Asep Nasirin dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 188-196, September 2014
PENGARUH BERBAGAI DOSIS PROSTAGLANDIN (PGF2α) TERHADAP KARAKTERISTIK ESTRUS PADA DOMBA GARUT THE EFFECTS OF VARIOUS DOSES OF PROSTAGLANDIN (PGF2Α) ON THE CHARACTERISTICS OF ESTRUS IN GARUT EWES Asep Nasirin, Taswin Rahman Tagama, Dadang Mulyadi Saleh Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto e-mail :
[email protected] ABSTRAK ASEP NASIRIN, Penelitian tentang “Pengaruh Berbagai Dosis Prostaglandin (PGF2α) Terhadap Karakteristik Estrus Pada Domba Garut” telah dilaksanakan di Kampung Cigunung Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut, dari tanggal 15 Juli sampai 07 Agustus 2013. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas penggunaan prostaglandin dalam menginisiasi estrus pada domba Garut. Manfaatnya untuk mendapatkan informasi tentang dosis pemberian prostaglandin yang efisien dalam waktu pengamatan estrus dan meningkatkan produktivitas domba Garut. Metode penelitian ini dilakukan dengan metode experimental,menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Materi penelitiannya yaitu 18 ekor domba Garut betina yang pernah beranak serta 3 ekor pejantan dewasa yang digunakan sebagai penggoda (teaser). Preparat stimulator estrus yang digunakan adalah Prostaglandin merk “Lutalyse” dengan komposisi per ml mengandung Dinoprost trometamin 5 mg dan Benzil Alkohol 9,45 mg. Perlakuan yang diberikan yaitu: A dengan dosis 1 ml, B dengan dosis 1,5 ml dan C dengan dosis 2 ml. Hasil penelitian setelah penyuntikan Prostaglandin ke 2 dengan jarak 11 hari menunjukkan bahwa perbedaan dosis yang telah diberikan pada setiap perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) baik itu terhadap onset estrus, standing heat, lama estrus dan intensitas estrus serta semua domba memperlihatkan estrus 100 persen. Jadi pemberian dosis prostaglandin 1 ml cukup efisien dalam mensinkronisasi estrus domba Garut. Kata Kunci: Domba garut, prostaglandin, karakteristik estrus. ABSTRACT ASEP NASIRIN, Research on the effects of various doses of Prostaglandin on estrus characteristics in sheep was carried out in Cigunung village, Kadungora district, Garut regency from July 15 until August 7, 2013. The purpose of this study was to determine the effectiveness of the use of prostaglandins in initiating estrus in Sheep. Benefit of this study is to obtain the information about the administered dose of prostaglandin which efficient in estrus observation time and improve productivity Garut sheep.The experimental method, a completely randomized design (CRD) was used. A total of 18 Garut ewes and three adult males were used. Prostaglandin brands Lutalyse with Dinoprost composition per ml containing of 5 mg tromethamine and 9.45 mg benzyl alcohol was used. Treatment given was A: 1 ml of PGF; B: 1,5 ml of PGF and C: 2 ml of PGF. The results after the second injection of prostaglandin on days 11 showed that the differences in the dose given at each treatment had no significant effect (P> 0.05) either the onset of estrus, standing heat, length of estrus and estrus intensity and all ewes showed estrus 100 percent. So prostaglandin 1 ml dose is quite efficient in synchronizing of estrus in Garut ewes. Keywords : Garut ewes, prostaglandin, characteristics of estrus. 188
Asep Nasirin dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 188-196, September 2014
