PENGARUH LAMA TINGGAL TERHADAP TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN Sigit Wijaksono Architecture Department, Faculty of Engineering, Binus University Jl. K.H. Syahdan No. 9, Palmerah, Jakarta Barat 11480
[email protected]
ABSTRACT As the activities grow increasingly at Soekarno-hatta International Airport, the government in this case is PT Angkasa Pura needs to extend the airport by develop phase three in northern area of the existing airport. However, the expantion plan is opposed by the local goverment of Tangerang City because the plan may interfere with project of Tangerang Pantura Development Plan. For instead local goverment of Tangerang City proposes that the expantion would be build in the southern area. Obtaining the description of citizen attitude in this area is the aim of this study. This study is a descriptive research using a descriptive statistical analysis. Data collection using interviews with a questionnaire to respondends. By using Sherry Arnstein theory to measure the level of community participation. The analysis results indicated that the level of knowledge, awareness, and income levels affect the level of public participation in environmental management. Forms of participation provided most of the funds appropriated in the form of donations by income level. Keywords: community participation, neighbourhood development, urban planning
ABSTRAK Meningkatnya pertumbuhan aktivitas penumpang di bandara internasional Soekarno-Hatta menjadi alasan bagi pemerintah pusat dalam hal ini PT Angkasa Pura untuk melakukan perluasan kawasan bandara dengan membangun tahap 3 di daerah sebelah utara bandara yang ada sekarang ini. Namun rencana perluasan ini ditentang oleh Pemerintah Kota Tangerang karena akan mengganggu rencana projek Pembangunan Pantura Tangerang. Untuk itu sebagai gantinya pemerintah Kota Tangerang mengusulkan perluasan bandara dibangun di sebelah selatan, yang mencakup Kecamatan Benda. Untuk mengetahui bagaimanakah gambaran dari sikap masyarakat terhadap perubahan fungsi lahan ini, dilakukan penelitian menggunakan analisis statistik deskriptif. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara dengan kuesioner pada responden di lokasi penelitian. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah Kota Tangerang terhadap rencana usulannya membangun perluasan bandara di arah selatan dengan menggunakan teori Partisipasi masyarakat dari Sherry Arnstein untuk mengukur tingkat partisipasi masyarakat. Berdasarkan hasil analisis diperoleh gambaran bahwa tingkat pengetahuan, kesadaran, dan tingkat penghasilan mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Bentuk partisipasi yang diberikan sebagian besar berupa sumbangan dana disesuaikan dengan tingkat penghasilannya. Kata kunci: partisipasi masyarakat, lingkungan permukiman, teori partisipasi
24
ComTech Vol.4 No. 1 Juni 2013: 24-32
PENDAHULUAN Meningkatnya pertumbuhan aktivitas di bandara internasional Soekarno-Hatta telah menyebabkan perlu adanya perluasan dari bandara yang ada pada saat ini. Pemerintah pusat melalui PT Angkasa Pura bermaksud hendak melakukan perluasan bandara tahap tiga di bagian utara bandara yang telah ada saat ini, namun pemerintah kota Tangerang berkeberatan dengan rencana ini karena akan mengganggu projek pantura Tangerang. Untuk itu Pemerintah kota Tangerang mengusulkan bahwa perluasan bandara lebih baik dilakukan di sebelah selatan Bandara Soekarno-Hatta. Bagaimanakah gambaran sikap masyarakat atas usulan pemerintah kota Tangerang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian ini dan bagaimana upaya yang akan mereka lakukan. