Kode/Rumpun Ilmu: 723/3
PENGARUH ANGGARAN PENDIDIKAN DAN KEMISKINAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDIDIKAN DI PROVINSI BANTEN
Oleh: Ketua Tim: H. Ambuy Sabur, Drs., M.Pd. (NIK. 410510008) Anggota: 1. Khusaini, S.Pd., MSE.(NIK. 410520140) 2. Yati Haerunnisa (NIM. 1205010067)
LAPORAN PENELITIAN HIBAH UNIS
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI – TATA NIAGA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS ISLAM SYEKH-YUSUF TANGERANG 2016
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN Judul
: PENGARUH ANGGARAN PENDIDIKAN DAN KEMISKINAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDIDIKAN DI PROVINSI BANTEN
Nama Rumpun Ilmu : IPS/Pendidikan Ekonomi Ketua Peneliti: Nama NIK/NIDN Jabatan Fungsional Prodi/Fak/PT. Alamat
: H. Ambuy Sabur, Drs., M.Pd : 410510008 : Lektor Kepala : Pendidikan Ekonomi/FKIP/UNIS Tangerang : Jl. Maulana Yusuf Babakan Kota Tangerang Banten
Alamat E-mail
:
[email protected]
Anggota Peneliti (1) Nama : Khusaini, S.Pd., MSE. NIK/NIDN : 410520140 Jabatan Fungsional : Lektor Kepala Anggota Peneliti (2) Nama : Yati Haerunnisa NIM : 1205010067 Jabatan Fungsional : Mahasiswa Usul Waktu Biaya Penel. 1. Sumber UNIS 2. Sumber Lain Jumlah
: 7 bulan : Rp 20.000.000,: Rp ………………. + : Rp 20.000.000 Tangerang, Januari 2016 Ketua Peneliti,
Mengetahui, Kaprodi
Sri Lestari, S.Pd., M.Si. NIK. 410530156
H. Ambuy Sabur, Drs., M.Pd. NIK. 410510008 Menyetujui, Ketua LPPM UNIS Tangerang,
H. Bambang Mardisentosa, Drs., MM NIK.410520067
ii
ABSTRAKSI
Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang gambaran tingkat ketimpangan (pemerataan) pendidikan di provinsi Banten dan Untuk mengetahui dan menganalisis tentang pengaruh faktor pemekaran wilayah, pendapatan rumah tangga, dan anggaran pendidikan mempengaruhi pemerataan pendidikan menengah. Model analisis yang digunakan adalah regresi OLS dengan series 18 tahun. Hasil penelitian menunjukkan ; 1) Hasil analisis despriptif menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan yang diukur dengan dengan rata-rata lama sekilah menunjukkan tren yang semakin meningkat, sementara tren ketimpangan pendidikan yang diukur dengan standar deviasi sekolah menunjukkan tren yang semakin menurun (pendidikan semakin merata); 2) Hasil estimasi menunjukkan bahwa angaran pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap rata-rata lama sekolah dan anggaran pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap rata-rata lama sekolah. Namun untuk model yang kedua, penelitian ini tidak berhasil membuktikan bahwa angaran pendidikan berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa anggaran pendidikan tidak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pendidikan di Provinsi Banten; 3) Hasil pengujian koefisien kemiskinan dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan rata-rata lama sekolah (years of schooling) model 2 dapat menujukkan bahwa kemiskinan berpengaruh terhadap kemiskinan. Hasil ini berhasil membuktikan bahwa kemiskinan berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendidikan. Sedangkan hasil estimasi regresi dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan standar deviasi pendidikan pada model 2 menujukkan bahwa kemiskinan berpengaruh negative terhadap ketimpangan pendidikan di Banten. Hasil tersebut berhasil membuktikan bahwa kemiskinan berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pendidikan; 4) Hasil regresi dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan rata-rata lama sekolah (years of schooling) pada model 2 menghasilkan bahwa ketimpangan pendidikan berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil ini tidak berhasil membuktikan bahwa ketimpangan pendapatan berpengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil estimasi regresi dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan standar deviasi pendidikan model 2 menghasilkan bahwa ketimpangan pendapatan berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil ini berhasil membuktikan ketimpangan pendapatan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pendidikan; 5) Hasil estimasi regresi dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan standar deviasi pendidikan model 2 menghasilkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil ini tidak berhasil membuktikan pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendidikan. Secara umum, hasil pengujian hipotesis secara global berhasil membuktikan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan anggaran pendidikan, kemiskinan, ketimpangan pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendidikan.
Kata kunci: Anggaran Pendidikan, Kemsikinan, Ketimpangan Pendidikan
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT. yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat berhasil meyelesaikan usulan penelitian ini yang kami berijudul “PENGARUH ANGGARAN
PENDIDIKAN DAN KEMISKINAN
TERHADAP KETIMPANGAN PENDIDIKAN DI PROVINSI BANTEN” Laporan ini dibuat untuk memenuhi salah satu implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu kegiatan penelitian bagi dosen. Kegiatan penelitian senantiasa wajib dilaksanakan untuk pemenuhan tugas pokok dan angka kredit. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian usulan ini. Taklupa, saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak Rektor dan Kepala LPPM UNIS Tangerang yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk berpartisipasi dalam kompetisi memperoleh dana hibah penelitian yang disediakan oleh UNIS Tangerang tahun anggaran 2014/2015. Penulis menyadari bahwa draft usulan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga laporan penelitian disertasi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan. Semoga Alloh SWT. meridloi segala usaha kita. Amiin…
Bandung, Januari 2016 Penulis,
H. Ambuy Sabur
iv
DAFTAR ISI
Halaman Judul ……..............…………………..…………………….….................... i Lembar Pengesahan .................................................................................................... ii Kata Pengantar...........................................................................................................
iii
Daftar Isi .....…….…………………………..….……………………….................... iv Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah
……………..…………...........……………………… 1
Perumusan Masalah ………………………………………...........……………….
7
………………………………………………...........…….…
7
Kegunaan Penelitian ………………………...........…………………………….…
8
Luaran Penelitian …………………………………..........………………………..
9
Tujuan Penelitian
Bab II Kajian Pustaka, Kerangka Pemikiran, dan Hipotesis Penelitian 2.1 Kajian Pustaka
……………………………………........…………………. 10
2.1.1 Konsep Pemerataan Pendidikan ………………………….....…………...... 10 2.1.2 Indikator Ketimpangan Pendidikan …………………………..…………… 2.2 Teori Human Capital
11
…………………………………………...………….. 16
2.3 Pendapatan Rumah Tangga ……………………………………...…………
18
2.4 Pengeluaran Pemerintah ……………………………………………...……… 25 2.5 Kerangka Pikir Penelitian ……………………………………………...…….
29
2.6 Hipotesis Penelitian ……………………………………………………...…… 31
Bab III Metodologi Penelitian 3.1 Metode Penelitian ……………………………………….......………………. 32 3.2 Operasionalisasi Variabel ………………………………….......……………. 32
v
3.3 Data dan Sumber Data 3.4 Model Analisis
………………………………......………………. 34
………………………………………......………………. 35
3.4.1 Metode Perhitungan Pemerataan/Ketimpangan Pendidikan …….…...…
35
3.4.2 Spesifikasi Model Ekonometri ..……………………………………..….
35
……………………………………........…….…
36
3.7 Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………………..…
38
Bab IV Hasil dan Pembahasan .........................................................................
42
Bab V Simpulan dan Saran
71
3.5 Rancangan Uji Model
............................................................................
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..
vi
74
BAB I PENDAHULUAN 1.1
LATAR BELAKANG Pendidikan merupakan unsur penting dari pembangunan manusia, karena
pendidikan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan dan taraf hidup, peningkatan kemampuan, dan kebebasan individu. Pendidikan juga mempengaruhi kesejahteraan generasi masa depan melalui transmisi antargenerasi, orang tua yang berpendidikan, serta anak-anak yang sehat. Pendidikan juga mempengaruhi kesejahteraan anggota masyarakat lainnya karena eksternalitas positif yang dihasilkannya (Tilak, 2008). Bahkan Thomas et al. (2001) menyatakan bahwa pendidikan dapat menciptakan aset baru dan meningkatkan sosial kesejahteraan tanpa membuat orang lebih buruk melalui efek spillover. Oleh kerana itu, penyelenggaraan pendidikan, tidak hanya diarahkan untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan, serta rata-rata nilai saja, tetapi pendidikan harus juga merata sehingga dapat dinikmati oleh semua masyarakat (Tomul, 2009). Dalam hal ini, pemberian kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bagi semua penduduk tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi, gender, ras, dan sebagainya merupakan sebuah kewajiban bagi pemerintah. Sedangkan, Hanushek dan Kimko (2000) menyatakan bahwa pengembangan pendidikan untuk kelompok usia muda dapat meningkatkan modal manusia, karena modal manusia sangat penting dalam upaya utuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Studi tentang ketimpangan pendidikan akhir-akhir ini banyak dilakukan oleh para ahli ekonomi di berbagai negara yang mencoba menganalisis pemerataan pendidikan berdasarkan lokasi, antar gender, antar wilayah, bahkan antar negara. Studi tersebut diantaranya dilakukan (Castello dan Domenech, 2002; Mesa, 2005; Qian dan Smyth, 2005; Thomas et al, 2001). Indikator yang digunakan dalam penentuan distribusi tingkat pendidikan kepada individu dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin, unit perumahan dan kelompok pendapatan, tingkat melek huruf, angka partisipasi sekolah, rata-rata lama sekolah, standar deviasi, Generalized Enthropy, indeks Gini dan indeks Theil (Mesa, 2005; Siddhanta dan Nanday, 2003; Thomas et al, 2001;. Thomas et al, 2002).
Terdapat beberapa hasil studi empiris tentang keterkaitan antara tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh penduduk dengan ketimpangan pendidikan, dimana ukuran ketimpangan pendidikan berbeda-beda. Ram (1990), Park (1996), Thomas et al. (2001), menujukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan standar deviasi sekolah (pemerataan pendidikan) dengan pola U-terbalik (inverted-U). Studi ini mengkonfirmasi konsistensi kurva Kuznet pendidikan. Sebaliknya Thomas et al. (2001) dan
Castello` dan Domenech (2002) menunjukkan bahwa hubungan antara rata-rata
tingkat pendidikan berbanding terbalik (negatif) dengan pemerataan pendidikan yang diukur dengan indeks gini pendidikan. Keberadaan pemerintah menjadi faktor yang penting terhadap pemerataan pendidikan. Salah satu, peran pemerintah adalah diwujudkan dalam pengalokasian anggaran untuk sektor pendidikan. Hasil studi del Granado et. al (2007) manyatakan bahwa belanja publik berperan sebagai penentu tingkat partisipasi pendidikan. Koefisien untuk anggaran pendidikan yang positif dan signifikan secara statistik pada semua model estimasi dan spesifikasi. Semakin tinggi alokasi anggaran pendidikan, maka semakin meningkat tingkat partisipasi pendidikan. Hasil studi lain oleh Harbison dan Hanushek (1992) yang menguji 12 penelitian di negara berkembang dan menemukan bahwa enam dari 12 penelitian tersebut menunjukkan korelasi antara belanja publik dengan kinerja pendidikan yang secara statistik tidak signifikan. Demikian pula, Anand dan Ravallion (1993) menunjukkan bahwa belanja publik per kapita untuk pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat melek huruf di negara itu. Hasil yang sama, Rajkumar dan Swaroop (2008), juga menemukan bahwa hubungan antara pengeluaran publik untuk pendidikan dengan putus sekolah tidak signifikan. Sebaliknya, Gupta, Verhoeven dan Tiongson (2002) menemukan bahwa korelasi positif antara peningkatan belanja publik bidang pendidikan dan kesehatan di 86 negara berkembang dengan peningkatan hasil pendidikan dan kesehatan. Sedangkan Doriza, Purwanto, dan Maulida (2012) menemukan bahwa dana alokasi khusus untuk pendidikan dan pendapatan asli daerah dapat mengurangi dispasritas pendidikan dasar. Pada saat yang sama, Suryadarma (2012) menemukan bahwa pengeluaran publik untuk pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap partisipasi pendidikan, tetapi pengeluaran publik tidak signifikan berkorelasi dengan performan (kinerja) sekolah.
2
Keadaan ketimpangan pendidikan di Indonesia yang menggunakan ukuran koefisien Gini pendidikan menurut Digdowiseiso (2010) antara tahun 1999 – 2005 mengalami penurunan dari 0,35 – 0,32 atau turun sebesar 0,03. Hasil ini menggambarkan bahwa pendidikan di Indonesia semakin merata. Indeks Gini pendidikan pedesaan dan perkotaan secara signifikan turun masing-masing dari 0,29 dan 0,36 pada 1999 menjadi 0,27 dan 0,32 pada tahun 2005. Selain itu, upaya daerah perdesaan untuk meningkatkan pemerataan pendidikan mereka lebih cenderung lebih besar daripada daerah perkotaan. Menurut Suwigyo (2004), baik pemerintah daerah dan pemerintah pusat mengalokasikan sumber dayanya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, terutama di bidang infrastruktur sekolah, mendorong permintaan pendidikan di daerah pedesaan, sehingga ada kecenderungan bahwa daerah pedesaan tumbuh lebih cepat daripada daerah perkotaan. Pendapatan per kapita juga salah satu konsep penting dalam perekonomian suatu Negara. Menurut Todaro (2009), Produk Nasional bruto per kapita merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu Negara. Konsep pendapatan per kapita digunakan Oleh Kuznets dalam menganalisis ketimpangan pendapatan. Profesor Kuznets yang telah berjasa besar dalam mempelopori analisis pola-pola pertumbuhan historis di Negara-negara maju, mengemukakan bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan atau kesejahteraan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik. Observasi inilah yang lalu dikenal secara luas sebagai konsep Kurva Kuznets “U-terbalik”. Konsep tersebut memperoleh namanya dari bentuk rangkaian perubahan longitudinal (antar waktu) atas distribusi pendapatan (yang diukur berdasarkan koefisien Gini) sejalan dengan pertumbuhan GNP per kapita distribusi pendapatan (yang diukur berdasarkan koefisien Gini) sejalan dengan pertumbuhan GNP per kapita. Banyak penelitian yang mencoba meneliti peran pendidikan dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Checchi (2000) menganalisa hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan prestasi pendidikan yang diukur dengan rata-rata pecapaian pendidikan dan konsentrasinya. Park (1996) memasukkan indeks atau rasio pendapatan Gini dan share pendapatan dalam kontek pencapaian pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pendekatan lain, Ram (1984) mengusulkan beberapa variabel seperti peningkatan jumlah penduduk, tingkat 3
pendidikan, dan ketimpangan, serta struktur ekonomi yang berusaha menjelaskan hubungan antara distribusi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, pemerintah sejak lama telah mengupayakan pendidikan secara merata dan adil bagi masyarakatnya. Kebijakan wajib belajar 9 tahun telah diterapkan sejak tahun 1988 kemudian dikuatkan dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan menungkan tentang wajib belajar 9 tahun bagi warga negara yang berusia 7 – 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pada pasal 34 ayat
(2)
menyebutkan
bahwa
pemerintah
dan
pemerintah
daerah
menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Sedangkan dalam ayat (3) menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat. Konsekuensinya pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat. Pemerintah telah menyediakan dana bantuan operasional (BOS) pendidikan dasar dan menengah. Meskipun kebijakan pemerintah yang mewajibkan masyarakatnya untuk menempuh pendidikan dasar sejak lama dan menanggung biaya pendidikan dasar (pendidikan dasar gratis), tetapi hasil yang diperoleh masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat data yang dicatat oleh BPS (2012) bahwa tingkat partisipasi kasar (APK) untuk anak usia SMP dan sederajat hingga di Indonesia tahun 2012 adalah 89,38% dan angka partisipasi murni (APM) sebesar 70,84% Sementara itu, pada tahun 2012 pemerintah juga telah merancang pendidikan menengah universal (PMU) yang merupakan upaya untuk meningkatkan pemerataan pendidikan menengah. Kebijakan ini merupakan langkah awal bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan wajib belajar 12 tahun. Semua masyarakat yang berusia di atas 15 tahun diharapkan dapat menyelesaikan atau tamat pendidikan menengah yaitu SMA/SMK/MA atau yang sederajat. Kebijakan ini baru diterapkan pemerintah, sehingga hasil atau dampak dari kebijakan tersebut masih belum banyak dinikmati oleh masyarakat, karena kemampuan anggaran pemerintah pusat terbatas dan kemampuan anggaran daerah provinsi/kabupaten/kota juga berbeda-beda. Sebagai provinsi yang telah menjadi daerah otonom baru sejak tahun 2000, tentu memiliki masalah-masalah pembangunan, khususnya pembangunan pendidikan. Saat ini, 4
isu penting dari pembangunan pendidikan di Banten adalah
pemerataan pendidikan
menengah. Indikasi dari adanya permasalahaan pemerataan pendidikan dapat dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan penduduk Banten SD/sederajat sebesar 26,06%, SMP/sederajat sebesar 22,80%, SMA/sederajat adalah 27,92% dan perguruan tinggi adalah sebesar 7,71%
PT/ Sederajat, 7.71% SMA/ sederajat, 27.92%
Tidak TMT/Blm TMT SD/Sederajat, 15.51%
SD/Sederajat, 26.06% SMP/Sederajat, 22.80%
Sumber: BPS (2013) Gambar 1.1 Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Penduduk Usia 10 tahun ke atas Tahun 2012. Terdapat fakta bahwa data rata-rata lama sekolah (years of schooling) di Provinsi Banten dari tahun 1996 – 2012 menunjukkan peningkatan dari 6,4 tahun menjadi 8,61 tahun. Sebelum pemekaran, yakni antara tahun 1996 – 1999, tingkat rata-rata lama sekolah adalah 6,50 tahun atau rata-rata tumbuh sebesar 3,12%, pada saat pemekaran yaitu tahun 2000 tingkat lama sekolah 6,80 tahun atau atau tumbuh sebesar 3,03%. Sedangkan setelah pemekaran wilayah, tingkat lama sekolah penduduk Banten adalah 8,07 tahun. Angka tersebut tentu mengalami peningkatan sebesar 2,73 tahun dalam kurun waktu 11 tahun. Namun, jika dihitung rata-rata pertumbuhan lama sekolah, maka tingkat lama sekolah setelah pemekaran hanya tumbuh rata-rata sebesar 0,95%. Jadi pertumbuhan rata-rata lama sekolah telah mengalami penurunan pasca pemekaran wilayah dibandingkan pada saat atau sebelum pemekaran wilayah.
5
Tabel 1.1: Tingkat Rata-Rata dan Pertumbuhan Lama Sekolah dan IPM Sebelum, Saat, dan Setelah Pemekaran Tahun 1996-1999 2000 2001-2012 1996 - 1999 2000 2001-2012
Rata-rata Lama Sekolah 6.50 6.80 8.07 IPM 62.60 63.80 68.91
Rata-2 pertumbuhan 3.12% 3.03% 1.82% Rata-2 pertumbuhan 0.32% 1.59% 0.95%
Keterangan Sebelum Pemekaran Saat Pemekaran Setelah Pemekaran Sebelum Pemekaran Saat Pemekaran Setelah Pemekaran
Sumber: BPS Banten (2013), data diolah. Akibat dari pendidikan yang belum merata menyebabkan kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi rendah, produktivitas juga rendah, maka investasi juga rendah. Invetasi yang rendah pertumbuhan ekonomi juga rendah, jika pertumbuhan rendah maka pendapatan juga rendah. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli yang kurang, kemiskinan yang meningkat, serta ketimpangan pendapatan semakin meningkat. Kondisi inilah yang disebut dengan lingkaran setan kemiskinan. Keadaan ini dapat dilihat dari tingkat pembangunan manusia di Provinsi Banten tahun 1996-1996 sebesar 62,60 dan meningkat menjadi 63,80 pada tahun 2000, serta meningkat lagi pada kurun waktu 2001 – 2012
sebesar
rata-rata
68,91.
Meskipun
IPM
mengalami
peningkatan,
tetapi
peningkatannya relative sangat lamban. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan lama sekolah sebagai salah satu indikator IPM juga bertumbuh lamban setelah pemekaran. Dalam peneltian ini pemilihan lokasi penelitian di Provinsi Banten adalah Banten merupakan salah satu daerah pemekaran baru setelah reformasi yang berada di Pulau Jawa dan secara geografis berbatasan langsung dengan daerah Ibukota, mamiliki jumlah penduduk yang paling tinggi diantara daerah otonom baru tingkat provinsi, tingkat APK pendidikan menengah masih di bawah rata-rata nasional dan peringkat ke 4 diantara daerah otonom baru (DOB), Banten menjadi pintu gerbang lalu lintas internasional (Bandara Internasional Soekarno Hatta), serta memiliki historis pelabuhan terkemuka. Atas dasar tersebut, maka Banten menarik dijadikan lokasi atau obyek penelitian tentang kondisi ketimpangan pendidikan di Provinsi Banten. Faktor pendapatan keluarga, anggaran pendidikan, dan angka putus sekolah mempengaruhi tingkat ketimpangan 6
pendidikan di Provinsi Banten. Studi ini memfokuskan pada pengukuran ketimpangan pendidikan dan regresi OLS untuk memecahkan permasalahan ketimpangan pendidikan. Hasil pemecahan permasalahan tersebut diharapkan dapat menghasilkan temuan yang signifikan, sehingga bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis yakni masukan kebijakan pendidikan di Provinsi Banten.
1.2
PERUMUSAN MASALAH Untuk itu, dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimana perkembangan tingkat ketimpangan pendidikan di Provinsi Banten? b. Apakah anggaran pendidikan, kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi mempengaruhi ketimpangan pendidikan?
1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian merupakan target yang ingin dicapai oleh peneliti. Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang gambaran tingkat ketimpangan pendidikan di provinsi Banten; b. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang pengaruh anggaran pendidikan, kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi mempengaruhi ketimpangan pendidikan.
1.4 KEGUNAAN PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan depat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis khususnya yang berkaitan tentang korelasi antara faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendidikan menengah di Provinsi Banten.
1.4.1 Kegunaan Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kritis terhadap pengembangan ilmu ekonomi terutama berkaitan dengan ekonomi publik dan ekonomi pembangunan. Di samping itu, hasil penelitian ini dapat mendukung teori pengukuran ketimpangan pendidikan dan teori tentang anggaran pendidikan, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan 7
angka melek huruf berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pendidikan, khususnya di Provinsi Banten.
1.4.2 Kegunaan Praktis Dalam penelitian ini tingkat pemerataan pendidikan akan dihitung dengan menggunakan pendekatan Thomas et. al (2001) dan Qian dan Smith (2008) sehingga diperoleh tingkat ketimpangan pendidikan di tingkat provinsi. Pendidikan sebagai investasi, maka di bidang pendidikan sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Banten merupakan salah satu provinsi hasil pemekaran dari Jawa Barat yang muncul setelah terjadi krisis ekonomi dan tuntutan reformasi kebijakan otonomi baru, maka pendidikan telah menjadi prioritas pemerintah dalam pembangunan. Informasi tentang faktor-faktor penentu ketimpangan
pendidikan
akan
membantu
dalam
perumusan
kebijakan
pengembangan pendididkan. Tidak seperti studi-studi sebelumnya, studi ini menganggap variabel penjelas yang digunakan tidak hanya berkaitan dengan rumah tangga dan masyarakat, tetapi juga variabel yang berkaitan dengan pemerintah merupakan variabel penting untuk menentukan ketimpangan pendidikan. Variabel-variabel tersebut mungkin menjadi hambatan utama ketimpangan pendidikan di Banten. Jumlah anggota keluarga yang relatih banyak dan relatif miskin di Banten juga menjadi kendala untuk pemerataan sekolah karena orang tua cenderung tidak menyekolahkan anaknya, karena mereka diharuskan bekerja untuk membantu orang tuanya. Sebuah keluarga mungkin mengalokasikan waktu anak untuk bekerja dibandingkan dengan mengirim mereka ke sekolah. Untuk itu, penelitian ini dapat menentukan kebijakan pemerintah untuk memfasilitasi rumah tangga tersebut dapat menyekolahkan anaknya hingga pendidikan tinggi.