PENDAHULUAN Domba Garut merupakan plasma nutfah domba Indonesia yang sangat potensial untuk dikembangkan. Domba Garut jantan biasa digunakan sebagi domba laga, sehingga memunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan domba lokal lainnya. Domba Garut jantan memiliki postur yang lebih gagah, libido yang sangat baik dan tanduk yang khas dengan ukuran besar, kokoh, kuat dan melingkar. Domba Garut tidak mengenal musim kawin dan memunyai sifat dapat melahirkan anak kembar dua ekor atau lebih (Rizal, 2003).Domba Garut adalah ternak domba asal Jawa Barat yang merupakan plasma nutfah penting untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi ternak domba mengalami peningkatan dari tahun 2004 (8.075.000 ekor) sampai 2009 (10.199.000 ekor), sedangkan jumlah produksi daging pada tahun 2009 dari sapi potong dan kerbau 443.9 ribu ton, kambing dan domba 128.1 ribu ton (Direktorat Jenderal Peternakan 2010). Toelihere (2003) menyatakan, bahwa kegagalan reproduksi pada ternak baik langsung maupun tidak langsung dapat mendatangkan kerugian yang sangat besar. Salah satu kegagalan reproduksi adalah faktor hormonal, terutama hormon reproduksi yang memegang peranan penting dalam siklus reproduksi. Prostaglandin merupakan zat aktif yang kerjanya seperti hormon, sering digunakan dalam usaha peningkatan produksi khususnya dalam pengendalian dan penanggulangan gangguan reproduksi, sehingga perlu dilakukan penelitian yang ada hubungannya dengan reproduksi ternak domba. Selama siklus estrous pada domba terjadi beberapa perubahan fisiologik pada alat kelamin betina, perubahan tersebut terjadi secara berurutan satu sama lain yang akhirnya bertemu kembali pada permulaannya. Siklus estrus terbagi menjadi empat fase yaitu: proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Bearden dan Fuquay, 1992). Teknologi yang pernah diterapkan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi ternak antara lain: inseminasi buatan, sinkronisasi estrus, super ovulasi dan transfer embrio. Teknologi tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan pada kemajuan dan perkembangan dunia peternakan khususnya pada program pengembangbiakan domba lokal seperti domba Garut. Selain masih rendahnya populasi, produksi ternak di Indonesia sering menjadi masalah adalah gangguan reproduksi dan faktor manajemen ternak seperti: sering terjadinya kawin berulang, estrus tenang, infeksi pascalahir, jarak melahirkan lebih dari 8 bulan, angka kelahiran dan kebuntingan yang rendah, sering dijumpai penggunaan pejantan untuk kawin alam, inseminasi buatan hanya dilakukan bila terjadi estrus secara alami, teknologi induksi estrus dan sinkronisasi estrus belum dilakukan secara maksimal, usaha peternakan yang dilakukan peternak di Indonesia bersifat ekstensif. Metode yang digunakan adalah mempercepat siklus estrus dengan memperpendek daya hidup CL, salah satunya dengan pemberian prostaglandin yang bekerja saat hewan dalam fase luteal (Toelihere, 2003). Jenis prostaglandin yang digunakan untuk melisiskan CL adalah PGF2α. Prostaglandin yang diberikan akan segera melisiskan CL dan diharapkan dalam waktu 2-3 hari CL akan lisis dengan sempurna dan estrus akan terjadi. Pendapat lain mengatakan bahwa estrus akan terjadi secara serentak dalam waktu 2-4 hari setelah pemberian PGF2α (Toelihere, 2003). Pada metode penyuntikan dapat dilakukan dengan sekali suntik maupun dua kali suntik (double injection) dengan interval waktu 11-12 hari (Toelihere, 2003). PGF2α yang diinjeksikan saat sinkronisasi akan berinteraksi dari sel ke sel kemudian masuk ke pembuluh darah, dan mengikuti aliran darah hingga sampai pada pembuluh darah uteroovarian. PGF2α menyebabkan luteolisis melalui konstriksi (penyempitan) pembuluh darah uteroovarian, sehingga darah yang dialirkan jumlahnya sedikit, sebagai akibatnya terjadi iskemia dan starvasi (Jainudeen et al., 2000). Starvasi adalah suatu keadaan terjadi kekurangan asupan energi dan unsur-unsur nutrisi essensial yang diperlukan sel sehingga 189
Asep Nasirin dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 188-196, September 2014
