normanorma, nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan yang hidup di dalam masyarakat sipil oleh dorongan kepercayaan, solidaritas, kerjasama, dan persahabatan. Kedua dimensi memiliki elemen-elemen umum yang mendorong tingkah laku bekerja sama secara saling menguntungkan. Tabel 1 Dua unsur komplemen modal sosial Ciri Sumber-Sumber dan Manifestasi
Struktural Peran dan Aturan Jaringan dan Hubungan Interpersonal Prosedur dan Preseden
Kognitif Norma-Norma Nilai-Nilai Sikap-Sikap Keyakinan
Ranah
Organisasi Sosial
Budaya Sipil
Faktor-Faktor Dinamik
Hubungan Vertikal Hubungan Horizontal
Kepercayaan, Solidaritas Kerjasama, Keramahan
Elemen-Elemen Umum
Harapan-harapan yang mendorong tingkah laku kerjasama dimana prosedur-prosedur bersifat saling menguntungkan.
Sumber: Uphoff (1999).
Fukuyama (2010) mengungkapkan modal sosial secara sederhana didefinisikan sebagai kumpulan nilai-nilai atau norma-norma informal secara spontan terbagi diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama diantara mereka. Fukuyama mengungkapkan bahwa mereka harus mengarah kepada kerja sama dalam kelompok dan berkaitan dengan kebijakan-kebijakan tradisional seperti: kejujuran; memegang komitmen; bertanggung jawab terhadap pekerjaan, dan norma saling timbal balik, Fukuyama (2010) juga menjelaskan bahwa modal sosial mustahil dimiliki oleh individuindividu yang bergerak diatas kepentingannya sendiri.
7
Lawang (2004) membagi modal sosial kedalam bentuk kepercayaan, norma, dan jaringan, sedangkan konsep-konsep tambahan terdiri dari tindakan sosial, interaksi sosial dan sikap. 1. Kepercayaan (trust) Hubungan antara dua pihak atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan salah satu atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial. 2. Jaringan (network) Sumber pengetahuan yang menjadi dasar utama dalam pembentukan kepercayaan strategik. Salah satu karakteristiknya adalah ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial). Hubungan sosial ini diikat dengan kepercayaan, boleh dalam bentuk strategik, boleh pula dalam bentuk moralistik. Terdapat jaringan antar personal, jaringan antar individu dan institusi, serta jaringan antar institusi. 3. Norma Norma itu muncul dari pertukaran saling menguntungkan, artinya kalau dalam pertukaran itu keuntungan dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran selanjutnya pasti tidak akan terjadi, karena itu norma disini muncul bukan menyangkut hak dan kewajiban suatu kegiatan tertentu, yang melanggar prinsip keadilan akan dikenakan sanksi yang keras juga. Poli (2007) mengatakan ciri-ciri modal sosial yaitu sebagai berikut: a. dimiliki bersama b. dapat digunakan untuk pencapaian tujuan bersama c. dapat bertambah dan dapat pula berkurang d. kian dibagi-bagi kian bertambah e. kian tidak dibagi-bagi, kian berkurang. Lawang (2004) mengatakan norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan. Jika struktur jaringan tersebut terbentuk karena pertukaran sosial yang terjadi antara dua orang atau lebih. 1. Norma itu muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan, artinya jika perturan tersebut hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran sosial yang selanjutnya pasti tidak akan terjadi, karena itu norma yang muncul disini, bukan sekali jadi melalui suatu pertukaran saja. Norma muncul karena beberapa kali pertukaran yang saling menguntungkan dan ini dipegang terus menjadi sebuah kewajiban sosial yang harus terpelihara. 2. Norma bersifat resiprokal, artinya isi norma menyangkut keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. Orang yang melanggar norma ini yang berdampak pada berkurangnya keuntungan dikedua belah pihak, akan diberi sanksi negatif yang keras.
8
3. Jaringan yang terbina menjamin keuntungan kedua belah pihak secara merata, akan memunculkan norma keadilan dan akan melanggar prinsip keadilan akan dikenakan sangsi yang keras juga. Lawang (2004) mengungkapkan tentang jaringan yang digunakan dalam teori kapital sosial. 1. Ada ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial). 2. Ada kerja antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui media hubungan sosial menjadi satu kerjasama, bukan kerja bersama-sama. 3. Seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus) kerja yang terjalin antar simpul itu pasti kuat menahan beban bersama. 4. Kerja jejaring itu ada ikatan (simpul) yang tidak dapat berdiri sendiri, malah kalau satu simpul saja putus, maka keseluruhan jejaring itu tidak bisa berfungsi lagi, sampai simpul itu diperbaiki. Semua simpul menjadi satu kesatuan yang kuat. 5. Media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat dipisahkan, atau antara orang-orang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan. 6. Ikatan atau pengikat (simpul) adalah norma yang mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan medianya itu dipelihara dan dipertahankan. Mudiarta (2009) mengatakan bahwa dalam memahami konsep agribisnis berbasis komunitas sebagai proses interaksi sosial dan proses kerja sekaligus, yang didalamnya teraktualisasikan tiga jenis modal yaitu modal alamiah, modal ekonomi, dan modal sosial (kapital sosial); harus memperhatikan jaringan sosial yang ada. Sinergi ketiga jenis kapital itulah yang semestinya menjadi bahan pertimbangan utama dalam perencanaan maupun operasionalisasi suatu kebijakan pembangunan pertanian. Thobias et al. (2013) dalam penelitiannya menyebutkan modal sosial yang dimiliki masyarakat seperti kepercayaan, gotong royong, jaringan dan sikap, memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan perilaku kewirausahaan, seperti meningkatnya kepercayaan masyarakat yang dimanifestasikan dalam prilaku jujur, teratur dan kerja sama berdasarkan normanorma yang dianut bersama, dalam kegiatan kewirausahaan modal sosial juga dapat berfungsi sebagai pengungkit berhasilnya kegiatan usaha, karena dalam modal sosial terdapat nilai-nilai kerjasama. Wijaya (2009) menyatakan bahwa juragan batik dan saudagar batik membentuk modal ekonomi, sosial, dan budaya seraca turun temurun. Akumumulasi modal ekonomi, jaringan sosial ekonomi, dan pengetahuan usaha secara turun temurun dari generasi kegenerasi berikutnya. Akumulasi modal ekonomi dimanfaatkan untuk mengembangkan pabrikan batik cap dan manufaktur batik printing. Akumulasi modal sosial dimanfaatkan untuk mengembangkan jaringan hubungan produksi dan hubungan dagang. Akumulasi pengetahuan dan keterampilan usaha digunakan sebagai acuan pengambilan keputusan dalam setiap menjalankan kegiatan usaha. Modal uang tunai yang digunakan untuk biaya operasional produksi dan biaya operasional pemasaran sebesar 3 kali siklus kerja, satu siklus kerja selama 1 bulan. Rumusan modal operasional usaha sebanyak 3 kali berhubungan mekanisme perputaran modal uang tunai yang
9
dijalankan oleh juragan dan saudagar batik dalam mengembangkan usahanya. Juragan dan saudagar batik mengembangkan mekanisme pengeluaran dan pemasukan modal uang tunai sebagai berikut: pertama, juragan dan saudagar mengeluarkan sejumlah uang tunai untuk biaya produksi atau perdagangan selama satu bulan atau satu siklus kerja usaha. Kedua, juragan dan saudagar mengembangkan strategi penjualan ngalap nyaur kepada sejumlah pelanggan pedagang baik dari dalam dan luar kota. Para pelanggan pedagang mengambil barang dagangan bulan kesatu membayar barang dagangan tersebut pada bulan kedua. Ketiga, juragan batik dan saudagar batik memberi kelonggaran tambahan waktu pembayaran pada bulan ketiga pada para pelanggan pedagang. Keempat, juragan dan saudagar menyediakan sejumlah modal uang tunai untuk biaya operasional produksi dan penjualan selama tiga siklus kerja atau tiga kali. Pemahaman budaya Jawa, orang yang telah menerima bantuan dari mereka akan merasa berhutang budi dan wajib mengembalikan bantuan itu dimasa depan “ utang dhuwit iso dilunasi utang budi digowo mati”. Pengrajin pembatik dan bakul batik merasa berhutang budi pada juragan dan saudagar batik. Pengrajin pembatik dan bakul batik memiliki keyakinan bahwa mendapat order pekerjaan dan pinjaman materi merupakan sesuatu yang berhubungan budi pekerti. Secara tidak langsung, nilai budaya ini diintrumentalisasi oleh para juragan dan saudagar batik kedalam hubungan produksi dan dagang untuk mendukung aktivitasnya. Pengrajin pembatik dan bakul batik mengembangkan modal sosial saling percaya, norma tolong menolong dan kerja sama dalam kelompok-kelompok kekerabatan, ketetanggaan dan keagamaan di pedesaan. Mereka mengembangkan norma tolong menolong dengan ungkapan tepo sliro. Artinya jika seseorang ingin ditolong maka ia harus menolong orang lain. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Hannida (2009). “... Social capital merujuk keperekat (the glue) yang mengikat warga masyarakat secara bersama, menjadi kumpulan dan jaringan sosial dan institusi, norma-norma sosial (seperti karjasama) dan nilai-nilai atau atribut sosial (khususnya trust). Singkatnya social capital adalah “a convenient shorthand for what makes societies work” . Tidak seperti modal fisik dan modal manusia, social capital akan meningkat atau sebeliknya [sic] menurun. Social capital akan meningkat menakala [sic] digunakan dan akan menurun tatkala tidak dipergunakan. Social capital pengusaha batik Laweyan terlihat apabila dari beberapa pengusaha batik Laweyan ada yang membutuhkan bahan mori, untuk itu ada yang membeli dengan mencicil ataupun dibayar setelah barang laku. Social capital pengusaha batik Laweyan memegang teguh kepercayaan (trust) yang telah diberikan oleh pengusha lain sehingga bila membutuhkan bantuan bahan baku dapat meminjam ke pengusaha lain ...”.
Eksistensi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, eksistensi berasal dari kata “ada” yang berarti hadir, kelihatan, berwujud (Santoso 1995), dengan semikian eksistensi atau keberadaan dapat diartikan sebagai hadirnya atau adanya seseuatu dalam kehidupan. Eksistensi berasal dari kata “exist “ yang berarti hidup, dan “ence” yang berarti hal, hasil, keadaan, keberadaan, kehidupan, semua yang ada (Maulana 2011). Abidin (2007) mengatakan eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada, ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu
10
sendiri yakni exsistere dan ex yang artinya keluar, sitere yang berarti membuat berdiri. Apabila digabungkan exsistere diartikan apa yang ada, yang memiliki aktualitas, dan apa yang dialami. Jadi, eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensipotensinya. Soren Kiegaard adalah pemikir pertama yang memperkenalkan istilah “eksistensi” yang dipakai menurut pengertian sekarang dalam aliran eksistensialisme. “Esensi” berarti yang ada, maka “eksistensi” dimengerti sebagai yang berada. Konsep eksistensi menunjuk pada sesuatu yang hadir secara konkrit, memiliki efek, jelas, pasti, kelihatan dan yang dilakukan sesuatu. Istilah eksistensi pada manusia hanya diterapkan pada individu-individu konkrit. Hadiwijono (2005) menyatakan kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Kata eksistensi diartikan bahwa manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar darinya. Maziyah (2014) menyebutkan eksistensi dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut: 1. keberadaan, nyata 2. mengalami perkembangan 3. preferensi konsumen 4. harga 5. fleksibilitas mengikuti trend atau mode pakaian 6. hubungan personal 7. sinergi pasar tradisional dan modern. Pola Hubungan Patron-Klien Probowati (2011) mengungkapkan dalam struktur masyarakat Kampoeng Batik Laweyan terjadi corak hubungan patron-klien, umumnya patron berperan sebagai pemimpin informal yang memberikan perlindungan terhadap kliennya. Prinsip dari corak hubungan patron-klien adalah adanya hubungan yang relatif stabil dan lama diantara para pelakunya. Demikian juga yang berlangsung di Kampoeng Batik Laweyan, hubungan antara juragan (sebagai patron) dan buruh (sebagai klien) berlangsung dalam jangka waktu yang lama tak jarang pula berlangsung hingga turun temurun. Ketergantungan klien (buruh) yang besar terhadap patron (juragan) terlihat dari bagaimana perlakuan dan kesetiaan (dalam kurun waktu yang lama dan terus menerus). Aktivitas hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh batik membentuk suatu ruang sosial tersendiri sebagai wadah komunal. Hubungan banyak benang diadik vertikal menyangkut seseorang yang mempunyai kedudukan sosial, politik atau ekonomi yang lebih tinggi, dalam hubungan vertikal dengan seseorang yang kedudukan sosial, politik atau ekonomi lebih rendah, karena sifatnya yang bercorak banyak benang, maka kedua pihak harus dapat saling mempercayai (Purnamasari 2002). Tidak ada sanksi formal dalam memaksakan pelaksanaan kontrak, hubungan kepercayaan yang menyangkut saling pengertian mengenai motif dan perilaku masing-masing tidak tercipta seketika melainkan tumbuh dalam waktu lama dan teruji (Wolf 1983). Scott (1994) menyampaikan pengertian hubungan patron-klien sebagai suatu ikatan diadik (dua orang) yang terutama melibatkan persahabatan instrumental.
11
Hubungan individu dengan status sosio ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan atau keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (klien). Pada gilirannya klien membalas dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patron. Sifat dari hubungan ini didasarkan ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas yang tersebar sebagai suatu sistem pertukaran pribadi. Wolf (1983) mengatakan bahwa dalam hubungan patron-klien, seorang patron menawarkan bantuan ekonomi dan perlindungan bagi klien, terhadap pemerasan legal atau tidak legal dari pihak penguasa. Klien memberikan imbalan berupa barang-barang berharga yang tidak berwujud, mendukung sang patron dengan suaranya, informasi tentang komplotan dan intrik yang dilakukan oleh pihak lain. Hubungan juga menentukan bahwa klien tidak boleh mempunyai patron lain selain patron yang memberikan barang dan kredit kepadanya. Probowati (2011) mengungkapkan dalam struktur masyarakat Kampoeng Batik Laweyan, terjadi corak hubungan patron-klien, umumnya patron berperan sebagai pemimpin informal yang memberikan perlindungan terhadap kliennya. Prinsip dari corak hubungan patron-klien adalah adanya hubungan yang relatif stabil dan lama diantara para pelakunya, demikian juga yang berlangsung di Kampoeng Batik Laweyan, hubungan antara juragan (sebagai patron) dan pekerja batik (sebagai klien) berlangsung dalam jangka waktu yang lama tak jarang pula berlangsung hingga turun temurun. Ketergantungan klien (pekerja) yang besar terhadap patron (juragan) terlihat dari bagaimana perlakuan dan kesetiaan (dalam kurun waktu yang lama dan terus menerus). Rustinsyah (2011) dalam penelitiannya menyebutkan upaya-upaya patron dalam menjaga hubungan baik dengan klien. “... Pertama, menunjukan kedermawanan terhadap kliennya. Kedermawan seorang majikan sebagai patron dapat membuat klien kerasan bekerja, dan merasa ada hutan budi. Misalnya, majikan tidak pelit dengan memberikan hadiah pada saat lebaran dan memberikan pinjaman saat kliennya membutuhkan karena tertimpa musibah. Kedermawanan para petani kaya dan maju di desa ditunjukan ketika mereka memberikan sumbangan dalam kegiatan upacara bersih desa, perayaan hari kemerdekaan, pembangunan desa, dan pemberian sumbangan kepada tetangga yang kurang mampu. Petani kaya dan maju diharapkan dapat memberikan sumbangan yang besar atau sebagai donatur pada perayaan-perayaan hari besar dan kegiatan pembangunan desa. Jika ternyata petani maju tidak memberikan sumbangan yang pantas maka menjadi pergunjingan antar warga. Pergunjingan antar warga desa dan panitia tentang dana yang terkumpul untuk suatu kegiatan bisa terjadi dimana saja, saat bertemu dalam acara perayaan, bertemu di toko ketika membeli sarana produksi pertanian, dan sebagainya. Kedua, patron dapat memberikan jaminan hidup keluarganya dengan cara mempekerjakan klien sepanjang tahun. Umumnya patron mempunyai kegiatan ekonomi ganda di sektor pertanian dan di luarr [sic] pertanian agar dapat mempekerjakan kliennya sepanjang tahun ...”.
Menurut Ahimsa (1996) mengungkapkan patron-klien adalah hubungan yang terjadi antara individu-individu yang berbeda status sosial ekonominya yaitu pihak yang satu lebih banyak memberi dan pihak yang lain lebih banyak
12
menerima, diantara pihak yang satu (patron) dan pihak lain (klien) sama-sama saling membutuhkan, agar hubungan patron-klien dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan unsur didalamnya, yaitu: pertama, yang telah diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang berharga. Pemberian itu berupa barang ataupun jasa. Kedua, hubungan timbal balik yang artinya dengan pemberian itu pihak penerima merasa mempunyai kewajiban untuk membalasnya. Ahimsa (1998) menyebutkan bahwa jaringan atau hubungan patron-klien terdapat tiga pihak yang berbeda kedudukan yaitu juragan, pengrajin mandiri dan pengrajin upahan. Juragan pada posisi yang lebih tinggi berdasarkan sosial ekonomi yang dimilikinya. Hubungan yang terbentuk antara ketiganya yang berbeda status dan kedudukan sosial ekonominya dan pertukaran diantara mereka mengarah pada hubungan patronase atau hubungan patron-klien. Strategi yang dilakukan juragan untuk mempertahankan hubungan kerja dengan anggotanya adalah pertama, bertindak sebagai modal dan memberi dorongan. Kedua, berusaha mencari upah maupun membayar hasil kerja tepat waktu. Ketiga, memberi pinjaman yang dibutuhkan oleh anggota. Hubungan buruh majikan itu sebagai keutuhan dan kesatuan, masingmasing orang dalam perusahaan dianggap sebagai teman baik dan anggota keluarga. Dilihat dari sikap mereka secara lahir, para saudagar Laweyan memiliki kebanggaan tersendiri gelar yang diperoleh dari lingkungan mereka sendiri. Penelitian Probowati (2011) menyebutkan dalam komunitas pengusaha batik di Laweyan, menunjukan suatu ciri sosial yang membentuk sistem stratifikasi antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil, antara buruh dan majikan dan antara buruh tetap dengan buruh harian. Struktur kekuasaan majikan berjalan paralel dengan struktur fungsionalnya ibu rumah tangga. Sebaliknya, tenaga buruh sebagai tenaga bawahan di perusahaan sekaligus akan berfungsi sebagai pembantu rumah tangga majikan. Puncak struktur sosial dalam masyarakat Laweyan disebut keluarga majikan, secara turun temurun terdiri dari mbok mase sepuh (nenek), mas nganten sepuh (kakek), biasanya mereka orang tua dari keluarga ibu, selanjutnya adalah mbok mase (ibu rumah tangga), mas nganten (ayah) sebagai kepala rumah tangga, mas rara (anak perempuan) dan mas nganten (anak lakilaki) atau sering dipanggil gus. Istilah patron-klien yang memiliki perbedaan dengan konsep hubunganhubungan sosial lainnya. Hubungan timbal balik antara patron dan klien yang tidak seimbang dalam hal benda dan jasa yang dipertukarkan, merupakan ciri dari perbedaan tersebut. Hubungan patron-klien disebabkan oleh adanya unsur-unsur sebagai berikut: 1. interaksi tatap muka diantara para pelaku yang bersangkutan 2. adanya pertukaran benda dan jasa yang relatif tetap berlangsung diantara para pelaku 3. adanya ketidaksamaan dan ketidakseimbangan dalam pertukaran benda dan jasa tersebut 4. ketidakseimbangan tersebut menghasilkan kategori patron dan klien yang memperlihatkan ciri-ciri ketergantungan dan ikatan yang bersifat meluas dan melentur diantara patron dan kliennya.
13
Adapun ciri-ciri hubungan patron-klien menurut Scott (1972): 1. terdapat suatu ketimpangan (inequality) dalam pertukaran, terjadi karena patron berada dalam posisi yang lebih kuat. Lebih tinggi atau lebih kaya daripada kliennya. Posisi ini patron mampu memberi lebih banyak kepada si klien daripada sebaliknya, sehingga klien wajib membalasnya. Namun rasa wajib membas hanya bertahan selama pemberian tersebut masih dirasakan berharga (memenuhi kebutuhan pokok) dan jika pertukaran didalamnya belum mecapai titik seimbang 2. bersifat tatap muka (face to face character) dalam relasi patron-klien menunjukkan bahwa sifat pribadi terdapat didalamnya. Seorang patron biasanya sangat mengenal klien nya, demikian pula sebaliknya sehingga membuat relasi diantara mereka bertambah kuat dan dekat. Adanya hubungan timbal balik antara kedua belah pihak membangkitkan rasa saling percaya untuk menjaga pihak lain, walaupun hubungan ini bersifat “Instrumental” (kedua pihak masih memperhitungkan untung rugi) namun tidak berarti relasi tersebut bersifat netral atau tidak melibatkan faktor perasaan sama sekali 3. bersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility) yang dimiliki oleh hubungan patron-klien menyebabkan dalam relasi seseorang patron tidak saja dikaitkan dengan hubungan sewa menyewa tanah (umumya menjadi dasar hubungan patronase) dengan klien nya, tetapi juga oleh hubungan sebagai sesama tetangga, sahabat, dan sebagainya. Bantuan yang diminta seorang patron kepada klien atau diperoleh klien dari patron nya digunakan untuk berbagai macam keperluan sekaligus merupakan semacam jaminan sosial bagi mereka, dengan demikian relasi patron-klien memberikan rasa tenteram pada pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Ahimsa (1996) mengatakan bahwa hubungan patron-klien diperlukan syarat tertentu antara lain sebagai berikut: 1. adannya sesuatu yang diberikan satu pihak, baik berupa uang atau jasa, yang merupakan sesuatu yang berharga bagi pihak lain 2. terjadi transaksi pembelian antara pihak satu dengan lainnya maka yang menerima mempunyai kewajiban untuk membalas 3. dalam hubungan tersebut terdapat norma-norma yang mengatur, misalnya apabila seseorang telah menerima sesuatu dan tidak tahu membalas, maka dianggap ingkar janji. Sari (2014) menyatakan hubungan patron-klien dapat dilihat dari: 1. hubungan harapan 2. patron 3. klien 4. resiprositas 5. keuntungan. Penelitian Probowati (2011) menyebutkan bahwa nilai pertolonganharus bisa diukur menurut pertimbangan pinjam meminjam sehingga pada saatnya yang tepat mereka akan meminta kembali nilai pertolongan itu. Prinsip ini nampaknya
14
sangat rasionalitas, karena segala bentuk hubungan sosial antar warga masyarakat senantiasa diukur menurut kriteria untung dan rugi. Kerangka Pemikiran Geertz (1960) membagi struktur masyarakat Jawa menjadi 3 golongan yaitu priyayi, santri, dan abangan. Sementara Menurut Priyatmono dikutip oleh Pratomo et al. (2006), di Laweyan terdapat beberapa kelompok sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Kelompok tersebut terdiri dari juragan (pedagang), wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim ulama), dan priyayi (bangsawan atau pejabat). Selain itu dikenal pula golongan saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik yang biasa disebut istilah mbok mase. Menurut Kal Marx (1848) perbedaan kelompok sosial tersebut akan menciptakan konflik, sebagaimana padangan Karl Marx yang dikutip Magniz dan Suseno (2005). “... Akan terlihat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Selama sistem ekonomi berdasarkan monopoli hak kekuasaan kelas pemilik atas proses produksi berlangsung, niscaya akan terjadi pertentangan antara kedua kelas itu ...”. Berbeda halnya dengan penelitian Probowati (2011) meskipun berbeda kelas antara juragan dan buruh, buruh sudah sadar akan posisinya sehingga pola hubungan keduanya tetap terjalin baik melalui modal sosial. Modal sosial (social capital) menggambarkan modalitas di masyarakat sosial yang menggambarkan kekuatan masyarakat untuk memperkuat integritas sosialnya. Probowati (2011) mengungkapkan dalam struktur masyarakat Kampoeng Batik Laweyan, terjadi corak hubungan patron-klien, umumnya patron berperan sebagai pemimpin informal yang memberikan perlindungan terhadap kliennya. Prinsip dari corak hubungan patron-klien adalah adanya hubungan yang relatif stabil dan lama diantara para pelakunya, demikian juga yang berlangsung di Kampoeng Batik Laweyan, hubungan antara juragan (sebagai patron) dan pekerja batik (sebagai klien) berlangsung dalam jangka waktu yang lama tak jarang pula berlangsung hingga turun temurun. Ketergantungan klien (pekerja) yang besar terhadap patron (juragan) terlihat dari bagaimana perlakuan dan kesetiaan (dalam kurun waktu yang lama dan terus menerus). Adapun ciri-ciri hubungan patron-klien menurut Scott (1972). 1. Terdapat suatu ketimpangan (inequality) dalam pertukaran, terjadi karena patron berada dalam posisi yang lebih kuat. Lebih tinggi atau lebih kaya daripada kliennya. Posisi ini patron mampu memberi lebih banyak kepada si klien daripada sebaliknya, sehingga klien wajib membalasnya. Namun rasa wajib membas hanya bertahan selama pemberian tersebut masih dirasakan berharga (memenuhi kebutuhan pokok) dan jika pertukaran didalamnya belum mecapai titik seimbang. 2. Bersifat tatap muka (face to face character) dalam relasi patron klien menunjukkan bahwa sifat pribadi terdapat didalamnya. Seorang patron biasanya sangat mengenal klien-nya, demikian pula sebaliknya sehingga
15
membuat relasi diantara mereka bertambah kuat dan dekat. Adanya hubungan timbal balik antara kedua belah pihak membangkitkan rasa saling percaya untuk menjaga pihak lain, walaupun hubungan ini bersifat “Instrumental” (kedua pihak masih memperhitungkan untung-rugi) namun tidak berarti relasi tersebut bersifat netral atau tidak melibatkan faktor perasaan sama sekali. 3. Bersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility) yang dimiliki oleh hubungan patron-klien menyebabkan dalam relasi seseorang patron tidak saja dikaitkan dengan hubungan sewa-menyewa tanah (umunya menjadi dasar hubungan patronase) dengan klien-nya, tetapi juga oleh hubungan sebagai sesama tetangga, sahabat, dan sebagainya. Bantuan yang diminta seorang patron kepada kliennya atau diperoleh klien dari patron-nya digunakan untuk berbagai macam keperluan sekaligus merupakan semacam jaminan sosial bagi mereka, dengan demikian relasi patron-klien memberikan rasa tenteram pada pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Sari (2014) menyatakan hubungan patron-klien dapat dilihat dari: 1. hubungan harapan 2. patron 3. klien 4. resiprositas 5. keuntungan. Majah (2015) mengatakan sejak ditetapkannya sebagai kawasan wisata, Laweyan menjadi tempat yang banyak dikunjungi oleh wisatawan yang berkunjung ke kota Surakarta, dalam bidang kebudayaan mulai dibukanya Laweyan sebagai kawasan wisata telah memberikan peluang bagi masyarakat Laweyan untuk melestarikan tradisi tradisionalnya dengan cara memperkenalkan kepada wisatawan. Oleh karena itu, Kampoeng Batik Laweyan ini perlu dijaga eksistensinya. Maziyah (2014) dalam penelitiannya menyebutkan eksistensi dapat dilihat dari: 1. keberadaan, nyata 2. mengalami perkembangan 3. preferensi konsumen 4. harga 5. fleksibilitas mengikuti trend atau mode pakaian 6. hubungan personal 7. sinergi pasar tradisional dan modern.
16
Tingkat Modal Sosial (X1) 1. Jaringan Sosial 2. Nilai dan Norma 3. Kepercayaan
Tingkat Eksistensi (Z1)
Tingkat Pola hubungan (Y1)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Ketimpangan Bersifat tatap muka Bersifat luwes dan meluas Hubungan harapan Patron Klien Resiprositas Keuntungan
1. Keberadaan,nyata 2. Mengalami perkembangan 3. Preferensi konsumen 4. Harga 5. Fleksibiltas mengikuti trend atau mode pakaian 6. Hubungan personal 7. Sinergi pasar tradisional dan modern
Keterangan: : Berpengaruh
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah sarana penelitian ilmiah yang penting dan tidak bisa ditinggalkan, karena ia merupakan instrumen kerja dari teori, sebagai hasil reduksi dari teori atau proporsi, hipotesis lebih spesifik sifatnya, sehingga lebih siap untuk diuji secara empiris (Singarimbun dan Effendi 2006). Hipotesis 1. Terdapat pengaruh tingkat modal sosial terhadap tingkat pola hubungan juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan. 2. Terdapat pengaruh tingkat pola hubungan juragan dan buruh terhadap tingkat eksistensi Kampoeng Batik Laweyan. 3. Terdapat pengaruh tingkat modal sosial terhadap terhadap tingkat eksistensi Kampoeng Batik Laweyan.
17
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan termasuk kedalam penelitian deskriptif dan penelitian eksplanatori. Penelitian deskriptif digunakan untuk menjelaskan atau menggambarkan kondisi yang ada di lapang. Penelitian deskriptif dilakukan untuk memperkuat hasil yang didapat dari penelitian eksplanatori. Penelitian deskriptif berguna untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tempat penelitian dilakukan. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan didukung data kualitatif untuk memperkaya data dan informasi yang diperoleh. Penelitian kuantitatif diperoleh dengan menggunakan metode stratified random sampling dengan instrumen kuisioner yang diberikan kepada responden untuk mengetahui pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan, sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (Lampiran 8) kepada informan dan responden. Selain itu juga dilakukan observasi secara langsung dan studi dokumentasi terkait. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kampoeng Batik Laweyan, Surakarta (Lampiran 1). Penetapan lokasi ini dilakukan secara purposive (sengaja). Lokasi tersebut dipilih dengan beberapa pertimbangan, antara lain sebagai berikut: 1. merupakan kampung batik tertua di Indonesia 2. sebagai wilayah yang memiliki historis kultur dan industri batiknya 3. mata pencaharian utama masyarakat di lokasi penelitian adalah sebagai juragan dan buruh batik 4. stratifikasi sosial yang ada di Kampoeng Batik Laweyan dibentuk berdasarkan status dalam proses produksi batik 5. terdapat pola hubungan antara juragan dan buruh dalam proses produksi batiknya 6. secara geografis, Kampoeng Batik Laweyan berada di dalam kota Surakarta. Proses penelitian dimulai dari pembuatan proposal penelitian pada bulan Januari 2016, penelitian di lapang dilakukan selama empat (4) minggu, yaitu pada bulan Maret-April 2016 (Lampiran 2). Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, serta perbaikan skripsi.
18
Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan langsung di lapangan dengan cara obeservasi, serta wawancara mendalam yang dilakukan pada informan (Lampiran 8), sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis kantor Kelurahan Laweyan, buku dari perpustakaan daerah, buku dari perpustakaan Universitas Sebelas Maret, buku dari perpustakaan Universitas Gajah Mada, buku dari Museum Radya Pustaka Surakarta, internet, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis, disertasi, dan laporan penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu terdapat sumber lain yang dapat dipercaya memberikan pandangan mengenai Kampoeng Batik Laweyan seperti FPKLB (Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan). Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner yang diberikan kepada buruh batik di Kampoeng Batik Laweyan. Sementara data kualitatif diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan yaitu pengusaha batik yang terdiri dari tiga kelas perusahaan batik yaitu perusahaan batik kelas besar (large), menegah (medium), dan kecil (small), tokoh masyarakat, aparatur kelurahan, FPKLB (Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret, dan buruh yang bekerja dimasing-masing kelas perusahaan batik. Wawancara mendalam diberikan kepada responden dan informan berdasarkan panduan pertanyaan yang telah disiapkan dan diikuti dengan pemikiran responden yang berhubungan dengan pertanyaan. Wawancara mendalam dilakukan untuk tujuan mencari informasi-informasi tambahan yang dianggap penting dan relevan oleh penulis untuk menyempurnakan data. Data sekunder yang dikumpulkan berupa data yang berkaitan dengan lokasi penelitian, yaitu profil Kampoeng Batik Laweyan, data monografi Kampoeng Batik Laweyan, jumlah pengusaha industri batik di Kampoeng Batik Laweyan. Selain itu akan digunakan juga literatur yang terkait dengan topik penelitian untuk memperkuat hasil analisis penelitian. Observasi lapangan juga dilakukan dengan tujuan agar peneliti mengetahui secara langsung kondisi serta aktivitas masyarakat. Informasi dari wawancara langsung dan observasi dituliskan dalam catatan tematik setelah kegiatan pencarian informasi dilakukan guna memudahkan pengumpulan informasi untuk menjawab pertanyaan penelitian.
