i
PENGARUH PEMBERIAN PROSTAGLANDIN (PGF2α) DENGAN RUTE YANG BERBEDA TERHADAP TAMPILAN ESTRUS PADA AKSEPTOR SAPI BALI
SKRIPSI
Oleh : NI MADE NOVITA SARI NIM. D1B4 11 018
JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016
i
ii
PENGARUH PEMBERIAN PROSTAGLANDIN (PGF2α) DENGAN RUTE YANG BERBEDA TERHADAP TAMPILAN ESTRUS PADA AKSEPTOR SAPI BALI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo sebagai Salah Satu untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Jurusan Peternakan
OLEH: NI MADE NOVITA SARI D1 B4 11018
JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PETRNAKAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016
ii
iii
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. APABILA DIKEMUDIAN HARI TERBUKTI ATAU DAPAT DIBUKTIKAN BAHWA SKRIPSI INI HASIL JIPLAKAN, MAKA SAYA BERSEDIA MENERIMA SANKSI SESUAI PERATURAN YANG BERLAKU.
iii
iv
HALAMAN PENGESAHAN Judul Nama Nim Jurusan/Fakultas
: Pengaruh Pemberian Prostaglandin (PGF2α) dengan Rute yang Berbeda terhadap Tampilan Estrus Akseptor Sapi Bali : Ni Made Novita sari : D1 B4 11 018 : Peternakan
Tanggal lulus : Januari 2016
iv
v
HALAMAN PERSETUJUAN PANITIA UJIAN Judul Nama Nim Jurusan/Fakultas
: Pengaruh Pemberian Prostaglandin (PGF2α) dengan Rute yang Berbeda terhadap Tampilan Estrus Akseptor Sapi Bali : Ni Made Novita Sari : D1 B4 11 018 : Peternakan
Telah diujikan di depan Tim Penguji Skripsi dan telah diperbaiki sesuai saran-saran ujian
Kendari, Januari 2016
v
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 22 November 1993 di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Penulis adalah anak dari pasangan Bapak I Wayan sura dan Ibu Ni Ketut Suci. Pendidikan penulis diawali dengan pendidikan dasar yang diselesaikan pada tahun 2005 di SD Negeri 18 Baruga. Pendidikan lanjut menengah pertama diselesaikan 2008 di SMP 4 Kendari dengan pendidikan dilanjutan tingkat atas diselesaikan pada tahun 2011 di SMK PGRI 2 Negara. Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan, Jurusan Peternakan Universitas Halu oleo pada tahun 2011 melalui jalur SNPTN
vi
vii
ABSTRAK Ni Made Novita Sari(D1B411018). Pengaruh Pemberian Prostaglandin (PGF2α) Dengan Rute Yang Berbeda Terhadap Tampilan Estrus pada Akseptor Sapi Bali. Dibimbing oleh Takdir Saili Sebagai Pembimbing I dan Achmad Selamet Aku Sebagai Pembimbing II Rute dan kecepatan suatu obat yang diinjeksi ke dalam tubuh untuk mencapai organ targetnya tergatung dari tempat dan cara memasukan obat tersebut. Pada penelitian ini, penyuntikan hormon prostaglandin dengan rute yang berbeda dicobakan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap tampilan estrus pada sap bali. Sebanyak 18 ekor sapi bali induk dengan kisaran umur 3-5 tahun digunakan pada penelitian ini. Selain itu, hormon capriglandin® (hormon yang mengandug PGF2α) juga digunakan untuk sinkronisasi estrus. Penelitian dirancang menggunakan racangan acak lengkap dengan tiga perlakuan cara/rute penyuntikan yaitu penyuntikan secara intramuskuler (IM), intravulva (IVV) dan penyuntikan secara subkutan (SC) dan setiap perlakuan diulang sebanyak enam kali. Variabel yang dievaluasi adalah kecepatan estrus, lama estrus dan kualitas estrus. Data dikumpulkan dan dianalisis menggunakan sidik ragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan kecepatan munculnya estrus pada perlakuan IM adalah 69,98 jam, IVV 68,46 dan SC adalah 68,01 jam setelah penyuntikan hormon. Sedangkan lama estrus untuk perakuan IM dan IVV sama yaitu 18,20 jam dan perlakuan SC adalah 13,74 jam. Sapi yang disuntik secara IM dan IVV menunjukkan rataan kualitas estrus yang lebih baik bila dibandingkan penyuntikan secara SC. Kisaran kualitas estrus yang diperoleh pada ketiga perlakuan tersebut adalah antara ++ sampai +++. Hasil analisis ragam menjukkan bahwa tidak ada pengaruh perlakuan terhadap semua variabel yang dievaluasi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan cara/rute penyuntikan hormon PGF2α tidak berpengaruh nyata terhadap kecepatan munculnya estrus dan lama estrus pada sapi bali Kata kunci: sapi bali, caprigandin®, sinkronisasi, rute, estrus
vii
viii
ABSTRACT Ni Made Novita Sari(D1B411018) Effect of Injection Methods of Prostaglandin (PGF2α) on Estrus Performances of Bali Cattle. Under Supervision of Takdir Saili dan Achmad Selamet Aku. Route and time to reach target organ of such medicine injected in cattle depended on site and method to administrate the medicine. In this experiment, prostaglandin hormone was injected with different methods to evaluate its effect on estrus performance. Eighteen bali cattle (cow) aged between 3-5 years old was used in this experiment. Moreover, capriglandin® (hormone contained PGF2α) was used for synchronization. Completely randomized design was applied with three treatments (methods of injection) and six replications: intra muscular (IM), intra vulva (IVV), and sub cutan (SC). Variables measured were duration time from hormone injection to occurring of estrus, length of estrus and quality of estrus. Data were collected and analyzed using variance analysis. The results showed that cattle performed IM injection method showed sign of estrus on 69.98 hours after treatment, while in IVV and SC injection methods, the sign of estrus occurred on 68.46 hours and 68.01 hours following hormone injection, respectively. Length of estrus in IM and IVV was same (28.20 hours), whereas in SC, the length of estrus was only 13.74 hours. Bali cattle injected by IM and IVV methods showed good quality of estrus compared to SC method. The quality of estrus showed by all cattle in this experiment ranged between ++ to +++. Variance analysis showed that there was no significant effect of treatment on all variables measured. It means that the hormone injection methods had no effect on duration of estrus occurring after injection, length of estrus and quality of estrus in bali cattle Keyword: bali cattle, capriglandin®, synchronization, route, estrus
viii
ix
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, dan hidayah Nya, sehingga penulis memperoleh kemudahan dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Pemberian Prostaglandin (PGF2α) Dengan Rute Yang Berbeda Terhadap Tampilan Estrus Akseptor Sapi Bali” Ucapan terima kasih dan rasa penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Takdir Saili M.Si, selaku pemimbing I dan Achmad Selamet Aku, S.Pt, M.Si. selaku pembimbing II, yang senantiasa memberi bimbingan dan arahan kepada penulis sejak dari tahap persiapan proposal, pelaksanaan penelitian hingga skripsi ini selesai disusun. Ucapan terimakasih dengan penuh rasa hormat, cinta dan kasih penulis persembahkan kepada Ayahanda tercinta drh. I Wayan Sura, M.Fil.H. dan Ibunda Ni Ketut Suci tercinta atas segala cinta, kasih sayang, perhatian, doa dan pengorbanan yang tiada terukur. Saudaraku tersayang drh. Putu Nara Kusuma Perasan Jaya S.KH, Ni Nyoman Juliana, dan Ni Ketut Sri Damayanti trimakasih atas doa dan kasih sayangnya. Melalui Kesempatan ini pula tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. Ir. Usman Rianse, M.Si selaku Rektor Universitas Halu Oleo, Bapak Prof. Dr. Ir. Takdir Saili, M.Siselaku Dekan Fakultas Peternakan dan Bapak La Ode Arsad Sani, S.Pt., M.Scselaku Ketua Jurusan Peternakan yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan di Universitas Halu Oleo.