amengakibatkan terjadinya perubahan perubahan proses metabolisme unsur-unsur utama di dalam sel (Toelihere, 2003). Iskemia dan starvasi di sel luteal menyebabkan terjadinya regresi CL dan hewan akan menunjukkan gejala estrus. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas penggunaan prostaglandin dalam menginisiasi estrus pada domba Garut dan mendapatkan informasi tentang dosis pemberian prostaglandin untuk efisiensi waktu pengamatan estrus, dan meningkatkan efisiensi reproduksi pada domba Garut. METODE Penelitian ini dilakukan dengan metode experimental, menggunakan 18 ekor domba Garut betina yang pernah beranakdengan bobot badan rata-rata 30 kg serta 3 ekor domba jantan dewasa yang digunakan sebagai penggoda (teaser) untuk mendeteksi gejala estrus. Domba Garut yang diteliti adalah domba yang sehat, normal dan tidak sedang bunting. Kandang yang digunakan adalah kandang kelompok dengan ukuran 3 m x 2 m tipe panggung. Pada setiap kandang ditempatkan 6 ekor domba betina yang sudah dikelompokkan dan dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat diberikan pada pagi dan sore hari. Air minum diberikan secara ad-libitum. Preparat stimulator estrus yang digunakan adalah Prostaglandin merk “Lutalyse” dengan komposisi per ml mengandung Dinoprost trometamin 5 mg dan Benzil alkohol 9,45 mg untuk sinkronisasi estrus. Peralatan yang digunakan adalah alat tulis, buku untuk mencatat, alat suntik, kamera dan jam untuk mencatat waktu timbulnya estrus.Rancangan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 kali ulangan. Perlakuan A penggunaan dosis prostaglandin 1,0 ml, perlakuan B penggunaan dosis prostaglandin 1,5 ml, Perlakuan C penggunaan dosis prostaglandin 2,0 ml. Data dianalisis menggunakan analisis variansi. HASIL DAN PEMBAHASAN Onset Estrus Onset estrus adalah waktu awal munculnya gejala estrus. Berdasarkan hasil pengamatan dan data yang diperoleh selama penelitian domba Garut yang diberi perlakuan preparat prostaglandin menunjukkan gejala estrus. Sesuai dengan pendapat Hunter (1985) yang menyatakan bahwa hewan yang kondisinya baik korpus luteumnya lebih peka terhadap pemberian prostaglandin yang ke dua yang dimanifestasikan dengan gejala estrus yang baik. Onset estrus pada domba Garut setelah penyuntikan Prostaglandin yang ke dua secara intramuskuler dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Data onset estrus(jam) Ulangan Perlakuan A (1ml) B (1.5ml) C (2 ml) 1 37.55 37.49 37.43 2 46.54 46.48 40.42 3 40.53 37.47 37.41 4 37.52 37.46 37.4 5 46.51 37.45 40.39 6 37.5 37.44 37.38 Rata-rata (jam) 41.025 38.798 38.396 190
Asep Nasirin dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 188-196, September 2014
Hasil penelitian menunjukkan waktu awal munculnya estrus yang berbeda tiap perlakuan dan individu ternak, perlakuan A (1 mL) rata-rata 41,025 jam (berkisar 37,50 sampai 46,54 jam), perlakuan B (1,5 ml) rata-rata 38,798 jam (berkisar 37,44 sampai 46,48 jam) dan perlakuan C (2 ml) rata-rata 38,396 jam (berkisar 37,38 sampai 40,42 jam). Dari data tersebut perlakuan C rata-rata menunjukkan gejala estrus lebih cepat dibandingkan perlakuan B dan A, mungkin disebabkan oleh dosis prostaglandin yang diberikan lebih banyak sehingga lebih cepat dalam melisiskan CL pada ovarium. Lisisnya CL akan diikuti dengan sekresi hormon gonadotropin yang menyebabkan estrus dan timbulnya proses ovulasi (Toelihere, 2003). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa respon domba Garut terhadap hormon prostaglandin dalam menimbulkan estrus hampir sama dengan hasil penelitian sebelumnya. Waktu awal munculnya estrus rata-rata 39,30 jam (Sutama, 1988) dan 36,33 jam pada domba lokal Bogor (Hastono et al., 1997), serta 42,31 jam. Penelitian pada domba oleh Yildiz et al., (2003) dengan dua kali penyuntikan prostaglandin secara intaramuskuler dengan dosis 8 mg/ekor dalam selang waktu 11 hari tanpa memperhatikan siklus estrusya, ternyata domba mengalami birahi dalam waktu 54 jam setelah