PENGARUH METODE PENGERINGAN TERHADAP MUTU DAN SIFAT FISIKO-KIMIA TEPUNG KASAVA TERFERMENTASI
Oleh HERNIAWAN F34050128
2010 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PENGARUH METODE PENGERINGAN TERHADAP MUTU DAN SIFAT FISIKO-KIMIA TEPUNG KASAVA TERFERMENTASI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh HERNIAWAN F34050128
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Herniawan. F34050128. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Mutu dan Sifat Fisiko-kimia Tepung Kasava Terfermentasi. Dibawah bimbingan Titi Candra Sunarti. 2010.
RINGKASAN Ubi kayu merupakan salah satu komoditas tanaman pangan unggulan Indonesia. Saat ini pemanfaatan ubi kayu meliputi tepung ubi kayu, tapioka, bahan pangan langsung, dan bentuk lain. Ubi kayu memiliki kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya sebagai bahan pangan karena adanya komponen HCN (asam sianida) pada umbi. Komponen HCN bersifat toksik bagi tubuh manusia sehingga perlu dikurangi kadarnya dengan mengolah ubi kayu segar menjadi tepung melalui proses fermentasi dan pengeringan. Modified cassava flour (Mocaf) merupakan salah satu jenis olahan tepung ubi kayu yang dihasilkan melalui proses fermentasi. Proses produksi Mocaf meliputi perendaman, pengecilan ukuran, fermentasi, dan pengeringan. Secara khusus, proses pengeringan dapat mempengaruhi komposisi kimia dan sifat fisik tepung kasava yang dihasilkan. Suhu sebagai faktor utama dalam pengeringan memberikan pengaruh terhadap kualitas tepung kasava yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan metode pengeringan terhadap mutu dan sifat fisiko kimia tepung kasava terfermentasi. Proses fermentasi dilakukan selama 72 jam menggunakan starter dan prosedur operasi standar (POS) yang diperoleh dari DR. Achmad Subagio, peneliti asal Universitas Jember. Perlakuan pengeringan yang dilakukan meliputi pengeringan dengan penjemuran matahari (sun drying) selama 16 jam, pengeringan oven selama 12 jam, dan pengeringan efek rumah kaca (ERK) selama 16 jam, dan pengeringan masing-masing 3, 5, 7 jam penjemuran matahari yang dilanjutkan dengan pengeringan oven masing-masing 9, 7, dan 5 jam, serta pengeringan ERK masing-masing 3, 5, 7 jam yang dilanjutkan dengan oven masing 9, 7, dan 5 jam. Analisa komposisi kimia menunjukkan bahwa perbedaan metode pengeringan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan air, abu, serat kasar, lemak, protein, karbohidrat (by difference), pati, dan HCN. Analisa mutu tepung kasava menunjukkan perbedaan metode pengeringan memberikan pengaruh yang nyata terhadap derajat putih dan total mikroba, namun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap total asam tepung kasava. Analisa sifat fisiko kimia tepung kasava menunjukkan bahwa perbedaan metode pengeringan memberikan pengaruh yang nyata terhadap sifat mikroskopis granula pati, absorbsi air dan minyak, kelarutan dan swelling power pada suhu 90 0C, serta sifat amilografi pati. Namun perbedaan metode pengeringan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap beberapa sifat fisiko kimia tepung kasava seperti pH, derajat warna, dan total padatan terlarut. Lama waktu pengeringan dengan penjemuran matahari atau ERK memberikan pengaruh terhadap peningkatan kadar air, abu, serat kasar, protein, total HCN, total mikroba, kerusakan granula pati, total padatan terlarut, dan kelarutan tepung kasava, namun menyebabkan penurunan kadar lemak, karbohidrat, pati, dan derajat putih tepung kasava. Namun lama waktu pengeringan tidak memberikan pengaruh terhadap total asam, pH, derajat warna, absorbsi air dan minyak, dan swelling power. Hasil pengamatan juga memperlihatkan bahwa pengeringan efek rumah kaca memberikan suhu pengeringan rata-rata yang lebih tinggi (40.1 0C)
dibandingkan pengeringan dengan penjemuran matahari langsung (33.5 0C). Hal ini mempengaruhi mutu terutama kadar HCN dan swelling power lebih rendah serta derajat putih yang lebih tinggi. Tepung dengan kualitas yang baik diperoleh dari perlakuan pengeringan ERK karena menghasilkan tepung kasava dengan mutu dan sifat fisiko kimia yang lebih baik dibandingkan perlakuan pengeringan lainnya.
Herniawan. F34050128. Effect of Drying Methods on the Quality and Physicochemical Properties of Fermented Cassava Flours. Supervised by Titi Candra Sunarti. 2010. ABSTRACT Cassava is one important food crops in Indonesia. Carbohydrate is major components in cassava tubers, and made it suitable used for food and energy sources. Nowadays cassava is mainly utilized as direct food, cassava flour and cassava starch (tapioca). But high moisture and prussic acid (HCN) contents in cassava tuber made limitation for human consumption. Fermentation and drying of cassava plays important roles in cassava flour production, since they can influence to the flour characteristics. This research investigated the effect of drying methods of fermented cassava slurry to the flour’s chemical composition and its physico-chemical properties. Fermentation of cassava tuber was conducted using standard operation procedure for MOCAF (modified cassava flour) prepared by Dr. Achmad Subagio (Jember University). There were three drying methods used in research; direct sundrying (16 hours), green house effect drying (hours), and oven drying (12 hours). It is also investigated the duration of drying process; especially for sundrying and green house effect drying, as 3, 5, and 7 hours and then furthered with oven drying for 9, 7 and 5 hours. Solar energy, especially ultra violet irradiation has been proven improved the flour quality. Drying on the green house effect chamber (40,1oC) provided higher average drying temperature compared to direct sundrying (33,5oC), but lower than oven drying (52,6oC). Differences in drying methods gave significant effects on moisture, ash, crude fiber, fat, protein, starch and HCN contents; whiteness degree of flours, total of microbes, microscopic appearance of starch granules, water and oil absorptions, solubility and swelling power at 90oC, and visco-amylography characteristics. All drying methods significantly reduced the HCN contents of flours, but direct sundrying and green house effect drying accelerate the liberation of starch, and caused high final viscosity of flours. Full green house effect drying (16 hours) was recommended for fermented cassava flour since it produced the flour with higher maximum and final viscosity compared to others.
Judul Skripsi
: Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Mutu dan Sifat Fisiko-kimia Tepung Kasava Terfermentasi
Nama
: Herniawan
NRP
: F34050128
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si NIP: 19661219 1991103 2 001
Mengetahui: Ketua Departemen
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP: 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus: 8 Juni 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bajo, 28 Oktober 1987. Menamatkan jenjang Sekolah Dasar di SDN Bajo tahun 1999, jenjang SMP di SLTPN Negeri 1 Donggo tahun 2002 dan jenjang SMA di SMA Negeri 1 Kota Bima tahun 2005. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menjadi mahasiswa, aktif di kegiatan akademik, organisasi, dan kepanitiaan. Di organisasi, aktif sebagai pengurus Buletin Mind Himalogin tahun 2007-2008, Departemen Agritech BEM FATETA IPB. Penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan beberapa seminar yang diadakan oleh BEM FATETA IPB. Pada tahun 2008 penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapang di PT Kertas Leces (Persero) Probolinggo dengan topik Proses Produksi dan Penanganan Limbah di PT Kertas Leces (Persero) Probolinggo, Jawa Timur. Pada pertengahan tahun 2009 penulis melaksanakan kegiatan penelitian dengan judul skripsi Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Mutu dan Sifat Fisiko-kimia Tepung Kasava Terfermentasi.
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama
: Herniawan
NRP
: F34050128
Departemen
: Teknologi Industri Pertanian
Fakultas
: Teknologi Pertanian
Universitas
: Institut Pertanian Bogor
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul “Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Mutu dan Sifat Fisiko-kimia Tepung Kasava Termodifikasi“ merupakan karya tulis saya pribadi dengan bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas disebut rujukannya. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa tekanan dari siapapun.
Bogor, Juni 2010 Yang membuat pernyataan,
Herniawan NRP. F34050128
KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkat, rahmat, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan penelitian ini dengan judul “Pengaruh Metode Pengeringan
terhadap
Sifat
Mutu
dan
Fisiko-kimia
Tepung
Kasava
Terfermentasi”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan metode pengeringan terhadap sifat mutu dan fisiko-kimia tepung kasava terfermentasi. Adapun penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tersusunnya skripsi ini tidak luput dari dukungan, bantuan dan doa dari semua pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu dan Bapak (Amnah Muhammad dan Ramli M. Saleh) atas kasih sayang, dukungan dan doa yang sangat berharga bagi penulis. 2. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si. selaku dosen pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu dan kesabaran dalam membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir. 3. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si dan Ir. Sugiarto, M.Si sebagai dosen penguji yang telah bersedia untuk memberikan saran dan masukan dalam perbaikan tugas akhir ini. 4. Saudara-saudaraku yang tercinta (Emi Nurhayati, Muslim, dan Ainun Latifa) atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis. 5. Laboran TIN IPB yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian. 6. Saudara Indra, Shafiq, Anas, Arif, dan Weny yang telah banyak membantu penulis serta rekan penelitian: Susilawati TEP 42. 7. Rekan-rekan TIN 42 atas kebersamaan dan persaudaraannya selama kuliah di IPB. 8. Semua Pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Akhirnya dengan segala keterbatasan yang ada, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya. AMIN. Bogor,
Juni 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR...................................................................................
i
DAFTAR TABEL ........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
vii
I. PENDAHULUAN ..................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG ........................................................................
1
B. TUJUAN ............................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
3
A. UBI KAYU ........................................................................................
3
B. PEMANFAATAN UBI KAYU SEBAGAI TEPUNG UBI KAYU ....
6
C. TEPUNG KASAVA TERFERMENTASI ..........................................
9
D. FERMENTASI UBI KAYU ...............................................................
12
E. PROSES PENGERINGAN ................................................................
14
III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................
19
A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ...........................................
19
B. BAHAN DAN ALAT ........................................................................
19
C. METODE PENELITIAN ...................................................................
20
1. Persiapan ......................................................................................
20
2. Pembuatan Tepung Ubi Kayu .......................................................
20
3. Analisa Sifat Mutu Sifat Fisiko-kimia Tepung Ubi Kayu ..............
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
24
A. PENGARUH
METODE
PENGERINGAN
TERHADAP
KOMPOSISI-KIMIA TEPUNG KASAVA TERFERMENTASI .......
26
B. PENGARUH METODE PENGERINGAN TERHADAP MUTU TEPUNG KASAVA TERFERMENTASI ..........................................
37
C. PENGARUH METODE PENGERINGAN TERHADAP SIFAT FISIKO KIMIA TEPUNG KASAVA TERFERMENTASI ................
47
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
66
A. KESIMPULAN ..................................................................................
66
B. SARAN ..............................................................................................
67
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
68
LAMPIRAN .................................................................................................
72
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komposisi kimia ubi kayu ..............................................................
5
Tabel 2. Persyaratan Mutu Tepung Ubi Kayu (SNI 01-2997-1992) ...............
7
Tabel 3. Syarat Mutu Edible Cassava Flour dalam CODEX STAN 1761989 (Rev. 1-1995) ........................................................................
11
Tabel 4. Perbandingan Komposisi Tepung Kasava Termodifikasi dengan Tepung Ubi Kayu ...........................................................................
12
Tabel 5. Desain Percobaan Pengeringan Tepung Kasava Terfermentasi .......
20
Tabel 6. Faktor Pengeringan Chip Ubi Kayu ................................................
25
Tabel 7. Data Analisa Mutu Tepung Kasava Terfermentasi .........................
27
Tabel 8. Kadar Air Keseimbangan Pengeringan Chip Ubi Kayu ..................
29
Tabel 9. Perhitungan Total Mikroba Tepung Kasava Terfermentasi .............
46
Tabel 10. Pengukuran Warna Tepung Kasava Terfermentasi .........................
49
Tabel 11. Sifat Amilografi Tepung Kasava Terfermentasi .............................
64
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Proses Pembuatan Tepung Ubi Kayu Cara Basah dan Kering .....
8
Gambar 2.
Diagram Alir Proses Produksi Tepung Kasava Termodifikasi .....
11
Gambar 3.
Diagram Alir Tahapan Penelitian ................................................
21
Gambar 4.
Proses Pengeringan Chip Ubi Kayu Terfermentasi .....................
25
Gambar 5.
Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar Air, Abu, Serat Kasar Tepung Kasava Terfermentasi .........................................
28
Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar Lemak dan Protein Tepung Kasava Terfermentasi ........................................
34
Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar Karbohidrat Tepung Kasava Terfermentasi ....................................................
37
Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar Pati Tepung Kasava Terfermentasi ................................................................
39
Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar HCN Tepung Kasava Terfermentasi ................................................................
41
Gambar 10. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Derajat Putih Tepung KasavaTerfermentasi .................................................................
44
Gambar 11. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Derajat Warna Tepung Kasava Terfermentasi ................................................................
49
Gambar 12. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Sifat Mikroskopis Granula Pati Tepung Kasava Terfermentasi ...............................
53
Gambar 13. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Absorbsi Air dan Minyak Tepung Kasava Terfermentasi .......................................
56
Gambar 14. Pengaruh Pengeringan terhadap Kelarutan dan Swelling Power Tepung Kasava Terfermentasi ...................................................
59
Gambar 15. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Sifat Amilografi Tepung Kasava Terfermentasi ................................................
65
Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9.
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Prosedur Analisa Mutu dan Fisiko-kimia Tepung Kasava..........
73
Lampiran 2. Data Analisa Komposisi Kimia Tepung Kasava Terfermentasi ..
79
Lampiran 3. Data Analisa Kadar Pati ............................................................
90
Lampiran 4. Data Analisa Kadar HCN ..........................................................
91
Lampiran 5. Data Analisa Total Asam ..........................................................
92
Lampiran 6. Data Analisa Derajat Putih ........................................................
93
Lampiran 7. Data Analisa pH ........................................................................
95
Lampiran 8. Data Analisa Derajat Warna .....................................................
96
Lampiran 9. Data Analisa Total Padatan Terlarut ..........................................
98
Lampiran 10. Data Analisa Absorbsi Air dan Minyak .....................................
99
Lampiran 11. Data Analisa Kelarutan dan swelling power 90 0C ....................
101
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Ubi kayu merupakan salah satu komoditas pertanian Indonesia. Ubi kayu yang juga dikenal dengan nama ketela pohon termasuk dalam famili Euphorbiaceae dan genus Manihot. Ubi kayu dalam bahasa Inggris disebut cassava. Tanaman ini merupakan sumber karbohidrat ketiga setelah padi dan jagung. Umbi merupakan bagian ubi kayu yang banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat. Pemanfaatan umbi ubi kayu dapat dalam bentuk pemasakan langsung maupun diolah terlebih dahulu menjadi tepung. Ubi kayu memiliki kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya sebagai bahan pangan karena adanya komponen HCN (asam sianida) pada umbi. Komponen HCN bersifat toksik bagi tubuh manusia sehingga perlu dikurangi kadarnya. Pengurangan kadar HCN dapat dilakukan dengan mengolah ubi kayu segar menjadi tepung. Pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan pangan umumnya meliputi tepung ubi kayu, tapioka, bahan pangan langsung, dan pemanfaatan dalam bentuk lain. Tepung ubi kayu adalah tepung yang dihasilkan dari penghancuran ubi kayu yang telah dikeringkan. Pemanfaatan sebagai tepung ubi kayu diolah menjadi gaplek, tepung kasava termodifikasi, dan tepung ubi kayu konvensional. Tepung ubi kayu dapat diolah lebih lanjut menjadi produk akhir sebagai substitusi tepung terigu dan komoditi ekspor serta bahan baku industri. Tepung kasava termodifikasi merupakan salah satu jenis tepung ubi kayu terfermentasi. Keuntungan dari tepung ubi kayu termodifikasi yaitu mutu meningkat, meningkatkan viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan sifat kelarutan. Tepung kasava termodifikasi menghasilkan aroma dan cita rasa yang khas dan menutupi aroma dan cita rasa ubi kayu yang cenderung tidak disukai konsumen (Rahman, 2007). Proses produksi tepung kasava terfermentasi meliputi pengupasan, pencucian, pengecilan ukuran, fermentasi, dan pengeringan. Secara khusus, proses pengeringan dapat mempengaruhi komposisi kimia dan sifat fisik tepung kasava yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lidiasari et
al. (2006) yang menunjukkan adanya pengaruh pengeringan terhadap mutu dan komposisi kimia tepung tape ubi kayu. Pengeringan merupakan proses yang umum dilakukan dalam pembuatan tepung ubi kayu. Pengeringan adalah proses pengurangan kandungan air suatu bahan sampai mencapai jumlah tertentu. Suhu merupakan faktor pengeringan utama yang memberikan pengaruh terhadap kualitas tepung kasava. Pengaruh pengeringan terhadap mutu dan sifat fisiko kimia tepung ubi kayu tergantung pada suhu dan metode pengeringan yang dilakukan. Hasil penelitian Vatanasuchart et al. (2004) membuktikan adanya pengaruh paparan sinar matahari terhadap kualitas dan baking expansion pati ubi kayu terfermentasi. Perbedaan suhu pengeringan akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap mutu dan sifat fisiko kimia tepung kasava yang dihasilkan. Perbedaan suhu dapat terjadi dari metode pengeringan yang berbeda. Berlatar belakang hal tersebut, maka perlu dilakukan kajian pengaruh perbedaan metode pengeringan terhadap mutu dan sifat fisiko kimia tepung kasava terfermentasi. B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan metode pengeringan terhadap mutu dan sifat fisiko kimia tepung kasava terfermentasi. Metode pengeringan yang dikaji meliputi pengeringan dengan penjemuran matahari, pengeringan dengan efek rumah kaca, dan kombinasi pengeringan tersebut yang dilanjutkan dengan pengeringan oven.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. UBI KAYU Ubi kayu termasuk tumbuhan berbatang pohon lunak atau getas (mudah patah). Ubi kayu berbatang bulat dan bergerigi yang terjadi dari bekas pangkal tangkai daun, bagian tengahnya bergabus dan termasuk tumbuhan yang tinggi. Pemeliharaannya mudah dan produktif. Ubi kayu dapat tumbuh subur di daerah yang berketinggian 1200 m di atas permukaan air laut. Daun ubi kayu memiliki tangkai panjang dan helaian daunnya menyerupai telapak tangan, serta tiap tangkai mempunyai daun sekitar 3-8 lembar. Tangkai daun tersebut berwarna kuning, hijau atau merah. Karakteristik morfologi dari ubi kayu sangat beragam. Ketinggian tanaman ubi kayu bisa mencapai 1-4 m. Tanaman ubi kayu terdiri dari bagian akar, batang, daun, buah, dan biji. Akar dari tanaman ubi kayu merupakan cadangan makanan. Umbi tanaman ini berbentuk seperti silinder yang ujungnya mengecil dengan diameter rata-rata sekitar 2-5 cm dan panjang sekitar 20-30 cm. Ubi kayu biasanya diperdagangkan dalam bentuk masih berkulit (Muchatadi dan Sugiyono, 1992). Bagian dari akar ubi kayu tersusun dari tiga jaringan, yaitu parenkin, kulit (korteks), dan periderma. Jaringan parenkim (sekitar 85% berat total ubi kayu) inilah yang merupakan bagian yang bisa dimakan dan terdiri dari xylem yang tersebar radial pada matriks sel. Bagian kulit (korteks) yang menyusun sekitar 1120% berat total ubi kayu ini terdiri dari sklerenkim, cortical parenchyma, dan floem. Sedangkan bagian periderma merupakan kulit terluar dari akar ubi kayu yang menyusun sekitar 30% berat total ubi kayu (Alves, 2002). Ubi kayu merupakan tanaman tropis yang tumbuh pada daerah antara 25 0
LU sampai 25 0LS. Ubi kayu dapat tumbuh pada hampir semua daerah di wilayah
Indonesia. Menurut Grace (1977), pertumbuhan ubi kayu membutuhkan iklim panas dan lembab. Pertumbuhan terbaik dengan produksi maksimum ubi kayu pada ketinggian 150 m dari permukaan laut dengan suhu antara 25-27 0C dan curah hujan antara 500-5000 mm/tahun serta pH berkisar antara 5-9. Pertumbuhan akan terganggu pada suhu kurang dari 10 0C dan ketinggian lebih dari 1500 m.
