GELIAT BURUH MENJADI JURAGAN BATIK Oleh: SOLICHUL HADI ACHMAD BAKRI
Pengusaha, Pemerhati Batik & Dosen Pasca Sarjana UNIBA, Surakarta
A. Pendahuluan
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 secara riil harus dilaksanakan oleh
Indonesia terhitung mulai tanggal 31 Desember tahun 2015, disisi lain perkembangan ekonomi Bangsa Indonesia di tahun 2015 tidak secerah yang direncanakan. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa perlu komitmen
bersama untuk mendorong tumbuhnya ekonomi nasional dan penguatan nilai rupiah.
Kondisi ekonomi yang semakin jauh dari kepastian dan harga dolar yang
semakin tinggi mengakibatkan impor untuk bahan baku produksi semakin mahal
harganya, termasuk diantaranya bahan baku untuk produksi batik di Indonesia.
Batik di Indonesia pada umumnya berbentuk UMKM yang posisinya senantiasa dibutuhkan sebagai penyangga ekonomi dan sekaligus rentan terhadap
perubahan ekonomi. Setiap pergerakan ekonomi akan berdampak pada kinerja
usaha masing-masing UMKM perbatikan. Salah satu dampak nyata adalah para pekerja batik yang selama ini menggantungkan hidupnya dengan menjadi buruh
batik, utamanya yang buruh lepas bisa jadi akan menjadi pihak pertama yang akan kena dampak perkembangan ekonomi di Indonesia.
Secara umum kata kunci dari setiap masalah ekonomi dan buruh bertumpu
pada konsep kesejahteraan, utamanya manakala menengok nasib buruh batik yang tidak semanis dan seindah dengan warna kain batiknya, yang kini telah
diakui oleh dunia sebagai warisan budaya Indonesia. Buruh batik yang hampir SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 1
semuanya merupakan pekerja tidak terlatih (non skilled worker) menempatkan posisi buruh batik bukan sebagai profesi yang diminati generasi muda sekarang.
Secara umum membatik dianggap sebagai pekerjaan sampingan, meskipun
dalam kenyataannya sebagian pembatik memang benar-benar menghabiskan hari-harinya untuk membatik. Konsekuensinya para pembatik atau pengusaha
batik dapat memutuskan hubungan kerja secara sepihak, tanpa ada ikatan apapun. Ketika pengusaha mengalami pailit, maka tidak ada kewajiban untuk
memberikan pesangon kepada buruh batiknya. Begitu juga sebaliknya, ketika pembatik ada kesibukan lain ataupun mendapatkan tawaran membatik dari tempat lain, maka pengusaha juga tidak dapat menuntut apapun.
Sebagai pembatik, secara sederhana hanya ikut numpang hidup kepada
pengusaha. Karena buruh batik hanya bisa membatik, tidak punya modal untuk membeli kain dan perlengkapan membatik, tidak tahu resep warna batik dan tidak tahu kemana dan bagaimana menjual batik.
Mejadi pengusaha batik
secara mandiri dianggap sebagai suatu impian yang tidak realistis, toh dengan
menjadi buruh batikpun mereka juga masih bisa hidup. Sudut pandang pembatik
terhadap profesinya tersebut menjadi hambatan ketika dikaitkan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan pembatik.
Tahun 1995 Ketika Indonesia menandatangani Perjanjian Pasar Bebas
Asia Pasific (APEC) yang akan di mulai pada tahun 2020, ketika itu Bapak Tungki Aribowo, Menteri Perindustrian era Presiden Soeharto mengatakan bangsa Indonesia harus dipacu agar bisa lebih maju. Menurutnya, bangsa
Indonesia jika dalam keadaan kepepet kemudian akan bangkit untuk membuat
jalan keluar. Tampaknya teori kepepet ini sudah menjadi rahasia umum untuk mengambil sebuah keputusan baik perorangan yang sifatnya personal, bahkan sampai pada keputusan berbangsa dan bernegara.
Pada Pertemuan Puncak ASEAN Keenam tahun 2000, mantan Perdana
Menteri China Zhu Rongji mencetuskan
ide Kawasan Pasar Bebas ACFTA
untuk memperluas Kawasan Pasar Bebas ASEAN dengan jangkauan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China. Ide ini disetujui oleh Negara-negara yang
tergabung dalam ASEAN kemudian pada tahun 2010 ini Indonesia resmi SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 2
memasuki ASEAN-CHINA FREE TRADE AREA (Kawasan Pasar Bebas ASEAN
plus China). Dan pada tahun 2020 nanti bangsa Indonesia akan memasuki Kawasan Pasar Bebas yang lebih luas lagi yaitu Kawasan Bebas Asia Pasific (APEC).
Terhitung tanggal 1 Januari 2010 ini ACFTA mulai diberlakukan.
Perdagangan bebas, artinya bahwa seluruh barang-barang yang masuk dari dan ke negara-negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam) plus China, bebas keluar masuk tanpa batasan dan tanpa tarif.