19
Tabel 2 Metode pengumpulan data Teknik Pengumpulan Data
Data yang Dikumpulkan Data primer
Kuisioner
1.
2. 3.
Wawancara mendalam
Modal sosial (jaringan, nilai dan norma, serta kepercayaan) yang ada di Kampoeng Batik Laweyan. Pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh. Eksistensi Kampoeng Batik Laweyan..
1. 2. 3.
Kultur dan historis Kampoeng Batik Laweyan. Potensi Kampoeng Batik Laweyan. Dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan sebelum dan sesudah diresmikannya menjadi kawasan sentra industri batik. 4. Perkembangan Kampoeng Batik Laweyan. 5. Proses pembentukan struktur masyarakat di Kampoeng Batik Laweyan. 6. Modal sosial (jaringan, nilai dan norma, kepercayaan yang terbentuk di Kampoeng Batik Laweyan. 7. Pengaruh modal sosial (jaringan, nilai dan norma, kepercayaan) terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh. 8. Pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan 9. Pola hubungan yang terjadi antar juragan maupun antar buruh. 10. Pengaruh eksistensi Kampoeng Batik Laweyan bagi perkembangan pariwisata kota Surakarta. 11. Pengaruh keberadaan Kampoeng Batik Laweyan terhadap kondisi perdagangan dan perindustrian kota Surakarta. Data sekunder
Data monografi Kampoeng Batik Laweyan
Profil kelurahan Kampoeng Batik Laweyan, potensi wilayah, peta wilayah, jumlah penduduk, mata pencaharian masyarakat, dan sumber daya manusia dan sumber daya alam dan sarana dan prasarana.
Kebijakan pemerintah tentang kawasan wisata Kampoeng Batik Laweyan
Dampak kebijakan tersebut terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan.
Data dari Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan
Jumlah pengusaha industri batik dan jenis aktivitas perusahaan batik di Kampoeng Batik Laweyan.
Data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kebijakan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan terkait eksistensi Kampoeng Batik Laweyan.
Data dari Dinas Pariwisata dan Budaya
Kebijakan dari Dinas Pariwisata dan Budaya dalam upaya menjaga eksistensi Kampoeng Batik Laweyan.
Observasi lapangan
Aktivitas masyarakat dalam proses produksi batik di Kampoeng Batik Laweyan.
20
Teknik Penentuan Informan dan Responden Populasi atau universe ialah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga. Populasi dapat dibedakan pula antara populasi sampling dengan populasi sasaran (Singarimbun dan Effendi 2006). Populasi sampling dalam penelitian ini adalah masyarakat Kampoeng Batik Laweyan, Surakarta. Populasi sasaran yang akan menjadi responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berprofesi sebagai buruh batik yang bekerja di perusahaan batik baik perusahaan batik kelas besar (large), menengah (medium), dan kelas kecil (small) yang ada di Kampoeng Batik Laweyan. Unit analisis dari penelitian ini adalah buruh batik yang bekerja di perusahaan batik baik di perusahaan batik kelas besar (large), menengah (medium), dan kelas kecil (small). Kemudian setelah populasi ditetapkan dibuatlah kerangka sampling (sampling frame) (Lampiran 2), setelah itu dengan metode stratified random sampling dibedakan sesuai kelas perusahaan batik yaitu besar (large), menengah (medium), dan kecil (small) yang melakukan aktivitas produksi batik berupa industri. Metode stratified random sampling ini digunakan dengan berbagai pertimbangan meliputi karakteristik atau derajat keseragaman populasi sampel, presisi yang dikehendaki, rencana analisis, tenaga, waktu dan biaya yang tersedia. Derajat keseragaman dari populasi penelitian ini bersifat tidak seragam (heterogen), maka populasi yang bersangkutan harus dibagi-bagi dalam lapisan (strata) yang seragam, dan dari setiap lapisan dapat diambil sampel secara acak, dalam sampel berlapis, peluang untuk terpilih antara satu strata dengan yang lain mungkin sama, mungkin pula berbeda (Singarimbun dan Effendi 2006). Adapun presisi yang dikehendaki dari penelitian ini memiliki tingkat presisi yang tinggi, maka semakin besar ukuran sampel yang harus diambil, sampel yang besar cenderung memberikan pendugaan yang lebih mendekati nilai sesungguhnya (true value). Rencana analisis dari penelitian ini adalah pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan, namun penulis pun perlu mempertimbangan tenaga, waktu, dan biaya yang terbatas sehingga tidaklah mungkin untuk mengambil sampel yang besar. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini memiliki ketentuan yaitu sebagai buruh produksi batik yang bekerja pada setiap kelas perusahaan batik. Masing-masing kelas perusahaan batik tersebut diambil 30 responden dengan alasan sampel yang paling minimum dari penelitian yaitu 30 seperti dikemukakan oleh Bailey dalam Hasan (2002) yang menyatakan bahwa ukuran sampel yang paling minimum dalam penelitian adalah 30, selanjutnya jika ingin menguji perbedaan paritas, misalnya ada minimal tiga kelompok yang dianaliss, maka jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 3x30 = 90 (Singarimbun dan Effendi 2006) sehingga responden dari penelitian ini adalah 90 responden. Responden yang diberi kuisioner dari penelitian ini adalah buruh yang bekerja sebagai di masing-masing kelas perusahaan batik yang ada di Kampoeng Batik Laweyan. Metode yang digunakan untuk memilih informan adalah secara purposive. Informan ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai modal sosial dan eksistensi pola hubungan antara juragan dan buruh di Kampoeng Batik Laweyan. Informan yang dipilih yaitu pengusaha industri batik yang terdiri dari tiga kelas yaitu large, medium dan small, tokoh masyarakat, aparatur kelurahan, Dosen
21
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret, dan FPKLB (Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan). Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data hasil kuantitatif dan data kualitatif. Data hasil penelitian diolah secara statistik deskriptif dan diinterpretasikan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007 dan SPSS for Windows versi 22. Setelah itu data tersebut dianalisis dengan uji regresi logistik. Uji regresi logistik merupakan uji statistik yang diguanakan untuk mengukur besarnya pengaruh variabel pengaruh dengan variabel terpengaruh berupa data nominal dan ordinal. Besaranya pengaruh ditunjukkan dengan nilai Exp (B) atau disebut juga Odds Ratio (OR). Pengolahan data dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu data yang telah diperoleh melalui kuesioner terlebih dahulu dilakukan pengkodean, setelah itu dimasukan kedalam buku kode atau lembar kode menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007 sebelum dimasukan keperangkat lunak SPSS for Windows versi 22 untuk mempermudah pengolahan data. Selanjutnya pengolahan data dimulai dari entry data, cleaning data dan editing data, dan jika diperlukan standarisasi data. Analisis regresi digunakan selang kepercayaan (α = 5%) ini digunakan untuk melihat pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan. Data kualitatif yang didapat dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Proses reduksi data dimulai dari pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen. Reduksi data ini bertujuan untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu. Setelah itu dilakukan penyusunan informasi dan data yang diperoleh menjadi sebuah laporan. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan simpulan dari informasi yang telah diolah pada tahap reduksi. Setelah diverifikasi, seluruh hasil penelitian pada akhirnya dituliskan dalam pembahasan skripsi dalam bentuk narasi. Selain dilakukan test validity dan reliability ( Lampiran 10) sebagai uji coba penggunaan kuesioner, hasil wawancara mendalam dan/atau wawancara kelompok digunakan sebagai masukan untuk menyempurnakan pertanyaan dalam kuesioner, atau sebaliknya hasil wawancara terstruktur dari pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner menjadi dasar merumuskan panduan pertanyaan wawancara mendalan dengan informan, dalam proses pengumpulan data ditemukan seorang responden “pencilan” atau responden yang khas pada kategori/pelapisan analisis yang kemudian diwawancarai mendalam mengenai pandangan subyektifnya. Pandangan subyektif-kualitatif informan dibandingkan dengan hasil analisis obyektif-kuantitatif sehingga dapat dipaparkan hasil analisis dan interpretasi lebih rinci dan mendalam.
22
Definisi Operasional Data yang dikumpulkan dengan pertanyaan kuesioner yang telah disusun berdasarkan definisi operasional yang telah disusun sebagai berikut. 1. Modal Sosial Modal sosial adalah suatu norma atau nilai yang telah dipahami bersama antara juragan dan buruh yang dapat memperkuat jaringan sosial/kerja yang positif, mendorong tingkat kepercayaan, dan ketaatan terhadap norma dalam rangka mencapai tujuan bersama. Modal sosial terdiri dari jaringan sosial, nilai dan norma serta kepercayaan. Modal sosial memiliki total skor rendah (0): 0-13, dan total skor tinggi (1): 14-27. Berikut adalah penjelasan mengenai definisi operasional pada Tabel 3. Tabel 3 Definisi operasional modal sosial No Variabel Definisi Indikator Jenis Kategori Operasional Data Pengukuran 1.
Tingkat jaringan sosial
Seberapa luas Hubungan hubungan kekerabatan serta yang terjadi seberapa antara banyak juragan dan simpul buruh jaringan yang Adanya kerja dihasilkan sama antara dalam juragan dan aktivitas buruh baik proses didalam produksi proses batik produksi maupun diluar proses produksi Hubungan/ik atan antara juragan dan buruh Organisasi/ kelembagaan formal/infor mal yang diikuti oleh juragan dan buruh Kepercayaan yang terjalin antar juragan dan buruh
Ordinal
Skor 0: rendah Skor 1: tinggi
23
2.
3.
Seberapa besar hak dan nilai dan kewajiban yang dipatuhi oleh norma juragan dan buruh berdasarkan aturan-aturan baik bersifat tertulis maupun tidak tertulis dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi berdasarkan kesepakatan bersama Tingkat
Tingkat kepercaya an
Hubungan buruh dengan buruh lainnya Hubungan buruh dengan pemasok bahan produksi batik Adanya hak dan kewajiban antara juragan dan buruh Ketaatan terhadap aturan yang telah disepakati antara juragan dan buruh Adanya norma tepo sliro antara juragan dan buruh Adanya nilai-nilai pertolongan (saling meminjam) antara juragan dan buruh
Seberapa Adanya besar harapan pinjaman yang yang terbangun diberikan antara antara juragan dan juragan dan buruh dalam buruh aktivitas Adanya
Ordinal
Skor 0:rendah Skor 1:sedang
Ordinal
Skor 0: rendah Skor 1: tinggi
24
produksi batik
perasaan utang budi antar juragan dan buruh Adanya kerja sama antara juragan dan buruh
2.
Pola hubungan patron-klien Pola hubungan yang terjalin antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan bersifat partron-klien. Hubungan partron-klien dapat dilihat dari ketimpangan, bersifat tatap muka, bersifat luwes dan meluas, hubungan harapan, patron, klien, resiprositas, keuntungan. Pola hubungan patron-klien memiliki total skor rendah (0): 0-8 dan total skor tinggi (0): 9-17. Tabel 4 Definisi operasional pola hubungan patron-klien No. Variabel Definisi Indikator Jenis Kategori Operasional Data Pengukuran 1.
Tingkat ketimpang an
Terjadinya disparitas atau perbedaan antara juragan dan buruh dalam aktivitas produksi batik
2.
Tingkat Intensitas tatap muka pertemuan yang terjadi antara juragan dan buruh dalam aktivitas produksi batik
Adanya Ordinal pertukaran barang dan jasa yang wajib dibalas oleh buruh kepada juragan Adanya rasa saling ketergantun gan buruh terhadap juragan
Skor 0: rendah Skor 1 : tinggi
Saling mengenal secara pribadi antara juragan dan buruh
Skor 0: rendah
Saling percaya antara juragan dan
Ordinal
Skor 1: tinggi
25
buruh
3.
4.
Hubungan Tingkat luwes dan yang terjadi antara meluas juragan dan buruh tidak hanya sebatas hubungan dalam aktivitas produksi batik melainkan hubungan sesama tetangga
Tingkat hubungan harapan
Rasa keinginan/har apan yang dimiliki oleh juragan dan buruh dalam hubungan aktivitas proses produksi batik
Hubungan Ordinal kekerabatan yang terjadi antara juragan dan buruh
Skor 0: rendah Skor 1: tinggi
Adanya bantuan yang diberikan oleh juragan maupun buruh
Kekuasaan yang dimiliki antara juragan buruh Status yang dimiliki antara juragan dan buruh Wewenang yang dimiliki antara juragan dan buruh Pengaruh
Ordinal
Skor 0 rendah Skor 1: tinggi
26
yang dimiliki antara juragan dan buruh 5.
6.
7.
8.
Tingkat patron
Tingkat klien
Tingkat Resiprosit as
Tingkat keuntunga n
juragan yang memiliki kekuasaan, wewenang, status, pengaruh atau posisi yang lebih tingi dari buruh Buruh memiliki kekuasaan, wewenang, status, pengaruh atau posisi yang lebih rendah dari juragan Hubungan antara juragan dan buruh yang melibatkan rasa saling tukar barang maupun jasa
Keinginan juragan yang harus dipenuhi oleh buruh dalam aktivitas produksi batik
Ordinal
Rasa royalitas buruh terhadap juragan
Ordinal
Adanya rasa memberi dan menerima berupa barang dan jasa antara juragan dan buruh
Ordinal
Sesuatu yang didapatkan oleh juragan dan buruh dalam aktivitas produksi batik
Uang
Ordinal
Barang Pekerjaan sampingan Kekeluarga an
Skor 0: rendah Skor 1: tinggi
Skor 0: rendah Skor 1: tinggi
Skor 0: rendah Skor 1: tinggi
Skor 0: rendah Skor 1: tinggi
27
3. Eksistensi Eksistensi adalah suatu proses yang mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung kepada kemampuan dalam merealisasikan potensinya. Eksistensi dapat dilihat dari keberadaan, nyata, mengalami perkembangan, preferensi konsumen, harga, fleksibiltas mengikuti trend atau mode pakaian, hubungan personal dan sinergi pasar tradisional dan modern. Eksistensi memiliki total skor rendah (0): 0-10 dan total skor tinggi (1): 11-21. Tabel 5 Definisi operasional eksistensi No.
Variabel
Definisi Operasional
Indikator
Jenis Data
Kategori Pengukuran
1.
Tingkat keberadaan, nyata
Bahwa suatu wilayah tersebut nyata/ada dan sudah ada sejak lama
Lamanya Kampoeng Batik Laweyan
Ordinal
Skor 0: rendah. Skor 1: tinggi.
2.
Tingkat mengalami perkemban gan
Suatu wilayah/kawasan mengalami perubahan atau dinamika baik dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya
Perkemban gan ekonomi
Ordinal
Skor 0: rendah
Kecenderungan konsumen dalam memilih jenis batik yang dihasilkan oleh Kampoeng Batik Laweyan
Jenis batik
3.
Tingkat preferensi konsumen
Skor 1: tinggi
Perkemban gan sosial Perkembag an budaya Ordinal
Model batik
Skor 0: rendah Skor 1: tinggi
Bahan kain batik Motif batik Warna batik
4.
Tingkat harga
Jumlah nominal yang harus dikeluarkan oleh pembeli terhadap produk batik yang dihasilkan oleh Kampoeng Batik Laweyan meskipun nominal batik tersebut tinggi
Kesediaan konsumen dalam membeli batik
Ordinal
Skor 0: rendah Skor 1: tinggi
28
5.
6.
7.
Batik yang dihasilkan oleh Kampoeng Batik Laweyan mampu mengikuti perkembangan trend atau mode pakaian sesuai zamannya
Jenis batik
Tingkat hubungan personal
Hubungan khas yang terjadi antara satu atau beberapa pihak untuk menjaga kelestarian batik yang dihasilkan oleh Kampoeng Batik Laweyan
Hubungan/ ikatan antar juragan Hubungan/ ikatan antar buruh Hubungan/ ikatan dengan pemasok bahan produksi batik Hubungan dengan Forum Pengemba ngan Kampoeng Batik Laweyan (FPKLB) Hubungan dengan dinas/lemb aga terkait
Ordinal
Tingkat sinergi pasar tradisonal dan modern.
Hubungan kerja sama yang terjalin antara pengusaha batik dengan pasar tradisional dan modern
Adanya akses dalam menjalin hubungan dengan pasar tradisional dan modern
Ordinal
Tingkat fleksibiltas mengikuti trend atau mode pakaian
Ordinal
Model batik
Skor 0: rendah Skor 1: tinggi
Bahan kain batik Motif batik Warna Batik Skor 0: rendah Skor 1: tinggi
Skor 0: rendah Skor 1: tinggi
29
Gambaran Umum Kampoeng Batik Laweyan
Kondisi Geografi Kampoeng Batik Laweyan
Kampoeng Batik Laweyan berada di Kecamatan Laweyan, Surakarta, Provinsi Jawa Tengah, dan salah satu bagian dari 11 kelurahan di Kecamatan Laweyan. Kampoeng Batik Laweyan ini terletak di jalan Dr. Radjiman No. 521, dengan batas wilayah sebagai berikut: Sebelah utara
: Kelureahan Sondakan
Sebelah Timur
: Kelurahan Bumi
Sebelah Selatan
: Kabupaten Sukoharjo
Sebelah Barat
: Kelurahan Pajang
Luas wilayah Kampoeng Batik Laweyan yaitu 4,2 Ha yang merupakan dataran rendah, ketinggian 150 m di atas permukaan laut, suhu rata-rata 36°C. Jarak Kelurahan Laweyan dengan pusat pemerintah Kecamatan yaitu 500 meter, sedangkan ke Pusat Pemerintahan Kota sekitar 4 km, dan dari pusat Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah 110 km. Kondisi Demografi Kampoeng Batik Laweyan Potensi Sumberdaya Manusia Kampoeng Batik Laweyan memiliki jumlah penduduk sebanyak 2.138 jiwa. Jumlah penduduk perempuan lebih banyak jika dibandingkan dengan penduduk laki-laki yaitu sebesar 50,94%. Sementara itu jumlah kepala keluarga yang terdapat di Kampoeng Batik Laweyan sebanyak 665 kepala keluarga. Adapun jumlah dan persentase penduduk menurut jenis kelamin disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis kelamin di Kampoeng Batik Laweyan 2016 No. Jenis Kelamin 1 Laki-laki 2 Perempuan Jumlah
Jumlah (Jiwa) 1.049 1.089 2.138
Sumber: Data Monografi Kampoeng Batik Laweyan, 2016
Persentase 49,06 50,94 100,00
30
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk perempuan lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki. Hal ini dikarenakan Kampoeng Batik Laweyan sebagai kampung penghasil batik tertua, sehingga peran perempuan sangat dibutuhkan pada proses pembuatan batik, khususnya pada proses isen-isen. Peran perempuan di Kampoeng Batik Laweyan, sangat besar, sehingga para pengusaha batik perempuan di Laweyan mendapatkan gelar dengan istilah mbok mase. Masyarakat Kampoeng Batik Laweyan didominasi oleh kelompok umur 30-39 tahun. Adapun jumlah laki-laki yang berada pada kelompok umur tersebut yaitu sebanyak 171 jiwa, sementara perempuan berjumlah 184 jiwa. Persentase yang berada pada kelompok umur 30-39 yaitu sebesar 16,60%. Adapun persentase kelompok umur masyarakat Kampoeng Batik Laweyan dapat dirinci pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Kampoeng Batik Laweyan 2016 No.
Kelompok Umur (Tahun)
1 0-4 2 5-9 3 10-14 4 15-19 5 20-24 6 25-29 7 30-39 8 40-49 9 50-59 10 60+ Jumlah
Jumlah Penduduk (Jiwa) Laki-laki 85 76 80 90 75 65 171 156 123 128 1.049
Perempuan 84 69 88 88 67 70 184 152 133 154 1.089
Jumlah (Jiwa)
Persentase
169 145 168 178 142 135 355 308 256 282 2.138
7,90 6,78 7,86 8,32 6,64 6,31 16,60 14,40 11,97 13,19 100,00
Sumber: Data Monografi Kampoeng Batik Laweyan 2016
Berdasarkan data monografi Kampoeng Batik Laweyan 2016, diketahui bahwa masyarakat Kampoeng Batik Laweyan didominasi oleh kelompok umur 30-39 tahun dan jumlah perempuan lebih banyak jika dibandingkan dengan lakilaki. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut merupakan usia produktif masyarakat Kampoeng Batik Laweyan dalam proses pembuatan batik. Masyarakat Kampoeng Batik laweyan didominasi oleh mata pencaharian sebagai buruh industri. Sementara selanjutnya didominasi oleh mata pencaharian sebagai pengusaha. Adapun jumlah dan persentase penduduk menurut mata pencaharian disajikan pada Tabel 7.
31
Tabel 7 Jumlah dan persentase penduduk menurut mata pencaharian (umur 10 tahun keatas) Februari 2016 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Mata pencaharian Petani Sendiri Buruh Tani Nelayan Pengusaha Buruh Industri Buruh Bangunan Pedagang Pengangkutan PNS/TNI/Polri Pensiunan Lain-lain Jumlah
Jumlah 0 0 0 65 583 101 161 0 38 33 843 1.824
Persentase 0 0 0 3,56 31,96 5,54 8,83 0 2,08 1,81 46,22 100,00
Sumber: Data Monografi Kampoeng Batik Laweyan 2016
Mayoritas masyarakat Kampoeng Batik Laweyan bermatapencaharian sebagai buruh industri yaitu sebagai buruh batik dimasing-masing kelas perusahaan batik. Adapun jenis pekerjaan dalam industri batik terdiri dari tukang cap, kuli babar, kuli celep, kuli beret, pengubeng (pembatik) dan kuli kemplong (Soedarmono 2006). Masyakarat yang berprofesi sebagai buruh batik dalam seharinya mendapatkan upah sekitar Rp35.000,00 sampai dengan Rp50.000,00 tergantung jenis pekerjaannya. Buruh batik terdiri dari dua macam yaitu harian dan mingguan, dan terbagi lagi menjadi dua sistem yaitu borongan dan tidak borongan. Buruh borongan yaitu buruh yang mengerjakan pekerjaannnya secara borongan, misalnya untuk buruh cap dalam sehari tidak harus mengerjakan beberapa potong kain untuk diselesaikan, namun semakin banyak jumlah potongan kain yang dicap maka semakin banyak gaji yang akan didapat. Hal ini dikarenakan harga untuk satu potong kain yang telah dicap yaitu sebesar Rp 25.00,00/potong, ada juga yang harganya Rp2.000,00/potong tergantung tingkat kesulitan motif yang dihasilkan. Jika sehari mampu menyelesaikan 60 potong kain, maka gaji yang didapat dalam sehari yaitu Rp150.000,00. Meskipun gaji buruh batik di Kampoeng Batik Laweyan relatif kecil, para buruh hingga saat ini masih tetap bertahan untuk menekuni pekerjaan tersebut. Salah satu contohnya yaitu buruh batik yang bekerja di perusahaan batik kelas menengah (medium) yang mendapatkan gaji sebesar Rp35.000,00 dalam sehari, dan harus dipotong untuk biaya transportasi sebesar Rp20.000,00. “... Gajine iki sak dino yo sak itik ko mbak, sedino telu limo, dipotong ongkos sisane tinggal rong puluh ewuh ...”. (W, Perempuan, 50 Tahun) “... Gajinya ini sehari ya sedikit mbah, sehari tiga puluh, dipotong ongkos sisanya tinggal dua puluh ribu ...”. (W, Perempuan, 50 Tahun)
Masyakat Jawa khususnya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan masih menerapkan nilai-nilai psikologi Jawa berupa local genius Jawa yaitu watak nrima. Menurut Endraswara (2006) mengatakan bahwa nrima adalah segala
32
sesuatu dengan kesadaran spiritual-psikologi, tanpa merasa nggrundel6. Apapun diterima sebagai karunia Tuhan, pada saat itu hanya watak lamun kelangan ora gegetun, trima mawi pasrah. Artinya, dalam hal apa saja mereka terima dengan kesungguhan hati, yang penting hidup ada usaha sampai tingkat tertentu, baru nrima. Sementara menurut Sardjono (1995) yaitu nrima ing pandum artinya menerima saja bagian yang sudah dijatahkan atau yang diberikan dari Tuhan. Selain bermatapencaharian sebagai buruh, masyarakat Kampoeng Batik Laweyan juga bermatapencaharian sebagai pengusaha, pengusaha yang dimaksud adalah sebagai pengusaha batik, berdasarkan data dari Forum Pengembangan Batik Laweyan7 pengusaha batik di Kampoeng Batik Laweyan terdiri dari tiga kelas yaitu kelas besar, menengah dan kecil. Tingkat pendidikan di masyarakat Kampoeng Batik Laweyan didominasi pada tamat SLTA yaitu sebanyak 674 jiwa. Sementara tingkat pendidikan yang paling sedikit yaitu masyarakat yang tidak bersekolah sebanyak 30 jiwa. Adapun jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan yang terdapat di Kampoeng Batik Laweyan, dijelaskan pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan (umur 5 tahun keatas) Februari 2016 No. 1 2 3 4 5 6 7
Tingkat Pendidikan Tamat Akademi/Perguruan Tinggi Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat SD Tidak Tamat SD Belum Tamat SD Tidak Sekolah Jumlah
Jumlah (Jiwa) 374
Persentase 18,10
674 492 324 40 35 30 1.969
34,23 24,99 16,45 2,03 1,78 1,52 100,00
Sumber: Data Monografi Kampoeng Batik Laweyan 2016
Tingkat pendidikan di Kampoeng Batik Laweyan mengalami perubahan, hal ini dikarenakan paradigma orang tua di Laweyan untuk menyekolahkan anaknya pada pendidikan formal, hal ini didukung oleh Soedarmono (2006) yang menyatakan bahwa sikap orang tua Laweyan tentang pendidikan formal adalah acuh tak acuh, sebagian besar diantara mereka merasa tidak senang dengan pekerjaan sebagai pengawai negeri, yang umumnya dihasilkan dari dunia pendidikan, pada umumnya mereka tetap mempertahankan pandanganya, bahwa pekerjaan sebagai pedagang dan pengusaha adalah mulia. Oleh karena itu, apa yang terjadi di Kampoeng Batik Laweyan adalah sistem pendidikan informal untuk diri sendiri atau anggota keluarga terdekat, merupakan integral dari
6
Merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang berarti menggerutu karena kecewa dibelakang. adalah Organisasi pengelola kluster Kampoeng Batik Laweyan mulai tanggal 25 September 2004 berdasarkan Surat Penunjukan dan penugasan dari Bappeda Kota Surakarta Nomor: 050 / I 250. Kampoeng Batik Laweyan adalah Nama kluster wisata, cagar budaya dan industri batik yang terletak di Kawasan Laweyan kota Surakarta Propinsi Jawa tengah. 7
33
pengalaman kerja di perusahaan, namun saat ini tingkat pendidikan di Kampoeng Batik Laweyan mengalami peningkatan. Masyarakat Kampoeng Batik Laweyan memiliki beragam kepercayaan (agama). Agama yaang terdapat di Kampoeng Batik Laweyan didominasi oleh agama islam yaitu sebanyak 1.972 jiwa. Adapun jumlah dan persentase penduduk menurut penganut agama di Kampoeng Batik Laweyan ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah dan persentase penduduk menurut penganut agama di Kampoeng Batik Laweyan 2016 No.
Agama
Jumlah (jiwa)
Persentase
Islam 1.972 Kristen Protestan 73 Kristen Khatolik 93 Hindu 0 Budha 0 Konghucu 0 Jumlah 2.138 Sumber: Data Monografi Kampoeng Batik Laweyan 2016
92,23 3,41 4,35 0 0 0 100,00
1 2 3 4 5 6
Kondisi Sarana Pendidikan Kampoeng Batik Laweyan Kampoeng Batik Laweyan mempunyai sarana dan prasarana yang cukup memadai. Sarana dan prasarana itu terdiri dari masjid, langgar, sekolah dasar, Taman Kanak-Kanak (TK) dan paud. Adapun jumlah sarana pendidikan di Kampoeng Batik Laweyan ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah sarana pendidikan di Kampoeng Batik Laweyan No.
Sarana dan Prasana
Jumlah (Unit)
1
Masjid
3
2
Langgar
2
3
Sekolah Dasar
1
4
Taman Kanak-Kanak
1
5
Paud
1 Jumlah
8
Sumber: Data Monografi Kampoeng Batik Laweyan 2016
Kampoeng Batik Laweyan memiliki 3 masjid, dan salah satunya adalah masjid Laweyan, selain masjid Kampoeng Batik Laweyan juga memiliki langgar
34
yang bernama Langgar Merdeka yang merupakan salah satu tempat ibadah umat Islam di Kampoeng Batik Laweyan yang sangat bersejarah. Kampoeng Batik Laweyan juga memiliki sarana lainnya yaitu ndalem Tjokrosoemartan yang merupakan sebuah rumah gaya kolonial yang telah dilestarikan secara seksama oleh beberapa generasi keluarga pusat perdagangan batik. Bagunan ini adalah situs Batik Tjokrosoemarto, salah satu perintis dan eksportir Indonesia, di Solo. Sebuah warisan sejarah yang memainkan peran penting selama perang kemerdekaan Indonesia. Gambaran Responden Penelitian Adapun jumlah responden pada penelitian ini yaitu sebanyak 90 responden. Responden merupakan buruh yang bekerja di perusahaan batik di Kampoeng Batik Laweyan, yang terdiri dari 3 kelas perusahaan batik yaitu kelas besar (large), menengah (medium), dan kecil (small). Dari masing-masing kelas perusahaan batik diambil 30 responden. Perusahaan Batik Kelas Besar (large) Responden yang bekerja di perusahaan batik kelas besat (large) terdiri dari 10 laki-laki dan 20 perempuan. Pemilihan responden ini sebenarnya tidak mempermasalahkan jenis kelamin, mengingat unit analisis penelitian ini adalah buruh yang bekerja di perusahaan batik. Adapun sebaran usia responden yaitu pada usia 21 tahun hingga 66 tahun. Sementara untuk jenis pekerjaan yang dimiliki oleh buruh yang bekerja di perusahaan batik kelas besar (large) yaitu sebagai tukang isen-isen, tukang cap, penjahit batik, tukang nyolet, dan finishing batik. Adapun lamanya waktu bekerja di perusahaan tersebut yaitu 3 hari sampai dengan 20 tahun. Buruh yang baru 3 hari ini merupakan buruh yang pindah dari perusahaan batik lain yaitu batik purwansyah.
Laki-laki Perempuan
Gambar 2 Sebaran jenis kelamin responden pada perusahaan batik kelas besar (large) Perusahaan Batik Kelas Menengah (Medium) Adapun responden yang bekerja di perusahaan batik kelas menengah (medium) terdiri dari 18 laki-laki dan 12 perempuan. Sementara untuk sebaran usia responden yaitu 24 tahun hingga 76 tahun. Jenis pekerjaan yang dimiliki oleh
35
buruh tersebut yaitu penggambasr motif batik, finishing batik, tukang isen-isen, tukang warna, tukang cap, dan pelukis batik. Sementara untuk lamanya waktu bekerja yaitu 2 bulan hingga 30 tahun. Terdapat beberapa buruh yang awalnya berasal dari perusahaan batik lain seperti dari batik Danar Hadi, Batik Puspa Kencana, Batik Pak Parid, Batik Mahkota, Batik Sadewa, Batik Keris, dan Batik Rudi.