Ubi kayu merupakan salah satu tanaman pangan sumber karbohidrat ketiga setelah padi dan jagung. Waktu panen dari ubi kayu bervariasi tergantung dari kondisi iklim dan lingkungan penanaman. Tanaman ubi kayu berkembang biak secara vegetatif, dengan cara menancapkan potongan batang ubi kayu bagian bawah (stek batang) yang berumur sekitar 9-10 bulan. Meskipun daun singkong juga dapat dikonsumsi, namun bagian ubi kayu yang paling penting dikonsumsi adalah bagian akarnya. Umur terbaik untuk pemanenan ubi kayu tidak dapat ditentukan, tergantung dari tujuan penggunaannya. Tanaman ubi kayu tidak memiliki stadium pemasakan yang pasti untuk konsumsi. Jenis tanaman yang dianggap genjah biasanya dapat dipanen pada umur 5 – 6 bulan, namun bila dibiarkan tumbuh terus sampai umur 10 – 12 bulan, masih dapat memberikan hasil yang tinggi. Namun lain halnya jika ubi kayu akan dipergunakan untuk pembuatan tepung tapioka. Terdapat batas umur tertentu tercapainya persentase zat pati maksimum. Batas umur ini berkisar antara 14 – 18 bulan untuk daerah rendah dan 18 – 22 bulan untuk daerah yang tinggi. Apabila ubi kayu ditunda dari masa panennya maka umbinya akan berkayu (Darjanto dan Murjati, 1980 dalam Hanif, 2009). Ukuran ubi kayu tidak menentukan kandungan patinya. Besarnya umbi disebabkan karena banyaknya kandungan air dalam umbi tersebut, tetapi pada umunya kadar pati yang tinggi terdapat pada umbi yang besar. Komposisi kimia ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 1. Akar ubi kayu dapat menebal menjadi umbi karena kerja kambium ke arah dalam menyusun bagian kayu dan ke arah luar membentuk bagian kulit umbi. Daging umbi yang biasa dimakan merupakan bagian dari kayu yang berada di sebelah dalam lingkaran kambium dan terdiri dari sel-sel parenkim yang besar. Apabila dinding-dinding tersebut tumbuh menebal dan mengandung zat kayu lebih banyak, maka umbinya menjadi keras, berkayu, dan kurang enak rasanya seperti yang terdapat pada umbi-umbi yang terlalu tua. Pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan pangan memiliki kelemahan dan keterbatasan terkait adanya kandungan senyawa yang bersifat racun pada ubi kayu. Daun, batang, dan umbi ubi kayu mengandung asam hidrosianida (HCN). Kandungan HCN pada kulit ubi kayu 3 – 5 kali lebih banyak dibandingkan
dengan umbinya. Perbedaan antara ubi kayu banyak racun dengan yang sedikit kandungan racunnya dapat dibedakan melalui rasanya. Ubi kayu yang rasanya manis memiliki kandungan HCN yang rendah, sedangkan yang rasanya pahit memiliki kandungan HCN yang lebih banyak. Tabel 1. Komposisi kimia ubi kayu (per 100 g bahan) Komponen Kalori (kal)
Kadar 146,00
Air (g)
62,50
Phosphor (mg)
40,00
Karbohidrat (g)
34,00
Kalsium (mg)
33,00
Vitamin C (mg)
30,00
Protein (g)
1,20
Besi (mg)
0,70
Lemak (g)
0,30
Vitamin B1 (mg)
0,06
Berat dapat dimakan (g)
75,00
Sumber: Margono et al. (1993) Berdasarkan kandungan HCN pada umbinya, ubi kayu dapat dibedakan menjadi empat golongan (Lingga et al., 1986 dalam Susilawati, 2009), yaitu sebagai berikut: 1. Kadar racun kurang dari 50 mg/kg umbi yang diparut; aman dikonsumsi. 2. Kadar racun 50 – 80 mg/kg umbi yang diparut. 3. Kadar racun 80 – 100 mg/kg umbi yang diparut. 4. Kadar racun lebih dari 100 mg/kg umbi yang diparut. HCN yang terkandung dalam ubi kayu bukan merupakan senyawa bebas melainkan terikat dalam bentuk senyawa linamarin atau glukosida aseton sianohidrin. Senyawa ini akan bersifat toksik bila telah terurai. Linamarin dapat terurai oleh enzim linamerase yang secara alami terdapat dalam ubi kayu sehingga akan melepaskan HCN. Batas aman kandungan HCN adalah sekitar 0,5-3,5 mg
HCN/ kg berat badan. Batas aman jumlah HCN dalam dalam umbi menurut FAO adalah kurang dari 50 mg/ kg umbi kering (Winarno, 1992). Menurut Balagopalan et al. (1988), asam hidrosianida yang terdapat pada ubi kayu berasal dari senyawa glukosida linamarin dan lotaustralin. Jika kedua senyawa tersebut terhidrolisis oleh enzim linamarinase, maka akan dibebaskan asam hidrosianida. Enzim linamarase akan memacu reaksi air dan linamarin sehingga terbentuk asam sianogenik, aseton, dan glukosa. Jumlah glukosa sianogenik yang terkandung dalam ubi kayu berbeda antara varietas pahit (tingkat toksisitasnya tinggi) dan varietas manis. Kadar asam sianogenik yang melebihi 50 mg/kg dapat menyebabkan keracunan, sehingga perlu dikurangi. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan asam sianogenik adalah melalui perlakuan panas. Perlakuan pengeringan pada suhu antara 40 sampai 80 0C sangat efektif digunakan untuk menghilangkan asam sianogen. B. PEMANFAATAN UBI KAYU SEBAGAI TEPUNG UBI KAYU Ubi kayu sudah lama dikenal di Indonesia sebagai tanaman sumber karbohidrat. Selain sebagai bahan pangan, ubi kayu juga banyak dimanfaatkan untuk pakan dan bahan baku industri tapioka, Monosodium glutamate (MSG), etanol, maupun bentuk olahan lainnya. Penggunaan ubi kayu untuk pangan, pakan, bahan baku industri, dan ekspor masing-masing sebesar 64%, 2%, 13%, dan 11% (Badan Pusat Statistik, 2005). Ubi kayu segar dapat diolah menjadi tiga macam bentuk tepung, yaitu tepung ubi kayu, tepung gaplek,
dan tepung tapioka. Pada dasarnya tepung
gaplek mirip dengan tepung ubi kayu, tetapi tepung ubi kayu memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan tepung gaplek, karena kadar HCN lebih rendah dan lebih tahan terhadap serangan hama selama penyimpanan. Febriyanti (1990) menyatakan bila dibandingkan dengan tepung tapioka, proses pengolahan tepung ubi kayu lebih sederhana dan jumlah limbah cair akibat proses produksi tepung ubi kayu hanya 1/3 – 1/4 dari jumlah limbah cair dalam produksi tepung tapioka, selain itu tepung ubi kayu juga lebih tahan terhadap serangan hama selama penyimpanan. Definisi tepung ubi kayu menurut Dewan Standarisasi Nasional (1992) adalah tepung yang dibuat dari bagian ubi kayu yang dapat dimakan, melalui
proses penepungan ubi kayu iris, parut, maupun bubur kering dengan memperhatikan kaidah-kaidah kebersihan. Syarat mutu tepung ubi kayu menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persyaratan Mutu Tepung Ubi Kayu (SNI 01-2997-1992) Kriteria Uji Keadaan: - Bau - Rasa - Warna Benda-benda asing Derajat putih Air Abu Derajat Asam Asam Sianida Kehalusan Pati Bahan tambahan pangan Cemaran logam: - Pb - Cu - Zn - Raksa (Hg) Arsen Cemaran mikroba: - Angka lempeng total - E. coli - Salmonella
Satuan
Persyaratan
%b/b (BaSO4=100%) %b/b %b/b ml NaOH/100 g mg/kg % (lolos ayakan 80 mesh) % b/b Sesuai SNI 01-0222-1995
Khas ubi kayu Khas ubi kayu Putih Tidak boleh ada Min. 85
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 1,00 Maks. 10,00 Maks. 40,00 Maks. 0,05 Maks. 0,05
Koloni/g Koloni/g Koloni/g
Maks. 1x106 Maks. 3x101 Maks. 1x104
Maks. 12 Maks. 1,50 Maks. 3 Maks. 40 Min. 90 Min. 70
Tepung yang dihasilkan dari tanaman umbi-umbian memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan tepung dari serelia. Menurut Muharam (1992), tepung dari umbi-umbian seperti ubi kayu memiliki kandungan pati yang lebih tinggi. Selain itu, tepung dari umbi-umbian memiliki kandungan protein yang lebih rendah dibandingkan dengan tepung dari serelia. Kandungan pati yang tinggi menjadikan tepung umbi-umbian cocok untuk memenuhi kebutuhan kalori dalam makanan. Pengolahan ubi kayu segar menjadi tepung ubi kayu dapat mengurangi resiko kebusukan. Proses pembuatan tepung ubi kayu cukup sederhana dan dapat dilakukan baik dalam skala rumah tangga maupun skala industri. Departemen
Perindustrian (1989) merekomendasikan dua cara pembuatan tepung ubi kayu, yaitu pembuatan tepung ubi kayu melalui penepungan irisan (chips) ubi kayu yang telah dikeringkan dan penepungan parutan ubi kayu yang telah dikeringkan. Gambar 1 menunjukkan proses pembuatan ubi kayu yang direkomendasikan oleh Departemen Perindustrian. Proses I
Proses II
Ubi kayu segar
Ubi kayu segar
Pengupasan
Pengupasan
Pemotongan/pengirisan
Pencucian
Pengeringan/penjemuran
Pemarutan Pengepresan Pengeringan/penjemuran Penepungan
Penepungan
Tepung Ubi Kayu Gambar 1. Proses pembuatan tepung ubi kayu cara basah dan kering (Departemen Perindustrian, 1989).
Tepung ubi kayu merupakan tepung kering berwarna putih yang diolah dari ubi kayu segar melalui beberapa tahap pengolahan. Tepung ubi kayu dibuat tanpa penambahan bahan pengawet, bahan pewarna, ataupun bahan perasa, sehingga tepung ubi kayu berasa gurih dan beraroma khas ubi kayu asli. Di Indonesia terdapat tujuh provinsi yang merupakan penghasil utama tepung ubi kayu, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Yogyakarta, Sumatra Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Manfaat tepung ubi kayu sangat luas, diantaranya dapat digunakan sebagai bahan baku utama atau sebagai bahan campuran untuk
pembuatan berbagai jenis makanan seperti roti, mie, kue-kue, donat, biskuit dan lainnya (Febriyanti, 1990). C. TEPUNG KASAVA TERFERMENTASI Tepung kasava dimanfaatkan secara luas sebagai produk pangan, antara lain roti, kue kering, biskuit, bolu, mie instant dan berbagai jenis produk lainnya. Tepung kasava yang digunakan sebagai bahan baku industri pangan telah melalui proses modifikasi komposisi kimia dan fisiknya. Salah satu cara memodifikasi komponen tepung ubi kayu adalah melalui proses fermentasi. Menurut Subagio (2008), fermentasi merupakan salah satu tahap produksi tepung kasava dengan prinsip modifikasi sel ubi kayu. Pada proses fermentasi, mikroorganisme memiliki peran yang besar dalam merombak komposisi dan komponen ubi kayu. Salah satu bentuk tepung ubi kayu terfermentasi adalah modified cassava flour (Mocaf) atau tepung ubi kayu termodifikasi. Mocaf adalah produk tepung dari ubi kayu yang diproses menggunakan prinsip memodifikasi ubi kayu melalui proses fermentasi. Proses fermentasi ini melibatkan berbagai mikroorganisme, yang paling dominan adalah bakteri asam laktat. Mikroorganisme yang digunakan menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel ubi kayu. Dinding sel ubi kayu yang hancur ini akan menyebabkan liberasi granula pati. Mikroorganisme yang digunakan dalam fermentasi ubi kayu juga menghasilkan enzim-enzim yang dapat menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya diubah menjadi asam-asam organik. Asam organik yang dominan dihasilkan adalah asam laktat. Hal ini akan menyebabkan perubahan karakteristik tepung meliputi perbaikan viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan larut. Selain itu, asam organik yang dihasilkan akan memperbaiki cita rasa tepung yang dihasilkan menjadi netral dengan menutupi cita rasa singkong sampai 70% (Subagio, 2008). Pengolahan tepung kasava termodifikasi secara teknis sangat sederhana, mirip dengan cara pengolahan tepung ubi kayu konvensional, namun disertai dengan proses fermentasi. Proses produksi tepung kasava termodifikasi dimulai dengan pengupasan kulit ubi kayu, pencucian sampai bersih, pengecilan ukuran, dilanjutkan dengan tahap fermentasi selama 12-72 jam. Setelah fermentasi, ubi kayu tersebut dikeringkan dan ditepungkan sehingga dihasilkan produk tepung
kasava termodifikasi (Subagio, 2008). Prosedur Operasi Standar (POS) produksi tepung ubi kayu termodifikasi dapat dilihat pada Gambar 2. Tujuan modifikasi tepung kasava adalah untuk menghasilkan tepung dengan kualitas yang lebih baik. Tepung kasava termodifikasi merupakan olahan dari ubi kayu yang dapat dimakan. Oleh karena itu, syarat mutu tepung kasava termodifikasi dapat mengacu kepada CODEX STAN 176-1989 (Rev. 1-1995) tentang edible cassava flour seperti yang terlihat pada Tabel 3.
Chip singkong (± 1 ons)
Singkong segar
Penerimaan singkong
Air enzim kultur mikroba
Pengupasan Air
Perendaman ( t = 24 – 30 jam )
Pencucian
Kulit Limbah cair
Pengecilan ukuran (tebal chip = 1-1,5 mm) Air
Senyawa aktif A
Perendaman I ( t = 12 – 72 jam)
Limbah cair
Perendaman II ( t ≥ 10 menit )
Limbah cair
Senyawa aktif B Senyawa aktif C
Pressing, pembuburan, pengeringan Chip kering
Penyimpanan
Pengangkutan chip kering A
A
Penerimaan chip kering Pengeringan (artificial drying)
Penepungan Pengayakan
Over size
Mocaf
Pengemasan Penyimpanan
Pengangkutan
Produk Mocaf Gambar 2. Diagram Alir Proses Produksi Tepung Kasava Termodifikasi (Subagio, 2008) Tabel 3. Syarat Mutu Edible Cassava Flour CODEX STAN 176-1989 (Rev. 11995) Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu Air
%
Maks. 13
Abu
%
Maks. 3
Serat kasar
%
Maks. 2
mg/kg
Maks. 10
Residu pestisida
-
Sesuai dengan aturan yang berlaku
Logam berat
-
Tidak terdeteksi
Bahan tambahan
-
Tidak terdeteksi
HCN
Sumber: Codex Alimentarius Commision (1995).
Menurut Subagio (2008), komposisi kimia tepung kasava termodifikasi tidak jauh berbeda dengan tepung ubi kayu. Namun tepung kasava termodifikasi mempunyai karakteristik fisik dan organoleptik yang lebih spesifik dibandingkan dengan tepung ubi kayu. Kandungan protein tepung kasava termodifikasi lebih rendah dibandingkan dengan tepung ubi kayu. Kandungan protein dapat menyebabkan warna coklat ketika proses pengeringan atau pemanasan.
Hal
tersebut menyebabkan warna tepung kasava yang dihasilkan lebih putih jika dibandingkan dengan warna tepung ubi kayu biasa. Perbandingan komposisi kimia tepung kasava termodifikasi dan tepung ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perbandingan Komposisi Tepung Kasava Termodifikasi dan Tepung Ubi Kayu Komponen Tepung Kasava Termodifikasi Tepung Ubi Kayu Air (%)
Maks. 13
Maks. 13
Protein (%)
Maks. 1,0
Maks. 1,2
Abu (%)
Maks. 0,2
Maks. 0,2
Pati (%)
85-87
82-85
Serat (%)
1,9 – 3,4
1,0 – 4,2
Lemak (%)
0,4 – 0,8
0,4 – 0,8
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
HCN (mg/kg) Sumber: Subagio (2008).
D. FERMENTASI UBI KAYU Fermentasi merupakan suatu proses perubahan-perubahan kimia dalam substrat organik yang terjadi akibat aksi biokatalisator, yaitu enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang terlibat dalam proses fermentasi meliputi ragi, kapang, dan bakteri. Mikroorganisme tersebut tidak memiliki klorofil sehingga tidak mampu melakukan fotosintesis sehingga membutuhkan nutrisi dari bahan-bahan organik (Tjokroadikoesoema, 1986). Dalam Stanbury dan Whitaker (1984) teknologi fermentasi banyak diterapkan pada industri pangan. Aplikasi teknologi fermentasi pada industri berbasis tepung kue dilakukan untuk mengurangi viskositas adonan, memperbesar volume
pengembangan roti, meningkatkan kelembutan, memperbaiki tekstur adonan, dan mempercepat waktu pencampuran. Proses fermentasi ubi kayu dilakukan dengan merendam ubi kayu dalam air selama 3-4 hari. Hasil dari fermentasi adalah umbi menjadi lembut dan mudah hancur jika digenggam. Proses fermentasi terjadi sebagai akibat reaksi antara mikroorganisme dengan lingkungan. Pengontrolan perlu dilakukan agar tidak muncul mikroba lain yang mengganggu proses fermentasi dan menimbulkan bau yang tidak enak (Achi dan Akomas, 2006). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Demiate et al. (1999) menunjukkan bahwa fermentasi ubi kayu dapat menghasilkan tepung yang dapat digunakan untuk membuat roti dan biskuit spesial bebas gluten. Hasil dari fermentasi memberikan adonan ketika dipanggang menghasilkan produk roti yang berkualitas. Penggunaan tepung kasava terfermentasi tidak membutuhkan proses ekstruksi yang dilakukan untuk mendapatkan volume spesifik yang tinggi dari biskuit dan makanan berbahan roti. Fermentasi ubi kayu melibatkan berbagai macam mikroorganisme. Mikroorganisme yang dominan dalam fermentasi ubi kayu adalah bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat dapat memproduksi laktase yang dapat memecah laktosa. Selain itu bakteri asam laktat menghasilkan enzim-enzim yang dapat memecah gula menjadi asam laktat dan produk-produk lain. Bakteri asam laktat membutuhkan asam amino dalam jumlah yang besar sehingga menghasilkan enzim yang dapat memecah protein (Penderson, 1971). Menurut Newleander dan Alberton (1982) bakteri asam laktat bersifat Gram positif, biasanya tunggal dan tidak bergerak bebas, tidak membentuk spora dan selalu bersifat katalase negatif. Bakteri asam laktat akan aktif pada kisaran suhu 10-32 0C dan akan mati pada suhu 62 0C selama 30 menit. Selain itu, Brook (1970) mengatakan bahwa semua bakteri asam laktat tumbuh secara anaerobik, namun ada juga yang tidak sensitif terhadap oksigen. Perbedaan antara bakteri asam laktat heterofermentatif dan homofermentatif pada ada tidaknya enzim aldolase yang dapat menyebabkan perbedaan produk fermentasi.
E. PROSES PENGERINGAN Secara umum komoditas pertanian segar memiliki sifat cepat rusak diakibatkan kadar airnya yang masih tinggi. Agar komoditas pertanian dapat disimpan dalam waktu yang lama, maka perlu dikurangi kadar airnya. Pemindahan air dari suatu bahan dikenal sebagai pengeringan atau dehidrasi. Pengeringan adalah proses pemindahan air sampai mencapai kadar air keseimbangan dengan udara atmosfir normal atau sampai kadar air sedemikian sehingga penurunan mutu yang disebabkan oleh cendawan, aktivitas enzim, dan serangga akan dapat diabaikan yaitu 12 sampai 14% basis basah untuk kebanyakan bahan pada umumnya, sedangkan dehidrasi adalah pemindahan air bahan sampai kadar airnya sangat rendah atau hampir mencapai keadaan kering kerontang. Kondisi kering kerontang adalah kondisi pada saat semua kadar air sudah dipindahkan (Henderson dan Perry, 1976). Bahan yang telah dikeringkan menjadi lebih awet, mudah diangkut, dan dipindah-pindahkan karena sudah banyak kehilangan berat sehingga lebih ringkas dan lebih kuat. Menurut Achanta dan Okos (2000) tujuan utama pengeringan komoditas pertanian dan pangan adalah pengawetan. Selain itu, tujuan dari pengeringan adalah meningkatkan daya tahan, mengurangi biaya pengemasan, mengurangi
bobot
pengangkutan,
memperbaiki
cita
rasa
bahan,
dan
mempertahankan kandungan nutrisi bahan. Jika suatu bahan yang lembab dikeringkan pada kondisi yang konstan, air mula-mula akan menguap dengan kecepatan yang tetap. Setelah kandungan kelembaban dalam bahan mencapai keadaan yang disebut kandungan kelembaban kritis (critical moisture content), kecepatan pengeringan secara terus-menerus akan turun sampai tercapai titik keseimbangan (equilibrium moisture content). Pada saat ini pengeringan tidak dapat dilanjutkan kecuali kondisinya diubah. Lama waktu pengeringan dengan laju yang tetap sangat dipengaruhi oleh adanya air yang tak terikat (unbound moisture content) dalam bahan yang akan dikeringkan. Air terikat (bound moisture content) adalah air yang terikat kuat pada bahan yang akan dikeringkan. Air yang tak terikat adalah kandungan air bebas yang terdapat dalam jaringan tanaman atau bahan. Pengeringan dapat berlangsung dengan kecepatan konstan selama pada bahan yang akan dikeringkan masih
terdapat air tak terikat. Menurut Suharto (1991), kandungan air akhir pada bahan setelah dikeringkan dipengaruhi oleh beberapa parameter diantaranya adalah suhu dan kelembaban udara lingkungan, laju aliran udara pengering, besarnya persentase kadar air bahan yang diinginkan, energi pengeringan, efisiensi alat pengering, serta kapasitas pengeringan. Menurut Brooker et al. (1973), lama waktu yang dibutuhkan dalam proses pengeringan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain suhu udara pengering, kelembaban relatif udara pengering, laju alir udara pengering, dan kadar air bahan yang dikeringkan. Suhu sangat menentukan laju penguapan air yang terkandung dalam bahan. Suhu udara pengering berpengaruh terhadap lama pengeringan dan kualitas bahan hasil pengeringan. Biaya pengeringan dapat ditekan pada kapasitas yang besar jika digunakan pada suhu yang tinggi, selama suhu tidak merusak bahan. Kelembabam relatif udara berpengaruh terhadap pemindahan cairan atau uap dari dalam ke permukaan bahan serta menentukan besarnya tingkat kemampuan udara pengering dalam menampung uap air di sekitar permukaan bahan. Laju alir udara sangat diperlukan untuk mengalirkan udara panas pada seluruh bagian bahan. Secara umum metode pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengeringan secara alami dan pengeringan buatan (artificial drying). Pengeringan secara alami dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan menjemur bahan yang akan dikeringkan di bawah sinar matahari. Panas yang dibutuhkan untuk menguapkan air produk bersumber dari udara sekitar bahan dan matahari. Terdapat beberapa kendala pada proses pengeringan alamiah yaitu memerlukan tempat yang relatif luas, proses pengeringan lambat dan tidak stabil karena sangat bergantung pada cuaca, tidak praktis dalam meletakkan dan mengangkat bahan serta dapat terkontaminasi atau tercampur dengan bahan asing dan kotoran. Menurut Widodo dan Hendriadi (2004) dalam Susilawati (2009), pengeringan buatan dilakukan dengan menggunakan bantuan panas tambahan seperti pengeringan menggunakan oven. Keuntungan pengeringan buatan antara lain tidak tergantung pada cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang diperlukan, tidak memerlukan tempat yang luas, dan kondisi pengeringan dapat dikontrol.