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan masukkan kepada pemerintah daerah kota Tangerang dan Pemerintah Pusat khususnya PT Angkas Pura. Partisipasi masyarakat yaitu suatu proses komunikasi dua arah yang berlangsung terus menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan, di mana masalah-masalah dan kebutuhan sedang dianalisis oleh lembaga yang berwenang. Secara sederhana partisipasi masyarakat didefinisikan sebagai feed-forward information (komunikasi) dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan dan feedback informasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan tersebut. Dari sudut terminologi partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara untuk melakukan interaksi antara dua kelompok; kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite). Partisipasi masyarakat dalam pembangunan menurut PBB adalah menciptakan kesempatan yang memungkinkan seluruh anggota masyarkat secara aktif mempengaruhi dan memberikan kontribusi pada proses pembangunan dan berbagai hasil pembangunan secara adil. Partisipasi berarti ikut mengambil bagian dalam satu tahap atau lebih dari suatu proses. Terkandung makna dalam partisipasi terdapat proses tindakan pada suatu kegiatan yang telah didefinisikan sebelumnya. Dengan kata lain, ada keadaan tertentu lebih dahulu, baru kemudian ada tindakan untuk mengambil bagian. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat. Salah satunya adalah faktor internal. Faktor internal berasal dari dalam masyrakat sendiri, ciri-ciri individu tersebut terdiri dari usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, lamanya terlibat dalam kegiatan, tingkat pendapatan, lamanya tinggal serta status hunian yang mempengaruhi aktivitas kelompok, mobilitas individu dan kemampuan finansial. Faktor pendidikan dianggap penting karena melalui pendidikan yang diperoleh, seseorang lebih mudah berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain dan cepat tanggap terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi. Semakin tinggi pendidikannya, tentunya mempunyai pengetahuan yang luas tentang pembangunan dan bentuk serta tata cara partisipasi yang dapat diberikan. Sedangkan faktor jenis pekerjaan berpengaruh pada partisipasi karena mempengaruhi keaktifan dalam berorganisasi. Hal ini karena pekerjaan berhubungan dengan waktu luang seseorang untuk terlibat dalam organisasi, misalnya menghadiri pertemuan, diskusi atau seminar. Besarnya tingkat pendapatan akan memberikan peluang lebih besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Tingkat pendapatan ini ankan mempengaruhi kemampuan finansial masyarakat untuk berinvestasi dengan mengerahkan semua kemampuannya apabila hasil yang dicapai akan sesuai dengan keinginan dan prioritas kebutuhan mereka. Salah satu ciri sosial ekonomi penduduk berkiatan erat dengan lamanya tinggal seseorang dalam lingkungan permukiman dan lamanya tinggal ini akan mempengaruhi orang untuk bekerjasama serta terlibat dalam kegiatan bersama. Dalam lingkungan perumahanan, tanpa kejelasan tentang status kepemilikan hunian dan lahanya seseorang atau sebuah keluarga akan selalu tidak merasa aman sehingga mengurangi minat mereka untuk memelihara lingkungan tempat tinggalnya. Dalam hal ini status hunian seseorang akan berpengaruh pada tingkat partisipasinya dalam kegiatan bersama untuk memperbaiki lingkungan.
Pengaruh Lama Tinggal... (Sigit Wijaksono)
25
Faktor lainnya adalah faktor eksternal. Tingkat partisipasi dalam pengelolaan lingkungan dan prasarana permukiman lokal juga tergantung pada sikap warga dan efektifitas organisasi masyarakat. Seseorang akan terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga yang ada seperti LKMD, RT, dan RW yang mengarah dalam mencapai kesejahteraan bersama. Adapun organisasi masyarakat tersebut, diakui dan dibina oleh pemerintah untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai moral berdasarkan kegotongroyongan dan kekeluargaan serta untuk membantu meningkatkan kelancaran pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian partisipasi harus mengandung unsur-unsur keterlibatan aktif dari stakeholder dalam seuatu organisasi kerja yaitu aparat pemerintah dan masyarakat. Didasarkan pada asumsi bahwa organnisasi pemerintahan akan bekerja lebih baik jika anggota-anggota dalam struktur diberi kesempatan untuk terlibat secara intim dengan setiap organisasi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang kaitan antara lama tinggal dengan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan di lingkungan permukimannya.
