PENGARUH KO-EDUKASI TERHADAP PENGEMBANGAN SELF-ESTEEM PADA REMAJA MELALUI PEMBERIAN CERITA ROLE PLAYING PROFESI M. Suhron, Moeljono Notosoedirdjo, Hendy Margono Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudia Husada Madura Alamat Korespondensi: M. Suhro Jalan RE Martadinata 4 Bangkalan, Madura Telp: 0313061522 Fax, (0313091871) e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Co-education is a learning system which gives lessons to boys and girls together in a classroom and non coeducational is the practice of conducting education where male and female students attend in separate classe. Both systems will affect the development of their self-esteem, which in turn will determine the professional role later in society. The objective of this study is to analyze the differentiation of co-education and non co-education influence of self-esteem development among teenagers by giving a profession role playing among teenagers. A non-equivalent control group design study were conducted at two Islamic Boarding School at Bangkalan, Madura Island. There were three treatment groups in study consist of group1: 31 students at second grade students of the Senior High School with a co-educational, group 2: 29 male students at second grade with a non Co-educational, and group 3: 28 female students with a non co-educational. Kruskal-Wallis statistical test were used to analyzed self-esteem before intervention among the three groups (Chi-square = 16.046; p = 0.000). Wilcoxon sign rank test was done to evaluate the differentiation of self-esteem before and after treatment. There is significant difference of self-esteem before and after intervention among three groups (Chi-square = 9.541; p = 0.008). It imply that coeducational system by giving professional role playing affects the development of self-esteem among teenagers. Keywords: Self-esteem, co-educational, non co-educational, professional role play ABSTRAK Ko-edukasi adalah sistem pembelajaran yang memberikan pelajaran anak laki-laki dan perempuan bersama-sama di ruang kelas dan non ko-edukasi adalah praktek melakukan pendidikan di mana siswa pria dan wanita terpisah kelas. Kedua sistem pembelajaran tersebut akan memengaruhi perkembangan harga diri mereka, yang pada gilirannya akan menentukan peran profesional mereka akan bermain kemudian masyarakat. Penelitian bertujuan untuk menganalisis perbedaan pengaruh ko-edukasi dan non ko-edukasi terhadap pengembangan self-esteem remaja dengan pemberian cerita role playing profesi pada remaja telah dilaksanakan di dua pondok pesantren di Bangkalan Madura. Desain adalah nonequivalent control group, terdiri dari 3 kelompok perlakukan, yaitu kelompok 1 adalah 31 siswa kelas dua Sekolah Menengah Atas dengan sistem coeducational, 29 siswa kelas dua dengan sistem non co-educational, dan 28 siswa perempuan dengan non co-educational. Uji statistik Kruskal-Wallis digunakan untuk mengetahui perbedaan self-esteem sebelum perlakuan pada 3 kelompok (Chisquare = 16.046; p = 0,000). Uji statistik wilcoxon sign rank dilakukan untuk mengetahui perbedaan self-esteem sebelum dan sesudah perlakuan. Ada perbedaan signifikan antara sebelum dan sesudah intervensi pada tiga kelompok (Chi-square = 9.541; p = 0,008). Dapat disimpulkan bahwa sistem pembelajaran co-educational dan non co-educational dengan memberikan cerita role playing tentang profesi memengaruhi pengembangan self-esteem pada remaja. Kata kunci: Harga diri, co-educational, non co-educational, bermain peran profesi
PENDAHULUAN Perkembangan masa remaja antara masa kanakkanak dan masa dewasa umumnya dimulai pada usia 10 atau 11 tahun dan berakhir pada usia belasan tahun atau awal dua puluhan tahun (Papalia dkk, 2001). Remaja dihadapkan pada beberapa tekanan, misalnya dalam hubungan pertemanannya dengan lawan jenis, hubungan dengan keluarga, prestasi akademis dalam menghadapi tugas sekolah (Yahav & Cohen, 2008). Perkembangan yang penting pada masa remaja adalah tahap mencari identitas diri (Papalia dkk, 2001). Kesuksesan remaja dalam menghadapi tahap perkembangan dapat diketahui bila dapat menjawab