Pemanfaatan radiasi surya untuk pengeringan pangan atau hasil pertanian dilakukan dengan tiga cara yaitu secara langsung, tidak langsung, dan kombinasi antara keduanya. Pada cara langsung, pengeringan dilakukan secara langsung pada radiasi matahari. Cara tidak langsung ialah panas dari radiasi matahari tidak langsung memanaskan bahan, tetapi melalui permukaan fluida (udara atau air), sedangkan kombinasi antara keduanya merupakan bangunan tembus cahaya yang dilengkapi dengan absorber (Witarsa, 2004). Radiasi surya yang terperangkap akan menaikkan suhu dalam ruang pengering, dan panas yang terjadi akibat gelombang pendek yang dipancarkan oleh matahari diserap oleh produk, plat absorber, dan komponen yang ada dalam ruang pengering tersebut. Selanjutnya diubah menjadi gelombang panjang. Lapisan penutup transparan memungkinkan gelombang panjang dari bahan untuk tertahan dalam bangunan transparan. Alat pengering surya tipe efek rumah kaca (ERK) digunakan sebagai alternatif pengganti pengeringan surya kolektor plat datar dengan biaya relatif murah (Abdullah et al., 1998). Prinsip alat pengering surya tipe efek rumah kaca yaitu penggunaan bangunan transparan yang berfungsi sebagai penyekat sehingga memungkinkan radiasi gelombang pendek matahari untuk masuk dan menyekat keluar radiasi gelombang panjang. Proses pengeringan tepung ubi kayu terfermentasi dapat dilakukan dengan cara dijemur langsung di bawah sinar matahari atau dengan menggunakan alat pengering buatan, baik menggunakan alat pengering tenaga matahari maupun menggunakan oven. Pengeringan dengan panas matahari merupakan cara yang paling murah dan paling mudah dilakukan. Menurut Grace (1977) keuntungan dari proses penjemuran yaitu adanya daya pemutih dari sinar ultraviolet matahari. Namun, kendala yang dihadapi yaitu prosesnya terbatas dengan keadaan cuaca dan kebersihan produk yang dihasilkan. Jika musim hujan, proses menjadi terhambat sehingga bahan makanan yang dijemur mengalami kerusakan sebelum kering sempurna, seperti perubahan warna, timbul bau, berjamur, ataupun membusuk. Keuntungan dari pengeringan dengan menggunakan oven atau alat pengering yaitu kualitas produk yang dihasilkan lebih baik, lebih bersih, dan lebih
awet karena kadar air akhir lebih rendah dibandingkan dengan penjemuran secara langsung. Iradiasi merupakan penggunaan energi untuk penyinaran bahan dengan menggunakan sumber radiasi buatan, sedangkan radiasi adalah istilah umum untuk semua jenis pancaran energi tanpa media. Berdasarkan spektrum elektromagnetiknya, radiasi dapat dibedakan atas dua macam yaitu radiasi panas (heating radiation) dan radiasi pengion (ionizing radiation). Radiasi panas adalah radiasi yang menggunakan sinar dengan gelombang panjang, sedangkan radiasi pengion menggunakan sinar dengan gelombang pendek (Wijaya, 2007). Beberapa peneliti menyatakan bahwa sinar matahari khususnya kandungan panjang gelombang UV tertentu memberikan pengaruh yang sama seperti fermentasi asam laktat sehingga sangat sesuai untuk meningkatkan baking expansion pati ubi kayu. Dalam sebuah studi modifikasi oksidatif pati singkong dengan asam laktat bersama dengan pengeringan, telah dihasilkan sifat pemanggangan dengan peningkatan volume spesifik pada biskuit yang diuji, tetapi hal ini tidak terjadi ketika pati dikeringkan dengan cara dioven. Selain itu telah ditemukan bahwa modifikasi pati singkong dengan asam laktat yang dikenai iradiasi UV yang berasal dari lampu merkuri (250-600 nm) dihasilkan sifat yang lebih baik dengan ditandai oleh kemampuan mengembang yang lebih besar (Vatanasuchart et al., 2004). Radiasi sinar ultraviolet (UV) dapat diklasifikasikan menjadi UVA (315-400 nm), UVB (280-315 nm) dan UVC (100-280 nm). Panjang gelombangnya yang lebih kecil dari 290 nm menyebabkan absorpsi yang signifikan pada lapisan ozon di atmosfer. Banyak penelitian tentang modifikasi pati dengan radiasi UV yang telah dilakukan dengan sumber UVC buatan (Vatanasuchart et al., 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Vatanasuchart et al. (2004) menemukan bahwa pati ubi kayu pasaran mengandung 99,82% kadar alami pati dengan sedikit kandungan HCN sebesar 0,14 ppm. Pati ubi kayu yang dimodifikasi dengan asam laktat dan diiradiasi dengan UVB atau UVC selama 7 dan 9 jam mencapai baking expansion yang tinggi. Sampel yang diiradiasi dengan UVB selama 9 jam menghasilkan volume spesifik paling besar yaitu 12,23±0,12 cm3/g, sedangkan sampel yang diiradiasi dengan UVC selama 7 dan 9 jam yaitu
12,12+0,75 cm3/g dan 11,33+0,62 cm3/g. Sampel yang diiradiasi UVB atau UVC selama 7 dan 9 jam menunjukkan hasil peningkatan baking expansion yang diharapkan dari biskuit, sedangkan sampel yang diiradiasi dengan UVA atau pengeringan udara panas dengan periode pengeringan yang sama, dihasilkan volume spesifik sampel yang menurun secara signifikan dibandingkan dengan sampel yang ada di pasaran (Vatanasuchart et al., 2004). Pati ubi kayu yang dimodifikasi dengan asam laktat dan irradiasi UV menyebabkan sifat kelarutan dan kembang pati (swelling power) menjadi rendah. Sumber UV yang digunakan berupa cahaya matahari atau lampu UV buatan. Lapisan kaca ganda yang diletakkan dibagian atas oven berenergi matahari bisa menyerap intensitas parsial UV. Pemodifikasian tersebut menyebabkan viskositas maksimum yang lebih rendah dan profil kelengketan yang berlebihan. Hidrolisis pati merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap sifat pati. Perlakuan tepung pada suhu 60
o
C menyebabkan viskositas maksimum dan profil
kelengketan yang rendah dari pada perlakuan suhu 40 oC yang menghasilkan volume spesifik yang rendah dalam penggunaannya untuk biskuit. Perendaman tepung singkong dalam larutan asam laktat selama 16 jam terlebih dahulu sebelum perlakuan dengan UV buatan, penjemuran matahari atau solar drying (40 oC) selama 6 jam bisa digunakan untuk memproduksi modifikasi pati ubi kayu untuk pembuatan biskuit (Soetanto, 2008 dalam Susilawati, 2009).
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian Laboratorium
ini
dilakukan
Biondustri
TIN
di IPB,
Laboratorium Laboratorium
Teknologi Bangsal
Kimia
dan
Percontohan
Pengolahan Hasil Pertanian (BPPHP/AP4) Fakultas Teknologi Pertanian dan Pilot Plan Ex-FTDC Seafast Center, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan dari Bulan Mei 2009 sampai Februari 2010. B. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah ubi kayu jenis ubi kayu mentega berumur sekitar 8-10 bulan yang diperoleh dari daerah CinangnengLeuwiliang. Bahan penunjang yang digunakan dalam proses produksi tepung ubi kayu terfermentasi adalah starter yang diperoleh dari DR. Ahmad Subagio (Universitas Jember). Bahan kimia yang digunakan untuk analisa mutu dan sifat fisiko kimia tepung kasava berupa akuades, NaCl, Hexana, H2SO4, NaOH, Etanol, K2SO4, HCl, AgNO3, NH4OH, HClO4, KI, PCA (Plate Count Agar), EMB agar (Eosin Metilen Blue Agar), SSA (Samonella shigella Agar), indikator phenolplatein, pereaksi Cu, larutan Luff Schoorl, dan indikator kanji. Alat-alat yang digunakan untuk proses produksi tepung kasava meliputi alat pengering, yaitu: 1. Pengering efek rumah kaca (ERK). Pengering ini merupakan ruang pengering dengan skala yang besar, berbentuk bangunan dengan dimensi 8 m x 10 m x 10 m. Pada bagian belakang pengering tersebut dilengkapi dengan 1 buah blower yang digerakkan oleh motor listrik berdaya ¾ HP. 2. Pengering oven. Pengering oven yang digunakan berdimensi 1 m x 1 m x 1,8 m, dilengkapi dengan 1 buah kipas pada bagian belakang dan menggunakan motor listrik dengan daya ¼ HP. Ukuran tray dryer 0,95 m x 0,95 m x 0,1 m Peralatan produksi lain yang digunakan meliputi wadah fermentasi, termometer, tray dryer, disc mill, dan ayakan. Peralatan analisis yang digunakan meliputi colortech, whiteness meter, spectrofotometer, Brabender amilographer, timbangan
analitik, cawan, desikator, gelas piala, gelas ukur, dan peralatan gelas lainnya untuk analisis. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahap dengan diagram alir tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3. Tahapan penelitian meliputi persiapan, pembuatan tepung ubi kayu terfermentasi, dan analisa mutu dan sifat fisiko kimia tepung ubi kayu. Desain percobaan dari penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Desain percobaan pengeringan tepung kasava terfermentasi Kode perlakuan
Perlakuan/ metode
P1
Pengeringan dengan ERK 3 jam dan oven 9 jam
P2
Pengeringan dengan matahari 3 dan oven 9 jam
P3
Pengeringan dengan ERK 5 jam dan oven 7 jam
P4
Pengeringan dengan matahari 5 jam dan oven 7 jam
P5
Pengeringan dengan ERK 7 jam dan oven 5 jam
P6
Pengeringan dengan matahari 7 jam dan oven 5 jam
P7
Pengeringan dengan ERK16 jam
P8
Pengeringan dengan matahari 16 jam
P9
Pengeringan oven 12 jam
1. Persiapan Ubi kayu yang akan diolah menjadi tepung harus dalam keadaan segar (paling lama 2 hari setelah dipanen) agar tidak cacat sehingga dihasilkan tepung yang berkualitas baik. Hal tersebut dilakukan agar ubi kayu yang digunakan terhindar dari kerusakan akibat aktivitas enzim atau mikroorganisme yang terdapat pada lendir umbinya. Untuk menghindari terjadinya perubahan warna pada daging umbi ubi kayu, yaitu menjadi biru kehitam-hitaman, berjamur, dan lunak (membusuk), maka ubi kayu yang telah dipilih harus segera diolah. 2. Pembuatan Tepung Ubi Kayu Proses pembuatan tepung ubi kayu terfermentasi dalam penelitian ini mengikuti prosedur operasi standar (POS) produksi tepung kasava termodifikasi dari DR. Ahmad Subagio, peneliti asal Universitas Jember (Subagio, 2008).
Ubi Kayu
Pengupasan Pencucian
Pengecilan Ukuran Senyawa aktif A dan B
Perendaman
Larutan garam
Penggaraman Pengepresan
1. 2. 3. 4.
5.
Air buangan
Pengeringan: Pengeringan matahari 16 jam Pengeringan efek rumah kaca (ERK) 16 jam Pengeringan oven 12 jam Pengeringan dengan matahari masing-masing 3 jam, 5 jam, dan 7 jam dilanjutkan dengan oven masing-masing 9, 7, dan 5 jam. Pengeringan dengan ERK masing-masing 3 jam, 5 jam, dan 7 jam dilanjutkan dengan oven masing-masing 9, 7, dan 5 jam.
6.
Penepungan Pengayakan Fermented cassava flour
Analisis mutu dan sifat fisiko kimia tepung ubi kayu
Data analisa mutu dan sifat fisiko kimia tepung ubi kayu Gambar 3. Diagram alir tahapan penelitian
a. Pengupasan Ubi kayu yang telah dipilih kemudian dikupas kulitnya secara manual dengan cara menorehkan ujung pisau yang tajam pada kulit ubi kayu tersebut. Selanjutnya kulit umbi ubi kayu dikupas hingga bersih. b. Pencucian Ubi kayu yang telah dikupas dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan kotoran, getah, dan mengurangi kadar HCN yang terdapat pada lendir ubi kayu tersebut. Setelah dicuci kemudian dilakukan pembilasan dengan air bersih, sehingga diperoleh daging umbi ubi kayu yang benar-benar bersih dari segala macam kotoran. Daging umbi yang bersih akan menghasilkan tepung dengan warna yang bersih pula. c. Pengecilan Ukuran Proses selanjutnya adalah pengecilan ukuran. Pengecilan ukuran menggunakan slicer. Ubi kayu dikecilkan ukurannya menjadi chip dengan ketebalan 1 mm. Hasil pengecilan ukuran tersebut kemudian ditampung dalam wadah dan dilanjutkan dengan proses perendaman dengan penambahan starter sehingga terjadi proses fermentasi. d. Perendaman atau Fermentasi Ubi kayu yang telah dicuci harus tetap berada dalam rendaman air bersih. Hal ini dilakukan untuk menghindari kontak langsung dengan udara. Kontak langsung antara umbi dengan udara akan menyebabkan perubahan warna umbi menjadi kehitam-hitaman. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh adanya enzim polifenol yang akan mengubah senyawa polifenol (tanin) menjadi senyawa berwarna hitam jika kontak langsung dengan udara. Perendaman dilakukan dengan penambahan starter bakteri asam laktat sehingga terjadi proses fermentasi yang terkendali. Setelah fermentasi berlangsung selama 72 jam, selanjutnya dilakukan penggaraman selama 10 menit sebelum dijemur. e. Pengeringan Pengeringan dilakukan untuk menurunkan kadar air bahan dan menghilangkan sisa air rendaman selama fermentasi yang masih tersisa setelah proses pengepresan. Pengeringan dilakukan dengan meratakan chip ubi kayu
pada tray dryer dengan tebal tumbukan sekitar 0,7-1 cm (± 10% volume tray dryer). Pengeringan dilakukan dengan tiga cara, yaitu: penjemuran matahari langsung, pengeringan dalam ERK, dan pengeringan oven. Pengeringan matahari dan ERK penuh dilakukan selama 16 jam, sedangkan pengeringan oven dilakukan selama 12 jam. Pengeringan dengan matahari dan ERK lebih lebih lama karena suhu udara pengering yang lebih rendah dibandingkan dengan pengeringan oven sehingga pengurangan kadar air terjadi dalam waktu yang lebih lama. f. Penepungan Proses penepungan dilakukan dengan cara penggilingan, yaitu proses pengecilan ukuran bahan padat dengan gaya mekanis menjadi berbagai fraksi dengan ukuran yang lebih kecil. Penepungan atau penghancuran ubi kayu yang telah dikeringkan dilakukan dua tahap dengan menggunakan disc mill. g. Pengayakan Tepung ubi kayu yang telah ditepungkan
kemudian diayak dengan
menggunakan ayakan berukuran 80 mesh. 3. Analisa Mutu dan Sifat Fisiko-kimia Tepung Ubi Kayu Analisa komponen kimia tepung kasava terfermentasi meliputi kadar air, abu, protein, serat kasar, dan karbohidrat (by difference), pati, dan total kandungan HCN. Analisa mutu tepung kasava meliputi derajat putih, total asam, dan total mikroba. Analisa sifat fisiko kimia meliputi pH, derajat warna, mikroskopis granula pati, total padatan terlarut, absorbsi air dan minyak, kelarutan dan swelling power pada suhu 90 0C, dan sifat amilografi. Prosedur analisa mutu dan sifat fisiko-kimia tepung ubi kayu disajikan pada Lampiran 1.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi tepung kasava terfermentasi meliputi pengupasan, pencucian, pengecilan ukuran, fermentasi, pengepresan, pengeringan, penepungan, dan pengayakan. Proses fermentasi ubi kayu merupakan proses modifikasi tepung kasava menggunakan mikroorganisme atau enzim-enzim yang dapat memperbaiki sifat fisiko kimia dan fungsionalnya. Proses fermentasi pada penelitian ini dilakukan dengan penambahan starter, sehingga proses fermentasi dapat terkendali dan berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan fermentasi spontan. Proses pengeringan memberikan pengaruh terhadap komposisi kimia dan sifat fisik tepung kasava yang dihasilkan. Proses pengeringan adalah proses penurunan kadar air bahan. Pada penelitian ini dilakukan tiga macam proses pengeringan, yaitu pengeringan
dengan penjemuran matahari langsung,
pengeringan dalam efek rumah kaca (ERK), dan pengeringan dalam oven. Secara umum ketiga proses pengeringan tersebut dapat menurunkan kadar air bahan, namun karena perbedaan suhu rata-rata untuk setiap perlakuan pengeringan, sehingga memberikan pengaruh yang berbeda terhadap mutu dan sifat fisiko kimia tepung kasava yang dihasilkan. Selain suhu udara pengeringan, faktor pengeringan lain yang mempengaruhi sifat fungsional tepung kasava yang dihasilkan adalah kelembaban relatif (RH) dan laju aliran udara pengeringan. Faktor pengeringan chip ubi kayu terlihat pada Tabel 6. Laju aliran kelembaban udara pengeringan akan mempengaruhi penguapan air dari chip ubi kayu yang dikeringkan sehingga ikut menentukan kadar air keseimbangan antara chip ubi kayu dengan lingkungan. Suhu, laju alir, dan kelembaban udara pengeringan diukur setiap 1 jam sehingga diperoleh data rata-rata selama 12 jam untuk pengeringan oven, dan rata-rata 16 jam untuk pengeringan ERK dan matahari. Perbedaan metode pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda dikarenakan kondisi lingkungan pengeringan yang berbeda. Proses pengeringan chip ubi kayu terlihat pada Gambar 4.
Tabel 6. Faktor pengeringan chip ubi kayu Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 Keterangan
Rata-rata suhu udara Rata-rata kelembaban Rata-rata laju aliran pengeringan udara pengeringan udara pengeringan (0C) (%) (m/s) 46,10 35,66 0,61 43,70 38,92 0,58 43,20 41,61 0,59 40,00 44,82 0,64 42,60 43,37 0,61 38,65 48,79 0,80 40,10 48,69 0,50 33,50 59,73 0,62 52,60 26,90 0,86 : P1 : Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam P2 : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam P3 : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam P4 : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam P5 : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam P6 : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam P7 : Pengeringan ERK 16 jam P8 : Pengeringan matahari 16 jam P9 : Pengeringan oven 12 jam
Pengeringan matahari
Pengeringan oven
Pengeringan ERK
Pengeringan oven
Gambar 4. Proses pengeringan chip ubi kayu terfermentasi Pengeringan penjemuran matahari
A. PENGARUH METODE PENGERINGAN TERHADAP KOMPOSISI KIMIA KASAVA TERFERMENTASI Kajian pengaruh pengeringan ubi kayu terhadap komposisi kimia tepung kasava terfermentasi meliputi kadar air, abu, lemak, serat kasar, protein, dan karbohidrat (by difference). 1. Kadar Air Kadar air merupakan parameter jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan. Menurut Winarno (1992) kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan tingkat penerimaan, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut. Kesegaran dan daya tahan bahan pangan dapat ditingkatkan dengan cara mengurangi kandungan air. Kadar air yang tinggi pada bahan makanan merupakan pemicu kerusakan akibat aktivitas mikroba dan enzim. Menurut Fardiaz (1989), batas minimum kadar air pertumbuhan mikroba adalah 14-15%. Pengeringan merupakan salah satu cara untuk mengurangi kadar air bahan pangan. Pengeringan pada tepung kasava mempunyai tujuan untuk mengurangi kadar airnya sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan pada tepung terhambat. Kadar air dari tepung yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 6,91-8,98% (bb) (Gambar 5 dan Lampiran 2). Semua tepung kasava yang dihasilkan memenuhi standar mutu tepung kasava. Analisa mutu kadar air tepung kasava disajikan pada Tabel 7. Kadar air yang paling tinggi adalah tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) dan yang paling rendah adalah P9 (pengeringan oven 12 jam). Pada grafik pengaruh pengeringan terhadap kadar air tepung kasava memperlihatkan bahwa semakin lama waktu pengeringan dengan matahari atau ERK dapat meningkatkan kadar air tepung kasava. Hal tersebut terlihat pada pengeringan matahari atau ERK selama 16 jam memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 7 jam, pengeringan matahari atau ERK selama 7 jam memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 5 jam, dan pengeringan matahari atau ERK selama 5 jam memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 3 jam. Hal tersebut dipengaruhi oleh suhu udara pengeringan, laju aliran udara pengeringan, dan
Tabel 7. Data analisa mutu tepung kasava terfermentasi Perlakuan Kadar air Kadar abu Kadar pati (% bb) (% bk) (% bk) P1 7,12 1,01 76,55 P2 7,33 1,79 80,19 P3 7,47 1,49 76,52 P4 7,82 1,97 71,47 P5 7,55 1,74 79,95 P6 8,32 2,11 77,43 P7 8,46 2,03 80,84 P8 8,98 3,13 75,85 P9 6,91 0,92 85,36 SNI 01-2997Maks 12 Maks1,5 Min 70 1992 CODEX STAN Maks 13 Maks 3 176-1989 (Rev 11995) Keterangan
: P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
: Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam
Derajat putih (%) 94,97 93,88 93,85 93,91 94,15 93,76 93,79 91,70 94,49 Min 85
Kadar HCN (ppm) 2,9 1,7 1,8 1,5 1,7 2,7 2,4 3,3 2,0 Maks 40
Total asam (ml NaOH/100 g) 1,24 1,65 1,65 1,65 1,24 1,65 1,86 1,24 1,03 Maks 3
-
Maks 10
-
kelembaban relatif. Kondisi pengeringan dengan suhu dan laju aliran udara pengeringan yang rendah serta kelembaban udara yang tinggi akan menyebabkan sedikit air yang menguap selama pengeringan. Pengeringan dengan matahari atau ERK selama 16 jam memiliki suhu udara pengeringan dan laju aliran udara yang lebih rendah serta kelembaban udara yang tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 7 jam, pengeringan dengan matahari atau ERK selama 7 jam memiliki suhu udara pengeringan dan laju aliran udara yang lebih rendah serta kelembaban udara yang tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 5 jam, dan pengeringan dengan matahari atau ERK selama 5 jam memiliki suhu udara pengeringan dan laju aliran udara yang lebih rendah serta kelembaban udara yang tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 3 jam. Proses pengeringan akan terus terjadi sampai mencapai kadar air keseimbangan. Kadar air keseimbangan masing-masing perlakuan pengeringan tepung chip ubi kayu terlihat pada Tabel 8.
