BAB II PENGENDALIAN PERDAGANGAN TEMBAKAU BERDASARKAN FCTC (FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO CONTROL)
A. Aspek Hukum Perjanjian Internasional Dalam masyarakat Internasional dewasa ini, perjanjian internasional atau traktat mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan hubungan antar negara-negara dunia. Melalui perjanjian internasional, setiap negara dapat menggariskan dasar kerjasama mereka, bagaimana untuk mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari hubungan tersebut demi kelangsungan masyarakat internasional itu sendiri. di era modern ini tidak ada satupun negara negara di dunia yang tidak mengadakan perjanjian internasional dengan negara negara lain. Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan sumber dari hukum internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama yang di rumuskan dalam perjanjian tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia. Karena pembuatan dari perjanjian merupakan perbuatan hukum maka akan mengikat pihak-pihak yang terlibat atau terikat dalam perjanjian tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa secara umum dapat di katakan ciri-ciri perjanjian internasional ialah ia dibuat oleh subjek hukum internasional, pembuatannya di atur dalam hukum internasional sehingga mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak.
29
Universitas Sumatera Utara
30
Sebelum tahun 1969 hukum mengenai traktat sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional. Kaidah-kaidah ini untuk sebagian besar telah dikodefikasi dan disusun kembali didalam Konvensi Wina yang dibentuk pada tanggal 23 mei tahun 1969 tentang hukum traktat (Vienna Convention On The Law Treaties),11 Mulai berlaku pada tanggal 27 januari 1980. Tetapi, Konvensi Wina tidak dimaksudkan sebagai kitab hukum traktat yang lengkap dan dalam pembukaannya jelas di tegaskan bahwa kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional mengatur persoalan persoalan yang tidak diatur oleh ketentuan ketentuan konvensi. 1. Pengertian dan Subjek Hukum Perjanjian Internasional Perjanjian
internasional
merupakan
salah
satu
sumber
hukum
internasional, sebagaimana tercantum dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, Sumber-sumber hukum internasional terdiri dari:12 a. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus; b. Kebiasaan internasional (international custom); c. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang di akui oleh negara-negara beradab;
11 Vienna Convention 1969 dianggap sebagai induk perjanjian internasional karena konvensi inilah yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan (code of conduct yang mengikat) mengenai perjanjian internasional. Melalui konvensi ini semua ketentuan mengenai perjanjian internasional diatur, mulai dari ratifikasi, reservasi hingga pengunduran diri Negara dari suatu perjanjian internasional (seperti yang dilakukan AS, mengundurkan diri dari Vienna Convention 1969 pada tahun 2002 lalu).
12
Mauna Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global,(Bandung: P.T Alumni,2001), hal 89
Universitas Sumatera Utara
31
d. Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah di akui keahliannya merupakan sumber tambahan dari hukum internasional Berdasarkan hal tersebut marilah kita lihat apa yang di maksud dengan perjanjian internasional berdasarkan Pasal 2 Konvensi Wina tahun 1969, pejanjian internasional (treaty) didefenisikan sebagai:13 Suatu persetujuan yang di buat antara negara dalam bentuk tertulis dan di atur oleh hukum internasional, apakah dalam instrument tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya. Kemudian menurut Mochtar Kusumaatmaja, perjanjian internasional adalah perjanjian yang di adakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. Berdasrkan defenisi ini subyek hukum internasional yang mengadakan perjanjian adalah anggota masyarakat bangsa-bangsa, lembaga-lembaga internasional dan negara-negara14. Berdasarkan defenisi Pasal 2 Konvensi Wina 1969 diatas, kemudian di kembangkan lagi oleh pasal 1 ayat 3 undang -undang republik Indonesia nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu:15 Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang di atur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis 13 Mauna Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,(Bandung: P.T Alumni,2001), hal 84
14
Ibid 10
15
Ibid 10
Universitas Sumatera Utara
32
oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik. Bila dilihat dari defenisi perjanjian internasional diatas terdapat dua unsur pokok yang terdapat di dalamnya yaitu : a. Adanya subjek hukum internasional Negara adalah subjek dari hukum internasional, yang mempunyai kemampuan penuh dalam membuat suatu perjanjian-perjanjian internasional seperti yang tercantum di dalam pasal 6 konvensi wina tahun 1969, b. Rejim Hukum Internassional Suatu perjanjian dapat di katakan perjanjian internasional apabila perjanjian tersebut di atur dalam rejim hukum internasional, Perjanjian yang tunduk dan di atur oleh rejim hukum nasional suatu negara tidak termasuk kedalam defenisi dari perjanjian internasional (treaty). Kemudian suatu perjanjian juga bukan merupakan perjanjian internasional apabila subjeknya bukan merupakan subjek-subjek hukum internasional. 2. Bentuk Bentuk Perjanjian Internasional Negara-negara di dunia dalam melaksanakan praktek pembuatan perjanjian telah melahirkan berbagai bentuk terminologi perjanjian internasional, dimana ada kalanya berbeda pemakaiannya menurut negara, wilayah maupun jenis perangkat internasionalnya. Terminologi yang digunakan atas perangkat internasional tersebut pada umumnya tidaklah mengurangi hak dan kewajiban yang terkandung di dalamnya. Biasanya suatu terminologi perjanjian internasional
Universitas Sumatera Utara
33
digunakan berdasarkan permasalahan yang diatur dan dengan memperhatikan keinginan para pihak pada perjanjian tersebut dan dampak dampak politisnya terhadap mereka. Dalam konvensi wina tahun 1969 mengenai hukum perjanjian dan Konvensi Wina tahun 1986 mengenai hukum perjanjian antara negara dan organisasi internasional atau antara organisasi -organisasi Internasional tidak memberikan atau melakukan pembedaan terhadap berbagai bentuk perjanjian internasional. Selain itu, Pada pasal 102 Piagam PBB hanya memberikan pembedaan perjanjian internasional menurut terminologi treaty dan international agreement, sampai saat ini pun tidak terdapat defenisi yang tegas diatara kedua terminologi tersebut.16 Dalam praktek yang dilakukan oleh sekretariat jenderal PBB, terminologi treaty dan international agreement mencakup beragam perangkat internasional, termasuk di dalamnya komitmen-komitmen yang diberikan oleh suatu negara secara unilateral dalam pelaksanaan perjanjian internasional, sehingga perjanjian dalam hukum perjanjian internasional memiliki berbagai nama/bentuk yang setiap bentuknya menunjukkan suatu perbedaan dalam prosedur atau kurang lebih dalam formalitasnya. Bentuk-bentuk perjanjian internasional yaitu:17 a. Treaties (Perjanjian Internasional/Traktat) Terminologi treaty dapat digunakan menurut pengertian umum atau menurut pengertian khusus. Yang dimaksud dengan pengertian umum ialah bahwa treaty mencakup segala macam bentuk persetujuan internasional. 16 Mauna Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,(Bandung: P.T Alumni,2001), hal 89
17
Ibid 13
Universitas Sumatera Utara
34
Sedangkan dalam arti khusus treaty merupakan perjanjian yang paling penting dan sangat formal dalam urutan perjanjian. Menurut pengertian umum, Istilah treaty dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah perjanjian internasional, sedangkan didalam pengertian ini, perjanjian internasional mencakup seluruh perangkat/instrumen yang dibuat oleh subjek hukum internasional dan memiliki kekuatan yang mengikat secara hukum menurut hukum internasional. Menurut pengertian khusus, terminologi treaty dalam bahasa Indonesia lebih di kenal dengan istilah traktat. Hingga saat ini, belum terdapat pengaturan konsisten atas penggunaan terminologi traktat tersebut. Pada umumnya, traktat digunakan untuk suatu perjanjian yang materinya merupakan hal-hal yang sangat prinsipil. Umumnya perjanjian tersebut memerlukan adanya pengesahan/ ratifikasi. Jenis-jenis perjanjian yang termasuk di dalam kategori traktat di antaranya perjanjian yang mengatur masalah perdamaian, perbatasan negara, delimitasi, ekstradisi dan persahabatan, sebagai contoh : Perjanjian Persahabatan dan kerjasama di Asia Tenggara, 24 Februari 1976 (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) yang merupakan salah satu kategori perjanjian yang sangat resmi yang pernah di buat Indonesia dan ditandatangani oleh kepala negara dan pemerintah negara-negara ASEAN. Selanjutnya hal panting yang termasuk kedalam kategori perjanjian (Traktat) di Indonesia, diatur oleh surat Presiden Kepada DPR No. 2826/HK/60 tanggal 22 Agustus 1960. Jadi walaupun pada umumnya perjanjian internasional (treaty) dipakai untuk soal yang sangat penting misalnya yang menyangkut persahabatan,
Universitas Sumatera Utara
35
