PENGARUH KUALITAS PERNIKAHAN DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA TERHADAP LINGKUNGAN PENGASUHAN PADA KELUARGA MENIKAH USIA MUDA
FATMA PUTRI SEKARING TYAS
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kualitas Pernikahan dan Kesejahteraan Keluarga terhadap Lingkungan Pengasuhan pada Keluarga Menikah Usia Muda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2015 Fatma Putri Sekaring Tyas NIM I24110006
ABSTRAK FATMA PUTRI SEKARING TYAS. Pengaruh Kualitas Pernikahan dan Kesejahteraan Keluarga terhadap Lingkungan Pengasuhan pada Keluarga Menikah Usia Muda. Dibimbing oleh TIN HERAWATI. Keluarga menikah muda adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan pernikahan darah atau adopsi yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak serta anggota keluarga lainnya dimana salah satu atau sepasang suami istri menikah dengan usia di bawah 20 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kualitas pernikahan kesejahteraan keluarga, terhadap lingkungan pengasuhan pada keluarga. Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga yang menikah muda dan mempunyai anak usia 0-6 tahun yang diambil secara purposive sampling sebanyak 70 orang di Desa Tegal Waru dan Desa Cihideung Udik, Kecamatan Ciampea, Bogor. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan istri menggunakan kuesioner. Hasil menunjukkan bahwa kualitas pernikahan, kesejahteran objektif, dan kesejahteraan subjektif berhubungan positif sangat signifikan dengan lingkungan pengasuhan. Faktor yang berpengaruh positif signifikan terhadap kualitas lingkungan pengasuhan adalah lama menikah, usia menikah istri, kualitas pernikahan, dan kesejahteraan subjektif. Kata kunci: kesejahteraan keluarga, kualitas pernikahan, lingkungan pengasuhan anak, dan menikah usia muda
ABSTRACT FATMA PUTRI SEKARING TYAS. The Effect of Marriage Quality and Family Wellbeing toward the Parenting Environment in Early Marriage Family. Supervised by TIN HERAWATI. Early marriage family are united people by blood or adoption, consisting of husband, wife, children, and other family members in which wife, husband or both of them married at the age under 20 years old. The purpose of this study was to analyze the effect of marriage quality, family wellbeing, toward the parenting environment. Sample of this study were 70 families married under 20 years old with children aged 0-6 years old selected by purposive sampling in the Tegal Waru village and Cihideung Udik village, District Ciampea, Bogor. Data were collected by interview with wife using questionnaire. The results showed that marriage quality, objective wellbeing, and subjective wellbeing had very significant positive correlation with the parenting environment. The effected positive significant factor toward quality of the parenting environment were the length of marriage, wife age of marriage, marriage quality, and subjective wellbeing. Keywords: family wellbeing, marriage quality, the parenting environment, and early marriage
PENGARUH KUALITAS PERNIKAHAN DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA TERHADAP LINGKUNGAN PENGASUHAN PADA KELUARGA MENIKAH USIA MUDA
FATMA PUTRI SEKARING TYAS
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul, Pengaruh Kualitas Pernikahan dan Kesejahteraan Keluarga terhadap Lingkungan Pengasuhan pada Keluarga Menikah Usia Muda. Pernikahan adalah peristiwa sakral yang terjadi pada pasangan suami istri yang menjujung tinggi nilai adat dan agama yang beraneka ragam. Melalui pernikahan diharapkan dapat membangun keluarga yang aman, damai, sejahtera, dan bahagia sehinga pertumbuhan dan perkembangan generasi selanjutnya berkualitas. Pernikahan usia muda merupakan pernikahan yang dilihat dari segi umur masih belum cukup atau belum matang dimana salah satu atau keduanya menikah di bawah usia 20 tahun. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Tin Herawati, SP, MSi selaku dosen pembimbing, Neti Hernawati, SP, MSi selaku dosen penguji, Alfiasari, SP, MSi selaku pemandu seminar serta Dr Ir Istiqlaliyah Muflikhati, MSi selaku dosen pembimbing akademik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak dan keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya, seluruh staf dan pengajar Departemen Ilmu keluarga dan Konsumen. Sahabat yang selalu memberikan dukungan dan semangat Lely Trijayanti, Ida Musyidah, Rian Prakosa, Fina Fatihur, teman-teman satu bimbingan Nafi Endah, Inne Nur, Nikita F, dan IMPATA serta teman-teman Ilmu Keluarga dan Konsumen 48 lainnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2015
Fatma Putri Sekaring Tyas
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
KERANGKA PEMIKIRAN
4
METODE
5
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
6
Contoh dan Teknik Penarikan Contoh
6
Jenis, Cara Pengumpulan Data dan Cara Pengukuran Variabel
6
Pengolahan dan Analisis Data
8
Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN
10 11
Hasil
11
Pembahasan
23
SIMPULAN DAN SARAN
26
Simpulan
26
Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
27
LAMPIRAN
33
RIWAYAT HIDUP
40
DAFTAR TABEL 1. Variabel, skala, dan pengolahan data 2. Sebaran Usia Menikah 3. Sebaran keluarga berdasarkan kategori pendidikan 4. Sebaran keluarga berdasarkan kategori jenis pekerjaan 5. Sebaran keluarga berdasarkan kategori besar keluarga 6. Sebaran keluarga berdasarkan kategori pendapatan per kapita 7. Sebaran keluarga berdasarkan kategori usia anak 8. Sebaran keluarga berdasarkan kategori lama menikah 9. Sebaran keluarga berdasarkan kategori kualitas pernikahan 10. Sebaran keluarga berdasarkan kategori kesejahteraan objektif 11. Sebaran keluarga berdasarkan kategori kesejahteraan subjektif 12. Sebaran keluarga berdasarkan kategori komponen lingkungan pengasuhan 13. Sebaran koefisien korelasi antar variabel-variabel penelitian 14. Pengaruh karakteristik keluarga, kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga terhadap kualitas lingkungan pengasuhan anak
7 12 12 13 13 13 14 14 16 17 18 21 22 23
DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka berfikir pengaruh kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, terhadap lingkungan pengasuhan
5
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sebaran keluarga berdasarkan dimensi kebahagiaan pernikahan Sebaran keluarga berdasarkan dimensi kepuasaan pernikahan Sebaran keluarga berdasarkan kesejahteraan objektif (BLT) Sebaran keluarga berdasarkan kesejahteraan subjektif Sebaran keluarga berdasarkan lingkungan pengasuhan 0-36 bulan Sebaran keluarga berdasarkan lingkungan pengasuhan 37-72 bulan Hasil uji korelasi karakteristik keluarga, kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan lingkungan pengasuhan
33 34 35 35 36 37 39
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pernikahan merupakan gerbang pertama yang dilewati oleh dewasa muda untuk memulai kehidupan. Menurut UU Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 1, pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Menurut WHO (2006) pernikahan muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu pasangannya masih dikategorikan remaja yang berusia di bawah 19 tahun. Pernikahan usia muda menurut BKKBN (2012) adalah pernikahan yang dilakukan di bawah usia 20 tahun. Menurut Susenas (2010) ratarata usia pernikahan pertama di Indonesia 17 tahun dan rata-rata usia pernikahan di daerah perkotaan 20 tahun serta di daerah pedesaan 18 tahun. Tingginya ratarata usia pernikahan di daerah perkotaan, dikarenakan tingginya partisipasi perempuan dalam karir dan pekerjaan sehingga menunda usia pernikahan. Menurut BKKBN (2012) penyebab pernikahan muda diantaranya status ekonomi dan pendidikan yang rendah, budaya nikah muda, pernikahan yang dipaksa, dan seks bebas. Penelitian Agustian (2013) menyebutkan pernikahan muda erat dengan masalah ekonomi keluarga seperti anggapan seorang anak perempuan itu memberatkan orang tua, ketika anak perempuan telah menikah maka beban ekonomi orang tua akan berkurang. Selain masalah ekonomi, faktor yang lain adalah pendidikan, orang tua, media massa, sosial budaya, dan pergaulan bebas. Pernikahan yang dilangsungkan pada usia remaja umumnya akan menimbulkan banyak masalah baik secara fisiologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Faktor budaya juga memengaruhi tingginya pernikahan muda. Alfianti (2010) menyatakan penyebab pernikahan muda adalah faktor lingkungan sosial budaya, adanya pandangan dari masyarakat jika seorang gadis sudah dewasa belum mendapatkan jodoh akan dianggap tidak laku atau perawan tua. Dampak pernikahan usia muda lebih tampak pada remaja putri dibandingkan remaja laki-laki. Usia pernikahan yang cenderung masih muda akan rawan terjadi keguguran dikarenakan keadaan rahim yang belum sempurna (Fadlyana dan Larasaty 2009). Selain itu, kasus perceraian juga banyak terjadi dikarenakan keadaan psikologis yang belum matang dan belum dapat mengambil keputusan dengan baik. Permasalahan ekonomi pada pasangan suami istri menikah disebabkan kurangnya persiapan materi. Menurut BKKBN (2012) dampak yang terjadi seperti kasus drop out sekolah tinggi, KDRT, peluang kematian ibu tinggi, lama sekolah rendah, dan hak kesehatan reproduksi rendah. Menurut Tsania (2014) ibu yang menikah muda belum memiliki kesiapan dalam menjalankan fungsi pengasuhan sehingga menyebabkan perkembangan anak terlambat. Menurut BKKBN (2012) Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda tinggi di dunia (ranking 37). Perempuan muda di Indonesia dengan usia di bawah 19 tahun sebanyak 11.9 persen. Jawa Barat mempunyai persentase menikah muda sebanyak 7.5 persen. Gambaran tersebut memprihatikan dikarenakan banyak remaja yang lebih memilih untuk menikah muda dan tidak
2 ingin melanjutkan masa depan untuk meraih cita-citanya. Hal itu menunjukkan rendahnya kualitas penduduk yang berdampak pada kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga serta lingkungan pengasuhan anak. Permasalahan ekonomi yang terjadi pada pasangan menikah muda dapat memengaruhi kualitas pernikahan dan kesejahteraan keluarga. Permasalahan ekonomi sering dikaitkan dengan kemiskinan berdasarkan atas perbandingan antara pendapatan dan garis kemiskinan. Apabila suatu keluarga berpendapatan di bawah garis kemiskinan dipastikan tidak dapat memenuhi kebutuhan secara materi, sehingga digolongkan keluarga miskin (BPS 2014). Hasil penelitian Sumarwan et al. (2006) menyatakan keluarga yang mempunyai pendapatan tinggi memiliki peluang lebih besar untuk sejahtera dibandingkan keluarga dengan pendapatan rendah. Semakin rendah tekanan ekonomi yang dirasakan ibu, maka semakin baik derajat kualitas pernikahannya, atau dengan kata lain keluarga yang mempunyai kondisi finansial yang aman, relatif tidak sering mengalami konflik. Menurut Tati (2004) keluarga akan memperoleh kebahagiaan apabila mempunyai uang yang cukup. Penelitian Moen dan Elder (1983) menunjukkan kesejahteraan keluarga perlu adanya pengelolaan ekonomi rumah tangga yang efektif terutama dalam penggunaan sumberdaya keluarga yang ada, guna pemenuhan kebutuhan hidup. Pertengkaran terjadi dikarenakan masalah keuangan. Hal ini terjadi terutama pada golongan ekonomi menengah ke bawah, karena kurangnya dana yang dibutuhkan. Dengan demikian kebahagiaan akan tercapai apabila pasangan suami istri dapat menyesuaikan dan mengelola uang dengan baik. Menurut Glaser et al. (1995) pertengkaran suami istri dapat menyebabkan kualitas pernikahan menurun. Hasil penelitian Sunarti et al. (2005) menunjukkan hubungan tekanan ekonomi keluarga berkaitan erat dengan kualitas pernikahan, sementara kualitas pernikahan berkaitan erat dengan salah satunya praktek pengasuhan anak. Menurut Rizkillah (2014) kualitas lingkungan pengasuhan juga dipengaruhi oleh kualitas pernikahan, pendidikan istri, dan besar keluarga. Menurut Allendorf dan Ghimire (2012) pendidikan mempunyai hubungan yang kuat dan konsisten dengan kualitas pernikahan, semakin tinggi pendidikan semakin tinggi pula kualitas pernikahan yang dicapai. Sebagian masyarakat belum menyadari dampak yang terjadi apabila seseorang menikah usia muda. Penelitian terdahulu mengenai pernikahan usia muda lebih banyak mengkaji dampak menikah usia muda dibidang kesehatan. Oleh karena itu, masih diperlukan informasi dan pengetahuan untuk mengetahui kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan lingkungan pengasuhan anak pada keluarga yang menikah usia muda. Perumusan Masalah Salah satu faktor yang menyebabkan orang tua menikahkan anaknya usia muda dikarenakan masalah kemiskinan. Menurut Paul et al. (2013) kemiskinan merupakan penyebab utama pernikahan usia muda. Dengan menikahkan anaknya maka beban ekonomi dan tanggungan orang tua semakin berkurang. Selain masalah ekonomi anggapan orang tua menikahkan anaknya usia muda karena tidak ingin terjerat pergaulan bebas. Menurut Rahman dan Nasrin (2012) permasalahan utama pernikahan usia muda adalah pendidikan dan pendapatan bulanan yang rendah. Hasil penelitian Prakash et al. (2015) menyatakan hubungan
3 positif antara pendidikan dan usia menikah. Ambrus dan Field (2008) menunjukkan bahwa gadis di pedesaan Banglades apabila dipaksa untuk menunda pernikahan maka tingkat pendidikan akan meningkat. Faktor yang menyebabkan pernikahan usia muda adalah rendahnya pendidikan dan rendahnya keadaan sosial ekonomi (Darnita 2013). Menurut BPS (2012), Kabupaten Bogor mempunyai jumlah penduduk miskin lebih tinggi (10.8%) dibandingkan Kota Bogor (8.8%). Hal ini yang menjadi penyebab dan permasalahan usia muda. Pernikahan muda biasa terjadi di masyarakat pedesaan hal ini dikarenakan golongan ekonomi menengah kebawah yang beban pembagian peran dan tanggung jawab keluarga terhadap perempuan lebih banyak dan lebih besar dibandingkan keluarga suami. Di perkotaan pernikahan muda umumnya sering terjadi karena kecelakaan (married by accident) akibat salah pergaulan yang dilakukan oleh remaja (Abdullah et al. 2009) Tingkat pernikahan muda diduga berhubungan dengan angka perceraian. Menurut Tsania (2014) pernikahan usia muda berdampak pada kemandirian dari pasangan tersebut masih rendah, masih rawan, dan masih belum stabil sehingga dapat menyebabkan banyak terjadi perceraian. Berdasarkan data dari Kementrian Agama (2013) angka perceraian di Indonesia meningkat menjadi 14.6% atau sebanyak 372 577 pasangan. Angka perceraian di Kabupaten Bogor cukup tinggi. Menurut Pengadilan Agama (PA) Cibinong (2014) sedikitnya terdapat 500 berkas pengajuan permohonan perceraian dan 40 sidang perceraian dilangsungkan setiap harinya. Penyebab perceraian sangat beragam antara pasangan yang satu dengan yang lainnya. Menurut Pujiastuti dan Lestari (2008) di beberapa negara di dunia, faktor yang paling sering menyebabkan terjadinya perceraian adalah kegagalan suami istri dalam menjalankan kewajibannya, lemahnya dasar keagamaan, masalah seksual, masalah keuangan dan karir, kurangnya komitmen pada pernikahan, komunikasi yang buruk, serta rendahnya konflik. Kualitas pernikahan dapat ditentukan dari kebahagian dan kepuasan dalam pernikahannya. Kualitas pernikahan merupakan suatu derajat pernikahan yang dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi pasangan suami istri sehingga dapat menjaga kelestarian pernikahan (Puspitawati 2012). Kualitas pernikahan dan kesejahteraan keluarga juga dapat memengaruhi lingkungan pengasuhan bagi anak. Kualitas pernikahan yang tidak baik dapat memberikan kecenderungan pengasuhan yang tidak baik, karena pengasuhan orang tua yang baik dapat terwujud ketika orang tua dapat berinteraksi dengan baik, memberi kasih sayang, dan kehangatan pada anak (Rizkillah 2014). Pasangan suami istri yang menikah usia muda terkadang tidak memikirkan dampak negatif yang akan terjadi (Gunawan 2013). Hal ini dikarenakan usia yang relatif masih muda pasangan suami istri belum dapat memahami dan memaknai arti dari pernikahan dan pengasuhan yang baik untuk anak. Selain itu rendahnya pendidikan pasangan suami istri juga dapat memengaruhi pemaknaan mengenai pernikahan. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana kualitas pernikahan dan kesejahteraan keluarga pada keluarga menikah usia muda? 2. Bagaimana lingkungan pengasuhan anak pada keluarga menikah usia muda?