1.5 LUARAN PENELITIAN Luaran penelitian ini adalah: a. Tersusunnya model ketimpangan pendidikan di provinsi Banten; b. Publikasi ilmiah nasional terakreditasi atau ilmiah populer; c. Sedangkan luaran tambahan adalah diharapkan dapat memperoleh materi ajar atau bahan ajar tentang ekonomi pendidikan dan ekonomi pembangunan. 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 KAJIAN PUSTAKA Bab ini menguraikan berbagai leteratur teoritis tentang pemerataan pendidikan, indikator pemerataan pendidikan, serta leteratur empiris yang relevan. Konsep teoritis meliputi meliputi dasar-dasar teoritis dari faktor penentu terhadap pemerataan pendidikan. Sedangkan tinjauan literatur empiris meneliti studi empiris sebelumnya pada faktor-faktor penentu untuk ketimpangan pendidikan. Di samping itu, pada bagian ini akan juga dibahas tentang kerangka pikir penelitian dan pengajuan hipotesis penelitian. Pada aklhir bab ini diakhiri dengan simpulan dari ulasan atau tinjauan literatur.
2.1.1 Konsep dan Indikator Pemerataan Pendidikan 2.1.1.1 Konsep Pemerataan Pendidikan Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian pemerintah dan stakeholders pendidikan, terutama di negara-negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all. Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu equality dan equity. Equality atau persamaan mengandung arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara sama (Eka, 2007). Secara konsepsional, istilah pemerataan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu pemerataan aktif dan pemerataan pasif. Pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif bermakna kesamaan dalam memberi 9
kesempatan kepada murid-murid terdaftar agar memperoleh hasil belajar setinggitingginya (Sismanto, 1993). Dalam pemahaman seperti ini pemerataan pendidikan mempunyai makna yang luas tidak hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal. Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2008 tentang Wajib belajar merupakan pelaksanaan dari Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Program wajib belajar diselenggarakan untuk memberikan pelayanan pendidikan dasar seluas-luasnya kepada warga negara Indonesia tanpa membedakan latar belakang agama, suku, sosial, budaya, dan ekonomi. Setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu dan orang tua/walinya berkewajiban memberi kesempatan
kepada
anaknya
untuk
mendapatkan
pendidikan
dasar.
Program wajib belajar diselenggarakan pada satuan pendidikan dasar pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal dan harus dapat menampung anak yang normal maupun yang berkelainan dan mempunyai hambatan. Peraturan tentang program wajib belajar mencakup hak dan kewajiban warga negara Indonesia, tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
2.1.1.2 Indikator Ketimpangan Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu jenis barang barang publik yang dapat diukur. Pengukuran pendidikan dapat dilakukan dengan membuat indikator, yaitu indikator input, indikator proses, dan indikator output. Indikator input merupakan informasi atau keterangan dasar dan penunjang yang diperlukan dalam perencanaan program pendidikan. Pada umumnya indikator input lebih banyak diperoleh melalui sumber data pembuat program pendidikan dan instansi teknis terkait, misalnya jumlah murid, rasio guru siswa, rasio murid kelas, angka shift dan sebagainya. Sedangkan indikator proses
adalah menunjukkan keadaan proses
pendidikan atau bagaimana program pendidikan yang diimplementasikan terjadi di 10
masyarakat. Sumber data yang dipakai bisa dari sensus atau survey dengan pendekatan rumahtangga atau data administratif instansi terkait. Misalnya angka partisipasi anak usia sekolah, anak usia 5 – 14 tahun yang sekolah sambil bekerja, dan sebagainya. Sementara itu, indikator output merupakan hasil-hasil yang dapat dicapai oleh masyarakat setelah melalui proses pendidikan dapat dilihat dalam indikator output, misalnya angka melek huruf, angka pustus sekolah, pendidikan yang ditamatkan, serta angka melanjutkan. Dalam penelitian ini, indikator pemerataan pendidikan akan didefinisikan secara jelas dengan mengacu berbagai indikator di atas. Berdasarkan definisi sebelumnya bahwa pemerataan pendidikan mempunyai makna yang luas tidak hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal. Untuk itu, pemerataan pendidikan dapat diukur dengan beberapa pendekatan, yaitu enrollment rate atau tingkat partisipasi pendidikan, angka rata-rata lama sekolah, standar deviasi sekolah, serta koefisien gini pendidikan. Adapun indikator pemerataan pendidikan menurut Thomas et. al (2001) adalah sebagai berikut: a) Tingkat partisipasi pendidikan Umumnya, terdapat dua ukuran partisipasi sekolah yang utama, yaitu Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Keduanya mengukur penyerapan penduduk usia sekolah oleh sektor pendidikan. Perbedaan diantara keduanya adalah penggunaan kelompok usia "standar" di setiap jenjang pendidikan. Usia standar yang dimaksud adalah rentang usia yang dianjurkan pemerintah dan umum dipakai untuk setiap jenjang pendidikan. Rasio partisipasi pendidikan untuk berbagai tingkat pendidikan digunakan sebagai indikator pembangunan manusia pada tahap awal (Levine dan Zervos, 1993). Yang paling umum digunakan untuk mengukur pemerataan pendidikan adalah tingkat partisipasi pendidikan dasar, angka partisipasi sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah. Untuk mengukur pemerataan pendidikan, Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesia tidak hanya menggunakan angka partisipasi sekolah (APS) tetapi juga menghitung angka partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi kasar (APK) pada berbagai 11
jenjang pendidikan. Namun, rasio partisipasi pendidikan hanya mengukur akses pendidikan masyarakat dan tidak menunjukkan tingkat pencapaian atau perolehan
pendidikan kumulatif. Oleh karena itu, ukuran-ukuran tersebut
kurang tepat jika digunakan untuk model pertumbuhan. Selain itu, rasio partisipasi pendidikan tidak mencerminkan stok modal manusia (Thomas et al, 2001). Untuk mengatasi kelemahan indikator ini, UNESCO (1996) melengkapi kelemahan APS, APK, maupun APM sebagai indikator ketimpangan pendidikan dengan menggunakan rasio partisipasi kelas berdasarkan distribusi persentase siswa menurut kelas dalam sistem sekolah tertentu. Castello dan Domenech, (2002) menyatakan bahwa kelebihan indikator ini adalah: Pertama, rasio partisipasi kelas dapat menangkap secara detail tentang kinerja siswa. Kedua, tingkat rata-rata pencapaian tidak mempengaruhi rasio partisipasi kelas. Namun, data tidak mencerminkan penduduk usia kerja sehingga jeda waktu di mana siswa di tingkat dasar akan masuk sebagai angkatan kerja setelah lag usia 5 sampai 15 tahun (Frankema dan Bolt, 2006). Untuk menghitung rasio partisipasi pendidikan adalah: b) Angka Partisipasi Kasar (APK) Angka Partisipasi Kasar (APK) Sekolah Menengah adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan menengah terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan menengah. APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan. Adapun rumus untuk menghitung APK adalah sebagai berikut: 𝐴𝑃𝐾 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑦𝑔 𝑚𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑠𝑒𝑘𝑜𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖 𝑆𝑀 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑢𝑠𝑖𝑎 𝑠𝑒𝑘𝑜𝑙𝑎ℎ
𝑥100 ……………..…… (2.1)
c) Angka Partisipasi Murni (APM). Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase siswa dengan usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang sama. APM Sekolah Menengah menunjukkan partisipasi sekolah penduduk usia sekolah di tingkat pendidikan menengah. Seperti APK, APM
12
juga merupakan indikator daya serap penduduk usia sekolah di setiap jenjang pendidikan. Tetapi, jika dibandingkan APK, APM merupakan indikator daya serap yang lebih baik karena APM melihat partisipasi penduduk kelompok usia standar di jenjang pendidikan yang sesuai dengan standar tersebut. Adapun rumus untuk menghitung APM adalah sebagai berikut: 𝐴𝑃𝑀 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑀𝑢𝑟𝑖𝑑 𝑠𝑒𝑘𝑜𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖 𝑆𝑀 𝑢𝑠𝑖𝑎 16−18 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑢𝑠𝑖𝑎 𝑠𝑒𝑘𝑜𝑙𝑎ℎ
𝑥100 ……………… (2.2)
d) Angka Rata-Rata Lama Sekolah (Average Years of Schooling=AYS). Lamanya sekolah atau years of schooling adalah sebuah angka yang menunjukkan lamanya bersekolah seseorang dari masuk sekolah dasar sampai dengan tingkat pendidikan terakhir (SD – S3). Psacharopoulos dan Arriagada (1986) mengemukakan bahwa indikator yang tepat dalam mengukur tingkat pembangunan manusia adalah tingkat persediaan/stok perolehan pendidikan atau yang disebut sebagai rata-rata lama sekolah. Peneliti mengumpulkan informasi tentang distribusi sekolah masing-masing negara dan dihitung tingkat pencapaian pendidikan seperti Barro dan Lee (1996) yang memformalkan penggunaan capaian pendidikan untuk regresi pertumbuhan. Nehru et al (1994) membuat database capaian pendidikan lintas negara untuk mengevaluasi distribusi sekolah dari waktu ke waktu di berbagai negara. Namun, indikator ini tidak menggambarkan karakteristik ketimpangan modal manusia baik absolut maupun relatif (Thomas et al, 2000). Untuk menghitung rata-rata lama sekolah dapat digunakan rumus sebagai berikut: 𝜇 = 𝐴𝑌𝑆 =
𝑥𝑖 𝑛
…………………………………………………….
(2.3)
Dimana adalah 𝜇 = rata-rata jumlah tahun bersekolah penduduk usia 5 tahun keatas, 𝑥𝑖 = jumlah tahun bersekolah individu usia 5 tahun ke atas, dan n =
jumlah individu usia 5 tahun ke atas. Sedangkan kriteria angka rata-rata lama sekolah menurut Thomas at. El. (2001) adalah:
13
Tabel 2.1 Kriteria Rata-rata Lama Sekolah No. Rata-rata Lama Sekolah 1 8 – 14 tahun 2 4 – 8 tahun 3 0 – 4 tahun Sumber: Thomas et. al (2001)
Kriteria Tinggi Sedang Rendah
e) Standar Deviasi Sekolah (SDS). Standar deviasi telah banyak digunakan untuk mengukur distribusi sebaran aset. Ram (1990) menggunakan standar deviasi dari sekolah untuk menggambarkan keberadaan Kurva Kuznets pendidikan. Birdsall dan Londono (1997) meneliti dampak dari distribusi aset awal terhadap pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan dan menemukan korelasi negatif yang signifikan antara dispersi (sebaran) pendidikan yang diukur dengan standar deviasi sekolah, dengan pertumbuhan pendapatan. Inter-American Development Bank (1999) mengambil standar deviasi sekolah untuk mengukur ketimpangan pendidikan. Rumus yang digunakan untuk mengukur standar deviasi sekolah adalah: 𝜎 = 𝑆𝐷𝑆 = √∑𝑛𝑖=1 𝑝𝑖 (𝑦𝑖 − 𝜇)2 ……………………………………….. (2.4) dimana SDS = standar deviasi sekolah; µ= rata-rata lama sekolah; pi adalah proporsi penduduk pada jenjang sekolah tertentu, yi adalah lama sekolah pada jenjang pendidikan yang berbeda. f)
Koefisien Gini Pendidikan. Standar deviasi sekolah hanya mengukur dispersi absolute dari distribusi sekolah. Untuk itu diperlukan ukuran lain, seperti indeks Gini pendidikan yang digunakan untuk mengukur ketimpangan sekolah secara relatif pada waktu tertentu. Konsep indeks Gini Pendidikan sangat mirip dengan rasio Gini (mengukur ketimpangan pendapatan) dan dapat dihitung dengan menggunakan data partisipasi, pembiayaan, dan tamatan pendidikan. Rosthal (1978) mengestimasi koefisien Gini Pendidikan dengan menggunakan data pembiayaan pendidikan di beberapa negara Afrika Timur. Sheret (1988) menggunakan data partisipasi sekolah di Papua Nugini untuk menghitung indeks Gini pendidikan. Namun, penelitian ini tidak menggunakan indeks gini pendidikan untuk mengukur pemerataan pendidikan. 14
Untuk menghitung ketimpangan pendidikan atau indeks gini pendidikan menggunakan formula Deaton (1997) dan Thomas et. all (2001), yaitu: 1
𝐸𝑔 = (𝜇) ∑𝑛𝑖=2 ∑𝑖−1 𝑗=1 𝑝𝑖 |𝑦𝑖 − 𝑦𝑗 |𝑝𝑗 …………………………….. (2.5) dimana 𝐸𝑔 = indeks gini pendidikan yang didasarkan pada distribusi tamatan sekolah/pendidikan; µ= rata-rata lama sekolah; pi dan pj adalah proporsi penduduk pada jenjang sekolah tertentu, yi dan yj adalah lama sekolah pada jenjang pendidikan yang berbeda, dan n adalah jumlah data lulusan. Sedangkan kriteria ketimpangan atau pemerataan pendidikan dengan menggunakan indeks gini pendidikan menurut Thomas at. El. (2001) adalah: Tabel 2.2 Kriteria Koefisien Gini Pendidikan No. Koefisien Gini Pendidikan 1 0,6 – 1,0 2 0,3 – 0,6 3 0,0 – 0,3 Sumber: Thomas et. al (2001)
Kriteria Tinggi Sedang Rendah
2.2 TEORI HUMAN CAPITAL (MODEL INVESTASI MODAL MANUSIA) Teori human capital adalah suatu aliran pemikiran ekonomi yang menganggap bahwa sumber daya manusia (SDM) dianggap sebagai capital goods yang dapat menentukan upaya pencapaian manfaat dan produktivitas sebagaimana bentuk-bentuk kapital yang lain, seperti teknologi, mesin, tanah dan uang. Melalui investasi dirinya sendiri, seseorang dapat memperluas cakrawala berpikirnya dalam rangka memilih profesi, pekerjaan, atau kegiatan-kegiatan lain sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Teori pengembangan manusia sebagai unsur kapital sudah terpikirkan oleh para pemikir paling tidak sejak abad ke 18. Pengembangan sumber daya manusia terus berjalan sejak zaman neo-klasik sampai zaman modern karena wawasan dan kemampuan berpikir manusia juga terus berubah sejalan dengan tantangan-tantangan zaman yang berubah. Namun cara berpikir yang mengangap bahwa manusia sebagai unsur kapital memiliki nilai ekonomis telah berkembang sejak zaman klasik, neoklasik, hingga zaman modern. Smith (1776) telah menggagas bahwa keterampilan tenaga kerja merupakan kekuatan yang dominan bagi kemajuan industri. Menurut Smith, human capital terdiri atas kemampuan dan kecakapan yang diperoleh dan digunakan semua anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan produksi. Perolehan kemampuan, yang dapat dilakukan melalui 15
kegiatan pendidikan, belajar sendiri, atau belajar sambil bekerja memerlukan biaya yang harus dikeluarkan oleh yang bersangkutan. Biaya atau pengorbanan yang dikeluarkan untuk mempermudah mencari pekerjaan, promosi jabatan, serta memperoleh pendapatan yang lebih layak. Manurut Smith, kemampuan dan keterampilan menggunakan mesin sama penting dan sama mahalnya dengan mesin-mesin itu sendiri. Sedangkan Ricardo (dalam Suryadi, 2012) berpendapat bahawa manusia dapat dianggap sebagai kapital yang mendukung produktivitas. Artinya bahwa kontribusi manusia bukan terletak pada kemampuan dan keterampilannya, tetapi hanya pada individu mereka sendiri. Dalam hal ini, Ricardo melupakan bahwa manusia dapat memaksimalkan potensinya untuk memaksimalkan produktivitas usaha atau industri. Pernyataan Ricardo tersebut menurut Ginsberg (1966) menjadi pangkal permulaan latar belakang penlakan terhadap manusia sebagai unsur kapital. Padahal manusia dapat memiliki kemampuan dan keterampilan yang dapat mendorong kegiatan usaha, sehingga produktivitas menjadi meningkat. Sementara itu, Thunen (1875) menyatakan bahwa “tidak diragukan lagi bahwa tingkat pelayanan dari manusia merupakan bagian terpenting dari aset nasional. Karena memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, sebagai proksi dari meningkatnya kemampuan dan keterampilan, ditambah dengan bentuk-bentuk modal fisik yang lebih baik, seseorang akan lebih baik memperoleh penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang beroendidikan yang lebih rendah atau tidak sama sekali”.
Mengenai penntingnya
human capital juga dikemukakan oleh Marshall (1961) yang secara eksplisit mengeluarkan unsur human capital dari definsinya mengenai kesejahteraan (wealth), ia masih mengakui bahwa sumber daya manusia merupakan suatu bentuk kapital. Hal inilah yang mendorong manusia untuk menginvestasikan dirinya sehingga setara dengan investasi fisik pada bidang-bidang lain. Para pemikir klasik lainnya seperti Say, Senor, List, Mc Lead, Roscher, Walras, Bagehot, dan Sidgwick (Cohn, 1979) memperlakukan dan menilai human capital sejajar dengan nilai kapital fisik lainnya. Untuk memperoleh keadilan dan perlakuan yang wajar dan untuk menghindari praktik-praktik eksploitasi sumber daya manusia, Walras (1954) menganggap perlu bahwa manusia dapat diperhitungkan sebagai unsur penting dalam konsepsi kapital. Schultz (1960) dianggap sebagai peletak dasar teori human capital, karena dalam pidato dalam Perkumpulan Ahli Ekonomi Amerika Serikat memuat pesan utama, yaitu 16
proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan kegiatan konsumtif semata, melainkan suatu bentuk investasi manusia. Pendapat tersebut didukung oleh Denison (1962) yang memperlihatkan bahwa pendidikan sebagai sarana pengembangan kualitas manusia telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan pendapatan negara melalui peningkatan kemampuan dan keterampilan produksi dari pekerja terdidik. Senada dengan Schultz (1960) dan Denison (1962) yakni Krueger (1968) dan Becker (1964) melakukan pengujian teori human capital ini secara empiris sehingga dapat memperkaya temuan-temuan sebelumnya. Temuan-temuan tersebut memeperkuat tentang nilai ekonomi pendidikan, sekaligus juga telah mendorong pertumbuhan akan kesempatan pendidikan di negara-negara berkembang pada periode pasca kolonial. Namun pada tahun 1970-an, teori human caital telah mengalami masa yang redup, karena munculnya kesangsian/keraguan mengeani peran pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara (termasuk negara yang memperoleh bantuan Bank Dunia). Kesangsian tersebut muncul karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya Becker (1964), yang menyatakan bahwa teori ini lebih menekankan pada dimensi materiil dari manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosial-budaya. Namun, pada tahun 1980-an penelitian pendidikan dan produktivitas mulai berkembang lagi dengan mengukuhkan model-model input-output (Colemen, 1966), model perolehan status oleh Blau dan Duncan (1987), serta penelitian Sciefelbein dan Farrell (1982) yang memusatkan perhatian terhadap pendidikan dan kesempatan kerja bagi para lulusan di Chili. Selanjtnya Wolrd Bank (1980), Hicks (1980), Wheeler (1980), dan Psacharopolous (1984), serta beberapa peneliti neoklasik lain telah mampu membuktikan bahwa pendidikan memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, tanpa mengabaikan kontribusi modal fisik. Karena investasi modal fisik akan berlipat ganda nilai tambahnya jika pada saat yang bersamaan dilakukan investasi sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan, yang secara langsung akan menghasilkan pelaku-pelaku dalam investasi fisik tersebut.
2.3
PENGELUARAN PEMERINTAH
2.3.1 Kebijakan Fiskal Menurut Devay (1989) kebijakan fiskal menggunakan belanja pemerintah, pembayaran transfer, pajak dan pinjaman untuk mempengaruhi variabel 17
mekroekonomi seperi tenaga kerja, tingkat harga dan tingkat GDP. Alat kebijakan fiskal dapat dipisahkan menjadi dua kategori yaitu kebijakan fiskal stabilisator dan diskrit. Kebijakan fiskal penstabil otomatik atau disebut juga stabilisator terpasang menurut Lipsey et. al (1995) adalah berbagai kebijakan yang dapat menurunkan kecenderungan membelanjakan marjinal dari pendapatan nasional, sehingga mengurangi angka multiplier. Penstabil otomatik mengurangi besarnya fluktuasi pendapatan nasional yang disebabkan oleh perubahan-perubahan outonomous pada pengeluaran-pengeluaran seperti investasi. Selain itu, perangkat ini akan bekerja tanpa pemerintah harus bereaksi dengan sengaja, terhadap setiap perubahan pendapatan nasional pada waktu perubahan ini terjadi. Tiga bentuk penstabil otomatik yang utama yaitu pajak, pengeluaran pemerintah, dan transfer pemerintah.
2.3.2 Klasifikasi Anggaran Pemerintah Menurut Suparmoko (1994), pengeluaran pemerintah dapat dinilai dari berbagai segi sehingga dapat dibedakan menjadi sebagai berikut : a) Pengeluaran itu merupakan investasi yang menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi dimasa yang akan datang. b) Pengeluaran itu langsung memberikan kesejahteraan dan kegembiraan bagi masyarakat. c) Merupakan penghematan pengeluaran yang akan datang. d) Menyediakan kesempatan kerja lebih banyak dan penyebaran tenaga beli yang lebih luas Jenis-jenis pengeluaran pemerintah adalah: a) Pengeluaran yang self liquiditng sebagian atau sepenuhnya, artinya pengeluaran pemerintah mendapatkan pembayaran kembali dari masyarakat yang
menerima
jasa.jasa/barang.barang
yang
bersangkutan.