perdamaian dan keamanan tetapi juga dapat dipakai untuk hal-hal lain tergantung dari kebiasaan masing-masing negara. b. Convention (konvensi) Dalam pengertian umum, terminologi convention juga mencakup pengertian perjanjian internasional secara umum. Dalam kaitannya, Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional menggunakan istilah International Conventions sebagai salah satu sumber hukum internasional. dengan demikian, menurut pengertian umum, terminologi convention dapat disamakan dengan pengertian umum terminologi treaty. Dalam praktek internasional kedua istilah ini menduduki tempat tertinggi didalam urutan perjanjian internasional. Dalam pengertian khusus, terminologi convention dikenal dengan istilah bahasa Indonesia sebagai konvensi. Menurut pengertian ini. istilah konvensi digunakan untuk perjanjian-perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak negara. konvensi pada umumnya memberikan kesempatan kepada masyarakat internasional untuk berpartisipasi secara luas. Konvensi biasanya bersifat Law Making artinya merumuskan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional. Perangkat-perangkat internasional yang dirundingkan atas prakarsa/ naungan organisasi internasional umumnya juga menggunakan istilah konvensi. Sebagai contoh dapat dikemukakan konvensi-konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang, konvensi-konvensi Wina 1961 dan 1963 mengenai Hukum Diplomatik dan Hubungan Konsuler, dan banyak lagi. c. Agreement (Persetujuan) Terminologi agreement juga memiliki pengertian umum dan pengertian khusus. Dalam pengertian umum, Konvensi Wina tahun 1969 menggunakan
Universitas Sumatera Utara
36
terminologi agreement dalam artian yang luas. Selain memasukkan defenisi treaty sebagai
international
agreement,
Konvensi
tersebut
juga
menggunakan
terminologi international agreement bagi perangkat internasional yang tidak memenuhi defenisi treaty. dengan demikian, maka pengertian agreement secara umum mencakup seluruh jenis perangkat internasional dan biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari traktat dan konvensi. Dalam pengertian khusus, terminologi agreement dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah persetujuan. Menurut pengertian ini, persetujuan umumnya mengatur materi yang memiliki cakupan lebih kecil dibandingkan materi yang diatur dalam traktat. Terminologi persetujuan umumnya juga digunakan pada perjanjian yang mengatur materi kerjasama di bidang ekonomi, kebudayaan, teknik dan ilmu pengetahuan. d. Charter (Piagam) Istilah charter umumnya digunakan untuk perangkat internasional seperti dalam pembentukan suatu organisasi internasional. Penggunaan istilah ini berasal dari Magna Carta yang dibuat pada tahun 1215. Contoh umum perangkat internasional tersebut adalah Piagam PBB yang dibuat pada tahaun 1945. e. Protocol (Protokol) Terminologi protokol digunakan untuk perjanjian internasional yang materinya lebih sempit dibanding treaty atau convention. Penggunaan protokol tersebut memiliki berbagai macam keragaman, yaitu: (1) Protocol of Signature Protokol ini merupakan perangkat tambahan dalam suatu perjanjian internasional yang dibuat oleh pihak-pihak yang sama pada perjanjian. Protokol
Universitas Sumatera Utara
37
ini pada umumnya berisikan hal-hal yang berkaitan dengan penafsiran pasal-pasal tertentu pada perjanjian dan hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan teknik pelaksanaan perjanjian. Pengesahan perjanjian tersebut ipso facto juga mencakup pengesahan protokol tersebut. (2) Optional Protokol Protokol Tambahan memberikan tambahan hak dan kewajiban selain yang diatur dalam perjanjian internasional. Protokol tersebut umumnya memiliki karakter khusus dan memerlukan proses pengesahan yang terpisah dari perjanjian induknya. Protokol dimaksud juga memberikan kesempatan pada beberapa pihak pada perjanjian untuk membentuk pengaturan lebih jauh dari perjanjian induk dan tanpa memerlukan persetujuan seluruh negara pihak. Dengan demikian, maka protokol ini menciptakan two-tier system pada perjanjian internasional. (3) Protocol based on a Framework Treaty Protokol ini merupakan perangkat yang mengatur kewajiban-kewajiban khusus dalam melaksanakan perjanjian induknya. Protokol tersebut umumnya digunakan untuk menjamin proses pembuatan perjanjian yang berlangsung lebih cepat dan sederhana dan telah digunakan khususnya pada hukum lingkungan. (4) Protokol untuk mengubah beberapa perjanjian internasional, seperti Protocol of 1946 amending the Agreements, Conventions and Protocols on Narcotic Drugs. (5) Protokol yang merupakan pelengkap perjanjian sebelumnya, seperti Protocol of 1967 relating to the Status of Refugees. f. Declaration (Deklarasi) Deklarasi juga merupakan suatu perjanjian dan berisikan ketentuan ketentuan umum dimana pihak-pihak pada deklarasi tersebut berjanji untuk
Universitas Sumatera Utara
38
melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu dimasa yang akan datang. Bedanya dengan perjanjian atau konvensi adalah deklarasi isinya lebih ringkas, padat serta mengenyampingkan ketentuan-ketentuan yang hanya bersifat formal seperti surat kuasa (full powers) ratifikasi dan lain-lainnya. Deklarasi dalam hukum internasional mempunyai ikatan hukum seperti perjanjian-perjanjian lainnya, hanya saja harus dibedakan deklarasi yang dihasilkan oleh Majelis Umum PBB seperti Universal Declaration of Human Rights 1948 yang hanya berupa himbauan kepada negara-negara anggota tanpa adanya ikatan hukum. g. Final Act Adalah suatu dokumen yang berisi ringkasan dari laporan sidang dalam suatu konferensi dan juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensikonvensi yang dihasilkan oleh konferensi tersebut dan terkadang disertai dengan anjuran atau harapan yang sekiranya dianggap perlu. Penandatanganan final act ini sama sekali tidak berarti penerimaan terhadap perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang dihasilkan akan tetapi hanya semacam kesaksian berakhirnya suatu tahap proses pembuatan perjanjian. h. Memorandum of Understanding Disingkat dengan MoU merupakan suatu perjanjian yang mengatur mengenai pelaksanaan teknik operasional dari suatu perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur itu bersifat teknik, MoU ini dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya perjanjian induk. Jenis perjanjian ini pada umumnya dapat segera berlaku setelah penandatanganan tanpa memerlukan adanya pengesahan.
Universitas Sumatera Utara
39
i. Arrangement Adalah suatu perjanjian yang mengatur teknik operasional suatu perjanjian induk. Dalam kaitannya ini, arrangement juga dapat dipakai untuk melaksanakan proyek-proyek jangka pendek yang betul-betul bersifat teknik misalnya Arrangement Studi Kelayakan Proyek Tenaga Uap di Aceh yang ditandatangani pada tanggal 19 Februari 1979. terkadang juga dipakai istilah Special Arrangement untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam persetujuan-persetujuan
kerjasama
teknik.
Perlu
diketahuai
juga
bahwa
persetujuan-persetujuan kerjasama tersebut hanya menyebutkan bidang-bidang kerjasama saja sedangkan pelaksanaan tiap-tiap bidang serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pihak-pihak akan diatur oleh Special Arrangement. j. Exchange of Notes Pertukaran Nota merupakan perjanjian internasional yang bersifat umum, memiliki banyak persamaan dengan perjanjian dalam hukum perdata. Perjanjian ini dilaksanakan dengan mempertukarkan dua dokumen, yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada masing-masing dokumen. Dalam prosedur umum, negara penerima mengulangi secara utuh isi daripada surat yang diberikan oleh negara pengusul perjanjian tersebut dan selanjutnya menerima usulan dari perjanjian tersebut. Biasanya nota yang dipertukarkan tersebut berisikan kesepakatankesepakatan yang telah dicapai dengan tanggal yang sama dan mulai berlaku pada tanggal tersebut kecuali bila pihak-pihak menentukan lain. Pertukaran nota atau surat juga sering digunakan untuk penjelasan pasalpasal tertentu dari suatu persetujuan atau perpanjangan suatu persetujuan. Agar terhindar dari kemungkinan dibuatnya banyak nota sehingga pertukaran nota
Universitas Sumatera Utara
40
tersebut menjadi surat-menyurat maka praktek nya sekarang ini menganjurkan agar dicapai dulu kesepakatan mengenai isi nota-nota tersebut sebelum dipertukarkan. 3. Dasar Hukum Pengaturan Perjanjian Internasional Dasar hukum perjanjian internasional adalah pasal 38 ayat 1 piagam mahkamah Internasional, yang menyatakan perjanjian internasional harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Perjanjian internasional adalah sebagai sumber hukum internasional dengan alasan: Perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, karena perjanjian internasional diadakan secara tertulis Perjanjian internasioanl mengatur masalah-masalah bersama yang penting dalam hubungan antara subjek hukum internasional Selain itu, landasan hukum adalah kepentingan riel: keperluan suatu negara memenuhi kebutuhan warga negara dengan bekerja sama berdasarkan perjanjian internasional.18 Kerja sama internasional adalah bentuk hubungan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan untuk kepentingan negara-negara di dunia. Kerja sama internasional, yang meliputi kerja sama di bidang politik, sosial, pertahanan keamanan, kebudayaan, dan ekonomi, berpedoman pada politik luar negeri masing-masing.
