Pengaruh Dinamika Politik Domestik terhadap Ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control oleh Indonesia
Disusun Oleh: Alleya Hanifathariane Nauda 1406618820 Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Tugas Makalah Akhir Mata Kuliah Hubungan Luar Negeri dan Diplomasi Indonesia Program Studi S1 Reguler Ilmu Hubungan Internasional Semester Ganjil 2015/6
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2015
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang “In 1942 I moved to Jakarta. For all native Indonesians, including myself, this was a very difficult period. My mother had just died and I found myself in a new city. Smoking kretek helped my calm down. [Then] there wasn’t much food available during the Occupation. A lot of people died of starvation by the side of the road…. There was no rice at all. All rice went to the Japanese. So we smoked to stop ourselves feeling the hunger.” —Pramoedya Ananta Toer, Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes
Kisah Pramoedya Ananta Toer yang ditulisnya sebagai pengantar dari sebuah buku yang diterbitkan Mark Hanusz di tahun 2004 merupakan gambaran singkat mengenai pentingnya peran rokok dalam kehidupan pribadinya maupun masyarakat Indonesia. Meski bukan merupakan tanaman asli Indonesia, tembakau telah tumbuh menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat negeri ini. Fakta itu terus bertahan hingga kini sejak para koloni memperkenalkan tembakau ke Nusantara dan membudidayakannya di berbagai daerah seperti Sumatera dan Jawa. Bagi orang Indonesia, tembakau merupakan subtitusi dari sirih yang biasa dikunyah ketika nyirih, suatu kegiatan yang sudah dilakukan secara turun-temurun baik pria maupun wanita. Pergantian tersebut dipicu oleh citra modern yang dibawa oleh praktik menghisap tembakau, sesuatu yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan kolonial Belanda. Bagi bangsa Belanda, nyirih merupakan simbol inferioritas bangsa Indonesia. Sehingga pada saat itu, perokok pun diasosiasikan sebagai orang yang modern, beradab, dan terpelajar.1 Kegemaran masyarakat Indonesia akan rokok yang terus berlanjut hingga hari ini tercermin dari presentase perokok aktif Indonesia yang mencapai 24,3%2 atau sekitar 62 juta jiwa. Dengan demikian, menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia merupakan negara ketiga dengan
Monika Arnez, “Tobacco and Kretek: Indonesian Drugs in Historical Change,” dalam Current Research on South-East Asia, http://www.seas.at/aseas/2_1/ASEAS_2_1_A4.pdf, 51. 2 Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, Infodatin: Hari Tanpa Tembakau Sedunia, diakses pada 11 Desember, www.pusdatin.kemenkes.go.id./resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-hari-tanpa-tembakausedunia.pdf, 1. 1
1
jumlah perokok terbesar di dunia setelah Cina dan India.3 Besarnya permintaan pada rokok berimbas kepada tingginya produksi rokok. Pada tahun 2014, cukai rokok telah menyumbang 112,5 triliun.4 Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat di tahun 2015, yakni di angka 131,9 triliun atau 7,9 persen penerimaan APBN-P 2015.5 Namun, setiap koin pastilah memiliki dua sisi. Dibalik begitu populernya dan besarnya sumbangan rokok bagi perekonomian negara, rokok menimbulkan kontroversi terkait zat-zat berbahaya yang ada di dalamnya. Sudah umum diketahui bahwa rokok dapat menyebabkan kecanduan dan berbagai penyakit fatal lainnya seperti kanker, kebutaan, struk, hingga kematian. Menurut WHO, rokok membunuh satu orang tiap enam detik.6 Bahaya kesehatan tersebut juga memiliki dampak ekonomis baik kepada individu, bisnis, maupun negara.7 Merokok dapat mengurangi produktivitas di tempat kerja, yang kemudian dapat menyebabkan pemilik perusahaan untuk mengeluarkan biaya lebih banyak bagi para pekerjanya yang merokok.8 Berdasarkan kesadaran mengenai bahaya rokok, lahirlah Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebuah perjanjian internasional yang berada di bawah WHO. Perjanjian tersebut merupakan usaha pertama yang dilakukan masyarakat internasional dalam mengurangi penggunaan tembakau di seluruh dunia. FCTC mulai dilaksanakan pada tahun 2005 sejak pertama kali dicetuskan secara formal dalam 48th World Health Assembly pada Mei 1995.9 Hingga saat ini, FCTC sudah diratifikasi oleh 180 negara yang merepresentasikan 90% penduduk dunia.10 Indonesia tidak termasuk ke dalamnya.
3
WHO, Report on Global Tobacco Epidemic 2008, diakses pada 11 Desember 2015, http://www.who.int/tobacco/mpower/mpower_report_full_2008.pdf 4 “ Keinginan RI Kendalikan Produksi Rokok Terhambat Persoalan Keuangan,” Republika, 4 November 2015, diakses pada 11 Desember 2015, http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/11/04/nxado8383-keinginanri-kendalikan-produksi-rokok-terhambat-persoalan-keuangan. 5 “Gede Banget! Ini Target Penerimaan Cukai Rokok 2015,” JPNN, 7 November 2015, diakses pada 11 Desember 2015, http://www.jpnn.com/read/2015/11/07/337183/Gede-Banget!-Ini-Target-Penerimaan-Cukai-Rokok-2015-. 6 WHO, The Global Tobacco Crisis, diakses 11 Desember 2015, http://www.who.int/tobacco/mpower/mpower_report_tobacco_crisis_2008.pdf. 7 “The Economics of Tobacco,” Ash, diakses pada 11 Desember 2015, http://www.ash.org.uk/files/documents/ASH_121.pdf 8 Bunn III, William B, dkk. "Effect of smoking status on productivity loss," dalam Journal of Occupational and Environmental Medicine 48, no. 10 (2006): 1099. 9 “The history of the WHO Framework Convention on Tobacco Control,” WHO, diakses pada 11 Desember 2015, http://www.who.int/fctc/about/history/en/. 10 “Has A Global Tobacco Treaty Made A Difference?”, Thomas Bollyky dan David Fidler, The Atlantic, 28 Februari 2015, http://www.theatlantic.com/health/archive/2015/02/has-a-global-tobacco-treaty-made-adifference/386399/
2
Makalah ini akan membahas tidak diratifikasinya FCTC oleh Indonesia. Dalam makalah ini, analisis kasus ini akan dibantu dengan menggunakan Two-Level Game yang ditulis oleh Robert D. Putnam dalam jurnal International Organization pada tahun 1988. Makalah ini terbagi dalam tiga bab, yakni Bab Pendahuluan, Bab Pembahasan, serta Bab Penutup.