4 3. Bagaimana pengaruh kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga dengan lingkungan pengasuhan pada keluarga menikah muda? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Menganalisis pengaruh kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga dengan lingkungan pengasuhan pada keluarga menikah muda. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi kualitas pernikahan dan kesejahteraan keluarga pada keluarga menikah usia muda 2. Mengidentifikasi lingkungan pengasuhan anak pada keluarga menikah usia muda 3. Menganalisis pengaruh kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga terhadap lingkungan pengasuhan pada keluarga menikah usia muda Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat sebagai bahan masukan mengenai kualitas pernikahan, kesejahteraan, dan lingkungan pengasuhan pada keluarga yang menikah usia muda. Bagi keluarga diharapkan dapat memahami bahwa kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan membentuk lingkungan pengasuhan yang baik bagi anak. Hasil penelitian juga diharapkan bermanfaat pemerintah atau instansi terkait sebagai acuan dalam membuat kebijakan dan membangun negara dan untuk pembaca dapat menambah pengetahuan mengenai fenomena keluarga.
KERANGKA PEMIKIRAN Teori struktural fungsional salah satu yang mendasari teori keluarga. Teori ini mengakui adanya keberagaman dalam suatu sistem. Pernikahan adalah komitmen kekekalan hubungan yang didasarkan atas komitmen untuk seumur hidup dan menyakini bahwa pernikahan sebagai institusi sakral/ suci; sebagai perjanjian dengan Tuhan; dan sebagai kontrak hukum yaitu perjanjian yang diikat secara hukum dan disahkan oleh negara (Puspitawati 2012). Pernikahan merupakan tugas perkembangan pada masa dewasa muda (Hurlock 1994). Penyebab pernikahan muda diantaranya yaitu status ekonomi, pendidikan yang rendah, budaya nikah muda, pernikahan yang diatur, seks bebas (BKKBN 2012). Pernikahan usia muda diduga memengaruhi kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan kualitas lingkungan pengasuhan yang diterapkan. Karakteristik setiap individu berbeda-beda, sehingga memengaruhi alasan melakukan pernikahan usia muda. Rendahnya sumber ekonomi keluarga seperti rendahnya pendapatan, ketidakstabilan kerja, dan terlilit hutang merupakan akibat dari kesulitan ekonomi yang akan menimbulkan konflik, sehingga memengaruhi kualitas pernikahan (Tati 2004). Kualitas pernikahan terdiri dari dua dimensi yakni kebahagiaan pernikahan dan kepuasaan pernikahan (Conger et al. 1994).
5 Salah satu faktor yang memengaruhi kualitas lingkungan pengasuhan adalah kualitas pernikahan. Kualitas pernikahan erat kaitannya dengan pengasuhan anak, dimana lingkungan pengasuhan anak akan dipengaruhi situasi dan kondisi kehidupan keluarga. Kualitas pengasuhan anak dibentuk melalui stimulasi yang diberikan orang tua dan keluarga dalam memberikan kehangatan, suasana penerimaan, pemberian teladan, pemberian pengalaman, dorongan belajar, berbahasa, dan kemampuan akademik. Kualitas lingkungan pengasuhan anak dapat diukur menggunakan Home Observation and Measurement of Enviroment (HOME) yang mengukur beberapa aspek yaitu respon emosi dari pengasuh dan karakteristik lingkungan yang mendukung terhadap ekonomi dan eksplorasi anak. Kualitas lingkungan pengasuhan juga dipengaruhi oleh pendidikan istri, dan besar keluarga. Indikator kesejahteraan keluarga dibagi menjadi dua cluster, yaitu kesejahteraan keluarga objektif yang dapat dilihat secara kuantitatif dan kesejahteraan keluarga subjektif yang terlihat secara kualitatif. Tingkat kesejahteraan subyektif keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah pendidikan istri dan pendapatan suami. Kesejahteraan keluarga memengaruhi lingkungan pengasuhan, apabila kesejahteraan keluarga rendah berdampak negatif terhadap pengasuhan yang diberikan orang tua.
-
-
Karakteristik keluarga Usia suami, usia istri - Lama menikah Usia menikah suami, usia menikah istri - Jumlah anggota keluarga Lama pendidikan suami dan istri - Pendapatan per kapita Pekerjaan suami, pekerjaan istri
Kesejahteraan keluarga: - Kesejahteraan obyektif - Kesejahteraan subyektif
-
Kualitas Pernikahan - Kebahagiaan - Kepuasaan
Kualitas lingkungan pengasuhan Tanggap rasa dan kata - Stimulasi belajar Penerimaan perilaku anak - Stimulasi bahasa Pengorganisasian lingkungan - Lingkungan fisik Penyediaan mainan - Kehangatan dan penerimaan Keterlibatan ibu - Stimulasi akademik Variasi asuhan - Modeling Penerimaan - Variasi pengalaman
METODE Gambar 1 Kerangka berfikir pengaruh kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, terhadap lingkungan pengasuhan
6
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul “Tekanan Ekonomi, Kualitas Pernikahan, Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga, serta Lingkungan Pengasuhan pada Keluarga Menikah Usia Muda”. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, yaitu penelitian dilakukan dengan meneliti pada satu waktu tertentu. Pemilihan tempat penelitian di pilih secara purposive, yaitu di Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian di dua desa, yaitu Desa Tegal Waru dan Desa Cihideung Udik Kecamatan Ciampea. Kecamatan Ciampea memiliki jumlah pernikahan muda yang tinggi (Kementrian Agama 2013). Informasi tersebut merupakan alat yang digunakan dalam menentukan tempat secara purposive. Waktu penelitian terdiri dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan penulisan laporan yang dilakukan dalam jangka waktu Oktober 2014 hingga Mei 2015. Contoh dan Teknik Penarikan Contoh Populasi penelitian ini adalah keluarga yang menikah usia muda di Kecamatan Ciampea. Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga yang menikah usia muda dan memiliki anak usia 0-6 tahun. Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang menikah usia muda dan memiliki anak usia 0-6 tahun. Teknik penarikan contoh menggunakan metode purposive sampling. Jumlah contoh yang diambil untuk penelitian ini sebanyak 70 orang. Sumber data dikumpulkan dari Kementrian Agama Kabupaten Bogor, Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciampea, dan tokoh masyarakat di Desa Tegal Waru dan Desa Cihideung Udik. Jenis, Cara Pengumpulan Data dan Cara Pengukuran Variabel Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara melalui kuesioner yang telah diuji reliabilitasnya. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi berupa gambaran umum lokasi penelitian yang diperoleh dari Kantor Kecamatan Ciampea, data jumlah pasangan menikah dari Kantor Kementrian Agama Kabupaten Bogor, data jumlah pasangan menikah muda dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciampea, serta gambaran umum lokasi penelitian dari setiap desa diperolah dari Kantor Desa Tegal Waru, dan Kantor Desa Cihideung Udik. Data primer yang dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, meliputi : 1. Karakteristik keluarga contoh (usia suami-istri, usia menikah suami-istri, lama menikah, jumlah anggota keluarga, lama pendidikan suami istri, pekerjaan suami istri, dan pendapatan per kapita). 2. Kualitas pernikahan (dimensi kebahagiaan dan dimensi kepuasaan). Kuesioner milik Conger et al. (1990) yang dikembangkan oleh Sunarti et al. (2005) dengan nilai Cronbach’s alpha 0.843. Kuesioner berjumlah 40 item pertanyaan.
7 3. Kesejahteraan keluarga (kesejahteraan obyektif menggunakan indikator garis kemiskinan BPS (BLT) dan modifikasi Maghfiroh (2014) serta kesejahteraan subyektif menggunakan kuesioner Herawati (2012) dan Puspitawati (2012) dengan nilai Cronbach’s alpha 0.943. Kuesioner kesejahteraan objektif berdasarkan BPS berjumlah 14 kondisi rumah tinggal dan pemenuhan kebutuhan dasar lain seperti pangan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Kesejahteraan subjektif diukur dari dimensi fisik-ekonomi, sosial, dan psikologis. Kuesioner kesejahteraan subjektif berjumlah 27 item pertanyaan. 4. Lingkungan pengasuhan menggunakan instrumen lingkungan pengasuhan yang diadopsi dari instrument Home Observation for Measurement of the Environment (HOME) inventory milik Candwell dan Bradley (1984) dalam Hastuti (2014), yang dibagi dalam dua kategori, yaitu : a. Umur 0-36 bulan, terdiri dari tanggap rasa dan kata, penerimaan, terhadap perilaku anak, pengorganisasian lingkungan anak, penyediaan mainan untuk anak, keterlibatan ibu/ pengasuh terhadap anak dan kesempatan variasi asuhan dengan nilai Cronbach’s alpha 0.944. Kuesioner berjumlah 45 item pertanyaan. b. Umur 37-72 bulan meliputi stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik dengan nilai Cronbach’s alpha 0.989. Kuesioner berjumlah 55 item pertanyaan. Tabel 1 Variabel, skala, dan pengolahan data Variabel Karakteristik keluarga Usia suami, istri Usia menikah suami dan istri Lama menikah Jumlah anggota keluarga
Skala
Lama pendidikan suami dan lama pendidikan istri Pekerjaan suami dan pekerjaan istri
Rasio
Pendapatan per kapita Kualitas pernikahan Kebahagiaan pernikahan Kepuasan pernikahan
Rasio Rasio Rasio Rasio
Nominal
Rasio Ordinal
Pengolahan data Rataan data Rataan data Rataan data BKKBN 2005 1) Keluarga kecil (0-4 orang) 2) Keluarga sedang (5-7 orang) 3) Keluarga besar (≥ 8 orang) Rataan data 1) PNS 2) Wiraswasta 3) Swasta 4) Buruh 5) Guru 6) PRT 7) Lainnya Rataan data Rentang skor = 0-40 1) Rendah : 0.00-33.33 2) Sedang : 33.34-66.67 3) Tinggi : 66.68-100.00
8 Tabel 1 Variabel, skala, dan pengolahan data (Lanjutan)
-
Variabel Kesejahteraan keluarga Kesejahteraan obyektif
Skala Ordinal
Kesejahteraan subyektif
Ordinal
Kualitas lingkungan pengasuhan Tanggap rasa dan kata Penerimaan perilaku anak Pengorganisasian lingkungan Penyediaan mainan Keterlibatan ibu Variasi asuhan Stimulasi belajar Stimulasi bahasa Lingkungan fisik Kehangatan dan penerimaan Stimulasi akademik Modeling Variasi pengalaman Penerimaan
Ordinal
Pengolahan data Kesejahteraan objektif (BPS 2005) Rentang skor 0-14 1) Sejahtera (<9) 2) Tidak sejahtera (≥9) Kesejahteraan Subjektif Rentang skor 27-81 1) Rendah : 0.00-33.33 2) Sedang : 33.34-66.67 3) Tinggi : 66.68-100.00 Rentang skor : 0-45 (usia 0-36 bulan) 1) Rendah : 0-25 2) Sedang : 26-36 3) Tinggi : 37-45 0-55 (usia 37-72 bulan) 1) Rendah : 0-29 2) Sedang : 30-45 3) Tinggi : 46-55
Pengolahan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan melalui wawancara, kemudian diolah dan dianalisis melalui Microsoft Excel dan SPSS for windows. Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, scoring, dan analisis. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis inferensia. Analisis deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik keluarga (usia suami-istri dan usia menikah suami-istri, jenis kelamin anak, lama menikah, jumlah anggota keluarga, lama pendidikan suami istri, pekerjaan suami istri, dan pendapatan keluarga), kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga dan lingkungan pengasuhan. Analisis inferensia (uji korelasi Spearman untuk variabel kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan lingkungan pengasuhan, uji regresi linier untuk karakteristik keluarga, kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan lingkungan pengasuhan). Variabel penelitian selanjutnya diberikan skor penilaian pada setiap pertanyaan kuesioner. Variabel kualitas pernikahan mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi kebahagiaan dan dimensi kepuasan. Pengukuran dimensi kebahagiaan menggunakan pilihan jawaban “ya” dan “tidak” dengan skor (0=ya, 1=tidak). Pengukuran dimensi kepuasan menggunakan pilihan jawaban “ya” dan “tidak” dengan skor (0=ya, 1=tidak). Variabel kesejahteraan objektif
9 menggunakan dua pilihan jawaban “ya” dan “tidak” dengan skor (ya=1, 0=tidak). Variabel kesejahteraan subyektif menggunakan tiga pilihan jawaban yaitu “tidak puas”, “cukup puas”, dan “puas” dengan skor (1=tidak puas, 2=cukup puas, 3=puas). Variabel lingkungan pengasuhan menggunakan pilihan “ya” dan “tidak” dengan skor (1=ya, 0=tidak). Kemudian skor total dari masing-masing variabel ditransformasikan menjadi skor indeks. Hal ini dilakukan agar memperoleh nilai minimum 0 dan nilai maksimum 100. Selain itu, bertujuan untuk menyamakan satuan agar perbandingan pengategorian data setiap variabel seragam (Puspitawati dan Herawati 2013). Indeks dihitung dengan rumus : Rumus indeks = Keterangan : Indeks = skala nilai 0-100 Nilai aktual = nilai yang diperoleh responden Nilai maksimal = nilai tertinggi yang seharusnya dapat diperoleh responden Nilai minimal = nilai terendah yang seharusnya dapat diperoleh responden Skor indeks yang dicapai dimasukkan ke dalam kategorikan berdasarkan kelas. Skor dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Untuk menentukan cut off variabel dibutuhkan interval kelas. Rumus interval kelas adalah sebagai berikut (Puspitawati dan Herawati 2013) : Interval kelas = Interval kelas untuk variabel kualitas pernikahan dan kesejahteraan subjektif sesuai pengategorian adalah sebagai berikut : Interval Kelas = Cut off yang diperoleh untuk pengkategorian adalah sebagai berikut : 1. Rendah : 0.00-33.33 2. Sedang : 33.34-66.67 3. Tinggi : 66.68-100.00 Pengategorian kesejahteraan objektif berdasarkan BPS (2005) 1. Sejahtera (<9) 2. Tidak sejahtera (≥9) Hal ini berarti semakin tinggi skor kesejahteraan objektif maka keluarga akan semakin tidak sejahtera (BPS 2005) Pengategorian lingkungan pengasuhan berdasarkan Candwell dan Bradley (1984) dalam Hastuti (2014) a. Usia 0-36 bulan dengan rentang skor 0-45 1. Rendah : 0-25 2. Sedang : 26-36 3. Tinggi : 37-45 b. Usia 37-72 bulan dengan rentang skor 0-55 1. Rendah : 0-29 2. Sedang : 30-45 3. Tinggi : 46-55 Analisis hubungan untuk melihat hubungan antara karakteristik keluarga, kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan kualitas lingkungan pengasuhan. Uji linier berganda, menurut Silalahi (2012) adalah teknik statistik yang dapat digunakan untuk menganalisa pengaruh antara satu variabel dependen tunggal