METODE Desain penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan menggunakan metode tabulasi silang dengan analisisnya menggunakan distribusi frekuensi. Teknik pengumpulan datanya melalui wawancara dengan daftar pertanyaan kepada 30 responden yang dipilih dari RT 01 dan RT 02 di RW 06, Kelurahan Rawa Bokor. Kabupaten Tangerang. Variabel-variabel penelitianya berupa lama tinggal, sikap masyarakat terhadap perubahan fungsi lahan dan bentuk-bentuk partisipasinya. Gambaran lokasi penelitian: kampung rawa Bokor secara adminiastrasi termasuk dalam wilayah kelurahan Benda, Kota Tangerang, memiliki luas wilayah sekitar 13.962 km2 dan merupakan kelurahan yang terdiri 11 RW dan 75 RT. Topografi wilayah kampung Rawa Bokor merupakan daerah dataran dengan kontur tanah bergelombang. Lokasi survei tepatnya berada di RT 01 dan 02 pada RW 06, kampung Bokor, Tangerang, bersebelahan dengan Perumahan Taman Mahkota dan gedung IWS Logistik, yang terdiri 60 Kepala Keluarga (KK), dari seluruh total 60 KK dipilih 50% sebagai responden yaitu 30 orang responden.
HASIL DAN PEMBAHASAN Partisipasi Masyarakat dalam Penataan Ruang Di dalam konteks pembangunan yang berwawasan lingkungan seluruh perijinan dan persetujuan dari suatu kegiatan pembangunan harus didasarkan pada perencanaan tata ruang. Karena perencanaan tata ruang memberikan informasi tentang kegiatan-kegiatan tertentu yang melanggar ambang batas daya dukung lingkungan. Paling tidak dalam konteks penataan ruang ini ada dua jenis kebutuhan yang mendasari partisipasi masyarakat. Kebutuhan Fungsi Kontrol Dalam proses penetapan maupun perubahan tata ruang seringkali berjalan tanpa dilandasi pertimbangan-pertimbangan maupun arahan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Seringkali kepentingan ekonomi jangka pendek, yang ditentukan oleh kelompok elite, secara dominan mewarnai penetapan tata ruang. Sebagai contoh penyimpangan tata ruang daerah, seringkali dilakukan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan pertimbangkan pemasukan kas pemerintah daerah. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sebagai pemasukan kas daerah yang subtansial, yang berasal dari PBB lahan kawasan non pertanian (misalnya industri) jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan PBB yang berasal dari pertanian. Akibatnya, berangkat dari konsep otonomi daerah, otonomi daerah, pemerintah
26
ComTech Vol.4 No. 1 Juni 2013: 24-32
daerah berlomba-lomba melakukan konversi dari lahan yang diperuntukakan untuk kawasan non pertanian (industri), walaupun daya dukung lingkungan sebenarnya sangat tidak memadai bagi kegiatan industri. Untuk mencegah penyimpangan seperti ini, partisipasi masyarakat dapat didayagunakan untuk menjalankan peran kontrol (watchdog). Prasyarat untuk menjalankan peran watchdog yang efektif adalah: 1) akses masyarakat yang luas terhadap informasi tata ruang; 2) kesadaran masyarakat yang tinggi tentang pentingnya berpartisipasi; dan 3) kemampuan memahami objek permasalahan. Kebutuhan Informasi dan Data Sosial Partisipasi masyarakat dalam perencanaan tata ruang menjadi penting dalam kerangka menjadikan sebuah perencanaan tata ruang sebagai hal responsif (responsive planning). Sebuah perencanaan yang responsif adalah proses pengambilan keputusan tentang perencanaan tata ruang yang tanggap pada referensi serta kebutuhan dari masyarakat yang potensial terkena dampak apabila perencanaan tersebut diimplementasikan. Dalam situasi di mana perencanaan tata ruang sepenuhnya merupakan produk dari perencanaan (planner) ataupun polisi/ penyelenggara negara, maka produk yang demikian biasanya sarat dengan pertimbangan-pertimbangan serta kriteria (technical), ilmiah (scientific) dan ekonomi (economic) ketimbangan pertimbangan sosial dam preferensi masyarakat serta etika berdemokrasi. Oleh, karenanya untuk mencegah sense of technicism dan sense of elitism