2.
Bapak Dr. Ir La Ode Ba’a, M.P, BapakSyam Rahadi, S.Pt., M.P dan Bapak La MalesiS.Pt., M.Siselaku dosen penguji atas kesediaannya menguji, memberikan saran dan koreksinya kepada penulis demi kesempurnaan skripsi ini.
3.
Bapak dan Ibu dosen Fakultas Peternakan yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang sangat bermanfaat bagi penulis serta seluruh staf yang telah memberi fasilitas dan memudahkan dalam pengurusan administrasi selama masa kuliah penulis. ix
x
4.
Teman-teman Angkatan 2011 Sumarni S.Pt, Widiastuti S.Pt, Lijja Numria Nullah S.Pt Nu Kresno Dwi ATM S.Pt, Albar S.Pt, Iva Armilla S.Pt, Ridwan S.Pt, Wa Icha Muh Dzikrullah S.Pt, Ansarulla dan Askar
5.
Teman-teman D’Priuk 2011 Ashar S.Pt, Agis Cahyono Widodo S.Pt, Edris S,Pt, Sarpen S.Pt, Hajar S.Pt, Murni S.Pt, Ervin S.Pt, Muh. Edi Suriono S.Pt, Jumardin S.Pt, Saputro Sastro Raharjo, Aripin, Herwanto, Tomas Ali, Jandi Muh. Lapedu, Gerson Tiakara, Saiddin, Mansur Andi Jumadil, LD. Abdul A. Ld. Agussalim, Handi Johandika dan Ranti Atmina Sari
6.
Sahabat-sahabat terbaikku Sulfitrianingsih S.Pt, Suci Wahyu Lestari S.Pd, Hariana SP, Selly, Herisyahrizal Syafrie dan Roy Oktavianus Kaperek.
7.
Rekan-rekan seperjuangan di lokasi KKN NUSANTARA II tahun 2015 di desa Wamboule Kecamatan Kulisusu Utarayaitu: Zainudin, Dedi Sofian Karim SH, Lismawati S.Pd, Febrilius Lotte SM, Suci Wahyu lestari S.Pd, Kadek Lina SP, Muh Fandi SH, Indri, Indra, Salsi dan Irma, terima kasih atas kerjasama dan bantuannya selama pelaksanaan kegiatan KKN Nusantara tahun 2015.
8.
Semua pihak yang telah terlibat dalam bentuk apapun itu selama menempuh kuliah yang tidak sempat tertulis, dengan tulus penulis haturkan terima kasih dan semoga Tuhan memberi balasan yang sesuai. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat kepada semua pihak yang
terkait dan semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa
Kendari,
Januari 2016
Ni Made Novita Sari
x
xi
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN SAMPUL............................................................................ .............i PERNYATAAN ...................................................................................... ............ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... ...........iii HALAMAN PERSETUJUAN PANITIA UJIAN ............................... ...........iv RIWAYAT HIDUP ................................................................................. ...........v ABSTRAK................................................................................................ ...........vi ABSTRACT ............................................................................................ ..........vii KATA PENGANTAR ............................................................................ ...........xi DAFTAR ISI .....................................................................................................xii DAFTAR TABEL ................................................................ ............................. xiii DAFTAR GAMBAR..........................................................................................xiv DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................xv I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................... ............1 B. Rumusan Masalah.......................................................................................4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori................................................................................ ...........5 1. Sapi Bali................................................................................................5 2. Bobot Sapi Bali.....................................................................................7 3. Prostaglandin .......................................................................................8 4. Progesteron..........................................................................................11 5. Estrogen..................................................................................... ..........12 6. Anatomi Alat Betina............................................................................12 7. Sinkronisasi Estrus..................................................................... .........12 8. Siklus Estrus dan Tanda-Tanda Estrus................................................13 9. Deteksi Estrus......................................................................................14 10. Anestrus.............................................................................................15 B. Kerangka Pikir ............................................................................... ........16 C. Hipotesis ......................................................................................... .......18 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ .........19 B. Materi Penelitian ......................................................................................19 1. Peralatan Penelitian.................................................................... .........19 2. Bahan Penelitian..................................................................................18 C. Prosedur Penelitian.......................................................................... ........18 D. Rancangan Penelitian ..................................................................... .........20 xi
xii
E. Parameter Yang Dievaluasi............................................................. .........21 F. Analisis Data ................................................................................... .........22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Peternakan di Lokasi Penelitian...................................................23 B. Pengaruh Perlakuan Pemberian PGF2α Terhadap Kecepatan Estrus........23 C. Pengaruh Perlakuan Pemberian PGF2α Terhadap Lama Estrus ...............25 D. Kualitas Estrus...........................................................................................26 V. PENUTUP A. Kesimpulan...............................................................................................28 B. Saran ........................................................................................................28 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xii
xiii
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
Halaman
1. Tabel Kecepatan timbulnya estrus dengan rute yang berbeda......................24 2. Tabel Lama estrus dengan rute yang berbeda...............................................25 3. Tabel Kualitas estrus dengan rute yang berbeda .............................. ..........27
xiii
xiv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
Halaman
1. Skema kerangka pikir penelitian ......................................................... ......16
xiv
xv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Teks
Halaman
1. Analisis Data Kecepatan Estrus ................................................................. 2. Analisis Data Lama Estrus ..........................................................................
