UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI TANGERANG TERHADAPDAERAHSEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN URBAN SPRAWL
TESIS
ASTRID AMALIA NOERAINI 0806428470
FAKULTAS EKONOMI PROGRAM PASCASARJANA ILMU EKONOMI DEPOK DESEMBER 2009
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI TANGERANG TERHADAPDAERAHSEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN URBAN SPRAWL
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Ekonomi
ASTRID AMALIA NOERAINI 0806428470
FAKULTAS EKONOMI PROGRAM PASCASARJANA ILMU EKONOMI KEKHUSUSAN EKONOMI REGIONAL DAN PERKOT AAN DEPOK DESEMBER 2009
HALAMAN PERNYAT AAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah basil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
Astrid Amalia Noeraini
NPM
0806428470
Tanda Tangan
Tanggal
21 Desember 2009
11
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh: Nama NPM Program Studi Judul Tesis
Astrid Amalia Noeraini 0806428470 Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pengaruh Pergerakan Aktivitas Ekonomi Tangerang Terhadap Daerah Sekitarnya Dengan Menggunakan Pendekatan Urban Sprawl
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains Ekonomi pada Program Studi Pascasarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
: Dr. Sonny Harry B. Harmadi
Penguji
:Dr. Djamester Simarmata
Ketua Penguji
(
: Dr. Arie Damayanti
Ditetapkan di : Depok Tanggal
: 21 Desember 2009
111
Universitas Indonesia
KATAPENGANTAR
Puji syukur kupanjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan segala kemudahan sehingga perjalanan tesis ini dapat terselesaikan. Tesis ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari pihak lain, oleh karena itu saya ucapkan terima kasih kepada: 1. lbu Arie Damayanti selaku Ketua Penguji dan Sekretaris Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2. Bapak Dr. Sonny Harry B. Harmadi selaku pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, motivasi dan dorongan untuk menyelesaikan tesis ini. 3. Bapak Dr. Djamester Simarmata selaku penguji yang telah memberikan banyak masukan dalam penyelesaian tesis ini. 4. Bapak dan lbu Dosen Pengajar di Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 5. Bapak Walikota Tangerang beserta seluruh jajarannya yang telah mengijinkan saya untuk mengikuti program beasiswa Bappenas ini. 6. Suami dan anak-anakku, Tunggul Birowo serta Ananda Aqeel Muhammad Noebi dan Syafiq Muhammad Firzatullah, atas doa, kesabaran, dan dukungannya. Terima kasih atas "pinjaman bahunya" untukku melepas penat dan beban. Alhamdulillah perjalanan ini terselesaikan juga, dan berkat kalian aku tak lagi merasa sendiri di dunia luas ini. 7. Adik-adikku Oscar, Alex, lip, buktikan bahwa kita pasti bisa. Tak lupa Bude Tris dan Tante Lilis yang selalu mendoakan. 8. Almarhum Bapak Mertua,juga lbu tempat menitipkan keduajagoanku. 9. Teman-temanku kelas Bappenas 2008: "Pakde" Dani makasih atas operannya, Mba Popi, lnung, Mba Ides, Ika, Mas Jonet, Mas Wied, Agung, Dhani, Iqbal, Alandri, Pak Wawa, Pak Barnas, serta rekan satu tim Cak Usman, Bang Diner, Pak Kamal, Pak Dede yang kompak selalu.
IV
10. Para nara sumber dan tutor terutama Mas Watekhi, Mba Ilwa; rekan-rekan di Pemkot Tangerang, Yugie dan Aa Gin para penyemangatku. 11. Terakhir untuk almarhum kedua orang tuaku, Ayahanda Adrian Amir Husin dan lbunda Hj. Aas Setiasih, kupersembahkan keutamaan karya ini bagi kalian. Aku mungkin bukan yang terbaik, tapi aku salah satu yang menyayangi kalian.
Saya menyadari bahwa tesis ini tidaklah sempurna, oleh karena itu saran
dan kritik sangat saya nantikan.
Depok, Desember 2009
Astrid Amalia Noeraini
v
HALAMAN PERNYAT AAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Departemen Fakultas Jenis Karya
Astrid Amalia Noeraini 0806428470 Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi Ilmu Ekonomi Ekonomi Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan,menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Pengaruh Aktivitas Ekonomi Tangerang terhadap Daerah Sekitarnya dengan Menggunakan Pendekatan Urban Sprawl beserta perangkat yang ada Gika diperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedial formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan ·memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 21 Desember 2009 Yang menyatakan
(Astrid Amalia Noeraini)
VI
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
Astrid Amalia Noeraini Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pengaruh Aktivitas Ekonomi Tangerang terhadap Daerah Sekitarnya dengan Menggunakan Pendekatan Urban Sprawl
Penelitian sederhana ini mencoba untuk mengetahui pengaruh dari aktivitas ekonomi Tangerang, salah satu daerah yang berkembang pesat di bagian barat Pulau Jawa, terhadap daerah yang berbatasan yakni Serang, Lebak, dan Bogor. Yang dimaksud Tangerang dalam penelitian ini mencakup Kota dan Kabupaten Tangerang. Pendekatan diambil dari teori bid rent yang menyatakan bahwa konsentrasi kegiatan berturut-turut dari pusat kota hingga perbatasan adalah sektor jasa, manufaktur, dan permukiman, sementara lahan pertanian berada diluar kota. Menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik tahun 19862007 berupa luas lahan persawahan sebagai proksi permintaan lahan, serta PDRB sektoral kabupaten/kota dan PDRB per kapita, hasil estimasi menunjukkan bahwa terjadi fenomena urban sprawl dari Tangerang terhadap daerah sekitarnya. Kata Kunci: Urban Sprawl, Konversi Lahan, Data Panel Klasifikasi JEL: R14, C23
ABSTRACT
Name Study Program Title
Astrid Amalia N oeraini Economics The Impact of Tangerang's Economic Activities towards Its Surrounding Areas using Urban Sprawl Approach
This paper is trying to find out about the impact of economic activities in Tangerang, one of the most rapidly growing cities in Western Java, towards its surrounding areas which consist of Serang, Lebak, and Bogar. Tangerang, here, means the regency and municipality. The theory was taken from bid rent and monocentric land use which stated that the office district take place at the central city, moving outward is manufacturing firms then residential areas, while the agriculture is located out of town. Using secondary data from Statistics Indonesia during 1986-2007, the study found the urban sprawl phenomena in Tangerang. Keywords: Urban Sprawl, Land Use Conversion, Panel Data JEL Classification: Rl4, C23
Vll
Universitas Indonesia
DAFTARISI HALAMAN JUDUL ................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................ HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... KATAPENGANTAR ················································································· HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ........................ ABSTRAK- ··································································································· DAFTAR lSI ................................................................................................ DAFTAR TABEL ........................................................................................ DAFTARGAMBAR ................................................................................... DAFTARLAMPIRAN ................................................................................
1
u m IV v1
Vll Vlll X
Xl Xll
1. PENDAHULUAN ... . .. . .. . . . . . .. . . . .. . .. . .. ... ... ... . . ... . . .. . .. . . .... ... ... 1.1. Latar Belak:ang Masalah ............. .... ... ... .. .... ... .. ........ ... ..... ... .. .... .. .. 1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 1.3. Tujuan Penulisan ........................................................................ ... 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................ 1.5. Kerangka Penelitian ...................................................................... 1.6. Hipotesa Penelitian ....... .. ... ..... .. .............. .............................. .. .. .... 1. 7. Sistematika Penulisan ....... ........ ... ........ ... .. ....... ........ ........ .... .........
1 1 4 4 5 6 6 7
2. TINJAUAN TEORI ... . .. . .. . . . .. . ...... .. . ... . . . . . . . . . ... . . . .. . . . . .. . . . . .. .. 2.1 Pengertian dan Karak:teristik Urban Sprawl .. .. ...... .... ........... .. .. .. .. 2.2 Fungsi Produksi dan Biaya ........... ......... ..... ..... ......................... .... 2.3 Teori Kota .................................................................................... 2.3.1. Konsep Kota ...................................................................... 2.3.2. Teori Tata Guna Lahan Von Thiinen ................................ 2.3.3. Teori Difusi ....................................................................... 2.3.4. Teori Ukuran Kota ............................................................ 2.3.5. Teori Pola Penggunaan Lahan .......................................... 2.3.6. Model Perkembangan Perkotaan di Indonesia .................. 2.4 Smart Growth ..................... .. ........... .. .. .... ..... .. .. ..... ...................... .. 2.5 Kasus Urban Sprawl pada Beberapa Kota di Negara Berkembang 2.5.1. Metro Manila .................................................................... 2.5.2. Shanghai ............................................................................ 2.6 Penelitian Terdahulu .....................................................................
10 10 16 16 15 18 20 21 22 24 24 26 26 29 31
3. GAMBARAN UMUM TANGERANG DAN DAERAH SEKITARNYA .................. ... ......... ... ..... .. .. 3.1. Sejarah Singkat Tangerang ............................................................ 3.2. Kondisi Geografis dan Topografis Tangerang .............................. 3.3. Demografi Tangerang ................................................................... 3.4. Struktur Ekonomi Tangerang ........................................................ 3.5. Proporsi Sektor lndustri dan Jasa terhadap PDRB Tangerang ..... 3.6. Perkembangan Kekotaan Tangerang dan Sekitarnya .....................
Vlll
34 34 37 38 39 40 43
4. METODE PENELITIAN .................................................. . 4.1. Data dan Sumber Data ................................................................. . 4.2. Rancangan Penelitian ................................................................... . 4.2.1. Model Matematis ............................................................. . 4.2.2. Model Ekonometri ........................................................... . 4.3. Analisis dengan Regresi Data Panel ............................................ . 4.4. Pemodelan Data Panel ................................................................. . 4.4.1. Pendekatan Kuadrat Terkecil (Ordinary Least Square) ... . 4.4.2. Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect) ............................. . 4.4.3. Pendekatan Efek Acak (Random Effect) .......................... . 4.4.4. Pendekatan Model Least Square Dummy Variable ......... . 4.5. Tahap Pendugaan Menggunakan Data Panel ............................... . 4.6. Pemilihan Model Data Panel ....................................................... . 4.6.1. Penentuan antara Pooled Least Squares dengan Panel ..... 4.6.2. Penentuan antara Model Fixed Effect dengan Random Effect 4.7. Analisis Kesesuaian Model............................................................ 4.7.1. Pengujian Asumsi Secara Ekonometri .............................. 4.7.1.1. Pengujian Asumsi Heteroskedastisitas .............. 4.7.1.2. Pengujian Asumsi Otokorelasi ........................... 4.7.2. Pengujian Signifikansi Secara Statistik ............................
47 47 47 50 51 53 53 53 54 54 55 56 56 57 57 57 58 58 59
5. DATA DAN HASIL PENELITIAN ... ...... .... .. ... ... ... ....... ... . . ... 5.1 Pengujian Spesifikasi Model ......................................................... 5.2 Pengujian Asumsi Klasik .............................................................. 5.3 Pengujian Signifikansi secara Statistik ......................................... 5.4 Hasil Estimasi ............................................................................... 5.4.1 Analisis Aktivitas Ekonomi Wilayah Sekitar Tangerang .. 5.4.2 Analisis Arah Urban Sprawl Tangerang ........................... 5.5 Tinjauan Peraturan Tata Ruang Kawasan .....................................
63 63 64 66 67 67 70 76
6. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................. 6.1 Kesimpulan .................................................. ................................. 6.2 Rekomendasi Kebijakan ... ............. .. ......... ... .. ..... .. ....... ... .. .. ... .... ... 6.3 Keterbatasan Studi ........................................................................
80 80 81 82
DAFTAR REFERENSI . . . . . . . . . . . . ... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
83
LAMPIRAN .........................................................................
88
lX
47
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Jumlah, Kepadatan, dan Laju Pertumbuhan Penduduk Sejumlah Kabupaten!Kota di Jawa Barat Tahun 2005 ..............................
2
Tabel 2.1. Studi Terdahulu yang Menjadi Acuan Penulis ..........................
31
Tabel 3.1. Besaran Upah Minimum Regional Sejurnlah Kota/Kabupaten di Jawa Barat ..................................................................................
42
Tabel 4.1. Variabel, Satuan, dan Asumsi Persarnaan Ekonornetri ..............
50
Tabel5.1. Matriks Korelasi Variabel lndependen Tangerang .....................
65
Tabel5.2. Rangkuman Hasil Estirnasi .............................................
66
Tabel 5.3. Hasil Estirnasi Analisis Aktivitas Ekonorni Tangerang ..............
66
Tabel 5.4. Arah Pergerakan Aktivitas Ekonorni Tangerang terhadap Wilayah Sekitarnya .... ... .. ... ... .. .... ... ........... .. .. .. .. ......... .. .. .. ........ ...
72
Tabel5.5. Arahan Pernanfaatan Ruang Bogor, Serang, dan Lebak ............
78
X
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1.
Kerangka Penulisan: Pengaruh Aktivitas Ekonomi Tangerang terhadap Daerah Sekitarnya ...............................
7
Gambar 2.1.
Delapan Dimensi Sprawl .... ................. .. .............. ....... .. .. .. ....
15
Gambar 2.2.
Hubungan Antara Economic Rent dan Jarak dari Pasar pada berbagai Persaingan Penggunaan Lahan ....... ..... .. ....... .. ... .. .
19
Gambar 2.3.
Model Perencanaan Kota Kolonial ......................................
21
Gambar 2.4.
Utilitas dan Ukuran Kota .....................................................
22
Gambar 2.5.
Kurva Bid Rent dan Penggunaan Lahan Monosentris .........
23
Gambar 2.6.
Model Struktur Kota di Indonesia ...... .. ................ .. ... ....... ....
24
Gambar 2.7.
Ekspansi Perkotaan di Metro Manila dan Sekitarnya ..........
28
Gambar 2.8.
Daerah Perkotaan Shanghai-Hanzhou-Wuxi .......................
29
Gambar 3.1.
Struktur PDRB Tangerang Tahun 2000-2007 .....................
39
Gambar 3.2.
Proporsi Sektor Manufaktur dan Jasa terhadap PDRB Tangerang Tahun 1986-2007 ...............................................
40
Gambar 3.3.
Kota dan Kabupaten Tangerang ...........................................
41
Gambar 3.4.
Perkembangan Luas Lahan Sawah Tahun 1983 -2006
43
Gambar 3.5.
Persentase Sektor Manufaktur dan Jasa terhadap Total PDRB ..........................................................................
44
Perkembangan Sektor Manufaktur dan Jasa Tangerang dan Sekitarnya 1986-2007 ..........................................................
45
Aturan Membandingkan Uji Durbin-Watson dengan Tabel Durbin-Watson .....................................................................
59
Arah Perambatan Pertumbuhan Tangerang ke Wilayah Sekitarnya ............................................................................
75
Gambar 3.6.
Gambar 4.1.
Gambar 5.1.
Xl
DAFTARLAMPIRAN
Lampiran 1: Hasil Estimasi dengan Pooled Least Squares Method . . . . . . . . . .
88
Lampiran 2: Hasil Estimasi dengan Fixed Effect Method . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
89
Lampiran 3: Hasil Estimasi Fixed Effect Method dengan Cross-Section Weights ... ... ... ... ... .. . ... . .. ... ... ... ... ... ... ..........
90
Xll
BABl
PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah
Telah lebih dari enam puluh tahun para perencana perkotaan di dunia Barat menggunakan frase "urban sprawl" untuk menyatakan aspek yang tidak disukai tentang kehidupan di pinggiran kota metropolitan. Dalam tulisan ini urban sprawl didefinisikan sebagai meluasnya pertumbuhan kota jauh diluar batas administrasinya. Aktivitas ekonomi yang terjadi kuat di pusat kota pasti tidak hanya berlaku terbatas dalam wilayah kota tersebut, melainkan akan meluas dan memberi pengaruh terhadap daerah disekitamya (spillover effect). Sesuai konsep Brueckner dan Fansler (1983) bahwa tingkat pendapatan masyarakat suatu kota berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan kota. Sementara menurut Schmitt dan Henry pada Harmadi (2008) kondisi populasi dan tenaga kerja di pusat kota berpengaruh kuat terhadap kondisi daerah pinggiran di sekitamya (fringe area). Penelitian Harmadi (2008) menunjukkan melalui PDRB DKI Jakarta sebagai proksi permintaan lahan industri manufaktur dan permukiman penduduk DKI diketahui adanya pengaruh urban sprawl DKI Jakarta terhadap Tangerang. Dalam tulisan ini yang disebut sebagai Tangerang mencakup Kabupaten dan Kota Tangerang. Sementara Kota Tangerang Selatan karena baru dimekarkan pada 2008 sehingga masih digabungkan dengan daerah induknya, yakni Kabupaten Tangerang. Woodbury (1960) dan Galster (2000) menempatkan urbanisasi dan kepadatan penduduk pada urutan pertama karakteristik sprawl karena merupakan faktor penanda urban sprawl yang paling umum digunakan. Saat ini diperkirakan pertambahan populasi kota-kota di Asia sekitar 44 juta orang melalui urbanisasi. Urbanisasi telah membawa dampak ekonomi dan sosial yang luar biasa bagi sebagian besar negara-negara di Asia. Merupakan pemicu bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kekayaan negara di wilayah Asia, urbanisasi telah diasosiasikan sebagai penciptaan lapangan pekerjaan bagi jutaan orang dan penurunan level kemiskinan. Tidak kalah pentingnya, urbanisasi mengubah aspek sosial dan budaya negeri. Bisa mengubah gaya hidup orang, lapangan pekerjaan,
2
tingkat kesejahteraan, struktur sosial dan institusi, serta menciptakan kekuatan baru bagi rumah tangga, organisasi, maupun pemerintah.
Tabell.l. Jumlah, Kepadatan, dan Laju Pertumbuhan Penduduk Sejumlah Kabupaten!Kota di Jawa Barat Tahun 2005
JAKARTA
8,863,315
11,977
-0.049
TANGERANG
4,862,193
3,609
4.24
BOGOR
6,125,378
2,277
3.325
LEBAK
1,139,043
374
2.25
SERANG
2,200,920
1,365
2.1
Keterangan: Jakarta, Tangerang, Bogor, Serang, termasuk daerah pemekarannya. Sumber: BPS(2009), telah diolah kembali.
Dari sejumlah kota dibagian barat Pulau Jawa terlihat bahwa Tangerang menempati laju pertumbuhan penduduk yang paling tinggi sejak 1995-2005 dengan 4,24 persen per tahun. Jumlah ini tentu saja tidak hanya disumbang dari pertumbuhan penduduk alami, namun juga dari migrasi penduduk, seperti juga dialami kabupaten lainnya seperti Bogor, dan Bekasi sebagai daerah penyangga ibukota negara. Akan tetapi DKI Jakarta sendiri mengalami laju pertumbuhan penduduk yang negatif. Hal ini dapat diartikan sebagai berpindahnya penduduk DKI Jakarta menuju kota-kota satelit disekitarnya akibat kota ini kurang nyaman lagi untuk dijadikan sebagai daerah permukiman. Studi oleh Browder, et al. dalam Firman (1996) menyatakan bahwa kebanyakan penduduk kota pinggiran Jakarta merupakan pindahan yang berasal dari daerah lain dalam lingkungan kota sekitarnya (Jabodetabek), bukan dari area perdesaan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada dasarnya kelompok berpendapatan menengah yang bergantung dengan perekonomian kotalah yang pindah menuju area pinggiran kota (fringe area), bukan kalangan miskin.