10 dengan beberapa variabel independen. Analisis regresi linier digunakan untuk menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan kualitas lingkungan pengasuhan. Persamaan linear yang digunakan untuk uji regresi, yaitu : Y1 = α + β1 X1+ β2 X2+ β3 X3+ β4 X4+ β5 X5+ β6 X6+ β7 X7+ € Keterangan : Y = lingkungan pengasuhan α = konstanta regresi β1… β7 = koefisien regresi X1 = kualitas pernikahan (skor) X2 = kesejahteraan subjektif keluarga (skor) X3 = kesejahteraan objektif keluarga (skor) 4 X = usia menikah istri (tahun) X5 = lama menikah (tahun) 6 X = lama pendidikan istri (tahun) X7 = pendapatan per kapita (rupiah) € = galat Definisi Operasional Karakteristik keluarga adalah ciri khas yang dimiliki oleh keluarga responden seperti usia suami-istri, usia menikah suami-istri, lama menikah, jumlah anggota keluarga, lama pendidikan suami istri, pekerjaan suami istri, dan pendapatan per kapita. Keluarga menikah muda adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan pernikahan darah atau adopsi yang terdiri dari suami, istri, dan anakanak serta anggota keluarga lainnya dimana salah satu atau sepasang suami istri menikah dengan usia di bawah 20 tahun. Usia suami, usia istri adalah jumlah tahun lengkap sejak lahir sampai usia ulang tahun suami dan istri Usia menikah suami, usia menikah istri adalah jumlah tahun lengkap sejak lahir sampai usia ulang tahun suami dan istri Lama menikah adalah lama menikah dimulai dari tahun pertama sampai ulang tahun pernikahan yang terakhir. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah anggota keluarga dikelompokkan berdasarkan BKKBN (2005) menjadi tiga kategori yaitu kecil (=4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar ( 8 orang ). Lama pendidikan suami istri adalah lama pendidikan formal yang ditempuh atau diperoleh suami dan istri dalam tahun Pekerjaan suami istri adalah pekerjaan atau mata pencaharian baik secara formal maupun informal yang menambah pendapatan keluarga Pendapatan per kapita adalah pendapatan keseluruhan dibagi dengan jumlah anggota keluarga Kualitas pernikahan adalah diukur dengan dimensi kebahagiaan dan kepuasan menurut persepsi istri Kebahagiaan pernikahan adalah diukur berdasarkan kenikmatan yang relatif yang dirasakan istri dalam menilai kehidupan pernikahannya, dilihat dari aspek ekonomi, komunikasi dengan keluarga pasangan, pengasuhan anak,
11 kepribadian pasangan, komitmen pernikahan, dan hubungan intim berdasarkan skala ordinal. Kepuasan pernikahan adalah diukur berdasarkan persepsi istri dalam menilai kehidupan pernikahannya, yang bersifat dinamis diukur aspek ekonomi, pengasuhan anak, cinta dan hubungan intim berdasarkan skala ordinal Kesejahteraan objektif adalah tingkat pemenuhan kebutuhan dasar dan perkembangan secara objektif, yaitu mengacu pada standar normatif dan ideal yang diukur dari 14 kriteria kemiskinan berdasarkan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) menurut BPS dimana semakin memenuhi 14 kriteria, maka keluarga semakin miskin Kesejahteraan subjektif adalah kepuasaan istri terhadap tingkat pemenuhan kesejahteraan yang ditunjukkan secara objektif yang diukur menggunakan indikator kesejahteraan berdasarkan skala ordinal Kualitas lingkungan pengasuhan adalah tingkat kualitas atau baik buruknya kegiatan pengasuhan yang dilakukan oleh pengasuh (ibu) yang diukur dengan menggunakan Home Observation for Measurement of the Environment (HOME) inventory
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari 13 desa, yaitu : Bojong Jengkol, Bojong Rangkas, Benteng, Ciampea Udik, Ciampea, Cibadak, Cibanteng, Cibuntu, Cicadas, Cihideung Ilir, Cihideung Udik, Cinangka, dan Tegal Waru. Lokasi penelitian ini tepatnya di dua desa yaitu Desa Tegal Waru dan Desa Cihideung Udik. Desa Tegal Waru Desa Tegal Waru memiliki luas wilayah 338.0 Ha, ketinggian 200 m dari permukaan laut, dan suhu udara rata-rata 23 oC. Batas wilayahnya, sebelah utara dan timur berbatasan dengan Desa Bojong Jengkol, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cinangka, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Bojong Rangkas. Jumlah penduduk 12 510 jiwa. Sebaran kelompok umur persentase terbanyak pada kelompok usia 20-29 tahun yaitu sebesar 53.7 persen. Penduduk desa Tegal Waru mempunyai lahan pertanian seluas 390.0 Ha dan sebagian besar ditanami ubi kayu. Desa Tegal Waru memiliki 39 RT dan 06 RW. Desa Cihideung Udik Desa Cihideung Udik memiliki luas wilayah 284.0 Ha, dengan ketinggian 200-350 m dari permukaan laut, dan suhu udara rata-rata 24.3 oC. Batas wilayahnya sebelah utara dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Cinangka, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cibintung Tengah, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Situ Daun. Jumlah penduduk 14 077 jiwa. Penduduk mempunyai lahan pertanian seluas 225.0 Ha dan sebagian besar ditanami ubi jalar. Sebaran kelompok umur persentase terbanyak pada kelompok usia 20-29 tahun yaitu sebesar 52.9 persen. Desa Cihideung Udik juga mempunyai potensi
12 pariwisata Kampung Wisata Cinangneng. Desa Cihideung Udik memiliki 48 RT dan 15 RW. Karakteristik Keluarga Usia mininal menikah istri 13 tahun dan usia menikah suami 16 tahun. Ratarata usia suami ketika menikah adalah 22.1 tahun dan rata-rata istri menikah adalah 17.3 tahun (Tabel 2). Menurut BKKBN (2012) pernikahan usia muda dilakukan pada usia dibawah 20 tahun. Penelitian sebelumnya menunjukkan di desa lebih banyak pasangan menikah usia muda salah satunya wilayah Kabupaten Bogor (Risya 2011; Karyadi 1998). Hal ini berarti usia istri belum termasuk kedalam kategori usia yang matang secara fisik, mental untuk menikah, dan berisiko untuk melahirkan. Tabel 2 Sebaran Usia Menikah Karakteristik Keluarga Usia istri (th) Usia suami (th) Usia menikah istri (th) Usia menikah suami (th)
Minimal 15 20 13 16
Maksimal 44 50 19 25
Rata-rata± Standar Deviasi 27.9±7.4 32.6±7.7 17.3±1.6 22.1±2.1
Tingkat pendidikan yang telah dicapai lebih dari setengah istri (60.0%) adalah tamat SD. Lama pendidikan yang ditempuh istri berkisar 3 sampai 12 tahun. Persentase tingkat pendidikan yang telah dicapai adalah hampir setengah suami (44.3%) tamat SD. Lama pendidikan yang ditempuh suami berkisar 3 sampai 16 tahun. Rata-rata pendidikan istri dan suami adalah berjenjang SMP. Hasil penelitian menunjukkah bahwa tingkat pendidikan masih tergolong rendah dan belum menempuh pendidikan lebih dari sembilan tahun (Tabel 3). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Gunawan (2013) bahwa sebagian besar responden menikah usia muda berpendidikan tamat SD. Hasil penelitian Rizkillah (2014) menyebutkan status pendidikan yang tinggi memengaruhi jenis pekerjaan dan pendapatan. Tabel 3 Sebaran keluarga berdasarkan kategori pendidikan Pendidikan Tidak tamat SD SD SMP SMA Perguruan Tinggi Total Minimal-Maksimal Rata-rata± Standar Deviasi
Istri n 7 42 18 3 0 70
Suami % 10.0 60.0 25.7 4.3 0 100.0
3-12 6.7±1.7
n 3 31 24 11 1 70
% 4.3 44.3 34.3 15.7 1.4 100.0 3-16 7.9±2.5
Hasil penelitian menunjukkan lebih dari setengah jenis pekerjaan suami (55.7%) adalah buruh dan jenis pekerjaan lainnya adalah wiraswasta, swasta, guru, dan penjahit. Sebanyak 81.4 persen istri menjadi ibu rumah tangga dan lainnya bekerja sebagai wiraswasta, buruh, dan penjahit (Tabel 4). Menurut Sumarwan et
13 al. (2006) jenis pekerjaan merupakan salah satu yang memengaruhi kesejahteraan keluarga. Tabel 4 Sebaran keluarga berdasarkan kategori jenis pekerjaan Pekerjaan Ibu rumah tangga Wiraswasta Swasta Buruh Guru Lainnya (penjahit) Total
Istri n 57 6 0 4 0 3 70
Suami % 81.4 8.6 0 5.7 0 4.3 100.0
n 0 20 5 39 1 5 70
% 0 28.6 7.1 55.7 1.4 7.1 100.0
Tabel 5 menunjukkan besar keluarga contoh antara 3 sampai 9 orang dengan rata-rata berjumlah anggota keluarga 4 orang. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar keluarga contoh (75.7%) termasuk dalam keluarga kecil (BKKBN 2005). Hasil penelitian Rizkillah (2014) besar keluarga dapat memengaruhi lingkungan pengasuhan. Tabel 5 Sebaran keluarga berdasarkan kategori besar keluarga Besar keluarga Kecil (0-4) orang Sedang (5-7) orang Besar (≥8) orang Total Minimal-Maksimal Rata-rata± Standar Deviasi
n 53 15 2 70
% 75.7 21.4 2.9 100.0 3-9 3.9±1.2
Pendapatan keluarga contoh perkapita perbulan berkisar antara Rp75 000 hingga Rp2 500 000 dengan rata-rata sebesar Rp594 696. Hasil penelitian menunjukkan setengah keluarga (51.4%) berada dalam kategori tidak miskin. Walaupun demikian ditemukan sebagian keluarga yang miskin (20.0%) dan hampir miskin (28.6%) (Tabel 6). Garis kemiskinan BPS Jawa Barat (2014) sebesar minimal Rp288 742, jika keluarga pendapatnya kurang dari angka tersebut termasuk dalam kategori miskin. Hasil penelitian Elmanora (2011) ditemukan bahwa pendapatan keluarga per bulan akan memengaruhi kesejahteraan keluarga. Tabel 6 Sebaran keluarga berdasarkan kategori pendapatan per kapita Pendapatan per kapita* Miskin ≤ 288 741 (BPS 2014) Hampir miskin (288 742-433 112) (BPS 2014) Tidak miskin ≥433 113 (BPS 2014) Total Minimal-Maksimal Rata-rata± Standar Deviasi *) BPS 2014
n 14
% 20.0
20
28.6
36
51.4
70
100.0 75 000-2 500000 594 695.6±4.8
14 Lebih dari setengah keluarga (52.9%) mempunyai anak berusia 37 bulan sampai 72 bulan, dan sisanya (47.1%) berusia 0 sampai 36 bulan (Tabel 7). Menurut Teachman et al. (1982) pasangan suami istri yang mempunyai anak mempunyai kepuasaan pernikahan yang lebih tinggi. Tabel 7 Sebaran keluarga berdasarkan kategori usia anak Usia anak Usia 0-36 bulan Usia 37-42 bulan Total
n 33 37 70
% 47.1 52.9 100.0
Lama menikah pasangan suami istri berkisar 1 sampai 30 tahun dengan rata-rata lama menikah 10.9 tahun. Sebanyak 70.0 persen responden lama pernikahannya kurang dari 15 tahun dan sisanya 30.0 persen menikah lebih dari 15 tahun (Tabel 8). Menurut Kerkmann et al. (2000) lama menikah dapat berhubungan positif signifikan dengan pendapatan dan jumlah anak. Tabel 8 Sebaran keluarga berdasarkan kategori lama menikah Lama menikah (th) * < 15 >15 Total Minimal-Maksimal Rata-rata± Standar Deviasi
n 49 21 70
% 70.0 30.0 100.0 1-30 10.9±7.4
*) Tati 2004
Kualitas Pernikahan Dimensi Kebahagiaan Pada aspek ekonomi, hasil penelitian menunjukkan lebih dari setengah istri menyatakan kurang bahagia dan selalu berdebat dengan suami dalam hal alokasi uang membeli makan (72.9%), alokasi uang untuk membeli pakaian (71.4%), alokasi uang untuk pendidikan anak (61.4%), alokasi uang untuk pengobatan (57.1%), dan alokasi uang untuk merawat rumah (55.7%) (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan setengah istri belum dapat mengelola keuangan dengan baik sesuai dengan kebutuhan. Menurut Tati (2004) kebahagiaan pernikahan akan tercapai apabila pasangan dapat mengelola keuangan dengan baik sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, Karyadi (1998) menyatakan pasangan menikah muda beresiko kesulitan ekonomi karena belum stabil. Pada aspek komunikasi dengan keluarga pasangan, lebih dari setengah istri merasa bahagia dalam hal dianggap keluarga pasangan (67.5%), tidak merasa direndahkan oleh mertua dan ipar (70.0%), tidak kesulitan menganggap keluarga pasangan seperti keluarga sendiri (67.5%), dan mudah berkomunikasi dengan pasangan (70.0%) (Lampiran 1). Hal ini sejalan dengan penelitian (Nuraini 2004) bahwa kebahagiaan pernikahan dapat tercapai dengan adanya komunikasi dan keterbukaan antara pasangan dan keluarga pasangan. Pada aspek pengasuhan anak, menunjukkan lebih dari setengah istri kurang bahagia dalam pengasuhan anak seperti sering bertengkar dengan suami mengenai anak (75.7%), sering konflik dengan suami dalam mendidik anak