Sementara itu 10 tahun lagi, tepatnya 2020 Indonesia akan memasuki pasar bebas APEC.
Kondisi UMKM di Jawa Tengah berdasarkan data Dinas Koperasi dan
UMKM provinsi Jawa Tengah, jumlah UMKM sebanyak 70.222 yang terdiri dari
dari: produksi/non pertanian 23.374 unit, pertanian 10.097 unit, perdagangan
28.362 unit, jasa 8.389 unit, penyerapan tenaga kerja 293.362 orang, asset 5.266 milyar, omzet 14.476 milyar. Perkembangan yang nyata pada UMKM pada
tahun 2011-2012 jumlah UMKM meningkat 14.75%, produksi/non pertanian 11,97%, pertanian 31.15%, pedagangan 13.02%, jasa 8.66%, penyerapan tenaga kerja 17.81%, asset 29.43% dan omzet 31.06%.
Menurut Assisten Deputi urusan export-import di Kementrian Koperasi
dan UMKM Bonar Hutauruk, kendala-kendala yang paling sering muncul di UMKM yaitu kesulitan naik kelas dari mikro ke kecil dan dari kecil ke menengah,
karena kesulitan pengembangan usaha yang salah satunya modal kerja dan
manajemen yang tidak baik. Padahal di Indonesia keunggulan UMKM dibanding luar negeri adalah produk-produk UMKM lebih sukses dengan berbasis etnik dan budaya lokal, kearifan lokal menjadi salahsatu kunci sukses UMKM di Indonesia.
Salahsatu masalah di sejumlah UMKM di kota-kota besar, yaitu tenaga
kerja. UMKM terancam tidak dapat mengembangkan usahanya, karena UMKM kesulitan dalam upaya untuk merekrut tenaga kerja untuk mendukung kegiatan produksi (Suara Merdeka, 2013, pada tanggal 30 April 2013).
Selama ini orang masih menganggap perlu mencari pemahaman kembali
tentang pengertian koperasi. Sepertinya masyarakat usaha batik belum atau SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 3
kurang paham tentang koperasi. Atau mungkin memang koperasi tidak mudah dipahami. Pernyataan ini sering muncul karena wacana tentang koperasi di
tengah masyarakat Indonesia selama ini berkembang melebar sehingga sulit ditangkap ujung pangkalnya. Pandangan masyarakat Indonesia tentang koperasi
saat ini memiliki visi yang berbeda-beda, mulai pandangan yang sangat idealistik
dan cenderung berlebihan (ekstrim) sampai pandangan pragmatik yang memperlakukan koperasi seperti perusahaan biasa dengan baju badan hukum koperasi.
B. Permasalahan Umum Pengrajin batik di Solo
Pada awal pertumbuhan sentra industri batik di pulau Jawa, peran wilayah
sekitar sebagai pemasok tenaga kerja/buruh terampil sangat menonjol. Pola hubungan juragan/pengusaha dengan pekerja/buruh telah terbentuk bukan
hanya sebatas hubungan ekonomi, tetapi sudah tumbuh dan berkembang sebagai pola tatanan sosial. Status ‘Mbokmase-Masnganten’ daerah Laweyan-
Solo dengan buruh sanggan asal Kliwonan, Butuh, di Sragen. ‘Denmas Kaji’
daerah Kauman Solo, dengan buruh sanggan asal Giribangun, Karanganyar. Juga pola hubungan ‘Juragan Pak Kajine’ Pekalongan dengan buruh asal
Kedungwuni, Wonopringgo, dan Batang. ‘Wak Haji/majikan/boss’ di kampung batik Trusmi, Cirebon dengan para buruhnya. ‘Engkong Tauke’ Lasem, Jawa Tengah dengan buruh dari daerah sekitarnya.
Buruh sanggan di daerah pendukung produksi batik/hinterland, saat ini telah
tumbuh dan berkembang bukan hanya pada kemampuan ekonominya, tetapi juga berkembang status sosialnya.
Banyak diantara pengusaha batik yang
berkembang maju dan berhasil, berasal dari daerah-daerah hinterland tersebut, dan rata-rata dari keluarga buruh sanggan. Fenomena ini tentu menarik. Permasalahan internal pengrajin batik
1) Perjalanan para perajin batik masih terseok-seok?
2) Harus berjuang keras untuk mendapatkan bahan dari serat alam dan upah yang rendah
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 4
3) Bahan kapas untuk membuat kain yang dibutuhkan perajin batik 98 persen import.
4) Bila tidak menggunakan serat alam, malam atau lilin yang digunakan untuk membatik tidak dapat menyerap ke dalam kain
5) Para perajin masih dihadapkan dengan tingkat kesejahteraan yang tergolong rendah. pengrajin tetap miskin, yang kaya pedagang
6) Buruh canting yang hanya berpenghasilan kurang dari satu juta rupiah per bulan.