“siapa dirinya” yang dapat mencerminkan identitas dirinya. Identitas diri merupakan gambaran diri yang jelas, meliputi sejumlah tujuan yang ingin dicapai, nilai, dan kepercayaan yang dipilih oleh individu tersebut (Havighurst, 1953; Hurlock, 1980). Perkembangan identitas diri remaja tidak dapat dipisahkan dari self-esteem yang merupakan bentuk evaluasi dari sikap yang didasarkan pada perasaan keberhargaan diri individu, yang bisa berupa perasaan positif atau negatif (Mruk, 2006). Remaja memiliki self-esteem yang berbeda-beda, ada yang tinggi maupun rendah yang memengaruhi cara berpikir masingmasing dan selanjutnya akan menentukan prestasi 87
88 The Indonesian Journal of Public Health, Vol. 9 No. 1, Juli 2012: 87–94 dan masa depan mereka (Branden, 1994). Cita-cita sangat berhubungan dengan profesi tertentu. Seorang remaja dalam menentukan cita-citanya juga tergantung dari peran atau role playing anggota keluarga dan lingkungannya. Dengan memberikan cerita melalui role playing suatu profesi pada remaja diharapkan dapat mengembangkan self-esteem remaja sehingga dalam belajarnya akan meningkat untuk mencapai cita-cita yang ingin diraihnya (Woolfolk, 2009). Fakta bahwa angka putus sekolah di Indonesia cukup tinggi jika dibandingkan negara lain merupakan suatu masalah masih dihadapi. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) periode Agustus 2012 mencapai 7,2 juta orang putus sekolah. Tingkat pengangguran terbuka sebagian besar disumbang dari lulusan Sekolah Menengah Atas sebesar 9,6% dan Sekolah Menengah Kejuruan sebesar 9,87% (BPS, 2012), pengangguran usia muda sebesar 5,3 juta (Bappenas, 2012). Fakta ini tidak terlepas dari pengaruh sistem pembelajaran yang diterapkan di tingkat sekolah menengah atas. Sistem pembelajaran yang baik diharapkan dapat merangsang tumbuhnya self-esteem pada remaja yang berperan dalam pembentukan cita-cita masa depannya. Dalam meraih cita-cita yang ingin dicapai sangat dibutuhkan self-esteem tinggi, sedangkan dalam bermusyawarah berani mengalah dan mendengarkan pendapat orang lain dibutuhkan self-esteem rendah (Notosoedirdjo, 2010). Pondok pesantren merupakan salah satu tempat berlangsungnya proses pembelajaran bagi para remaja. Sistem pembelajaran ko-edukasi maupun non koedukasi diterapkan di berbagai pondok di Indonesia. Ko-edukasi adalah sistem pendidikan yang memberikan pelajaran kepada anak laki-laki dan perempuan secara bersama-sama di dalam satu ruangan, sedangkan sistem pembelajaran non ko-edukasi adalah sistem pendidikan yang memberikan pelajaran kepada anak laki-laki dan perempuan secara terpisah di dalam ruang yang berbeda (Kasic, 2008). Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menganalisis perbedaan pengaruh sistem ko-edukasi dan non ko-edukasi terhadap pengembangan self-esteem remaja dengan pemberian cerita role playing profesi di Pondok pesantren.
METODE PENELITIAN Penelitian eksperimental dengan rancangan nonequivalent control group dilakukan pada 3 kelompok. Perlakuan dengan memberikan cerita role playing suatu profesi kepada siswa kelas dua sekolah menengah umum dengan sistem pembelajaran ko-edukasi dan non ko-edukasi. Cerita diberikan 9 (sembilan) kali selama penelitian. Kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random. Kelompok 1 terdiri 31 siswa kelas dua di Sekolah Menengah Atas (SMA) AL-H Pondok Pesantren AL-H dengan sistem pembelajaran ko-edukasi, kelompok 2 terdiri 29 siswa laki-laki dengan sistem pembelajaran non ko-edukasi dan kelompok 3 terdiri dari 28 siswa perempuan dengan sistem pembelajaran non ko-edukasi, keduanya di SMA Ma’ Pondok Pesantren SyCh. Kedua SMA pondok pesantren berlokasi di Bangkalan, Madura. Sampel diambil dengan cara purposive sampling. Pretest dilakukan dengan observasi self-esteem dan prestasi belajar, kemudian diberi perlakuan berupa cerita role playing suatu profesi. Setelah diberi cerita role playing suatu profesi ketiga kelompok dilakukan observasi lagi untuk menilai self-esteem dan prestasi belajarnya. Responden akan drop out bila tidak mengikuti cerita role playing profesi lebih dari 3 kali. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah usia 15-19 tahun, bersedia menjadi responden, siswa yang mengikuti cerita role playing lebih dari enam kali (66,7%) dari 9 kali yang dilakukan, serta nilai skala kebohongan ≤ 2. Uji statistik Kruskal-wallis digunakan untuk membandingkan self-esteem remaja sebelum perlakuan pada tiga kelompok perlakuan. Untuk membandingkan self-esteem remaja sebelum dan sesudah diberi perlakuan dilakukan uji statistik Wilcoxon sign rank. HASIL PENELITIAN Jumlah siswa yang awalnya pada kelompok ko-edukasi 31 orang berkurang menjadi 29 orang, pada kelompok non ko-edukasi laki-laki yang awalnya 29 orang berkurang menjadi 24 orang, sedangkan pada non ko-edukasi perempuan awalnya 28 orang berkurang menjadi 26 orang. Dua orang siswa drop karena mengikuti kegiatan pondok, namun pada skala
Tabel 1. Hasil skala kebohongan (SK) sebelum dan sesudah perlakuan pada 3 kelompok Kelompok Pengukuran Pre Post
Ko-edukasi
Non ko-edukasi laki-laki
Non ko-edukasi perempuan
kode
n
SK
kode
n
SK
kode
n
SK
(A/I/2 –A/I/62) (A/I/56, A/I/60)
31 2
≤2 ≥3
(B/I/1 –B/I/49) B/I/45
25 1
≤2 ≥3
(B/II/1 - B/II/49) (B/II/1 - B/II/49)
26 26
≤2 ≤2
29
≤2
24
≤2
26
≤2
Total Keterangan: 4 siswa absen
Suhron dkk., Pengaruh Ko-edukasi terhadap Pengembangan Self-esteem… 89 Tabel 2. Distribusi siswa berdasarkan usia pada 3 kelompok Kelompok Usia
Total
Ko-edukasi
Non ko-edukasi laki-laki
Non ko-edukasi perempuan
n (%)
n (%)
n (%)
n (%)
16 tahun
4 (13,8)
4 (16,7)
4 (15,4)
12 (15,2)
17 tahun
22 (75,9)
14 (58,3)
11 (42,3)
47 (59,5)
18 tahun
3 (10,3)
6 (25,0)
11 (42,3)
20 (25,3)
Total
29 (100)
24 (100)
26 (100)
79 (100)
Keterangan: p = 0,085
Tabel 3. Distribusi siswa berdasarkan urutan anak dalam keluarga pada 3 kelompok Kelompok
Total
Ko-edukasi
Non ko-edukasi laki-laki
Non ko-edukasi perempuan
n (%)
n (%)
n (%)
Pertama
18 (62,1)
17 (70,8)
13 (50,0)
48 (60,8)
Tengah
8 (27,6)
3 (12,5)
11 (42,3)
22 (27,8)
Terakhir
3 (10,3)
4 (16,7)
2 (7,7)
9 (11,4)
Total
29 (100)
24 (100)
26 (100)
79 (100)
Urutan anak
n (%)
Keterangan: p = 0,219
Tabel 4.
Distribusi responden berdasarkan Aktivitas siswa keluar area pondok
Aktivitas siswa keluar area pondok/hari
Kelompok Ko-edukasi
Non ko-edukasi laki-laki
Non ko-edukasi perempuan
n (%)
n (%)
n (%)
Total n (%)
Tidak
14 (48,3)
5 (20,8)
26 (100)
45 (57,0)
Ya
15 (51,7)
19 (79,2)
0
34 (43,0)
Total
29 (100)
24 (100)
26 (100)
79 (100)
Keterangan: p = 0,000
Tabel 5
Hasil pengukuran self-esteem remaja sebelum dan sesudah perlakuan pada 3 kelompok Kelompok
Pengukuran selfesteem
Ko-edukasi
Non Ko-edukasi laki-laki
Non Ko-edukasi perempuan
Mean ± SD
Mean ± SD
Mean ± SD
Pre
30,03 ± 5,79 (19–41)
25,16 ± 4,29 (19–35)
Post
32,45 ± 5,55 (20–43)
27,36 ± 3,21 (21–35)
Selisih pengukuran
2,42 ± 0,24 (1–2)
2,20 ± 1,08 (0–2)
Pre
30,03 ± 5,79 (19–41)
26,25 ± 5,11 (19–35)
24,15 ± 3,13 (19–31)
Post
32,45 ± 5,55 (20–43)
28,67 ± 3,51 (24–35)
26,15 ± 2,39 (21–31)
Selisih pengukuran
2,42 ± 0,24 (1–2)
2,42 ± 1,6 (0–3)
2 ± 0,74 (1–2)
P value = 0,000
P value = 0,001
P value = 0,001
Wilcoxon signed rank test
Analisis
Mann-Whitney Test = 371,500 P value = 0,000
Mann-Whitney Test = 603,500 P value = 0,215 Kruskal-wallis test Chi-square = 16,046 P value = 0,000
Kruskal-wallis test Chi-square = 9,541 P value = 0,008
90 The Indonesian Journal of Public Health, Vol. 9 No. 1, Juli 2012: 87–94 Tabel 6. Hasil pengukuran aspek self-esteem remaja sebelum dan sesudah perlakuan berdasarkan parameter Coopersmith Self-esteem Inventory (CSEI) pada 3 kelompok Kelompok Aspek self-esteem (CSEI)
Non Ko-edukasi laki-laki
Non Ko-edukasi perempuan
Mean ± SD
Mean ± SD
Mean ± SD
pre
16,07 ± 2,37 (12-22)
14,79 ± 2,94 (9-23)
13,92 ± 3,8 (4-22)
post
18,52 ± 2,58 (14-23)
16,46 ± 3,05 (11-23)
15,85 ± 3,23 (10-23)
2,45 ± 2,06 ((-1)-2)
1,67 ± 2,58 ((-2)-7)
1,93 ± 3,06 ((-3)-8)
pre
3,83 ± 1,58 (1-6)
3,92 ± 1,61 (1-6)
3,88 ± 1,55 (1-6)
post
4,79 ± 1,48 (2-7)
5,21 ± 1,58 (2-7)
4,35 ± 1,54 (3-7)