4. Pembuatan Perjanjian Internasional Perundingan dalam suatu konferensi internasional baik yang bersifat bilateral maupun yang bersifat multilateral pada umumnya dilakukan oleh utusan
18
6http://answers.yahoo.com/question/index//html. Sabtu 04/01/2014
Universitas Sumatera Utara
41
utusan yang ditunjuk oleh Presiden atau Menteri Luar Negeri. Pada perundingan untuk persoalan-persoalan tertentu terkadang Presiden dan Menteri Luar Negeri sendiri atau Menteri lainnya sesuai dengan bidangnya masing-masing yang memimpin delegasi. Dalam praktek internasioanl utusan-utusan suatu negara ke suatu konferensi internasional biasanya dilengkapi dengan surat kuasa (full powers). Full powers menurut Konvensi Wina adalah suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang menunjuk satu atau beberapa utusan untuk mewakili negaranya dalam berunding, menerima atau membuktikan keaslian naskah suatu perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian atau melaksanakan perbuatan lainnya sehubungan dengan suatu perjanjian. Pada zaman dahulu Full Powers mempunyai arti yang sangat penting bagi raja-raja dalam mengirimkan utusan-utusannya untuk berunding yang mana selalu dilengkapi dengan Full Powers. Pada saat ini di era modern Full Powers tidak lagi memiliki arti sepenting tersebut mengingat perkembangan zaman dan hanya mempunyai arti formal saja. Bahkan pada saat ini penunjukan Surat Kuasa itu tidak selalu mutlak sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 (b) Konvensi Wina yang menyatakan bahwa wakil dari suatu negara dalam suatu perundingan dapat dibebaskan dari surat kuasa kalau memang demikian praktek dari negara yang bersangkutan.19 Demikian halnya dengan utusan yang tidak mempunyai Full Powers pun dapat ikut membuat suatu perjanjian asal saja dikonfirmasikan kemudian oleh
19 Mauna Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,(Bandung: P.T Alumni,2001), hal 101
Universitas Sumatera Utara
42
pemerintahnya. Walaupun arti dari surat kuasa ini tidak sepenting pada zaman dahulu, akan tetapi masih tetap diperlukan terutama pada saat penandatanganan suatu perjanjian internasional agar diketahui bahwa utusan yang menandatangani tersebut betul betul merupakan wakil yang sah dari negaranya. Dengan demikian, Konvensi Wina hanya menyebut Full Powers sebagai satu-satunya dokumen yang harus dimiliki oleh seorang utusan atau delegasi ke suatu konferensi internasional atau untuk semua tahap treaty-making process. Berdasarkan pendapat para ahli hukum internasional ada beragam pendapat diantara ahli tentang masalah ini. Mochtar Kusumaatmaja (1982) menegaskan bahwa berdasarkan praktik di beberapa negara, dikenal 2 cara pembentukan perjanjian internasional:20
a. Tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional melalui tiga tahapan yaitu: 1) Tahap Perundingan (negotiation) Pada tahap ini pihak-pihak akan mempertimbangkan terlebih dahulu materi yang hendak dicantumkan dalam naskah perjanjian. Materi tersebut ditinjau dari sudut pandang politik, ekonomi maupun keamanan dan juga mempertimbangkan akibat-akibat yang akan muncul setelah perjanjian disahka. Penunjukkan wakil suatu negara dalam perundingan diserahkan sepenuhnya kepada negara bersangkutan. 2) Tahap Penandatangan (signature) Tahap penandatanganan diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan (authentication of the text). Apabila koferensi tidak menentukan cara pengesahan maka pengesahan dapat dilakukan dengan 20
Perjanjian internasional,www. dfa-departemen luar negeri.co.id. kamis 09/01/2014
Universitas Sumatera Utara
43
penendatanganan, penandatanganan sementara atau pembubuhan paraf. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, berarti suatu negara telah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. 3) Tahap Ratifikasi (ratification) Meskipun delegasi suatu negara telah menandatangani suatu perjanjian internasional, tidak berarti bahwa negara tersebut secara otomatis terikat pada perjanjian itu. Negara tersebut baru terikat pada materi/ isi perjanjian setelah naskah tersebut diratifikasi. b. Melalui dua tahapan yaitu perundingan dan penandatanganan. Cara
yang pertama diadakan untuk hal-hal yang dianggap penting,
sehingga perlu persetujuan dari DPR. Sedangkan cara kedua untuk perjanjian internasional yang tidak begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat seperti misalnya perdagangan yang berjangka waktu pendek. Hampir senada dengan Mochtar Kusumaatmaja, Pierre Fraymond (1984) mengemukakan 2 prosedur pembuatan perjanjian internasional yaitu: 1. Prosedur normal atau klasik. Prosedur ini mengharuskan adanya persetujuan parlemen, dengan melalui tahap perundingan, penandatanganan, persetujuan parlemen, dan ratifikasi. 2. Prosedur yang disederhanakan (simplified). Prosedur ini tidak mensyaratkan persetujuan parlemen dan ratifikasi. Prosedur ini timbul untuk penyelesaian secara cepat. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan ke dua prosedur terletak pada perlu atau tidaknya persetujuan parlemen dalam pembuatan perjanjian internasional.
Universitas Sumatera Utara
44
Berdasarkan hukum posisitf Indonesia dalam Pasal 11 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Dalam hal bahwa suatu perjanjian menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang, maka pembuatan perjanjian internasional harus dengan persetujuan DPR.21 Ketentuan lebih lanjut tentang pembuatan perjanjian internasional diatur dengan UU Nomor 24 tahun 2000. Dalam UU ini ditegaskan pula bahwa pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap:22 1. Penjajakan 2. Perundingan 3. Perumusan naskah 4. Penerimaan naskah perjanjian 5. Penandatanganan 6. Pengesahan naskah perjanjian Pengesahan naskah perjanjian (authentication of the text) adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), dan persetujuan (approval). 5. Kekuatan Mengikat dari Perjanjian Internasional Kekuatan mengikat dari suatu perjanjian internasional erat kaitannya dengan ratifikasi. Ratifikasi perjanjian internasional merupakan hal menarik dan
21
Ibid 17
22
Ibid 17
Universitas Sumatera Utara
45
sangat penting dibahas karena berkaitan erat dengan kekuatan mengikat suatu perjanjian internasional. Ratifikasi tersebut tidak hanya menjadi persoalan hukum internasional, tetapi juga merupakan persoalan hukum nasional ( Hukum Tata Negara). Hukum internasional hanya menentukan pentingnya suatu perjanjian internasional diratifikasi, sedangkan tata cara pemberian ratifikasi perjanjian diatur oleh hukum nasional masing- masing Negara. Berdasarkan uraian dimuka akan dibahas implementasi ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia setelah berlakunya UU No . 24 Tahun 2000. Hubungan luar negeri dan kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain ,organisasi internasional, dan subyek-subyek hukum internasional lain, secara umum diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional. Hal ini sesuai dengan isi Pembukaan UUD 1945 . Disamping itu, perjanjian internasional merupakan pelaksanaan Pasal 11 UUD 1945 dan perubahannya (1999). Indonesia sebagai Negara merdeka dan berdaulat, melaksanakan hubungan luar negeri serta kerjasama internasional berdasarkan pada asas kesamaan derajat, saling menghormati dan saling tidak mencampuri urusan dalam negeri masingmasing, sejalan dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Pedoman yang digunakan untuk membuat dan mengesahkan perjanjian internasional di Indonesia sebelum tahun 2000 terdapat dalam Surat Presiden No . 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960, yang mengatur mengenai pengesahan melalui undang- undang atau Keputusan Presiden.23 Sebelum UU No. 21 Tahun 2000 berlaku masih terdapat kesimpang siuran dan belum terdapat keseragaman dan pedoman yang jelas 23
www. depdeinas.go.id. kamis 02/01/2014
Universitas Sumatera Utara
46
mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional. Hal ini disebabkan oleh karena tidak adanya peraturan perundang- undangan sebagai pelaksana ketentuan Pasal 11 UUD 1945, yang ada hanya Surat Presiden No . 2826/HK/1960 kepada ketua Dewan Perwakilan Rakyat mengenai penafsiran terhadap Pasal 11 UUD 1945 khususnya tentang masalah substansi perjanjian internasional, dan perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan dan pengesahan oleh Dewan Perwakilan, dan perjanjian internasional yang cukup disampaikan untuk diketahui saja oleh DPR.24 Surat Presiden tersebut pada pokoknya membagi perjanjian internasional atas dua pengertian, yaitu perjanjian terpenting (treaties), yang akan disampaikan pemerintah kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR dan perjanjian lain (agreements) yang akan disampaikan kepada DPR untuk diketahui setelah disahkan oleh presiden. Walupun surat presiden tersebut telah berlaku sebagai suatu pedoman dan menetapkan kriteria perjanjian internasional yang termasuk dalam pengertian perjanjian terpenting namun dalam perkembangan dewasa ini terdapat ketidak jelasan atas bidang perjanjian sehingga dianggap pembuatan dan pengesahannya telah mengalami keracuan dan kesimpangsiuran. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia berusaha menyusun Rancangan Undang- undang Perjanjian internasional, yang akhirnya pada tanggal 23 Oktober 2000 disahakanlah Undangundang perjanjian internasional yaitu Undang-undang No.24 Tahun 2000 (selanjutnya disingkat UUPI). Undang-undang inilah yang menjadi dasar hukum dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional di Indonesia.25
24
Ibid 20
25
Ibid 20
Universitas Sumatera Utara
47
Landasan hukum mengenai pembuatan Undang- undang mengenai perjanjian internasional antara lain Pasal 11 UUD 1945 dan perubahannya (1999) dan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri . Selain itu Undang – undang tersebut membuat prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang berlaku secara universal dan dijadikan pedoman bagi masyarakat internasional dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UUPI, dalam prakteknya ada dua macam pengesahan perjanjian internasional di Indonesia, yaitu dengan Undang-undang dan keputusan presiden. Dalam menentukan ratifikasi perjanjian internasional (akan diratifikasi dengan Undang-undang atau dengan Keppres), dilihat dari substansi
atau materi perjanjian bukan berdasarkan bentuk dan nama
(nonmenclature) perjanjian, dan dilakukan oleh Departemen Luar Negeri. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksud agar terciptanya kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan Undang-Undang Pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan Undang- undang apabila berkenaan dengan (Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000):26 a. Masalah politik , perdamaian dan keamanan negara; b. Perubahan wilayah dan penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia ; c. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara; d. Hak asasi manusia dan lin gkungan hidup; e. Pembentukan kaidah hukum baru ; f. Pinjaman dan atau hibah luar negeri. 26 Suryokusumo Sumaryo. Hukum Perjanjian Internasional. ( Jakarta :Tatanusa. 2008) .hal 72
Universitas Sumatera Utara
48
Khusus mengenai pinjaman dan / hibah luar negeri berserta persetujuannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat akan diatur oleh Undang- undang tersendiri. Hal ini telah dibicarakan dalam rapat pembahasan rancangan UUPI dalam keterangan pemerintah mengenai RUUPI pada tanggal 22 Mei 2000, ketika dijelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan materi tentang “Pinjaman Luar Negeri”sifatnya khusus dan perlu diatur tersendiri. Landasan pemikiran tersebut didasarkan pada suatu pembicaraan dan pembahasan yang intensif dan komprehensif dengan Departemen keuangan, Bank Indonesia ,dan Bappenas mengenai masalah ini. Pinjaman luar negeri tidak dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional dengan pertimbanganpertimbangan sebagai berikut:27 a.