Misalnya,
pengeluran untuk jasa-jasa perusahaan pemerintah atau untuk proyek.proyek produktif b) Pengeluaran yang reproduktif, artinya mewujudkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat yang dengan naiknya tingkat penghasilan dan sasaran pajak yang lain akhirnya akan menaikkan penerimaan pemerintah. Misalnya pengeluran 18
untuk bidang pertanian, pendidikan, dan pengeluaran untuk menciptakan lapangan kerja, serta memicu peningkatan kegiatan perekonomian masyarakat. c) Pengeluran yang tidak termasuk self liquiditing dan tidak reproduktif, yaitu pengeluaran yang langsung menambahkan kegembiraan dan kesejahteraan masyarakat. Misalnya untuk bidang rekreasi, pendirian monumen dan sebagainya. d) Pengeluaran yang merupakan penghematan dimasa akan datang, misalnya pengeluaran untuk anak- anak yatim piatu, pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan masyarakat Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pengeluaran pemerintah Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin pada dasarnya berunsurkan pos-pos pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan roda pemerintahan sehari.hari meliputi belanja pegawai, belanja barang: berbagai macam subsidi (subsidi daerah dan subsidi harga barang) ; angsuran dan utang pemerintah ; serta jumlah pengeluran lain. Sedangkan pengeluaran pembangunan maksudnya adalah pengeluaran yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk prasarana fisik , yang dibedakan atas pembangunan yang dibiayai dengan dana rupiah dan bantuan proyek. Pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan mempunyai batasan yang tidak jelas. Sebagai contoh, berbagai macam upah dan gaji tambahan yang menurut logika awam termasuk pengeluaran rutin oleh pemerintah digolongkan sebagai pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pemerintah juga dapat dibedakan menurut berbagai macam klasifikasi sebagai berikut: a) Pembedaan antara Pengeluaran atau Belanja Rutin dan Pengeluaran atau Belanja Pembangunan: (1) Belanja rutin adalah belanja untuk pemeliharaan atau penyelenggaraan pemrintah sehari.hari. Belanja rutin terdiri atas Belanja Pegawai, yaitu untuk pembayaran gaji atau upah pegawai termasuk gaji pokok dengan segala macam tunjangan. Belanja barang, yaitu untuk pembelian barang.barang
yang digunakan
untuk
penyelenggaraan
pemerintah
sehari.hari. Belanja pemeliharaan, yaitu pengeluaran untuk memelihara agar milik atau kekayaan pemerintah tetap terpelihara secara baik. Belanja 19
perjalanan,
yaitu
untuk
perjalanan
kepentingan
penyelenggaraan
pemerintahan. (2) Belanja pembangunan, adalah pengeluaran untuk pembangunan baik pembangunan fisik maupun pembangunan non fisikdpiritual b) Pembedaan antara current account atau current expenditure dengan capital expenditure atau capital account . (1) current expenditure atau current budget (anggaran rutin), yaitu anggaran untuk penyelenggaraan pemerintah sehari.hari termasuk belanja pegawai dan belanja barang serta belanja pemeliharaan. (2) Capital expenditure atau capital budget (belanja pembangunan), yaitu rencana untuk pembelian capital (tetap). c) Pembedaan Obligatory Expenditure degnan Optional Expenditure antara Real Expenditure dengan Transfer Expenditure dan antara Liquidated Expenditure dengan Cash Expenditure. (1) Obligatory Expenditure atau pengeluaran wajib adalah pengeluaran yang bersifat wajib harus dilakukan agar efektifitas pelaksanaan pemerintah dapat terselenggara sebaik.baiknya. (2) Optional Expenditure atau pengeluaran opsional adalah pengeluaran yang dilakukan pada saat tiba .tiba dibutuhkan. (3) Real Expenditure atau pengeluaran nyata adalah pengeluaran utnuk membeli barang dan jasa. (4) Liquidated Expenditure adalah pengeluaran sebagaimana yang sudah diajukan dan disetujui oleh DPR. Semula dalam RAPBN setelah mendapat pengesahan menjadi APBN. (5) Transfer Expenditure adalah pengeluaran yang tidak ada kaitannya dengan mendapatkan barang dan jasa , jadi tidak ada direct quid pro quo (6) Cash Expenditure adalah pengeluaran yang telah sungguh-sungguh dilaksanakan berupa pembayaran.pembayan konkrit.
20
2.4
KETIMPANGAN PENDAPATAN Hubungan antara pertumbuhan, ketimpangan, dan kemiskinan menjadi inti dari
pembangunan ekonomi.Ketimpangan pendapatan global adalah mungkin lebih besar daripada sejarah manusia. 2.4.1 Ukuran Ketimpangan Pendapatan Ketimpangan pendapatan merupakan isu yang sangat penting bagi para ahli ekonomi, politisi, maupun para peneliti ilmu sosial.Banyak pendekatan untuk mengukur ketimpangan pendapatan antar wilayah antar kelompok pendapatan rumah tangga. Indikator yang sering digunakan untuk mengetahui ketimpangan penadapatan adalah rasio gini dan kriteria Bank Dunia. Pendekatan lain yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan adalah Indeks Atkinson dan indeks Entropy Theil. 1) Koefisien Gini Koefisien gini digunakan untuk mengukur ketimpangan pembagian pendapatan menurut kelas pendapatan.Penentuan koefisien gini dapat menggunakan kurva Lorenz.Pada sumbu mendatar diukur besarnya jumlah penduduk secara kumulatif, sedangkan pada sumbu vertikal besarnya jumlah pendapatan kumulatif.Jumlah penduduk disusun menurut kelas pendapatan dari yang terendah hingga yang tertinggi pada sumbu yang mendatar. Apabila suatu negara terdapat pemerataan pembagian pendapatan yang sempurna, maka 10% dari jumlah penduduk yang pertama juga memperoleh bagian 10% dari seluruh pendapatan nasional, 20% dari penduduk 20% dari pendapatan nasional, 50% dari penduduk 50% dari pendapatan nasional, 75% dari penduduk 75% dari pendapatan nasional dan demikian seterusnya. Dengan kata lain, bahwa kurva Lorenz adalah sama dengan garis diagonal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:
21
Sumber: Piffaut (2009). Gambar 2.1 Kurva Lorenz Semakin jauh kurva Lorenz tersebut darai garis diagonal (kemerataan sempurna) semakin tinggi derajat kemerataan yang ditunjukkan.Keadaan yang paling ekstrim dari ketidakmerataan sempurna, misalnya keadaan dimana seluruh pendapatan hanya diterima oleh satu orang, akan ditunjukkan oleh berhimpitnya kurva Lorenz tersebut dengan sumbu horizontal bagian bawah dan sumbu vertikal sebelah kanan. Oleh karena tidak satu negarapun yang mengalami kemerataan sempurna ataupun ketidakmerataan sempurna dalam distribusi pendapatannya, maka kurva-kurva Lorenz untuk setiap negara akan terletak di sebelah kanan kurva diagonal tersebut seperti pada gambar di atas. Semakin tinggi derajat ketidakmerataan, kurva Lorenz akan semakin cembeung (melengkung) dan semakin mendekati sumbu horizontal sebelah bawah. Untuk menghitung koefisien Gini dapat digunakan rumus 𝐺 = 1 − ∑𝑛𝑖=1(𝑥𝑖+1 − 𝑥𝑖 (𝑦𝑖+1 + 𝑦𝑖+1 )……………………………….……
2.6
dimana G adalah angka koefisien gini, xi adalah proporsi jumlah rumah tangga kumulatif kelas i,yi adalah prpoporsi jumlah pendapatan rumah tangga kumulutif delam kelas i. Nilai koefisien gini yang digunkaan untuk mengukur ketidakmerataan agregat adalah antara 0 (kemerataan sempurna) sampai 1 (ketidakmerataan sempurna). Koefisien gini dari negara-negara yang mengalami ketidakmerataan tinggi berkisar antara 0,50 – 0,70; ketidakmerataan sedang berkisar antara 0,36 – 0,49; dan yang mengalami ketidakmerataan rendah berkisar antara 0,20 - 0,35.
22
2) Indeks Atkinson Indeks Atkinson juga digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan.Indeks
Atkinson
adalah
ukuran
ketimpangan
pendapatan
yang
dikembangkan oleh ekonom Inggris, Anthony Barnes Atkinson.Ukuran inimampu menangkap perubahan atau pergerakan pada segmen-segmen yangberbeda dari distribusi pendapatan.Indeks ini bisa diubah menjadi pengukuran normatif dengan mengesankan koefisien ε sebagai penimbang pendapatan. Indeks Atkinson menjadi lebih sensitif untuk berubah ketika mencapai nilai mendekati satu.Sebaliknya, ketika mendekati nol indeks Atkinson menunjukkan bahwa lebih sensitif ke perubahan batas atas distribusi pendapatan.Penghitungan indeks Atkinson dimulai dengan konsep EDE (Equally Distributed Equivalent). EDE adalah level pendapatan dimana jika pendapatan tersebut dihasilkan oleh setiap individu dalam distribusi pendapatan, maka semua individu tersebut dimungkinkan untuk mencapai level kesejahteraan yang sama 1
1/(1−𝜀)
1
𝐴𝑇𝐾𝐼𝑁𝑆𝑂𝑁 = 1 − 𝜇 (𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑦𝑖1−𝜀 )
………………………..….. 2.7
dimana yi adalah besarnya pendapatan individu i dan µadalah rata-rata pendapatan penduduk.
Indeks
Atkinson
menggunakan
parameter
ketimpangan
yang
dilambangkandengan ε. Jika pendapatan masyarakat dianalogikan dengan PDRB per kapita provinsi, berarti penggunaan ε=0 memiliki arti meningkatkan jumlah PDRB per kapita provinsi terkecil memiliki dampak kesejahteraan sosial yang sama sebagaimana meningkatkan jumlah PDRB per kapita provinsi terbesar. Untuk ε>0 berarti meningkatkan jumlah PDRB per kapita provinsi terkecil secara sosial lebih baik dipilih daripada meningkatkanjumlah PDRB per kapita provinsi terbesar.Parameter ketimpangan ε yanglebih besar menyebabkan peningkatan proporsi yang lebih besar bagi peningkatanPDRB per kapita dari rata-rata PDRB per kapita seluruh provins. IndeksAtkinson dihitung dengan menggunakan parameter ketimpangan ε yang bervariasi dari ε=0,5 , ε=1, ε=2, dan ε=3 dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran kebijakan mana yang paling tepat untuk meminimalisir dampak ketimpangan regional terhadap kesejahteraan masyarakat. Pengukuran Indeks Atkinson sensitif terhadap perubahan ε sehingga menghasilkan indeks yang bervariasi untuk setiap ε yang berbeda.
23
3) Indeks Theil’s Entropy. Indeks
ini
digunakan
untuk
mengukur
ketimpangan
ekonomi
dan
kosentrasiIndustriDalam indeks Entropi ini yang merupakan indeks kosentrasi spasial yang menyedianan ukuran derajat kosentrasi distribusi spasial pada sejumlah daerah dan sub daerah dalam suatau negara dan antar sub unit daerah dalam suatu kawasan pada suatu titik waktu. Nilai indeks entropi yang lebih rendah berarti mennjukkan adanya ketimpangan yang rendah, dan sebaliknya.Ukuran ketimpangan pendapatan juga dirumuskan oleh Theil (1967), yang diturunkan dari notasi entrophy dalam teori informasi, yaitu: 𝑦𝑗
𝑦𝑗
𝑇 = ∑ ( 𝑌 ) 𝑥 𝑙𝑜𝑔 [ 𝑌⁄𝑥𝑗]
…………………………………………...
2.8
𝑋
dimana T adalah indeks entropi Theil, yjadalah PDRB per kapita Kabupaten/Kota j, Y adalah rata-rata PDRB per kapita Provinsi, xj adalah jumlah penduduk kabupaten/kota j, dan X adalah jumlah penduduk Provinsi. Indeks ini memiliki nilai antara nol hingga tak terbatas, dengan nilai yang lebih tinggi, entropi yang lebih besar, menunjukkan pemerataan pendapatan.Tidak ada ukuran tunggal terbaik untuk mengukur ketimpangan pendapatan. Beberapa model perhitungan (misalnya, Indeks Atkinson) lebih "lebih sensitif" daripada yang laindan lebih kuat berkorelasi dengan tingkat kemiskinan. Salah satu penyebab terjadinya ketimpangan pendapatan adalah pendidikan. Pendidikan di sini merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat upah dan memberikan kontribusi besar terhadap distribusi pendapatan di masyarakat. Sudah bukan rahasia lagi bahwa bekerja adalah sumber utama pendapatan bagi sebagian besar individu dalam masyarakat, dan karena pekerjaan dan pengangguran merupakan penyebab signifikan dari buruknya distribusi pendapatan. Mengingat biaya pendidikan yang semakin tinggi, masyarakat miskin dan akan memperoleh pendidikan yang lebih rendah dibanding dengan masyarakat kaya begitu juga dengan kualitas pendidikan yang diperoleh akan berbeda pula. Hal ini memperkuat bahwa pendidikan merupakan faktor penentu penting dari tingkat upah atau pendapatan, perbedaan ini akan menyebabkan ketimpangan pendapatan. Schultz (1961) menyatakan bahwa perubahan pada modal manusia merupakan faktor dasar dalam mengurangi ketimpangan pendapatan. Ahluwalia (1976) menjelaskan proses pendidikan dalam mempengaruhi distribusi pendapatan, melalui 24
peningkatan pengetahuan dan keahlian tenaga kerja. Hal ini akan menghasilkan pergeseran dari pekerjaan bergaji rendah bagi pekerja tidak terampil ke pekerjaan yang dibayar tinggi bagi pekerja terampil. Pergeseran ini menghasilkan pendapatan pekerja yang lebih tinggi. Peningkatan jumlah orang yang lebih terdidik dan terampil akan mengurangi rasio orang yang kurang berpendidikan dalam angkatan kerja total, sehingga akan mengurangi perbedaan keterampilan. Over supply di pasar tenaga kerja dari orang yang lebih terdidik dan terampil, tanpa ada perubahan dalam permintaan, akan menurunkan upah pekerja trampil dan menaikkan upah pekerja tidak trampil, sehingga secara keseluruhan memberikan kontribusi untuk pengurangan perbedaan penghasilan di pasar tenaga kerja. Dengan demikian, efek perluasan pendidikan tidak hanya terhadap upah mereka yang berpendidikan lebih tinggi, tetapi juga bagi mereka yang berpendidikan lebih rendah (Ahluwalia, 1976). Berdasarkan hasil penelitian Abdelbaki (2012) dengan menganalisis data pengeluaran rumah tangga dan survei pendapatan di Bahrain, menunjukkan korelasi positif antara tingkat pendidikan tiap kepala keluarga dengan pendapatan keluarga. Keluarga miskin dan daerah miskin mengalami kesulitan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi, dan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak menjadi lebih rendah. Penyebab ketimpangan pendidikan di Bahrain adalah perbedaan dalam biaya pendidikan, ketersediaan sekolah swasta, dan belanja pemerintah dalam bidang pendidikan . Ketimpangan pendapatan juga diakibatkan oleh bergesernya permintaan tenaga kerja yang tidak terampil menjadi tenaga kerja terampil. Pilihan pekerjaan dan tingkat gaji serta produktivitas di dunia kerja dapat ditentukan dari jenjang pendidikan yang ditempuh. Pendidikan juga dapat menggeser komposisi angkatan kerja jauh dari tidak terampil menjadi terampil yang dalam jangka panjang diharapkan dapat mengurangi ketimpangan pendapatan (Schultz, 1961). Peningkatan ketimpangan pendapatan di Taiwan dapat menyebabkan peningkatan pekerja yang melanjutkan tingkat pendidikan ke yang lebih tinggi. Sehingga pasokan pekerja terampil akan banyak memasuki pasar tenaga kerja, dari sisi penawaran tenaga kerja terampil diharapkan dalam jangka panjang akan mengurangi ketimpangan pendapatan di Taiwan (Lin, 2006). Pencapaian pendidikan memainkan peran penting sebagai sinyal kemampuan dan produktivitas di pasar kerja. Meskipun 25
pendidikan belum tentu selalu menghasilkan sinyal yang akurat mengenai produktivitas tenaga kerja dan informasi yang terbatas memaksa pengusaha untuk menggunakan pendidikan sebagai indikator utama (Stiglitz,1973). Abdullah (2011) pendidikan memiliki pengaruh yang besar terhadap distribusi pendapatan dimana pendidikan dapat mengurangi perbedaan pendapatan antara orang kaya dan orang miskin, selain itu ketimpangan pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap terjadinya ketimpangan pendapatan. Dalam hasil penelitian Checchi (2001) yang menganalisa hubungan ketimpangan ketimpangan pendidikan (rata-rata lama sekolah) dan ketimpangan pendapatan dengan menggunakan indeks gini pendidikan, hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah memiliki pengaruh negative terhadap ketimpangan pendapatan. Peningkatan akses pendidikan dapat menurunkan terjadinya ketimpangan pendapatan karena hal ini akan menghasilkan tenaga kerja yang banyak dan memiliki pendidikan yang tinggi serta didukung oleh peningkatan inovasi teknologi serta lapangan kerja yang memadai maka akan mengurangi terjadinya ketimpangan pendapatan.
2.5
KEMISKINAN
2.5.1 Konsep dan Indikator Kemiskinan Seseorang dapat dikatakan miskin atau hidup dibawah garis kemiskinan jika pendapatan atau akses terhadap barang dan jasa relatif rendah.Secara absolut seseorang dinyatakan miskin apabila tingkat pendapatan atau standar hidupnya secara absolute berada dibawah tingkat subsisten.Ukuran subsistensi tersebut dapat diproksi dengan garis kemiskinan.Secata umum kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan standar atas setiap aspek kehidupan.Menurut Sen (1999) kemiskinan lebih terkait pada ketidakmampuan untuk mencapai standar hidup tersebut dari pada apakah standar hidup tersebut tercapai atau tidak. Untuk mengukur tingkat kemiskinan terdapat bebrapa metode ukuran misalnya Bank Dunia menggunakan ukuran penghasilan kurang dari $ 2 dolar perhari dan Asian Development Bank (ADB) menggunakanindikator kemiskinan yang digunakan oleh pemerintah dengan ADB terdapat perbedaan. Tahun lalu,pemerintah menetapkan garis kemiskinan Rp 7.600/hari atau setara dengan US$ 1,13 PPP (purchasing power
26
parity/daya beli masyarakat), serta menggunakan indikator kemiskinan Biro Pusat Statistik (BPS). Selain itu, untuk menentukan jumlah penduduk miskin dpat digunakan formulasi matematis.Formula tersebut diataranya Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index dinyatakan sebagai berikut (Cockburn, 2001): 1
𝑃𝛼 (𝑦; 𝑧) = 𝑛 ∑𝑞𝑖=1 (
𝑧−𝑦𝑖 𝛼
(𝛼 ≥ 0) ……………………………… 2.9
) ,
𝑧
dimanayi adalah rata-rata nilai pengeluaran per kapita individu ke i dalam rumah tangga yang sudah diranking berdasarkan tingkat pengeluaran, total populasi dinyatakan sebagai n dan jumlah populasi miskin adalah q, batas kemiskinan adalah z, sehingga poverty gap ratio adalah Gi = (z – yi)/z, dimana Gi = 0 pada saat yi> z. Nilai α ada tiga macam, yaitu:
Nilai α = 0, P0 menyatakan headcount index, merupakan proporsi populasi yang berada di bawah garis kemiskinan. Formula (2.32) di atas akan menjadi: 𝑧−𝑦𝑖 0
1
𝑃0 (𝑦; 𝑧) = ∑𝑞𝑖=1 ( 𝑛
𝑧
) , 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑃0 = 𝑞/𝑛 …………………… 2.10
Misalnya terdapat sebanyak 10 persen populasi termasuk ke dalam kelompok miskin, maka P0 = 0.10.
Nilai α = 1, menunjukkan ukuran poverty gap ratio dimana masing-masing penduduk miskin dibobot berdasarkan jarak relatif mereka dari garis kemiskinan. Formula (2.33) menjadi: 1
………..…………………………………. 2.11
𝑃1 = 𝑛 ∑(𝑧 − 𝑦𝑖 )/𝑧
Misalnya besaran P1 = 0.1, artinya total ketimpangan kemiskinan seluruh populasi miskin terhadap garis kemiskinan adalah 10 persen. Adapun P1/P0 = 1/qΣ(z-yi)/z adalah rata-rata ketimpangan kemiskinan (poverty gap) yang dinyatakan sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan.
Nilai α = 2, formula (2.33) menjadi: 1
𝑧−𝑦𝑖 2
𝑃2 (𝑦; 𝑧) = 𝑛 ∑𝑞𝑖=1 (
𝑧
) ………………………………………
2.12
Artinya bobot yang diberikan kepada masing-masing penduduk miskin proporsional dengan kuadrat kekurangan pendapatan mereka terhadap garis kemiskinan.Indeks tersebut merupakan ukuran yang sensitif terhadap perubahan pendapatan atau distribusi pendapatan populasi miskin (distributionally sensitive index).Ukuran ini dinamakan rasio “keparahan” kemiskinan (poverty severity). 27
Pengukuran kemiskinan dengan FGT poverty index dapat digunakan juga apabila populasi rumah tangga dipisahkan (disaggregated) menurut kelompok (sub-group) populasi, sehingga kontribusi masing-masing kelompok dapat diketahui. Dalam penelitian ini populasi dibagi menjadi 8 kelompok, maka profil kemiskinan digambarkan melalui Pj untuk j = 1, 2, ..., 8 sebagai berikut: 1
𝑗
𝑃𝑗 = 𝑛 ∑8𝑗=1 𝑝(𝑧𝑗 , 𝑦𝑖 )
………………………..………………… 2.13
Adapun kemiskinan agregat
sebagai
rata-rata ukuran kemiskinan
kelompok, diformulasikan sebagai: 1
𝑃 = 𝑛 ∑8𝑗=1 𝑃𝑗 𝑁𝑗
………..………………………….…….. 2.14
dimana: Pj = ukuran kemiskinan untuk kelompok j, dimana j = 1, 2, ..., 8, Nj = jumlah populasi kelompok j, yij = rata-rata pengeluaran individu i yang berada pada kelompok j, i = individu1, 2, ..., nj yang berada dalam kelompok j. Profil kemiskinan menurut kelompok tersebut menggambarkan konsistensi, dimana ketika kemiskinan dalam suatu kelompok meningkat, maka secara agregat kemiskinan populasi juga akan meningkat, demikian pula sebaliknya.
2.6
STUDI TERDAHULU
2.6.1 Pengukuran Ketimpangan Pendidikan Penelitian tentang pengukuran ketimpangan pendidikan pertama kali dilakukan oleh Psacharopoulos dan Arriagada (1986) yang mepublikasikan hasil penelitian tentang ketimpangan pendidikan dengan menggunakan ukuran capaian pendidikan tenaga kerja dari 100 negara. Ukuruan ketimpangan pendidikan menggunakan standar deviasi sekolah, selanjutnya menkorelasikannya dengan jenjang sekolah. Hasil penelitian menunjukkan terjadi korelasiyang signifikan antara tingkat sekolah dengan ketimpangan pendidikan secara linier. Selanjutnya Ram (1990) mengukur ketimpangan pendidikan juga menggunakan rumus standar deviasi sekolah dari angkatan kerja. Hasil penelitian menunjukkan telah terajdi ktimpangan pendidikan angkatan kerja di negara-negara yang dijadikan sampel penelitian. Pengkuran ketimpangan pendidikan lain ditunjukkan oleh Thomas, et. al. (2001) yang menggunakan indeks Gini pendidikan yang didasarkan pada capaian atau perolehan pendidikan penduduk. Thomas et. al menyajikan 2 (dua) pendekatan, yaitu metode 28
langsung (mengikuti Deaton, 1997) dan metode tidak langsung (jika jumlah sampel sangat kecil) untuk menghitung indeks Gini pendidikan dan menghasilkan set data lima tahunan untuk indeks Gini pendidikan bagi penduduk diatas 15 tahun di 85 negara pada periode 1960-1990. Hasil analisis empiris awal menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan di sebagian besar negara yang menjadi sampel penelitian mengalami penurunan selama lebih dari 3 dekade terakhir, dan sebagaian kecil negara yang mengalami peningkatan ketimpangan pendidikan. Ketimpangan pendidikan yang diukur dengan indeks Gini pendidikan berkorelasi secara negatif dengan rata-rata lama sekolah (years of schooling). Implikasinya bahwa negara-negara dengan tingkat perolehan pendidikan yang lebih tinggi lebih mudah menurunkan ketimpangan pendidikannya dibandingkan dengan negara yang tingkat pendidikan penduduknya lebih rendah. Studi tentang pengukuran ketimpangan pendidikan dilakukan oleh Qian dan Smyth (2008). Studi ini bertujuan untuk mengukur ketimpangan pendidikan antara provinsi pesisir dan provinsi daratan di China dan membandingkan ketimpangan pendidikan antara perkotaan dengan perdesaan dengan menggunakan analisis dekompoisi indeks Gini pendidikan.