penyuntikan. Perbedaan tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan potensi genetik ternak percobaan yang digunakan. Toelihere (2003) menambahkan, onset estrus dapat diakibatkan oleh dosis yang diberikan, pola faktor pengamatan, kondisi ternak dan pakan yang diberikan. Terdapat perbedaan antar individu dalam merespon perlakuan yang diberikan. Hal ini ditunjukkan dari onset estrus yang cukup beragam setelah penyuntikan prostaglandin. Perbedaan respon ini diduga karena setiap individu dan bangsa ternak memiliki kemampuan yang berbeda dalam memberikan respon terhadap perlakuan yang diberikan, sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Keragaman ini juga mungkin disebabkan oleh perbedaan umur dan bobot badan betina. Pada Tabel 2 di atas terlihat bahwa waktu awal munculnya gejala estrus setelah dilakukan analisis variansi menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Dosis prostaglandin 1 ml mampu memberikan respon onset estrus yang sama dengan dosis 1,5 ml dan 2 ml, maka pemberian dosis prostaglandin 1 ml cukup efisien dalam mempercepat gejala estrus. Fase estrus merupakan suatu periode yang ditandai oleh keinginan ternak betina menerima ternak pejantan untuk mengawininya. Estrus terjadi karena hormon estrogen, hormon ini berasal dari folikel de Graaf yang membesar menjadi maturasi, dan sel telur mengalami perubahan-perubahan ke arah maturasi. Folikel dapat terbentuk karena adanya FSH, sedangkan adanya FSH karena adanya GnRH dari hypothalamus. Hormon estradiol yang diproduksi oleh folikel de Graaf yang maturasi akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada saluran reproduksi. Tanda-tanda ternak estrus yaitu organ kelamin membesar dan kemerahan, keluar lendir bening dari vulva, ekornya bergoyang goyang, sering mengembik (bersuara), nafsu makan berkurang, menaiki temannya atau diam jika dinaiki dan berusaha mendekati pejantan. Standing Heat Standing heat adalah keadaan ternak diam ketika dinaiki pejantan, maka dalam kondisi ini dianggap ternak dalam keadaan puncak estrus yang baik untuk dikawinkan. Deteksi estrus dilakukan dengan cara mengamati domba betina yang diam pada saat dinaiki pejantan pengusik, yaitu betina yang sedang berada pada fase estrus (Toelihere, 2003). Estrus adalah saat hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopulasi (Toelihere, 2003). Estrus adalah waktu selama menerima pejantan, periode ini berjalan secara alami dan estrus disebabkan oleh rangsangan dari hormon estrogen. Menurut Sukra et al., (1982) bahwa estrus adalah suatu keadaan seekor betina memperlihatkan keinginan berhubungan dengan pejantan secara menonjol. Hasil Pengamatan standing heat dapat dilihat pada Tabel 3. 191
Asep Nasirin dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 188-196, September 2014
Tabel 3. Data standing heat (jam) Ulangan 1 2 3 4 5 6
A (1 ml) 6.10 5.30 6.35 6.45 5.40 6.16
Rata-rata (jam)
5.96
Perlakuan B (1.5 ml) 6.05 5.45 5.30 6.00 6.20 5.15 5.69
C (2 ml) 6.00 6.30 5.10 5.05 7.05 5.00 5.75
Dari Tabel di atas dapat dilihat perbedaan waktu standing heat dari awal muncul gejala estrus, perlakuan A (1 ml) rata-rata 5,96 jam, perlakuan B (1,5ml) rata-rata 5,69 jam dan perlakuan C (2 ml) rata-rata 5,75 jam. Perlakuan B menunjukkan waktu standing heat lebih cepat dibandingkan perlakuan A dan C, dapat disebabkan oleh perbedaan individu antar ternak dalam kemampuan merespon prostaglandin. Setelah dilakukan analisis variansi menunjukkan bahwa (P>0,05), maka dinyatakan tidak berbeda nyata. Pemberian dosis prostaglandin 1 ml cukup efektif dalam mempercepat waktu standing heat pada ternak domba Garut. Peranan PGF2 alfa adalah luteolisis atau meregresi CL pada ternak (Yildiz et al., 2003). Pada kambing telah dibuktikan bahwa pemberian PGF2 alfa menyebabkan regresi CL yang ditandai dengan menurunnya