xv
1
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang cukup penting karena terdapat dalam jumlah cukup besar dengan wilayah penyebarannya yang luas di Indonesia. Semakin tingginya impor daging dan ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mestinya dapat menjadi pendorong bagi pihak terkait untuk memperbaiki produktivitas sapi dalam negeri dengan mengelola sapi asli Indonesia, termasuk sapi bali. Sapi bali memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi pada lingkungan dengan ketersediaan pakan berkualitas rendah dan fertilitasnya yang sangat baik. Namun demikian, produktivitas sapi bali secara umum di Indonesia cenderung menurun akibat penurunan mutu genetik ternak. Keadaan ini terjadi karena sebagian besar pemeliharaan sapi bali di Indonesia masih merupakan usaha sambilan, dimana mutu bibit, penggunaan teknologi dan keterampilan peternak relatif masih rendah, dan pemeliharaan ternak dilakukan secara ekstensif, dengan tingkat inbreeding pada peternakan sapi bali ditingkat masyarakat masih tinggi. Dalam usaha peningkatan konsumsi protein hewani asal ternak, sapi dapat memasok kebutuhan daging nasional terbesar terutama yang berasal dari perternak rakyat. Salah satu cara untuk meningkatkan populasi sapi bali adalah melalui manajemen perkawinan yang baik. Perkawinan ternak dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu metode perkawinan alami dan inseminasi buatan. Inseminasi buatan (IB) merupakan metode perkawinan yang paling ideal untuk meningkatkan populasi ternak, 1
2
meningkatkan mutu genetik dari ternak tersebut, dan mempertahankan kemurnian genetik ternak. Sehubungan dengan pelaksanaan IB, hal-hal yang perlu diketahui sebelum melaksanakan IB di antaranya adalah mengetahui waktu estrus sapi betina dengan tepat. Waktu estrus ditunjukkan oleh perubahan vulva menjadi kemerahan, bengkak, dan suhu meningkat, adanya lender dari serviks, dan perubahan tingkah laku ternak. Pelaksanaan IB dilapangan membutuhkan ketersediaan betina akseptor dalam jumlah yang banyak dengan siklus estrus yang sama. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan IB lebih efisien tanpa harus berkali-kali kelapangan untuk melakukan IB karena siklus estrus sapi akseptor yang berbeda. Oleh karena itu dibutuhkan teknik tertentu agar sapi akseptor mempunyai siklus estrus yang sama. Salah satu teknik reproduksi yang dapat ditempuh untuk mendapatkan sapi akseptor dengan siklus estrus yang sama adalah sinkronisasi estrus. Sinkronisasi estrus adalah suatu teknik gertak estrus pada ternak betina atau sekelompok ternak betina (biasanya menggunakan preparat hormon) dimana sekelompok ternak mengalami estrus secara serentak atau dalam waktu yang hampir bersamaan, dengan harapan dapat dikawinkan atau diinseminasi secara bersama-sama serta dapat ditentukan kelahirannya. Keuntungan dari teknik ini adalah dapat diperkirakannya waktu estrus dan ketepatan pelaksanaan
IB sehingga dapat
meningkatkan efisiensi reproduksi. Penampilan estrus dipengaruhi oleh hormon reproduksi, maka secara tidak langsung penampilan estrus juga sangat dipengaruhi oleh status nutrisi ternak itu sendiri. Pemberian ransum dengan kualitas yang baik dapat meningkatkan 2
3
kejelasan penampilan estrus kebengkakan labia vulva, suhu vagina, pH lendir serviks, warna mucosa vagina dan kelimpahan lendir. Salah satu jenis hormon yang banyak digunakan untuk menyerentakan estrus adalah PGF2α. Keberhasilan sinkronisasi estrus menggunakan PGF2α tidak hanya dipengaruhi oleh ketepatan jumlah dosis hormon yang digunakan saja tetapi sangat ditentukan oleh ada tidaknya korpus luteum fungsional yang terbentuk dalam ovarium sapi akseptor. Fungsi PGF2α adalah meregresi dan melisis korpus luteum, dengan lisisnya korpus luteum maka siklus estrus baru akan dimulai lagi. Fungsi hormon bekerja dengan sempurna pada target organ, apabila hormon tersebut mencapai target organ dalam waktu dan jumlah dosis yang tepat. Caprigandin® merupakan sediaan hormon dalam bentuk injeksi dimana dalam leaflet obat telah disebutkan cara pemakaianya ada beberapa rute antar lain dengan rute intra muskuler, intra uteri, dan submukosa vulva. Setiap cara pemberian atau rute injeksi hormon didalam tubuh individu akan selalu mengalami lama waktu perjalanan hormon yang berbeda-beda lamanya sampai obat atau hormon tersebut mencapai target organ tujuannya Rute pemberian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya obat atau hormon mencapai target sasaranya, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda-beda karena jumlah suplai darah yang berbeda-beda, enzim-enzim dan getah fisiologis yang terdapat dalam lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat atau hormon yang dapat mencapai lokasi target organnya dalam waktu tertentu akan berbeda pula, tergantung dari rute pemberian obat atau hormon tersebut. 3
4
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mengkaji efek pemberian hormon tersebut terhadap tampilan kualitas estrus dengan rute yang berbeda. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan permasalahan penelitian adalah apakah pada pemberian PGF2αdengan rute pemberian yang berbeda berpengaruh terhadap tingkat tampilan estrus akseptor sapi bali. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberiaan PGF2α pada rute yang berbeda terhadap tampilan estrus pada sapi bali. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai rute atau cara pemberian PGF2α yang efektif terhadap tampilan estrus sapi bali.
4
5
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Sapi Bali Sapi bali (Bos sundaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) adalah plasma nutfah asli Indonesia, yang hidup dalam keadaan liar terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon dan Baluran, sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang cukup penting karena terdapat dalam jumlah cukup besar dengan wilayah penyebarannya yang luas di Indonesia. Semakin tingginya impor daging dan ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, mestinya dapat menjadi pendorong bagi pihak terkait untuk memperbaiki produktivitas sapi dalam negeri dengan mengelola sapi asli Indonesia sebaik-baiknya. Beberapa kelebihan yang dimiliki sapi bali terutama kemampuan adaptasinya dalam lingkungan dengan ketersediaan pakan berkualitas rendah,namun masih mampu menampilkan fertilitas yang sangat baik (Sariubang dan Tambing, 2006). Pada peternakan sapi, efisiensi reproduksi sangat penting artinya karena berhubungan dengan keuntungan. Data mengenai penampilan reproduksi pada sapi telah banyak dilaporkan namun, belum banyak laporan mengenai penampilan reproduksi sapi pada kondisi manajemen intensif. Studi yang menyeluruh pada penampilan reproduksi penting artinya dalam usaha meningkatkan efisiensi dan strategi pemeliharaan. Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi lokal Indonesia yang berasal dari Bali yang sekarang telah menyebar hampir ke seluruh penjuru Indonesia bahkan sampai luar negeri seperti Malaysia, Filipina dan Australia (Oka, 2010). 5
6
Sapi bali merupakan sapi yang paling banyak dipelihara pada peternakan kecil karena fertilitasnya baik dan angka kematian yang rendah. Sapi bali memiliki keunggulan dibandingkan dengan sapi lainnya antara lain mempunyai angka pertumbuhan yang cepat, adaptasi dengan lingkungan yang baik, dan penampilan reproduksi yang baik. (Purwantara dkk., 2012)
.
Kecenderungan penurunan kualitas bibit sapi bali telah banyak diteliti dan memperlihatkan hasil yang mencengangkan. Jika pada tahun 1970-an dengan mudah diperoleh sapi bali jantan di Sulawesi dengan berat 400 sampai 500 kg pada kondisi lapangan (pada waktu itu belum ada penggemukan), maka untuk kondisi sekarang ini untuk memperoleh sapi jantan dengan berat 275 sampai 300 kg sudah sangat susah. Penurunan kualitas ini bukan hanya terlihat pada berat dewasa tercermin dari penurunan dimensi-dimensi tubuh, tetapi juga terlihat pada aspek reproduksi. Salah satu alternatif untuk memperbaiki produktivitas sapi bali di daerah ini adalah memperbaiki mutu genetik melalui pemanfaatan pejantan unggul secara optimal dengan penerapan teknologi inseminasi buatan (IB). Namun demikian, keberhasilan penerapan teknologi ini pada sapi potong masih bervariasi dan kecenderungan terjadi penurunan hasil. Kesulitan menginseminasi ternak tepat pada waktunya terutama berkaitan dengan keterampilan mendeteksi estrus di lapangan adalah merupakan satu kendala utama penyebab rendahnya hasil IB, disamping faktor kualitas semen beku rendah. Ketidak serentakannya estrus pada ternak sapi di lapangan merupakan penyebab utama rendahnya efisiensi reproduksi hasil IB (Sariubang dan Tambing, 2006).
6
7
2. Bobot Sapi Bali Sapi Bali dewasa, tinggi badannya mencapai 120 sampai 130 cmdengan berat antara 300 sampai 400 kg. Sapi bali kaki pendek tetapi badannya panjang dan lingkar dada cukup besar. Berat sapi bali jantan dewasa, sekitar 400 kg, lingkar dada 192 cm, tinggi gumba, 127 cm, dan panjang badan 140 cm. Berat sapi bali betina, dewasa, sekitar 260 kg, lingkar dada 165 cm, tinggi gumba 114 cm, dan panjang badan 120 cm (Abidin, 2006). Penafsiran berat badan dengan menggunakan rumus-rumus berdasarkan ukuran tubuh memiliki bias antara 5 sampai 10% ditambah pula terdapat rumus modifikasi dalam penentuan bobot badan. Adapun bobot badan dapat dilihat dengan rumus yang menggunakan variabel lingkar dada (Abidin, 2006) sebagai berikut:
Bobot Badan (kg) = Berat rata-rata sapi bali jantan umur 2 tahun adalah 210 kg dan sapi bali betina memiliki berat rata-rata 170 kg pada umur 2 tahun. Lingkar dada sapi bali jantan 181,4 cm sedangkan sapi bali betina 160 cm. Bobot lahir anak sapi bali, yaitu antara 10,5 kg sampai dengan 22 kg dengan rata-rata 18,9±1,4 kg untuk anak sapi jantan. Sementara anak sapi betina memiliki kisaran bobot lahir antara 13 kg sampai dengan 26 kg dengan rataan 17,9±1,6 kg (Prasojo dkk.,2010).