15 (70.0%), sering konflik dengan suami dalam mendisiplinkan anak (81.4%), sering menemui hambatan dengan suami dalam mengasuh anak (65.7%) (Lampiran 1). Menurut Tsania (2014) pasangan menikah muda belum mempunyai kedewasaan untuk membesarkan anak dan belum dapat melakukan pengasuhan yang baik. Pada aspek kepribadian pasangan, lebih dari setengah istri kurang merasa bahagia dengan sikap pasangan yang tidak disukai (68.6%), sifat pasangan yang tidak disukai (68.6%), dan perilaku pasangan yang tidak disukai (68.6%). Kurang dari tiga perempat suami selalu memuji kemampuan istrinya (74.3%) (Lampiran 1). Dalam aspek kepribadian pasangan setengah dari istri belum merasakan kebahagiaan yang optimal. Menurut Tati (2004) kebahagiaan pernikahan dapat tercapai jika tidak ada sikap, sifat, dan perilaku yang tidak disukai oleh istri. Pada aspek komitmen pernikahan, lebih dari tiga perempat istri selalu menjaga komitmen pernikahan dengan suami (81.4%), tetapi lebih dari setengah istri merasa suami selingkuh (52.9%). Lebih dari tiga perempat istri merasa terpaksa melakukan hubungan seks jika ada masalah dengan suami (77.1%) (Lampiran 1). Menurut Tati (2004) jika tidak ada keterpaksaan melakukan hubungan intim maka kebahagiaan akan tercapai. Hasil penelitian menunjukkan kurang dari setengah istri (41.4%) merasa dimensi kebahagiaan pernikahan dalam kategori sedang (Tabel 9). Menurut Rizkillah (2014) kebahagiaan pernikahan diukur berdasarkan kenikmatan yang relatif mengenai kehidupan pernikahan yang dirasakan oleh istri. Dimensi Kepuasan Pada aspek keterbukaan dan aktivitas ekonomi, lebih dari setengah istri merasa kurang puas dalam hal sering konflik karena hanya satu sumber penghasilan keluarga (52.9%), istri juga sering tidak puas dengan yang dimiliki sekarang (61.4%), istri merasa kesal dengan kegagalan suami (52.9), istri juga sering berbeda pendapat mengenai uang dengan suami (70.0%), merasa terganggu dengan campur tangan orang lain dalam mencukupi keuangan keluarga (55.7%), dan selebihnya istri merasa puas dengan pekerjaan suami (74.3%), prestasi kerja suami (64.3%), setuju dengan cara mengatur uang (58.6%) dan terbuka dengan cara mengatur uang (61.4%), istri juga tidak merasa terganggu dengan suami yang mengatur keuangan keluarga (61.4%) dan tidak merasa terganggu jika keluarga meminta bantuan (54.3%) (Lampiran 2). Dalam aspek ini lebih dari setengah istri yang menjadikan uang sebagai sumber pertengkaran dengan pasangan Menurut Tati (2004) uang menjadi sumber utama pertengkaran dengan pasangan. Dalam aspek cinta dan hubungan intim, lebih dari tiga perempat istri merasa puas dengan suami yang mencintainya (95.7%), suami memperlakukan seperti yang diinginkan (80.0%), mempunyai waktu bersama dengan suami (82.9%), senang mengungkapkan kepuasan seks (78.6%), selalu musyawarah dalam menentukkan keputusan (82.9%), istri merasa hubungan seksualitasnya indah dan menyenangkan (54.3%) tetapi lebih dari setengah istri kurang puas dengan tidak saling terbuka masalah seks (55.7%) (Lampiran 2). Menurut Nurani (2004) kepuasan pernikahan akan tercapai apabila suami istri saling terbuka masalah hubungan intim dengan pasangannya. Dalam hal pengasuhan, istri kurang puas karena tidak ada pembagian tanggung jawab membesarkan anak (71.4%) tetapi dalam menentukan pendidikan jarang bertengkar (54.3%) (Lampiran 2). Menurut Nuraini (2004) dalam
16 membesarkan anak peran ibu memerlukan dukungan dari suami yang meliputi kasih sayang, cinta, keterbukaan, dan komunikasi. Hasil penelitian menunjukkan lebih dari setengah istri (67.1%) merasa dimensi kepuasaan pernikahan dalam kategori sedang (Tabel 9). Menurut Rizkillah (2014) kepuasaan pernikahan diukur berdasarkan persepsi istri dalam menilai kehidupanan pernikahannya dan bersifat dinamis. Lebih dari setengah istri (58.6%) merasa kualitas pernikahan yang tergolong sedang (Tabel 9). Menurut Tati (2004) kualitas pernikahan dipengaruhi faktor-faktor seperti jalinan cinta antar pasangan suami dan istri, saling mendukung, memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis, mengelola ekonomi yang baik, dan menghindari terjadinya beda pendapat. Penelitian Nurpratiwi (2010) menyatakan kematangan emosi dan usia ketika menikah memengaruhi kepuasan pernikahan. Tabel 9 Sebaran keluarga berdasarkan kategori kualitas pernikahan Dimensi Kualitas pernikahan Kebahagiaan Pernikahan Kepuasaaan pernikahan Kualitas pernikahan
n 26
% 37.1
Kategori* Sedang Tinggi (33.34(66.6866.67) 100.00) n % n % 29 41.4 15 21.4
3
4.3
47
67.1
20
28.6
25-100
59.1±18.2
13
18.6
41
58.6
16
22.9
18-100
59.7±119.9
Rendah (0.00-33.33)
MinimalMaksimal
Ratarata±Standar Deviasi
0-100
44.3±25.2
*) Pembagian kategori berdasarkan rumus interval Puspitawati dan Herawati (2013)
Kesejahteraan Keluarga Kesejahteraan Objektif Kesejahteraan salah satunya dipengaruhi oleh lokasi tempat tinggal (Sumarwan et al. 2006). Hasil penelitian menunjukkan lebih dari setengah istri (57.1%) merasa rumahnya masih sempit, seluruh keluarga (100.0%) memiliki jenis lantai ubin dan keramik serta seluruh keluarga (100.0%) memiliki dinding dari tembok. Lebih dari tiga perempat keluarga (80.0%) mempunyai MCK sendiri. Lebih dari setengah keluarga (87.1%) memiliki sumber air minum bersih dari sumur serta seluruh keluarga (100.0%) menggunakan sumber penerangan dari listik dengan rata-rata berdaya 450 watt (Lampiran 3). Hampir seluruh keluarga (97.1%) menggunakan gas sebagai bahan bakar untuk memasak. Sementara itu lebih dari tiga perempat keluarga (78.6%) mempunyai frekuensi makan dua kali sehari. Lebih dari setengah keluarga (54.3%) tidak mampu membeli daging/ayam/susu dalam seminggu. Lebih dari setengah keluarga (54.3%) keluarga mampu membelikan pakaian baru untuk setiap anggota keluarga. Hampir tiga perempat keluarga (72.9%) tidak mampu berobat di puskesmas dikarenakan lokasi puskesmas yang jauh dari tempat tinggal. Hampir tiga perempat kepala keluarga (70.0%) bekerja sebagai buruh dengan pendapatan kurang dari Rp600 000. Lebih dari setengah pendidikan suami
17 (51.4%) tamat Sekolah Dasar. Hampir tiga perempat keluarga (72.9%) tidak memiliki aset yang mudah untuk dijual (Lampiran 3). Seluruh keluarga (100.0%) berada dalam kategori keluarga sejahtera (Tabel 10). Menurut BPS (2000) semakin baik kondisi dan kualitas rumah yang ditempati menunjukkan semakin baik keadaan sosial ekonomi rumah tangga tersebut. Tabel 10 Sebaran keluarga berdasarkan kategori kesejahteraan objektif Kesejahteraan Objektif* Sejahtera (<9) Tidak sejahtera (≥9) Total Minimal-Maksimal Rata-rata±Standar Deviasi
n 70 0 70
% 100.0 0 100.0 2-9 5.9±1.9
*) BPS (2005)
Kesejahteraan Subjektif Kesejahteraan subjektif pada dimensi fisik-ekonomi, istri merasa kurang puas dengan keuangan keluarga (65.7%), makanan keluarga (55.7%), tempat tinggal (64.9%), kondisi materi/ aset keluarga (72.9), strategi koping keluarga (54.3%), dan manajemen keuangan keluarga (50.0%). Akan tetapi istri juga merasa puas dalam hal kesehatan fisik keluarga (51.4%) dan cara manajemen stres istri (71.4%). Istri merasa cukup puas dalam hal keadaan lingkungan fisik (55.7%) dan cara manajemen pekerjaan suami (37.1%) (Lampiran 4). Dalam aspek ini menunjukkan sebagian istri kurang merasa puas dengan keadaan fisik dan ekonomi keluarga. Kesejahteraan subjektif pada dimensi sosial, istri merasa puas dengan hubungan komunikasi dengan orang tua/ mertua (74.3%), hubungan dengan saudara/ kerabat (61.4%), hubungan dengan tetangga (50.0%), dan istri merasa kurang puas dalam mengikuti kegiatan sosial (48.6%), pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki anggota keluarga (48.6%) (Lampiran 4). Tsania (2014) menyatakan istri yang menikah muda belum mempunyai kesiapan sosial yang baik sehingga cenderung menarik diri dari lingkungan baru. Kesejahteraan subjektif pada dimensi psikologis, istri merasa puas komunikasi dengan suami (62.9%), dukungan dari suami dan anggota keluarga (71.4%), dan dukungan dari saudara/kerabat (41.4%). Selain itu, istri juga merasa kurang puas dalam hal tujuan yang telah dicapai keluarga (62.9%), keadaan mental/spiritual keluarga (54.3%), kebersihan rumah (35.7%), pendidikan anggota keluarga (57.1%), penghasilan suami (64.3%), perilaku suami dalam membantu dan membagi tugas rumah tangga (37.1%), kebahagiaan dan kepuasan pernikahan (37.1%), dan istri merasa cukup puas dalam hal perilaku anggota (37.7%), dan dukungan dari tetangga (40.0%) (Lampiran 4). Hal ini berarti kesejahteraan subjektif dipengaruhi pendidikan, pekerjaan, kepemilikan aset, dan pembagian tugas keluarga (Sumarwan et al. 2006). Tabel 11 menunjukkan lebih dari tiga perempat istri merasa kesejahteraan subjektif dalam kategori sedang (77.1%), walaupun ditemukan sebagian keluarga berada pada kategori rendah (14.3%) dan kategori tinggi (8.6%). Penyebab kesejahteraan subjektif termasuk kategori sedang, banyak istri yang kurang puas
18 dengan keuangan keluarga, kebutuhan makanan keluarga, kepemilikan aset, keterlibatan keluarga dalam kegiatan sosial, pendidikan anggota keluarga, penghasilan suami, dan belum tercapai tujuan keluarga. Hal ini sesuai dengan penelitian Harun (2010) menyatakan kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh pendapatan suami. Menurut Khilmiyah et al. (2014) pasangan menikah muda yang sebagian besar bekerja sebagai buruh kasar merasa kurang puas dengan pendapatan keluarga dan kepemilikan aset keluarga. Tabel 11 Sebaran keluarga berdasarkan kategori kesejahteraan subjektif Kesejahteraan subjektif* Rendah (0.00-33.33) Sedang (33.34-66.67) Tinggi (66.68-100.00) Total Minimal-Maksimal Rata-rata±Standar Deviasi
n 10 54 6 70
% 14.3 77.1 8.6 100.0 19-81 47.2±13.9
*) Pembagian kategori berdasarkan rumus interval Puspitawati dan Herawati (2013)
Lingkungan Pengasuhan Kualitas lingkungan pengasuhan dapat diketahui dari tingkat baik buruknya kegiatan pengasuhan yang telah dilakukan oleh pengasuh (ibu). Pengukuran lingkungan pengasuhan dibedakan berdasarkan usia anak, yaitu 0-36 bulan dan usia 37-72 bulan. Kualitas Lingkungan Pengasuhan Anak 0-36 bulan Berdasarkan aspek tanggap rasa dan kata, lebih dari setengah ibu (63.6%) pengasuhannya belum optimal dan dalam kategori rendah, walaupun ditemukan 9.1 persen pengasuhan ibu berada pada kategori tinggi. (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu tidak berbicara kepada anak (39.4%), tidak menyebutkan nama barang (63.6%), tidak aktif dan bebas berbicara (57.6%), dan tidak menanggapi pujian positif (81.8%). Selain itu ditemukan pengasuhan yang cukup baik dalam hal menanggapi ocehan anak (63.6%), berbicara jelas dan dapat dipahami (75.8%), tidak mengizinkan anak bermain ditempat kurang bersih (63.6%), memuji anak (66.7%), menunjukkan rasa sayang lewat kata-kata (69.7%), dan membelai (93.9%) (Lampiran 5). Berdasarkan aspek penerimaan terhadap perilaku anak, lebih dari setengah ibu (78.8%) pengasuhannya dalam kategori rendah (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal, hampir seluruh ibu berteriak kepada anak (87.9%), pernah memukul atau mencubit anak (69.7%), pernah memarahi anak (72.7%), melarang anak bermain (78.8%), tidak tersedia buku (87.9%), tidak ada binatang piaraan (84.8%) dan ibu pernah menghukum anak (39.4%). Pengasuhan yang cukup baik diberikan ibu dalam hal tidak menunjukkan kekecewaan (51.5%) (Lampiran 5). Berdasarkan aspek pengorganisasian lingkungan anak, lebih dari setengah ibu (54.4%) pengasuhannya dalam kategori rendah (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal anak tidak diasuh orang yang sama pada saat ibu pergi (33.3%) dan anak tidak diajak pergi meninggalkan rumah (33,3%). Pengsuhan ibu yang cukup
19 baik dalam hal ibu mengajak anak pergi ke pasar (78.8%), pernah diajak ke dokter, mantri, atau puskesmas (90.0%), tidak terlihat mainan berbahaya (100.0%), dan ibu tidak menyediakan tempat khusus untuk alat mainan anak (100.0%) (Lampiran 5). Berdasarkan aspek penyediaan mainan, lebih dari setengah ibu (66.7%) pengasuhannya dalam kategori rendah (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu belum menyediakan mainan untuk belajar berjalan (54.5%), anak tidak diizinkan main sendiri (54.5%), alat bermain tidak sesuai usia anak (63.6%), alat belajar tidak sesuai usia anak (51.5%), tidak ada mainan koordinasi mata tangan yang sederhana (90.9%), tidak ada mainan koordinasi mata tangan yang kompleks (100.0%), dan tidak ada mainan belajar menggambar serta menulis (84.8%). Pengasuhan yang cukup baik ditunjukkan dengan setengah ibu menyatakan menyediakan mainan latihan gerakan anak (54.5%) dan mainan yang bisa didorong (51.5%) (Lampiran 5). Berdasarkan aspek keterlibatan, lebih dari setengah ibu (66.7%) dalam kategori sedang. Walaupun terdapat 8.2 persen pengasuhan ibu berada pada kategori tinggi (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu tidak menyediakan mainan untuk kematangan jiwa anak (97.0%) dan tidak menyediakan mainan baru untuk mematangkan keterampilan (84.8%). Pengasuhan yang cukup baik hampir seluruh ibu mengawasi anak secara langsung atau sambil kerja (97.0%), mengajak anak berbicara selama mengerjakan pekerjaan (90.9%), memperhatikan perkembangan anak (57.6%), dan mengatur waktu bermain anak (81.8%) (Lampiran 5). Berdasarkan aspek variasi asuhan, kurang dari setengah ibu (48.5%) pengasuhannya dalam kategori sedang, tetapi ditemukan 12.1 persen pengasuhan yang diberikan ibu dalam kategori tinggi (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu tidak mendongengkan cerita ke anak (75.8%) dan anak tidak punya buku sendiri (93.9%). Pengasuhan yang cukup baik lebih dari setengah ibu menyatakan bahwa ada orang lain suami yang mengasuh anak (51.5%), anak diajak makan bersama (69.7%), anak juga pernah diajak mengunjungi orang lain (51.5%) (Lampiran 5). Kualitas Lingkungan Pengasuhan Anak 37-72 bulan Berdasarkan aspek stimulasi belajar, lebih dari tiga perempat ibu (89.2%) pengasuhannya dalam kategori sedang (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal seluruh ibu tidak membaca koran dan berlangganan koran (100%) serta anak tidak memiliki buku sendiri (97.3%) dan tidak memiliki buku keluarga (94.6%). Ibu memberikan stimulasi cukup baik dalam hal adanya mainan untuk belajar warna, bentuk, dan ukuran (75.7%), ada mainan yang memiliki peraturan (51.4%), ada tape recorder (56.8%), ada mainan bebas berekspresi (86.5%), ada mainan belajar angka (78.9%), anak diajari tentang bentuk-bentuk (54.1%) (Lampiran 6). Berdasarkan aspek stimulasi bahasa, kurang dari setengah (35.1%) pengasuhannya dalam kategori rendah, tetapi ditemukan 29.7 persen pengasuhan ibu dalam kategori tinggi (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu tidak memberikan mainan untuk mengenal nama binatang (48.6%), ibu tidak mengajari huruf
