PENGARUH KELEMBAPAN UDARA DAN PH DAUN TERHADAP PROSES DEKOMPOSISI TIGA JENIS DAUN OLEH TRICHODERMA VIRIDE PERS. DAN EM4 Influences of Relative Humidity and pH of Leaves on the Decomposition Process of some Species of Leaves by Trichoderma viride Pers. and EM4
Yosefin Ari Silvianingsih1), Djumali Mardji2) dan B.D.A.S. Simarangkir2)
Abstract. The purposes of this research were to determine the development of Trichoderma viride and microorganisms in the EM4 solution exposed to two environmental factors, they were relative humidity (RH) and pH of leaves to evaluate which environmental factor and media (natural or synthetic media) were suitable for the development of these microorganisms. Which natural media was the fastest to decompose by microorganism and which organism was the fastest decomposer for natural media. The leaf samples were collected from Education Forest of Mulawarman University at Bukit Soeharto, namely Acacia mangium, Dryobalanops beccarii and Pinus caribaea. The research resulted that total number of spores of T. viride in the extract of D. beccarii leaf were more than in the extracts of A. mangium and P. caribaea leaves. All the extract media used in this research were suitable for the growth of microorganisms of EM4. The growth of T. viride was the best at RH 100 % and pH 3,0 of leaves. EM4 was able to decompose all species of leaves by the same result with RH and pH of leaves used in this research. Leaf of D. beccarii without inoculation (control) at the air humidity of 80.5 % and at acid or bases conditions would also decomposed fastly. Leaf of D. beccarii was the best natural media for development of T. viride, EM4 and other free microorganisms in the nature. The effectiveness of T. viride, EM4 and control were same in decomposition of leaves when they were inoculated separately without any attention to the RH and pH of leaves. But if the microorganisms were exposed to suitable RH and pH of leaves, then the faster decomposer was T. viride. Kata kunci: kelembapan udara, pH, ekstrak daun, dekomposisi
Secara alamiah bahan-bahan vegetatif yang jatuh di atas permukaan tanah akan menyumbangkan unsur hara kepada elemen-elemen tanah setelah melalui proses penguraian (dekomposisi). Simarangkir (1997), Ruhiyat (1999) menyatakan, bahwa siklus hara disebabkan oleh salah satu komponen saprofit dalam suatu _____________________________________________________________ 1) Fakultas Kehutanan Universitas Palangkaraya, Palangkaraya 2) Laboratorium Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda 3) Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda
73
74
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1) APRIL 2005
ekosistem, maka penguraian dapat berlangsung terus sepanjang tahun dan iklim mikro menghasilkan elemen-elemen iklim yang sesuai terutama suhu dan kelembapan udara di dalam hutan yang sangat optimal bagi perkembangan populasi dan kegiatan organisme mikro tanah. Beberapa dekomposer seperti jamur saprofit dan bakteri dalam kondisi lingkungan yang optimum dapat membiak sangat cepat terutama pada keadaan yang lembap dan banyak mengandung bahan organik, hanya kekeringanlah yang menjadi faktor penghambat pertumbuhannya (Suriawiria, 1993; Parinkina dan Piin, 1989). Dari hasil penelitian, kisaran umum produksi serasah di hutan alam setiap tahunnya adalah 5,6–11,0 ton/ha (Yamani, 1997) dan biomassa tegakan hutan alam di permukaan tanah terdiri dari 3 % komponen daun khususnya pada tegakan hutan campuran Dipterocarpaceae seperti yang ada di Kalimantan Timur, mempunyai jumlah biomassa yang relatif tinggi (Ruhiyat, 1989). Banyaknya timbunan bahan organik berupa serasah di lantai hutan bila proses dekomposisi terhambat tentu akan menjadi masalah dalam siklus hara. Menurut Jannsson dan Berg (1985), Parinkina dan Piin (1989), kecepatan proses dekomposisi tergantung pada kelembapan dan temperatur udara serta bahan yang diuraikannya, contoh daun yang terurainya lambat adalah daun Pinus spp., waktu terdekomposisi bisa mencapai 2 tahun dengan kelembapan 95–99 %. Jenis Acacia mangium, Pinus caribaea, Dipterocarpaceae seperti Dryobalanops beccarii banyak ditanam di areal Hutan Tanaman Industri (HTI) karena merupakan jenis-jenis yang telah dikenal kegunaannya. Dari berbagai penelitian terhadap jenis-jenis tersebut diketahui, bahwa areal-areal HTI sangat cepat mengalami degradasi unsur hara. Bahkan diprediksi setelah tiga kali panen/tebang, areal-areal HTI akan memerlukan pemupukan. Hal ini disebabkan karena kurangnya input hara hasil dekomposisi secara alamiah ke dalam tanah. Pemberian pupuk organik akan lebih berdayaguna bila ditujukan untuk memperbaiki kondisi fisik tanah (Ruhiyat, 1989 dan 1999). Trichoderma viride adalah cendawan yang termasuk dalam kelas Deuteromycetes (Fungi Imperfecti), termasuk cendawan lignoselulotik perombak bahan organik di lantai hutan yang mampu tumbuh pada lignin dan selulosa sekaligus menguraikannya sehingga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Alexander, 1977) dan dapat menekan pertumbuhan Rhizoctonia solani (jamur penyebab lodoh/damping-off) dan jamur akar putih (Al-Hamdany, 1988). Selain itu T. viride bersifat mycoparasit dan hiperparasit yang dapat membunuh jamur patogen lain seperti Gliocladium, Pythium dan Sclerotinia (masing-masing penyebab lodoh) dan Corticium rolfsii (penyebab busuk batang). Pemanfaatan jamur T. viride telah dilakukan di PT Tanjung Redeb Hutani (Kabupaten Berau), yaitu untuk membuat kompos dari serasah daun A. mangium. Kompos tersebut digunakan untuk pengendalian penyakit akar putih pada tanaman A. mangium, yang mana dalam waktu satu bulan setelah pemberian kompos, tanaman yang sakit dapat sembuh dan bertunas kembali. Hasil yang sama terjadi pada tanaman Gmelina arborea yang berumur 1 tahun, yang mana kompos tersebut sama efektivitasnya dengan fungisida. Kelebihan penggunaan kompos yang mengandung T. viride adalah berupa penghematan dalam hal biaya dan ramah lingkungan.