Permasalahan eksternal pengrajin batik
1) Naik turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar mempengaruhi harga
tembaga sebagai bahan baku pembuatan canting pun ikut membuat perkembangan usaha para pengrajin batik sering labil.
2) Import bahan baku. Sekalipun batik adalah produk UKM asli Indonesia namun hampir sebagian besar bahan bakunya impor.
Ketergantungan
terhadap impor produk input batik seperti kapas, juga benang untuk membuat
kain mori dan tembaga untuk membuat canting masih sangat sulit dihilangkan.
3) Persaingan pasar yang semakin sulit. Berwirausaha batik tidaklah mudah,
selain keuletan juga diperlukan kecerdikan. Masalah bahan baku yang impor ditambah lagi sistem pembelian bahan baku hanya menerima giro. Sehingga pengusaha batik seringkali berhutang. Selanjutnya hasil penjualan digunakan untuk menutup hutang. Belum lagi jika harga bahan baku naik.
4) Penurunan jumlah buruh batik muda, fenomena yang terjadi di lapangan, para pemuda baik perempuan maupun laki-laki lebih memilih menjadi buruh pabrik daripada buruh batik. Alasannya karena upah yang kecil. Sebenarnya
upah yang kecil ini diakibatkan oleh banyaknya bahan baku yang masih impor. Sehingga keuntungan penjualannya masih harus dibagi-bagi. Itu
sebabnya meskipun permintaan meningkat, pengusaha dan pembatikpembatik baru tidak banyak bermunculan.
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 5
5) Kerusakan lingkungan. Masalah kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
limbah batik jelas terlihat setiap hari di sungai-sungai. Dalam sehari, warna sungai bisa beberapa kali berubah warna. Hal ini akibat dari tidak adanya
sistem pengolahan air limbah batik baik yang dihasilkan industri besar maupun industri kecil. Air limbah langsung dibuang ke got dan sungai. Lamakelamaan, jumlah air bersih akan berkurang. C. Pola Pengembangan Pengrajin Batik
Pengembangan masyarakat merupakan salah satu cara pendekatan
yang harus menjadi prinsip baku bagi seluruh lembaga pemerintah dan non pemerintah, begitu juga pihak perusahaan dalam menjalankan tugas dan fungsi dalam memberikan pelayanan sosial (Ambaddar, 2008). Sedangkan
menurut Giarci (2001), membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan agar mampu
memutuskan,
merencanakan
dan
mengambil
tindakan
untuk
mengelola dan mengembangkan lingkungan biologi, fisik serta kesejahteraan sosial. Soedjatmoko (1983) menekankan motivasi, tujuan, dan makna dalam
proses pembaharuan diri pada pembangunan masyarakat, serta bukan
kemakmuran material semata. Sehingga kesimpulan pada pengembangan masyarakat merupakan tindakan dalam membantu masyarakat untuk mengatasi segala keterbatasan.
Menurut Riyadi dan Supriyadi Bratakusumah (2005), pengembangan
masyarakat merupakan semua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana dengan baik dan berkelanjutan. Sedangkan menurut Siagian (1983),
sebagai suatu perubahan, untuk
mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, meningkatkan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitaf. Batik
(atau
kata Bathik)
berasal
dari
bahasa Jawa “amba”
yang
berarti menulis dan “nitik”. Kata batik sendiri merujuk pada teknik pembuatan
corak menggunakan canting atau cap dan pencelupan kain dengan SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 6
menggunakan bahan perintang warna corak “malam” (wax) yang diaplikasikan di atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna. Dalam bahasa
Inggris teknik ini dikenal dengan istilah wax-resist dyeing. Jadi kain batik, adalah kain yang memiliki ragam hias atau corak yang dibuat dengan canting dan cap dengan menggunakan malam sebagai bahan perintang warna.
Teknik ini hanya bisa diterapkan di atas bahan yang terbuat dari serat
alami seperti katun, sutra, wol dan tidak bisa diterapkan di atas kain dengan serat buatan (polyester).
Kain yang pembuatan corak dan pewarnaannya
tidak menggunakan teknik ini dikenal dengan kain tekstil bercorak batik,
biasanya dibuat dalam skala industri dengan teknik cetak (print) bukan merupakan kain batik.
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi
bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuanperempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam
membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik
Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak “Mega Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun,
sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan
sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Surakarta. Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia (Jawa) yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB.
D. Contoh Kasus Transformasi Buruh Menjadi Pengusaha Batik
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 7
Kerja keras, keuletan dan diiringi doa akan membuahkan hasil, seperti
yang dialami oleh salah satu pengusaha batik yang tinggal di desa Babagan
Lasem. Sri Winarti (39) berhasil membuktikan dari buruh batik ia berhasil menjadi pengusaha batik.