1.2.Rumusan Masalah Alasan absennya Indonesia dari ratifikasi FCTC merupakan hal yang menjadi kajian dari makalah ini. Dengan demikian, penelitian makalah ini akan dipicu oleh pertanyaan “bagaimana dinamika politik domestik memengaruhi ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) oleh Indonesia?”
1.3.Kerangka Teori Two-Level Game merupakan sebuah model yang dicetuskan oleh Robert D. Putnam tahun 1988 dalam tulisannya Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games. Model ini merupakan hasil pemikirannya mengenai keterkaitan kebijakan luar negeri suatu negara dengan keadaan politik domestiknya. Asumsinya, negosiator suatu negara dalam tingkat internasional akan mempertimbangkan baik tekanan dari dalam maupun luar negeri. Dalam tulisannya, Putnam merujuk pada istilah ‘ratifikasi’ dalam arti yang umum, yakni proses pengambilan keputusan apapun yang berada di tingkat domestik yang diperlukan untuk menerapkan perjanjian yang telah disepakati di tingkat internasional, secara formal maupun informal.11 Sesuai namanya, Putnam melihat bahwa proses ratifikasi suatu perjanjian internasional terdiri dari dua level. Level I adalah tawar-menawar yang terjadi antar-negosiator di kancah internasional yang akan menghasilkan suatu kesepakatan sementara. Di level pertama ini, negosiator berusaha memaksimalkan usahanya untuk memenuhi tuntutan dalam negeri seraya meminimalisasi efek negatif dari foreign developments. Level II adalah perundingan negosiator tersebut dengan para konstituen dalam negerinya. Hasil dari perundingan level kedua ini adalah keputusan untuk meratifikasi atau tidak meratifikasi perjanjian tersebut. Dalam level ini pula lah kelompok-kelompok penekan dalam negeri dapat menekan
Robert D. Putnam, “Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games,” dalam International Organization 42 No. 3, 436. 11
3
pemerintah untuk mengadopsi suatu kebijakan tertentu dan para politisi mencari kekuasaan lewat pembangunan koalisi-koalisi antarkelompok tersebut.12 Aktor-aktor yang terlibat dalam tingkatan ini dapat mewakili badan birokratik, kelompok kepentingan, kelas-kelas sosial, atau bahkan opini publik.13 Model Two-Level Games memiliki sebuah konsep yang disebut “win-set”. Win-set adalah kemenangan yang diperlukan di Level II (domestik) untuk mencapai persetujuan di Level I (internasional). Menurut Putnam, ukuran win-set penting untuk dibahas karena dua hal. Pertama, semakin besar win-set, maka persetujuan di level I semakin mungkin, ceteris paribus.14 (2) Ukuran relatif dari win-set Level II akan memengaruhi distribusi joint gains dalam tawar-menawar internasional.15 Cara kerja win-set dapat dilihat melalui Gambar 1.
Gambar 1. Two Level Games Gambar di atas mengilustrasikan zero-sum game antara X dan Y. Xm dan Ym merupakan hasil maksimal yang dapat diraih X dan Y. X1 dan Y1 merupakan hasil minimal yang diperlukan bagi sebuah perjanjian untuk dapat diratifikasi. Sehingga, apabila win-set Y berubah dari Y1 ke Y2, maka perjanjian tersebut sudah tidak mungkin diratifikasi. Y bisa saja mengurangi win-set hingga ke Y3 (misalnya dengan mensyaratkan unanimity untuk ratifikasi), para negosiator akan terjebak dalam deadlock, karena win-set X dan Y tidak lagi tumpang tindih.16 Dengan kata lain, semakin besar win-set dua belah pihak, maka semakin besar kemungkinan adanya overlap. Putnam membedakan antara voluntary dan involuntary defection, yakni dua penyebab gagalnya sebuah perjanjian. Voluntary defection terjadi atas dasar pertimbangan rasional bahwa sebuah perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Sementara involuntary defection merujuk kepada gagalnya perjanjian akibat tidak dapat menepati janjinya akibat gagal melakukan ratifikasi di Level II. Sehingga, dapat dikatakan bahwa semakin kecil win-set, semakin besar pula kemungkinan involuntary defection.17
Putnam, “Diplomacy,” 434. Ibid., 436. 14 Ibid.,437. 15 Ibid., 440. 16 Ibid., 441. 17 Ibid., 438. 12 13
4
Terdapat tiga faktor penting yang dapat memengaruhi ukuran win-set: (1) koalisi dan preferensi Level II, (2) institusi di Level II, dan (3) strategi negosiator di Level II. Terkait poin pertama, Putnam menyebutkan bahwa ukuran win-set akan sangat terpengaruh oleh distribusi power, preferensi, dan kemungkinan koalisi di antara konstituen Level II. Win-set dapat dipengaruhi oleh beragam/tidaknya kepentingan dalam konstituen. Apabila dihadapkan pada konstituen dengan kepentingan homogen, maka negosiator harus menjaga jarak antara ekspektasi konstituen dengan hasil yang dapat dinegosiasikan. Sementara dalam konstituen heterogen, akan ada pembelahan sosial yang sebenarnya dapat membantu dalam perundingan internasional karena akan ada lebih banyak alternatif dalam win-set yang bisa mendapatkan dukungan mayoritas.18 Semakin tinggi tingkat politisasi sebuah isu, maka akan semakin aktif peran konstituen dalam proses ratifikasi.19
18 19
Putnam, “Diplomacy,” 444. Ibid.