Silvianingsih dkk. (2004). Pengaruh Kelembapan Udara dan pH Daun
75
Dalam bidang pertanian, Jepang telah lama mengembangkan EM (effective microorganism) yang merupakan kultur campuran dari organisme mikro yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman yang sebagian besar mengandung organisme mikro Lactobacillus sp., bakteri fotosintetik, Actinomycetes dan ragi. EM4 diaplikasikan sebagai inokulum untuk meningkatkan keragaman dan populasi dalam tanah dan tanaman. Di Wonosobo (Jawa Tengah), P3TAL (Pusat Pelatihan Pertanian Terpadu dan Akrab Lingkungan), teknologi EM diterapkan pada tanaman hortikultura, tanaman obat, peternakan dan pengolahan limbah dalam skala kecil. Hasil yang diperoleh dari perlakuan EM secara penuh (murni) pada tanaman menunjukkan pertumbuhan yang lebih sehat dan tegar dibandingkan dengan perlakuan 0,5 EM dan 0,5 kimia (merupakan kombinasi pupuk kimia dengan teknologi EM) (Wididana, 1999c). Berdasarkan penelitian Nishio (1998), pencemaran lingkungan akibat pemupukan dengan menggunakan bahan kimia pada lahan pertanian di Jepang sangat mengkhawatirkan. Namun setelah mereka menggunakan organisme mikro hasilnya sangat memuaskan karena selain akrab lingkungan juga tidak mengandung racun pada hasil pertanian. Lebih lanjut dijelaskan bahwa organisme mikro berfungsi: i) melindungi tanaman dari penyakit, misalnya teknik penggunaan organisme mikro yang antagonis sehingga menghambat perkembangan patogen; ii) membantu dalam penyerapan nutrisi tanaman, misalnya bakteri Rhizobium sp. dan jamur mikoriza; iii) mempercepat pembusukan dalam pembuatan pupuk dari kotoran hewan, selain itu dapat menghilangkan bau busuk sehingga dapat menghindari pencemaran tanah, air dan udara. Dengan melihat berbagai kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing organisme mikro tersebut di atas perlu kiranya dilakukan suatu uji laboratoris terhadap mekanisme kerja organisme mikro ini dengan daun serasah jenis A. mangium, D. beccarii dan P. caribaea. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui i) perkembangan jamur T. viride dan organisme mikro yang tergabung dalam EM4 pada berbagai faktor lingkungan yaitu kelembapan udara dan pH daun, sehingga dapat diketahui masing-masing faktor lingkungan yang paling sesuai; ii) media yang terbaik untuk perkembangan organisme mikro tersebut, alami atau buatan; iii) media alami yang paling cepat terurai oleh organisme mikro dan iv) organisme mikro yang paling cepat mendekomposisi media alami. Dengan diketahuinya kondisi lingkungan dan media yang paling sesuai untuk pertumbuhan jamur T. viride dan organisme mikro yang tergabung dalam EM4, maka dapat dijadikan acuan untuk pengembangan penelitian lanjutan maupun untuk penerapan di lapangan khususnya bagi kemajuan di bidang kehutanan dalam pembuatan pupuk organik dengan cara yang ramah lingkungan. METODE PENELITIAN
Sampel daun yang dipakai untuk penelitian diambil dari hutan Pendidikan Unmul Bukit Soeharto (Taman Hutan Raya Bukit Soeharto). Daun yang diambil adalah dari jenis Acacia mangium Willd., Dryobalanops beccarii Dyer. dan Pinus caribaea Mor. Penelitian di laboratorium dilakukan di Laboratorium Perlindungan
76
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1) APRIL 2005
Hutan Fakultas Kehutanan Unmul Samarinda. Penelitian dilakukan dari bulan Juni 2000 sampai April 2001. Daun-daun tersebut dibawa ke laboratorium dan dilakukan penimbangan setelah dikering-anginkan terlebih dahulu selama 48 jam di ruang laboratorium. Berat kering
masing-masing jenis daun adalah sama, yaitu 5 g setiap ulangan. Daun-daun yang telah ditimbang siap untuk diperlakukan dengan T. viride, EM4 dan kontrol (tanpa organisme mikro). Media yeast extract dextrose agar (YEDA) dibuat dengan formula sebagai berikut: yeast extract 10 g, dextrose 15 g, tepung agar-agar 20 g dan air suling 1000 ml. Bahan-bahan tersebut dicampur menjadi satu, diaduk sampai larut dan disterilkan dengan metode tyndalization menurut Purvis dkk. (1964). Media ini dipakai untuk menumbuhkan bibit (inokulum) organisme mikro yang akan diinokulasikan ke media yang lain, yaitu daun dan extract daun. Media extrak daun A. mangium, D. beccarii dan P. caribaea dibuat dengan cara menghancurkan daun masing-masing sebanyak 5 g dengan blender, sarinya disaring dan