dari sebuah perencanaan, partisipasi masyarakat menjadi sangat perlu. Banyak pertanyaan yang timbul tentang bagaimana menyeimbangan antara nilai-nilai objektif yang mengacu pada preferensi masyarakat (public preferences) agar tercapai perencanaan yang responsif (responsive planning). Memang ukuran yang pasti dalam menyeimbangkan nilai-nilai tersebut sangatlah sulit, akan tetapi bukanlah menjadi alasan untuk meniadakan pentingnya preferensi masyarakat termuat dalam perencanaan. Berikut ini ada beberapa parameter “responsiveness” dari suatu perencanaan, yang kelihatannya mengacu pada proses, sebagai berikut: (1) sejauh mana masyarakat di wilayah objek perencanaan telah diberikan kesempatan yang layak (reasonable) untuk terlibat dalam tahap identifikasi permasalahan, aspirasi serta kebutuhan sampai dengan pelaksanaan (implementasi); (2) sejauh mana masyarakat yang tinggal di luar objek perencanaan, akan tetapi sering berhubungan dengan wilayah objek penelitian, diberikan kesempatan yang memadai untuk terlibat dalam proses identifikasi permasalahan, aspirasi serta kebutuhan sampai dengan tahap pelaksanaan; (3) sejauh mana kepentingan para pihak yang potensial terkena dampak usulan perencanaan (di masa mendatang) telah dipertimbangkan dan terwakili dalam tahap-tahap seperti dalam poin 1 dan 2 di atas. Delapan Tangga Partisipasi Masyarakat Sherry Arnstein (Suwignyo, 2009), memformulasikan partisipasi masyarakat sebagai bentuk dari kekuatan masyarakat (citizen participation is citizen power) di mana terjadi pembagian kekuatan (power) yang memungkinkan masyarakat yang tidak berpunya (the have-not-citizen) yang sekarang dikucilkan dari proses politik dan ekonomi unutuk terlibat kelak. Singkat kata, partisipasi masyarakat. Menurut Arnstein, bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang berpengaruh. Lewat tipologinya yang dikenal dengan Delapan tangga Partisipasi Masyarakat (Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation). Arstein menjabarkan partisipasi masyarakat yang didasarkan pada kekuatan masyarakat untuk menentukan hasil akhir. Arnstein juga menekankan bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara bentuk partisipasi yang bersifat upacara semu (empty ritual) dengan bantuk partisipasi yang mempunyai kekuatan nyata (real power) yang diperlukan untuk mempengaruhi hasil akhir dari suatu proses. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam berpartisipasi dapat dibedakan dalam beberapa tingkatan. Menurut Sherry R Arnstein (Suwignyo, 2009) membagi jenjang partisipasi masyarakat terhadap program
Pengaruh Lama Tinggal... (Sigit Wijaksono)
27
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam 8 (delapan) tingkat partisipasi masyarakat (Gambar 1) yang sangat terkenal di mana berdasarkan kekuasaan yang diberikan kepada masyrakat. Tingkat partisipasi dari tertinggi ke terendah adalah sebagai berikut: (1) citizen control – masyarakat dapat partisipasi di dalam dan mengendalikan seluruh proses pengambilan keputusan. Pada tingkatan ini masyarakt memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingannya. Masyarakat mempunyai wewenang dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihakpihak luar yang hendak melakukan perubahan. Usaha bersama warga ini langsung berhubungan dengan sumber dana untuk memperoleh bantuan tanpa melalui pihak ketiga; (2) delegated power – pada tingkatan ini masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana tertentu. Untuk menyelesaikan permasalahan, pemerintah harus mengadakan negosiasi dengan masyarakat tidak dengan tekanan dari atas, dimungkinkan masyarakat mempunyai tingkat kendali atas keputusan pemerintah; (4) partnership – masyarakat berhak berunding dengan pengambil keputusan atau pemerintah, atas kesepakatan bersama kekuasaan dibagi antara masyrakat dengan pemerintah. Untuk itu, diambil kesepakatan saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan, pengendalian keputusan, penyusunan kebijakan serta pemecahan masalah yang dihadapi; (5) placation – pemegang kekuasaan (pemerintah) perlu menunjuk sejumlah orang dari bagian masyarakat yang dipengaruhi untuk menjadi anggota suatu badan publik, di mana mereka mempunyai akses tertentu pada proses pengambilan keputusan. Walaupun dalam pelaksanaannya usulan masyarakat tetap diperhatikan , karena kedudukan relatif rendah dan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan anggota dari pemerintah maka tidak mampu mengambil keputusan; (5) consultation – masyarakat tidak hanya dibertahu tetapi juga diundang untuk berbagi pendapat, meskipun tidak ada jaminan bahwa pendapat yang dikemukakan akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Metode yang sering digunakan adalah survei tentang arah pikiran masyarakat atau pertemuan lingkungan masyarakat dan public hearing atau dengar pendapat dengan masyarakat; (6) informing – pemegang kekuasaan hanya memberikan informasi kepada masyarakat terkait proposal kegiatan, masyarakat tidak diberdayakan untuk mempengaruhi hasil. Informasi dapat berupa hak, tanggung jawab dan berbagai pilihan, tetapi tidak ada umpan balik atau kekuatan untuk negosiasi dari masyarakat. Informasi diberikan pada tahapan akhir perencanaan dan masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi rencana yang telah disusun; (7) therapy - pemegang kekuasaan memberikan alasan proposal dengan berpura-pura melibatkan masyarakat. Meskipun terlibat dalam kegiatan, tujuannya lebih pada mengubah pola pikir masyarakat daripada mendapatkan masukan dari masyarakat itu sendiri; (8) manipulation – merupakan tingkatan partisipasi yang paling rendah, di mana masyarakat hanya dipakai namanya saja. Kegiatan untuk melakukan manipulasi informasi untuk memperoleh dukungan publik dan menjanjikan keadaan yang lebih baik meskipun tidak akan pernah terjadi. Dari tipologi yang diajukan oleh Arnstein dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok besar, yaitu tidak ada partisipasi sama sekali (non participation), yang meliputi: manipulation dan therapy; partisipasi masyarakat dalam bentuk tinggal menerima beberapa ketentuan (degrees of tokenism), meliputi informing, consultation, dan placation; (3) partisipasi masyarakat dalam bentuk mempunyai kekuasaan (degrees of citizen power), meliputi partnership, delegated power, dan citizen power. Dua tangga terbawah dikategorikan sebagai “non partisipasi” dengan menempatkan bentukbentuk partisipasi yang dinamakan : 1) terapi dan 2) manipulasi. Sasaran dari kedua bentuk ini adalah ‘mendidik dan mengobati masyarakat yang berpartisipasi. Tangga ketiga, keempat dan kelima sebagai tingkat “Tokenism” yaitu suatu tingkat partisipasi di mana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak boleh memiliki kemampuan untuk mendapat jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Menurut Arnstein, jika partisipasi hanya dibatasi pada tingkatan ini, maka kecil kemungkinannya ada perubahan dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Termasuk dalam tingkat “Tokenism” adalah 3) penyampaian informasi (informing); 4) konsultasi; dan peredaman kemarahan (placation). Selanjutnya Arnstein mengkategorikan tiga tangga teratas kedalam tingkat” kekuasaan masyarakat” (citizen power). Masyarakat dalam tingkatan ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan 6) kemitraan (partnership) dengan memiliki kemampuan tawarmenawar bersama-sama pengusaha atau pada tingkatan yang lebih tinggi 7) pendelegasian kekuasaan
28
ComTech Vol.4 No. 1 Juni 2013: 24-32
(delegated power) dan 8) pengawasan masyarkat (citizen control). Pada tingkat ke 7 dan 8, masyarakat (non elite) memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan-keputusan bahkan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu objek kebijakan tertentu.