kadar hormon progesteron sampai 60% dalam waktu 8 jam setelah pemberian PGF2 alfa (Towle et al., 2002). Prostaglandin yang terdapat pada cairan vesikula seminalis ini akan bekerja untuk melisis korpus luteum pada ovarium dan akan diikuti dengan kejadian estrus (Jainudeen et al., 2000). Lama Estrus Lama estrus adalah rentang waktu dimulai dari munculnya gejala estrus sampai berakhirnya gejala estrus. Menurut Hafez dan Hafez (2000) lamanya estrus atau durasi estrus hanya terjadi beberapa saat, yaitu sewaktu hormon estrogen pada puncaknya (24 - 48 jam) dan lamanya estrus berbeda pada setiap spesies. Hasil pengamatan lama estrus domba Garut yang disinkronisasi dengan prostaglandin secara intra muskuler dapat dilihat pada Tebel 4. Tabel 4. Data lama estrus (jam) Ulangan
Perlakuan B (1.5 ml) 30 24 30 27 27 30 27.83
A (1 ml) 1 2 3 4 5 6 Rata-rata (jam)
30 24 30 27 26 30 27.83 192
C C (2 ml) 27 27 30 30 27 27 28
Asep Nasirin dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 188-196, September 2014
Dari Tabel di atas dapat dilihat perbedaan waktu lama estrusdari awal muncul gejala estrus, perlakuan A (1 ml) rata-rata 27,83 jam, perlakuan B (1,5ml) rata-rata 27,83 jam dan perlakuan C (2 ml) rata-rata 28 jam. Perlakuan C menunjukkan waktu lama estrus rata-rata lebih lama dibandingkan perlakuan A dan B, mungkin hal ini disebabkan oleh banyaknya dosis yang diberikan, sehingga mampu memengaruhi pertumbuhan folikel dan menghasilkan hormon estrogen yang lebih banyak selain itu dapat dipengaruhi oleh faktor individu antar domba dalam merespon stimulasi prostaglandin. Ternak dikawinkan pada waktu estrus, sebab apabila mengawinkan betina secara paksa untuk dinaiki pejantan tidak akan terjadi kebuntingan. Waktu yang tepat untuk mengawinkan domba adalah pada bagian kedua periode estrus, yaitu 12 - 18 jam setelah estrus, dan diulang keesokan harinya apabila masih menunjukan gejala estrus (Hunter, 1985). Lama estrus domba betina berlangsung 1 sampai 2 hari, dan lazimnya betina akan mengovulasikan sel telur pada akhir waktu estrus, dengan demikian perkawinan yang tepat harus dilakukan pada hari ke dua pada saat ternak domba sedang estrus. Agar perkawinan ini lebih dapat diyakini, hendaknya ditunggu sampai siklus estrus berikutnya, jika estrus tidak muncul berarti ternak tersebut telah bunting (Toelihere, 2003). Menurut Partodihardjo (1980), bila estrus pertama telah selesai, maka hewan betina pada umumnya melanjutkan hidupnya dengan tugas menghasilkan anak. Jika estrus pertama tidak menghasilkan kebuntingan maka estrus pertama akan disusul oleh estrus yang ke dua, ke tiga dan seterusnya samapai betina itu bersedia menerima pejantan untuk kopulasi dan kopulasi dapat menyebabkan terjadinya kebuntingan yang selanjutnya dapat menghasilkan anak. Setelah dilakukan analisis variansi menunjukkan bahwa (P>0,05), maka dinyatakan tidak berbeda nyata. Pemberian dosis 1 ml sudah efektif dalam memperpanjang lama estrus pada ternak domba Garut. Intensitas Estrus Intensitas estrus adalah kualitas suatu estrus dengan banyaknya gejala-gejala yang timbul, semakin banyak gejala estrus yang ditimbulkan maka semakin berkualitas estrus domba tersebut. Intensitas estrus dimaksudkan untuk menentukan taraf tingkah laku kawin yang diperlihatkan pada ternak-ternak penelitian. Penilaian intensitas estrus menggunakan satuan skor, apabila terdapat vulva bengkak, vagina memerah, temperatur meningkat dan terdapat lendir kental diberi skor ++++ (4) dengan kategori sangat baik, jika terdapat tiga gejala estrus yang termanifestasikan dari intensitas terbaik diberi skor +++ (3) dangan kategori baik, jika terdapat dua gejala estrus yang termanifestasikan dari intensitas terbaik maka diberi skor ++ (2) dengan kategori cukup baik, dan jika terdapat satu gejala estrus yang termanifestasikan dari gejala terbaik maka diberi skor + (1) dengan kategori kurang. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 5. Tebel 5. Data intensitas estrus (Skor) Ulangan 1 2 3 4 5 6 Rata-rata (skor)