3
Seiring dengan bertambahnya penduduk, lahan yang dibutuhkan bagi perumahan dan tempat usaha juga makin meningkat. Ada "harga" yang harus dibayar bagi urbanisasi yang terjadi di Asia. Lebih dari 12 kilometer persegi lahan pertanian yang produktif dan foreshores, hilang setiap harinya untuk beralih fungsi menjadi bentuk pembangunan perkotaan bermutu rendah. Peralihan fungsi lahan untuk kepentingan perkotaan di Asia tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan mencapai 100 ribu kilometer persegi. Penurunan kepadatan perkotaan merupakan akibat dari kenaikan pendapatan, dan meningkatnya keinginan dan kemampuan untuk membayar "ruang", serta dengan mengubah demografi dan memperkecil ukuran rumah tangga (Roberts: 2006). Tanah atau lahan memegang peranan yang penting dalam menopang setiap aktivitas kehidupan manusia, baik sebagai sumber daya yang dapat diolah maupun sebagai tempat tinggal. Sebidang lahan dapat digunakan bagi bermacam keperluan yang seringkali tidak serasi (non-compatible), sehingga muncullah persaingan diantara berbagai altematif penggunaannya. Pada wilayah pinggiran kota (urban fringe) yang sedang tumbuh persaingan dalam penggunaan lahan semakin tinggi karena banyaknya altematif penggunaan (Anwar:
1993).
Perubahan struktural ekonomi mengakibatkan peranan sektor pertanian nasional telah bergeser ke sektor industri, sehingga permintaan lahan meningkat (Anwar: 1990). Sementara dalam hal pelaku, ada tiga pihak yang mempengaruhi proses konversi lahan: developer swasta, pemerintah, dan pemilik lahan (Firman, 1996). Ketiga faktor ini saling berkaitan yang menyebabkan proses pengalihfungsian lahan merupakan suatu hal yang kompleks sifatnya. Walaupun proses alih fungsi lahan dari penggunaan pertanian menuju non pertanian ini merupakan suatu hal yang normal, akan tetapi di Indonesia perusahaan swasta besar mengambil peranan besar, bahkan seringkali bertindak spekulatif dan mencoba untuk menghasilkan keuntungan setinggi mungkin. Apabila dilihat dari sisi pendapatan daerah, Kota dan Kabupaten Tangerang memiliki kemampuan keuangan yang cukup kuat. Nilai total kegiatan ekonomi daerah ini menyumbang lebih dari enam puluh persen total PDRB
4
Provinsi Banten tahun 2007. Dimana dalam kurun waktu 1986-2007 yang dominan dalam distribusi PDRB Tangerang adalah sektor non pertanian, yakni Industri Pengolahan (41%), perdagangan, hotel dan restoran (19% ), serta pengangkutan (13%). Pada teori perkotaan umumnya daerah yang kemampuan keuangan daerahnya kuat akan memberikan imbas (spillover effect) pada daerah sekitarnya.
1.2
Perumusan Masalah Sebagai salah satu daerah baru yang pesat perkembangan ekonominya,
penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang urban sprawl di Tangerang dengan permasalahan sebagai berikut: a. Apakah aktivitas sektor jasa Tangerang mempunyai pengaruh terhadap pola penggunaan lahan di Kabupaten Bogor, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Serang? Kearah manakah kecenderungan urban sprawl aktivitas sektor jasa Tangerang? b. Apakah aktivitas sektor manufaktur Tangerang mempunyai pengaruh terhadap pola penggunaan lahan di Kabupaten Bogor, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Serang? Kearah manakah kecenderungan urban sprawl aktivitas sektor manufaktur Tangerang? c. Apakah
perubahan
pendapatan
per
kapita
penduduk
Tangerang
mempengaruhi penggunaan lahan untuk permukiman di Kabupaten Bogor, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Serang? Kearah manakah kecenderungan urban sprawl permukiman di Tangerang?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan seperti berikut ini: a. Untuk mengetahui apakah terdapat spillover effect dari Tangerang terhadap daerah sekitarnya? b. Untuk menganalisis pengaruh berbagai aktivitas perekonomian sektor manufaktur dan jasa sebagai roda penggerak ekonomi Tangerang terhadap perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Tangerang?
5
c. Bagaimana pengaruh pendapatan penduduk Tangerang terhadap penggunaan lahan yang terjadi di Kabupaten Bogor, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Serang?
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut: a. Dapat mengetahui arah pergerakan aktivitas ekonomi Tangerang terhadap daerah sekitarnya yang berimplikasi pada kebijakan pemerintah mengenai penanganan terbaik terhadap urban sprawl di Tangerang sehingga dapat digunakan sebagai acuan pada penentuan kebijakan dimasa yang akan datang; b. Sebagai referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ekonomi regional dan perkotaan, khususnya pengembangan model pendeteksian urban
sprawl.
6
1.5. Kerangka Penelitian LATAR BELAKANG: ADA KECENDERUNGAN URBAN SPRAWL
Dl KOTA~rGERANG FAKTA: KOTA TANGERANG TERIMBAS DAMPAK URBAN SPRAWL DARI DKI JAKARTA
,
·"'-
~
GAP
-
"
'
~
HARAPAN: KOTA TANGERANG MEMBERIDAMPAK URBAN SPRAWL BAGIDAERAH SEKITARNYA
TUJUAN THESIS: PENGARUH SEKTOR JASA, MANUFAKTUR DAN PENDAPATAN-+ PENGGUNAAN LA"i"~ KEARAH MANA
MODEL MATEMATIKA: (1)* L F(Q, w, r)
= L =f(Qf, Qc)
(2)*
"' "'
MODEL EKONOMETRI: LP;., =Po,+ P1M/ + Pd/ + PJGDPcap/ + P4KRISIS, + PsM1•1 + P6J1•1 + P1GDPcap1•1 + &•••.••(3)
KESIMPULAN DAN SARAN
Gambar 1.1. Kerangka Penulisan: Pengaruh Aktivitas Ekonomi Tangerang terhadap Daerah Sekitarnya Keterangan:
*
Persamaan (1) dan (2):
Dibandingkan mana yang lebih kuat bagi setiap variabel tersebut antara lahan pertanian dan bukan lahan pertanian: apabila pada area pertanian lebih kuat atau lebih tinggi nilainya maka lahan tersebut resisten terhadap urban sprawl. Sebaliknya apabila area pertanian tersebut lemah atau lebih rendah nilainya maka akan lebih mudah terjadi alih fungsi lahan menjadi bukan lahan pertanian. Hal ini merupakan proksi indikasi terjadinya urban sprawl.
1.6. Hipotesa Penelitian Pada tulisan ini dikemukakan hipotesis sebagai berikut:
7
a. Sektor jasa Tangerang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bogor, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Serang. b. Sektor manufaktur Tangerang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bogor, Kabupaten
Lebak,
dan
Kabupaten Serang. c. Tingkat kemakmuran, yang diwakili oleh pendapatan per kapita, penduduk Tangerang berpengaruh signifikan terhadap perubahan penggunaan lahan di daerah sekitarnya.
1.7. Sistematika Penulisan Pada penelititan ini disusun sistematika penulisan sebagai berikut:
Babl
Bah II
Pendahuluan 1.1
Latar Belakang;
1.2
Perumusan Masalah;
1.3
Tujuan Penelitian;
1.4
Manfaat Penelitian;
1.5
Kerangka Penelitian;
1.6
Hipotesa Penelitian;
1.7
Sistematika Penulisan.
Tinjauan Teori 2.1
Pengertian dan Karakteristik Urban Sprawl;
2.2
Fungsi Produksi dan Biaya;
2.3
Teori Mengenai Kota; 2.3.1
Konsep Kota;
2.3.2
Teori Tata Guna Lahan Von Thtinen;
2.3.3
Teori Difusi;
2.3.4
Teori Ukuran Kota (City Size Theory);
2.3.5
Teori Pola Penggunaan Lahan (Land Use Pattern Theory);
2.3.6
Model Perkembangan Perkotaan di Indonesia;
8
2.4
Smart Growth;
2.5
Kasus Urban Sprawl pada Beberapa Kota di Negara Berkembang;
2.6
Bah III
Bah IV
2.5.1
Metro Manila;
2.5.2
Shanghai;
Penelitian Terdahulu.
Gamharan Umum Tangerang dan Daerah Sekitarnya 3.1
Sejarah Singkat Tangerang;
3.2
Kondisi Geografis dan Topografis Tangerang;
3.3
Demografi Tangerang;
3.4
Struktur Ekonomi Tangerang;
3.5
Proporsi Sektor lndustri dan Jasa terhadap PDRB Tangerang;
3.6
Perkembangan Kekotaan Tangerang dan Sekitarnya.
Metode Penelitian 4.1
Data dan Sumber Data;
4.2
Rancangan Penelitian 4.2.1
Model Matematis;
4.2.2
Model Ekonometri;
4.3
Analisis Dengan Regresi Data Panel;
4.4
Pemodelan Data Panel; 4. 4.1
Pendekatan Kuadrat Terkecil (Ordinary Least Square);
4.4.2
Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect);
4.4.3
Pendekatan Efek Acak (Random Effect);
4.4.4
Pendekatan Model Least Square Dummy Variable (LSDV);
4.5
Tahap Pendugaan Menggunakan Data Panel;
4.6
Pemilihan Model Data Panel; 4.6.1
Penentuan antara Pooled Least Squares dengan Panel Data Method;
9
4.6.2
Penentuan antara Model Fixed Effect dengan Random Effect;
4. 7
BabV
Analisis Kesesuaian Model; 4.7.1
Pengujian Signifikansi secara Ekonometri;
4.7.2
Pengujian Signifikansi secara Statistik.
Data dan Hasil Penelitian
5.1
Pengujian Spesifikasi Model;
5.2
Pengujian Asumsi Klasik;
5.3
Pengujian Signifikansi secara Statistik;
5. 4
Hasil Estimasi 5.4.1
Analisis Aktivitas Ekonomi ke Wilayah Sekitar Tangerang;
5.4.2 5.5
Bah VI
Analisis Arah Urban Sprawl;
Tinjauan Peraturan Tata Ruang Kawasan.
Kesimpulan, Rekomendasi Kebijakan, dan Saran
6.1
Kesimpulan Penelitian;
6.2
Rekomendasi Kebijakan;
6.3
Keterbatasan Studi.
BAB2 TINJAUAN TEORI
Untuk memberikan gambaran lebih mendalam maka dimuat teori-teori berikut ini: 2.1. Pengertian dan Karakteristik Urban Sprawl
Istilab Urban Sprawl telab lama digunakan di Amerika Serikat untuk menerangkan pergerakan kota ke wilayab pinggiran (fringe area). Brueckner (2000) menerangkannya sebagai pertumbuhan spasial kota secara berlebihan. Di area yang laban pertaniannya produktif dan bemilai tinggi, suatu kota akan lebih padat dibandingkan dengan daerab yang laban pertaniannya kurang produktif sehingga bemilai lebih murab (Brueckner dan Fansler: 1983). Gordon & Richardson, Mills, dan Brueckner dalam Wassmer (2002) menyatakan definisi dari kacamata ekonom, yakni ketika desentralisasi lebih jauh menghasilkan biaya marginal bersih yang lebih besar bagi setiap orang di area metropolitan daripada apabila pengembangan tetap dilakukan secara terpusat. Jadi dapat diketahui alasan suatu rumab tangga bekerja di pusat kota, sementara bertempat tinggal di daerah pinggiran dengan membandingkan keuntungan yang didapat (laban lebih murab untuk hunian yang lebih besar, udara yang relatif bebas polusi) dan biaya yang harus dikeluarkan (perjalanan ulang-alik yang lebih lama, biaya transportasi lebih tinggi). Sementara Ewing dalam Sturm dan Cohen (2004) mengembangkan pengukuran sprawl dalam empat dimensi, yaitu kepadatan hunian, land use mix, degree of centring, dan aksesibilitas jalan. Yunus (2006) menyatakan Urban Sprawl sebagai proses transformasi fisiko-spasial dari bentuk-bentuk kedesaan menjadi bentuk-bentuk kekotaan. Proses ini dapat terjadi sebelum maupun sesudah proses transformasi sosiokultural. Bentuk urbanisasi fisiko-spasial ini terdiri atas tigajenis, yakni: a. Perkembangan konsentris (concentric development) Merupakan bentuk perubahan kenampakan kedesaan menjadi kekotaan yang sebaran spasialnya berada di sekitar laban terbangun dan merata. Proses ini akan menciptakan kota yang kompak, akan tetapi dengan perkembangan spasial yang relatif lambat. Bentuk ini merupakan yang paling ideal karena
10
11
jarak terluar dari kenampakan perkotaan ke pusat kota mempunyai jarak yang sama, sehingga memudahkan pemerintah dalam pemenuhan fasilitas serta pemanfaatannya yang efektif dan efisien. b. Perkembangan Memita (Ribbon Development) Merupakan perkembangan yang terjadi disepanjang jalur-jalur linier, baik jalur radial maupun jalur lainnya. Transportasi mempunyai peranan penting dalam proses ini. Pada umumnya proses yang terjadi berbentuk radial, karena jalur-jalur transportasi radial merupakan jalur transportasi utama yang menghubungkan kota yang bersangkutan dengan pusat-pusat kegiatan lain. Sedangkan yang terjadi pada jalur lain sifatnya menghubungkan jalur-jalur radial yang ada, seperti misalnya ring roads. Bentuk ini mempunyai dampak besar terhadap hilangnya lahan pertanian di pinggiran kota karena akan memblokir lahan persawahan atau pertanian lainnya. Selain itu pembangunan sepanjang jalur ini akan mengakibatkan peningkatan harga pasaran lahan yang luar biasa sehingga mempengaruhi komitmen petani terhadap pengusahaan pertanian dan terhadap lahannya yang pada akhimya akan mempercepat proses alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian. c. Perkembangan Lompat Katak (Leap Frog) Merupakan perkembangan yang berbentuk sporadis dalam satuan lahan yang bervariasi. Dapat dilakukan secara perorangan yang bersifat kecil, namun ada juga yang berskala besar yang dilakukan oleh pengembang. Bentuk ini dinilai oleh sejumlah pakar sebagai bentuk yang paling ofensif. Sementara
itu
Burchel,
et
al.,
berdasarkan
beberapa
literatur,
mengembangkan daftar 10 elemen yang umum ditemukan mengenai definisi Sprawl, dimana pembangunan yang mengandung sebagian besar dari kesepuluh elemen ini dapat dilihat sebagai Sprawl: a. Kepadatan penduduk yang rendah; b. Meluasnya pembangunan keluar kota secara tak terkendali; c. Segregasi spasial dari tipe penggunaan lahan yang berbeda melalui pengaturan zona; d. Pembangunan secara leapfrog; e. Ketiadaan satu pemilikan lahan ataupun perencanaan pembangunan;
Universitas Indonesia
12
f. Transportasi didominasi oleh kendaraan pribadi; g. Otoritas pemerintah dalam penggunaan lahan terbagi diantara banyaknya pemerintahan daerah; h. Variasi kapasitas fiskal yang besar dari pemerintah daerah dalam area metropolitan; 1.
Berkembangnya area komersial sepanjangjalur jalan utama;
J.
Penyelenggaraan perumahan sederhana sangat bergantung pada kebijakan dari pemerintah pusat.
Altematif dari penyebaran, yakni pembangunan secara terpusat, menekankan pada penggunaan lahan secara efisien pada area perkotaan dan wilayah yang telah ada, kawasan ramah pejalan kaki, dan keanekaragaman penggunaan lahan. Sementara Galster, et al. (2002) merumuskan karakteristik dari sebaran kota ke dalam delapan dimensi. Yang mana kedelapan dimensi tersebut, baik berdiri sendiri maupun sejumlah kombinasi dari masing-masing dimensi tersebut, menunjukkan karakteristik dari sprawl. Mereka adalah:
~1:4~1,--.t., .... r···········A·;;~············-~
Kepadatan
Kepadatan adalah nilai
rata-rata
l dengan l l Kepadatan 1 l Tinggi 1 L.·-·················-·········-······J
hunian per kilometer persegi lahan yang dapat dikembangkan dalam area perkotaan. Sebagai indikator perambatan
yang
paling
senng
digunakan, menggambarkan rasio
Area dengan Kepadatan Rendah
total populasi dibagi dengan total area lahan.
Universitas Indonesia
13
Kontinuitas Kontinuitas
adalah
tingkat
perbandingan dimana lahan yang dapat
dibangun
telah
Area dengan Kontinuitas nnggi
terbangun
dengan kepadatan yang menerus, tidak terputus. Kontinuitas RendahPola Leapfrog
Konsentrasi Konsentrasi
merupakan
derajat
dimana kawasan terbangun terletak dalam
area
dibandingkan
yang
relatif padat
dengan
Konsentrasi Tinggi
menyebar
diseluruh area perkotaan. Suatu area perkotaan mungkin saja bisa
terns
dikembangkan,
tapi
Konsentrasi Rendah
persebarannya belum tentu merata. Hal ini tidak dapat diukur dari tingkat kepadatan semata.
Kekompakan (Compactness) ~erupakan
suatu
perbandingan
dimana suatu pengembangan telah dikelompokkan untuk meminimal-
Pembangu nan secara kompak
kan luas lahan pada setiap kilometer perseg1
lahan
terhuni
oleh
penggunaan residensial maupun non residensial.
Universitas Indonesia
14
Pembangu nan tidak secara kompak
Sentralitas Merupak:an
perbandingan
penggunaan maupun
untuk
non
antara r----··---··-------·-;
residensial
residensial
I!
yang
d:~~:n
I
sentralitas ! !: tinggi !: L·-·········-······--·······-···-J
terletak: dekat dengan CBD. Kehilangan sentralitas suatu area perkotaan merupak:an hal yang lazim pada sebaran perkotaan. Umumnya
Area dengan desentralitas tinggi
menunjuk-kan apak:ah pembangunan telah menyebar dari area awal atau pusat bisnis sebelumnya di dalam kota.
Nuclearitas Adalah
keadaan
dimana
area
Area Mononuclear
perkotaan dikarakteristikkan dengan suatu pola pengembangan mono-
nuclear ( sebagai lawan dari polynuclear). Jika pembangunan hanya terfokus pada CBD, mak:a suatu area dapat
disebut
Area Polynuclear
mononuclear,
sebaliknya jika suatu ak:tivitas yang sama dilak:ukan pada sejumlah area yang berbeda dan masing-masing
mengurangt
terbentuk aglomerasi, mak:a disebut
dengan
mempersingkat
perjalanan
polynuclear. Pola polynuclear dapat
menUJU
tempat kerja.
Sebaliknya
biaya
transportasi
Universitas Indonesia
15
dapat pula meningkatkan biaya lain,
seperti nilai lahan pada area tertentu.
--·········-··-··-·······-·········-,
Keanekaragaman
Keanekaragaman
menggambarkan
perbandingan dimana pada suatu
~~~ _L_ _i,.C._ _. [_~~~~~~~
area-mikro digunakan bagi dua jenis peruntukan lahan yang berbeda, dan Area Dengan Keseragam an
keberadaan pola ini dapat ditemui pada seluruh area kota.
Kedekatan (Proximity)
Adalah
perbandingan
dimana
penggunaan lahan yang berbeda saling berdekatan satu sama lain di seluruh area kota. Misalnya antara
r-··p;~k~i~-tt~~---·1 t
Tinggi
l·--··-··--···-·--·-·····-·····1
hunian kelas bawah dengan area perkantoran konseptual,
atau
pabrik.
Secara
proksimitas
atau
kedekatan adalah rata-rata jarak dari tempat tinggalnya yang merupakan area
yang
dikhususkan
Proksimitas Rendah
bagi
permukiman ke area "target" yang berfungsi sebagai tempat mencari
t
Gambar 2.1. Delapan Dimensi Sprawl Sumber: Galster et al. (2002)
nafkah.