dicampur dengan air suling steril sebanyak 500 ml. Tepung agar-agar sebanyak 20 g dilarutkan di dalam air suling dan dicampur dengan extrak daundaun tersebut, ditambah air suling hingga mencapai 1000 ml dan kemudian disterilkan dengan metode tyndalization seperti tersebut di atas. Media-media tersebut ditempatkan di dalam cawan Petri dan diinokulasi dengan T. viride dan EM4, kemudian diinkubasi di dalam incubator selama 5 hari (120 jam). Jumlah sampel seluruhnya adalah (3 media eksrak daun + 1 kontrol) x 2 organisme mikro x 3 ulangan (cawan) = 24 cawan. Untuk menumbuhkan organisme mikro yang ada di dalam larutan EM4, maka digunakan metode cawan gores menurut Hadioetomo (1993), yaitu sedikit larutan EM4 diambil dengan jarum inokulasi dan digoreskan ke permukaan media di dalam cawan Petri yang telah berisi media. Daun-daun yang telah ditimbang berat keringnya disterilkan dengan cara mencelupkan ke dalam larutan chlorox selama 7 menit, dipindahkan ke dalam alkohol 95 % selama 5 menit, dicuci dengan air suling steril selama 3 menit (Purvis dkk., 1964; Eusebio dkk., 1980) dan dimasukkan ke dalam toples kaca steril berukuran diameter 12 cm dan tinggi 20 cm. Setelah itu diinokulasi dengan T. viride dan EM4 yang telah disiapkan sebelumnya. Untuk selanjutnya dilakukan perlakuan sesuai dengan ketentuan. Semua pekerjaan tersebut dilakukan di dalam glove box (inkas/kotak steril). Daun-daun yang telah ditimbang berat keringnya disterilkan dan dicelupkan ke dalam air suling steril yang pHnya berbeda, yaitu 3, 5 dan 7 yang mana pH air diatur dengan larutan KOH untuk menaikkan pH dan asam acetat untuk menurunkan pH. Daun-daun dicelupkan ke dalam larutan masing-masing pH sesuai ketentuan. Larutan pengatur kelembapan udara di dalam toples adalah berupa H2O (air) untuk RH 100 %, H2SO4 19,6 % untuk RH 89,9 % dan H2SO4 27,3 % untuk RH 80,5 % (Stevens, 1916). Larutan-larutan tersebut dimasukkan ke dalam kotak film yang dilubangi tutupnya dan dimasukkan ke dalam toples kaca. Daun-daun yang telah ditimbang berat keringnya disterilkan dan dimasukkan ke dalam toples-toples
Silvianingsih dkk. (2004). Pengaruh Kelembapan Udara dan pH Daun
77
tersebut dan langsung diinokulasi dengan T. viride dan EM4 yang telah disiapkan sebelumnya. Daun yang disiapkan untuk kontrol tidak diinokulasi, melainkan dibiarkan tertular secara alami tetapi diatur pH dan RHnya seperti daun yang diinokulasi. Agar tertular secara alami, daun-daunnya tidak disterilkan, setelah diatur pH dan RHnya langsung dimasukkan ke dalam toples dan diletakkan pada tempat yang sama dengan perlakuan lainnya. Perlakuan diulang 3 kali, sehingga jumlah sampel seluruhnya adalah 3 jenis daun x 3 RH x 3 pH x (2 organisme mikro + 1 kontrol) x 3 ulangan (toples) = 243 toples. Toples-toples tersebut diletakkan di atas meja di laboratorium Perlindungan Hutan selama 3 bulan. Pada akhir penelitian daun-daun itu dikeluarkan dari toples dan dikering-anginkan selama 48 jam, kemudian ditimbang berat keringnya. Data yang diambil untuk mengetahui pertumbuhan T. viride dan EM4 di media buatan diukur secara kuantitatif pada akhir penelitian berdasarkan jumlah konidia (spora) (untuk T. viride ) dan selnya (untuk organisme mikro di dalam larutan EM4). Untuk mengetahui jumlah organisme mikronya dihitung menggunakan haemocytometer “Thoma”. Pengaruh organisme mikro terhadap dekomposisi daun secara alami diukur berdasarkan berat kering daun sebelum perlakuan yaitu pada awal penelitian dan daun kemudian ditimbang lagi pada akhir penelitian. Jenis-jenis organisme mikro yang secara alami hadir dan mendekomposisi daun pada kontrol diidentifikasi jenisnya untuk mengetahui jenis organisme mikro apa saja yang berperan dalam proses dekomposisi daun tersebut. Identifikasi dilakukan dengan cara mengambil organisme mikro yang tumbuh di daun dengan menggunakan cellophane-tape dan diperiksa dengan mikroskop kemudian dibandingkan dengan literatur mengenai bentuk dan warna miselium serta sporanya. T. viride dan EM4 masing-masing diinokulasi pada media buatan sebagai faktor tunggal berupa 3 jenis ekstrak daun yaitu A. mangium,D. beccarii, P. caribaea dan kontrol (agar-agar tanpa ekstrak daun) dengan 3 ulangan, rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal. Bila terdapat perbedaan yang signifikan di antara perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT). Semua analisis statistik dikerjakan dengan menggunakan program SPSS dan Costat. Penelitian pada media alami menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan tiga kali ulangan, yang mana: faktor A adalah organisme mikro dengan 3 level, yaitu: A1= T. viride, A2 = EM4, A3 = kontrol (tanpa perlakuan). Faktor B adalah jenis daun dengan 3 level, yaitu: B1 = daun A. mangium, B2 = daun D. beccarii, B3 = daun P. caribaea. Faktor C adalah kelembapan udara (RH) dengan 3 level, yaitu: C1 = RH 100 %, C2 = RH 89,9 %, C3 = RH 80,5 %. Faktor D adalah konsentrasi ion hidrogen (pH) pada daun dengan 3 level, yaitu: D1 = pH 3, D2 = pH 5, D3 = pH 7. Semua data yang diperoleh ditabulasikan, dihitung jumlah dan rata-ratanya kemudian diuji secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam dalam rancangan acak lengkap faktorial menurut Steel dan Torrie (1993). Bila terdapat perbedaan yang signifikan di antara perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT). Semua analisis statistik dikerjakan dengan menggunakan program SPSS dan Costat.
78
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1) APRIL 2004
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Perkembangan T. viride dan EM4 di Media Buatan Pada Tabel 1 disajikan perkembangan jamur T. viride dan EM4 yang masingmasing didasarkan atas jumlah spora jamur dan sel bakteri di media buatan yang terdiri dari ekstrak daun tiga jenis tanaman kehutanan. Jumlah spora jamur T. viride pada media yang mengandung ekstrak daun D. beccarii adalah paling banyak dengan rataan 32,7 juta/ml, disusul dengan ekstrak daun A. mangium (26,96 juta/ml), P. caribaea (20 juta/ml) dan kontrol (1,6 juta/ml). Dari hasil analisis sidik ragam dan uji LSD, ternyata jumlah spora pada media-media tersebut saling berbeda signifikan. Hasil ini menunjukkan, bahwa media yang paling cocok di antara media-media yang dipakai dalam penelitian ini untuk pembentukan spora T. viride adalah media yang mengandung ekstrak daun D. beccarii. Perbedaan ini berhubungan erat dengan kandungan ekstrak masing-masing jenis daun, yang mana zat-zat yang diperlukan untuk pembentukan spora berbeda-beda konsentrasinya. Menurut Lilly dan Barnett (1951), pembentukan spora pada kebanyakan jenis jamur di media buatan pada umumnya dapat terjadi karena adanya kandungan zat karbon, nitrogen, elemen-elemen mikro dan vitamin-vitamin. Seperti penjelasan terdahulu, bahwa zat-zat tersebut dapat terpenuhi di dalam media ekstrak daun dari hasil fotosintesis. Tabel 1. Jumlah Spora Jamur Trichoderma viride dan Sel Bakteri EM4 pada Media Buatan yang Berumur Lima Hari Trichoderma viride Bakteri EM4 Jumlah spora/ml (x1.000) Jumlah sel/ml (x1.000) A. mangium 1 27.500 3.400 2 25.200 6.800 3 28.200 6.350 Jumlah 80.900 16.550 b a Rataan 26.967 5.517 D. beccarii 1 29.200 12.750 2 30.650 7.200 3 38.250 6.200 Jumlah 98.100 26.150 a a Rataan 32.700 8.717 P. caribaea 1 16.950 5.750 2 23.150 4.150 3 19.900 3.150 Jumlah 60.000 13.050 a Rataan 20.000c 4.350 Tanpa ekstrak 1 2.600 4.700 (Kontrol) 2 1.350 4.500 3 900 3.550 Jumlah 4.850 12.750 d a Rataan 1.617 4.250 Jumlah seluruh 243.850 68.500 Rataan seluruh 20.321 5.709 Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda signifikan pada uji LSD dengan tingkat kepercayaan 95 %. Ekstrak daun
Ulangan
Silvianingsih dkk. (2004). Pengaruh Kelembapan Udara dan pH Daun
79
Pada bakteri yang tergabung dalam EM4, jumlah selnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara semua media yang digunakan. Hal ini berarti pada media tersebut mengandung zat-zat yang dapat dikonsumsi oleh bakteri sehingga masih bisa berkembang biak dengan membelah diri. Namun berhubung medianya juga mengandung zat-zat lain yang dapat menghambat perkembangbiakannya, maka jumlah selnya relatif sedikit. Hasil yang sama terjadi pada media kontrol, yang mana pada media ini walaupun tidak terdapat zat penghambat perkembangan bakteri, namun karena tidak terdapat zat-zat yang dapat memacu perkembangbiakannya, maka jumlah selnya relatif sedikit. Dalam EM4 terkandung berbagai jenis organisme mikro, antara lain Lactobacillus sp., bakteri fotosintetik, Actinomycetes dan ragi. Semuanya diaplikasikan sebagai inokulum untuk meningkatkan keragaman dan populasi