0,96 ± 1,92 ((-3)-6)
1,29 ± 1,82 ((-2)-5)
0,47 ± 1,72 (0-6)
pre
3,28 ± 2,16 (0-9)
1,58 ± 1,76 (0-6)
2,08 ± 1,99 (0-8)
post
2,93 ± 2,12 (0-9)
1,54 ± 1,79 (0-6)
2,46 ± 2,10 (0-8)
0,35 ± 1,61 ((-8)-2)
0,04 ± 0,36 ((-1)-1)
0,38 ± 0,75 (0-3)
pre
5,31± 2,02 (1-8)
4,21 ± 2,04 (1-8)
3,96 ± 1,66 (1-8)
Post
4,62 ± 2,30 (0-8)
3,46 ± 1,88 (0-8)
3,65 ± 2,15 (0-8)
Selisih
0,69 ± 1,51 ((-4)-3)
0,75 ± 1,59 ((-4)-2)
0,31 ± 1,66 ((-5)-2)
Pre
1,56 ± 0,64 (0-2)
1,75 ± 0,44 (1-2)
1,50 ± 0,58 (0-2)
Post
1,62 ± 0,62 (0-2)
1,00 ± 0,28 (1-1)
1,19 ± 0,09 (0-2)
Selisih
0,06 ± 0,26 (0-1)
0,75 ± 0,29 ((-1-)-1)
0,27 ± 0,45 (0-1)
Sosial diri
Ko-edukasi
Teman sebaya
Selisih
Orang tua
Selisih
Skala kebohongan
Akademis
Selisih
kebohongan tidak ada siswa dengan skor ≥ 3. Data dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 2 menunjukkan bahwa usia siswa berkisar 16–18 tahun. Pada ketiga kelompok sebagian besar siswa berusia 17 tahun dengan persentase berkisar 42–75%. Uji statistik Chi Square didapatkan nilai exact probability atau nilai p = 0,085. Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar siswa adalah anak pertama sebanyak 48 orang. Uji statistik hubungan antara urutan anak dengan distribusi kelompok menggunakan uji Chi Square didapatkan Exact probability = 0,219. Sebagian besar siswa laki-laki melakukan aktivitas di luar area pondok. Sekitar 48,3% siswa pada kelompok ko-edukasi, 20,8% siswa pada kelompok non ko-edukasi laki-laki tidak melakukan aktivitas di luar area pondok, sedangkan pada kelompok non koedukasi perempuan, semua siswa tidak pernah keluar
area pondok dalam sehari. Uji statistik uji Chi Square menunjukkan ada hubungan antara aktivitas di luar area dengan jenis sistem pembelajaran (p = 0,000). Data lengkap disajikan pada tabel 4 Tabel 5 menyajikan hasil pengukuran self-esteem sebelum dan sesudah perlakuan serta nilai selisih pengukuran. Hasil uji statistik Mann-Whitney terhadap self-esteem sebelum perlakuan pada kelompok koedukasi dan penggabungan kelompok non ko-edukasi menunjukkan ada perbedaan antara kelompok koedukasi dan kelompok non ko-edukasi (Mann-Whitney Test = 371,500; p = 0,000). Selisih pengukuran selfesteem antara kelompok ko-edukasi dan penggabungan kelompok non ko-edukasi sebelum dan sesudah perlakuan dengan menggunakan uji statistik MannWhitney = 603,500 dengan P value = 0,215. Untuk melihat pengaruh perlakuan pemberian cerita role playing profesi maka dibandingkan
Suhron dkk., Pengaruh Ko-edukasi terhadap Pengembangan Self-esteem… 91 self-esteem sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok, serta dilihat selisih nilai pengukurannya menggunakan uji Kruskal-wallis. Hasil analisis sebelum dan sesudah perlakuan pada ketiga kelompok diperoleh nilai Chi-square = 16,046 dengan p value = 0,000. Selisih nilai pengukuran selfesteem sebelum dan sesudah perlakuan pada ketiga kelompok diperoleh nilai Chi-square = 9,541 dengan p value = 0,008. Hasil pengukuran self-esteem sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok ko-edukasi dan non ko-edukasi perempuan didapatkan p value = 0,000, sedangkan pada non ko-edukasi laki-laki didapatkan p value = 0,001. Tabel 6 menunjukkan bahwa pada kelompok koedukasi, hanya terdapat peningkatan nilai Mean selfesteem dengan parameter sosial diri, teman sebaya, sedangkan pada parameter orang tua dan akademis mengalami penurunan, namun skala kebohongan tetap setelah diberikan intervensi cerita role palying dalam profesi. Pada kelompok non ko-edukasi laki-laki untuk parameter teman sebaya, akademis, orang tua, skala kebohongan tidak mengalami peningkatan, namun pada parameter sosial diri mengalami peningkatan. Begitu juga pada kelompok non ko-edukasi perempuan untuk parameter teman sebaya, akademis, orang tua, skala kebohongan tidak mengalami peningkatan, namun pada parameter sosial diri mengalami peningkatan. PEMBAHASAN Pengaruh Sistem Pembelajaran Ko-edukasi dan Non Ko-edukasi terhadap Pengembangan Selfesteem Remaja Sebelum dan Sesudah Perlakuan Berdasarkan hasil analisis menunjukkan ada perbedaan