Sejak tahun 1993, Ia bersama saudara dan orang tuanya bekerja
sebagai buruh batik di pengusaha batik tulis ”Kuda” di Lasem atau sekarang
lebih dikenal sebagai batik “Purnomo”. Dari situlah kemampuan membatik diperolehnya, kemudian pada tahun 2010 melalui program PNPM desa Babagan ia memperoleh pengetahuan pengetelan (mencuci kain) dari
almarhumah Naomi pemilik batik ‘Maranantha’ yang kemudian diteruskan oleh Rifai pemilik batik “Ningrat”.
Di tahun yang sama, istri dari Kunardi itu
bersama rekan-rekannya memperoleh pelatihan pewarnaan di Pekalongan dimana seluruh biaya pelatihan ditanggung oleh Pemkab Rembang. Setelah
merasa pengetahuan tentang membatik komplit ia mencoba memberanikan diri membuat batik sendiri. “Saya masih ingat awalnya 13 potong kain batik, setelah laku terjual saya belikan 20 potong kain,” kenangnya.
Pada akhir tahun 2010, semula ia hanya ingin melihat pasar pameran
batik di Jakarta. Dengan modal Rp 3 juta untuk sewa stan dan Rp 1 juta untuk
transportasi, ia membawa 50 potong kain batik ditambah beberapa potong batik hasil titipan dari teman-temannya. Ternyata respon diperoleh sangat bagus, dagangan ludes dan ia pulang membawa uang Rp 40 juta. Sejak saat itu ibu dari dua orang anak itu rajin mengikuti berbagai pameran di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Jogjakarta dan Semarang.
Pada pameran Inacraf tahun tersebut, ia memperoleh kesempatan
bersalaman dan berdialog dengan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
beserta Ibu Ani. Selain pameran ia juga menerima pesanan dari beberapa
wilayah di Indonesia, bahkan dari sebuah bank milik pemerintah ia mendapat pesanan batik untuk konsumen luar negeri seperti Belanda, Kanada dan Singapura.
Batik termahal yang pernah ia jual juga dibeli oleh pembeli dari luar
negeri yakni pembeli dari Thailand dan Tiongkok seharga Rp 4 juta/lembar SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 8
yaitu Batik Tiga Negeri motif Sekar Jagad. Kini hanya dalam tempo 4 tahun ia telah berkembang, karyawan yang membantunya di batik tulis Lasem ”Sumber Rejeki” dirumahnya yang terletak di desa Babagan Kecamatan Lasem, ada 30
orang. Upah mereka rata-rata perhari Rp 20 ribu-30 ribu, belum termasuk karyawan borong yang membatik dirumah masing-masing.
Selain memperkerjakan orang, ia juga mengajak tetangga sekitarnya
untuk ikut membatik dan menerima titipan hasil batik mereka untuk ia
pasarkan. Bersama rekan-rekannya itu ia membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB) desa Babagan. Dalam satu bulan jumlah kain batik yang ia
produksi mencapai 1000 potong kain batik siap jual.“Dalam satu bulan penjualan batik milik KUB bervariasi antara Rp 20 juta-50 juta,” tutur Bu Win panggilan akrabnya. Kesuksesan tak membuatnya lupa, usai dari pameran ia
memberi masing-masing anggota KUB dua lembar kain untuk dibatik dari kantong pribadinya. “Untuk memotivasi mereka agar lebih rajin membatik,” ungkapnya
Ilmu yang dimilikinyapun tak jarang dibagi secara gratis seperti beberapa
tamu dari Langkat, Sumatera Utara, Jakarta atau daerah sekitar yang ingin
belajar membatik. Ada beberapa tamu yang terpaksa menginap di homestay rumah-rumah penduduk guna belajar proses membatik. Ia juga sering
diundang untuk memberikan pelatihan baik membatik atau pewarnaan. Sekarang ia ingin belajar mengekspor batiknya ke manca negara secara
langsung hanya saja baru teori yang ia dapat, prakteknya belum pernah ia lakukan. Selain itu harapannya untuk memajukan KUB-nya Bu Win ingin
kelompoknya mendapat bantuan hibah mori kain batik. “Semoga tahun depan
bisa dapat bantuan kain, agar lebih memotivasi pengrajin yang masih kecilkecil untuk lebih produktif,” harapnya.