organisme mikro di dalam tanah dan tanaman. Secara umum difungsikan untuk merombak bahan organik agar dapat terdekomposisi dengan baik dan lebih cepat. EM4 ternyata lebih mampu beradaptasi dan memanfaatkan nutrisi dari ekstrak D. beccarii walaupun perkembangan populasinya terhambat, diduga EM4 tidak mampu menghidrolisis selulosa dan lignin dari berbagai ekstrak daun. Hal ini juga dapat menjadi dugaan kuat bahwa kadar lignin dan selulosa pada daun P. caribaea lebih tinggi daripada A. mangium dan D. beccarii. Wilding dkk. (1983) menjelaskan, bahwa selulosa dan hemiselulosa dapat dihancurkan oleh organisme mikro dalam tanah selama beberapa bulan, sedang lignin dalam waktu beberapa tahun. Dengan kata lain, semakin sedikit kadar selulosa dan lignin pada ekstrak daun tersebut, maka pertumbuhan organisme mikro semakin baik. Berat Kering Serasah Daun Berat kering serasah daun dari tiga jenis tanaman kehutanan yang telah diinkubasi selama tiga bulan disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan, bahwa jenis daun (B), kelembapan udara RH (C) dan pH daun (D) ada pengaruh yang signifikan, demikian pula pada interaksi antara organisme mikro (A) dan jenis daun (B) serta interaksi empat faktornya yaitu organisme mikro (A), jenis daun (B), kelembapan udara (C) dan pH daun (D). Uji lanjutan dilakukan untuk mengetahui perlakuan-perlakuan mana yang mempengaruhi berat kering daun yang terdekomposisi. Dengan melihat hasil uji LSD satu faktor yaitu jenis daun, ternyata daun D. beccarii adalah yang paling mudah terdekomposisi dengan berat kering paling kecil pada akhir penelitian, yaitu 4,08 g dan berbeda signifikan dengan jenis daun A. mangium (4,7 g) dan daun P. caribaea (4,81 g). Dimungkinkan jenis daun D. beccarii memiliki kandungan unsur penghambat pertumbuhan organisme mikro paling sedikit dibanding jenis daun lainnya, sehingga cepat terdekomposisi. Kenyataan di alam dapat dilihat bahwa serasah daun A. mangium dan P. caribaea di lantai hutan sangat tebal yang membuktikan bahwa proses dekomposisi kedua jenis serasah sangat lambat, sedangkan serasah daun di bawah pohon-pohon D. beccarii sangat sedikit karena cepat terdekomposisi. Keadaan ini sesuai dengan pernyataan Wilding dkk. (1983), bahwa komponen yang sukar dirombak oleh dekomposer adalah lignin, kutin, resin, lilin, tannin dan alkaloid, sedangkan unsur lignin dapat terurai dalam waktu
80
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1) APRIL 2005
beberapa tahun. Lebih lanjut dijelaskan oleh (Enari, 1983), bahwa selama setengah sampai satu tahun kandungan lignin baru terurai sekitar 14,8 %. Menurut Sutedjo dan Mulyani (1991), dalam pelapukan dan perombakan bahan-bahan tanaman (dekomposisi) di bawah kondisi alami, lignin cenderung lebih resisten terhadap dekomposisi dibanding karbohidrat dan protein, misalnya pada jenis cemara pada waktu yang sama, selulosa bisa cepat terdekomposisi, sedangkan lignin masih tersisa 85,55 %. Tabel 2. Berat Kering Daun pada Tiga Bulan setelah Diinokulasi dengan Trichoderma viride dan EM4 serta Kontrolnya Org. mikro T. viride EM4
Ktrl
Daun Am Db Pc Am Db Pc Am Db Pc
RH 100 % pH 3 pH 5 pH 7 b a b 4,52 5,82 4,62 c b a 3,62 4,54 5,87 a a a 4,30 4,95 4,97 a a a 4,83 4,70 4,55 a a a 4,04 4,31 3,86 a a a 4,72 5,07 5,06 a a a 4,82 4,89 4,68 a a a 3,91 4,37 3,79 a a a 4,92 4,81 4,99 4,41 4,83 4,71 a 4,650
RH 89,9 % RH 80,5 % pH 3 pH 5 pH 7 pH 3 pH 5 pH 7 a a a a a a 4,78 4,39 4,46 4,23 4,34 4,96 a a a a a a 4,33 3,73 4,48 4,26 4,33 4,27 a a a a a a 4,66 4,60 4,91 4,66 4,76 4,84 a a a a a a 4,65 4,77 4,78 4,60 4,54 4,68 a a a a a a 3,95 3,73 3,76 3,67 3,37 3,88 a a a a a a 4,40 4,84 4,97 4,65 4,66 4,76 a a a a a a 4,73 4,81 4,80 4,69 4,63 4,62 a a a ab b a 4,14 4,03 3,40 4,12 3,77 4,68 a a a a a a 4,68 5,00 5,00 4,73 4,99 4,95 4,48 4,43 4,51 4,4 4,38 b b 4,473 4,470
Rataan ab
4,68 bc 4,38 a 4,75 a 4,68 c 3,94 a 4,79 a 4,74 bc 4,02 a 4,90 4,63
4,60
a
4,47
a
4,55
a
Rataan a Rataan Am 4,70 b Db 4,08 a Pc 4,81 b pH 3 4,43 ab pH 5 4,55 a pH 7 4,61 Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama untuk masing-masing perlakuan RH dan pH berarti tidak berbeda signifikan pada uji LSD dengan tingkat kepercayaan 95 %. LSD jenis daun, RH dan pH = 0,153. LSD interaksi organisme mikro (A) dengan B = 0,365. LSD interaksi ABCD = 0,795.