5
BAB II Pembahasan 2.1.Rokok dan Industrinya di Indonesia Seperti yang sudah disinggung di bagian latar belakang, rokok dan industrinya amat berarti bagi Indonesia. Bagi sebagian besar orang, rokok— khususnya rokok kretek merupakan bagian dari budaya bangsa. Hal itu karena hanya Indonesia yang memproduksi rokok kretek (rokok dengan cengkeh). Selain itu, rokok sudah menyatu dengan berbagai tradisi masyarakat. Bangsa Spanyol memperkenalkan tembakau di tanah Jawa di tahun 1601. Pada pertengahan abad ke-17, masyarakat Jawa mulai menggunakan tembakau di dalam cerutu.20 Dahulu, masyarakat lokal menikmati rokok yang dibuat dengan potongan tembakau yang dibungkus klobot. Barulah pada tahun rokok impor yang dibalut kertas pada 1845.. Pada 1924, British American Tobacco (BAT) mendirikan pabrik rokok konvensional pertama di Indonesia dibuka di Cirebon dan Semarang pada tahun 1924.21 Sejak saat itu, pabrik-pabrik rokok konvensional lainnya pun mulai bermunculan. Banyak di antaranya yang masih eksis hingga saat ini, yaitu Bentoel (didirikan 1931)22, Norojono (didirikan 1932), Djarum Gramophon (didirikan 1951), dan Gudang Garam (didirikan 1958). Selain karena sejarahnya, industri rokok merupakan salah satu industri yang berjasa besar mengisi pundi-pundi negara. Menurut Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional (KPI) Kementrian Perdagangan (Kemendag) Bachrul Chairi, industri rokok menyumbang 1,66% total Pendapatan Domestik Bruto Indonesia dan devisa negara lewat ekspor yang pada 2013 nilainya mencapai US$ 700 juta.23 Selain itu, penerimaan negara dari sektor bea dan cukai tahun 2013 tercatat sejumlah Rp 108,45 triliun yang Rp 103,53 triliun di antaranya adalah sumbangan cukai hasil tembakau dan rokok.24 Kehadiran industri rokok bukan hanya penting apabila dilihat dari sisi laba yang dihasilkannya, namun juga dari sisi tenaga kerja yang diserapnya. Sebagai sebuah industri padat karya, menurut
Arnez, “Tobacco and Kretek”, 51. Ibid., 52. 22 “Tentang Kami,” British American Tobacco Indonesia, diakses pada 11 Desember 2015, http://www.bentoelgroup.com/group/sites/BAT_8WXDPH.nsf/vwPagesWebLive/DO8W3DLN?opendocument. 23 “Begini Pentingnya Industri Rokok Bagi Ekonomi RI,” Wiji Nurhayat, Detikfinance, diakses pada 11 Desember 2015, http://finance.detik.com/read/2015/06/20/173926/2947821/1036/begini-pentingnya-industri-rokok-bagiekonomi-ri. 24 Ibid. 20 21
6
Menteri Perindustrian Saleh Husin, industri rokok mempekerjakan sebanyak 6,1 juta orang25, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jumlah tersebut juga termasuk 1,8 juta petani tembakau dan cengkeh.26
2.2.Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) Framework Convention on Tobacco Control (Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau) atau biasa disingkat FCTC merupakan suatu perjanjian internasional di bawah WHO yang dibuat sebagai upaya dalam pengendalian/pembatasan penggunaan tembakau di dunia. FCTC lahir sebagai respon terhadap globalisasi epidemi tembakau dan menjadi evidence-based treaty yang menegaskan kembali hak atas standar kesehatan tertinggi bagi setiap orang. Perjanjian ini bertujuan untuk menghilangkan penyebab dari epidemi tersebut, termasuk faktor-faktor kompleks yang memiliki efek lintas-batas seperti liberalisasi perdagangan dan foreign direct investment, iklan rokok, promosi dan sponsorship lintas batas negara, dan perdagangan produk tembakau ilegal. Perumusan FCTC diinisiasi oleh World Health Assembly pada tahun 1996. Di tahun 1999, WHA membentuk Intergovernmental Negotiating Body (INB) untuk merancang naskah FCTC dan melakukan negosiasi. Dalam perumusan FCTC, Indonesia adalah negara yang tergolong berperan aktif. Pada saat itu, Indonesia mengisimkan delegasinya dari Kementrian Kesehatan, Kementrian Luar Negeri, Kementrian Perdagangan, Kementrian Perindustrian, Kementrian Keuangan, dan BPOM untuk melakukan negosiasi di Jenewa, Swis, dan regional Asia Tenggara. Pada 21 Mei 2003, naskah FCTC secara aklamasi diadopsi pada sidang ke-56 WHA yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi WHO. Kemudian sejak 16 Juni 2003 hingga 29 Juni 2004, perjanjian tersebut memasuki fase penandatanganan.27
FCTC mulai dilaksanakan pada 27
Februari 2005, yakni 90 hari setelah diaksesi, diratifikasi, diterima, atau disetujui oleh 40 negara. FCTC merupakan konvensi PBB yang paling banyak diratifikasi.28 Saat ini, terdapat 160 negara penandatangan dan 180 negara29 yang menjadi negara pihak, baik melalui mekanisme ratifikasi “Menperin: Industri Rokok Libatkan Tenaga Kerja 61 Juta Orang,” 27 Maret 2015, Detik, diakses pada 9 Desember 2015, http://finance.detik.com/read/2015/03/27/220824/2872087/1036/menperin-industri-rokok-libatkantenaga-kerja-61-juta-orang. 26 Nurhayat, “Begini.” 27 “Cegah Merugi dengan Aksesi,” Adhitya Ramadhan, Kompas.com, 18 Maret 2015, diakses pada 9 Desember 2015, http://print.kompas.com/baca/2015/03/18/Cegah-Merugi-dengan-Aksesi. 28 “Tobacco Control Will Not Harm Economy: Activists,” The Jakarta Post, 20 Juni 2015, diakses pada 9 Desember 2015, http://www.thejakartapost.com/news/2014/06/20/tobacco-control-will-not-harm-economy-activists.html. 29 “ The WHO Framework Convention On Tobacco Control : An Overview,” WHO, diakses pada 7 Desember 2015, http://www.who.int/fctc/about/WHO_FCTC_summary_January2015.pdf?ua=1. 25
7
maupun aksesi. Di antara 160 negara penandatangan, 7 di antaranya belum meratifikasi . Negaranegara tersebut adalah AS, Swis, Maroko, Argentina, Kuba, Haiti, dan Mozambik. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang tidak menandatangi dan belum mengaksesi FCTC. Di dunia, terdapat 7 negara lainnya yang melakukan hal serupa, yaitu Andorra, Eritrea, Liechenstein, Malawi, Monako, Somalia, dan Zimbabwe.30 FCTC terdiri dari 38 Pasal yang terbagi ke dalam 11 bab. Pasal-pasal tersebut mencakup upaya pengendalian/pembatasan tembakau dari berbagai sisi. Dari sisi permintaan, dalam Pasal 6, FCTC menyarankan peningkatan pajak yang akan berdampak pada harga jual produk tembakau. Hambatan non-harga berupa regulasi dan kebijakan juga disarankan dalam Pasal 7. Pasal 8 mewajibkan negara menyediakan kawasan bebas asap rokok di tempat kerja, transportasi publik, dan tempat umum. Pasal 9 mengatur mengenai pengujian dan pengukuran konten dan emisi produk tembakau serta regulasinya, sementara Pasal 10 mengatur tentang perilisan infor Pasal 11 mengatur tentang kemasan dan label produk tembakau agar memuat pesan dan peringatan tentang efek penggunaan tembakau; yakni menutupi 30% area kemasan. Dalam Pasal 13, FCTC mengharuskan para pihak terlibat untuk menerapkan larangan iklan dan promosi segala jenis produk tembakau serta sponsorhip yang dilakukan oleh industri rokok.31 Dari sisi penawaran, Pasal 15 mengatur mengenai komitmen negara untuk menghilangkan segala bentuk perdagangan produk tembakau ilegal, termasuk kewajiban menandai kemasan rokok untuk memermudah pelacakan, pemantauan perdagangan lintas batas, dan penyitaan produk tembakau ilegal. Pasal 16 mengharuskan negara untuk melarang penjualan produk tembakau terhadap anak di bawah umur serta menghambat akses anak di bawah umur terhadap produk tembakau.