Universitas Indonesia
16
Sementara penyebab dari sprawl sesungguhnya dapat dibagi dalam dua kategori besar, yakni yang menarik orang untuk keluar dari pusat kota akibat daya tarik kawasan pinggiran kota serta yang mendorong orang untuk keluar dari pusat kota akibat masalah ketidaknyamanan didalam kota itu sendiri.
2.2.Fungsi Produksi dan Biaya
Teori produksi mengasumsikan bahwa dalam menghasilkan output diperlukan berbagai faktor produksi seperti bahan baku, mesin-mesin, tenaga kerja, dan bahan-bahan lainnya. Sementara fungsi produksi menunjukkan output terbesar yang bisa dihasilkan perusahaan untuk setiap kombinasi input tertentu atau berapa banyak output yang paling mungkin dihasilkan ketika perusahaan . berjalan dengan efisien Untuk menyederhanakan maka digunakan asumsi dua faktor produksi, yakni modal (K) dan tenaga kerja (L) sedangkan q sebagai notasi yang mewakili output perusahaan. (2.1)
q = f(K,L)
Pada jangka pendek diasumsikan paling sedikit ada satu faktor yang diasumsikan tetap. Sedangkan pada jangka panjang semua faktor dapat berubah atau diasumsikan variabel. Adapun harga modal adalah r, yakni tingkat depresiasi dan tingkat bunga, sementar harga tenaga kerja berupa w atau upah. Sehingga untuk suatu perusahaan persamaan 2.1 dapat dituliskan kembali menjadi: q =rK+wL
(2.2)
2.3.Teori Kota 2.3.1. Konsep Kota
Yunus (2006) membedakan kota dalam pengertian yuridis adminstratif dan fisik morfologis sebagai berikut: a. Secara yuridis administratif kota diartikan sebagai suatu daerah tertentu dalam wilayah negara yang mempunyai sistem pemerintahan tertentu, mempunyai otonomi untuk mengelola dan mengatur wilayahnya, mempunyai
Universitas Indonesia
17
batas-batas administrasi yang jelas dan diatur dalam undang-undang serta ditetapkan berstatus sebagai kota. b. Secara fisik morfologis kota adalah daerah tertentu yang menampakkan dirinya secara fisik merupakan daerah kekotaan, dengan ciri -ciri utama kenampakan bentuk pemanfaatan lahan non-agraris, kepadatan bangunan baik perumahan maupun non perumahan yang tinggi dan bangunan mana diorientasikan untuk mengakomodasi berbagai kegiatan non agraris, serta kondisi transportasi dan komunikasi yang sangat kompleks, baik sarana maupun prasarananya. Pengertian tersebut dapat menimbulkan kerancuan persepsi. Misalnya di satu sisi suatu area yang menampakkan ciri kekotaan namun tidak berada dalam wilayah administratif kota. Sementara, area lain berada dalam suatu wilayah kota adminstratif namun cenderung menampakkan ciri kedesaan. Disinilah timbul masalah dalam menentukan kebijakan tata ruang suatu wilayah. Adapun Hoekveld Geograf dalam Reksomamoto (2008) memberikan definisi tentang istilah kota yang ditinjau dari beberapa aspek seperti aspek morfologi, jumlah penduduk, sosial, dan ekonomi. a. Morfologi Perbedaan antara istilah kota dan desa merupakan perbandingan bentuk fisik kota dengan bentuk fisik pedesaan. Misalnya di kota adanya gedung bertingkat, permukiman dengan densitas tinggi, sementara di perdesaan permukiman cenderung tersebar dalam lingkungan alam dengan tingkat kepadatan yang rendah. Akan tetapi pengertian ini, dalam perkembangannya, menyulitkan karena seiring waktu perkembangan fisik kota di bagian pinggiran sudah mirip dengan fisik di desa. Sementara tipe bangunan sudah meniru gaya di kota. b. Jumlah Penduduk Pendekatan ini banyak digunakan oleh para ahli dalam menjelaskan pengertian kota. Istilah kota kemudian dikelompokkan berdasarkan jumlah penduduknya seperti berikut ini: 1. Kota Kecil, apabila penduduknya berjumlah antara 20.000 hingga 50.000 Jlwa;
Universitas Indonesia
18
2. Kota Sedang, apabila penduduknya betjumlah antara 50.000 hingga 100.000 jiwa; 3. Kota Besar; apabila penduduknya betjumlah antara 100.000 hingga 1.000.000 jiwa; 4. Kota Metropolitan; apabila penduduknya betjumlah antara 1.000.000 hingga 10 jutajiwa; 5. Kota Megalopolis, apabila penduduknya betjumlah lebih dari 10 jutajiwa. c. Ekonomi Pada umumnya penduduk wilayah kota tidak menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Fungsi kota yang lebih dominan dan menjadi kekhasannya adalah bidang manufaktur, jasa, dan perdagangan. Sementara interaksi dan interrelasi masyarakt kota yang paling menonjol ditandai dengan aktivitas yang bersifat ekonomis dan perniagaan. d. Sosial Pada masyarakat kota lazim ditemukan adanya hubungan antar penduduk secara impersonal. Dimana memiliki kebebasan bergaul dengan berbagai kalangan dan dasar hubungan sosialnya besifat lugas. Tradisinya tanpak terkotak-kotak oleh perbedaan kepentingan, dan setiap orang bebas memilih hubungan dengan siapa saja dan melakukan apa saja yang diinginkan.
2.3.2. Teori Tata Guna Laban Von Thiinen Sinclair (1967) menuliskan kembali mengenai teori J. Heinrich Von Thiinen yang sejumlah tulisannya dikenal dengan Der Isolierte Staat mulai tahun 1826-1875 menggambarkan tentang pola penggunaan lahan pertanian yang bergantung pada persaingan antara sejumlah tipe peruntukan lahan. Faktor yang mempengaruhi persaingan tersebut adalah Economic Rent, yang didefinisikan sebagai tingkat pengembalian investasi lahan. Von Thiinen menyadari bahwa biaya transportasi adalah hal yang mendasar bagi penentuan Economic Rent. Asumsi yang mendasari teorinya adalah bahwa kota berada pada lahan dataran tanpa kontur, dengan karakter fisik seragam, dan dihuni oleh petani yang fleksibel dalam penggunaan lahan mereka. Petani menggunakan satu moda
Universitas Indonesia
19
transportasi untuk menjual produknya ke satu pasar yang letaknya terpusat dengan akses sama ke segala arah.
Gam bar 2.2 Hubungan Antara Economic Rent dan Jarak dari Pasar pada berbagai Persaingan Penggunaan Laban Sumber: Sinclair (1967)
Pada gambar 2.2 digambarkan kompetisi antara berbagai penggunaan lahan. Dalam kasus ini penggunaan lahan 1 menghasilkan economic rent yang lebih besar pada zone OZ, penggunaan lahan 2 di zona ZX, penggunaan lahan 3 di zona XW, dan seterusnya. Karena 0 adalah area kota, dan berbagai fungsi lahan ditemukan pada sekeliling kota, adalah mudah untuk menentukan bahwa 0 sebagai pusat kota, OZ, OX, OW, dan sebagainya sebagai radian, dan membangun teori yang dikenal sebagai cincin Von Thiinen. Cincin-cincin tersebut adalah cara kerja dasar dari teori pola penggunaan lahan dalam Der Isolierte Staat.
Universitas Indonesia
20
2.3.3. Teori Difusi Dalam teori mengenai pembentukan suatu kota atau kolonisasi Vance dalam Pacione (2005) dan Tunas (2008) mengambil sudut pandang difusi sejarah berdasarkan kolonisasi. Teori ini terdiri atas lima tahap dalam pengembangan sistem, baik di negara asal maupun negara jajahan seperti pada gambar 2.3. Tahap-tahap tersebut adalah: a. Eksplorasi:
Meliputi
pencarian
informasi
sumber-sumber daya
dan
kesempatan ekonomi melalui prospek kekuatan kolonial. b. Memanen hasil bumi: Meliputi pemanenan pengangkutan basil bumi secara periodik, seperti perikanan dan perkebunan. Tahap ini termasuk pendirian tempat tinggal sementara bagi penjelajah. c. Muncul pusat pengumpulan produksi pertanian: Pada tahap ketiga ini pendirian tempat tinggal bagi penjelajah makin meningkat, sehingga memungkinkan adanya ekspor komoditi pertanian ke negara asal penjelajah dan sebaliknya, menyuplai koloni dengan barang-barang manufaktur. Pelabuhan dalam negara koloni bertindak sebagai titik penghubung antara koloni dengan negara asal penjelajah. d. Berdirinya depot-depot pengumpulan di pedalaman. Pada tahap keempat, penjelajah makin jauh memasuki wilayah daratan melalui jalur transportasi, mengawali munculnya kota-kota di pedalaman yang berfungsi sebagai depot pengumpul. Sebaliknya pada negara asal penjelajah industrialisasi mulai berjalan. e. Kematangan secara ekonomi. Pada tahap kelima Pertumbuhan sektor manufaktur menuju kematangan secara ekonomi. Depot di pedalaman dikembangkan sebagai fungsi pelayanan dan pusat region, sementara di pihak lain pusat-pusat kegiatan berskala kecil mulai tumbuh bersamaan dengan munculnya bentuk penjajahan.
Universitas Indonesia
21
Tahap 1: Eksplorasi
Tahap 2: Memanen Hasil Bumi
Tahap 3: Munculnya Pusat Pengumpulan ProduksiPenrnmuan
Tahap4: Adanya Depot Pengumpulan di Pedalaman
Tahap 5: Kematangan Secara Ekonomi
Gambar 2.3. Model Perencanaan Kota Kolonial Sumber: Vance dalam Tunas (2008)
2.3.4. Teori Ukuran Kota (City Size Theory) Aglomerasi menghasilkan apa yang diistilahkan dengan economic of
scope dan economic of scale yang menghasilkan peningkatan produktivitas dan besaran upah. Umumnya semakin besar ukuran kota maka produktivitas dan upah akan semakin besar. Namun utilitasnya akan berkurang akibat sejumlah hal yang tidak diinginkan seperti, semakin mahalnya biaya transportasi, tingginya
Universitas Indonesia
22
kepadatan penduduk, kemacetan dan polusi (O'Sullivan: 2007). Selama aglomerasi ekonomi lebih kuat, kepuasan akan terns meningkat seiring besarnya ukuran kota. Namun ketika aglomerasi ekonomi dalam posisi lebih lemah dibandingkan dengan biaya-biaya dan ketidaknyamanan lainnya maka tingkat kepuasan akan menurun seiring dengan makin besarnya ukuran kota.
"~~-
j.,..
!:,..
t:H... :; ...
.
·"'s:·r-1 ... ~. .--,.. \.:...:r:2 ~·l1:.~ Jen.;.;:\,: ~... f 4 . ~~· ~~~~~~'l'l\i4l.i00$),· : ~ t . . . .:,. ~
.
Gambar 2.4. Utilitas Dan Ukuran Kota Sumber: O'Sullivan (2007)
Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.4 dimana pada ukuran kota yang kecil tingkat kepuasan berada pada titik S, semakin besar kota akan meningkatkan tingkat kepuasan menuju titik M, Tetapi ukuran kota yang bertambah besar membuat banyak aspek membuat kota menjadi tidak nyaman sehingga tingkat kepuasan menurun menuju titik H, walaupun ukuran kota makin besar.
2.3.5. Teori Pola Penggunaan Laban (Land Use Pattern Theory) Menurut O'Sullivan (2007), pada model kota monosentris tingkat keseimbangan penggunaan lahan ditentukan oleh kurva penawaran harga (bidrent) dari perusahaan dan permukiman. Bid-rent distrik perkantoran melebihi bidrent area manufaktur. Area perkantoran adalah area yang digambarkan antara x=O
Universitas Indonesia
23
hingga
XJ.
Area antara
berada antara
x2
dan
x1
X3.
dan
x2
adalah distrik manufaktur. Area perumahan
Kemiringan dari kurva bid-rent ditentukan oleh biaya
transportasi. Makin tinggi biaya transportasi suatu sektor malca akan makin dekat letaknya dengan pusat kota (CBD). Hal ini yang dialami sektor perkantoran atau jasa, karena sektor ini menggunakan orang untuk mentransrnisikan outputnya. Sementara pada sektor manufaktur dapat menggunakan alat angkut lain seperti kereta kuda.
$
. Office
XI .
x2
x3
x = Distance from cen1er
Gambar 2.5. Kurva Bid Rent dan Penggunaan Laban Monosentris Sumber: O'Sullivan (2007)
Lahan dialokasikan bagi kegunaan yang paling optimum dan terbaik. Industri perkantoran, dengan biaya transportasi yang lebih tinggi, menempati lahan yang paling dekat dengan pusat kota. Alokasi inilah yang paling efisien mengingat industri perkantoran memilih lebih mengambil keuntungan dari kedekatannya dengan pusat kota. Apabila bertukar tempat dengan industri manufaktur tentunya biaya perjalanan perusahaan perkantoran akan meningkat relatif besar, sementara biaya angkut sektor manufaktur hanya akan berkurang dalam jumlah yang sedikit. Sebagai hasilnya total biaya perjalanan akan meningkat.
Universitas Indonesia
24
2.3.6. Model Perkembangan Perkotaan di Indonesia Menurut Ford (1993) pada umumnya kota-kota yang berkembang pesat di Indonesia terletak di pesisir pantai ataupun muara sungai yang didirikan oleh kolonial ataupun akibat perdagangan dengan penjelajah Islam. Bentuk awal dari kebanyakan kota pesisir mencerminkan sejumlah aspek ideologi perkotaan asing. Misalnya Demak, Banten, Aceh, Surabaya, dan Makasar, dan kebanyakan pemah mengalami kehancuran dan reorganisasi pada masa kolonial (Reed pada Ford 1993).
squatter lcampu ng
middle-income suburbs rural bmpung
~ government
II
Chinese commercial zone
IJ mixed commercial zone II international commercial zone
Gambar 2.6. Model Struktur Kota Di Indonesia Sumber: Ford (1993)
Pada gambar 2.6 disajikan gambar struktur kota di Indonesia pada umurnnya berdasarkan elaborasi Ford, dimana dalam suatu kota terdiri dari berbagai zona, mulai dari pelabuhan, area pemerintahan, kawasan industri, perdagangan, permukiman untuk kawasan elit, berpendapatan menengah, hingga perkampungan kumuh.
2.4. Smart Growth
Konsep ini merupakan hal yang berkebalikan dari urban sprawl. Smart
growth disini misalnya dapat dilakukan dengan perencanaan dan pembangunan hunian dengan tingkat kepadatan yang lebih tinggi, menjaga ketersediaan ruang
Universitas Indonesia
25
terbuka, memaksimalkan penggunaan infrastruktur yang ada, dan melindungi area yang sensitif terhadap lingkungan. Kepemilikan hunian yang diidamkan para pendukung smart growth adalah berupa sebuah rumah yang nyaman, dalam lingkungan yang serba dekat, misalnya sejauh 15 menit waktu tempuh dengan betjalan kaki menuju stasiun penyedia transportasi massal juga pertokoan lokal (Goodwin Procter, 2002). Seperti banyak diutarakan oleh para ahli, urban sprawl yang berlebihan berdampak pada peningkatan luas lahan terbangun dan berkurangnya lahan terbuka hijau. Pertambahan jumlah penduduk dan luas area terbangun tidak sebanding dengan pertumbuhan panjang jalan sehingga menimbulkan masalah transportasi dan kemacetan. Meluasnya perkembangan kota ke area pinggiran tentunya akan menambah jarak tempuh. Selain itu demi alasan kenyamanan orang lebih suka untuk menggunakan kendaraan pribadi daripada moda transportasi umum sehingga jumlah kendaraan pribadi meningkat secara signifikan. Bertambahnya jarak dan waktu tempuh akan mengkonsumsi lebih banyak energi yang pada akhimya akan berakibat pada pemanasan global, seperti yang diutarakan Al Gore yang mengajak kita agar peduli untuk mengurangi pemanasan global. Oleh karena itu pemerintah perlu menyediakan dan menggerakan orang agar menggunakan moda transportasi masal. Dengan menerapkan smart growth yang terkoordinasi diharapkan tumbuh lingkungan yang lebih tertata, efisien dalam penggunaan energi, sehingga dapat tercipta lingkungan yang lebih baik. Suatu manifest telah diterbitkan oleh National Trust for Historic Preservation betjudul Challenging Sprawl yang berisi prinsip-prinsip smart growth (Goldberg: 1999) berupa: a. Mendaur ulang bangunan yang ada serta lahan apabila memungkinkan; b. Menjaga karakter dan identitas komunitas lokal; c. Menjaga lahan pertanian, hutan, dan area sensitif lainnya; d. Meningkatkan kepedulian terhadap komunitas; e. Merevitalisasi kawasan kota tua bersejarah dan lingkungan permukiman; f.
Mengisi lahan tak terusahakan di tengah kota dengan pembangunan yang menyatu dengan lingkungan sekitarnya (inji/1 development);
Universitas Indonesia
26
g. Berikan pilihan bagi warga untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda, maupun menggunakan transportasi umum disamping berkendaraan pribadi; h. Bangun komunitas barn yang dibangun dengan baik pada lokasi yang dapat terlayani secara efisien; 1.
Lindungi lingkungan bagi generasi mendatang sehingga mereka memiliki sumberdaya untuk mencapai kemakmuran ekonomi mereka.
2.5. Kasus Urban Sprawl pada Beberapa Kota di Negara Berkembang 2.5.1. Metro Manila Metro Manila adalah sebutan bagi wilayah metropolitan yang terdiri dari Kota Manila sebagai pusat regional dan ibukota negara Filipina ditambah enam belas kota dan munisipalitas di sekitarnya yang telah dimulai sejak tahun 1940. Area seluas 63.600 hektar (termasuk hasil reklamasi pantai Manila Bay seluas 3.100 hektar) ini adalah salah satu metropolitan terbesar di dunia, merupakan pusat politik, ekonomi, sosial, dan budaya Filipina, dengan populasi sekitar 11.553.427 (sensus 2007) sehingga merupakan region terpadat di Filipina dengan tingkat kepadatan menurut sensus pada tahun 1990 sebanyak 12.400 jiwa/knl. Kota terbesar adalah Quezon City dengan luas wilayah 17.171 hektar sedangkan yang terkecil adalah San Juan dengan area 595 hektar saja. Level urbanisasi diwilayah ini telah mencapai 100% menurut sensus 1970 1• Metro Manila tidak memiliki kekuasaan politis. Ketujuh belas kota hanya memiliki kekuasaan politis atas kotanya masing-masing yang dipimpin para walikota yang tergabung dalam Metro Manila Mayor's League, sebagai bagian dari Metropolitan Manila Development Authority (MMDA). Hal semacam ini telah coba digagas di Indonesia melalui Megapolitan Jakarta. Jadi meskipun kotakota tersebut saling independen satu sama lain secara politis, namun dalam pelayanan seperti jaringan lalu lintas pengangkutan dan pengendalian banjir ditangani secara kolektif oleh MMDA dibawah otoritas Presiden. Diantara region-region tersebut Makati merupakan yang terkaya di Metro Manila, dimana
1
Level Urbanisasi didefinisikan oleh Pemia dalam Ballesteros (2000) sebagai "proporsi (persentase) populasi yang tinggal diwilayah perkotaan (urban)".
