SUKSESI FUNGI DAN DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Acacia mangium Willd. DALAM KAITAN DENGAN KEBERADAAN Ganoderma DAN Trichoderma DI LANTAI HUTAN AKASIA
SAMINGAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
iii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Suksesi Fungi dan Dekomposisi Serasah Daun Acacia mangium Willd. dalam Kaitan dengan Keberadaan Ganoderma dan Trichoderma di Lantai Hutan Akasia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 3 Juli 2009
Samingan NRP G31050011
iv
ABSTRACT SAMINGAN. Fungal Succession and Decomposition of Acacia mangium willd. Leaf Litters in Relation to Existence of Ganoderma and Trichoderma on Acacia’s Standing Floors, Under Direction of LISDAR I. SUDIRMAN, DEDE SETIADI, ALEX HARTANA and BUDI TJAHJONO Fungi are an important role in litter decomposition process, because majority of them capable to decompose lignocelluloses of litters. A study of decomposition of Acacia mangium leaf litters by fungi was carried out in HTI Sector Baserah RAPP Riau. Fungal succession and litter decomposition rate in two years’ old of health standing (2S) and Ganoderma attacked standing (2G) were observed for eight months (March to November 2007) using litterbag method. The results showed that after eight months of decomposition, litter weight losses (WL) were low up to 34.61% (k = 0.7 year-1) in 2S and 30.64% (k = 0.51 year-1) in 2G, as well as lignin WL were low up to 20.05% in 2S and 13.87% in 2G and cellulose WL were 16.34% in 2S and 14.71% in 2G. In both standings, the numbers of fungal species were 21 and 20 respectively, while the totals of fungal species were low on March and April dominated by Penicillium, and tends to increase on May to July dominated by Penicillium and Aspergillus, then decrease again on August to November dominated by Trichoderma, Phialophora, and Pythium. The highest diversity indices were found on July in 2S and on November in 2G, while the lowest evenness indices were found on October in 2S and on April in 2G. Fungal communities in three litter layers of two and five years’ old standings (2S, 2G, 5S, 5G) and harvested area (BT) were observed. The results showed that the highest fungal populations were found in 5G followed by 5S, 2S, 2G and BT respectively. Fungal populations were high at L layer in all standings except in BT at F layer due to their height organic contents. The distributions of Trichoderma sp (TBPH isolate) in litter layers of 2S and 2G standings were observed during eight months. The results showed that populations of Trichoderma were fluctuating and the highest population at F layer in both standings followed by H and L layers. Antagonistic ability of Trichoderma sp TBPH against Ganoderma sp (GBR isolate) were tested using PDA and PDA with litter powder (PDAS). This test showed that inhibition percentage of PDAS was lower than those of PDA. The abilities of Ganoderma sp GBR and Trichoderma sp TBPH to decompose 100 g of leaf litters in polybag during six months were observed. The results showed that WL of litters, lignin and cellulose by Ganoderma were low. WL of L and F litters were 3.99% and 4.57% respectively, while WL of L and F lignin were 8.17% and 7.11% respectively, and WL of L and F cellulose were 3.63% and F 2.59% respectively. WL of L and F litters by Trichoderma were 3.20% and 3.20% respectively, while WL of L and F lignin were 3.83% and 3.85% respectively, and WL of L and F cellulose were 2.43% and 3.17% respectively. In addition the growth of Ganoderma was better at PDAS than PDA, therefore L litter layer was suitable for growing Ganoderma. Key words: decomposition, leaf litter, Acacia mangium, fungi, Ganoderma, Trichoderma, succession
v
RINGKASAN SAMINGAN. Suksesi Fungi dan Dekomposisi Serasah Daun Acacia mangium Willd. dalam Kaitan dengan Keberadaan Ganoderma dan Trichoderma di Lantai Hutan Akasia, Dibimbing oleh LISDAR I. SUDIRMAN, DEDE SETIADI, ALEX HARTANA DAN BUDI TJAHJONO Fungi berperan penting dalam proses dekomposisi serasah di lantai hutan, karena sebagian besar fungi dapat mendekomposisi senyawa lignoselulosa. Studi dekomposisi serasah daun Acacia mangium oleh fungi telah dilakukan di HTI Sektor Baserah RAPP Riau, bertujuan untuk mengetahui (1) laju dekomposisi serasah A. mangium dan suksesi fungi selama proses dekomposisi pada tegakan dua tahun sehat (2S) dan terserang Ganoderma (2G). (2) komunitas fungi (termasuk Trichoderma dan Ganoderma) yang tumbuh pada tiga lapisan serasah (L, F dan H) pada umur tegakan dua dan lima tahun baik sehat (2S dan 5S) maupun terserang Ganoderma (2G dan 5G) serta pada areal bekas tebangan (BT), dan juga untuk mengetahui keterkaitan kandungan bahan organik serasah dengan populasi fungi, (3) penyebaran Trichoderma sp (isolate TBPH) pada tiga lapisan serasah A. mangium, (4) Kemampuan penghambatannya Trichoderma (isolate TBPH) terhadap Ganoderma sp (isolate GBR) dalam media serasah, dan (5) Kemampuan Ganoderma sp (isolate GBR) dan Trichoderma sp (isolate TBPH) dalam mendekomposisi serasah A. mangium. Laju dekomposisi diamati dengan cara mendekomposisikan serasah A. mangium di bawah tegakan 2S dan 2G selama delapan bulan (Maret sampai November 2007) dengan metode kantong serasah. Selama dekomposisi diukur berat sisa serasah, kandungan lignin, selulosa, N dan C organiknya, selain itu suksesi funginya juga diamati. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa proses dekomposisi serasah daun A. mangium berlangsung lambat, setelah delapan bulan dekomposisi pada 2S terjadi kehilangan berat sebesar 34.61% (laju dekomposisi 0.7 pertahun) dan pada 2G 30.64% (laju dekomposisi 0.51 pertahun). Persentase berat lignin yang hilang pada 2S yaitu 20.05% dan pada 2G 13.87%, sedangkan persentase berat selulosa yang hilang pada 2S yaitu 16.34% dan pada 2G 14.71%. Pengamatan terhadap kandungan N dan C organik selama proses dekomposisi menunjukkan bahwa N cenderung naik dan C organiknya cenderung menurun. Selama delapan bulan dekomposisi serasah di bawah tegakan 2S jumlah spesies fungi yang ditemukan adalah 21 dan pada 2G adalah 20 spesies. Jumlah spesies rendah pada periode pertama (Maret dan April) dan cenderung meningkat pada bulan Mei hingga Juli (periode kedua), kemudian menurun kembali pada Agustus hingga November (periode ketiga). Pada periode pertama sampai ke dua dekomposisi, fungi yang tumbuh didominasi oleh Penicillium dan Aspergillus sedangkan pada periode ketiga didominasi oleh Trichoderma, Phialophora dan Pythium. Pada 2S populasi tertinggi ditemukan pada bulan Maret yang didominasi oleh Penicillium minioluteum dengan frekwensi relatifnya (FR) adalah 11.76%, sedangkan pada 2G pada bulan Maret dan April yang didominasi oleh Aspergillus flavus (FR 10.64%) dan Aspergillus sp5 (FR 6.39%). Indeks keanekaragaman fungi tertinggi diperoleh pada bulan Juli (H’= 1.79) pada 2S dan bulan November (H’= 1.55) pada 2G, sedangkan indeks kemerataan spesies fungi yang terendah
vi
diperoleh pada bulan Oktober (E= 0.501) pada 2S dan bulan April (E= 0.560) pada 2G. Komunitas fungi diamati dengan cara mengisolasi fungi pada lapisan serasah L, F dan H dari tegakan 2S, 2G, 5S, 5G dan BT dengan metode pengenceran, sedangkan bahan organik serasah dianalisis dengan analisis proksimat. Hasil pengamatan terhadap populasi fungi yang terdapat pada tiga lapisan serasah menunjukkan adanya perbedaan antara tegakan dua dan lima tahun serta bekas tebangan (BT). Rata-rata populasi fungi tertinggi terdapat pada serasah dari tegakan umur lima tahun diikuti tegakan umur dua tahun dan BT. Jika dihubungkan dengan lapisan serasahnya maka semua populasi tertinggi ditemukan pada lapisan L kecuali untuk BT yaitu pada lapisan F dan fungi yang mendominasi lapisan L adalah Aspergillus, Fusarium dan Pythium, sedangkan pada lapisan F di BT didominasi oleh Sp 22. Tingginya populasi fungi pada serasah lapisan L tegakan dua dan lima tahun berkaitan dengan kandungan bahan organik yang dikandungnya, yaitu kandungan serat kasar dan karbohidrat-nya lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan F maupun H. Jumlah spesies fungi yang ditemukan di setiap lapisan serasah pada semua tegakan yang diamati jumlahnya hampir sama dengan kisaran 8 sampai 11 spesies. Indeks keanekaragaman fungi tertinggi diperoleh di lapisan L pada 2S (H’= 2.16), 5S (H’= 2.13) dan 5G (H’= 2.16), di lapisan H pada 2G (H’= 2,15) dan BT (H’= 2.07), sedangkan indeks kemerataan spesies fungi yang terendah diperoleh di lapisan L pada 2G (E= 0.86), di lapisan F pada 2S (E= 0.78), 5S (E= 0.84), dan BT (E= 0.66), di lapisan H pada 5G (E= 0.74). Penyebaran Trichoderma sp. TBPH pada lapisan serasah di 2S dan 2G diamati dengan cara menaburkan inokulum Trichoderma pada lapisan F lalu diamati penyebarannya pada lapisan L, F dan H selama delapan bulan. Kemampuan antagonistik Trichoderma sp. TBPH terhadap Ganoderma sp GBR diuji pada media PDA, PDA yang mengandung serbuk serasah akasia lapisan L (PDAS) dan diuji juga pada media serasah akasia (di dalam kantong plastik). Hasil pengamatan terhadap penyebaran Trichoderma di lapisan serasah menunjukkan bahwa Trichoderma mampu tumbuh dengan baik pada serasah tegakan 2S maupun 2G. Populasi Trichoderma terlihat fluktuatif selama delapan bulan pengamatan dan total populasi yang tinggi selalu terdapat pada lapisan F diikuti oleh lapisan H dan L pada kedua tegakan yang diamati. Hasil pengujian antagonistik Trichoderma terhadap Ganoderma pada media PDA dan PDAS setelah tiga hari pengamatan tidak menunjukkan perbedaan persentase hambatan pada kedua media tersebut (P = 0.13) yaitu masing-masing 29.71% dan 23.73%, tetapi berbeda secara signifikan pada pengamatan tujuh hari setelah inokulasi (P = 0.03) yaitu masing-masing 74.42% dan 64.94%. Hasil pengamatan penghambatan pertumbuhan koloni Ganoderma oleh Trichoderma pada media serasah secara visual terlihat bahwa dua bulan setelah inokulasi, koloni Ganoderma masih tersisa + 50% dan setelah lima bulan masih tersisa + 10% dari luas permukaan media serasah yang terdapat dalam kantong plastik. Kemampuan Ganoderma sp GBR dan Trichoderma sp TBPH dalam mendekomposisi serasah akasia dilakukan dengan menginokulasikan masingmasing fungi tersebut ke dalam media serasah dari lapisan L dan F (masingmasing media sebanyak 100 g serasah yang dimasukkan ke dalam kantong plastik). Selama enam bulan pengujian proses dekomposisi serasah sebanyak 100
vii
g di dalam kantong plastik, menunjukkan bahwa Ganoderma dan Trichoderma mampu tumbuh pada serasah A. mangium dan menyebabkan kehilangan berat serasah, kandungan lignin dan selulosa. Persentase berat serasah L yang hilang didekomposisi oleh Ganoderma sebesar 3.99% dan serasah F 4.57%, sedangkan persentase berat lignin yang hilang dari serasah L 8.17% dan serasah F 7.11%, persentase berat selulosa yang hilang dari serasah L 3.63% dan serasah F 2.59%. Persentase berat serasah L yang hilang didekomposisi oleh Trichoderma hanya sebesar 3.20% dan serasah F 3.10%, sedangkan persentase berat lignin yang hilang dari serasah L 3.83% dan serasah lapisan F 3.85%, persentase berat selulosa yang hilang dari serasah L 2.43% dan serasah lapisan F 3.17%. Pengujian lama kolonisasi Ganoderma sp GBR pada 100 gram substrat dilakukan pada media serasah dari lapisan L, F dan serbuk gergajian kayu sengon. Selain itu juga dilakukan pengujian pertumbuhan koloni Ganoderma pada media PDA dan PDAS. Hasil pengujian lama kolonisasi Ganoderma sp GBR pada media serasah lapisan L, F dan serbuk gergajian kayu sengon menunjukkan bahwa Ganoderma dapat tumbuh lebih cepat mengkolonisasi seluruh media serasah daun A mangium lapisan L diikuti F dan serbuk gergajian kayu sengon masing-masing 13.45 hari, 15 hari dan 15.5 hari. Hasil pengujian pertumbuhan koloni Ganoderma di dalam media PDA dan PDAS terlihat bahwa setelah tujuh hari inokulasi diameter koloni pada masing-masing media mencapai 4.55 cm dan 8.70 cm. Dengan demikian serasah lapisan L merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan koloni Ganoderma. Kata-kata kunci: dekomposisi, serasah daun, Acacia mangium, fungi, Ganoderma Trichoderma, suksesi
viii
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ix
SUKSESI FUNGI DAN DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Acacia mangium Willd. DALAM KAITAN DENGAN KEBERADAAN Ganoderma DAN Trichoderma DI LANTAI HUTAN AKASIA
SAMINGAN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
x
Judul Disertasi
: Suksesi Fungi dan Dekomposisi Serasah Daun Acacia mangium Willd. dalam Kaitan dengan Keberadaan Ganoderma dan Trichoderma di Lantai Hutan Akasia
Nama Mahasiswa : Samingan NRP : G361050011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Lisdar I. Sudirman Ketua
Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. Anggota
Prof. Dr. Ir. Alex Hartana Anggota
Dr. Ir. Budi Tjahjono, M.Agr. Anggota Mengetahui
Ketua Program Studi Biologi
Dr. Ir. Dedy Duryadi S., DEA
Tanggal Ujian: 13 Juli 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus:
xi
PRAKATA Segala puji dan syukur hanya penulis panjatkan kehadirat Allah Swt Tuhan semesta alam yang maha pemurah dan maha penyayang, atas karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw beserta segenap keluarga dan para sahabatnya. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret hingga November 2007 ini ialah Suksesi Fungi dan Dekomposisi Serasah Daun Acacia mangium Willd. dalam Kaitan dengan Keberadaan Ganoderma dan Trichoderma di Lantai Hutan Akasia. Aspekaspek yang diteliti meliputi suksesi fungi dan dekomposisi serasah daun A. mangium, komunitas fungi pada lapisan serasah A. mangium, penyebaran Trichoderma pada lapisan serasah A. mangium, kemampuan Ganoderma dan Trichoderma dalam mendekomposisi serasah A. mangium Selama menjalani studi, penelitian dan penulisan disertasi ini, penulis mendapat banyak bantuan, bimbingan dan saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada yang terhormat Dr. Lisdar I. Sudirman, Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S., Prof. Dr. Ir. Alex Hartana, dan Dr. Ir. Budi Tjahjono, M.Agr selaku Komisi Pembimbing. Rektor Universitas Syiah Kuala, Dekan FKIP dan Ketua Jurusan Pendidikan Biologi FKIP Universitas Syiah Kuala yang telah memberi izin dan dukungan selama menjalani studi di IPB. Pimpinan IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor, Pimpinan dan Staf Pengajar Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Direktur R&D dan Staf PT Riau Andalan Pulp and Paper di Riau yang memberi izin dan membantu penelitian di lapangan. Penelitian ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dana, oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada Dirjen Dikti Depdiknas yang telah memberikan beasiswa BPPS, Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Dirjen Dikti Depdiknas yang membiayai penelitian ini melalui hibah Penelitian Fundamental. Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam melalui Beasiswa Bantuan NAD. Yayasan Damandiri yang telah memberikan dana untuk penulisan disertasi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan dan staf Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi PSSHB IPB Bogor dan Laboratorium Balai Penelitian Ternak Departemen Pertanian Ciawi Bogor. Kepada Pak Iwa Sutiwa, Endang Rusmalia, dan Rahmat yang membantu kegiatan di Laboratorium, juga kepada Rianza Asfa, S.P. yang membantu pengambilan sampel di lapangan. Kepada teman-teman dari Forum Keluarga Unsyiah di Bogor dan Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Aceh yang selalu memberi dukungan moril dan spirituil. Terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya disampaikan kepada Ayah dan Ibunda tercinta H. Mahadi dan Poniyem, Ayah dan Ibu mertua H. Marlan, SH dan Hj. Edwina yang selalu mendukung dan mendo’akan keberhasilan saya. Kepada Almarhum Ayahanda Sali, semoga kasih sayang Allah selalu menyiramimu. Kepada Istri tercinta Marlianita, SH dan buah hati kami Fatima Zahra dan Afifah Rahmah, serta adik-adikku semua yang selalu sabar dan penuh kasih sayang mendo’akan dan memberi inspirasi sehingga selesainya studi saya. Mudah-mudahan Allah membalas dengan kebaikan atas semua bantuan dan do’a dari semuanya. Amin.....
xii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Suka Damai Kabupaten Bener Meriah Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 1 Desember 1964 dari Ibu Poniyem dan Ayah H. Mahadi. Penulis anak pertama dari enam bersaudara. Pada tanggal 9 Maret 1991 penulis menikah dengan Marlianita, SH. dan saat ini telah dikaruniai dua orang anak yaitu Fatima Zahra (Rara, 17 tahun) dan Afifah Rahmah (Ifah, 9 tahun). Pada tahun 1977 penulis lulus Pendidikan Dasar di MIN Sukadamai, tahun 1981 lulus Pendidikan Menengah Pertama di MTsN Lampahan dan pada tahun 1984 lulus Pendidikan Menengah Atas di SMA PGRI I Bireuen. Pada tahun 1989 penulis menyelesaikan S1 pada Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan pada tahun 1998 penulis menyelesaikan S2 di Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada tahun 2005 penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi S3 di Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana IPB Bogor dengan biaya pendidikan dari BPPS Dirjen Dikti Depdiknas. Penulis bekerja sebagai dosen pada Jurusan Pendidikan Biologi FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh sejak tahun 1990 sampai sekarang. Sebuah artikel berjudul Komunitas fungi pada lapisan serasah Acacia mangium sudah diterbitkan dalam jurnal ilmiah terakreditasi yaitu Jurnal Agrista Faperta Unsyiah Volume 12 Nomor 2, Agustus 2008. Artikel lain berjudul Fungal succession and decomposition of Acacia mangium leaf litters in health and Ganoderma attacked standings sedang dalam proses penerbitan pada Hayati Journal of Biosciences. Dua artikel lagi sedang disusun untuk dipublikasikan. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi program S3 penulis.
Bogor, 3 Juli 2009
xiii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI....................................................................................................... iiiii DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiiv DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 Latar Belakang .................................................................................................. 1 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 3 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 3 Alur Pemikiran dan Landasan Penelitian.......................................................... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 6 Biologi dan Potensi Acacia mangium .............................................................. 6 Serasah Acacia mangium .................................................................................. 7 Dekomposisi serasah oleh Fungi..................................................................... 10 Biodegradasi Selulosa ............................................................................... 11 Biodegradasi Hemiselulosa....................................................................... 12 Biodegradasi Lignin .................................................................................. 13 Ganoderma...................................................................................................... 15 Gejala penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Ganoderma ..................... 17 Trichoderma sebagai agen biokontrol penyakit busuk akar ........................... 19 III. SUKSESI FUNGI DAN DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Acacia mangium ......................................................................................................... 21 Abstract ........................................................................................................... 21 Pendahuluan .................................................................................................... 21 Bahan dan Metode .......................................................................................... 23 Pengambilan serasah dan uji dekomposisi................................................ 23 Analisis serasah setelah dekomposisi ....................................................... 24 Isolasi fungi yang berperan dalam dekomposisi serasah .......................... 27 Analisis Data ............................................................................................. 28 Hasil dan Pembahasan .................................................................................... 29 Laju dekomposisi serasah ......................................................................... 29 Populasi fungi ........................................................................................... 33 Simpulan ......................................................................................................... 37 IV. KOMUNITAS FUNGI PADA LAPISAN SERASAH Acacia mangium ......................................................................................................................... 38 Abstract ........................................................................................................... 38 Pendahuluan .................................................................................................... 38 Bahan dan Metode .......................................................................................... 40 Waktu dan tempat penelitian..................................................................... 40 Pengambilan sampel serasah..................................................................... 40 Isolasi fungi............................................................................................... 41 Analisis bahan organik serasah ................................................................. 42 Analisis data .............................................................................................. 42 Hasil dan Pembahasan .................................................................................... 43 Simpulan ......................................................................................................... 49
xiv
V. PENYEBARAN Trichoderma (ISOLAT TBPH) PADA LAPISAN SERASAH DAUN Acacia mangium DAN KEMAMPUANNYA MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Ganoderma (ISOLAT GBR) ........ 50 Abstract ........................................................................................................... 50 Pendahuluan .................................................................................................... 50 Bahan dan Metode .......................................................................................... 52 Persiapan inokulum Trichoderma sp. TBPH ............................................ 52 Pengujian penyebaran Trichoderma sp TBPH pada lapisan serasah ........ 52 Penentuan populasi Trichoderma sp TBPH.............................................. 53 Penumbuhan Trichoderma sp. TBPH pada media serasah secara in vitro 54 Pengujian antagonistik Trichoderma sp. TBPH terhadap Ganoderma sp. GBR .......................................................................................................... 54 Pengujian antagonistik Trichoderma sp TBPH terhadap Ganoderma sp GBR pada media serasah .......................................................................... 55 Hasil dan Pembahasan .................................................................................... 56 Penyebaran Trichoderma spTBPH pada lapisan serasah.......................... 56 Kemampuan antagonistik Trichoderma sp. TBPH terhadap Ganoderma sp. GBR .......................................................................................................... 60 Simpulan ......................................................................................................... 63 VI. KEMAMPUAN Ganoderma sp. GBR DAN Trichoderma sp. TBPH DALAM MENDEKOMPOSISI SERASAH Acacia mangium...... 64 Abstract ........................................................................................................... 64 Pendahuluan .................................................................................................... 64 Bahan dan Metode .......................................................................................... 65 Persiapan bibit biakan Ganoderma sp. GBR dan Trichoderma sp. TBPH65 Uji kemampuan Ganoderma sp. GBR dan Trichoderma sp. TBPH dalam mendekomposisi serasah........................................................................... 66 Hasil dan Pembahasan .................................................................................... 67 Simpulan ......................................................................................................... 73 VII. FUNGI YANG TERDAPAT PADA SERASAH Acacia mangium ......................................................................................................... 74 Abstract ........................................................................................................... 74 Pendahuluan .................................................................................................... 74 Hasil dan Pembahasan .................................................................................... 76 Simpulan ......................................................................................................... 97 VIII. PEMBAHASAN UMUM .......................................................................... 98 IX. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 104 Simpulan ....................................................................................................... 104 Saran.............................................................................................................. 105 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 107 LAMPIRAN – LAMPIRAN............................................................................. 116
xii
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
Tabel 1 Laju dekomposisi serasah, lignin dan selulosa di bawah tegakan A. mangium umur dua tahun....................................................................... 30 Tabel 2 Keragaman fungi selama delapan bulan dekomposisi serasah A. mangium pada tegakan umur dua tahun ........................................... 34 Tabel 3 Populasi fungi pada lapisan serasah A. mangium .................................. 44 Tabel 4 Hasil analisis proksimat serasah A. mangium ......................................... 47 Tabel 5 Persentase berat serasah, kandungan lignin dan selulosa yang hilang selama enam bulan dekomposisi di dalam kantong plastik ................... 69
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 2 3 4 5 6 7 8
Halaman
Kerangka pemikiran penelitian ......................................................................... 5 Diagram lapisan serasah..................................................................................... 8 Struktur umum selulosa ................................................................................... 11 Unit-unit fenilpropan, tiga monomer utama yang merupakan prekusor lignin.13 Ganoderma sp ................................................................................................ 16 Basidiospora dan basidium Ganoderma lucidum ........................................... 17 Indikasi serangan Ganoderma dan Phellinus pada A. mangium...................... 19 Persentase berat serasah selama delapan bulan dekomposisi serasah daun A. mangium pada tegakan umur dua tahun.......................................................... 29 9 Kandungan lignin dan selulosa selama delapan bulan dekomposisi serasah daun A. mangium di bawah tegakan umur dua tahun...................................... 30 10 Kandungan air pada serasah selama delapan bulan dekomposisi serasah A. mangium pada tegakan umur dua tahun.......................................................... 31 11 Kandungan C dan N selama delapan bulan dekomposisi serasah A. mangium pada tegakan umur dua tahun.......................................................... 33 12 Populasi fungi yang ditemukan selama delapan bulan dekomposisi serasah A. mangium pada tegakan umur 2 tahun.............................................................. 36 13 Frekuensi relatif spesies fungi pada lapisan serasah A. mangium.................. 45 14 Populasi fungi pada lapisan serasah A. mangium........................................... 46 15 Cara pengujian antagonisme Trichoderma sp TBPH terhadap Ganoderma sp GBR ................................................................................................................ 55 16 Populasi Trichoderma sp. TBPH yang tumbuh pada lapisan serasah A. mangium.......................................................................................................... 57 17 Fluktuasi populasi Trichoderma dan kondisi pH pada lapisan F serasah A. Mangium ......................................................................................................... 59 18 Persentase hambatan Trichoderma terhadap Ganoderma pada media PDA dan media PDAS ............................................................................................. 60 19 Pertumbuhan koloni Ganoderma sp GBR yang dihambat oleh Trichoderma sp TBPH dalam media serasah A. mangium ................................................... 61 20 Interaksi antara Trichoderma dan Ganoderma yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDAS, umur 3 dan 7 hari setelah inokulasi .................................... 62 21 Tiga mekanisme interaksi antara Trichoderma dan fungi patogen Ganoderma ......................................................................................................................... 63 22 Persentase berat serasah A. mangium yang didekomposisi oleh Ganoderma sp GBR dan Trichoderma sp TBPH .................................................................... 68 23 Kandungan lignin dan selulosa pada serasah A. mangium yang didekomposisi oleh Ganoderma sp GBR dan Trichoderma sp TBPH ................................... 69 24 Keadaan serasah A. mangium setelah didekomposisi oleh Ganoderma sp GBR dan Trichoderma sp. TBPH ............................................................................ 71 25 Perbandingan pertumbuhan koloni Ganoderma sp GBR yang ditumbuhkan dalam media serasah dan serbuk gergajian kayu sengon ................................ 72 26 Pertumbuhan miselium Ganoderma yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDAS setelah 7 hari pada suhu ruang (+ 28o C) ............................................. 73
xiv
27 Pythium intermedium ..................................................................................... 77 28 Pythium elongatum......................................................................................... 77 29 Pythium splendens.......................................................................................... 78 30 Pythium afertile.............................................................................................. 78 31 Pythium salpingophorum ................................................................................ 79 32 Pythium sp 1................................................................................................... 79 33 Pythium sp 2................................................................................................... 80 34 Sp 22 ............................................................................................................. 80 35 Penicillium tomii ............................................................................................ 81 36 Penicillium canescens .................................................................................... 82 37 Penicillium minioluteum ................................................................................ 82 38 Penicillium sp 4.............................................................................................. 83 39 Penicillium sp 6.............................................................................................. 83 40 Aspergillus parasiticus................................................................................... 84 41 Aspergillus flavus ........................................................................................... 84 42 Aspergillus fumigatus..................................................................................... 85 43 Aspergillus sp 1 .............................................................................................. 85 44 Aspergillus sp 2 .............................................................................................. 86 45 Aspergillus sp 3 .............................................................................................. 86 46 Aspergillus sp 5 .............................................................................................. 87 47 Aspergillus sp 6 .............................................................................................. 87 48 Aspergillus sp 8 .............................................................................................. 88 49 Aspergillus sp 9 .............................................................................................. 88 50 Trichoderma viride ........................................................................................ 89 51 Trichoderma longibrachiatum ....................................................................... 89 52 Trichoderma harzianum................................................................................. 90 53 Trichoderma piluliferum ................................................................................ 90 54 Trichoderma koningii..................................................................................... 91 55 Fusarium heerosporum .................................................................................. 91 56 Fusarium oxysporum...................................................................................... 92 57 Geotrichum sp ................................................................................................ 92 58 Phialophora richardsiae ............................................................................... 93 59 Sp 5 ................................................................................................................ 93 60 Sp 6D.............................................................................................................. 94 61 Sp 9D.............................................................................................................. 94 62 Sp 16D............................................................................................................ 95 63 Sp 28D............................................................................................................ 95 64 Sp 40D............................................................................................................ 96 65 Sp 42D............................................................................................................ 96 66 Permasalahan dan pemecahan masalah berdasarkan hasil penelitian ............ 99
xv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
Lampiran 1 Cara penempatan kantong serasah di bawah tegakan A mangium umur 2 tahun .................................................................................. 116 Lampiran 2 Diagram cara pelaksanaan pengujian penyebaran Trichoderma pada lapisan serasah................................................................................ 117 Lampiran 3 Rata-rata curah hujan dan kelembaban udara di lokasi penelitian . 118 Lampiran 4 Rata-rata kondisi pH pada tiga lapisan serasah A. mangium.......... 118 Lampiran 5 Komposisi media yang digunakan dalam penelitian ..................... 119
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Serasah daun Acacia mangium Willd. yang berasal dari tegakan monokultur lebih sukar terdekomposisi, karena keadaan serasahnya yang relatif seragam dan mengandung lignoselulosa yang tinggi. Akibatnya siklus hara di lantai hutan menjadi lambat dan pada musim kemarau timbunan serasah tersebut dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya kebakaran hutan. Namun serasah A. mangium tersebut dapat menjadi substrat yang baik bagi mikrob yang mampu beradaptasi, karena serasah daunnya mengandung berbagai senyawa seperti selulosa, hemiselulosa, pati, dan lignin, sebagai sumber energi yang dapat dimanfaatkan oleh mikrob saprob untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Dix & Webster 1995). Proses dekomposisi senyawa lignoselulosa pada serasah melibatkan berbagai mikrob dekomposer, tetapi yang utama adalah fungi (Evan & Hedger 2001). Kelompok fungi yang memiliki kemampuan lignoselulolitik tinggi umumnya berasal dari fungi pembusuk putih (white rot fungi). Selama proses dekomposisi, terjadi interaksi antara satu fungi dengan fungi lain. Interaksi tersebut penting dalam mencapai suatu keseimbangan dinamis dalam suatu ekosistem, sehingga apabila terjadi ledakan populasi yang berlebihan dari suatu jenis fungi dapat ditekan oleh jenis fungi lain yang memiliki sifat antagonis. Sebagai contoh pada lantai hutan A. mangium, Trichoderma bersifat antagonis terhadap fungi patogen seperti Ganoderma yang merupakan patogen pada hutan tanaman industri akasia. Ganoderma selain berperan sebagai dekomposer juga berperan sebagai patogen terhadap tumbuhan di ekosistem hutan, yaitu penyebab busuk akar pada A. mangium, baik pada tanaman muda maupun tanaman dewasa. Ganoderma philippii menyebabkan penyakit busuk akar merah pada A. mangium, sedangkan Rigidoporus microporus (syn. Fomes lignosus) menyebabkan busuk akar putih (Nair & Sumardi 2000). Jamur lain seperti Phellinus noxius dapat menyebabkan penyakit busuk akar coklat pada A. mangium (Mohammmed et al. 2006).