2.3.Faktor Domestik dalam Upaya Ratifikasi FCTC 2.3.1. Pertentangan Unsur Politik Domestik Indonesia Segala isu terkait rokok (tembakau) merupakan isu yang sangat sensitif. Hal tersebut tercermin dari banyaknya pihak, mulai dari kementrian, pelaku bisnis, hingga petani, yang terlibat dalam kasus ini. Suara pun terpecah, baik suara pemerintah maupun DPR.. Perjuangan Kementrian Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, “Policy Brief: Pentingnya Aksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) Bagi Indonesia,” diakses pada 9 Desember 2015,. http://www.fctcuntukindonesia.org/wp-content/uploads/2015/06/MoH-Policy-Brief_FCTC.pdf, 3. 31 Ibid. 30
8
Kesehatan dalam upaya ratifikasi FCTC telah berlangsung sejak FCTC diadopsi, yakni sejak tahun 2003. Menteri Kesehatan di era SBY, Nafsiah Mboi, pernah optimis bahwa Indonesia akan meratifikasi FCTC. Pada Februari 2014, Nafsiah Mboi pernah memberikan pernyataan bahwa Presiden SBY telah menyetujui ratifikasi FCTC.32 Namun, kabar tersebut dibantah oleh Sekretaris Kabinet Dipo Alam.33 Menurutnya, Presiden SBY akan mempertimbangkan segalanya masakmasak sebelum meratifikasi FCTC yang berkaitan langsung dengan sektor industri yang ekonomis tersebut. Bagi Kemenkes, Indonesia perlu mengaksesi FCTC karena posisinya sebagai negara ketiga dengan jumlah perokok tertinggi di dunia sesudah Tiongkok dan India. Konsumsi produk tembakau Indonesia yang tinggi juga terus meningkat di berbagai kalangan masyarakat. Hal tersebut mengancam kesehatan dan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Menurut laporan WHO, penyebab kematian utama di Indonesia adalah penyakit kardiovaskular yang erat kaitannya dengan rokok (lihat Grafik 1). Selanjutnya, iklan, promosi, dan sponsor rokok yang masif dan intensif dapat menyasar anak-anak dan remaja untuk menjadi perokok pemula. Di Indonesia, sebuah studi oleh Komnas Anak dan UHAMKA tahun 2007 menunjukkan bahwa 70% remaja mulai merokok karena terpengaruh iklan, 77% mengaku iklan menyebabkan mereka untuk terus merokok, dan 57% mengaku bahwa iklan mendorong mereka untuk kembali merokok setelah berhenti.34 Selain itu, menurut Kemenkes, merokok merusak ekonomi rumah tangga dan menghambat pengentasan kemiskinan. Dari data SUSENAS 2011, pengeluaran untuk rokok di keluarga-keluarga miskin lebih besar (11,91%) daripada pengeluaran pendidikan (1,88%) dan kesehatan (2,02%).35 Selain Kemenkes, Kemenkeu juga mendukung diratifikasinya FCTC. Dukungan tersebut tertuang dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-900 Tahun 2013 tertanggal 10 Desember 2013 yang ditujukan kepada Menkes. Langkah Kemenkeu ini mendapatkan kecaman dari banyak pihak. Banyak pihak menuding bahwa keputusan tersebut merupakan intervensi dari pihak asing dan
“Presiden SBY Sudah Setujui FCTC Tembakau?” Fitri Syarifah, Liputan6, 7 Desember 2013, diakses pada 9 Desember 2015, http://health.liputan6.com/read/767028/presiden-sby-sudah-setujui-fctc-tembakau. 33 “Setkab Bantah Presiden Setujui Ratifikasi FCTC Tembakau,” Ilyas Istianur Pradiya, Liputan6, 7 Maret 2014 diakses pada 10 Desember 2015, http://bisnis.liputan6.com/read/2019665/setkab-bantah-presiden-setujui-ratifikasifctc-tembakau. 34 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, “Policy Brief”, 7. 35 Ibid. 32
9
dianggap melampaui sikap Presiden Jokowi.36 Pendirian Kemenkes dan Kemenkeu didukung oleh berbagai kelompok masyarakat seperti, akademisi37, mahasiswa38, hingga tokoh keagamaan.39
Kanker Penyakit pernapasan kronis
Penyakit Kardiovaskular
Diabetes
Menular, maternal, perinatal, dan kodisi nutrisi
Luka
Total kematian: 1.551.000 Grafikl 1: Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia (Sumber: WHO, 2014)
Suara Komisi IX DPR RI yang membawahi bidang kesehatan dan ketenagakerjaan pun terbagi dua. Menurut Wakil Ketua Komisi IX Ermalena menyatakan bahwa seluruh fraksinya sepakat bahwa komisinya akan memperjuangkan adanya peraturan secara khusus terkait dampak produk tembakau terhadap kesehatan. Menurutnya, tugas negara adalah melindungi negara, termasuk dari asap rokok.40 Berlawanan dengan Ermalena, anggota Komisi IX Poempida Hidayatulloh mensinyalir bahwa FCTC hanyalah alat yang digunakan pihak asing untuk mengambil pasar rokok Indonesia.41