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 9
Gambar 1: Kondisi Buruh Batik SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 10
E. Pasang Surut Pengrajin Batik
Bersumber dari Yayasan Intersepsi di dalam era globalisasi saat ini,
kearifan lokal menjadi upaya untuk membentengi arus pasang naik individualisme vis-à-vis komunalisme. Komunisme, bentuk lain dari semangat
komunalisme, yang pernah menguasai separuh belahan dunia mengalami kebangkrutan setelah runtuhnya Tembok Berlin. Gulirannya membawa pada pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada kurun 1995 hingga
dekade 2000-an, yang keputusan-keputusannya bersifat mengikat setiap
negara anggotanya (legally binding). Berdirinya WTO menandai pasang naik individualisme, paham yang menurut teori konspirasi sudah dipopulerkan sejak 1970-an melalui penciptaan karakter superhero. Meskipun sudah ada
sejak dekade sebelumnya, para pengamat komik melihat adanya akselerasi pemunculan tokoh-tokoh superhero, mendukung gagasan tentang sosok satu
orang individu yang bisa menyelamatkan dunia. Demikian pengantar yang diberikan oleh Revitriyoso Husodo, penggiat budaya anti-globalisasi dalam Diskusi Dua Bulanan Interseksi, Kamis 18 Agustus 2011 di Jakarta.
Menghadapi deadlock dalam sejumlah putaran konferensi tingkat
menteri (KTM), sekarang praktis WTO “diparkir”, dan sebagai gantinya
digulirkan berbagai kesepakatan perdagangan bebas yang sifatnya bilateral
(bilateral free trade agreement atau BFTA). Salah satu negara yang mendapat keuntungan adalah Cina, sang naga yang tidak disangka-sangka oleh Barat. Ketika negara-negara
Barat
dilanda
krisis
subprime mortgage,
Cina
mengalihkan tujuan ekspornya ke pasar ASEAN (Perhimpunan Bangsabangsa
Asia
Ditambahkan
Tenggara)
dengan
yang
jumlah
memiliki
penduduk
potensi Cina
600
juta
sendiri,
penduduk.
kesepakatan
perdagangan bebas ASEAN-Cina (ACFTA) menjadi pakta perdagangan terbesar di dunia, mencakup 1,9 miliar penduduk dunia.
Meskipun kemiskinan masih menjadi persoalan, tetapi Indonesia
diberkahi percepatan pembentukan lapisan kelas menengah yang cukup
signifikan. Perdagangan menjadi sebuah cara hidup, dan sejumlah FTA
seperti ACFTA, AANZFTA (FTA ASEAN-Australia-Selandia Baru) dan yang SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 11
akan segera dibentuk FTA ASEAN-Eropa meningkatkan arus dagang dengan
di-nol-persen-kannya pajak masuk barang-barang. Salah satu yang bakal terkena dampak adalah industri batik, khususnya pada kelas batik cetak (print)
yang segmentasinya paling besar dibanding dua kelas batik lainnya, yaitu
batik tulis dan batik cap. Batik tulis menempati kelas paling atas yang hampir tidak terkena imbas ACFTA. Batik cap, dengan keunggulan produksi yang
lebih banyak karena efisiensi pengurangan jam kerja, dinilai berkurang sentuhan manusiawinya (human touch), relatif tidak terlalu terganggu oleh ACFTA.
Di pasar grosir Tanah Abang, batik produksi Cina praktis menguasai
dari tingkat grosir hingga eceran. Diduga Cina juga kini memotong jalur perdagangan langsung ke Afrika, padahal dulunya banyak pedagang tekstil
Nigeria yang berbelanja di Tanahabang. Di berbagai sentra industri batik,
terjadi pergeseran dari pengusaha batik menjadi broker atau pedagang. Menurut penelitian IGJ (Institute for Global Justice), setidaknya ada 48
pelabuhan tikus yang menjadi pintu masuk barang-barang dari Cina. Menghadapi gelombang gulung tikarnya industri batik, Negara dihadapkan
pada pilihan apakah akan melindungi pengusaha besar ataukah usaha kecil menengah (UKM).
Memang pemerintah telah menetapkan keputusan presiden (Keppres)
nomor 33 tahun 2009 tentang Hari Batik Nasional sebagai upaya mendorong memasyarakatnya penggunaan batik. Tetapi menurut Revitriyoso, batik sendiri bukan milik Indonesia saja karena hampir semua bangsa mempunyai tradisi batiknya masing-masing. Kalaupun mau melindungi batik dalam kerangka perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) sesuai mekanisme dalam
WTO yaitu TRIPS (Trade Related Intellectual Property Rights), yang bisa dipatenkan adalah teknik pembuatan batik khas Indonesia, misalnya canting, bahan-bahan dan proses lorot yang digunakan para pembatik Indonesia.
Selain itu Negara juga diharapkan bisa mendorong pengembangan
motif-motif batik agar lebih beraneka ragam. Selama ini motif batik dapat
dibagi menjadi motif pedalaman yang cenderung lembut dan khidmat, dan SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 12
motif pesisir yang lebih warna-warni. Dalam sejarahnya, pembagian motif ini bisa jadi didasarkan pada politik kerajaan untuk menandai wilayah
kekuasaannya, dari pusat kekuasaan, daerah pinggiran, hingga daerah luar yang dianggap para penduduknya berpakaian minim hingga telanjang. Selain
berorientasi pada pasar lokal, pemerintah juga bisa membantu para pengusaha
batik
untuk
mempromosikan
batik
di
stand-stand
mode
internasional seperti Paris. Saat ini Kementerian Perindustrian telah melakukan langkah positif dengan memberi label “batik mark” untuk
membedakan produk batik dalam negeri dengan batik luar negeri, tetapi kebijakan nasionalistik ini tidak akan efektif tanpa upaya mensiasati dengan
melakukan mekanisme non-tariff barrier. Yang paling penting, Revitiriyoso menyimpulkan, harus ada gerakan national character building untuk melindungi produksi batik nasional.