Laki-laki Perempuan
Gambar 3 Sebaran jenis kelamin responden pada perusahaan batik kelas menengah (medium) Perusahaan Batik Kelas Kecil (Small) Jumlah responden pada perusahaan batik kelas kecil (small) yaitu sebanyak 30 buruh. Dari 30 buruh tersebut diketahui 20 laki-laki dan 10 perempuan. Sementara sebaran usianya yaitu 24 tahun hingga 62 tahun, untuk jenis pekerjaannya yaitu terdiri dari tukang cap, desain batik, tukang isen-isen, tukang printing, penjahit batik, tukang mbabar, buruh batik serabutan, pewarna batik, dan pelukis batik. Sementara untuk lamanya waktu bekerja yaitu berkisar 2 bulan sampai 40 tahun, dan dari beberapa buruh merupakan pindahan dari beberapa nama perusahaan batik yaitu Batik Semar, Batik Tegal Rejo, Batik Pak Wiarjo, Batik Danar Hadi, Batik Bapak Purwoharjo, Batik Sulaiman, dan Batik Bu Karni.
Laki-laki Perempuan
Gambar 4 Sebaran jenis kelamin pada perusahaan batik kelas kecil (small)
36
37
Sejarah dan Dinamika Kampoeng Batik Laweyan
Laweyan merupakan wilayah yang lebih tua dari Solo, Desa Laweyan sudah ada sebelum munculnya Kerajaan Pajang. Ketika Solo masih berupa desa kecil di tepi sungai Bengawan Solo, Laweyan merupakan kota pusat perekonomian Kerajaan Pajang. Desa Solo mulai berkembang setelah dijadikan ibu kota Mataram pada 17 Februari 1745, menggantikan Kartasura, sedangkan Laweyan sudah hidup sejak 1500-an. Pesatnya Laweyan tidak lepas dari kehadiran Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Sultan Hadiwijoyo alias Joko Tingkir, setelah Kerajaan Demak surut. Mulanya Laweyan adalah tanah hadiah dari Raja Pajang untu Ki Ageng Henis, Kyai Ageng Henis adalah putra dari Kyai Ageng Sela yang merupakan keturunan Raja Brawijaya V. Kyai Ageng Henis atauk Kyai Ageng Laweyan juga “Manggala Pinatuwaning Nagara” Kerajaan Pajang semasa Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang, dari beliaulah seni membatik diperkenalkan kepada santri-santrinya yang berguru kepadanya di Laweyan dan di Kampoeng inilah Ki Ageng Henis dimakamkan di pesantren Laweyan (tempat tetirah Sunan Kalijaga sewaktu berkunjung di Desa Laweyan) dan salah satu peninggalannya adalah masjid Laweyan yang dibangun tahun 1546. Laweyan tumbuh sebagai pusat perdagangan, terutama perdagangan lawe atau benang, untuk bahan tenun. Lawe inilah yang kemudian melahirkan nama Laweyan. Daerah perdikan ini merupakan pasar lawe yang sangat ramai, oleh karena itu daerah ini dikenal dengan nama laweyan. Lawe atau benang terbuat dari kapas dan merupakan bahan baku tenun untuk membuat sandang. Hal ini diperkuat dengan hasil kutipan wawancara. “ ... Dulu namanya laweyan itu ngambil kata kata dari lawe artinya benang itu loh, bahan untuk kain namanya lawe, nanti dipintal terus jadi benang terus jadi kain ...”. (S, Laki-laki, 62 Tahun)
Batik Laweyan sudah berkembang sebelum abad 15 M semasa pemerintahan Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) di Keraton Pajang. Secara etimologi, kata batik berasal dari bahasa jawa, “amba” yang berarti lebar, luas, kain; dan “titik” yang berarti titik atau matik (kata kerja membuat titik) yang kemudian berkembang menjadi istilah “batik”, yang berarti menghubungkan titiktitik menjadi gambar tertentu pada kain yang luas atau lebar. Batik juga mempunyai pengertian segala sesuatu yang berhubungan dengan membuat titiktitik tertentu pada kain mori. Menurut bahasa Jawa, “batik” ditulis dengan “bathik”, mengacu pada huruf jawa “tha” yang menunjukkan bahwa batik adalah rangkaian dari titik-titik yang membentuk gambaran tertentu (Wulandari 2011). Akibat kebutuhan batik di lingkungan keraton yang semakin meningkat, maka pembuatannya tidak lagi memungkinkan jika hanya bergantung kepada para putri dan abdi ndalem keraton. Hal ini kemudian diatasi dengan cara batik dibuat juga di luar keraton oleh kerabat dan abdi ndalem yang bertempat tinggal di luar keraton. Oleh karena banyak pengikut raja baik kerabat atau abdi dalem yang tinggal di luar keraton, maka seni batik ini dibawa mereka keluar keraton dan dikerjakan di tempat masing-masing. Demikian pula halnya yang terjadi di Laweyan. Ki Ageng Henis sebagai salah satu manggala pinutu waning nagara
38
pajang atau petinggi yang juga pengikut raja diharuskan pula berbusana batik apalagi dalam upacara ritual, untuk keperluan tersebut mengerjakan batiknya juga dilakukan di rumahnya di Laweyan sebagai tanah perdikannya. Umumnya para santri bekerja membantu segala macam pekerjaan yang ada di tempat gurunya. Begitu juga dengan santri-santri yang berguru kepada Ki Ageng Henis, termasuk juga membantu dalam pekerjaan membatik. Kepandaian membatik para santri ini kemudian digunakan untuk hidup dan dikembangkan kepada sanak saudara dan keturunan ataupun tetangga para santri tersebut. Selanjutnya seni batik pada akhirnya berkembang menjadi industri perumahan yang dikelola oleh para saudagar batik Laweyan. Brener (1960) dalam bukunya yang berjudul “The Domestication of Desire: women, wealth, and modernity in Java” menyatakan bahwa perempuan merupakan inti dari kehidupan masyarakat yang berkecimpung dalam industri batik di Laweyan. Perempuan tidak hanya sebagai juragan, pekerja, tetapi juga “penguasa” didalam kehidupan keluarga, baik di dalam sektor ekonomi (dalam dunia industri) maupun politik (pengaturan penguasaan di masyarakat). Saat ini di Kampoeng Batik Laweyan, istilah mbok mase sudah tidak lagi digunakan, hal ini akibat perkembangan zaman, dan istilah tersebut pun hilang dan berubah menjadi istilah ibu/bapak juragan. Hal ini diperkuat dengan kutipan wawancara dengan Bapak S, selaku anggota LinMas Kampoeng Batik Laweyan. “... Istilah mobok mase wah sekarang sudah gak dipakek, cuman nama. Tapi kalau sebenarnya mbok mase itu suruh menghargai, semua karyawan munduk munduk kalau gak nurut dimarahin, mbok mase ini sebagi pegang kendali kekuasaan, nah begitu kemanjuan zaman gak di pakek lagi. Mbok itu putri, dan mas itu istilahnya direktur karena sebagai pengendali. Kalau dulu itu ada mbok mase sepuh dan mbok mase muda, yg muda itu anak-anaknya. Dulu ada dua panggilannya, kamu dipanggil mbok mase tua, oh dipanggilan untuk orang tuanya mbojk mase muda. Dulu itu istilahnya kamu harus menghargai saya, kalau salah sedikit saja marahnya seharian, kamu harus mengikuti saya orang tak bayar kok, dulu tak blonjo manut sm kekuasaan saya, tapi sekarang sama rata karena merasa saya begini karena ada para buruhnya, dengan adanya kemajuan zaman istilah tersebut tidak digunakan lagi ...”. (S, Laki-laki, 62 Tahun)
Puncak struktur sosial Kampoeng Batik Laweyan adalah keluarga majikan dan secara turun-temurun terdiri dari mbok mase sepuh (nenek), mas nganten sepuh (kakek) yang biasanya orang tua dari pihak ibu. Selanjutnya adalah mbok mase (ibu rumah tangga), mas nganten (ayah sebagai kepala rumah tangga), mas roro (anak perempuan) dan mas bagus (anak laki-laki). Status sosial dibawahnya adalah kelompok besar para pekerja di perusahaan batik tersebut. Disini status sosial ditentukan menurut kriteria keahlian kerja, tukang cap sebagai buruh ahli menduduki tingkat teratas. Mereka ini mendapat perlakuan istimewa dari majikan, dan sering kali kemudian meningkat statusnya menjadi pengusaha menengah atau besar. Status sosial dibawah tukang cap adalah kuli mbabar, kuli celup, pengubang (buruh batik), dan pembantu rumah tangga majikan. Mereka ini tergolong dalam status buruh inti. Status sosial dibawahnya adalah kuli mberet,
39
kuli kerok dan kuli kemplong, dan mereka ini tergolong sebagai buruh tetap. Status sosial paling bawah adalah buruh harian yaitu pekerja kasar sebagai pembantu rumah tangga. Status sosial paling bawah ini tidak diikat oleh majikan karena itu sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh majikan, meskipun demikian hubungan antara majikan dan buruh tidak hanya berdasar kepentingan ekonomi tetapi tetap terjalin ikatan persaudaraan. Motor penggerak usaha batik disebut mbok mase ini merupakan para saudagar batik yang kekayaannya melebihi para bangsawan. Bukti kekayaan ini diwujudkan dalam bangunan rumah dan kendaraan yang tidak kalah dengan para bangsawan. Keberhasilan perempuan mengangkat batik, sebenarnya juga keberhasilan mengangkat status mereka, bukan lagi perempuan yang terpinggirkan melainkan telah mengangkatt derajat dan martabatnya, dengan cara tidak kehilangan harga diri, namun dengan disiplin, kerja keras, dan hemat, apa yang dicita-citakan dapat tercapai. Hal ini dikarenakan saat itu persepsi tradisional yang hidup atau adanya anggapan bahwa sudah menjadi kodratnya bahwa perempuan hanya mengurus rumah tangga atau sebatas wilayah domestik dan terlibat sektor ekonomi hanya sampingan. Berikut kutipan wawancara dengan Bapak P yang merupakan cucu dari Alm. Bapak Tjokrosoemarto.8 “... Mbok itu berarti putri, dan mase itu berarti seperti pria yang kuat sebagai pemegang kendali kekuasaan dalam produksi batik. Mbok mase sebenarnya sebagai bentuk emansipasi wanita saat itu, karena pada saat itu wanita dianggap sebagai konco wingking, yang berarti teman belakang. Namun, pada saat itu muncullah istilah Mbok mase sebagai perempuan kuat yang mengurusi semua hal yang berkaitan dengan produksi batik ...”. (P, Laki-laki, 48 Tahun) Zaman dulu, mbok mase ini memiliki kereta kencana yang digunakan untuk membawa barang dagangannya berupa batik, untuk dijual di pasar tradisional, bahkan ada cerita ketika itu orang keraton ingin meminjam keretanya mbok mase, ketika berkunjung di Laweyan, namun mbok mase tidak memperbolehkan dengan alasan untuk keperluan pengangkutan batik untuk dijual kepasar. Hal tersebut didukung dengan pernyataan
dari alumni mahasiswa ilmu sejarah, Fakultas Ilmu Budaya , Universitas Sebelas Maret. “... Ceritanya dulu, ketika kami sedang proses pembuatan film mbok mase, kami juga mewawancarai salah satu mbok mase yang masih ada, menurut beliau dulu ada orang dari keraton yang sedang berkunjung ke Laweyan, dan sedang kelelahan, karena melihat kereta kencananya mbok mase, maka orang keraton tersebut berniat untuk meminjam kereta tersebut, namun mbok mase menolak, karena besok paginya akan dipakai buat ngangkut batik ke pasar, karena merasa kesal akhirnya orang keraton tersebut bersumpah, bahwa tidak akan ada anak cucunya yang menikah dengan Laweyan, prinsip ini pun sampai sekarang masih dipegang kuat ...”. (M, Laki-laki, 28 Tahun)
Kampoeng Batik Laweyan mengalami masa kejayaan pada abad 20 M dan muncul metode pembuatan batik dengan cara cap, dengan metode batik cap, pembuatan batik bisa menjadi lebih mudah dan lebih cepat. Selain itu 8
Merupakan salah satu perintis perdagangan batik di Solo.
40
keseragamannya lebih dapat diandalkan, namun dampak negatifnya karena dibuat secara banyak dan seragam, batik cap ini terlihat pasaran sehingga tidak disenangi oleh kalangan menengah keatas. Era 1970-an mulai muncul teknik baru untuk membuat tekstil bermotif batik tanpa menggunakan lilin panas sebagai perinting warna namun menggunakan screen sablon. Saat itu “tekstil bermotif batik” dikenal sebagai batik printing, tentu saja penamaan itu keliru karena proses pembuatan printing dan batik itu berbeda. Saat ini sudah ada peraturan dari pemerintah untuk melindungi konsumen dengan mengharuskan para penjual batik untuk memberikan informasi yang benar tentang kategori produk batik tulis, batik cap dan printing (tekstil bermotif batik). Adanya kemunculan produk printing yang relatif murah dan proses produksinya sangat cepat mulai menyaingi pemasaran batik tulis dan batik cap. Satu persatu industri batik di laweyan mengalami kebangkrutan dan pada tahun 2000-an jumlah industri batik di laweyan hanya tersisa kurang dari 20 saja. Hal ini didukung oleh pernyataan Bapak S. “... Hampir semua, hampir 75% warga Laweyan ini produksi batik, begitu hancurnya itu ketika orang-orang Arab datang, batik diasingi sama printing yang bukan tulis yang pakek stampel. Baru satu minggu bisa jadi, sedangkan printing satu hari aja udah ratusan meter, kalau tulis satu minggu mungkin ya satu kodi, 20 ptong. Tapi printing, satu minggu udah berapa ratus, kalau orang tidak tahu motif printing sama cap, cuma warnanya kalau yang printing satu minggu dicuci pakai deterjen sudah punah, tapi kalau yang produksi batik nyucinya pakaI lerak satu tahun aja warnanya masih ...”. (S, Laki-laki, 62 Tahun)
Banyak saudagar besar batik di Laweyan yang menutup produksinya. Salah satunya adalah Ibu T, yang dulunya memiliki perusahaan batik sendiri namun sekarang sudah tidak beroperasi lagi, akibat bangkrut, sehingga saat ini memilih untuk bekerja di perusahaan batik lain. Berikut hasil wawancara mendalam dengan ibu T. “... Dulu saya punya pabrik batik sendiri, tapi sekarang sudah tidak jalan sudah lama, semenjak adanya zaman krisis moneter, dan bangkrut, dulu itu jualan batik juga dirumah, tapi sekarang sudah tidak lagi dan memilih kerja disini ... ”. (T, Perempuan, 42 Tahun)
Berdasarkan hal tersebut maka muncullah kekhawatiran akan eksistensi Kampoeng Batik Laweyan, sehingga pada tahun 2004 Laweyan resmi dinyatakan sebagai kawasan Kampoeng Batik. Dibidang kebudayaan, masyarakat Kampoeng Batik Laweyan masih tampak aktif nguri-nguri9 kesenian tradisional seperti musik keroncong dan karawitan yang biasanya ditampilkan sebagai pengisi acara hajatan seperti mantenan, sunatan, tetakan, dan kelahiran bayi10, selain itu, tradisi pernikahan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan juga masih menggunakan batik dengan motif tertentu. Menurut Hanggopuro (2002) menyebutkan bahwa dalam pengetrapan berbusana Jawa hendaknya diselaraskan dengan rasa jiwa budaya, karena dalam berbusana Jawa tidak hanya sekedar memakai pakaian, namun 9
Merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang artinya melestarikan. Dikutip dari web resmi Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, http://kampoengbatiklaweyan.org/sosial-budaya-laweyan/ diakses pada tanggal 15 Mei 2016.
10
41
terdapat nilai-nilai tata susila dan kepribadian yang meliputi lahir dan batin manusia. Seperti sabda Pakoe Boewono X, “... Nyandang nganggo iku dadya sarana amemangun manungsa njaba njero, marmane pantesan panganggonira, trepna pangetraping panganggon, cundhukna kalawan kahananing badanira, kalungguhan miwah kapangkatinara ...”. Artinya berbusana itu menjadi sarat membangun manusia luar dan dalam (lahir dan batin), maka sesuaikanlah pakaian mu yang cocok dengan penggunaannya, yang serasi dengan tubuh mu, kedudukan dan kepangkatan mu. Semua tradisi yang ada di dalam masyarakat Jawa yang telah dimiliki secara turun temurun, tidak terlepas dari dua hal yaitu tata cara dan upacara. Hanggopuro (2002) mengatakan bahwa tata cara dapat diartikan sebagai proses jalannya upacara yang sudah mempunyai aturan-aturan yang berurutan secara jelas, sedang upacara artinya ubarampe yang dipergunakan sebagai sarana, salah satunya adalah batik. Sebagian tradisi Jawa yang selalu menggunakan batik, sejak manusia dalam kandungan hingga meninggal dunia diatara tradisi ritual wilujengan yang digelar adalah tingkeban atau mitoni, kapohan dan gendhongan, ruwatan, labuhan, dan manton. Tradisi tingkeban atau mitoni yaitu diselenggarakan apabila wanita sedang hamil yang pertama, pada usia kehamilan tujuh bulan. Sementara kopohan dan gendhongan,kopohan berasal dari kata kopoh yang berarti basah, dalam hal ini dimaksudkan sebagai kain yang digunakan untuk alas bayi yang baru keluar dari rahim ibu, sehingga kain yang digunakan akan basah oleh cairan (air kawah maupun darah) yang keluar dari rahim bersama si bayi, sedangkan gendhongan berkaitan dengan kelahiran bayi, masyarakat Jawa mengenal adanya istilah sedulur papat lima pancer, yang selalu ikut menjaga melindungi serta mengasuh dalam kehidupan manusia. Sedulur papat ini dilakukan upacara hanya pada “ari-ari” yang dilabuh atau dikubur. Kemudian ariari dibersihkan dan dimasukan ke dalam “kendhil”, pada saat melakukan upacara si bapak berbusana Jawa lengkap, menggunakan kain batik latar hitam menggendong kendhil, adapun kain batik yang dipilih seperti motif Sidomulyo, Semen Rama, Wahyu Temurun, dan Sida Asih (Honggopuro 2002). Ruwatan merupakan sarana memberikan “wiradat” terhadap “kodrat” yang dianggap tidak baik oleh orang Jawa. Tradisi ruwatan itu secara turun temurun dilaksanakan dengan menggelar pagelaran wayang kulit dengan cerita Murwakala, dilengkapi dengan 9 potong kain batik yang berbeda motifnya yaitu motif Parang Rusak, Semen Latar Putih, Latar Hitam, Ceplok, Kawungan, Krambil Sacukil, Tambal Miring, Slobog, dan Poleng Bang Bintalu. Sementara manton merupakan upacara tradisi “mantu” atau pernikahan. Batik bukan hanya digunakan untuk melatih keterampilan lukis (menggambar) dan sungging (mewarnai dengan cat), namun merupakan seni yang sarat dengan pendidikan etika dan estetika bagi perempuan (Wulandari 2011). Batik juga sering digunakan untuk menandai adanya peristiwa-peristiwa didalam kehidupan manusia Jawa. Misalnya saja batik dengan corak Truntum cocok untuk upacara akad nikah, sedangkan corak Midodareni, Grompol, Semen Rama, Naga Sari cocok untuk pernikahan. Selain itu, masyarakat Kampoeng Batik Laweyan juga mengalami perubahan, misalnya yang tadinya masyarakatnya tertutup sekarang menjadi lebih terbuka. Tertutupnya ini dikarenakan bentuk bangunan rumah para pengusaha batik yang bertembok tinggi, dengan tujuan pada saat itu untuk menjaga dan
42
melindungi sistem ekonomi si pengusaha batik, dan diantara bangunan rumah para pengusaha juga dibangun sebuah pintu kecil untuk dapat bertamu ke rumah sebelahnya, yang letaknya tersembunyi. Hal ini bertujuan untuk melindungi harta kekayayaan pengusaha batik dari maling. Hal ini didukung dengan hasil hutipan wawancara. “... Dulu di Laweyan ini banyak bangunan tinggi, dulu sebelum zaman Belanda, di solo di laweyan banyak pencuri dan gedor datang kerumah, ya istilahnya gedor, makanya bangunannya tinggi. Rumah ini ada tembusannya sama tetangga, ada dindingnya ada pintu seandainya ada kejaian gejoran bisa lari kehalaman rumah sebelahnya. Sekarang ini begitu anu kan waktu sama pemerintah supaya bangunan tembok tembok tidak ditinggikan supaya bangunnya keliatan, dulu rumah laweyan yg kuno banyak pengguninya, saudagar mencari tempat supaya membuat rumah ini aman dengan menyimpan roh halus, ada gedor yang bisa masuk bisa ambil barang, tapi gak bisa pulang. Dulu ada begini banyak, dikasih jin supaya bisa jaga rumah, carinya di tempat tempat para normal yang pandai, dulu istilahnya dukun ...”. (S, Laki-laki, 62 Tahun)
Hal tersebut diperkuat dengan hasil kutipan wawancara. “... Ya dulu bangunannya tinggi-tinggi buat jaga dari maling, zaman dulu memang orangnya masih sedikit, seni rumah tuh sedikit sedikit, rumahnya isinya 4 sampai lima, yang dibelakang juga rumahnya kecilkecil isinya 4 orang, rumahnya sendiri-sendiri, sebelah saya itu kosong, terus satu lagi kosong lagi, terus kosong lagi, banyak yang kosong disini, yang punya di Semarang, yang punya di Surabaya, ada juga yang di sewa buat printing, banyak yang kosong, kalau malam itu sudah habis magrib, sepi sudah gak ada orang ...”. (P, Perempuan, 59 Tahun)
Saat ini, masyarakat Laweyan jauh lebih terbuka semenjak diresmikannya Kampoeng Batik Laweyan sebagai kawasan wisata pada tahun 2004, bangunanbangunan yang awalnya bertembok tinggi, saat ini sudah mulai dibuka, dengan adanya pembukaan showroom batik, yang biasanya dimiliki oleh para pendatang dari luar Laweyan. Nilai-nilai Jawa seperti istilah rukun, saat ini mulai berubah. Hal ini diperkuat dengan hasil kutipan wawancara sebagai berikut. “... Saat ini masyarakat Laweyan itu, ketok e rukun tapi yo ra rukun, tapi ndak rukun ...”. (S, Laki-laki, 64 Tahun) “... Saat ini masyakarat Laweyan itu kelihatannya tukun tapi ya tidak rukun, tapi tidak rukun ...”. (S, Laki-laki, 64 Tahun) Selain itu, Kampoeng Batik Laweyan saat ini semakin ramai, berbeda dengan zaman dahulu. Hal ini didukung dengan hasil kutipan wawancara dengan salah satu
masyarakat Kampoeng Batik Laweyan yang berprofesi sebagai tukang becak, yang sering mengantar tamu ke Kampoeng Batik Laweyan, baik mengantar pengunjung /tamu yang berasal dari lokal maupun mancanegara.
43
“... Tamunya dari luar negeri ya ada, sering pas pak Jokowi masih jadi wali kota Solo. Perubahannya Laweyan ini ya banyak, umpanya mengantar tamu belajar batik ada insentifnya, dulu gak ada ... “. (P, Laki-laki, 52 Tahun) Sementara itu, istilah mbok mase yang dulu dipakai sebagai sebutan kepada perempuan Laweyan, yang berprofesi sebagai juragan batik saat ini istilah tersebut sudah tidak digunakan lagi. Hal ini didukung oleh hasil wawancara dengan Ibu E sebagai salah satu mbok mase generasi ke 4 yang masih aktif, beliau merupakan pemilik usaha Batik Cempaka. “... Sekarang itu istilah Mbok mase sudah tidak dipakai lagi, kalau dulu pas zaman feodal ya masih dipakai. Dulu saya dipanggil Mbok mase, tapi sekarang karena zamannya sudah berubah, ya biasa-biasa saja sekarang dipanggil ibu saja ...”. (E, Perempuan, 53 Tahun)
44
45
Pola Hubungan Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan
Pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh membentuk tipe hubungan patron-klien. Hal ini sejalan dengan penelitian Probowati (2011) yang menyatakan bahwa struktur masyarakat Kampoeng Batik Laweyan terjadi corak hubungan patron-klien. Umumnya patron berperan sebagai pemimpin informal yang memberikan perlindungan terhadap klien-nya. Prinsip dari corak hubungan patronklien adalah adanya hubungan yang relatif stabil dan lama diantara para pelakunya, demikian juga yang yang berlangsung di Kampoeng Batik Laweyan, hubungan antara juragan (patron) dan buruh (klien) berlangsung dalam jangka waktu yang lama tak jarang pula berlangsung hingga turun-temurun. Ketergantungan klien yang besar terhadap patron terlihat dari bagaimana perlakuan dan kesetiaan (dalam kurun waktu yang lama dan terus-menerus). Perusahaan Batik Kelas Besar (Large) Pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas besar (large) membentuk tipe hubungan patron-klien. Hal ini dapat terlihat pada (Lampiran 5). Berdasarkan Lampiran 5 dapat diketahui bahwa tingkat ketimpangan
dilihat berdasarkan pertukaran barang dan jasa yang wajib dibalas oleh buruh kepada juragan, dan adanya rasa saling ketergantungan buruh terhadap juragan. Pertukaran barang dan jasa yang dilakukan oleh buruh terhadap juragan pada perusahaan batik kelas besar (large) tidak perlu dikembalikan. Sementara untuk rasa ketergantungan, buruh menganggap tidak adanya rasa saling ketergantungan, hal ini dikarenakan buruh menganggap hanya sebatas pekerjaan saja, sehingga sewaktu-waktu buruh pun dapat pindah tempat kerja. Adapun tingkat tatap muka pada klasifikasi rendah disebabkan oleh masa kerja yang baru mencapai 1 bulan, sehingga belum memiliki kedekatan dengan juragan. Tingkat luwes dan meluas yaitu hubungan yang terjalin antara juragan dan buruh tidak hanya sebatas hubungan dalam aktivitas produksi batik, melainkan hubungan sesama tetangga yang ditandai dengan adanya hubungan kekerabatan serta adanya bantuan yang diberikan oleh juragan maupun buruh. Buruh yang berada pada klasifikasi rendah disebabkan oleh belum lamanya waktu bekerja dan juga terdapat buruh yang berasal dari perusahaan lain sehingga tingkat luwes dan meluasnnya rendah. Sementara untuk tingkat hubungan harapan, ditandai dengan adanya rasa ingin atau harapan yang dimiliki oleh juragan dan buruh dalam aktivitas produksi batik. Semua buruh berada pada klasifikasi tinggi, hal ini disebabkan karena semua buruh memiliki kekuasaan, wewenang, serta pengaruh terhadap pekerjaannya, sehingga juragan dan buruh saling membutuhkan dalam aktivitas produksi batik. Tingkat patron menunjukkan bahwa juragan pada perusahaan batik memiliki kekuasaan, status, wewenang, dan pengaruh dalam aktivitas produksi batik, hal ini dikarenakan juragan sebagai pemilik perusahaan yang harus
46
mengatur bagaimana sistematika kerja di perusahaannya. Selanjutnya, pada tingkat klien menunjukkan bahwa terdapat 4 buruh yang berada pada klasifikasi rendah, hal ini disebabkan oleh buruh tidak memiliki kekuasaan, status, wewenang, dan pengaruh yang lebih tinggi dari juragan, namun justru juragan yang memiliki peranan yang lebih tinggi pada proses produksi batik. Tingkat resiprositas yaitu hubungan antara juragan dan buruh yang melibatkan rasa saling tukar barang maupun jasa. Tingkat resiprositas pada perusahaan batik kelas besar (large) berada pada klasifikasi tinggi, hal ini disebbakan oleh rasa saling tukar barang maupun jasa yang tinggi. Misalnya saja, ketika salah satu buruh sedang mengadakan hajatan besar seperti menikahkan anaknya, maka juragannya pun memberikan bantuan berupa uang maupun barang yang diberikan kepada anaknya. “... Di sini itu juragannya apik kok mbak, kalau ada pegawainya yang punya hajatan besar misale anaknya nikah, si juragan ne mau ngasih uang sama barang berupa bahan-bahan masakan, itu berlaku untuk semua pegawainya mbak. Juragane bagus mbak, orangnya baik suka membantu kalau ada pegawainya yang butuh bantuan, disini itu sudah kayak keluarga antara juragan sama pegawainya, kalau pas lebaran biasanya dikasih THR berupa uang sama sembako mbak ...”. (Y, Perempuan, 44 Tahun)
Hal tersebut dilakukan karena antara juragan dan buruh sudah saling menganggap sebagai keluarga sendiri. Sementara untuk tingkat keuntungan, sebanyak 22 buruh berada pada klasifikasi rendah, hal ini dikarenakan buruh menganggap bahwa dalam proses produksi batik, hanya sebatas hubungan kerja, sehingga tidak diberi pekerjaan sampingan, dan hubungannya hanya sebatas hubungan pekerjaan. “... Dikasih pekerjaan sampingan apa tow mbak, di sini itu sesuai sama pekerjaannya masing-masing, kalau saya kan jahit, ya sebatas jahit batik saja, gatau kalau yang lain mbak ...”. (W, Perempuan, 42 Tahun)
Perusahaan Batik Kelas Menengah (Medium) Pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas menengah (medium) termasuk kedalam tipe hubungan patron-klien. Berikut hasil perhitungan tabel frekuensi untuk pola hubungan pada (Lampiran 6) . Berdasarkan Lampiran 6 menunjukkan bahwa pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas menengah (medium) dilihat berdasarkan beberapa indikator, untuk tingkat ketimpangan diketahui berada pada klasifikasi rendah, hal ini dikarenakan tidak adanya pertukaran barang ataupun jasa yang wajib di balas oleh buruh, selain itu juga rasa saling ketergantungan buruh terhadap juragan juga berkurang, karena sebagian buruh menganggap
47
bahwa hubungan antara juragan dan buruh hanya sebatas hubungan pekerjaan. Hal ini diperkuat dari hasil kutipan wawancara. “... Wah ngapain punya rasa ketergantungan, orang di sini kerja kok mbak. Sewaktu-waktu bisa pindah, seperti saya ini baru tiga hari disini, saya pindah dari perusahaan batik lain, jadi bisa saja pindah, tanpa adanya ketergantungan. Tapi saya sudah kenal Mas Arief, tiap hari saya ngobrol sama bapaknya mbak, jadi sudah kenal dengan juragannya ... “. (W, Laki-laki, 56 Tahun)
Selain itu, tingkat tatap muka merupakan intensitas pertemuan yang terjadi antara juragan dan buruh dalam aktivitas produksi batik, terdapat 5 buruh yang berada pada klasifikasi rendah hal ini dikarenakan lamanya waktu bekerja yang baru beberapa tahun, yaitu sekitar 1-3 tahun, dan bahkan ada yang baru satu minggu. Selain itu terdapat buruh yang berasal dari perusahaan batik lain sehingga belum tertalu kenal dekat dengan juragan, sehingga rasa percaya yang dimiliki terhadap juragan masih rendah. “... Kalau di sini itu juragannya biasanya datang jam sebelas, cuma buat ngecek pembagian tugas dalam membuat batik mbak, seperti saya sebagai kuli mbabar. Jadi pertemuan dengan juragan juga hanya sebatas itu, dan saya disini juga baru satu minggu mbak ...”. (T, Laki-laki, 53 Tahun)
Sementara untuk tingkat luwes dan meluas pada perusahaan batik kelas menengah (medium) terdapat 5 buruh yang berada pada klasifikasi rendah. Hal ini disebabkan oleh buruh tersebut berasal dari perusahaan batik lain yaitu Batik Bin House dan Batik Keris, dan lamanya waktu bekerja baru beberapa tahun, sehingga hubungannya dengan juragan tidak begitu dekat, dan tidak ada rasa saling membantu, karena hubungannya hanya sebatas juragan dan buruh yang menyangkut pekerjaan saja. “... Kalau saya di sini hubungannya hanya sebatas pekerjaan mbak, karena saya disini digaji, setiap hari ya mengerjakan tugas dari juragan cuma itu saja, hubungannya juga tidak terlalu dekat, karena memang setiap harinya fokus kekerjaan masing-masing sesuai perintah juragannya ...”. (S, Laki-laki, 62 Tahun)
Tingkat hubungan harapan yang dimiliki oleh buruh terdapat 8 buruh yang berada pada klasifikasi rendah, hal ini disebabkan oleh buruh tersebut menganggap bahwa dirinya hanya memiliki kekuasaan dan status sebagai pekerja, namun tidak memiliki wewenang dan pengaruh dalam proses produksi batik, hanya sebatas buruh yang bekerja saja. “... Kekuasaan nya di sini ya sebatas membatik mbak, karena saya kerjanya setiap hari ditugaskan untuk membatik, ya statusnya hanya sebagai pembatik
48
saja, yang punya wewenang itu ya juragannya mbak, yang punya perusahaan batik, disini saya hanya sebagai buruh yang dibayar mbak ... “. (S, Perempuan, 68 Tahun)
Sementara untuk tingkat patron, semua buruh berada pada klasifikasi tinggi artinya juragan memiliki kekuasaan, status, wewenang, dan pengaruh yang tinggi terhadap perusahaan batiknya. Sementara untuk tingkat klien, terdapat 2 buruh yang berada pada klasifikasi rendah, disebabkan oleh buruh tersebut tidak memiliki kekuasaan, status, wewenang, dan pengaruh yang lebih tinggi daripada juragannya. “... Di sini itu mbak, yang punya pengaruh besar ya si juragane, karena juragan yang punyanya, kita cuma sebatas buruh yang bekerja, yang setiap harinya digaji. Juragan yang mengatur pembagian kerja buruhnya ...”. (K, Laki-laki, 70 Tahun) Tingkat resiprositas menunjukkan bahwa semua buruh berada pada klasifikasi tinggi, Artinya semua buruh menganggap bahwa hubungan antara juragan dan buruh melibatkan rasa saling tukar barang maupun jasa. Sedangkan untuk tingkat
keuntungan sebanyak 5 buruh berada pada klasifikasi rendah, disebabkan oleh buruh tersebut tidak memiliki pekerjaan sampingan dan rasa kekeluargaannya tidak begitu dekat. “... Saya di sini pekerjaan nya ditugas untuk membatik saja, kalau pekerjaan sampingan itu gak ada mbak, tiap hari kerja itu sudah capek kok mbak ...”. (Y, Perempuan, 58 Tahun)
Perusahaan Batik Kelas Kecil (Small) Pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas kecil (small) membentuk tipe hubungan patron-klien yang dapat dilihat berdasarkan (Lampiran 7). Lampiran 7 menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan yang terjadi pada perusahaan batik kelas kecil (small) berada pada klasifikasi rendah sebanyak 15 buruh dan yang tinggi sebanyak 15 buruh juga. Hal ini dikarenakan adanya rasa saling ketergantungan buruh terhadap juragan. “... Ya namanya bekerja disini ya bergantung mbak, karena pendapatan sehari-hari juga berasal dari kerja disini mbak, jadi ya punya rasa ketergantungan sama bapak juragane ...”. (Y, Perempuan, 54 Tahun)
Sementara untuk tingkat tatap muka, terdapat 6 buruh yang berada pada klasifikasi rendah, hal ini dikarenakan buruh belum memiliki kedekatan dengan juragan sehingga rasa saling percaya nya pun belum terjalin. Hal ini diperkuat dengan hasil kutipan wawancara.