“Dukung FCTC, Kemenkeu Dianggap Lampaui Kewenangan Presiden,” Tribunnews.com, 7 Agustus 2015, http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/08/07/dukung-fctc-kemenkeu-dianggap-lampaui-kewenangan-presiden. 37 “Lembaga Demografi UI Minta Pemerintah Segera Ratifikasi FCTC,” 27 Januari 2014, BeritaSatu.com, diakses pada 20 Desember 2015, http://www.beritasatu.com/nasional/163044-lembaga-demografi-ui-minta-pemerintahsegera-ratifikasi-fctc.html 38 “FCTC: Aksesi Segera!” Ikatan Senat Mahawiwa Kedokteran Indonesia, 1 Juli 2015, http://ismki.org/fctc-aksesisegera. 39 “Quraish Shihab: Demi Kemajuan Bangsa, Ratifikasi FCTC,” Liputan 6, 19 Oktober 2014, diakses pada 20 Desember 2015, http://health.liputan6.com/read/2120678/quraish-shihab-demi-kemajuan-bangsa-ratifikasi-fctc. 40 “Komisi IX DPR Desak Pemerintah Ratifikasi FCTC,” Dewanto Samodro, Antaranews.com, 27 Agustus 2015, diakses pada 20 Desember 2015, http://www.antaranews.com/berita/514719/komisi-ix-dpr-desak-pemerintahratifikasi-fctc. 41 “Poempida: Pemerintah Harus Waspadai Agenda Terselubung Ratifikasi FCTC,” Zona Lima, 26 Oktober 2015, http://m.zonalima.com/artikel/5306/Poempida-Pemerintah-Harus-Waspadai-Agenda-Terselubung-Ratifikasi-FCTC/. 36
10
Kementrian lain seperti Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan, Kementrian Keungan, serta Kementrian Kehutanan dan Perkebunan, menolak ratifikasi FCTC berdasarkan pertimbangan ekonomis dan keberlangsungan industri rokok dalam negeri, terutama rokok kretek. Menurut Direktur Jendral Industri Agro Kemenperin Panggah Susanto, pemerintah belum bisa mengganti peran industri rokok yang telah menyumbang pendapatan negara dan memperkerjakan jutaan rakyat Indonesia.42 Ratifikasi FCTC, menurut Anggota Badan Legislatif DPR RI serta anggota Komisi XI Mukhamad Misbakhun, hanya akan menghancurkan industri rokok kretek nasional yang sudah menjadi trade mark dan seharusnya dilestarikan seperti cerutu Kuba.43 Penolakan terhadap FCTC juga datang dari berbagai kelompok masyarakat, khususnya petani dan pelaku bisnis rokok. Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menyatakan bahwa FCTC sangat eksesif dan mematikan industri rokok nasional.44 Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyatakan bahwa peratifikasian FCTC akan menyuburka peredaran rokok ilegal.45 Posisi industri rokok kretek yang sangat terancam oleh wacana ratifikasi FCTC disebabkan oleh kandungan rokok kretek yang akan melanggar beberapa pasal FCTC, yakni pasal 9 dan 10. Di dalam panduan implementasinya, pasal 9 dan 10 melarang penggunaan perasa apapun karena dapat meningkatkan daya tarik rokok.46 Padahal, rokok kretek menggunakan cengkih dan saus yang digunakan untuk menambah cita rasa serta menjadi pembeda antara rokok biasa dan rokok konvensional. Perlu diketahui, menurut WHO, kretek merupakan jenis rokok yang paling digemari oleh 88,1% perokok di Indonesia.47
“Sikap ngotot Menkes aksesi FCTC dipertanyakan,” Kontan, 7 Mei 2014, diakses pada 10 Desember 2015, http://kesehatan.kontan.co.id/news/sikap-ngotot-menkes-aksesi-fctc-dipertanyakan. 43 “DPR: Presiden Jokowi Tak Perlu Ratifikasi FCTC,” Tribunnews.com, 28 Juli 2015, diakses pada 10 Desember 2015, http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/07/28/dpr-presiden-jokowi-tak-perlu-ratifikasi-fctc. 44 “AMTI Tolak Penerapan FCTC,” AMTI, 19 Februari 2014, diakses pada 20 Desember 2015, http://amti.id/amtitolak-penerapan-fctc/. 45 “Ratifikasi FCTC Berpotensi Marakkan Rokok ilegal,” Arief Sinaga, 14 April 2014, Sindonews.com, http://ekbis.sindonews.com/read/853898/34/ratifikasi-fctc-berpotensi-marakkan-rokok-ilegal-1397461590. 46 WHO ,Partial Guidelines For Implementation Of Articles 9 And 10 Of The Who Framework Convention On Tobacco Control, diakses pada 10 Desember 2015, http://www.who.int/fctc/guidelines/Guideliness_Articles_9_10_rev_240613.pdf?ua=1. 47 Harsman Tandilittin dan Christoph Luetge, “Civil Society and Tobacco Control in Indonesia,” dalam The Open Ethics Journal vol. 7, 12. 42
11
2.3.2. Intervensi Industri Rokok Di Indonesia, terdapat anggapan umum bahwa industri rokok memiliki hubungan yang kuat dengan pejabat publik. Dalam Tandilittin dan Luetge, Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh maraknya industri rokok yang menjadi sponsor calon legislatif dalam pemilu.48 Dalam sebuah wawancara, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes Tjandra Aditama menyatakan bahwa para pemilik perusahaan rokok di Indonesia memiliki jaringan politik yang sangat baik.49 SEATCA memperkuat pernyataan tersebut dengan merilis Tobacco Industry Interference Index pada tahun 2015. Pada laporan tersebut, Indonesia merupakan negara ASEAN yang memiliki nilai tertinggi dalam intervensi industri rokok dalam pengambilan keputusannya, seperti yang ditampilkan dalam Grafik 2.