Kadar air, abu, dan serat kasar (%)
10 9 8 7 6
Kadar air
5 Kadar abu
4
kadar serat
3 2 1 0 P1
P2
P3
P4
P5 P6 Perlakuan
P7
P8
P9
Gambar 5. Pengaruh metode pengeringan terhadap kadar air,abu, dan serat kasar tepung kasava terfermentasi Keterangan: P1 : Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam P2 : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam P3 : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam P4 : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam P5 : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam P6 : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam P7 : Pengeringan ERK 16 jam P8 : Pengeringan matahari 16 jam P9 : Pengeringan oven 12 jam
43
Tabel 8. Kadar air keseimbangan pengeringan chip ubi kayu Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 Keterangan
Kadar air keseimbangan (%) 13.36 12.98 12.90 12.77 12.92 13.70 13.44 13.50 13.37 : P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
: Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam
Proses pengeringan menyebabkan kadar air berkurang karena terjadinya penguapan air. Rendahnya kadar air tepung perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) disebabkan oleh suhu dan laju aliran udara pengeringan yang tinggi, serta kelembaban udara dalam oven yang rendah. Hal tersebut mempercepat pelepasan kandungan air dari chip ubi kayu yang dikeringkan. Berbeda dengan perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) yang memiliki suhu dan laju aliran udara pengeringan yang rendah, serta kelembaban udara yang tinggi sehingga proses penguapan air dari bahan lebih kecil. Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan chip ubi kayu terfermentasi berpengaruh nyata terhadap kadar air tepung kasava yang dihasilkan. Perbedaan metode pengeringan memberikan pengaruh terhadap kadar air tepung kasava terfermentasi. Uji lanjut Duncan memperlihatkan kadar air tepung P8 (pengeringan matahari 16 jam) tidak berbeda nyata dengan tepung P7 (pengeringan ERK 16 jam), namun keduanya berbeda nyata jika bandingkan dengan kadar air tepung P9 (pengeringan oven 12 jam). Antar perlakuan
44
pengeringan oven baik pengeringan oven penuh selama 12 jam maupun kombinasi pengeringan oven dengan ERK atau matahari selama 3 jam, 5 jam, dan 7 jam, memberikan pengaruh yang tidak signifikan. Namun perlakuan P6 (pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam) memberikan pengaruh yang sama dengan P7 (pengeringan ERK 16 jam) dan P8 (pengeringan matahari 16 jam). 2. Kadar Abu Kadar abu suatu tepung berhubungan dengan kandungan mineral di dalamnya. Mineral merupakan zat anorganik dalam bahan yang tidak terbakar selama proses pembakaran. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada jenis bahan dan cara pengabuannya. Sekitar 96% bahan makanan terdiri senyawa organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral yang dikenal juga sebagai senyawa anorganik atau kadar abu. Selama proses pembakaran, bahanbahan organik terbakar, tetapi zat anorganiknya tidak terbakar karena itulah disebut abu. Kadar abu dalam bahan pangan dapat digunakan untuk menentukan nilai gizi suatu bahan. Semakin tinggi kadar abu yang terkandung dalam bahan pangan maka kandungan mineralnya semakin banyak. Kadar abu bisa berasal dari air yang tidak baik, tanah, dan faktor pencemar seperti pestisida dan pupuk yang digunakan. Kadar abu yang terkandung dalam tepung kasava yang dihasilkan berkisar 0,92-3,13% (bk) (Tabel 7, Gambar 5 dan Lampiran 2). Berdasarkan analisa kadar abu, hanya tepung kasava perlakuan P1 (pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam), P3 (pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam), dan P9 (pengeringan oven 12 jam) yang memenuhi persyaratan mutu SNI tepung kasava. Namun jika mengacu pada standar edible cassava flour, semua tepung kasava layak untuk dikonsumsi kecuali tepung kasava perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam). Kadar abu tepung kasava dipengaruhi oleh interaksi antara mikroorganisme dengan bahan baik pada saat proses fermentasi maupun pengeringan. Proses fermentasi memberikan pengaruh yang sama terhadap kadar abu pada semua tepung kasava, namun proses pengeringan memberikan hasil yang berbeda karena adanya pengaruh suhu yang berbeda. Suhu pengeringan yang tinggi akan mempercepat terjadinya inaktivasi mikroorganisme, sehingga tingkat perombakan 45
mineral pada bahan berkurang. Selain itu, kadar abu tepung kasava juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang menyebabkan terjadinya pencemaran oleh komponen pengotor sehingga kadar abu tepung kasava meningkat. Kadar abu paling tinggi terdapat pada tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam), sedangkan paling rendah adalah P9 (pengeringan oven 12 jam). Tingginya kadar abu tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) disebabkan oleh proses pengeringan yang dilakukan di tempat terbuka sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh bahan pengotor seperti debu yang mempengaruhi bertambahnya kadar abu tepung kasava. Semakin lama chip singkong dikeringkan dengan matahari atau ERK, kadar abu semakin tinggi. Hal tersebut terlihat pada pengeringan matahari atau ERK selama 16 jam memiliki kadar abu yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 7 jam, pengeringan matahari atau ERK selama 7 jam memiliki kadar abu yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 5 jam, dan pengeringan matahari atau ERK selama 5 jam memiliki kadar abu yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 3 jam. Hal tersebut disebabkan oleh proses pengeringan dengan matahari atau ERK selama 3 jam lebih cepat dimasukkan ke dalam oven dibandingkan dengan pengeringan dengan matahari atau ERK selama 5 jam, 7 jam, dan 16 jam. Pengering oven bersifat tertutup sehingga tidak terjadi kontaminasi oleh komponen pengotor. Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan chip ubi kayu terfermentasi berpengaruh nyata terhadap kadar abu tepung kasava yang dihasilkan. Perbedaan metode pengeringan mempengaruhi kadar abu tepung kasava yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa antara perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam), P8 (pengeringan matahari 16 jam), dan P9 (pengeringan oven 12 jam) saling berbeda nyata. 3. Kadar Serat Kasar Serat terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, dan pektin. Serat memiliki sifat yang tidak larut dalam air dingin dan panas. Bahan nabati secara umum memiliki kadar serat yang tinggi karena sel dari tumbuhan memiliki dinding sel. 46
Kadar serat kasar dapat digunakan dalam penilaian kualitas bahan makanan. Kadar serat kasar juga digunakan untuk mengevaluasi suatu proses pengolahan pangan seperti proses penggilingan atau proses pemisahan antara kulit dan kotiledon. Dengan demikian persentase serat kasar dapat dipakai untuk menentukan kemurnian bahan (Sudarmadji et al., 1984). Kadar serat kasar tepung kasava yang dihasilkan dipengaruhi oleh aktivitas mikroba baik pada saat fermentasi maupun pengeringan. Proses fermentasi menghasilkan berbagai macam enzim seperti enzim selulolitik dan enzim pektinolitik yang berperan dalam penguraian komponen serat bahan. Proses fermentasi tidak memberikan pengaruh yang berbeda pada kadar serat kasar tepung kasava, namun dipengaruhi oleh proses pengeringan. Pengeringan melibatkan suhu yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dan enzim. Kadar serat kasar tepung yang dihasilkan berkisar antara 1,97-3,24% (bk) (Gambar 5 dan Lampiran 2). Kadar serat kasar yang paling rendah adalah tepung perlakuan P4 (pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam) sedangkan yang paling tinggi adalah tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam). Kadar serat kasar pada P4 (pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam) tidak berbeda jauh dengan P9 (pengeringan oven 12 jam) dan P2 (pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam). Tingginya kadar serat kasar pada tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) disebabkan oleh tingginya tingkat penguraian komponen lain selain serat pada perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) sehingga memberikan pengaruh terhadap peningkatan persentase kadar serat kasar terhadap komponen total bahan pada tepung kasava. Hal tersebut terlihat pada hasil analisa kadar karbohidrat dan lemak yang rendah pada tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam). Hasil analisa kadar serat kasar menunjukkan semakin lama pengeringan dengan matahari atau ERK menghasilkan kadar serat kasar yang lebih tinggi. Hal tersebut terlihat pada pengeringan matahari atau ERK selama 16 jam memiliki kadar serat kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 7 jam, pengeringan matahari atau ERK selama 7 jam memiliki kadar serat kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 5 jam, dan pengeringan matahari atau
47
ERK selama 5 jam memiliki kadar serat kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 3 jam. Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan chip ubi kayu terfermentasi berpengaruh nyata terhadap kadar serat kasar tepung kasava yang dihasilkan. Perbedaan metode pengeringan mempengaruhi kadar serat kasar tepung yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan menunjukkan antara perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam), P8 (pengeringan matahari 16 jam), dan P9 (pengeringan oven 12 jam) saling berbeda nyata satu sama lain. 4. Kadar Lemak Lemak dan minyak adalah senyawa yang bersifat hidrofobik. Lemak dapat berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Sebagian besar lemak merupakan trigeliserida, ester dari gliserol, dan berbagai asam lemak (Buckle, 1987). Lemak merupakan polimer yang tersusun dari unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen. Kadar lemak yang tinggi pada bahan pangan dapat mengganggu proses gelatinisasi. Hal ini terjadi karena lemak dapat membentuk kompleks dengan amilosa sehinga amilosa tidak dapat keluar dari granula pati. Selain itu lemak akan terserap oleh permukaan granula sehingga terbentuk lapisan yang bersifat hidrofobik di sekeliling granula. Kondisi ini akan menyebabkan berkurangnya kekentalan dan kelekatan pati akibat jumlah air berkurang untuk terjadinya pengembangan granula pati (Collison, 1968 dalam Radley, 1968). Tepung yang berasal dari umbi-umbian memiliki kadar lemak yang rendah. Kadar lemak tepung kasava yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 0,64-2,38% (bk) (Gambar 6 dan Lampiran 2). Kadar lemak tertinggi terdapat pada tepung kasava perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) sedangkan yang paling rendah adalah perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam). Kadar lemak tepung kasava dipengaruhi oleh tingginya tingkat penguraian mikroorgansime selama proses pengeringan. Pengeringan dengan suhu yang tinggi akan mempercepat terjadinya inaktivasi mikroorganisme sehingga tingkat penguraian komponen lemak lebih rendah. Tingginya kadar lemak pada perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) karena rata-rata suhu pengeringan lebih tinggi dibandingkan dengan metode 48
pengeringan lain sehingga aktivitas mikroorganisme dan enzim rendah. Hal tersebut menyebabkan rendahnya tingkat penguraian komponen lemak oleh mikroorganisme sehingga kadar lemak lebih tinggi. Suhu yang tinggi juga menyebabkan terekstraknya komponen larut air sehingga kadar lemak tepung bergerak ke atas. Berbeda dengan P8 (pengeringan matahari 16 jam) yang memiliki rata-rata suhu pengeringan yang lebih rendah sehingga kadar lemak lebih rendah karena tingkat penguraian komponen lemak yang tinggi. Hal ini terlihat pada total plate count pada perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) yang sangat tinggi yaitu 1,2 x 105. Tidak terdapat hubungan antara pengeringan dengan matahari atau ERK selama 3 jam, 5 jam, 7 jam, dan 16 jam terhadap kadar lemak tepung kasava.
Kadar lemak dan protein (%)
2.50 2.00 1.50 Kadar lemak (%)
1.00
Kadar protein (%)
0.50 0.00 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
Perlakuan
Gambar 6. Pengaruh metode pengeringan terhadap kadar lemak dan protein tepung kasava terfermentasi Keterangan : P1 : Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam P2 : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam P3 : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam P4 : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam P5 : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam P6 : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam P7 : Pengeringan ERK 16 jam P8 : Pengeringan matahari 16 jam P9 : Pengeringan oven 12 jam Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan chip ubi kayu berpengaruh nyata terhadap kadar lemak tepung kasava yang dihasilkan. 49
Perbedaan metode pengeringan mempengaruhi kadar lemak tepung kasava terfermentasi. Uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) tidak berbeda nyata dengan perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam), namun keduanya berbeda nyata dengan P9 (pengeringan oven). 5. Kadar Protein Protein adalah asam-asam amino yang mengandung N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Winarno, 1992). Tepung yang berasal dari umbiumbian memiliki kandungan protein yang rendah. Kadar protein dari tepung yang dihasilkan berkisar antara 0,84 – 1,73 % (bk) (Gambar 6 dan Lampiran 2). Tepung kasava perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) memiliki kandungan protein terendah dan tepung kasava perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) memiliki kandungan protein tertinggi. Suhu udara pengeringan mempengaruhi kadar protein tepung kasava yang dihasilkan. Rendahnya kadar protein pada tepung P9 (pengeringan oven 12 jam) disebabkan oleh suhu pengeringan yang tinggi sehingga mengakibatkan komponen protein mengalami dekomposisi. Protein merupakan senyawa organik yang dapat mengalami denaturasi menjadi senyawa lain seperti melanoidin. Penentuan kadar protein didasarkan pada perhitungan kandungan nitrogen. Akibat adanya pemanasan pada saat pengeringan menyebabkan kandungan protein berkurang sehingga jumlah nitrogen yang digunakan dalam penentuan kadar protein juga berkurang. Berbeda dengan perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam), tingkat kerusakan protein oleh suhu lebih rendah sehingga kadar protein perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) tinggi. Menurut Astuti (1979), makin tinggi suhu pengeringan akan menyebabkan banyak protein dan logam yang mengalami denaturasi dibandingkan dengan pengeringan dengan suhu yang lebih rendah. Tidak terdapat hubungan antara pengeringan dengan matahari atau ERK selama 3 jam, 5 jam, 7 jam, dan 16 jam terhadap kadar protein tepung kasava. Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan berpengaruh nyata terhadap kadar protein tepung kasava yang dihasilkan. Perbedaan metode pengeringan mempengaruhi kadar protein tepung kasava terfermentasi. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan P7 (pengeringan 50
ERK 16 jam) tidak berbeda nyata dengan perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam), namun keduanya berbeda secara nyata dengan perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam). Kadar protein pada metode pengeringan oven baik pengeringan oven penuh selama 12 jam maupun yang dikombinasikan dengan matahari atau ERK selama 3, 5, dan 7 jam tidak saling berbeda nyata kecuali perlakuan P6 (pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam). 6. Kadar Karbohidrat (by difference) Kandungan utama dari ubi kayu adalah karbohidrat. Karbohidat pada ubi kayu sebagian besar adalah pati yang terdiri dari 17-20 % amilosa dan sisanya adalah amilopektin (Johnson dan Raymond, 1965 dalam Muharam, 1992). Karbohidrat pada tepung terdiri dari karbohidrat dalam bentuk gula-gula sederhana, pentosa, dekstrin, selulosa, dan pati. Pati merupakan komponen utama dalam karbohidrat yang sangat penting dalam menentukan syarat mutu tepung kasava. Kandungan karbohidrat (by difference) dari tepung kasava yang dihasilkan berkisar antara 82,46 – 87,08 % (bk) (Gambar 7 dan Lampiran 2). Kandungan karbohidrat tertinggi terdapat pada tepung kasava perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam), sedangkan terendah pada tepung kasava perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam). Tingginya kadar karbohidrat pada perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) disebabkan suhu pengeringan yang tinggi menyebabkan mikroorganisme dan enzim pengurai karbohidrat seperti amilolitik dan poligalakturonase yang masih tertinggal pada bahan cepat mengalami inaktivasi sehingga sedikit komponen karbohidrat yang terurai. Berbeda halnya dengan pengeringan P8 (pengeringan matahari 16 jam) dengan suhu yang relatif lebih rendah menyebabkan tingginya aktivitas mikroorganisme dan enzim sehingga banyak komponen karbohidrat yang terurai. Semakin lama waktu pengeringan dengan matahari atau ERK dapat menurunkan kadar karbohidrat karena rata-rata suhu
yang
rendah
menyebabkan
tingginya
aktivitas
penguraian
oleh
mikroorganisme dan enzim. Hal tersebut terlihat pada pengeringan matahari atau ERK selama 16 jam memiliki kadar karbohidrat yang lebih rendah dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 7 jam, pengeringan matahari atau ERK selama 7 jam memiliki kadar karbohidrat yang lebih rendah dibandingkan 51
dengan pengeringan matahari atau ERK selama 5 jam, dan pengeringan matahari atau ERK selama 5 jam memiliki kadar karbohidrat yang lebih rendah
Kadar karbohidrat (%)
dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 3 jam. 88.00 87.00 86.00 85.00 84.00 83.00 82.00 81.00 80.00 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
Perlakuan
Gambar 7. Pengaruh metode pengeringan terhadap kadar karbohidrat tepung kasava terfermentasi Keterangan : P1 : Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam P2 : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam P3 : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam P4 : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam P5 : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam P6 : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam P7 : Pengeringan ERK 16 jam P8 : Pengeringan matahari 16 jam P9 : Pengeringan oven 12 jam Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat tepung kasava yang dihasilkan. Perbedaan metode pengeringan mempengaruhi kadar karbohidrat tepung kasava terfermentasi. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam), P8 (pengeringan matahari 16 jam), dan P9 (pengeringan oven 12 jam) saling berbeda nyata. B. PENGARUH METODE PENGERINGAN TEPUNG KASAVA TERFERMENTASI
TERHADAP
MUTU
Kajian pengaruh metode pengeringan ubi kayu terhadap mutu tepung kasava meliputi kadar pati, derajat putih, kadar HCN, total asam, dan total mikroba. Analisa mutu tepung kasava mengacu pada dua standar mutu, yaitu SNI 01-2997-
52
1992 tentang tepung kasava dan CODEX STAN 176-1989 (Rev 1995) tentang edible cassava flour. 1. Kadar Pati Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Sifat pati dipengaruhi oleh panjang rantai karbon dan perbandingan antara molekul yang lurus dan bercabang. Pati tersusun dari tiga komponen, yaitu: amilosa, amilopektin, dan bahan tambahan seperti protein dan lemak. Bahan tambahan tersebut berkisar antara 5-10 % dari berat total (Banks et al, 1973 dalam Brich dan Green, 1973). Kadar pati yang terkandung dalam bahan pangan merupakan kriteria mutu terpenting. Pati mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain. Kadar pati tepung kasava dipengaruhi oleh interaksi antara mikroorganisme dengan bahan baik pada saat proses fermentasi maupun pada saat pengeringan. Proses fermentasi akan memberikan pengaruh yang sama pada semua tepung kasava, namun proses pengeringan memberikan hasil yang berbeda karena adanya pengaruh
suhu.
Suhu
pengeringan
yang tinggi menyebabkan aktivitas
mikroorganisme dan enzim rendah sehingga tingkat perombakan pati pada bahan berkurang. Pati yang merupakan senyawa kompleks dari karbohidrat dengan ikatan α-glikosidik dapat dirombak oleh mikroorganisme sehingga terurai menjadi gula sederhana dan asam organik serta digunakan sebagai nutrisi pertumbuhan mikroba karena mengandung unsur C (karbon). Syarat mutu kadar pati tepung kasava menurut SNI 01-2997-1992 adalah minimal 70%. Kadar pati tepung kasava pada penelitian ini berkisar antara 71, 47 - 85, 36 % (bk) (Tabel 7, Gambar 8, dan Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa kadar pati semua tepung kasava yang dihasilkan memenuhi standar mutu tepung kasava menurut SNI 01-2997-1992. Kadar pati tertinggi terdapat pada tepung kasava perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam), sedangkan terendah adalah P4 (pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam). Kadar pati perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) tidak berbeda jauh dengan kadar pati perlakuan P4 (pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam). Tidak terdapat hubungan antara lama pengeringan 3, 5, dan 7 jam ERK atau matahari terhadap kadar pati tepung kasava yang dihasilkan. 53
Kadar pati (%)
100.00 95.00 90.00 85.00 80.00 75.00 70.00 65.00 60.00 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
Perlakuan
Gambar 8. Pengaruh metode pengeringan terhadap kadar pati tepung kasava terfermentasi Keterangan : P1 : Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam P2 : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam P3 : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam P4 : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam P5 : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam P6 : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam P7 : Pengeringan ERK 16 jam P8 : Pengeringan matahari 16 jam P9 : Pengeringan oven 12 jam Pengeringan P9 (pengeringan oven 12 jam) dengan rata-rata suhu pengeringan yang lebih tinggi dapat menyebabkan aktivitas mikroorganisme dan enzim rendah dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal tersebut menyebabkan kadar pati perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) lebih tinggi. Berbeda halnya dengan perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) dengan suhu pengeringan yang lebih rendah menyebabkan tingginya aktivitas penguraian pati oleh mikroorganisme dan enzim sehingga kadar pati menjadi rendah. Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan berpengaruh nyata terhadap kadar pati tepung kasava yang dihasilkan. Perbedaan metode pengeringan memberikan pengaruh pada kadar pati tepung kasava terfermentasi. Uji lanjut Duncan menunjukkan perbedaan kadar pati yang dihasilkan antara perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam), P8 (pengeringan matahari 16 jam), dan P9 (pengeringan oven 12 jam). Terdapat perbedaan kadar
54
pati yang signifikan pada perlakuan pengeringan oven yang dikombinasikan dengan matahari atau ERK. 2. Kadar HCN Pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan pangan memiliki keterbatasan yaitu adanya komponen HCN. HCN merupakan komponen toksik yang terdapat dalam kasava dalam bentuk glukosida sianogenik. Glukosida sianogenik akan bersifat toksik jika gugus glukosida melepaskan HCN sebagai akibat adanya aktivitas enzim linamarinase. Kandungan HCN dalam ubi kayu yang digunakan sebagai bahan pangan harus dikurangi sampai dibawah batas aman. Pengolahan ubi kayu menjadi tepung kasava dapat mengurangi kandungan HCN dan meningkatkan nilai nutrisi pada produk yang dihasilkan. Salah satu tahap pengolahan ubi kayu segar menjadi tepung adalah pengeringan. Menurut Conn (1976), kandungan HCN pada ubi kayu dapat dikurangi dengan pengeringan karena HCN bersifat volatil yang mudah menguap bila dipanaskan. Kandungan HCN dalam tepung kasava dipengaruhi oleh proses fermentasi dan pengeringan. Proses fermentasi tidak menyebabkan adanya perbedaan kadar HCN pada tiap perlakuan. Proses pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada tiap perlakuan karena adanya faktor suhu yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme pada saat pengeringan. Suhu pengeringan yang tinggi akan mempercepat terjadinya inaktivasi mikroorganisme sehingga kadar HCN rendah. Suhu pengeringan yang tinggi dapat mempengaruhi kadar HCN secara langsung. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan rusaknya kandungan HCN. Hal ini sesuai dengan laporan Chekes et al. (1985) dalam Muharam (1992), yang menyatakan bahwa HCN bersifat volatil dan mudah menguap pada suhu ruang karena memiliki titik didih yang rendah yaitu 26 0C. Kadar HCN dari tepung kasava yang dihasilkan pada penelitian ini jauh lebih rendah dibandingkan standar SNI 01-2997-1992 tepung kasava tahun 1992 dan CODEX STAN 176-1989 (Rev 1995). Batas aman kandungan HCN tepung kasava menurut standar SNI 01-2997-1992 adalah maksimum 40 ppm (mg/kg) sedangkan menurut CODEX STAN 176-1989 (Rev 1995) adalah maksimal 10 ppm (mg/kg). Kadar HCN yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 1,5 –3,3 ppm (Tabel 7, Gambar 9, dan Lampiran 4). Kadar HCN tertinggi terdapat 55
pada tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam), sedangkan terendah adalah tepung kasava P4 (pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam).