Gambar 1 Delapan Tangga Partisipasi Masyarakat Arnstein
Delapan tangga partisipasi dari Arnstein ini memberikan pemahaman bahwa terdapat potensi yang sangat besar untuk manipulasi program partisipasi masyarakat menjadi suatu cara yang mengelabui (devious methods) dan mengurangi kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Tahapan Partisipasi Masyarakat dalam Penataan Ruang. Untuk tercapainya suatu perencanaan yang responsif, maka keterlibatan masyrakat harus dilakukan sejak awal proses perencanaan itu sendiri yaitu sejak tahap identifikasi permasalahan, aspirasi serta kebutuhan sampai dengan tahap pelaksanaan rencana tata ruang. Ketika peraturan lingkungan memberikan tempat yang selus-luasnya bagi partisipasi masyarakat. Terdapat banyak rumusan partisipasi masyarakat yang masih mengambang atau diparahkan pada peraturan pelaksana yang sering tidak kunjung tiba. Tidak dapat dihindari kesan terlalu legalitas dan kosmetik dari peraturan-peraturan itu, yang hanya ada dipermukaan tanpa menyentuh makna partisipasi itu sendiri. Seperti syarat-syarat demi efektifnya suatu partisipasi masyrakat yang diuraikan haedjasoemantri (1990) tentang bagaimana mekanisme informasi itu agar tepat waktu, lengkap dan menyeluruh, serta dipahami, dan yang lebih mendasar mekanisme sampai sejauhmana hak masyarakat dalam pengelolaan lingkungan diakui. Nampaknya yang disinyalir oleh Arnstein (1969) bahwa makna partisipasi akan tergelincir menjadi empty ritual (upacara semu) menggejala dalam peraturanperaturan saja. Dikuti oleh budaya diam dengan berbagai asebab dan alasan bisa jadi menyebabkan keinginan tulus untuk menyertakan masyarakat guna menyelamatkan alarm bagi anak cucu merosot ketingkat retorika.
Hasil dan Analysis Berdasarkan hasil pengumpulan data yang didapatkan melalui wawancara langsung pada warga di RT 01 dan 02 pada RW 06, Kampung Rara Bokor, kelurahan Benda, Tangerang, dapat
Pengaruh Lama Tinggal... (Sigit Wijaksono)
29
disimpulkan sebagai berikut bahwa antara lama tinggal dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan permukiman, semakin lama tinggal maka semakin besar tingkat partisipasinya diukur dari bentuk-bentuk kontribusinya di dalam pengelolaan lingkungannya. Lama Tinggal Lama tinggal (Tabel 1) di dalam penelitian ini dibagi atas 3 (tiga) interval yaitu: <5 tahun, 510 tahun, dan .10 tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan kuesioner diperoleh gambaran para responden dari variabel lama tinggal. Tabel 1 Lama Tinggal Responden Lama tinggal <5 tahun 5-10 tahun >10 tahun Total
Jumlah 21 orang 7 orang 2 orang 30 orang
Persentage 70 23.3 6.7 100
Sikap terhadap Perubahan Fungsi Lahan Dalam penelitian ini lama tinggal dibagi atas 3 interval yaitu: < 5 tahun, 5-10 tahun, dan >10 tahun. Sedangkan sikapnya dinyatakan dengan setuju atau tidak terhadap terjadinya perubahan fungsi lahan (Tabel 2). Tabel 2 Sikap terhadap Perubahan Fungsi Lahan Sikap Setuju Tidak setuju Total
Jumlah 4 orang 26 orang 30 orang
Persentage 13.7 86.3 100