Universitas Indonesia
27
terdapat Bursa Efek Filipina (Philippine Stock Exchange) serta sejumlah besar perusahaan asing. Kota Manila merupakan tujuan populer bagi kaum migran miskin, sementara golongan kaya berpindah menuju Makati ataupun Quezon (Caoili pada Ballesteros: 2000). Kebijakan untuk menghambat migrasi menuju Manila pun telah banyak dilakukan, misalnya dengan aturan bagi kawasan industri untuk beroperasi diluar kota, dan kebijakan pemberdayaan wilayah perdesaan. Dalam hal peruntukan penggunaan lahan, pemerintah Filipina mewajibkan setiap daerah untuk mengatur zona peruntukan. Misalnya dengan kode "R" bagi area residensial, "C" untuk area komersial, dan "I" bagi area industri (Ballesteros: 2000). Daerah pmgg1ran Metro Manila sebagian besar merupakan daerah pertanian hingga 1980. Setelah itu kenaikan level urbanisasi terjadi secara substansial yang menarik bagi pembangunan permukiman, pusat kebugaran dan pariwisata, serta kawasan industri. Akibat tingginya harga lahan pertanian dan industry di Metro Manila menyebabkan para pelaku ekonomi berpindah menuju area pinggiran, umumnya ke wilayah Calabarzon2 yang menarik bagi altematif pembangunan permukiman dan industri. Sebaran perambatan tersebut terlihat pada Gam bar 2. 7.
Dan seperti kota metropolitan pada umumnya, tidak terdapat wilayah pertanian yang luas di kota ini. Menurut Ali dan Porciuncula pada Anh et al. (2004) kurang dari lima persen luas wilayah ini yang berfungsi sebagai area pertanian. Sementara Murakami dan Palijon (2005) yang meneliti alih fungsi lahan di daerah pinggiran kota Metro Manila mendapati bahwa pertumbuhan populasi diserap melalui dua jenis area permukiman; yang pertama adalah berupa permukiman liar yang bertumbuh sepanjang jalan utama dimana hal ini makin bertambah sepanjang waktu. Berikutnya melalui pembangunan lahan yang sebelumnya difungsikan sebagai lahan persawahan. Tipe yang terakhir menyebabkan semakin seriusnya kerusakan akibat bencana banjir, sehingga lahan kosong yang ada tetap tidak terbangun dan menyebabkan bertambahnya laban pertanian yang tidak dapat diusahakan. 2
Region Calabarzon terdiri dari provinsi Cavite, Laguna, Batangas, Rizal, dan Quezon.
Universitas Indonesia
28
Gambar 2.7. Ekspansi Perkotaan di Metro Manila dan Wilayah Sekitarnya Sumber: Ballesteros (2000)
Seperti telah diindikasikan oleh Kelly serta Yokohari, et al. pada Murakami (2005) bahwa pembangunan disepanjang tepi jalan yang dekat dengan lahan persawahan di area pinggiran kota-kota besar di Asia seringkali menghambat perkembangan lahan pertanian. Hal ini juga dapat mempengaruhi lahan pertanian yang lokasinya jauh dari jalan, sebab pembangunan permukiman tersebut menghambat akses menuju lahan persawahan. Pada akhimya ini akan berdampak pada pengabaian lebih lanjut lahan persawahan.
Universitas Indonesia
29
2.5.2. Shanghai Kota tua ini telah ada sejak masa dinasti Sung sekitar abad kelima masehi sebagai kota dagang, namun baru dinyatakan resmi berdiri tahun 1927. Terletak di pantai timur daratan China menghadap Laut Cina Selatan serta daerah delta sungai Yangtze membuat kota ini sangat penting bagi perkembangan negeri tirai bambu. Rumah bagi lebih dari 18 juta penduduk dan tiga juta penglaju ini memiliki luas 7.037 km2, dengan lebih dari 88 persennya berada di dataran rendah dengan rata-rata elevasi sekitar empat meter diatas permukaan laut, kecuali sebelah barat daya yang berbukit-bukit. Dengan jumlah penduduk lebih dari 20 juta jiwa membuat kota ini merupakan yang terbesar di daratan Cina. Secara administratif Shanghai diperlakukan sebagai satu provinsi dengan delapan belas distrik, dengan kota-kota tersebar pada sejumlah distrik. Area CBD yang menonjol adalah Lujiazui yang terletak pada tepi timur Sungai Huangpu, serta The Bund dan Hongqiao di tepi baratnya.
............ !lilo!lt 1 {
I
a f
I
uw r
Gam bar 2.8. Daerah Perkotaan Shanghai-Hanzhou-Wuxi Sumber: Shi et al. Pada Yusuf dan Wu (2001)
Universitas Indonesia
30
Walau Shanghai mengalami pembangunan yang lebih terencana dibandingkan dengan kota-kota kecil dan sedang lainnya di Cina bagian selatan, pengalihfungsian lahan secara spontan dan tak teratur tetap merupakan masalah yang mengkhawatirkan (Wu dan Yeh pada Wu: 2000). Pesatnya laju pembangunan membuat alih fungsi lahan terjadi demikian cepat. Pada 1994, 19,20 juta meter persegi lahan dibebaskan, dengan 15,94 juta diantaranya diperuntukkan bagi investor dalam negeri. Sebelurnnya 97,52 juta meter persegi lahan pada tahun 1988 hingga 1994 telah pula dibebaskan bagi investor domestik. Bahkan setelah kebijakan lahan makin ketat di 1995, area seluas 6,4 juta meter persegi masih dibebaskan bagi investor dalam negeri dan 5,63 juta meter persegi diperuntukkan bagi perumahan oleh developer domestik. (Biro Perumahan dan Pertanahan Shanghai pada Wu: 2000). Shanghai dan Hongkong merupakan dua kota yang saling bersaing untuk menjadi sentra ekonomi daratan Cina. Shanghai dinilai lebih unggul karena memiliki basis yang kuat dalam industri manufaktur dan teknologi. Perannya terns meningkat dalam bidang keuangan dan perbankan, serta menjadi tujuan investor asing. Selama lima belas tahun daerah ini telah membukukan pertumbuhan ekonomi dua digit sejak 1992. Selain Bursa Efek Shanghai merupakan yang terpesat pertumbuhannya di dunia, zona industrinya juga berkembang pesat termasuk diantaranya Shanghai Hongqiao Economic dan Technological Development Zone. Walaupun bangunan bertingkat tinggi tumbuh menjamur dalam berbagai desain namun fokus utamanya kini adalah dengan membangun area hijau seperti taman umum diantara pencakar langitnya. Shanghai memiliki prospek untuk menjadi kota kelas dunia. Apabila ekonomi Cina dapat mempertahankan tingkat pertumbuhannya, bukan tidak mungkin dapat bersaing dengan Amerika Serikat dalam beberapa dekade. Dan jika dapat mempertahankan posisinya dalam konteks Cina, maka besar kemungkinan akan menjadi kota di Asia Timur dengan prospek terbaik untuk menjadi sentra global. Akan tetapi semua itu tergantung pada kebijakan 'keterbukaan' Cina pada jangka panjang, serta visi para perencana kota yang jauh kedepan agar dapat menjadikan Shanghai tetap menarik sebagai tujuan investasi (Yusuf dan Wu: 2001 serta Zhang: 2003).
Universitas Indonesia
31
2.6. Penelitian Terdahulu Dibandingkan dengan banyaknya literatur mengenai urban sprawl pada kota-kota di dunia Barat, hanya sedikit yang menyajikan penelitian mengenai hal ini di Indonesia. Pada tabel dibawah ini dijabarkan penelitian-penelitian yang menjadi acuan bagi penulis dalam melakukan penelitian ini.
Tabel 2.1. Studi Terdahulu Yang Menjadi Acuan Penulis N 0
Pengarang, Judul, Somber Data (Periode) Jan K.Brueckner & David A.Fansler (1983)
1 The Economics of Urban Sprawl: Theory and Evidence on The Spatial Size of Cities
Affendi Anwar dan Agus Pakpahan (1990) 2 The Problem ofSawah-Land Conversion to NonAgricultural Uses in Indonesia
Metodologi Varia bel Me to-de Populasi, pendapatan, sewa lahan pertanian, proxy biaya transportasi (commuting-cost)
Kepadatan penduduk, luas lahan, PDRB sektor pertanian
Kesimpulan
Panel Data
Alih fungsi lahan menjadi perkotaan meningkat seiring peningkatan populasi dan pendapatan, tapi menurun sejalan meningkatnya harga sewa lahan pertanian dan biaya transportasi.
Panel Data
Nilai ekonomi tanaman pangan berdampak positif pada lahan sawah, dan faktor yang menentukan kehilangan sawah adalah meningkatnya jumlah penduduk.
Panel Data
Di wilayah barat USA menunjukkan sejumlah ciri adanya urban sprawl, namun yang menonjol adalah tingginya desentralisasi yang terus berlanjut,
GIS
Alih fungsi sebagian lahan sawah bagi pembangunan permukiman yang memita disepanjang jalan seringkali menutupi akses menuju persawahan yang tidak dialihfungsikan sehingga menghambat pengembangan-nya ..
Robert W. Wassmer (2002)
An Economic Perspective on Urban Sprawl: With an Appli3 cation to the American West and the Test ofthe Efficacy of Urban Growth Boundaries
Luas lahan pertanian area metropolitan, populasi, luas lahan perkotaan
USA ( 1980-1990) Akinobu Murakami & Armando M. Palijon (2005)
Urban Sprawl and Land Use 4 Characteristic in the Urban
Fringe of Metro Manila, Philippines
Populasi, peta penggunaan lahan, foto udara.
Metro Manila (1918-1995)
Universitas Indonesia
32
(sambungan) N Pengarang, Judul, Somber Data (Periode) 0
Haydar Kurban & Joseph Persky (2007) 5
Do Metropolitan Area with Rich Central Cities Experience Less Sprawl? USA (1990-2000, 2000-2004) Sonny HB. Harmadi & MH. Yudhistira (2008)
Analisis Arab Pergerakan Aktivitas Ekonomi Jakarta 6 Terhadap Daerah Sekitarnya dengan Menggunakan Pendekatan Urban Sprawl Jabodetabek ( 1994-2005) Bhatta, B., et al. (2009)
Quantifying the degree-offreedom, degree-of-sprawl, 7 and degree-of-goodness of urban growth from remote sensing data Kolkata-Howrah, India 10975-2005)
Metodolo!!:i Variabel Meto-de Perturnbuhan urbanisasi daerah, porsi relatif rurnah tangga pendapatan tinggi kota, porsi populasi ras tertentu, pembagian populasi kota
Kesimpulan Kota yang kaya mengalami tingkat sprawl yang lebih rendah
Panel Data
Area metropolitan dengan pendapatan pusat kota yang tinggi belum tentu spillover e.ffect-nya besar.
Luas persawahan, produk sektor manufaktur dan ~asa, pendapatan per kapita penduduk untuk masing-masing daerah DKI Jakarta dan penyangganya.
Panel Data
Terjadi proses perambatan perturnbuhan Kota Jakarta menuju daerah Penyangga yang meliputi Bogor, Tangerang dan Bekasi secara signifikan dan menunjukkan perubahan lansekap wilayah menjadi perkotaan.
Foto udara, area terbangun antara yang diobservasi dengan area yang diekspektasi, proporsi perturnbuhan area terbangun.
GIS, Pearson's chi-square test, Shan on's entropy
Kota Kolkata-Howrah memiliki derajat kebebasan yang tinggi, perambatan yang tinggi, dan derajat kebaikan yang negatif dalam pertumbuhan kota.
Brueckner dan Fansler (1983) mengadopsi model yang dikembangkan oleh Muth (1969) dan Mills (1972) yang kemudian dianalisis lebih mendalam oleh Wheaton (1974). Berdasarkan data berupa populasi, pendapatan, sewa lahan pertanian, mendapatkan hasil empiris bahwa sprawl merupakan hasil dari proses yang normal dan bukanlah gejala sistem ekonomi yang diluar kendali. Dalam konteks ini menarik untuk ditekankan bahwa lahan pertanian yang berkualitas tinggi, berharga mahal, lebih resisten terhadap ekspansi urban daripada lahan yang berkualitas rendah. Sementara fenomena yang berkembang di Indonesia umumnya lahan pertanian yang beririgasi teknis, memiliki aksesibitas yang baik, biasanya merupakan lahan bermutu baik, maka harganya sudah tentu akan lebih tinggi dibandingkan dengan yang aksesnya kurang baik. Lahan semacam inilah
Universitas Indonesia
33
yang memiliki kecenderungan lebih cepat untuk beralih fungsi menjadi lahan non pertanian. Pada Anwar dan Pakpahan (1990) menggunakan pendekatan yang berlawanan dengan penelitian ini. Menggunakan data kepadatan penduduk, luas lahan keseluruhan, nilai PDRB tanaman pangan terhadap total PDRB, dan total PDRB didapatkan hubungan yang positif antara nilai ekonomi tanaman pangan terhadap lahan sawah. Dengan kata lain apabila nilai ekonomi tanaman pangan tinggi maka akan mencegah terjadinya alih fungsi lahan dari semula sebagai lahan pertanian menjadi non-pertanian. Penelitian Harmadi (2008) menyimpulkan mengenai terjadinya fenomena urban sprawl di Jakarta terhadap daerah Bogor, Tangerang dan Bekasi. Hasil empiris menunjukkan bahwa terjadi spillover effect dari Jakarta terhadap daerah Botabek. Dimana Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang terimbas proses
sprawl industri manufaktur, sementara Kota Bekasi dan Kota Tangerang terimbas sprawl sektor permukiman. Lain halnya dengan Kabupaten Bogor yang relatif tidak terimbas sprawl dari DKI Jakarta. Penelitian penulis mengadopsi model yang telah dilakukan oleh Harmadi dan Yudhistira ini dengan mengambil daerah penelitian di Kabupaten dan Kota Tangerang terhadap daerah yang berbatasan yakni Serang, Lebak, dan Bogor. Metode Geographical Information System
(GIS) digunakan oleh
Murakami (2005). Sementara Bhatta, et al. (2009) selain menggunakan metode tersebut juga menggunakan metode lain berupa derajat kebaikan (degree-of-
goodness), disamping menggunakan metode statistik yakni Pearson's chi-square statistics dan Shannon's entropy.
Universitas Indonesia
BAB 3 GAMBARANUMUMTANGERANGDANDAERAHSE~TARNYA
3.1. Sejarah Singkat Tangerang Dalam situs resmi Pemerintah Kabupaten Tangerang disebutkan bahwa sejak: ratusan tahun lalu Tangerang sudah menjadi daerah perlintasan pemiagaan, perhubungan sosial dan interak:si antardaerah lain. Hal ini, disebabkan letak: daerah ini yang berada diantara dua poros pusat pemiagaan Jakarta - Banten. Berdasarkan catatan sejarah, daerah ini sarat dengan konflik kepentingan pemiagaan dan kekuasaan wilayah antara Kesultanan Banten dengan penjajah Belanda. Sumber lain dari situs Pemerintah Kota Tangerang menyatakan bahwa menurut tradisi lisan, nama daerah Tangerang dulu dikenal dengan sebutan Tanggeran yang berasal dari bahasa Sunda yaitu tengger dan perang. Kata tengger memiliki arti tanda yaitu berupa tugu yang didirikan sebagai tanda batas
wilayah kekuasaan Banten dan VOC, sekitar pertengahan abad 17. Sedangkan istilah perang menunjuk pengertian bahwa daerah tersebut dalam perjalanan sejarah menjadi medan perang antara Kasultanan Banten dengan tentara VOC yang dibuktikan dengan keberadaan benteng pertahanan kasultanan Banten di sebelah barat sungai Cisadane dan benteng pertahanan VOC di sebelah Timur Cisadane. Keberadaan benteng tersebut juga menjadi dasar bagi sebutan daerah sekitamya (Tangerang) sebagai daerah Benteng yang masih digunak:an secara terbatas hingga kini. Adanya masa pemerintahan pertama secara sistematis yang bisa diungkapkan di daerah dataran ini, adalah saat Kesultanan Banten yang terns terdesak: agresi penjajah Belanda lalu mengutus tiga maulananya yang berpangkat aria untuk membuat perkampungan pertahanan di Tangerang. Sekitar tahun 1652, benteng pertahanan kasultanan Banten didirikan oleh tiga maulana (Yudhanegara, Wangsak:ara dan Santika) yang mendirikan pusat pemerintahan kemaulanaan sekaligus menjadi pusat perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Yang mana sebutan Tigaraksa ini diambil dari sebutan kehormatan bagi ketiga maulana sebagai tiga pimpinan yang artinya adalah tiangtiga. Mereka mendapat mandat
34
35
dari Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1680) melawan VOC yang mencoba menerapkan monopoli dagang yang merugikan Kesultanan Banten. Pemerintahan ketiga maulana ini, pada akhimya dapat ditumbangkan dan seluruh wilayah pemerintahannya dikuasai Belanda, berdasar catatan sejarah terjadi tahun 1684. Sebutan Tangeran terdokumentasi pada tugu prasasti yang didirikan oleh Pangeran Soegri, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten dibagian barat Sungai Cisadane yang kini masuk dalam wilayah administratif Kota Tangerang. Desakan pasukan Belanda semakin menjadi-jadi di Banten sehingga memaksa dibuatnya perjanjian antara Sultan Haji dengan VOC pada tanggal 17 April 1684 yang menyatakan daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Belanda. Perubahan sebutan Tangeran menjadi Tangerang pun terjadi pada masa ini. Sebagai wujud kekuasaannya, Belanda membentuk pemerintahan kabupaten yang lepas dari Banten dibawah pimpinan seorang bupati. Para bupati yang sempat memimpin Kabupaten Tangerang periode tahun 1682 - 1809 adalah Kyai Aria Soetadilaga I-VII. Setelah keturunan Aria Soetadilaga dinilai tak mampu lagi memerintah kabupaten Tangerang dengan baik, akhimya penjajah Belanda menghapus pemerintahan di daerah ini dan memindahkan pusat pemerintahan ke Jakarta. Lalu, dibuat kebijakan sebagian tanah di daerah itu dijual kepada orang-orang kaya di Jakarta, banyak diantaranya adalah orang-orang Cina sehingga lahir masa tuan tanah di Tangerang. Sebutan Tangerang menjadi resmi pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Pada 8 Maret 1942, Pemerintahan Belanda berakhir untuk kemudian digantikan Pemerintahan penjajah Jepang. Namun serangan sekutu yang mendesak Jepang diberbagai tempat membuat pemerintahan militer Jepang mulai memikirkan pengerahan pemuda-pemuda Indonesia guna membantu usaha pertahanan mereka sejak kekalahan armadanya di dekat Mid-way dan Kepulauan Solomon. Kemudian pada tanggal 29 April 1943 dibentuklah beberapa organisasi militer, diantaranya yang terpenting ialah Keibodan atau barisan bantu polisi dan Seinendan yakni barisan pemuda. Disusul pemindahan kedudukan Pemerintahan Jakarta Ken Yaskusyo ke Tangerang yang dipimpin oleh Kentyo M Atik Soeardi
36
dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken atas perintah Gubemur Djawa Madoera seperti termuat dalam Po No. 34/2604. Sehingga Panitia Hari Jadi Kabupaten Tangerang
kemudian
menetapkan
tanggal
tersebut
sebagai
hari
lahir
pemerintahan Tangerang yaitu pada tanggal 27 Desember 1943. Adapun Tangerang pada waktu itu masih berstatus Gun atau kewedanan berstatus ken (kabupaten). Pada masa awal kemerdekaan telah terjadi beberapa peristiwa besar yang melibatkan tentara dan rakyat Kabupaten Tangerang dengan pasukan Jepang dan Belanda, yaitu Pertempuran Lengkong dan Pertempuran Serpong yang merenggut banyak korban jiwa. Uniknya di Tangerang selain suku bangsa sunda, betawi, dan jawa, dapat ditemui komunitas tionghoa dalam jumlah besar. Ada yang datang ke Tangerang sebelum pendudukan Belanda, akan tetapi ada pula yang memang sengaja didatangkan Belanda sebagai buruh. Mereka mempunyai peran cukup penting dalam perjalanan Tangerang. Terbukti pusat kota lama Tangerang berada pada daerah pecinan. Disana selain dapat ditemui pusat perdagangan juga ada vihara, tempat ibadah umat Kong Hu Chu, serta rumah kawin etnis tionghoa. Awalnya etnis Cina di Tangerang bekerja sebagai pembuat arak, yang sangat disukai awak kapal Belanda. Namun pada dasamya mereka berbudaya agraris. Suku Sunda yang tinggal di Tangerang bagian selatan dan tengah, menurut sejarah Banten, ditengarai merupakan orang Priangan yang bergabung dengan pasukan Mataram untuk menyerbu Batavia. Sementara suku Jawa yang mendiami sebelah timur pantai utara Tangerang, diduga berasal dari sisa pasukan Mataram. Lain halnya dengan orang Betawi yang banyak berada di bagian timur yang berbatasan dengan Jakarta, pindah ke Tangeran karena bencana banjir yang selalu melanda Batavia. Hingga dekade 1980-an Tangerang masih dikenal sebagai Kota Kerajinan. Namun seiring pesatnya laju pembangunan terutama di sektor industri manufaktur yang ditandai dengan munculnya kawasan industri serta pergudangan mulai membuat kegiatan kerajinan ditinggalkan oleh penduduk setempat. Ditambah lagi pesatnya laju urbanisasi membuat alih fungsi lahan dari semula
37
kawasan pertanian dan perladangan menjadi lahan terbangun membuat makin sulit untuk mendapatkan bahan baku berupa bambu, kayu dan rotan. Ditambah lagi hasil kerajinan ini umumnya merupakan produk yang memiliki guna pakai pada kebudayaan pertanian. Oleh karena itu seiring dengan menyusutnya lahan pertanian membuat barang kerajinan, yang umumnya diproduksi oleh etnis Cina Benteng, ini tidak lagi dijumpai.