49
“... Saya di sini baru tiga bulan kok mbak, jadine belum terlalu dekat sama juragan, ketemunya cuma sebatas mengecek pekerjaan, di sini itu juragane agak pendiem mbak ...”. (N, Perempuan, 53 Tahun)
Tingkat luwes dan meluas menunjukkan bahwa sebanyak 5 buruh berada pada klasifikasi rendah, hal ini dikarenakan lamanya waktu bekerja yang baru mencapai 3-5 tahun dan hubungannya hanya sebatas pekerjaan, bukan sebagai hubungan kekerabatan. Tingkat hubungan harapan diketahui bahwa semua buruh berada pada klasifikasi tinggi, artinya buruh memiliki kekuasaan, status, wewenang, dan juga pengaruh dalam aktivitas produksi batik. Sementara untuk tingkat patron menunjukkan bahwa terdapat satu buruh yang berada pada klasifikasi rendah, hal ini disebabkan oleh buruh tersebut menganggap bahwa juragan tidak memiliki posisi yang lebih tinggi dari buruh, namun posisinya samasama saling membutuhkan dan memiliki peranan yang sama antara juragan dan buruh. “... Juragan dan buruh itu posisinya sama, sama-sama saling membutuhkan mbak, kalau juragan tanpa buruh siapa yang mau ngerjain produksi batiknya, hubungannya saling membutuhkan satu sama lain, kita bergantung dengan gaji, juragane bergantung dengan tenaga kita ...”. (W, Laki-laki, 56 Tahun)
Sementara untuk tingkat klien, menunjukkan bahwa terdapat dua buruh yang berada pada klasifikasi rendah, hal ini dikarenakan seharusnya yang memiliki posisi lebih tinggi adalah juragan ketimbang buruh. Tingkat resiprositas menunjukkan bahwa semua buruh berada pada klasifikasi tinggi, artinya hubungan juragan dan buruh melibatkan rasa saling tukar barang maupun jasa. Sementara untuk tingkat keuntungan, terdapat 20 buruh yang berada pada klasifikasi rendah, hal ini dikarenakan oleh keuntungan rendah yang diperoleh buruh pada aktivitas produksi batik, baik dari segi uang, pekerjaan sampingan, maupun rasa kekeluargaan yang terbentuk antara juragan dan buruh. Berdasarkan pola hubungan juragan buruh, dapat disimpulkan bahwa pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas besar (large) memiliki pola hubungan patron-klien yang tinggi, sementara pada perusahaan batik kelas menengah (medium) dan kelas kecil (small) memiliki tingkat pola hubungan patron-klien yang lebih rendah.
50
51
Pengaruh Modal Sosial terhadap Pola Hubungan Juragan dan Buruh
Perusahaan Batik Kelas Besar (Large) Pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan batik kelas besar (large), tidak memiliki pengaruh yang signifikan (Lampiran 11). Hal ini dikarenakan omnibus test of model coefficients tidak muncul. Sementara untuk modal sosial yang terdiri dari jaringan sosial, nilai dan norma, dan kepercayaan dijelaskan secara rinci pada Tabel 11. Tabel 11 Frekuensi modal sosial pada perusahaan batik kelas besar (large) No. Indikator Klasifkasi Frekuensi Persentase (%) 1.
2.
3.
Tingkat jaringan sosial
Tingkat nilai dan norma
Tingkat kepercayaan
Rendah
28
93,3
Tinggi
2
6,7
Total
30
100
Rendah
0
0
Tinggi
30
100
Total
30
100
Rendah
13
43,3
Tinggi
17
56,67
Total
30
100
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa tingkat jaringan sosial dan tingkat kepercayaan yang dimiliki oleh buruh yang bekerja diperusahaan batik kelas besar (large) berada pada klasifikasi rendah, sementara untuk tingkat nilai dan norma berad pada klasfikasi tinggi. Tingkat jaringan sosial berada pada klasifikasi rendah dikarenakan tidak adanya rasa kedekatan antara juragan dan buruh karena sistemnya hanya sebatas hubungan pekerjaan, untuk diluar pekerjaan pun tidak adanya rasa kerja sama dengan juragan, selain itu juga buruh tidak mengenal siapa ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, serta ketidaktahuan buruh terhadap sumber bahan pemasok batik diperusahaan batik tempat ia bekerja. “... Oh saya gak tau mbak, siapa ketuane forum, kalau tentang pemasok bahan itu sudah ada bagiannya masing-masing mbak, kalau saya di sini tugasnya cuman mbatik, kalau yang pemasok bahan itu ada lagi bagiannya mbak, disini menjalakan tugas masing-masing, jadi saya tidak tahu siapa pemasok bahan disini ...”. (S, Perempuan, 42 Tahun)
52
Sementara untuk tingkat kepercayaan, terdapat 13 buruh yang berada pada klasifikasi rendah. Hal ini disebabkan oleh buruh tidak mendapatkan pinjaman berupa barang dari juragannya apabila membutuhkan, sehingga buruh pun tidak bersedia memberikan pinjaman kepada juragan. “... Kalau saya di sini belum pernah pinjem kok mbak, jadi ya gak ada itu. Rumongso juragane itu gak pernah minjem mbak, yo juragan kan sudah punya pastilah mbak, ngapain minjem ke buruhnya, karena sudah lebih kaya ...”. (K, Perempuan, 66 Tahun) Tingkat nilai dan norma yang dimiliki oleh perusahaan batik kelas besar (large) berada pada klasifikasi tinggi, hal ini dikarenakan semua buruh mengetahui tata aturan kerja yang berlaku yaitu mulai bekerja pada pukul 08.00-16.00 WIB, dan apabila dilanggar maka akan diberikan sanksi. “... Kalau soal perekrutan pegawai itu saya serahkan ke anak saya, anak saya yang mewawancarai, dari awal emang sudah ada perjanjian-perjanian dan kalau dilanggar ada pemberian surat peringatan, di sini itu sudah menerapkan aturan-aturan formal mbak, jadi harus ada sanksi ...”. (B, Laki-
laki, 62 Tahun) Perusahaan Batik Kelas Menengah (Medium) Pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan batik kelas menengah (medium), tidak memiliki pengaruh yang signifikan (Lampiran 12). Hal ini dikarenakan nilai omnibus test of model coefficients menunjukkan bahwa nilai X2 2,892 < X2 tabel pada DF 1 yaitu 3,841 atau dengan signifikansi sebesar 0,089 (> 0,05) sehingga menerima H0, yang menunjukkan bahwa penambahan variabel independen tidak dapat memberikan pengaruh nyata terhadap model, atau dengan kata lain model dinyatakan tidak fit. Besarnya pengaruh ditunjukkan dengan nilai Exp (B) atau disebut juga Odds Ratio (OR). Variabel modal sosial dengan OR 7,667 maka orang yang memiliki modal sosial memiliki peluang terhadap pola hubungan atara juragan dan buruh pada klasifikasi tinggi sebanyak 7,667 kali lipat dibanding yang berada pada klasifikasi rendah. Sementara itu, modal sosial terdiri dari jaringan sosial, nilai dan norma, dan kepercayaan. Penjelasan modal sosial dirinci pada Tabel 12.
53
Tabel 12 Frekuensi modal sosial pada perusahaan batik kelas menengah (medium) No. Indikator Klasifkasi Frekuensi Persentase (%) 1.
2.
3.
Tingkat jaringan sosial
Tingkat nilai dan norma
Tingkat kepercayaan
Rendah
27
90
Tinggi
3
10
Total
30
100
Rendah
0
0
Tinggi
30
100
Total
30
100
Rendah
3
10
Tinggi
27
90
Total
30
100
Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa, tingkat jaringan sosial yang dimiliki oleh buruh yang bekerja pada perusahaan batik kelas menengah (medium) berada pada klasifikasi rendah, sementara untuk tingkat nilai dan norma serta tingkat kepercayaan berada pada klasifikasi tinggi. Tingkat jaringan sosial berada pada klasifikasi rendah disebabkan oleh ketidakdekatan dengan juragan, rasa percaya terhadap juragan yang rendah, selain itu juga ketidaktahuan buruh terhadap ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, serta ketidaktahuan buruh terhadap pemasok barang produksi batik di tempat ia bekerja. “... Di sini ini itu anu kok mbak, antara juragan sama buruhnya itu gak terlalu dekat, karena jurage jarang ketemu, palingan pak Heri yang ngecek pekerjaan yang dilakukan sama buruhnya, pak Heri itu sudah ditugaskan oleh pak Bambang untuk memantau pekerjaan, jadi ya gimana ya mbak, sama juragan iku gak dekat ...”. (M, Perempuan, 65 Tahun)
Sementara untuk tingkat nilai dan norma, semua buruh berada pada klasifkasi tinggi, karena buruh sudah mengetahui secara jelas aturan kerjanya, namun pada perusahaan batik kelas menengah ini tidak memberikan sanksi kepada buruhnya. Sedangkan untuk tingkat kepercayaan, terdapat tiga buruh yang berada pada klasifikasi rendah, hal ini disebabkan oleh selama bekerja, buruh belum pernah meminjam berupa barang kepada juragan, sehingga buruh tidak mengetahui apakah juragan berkenan untuk memberikan pinjaman atau tidak. “... Selama bekerja, saya itu anu kok mbak, belum pernah pinjem ke juragan, ndak berani mbak. Jadi, saya gak tahu boleh apa enggak kalau pinjem dengan juragan ...”. (R, Perempuan, 35 Tahun)
54
Perusahaan batik kelas kecil (small) Pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik laweyan tidak berpengaruh secara signifikan (Lampiran 13). Omnibus test of model coefficients menunjukkan nilai X2 0,395 < X2 tabel pada DF 1 yaitu 3,841 atau dengan signifikasi sebesar 0,530 (> 0,05) sehingga menerima H0, yang menunjukkan bahwa penambahan variabel independen tidak dapat memberikan pengaruh nyata terhadap model, atau dengan kata lain model dinyatakan tidak fit. Besarnya pengaruh ditunjukkan dengan nilai Exp (B) atau disebut juga Odds Ratio (OR). Variabel modal sosial dengan OR 1,900 maka buruh yang memiliki modal sosial memiliki peluang terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh pada klasifikasi tinggi sebanyak 1,900 kali lipat dibanding yang berada pada klasifikasi rendah. Selain itu, modal sosial terdiri dari jaringan sosial, nilai dan norma, dan kepercayaan. Berikut penjelasan mengenai modal sosial yang dirinci pada Tabel 13. Tabel 13 Frekuensi modal sosial pada perusahaan batik kelas kecil (small) No.
Indikator
Klasifkasi
Frekuensi
Persentase (%)
1.
Tingkat jaringan sosial
Rendah
18
60
Tinggi
12
40
Total
30
100
Rendah
0
0
Tinggi
30
100
Total
30
100
Rendah
2
6,7
Tinggi
28
93,3
Total
30
100
2.
3.
Tingkat nilai dan norma
Tingkat kepercayaan
Berdasarkan Tabel 13, dapat diketahui bahwa tingkat jaringan sosial yang dimiliki oleh buruh yang bekerja di perusahaan batik kelas kecil (small) berada pada klasifikasi rendah, hal ini disebabkan oleh tidak adanya hubungan kekerabatan dengan juragan, ketidaktahuan buruh terhadap ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, dan ketidaktahuan terhadap pemasok bahan produksi. Sementara, tingkat nilai dan norma yang dimiliki perusahaan batik kelas kecil (small) ini berada pada klasifikasi tinggi, hal ini dikarenakan bahwa semua buruh telah mengerti aturan kerjanya yaitu dimulai pada pukul 08.00-16.00 WIB, namun pada perusahaan ini memiliki kekhasan yaitu juragan tidak memberikan sanksi kepada buruhnya, hal ini diserahkan kepada individu buruhnya yang bekerja. Sementara untuk tingkat kepercayaan, berada pada klasifikasi tinggi, hal ini disebabkan oleh antara juragan dan buruh memiliki rasa saling percaya, karena hubungannya yang sudah lama terjalin. Hal ini diperkuat dengan hasil kutipan wawancara.
55
“... Wah saya dengan Ibu Pur itu sudah percaya sekali mbak, saya bekerja di sini sudah 40 tahun, sudah lama saya disini, dan juragannya juga baik, kalau pas lebaran juga dikasih batik, THR, dan biasanya kalau juragan punya keuntungan yang besar dari hasil penjualan batik, biasanya kita dicicipi mbak, kadang dikasih beras, ya sudah percaya sekali mbak ...”. (S, Laki-laki, 61 Tahun) Hal ini sejalan dengan penelitian Putri (2011) menyatakan hubungan buruh
majikan sebagai keutuhan dan kesatuan, anggota dari masing-masing perusahaan dianggap sebagai teman baik dan anggota keluarga. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan regresi logistik, diperoleh hasil bahwa tidak ada pengaruh signifikan modal sosial terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh baik pada perusahaan batik kelas besar (large), menengah (medium), maupun kecil (small). Di perusahaan batik kelas besar (large) menerapkan sistem personal kepada para buruhnya. Berikut hasil wawancara dengan Bapak H dari perusahaan Batik Merak Manis. “... Di sini humanisnya lebih ditonjolkan, kita hubungannya personal ketika saya tidak suka, ketika saya suka, ketika saya tidak empati, ketika saya empati, akan berbeda hasil akhirnya, anda dengan saya hubungannya dekat, anda atasan saya, pak saya mau pinjem uang dulu pak misalnya dua ratus ribu ya silahkan, tapi di satu sisi ada teman saya, karena anda mungkin satu kurang dekat, mungkin ada catatan-catatan khussu, catatan yang sifatnya dibawah standar norma suatu hubungan mungkin agak berbeda hasilnya, tapi kita tetap mengajrkan pola pikir mereka itu lebih personal, itu pun masih disaring lagi karena dsini ini begini seorang yang dalam istilah perjuraganan uang seratus sampai lima ratus ribu kan kalau didalam kebutuhan rumah tangga dinancial seperti itu tidak begitu penting dibandingkan dengan nilai harta yang diberikan, nah mbak saya pinjam 200 ribu misalnya, tapi ketika ada hari H nya ketika kita mengembalikan, gak usah gak usah pak de udah di pakek, berarti disinikan menanamkan rasa utang budi, bohoso jawo pakewuh11 dalam tanda kutip saya kedepannya akan memetik hasil dari dari etos kerja, saya minjam anda tapi tidak mau dikembalikan, mosok saya tidak enaknya sendiri, dari sana mengajarkan utang budi...”. (H, Laki-laki, 53 Tahun)
Namun di zaman dahulu, masih terdapat istilah ngemping antara juragan dan buruh. “... Malah enak dulu ada ngemping, ngemping itu artinya gini, pak heri ya dalam satu minggu, itu kalau normal tapi nilai dikatakan sehari lima puluh ribu ya, kalau seminggu kan berarti tiga ratus ribu, hari rabu saya harus harus uang sekolah anak saya, misalnya dua ratus ribu, pak saya ngemping berarti saya motong gaji dulu, saya ngambil gaji setengah dulu atau seperempatnya tapi kalau penuh gak boleh, lah ngemping berapa, ooh dua ratus ribu berarti
11
Dalam kamus pepak bahasa Jawa artinya adalah enggan,segan
56
hari sabtu nanti hanya mendapatkan uang seratus ribu ...”. (H, Laki-laki, 53 Tahun)
Saat ini, tidak ada istilah meminjam uang kepada juragan untuk di perusahaan batik kelas besar, khususnya Batik Merak Manis. Hal ini dikarenakan, di perusahan Batik Merak Manis ini menerapkan hubungan personal kepada buruhnya, sehingga tidak ada istilah meminjam uang kepada juragan. Sementara pada perusahaan kelas menengah (medium) disebabkan oleh kebanyakan buruh tidak mengetahui siapa ketua forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan(FPKLB), serta tidak adanya hubungan kekerabatan yang terjalin antara juragan dan buruh. Sementara untuk tingkat nilai dan norma berada pada klasifikasi tinggi, namun ada kekhasan tersendiri yang dimiliki oleh perusahaan batik kelas menengah (medium) yaitu juragan tidak memberikan sanksi terhadap buruh yang melakukan pelanggaran atas aturan-aturan tersebut. Aturan kerjanya yaitu masuk kerja pada pukul 08.00 WIB dan pulang pada pukul 16.00 WIB. Juragan tidak memberikan sanksi yang berat, hanya berupa teguran dan menanyakan mengapa tidak masuk. Hal ini jika dihubungkan dengan pitutur leluhur Budaya Jawa yaitu rasa toleransi. Selain itu juga keistimewaan orang jawa adalah cita-cita luhur tentang budaya damai. Kedamaian adalah nomor satu. Kedamaian akan menyebabkan suasana tenang dan aman tenteram. Prinsip suka damai tidak hanya sekedar falsafah sosial Jawa, melainkan merupakan manifestasi batin yang luar biasa. Prinsip yang dianut dalam mencapai kedamaian ada konsep rukun. Rukun adalah kondisi dimana keseimbangan sosial tercapai (Endraswara 2006). Kerukunan hidup terjadi karena masing-masing pesona terjalin saling menghormati, sopan santun terjaga, dan saling menghargai satu sama lain. Jiwa kekeluargaan, gotong royong, dan konsep tepo seliro selalu dikedepankan dalam kehidupannya, dengan cara ini diantara anggota masyarakat Jawa jarang terjadi pertikaian yang berarti. Hubungan antara juragan dan buruh di perusahaan batik kelas menengah (medium) menunjuk kearah kedamaian dan tenggang rasa. Ungkapan damai yang paling populer bagi orang Jawa adalah ketika tontonan wayang kulit sampai pada janturan ki dalang (Endraswara 2006). Ungakapan tersebut adalah sebagai berikut. “... Negara ingkang panjang punjung pasir wukir loh jinawi gemah ripah karta tata tur raharja ...”. Artinya negara yang terkenal, banyak dibicarakan orang, tinggi, martabatnya, luhur budinya, dan amat berwibawa. Sementara pada pola hubungan antara juragan
dan buruh Kampoeng Batik Laweyan, untuk perusahaan batik kelas menengah (medium), untuk tingkat ketimpangan, tidak adanya pertukaran barang dan jasa antara juragan dan buruh, juragan dan buruh mengenal secara pribadi hal ini dikarenakan tingkat intensitas pertemuan antara juragan dan buruh yang cukup intens. Hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh tidak hanya sebatas pekerjaan, namun juga sebagai hubungan tetangga yang harus saling tolong menolong, hal ini ditandai dari adanya bantuan yang diberikan oleh juragan maupun buruh pada saat masing-masing membutuhkan, dan setiap buruh memiliki kekuasaan, status, wewenang, dan pengaruh dalam proses aktivitas batik, dan juragan pun memiliki peranan yang lebih besar daripada buruh, hal ini disebabkan si juragan sebagai pemilik perusahaan batik, sedangkan untuk tingkat resiprositas untuk perusahaan batik kelas menengah (medium) tidak terdapat rasa memberi dan menerima berupa barang maupun jasa antara juragan dan buruh, hal ini
57
dikarenakan hubungannya hanya sebatas pekerjaan, yang sewaktu-waktu dapat pindah tempat kerja. Sementara untuk tingkat keuntungan pada pola hubungan antara juragan dan buruh, buruh tidak mendapatkan pekerjaan sampingan selain pekerjaan utama sebagai buruh. Sementara, pada perusahaan batik kelas kecil (small) dikarenakan pada tidak memiliki aturan-aturan khas yang harus ditaati oleh seluruh buruhnya. Berikut hasil kutipan wawancaranya. “... Masuknya dari jam 8-16 , cuma lembur dua kali gaji, sama hari libur, kalau terlambat tidak ada teguran, ya makanya sekarang sistemnya juragan dan buruh itu sebagai partner, saling menghargai ...”. (Y, Laki-laki, 42 Tahun)
Berdasarkan hal tersebut, buruh pun memiliki rasa pakewuh untuk datang terlambat pada saat bekerja. “... Ngerasa gak enak kalau terlambat, tapi ndak ada sanksinya, tapi kan jangan sampai terlambat kadang cuma ditegur kalau telat ada apa, ditanyaain, biar ada alasanya kalau sudah tau ya sudah ...”. (S, Perempuan, 53 Tahun)
Selain itu, pada perusahaan batik kelas kecil (small) masih sangat menjunjung tinggi nilai toleransi dan bagi buruhnya sendiri pun masih menerapkan nilai-nilai psikologi Jawa berupa local genius Jawa yaitu rasa rumangsa. Rasa rumangsa adalah inti wawasan psikologi Jawa. Endraswara (2006) dalam bukunya yang berjudul “Falsafah Hidup Jawa” mengatakan bahwa melalui rasa rumangsa, orang Jawa akan mengukur diri. Rasa rumangsa merupakan endapan rasa, yang mencoba melihat diri sendiri dan orang lain. Keduanya menjadi bagian mawas diri, yang dialami dari dengan sikap mulat salira (mengaca diri) dan angrasa wani artinya berani merasakan jerih payah yang dialami orang lain, berdasarkan local genius Jawa tersebut sehingga memberikan pengertian bagi buruh di perusahaan tersebut untuk secara sadar diri menghargai juragannya yang tidak memberikan aturan-aturan khas yang harus dipatuhi, dengan tidak adanya aturan khas ini menjadikan suasana kerja menjadi luwes, dan masing-masing pihak baik juragan maupun buruh melahirkan rasa toleransi yang tinggi untuk saling menghargai. Juragan sudah mempercayai buruhnya dan tidak membuat aturan-aturan tertentu, sehingga buruhnya pun secara sadar diri memiliki rasa rumangsa tersebut. Selain rasa rumangsa, kehebatan orang Jawa antara lain karena memiliki falsafah hidup yang luhur. Orang Jawa memiliki falsafah hidup yang kompleks. Kehebatan dan ketangguhan orang Jawa lebih tampak pada falsafah hidup madya. (Endraswara 1998). Falsafah hidup madya yang luhur itu, tergambar melalui unen-unen yang dalam istilah folklor Jawa, sering dinamakan ungkapan tradisional. Didalamnya memuat beraneka ragam ajaran yang menghendaki agar kehidupan orang Jawa lebih selaras dan seimbang. Falsafah ini anti konflik. Unenunen filosofi itu adalah pertama, ngono ya ngono ning aja ngono. Falsafah tersebut menunjukkan bahwa orang Jawa itu lebih suka bertindak secara wajar. Bersikap dan bertindak dengan menggunakan ukuran umum atau etika yang telah disepakati, bahkan etika humanistis dalam pergaulan. Falsafah madya ngono ya
58
ngono ning aja ngono mengarahkan hidup orang Jawa, agar bisa menyesuaikan diri. Di masyarakat Laweyan, terdapat istilah “Pakewuh”, yang berasal dari bahasa Jawa yang artinya enggan atau segan, dalam pola hubungan antara juragan dan buruh pun istilah ini masih sangat dipegang teguh oleh juragan dan buruh. Berikut kutipan wawancara dengan Bapak A, sebagai pengusaha batik. “... Nilai-nilai di masyarakat kalo sekarang, sudah gak seperti dulu, kalau dulu benar-benar ada jarak antara juragan dan buruh, kalo sekarang enggak , juragan dan buruh sekarang partner, soalnya kalau kita menganggap buruh terus kita susah, dan ada istilah pakewuh , yang artinya itu segan, dulu kalau juragan baru santai atau tidur si buruhnya tidak masu bangunin, kalau ada tamu ya tunggu sampai bangun, kalau repot tunggu dulu sampai kerjaannyaberes , ya gak mau nyela, juragan kalau sekarang sudah partner, kalau pakweuh orang jawa itu masih punya , orang jowo misalnya njenengan bertemu padahal laper, itu pakweuh namanya basa-basi ...”. (A, Laki-laki, 43 tahun)
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketiga kelas perusahaan batik di Kampoeng Batik Laweyan, baik kecil (small), menengah (medium), maupun besar (large) masih sangat mengedepankan norma tepo seliro, rasa pakewuh, rasa rumangsa, jiwa kekeluargaan, dan gotong royong, pada saat bekerja sebagai cara untuk menjaga hidup agar tetap rukun.
59
Pengaruh Pola Hubungan Juragan dan Buruh terhadap Eksistensi Kampoeng Batik Laweyan
Perusahaan batik kelas besar (Large) Pengaruh pola hubungan antara juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan batik kelas besar (large) memiliki pengaruh yang signifikan (Lampiran 14). Omnibus test of model coefficients menunjukkan bahwa nilai X2 0,002 < X2 tabel pada DF 1 yaitu 3,841 atau dengan signifikasi sebesar 0,002 (<0,05) sehingga menolak H0, yang menunjukkan bahwa penambahan variabel independen dapat memberikan pengaruh nyata terhadap model, atau dengan kata lain model dinyatakan fit. Besarnya pengaruh ditunjukkan dengan nilai Exp (B) atau disebut juga Odds Ratio (OR). Variabel modal sosial dengan OR 2,600 maka buruh yang memiliki pola hubungan antara juragan dan buruh memiliki peluang terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada klasifikasi tinggi sebanyak 21,600 kali lipat dibanding yang berada pada klasifikasi rendah. Perusahaan batik kelas menengah (Medium) Pengaruh pola hubungan antara juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan batik kelas menengah (medium) memiliki pengaruh yang signifikan (Lampiran 15), hal ini berdasarkan hasil uji statistik yang menunjukkan bahwa pada omnibus test of model coefficients menunjukkan bahwa nilai X2 4,378 > X2 tabel pada DF 1 yaitu 3,841 atau dengan signifikasi sebesar 0,036 (< 0,05) sehingga menolak H0, yang menunjukkan bahwa penambahan variabel independen dapat memberikan pengaruh nyata terhadap model, atau dengan kata lain model dinyatakan fit. Besarnya pengaruh ditunjukkan dengan nilai Exp (B) atau disebut juga Odds Ratio (OR). Variabel modal sosial dengan OR 16,000 maka buruh yang memiliki pola hubungan antara juragan dan buruh memiliki peluang pada klasifikasi tinggi sebanyak 16,000 kali lipat dibanding yang berada pada klasifikasi rendah. Perusahaan batik kelas kecil (Small) Pengaruh pola hubungan antara juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan memiliki nilai X2 8,618 > X2 tabel pada DF 1 yaitu 3,841 atau signifikansi 0,003 lebih kecil dari 0,05 (Lampiran 16), sehingga penambahan variabel independen dapat memberikan pengaruh nyata terhadap model atau dengan kata lain model dinyatakan fit, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh signifikan pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan. Besarnya pengaruh ditunjukkan dengan nilai Exp (B) atau disebut juga Odds Ratio (OR). Variabel modal sosial dengan OR 22,000 maka buruh yang memiliki pola hubungan antara juragan dan buruh memiliki peluang sebanyak 22,000 kali lipat terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada klasifikasi tinggi dibanding yang berada pada klasifikasi rendah.