2
Di Indonesia, kerugian yang disebabkan oleh penyakit busuk akar merah akibat serangan G. philippii pada A. mangium menyebabkan kematian yang tinggi (sekitar 20%), kematian akan meningkat pada rotasi penanaman kedua dan ketiga (Old et al. 2000). Pengamatan pada hutan A. mangium, menunjukkan lebih dari 40% kematian pada pohon yang berumur 10 sampai 14 tahun (Lee 2000). Kerugian akibat serangan busuk akar oleh Ganoderma pada rotasi penanaman kedua di Sumatera dan Kalimantan mencapai 3% sampai 28% pada pohon yang berumur tiga sampai lima tahun (Irianto et al. 2006). Tingginya kerugian tersebut disebabkan karena Ganoderma selain bersifat saprob juga bersifat parasit fakultatif dengan kisaran inang yang luas (Susanto 2002). Selain itu Ganoderma juga mempunyai kemampuan bertahan di dalam material berkayu di dalam tanah. Keadaan tersebut membuat fungi ini sukar dikendalikan terutama pengendalian secara kimia. Pengendalian yang mungkin dilakukan adalah melakukan pengendalian hayati dengan memanfaatkan Trichoderma yang mempunyai sifat antagonis terhadap Ganoderma. Pengujian di laboratorium menunjukkan adanya aktivitas penghambatan yang kuat oleh Trichoderma terhadap pertumbuhan Ganoderma (Harjono & Widyastuti 2001; Widyastuti 2006). Namun kenyataan di lapangan, menunjukkan bahwa pengendalian
dengan
Trichoderma
belum
sepenuhnya
efektif
untuk
menghilangkan atau menekan pertumbuhan Ganoderma pada hutan A. mangium. PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) di Riau sedang menguji coba pemanfaatan Trichoderma untuk pengendalian Ganoderma. Uji coba yang dilakukan meliputi seleksi jenis yang efektif serta ketepatan waktu dan frekuensi aplikasinya. Pengujian tersebut akan efektif jika didukung oleh data ekologi yang lengkap di lantai hutan A. mangium yaitu dengan mempelajari keanekaragaman fungi yang tumbuh pada lapisan serasah pada umur yang berbeda baik pada tegakan yang sehat maupun terserang Ganoderma dan juga pada areal bekas tebangan. Selain itu proses dekomposisi serasah pada tegakan sehat dan terserang Ganoderma serta suksesi funginya juga perlu dipelajari untuk melihat kemungkinan serasah A. mangium sebagai sumber inokulum bagi Trichoderma dan Ganoderma. Oleh karena itu penelitian tentang suksesi fungi dan dekomposisi serasah daun A. mangium dalam kaitan dengan keberadaan Ganoderma dan
3
Trichoderma di lantai hutan akasia perlu dilakukan. Penelitian ini penting dilakukan karena proses dekomposisi serasah A. mangium berjalan sangat lambat sehingga pada tumpukan serasahnya terbentuk lapisan serasah. Pada setiap lapisan serasahnya dapat mempunyai iklim mikro yang berbeda sehingga memungkinkan dihuni oleh jenis fungi yang berbeda pula. Jenis fungi apa saja yang terlibat selama proses dekomposisi serasah A. mangium dan bagaimana laju dekomposisinya belum diteliti terutama di RAPP Riau. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat mendukung penerapan pengendalian hayati untuk menanggulangi atau menghindari penyakit yang disebabkan oleh Ganoderma pada tegakan A. mangium. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Besarnya laju dekomposisi serasah A. mangium dan suksesi fungi selama proses dekomposisi pada tegakan dua tahun sehat dan terserang Ganoderma. 2. Komunitas fungi (termasuk Trichoderma dan Ganoderma) yang tumbuh pada tiga lapisan serasah A. mangium pada umur tegakan dua dan lima tahun (baik yang sehat maupun yang terserang Ganoderma) dan
pada areal bekas
tebangan. 3. Penyebaran Trichoderma pada tiga lapisan serasah A. mangium. 4. Kemampuan penghambatannya Trichoderma terhadap Ganoderma
dalam
media serasah. 5. Kemampuan Ganoderma dan Trichoderma dalam mendekomposisi serasah A. mangium. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan secara rinci dan mendalam tentang suksesi fungi dan perannya dalam proses dekomposisi serasah A. mangium. Selain itu diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengelolaan serasah A. mangium dalam usaha pengendalian Ganoderma dan keefektifan aplikasi Trichoderma pada media serasah. Sehingga kerugian yang
4
sangat besar akibat serangan Ganoderma dapat dikurangi, mengingat A. mangium merupakan komoditi penting dalam industri kehutanan dan industri kertas. Alur Pemikiran dan Landasan Penelitian Penelitian suksesi fungi dan dekomposisi serasah daun A. mangium dalam kaitan dengan keberadaan Ganoderma dan Trichoderma di lantai hutan akasia dilakukan dalam empat topik penelitian yaitu: Penelitian 1: Suksesi fungi dan dekomposisi serasah daun A. mangium, penelitian ini untuk menjawab permasalahan 1 (Gambar 1) Penelitian 2: Komunitas fungi pada lapisan serasah A. mangium, penelitian ini untuk menjawab permasalahan 2 (Gambar 1). Penelitian 1 dan 2 juga untuk menjawab permasalahan 3. Penelitian 3: Penyebaran Trichoderma pada lapisan serasah A. mangium dan kemampuan penghambatannya terhadap Ganoderma, penelitian ini untuk menjawab permasalahan 4 (Gambar 1) Penelitian 4: Kemampuan Ganoderma dan Trichoderma dalam mendekomposisi serasah A. mangium, penelitian ini untuk menjawab permasalahan 5 (Gambar 1) Penelitian 1 memberikan informasi tentang laju dekomposisi serasah A. mangium dan jenis fungi yang terlibat serta suksesinya. Penelitian 2 memberikan informasi tentang keanekaragaman fungi yang tumbuh pada lapisan serasah baik pada tegakan sehat, terserang Ganoderma, dan areal bekas tebangan. Penelitian 1 dan 2 juga memberikan informasi tentang keberadaan Trichoderma dan Ganoderma pada serasah A. mangium. Penelitian 3 memberikan informasi tentang penyebaran Trichoderma pada lapisan serasah di tegakan sehat dan terserang Ganoderma, juga memberikan informasi tentang kemampuan antagonistik Trichoderma terhadap Ganoderma pada media yang mengandung serasah A. mangium. Selanjutnya penelitian 4 memberikan informasi tentang kemampuan Ganoderma dan Trichoderma dalam mendekomposisi serasah A. mangium. Berdasarkan
informasi
memformulasikan
strategi
yang
diperoleh
pengelolaan
tersebut
serasah
menghindari serangan Ganoderma pada akasia.
diharapkan
sebagai
alternatif
dapat untuk
5
Acacia mangium Produktivitas meningkat
Lantai hutan Serasah daun
Produktivitas menurun
Dekomposisi Substrat pertumbuhan fungi
Ketersediaan unsur hara
Kerugian: kematian 3-28% (3-5 th) (Irianto et al. 2006).
Kesuburan tanah
Permasalahan 1. Bagaimana suksesi fungi dan laju dekomposisi serasah A. mangium di lantai hutan ? 2. Jenis fungi apa saja yang tumbuh pada lapisan serasah A. mangium ? 3. Apakah Trichoderma dan Ganoderma dapat tumbuh pada serasah A. mangium? 4. Bagaimana penyebaran Trichoderma di lapisan serasah A. mangium dan kemampuan penghambatannya terhadap Ganoderma? 5. Bagaimana kemampuan Ganoderma dan Trichoderma dalam mendekomposisi serasah?
Sukar dikendalikan
Sifat: - Bertahan pada material berkayu - Sebaran inang luas
Penelitian yang dilakukan 1. Suksesi fungi dan dekomposisi serasah daun A. mangium 2. Mengamati komunitas fungi pada lapisan serasah 3. Penyebaran Trichoderma pada lapisan serasah 4. Kemampuan Ganoderma dan Trichoderma dalam mendekomposisi serasah Busuk akar Dasar pemanfaatan
Data hasil penelitian Ganoderma
Trichoderma Dasar penanganan alternatif
Patogen (-)
Dekomposer (+)
Fungi Keterangan:
:
faktor-faktor yang diamati dalam penelitian
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Antagonis
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
Biologi dan Potensi Acacia mangium Acacia mangium merupakan spesies tanaman berkayu yang cepat tumbuh, banyak digunakan untuk program penanaman hutan di wilayah Asia dan Asia Pasifik. Tanaman ini dapat tumbuh pada daerah yang sangat kering sampai daerah hutan basah. Acacia mangium dapat tumbuh pada kisaran 0 - 800 meter dpl, dengan rata-rata curah hujan tahunan 1000-4000 mm, rata-rata temperatur tahunan 18-28o C dengan rata-rata pada musim panas 30-40o C dan pada musim dingin 1024o C (USDA 2005). Acacia mangium mempunyai nama lain Racosperma mangium (Willd.) Pedley. Sedangkan nama dagangnya adalah brown salwood. Klasifikasi tanaman ini adalah sebagai berikut: kingdom subkingdom superdivisi divisi klas subklas ordo famili genus species
: Plantae : Tracheobionta : Spermatophita : Magnoliophita : Magnoliopsida : Rosidae : Fabales : Fabaceae : Acacia : Acacia mangium Willd. (USDA 2005)
Pohon A. mangium dapat mencapai tinggi 30 meter, batang lurus tidak bercabang sampai setengah tinggi seluruh batang. Ranting, phillodia dan tangkai bersifat glabrous atau agak terkelupas. Phillodia lebarnya 5-10 cm, panjang 2-4 kali lebar, berwarna hijau gelap kaku seperti kulit waktu kering. Phillodia memiliki (3-)4 pertulangan daun utama yang memanjang yang bertemu pada tepi punggung dari pangkal phillodia, pertulangan sekunder halus dan tidak begitu terlihat. Bunga berupa bulir yang longgar mencapai panjang 10 cm, soliter atau berpasangan pada ketiak bagian atas. Bunga pentamer, kelopak mempunyai panjang 0.6-0.8 mm dengan cuping tumpul pendek, mahkota dua kali panjang kelopak. Polong lurus, gundul, lebar 3-5 mm, dengan panjang kira-kira 7.5 cm pada waktu hijau, berkayu, memelintir seperti koil dan kecoklatan pada waktu
7
masak, memipih antar biji-bijinya. Biji berambut halus, hitam, elipsoid, bulat telur atau memanjang, 3,5 x 2,5 mm, tali pusar berwarna agak oranye, membentuk arilus berdaging di bagian bawah biji (Starr et al. 2003). Menurut Duke (1983), akasia menghasilkan eksudat gum pada batangnya. Gum pada A. mangium mengandung 5.4% abu, 0.98% N, 1,49% metoksil, 32.2% asam uronat, 9.0% asam 4-0-metilglukouronat, 23.2% asam glukouronat, 56% galaktosa, 10% arabinosa, dan 2% ramnosa. Sedangkan gum pada A. auriculiformis mengandung 5.3% abu, 0.92% N, 1.68% metoksil, 27.7% asam uronat, 10.1% asam 4-0-metilglukouronat, 17.6% asam glukouronat, 59% galaktosa, 8% arabinosa, dan 5% ramnosa. Acacia mangium dan A. auriculiformis juga menghasilkan senyawa yang mempunyai aktivitas anti fungi yaitu 3,4’,7,8tetrahydroxyflavanone dan teracacidin (Mihara et al. 2005). Produksi kayu A. mangium di Indonesia untuk pulp dan MDF (mediumdensity fiberboard) dari hutan tanaman industri adalah: Riau dan Jambi dengan produksi 5.860.000 m3/tahun, Sumatra Selatan dan Lampung 2.500.000 m3/tahun, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan 750.000 m3/tahun, dan Kalimantan Barat 200.000 m3/tahun. Sedangkan produksi untuk solid wood diperkirakan mencapai 165.000 m3/tahun. Kegunaan kayu ini utamanya untuk pembuatan pulp dan paper. Kegunaan lain diantaranya untuk MDF, furniture, fuelwood dan bahan konstruksi bangunan (Arisman & Hardiyanto 2006). Selain itu serasahnya dapat digunakan sebagai mulsa tanah, dan juga dapat digunakan sebagai tambahan makanan ternak sapi. Bunganya dapat sebagai makanan lebah, sehingga dapat meningkatkan produksi madu (Bui et al. 1992). Serasah Acacia mangium Serasah pada lantai hutan umumnya terdiri dari bermacam-macam bagian tumbuhan yang jatuh ke tanah, yaitu berupa daun, bunga, buah, ranting, dan cabang. Produktivitas serasah pada suatu ekosistem hutan tergantung pada kondisi lingkungan, jenis pohon dan umur tegakan. Di hutan tanaman Ubrug, Jatiluhur, tegakan A. auriculiformis yang berumur lima tahun menghasilkan serasah 10.9 ton/ha. Sedangkan pada umur enam tahun pada tegakan yang sama menghasilkan serasah 13.0 ton/ha (Team Vegetation and Erosion Padjadjaran University 1979).
8
Bagian tanaman yang jatuh terlebih dahulu akan berada di bagian paling bawah atau berada paling dekat dengan permukaan tanah, sedang yang jatuh kemudian akan berada di atasnya, sehingga terjadi tumpukan serasah dengan ketebalan tertentu. Ketebalan serasah ini sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan hutan misalnya
kerapatan vegetasi, luas kanopi dan kerimbunan
tegakan penyusun hutan tersebut. Seiring dengan perjalanan waktu, pada tumpukan serasah tersebut terbentuk lapisan-lapisan yang terjadi karena adanya proses dekomposisi (Gambar 2). Lapisan-lapisan tersebut adalah lapisan L yaitu lapisan serasah bagian atas (yang masih utuh), lapisan F yaitu lapisan serasah bagian tengah yang sebagian sudah terdekomposisi, dan lapisan H yaitu lapisan bagian bawah yang sudah terdekomposisi atau lapisan yang berada pada lapisan permukaan tanah (Danoff-Burg 2006). Hasil pengukuran tebal lapisan serasah Acacia mangium di lapangan menunjukkan bahwa pada tegakan umur dua dan lima tahun ketebalan lapisannya tidak berbeda nyata. Pada tegakan sehat rata-rata lapisan serasah L, F, dan H masing-masing 3.17 cm, 3.0 cm, dan 2.2 cm, sedangkan pada tegakan terserang Ganoderma masing-masing 2.5 cm, 2.83 cm, dan 2 cm.
Lapisan L Lapisan F Lapisan H Tanah
Gambar 2 Diagram lapisan serasah Serasah adalah bahan organik yang belum terurai, tetapi yang telah berupa benda mati, dan terdapat di permukaan tanah (Joetono 1995). Serasah terdiri dari semua bagian tumbuhan yang mati dan terakumulasi di atas permukaan tanah dan akan mengalami dekomposisi dengan kecepatan yang berbeda, tergantung dari
9
jenis bagian tumbuhan yang terakumulasi tersebut. Serasah terdekomposisi oleh aktivitas mikrob dan fauna tanah, sehingga senyawa-senyawa yang kompleks akan diubah menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana (Dickinson & Pugh 1974). Dekomposisi serasah secara biologi akan menghasilkan senyawa-senyawa yang dapat larut seperti karbohidrat, tanin, peptida, dan asam amino yang dihasilkan melalui proses hidrolisis pada protein protoplasmik. Selain itu dihasilkan gas seperti NH3, CO2, juga senyawa lain seperti nitrat, sulfat, pospat dan air. Sedangkan senyawa-senyawa yang tidak larut yang tersusun dari lignin, selulosa, hemiselulosa akan berangsur-angsur mengalami dekomposisi menjadi bentuk-bentuk senyawa baru yang dapat larut. Pada dasarnya semua sisa tanaman menghasilkan bahan organik yang sama, tetapi berbeda pada kandungan senyawa yang mudah dan yang sukar terdekomposisi (Allen & Unwin 1982). Mudah atau sukarnya dekomposisi suatu serasah, tergantung dari zat-zat yang terkandung di dalam jaringannya. Gula, zat pati, dan protein sederhana akan lebih mudah terdekomposisi dibandingkan dengan protein kompleks, peptin, dan hemiselulosa. Sedang selulosa lebih mudah dibanding lignin, resin, tannin, dan lilin. Organ bagian atas tanaman akan lebih mudah terdekomposisi dibandingkan dengan bagian akar, dan tanaman yang muda akan lebih mudah terdekomposisi dari pada tanaman yang lebih tua. Demikian juga serasah hutan campuran akan lebih mudah terdekomposisi dari pada hutan monokultur (Dickinson & Pugh 1974). Kecepatan dekomposisi dan aktivitas biologi dari suatu bahan organik juga ditentukan oleh rasio C:Nnya. Jaringan tumbuhan dengan rasio C:N yang rendah akan terdekomposisi secara cepat, sedangkan yang memiliki rasio C:N yang tinggi dekomposisinya lebih lambat. Jika rasio C:N bahan organik lebih besar dari 30, akan terjadi immobilisasi lebih besar dari pada mineralisasi. Jika rasio C:N bahan organik 15 - 30, immobilisasi sama dengan mineralisasi dan jika rasio C:N bahan organik lebih kecil dari 15, maka mineralisasi lebih besar dari pada immobilisasi (Joetono 1995)
10
Dekomposisi serasah oleh Fungi Keberadaan senyawa penyusun dinding sel tumbuhan seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin tidaklah terpisah secara sendiri-sendiri, namun satu sama lain saling terikat membentuk suatu kesatuan yang disebut lignoselulosa (Beguin & Aubert 1992). Keberadaan senyawa kompleks tersebut di dalam serasah lantai hutan dapat didegradasi oleh mikrob tanah yang dapat menghasilkan enzim lignoselulolitik, sehingga dihasilkan senyawa yang lebih sederhana. Di dalam ekosistem lantai hutan fungi mempunyai peran penting sebagai dekomposer (Dreisbach 2002). Selama proses dekomposisi serasah di lantai hutan terjadi pergantian struktur komunitas (suksesi) fungi dekomposer. Pada tahap awal substrat ditumbuhi oleh fungi pengkoloni awal (pioneer colonizers) yang umumnya merupakan fungi ruderal yang mampu beradaptasi dan berkompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya baru terhadap kompetitor lain (Atlas dan Bartha 1993). Pada saat serasah daun jatuh ke tanah, fungi pengkoloni awal merupakan fungi yang mampu memanfaatkan gula sederhana saja misalnya Cladosporium herbarum dan Aureobasidium pullulans, bahkan fungi tersebut sering ditemukan pada daun yang masih segar. Setelah itu akan terjadi kolonisasi secara cepat oleh fungi tanah yang tergolong genus Penicillium, Humicola, Trichoderma, Fusarium, Gliocladium, Doratomyces dan dari genus lainnya. Fungi tanah yang mengkoloni serasah tersebut disebut autochton species. Kebanyakan fungi autochton tersebut mampu menghidrolisis polisakarida, bahkan spesies tertentu seperti Penicillium mampu menggunakan tanin sebagai sumber karbon, tetapi fungi lain yang tidak menghasilkan enzim penghidolisis substrat yang lebih kompleks akan tereduksi. Selanjutnya kolonisasi akan dilakukan oleh pengkoloni akhir (survivor) yaitu fungi yang mampu menghidrolisis senyawa kompleks seperti selulosa bahkan lignin
dari
substrat
serasah
sebagai
sumber
energi
utamanya,
yaitu
Basidiomycetes dan Ascomycetes (Dix & Webster 1995). Aktivitas dari berbagai macam fungi terhadap serasah yang ada di lantai hutan akan menghasilkan senyawa-senyawa yang lebih sederhana dan akhirnya terjadi mineralisasi yang menghasilkan nutrisi untuk tumbuhan dan mikrob lainnya. Setiawan (1993) telah
11
berhasil mengukur penurunan berat kering serasah A. mangium sebesar 56 % setelah didekomposisikan selama 18 minggu. Biodegradasi Selulosa Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan glikosidik β-(1,4) yang bersifat tidak larut dalam air (Gambar 3). Molekul selulosa membentuk rantai panjang yang lurus yang diperkuat oleh ikatan hidrogen yang berikatan silang. Secara alami selulosa tersusun dari bentuk fibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa paralel dan dihubungkan oleh ikatan hidrogen (Beguin & Aubert 1994). Mikrofibril selulosa terdiri dari dua tipe yaitu kristalin dan amorf. Bagian kristalin selulosa merupakan mikrofibril yang banyak memiliki jembatan hidrogen antar molekul dengan orientasi antar mikrofibril yang sangat teratur. Mikrofibril yang sedikit memiliki jembatan hidrogen dengan orientasi antar mikrofibril yang tidak teratur merupakan bagian amorf selulosa (Marsden & Gray 1986).
Gambar 3 Struktur umum selulosa (Zabel & Morrell 1992) Analisis difraksi sinar-X menunjukkan bahwa selulosa alami umumnya berstruktur
kristalin,
sedang
analisis
dengan
spektroskopi
inframerah
menunjukkan bahwa beberapa gugus hidroksil bebas yang saling berikatan dengan lignin melalui ikatan kovalen membentuk lignoselulosa yang kuat sehingga sulit dihidrolisis oleh enzim (Fengel & Wegener 1995). Enzim yang mendegradasi selulosa adalah selulase, merupakan enzim kompleks yang terdiri dari tiga komponen yaitu: (1) ekso β (1-4)-glukanase, dikenal sebagai enzim C1 berperan dalam hidrolisis selulosa kristalin menjadi selulosa amorf; (2) endo β (1-4)-glukanase, dikenal sebagai enzim Cx berperan dalam hidrolisis ikatan β-(1-4)-glikosida selulosa amorf menjadi selobiosa; dan (3) β (1-4)-glukosidase, berperan dalam hidrolisis selobiosa menjadi glukosa (Wirahadikusumah et al. 1995; Smith et al. 1983). Urutan reaksinya adalah sebagai berikut:
12
C1
selulosa kristalin
β (1-4)-glukosidase
Cx
selulosa amorf
selobiosa terlarut
glukosa
Fungi Phanerochaete chrysosporium mampu menghasilkan lima β 1-4 glukanase yang memiliki berat molekul berbeda dan masing-masing bekerja aktif pada
suhu
optimumnya.
Penicillium
pinophilum
mampu
menghasilkan
endoglukanase jika diinkubasikan dalam media yang mengandung selulosa. Trichoderma
viride
paling
sedikit
dapat
menghasilkan
empat
β
1-4
selobiohidrolase. Sedangkan T. reesei menghasilkan lima endoglukanase, satu eksoglukanase dan dua β 1-4 glukosidase (Dix & Webster 1995; Evans & Hedger 2001). Biodegradasi Hemiselulosa Hemiselulosa merupakan polimer yang sangat heterogen, yaitu polimerpolimer heksosa, pentosa dan asam-asam uronat. Silosa dan manosa merupakan unit yang sering ditemukan. Molekul hemiselulosa umumnya mempunyai rantai yang relatif lebih pendek dari selulosa, berbentuk non kristalin dan dapat dihidrolisis menjadi silosa dan pentosa lainnya. Selain itu hemiselulosa mudah larut dalam larutan alkali dan pada air mendidih. Senyawa ini juga larut dalam asam yang panas, dihidrolisis menjadi pentosa dan heksosa. Hemiselulosa berikatan dengan selulosa dan lignin melalui jembatan hidrogen dan gaya van der Waals (Marsden & Gray 1986). Enzim yang mendegradasi hemiselulosa analog dengan enzim yang mendegradasi selulosa tetapi enzim eksonya tidak ada. Silan didegradasi oleh enzim silanase, sedang mannan
didegradasi
oleh enzim mannase (Zabel &
Morrell 1992). Silanase merupakan enzim kompleks yang terdiri dari: (1) endo1,4-β-silanase yang memisahkan polimer menjadi silosa dan oligomer; (2) 1,4-β silosidase yang menghidrolisis silo-oligoskarida atau fragmen silan menjadi silosa; (3) α-glukuronidase, memisahkan rantai samping 4-O-metilglukuron dari kerangka silan dan melepaskan unit asam glukoronat; (4) α-arabinosidase, memindahkan rantai samping L-arabinosa; dan (5) asetil esterase, memindahkan kelompok substituen asetil dari silosa. Sedangkan enzim mannase terdiri dari: endo-1,4-β-mannanase, β-mannosidase, β-glukosidase, α-galaktosidase, dan asetil
13
esterase. Namun demikian aksi enzim tersebut sama dengan enzim silanase (Zabel & Morrell 1992). Fungi yang telah diidentifikasi mempunyai aktivitas silanase diantaranya Mucor, Mortierella dan Rhizopus (Dix & Webster 1995). Fungi lain yang menghasilkan silanase adalah Phytophthora, Glomerella cingulata, sedangkan Aspergillus oryzae selain menghasilakan silanase juga menghasilkan arabanase. Chaetomium globosum menghasilkan mannase (Bilgrami & Verma 1978). Biodegradasi Lignin Lignin merupakan polimer yang amorf dengan berat molekul tinggi. Lignin terbuat dari unit-unit fenilpropan yaitu: ρ-koumaril alkohol, koniferil alkohol, dan sinafil alkohol (Gambar 4). Keberadaan masing-masing unit fenilpropan tergantung dari sifat dan jenis tanaman (Stevensen 1982). Umumnya monomer-monomer lignin tersebut memiliki substituen-substituen hidroksi dan metoksi yang tidak diikat dengan cara yang sama, baik inter maupun intra monomer (Knapp 1985).
C H2O H
C H2O H
C H2O H
CH
CH
CH
CH
CH
CH
O C H3 OH
ρ-koumaril alkohol
OH
koniferil alkohol
O C H3
C H3O OH
sinafil alkohol
Gambar 4 Unit-unit fenilpropan, tiga monomer utama yang merupakan prekusor lignin (Crawford 1981) Lignin terbentuk secara polikondensasi. Pembentukannya tidak melibatkan enzim-enzim khusus, tetapi merupakan reaksi-reaksi kimia yang melibatkan fenol dan radikal bebas, sehingga bahan yang terbentuk tidak menunjukkan adanya pengaturan tertentu mengenai konstituen-konstituen pembentuknya, yang
14
menyebabkan lignin lebih sukar terdegradasi dibandingkan dengan selulosa dan hemiselulosa (Joetono 1995). Enzim yang mendegradasi lignin juga merupakan enzim kompleks, yang terdiri dari lignin peroxidase (LiP), manganese peroxidase (MnP), dan lakase. Enzim-enzim tersebut
diproduksi aktif
pada
keadaan oksigen yang cukup
(Rothschild et al. 1995; Fukushima & Kirk 1995). Lignin peroxidase (LiP) merupakan enzim kunci dalam mendegradasi lignin pada Phanerochaete chrysosporium. Enzim ini memecah atau memutuskan ikatan kimia Cα-Cβ antar karbon pada unit fenilpropan. Manganese peroxidase (MnP) merupakan enzim utama yang terlibat dalam degradasi lignin oleh Polyporus anceps. Enzim ini diduga mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+ yang kemudian mengoksidasi beberapa struktur fenolik pada lignin.
Sedangkan lakase merupakan enzim yang
menyebabkan terjadinya oksidasi Cα, dimetilisasi, pemecahan kelompok fenil, dan pemecahan ikatan Cα-Cβ pada struktur siringil (Zabel & Morrell 1992). Hasil pemecahan lignin tersebut berupa senyawa aromatik yang memiliki berat molekul rendah seperti: vanilin, siringaldehid, koniferil aldehid, asam vanilat, asam siringat, dan asam aromatik atau fenol lainnya. Senyawa-senyawa tersebut akan diubah menjadi senyawa aromatik lain berupa katekol, asam protokatekoat dan asam gentisat, merupakan senyawa dengan struktur aromatik yang mudah diputus menjadi senyawa alifatik. Selanjutnya senyawa-senyawa alifatik yang dihasilkan tersebut diubah menjadi senyawa-senyawa antara yang mudah dimetabolismekan seperti asam piruvat, asam fumarat, asam suksinat, asam asetat, dan asetildehid (Zabel & Morrell 1992, Crawford 1981; Joetono 1995). Di dalam tanah, hasil perombakan lignin tersebut dapat mengalami kondensasi yang akan menghasilkan humat (humic) di dalam tanah (Stevenson 1982). Pada umumnya fungi yang mampu mendegradasi lignin berasal dari fungi pelapuk putih (white rot fungi). Phanerochaete chrysosporium adalah fungi yang paling banyak dipelajari sebagai penghasil enzim lignin peroksidase dan lakase. Trametes versicolor dan fungi pembusuk putih lainnya juga dideteksi menghasilkan lignin peroksidase. Sedangkan Dichomitus squalens (Polyporus anceps) dideteksi menghasilkan mangan peroksidase (Evans & Hedger 2001).
15
Fungi pelapuk coklat (brown rot fungi) yang mampu tumbuh pada media yang mengandung lignin antara lain Gloeophyllum trabeum, Neolentinus (Lentinus) lepideus, dan Pholiota adiposa (Zabel & Morrell 1992). Pleurotus ostreatus dapat tumbuh baik pada jerami, selain itu Fusarium dan Aspergillus ternyata dapat tumbuh dengan baik dalam medium sintetik yang mengandung lignin (Dix & Webster 1995). Ganoderma Ganoderma termasuk Basidiomycetes kosmopolit yang menyebabkan busuk akar pada tumbuhan kayu keras dengan mendekomposisi lignin, selulosa dan polisakarida lain. Fungi ini akan berkembang dengan cepat pada tanaman monokultur yang ditanam berturut-turut, karena pada tunggul kayu, akar, dan material berkayu lainnya dari periode sebelumnya tersimpan inokulum yang sangat banyak (Old et al. 2000). Selain itu Ganoderma juga mempunyai bentuk pertahanan seperti klamidospora (Susanto 2002), sehingga menjadi masalah besar karena serangannya semakin luas pada periode tanam kedua dan ketiga (Widyastuti 2006). Penanganan terpadu untuk memberantas penyakit tersebut dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan penting untuk dilakukan. Kerugian akibat serangan penyakit busuk akar dapat mecapai 3%-28% pada pohon yang berumur 3-5 tahun di Sumatera dan Kalimantan (Irianto et al. 2006). Spesies Ganoderma yang menyebabkan busuk akar merah pada tanaman akasia adalah G. philippii (= G. pseudoferreum) (Lee 2000). Spesies lain dari Ganoderma yang menyebabkan busuk pangkal batang tanaman kelapa sawit adalah G. boninense (Abadi et al. 1989). Ganoderma termasuk dalam kelompok fungi pelapuk putih (white rot fungi) yang mampu mendegradasi lignin dengan sistem enzim pengoksidasi fenol seperti polifenoloksidase, lakase, dan tirosinase. Peneliti lain menyebutkan enzim yang berperan dalam perombakan lignin adalah lignin peroxidase (LiP), manganese peroxidase (MnP) dan lakase (Harvey et al. 1993). Beberapa spesies Ganoderma, selain menghasilkan enzim-enzim di atas juga menghasilkan enzim amilase, ektraseluler oksidase, invertase, koagulase, protease, renetase, pektinase, dan selulase (Das et al. 1979).