Saat ini pinjaman luar negeri pemerintah mengacu pada ketentuan dalam Indische Comptabilitets Wet/ICW, sementara pinjaman luar negeri yang diterima oleh bank Indonesia mengacu pada Undang- undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 yang penggunaannya berkaitan dengan pengelolaan cadangan devisa ,sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan moneter.
b.
Berdasarkan praktek yang berlaku selama ini, pagu (plafon) pinjaman luar negeri telah disetujui oleh DPR berdasarkan disahkanya Undang- undang APBN pada setiap tahun anggaran, sehingga secara otomotis persetujuan DPR terhadap jumlah pinjaman luar negeri telah diperoleh pada saat disetujuinya Undang-Undang APBN.
c.
Untuk melaksanakan kebijakan ekonomi sebagaimana diamanatkan dalam Bab IV TAP MPR No. IV /MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004 yang
27
Ibid 23
Universitas Sumatera Utara
49
diarahkan untuk mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri Pemerintah sebagai kegiatan ekonomi yang produktif dan pelaksanaannya dilakukan secara transparan, efektif dan efisien, maka Pemerintah sedang merancang RUU yang mengatur mekanisme dan prosedur pinjaman luar negeri. d.
Oleh karena sifat perjanjian pinjaman luar negeri sangat khusus dan agar proses penerimaan pinjaman luar negeri yang dibutuhkan untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia tidak mengalami hambatan-hambatan, maka mekanisme persetujuan DPR perlu diatur secara komprehensif sehingga memerlukan pengaturan secara khusus dalam UU tersendiri. Selanjutnya pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak
termasuk dalam pasal 10 tersebut dilaksanakan dengan keputusan presiden (pasal 11 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000). Pengesahan perjanjian melalui keputusan presiden dilakukan bagi perjanjian yang memasyarakatkan adanya pengesahan sebelum mulai berlakunya perjanjian tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis- jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini, diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran, niaga, penghindaran pajak berganda,dan kerjasama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis (penjelasan atas UU No. 24 Tahub 2000).28
28
Perjanjian internasional,(www. dfa-departemen luar negeri.co.id). Rabu 08/01/2014
Universitas Sumatera Utara
50
Berdasarkan ketentuan tersebut dimuka dapat diketahui bahwa dasar hukum pengesahan perjanjian internasional dengan Undang- undang adalah Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000, sedangkan dasar hukum pengesahan melalui keputusan presiden ialah
pasal 11 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000.Setelah
penandatanganan, instansi/departemen teknis terkait sebagai Vocal poin-nya menyiapkan bahan-bahan berupa dokumen-dokumen yang telah di-Certified True Copy oleh departemen luar negeri . Dokumen-dokumen yang perlu dipersiapkan oleh lembaga pemrakarsa adalah (Pasal 12 UU No. 24 Tahun 2000):29 a.
Salinan naskah perjanjian ;
b.
Terjemahan ;
c.
Rancagan
Undang-undang/Rancangan
keputusan
presiden
tentang
pengesahan perjanjian internasional ;dan ; d.
Dokumen-dokumen lain yang diperlukan . Lembaga pemrakarsa dalam membuat rancangan Undang- undang (RUU)/
rancangan keppres (RKP) pengesahan perjanjian, dilakukan bersama-sama dengan departemen luar negeri atau dapat pula dilakukan oleh lembaga pemrakarsa itu sendiri dengan diketahui oleh departemen luar negeri. Sifat RUU/RKP pengesahan perjanjian internasional adalah sangat sederhana, biasanya hanya terdiri dari pasal yang berisi kalimat pengesahannya. Apabila terdapat reservasi/ persyaratan, disebutkan dalam RUU/RKP tersebut. Setelah menyiapkan semua dukumen
yang
dipersyaratkan
dalam
Pasal
12,
lembaga
pemrakarsa
29
Ibid 28
Universitas Sumatera Utara
51
mengirimkannya ke departemen luar negeri untuk selanjutnya departemen luar negeri meneruskan ke secretariat negara dan memulai proses ratifikasi.30 6. Akibat-akibat yang ditimbulkan Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional mengikat para pihak (prinsip pacta sunt servanda). Selanjutnya negara-negara pihak pada suatu perjanjian harus menerapkan ketentuan ketentuan dari perjanjian tersebut didalam peraturan perundang-undangan nasional. Sehubungan dengan hal tersebut maka akibatakibat yang ditimbulkan oleh perjanjian internasional akan dibagi kedalam 3 subbagian yaitu:31 1) Akibat-akibat perjanjian terhadap negara-negara pihak; 2) Akibat perjanjian terhadap negara lain; 3) Implementasi perjanjian pada peraturan perundang-undangan nasional Akibat Perjanjian Terhadap Negara-negara Pihak Perjanjian sebagai sumber utama hukum internasional, dimana dia mengikat negara-negara pihak. Sifat mengikat ini mempunyai makna bahwa negara-negara pihak suatu perjanjian harus mentaati dan menghormati pelaksanaan daripada perjanjian tersebut. Pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum perjanjian dalam hal ini menyatakan bahwa Tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good faith. Prinsip ini merupakan dasar pokok daripada hukuk perjanjian internasional dan telah diakui secara universal dan yang merupakan bagian dari prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law). Peradilan-peradilan dan 30
Perjanjian internasional,(www. dfa-departemen luar negeri.co.id). Rabu 08/01/2014
31
Mauna Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,(Bandung: P.T Alumni,2001), hal 135
Universitas Sumatera Utara
52
arbitrasi internasional dalam keputusan-keputusannya selalu menyebut prinsip itikad baik tersebut. Pasal 2 Piagam PBB pun menyatakan dalam ayat 2 nya antara lain: Semua negara harus melaksanakan dengan itikad baik semua kewajibankewajiban sesuai dengan Piagam. Akibat Perjanjian Terhadap Negara Lain Apakah perjanjian-perjanjian juga dapat berlaku bagi negara-negara lain? Disini berlaku prinsip terkenal yang dinamakan pacta tertiis nex nocent nec prosunt yang berarti bahwa perjanjian-perjanjian tidak dapat menimbulkan kewajiban-kewajiban dan memberikan hak pada negara ketiga. Sebagai contoh jurisprudensi, kita dapat menyebut kasus Pulau Palmas, yaitu sangketa antara Amerika Serikat dan Belanda mengenai pulau tersebut. Hakim internasional Mac Huber dalam keputusannya tahun 1928 menyatakan: Disamping itu jelaslah juga bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Spanyol dan negara-negara ketiga yang mengakui kedaulatannya di Filipina tidak akan dapat mengikat negeri Belanda. Sebagaimana kita ketahui perjanjian-perjanjian tidak memberikan hak kepada negara ketiga. Jadi suatu negara tidak dapat menuntut hak dari ketentuanketentuan suatu perjanjian bila negara tersebut bukan pihak pada perjanjian tersebut. Tetapi ada beberapa pengecualian terhadap prinsip-prinsip yang disebut diatas yaitu:32 a) Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga atas persetujuan mereka. 32
Mauna Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,(Bandung: P.T Alumni,2001), hal 145
Universitas Sumatera Utara
53
b) Perjanjian yang memberikan hak-hak kepada negara ketiga. c) Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga tanpa persetujuan mereka. B. FCTC (Framework Convention Perjanjian Internasional
On
Tobacco
Control)
Sebagai