60
Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan regresi logistik dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh signifikan pola hubungan antara juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada setiap kelas perusahaan batik. Kampoeng Batik Laweyan, sudah ada sejak lama jauh sebelum kota Solo ada, Kampoeng Batik Laweyan pun mengalami perkembangan atau dinamika dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya. Konsumen batik di Kampoeng Batik Laweyan, cenderung memilih batik berdasarkan jenis, model, bahan kain, motif, dan juga warna. Meskipun harganya mahal, konsumen batik di Kampoeng Batik Laweyan tetap membeli batik tersebut. Batik-batik yang dihasilkan oleh Kampoeng Batik Laweyan, juga mengikuti perkembangan zaman. Upaya untuk menjaga eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pun dilakukan oleh dinas terkait yaitu, pemerintah kota Surakarta, yang mengenalkan batik Surakarta melalui pertunjukan Solo Batik Carnival, selain itu juga adanya Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan yang diketuai oleh Alpha Fabela Priyatmono, membantu para pengusaha batik dalam sharing informasi tentang batik, sehingga masing-masing perusahaan batik dapat mengembangkan batiknya, dan menciptakan kekhasan karya batiknya. Kampoeng Batik Laweyan hingga saat ini masih tetap bertahan meskipun nilai-nilai budaya dan sosialnya mulai berubah seiring perkembangan zaman. Eksistensi Kampoeng Batik Laweyan juga tidak lepas dari peran pemerintah Surakarta. Hal ini didukung dengan hasil kutipan wawancara. “... Eksistensi kampoeng batik, saya pikir cukup bisa dianggap ada manfaatnya lah dari segi orang laweyan, laweyan dengan batiknya, yang cukup menonjol, gara-gara kampoeng batik laweyan terangkat sekali, kemudian perhatian dari pemerintah pusat lebih dibentuk Kampoeng batik laweyan dibentuknya IPAL12, namun sekarang baru rusak belum diperbaiki...”. (A, Laki-laki, 43 Tahun)
Sementara menurut ibu P yang mengatakan bahwa peran pemerintah yaitu dengan dibuatnya tempat pembuangan limbah. “... Limbah, dulu dibuang di kali sekarang sudah ada dibuati pipa, tapi sekarang gak tau saya, itu masuknya ke pipa, ada tempat buangnya limbah terus di proses dimana saya gak tau, ponakan syaa kan dari mipa oh itu gak ada gunanya, karena masih tetap saja limbah ...”. (P, Perempuan, 52 Tahun)
Masyarakat Jawa khususnya Kampoeng Batik hingga saat ini masih memegang teguh penggunaan batik pada tradisi upacara pernikahan mereka. Pengantin menggunakam batik dengan motif khusus yang bernama Sido mukti. Pengantin memakai motif batik tersebut dengan harapan kedua pengantin itu akan menemui kebahagiaan dan kemuliaan dalam hidup mereka. Sido artinya menjadi, mukti artinya mulia dan makmur (Soekamto 1986). Motif ini melambangkan kehidupan yang makmur (cukup sandang dan cukup pangan). Truntum artinya 12
Merupakan tempat pembuangan limbah dari sisa proses produksi batik.
61
mengumpulkan harta benda, dalam masyarakat Jawa Tengah sering dihubungkan dengan falsafah membagikan harta warisan kepada seseorang (Soekamto 1986). Motif parang kusuma, motif ini bermakna bahwa hidup harus dilandasi dengan perjuangan untuk mencari kebahagiaan lahir dan batin. Ibarat keharuman bunga kusuma. Contohnya bagi orang Jawa yang paling utama dari hidup di masyarakat adalah keharuman (kebaikan) pribadinya tanpa meninggalkan normanorma yang berlaku dan sopan santun agar dapat terhindar dari bencana lahir dan batin. Mereka harus mematuhi aturan hidup bermasyarakat dan taat kepada perintah Tuhan. Motif-motif batik tersebut saat ini sudah tidak secara spesifik hanya digunakan oleh orang ndalem keraton, namun sudah dapat digunakan oleh seluruh kalangan masyarakat. “... Hal ini dikarenakan hilangnya feodalisme, namun pada perkembangannya, batik telah menjadi salah satu “pakaian nasional” Indonesia yang dipakai oleh bangsa Indonesia di seluruh nusantara dalam berbagai kesempatan ...”. (P, Laki-laki, 42 tahun)
Soedarmono (2006) menyatakan bahwa batik dan kekayaan agaknya dijadikan simbol status pemiliknya yang memperoleh sebutan “saudagar” Laweyan. Hal ini dikarenakan secara sengaja mereka memamerkan kekayaan itu di masyarakat yang dapat dilihat dari bentuk bangun rumah mereka yang tinggi. Tetapi diluar dugaan orang orang banyak, tembok-tembok pagar yang tinggi dan kuat melingkari setiap bangunan rumah di Laweyan berfungsi bukan hanya melindungi kekayaan tetapi juga melindungi dari orang jahat, selain itu juga menghindari keterlibatan orang luar untuk mengetahui kepentingan ekonomi perusahaanya.
62
63
Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Kampoeng Batik Laweyan
Perusahaan Batik Kelas Besar (Large) Pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan, memiliki pengaruh signifikan hal ini berdasarkan hasil uji statistik yang menunjukkan bahwa nilai X2 7,022 > X2 tabel pada DF 1 yaitu 3,841 atau signifikansi 0,008 lebih kecil dari 0,05 (Lampiran 17), sehingga penambahan variabel independen dapat memberikan pengaruh nyata terhadap model atau dengan kata lain model dinyatakan fit, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh signifikan modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan. Besarnya pengaruh ditunjukkan dengan nilai Exp (B) atau disebut juga Odds Ratio (OR). Variabel modal sosial dengan OR 11,875 maka buruh yang memiliki modal sosial memiliki peluang terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada klasifikasi tinggi sebanyak 11,875 kali lipat dibanding yang berada pada klasifikasi rendah. Perusahaan Batik Kelas Menengah (Medium) Pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan, ,menurut buruh yang bekerja di perusahaan batik kelas menengah (medium) menunjukan pengaruh yang signifikan (Lampiran 18), hal ini berdasarkan pengujian dengan regresi logistik. Omnibus test of model coefficients menunjukkan bahwa nilai X2 5,483 > X2 tabel pada DF 1 yaitu 3,841 atau dengan signifikasi sebesar 0,019 (< 0,05) sehingga menolak H0, yang menunjukkan bahwa penambahan variabel independen dapat memberikan pengaruh nyata terhadap model, atau dengan kata lain model dinyatakan fit. Besarnya pengaruh ditunjukkan dengan nilai Exp (B) atau disebut juga Odds Ratio (OR). Variabel modal sosial dengan OR 25,000 maka buruh yang memiliki modal sosial memiliki peluang terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada klasifikasi tinggi sebanyak 25,000 kali lipat dibanding yang berada pada klasifikasi rendah. Perusahaan Batik Kelas Kecil (Small) Terdapat pengaruh signifikan modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan, hal ini dikarenakan nilai X2 6,873 > X2 tabel pada DF 1 yaitu 3,841 atau signifikansi 0,009 lebih kecil dari 0,05 (Lampiran 19), sehingga penambahan variabel independen dapat memberikan pengaruh nyata terhadap model atau dengan kata lain model dinyatakan fit, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh signifikan modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan. Besarnya pengaruh ditunjukkan dengan nilai Exp (B) atau disebut juga Odds Ratio (OR). Variabel modal sosial dengan OR 14,000 maka orang yang memiliki modal sosial memiliki peluang terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada klasifikasi tinggi sebanyak 14,000 kali lipat dibanding yang berada pada klasifikasi rendah.
64
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan regresi logistik dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan baik pada perusahaan batik kelas besar (large), menengah (medium), maupun kecil (small) . Nilai dan norma yang dimiliki oleh perusahaan batik kelas besar (large) memiliki tata aturan formal, sehingga terdapat sanksi apabila dilanggar yaitu berupa surat peringatan 1 sampai 3, jika lebih dari 3 maka akan dikeluarkan dari pekerjaannya, dan terjadi tolong menolong antara juragan dan buruh. Hal ini didukung dengan hasil kutipan wawancara. “... Tolong menolong: yo bagus, yo nek bagus yo bagus sesuai kondisi ...”. ( D, Perempuan, 30 Tahun)
Sementara untuk tingkat kepercayaan dilihat dari adanya pinjaman yang diberikan antara juragan dan buruh, adanya perasaan utang budi, serta adanya kerja sama yang baik antara juragan dan buruh. Eksistensi Kampoeng Batik Laweyan, saat ini tetap bertahan dengan adanya modal sosial. Sesama juragan masih sangat menjaga norma-norma dan leluhur jawa berupa tepo sliro, dan sesama juragan juga saling percaya untuk menjaga hubungan sesama tetangga. Eksistensi Kampoeng Batik Laweyan saat ini harus terus dijaga, salah satu caranya adalah dengan meneruskan pekerjaan orang tuanya yang memang sebagai pengusaha batik sejak lama. Berikut hasil kutipan wawancara dengan pengusaha batik yang masih muda dan telah meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai juragan batik. “... Jangan malu, istilahnya kalau bapak ibunya atau keturunannya ada yang bekerja di batik tu mbok mau terjun, istilah sedikit saja nanti coba dirasakan dulu, saya harapkan untuk generasi penerusnya ada, saya sangat menyayangkan kalau batik gak ada penerusnya kasihan leluhur kita ...”. (A, Laki-laki, 38 Tahun)
Selain itu, sebagai generasi muda Indonesia harus lebih mencintai hasil karya anak Indonesia, salah satunya adalah batik. Hal ini bertujuan untuk menjaga eksistensi batik dan tentunya Kampoeng Batik Laweyan. Hal ini didukung dengan hasil kutipan wawancara dengan Bapak A, selaku pengusaha Batik Puspa Kencana, Laweyan. “... Cintailah batik Indonesia, dan bukan cuma mencintai, bukan cuma memakai, tapi kita dan berharap Anda menjadi produsen batik, belum bisa? Anda datang kesini, seratus persen kita bersedia untuk memberikan pembelajaran ...”. (A, Laki-laki, 67 Tahun)
Selain itu, didukung dengan pernyataan dari Bapak W, sebagai berikut. “... Menurut pendapat saya, jadi kita generasi muda itu harus bisa kuliti, istilah melestarikan batik-batik karya pendahulu-pendahulu kita, jangan sampai tergerus oleh arus mordernisasi, karena walau bagimanapun suatu
65
bangsa yang akan eksis itu bangsa yang sangat memegang teguh budaya, budaya budaya lokal kearifan lokal, sekarang banyak intervensi budaya dari luar ...”. (W, Laki-laki, 48 Tahun)
Batik-batik yang dihasilkan oleh Kampoeng Batik Laweyan mengikuti perkembangan zaman, sehingga masing-masing perusahaan tetap memiliki kekhasan tersendiri, sehingga rasa saling percaya sesama juragan terus dipertahankan agar eksistensi Kampoeng Batik Laweyan ini tetap bertahan sampai kapanpun. Kekhasan batik masing-masing perusahaan ini berdasarkan sejarah pada masa lalu. Hal ini berdasarkan kutipan wawancara. “... Sekitar tahun 65, Soekarno pencetuskan produksi dalam negeri dari sini itu bisa anu mbak, kita bisa tahu oh produknya bapak ini, oh yang laku motifnya ini, dicirikan sendiri dengan alat cap dibuat sendiri oleh masingmasing perusahaan, kekompakan nya disini ada pertemuan PPBS, itu kan Pusat Per kumpulan Batik solo, nah itulah sebagai wadah para juragan batik ... ”. (S, Laki-laki, 62 Tahun)
Modal sosial yang dimiliki oleh buruh yang bekerja di perusahaan batik kelas kecil (small) dapat dilihat berdasarkan tingkat jaringan sosial, nilai dan norma, serta kepercayaan. Tingkat jaringan menunjukkan bahwa buruh yang bekerja di perusahaan batik tersebut, berada pada klasifikasi rendah. Hal ini dikarenakan buruh menganggap bahwa ia tidak begitu mengenal juragannya, dan tidak adanya hubungan kekerabatan dalam aktivitas produksi batik, selain itu juga banyak buruh yang tidak mengetahui siapa ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, serta ketidaktahuannya terhadap pemasok bahan produksi batik di tempat ia bekerja. Nilai dan norma yang berlaku pada perusahaan batik kelas besar, telah memiliki aturan-aturan formal serta adanya sanksi apabila melanggar peraturan tersebut, namun nilai leluhur jawa yaitu tepo sliro masih tetap dikedepankan, sedangkan untuk tingkat kepercayaan yang dimiliki buruh terhadap juragan sangat tinggi, hal ini dikarenakan adanya kerja sama yang baik antara juragan dan buruh, sehingga buruh pun memiliki rasa utang budi terhadap juragannya. Eksistensi Kampoeng Batik Laweyan, berkenaaan dengan modal sosial yang dimiliki oleh buruh maupun juragan. Sesama juragan di Kampoeng Batik Laweyan saling menjaga, agar tidak terjadi kecemburuan sosial, dengan menghasilkan batik yang memiliki kekhasan tersendiri. Sesama juragan juga dapat saling bantu tentang pengadaaan bahan pemasok, sebagai contoh yaitu kerja sama yang dilakukan oleh Batik Purwansyah dengan Batik Merak Manis. Berikut kutipan wawancara dengan pemilik Batik Purwansyah. “... Ini bahan morinya ngambil di Batik Merak Manis mbak, dan produksi disini masih skala kecil ...”. (P, Laki-laki, 48 Tahun)
Namun hal ini saat ini sudah jarang dilakukan, dikarenakan masing-masing perusahaan telah memiliki langganan masing-masing. Kepercayaan antar juragan pun tinggi, dengan saling mempercayai satu sama lain, sehingga kehidupan antar juragan pun tetap rukun. Eksistensi Kampoeng Batik Laweyan juga didukung oleh Dinas pemerintah Surakara, dengan adanya berbagai kegiatan dalam rangka menjaga eksistensi Batik, dan juga banyaknya peneliti dari universitas yang
66
tertarik meneliti Kampoeng Batik Laweyan. Berikut kutipan wawancara dengan masyarakat Laweyan. “... Pengunjung banyakan, kadang kadang penelitian, kemarin aja dari Banyuwangi, kemarin dari Pekalongan, biasanya ada festival batik biasanya itu ya pas hari jadi kota solo, pokoknya hari hari anu lah hari hari besar kota Solo biasanya ada ... ”. (S, Laki-laki, 62 Tahun)
Jaringan sosial antar juragan di Kmapoeng Batik Laweyan, dilandaskan pada sistem berbagi informasi sesama juragan, hal ini terjadi pada saat ada tamu yang membutuhkan informasi terkait jenis batik. Berikut kutipan wawancara dengan Bapak Slamet, sebagai pengusaha batik di kelas kecil yang memiliki kekhasan tersendiri dalam batiknya, yaitu memproduksi batik dengan cerita-cerita tokoh pewayangan Jawa. “... Sesama juragan saya kira jarang sekali kerja sama, biasanya gini misalnya pak Alpha sama tempat saya tidak ada kerja sama, cuma kalau ada tamu yang mencari bahan, misalnya tamunya cari wayang kulit, ya pak Alpha tunjukan tempat saya, misalnya di saya ada tamu yang nyari sablon, ya saya kasih tau tempat sablon, saling ngasih informasi ...”. (S, Laki-laki, 62 Tahun)
Kampoeng Batik Laweyan sampai saat ini tetap bertahan, meskipun mengalami perubahan-perubahan, yang dulunya sepi sekarang menajadi ramai karena adanya peran-peran pemerintah. Berikut hasil kutipan wawancara dengan Dosen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. “... Dulu itu nganu belum dikelola sebagai kampung batik, tetapi sudah menjadi kampung industri, nah sekarang sudah ditingkat sebagai wisata, sehingga ya dikelola musti di pemasaran di promosinya, ada promosi lewat biro-biro perjalanan ya sekarang sebagai wisata industri bisa praktik disana, seperti mahasiswa Indonesia juga praktik disana, sekarang ada yang mengelola, masyarakat yang mengelola sebagai kampung batik, dan juga lingkungan, disitu juga ada tempat- tempat sejarah yang lama ada masjid, makam, dan sebagainya pada masa kerajaan dahulu ...”. (S, Perempuan, 48 Tahun)
67
PENUTUP
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. tidak terdapat pengaruh signifikan modal sosial terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh pada masing-masing kelas perusahaan, baik perusahaan kelas besar (large), menengah (medium), dan kelas kecil (small). Hal ini dikarenakan masyarakat jawa masih sangat mengedepankan nilai-nilai psikologi jawa berupa local genius Jawa yaitu tepo sliro, pakewuh, rasa rumangsa, dan rukun 2. terdapat pengaruh signifkan pola hubungan antara juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada semua kelas perusahaan batik. Hal ini dikarenakan pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh berlangsung sejak lama, dan didukung oleh peran pemerintah dengan dibangunnya tempat pembuangan limbah pada saat proses pembuatan batik, selain itu juga masyarakat Jawa khususnya Kampoeng Batik Laweyan masih sangat memegang teguh penggunaan batik pada upacara pernikahan mereka, serta telah hilangnya feodalisme yang awalnya batik hanya boleh digunakan oleh orang-orang ndalem keraton, namun saat ini batik telah menjadi pakaian nasional 3. terdapat pengaruh signifikan modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan, untuk setiap kelas perusahaan batik. Hal ini dikarenakan sifat tolong-menolong yang baik antara juragan dengan juragan, maupun juragan dan buruh. Selain itu modal sosial yang terbentuk antara juragan dan buruh mampu menjaga eksistensi Kampoeng Batik Laweyan. Saran Peneliti memiliki saran untuk kepentingan seluruh pihak yang terlibat. Saran yang dapat diajukan antara lain sebagai berikut: 1. bagi pemerintah daerah Surakarta, penelitian ini diharapkan dapat memperlihatkan permasalahan pengelolaan limbah pada saat proses produksi batik. Sehingga pemerintah perlu meningkatkan perannya dalam upaya menangani masalah limbah melalui peningkatan fungsi tempat pembungan limbah dan eksistensi Kampoeng Batik Laweyan tetap terjaga 2. bagi juragan dan buruh batik, perlu meingkatkan peran modal sehingga pola hubungan yang terjadi tetap terjalin kuat 3. bagi akademisi, penelitian ini dapat memperlihatkan pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan. Penelitian ini juga dapat dijadikan pustaka untuk melakukan penelitian mengenai modal sosial, pola hubungan juragan dan buruh, serta eksistensi.
68
69
DAFTAR PUSTAKA Abidin Z. 2007. Analisis Eksistensial. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada. Ahimsa P, Heidy S . 2003. Ekonomi Moral, Rasional dan Politik dalam Indutri Kecil di Jawa. Yogyakarta: Kepel Press. Agief FSP. 2012. Peran dinas perindustrian dan perdagangan Surakarta dalam mengembangkan Kampoeng Batik Laweyan. [Skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. [Internet]. dikutip tanggal 24 Mei 2016]. Dapat diunduh dari: http://dglib.uns.ac.id/dokumen/detail/29095/Peranan-Dinas-PerindustrianDan-Perdagangan-Surakarta-Dalam-Mengembangkan-Kampung-BatikLaweyan Ahimsa P. 1996. Hubungan Patron-Klien Di Sulawesi Selatan: Kondisi pada Akhir Abad 19. Prisma 6:29-45. Ahimsa P, Heidy S 1998. Minawang Hubungan Patron klien Di Sulawesi Selatan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Brenner SA. The Domestication of Desire: women, wealth, and modernity in Java. Surakarta (ID): Princeton University Press. Coleman. 1989. Social in Capital in Creator of Human Capital dalam Dasguptan, P dan Ismail Seregeidir (Eds).1999. Social Capital A Multifaceted perspective. The World Bank, Washington, DC. Endraswara S. 2006. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta (ID): Cakrawala. Fajar A. 2012. Peranan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Surakarta dalam megembangkanKampung Batik Laweyan. [Skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. [Internet]. Dikutip tanggal 1 Juni 2016. Dapat diunduh dari: http://digilib.uns.ac.id/dokumen/abstrak/29095/Peranan-DinasPerindustrian-Dan-Perdagangan-Surakarta-Dalam-MengembangkanKampung-Batik-Laweyan Field J. 2000. Modal Sosial. Bantul (ID): Kreasi Wacana. Fukuyama F. 2007. Trust (Kebijakan dan Penciptaan Kemakmuran). Yogyakarta (ID): Qalam. Fukuyama F. 2010. Trust (Kebijakan dan Penciptaan Kemakmuran). Yogyakarta (ID): Qalam. Geertz C. 1965. Agricultural Involution: The Process of Ecological Change. Berkeley University Press. Grootaert C, Swamy A. 2002. Social Capital, Household Welfare and Poverty in Burkina Faso. Jurnal of African Economic: 11(01):004-38. Honggopuro K.2002. Batik sebagai Busaha dalam Tatanan dan Tuntunan. Surakarta (ID): Keraton Surakarta Hadiningrat.
70
Hannida R. 2009. Peranan forum pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKLB) dalam pengembangan industri kerajinan batik. [Skripsi]. Surakarta (ID). Universitas Sebelas Maret. [Internet]. [dikutip tanggal 4 Januari 2016]. Dapat diunduh dari: http://core.ac.uk/download/pdf/12346768.pdf Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia) . Jakarta (ID): MR. United Press. Hadiwijoyo, Harun. 2005. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius Hasan IM. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. 260 hal. Hastuti DL. 2011. Status dan identitas sosial saudagar batik Laweyan dalam Interior dalem indes di awal abad ke-20. Jurnal Dewa ruci. [Internet]. [dikutip tanggal 18 September 2015]. 12 (03): 137-149. Dapat diunduh dari: Jurnal.isiska.ac.id/index.php/dewaruci/article/download/497/455 KBBI. 2008. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama Lawang RMZ. 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar. Jakarta (ID). Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia Press Magniz F, Suseno. 2005. Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama Majah I. 2015. Laweyan dalam periode krisis ekonomi hingga menjadi kawasan wisata sentra industri batik tahun 1998-2004. Jounal of Indonesian History. [Internet]. [dikutip tanggal 28 September 2015]. 03(02): 137-149. Dapat diunduh dari: journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jih/article/.../5066 Maulana A. 2011. Kamus Ilmiah Populer Lengkap. Yogyakarta (ID): Absolut. Mudiarta KG. 2009. Jaringan sosial (networks) dalam pengembangan sistem dan usaha agribisnis: perspektif teori dan dinamika studi kapital sosial. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi. [Internet]. [dikutip tanggal 9 Desember 2015]. 27(01):1-12. Dapat diunduh dari: http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/FAE27-1a..pdf Maziyah RR. 2014. Peran modal sosial terhadap eksistensi pasar tradisional. [Skripsi]. Malang (ID). Universitas Brawijaya. [Internet]. [dikutip tanggal 4 Januari 2016]. Dapat diunduh dari: http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/viewFile/980/896 Maziyah S. 2007. Korelasi antara proses produksi batik dengan pemberdayaan perempuan. Jurnal Sejarah Citra Lekha. [Internet] . [dikutip tanggal 4 Oktober 2015] . XI(01):11-21. Dapat diunduh dari: http://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/soedarmono.pdf Nasdian FT. 2014. Pengembangan Masyarakat. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.
71
Poli WIM. 2007. Modal Sosial Pembangunan: Gambaran dari Dua Distrik di Kabupaten Jayapura. Makassar (ID): Hasanuddin University Press. 215 hal Putnam RD. 1993. Making Democrazy Work: Civic Tradition in Modern Italy, Princeton University Press. Purnama E. 2002. Pola hubungan produksi ponggawa-petambak: suatu bentuk ikatan patron-klien kasus masyarakat petambak di desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Putnam RD. 1995. Bowling A lone: America‟s Declining Social Capital. Journal of Democrazy. [internet]. [dikutip tanggal 4 Januari 2016]. 06(01): 65-78. Dapat diunduh dari: http://xroads.virginia.edu/~HYPER/DETOC/assoe/bowling. Pratomo AS, Antariksa, Hariyani S. 2006. Pelestarian kawasan kampung batik laweyan kota urakarta. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. [Internet]. [dikutip tanggal 26 ]. 34(02):93-105. Dapat diunduh dari: http://dimensi.petra.ac.id/index.php/ars/article/viewFile/16541/16533 Priyatmono, Alpha F. 2004. Studi kecenderungan perubahan morfologi kawasan di Kampung Laweyan Surakarta. [Thesis] tidak diterbitkan. Yogyakarta (ID): UGM. 2004. Probowati PN. 2011. Reproduksi masyarakat dan implikasi spasial dalam proses transformasi kampung Laweyan. [Thesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. [Internet]. [dikutip tanggal 21 September 2015 ]. Dapat diunduh dari: https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=7v7_VbWTMcLt0gTQv4LgA g#q=jurnal+transformasi+sosial+ekonomi+kampung+laweyan+ Putri A. 2011. Saudagar Laweyan abad XX (peran dan eksistensi dalam membangun perekonomian muslim). [Skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. [Internet]. [dikutip tanggal 22 September 2015]. Dapat diunduh dari: http://core.ac.uk/download/pdf/12352152.pdf Rustinsyah. 2011. Hubungan patron-klien di kalangan petani Desa Kebonrejo. Jurnal Masyarakat.[internet]. [dikutip tanggal 15 Januari 2016]. 24(02): 176-182. Dapat diunduh dari: http://journal.unair.ac.id/filerPDF/09%20rustin%20Perbaikan%20J.pdf Santoso A. 1995. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya (ID): Kartika. Sari NI. 2014. Hubungan patron-klien dalam kelompok pemulung (studi kasus kelompok pemulung Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur). [Skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Syarif Hidayatullah. [Internet]. [dikutip tanggal 4 Maret 2016]. Dapat diunduh dari: http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/24249 Scott JC. 1972. „Patron clien, Politics, and Political Chage in South East Asia‟ American Political Sciene Riview 66(01):91-113.
72
Singarimbun M, Effendi S. 2006. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia. Sumodiningrat G, Ari W. 2014. Pitutur Luhur Budaya Jawa. Yogyakarta (ID): Narasi. Scott JC. 1993. Perlawanan Kaum Petani. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia Scott JC. 1994. Moral Ekonomi Petani. Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Sardjono MA. Paham Jawa: menguak falsafah hidup manusia Jawa lewat karya fiksi mutakhir Indonesia. Jakarta (ID): Pustaka Sinar Harapan. Setiawati E, Nursiam, Zulfikar. 2014. Pengembangan komoditas batik: determinasi budaya ekonomi dan perubahan struktur politik (kebijakan) terhadap perkembangan usaha ekonomi lokal. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. [Internet]. [dikutip pada tanggal 21 September 2015]. XVIII(01):119-134. Dapat diunduh dari: http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5882/2/PROS_Erma%20S, %20Nursiam,%20Zulfikar_Pengembangan%20Komoditas%20Batik_fulltex t.pdf Setiawati E, Abdullah I, Lasiyo. 2011. Strategi pengembangan komoditas studi tentang budaya ekonomi di kalangan pengusaha batik Laweyan. Jurnal Kawistara. [Internet]. [dikutip tanggal 18 September 2015]. 01(03):213-320. Dapat diunduh dari: jurnal.ugm.ac.id/index.php/kawistara/article/download/3927/3208 Bogor. Sukamto C. 1986. Pola Batik. Surakarta (ID): Penerbit CV Akadoma. Soedarmono. 2011. Dinamika saudagar kaum Laweyan. Prosiding: konferensi nasional. [tidak ada tanggal]. Surakarta (ID). [Internet]. [dikutip tanggal 4 Oktober 2015 ]. Dapat diunduh dari: http://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/soedarmono.pdf Susantiningsih. 2015. Relasi kerja antara juragan dengan buruh di pabrik genteng sokka “indah”. [Skripsi]. Semarang (ID). Universitas Negeri Semarang. [Internet]. [dikutip tanggal 9 Desember 2015]. Dapat diunduh dari: http://lib.unnes.ac.id/20779/ Suharto E. 2006. Modal sosial dan kebijakan publik. [PDF]. [internet]. [dikutip tanggal 14 Januari 2016]. Dapat diunduh dari: http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/MODAL_SOSIAL_DAN_K EBIJAKAN_SOSIA.pdf Thobias, Tungka, Rogahang. 2013. Pengaruh modal sosial terhadap perilaku kewirausahaan. Journal Acta Diurma. [Internet]. [dikutip tanggal 4 Januari 2016 ]. Dapat diunduh dari: http://ejournal.unstrat.ac.id/index.php/actadiurna/article/view/1412/1120 Wardani I.K. 2015. Pemetaan pengadaan dan optimalisasi bahan baku batik sebagai industri kreatif di Kampung Batik Laweyan. [Skripsi]. Surakarta
73
(ID). Universitas Muhammadiyah Surakarta. [Internet]. [dikutip tanggal 13 Februari 2016]. Dapat diunduh dari: http://eprints.ums.ac.id/36170/1/02.%20Naskah%20Publikasi.pdf Wijaya M. 2009. Sistem produksi batik dan keragaman jaringan hubungan produksi batik di Surakarta. Jurnal Dilema. [Internet]. [dikutip tanggal 23 September 2015]. 21(02). Dapat diunduh dari: http://sosiologi.fisip.uns.ac.id/online-jurnal/wpcontent/uploads/2012/05/2.Vol.-21.2-Th-2009-1.pdf Wijaya M. 2009. Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya pengusaha batik di Surakarta. Jurnal Wacana Indonesia. [Internet]. [dikutip tanggal 25 Oktober 2015]. 1(01):57-66. Dapat diunduh dari: http://eprints.unsri.ac.id/3390/1/Jurnal_Wacana_Indonesia_Vol._1_No._1_ Desember_2009.pdf Wahyono T, Suwarno, Yulistina HN, Taryati. 2014. Perempuan Laweyan dalam Industri Batik di Surakarta. Yogyakarta (ID): Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta. Wolf E. 1983. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta (ID): Rajawali.
74
75
LAMPIRAN
Lampiran 1 Sketsa Kampoeng Batik Laweyan
Sumber: Profil Kelurahan Kampoeng Batik Laweyan Keterangan: Batas Utara Batas Selatan Batas Barat Batas Timur
: Kelurahan Sondakan. : Kabupaten Sukoharjo. : Kelurahan Pajang. : Kelurahan Bumi.
76
Lampiran 2 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2016 Januari Kegiatan
Penyusun an proposal penelitian Kolokiu m Perbaika n proposal Pengamb ilan data lapangan Pengolah an data dan analisis data Penulisan draft skripsi Uji petik Sidang skripsi Perbaika n skripsi
Februari
1 2 3 4 1 2 3 4
Maret
April
Mei
Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
77
Lampiran 3 Kerangka sampling Kerangka Sampling Juragan (pengusaha) Batik Di Kampoeng Batik Laweyan Klasifikasi “Large” No
Nama Perusahaan
Pemilik
Alamat
Produk
1.
Batik Merak Manis
Bambang Slameto
Jl. Sodoluhur No. 29 Batik Tulis, Industri, Laweyan, Surakarta, Stamp Batiks, Room 57148 Printing “Batiks”
Show
Large
2.
Batik Puspa Kencana
Achmad Sulaiman
Jl. Sidoluhur No. Batik Tulis, Industri, Laweyan, Surakarta, Stamp Batiks, Room 57148 Printing “Batiks”
Show
Large
3.
Batik Gress Tenan
Sarjono
Jl. Setono RT 02 RW Batik Tulis, Industri, II Laweyan, Stamp Batiks, Room Surakarta, 57148 Printing “Batiks”
Show
Large
4.
Batik Putu Laweyan
Anda Ardiana
Jl. Sidoluhur No. 52 Batik Tulis, RT 01 RW 02 Stamp Batiks, Laweyan, Surakarta, Printing “Batiks” 57148
Industri, Room
Show
Large
5.
Batik Kencana Murni
Jl. Sidoluhur No. 7 Batik Tulis, Industri, RT 01 RW 02 Stamp Batiks, Room Laweyan, Surakarta, Printing “Batiks” 57148
Show
Large
Kerangka sampling juragan (pengusaha) batik di Kampoeng Batik Laweyan Klasifikasi “Medium”
Aktivitas Perusahaan
Klasifik asi
78
No
Nama Perusahaan
Pemilik
Alamat
Produk
Aktivitas Perusahaan
1.
Batik SE
Saud Efendy
Jl. Jagalan No. 6 RT 02 Batik Tulis, Stamp Industri, RW V Bumi, Laweyan, Batiks, Printing Room Surakarta, 57148 “Batiks”
2.
Batik Cahaya Putra
Natsir Mabruri
Jl. Sidoluhur No. 4-6 RT 01 Batik Tulis, Stamp Show Room RW 1 Laweyan, Surakarta Batiks 57148
3.