16
Oleh karena Ganoderma mampu mendegradasi lignin dan selulosa, maka fungi ini diduga mampu tumbuh dan berkembang pada serasah A. mangium yang mempunyai kandungan lignin dan selulosa tinggi. Penelitian tentang keberadaan Ganoderma pada serasah sangat sedikit dilakukan, sebagian besar peneliti lebih menekankan pada aspek patologisnya. Menurut Pegler (1973); Seo dan Kirk (2000) Ganoderma termasuk dalam famili Ganodermataceae dengan ciri-ciri sebagai berikut: merupakan kelompok fungi tahunan yang mempunyai basidiokarp bertangkai atau tidak bertangkai, dan mempunyai kulit luar yang keras. Himenofor selalu berbentuk tabung dan pada umumnya tersusun dalam beberapa lapisan. Konteks berwarna coklat muda sampai coklat tua, atau coklat keungu-unguan dengan tekstur bergabus sampai berkayu. Sistem hifa dimitik atau trimitik dengan hifa skeletal yang sering bercabang di bagian ujungnya, serta dengan hifa generatif yang mempunyai sambungan apit (Gambar 5). Basidium memproduksi empat basidiospora dan tidak ada seta ataupun sistidium. Basidiospora berbentuk bola sampai elips, berwarna coklat atau coklat muda. Struktur dinding basidiospora sangat kompleks dengan eksoepisporium berpigmen dan bergerigi serta dilapisi oleh perisporium hialin (Gambar 6).
b a
c
e g
d
f
Gambar 5 Ganoderma sp (Hood 2006) a, b dan c. permukaan bagian atas basidiocarp G. australe, G. steartanum dan G. cupreum, d. potongan basidiocarp Ganoderma sp, e. sayatan permukaan atas basidiokarp, f. basidiospora dan g. hifa skeletal
17
a
b
c
d
Gambar 6 Basidiospora dan basidium Ganoderma lucidum (Seo & Kirk 2000) a dan b. basidiospora (tanda panah), c dan d. basidium (tanda panah)
Gejala penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Ganoderma Fungi yang termasuk dalam Basidiomycetes biasanya hidup sebagai saprob endemik yang secara alami menyebabkan sedikit masalah. Pada waktu lahan dibuka untuk perkebunan, fungi ini dapat hidup pada sisa-sisa akar, tunggul pohon, dan sampah-sampah berkayu lainnya pada tanah. Fungi ini tergantung pada sumber makanan yang banyak untuk aktivitas patogeniknya dan bertahan pada kayu yang mati. Selanjutnya dapat menjadi aktif dan berupa parasit virulen dengan menginfeksi pohon hidup melalui akarnya. Kemampuan patogen akar ini untuk menembus dan berkoloni pada sistem akar sangat tergantung pada kesehatan dari pohon yang diserang (Old et al. 2000). Ganoderma sp. biasanya menyerang pohon yang kesehatannya kurang baik, sementara Rigidoporus lignosus
menyebar melalui tanah dengan rizomorfnya. Sedangkan Phellinus
noxius tergantung pada kontak antara akar inang yang sehat dengan substrat tempat fungi itu tumbuh (Nandris et al. 1987).
18
Pada areal tegakan akasia yang terserang penyakit busuk akar ditandai dengan adanya pohon mati dan pohon yang sedang mengalami kematian yang terlihat dari udara seperti lingkaran. Daun pohon yang terinfeksi biasanya hijau pucat, ukurannya mengecil karena kekurangan air dan mineral. Kecepatan tumbuhnya juga menurun. Pucuk muda menjadi layu dan beberapa pohon yang mengalami cekaman ini dapat menghasilkan buah dan biji di luar musim. Pada fase selanjutnya dari penyakit busuk akar, pohon akan sangat peka terhadap hembusan angin. Berdasarkan warna akar yang terinfeksi, penyakit busuk akar yang menyerang akasia dibedakan menjadi empat macam yaitu busuk akar merah dan busuk akar coklat, dan yang kurang umum busuk akar putih dan busuk akar hitam (Old et al. 2000). Pada penyakit akar merah, akar ditutupi oleh suatu miselium menyerupai kulit (rizomorf coklat kemerahan yang berkerut), yang tampak pada saat akarnya tercuci dari tanah yang menempel (Gambar 7 a). Suatu pola bintik-bintik putih terjadi pada bagian bawah kulit batang yang terinfeksi. Pada fase awal infeksi kayunya tetap keras dan tidak ada perubahan warna yang nyata, tetapi pada fase selanjutnya kayu menjadi pucat dan berkerak atau kering, tergantung kondisi pada tanah. Keadaan ini merupakan tipe yang umum dari penyakit akar yang diamati pada perkebunan A. auriculiformis, A. crassicarpa, dan A. mangium yang berasosiasi dengan Ganoderma spp., terutama G. philippii (Lee & Noraini Sikin 1998). Berdasarkan observasi di PT RAPP Riau, serangan oleh Ganoderma pada A. mangium akan lebih mudah diamati apabila tubuh buahnya telah tumbuh pada batang. Indikasinya adalah di balik kulit batang yang mati warna kayunya putih atau krem polos (Gambar 7 b). Hal ini penting diketahui untuk membedakan akibat serangan oleh fungi lain misalnya Phellinus. Indikasi yang khas dari Phellinus ialah dibalik kulit batang yang mati tampak bentuk pola garis hitam yang teratur (Gambar 7 c).
19
a
b
c
Gambar 7 Indikasi serangan Ganoderma dan Phellinus pada A. mangium Keterangan : a. b. c.
Indikasi serangan Ganoderma pada akar, menunjukkan adanya warna merah pada akar (Old et al. 2000). Indikasi serangan Ganoderma pada batang, tidak adanya pola berwarna coklat (polos) sebagai akibat aktivitas fungi Indikasi serangan Phellinus pada batang, adanya pola berwarna coklat sebagai akibat aktivitas fungi (Gambar b dan c hasil observasi di PT RAPP Riau 2006)
Trichoderma sebagai agen biokontrol penyakit busuk akar Trichoderma merupakan salah satu fungi tanah yang dominan dan mempunyai variasi habitat yang luas. Sebagai organisme saprob yang memilki pertumbuhan cepat, Trichoderma dapat berkompetisi secara ekologis dalam waktu yang lama dan mampu mengkolonisasi berbagai substrat yang ada di lantai hutan. Interaksi antagonis antara Trichoderma dengan fungi lain, secara tradisional diklasifikasikan sebagai antibiosis, mikoparasitisme dan kompetisi (Widyastuti 2006). Antibiosis terjadi ketika antagonisme antara dua fungi, fungi yang satu menguasai yang lainnya dengan cara menghasilkan antibiotik. Mikoparasitisme ialah parasitisme satu fungi terhadap fungi lainnya dan
20
kompetisi terjadi ketika dua atau lebih mikroorganisme membutuhkan lebih banyak sumberdaya dari pada yang tersedia. Dalam interaksi antagonis tersebut antibiosis maupun mikoparasitisme mungkin juga melibatkan kompetisi dalam hal nutrisi (Ghisalberti & Sivasithamparan 1991). Kemampuan antagonistik Trichoderma telah diujikan terhadap beberapa patogen tanaman seperti Ganoderma spp., Rigidoporus microporus, Rhizoctonia spp., Fusarium sp., dan Sclerotium rolfsii. Hasilnya menunjukkan bahwa Trichoderma secara efektif dapat menekan pertumbuhan fungi patogen secara in vitro dan di rumah kaca (Widyastuti 2006). Mekanisme pengendaliannya terjadi dengan cara membelit atau tumbuh di sepanjang hifa inang dan membentuk struktur semacam kait yang membantu penetrasi ke dalam dinding sel inang (Chet et al. 2004). Penetrasi dinding sel inang oleh Trichoderma dilakukan dengan enzim pendegradasi dinding sel fungi yang dimilikinya seperti kitinase, glukanase, dan protease, selanjutnya menggunakan isi hifa inang sebagai sumber makanan (Kredics et al. 2003; Harjono & Widyastuti 2001). Tiga spesies Trichoderma juga telah diuji efektivitasnya terhadap penekanan pertumbuhan Ganoderma pilippii yang diisolasi dari berbagai macam pohon. Hasilnya menunjukkan Trichoderma reesei paling efektif sebagai mikoparasit diikuti oleh T. koningii dan T. harzianum (Widyastuti 2006). Dalam hal kemampuan Trichoderma mendekomposisikan serasah A. mangium, pengujian telah dilakukan di lapangan oleh Rohiani (1996), hasilnya menunjukkan bahwa Trichoderma viride dapat menurunkan rasio C:N antara 20 sampai 30% dalam waktu 8 minggu. Konsentrasi inokulum yang efektif dalam mendekomposisikan serasah A. mangium adalah 40% dari berat serasah untuk umur tegakan 2 dan 3 tahun, sedangkan untuk umur 6 tahun cukup dengan 10% inokulum.
21
III. SUKSESI FUNGI DAN DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Acacia mangium Abstract Leaf litters of Acacia mangium play an important functional role in ecosystem, producing sources of nutrients and giving diversity of microorganisms. Understanding the variation in fungal populations in A. mangium forest is important due to the roles of fungi in regulating populations of other organisms and ecosystem processes. For these purposes, the tests were conducted under two years’ old of health standing (2S) and Ganoderma attacked standing (2G) using litterbag method. Litter weight losses (WL) and lignin, cellulose, C, N contents were measured each month during eight months of decomposition, as well as fungal community involved was observed. After eight months of decomposition, litter WL were low up to 34.61% (k = 0.7 year-1) in 2S and 30.64% (k = 0.51 year-1) in 2G, as well as lignin WL were low up to 20.05% in 2S and 13.87% in 2G and cellulose WL were 16.34% in 2S and 14.71% in 2G. In both standings, the numbers of fungal species were 21 and 20 respectively, while the totals of fungal species were low on March and April dominated by Penicillium, and tends to increase on May to July dominated by Penicillium and Aspergillus, then decrease again on August to November dominated by Trichoderma, Phialophora, and Pythium. The highest diversity indices were found on July in 2S and on November in 2G, while the lowest evenness indices were found on October in 2S and on April in 2G. Key words: Fungal succession, decomposition, leaf litters, A. mangium
Pendahuluan Kandungan kimia serasah daun terdiri dari komponen struktural dinding sel tumbuhan berupa hemiselulosa, selulosa, dan lignin, sehingga konsentrasi karbonnya lebih besar dari pada nutrient lainnya. Aliran bahan organik tersebut dalam memasuki subsistem tanah di dalam ekosistem hutan dapat terjadi melalui proses dekomposisi. Tingkat dekomposisi serasah dapat dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu fisika-kimia lingkungan, populasi decomposer, dan kualitas bahan organik serasah yang terdekomposisi. Namun jika tidak mempertimbangkan kondisi lingkungan, maka kualitas bahan organik serasah sangat menentukan tingkat dekomposisinya (Sariyildiz 2003). Perbedaan iklim dan kualitas bahan organik serasah dapat menyebabkan waktu yang diperlukan untuk dekomposisi berbeda, demikian juga dengan
22
komposisi komunitas fungi sebagai decomposer juga akan berbeda. Dekomposisi di daerah tropis lebih cepat dibandingkan dengan daerah beriklim sedang. Sebagai contoh di daerah tropis dekomposisi serasah daun Pheonix hanceana berlangsung selama 12 bulan, Saccarum officinarum 14 bulan dan Ananas comasus dua tahun. Sedangkan pada daerah beriklim sedang
massa daun Fagus crenata
terdekomposisi 50% selama 13 tahun dan daun Pteridium aquilinum akan terdekomposisi 90% setelah 11 sampai 23 tahun (Tang et al. 2005). Penelitian Schmit et al. (1999) selama tiga tahun di hutan oak diperoleh 177 spesies fungi yaitu 30 spesies tumbuh pada serasah, 79 tumbuh pada kayu, 36 ektomikoriza dan 29 non mikoriza yang tumbuh di tanah. Sedangkan Osono dan Takeda
(2002)
mengungkapkan
kemampuan
79
isolat
fungi
dalam
mendekomposisi serasah pada hutan cool temperate deciduous di Jepang yaitu enam isolat Basidiomycetes menyebabkan penurunan berat 15.1% sampai 57.67%, 14 spesies Xylaria dan Geniculosporium menyebabkan penurunan antara 4.0% - 14.4%. Isolat lainnya dari Ascomycetes dan Zygomycetes menyebabkan penurunan berat yang rendah. Dalam penelitian tersebut juga terungkap bahwa enam spesies dari Basidiomycetes dan semua Xylaria menunjukkan aktivitas pemutihan (bleaching) pada serasah daun dan meyebabkan dekomposisi lignin dan karbohidrat. Serasah daun A. mangium mengandung senyawa lignoselulosa yang tinggi karena daunnya yang berupa Phyllodium. Selama proses dekomposisi serasah di lantai hutan terjadi pergantian komunitas fungi dekomposer. Pada tahap awal, hanya fungi yang mampu memanfaatkan gula sederhana saja yang mampu mengkoloni serasah, setelah itu akan terjadi kolonisasi secara cepat oleh fungi tanah yang mampu mendegradasi senyawa lignoselulosa yang dikandung serasah (Dix & Webster 1995). Penelitian tentang dekomposisi serasah daun A. mangium sudah pernah dilakukan terutama di hutan tanaman industri (Hardiyanto et al. 2004; Siregar et al. 1999; dan Setiawan 1993), namun penelitian tentang suksesi fungi selama dekomposisi serasah A. mangium belum pernah dilakukan baik pada tegakan yang sehat maupun yang terserang Ganoderma. Pada studi pendahuluan berhasil diisolasi fungi yang berasal dari serasah A. mangium, diantaranya
23
Curvularia sp., Cladosporium sp., Trichoderma sp., Phaecilomyces sp., Diamargaris sp., dan Botrytis sp. (Samingan & Sudirman 2008) Tujuan penelitian ini untuk mengetahui besarnya laju dekomposisi serasah A. mangium di bawah tegakan umur dua tahun yaitu pada tegakan yang sehat dan terserang Ganoderma. Selain itu untuk mengetahui jenis fungi yang berperan dalam dekomposisi dan suksesinya selama proses dekomposisi serasah. Bahan dan Metode Pengambilan serasah dan uji dekomposisi Penelitian dilakukan dari bulan Maret sampai dengan November 2007, di Hutan Tanaman Industri Acacia mangium PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) Riau yaitu di areal Trial Research and Development PT RAPP Sektor Baserah di Kecamatan Kuantan Hilir Kabupaten Kuantan Singingi. Sebelum dilakukan pengujian terlebih dahulu dilakukan pengumpulan serasah A. mangium dengan cara mengumpulkan serasah sebanyak + 10 kg. Serasah yang dikumpulkan adalah serasah yang baru jatuh di lantai hutan, yang masih segar dan belum kering. Selanjutnya serasah dikeringkan dengan sinar matahari sampai beratnya tinggal + 50%. Kemudian serasah dipotong-potong dengan ukuran + 3 x 5 cm. Sebanyak 50 gram serasah ditempatkan di dalam kantong jaring nilon ukuran 20 x 20 cm (ukuran mess 1 mm). Pengujian laju dekomposisi dilakukan di lantai hutan tegakan umur dua tahun pada dua tegakan yang berbeda yaitu tegakan yang sehat (2S) dan tegakan yang terserang oleh Ganoderma (2G) tepatnya di kompartemen J.007 (000 20’48.2” LS dan 1010 47’32.1” BT). Pada setiap lokasi pengujian dibuat tiga ulangan. Pengujian dilakukan dengan metode kantong serasah (White & Haines 1988; Sariyildiz 2003). Penempatan kantong di setiap lokasi pengulangan dilakukan pada tempat seluas + 6 x 15 m (3 baris x 7 kolom pohon) (Lampiran 1). Pada setiap lokasi pengulangan diletakkan 11 kantong yang ditempatkan secara acak, yaitu untuk delapan bulan pengambilan sampel dan tiga lainnya sebagai cadangan. Jumlah keseluruhan kantong yang diletakkan berjumlah 66 kantong. Masing-masing kantong diletakkan di bawah tumpukan serasah, tepatnya di bawah lapisan F atau di atas permukaan tanah. Agar kantong tetap berada pada tempat yang ditentukan, dipancang dengan tonggak bambu. Pengamatan
24
kehilangan berat serasah, kandungan selulosa, lignin, C, dan N serta jenis fungi yang berperan dalam proses dekomposisi dilakukan setiap bulan selama delapan bulan. Setiap bulan diambil tiga kantong serasah (berasal dari tiga ulangan) dari setiap tegakan yang diamati. Analisis serasah setelah dekomposisi Analisis kehilangan berat serasah dan analisis kandungan selulosa dan lignin dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Ternak Departemen Pertanian di Ciawi Bogor. Sedangkan analisis penentuan kadar C dan N dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB.
a. Analisis kehilangan berat serasah Kehilangan berat serasah ditentukan berdasarkan metode oven (Andersson 2005). Serasah yang belum terdekomposisi diambil sebanyak 5 g, dikeringkan dalam oven pada suhu 60o C selama 24 jam kemudian diambil 1 g dan dikeringkan lebih lanjut pada suhu 105o C sampai beratnya konstan (W0). Selanjutnya serasah hasil uji dekomposisi (hasil pengambilan pada setiap pengamatan) juga diambil sebanyak 5 g, dikeringkan dalam oven pada suhu 60o C selama 24 jam kemudian diambil 1 gram dikeringkan lebih lanjut pada suhu 105o C sampai beratnya konstan (Wt). Penghitungan persentase berat serasah yang hilang selama waktu dekomposisi menggunakan rumus: % Berat serasah yang hilang =
W0 − Wt x 100 W0
keterangan: W0 = berat kering serasah sebelum terdekomposisi (berat awal) Wt = berat kering serasah setelah terdekomposisi (berat pada saat pengamatan) b. Preparasi serasah Serasah yang belum terdekomposisi dan serasah hasil dekomposisi (pengambilan pada setiap pengamatan), masing-masing dikeringkan dalam oven pada suhu 60o C selama 24 jam, kemudian serasah tersebut dihancurkan dengan blender. Serbuk serasah yang dihasilkan selanjutnya digunakan sebagai contoh untuk pengujian kadungan lignin, selulosa, C, dan N.
25
c. Analisis kandungan selulosa dan lignin Kandungan selulosa dan lignin ditentukan dengan metode Van Soest (Amrullah & Suryahadi 1992), yang dilakukan sebagai berikut. Sampel serasah kering, baik sebelum terdekomposisi maupun setelah terdekomposisi masingmasing diambil sebanyak 0.5 g ditempatkan di dalam labu refluks, ditambah 50 ml pereaksi ADF dan direbus selama 10 menit, direfluks selama 1 jam pada suhu 220o C, selanjutnya disaring dalam keadaan vakum dengan menempatkannya pada cawan masir yang telah ditimbang (W1), lalu dicuci dengan air panas, aseton dan heksana. Residu yang diperoleh selanjutnya dikeringkan di dalam oven pada suhu 105o C, kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (W2). Nilai ADF diperoleh melalui rumus berikut: ADF =
W2 − W1 x 100 bobot sampel
keterangan: ADF = Acid Detergent Fiber W1 = bobot cawan masir W2 = bobot residu serasah yang telah dikeringkan dalam oven Untuk analisis kandungan selulosa, residu pada cawan masir hasil analisis ADF (W2) ditambahkan 75 ml asam sulfat 72%. Penambahan dilakukan tiga kali dengan selang waktu tiga jam. Pengadukan dilakukan tiap jam dan selanjutnya contoh berturut-turut dicuci dengan air panas sehingga bebas asam, dibilas dengan aseton, lalu dikeringkan dalam oven pada 105o C selama satu malam dan setelah didinginkan ditimbang (W3). Kandungan selulosa ditentukan dengan rumus: Kandungan selulosa =
W2 − W3 x 100 berat sampel
keterangan: W3 = berat W2 yang telah dibilas dengan aseton dan dikeringkan Analisis kandungan lignin dilakukan dengan cara sebagai berikut: residu analisis selulosa (W3) ditempatkan di dalam tanur 500o C selama 3 jam dan didinginkan dalam eksikator kemudian ditimbang (W4). Kndungan lignin ditentukan dengan rumus:
26
Kandungan lignin =
W3 − W4 x 100 berat contoh
keterangan: W4 = berat W3 setelah ditempatkan di dalam tanur 500o C selama 3 jam d. Analisis kandungan C dan N 1. Analisis kandungan karbon sampel kering serasah (sebelum dekomposisi dan hasil dekomposisi) masing-masing diambil sebanyak 0.5 gram dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 5 ml larutan K2Cr2O7 1 N dan 5 ml H2SO4 pekat secara perlahan-lahan. Larutan tersebut dikocok hingga bereaksi sempurna. Selanjutnya sebanyak 1 ml larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 125 ml dan ditambah 9 ml akuades. Campuran dititrasi dengan larutan Fe2(SO4)3 0,1 N dengan indikator difenilalanin sebanyak 2 tetes. Titrasi dihentikan jika warna larutan berubah menjadi warna hijau. Kandungan C ditentukan menggunakan rumus: %C =
(ml titrasi blanko − ml titrasi sampel) x N Fe2(SO4)3 x 3 x 10 x 100 mg sampel
2 . Analisis kandungan nitrogen Sampel kering serasah (sebelum dekomposisi dan hasil dekomposisi) masing-masing diambil sebanyak 0.25 g, dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 2.5 ml H2SO4 pekat dan 0,25 gram selenium. Larutan tersebut kemudian didestruksi hingga jernih. Selanjutnya ke dalam larutan destruksi yang dingin ditambahkan 50 ml akuades kemudian ditambahkan lagi NaOH 40% sebanyak 20 ml lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indikator Brom Cresol GreenMethyl Red. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan
berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan. Kemudian dititrasi dengan HCl 0.1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga terhadap blanko. Kandungan Nitrogen total ditentukan dengan rumus: %N=
(ml titrasi sampel − ml titrasi blanko) x N HCL x 14 x 100 mg sampel x 1000
27
Isolasi fungi yang berperan dalam dekomposisi serasah
Isolasi spesies fungi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PPSHB IPB Bogor. Isolasi fungi dengan metode pengenceran yang dilanjutkan dengan metode cawan tuang dilakukan terhadap sampel dari kantong serasah yang diambil dari lapangan. Sampel serasah yang diperoleh dari lapangan yang belum hancur dipotong-potong menjadi + 0.5 cm, sedangkan sampel yang sudah hancur diambil langsung untuk ditimbang. Sampel diambil sebanyak 10 g dan ditempatkan di dalam botol, selanjutnya ditambahkan akuades steril dan volumenya ditepatkan 100 ml. Kemudian dikocok di atas vorteks selama + 3 menit untuk melepaskan spora dan miselium fungi dari serasah, dengan demikian diperoleh pengenceran 1:10. Suspensi yang diperoleh diencerkan sampai 104, kemudian pada pengenceran 103 dan 104 masing-masing diambil 1 ml dengan pipet dan ditempatkan di dalam cawan Petri steril. Media potato dextrose agar (PDA) ditambah 10 mg/l benomil, 500 mg/l asam galat dan 250 mg/l kloramfenikol digunakan untuk mengisolasi Ganoderma (Chang et al. 2002), sedangkan untuk mengisolasi Trichoderma dan fungi lainnya digunakan media malt extract agar (MEA) yang sudah ditambah 250 mg/l kloramfenikol (Lampiran
5). Kedua media tersebut (masing-masing 10 ml) pada suhu + 40 oC dituangkan ke dalam cawan yang mengandung suspensi sampel, kemudian digoyang-goyang agar suspensi tersebar rata dalam media (Osono & Takeda 2002). Masing-masing pengenceran tersebut dibuat dua ulangan pada kedua media yang digunakan. Pengamatan terhadap koloni fungi (CFU = Colony Forming Unit) dilakukan setelah 24 jam inkubasi pada suhu kamar (+ 28o C) sampai tidak terjadi lagi penambahan koloni. Pengamatan dilakukan pada hasil isolasi yang berasal dari suspensi hasil pengenceran yang paling baik untuk dihitung yaitu 10–30 koloni per cawan. Masing-masing koloni fungi yang berbeda warna dan pola pertumbuhannya dihitung jumlahnya dalam setiap sampel yang diamati. Setiap spesies fungi yang telah dihitung dimurnikan pada media MEA untuk diidentifikasi. Isolat yang diperoleh diidentifikasi berdasarkan pada penampakan morfologi koloni, morfologi hifa, spora aseksual dan struktur lainnya. Ciri-ciri dan struktur yang diamati dicocokkan dengan buku acuan yang digunakan untuk
28
identifikasi antara lain Barnett & Hunter (1998), Klich & Pitt (1988), Pitt (1988), Burgress et al. (1994), Rayner & Boddy (1995), dan Watanabe (2002). Analisis Data
Laju dekomposisi serasah A. mangium selama proses dekomposisi dihitung menggunakan model Olson (Takeda et al. 1984) yang merupakan fungsi eksponensial pangkat negatif : xt/x0 = e-kt xt = berat serasah pada periode pengamatan ke-t x0 = berat awal serasah e = bilangan logaritma natural (2.7183) k = laju dekomposisi per bulan t = periode pengamatan ke-t Untuk pengolahan data, model tersebut ditransformasi menjadi bentuk regresi linier sederhana: Y = bx Y = log xt/x0; b = -k log e; x = t Penghitungan indeks keanekaragaman spesies fungi untuk setiap bulan pengamatan menggunakan Shannon’s diversity Index (Magurran 1988) dengan persamaan: s
H ' = − ∑ ( p i ln p i ) i =1
n pi = i N
H ' = keanekaragaman spesies, s = jumlah spesies, p i = proporsi jumlah individu spesies ke i dibandingkan dengan jumlah total individu semua spesies, ni = jumlah individu spesies ke i, N = jumlah total individu semua spesies Untuk menentukan tingkat kemerataan spesies (Evenness) digunakan indeks kemerataan (Atlas & Bartha 1993) dengan persamaan: E = H ' /ln (s)
s = jumlah spesies
29
Hasil dan Pembahasan Laju dekomposisi serasah
Persentase berat serasah daun A. mangium yang hilang setelah delapan bulan proses dekomposisi di bawah tegakan 2S dan 2G menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P = 0.009). Persentase berat serasah yang hilang setelah didekomposisikan selama delapan bulan pada tegakan 2S adalah 34.61%, sedangkan pada 2G adalah 30.64% (Gambar 8). Demikian juga persentase berat lignin dan selulosa menunjukkan perbedaan yang nyata antara serasah yang didekomposisikan di bawah tegakan 2S dan 2G (P = 0.03 dan P = 0.02 berturutturut untuk lignin dan selulosa). Persentase kandungan lignin yang hilang pada tegakan 2S sebanyak 20.05%, sedangkan pada 2G sebanyak 13.87%. Persentase kandungan selulosa yang hilang pada tegakan 2S sebanyak 16.34%, sedangkan pada 2G sebanyak 14.71% (Gambar 9). Laju dekomposisi serasah daun A. mangium pada tegakan 2S 0.7 per tahun, sedangkan pada 2G 0.51 per tahun. Laju
dekomposisi lignin 0.59 pada tegakan 2S dan 0.36 pada 2G. Laju dekomposisi selulosa 0.99 pada tegakan 2S dan 0.81 pada 2G (Tabel 1).
Persentase berat serasah
120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00
ov em be r N
kt ob er O
Se pt em be r
Ag us tu s
Ju li
Ju ni
M ei
Ap ril
M ar et
0.00
Waktu pengamatan (tahun 2007) Tegakan Sehat
Tegakan Terserang Ganoderma
Gambar 8 Persentase berat serasah selama delapan bulan dekomposisi serasah daun A. mangium pada tegakan umur dua tahun Keterangan: Bar = standard error
30
Kandungan lignin (%)
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00
N ov em be r
kt ob er O
Se pt em be r
Ag us tu s
Ju li
Ju ni
M ei
Ap ri l
A
M ar et
0.00
Waktu pengamatan (2007) Di baw ah tegakan sehat
Di baw ah tegakan terserang Ganoderma
Kandungan selulosa (%)
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00
N ov em be r
kt ob er O
Se pt em be r
Ju li
Ag us tu s
B
Ju ni
M ei
Ap ri l
M ar et
0.00
Waktu pengamatan (2007) Di baw ah tegakan sehat
Di baw ah tegakan terserang Ganoderma
Gambar 9 Kandungan lignin dan selulosa selama delapan bulan dekomposisi serasah daun A. mangium di bawah tegakan umur dua tahun Keterangan: A= Kandungan lignin dan B= Kandungan selulosa, Bar = standard error
Tabel 1 Laju dekomposisi serasah, lignin dan selulosa di bawah tegakan A. mangium umur dua tahun Kondisi tegakan Tegakan sehat Tegakan terserang Ganoderma k = laju dekomposisi per tahun
k R2 k R2
Dekomposisi serasah 0.70 0.99 0.51 0.98
Dekomposisi lignin 0.59 0.92 0.36 0.87
Dekomposisi selulosa 0.99 0.97 0.81 0.97
31
Berdasarkan hasil di atas terlihat bahwa proses dekomposisi lebih cepat terjadi pada 2S dari pada 2G. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan di bawah
kedua kelompok tegakan tempat pengujian terutama
kandungan air pada serasahnya. Kandungan air pada serasah di bawah tegakan 2G lebih rendah dibandingkan pada 2S (Gambar 10), dan secara fisik terlihat bahwa kondisi serasah di bawah 2G lebih kering dibandingkan dengan serasah di bawah 2S. Perbedaan kondisi serasah tersebut dapat menyebabkan perbedaan pertumbuhan dan aktivitas dekomposer terutama fungi. Keberadaan air dalam suatu substrat merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi aktivitas fungi (Kredics et al. 2003). Dalam penelitian ini kehilangan berat serasah setelah delapan bulan dekomposisi yaitu 34.61% pada tegakan 2S dan 30.64% pada 2G yang masih lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya yaitu 61.07% setelah 4,5 bulan (Siregar
et al. 1999) dan 55.8%
setelah 12 bulan (Hardiyanto et al. 2004). Perbedaan ini disebabkan pada penelitian terdahulu tidak menggunakan kantong serasah seperti yang digunakan pada penelitian ini yaitu kantong berukuran mess 1 mm2. Penggunaan kantong serasah dengan ukuran mess 1 mm2 dapat menghalangi kontak serasah dengan cacing tanah dan fauna tanah lainnya yang dapat mempercepat proses dekomposisi, sehingga proses dekomposisi serasah hanya dilakukan oleh mikrob
90.00
450
80.00
400
70.00
350
60.00
300
50.00
250
40.00
200
30.00
150
20.00
100
10.00
50
0.00
Curah hujan (mm)
Kandungan air serasah (%)
tanah terutama fungi (Dickinson & Pugh 1974).