self-esteem sebelum dan sesudah perlakuan pada ketiga kelompok. Hal ini dapat disebabkan para siswa sangat antusias dalam mengikuti cerita yang diberikan sehingga mereka memahami role playing profesi setiap tokoh dalam cerita tersebut. Cerita dalam role playing rupanya dapat membentuk suatu dorongan yang sangat kuat untuk berupaya agar kelak dapat melakukannya sesuai dengan cerita tersebut. Pada saat diberikan cerita, ketiga kelompok sangat antusias memperhatikan jalannya cerita, hal ini dapat terlihat mereka sering kali bertanya dan memberikan tanggapan tentang cerita tersebut. Para siswa mengungkapkan perasaannya bahwa mereka sangat tertarik dan membutuhkan informasi tersebut untuk meningkatkan self-esteem dalam menjalani tugas belajarnya, sekaligus memberikan gambaran bagi mereka terkait dengan profesi dan citacita yang nantinya mereka akan capai. Dorongan untuk mencapai tujuan yang mereka cita-citakan tersebut muncul apabila siswa merasa membutuhkan, Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Hurlock (1980) bahwa anak sekolah menengah atas mulai memikirkan masa depan mereka secara bersungguh-sungguh. Dengan pemberian cerita role playing profesi terhadap remaja sekolah menengah atas tersebut dapat meningkatkan
self-esteem mereka sehingga mereka optimis, tetap semangat, tidak mudah menyerah dalam belajar dan meraih tujuan serta cita-cita yang mereka inginkan untuk masa depan mereka dalam melaksanakan profesi yang nantinya mereka pilih. Dengan demikian artinya bahwa keluarga sangat memengaruhi remaja dalam menentukan cita-citanya yaitu tergantung dari peran atau role playing anggota keluarga dan lingkungan sosialnya. Peran atau role playing yang dilihat, didengar oleh remaja dari lingkungannya akan diintegrasikan dan diinternalisasikan pada diri remaja sehingga membentuk identitas dirinya sesuai dengan role playing yang telah diterimanya tersebut. Pada cerita role playing profesi merupakan cerita nyata yang dapat diterima oleh siswa, sehingga dapat merangsang selfesteem mereka untuk melakukan apa yang telah mereka lihat dan dengar ke dalam role playing mereka sesuai dengan cita-cita yang telah mereka tentukan. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan pengaruh sistem pembelajaran ko-edukasi dan non Ko-edukasi terhadap pengembangan self esteem remaja dengan pemberian cerita role playing profesi. Nilai rata-rata self-esteem siswa pada kelompok koedukasi lebih tinggi dibandingkan dengan kedua kelompok non ko-edukasi. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Tyack & Hansot (1990) bahwa sistem pembelajaran ko-edukasi akan menciptakan perasaan persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Notosoedirdjo & Latipun (2007) mengungkapkan bahwa sistem pembelajaran ko-edukasi dapat merangsang self-esteem lebih tinggi dikarenakan adanya persaingan antara lawan jenis sehingga masingmasing lawan jenis akan berusaha menjaga self-esteemnya agar meningkat, Selain itu jika mereka diajarkan bersama-sama, maka akan tercipta rasa persaingan yang sehat di antara mereka. Dengan cara ini, mereka akan bekerja keras untuk meningkatkan self-esteem-nya dan memberikan perhatian serius terhadap studi mereka sehingga prestasi belajar dapat tercapai. Jika pria dan wanita diajarkan bersama-sama, akan mengembangkan kepribadian mereka secara maksimal (Kasic, 2008). Dalam sistem pembelajaran ko-edukasi mengurangi rasa malu yang melekat pada masingmasing siswa, dengan belajar bersama, bekerja dan bermain bersama di sekolah Ko-edukasi siswa akan diberikan fasilitas untuk mengekspresikan sosial dirinya, pria dan wanita diajarkan bersama-sama, akan mengembangkan kepribadian mereka secara maksimal, sehingga dapat berkembang seimbang dalam melaksanakan tugas perkembangannya dengan berbagi ide-ide mereka sendiri atau pendapat di hadapan lawan jenis. Oleh karena itu, memberikan siswa insentif besar untuk mengatasi rasa malu mereka dan meningkatkan self-esteem mereka dan satu-satunya metode yang dapat digunakan untuk bisa menjadi anggota masyarakat yang berguna.