1. Latar Belakang Diadakannya Perjanjian FCTC Sebelum kita membahas lebih lanjut masalah pengendalian perdagangan tembakau didunia serta pengaruhnya terhadap hukum nasional Indonesia hendaknya kita terlebih dahulu membahas mengenai latar belakang dari perdagangan tembakau hingga ke perjanjian FCTC oleh karena itu kita akan membahas awal perdagangan tembakau. Pada zaman sekarang kita dapat dengan mudah menemukan perkebunan tembakau dimana pun didunia dan mempunyai berbagai jenis, tapi tahukah anda bahwa tembakau itu sebenarnya berasal dari benua Amerika lebih tepatnya amerika selatan, dimana awal penyebarannya ketika para penjelajah lautan dari eropa yaitu Christoper Colombus bersama awak kapalnya menemukan benua amerika (menurut orang Barat) mereka bertemu suku Indian Arawak dan Taino yang sedang merokok tembakau pada 1492. Kemudian setelah bangsa eropa beramai-ramai ke benua Amerika mereka membawa tembakau ke eropa yang ternyata disukai banyak orang disana terlebih lagi setelah seorang Duta Besar Prancis untuk Portugal Jean Nicot de Villeman menuliskan manfaat pengobatan tembakau kepada pengadilan Prancis.33
33
http://kabarmasasilam.blogspot.com/2012/12/gerakan-anti-rokok-dalam sejarah.html#ixzz2lwW3nrH7. Kamis 09/01/2014
Universitas Sumatera Utara
54
Hingga 50 tahun kedepan muncul publikasi ilmiah yang menyatakan dan menganggap tembakau berbahaya bagi kesehatan. Berjudul Worked of Chimney Sweepers pada tahun 1602 oleh seorang dokter bernama Phillaretes kemudian disusul dengan pelarangan mengonsumsi tembakau di lingkungan gereja oleh Paus Urban VII, kemudian disusul pelarangan merokok oleh Raja Inggris James I bagi seeluruh rakyat Inggris, tetapi tetap saja tembakau masih menjadi barang komoditas yang di perdagangkan hingga tersebar ke seluruh dunia.34 Pada tahun 1899 muncul gerakan anti-tembakau di Amerika Serikat yang melibatkan masyarakat luas, dimana diketuai dan didirikan oleh Lucy Page Gaston seorang tokoh gerakan Women’s Christian Temperance Union yang mendirikan Anti-Cigarettes League of America. Inilah gerakan anti tembakau pertama didunia yang tercatat didalam sejarah, kemudia disusul kebijakan antitembakau di Jerman pada masa Nazi yang disebabkan oleh hasil penelitian Franz H. Muller dari University of Cologne’s Pathological Institute pada 1939 yang menemukan hubungan kuat meningkatnya kasus kanker paru-paru dengan meningkatnya penjualan rokok. lalu ditengah hangatnya perdebatan pro-kontra tembakau di Jerman, perusahaan-perusahaan dari pecahan American Tobacco mulai berkembang sebagai perusahaan trans-nasional. Produk tembakau dari perusahaan ini (termasuk dari perusahaan Inggris British America Tobacco dan Imperial Tobacco) mulai diperdagangkan dan menyebar keseluruh dunia dan yang anehnya industri tembakau ini menjadi sahabat dekat industri kesehatan, dimana
34
Ibid 33
Universitas Sumatera Utara
55
perusahaan rokok di Amerika Serikat menempatkan iklannya di jurnal-jurnal medis dan memberikan bantuan pendanaan bagi penelitian-penelitian medis.35 Pada saat yang sama di Indonesia, industri tembakau khususnya industri kretek menjadi primadona bagi pemerintah kolonial Belanda. Itu sebabnya, perjalanan kebijakan anti-tembakau tidak ikut mewarnai perjalanan sosial, politik, hukum dan budaya di Indonesia. Bahkan pada era 1930-an bisa kita katakan sebagai era ke emasan industri kretek di Hindia-Belanda (Indonesia). Setelah lewat masa Perang Dunia II tepatrnya di tahun 1950-an merupakan awal mula pro-kontra tembakau di era modern. Hal ini dikarenakan adanya hasil riset epidemiologi yang menghubungkan tembakau dengan kanker paru-paru dan penyakit lain terkait dengan kesehatan paru paru yang dipublikasikan oleh Journal of American Medical Association (JAMA) dan British Medical Journal (BMJ). Publikasi dari JAMA dan BMJ itulah yang menjadi rujukan gerakan antitembakau hingga saat ini.36 Menasuki dasawarsa 90-an, gerakan anti-tembakau semakin menguat dan mencapai puncaknya di Amerika Serikat. Hal ini antar lain ditandai dengan pemboikotan produk tembakau yang dipelopori kalangan intelektual dan akademisi. Dampaknya terjadi penjualan besar-besaran saham perusahaanperusahaan tembakau di lantai bursa. Walaupun tidak memberikan efek kehancuran pada industri tembakau, aksi boikot itu dapat dikatakan telah mempengaruhu industri tembakau secara keseluruhan pada waktu itu. Kebijakan
35
Ibid 33
36
Ibid 33
Universitas Sumatera Utara
56
anti-tembakau semakin kuat, ketika pada bulan Mei 1995 muncul sebuah wacana untuk membentuk hukum internasional pengendalian tembakau yang kemudian menghasilkan resolusi World Health Assembly (WHA 48.11). Tiga tahun kemudian, ketua WHO dokter Gro Harlem Burtland mulai memfokuskan pengendalian tembakau menjadi isu internasional lewat program Tobacco Free Initiative.37 Pada tahun 1999, WHO beserta negara anggota memprakarsai rancangan naskah Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control / FCTC), kemudian ditetapkan pada tanggal 28 mei 2003 di jenewa.38 Setelah disepakati secara aklamasi dalam sidang World Health Assembly pada bulan Mei 2003, FCTC memasuki proses penandatanganan oleh negaranegara anggota. Secara keseluruhan, urutan proses yang harus dilalui sampai FCTC menjadi perangkat hukum internasional yang mengikat adalah sebagai berikut:39 Langkah 1. Mei 2003. Adopsi oleh Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly) Pada bulan Mei 2003, Majelis Kesehatan Dunia dengan suara bulat mengadopsi FCTC Langkah 2. Penandatanganan Perjanjian
37
Ibid 33
38
Perjanjian FCTC, http://www.tcsc.com//html. Rabu 25/12/2013
39
Ibid 38
Universitas Sumatera Utara
57
FCTC mulai dapat ditandatangani sejak 16 Juni 2003. Penandatanganan bukan merupakan langkah yang mengikat secara hukum, tapi memberikan indikasi bahwa negara tersebut berniat serius untuk menentukan posisinya dengan memperhatikan isi FCTC. Penandatanganan FCTC tidak serta merta mengikat negara tersebut untuk meratifikasi. Tapi penandatanganan tersebut berarti kewajiban untuk menghindari kegiatan yang tidak sesuai dengan tujuan FCTC atau tindakan yang akan melemahkannya. Pada akhir Februari 2004, 95 negara, termasuk European Community,
telah
menandatangani
FCTC.
Negara-negara
masih
bisa
menandatangani FCTC di markas besar PBB di New York sampai 29 Juni 2004. Langkah 3. Ratifikasi Ratifikasi terdiri dari dua langkah. Pertama, lembaga negara yang berwenang (misalnya parlemen) sepakat untuk menindak lanjuti kewajiban dalam perjanjian yang bersangkutan, sesuai dengan prosedur konstitusi yang berlaku. Kedua, pemerintah menyerahkan instrumen ratifikasi kepada Sekretaris Jendral PBB. Setelah ratifikasi maka sebuah negara menjadi negara anggota resmi dari perjanjian. FCTC memerlukan ratifikasi 40 negara sebelum dapat diundangkan dan dinyatakan berlaku. Negara anggota dapat meratifikasi FCTC pada periode waktu yang tidak ditentukan setelah penandatanganan. Sampai dengan akhir Februari 2004, 9 negara telah meratifikasi FCTC. Sesudah 29 Juni 2004, yakni batas akhir penandatanganan dokumen FCTC, negara-negara yang belum menandatangani masih bisa tetap mengikatkan diri kepada perjanjian tersebut melalui prosedur yang disebut accession atau aksesi, tanpa harus didahului dengan
Universitas Sumatera Utara
penandatanganan.