Untuk mengukur pemerataan pendidikan Qian dan Smyth (2008)
menggunakan tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh penduduk dibandingkan dengan pengeluaran untuk pendidikan. Variabel yang digunakan adalah rata-rata lama sekolah, jumlah lulusan SMP/sederajat dan persentase siswa SMP/sederajat yang terdaftar di sekolah SMA/sederajat. Data yang digunakan untuk menghitung rata-rata lama sekolah adalah data sensus nasional tahun 1990 dan 2000. Metode yang digunakan adalah adaptasi dari metode pengukuran ketimpangan pendidikan Thomas et. al (2001) dan dekomposisi indeks Gini pendidikan yang dikembangkan oleh Zhang dan Li (2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ketimpangan dalam akses pendidikan antara wilayah perdesaan dan perkotaan lebih tinggi daripada antar provinsi pesisir dan pedalaman dan menjadi penyebab utama
dalam
ketimpangan pendidikan di Cina. Rekomendasi kebijakan bagi pemerintah adalah membangun sekolah hingga ke pelosok perdesaan menjadi prioritas.
2.6.2 Anggaran Pendidikan dan Ketimpangan Pendidikan Salah satu ukuran pemerataan pendidikan adalah pendidikan yang ditamatkan (student attainment) selain yang telah disebutkan di atas, dipengaruhi oleh besarnya 29
anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk pendidikan. Studi yang dilakukan oleh Rajkumar dan Swaroop (2008) untuk membahas keterkaitan antar pengeluaran publik, pemerintahan, dan outcomes/hasil pendidikan. Data empiris yang digunakan adalah data tahunan 1990, 1997, dan 2003. Sedangkan variabel yang digunakan adalah tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh penduduk, GDP perkapita, pengeluaran publik untuk sekolah dasar, indeks korupsi, kualitas birokrasi, gender, ketimpangan pendapatan, agama, akses air bersih, pengeluaran pemerintah untuk kesehatan, serta jumlah urbanisasi. Model Rajkumar dan Swaroop (2008) dapat ditulis: ln(𝐸𝐹𝑖𝑡 ) = 𝛿0 + 𝛿1 ln(𝑃𝐶𝐺𝐷𝑃)𝑖,𝑡 + 𝛿2 ln(𝑃𝐸𝑆𝐺𝐷𝑃)𝑖,𝑡 + 𝛿3 𝐺𝑖,𝑡 + 𝛿4 𝐺𝑖,𝑡 ∗ ln(𝑃𝐸𝑆𝐺𝐷𝑃)𝑖,𝑡 + 𝐵𝑋𝑖,𝑡 + 𝜔𝑖,𝑡
……………………………………..……..
(2.15)
dimana EF = proporsi jumlah siswa yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar, PCGDP = pendapatan per kapita, PESGDP = share pengeluaran pendidikan dasar terhadap GDP, G = kualitas pemerintahan, X = vector yang berkaitan dengan karakteristik negara yang non pendidikan, B = koefisien vector dari X, dan ω = error term, serta i,t = negara i tahun t. Dengan menggunakan model OLS dan 2SLS, maka hasil estimasi menunjukkan bahwa peningkatan anggaran pendidikan dasar dan pemerintahan yang baik (bersih) secara efektif dapat meningkatkan hasil pendidikan dasar (student attainment). Disamping itu, peningkatan anggaran kesehatan dan pemerintahan yang bersih dapat menurunkan tingkat kematian bayi. Sementara di negara-negara yang kurang mampu dan banyak korupsi, bahwa belanja publik hampir tidak memiliki pengaruh pada hasil kesehatan dan pendidikan. Sedangkan Doriza, Purwanto, dan Maulida (2012) menguji dampak desentralisasi terhadap ketimpangan akses pendidikan dasar. Studi ini menggunakan data sekunder bersumber dari Kementerian Pendidikan Nasional, Bappenas, Kementerian Keuangan dan BPS. Data dasar yang digunakan adalah panel data 440 kabupaten/kota di Indonesia sepanjang tahun 2005-2009. Variabel yang digunakan adalah Disparitas akses pendidikan dasar, DAK pendidikan, DAK non pendidikan, PAD, kemiskinan, dan karakteristik daerah. ∆𝑆𝑚𝑡 = 𝛼 + 𝜁𝐷𝑚𝑡 + 𝛽𝑅𝑚𝑡 + 𝛾𝑃𝑚𝑡 + 𝛿𝐶𝑚𝑡 + 𝜀𝑚𝑡 …………………….. 30
2.16
di mana ΔS adalah peningkatan angka partisipasi sekolah, D adalah vektor yang menjelaskan karakteriktik daerah, R adalah vector yang mengukur ketersediaan sumber daya (faktor penawaran), P adalah vektor yang mengukur partisipasi politik dan kerjasama. Kemudian C adalah vektor yang menjelaskan kontrol faktor-faktor sosial ekonomi dan geografis sedangkan m adalah vektor yang menjelaskan ukuran-ukuran desentralisasi fiskal merepresentasikan dimensi daerah sementara t adalah dimensi waktu untuk semua vektor. Hasil estimasi data panel menggunakan pendekatan fixed-efect model bahwa DAK untuk Pendidikan, Pendidikan DAK dan non pendidikan, dan PAD memiliki dampak yang signifikan dalam mengurangi disparitas akses pendidikan bersama dengan kemiskinan dan karakteristik daerah seperti Jawa dan luar Jawa. Untuk tingkat pendidikan, variabel lain juga ditemukan signifikan termasuk pendidikan masyarakat dan karakteristik daerah berkembang dan non berkembang. Secara umum ada fakta dan membuktikan bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan akses pendidikan, tapi perlu beberapa upaya dilakukan untuk mengoptimalkan pemerataan akses pendidikan dasar di Indonesia. 2.6.3 Kemiskinan dan Ketimpangan Pendidikan Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan (BPS, 2011). Todaro & Smith (2003) membagi kemiskinan berdasarkan penyebabnya menjadi kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah terjadi karena kegagalan individu dan atau lingkungan fisik sebagai objeknya hingga seseorang menjadi sulit dalam melakukan usaha atau mendapatkan pekerjaan. Kemiskinan struktural melihat kemiskinan sebagai bagian relatif, di mana terdapat sekelompok masyarakat yang miskin sementara kelompok lainnya tidak miskin. Sedangkan kemiskinan berdasarkan keparahan dibagi menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan realtif. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Sedangkan 31
kemiskinan relatif adalah kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Van Den Berg (2001) menyatakan bahwa kemiskinan merupakan istilah yang terkait pengertian relatif maupun absolut. Seseorang atau sebuah keluarga dianggap miskin atau hidup dalam kemiskinan jika pendapatan mereka atau akses mereka terhadap barang dan jasa relatif rendah dibandingkan orang lain dalam perekonomian. Kemiskinan juga dapat dilihat sebagai beberapa tingkat absolut pendapatan atau standar hidup, biasanya pada atau dekat dengan sekedar menyambung hidup secara minimum. Mankiw (2010) menyatakan bahwa sebagian besar orang akan menyukai untuk meningkatkan jumlah dan kualitas barang dan jasa yang mereka konsumsi. Namun demikian, pendapatan seseorang yang kurang akan menjadi batasan bagi orang tersebut untuk mengkonsumsi barang dan jasa lebih sedikit dari yang diinginkan. Dengan kata lain, konsumen menghadapi sebuah keterbatasan berapa banyak yang mereka dapat belanjakan, yang disebut keterbatasan anggaran. Beberapa kajian empiris sebelumnya yang terkait dengan pengaruh pendidikan terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa pendidikan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan adalah Gan & Sanyal (2010), Alemayehu Geda (2005), Weri Nova Afandi (2011), Gaurav Datt & Dean Jolliffe (1999) dan Woolard I. & S. Klasen (2004).
2.6.3 Ketimpangan Pendapatan dan Ketimpangan Pendidikan Abdelbaki (2012) menganalisis ketimpangan pendapatan dan ketimpangan pendidikan di Bahrain dari tahun 1980-2006. Penelitian menghasilkan hubungan positif antara tingkat pendidikan orang tua dengan pendapatan keluarga, ketimpangan pendapatan mengakibatkan terjadinya ketimpangan pendidikan dan ketimpangan pendidikan di Bahrain diakibatkan oleh disparitas biaya pendidikan di sekolah swasta dan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan. Checchi (2001) meneliti hubungan ketimpangan pendidikan dan ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi di 113 negara dari tahun 1960-1995. Dengan menggunakan indeks gini pendidikan meneliti hubungan hubungan ketimpangan pendidikan (rata-rata lama sekolah) dan ketimpangan pendapatan, melalui regresi multivariate, rata-rata lama sekolah memiliki hubungan negatif dengan ketimpangan 32
pendapatan dan ketimpangan pendapatan juga memiliki hubungan negatif dengan pendapatan per-kapita. Rehme (2006) meneliti hubungan antara ketimpangan pendidikan, pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan dengan berbagai ukuran ketimpangan pendapatan. Hasil penelitian ini memperlihatkan pendidikan yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Namun dalam hasil penelitian ini ditambahkan bahwa tidak adanya hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan. Bustomi (2012) meneliti ketimpangan pendidikan antar Kabupaten/Kota dan implikasinya di Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pengaruh ketimpangan pendapatan terhadap ketimpangan pendidikan di Provinsi Jawa tengah adalah positif namun tidak signifikan. Hasil persamaan model regresi pertama menunjukkan bahwa jika ketimpangan pendapatan yang diukur melalui gini rasio meningkat dengan asumsi ceteris paribus, maka nilai indeks gini pendidikan akan naik mendekati angka 1 yang berarti ketimpangan pendidikan semakin tinggi.
33
2.7
KERANGKA PIKIR PENELITIAN
Pemekaran Provinsi Banten: UU 23/2000
Permasalahan Ketimpangan Pendidikan
Anggaran Pendidikan Indikator Pemerataan Pendidikan: Ram (1990), Thomas et. al (2001), Qian dan Smyth (2008)
Kemiskinan Ketimpangan Pendidikan: RLS dan SDS
Model Ketimpangan Pendidikan
Ketimpangan Pendapatan
Pengetahuan, Keterampilan, Pendapatan Produktivitas = Masyarakat Sejahtera
Pertumbuhan Ekonomi
Gambar 2.2.: Kerangka Pikir Penelitian
34
2.8 HIPOTESIS PENELITIAN Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka piker penenlitian ini, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Tingkat ketimpangan (pemerataan) pendidikan di Banten semakin menurun (semakin merata) b.
Anggaran pendidikan, pertumbuhan ekonomi, angka melek huruf sekolah berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendidikan di Banten
35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 METODE PENELITIAN Metode penelitian menggambarkan rancangan penelitian yang meliputi proses atau langkah-langkah yang harus ditempuh, waktu penelitian, sumber data, serta dengan cara apa data tersebut diperoleh dan diolah atau dianalisis. Dalam praktiknya, terdapat sejumlah metode yang biasa digunakan untuk kepentingan penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif. Penggunaan metode penelitian kuantitatif dalam penelitian ini dikarenakan data yang digunakan merupakan data makro atau mikro ekonomi yang merupakan data kuantitatif dan model analisisnya menggunakan model ekonometrika yang merupakan model kuantitatif. Lebih lanjut, penelitian ini dapat diketgorikan penelitian empiris (empirical research). Sebagai penelitian empiris, pengujian terhadap hipotesis yang digunakan dalam studi ini dengan menggunakan data empiris yang kemudian dianalisis dengan menggunakan model perhitungan indeks dan model ekonometrika dan beberapa pengujian statistik yang relevan. Analisis secara teoritis untuk pendekatan-pendekatan tersebut digunakan data sekunder. Sedangkan model yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pendidikan menggunakan standar deviasi sekolah (SDS) dan rata-rata lama sekolah serta model ekonometriknya menggunakan model OLS.
3.2 OPERASIONALISASI VARIABEL Untuk keperluan pengukuran variabel-variabel agar dapat mencapai sasaran penelitian secara akurat, maka perlu ditetapkan secara tegas batasan operasional variabel penelitian untuk menghindari kerancuan informasi dan kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Batasan operasionalisasi variabel-variabel dalam penelitian mengenai pengaruh anggaran pendidikan, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat melek huruf terhadap ketimpangan pendidikan pasca pemekaran wilayah di Provinsi Banten ditetapkan sebagai berikut: Untuk menghindari penafsiran yang beragam, maka variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini perlu diberi batasan, pengertian atau definisi operasional variabel sebagai terlihat pada tabel berikut: 36
Tabel 3.1: Operasionalisasi Variabel Variabel Konsep Variabel Terikat Rara-rata Lama Angka yang menunjukkan Sekolah lamanya bersekolah seseorang dari masuk sekolah dasar sampai dengan tingkat pendidikan terakhir (SD – S3). Standar Deviasi Ukuran yang menggambarkan Sekolah distribusi sebaran sekolah dari nilai rata-ratanya (Standar deviasi dari APS Banten)
Simbol RLS
SDS
Satuan Pengukuran Tahun
Skala Rasio
𝜎 = 𝑆𝐷𝑆
Rasio
𝑛
= √∑ 𝑝𝑖 (𝑦𝑖 − 𝜇)2 𝑖=1
Variabel Bebas Anggaran Pendidikan
Anggaran pendidikan Provinsi Banten;
lnAP
Log anggaran pendidikan
Rasio
Kemiskinan
Kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
POV
Persentase jumlah penduduk Msikin (Headcount Index)
Rasio
Pertumbuhan Ekonomi Banten
Laju pertumbuhan Produk
PE
Diperoleh dengan cara mengurangi nilai PDRB pada tahun ke-n terhadap nilai pada tahun ke n-1 (tahun sebelumnya), dibagi dengan nilai pada tahun ke n-1, kemudian dikalikan dengan 100 persen. Gini Ratio
Rasio
Ketimpangan Pendapatan
Domestik Regional Bruto diperoleh dari perhitungan PRDB atas dasar harga konstan tahun 2000. Laju pertumbuhan menunjukkan perkembangan agregat pendapatan dari satu waktu tertentu terhadap waktu sebelumnya. Perbedaan pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah yang dipengaruhi oleh tingkat produktivitasnya
GR
Rasio
3.3 DATA DAN SUMBER DATA Untuk menguji kebenaran hipotesis dalam penelitian ini dibutuhkan data yang tepat dan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Data dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai penerbitan BPS dan instansi pemerintah dan swasta, serta berbagai publikasi lainnya yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini juga menggunakan data yang diterbitkan oleh BPS, Kementrian Kuangan, Bappeda Provinsi 37
banten, dan instansi terkait. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian adalah data tentang angka partisipasi murni (APM), angka partisipasi kasar (APK), anggaran pendidikan, rata-rata lama sekolah, jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang menamatkan pendidikan, jumlah sekolah, jumlah anggota keluarga, rasio guru siswa, dan variabel dummy. Dalam penelitian ini, saya menggunakan gabungan data times series dan cross section yang dipublikasikan oleh BPS Pusat, BPS Provinsi Banten, BPS Kabupaten/Kota di Banten, Dinas Pendidikan dan instansi lain selama kurun waktu 1996 – 2013 untuk perhitungan ketimpangan pendidikan dan estimasi model OLS dan data panel.
3.4
MODEL ANALISIS
3.4.1 Metode Perhitungan Pemerataan (Ketimpangan) Pendidikan Untuk menjawab rumusan pertanyaan penelitian “Bagaimana perkembangan dan perbandingan tingkat ketimpangan (pemerataan) pendidikan menengah di Banten? Bagaimana perkembangan ketimpangan pendidikan selama kurun waktu tertentu?, maka akan digunakan metode perhitungan indeks gini pendidikan dengan mengadaptasi model Thomas at, el (2001), Zhang dan Li (2002), Qian dan Smith (2008), serta Tomul (2009. Untuk itu, dalam perhitungan ketimpangan pendidikan mengadaptasi formula yang digunakan oleh Thomas et. al (2001), yaitu rata-rata lama sekolah (years of schooling), Standar Deviasi Sekolah. Rumus yang digunakan untuk mengukur standar deviasi sekolah adalah: 𝜎 = 𝑆𝐷𝑆 = √∑𝑛𝑖=1 𝑝𝑖 (𝑦𝑖 − 𝜇)2 …………………………………..…….. 3.1 dimana SDS = standar deviasi sekolah; µ= rata-rata lama angka partisipasi sekolah (SD – SMA/SMK); pi adalah proporsi penduduk pada jenjang sekolah tertentu, yi adalah lama sekolah pada jenjang pendidikan yang berbeda.
3.4.2 Spesifikasi Model Ekonometri Penggunaan model regresi linier berganda untuk menjawab rumusan masalah adalah menggunakan model OLS pada tingkat provinsi. Untuk mengukur pemekaran, maka peneliti menggunakan variabel bebas dummy setelah pemekaran = 1 dan lainya = 0. Adapun model yang digunakan untuk estimasi adalah Model ketimpangan pendidikan provinsi Banten adalah: 38
𝑌𝑗𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑙𝑛𝐴𝑃𝑡 + 𝛼2 𝑃𝑂𝑉𝑡 + 𝛼3 𝑃𝐸𝑡 + 𝛼4 𝐺𝑅𝑡 + 𝜀𝑡
……………..… 3.2
dimana Yt = ketimpangan pendidikan yang diukur dengan Standar Deviasi Sekolah dan Rata-rata lama sekolah (RLS) pada periode t, lnAPt = log anggaran pendidikan periode t, POVt = persentase jumlah penduduk miskin pada periode t, PEt = pertubumbuhan ekonomi Banten pada periode t, dan ℇt = error term yang diasumsikan berdistribusi normal, dan GRt = gini ratio (ketimpangan pendapatan) t, α0 = konstata,
αn =
parameter yang diduga (n = 1, 2, 3), t = periode 2000 - 2013 dan j = 1, 2,.
3.5 RANCANGAN UJI MODEL Model yang sudah didesain harus dilakukan pengujian, agar model estimasi yang diperoleh adalah model yang terbaik, sehingga dapat digunakan untuk kepentingan analisis. Untuk menghasilkan model yang efisien dan konsisten, perlu evaluasi berdasarkan criteria ekonomi apakah hasil estimasi terhadap model regresi yang tidak terjadi masalah multikolinieritas, heteroskedastisitas, dan autokerelasi.
3.5.1 Multikolinieritas Multikolinieritas adalah hubungan linier yang kuat antara variabel-variabel bebas dalam persamaan regresi berganda. Gejala multikolinieritas ini dapat dideteksi dari nilai R2 tinggi tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang berpengaruh nyata dan tanda koefisien regresi tidak sesuai dengan teori (Gujarati, 2007). Multikolinieritas dalam pooled least square dapat diatasi dengan pemberian pembobotan (cross section weight) atau GLS, sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu (t-stat maupun F-stat) menjadi signifikan.
3.5.2 Heteroskedastisitas Dalam regresi linear berganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut BLUE (Best Linier Unbiased Estimator) adalah vau (ei) = σ2 yang konstan semua error mempunyai variasi yang sama. Pada umumnya heteroskedastisitas diperoleh dari data kerat lintang (cross section). Jika dalam model dijumpai heteroskedastisitas, maka akan membuat varians residual dari variabel tidak konstan (tidak homoskedastisitas), sehingga menyebabkan model 39
menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata lain, jika regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heterskedastisitas, maka hasil regresi akan menjadi misleading (Gujarati dan Porter, 2012). Untuk menguji apakah adanya pelanggaran asumsi heterskedastisitas, digunakan uji white heteroskedasticity yang diperoleh dari program Eviews. Uji white heteroskedasticity dilakukan dengan membandingkan Obs* R-Square dengan χ2 tabel. Jika nilai Obs*R-Square lebih kecil dari χ2 tabel, maka tidak ada heteroskedastisitas pada model. Dalam pengelolaan data panel dengan program Eviews, dapat digunakan metode General Least Square (cross section weight), dan untuk mendeteksi hateroskedastisitas dilakukan dengan cara membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistics lebih kecil dari Sum Square Resid Unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Perlakuan untuk pelanggaran tersebut adalah dengan mengestimasi GLS menggunakan White Heteroskedasticity.
3.5.3 Autokorelasi Model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa gangguan, 𝜀̂, adalah variabel random yang tidak berkorelasi, dengan nilai rata-rata nol dan vaiance yang konstan. Dalam masalah ini, model mengasumsikan 𝐸(𝜀𝑖 𝜀𝑗 ) = 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑖 ≠ 𝑗dan 𝐶𝑜𝑣(𝜀𝑡 𝜀𝑠 ) = 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑡 ≠ 𝑠. Dengan kata lain, model klasik mengasumisikan bahwa gangguan yang berhubungan dengan observasi apapun tidak dipengaruhi oleh istilah gangguan yang berkaitan dengan setiap pengamatan lainnya. Uji ini sesungguhnya dilandasi oleh model error yang mempunyai korelasi sebagaimana telah ditunjukkan diatas, yaitu: 𝑢𝑡 = 𝜌𝑢𝑡−1 + 𝑣𝑡
…………….…………………………..
3.3
dimanaut = error pada waktu ke-t, ut-1=error pada waktu ke-(t-1), dan ρ = koefisien otokorelasi lag-1 (untuk mengukur korelasi antara residual pada waktu ke-t dengan residual pada waktu (t-1), dan vt = error yang independen dan berdistribusi normal dengan nilai tengah = 0, dan varian 𝜎 2 . Jika ρ=0, maka dapat disimpulkan tidak serial korelasi di dalam residual. Oleh larena itu, uji ini menggunakan hipotesis sebagai berikut: Ho : ρ = 0: Tidak ada korelasi serial H1 : ρ ≠ 0: Terdapat korelasi serial
40
Statistik Durbin-Watson didefinisikan sebagai berikut: 𝐷𝑊 =
∑𝑛 ̂𝑡 −𝑢 ̂𝑡−1 )2 𝑡=2(𝑢 ∑𝑛 ̂𝑡2 𝑡=1 𝑢
………………………………………
3.4
dimana: 𝑢̂𝑡 = 𝑌𝑡 − 𝛽̂0 − 𝛽̂1 𝑋𝑡 = 𝑌𝑡 − 𝑌̂𝑡 , yaitu residual pada waktu ke-t. Sedangkan 𝑢̂𝑡−1 = 𝑌𝑡−1 − 𝛽̂0 − 𝛽̂1 𝑋𝑡−1 = 𝑌𝑡 − 𝑌̂𝑡−1 , yaitu residual pada waktu ke-t-1. Persamaan (3.31) dapat pula dituliskan sebagai berikut: 𝐷𝑊 = 2 (1 −
∑𝑛 ̂𝑡 .𝑢 ̂𝑡−1 𝑡=2 𝑢
……………………..
3.5
……………………………………………….
3.6
∑𝑛 ̂𝑡2 𝑡=1 𝑢
) = 2(1 − 𝜌)
dimana: 𝜌=
∑𝑛 ̂𝑡 .𝑢 ̂𝑡−1 𝑡=2 𝑢 ∑𝑛 ̂𝑡2 𝑡=1 𝑢
Sebagaimana telah disebutkan bahwa ρ adalah koefisien otokorelasi yang mempunyai nilai: -1 ≤ ρ ≤ 1. Dengan demikian, berdasarkan persamaan (3.5) akan didapat nilai statistik DW, yaitu 0 ≤ d ≤ 4. Persamaan (3.6) memiliki arti bahwa:
Jika statistik DW bernilai 2, maka ρ akan bernilai 0, yang berarti tidak ada otokorelasi.