Batik Putra Laweyan
Gunawan Nizar
Jl. Sidoluhur No. 6 Batik Tulis, Stamp Industri, Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing Room
Show
Klasifikasi Medium
Medium
Show
Medium
“Batiks” 4.
Batik Adityan
Sri Astuti
Batiks, Industri, Jl. Sidoluhur No. 32 Stamp Laweyan, Surakarta 57148 Printing “Batiks” Room
Show
Medium
5.
Batik Mahkota Laweyan
Alpha Febela Jl. Sayangan Kulon No. 9 Batik Tulis, Stamp Industri, Priyatmono RT 01 RW 03 Laweyan, Batiks, Printing Room Surakarta 57148 “Batiks”
Show
Medium
6.
Batik Luar Biasa
Farid Hamzat
Jl. Klaseman No. 296 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Medium
“Batiks” 7.
Batik Gunawan Design
Gunawan Apri
Jl. Setono RT 02 RW II No. Batik Tulis, Stamp Industri, 28 Laweyan, Surakarta Batiks, Printing Room 57148
Show
Medium
79
“Batiks” 8.
Batik Multisari
Suwanto
Jl. Sayangan Wetan, Stamp Batiks Laweyan, Surakarta 57148
9.
Batik Cempaka
Dhani Arifmawan
Jl. Setono No. 22 Laweyan, Batik Tulis, Stamp Industri, Surakarta 57148 Batiks Room
Show
Medium
10.
Batik Sidoluhur
Triwarso
Jl. Sidoluhur No. 36 Batik Tulis, Stamp Show Room, Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing Convection
Medium
Industri
Medium
„Batiks‟ 11.
Batik Surya Pelangi
Rochyani
Jl. Sidoluhur No. 69 Batik Tulis Laweyan, Surakarta 57148
12.
Batik Doyohadi
Ade Roma
Jl. Tiga Negeri No. 4 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Industri, Room
Show
Medium Medium
„Batiks‟ 13.
Batik Candi Kencana
R. Raharjo
Jl. Sidoluhur No. 43 Batik Tulis, Stamp Industri, Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing Room
Show
Medium
„Batiks‟ 14.
Batik Tjahaja Baru
Amien Rusdi
Jl. Tiga Negeri No. 2 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Medium
„Batiks‟ 15.
Batik Purwoharjo
Muh. Fauzi
Jl. Nitik Laweyan, Batik Tulis, Stamp Industri Surakarta 57148 Batiks, Printing
Medium
80
„Batiks‟ 16.
Batik Griya Pendapi
Maria Noor Natsir Jl. Sidoluhur No. 44 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Medium
„Batiks‟ 17.
Batik Amanda Raisa
Asrul Ilyas
Jl. Tiga Negeri No. 12 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Medium
„Batiks‟ 18.
19.
Batik Wedelen
Batik Naluri
Ahmad Fatchin
Jl. Setono, Surakarta 57148
Tutut Kurniawati
Laweyan Batik Tulis, Stamp Industri,
Batiks, „Batiks‟
Show
Medium
Printing Room
Jl. Sidoluhur No. 15 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Medium
„Batiks‟ 20.
Batik Dandan
Sigit S
Jl. Sidoluhur No. 15 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Medium
„Batiks‟ 21.
Batik Sekar Jagat
Elizabet Mohandas
R Jl. Tiga Negeri No. 11 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Medium
„Batiks‟ 22.
Batik Punokawan
Idris Sugianto
Jl. Sidoluhur No. 78 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
„Batiks‟
Medium
81
23.
Batik Granitan
Ahmad Fatchin
Jl. Sidoluhur, Laweyan, Batik Tulis, Stamp Show Room Surakarta 57148 Batiks, Printing
Medium
„Batiks‟ 24.
Batik Damar Kusumo
Aprilia Indah
25.
Batik Sekar Arum
Sarpono
Jl. Sidoluhur, No. 55 RT 03 Batik Tulis, Stamp Industri, RW 02 Laweyan, batiks, Printing Room Surakarta 57148 „Batiks‟
Show
Medium
26.
Batik Adina
Suyadi
Jl. Dr. Rajiman No Surakarta 57148
Show
Medium
Show
Medium
27.
Batik Putra Bengawan
Suparto
Ratna Jl. Sidoluhur, No. 55 RT 03 Batik Tulis, Stamp Show Room RW 02 Laweyan, Batiks, Printing Surakarta 57148 „Batiks‟
515, Batik Tulis, Stamp Industri,
batiks, „Batiks‟
Medium
Printing Room
Jl. Tiga Negeri No. 33 Batik Tulis, Stamp Industri, Laweyan, Surakarta 57148 batiks, Printing Room
„Batiks‟ 28.
Batik Supriyarso
Supriyarso
Jl. Kidul Pasar RT 04 RW 1 Printing „Batiks‟ Laweyan, Surakarta 57148
29.
Batik “HY”
Heri
Jl. Sidoluhur, No. 9 Batik Tulis, Stamp Industri, Laweyan, Surakarta 57148 batiks, Printing Room
„Batiks‟
Industri
Medium Show
Medium
82
Kerangka Sampling Juragan (pengusaha) Batik Di Kampoeng Batik Laweyan Klasifikasi “Small” No
Nama Perusahaan
Pemilik
Alamat
Produk
Aktivitas Perusahaan
Klasifikasi
1.
Batik Putri Solo
Poerwanto
Jl. Sayanga Kulon RT 01 Batik Tulis, Stamp Shoow Room, RW III 1 Laweyan, Batiks, Printing Convection Surakarta 57148 „Batiks‟
Small
2.
Batik Marin
Eni Rusmarin
Jl. Nitik No. 3 Laweyan, Batik Tulis, Stamp Shoow Room, Surakarta 57148 Batiks, Printing Convection
Small
„Batiks‟ 3.
Batik Farhan
Rosyidi
4.
Batik Catleya
Taufik Luthfianto
5.
Batik Ivy
Evika p
Jl. Kramat No. 7 Laweyan, Printing „Batiks‟ Surakarta 57148 Tri Jl. Sidoluhur, No. 34 Batik Tulis Laweyan, Surakarta 57148
Small Industri, Room
Show
Jl. Sidoluhur, No. 12 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Small
Small
„Batiks‟ 6.
Batik Satrio Luhur
Andi
Jl. Sidoluhur, No. 36 Batik Tulis, Stamp Show Room, Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing Convection
Small
„Batiks‟ 7.
Batik Lily Hanifah
Lily Hanifah
Jl. Sidoluhur, No. 47 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Small
83
„Batiks‟ 8.
Batik Loring Pasar
Widhiarso
Jl. Sidoluhur, No. 26 Batik Tulis Laweyan, Surakarta 57148
Industri
9.
Batik Pulo Djawa
Titik A. Usoli
Jl. Setono No. 150 RT 02 Batik Tulis RW II, Laweyan, Surakarta 57148
Industri, Room
10.
Batik Estu Mulyo
Nurdiyah Pujihastuti
Jl. Setono No. 117 RT 02 Batik Tulis, Stamp Show Room RW II, Laweyan, Surakarta Batiks, Printing 57148 „Batiks‟
Small
11.
Batik Kanaya
Tom Randi
Festa Jl. Sidoluhur No. 10 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Small
Small Show
Small
„Batiks‟ 12.
Batik Mezanin
Maria Natsir
Noor Jl. Sidoluhur No. 44 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Small
„Batiks‟ 13.
Batik Cipta Asri
Slamet Chatamhadi
Jl. Tiga Negeri No. 132/40 Batik Tulis Laweyan, Surakarta 57148
14.
Batik Aryu
Arif Yulianto
Jl. Setono RT 03 RW II Batik Tulis, Stamp Industri Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Industri, Room
Show
Small Small
„Batiks‟ 15.
Batik Pandono
Pandono
Jl. Setono RT 02 RW II Batik Tulis Laweyan, Surakarta 57148
Show Room
Small
84
16.
Batik Setia
Slamet
Jl. Setono RT 02 RW II Painting Batiks Laweyan, Surakarta 57148
17.
Batik Cempaka 3
Dhani Arifmawan
Jl. Sidoluhur, No. 26 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Small
„Batiks‟ 18.
Dewi Collection
Dewi Saraswati
Jl. Sayangan Wetan No. 20 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Small
„Batiks‟ 19.
Batik Putra Adryan
Yohana Setyowati
Jl. Setono RT 03 RW II Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Small
„Batiks‟ 20.
Batik Sekar Jagad
Darul
Jl. Sidoluhur, Laweyan, Batik Tulis, Stamp Show Room Surakarta 57148 Batiks, Printing
Small
„Batiks‟ 21.
Batik Edy Wijaya
Edi Mulyono
Jl. Sayangan Wetan No. 13 Batik Tulis RT 01 RW III Laweyan, Surakarta 57148
22.
Batik Talidani
Nunik Sulitiyani
Jl. Setono RT 03 RW II Etnik Laweyan, Surakarta 57148 Batik
23.
Kevin Collection
Kristiyaningsih
Jl. Setono RT 02 RW II Convection Laweyan, Surakarta 57148
24.
Laweyan Art
Ayu
Jl. Setono RT 02 RW II Batik Tulis, Stamp Show Room
Batiks,
Industri
Lurik
dan Show Room Industri
Printing
Small
Small Small Small
85
Laweyan, Surakarta 57148
„Batiks‟
25.
Batik Nurlan
Nurlan
Jl. Setono RT 02 RW II Batik Tulis Laweyan, Surakarta 57148
Show Room
26.
Wiryono Art Galery
Wiryono
Jl. Setono RT 02 RW II Oil Painting Laweyan, Surakarta 57148
Industri, Room
27.
Pardi Collection
Pardi
Jl. Kidul Pasar, Laweyan, Batik Tulis, Stamp Show Room Surakarta 57148 Batiks, Printing
Small Show
Small Small
„Batiks‟ 28.
Basiran Blangkon
Basiran
Jl. Setono RT 03 RW II Blangkon Laweyan, Surakarta 57148 (Javanesse
Industri
Small
Traditional Cap) 29.
Batik Santika
Santoso
Jl. Tiga Negeri No. 4 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Small
„Batiks‟ 30.
Edy Collection
Edy
Jl. Kidul Pasar, Laweyan, Convection Surakarta 57148
31.
Batik Artika Ayu
Gagariyanto
Jl. Kidul Pasar, Laweyan, Batik Tulis, Stamp Show Room Surakarta 57148 Batiks, Printing
Industri
Small Small
„Batiks‟ 32.
Batik Kusuma
Bambang
Jl. Sidoluhur No. 30 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Small
86
„Batiks‟ 33.
Batik Mutiara Hati
Handiman
Jl. Sidoluhur No. 39 Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Small
„Batiks‟ 34.
Batik Mutiara Hati
Rina
Jl. Setono RT 02 RW II Batik Tulis, Stamp Industri Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
Small
„Batiks‟ 35.
Ayu Mas Craft
36.
Batik Sido Mukti
Nurul Yunus
Jl. Sidoluhur No. 46 Batik Craft Laweyan, Surakarta 57148
Show Room
Small
Jl. Setono, Laweyan, Batik Tulis, Stamp Show Room Surakarta 57148 Batiks, Printing
Small
„Batiks‟ 37.
Satiti Collection
Mira Farida
Jl. Setono RT 02 RW II Convection Laweyan, Surakarta 57148
38.
Batik Enza
Eni Zakia
Jl. Setono RT 03 RW II Batik Tulis, Stamp Show Room, Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing Convection
Industri
Small Small
„Batiks‟ 38.
Batik Isti
Bambang P.
Jl. Setono RT 03 RW II Batik Tulis, Stamp Show Room Laweyan, Surakarta 57148 Batiks, Printing
„Batiks‟
Small
87 Lampiran 4 Daftar nama responden Buruh perusahaan batik kelas besar (large) No
Nama
Alamat
1
S
Sanggrahan, Makam Haji Sukoharjo
2
K
Kaliture, Bayan
3
S
Klaseman, RT 03 RW 01
4
M
Sondakan, RT 03 RW 01
5
M
Ngenden, Sukoharjo
6
S
Sriwedari
7
M
Sukoharjo
8
T
Mutihan
9
K
Wonogiri
10
Y
Wonogiri
11
D
Solo
12
W
Laweyan RT 03RW 01
13
S
Sukoharjo, RT 01 RW 01
14
S
Laweyan, Solo
15
H
Sawit, Boyolali
16
R
Wonogiri, RT 01
17
A
Sukoharjo
18
Ss
Boyolali
19
E
Wonogiri
20
P
Klaseman RT 03 RW 01, Laweyan
21
Y
Wonogiri, RT 06 RW 01
22
R
Sukoharjo
23
N
Ngenden, Sukoharjo
24
J
Wonorejo, RT 08 RW 06
25
R
Klaseman, Laweyan Solo
26
T
Sragen
27
Surahmi
Sragen
88 28
Yatni
Sambi Rejo, RT 02 RW 01
29
Minuk
Gunung Kidul, Tegal Rejo Desa Prengguk
30
Rani
Prengguk, RT 01 RW 08
Buruh perusahaan batik kelas menengah (medium) No Nama
Alamat
1
SP
Desa Kembangan, Baki Sukoharjo
2
R
Premulung, RT 01 RW 08 Sondakan, Laweyan
3
M
Waru, Kecamatan Baki, Sukoharjo
4
T
Sukoharjo
5
S
Premulung, RT 08 RW 08, Sondakan Laweyan
6
Y
Waru, Kersan RT 03 RW 06
7
M
Songgalan, RT 02 RW 03 Surakarta
8
S
Kagoan RT 01 RW 11, Paja Laweyan
9
S
Laweyan RT 01
10
S
Pajang, RT 01 RW 03 Laweyan
11
T
Talang, Sukoharjo
12
J
Ngender, Sukoharjo
13
G
Banaran, RT 03 RW 03
14
K
Sondakan, Laweyan Solo
15
S
Banaran RT 02 RW 04
16
I
Wonogiri, Kecamatan Kampung Jati Rejo RT 02 RW 02
17
A
Wonosari, RT 01 RW 04
18
W
Plupuh, Sragen
19
N
Wonorejo, RT 04 RW 12
20
S
Tegal Keputren, RT 04 RW 05 Pajang
21
M
Pratan RT 05 RW 06 Pajang
89 22
S
Jalan Setono, RT 02 RW 02 Laweyan
23
A
Pondangan , Banaran Kecamatan Grogol Sukoharjo
24
T
Sukoharjo, RT 02 RW 06
25
K
Sukoharjo
26
H
Jati, Sukoharjo
27
JP
Sukoharjo, RT 03 RW 10
28
Y
Pondangan, Banaran Kecamatan Grogol, Sukoharjo
29
W
Sanggrahan, Makam Haji Sukoharjo
30
S
Kaliture, Bayan
Buruh perusahaan batik kelas kecil (small) No
Nama
Alamat
1 2 3
W M E
Sukoharjo Solo Sukoharjo, RT07 RW 02 Grogol
4
T
Jalan Setono, RT 02 RW 02 Laeyan
5
W
Jalan Setono, RT 02 RW 02 Laweyan
6
W
Kernen, Sukoharjo RT 03 RW 05
7
S
Kerne, RT 02 RW 05
8
A
Krewen, Sukoharjo
9
Y
Delanggu, Klaten
10
S
Kampung Sewu
11
R
Sukoharjo
12
S
Jalan Sidoluhur, Laweyan
13
Y
Sukoharjo
14
R
Laweyan
15
S
Laweyan
16
F
Laweyan, RT 01 RW 01
17
S
Semanggi, Pasar Kliwon RT 06 rw 19
90 18
N
Kidul Pasar RT 04 RW 01
19
S
Kidul Pasar RT 04 RW 01
20
W
Jagalan, RT 03 RW 05
21
N
Talang, Banaran
22
DL
Pajang, RT 03 RW 15
23
H
Makam Haji, Sukoharjo
24
S
Baturan, RT 02 RW 02 Suromadu, Karanganyar
25
P
Karanganyar, RT 02 RW 02 Kelurahan Baturan
26
M
Sanggrahan, RT 01 RW 02
27
W
Laweyan, RT 02 rw 03
28
E
Belukan, Laweyan
29
S
Jalan Setono, RT 02 RW 02 Laweyan
30
I
Jalan Setono, RT 02 RW 02 Laweyan
91 Lampiran 5 Frekuensi pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas besar (large) No.
Indikator
Klasifkasi
Frekuensi
Persentase (%)
1.
Tingkat ketimpangan
Rendah
15
50
Tinggi
15
50
Total
30
100
Rendah
5
16,67
Tinggi
25
83,3
Total
30
100
Rendah
14
46,67
Tinggi
16
53,3
Total
30
100
Rendah
0
0
Tinggi
30
100
Total
30
100
Rendah
0
0
Tinggi
30
100
Total
30
100
Rendah
4
13,3
Tinggi
26
86,7
Total
30
100
Rendah
0
0
Tinggi
30
100
Total
30
100
Rendah
22
73,3
Tinggi
8
26,67
Total
30
100
2.
3.
4.
5
6.
7.
8.
Tingkat tatap muka
Tingkat luwes dan meluas
Tingkat hubungan harapan
Tingkat patron
Tingkat klien
Tingkat resiprositas
Tingkat keuntungan
92 Lampiran 6 Frekuensi pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas menengah (medium) No.
Indikator
Klasifkasi
Frekuensi
Persentase (%)
1.
Tingkat ketimpangan
Rendah
21
80
Tinggi
9
20
Total
30
100
Rendah
5
16,67
Tinggi
25
83,3
Total
30
100
Rendah
5
16,67
Tinggi
25
83,3
Total
30
100
Rendah
8
26,67
Tinggi
22
73,3
Total
30
100
Rendah
0
0
Tinggi
30
100
Total
30
100
Rendah
2
6,7
Tinggi
28
93,33
Total
30
100
Rendah
0
0
Tinggi
30
100
Total
30
100
Rendah
25
83,3
Tinggi
5
16,67
Total
30
100
2.
3.
4.
5
6.
7.
8.
Tingkat tatap muka
Tingkat luwes dan meluas
Tingkat hubungan harapan
Tingkat patron
Tingkat klien
Tingkat resiprositas
Tingkat keuntungan
93 Lampiran 7 Frekuensi pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas kecil (small) No.
Indikator
Klasifkasi
Frekuensi
Persentase (%)
1.
Tingkat ketimpangan
Rendah
15
50
Tinggi
15
50
Total
30
100
Rendah
6
20
Tinggi
24
80
Total
30
100
Rendah
5
16,67
Tinggi
25
83,3
Total
30
100
Rendah
0
0
Tinggi
30
100
Total
30
100
Rendah
1
3,3
Tinggi
29
96,67
Total
30
100
Rendah
2
6,7
Tinggi
28
93,33
Total
30
100
Rendah
0
0
Tinggi
30
100
Total
30
100
Rendah
20
66,67
Tinggi
10
33,3
Total
30
100
2.
3.
4.
5
6.
7.
8.
Tingkat tatap muka
Tingkat luwes dan meluas
Tingkat hubungan harapan
Tingkat patron
Tingkat klien
Tingkat resiprositas
Tingkat keuntungan
94 Lampiran 8 Panduan wawancara mendalam
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. (Informan: pengusaha batik (large, medium, small)) Hari/Tanggal Wawancara : Lokasi Wawancara : Nama Informan : Jabatan : 1. Bagaimana sejarah dan perkembangan Kampoeng Batik Laweyan? 2. Sudah berapa lama Anda menjadi pengusaha industri batik di Laweyan? 3. Apakah sebelumnya orang tua Anda berprofesi sebagai pengusaha batik? Jika iya, saat ini Anda sudah generasi keberapa? 4. Pada saat orang tua Anda menjadi pengusaha batik, bagaimana pola hubungan yang terjadi dengan pengusaha batik lainnya? 5. Bagaimana pola hubungan yang terjadi antara pengusaha batik dengan buruh batiknya? 6. Bagaimana sistem perekrutan buruh batik pada saat itu? Apakah hasil turun-temurun dari orang tuanya? 7. Bagaimana pola hubungan yang terjadi antar buruh batik pada juragan yang berbeda? 8. Apakah ada buruh batik yang berubah profesi menjadi pengusaha? 9. Bagaimana kehidupannya dari segi ekonomi dan sosial bagi buruh yang beralih profesi menjadi pengusaha? 10. Pada saat anda menjadi pengusaha batik, bagaimana proses perekrutan untuk buruh Anda? 11. Sebutkan jenis-jenis pekerjaan buruh yang ada di perusahaan Anda! 12. Bagaimana sistem pembagian kerjanya? 13. Apa saja tugas dari masing-masing buruh? 14. Apakah ada aturan tertulis maupun tidak tertulis untuk buruh Anda pada saat mereka melamar pekerjaan? 15. Apakah aturan tersebut disepakati bersama antara Anda dan buruh Anda? 16. Apakah aturan tersebut sudah dilaksanakan dengan baik? 17. Apa saja hak yang harus didapatkan dari butuh Anda? 18. Apakah Anda membayar hasil kerja buruh Anda tepat waktu? 19. Apa saja kewajiban Anda sebagai juragan kepada buruh Anda? 20. Apakah ada norma tepo sliro antara Anda dengan buruh batik Anda? 21. Apakah Anda bersedia memberikan pinjaman berupa barang kepada buruh Anda? 22. Apakah Anda bersedia memberikan bantuan berupa jasa kepada buruh Anda? 23. Apakah ada perasaan utang budi antara Anda dengan buruh batik Anda? 24. Apakah ada kerja sama yang baik antara Anda dengan buruh batik Anda?
95 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52.
Bagaimana hubungan kekerabatan yang terjadi antara Anda dengan buruh Anda? Bagaimana bentuk kerja sama yang terjalin antara Anda dengan buruh Anda? Bagaimana kepercayaan yang terjadi antara Anda dan buruh Anda? Bentuk-bentuk kepercayan apa yang diberikan? Apakah Anda tergabung kedalam FPKLB? Apakah Kampoeng Batik Laweyan ini mengalami dinamika baik sosial, ekonomi, maupun budaya? Bagaimana hubungan Anda dengan para pengusaha batik lainnya? Apakah terdapat norma/aturan untuk antar pengusaha batik baik secara kecil, menengah maupun besar? Apakah Anda masih menggunakan batik hasil produksi sendiri untuk menghadiri upacara/acara resmi masyarakat jawa? Apakah Anda akan menurunkan usaha Anda kepada anak Anda? Apakah batik yang Anda buat mengikuti perkembangan jenis batik? Apkah batik yang Anda buat mengikuti perkembangan model batik yang sekarang? Apakah batik yang Anda buat mengikuti perkembangan bahan kain batik yang sekarang? Apakah batik yang Anda buat mengikuti motif batik yang sekarang? Apakah batik yang Anda buat mengikuti warna batik yang sekarang? Bagaimana hubungan antar pengusa batik? Bagaimana hubungan yang terjadi antar buruh Anda? Bagimana hubungan Anda dengan pihak pemasok bahan baku produksi batik? Bagimana dukungan dari FPKLB dalam rangka menjaga eksistensi batik dan Kampoeng Batik Laweyan? Bagaimana dukungan dinas terkait dalam rangka menjaga eksistensi batik dan Kampoeng Batik Laweyan? Apakah terdapat akses untuk memasarakan produk batik Anda ke pasar tradisional? Apakah terdapat akses untuk memasarkan produk batik Anda ke pasar modern? Bagaimana cara menurunkan tradisi tersebut? Bagaimana kepercayaan yang terjalin antara Anda dengan pengusaha batik lainnya? Bagaimana kepercayaan yang terjalin antara Anda dengan pemasok bahan produksi batik Anda? Menurut Anda, apa manfaat adanya Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKLB)? Bagaimana potensi Kampoeng Batik Laweyan menurut Anda? Bagaimana kultur dan historis Kampoeng Batik Laweyan?
96 PANDUAN WAWANCARA MENDALAM Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. (Informan: aparatur kelurahan) Hari/Tanggal Wawancara : Lokasi Wawancara : Nama Informan : Jabatan : 1. Ceritakan sejarah pembentukan Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKLB) ! 2. Apa fungsi Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKLB) ? 3. Apa pengaruh Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKLB) terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan? 4. Bagaimana jaringan sosial yang terbentuk antar juragan di Kampoeng Batik Laweyan? 5. Bagaimana jaringan sosial yang terbentuk antar buruh di Kampoeng Batik Laweyan? 6. Bagaimana jaringan sosial yang terbentuk antara juragan dan buruh? 7. Bagaimana nilai dan norma yang berlaku antar juragan (pengusaha batik) di Kampoeng Batik Laweyan? 8. Bagaimana nilai dan norma yang berlaku antar buruh di Kampoeng Batik Laweyan? 9. Bagaimana nilai dan norma yang berlaku antara buruh dengan juragan (pengusaha batik) di Kampoeng Batik Laweyan? 10. Bagaimana kepercayaan yang terbentuk antar juragan di Kampoeng Batik Laweyan? 11. Bagaimana kerpercayaan yang terbentuk antar buruh di Kampoeng Batik Laweyan? 12. Bagaimana bentuk-bentuk pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh? 13. Bagaimana bentuk-bentuk pola hubungan yang terjadi antar buruh di Kampoeng Batik Laweyan? 14. Bagaimana bentuk-bentuk pola hubungan yang terjadi antar juragan ? 15. Bagaimana eksistensi Kampoeng Batik Laweyan sebagai kawasan sentra industri batik? 16. Bagaimana pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh? 17. Bagaimana pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi? 18. Bagaimana pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan? 19. Bagaimana kultur dan historis Kampoeng Batik Laweyan? 20. Apakah masyarakat Kampoeng Batik Laweyan masih tetap menggunakan batik dari hasil produksinya untuk digunakan pada saat upacara/acara resmi masyarakat jawa? 21. Bagaimana potensi Kampoeng Batik Laweyan? 22. Bagaimana dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan sebelum dan sesudah diresmikannya menjadi kawasan? 23. Bagaimana proses pembentukan struktur masyarakat di Kampoeng Batik Laweyan? 24. Menurut Anda, bagaimana pengaruh Kampoeng Batik Laweyan bagi perkembangan pariwisata kota Surakarta? 25. Apa saja upaya yang dilakukan oleh aparatur kelurahan dalam upaya menjaga eksistensi Kampoeng Batik Laweyan?
97 26. Bagaiamana keterlibatan aparatur kelurahan Kampoeng Batik Laweyan untuk menjaga eksistensinya? 27. Apakah terdapat akses bagi pengusaha batik untuk memasarkan produknya ke pasar tradisional maupun modern? Data yang diperlukan: 1. data monografi kelurahan Kampoeng Batik Laweyan 2. peta wilayah Kampoeng Batik Laweyan.
98 PANDUAN WAWANCARA MENDALAM Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. (Informan: Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKLB)) Hari/Tanggal Wawancara : Lokasi Wawancara : Nama Informan : Jabatan : 1. Ceritakan sejarah pembentukan Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKLB) ! 2. Apa fungsi Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKLB) dan apa pengaruh Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKLB) terhadap eksistensi keberadaan Kampoeng Batik Laweyan? 3. Bagaimana jaringan sosial yang terbentuk antar juragan? 4. Bagaimana jaringan sosial yang terbentuk antar buruh? 5. Bagaimana jaringan sosial yang terbentuk antara buruh dengan juragan? 6. Bagaimana nilai dan norma yang berlaku antar juragan? 7. Bagaimana nilai dan norma yang berlaku antar buruh? 8. Bagaimana nilai dan norma yang berlaku antara buruh dengan juragan? 9. Bagaimana kepercayaan yang terbentuk antar juragan? 10. Bagaimana kepercayaan yang terbentuk antar buruh? 11. Bagaimana bentuk-bentuk pola hubungan yang terjadi antar juragan? 12. Bagaimana bentuk-bentuk pola hubungan yang terjadi antar buruh? 13. Bagaimana bentuk-bentuk pola hubungan yang terjadi antara buruh dengan juragan? 14 Bagaimana pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh? 15. Bagaimana pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan? 16. Bagaimana pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan? 17. Bagaimana kultur dan historis Kampoeng Batik Laweyan? 18. Bagaimana potensi Kampoeng Batik Laweyan? 19. Bagaimana dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan sebelum dan sesudah diresmikannya menjadi kawasan sentra industri batik? 20. Bagaimana proses pembentukan struktur masyarakat di Kampoeng Batik Laweyan? 21. Menurut Anda, bagaimana pengaruh Kampoeng Batik Laweyan bagi perkembangan pariwisata kota Surakarta? 22. Apakah terjadi peningkatan jumlah pengunjung Kampoeng Batik Laweyan? 23. Berapa jumlah pengusaha industri batik dan jenis aktivitas perusahaan di Kampoeng Batik Laweyan? 24. Apakah masyarakat Kampoeng Batik Laweyan tetap menggunakan batik dari hasil produksinya sendiri untuk upacara/acara resmi masyarakat jawa? 25. Apa upaya-upaya yang dilakukan oleh FPKLB dalam rangka menjaga eksistensi Kampoeng Batik Laweyan?
99 26. Apakah batik yang dibuat mengikuti perkembangan jenis batik yang sekarang? 27. Apkah batik yang dibuat mengikuti perkembangan model batik yang sekarang? 28. Apakah batik yang dibuat mengikuti perkembangan bahan kain batik yang sekarang? 29. Apakah batik yang dibuat mengikuti perkembangan motif batik yang sekarang? 30. Apakah batik yang dibuat mengikuti perkembangan warna batik yang sekarang? 31. Apakah terdapat akses pemasaran bagi pengusaha ke pasar tradisional maupun modern? 32. Sebutkan macam-macam harga batik yang ada di Kampoeng Batik Laweyan! 33. Bagaimana peran dinas terkait dalam upaya menjaga eksistensi batik dan Kampoeng Batik Laweyan?
100 PANDUAN WAWANCARA MENDALAM Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. (Informan: Dinas Perindustrian dan Perdagangan) Hari/Tanggal Wawancara : Lokasi Wawancara : Nama Informan : Jabatan : 1. Cerita singkat tentang pengaruh keberadaan Kampoeng Batik Laweyan sebagai kawasan industri batik di Surakarta bagi perindustrian dan perdangan! 2. Bagaimana potensi Kampoeng Batik Laweyan dari segi perindustrian dan perdagangan? 3. Bagaimana pertumbuhan industri dan perdagangan di Kampoeng Batik Laweyan? 4. Apakah Dinas Perindustrian dan Perdagangan dilibatkan dalam upaya pengembangan Kampoeng Batik Laweyan sebagai kawasan industri batik? 5. Apa upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Perindustian dan Perdangan dalam B mengembangakan Kampoeng Batik Laweyan? 6. Bagaiamana keterlibatan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta bagi perkembangan Kampoeng Batik Laweyan? 7. Bagaimana pengaruh hasil produksi batik Kampoeng Batik Laweyan dari segi perdagangan? 8. Apakah keberadaan Kampoeng Batik Laweyan dapat meningkatkan pendapatan daerah melalui industri dan perdangan yang dilakukan? Data yang diperlukan: 1. pertumbuhan industri dan perdagangan Kampoeng Batik Laweyan.