TINGKAT INTERVENSI INDUSTRI ROKOK
LAO PDR
69
THAILAND
65
34
BRUNEI
64
29
56
82
DALAM TUJUH NEGARA ASEAN
KAMBOJA
FILIPINA
MALAYSIA
INDONESIA
Grafik 1: Tingkat Intervensi Industri Rokok di Tujuh Negara ASEAN dalam skala 1-100 (Sumber: SEACTA 2015)
SEATCA mencatat bahwa di Indonesia, pemerintah mengizinkan industri rokok untuk ikut duduk dalam perundingan kebijakan kesehatan publik. Hal ini tercermin dari diundangnya industri rokok oleh Kemenkes dalam perundingan peraturan pemerintah mengenai peringatan kesehatan bergambar dan pelarangan iklan. Dalam perundingan tersebut, industri rokok menolak larangan iklan dan pemerintah akhirnya menetapkan untuk mengurangi ukuran papan iklan rokok.,
Tandilittin dan Luetge, “Civil”, 13. “Philip Morris Comes to Indonesia: What Does a Company Get for $5 Billion?” Multinational Monitor, diakses pada 20 Desember, 2015, http://www.multinationalmonitor.org/mm2005/052005/interview-aditjama.html. 48 49
12
Direktorat Jendral Pajak Kemenkeu juga berkonsultasi pada industri rokok terkait kebijakan pajak tahun 2014.50 Di samping itu, Indonesia mengakomodasi permintaan dari industri rokok untuk menunda atau memperpanjang peraturan terkait aturan kontrol tembakau. Hal ini terkait dengan pengimplementasian PP Nomor 109 Tahun 2012. Seharusnya, peraturan tersebut sudah mulai efektif diberlakukan sejak 24 Juni 2014. Namun, pemerintah memberikan tambahan waktu dua bulan (Agustus). Akhirnya peraturan ini baru benar-benar efektif diterapkan pada Desember 2014.51 juga menerima serta mendukung legislasi yang dirancang bersama industri rokok. Tingginya angka Indeks Tingkat Intervensi tersebut juga disumbang oleh kebiasaan pejabatpejabat papan atas yang menjalin hubungan dengan pelaku industri rokok dengan cara menghadiri social functions dan acara yang dilaksanakan atau disponsori oleh perusahaan rokok.52 SEATCA menilai bahwa hal ini disebabkan tidak adanya kebijakan tertulis maupun tidak tertulis yang melarang kontribusi industri rokok atau entitas lain yang mewakilinya untuk memajukan kepentingannya kepada partai politik atau kandidatnya.53 Terkait FCTC, pada November 2014 Presdir Bentoel Group Fitzgeral Murphy menemui Menteri Perindustrian Saleh Husein untuk menyampaikan kekhawatirannya akan rokok kretek yang dapat menghilang akibat salah kebijakan.54 Lobi juga dilakukan oleh Presdir PT HM Sampoerna Tbk Paul Normal Janelle yang menemui Saleh Husein pada Desember 2014.55
2.4.Tekanan Eksternal dalam Upaya Ratifikasi FCTC Sebagai negara dengan produsen rokok serta jumlah perokok terbesar ketiga di dunia serta produsen rokok dengan kandungan tar dan nikotin yang tinggi 56, Indonesia senantiasa mendapatkan desakan untuk meratifikasi FCTC. Desakan tersebut datang dari berbagai pihak, baik WHO, negara-negara ASEAN lain, negara-negara OKI, dan berbagai NGO. Desakan WHO
50
SEATCA, Tobacco Industry Interference Index, diakses pada 10 Desember 2015, http://seatca.org/dmdocuments/TII%20Index%202015_F_11Aug.pdf, 3. 51 SEATCA, Tobacco Industry Interference Index, 5. 52 Ibid., 8. 53 Ibid., 11. 54 “Industri Rokok Minta Pemerintah Tak Tandatangani FCTC Tembakau,” Septian Denny, Liputan6 , diakses pada 10 Desember 2015, http://bisnis.liputan6.com/read/2132558/industri-rokok-minta-pemerintah-tak-tandatangani-fctctembakau. 55 “Bahas FCTC, Presdir Sampoerna Temui Menperin,” Tribunnews.com, 1 Desember 2014, diakses pada 10 Desember 2015, http://m.tribunnews.com/bisnis/2014/12/01/presdir-sampoerna-temui-menperin-tolak-fctc. 56 Multinational Monitor, “Phillip Morris.”
13
terhadap Indonesia disampaikan Direktur Jendral WHO Dr Margaret Chan dalam pertemuan interministerial mengenai FCTC di Indonesia pada 1 April 2014.57 Indonesia juga pernah disindir oleh Sekretaris Jendral ASEAN Surin Pitsuwan dalam Konferensi Dunia tentang Tembakau dan Kesehatan (WCTOH) yang dilaksanakan di Singapura pada tahun 2012. Sindiran itu diterima Indonesia karena Indonesia adalah satu-satunya negara yang belum meratifikasi FCTC di ASEAN.58 Selain itu, Menteri Kesehatan era SBY Nafsiah Mboi juga pernah mengaku merasa malu ketika hadir di Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Kerjasama Islam (OKI), lantaran Indonesia adalah satu-satunya negara peserta konferensi tersebut yang belum meratifikasi FCTC. Sebenarnya selain Indonesia, Somalia merupakan negara anggota OKI yang belum meratifikasi FCTC. Namun, menurut Nafsiah Mboi, “Somalia belum ratifikasi karena tidak ada pemerintahannya. Jadi, saya tidak menanggapi apapun soal masalah rokok, tapi saya malu sekali.”59
2.5.Analisis Teori Two-Level Games dalam Kasus Ratifikasi FCTC oleh Indonesia Setelah menjelaskan dinamika yang terjadi baik di dalam maupun di luar Indonesia mengenai langkah Indonesia untuk tidak meratifikasi FCTC, penulis akan menganalisis kasus ini menggunakan teori Two-Level Games. Dari ringkasan teori di bab sebelumnya, teori Two-Level Games adalah sebuah teori yang bertujuan untuk menjelaskan proses ratifikasi sebuah perjanjian internasional. Seperti yang dikatakan Putnam, dalam tingkat nasional, kelompok domestik akan mengejar kepentingan pemerintah untuk mengambil kebijakan yang menguntungkan mereka. Dalam dinamika politik ratifikasi FCTC, hal ini tergambar dari lobil-lobi, audiensi, dan perundingan yang dilakukan kelompok yang menolak maupun mendukung FCTC. Kelompok yang menolak ratifikasi FCTC didominasi oleh para pebisnis rokok dan petani. Sementara kelompok yang mendukung ratifikasi umumnya merupakan civitas academica, mereka yang bekecimpung di
“WHO Urges Indonesia to Ratify FCTC”, WHO, diakses pada 13 Desember, 2015, http://www.searo.who.int/indonesia/mediacentre/who-urges-indonesiato-ratify-fctc/en/ . 58 “Memalukan! Indonesia Disindir Sekjen ASEAN Soal Tembakau,” AN Uyung Pramudiarja, detikHealth, 21 Maret 2012, diakses pada 13 Desember 2015, http://health.detik.com/read/2012/03/21/065007/1872813/763/memalukan-indonesia-disindir-sekjen-asean-soaltembakau. 59 “Belum Ratifikasi FCTC, Menkes Malu di Konferensi OKI,” BeritaSatu.com, 23 Oktober 2013, diakses pada 13 Desember 2015, http://www.beritasatu.com/kesehatan/146066-belum-ratifikasi-fctc-menkes-malu-di-konferensioki.html. 57
14
bidang kesehatan, dan lain sebagainya. Hal ini juga terkait dengan tingginya tingkat politisasi isu ini yang menyebabkan banyaknya konstituen yang aktif terlibat. Kemudian Putnam menekankan perlunya terjadi kesepakatan, atau tercapainya win-set, di Level II (domestik) untuk dapat mencapai kesepakatan di Level I (internasional). Apabila dilihat dari penjabaran kasus di atas, maka dapat dikatakan bahwa win-set Indonesia untuk meratifikasi FCTC terbilang kecil. Politik di dalam negeri Indonesia sangat rumit karena banyak sekali aktor yang berkepentingan di dalamnya. Hal tersebut diperparah dengan industri yang menjadi sorotan, yakni industri rokok. Dari sisi eksekutif, FCTC hanya didukung oleh Kemenkes dan Kemenkeu. Meski delegasi Indonesia yang diutus untuk ikut menegosiasikan perjanjian ini buka hanya dari dua kementrian tersebut, namun Kemenkes adalah satu-satunya yang gencar mendorong DPR dan presiden untuk meratifikasi FCTC. Kementrian lain seperti Kemenperin, Kemendag, dan Kementan menolak ratifikasi FCTC dengan pertimbangan ekonomi nasional. Dari sisi legislatif, Komisi IX yang membawahi komisi kesehatan dan ketenagakerjaan juga memiliki suara yang terpecah. Komisi tersebut merepresentasikan dua kepentingan yang bertarung dalam isu ini, kesehatan dan ketenagakerjaan. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan posisi Wakil Komisi IX dan anggotanya.