Perlakuan B (1.5) 4 3 4 3 3 4 3.5
A (1 ml) 4 3 4 3 3 4 3.5 193
C (2ml) 3 3 4 4 3 3 3.33
Asep Nasirin dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 188-196, September 2014
Dari Tabel di atas menunjukkan apabila skor intensitasnya semakin besar rmaka semakin berkualitas estrus ternak tersebut, dari hasil pengamatan perlakuan A (1 ml) rata-rata 3,5 , perlakuan B (1,5 ml) 3,5 dan perlakuan C (2 ml) 3,33. Perlakuan A dan B lebih baik dibandingkan perlakuan C walaupun dosis prostaglandinnya lebih banyak, secara keseluruhan tidak satupun perlakuan yang dapat menginduksi estrus dengan intensitas sangat baik sebesar 100 persen, kondisi ini menunjukkan bahwa sebenarnya intensitas estrus ternak lebih berhubungan dengan faktor individu ternak dalam merespon prostaglandin, faktor umur, kesehatan dan faktor jumlah beranak. Setelah dilakukan analisis variansi maka hasilnya menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05), artinya semua perlakuaan dengan dosis yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas estrus domba. Pemberian dosis prostaglandin 1 ml sudah cukup efektif dalam sinkronisasi estrus untuk manghasilkan intensitas estrus yang berkualitas. Persentase Estrus Persentase estrus adalah jumlah ternak yang estrus dari tiap-tiap perlakuan dihutung dengan satuan persen dari jumlah ulangan. Dari hasil pengamatan setiap perlakuan semua ternak menunjukkan gejala estrus, data tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Data persentase estrus (%) Perlakuan A (1 ml) B (1.5 ml) C (2 ml)
Domba yang disutik 6 6 6
(ekor)
Domba yang estrus (ekor) 6 6 6
Persentase (%) 100 100 100
Semua perlakuan memberikan hasil yang cukup baik, setelah dilakukan penyuntikan Prostaglandin yang ke dua dengan jarak 11 hari setelah penyuntikan pertama membuat ternak estrus 100 persen, walaupun terdapat perbedaan waktu onset estrus, standing heat, lama estrus dan intensitas estrus. Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi fisiologik ternak yang digunakan sama dalam fase luteal. Hasil penelitian Partodihardjo (1980) melaporkan dengan penyuntikan PGF2 alfa dengan dosis 7,5 mg pada domba hanya mampu menghasilkan keserentakan estrus sebesar 60 persen dari 10 ekor domba yang disuntik dengan kecepatan muncul estrus 2,25 hari setelah penyuntikan PGF2 alfa yang ke dua. Timbulnya estrus merupakan akibat dari kerja dari prostaglandin setelah penyuntikan ke dua yang dilakukan 11 hari kemudian sehingga menghasilkan estrus 100 persen. Semua domba memperlihatkan gejala estrus setelah pemberian PGF2 alfa yang ke dua setelah estrus pemberian PGF2 alfa yang pertama. Timbulnya estrus akibat pemberian PGF2 alfa disebabkan lisisnya korpus luteum akibat vasokontriksi PGF2 alfa sehingga aliran darah menuju CL menurun secara drastis (Toelihere, 2003). Akibatnya, kadar progesteron yang dihasilkan CL dalam darah menurun. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Salazar et al., (1976) yang menyatakan bahwa penurunan konsentrasi progesteron akibat induksi dengan PGF2 alfa disebabkan perubahan morfologi jaringan luteal melalui perubahan asetat ke kolestrol. Penurunan progesteron ini akan merangsang hifofisis anterior melepaskan FSH dan LH. Kedua hormon ini bertanggungjawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan maturasi folikel, folikel-folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon estrogen yang mampu memanifestasikan gejala estrus (Hafez dan Hafez, 2000). Kerja hormon estrogen adalah untuk meningkatkan sensitivitas organ kelamin berina yang ditandai perubahan pada vulva dan keluarnya lendir transparan (Lammoglia et al., 1998). 194