7
8
3. Prostaglandin Prostaglandin (PGF2α) adalah senyawa hormonal yang telah banyak diisolasi dari banyak tubuh hewan termasuk prostat, kulit usus, ginjal, otak, paruparu, organ reproduksi, cairan menstruasi dan cairan amnion. PGF2α dapat berpengaruh dalam organ tempat
disintesisnya atau pada organ yang dapat
dicapai oleh darah vena.PGF2α merupakan subtitusi farmakologis aktif, yang ikut berperan penting dalam proses reproduksi, terutama dalam proses partus. Fungsi PGF2α merupakan hormon yang banyak berperan dalam fenomena pengaturan proses fisiologi dan farmakologis, seperti kontraksi otot polos dari saluran reproduksi dan saluran gastrointestinal, ereksi ejakulasi, transport semen, ovulasi, pembentukan korpus luteum danpartus. PGF2α juga berperan dalam proses kelahiran kontraksi uterus diawali dengan kenaikan jumlah Adreno Corticotropic Hormon
(ACTH)
yang
dilepaskan
oleh
adenohipofise
fetus,
sehingga
mengakibatkan naiknya sekresi steroid kelenjar adrenal. Tingginya kadar cortikosteroid pada fetus menyebabkan tingginya sekresi PGF2α didinding uterusmaternal.
PGF2α
memulai
konstraksi
miomaternal
setelah
kadar
progesterone menurun dan kadar estrogen naik. PGF2αjuga merangsang pelepasan oksitosin, yang dihasilkan kelenjar neurohipofise yang berfungsi untuk kontraksi uterus (Ihsan,2010). Prostaglandin mempunyai implikasi pada pelepasan gonadotropin, ovulasi, regresi korpus luteum, gerak uterus dan membantu spermatozoa menembus tuba fallopi. Pengaruhnya yang lain adalah terhadap tekanan darah, lipolisis, sekresi lambung, pembekuan darah, fungsi fisiologi ginjal dan paru-paru. Organ sasaran 8
9
PGF2α adalah korpus luteum yang berkembang dan tumbuh secara periodik pada hewan betina sehat dan tidak bunting (korpus luteum periodicum). Korpus luteum pada masa kebuntingan (korpus luteum grafiditatum), maupun korpus luteum yang menetap pada ovarium hewan yang tidak bunting tetapi mengalami gangguan pada uterus (korpus luteum persisten). Hal ini berarti bahwa PGF2α yang diberikan kepada hewan bunting muda akan menyebabkan keguguran karena tidak cukup progesteron yang diproduksi oleh (korpus luteum grafidutatum) untuk mempertahankan kebuntingan (Solihati, 2005). Bekas pecahan folikel akan tumbuh membentuk seperti suatu tenunan atau jaringan yang di sebut korpus luteum atau badan kuning. Korpus luteum menghasilkan hormon kelamin betina yang disebut progesterone. Hormon ini bertugas
menciptakan lingkungan yang memadai dalam uterus, selama ada
hormon progesteron dalam sirkulasi darah, maka akan terjadi proses yang disebut umpan balik negative, dimana progesterone akan menghambat produksi FSH dan LH. Dengan demikian selama ada korpus luteum dengan progesteronnya selama itu pula tidak terjadi pertumbuhan folikel baru, tidak muncul lagi tanda-tanda estrus dan tidak terjadi ovulasi. Bila tidak terjadi perubahan endometrium (lapisan dalam uterus) bersama jaringan tubuh lainnya selanjutnya dengan pemberian prostaglandin akan meruntuhkan korpus luteum, dengan runtuhnya korpus luteum dan menurunnya produksi progesterone sampai tingkat basal atau minimal maka tidak ada lagi hambatan terhadap FSH dan LH di adhenohipofisis (Irmaylin dkk., 2012).
9
10
Capriglandin® berbentuk larutan sintetik mengandung PGF2α dalam bentuk larutan injeksi. PGF2α mengandung 5,5 mg dinoprost tromethamine dan 12,0 mg benzil alkohol merupakan senyawa organik yang berwujud cair, tak berwarna, dan bertitik didih 205,3oC, dengan indeks bias 1,5396. Asam benzoat dan benzyl alkohol dapat dibuat sekaligus dari benzaldehida yang direaksikan dengan basa kuat yang akan mengakhiri siklus estrus hewan betina yang tidak bunting dengan cara menghancurkan korpus luteum dan memulai siklus estrus yang baru. Capriglandin® sangat efektif untuk penyerentakan estrus, pengobatan estrus tenang (silent anestrus), korpus luteum persisten, endometris kronis, pyometra, agen penggugur kandungan serta mengatur kelahiran pada sapi (Sariubang dan Nurhayu, 2011). Prostaglandin yang diberikan akan segera melisiskankorpus luteum dan diharapkan dalam waktu 2 sampai 3 hari korpus luteum akan lisis dengan sempurna dan estrus akan terjadi secara serentak dalam waktu 2 sampai 4 hari setelah pemberian PGF2α. Pada metode penyuntikan dapat dilakukan dengan sekali suntik maupun dua kali suntik (double injection) dengan interval waktu 11 sampai 12 hari (Yudi dkk., 2010). PGF2α bersifat luteolitik sehingga mampu menginduksi terjadinya regresi korpus luteum yang mengakibatkan estrus, akan tetapi mekanisme yang sebenarnya belum diketahui dengan pasti walaupun salah satu dari postulatpostulat yang ada menyatakan bahwa efek vasokonstriksi dari PGF2α dapat menyebabkan luteolisis. Beberapa hipotesis tentang bagaimana kerja PGF2α dalam melisiskan korpus luteum yaitu (1) PGF2α langsung berpengaruh kepada 10
11
hipofisis, (2) PGF2α menginduksi luteolisis melalui uterus dengan jalan menstimulir kontraksi uterus sehingga dilepaskan luteolisis uterin endogen, (3) PGF2α langsung bekerja sebagai racun terhadap sel-sel korpus luteum, (4) PGF2α bersifat sebagai antigonadotropin, baik dalam aliran darah maupun reseptor pada korpus luteum, dan (5) PGF2α mempengaruhi aliran darah ke ovarium PGF2α hanya efektif bila ada corpus luteum yang berkembang, antara 7 sampai 18 hari dari siklus estrus (Pumo, 2008) 4. Progesteron Pemberian progesteron sering menyebabkan terbentuknya folikel sistik, keadaan ini tidak disukai sehingga jarang digunakan. Prinsip pemberian PGF2α adalah melisis atau meregresi korpus luteum diikuti penurunan sekresi progesteron dan akan menyebabkan perubahan pada siklus reproduksi, yaitu terjadinya siklus estrus yang baru dengan dimulainya pertumbuhan folikel dalam ovarium, selanjutnya setelah folikel tersebut menjadi masak akan mengalami ovulasi yang didahului dengan timbulnya gejala estrus(Putro, 2013) Progesteron merupakan salah satu jenis hormon reproduksi yang dihasilkan oleh korpus luteum yang berfungsi untuk memelihara kebuntingan pada hewan normal. Pada sapi perah normal, lama siklus estrus adalah 21 hari. Dari beberapa kasus diketahui pada gangguan reproduksi pada ternak, sering menyebabkan korpus luteum persisten (CLP) yaitu progesteron tetap diproduksi sehingga siklus estrus akan diperpanjang, oleh karena itu dalam kasus CLP siklus estrus dapat menjadi lebih lama(Tuasikal, dkk., 2004).