Menanggapi uraian Revitriyoso, peneliti senior Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(PMB-LIPI) Dr. Riwanto Tirtosudharmo menelisik adanya proses eksploitasi
terselubung dalam industri batik itu sendiri. Hubungan antara buruh batik dengan majikan ditutupi dengan relasi kekeluargaan, dengan tingkat ketergantungan yang tinggi si buruh dengan majikan. Buruh batik pun tak
memiliki organisasi semacam serikat untuk melindungi hak-haknya dalam
berhubungan dengan majikan. Kondisi serupa juga terjadi di industri kayu
ukiran Jepara. Aspek lainnya adalah limbah yang dihasilkan oleh industri batik yang dikeluhkan masyarakat.
Menurut Herman Sepu dari Perkumpulan Budaya Bumi Bagus, di
sentra batik Cirebon para buruhnya sudah dibayar sesuai standar upah
minimum regional (UMR). Persoalannya justru pada sifat pekerjaannya yang
monoton. Pembatik tinggal menerima motif apa yang hendak dikerjakan, baik
dicetak maupun dicap. Berbeda dengan seniman yang mempunyai kreativitas menciptakan motif, para pembatik praktis bekerja secara monoton. Dalam
kasus industri kayu ukiran Jepara, seringkali finishing dilakukan di tengah-
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 13
tengah istirahat kerja bertani di sawah, dan sesudah selesai tinggal diserahkan ke galeri untuk mendapat imbalan sejumlah uang.
Penggiat batik Irma Haryadi menyoroti terjadinya persaingan tidak
sehat sesama pengusaha batik yang menyebabkan turunnya harga batik. Irma juga mengkritisi penyebutan batik untuk kelas batik cetak, dianggapnya
sekadar “tekstil dengan motif batik”. Yang diakui sebagai batik hanya kelas
batik tulis, batik cap dan kombinasi antara keduanya. Meskipun di sisi konsumen penurunan harga batik masih dianggap mahal, tetapi bagi para pembatik itu sangat merugikan. Batik yang dulunya bisa dihargai hingga satu
juta rupiah kini hanya laku pada kisaran tiga ratus ribu rupiah. Kebanyakan pembatik sendiri tidak menjadikan membatik sebagai pekerjaan utama, hanya sebagai kerja tambahan.
Mengkritisi pendapat Revitriyoso yang lebih menyasar pada pasar
eksklusif kalangan ekspatriat yang berani membayar mahal untuk produkproduk batik, Direktur Yayasan Interseksi Hikmat Budiman mempertanyakan
bagaimana dengan pasar kelas bawah yang dikuasai Cina. Batik masih menjadi produk yang mahal di mata masyarakat. Kalau orientasinya hanya pada batik sebagai seni, ceruk pasarnya sangat kecil, padahal masyarakat
lebih memprioritaskan kebutuhan akan pakaian ketimbang seni. Persaingan paling keras justru terjadi di tingkat produk-produk batik pada kisaran harga
lima puluh ribu rupiah yang mengancam sentra-sentra industri batik seperti di Pekalongan. Produk-produk Cina sendiri tidak semuanya buruk, banyak yang dibuat dengan tingkat kehalusan produksi karena sudah distandarkan dengan
mesin-mesin pabrik. Dengan produk yang berkualitas, Cina berani menjual
produk dengan harga sangat murah, tetapi lama-kelamaan harga bergerak naik. Ada politik dagang di sana.
Menurut Revitriyoso, yang harus memainkan politik dagang adalah
Negara. Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan Cina yang rata-rata BUMN
(badan usaha milik negara) praktis menjelma seperti China Incorporation. Subsidi diberikan mulai dari bahan-bahan hingga mesin. Bagi Revitiriyoso, dirinya bersama para penggiat batik lebih bersifat mendorong orang-orang SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 14
untuk berlatih menciptakan motif dan mempelajari teknik pembuatan batik, tidak
bergerak
pada
lini
produksi.
Menyoal
rendahnya
pemahaman
masyarakat terhadap proses craft yang susah-payah, peneliti CSIS (Center for Strategic and International Studies) Nico Harjanto lebih menekankan pada kekuatan “ciri khas” yang dimiliki oleh produsen-produsen tertentu dalam menarik konsumen.