Berdasarkan hasil pengumpulan data diperoleh gambaran sebagai berikut: lama tinggal <5 tahun ada 6 responden (15 persen) yang setuju dengan terjadinya perubahan fungsi lahan, sedangkan sebanyak 23 responden (85 persen) menyatakan ketidak setuju (Tabel 3) terhadap perubahan fungsi lahan. Untuk lama tinggal 5-10 tahun, tidak ada responden yang menyatakan setuju terhadap perubahan fungsi lahan, sedangkan sebanyak 10 responden (25 persen) menyatakan tidak setujua dengan terjadinya perubahan fungsi lahan. Untuk respon yang lama tinggalnya >10 tahun tidak ada yang menyatakan setuju dengan perubahan fungsi lahan, sedangkan ada 1 responden (2.5 persen) responden yang menyatakan tidak setuju dengan perubahan fungsi lahannya. Tabel 3 Kaitan Lama Tinggal dan Sikap terhadap Perubahan Fungsi lahan Lama Tinggal/ Sikap < 5 tahun 5-10 tahun > 10 tahun Total
Setuju 4 0 0 4
Tidak Setuju 17 7 2 26
Berbagai alasan yang mendasari pernyataan sikapnya, sebagian besar dari responden (17 orang) yang tidak setuju dengan perubahan fungsi lahan adalah karena pertimbangan lapangan
30
ComTech Vol.4 No. 1 Juni 2013: 24-32
pekerjaan, jika terjadi perubahan fungsi lahan dari daerah kawasan industri menjadi lapangan perluasan lapangan terbang maka ketika industri-industri tersebut harus berpindah maka mereka juga harus ikut berpindah jika tidak ingin kehilangan lapangan pekerjaan, selebihnya bagi mereka yang tinggal > 10 tahun mempunyai alasan bahwa mereka sudah kerasan atau nyaman selebihnya menyatakan sudah tinggal lama sulit untuk mencari tempat tinggal lain. Lama tinggalnya memiliki keterkaitan yang kuat dengan bentuk partisipasi masyarakat dalam proses keterlibatan warga dalam pertemuan, kegiatan fisik atau kerja bakti. Semakin lama seseorang tinggal dan menetap di suatu daerah pada umunya akan memberikan pengaruh positif bagi perkembangan kehidupan psikologisnya sehingga dapat merangsang rasa memiliki yang mendalam yang pada akhirnya tumbuh kesadaran untuk memelihara, mengelola dan mengembangkan hasil pembangunan berupa perbaikan prasarana dan fasilitas yang ada. Dari hasil pengumpulan data diperoleh bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan lingkungan permukimannya sebagai berikut: Usulan, tenaga, Material, uang, dan lainlain. Dari 30 responden diperoleh gambaran kontribusi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan permukiman (Tabel 4) sebagai berikut. Tabel 4 Bentuk Kontribusi Partisipasi Masyarakat Bentuk Partisipasi Jumlah Responden Persentase (%)
Usulan 2 6.7
Tenaga 16 53.3
Material 4 13.3
Uang 5 16.7
Lain-lain 3 10
Total 30 100
Lama Tinggal dengan Bentuk Partisipasi Masyarakat Dari hasil pengumupulan data dapat diperoleh gambaran hubungan antara lama tinggal dengan bentuk partisipasi masyarakat (Tabel 5), antara lain seperti berikut ini: swadaya masyarakat, pindah lokasi, dibicarakan terlebih dahulu, demo, berpartisipasi untuk kepentingan bersama Tabel 5 Lama Tinggal dan Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat Lama Tinggal / Bentuk Partisipasi
Swadaya masyarakat
Pindah Lokasi
Dibicarakan Lebih Dahulu
Demo
<5 tahun 5-10 tahun >5 tahun
11 6 2 19 (63.3 %)
2 0 0 2 (6.7 %)
2 0 0 2 (6.7 %)
4 1 0 5 (16.7 %)
Partisipasi untuk bersama 2 0 0 2 (6.7 %)
Jumlah 21 7 2 30 (100 %)