11
12
5. Estrogen Fungsi utama hormon estrogen adalah untuk merangsang estrus, merangsang timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem saluran ambing betina dan pertumbuhan ambing, kenaikan konsentrasi estrogen menyebabkan hewan menunjukkan tingkah laku estrus yang disertai ovulasi 48 sampai 72 jam (Zanetti dkk.,2010). 6. Anatomi Alat Betina Alat reproduksi betina terletak pada cavum pelvis (rongga pinggul). Cavum pelvis dibentuk oleh tulang-tulang sacrum, vertebra coccygea ke satu sampai ke tiga dan oleh os coxae. Os coxae dibentuk oleh ilium, sichium, dan pubis. Secara anatomi, alat reproduksi betina terdiri dari gonad (ovarium), saluran reproduksi (oviduct atau tuba fallopi, uterus, cervix dan vagina), alat reproduksi luar (vulva dan korpus kitoris) (Widayati dkk.,2008). 7. Sinkronisasi Estrus Estrus atau birahi adalah fase reproduksi yakni suatu hasrat dari mahluk hidup untuk kawin, baik pada jantan maupun betina.Pada ternak betina tandatanda estrus merupakan indikasi bahwa ternak tersebut minta kawin.Sinkronisasi estrus merupakan upaya untuk menyerentakkan estrus pada hewan betina dengan memanipulasi hormon reproduksinya agar hewan mengalami estrus secara bersamaan pada hari yang relatif sama sekitar 2 sampai 3 hari. Manfaat lain dari sinkronisasi estrus, peternak dapat mengatur pola produksi hewan dengan mengatur perkawinan, penyapihan, serta penjualan ternak sesuaidengan berat dan umur yang dikehendaki. Selain itu sinkronisasi estrus digunakan untuk mengatasi 12
13
permasalahan
aplikasi
inseminasi buatan menuju
ke optimalisasi hasil
konsepsinya (Yudi dkk., 2010). 8. Siklus Estrus Dan Tanda-Tanda Estrus Siklus estrus pada setiap hewan berbeda antara satu sama lain tergantung dari bangsa, umur, dan spesies Interval antara timbulnya satu periode estrus ke permulaan periode berikutnya disebut sebagai suatu siklus estrus. Siklus estrus pada dasarnya dibagi menjadi 4 fase atau periode yaitu ; proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Periodesiklus estrus pada sapi menurut Sonjaya (2005) Siklus Estrus ( Hari)
21
Metestrus (hari)
3-4
Diestrus (hari)
10-14
Proestrus (hari)
3-4
Estrus (jam)
Ovulasi
12-18
10-12 jam post estrus
Pada hewan yang mengalami siklus estrus, setiap saat di sepanjang siklus hewan betina siap menerima sapi jantan untuk kawin, sekalipun ovum baru dilepas kira-kira pada pertengahan siklus. Selama siklus menstrual dapat ditemukan berbagai perubahan di dalam tubuh dan organ reproduksinya. Perubahan yang dimaksud meliputi perubahan keadaan ovarium, rahim ketebalan endometrium dan tingkat hormon reproduksi di dalam darah. (Isnaeni, 2006). Semakin tua umur ternak tersebut, semakin jelas tanda-tanda estrus yang ditunjukkan. Hal ini disebabkan oleh karena semakin tua umur ternak tersebut, ukuran ovariumnya juga akan semakin besar. Ovarium menghasilkan hormon estrogen yang mempunyai peran penting dalam intensitas estrus (Ismail, 2009).
13
14
9. Deteksi Estrus Deteksi estrus adalah pengamatan terhadap tanda-tanda estrus pada sapi yang akan diinseminasi. Indikasi estrus di tandai dengan gejala gelisah, nafsu makan kurang, sering melenguh serta memperhatikan tanda-tanda khusus yakni mengeluarkan lender bening pada vulva hingga gejala tersebut hilang. Pengamatan terhadap tingkah laku estrus pada masing-masing ternak perlakuan. Pengamatan estrus dilakukan tiga kali sehari (malam, pagi dan siang) yakni pukul 18.00 sampai dengan 24.00; 03.00 sampai dengan 11.30 dan 12.00 sampai dengan 17.30 WIB. Penentuan kualitas corpus luteum dilakukan dengan cara palpasi rektal pada hari ke-7 setelah siklus estrus(Pemanyun, 2009) Kualitas estrus skor 1 diberikan bagi ternak yang memperlihatkan gejala keluar lendir kurang (++), keadaan vulva (bengkak, basah, dan merah) kurang jelas (+), nafsu makan tidak tampak menurun (+) dan kurang gelisah serta tidak terlihat gejala menaiki dan diam bila dinaiki oleh sesama ternak betina (-); sedangkan kualitas estrus skor 2 diberikan pada ternak yang memperlihatakan semua gejala estrus di atas dengan simbol ++, termasuk gejala menaiki ternak betina lain bahkan terlihat adanya gejala diam bila dinaiki sesama betina lain dengan intensitas yang dapat mencapat tingkat sedang. Kualitas dengan skor 3 (jelas) diberikan bagi ternak sapi betina yang memperlihatkan semua gejala estrus secara jelas (+++) (Kune dan Solihati, 2007).
14
15
Salah satu cara untuk mengatasi problema sulitnya deteksi estrus yaitu dengan cara penerapan teknik sinkronisasi estrus, baik dengan menggunakan sediaan progestagen (progesteron) atau prostaglandin FGF2α (Derensis dan Gatius, 2007). 10. Anestrus Anestrus merupakan suatu keadaan pada hewan betina yang tidak menunjukkan gejala estrus dalam jangka waktu yang lama. Tidak adanya gejala estrus tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya aktivitas ovaria atau akibat aktivitas ovaria yang tidak teramati. Anestrus sering merupakan penyebab infertilitas pada sapi. Gangguan reproduksi ini umumnya terjadi pada sapi sesudah partus atau inseminasi tanpa terjadi konsepsi (Arthur, dkk.,1996.). Kegagalan estrus atau anestrus pada ternak sapi merupakan gejala utama dari banyak faktor lain yang mempengaruhi siklus estrus. Anestrus sering merupakan penyebab infertilitas pada induk sapi. Gangguan reproduksi ini umumnya terjadi pada sapi induk sesudah partus atau inseminasi atau perkawinan secara berulang tanpa terjadi konsepsi. Kegagalan reproduksi merupakan salah satu faktor utama yang dapat menghambat laju perkembangan populasi ternak. Ditinjau dari kondisi pakan yang buruk, maka hipofungsi ovarium mungkin adalah penyebab utama kegagalan reproduksi sapi potong, khususnya yang terjadi pada sistem pemeliharaan penggembalaan yang kekurangan pakan (Wirdahayati, dkk., 2010).