3.2. Kondisi Geografis dan Topografis Tangerang Berada pada 6° 6' sampai 6° 20' Lintang Selatan dan 106° 20' sampai 106° 43' Bujur Timur, Kabupaten Tangerang resmi berdiri tanggal27 Desember 1943 yang pada mulanya memiliki luas 1.294,16 km2, terletak di bagian utara pulau Jawa, bagian timur provinsi Banten. Posisinya sangat strategis karena dilalui jalur utama perdagangan Jawa-Sumatera sejak lampau hingga kini. Tahun 1993 terjadi pemekaran dengan berdirinya Kotamadya Tangerang berdasarkan UU No. 2 tahun 1993 dengan luas wilayah 183.78 ha yang kini meliputi tiga belas kecamatan dan 104 kelurahan, termasuk didalarnnya adalah Bandar Udara Internasional
Soekarno-Hatta dengan
luas
19 .69km2 .
Sementara
secara
administratif Kabupaten Tangerang saat ini terdiri atas 36 kecamatan dan 316 desa. Batas Wilayah Tangerang adalah: a. Sebelah Utara dengan Laut Jawa; b. Sebelah Timur dengan DKI Jakarta; c. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten Lebak; d. Sebelah Barat dengan Kabupaten Serang. Kondisi topografi Tangerang relatif datar dengan kemiringan tanah ratarata 0-3%, sementara sebagian kecilnya disebelah selatan bisa mencapai 3-8%, dengan ketinggian 0-85 m diatas permukaan laut. Curah hujan rata-rata satu tahun berkisar 2.494,6 mm per bulan selama 210 hari, serta suhu udara pada 2008 sekitar 23.6°C -32.3°C. Kabupaten Tangerang dibagi dalam tiga wilayah pusat pertumbuhan, yakni Serpong, Balaraja dan Tigaraksa, serta Teluknaga. Dimana Serpong
38
diperuntukkan sebagai pusat pertumbuhan permukiman; Balaraja dan Tigaraksa sebagai kawasan industri, permukiman, dan pusat pemerintahan; sementara Teluknaga diarahkan untuk pengembangan sektor pariwisata bahari dan alam, industri maritim, pelabuhan laut, perikanan dan pertambakan. Kini sebagian wilayah ini dapat dikategorikan sebagai area peri urban menuju kekotaan, terutama di Kabupaten Tangerang. Sementara pada Kota Tangerang hampir seluruhnya sudah menunjukkan fisik kekotaan.
3.3. Demografi Tangerang Dari segi demografi, pertumbuhan penduduk Tangerang tidak semata dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk alami, namun juga menanggung beban yang hampir sama dengan DKI Jakarta dalam masalah migrasi. Hal ini tidak terlepas dari posisi Tangerang sebagai area yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta. Pada tahun 1961 jumlah penduduk Tangerang tercatat sebanyak 850.390 JlWa, sementara pada 1971 berjumlah 1.066.695 jiwa sehingga pertumbuhan penduduknya sebesar 5,18 persen per tahun. Adapun tahun 1980 tercatat 1.529.024 jiwa. Periode 1980 hingga 1990 merupakan periode dengan pertumbuhan penduduk paling tinggi, yakni 6,10% per tahunnya. Untuk tahun 1990 hingga 2000 Tangerang mengalami pertumbuhan penduduk yang relatif lebih kecil namun masih pada kisaran yang cukup tinggi, yakni 4.03% dengan jumlah semula 2.765.603 jiwa menjadi 4.107.282 jiwa. Mulai tahun 2000 hingga 2008 daerah ini mencatat tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 2. 76% saja atau terendah sejak lebih dari empat dasawarsa terakhir. Dari jumlah penduduk diatas sejak 1961 hingga 2008 proporsi penduduk Kabupaten Tangerang mencatat kisaran angka 70%, sementara sisanya yang sebesar 30% berada di Kota Tangerang. Lain halnya dari segi kepadatan penduduk dimana Kota Tangerang lebih tinggi hampir tiga kali lipat dari Kabupaten Tangerang. Yakni tercatat sebanyak 8.192,04 jiwa per km2 , sedangkan Kabupaten Tangerang sebanyak 3.079,99 jiwa per km 2 • Pada rata-rata populasi per rumah tangga Kota Tangerang mencatat 3,96 jiwa, dan Kabupaten Tangerang sebesar 4,11 jiwa. Yang berarti terdapat lebih
39
banyak Kepala Keluarga dengan ukuran Keluarga Kecil di Kota Tangerang dibandingkan dengan Kabupaten Tangerang yang jumlah jiwa dalam keluarganya relatif lebih besar.
3.4. Struktur Ekonomi Tangerang Sebagai wilayah dengan pendapatan daerah tertinggi di Propinsi Banten, Tangerang menarik banyak pendatang untuk turut mencicipi kue pembangunan terutama dari sektor industri sebagai penyumbang pendapatan terbesar.
100% 90%
80%
DI<EU . R.EIH ESTAT, &JA.SA
70% 60%
• PENGA NG I
PEft USA 1111.1. N
• PER.DAG ., tt>TEL.& RESTO RAN
50% 40% 30% 20%
10%
c
LSTRIKGAS&AIR B ERSIH
c
INDUSTRI PENGO LAllA N
• PEI\TAII BANGAN & PI:NGGALU!.N
0%
#
rf'
I"
ryrSl'
#
ry~
I' I'
Gambar 3.1. Struktur PDRB Tangerang Tahun 2000-2007 (Persen) Sumber: BPS (2009), telah diolah kembali
Dari gambar 3.1 dapat dilihat bahwa lndustri Pengolahan menempati peringkat teratas sebagai penyumbang terbesar pada pendapatan daerah yakni berkisar pada angka diatas lima puluh persen, disusul perdagangan, hotel, dan restoran sekitar dua puluh persen, kemudian pengangkutan dan komunikasi di urutan ketiga dengan kisaran sepuluh persen. Atau dapat dikatakan bahwa sektor manufaktur dan jasa adalah andalan bagi laju pertumbuhan ekonomi Tangerang. Terlihat pula bahwa dari tahun ke tahun besaran sektor jasa semakin meningkat dibandingkan manufaktur yang cenderung konstan persentasenya. Dominasi kedua sektor ini juga tercermin dari proporsi angkatan kerja yang dipekerjakan pada sektor manufaktur dan jasa yakni sebesar 41,66 persen pada tahun 1995
40
(Profil Penataan Ruang Propinsi Banten: 2003). Lain halnya dengan sektor pertambangan yang menempati peringkat terendah dalam porsinya sebagai penyumbang pendapatan daerah. Tangerang memang tidak beruntung dalam kepemilikan sumber daya alam tak terbarukan. Pemasukan dari sektor pertambangan hanyalah berupa penambangan pasir diwilayah Kabupaten Tangerang. Sementara di Kota Tangerang, yang hampir seluruh wilayahnya telah menunjukkan ciri fisik kekotaan, tidak terdapat pertambangan.
3.5. Proporsi Sektor lndustri dan Jasa terhadap PDRB Tangerang Apabila dilihat dari tahun 1986 hingga 2007 sektor manufaktur dan jasa di Tangerang menunjukkan tren yang meningkat sejalan dengan peningkatan total PDRB. Hal ini mengingat kedua sektor inilah penyumbang PDRB terbesar di Tangerang seperti telah disinggung sebelumnya.
~....---,.,.----..,----..,..-=-=---..,.._,.,,.....,....------------:,..,-----,
50,000,000 45,000,000 40 ,000,000 35,000,000 30 ,000,000 25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000,000
0 ~ 41_~.-f!l~ Ql~&~~,h~~~-'b& ~~&..e.~..tl&6\
~~~~~~~~~~~~~~~
1-Manufaktur -
Jasa --...-Total PDR 8
I
Gambar 3.2. Proporsi Sektor Manufaktur dan Jasa terhadap PDRB Tangerang Tahun 1986-2007 (Juta Rupiah) Sumber: BPS (2009), telah diolah kembali
Besaran penerimaan sektor industri pada tahun 2006 sebesar Rp. 33.243.971.139.568 dan tahun 2007 sejumlah Rp. 35.784.923.862.962,30 sebagian besar atau 58 persennya diperoleh dari Kota Tangerang. Ini mungkin akibat industri di Kota Tangerang yang memang telah lebih dahulu berdiri, karena berbatasan langsung dengan D KI Jakarta, sehingga sudah berada pada
41
kondisi yang mapan. Menarik untuk dicermati bahwa kawasan industri di Tangerang yang mulai tumbuh di awal dekade 1970-an pada mulanya tumbuh memita sepanjang jalur utama yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera, yang dahulu dikenal sebagai Jalan Raya Pos yang dibangun oleh Gubemur Jenderal Daendels, serta tumbuh pula di Jalan Raya Serpong. Adapun pada sektor jasa yang merupakan gabungan dari sektor perdagangan, pengangkutan, dan real estat pada tahun 2006 membukukan sebesar Rp. 21.673.016.387.800,10 dan Rp. 25.050.840.893.459,30 pada tahun 2007. Sebagian besar juga disumbang oleh Kota Tangerang dengan kisaran 65 persen. Padahal jika dilihat dari luas wilayahnya, Kota Tangerang hanyalah enam belas persen dari luas Kabupaten Tangerang, namun mampu mencapai pendapatan lebih tinggi. Hal ini ditengarai akibat adanya Bandara Soekarno-Hatta, yang tidak saja sebagai penyetor pendapatan asli daerah (PAD) terbesar di Kota Tangerang, namun turut pula mendorong pertumbuhan wilayah sekitamya.
j-"'J{ V }'
" -
..,_, --,.__
J A J11 A
.
Gambar 3.3. Kota dan Kabupaten Tangerang Sumber : Bappeda Provinsi Banten
Zonasi industri di kecamatan Batuceper juga Jatiuwung di Kota Tangerang yang kemudian meluas ke Kecamatan Pasar Kemis dengan Pasar Kemis Industrial Parknya seluas 80 hektar di Kabupaten Tangerang,
42
menunjukkan telah terjadi aglomerasi industri pada daerah tersebut. Ditambah dengan berkembangnya kompleks hunian bagi kelas menengah, termasuk rumahrumah sewa yang terdapat diseputar kawasan industri dan meluas hingga memasuki kawasan Kabupaten Tangerang sesuai dengan Galster (2002) mengenai kepadatan, konsentrasi, kontinuitas, desentralitas, polynuclear, dan proksimitas. Selain itu juga membuktikan konsep people follows job dimana para buruh dari industri tersebut cenderung memilih untuk bermukim disekitar tempat kerjanya. Hal ini selaras dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang dimana Kecamatan Balaraja, Cikupa, dan Pasar Kemis diperuntukkan sebagai kawasan penunjang industri, penyedia sumber daya manusia, serta permukiman pekerja. Tak heran banyak pekerja yang memilih untuk bekerja di Tangerang, karena Upah Minimum Regional Kabupaten/Kota Tangerang merupakan yang tertinggi diantara lima kabupaten/kota yang diteliti, atau tertinggi kedua di Provinsi Banten setelah Kota Cilegon, seperti terlihat pada tabel 3.1 .
Tabel 3.1. Besaran Upah Minimum Regional (Rupiah)
Kabupaten Bogor Kabupaten Lebak Kabupaten Serang Kabupaten Tangerang Kota Tangerang
800,800 786,000 819,000 882,500 882,500
873,231 842,000 927,500 953,850 958,782
Sumber: BPS, 2009
Kondisi ini membuktikan aglomerasi industri juga telah menyeleksi tenaga kerja yang masuk dalam pasar tenaga kerja di Tangerang termasuk tenaga yang spesifik diperlukan dalam industri ini seperti garmen, maupun industri kimia yang lazim ditemukan di Tangerang.
43
3.6.
Perkembangan Kekotaan Tangerang dan Sekitarnya
Perkembangan kekotaan umumnya mengkonsumsi lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi area terbangun seperti permukiman dan industri serta jasa. Di Tangerang, luas lahan sawah sejak 1993 hingga 2006 menunjukkan trend yang menurun. Semula seluas 49.815 hektar menjadi 41.903 hektar untuk sawah. Di sisi lain luas lahan untuk bangunan menunjukkan kecenderungan peningkatan dari 36.479 hektar menjadi 47.114 hektar. Pada gambar 3.4. terlihat bahwa pada hampir semua daerah yang diteliti terjadi kecenderungan penurunan luas lahan pertanian, terkecuali Kabupaten Lebak yang menunjukkan tren yang sedikit meningkat. Kecenderungan penurunan luas lahan pertanian ini dapat berarti bahwa titik berat pendapatan daerah mengalami pergeseran dari sektor pertanian menjadi sektor non pertanian. Sementara untuk Lebak memang masih menitikberatkan pembangunannya pada sektor pertanian.
70,000
60,000 50,000 •1983
40,000
•1993 02002
30,000
02007
20,000 10,000 0 BOGOR
TANGERANG
SERANG
LEBAK
Keterangan: Untuk Bogor sudah terrnasuk dengan Kota Depok
Gambar 3.4. Perkembangan Luas Laban Sawah Tahun 1983 -2006 (Hektar) Sumber: Survey Pertanian BPS (2009), telah diolah kembali
Perubahan struktur ekonomi yang mengakibatkan pergeseran sektor pertanian ke sektor industri, juga sangat terasa pada Tangerang, Bogor dan
44
Serang. Dominasi sektor industri manufaktur dan jasa ini menyatakan bahwa daerah ini sudah menunjukkan perkembangan fisik kekotaan yang kuat. 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.000" 20.00% 10.00% 0.00% Tangerang
Bogor
Serang
lebak
• 1986 • 1989 • 1992 • 1995 •1998 • 2001 • 2004 • 2007
Gambar 3.5. Persentase Sektor Manufaktur dan Jasa terhadap Total PDRB Sumber: BPS (2009), telah diolah kembali
Dalam gambar 3.5. terlihat bahwa proporsi sektor manufaktur dan jasa selama 22 tahun observasi memang mendominasi pendapatan daerah Tangerang dan Bogor yang sangat signifikan dengan trend yang terns meningkat. Selama 15 tahun terakhir kedua sektor ini menyumbang lebih dari delapan puluh persen dari keseluruhan pendapatan domestik Tangerang, sementara Bogor baru mulai tahun 1997 menembus porsi delapan puluh persen. Tingginya proporsi sektor manufaktur dan jasa pada Kabupaten Serang perlu diinterpretasikan secara hatihati. Hal ini mungkin disebabkan dari output sektor industri yang dipelopori industri baja Krakatau Steel di Cilegon. Karena industri ini tidaklah mempunyai keterkaitan yang tinggi dengan ekonomi lokal, bisa jadi hal ini tidak merefleksikan ekonomi Serang secara nyata. Faktanya kabupaten Serang masih didominasi sektor pertanian terutama dalam pendekatan struktur tenaga kerja (Firman, 1996). Data BPS tahun 1995 mengenai struktur penduduk menurut mata pencaharian menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Kabupaten Serang bergelut di sektor pertanian, yakni sebanyak 47,82% dan hanya 6,76% yang bermata pencaharian di sektor industri sementara jasa mencatat 19,34% (Profil Penataan Ruang Propinsi Banten: 2003). Mulai tahun 1998 terbukti menunjukkan
45
penurunan yang cukup berarti akibat pemekaran wilayah Kota Cilegon. Menyadari potensi wilayahnya, Kabupaten Serang berupaya untuk membangun perekonomian dengan kembali menggalakkan investasi di bidang industri manufaktur, terutama pada sisi timurnya dimana menurut Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Serang
2009-2029
menyatakan
bahwa
Sentra
Kawasan
Pengembangan Serang Timur ditekankan pada pengembangan industri, agroindustri dan industri kecil/kerajinan rakyat. Terakhir adalah Kabupaten Lebak yang proporsi sektor manufaktur dan jasa terhadap total pendapatan daerahnya hanya berkisar 30% hingga 43%, mengingat daerah ini masih menekankan pada sektor pertanian sebagai komponen utamanya. Memang hasil pengamatan menunjukkan daerah ini belumlah menunjukkan perkembangan fisik kekotaan yang maju.
40,000,000
35,000,000 30,000,000 25,000,000
20.000,000 15.000,000 10,000,000 5,000,000
I-+- Tangerang
-a- Serang __...,_ Lebak -
Bogar!
Gambar 3.6. Perkembangan Sektor Manufaktur dan Jasa Tangerang dan Sekitarnya 1986-2007 Guta rupiah) Sumber : BPS (2009), telah diolah kembali
Pada nilai nominalnya, terlihat pada gambar 3.6., perekonomian sektor manufaktur dan jasa Tangerang terus tumbuh melebihi daerah sekitamya yakni Bogor, Serang dan Lebak yang besarannya masih berada dibawah Tangerang. Pesatnya pertumbuhan ini jelas terlihat, dimana pada tahun 1986 hanya membukukan sebesar 11.495.584 juta rupiah meningkat menjadi 37.655.647 juta
46
rupiah pada 2007. Berarti dalam jangka waktu tersebut sektor manufaktur dan jasa di Tangerang rata-rata tumbuh sebesar 6,27% per tahunnya. Sedangkan pendapatan per kapitanya pada kurun waktu yang sama tumbuh pada kisaran 2,33% per tahun.
BAB4 METODE PENELITIAN
4.1. Data dan Somber Data
Dasar analisis dalam penulisan ini adalah menggunakan data sekunder yang berupa data panel yakni merupakan gabungan dari data kerat lintang dan runtun waktu 22 periode dengan area meliputi Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, serta tiga kabupaten lainnya yang berbatasan langsung dengan wilayah ini. Untuk penelitian ini digunakan data sebagai berikut: a. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Lapangan Usaha sembilan sektor publikasi BPS antara tahun 1986-2007 untuk Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, serta daerah yang berbatasan langsung yakni Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Bogor. Kota Depok digabungkan dengan Kabupaten Bogor dengan asumsi terdapat kesamaan karakteristik dengan daerah induknya. Sementara DKI Jakarta tidak dimasukkan, dengan asumsi tidak terdapat sebaran menuju daerah tersebut dari Tangerang. Untuk produk sektor manufaktur digunakan data PDRB sektor 3, sementara untuk sektor jasa digunakan data PDRB sektor 6, 7 dan 8. b. Data Survei Pertanian Luas Lahan Menurut Penggunaannya publikasi Badan Pusat Statistik mulai tahun 1986-2007. Melalui data ini dapat dilihat data tutupan lahan persawahan pada masing-masing wilayah sebagai proxy terjadinya urban sprawl.