92 The Indonesian Journal of Public Health, Vol. 9 No. 1, Juli 2012: 87–94 Berdasarkan hasil penelitian Amal dkk, (2011) didapatkan bahwa pada sistem pembelajaran koedukasi perkembangan self-esteem lebih tinggi dari pada non ko-edukasi. Hasil tersebut juga diungkapkan kepala sekolah SMA Ma’ pada saat focus group discussion. Pengembangan self-esteem remaja dapat dipengaruhi karakteristik responden berdasarkan usia yang menunjukkan tidak ada perbedaan usia signifikan antara ketiga kelompok sehingga dapat dijelaskan bahwa karakteristik responden homogen. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Papalia dkk (2001) bahwa pembentukan self-esteem terjadi sejak usia pertengahan kanak-kanak dan terus berkembang sampai remaja akhir. Masa remaja merupakan masa kritis dalam perkembangan self-esteem karena dapat membantu menghadapi tugas perkembangan remaja. Remaja memiliki lingkungan sosial yang lebih luas sehingga penilaian dari orang-orang yang berarti selain orang tua, seperti peer group, memiliki pengaruh yang besar terhadap rasa keberhargaan diri dan kompetensinya. Remaja mengembangkan self-esteem lebih luas dan relevan dengan aspek-aspek yang dimilikinya seperti pandangan dirinya terhadap pertemanan, hubungan percintaan serta kompetensinya (Boden dkk, 2008). Peningkatan self-esteem tidak hanya dipengaruhi oleh jenis kelamin tetapi juga dapat dipengaruhi oleh urutan kelahiran dari seorang remaja tersebut. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa sebagian besar urutan anak adalah anak pertama atau sulung sebesar 43 siswa, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Coopersmith (1967) bahwa urutan kelahiran dapat berdampak terhadap self-esteem. Dengan mempertimbangkan berbagai hal, dinyatakan bahwa anak sulung memiliki kemungkinan perkembangan self-esteem yang positif. Menurut Mruk (2006), anak sulung atau anak tunggal menerima lebih banyak perhatian dan interaksi dengan orang tua yang berarti pengasuhan lebih terfokus dibanding anak-anak yang lahir kemudian, namun demikian penting untuk diingat bahwa kualitas interakasi lebih penting dampaknya terhadap self-esteem dibanding kuantitas. Lebih lanjut Franz (2006) mengungkapkan bahwa anak sulung lebih bertanggung jawab, asertif, task oriented, perfeksionis dan mengutamakan otoritas karena mereka seringkali menjadi pengawas adik-adiknya serta memberi contoh sebagai pemimpin yang baik sehingga menumbuhkan sikap kedewasaan, karena sikap bertanggung jawabnya ini maka mereka dapat melaksanakan tugas-tugas sekolah dengan baik yang dapat meningkatkan rasa bangga dan membentuk self-esteemnya tinggi. Berdasarkan parameter Coopersmith Selfesteem Inventory (CSEI), dapat dilihat bahwa ada peningkatan nilai rata-rata self-esteem remaja sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok ko-edukasi maupun non ko-edukasi (tabel 6). Parameter yang digunakan untuk menilai self-esteem antara lain sosial diri, teman sebaya, sedangkan pada parameter orang
tua dan akademis mengalami penurunan, namun skala kebohongan tetap, setelah diberikan intervensi cerita role palying dalam profesi. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian cerita role playing suatu profesi pada kelompok ko-edukasi dan non ko-edukasi lebih berpengaruh terhadap pengembangan aspek sosial diri dan aspek teman sebaya. Hubungan Self-esteem dengan Sosial Diri Remaja pada Kelompok Ko-edukasi dan Non Ko-edukasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek sosial diri mempunyai peran penting dalam pengembangan self-esteem remaja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Emler (2001) yang menunjukkan hubungan yang positif dan nyata antara keterampilan sosial dan self-esteem. Dalam interaksinya sebagai makhluk sosial, kematangan sosial dan self-esteem yang dimiliki seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam membangun suatu hubungan sosial. Selain itu menjelaskan bahwa individu yang memiliki self-esteem yang rendah memiliki masalah dalam berperilaku dan berinteraksi dengan lingkungan sosial serta tidak jarang menimbulkan masalah sosial. Sebaliknya, individu dengan penghargaan diri (self-esteem) yang tinggi cenderung memiliki prestasi belajar yang tinggi. Dalam memenuhi kebutuhan untuk berprestasi harus memiliki