0 Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agus
Sep
Okt
Nov
Waktu pengamatan (2007) Tegakan sehat
Tegakan terserang Ganoderma
Curah hujan
Gambar 10 Kandungan air pada serasah selama delapan bulan dekomposisi serasah A. mangium pada tegakan umur dua tahun Keterangan: Bar = standard error
32
Laju dekomposisi serasah pada penelitian ini yaitu 0.70 per tahun pada 2S dan 0.51 per tahun pada 2G, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu yaitu 0.84 per tahun (Hardiyanto et al. 2004). Berdasarkan klasifikasi laju dekomposisi, hasil yang diperoleh dalam penelitian ini tergolong lambat. Menurut Barlocher (2005), laju dekomposisi lambat jika nilai k < 0.005 per hari (<1.8 per tahun), laju sedang jika k = 0.005 – 0.01 per hari (1.8 – 3.6 per tahun) dan laju cepat jika k > 0.01 per hari (> 3.6 per tahun). Pada penelitian sebelumnya tidak dilakukan pengukuran terhadap laju dekomposisi lignin dan selulosa. Laju dekomposisi selulosa lebih tinggi dibandingkan dengan laju dekomposisi lignin karena selama proses dekomposisi serasah, mikrob dekomposer akan mendegradasi senyawa yang lebih sederhana dari pada senyawa yang kompleks (Deka & Mishra 1982). Pada prinsipnya karbohidrat seperti selulosa dan hemiselulosa lebih mudah didekomposisi, sedangkan lignin lebih resisten terhadap mikrob sehingga proses dekomposisinya berlangsung lebih lama (Schmidt 2006). Selama proses dekomposisi juga terlihat adanya kecenderungan penurunan kadar C-organik, sedangkan kadar N cenderung meningkat (Gambar 11). Hasil ini sama dengan pola penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Setiawan (1993). Penurunan kandungan C-organik selama proses dekomposisi berkaitan dengan pemanfaatan energi yang berasal dari residu tanaman oleh mikrob yang terlibat di dalam proses dekomposisi. Selama proses dekomposisi sebagian besar karbon akan dibebaskan dalam bentuk CO2 oleh mikrob pada kondisi aerobik, sedangkan pada kondisi anaerobik karbon dibebaskan sebagai metan, garam-garam organik, alkohol dan CO2 (Atlas & Bartha 1993). Namun tidak semua karbon dilepaskan dalam bentuk CO2 walaupun dalam kondisi yang terbaik, karena sebagian dari karbon tersebut akan diasimilasi oleh mikrob dekomposer untuk sintesis sel tubuhnya. Peningkatan kandungan nitrogen disebabkan oleh terjadinya degradasi protein pada serasah oleh fungi, selain itu juga berasal dari mobile nitrogen pada hifa fungi dan immobile nitrogen di dalam enzim yang diekskresikan oleh fungi ke subtrat serasah. Pertumbuhan miselium fungi pada serasah selama proses dekomposisi juga menyebabkan peningkatan konsentrasi nitrogen (Miyamoto & Hiura 2008).
2.50
40.00
2.00
30.00
1.50
20.00
1.00
10.00
0.50
0.00
0.00 Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agus
Sep
Okt
Nov
Waktu pengamatan (2007)
A
C
N
50.00
Kandungan C-organik (%)
Kandungan N (%)
50.00
3.00 2.50
40.00
2.00 30.00 1.50 20.00 1.00 10.00
Kandungan N (%)
Kandungan C-organik (%)
33
0.50
0.00
0.00 Maret
B
April
Mei
Juni
Juli
Agus
Sep
Okt
Nov
Waktu pengamatan (2007)
C
N
Gambar 11 Kandungan C dan N selama delapan bulan dekomposisi serasah A. mangium pada tegakan umur dua tahun Keterangan: A = tegakan sehat dan B = tegakan terserang Ganoderma, Bar = standard error
Populasi fungi
Jumlah spesies fungi yang diisolasi dari serasah daun yang diletakkan di bawah tegakan 2S dan 2G adalah hampir sama yaitu masing-masing 21 dan 20. Pada kedua tegakan tersebut jumlah spesies yang diperoleh setiap bulan selama delapan bulan dekomposisi mempunyai pola yang sama (Tabel 2). Jumlah spesies
34
fungi
selama delapan bulan dekomposisi untuk tegakan 2S berkisar 4 – 9
sedangkan pada 2G 3 – 8. Pada 2S, jumlah spesies tertinggi ditemukan pada bulan Juni dan Juli, sedangkan pada 2G hanya pada bulan Juni. Rata-rata populasi fungi pada 2S berkisar antara 36 – 202 x 103 CFU/ml dan pada 2G 40 – 269 x 103 CFU/ml. Pada 2S populasi tertinggi ditemukan pada bulan Maret yang didominasi oleh Penicillium minioluteum dengan frekwensi relatifnya (FR) adalah 11.76%, sedangkan pada 2G terdapat pada bulan Maret dan April yang didominasi oleh Aspergillus flavus (FR 10.64%) dan Aspergillus sp5 (FR 6.39%). Berdasarkan
hasil tersebut populasi Aspergillus sp5 adalah tinggi tetapi frekwensi relatifnya rendah. Indeks keanekaragaman fungi tertinggi diperoleh pada bulan Juli (H’= 1.79) pada 2S dan bulan November (H’= 1,55) pada 2G, sedangkan indeks kemerataan spesies fungi yang terendah diperoleh pada bulan Oktober (E= 0.50) pada 2S dan bulan April (E= 0.56) pada 2G. Tabel 2 Keragaman fungi selama delapan bulan dekomposisi serasah A. mangium pada tegakan umur dua tahun Waktu Jml Pengamatan spesies (tahun 2007) Tegakan sehat (21 spesies) Maret 5 I April 5 Mei 6 Juni II 7 Juli 9 Agustus 5 September 4 Oktober III 5 November 5
H'
E
1.37 1.09 1.20 1.64 1.79 1.21 1.34 0.81 0.97
0.85 0.68 0.69 0.84 0.81 0.75 0.96 0.50 0.70
Rata-rata populasi (CFUx103)/ml
Spesies fungi dengan populasi tertinggi
FR (%)
202 142 88 147 58 88 75 137 36
Penicillium minioluteum Sp 28D Penicillium sp2, Aspergillus fumigatus Sp 6D Trichoderma piluliferum Mortierella exigua A. parasiticus Pythium splendens
11.76 7.84 9.80 5.88 7.84 5.88 1.96 3.92 3.92
Tegakan terserang Ganoderma (20 spesies)
Maret 5 1.46 0.91 269 Aspergillus sp5 6.39 I April 5 0.90 0.56 160 A. flavus 10.64 Mei 6 1.25 0.78 122 P. minioluteum 12.77 Juni II 8 1.48 0.71 123 P. minioluteum 12.77 Juli 5 1.45 0.90 71 A. fumigatus 8.51 Agustus 3 0.79 0.72 62 Phialophora richardsiae 2.13 September III 5 1.36 0.85 99 Mortierella exigua 4.26 5 1.16 0.72 119 A. parasiticus 2.13 Oktober 5 1.55 0.96 40 Sp 40D 2.13 November keterangan: H' = indeks keanekaragaman, E = indeks kemerataan spesies, FR= frekwensi relatif I = periode pertama, II = periode kedua, III = periode ketiga
35
Jumlah spesies fungi yang diperoleh setiap bulannya selama delapan bulan dekomposisi pada tegakan 2S dan 2G mempunyai pola yang mirip. Jumlah spesiesnya rendah selama periode pertama (Maret dan April) dan cenderung meningkat pada bulan Mei, Juni dan Juli (periode kedua), kemudian menurun kembali pada Agustus hingga November (periode ketiga). Hasil ini sesuai dengan Atlas & Bartha (1993) yang menyatakan bahwa selama tahap awal suksesi komunitas, jumlah spesies cenderung meningkat dan puncak keanekaragaman spesies terjadi pada periode awal atau periode pertengahan suksesi dan menurun secara gradual sampai komunitas menjadi stabil. Selama delapan bulan dekomposisi terlihat adanya suksesi fungi pada tegakan 2S maupun 2G (Gambar 12). Pada periode awal sampai periode ke dua dekomposisi spesies fungi yang tumbuh didominasi oleh spesies dari genus Penicillium dan Aspergillus yang merupakan sugar fungi dan fungi yang umum
ditemukan di tanah, sedangkan pada periode ketiga didominasi oleh Trichoderma (sebagai pendegradasi selulosa), Phialophora, Sp 9D dan Pythium sebagai secondary sugar fungi. Pola suksesi ini sama dengan pola yang dijelaskan oleh
Dix dan Webster (1995) bahwa fungi yang mengkolonisasi pada saat awal merupakan fungi yang dapat mendegradasi selulosa selain gula. Fungi yang tumbuh pada periode awal dan pertengahan suksesi merupakan fungi yang mampu menghidrolisis gula dan selulosa (Osono 2005). Kehadiran Penicillium, Aspergillus dan Trichoderma berguna untuk mereduksi kejadian penyakit busuk pangkal batang antara 5% sampai 40% pada perkebunan kelapa sawit (Sariah dan Zakaria 2000). Trichoderma juga mempunyai kemampuan antagonistik yang kuat terhadap Ganoderma yang merupakan patogen busuk akar merah pada A. mangium (Widyastuti 2006). Berdasarkan hasil penelitian ini, Trichoderma ditemukan pada periode ketiga (Agustus sampai November), sehingga jika ingin mengaplikasikan Trichoderma dengan menggunakan serasah A. mangium maka dilakukan setelah serasah didekomposisikan selama lima bulan. Dalam penelitian ini, selama delapan bulan dekomposisi tidak ditemukan Ganoderma dan Basidiomycetes lainnya. Secara umum fungi tersebut mampu
mendegradasi serasah A. mangium yang memiliki kandungan lignin dan selulosa
36
tinggi. Hasil ini berkaitan dengan rendahnya penurunan kandungan lignin dan selulosa. Kemampuan dari berbagai agarik (Basidiomycetes) dalam mendegradasi lignin dan selulosa telah dicoba pada serasah daun Fagus sylvatica dan pada jerami Glyceria maxima. Pada Fagus sylvatica kehilangan lignin dan selulosanya masing-masing 32.3 – 76.5% dan 6.4 – 73.9%, sedangkan pada Glyceria maxima kehilangan lignin dan selulosanya 41 - 77% dan 6.4% - 73.9% (Dix & Webster, 1995).
350 300
9
Populasi fungi (CFU) x 10 3/ml
1
250 15
200 150
8
1
4 12 13
100 6 3 2
50
13
1
Maret
5
5 15
0
12
6
April
3
13
1
10 4
A
9
3
5
15
12
Mei
Juni
5
4
2
2
7
1 8
6 12 15 14 10
Juli
12
1
17 19 18
17
21 20
14
Agust
Sept
Okt
Nov
Waktu pengamatan (2007)
350 300
3
Populasi fungi (CFU) x 10 /ml
2 3
250 1
9
1
200 1
150
8 1 3
100
7
6 50
12 10
3
5 10 12 4
0
B
22
2
Maret
April
6 14 Mei
3
5
11 4 2
Juni
14
4 12
1 13
14 Juli
18
5
3 1
Agus t
13
4 Sept
23
14 7
Okt
17 23 21 11
20
Nov
Waktu pengamatan (2007)
Gambar 12 Populasi fungi yang ditemukan selama delapan bulan dekomposisi serasah A. mangium pada tegakan umur 2 tahun Keterangan: A = Tegakan sehat, B = Tegakan terserang Ganoderma 1 2 3 4 5 6 7 8
Penicillium minioluteum Aspergillus sp5 Aspergillus flavus Aspergillus fumigatus Sp 6D Aspergillus sp3 Sp 9D Aspergillus sp6
9 10 11 12 13 14 15 16
Aspergillus parasiticus Aspergillus sp7 Sp 16D Penicillium sp2 Trichoderma pipuliferum Pythium intermedium Sp 28D Pythium sp 1
17 18 19 20 21 22 23
Pythium splendens Trichoderma longibrachiatum Pythium elongatum Sp 40 D Sp 41D Phialophora richardsiae Trichoderma koningii
37
Simpulan
1. Proses dekomposisi serasah daun A. mangium berlangsung lambat, karena setelah delapan bulan dekomposisi hanya terjadi kehilangan berat sebesar 34.61% (laju dekomposisi 0.7 pertahun) di bawah tegakan sehat dan 30.64% (laju dekomposisi 0.51 pertahun) di bawah tegakan terserang Ganoderma. Persentase kehilangan berat lignin pada tegakan sehat yaitu 20.05% dan pada tegakan terserang Ganoderma 13.87%, sedangkan persentase kehilangan berat selulosa pada tegakan sehat yaitu 16.34% dan pada tegakan terserang Ganoderma 14.71%.
2. Selama delapan bulan dekomposisi serasah di bawah tegakan sehat jumlah spesies fungi yang ditemukan adalah 21 dan pada tegakan terserang Ganoderma adalah 20. Total spesiesnya rendah pada periode pertama
dekomposisi (Maret-April), kemudian cenderung meningkat pada periode kedua (Mei-Juli) dan cenderung menurun kembali pada periode ketiga dekomposisi (Agustus-November). Pada periode pertama sampai kedua dekomposisi, fungi yang tumbuh didominasi oleh genus Penicillium dan Aspergillus sedangkan pada periode ketiga didominasi oleh Trichoderma, Phialophora dan Pythium.
38
IV. KOMUNITAS FUNGI PADA LAPISAN SERASAH Acacia mangium Abstract Fungal study on Acacia mangium litter layers were investigated to examine fungal communities in tree litter layers, and relationship between organic contents of litters and fungal communities. Samples were obtained from three litter layers of two and five years’ old standings both in health (2S and 5S) and Ganoderma attacked standing (2G and 5G) and on harvested area (BT). Fungal species were isolated by dilution method. Organic contents of each litter layers were analized by proximate method. The results showed that the highest fungal populations were found in 5G followed by 5S, 2S, 2G and BT respectively. Fungal populations were high at L layer in all standings except in BT at F layer due to their height organic contents.
Key words: fungal communities, diversity, litter layers, decomposition, A. mangium Pendahuluan
Peran fungi dalam proses dekomposisi serasah daun sangatlah penting karena fungi mempunyai kemampuan mendegradasi senyawa lignoselulosa yang tidak dapat dilakukan oleh mikrob lain (Tang et al. 2005). Kelompok fungi yang memiliki kemampuan lignoselulolitik tinggi berasal dari fungi pelapuk putih (white rot fungi). Steffen et al. (2002) mengemukakan bahwa fungi dari kelompok basidiomiset yang tumbuh pada serasah lantai hutan mampu mendekomposisi serasah melalui aktivitas enzim ekstraseluler MnP (manganese peroxidase) dan aktif terlibat dalam siklus hara di lantai hutan. (Rodriguez et al. 1996) menambahkan bahwa beberapa Imperfect fungi (Deuteromycetes) terutama Penicillium dan Fusarium juga mampu mendegradasi senyawa-senyawa
lignoselulosa. Demikian juga Trichoderma mampu mendegradasi selulosa (Nieves et al. 1991).
Penelitian yang telah dilakukan pada serasah daun Fagus crenata menunjukkan adanya kecenderungan suksesi fungi endofit dan epifit mulai dari daun yang segar sampai daun yang terdekomposisi (Osono & Takeda, 2002). Pada tumbuhan Qat (Chanta edulis) berhasil diisolasi beberapa fungi philloplant antara lain Cladosporium herbarum, C. sphaerospermum, Aspergillus niger, A. flavus, Alternaria alternata dan A. tenuissima (Alhubaishi & Abdel-Kader, 1991). Pada
39
serasah daun Fagus silvatica fungi pengkoloni awal yang sering
ditemukan
adalah Discula quercina, Cladosporium herbarum, Aureobasidium pullulans, Alternaria tennis, dan Botrytis cinerea (Dickinson dan Pugh, 1974).
Keberadaan fungi pada serasah A. mangium belum diperoleh banyak informasi, tetapi pada serasah daun yang terdekomposisi ditemukan Trichoderma sp., Curvularia sp. dan Alternaria sp. (Samingan et al. 1999). Dalam penelitian pendahuluan berhasil diisolasi 12 spesies fungi dari daun segar, daun senesen dan serasah daun A. mangium di Darmaga IPB Bogor, enam diantaranya berhasil diidentifikasi yaitu Curvularia sp., Cladosporium sp., Trichoderma sp., Phaecilomyces sp., Diamargaris sp., dan Botrytis sp. sedangkan enam lainnya
belum teridentifikasi (Samingan & Sudirman 2008). Keberadaan fungi pada daun A. mangium menarik untuk diteliti karena daun tumbuhan ini merupakan modifikasi dari tangkai daun (phillodium), sehingga kandungan lignoselulosanya lebih tinggi dibandingkan dengan daun tumbuhan lain. Tingginya kandungan lignoselulosa tersebut menyebabkan proses dekomposisi menjadi lambat, akibatnya terjadi penumpukan serasah yang membentuk lapisan. Lapisan-lapisan yang terbentuk adalah lapisan L yaitu lapisan serasah bagian atas (yang masih utuh), lapisan F yaitu lapisan serasah bagian tengah yang sebagian sudah terdekomposisi, dan lapisan H yaitu lapisan bagian bawah yang sudah terdekomposisi atau lapisan yang berada pada lapisan permukaan tanah (Danoff-Burg 2006). Pada setiap lapisan kemungkinan mempunyai iklim mikro dan kandungan bahan organik yang berbeda, sehingga kemungkinan juga dihuni oleh spesies fungi yang berbeda. Keberadaan fungi pada lapisan serasah tersebut kemungkinan ada yang berpotensi sebagai antagonis dari fungi penyebab penyakit pada A. mangium sehingga dapat digunakan sebagai salah satu usaha penanganan penyakit terutama yang disebabkan oleh Ganoderma yang menyebabkan kerugian besar pada hutan tanaman industri akasia. Tujuan penelitian ini untuk mengamati komunitas fungi yang tumbuh pada setiap lapisan serasah A. mangium, baik pada tegakan sehat maupun pada tegakan terserang Ganoderma, juga pada areal bekas tebangan. Selain itu untuk mengamati keterkaitan antara kandungan bahan organik pada setiap lapisan serasah dengan komunitas fungi.
40
Bahan dan Metode Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan Maret sampai dengan November 2007. Pengambilan sampel di lapangan dilakukan pada bulan Maret 2007 di Hutan Tanaman Industri A. mangium PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) Riau yaitu di areal Trial Research and Development PT RAPP Sektor Baserah di Kecamatan Kuantan Hilir Kabupaten Kuantan Singingi. Areal ini memiliki jenis tanah podsolik merah kuning (PMK) dan aluvial serta tipe iklim A. Secara geografis Sektor Baserah berada pada 0o14’00”- 0o25’00” LS dan 101o37’00”-101o54’00” BT (PT RAPP 2006). Suhu udara rata-rata tahunan 29.92 oC, kelembaban relatif rata-rata 70.49% dan curah hujan rata-rata 8.21 mm. Sedangkan penelitian di laboratorium untuk analisis sampel serasah dan pengamatan keanekaragaman fungi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB Bogor. Pengambilan sampel serasah
Pengambilan sampel serasah dilakukan pada lokasi yang berbeda kondisi tegakannya. Lokasi yang dimaksud adalah (1) lokasi tegakan yang sehat, yaitu lokasi yang terdapat pohon sehat dikelilingi oleh pohon sehat, (2) lokasi tegakan yang terserang oleh Ganoderma yaitu lokasi yang terdapat tegakan terserang Ganoderma dan dikelilingi oleh tegakan terserang Ganoderma, dan (3) lokasi
bekas tebangan. Pada tegakan yang sehat dan yang terserang oleh Ganoderma di bagi lagi berdasarkan umur tegakan yaitu dua dan lima tahun. Pengambilan sampel pada tegakan umur dua tahun sehat (2S), dan tegakan dua tahun terserang Ganoderma (2G) dilakukan di kompartemen J.007 (000 20’48.2” LS dan 1010
47’32.1” BT), pengambilan serasah pada tegakan lima tahun sehat (5S) dan tegakan lima tahun terserang Ganoderma (5G) dilakukan di kompartemen J.004 (000 20’48.6” LS dan 1010 47‘17.6“ BT). Pengambilan sampel pada areal bekas tebangan (BT) dilakukan di kompartemen J 074. Pengulangan dilakukan dengan cara mengambil serasah mengikuti garis lurus dengan jarak interval + 100 meter, sedangkan pengulangan pada areal bekas tebangan dilakukan mengikuti garis lurus dari tepi jalan menuju green belt hutan alami dengan interval + 100 meter.
41
Sampel yang diambil adalah serasah daun pada lapisan L (serasah yang belum terdekomposisi), F (serasah yang sedang terdekomposisi) dan H (serasah yang sudah terdekomposisi). Pada setiap lokasi dilakukan pengambilan sampel dengan luas petak cuplikan 50 x 50 cm (Miyamoto & Igarashi 2004). Penempatan petak cuplikan dilakukan pada jarak 0.5 sampai 1 meter dari pohon A. mangium, baik yang sehat maupun yang terserang Ganoderma. Pengambilan sampel pada setiap lapisan dari setiap lokasi dibuat lima ulangan. Pada masing-masing lapisan serasah di setiap petak cuplikan diaduk terlebih dahulu sampai homogen, kemudian diambil sebagai sampel sebanyak + 100 g. Jumlah sampel seluruhnya adalah 75 sampel, dengan perincian: 2S, 2G, 5S, 5G masing-masing 15 sampel, dan BT juga 15 sampel. Masing-masing sampel yang diambil dimasukkan ke dalam kantong plastik steril dan diberi label, lalu dibawa ke laboratorium kemudian disimpan di kulkas (suhu +10o C), selanjutnya diisolasi dan diidentifikasi spesies funginya. Pada kegiatan ini diamati juga kondisi lingkungan pada serasah yang meliputi ketebalan masing-masing lapisan serasah, intensitas cahaya, suhu, pH, dan kelembapan yang diukur pada saat pengambilan sampel. Isolasi fungi
Isolasi fungi dilakukan dengan metode pengenceran yang dilanjutkan dengan metode cawan tuang terhadap sampel dari lapangan. Sampel serasah yang yang masih utuh (dari lapisan L dan F) dipotong-potong menjadi + 0.5 cm, sedangkan sampel yang sudah hancur (dari lapisan H) diambil langsung untuk ditimbang. Sampel diambil sebanyak 10 g dan ditempatkan di dalam botol, selanjutnya ditambahkan akuades steril dan volumenya ditepatkan 100 ml. Kemudian dikocok di atas vorteks selama + 3 menit untuk melepaskan spora dan miselium fungi dari serasah, dengan demikian diperoleh pengenceran 1:10. Suspensi yang diperoleh diencerkan sampai 104, kemudian pada pengenceran 103 dan 104 masing-masing diambil 1 ml dengan pipet dan ditempatkan di dalam cawan Petri steril. Media potato dextrose agar (PDA) ditambah 10 mg/l benomil, 500 mg/l asam galat dan 250 mg/l kloramfenikol digunakan untuk mengisolasi Ganoderma (Chang et al. 2002), sedangkan untuk mengisolasi Trichoderma dan
fungi lainnya digunakan media malt extract agar (MEA) yang sudah ditambah
42
250 mg/l kloramfenikol (Lampiran 5). Kedua media tersebut (masing-masing 10 ml) pada suhu + 40 oC dituangkan ke dalam cawan yang mengandung suspensi sampel, kemudian digoyang-goyang agar suspensi tersebar rata dalam media (Osono & Takeda 2002). Masing-masing pengenceran tersebut dibuat dua ulangan pada kedua media yang digunakan. Pengamatan terhadap koloni fungi (CFU = Colony Forming Unit) dilakukan setelah 24 jam inkubasi pada suhu kamar (+ 28o
C) sampai tidak terjadi lagi penambahan koloni. Pengamatan dilakukan pada hasil isolasi yang berasal dari suspensi hasil pengenceran yang paling baik untuk dihitung yaitu 10–30 koloni per cawan. Masing-masing koloni fungi yang berbeda warna dan pola pertumbuhannya dihitung jumlahnya dalam setiap sampel yang diamati. Setiap spesies fungi yang telah dihitung dimurnikan pada media MEA untuk diidentifikasi. Isolat yang diperoleh diidentifikasi berdasarkan pada penampakan morfologi koloni, morfologi hifa, spora aseksual dan struktur lainnya. Ciri-ciri dan struktur yang diamati dicocokkan dengan buku acuan yang digunakan untuk identifikasi antara lain Barnett & Hunter (1998), Klich & Pitt (1988), Pitt (1988), Burgress et al. (1994), Rayner & Boddy (1995), dan Watanabe (2002). Analisis bahan organik serasah
Analisis kandungan bahan organik dilakukan untuk serasah lapisan L, F dan H yang berasal dari tegakan sehat, tegakan terserang Ganoderma dan dari areal bekas tebangan. Analisis dilakukan dengan analisis proksimat yang meliputi kadar air, abu, lemak, protein, serat kasar dan karbohidrat (Amrullah & Suryahadi 1992) Analisis data
Penghitungan indeks keanekaragaman spesies fungi untuk masing-masing lapisan serasah menggunakan Shannon’s diversity Index (Magurran 1988) dengan persamaan: s
H ' = − ∑ ( p i ln p i ) i =1
n pi = i N
43
H ' = keanekaragaman spesies, s = jumlah spesies, p i = proporsi jumlah individu spesies ke i dibandingkan dengan jumlah total individu semua spesies, = jumlah individu spesies ke i, ni N = jumlah total individu semua spesies Untuk menentukan tingkat kemerataan spesies (Evenness) digunakan indeks kemerataan (Atlas dan Bartha 1993) dengan persamaan: E = H ' /ln (s) s = jumlah spesies
Hasil dan Pembahasan
Pada tegakan sehat umur dua tahun (2S) jumlah spesies fungi yang ditemukan pada lapisan L, F dan H masing-masing adalah 10, 9 dan 8. Pada tegakan terserang Ganoderma (2G) jumlah spesies fungi yang ditemukan pada lapisan L, F dan H masing-masing adalah 9, 10 dan 11. Rata-rata populasi fungi (CFU = coloni forming unit) pada tegakan dua tahun yaitu berkisar 81.6 – 117.0 x 103/ml pada 2S dan 95.8 – 121.0 x 103/ml pada 2G. Pada kedua tegakan tersebut populasi tertinggi pada lapisan L yang didominasi oleh Aspergillus sp 1 pada 2S namun frekwensi relatifnya rendah yaitu 6.25% (kisarannya 6.25% - 18.8%) sedangkan pada 2G didominasi oleh Aspergillus parasiticus yang frekwensi relatifnya lebih tinggi yaitu 25% (kisarannya 7.14% - 25.0%) (Tabel 3 dan Gambar 13). Pada tegakan sehat umur lima tahun (5S) jumlah spesies fungi yang ditemukan pada lapisan L, F dan H masing-masing adalah 11, 9 dan 9. Pada tegakan terserang Ganoderma (5G) jumlah spesies fungi yang ditemukan pada lapisan L, F dan H masing-masing adalah 9, 10 dan 11. Rata-rata populasi fungi (CFU) pada tegakan lima tahun yaitu berkisar 122.8 – 190.0 x 103/ml pada 5S dan 163.0 – 191.6 x 103/ml pada 5G. Pada kedua tegakan tersebut populasi tertinggi juga pada lapisan L yang didominasi oleh Penicillium canesens pada 5S yang frekwensi relatifnya 12.5% (kisarannya 5.56% - 20,0%) sedangkan pada 5G didominasi oleh Sp5 yang frekwensi relatifnya rendah yaitu 6.25% (kisarannya 6.67% - 28.0%) (Tabel 3 dan Gambar 13).
44
Pada areal bekas tebangan (BT) jumlah spesies fungi yang ditemukan pada lapisan L, F dan H masing-masing adalah 11, 9 dan 11. Rata-rata populasi fungi (CFU) berkisar 66.4 – 87.4 x 103/ml. Populasi tertinggi terdapat pada lapisan F yang didominasi oleh oleh Sp5 namun frekwensi relatifnya rendah yaitu 7.69% (kisarannya 6.25% - 21.40%) (Tabel 3 dan Gambar 13). Tabel 3 Populasi fungi pada lapisan serasah A. mangium Lapisan serasah
Tegakan 2S
Asal serasah
Rerata populasi (CFU) x103/ml
Tegakan 2G Tegakan 5S
Spesies fungi dengan populasi tertinggi
10 9 8
2.16 1.71 1.74
0.90 0.78 0.84
Aspergillus sp1 Fusarium oxysporum A. flavus
L F H
121.00 102.40 95.80
28 9 10 11
1.97 2.06 2.15
0.86 0.89 0.90
Aspergillus parasiticus Fusarium oxysporum A. flavus
L F H
190.00 168.80 122.80
31 10 10 12
2.13 1.85 2.08
0.93 0.84 0.84
Penicillium canesens Fusarium oxysporum Aspergillus sp4
L F H
191.60 177.20 163.00
32 11 9 9
2.16 1.77 1.54
0.90 0.81 0.74
Sp 5 dan Pythium salpingophorus Pythium salpingophorus Fusarium oxysporum
L
68.40 87.00 66.40
29 11 9 11
2.00 1.46 2.07
0.83 0.66 0.86
Sp 22 Sp 5 Aspergillus flavus
Jumlah Tegakan 5G
E
117.00 106.80 81.60
Jumlah
Jumlah F H
BT
H'
L F H Jumlah
Jumlah
Jumlah spesies
31
Keterangan: 2S = umur 2 tahun sehat, 2G = umur 2 tahun terserang Ganoderma, 5S = umur 5 tahun sehat, 5G = umur 5 tahun terserang Ganoderma, BT = areal bekas tebangan, H ' = indeks keanekaragaman, E = indeks kemerataan spesies
Indeks keanekaragaman fungi tertinggi diperoleh di lapisan L pada 2S (H’= 2.16), 5S (H’= 2.13) dan 5G (H’= 2.16), di lapisan H pada 2G (H’= 2.15) dan BT (H’= 2.07), sedangkan indeks kemerataan spesies fungi yang terendah diperoleh di lapisan L pada 2G (E= 0.86), di lapisan F pada 2S (E= 0.78), 5S (E= 0.84), dan BT (E= 0.66), di lapisan H pada 5G (E= 0.74) (Tabel 3).
45
30
Frekwensi relatif kehadiran fungi (%)
8 25
20
11 16 10 13
8 7
13 2
15
10
5
11 8
3 18
4
2 11
12 11 16 4 10 9
16 14 10 3
F
H
79
16 8
13
8 3
4
7
15 3
10 16 9 1 7 3
10 16 11 16 19 9 69 12 8 5 3 4 18 11 2 3 2 2 5 8 10 7
5 16
2
13 18 12 4 9 6
4
13
8 6 2
5
14 2
7
12 16 6 2
4
15 13 16 19 20 10 9 13 12 7 16 7 14 98 5 4
13 14 7 4
17
10
14 13 16 10 3 7 6
8 16 6 18 4 3 1
H
L
16 18 14 11 15 15 3 9 2 5 8 7 5
0 L
L
F
2S
H
2G
L
F
H
L
5S Lapisan serasah
F 5G
F
H
BT
Gambar 13 Frekuensi relatif spesies fungi pada lapisan serasah A. mangium Keterangan 1 2 3 4 5 6 7
Penicillium canesens Trichoderma sp1 Penicillium sp1 Aspergillus flavus Sp 5 Aspergillus sp4 Geotrichum sp
8 9 10 11 12 13 14
Fusarium oxysporum Aspergillus sp 1 Pythium sp 2 Aspergillus parasiticus Penicellium tomii Pythium salpingophorus Trichoderma viride
15 16 17 18 19 20
Sp 22 Fusarium heterosporum Aspergillus sp2 Pythium afertile Trichoderma longibrachiatum Aspergillus sp3
Berdasarkan umur tegakan akasia terlihat bahwa populasi fungi yang diperoleh dari serasah A. mangium pada tegakan umur lima tahun lebih banyak dibandingkan dengan yang dua tahun, baik yang sehat maupun terserang Ganoderma. Populasi yang paling sedikit ditemukan pada areal bekas tebangan.