101 PANDUAN WAWANCARA MENDALAM Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. (Informan: Ahli Budaya Kota Surakarta ) Hari/Tanggal Wawancara : Lokasi Wawancara : Nama Informan : Jabatan : 1. Ceritakan tentang sejarah perkembangan Kampoeng Batik Laweyan! 2. Ceritakan proses pembentukan struktur masyarakat Kampoeng Batik Laweyan! 3. Ceritakan tentang kultur dan historis masyarakat Kampoeng Batik Laweyan! 4. Bagaimana dinamika sosial, ekonimi, dan budaya sejak disahkannya Kampoeng Batik Laweyan sebagai kawasan industri batik ? 5. Bagaimana potensi Kampoeng Batik Laweyan? 6. Bagaimana pengaruh Kampoeng Batik Laweyan bagi perkembangan kota Surakarta? 7. Bagaimana pandangan Anda dari segi budaya mengenai eksistensi keberadaan Kampoeng Batik Laweyan? 8. Bagaimana pengaruh peran mbok mase bagi keberadaan Kampoeng Batik Laweyan? 9. Bagaimana pengaruh jaringan sosial terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan? 10. Bagaimana pengaruh nilai dan norma terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh di Kampoeng Batik Laweyan? 11. Bagaimana pengaruh kepercayaan terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh di Kampoeng Batik Laweyan? 12. Bagaimana bentuk-bentuk pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh di Kampoeng Batik Laweyan? 13. Bagaimana pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan? 14. Bagaimana pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan? 15. Tradisi apa saja yang berkaitan dengan baik di masyarakat Jawa? 16. Apakah masyarakat Kampoeng Batik Laweyan masih menggunakan batik hasil produksinya sendiri untuk upacara/acara resmi masyarakat jawa? 17. Bagaimana budaya yang dimiliki oleh masyarakat Jawa? 18. Bagaimana pengaruh budaya masyarakat Jawa terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan? 19. Bagaimana eksistensi batik yang ada di Kampoeng Batik Laweyan? Data yang diperlukan: 1. bukti sejarah perkembangan Kampoeng Batik Laweyan 2. kultur dan historis masyarakat Kampoeng Batik Laweyan dinamika sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan.PANDUAN
102 WAWANCARA MENDALAM Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. (Informan: Dinas Pariwisata dan Budaya ) Hari/Tanggal Wawancara : Lokasi Wawancara : Nama Informan : Jabatan : 1. Ceritakan tentang budaya Kampoeng Batik Laweyan! 2. Bagaimana kebijakan Dinas Pariwisata dan Budaya mengenai Kampoeng Batik Laweyan? 3. Bagaimana potensi Kampoeng Batik Laweyan dari sektor pariwisata? 4. Bagaimana pengaruh keberadaan Kampoeng Batik Laweyan terhadap kondisi pariwisata Surakarta? 5. Bagaimana pengaruh Kampoeng Batik Laweyan bagi perkembangan kota Surakarta? 6. Berapa jumlah wisatawan yang hadir di Kampoeng Batik Laweyan? Apakah tiap tahunnya mengalami peningkatan? 7. Bagaimana pandangan Anda dari segi budaya mengenai eksistensi keberadaan Kampoeng Batik Laweyan? 8. Bagaiamana pandangan Anda tentang pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan? 9. Bagaimana pengaruh pola hubungan antara juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan? 10. Bagaimana pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan? 11. Bagaimana pengaruh budaya terhadap eksistensi keberadaan Kampoeng Batik Laweyan? 12. Bagaimana pengaruh batik yang dihasilkan oleh Kampoeng Batik Laweyan bagi eksistensi tradisi masyarakat Jawa terhadap penggunaan batik? 13. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan pihak Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Surakarta dalam memajukan Kampoeng Batik Laweyan? Data yang diperlukan: 1. data jumlah wisatawan Kampoeng Batik Laweyan.
103 Lampiran 9 Kebutuhan data dan metode pengumpulan data
No
Masalah penelitian
Uraian Kebutuhan Data Dan Informasi
Jenis Sumber Data
Sumber Data Primer
Sumber Data Sekunder
Metode Pengumpulan Data
Pertanyaan kuisioner
Pertanyaan informan
1
Jaringan sosial yang terbentuk antar juragan, antar buruh dan antara juragan dan buruh industri batik serta jaringan sosial yang berlaku di masyarakat Kampoeng Batik Laweyan
1,2
1,2,5,6
-
1,2,3
11-32
39,40,41
1.
2
Nilai dan Norma yang berlaku antar juragan, antar buruh dan yang berlaku di masyarakat Kampoeng Batik Laweyan
1,2
1,2,5,6
-
1,2,3
33-46
6,7,8,7,8,9,14,15,16,17,18, 19
2.
3
Kepercayaan yang berlaku antar juragan, antar buruh dan yang berlaku di masyarakat Kampoeng Batik Laweyan
1,2
1,2,5,6
-
1,2,3
47-64
21,22,10,11,10,11,33,34,
3.
1,2,3
Bentuk-bentuk pola hubungan yang terjadi antar juragan, antar buruh dan antara juragan dan buruh
1,2
1,2,5,6
-
1,2,3
65-81
12,13,14,18,19,12
.
104 4.
1,2,3
Eksistensi Kampoeng Batik Laweyan
1,2
1,2,3,4,5,6
-
1,2,3
82-95
10,14,15,15,15,16
5.
-
Kultur dan historis Kampoeng Batik Laweyan
1,2
1,2,6
-
1,2
-
3,16,16,38
6.
-
Potensi Kampoeng Batik Laweyan
1,2
1,2,3,4,6
1
1,2
-
3,5,17,18,37
7.
-
Dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan sebelum dan sesudah diresmikannya menjadi kawasan sentra industri batik
1,2
1,2,3,4,6
-
1,2
91
19
8.
-
Perkembangan Batik Laweyan
1,2
1,2,3,4,6
1,2
-
1
9.
-
Proses Pembentukan Struktur Masyarakat Di Kampoeng Batik Laweyan
1,2
1,2,6
-
1,2
-
2,19,20
10.
1,2,3
Pengaruh modal sosial (jaringan, nilai dan norma, kepercayaan terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan kaum pekerja
1,2
1,2,3,4,5,6
2,3,4,5
1,2,3
11-95
9,10,11,20
Eksistensi Pola Hubungan yang Terjadi antara Juragan dan Kaum Buruh terhadap
1,2
1,2,3,4,5,6
4
1,2
82-95
7,8,9,10,11,12,13, 24,25 32,33,34,35,36
11.
1,2,3
Kampoeng
105 Keberadaan Kampoeng Batik Laweyan 12.
-
Pengaruh Keberadaan Kampoeng Batik Laweyan Bagi Perkembangan Pariwisata Kota Surakarta
1,2
1,2,3,4,5,6
1,2,3
1,2,3
-
5,21,21,7
13.
-
Peningkatan Jumlah Pengunjung Kampoeng Batik Laweyan
1,2
2,4
2,4
1,2
-
22,6
14.
-
Keterlibatan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dalam Upaya Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan sebagai Kawasan Industri Batik
1,2
4
4
1,2
-
2,4,7
15.
-
Upaya yang Dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dalam Upaya Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan
1,2
4
4
1,2
-
11
16.
-
Upaya yang Dilakukan oleh Aparatur Kelurahan untuk Pengembangan Kawasan Kampoeng Batik Laweyan
1,2
1
1
1,2
-
23
17.
-
Keterlibatan Aparatur Kelurahan dalam Upaya Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan
1,2
1
1
1,2
-
24
106 18.
-
Pengaruh Keberadaan Kampoeng Batik Laweyan terhadap Kondisi Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta
1,2
3
3
1,2
-
6
19.
-
Pertumbuhan Industri dan Perdagangan di Kampoeng Batik Laweyan serta Pengaruhnya Bagi Perkembangan kota Surakarta
1,2
3
3
1,2
-
3
20.
-
Keterlibatan Dinas Perindustrian dan Perdagangan dalam Upaya Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan sebagai Kawasan Industri Batik
1,2
3
3
1,2
-
6
21.
-
Upaya yang Dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdangan dalam Upaya Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan
1,2
3
3
1,2
-
5
22.
-
Jumlah Pengusaha Industri Batik dan Jenis Aktivitas Perusahaan Batik di Kampoeng Batik Laweyan
1,2
2
2
1,2,3
-
23
23.
-
Sejarah Pembentukan
1,2
2
2
1,2
-
1
107 Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKLB) 24.
-
Fungsi Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKLB)
1,2
2
2
1,2
-
2
25.
-
Pengaruh Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKLB) terhadap Eksistensi Keberadaan Kampoeng Batik Laweyan
1,2
2
2
1,2
-
2
26.
-
Budaya Masyarakat Jawa
1,2
6
5
1,2
-
15
27.
-
Pengaruh Budaya Masyarakat Jawa terhadap Eksistensi Kampoeng Batik Laweyan
1,2
6
5
1,2
-
16
28.
-
Data Monografi Kelurahan Kampoeng Batik Laweyan
1,2
1
1
1,2
-
-
29.
-
Data Jumlah Wisatawan yang Hadir di Kampoeng Batik Laweyan
1,2
3
3
1,2
-
6
Keterangan: Uraian Keterangan
Nomor Dan Kategori
Jenis Data
1. Primer
2. Sekunder
Jenis Data Primer
1. Aparatur Kelurahan
2. Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan
108 3. Dinas Perindustrian dan
4. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Perdagangan Jenis Data Sekunder
Jenis Metode Pengumpulan Data
5. Responden
6. Ahli Budaya
1. Data Monografi Kelurahan
2. Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan
3. Dinas Perindustrian dan Perdagangan
4. 5.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ahli Budaya Kota Surakarta
1. Studi Dokumen/Literatur
2.
Wawancara Mendalam
1. Aparatur Kelurahan Kampoeng Batik Laweyan
2.
Tokoh Masyarakat
3.
Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan
4.
Dinas Perindustriann dan Perdagangan
5.
Ahli Budaya Kota Surakarta
6.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
3. Pengamatan Informan
109
Lampiran 10 Hasil uji validitas dan reabilitas modal sosial, pola hubungan, dan eksistensi Uji validitas Correlations Correlations MS1 MS1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS2 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS3 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS4 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS5 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N TOTAL_MS Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 . 30 .a . 30 ,478** ,008 30 .a . 30 .a . 30 ,232 ,218 30
MS2 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30
MS3 ,478** ,008 30 .a . 30 1 . 30 .a . 30 .a . 30 ,369* ,045 30
MS4
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). a. Cannot be computed because at least one of the variables is constant.
Correlations
MS5 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30
.a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30
TOTAL_MS ,232 ,218 30 .a . 30 ,369* ,045 30 .a . 30 .a . 30 1 . 30
110
Correlations MS6 MS6
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS7 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS8 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS9 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS10 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N TOTAL_MS Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 . 30 -,105 ,581 30 ,169 ,373 30 ,050 ,795 30 .a . 30 -,188 ,319 30
MS7 -,105 ,581 30 1 . 30 ,247 ,188 30 ,073 ,702 30 .a . 30 ,425* ,019 30
MS8 ,169 ,373 30 ,247 ,188 30 1 . 30 ,102 ,590 30 .a . 30 ,396* ,030 30
MS9 ,050 ,795 30 ,073 ,702 30 ,102 ,590 30 1 . 30 .a . 30 ,189 ,318 30
MS10 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30
TOTAL_MS -,188 ,319 30 ,425* ,019 30 ,396* ,030 30 ,189 ,318 30 .a . 30 1 . 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). a. Cannot be computed because at least one of the variables is constant.
Correlations Correlations MS11 MS11
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS12 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS13 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS14 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS15 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N TOTAL_MS Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 . 30 -,308 ,098 30 .a . 30 .a . 30 -,141 ,457 30 ,325 ,079 30
MS12 -,308 ,098 30 1 . 30 .a . 30 .a . 30 -,050 ,795 30 ,189 ,318 30
MS13
MS14
.a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). a. Cannot be computed because at least one of the variables is constant.
Correlations
.a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30
MS15 TOTAL_MS -,141 ,325 ,457 ,079 30 30 -,050 ,189 ,795 ,318 30 30 .a .a . . 30 30 .a .a . . 30 30 1 ,521** . ,003 30 30 ,521** 1 ,003 . 30 30
111
Correlations MS16 MS16
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS17 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS18 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS19 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS20 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N TOTAL_MS Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 . 30 1,000** . 30 ,267 ,153 30 ,306 ,101 30 ,681** ,000 30 ,521** ,003 30
MS17 1,000** . 30 1 . 30 ,267 ,153 30 ,306 ,101 30 ,681** ,000 30 ,521** ,003 30
MS18 ,267 ,153 30 ,267 ,153 30 1 . 30 ,605** ,000 30 ,196 ,299 30 ,290 ,120 30
MS19 ,306 ,101 30 ,306 ,101 30 ,605** ,000 30 1 . 30 ,449* ,013 30 ,638** ,000 30
MS20 TOTAL_MS ,681** ,521** ,000 ,003 30 30 ,681** ,521** ,000 ,003 30 30 ,196 ,290 ,299 ,120 30 30 ,449* ,638** ,013 ,000 30 30 1 ,704** . ,000 30 30 ,704** 1 ,000 . 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlations Correlations MS21 MS21
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS22 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS23 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS24 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS25 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS26 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N MS27 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N TOTAL_MS Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 . 30 ,548** ,002 30 ,599** ,000 30 ,388* ,034 30 ,598** ,000 30 ,443* ,014 30 -,083 ,663 30 ,789** ,000 30
MS22 MS23 MS24 MS25 MS26 ,548** ,599** ,388* ,598** ,443* ,002 ,000 ,034 ,000 ,014 30 30 30 30 30 1 ,515** ,515** ,327 ,289 . ,004 ,004 ,077 ,122 30 30 30 30 30 ,515** 1 ,441* ,484** ,111 ,004 . ,015 ,007 ,558 30 30 30 30 30 ,515** ,441* 1 ,484** ,279 ,004 ,015 . ,007 ,136 30 30 30 30 30 ,327 ,484** ,484** 1 ,094 ,077 ,007 ,007 . ,619 30 30 30 30 30 ,289 ,111 ,279 ,094 1 ,122 ,558 ,136 ,619 . 30 30 30 30 30 -,152 ,337 -,102 -,050 -,131 ,424 ,069 ,590 ,795 ,489 30 30 30 30 30 ,618** ,659** ,365* ,438* ,433* ,000 ,000 ,048 ,015 ,017 30 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
MS27 TOTAL_MS -,083 ,789** ,663 ,000 30 30 -,152 ,618** ,424 ,000 30 30 ,337 ,659** ,069 ,000 30 30 -,102 ,365* ,590 ,048 30 30 -,050 ,438* ,795 ,015 30 30 -,131 ,433* ,489 ,017 30 30 1 ,189 . ,318 30 30 ,189 1 ,318 . 30 30
112 Uji reliabilitas Reliability ****** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ****** _
R E L I A B I L I T Y
A N A L Y S I S
-
S C A L E
(A L P H A)
Item-total Statistics
MS1 MS2 MS3 MS4 MS5 MS6 MS7 MS8 MS9 MS10 MS11 MS12 MS13 MS14 MS15 MS16 MS17 MS18 MS19 MS20 MS21 MS22 MS23 MS24 MS25 MS26 MS27
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
45,4333 45,2667 45,7333 45,2667 45,2667 46,2000 46,1333 46,0333 45,3000 45,2667 46,0000 45,3000 45,2667 45,2667 45,3333 45,3333 45,3333 45,7667 45,7000 45,4000 45,4333 45,6667 45,5000 45,5000 45,3333 45,6000 45,3000
10,2540 10,6851 9,7195 10,6851 10,6851 11,0621 9,8437 9,7575 10,4931 10,6851 9,9310 10,4931 10,6851 10,6851 9,8851 9,8851 9,8851 9,9782 8,8379 9,2138 8,8747 8,9195 9,0172 9,8448 10,0230 9,5586 10,4931
Corrected ItemTotal Correlation ,1184 ,0000 ,2238 ,0000 ,0000 -,2615 ,3327 ,2763 ,1341 ,0000 ,1946 ,1341 ,0000 ,0000 ,4611 ,4611 ,4611 ,1395 ,5316 ,6440 ,7380 ,5098 ,5739 ,2427 ,3721 ,3024 ,1341
Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
,7514
30,0
N of Items = 27
Alpha if Item Deleted ,7550 ,7525 ,7515 ,7525 ,7525 ,7683 ,7405 ,7449 ,7505 ,7525 ,7518 ,7505 ,7525 ,7525 ,7360 ,7360 ,7360 ,7591 ,7223 ,7201 ,7107 ,7245 ,7206 ,7475 ,7402 ,7436 ,7505
113 Uji validitas Correlations Correlations POLA1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N POLA2 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N POLA3 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N POLA4 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N POLA5 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N TTL_POLA Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
POLA1 1 . 30 -,189 ,317 30 -,245 ,193 30 -,126 ,505 30 -,069 ,716 30 ,262 ,162 30
POLA2 -,189 ,317 30 1 . 30 ,074 ,698 30 ,239 ,203 30 ,288 ,122 30 -,096 ,613 30
POLA3 -,245 ,193 30 ,074 ,698 30 1 . 30 ,031 ,871 30 ,109 ,568 30 ,253 ,177 30
POLA4 -,126 ,505 30 ,239 ,203 30 ,031 ,871 30 1 . 30 ,088 ,645 30 ,151 ,424 30
POLA5 TTL_POLA -,069 ,262 ,716 ,162 30 30 ,288 -,096 ,122 ,613 30 30 ,109 ,253 ,568 ,177 30 30 ,088 ,151 ,645 ,424 30 30 1 ,233 . ,216 30 30 ,233 1 ,216 . 30 30
Correlations Correlations POLA6
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N POLA7 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N POLA8 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N POLA9 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N POLA10 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N TTL_POLA Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
POLA6 1 . 30 ,208 ,271 30 ,208 ,271 30 ,031 ,871 30 -,035 ,856 30 ,341 ,065 30
POLA7 POLA8 POLA9 POLA10 TTL_POLA ,208 ,208 ,031 -,035 ,341 ,271 ,271 ,871 ,856 ,065 30 30 30 30 30 1 1,000** ,745** ,667** ,550** . . ,000 ,000 ,002 30 30 30 30 30 1,000** 1 ,745** ,667** ,550** . . ,000 ,000 ,002 30 30 30 30 30 ,745** ,745** 1 ,894** ,748** ,000 ,000 . ,000 ,000 30 30 30 30 30 ,667** ,667** ,894** 1 ,746** ,000 ,000 ,000 . ,000 30 30 30 30 30 ,550** ,550** ,748** ,746** 1 ,002 ,002 ,000 ,000 . 30 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
114 Correlations Correlations POLA11
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N POLA12 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N POLA13 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N POLA14 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N POLA15 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N POLA16 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N POLA17 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N TTL_POLA Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
POLA11 POLA12 POLA13 POLA14 POLA15 POLA16 POLA17 TTL_POLA 1 ,641** ,318 ,337 ,135 ,395* -,146 ,645** . ,000 ,087 ,069 ,477 ,031 ,441 ,000 30 30 30 30 30 30 30 30 ,641** 1 ,641** ,671** ,447* ,327 ,138 ,746** ,000 . ,000 ,000 ,013 ,077 ,466 ,000 30 30 30 30 30 30 30 30 ,318 ,641** 1 ,742** ,539** ,395* ,323 ,573** ,087 ,000 . ,000 ,002 ,031 ,081 ,001 30 30 30 30 30 30 30 30 ,337 ,671** ,742** 1 ,760** ,293 ,402* ,634** ,069 ,000 ,000 . ,000 ,116 ,028 ,000 30 30 30 30 30 30 30 30 ,135 ,447* ,539** ,760** 1 ,293 ,402* ,492** ,477 ,013 ,002 ,000 . ,116 ,028 ,006 30 30 30 30 30 30 30 30 ,395* ,327 ,395* ,293 ,293 1 ,196 ,559** ,031 ,077 ,031 ,116 ,116 . ,299 ,001 30 30 30 30 30 30 30 30 -,146 ,138 ,323 ,402* ,402* ,196 1 ,429* ,441 ,466 ,081 ,028 ,028 ,299 . ,018 30 30 30 30 30 30 30 30 ,645** ,746** ,573** ,634** ,492** ,559** ,429* 1 ,000 ,000 ,001 ,000 ,006 ,001 ,018 . 30 30 30 30 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
115 Uji reliabilitas Reliability ****** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ****** _
R E L I A B I L I T Y
A N A L Y S I S
-
S C A L E
(A L P H A)
Item-total Statistics
POLA1 POLA2 POLA3 POLA4 POLA5 POLA6 POLA7 POLA8 POLA9 POLA10 POLA11 POLA12 POLA13 POLA14 POLA15 POLA16 POLA17
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
28,2000 27,9333 28,2333 28,0333 28,0000 28,2333 27,9667 27,9667 28,0333 28,0667 28,1333 28,0667 28,1333 28,0333 28,0333 28,5667 28,2333
9,6828 10,4782 9,7023 10,0333 9,8621 9,4264 9,2747 9,2747 8,5851 8,4782 8,6023 8,4782 8,8092 8,8609 9,2057 8,8057 9,1506
Corrected ItemTotal Correlation ,1156 -,1736 ,1031 ,0335 ,1270 ,1963 ,4787 ,4787 ,6882 ,6812 ,5507 ,6812 ,4667 ,5552 ,3948 ,4463 ,2923
Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
,7675
30,0
N of Items = 17
Alpha if Item Deleted ,7782 ,7833 ,7799 ,7791 ,7715 ,7715 ,7498 ,7498 ,7306 ,7291 ,7386 ,7291 ,7463 ,7411 ,7533 ,7480 ,7627
116 Uji validitas Correlations Correlations EKSIS1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS2 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS3 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS4 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS5 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N TTL_EKSI Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
EKSIS1 1 . 30 .a . 30 .a . 30 -,034 ,856 30 .a . 30 -,037 ,846 30
EKSIS2 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30
EKSIS3 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30
EKSIS4 -,034 ,856 30 .a . 30 .a . 30 1 . 30 .a . 30 -,037 ,846 30
EKSIS5 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30
TTL_EKSI -,037 ,846 30 .a . 30 .a . 30 -,037 ,846 30 .a . 30 1 . 30
a. Cannot be computed because at least one of the variables is constant.
Correlations Correlations EKSIS6 EKSIS6
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS7 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS8 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS9 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS10 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N TTL_EKSI Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
.a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30 .a . 30
EKSIS7 .a . 30 1 . 30 1,000** . 30 ,802** ,000 30 ,681** ,000 30 ,711** ,000 30
EKSIS8
EKSIS9
.a . 30 1,000** . 30 1 . 30 ,802** ,000 30 ,681** ,000 30 ,711** ,000 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). a. Cannot be computed because at least one of the variables is constant.
Correlations
.a . 30 ,802** ,000 30 ,802** ,000 30 1 . 30 ,850** ,000 30 ,858** ,000 30
EKSIS10 TTL_EKSI .a .a . . 30 30 ,681** ,711** ,000 ,000 30 30 ,681** ,711** ,000 ,000 30 30 ,850** ,858** ,000 ,000 30 30 1 ,993** . ,000 30 30 ,993** 1 ,000 . 30 30
117
Correlations EKSIS11
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS12 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS13 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS14 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS15 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N TTL_EKSI Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
EKSIS11 EKSIS12 EKSIS13 EKSIS14 EKSIS15 TTL_EKSI 1 1,000** 1,000** 1,000** 1,000** ,993** . . . . . ,000 30 30 30 30 30 30 1,000** 1 1,000** 1,000** 1,000** ,993** . . . . . ,000 30 30 30 30 30 30 1,000** 1,000** 1 1,000** 1,000** ,993** . . . . . ,000 30 30 30 30 30 30 1,000** 1,000** 1,000** 1 1,000** ,993** . . . . . ,000 30 30 30 30 30 30 1,000** 1,000** 1,000** 1,000** 1 ,993** . . . . . ,000 30 30 30 30 30 30 ,993** ,993** ,993** ,993** ,993** 1 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 . 30 30 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations Correlations EKSIS16
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS17 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS18 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS19 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS20 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N EKSIS21 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N TTL_EKSI Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
EKSIS16 EKSIS17 EKSIS18 EKSIS19 EKSIS20 EKSIS21 TTL_EKSI 1 1,000** ,599** ,681** ,473** .a ,993** . . ,000 ,000 ,008 . ,000 30 30 30 30 30 30 30 1,000** 1 ,599** ,681** ,473** .a ,993** . . ,000 ,000 ,008 . ,000 30 30 30 30 30 30 30 ,599** ,599** 1 ,408* ,284 .a ,664** ,000 ,000 . ,025 ,129 . ,000 30 30 30 30 30 30 30 ,681** ,681** ,408* 1 ,695** .a ,642** ,000 ,000 ,025 . ,000 . ,000 30 30 30 30 30 30 30 ,473** ,473** ,284 ,695** 1 .a ,446* ,008 ,008 ,129 ,000 . . ,013 30 30 30 30 30 30 30 .a .a .a .a .a .a .a . . . . . . . 30 30 30 30 30 30 30 ,993** ,993** ,664** ,642** ,446* .a 1 ,000 ,000 ,000 ,000 ,013 . . 30 30 30 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). a. Cannot be computed because at least one of the variables is constant.
118 Reliability ****** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ****** _
R E L I A B I L I T Y
A N A L Y S I S
-
* * * Warning * * *
Zero variance items
S C A L E
(A L P H A)
Item-total Statistics
EKSIS1 EKSIS2 EKSIS3 EKSIS4 EKSIS5 EKSIS6 EKSIS7 EKSIS8 EKSIS9 EKSIS10 EKSIS11 EKSIS12 EKSIS13 EKSIS14 EKSIS15 EKSIS16 EKSIS17 EKSIS18 EKSIS19 EKSIS20 EKSIS21
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
38,2667 38,2333 38,2333 38,2667 38,2333 38,2333 38,3000 38,3000 38,3333 38,3667 38,3667 38,3667 38,3667 38,3667 38,3667 38,3667 38,3667 38,5333 38,3000 38,2667 38,2333
15,3747 15,2885 15,2885 15,3747 15,2885 15,2885 13,9414 13,9414 13,3333 12,7230 12,7230 12,7230 12,7230 12,7230 12,7230 12,7230 12,7230 13,0851 14,0793 14,6851 15,2885
Corrected ItemTotal Correlation -,0835 ,0000 ,0000 -,0835 ,0000 ,0000 ,6771 ,6771 ,8356 ,9917 ,9917 ,9917 ,9917 ,9917 ,9917 ,9917 ,9917 ,5890 ,6013 ,4074 ,0000
Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
,9429
30,0
N of Items = 21
Alpha if Item Deleted ,9481 ,9452 ,9452 ,9481 ,9452 ,9452 ,9397 ,9397 ,9368 ,9335 ,9335 ,9335 ,9335 ,9335 ,9335 ,9335 ,9335 ,9446 ,9408 ,9432 ,9452
119 Lampiran 11 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas besar (large) Case Processing Summary Unweighted Casesa Selected Cases Included in Analysis Missing Cases Total Unselected Cases Total
N
Percent 100,0 ,0 100,0 ,0 100,0
30 0 30 0 30
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value Rendah 0 Tinggi 1
Block 0: Beginning Block Iteration Historya,b,c
Iteration Step 1 0 2 3
-2 Log likelihood 39,431 39,429 39,429
Coefficients Constant ,533 ,547 ,547
a. Constant is included in the model. b. Initial -2 Log Likelihood: 39,429 c. Estimation terminated at iteration number 3 because parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Tablea,b
Step 0
Observed Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh
Predicted Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh Percentage Rendah Tinggi Correct 0 11 ,0 0 19 100,0 63,3
Rendah Tinggi
Overall Percentage a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Variables in the Equation
Step 0
Constant
B ,547
S.E. ,379
Wald 2,081
df 1
Sig. ,149
Exp(B) 1,727
120
Variables not in the Equation Step 0
Variables MDL_SOS Overall Statistics
Score 22,208 22,208
Block 1: Method = Enter a,b,c,d Iteration History
Iteration Step 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
-2 Log likelihood 16,351 14,004 13,482 13,308 13,245 13,222 13,214 13,210 13,209 13,209 13,209 13,209 13,209 13,209 13,209 13,209 13,209 13,209 13,209 13,209
Coefficients Constant MDL_SOS -5,619 3,619 -8,398 5,262 -10,603 6,424 -12,640 7,445 -14,651 8,451 -16,655 9,453 -18,656 10,454 -20,657 11,454 -22,657 12,454 -24,657 13,454 -26,657 14,454 -28,657 15,454 -30,657 16,454 -32,657 17,454 -34,657 18,454 -36,657 19,454 -38,657 20,454 -40,657 21,454 -42,657 22,454 -44,657 23,454
a. Method: Enter b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: 39,429 d. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found.
df 1 1
Sig. ,000 ,000
121 Lampiran 12 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas menengah (Medium) Case Processing Summary Unweighted Casesa Selected Cases Included in Analysis Missing Cases Total Unselected Cases Total
N 30 0 30 0 30
Percent 100,0 ,0 100,0 ,0 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value Rendah 0 Tinggi 1
Block 0: Beginning Block Iteration Historya,b,c
Iteration Step 1 0 2 3 4
-2 Log likelihood 27,371 27,036 27,034 27,034
Coefficients Constant 1,333 1,587 1,609 1,609
a. Constant is included in the model. b. Initial -2 Log Likelihood: 27,034 c. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001. Classification Tablea,b
Step 0
Observed Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh
Rendah Tinggi
Overall Percentage a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Predicted Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh Percentage Rendah Tinggi Correct 0 5 ,0 0 25 100,0 83,3
122
Variables in the Equation
Step 0
B 1,609
Constant
S.E. ,490
Wald 10,793
df 1
Sig. ,001
Variables not in the Equation Step 0
Score 3,692 3,692
Variables MDL_SOS Overall Statistics
Block 1: Method = Enter Iteration Historya,b,c,d Coefficients Constant MDL_SOS -1,538 1,538 -1,960 1,960 -2,035 2,035 -2,037 2,037 -2,037 2,037
-2 Log likelihood 24,890 24,158 24,142 24,142 24,142
Iteration Step 1 1 2 3 4 5 a. Method: Enter
b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: 27,034 d. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
Omnibus Tests of Model Coefficients Step 1
Step Block Model
Chi-square 2,892 2,892 2,892
df
Sig. ,089 ,089 ,089
1 1 1
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood 24,142
Cox & Snell R Square ,092
Nagelkerke R Square ,155
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square ,000
df
Sig. 0
.
df 1 1
Sig. ,055 ,055
Exp(B) 5,000
123
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Step 1
Pola Hubungan antara Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh = Juragan dan Buruh = Rendah Tinggi Observed Expected Observed Expected 2 2,000 2 2,000 3 3,000 23 23,000
1 2
Total 4 26
Classification Tablea
Step 1
Observed Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh
Predicted Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh Percentage Rendah Tinggi Correct 0 5 ,0 0 25 100,0 83,3
Rendah Tinggi
Overall Percentage a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
Step a 1
MDL_SOS Constant
B 2,037 -2,037
S.E. 1,173 2,092
Wald 3,013 ,948
a. Variable(s) entered on step 1: MDL_SOS. Correlation Matrix Step 1
Constant MDL_SOS
Constant 1,000 -,968
MDL_SOS -,968 1,000
df 1 1
Sig. ,083 ,330
95,0% C.I.for EXP(B) Exp(B) Lower Upper 7,667 ,769 76,452 ,130
124 Step number: 1 Observed Groups and Predicted Probabilities 32 F R E Q U E N C Y
T T T T T T T T T T T R R
24
16
8
T R
Predicted Prob: 0 ,25 ,5 ,75 1 Group: RRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT Predicted Probability is of Membership for Tinggi The Cut Value is ,50 Symbols: R - Rendah T - Tinggi Each Symbol Represents 2 Cases.
Casewise Listb
Case 2 3 24
Selected a Status S S S
Observed Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh R** R** R**
Temporary Variable
Predicted ,885 ,885 ,885
Predicted Group T T T
Resid -,885 -,885 -,885
a. S = Selected, U = Unselected cases, and ** = Misclassified cases. b. Cases with studentized residuals greater than 2,000 are listed.