58
Jadi
negara
yang
melakukan
aksesi
harus
segera
melaksanakannya. Pada prinsipnya, aksesi sama dengan ratifikasi. Langkah 4. Protokol-protokol Perjanjian terpisah yang lebih khusus, yang disebut sebagai protokol, dapat disusun untuk melengkapi konvensi. Protokol merupakan pengaturan kewajiban khusus untuk melaksanakan tujuan konvensi. Beberapa protokol yang dapat diterapkan untuk FCTC meliputi penyelundupan dan iklan yang melintasi batas negara. Protokol perlu diratifikasi secara tersendiri. Menurut teks perjanjian yang berlaku saat ini, hanya negara yang telah meratifikasi konvensi yang dapat meratifikasi protokol. Dalam Sidang Kesehatan Sedunia pada bulan Mei 2003, dikatakan bahwa protokol-protokol akan dinegosiasikan dalam Conference of the Parties setelah FCTC efektif. Langkah 5. Perjanjian menjadi hukum internasional Sembilan puluh hari setelah FCTC diratifikasi oleh sedikitnya 40 negara, maka ia menjadi hukum internasional dengan aturan dan prosedur tersendiri. Perjanjian hanya mengatur hubungan antar negara-negara yang telah meratifikasinya. Langkah 6. Konperensi anggota Dalam satu tahun setelah perjanjian diundangkan, Konperensi Negara Anggota yang Meratifikasi ”Conference of Parties” (COP) akan diselenggarakan. COP akan memantau pelaksanaan perjanjian dan membantu pendayagunaan sumber daya keuangan dan menegosiasikan protocol-protokol tambahan. FCTC merupakan acuan bagi kerangka pengendalian tembakau di tingkat global maupun nasional. Pokok-pokok kebijakan FCTC mencakup (1) Peningkatan cukai rokok; (2) Pelarangan total iklan rokok; (3) Penerapan Kawasan Tanpa Rokok
Universitas Sumatera Utara
59
yang komprehensif; (4) Pencantuman peringatan kesehatan berupa gambar pada bungkus rokok; (5)
Membantu orang yang ingin berhenti merokok; dan (6)
Pendidikan Masyarakat.40 Sampai saat ini sudah 168 negara dari 192 negara anggota WHO telah meratifikasi FCTC. Indonesia walaupun ikut terlibat aktif dalam menyusun rancangan FCTC baik dalam pertemuan-pertemuan pertemuan regional
internasional maupun
antara negara anggota WHO Kawasan Asia Tenggara,
Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Pasifik yang tidak meratifikasi FCTC. Padahal seluruh masyarakat global sepakat bahwa butir-butir dalam FCTC merupakan upaya perlindungan kesehatan masyarakat yang merupakan hak azasi manusia yang bersifat universal.41 Setelah masa itu berakhir yang belum menandatangani FCTC, masih tetap dapat mengaksesi perjanjian tersebut, kemudian apabila konvensi sudah ditandatangani lebih dari 40 negara, maka konvensi itu menjadi Hukum Internasional (berlaku sejak tahun 2005). 2. Tujuan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) Tujuan dari Konvensi dan protokol-protokolnya adalah untuk melindungi generasi sekarang dan mendatang terhadap kerusakan kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi karena konsumsi tembakau dan paparan kepada asap tembakau, dengan menyediakan suatu kerangka bagi upaya pengendalian tembakau untuk dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait di tingkat nasional,
40
Ibid 28
41 Pinanjaya Okta, Muslihat Kapitalis Global, Selingkuh Perusahaan Farmasi dengan Perusahaan Rokok AS,(Jakarta: Indonesia Berdikari, 2012), hal. 38
Universitas Sumatera Utara
60
regional dan internasional guna mengurangi secara berkelanjutan dan bermakna prevalensi penggunaan tembakau serta paparan terhadap asap rokok.42 “The objective of this Convention and its protocols is to protect present and future generations from the devastating health, social, environmental and economic consequences of tobacco consumption and exposure to tobacco smoke by providing a framework for tobacco control measures to be implemented by the Parties at the national, regional and international levels in order to reduce continually and substantially the prevalence of tobacco use and exposure to tobacco smoke”, Article 3 FCTC. 3. Kekuatan Mengikat FCTC (Framework Convention for Tobacco Control) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak mempengaruhi kehidupan bangsa-bangsa di dunia. Sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa-bangsa di dunia, semakin berkembang pula permasalahan-permasalahan dalam masyarakat internasional dan menyebabkan terjadinya perubahanperubahan dalam Hukum Internasional. Pada dasarnya berlakunya Hukum Internasional didasarkan pada 2 prinsip yaitu: 1) Pacta Sunt Servanda, yaitu perjanjian harus dan hanya ditaati oleh pihakpihak yang membuat perjanjian. 2) Primat Hukum Internasional, yaitu perjanjian internasional mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari undang-undang Nasional Suatu negara perserta perjanjian. Namun dalam perkembangan hubungan Internasional dewasa ini terdapat ajaran (doktrin) Tentang hubungan Hukum Internasional, yang dikenal sebagai Doktrin Inkoporasi. Doktrin ini menganggap bahwa perjanjian Internasional 42
Terjemahan Naskah FCTC Bahasa Indonesia, www.tcsc.com, Article 3 FTCF. Rabu 25/12/2013
Universitas Sumatera Utara
61
adalah bagian dari Hukum Nasional yang mengikat, dan berlaku secara langsung setelah penandatanganan, kecuali perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan lembaga legislatif, dan baru dapat mengikat setelah diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional suatu negara. Doktrin ini dianut oleh Inggris dan negara negara Anglo Saxon lainnya.43 Amerika juga menganut doktrin ini, namun membedakannya dalam: Perjanjian Internasional yang berlaku dengan sendirinya (Self Execuing Treaty), dan Perjanjian Internasional yang tidak berlaku dengan sendirinya (Non Self Executing Treaty). Perjanjian-perjanjian Internasional yang tidak bertentangan dengan konstitusi Amerika dan termasuk dalam Self Executing Treaty, akan langsung
berlaku
sebagai
Hukum
Nasionalnya.
Sedangkan
Perjanjian
Internasional yang Non Self Executing baru dapat mengikat pengadilan di Amerika setelah adanya peraturan perundang-undangan yang menjadikannya berlaku sebagai Hukum Nasional.44 Perbedaan antara self executing dan non self executing Treaty tidak berlaku untuk perjanjian-perjanjian yang termasuk golongan executive agreement karena tidak memerlukan persetujuan Badan Legislatif (Parlemen), dan akan dapat langsung berlaku.45 Dalam Sistem hukum kontinental di Jerman dan Perancis, suatu perjanjian internasional baru dapat berlaku apabila sesuai dengan ketentuan hukum nasional tentang Pengesahan Perjanjian, dan diumumkan secara resmi. Indonesia menganut 43
Mushawir Arsyad, Asas Pacta Sunt Servanda (Perspektif Internasional),http//www. universitas hasanuddin.com/2012/01.html. Senin 23/12/2013 44 Ibid 43 45
Hukum
Ibid 43
Universitas Sumatera Utara
62
sistem hukum kontinental. Seorang ahli Hukum Internasional dari Italia, Anzilotti berpandangan bahwa kekuatan mengikatnya suatu perjanjian adalah karena adanya prinsip mendasar yang disebut dengan "pacta sunt servanda". Berdasarkan pada prinsip ini, maka negara terikat untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dipikulnya sesuai dengan perjanjian dengan itikad baik. Sehubungan dengan hal ini, Oppenheim telah memberikan tanggapan bahwa masalah mengapa perjanjian internasional selalu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat masih banyak dipertentangkan. Banyak pakar berpendapat bahwa kekuatan mengikat dari suatu perjanjian adalah dalam hukum kodrat, dalam agama, dan prinsipprinsip moral serta dalam sikap mengekang dari negara-negara yang akan menjadi pihak dalam perjanjian tersebut. Beberapa diantaranya kemudian juga menegaskan bahwa hal itu merupakan keinginan dari para pihak yang memberikan kekuatan mengikat dari perjanjian-perjanjian yang telah dibuatnya. Jawaban yang mungkin benar adalah bahwa perjanjian tersebut mengikat secara hukum karena ada aturan kebiasaan dalam hukum internasional bahwa perjanjian itu mengikat.46 Wujud penegasan prinsip Pacta Sunt Servanda maka Komisi Hukum Internasional dalam rancangannya tentang Hukum Perjanjian telah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan "itikad baik" adalah antara lain meminta agar suatu pihak dari perjanjian-perjanjian itu tidak akan mengambil tindakan apapun yang diperkirakan dapat mencegah pelaksanaan atau menghalangi maksud perjanjian tersebut. Selanjutnya dinyatakan bahwa jika suatu negara tidak dapat menaati kewajibannya untuk melaksanakan tanggung jawab internasional kecuali jika 46
Mushawir Arsyad, Asas Pacta Sunt Servanda (Perspektif Internasional),http//www. universitas hasanuddin.com/2012/01.html. Senin 23/12/2013
Hukum
Universitas Sumatera Utara
63
ketidakmampuan itu dapat dibenarkan atau dibebaskan menurut Hukum Internasional mengenai tanggung jawab negara.47 Semua negara memiliki keharusan untuk setiap saat melaksanakan dengan itikad baik segala kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut dan sumber hukum internasional lainnya. Negara tidak diperbolehkan untuk meminta agar ketentuan dalam Undang-Undang Dasar atau perundang-undangannya sebagai alasan untuk tidak melaksanakan kewajibannya. Keharusan untuk menghormati kewajiban dengan itikad baik mencerminkan syarat dasar yang penting untuk suatu tata hukum.48 Dengan kata lain berdasarkan penjelasan diatas maka kekuatan mengikat dari FCTC apabila telah dilakukannya ratifikasi oleh suatu negara terhadap perjanjian tersebut. Ratifikasi adalah proses adopsi perjanjian internasional, atau konstitusi atau dokumen yang bersifat nasional lainnya (seperti amandemen terhadap konstitusi) melalui persetujuan dari tiap entitas kecil di dalam bagiannya. Proses ratifikasi konstitusi sering ditemukan pada negara federasi seperti Amerika Serikat atau konfederasi seperti Uni Eropa.49 Ratifikasi suatu kovensi atau perjanjian Internasional lainnya hanya dilakukan oleh Kepala Negara / Kepala Pemerintahan. Pasal 14 Kovensi Wina 1980 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan persetujuan agar dapat mengikat. Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada kedaulatan negara. Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu negara untuk
47
48
49
Ibid 46 Ibid 46 Ibid 46
Universitas Sumatera Utara
64
meratifikasi. suatu perjanjian. Namun bila suatu negara telah meratifikasi perjanjian internasional maka negara tersebut akan terikat oleh perjanjian internasional tersebut, Sebagai konsekuensi negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditanda tangani, selama materi atau subtansi dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Nasional. Kecuali dalam perjanjian bilateral, diperlukan ratifikasi.50 Pada pasal 2 Konvensi Wina 1969, ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu Negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Karena itu ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak penandatanganan ratifikasi. 4. Posisi Indonesia Saat ini Terkait FCTC Indonesia sebagai salah satu penghasil tembakau di dunia, dimana menempati urutan ke lima penghasil tembakau didunia dimana diantara lima besar tersesebut hanya Indonesia yang belum meratifikasi perjanjian pengendalian perdagangan tembakau internasional atau FCTC dan di Benua Asia Indonesia satu-satunya negara yang belum ratifikasi FCTC dikarenakan banyaknya pertimbangan-pertimbangan oleh pemerintah Indonesia. Rokok kretek merupakan salah satu produk asli Indonesia yang unik dan diakui oleh dunia. Bahan baku rokok kretek adalah tembakau dan cengkeh yang sebagian besar menggunakan sumber daya alam nasional. Industri rokok kretek merupakan industri yang padat modal, padat karya yang melibatkan lebih dari 50
Ibid 46
Universitas Sumatera Utara
65
jutaan orang, dan mempunyai andil yang cukup besar terhadap penerimaan cukai negara.