20 (48.6%), dan tidak memberikan stimulasi berbicara dengan bahasa yang benar (35.1%). Ibu juga memberikan pengasuhan yang cukup baik dalam hal ibu selalu memberikan kesempatan berbicara dan bercerita (100%), mengajari mengucapkan salam (94.6%), dan anak diberi kesempatan memilih makanan sendiri (78.4%) (Lampiran 6). Berdasarkan aspek lingkungan fisik, kurang dari setengah ibu (45.9%) pengasuhannya dalam kategori rendah, tetapi ditemukan 13.5 persen pengasuhan ibu pada kategori tinggi (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal yaitu ibu merasa rumahnya sempit (64.9%), tidak rapi dan dipenuhi alat rumah tangga (54.1%). Ibu merasa tetangganya baik dan bersikap ramah (94.6%), keadaan rumah tidak gelap (64.9%) (Lampiran 6). Berdasarkan aspek kehangatan dan penerimaan, kurang dari setengah ibu (40.5%) pengasuhannya dalam kategori rendah walaupun ditemukan 24.3 persen pengasuhan ibu dalam ketegori tinggi (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu tidak memuji anak secara spontan dan membantu menunjukkan kepintaran anak sebanyak (70.3%). Ibu memberikan pengasuhan yang cukup optimal dalam hal menggendong anak (70.3%) dan menanggapi ocehan anak (62.2%) (Lampiran 6) Berdasarkan aspek stimulasi akademik, kurang dari setengah ibu (43.2%) pengasuhannya dalam kategori tinggi, tetapi masih ditemukan juga 40.5 persen pengasuhan yang diberikan ibu dalam kategori rendah (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu tidak mengajari warna (43.2%), tidak mengajari bernyanyi (45.9%), dan tidak menjelaskan pengertian ruang/ dimensi (51.4%). Ibu melakukan pengasuhan yang cukup baik dalam mengajarkan angka dan kata-kata sederhana kepada anak sebesar (83.8%) (Lampiran 6). Berdasarkan aspek modeling, lebih dari setengah ibu (62.2%) pengasuhannya dalam kategori sedang dan ditemukan 32.4 persen pengasuhan ibu berada pada kategori tinggi (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu selalu menyalakan tv setiap hari (81.1%) dan anak tidak dapat memukul ibu tanpa ibu membalasnya (43.2%). Ibu dapat memberikan stimulasi yang cukup baik seperti anak dapat menunjukkan kekecewaan (91.9%), anak dapat menunggu waktu makan (86.5%), dan anak juga dikenalkan kepada tamu (64.9%) (Lampiran 6). Berdasarkan aspek variasi pengalaman, lebih dari setengah ibu (59.5%) pengasuhannya dalam kategori rendah walaupun ditemukan 5.4 persen pengasuhan ibu dalam kategori tinggi (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal anak tidak punya alat musik atau mainan sungguhan (67.6%), anak tidak pernah mengunjungi saudara (59.5%), anak tidak pernah diajak pergi jauh (62.2%), anak tidak pernah diajak ke museum (67.6%), dan hasil karya anak tidak ditempel (54.1%). Ibu melakukan pengasuhan cukup baik dalam hal mengambil dan mengembalikan mainan sendiri (91.9%), mengizinkan anak memilih mainan sendiri (86.5%), dan mengajak makan bersama (59.5%) (Lampiran 6). Berdasarkan aspek penerimaan, lebih dari setengah ibu (70.3%) pengasuhannya dalam kategori rendah dan ditemukan 8.1 persen pengasuhan ibu dalam kategori tinggi (Tabel 12). Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang belum
21 melakukan pengasuhan yang optimal dalam hal ibu pernah memarahi dan melarang anak anak (70.3%) serta sebagian ibu pernah mencubit anak (27.0%) dan pernah menghukum anak (37.8%) (Lampiran 6). Kategori lingkungan pengasuhan untuk anak usia 0-36 bulan lebih dari tiga perempat ibu (81.6%) pengasuhannya berada pada kategori rendah. Kualitas lingkungan pengasuhan pada usia 37-72 bulan lebih dari setengah ibu (51.4%) pengasuhannya termasuk ke dalam kategori sedang dan ditemukan 48.6 persen dalam kategori rendah (Tabel 12). Hal ini sejalan dengan penelitian Latifah et al. (2009) kualitas pengasuhan di Kecamatan Ciampea berada dalam kategori sedang dan perkembangan anak dipengaruhi pengetahuan pengasuhan ibu yang masih rendah. Selain itu menurut Fadlyana dan Larasaty (2009) anak yang dilahirkan dari pasangan menikah muda beresiko mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan cenderung menjadi orang tua pula di usia muda. Tabel 12 Sebaran keluarga berdasarkan kategori komponen lingkungan pengasuhan Komponen Home Usia 0-36 bulan Tanggap rasa dan kata Penerimaan perilaku anak Pengorganisasian lingkungan Penyediaan mainan anak Keterlibatan ibu Kesempatan variasi asuhan Total Minimal-Maksimal Rata-rata±Standar Deviasi Usia 37-72 bulan Stimulasi belajar Stimulasi Bahasa Lingkungan fisik Kehangatan dan penerimaan Stimulasi akademik Modeling Variasi pengalaman Penerimaan Total Minimal-Maksimal Rata-rata±Standar Deviasi
Rendah
Total (%)* Sedang
Tinggi
63.6 78.8 54.5 66.7 15.2 39.4 81.6
27.3 18.2 45.5 33.3 66.7 48.5 18.2 11-32 22.8±4.1
9.1 0 0 0 8.2 12.1 0
10.8 35.1 45.9 40.5 40.5 5.4 59.5 70.3 48.6
89.2 35.1 40.5 35.1 16.2 62.2 35.1 21.6 51.4 26-45 35.4±4.6
0 29.7 13.5 24.3 43.2 32.4 5.4 8.1 0
*) HOME Candwell dan Brandley (1984) dalam Hastuti (2014)
Hubungan karakteristik keluarga dengan kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan lingkungan pengasuhan Kualitas pernikahan, kesejahteraan objektif, dan kesejahteraan subjektif, berhubungan positif signifikan dengan lingkungan pengasuhan. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa kualitas pernikahan, kesejahteraan objektif, dan kesejahteraan subjektif berhubungan positif dengan lingkungan pengasuhan
22 (Rizkillah 2014; Puspitawati 2012: Hastuti 2011). Hal ini berarti semakin tinggi kualitas pernikahan, kesejahteraan objektif, dan kesejahteraan subjektif maka lingkungan pengasuhan yang diberikan keluarga semakin optimal. Lama menikah, usia istri, usia suami, dan usia menikah istri berhubungan positif sangat signifikan dengan lingkungan pengasuhan juga. Pendapatan keluarga berhubungan positif sangat signifikan dengan kualitas pernikahan, kesejahteran objektif, kesejahteraan subjektif, dan lingkungan pengasuhan. Penelitian Ritongga (2007) menyatakan pendapatan per kapita berhubungan positif dengan kualitas pernikahan, kesejahteraan subjektif dan kesejahteraan objektif. Selain itu juga sesuai dengan penelitian Maria (2013) yang menyatakan tingkat pendapatan per kapita berhubungan positif signifikan dengan lingkungan pengasuhan. Hal ini berarti semakin tinggi pendapatan keluarga maka kualitas pernikahan, kesejahteraan subjektif, kesejahteraan objektif, dan lingkungan pengasuhannya juga semakin baik (Tabel 13). Tabel 13 Sebaran koefisien korelasi antar variabel-variabel penelitian Variabel
Kualitas Pernikahan Lama menikah 0.176 Usia istri 0.172 Usia suami 0.199 Usia menikah istri 0.009 Usia menikah suami 0.132 Lama pendidikan istri -0.061 Lama pendidikan suami 0.025 Pendapatan per kapita 0.331** Jumlah anggota 0.189 keluarga Lingkungan pengasuhan 0.499**
Kesejahteraan Objektif 0.072 0.091 0.104 -0.026 0.161 0.157 0.231 0.432** 0.078
Kesejahteraan Subjektif 0.169 0.211 0.185 -0.013 0.108 0.20 0.071 0.434** 0.027
Lingkungan pengasuhan 0.295* 0.350** 0.289* 0.272* 0.011 0.067 0.041 0.294* 0.194
0.315**
0.578**
1
Keterangan: * Signifikan pada p<0.05; ** Signifikan pada p<0.01
Pengaruh karakteristik keluarga, kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, terhadap lingkungan pengasuhan Hasil analisis regresi linier model variabel-variabel terhadap lingkungan pengasuhan menunjukkan angka Adjusted R Square adalah 0.482 yang berarti model tersebut menjelaskan 48.2 persen model variabel-variabel memengaruhi lingkungan pengasuhan dan sisanya 51.8 persen dipengaruhi variabel lain di luar penelitian ini. Hasil penelitian juga menunjukkan lama menikah (β=0.264; p=0.008), usia menikah istri (β=0.309; p=0.001), kualitas pernikahan (β=0.240; p=0.021), dan kesejahteraan subjektif (β=0.391; p=0.001) berpengaruh positif terhadap kualitas lingkungan pengasuhan. Setiap kenaikan satu satuan lama menikah pasangan suami istri maka akan menaikkan kualitas lingkungan pengasuhan sebesar 0.512 poin dan setiap kenaikan satu satuan usia menikah istri maka akan menaikkan kualitas lingkungan pengasuhan sebesar 2.660 poin. Selanjutnya setiap kenaikan satu satuan kualitas pernikahan keluarga maka akan menaikkan kualitas lingkungan pengasuhan sebesar 0.172 poin serta setiap kenaikan satu satuan kesejahteraan subjektif keluarga maka akan menaikkan kualitas lingkungan pengasuhan sebesar 0.400 poin. Hal ini berarti semakin
23 rendah usia menikah istri, semakin rendah kualitas pernikahan, dan semakin rendah kesejahteraan subjektif maka semakin rendah pula kualitas lingkungan pengasuhan yang diberikan pada anak (Tabel 14). Tabel 14
Pengaruh karakteristik keluarga, kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga terhadap kualitas lingkungan pengasuhan anak
Variabel Constanta Lama Menikah Usia menikah istri Lama pendidikan istri Pendapatan per kapita Kualitas pernikahan Kesejahteraan objektif Kesejahteraan subjektif Uji F Sig R Square Adjusted R Square
Koefisien Tidak Terstandarisasi (B) -31.238 0.512 2.660 0.256 3.437x10-6 0.172 -0.030 0.400
Koefisien Std. Error
Koefisien Terstandarisasi Beta (β)
Signifikansi
14.666 0.187 0.779 0.777 0.000 0.073 0.113
0.264 0.309 0.031 0.116 0.240 -0.029
0.033 0.008** 0.001** 0.741 0.299 0.021* 0.789
0.120
0.391
0.001**
10.167 0.000** 0.534 0.482
Keterangan: * Signifikan pada p<0.05; ** Signifikan pada p<0.01
Pembahasan Pernikahan yang dilakukan usia muda belum memiliki kesiapan untuk menikah sehingga rentan dengan perceraian atau perpisahan (Tsania 2014). Sebagian besar suami dan istri memiliki pendidikan yang rendah yaitu jenjang SD. Menurut Fadlyana dan Larasaty (2009) semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai, sebagian besar hanya berpendidikan dasar (sekolah dasar). Pendidikan merupakan salah satu faktor untuk mencapai keadaan ekonomi yang lebih baik (Puspasari 2013). Menurut Herawati (2012) tingkat pendidikan akan berimplikasi pada jenis pekerjaan yang dimiliki. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar istri memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Hasil penelitian Rizkillah (2014) menunjukkan istri yang tidak bekerja atau tidak mempunyai pekerjaan tetap cenderung memiliki usia menikah lebih awal. Kebahagiaan bersifat subjektif dan berkaitan dengan kenikmatan yang dialami seseorang terhadap objek yang bisa dicapainya, seperti aspek personal, ekonomi, dan sosial. Kepuasaan berfokus pada kebutuhan batiniah yang memotivasi perilaku dengan cara-cara tertentu (Nuraini 2004). Lebih dari setengah istri menyatakan kualitas pernikahannya dalam kategori sedang. Pada dimensi kebahagiaan, capaian tertinggi aspek komitmen pernikahan istri menunjukkan lebih dari tiga perempat istri selalu menjaga komitmen pernikahan. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu bahwa kebahagiaan tercapai dengan adanya komunikasi dan keterbukaan antara pasangan dan keluarga pasangan sehingga dapat menjaga komitmen pernikahan (Rizkillah 2014; Nurani 2004). Menurut Allendorf dan Ghimire (2012) pendidikan memiliki hubungan positif