Kadar HCN (ppm)
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
Perlakuan
Gambar 9. Pengaruh metode pengeringan terhadap kadar HCN tepung kasava terfermentasi Keterangan : P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
: : : : : : : : :
Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam Pengeringan ERK 16 jam Pengeringan matahari 16 jam Pengeringan oven 12 jam
Tingginya kadar HCN tepung kasava perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) dipengaruhi oleh suhu pengeringan yang lebih rendah pada P8 (pengeringan matahari 16 jam) tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap penurunan kadar HCN jika dibandingkan dengan perlakuan pengeringan lainnya sehingga kadar HCN tepung P8 (pengeringan matahari 16 jam) lebih tinggi dibandingkan dengan tepung perlakuan lain. Hasil analisa kadar HCN menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan pengeringan berpengaruh nyata terhadap kadar HCN tepung kasava terfermentasi yang dihasilkan. Pengeringan memberikan pengaruh terhadap kadar HCN. Tidak terdapat hubungan antara lama waktu pengeringan dengan matahari atau ERK selama 3, 5, 7, dan 16 jam terhadap kadar HCN tepung kasava yang dihasilkan.
56
3. Total Asam Total asam merupakan jumlah mg basa (NaOH) yang diperlukan untuk menetralkan asam yang terdapat dalam 100 g bahan makanan. Nilai total asam menunjukkan jumlah asam dalam bahan makanan yang timbul karena proses pengolahan yang kurang baik. Bahan pangan memiliki total asam yang berbedabeda tergantung pada jenis produk tersebut. Penentuan total asam dilakukan dengan cara titrasi menggunakan NaOH 0,1 N dan indikator larutan phenolphthatein sampai timbul warna merah jambu (Coultate, 1989 dalam Hanif, 2009). Total asam tepung pada penelitian berkisar antara 1,035 – 1,860 mg NaOH per 100 g bahan (Tabel 7 dan Lampiran 5). Nilai total asam tertinggi terdapat pada tepung kasava terfermentasi perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam), sedangkan terendah pada tepung perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam). Hasil analisa total asam menunjukkan bahwa semua tepung kasava yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu tepung kasava menurut SNI 01-2997-1992 yaitu maksimal 3 ml NaOH per 100 g bahan. Rendahnya nilai total asam pada tepung kasava terfermentasi perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) disebabkan oleh proses pengeringan dengan suhu yang tinggi sehingga mengakibatkan banyak asam volatil menguap. Total asam yang tinggi pada perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam) karena tingginya aktivitas mikroba sehingga menghasilkan asam-asam organik. Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap total asam tepung kasava yang dihasilkan. Perbedaan metode pengeringan tidak mempengaruhi total asam tepung kasava terfermentasi. 4. Derajat Putih Derajat putih menujukkan kemampuan suatu bahan untuk memantulkan cahaya yang mengenai permukaan bahan tersebut. Derajat putih suatu bahan pangan merupakan tingkat keputihan yang dibandingkan dengan BaSO4 yang memiliki derajat putih 100 %. Derajat putih memiliki skala 0-100. Pengujian derajat putih tepung sangat penting untuk dilakukan karena merupakan salah satu faktor yang menunjukkan mutu dari tepung kasava tersebut. 57
Perbedaan nilai derajat putih dipengaruhi oleh diskolorasi karena kepoyohan serta terjadinya reaksi pencoklatan pada tepung singkong selama pengeringan. Menurut hasil penelitian Onayemi (1986) dalam Muharam (1992), perbedaan kandungan polifenol dan distribusinya di dalam ubi kayu merupakan faktor utama yang menyebabkan perjadinya reaksi diskolorasi. Nilai derajat putih tepung kasava terfermentasi pada penelitian ini berkisar antara 91,70 % - 94,97 % (Tabel 7, Gambar 10, Lampiran 6). Nilai derajat putih tertinggi terdapat pada tepung kasava perlakuan P1 (pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam), sedangkan nilai terendah pada tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam). Nilai derajat putih tepung perlakuan P1 (pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam) tidak berbeda jauh dengan tepung perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam). Semakin lama waktu pengeringan dengan matahari atau ERK mempengaruhi penurunan derajat putih tepung. Semua tepung yang dihasilkan memenuhi standar SNI 01-2997-1992
tepung kasava tahun 1992
dengan syarat derajat putih minimal 85%. Rendahnya derajat putih pada tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) dikarenakan terjadinya reaksi Maillard. Reaksi Maillard adalah reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino yang menghasilkan warna cokelat. Kandungan protein yang tinggi pada tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) memacu terjadinya reaksi Maillard akibatnya warna tepung menjadi lebih cokelat. Semakin lama waktu pengeringan matahari atau ERK cenderung menurunkan nilai derajat putih tepung kasava yang dihasilkan. Hal tersebut terlihat pada pengeringan matahari atau ERK selama 16 jam memiliki derajat putih yang lebih rendah dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 7 jam, pengeringan matahari atau ERK selama 7 jam memiliki derajat putih yang lebih rendah dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 5 jam, dan pengeringan matahari atau ERK selama 5 jam memiliki derajat putih yang lebih rendah dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 3 jam.
58
Derajat putih(%)
96.00 95.00 94.00 93.00 92.00 91.00 90.00 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
Perlakuan
Gambar 10. Pengaruh metode pengeringan terhadap derajat putih tepung kasava terfermentasi Keterangan : P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
: Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam
Derajat putih yang tinggi pada tepung perlakuan P1 (pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam) dan P9 (pengeringan oven 12 jam) karena pengeringan terjadi pada suhu yang relatif tinggi sehingga terjadi inaktivasi enzim fenolase. Enzim fenolase yang terinaktivasi akan menghambat proses terbentuknya senyawa melanoidin sehingga tepung kasava memiliki derajat putih yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan laporan Ricardson dan Hyslop (1996), proses blanching dengan uap panas dapat menginaktivasi enzim fenolase. Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan berpengaruh nyata terhadap nilai derajat putih tepung kasava yang dihasilkan. Perbedaan metode pengeringan memberikan pengaruh terhadap derajat putih tepung kasava terfermentasi. Perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam), P8 (pengeringan matahari 16 jam), dan P9 (pengeringan oven 12 jam) saling berbeda nyata.
59
5. Total Mikroba Total mikroba merupakan salah satu parameter mutu tepung yang sangat penting karena menunjukkan tingkat keamanan tepung sebagai bahan pangan. Batas angka lempeng total (TPC) yang diperbolehkan menurut standar SNI tepung kasava tahun 1992 adalah tidak melebihi 1x106 koloni/g. Batas aman untuk pengujian bakteri E.coli kurang dari 3x101 koloni/g, sedangkan batas aman untuk pengujian mikroorganisme Salmonella adalah maksimum 1x104 koloni/g. Berdasarkan analisa total mikroba yang dilakukan menunjukkan bahwa semua tepung kasava yang dihasilkan memenuhi standar SNI 01-2997-1992 tepung kasava tahun 1992. Hal ini menandakan tepung kasava yang dihasilkan aman digunakan sebagai bahan pangan. Pada pengujian TPC, mikroorganisme tertinggi terdapat pada tepung perlakuan P6 (pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam) sebanyak 1,3x105 koloni/g, dan terendah terdapat pada tepung kasava perlakuan P1 (pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam) sebanyak 2,0 x 103 koloni/g. Tidak terdapat hubungan antara lama waktu pengeringan dengan matahari atau ERK 3, 5, dan 7 jam terhadap total mikroba tepung kasava yang dihasilkan. Hal tersebut dikarenakan proses pengeringan yang tidak hanya dipengaruhi oleh suhu udara pengeringan, namun juga dipengaruhi oleh adanya kontaminasi dengan lingkungan. Hasil analisa total mikroba dapat dilihat pada Tabel 9. Tingginya jumlah koloni mikroba dan adanya E.coli dan Salmonella pada tepung perlakuan P6 (pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam) disebabkan oleh kontaminasi dengan lingkungan. Begitu juga yang terjadi pada tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam). Hal ini dikarenakan suhu pengeringan P6 (pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam) dan P8 (pengeringan matahari 16 jam) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan pengeringan lainnya. Namun, kandungan total mikroba pada perlakuan P6 (pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam). Hal tersebut disebabkan aktivitas mikroorganisme tidak hanya dipengaruhi suhu, namun dipengaruhi juga oleh intensitas cahaya matahari saat pengeringan. Intensitas cahaya matahari yang tinggi dapat menyebabkan inaktiviasi mikroorganisme. Tepung perlakuan P6
60
(pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam) dijemur selama 7 jam pada matahari sehingga menerima intensitas cahaya yang lebih rendah jika dibandingkan tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam). Tabel 9. Perhitungan total mikroba tepung kasava terfermentasi Perlakuan
TPC (koloni/g) 3
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 Keterangan
2,0 x 10 5,5 x 104 3,0 x 103 2,6 x 103 1,0 x 104 1,3 x 105 4,7 x 104 1,2 x 105 1,2 x 104 : P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Salmonella (koloni/g)
E.coli (koloni/g)
3,0 x 101 -
1,8 x 101 -
: Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam : Pengeringan 7 jam matahari dan oven jam 5 : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam
Akibatnya total mikroba pada tepung perlakuan P6 (pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam) lebih tinggi dibandingkan total mikroba tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam). Rendahnya intensitas cahaya matahari pada perlakuan P6 (pengeringan matahari 7 jam dan oven 5 jam) juga menyebabkan adanya Salmonella sebanyak 3x101 koloni/g dan E.coli sebanyak 1,8x101 koloni/g. Namun jumlah koloni Salmonella dan E.coli tersebut masih memenuhi standar SNI tepung kasava. Tingginya total mikroba pada tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari penuh 16 jam) dipengaruhi oleh kadar air yang tinggi. Kadar air yang terlalu tinggi akan memacu pertumbuhan mikroorganisme.
61
C. PENGARUH PENGERINGAN TERHADAP SIFAT FISIKO-KIMIA TEPUNG KASAVA TERFERMENTASI Analisa sifat fisiko kimia yang dilakukan untuk melihat pengaruh metode pengeringan meliputi pH, derajat warna, mikrokopis granula pati, total padatan terlarut, absorbsi air dan minyak, kelarutan dan swelling power pada suhu 90 0C, dan sifat amilografi. 1. pH Nilai pH menunjukkan tingkat keasaman suatu produk. Semakin kecil nilai pH suatu bahan maka bahan tersebut semakin bersifat asam, sebaliknya semakin tinggi nilai pH bahan maka semakin basa bahan tersebut. Nilai pH dari produk pangan sangat ditentukan oleh jenis bahan, proses pengolahan, penyimpanan, dan daya tahan produk. Hasil analisa pH diperoleh nilai pH tepung kasava yang dihasilkan berkisar antara 3,89 – 4,92 (Lampiran 7). Kisaran nilai pH tersebut memperlihatkan bahwa tepung kasava yang dihasilkan cenderung bersifat asam. Nilai pH tertinggi adalah tepung kasava perlakuan P5 (pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam) sedangkan nilai pH terendah adalah tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam). Nilai pH perlakuan P5 (pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam) tidak berbeda jauh dengan perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam). Perlakuan pengeringan matahari memberikan nilai pH yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai pH tepung
perlakuan
pengeringan
ERK.
Hal
ini
terjadi
akibat
aktivitas
mikroorganisme yang tinggi pada pengeringan matahari dan menghasilkan banyak asam organik sehingga menghasilkan tepung yang lebih asam. Tidak terdapat hubungan antara lama waktu pengeringan dengan matahari atau ERK 3, 5, 7, dan 16 jam terhadap nilai pH tepung kasava yang dihasilkan. Nilai pH yang rendah pada perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) disebabkan
oleh
proses
pengeringan
dengan
suhu
rendah
sehingga
mikroorganisme penghasil asam masih bekerja sehingga menghasilkan tepung yang relatif bersifat asam. Penurunan pH juga disebabkan oleh terbentuknya asam-asam organik selama proses fermentasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cardenas dan Buckle (1980), proses fermentasi dapat menurunkan nilai pH pati ubi kayu dari 5,5 menjadi 3,5 setelah mengalami
62
proses fermentasi selama 2 sampai 3 hari. Berbeda dengan perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) yang memiliki total asam lebih kecil akibat banyak asam-asam volatil menguap sehingga nilai pH tinggi. Nilai pH tepung perlakuan P5 (pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam) yang tinggi juga disebabkan oleh kandungan total asam yang relatif rendah sehingga nilai pH tinggi. Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perbedaan metode pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH tepung kasava terfermentasi. Metode pengeringan tidak memberikan pengaruh terhadap nilai pH tepung kasava yang dihasilkan. 2. Derajat Warna Warna sangat penting bagi bahan pangan. Pengukuran derajat warna tepung kasava terfermentasi dilakukan dengan menggunakan alat kolorimeter (colortech). Hasil yang diperoleh berupa nilai L, a, dan b. Hasil pengukuran warna tepung kasava dapat dilihat pada Tabel 10 dan Lampiran 8, grafik hubungan antara nilai a dan b ditampilkan pada Gambar 11. Nilai L menyatakan tingkat kecerahan tepung kasava terfermentasi yang dihasilkan dengan kisaran antara 0 sampai 100. Nilai a yang berkisar antara -80 sampai 100 menyatakan warna kromatik campuran merah hijau dengan nilai a (+) untuk warna merah dan nilai a (-) untuk warna hijau. Nilai b dengan kisaran -70 sampai 70 menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai b (+) untuk warna kuning dan nilai b (-) untuk warna biru. Analisa nilai a menunjukkan semua tepung bernilai positif yang berarti tepung kasava terfermentasi pada penelitian ini cenderung bernilai jingga dengan nilai a terbesar dimiliki tepung kasava perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam) sebesar 13,98 % dan terendah oleh perlakuan P1 (pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam) sebesar 11,56 %. Hal ini dapat disimpulkan tepung kasava perlakuan pengeringan P7 (pengeringan ERK 16 jam) memiliki kecenderungan berwarna kuning jingga dibandingkan dengan tepung kasava lainnya.
63
Tabel 10. Pengukuran warna tepung kasava terfermentasi Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
L (%) 86,15 85,87 85,00 86,42 85,93 86,02 81,29 84,53 86,48
Keterangan : P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
a (%) + 11,56 + 11,85 + 12,63 + 13,44 + 12,92 + 12,97 + 13,98 + 13,46 + 11,92
Chroma 35,53 37,52 36,86 35,37 37,15 35,85 36,50 36,45 37,07
Hue 71,01 71,59 69,96 67,66 69,65 68,79 67,48 68,33 71,24
: Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam : Pengeringan 7 jam matahari oven 5 jam : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam P2 P9 P3
P1
b (%) + 33,60 + 35,60 + 34,63 + 32,71 + 34,83 + 33,42 + 33,71 + 33,88 + 35,10
P6
P5 P7
P8 P4
Gambar 11. Pengaruh metode pengeringan terhadap derajat warna tepung kasava terfermentasi 64
Analisa nilai b menunjukkan semua tepung kasava pada penelitian ini juga bernilai positif yang berarti lebih cenderung berwarna kuning dengan nilai b terbesar pada perlakuan P2 (pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam) sebesar 35,60 % dan terendah pada perlakuan P4 (pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam) sebesar 32,71 %. Dengan demikian dapat dilihat bahwa tepung kasava terfermentasi perlakuan P2 (pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam) memiliki warna kuning yang paling cerah diantara tepung kasava lainnya. Nilai L tepung kasava yang dihasilkan berkisar antara 81,29 – 86,48 %. Nilai L tertinggi pada tepung perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) dan terendah P7 (pengeringan ERK 16 jam). Nilai L tepung kasava menunjukkan tingkat kecerahan tepung kasava. Semakin tinggi nilai L maka tepung kasava yang dihasilkan semakin cerah. Berdasarkan analisa kadar warna tepung kasava menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara lama waktu pengeringan dengan matahari atau ERK 3, 5, 7, dan 16 jam dengan tingkat kecerahan tepung kasava yang dihasilkan. Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap kecerahan tepung kasava yang dihasilkan. Perbedaan metode pengeringan tidak memberikan pengaruh terhadap kecerahan tepung kasava terfermentasi. 3. Uji Mikrokopis Granula Pati Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut dengan granula. Granula pati tepung kasava perlu diamati untuk mengetahui pengaruh fermentasi dan pengeringan terhadap struktur granula, sifat birefringence, pembengkakan, dan kerusakan dari granula pati. Sifat birefringence merupakan sifat granula pati yang dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi membentuk warna hitam-putih (Winarno, 1992). Komponen yang menyebabkan sifat birefringence adalah amilopektin. Makin rendah jumlah amilopektin maka sifat birefringence akan semakin kuat dan sebaliknya (Hood, 1981). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terlihat semua tepung mengalami keretakan bagian tengah granula yang bervariasi. Granula pati pada tepung kasava perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) dan P4 (pengeringan 5 jam matahari dan 65
oven 7 jam) mengalami keretakan paling kecil dibandingkan dengan tepung kasava lain. Tepung kasava perlakuan P6 (pengeringan 7 matahari dan oven 5 jam), P7 (pengeringan ERK 16 jam), dan P8 (pengeringan matahari 16 jam) memiliki tingkat keretakan granula yang paling besar. Dapat dilihat pada Gambar 12, kerusakan yang terjadi berupa retaknya beberapa granula pati pada tepung kasava yang dihasilkan. Besarnya tingkat keretakan tepung perlakuan P6 (pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam), P7 (pengeringan oven 16 jam), dan P8 (pengeringan matahari 16 jam) disebabkan oleh lama waktu pengeringan dan rendahnya suhu pengeringan sehingga masih memungkinkan terjadinya kerusakan oleh mikroorganisme. Hasil pengamatan mikroskopis granula pati menunjukkan adanya hubungan antara lama waktu pengeringan dengan matahari atau ERK terhadap tingkat kerusakan granula pati tepung yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan oleh rata-rata suhu pengeringan yang relatif lebih rendah sehingga aktivitas mikroorganisme tinggi dan menyebabkan kerusakan pada pati. Semakin lama waktu pengeringan dengan matahari atau ERK cenderung meningkatkan tingkat
kerusakan
pati.
Hal
ini
dikarenakan
oleh
tingginya
aktivitas
mikroorganisme sehingga menghasilkan asam yang dapat merusak granula pati. Menurut Taggart (2004), granula pati di bawah mikroskop akan merefleksikan cahaya terpolarisasi dan memperlihatkan pola ‘maltase cross’ (pola silang), yang dikenal dengan sifat birefringence. Pola ini terlihat warna birukuning sebagai bias indeks refraksi granula pati. Menurut French (1984), indeks granula pati dipengaruhi oleh struktur molekul amilosa dalam pati. Bentuk heliks dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati. Sifat birefringence ini akan hilang bila pati telah tergelatinisasi. Ciri birefringence ditunjukkan dengan terbentuknya huruf V dengan ujung runcing bertumpu pada garis yang melintang di ujung. Pada waktu granula pati mulai pecah, sifat birefringence akan hilang. Berdasarkan pengamatan granula pati menggunakan mikroskop terpolarisasi memperlihatkan semua tepung kasava yang dihasilkan mulai kehilangan sifat birefringence. Hal ini disebabkan oleh keretakan pada bagian tengah granula pati sehingga refleksi menjadi memudar.
66
P1
P2
P3
P4
P5 67
P6
P7
P8
P9
Gambar 12. Pengaruh metode pengeringan terhadap sifat mikroskopis granula pati tepung kasava terfermentasi Terlihat pada gambar hasil uji mikrokopis terpolarisasi tepung kasava perlakuan P6 (pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam) sedikit terlihat sifat birefringence
berkurang.