Perbedaan populasi fungi ini disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi lingkungan, terutama lingkungan mikro. Salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan lingkungan mikro adalah kondisi serasah yang berbeda pada ketiga lokasi pengambilan sampel. Pada tegakan umur lima tahun keadaan tegakannya lebih rindang dan ditumbuhi oleh vegetasi lain yang menghalangi sampainya sinar matahari ke lantai hutan dan menghalangi penguapan air yang lebih besar, sehingga kondisi serasahnya menjadi lebih lembab. Vegetasi lain yang pernah ditemukan pada tegakan A. mangium di Sektor Baserah yaitu jenis rumput (Digitaria
willichiana,
Panicum
repens,
P.
sarmentosum
dan
Scleria
sumatrensis), jenis paku (Stenochlaena palustris dan Pteridium esculentum), dan
semak yang didominasi oleh Clidermia hirta, Melastoma sp., Ageratum conyzoides, dan Elettariopsis curtisi (Mok et al. 2000). Akibat kondisi lembab
46
pada serasah, memungkinkan koloni fungi untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, karena kelembaban berkaitan dengan kebutuhan air yang diperlukan untuk pertumbuhan koloni fungi (Carlile dan Watkinson, 1994). Kehadiran vegetasi lain di bawah tegakan umur lima tahun juga memberi kontribusi penambahan serasah lain yang bersifat lebih mudah terdekomposisi, sehingga memungkinkan peningkatan populasi fungi yang tumbuh di lantai hutan tersebut. Berdasarkan pada ketiga lapisan serasah, yaitu lapisan L, F dan H pada tegakan dua dan lima tahun baik sehat maupun terserang Ganoderma terlihat bahwa pada lapisan L terdapat populasi fungi yang lebih tinggi diikuti oleh lapisan F dan H. Sedangkan pada areal bekas tebangan populasi fungi yang tinggi terdapat pada lapisan F diikuti lapisan L dan H (Gambar 14). Hasil ini hampir sama dengan penelitian pendahuluan yang dilakukan pada tegakan A. mangium di Kampus IPB Darmaga Bogor, bahwa populasi tertinggi diperoleh pada serasah permukaan (L) diikuti berturut-turut oleh serasah terdekomposisi (F), daun senesen dan daun segar (Samingan & Sudirman 2008).
Rata-rata pupulasi fungi (CFU) x 103 /ml
250
a
200
a
a
ab 150 a
a a
b a
a
100
a
a
a a
a
50
0 2S
2G
5S
5G
BT
Asal serasah Lapisan L
Lapisan F
Lapisan H
Gambar 14 Populasi fungi pada lapisan serasah A. mangium Keterangan: 2S = tegakan 2 tahun sehat, 2G = tegakan 2 tahun terserang Ganoderma, 5S = tegakan 5 tahun sehat, 5G = tegakan 5 tahun terserang Ganoderma, dan BT = areal bekas tebangan. Huruf yang sama pada kolom yang sama di setiap kelompok sampel menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata, bar = standard error
47
Perbedaan populasi pada setiap lapisan serasah dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi serasah tempat tumbuhnya fungi, dan perbedaan kandungan bahan organiknya. Hasil analisis proksimat (Tabel 4), menunjukkan serat kasar dan karbohidrat pada lapisan L lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan lainnya. Hasil pengamatan populasi fungi yang tertinggi juga diperoleh pada lapisan L, kecuali pada areal bekas tebangan. Keadaan ini menunjukkan adanya hubungan antara kandungan bahan organik dengan populasi fungi pada substrat tersebut. Hal tersebut disebabkan karena karbohidrat lebih mudah dimanfaatkan sebagai sumber karbon oleh fungi dibandingkan dengan bahan organik lainnya. Kemungkinan lain adalah pada serasah lapisan L tidak hanya ditumbuhi oleh fungi yang mampu menggunakan gula sederhana saja tetapi juga dihuni oleh fungi tanah yang mampu menghidrolisis senyawa-senyawa yang lebih komplek atau juga fungi dari kelompok secondary sugar fungi (Dix & Webster 1995). Tabel 4 Hasil analisis proksimat serasah A. mangium Asal Sampel Serasah
Kadar Air
Abu
Lemak
Protein
Serat Kasar
Karbohidrat
………………………… % ………………………. Tegakan umur 2 tahun
Tegakan umur 5 tahun
Areal bekas tebangan
lapisan L
17.88
4.99
5.67
12.53
28.73
48.08
lapisan F
60.85
26.15
4.47
11.45
16.18
41.75
lapisan H
38.46
71.17
0.65
5.25
6.45
16.48
lapisan L
34.62
1.54
2.07
16.87
22.07
57.45
lapisan F
59.27
9.07
4.96
14.40
16.83
54.75
lapisan H
31.95
71.51
0.79
4.52
3.75
19.43
lapisan L
14.05
3.07
5.98
14.98
27.33
48.64
lapisan F
50.45
20.24
1.28
10.72
19.19
48.57
lapisan H
45.92
55.70
1.32
6.01
11.78
25.19
Populasi fungi pada serasah lapisan F tegakan umur dua dan lima tahun lebih sedikit dibandingkan dengan seresah lapisan L. Hal ini disebabkan pada lapisan F senyawa yang mudah diuraikan rendah, sehingga untuk pertumbuhannya fungi harus memanfaatkan senyawa yang lebih kompleks seperti selulosa dan lignin. Keadaan ini menunjukkan bahwa kualitas bahan organik serasah dapat mempengaruhi suksesi dan keragaman fungi yang tumbuh pada subtrat tersebut
48
(Osono 2005). Pada lapisan H umumnya dihuni oleh fungi yang tumbuh di tanah, karena lapisan ini sebagian sudah tercampur dengan tanah bagian atas. Pada areal bekas tebangan populasi fungi tertinggi ditemukan pada lapisan F disusul dengan lapisan L dan H. Hal ini dapat dipahami bahwa walaupun pada lapisan L kaya akan sumber karbon yang mudah dimanfaatkan oleh fungi, namun faktor lingkungan yang tidak menguntungkan seperti suhu tinggi dan kurangnya kandungan air menyebabkan koloni fungi tidak dapat berkembang dengan baik. Menurut Kredics et al. (2003) keberadaan air dalam suatu substrat dapat menjadi faktor penting yang mempengaruhi aktivitas fungi. Pada penelitian ini ditemukan tiga spesies fungi yang mampu tumbuh pada lapisan L, F dan H dan ditemukan hampir pada semua tempat pengambilan sampel, yaitu Trichoderma, Fusarium dan Pythium. Ketiga jenis fungi tersebut mampu memanfaatkan substrat dengan baik dan beradaptasi dengan lingkungan pada lapisan serasah. Selain itu fungi tersebut merupakan fungi yang umum dijumpai pada tanah dan permukaan tanah. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Aspergillus, Fusarium, Penicillium dan Trichoderma sering ditemukan pada tanah (Gams 2007). Ditemukannya Trichoderma pada lapisan serasah di lantai hutan A. mangium memberikan keuntungan dalam kaitannya dengan pengendalian hayati terhadap Ganoderma, karena Trichoderma mempunyai potensi antagonistik yang tinggi terhadap Ganoderma (Widyastuti 2006). Sedangkan Fusarium dan Pythium dilaporkan dapat menyebabkan rebah semai (damping-off) pada semaian (seedling) muda di pembibitan (nursery) Acacia (Lee 1993). Fusarium juga dilaporkan dapat menyebabkan kanker batang dan cabang serta bercak daun pada tegakan Acacia (Old et al. 2000). Pada lapisan L ditemukan isolat Sp22, berdasarkan pengamatan hifanya isolat ini memiliki sambungan apit (clamp connection) yang merupakan salah satu ciri fungi dari kelompok basidiomiset, umumnya kelompok fungi ini mempunyai kemampuan mengahasilkan enzim lignoselulase. Keberadaan fungi tersebut kemungkinan sangat berperan dalam mendegradasi senyawa lignoselulosa yang terdapat pada serasah A. mangium.
49
Simpulan
1. Rata-rata populasi fungi tertinggi terdapat pada serasah dari tegakan umur lima tahun diikuti tegakan umur dua tahun dan BT. Jika dihubungkan dengan lapisan serasahnya maka semua populasi tertinggi ditemukan pada lapisan L kecuali untuk BT yaitu pada lapisan F. Fungi yang mendominasi lapisan L adalah Aspergillus, Fusarium dan Pythium, sedangkan pada lapisan F di BT didominasi oleh Sp 22 2. Ditemukan tiga jenis fungi dari genus Trichoderma, Fusarium dan Pythium yang mampu tumbuh pada serasah lapisan L, F dan H. Ketiga jenis fungi tersebut berperan penting dalam ekosistem lantai hutan akasia 3. Tingginya populasi fungi pada serasah lapisan L berkaitan dengan kandungan bahan organik, yaitu kandungan serat kasar dan karbohidratnya lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan F maupun H. Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas bahan organik serasah dapat mempengaruhi keanekaragaman fungi yang tumbuh pada subtrat tersebut
50
V. PENYEBARAN Trichoderma (ISOLAT TBPH) PADA LAPISAN SERASAH DAUN Acacia mangium DAN KEMAMPUANNYA MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Ganoderma (ISOLAT GBR) Abstract Trichoderma is common fungi in the soil and play a role in decomposing of material that are rich with celluloses. The distribution of Trichoderma sp (TBPH isolate) in litter layers of Acacia mangium was observed in two years’ old of health standing (2S) and Ganoderma attacked standing (2G). The objectives of this research were to observe Trichoderma distributions in leaf litter layers and to determine of antagonistic abilities of Trichoderma sp TBPH against Ganoderma sp (GBR isolate). Trichoderma in sawdust medium was spread above of F litter layer in 50 x 50 cm area. Total populations of Trichoderma were observed each month during eight months. Antagonistic activities of Trichoderma sp TBPH against Ganoderma sp GBR were tested by dual test method on PDA and PDA with litter powder (PDAS). The results showed that populations of Trichoderma were fluctuating and the highest population at F layer in both standings followed by H and L layers. Fluctuations of Trichoderma population at L layer were tend to follow rainfall fluctuations while at those of F layer were tend to follow litter pH fluctuations.Antagonistic test showed that inhibition percentage of PDAS was lower than those of PDA, that were indicated that litter amendment on media causing of lower antagonistic activities of Trichoderma.
Key words: Trichoderma distribution, litter layers, Acacia mangium, antagonistic, Ganoderma Pendahuluan Trichoderma merupakan fungi yang umum ditemukan pada tanah dan
ekosistem perakaran. Di alam, fungi ini secara ekologis mempunyai peran sebagai dekomposer bahan organik di tanah baik yang ada di dalam tanah maupun di permukaan tanah seperti serasah. Kemampuan fungi ini mendegradasi bahan organik terbatas pada material selulosa, karena fungi ini hanya dapat menghasilkan selulase (Kredics et al. 2003). Dalam bidang pertanian dan perkebunan fungi ini mempunyai peran penting sebagai agen biokontrol pada beberapa penyakit tanaman. Trichoderma efektif mengendalikan serangan patogen tanaman dalam kisaran yang luas diantaranya Pythium spp., Rhizoctonia solani , Fusarium spp., Botrytis cinerea, Sclerotium rolfsii, dan Sclerotinia homoeocarpa (Harman 1996). Dalam skala laboratorium Trichoderma dapat
51
menekan pertumbuhan Ganoderma yang merupakan patogen pada A. mangium. Tiga spesies Trichoderma telah diuji efektivitasnya terhadap penekanan pertumbuhan Ganoderma yang diisolasi dari berbagai macam pohon. Hasil pengujian pada media PDA menunjukkan Trichoderma reesei paling efektif sebagai mikoparasit diikuti oleh T. koningii dan T. harzianum (Widyastuti 2006). Demikian pula pengujian yang dilakukan oleh Dharmaputra et al. (1990) menunjukkan bahwa T. harzianum dan T. viride mampu menghambat pertumbuhan G. boninense. Namun efektivitas hambatan tersebut jika dilakukan pada media yang mengandung serasah daun A. mangium belum diketahui. Kemampuan Trichoderma mengasilkan enzim selulase memungkinkan fungi ini tumbuh dan berkembang pada serasah daun A. mangium yang memiliki kandungan selulosa 50-66% sebagai sumber karbonnya (Rohiani 1996). Namun berbagai faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan pH substrat mungkin dapat mempengaruhi pertumbuhan dan penyebaran fungi ini. Dalam ekosistem hutan tanaman industri akasia keadaan lingkungan di lantai hutannya dapat dipengaruhi oleh kerimbunan tegakannya. Kerimbunan suatu tegakan sangat terkait dengan kondisi kesehatan tegakan. Tegakan sehat lebih rimbun dan lingkungannya lebih lembab, sedangkan pada tegakan yang terserang Ganoderma banyak daunnya yang gugur, sehingga lebih banyak sinar matahari yang sampai ke lantai hutan dan menyebabkan kondisi lantai hutan menjadi kering. Tingkat kerimbunan tegakan ini akan mempengaruhi keadaan lingkungan lapisan serasah di lantai hutan mulai dari permukaan paling atas sampai lapisan bawah yang bersentuhan dengan permukaan tanah. Berkaitan dengan hal yang telah disebutkan di atas, dalam penelitian ini ingin diketahui kemampuan penyebaran Trichoderma sp. TBPH pada tiga lapisan serasah yang diamati pada tegakan yang sehat dan tegakan yang terserang Ganoderma. Selain itu melalui uji di laboratorium juga ingin diketahui
kemampuan
Trichoderma
sp.
TBPH
dalam
menghambat
pertumbuhan
Ganoderma sp. GBR dalam media yang mengandung serasah A. mangium.
52
Bahan dan Metode Persiapan inokulum Trichoderma sp. TBPH
Sebelum pengujian dilakukan, terlebih dahulu dibuat perbanyakan biakan inokulum Trichoderma sp TBPH pada media bibit yang terbuat dari campuran serbuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dan dedak halus (Rohiani 1996). Media bibit dibuat dengan cara merendam terlebih dahulu serbuk gergajian kayu dan dedak halus di dalam air selama 24 jam. Kemudian kedua bahan tersebut ditiriskan lalu dicampur dengan perbandingan 3:1 (tiga bagian serbuk gergajian kayu, satu bagian dedak halus). Media bibit + 500 g dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas yang diberi cincin paralon pada ujungnya lalu ditutup dengan kapas. Selanjutnya media tersebut disterilkan dalam autoklaf selama 15 menit pada 121 oC tekanan 1 atm. Kultur Trichoderma sp. TBPH umur satu minggu yang berasal dari Laboratorium R & D PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) Riau diinokulasikan ke dalam media bibit sebanyak dua lempeng (diameter 0.5 cm), lalu diinkubasikan pada suhu kamar selama dua minggu. Pengujian penyebaran Trichoderma sp TBPH pada lapisan serasah
Pengujian penyebaran Trichoderma sp TBPH dilakukan di bawah tegakan A. mangium yang berumur dua tahun baik pada tegakan yang sehat (2S) maupun
yang terserang Ganoderma (2G) yaitu di Hutan Tanaman Industri Acacia mangium PT RAPP Riau tepatnya di kompartemen J.007 (000 20’48.2” LS
dan 1010 47’32.1” BT) areal Trial Research and Development PT RAPP Sektor Baserah di Kecamatan Kuantan Hilir Kabupaten Kuantan Singingi. Pengujian dilakukan dari bulan
Maret
sampai dengan November 2007. Luas petak
percobaan dibuat dengan ukuran 50 x 50 cm dan ditempatkan pada lantai hutan (Lampiran 2). Pemberian inokulum di lapangan diberikan dengan cara menyebarkan media bibit Trichoderma pada bagian atas lapisan F serasah. Setiap petak percobaan diberikan sebanyak 10% bibit dari berat serasah per petak unit percobaan (lapisan L dan F) . Berdasarkan pengukuran berat serasah dengan luas 50 x 50 cm dan ketebalan + 8 cm diperoleh berat rata-rata 450 g, maka setiap petak percobaan diberikan bibit Trichoderma sebanyak 45 g. Setelah bibit ditaburkan merata kemudian ditutup kembali dengan serasah lapisan L dan pada
53
bagian atas petak percobaan ditutup dengan jaring dengan ukuran mess 1 cm untuk menjaga agar serasah dalam petak tidak berserakan. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali sehingga jumlah petak percobaan keseluruhan adalah enam unit. Pengambilan sampel dilakukan setiap satu bulan sekali selama delapan bulan dengan cara mengambil serasah pada setiap lapisan di bagian sisi petak percobaan dengan cara bergerak menjauhi petak percobaan dengan interval 10 cm. Sampel serasah diambil secara perlahan-lahan agar keadaan serasahnya tidak berserakan. Banyaknya sampel serasah yang diambil masing-masing lapisan + 30 g. Sebagai pembanding diambil juga serasah yang berjarak sekitar 10 meter dari petak percobaan (sebagai kontrol). Jumlah total sampel setiap kali pengambilan berjumlah 36 sampel. Penentuan populasi Trichoderma sp TBPH
Parameter yang dianalisis adalah populasi Trichoderma pada masingmasing petak unit percobaan. Penghitungan dilakukan dengan metode pengenceran yang dilanjutkan dengan metode cawan tuang. Sampel serasah yang diperoleh dari lapangan masing-masing dipotong-potong menjadi + 0.5 cm, lalu diambil sebanyak 10 g dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer berisi 90 ml akuades steril. Kemudian digoyang di atas vorteks selama + 3 menit untuk melepaskan spora dan miselium fungi dari serasah. Suspensi yang diperoleh diencerkan sampai 104, kemudian masing-masing diambil 1 ml dengan pipet dan dimasukkan dalam cawan Petri steril. Media malt extract agar (MEA) ditambah kloramfenikol (250 mg/liter) yang masih hangat (suhu 40o C) dituangkan ke dalam cawan, lalu digoyang-goyang agar suspensi tersebar rata dalam media. Penghitungan jumlah total populasi fungi dilakukan setelah 24 jam inkubasi pada suhu kamar (+ 28o C). Untuk memastikan yang dihitung adalah koloni Trichoderma sp TBPH yang digunakan untuk perlakuan di lapangan, dilakukan
juga penumbuhan kultur murni Trichoderma sp. TBPH pada media yang sama sebagai pembanding. Dengan membandingkan kultur murni dengan kultur yang berasal dari lapangan diharapkan tidak terjadi kesalahan penghitungan populasi koloni Trichoderma sp. TBPH.
54
Penumbuhan Trichoderma sp. TBPH pada media serasah secara in vitro
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pada serasah lapisan yang paling baik untuk
pertumbuhan Trichoderma sp. TBPH. Trichoderma
ditumbuhkan pada media serasah A. mangium dari tegakan sehat yaitu serasah lapisan L, F dan H di dalam cawan Petri. Masing-masing media serasah dari ketiga lapisan diambil + 10 g lalu dimasukkan ke dalam cawan Petri. Selanjutnya media tersebut disterilkan di dalam autoklaf selama 15 menit pada 121 oC tekanan 1 atm. Setelah dingin media diinokulasi dengan Trichoderma sp. TBPH sebanyak 1 g (populasinya + 48 x 107/ml). Setiap media tanam diulang sebanyak tiga kali. Kemudian cawan Petri yang berisi media serasah dan isolat Trichoderma tersebut diinkubasikan pada suhu kamar (+ 28 OC) selama 15 hari, selanjutnya populasi Trichoderma
ditentukan menggunakan metode pengenceran yang dilanjutkan
dengan metode cawan tuang. Pengujian antagonistik Trichoderma sp. TBPH terhadap Ganoderma sp. GBR
Pengujian aktivitas antagonistik dilakukan dengan metode dual test. Trichoderma sp. TBPH ditumbuhkan pada satu sisi dan Ganoderma sp GBR pada
sisi lainnya di dalam media pottato dextrose agar (PDA) dengan jarak dari sisi cawan Petri 3 cm. Inokulum 0.5 cm dibuat dengan menggunakan pelubang gabus steril. Sebagai kontrol ditumbuhkan juga Ganoderma saja yang diletakkan di salah satu sisi cawan dengan jarak 3 cm juga (Gambar 15). Selain itu juga dilakukan pengujian pada media PDA yang ditambah 5% serbuk daun serasah A. mangium (PDAS) untuk membandingkan persentase penghambatan pertumbuhan Ganoderma sp GBR oleh Trichoderma sp TBPH.
Untuk mengetahui kemampuan aktivitas antagonistik Trichoderma spTBPH dilakukan pengukuran persentase hambatannya, yaitu dengan mengukur diameter koloni Ganoderma sp GBR baik yang diadu dengan Trichoderma sp TBPH maupun yang kontrol pada umur 3 hari dan 7 hari setelah inokulasi. Perhitungan persentase hambatan dilakukan dengan rumus: I = (C1 – C2/C1 x 100%) ....................... (Khattabi et al. 2004) I = persentase hambatan, C1 = jari-jari koloni Ganoderma (kontrol), C2 = jari-jari koloni Ganoderma yang diadu dengan Trichoderma
55
Ganoderma
9 cm
C1 jarak 3 cm
Trichoderma
Ganoderma
9 cm
C2
jarak 3 cm
jarak 3 cm
Gambar 15 Cara pengujian antagonisme Trichoderma sp TBPH terhadap Ganoderma sp GBR Keterangan:
Pengujian antagonistik Trichoderma sp TBPH terhadap Ganoderma sp GBR pada media serasah
Pengujian dilakukan dengan cara membuat media tumbuh yang berasal dari serasah A. mangium lapisan L. Serasah yang masih utuh sebanyak + 100 gram dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas yang diberi cincin paralon pada ujungnya lalu ditutup dengan kapas. Selanjutnya media tersebut disterilkan dalam autoklaf selama 15 menit pada 121 oC tekanan 1 atm. Sebelumnya di buat inokulum Ganoderma sp. GBR dan Trichoderma sp. TBPH yang berasal dari Laboratorium R & D PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) Riau yang
56
ditumbuhkan dalam media campuran serbuk gergajian kayu sengon dan dedak halus. Inokulum Ganoderma sp GBR dari media bibit yang berumur satu minggu diinokulasikan ke dalam media serasah sebanyak + 10 g lalu diinkubasikan pada suhu kamar. Setelah inokulum Ganoderma sp GBR tumbuh selama dua minggu dalam media serasah, lalu diinokulasikan Trichoderma sp TBPH sebanyak + 10 g sebagai agen antagonisnya. Pengamatan dilakukan secara visual penekanan pertumbuhan miselium Ganoderma sp. GBR oleh Trichoderma sp. TBPH pada umur dua dan lima bulan setelah inokulasi Trichoderma spTBPH.
Hasil dan Pembahasan Penyebaran Trichoderma spTBPH pada lapisan serasah
Populasi Trichoderma sp TBPH pada lapisan serasah baik pada tegakan sehat maupun terserang Ganoderma disajikan pada Gambar 16. Berdasarkan cara pengambilan sampel serasah di lapangan yang setiap bulannya menjauh + 10 cm dari tempat awal penyebaran Trichoderma, maka selama delapan bulan pengamatan terjadi jarak pengamatan + 80 cm dari titik awal penyebaran. Pada kedua tegakan populasi Trichoderma terlihat fluktuatif selama delapan bulan pengamatan dan populasi yang tinggi selalu terdapat pada lapisan F diikuti oleh lapisan H dan L. Sedangkan pada bulan April di tegakan 2S dan bulan Mei pada 2G populasi Trichoderma di lapisan L lebih tinggi dari lapisan H, tetapi masih lebih rendah dari lapisan F. Pada serasah yang diambil dengan jarak sekitar 10 meter dari petak percobaan (kontrol) diperoleh Trichoderma viride, pada lapisan L, T. viride dan T. harzianum pada lapisan F dan T. longibrachiatum pada lapisan H.
Pertumbuhan Trichoderma spTBPH pada media serasah secara in vitro
Hasil uji in vitro Trichoderma pada media serasah dari lapisan L, F dan H menunjukkan bahwa setelah 15 hari inokulasi populasi tertinggi ditemukan pada serasah lapisan F, diikuti oleh L dan H yaitu berturut-turut 98.67 x 107/ml, 72.67 x 107/ml dan 15.83 x 107/ml.
57
450 350
80.00
300 250
60.00
200
40.00
150 100
20.00
50
us t
Kontrol L
Kontrol F
Kontrol H
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
100.00 80.00 60.00 40.00 20.00
Waktu pengamatan (2007) L
us tu s Se pt em be r O kt ob er N ov em be r
Ag
Ju li
M
Ju ni
il Ap r
M
ei
0.00
B
Curah hujan
Curah hujan (mm)
H
120.00
ar et
Populasi Trichoderma (CFU) x 10 3 /ml
F
Se
Waktu pengamatan (2007) L
us pt em be r O kt ob er N ov em be r
li Ju
Ag
Ju ni
M
il Ap r
M ar et
0
ei
0.00
A
Curah hujan (mm)
400
100.00
x 10 3 /ml
Populasi Trichoderma (CFU)
120.00
F
H
Ko ntro l L
Ko ntro l F
Ko ntro l H
Curah hujan
Gambar 16 Populasi Trichoderma sp. TBPH yang tumbuh pada lapisan serasah A. mangium Keterangan: A = pada tegakan sehat, B = pada tegakan terserang Ganoderma, bar = standard error
Berdasarkan Gambar 16 terlihat bahwa Trichoderma lebih tinggi populasinya pada serasah lapisan F antara lain disebabkan karena Trichoderma mampu memanfaatkan senyawa lignoselulosa yang ada pada serasah. Hal ini sesuai dengan peran ekologis Trichoderma yaitu mendekomposisi residu tanaman di dalam tanah, karena beberapa spesies dari genus ini menghasilkan selulase sangat baik (Evan dan Hedger 2001). Tingginya populasi Trichoderma pada lapisan F bukan disebabkan oleh peyebaran awal Trichoderma yang dilakukan di lapisan F, tetapi lebih disebabkan oleh kondisi serasah lapisan F yang lebih sesuai
58
untuk pertumbuhan Trichoderma. Hasil tersebut didukung oleh hasil uji in vitro pertumbuhan Trichoderma pada media serasah yang berasal dari tiga lapisan yang menunjukkan bahwa pada lapisan F populasi Trichoderma sangat tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi lingkungan yang sesuai dan rendahnya kompleksitas senyawa lignoselulosa pada serasah lapisan F dibandingkan dengan lapisan L. Kemampuan penyebaran Trichoderma ini juga tidak lepas dari kemampuannya mengubah strategi berdasarkan kondisi lingkungannya yang secara konsisten melakukan kompetisi baik intraspesifik maupun interspesifik. Dalam kondisi lingkungan yang sesuai Trichoderma mampu menghasilkan konidia yang berlimpah, sehingga dengan sifat kompetitif tinggi, dan melimpahnya produksi struktur aseksual dapat meningkatkan pertumbuhan secara cepat, karena itu Trichoderma diklasifikasikan sebagai ruderal atau oportunis (Williams et al. 2003). Adanya fluktuasi populasi Trichoderma setiap bulan berkaitan dengan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan Trichoderma. Faktor lingkungan tersebut antara lain curah hujan dan kondisi pH di lapisan serasah (Lampiran 3 dan Lampiran 4). Pada tegakan sehat (2S) populasi tertinggi terjadi pada bulan April, Agustus dan September, terjadi pada semua lapisan kecuali pada L dan H populasinya turun pada bulan Agustus. Pada tegakan terserang Ganoderma (2G), populasi Trichoderma mulai meningkat pada bulan Mei hingga
September kecuali pada lapisan L yang turun pada bulan Juni dan Agustus. Namun pada bulan Oktober populasinya sangat menurun pada semua lapisan baik pada 2S maupun 2G walaupun curah hujannya masih di atas 250 mm (Gambar 16), sedangkan pada bulan November populasi Trichoderma cenderung naik kembali. Kondisi pH serasah selama penelitian terlihat tidak berbeda antara 2G dan 2S, namun yang berbeda adalah fluktuasi setiap bulannya pada masing-masing lapisan serasah dengan kisaran 4.45 – 6.20. Pada 2S saat populasi Trichoderma tinggi terjadi pada saat pH antara 4.99 – 5.25, sedangkan pada 2G populasi tinggi terjadi pada pH antara 5.09 – 6.07 (Gambar 17). Namun pada bulan Oktober populasi Trichoderma sangat menurun pada semua lapisan baik pada 2S maupun 2G walaupun pH masih di atas 5. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
59
pertumbuhan optimum Trichoderma harzianum terjadi pada pH 4.6 – 6.8 (Kredics et al. 2003). Peran pH terhadap pertumbuhan Trichoderma terkait dengan
aktivitas enzim ekstraselular yang terlibat dalam kompetisi nutrien dan juga terhadap produksi enzim ekstraseluler itu sendiri (Kredics et al. 2003; Dix dan
7
100.00
6 5 4
60.00 3 40.00
2
N ov em be r
O kt ob er
Se pt em be r
Ag us tu s
pengamatan (2007) Ko ntro l L Ko ntro l F
Ko ntro l H
pH lapisan F
120.00
7
100.00
6 5
3 40.00
2
L
F
H
Ko ntro l L
Ko ntro l F
N ov em be r
O kt ob er
S ep te m be r
Waktu pengam atan (2007)
A gu st
M ei
A pr il
B
us
0 Ju li
1
0.00 Ju ni
20.00
M ar et
3
4 60.00
pH serasah lapisan F
H Waktu
F
80.00 x 10 /ml
Populasi Trichoderma (CFU)
L
Ap ril
A
Ju li
0 Ju ni
0.00 M ei
1
M ar et
20.00
pH serasah lapisan F
120.00
80.00 x 10 3 /ml
Populasi Trichoderma (CFU)
Webster, 1995).
Ko ntro l H
pH lapisan F
Gambar 17 Fluktuasi populasi Trichoderma dan kondisi pH pada lapisan F serasah A. Mangium Keterangan: A = pada tegakan sehat, B = pada tegakan terserang Ganoderma, bar = standard error
Berdasarkan Gambar 16 dan Gambar 17 terlihat bahwa fluktuasi populasi Trichoderma kelihatannya tidak hanya dipengaruhi oleh curah hujan dan pH saja,
tetapi dipengaruhi juga oleh faktor lain yang seperti potensial air dan temperatur
60
pada serasah. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran terhadap potensial air an temperatur pada serasah. Oleh karena itu untuk memperjelas faktor yang mempengaruhi fluktuasi populasi Trichoderma pada serasah, perlu dilakukan pengukuran potensial air dan temperatur serasah pada penelitian yang akan datang. Kemampuan antagonistik Trichoderma sp. TBPH terhadap Ganoderma sp. GBR Hasil pengujian antagonistik Trichoderma sp TBPH terhadap Ganoderma
sp GBR pada media PDA dan PDAS setelah tiga hari pengamatan tidak menunjukkan perbedaan persentase hambatan pada kedua media tersebut (P = 0.13) yaitu masing-masing 29.71% dan 23.73%, tetapi berbeda secara signifikan pada pengamatan tujuh hari setelah inokulasi (P = 0.03) yaitu masing-masing 74.42% dan 64.94% (Gambar 18). 120.00
a b
80.00
a a
64.94
74.42
60.00
20.00
23.73
40.00 29.71
Persentase hambatan
100.00
0.00 3 hari setelah inokulasi
7 hari setelah inokulasi Waktu Pengamatan
PDA
PDAS
Gambar 18 Persentase hambatan Trichoderma terhadap Ganoderma pada media PDA dan media PDAS Keterangan: huruf yang sama pada kelompok pengamatan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata, bar = standard error
Kemampuan antagonistik Trichoderma sp. TBPH terhadap Ganodema sp. GBR yang ditumbuhkan dalam media serasah secara visual terlihat bahwa Ganoderma masih dapat tumbuh walaupun diberikan Trichoderma. Hal ini
terlihat bahwa setelah dua bulan inokulasi Trichoderma, koloni Ganoderma
61
tersisa + 50%, setelah lima bulan koloni Ganoderma masih tersisa + 10% dari luas permukaan media serasah yang terdapat dalam kantong plastik (Gambar 19).