Jika statistik DW bernilai 0, maka ρ akan bernilai 1, yang berarti ada otokorelasi positif.
Jika statistik DW bernilai 4, maka ρ akan bernilai -1, yang berarti ada otokorelasi negatif.
3.7 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Lokasi penelitian ini adalah lingkup regional, yaitu di Provinsi Banten dengan menggunakan data time series (2000 – 2013). Semua data diambil menurut provinsi yang dipublikasikan oleh BPS, Depkeu, dan lembaga-lembaga lain.
41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PROFIL PEREKONOMIAN BANTEN Kondisi perekonomian regional/daerah Provinsi Banten pada tahun 2010 hingga tahun 2013, masih dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah belum optimalnya investasi, tingginya pengangguran, pembangunan infrastruktur yang masih lambat, tingginya perilaku korupsi pejabat, serta adanya adanya ketipangan pendidikan dan pendapatan antar penduduk dan antar wilayah. Sedangkan factor eksternal diantaranya dipengaruhi oleh lambatnya penyelesaian krisis keuangan Zona Eropa, masih lambatnya pemulihan ekonomi Amerika Serikat akibat permasalahan utang dan fiskal di Amerika Serikat, serta kuatnya gejolak harga komoditi dunia terutama minyak mentah dunia. Namun demikian, keadaan ekonomi makro di Provinsi Banten secara umum masih terjaga, hal ini dapat dilihat kondisi indikator kinerja pembangunan daerah di bidang perekonomian seperti Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE), laju inflasi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), pendapatan per kapita, dan investasi. Adapun berbagai indicator makro tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
4.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Pada tahun 2001 pertumbuhan ekonomi Banten menurut harga konstan tahun 2000 sebesar 3,95% dan lebih tinggi 0,31% dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 3,64%. Namun pada tahun 2002, pertumbuhan ekonomi Banten lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional. Kondisi ini tidak terjadi pada kurun waktu tahun 2003 – 2006, pertumbuhan ekonomi Banten dapat melampui pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata sebesar 0,26%. Sedangkan perkembangan pertumbuhan Banten dalam selama periode 2011 – 2013 menunjukkan tren atau pola yang mengalami penurunan.
42
Pertumbuhan Ekonomi
6,8 6,3 5,8 5,3 4,8 4,3 3,8 3,3 2,8 2,3 1,8 1,3 0,8 0,3
5,63
5,88
6,04 5,57
6,11
5,77
5,07
6,38
6,15 5,86
4,71
3,95 4,11
Sumber: BPS Banten (berbagai penerbitan) Gambar 4.1: Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Banten Tahun 2001 – 2013 Perlambatan pertumbuhan ekonomi Banten 2011 – 2013 disebabkan oleh keadaan ekonomi dunia dan ekonomi nasional yang juga mengalami perlambatan. Dalam kurun waktu 3 tahun tersebut pertumbuhan ekonomi Banten mengalami penurunan 0,52%. Penurunan ini diakibatkan oleh melambatnya pembangunan infrastruktur Banten, meningkatnya jumlah penduduk miskin, serta meningkatnya ketimpangan pendapatan. Tidak meratanya pembangunan di Banten juga menjadi salah satu penyebab melambatnya pertumbuhan ekonomi. Jika dibandingkan dengan pola pertumbuhan ekonomi nasional, maka pertumbuhan ekonomi Banten mengikuti pola yang sama dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh oleh BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Banten sebesar 5,86% dan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,73% atau selisih 0,13%. Jika dihitung rata-rata pertumbuhan ekonomi antara Banten dengan Nasional selama 2001 – 2013 adalah masing-masing 5,48% dan 5,45%, artinya pertumbuhan ekonomi Banten secara rata-rata lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Nasional.
43
4.1.2 Investasi Investasi merupakan salah satu komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi. Secara sederhana, investasi diartikan sebagai pengeluaran barang modal yang diarahkan untuk menunjang kegiatan produksi atau perluasan produksi. Ini menjadikan investasi mempunyai multiplier effect yang luas karena tidak hanya mendorong sisi produksi, namun juga menstimulasi sisi konsumsi. Optimisme pelaku usaha terkait investasi di Banten semakin meningkat seiring meningkatnya potensi konsumsi domestik/nasional. Kinerja
investasi
diperkirakan
meningkat
tercermin
dari
meningkatnya
angka
pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto pada komponen PDRB Banten dari 8,39% pada tahun 2011 menjadi 15,37% pada tahun 2012. Belum stabilnya kondisi pemulihan perekonomian dunia juga masih dirasakan dampaknya pada perlambatan kinerja perekonomian Banten. Pertumbuhan ekonomi Banten pada triwulan III 2013 ini melambat hingga 2,12 persen (q to q) dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 2,15 persen. Pada triwulan ini laju pertumbuhan ekonomi nyaris hanya didorong oleh komponen konsumsi domestik,dimana konsumsi rumahtangga tumbuh sebesar 5,54 persen, konsumsi pemerintah sebesar 13,44 persen, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebesar 11,85 persen, ekspor sebesar 0,77 persen, serta impor sebesar 0,34 persen. Sedangkan komponen perubahan inventori mengalami kontraksi sebesar (12,98) persen. Berdasarkan data BKPM RI terbaru, tercatat Penanaman Modal Asing (PMA) di wilayah Banten tahun 2013 jauh melebihi tahun 2012. Jumlah realisasi PMA pada tahun 2013 mencapai 592 proyek dengan nilai investasi sebesar USD 3.720,2 juta, sementara itu tahun 2012 hanya sebanyak 405 proyek dengan nilai USD 2,716.3 juta atau terdapat peningkatan sebanyak 187 proyek atau senilai USD 1.003,9 juta. Di sisi lain, realisasi investasi dalam negeri di Banten mengalami penurunan dari sebanyak 66 proyek pada tahun 2012 (Rp 5,117.5 milyar) menjadi sebanyak 100 proyek (senilai Rp 4.008,66 milyar) pada tahun 2013. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa investor yang berminat di wilayah Banten cenderung berasal dari investor luar negeri. Selanjutnya, upaya peningkatan investasi melalui perbaikan proses kemudahan perijinan, kesiapan lahan industri dan infrastruktur serta promosi investasi tidak saja dilakukan untuk investor luar negeri tetapi juga perlu ditujukan bagi investor dalam negeri.
44
Tabel 4.1: Perkembangan Realisasi Investasi PMA dan PMDN di Provinsi Banten Tahun 2010 - 2013 Tahun 2010 2011 2012 2013
PMDN Proyek
PMA Proyek
Investasi (milyar Rp) 75 5.852,6 280 68 4.298,6 300 66 5.117,5 405 100 4.008,66 592 Sumber: BPKM RI Tahun 2013
Investasi (milyar Rp) 1.544,2 2.171,7 2.716,3 3.720,2
Total Investasi (Rp) 19.710.000.000.000 25.544.400.000.000
Perkembangan investasi secara real dapat dilihat juga dari neraca perbankan yang membandingkan antara dana pihak ketiga yang disimpan di lembaga perbankan dibandingkan dengan posisi pinjaman yang diberikan berdasarkan lokasi proyek di Provinsi Banten. Jumlah dana pihak ketiga yang disimpan di Bank Umum di Banten pada tahun 2012 sebesar 90,946 trilyun rupiah dan jumlah pinjaman yang diberikan berdasarkan lokasi proyek sebesar 106,191 trilyun rupiah. Hal ini dapat disimpulkan terjadi aliran modal atau investasi dari luar wilayah Provinsi Banten ke wilayah Provinsi Banten sebesar 15,245 trilyun rupiah. Investasi terbesar berada di Kabupaten Tangerang, dimanapinjaman berdasarkan lokasi proyek sebesar 77,128 trilyun rupiah dan dana pihak ketiga sebesar 32,665 trilyun rupiah, sehingga jumlah investasi yang masuk sebesar 44,463 trilyun. Investasi terbesar kedua berada di Kota Cilegon, dimana jumlah pinjaman yang diberikan oleh bank umum berdasarkan lokasi proyek sebesar 15,738 trilyun rupiah, sementara dana simpanan pihak ketiga sebesar 2,507 trilyun rupiah, sehingga investasi yang masuk sebesar 13,231 trilyun rupiah. Investasi terbesar ketiga berada di Kabupaten Serang, dimana jumlah pinjaman yang diberikan oleh Bank umum sebesar 11,761 trilyun rupiah, sementara dana simpanan pihak ketiga sebesar 3,765 trilyun rupiah, sehingga investasi yang masuk sebesar 7,996 trilyun rupiah. Investasi mengalir juga ke Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang, dimana nilainya masing-masing sekitar 3 trilyun rupiah. Walaupun Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang aktivitas ekonomi utamanya di sektor pertanian, terjadi pula peningkatan investasi yang relatif besar dibandingkan dengan jumlah simpanan dana pihak ketiga yang hampir sepuluh kali lipat, dimana dana simpanan pihak ketiga Kabupaten Lebak sebesar 971 miliar rupiah dan posisi pinjaman sebesar 4,219 trilyun rupiah. Dana 45
simpanan pihak ketiga Kabupaten Pandeglang sebesar 1,397 miliar rupiah, sementara posisi pinjaman yang diberikan bank umum sebesar 4,658 trilyun rupiah.
4.1.3 Inflasi Laju inflasi merupakan ukuran yang dapat menggambarkan kenaikan atau penurunan harga dari sekelompok barang dan jasa. Volaitilitas atau fluktuasi harga di Banten secara rata-rata terjadi dalam kurun waktu 2007 – 2014. Tinggi laju inflasi yang terjadi pada tahun 2008 disebabkan oleh adanya krisis ekonomi global yang mempengaruhi ekonomi nasional dan tentu mempengaruhi daerah di Banten. Seiring membainya perekonomian di Banten, maka pada tahun 2009, laju inflasi menurun hingga menjadi 2,88% artinya selama kurun waktu 7 tahun terakhir menunjukkan tingkat inflasi yang paling rendah. 14 11,47
12 10 8
6,31
8,38
8,36
2013
2014
6,1
6
4,37
4
3,45
2,88
2 0 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber: Statistik Banten (beberapa penerbitan) Gambar 4.2: Perkembangan Laju Inflasi Tahunan Provinsi Banten Tahun 2007 – 2014 .Tingkat stabiliasi harga di Banten dari awal tahun 2010 sampai akhir tahun 2011 semakin membaik, namun pada tahun-tahun berikutnya mengalami peningkatan. Membaiknya stabilitas harga pada tahun 2010 dan 2011 adalah menurunnya laju inflasi selama periode tersebut. Menurunnya laju inflasi pada periode tersebut karena menurunnya harga khususnya kelompok makanan dan perbaikan jalur distribusi atau pasokan makanan. 46
Sementara itu, laju inflasi tahun 2013 mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 8,38 dan menurun sedikit di tahun 2014 sebesar 0,02% sehingga menjadi 8,36%. Meningkatnya laju inflasi di tahun 2013 dan 2014 karena kondisi internal yang merupakan tahun politik serta ketidakpastian kenaikan harga BBM pada tahun 2013, dimana akan dan dilaksanakannya pemilu legislatif dan pemilihan presiden tahun 2014. Sedangkan akibat eksternal karena tekanan ekonomi luar negeri yang masih belum membaik dan meningkatnya harga-harga barang impor. (Persentase perubahan IHK Bulan Desember 2013 terhadap IHK Bulan Desember 2012) sama dengan Inflasi “Year on Year” sebesar 9,65%.
4.1.4 Kemiskinan Jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten dari tahun ketahun telah berhasil diturunkan. Tahun 2010 jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten adalah sebesar 751.000 atau 7,46%, turun menjadi 690.874 orang atau 6,26% pada tahun 2011, dan kembali turun menjadi 648.254 orang atau 5,71% pada tahun 2012. Sementara itu, kemiskinan di Banten sampai dengan tahun 2013 dan jumlah penduduk miskin pada Periode Maret –September 2013 mengalami peningkatan. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten pada September 2013 mencapai 682.710 orang (5,89 persen), meningkat sebanyak 26,47 ribu orang (4,03 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2013 yang sebesar 656.243 orang (5,74 persen). Selama periode Maret-September 2013, penduduk miskin di daerah perkotaan bertambah sekitar 50,66 ribu orang (13,93 persen), sementara di daerah perdesaan berkurang sebesar 24,2 ribu orang (8,27 persen). Terkait dengan peningkatan jumlah penduduk miskin selama periode Maret 2013 – September 2013, di perkotaan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Selama Periode Maret 2013 – September 2013 inflasi umum relatif tinggi, yaitu sebesar 5,76% akibat kenaikan harga BBM pada bulan Juni 2013. 2) Upah buruh konstruksi secara rill turun sebesar 3,15% dari Rp. 44.471,- menjadi Rp. 43.070,Sementara itu beberapa faktor terkait dengan penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin selama periode Maret 2013 – September 2013 di perdesaan adalah sebagai berikut:
47
1) Upah rill buruh pertanian meningkat dari Rp. 22.340,- menjadi Rp. 22.609,- pada September 2013. 2) Pertumbuhan ekonomi sektor pertanian triwulan I ke triwulan II 2013 menunjukan angka positif yaitu sebesar 2,11%. Terkait dengan perkembangan tingkat kemiskinan dan jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten pada periode Maret – September 2013 dapat di jelaskan pada Gambar 3.1 di bawah ini: 1000,00
12,00
900,00 800,00
9,79 8,58
8,15
700,00 600,00
400,00
886,20 777,20
7,64
6,32
788,10
904,30
8,00
7,16
816,70
830,50
500,00
10,00
9,07
8,86
300,00
5,74
690,49 758,20
5,89 6,00 682,71
4,00
648,25
200,00
2,00
100,00
0,00
0,00 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: BPS Banten (beberapa penerbitan) Gambar 4.3: Perkembangan Tingkat Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Banten Tahun 2004 - 2013 Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Selain upaya memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan penanggulangan kemiskinan juga terkait dengan bagaimana mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Pada periode Maret-September 2013, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami kenaikan. Indeks Kedalaman Kemiskinan meningkat dari 0,695 pada Maret 2013 menjadi 1,021 pada September 2013. Demikian pula Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,158 menjadi 0,293 pada periode yang sama. Peningkatan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin menjauh dari Garis Kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin melebar. 48
Nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan masih tetap lebih tinggi dibadingkan dengan penurunan di perkotaan, hal ini mengindikasikan bahwa perbaikan kondisi kesejahteraan penduduk miskin di perdesaan lebih baik di bandingkan dengan keadaan di perkotaan. Jika dilihat menurut daerah, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) mengalami kenaikan baik di perkotaan maupun di perdesaan. Kenaikan P1 maupun P2 di perkotaan cukup tinggi, hal ini memberikan indikasi bahwa penduduk miskin di perkotaan semakin terpuruk. Sementara itu kondisi di Perdesaan tidak terlalu berubah secara signifikan.
4.1.5 Anggaran Pendidikan Alokasi anggaran merupakan instrumen penting bagi pemerintah untuk mempromosikan pembangunan ekonomi. Upaya pembangunan sumberdaya manusia dapat dilakukan melalui investasi disektor pendidikan. Keberhasilan pembangunan dibidang pendidikan turut ditentukan juga dengan jumlah anggaran bidang pendidikan yang disediakan. Pendidikan diselenggarakan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi langkah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup warga negara. Rasio anggaran pendidikan terhadap total anggaran digunakan sebagai proksi pengeluaran pemerintah daerah untuk investasi publik bidang pendidikan. Angka ini dapat digunakan untuk menilai penekanan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, relatif terhadap nilai dari investasi publik lainnya. Angka ini juga mencerminkan komitmen pemerintah untuk berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia. Semakin tinggi persentase pengeluaran pemerintah untuk pendidikan menunjukkan kebijakan prioritas pemerintah untuk pendidikan lebih tinggi relatif terhadap nilai dari investasi publik lainnya, termasuk pertahanan dan keamanan, kesehatan, jaminan sosial, dan sektor social atau ekonomi lainnya. Namun demikian, mengingat pentingnya pendidikan tersebut, pemerintah tetap memprioritaskan anggaran pembangunan dibidang pendidikan. Keseriusan pemerintah dalam memajukan pendidikan ditunjukkan dalam Amandemen UUD 1945 dan UndangUndang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Langkah pemerintah dalam pembiayaan pendidikan diwujudkan dengan memprioritaskan anggaran pendidikan dialokasikan minimal 20.% dari anggaran pendapatan dan belanja negara
49
(APBN) pada sektor pendidikan dan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
8,0%
350000
6,9% 7,0% 6,0%
5,5%
5,2%
5,0%
4,9% 5,0%
4,4%
4,0%
3,2%
3,5%
2,6%
3,0% 2,0% 1,0%
300000
6,2%
5,8%
2,5%
4,2% 200000 308400,00 301333,06 150000 263162,72
196480,94 182502,11 146923,61 213118,03 83038,16
35652,34 65212,04 63557,26 63493,93 27338,56 4405,94 0,0% 1,0%
250000
100000 50000 0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Sumber: Dirjen Perimbangan Keuangan (2015), Dinas Pendidikan Provinsi Banten (2015), data diolah.
Gambar 4.4: Anggaran Pendidikan dan Share Anggaran Pendidikan Terhadap Total Anggaran (Realisasi) Tahun 2001 – 2014 Berdasarkan data yang diperoleh, realisasi rata-rata rasio anggaran fungsi pendidikan di Provinsi Banten selama periode tahun 2000-2014 beru mencapai 4,3%. Angka tidak memasukkan gaji guru dalam perhitungan pengeluaran bidang pendidikan sehingga masih jauh dari amant undang-undang Sisdiknas yang harus mencapai minimal 20.%. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.4. Dari gambar tersebut terlihat, provinsi Banten mengalokasikan anggaran bidang pendidikan tertinggi secara persentase adalah 2009 dan 2010. Namun, jika dilihat dari nilai nominal anggaran pendidikan terbukti mengalami peningkatan setiap tahun, yang mana anggaran pendidikan secara nominal mencapai Rp 308.400.000.000,00 pada tahun 2014 atau 4,3% dari total pengeluaran dikurangi gaji guru. Adapun pengeluaran pendidikan tersebut digunakan untuk pembangunan infrastrusktur sekolah (pembangunan unit gedung baru dan pemeliharaan), bantuan siswa miskin, beasiswa pendidikan, dan sebagainya. Menurut World bank (2007), peningkatan anggaran pendidikan menjadi tidak konsisten dalam meningkatkan kualitas pendidikan karena 70% dari anggaran pendidikan 50
tersebut dialokasikan untuk gaji, insentif guru dan tenaga kependidikan sementara pemerintah daerah masih kekurangan anggaran untuk peningkatan kualitas pengajaran dan rehabilitasi sekolah, pada tahun 2016 diperkirakan sebanyak 102.7 trilyun akan dialokasikan untuk gaji dan insentif guru yang telah memperoleh sertifikasi (130% dari anggaran pendidikan dalam APBN 2005). Hal ini yang mengakibatkan banyaknya infrastruktur sekolah yang rusak dan tidak layak untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar sehingga kegiatan operasional sekolah masih dibebankan kepada siswa.
4.1.6 Ketimpangan Pendapatan Pertumbuhan ekonomi Banten dalam kurun waktu 14 tahun terakhir memiliki tren atau kecenderungan yang meningkat. Namun tren peningkatan tersebut juga diikuti oleh tren peningkatan ketimpangan pendapatan antar kelompok pendapatan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari garis tren ketimpangan pendapatan yang diukur dengan gini ratio seperti pada gambar 4.5. Nilai rasio gini atau indeks gini pendapatan berkisar antara 0 sampai dengan 1. Pada tahun 2001, nilai ketimpangan pendapatan di Provinsi Banten sebesar 0,32 kemudian menurun pada tahun 2001 menjadi 0,26, namun meningkat lagi pada tahun 2002 menjadi 0.33. 0,42
0,45 0,38
0,4 0,35
Gini Ratio
0,3
0,35
0,33
0,32 0,26
0,40 0,39 0,40
0,28 0,29
0,31
0,29 0,30
0,25 0,2 0,15 0,1 0,05
0
Sumber: BPS Banten (beberapa penerbitan) Gambar 4.5: Perkembangan Ketimpangan Pendapatan (Gini Ratio) di Provinsi Banten Tahun 2000 - 2013
51
Sedangkan pada tahun 2003 – 2004, tingkat ketimpangan pendapatan mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2002 dan 2005, yakni antara 0.28 – 0.29. Selanjutnya ketimpangan pendapatan di Provinsi Banten mengalami penurunan pada tahun 2006 sebesar 0.31 dan 0.29 pada tahun 2007. Akan tetapi pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 tingkat ketimpangan meningkat lagi dari 0.30 menjadi 0,42. Sedangkan pada tahun 2011 – 2013, tingkat ketimpangan lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2010, meskipun nilai ketimpangannya antara 0.39 – 040. Jadi selama kurun waktu penelitian tingkat ketimpangan mencapai angka tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 0,42 dan terendah pada tahun 2001, yakni 0.26. Meningkatnya tingkat ketimpangan pendapatan di Provinsi Banten tidak lepas dari pelaksanaan pembangunan yang tidak merata, khususnya pembangunan infrastruktur yang mendukung kegiatan perekonomian, misalnya keberadaan dan kondisi jalan, akses pasar, perbedaan pendidikan dan keterampilan penduduk, investasi yang tidak merata, meningkatnya kemiskinan, serta pemnafaatan sumber daya yang kurang optimal. Kondisi ini selaras dengan pendapat Sjafrizal (2012) yang menyatakan bahwa terdapat faktorfaktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan dan antar wilayah yaitu 1) perbedaan sumber daya alam, 2) faktor demografis termasuk kondisi tenaga kerja, 3) alokasi dana pembangunan antar wilayah baik investasi pemerintah maupun investasi swasta, 4) konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, dan 5) mobilitas barang dan jasa.
4.2 DESKRIPSI STATISTIK Sebelum dilakukan analisa dari hasil penenlitian lebih lanjut, maka akan dipaparkan tentang ukuran rata-rata dan penyebaran data dari masing-masing variabel. Variabel rata-rata lama sekolah (RLS) menunjukkan rata-rata lama tahun sekolah semua penduduk pada semua jenjang pendidikan formal dan kesetaraan. Semakin tinggi nilai RLS, maka semakin bertambah jenjang penddidikan penduduk menikmati pendidikan yang disediakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Tabel 4.2 menunjukkan
bahwa nilai rata-rata, minimal, maksimal dan deviasi standar rata-rata lama sekolah adalah 8.03; 6.80; 8.86; dan 0.53 Artinya sebagian besar pendudukan Banten masih belum tamat SMP dan target pendidikan dasar sebilan tahun masih belum tercapai. Hal ini juga menunjukkan bahwa variasi tingkat pendidikan antar individu masyarakat juga masih tinggi.