Hal
ini
dikarenakan
proses
fermentasi
yang
menghasilkan asam-asam organik terutama asam laktat menyebabkan terjadinya
68
kerusakan granula pati. Hal ini juga terjadi pada perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam). Hal yang berbeda ditunjukkan oleh perlakuan P2 (pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam) yang masih memiliki sifat birefringence. Hasil analisa dengan mikroskop terpolarisasi juga memperlihatkan struktur dan ukuran granula pati yang bervariasi. 4. Total Padatan Terlarut Total padatan terlarut merupakan bahan sisa penguapan yang tertinggal ketika suatu larutan dipanaskan. Sisa penguapan yang tertinggal terjadi ketika larutan dipanaskan dengan suhu di atas 100 0C. Padatan terlarut ini terdiri dari senyawa-senyawa organik dan anorganik yang larut dalam air, mineral, dan garam-garamnya. Total padatan terlarut dari tepung yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 7,14 – 12,48 % (Lampiran 9). Total padatan terlarut tertinggi terdapat pada tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) dan terendah pada perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam). Perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) memiliki total padatan tertinggi karena terjadinya proses parboiling saat pengeringan. Pemanasan yang tidak merata menyebabkan banyak partikel yang terikat oleh air. Tingginya total padatan terlarut pada perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) juga dipengaruhi oleh tingkat penguraian karbohidrat yang tinggi. Semakin banyak karbohidrat yang terurai selama proses fermentasi dan pengeringan pada suhu rendah menyebabkan semakin banyak fraksi karbohidrat yang terlarut. Hal ini sesuai dengan hasil analisa kadar karbohidrat yang rendah pada perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) karena banyak yang terurai. Berbeda dengan perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) memiliki total padatan terendah karena sedikit komponen karbohidrat yang terurai. Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa metode pengeringan dengan suhu yang lebih tinggi dapat mengurangi total padatan terlarut. Semakin lama waktu pengeringan dengan matahari atau ERK cenderung meningkatkan total padatan terlarut. Hal tersebut terlihat pada pengeringan matahari atau ERK selama 16 jam memiliki total padatan terlarut yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 7 jam, pengeringan matahari atau ERK 69
selama 7 jam memiliki total padatan terlarut yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 5 jam, dan pengeringan matahari atau ERK selama 5 jam memiliki total padatan terlarut yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari atau ERK selama 3 jam. Hal tersebut disebabkan oleh rata-rata suhu pengeringan yang lebih rendah dibandingkan ketika chip ubi kayu dimasukkan ke dalam oven sehingga banyak komponen karbohidrat yang terurai. Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut tepung kasava termodifikasi. Perbedaan metode pengeringan tidak memberikan pengaruh terhadap perbedaan total padatan terlarut tepung yang dihasilkan. 5. Absorbsi Air dan Minyak Daya serap air dan minyak pada tepung perlu diperhatikan karena jumlah air dan minyak yang ditambahkan pada tepung akan mempengaruhi sifat fisik dan proses pengolahan tepung menjadi produk pangan. Absorbsi air dan minyak digunakan untuk mengukur besarnya kemampuan tepung untuk menyerap air dan minyak. Air yang terserap dalam molekul pati disebabkan oleh sifat fisik granula maupun terikat secara intramolekuler. Tingkat
penyerapan air dan minyak
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kandungan amilosa, ukuran granula pati, dan kadar lemak dari bahan (Kulp dan Joseph, 2000). Hasil analisa absorbsi air dari tepung yang dihasilkan berkisar antara 19,8 – 33,2 % (Gambar 13 dan Lampiran 10). Absorbsi air tertinggi pada tepung perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) sedangkan terendah adalah tepung perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam). Hasil analisa absorbsi minyak dari tepung yang dihasilkan berkisar antara 22,65 – 37 % (Gambar 13 dan Lampiran 10). Absorbsi minyak tertinggi pada tepung perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) sedangkan terendah adalah tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam). Tidak terdapat hubungan antara lama waktu pengeringan dengan matahari atau ERK 3, 5, 7, dan 16 jam terhadap nilai absorbsi air dan minyak tepung kasava yang dihasilkan.
70
Kadar serat tepung kasava juga ikut menentukan tingkat absorpsi air dan minyak. Kadar serat yang tinggi akan meningkatkan daya serap air dan minyak. Berdasarkan analisa kadar serat, tepung kasava perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) memiliki kadar serat paling tinggi. Kadar serat yang tinggi pada tepung P8 (pengeringan matahari 16 jam) seharusnya mempengaruhi tingginya tingkat serapan air dan minyak, namun hasil analisa menunjukkan daya serap air dan minyak tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) paling rendah. Hal ini disebabkan daya serap air tepung kasava tidak hanya dipengaruhi oleh kadar serat, namun juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti kadar pati, kadar
Aabsorpsi air dan minyak (%)
amilosa, dan kerusakan granula pati. 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00
Absorpsi air
10.00
Absorpsi minyak
5.00 0.00 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 Perlakuan
Gambar 13. Pengaruh metode pengeringan terhadap absorbsi air dan minyak tepung kasava terfermentasi Keterangan : P1 : Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam P2 : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam P3 : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam P4 : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam P5 : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam P6 : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam P7 : Pengeringan ERK 16 jam P8 : Pengeringan matahari 16 jam P9 : Pengeringan oven 12 jam
Tingkat absorbsi air pada perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam) tidak berbeda jauh dengan P8 (pengeringan matahari 16 jam). Absorbsi air dan minyak yang rendah pada tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) disebabkan oleh rendahnya kadar pati. Kadar pati dalam tepung mempengaruhi daya serap air.
71
Kadar pati yang rendah memiliki kandungan amilosa yang rendah sehingga absorbsi air dan minyak menjadi rendah. Menurut Malz (1959) dalam Febriyanti (1990), tepung dengan kadar amilosa tinggi akan lebih banyak menyerap air. Berbeda halnya dengan tepung perlakuan P9 (pengeringan oven 16 jam) yang memiliki kadar pati yang tinggi sehingga daya serap air lebih tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi daya serap air dan minyak tepung adalah tingkat kerusakan granula pati dan kadar air tepung. Tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) yang memiliki tingkat kerusakan granula pati yang tinggi menyebabkan daya serap air dan minyak menjadi rendah. Menurut Winarno (1992), granula pati yang utuh tidak dapat larut dalam air dingin, akan tetapi granula dapat menyerap air dan membengkak. Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis granula pati menunjukkan bahwa granula pati tepung perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) memiliki tingkat keretakan yang kecil. Hal ini yang menyebabkan tingginya daya serap air dan minyak pada tepung tersebut. Kadar air yang tinggi pada tepung P8 (pengeringan matahari 16 jam) menyebabkan air yang terserap lebih sedikit dibandingkan dengan tepung perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) yang memiliki kadar air lebih rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hanif (2009), tepung kasava perlakuan rava yang memiliki kadar serat dan kadar air yang tinggi memiliki daya serap air yang rendah karena granula pati tidak mampu lagi menyerap air dari luar. Sama halnya dengan penelitian Lidiasari et al. (2006), tepung tape ubi kayu dengan kadar air yang tinggi memiliki daya serap air yang rendah. Kadar air yang tinggi juga mengakibatkan tepung tidak mampu menyerap minyak karena minyak bersifat hidrofobik. Menurut Adebowale et al. (2005), daya pengikatan minyak juga dipengaruhi oleh gugus lipofilik yang menyelimuti granula pati. Lemak yang ada pada tepung baik yang terkandung dalam granula pati maupun menyelimuti granula pati dapat menyebabkan granula pati memiliki sisi hidrofobik sehingga diduga mampu berikatan dengan komponen minyak atau lemak dari luar garanula pati. Hal inilah yang menyebabkan daya serap minyak yang tinggi pada tepung perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam).
72
Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) (Lampiran 10) menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan berpengaruh nyata terhadap absorbsi air dan minyak tepung kasava yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan perbedaan metode pengeringan memberikan pengaruh terhadap absorbsi air dan minyak dari tepung kasava yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan yang dilakukan pada analisa absorbsi air dan minyak memperlihatkan perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam) dan P8 (pengeringan matahari 16 jam) tidak saling berbeda nyata, namun keduanya memberikan perbedaan yang nyata dengan perlakuan pengeringan P9 (pengeringan oven 12 jam). 6. Swelling Power dan Kelarutan pada Suhu 90 0C Swelling power atau daya kembang pati didefiniskan sebagai pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati dalam air (Balagopalan et al., 1988). Swelling power dan kelarutan terjadi akibat adanya ikatan-ikatan nonkovalen antar molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun, jumlah air yang terserap dan pembengkakannya hanya mencapai 30% (Winarno, 1992). Tingkat kelarutan tepung dalam media cair merupakan salah satu sifat yang penting dalam aplikasi industri baik pangan maupun non pangan. Nilai kelarutan tepung sangat bermanfaat dalam menentukan jumlah optimal tepung yang digunakan untuk proses produksi, sehingga akan menghasilkan produk dengan karakteristik yang diinginkan serta produksi yang efisien. Swelling power pati dipengaruhi oleh kekuatan dan sifat alami antar molekul dalam granula yang juga bergantung pada sifat alami dan kekuatan daya ikat dalam granula. Menurut Winarno (1992), pengembangan granula pati dipengaruhi oleh konsentrasi, pH larutan, garam, lemak, surfaktan, dan protein. Analisa swelling power tepung yang dihasilkan berkisar antara 0,46 – 1,07 % (Gambar 14 dan Lampiran 11). Nilai swelling power tertinggi pada tepung perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) dan terendah pada tepung perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam), sedangkan tingkat kelarutan tepung kasava berkisar antara 3,32 - 5,32 % (Gambar 14 dan Lampiran 11). Kelarutan tertinggi pada
73
tepung kasava perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) dan terendah adalah tepung kasava perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam). Rendahnya nilai swelling power tepung perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam) disebabkan oleh rusaknya sebagian granula pati. Granula memiliki sifat tidak
Kelarutan dan swelling power (%)
larut dalam air panas, namun akan mengembang pada air panas. Granula akan 6.00 5.00 4.00 3.00 kelarutan 2.00 swelling power
1.00 0.00 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
Perlakuan
Gambar 14. Pengaruh metode pengeringan terhadap kelarutan dan swelling power tepung kasava terfermentasi Keterangan : P1 : Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam P2 : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam P3 : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam P4 : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam P5 : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam P6 : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam P7 : Pengeringan ERK 16 jam P8 : Pengeringan matahari 16 jam P9 : Pengeringan oven 12 jam
terus membengkak dengan meningkatnya suhu. Pembengkakan granula menyebabkan terjadinya penekanan antara granula satu dengan lainnya. Pada saat awal pembengkakan granula bersifat “reversible”, namun ketika suhu tertentu sudah terlewati, pembengkakan granula bersifat “irreversible”. Proses terjadinya pembengkakan pada saat irreversible disebut gelatinisasi, sedangkan selang suhu terjadinya gelatinisasi disebut suhu gelatinisasi. Jika proses gelatinisasi terus terjadi di atas suhu gelatinisasi akan menyebabkan pembengkakan granula lebih besar. Besarnya pembengkakan merupakan karakterisasi dari masing-masing pati. Granula pati yang besar memperlihatkan ketahanan yang lebih besar terhadap
74
perlakuan panas dan air dibandingkan granula yang lebih kecil (Hanif, 2009). Pada perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam) granula pati sudah pecah dan hancur karena telah mengalami proses parboiling. Hal ini menyebabkan rendahnya swelling power pada tepung kasava perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam). Tidak terdapat hubungan antara lama waktu pengeringan dengan matahari atau ERK 3, 5, 7, dan 16 jam terhadap nilai swelling power tepung kasava yang dihasilkan. Sifat kelarutan yang rendah pada tepung kasava perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) disebabkan oleh kandungan lemak yang tinggi pada tepung tersebut. Lemak bersifat hidrofobik sehinga tepung sulit larut dalam air. Hal ini berbeda dengan tepung kasava perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) yang memiliki nilai kelarutan yang tinggi karena kadar lemak yang rendah. Berdasarkan analisa tingkat kelarutan ini dapat disimpulkan bahwa tepung yang memiliki kadar lemak tinggi lebih sulit untuk larut dalam air dibandingkan dengan tepung yang memiliki kadar lemak yang lebih rendah. Tidak terdapat hubungan antara lama pengeringan matahari atau ERK selama 3, 5, 7, dan 16 jam dengan nilai kelarutan tepung kasava yang dihasilkan. Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) (Lampiran 11) menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan berpengaruh nyata terhadap kelarutan dan swelling power dan kelarutan tepung kasava pada suhu 90 0C. Perbedaan metode pengeringan mempengaruhi sifat pengembangan dan kelarutan pati pada suhu 90 0C. Uji lanjut Duncan swelling power memperlihatkan perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam) dan P8 (pengeringan matahari 16 jam) tidak saling berbeda nyata, namun keduanya saling berbeda nyata dengan perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam). Hal ini sama pada uji lanjut Duncan untuk kelarutan dalam air. Hal ini terjadi karena kadar lemak tepung perlakuan P7 (pengeringnan ERK 16 jam) dan P8 (pengeringan matahari 16 jam) tidak saling berbeda nyata, namun keduanya berbeda nyata dengan perlakuan pengeringan P9 (pengeringan oven 12 jam). 7. Sifat Amilografi Sifat amilografi merupakan salah satu karakteristik yang penting dari tepung. Sifat amilografi tepung berkaitan dengan viskositas tepung dengan 75
konsentrasi tertentu selama pemanasan dan gelatinisasi. Pengukuran sifat amilografi meliputi pengukuran suhu gelatinisasi, laju peningkatan viskositas pemanasan, suhu granula pecah, viskositas maksimum, viskositas jatuh, laju peningkatan viskositas pendinginan, dan viskositas balik. Setiap jenis pati akan mulai tergelatinisasi pada suhu tertentu. Menurut Ciptadi dan Nasution (1978) dalam Hanif (2009), suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Suhu awal gelatinisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran molekul amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemasakan. Tidak ada hubungan yang nyata antara gelatinisasi dengan ukuran granula patinya, tetapi mempunyai hubungan dengan
kekompakan
granula
dan
amilopektin
berdasarkan
derajat
polimerisasinya. Menurut Winarno (1992) peningkatan viskositas disebabkan karena terjadinya pembengkakan granula pati yang irreversible di dalam air, dimana energi kinetik molekul-molekul air lebih kuat daripada daya tarik menarik pati di dalam granula pati. Ketika pati mulai mengalami gelatinisasi, granula pati kehilangan sifat birefringence dimana granula sudah tidak mempunyai sifat kristal lagi (Winarno, 1992). Proses gelatinisasi terus terjadi hingga mencapai viskositas maksimum. Viskositas maksimum adalah viskositas tertinggi dimana granula sudah mulai pecah. Breakdown viscosity adalah selisih antara viskositas balik dengan viskositas maksimum. Setback viscosity adalah selisih antara viskositas akhir dengan viskositas balik dimana telah terjadi retrogradasi. Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa suhu awal gelatinisasi pasta tepung kasava yang dihasilkan berkisar antara 63,5 – 73,5 0C. Suhu gelatinisasi paling rendah adalah perlakuan P4 (pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam), sedangkan suhu paling tinggi adalah perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam). Balagopalan et al. (1988) mengatakan bahwa suhu gelatinisasi pati ubi kayu berkisar antara 58,5 – 70 0C. Suhu awal gelatinisasi dipengaruhi oleh penambahan surfaktan, penggunaan pelarut, adanya gugus hidroksil dari molekul pati, dan ikatan silang antar granula pati. Kerusakan yang terjadi selama proses fermentasi dan pengeringan menyebabkan perubahan pada granula pati sehingga viskositas rendah.
76
Menurut Leach (1965), setiap granula pati tidak selalu mengembang pada suhu yang sama. Komponen protein, lemak, dan gula pada tepung juga mempengaruhi suhu awal gelatinisasi. Kadar protein dan gula memiliki hubungan yang negatif dengan suhu awal gelatinisasi. Tepung dengan kandungan protein dan pati yang rendah memiliki suhu awal gelatinisasi yang tinggi. Tepung kasava perlakuan P9 (pengeringan oven 12 jam) memiliki suhu gelatinisasi paling tinggi sebesar 73,5 0C karena kadar protein yang rendah. Tingginya suhu gelatinisasi juga diakibatkan oleh kadar lemak yang tinggi. Menurut Collinson (1986), lemak mampu membuat kompleks dengan amilosa sehingga amilosa tidak dapat keluar dari granula pati. Akibatnya diperlukan energi yang lebih besar untuk melepaskan amilosa sehingga suhu awal gelatinisasi yang dicapai akan lebih tinggi. Rendahnya suhu gelatinisasi pada tepung perlakuan P4 (pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam) disebabkan oleh ukuran granula patinya yang lebih besar. Pati dengan ukuran granula yang lebih besar akan mengembang pada suhu yang relatif lebih rendah. Menurut Winarno (1992) dan Deman (1989), pati dengan butir yang lebih besar akan mengembang pada suhu yang lebih rendah dibandingkan pati berbutir kecil. Hal ini dikarenakan granula pati yang lebih besar mempunyai ikatan hidrogen intermolekuler yang lebih lemah. Hasil analisa menunjukkan viskositas maksimum tepung kasava yang dihasilkan berkisar antara 1235 – 2090 BU (Gambar 15 dan Tabel 11). Nilai viskositas maksimum tertinggi pada tepung kasava perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam) dan terendah P8 (pengeringan matahari 16 jam). Pada titik ini granula pati yang mengembang pecah dan diikuti dengan penurunan viskositas. Suhu dimana viskositas maksimum tercapai disebut suhu akhir gelatinisasi. Pada suhu ini granula pati telah kehilangan sifat birefringence. Viskositas maksimum tertinggi pada perlakuan P7 (pengeringan ERK 16 jam) karena kandungan patinya yang cukup tinggi dan komponen non patinya yang rendah sehingga granula mudah menyerap air dan membengkak. Sedangkan viskositas maksimum terendah pada tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) karena terjadinya kerusakan granula pati selama proses fermentasi dan pengeringan sehingga viskositas rendah. Faktor lain penyebab rendahnya viskositas pada tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari 16 jam) adalah kadar patinya yang rendah.
77
Nilai breakdown viscosity tepung kasava yang dihasilkan berkisar antara 235 – 1150 BU. Nilai breakdown viscosity tertinggi pada tepung perlakuan pengeringan P6 (pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam) dan terendah P8 (pengeringan matahari 16 jam). Nilai breakdown viscosity merupakan selisih antara viskositas jatuh dan viskositas maksimum, dimana pada titik ini terjadi penghancuran granula hingga sempurna. Viskositas breakdown menggambarkan tingkat kestabilan pasta pati terhadap pemanasanan. Pada saat titik akhir viskositas jatuh granula hancur sehingga komponen amilosa dan amilopektin terpisah. Hanya komponen amilopektin yang tertinggal dalam granula, sedangkan komponen amilosa telah larut dalam air. Nilai breakdown viscosity yang rendah menunjukkan tingkat kehancuran granula yang cukup tinggi. Nilai setback viscosity (viskositas balik) tepung kasava yang dihasilkan berkisar antara 35 – 315 BU. Viskositas balik menujukkan kemampuan asosiasi atau retrogradasi molekul pati pada proses pendinginan. Pendinginan pasta tepung umbi dari suhu 95 0C ke suhu 50 0C meningkatkan viskositas pasta. Viskositas balik adalah selisih antara viskositas akhir dan viskositas jatuh. Semakin tinggi nilai viskositas balik maka semakin tinggi kemampuan pati mengalami retrogradasi. Menurut Wurzburg (1965), terpecahnya granula selama pemanasan menyebabkan jumlah amilosa yang keluar dari granula semakin banyak sehingga kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi meningkat. Pada Tabel 11 dan Gambar 15 dapat dilihat bahwa tepung kasava perlakuan P6 (pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam) mempunyai nilai viskositas balik yang lebih besar dari tepung lainnya. Hal ini menunjukkan perlakuan P6 (pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam) cepat mengalami retrogradasi dibandingkan dengan tepung kasava perlakuan yang lainnya, seperti dapat dilihat pada nilai viskositas akhirnya yang tinggi. Viskositas akhir masing-masing tepung kasava termodifikasi berbeda-beda dalam kisaran 885 – 1235 BU. Fenomena ini dapat terjadi karena pada waktu gelatinisasi granula pati tidak mengembang secara maksimal, akibatnya energi untuk memutuskan ikatan hidrogen intermolekul kurang. Ketika pendinginan terjadi, amilosa dapat bergabung dengan cepat membentuk kristal yang tidak larut. Sebaliknya untuk perlakuan yang lain, mempunyai amilosa
78
dengan kemampuan bersatu yang rendah, karena energi untuk melepas ikatan hidrogen rendah. Hasil analisa sifat amilografi menunjukkan perbedaan metode pengeringan memberikan pengaruh terhadap sifat amilografi tepung yang dihasilkan. Hal ini terbukti dengan terjadinya variasi suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum, breakdown viscosity, setback viscosity, dan viskositas akhir tiap tepung yang dihasilkan. Tabel 11. Sifat amilografi tepung kasava terfermentasi Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 Keterangan
Suhu awal gelatinisasi (0C) 66,9 66,9 65,8 63,5 65,8 64,6 64,6 66,9 73,6 : P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Viskositas maksimum (BU) 1375 1335 1525 1650 1745 1870 2090 1235 1430
Breakdown viscosity (BU) 540 560 630 955 860 1150 1065 235 710
Setback viscosity (BU) 50 100 140 250 185 315 185 35 80
Viskositas akhir (BU) 885 875 1035 945 1070 1035 1210 1235 800
: Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam
79
100 Suhu (0C)
2500
90 2000
P1
Brabender unit (BU)
80 1500
70
P2 P3
P4 60
1000
P5 P6
50
P7 P8
500 40
P9 Suhu
0
30 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Waktu (menit)
Gambar 15. Pengaruh metode pengeringan terhadap sifat amilografi tepung kasava terfermentasi Keterangan : P1 : Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam P2 : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam P3 : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam P4 : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam P5 : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam P6 : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam P7 : Pengeringan ERK 16 jam P8 : Pengeringan matahari 16 jam P9 : Pengeringan oven12 jam 80
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Metode pengeringan memberikan pengaruh terhadap mutu dan sifat fisiko kimia tepung kasava terfermentasi yang dihasilkan. Suhu merupakan faktor pengeringan yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dan enzim yang masih terdapat pada chip ubi kayu yang dikeringkan. Suhu pengeringan yang tinggi dapat menyebabkan cepat terjadinya inaktivasi mikroorganisme. Hal ini akan mempengaruhi rendahnya tingkat penguraian bahan oleh mikroorganisme. Selain mempengaruhi aktivitas mikroorganisme, suhu juga dapat mempengaruhi komposisi kimia tepung kasava secara langsung. Berdasarkan analisa komposisi kimia menunjukkan bahwa perbedaan metode pengeringan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air, abu, serat kasar, lemak, protein, dan karbohidrat (by difference), pati, dan total HCN. Analisa mutu tepung kasava menunjukkan perbedaan metode pengeringan memberikan pengaruh yang nyata terhadap derajat putih dan total mikroba, namun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap total asam tepung kasava. Secara umum tepung kasava yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu sesuai SNI 012997-1992. Beberapa tepung kasava tidak memenuhi persyaratan mutu untuk kadar abu, hanya tepung kasava perlakuan P1 (pengeringan 3 jam ERK dan oven selama 9 jam, P3 (pengeringan 5 jam ERK dan oven selama 7 jam), dan P9 (pengeringan oven penuh selama 12 jam) yang memenuhi persyaratan mutu SNI tepung kasava. Namun jika mengacu pada syarat layak konsumsi menurut CODEX STAN 176 – 1989 (Rev.1-1995) semua tepung kasava layak untuk dikonsumsi kecuali tepung perlakuan P8 (pengeringan matahari penuh selama 16 jam). Analisa sifat fisiko kimia tepung kasava menunjukkan bahwa perbedaan metode pengeringan memberikan pengaruh yang nyata terhadap sifat mikroskopis granula pati, absorbsi air dan minyak, kelarutan dan swelling power pada suhu 90 0
C, dan sifat amilografi pati. Perbedaan metode pengeringan tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap beberapa sifat fisiko kimia tepung kasava yang meliputi pH, derajat warna, dan total padatan terlarut.