4.2. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan model ekonometri, yang didasari dari model awal berupa model matematis.
4.2.1. Model Matematis
Dalam model matematis digunakan persamaan yang diambil dari fungsi
47
48
Produksi, yakni:
q = f(K,L)
(4.1)
Dimana q merupakan banyaknya output suatu perusahaan, K dan L merupakan banyaknya modal dan tenaga kerja yang digunakan secara bersamasama untuk memproduksi output terse but.
Lf = f(Qf, Qc) Dimana:
(4.2)
Lf = lahan yang dibutuhkan untuk aktivitas ekonomi di sekitar kota
(fringe area) Qf= output diwilayah sekitar kota (fringe area) Qc =output di sebuah kota (city area)
Kemudian dibandingkan antara persamaan (3.1) dan (3.2) mana yang lebih kuat
pada setiap variabel antara lahan pertanian dengan bukan lahan
pertanian. Apabila ditemukan bahwa pada area pertanian lebih tinggi nilainya maka lahan tersebut resisten terhadap urban sprawl. Namun apabila nilainya lebih rendah maka mudah terjadi alih fungsi lahan untuk kemudian menjadi lahan bukan pertanian. Hal ini sebetulnya telah diramalkan olah beberapa pakar ekonomi lahan seperti Von Thunen (1926) serta pada penelitian Brueckner dan Fansler (1983) mengenai terjadinya pola tata guna lahan mulai yang sederhana hingga yang kompleks, dimana apabila harga sewa lahan pertanian tinggi maka akan lebih sulit untuk beralih fungsi, demikian sebaliknya. Menurut Pierce serta Alig dan Healey pada Firman (1996) ada tujuh faktor yang mempengaruhi konversi lahan, yakni perubahan populasi, dominasi fungsi ekonomi, ukuran kota, rata-rata nilai lahan permukiman, tingkat kepadatan populasi, keadaan geografis, serta potensi pertanian dari lahan tersebut. Studi diatas menyatakan bahwa kondisi geografis turut menentukan seberapa cepat konversi lahan yang terjadi pada suatu region. Daerah yang kondisi topografisnya relatif datar diyakini akan lebih cepat untuk mengalami perubahan fungsi lahan apabila dibandingkan dengan area dengan kontur lahan berbukit-bukit. Lebih
49
lanjut dapat dikatakan bahwa daerah yang tingkat kesiapan serta keterbukaannya dari segi ekonomi, politik, sosial, maupun budaya sudah baik maka akan makin cepat pula dalam memperoleh dampak urban sprawl apabila dibandingkan dengan daerah lain yang kurang siap. Hal ini tentunya mengakibatkan perbedaan kecenderungan perambatan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Misalnya suatu region lebih memiliki kecenderungan untuk peralihan fungsi menuju bentuk permukiman, sementara yang lain lebih condong untuk beralih menjadi daerah industri. Kemudian digunakan indikator Land Resource Impact dari Hasse and Lathrop pada Harmadi (2008) dengan menggunakan indikator konversi lahan persawahan. Kemudian faktor-faktor utama yang digunakan untuk melihat kecenderungan urban sprawl Tangerang, seperti dikemukakan pada teori bid rent, berupa aktivitas sektor jasa, manufaktur, serta PDRB per kapita sebagai proksi pendapatan masyarakat Tangerang. Sehingga konversi lahan persawahan Serang, Lebak, dan Bogor adalah sebagai berikut: LP;,, = f(M/ ,J/ ,PDBkap/)
(4.3)
Agar dapat melihat sisi lain dari proses konversi lahan persawahan di daerah-daerah sekitar Tangerang maka disertakan variabel-variabel dari daerah Serang, Lebak, serta Depok. Alasannya proses konversi lahan di daerah sekitar Tangerang tersebut bisa saja bukan berasal dari efek urban sprawl Tangerang, akan tetapi merupakan akibat dari perkembangan perekonomian dari daerah masing-masing. Variabel boneka digunakan pada tahun 1998-2000 sebagai akomodasi variasi data pada krisis ekonomi. Untuk itu persamaan (4.3) diperluas menjadi:
(4.4)
50
4.2.2. Model Ekonometri Model Ekonometri diguna.kan sebagai penjabaran atas persamaan matematis awal tadi dengan mengasumsikan bahwa fungsi pada persamaan (4.4) berbentuk linier, ya.kni berupa:
LP;,,
= f3o, +/31M/+ fhJ / + j3JPDBkap ( + /34KRISIS, +/35M;,, + {36J;,, + /31PDBkap ;,, + e (4.5)
Tabel 4.1. Variabel, Satuan, dan Asumsi Persamaan Ekonometri VARIABEL
DEFINISI
SATUAN
LP;,,
Laban persawahan yang terdapat di daerah i di sekitar hektar Tangerang pada tahun t
MiI
Produk sektor manufaktur Tangerang pada tahun t
juta rupiah
JlI
Produk sektor jasa Tangerang pada tahun t
juta rupiah
Pendapatan per kapita penduduk Tangerang tahun t
rupiah per kapita
PDBkap/ KRISIS,
Periode krisis moneter Indonesia
ASUMSI
aLP , < 0 aM I
aLP,< o aJ' aLP. <0 aPDBkap'
aLP, >0
oKRISIS
dimana I = periode krisis 0 = selain periode krisis
M;,,
Produk sektor manufaktur daerah i pada tahun t
juta rupiah
aLP.< 0 aM,
J,,,
Produk sektor jasa daerah i pada tahun t
~uta
aLP. < 0
PDRB per kapita penduduk daerah i di tahun t
rupiah per kapita
PDBkaJJ,, &
Error term
Po pi
Konstanta
rupiah
aJ,
aLP. <0 aPDBkaR
Koefisien Regresi
Luas lahan persawahan diambil dari Survey Pertanian Luas Lahan Menurut Penggunaannya yang berasal dari Badan Pusat Statistik berupa lahan persawahan baik berupa irigasi teknis, setengah teknis, maupun non irigasi. Idealnya penelitian ini mengguna.kan variabel luas lahan terbangun. Akan tetapi data ini tidak tersedia sehingga digunakanlah logika terbalik yakni pengurangan luas lahan sawah sebagai proksi penggunaan lahan. Untuk pendapatan daerah
51
digunakan data Pendapatan Domestik Regional Bruto Kabupaten Kota menurut lapangan usaba yang terdiri atas sembilan sektor dimana digunakan sektor tiga untuk menggambarkan sektor manufaktur, serta sektor 6, 7, dan 8 sebagai proksi pendapatan sektor jasa. Sedangkan data pendapatan penduduk didekati melalui PDRB per kapita masing-masing kabupaten kota. Sementara itu diasumsikan bagi sebagian besar variabel independen berpengaruh negatif terhadap luas laban persawaban. Yakni apabila teijadi peningkatan aktivitas sektor manufaktur, dan jasa Tangerang yang membutuhkan laban yang lebih luas akan mengakibatkan luas laban persawaban di daerab sekitarnya menjadi berkurang akibat konversi. Asumsi yang sama berlaku pula apabila teijadi kenaikan pendapatan per kapita penduduk Tangerang. Dimana peningkatan pendapatan mendorong mereka untuk mencari laban yang lebih luas diluar Tangerang untuk dijadikan sebagai hunian. Demikian pula pada sektor manufaktur, jasa, dan pendapatan per kapita daerab sekitar Tangerang yang diasumsikan memiliki pengaruh terhadap penurunan luas laban persawaban di wilayah masing-masing. Pengecualian terdapat pada variabel krisis. Dimana saat aktivitas ekonomi sektor manufaktur dan jasa menurun diasumsikan masyarakat kembali mengembangkan sektor pertanian sehingga teijadi peningkatan aktivitas pertanian yang mendorong pada pembukaan laban persawaban baru.
4.3. Analisis Dengan Regresi Data Panel Untuk mengetabui pengaruh urban sprawl dari Tangerang terhadap daerab sekitarnya digunakan variabel independen berupa besaran output sektor manufaktur, jasa, serta PDRB per kapita untuk daerab Tangerang dan sekitarnya dengan 22 periode observasi terhadap variabel dependen yakni luas laban persawaban daerab Serang, Lebak dan Bogor, dengan menggunakan analisis regresi data panel. Menurut Baltagi (2005) terminologi "data panel" merujuk pada penggabungan observasi antara kerat lintang yang terdiri dari banyak individu selama sejumlab periode waktu, sehingga menghasilkan data yang lebih bervariasi. Apabila setiap individu memiliki periode time series yang sama banyaknya maka data panel ini disebut sebagai data panel yang seimbang (balanced panel) (Gujarati, 2004).
52
Adapun Hsiao dan Klevmarken dalam Baltagi (2005) menyatakan beberapa kelebihan dalam menggunakan data panel, seperti berikut: a. Mencerminkan heterogenitas individual dari data yang digunakan. Data panel menyarankan individu yang heterogen, sementara data time-series dan cross section yang tidak mengontrol heterogenitas berisiko mendapatkan hasil yang bias. b. Panel data menyajikan data yang lebih informatif, lebih banyak variabilitas, lebih sedikit kolinearitas diantara variabel-variabelnya, lebih besar derajat kebebasannya, dan lebih efisien. c. Data panel lebih baik dalam mempelajari dinamika penyesuaian. Sementara data kerat lintang yang terlihat stabil bisa saja mengandung perubahan dalam jumlah besar. d. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi melalui data runtun waktu maupun kerat lintang murni. e. Model data panel membuat kita dapat pembangun dan menguji model perilaku yang lebih rumit daripada data time series dan cross section murni. f.
Data panel mikro yang dikumpulkan informasi pada individu, perusahaan, maupun rumah tangga dapat diukur secara lebih akurat daripada variabel serupa yang diukur dalam level makro. Bias yang dihasilkan dari agregasi antar perusahaan atau individu dapat dikurangi, bahkan dihilangkan.
g. Kebalikannya dalam data makro memiliki periode waktu yang lebih panjang dan tidak seperti masalah distribusi non standar seperti pada tes unit root dalam analisis time series, pada test unit root untuk data panel memiliki standar distribusi yang asimptot.
Disamping
mempunya1
keunggulan,
data
panel
JUga
memiliki
kekurangan, sebagai berikut: a. Kesulitan dalam pengumpulan data. b. Distorsi dalam pengukuran eror. c. Masalah selektifitas, bisa berupa kekurangan data, respon yang kurang tepat dari responden, erosi data.
53
d. Data yang runtun waktunya sedikit akan lebih banyak mengandalkan pada kerat lintangnya. e. Sedangkan data panel dengan jangka waktu panjang yang tidak disertai dependensi kerat lintang dapat menghasilkan kesimpulan yang kurang tepat.
4.4. Pemodelan Data Panel Ditinjau dari berbagai asumsi dan faktor pembentuknya, dalam melakukan regresi data panel dikenal tiga macam model, yakni:
4.4.1. Pendekatan Kuadrat Terkecil (Ordinary Least Square); Menurut Nachrowi (2006), teknik ini tidak berbeda dengan membuat regresi data time series maupun cross section, namun sebelum dibuat regresi haruslah digabungkan terlebih dahulu data tersebut menjadi pool data. Selanjutnya data gabungan ini diperlakukan sebagai satu kesatuan pengamatan yang digunakan untuk mengestirnasi model dengan metode OLS. Di
dalam
model ini, gangguan (error terms) selalu diasumsikan bersifat homoskedastik dan tidak berkorelasi secara serial. Implikasinya, penggunaan metode OLS akan menghasilkan penduga yang bersifat Best Linier Unbiased Estimator (BLUE). Akan tetapi asumsi
tersebut tidak sepenuhnya dapat diterapkan
kepada metode data panel yang disusun atas beberapa individu dan waktu.
4.4.2. Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect); Berbeda dengan data time series maupun cross section, struktur error dalam panel data terdiri atas dua komponen, yakni individual effect, yang konstan seiring waktu namun bervariasi antar individu, dan idiosyncratic error. Individual effect merupakan karakteristik yang tidak dapat diobservasi
dari setiap individu yang mempengaruhi hasil regresi. Individual efek ini lazim juga disebut sebagai unobserved component atau unobserved heterogeneity. Asumsi yang timbul ada dua macam, yaknifixed effect dan random effect. Fixed effect muncul apabila individual effect berkorelasi dengan karakteristik yang
diobservasi. Jadi perbedaan karakter individu dan waktu diakomodasikan lewat intercept. Sehingga interceptnya berubah antar individu dan antar waktu.
54
Kelebihan Metode Fixed Effect seperti dijelaskan Nachrowi (2006) adalah dapat membedakan efek individual dan efek waktu, dan tidak perlu mengasumsikan bahwa komponen error tidak berkorelasi dengan variabel bebas yang mungkin sulit untuk dipenuhi. Model yang umum digunakan dalamfixed effect adalah: (4.6)
Dimana nilai
a berbeda untuk
setiap individu, sementara
~
sama bagi
semua individu.
4.4.3. Pendekatan Efek Acak (Random Effect); Pada metode Efek Acak individual effect tidak berkorelasi dengan karakteristik yang diobservasi. Perbedaan antar individu dan waktu dalam metode
random effect diakomodasi lewat error dari model. Karena komponen yang berkontribusi pada pembentukan error ada dua, yakni individu dan waktu, maka
random errornya juga perlu diuraikan menjadi error untuk komponen individu, error komponen waktu, serta error gabungan. Teknik ini juga memperhitungkan bahwa error mungkin berkorelasi sepanjang time series dan cross section. Model Random Effect umumnya dituliskan sebagai berikut:
(4.7) Dimana
Ui
adalah residual secara individu dan
Eit
adalah residual secara
menyeluruh. Untuk menentukan metode mana yang lebih sesuai antara Fixed Effect dengan Random Effect digunakan Hausman Test.
4.4.4. Pendekatan Model Least Square Dummy Variabel (LSDV); Selain ketiga model diatas dikenal pula model Least Squares Dummy
Variabel (LSDV). Yakni suatu regresi OLS biasa dimana heterogenitas individu atau waktu ditangkap melalui variabel dummy. Karena suatu analisis regresi bisa saja dipengaruhi oleh variabel yang sifatnya kuantitatif, dan juga yang bersifat kualitatif. Misalnya jenis kelamin, agama, atau ras. Oleh karena variabel
55
semacam ini biasanya menunjukkan adanya atau tidak adanya kualitas atau ciriciri seperti laki-laki atau perempuan, hitam atau putih, maka suatu metode untuk membuatnya kuantitatif adalah dengan membuat variabel buatan yang mengambil nilai 1 atau 0. Dimana 0 menunjukkan ciri ketidakhadiran ciri tersebut dan 1 menunjukkan adanya ciri diatas. Hal penting dalam LSDV ini adalah menghindari munculnya multikolinearitas atau diistilahkan jebakan
dummy variabel. Metode ini dapat ditulis sebagai berikut: (4.8)
dimana:
Yit = variabel terikat untuk individu ke-i dan waktu ke-t xit = variabel bebas untuk individu ke-i dan waktu ke-t
wit dan zit merupakan variabel dummy yang definisinya sebagai berikut:
Wu = 1; untuk individu i; i=1, 2, ... , N = 0; lainnya.
Zit = 1; untuk periode t; t= 1, 2, ... , T = 0; lainnya.
4.5. Tahap Pendugaan Menggunakan Data Panel Dari ketiga model data panel diatas akan dilakukan uji untuk menentukan model mana yang paling tepat diterapkan pada data yang digunakan dalam penelitian ini. Tahapannya adalah: a. Mengestimasi persamaan dengan menggunakan panel Pooled Regression dengan metode OLS. b. Mengestimasi persamaan dengan model Efek Tetap (Fixed Effect). c. Menguji ada tidaknya unobserved heterogeneity dengan Chow Test. Jika ada heterogenitas berarti ada pengaruh komponen yang dapat diobservasi terhadap masing-masing individu. d. Mengestimasi persamaan dengan model Efek Acak (Random Effect). e. Menguji
coefficient systematic
menggunakan
Hausman
Test
untuk
membandingkan kesesuaian model antara Efek Acak dengan Efek Tetap.
56
4.6. Pemilihan Model Data Panel Setelah diketahui metode yang akan digunakan antara metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Squares), efek acak (random effect) ataupun efek tetap ifu:ed effect), selanjutnya adalah tahap penentuan model yang sebaiknya digunakan untuk mengestimasi regresi data panel ini. Melihat dari data yang digunakan, N achrowi (2006) mengemukakan pendapat yang didasarkan para ahli ekonometri yakni bahwa apabila data panel yang digunakan memiliki jumlah waktu (T) yang lebih besar daripada jumlah individu (N) maka disarankan untuk menggunakan metode Efek Tetap (Fixed
Effect), sebaliknya jika jumlah waktu (T) pada data panel yang dimiliki lebih kecil daripada jumlah individu (N) disarankan untuk menggunakan Metode Efek Acak (Random Effect). Selain itu juga terdapat metode untuk menentukan pilihan model regresi data panel yang tepat secara formal. Yakni dengan menggunakan pengujian secara ekonometri berupa uji chow dimana dilakukan uji F dalam pemilihan antara model yang menggunakan metode OLS dengan model data panel. Kemudian
dilakukan
uji
Hausman untuk memilih antara model
yang
menggunakan metode fixed effect dengan random effect. Selanjutnya pada model yang terpilih akan dilakukan kembali pengujian secara statistik dengan melihat besaran nilai koefisien determinasi yang telah disesuaikan, uji secara bersamaan, dan uji secara parsial.
4.6.1. Penentuan an tara Pooled Least Squares dengan Panel Data Method Untuk memilih antara model Pooled Least Square dengan Metode Data Panel digunakanlah uji Chow. Uji Chow (chow test) ini mengemukakan hipotesa sebagai berikut: Ho = 6.1 = 6.2 = ... = 6.0
(intersep sama untuk setiap individu = OLS)
H1 = 6.1 -:f. 6.2 -:f. ... -:f. 6.0
(intersep berbeda untuk setiap individu =panel)
Pada dasamya pengujian ini menggunakan rumus uji F seperti dibawah 1m:
(Ru2 -R/)Im Fhitung =
(1 - Ru 2) I (n-k)
(4.8)
57
Dimana: Ru2
=
R2 dari model panel
R/
=
R2 dari model OLS
m
=
jumlah variabel yang direstriksi (OLS)
n
=
jumlah observasi
k
=
jumlah parameter dalam model panel Penentuan hasilnya adalah apabila F hitung lebih besar daripada F tabel
maka Ho tidak dapat diterima, sehingga metode yang digunakan adalah panel.
4.6.2. Penentuan antara Model Fixed Effect dengan Random Effect Untuk memilih mana yang lebih baik antara model dengan metode
random effect dengan fzxed effect maka digunakan uji Hausman. Dimana hipotesis yang dikemukakan adalah: Ho = terdapat gangguan antar individu (random effect) H1
=
tidak terdapat gangguan antar individu (fixed effect)
Untuk mendapatkan basil uji Hausman perlu bandingkanlah antara nilai W (chi-square test) dengan nilai chi-square tabel. Apabila nilai chi-square test lebih besar daripada chi-square tabel, maka tidak ada alasan untuk menolak Ho, yang berarti bahwa tidak terdapat gangguan antar individu. Jadi model yang digunakan adalahfixed effect.