A
Kontrol
T vs G
B
Kontrol
T vs G
Gambar 19 Pertumbuhan koloni Ganoderma sp GBR yang dihambat oleh Trichoderma sp TBPH dalam media serasah A. mangium Keterangan: A= pada umur 2 bulan setelah inokulasi dan B= pada umur 5 bulan setelah inokulasi T= Trichoderma, G= Ganoderma. Tanda panah menunjukkan daerah hambatan oleh Trichoderma.
Adanya penurunan aktivitas antagonistik Trichoderma sp. TBPH terhadap Ganoderma sp. GBR pada media PDA yang ditambah serbuk serasah atau pada
media serasah A. mangium disebabkan terjadinya perubahan kemampuan Trichoderma dalam menghasilkan enzim kitinase akibat adanya penambahan
selulosa dari serasah ke dalam media tumbuhnya. Hal tersebut terjadi karena transkripsi enzim pendegradasi kitin (kitinase, β-1,3 dan β-1,6 glukanase, protease dan lipase) pada Trichoderma menjadi terhambat jika substrat tempat tumbuhnya mengandung selulosa yang tinggi (Hoitink dan Boehm 1999). Hal ini terkait dengan prinsip efisiensi yang dianut oleh semua makhluk hidup dalam memanfaatkan sumberdaya di lingkungannya, yang akan memanfaat sumberdaya yang mudah diuraikan terlebih dahulu. Dalam hal ini selulosa lebih mudah diuraikan dari pada kitin. Sebab lain yang menyebabkan menurunnya persentase hambatan antagonistik pada media PDAS adalah terjadinya peningkatan kemampuan tumbuh Ganoderma sp. GBR sebagai respon dari kehadiran Trichoderma sp. TBPH di sekitarnya dengan cara meningkatkan aktivitas
62
enzimnya untuk memanfaatkan sumberdaya di sekitarnya. Zhang et al. (2006) menyatakan bahwa aktivitas lakase pada fungi pembusuk putih dapat meningkat beberapa kali ketika ditumbuhkan bersama dengan Trichoderma harzianum atau fungi tanah lainnya. Mekanisme
interaksi
antara
Trichoderma
dan
Ganoderma
yang
ditumbuhkan pada media PDA dan PDAS dapat dilihat pada Gambar 20. Berdasarkan pengamatan pertumbuhan koloni kedua fungi yang diadu menunjukkan adanya aktivitas
antagonisme oleh Trichoderma
terhadap
Ganoderma yang terjadi melalui mekanisme mikoparasit, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Widyastuti (2006) yang tersaji pada Gambar 21 a. Mekanisme mikoparasit diawali dengan kontak antara Trichoderma dengan inang, kemudian membelit atau tumbuh sejajar dengan hifa inang dan membentuk semacam kait yang membantu penetrasi pada dinding sel inang, selanjutnya mengeluarkan kitinase utuk mendegradasi dinding sel inang lalu menggunakan isi sel tersebut sebagai sumber nutriennya (Viterbo et al. 2004).
T
T
G
G
Pada media PDA umur 3 hari
Pada media PDAS umur 3 hari
T T G G Pada media PDA umur 7 hari
Pada media PDAS umur 7 hari
Gambar 20 Interaksi antara Trichoderma dan Ganoderma yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDAS, umur 3 dan 7 hari setelah inokulasi
63
Keterangan: T = Trichoderma, G = Ganoderma
Gambar 21 Tiga mekanisme interaksi antara Trichoderma dan fungi patogen: (a) mikoparasit (b) kompetisi (c) antibiosis, T = Trichoderma P = patogen Ganoderma (Widyastuti 2006) Simpulan
1. Trichoderma mampu tumbuh dengan baik pada lapisan serasah baik pada tegakan sehat maupun terserang Ganoderma, populasi yang tinggi selalu terdapat pada lapisan F diikuti oleh lapisan H dan L. 2. Kemampuan antagonistik Trichoderma sp TBPH terhadap Ganoderma sp GBR menjadi berkurang apabila ditumbuhkan dalam media yang mengandung serasah A. mangium.
64
VI. KEMAMPUAN Ganoderma sp. GBR DAN Trichoderma sp. TBPH DALAM MENDEKOMPOSISI SERASAH Acacia mangium Abstract Litter decomposition ability of fungi is an important role in ecosystem forest flour. The abilities of Ganoderma sp (GBR isolate) and Trichoderma sp (TBPH isolate) to decompose of Acacia mangium leaf litters at laboratory scale were observed. Litters from L and F layers in the field ca. 100 g were use as substrates in plastic bags. Each fungus was inoculating onto substrates and incubates at room tempertature, then observed each month during six months. Weight losses (WL) of litter, lignin and cellulose contents during decomposition were measured. In addition colonization of Ganoderma in litter and PDA with litter powder were observed. The results showed that WL of litters, lignin and cellulose by Ganoderma were low. WL of L and F litters were 3.99% and 4.57% respectively, while WL of L and F lignin were 8.17% and 7.11% respectively, and WL of L and F cellulose were 3.63% and F 2.59% respectively. WL of L and F litters by Trichoderma were 3.20% and 3.20% respectively, while WL of L and F lignin were 3.83% and 3.85% respectively, and WL of L and F cellulose were 2.43% and 3.17% respectively. In addition the growth of Ganoderma was better at PDAS than PDA, therefore L litter layer was suitable for growing Ganoderma.
Key words: decomposition ability, leaf litters, Acacia mangium, Ganoderma, Trichoderma Pendahuluan
Fungi merupakan sumberdaya penting dalam ekosistem hutan karena mempunyai sejumlah peran penting diantaranya sebagai dekomposer, simbion, patogen dan sebagai sumber makanan (Dreisbach 2002). Peran fungi sebagai dekomposer adalah penting dalam proses dekomposisi serasah untuk siklus nutrien dan pembentukan humus tanah. Kemampuan fungi dalam mendegradasi senyawa lignoselulosa pada serasah disebabkan oleh adanya sistem enzim ekstra seluler, sehingga dapat merombak lignoselulosa menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana (Zabel & Morrell 1992). Kemampuan enzim yang dimiliki fungi umumnya lebih kuat mendegradasi lignin dibandingkan dengan bakteri, terutama fungi dari kelas Basidiomycetes. Mille-Lindblom (2005) menyatakan bahwa bakteri mendapat keuntungan dari aktivitas enzim fungi, karena banyak fraksi
65
terlarut produk dekomposisi tidak semuanya dimanfaatkan untuk metabolisme fungi. Kelompok fungi yang dianggap memiliki kemampuan lignoselulolitik tinggi berasal dari fungi pembusuk putih (white rot fungi). Steffen et al. (2002), mengemukakan bahwa fungi dari kelompok Basidiomycetes yaitu Collybia dryophila yang tumbuh pada seresah lantai hutan mampu mendegradasi serasah
melalui enzim ekstraseluler MnP (manganese peroxidase) dan aktif terlibat dalam siklus nutrien di lantai hutan. Demikian juga imperfect fungi (Deuteromycetes) terutama Penicillium dan Fusarium
mampu mendegradasi senyawa-senyawa
lignoselulosa (Rodriguez et al. 1996). Trichoderma juga mempunyai kemampuan untuk mendegradasi selulosa, tetapi belum diketahui kemampuannya dalam mendegradasi lignin (Nieves et al. 1991). Ganoderma yang merupakan patogen busuk akar pada A mangium
termasuk dalam kelompok fungi pembusuk putih dapat mendegradasi senyawa lignin dan selulosa pada bahan berkayu termasuk juga serasah daun Acacia. Demikian juga Trichoderma yang selama ini sudah dimanfaatkan sebagai agen antagonis untuk menangani serangan Ganoderma dapat mendegradasi senyawa selulosa pada serasah (Widyastuti 2006). Walaupun secara ekologis habitat Ganoderma berada di dalam tanah tepatnya pada akar Acacia, namun apabila
dalam penelitian ini nantinya menunjukkan bahwa Ganoderma dan Trichoderma dapat tumbuh dengan baik pada serasah Acacia, maka hasilnya dapat dijadikan pertimbangan untuk penanganan serasah Acacia terutama pada daerah yang terserang oleh Ganoderma. Dengan demikian nantinya dapat dipertimbangkan suatu strategi untuk menghindari serangan Ganoderma pada A. mangium dengan cara mengelola serasah di lantai hutan dengan memanfaatkan Trichoderma sebagai pendegradasi serasah sekaligus sebagai pengendali hayati terhadap Ganoderma.
Bahan dan Metode Persiapan bibit biakan Ganoderma sp. GBR dan Trichoderma sp. TBPH
Sebelum pengujian dilakukan, terlebih dahulu dibuat perbanyakan biakan inokulum Ganoderma sp GBR dan Trichoderma sp TBPH pada media bibit yang
66
terbuat dari campuran serbuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dan dedak halus. Media bibit dibuat dengan cara merendam terlebih dahulu serbuk gergajian kayu dan dedak halus ke dalam air selama 24 jam. Kemudian kedua bahan tersebut ditiriskan lalu dicampur dengan perbandingan 3:1 (tiga bagian serbuk gergajian kayu satu bagian dedak halus). Media bibit + 500 gram dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas yang diberi cincin paralon pada ujungnya lalu ditutup dengan kapas. Selanjutnya media tersebut disterilkan dalam autoklaf selama 15 menit pada 121o C tekanan 1 atm. Kultur Ganoderma umur dua minggu dan Trichoderma umur satu minggu masing-masing diinokulasikan ke dalam media bibit sebanyak dua lempeng (diameter 0.5 cm), lalu diinkubasikan dalam suhu kamar selama 2 minggu. Uji kemampuan Ganoderma sp. GBR dan Trichoderma sp. TBPH dalam mendekomposisi serasah
Serasah yang digunakan sebagai substrat dalam pengujian ini adalah serasah yang masih utuh dari lapisan L dan serasah terdekomposisi dari lapisan F yang diperoleh dari lokasi penelitian di lapangan. Kedua macam substrat tersebut dibuat menjadi media tanam yang masing-masing dipersiapkan sebagai berikut: Substrat serasah sebanyak 5 kg dikeringkan terlebih dahulu dengan panas matahari selama satu minggu. Serasah dicincang dengan ukuran kira-kira 2.5 cm x 5 cm, kemudian di tambah dedak 15%, kapur dan gips masing-masing 1.5%, lalu ditambahkan sedikit air agar keadaannya lembab sambil dicampur sampai rata. Sebanyak 100 g berat basah media tanam tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas kemudian dipadatkan dan diberi cincin paralon pada ujungnya lalu ditutup dengan kapas. Kemudian media tanam disterilkan pada suhu 121o C, tekanan 1 atm selama 15 menit. Dalam pengujian ini dibuat 18 kantong media untuk masing-masing jenis fungi yang diuji dengan tiga kali ulangan selama enam bulan pengamatan, sehingga jumlah totalnya sebanyak 72 kantong. Inokulum Ganoderma dan Trichoderma dari media bibit yang telah berumur dua minggu
diambil sebanyak lebih kurang 10 g, lalu diinokulasikan ke dalam media tanam yang telah disterilisasi. Kedua jenis fungi yang telah ditanam dalam media tumbuh, diinkubasikan dalam suhu kamar (+ 28o C).
67
Pengamatan kemampuan dekomposisi ke dua jenis fungi di atas dilakukan setiap bulan selama enam bulan. Setiap kali pengamatan diambil tiga kantung untuk masing-masing jenis fungi. Kemudian dilakukan analisis persentase kehilangan berat serasah serta kandungan selulosa dan ligninnya.
Uji kemampuan kolonisasi Ganoderma sp. GBR dalam media serasah
Pengujian dilakukan dengan cara membuat media tumbuh yang berasal dari serasah A. mangium lapisan L, lapisan F dan serbuk gergajian kayu sengon. Masing-masing media sebanyak + 100 g berat basah dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas yang diberi cincin paralon pada ujungnya lalu ditutup dengan kapas. Selanjutnya media tersebut disterilkan dalam autoklaf selama 15 menit pada 121 oC tekanan 1 atm. Inokulum Ganoderma yang telah ditumbuhkan dalam media bibit yang berumur satu minggu diinokulasikan ke dalam media tumbuh sebanyak + 10 g lalu diinkubasikan pada suhu kamar (+ 28 oC). Pengamatan dilakukan secara visual terhadap pertumbuhan koloni Ganoderma, yaitu waktu yang dibutuhkan koloni untuk tumbuh memenuhi seluruh media tumbuhnya. Selain itu juga dilakukan pengujian pertumbuhan koloni Ganoderma sp GBR pada media PDA yang ditambah 5% serbuk serasah lapisan L A. mangium (PDAS) dan pada media PDA saja sebagai pembanding. Setelah 7 hari diukur diameter koloninya. Hasil dan Pembahasan Dekomposisi serasah
Kemampuan dekomposisi Ganoderma sp BGR dan Trichoderma sp. TBPH terhadap serasah A. mangium ditunjukkan melalui persentase kehilangan berat serasah yang disajikan pada Gambar 22. Ganoderma dan Trichoderma mampu tumbuh pada serasah A. mangium baik yang berasal dari lapisan L maupun lapisan F. Persentase kehilangan berat serasah selama enam bulan terjadi sangat rendah, baik pada serasah lapisan L maupun F. Persentase penurunan berat serasah L yang didekomposisi oleh Ganoderma hanya 3.99% (dari 100% menjadi 96.01%)
68
dan serasah F 4.57% (dari 100% menjadi 95.43%), sedangkan serasah L yang didekomposisi oleh Trichoderma hanya 3.20% (dari 100% menjadi 96.80%) dan serasah F 3.10% (dari 100% menjadi 96.90%). Rendahnya kehilangan berat ini disebabkan pada saat penimbangan berat serasah juga turut tertimbang miselium fungi yang tumbuh pada serasah tersebut sehingga penurunan berat serasahnya tidak terlihat dengan jelas, walaupun jika diamati secara visual terlihat adanya
110.00 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
P e r s e n ta s e b e r a t s e r a s a h
P e r s e n ta s e b e r a t s e r a s a h
perbedaan pertumbuhan koloninya.
0
1
2
3
4
5
6
0
w aktu pengamatan (bulan)
A
Serasah lapisan L Serasah lapisan F
110.0 100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
B
1
2
3
4
5
6
Waktu pengamatan (bulan) Serasah lapisan L Serasah lapisan F
Gambar 22 Persentase berat serasah A. mangium yang didekomposisi oleh Ganoderma sp GBR dan Trichoderma sp TBPH Keterangan: A = berat serasah A. mangium yang didekomposisi oleh Ganoderma B = berat serasah A. mangium yang didekomposisi oleh Trichoderma bar = standard error
Kemampuan tumbuh Ganoderma sp GBR dan Trichoderma sp TBPH pada serasah A. mangium juga ditunjukkan dengan adanya persentase kehilangan berat lignin dan selulosa yang terdapat pada serasah, baik pada serasah dari lapisan L maupun serasah F (Gambar 23). Setelah enam bulan, serasal L yang dekomposisi oleh Ganoderma terjadi kehilangan berat lignin sebesar 8.17% (dari 50.92% menjadi 42.75%) dan serasah F 7.11% (dari 35.95% menjadi 28.84%), selulosa dari serasah L berkurang 3.63% (dari 20.61% menjadi 16.98%) dan serasah F 2.59% (dari 20.13% menjadi 17.55%). Serasal L yang didekomposisi oleh Trichoderma, persentase kandungan ligninnya berkurang
3.83% (dari
51.16% menjadi 47.33%) dan serasah F 3.85% (dari 35.95% menjadi 32.10%), selulosa dari serasah L berkurang 2.43% (dari 23.36% menjadi 20.93%) dan serasah F 3.17% (dari 21.02% menjadi 17.85%). Persentase berat serasah,
69
kandungan lignin dan selulosa yang hilang selama enam bulan dekomposisi di dalam kantong plastik oleh Ganoderma dan Trichoderma disajikan pada Tabel 5.
Kandungan senyawa (%)
60.00 55.00 50.00 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 0
1
A Lignin serasah L
Kandungan senyawa (%)
2
3
4
5
6
Waktu pengamatan (bulan) Lignin serasah F
Selulosa serasah L
Selulosa serasah F
60.00 55.00 50.00 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 0
1
2
3
4
5
6
Waktu pengamatan (bulan)
B Lignin serasah L
Lignin serasah F
Selulosa serasah L
Selulosa serasah F
Gambar 23 Kandungan lignin dan selulosa pada serasah A. mangium yang didekomposisi oleh Ganoderma sp GBR dan Trichoderma sp TBPH Keterangan: A = Kandungan lignin dan selulosa serasah A. mangium yang didekomposisi oleh Ganoderma B = Kandungan lignin dan selulosa serasah A. mangium yang didekomposisi oleh Trichoderma bar = standard error
Tabel 5 Persentase kehilangan berat serasah, lignin dan selulosa selama enam bulan dekomposisi di dalam kantong plastik Komponen Serasah
Serasah dari lapisan L F
Dekomposer Ganoderma Trichoderma 3.99 3.20 4.57 3.10
Lignin
L F
8.17 7.11
3.83 3.85
Selulosa
L F
3.63 2.59
2.43 3.17
70
Adanya perbedaan kemampuan penurunan kandungan lignin dan selulosa oleh kedua fungi tersebut antara lain disebabkan Ganoderma yang termasuk dalam kelompok fungi pembusuk putih (white rot fungi), mampu mendegradasi lignin dengan sistem enzim pengoksidasi fenol seperti polifenoloksidase, lakase dan tirosinase. Selain itu Ganoderma juga menghasilkan enzim amilase, ektraseluler oksidase, invertase, koagulase, protease, renetase, pektinase, dan selulase (Das et al. 1979). Dengan demikian Ganoderma selain mendegradasi lignin juga mampu menderadasi senyawa nonlignin yang ada pada serasah. Trichoderma terlihat mampu menurunkan kandungan selulosa, karena dapat
menghasilkan enzim β 1-4 selobiohidrolase, endoglukanase, eksoglukanase dan dua β 1-4 glukosidase (Dix & Webster 1995; Evans & Hedger 2001). Dalam penelitian ini Trichoderma juga mampu menurunkan kandungan lignin walaupun sangat kecil. Berdasarkan hasil di atas terlihat juga bahwa Trichoderma mampu mendekomposisi selulosa lebih tinggi pada serasah lapisan F dibandingkan pada lapisan L, hal ini diduga karena pada lapisan F struktur senyawa lignoselulosanya sudah tidak kompak seperti pada serasah lapisan L sehingga senyawa selulosanya lebih mudah didekomposisi. Ganoderma sp GBR dan Trichoderma TBPH dapat tumbuh dengan baik
pada serasah daun A mangium baik pada serasah lapisan L maupun F (Gambar 24). Pertumbuhan koloni Ganoderma ini sangat baik terlihat sejak umur dua minggu setelah inokulasi yang mencapai separuh dari total media yang ada dalam kantong plastik (berat media 100 g). Dalam pertumbuhan fungi kolonisasi miselium ini bertujuan untuk menjangkau lebih banyak substrat yang akan diuraikan (Carlile & Watkinson 1994). Pada umur dua bulan setelah inokulasi miselium Ganoderma dapat menyebabkan material media serasah
menjadi
kompak, bahkan pada umur lima bulan miselium terus tumbuh dan membuat material media sangat kompak dan sukar diuraikan serta mengubah warna serasah dari coklat menjadi agak putih. Adanya perubahan warna tersebut disebabkan oleh adanya proses degradasi lignin oleh Ganoderma, karena fungi Basidiomycetes busuk putih mampu mendegradasi lignin pada serasah sehingga warna serasahnya menjadi putih (Osono et al. 2008).
71
Gambar 24 Keadaan serasah A. mangium setelah didekomposisi oleh Ganoderma sp GBR dan Trichoderma sp. TBPH Keterangan: A = Serasah yang didekomposisi oleh Trichoderma 2 minggu setelah inokulasi B = Serasah yang didekomposisi oleh Ganoderma 2 minggu setelah inokulasi C= Serasah yang didekomposisi oleh Trichoderma 5 bulan setelah inokulasi D= Serasah yang didekomposisi oleh Ganoderma 5 bulan setelah inokulasi
Pertumbuhan koloni Ganoderma sp. GBR pada serasah A. mangium
Pengamatan terhadap pertumbuhan koloni Ganoderma sp GBR dalam mengkolonisasi seluruh media di dalam kantong plastik menunjukkan adanya perbedaan waktu yang dibutuhkan antara serasah lapisan L, F dan serbuk gergajian kayu sengon (Gambar 25). Waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk mengkolonisasi seluruh media pada ketiga media tersebut berturut-turut 13.5 hari, 15 hari dan 15.5 hari. Jika dilihat dari kemampuan pemanfatan substrat berupa lignin dan selulosa pada serasah, Ganoderma lebih efektif mendekomposisi lignin dan selulosa pada serasah lapisan L. Hal tersebut disebabkan karena Ganoderma yang termasuk kelompok fungi pembusuk putih pada saat mengkoloni substrat
72
mampu menghasilkan enzim, baik ligninase maupun selulase. Dengan demikian Ganoderma dapat memanfaatkan senyawa lignin dan selulosa yang ada pada
serasah untuk mencukupi kebutuhan karbon untuk pertumbuhannya (Evans & Hedger 2001). Kemungkinan lain yang menyebabkan Ganoderma dapat tumbuh dengan baik pada lapisan L disebabkan pada serasal lapisan L selain mengandung lignin dan selulosa juga mengandung senyawa lain seperti karbohidrat dan protein yang lebih tinggi (masing-masing 48.08%-57.45% dan 12.53%-16.87%) dibandingkan dengan lapisan F (masing-masing 41.75%-54.75% dan 10.72%14.40%), sehingga pertumbuhan koloni Ganoderma sp GBR pada serasah lapisan L lebih cepat.
15
1 5 .5
15
Serasah Lapisan F
Serbuk Gergajian kayu sengon
1 3 .5
W a k tu k o lo n is a s i G a n o d e r m a ( h a r i)
20
10
5
0 Serasah Lapisan L
Serasah lapisan L
Serasah lapisan F
Serbuk gergajian kayu sengon
Gambar 25 Perbandingan pertumbuhan koloni Ganoderma sp GBR yang ditumbuhkan dalam media serasah dan serbuk gergajian kayu sengon Keterangan: bar = standard error
Pertumbuhan koloni Ganoderma sp GBR dalam media PDA dan PDAS terlihat bahwa setelah tujuh hari inokulasi diameter koloni pada masing-masing media mencapai 4.55 cm dan 8.70 cm (Gambar 26). Cepatnya pertumbuhan koloni dalam media yang mengandung serasah A mangium disebabkan karena bahan organik yang ada pada serasah tersebut dapat menjadi sumber karbon untuk mensintesis komponen-komponen sel fungi.
73
Media PDAS
Media PDA
Gambar 26 Pertumbuhan miselium Ganoderma yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDAS setelah 7 hari pada suhu ruang (+ 28o C) Keadaan di lapangan tidak ditemukan Ganoderma pada lapisan serasah A mangium karena memang habitat Ganoderma berada di dalam tanah dan di
perakaran. Namun jika serasah yang berlimpah di lantai hutan tersebut secara sengaja atau tidak lalu masuk ke dalam tanah, terutama pada areal yang terserang Ganoderma, maka serasah ini akan menjadi tempat tumbuh yang baik dan
menjadi sumber inokulum untuk penyerangan periode berikutnya. Dengan demikian perlu adanya pengelolaan serasah dengan baik pada daerah yang terserang Ganoderma agar tidak memasukkan serasah ke dalam tanah terutama pada saat aplikasi Trichoderma yang dilakukan dengan menggali tanah di sekitar pohon yang terserang Ganoderma. Simpulan
1. Persentase kehilangan berat serasah dari lapisan L dan F yang didekomposisi oleh Ganoderma dan Trichoderma adalah rendah berkisar 3.10% - 4.57%. 2. Persentase kehilangan berat lignin lebih besar oleh Ganoderma dibandingkan dengan Trichoderma 3. Ganoderma lebih cepat mengkolonisasi seluruh media serasah daun A mangium lapisan L dibandingkan dengan lapisan F dan serbuk gergajian kayu
sengon. Demikian juga pertumbuhan koloninya lebih cepat pada media PDAS dibandingkan dengan PDA saja. Dengan demikian serasah lapisan L merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan koloni Ganoderma.
74
VII. FUNGI YANG TERDAPAT PADA SERASAH Acacia mangium Abstract Fungi are cosmopolite organisms that are able to grow in any substrates such as Acacia’s leaf litters. The aim of this research was to identify of fungi from litter layers. Identify was done by observing fungal structure and colonies characters on PD. For isolates estimated as Basidiomycetes were tested by laccase test and peroxidase test. Based on those characters, there were 7 isolates from genera of Pythium belonging to Mastigomycetes, 1 isolate from Basidiomycetes and 6 genera belonging to Deuteromycetes, i.e. 5 isolates of Penicillium, 10 isolates of Aspergillus, 5 isolates of Trichoderma, 2 isolates of Fusarium, 1 isolate of Geotrichum and 1 isolate of Phialophora. Seven other isolates were unidentified.
key words: fungi, Acacia mangium, litter layers, identification
Pendahuluan
Secara tradisional ahli biologi mendefinisikan fungi sebagai organisme eukariotik, tidak berklorofil dan mengambil makanan secara absorbtif, umumnya menghasilkan spora seksual maupun aseksual, mempunyai struktur somatik berupa hifa yang dapat bercabang-cabang membentuk miselium (Alexopoulus et al. 1996). Selanjutnya Webster dan Weber (2007) mendefinisikan fungi sebagai
organisme kosmopolit yang hidup secara heterotropik, bentuk vegetatifnya berupa filamen yang memiliki dinding sel tersusun dari kitin dan glukan, bersifat eukariotik, bereproduksi secara aseksual dan seksual, propagulnya berupa spora yang dihasilkan dalam jumlah yang besar. Para ahli mikologi membagi dunia fungi menjadi tiga kelompok yaitu (1) fungi sejati, yang dinding selnya mengandung kitin, termasuk di dalamnya Chytridiomycota, Zygomycota, Ascomycota, Deuteromycota dan Basidiomycota. (2) organisme mirip fungi yang dinding selnya mengandung selulosa, termasuk di dalamnya Oomycota. (3) organisme mirip fungi yang tidak memiliki dinding sel, termasuk di dalamnya Acrasids dan Dictyostelids (cellular slime mold), Myxomycota, dan Plasmodiophorids (Deacon 1997). Fungi berperan penting di dalam lingkungan teresterial, yaitu sebagai dekomposer, patogen dan simbion pada tumbuhan, serta siklus materi. Fungi juga
75
berperan dalam menjaga struktur tanah (Gadd et al. 2007). Pada lantai hutan kehadiran fungi terutama Basidiomycetes sangat menguntungkan, selain sebagai dekomposer, miselium fungi ini juga berperan mengikat serasah sehingga menjadi suatu kesatuan yang kuat yang dapat menjaga kehilangan nutrisi tanah akibat pencucian oleh air hujan dan mengurangi erosi (Lodge et al. 2008). Fungi yang tumbuh pada serasah daun di lantai hutan A. mangium baik pada lapisan serasahnya maupun pada serasah terdekomposisi
telah berhasil
diisolasi. Berdasarkan pengamatan morfologi terhadap fungi yang telah diperoleh baik secara makroskopi maupun mikroskopi terlihat adanya beberapa kelompok yang dapat diidentifikasi dan beberapa kelompok lain masih sukar diidentifikasi. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi dari fungi yang tumbuh pada serasah daun A. mangium berdasarkan ciri morfologi masing-masing fungi yang diperoleh.
Bahan dan Metode
Pengamatan morfologi fungi
Isolat fungi yang diperoleh dari lapisan serasah daun A. mangium dan dari serasah selama proses dekomposisi ditumbuhkan pada media potato dextrose agar (PDA). Setelah ditumbuhkan satu minggu diamati karakter koloninya yang meliputi diameter koloni, warna koloni, tekstur permukaan koloni, pola koloni, tepi koloni dan organ yang dibentuk oleh koloni. Untuk pengamatan morfologi secara mikroskopi terlebih dahulu dilakukan pembuatan preparat dengan media asam laktat dan laktofenol biru. Observasi mikroskopis menggunakan mikroskop cahaya merek Olympus model CHT CH-2, sedangkan pemotretan isolat menggunakan kamera digital merek Nicon model Coolpix S3. Karakter morfologi yang diamati secara mikroskopi meliputi warna hifa, ada atau tidak adanya sekat pada hifa, sambungan apit (clamp connection), diameter hifa, bentuk dan ukuran konidiofor, diameter dan bentuk spora atau konidia, bentuk dan ukuran klamidospora.
76
Uji biokimia
Uji biokimia hanya dilakukan terhadap fungi yang diduga Basidiomycetes, yaitu dengan melakukan membiakkan fungi pada media MEA yang ditambah dengan asam tanat atau asam galat masing-masing sebanyak 500 mg/l. Selain itu dilakukan uji lakase dengan cara meneskan 0.1 M α-naptol pada koloni fungi, uji peroksidase dengan cara meneteskan satu tetes larutan (0,4% H2O2 ditambah 1% pyrogallol dalam air) pada koloni fungi (Rayner dan Boddy 1995).
Identifikasi fungi
Identifikasi dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi dari Watanabe (2002), Rayner dan Boddy (1995), Burgress et al. (1994), Pitt (1988), Klich dan Pitt (1988). Hasil dan Pembahasan
Isolat fungi diperoleh dari dua sumber serasah yang berbeda yaitu dari lapisan serasah daun pada lantai hutan A. mangium dan dari serasah yang didekomposisikan selama delapan bulan. Diperoleh 40 isolat fungi, 17 diantaranya berasal dari lapisan serasah, 20 isolat dari serasah terdekomposisi dan 3 isolat diperoleh dari kedua sumber di atas. Berdasarkan hasil pengamatan secara mikroskopis, terdapat tujuh isolat yang termasuk dalam kelas Oomycetes dengan ciri hifa aseptat dan membentuk oospora. Ketujuh isolat di atas termasuk dalam genus Pythium, yaitu membentuk spora seksual berupa oogonium yang tidak amphygenous atau zoospora yang didiferensiasi di dalam vesikel yang terbentuk di luar sporangium. Sp. 23D (Pythium intermedium)
Dalam media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 9 cm, berwarna putih, tekstur velfety, tepi koloninya tidak rata. Hifa aseptat berdiameter + 15 μm, mempunyai sporangium bentuk globus yang
berkembang seperti rantai, klamidospora berukuran 7.5 x 7.5 μm.