Perbedaan pendapat di kalangan masyarakat pun jauh lebih beragam. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak adanya kebulatan suara dari dalam negeri yang dapat mendukung winset. Ketidakmampuan Level I untuk menghasilkan kesepakatan pun menyebabkan involuntary defection. Melihat banyaknya aktor yang terlibat, kepentingan yang diperjuangkan para aktor, Hal itu disebabkan banyaknya kepentingan yang harus diakomodasi dalam perundingan isu ini. Belum lagi dengan adanya intervensi industri rokok yang cukup kencang di dalam politik domestik Indonesia Dengan hasil analisis seperti di atas, maka penulis memperkirakan bahwa akan sangat kecil kemungkinan bagi Indonesia untuk meratifikasi FCTC dalam waktu dekat.
15
BAB III PENUTUP
Dengan menggunakan teori two-level games dalam kasus ratifikasi FCTC oleh Indonesia, dapat terlihat bagaimana kompleksnya persoalan ini di tingkat domestik. Sekaligus menjawab rumusan masalah, penulis berkesimpulan bahwa dinamika politik menghambat Indonesia untuk meratifikasi FCTC. Apabila dikaitkan teori Putnam, hal dinamika politik domestik Indonesia yang kompleks menyebabkan tidak terjadinya win-set di tingkat domestik (Level II) sehingga Indonesia tidak memungkinkan bergerak ke Level I. Situasi ini disebabkan oleh banyaknya konflik kepentingan dalam industri rokok nasional, mulai dari badan eksekutif, legislatif, kelompok bisnis, hingga masyarakat umum. Dari kesimpulan dan analisis tulisan ini, apabila Kemenkes, Kemenkeu, berserta pihak lain pendukung FCTC ingin meloloskan FCTC hingga tahap ratifikasi, maka penulis dapat memberikan saran, yaitu pengadaan dialog yang lebih mendalam atau upaya-upaya lain untuk memperbesar dukungan domestik terhadap FCTC. Hal ini dimaksudkan untuk memberi ruang bagi para stakeholder untuk saling memberi pengertian dan melakukan penyesuaian mengenai ekspektasi atau kepentingan masing-masing terkait ratifikasi FCTC.
16
DAFTAR PUSTAKA
______. “AMTI Tolak Penerapan FCTC.” AMTI. 19 Februari 2014. Diakses pada 20 Desember 2015. http://amti.id/amti-tolak-penerapan-fctc/. ______. “Bahas FCTC. Presdir Sampoerna Temui Menperin.” Tribunnews.com. 1 Desember 2014. Diakses pada 10 Desember 2015. http://m.tribunnews.com/bisnis/2014/12/01/presdir-sampoerna-temuimenperin-tolak-fctc. ______. “Belum Ratifikasi FCTC, Menkes Malu di Konferensi OKI.” BeritaSatu.com. 23 Oktober 2013. Diakses pada 13 Desember 2015. http://www.beritasatu.com/kesehatan/146066-belum-ratifikasifctc-menkes-malu-di-konferensi-oki.html. ______. “DPR: Presiden Jokowi Tak Perlu Ratifikasi FCTC.” Tribunnews.com. 28 Juli 2015. Diakses pada 10 Desember 2015. http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/07/28/dpr-presiden-jokowi-tak-perluratifikasi-fctc. ______. “Dukung FCTC. Kemenkeu Dianggap Lampaui Kewenangan Presiden.” Tribunnews.com. 7 Agustus 2015. Diakses pada 20 Desember 2015. http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/08/07/dukungfctc-kemenkeu-dianggap-lampaui-kewenangan-presiden. ______. “Gede Banget! Ini Target Penerimaan Cukai Rokok 2015.” JPNN. 7 November 2015, Diakses pada 11 Desember 2015. http://www.jpnn.com/read/2015/11/07/337183/Gede-Banget!-Ini-TargetPenerimaan-Cukai-Rokok-2015-. ______. “Menperin: Industri Rokok Libatkan Tenaga Kerja 61 Juta Orang.” detikFinance. 27 Maret 2015. Diakses pada 9 Desember 2015. http://finance.detik.com/read/2015/03/27/220824/2872087/1036/menperin-industri-rokok-libatkantenaga-kerja-61-juta-orang. ______. “Philip Morris Comes to Indonesia: What Does a Company Get for $5 Billion?” Multinational Monitor. Diakses pada 20 Desember. 2015. http://www.multinationalmonitor.org/mm2005/052005/interview-aditjama.html. ______. “Quraish Shihab: Demi Kemajuan Bangsa. Ratifikasi FCTC.” Liputan 6. 19 Oktober 2014. Diakses pada 20 Desember 2015. http://health.liputan6.com/read/2120678/quraish-shihab-demi-kemajuanbangsa-ratifikasi-fctc. ______. “The Economics of Tobacco.” Ash. Diakses pada 11 Desember 2015. http://www.ash.org.uk/files/documents/ASH_121.pdf ______. “The history of the WHO Framework Convention on Tobacco Control.” WHO. Diakses pada 11 Desember 2015. http://www.who.int/fctc/about/history/en/. ______. “WHO Urges Indonesia to Ratify FCTC”. WHO. Diakses pada 13 Desember. 2015. http://www.searo.who.int/indonesia/mediacentre/who-urges-indonesiato-ratify-fctc/en/ . ______. ‘Tentang Kami.” British American Tobacco Indonesia. Diakses pada 11 Desember 2015. http://www.bentoelgroup.com/group/sites/BAT_8WXDPH.nsf/vwPagesWebLive/DO8W3DLN?op endocument. ______. “FCTC: Aksesi Segera!” Ikatan Senat Mahawiwa Kedokteran Indonesia. 1 Juli 2015. Diakses pada 15 Desember 2015. http://ismki.org/fctc-aksesi-segera. ______. “Keinginan RI Kendalikan Produksi Rokok Terhambat Persoalan Keuangan.” Republika. 4 November 2015. Diakses pada 11 Desember 2015. http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/11/04/nxado8383-keinginan-ri-kendalikanproduksi-rokok-terhambat-persoalan-keuangan. ______. “Lembaga Demografi UI Minta Pemerintah Segera Ratifikasi FCTC.” BeritaSatu.com. 27 Januari 2014. Diakses pada 20 Desember 2015. http://www.beritasatu.com/nasional/163044-lembagademografi-ui-minta-pemerintah-segera-ratifikasi-fctc.html
17