self-esteem yang tinggi sehingga siswa akan optimis dan tidak mudah menyerah untuk mewujudkan cita-citanya tersebut. Cita-cita merupakan suatu pengharapan yang diciptakan untuk mereka sendiri sekaligus merupakan suatu keputusan dan tujuan akhir yang ingin diraih seorang siswa. Sesuai dengan yang dikemukakan Notosoedirdjo & Latipun (2007) bahwa manusia selalu mencari tantangan dan puas bila dapat mengatasinya dan akan lebih menguat bila ada tujuan akhir (cita-cita) yang dicapainya. Keadaan ini menunjukkan bahwa sosial diri berperan penting dalam pembentukan self-esteem. Sosial diri siswa dapat terbentuk secara maksimal sesuai perkembangannya, hal ini dapat diwujudkan dalam suatu sistem pembelajaran ko-edukasi yang merupakan sistem pembelajaran yang menguntungkan bagi pengembangan self-esteem remaja yang nantinya akan berpengaruh pada sosial dirinya sehingga membantu proses belajar remaja. Lebih jauh Hurlock (2007) menambahkan bahwa self-esteem berkaitan dengan hubungan sosialnya, remaja dituntut agar dapat menyesuaikan diri dengan orang di sekitarnya dan di luar lingkungan keluarga. Hal yang sama diungkapkan Geldard (2010) bahwa interaksi sosial remaja ketika seorang anak muda harus beranjak dari ketergantungan menuju kemandirian, otonomi dan kematangan sosialnya dengan dunia nyata. Sistem pembelajaran ko-edukasi mencerminkan masyarakat saat ini karena memberikan kesempatan yang berharga bagi siswa untuk mendapatkan bertukar pikiran dan ide, pendapat, nilai-nilai dan gaya hidup, sehingga terbiasa saat bekerja dan berbagi dengan rekan mereka dari lawan jenis.
Suhron dkk., Pengaruh Ko-edukasi terhadap Pengembangan Self-esteem… 93 Dilihat dari tahap perkembangannya, sebagian besar remaja tidak lagi mengharapkan pengaruh orang tua dalam setiap pengambilan keputusannya. Pengaruh orang tua seharusnya diharapkan berkurang, sementara pengaruh teman sebaya meningkat (Geldard, 2010). Kondisi ini dapat ditemui pada siswa di tiga kelompok, dimana mereka berada di dalam pondok pesantren dan hidup mandiri, terpisah dengan orang tuanya. Keadaan tersebut didukung oleh hasil data penelitian yang menunjukkan seluruh siswa berada atau tinggal di dalam pondok pesantren sehingga dapat berinteraksi dengan teman sebaya dalam waktu yang lama, dan sebaliknya berinteraksi dengan orang tuanya dalam waktu yang singkat. Hal ini merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan penurunan self-esteem pada aspek orang tua. Hubungan Self-esteem dengan Teman Sebaya Remaja pada Kelompok Ko-edukasi dan Non Koedukasi Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan aspek teman sebaya mempunyai peran penting dalam pengembangan self-esteem. Hal ini tidak terlepas dengan aktivitas yang dilakukan oleh siswa pada kelompok non ko-edukasi laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan aktivitas keluar pondok pada ketiga kelompok. Siswa dalam kelompok ko-edukasi non ko-edukasi laki-laki dapat dengan bebas keluar area pondok untuk berinteraksi selain dengan teman sebayanya, sedangkan siswa pada kelompok non ko-edukasi perempuan tidak pernah keluar pondok. Informasi ini sesuai dengan yang disampaikan kepala sekolah SMA Ma’ bahwa siswa putri dilarang keluar area pondok pesantren karena ada aturan dan undangundang yang mengikat. Dengan demikian siswa putri lebih banyak berinteraksi dengan teman sebayanya. Aktivitas yang berbeda saat melakukan interaksi dengan lingkungannya dapat memengaruhi self-esteem mereka, khususnya pada saat mereka berinteraksi tidak hanya dengan teman sebaya melainkan dengan orang yang lebih tua atau lebih muda. Aktivitas interaksi dengan teman sebaya di dalam pondok tersebut kemungkinan tidak memengaruhi self-esteem yang sebenarnya pada para siswa. Hubungan relasi dan dukungan sosial berhubungan erat dengan tingkat kemandirian dalam mencapai self-esteem. Dalam hal ini dukungan sosial tersebut diperoleh remaja melalui interaksi dengan teman sebaya dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan pada penelitian Barker dan Bornstein (2009) mengungkapkan bahwa remaja menghabiskan waktu dua kali lebih banyak dengan teman sebaya dari pada dengan orang tuannya, sehingga akan membentuk cara mereka untuk berinteraksi dengan lingkungannya khususnya pada teman sebaya yang pada akhirnya memengaruhi self-esteemnya dalam menghadapi tugas perkembangannya. Hal ini sejalan yang diungkapkan (Burton, 1986) bahwa dengan self-esteem, remaja dapat