24 signifikan dengan komunikasi dan kebersamaan dengan pasangan. Capaian terendah pada aspek ekonomi, yaitu lebih dari setengah istri menyatakan sering berdebat mengenai alokasi uang untuk membeli pakaian dan makanan, pendidikan anak, pengobatan keluarga, serta merawat rumah. Menurut Rahman dan Nasrin (2012) keadaan ekonomi merupakan salah satu yang menyebabkan terjadinya pernikahan muda. Hasil penelitian Higginbotham dan Felix (2009) menyatakan permasalahan ekonomi meningkatkan risiko permusuhan dan berkurangnya kehangatan emosional dalam pernikahan serta meningkatkan risiko konflik pernikahan dan tekanan pernikahan. Berdasarkan dimensi kepuasan capaian tertinggi pada aspek cinta dan aspek hubungan intim ditunjukkan oleh hampir seluruh istri merasa puas dengan pasangan yang mencintai sampai saat ini. Menurut Lavner et al. (2014); Allendorf dan Ghimire (2012); serta Nuraini (2004) menyatakan kepuasan pernikahan dilandasi oleh rasa cinta atau ekspresi cinta pada pasangan dengan menunjukkan kasih sayang dari waktu ke waktu. Menurut Allendorf dan Ghimire (2012) pendidikan memiliki hubungan positif signifikan dengan kepuasaan pernikahan. Capaian terendah pada aspek ekonomi, yaitu setengah dari istri tidak puas dengan masalah ekonomi. Keadaan tersebut menjadikan konflik karena hanya ada satu sumber penghasilan keluarga. Penelitian Higginbotham dan Felix (2009) serta Kerkmann et al. (2000) menyatakan suami yang menikah di pedesaan merasa khawatir dengan keadaan keuangan dan istri merasa puas jika memiliki uang yang cukup untuk membeli kebutuhan. Aspek pengasuhan anak juga menunjukkan capaian terendah, yaitu setengah dari istri tidak puas dengan pembagian tanggung jawab membesarkan anak. Hal ini dikarenakan keterlibatan suami dalam mengasuh anak lebih sedikit dibandingkan ibu karena sebagian suami bekerja diluar kota. Penelitian sebelumnya juga menyebutkan pasangan menikah muda masih kurang dalam kematangan psikologis ataupun materi sehingga dalam mengasuh anak kurang berpengalaman dan membutuhkan bantuan dari keluarga besar (Alfianti 2010). Menurut Allendorf dan Ghimire (2012) pasangan menikah muda masih tinggal bersama keluarga besar sehingga dalam mengasuh anak masih melibatkan keluarga besar pula. Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat kesejahteraan objektif pada ketegori sejahtera. Hal ini terjadi karena keluarga memiliki rumah sendiri dan keadaan fisik rumah yang cukup layak dengan menggunakan dinding tembok. Selain itu hampir seluruh keluarga menggunakan listrik sebagai alat penerangan. Penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa kesejahteraan objektif keluarga pada kategori sejahtera dikarenakan memiliki rumah yang cukup layak (Magfiroh 2014). Menurut Fatimah et al. (2013) menyebutkan pasangan yang menikah usia muda keadaan ekonomi keluarganya belum aman sehingga kondisi rumah belum terawat dan rapi. Tingkat kesejahteraan subjektif keluarga juga dalam kategori sedang. Hal ini berarti persepsi istri sudah merasa cukup puas dengan kesejahteraan subjektifnya. Capaian tertinggi pada aspek dimensi sosial, yaitu istri merasa puas berhubungan dan berkomunikasi dengan orang tua. Capaian terendah adalah istri merasa kurang puas terhadap keuangan keluarga, kebutuhan makanan keluarga, kepemilikan aset, keterlibatan keluarga dalam kegiatan sosial, pendidikan anggota keluarga, penghasilan suami, dan belum tercapai tujuan keluarga. Penelitian Magfiroh (2014); Turner dan Kaye (2006);
25 Lever (2004) menyatakan kesejahteraan subjektif dalam kategori sedang, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah hubungan dengan pasangan dan keikutsertaan kegiatan sosial, serta dampak dari interaksi dengan keluarga atau keluarga lain. Menurut Paul et al. (2013) pasangan menikah muda belum memiliki kesiapan psikologis sehingga tidak dapat mengembangkan interaksi dengan lingkungan sosial. Menurut Rahman dan Nasrin (2012) menikah muda berimplikasi terhadap kesejahteraan keluarga dan beresiko untuk wanita melahirkan serta kegiatan pengasuhan kurang optimal. Kualitas lingkungan pengasuhan usia 0-36 bulan berada dalam kategori rendah. Capaian terendah pada aspek tanggap rasa dan kata, aspek penerimaan perilaku, dan aspek penyediaan mainan. Namun ditemukan juga sebagian ibu dapat melakukan pengasuhan dengan optimal pada aspek kesempatan variasi asuhan. Kualitas lingkungan pengasuhan usia 37-72 bulan berada dalam kategori sedang. Capaian terendah pada aspek stimulasi belajar, aspek lingkungan fisik, aspek variasi pengalaman, dan aspek penerimaan. Ditemukan juga sebagian ibu dapat melakukan pengasuhan dengan optimal pada aspek stimulasi bahasa, aspek stimulasi akademik, dan aspek modeling. Kondisi ini disebabkan oleh faktor pengetahuan ibu dan pendidikan ibu juga yang kurang mengenai perkembangan anak. Penelitian Latifah et al. (2009) menyatakan faktor resiko yang memengaruhi pengasuhan dan perkembangan adalah pendidikan orang tua yang rendah, pendapatan keluarga yang rendah, pengetahuan tentang pengasuhan yang rendah, serta fasilitas dan sarana prasana yang masih kurang. Menurut Hasanah (2014) usia ibu yang belum cukup umur dan belum siap secara mental dan emosional, pengetahuan pengasuhannya belum memadahi serta kurangnya kesadaran memberikan fasilitas belajar untuk menstimulasi anak. Lama menikah, usia menikah istri, kualitas pernikahan, dan kesejahteraan subjektif memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kualitas lingkungan pengasuhan, yang berarti semakin pendek lama pernikahan, semakin rendah usia menikah istri, semakin rendah kualitas pernikahan istri, dan semakin rendah kesejahteraan subjektif maka akan menurunkan kualitas lingkungan pengasuhan anak. Penelitian Rizkillah (2014) menyatakan lama menikah berpengaruh positif terhadap lingkungan pengasuhan. Lama menikah yang lebih lama membuat ibu memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak sehingga kualitas lingkungan pengasuhan anak yang diberikan dapat lebih baik. Penelitian Dewanggi (2014) menyebutkan kualitas lingkungan pengasuhan anak dipengaruhi oleh usia ibu saat menikah. Ibu yang menikah dengan usia yang lebih matang akan memiliki pendidikan dan pengetahuan pengasuhan yang lebih baik sehingga dapat memberikan stimulasi perkembangan anak. Penelitian Rizkillah (2014) dan Sunarti et al. (2005) menyatakan kualitas pernikahan berpengaruh positif terhadap lingkungan pengasuhan. Menurut Nurani (2004) kualitas pernikahan diperoleh dari keharmonisan komunikasi suami dan istri sehingga tercapai suasana nyaman untuk mengoptimalkan pengasuhan yang diberikan kepada anak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kesesuaian dengan hasil penelitian ini yang menyebutkan lama pernikahan yang semakin lama menjadikan ibu mempunyai pengetahuan dan pengalaman sehingga kegiatan pengasuhan yang dilakukan lebih optimal. Usia ibu yang belum matang dan belum siap untuk menikah dapat memengaruhi kualitas pemberian stimulasi perkembangan anak. Hal ini dikarenakan kurangnya pendidikan, pengetahuan, pengalaman yang diperoleh oleh ibu. Selain itu
26 hubungan dengan suami yang kurang harmonis akan menyebabkan ibu kurang optimal dalam melakukan pengasuhan. Penelitian Hastuti (2011) dan Aber et al. (1997) kualitas lingkungan pengasuhan juga dipengaruhi oleh kesejahteraan subjektif. Menurut Arianti (2010) kesejahteraan subjektif adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman hidupnya dan kondisi yang dialami. Apabila tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan maka seseorang dapat mengalami stres. Menurut Aber et al. (1997) kondisi stres dan tertekan dari orang tua terutama ibu, akan cenderung melakukan pengasuhan yang negatif kepada anak seperti: memukul anak, berteriak, dan menampar anak. Kondisi ini juga dapat meningkatkan konflik pernikahan. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian ini kesejahteraan subjektif merupakan persepsi kepuasan dengan kondisi yang ada saat ini, apabila ibu tidak dapat menerima dan beradaptasi dengan kondisi sekarang berarti ibu tidak puas. Jika ibu tidak puas dengan kondisi saat ini ibu akan merasa lebih tertekan dan stres sehingga dapat menyebabkan kurang optimalnya pengasuhan yang diberikan ibu. Selain itu, kondisi ini dapat memicu konflik dengan pasangan. Keterbatasan dari penelitian adalah wawancara yang dilakukan hanya pada istri saja tanpa melibatkan suami dalam wawancara. Instrumen yang digunakan dengan pertanyaan tertutup agar lebih mendalam analisisnya sebaiknya ditanyakan beberapa pertanyaan terbuka. Penelitian ini juga hanya dilakukan di dua desa, sebaiknya dilakukan dibeberapa desa dan dibandingkan dengan daerah perkotaan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kualitas pernikahan pada dimensi kebahagiaan memiliki capaian yang tinggi pada aspek komitmen pernikahan dan terendah pada aspek ekonomi. Dimensi kepuasan pernikahan menunjukkan capaian tertinggi pada aspek cinta dan hubungan intim serta aspek terendah pada aspek ekonomi dan aspek pengasuhan anak. Kesejahteraan objektif keluarga pada kategori sejahtera dikarenakan memiliki rumah sendiri dan kondisi fisik rumah baik. Kesejahteraan subjektif berdasarkan persepsi istri pada kategori sedang dengan capaian paling tinggi aspek hubungan dengan pasangan dan capaian terendah, yaitu istri merasa kurang puas terhadap keuangan keluarga, kebutuhan makanan keluarga, kepemilikan aset, keterlibatan keluarga dalam kegiatan sosial, pendidikan anggota keluarga, penghasilan suami, dan belum tercapai tujuan keluarga. Kualitas lingkungan pengasuhan 0-36 bulan pada kategori rendah. Kualitas lingkungan pengasuhan 37-72 bulan pada kategori sedang. Kualitas pernikahan, kesejahteraan objektif, dan kesejahteraan subjektif berhubungan positif signifikan dengan kualitas lingkungan pengasuhan. Lama menikah, usia istri, usia suami, dan jumlah anggota keluarga juga berhubungan positif signifikan dengan kualitas lingkungan pengasuhan. Pendapatan keluarga berhubungan positif sangat signifikan dengan kualitas pernikahan, kesejahteraan objektif, kesejahteraan subjektif, dan lingkungan pengasuhan. Faktor yang
27 berpengaruh signifikan positif terhadap kualitas lingkungan pengasuhan adalah lama menikah, usia menikah istri, kualitas pernikahan, dan kesejahteraan subjektif. Saran Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : 1. Pelaksanaan kebijakan pemerintah seharusnya lebih tegas dan efektif terhadap peningkatan usia menikah perempuan untuk mengoptimalkan lingkungan pengasuhan anak 2. Cara pengasuhan anak yang kurang baik dalam pernikahan muda dapat ditingkatkan dengan bantuan penyuluhan dari LSM dan Perguruan Tinggi secara rutin dan menyeluruh 3. Dukungan keluarga berupa materi juga diperlukan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulah ZA, Thata R, Landing J. 2009. Studi kasus pernikahan dini pada masyarakat Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja. Jurnal MKMI 5 (4). Aber L, Bennet NG, Lii J. 1997. The effect of poverty on child health and development. Rev Public health.18:463-83 Agustian H. 2013. Gambaran kehidupan pasangan yang menikah di usia muda di Kabupaten Dharmasraya. SPEKTRUM PLS 1(1). Alfianti RN. 2010. Pola asuh anak ibu berusia muda (Studi kasus di Desa Sawojajar Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes) [Skripsi]. Semarang (ID): Universitas Negeri Semarang. Allendorf K, Ghimire D. 2012. Determinants of marital quality in an arranged marriage society. Research Reports. University of Michigan (USA) Ambrus A, Field E. 2008. Early marriage, age of menarche, and female schooling attainment in Bangladesh. Journal of Political Economy. 116(5): 881-930. University of Chicago Ariati J. 2010. Subjektif well- being (kesejahteraan subjektif) dan kepuasan kerja pada staf pengajar (dosen) di lingkungan fakultas psikologi Universitas Diponegoro. Jurnal psikologi Undip . Vol. 8 No. 2 Oktober. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2012. Pernikahan dini pada beberapa provinsi di Indonesia : dampak overpopulation, akar masalah dan peran kelembagaan di daerah. Jakarta (ID): BKKBN [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Statistik Kesejahteraan Rakyat. Jakarta (ID): BPS
28 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05). Pedoman Pelaksanaan Lapangan KSK/PKSK dan PCL. Jakarta (ID): BPS [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Rata-rata tahun pertama pernikahan. Berita Resmi Statistik [internet]. 2 Januari 2015, [diunduh 2015]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Jawa Barat dalam angka. Katalog BPS: Tingkat Kemiskinan Kabupaten dan Kota Bogor: hal. 57. Jawa Barat (ID): BPS [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Indikator Ekonomi Daerah Kabupaten Bogor. Bogor (ID): BPS [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Tingkat Kemiskinan Jawa Barat September 2014. Berita Resmi Statistik [internet]. 2 Januari 2015, [diunduh 2015 ]; No. 04/ 32/ Th. XVI. Tersedia pada: http://www.bps.go.id Conger R, Elder Jr, Glen H, Lorenz F, O. D. Simon R. L. WhitbeckL. B. 1991. Economic Pressure and Marital Quality: An illustration of theMethod Variance Problem in the Causal Modelling of Family Processe. Journal of Marriage and the Family 53 (May 1991): 375-388. Departement of Sosiology. University of North Caroline Chapel Hill. Darnita. 2013. Gambaran faktor-faktor penyebab pernikahan dini di pemukiman Lhok Kaju Kecamatan Indra Jaya Kabupaten Pidie [Tugas akhir] Dewanggi M. 2014. Pengaruh kelekatan, gaya pengasuhan, kualitas lingkungan pengasuhan terhadap karakter anak perdesaan dan perkotaan [Tesis]. Bogor (ID): Institut Petanian Bogor Elmanora. 2011. Kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan, dan perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga petani kayu manis di Tamiai, Kerinci, Jambi [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Fadlyana E, Larasaty S. 2009. Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya. Sari Pediatri. 11 (2): 136-140. Fatimah D, Cahyono R. 2013. Pemenuhan Aspek-aspek Kepuasan Perkawinan Pada Remaja Perempuan yang mengalami Kehamilah Pranikah. JurnalPsikologi Pendidikan dan Perkembangan. 2(1). Glaser K, Janice, Newton T. 1995. Hostility and erosion of marital quality during early marrige. Journal of Behavioral Medicine. Vol. 18 No. 6. Ohio State University. Gunawan. 2013. Dampak pernikahan usia muda terhadap pola asuh keluarga (Studi kasus di Desa Pemangkat Kota Kecamatan Pemangkat kabupaten Sambas). Sociodev Jurnal S1 Ilmu Sosiatri 2 (2). Dapat diakses :http://jurnafis.untan.ac.id : http://jurnalmhsfisiuntan.co.nr Harun F. 2010. Faktor-faktor yang memengaruhi strategi perempuan bekerja dan kesejahteraan keluarga (studi kasus perempuan karier di Makasar) [Skripsi]. Bogor (ID) Institut Petanian Bogor.