77
sporangium
klamidospora
a
b
Gambar 27 Pythium intermedium a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar ( + 28 oC), b. sporangium dan klamidospora (100x)
Sp. 39D (Pythium elongatum)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 9 cm, berwarna putih, tipis, tekstur velfety, tepi koloninya rata. Hifa aseptat berdiameter + 2 μm, terdapat hyphal swellings (penggelembungan hifa)
berukuran 7.5 x 7.5 μm terdapat vesikel berukuran (10 x 11.5 μm) – (15 x 16 μm) di dalamnya terdapat spora, berbentuk elipsoid berdiameter 2.5 x 5.5 μm. vesikel hyphal swelling
a
b
Gambar 28 Pythium elongatum a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. vesikel dan hyphal swelling (100x) Sp. 35D (Pythium splendens)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 2 cm, berwarna putih, tekstur glabrous, rugose, tepi koloninya bergelombang. Hifa aseptat berdiameter + 2.5 μm, sedangkan sporangium globus berukuran 5 x 5 μm.
78
sporangium
a
b
Gambar 29 Pythium splendens a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. sporangium (100x) Sp. 33 (Pythium afertile)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 9 cm, berwarna putih, setelah tua konidia berwarna hijau, tekstur velfety, tepi koloninya tidak rata. Hifa aseptat berdiameter + 3.5 μm, spora globus
berdiameter 2.5 x 2.5 μm, dan terdapat hyphal swellings berukuran (5 x 7.5) - (5.5 x 7.5) μm.
sporangium
hyphal swelling
a
b
Gambar 30 Pythium afertile a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b.sporangium dan hyphal swelling (100x) Sp. 20 (Pythium salpingophorum)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 9 cm, berwarna putih, tekstur velfety, flat, tepi koloninya rata. Hifa septat berdiameter + 2.5 μm, terdapat hyphal swellings berukuran (3 x 4) – (4 x 6.5) μm.
berbentuk globus
79
hyphal swelling
a
b
Gambar 31 Pythium salpingophorum a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. klamidospora (100x) SP. 34D (Pythium sp 1 )
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 9 cm, berwarna putih, bagian tengah agak tipis, tekstur velfety, tepi koloninya rata. Hifa aseptat berdiameter + 2 μm, terdapat struktur seperti artrospora (hasil fragmentasi hifa) berukuran 6.5 x (20 – 26.5) μm di sekitarnya terdapat butiran-butiran seperti konidium dan terdapat struktur bulat berupa penggelembungan hifa (hyphal swellings) berukuran (6.6 x 6.5) – (7.5 x 7.5) μm.
hyphal sweling
a b Gambar 32 Pythium sp 1 a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. hifa dan hyphal swelling (100x) Sp. 10 (Pythium sp 2 )
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 9 cm, berwarna putih, subfelty. Hifa aseptat lebar + 2.5 μm, terdapat struktur seperti sporangium berbentuk globus berdiameter 7.5 – 15 μm.
80
sporangium
a b Gambar 33 Pythium sp 2 a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. sporangium (100x)
Isolat Sp 22 termasuk ke dalam kelas Basidiomycetes. Fungi yag termasuk dalam kelas ini mempunyai hifa septat, terdapat sambungan apit (clamp connection) pada hifanya, tetapi selama pengamatan tidak berhasil ditemukan
basidiocarp dan basidiosporanya.
Sp. 22
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 3.5 cm, berwarna putih, tekstur cottony, flat, tepi koloninya tidak rata. Hifa septat berdiameter + 2.5 μm mempunyai sambungan apit, mempunyai klamidospora terminal
berukuran (3 x 5) – (3.5 x 5.5) μm, juga terdapat
artrospora. Hasil uji asam galat, asam tanat, uji lakase dan peroksidase menunjukkan hasil positif. Berdasarkan kunci identifikasi Stalpers (1978) dalam Rayner dan Boddy (1995) diperoleh nomor kunci : 1, 3, 21, 39, 84, 85, 96. Kemungkinan nama spesies isolat Sp 22 ini adalah: Spongipellis delectans atau Phlebia radiata
sambungan apit
klamidospora
artrospora a b Gambar 34 Sp 22 a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama 7 hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. struktur hifa, klamidospora dan artrospora (100x)
81
Isolat yang paling banyak ditemukan dalam penelitian ini adalah dari kelas Deuteromycetes yaitu sebanyak 24 isolat. Ciri fungi ini antara lain hifa septat, tanpa sambungan apit (clamp connection), dan menghasilkan konidium.
Genus Penicillium Fungi yang termasuk dalam genus ini mempunyai konidium bersel satu, globus, hialin, kering, mempunyai konidiofor yang ujungnya tidak menggembung
yang dipadati oleh penisila. Sp. 18 (Penicillium tomii)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 9 cm, berwarna putih, velvety, tepi koloninya tidak rata, setelah tua koloni berwarna hitam. Hifa septat, tipe penisili monoverticillate. Konidium elipsoid berdiameter 1.5 x 2.5 μm, panjang fialid 5 – 7.5 μm dan panjang
konidiofor 14 – 20 μm. konidium fialid konidiofor
a b Gambar 35 Penicillium tomii a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. konidium dan konidiofor (100x) Sp. 1 (Penicillium canescens) Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang
berdiameter 1.5 cm, berwarna krem, tekstur: crustose, permukaan rogues, tepi koloninya tidak rata. Tipe penisili beverticillate. Hifa septat, konidium globus berdiameter 2 x 2.5 μm, panjang fialid 7.5 μm, metula 6 μm dan ramuli + 12.5 μm.
82
konidia fialid metula konidiofor b
a
Gambar 36 Penicillium canescens a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. Konidia dan konidiofor (100x) Sp. 1D (Penicillium minioluteum)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 0.7 - 1 cm, berwarna hijau, felty, konidia padat dibagian tengah, tepi koloninya hijau keputihan dan tidak rata. Tipe penisili beverticillate. Hifa septat, konidium elipsoid berdiameter 1.5 x 2.5 μm panjang fialid + 7.5 μm, panjang metula + 13.5 μm. dan panjang tangkai (stipe) > 50 μm.
konidia fialid metula konidiofor
a
b
Gambar 37 Penicillium minioluteum a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. konidia dan konidiofor (100x) Sp. 3 (Penicillium sp 1)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 1.5 cm, berwarna krem, tekstur crustose, permukaan roguse, tepi koloninya tidak rata. Tipe penisili terverticillate. Hifa septat, konidium globus berdiameter 2 – 2.5 μm, panjang fialid 6.5 – 8.5 μm dan panjang metula + 9.5 μm.
83
konidia fialid metula konidiofor a
b
Gambar 38 Penicillium sp 4 a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. konidia dan konidiofor (100x)
Sp. 19D (Penicillium sp 2)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 9 cm, berwarna putih tipis pellicular atau subfelty, tepi koloninya rata. Tipe penisili beverticillate. Hipa septat, konidium elipsoid berdiameter 1.5 x 2.5 μm panjang fialid + 12.5 μm, panjang metula + 11 μm dan panjang tangkai (stipe) + 5 μm.
konidia fialid metula konidiofor a
b
Gambar 39 Penicillium sp 6 a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. konidia dan konidiofor (100x)
Genus Aspergillus Konidium terdiri dari satu sel, memiliki konidiofor yang ujungnya
menggelembung tempat bertumpu sejumlah metula atau fialid.
84
Sp. 11 / Sp. 12 D (Aspergillus parasiticus)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 3 cm, berwarna hijau kekuningan, konidium tampak padat, tekstur felty, zonated, tepi koloninya tidak rata berwarna kuning muda. Hifa hialin aseptat, aspergilla uniseriate, konidiofor hialin panjangnya + 3.5 μm, diameter
vesikel + 7.5 μm, panjang fialid + 6.5 μm, konidium globus berwarna kuning muda, berdiameter 4.5 x 4.5 μm.
konidia vesikel konidiofor a
b
Gambar 40 Aspergillus parasiticus a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. konidia dan konidiofor (100x) Sp. 3 D /Sp4 (Aspergillus flavus)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 2,1 cm, berwarna hijau kekuningan, tekstur felty, zonated, tepi koloninya rata berwarna kuning pucat. Hifa hialin aseptat berdiameter + 7.5 μm, aspergilla uniseriate, konidiofor hialin berdiameter + 8 μm, diameter vesikel 30 40 μm, konidium globus, halus berwarna kuning kecoklatan berdiameter 3 x 3.5 μm. konidia vesikel konidiofor a b Gambar 41 Aspergillus flavus a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. konidia dan konidiofor (100x)
85
Sp. 4D (Aspergillus fumigatus)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 1.8 cm, berwarna kuning bagian tengahnya hijau muda, tekstur felty, bagian tepi koloninya kuning pucat, tidak rata. Hifa hialin aseptat berdiameter + 6 μm, aspergilla uniseriate, konidiofor hialin berdiameter + 8 μm, panjang fialid + 5 μm, konidium globus berdiameter 5 x 5 μm, diameter vesikel + 22.5 μm. kepala berkonidia vesikel konidiofor
a
b
Gambar 42 Aspergillus fumigatus a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. konidia dan konidiofor (100x) Sp. 8 (Aspergillus sp 1)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 1.2 cm, berwarna hitam, tekstur dense felty, tepi koloninya tidak rata. Hifa hialin septat berdiameter + 7.5 μm, konidiofor hialin berdinding tebal berdiameter + 10 μm, berdiameter 5.5 x 5.5 μm, diameter vesikel + 21 μm, konidium globus permukaan kasar berwarna kuning kecokelatan. kepala berkonidia konidiofor
a
b
Gambar 43 Aspergillus sp 1 a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. kepala konidia dan konidiofor (100x)
86
Sp. 29 (Aspergillus sp2)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 1.5 cm, berwarna kuning bagian tengahnya hijau, tekstur felty, bagian tepi koloninya kuning pucat, tidak rata. Hifa hialin septat berdiameter + 7.5 μm, konidiofor hialin berdiameter + 8.5 μm, diameter vesikel + 17.5 μm, panjang fialid + 7.5 μm, konidium globus warna kuning muda berdiameter 4.5 x 5 μm.
konidia
konidiofor
a
b
Gambar 44 Aspergillus sp 2 a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. konidia dan konidiofor (100x) Sp. 7D/ Sp. 39 (Aspergillus sp3)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 3 cm, berwarna hijau kekuningan, tekstur felty, zonated, tepi koloninya rata. Hifa hialin aseptat berdiameter 6 μm, aspergilla uniseriate, konidiofor hialin berdiameter + 5 μm, diameter vesikel + 12 μm, panjang fialid + 7.5 μm, konidium globus berdiameter 5 x 5 μm.
konidia vesikel konidiofor a
b
Gambar 45 Aspergillus sp 3 a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. konidia dan konidiofor (100x)
87
Sp. 9 (Aspergillus sp 4)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 1.5 cm, berwarna hijau kekuningan, tekstur felty, zonated, tepi koloninya tidak rata. Hifa hialin aseptat berdiameter + 7.5 μm, aspergilla uniseriate, konidiofor hialin berdiameter + 7.5 μm, diameter vesikel + 27.5 μm,
konidium globus permukaan kasar, berdiameter 3.5 x 4 μm. kepala berkonidia vesikel konidiofor a
b
Gambar 46 Aspergillus sp 5 a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. kepala konidia dan konidiofor (100x) Sp. 2D (Aspergillus sp 5)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 3 cm, berwarna hitam, felty, zonated, tepi koloninya putih rata. Hifa hialin aseptat, konidiofor hialin panjang + 5 μm, mempunyai klamidospora
terminal berdiameter + 7.5 μm, konidium globus berdiameter 2.5 x 2.5 μm, diameter vesikel + 16 μm. klamidospora kepala berkonidia konidiofor
a
b
c
Gambar 47 Aspergillus sp 6 a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. klamidospora, c. kepala konidia dan konidiofor (100x)
88
Sp. 11D (Aspergillus sp 6)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 3.6 cm, berwarna hijau kekuningan, pada bagian tengah konidia tampak lebih padat, tekstur felty, tepi koloninya tidak rata berwarna kuning muda. Hifa hialin septat berdiameter + 5 μm, konidiofor hialin berdiameter + 8.5 μm, diameter vesikel + 22.5 μm, panjang fialid + 5 μm, konidium elipsoid berdiameter 3.5 x 5 μm. kepala berkonidia vesikel konidiofor a
b
Gambar 48 Aspergillus sp 8 a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. kepala konidia dan konidiofor (100x) Sp. 14D (Aspergillus sp 7)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 3.4 cm, berwarna kuning bagian tengahnya hijau muda, tekstur felty, bagian tepi koloninya kuning pucat dan tidak rata. Hifa hialin septat berdiameter + 3.5 μm, konidiofor septat hialin berdiameter + 5 μm, diameter vesikel + 18.5 μm, panjang fialid + 5 μm, konidium globus berdiameter 4 x 4.5 μm. kepala berkonidia vesikel konidiofor
a b Gambar 49 Aspergillus sp 9 a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. kepala konidia dan konidiofor (100x)
89
Genus Trichoderma Isolat yang termasuk dalam genus ini mempunyai ciri-ciri antara lain:
konidia hialin terdiri dari satu sel, konidiofor hialin ujungnya tidak menggembung tetapi bercabang tidak teratur.
Sp. 21 (Trichoderma viride)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 7 cm, berwarna putih, tekstur felty cottony, tepi koloninya tidak rata. Hifa septat berdiameter + 2.5 μm, konidiofor hialin, tegak dan panjangnya + 7.85 μm, fialid pendek dan tebal, konidium globus berdiameter 2.5 x 3 μm. konidia
fialid konidiofor a
b
Gambar 50 Trichoderma viride a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. konidia dan konidiofor (100x) Sp 38 dan SP 38 D (Trichoderma longibrachiatum)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 9 cm, berwarna putih, setealah tua menjadi hijau, tekstur velfety, tepi koloninya tidak rata. Hifa septat berdiameter + 2.5 μm, konidiofor hialin panjangnya + 15 μm dan bercabang, konidium elipsoid berdiameter 2.5 x 4 μm, panjang fialid + 12.5 μm. konidia fialid konidiofor a b Gambar 51 Trichoderma longibrachiatum a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. hifa dan konidia (100x)
90
Sp. 2 (Trichoderma harzianum)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 8.4 cm, berwarna hijau, tekstur felty cottony, zonatet, tepi koloninya rata. Hifa septat berdiameter + 2 μm, konidium globus berdiameter 3 x 3.5 μm.
konidium
a
b
Gambar 52 Trichoderma harzianum a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. konidia (100x) Sp. 20D dan Sp. 33D (Trichoderma piluliferum)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 9 cm, berwarna putih, tekstur felty, tepi koloninya rata. Hifa septat berdiameter + 3.5 μm, konidium elipsoid berdiameter 2.5 x 4 μm.
konidium
a
b
Gambar 53 Trichoderma piluliferum a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. konidia (100x) Sp 37D (Trichoderma koningii)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 9 cm, berwarna putih, tekstur velfelty, tipis, tepi koloninya rata. Hifa septat berdiameter + 1.5 μm, konidium elipsoid berdiameter 4 x 5.5 μm.
91
konidium
a
b
Gambar 54 Trichoderma koningii a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. konidia (100x)
Genus Fusarium
Isolat yang termasuk dalam genus ini mempunyai ciri antara lain: tidak membentuk setae, makrokonidia sederhana lebih dari dua sel berbentuk sabit, memiliki sel kaki. Sp. 24 (Fusarium heterosporum)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 4 cm, berwarna putih, krem, tekstur glabrous, tepi koloninya bergelombang. Hifa septat berdiameter + 1.5 μm, makrokonidium berbentuk seperti perahu berukuran (7.5 – 35)
x 25 μm, salah satu ujungnya runcing
mempunyai 2 – 4 sel.
makrokonidium
a b Gambar 55 Fusarium heerosporum a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. makrokonidium (100x)
92
Sp. 7 (Fusarium oxysporum)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 5 cm, berwarna putih, tekstur velfety, tepi koloninya tidak rata. Hifa septat berdiameter + 6.5 μm, makrokonidium berbentuk perahu dengan ujung
yang lonjong ramping berukuran (1 – 2.5) x 25 μm dan meiliki empat sel.
makrokonidium
a b Gambar 56 Fusarium oxysporum a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. makrokonidium (100x)
Genus Geotrichum Isolat yang termasuk dalam genus ini mempunyai cirri-ciri antara lain:
konidiofor tidak berkembang dengan baik, konidia berbentuk silinder yang pada kedua ujungnya terpotong.
Sp. 6 (Geotrichum sp)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 6.5 cm, berwarna putih, tekstur velfety, permukaan flat, tepi koloninya tidak rata. Hifa aseptat berdiameter + 2 μm, mempunyai klamidospora interkalar berukuran 7.5 x 8.5 μm, juga terdapat arthrospora berukuran 5 x (12 – 17.5) μm. klamidospora
artrospora a b c Gambar 57 Geotrichum sp a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. klamidospora, c. arthrospora (100x)
93
Genus Phialophora
Isolat yang termasuk dalam genus ini mempunyai ciri-ciri antara lain: konidia berpigmen terdiri dari satu sel dan membentuk suatu massa agregat, sedangkan konidiofornya tidak berkembang dengan baik,
Sp. 31D (Phialophora richardsiae)
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 9 cm, berwarna putih, tekstur velfety atau felty cottony, tepi koloninya rata. Hifa septat berdiameter + 2.5 μm, fialid tegak panjangnya 7.5 – 11.5 μm, mempunyai konidiaum globus berukuran 3.5 x 3.5 μm.
fialid konidia
a b Gambar 58 Phialophora richardsiae a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. konidia (100x)
Isolat yang belum teridentifikasi Sp. 5
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 2.4 cm, berwarna putih, tekstur garanular, cottony, permukaan flat, tepi koloninya tidak rata. Hifa septat hialin berdiameter + 2.5 μm.
hifa
a b Gambar 59 Sp 5 a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. struktur hifa (100x)
94
Sp. 6D
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 5.5 cm, berwarna putih, semakin tua menjadi hitam, tekstur velfety, tepi koloninya tidak rata. Hifa hialin septat berdiameter + 3 μm, terdapat kumpulan hifa berdiameter 37.5 x 60 μm, juga terdapat struktur seperti artrospora hasil fragmentasi hifa berukuran 4 x 5 μm.
struktur seperti artrospora hasil fragmentasi hifa hifa a b Gambar 60 Sp 6D a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. struktur mikroskopik hifa (100x) Sp. 9D
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 6 cm, berwarna putih, tekstur velfety, cottony, tepi koloninya rata. Hifa hialin aseptat berdiameter + 2.5 μm, terdapat struktur seperti sporangium berbentuk globus sampai elipsoid, juga terdapat struktur hasil penggelembungan hifa (hyphal swelling), spora elipsoid berukuran 2.5 x 7.5 μm.
d a b c Gambar 61 Sp 9D a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. sporangiospora, c. sporangium, dan d. hyphal swelling (100x)
95
Sp. 16D dan Sp. 43D
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 9 cm, berwarna putih, tekstur velfety, tepi koloninya tidak rata. Hifa septat berdiameter + 5 μm, mempunyai struktur bulat yang terangkai seperti rantai berukuran (10 x 10) – (12 x 13) μm merupakan hasil penggelembungan hifa (hyphal swellings).
hyphal swellings
a
b
Gambar 62 Sp 16D a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. hyphal swelling (100x) Sp. 28D
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 9 cm, berwarna putih, tekstur velfety, tepi koloninya tidak rata. Hifa septat berdiameter + 2.5 μm, terdapat struktur seperti sporangium berbentuk globus berukuran 2.5 x 3 μm.
sporangium
A
b
Gambar 63 Sp 28D a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. sporangium (100x)
96
Sp. 40 D Dalam media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang
berdiameter 9 cm, berwarna putih, tekstur velfety, woolly, tepi koloninya rata. Hifa hialin septat berdiameter + 1.5 μm, konidia globus berdiameter 15 x 20 μm.
konidia konidiofor
a
b
Gambar 64 Sp 40D a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. konidia dan konidiofor (100x) Sp. 41D/ Sp. 42D
Pada media PDA koloni yang berumur tujuh hari pada suhu ruang berdiameter 9 cm, berwarna putih, tekstur velfety, flat, tepi koloninya tidak rata. Hifa septat berdiameter + 5 μm, mempunyai struktur seperti arthrospora hasil fragmentasi hifa berukuran 7 x (12.5 – 32) μm, dan mempunyai struktur hasil penggelembungan hifa (hyphal swelling) berukuran 7.5 x 8 μm.
struktur seperti artropsora
hyphal swelling
a
b
Gambar 65 Sp 42D a. Koloni pada PDA setelah diinkubasi selama tujuh hari pada suhu kamar (+ 28 oC), b. struktur seperti artrospora dan hyphal swelling (100x)
97
Simpulan
Berdasarkan pengamatan morfologi koloni dan struktur mikroskopi fungi yang diperoleh dari lapisan serasah dan dari proses dekomposisi serasah A. mangium, berhasil dikelompokkan dalam empat kelas. Tujuh isolat dari genus Pythium termasuk dalam kelas Oomycetes, satu isolat berasal dari kelas
Basidiomycetes. Enam genus berasal dari kelas Deuteromycetes, yaitu Penicillium 5 isolat, Aspergillus 10 isolat, Trichoderma 5 isolat, Fusarium 2 isolat, Geotrichum 1 isolat dan Phialophora 1 isolat. Tujuh isolat lainnya belum berhasil
diidentifikasi.
98
VIII. PEMBAHASAN UMUM Proses dekomposisi serasah daun Acacia mangium dilakukan secara kolaboratif oleh flora dan fauna yang terdapat di lantai hutan, namun peranan fungi lebih dominan dibandingkan organisme lain karena kemampuannya menghasilkan berbagai enzim untuk menguraikan senyawa lignoselulosa pada serasah. Di dalam ekosistem lantai hutan terutama hutan tanaman industri akasia, peran fungi selain sebagai dekomposer juga berperan sebagai agen antagonis dan patogen. Dalam keadaan keseimbangan yang dinamis agen antagonis dapat mengontrol keberadaan patogen sehingga dapat mencegah terjadinya kejadian penyakit pada tanaman hutan industri. Salah satu fungi patogen pada tegakan akasia yang menyebabkan busuk akar adalah Ganoderma dan fungi yang telah diuji kemampuan antagonistiknya terhadap Ganoderma adalah Trichoderma. Penelitian tentang dekomposisi serasah A. mangium dan suksesi funginya serta beberapa pengujian yang berkaitan dengan keberadaan Ganoderma dan Trichoderma pada serasah telah dilakukan selama delapan bulan. Hasil penelitian
menemukan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan dekomposisi serasah oleh fungi dan kaitannya dengan keberadaan Ganoderma dan Trichoderma pada serasah A. mangium. Gambaran permasalahan berdasarkan hasil penelitian dan usaha pemecahannya disajikan pada Gambar 66. Hasil pengamatan keberadaan fungi pada tiga lapisan serasah (L, F dan H) menunjukkan bahwa jumlah populasi fungi pada serasah dari tegakan umur lima tahun (5S dan 5G) lebih tinggi dibandingkan dengan serasah dari umur dua tahun (2S dan 2G), sedangkan jumlah yang paling sedikit ditemukan pada areal bekas tebangan (BT). Namun jika dihubungkan dengan lapisan serasahnya maka semua populasi tertinggi ditemukan pada lapisan L kecuali untuk BT yaitu pada lapisan F. Populasi fungi yang tinggi pada tegakan umur lima tahun dan pada serasah lapisan L pada semua sampel yang diamati tidak diikuti oleh keanekaragaman spesies yang tinggi. Hasil analisis keanekaragaman fungi menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman (H’) fungi pada ketiga lapisan serasah di semua tegakan yang diamati berkisar 1.46 – 2.16 dan indeks kemerataan spesiesnya berkisar 0.66 – 0.93. Keanekaragaman fungi pada serasah A. mangium ini masih lebih rendah
99
jika dibandingkan dengan fungi yang tumbuh pada sesarah bambu di Hong Kong H’ berkisar 2.0 – 2.4 (Zhou dan Hyde 2000), dan pada serasah mangrove di India H’ mencapai 4.08 – 5.02 (Ananda dan Sridhar 2004).
Populasi dan keanekaragaman fungi rendah
PATOGEN Ganoderma
ANTAGONIS Trichoderma
SERASAH A. mangium
Tidak ditemukan pada lapisan serasah. Uji In vitro: Tumbuh baik pada serasah lapisan L
Laju dekomposisi rendah
Ditemukan pada lapisan serasah. Uji lapang dan uji In vitro: Tumbuh baik pada serasah lapisan F
Memungkinkan tumbuh pada substrat yang sama dan saling berinteraksi
Kehadiran serasah yang mengandung lignoselulosa tinggi menyebabkan penurunan kemampuan antagonistik Trichoderma terhadap Ganoderma Pemecahan masalah
- Tidak memasukkan serasah ke dalam tanah pada saat aplikasi Trichoderma - Melakukan usaha mempercepat laju dekomposisi serasah dengan memanfaatkan dekomposer nonpatogen - Melakukan eksplorasi fungi pada tegakan umur lima tahun keatas untuk menghasilkan fungi yang berpotensi lignoselulolitik dan sebagai agen antagonis bagi Ganoderma Gambar 66 Permasalahan dan pemecahan masalah berdasarkan hasil penelitian
100
Hasil isolasi fungi pada lapisan serasah (tegakan 2S, 2G, 5S. 5G dan BT) ditemukan fungi yang dominan adalah Trichoderma, Fusarium dan Pythium, sedangkan hasil isolasi fungi selama delapan bulan dekomposisi serasah A. mangium fungi yang dominan adalah Penicillium, Aspergillus dan Trichoderma.
Semua fungi yang ditemukan tersebut secara ekologis berperan penting dalam ekosistem lantai hutan akasia. Trichoderma, selain sebagai dekomposer juga berpotensi sebagai agen antagonis untuk pengendalian hayati terhadap Ganoderma, karena Trichoderma mempunyai potensi antagonistik yang tinggi
terhadap Ganoderma (Widyastuti 2006). Fusarium dan Pythium dilaporkan dapat menyebabkan rebah semai (dumping-off) pada semaian (seedling) muda di pembibitan (nursery) akasia (Lee 1998), Fusarium juga dilaporkan dapat menyebabkan kanker batang dan cabang serta bercak daun pada tegakan akasia (Old et al. 2000). Proses dekomposisi serasah A. mangium di lantai hutan berlangsung lambat, laju dekomposisinya pada 2S dan 2G masing-masing 0.70 dan 0.51 per tahun. Laju dekomposisi tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu yang mencapai 0.84 per tahun (Hardiyanto et al. 2004). Rendahnya laju dekomposisi serasah tersebut yang diikuti dengan rendahnya keanekaragaman fungi yang tumbuh pada serasah (H’=1.46-2.16), menyebabkan masa tinggal serasah di lantai hutan menjadi lebih panjang sehingga tumpukan serasah menjadi tebal. Keadaan ini dapat menyebabkan terganggunya siklus nutrien pada lantai hutan, yang tercermin dari masih rendahnya kandungan nitrogen pada serasah yang didekomposisi selama delapan bulan yaitu sekitar 2%. Berkaitan dengan kemampuan tumbuh Ganoderma sp. GBR dan Trichoderma sp. TBPH pada serasah A. mangium, dilakukan pengujian
kemampuan dekomposisi serasah dari lapisan L dan F di dalam kantong plastik oleh kedua fungi tersebut. Setelah enam bulan pengamatan menunjukkan bahwa kedua fungi tersebut mampu mendekomposisi serasah A. mangium yang terlihat dari kehilangan berat serasah, lignin dan selulosa walaupun hasil ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil dekomposisi di lapangan. Berdasarkan hasil pengujian pertumbuhan, Ganoderma tumbuh baik pada serasah lapisan L, sedangkan Trichoderma tumbuh baik pada lapisan F. Hasil tersebut diperkuat
101
dengan pengujian waktu kolonisasi Ganoderma sp. GBR yang lebih cepat kolonisasinya pada serasah lapisan L dibandingkan dengan serasah lapisan F. Demikian juga pertumbuhan koloni Ganoderma sp. GBR pada media PDA yang mengandung serbuk serasah lapisan L (PDAS) lebih cepat dibandingkan pada media PDA saja. Sebaliknya Trichoderma tumbuh baik pada serasah lapisan F yaitu setelah 15 hari inokulasi populasinya mencapai 98.67 x 107/ml. Berdasarkan fakta di atas terlihat Ganoderma dan Trichoderma mampu tumbuh dengan baik pada media serasah daun A. mangium, sehingga kedua fungi tersebut memungkinkan tumbuh di lapangan pada substrat yang sama dan saling berinteraksi. Interaksi yang terjadi dapat berupa interaksi antagonistik antara Trichoderma dan Ganoderma. Hasil pengujian antagonistik Trichoderma sp.
TBPH terhadap Ganoderma sp. GBR pada media PDA dan PDAS menunjukkan bahwa kehadiran serasah dalam media dapat menurunkan persentase hambatan Trichoderma terhadap Ganoderma. Selain itu, Ganoderma sp. GBR yang
ditumbuhkan bersama dengan Trichoderma sp. TBPH dalam media serasah, secara visual terlihat bahwa setelah dua bulan inokulasi koloni Ganoderma tersisa + 50% dan setelah lima bulan masih tersisa + 10% dari luas permukaan media serasah yang terdapat dalam kantong plastik. Kandungan lignoselulosa yang tinggi pada serasah daun A. mangium merupakan sumber karbon yang baik bagi kebanyakan fungi, termasuk Trichoderma yang diharapkan dapat berperan sebagai agen antagonis bagi Ganoderma. Selama delapan bulan pengujian penyebaran Trichoderma sp. TBPH
pada lapisan serasah di tegakan 2S dan 2G menunjukkan bahwa populasi Trichoderma terlihat fluktuatif namun populasi yang tinggi di kedua tegakan
tersebut selalu terdapat pada serasah lapisan F diikuti oleh lapisan L dan H. Hasil tersebut didukung oleh hasil pengujian in vitro bahwa Trichoderma sp. TBPH tumbuh baik pada serasah lapisan F. Tingginya populasi Trichoderma pada lapisan F disebabkan karena kondisi lingkungan yang cocok dan rendahnya kompleksitas serasah lapisan F dibandingkan lapisan L, serta tersedianya nitrogen yang cukup untuk pertumbuhannya. Hasil pengujian dekomposisi menunjukkan bahwa Trichoderma ditemukan setelah lima bulan dekomposisi, pada waktu tersebut kandungan nitrogennya sudah meningkat menjadi 2,0%. Berdasarkan
102
hasil di atas, jika ingin menggunakan serasah A. mangium sebagai media tumbuh Trichoderma maka serasah yang diambil dari lapisan L harus didekomposisikan
selama lima bulan atau menggunakan serasah dari lapisan F. Salah satu tujuan penelitian ini adalah mengamati keberadaan Ganoderma pada serasah A. mangium. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kematian akasia akibat serangan Ganoderma mencapai 3% - 28% pada tegakan umur tiga sampai lima tahun (Irianto et al. 2000). Namun hasil pengamatan Lee (2000) pada tegakan A. mangium di Kemasul, Pahang, Peninsular Malaysia menunjukkan bahwa kematian yang terjadi karena serangan Ganoderma tidak seragam, dan tingkat kematiannya berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Berdasarkan pengamatannya pada beberapa plot, persentase kematian A. mangium berkisar 3% - 50% pada tegakan umur lima sampai 14 tahun, namun ada
juga plot yang tidak mengalami kematian sama sekali. Berdasarkan obervasi tersebut Lee (2000) menyimpulkan bahwa tingkat kematian tegakan umumnya semakin lama meningkat pada plot yang sejak awalnya sudah terdapat inokulum Ganoderma, sehingga terjadi perluasan serangan yang ditularkan melalui akar
tegakan yang terserang Ganoderma ke tegakan sehat. Kondisi serupa juga terjadi pada lokasi penelitian bahwa serangan Ganoderma tidak merata dan bervariasi pada tingkatan umur yang berbeda dan juga pada lokasi tertentu tidak terjadi serangan sampai umur tegakan diatas tujuh tahun. Walaupun di lapangan menunjukkan adanya serangan Ganoderma, akan tetapi selama penelitian berlangsung belum berhasil ditemukan Ganoderma baik dari lapisan serasah maupun dari proses dekomposisi, hal ini mungkin disebabkan karena metode dan media isolasi yang kurang sesuai atau karena habitat Ganoderma yang berada di perakaran di dalam tanah. Namun apabila dilihat
kemampuan tumbuh Ganoderma pada media serasah terutama lapisan L sangat baik dibandingkan pada media serbuk gergajian kayu sengon, maka perlu dicermati keberadaan serasah yang berlimpah di lantai hutan yang mencapai 3,88 ton/Ha/tahun. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan mengacu pada penelitian sebelumnya bahwa sumber inokulum Ganoderma terdapat pada perakaran akasia di dalam tanah, sehingga apabila serasah tersebut masuk ke dalam tanah dapat menjadi substrat pertumbuhan Ganoderma.