4. 7. Analisis Kesesuaian Model 4.7.1. Pengujian Signifikansi Secara Ekonometri Untuk mengetahui apakah model yang dipilih sudah memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) maka perlu dilaksanakan pengujian agar tidak melanggar asumsi multikolinearitas, homoskedastisitas, dan otokorelasi. Pengujian secara ekonometri diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran asumsi, mengingat pada data panel yang terdiri dari banyak individu dan waktu, menjadikan gangguan yang timbul lebih banyak daripada metode OLS. Yakni berupa gangguan antar individu, gangguan antar waktu, serta gangguan antar individu dan waktu.
58
Untuk mendeteksi pelanggaran asumsi multikolinearitas, sebenarnya perangkat lunak Eviews versi 5.1 sudah menyediakannya. Akan tetapi untuk pengujian heteroskedastisitas dan otokorelasi akan dikeijakan secara manual dengan menggunakan uji Lagrange Multiplier serta uji Durbin Watson.
4. 7.1.1. Pengujian Heteroskedastisitas Dalam pengujian asumsi heteroskedastisitas digunakan uji Langrange Multiplier (LM test) yang berdistribusi Chi-square
(y}
(OF
=
n·I; prob=95 %))
untuk
memilih struktur varian kovarian dari residual yang lebih baik. Penghitungannya menggunakan hipotesis berikut ini:
a? = if- (struktur homokedastis) Hl =a? =f if- (struktur heterokedastis) Ho =
Apabila nilai LM lebih besar daripada nilai
·l (DF
n-1; prob=95 %)
maka Ho
akan ditolak artinya bahwa struktur varians covarian residual
bersifat
=
heterokedastis. Sementara rumus yang digunakan adalah seperti dibawah ini:
LM = ~ Ll "'~lu"i2 t-1 u"2 2
lj2
(4.9)
Dimana: T = jumlah observasi N = jumlah individu a/'2 = varians residual persamaan ke-i pada kondisi homokedastis
a"2 = sum square residual persamaan kondisi homokedastis
4. 7.1.2. Pengujian Asumsi Otokorelasi Dalam pengujian asumsi otokorelasi yang dilakukan berdasarkan uji Durbin-Watson (D-W test) pada dasamya adalah dengan membandingkan nilai DW stat yang tertera pada hasil perhitungan dengan tabel Durbin-Watson. Metode ini merupakan metode yang paling terkenal dalam pengujian otokorelasi (Gujarati: 1978). Aturan dalam membandingkan hasil perhitungan pada DW statistik dengan tabel DW tersaji pada gambar berikut ini:
59
Tidak tahu
Tidak tahu
Korelasi positif
Tidak ada korelasi
0
Korelasi negatif
4-du
du
4
4-
Gambar 4.1. Aturan Membandingkan Uji Durbin-Watson dengan Tabel Durbin-Watson Sumber: Nachrowi (2006)
Pada tabel DW untuk signifikansi 90 dan 95 persen terdapat rnasingrnasing nilai du dan dL. Dimana adalah dL nilai batas bawah, dan du adalah nilai batas atas. Untuk mengetahui ada atau tidaknya otokorelasi maka bandingkanlah nilai DW Statistik dari keluaran pada Eviews 5.1 dengan tabel DW seperti berikut 1m: a. Apabila nilai DW-Stat berada diantara nol dan nilai dL maka dapat terdapat korelasi positif. b. Apabila nilai DW -Stat berada diantara nilai dL dan du berarti tidak dapat diketahui apakah terdapat otokorelasi ataupun tidak. c. Apabila nilai DW-Stat berada antara nilai du dan 4-du berarti tidak ditemukan adanya otokorelasi. d. Apabila nilai DW-Stat berada antara nilai 4- du hingga 4- dL berarti tidak dapat diketahui apakah ada otokorelasi ataupun tidak. e. Apabila nilai DW Stat berada antara nilai 4- dL hingga 4 berarti terdapat korelasi negatif.
4. 7.2. Pengujian Signifikansi Secara Statistik Kemudian
seluruh
parameter
hasil
regres1
dilakukan
pengujtan
signifikansi secara statistik. Dirnana pengujian ini meliputi uji kesesuaian, uji koefisien regresi secara bersamaan, serta uji koefisien regresi secara parsial yang dijelaskan sebagai berikut:
60
a. Uji kesesuaian Menggunakan nilai koefisien determinasi yang telah disesuaikan
(adjusted R2 ), dapat diukur kesesuaian suatu model yang terdiri dari dua variabel atau lebih. Adjusted R2 memberikan gambaran secara menyeluruh proporsi dalam variabel yang dijelaskan oleh variabel penjelas secara bersama-sama. Rumus penghitungan adjusted R2 adalah sebagai berikut:
(4.10) Nilai adjusted R2 berada di antara 0 dan 1, jika adjusted R2 = 1 berarti bahwa semua variasi dalam variabel terikat Y dapat dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas X yang digunakan dalam model regresi, sebesar 100%. Jika adjusted R 2 = 0 berarti tidak ada variasi dalam variabel terikat Y yang dapat dijelaskan
oleh variabel-variabel bebas X. Makin mendekati nilai 1 maka makin baiklah model tersebut. Keunggulan adjusted R2 atau koefisien determinasi yang telah disesuaikan, apabila dibandingkan dengan R2 adalah lebih stabil dibandingkan dengan R2 dalam artian tidak terpengaruh oleh penambahan ataupun pengurangan
variabel.
Seperti
diketahui
penambahan
variabel
bisa
meningkatkan atau menurunkan nilai R 2. Dengan menggunakan adjusted R2 yang tidak terpengaruh oleh penambahan ataupun pengurangan variabel maka kesimpulan dalam pemilihan model diyakini akan lebih baik. b. Uji F Uji ini berguna untuk melihat apakah semua variabel bebas yang ada pada model secara bersama-sama mempengaruhi variabel terikat atau variabel yang akan dijelaskan. Pengujian koefisien regresi secara bersamaan ini menggunakan perhitungan uji F dengan hipotesis dan rumus sebagai berikut: (variabel
bebas
secara
bersamaan
tidak
mempengaruhi variabel terikat) (variabel
bebas
secara
pengaruhi variabel terikat)
bersamaan
mem-
61
Rumus untuk mencari F-hitung adalah:
(4.11) dimana: Ru2 =
R 2 dari model yang tidak direstriksi, dimana pengujiannya dianggap memiliki heterokedastisitas serta serial korelasi antar error term.
Rr2 = R 2 dari model yang direstriksi, yakni pengujian yang dianggap memiliki homokedastisitas serta tidak ada serial korelasi antar error
term. m = jumlah variabel yang direstriksi n
jumlah observasi
k
jumlah parameters dalam model yang tidak direstriksi
Keputusan yang diambil adalah apabila F-hitung lebih besar dibandingkan dengan F-tabel maka Ho ditolak, artinya bahwa variabel-variabel bebas secara bersamaan mempengaruhi variabel terikat. Sebaliknya apabila F-
hitung lebih kecil daripada F-tabel maka Ho diterima, yakni variabel-variabel bebas secara bersamaan tidak mempengaruhi variabel terikat. c. Uji t Pengujian secara parsial berguna untuk menentukan apakah variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model secara individual dapat mempengaruhi variabel terikat. Uji parsial dilakukan dengan menggunakan uji t statistic dengan hipotesis sebagai sebagai berikut :
Ho : Pi= 0 (variabel bebas ke-i tidak mempengaruhi variabel terikat).
H1 : Pi
=I=
0 (variabel bebas ke-i mempengaruhi variabel terikat).
Sedangkan
penentukan
daerah
kritisnya
dilakukan
dengan
membandingkan antara nilai t-hitung dengan t-tabel. Rumus untuk mencari thitung adalah:
(4.12)
62
Dimana: A
p1
=
koefisien penduga variabel ke j
=
koefisien standar error variabel ke j
A
s1
Keputusan yang diambil apabila nilai t-hitung lebih besar dari t-tabel adalah Ho ditolak yang artinya variabel bebas ke-i signifikan mempengaruhi variabel terikat. Sebaliknya apabila t-hitung lebih kecil dari t-table, maka Ho diterima yang berarti variabel bebas ke-i tidak signifikan mempengaruhi variabel terikat.
BAB5 DATA DAN HASIL PENELITIAN
Seperti telah disinggung sebelumnya, model ini mencoba untuk mendeteksi adanya urban sprawl dari wilayah Tangerang terhadap wilayah sekitarnya, yakni Serang, Lebak, dan Bogor dengan variabel independen yang terdiri atas besaran sektor manufaktur dan jasa dalam PDRB, serta PDRB per kapita sebagai proksi dari pendapatan penduduk, ditambah variabel boneka
(dummy) pada saat krisis ekonomi di tahun 1998-2000. Sementara variabel dependennya adalah luas lahan pertanian diwilayah sekitar Tangerang. Tujuannya untuk mengetahui apakah faktor manufaktur, jasa, maupun PDRB per kapita Tangerang dapat menggambarkan dengan lebih baik dampak sektor-sektor tersebut pada alih fungsi lahan pertanian diwilayah sekitar Tangerang sebagai proksi terjadinya urban sprawl. Dalam penelitian ini digunakan data panel, yakni gabungan data runtun waktu dan kerat lintang. Data runtun waktu sebanyak 22 observasi yakni sejak tahun 1986 hingga 2007, sementara untuk kerat lintangnya terdiri dari wilayah Tangerang, Serang, Lebak, dan Bogor. Untuk Kota Depok, datanya telah digabungkan dengan Kabupaten Bogor karena selain periode waktu yang masih pendek akibat pemekaran dari Kabupaten Bogor, juga dianggap memiliki kesamaan karakteristik dengan daerah induknya. Sementara untuk Kota Cilegon sebagai wilayah baru hasil pemekaran dari Kabupaten Serang mulai tahun 1998 tidak ditampilkan. Hal ini mengingat karakteristik Cilegon yang memang proporsi pendapatan terbesarnya berasal dari industri manufaktur, seperti telah diutarakan pada bah terdahulu, yang berbeda dengan Kabupaten Serang. Sehingga apabila dimasukkan dikhawatirkan pengaruh Tangerang terhadap Kabupaten Serang sendiri, sebagai wilayah yang berbatasan langsung, kurang terdeteksi secara tepat.
5.1. Pengujian Spesifikasi Model Pada bah sebelumnya telah diutarakan bahwa penentuan model pada metode data panel harus dilakukan pengujian apakah menggunakan metode
63
64
Pooled Least Squares (common effect), ataupun individual effect. Untuk
memastikan penggunaan model yang terbaik maka dilakukan pengujian seperti berikut: a. Untuk menentukan antara model common effect denganfixed effect dilakukan dengan Chow Test, yakni apabila F-statistik lebih kecil daripada F-tabel maka disimpulkan bahwa model tidak memiliki heterogenitas individu. Pada perhitungan didapatkan bahwa hasil F-hitung adalah sebesar 31,7 60, sedangkan nilai F-tabel pada u=l% sebesar 5,077. Karena F-hitung lebih besar daripada F-tabel berarti metode yang sesuai adalah menggunakan metode efek tetap (fixed effect). b. Untuk memilih antara model Efek Tetap (Fixed Effect) dengan Efek Acak (Random Effect) digunakan Hausman Test. Akan tetapi pengujian dengan
metode Random Effect tidak dapat dijalankan karena estimasi dilakukan dengan menggunakan cross-section specific coefficient, 3 berupa sektor-sektor yang berasal dari daerah Tangerang dan juga variabel boneka krisis ekonomi. Selain itu Nachrowi (2006) juga menyatakan bahwa Random Effect baru bisa diterapkan apabila jumlah individu lebih besar daripada jumlah waktu. Oleh karenanya Uji Hausman pun tidak dapat dilaksanakan.
5.2. Pengujian Asumsi Klasik Agar mendapatkan hasil perhitungan yang baik, harus dipenuhi sejumlah kriteria. Pengujian secara ekonometri dengan Eviews 5.1 dapat dilakukan meliputi butir-butir sebagai berikut: a. Multikolinearitas Uji ini untuk melihat adanya hubungan antar variabel bebas. Untuk itu digunakan matriks korelasi antar variabel independen yang berasal dari aktivitas ekonomi Tangerang.
3
Pada User's Guide untuk Eviews 5 disebutkan bahwa "You may not, for example, estimate random effects models with cross-section specific coefficients, AR terms, or weighting. "
65
Tabel5.1. Matriks Korelasi Variabel Independen Tangerang J_TANGERANG
M_TANGERANG
PDBKAP_TNG
J_TANGERANG
1
0.898633
0.936431
M_TANGERANG
0.898633
1
0.927310
PDBKAP_TNG
0.936431
0.927310
1
Dari matriks tersebut diketahui bahwa korelasi antar variabel besamya diatas 0,8, yang menunjukkan multikolinearitas yang kuat (Nachrowi: 2006) seperti disajikan
pada
tabel
5.1.
Dengan
kata
lain
melanggar
asumsi
multikolinearitas. Namun masalah ini sebaiknya ditanggapi dengan tidak melakukan apapun. Seperti menurut Blanchard4 yang berpendapat untuk tidak melakukan apapun karena hal tersebutlah yang terbaik yang dapat dilakukan pada suatu set data yang ada. b. Otokorelasi Dalam pengujian otokorelasi dapat digunakan uji Durbin-Watson (DW stat). Dari hasil pengujian autokorelasi didapatkan hasil DW Stat senilai 2.22. Setelah dibandingkan dengan tabel Durbin-Watson temyata hasilnya signifikan pada 6.=1 %. Artinya persamaan tidak menunjukkan adanya pelanggaran otokorelasi karena berada diantara nilai du dan 4-du. c. Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedastisitas dalam hal ini menggunakan uji Lagrange Multiplier (LM test). Pada hasil perhitungan didapatkan nilai LM test sebesar 98,95. Setelah dibandingkan temyata hasilnya lebih besar daripada prob=99%)
l
(DF
=
n-1;
yang nilainya 94,42. Jadi diputuskan untuk menolak Ho, artinya pada
persamaan ini terdapat struktur varians covarian residual yang bersifat heteroskedastis. Untuk mengatasinya digunakan metode fixed effect dengan pembobotan (weighted).
4
Blanchard pada Gujarati (2004) menyatakan bahwa "... multicollinearity is essentially a data deficiency problem (micronumerosity, again) and some times we have no choice over the data we have available for empirical analysis. "
66
5.3. Pengujian Signifikansi Secara Statistik Pengujian secara statistik ini terdiri dari uji kecocokan model, pengujian koefisien regresi secara bersamaan, serta secara parsial. Ketiganya adalah seperti dijelaskan dibawah ini:
Tabel5.2. Rangkuman Hasil Estimasi . • ~-
~~
•
~·
•
l
•
-.
-,
•
-~
•
•
.,.
-
-
-
<
0.966488
R-squared 2
0.954620
Adjusted-R SSR
3.89E+08
F-stat
81.43143
Prob (F-stat)
0.000000
D-W stat
2.216E+OO
a. Uji kecocokan model Uji ini untuk melihat seberapa besar variasi pengaruh variabel bebas dalam menjelaskan variabel terikat yang dapat ditentukan melalui koefisien determinasi yang telah disesuaikan (adjusted R
2
).
Disini nilai adjusted R
2
besarnya adalah 0,9546. Yang artinya bahwa penurunan luas lahan pertanian diwilayah sekitar Tangerang mampu dijelaskan sebesar 95,46% oleh output sektor manufaktur dan jasa serta PDRB perkapita penduduk Tangerang dan daerah sekitarnya pada tahun tersebut, sementara sisanya sebesar 4,54% dijelaskan oleh variabellain yang tidak dimasukkan dalam penelitian. b. Pengujian Koefisien Regresi Secara Serempak (Uji F) Dalam persamaan ini besarnya F-stat adalah 81,43143 dengan Probabilita (FStat) sebesar 0. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada signifikansi 1% secara bersama-sama variabel bebas mempengaruhi variabel terikat. c. Pengujian Koefisien Regresi Secara Parsial (Uji t) Untuk menguji koefisien regresi secara parsial perhatikan t-stat pada masingmasing variabel bebas. Apabila t-hitung lebih besar daripada t-tabel untuk level signifikansi 1%, 5%, dan 10%, maka variabel-variabel bebas tersebut berpengaruh signifikan terhadap variabel terikatnya, baik pengaruh positif
67
ataupun negatif. Demikian pula sebaliknya. Untuk lengkapnya penyajian variabel-variabel bebas beserta probabilitanya disajikan pada tabel 5.3.
5.4. Hasil Estimasi 5.4.1. Analisis Aktivitas Ekonomi Wilayah Sekitar Tangerang Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa berdasarkan kesesuaian model yang terbaik adalah metode fzxed effect dengan pembobotan. Untuk itu tabel 5.3 berikut ini menjabarkan pengaruh masing-masing variabel terhadap luas persawahan di tiap-tiap wilayah.
Tabel 5.3. Hasil Estimasi Analisis Aktivitas Ekonomi Tangerang '
M? J? P?
2- :
! I'
. -~:-
',
-0.001470
-1.857384
0.002503
1.324839
0.001334
1.647013
~- . : - !{.~:_~
'
~ ~--~· _: :_~!·~~·;· ~ ~
0.0694 Signifikan* 0.1915 Tidak Signifikan 0.1061 Tidak Signifikan
Variabel Specific Cross Section INDUSTRI MANUFAKTUR TANGERANG SERANG -0.000570 -1.768938 0.0833 Signifikan* 3.633723 0.0007 Signifikan *** 0.000886 LEBAK BOGOR -0.002694 -3.587383 0.0008 Signifikan *** JASA TANGERANG SERANG 0.001242 LEBAK -0.000932 0.000794 BOGOR
2.011118 -2.376950
0.0499 Signifikan** 0.0215 Signifikan**
0.598227
0.5525 Tidak Signifikan
PDRB PER KAPITA TANGERANG SERANG -0.003180 -1.348949 LEBAK -0.001 561 -1.130735 BOGOR 0.003870 0.867244
0.1837 Tidak Signifikan 0.2638 Tidak Signifikan
DUMMY KRISIS SERANG 615.2630 LEBAK -2757.976 BOGOR 2227.420 KONSTANTA SERANG LEBAK BOGOR
0.378233 -2.112286 0.5091 22
0.3901 Tidak Signifikan
0.7069 Tidak Signifikan 0.0399 Signifikan** 0.6130 Tidak Signifikan
14229.88 -14527.40 297.5 150
Ket: *** Signifikan pada 99%, ** Signifikan pada 95%, * Signifikan pada 90%
68
Merujuk pada tabel tersebut maka terlihat hasil estimasi model bagi daerah-daerah di sekitar Tangerang, yakni Serang, Lebak, serta Bogor dari hasil output sektor industri manufaktur, jasa, serta PDRB per kapita serta variabel boneka krisis ekonomi. Variabel-variabel yang menunjukkan tingkat signifikansi dijelaskan pada kolom keterangan sesuai tingkat signifikansi baik 99%, 95%, atau 90%. Kemudian setelah didapatkan hasil estimasi bagi masing-masing daerah sekitar Tangerang maka dapat dituliskan secara lengkap persamaan bagi masingmasing daerah, berikut nilai t-statistiknya yang berada dalam kurung seperti dibawah ini.