81
Semakin lama waktu pengeringan dengan matahari atau ERK memberikan pengaruh terhadap peningkatan kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar protein, kadar HCN, total mikroba, kerusakan granula pati, total padatan, dan kerutan tepung kasava, namun menyebabkan penurunan kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar pati, dan derajat putih tepung kasava. Lama waktu pengeringan tidak memberikan pengaruh terhadap total asam, pH, derajat warna, absorbsi air dan minyak, dan swelling power. Secara umum pengeringan chip ubi kayu terfermentasi akan menghasilkan nilai nutrisi yang lebih baik (penurunan kandungan HCN) dan perbaikan sifat fisiko kimia tepung yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian ini, metode pengeringan
yang
direkomendasikan
adalah
pengeringan
ERK
karena
menghasilkan tepung kasava dengan kadar HCN dan swelling power yang lebih rendah.
B. SARAN Perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengkaji pengaruh metode pengeringan terhadap sifat pengembangan tepung kasava terfermentasi.
82
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, K., A. K. Irwanto., N. Siregar., E. Agustina., A. H. Tambunan., M. Yamin., E. Hartulistoyoso., Y. A. Purwanto., D. Wulandari, dan L. O. Nelwan. 1998. Energi dan Listrik Pertanian. JICA-DGHE IPB Project, Bogor. Achanta, S. dan Okos, M.R. 2000. Drying Technology in Agriculture and Food Science: Quality Changes During Drying of Food Polymers. Science Publishers, lnc. United States of Amerika. Achi, O. K., dan N. S. Akomas. 2006. Comparative Assesment of Fermentation Techniques in The Processing of Fufu, a Traditional Fermented Cassava Product. Pakistan Journal of Nutrition 5 (3): 224 – 229. Adebowale, K. O., B.I. Olu-Owolabi, O.O. Olayinka, dan O.S.Lawal. 2005. Effect of Heat Moisture Treatment and Annealing on Physicochemical Properties of Red Sorghum Starch. African Journal of Biotechnology 4(9): 928-933. Alves, A.A.C. 2002. Cassava Botany and Physiology. Di dalam: Hillocks, R.J. J.M. Thresh dan A.C Belloti (Ed.). 2002. Cassava Biology, Production, and Utilization. CABI Publishing, UK. American Public Health Association. 2005. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. Ed 21th. APHA, Washington DC. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemistry. Washington DC. Astuti, J.T. 1979. Pengaruh Penambahan NaHSO3, Blanching, dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Kelapa Parut Kering Selama Penyimpanan. Skripsi. Fatemeta IPB, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Perdagangan Komoditi Pertanian. BPS, Jakarta. Balagopalan, C., G. Padmaja, S. K. Nanda, dan S. N. Moorthy. 1988. Cassava in Food, Feed, and Industry. Boca Raton: CRC Press, Inc. Banks, W., C. T. Greenwood., dan D. D. Muir. 1973. The Structure Starch. Di dalam: Birch, G. G. dan L. F. Green (Ed.). 1973. Molecular Structure and Function of Food Carbohydrate. Aplied Science Publisher Ltd., London. Brook, T. J. 1970. Biology of Microorganism. Prentice Hall., Inc., New Jersey. Brooker, D. B., F. W. Bakker- Arkema, dan C. W. Hall. 1973. Drying Cereal Grain. The AVI publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Buckle, K. A. 1987. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Terjemahan. Universitas Indonesia: Jakarta.
83
Cardenas, O.S. dan T.S de Buckle. 1980. Sour Cassava Starch Production: A Preliminary Study. Journal of Food Science. 45: 1509-1512. Codex Alimentarius Commision. 1995. Edible Cassava Flour (CODEX STAN 176-1989 (Rev. 1 – 1995). Codex Alimentarius Commision. USA. Collison, R. 1986. Swelling Gelation of Starch. Di dalam: Radley, J. A (Ed.). 1968. Starch and Its Derivatives. Chapman and Hall Ltd., London. Conn, D.J.M. 1976. Cassava Utilization in Agroindustrial. Di dalam: Proceedings of The Fourth Symposium of The International Society for Tropical Root Crops. CIAT, Cali, Columbia, 1-7 August 1976, USA. Deman, J. M. 1989. Kimia Makanan Edisi Kedua. ITB, Bandung. Demiate, I. M., N. Dupuy, J. P. Huvenne, M. P. Cereda, dan G. Wosiacki. 1999. Relationship Between Baking Behaviour of Modified Cassava Starches and Starch Chemical Structure Determined by FTIR Spectroscopy. Carbohydrate Polymers. 42: 149 – 158. Departemen Perindustrian. 1989. Laporan Studi Pengembangan Industri Ubi Kayu di Brazil. Tgl 7-15 Juli 1989. Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2997-1992: Standar Mutu Tepung Ubi Kayu. Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta. Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Febriyanti, T. 1990. Studi Karakteristik Fisiko Kimia dan Fungsional Beberapa Varietas Tepung Singkong (Manihot esculanta Crantz). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Grace, M. R. 1977. Cassava Processing. Food and Agricultural Organization of The United Nations. Rome. Hanif, M. 2009. Produksi dan Karakterisasi Tepung Kasava Termodifikasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Henderson, S. M. dan Perry, R. L. 1976. Agricultural Process Engineering. Diterjemahkan oleh Moedjijarto Pratomo. Teknik Proses Pertanian. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Hood, L. F. 1981. Advance in Maize Carbohydrate. Di dalam: Fennema, O. R (ed.). Principles of Food Science. Marcel Dekker. Inc., New York. Kulp, K., dan Joseph, G. P. 2000. Handbook of Cereal Science and Technology. Marcel Dekker, New York. Leach, H. W. 1965. Gelatinization of Starch. Di dalam : Goldworth, R (Ed.). 1999. Abudant Plant Varieties. World Wide Inc., New York.
84
Lidiasari, E, Merynda.I.S., dan Friska S. 2006. Pengaruh Perbedaan Suhu Pengeringan Tepung Tapai Ubi Kayu Terhadap Mutu Fisika dan Kimia yang Dihasilkan. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 8 (2): 141-146. Margono, T, D. Suryati, dan S. Hartinah. 1993. Buku Panduan Teknologi Pangan. Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation. Muharam, S. 1992. Studi Karakteristik Fisiko Kimia dan Fungsional Tepung Singkong (Manihot esculenta Crantz) dengan Modifikasi Pengukusan, Penyangraian, dan Penambahan GMS, serta Aplikasinya dalam Pembuatan Roti Tawar. Skripsi. FATETA IPB, Bogor. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Newleander, J, A dan H. V. Alberton. 1982. Chemistry and Testing of Dairy Product. AVI Publ. Co., Westport: Connecticut. Penderson, C. S. 1971. Microbiology of Food Fermentation. AVI Publ. Co., Wessport. Connecticut. Perez, L.A.B., E.A. Acevedo, L.S. Hernandez, dan O.P. Lopez. 1999. Isolation and Partial Characterization of Banana Starch. Journal of Agriculture Food Chemistry. 47: 854-857. Rahman, A.M. 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia Fisik Tepung Tapioka dan Mocal (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk Kacang Salut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ricardson, T. dan D. B. Hyslop. Enzymes. Di dalam : Fennema, O. R (Ed.). 1996. Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc., New York. Sathe, S.K dan D.K Salunkhe. 1981. Isolation, Partial Characterization and Modification of the Great Northern Bean (Phaseolus vulgaris) Starch. Journal of Food Science. 46(2):617-621. Soeharto. 1991. Teknologi Pengawetan Pangan untuk Perguruan Tinggi: Teknologi Mesin, Industri Pertanian, Perikanan, Peternakan dan Pangan. Rineka Cipta. Malang. Stanbury, P.F. dan A. Whitaker. 1984. Principles of Fermentation Technology. Pergamon Press, Oxford, England. Subagio, A. 2008. Prosedur Operasi Standar (POS) Produksi Mocaf Berbasis Klaster. Southeast Asian Food And Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sudarmadji,S., Haryono,B., dan Suhardi. 1984. Analisis Bahan Makanan dan Pangan. Penerbit Liberty, Yogyakarta.
85
Susilawati. 2009. Kajian Karakteristik Cara Pengeringan Terhadap Sifat Baking Expansion Mocal (Modified Cassava Flour). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Taggart, P. 2004. Starch as Ingredient: Manufacture and Applications. Di dalam : Eliasson A. C (Ed). 2004. Starch in Food: Structure, Function, and Applications. CRC Press, Boca Raton. Tjokroadikoesoemo, P. S. 1986. HFS dan Industri Ubi KAyu Lainnya. PT. Gramedia, Jakarta. Vatanasuchart N, O. Naivikul, S. Charoenrein, dan K. Sriroth. 2004. Effect of Different UV Irradiation of Cassava Starch and Biscuit Expansion. Carbohydrate Polymers 61 (2005): 80-87. Wijaya, A. 2007. Uji Kerja Mesin Pengering Tipe Efek Rumah Kaca(ERK) Berenergi Surya dan Biomassa Untuk Pengeringan Biji Pala (Myristica sp.) di UD. Sari Awi, Ciherang Pondok, Caringin, Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Witarsa. 2004. Pengujian Kinerja Pengering Surya Dinding Tunggal dan Dinding Ganda untuk Pengeringan Cabai. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wurzburg, O.B. 1968. Starch in Food Industry. Di dalam: Furia, T. E (ed). 1968. Handbook of Food Additive. The Chemical Rubber Co., Ohio.
86
LAMPIRAN
87
Lampiran 1. Prosedur analisa sifat mutu dan fisiko kimia tepung kasava 4. Kadar Air (AOAC, 1995) Cawan alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sampel sebanyak 2 g lalu ditimbang (W1) kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105 0C selama 1-2 jam. Cawan alumunium dan sampel yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang. Ulangi pemanasan sampel sampai dicapai bobot konstan (W2). Sisa contoh dihitung sebagai total padatan dan air yang hilang sebagai kadar air. Kadar Air (%) = (W1-W2) x 100% W1 2. Kadar Abu (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g sampel ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (A), kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas Bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin berisi contoh (B) yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan dalam tanur bersuhu 600 0C selama 2 jam untuk mengubah arang menjadi abu (C). Cawan porselin berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar Abu (%) = (C – A) x 100% B 3. Kadar Lemak (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organik Hexana dalam Soxhlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan dengan cara diangin-anginkan dalam oven bersuhu 105 0C. Contoh didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Kadar Lemak (%) = Bobot lemak x 100% Bobot contoh 4. Kadar Protein (AOAC, 1995) Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat, 1 g katalis dan beberapa butir batu dadih. Lalu didestruksi hingga menghasilkan larutan jernih dan kemudian didinginkan. Larutan hasil destruksi dipindahkan ke alat destilasi dan
88
ditambahkan 15 ml NaOH 50%. Labu erlenmeyer yang berisi 25 ml HCl 0,02 N dan tetes indikator mengsel (campuran metil merah 0,02% dalam alkohol dan metal biru 0,02% dalam alkohol (2:2)) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor dibilas dengan akuades (ditampung dalam Erlenmeyer). Larutan yang berada dalam Erlenmeyer dititrasi dengan H2SO4 0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Setelah itu dilakukan pula penetapan blanko. Kadar protein (%) = (a-b) x N x 0,014 x6,25 x 100% W 5. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995) Sebanyak 2-4 g contoh ditimbang, lalu lemaknya dibebaskan dengan cara ekstraksi menggunakan Soxhlet atau diaduk, setelah mengendap tuangkan contoh dalam pelarut organik sebanyak tiga kali. Contoh dikeringkan dan ditambahkan 50 ml larutan H2SO4 1,25%, kemudian dididihkan selama 30 menit dengan pendingin tegak. Setelah itu ditambahkan 50 ml NaOH 3,25% dan didihkan kembali selam 30 menit. Dalam keadaan panas cairan disaring dengan corong Buchner yang berisi kertas saring tak berbau Whatman No. 41 yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan kertas saring berturut-turut dicuci dengan H2SO4 1,25% panas, air panas, dan etanol 96%. Kertas saring dan isinya diangkat dan ditimbang, lalu dikeringkan pada suhu 105 0C sampai bobot konstan. Kadar Serat Kasar (%) = (Berat kertas saring + bahan) – berat kertas saring) x 100% Berat bahan
6. Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat by difference = 100% - (P + KA + A + L +S) Keterangan: P
= Kadar Protein (%)
KA
= Kadar Air (%)
A
= Kadar Abu (%)
L
= Kadar Lemak (%)
S
= Kadar Serat Kasar (%)
89
7. Kadar Pati (Luff Schoorl dalam Sunarti et al., 2009) Sampel sebanyak 1 g dimasukkan dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 200 ml HCl 3 %. Bahan dihidrolisis selama 1 jam menggunakan Autoclave 115
0
C. Setelah dingin dinetralkan dengan NaOH 40 %.
Selanjutnya dimasukkan dalam labu ukur 250 ml dan tambahkan aquades sampai tanda tera. Bahan dipipet sebanyak 10 ml, lalu dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml dan tambahkan larutan Luff Schoorl 25 ml. Larutan dididihkan di bawah pendingin tegak selama 10 menit. Contoh selanjutnya didinginkan. Tambahkan 20 ml larutan KI 20% dan 25 ml H2SO4 25% secara perlahan. Selanjutnya dititrasi dengan menggunakan larutan Sodiumtiosulfat 0,1 N, gunakan indikator kanji. Kerjakan juga blangko, sebagai ganti contoh gunakan aquades Kadar pati = 0,9 x pengenceran x mg monosakarida x 100% Bobot contoh awal (mg) 8. Kadar HCN (APHA, 2005) Sebanyak 10 g sampel dilarutkan dalam 100 ml aquades dan dilakukan proses maserasi selama 1 malam, selanjutnya 25 ml cairan hasil maserasi disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm sampai warna larutan jernih. Setelah itu, tambahkan 1 ml asam asetat dan 2 ml cairan chloramine-T, kocok sampai merata lalu diamkan selama 2 menit. Kemudian tambahkan 5 ml reagen asam barbituric piridin, dikocok dan tunggu selama 8 menit. Buat kurva standar HCN sehingga diperoleh persamaan standar total HCN. Ukur pada panjang gelombang 578 nm dan masukkan nilai absorban kedalam persamaan standar yang diperoleh. Kadar HCN (mg/kg) : (1000/ B) x A Keterangan:
A = Nilai absorbansi dari persamaan standar B = Basis kering tepung = 10 X (1- kadar air)
9. Total Asam (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 10 g ditera dengan aquades sampai 50 ml. Larutan tersebut disaring menggunakan kertas saring hingga didapat 25 ml cairan jernih. Kemudian diberi indikator phenolphthalein dan dititrasi dengan NaOH 0,1 N yang sudah distandarisasi.
90
Total Asam = ml NaOH x Normalitas x 100 Volume contoh 10. Total Mikroba (AOAC, 1995) Total mikroba diukur dengan menggunakan metode tuang. Sampel sebanyak 1 g ditimbang, kemudian dilakukan pengenceran pada tingkat yang dikehendaki. Contoh dipipet sebanyak 1 ml lalu disebarkan dalam cawan petri, dan digoyang hingga rata. Setelah itu dimasukkan media sesuai analisa mikroba yang diinginkan. Untuk total plate count menggunakan media PCA, analisa
E.coli
menggunakan
media
EMB,
dan
analisa
Salmonella
menggunakan media SSA. Selanjutnya diinkubasi selama 24-48 jam dalam inkubator, setelah masa inkubasi selesai dilakukan perhitungan jumlah koloni. 11. Total Padatan Terlarut (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 2,5 g dilarutkan dalam 10 ml aquades lalu diaduk. Sampel yang telah dikocok merata disaring dengan kertas saring. Cairan yang lolos penyaringan ditempatkan pada cawan dan dimasukkan dalam cawan alumunium yang diketahui beratnya (B1). Kemudian contoh dalam cawan tersebut diuapkan dalam oven pengering pada suhu 105 0C sampai berat konstan (B2). Zat padat terlarut (mg/l) = ( B2 - B1 ) x 106 ml contoh 12. pH (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 2,5 g dilarutkan dalam 25 ml aquades. Pengukuran pH menggunakan alat pH meter yang sudah dikalibrasi. 13. Warna dan Derajat Putih Derajat warna dan putih diukur dengan alat colortech. Alat diletakkan di atas contoh dalam wadah dan nilai terbaca pada alat yang menunjukkan nilai L, a, b. Selanjutnya dihitung nilai Hue dan Croma. Hue
= arc tan (b/a)
Croma
= (a2 + b2)1/2
91
14. Absorbsi Air dan Minyak (Sathe dan Salukhe, 1982) Sampel sebanyak 0,5 g ditambah 5 ml aquades atau minyak dan diaduk selama 30 detik. Lalu didiamkan selama 30 menit dalam ruangan. Kemudian sebanyak 0,15 ml sampel tersebut dimasukkan ke dalam tabung eppendorf untuk disentrifugasi selama 30 menit pada suhu kamar dengan kecepatan 5000 rpm. Setelah terbentuk suspensi, cairan yang tidak larut air atau minyak dipipet dan ditimbang (A). Absorpsi air atau minyak (%) = 0,15 ml – A x 100% 0,15 ml 15. Kelarutan dan swelling power (Modifikasi Perez et al., 1999) Sampel ditimbang sekitar 0,5 g (A) dan dicampur aquades dalam labu Erlenmeyer 100 ml. Sampel ditempatkan pada penangas air dengan suhu 90 0
C selama 2 jam dengan pengadukan kontinyu. Sampel yang telah dipanaskan
kemudian disentrifugasi dengan kecepatan standar selama 15 menit. Suspensi tersebut diambil 30 ml larutan yang jernih kemudian diletakkan pada cawan petri yang telah diketahui bobotnya (B). Cawan petri yang telah diketahui bobotnya (B). Cawan petri dikeringkan pada oven bersuhu 100 0C hingga bobotnya konstan, kemudian ditimbang dan dihitung bobot akhirnya (C). Swelling power merupakan bobot endapan endapan yang tertinggal dalam tabung sntrifuse (D). Kelarutan (%)
= (C – B) x 50 ml x 100% A x 30 ml
Swelling power (%)
=
D x 100% A x ( 100% - %kelarutan)
16. Sifat Amilografi Pengukuran sifat-sifat amilografi dilakukan dengan menggunakan alat Viscoamylograph Brabender. Sampel tepung sebanyak 45 g ditambahkan 450 ml air dan diaduk hingga homogen selama 5 menit kemudian disiapkan pada alat Viscoamilograph Brabender. Pemanasan awal dilakukan sampai suhu 30 0
C. Pada saat tersebut pena recorder harus berada pada garis nol (0).
Pemanasan dilanjutkan selama 45 menit sampai suhu 95 0C (kenaikan suhu 1,5 0C/menit). Setelah suhu mencapai 50 0C, dibiarkan dulu selama 10 menit.
92
Parameter yang diperoleh dari kurva amilografi yaitu suhu gelatinisasi awal, viskositas maksimum, viskositas akhir, breakdown viscosity dan setback viscosity.