melibatkan dirinya dengan teman sebayanya untuk dapat memperoleh kesempatan untuk membangun rasa percaya diri sosial (social self-confidence) Remaja ini dapat memupuk kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri untuk mencapai tujuan interpersonalnya, sehingga tidak akan mudah merasa kecewa dengan pasang dan surutnya interaksi sosial. Hal-hal tersebut berimplikasi terhadap kemampuan penyesuaian sosial dan profesionalnya di kemudian hari. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pemberian cerita role playing profesi berpengaruh terhadap pembentukan selfesteem remaja yang menerima sistem pembelajaran koedukasi maupun, remaja laki-laki dan perempuan yang menerima sistem pembelajaran non ko-edukasi. Sistem pembelajaran ko-edukasi lebih menguntungkan untuk pengembangan self-esteem remaja dibandingkan sisitem non ko-edukasi. Pemberian cerita tentang role playing profesi dapat meningkatkan self-esteem lebih tinggi pada remaja laki-laki dibandingkan pada perempuan. DAFTAR PUSTAKA Amal I, Khalil MO, Abou-Hashish and Dawood SE. 2011. Coeducation versus Single Sex Education: Impact on Self Esteem and Academic Achievements among Nursing’ Students. Journal of American Science; 7 (12): 176–184. Bappenas. 2012. Pengangguran usia muda. http://sekedar-tahu. blogspot.com/2012/08/masalah-pengangguran-usia-muda-di.html. (sitasi 16 Maret 2013) Barker ET & Bornstein. 2009. Global Self-Esteem, Appearance, and Self Reported in Early Adolescence. The Journal of Early Adolescence 2010 30: 205. Boden JM, Ferfusson DM & Horwood J. 2008. Does adolescent selfesteem predict later life outcomes ? A test of causal role of self esteem. Developmental and Psychophatology 20: 319–339. Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Tingkat Pendidikan di Masyarakat. www.bps.g.id (sitasi 3 Maret 2013) Branden N. 1994. Six Pillars Of Self Esteem. Random, Inc. New York. Burton CB. 1986. Children Peer Relationship. Eric Digest.inc. New York. Coopersmith S. 1967. The Antecendent of Self Esteem. W.H Freeman & Company. San Francisco. Emler N. 2001. Self-esteem – The costs and causes of low self-worth. Joseph Rowntree Foundation Franz J. 2006. Birth Order Gale Encyclopedia of Children Health: Infacy Through Adolescents, www.ecyclopedia.com, (sitasi 3 Maret 2013) Geldard, K & Geldard D. 2011. Konseling Remaja. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Havighurst RJ. 1953. Human Development and Education. McKay. New York. Hurlock, E.B. 1995. Perkembangan Anak Ed. 6. Erlangga. Jakarta. Kasic A. 2008. Title IX and Single-sex Education Position. Paper No. 613. Independent Women’s Forum. Washington, DC. Mruk CJ. 2006. Self esteem research, theory, and practice: Toward a positive psychology of self esteem 3rd ed. Springer Publishing Co. New York. Notosoedirdjo M. 1974. Beberapa hal mengenai Belajar dan cara belajar yang Efisien. BP. FK-Unair. Surabaya. Notosoedirdjo M. 1984. Pendekatan Epistomologi Ilmu Kedokteran Jiwa dalam Studi Perilaku Manusia. Disampaikan dalam pidato pengukuhan Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya.
94 The Indonesian Journal of Public Health, Vol. 9 No. 1, Juli 2012: 87–94 Notosoedirdjo M & Latipun. 2007. Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan, ed.4. UMM Press. Malang. Papalia DE, Olds SW, Feldman RD. 2001. Human Development (8th. Ed.). McGraw-Hill. Boston. Tyack D & Hansot E. 1990. Learning Together: A History of Coeducation in American Schools. Yale University Press. New Haven CT. Woodward LJ, Fergusson DM, Horwood LJ. 1999. The Effects of Single-Sex and Coeducational Secondary Schooling on Children’s Academic Achievement. Australian Journal of Education,; 43: 142–156.
Woolfolk A. 2009. Psychology in the schools. Pearson/Longman. London. Yahav R & Cohen M. 2008. Evaluation of a cognitive-behavioral intervention for adolescents. International Journal of Stress Management. 15 (2), 173-188.doi:10.1037/1072-5245.15.2.173. Yochta Nur Rahman. Kesehatan Mental di Lingkungan Sekolah. http://edukasi.kompasiana.com/2010/05/25/kesehatan-mentaldi-lingkungan-sekolah. (sitasi 16 maret 2013)