15
16
B. Kerangka Pikir Kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Sapi Bali
Seleksi
Tidak Bunting
Bunting
Siklus Estrus Berbeda Sinkronisasi PGF2α IM
IVV
SC
Pengamatan Estrus
Kecepatan munculnya estrus Lama estrus Kualitas estrus
Gambar 1. Sekema kerangka pikir
16
17
Secara umum sapi bali memiliki produktivitas dan reproduksi yang sangat baik tetapi dilapangan sering terjadi gangguan reproduksi baik yang diakibatkan oleh manajeman pakan, gangguan penyakit maupun hormonal. Dalam pelaksanaan sinkronisasi estrus perlu dilakukan adanya seleksi untuk memisahan antara ternak bunting dan tidak bunting yang dilakukan secara palpasi rektal. Kurangnya
pengetahuan
peternak
tentang
pengelolaan
reproduksi
khususnya mengenai deteksi estrus dan waktu yang tepat untuk mengawinkan, akan mengakibatkan tingkat kebuntingan yang rendah, jumlah waktu dari beranak sampai bunting kembali yang panjang, angka kawin perkebuntingan yang besar dan interval beranak lebih panjang menyebabkan tingkat kelahiran pedet menjadi rendah. Salah satu teknologi yang dapat digunakan yaitu dengan pelakasanaan sinkronisasi estrus. Sinkronisasi estrus adalah penyerentakan estrus pada sekelompok hewan betina, keuntungan yang diperoleh dari penyerentakan estrus agar iseminasi dapat dilakukan dalam waktu yang sama. Pada pelaksanaan sinkronisasi estrus umumnya menggunakan hormon PGF2α yang disuntikan secara intramuskuler. Pada penelitiaan menggunakan metode sinkronisasi estrus pada sapi penyutikan PGF2α dengan dosis 5 ml dengan rute yang berbeda yaitu secara IM, IVV dan SC. Kemudian dilakukan pengamatan estrus setelah penyuntikan dan dilihat kecepatan timbulnya estrus, lama estrus dan kualitas estrus
17
18
C. Hipotesis Adapun hipotesis penelitian ini adalah diduga bahwa pemberian PGF2α dengan rute yang berbeda berpengaruh nyata terhadap tingkat tampilan estrus akseptor sapi bali.
18
19
III.
METODE PENELITIAN
A. Waktu Dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Konda dan Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan pada bulan September 2015. B. Materi Penelitian
Ternak Penelitian Dalam penelitian ini dibutuhkan ternak sapi bali betina sebanyak 18 ekor
sapi dengan kisaran umur 3 sampai 5 tahun. Hormon Hormon yang digunakan pada penelitian ini adalah hormon prostaglandin dengan nama dagang Capriglandin® yang mengandung 5,5 mg Dinoprost trometamin dan 12,0 mg benzil alkohol yang diproduksi oleh PT. Caprifarmindo Bandung – Indonesia.
Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain disposible
syringe yang berukuran 10 ml dengan jarum ukuran 18G.Selain itu juga digunakan
kandang jepit, plastik gloves, alat tulis dan kamera sebagai alat
dokumentasi. C. Prosedur Penelitian Penelitian diawali dengan pengumpulan ternak percobaan, selanjutnya untuk mengetahui kondisi ternak percobaan, dilakukan observasi terhadap ternak dengan cara menelusuri catatan reproduksi seperti nomor ternak, umur induk, 19
20
berapa kali melahirkan, umur anak terakhir, serta pemeriksaan kondisi organ reproduksi melalui palpasi rektal untuk menetapkan ada tidaknya kebuntingan atau ada tidaknya korpus luteum. Sapi yang tidak bunting dan mempunyai korpus luteum ditetapkan sebagai ternak akseptor. Sapi-sapi akseptor tersebut selanjutnya disuntikkan dengan Capriglandin® sebanyak 5 ml perekor dengan rute yang berbeda. D.Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 3 perlakuan dan setiap perlakuan diulang sebanyak enam kali sehingga dibutuhkan sebanyak 18 ekor sapi akseptor . Perlakuan pada penelitian ini adalah dengan rute penyuntikan yang terdiri atas: IM = Penyuntikan secara Intramuskuler IVV = Penyuntikan secara Intravulva SC = Penyuntikan secara Subkutan Berdasarkan rancangan yang digunakan, maka model matematika yang digunakan yaitu: Yij= µ + α i + εij Y ij = Nilai pengamatan dari perlakuan penyuntikan ke- i dan ulang penyuntikan ke- j µ = Nilai rata-rata umum α1 = Pengaruh perlakuaan ke– i εij = Galat percobaan
20
21
E. Parameter yang Dievaluasi Parameter yang dievaluasi pada penelitian ini adalah
Kecepatan timbulnya estrus Kecepatan timbulnya estrus dihitung dari saat aplikasi PGF2α sampai
ternak tersebut memperlihatkan salah satu gejala estrus berupa bengkak dan perubahan warna vulva dihitung dalam satuan jam
Lama Estrus Lama estrus dihitung dari ternak memperlihatkan gejala pembengkakan
dan perubahan warna vulva pertama kali sampai gejala estrus hilang di hitung dalam satuan jam
Kualitas Estrus Kualitas Estrus dinilai berdasarkan atas pengamatan dengan tolak ukur: a. Perubahan pada vulva meliputi perubahan warna vulva dan kenaikan suhu.
Warna Vulva + : Warna merah jambu, pembuluh darah perifer tidak terlihat jelas ++ : Warna kemerahan, pembuluh darah perifer terlihat jelas +++ : Warna merah tua, terlihat jelas percabangan pembuluh darah perifer a. Kelimpahan lendir vulva, dilakukan metode skoring: + : Lendir transparan, jumlah sedikit, menggantung di vulva ++ : Lendir transparan, berlimpah, terlihat menggantung dari vulva dan di sekitar pangkal ekor +++ : Lendir tranpasaran, berlimpah, terlihat menggantung dari vulva dan sekitar pangkal ekor. 21
22
b. Perubahan tingkah laku,dilihat dari gejala
perubahan tingkah laku
sepertigelisah, nafsu makan turun, menaiki ternak lain.Pengukuran dilakukan dengan metode skoring: + : Ternak ternak memperlihatkan gejala perubahan perilaku ++ :Ternak memperlihatkan satu gejala perubahan perilaku +++ : Ternak memperlihatkan dua atau lebih gejala perubahan perilaku F.Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam berdasarkan rancangan acak lengkap (RAL) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap variabel yang dievaluasi. Jika perlakuan berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut (uji beda antar perlakuan) menggunakan uji BNT (Hanafiah, 2011).
22
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Peternakan di Lokasi Penelitian Pemeliharaan ternak sapi secara umum di desa Morome Kecamatan Konda dan desa Pangan Jaya Kecamatan Lainea di Kabupaten Konawe Selatan dilakukan secara semi intensif. Sapi-sapi dikeluarkan dari kandang pada pagi hari kemudiaan digembalakan dan sore hari dimasukan kembali kedalam kandang. Pada malam hari ternak sapi diberi pakan berupa rumput lapangan dan jerami padi dan merupakan usaha sampingan yang terintegrasi secara subsistem dengan usaha pertanian sebagai usaha pokok. Petani dan peternak di lokasi penelitian sudah mempunyai kesadaran akan pentingnya aspek reproduksi untuk perbaikan mutu genetik ternak. Hal ini dapat dilihat dari banyak peternak yang berpartisipasi pada saat program uji coba penggunan PGF2α B. Pengaruh Perlakuan (Pemberiaan PGF2α) Terhadap Kecepatan Estrus Kecepatan timbulnya estrus merupakan interval waktu yang diamati sejak perlakuan sampai timbulnya gejala estrus (Irmylin dkk., 2012).Hal ini perlu diketahui karena sangat penting artinya untuk pelaksanaan IB setelah sinkronisasi estrus. Hasil pengamatan pengaruh penyuntikan PGF2α terhadap kecepatan timbulnya estrus disajikan pada Tabel 1.