Asep Nasirin dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 188-196, September 2014
Fenomena yang menimbulkan bervariasinya siklus estrus antar ternak telah dapat disamakan. Folikulogenesis yang selalu bervariasi baik antar ternak yang berbeda siklus estrus maupun antar ternak yang berbeda tahapan perkembangan folikelnya selalu menyebabkan manifestasi estrus yang bervariasi. Namun apabila sasaran sinkronisasi estrus adalah mendapatkan fertilitas (angka konsepsi) yang tinggi, maka perlu kajian yang lebih jauh. SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua dosis yang telah diberikan memberikan hasil yang baik terhadap onset estrus, standing heat, lama estrus, intensitas estrus dan setelah penyuntikan ke 2 dengan jarak 11 hari semua perlakuan memperlihatkan estrus 100 persen. Pemberian dosis prostaglandin 1 ml sudah efektif dan lebih ekonomis dalam sinkronisasi estrus untuk menghasilkan gejala-gejala estrus yang berkualitas. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih disampaikan kepada Fakultas Peternakan Unsoed, kedua orang tua dan rekanrekan satu tim penelitian. DAFTAR PUSTAKA Bearden, H.J and J.W. Fuquay. 1992. Applied Animal Production. 3 rd Ed. Missisipi University Prees. Direktorat Jendral Peternakan, 2010. Buku Statisti Peternakan 2010. Direktorat Jendral peternakan, Jakarta. Hafez, B and E.S.E. Hafez. 2000. Reproductive Cycles. Dalam Hafez, B and E.S.E Hafez.2000. Reproduction in Farm Animals. 7 Ed. Lea and Febiger Co., Philadelphia,USA. Hafez, B and E.S.E. Hafez. 2000. Folliculogenesis, Egg Maturation, and Ovulation. Dalam Hafez, B and E.S.E Hafez.2000. Reproduction in Farm Animals. 7 Ed. Lea and Febiger Co., Philadelphia,USA. Hastono, I. Inounu, and N. Hidayati 1997. Penyerentakan Birahi Pada Domba Betina St. Croix. Makalah Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Ciawi, Bogor,18-21 November 1997. Hunter, R.H.F. 1985. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Penerbit ITB. Bandung. Jainudeen, M.R, H. Wahid and E.S.E Hafez. 2000. Ovulation Induction, Embryo Production and Transfer. Dalam Hafez, B and E.S.E Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 Ed. Lea and Febiger Co., Philadelphia,USA. Lammoglia,M.A., R.E.Short, S.E. Bellows, M.D. Macneil, and H.D. Hafs. 1998. Induced and synchronized estrusand cattle. J. Anim. Sci. 76:1662-1670. Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Jakarta. Hal. 173 -181. Rizal, M. 2003. Kriopreservasi Semen Domba Garut Dalam Pengencer Tris dengan Konsentrasi Laktosa yang Berbeda. Media Kedokteran Hewan. 19: 79-83. 195
Asep Nasirin dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 188-196, September 2014
Salazar, H., B.J.A.Furr., G.k. Smith, M. Bentky, and A. Gonzales- Angulo. 1976. Luteolytic effects of a prostaglandin anolangue, cloprostenol (ICI.80,996) in rats :ultrastructular and biochemical observation. Biology of Reproduction. 14:458-472. Sukra, Y., M. R. Toelihere., M. B. Taurin., L., Rahardja. 1982. Studi Tentang Biologi reproduksi dan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kambing. Media Veteriner 4 (1):18-32. Sutama, I. K. 1988. Lama Birahi, Waktu Ovulasi dan Kadar LH Pada Ekor Pipih Setelah Perlakuan “Progesteron-PMSG”. Ilmu Peternakan 3:93-95. Toelihere, M.R. 2003. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung. Towle, T.A., P.C. Tsang., R.A. Milavae., M.K. Newburi., J.A. McCracken. 2002. Dynamic in vivo changes in tissue inhibitiors of metalloproteinases 1 and 2, and matriksmetalloproteinase 2 and 9, During Prostaglandin F (2alpha)-induced lutolysis in sheep. Biol. Reprod. 66(5):1515-1521. Yildiz, S., M. Saatci, M. Uzunn, and B. Guven. 2003. Effect of Ram Introduction After the Second Prostaglandin F2 alpha Injection on day 11 on the LH Surge Characteristics in fat tailed-Ewes. Reprod Domest Anim. Vol. 38(1): 54-57.
196