103
Serasah yang berlimpah pada lantai hutan akasia secara sengaja atau tidak dapat masuk ke dalam tanah terutama pada areal yang terserang Ganoderma. Oleh karena itu perlu adanya usaha penanganan serasah yang berlimpah tersebut agar tidak masuk ke dalam tanah terutama pada saat aplikasi Trichoderma. Berdasarkan pengamatan di lapangan, aplikasi Trichoderma dilakukan dengan cara menggali tanah di sekitar pohon yang diserang Ganoderma, jika serasah yang berada di sekitar lubang masuk ke dalam tanah dapat menjadi tempat tumbuh dan sumber inokulum bagi Ganoderma. Pencegahan masuknya serasah ini penting dilakukan dalam aplikasi Trichoderma, karena selain mencegah perkembangan inokulum Ganoderma, kehadiran serasah dapat menurunkan aktivitas antagonistik Trichoderma terhadap Ganoderma. Dengan demikian aplikasi Trichoderma tidak
terhambat oleh kehadiran serasah. Berkaitan dengan melimpahnya serasah akasia dan lamanya waktu tinggal serasah tersebut di lantai hutan, maka perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk mengekplorasi
jenis
fungi
nonpatogen
yang
mempunyai
kemampuan
lignoselulolitik tinggi untuk mendekomposisi serasah. Berdasarkan hasil penelitian, populasi fungi lebih tinggi diperoleh pada tegakan umur lima tahun dibandingkan dengan tegakan umur dua tahun dan areal bekas tebangan. Dengan demikian eksplorasi pada tegakan umur lima tahun keatas lebih berpeluang menghasilkan lebih banyak fungi yang berpotensi lignoselulolitik dan mungkin juga berpotensi sebagai agen antagonis.
104
IX. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan secara umum dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Proses dekomposisi serasah daun A. mangium berlangsung lambat, setelah delapan bulan dekomposisi (Maret hingga Novembar 2007) persentase kehilangan berat serasah di bawah tegakan sehat lebih besar daripada di bawah tegakan terserang Ganoderma. Demikian juga dengan persentase kehilangan berat lignin dan selulosanya. 2. Selama delapan bulan dekomposisi serasah di bawah tegakan sehat dan terserang Ganoderma total spesies funginya cenderung naik pada periode kedua (Mei hingga Juli) dekomposisi dan cenderung menurun kembali pada periode ketiga (Agustus hingga November) dekomposisi. Pada periode pertama sampai kedua dekomposisi, fungi yang tumbuh didominasi oleh genus Penicillium dan Aspergillus sedangkan pada periode ketiga didominasi oleh Trichoderma, Phialophora dan Pythium. 3. Populasi fungi pada serasah tegakan umur lima tahun lebih tinggi dibandingkan pada serasah tegakan umur dua tahun dan serasah areal bekas tebangan. Pada semua sampel serasah yang diamati, populasi fungi yang tinggi terdapat pada lapisan L, kecuali pada areal bekas tebangan terdapat pada lapisan F. 4. Hasil isolasi dari tiga lapisan serasah pada semua tegakan yang diamati diperoleh fungi yang dominan yaitu Aspergillus, Trichoderma, Fusarium dan Pythium. Sedangkan hasil isolasi fungi dari proses dekomposisi yaitu Penicillium, Aspergillus, Trichoderma, Phialophora dan Pythium. Semua
fungi yang ditemukan tersebut secara ekologis berperan penting dalam ekosistem lantai hutan akasia. 5. Populasi Trichoderma yang tinggi selalu terdapat pada lapisan F diikuti oleh lapisan H dan L baik pada 2S maupun 2G.
105
6. Setelah enam bulan pengamatan dekomposisi serasah di dalam kantong plastik, persentase kehilangan berat serasah dari lapisan L dan F yang didekomposisi oleh Ganoderma dan Trichoderma adalah rendah berkisar 3,10% - 4,57%. Ganoderma sp BGR tumbuh baik pada serasah lapisan L sedangkan Trichoderma sp TBPH tumbuh baik pada serasah lapisan F. 7. Kemampuan antagonistik Trichoderma sp. TBPH terhadap Ganoderma sp. GBR menjadi berkurang apabila ditumbuhkan pada media yang mengandung serasah A. mangium.
Saran
Dari seluruh penelitian yang telah dilakukan maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan pengelolaan serasah terutama pada daerah yang terserang Ganoderma untuk mengurangi serangan Ganoderma pada periode berikutnya
yaitu tidak memasukkan serasah ke dalam tanah pada saat aplikasi Trichoderma. Namun jika ingin memanfaat serasah A. mangium sebagai
media tumbuh Trichoderma, hendaknya didekomposisikan terlebih dahulu. 2. Oleh karena lambatnya proses dekomposisi serasah daun A. mangium, maka perlu dilakukan usaha untuk mempercepat laju dekomposisi serasah dengan menggunakan dekomposer nonpatogen yang mempunyai kemampuan lignoselulolitik tinggi. 3. Untuk melengkapi data tentang dekomposisi dan suksesi fungi pada serasah daun A. mangium hendaknya dilakukan pengamatan dekomposisi dan suksesi fungi dalam waktu yang lebih lama dari delapan bulan pada tegakan di atas lima tahun, sehingga berpeluang untuk mendapatkan jenis fungi lain yang berpotensi sebagai dekomposer nonpatogen dan agen antagonis dari Ganoderma.
4. Berdasarkan pengamatan peneliti sebelumnya bahwa serangan Ganoderma terjadi pada daerah yang sejak awalnya sudah mengandung inokulum Ganoderma, maka untuk daerah bekas tebangan yang terserang oleh Ganoderma perlu dilakukan aplikasi fungi lain yang mempunyai kemampuan
lignoselulolitik
nonpatogen
sebagai
kompetitor
Ganoderma
dalam
106
memanfaatkan substrat berupa tunggul dan akar bekas tebangan. Selain itu dapat juga dikombinasikan dengan memanfaatkan Trichoderma dan fungi lainnya yang bersifat antagonis terhadap Ganoderma sebagai usaha preventif untuk penanaman periode berikutnya. 5. Untuk mengatasi rendahnya populasi fungi di lantai hutan A. mangium perlu dilakukan penanaman tumbuhan tertentu berupa semak atau rumput yang serasahnya dapat meningkatkan populasi fungi pada lantai hutan terutama pada daerah bekas tebangan. 6. Pada penelitian ini tidak ditemukan Ganoderma pada serasah A. mangium, oleh karena itu pada masa yang akan datang perlu dilakukan penelitian tentang penyebaran spora Ganoderma baik yang terjadi karena perantara lingkungan maupun oleh serangga sebagai vektornya.
107
DAFTAR PUSTAKA Abadi AL, Tjitrosomo SS, Makmur A, Sutakaria J, Dharmaputra OS, Machmud M, Susilo H. 1989. Biologi Ganoderma boninense pada kelapa sawit (Elaeis guineensis) dan pengaruh beberapa mikroba tanah antagonistik terhadap pertumbuhannya. Forum Pascasarjana. 12 (2): 41-52. Alhubaishi AA, Abdel-Kader MI. 1991. Phylosphere and phylloplane fungi of qat in Sana’a, Yemen Arab Republic. J. Basic Microbial. 31(2): 83-90. Allen G, Unwin, 1982. Pedology. London: Trans by T.R. Paton. Alexopoulus CJ, Mim CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology. Fourth Edition. New York: John Wiley & Sons, INC. Amrullah IK, Suryahadi. 1992. Kumpulan Bahan Penuntun Praktikum Ilmu Makanan ternak. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DIKTI – PAU Ilmu Hayat IPB Ananda K, Sridhar KR. 2004. Diversity of filamentous fungi on decomposing leaf and woody litter of mangrove forest in the southwest coast of India. Current Science 87 (10): 1431- 1437. Andersson C. 2005. Litter decomposition in the forest ecosystem-influence of trace element, nutrients and climate. Bul ESS Vol.3 No.1. Arisman H, Hardiyanto EB. 2006. Acacia mangium - a historical perspective of its cultivation. Di dalam: Potter K, Rimbawanto A, Beadle C, editor. Workshop Heart Rot and Root Rot in Acacia Plantations. Proceedings of a workshop held in Yogyakarta, Indonesia, 7–9 February 2006. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research. hlm 11-15 Atlas RM, Bartha R. 1993. Microbial Ecology, Fundamental and Aplications. Redwood City California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. Barlocher F. 2005. Leaf mass loss estimated by litter bag technique. Di dalam: Graca MAS, Barlocher F, Gessner MO, editor. Methods to Study Litter Decomposition, A Practical Guide. Netherlands: Springer Barnett HL, Hunter BB. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Fourth Edition. Minnesota: APS Press The American Phytopathological Soceity. Beguin P, Aubert J.P. 1994. The biological degradation of cellulose. FEMS Microbiol. Ecol. 13: 25 - 58.
108
Beguin P, Aubert J.P. 1992. Cellulases. di dalam Lederberg J. 1992. Encyclopedia of Microbiology, Vol.1. New York: Academic Press Inc. hlm 467-477. Bilgrami KS, Verma RN. 1978. Physiology of Fungi. New Delhi: Vikas Publishing House PVT LTD. Bui AX, Ngo VM, Lu TH. 1992. Molasses-Urea Block (MUB) and Acacia mangium as supplements for crossbred heifers fed poor quality forages. Livestock Research for Rural Development. Vol 4, No 2. HoChiMinh City, VietNam: University of Agriculture and Forestry. Burgess LW, Summerell BA, Bullock S, Gott KP, Backhouse D. 1994. Laboratory Manual for Fusarium Research. Ed ke-3. Sydney: Department of Crop Science, University of Sidney Carlile MJ, Watkinson SC. 1994. The Fungi. London: Academic Press. Chang TT. 2003. Effect of soil moisture content on the survival of Ganoderma species and other wood-inhabiting fungi. Plant Dis. 87: 1201-1204. Chang TT, Wu ML, Fu CH, Fu CH. 2002. Survival of four Ganoderma species and several wood-inhabiting fungi in different soil matrix potentials. Taiwan J For Sci 17(2): 143-53. Chet I, Viterbo A, Shoresh M, Harel M. 2004. Enhancement Of Plant Disease Resistance by the Biocontrol Agent T. asperellum. Department of Biology. Chemistrywww.weizmann.ac.il/Biological_Chemistry/scientist/ Chet/Chet.html [21 Desember 2006] Crawford RL. 1981. Lignin Biodegradation and Transformation. New York: Jhon Wiley and Sons. Danoff-Burg. 2006. The Terrestrial Influence: Geology and Soil. http://en.wikipedia.org/wiki/Soil_horizon [7 Agustus 2006] Dharmaputra OS, Tjitrosomo SS, Abadi AL. Antagonistic effect of four fungal isolates to Ganoderma boninense, the causal agent of basal stem rot of oil palm. Biotropia. 3: 41-49. Das A, Chatterjee M, Roy A. 1979. Enzim of some higher fungi. Mycologia 71: 530-536 Deacon JW. 1997. Modern Mycology. Ed ke-3. UK: Blackwell Science Ltd. Deka HK, Mishra RR. 1982. Decomposition of bamboo (Dendrocalamus hamiltonii Ness) leaflitter in relation to age of jhum fallows in Northeast India. J. Plant and Soil 68 (2): 151-159.
109
Dickinson CH, Pugh GJF. 1974. Biology of Plant Litter Decomposition. Volume 1. New York: Academic Press. Dix N J, Webster A J. 1995. Fungal Ecology. London: Chapman & Hall. Dreisbach, T 2002, Importance of fungi in forest ecosystems. http://wwwnotes.fs.fed.us:81/pnw/DecAID/DecAID.nsf/0/24D9761EE7 2378E688256B8F005A8FC1?OpenDocument [18 0kt 2005] Duke JA. 1983. Acacia Mangium Willd. handbook of energy crops. unpublished. http://www.hort.purdue.edu/newcrop/duke_energy/Acacia_mangium.ht ml [30 Mei 2006] Evan CS, Hedger JN. 2001. Degradation of Plant Cell Wall Polymers. in Gadd JM, Editor. Fungi in Bioremediation. Cambridge UK: Cambridge University Press. Fengel, D. dan Wegener, G., 1995, Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksireaksi.Terjemahan oleh: Hardjono Sastrohamidjojo, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Fukushima Y, Kirk TK. 1995. Laccase component of the Ceriporiopsis subvermispora lignin-degradating system. Appl. Environ. Microbiol. 61 (3): 872 - 876. Gadd GM, Watkinson SC, Dyer PS. 2007. Fungi in the Environment. Cambridge: Cambridge University Press Gams W. 2007. Biodiversity of soil-inhabiting fungi. Biodivers Conserv 16:69-72. Ghisalberti EL, Sivasithamparan K.1991. Antifungal antibiotic produced by Trichoderma spp. Soil Biology and Biochemistry. 23: 1011-1029. Hardiyanto EB, Anshori S, Sulistyona D. 2004. Early result of management in Acacia mangium plantations at PT Musi Hutan Persada, South Sumatra Indonesia. Bogor, Indonesia: CIFOR Harjono, Widyastuti SM. 2001. Antifungal activity of purified endochitinase produced by biocontrol agent Trichoderma reesei against Ganoderma philippii. Pakistan Journal of Biological Sciences 4 (10): 1232-1234. Harman GE. 1996. Trichoderma for Biocontrol of Plant Pathogens: From Basic Research to Commercialized Products. Cornell Community Conference on Biological Control, April 11-13, 1996. http://www.nysaes.cornell.edu/ent/bcconf/talks/harman.html [21 Desember 2006]
110
Harvey PJ, Gilardi GF, Goble ML, Palmer JM. 1993. Charge transfer reactions and feedback control of lignin peroxidase by phenolic compounds. J. Biotechnol. 30: 57-69. Hood IA. 2006. The Mycology of Basidiomycetes. Di dalam: Potter K, Rimbawanto A, Beadle C, editor. Workshop Heart Rot and Root Rot in Acacia Plantations. Proceedings of a workshop held in Yogyakarta, Indonesia, 7–9 February 2006. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research. hlm 34-45. Hoitink HAJ, Boehm MJ. 1999. Biocontrol within the contetx of soil microbial communities: A substrate-dependent phenomenon. Annu. Rev. Phytopathol. 37:427-446 Irianto RSB, Barry KM, Hidaayah I, Ito S, Fiani A, Rimbawanto A, Muhammad CL. 2006. Incidence, spatial analysis and genetic variation of root rot of Acacia mangium in Indonesia. Journal of Tropical Forest Science. in Press 18 (3): 157-165 Joetono. 1995. Biologi dan Biokimia Peruraian Bahan Organik. Yogyakarta: Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Khattabi N, Ezzahiri B, Lauali L, Oihabi A. 2004. Antagonistic activity of Trichoderma isolates against Sclerotium rolfsii: Screening of isolates from Morocco soils for biological control. Phytopathol. Mediterr. 43:332-340. Klich MA, Pitt JI. 1988. A Laboratory Guide to Common Aspergillus Species and Their Telemorphs. Nort Ryde: CSIRO Food Research Laboratory. Knapp JJ. 1985. Biodegradation of Celluloses and Lignin. in Dale ATB, Dalton H, Editor. Comprehensive Biotechnology 4: 835-844. Kredics L, Antal Z, Manczinger L, Szekeres A, Kevei F, Nagy E. 2003. Influence of environmental parameters on Trichoderma strains with biocontrol potential. Food Technol. Biotechnol. 41 (1): 37–42 Lee SS. 2000. The Current Status of Root Diseases in Acacia mangium Willd. In Flood J, Bridge PD, Holderness M, Editor. Ganoderma diseases of perennial crops. Wallingford, UK: CABI Publishing. hlm 71-79 Lee SS, Noraini Sikin Y. 1998. A technique for basidiocarp of fungi isolated from decayed Acacia mangium Willd. Proceedings of the International Converence on Asean Network on Microbial Research. Yogyakarta: 2325 February 1998. hlm 619-624.
111
Lee SS. 1993. Diseases of Acacias: An Overview. Di dalam Awang K. Taylor DA, Editor. Acacias for Rural, Industrial and Environmental Development. Proceedings of the second meeting of the Consultative Group for Research and Development of Acacias (COGREDA), Udorn Thani, 15-18 February 1993. Bangkok, Thailand: Winrock International and FAO. hlm 225-239 Lodge DJ, McDowell HW, Macy J, Ward SK, Leisso R, Claudio-Campos K, Ku¨hnert K. 2008. Distribution and role of mat-forming saprobic basidiomycetes in a tropical forest. Di dalam: Boddy L, Frankland JC, van West P, editor. Ecology of Saprotropihic Basidiomycetes. Amsterdam: Elvsevier Academic Press. Magurran AE, 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Chapman & Hall. Marsden WL, Gray PP. 1986. Enzimatic hydrolitis of cellulosa in lignocellulosic material. CRC Critical Riviews in Biotechnology 3: 235-276. Mihara R, Barry KM, Mohammed CL, Mitsunaga T. 2005. Comparison of antifungal and antioxidant activities of Acacia mangium and A. auriculiformis heartwood extracts. J. Chem. Ecol. 31(4): 789-795. Mille-Lindblom C. 2005. Interactions between Bacteria and Fungi on Aquatic Detritus – Causes and Consequences. Sweden: Uppsala University. Miyamoto T, Hiura T. 2008. Decomposition and nitrogen release from the foliage litter of fir (Abies sachalinensis) and oak (Quercus crispula) under different forest canopies in Hokkaido, Japan. Ecol Res 23 (4): 673-680. Miyamoto T, Igarashi T. 2004. Spatial distribution of Collybia pinastris sporophores in a Picea abies forest floor over a 5-year period. J. Mycoscience 45(1): 24-29. Mohammed CL, Barry KM, Irianto SRB. 2006. Heart rot and root rot in Acacia mangium: indentifying and conducting assessment of incidence and severity. Di dalam: Potter K, Rimbawanto A, Beadle C, editor. Workshop Heart Rot and Root Rot in Acacia Plantations. Proceedings of a workshop held in Yogyakarta, Indonesia, 7–9 February 2006. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research. hlm 26-33. Mok CK, Cheah LC, Chan YK. 2000. Site management and productivity of Acacia mangium in humid tropical Sumatra Indonesia. Bogor, Indonesia: CIFOR
112
Nair KSS, Sumardi. 2000. Insect pest and diseases of major plantations species. Di dalam: Nair KSS, Editor. Insect pests and diseases in Indonesian forest. An assessment of the major threats, Research Efforts and Literature. Bogor: CIFOR. hlm 16-38 Nandris D, Nicole M, Geiger JP. 1987. Root rot disease of rubber trees. Plant Disease 71:298-306. Nieves RA et al. 1991. Visualization of Trichoderma reesei cellobiohydrolase I and endogluconase I on aspect cellulose by using monoclonal antibodycolloidal gold conjugates. Appl. Environ. Microbiol. 57 (11): 3163-3170. Old KM, Lee SS, Shama JK, Qing Yuan Z. 2000. A manual of diseases of ropical acacias in Australia, South-East Asia and India. Jakarta: CIFOR. Osono T, Ishii Y, Hirose D. 2008. Fungal colonization and decomposition of Castanopsis seiboldii leaves in a subtropical forest. Ecol Res 23 (5): 909-917. Osono T. 2005. Colonization and succession of fungi during decomposition of Sweda controversa leaf litter. Mycologia (97(3): 589-597. Osono T, Takeda H. 2002. Comparison of litter decomposing ability among diverse fungi in a cool temperate deciduous forest in Japan. Mycologia 94 (3): 421 – 427. Pegler DN. 1973. Aphylloporales IV: Poroid Families,. Di dalam Ainsworth GC, Sparrow KF, Sussman AS, Editor. The Fungi, an Advance Treatise. Vol. IVB, a Taxonomic review with Keys: Basidiomycetes and Lower Fungi. New York: Academic Press. hlm 397-420 Pitt JI. 1988. A Laboratory Guide to Common Penicillium Species. North Ryde: CSIRO Food Research Laboratory. PT RAPP. 2006. Ringkasan Publik. Riau: PT Riau Andalan Pulp and Paper Rayner ADM, Boddy L. 1995. Fungal Decomposition of Wood, Its Biology and Ecology. New York: John Wiley & Sons. Rodriguez A, Perestelo F, Carnicero A, RegaladoV, Perez R, De la Fluente G, Falcon M.A. 1996 Degradation of natural lignins and lignocellulosic substrates by soil-inhabiting fungi imperfecti. FEMS Microbiol. Ecol. 21: 213 - 219. Rohiani A. 1996. Penentuan konsentrasi efektif inokulum Trichoderma viride terhadap laju dekomposisi serasah Acacia mangium Willd. di HTI PT Musi Hutan Persada Subanjeriji Sumatera Selatan. [skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan intitut Pertanian Bogor.
113
Rothschild N, Hader Y, Doretz C. 1995 Lygnolitic system formation by Phanerochaete chrysosporium in air. Appl. Environ. Microbiol. 61(5): 1833 - 1838. Samingan, Sudirman LI. 2008. Komunitas fungi pada daun dan serasah Acacia mangium. Di dalam Prosiding Seminar Nasional dalam Rangka Lustrum ke-2 dan Ulang Tahun ke-47 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala; Banda Aceh, 20-21 Desember 2008. hlm 314 – 319. Samingan, Sutariningsih E, Subagja J. 1999. Biodegradasi serasah Acacia Mangium Willd oleh jamur lignoselulolitik. Teknosains.12(2): 119-133. Sariah M, Zakaria H. 2000. The use of soil amendments for the control of basal stem rot of oil-palm seedling. di dalam Flood J, Bridge PD, Holderness M, Editor. Ganoderma diseases of perennial crops. Wallingford, UK: CABI Publishing. hlm 89-99 Sariyildiz T. 2003. Litter decomposition of Picea orientalis, Pinus sylvestris and Castanea sativa trees grown in Artvin in relation to their initial litter quality variables. Turk J Agric For 27: 237-243 Seo GS, Kirk PM. 2000. Ganodermataceae: Nomenclature and Classification. Di dalam Flood J, Bridge PD, Holderness M, Editor. Ganoderma Diseases of Perennial Crops. Wallingford UK: CABI Publishing. hlm 49-68. Setiawan I. 1993. Studi proses dekomposisi serasah Acacia mangium Willd. di Hutan Tanaman Industri Subanjeriji Sumatera Selatan. [Tesis]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan intitut Pertanian Bogor. Schmidt O. 2006. Wood and Tree Fungi: Biology, Damage, Protection, and Use. Hamburg: Spinger. Schmit JP, Murphy JF, Mueller GM. 1999. Macrofungal diversity of a temperate oak forest: a test of species richness estimators. Can. J. Bot. 77(7): 1014–1027 Siregar STH, Hardiyanto EB, Gales K. 1999. Acacia mangium plantations in PT Musi Hutan Persada, South Sumatra Indonesia. Bogor, Indonesia: CIFOR Smith JE, Barry DR, Kristiansen B. 1983. The Filamentous Fungi, Vol.4 Fungal Technology. London: Edward Arnold Publishers Limited. Starr F, Starr K, Loope L. 2003. Acacia mangium. Plants of Hawaii reports. http://www.hear.org/starr/hiplants/reports/html/acacia_mangium.htm [30 Mei 2006]
114
Steffen KT, Hatakka A, Hofrichter M. 2002. Degradation of humic acids by the litter-decomposing Basidiomycete Collybia dryophilla. Appl. Environ. Microbiol. 68 (7): 3442 - 3448. Stevenson FJ. 1982. Humus Chemistry : genesis, composition and reaction. New York: John Wiley dan Son. Susanto S. 2000. Kajian pengendalian hayati Ganoderma boninense Pat. penyebab penyakit busuk pangkal batang. [disertasi S3]. Program Pascasarjana Intitut Pertanian Bogor. Tang AMC, Jeewon R, Hyde KD. 2005. Succession of microfungal communities on decaying leaves of Castanopsis fiscal. Can. J. Microbial. 51: 967974. Takeda H, Prachaiyo B, Tsutsumi T. 1984. Comparison of decomposition rate of several tree leaf litter in a tropical forest in Notrheast Thailand. Japan Journal of Ecology. 34 (3): 311-319. Team Vegetation and Erosion Padjadjaran University 1979. Production measurement in a young Acacia auriculiformis plantation at Ubrug, Jatiluhur. Internal Report no.9. Team Vegetation and Erosion. Project Vegetation and Erosion. Bandung: Padjadjaran University. [USDA] Unitet States Departement of Agriculture. 2005. Acacia mangium Willd. Plant Profil. http://plants.usda.gov/java/profile?symbol=ACMA12 [30 Mei 2006] Viterbo A, Shoresh M, Harel M. 2004. Enhancement Of Plant Disease Resistance By The Biocontrol Agent T. asperellum. Department of Biological Chemistrywww.weizmann.ac.il/Biological_Chemistry/scientist/Chet/Ch et.html [21 Desember 2006] Watanabe T. 2002. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi, Morphologies of Cultured Fungi and Key to Species. Ed ke-2. Washington DC: CRC Press Webster J, Weber R. 2007. Introduction to fungi. Ed ke-3. Cambridge: Cambridge University Press Widyastuti SM. 2006. The biological control of Ganoderma root rot by Trichoderma. Di dalam: Potter K, Rimbawanto A, Beadle C, editor. Workshop Heart Rot and Root Rot in Acacia Plantations. Proceedings of a workshop held in Yogyakarta, Indonesia, 7–9 February 2006. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research. hlm 67-74.
115
Williams J, Clarkson JM, Mills PR, Cooper RM. 2003. Saprotrophhic and mycoparasitic components of aggressiveness of Trichoderma harzianum groups towards the commercial mushroom Agaricus bisporus. Appl Environ Microbiol 96(7): 4192-4199. Wirahadikusumah M, Silaban R, Marsiati H. 1995. Isolasi dan karakterisasi enzim selulase dari jamur Volvariella volvacea. Jurnal Biosains 1 (1): 13-16. White DL, Haines BL. 1988. Litter decomposition in Southern Appalachian black locust and pine-hardwood stand: litter quality and nitrogen dynamic. Can. J. For. 18: 54-63. Zabel RA, Morrell JJ. 1992. Wood Microbiology: decay and its prevention. New York: Academic Press Inc, Zhang H, Hong YZ, Xiao YZ, Yuan J, Tu XM, Zhang XQ. 2006. Efficient production of laccases by Trametes sp. AH28-2 in cocultivation with a Trichoderma strain. Appl Microbiol Biotechnol 73: 89-94 Zhou DQ, Hyde KD. 2002. Fungal succession on bamboo in Hong Kong. Fungal diversity 10: 213 – 227.
116
LAMPIRAN – LAMPIRAN Lampiran 1 Cara penempatan kantong serasah di bawah tegakan A mangium umur 2 tahun
6 meter
15 meter
117
Lampiran 2 Diagram cara pelaksanaan pengujian penyebaran Trichoderma pada lapisan serasah. Tempat pengambilan sampel pada 3 lapisan serasah Petak percobaan, ulangan I Petak percobaan, ulangan III Petak percobaan ukuran 50x50 cm yang diselimuti oleh jaring (ukuran mess 1 cm)
Petak percobaan, ulangan II
Arah pergerakan pengambilan sampel setiap bulannya yang menjauhi petak percobaan dengan interval 10 cm
Mistar berskala dengan interval 10 cm
118
Lampiran 3 Rata-rata curah hujan dan kelembaban udara di lokasi penelitian Bulan April Mei Juni Juli Agustustus September Oktober November
Rata-rata curah hujan (mm) 11.54 10.64 6.06 3.88 3.01 10.62 8.72 11.50
Jumlah hari hujan 16 17 12 12 8 12 21 20
Rata-rata kelembaban udara (%) 58.10 74.32 68.03 72.26 71.16 75.23 71.84 70.33
Lampiran 4 Rata-rata kondisi pH pada tiga lapisan serasah A. mangium Bulan April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November
L 5.48 5.65 5.71 5.84 5.60 5.81 4.87 6.20
2S F 4.99 4.75 5.69 5.74 5.25 5.10 5.24 6.10
H 4.84 4.80 4.81 5.42 4.92 4.44 5.29 4.95
L 5.52 5.82 5.75 5.71 5.66 5.62 5.33 5.98
2S = Tegakan sehat, 2G = Tegakan terserang Ganoderma
2G F 4.85 5.09 5.79 5.68 5.14 6.07 4.96 6.04
H 4.74 4.62 5.67 4.95 4.45 4.52 4.72 4.66
119
Lampiran 5 Komposisi media yang digunakan dalam penelitian 1. Malt extract agar (MEA) Extract malt .............................................................................. Agar ........................................................................................... ditambah akuades sehingga volumenya menjadi 1000 ml 2. Potato dextrose agar (PDA) Kentang (tanpa kulit, dipotong-potong) ..................................... ditambah akuades sehingga volumenya menjadi 1000 ml, kemudian dimasak selama setengah jam, lalu disaring untuk diambil ekstraknya. Agar ........................................................................................... Dextrose .................................................................................... kemudian ditambah akuades hingga mencapai volume 1000 ml. 3. Media untuk isolasi Ganoderma (Chang et al. 2002) Potato dextrose agar (PDA) Kentang (tanpa kulit, dipotong-potong) ..................................... ditambah akuades sehingga volumenya menjadi 1000 ml, kemudian dimasak selama setengah jam, lalu disaring untuk diambil ekstraknya. Agar ........................................................................................... Dextrose .................................................................................... Benomil ……………………………………........................…. Asam galat ……………………………………………………. Kloramfenikol ………………………………………………… kemudian ditambah akuades hingga mencapai volume 1000 ml
25 g 15 g
200 g
15 g 20 g
200 g
15 g 20 g 10 mg 500 mg 250 mg