23
24
Tabel 1. Kecepatan timbulnya estrus (jam) setelah penyuntikan PGF2α dengan rute yang berbeda. Ulangan 1 2 3 4 5 6 Rata-Rata
IM 80,33 79,33 66,49 54,34 69,4 69,98
Perlakuan IVV 70,57 70,52 70,52 66,51 66,47 66,18 68,46
SC 69,47 66,54 68,01
Rataan
69,22
Keterangan IM = Intramuskuler, IVV = Intravulvaa, dan SC = Subkutan
Data pada Tabel 1 menunjukan bahwa dari 18 ekor ternak akseptor menunjukkan waktu estrus yang bervariasi antara 54,34 jam sampai dengan 80,33 jam dengan rata-rata 69,21 jam setelah penyuntikan hormon prostaglandin. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kecepatan timbulnya estrus.Meskipun hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh, penyuntikan melalui SC cenderung memberikan rataan munculnya estrus yang lebih awal (68,01 jam) dibandingkan penyuntikan secara IM (69,98 jam) dan IVV (68,46 jam). Rataan kecepatan munculnya estrus setelah penyuntikan hormon prostaglandin dengan cara IM yang diperoleh pada penelitiaan ini (69,98 jam) lebih lama bila dibandingan dengan hasil penelitian Lopulalang (2004) yaitu 52,75 jam dengan cara penyuntikan hormon prostaglandin yang sama. Sedangkan Irmaylin dkk. (2012) melaporkan bahwa estrus sapi PO muncul pada 52,53 jam setelah penyuntikan PGF2. Kune dan Solihati (2007) menjelaskan bahwa pola hormonal, terutama level hormon estrogen berperan dalam merangsang estrus sapi.
24
25
C. Pengaruh Perlakuan Pemberiaan PGF2α Terhadap Lama Estrus Lama estrus merupakan interval waktu sejak timbulnya gejala-gejala estrus pada ternak sampai menghilangnya gejala-gejala estrus pada ternak sapi tersebut. Lama estrus dipengaruhi oleh umur, kondisi tubuh, dan jenis hormon yang digunakan untuk sinkronisasi (Irmaylin dkk., 2012) Hasil pengamatan pengaruh penyuntikan PGF2α terhadap lama estrus disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Lama estrus (jam) setelah penyuntikan PGF2α dengan rute yang berbeda Ulangan 1 2 3 4 5 6 Rata-Rata
IM 13,00 16,00 23,00 20,00 19,00 18,20
Perlakuan IVV 13,50 15,00 17,00 22,40 21,80 19,00 18,20
SC 15,00 12,21 13,76
Rataan
17,48
Keterangan I.M = Intramuskuler, I.VV = Intravulva, dan SC = Subkutan
Data pada Tabel 2 menunjukan bahwa
lama estrus sapi penelitian
bervariasi antara 13,00 sampai dengan 22,40 jam, dengan rata-rata 17,48 jam. Lama estrus pada perlakuan IVV dan IM memberikan reaksi yang lebih lama yaitu rata-rata 18,20 jam bila dibandingkan dengan perlakuan SC yaitu 13,74 jam. Namun hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rute penyuntikan PGF2α berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap lama estrus. Hal ini berarti bahwa semua metode penyuntikan memberikan efek yang tetap sama terhadap munculnya estrus
25
26
Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Lopulalang (2004) yang menyatakan bahwa lama estrus sapi Bali yang disuntik PGF2α secara IM bervariasi antara 18,00 jam sampai dengan 25,00 jam dengan rata-rata 20,63 jam, sedangkan Handayani dkk. (2012) melaporkan bahwa lama estrus pada sapi bali dengan pemberian PGF2α yakni 21,94 jam. D.Kualitas Estrus Kualitas estrus ditentukan berdasarkan gejala-gejala estrus yang timbul semakin banyak gejala estrus yang ditimbulkan maka semakin berkulitas estrus tersebut. Kualitas estrus menggunakan kriteria vulva bengkak, vagina memerah temperatur vulva meningkat dan adanya lendir kental yang keluar melalui vulva. Skor tertinggi (+++) dikatagorikan sangat baik diberikan pada ternak yang memperlihatkan semua gejala estrus yang jelas dan skor (++) dikatagorikan baik diberikan pada ternak jika terdapat dua kriteria estrus sedangkan skor (+) dengan katagori kurang diberikan pada ternak, jika gejala estrus tidak nampak (Ismail, 2009) Hasil pengamatan pengaruh penyuntikan PGF2α terhadap tampilan estrus disajikan pada Tabel 3.
26
27
Tabel 3. Kualitas estrus pada sapi bali setelah penyuntikan PGF2α dengan rute yang berbeda Perlakuan Ulangan Rataan IM IVV SC 1 ++ +++ 2 +++ +++ ++ 3 +++ +++ 4 ++ 5 ++ ++ 6 ++ ++ ++ Total 5 6 2 13 Keterangan I.M = Intramuskuler, I.VV = Intravulva, dan SC = Subkutan
Data
pada
Tabel
3,
menujukkan
bahwa
sapi
percobaan
yang
memperlihatkan kualitas estrus yang jelas dengan skor ++ sampai +++ berjumlah 13 ekor dari 18 ekor sapi percobaan atau 72%. Kualitas estrus pada sapi yang disuntik secara IM dan IVV lebih baik dibandingkan sapi yang disuntikan secara SC. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak semua sapi mampu meperlihatkan estrus dengan kualitas yang jelas. Kualitas estrus sapi pada penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Kune dan Solihati (2007) yaitu 71,42% sapi memperlihatkan kualitas yang jelas setelah disinkronisasi. Nasirin (2014) melaporkan bahwa perbedaan kualitas estrus ternak disebabkan oleh faktor individu dalam merespon prostaglandin kondisi ternak, umur, kesehatan dan faktor jumlah ternak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penyuntikan prostaglandin secara intravagina lebih efektif dalam sinkronisasi estrus untuk menghasilkan tampilan estrus yang berkualitas.
27
28
V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa rute penyuntikan PGF2α secara intramuskuler, intravulva dan subkutan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kecepatan timbulnya estrus dan lama estrus pada akseptor sapi bali. Sedangkan kecepatan munculnya estrus setelah penyuntikan PGF2α yang terbaik adalah penyuntikan dengan rute intravulva, yaitu dengan rata-rata kecepatan timbulnya estrus 68,46 jam dan lama estrus 18,20 jam B. Saran Disarankan agar dilakukan penelitian lanjutan untuk mengkaji efektivitas respon sinkronisasi estrus dengan rute penyuntikan berbeda menggunakan hormon prostaglandin, terhadap persentase hasil IB untuk mengetahui apakah estrus yang di munculkannya diikuti ovulasi atau tidak.
28
29
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 2006. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media Pustaka, Jakarta. Arthur, G.H., DE. Noakes., H.Perason., TJ. Parkinson., 1996. Veterinary Reproduction and Obstetrics. Sevent Edition. Elsevier: London. Derensis, F. and L. Gatius. 2007. Protocols for Synchronizing Estrus and Ovulation in Buffalo (Bubalus bubalis): Theriogenology, 67:209- 216 Hanafiah, K.A. 2011. Rancangan Percobaan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Handayani, U.F., M. Hartono, dan Siswanto. 2012. Respon kecepatan estrus dan Lama Estrus pada Berbagai Pariritas Sapi Bali Setelah Dua Kali Penyuntikan Prostaglandin F2α (PGF2α). Jurnal Ilmiah Peternakan, 3(1):33 40 Ihsan, M.N. 2010. Ilmu Reproduksi Ternak Dasar. UB Press. Irmaylin, S.M., M. Hartono, dan P.E. Santosa. 2012. Respon Kecepatan Timbulnya Estrus dan Lama Estrus pada Berbagai Pariritas Sapi Peranakan Ongole (PO) Setelah Dua Kali Penyuntikan F2α (PGF2α). Jurnal Kedokteran Hewan, 2(1):41-49 Isnaeni, W.I. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta. Kanisius Ismail, M. 2009. Onset dan intensitas estrus kambing pada umur yang berbeda. J. Agroland,16(2):180–186. Kune, P. dan N. Solihati. 2007. Tampilan Birahi dan Tingkat Kesuburan Sapi Bali Timor yang Diinseminasi. Jurnal Ilmu Ternak, 7(1):1-5 Lopulalang, F. 2004. Tingkah laku Birahi dan Tingkat Kebuntingan Sapi pada Paritas dan Cara PemberianPGF2α yang Berbeda. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Faperta Unhalu, Kendari. Nasirin, A.T.R. Tagama, dan D.M. Saleh. 2014. Pengaruh Berbagai Dosis Prostgandin (PGF2α) Terhadap Karakteristik Estrus pada Domba Garut. Jurnal Ilmiah Peternakan, 2(1):188-196 Oka, I.G.L. 2010. Conservation and genetic improvement of Bali Cattle, Proc.Conservation and Improvement of wordl Indigenous Cattle. Pp.110117. Pemayun, T.G.O. 2009. Induksi Estrus dengan PMSG dan GnRH pada Sapi Perah Anestrus Postpartum. Buletin Veteriner Udayana, 02(1):1-7. 29
30
Prasojo, G., I. Arifiantini, K. Mohamad. 2010. Korelasi antara Lama Kebuntingan Bobot Lahir dan Jenis Kelamin Pedet Hasil Inseminasi Buatan pada Sapi Bali. Jurnal Veteriner, 11(1):41-45 Pumo,
P.P. 2008. Dampak Crossbreeding terhadap Reproduksi Induk Turunannya:Hasil Studi Klinis. Lokal Karya Lustrum VIII Fak. Peternakan UGM, 8 Agustus 2009.