29 Hasanah T. 2014. Pengaruh pemberdayaan keluarga terhadap peningkatan pengetahuan perkembangan dan pengasuhan anak usia prasekolah [Tesis]. Bogor (ID) Institut Pertanian Bogor Hastuti D. 2014. Diktat Pengasuhan : Teori dan Prisip serta Aplikasinya di Indonesia. Bogor (ID) Institut Pertanian Bogor Hastuti R. 2011. Analisis nilai anak, kualitas pengasuhan, dan perkembangan anak usia sekolah pada keluarga petani karet dan petani sawit di Kabupaten Bungo [Skripsi]. Bogor (ID) Institut Petanian Bogor. Herawati T. 2012. Manajemen sumberdaya keluarga dan ketahanan keluarga peserta program pemberdayaan masyarakat di pedesaan (Kasus di Kabupaten Bogor) [Disertasi]. Bogor (ID) Institut Pertanian Bogor Higginbotham BJ, Felix D. 2009. Economic predictors of marital quality among newly remarried rural and urban couple. Family Scient Review. 14 (2) Hurlock EB. 1994. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Terj Istidiwati dan Soejarwo. Jakarta (ID) : Erlangga. Karyadi LD. 1998. Diktat Kehidupan Keluarga. Jurusan Gizi Masyarakat Kesejahteraan Keluarga. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Kementrian Agama. 2013. Data Jumlah Pasangan Menikah di Kabupaten Bogor Kerkmann BC, Lee TR, Lown JM. Allgood SM. 2000. Financial management, financial problems and marital satisfaction among recently married university student. Financial Counseling and Planning. 11(2) Khilmiyah A, Latief H, Orbaniyah S, Aryekti K, Sugiharti S. 2014. Pandangan remaja dan orang tua terhadap pernikahan dini dalam membangun keluarga di Kabupaten Bantul [LPPM]. Yogyakarta (ID): Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Latifah M, Alfiasari, Hernawati N. 2009. Kualitas tumbuh kembang, pengasuhan orang tua dan faktor resiko komunitas pada anak prasekolah wilayah pedesaan di Bogor. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen 2 (2) Lavner JA, Karney BR, Bradbury TN. 2014. Relationship problems over the early years of marriage : stability or change?. Journal of family psychology. Tersedia pada : http://dx.doi.org/10.1037/a00377 Lever JA. 2004. Poverty and subjective well-being in Mexico. Journal of Social Indicators Research 68 : 1-34. Maghfiroh S. 2014. Manajemen keuangan dan kesejahteraan keluarga nelayan penerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Petanian Bogor. Maria H. 2013. Kecerdasan spiritual ibu kualitas pengasuhan dan kreativitas anak Sekolah Dasar progresif dan non progresif di Kota Bogor [Tesis]. Bogor (ID) Institut Pertanian Bogor Moen P, Kain E, Elder GH Jr. 1983. Economic Conditions and Family Life: Contemporary and Historycal Perspectives. In R.R nelson & Felicity
30 Skidmore (Eds.). American Families and the Economy: The high cost of living (pp. 213-154). Washington. DC : National Academy Press. Nurani AS. 2004. Pengaruh kualitas perkawinan, pengasuhan anak dan kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar anak [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nurpratiwi A. 2010. Pengaruh kematangan emosi dan usia ketika menikah terhadap kepuasaan pernikahan pada dewasa awal [Skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Paul N, Joseph UO, Ijeoma OC. 2013. Education an Antidote against early marriage for the girl-child. Journal of Educational and Social Research. Vol. 3 (5). Umunze-Anambra State, Nigeria. Prakash R, Singh A, Pathak PK, Parasuraman S. 2015. Early marriage, poor reproductive helath status of mother and child well-being in India. Tersedia pada :http://jfprhc.bmj.com/ Pengadilan Agama. 2014. Data perceraian. [diakses] www.pa-bogor.go.id: pada tanggal: 14 Januari 2015 Risya D. 2011. Usia perkawinan pertama wanita berdasarkan struktural wilayah kabupaten Bogor [Skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia Pujiastuti RD, Lestari S. 2008. Dinamika psikologis terjadinya perceraian pada perempuan bercerai. Jurnal Ilmiah Berkala Psikologis vol. 10: hal (16-27) Puspitawati H, Herawati T. 2013. Metode Penelitian Keluarga. Bogor (ID): IPB Press Puspitawati H. 2012. Gender dan Keluarga. Bogor (ID): IPB Press Puspitasari. 2013. Strategi koping, dukungan sosial, dna kesejahteraan keluarga di daerah rawan bencana, Kabupaten Bandung [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahman MM, Nasrin SO. 2012. Factors affecting early marriage and early conception of women: A case of slum areas in Rajshahi City, Bangladesh. Journal of Sociology and Antropology. Vol 4 (2). Tersedia pada : http//www.acaemiejurnals.org/IJSA Ritonga KM. 2007. Kajian ketahanan keluarga petani : hubungan kesejahteraan keluarga dengan kualitas perkawinan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Petanian Bogor. Rizkillah R. 2014. Kualitas pernikahan dan lingkungan pengasuhan pada keluarga dengan suami istri bekerja [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Silalahi U. 2012. Metode Penelitian Sosial. Bandung (ID): Refika Aditama Sumarwan U, Iskandar, Hartoyo, Khomsah A. 2006. Faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan keluarga. Hasil penelitian: dipublikasi Universitas Sumatra Sunarti E, Tati, Nuraini AS, Noorhaisma R, Lembayung DP. 2005. Pengaruh tekanan ekonomi, dukungan sosial, kualitas pernikahan, pengasuhan, dan
31 kecerdasaran emosi anak terhadap prestasi belajar anak. Media Gizi & Keluarga, 29 (1) : 34-40 [Susenas] Survei Sosial Ekonomi Nasional. 2010. Rata-rata umur pernikahan pertama perempuan berumur 10 tahun ke atas yang pernah kawin menurut propinsi dan tipe daerah. Jakarta (ID): Susenas Tati. 2004. Pengaruh tekanan ekonomi keluarga, dukungan sosial dan kualitas pernikahan terhadap pengassuhan anak [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Teachman T, Scanzoni J, Poloko KA. 1982. Childlessness and marital satisfaction. Jurnal of Family Issues. 3:(4) Tsania N. 2014. Karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan perkembangan anak usia 3-5 tahun. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Turner MA dan Kaye DR. 2006. How does family well-being vary across different types of neighborhoods?.Paper The Urban Institute 6 : 1-44. [WHO]. 2006. Married Adolencents: No Place of Safety. Geneva, Switzerland (CH): WHO Press
32
33
LAMPIRAN Lampiran 1 Sebaran keluarga berdasarkan dimensi kebahagiaan pernikahan Pernyataan Kebahagiaan Pernikahan Aspek Ekonomi Saya merasa tidak bahagia ketika harus berdebat dengan pasangan saya mengenai alokasi uang untuk makanan Saya merasa tidak bahagia ketika harus berdebat dengan pasangan saya mengenai alokasi uang untuk membeli pakaian Saya merasa tidak bahagia ketika harus berdebat dengan pasangan saya mengenai alokasi uang untuk pendidikan anak Saya merasa tidak bahagia ketika harus berdebat dengan pasangan saya mengenai alokasi uang untuk pengobatan keluarga Saya merasa tidak bahagia ketika harus berdebat dengan pasangan saya mengenai alokasi uang untuk merawat rumah Aspek Komunikasi dengan keluarga pasangan Saya merasa tidak bahagia jika tidak dianggap ditengah keluarga pasangan saya Saya merasa tidak bahagia karena direndahkan dan disepelekan oleh mertua dan ipar dalam membina rumah tangga Saya merasa tidak bahagia karena sulit menganggap keluarga pasangan saya seperti keluarga saya sendiri Saya merasa tidak bahagia karena sulit berkomunikasi dengan keluarga pasangan saya Aspek pengasuhan anak Kami merasa tidak bahagia dan beda pendapat dalam mengasuh anak Kami merasa tidak bahagia dalam mendidik anak Kami merasa tidak bahagia dalam mendisiplinkan anak Kami merasa tidak bahagia karena menemui hambatan dalam pengasuhan anak-anak Aspek kepribadian Pasangan Saya merasa tidak bahagia karena terdapat sikap pasangan yang tidak disukai Saya merasa tidak bahagia karena terdapat sifat pasangan yang tidak disukai Saya merasa tidak bahagia karena terdapat perilaku pasangan yang tidak disukai Saya merasa bahagia apabila pasangan memuji atas kemampuan saya sebagai istri * Aspek Komitmen Pernikahan Saya merasa bahagia jika saya dan pasangan saya menjaga komitmen pernikahan * Saya merasa tidak bahagia jika pasangan saya berselingkuh sehingga sering terjadi konflik diantara kami
Ya
Tidak %
n
%
n
51
72.9
19
27.1
50
71.4
20
28.6
43
61.4
27
38.6
40
57.1
30
42.9
39
55.7
31
44.3
24
34.3
46
65.7
21
30.0
49
70.0
24
34.3
46
65.7
21
30.0
49
70.0
53
75.7
17
24.3
49 57 46
70.0 81.4 65.7
21 13 24
30.0 18.6 34.3
48
68.6
22
31.4
48
68.6
22
31.4
48
68.6
22
31.4
52
74.3
18
25.7
57
81.4
13
18.6
33
47.1
37
52.9
34 Saya merasa tidak bahagia dan terpaksa melakukan hubungan seks jika ada masalah diantara kami
54
77.1
16
22.9
Lampiran 2 Sebaran keluarga berdasarkan dimensi kepuasaan pernikahan Pernyataan Kepuasan Pernikahan Aspek keterbukaan dan aktivitas ekonomi Saya merasa tidak puas dengan satu orang yang menjadi sumber penghasilan keluarga Saya merasa tidak puas dengan pekerjaan pasangan saya Saya merasa tidak puas dengan apa yang telah kami miliki sekarang, sehingga saya sering mengeluh terhadap pasangan Saya merasa tidak puas dengan prestasi kerja yang telah dicapai oleh pasangan saya Saya merasa tidak puas dengan kegagalan pasangan saya dalam memenuhi keuangan keluarga Saya merasa tidak puas dengan cara pasangan saya mengatur keuangan kami Saya merasa tidak puas apabila tidak terbuka masalah keuangan Saya merasa tidak puas apabila berbeda pendapat mengenai alokasi penggunaan keuangan Saya merasa tidak puas dengan campur tangan pasangan saya dalam mengatur keuangan keluarga Saya merasa tidak puas dengan campur tangan orang lain dalam mencukupi keuangan keluarga Saya merasa tidak puas jika keluarga pasangan saya meminta bantuan keuangan Aspek Cinta dan aspek hubungan intim Saya merasa puas karena pasangan saya mencintai saya sampai saat ini * Saya merasa puas karena pasangan saya memperlakukan saya seperti yang diinginkan * Saya merasa puas dengan waktu luang yang diisi dengan aktivitas bersama pasangan * Saya merasa kecewa karena kami tidak saling terbuka dalam masalah seks Saya merasa tidak puas dengan hubungan seksualitas Saya merasa puas apabila pasangan mengungkapkan kepuasan seks dalam berhubungan intim * Saya merasa puas jika bermusyawarah dalam menentukkan keputusan * Aspek Pengasuhan anak Saya merasa tidak puas jika karena tidak ada pembagian tanggung jawab membesarkan anak Saya merasa tidak puas jika ada pendapat yang beda dalam menentukan pendidikan anak
Ya
Tidak
n
%
n
%
37
52.9
33
47.1
18 43
25.7 61.4
52 27
74.3 38.6
25
35.7
45
64.3
37
52.9
33
47.1
29
41.4
41
58.6
27
38.6
43
61.4
49
70.0
21
30.0
27
38.6
43
61.4
39
55.7
31
44.3
32
45.7
38
54.3
67
95.7
3
4.3
56
80.0
14
20.0
58
82.9
12
17.1
39
55.7
31
44.3
32 55
45.7 78.6
38 15
54.3 21.4
58
82.9
12
17.1
50
71.4
20
28.6
32
45.7
38
54.3
35 Lampiran 3 Sebaran keluarga berdasarkan kesejahteraan objektif (BLT) Ya Pertanyaan Luas lantai per anggota rumah tangga/ keluarga adalah kurang dari 8m2 Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu/ papan/ kualitas rendah Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ papan/ kualitas rendah Keluarga memiliki fasilitas tempat buang air besar (jamban)* Sumber air minum bukan dari air yang bersih Sumber penerangan yang digunakan bukan listrik Keluarga menggunakan bahan bakar konvensional (kayu/arang) Frekuensi makan keluarga dalam sehari kurang dari dua kali Keluarga tidak memiliki kemampuan untuk membeli daging/ ayam/ susu dalam seminggu Keluarga tidak memiliki kemampuan untuk membeli pakaian baru bagi setiap angggota keluarga Keluarga tidak memiliki kemampuan untuk berobat ke puskesmas/poliklinik Sumber penghasilan kepala keluarga adalah dari petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, buruh petik teh, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp600 000 per bulan Pendidikan tertinggi kepala keluarga adalah tidak sekolah/ tidak tamat SD/ tamat SD Keluarga tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya
(%)
Tidak (%)
57.1
42.9
0.0
100.0
0.0 80.0 12.9 0.0 2.9 78.6 54.3
100.0 20.0 87.1 100.0 97.1 21.4 45.7
45.7
54.3
72.9
27.1
70.0
30.0
48.6
51.4
72.9
27.1
Lampiran 4 Sebaran keluarga berdasarkan kesejahteraan subjektif Pernyataan Dimensi fisik-ekonomi Keadaan keuangan keluarga Keadaan makanan keluarga Keadaaan tempat tinggal keluarga Kondisi materi/ aset keluarga Keadaan kesehatan fisik keluarga Keadaan lingkungan fisik (sarana dan prasaran) Strategi koping yang dilakukan oleh keluarga Cara manajemen keuangan keluarga Cara manajemen pekerjaan suami Cara manajemen stres Anda Dimensi Sosial Hubungan/ komunikasi dengan orang tua/ mertua Hubungan/ komunikasi dengan saudara /
Tidak Puas n %
Tingkat Kepuasaan Cukup Puas Puas n % n %
46 39 45 51 11 25
65.7 55.7 64.9 72.9 15.7 35.7
17 22 16 17 23 39
24.3 31.4 22.9 24.3 32.9 55.7
7 9 9 2 36 6
10.0 12.9 12.9 2.9 51.4 8.6
38
54.3
12
17.1
20
28.6
35 20 4
50.0 28.6 5.7
16 26 16
22.9 37.1 22.9
19 24 50
27.1 34.3 71.4
8
11.4
10
14.3
52
74.3
4
5.7
23
32.9
43
61.4
36 kerabat Hubungan/ komunikasi dengan tetangga Keterlibatan keluarga dengan kegiatan sosial Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap anggota keluarga Dimensi Psikologis Tujuan yang telah dicapai keluarga Keadaan mental/ spiritual keluarga Perasaan terhadap kebersihan rumah Perasaan terhadap pendidikan anggota keluarga Perasaan terhadap perilaku anggota keluarga Perasaan terhadap penghasilan suami Perasaan terhadap komunikasi dengan suami Perasaan terhadap perilaku suami dalam membantu dan membagi tugas rumah tangga Kepuasaan dan kebahagiaan hubungan pernikahan Dukungan, dorongan, dan motivasi yang diberikan oleh suami dan anggota keluarga Dukungan, dorongan, dan motivasi yang diberikan oleh saudara atau kerabat Dukungan, dorongan, dan motivasi yang diberikan oleh tetangga
9 34
12.9 48.6
26 16
37.1 22.9
35 20
50.0 28.6
34
48.6
25
35.7
11
15.7
44 38 25 40
62.9 54.3 35.7 57.1
16 18 21 18
22.9 25.7 30.0 25.7
10 14 24 12
14.3 20.0 34.3 17.1
24
34.3
25
37.7
21
30.0
45 8
64.3 11.4
18 18
25.7 25.7
7 44
10.0 62.9
26
37.1
21
30.0
23
32.9
26
37.1
25
35.7
19
27.1
3
4.3
17
24.3
50
71.4
13
18.6
28
40.0
29
41.4
25
35.7
28
40.0
17
24.3
Lampiran 5 Sebaran keluarga berdasarkan lingkungan pengasuhan 0-36 bulan Pernyataan Tanggap rasa dan kata Ibu berbicara kepada anak Ibu menggapi ocehan anak Ibu menyebutkan nama barang Omongan ibu jelas dan dapat dipahami anak Keaktifan ibu berbicara Ibu berbicara bebas dan terbuka Anak bermain ditempat yang kurang bersih Ibu memuji anak Ibu menunjukkan rasa sayang lewat kata-kata Ibu membelai dan mencium anak Ibu menanggapi positif pujian Anda kepada anak Ibu tidak berteriak kepada anak Ibu tidak menunjukkan kekecewaan Ibu tidak pernah memukul atau mencubit anak Ibu tidak pernah menghukum anak Ibu tidak pernah memarahi anak ibu tidak melarang anak bermain Tersedia buku dirumah Keluarga memiliki binatang piaraan
Tidak
Ya
n
%
n
%
13 12 25 8 21 19 12 11 10 2 27 29 16 23 13 24 26 29 28
39.4 36.4 75.8 24.2 63.6 57.6 36.4 33.3 30.3 6.1 81.8 87.9 48 69.7 39.4 72.7 78.8 87.9 84.8
20 21 8 25 12 14 21 22 23 31 6 4 17 10 20 9 7 4 5
60.6 63.6 24.2 75.8 36.4 42.4 63.6 66.7 69.7 93.9 18.2 12.1 51.5 30.3 60.6 27.3 21.2 12.1 15.2
37 Anak diasuh orang yang sama pada saat ibu pergi Mengajak anak pergi ke pasar, toko atau warung Anak diajak pergi meninggalkan rumah Anak diajak ke dokter, mantri, atau pukesmas Tidak tersedia tempat khusus untuk alat-alat mainan Tidak terlihat tempat main-mainan anak berbahaya Maianan anak atau latihan gerakan anak Maianan atau alat yang bisa di dorong-dorong Mainan atau alat untuk belajar berjalan Anak dipersilakan bermain sendiri Alat bermain sesuai usia anak Alat belajar sesuai usia anak Maianan koordinasi mata tangan sederhana Maianan koordinasi mata tangan yang kompleks Mainan belajar menggambar, menulis Mengawasi anak secara langsung atau sambil bekerja Berbicara kepada anak selama mengerjakan suatu pekerjaan Memperhatikan dan merangsang perkembangan anak Menyediakan mainan untuk kematangan jiwa anak Mengatur kapan anak boleh bermain dan kapan tidak boleh Menyediakan mainan baru untuk mematangkan keterampilan Ada orang lain (suami) yang ikut mengasug anak setiap hari Ibu mendongeng ke anak Anak diajak makan bersama Keluarga dikunjungi atau mengunjungi orang lain Anak punya buku sendiri
11 7 11 3 0 0 15 16 18 18 21 17 30 33 28 1 3
33.3 21.2 33.3 9.1 0 0 45.5 48.5 54.5 54.5 63.6 51.5 90.9 100 84.8 3.0 9.1
22 26 22 30 33 33 18 17 15 15 12 16 3 0 5 32 30
66.7 78.8 66.7 90.9 100.0 100.0 54.5 51.5 45.5 45.5 36.4 48.5 9.1 0 15.2 97.0 90.9
14 32 6
42.4 97.0 18.2
19 1 27
57.6 3.0 81.8
28
84.8
5
15.2
16
48.5
17
51.5
25 10 16 31
75.8 30.3 48.5 93.9
8 23 17 2
24.2 69.7 51.5 6.1
Lampiran 6 Sebaran keluarga berdasarkan lingkungan pengasuhan 37-72 bulan Pernyataan Stimulasi belajar Mainan untuk belajar warna, bentuk, dan ukuran Mainan yang memiliki peraturan Tape recorder dan kaset/vcd Mainan bebas berekspresi Mainan untuk melatih gerakan tangan yang halus Mainan untuk belajar angka Buku sendiri paling sedikit 10 buah Keluarga punya buku paling sedikit 10 buah Membeli/ membaca Koran setiap hari Berlangganan paling sedikit 1 majalah Anak diajari tentang bentuk-bentuk Mainan untuk mengenal nama-nama binatang Diajari huruf-huruf Diajari mengucapkan salam, terimakasih Ibu berbicara dengan tata bahasa yang benar Anak diberi kesempatan berbicara Kata-kata ibu selalu menyenangkan anak
Tidak n %
n
%
9 18 16 5 19 7 36 35 37 37 17 18 18 2 13 0 12
28 19 21 32 18 30 1 2 0 0 20 19 19 35 24 37 25
75.7 51.4 56.8 86.5 48.6 78.9 2.7 5.4 0 0 54.1 51.4 51.4 94.6 64.9 100.0 67.6
24.3 48.6 43.2 13.5 51.4 18.2 97.3 94.6 100.0 100.0 45.9 48.6 48.6 5.4 35.1 0 32.4
Ya
38 Anak diberi kesempatan memilih makanan sendiri Rumah keluarga aman dari bahaya Tempat main anak bebas dari bahaya Keadaan rumah tidak gelap Para tetangga bersikap ramah Rumah tidak sempit Rumah tidak dipenuhi alat rumah tangga Dalam rumah bersih dan rapi Menggendong anak Berbicara kepada anak Menjawab pertanyaan atau permintaan anak Menanggapi ocehan atau omongan anak Memuji anak secara spontan Mencium, membelai, atau merangkul Membantu anak menunjukkan kepintarannya Diajari tentang warna Diajari menyanyi Diajari pengertian ruang / dimensi Diajari tentang angka Diajari membaca kata-kata sederhana Disuruh menunggu waktu makan atau jajan TV tidak boleh dinyalakan setiap saat Anak dikenalkan kepada tamu Anak dapat menunjukkan kekecewaan Anak dapat memukul ibu tanpa dibalas ibu Punya alat musik mainan atau sungguhan Diajak mengunjungi saudara Diajak pergi sejauh 80 km atau lebih tahun lalu Diajak ke museum, taman mini, toko buku Mengambil dan mengembalikan mainan sendiri Ibu menggunakan kalimat yang kompleks Hasil karya anak ditempelkan di suatu tempat Diajak makan bersama keluarga Diperbolehkan memilih makanan Tidak memarahi Tidak membatasi atau melarang anak secara fisik Tidak mencubit atau memukul anak Tidak menghukum anak lebih dari sekali
8 20 15 13 2 24 20 20 11 15 16 14 26 17 26 16 17 19 6 6 5 30 13 3 16 25 22 23 25 3 28 20 15 5 26 26 10 14
21.6 54.1 40.5 35.1 5.4 64.9 54.1 54.1 29.7 40.5 43.2 37.8 70.3 45.9 70.3 43.2 45.9 51.4 16.2 16.2 13.5 81.1 35.1 8.1 43.2 67.6 59.5 62.2 67.6 8.1 75.7 54.1 40.5 13.5 70.3 70.3 27.0 37.8
29 17 22 24 35 13 17 17 26 22 21 23 11 20 11 21 20 18 31 31 32 7 24 34 21 12 15 14 12 34 9 17 22 32 11 11 27 23
78.4 45.9 59.5 64.9 94.6 35.1 45.9 45.9 70.3 59.5 56.8 62.2 29.7 54.1 29.7 56.8 54.1 48.6 83.8 83.8 86.5 18.9 64.9 91.9 56.8 32.4 40.5 37.8 32.4 91.9 24.3 45.9 59.5 86.5 29.7 29.7 73.0 62.2
Lampiran 7 Hasil uji korelasi karakteristik keluarga, kualitas pernikahan, kesejahteraan keluarga, dan lingkungan pengasuhan Lmmnkh Usis Ussum Usmnkhis Usmnkhsum Pndkis Pndksum Pndptperkap Jmlhangtakel Kwtper Ksobj Kssub LP Lmmnkh 1 Usis 0.951** 1 Ussum 0.938** 0.939** 1 Usmnkhis -0.145 0.086 -0.30 1 Usmnkhsum -0.098 -0.064 0.120 0.267* 1 Pndkis -0.179 -0.148 -0.140 0.222 0.095 1 Pndksum -0.112 -0.065 -0.47 0.258* 0.179 0.501** 1 Pndptperkap -0.216 -0.214 -0.220 -0.028 0.112 0.224 0.169 1 Jmlanggtakel 0.868** 0.861** 0.848** -0.061 -0.051 -0.184 -0.051 -0.280* 1 Kwtper 0.176 0.172 0.199 0.009 0.132 -0.61 0.025 0.331** 0.189 1 Ksob 0.072 0.091 0.104 -0.026 0.161 0.157 0.231 0.432** 0.078 0.267* 1 Kssub 0.169 0.211 0.185 -0.013 0.108 0.020 0.071 0.434** 0.027 0.464** 0.548** 1 LP 0.295* 0.350** 0.289* 0.272* 0.011 0.067 0.041 0.294* 0.194 0.499** 0.315** 0.578** 1 Keterangan: * Signifikan pada p<0.05; ** Signifikan pada p<0.01 Lmmnkh: lama menikah, Usis: usia istri, Ussum: usia suami, Usmnkhis: usia menikah istri, Usmnkhsum: usia menikah suami, Pndkis : pendidikan istri, Pndksum: pendidikan suami, Pndptperkap: pendapatan per kapita, Jmlhangtakel: jumlah anggota keluarga, Kwtper: kualitas pernikahan, Ksobj: kesejahteraan objektif, Kssub: kesejahteraan subjektif, LP: lingkungan pengasuhan.
39
40
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Magetan, 27 Juni 1993 dari pasangan Sukamto dan Padmiani. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara, penulis memiliki satu orang kakak perempuan (Dian Arum Sari). Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Magetan pada tahun 2011 dan pada tahun yang sama penulis lolos seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan. Penulis diterima di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Selama masa perkuliahan di IPB penulis juga aktif berbagai kegiatan nonakademis antara lain anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Mahasiswa Alumni Magetan (OMDA IMPATA) sampai sekarang. Selain itu pernah menjadi anggota di Koperasi Mahasiswa IPB dan menjadi anggota Departemen Perkembangan Anak Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen. Penulis juga aktif mengikuti kepanitian seperti anggota divisi konsumsi Seminar hari Keluarga, sekretaris divisi konsumsi Masa Perkenal Fakultas, anggota penanggung jawab sahabat Masa Perkenalan Departemen, sekretaris divisi Humas dan Publikasi di Seminar Family and Consumer Day, dan anggota divisi Humas dan Publikasi di Deklarasi Hari Keluarga. Penulis mendapatkan beasiswa PPA tahun 2012 sampai 2014 dan mendapatkan beasiswa Healthy Swett 2015. Penulis juga lolos PKM didani DIKTI dengan judul “Capres”, juara 1 Innovation Contes di Universitas Negeri Yogyakarta, dan memperoleh penghargaan dan mendapatkan hibah dari Tanoto Faundation di Pekan Kreatifitas Mahasiswa Karya Cipta. Penulis juga pernah menjadi peserta Tanoto Student Research Award (TSRA). Penulis melakukan KKP di Klapanunggal dan magang pada tahun 2015 di Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Sosial Kota Bogor tepatnya di UPTD Pembinaan Mental dan Kesejahteraan Sosial.