Hasil uji LSD terhadap pengaruh kelembapan udara (RH) menunjukkan, bahwa berat kering daun pada RH 89,9 % (4,473 g) tidak berbeda signifikan dengan berat kering pada RH 80,5 % (4,470 g), namun berbeda signifikan dengan berat kering pada RH 100 % (4,650 g). Hal ini berarti daun tanpa pengaruh organisme mikro dan pH juga dapat mengalami dekomposisi secara fisik. Pada daun yang lebih kering diduga sel-selnya lebih cepat lapuk/rusak dibandingkan dengan yang lebih lembap. Hasil uji LSD terhadap pengaruh pH daun menunjukkan, bahwa berat kering daun pada pH 3 (4,43 g) dan pH 5 (4,55 g) tidak berbeda signifikan, sedangkan beratnya pada pH 5 (4,55 g) tidak berbeda signifikan dengan berat pada pH 7 (4,61 g), tetapi pH 3 (4,43 g) berbeda signifikan dengan pH 7. Keadaan ini menunjukkan, bahwa daun-daun dengan pH asam lebih mudah terdekomposisi. Menurut Anas (1992), bahwa salah satu parameter yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi adalah pH serasah.
Silvianingsih dkk. (2005). Pengaruh Kelembapan Udara dan pH Daun
81
Hasil uji LSD terhadap pengaruh organisme mikro (A) dan jenis daun (B) menunjukkan, bahwa interaksi antara EM4 dengan daun D. beccarii menghasilkan berat kering daun terkecil (3,94 g). Hal ini diduga karena EM4 merupakan kultur campuran dari berbagai jenis organisme mikro yang menguntungkan dan dikombinasikan khusus untuk mempercepat dekomposisi secara alami. Tetapi EM4 dalam mendekomposisi daun A. mangium dan P. caribaea hasilnya tidak berbeda signifikan, yaitu masing-masing 4,68 g dan 4,79 g. Hal ini menunjukkan, bahwa kandungan zat penghambat pertumbuhan organisme mikro pada kedua jenis daun adalah kurang lebih sama konsentrasi atau bahannya, sehingga memakan waktu lebih lama untuk terdekomposisi dibandingkan dengan daun D. beccarii. Menurut Anonim (1996), Wididana (1999a, 1999b, 1999c), EM4 adalah suatu kultur campuran berbagai organisme mikro yang bermanfaat (terutama bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat, Actinomycetes dan jamur ragi) yang digunakan sebagai inokulum untuk menambah keragaman mikroba tanah sehingga mempercepat terjadinya dekomposisi. Sesuai dengan pernyataan Kurg dkk. (1978) dalam Achmad (1992), bahwa umumnya penguraian selulosa dan lignin secara biotik di alam dilakukan oleh organisme mikro selulotik yang meliputi jenis-jenis tertentu dari jamur, bakteri aerob serta Actinomycetes. Interaksi antara T. viride dengan daun P. caribaea yang dikondisikan sama tidak menunjukkan adanya perbedaan pengaruh antar perlakuan. Interaksi antara T. viride dengan jenis daun D. beccarii pada pH daun 3 (3,62 g) berbeda signifikan dengan jenis daun D. beccarii yang dikondisikan pada pH 5 (4,54 g) maupun dengan pH 7 (5,87 g). Keadaan ini menunjukkan, bahwa T. viride lebih aktif dalam mendekomposisi daun D. beccarii pada kondisi yang sangat lembap dengan pH yang sangat asam, namun pada pH yang basa pun proses dekomposisi tetap berlangsung dengan baik, tetapi lebih lambat daripada bila daun dalam kondisi asam. Sesuai dengan pendapat Siu (1951), Sutedjo dan Muliani (1991), bahwa secara umum pada pH sedikit basa (pH 78) pertumbuhan bakteri dan Actinomycetes perombak selulosa sangat baik, sementara pada kondisi asam di antara selang 2,55,7 dengan pH optimal 4,3 membuat jamur lignoselulotik mampu melakukan perkembangan jauh lebih baik. Menurut Agrawal (1971), bahwa pada tingkat keasaman yang tinggi, jamur merupakan satu-satunya penghancur selulosa, di antaranya adalah T. viride dan Penicillium. Penelitian yang dilakukan Mulianingsih (1995) menghasilkan, bahwa serasah daun A. mangium yang diinokulasi T. viride terjadi dekomposisi yang efektif disebabkan oleh ciri morfologis daun dan kandungan selulosa serta ligninnya. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa daun yang lebih banyak mengandung selulosa lebih mudah dirombak menjadi substrat yang sederhana dibanding lignin. Menurut Alexander (1977), bahwa T. viride merupakan salah satu cendawan lignoselulotik yang sangat kuat dalam mendegradasi selulosa dan lignin, karena menghasilkan enzim selulase yang dapat merombak kristal selulosa secara efisien. Jadi membuat media yang sesuai kondisinya sangatlah penting untuk memaksimalkan aktivitas organisme. Hasil uji LSD terhadap berat kering daun dari interaksi antara EM4 dengan beberapa jenis daun (B), kelembapan udara (C) dan pH daun (D) menunjukkan tidak ada pengaruh antar perlakuan. Hal ini berarti EM4 pada RH 100, 89,9 dan 80,5 % dengan pH daun 3, 5 dan 7 mempunyai kemampuan yang sama dalam mendekomposisi daun yang juga berarti EM4 lebih baik aktivitasnya bila ketiga faktor tersebut diberikan secara bersamaan daripada sendiri-sendiri.