Putro, P.P. 2013. Dinamika Folikel Ovulasi Setelah Perlakuan Sinkronisasi Estrus
dengan Implan Progesteron Intravagina pada Sapi Perah. Jurnal SainVeteriner, 31 (2):128 -137 Purwantara, B., R.R Noor, G. Andersson and H.R. Martinez. 2012. Banteng and Bali Cattle in Indonesia Status and Forecasts. Reprod Dom. Anim., 47(l1):2–6 Rusli, M. 2004. Parameter Fenotipik Sapi Bali pada lahan Kering Kecamatan Konda Kabupaten Konawe Selatan. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Faperta Unhalu, Kendari. Sariubang, M. dan Nurhayu. 2011. Respon Penyuntikan Hormon Capriglandin PGF2αTerhadap Sinkronisasi Berahi Induk Sapi Bali di Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Sariubang, M. dan S.N. Tambing. 2006. Efektivitas penyuntikan Estro-Plan (PGF2α) terhadap penyerentakan Berahi Sapi Bali di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Puslitbang Peternakan, Bogor. 5–6 September 2006 Solihati, N. 2005. Pengaruh Metode Pemberian PGF2α dalam Sinkronisai Estrus terhadap Angka Kebuntingan Sapi Perah Anestrus. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. Sonjaya, H. 2005. Materi Mata Kuliah Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar. Tuasikal, B.J., T. Tjiptosumirat, R. Kukuh 2004. Study Gangguan Reproduksi Sapi Perah dengan Teknik dan Radio Immunoassay (Ria) Progesteron. Risalah Seminar Umiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi lsotop dan Radias. Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi - Batan, Jakarta. Widayati, D.T., Kustono, Ismaya, dan S. Bintara. 2008. Handout Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.
30
31
Wirdahayati, R.B. 2010. Penerapan teknologi dalam upaya meningkatkan produktivitas sapi potong di Nusa Tenggara Timur. Wartazoa,20(1):12-20. Yudi, T.L. Yusuf, B. Purwantara, D. Sajuthi, M. Agil, J. Manangsang, R. Sudarwati, dan Y.T. Hastuti. 2010. Penentuaan Siklus Estrus Berdasarkan Prilaku Seksual dan gambaran Epitel Ulasan Vagina pada Anoa (Bubalus sp.) di Penangkaran. Prosiding Seminar Nasional Peran Teknologi reproduksi Hewan Dalam Ranga Swasembada Pangan Nasional, FKH- IPB,Bogor. Sudarwati, dan Y.T. Hastuti. 2010. Penentuan Siklus Estrus Berdasarkan Perilaku Seksual dan Gambaran Epitel Ulasan Vagina pada Anoa (Bubalus sp.) di Penangkaran. Prosiding Seminar Nasional Peranan Teknologi Reproduksi Hewan Dalam Rangka Swasembada Pangan Nasional, FKH–IPB, Bogor. Zanetti, E.D.S., B.F.Polegato, and J.M.B. Duarte. 2010. Comparasion of two methods of synchronization of estrus in brown brocket deer (Mazamagouazoubira). Anim. Reprod. Sci.,117:266-274.
31
32
32
33
Kecepatan muncul estrus
Ulangan
IM 80,33 79,33 66,49 54,34 69,40 349,89 69,98
1 2 3 4 5 6 Total Rata-Rata 1. Derajat Bebas (db) db total db perlakuan
Perlakuan IV 70,57 70,52 70,52 66,51 66,47 66,18 410,77 68,46
= (r x t) – 1 =t–1
ISC 69,47 66,54 136,01 68,01
Total
896,67 69,22
= 13 – 1 = 12
=3–1=2 = db total – db perlakuan = 12 – 2 = 10
db galat 2. Faktor Koreksi (FK) FK
= = 61847,47 3. Jumlah Kuadrat JK Total
= – FK = (80,33 + ….. + 66,542) - 61847,47 = 490,3567 2
JK Perlakuan
JK Galat
= – FK = ((349,890)2 + (410,77)2 + (136,01)2) - FK 5 6 2 = 8,49291 = JK Total – JK Perlakuan = 490,3567– 8,49291 = 481,863
33
34
4. Kuadrat Tengah (KT) KT Perlakuan =
=
KT Galat
= 4,246
=
=
=
=
= 48,18
5. F Hitung F-hit
10.57477
6. Koefisien Keragaman
KK
=
x 100%
=
x 100%
= 10,06% 7. Tabel Anova SK
DB
JK
KT
Perlakuan 2 4,246 Galat 10 481,8638 48,18 Total 12 490.,3567 52,43284 Keterangan : tidak berbeda nyata ;kk = 10,06%
Fhitung 0,088
F tabel 5% 1% 4,10
7,56
34
35
Lama estrus Ulangan
IM 13,00 16,00 23,00 20,00 19,00 91 18,20
1 2 3 4 5 6 Total Rata-Rata
Perlakuan IV 13,50 15,00 17,00 22,40 21,80 19,00 108,7 18,20
ISC 15,00 12,21 27,51 13,76
Total
227,21 17,48
1.Derajat Bebas (db) db total
= (r x t) – 1
= 13 – 1 =12
db perlakuan
=t–1
=3–1=2
db galat
= db total – db perlakuan = 12 – 2 = 10
2. Faktor Koreksi (FK) FK
= = 3971,11
3. Jumlah Kuadrat JK Total
=
– FK
= (132+ ….. + 12,212) - 3971,11 = 161,32 JK Perlakuan
=
– FK
= ((18,20)2 + (18,12)2 + (13,76)2) - FK 5 6 2 = 32,78 JK Galat
= JK Total – JK Perlakuan = 161,32 – 32,78 = 128,54 35
36
4. Kuadrat Tengah (KT) KT Perlakuan =
KT Galat
=
= 16,39
=
=
= 12,85
5. F Hitung F-hit =
=
= 1,27
10.57477
6. Koefisien Keragaman
KK
= =
x 100% x 100%
= 20,51%
7. Tabel Anova SK
DB
JK
KT
Perlakuan 2 32,78 16,39 Galat 10 128,54 12,85 Total 12 161,32 Keterangan : tidak berbeda nyata ;kk = 20,51%
Fhitung 1,27
F tabel 5% 1% 4,10 7,56
36
37
DOKUMENTASI
Sapi Akseptor
Palpasi rektal
Alat dan Bahan
37
38
Penyuntikan secara IM
Penyuntikan secara IVV
Penyuntikan secara SC
Pengamatan Estrus
Pengamatan estrus
38