ZResid -2,769 -2,769 -2,769
125 Lampiran 13 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas kecil (small) Case Processing Summary Unweighted Casesa Selected Cases Included in Analysis Missing Cases Total Unselected Cases Total
N
Percent 100,0 ,0 100,0 ,0 100,0
30 0 30 0 30
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value Rendah 0 Tinggi 1
Block 0: Beginning Block Iteration Historya,b,c
Iteration Step 1 0 2 3 4
-2 Log likelihood 30,197 30,025 30,024 30,024
Coefficients Constant 1,200 1,377 1,386 1,386
a. Constant is included in the model. b. Initial -2 Log Likelihood: 30,024 c. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001. Classification Tablea,b
Step 0
Observed Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh
Rendah Tinggi
Overall Percentage
Predicted Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh Percentage Rendah Tinggi Correct 0 6 ,0 0 24 100,0 80,0
a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Variables in the Equation
Step 0
Constant
B 1,386
S.E. ,456
Wald 9,225
df 1
Sig. ,002
Exp(B) 4,000
126
Variables not in the Equation Step 0
Score ,419 ,419
Variables MDL_SOS Overall Statistics
df
Sig. ,517 ,517
1 1
Block 1: Method = Enter Iteration Historya,b,c,d Coefficients Constant MDL_SOS ,410 ,447 ,291 ,624 ,275 ,642 ,274 ,642
-2 Log likelihood 29,859 29,631 29,629 29,629
Iteration Step 1 1 2 3 4 a. Method: Enter
b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: 30,024 d. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.
Omnibus Tests of Model Coefficients Step 1
Step Block Model
Chi-square ,395 ,395 ,395
df
Sig. ,530 ,530 ,530
1 1 1
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood 29,629
Cox & Snell R Square ,013
Nagelkerke R Square ,021
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square ,000
df
Sig. 0
.
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Step 1
1 2
Pola Hubungan antara Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh = Juragan dan Buruh = Rendah Tinggi Observed Expected Observed Expected 2 2,000 5 5,000 4 4,000 19 19,000
Total 7 23
127
Classification Tablea
Step 1
Observed Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh
Predicted Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh Percentage Rendah Tinggi Correct 0 6 ,0 0 24 100,0 80,0
Rendah Tinggi
Overall Percentage a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
Step a 1
MDL_SOS Constant
B ,642 ,274
S.E. 1,001 1,761
Wald ,411 ,024
df 1 1
Sig. ,522 ,876
Exp(B) 1,900 1,316
95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper ,267 13,523
a. Variable(s) entered on step 1: MDL_SOS.
Correlation Matrix Step 1
Constant MDL_SOS
Constant 1,000 -,965
MDL_SOS -,965 1,000
Step number: 1 Observed Groups and Predicted Probabilities 32 F R E Q U E N C Y
24
16
8
T T T R
T T T T T T T T T T R R
Predicted Prob: 0 ,25 ,5 ,75 1 Group: RRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT Predicted Probability is of Membership for Tinggi The Cut Value is ,50 Symbols: R - Rendah T - Tinggi Each Symbol Represents 2 Cases.
128 Lampiran
14 Hasil olah data pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan batik kelas besar (large) Case Processing Summary
Unweighted Casesa Selected Cases Included in Analysis Missing Cases Total Unselected Cases Total
N 30 0 30 0 30
Percent 100,0 ,0 100,0 ,0 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value Rendah 0 Tinggi 1
Block 0: Beginning Block Iteration Historya,b,c
Iteration Step 1 0 2 3 4
-2 Log likelihood 32,679 32,596 32,596 32,596
Coefficients Constant 1,067 1,186 1,190 1,190
a. Constant is included in the model. b. Initial -2 Log Likelihood: 32,596 c. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001. Classification Tablea,b Predicted
Step 0
Observed Eksistensi
Rendah Tinggi
Overall Percentage a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Eksistensi Rendah Tinggi 0 7 0 23
Percentage Correct ,0 100,0 76,7
129
Variables in the Equation
Step 0
B 1,190
Constant
S.E. ,432
Wald 7,594
df 1
Sig. ,006
Variables not in the Equation Step 0
Score 9,459 9,459
Variables POLA Overall Statistics
Block 1: Method = Enter Iteration Historya,b,c,d Coefficients Constant POLA -2,153 1,971 -2,892 2,710 -3,203 3,021 -3,254 3,072 -3,255 3,073 -3,255 3,073
-2 Log likelihood 24,607 23,133 22,996 22,994 22,994 22,994
Iteration Step 1 1 2 3 4 5 6 a. Method: Enter
b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: 32,596 d. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001.
Omnibus Tests of Model Coefficients Step 1
Step Block Model
Chi-square 9,603 9,603 9,603
df
Sig. ,002 ,002 ,002
1 1 1
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood 22,994
Cox & Snell R Square ,274
Nagelkerke R Square ,413
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square ,000
df
Sig. 0
.
df 1 1
Sig. ,002 ,002
Exp(B) 3,286
130
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Step 1
Eksistensi = Rendah Observed Expected 6 6,000 1 1,000
1 2
Eksistensi = Tinggi Observed Expected 5 5,000 18 18,000
Total 11 19
Classification Tablea Predicted
Step 1
Observed Eksistensi
Eksistensi Rendah Tinggi 6 1 5 18
Rendah Tinggi
Overall Percentage
Percentage Correct 85,7 78,3 80,0
a. The cut value is ,500 Variables in the Equation
Step a 1
B 3,073 -3,255
POLA Constant
S.E. 1,193 1,588
Wald 6,639 4,201
df 1 1
Sig. ,010 ,040
95,0% C.I.for EXP(B) Exp(B) Lower Upper 21,600 2,086 223,651 ,039
a. Variable(s) entered on step 1: POLA.
Correlation Matrix Step 1
Constant POLA
Constant 1,000 -,945
POLA -,945 1,000
Step number: 1 Observed Groups and Predicted Probabilities 20
F R E Q U E N C Y
15
10
5
T T T T R R R R R
T T T T T T T T T T T T T T R
Predicted Prob: 0 ,25 ,5 ,75 1 Group: RRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT Predicted Probability is of Membership for Tinggi
131 The Cut Value is ,50 Symbols: R - Rendah T - Tinggi Each Symbol Represents 1,25 Cases.
Casewise Listb
Case 29
Selected Statusa S
Observed Eksistensi R**
Predicted ,947
Predicted Group T
Temporary Variable Resid ZResid -,947 -4,243
a. S = Selected, U = Unselected cases, and ** = Misclassified cases. b. Cases with studentized residuals greater than 2,000 are listed.
132 Lampiran
15 Hasil olah data pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan batik kelas menengah (medium) Case Processing Summary
Unweighted Casesa Selected Cases Included in Analysis Missing Cases Total Unselected Cases Total
N 30 0 30 0 30
Percent 100,0 ,0 100,0 ,0 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value Rendah 0 Tinggi 1
Block 0: Beginning Block Iteration Historya,b,c
Iteration Step 1 0 2 3 4 5
-2 Log likelihood 20,634 19,539 19,505 19,505 19,505
Coefficients Constant 1,600 2,086 2,193 2,197 2,197
a. Constant is included in the model. b. Initial -2 Log Likelihood: 19,505 c. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001. Classification Tablea,b Predicted
Step 0
Observed Eksistensi
Rendah Tinggi
Overall Percentage a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Eksistensi Rendah Tinggi 0 3 0 27
Percentage Correct ,0 100,0 90,0
133
Variables in the Equation
Step 0
B 2,197
Constant
S.E. ,609
Wald 13,035
df 1
Sig. ,000
Variables not in the Equation Step 0
Score 6,000 6,000
Variables POLA Overall Statistics
Block 1: Method = Enter Iteration Historya,b,c,d Coefficients Constant POLA -1,040 1,440 -1,850 2,255 -2,265 2,670 -2,362 2,768 -2,367 2,773 -2,367 2,773
-2 Log likelihood 17,780 15,430 15,138 15,127 15,127 15,127
Iteration Step 1 1 2 3 4 5 6 a. Method: Enter
b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: 19,505 d. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001.
Omnibus Tests of Model Coefficients Step 1
Step Block Model
Chi-square 4,378 4,378 4,378
df
Sig. ,036 ,036 ,036
1 1 1
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood 15,127
Cox & Snell R Square ,136
Nagelkerke R Square ,284
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square ,000
df
Sig. 0
.
df 1 1
Sig. ,014 ,014
Exp(B) 9,000
134
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Step 1
Eksistensi = Rendah Observed Expected 2 2,000 1 1,000
1 2
Eksistensi = Tinggi Observed Expected 3 3,000 24 24,000
Total 5 25
Classification Tablea Predicted
Step 1
Observed Eksistensi
Eksistensi Rendah Tinggi 0 3 0 27
Rendah Tinggi
Overall Percentage
Percentage Correct ,0 100,0 90,0
a. The cut value is ,500 Variables in the Equation
Step a 1
B 2,773 -2,367
POLA Constant
S.E. 1,369 2,092
Wald 4,100 1,281
df 1 1
Sig. ,043 ,258
95,0% C.I.for EXP(B) Exp(B) Lower Upper 16,000 1,093 234,248 ,094
a. Variable(s) entered on step 1: POLA.
Correlation Matrix Step 1
Constant POLA
Constant 1,000 -,946
POLA -,946 1,000
Step number: 1 Observed Groups and Predicted Probabilities 32 F R E Q U E N C Y
24
16
8
T T R
T T T T T T T T T T T T R
Predicted Prob: 0 ,25 ,5 ,75 1 Group: RRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT Predicted Probability is of Membership for Tinggi The Cut Value is ,50
135 Symbols: R - Rendah T - Tinggi Each Symbol Represents 2 Cases.
Casewise Listb
Case 1
Selected Statusa S
Observed Eksistensi R**
Predicted ,960
Predicted Group T
Temporary Variable Resid ZResid -,960 -4,899
a. S = Selected, U = Unselected cases, and ** = Misclassified cases. b. Cases with studentized residuals greater than 2,000 are listed.
136 Lampiran 16 Hasil olah data pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan batik kelas kecil (small) Case Processing Summary Unweighted Casesa Selected Cases Included in Analysis Missing Cases Total Unselected Cases Total
N 30 0 30 0 30
Percent 100,0 ,0 100,0 ,0 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value Rendah 0 Tinggi 1
Block 0: Beginning Block Iteration Historya,b,c
Iteration Step 1 0 2 3 4
-2 Log likelihood 30,197 30,025 30,024 30,024
Coefficients Constant 1,200 1,377 1,386 1,386
a. Constant is included in the model. b. Initial -2 Log Likelihood: 30,024 c. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001. Classification Tablea,b Predicted
Step 0
Observed Eksistensi
Rendah Tinggi
Overall Percentage a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Eksistensi Rendah Tinggi 0 6 0 24
Percentage Correct ,0 100,0 80,0
137
Variables in the Equation
Step 0
B 1,386
Constant
S.E. ,456
Wald 9,225
df
Sig. ,002
1
Variables not in the Equation Step 0
Score 10,208 10,208
Variables POLA Overall Statistics
df
Sig. ,001 ,001
1 1
Block 1: Method = Enter Iteration Historya,b,c,d Coefficients Constant POLA -3,000 2,333 -3,618 2,925 -3,773 3,080 -3,784 3,091 -3,784 3,091
-2 Log likelihood 22,610 21,459 21,407 21,406 21,406
Iteration Step 1 1 2 3 4 5 a. Method: Enter
b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: 30,024 d. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
Omnibus Tests of Model Coefficients Step 1
Step Block Model
Chi-square 8,618 8,618 8,618
df
Sig. ,003 ,003 ,003
1 1 1
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood 21,406
Cox & Snell R Square ,250
Nagelkerke R Square ,395
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square ,000
df
Sig. 0
.
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Step 1
1 2
Eksistensi = Rendah Observed Expected 4 4,000 2 2,000
Eksistensi = Tinggi Observed Expected 2 2,000 22 22,000
Total 6 24
Exp(B) 4,000
138
Classification Tablea Predicted
Step 1
Observed Eksistensi
Eksistensi Rendah Tinggi 4 2 2 22
Rendah Tinggi
Overall Percentage
Percentage Correct 66,7 91,7 86,7
a. The cut value is ,500 Variables in the Equation
Step a 1
B 3,091 -3,784
POLA Constant
S.E. 1,138 1,883
Wald 7,375 4,039
df 1 1
Sig. ,007 ,044
Exp(B) 22,000 ,023
95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper 2,364 204,759
a. Variable(s) entered on step 1: POLA.
Correlation Matrix Step 1
Constant POLA
Constant 1,000 -,954
POLA -,954 1,000
Step number: 1 Observed Groups and Predicted Probabilities 32 F R E Q U E N C Y
24
16
8
T R R
T T T T T T T T T T T R
Predicted Prob: 0 ,25 ,5 ,75 1 Group: RRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT Predicted Probability is of Membership for Tinggi The Cut Value is ,50 Symbols: R - Rendah T - Tinggi Each Symbol Represents 2 Cases.
139
Casewise Listb
Case 18 25
Selected a Status S S
Observed Eksistensi R** R**
Predicted ,917 ,917
Predicted Group T T
Temporary Variable Resid ZResid -,917 -3,317 -,917 -3,317
a. S = Selected, U = Unselected cases, and ** = Misclassified cases. b. Cases with studentized residuals greater than 2,000 are listed.
140 Lampiran 17 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan batik kelas besar (large) Case Processing Summary Unweighted Casesa Selected Cases Included in Analysis Missing Cases Total Unselected Cases Total
N 30 0 30 0 30
Percent 100,0 ,0 100,0 ,0 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value Rendah 0 Tinggi 1
Block 0: Beginning Block Iteration Historya,b,c
Iteration Step 1 0 2 3 4
Coefficients Constant 1,067 1,186 1,190 1,190
-2 Log likelihood 32,679 32,596 32,596 32,596
a. Constant is included in the model. b. Initial -2 Log Likelihood: 32,596 c. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001. Classification Tablea,b Predicted
Step 0
Observed Eksistensi
Rendah Tinggi
Eksistensi Rendah Tinggi 0 7 0 23
Overall Percentage
Percentage Correct ,0 100,0 76,7
a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500 Variables in the Equation
Step 0
Constant
B 1,190
S.E. ,432
Wald 7,594
df 1
Sig. ,006
Exp(B) 3,286
141
Variables not in the Equation Step 0
Score 7,462 7,462
Variables MDL_SOS Overall Statistics
df
Sig. ,006 ,006
1 1
Block 1: Method = Enter Iteration Historya,b,c,d Coefficients Constant MDL_SOS -2,063 1,841 -2,573 2,350 -2,692 2,468 -2,698 2,474 -2,698 2,474
-2 Log likelihood 26,432 25,603 25,574 25,574 25,574
Iteration Step 1 1 2 3 4 5 a. Method: Enter
b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: 32,596 d. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
Omnibus Tests of Model Coefficients Step 1
Step Block Model
Chi-square 7,022 7,022 7,022
df
Sig. ,008 ,008 ,008
1 1 1
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood 25,574
Cox & Snell R Square ,209
Nagelkerke R Square ,315
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square ,000
df
Sig. 0
.
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Step 1
1 2
Eksistensi = Rendah Observed Expected 5 5,000 2 2,000
Eksistensi = Tinggi Observed Expected 4 4,000 19 19,000
Total 9 21
142
Classification Tablea Predicted
Step 1
Observed Eksistensi
Eksistensi Rendah Tinggi 5 2 4 19
Rendah Tinggi
Overall Percentage
Percentage Correct 71,4 82,6 80,0
a. The cut value is ,500 Variables in the Equation
Step a 1
MDL_SOS Constant
B 2,474 -2,698
S.E. 1,001 1,534
Wald 6,107 3,093
df 1 1
Sig. ,013 ,079
Exp(B) 11,875 ,067
95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper 1,668 84,519
a. Variable(s) entered on step 1: MDL_SOS.
Correlation Matrix Step 1
Constant MDL_SOS
Constant 1,000 -,946
MDL_SOS -,946 1,000
Step number: 1 Observed Groups and Predicted Probabilities 32 F R E Q U E N C Y
24
16
8
T T R R R
T T T T T T T T T T R
Predicted Prob: 0 ,25 ,5 ,75 1 Group: RRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT Predicted Probability is of Membership for Tinggi The Cut Value is ,50 Symbols: R - Rendah T - Tinggi Each Symbol Represents 2 Cases.
143
Casewise Listb
Case 9 29
Selected a Status S S
Observed Eksistensi R** R**
Predicted ,905 ,905
Predicted Group T T
Temporary Variable Resid ZResid -,905 -3,082 -,905 -3,082
a. S = Selected, U = Unselected cases, and ** = Misclassified cases. b. Cases with studentized residuals greater than 2,000 are listed.
144 Lampiran 18 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan Batik Kelas Menengah (medium) Case Processing Summary Unweighted Casesa Selected Cases Included in Analysis Missing Cases Total Unselected Cases Total
N 30 0 30 0 30
Percent 100,0 ,0 100,0 ,0 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value Rendah 0 Tinggi 1
Block 0: Beginning Block Iteration Historya,b,c
Iteration Step 1 0 2 3 4 5
-2 Log likelihood 20,634 19,539 19,505 19,505 19,505
Coefficients Constant 1,600 2,086 2,193 2,197 2,197
a. Constant is included in the model. b. Initial -2 Log Likelihood: 19,505 c. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001. Classification Tablea,b Predicted
Step 0
Observed Eksistensi
Rendah Tinggi
Overall Percentage a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Eksistensi Rendah Tinggi 0 3 0 27
Percentage Correct ,0 100,0 90,0
145
Variables in the Equation
Step 0
B 2,197
Constant
S.E. ,609
Wald 13,035
df 1
Sig. ,000
Variables not in the Equation Step 0
Score 8,205 8,205
Variables MDL_SOS Overall Statistics
Block 1: Method = Enter Iteration Historya,b,c,d Coefficients Constant MDL_SOS -1,846 1,846 -2,677 2,677 -3,107 3,107 -3,213 3,213 -3,219 3,219 -3,219 3,219
-2 Log likelihood 16,859 14,357 14,035 14,022 14,022 14,022
Iteration Step 1 1 2 3 4 5 6 a. Method: Enter
b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: 19,505 d. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001. Omnibus Tests of Model Coefficients Step 1
Step Block Model
Chi-square 5,483 5,483 5,483
df
Sig. ,019 ,019 ,019
1 1 1
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood 14,022
Cox & Snell R Square ,167
Nagelkerke R Square ,349
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square ,000
df
Sig. 0
.
df 1 1
Sig. ,004 ,004
Exp(B) 9,000
146
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Step 1
Eksistensi = Rendah Observed Expected 2 2,000 1 1,000
1 2
Eksistensi = Tinggi Observed Expected 2 2,000 25 25,000
Total 4 26
Classification Tablea Predicted
Step 1
Observed Eksistensi
Eksistensi Rendah Tinggi 0 3 0 27
Rendah Tinggi
Overall Percentage
Percentage Correct ,0 100,0 90,0
a. The cut value is ,500 Variables in the Equation
Step a 1
MDL_SOS Constant
B 3,219 -3,219
S.E. 1,428 2,245
Wald 5,079 2,056
df
Sig. ,024 ,152
1 1
95,0% C.I.for EXP(B) Exp(B) Lower Upper 25,000 1,521 410,865 ,040
a. Variable(s) entered on step 1: MDL_SOS.
Correlation Matrix Step 1
Constant MDL_SOS
Constant 1,000 -,948
MDL_SOS -,948 1,000
Step number: 1 Observed Groups and Predicted Probabilities 32 F R E Q U E N C Y
24
16
8
T R
T T T T T T T T T T T T R
Predicted Prob: 0 ,25 ,5 ,75 1 Group: RRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT Predicted Probability is of Membership for Tinggi The Cut Value is ,50
147 Symbols: R - Rendah T - Tinggi Each Symbol Represents 2 Cases.
Casewise Listb
Case 1
Selected a Status S
Observed Eksistensi R**
Predicted ,962
Predicted Group T
Temporary Variable Resid ZResid -,962 -5,000
a. S = Selected, U = Unselected cases, and ** = Misclassified cases. b. Cases with studentized residuals greater than 2,000 are listed.
148 Lampiran 19 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan batik kelas kecil (small) Case Processing Summary Unweighted Casesa Selected Cases Included in Analysis Missing Cases Total Unselected Cases Total
N 30 0 30 0 30
Percent 100,0 ,0 100,0 ,0 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value Rendah 0 Tinggi 1
Block 0: Beginning Block Iteration Historya,b,c
Iteration Step 1 0 2 3 4
Coefficients Constant 1,200 1,377 1,386 1,386
-2 Log likelihood 30,197 30,025 30,024 30,024
a. Constant is included in the model. b. Initial -2 Log Likelihood: 30,024 c. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001. Classification Tablea,b Predicted
Step 0
Observed Eksistensi
Rendah Tinggi
Eksistensi Rendah Tinggi 0 6 0 24
Overall Percentage
Percentage Correct ,0 100,0 80,0
a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500 Variables in the Equation
Step 0
Constant
B 1,386
S.E. ,456
Wald 9,225
df 1
Sig. ,002
Exp(B) 4,000
149
Variables not in the Equation Step 0
Score 7,873 7,873
Variables MDL_SOS Overall Statistics
df
Sig. ,005 ,005
1 1
Block 1: Method = Enter Iteration Historya,b,c,d Coefficients Constant MDL_SOS -2,224 1,938 -2,775 2,487 -2,918 2,630 -2,927 2,639 -2,927 2,639
-2 Log likelihood 24,234 23,195 23,151 23,151 23,151
Iteration Step 1 1 2 3 4 5 a. Method: Enter
b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: 30,024 d. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
Omnibus Tests of Model Coefficients Step 1
Step Block Model
Chi-square 6,873 6,873 6,873
df
Sig. ,009 ,009 ,009
1 1 1
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood 23,151
Cox & Snell R Square ,205
Nagelkerke R Square ,324
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square ,000
df
Sig. 0
.
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Step 1
1 2
Eksistensi = Rendah Observed Expected 4 4,000 2 2,000
Eksistensi = Tinggi Observed Expected 3 3,000 21 21,000
Total 7 23
150
Classification Tablea Predicted
Step 1
Observed Eksistensi
Eksistensi Rendah Tinggi 4 2 3 21
Rendah Tinggi
Overall Percentage
Percentage Correct 66,7 87,5 83,3
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
Step a 1
MDL_SOS Constant
B 2,639 -2,927
S.E. 1,063 1,697
Wald 6,158 2,973
df 1 1
Sig. ,013 ,085
Exp(B) 14,000 ,054
95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper 1,741 112,551
a. Variable(s) entered on step 1: MDL_SOS. Correlation Matrix Step 1
Constant MDL_SOS
Constant 1,000 -,950
MDL_SOS -,950 1,000
Step number: 1 Observed Groups and Predicted Probabilities 32 F R E Q U E N C Y
24
16
8
T T R R
T T T T T T T T T T T R
Predicted Prob: 0 ,25 ,5 ,75 1 Group: RRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT Predicted Probability is of Membership for Tinggi The Cut Value is ,50 Symbols: R - Rendah T - Tinggi Each Symbol Represents 2 Cases.
151
Casewise Listb
Case 13 19
Selected a Status S S
Observed Eksistensi R** R**
Predicted ,913 ,913
Predicted Group T T
Temporary Variable Resid ZResid -,913 -3,240 -,913 -3,240
a. S = Selected, U = Unselected cases, and ** = Misclassified cases. b. Cases with studentized residuals greater than 2,000 are listed.
152 Lampiran 20 Dokumentasi lapang
Proses nyetem batik
Proses mbabar
Proses nyolet batik
Proses ngedrik batik
Proses pemberian lilin
Proses batik cap
153
Proses perebusan batik
Proses pewarnaan batik
Proses pembuatan motif batik
Proses menjahit batik
154
Proses finishing pada batik
Canting
Wajan
Gawangan
155 Lampiran 21 Tulisan tematik
Kondisi Kampoeng Batik Laweyan Kampoeng Batik Laweyan merupakan suatu kawasan industri batik tertua di Indonesia. Pertumbuhan industri batik di kampung ini mengalami pasang surut, hal ini diawali sejak munculnya metode printing dan cap pada tahun 1970. Pada masa itu benar-benar mengalami penurunan drastis. “... Hampir semua, hampir 75%, warga Laweyan ini produksi batik, begitu hancurnya itu ketika orang–orang Arab datang, batik di saingi sama printing yang bukan tulis yang pakek stampel. Baru satu minggu baru bisa jadi, sedangkan printing satu hari aja udah ratusan meter, kalau tulis satu minggu mungkin ya satu kodi, 20 potong tapi printing, satu minggu udah berapa ratus, kalau orang tidak tahu motif printing sama cap, cuma warnanya kalau yang printing satu minggu di cuci pakai deterjen sudah punah, tapi kalau yang produksi batik nyucinya pakai lerak satu tahun aja warnanya masih ...”. (S, Laki-laki, 61
Tahun) Selanjutnya, pada tahun 2004 Laweyan resmi menjadi Kampoeng Batik Laweyan Semenjak kebijakan dari Bapak Jokowi, selaku wali kota Solo pada saat itu. Semenjak resmi menjadi Kampoeng Batik Laweyan, produksi batik di Kampung ini kembali bangkit, dan mulai ramai lagi produksi batiknya di masing-masing perusahaan. Data dari Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, terdapat 3 cluster perusahaan batik, yaitu perusahaan batik kelas besar (large), menengah (medium), dan kecil (small). Pada saat awal-awal terbentuknya Kampoeng Batik Laweyan tercatat sebanyak 72 perusahaan batik yang terdapat pada 3 kelas perusahan batik. Namun saat ini, jumlah pengusaha batik semakin menurun, hal ini dikarenakan banyaknya warga pendatang yang membuka showroom di Laweyan. Kampoeng Batik Laweyan juga mengalami perkembangan dibidang sosial, ekonomi, maupun budaya. Di bidang sosial yaitu, dulunya masyarakat Laweyan merupakan masyarakat yang tertutup, hal ini dikarenakan bentuk bangunan pengusaha batik pada saat itu tinggi-tinggi. Hal ini dikarenakan alasan untuk melindungi harta kekayaan dan proses ekonomi didalamnya yaitu, proses produksi batik. Para pengusaha memilih menutup rapat-rapat proses produksi batik tersebut, hal ini agar tidak ada yang mengetahui cara-cara produksi batik di perusahaan tersebut. Sementara dalam bidang ekonomi yaitu dengan diresmikannya Kampoeng Batik Laweyan, maka perubahan secara ekonomi juga terasa, mulai banyak dikunjungi para wisatawan asing. Hal ini didukung dengan hasil kutipan wawancara sebagai berikut. “... Dari luar negeri ya ada, sering pas pak Jokowi masih jadi wali kota Solo . Perubahannya Laweyan ini ya banyak , umpanya mengantar tamu belajar batik ada insentifnya, dulu gak ada ... “. (P, Laki-laki, 52 Tahun)
Selain itu juga, Kampoeng Batik Laweyan ini semakin ramai semenjak diresmikan sebagai kampung wisata batik. Hal ini didukung dengan pernyataan Bapak S sebagai berikut. “... Ya begitu dapet suntikan pemerintah, lumayan sekarang, daripada tahun dua ribu nan ...”. (S, Laki-laki, 62 Tahun)
156 Kampoeng Batik Laweyan juga menjadi tempat praktik mahasiswa Indonesia, hal ini didukung dengan pernyataan Dosen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. “... Dulu itu nganu belum dikelola sebagai kampung batik , tetapi sudah menjadi kampung industri, nah sekarang sudah ditingkat sebagai wisata, sehingga ya dikelola musti di pemasaran di promosinya, ada promosi lewat biro-biro perjalanan ya sekarang sebagai wisata industri bisa praktik disana, seperti mahasiswa Indonesia juga praktik disana, sekarang ada yang mengelola, masyarakat yang mengelola sebagai kampung batik, dan juga lingkungan, disitu juga ada tempat- tempat sejarah yang lama ada masjid, makam, dan sebagainya pada masa kerajaan dahulu ...”. (S, Perempuan, 48 Tahun)
Di masyarakat Laweyan, sudah menjadi tradisi bahwa seorang ayah dari keluarga pengusaha hanya memegang peranan 25% dari seluruh kegiatan perusahaan. Terutama dalam bidang pengawasan produksi. Selebihnya, baik dalam urusan keuangan, ketentuan jumlah produksi sampai pada proses pendistribusian barang ke tangan konsumen sepenuhnya berada ditangan ibu pengusaha. Begitu besarnya peranan ibu di perusahaan keluarga itu sampai bisa diwujudkan dalam suatu simbol status kekuasaannya, yang cukup populer di masyarakat dengan sebutan “mbok mase”. Berikut kutipan wawancara dengan Bapak W13. “... Mbok itu berarti putri, dan mase itu berarti seperti pria yang kuat sebagai pemegang kendali kekuasaan dalam produksi batik. Mbok mase sebenarnya sebagai bentuk emansipasi wanita saat itu, karena pada saat itu wanita dianggap sebagai konco winking, yang berarti teman dibelakang. Namun, pada saat itu munculah istilah mbok mase sebagai perempuan kuat yang mengurusi semua hal yang berkaitan dengan produksi batik ...”. (W, Laki-laki, 48 Tahun)
Mbok mase inilah yang memegang peranan penting dalam Kampoeng Batik Laweyan, sebagai kampung batik tertua di Indonesia, sehingga eksistensi Kampoeng Batik Laweyan ini perlu dijaga oleh tidak hanya para pengusaha tetapi juga para generasi muda. Berikut pernyataan dari Bapak A14. “... Cintailah batik indonesia, dan bukan cuma mencintai, bukan Cuma memakai, tapi kita dan berharap Anda menjadi produsen batik, belum bisa? Anda datang kesini 100 % kita bersedia untuk memberikan pembelajaran ... “. (A, Laki-laki, 67 Tahun)
Selain itu juga, dalam rangka menjaga eksistensi Kampoeng Batik Laweyan, salah satu pengusaha muda yang orang tuanya juga pengusaha batik adalah mas A. Berikut kutipan wawancara dengan mas A. “... Jangan malu, istilahnya kalau bapak ibunya atau keturunannya ada yang bekerja di batik tu mbok mau terjun, istilah sedikit saja nanti coba dirasakan dulu , saya harapkan tu generasi penerusnya ada, saya sangat menyayangkan kalau batik gak ada penerusnya kasihan leluhur ...”. (A, Laki-laki, 38 Tahun)
13
Merupakan cucu dari pengusaha batik ndalem Tjokrosoemartan, yang merupakan pengusaha Merupakan pemiliki Batik Puspa Kencana, yang berada di Jalan Sidoluhur, Laweyan, Surakarta. 14
157 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karang Manunggal, Muba pada tanggal 11 Juli 1994 dari ayah Syafi‟i dan ibu Asnawati. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2012 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Unggulan Palembang dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengambangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi presenter/master of ceremony, voice over, protocoler, divisi reporter koran kampus 2012 IPB, divisi broadcasting HIMASIERA IPB 2014, penulis pernah menjadi ketua divisi acara di IPB Green Living Movement (IGLMI) 2015, anggota koperasi mahasiswa IPB 2014-2015, divisi acara IPB Art Contest 2014 dan 2015, divisi manajemen pementasan UKM Lises Gentra Kaheman 2014, divisi DDD Gebyar Nusantara IPB 2015, divisi sponsorship IDEA IPB 2014, selain itu penulis juga pernah menjadi panitia di Peringatan Hari Ikan Nasional, Ayo Kita Makan Ikan bersama Himpunan Alumni IPB 2015, dan juga pernah menjadi pembicara di Jakarta unplastic 2015 serta penulis juga memiliki bisnis bernama BRAPACHOCOLATE dan Maeswara Agency. Selain itu penulis juga mendapatkan beasiswa Bidikmisi tahun 2012-2016. Penulis juga aktif mengikuti perlombaan di IPB. Beberapa prestasi yang diraih oleh penulis antara lain ialah juara 1 Drama Musikal Semarak Bidik Misi 2014, juara 3 Tulis dan Baca Puisi Bidik Misi 2014, dan juara 3 Vokal Grup Bidik Misi 2014.