82
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1) APRIL 2005
Hasil uji LSD terhadap berat kering daun pada interaksi antara kontrol (tanpa inokulasi) dengan jenis daun (B), kelembapan udara (C) dan pH daun (D) menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan, yaitu bila interaksi terjadi dalam keadaan RH 80,5% dengan pH 3, 5, dan 7, yang menghasilkan berat kering daun paling kecil. Berat kering daun A. mangium dan P. caribaea tidak berbeda signifikan, namun interaksi antara daun D. beccarii dengan organisme mikro, RH dan pH ada pengaruh yang signifikan. Pada daun D. beccarii (kontrol) juga terjadi proses dekomposisi yang menunjukkan perubahan berat kering daun yang signifikan. Berat kering daun pada pH 3 dengan RH 80,5 % adalah (4,12 g), tidak berbeda signifikan dengan pH 5 dengan RH 80,5 % yaitu (3,77 g), namun keduanya berbeda signifikan dengan berat kering daun tersebut pada pH 7 dengan RH yang sama (4,68 g). Berarti organisme mikro yang hadir secara alami juga menyukai pH asam dengan kelembapan di bawah 89,9 %. Karena pada daun-daun kontrol yang tampak banyak adalah populasi binatang mikro, diduga dekomposisi daun pada kontrol ini sebagian besar dilakukan oleh binatang mikro. Binatang mikro ini terlihat efektif pada kelembapan udara pada 80,5 %. Menurut Nayar dkk. (1976), serangga dan berbagai jenis binatang mikro memiliki batas kekeringan atau kebasahan yang diinginkan, jadi masing-masing jenis tidaklah sama, kadar air yang diperlukan bervariasi antara 5090 % dari berat tubuhnya untuk pertumbuhan dan metabolisme. Berarti jenis binatang mikro ini cocok pada kelembapan udara 80,5 % dengan pH asam, bila pada kondisi lebih dari itu (semakin lembap dan semakin basa) justru tidak efektif dalam mendekomposisi daun. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Spora jamur T. viride yang terbanyak terdapat pada ekstrak daun D. beccarii dibandingkan dengan ekstrak jenis daun A. mangium dan P. caribaea. Jadi jenis daun D. beccarii adalah media yang paling sesuai untuk pertumbuhan T. viride. Media ekstrak dari daun yang digunakan dalam penelitian ini sesuai untuk pertumbuhan bakteri dari larutan EM4. Pertumbuhan jamur T. viride paling baik pada daun D. beccarii yang kelembapan udaranya 100 % dengan pH daun 3, jadi kondisi seperti ini adalah yang paling baik untuk proses dekomposisi daun jenis D. beccarii. EM4 mampu mendekomposisi ketiga jenis daun dengan hasil yang sama baiknya pada kondisi kelembapan udara dan pH daun 3, 5 dan 7. Daun D. beccarii yang tidak diinokulasi (kontrol) pada kelembapan udara 80,5 % dengan pH 3, 5 dan 7 akan cepat pula terdekomposisi. Media terbaik untuk perkembangan organisme mikro baik T. viride, EM4 maupun yang hadir secara alami (pada perlakuan kontrol) adalah daun jenis D. beccarii. T. viride, EM4 dan perlakuan kontrol sama efektivitasnya dalam mendekomposisi daun bila diberikan secara terpisah tanpa memperhatikan kelembapan udara dan pH daun, tetapi bilaorganisme mikro tersebut dikondisikan
Silvianingsih dkk. (2005). Pengaruh Kelembapan Udara dan pH Daun
83
pada kelembapan udara dan pH daun yang sesuai, maka organisme yang paling cepat dalam mendekomposisi daun adalah T. viride. Saran Disarankan untuk menggunakan jamur T. viride dalam proses dekomposisi serasah seperti pembuatan kompos. Dalam hal ini faktor yang harus diperhatikan adalah kelembapan udara, yaitu dengan sering melakukan penyitraman agar terjaga kelembapan yang tinggi dan diusahakan agar pH serasah dalam kondisi asam. Penggunan T. viride sangat efektif terutama untuk pengomposan jenis-jenis daun lebar, khususnya daun D. beccarii. DAFTAR PUSTAKA Achmad. 1992. Cendawan Sellulotik. Makalah pada Kursus Singkat Pemanfaatan Limbah Lignosellulotik untuk Media Semai Tanaman Kehutanan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, Bogor. 15 h. Agrawal, S.C. 1971. The Cellulotic Capacity of Some Forest Litter Fungi Phyton, Argentina. Forestry Abstracts 28(2): 169175. Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. John Wiley and Sons Inc., New York. 467 h. Al-Hamdany, M.A. 1988. Efficiency of Isolates of Trichoderma spp. to Suppress Rhizoctonia solani in Sesame. Journal of Agriculture and Water Resources Research 7(2): 107113. Anas, I. 1992. Mekanisme Pengomposan dan Kaitannya dengan Penyediaan Unsur Hara. Kursus Singkat Pemanfaatan Limbah Lignosellulolitik untuk Media Semai Tanaman Kehutanan. Pusat Antar Universitas IPB, Bogor. 18 h. Anonim. 1996. Pedoman Penggunaan EM4 Bagi Negara-Negara Asia Pasific Nature Agriculture Network (APNAN). Buku Pintar P4K Seri 35, Departemen Pertanian, Jakarta. 32 h. Enari, T.M. 1983. Mikrobial Cellulase. Dalam: Mikrobial Enzymes and Biotechnology (W.M. Fogarty, ed.) h 183223. Appl. Sci. Publisher, New York. Eusebio, M.A., F.P. Ilagan dan M.J. Quimio Jr. 1980. Infection Trend and Control of Canker of Molluccan Sau (Albizia falcataria (L.) Back.) in Bislig, Surigao del Sur. Sylvatrop Philipp. For. Res. J. 5(2): 9922. Hadioetomo, R.S. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT. Gramedia, Jakarta. 163 h. Jannsson, P.E. dan B. Berg. 1985. Temporal Variation of Litter Decomposition in Relation to Stimulated Soil Climate. Long-term Decomposition in a Scots Pine Forest. Can. J. Bot. 63: 10081016. Lilly, V.G. and H.L. Barnett. 1951. Physiology of the Fungi. McGraw-Hill Book Company, Inc., New York. 464 h. Mulianingsih, T. 1995. Studi Pengaruh Inokulasi Trichoderma viride dan Trichoderma resei pada Laju Dekomposisi Serasah Acacia mangium Willd. Skripsi Sarjana Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 99 h. Nayar, K.K., T.N.A. Risnan dan B.V. David. 1976. General and Applied Entomology. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi. 589 h. Nishio, M. 1998. Utilization of Effective Microorganisms for Agriculture and Their Industrial Potential. Farming Japan 32 (4): 1114.
84
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1) APRIL 2005
Parinkina, O.M. dan T.K.H. Piin. 1989. Decomposition of Soil - Growing Fructicose Lichens in Boreal Zone Condition. Soviet Journal of Ecology 20(3): 154160. Purvis, R.M.S.M.J.; D.C. Collier dan A.I.S.T.D. Walls. 1964. Laboratory Techniques in Botany. Butterworths & Co. Ltd., London. 371 h. Ruhiyat, 1989. Die Entwicklung der Standortlichen Nährstoffvorräte bei Naturnaher Waldbewirtschaftung und in Plantagenbetrieb, Ostkalimantan. Göttinger Baeträge zur Land und Forstwirtschaft in den Tropen und Subtropen. Heft 35. Verlag Erich Goltze GmbH & Co. KG-3400 Göttingen, Germany. 206 h. Ruhiyat, D. 1999. Potensi Tanah di Kalimantan Timur, Karakteristik dan Strategi Pendayagunaannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu Tanah Hutan pada Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda. 46 h. Simarangkir, B.D.A.S. 1997. Silvikultur Hutan Tanaman Tropis dan Pedoman Teknis Pengelolaannya. Bahan Kuliah Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda. 130 h. Siu, R.G.H. 1951. Microbial Decomposition of Cellulose. Reinhold Publising Corporation, New York. 531 h. Steel R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 735 h. Stevens, N.E. 1916. A Method for Studying the Humidity Relations of Fungi in Culture. Phytopathology 6: 428432. Suriawiria, U. 1993. Pengantar untuk Mengenal dan Menanam Jamur. Penerbit Angkasa, Bandung. 210 h. Sutedjo dan M. Mulyani. 1991. Mikrobiologi Tanah. PT Rineka Cipta, Jakarta. 446 h. Wididana, G.N. 1999a. Pembangunan Pertanian Berwawasan Lingkungan dengan Teknologi EM (Effective Microorganisms). Makalah Seminar Sehari Prospek Pemanfaatan Teknologi EM dalam Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Kalimantan Timur, Samarinda. 11 h. Wididana, G.N. 1999b. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dengan Teknologi EM (Effective Microorganisms). Wawancara dengan Institut Pengembangan Sumberdaya Alam, Denpasar. 23 h. Wididana, G.N. 1999c. Gema Teknologi EM. Edisi ketiga. Yayasan Institut Pengembangan Sumberdaya Alam, Denpasar. 31 h. Wilding, L.P., N.E. Smeck and G.F. Hall. 1983. Pedogenesis and Soil Taxonomy. II. The Soil Orders. Development in Soil Sciences 11 B. Elsevier, New York. Yamani, A. 1997. Studi tentang Produksi dan Kandungan Hara Serasah pada Tegakan Hutan Alam dan Hutan Tanaman di Areal HPH PT Kiani Lestari Batu Ampar, Kalimantan Timur. Tesis Magister Program Studi Ilmu Kehutanan Unmul, Samarinda. 143 h.