Namun
setelah
munculnya
perjanjian
internasional
mengenai
pengendalian perdagangan tembakau, walaupun Indonesia belum meratifikasinya tetapi pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan berkenaan dengan pengendalian tembakau di Indonesia. China, Brasil, India, dan Amerika Serikat merupakan negara produsen daun tembakau terbesar didunia. Tahun 2002 keempat negara itu memproduksi 4,0 juta ton tembakau atau setara 64% dari produksi tembakau yang ada didunia, anehnya walaupun negara-negara tersebut telah meratifikasi perjanjian FCTC lima tahun kemudian (2007) produksi daun tembakau dari empat negara tersebut naik menjadi 4,2 jua ton atau 67%. sementar Indonesia walaupun belum meratifikasi perjanjian FCTC hanya memproduksi 192 ribu ton (3,0) pada tahun 2002 dan 165 ribu ton (2,6) pada tahun 2007.51 Dari tahun ketahun dapat kita lihat bahwa ada kecendrungan penurunan jumlah produksi tembakau di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian FCTC kenapa hal ini dapat terjadi? ternyata negara negara tersebut salah satunya Amerika Serikat walaupun telah meratifikasi perjanjian FCTC mereka membuat peraturan yang melindungi produksi tembakau didalam
negeri
dengan
memprioritaskan
rokok
dalam
negeri
serta
mensejahterakan para petani tembakau.52 Sebagai bukti, baru baru ini terjadi kasus
51
Kinasih Herjuno, Negara dan Keserakahan Modal Asing, (Jakarta: Indonesia Berdikari, 2012), hal. 20. 52
Amerika Serikat meratifikasi perjanjian FCTC hanya sebatas negara-negara bagian saja, belum secara menyeluruh diratifikasi oleh semua negara bagian hingga ke pemerintah pusatnya. jadi ada peraturan-peraturan dari negara bagian yang sudah mengadopsi seluruh
Universitas Sumatera Utara
66
rokok kretek Indonesia dilarang masuk ke Amerika Serikat yang merupakan dampak dari penerapan kebijakan perlindungan produksi tembakau dalam negeri Amerika Serikat. Posisi Indonesia terkait dengan perjanjian FCTC diharapkan untuk segera meratifikasi isi dari perjanjian tersebut karena Indonesia sebagai salah satu negara peserta dari perjanjian FCTC, akan tetapi hendaknya pemerintah berhati hati sebelum meratifikasi perjanjian ini mengingat negara kita merupakan negara terbesar ke lima penghasil tembakau didunia. banyak industri besar terutama industri kecil berupa industri rumahan yang menghasilkan rokok kretek sangat bergantung dengan produksi tembakau dalam negeri, jadi jangan sampai setelah meratifikasi FCTC akan memberikan dampak yang besar terhadap industri kretek nasional. Hendaknya pemerintah Indonesia turut melindungi pertanian tembakau nasional dengan mengeluarkan peraturan yang melindungi tembakau nasional sejalan dengan peraturan pengendalian tembakau dalam negeri. C. Pengaturan Dalam Perjanjian Pengendalian Perdagangan Tembakau FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) 1. Pentingnya Pengendalian Perdagangan Tembakau Biaya ekonomi dan sosial yang ditimbulkan akibat konsumsi tembakau terus meningkat dan beban peningkatan ini sebagian besar ditanggung oleh masyarakat miskin. Angka kerugian akibat rokok setiap tahun mencapai 200 juta dolar Amerika, sedangkan angka kematian akibat penyakit yang diakibatkan merokok terus meningkat. Di Indonesia, jumlah biaya konsumsi tembakau tahun 2005 yang meliputi biaya langsung di tingkat rumah tangga dan biaya tidak perjanjian FCTC meratifikasinya.
dan ada negara bagian yang belum menerapkan peraturan FCTC dan
Universitas Sumatera Utara
67
langsung karena hilangnya produktifitas akibat kematian dini, sakit dan kecacatan adalah US $ 18,5 Milyar atau Rp 167,1 Triliun. Jumlah tersebut adalah sekitar 5 kali lipat lebih tinggi dari pemasukan cukai sebesar Rp 32,6 Triliun atau US$ 3,62 Milyar tahun 2005 (1US$ = Rp 8.500,-)53. Jumlah perokok di seluruh dunia kini mencapai 1,2 milyar orang dan 800 juta diantaranya berada di negara berkembang. Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah Cina dan India. Peningkatan konsumsi rokok berdampak pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok dan bertambahnya angka kematian akibat rokok. Rokok membunuh 1 dari 10 orang dewasa di seluruh dunia, dengan angka kematian dini mencapai 5,4 juta jiwa pada tahun 2005. Tahun 2030 diperkirakan angka kematian perokok di dunia akan mencapai 10 juta jiwa, dan 70% diantaranya berasal dari negara berkembang. Saat ini 50% kematian akibat rokok berada di negara berkembang, bila kecenderungan ini terus berlanjut, sekitar 650 juta orang akan terbunuh oleh rokok, yang setengahnya berusia produktif dan akan kehilangan umur hidup (lost life) sebesar 20 sampai 25 tahun.54 Hampir seluruh perokok mulai merokok ketika usianya belum mencapai 19 tahun. Pada usia yang rawan ini, remaja berhadapan dengan gencarnya iklan dan citra yang dijual oleh industri tembakau, sementara kemampuan untuk menilai dan mengambil keputusan dengan benar belum dimiliki. Umumnya orang mulai merokok sejak muda dan tidak tahu resiko mengenai bahaya adiktif rokok. 53
Chamim Mardiyah, A Giant Pack Of Lies Bongkahan Rahasia Kebohongan: Menyorot Kedigdayaan Industri Rokok di Indonesia,( Jakarta: KOJI Communications dan Tempo Institute Cetakan: I, 2011) hal. 57. 54
Ibid 37
Universitas Sumatera Utara
68
Keputusan konsumen untuk membeli rokok tidak didasarkan pada informasi yang cukup tentang risiko produk yang dibeli, efek ketagihan dan dampak pembelian yang dibebankan pada orang lain. Pemerintah perlu membuat peraturan yang melindungi anak dan remaja dari upaya agresif industri tembakau yang menjaring mereka sebagai konsumen jangka panjangnya dan merusak generasi sekarang maupun mendatang. Upaya perlindungan anak dan remaja dari bahaya merokok untuk mengurangi akses mereka terhadap rokok antara lain dengan menaikkan harga rokok, melarang penjualan rokok kepada anak-anak kurang dari 18 tahun dan melarang penjualan rokok batangan. Merokok menimbulkan beban kesehatan, sosial, ekonomi dan lingkungan tidak saja bagi perokok tetapi juga bagi orang lain. Perokok pasif terutama bayi dan anak-anak perlu dilindungi haknya dari kerugian akibat paparan asap rokok. Keluarga miskin yang tidak berdaya melawan adiksinya dan mengalihkan belanja makanan keluarganya serta biaya sekolah dan pendidikan anak-anaknya untuk membeli rokok perlu mendapatkan intervensi pemerintah. Belum lagi beban keluarga perokok dan pemerintah untuk menanggung biaya sakit akibat penyakit yang berhubungan dengan tembakau dan hilangnya produktifitas dan sumber nafkah keluarga karena kematian dini.
55
Kosen et al (2004) dalam studinya
tentang beban ekonomi akibat konsumsi tembakau di Indonesia memperkirakan pada tahun 2001 terdapat sekitar 5.160.075 penderita penyakit yang berhubungan dengan konsumsi tembakau.
55
Ibid 37
Universitas Sumatera Utara
69
2. Instrumen Pengendalian Perdagangan Tembakau a. Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 Merupakan Konvensi yang mengatur mengenai Perjanjian Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi ini pertama kali open for ratification pada tahun 1969 dan baru entry into force pada tahun 1980. Sebelum adanya Vienna Convention 1969 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti, good faith pacta, sunt servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara didalamnya. Singkatnya sebelum keberadaan Vienna Convention 1969 Perjanjian Internasional antar Negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktek Negara dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional (sekarang sudah tidak ada lagi) maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional (sebagai perwujudan dari opinion juris). Vienna Convention 1969 dianggap sebagai induk perjanjian internasional karena konvensi inilah yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan (code of conduct yang mengikat) mengenai perjanjian internasional. Melalui konvensi ini semua ketentuan mengenai perjanjian internasional diatur, mulai dari ratifikasi, reservasi hingga pengunduran diri Negara dari suatu perjanjian internasional (seperti yang dilakukan AS, mengundurkan diri dari Vienna Convention 1969 pada tahun2002 lalu). Dengan adanya konvensi ini, perjanjian internasional antar Negara tidak lagi diatur oleh kebiasaan internasional namun oleh suatu perjanjian yang mengikat yang menuntut nilai kepatuhan yang tinggi dari negara anggotanya dan hanya bisa berubah apabila ada konsen dari seluruh Negara anggota Vienna Convention
Universitas Sumatera Utara
70
tersebut, tidak seperti kebiasaan internasional yang dapat berubah apabila ada tren internasional baru.56 Vienna Convention 1969 merupakan induk dari pengaturan perjanjian internasional karena konvensi ini merupakan konvensi pertama yang berisikan pengaturan perjanjian internasional, baik secara teknis maupun material dan ketentuan dalam konvensi ini merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan internasional selama ini yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Bahkan dewasa ini Vienna Convention 1969 telah dianggap sebagai kebiasaan internasional yang mengikat bahkan Negara yang tidak menjadi pesertanya.57 b. Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Hak ekonomi, sosial dan budaya mempunyai nilai intrinsik. Hak Ekosob menciptakan kondisi bagi peningkatan kapabilitas dengan menghapuskan
deprivasi.