F. Interaksionisme Simbolik Interaksi
merupakan
tahap
awal
terbentuknya
suatu
struktur
hubungan. Interaksi merupakan suatu hubungan yang dilakukan antara individu dengan individu, kelompok maupun antara kelompok dengan kelompok, dimana dalam interaksi itu terjadi suatu hubungan yang timbal balik antara kedua
belah pihak. Di dalam interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat menyesuaikan dengan yang lain atau sebaliknya. Pengertian penyesuaian di sini dalam arti yang luas yaitu bahwa individu dapat meleburkan diri dengan
keadaan disekitarnya, atau sebaliknya individu dapat mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan dalam diri individu, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh individu yang bersangkutan (www. digilib.uin-suka.ac.id).
Interaksionisme simbolik Blumer memiliki tiga premis utama.
1. Pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu.
2. Kedua, makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.
3. Ketiga, makna-makna tersebut kemudian direvisi, diubah, dan disempurnakan melalui proses interaksi.
Ketiga premis tersebut merupakan substansi dasar untuk penciptaan
makna, menciptakan struktur ide-ide dasar (root images) (Upe,2010: 228). Beberapa ide-ide dasar tersebut diantaranya,
1.
Pertama, masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi, dimana interaksi
tersebut saling memiliki kesesuaian melalui tindakan bersama, membentuk struktur sosial.
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 15
2.
Kedua, interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan
dengan kegiatan manusia lain. interaksi secara simbolis yang terjadi senantiasa mencakup penafsiran tindakan-tindakan.
3.
Ketiga, obyek-obyek (fisik, sosial, dan abstrak) tidak mempunyai makna
4.
Keempat, manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, melainkan juga mereka
5.
Kelima, tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh
6.
intrinsik. Makna merupakan produk interaksi simbolis. dapat melihat dirinya sebagai obyek. manusia itu sendiri.
Keenam, tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-
anggota kelompok (Upe, 2010:229).
Interaksionisme simbolik, memandang aktor tidak sebagai manusia yang
semata-mata responsif, melainkan aktor senantiasa menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. dalam perspektif interaksionis simbolik, respon
aktor baik secara langsung maupun tidak langsung selalu didasarkan pada penilaian makna atas penggunaan simbol-simbol yang menjembatani interaksi
manusia. Menurut Blumer, tindakan atau tanggapan aktor bukan hanya sekedar rekasi spontanitas belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain,
melainkan didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain itu. Interaksi antar individu, diantarai olehpenggunaan simbol-simbol, interpretasi
atau saling berusaha mamahami maksud dari tindakan masing-masing. Karena itu, proses interaksi antar manusia itu bukan suatu proses dimana
adanya stimulus secara otomatis dan langsung mendapat tanggapan atau respon secara otomatis pula. Tetapi antar stimulus yang diterima dan respon yang terjadi sesudahnya diantarai oleh proses interpretasi yang diberikan oleh
individu terhadap stimulus yang datang itu. Jelaslah proses interpretasi ini
adalah proses berfikir yang merupakan kemampuan unik yang dimiliki manusia.
Menurut Blumer, proses interpretasi yang menjadi penengah atau pengolah antara stimulus dan respon menjadi kunci dalam teori interkasionis simbolik (Upe,2010:230).
Aktor
akan
memilih,
memeriksa,
berfikir
dan
mentransformasikan makna berdasarkan situasi tindakannya. Maksudnya, SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 16
individu sebagai aktor tidak dikelilingi oleh obyek yang akan menentukan makna tindakannya, tetapi individulah yang akan menentukan makna dari obyek itu. Bagi penganut interkasionis, simbol yang hadir dalam interaksi sosial bukanlah
sesuatu yang diterima begitu saja (take for granted) atau sesuatu yang dianggap barang jadi, melainkan suatu proses yang terjadi secara terusmenerus.
G. Penutup
Upah buruh seyogyanya memakai teori upah buruh, kita harus
mempelajarinya pandangan teori itu ketika hal tersebut menjadi sulit diterapkan di indutri batik, hal ini merupakan sesuatu yang menarik untuk
didiskusikan. Ada teori cost breakdown, laborcost, operational tetapi hanya semua produk mesin mudah menerapkan teori ini (profit 5-5%). Teori ini bisa diterapkan
ke batik tapi sukar sekali pelaksanannya karena terjadi
heterogenitas produsen, ada batik yang dibuat pribadi, juga ada yang
professional. Maka harga batik tidak stabil, disetiap tempat akan ditemukan harga yang berbeda, beda tangan-beda tempat-beda penjual, akan beda harganya.