______. “Poempida: Pemerintah Harus Waspadai Agenda Terselubung Ratifikasi FCTC.” Zona Lima. 26 Oktober 2015. http://m.zonalima.com/artikel/5306/Poempida-Pemerintah-Harus-WaspadaiAgenda-Terselubung-Ratifikasi-FCTC/. ______. “Sikap ngotot Menkes aksesi FCTC dipertanyakan.” Kontan. 7 Mei 2014. Diakses pada 10 Desember 2015. http://kesehatan.kontan.co.id/news/sikap-ngotot-menkes-aksesi-fctc-dipertanyakan. ______. “Tobacco Control Will Not Harm Economy: Activists.” The Jakarta Post. 20 Juni 2015. Diakses pada 9 Desember 2015. http://www.thejakartapost.com/news/2014/06/20/tobacco-control-will-not-harmeconomy-activists.html. Arnez, Monika. "Tobacco and kretek: Indonesian drugs in historical change." Austrian Journal of South-East Asian Studies 2, no. 1 (2009): 49-69. Bollyky, Thomas dan David Fidler. “Has A Global Tobacco Treaty Made A Difference?” The Atlantic. 28 Februari 2015. http://www.theatlantic.com/health/archive/2015/02/has-a-global-tobacco-treatymade-a-difference/386399/. Bunn III, William B, dkk. "Effect of smoking status on productivity loss." Journal of Occupational and Environmental Medicine 48, no. 10 (2006): 1099-1108. Dewantoro, Samodro. “Komisi IX DPR Desak Pemerintah Ratifikasi FCTC.” Antaranews.com. 27 Agustus 2015. Diakses pada 20 Desember 2015. http://www.antaranews.com/berita/514719/komisi-ix-dprdesak-pemerintah-ratifikasi-fctc. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Policy Brief: Pentingnya Aksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) Bagi Indonesia. Diakses pada 9 Desember 2015. http://www.fctcuntukindonesia.org/wp-content/uploads/2015/06/MoH-Policy-Brief_FCTC.pdf. 3. Nurhayat, Wiji. “Begini Pentingnya Industri Rokok Bagi Ekonomi RI.” Detikfinance. Diakses pada 11 Desember http://finance.detik.com/read/2015/06/20/173926/2947821/1036/begini-pentingnyaindustri-rokok-bagi-ekonomi-ri. Pradiya, Ilyas Istianur. “Setkab Bantah Presiden Setujui Ratifikasi FCTC Tembakau.” Liputan6. 7 Maret 2014 Diakses pada 10 Desember 2015. http://bisnis.liputan6.com/read/2019665/setkab-bantah-presidensetujui-ratifikasi-fctc-tembakau. Pramudiarja, AN Uyung. “Memalukan! Indonesia Disindir Sekjen ASEAN Soal Tembakau.” detikHealth. 21 Maret 2012. Diakses pada 13 Desember 2015. http://health.detik.com/read/2012/03/21/065007/1872813/763/memalukan-indonesia-disindirsekjen-asean-soal-tembakau. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Infodatin: Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Diakses pada 11 Desember 2015. www.pusdatin.kemenkes.go.id./resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-hari-tanpatembakau-sedunia.pdf, 1. Putnam, Robert D. “Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games.” International Organization 42 No. 3 (1988): 427-460. Ramadhan, Aditya. “Cegah Merugi dengan Aksesi.” Kompas.com. 18 Maret 2015. Diakses pada 9 Desember 2015. http://print.kompas.com/baca/2015/03/18/Cegah-Merugi-dengan-Aksesi. SEATCA. Tobacco Industry Interference Index. Diakses pada 10 Desember 2015. http://seatca.org/dmdocuments/TII%20Index%202015_F_11Aug.pdf. Septian, Denny. “Industri Rokok Minta Pemerintah Tak Tandatangani FCTC Tembakau.” Liputan6 . Diakses pada 10 Desember 2015. http://bisnis.liputan6.com/read/2132558/industri-rokok-minta-pemerintahtak-tandatangani-fctc-tembakau. Sinaga, Arief. “Ratifikasi FCTC Berpotensi Marakkan Rokok ilegal.” Sindonews.com.14 April 2014. Diakses pada 20 Desember 2015. http://ekbis.sindonews.com/read/853898/34/ratifikasi-fctc-berpotensimarakkan-rokok-ilegal-1397461590. Syarifah, Fitri .“Presiden SBY Sudah Setujui FCTC Tembakau?” Liputan6. 7 Desember 2013. Diakses pada 9 Desember 2015. http://health.liputan6.com/read/767028/presiden-sby-sudah-setujui-fctc-tembakau. Tandilittin, Harsman, and Christoph Luetge. "Civil Society and Tobacco Control in Indonesia: The Last Resort." Open Ethics Journal 7 (2013): 11-18. 18
WHO. Partial Guidelines For Implementation Of Articles 9 And 10 Of The Who Framework Convention On Tobacco Control. Diakses pada 10 Desember 2015. http://www.who.int/fctc/guidelines/Guideliness_Articles_9_10_rev_240613.pdf?ua=1. WHO. The WHO Framework Convention On Tobacco Control : An Overview. Diakses pada 7 Desember 2015. http://www.who.int/fctc/about/WHO_FCTC_summary_January2015.pdf?ua=1. WHO. Report on Global Tobacco Epidemic 2008. Diakses pada 11 Desember 2015. http://www.who.int/tobacco/mpower/mpower_report_full_2008.pdf WHO. The Global Tobacco Crisis. Diakses 11 Desember 2015. http://www.who.int/tobacco/mpower/mpower_report_tobacco_crisis_2008.pdf.
19