Hak-hak
ini
memungkinkan
kebebasan
untuk
menentukan cara hidup yang kita hargai. Potensi manusia bisa diekspresikan melalui hak-hak sipil dan politik namun pengembangan potensi tersebut membutuhkan keadaan-keadaan sosial dan ekonomi yang memadai.58
56
Heryanto Andik, http//: www.Indonesia ESC Rights Action Network.com// html. Selasa 14/01/2014 57
Untuk referensi mengenai Vienna Convention 1969 ini lebih jelasnya dapat dilihat dari general comment dan traveaux preparatoir dari konvensi ini maupun dari buku-buku karangan T.O. Elias dan I.M. Sinclair mengenai Law of Teaties. 58 Hardiyanto Andik, Mengenal Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekosob (ICESCR),http//:Indonesia ESC Rights Action Network.com//html. Selasa 14/01/2014
Universitas Sumatera Utara
71
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya terdiri dari 31 Pasal, yang terdiri dari Mukadimah dan 5 Bagian. Mukadimah terdiri dari lima (5) Paragraf preambuler yang seluruh isinya berbunyi sama dengan Mukadimah Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Namun perlu dicatat bahwa, paragraf preambuler ke-3 dari Kovenan ini (ICESCR) merupakan penegasan tentang keterkaitan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dengan hak-hak sipil dan politik. Paragraf preambuler ke-3 tersebut menyatakan:59 “Mengakui bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, keadaan ideal dari manusia yang bebas dari penikmatan kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan, hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi di mana semua orang dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, juga hak-hak sipil dan politiknya.” Kewajiban Negara berdasar Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dapat dikaji berdasar Pasal 2. Menurut Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Pasal 2 mengandung kepentingan khusus untuk mencapai pemahaman seutuhnya atas Kovenan dan, harus dilihat sebagai hal yang mempunyai hubungan dinamis dengan semua ketentuan Kovenan lainnya. Pasal 2 ini menjelaskan sifat dari kewajiban hukum yang umum dan menjadi tanggung jawab Negara Peserta Kovenan. 60
Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak-Hak Ekosob menyatakan bahwa:
59
Ibid 42
60
Ibid 42
Universitas Sumatera Utara
72
“Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji mengambil langkah-langkah, baik sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, terutama bantuan teknik dan ekonomi dan sejauh dimungkinkan sumber daya yang ada, guna mencapai secara progresif realisasi sepenuhnya hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini dengan menggunakan semua upaya-upaya yang memadai, termasuk pembentukkan langkah-langkah legislatif.” Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menjelaskan bahwa kewajiban Negara Pihak meliputi Kewajiban Melakukan (Obligation of Conduct) dan Kewajiban Hasil (Obligation of Result). Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) merumuskan dua kategori kewajiban tersebut dan Komite menggunakannya sebagai rujukan untuk mengelaborasi kewajiban Negara Peserta Kovenan Hak Ekosob:61 a) Kewajiban Melakukan berarti bahwa Negara harus mengambil langkah spesifik, terutama berkait dengan aksi atau pencegahan. Misalnya: melarang kerja paksa merupakan tindakan melakukan sesuatu. b) Kewajiban Hasil berarti kewajiban untuk mencapai hasil tertentu melalui implementasi aktif kebijakan dan program.
3. Pokok-Pokok Pengaturan Pengendalian Tembakau Berdasarkan FCTC Ketentuan Pokok FCTC: Pasal 2.1 FCTC mendorong seluruh negara peserta Konvensi untuk mengambil langkah-langkah yang lebih kuat dari standar minimal yang ditentukan dalam konvensi. Ketentuan-ketentuan signifikan yang diatur dalam konvensi termasuk:
61
Ibid 42
Universitas Sumatera Utara
73
a. Iklan, Promosi dan Pemberian Sponsor (Pasal 13) Perjanjian FCTC memberikan syarat kepada negara anggota untuk melaksanakan larangan total terhadap segala jenis iklan, pemberian sponsor, dan promosi produk-produk tembakau baik secara langsung maupun tidak, dalam kurun waktu 5 tahun setelah meratifikasi konvensi. Larangan ini juga termasuk iklan lintas batas yang berasal dari salah satu negara peserta. Bagi negara-negara yang memiliki hambatan konsitusional, larangan total iklan, pemberian sponsor dan promosi ini dilakukan dengan mempertimbangkan hukum yang berlaku di negara tersebut.62 b. Asap Rokok Bekas/Seconhand Smoke (Pasal 8) Paparan asap rokok telah terbukti secara ilmiah menyebabkan kematian, penyakit dan cacat. FCTC mensyaratkan kepada seluruh negara peserta untuk mengambil langkah-langkah efektif dalam melindungi bukan perokok dari asap rokok di tempat-tempat publik, termasuk ditempat-tempat kerja, kendaraan umum, serta ruangan-ruangan ditempat publik lainnya. Telah terbukti bahwa langkah yang efektif dalam melindungi bukan perokok adalah dengan larangan total merokok.63 c. Pengemasan dan Pelabelan (Pasal 11) Pasal 11 FCTC mensyaratkan kepada seluruh negara peserta agar sedikitnya 30% dari permukaan kemasan produk digunakan untuk label peringatan kesehatran dalam kurun waktu 3 tahun setelah meratifikasi FCTC.
62
63
Kerangka kerja Perjanjian FCTC, http://www.tstc.com//html. Minggu 12/01/2014 Ibid 62
Universitas Sumatera Utara
74
Pasal ini juga mengharuskan pesan tersebut diganti-ganti, dan dapat menggunakan gambar. Peringatan yang mengandung kata-kata yang menyesatkan seperti ‘’light’’,’’mild’’ dan ‘’rendah tar’’ dilarang. Penelitian membuktikan rokok yang berlabel light, mild dan rendah tar sama bahayanya seperti rokok pada umumnya. Negara-negara peserta sepakat untuk melarang segala kata-kata yang menyesatkan dalam kurun waktu 3 tahun setelah menjadi negara anggota FCTC.64 d. Penyeludupan (Pasal 15) FCTC mensyaratkan kepada negara anggotanya untuk dilakukan suatu tindakan dalam rangka mengatasi penyeludupan tembakau. Tindakan tersebut termasuk menuliskan asal pengiriman serta tempat tujuan pengiriman di semua kemasan tembakau. Selain itu, negara-negara peserta dihimbau untuk melakukan kerjasama penegakan hukum dalam penyeludupan tembakau lintas negara.65 e. Pajak dan Penjualan Bebas Bea (Pasal 6) FCTC menghimbau negara-negara peserta untuk menaikkan pajak tembakau
dan
mempertimbangkan
tujuan
kesehatan
masyarakat
dalam
menetapkan kebijakan cukai dan harga produk tembakau. Penjualan tembakau bebas bea juga sebaiknya dilarang. Kenaikan harga tembakau terbukti langkah yang efektif dalam mengurangi konsumsi tembakau, terutama dikalangan anakanak dan remaja.66 f. Pengungkapan dan Pengaturan Kandungan Poduk (Pasal 9 dan Pasal 10)
64
65
66
Ibid 62 Ibid 62 Ibid 62
Universitas Sumatera Utara
75
Produk tembakau perlu diatur, negara-negara peserta sepakat untuk membentuk suatu acuan yang dapat digunakan seluruh negara-negara dalam mengatur kandungan produk tembakau. Negara-negara peserta juga harus mewajibkan pengusaha tembakau untuk mengungkapkan kandungan produk tembakau kepada pemerintah.67 g. Pertanggung jawaban (Pasal 4,5 dan Pasal 19) Tindakan hukum perlu dilakukan sebagai strategi pengendalian dampak tembakau. FCTC melihat bahwa pertanggung jawaban merupakan program yang penting dalam pengendalian dampak tembakau. Negara-negara peserta sepakat untuk melakukan pendekatan legislatif dan hukum dalam mencapai tujuan pengendalian dampak tembakau dan bekerja sama dalam pengadilan yang terkait dengan masalah tembakau.68 h. Treaty Oversight (Pasal 23) Konferensi dari negara-negara peserta akan mengawasi FCTC. FCTC membentuk konferensi negara-negara peserta (COP) yang telah diselenggarakan pada tahun 2006. COP diberdayakan untuk mengawasi implementasi FCTC serta mengadopsi protokol tambahan (annex) dan perubahan FCTC. Selain itu juga untuk membentuk badan subside untuk menjalani tugas tugas tertentu.69 i. Pendanaan (Pasal 26) Negara-negara peserta telah berkomitmen untuk memberikan dana untuk pengendalian dampak tembakau secara global. Negara-negar peserta sepakat 67
68
69
Ibid 62 Ibid 62 Ibid 62
Universitas Sumatera Utara
76
untuk mengerahkan bantuan keuangan dari sumber dana yang ada untuk pengendalian dampak tembakau di negara-negara yang mengalami transisi ekonomi, termasuk juga organisasi interpemerintah baik regional maupun internasional.70 Komitmen Penting lainnya a) Setiap negara peserta membentuk suatu mekanisme koordinasi keuangan nasional atau focal point untuk pengendalian dampak tembakau (Pasal 5) b) Negara-negara peserta berusaha untuk menyertakan usaha berhenti merokok dalam program kesehatan nasional mereka ( Pasal 14) c) Negara-negara peserta melarang penjualan produk tembakau kepada mereka yang dibawah umur menurut hukum nasional mereka, atau 18 tahun (Pasal 16) d) Negara-negara yang meratifikasi FCTC tidak dapat melakukan reservasi (mengecualikan) salah satu pasal dari FCTC (Pasal 30) Pokok-pokok pengaturan tersebut harus ditaati dan dijalankan oleh seluruh anggota peserta Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) apabila mereka telah meratifikasi isi dari konvensi diatas.
70
Ibid 62
Universitas Sumatera Utara