Berdasarkan hasil analisis diperoleh gambaran bahwa kaitan antara lama tinggal dengan bentuk partisipasinya yaitu dalam bentuk swadaya masyarakat yang lama tinggal < 5 tahun sebanyak 11 responden (57.9 persen), yang lama tinggal 5-10 tahun sebanyak 6 responden (31.6 persen), yang lama tinggal >10 tahun sebanyak 2 responden (10.5 persen). Sedangkan yang memilih pindah lokasi dari kelompok lama tinggal < 5 tahun ada 2 responden (100 persen), dari kelompok 5-10 tahun dan > 10 tahun tidak ada. Dari bentuk partisipasi berupa dibicarakan terlebih dahulu juga hanya ada pada kelompok < 5 tahun, yaitu 2 responden (100 persen). Yang memilih melakukan demontrasi ada 5 responden yaitu 4 responden dari kelompok <5 tahun dan 1 responden dari kelompok 5-10 tahun. Dari gambaran di atas diperoleh hasil bahwa paling banyak adalah swadaya masyarakat yaitu 11 responden ( 36.7 persen), ini menunjukkan bahwa warga masyarakat masih ingin mempertahankan
Pengaruh Lama Tinggal... (Sigit Wijaksono)
31
fungsi lahannya dengan kondisi peruntukan saat ini yaitu dengan swadaya masyarakat untuk membangun lingkungan permukimannya agar tidak diubah peruntukkannya.
PENUTUP Dari hasil penelitian dapat diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) partisipasi masyarakat dalam penataan lingkungan permukiman di Kampung Bokor, kelurahan Benda, Tangerang belum dapat dilakukan secara optimal, hal ini disebabkan kurangnya tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakatnya dalam penataan lingkungan, tingkat penghasilan yangmasih rendah, sumberdaya manusia yang kurang, pola kerja mempengaruhi waktu luang dalam kegiatan bersama; (2) bentuk partisipasi masyarakat berupa kehadiran dalam pertemuan dipengaruhi oleh lama tinggal dan jenis pekerjaan. Lama tinggal berpengaruh terhadap kemampuan berkomunikasi, baik untuk enerima informasi maupun menyampaikan informasi yang berupa saran termasuk juga (4) pengambilan keputusan. Sedangkan jenis pekerjaan mempengaruhi waktu luang atau kesempatan dalam kegiatan pertemuan dan kerja bakti; (5) bentuk peran partisipasi masyarakat yang berupa sumbangan dana dipengaruhi oleh tingkat penghasilan masyarakat. Kondisi sosial ekonomi masyarakat termasuk dalam golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah di mana sebagian besar masyarakatnya memiliki tingkat pendapatan terbatas tentunya sulit bagi masyarakt dapat berkontribusi dana dalam pengelolaan lingkungan permukiman, sehingga mempengaruhi perilaku masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA Esmi, Warassih. (2001). Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum. Semarang: Diponergoro Press. Sugiarto, (2001). Teknik Sampling. Jakarta: Gramedia Pustaka. Sulistiyani, Ambar T. (2004). Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan. Yogyakarta: Gava Media. Suwignyo, (2009), Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan dan Pengendalian Ruang di Kecamatan Bawean, Kabupaten Semarang. Tesis Magister Pembangunan tidak diterbitkan, UNDIP, Semarang. Trinugroho, Agung Haribowo. (2003). Strategi Pengendalian Banjir melalui Pendekatan Tata Guna Lahan Permukiman. Surabaya: ITS
32
ComTech Vol.4 No. 1 Juni 2013: 24-32