Sebenarnya pemerintah Indonesia telah menetapkan gaji minimum
(UMR) untuk para buruh. Hanya saja para buruh tak pernah menyadari hal tersebut. Bayangkan jika gaji buruh naik, apa mungkin pimpinan rela
menerima gaji yang tidak beda jauh berbeda dengan para buruh. Banyaknya jumlah buruh dan pimpinan tidak memungkinkan perusahaan sanggup
menggaji para buruh yang sangat banyak sesuai dengan UMR yang telah
ditetapkan pemerintah. Disamping itu, jika barang yang diproduksi perusahaan
tersebut dijual murah pasti perusahaan mengalami kebangkrutan. Dari kondisi diatas bisa ditarik satu perpektif yang menjembatani hubungan antara buruh dan pimpinan perusahaan. Bahwa selalu ada hukum rimba dalam setiap sistem stratifikasi di Indonesia, tidak terkecuali dalam dunia bisnis.
Pemberdayaan buruh menjadi pengusaha batik ternyata
mampu
membawa implikasi ekonomis bagi pengembangan batik, bahkan bagi SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 17
ekonomi sekaligus industri kreatif. Pemerintah telah mencanangkan 2009 sebagai Tahun Indonesia Kreatif. Industri kreatif mampu menyumbang 6,3%
dari produk domestik bruto (PDB), menyerap 5,4% tenaga kerja dan berkontribusi 9% dari total nilai ekspor nasional.
Sedangkan variasi jenis usaha di batik sangat banyak sekali dan tidak
bisa diputuskan bersama. dianggap tradisional?
Batik adalah tradisional, mengapa taplak batik
Penggunaannya sudah berbeda. Dahulu sakral,
sekarang sudah menjadi hal biasa. Kita seharusnya sudah meninggalkan
mitos dan menuju ilmu pengetahuan batik. Sampai kapan perjalanan batik ini akan tuntas? Kita beli Aqua gelas di Jakarta, di Tegal sama harganya. Kapan
batik akan sama. Kita perlu mencermati banyak orang mitos tidak ke logos dan banyak sekali orang logos tidak ke mitos.
Kita harus punya kontribusi nyata pada proses perkembangan batik
secara nasional.
Sudah waktunya kita memberikan dan meningkatkan
manfaat bagi masyarakat nasional, meskipun rembug batik adalah organisasi tanpa bentuk. Kita perlu mempertanyakan: “Sampai kapan batik akan selamat?”. Banyak pembangunan kita yang tidak nyambung dengan wajah
perbatikan. Kita mesti memiliki konsep pemikiran yang bisa menggugah para
pejabat. Juga kita mesti menyadari antara pengrajin dan dunia akademis sendiri sudah sering bertolak belakang. Banyak yang bisa kita bangun dan pelajari ketika dalam batik kita tidak hanya membangun masyarakat tapi juga membangun masyarakat.
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 18
DAFTAR PUSTAKA
Amato, P.R. and Zuo, J. 2005. Rural Poverty, Urban Poverty, and Psychological WellBeing. International Journal of Sociological Quarterly. Vol. 33, No. 2, pp: 229– 240. Bass, S., and Clayton, B.D. 2002. Sustainable Development Strategic. Earthscan Publication Ltd. London. Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives, Vision, Analysis and Practice. Longman. Australia. Kotler, P., and Lee, N. 2005. Corporate Social Responsibility, Doing the Most Good for Your Company and Your Cause. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey.
Mardikanto, T. 1998. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
____________. 2010. Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Sebelas Maret University Press, Surakarta.
Miles, M. B. and Huberman, A. M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru (Edisi terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohedi). UI Press. Jakarta. Rogers, E.M. 1999. Diffusion of Innovations. Third edition. The Free Press. London: Collier Macmillan Publishers. Santoso, S. 2006. Dinamika Kelompok. Bumi Aksara. Jakarta.
Sikor, TO. 1994. Participatory Methods and Empowerment in Rural Development: Lessons From Two Experimental Workshops With a Chilean NGO. Inter-national Journal Agriculture and Human Values. Vol. 11, No. 2, pp. 151-158. Suhardjanto, D., Greg Tower, and Alistair Brown, 2008. Indonesian Stakeholder’s Perceptions on Environmental Information Research Approach. Journal of The Asia-Pasific Centre for Environmental Accountability. Vol.14 Number 4. December 2008. University of South Australia. Sularso, Kosnaryatmo, Adnan Abdul Haris, dkk., I-2009; 60 Tahun Gabungan Koperasi Batik Indonesia, Gabungan Koperasi Batik Indonesia, Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN: 978-979-19211-0-7; Jakarta, Indonesia. Sutopo, H.S. 2002. Basics of Qualitative Research Methodology Theory and Its Application in Research. Surakarta: UNS Press.
Stoner, J.A.F., R.E. Feeman and D.R. Gilbert. 1995. Management. Sixt Edition. New Jersey: Prentice Hall. Inc. SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 19
Soy, S. 1997. The Case Study as a Research Method. Texas: University of Texas at Austin. Downloaded October 16, 2012 Taruna, T. 2010. Designs of Community Development Planning. Surakarta: Postgraduate Sebelas Maret University.
Yin, R.K. 1987. Case Study Research: Desains and Methods. SAGE Publication. California.
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER UNIBA 2015
Page 20