52
Standar deviasi sekolah (SDS) merupakan salah indikator ketimpangan pendidikan antar penduduk dan antar wilayah. Semakin tinggi nilai SDS menunjukkan ketimpangan pendidikan antar penduduk semakin tinggi, atau sebaliknya. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata, minimal, maksimal dan deviasi standar dari variabel standar deviasi sekolah adalah 2.65; 1.67; 3.28; dan 0.49. Artinya sebagian besar penduduk di Banten tingkat pendidikannya masih rendah dibandingkan dengan penduduk yang berpendidikan tinggi. Hal ini juga menunjukkan bahwa variasi tingkat pendidikan antar individu masyarakat juga masih tinggi. Variabel anggaran pendidikan menunjukkan besarnya alokasi anggaran yang disediakan oleh pemerintah Provinsi Banten di bidang pendidikan di luar gaji guru dan tunjangannya. Data ditransformasi dalam bentuk logaritma. Besarnya nilai log anggaran pendidikan yang semakin besar menunjukkan alokasi anggaran pendidikan yang semakin besar. Tabel 4.2 menggambarkan bahwa nilai rata-rata, minimal, maksimal dan deviasi standar dari variabel standar deviasi sekolah adalah 4.88; 3.64; 5.48; dan 0.50. Artinya rata-rata anggaran pendidikan yang dialokasikan masih kecil karena kurang dari 20% dari total realisasi pengeluaran daerah yang tertuang dalam APBD Provinsi Banten. Sedangkan variasi anggaran setiap tahun masih relatih rendah. Dalam kurun waktu 2000 – 2013 nilai rata-rata (mean) lama tahun sekolah penduduk di Provinsi Banten adalah sebesar 8.03 Tabel 4.2: Deskripsi Statistik RLS (Rata-rata Lama Sekolah), SDS (Standar Deviasi Sekolah), lnPK (Pendapatan Keluarga), lnAP (Anggaran Pendidikan), POV (Kemiskinan), dan GR (Gini Ratio) Komponen RLS SDS Mean 8.032143 2.645624 Standard Error 0.142587 0.13044 Median 8.1 2.8544 Mode 8.1 #N/A Standard Deviation 0.533511 0.488061 Sample Variance 0.284634 0.238204 Kurtosis 1.701492 -0.23516 Skewness -1.08987 -0.89532 Range 2.06 1.61 Minimum 6.8 1.67 Maximum 8.86 3.28 Sum 112.45 37.03873 Count 14 14 Sumber: Hasil olahan Peneliti (2015) 53
Log AP 4.887607 0.133426 4.866803 #N/A 0.499235 0.249235 1.597596 -1.10049 1.835008 3.644039 5.479047 68.4265 14
POV 8.578057 0.556202 8.72 #N/A 2.081116 4.331042 1.716713 0.861089 7.96 5.74 13.7 120.0928 14
PE 5.383706 0.214949 5.644879 #N/A 0.804264 0.646841 -0.88683 -0.71603 2.42578 3.950103 6.375884 75.37189 14
GR 0.337143 0.014003 0.325 0.29 0.052393 0.002745 -1.43649 0.226011 0.16 0.26 0.42 4.72 14
Menurut Sen (1999) kemiskinan lebih terkait pada ketidakmampuan untuk mencapai standar hidup tersebut dari pada apakah standar hidup tersebut tercapai atau tidak. Kemiskinan diukur dengan menghitung jumlah persentase penduduk miskin terhadap total penduduk di Provinsi Banten. Semakin besar nilai persentanse jumlah penduduk miskin menunjukkan semakin besar jumlah penduduk miskin. Hasil perhitungan pada tabel 4.2 menggambarkan bahwa nilai rata-rata, minimal, maksimal dan deviasi standar dari variabel standar deviasi sekolah adalah 8.57; 5.74; 13.70; dan 2.08. Artinya rata-rata jumlah penduduk miskin sebesar 8.57% selama periode penelitian, sedangkan jumlah penduduk miskin paling kecil adalah 5.74% dan terbesar 13.70%. Adapun variasi jumlah penduduk miskin di Banten masih tergolong tinggi. Pertumbuhan ekonomi mencerminkan kinerja dari perekonomian daerah di Provinsi Banten. Semakin tinggi nilai pertumbuhan ekonomi, maka kinerja ekonomi semakin baik. Hasil perhitungan pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa bahwa nilai rata-rata, minimal, maksimal dan deviasi standar dari variabel standar deviasi sekolah adalah 5.38; 3.95; 6.38; dan 0.80. Artinya rata-rata pertumbuhan ekonomi selama periode penelitian adalah sebesar 5.38%, pertumbuhan ekonomi paling rendah sebesar 3.95%, dan tertinggi sebesar 6.38%. Adapun variasi pertumbuhan ekonomi tergolong kecil yakni pertumbuhan ekonomi relatif lambat. Ketimpangan pendapatan mencerminkan perbedaan pendapatan yang diperoleh oleh golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah dibandingkan dengan golongan masyarakat yang berpenghasilan tingggi. yang kinerja dari perekonomian daerah di Provinsi Banten. Semakin kecil nilai rasio gini, maka ketimpangan/ketimpangan pendapatan semakin semakin baik atau pendapatan semakin merata. Hasil perhitungan pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa bahwa nilai rata-rata, minimal, maksimal dan deviasi standar dari variabel standar deviasi sekolah adalah 0.33; 0.26; 0.42; dan 0.05. Artinya rata-rata ketimpangan pendapatan selama periode penelitian adalah sebesar 33% yang tergolong rendah karena < 35%, ketimpangan pendapatan paling rendah sebesar 26%, dan tertinggi sebesar 42%. Angka 42% menunujukkan tingkat ketimpangan pendapatan tergolong tinggi karena > 35%. Adapun variasi ketimpangan pendapatan tergolong kecil.
4.3 KETIMPANGAN PENDIDIKAN DI BANTEN Dalam penelitian ini pengukuran ketimpangan pendidikan menggunakan ukuran standar deviasi sekolah (Ram, 1990; Birdsall dan Londono, 1997) dan rata-rata lama 54
sekolah (Psacharopoulos dan Arriagada, 1986). Perhitungan ketimpangan pendidikan dengan menggunakan standar deviasi sekolah basis datanya adalah rata-rata lama sekolah dan proporsi pencapaian pendidikan oleh setiap penduduk. Semakin tinggi nilai standar deviasi menunjukkan ketimpangan pendidikan yang semakin besar, sebaliknya semakin kecil nilai standar deviasi, maka ketimpangan pendidikan semakin kecil. Artinya semakin banyak penduduk yang dapat besekolah ke jejnjang pendidikan yang lebih tinggi. Standar deviasi berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan digunakan untuk memberikan gambaran ketimpangan pendidikan yang terjadi di Provinsi Banten. Faktor penting dalam menentukan ketimpangan pendidikan adalah latar belakang keluarga siswa. Menurut Tesfeye (2002) salah satu faktor mempengaruhi ketimpangan pendidikan yakni karakteristik keluarga yang terdiri dari pendapatan, tingkat kesejahteraan, ukuran keluarga, tingkat pendidikan orang tua. Lee dan Orfield (2005) menjelaskan bahwa terjadi korelasi antara keberhasilan akademis orang tua dengan keberhasilan akademis anak-anak mereka, dimana ketimpangan pendidikan di Amerika Serikat disebabkan oleh perbedaan tingkat pendidikan orang tua. Siswa kulit putih cenderung memiliki orang tua yang lebih berpendidikan dan memiliki akses mudah pada pendidikan daripada siswa dari keluarga minoritas. Oleh karena itu tingkat pendidikan orang tua/kepala rumah tangga menjadi dasar perhitungan ketimpangan pendidikan dalam penelitian ini. Nilai ketimpangan pendidikan di Provinsi Banten, yang diukur dengan standar deviasi sekolah menunjukkan tren yang semakin menurun. Hal ini mengidikasikan bahwa ketimpangan pendidikan antar kelompok masyarakat atau individu semakin kecil artinya pendidikan semakin merata. Meskipun pada tahun 2006 dan 2007 terjadi peningkatan ketimpangan pendidikan di Porvinsi Banten, tetapi selanjutnya terus mengalami penurunan ketimpangan hingga tahun 2013. Kondisi ini dapat dikatakan adanya peningkatan jumlah orang yang terdidik dan terampil sehingga dapat meningkatkan akumulasi modal manusia. Menngkatnya akumulasi modal manusia dapat meningkatkan potensi produktivitas barang dan jasa. Peningkatan jumlah orang yang lebih terdidik dan terampil akan mengurangi rasio orang yang kurang berpendidikan dalam angkatan kerja total, sehingga akan mengurangi perbedaan keterampilan. Pencapaian pendidikan memainkan peran penting sebagai sinyal kemampuan dan produktivitas di pasar kerja. Meskipun pendidikan belum tentu selalu menghasilkan sinyal yang akurat mengenai produktivitas tenaga kerja dan informasi yang 55
terbatas memaksa pengusaha untuk menggunakan pendidikan sebagai indikator utama (Stiglitz,1973).
10,00 9,00 8,00
4,00 3,28
3,07
3,50
3,05 2,91 2,95 2,88 2,82 2,90 2,74
7,00
3,00 2,50 2,26 2,17
6,00
3,00
2,50 1,83
5,00 4,00
Standar Devisasi Sekolah
6,80 7,10
7,90 8,10
7,90
8,00
8,15
8,10
8,10
1,67
8,32 8,41
8,10
8,61
2,00
Rata-2 Lama Sekolah
1,50 8,86
1,00
2,00 1,00
0,50
0,00
0,00
Sumber: BPS beberapa penerbitan dan Olahan Peneliti (2015) Gambar 4.5 Perkembangan Ketimpangan Pendidikan Tahun 2000 – 2013 dengan Metode Perhitungan Standar Deviasi Sekolah Ketimpangan pendidikan juga dapat diukur menggunakan perhitungan rata-rata lama sekolah (years of schooling). Rata-rata lama sekolah merupakan cerminan tingkat pendidikan penduduk secara keseluruhan dan menunjukkan rata-rata jumlah tahun efektif untuk bersekolah yang dicapai penduduk, yang diformulasikan oleh UNDP pada tahun 1990 untuk penyusunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Jumlah tahun efektif adalah jumlah tahun standar yang harus dijalani oleh seseorang untuk menamatkan suatu jenjang pendidikan, misalnya tamat SD adalah 6 tahun, tamat SMP adalah 9 tahun dan seterusnya. Lamanya sekolah atau years of schooling adalah sebuah angka yang menunjukkan lamanya bersekolah seseorang dari masuk sekolah dasar sampai dengan tingkat pendidikan terakhir (SD – S3). Psacharopoulos dan Arriagada (1986) mengemukakan bahwa indikator yang tepat dalam mengukur tingkat pembangunan manusia adalah tingkat persediaan/stok perolehan pendidikan atau yang disebut sebagai rata-rata lama sekolah. Peneliti mengumpulkan informasi tentang distribusi sekolah masing-masing negara dan dihitung tingkat pencapaian pendidikan seperti Barro dan Lee (1996) yang memformalkan 56
penggunaan capaian pendidikan untuk regresi pertumbuhan. Nehru et al (1994) membuat database capaian pendidikan lintas negara untuk mengevaluasi distribusi sekolah dari waktu ke waktu di berbagai negara. Namun, indikator ini tidak menggambarkan karakteristik ketimpangan modal manusia baik absolut maupun relatif (Thomas et al, 2000). Indikator ini juga mencerminkan struktur dan kinerja dari sistem pendidikan dan dampaknya terhadap pembentukan akumulasi modal manusia (UNESCO, 2009). pencapaian pendidikan terkait erat dengan keterampilan dan kompetensi penduduk suatu negara, dan bisa dilihat sebagai proxy dari aspek kuantitatif dan kualitatif dari stok modal manusia. Ketimpangan pendidikan di Provinsi Banten yang ditunjukkan oleh mayoritas rata-rata lama sekolah pada Gambar 4.5, berada pada rata-rata 6.8 tahun pada tahun 2000 dan mengalami peningkatan yang signifikan selam kurun waktu 14 tahun, yaitu pada tahun 2013 mencapai 8,86 tahun. Angka tersebut menunjukkan bahwa secara rata-rata pendidikan masyarakat Banten baru mencapai pendidikan dasar (SMP) kelas 8 (kelas 2 SMP). Granado et al. (2007) menyimpulkan adanya trade off antara bekerja dan sekolah. Hal ini disebabkan bersekolah memerlukan biaya sedangkan bekerja dapat membantu menambah pendapatan keluarganya. Menurut Todaro dan Smith (2006), orang tua di negara berkembang masih memandang anak sebagai tenaga kerja yang dapat membantu kehidupan orang tua. Ketimpangan pendidikan dapat diakibatkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan. Sedikitnya sekolah yang ada mengakibatkan anak sekolah harus menempuh jarak yang lebih jauh agar dapat bersekolah. Jarak tempuh yang jauh akan menambah biaya transportasi ke sekolah sehingga murid dari keluarga tidak mampu akan memilih untuk tidak bersekolah (Bappenas, 2010).
4.4 HASIL ESTIMASI Pada bagian ini akan diuraikan pengujian dari model yang telah dispesifikasi dengan tujuan untuk menghasilkan model yang layak, sehingga dapat dilakukan analisis terhadap hasil temuan penelitiannya. Selanjutnya melakukan interpretasi hasil estimasi ekonometrika dengan menggunakan program Eviews 8. Untuk lebih jelasnya hasil estimasi tersebut akan dipaparkan pada bagian berikutnya.
57
4.4.1 Pengujian Asumsi Klasik Sebelum dilakukan interpretasi terhadap model ketimpangan pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama (RLS) sekolah dan model standar deviasi sekolah (SDS), akan dilakukan uji asumsi klasik, yaitu uji nornalitas, multikolineritas, heteroskedastisitas, dan otokorelasi. Selanjutnya penelitia, akan melakukan interpretasi hasil dan pengujian hipotesa untuk beberapa faktor yang signifikan mempengaruhi ketimpangan pendidikan di Provinsi Banten. Tabel 4.2: Rekapitulasi Hasil Uji Asumsi Klasik
Model
Variabel
Uji Normalitas
Uji Multikolinieritas
Uji Heteroskedas tis (BreuschPagan-Godfrey)
Model RLS
Model SDS
1. RLS 2. Anggaran Pendidikan 3. Kemiskinan 1. SDS 2. Anggaran Pendidikan 3. Kemiskinan 4. Pertumbuhan ekonomi 5. Ketimpangan Pendapatan
Prob. = 0,477 Korelasi Anggaran Prob. = 0,428 > 0.05 Pendidikan dengan > 0.05 Kemiskian -0,748 Prob. = 0,662 > 0.05
-
-
-
-
-
-
Korelasi Anggaran Prob. = 0.091 Pendidikan dengan > 0.05 Kemiskinan=-0.748 Korelasi Anggaran Pendidikan dengan Pertumbuhan Ekonomi = 0,779 Korelasi Anggaran Pendidikan dengan Ketimpangan Pendapatan = 0.714 Korelasi Kemiskinan dengan Pertumbuhan Ekonomi = -0.652 Korelasi Kemiskinan dengan Ketimpangan Pendapatan = -0.642 Korelasi Pertumbuhan Ekonomi dengan Ketimpangan Pendapatan = 0.523
Sumber: Hasil olahan peneliti (2015)
58
Uji Otokorelasi (DurbinWatson) 1,723 dan Prob. LM test = 0.321>0.05 1.375 dan Prob. LM test = 0.892>0.05
a. Uji Normalitas Pengujian normalitas terhadap data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu variabel terikat ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan rata-rata lama sekolah dan standar deviasi sekolah, serta data variabel bebas yang berupa anggaran pendidikan, kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pertumbuhan ekonomi dilakukan sebelum melakukan uji hipotesis. Uji asumsi klasik ini bertujuan untuk memperoleh model yang memenuhi persamaan regresi yang layak, handal, serta tidak bias (model yang terbaik). Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa nilai probabilitas model RLS sebesar 0.477 > 0.05 dan model SDS sebesar 0.662 > 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa semua data berdistribusi normal.
b. Uji Multikolinieritas Multikolinieritas adalah hubungan linier yang kuat antara variabel-variabel bebas dalam persamaan regresi berganda. Gejala multikolinieritas ini dapat dideteksi dari nilai R2 tinggi tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang berpengaruh nyata dan tanda koefisien regresi tidak sesuai dengan teori (Gujarati, 2007). Dalam penelitian ini, untuk mendeteksi adanya multikolinieritas dilakukan dengan cara mengkorelasikan antar variabel bebas. Hasil perhitungan korelasi antar variabel yang ada dalam model RLS dan SDS adalah korelasi antara anggaran pendidikan dengan kemiskinan sebesar -0.748, korelasi antara anggaran pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,779, korelasi antara anggaran pendidikan dengan ketimpangan pendapatan sebesar 0.714, korelasi antara kemiskinan dengan pertumbuhan ekonomi sebesar -0.652, korelasi antara kemiskinan dengan ketimpangan pendapatan adalah sebesar -0.642, serta korelasi pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan sebesar 0.523. Karena nilai korelasi antar variabel bebas menunjukkan nilai r > 0.80, maka dapat disimpulkan bahwa model RLS dan model SDS telah terbebas dari masalah multikolinieritas.
59
c. Uji Heteroskedastisitas Dalam regresi linear berganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut BLUE (Best Linier Unbiased Estimator) adalah vau (ei) = σ2 yang konstan semua error mempunyai variasi yang sama. Uji Breusch-Pagan-Godfrey terhadap model ketimpangan RLS yang digunakan adalah untuk mendeteksi adalah masalah heterskedastisitas. Hasil uji Breusch-Pagan-Godfrey diperoleh nilai Prob. = 0,428 > 0.05. Jadi dapat disimpulkan bahwa model regresi ketimpangan RLS tidak terjadi adanya heteroskedastisitas. Sedangkan uji BreuschPagan-Godfrey juga digunakan untuk menguji adanya masalah heteroskedastisitas terhadap model ketimpangan SDS. Hasil uji Breusch-Pagan-Godfrey diperoleh nilai Prob. = 0,091 > 0.05. Jadi dapat disimpulkan bahwa model regresi ketimpangan SDS tidak terjadi adanya heteroskedastisitas.
d. Uji Autokorelasi Model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa gangguan, 𝜀̂, adalah variabel random yang tidak berkorelasi, dengan nilai rata-rata nol dan vaiance yang konstan. Dalam masalah ini, model mengasumsikan 𝐸(𝜀𝑖 𝜀𝑗 ) = 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑖 ≠ 𝑗dan 𝐶𝑜𝑣(𝜀𝑡 𝜀𝑠 ) = 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑡 ≠ 𝑠. Dengan kata lain, model klasik mengasumisikan bahwa gangguan yang berhubungan dengan observasi apapun tidak dipengaruhi oleh istilah gangguan yang berkaitan dengan setiap pengamatan lainnya. Dalam penelitian ini, untuk mendeteksi adanya masalah autokorelasi adalah menggunakan uji Durbin-Watson. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai Uji Durbin-Watson untuk model ketimpangan RLS adalah 1,723 dan Prob. LM test = 0.321 > 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa model ini berarti tidak terjadi masalah autokorelasi positif dan negatif atau tidak terdapat autokorelasi. Sedangkan nilai uji Durbin Watson untuk model ketimpanan SDS adalah .375 dan Prob. LM test = 0.892 > 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa model ini berarti tidak ada autokorelasi positif dan negatif atau tidak terdapat autokorelasi.
60
4.4.2 Hasil Estimasi Regresi a. Model RLS Dalam model regresi rata-rata lama sekolah telah dilakukan estimasi untuk untuk menjawab rumusan masalah yang kedua tentang pengaruh anggaran pendidikan dan kemiskinan terhadap ketimpangan pendidikan (rata-rata lama sekolah). Hasil estimasi persamaan model persamaan (3.2) adalah: 𝑌𝑗𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑙𝑛𝐴𝑃𝑡 + 𝛼2 𝑃𝑂𝑉𝑡 + 𝛼3 𝑃𝐸𝑡 + 𝛼4 𝐺𝑅𝑡 + 𝜀𝑡 Peneliti melakukan berbagai estimasi dari berbagai persamaan regresi sehingga menghasilkan estimasi persamaan seperti pada tabel 4.2. Dari tabel 4.2 tersebut model yang layak dipilih adalah model estimasi yang kedua karena merupakan model yang telah memenuhi asumsi klasik yang terbebas dari miltikolinierita, heteroskedstisitas, dan otokorelasi. Besaran nilai koefisien anggaran pendidikan menunjukkan angka positif sebesar 0,373 yang mempunyai arti bahwa setiap kenaikan 1% anggaran pendidikan maka dapat meningkatkan 37,30% rata-rata lama sekolah penduduk yang tinggal di Provinsi Banten dengan asumsi cateris paribus atau sebaliknya. Tabel 4.3 Hasil Estimasi Model RLS (Variabel Dependen) dengan OLS Variabel lnAP POV
Model 1 0.308* (0.169) -0.180*** (0.041)
Model 2 0.373* (0.194) -0.187*** (0.042) -1.174 (1.604)
GR PE Konstanta 8.072*** Observasi 14 R2 0.879 F-stat 39.89 Prob (F-stat) 0.000 Catatan: * p < 0.1, ** p < 0.05, *** p < 0.001
8.208 *** 14 0.885 25.657 0.000
Model 3 0.321 (0.247) -0.184*** (0.045) -1.100 (1.690) 0.044 (0.121) 8.170*** 14 0.887 17.609 0.000
Sedangkan nilai koefisien kemiskinan sebesar minus 0,187 yang mempunyai arti bahwa setiap penurunan 1% kemiskinan, maka akan meningkatkan rata-rata tahun/lama sekolah sebesar 18,7% dengan asumsi cateris paribus, atau sebaliknya. 61
Sementara nilai koefisien ketimpangan pendapatan antar kelompok pendapatan adalah sebesar minus 1,174 yang berarti penurunan 1% ketimpangan pendapatan, maka akan meningkatkan rata-rata tahun/lama sekolah sebesar 117,40% dengan asumsi cateris paribus, atau sebeliknya. Tidak digunakannya model 1 karena sudah direpresentasi dengan model yang ke 2. Untuk model yang ketiga sebenarnya lebih banyak menggunakan variabel bebas, namun menghasilkan korelasi antar variabel bebas, yaitu antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan (terdapat masalah multikolinieritas) seperti yang telah dilakukan pengujian asumsi klasik sebelumnya. b. Model SDS Dalam model regresi rata-rata lama sekolah telah dilakukan estimasi untuk untuk menjawab rumusan masalah yang kedua tentang pengaruh anggaran pendidikan, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan rata-rata lama sekolah terhadap ketimpangan pendidikan (standar deviasi sekolah). Hasil estimasi persamaan model persamaan (3.3) adalah: 𝑌𝑗𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑙𝑛𝐴𝑃𝑡 + 𝛼2 𝑃𝑂𝑉𝑡 + 𝛼3 𝑃𝐸𝑡 + 𝛼4 𝐺𝑅𝑡 + 𝛼5 𝑅𝐿𝑆𝑡 + 𝜀𝑡 Peneliti melakukan berbagai estimasi dari berbagai persamaan regresi sehingga menghasilkan estimasi persamaan seperti pada tabel 4.3. Dari tabel 4.3 tersebut model yang layak dipilih adalah model estimasi yang kedua karena merupakan model yang telah memenuhi asumsi klasik yang terbebas dari miltikolinierita, heteroskedstisitas, dan otokorelasi. Besaran nilai koefisien anggaran pendidikan menunjukkan angka minus sebesar 0,026 yang mempunyai arti bahwa setiap penurunan 1% anggaran pendidikan maka dapat meningkatkan 2,60% ketimpangan pendidikan di Provinsi Banten dengan asumsi cateris paribus atau sebaliknya. Tabel 4.3 Hasil Estimasi Model SDS (Variabel Dependen) dengan OLS Variabel lnAP POV GR
Model 1 -0.026 (0.183) 0.147*** (0.040) -3.467** (1.508)
PE RLS
62
Model 2 -0.185 (0.023) 0.160*** (0.039) -3.239** (1.470) 0.136 (0.105)
Model 3 -0.187 (2.748) 0.157* (0.070) -3.234 (1.595) 0.136 (0.112) 0.004 (0.307)
Konstanta 2.680** Observasi 14 2 R 0.885 F-stat 25.657 Prob (F-stat) 0.000 Catatan: * p < 0.1, ** p < 0.05, *** p < 0.001
2.560** 14 0.897 19.616 0.000
2.521 14 0.897 13.949 0.000
Sedangkan nilai koefisien kemiskinan sebesar positif 0,160 yang mempunyai arti bahwa setiap peningkatan 1% kemiskinan, maka akan meningkatkan ketimpangan pendidikan sebesar 16,00% dengan asumsi cateris paribus, atau sebaliknya. Sementara nilai koefisien ketimpangan pendapatan antar kelompok pendapatan adalah sebesar minus 3,239 yang berarti peningkatan 1% ketimpangan pendapatan, maka akan menurunkan ketimpangan pendidikan sebesar 323,90% dengan asumsi cateris paribus, atau sebeliknya.