93
Lampiran 2. Data analisa komposisi kimia tepung kasava terfermentasi A. Data analisa kadar air (% bb) Perlakuan P1 Rata-rata P2 Rata-rata P3
Rata-rata P4 Rata-rata P5 Rata-rata P6 Rata-rata P7 Rata-rata P8 Rata-rata P9 Rata-rata
Ulangan I 6,87 7,27 7,07 7,79 7,25 7,52 7,41 6,45 6,93 7,92 8,74 8,33 7,99 8,35 8,17 8,81 8,27 8,54 7,86 8,32 8,09 8,19 10,47 9,33 6,94 7,43 7,19
Ulangan II 7,69 7,03 7,36 6,91 7,45 7,18 7,48 7,86 7,67 7,39 7,89 7,64 7,02 5,96 6,49 8,19 7,37 7,78 8,49 8,51 8,50 7,73 9,85 8,79 7,75 7,03 7,39
Ulangan III 7,11 6,75 6,93 7,31 7,27 7,29 8,26 7,36 7,81 7,65 7,31 7,48 8,09 7,89 7,99 8,29 8,99 8,64 9,03 8,55 8,79 8,62 9,02 8,82 6,11 6,22 6,17
Rata-Rata (% bb) 7,12
7,33
7,47
7,82
7,55
8,32
8,46
8,98
6,91
Uji sidik ragam kadar air (% bb) Sumber JK db MS Rata-rata 1631,623 1 1631,623 Perlakuan 11,182 8 1,398 Galat 4,444 18 0,247 Total 1647,249 27 R Square = 0,716 (R Square terkoreksi= 0,589) *= berpengaruh nyata (P < 0,05)
F 6609,427 5,662
Signifikansi (P) 0,000 0,001*
94
Uji lanjut Duncan kadar air Perlakuan P9 P1 P2 P3 P5 P4 P6 P7 P8 Keterangan
Rata-rata Kode 6,917 A 7,120 A 7,330 A 7,470 A B 7,550 A B C 7,817 A B C 8,320 B C D 8,460 C D 8,980 D : Kode yang sama menunjukkan rata-rata tidak berbeda nyata Kode yang tidak sama menunjukkan rata-rata berbeda nyata
Keterangan
: P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
: Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam
95
B. Data analisa kadar abu Perlakuan P1
Ulangan II III
Rata-rata P2
II III
Rata-rata P3
II III
Rata-rata P4
II III
Rata-rata P5
II III
Rata-rata P6
II III
Rata-rata P7 Rata-rata P8 Rata-rata P9
II III II III II III
Rata-rata
Kadar abu (% bb) 1,03 0,85 0,94 1,45 1,87 1,66 1,52 1,22 1,37 1,76 1,88 1,82 1,45 1,77 1,61 1,88 1,98 1,93 2,01 1,71 1,86 2,63 3,07 2,85 0,90 0,82 0,86
Kadar abu (% bk) 1,11 0,92 1,01 1,56 2,02 1,79 1,64 1,33 1,49 1,91 2,03 1,97 1,55 1,93 1,74 2,04 2,17 2,11 2,19 1,88 2,03 2,89 3,37 3,13 0,97 0,87 0,92
Uji sidik ragam kadar abu (% bk) Sumber JK db MS Rata-rata 58,248 1 58,248 Perlakuan 6,879 8 0,860 Galat 0,428 9 0,048 Total 65,555 18 R Square = 0,941 (R Square terkoreksi= 0,889) *= berpengaruh nyata (P < 0,05)
F 1224,842 18,082
Signifikansi (P) 0,000 0,000*
96
Uji lanjut Duncan kadar abu Perlakuan P9 P1 P3 P5 P2 P4 P7 P6 P8 Keterangan
Rata-rata Kode 0,920 A 1,015 A B 1,485 B C 1,740 C D 1,790 C D 1,970 C D 2,035 D 2,105 D 3,130 E : Kode yang sama menunjukkan rata-rata tidak berbeda nyata Kode yang tidak sama menunjukkan rata-rata berbeda nyata
Keterangan
: P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
: Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam
97
C. Data analisa kadar lemak Perlakuan P1
Ulangan II III
Rata-rata P2
II III
Rata-rata P3
II III
Rata-rata P4
II III
Rata-rata P5
II III
Rata-rata P6
II III
RATA-RATA P7 Rata-rata P8 Rata-rata P9 Rata-rata
II III II III II III
Kadar lemak (% bb) 1,86 1,73 1,795 0,99 1,23 1,11 1,24 1,01 1,125 1,18 0,70 0,94 1,14 0,96 1,05 0,84 0,62 0,73 0,66 1,12 0,89 0,72 0,44 0,58 2,31 2,11 2,21
Kadar lemak (% bk) 2,00 1,86 1,93 1,07 1,33 1,20 1,34 1,10 1,22 1,28 0,76 1,02 1,22 1,05 1,13 0,91 0,68 0,80 0,72 1,24 0,98 0,79 0,48 0,64 2,50 2,25 2,38
Uji sidik ragam kadar lemak (% bk) Sumber JK db MS F Signifikansi (P) Rata-rata 28,325 1 28,325 550,601 0,000 Perlakuan 4,911 8 0,614 11,933 0,001* Galat 0,463 9 0,051 Total 33,699 18 R Square = 0,914 (R Square terkoreksi = 0,837) * = berpengaruh nyata (P < 0,05)
98
Uji lanjut Duncan kadar lemak Perlakuan Rata-rata Kode P8 0,635 A P6 0,795 A B P7 0,980 A B P4 1,020 A B P5 1,135 A B P2 1,200 B P3 1,220 B P1 1,930 C P9 2,375 C Keterangan : Kode yang sama menunjukkan rata-rata tidak berbeda nyata Kode yang tidak sama menunjukkan rata-rata berbeda nyata Keterangan
: P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
: Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam
99
D. Data analisa kadar protein Perlakuan Ulangan II P1 III Rata-rata II P2 III Rata-rata II P3 III Rata-rata II P4 III Rata-rata II P5 III Rata-rata II P6 III Rata-rata II P7 III Rata-rata II P8 III Rata-rata II P9 III Rata-rata
Kadar protein (% bb) 0,79 0,84 0,82 0,80 0,87 0,84 0,85 0,88 0,865 0,91 0,78 0,85 0,80 0,95 0,88 1,24 1,14 1,19 0,88 0,86 0,87 1,58 1,56 1,57 0,76 0,81 0,785
Kadar protein (% bk) 0,85 0,90 0,88 0,86 0,94 0,90 0,92 0,95 0,94 0,99 0,84 0,91 0,86 1,03 0,95 1,34 1,25 1,29 0,96 0,94 0,95 1,74 1,71 1,73 0,82 0,86 0,84
Uji sidik ragam kadar protein (% bk) Sumber JK db MS F Rata-rata 19,552 1 19,552 4874,482 Perlakuan 1,330 8 0,166 41,435 Galat 0,036 9 0,004 Total 20,918 18 R Square = 0,974 (R Square terkoreksi = 0,950) * = berpengaruh nyata (P < 0,05)
Signifikansi (P) 0,000 0,000*
100
Uji lanjut Duncan kadar protein Perlakuan P9 P1 P2 P4 P3 P5 P7 P6 P8 Keterangan
Rata-rata Kode 0,840 A 0,875 A 0,900 A 0,915 A 0,935 A 0,945 A 0,950 A 1,295 B 1,725 C : Kode yang sama menunjukkan rata-rata tidak berbeda nyata Kode yang tidak sama menunjukkan rata-rata berbeda nyata
Keterangan
: P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
: Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven 5 jam : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam
101
E. Data analisa kadar serat kasar Perlakuan Ulangan II P1 III Rata-rata II P2 III Rata-rata II P3 III Rata-rata II P4 III Rata-rata II P5 III Rata-rata II P6 III Rata-rata II P7 III Rata-rata II P8 III Rata-rata II P9 III Rata-rata
Kadar serat (% bb) 1,88 1,98 1,93 1,95 1,77 1,86 2,04 2,24 2,14 1,79 1,85 1,82 2,35 2,41 2,38 2,60 2,54 2,57 2,67 2,75 2,71 3,02 2,88 2,95 1,77 2,01 1,89
Kadar serat (% bk) 2,03 2,13 2,08 2,11 1,91 2,01 2,21 2,43 2,32 1,94 2,00 1,97 2,52 2,62 2,57 2,82 2,78 2,80 2,92 3,02 2,97 3,31 3,16 3,24 1,91 2,14 2,02
Uji sidik ragam kadar serat kasar (% bk) Sumber JK db MS F Rata-rata 107,360 1 107,360 9710,963 Perlakuan 3,563 8 0,445 40,283 Galat 0,100 9 0,011 Total 111,022 18 R Square = 0,973 (R Square terkoreksi = 0,949) * = berpengaruh nyata (P < 0,05)
Signifikansi (P) 0,000 0,000*
102
Uji lanjut Duncan kadar serat kasar Perlakuan P4 P2 P9 P1 P3 P5 P6 P7 P8 Keterangan Keterangan
Rata-rata Kode 1,970 A 2,010 A 2,025 A 2,080 A 2,320 B 2,570 C 2,800 C D 2,970 D 3,235 E : Kode yang sama menunjukkan rata-rata tidak berbeda nyata Kode yang tidak sama menunjukkan rata-rata berbeda nyata : P1 : Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam P2 : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam P3 : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam P4 : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam P5 : Pengeringan 7 jam ERK dan oven5 jam P6 : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam P7 : Pengeringan ERK 16 jam P8 : Pengeringan matahari 16 jam P9 : Pengeringan oven 12 jam
F. Data analisa kadar karbohidrat Perlakuan Ulangan II (%bk) P1 86,64 P2 87,23 P3 86,21 P4 86,24 P5 87,36 P6 85,10 P7 84,70 P8 82,48 P9 86,41
Ulangan III (%bk) 87,31 86,59 86,41 86,74 85,56 84,39 84,11 82,43 87,75
Rata-rata (%bk) 86,97 86,91 86,31 86,49 86,46 84,75 84,41 82,45 87,08
Uji sidik ragam kadar karbohidrat (% bk) Sumber JK db MS F Rata-rata 132382,566 1 132382,566 338535,858 Perlakuan 39,312 8 4,914 12,566 Galat 3,519 9 0,391 Total 132425,397 18 R Square = 0,918 (R Square terkoreksi = 0,845) * = berpengaruh nyata (P < 0.05)
Signifikansi (P) 0,000 0,000*
103
Uji lanjut Duncan kadar karbohidrat Perlakuan Rata-rata Kode P8 82,46 A P7 84,41 B P6 84,75 B P3 86,31 C P5 86,46 C P4 86,49 C P2 86,91 C P1 86,98 C P9 87,08 C Keterangan : Kode yang sama menunjukkan rata-rata tidak berbeda nyata Kode yang tidak sama menunjukkan rata-rata berbeda nyata Keterangan
: P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
: Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven5 jam : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam
104
Lampiran 3. Data analisa kadar pati Perlakuan Ulangan II (% bk) Ulangan III (% bk) P1 77,38 75,72 P2 77,94 82,43 P3 76,46 76,58 P4 69,90 73,03 P5 78,34 81,55 P6 77,07 77,79 P7 81,71 79,97 P8 72,43 79,28 P9 86,34 84,38
Rata-rata (% bk) 76,55 80,19 76,52 71,47 79,95 77,43 80,84 75,85 85,36
Uji sidik ragam kadar pati (% bk) Sumber JK db MS Rata-rata 110183,827 1 110183,827 Perlakuan 244,408 8 30,551 Galat 48,671 9 5,408 Total 110476,906 18 R Square = 0,834 (R Square terkoreksi = 0,686) * = berpengaruh nyata (P < 0,05)
F 20374,814 5,649
Signifikansi (P) 0,000 0,009*
Uji lanjut Duncan kadar pati Perlakuan Rata-rata Kode P4 71,465 A P8 75,855 A B P3 76,520 A B P1 76,550 A B P6 77,430 B P5 79,945 B C P2 80,185 B C P7 80,840 B C P9 85,360 C Keterangan : Kode yang sama menunjukkan rata-rata tidak berbeda nyata Kode yang tidak sama menunjukkan rata-rata berbeda nyata Keterangan : P1 : Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam P2 : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam P3 : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam P4 : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam P5 : Pengeringan 7 jam ERK dan oven5 jam P6 : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam P7 : Pengeringan ERK 16 jam P8 : Pengeringan matahari 16 jam P9 : Pengeringan oven 12 jam
105
Lampiran 4. Data analisa kadar HCN Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 Keterangan : P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Kadar HCN 2,90 1,70 1,80 1,50 1,70 2,70 2,40 3,30 2,00 : Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven5 jam : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam
106
Lampiran 5. Data analisa total asam Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Ulangan II 1,24 2,06 1,65 1,65 0,83 1,65 1,24 1,65 1,24
Ulangan III 1,24 1,24 1,65 1,65 1,65 1,65 2,48 0,83 0,83
Rata-rata 1,24 1,65 1,65 1,65 1,24 1,65 1,86 1,24 1,03
Uji sidik ragam total asam Sumber JK db MS F Rata-rata 38,808 1 38,808 187,635 Perlakuan 1,259 8 0,157 0,761 Galat 1,861 9 0,207 Total 41,929 18 R Square = 0,404 (R Square terkoreksi = -0,0127) * = tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) Keterangan
: P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Signifikansi (P) 0,000 0,645*
: Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven5 jam : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam
107
Lampiran 6. Data analisa derajat putih Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Uji I (%) 95,36 93,45 93,27 93,91 94,27 94,00 94,00 91,73 94,91
Uji II (%) 94,73 94,18 94,00 94,00 93,82 93,73 93,82 91,64 94,55
Uji III (%) 94,82 94,00 94,27 93,82 94,36 93,55 93,55 91,73 94,00
Rata-rata (%) 94,97 93,88 93,85 93,91 94,15 93,76 93,79 91,70 94,49
Uji sidik ragam derjat putih Sumber JK db MS F Rata-rata 237721,12 1 237721,120 2287001.689 Perlakuan 19,156 8 2,395 23,037 Galat 1,871 18 0,104 Total 237742,147 27 R Square = 0,911 (R Square terkoreksi = 0,871) * = berpengaruh nyata (P < 0,05)
Signifikansi (P) 0,000 0,000*
Uji lanjut Duncan derajat putih Perlakuan Rata-rata Kode P8 91,700 A P6 93,760 B P7 93,790 B P3 93,847 B P2 93,877 B P4 93,910 B C P5 94,150 B C P9 94,487 C D P1 94,970 D Keterangan : Kode yang sama menunjukkan rata-rata tidak berbeda nyata Kode yang tidak sama menunjukkan rata-rata berbeda nyata Keterangan : P1 : Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam P2 : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam P3 : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam P4 : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam P5 : Pengeringan 7 jam ERK dan oven5 jam P6 : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam P7 : Pengeringan ERK 16 jam P8 : Pengeringan matahari 16 jam P9 : Pengeringan oven 12 jam 108
Lampiran 7. Data analisa pH Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Ulangan II 4,58 4,36 4,48 4,59 4,85 4,49 4,75 4,56 4,66
Ulangan III 4,98 4,20 4,82 3,94 4,99 4,00 4,37 3,21 5,02
Rata-rata 4,78 4,28 4,65 4,27 4,92 4,25 4,56 3,89 4,84
Uji sidik ragam pH Sumber JK db MS F Rata-rata 363,151 1 363,151 2122,381 Perlakuan 1,886 8 0,236 1,377 Galat 1,54 9 0,171 Total 366,577 18 R Square = 0,550 (R Square terkoreksi = 0,151) * = tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) Keterangan
: P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Signifikansi (P) 0,000 0,320*
: Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven5 jam : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam
109
Lampiran 8. Data analisa derajat warna Perlakuan P1
Ulangan I II III
Rata-rata P2
I II III
Rata-rata P3
I II III
Rata-rata P4
I II III
Rata-rata P5
I II III
Rata-rata P6
I II III
Rata-rata P7
I II III
Rata-rata P8
I II III
Rata-rata P9 Rata-rata
I II III
L (%) 88,81 83,96 85,67 86,15 88,08 85,06 84,47 85,87 83,72 85,49 85,78 85,00 88,96 85,39 84,91 86,42 88,37 83,93 85,49 85,93 87,63 85,69 84,74 86,02 73,03 85,59 85,25 81,29 86,04 83,91 83,65 84,53 89,35 85,42 84,67 86,48
a (%) 11,94 12,39 10,36 11,56 11,06 12,57 11,91 11,85 12,06 13,45 12,37 12,63 12,32 13,74 14,26 13,44 12,98 12,32 13,45 12,92 11,76 14,06 13,09 12,97 16,38 12,87 12,68 13,98 13,18 13,79 13,41 13,46 12,89 11,29 11,59 11,92
b (%) 30,84 33,20 36,76 33,60 32,02 36,26 38,51 35,60 32,09 35,68 36,12 34,63 31,27 34,86 32,01 32,71 32,33 36,48 35,68 34,83 31,40 34,63 3422 33,42 31,86 35,10 34,18 33,71 31,92 32,98 36,73 33,88 31,25 36,95 37,10 35,10
110
Data pengukuran derajat warna Perlakuan L (%) a (%) P1 86,15 + 11,56 P2 85,87 + 11,85 P3 85,00 + 12,63 P4 86,42 + 13,44 P5 85,93 + 12,92 P6 86,02 + 12,97 P7 81,29 + 13,98 P8 84,53 + 13,46 P9 86,48 + 11,92
b (%) + 33,60 + 35,60 + 34,63 + 32,71 + 34,83 + 33,42 + 33,71 + 33,88 + 35,10
Chroma 35,53 37,52 36,86 35,37 37,15 35,85 36,50 36,45 37,07
Hue 71,01 71,59 69,96 67,66 69,65 68,79 67,48 68,33 71,24
Uji sidik ragam derjat warna Sumber JK db MS F Rata-rata 196447,606 1 196447,606 21451,059 Perlakuan 64,091 8 8,011 0,875 Galat 164,843 18 9,158 Total 196676,540 27 R Square = 0,280 (R Square = -0,040) * = tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) Keterangan
: P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Signifikansi (P) 0,000 0,555*
: Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven5 jam : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam
111
Lampiran 9. Data analisa total padatan terlarut Perlakuan Ulangan II (% mg/g) P1 6,72 P2 8,72 P3 8,24 P4 7,20 P5 6,76 P6 7,08 P7 11,52 P8 14,92 P9 6,04
Ulangan III (% mg/g) 8,12 7,36 7,76 7,60 7,56 10,40 8,64 10,04 8,24
Rata-rata (% mg/g) 7,42 8,04 8,00 7,40 7,16 8,74 10,08 12,48 7,14
Uji sidik ragam total padatan terlarut Sumber JK db MS Rata-rata 1299,14 1 1299,140 Perlakuan 49,755 8 6,219 Galat 26,406 9 2,934 Total 1375,301 18 R Square = 0,653 (R Square terkoreksi = 0,345) * = tidak berpengaruh nyata (P > 0,05)
Keterangan
: P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
F 442,795 2,120
Signifikansi (P) 0,000 0,142*
: Pengeringan 3 jam ERK dan oven 9 jam : Pengeringan 3 jam matahari dan oven 9 jam : Pengeringan 5 jam ERK dan oven 7 jam : Pengeringan 5 jam matahari dan oven 7 jam : Pengeringan 7 jam ERK dan oven5 jam : Pengeringan 7 jam matahari dan oven 5 jam : Pengeringan ERK 16 jam : Pengeringan matahari 16 jam : Pengeringan oven 12 jam
112
Lampiran 10. Data analisa absorbsi air dan minyak Perlakuan Absorbsi air (%) Absorbsi minyak (%) 34,80 32,80 P1 30,00 36,80 Rata-rata 32,40 34,80 32,40 32,00 P2 28,44 38,00 Rata-rata 30,42 35,00 23,20 27,08 P3 17,60 22,80 Rata-rata 20,40 24,94 P4 25,33 30,40 17,60 25,60 Rata-rata 21,47 28,00 26,80 27,56 P5 23,48 29,60 Rata-rata 25,14 28,58 32,00 34,80 P6 25,00 32,40 Rata-rata 28,50 33,60 22,00 28,80 P7 17,60 21,60 Rata-rata 19,80 25,20 19,60 24,89 P8 22,80 20,40 Rata-rata 21,20 22,64 36,40 34,40 P9 30,00 39,60 Rata-rata 33,20 37,00 Uji sidik ragam absorbsi air Sumber JK db MS Rata-rata 12015,083 1 12015,083 Perlakuan 464,981 8 58,123 Galat 130,208 9 14,468 Total 12610,273 18 R Square = 0,781 (R Square terkoreksi= 0,587) * = berpengaruh nyata (P < 0,05)
F Signifikansi (P) 830,482 0,000 4,017 0,027*
113
Uji lanjut Duncan absorbsi air Perlakuan P7 P3 P8 P4 P5 P6 P2 P1 P9 Keterangan
Rata-rata Kode 19,800 A 20,400 A 21,200 A B 21,465 A B 25,140 A B C 28,500 A B C 30,420 B C 32,400 C 33,200 C : Kode yang sama menunjukkan rata-rata tidak berbeda nyata Kode yang tidak sama menunjukkan rata-rata berbeda nyata
Uji sidik ragam absorbsi minyak Sumber JK db MS Rata-rata 16171,812 1 16171,812 Perlakuan 437,500 8 54,687 Galat 101,160 9 11,240 Total 16710,472 18 R Square = 0,812 (R Square terkoreksi = 0,645) * = berpengaruh nyata (P < 0,05)
F Signifikansi (P) 1438,773 0,000 4,865 0,015*
Uji lanjut Duncan absorbsi minyak Perlakuan Rata-rata Kode P8 22,645 A P3 24,940 A P7 25,200 A P4 28,000 A B P5 28,580 A B P6 33,600 B C P1 34,800 B C P2 35,000 B C P9 37,000 C Keterangan : Kode yang sama menunjukkan rata-rata tidak berbeda nyata Kode yang tidak sama menunjukkan rata-rata berbeda nyata
114
Lampiran 11. Data analisa kelarutan dan swelling power 90 0C Perlakuan Kelarutan (%) Swelling power (%) 5,43 0,65 P1 4,49 0,76 Rata-rata 4,96 0,70 5,17 0,62 P2 4,37 0,48 Rata-rata 4,77 0,55 3,57 0,61 P3 3,45 0,53 Rata-rata 3,51 0,57 4,44 0,82 P4 4,34 0,60 Rata-rata 4,39 0,71 4,92 0,74 P5 4,58 0,53 Rata-rata 4,75 0,63 5,15 0,94 P6 4,51 0,77 Rata-rata 4,83 0,85 3,53 0,86 P7 3,11 1,01 Rata-rata 3,32 0,93 2,79 1,01 P8 4,09 1,12 Rata-rata 3,44 1,06 5,66 0,55 P9 4,98 0,36 Rata-rata 5,32 0,45 Uji sidik ragam kelarutan Sumber JK db MS Rata-rata 9,331 1 9,331 Perlakuan 0,625 8 0,078 Galat 0,115 9 0,013 Total 10,072 18 R Square = 0,845 (R Square terkoreksi= 0,706) * = berpengaruh nyata (P < 0,05)
F 729,633 6,112
Signifikansi (P) 0,000 0,007*
115
Uji lanjut Duncan kelarutan Perlakuan P9 P2 P3 P5 P1 P4 P6 P7 P8 Keterangan
Rata-rata Kode 0,455 A 0,550 A 0,570 A 0,635 A B 0,705 A B C 0,710 A B C 0,855 B C D 0,935 C D 1,065 D : Kode yang sama menunjukkan rata-rata tidak berbeda nyata Kode yang tidak sama menunjukkan rata-rata berbeda nyata
Uji sidik ragam swelling power Sumber JK db MS Rata-rata 343,045 1 343,045 Perlakuan 8,948 8 1,118 Galat 2,201 9 0,245 Total 354,194 18 R Square = 0,803 (R Square terkoreksi = 0,627) * = berpengaruh nyata (P < 0,05)
F 1402,730 4,573
Signifikansi (P) 0,000 0,018*
Uji lanjut Duncan swelling power Perlakuan Rata-rata Kode P7 3,32 A P8 3,44 A P3 3,51 A P4 4,39 A B P5 4,75 B P2 4,77 B P6 4,83 B P1 4,96 B P9 5,32 B Keterangan : Kode yang sama menunjukkan rata-rata tidak berbeda nyata Kode yang tidak sama menunjukkan rata-rata berbeda nyata
116