4.4.3 UJI HIPOTESIS Uji hipotesis dilakukan untuk membuktikan jawaban dari rumusan masalah yang telah dituliskan/di-state-kan pada bab II. Adapun dalam uji hipotesis ini peneliti membagi 2 (dua) kelompok, yaitu uji parsial untuk masing-masing variabel terhadap ketimpangan pendidikan dan uji global atau uji secara keseluruhan variabel bebas secara bersama-sama yang mempengaruhi ketimpangan pendidikan. 1) Hipotesis 1: Terdapat pengaruh yang signifikan anggaran pendidikan terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil regresi dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan ratarata lama sekolah (years of schooling) model 2 menghasilkan koefisien anggaran pendidikan positif (+0.373). Nilai probabilitas adalah 0.083 yang berarti anggaran pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pendidikan pada tingkat signifikansi 10 persen. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis pertama yaitu anggaran pendidikan berpengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan pendidikan terbukti: (Ho) ditolak. Hasil regresi dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan standar deviasi pendidikan model 2 menghasilkan koefisien anggaran pendidikan negatif (0.185). Nilai probabilitas adalah 0.412 yang berarti anggaran pendidikan tidak 63
berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis pertama yaitu anggaran pendidikan berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendidikan tidak terbukti: (Ho) diterima.
2) Hipotesis 2: Terdapat pengaruh yang signifikan kemiskinan terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil regresi dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan rata-rata lama sekolah (years of schooling) model 2 menghasilkan koefisien kemiskinan negatif (-0.187). Nilai probabilitas adalah 0.001 yang berarti kemiskinan berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pendidikan pada tingkat signifikansi 1 persen. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis kedua yaitu kemiskinan berpengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan pendidikan terbukti: (Ho) ditolak. Hasil regresi dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan standar deviasi pendidikan model 2 menghasilkan koefisien kemiskinan negatif (-0.160). Nilai probabilitas adalah 0.003 yang berarti kemiskinan berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis kedua yaitu kemiskinan berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendidikan terbukti: (Ho) ditolak. 3) Hipotesis 3: Terdapat pengaruh yang signifikan ketimpangan pendapatan terhadap ketimpangan pendidikan Hasil regresi dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan ratarata lama sekolah (years of schooling) model 2 menghasilkan koefisien ketimpangan pendapatan negatif (-1.174). Nilai probabilitas adalah 0.481 yang berarti ketimpangan pendapatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis ketiga yaitu ketimpangan pendapatan berpengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan pendidikan tidak terbukti: (Ho) ditetima. Hasil regresi dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan standar deviasi pendidikan model 2 menghasilkan koefisien ketimpangan pendapatan negatif (3.239). Nilai probabilitas adalah 0.05 yang berarti ketimpangan pendapatan berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil tersebut 64
menunjukkan bahwa hipotesis ketiga yaitu ketimpangan pendapatan berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendidikan terbukti: (Ho) ditolak. 4) Hipotesis 4: Terdapat pengaruh yang signifikan pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendidikan Hasil regresi dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan standar deviasi pendidikan model 2 menghasilkan koefisien pertumbuhan ekonomi sebesar 0.136. Nilai probabilitas adalah 0.227 yang berarti pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis ketiga yaitu pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendidikan tidak terbukti: (Ho) ditolak.
5) Hipotesis 5: Secara bersama-sama, terdapat pengaruh anggaran pendidikan, kemiskinan,
ketimpangan
pendidikan,
dan
pertumbuhan
ekonomi
terhadap
ketimpangan pendidikan. Hasil pengujian model terhadap persamaan (3.1) pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa menunjukkan hasil Uji Pengaruh Simultan (F test) sebesar 25.657 dan probabilitas 0.000 yang berarti interaksi antara anggaran pendidikan, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan secara bersama-sama berpengaruh terhadap ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan rata-rata lama sekolah. Persamaan ini memberikan R2 sebesar 0.885 yang berarti variabilitas ketimpangan pendidikan dapat dijelaskan oleh variabilitas anggaran pendidikan, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan sebesar 88.50 persen sedangkan 11.50 persen dijelaskan oleh variabel lain. Hasil pengujian model terhadap persamaan (3.1) pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa menunjukkan hasil Uji Pengaruh Simultan (F test) sebesar 19.616 dan probabilitas 0.000 yang berarti interaksi antara anggaran pendidikan, kemiskinan, ketimpangan
pendapatan,
dan
pertumbuhan
ekonomi
secara
bersama-sama
berpengaruh terhadap ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan standar deviasi sekolah. Persamaan ini memberikan R2 sebesar 0.897 yang berarti variabilitas ketimpangan pendidikan dapat dijelaskan oleh variabilitas anggaran pendidikan, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan sebesar 89.70 persen sedangkan 10.50 persen dijelaskan oleh variabel lain.
65
4.5 PEMBAHASAN HASIL Penyajian pembahasan hasil penelitian dibagi menjadi beberapa bagian bahasan. Bagian pertama membahas analisis hasil regresi pengaruh anggaran pendidikan terhadap ketimpangan pendidikan. Bagian kedua membahas analisis hasil regresi pengaruh pengaruh kemiskinan terhadap ketimpangan pendidikan. Bagian ketiga membahas analisis hasil regresi pengaruh ketimpangan pendapatan terhadap ketimpangan pendidikan. Bagian kelima pengaruh pengaruh pertumbuhan terhadap ketimpangan pendidikan.
4.5.1 Pengaruh Anggaran Pendidikan Terhadap Ketimpangan Pendidikan Hasil penelitian ini mengungkap bahwa terdapat hubungan positif antara pengeluaran pemerintah bidang pendidikan dengan ketimpangan pendidikan (rata-rata lama sekolah) di Provinsi Banten. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang menyebutkan bahwa variabel investasi pemerintah dalam pendidikan mempunyai kontribusi dalam mempengaruhi ketimpangan pendidikan disuatu daerah (Liao & Shen, 2011), Harbison dan Hanushek (1992), Sebaliknya, Gupta, Verhoeven dan Tiongson (2002) menemukan bahwa korelasi positif antara peningkatan belanja publik bidang pendidikan dan kesehatan di 86 negara berkembang dengan peningkatan hasil pendidikan dan kesehatan. Sedangkan Doriza, Purwanto, dan Maulida (2012) menemukan bahwa dana alokasi khusus untuk pendidikan dan pendapatan asli daerah dapat mengurangi dispasritas pendidikan dasar. Pada saat yang sama, Suryadarma (2012) menemukan bahwa pengeluaran publik untuk pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap partisipasi pendidikan, tetapi pengeluaran publik tidak signifikan berkorelasi dengan performan (kinerja) sekolah. Hasil penelitian ini juga senada dengan hasil penelitian Sylwester (2000) yang meneliti hubungan persentase pengeluaran pemerintah dibidang pendidikan terhadap PDB dengan ketimpangan pendapatan. Pengeluaran pemerintah dibidang pendidikan akan menurunkan ketimpangan pendapatan dan dampak ini diasumsikan hanya bersifat jangka pendek. Peningkatan sector pendidikan diantaranya anggaran pendidikan dan pemerataan pendidikan dalam pembangunan sumber daya manusia merupakan faktor dasar dalam mengurangi ketimpangan pendapatan. Ahluwalia (1976) menjelaskan proses pendidikan 66
mempengaruhi distribusi pendapatan, melalui peningkatan pengetahuan dan keahlian tenaga kerja. Hal ini akan menghasilkan pergeseran dari pekerjaan bergaji rendah bagi pekerja tidak terampil ke pekerjaan yang dibayar tinggi bagi pekerja terampil. Kondisi tersebut bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Bustomi (2012) Anand dan Ravallion (1993). Hasil penelitian Bustomi (2012) di Provinsi Jawa Tengah selama rentang waktu 2007-2010 memeroleh temuan bahwa terdapat hubungan negatif antara ke-dua variabel tersebut. Dengan kata lain, meningkat-nya pengeluaran pemerintah bidang pendidikan akan diikuti dengan menurunnya ketimpangan pendidikan. Peningkatan pengeluaran tersebut berkontribusi ter-hadap perbaikan kualitas pendidikan, memberikan kemudahan penduduk untuk mengakses pendidikan, sehingga terdapat kemerataan lulusan pendidikan pada penduduk di atas usia 15 tahun, yang tercermin dari penurunan indeks gini pendidikan. Sedangkan Rajkumar dan Swaroop (2008), juga menemukan bahwa hubungan antara pengeluaran publik untuk pendidikan dengan putus sekolah tidak signifikan. Terdapatnya hubungan positif antara variabel pengeluaran pemerintah bidang pendidikan dengan rata-rata lama sekolah (ketimpangan pendidikan) di Provinsi Banten sesungguhnya bertentangan dengan hasil temuan penelitian jika menggunakan ukuran standar deviasi sekolah, karena hasil pengujian tidak dapat membuktikan bahwa anggaran pendidikan dapat mengurangi ketimpangan pendidikan. Meskipun menghasilkan koefisien yang negative, tetapi secara statistik tidak signfikan. Akibatnya hasil temuan ini bertentangan dengan kaidah teori pengembalian manfaat dan biaya sosial pendidikan (Todaro & Smith, 2011). Terdapat dua sudut pandang mengenai investasi sosial dalam pendidikan. Pertama, jika investasi dalam bidang pendidikan menunjukkan bahwa biaya sosial terbayar dengan manfaat sosial, maka berarti manfaat sosial lebih besar dari biaya sosial. Hal ini berdampak pada hasil investasi yang positif, yaitu diperolehnya peningkatan sumberdaya manusia. Akibatnya akan menyebabkan menurunnya derajat ketimpangan pendi-dikan. Kedua, jika investasi dalam bidang pendidikan memberikan manfaat sosial lebih rendah dari biaya sosial yang dikeluarkan, maka akan berdampak ne-gatif. Hal demikian dapat terjadi jika investasi dalam pendidikan tidak memerhatikan jenjang pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kondisi di Provin-si Jawa Timur memberi gambaran bahwa besarnya alokasi pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan ternyata turut memerbesar ketimpangan pen-didikan. 67
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyatakan bahwa alokasi anggaran APBD kota dan kabupaten untuk fungsi pendidikan yakni hanya kurang dari 30% dari keseluruhan anggaran pendidikan. Kurang dari 30% dari APBD untuk fungsi pendidikan dialokasi-kan untuk program pendidikan wajib belajar 9 tahun. Sedangkan sisa anggaran dipergunakan untuk program-program pendidikan lainnya yang kurang tepat sasaran terkait dengan kemudahan penduduk untuk megakses pendidikan gratis di tingkat SD, SLTP, SLTA, bahkan PT. Beberapa program lainnya di antaranya adalah peningkatan kapasitas sumberdaya aparatur, pening-katan mutu pendidik dan tenaga kependidikan, pening-katan pengembangan sistem pelaporan capaian kiner-ja dan keuangan, rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan, dan pembangunan jalan dan jembatan. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 4, pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan,
pengembangan
tenaga
kepen-didikan,
dan
penyediaan
fasilitas
penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kota dan kabupaten untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah (Depdiknas, 2003). Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun merupakan program yang digiatkan oleh pemerintah, begitupun di Provinsi Jawa Timur. Program ini diharapkan mampu mengantarkan pen-duduk Provinsi Jawa Timur pada tingkat pendidikan dasar SLTP. Namun demikian, pada tataran implemen-tasi di lapangan, program ini belum mampu membia-yai secara keseluruhan biaya pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar baik SD maupun SLTP. Hal ini dibuktikan masih adanya pungutan seragam sekolah, pungutan uang buku dan LKS, serta pungutan lain-nya dari sekolah untuk peserta didik baik di sekolah negeri maupun swasta (Publiknasional.com, 2011). Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perim-bangan Keuangan, untuk pembiayaan tingkatan pen-didikan atas (SLTA), anggaran yang dikucurkan pe-merintah di beberapa daerah sampel hanya sebatas kurang dari 10% dari anggaran pendidikan secara keseluruhan. Hal inilah yang kurang mendukung pen-duduk usia sekolah untuk mendapatkan akses pendidikan di tingkatan yang lebih tinggi (SLTA). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, Pasal 3 Ayat 1 menye-butkan bahwa Pemerintah menyediakan dana untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi pada PTN Badan Hukum yang dialokasikan dalam anggaran penda-patan dan belanja negara (Kemenkumham, 2013). Sehingga perguruan tinggi mendapatkan 68
tunjangan bantuan pendidikan seperti halnya program bidik misi untuk siswa miskin dan beasiswa-beasiswa lain yang bersumber dari anggaran pendidikan APBN. Akibatnya, penduduk di lingkup daerah secara otonomi kabuaten/kota tidak mendapatkan dukungan dalam mendapatkan akses pendidikan di jenjang perguruan tinggi. Di Provinsi Banten alokasi anggaran di bidang pendidikan masih relatih rendah dan belum memenuhi 20% dari total anggaran yang ada, sehingga alokasi anggran pendidikan perlu ditingkatkan agar memiliki pengaruh yang signifikan. Karena besarnya anggaran pendidikan dapat menurunkan ketimpangan pendidikan di Provinsi Banten, meskipun hasilnya tidak signifikan.
4.5.2 Pengaruh Ketimpangan Pendapatan Terhadap Ketimpangan Pendidikan Ketimpangan pendidikan yang terjadi menunjukkan terjadinya ketidakmerataan akses dan kualitas pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pendidikan. Semakin timpang pendapatan, maka ketimpangan pendidikan semakin menurun. Hasil ini tentu bertentangan dengan beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya. Diantaranya, Digdewiseso (2009) meneliti hubungan ketimpangan pendidikan dan ketimpangan pendapatan di 23 Provinsi di Indonesia, ketimpangan pendidikan memiliki hubungan positif dengan ketimpangan pendapatan. Abdelbaki (2012) menganalisis ketimpangan pendapatan dan ketimpangan pendidikan di Bahrain dari tahun 1980-2006. Penelitian menghasilkan hubungan positif antara tingkat pendidikan orang tua dengan pendapatan keluarga, ketimpangan pendapatan mengakibatkan terjadinya ketimpangan pendidikan dan ketimpangan pendidikan di Bahrain diakibatkan oleh disparitas biaya pendidikan di sekolah swasta dan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan. Namun penelitian dari Bustomi (2013) menemukan sebaliknya tentang hubungan antara ketimpangan pendapatan dengan ketimpangan pendidikan, yaitu pengaruh ketimpangan pendapatan terhadap ketimpangan pendidikan di Provinsi Jawa tengah adalah positif namun tidak signifikan. Pengaruh ketimpangan pendapatan yang tidak signifikan terhadap ketimpangan pendidikan tersebut terjadi karena baik dari sisi indeks gini pendidikan maupun indeks gini rasio yang dimiliki oleh Provinsi Jawa tengah adalah kategori ketimpangan yang rendah. Hasil estimasi penelitian ini sama dengan penelitian
69
yang dilakukan oleh Mesa, Eirene P. (2007) yang meneliti tentang ketimpangan yang terjadi di Filipina.
4.5.3 Pengaruh Kemiskinan Terhadap Ketimpangan Pendidikan Hasil penelitian ini dapat membuktikan bahwa orang miskin sangat kesulitan untuk mengakses pendidikan di Provinsi Banten. Hal ini ditunjukkan dari hasil pengujian yang menghasilkan pengaruh yang negatif dan signifikan kemiskinan terhadap ketimpangan pendidikan. Semakin sulit untuk mengakases pendidikan karena kemiskinannya maka ketimapangan pendidikan akan semakin bertambah. Hasil penelitian ini seiring dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh Studi dari Rural Indonesia (Takahashi, 2011), Kongo (Shapiro dan Tambashe, 2001), Brazil (Psacharopoulos dan Arriagada, 1989), Indonesia (Chernichovsky dan Meesook, 1985), Sub-Saharan Africa (Grimm, 2011), Bangladesh (Chowdhury et al., 2002), Indonesia (Deolalikar, 1993), di Indonesia (Suryadarma, Suryahadi, dan Sumarto, 2006) telah menemukan bahwa anak-anak dari keluarga miskin relatif sedikit yang terdaftar di sekolah dibandingkan dengan rumah tangga yang relatif kaya. Anak-anak dari keluarga miskin khususnya kurang memiliki kesempatan untuk menikmati sekolah dan cenderung kurang memajukan sekolah. Orang tua yang miskin lebih memilih anaknya untuk bekerja membantu orang tua dalam upaya unutuk memenuhi kebutuhan hidupnya dibandingkan dengan memilih untuk mendaftarkan ke sekolah. Akibatnya ketimpangan pendidikan diantara kelompok masyarakat akan semakin besar.
70
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini memaparkan simpulan dan diskusi/pembahasan hasil penelitian dan diakhiri dengan keterbatasan dan saran. Bagian pertama menguraikan simpulan hasil pengujian pengaruh anggaran pendidikan, kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendidikan Pembahasan ini merupakan konfirmasi dari pembuktian hipotesis. Bab kedua menyajikan keterbatasan penelitian dan saran.
5.1 SIMPULAN Berdasarkan hasil temuan penelitian yang telah diuraikan pada Bab IV, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hasil analisis despriptif menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan yang diukur dengan dengan rata-rata lama sekilah menunjukkan tren yang semakin meningkat, sementara tren ketimpangan pendidikan yang diukur dengan standar deviasi sekolah menunjukkan tren yang semakin menurun (pendidikan semakin merata). 2. Hasil estimasi menunjukkan bahwa angaran pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap rata-rata lama sekolah. Hasil ini menunjukkan bahwa anggaran pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap rata-rata lama sekolah. Namun untuk model yang kedua, penelitian ini tidak berhasil membuktikan bahwa angaran pendidikan berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa anggaran pendidikan tidak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pendidikan di Provinsi Banten. 3. Hasil pengujian koefisien kemiskinan dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan rata-rata lama sekolah (years of schooling) model 2 dapat menujukkan bahwa kemiskinan berpengaruh terhadap kemiskinan. Hasil ini berhasil membuktikan bahwa kemiskinan berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendidikan. Sedangkan hasil estimasi regresi dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan standar deviasi pendidikan pada model 2 menujukkan bahwa kemiskinan berpengaruh negative terhadap ketimpangan 71
pendidikan di Banten. Hasil tersebut berhasil membuktikan bahwa kemiskinan berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pendidikan.. 4. Hasil regresi dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan rata-rata lama sekolah (years of schooling) pada model 2 menghasilkan bahwa ketimpangan pendidikan berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil ini tidak berhasil membuktikan bahwa ketimpangan pendapatan berpengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil estimasi regresi dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan standar deviasi pendidikan model 2 menghasilkan bahwa ketimpangan pendapatan berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil ini berhasil membuktikan ketimpangan pendapatan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pendidikan. 5. Hasil estimasi regresi dari model ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan standar deviasi pendidikan model 2 menghasilkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap ketimpangan pendidikan. Hasil ini tidak berhasil membuktikan pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendidikan. 6. Secara umum, hasil pengujian hipotesis secara global berhasil membuktikan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan anggaran pendidikan, kemiskinan, ketimpangan pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendidikan.
5.2 SARAN Untuk menurunkan ketimpangan pendidikan di Provinsi Banten, direkomendasikan sebagai berikut: 1. Anggaran pendidikan merupakan suatu faktor yang penting dalam mengurangi ketimpangan pendapatan. Oleh karena itu anggaran pendidikan yang masih rendah perlu ditingkatkan hingga 20% dari total pengeluaran yang ada dalam APBD. Kebijakan anggaran pendidikan lebih difokuskan pada penyediaan insfrastruktur sekolah di desa-desa dan subsidi biaya pendidikan atau peningkatan beasiswa pendidikan bagi keluarga miskin yang diharapkan dapat membebaskan sebagian besar biaya pendidikan yang selama ini ditanggung oleh siswa. 2. Pemerataan pembangunan lebih diprioritaskan di wilayah Banten Selatan, mengingat masih kurangnya infrastruktur ekonomi yang mendukung pada peningkatan 72
pendapatan masayarakat, sehingga dapat mengurangi ketimpangan pendapatan antara golongan
masyarakat
berpenghasilan
rendah
dengan
kelompok
masyarakat
berpenghasilan tinggi. Karena pendapatan masyarakat yang semakin merata mampu menurunkan ketimpangan pendidikan. 3. Kebijakan penurunan kemiskinan wajib dilakukan dengan cara memberikan akses penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat miskin, akses modal, pelatihan keterampilan bagi masyarakat miskin.
73
DAFTAR PUSTAKA Abdelbaki HH. 2012. An analysis of income inequality and education inequality in Bahrain. Modern Economy Journal. Scientific Research. 3: 675-685 Abdullah AJ. 2011. Education and income inequality: A meta-regression analysis [disertasi]. Universiti Teknologi Mara Sarawak Campus. Agrawal, Tushsar (2014). Educational inequality in rural and urban India. International Journal of Educational Development (34): 11–19. Asadullah, Niaz M. and Yalonetzky, Gaston (2012). Inequality of ducational Opportunity in India: Changes Over Time and Across States. World Development Vol. 40, No. 6, pp. 1151–1163. Anand, S. and Ravallion, M. (1993). Human development in poor countries: on the role of private incomes and public services, Journal of Economic Perspectives 7 (1): 133–50. Arikunto, Suharsimi (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik: Edisi Revisi 2010. Rineka Cipta Jakarta. Baltagi, Budi H. (1995) Econometric Analysis of Panel Data. John Wiley & Sons. New York. Barro R .J. and Lee J.W (1996) International measures of schooling years and schooling quality. American Economic Review 86:218-223. Becker, G.S. (1992). Human Capital : A Theoritical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education. The University of Chicago Press. Chicago. Becker, G. (1962). Investment in human capital: A theoretical analysis. Journal of Political Economy, 7. 9-49. Birdsall, N. (1985). Public inputs and child schooling in Brazil. Journal of Development Economics, 18(1), 67-86. Bjorkland, A., M. Lindhal and E. Plug (2004). Intergenerational Effects in Sweden: What can we learn from adoption data?. IZA Discussion Paper 1194. Brodjonegoro, Satryo Soemantri. (2004). Indonesia. In Handbook on Diplomas, Degrees and Other Certificates in Higher Education in Asia and the Pacific. 2nd ed., UNESCO Bangkok. Bangkok: UNESCO. Bustomi, M.J. 2012. Ketimpangan Pendidikan antar Ka-bupaten/Kota dan Implikasinya di Provinsi Jawa Tengah. Economics Development Analysis Jou-rnal, (Online), (http://journal.unnes.ac.id/sju/in-dex.php/edaj), diakses 6 Desember 2013. Castelló A, and Doménech, R (2002) Human capital inequality and economic growth: some new evidence. Economic Journal 112:C187-C200. Chernichovsky, Doy (1985) Socioeconomic and demographic aspects of school enrollment and attendance in rural Bostwana. Economic Developmnet and cultural Change, 33 (2): 319 – 332. Chernichovsky, Doy and Meesook, Oey Astra (1985) School enrolment in Indonesia, Staff Working Paper 746, World Bank, Washington DC. Cohn, Elchanan (1983). The Economics of Education: An Introduction. Massachussets: Ballinger Publishing Company. Del Granado, F. Javier Arze., Fengler, Wolfgang., Ragatz, Andy., and Yavuz, Elif (2007). Investing in Indonesia’s Education: Allocation, Equity, and Efficiency of Public Expenditures, Policy Research Working Paper 4329. World Bank, Washington DC. Devas, Nick B. 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia: Terjemahan, Masri 74
Maris. UI Press, Jakarta. Digdowiseiso, Kumba (2010). Measuring gini coeficient of education: the Indonesian cases. MPRA Paper No. 19865. Online at http://mpra.ub.unimuenchen.de/19865/ Dreby, J. (2007). Children and power in Mexican transnational families. Journal of Marriage and Family, 69(4), 1050–1064. Doriza, Shinta, Purwanto, Deniey Adi dan Maulida, Ernita (2013). Desentralisasi Fiskal dan Disparitas Akses Pendidikan Dasar di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 14, Nomor 2, hlm. 223-233. Eka, R. (2007). Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia, http://eduarticles.com,diakses 22 April 2012). Firman, T. (2009). Decentralization Reform and Local Government Proliferation in Indonesia: Towards A Fragmentation of Regional Development. RURDS Vol. 21: 143 – 156. Fitrani, Fitria, Hofman B. dan Kai K. (2005). Unity in Diversity ? The Creation of New Local Government in a Decentralising Indonesia. Bulletin of Indonesia Studies 41(1): 57–79. Frankema, Ewout and Bolt, Jutta. (2006), Measuring and Analysing Educational Inequality: The Distribution of Grade Enrollment Rates in Latin America and Sub-Saharan Africa, Research Memorandum, No: 86, Groningen Growth and Development Center University of Groningen. Grimm, Michael (2011). Does household income matter for children’s schooling? Evidence for rural Sub-Saharan Africa. Economics of Education Review 30: 740 -754 Gujarati, D. dan Porter, Dawn C. (2012). Dasar-Dasar Ekonometrika, terjemahan oleh Raden Carlos Mangunsong Buku 2 Edisi ke 5, Salemba Empat, Jakarta. Gupta, S., Verhoeven, M. and Tiongson, E. (2002) ‘The effectiveness of government spending on education and health care in developing and transition economies’, European Journal of Political Economy 18 (4): 717–37. Hanushek, E. and Kimko, D. A (2000). Schooling, labor force quality, and growth of nations. American Economic Review, 90 (5), 1184 – 1208. Harbison, R. and Hanushek, E. (1992) Educational Performance of the Poor: Lessons from Rural Northeast Brazil, Oxford University Press, Washington DC. Hausman JA (1978) Specification tests in econometrics. Econometrica 46:1251-1271. Inter-American Development Bank (1999). Facing up to Inequality in Latin America: Economic and Social Progress in Latin America, 1998-99 Report. Johns Hopkins University Press. International Comparative Higher Education Finance and Accessibility Project. (2006). Higher Education Finance and Cost-Sharing in Indonesia. Buffalo, NY: Graduate School of Education, University at Buffalo. Available online at: http://gse.buffalo.edu. Juanda, Bambang. (2009) Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press. Juanda, Bambang dan Junaidi (2012). Ekonometrika Deret Waktu: Teori dan Aplikasi. Bogor: IPB Press. Kazianga, H., & Udry, C. (2005). Consumption smoothing? Livestock, insurance and drought in rural Burkina Faso. Journal of Development Economics, 79, 413–446. Kajisa, Kei and Palanich amy, N. Venkatesa (2010) ‘Schooling investments over three decades in rural Tamil Nadu, India: changing effects of income, gender, 75
and adult family members’ education’, World Development 38 (3): 298– 314. Kimura, E. (2010). Proliferating Provinces: Teritorial Politics in Post-Suharto Indonesia. South East Asia Research: 415 – 449. Klasen, S. (2002). Low schooling for girls, slower growth for all cross-country evidence on the effect of gender inequality in education on economic development. The World Bank Economic Review, 16(3) 345–373. Lanjouw, Jean and Lanjouw, Peter (2001). The rural non farm sector: issues and evidence from developing countries. Agriculture Economics 26 (1): 1-23. Lanjouw, Peter, Pradhan, Menno, Saadah, Fadia, Sayed, Haneen and Sparrow, Robert (2001). Poverty, education and health in Indonesia: who benefits from public spending?. Policy Research Working Paper 2739, Wolrd Bank. Woshington DC. Lee C. and Osfeld, Gary (2005). "Why Segregation Matters: Poverty and Educational Inequality". The Civil Rights Project. Harvard University: 1–47. Levine, Ross and Zervos, Sara J. (1993). What we have learned about policy and growth from cross country regressions? The American Economic Review, 83: 42630. Liao, M. & Shen, H. 2011. Educational Inequality Analy-sis: International Comparison. International Jour-nal of Business and Social Science, 2 (16): 88-93.\ Lin CA. 2006. Education expansion, educational Inequality and income inequality : Evidence from Taiwan 1976-2003. Social Indicators Research. 80: 601– 615. Lipsey, Richard G., Courant, Paul N., Purvis, Douglas D., and Steiner, Peter O (1995). Pengantar Ekonomi: Edisi Kesepuluh. Alih Bahasa Wasana, A. Jaka dkk. Binarupa Aksara. Jakarta. Londoǹo, Juan Luis (1990). Kuznetsian Tales with Attention to Human Capital. Paper presented at the Third Inter-American Seminar in Economics, Rio de Janeiro, Brazil. Mesa, E. P. (2005). Measuring education inequality in the Philippines. UP School of Economics Discussion Papers. Available from http://www.econ.upd.edu.ph/respub/dp/pdf/DP2008-09.pdf (August 15, 2007). Meschi, Elena and Francesco Scervini (2014). Expansion of schooling and educational inequality in Europe: the educational Kuznets curve revisited. Oxford Economic Papers 66, 660–680 Moock, P. R. & Leslie, J. (1986). Childhood malnutrition and schooling in the Terai region of Nepal. Journal o f Development Economics, 20 (1), 33-52. Morrisson, C. and Murtin, F. (2013) The Kuznets curve of education: a global perspective on education inequalities. Journal of Economic Inequality, 11, 283–301. Musgrave and Musgrave, 1991, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, Erlangga, Jakarta Nehru, Vikram. Swanson, Eric and Dubey, Ashutosh. (1995), “A New Database on Human Capital Stock: Sources, Methodology and Results,” Journal of Development Economics, 46: 379-401. Newhouse, David and Beegle, Kathleen (2006). The effect of school type on academic achievement: evidence from Indonesia. Journal of Human Resources 41 (3): 529-547
76
Nizam (2006). Indonesia. In Higher Education in South-East Asia, ed. UNESCO and South East Asian Ministers of Education Organization. Bangkok: UNESCO. Park, K.H. (1996) Educational expansion and educational inequality on income distribution. Economics of Education Review 15, 51–58. Plank, D. N. (1987). The expansion of education: A Brazilian study. Comparative Education Review, 31(3), 361-376. Psacharopoulos, G. (1994). Returns to investment in education: a global update. World Development, 22(9), 1325-1343. Psacharopoulos, George and Arriagada, Ana-Maria. (1986), “The Educational Attainment of The Labor Force: An International Comparison,” The World Bank, Report No. EDT38. Psacharopoulos, G. & Arriagada, A. M. (1989). The determinants o f early age human capital formation: evidence from Brazil. Economic Development and Cultural Change,37(4), 683-708. Qian, Xiaolei and Smyth, Russell (2008). Measuring regional inequality of education in China: widening coast-inland gap or widening rural-urban gap. Journal of International Development 20: 132 – 144. Rajkumar, Andrew Sunil and Swaroop, Vinaya (2008). Public spending and outcomes: Does governance matter? Journal of Development Economics 86, 96 – 111. Ram, Rati. (1990), “Educational Expansion and Schooling Inequality: International Evidence and Some Implications,” The Review of Economics and Statistics, 72: 266-74. Reardon, T., & Taylor, J. E. (1996). Agroclimatic shock, income inequality, and poverty: Evidence from Burkina Faso. World Development, 24(5), 901–914. Rey, E and Racionero, M. (2002). Optimal Education Choice and Redistribution When Parental Education Matters. Oxford Economic Paper 54: 435 – 448. Riddell, W. C. (2004). The Social Benefits of Education, New Evidence on Old Questions, Conference Paper, University of Toronto, Canada Rosen, Harvey S (2008). Public Finence (8th edition). New York: Mc Graw Hill International Edition. Rosthal, Richard A. (1978), “Measures of Disparity. A Note.” Research report published by Killalea Associates, Inc. Available at EDRS Price, ED 149482, ERIC database. Rustiadi, E., Saefulhakim, S., & Panuju, D. R. (2009). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Sacerdote B. (2002), “The nature and nurture of economic outcomes”, American Economic Review, 92, 344-348 Sciefelbein, Ernesto dan Joseph Farrell (1982) Eight Years of Their Life; Through Schooling to the Labour Market in Chili.Ottawa Canada. IDR. Schultz, T. P. (1987). School expenditure and enrollments, 1960-1980: the effects of income, prices, and population growth. In D.Johnson & R. Lee (Eds.), Population Growth and Economic Development: Issues and Evidence (pp. 413-476). Madison: University of Wisconsin Press. Schultz, T. P. (1993). Investments in the schooling and health of women and men.Journal of Human Resources, 28(4), 689-734. Senadza, Bernardin (2012). Education inequality in Ghana: gender and spatial dimensions. Journal of Economic Studies 39, 724 - 739
77
Shabaya, J. & Konadu-Agyemang, K. (2004). Unequal access, unequal participation: some spatial and socio-economic dimensions of the gender gap in educational in Africa with special reference to Ghana, Zimbabwe and Kenya. Compare , 34 (4), 395-424. Shapiro, D. & Tambashe, B. O. (2001). Gender, poverty, family structure, and investments in children's education in Kinshasa, Congo. Economics of Education Review,20(4), 359-375. Shavit, Yossi and Blossfeld, Hans-Peter (1993). Persistent Inequality: Changing Educational Attainment in Thirteen Countries. Boulder: Westview Press. Sheret, Michael. (1988), “Equality Trends and Comparisons for The Education System of Papua New Guinea,” Studies in Educational Evaluation, 14: 91-112. Shu, Xiaoling (2004). ‘Education and Gender Egalitarianism: The of China.’ Sociology of Education, 77: 311–336. Siddhanta, S. & Nandy, D. (2003). Gender gap in education: a fresh exploration. Available from http://62.237.131.23/conference/conference-2003-3/conference- 20033-papers/siddhanta-nandy.pdf (December 19, 2007) Sidi, Indra DJati. (2003). Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina. Sismanto (2003). Pendidikan Luar Sekolah dalam Upaya Mencerdaskan Bangsa. Eraswasta. Jakarta. Sjafrijal. (2008). Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media. Soediyono,1992,Ekonomi Makro:Pengantar Analisis Pendapatan Nasional, Edisi kelima, Liberty: Yogyakarta. Suparmoko, M. 1986, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, Edisi Empat, BPFE, Yogyakarta Suryadi, Ace. (2012). Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Widya Aksara Press, Edisi Kedua: Bandung. Suryadarma, Daniel, Suryahadi, Asep and Sumarto, Sudarno (2006) ‘Causes of low secondary school enrollment in Indonesia’, SMERU Working Paper, Jakarta. Suryadarma, Daniel (2012) How corruption diminishes the effectiveness of public spending on education in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 48, No. 1: 85–100 Stiglitz, Josep E (2000). Economics of The Public (3rd edition). New York: W.W. Norton Company. Suwignyo, Agus. (2004). Pembangunan Pendidikan di Indonesia, Erlangga Press, Jakarta. Syafaruddin. (2002). Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep, Startegi dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo. Tesfeye K. 2002. The economics of education: conceptual framework. Journal of African Economies, 26: 357-374. Thomas, V., Y. Wang, and X. Fan (2001): `Measuring Education Inequality: Gini Coefficients of Education.’ Mimeo. The World Bank, http://econ.worldbank.org/files/1341_wps2525.pdf. Thomas, V,. Wang, Y. and Fan, X. (2002). A new dataset on inequality in education: Gini and Theil indices of schooling for 140 countries, 1960-2000 University. Available from http://www33.brinkster.com/yanwang2/EducGinirevised10-25-02.pdf (April 20, 2008)
78
Tilak, J.B.G., 2008. Higher education: a public good or a commodity for trade? Commitment to higher education or commitment of higher education to trade. Prospects 38 (4) 449–466. Tomul, Ekber (2009). Measuring regional inequality of education in Turkey: an evaluation by Gini index. Procedia Social and Behavioral Sciences 1: 949–952 UNESCO. (1996), Statistical Yearbook, United Nations, New York. UNESCO, (2003). Education in Situation of Emergency, Crisis, and Reconstruction. Report No. ED-2003/WS/48. Paris: UNESCO ________. (2010) Education For All Global Monitoring Report 2010: Reaching The Marginalized. Paris: UNESCO. ________. (2011). Financing Education in Sub-Saharan Afirca , Meeting the challenges of expansion , Equity and quality, Montreal, Canda. , Institute for Statistics.UNESCO Wagiyo (2009). Tiga Syarat Pemekaran Wilayah. dalam: Lesung edisi Maret: 5-7. http://desentralisasi.net/ [28 Januari 2011]. Weir, S. (2006). Concealed preferences: parental attitudes to education and enrolment choice in rural Ethiopia. Working Paper No. 111. Oxford: Oxford University, Center for the Study of African Economies. Winarno, Wing Wahyu. 2002. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews. Bogor: M-BRIO Press. Yang, Jun, Huang, Xiao, dan Liu, Xin (2014). An Analysis of education inequality in China. International Jornal of Educational Development 37: 2-10. Zhang, J., Li, T., 2002. International inequality and convergence in education attainment, 1960–1990. Review of Development Economics 6 (3), 383–392. Ziderman, Adrian, and Douglas Albrecht. (1995). Financing Universities in Developing Countries. Washington, DC: Falmer Press.
PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah No. 129 tahun 2000 jonto Peraturan Pemerintan No. 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah
79
Lampiran 1: Hasil Estimasi Regresi dengan Eviews 8 model RLS
Model 1 Dependent Variable: RLS Method: Least Squares Date: 01/17/16 Time: 15:33 Sample: 2000 2013 Included observations: 14 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNAP POV
8.071574 0.307870 -0.180019
1.112305 0.169078 0.040561
7.256621 1.820871 -4.438218
0.0000 0.0959 0.0010
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.878853 0.856827 0.201871 0.448272 4.224753 39.89947 0.000009
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
8.032143 0.533511 -0.174965 -0.038024 -0.187641 1.406538
Model 2
Dependent Variable: RLS Method: Least Squares Date: 01/24/16 Time: 12:35 Sample: 2000 2013 Included observations: 14 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNAP POV GR
8.208491 0.373484 -0.187211 -1.174355
1.151796 0.194612 0.042592 1.603661
7.126687 1.919117 -4.395466 -0.732296
0.0000 0.0839 0.0013 0.4808
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.885019 0.850525 0.206266 0.425456 4.590414 25.65700 0.000052
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Model 3
Dependent Variable: RLS Method: Least Squares Date: 01/24/16 Time: 12:28 Sample: 2000 2013
80
8.032143 0.533511 -0.084345 0.098243 -0.101247 1.614128
Included observations: 14 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNAP POV PE GR
8.169807 0.321985 -0.184085 0.044331 -1.100451
1.209803 0.247555 0.045377 0.121183 1.690095
6.753006 1.300658 -4.056747 0.365823 -0.651118
0.0001 0.2257 0.0029 0.7229 0.5312
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.886704 0.836350 0.215825 0.419223 4.693735 17.60945 0.000277
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
81
8.032143 0.533511 0.043752 0.271987 0.022625 1.690193
Lampiran 2: Hasil Output Eviews 8 Model SDS Model 1 Dependent Variable: SDS Method: Least Squares Date: 01/24/16 Time: 13:05 Sample: 2000 2013 Included observations: 14 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNAP GR POV
2.679690 -0.026415 -3.467244 0.147283
1.083030 0.182993 1.507917 0.040049
2.474253 -0.144352 -2.299360 3.677588
0.0329 0.8881 0.0443 0.0043
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.877896 0.841265 0.193951 0.376170 5.452254 23.96591 0.000070
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
2.645000 0.486807 -0.207465 -0.024877 -0.224367 1.125294
Model 2
Dependent Variable: SDS Method: Least Squares Date: 01/24/16 Time: 13:08 Sample: 2000 2013 Included observations: 14 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNAP PE GR POV
2.560513 -0.185072 0.136575 -3.239564 0.156914
1.052025 0.215270 0.105378 1.469679 0.039459
2.433891 -0.859722 1.296039 -2.204267 3.976586
0.0377 0.4123 0.2272 0.0550 0.0032
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.897101 0.851368 0.187678 0.317006 6.650107 19.61612 0.000181
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
82
2.645000 0.486807 -0.235730 -0.007495 -0.256857 1.374875
Model 3: Dependent Variable: SDS Method: Least Squares Date: 01/24/16 Time: 15:53 Sample: 2000 2013 Included observations: 14 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNAP PE POV GR RLS
2.521167 -0.186623 0.136361 0.157800 -3.234264 0.004816
2.748419 0.248860 0.112597 0.070389 1.595098 0.307440
0.917315 -0.749912 1.211055 2.241835 -2.027627 0.015665
0.3858 0.4748 0.2604 0.0553 0.0771 0.9879
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.897104 0.832794 0.199059 0.316996 6.650322 13.94972 0.000889
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
83
2.645000 0.486807 -0.092903 0.180979 -0.118256 1.374545
Lampiran 3: Hasil Pengujian Asumsi Klasik Uji Normalitas: Model RLS dan SDS 6
Series: Residuals Sample 2000 2013 Observations 14
5
4
3
2
1
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-1.64e-15 -0.094640 0.338957 -0.210464 0.185694 0.628894 2.020950
Jarque-Bera Probability
1.481998 0.476638
0 -0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
1) Model SDS 5
Series: Residuals Sample 2000 2013 Observations 14
4
3
2
1
0 -0.4
lnAP Pov PE GR c.
-0.3
-0.2
lnAP 1.000000 -0.748354 0.779326 0.714408
-0.1
Pov -0.748354 1.000000 -0.651801 -0.641644
0.0
0.1
PE 0.779326 -0.651801 1.000000 0.523141
Uji Heteroskedastisitas
84
0.2
0.3
GR 0.714408 -0.641644 0.523141 1.000000
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-3.33e-15 0.041074 0.283207 -0.380992 0.206866 -0.469333 2.270989
Jarque-Bera Probability
0.823989 0.662328
4) Model RLS
Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
0.916937 2.000506 0.630440
Prob. F(2,11) Prob. Chi-Square(2) Prob. Chi-Square(2)
0.4282 0.3678 0.7296
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 01/17/16 Time: 15:40 Sample: 2000 2013 Included observations: 14 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNAP POV
0.064376 -0.012712 0.003471
0.186187 0.028302 0.006789
0.345761 -0.449166 0.511261
0.7360 0.6620 0.6193
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.142893 -0.012944 0.033791 0.012560 29.24886 0.916937 0.428245
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.032019 0.033574 -3.749837 -3.612897 -3.762514 2.762223
Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
1.383855 4.107101 0.780710
Prob. F(3,10) Prob. Chi-Square(3) Prob. Chi-Square(3)
0.3038 0.2501 0.8541
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 01/24/16 Time: 12:48 Sample: 2000 2013 Included observations: 14 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNAP POV GR
0.126176 0.003556 -0.000640 -0.319381
0.145699 0.024618 0.005388 0.202859
0.866006 0.144464 -0.118835 -1.574398
0.4068 0.8880 0.9078 0.1465
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic
0.293364 0.081374 0.026092 0.006808 33.53589 1.383855
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
85
0.030390 0.027223 -4.219413 -4.036825 -4.236315 2.853954
Prob(F-statistic)
0.303776
5) Model SDS
Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
2.807289 7.771366 1.603848
Prob. F(4,9) Prob. Chi-Square(4) Prob. Chi-Square(4)
0.0914 0.1003 0.8081
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 01/27/16 Time: 19:32 Sample: 2000 2013 Included observations: 14 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNAP POV GR PE
0.090258 0.008391 -0.004427 0.220930 -0.026960
0.105526 0.021593 0.003958 0.147421 0.010570
0.855311 0.388607 -1.118378 1.498641 -2.550559
0.4146 0.7066 0.2924 0.1682 0.0312
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.555098 0.357363 0.018826 0.003190 38.84325 2.807289 0.091412
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.022643 0.023484 -4.834749 -4.606515 -4.855877 1.147642
d. Uji Otokorelasi 1) Model RLS
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.670444 0.879646
Prob. F(1,10) Prob. Chi-Square(1)
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 01/17/16 Time: 15:35 Sample: 2000 2013 Included observations: 14 Presample missing value lagged residuals set to zero.
86
0.4320 0.3483
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNAP POV RESID(-1)
0.335217 -0.045236 -0.012930 0.277619
1.201266 0.180340 0.044106 0.339053
0.279053 -0.250836 -0.293154 0.818807
0.7859 0.8070 0.7754 0.4320
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.062832 -0.218319 0.204965 0.420106 4.679001 0.223481 0.877919
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-1.64E-15 0.185694 -0.097000 0.085588 -0.113902 1.729991
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.314890 3.463564
Prob. F(2,8) Prob. Chi-Square(2)
0.3208 0.1770
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 01/24/16 Time: 12:44 Sample: 2000 2013 Included observations: 14 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNAP POV GR RESID(-1) RESID(-2)
-0.058363 -0.001420 0.002157 0.138796 0.248860 -0.507020
1.170028 0.272421 0.042904 2.644673 0.548933 0.351485
-0.049882 -0.005212 0.050277 0.052482 0.453352 -1.442506
0.9614 0.9960 0.9611 0.9594 0.6623 0.1871
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.247397 -0.222979 0.200062 0.320199 6.579940 0.525956 0.751675
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
2) Model SDS
87
-1.48E-15 0.180907 -0.082849 0.191033 -0.108201 1.502211
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.155194 0.594417
Prob. F(2,7) Prob. Chi-Square(2)
0.8591 0.7429
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 01/27/16 Time: 19:33 Sample: 2000 2013 Included observations: 14 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNAP POV GR PE RESID(-1) RESID(-2)
0.272464 -0.018603 -0.008451 0.042242 -0.023936 0.276485 0.002484
1.314182 0.241622 0.046530 1.650312 0.140747 0.532833 0.614330
0.207326 -0.076992 -0.181635 0.025596 -0.170062 0.518897 0.004043
0.8417 0.9408 0.8610 0.9803 0.8698 0.6198 0.9969
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
Lampiran
lnAP Pov PE GR
0.042458 -0.778292 0.208240 0.303546 6.953809 0.051731 0.998981
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-4.36E-17 0.156157 0.006599 0.326127 -0.022980 1.806807
: Uji Multikolinieritas
lnAP 1.000000 -0.748354 0.779326 0.714408
Pov -0.748354 1.000000 -0.651801 -0.641644
PE 0.779326 -0.651801 1.000000 0.523141
88
GR 0.714408 -0.641644 0.523141 1.000000