Untuk Serang:
Lserang,t
=
14229 .8845 +58314 .893 -0.0005705 M,rng +0.0012423 J,rng -0.0031799 PDBkap [ng (7.770281)
(-1.768938)
(2.011118)
(-1348949)
+615 .2630 KRJS/S 1 -0.001470 M Serang ,I +0.0025029 J Serang ,I +0.0013337 PDB/cap Serang ,I (0.378233)
(-1.857384)
(1.324839)
(1.647013)
(5.1)
Untuk Lebak:
LLebak,t
=
-14527 .3995+58314.893-0.0008862M{ng -0.000932J{ng -0.0015607 PDBkap["g (7.770281)
(3.633723)
( -2.376950)
( -1.130735)
-2757 .9760KRJS/S 1 -0.0014705 M Lebalc,t +0.0025029J Lebak,t +0.0013337 PDB/cap Lebak,l (-2.112286)
(-1.857384)
(1.324839)
(1.647013)
(5.2) Untuk Bogor:
Lsogor,t = 297.5150+58314.893-0.002694M{ng +0.000794J{ng +0.003870PDBkap{ng (7.770281)
(-3.578383)
(0.598227)
(0.867244)
+2227.420KRJS/S1 -0.0014705M Bogor,t +0.0025029J Bogor,t +0.0013337PDB/capBogor,l (0.509122)
(-1.857384)
(1.324839)
(1.647013)
(5.3)
69
Hasil output model data panel tersebut juga signifikan dalam mempengaruhi luas lahan persawahan. Misalnya apabila output sektor manufaktur di Kabupaten Serang meningkat yang dapat diartikan ada peningkatan aktivitas industri manufaktur maka luas areal persawahan di Kabupaten Serang akan menunjukkan penurunan. Peningkatan aktivitas sektor industri, jasa, serta permintaan terhadap permukiman mengakibatkan kenaikan permintaan lahan bagi masing-masing aktivitas tersebut yang secara teori akan mengakibatkan penurunan luas lahan persawahan. Kemudian lahan persawahan tersebut dialihfungsikan menjadi area industri, perkantoran ataupun perdagangan, dan permukiman. Proses yang terns menerus pada akhimya akan menjadikan wilayah-wilayah tersebut makin menunjukkan ciri fisik kekotaan. Tanda koefisien yang negatif mengindikasikan adanya kesesuaian dengan teori yang berlaku. Selain itu besaran nilai koefisien masing-masing variabel independen menunjukkan pengaruh masing-masing sektor baik sektor manufaktur, jasa, maupun permukiman, terhadap alih fungsi lahan persawahan. Semakin besar nilai yang ditunjukkan berarti pengaruhnya semakin besar pula bagi pengalihfungsian lahan sawah. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa satuan bagi masing-masing variabel independen yang berbeda. Dimana variabel sektor manufaktur dan jasa menggunakan satuan yang sama, yakni jutaan rupiah, sementara untuk PDRB per kapita menggunakan satuan rupiah. Dari tanda koefisien ini terlihat bahwa hanya sektor manufaktur yang memiliki nilai negatif dan signifikan, sementara sektor jasa serta PDRB per kapita tidak menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik. Hal ini dapat berarti bahwa output sektor manufaktur memiliki peran lebih besar daripada output sektor jasa maupun PDRB per kapita dalam pengalihfungsian lahan sawah menuju lansekap kekotaan di Serang, Lebak, dan Bogor. Hal ini bisa disebabkan bahwa sektor industri manufakturlah yang lebih maju pada ketiga daerah ini dibandingkan dengan sektor lainnya. Pada variabel dummy krisis yang mencoba menangkap perilaku perubahan lahan persawahan pada era krisis ekonomi tahun 1998-2000 menggambarkan bahwa hanya Kabupaten Lebak yang memiliki nilai koefisien
70
negatif dan signifikan. Hal ini dapat diartikan bahwa pada saat krisis luas lahan persawahan berkurang di Kabupaten Lebak. Ditengarai saat itu masyarakat petani tidak mampu mengusahakan lahannya agar menjadi lahan produktif, sehingga tidak tergarap dan menjadi lahan yang untuk sementara tidak diusahakan. Sementara pada dua kabupaten lainnya menunjukkan hal yang berbeda, yakni bernilai positif dan tidak signifikan. Berarti pada saat krisis Kabupaten Serang dan Bogor tidak terpengaruh secara signifikan pada pengusahaan lahan persawahan dalam arti tidak rentan terhadap gejolak perekonomian saat itu.
5.4.2. Analisis Arab Urban Sprawl Tangerang Setelah penyajian hasil estimasi, kini giliran penjelasan arah pengaruh aktivitas industri manufaktur, jasa, dan PDRB per kapita Tangerang terhadap luas lahan pertanian disekitar wilayah Tangerang yakni Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Bogor. Seperti telah disebutkan sebelumnya, penelitian ini dilaksanakan menggunakan publikasi dari Badan Pusat Statistik yang berupa survey pertanian dan PDRB kabupaten/kota dengan periode 22 tahun di daerah Tangerang yang mencakup atas Kota dan Kabupaten Tangerang, serta wilayah sekitarnya berupa Kabupaten Serang, Lebak, dan Bogor. Analisis terhadap masing-masing sektor seperti yang ditunjukkan pada tabel memperlihatkan bahwa gejala urban sprawl yang berasal dari pengaruh aktivitas ekonomi Tangerang pada daerah sekitarnya sudah mulai terdeteksi seperti yang dicerminkan dari luas lahan persawahan Kabupaten Serang, Lebak, dan Bogor. Ketiganya juga menunjukkan besaran yang berbeda, yang berarti pengaruh urban sprawl Tangerang terhadap daerah tersebut juga berlainan antara daerah satu dengan yang lainnya. Namun
sebelum
masuk
pada sektor manufaktur, jasa,
maupun
permukiman ada baiknya disimak kondisi awal sebelum adanya aktivitas ekonomi yang menjadi fokus penelitian tersebut sebagaimana digambarkan pada variabel independen. Kondisi ini tercantum pada nilai konstanta seperti terlihat pada tabel 5.3. Sebagaimana tercantum disana bahwa lahan persawahan ketiga daerah Kabupaten Serang Lebak dan Bogor dimana lahan sawah hanya
71
digunakan sebagai aktivitas pertanian sebelum adanya aktivitas manufaktur, jasa, dan permukiman menunjukkan Kabupaten Serang sebagai pemilik lahan terluas, kemudian Bogor. Hal ini sesuai dengan kenyataan dilapangan karena Serang memang masih memiliki banyak lahan pertanian. Sektor lain, kecuali industri, belumlah terlalu menonjol. Kabupaten Lebak menunjukkan nilai negatif, kemungkinan akibat luas lahan pertanian yang terus bertambah disana, bukan berkurang. Akan tetapi perlu ditekankan bahwa ketersediaan lahan disuatu region tidaklah cukup untuk memberi gambaran lengkap akan proses perambatan suatu kota. Perambatan pertumbuhan kota tidak hanya terbatas pada konversi lahan sawah semata, akan tetapi juga mengkonsumsi lahan jenis lainnya. Jadi ketersediaan lahan sawah tidak selalu berjalan seiring dengan proses urban sprawl. Selanjutnya dari ketiga sektor dilakukan penjabaran masing-masing sektor industri manufaktur, jasa, maupun PDRB per kapita. Pertama pada sektor industri manufaktur terlihat bahwa proses perambatan mengarah ke Kabupaten Serang dan Bogor. Dimana nilai koefisennya menunjukkan tanda yang negatif dan signifikan secara statistik, yang berarti aktivitas manufaktur di Tangerang akan memiliki kecenderungan urban sprawl ke arah dua wilayah ini. Dilihat dari besaran angkanya menunjukkan bahwa sektor manufaktur Tangerang memiliki kecenderungan perambatan lebih besar kearah Kabupaten Bogor daripada Serang. Dimana setiap pertumbuhan sektor manufaktur Tangerang sebesar 1 juta rupiah maka luas lahan persawahan yang beralih fungsi seluas 0.002694 hektar di Bogor sementara untuk Serang hanya sebesar 0,000570 hektar. Suburbanisasi di sektor manufaktur bisa dilihat dengan adanya Kawasan lndustri Serang Timur seluas 1.115 hektar terletak di kecamatan Cikande, dan Kragilan (BPS: 2008). Beberapa kawasan industri yang ada seperti Nikomas Gemilang, Modem Cikande, serta Indah Kiat. Pada Kabupaten Bogor yang berbatasan dengan wilayah Tangerang walaupun tidak terdapat kawasan industri besar namun industri manufaktur didaerah ini bentuknya berupa zona industri seperti di Kecamatan Parungpanjang dan Gunungsindur. Sedangkan untuk kawasan industri terletak di bagian timur Kabupaten Bogor seperti daerah Gunungputri dan Cibinong. Sementara di Kota Depok tidak terdapat kawasan industri besar.
72
Pada Kabupaten Lebak walaupun didapatkan hasil yang signifikan secara
statistik namun nilainya positif sehingga dapat diartikan bahwa peningkatan aktivitas industri manufaktur di Tangerang mengakibatkan bertambahnya luas lahan pertanian di Kabupaten Lebak. Hal ini ditengarai sebagai gejala berpindahnya pengusahaan pertanian dari Tangerang ke Kabupaten Lebak. Dimana aktivitas industri manufaktur yang mengkonsumsi lahan pertanian di Tangerang mendesak lahan pertanian keluar dari wilayah administrasinya. Dan untuk mempertahankan produksi pertaniannya maka dibuka lahan pertanian barn di Kabupaten Lebak. Apabila dilihat fakta di lapangan menunjukkan bahwa daerah Kabupaten Lebak yang berbatasan langsung dengan Tangerang sangat sempit, tepatnya hanya di sebelah selatan Kecamatan Solear Kabupaten Tangerang. Dimana daerah yang berbatasan langsung ini bukanlah daerah industri. Namun umumnya merupakan daerah pertanian, perkebunan, dan permukiman serta lahan yang tidak diusahakan.
Tabel 5.4. Arab Pergerakan Aktivitas Ekonomi Tangerang terhadap Wilayah Sekitarnya · -- ~": ~-- ~ - · ;:~-::.~~~r .~~ ~. ~ - ··~ __ :;r~~~:~·~~'"'~ !~~~~::f~~-~~;~:~:r~ 7
' ,.
.--: ,_
SERANG
.
: ~
~
. -
-0.000570 * (-1. 768938)
LEBAK
0.000886 *** (3.633 723)
BOGOR
-0.002694 *** (-3.687383)
Ket:
·: .· .. ;:•:.;.:.:~!-·> [· -
t
~,~pfi~(";
~-"--·----~~--~----~-:..~,c ......._.~.-..~-
0.001242 ** (2.011118) -0.000932 *** (-2.3 76950) 0.000794 (0.59822 7)
,..:
col-::.
-0.003 180 (-1 .348949) -0.001561 (-1 .130735) 0.003870 (0.867244)
*** Signifikan pada 99%, ** Signifikan pada 95%, * Signifikan pada 90%
Sektor yang kedua adalah jasa. Dari ketiga kabupaten yang diobservasi temyata menunjukkan bahwa pengaruh urban sprawl Tangerang mengarah ke Kabupaten Lebak, dimana koefisiennya secara statistik signifikan. Berarti setiap pertumbuhan sektor jasa Tangerang sebesar 1 juta rupiah maka luas lahan persawahan yang beralih fungsi seluas 0.000932 hektar. Hal ini merupakan temuan yang tak terduga, mengingat menurut teori penggunaan lahan sektor jasa
73
merupakan sektor yang memiliki kurva penawaran harga paling curam dimana struktur biayanya yang merupakan kombinasi dari land cost dan non-land costnya menyatakan bahwa sektor ini lebih menguntungkan apabila berada di pusat kota, yang berarti aktivitas sektor jasa berorientasi di pusat bisnis yang terletak di tengah kota. Dengan kata lain pada sektor jasa, dalam teori model perkotaan monosentris, seharusnya tidak terjadi perambatan menuju daerah lainnya. Dan apabila ada peningkatan aktivitas ekonomi pun bentuknya hanya meluas dalam wilayah kota itu sendiri saja. Akan tetapi dalam hasil penelitian ini tidaklah terbukti demikian. Alasannya mungkin karena Tangerang sendiri bukanlah kota yang berstruktur monosentris. Seperti diketahui dalam penelitian ini yang dimaksud dengan Tangerang terdiri atas Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang. Berarti paling sedikit terdapat dua pusat kota. Sementara dalam pedoman tata ruang Kabupaten Tangerang disebutkan bahwa Kabupaten Tangerang sendiri dibagi dalam tiga wilayah pusat pertumbuhan, yaitu Serpong, Balaraja dan Tigaraksa, serta Teluknaga. Serpong diperuntukan bagi pusat pertumbuhan permukiman; Balaraja dan Tigaraksa sebagai kawasan industri, permukiman, dan pusat pemerintahan; terakhir adalah Teluknaga yang diarahkan untuk pengembangan sektor pariwisata bahari dan alam, industri maritim, pelabuhan laut, perikanan, dan pertambakan. Selain itu pertumbuhan pusat keramaian di Tangerang umumnya cenderung memita sepanjang koridor jalan utama, atau tidak terfokus dalam satu wilayah tertentu saja. Sehingga teori bid
rent bagi model kota monosentris tidaklah sesuai untuk diterapkan pada kasus ini. Pada Kabupaten Serang walaupun hasilnya signifikan secara statistik tapi dari koefisiennya yang bernilai positif memberi arti bahwa aktivitas sektor jasa di Tangerang malah akan menambah luas lahan pertanian di Kabupaten Serang. Sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas ekonomi sektor jasa di Tangerang akan mendorong pembukaan lahan pertanian baru di Kabupaten Serang. Tetapi berdasarkan pengamatan dilapangan, wilayah Kabupaten Serang yang berbatasan dengan Tangerang pun telah mulai menunjukkan perubahan fisik menuju kekotaan, misalnya dengan adanya kawasan industri dan pusat kegiatan pendukungnya yang notabene menyebabkan alih fungsi lahan pertanian. Tetapi bisa saja lahan yang dialih-fungsikan tersebut semula merupakan lahan kering
74
ataupun laban yang tak diusahakan -
yang memang tidak termasuk dalam
penelitian ini. Terakhir adalah analisis melalui PDRB per kapita sebagai proksi permintaan permukiman penduduk Tangerang. Disini tersaji bahwa dari ketiga daerah sekitar Tangerang yang diobservasi tidak satupun yang menunjukkan perambatan. Hal ini terlihat dari hasil estimasi dimana walaupun pada Serang dan Lebak menunjukkan angka negatif akan tetapi hasilnya tidak signifikan secara statistik. Temuan ini dapat berarti bahwa Tangerang masih dilihat sebagai lokasi yang baik sebagai tujuan permukiman. Ketersediaan sarana dan prasarana baik layanan kesehatan, pendidikan, pusat keramaian, juga transportasi masih menjadi hal yang vital. Sebagaijalur lintas Jawa-Sumatera yang dilalui tigajalur tol yakni Tol Sedyatmo di bagian utara, Tol Jakarta-Merak di tengah, dan dibagian selatan ada tol Jakarta-Serpong membuat akses menjadi demikian mudah. Ditambah dengan keberadaan Bandara Intemasional Soekamo-Hatta sebagai pintu gerbang utama memasuki Indonesia turut menjadi pertimbangan. Selain itu di Tangerang juga tersedia berbagai tipe permukiman mulai kelas bawah, menengah, hingga kelas atas seperti Bumi Serpong Damai juga Lippo Karawaci yang sudah berbilang kali mendapat penghargaan intemasional. Temuan akan terkonsentrasinya kawasan permukiman di Tangerang ini membuktikan konsep people follow jobs sekaligus job follows people dimana para pekerja industri cenderung untuk memilih tinggal disekitar wilayah tersebut, misalnya di Kawasan lndustri di Jatiuwung, Pasarkemis, maupun Batuceper dimana disekitar kawasan industri pastilah terdapat kawasan perumahan terutama untuk segmen menengah yakni untuk menampung permintaan akan perumahan bagi pekerja industri. Selain itu keberadaan permukiman penduduk juga mendorong dibukanya pengusahaan industri terutama yang bersifat ramah lingkungan seperti di Kawasan Industri Taman Tekno Bumi Serpong Damai di Serpong. Dari ketiga wilayah kabupaten yang diobservasi terlihat bahwa masingmasing daerah hanya terimbas urban sprawl pada satu sektor saja dari ketiga sektor yang diteliti, yakni pada sektor manufaktur ataupun jasa. Sementara dari sektor permukiman tidak satu daerahpun terimbas. Hal ini dapat diartikan bahwa
75
sebetulnya perekonomian Tangerang belum terlalu kuat untuk memberi pengaruh perambatan terhadap daerah sekitarnya. Produk Domestik Regional Bruto yang tinggi belumlah menjamin kuatnya pengaruh yang terjadi di Tangerang terhadap daerah sekitarnya. Sesuai dengan Kurban dan Persky (2007) yang menyatakan bahwa area metropolitan dengan pendapatan pusat kota yang tinggi belum tentu
spillover effect-nya besar. Demikian pula halnya dengan Tangerang. Pesatnya pertumbuhan ekonomi di wilayah ini yang ditunjang dengan potensi penduduk yang besar, kelengkapan infrastruktur yang cukup baik, tidak menjamin efek perambatan yang besar. Tangerang sebagai salah satu wilayah yang dilalui dalam perlintasan barang dan jasa antara Jawa-Sumatera mungkin menyumbang peran besar bagi perekonomian setempat, akan tetapi temyata belum banyak pengaruh yang disumbangkan bagi daerah sekitarnya. Hal ini mungkin mengingat kekuatan ekonomi Tangerang yang masih relatif baru berkembang dimana kemajuan Tangerang sendiri baru dimulai pada awal 1970-an pada saat masuknya industri manufaktur yang sebagian besar merupakan perusahaan pemodal asing yang menjalankan usahanya didaerah ini.
Perambatan sektor manufaktur ke Kabupaten Serang
Perambatan sektor jasa ke Kab. Lebak
t;) Perambatan aktivitas manufaktur ke Kab. Bogor
Gambar 5.1. Arab Perambatan Pertumbuhan Tangerang ke Wilayah Sekitarnya
76
Dalam penelitian ini terdapat dua daerah juga yang menunjukkan tanda koefisien yang positif serta signifikan secara statistik, yaitu Kabupaten Lebak dalam sektor industri manufaktur, serta Kabupaten Serang di sektor jasa. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap pertumbuhan pada sektor industri manufaktur ataupun jasa di Tangerang akan menambah luas lahan pertanian di Kabupaten Lebak dan Serang. Temuan ini patut diwaspadai mengingat bisa saja terjadi penambahan luas sawah di luar Tangerang, namun dengan kualitas yang lebih rendah daripada yang semula dikonversi menjadi lahan bukan sawah. Ditambah lagi pada umumnya upaya pencetakan sawah baru dalam rangka pemulihan produksi pangan pada kondisi semula membutuhkanjangka waktu cukup panjang yakni sekitar 5-15 tahun agar lahan sawah yang baru dibangun dapat berproduksi secara optimal (Bambang, 2005).
5.5. Tinjauan Peraturan Tata Ruang Kawasan Ada baiknya untuk melihat sekilas mengenai penataan ruang kawasan yang diteliti antara hasil estimasi dengan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga dapat dilihat apakah arah perkembangan Tangerang dan sekitarnya memenuhi peraturan perundang-undangan ataukah tidak, dalam artian lebih mengarah pada kekuatan pasar. Peraturan yang dirujuk antara lain adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, ditambah Peraturan Daerah Propinsi Banten Nomor 36 Tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Banten 2002 - 2017, serta Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025. Dari peraturan tersebut sebagian besar menunjukkan kesesuaian, namun ada pula yang tidak sesuai dengan hasil estimasi penulis. Menurut Perpres Nomor 54 Tahun 2008 Kota Tangerang diperuntukan bagi perumahan hunian padat, perdagangan dan jasa, serta industri ringan. Sedangkan Kabupaten Tangerang diisi untuk pertanian lahan basah pada bagian utara, zona perumahan hunian sedang, pertanian I ladang, dan industri berorientasi tenaga kerja pada bagian tengah, sementara bagian selatan termasuk
77
pada zona hunian rendah dan pertanian I ladang. Sementara menurut Peraturan Daerah Propinsi Banten Nomor 36 Tahun 2002, kabupaten/kota dalam Propinsi Banten dibagi dalam tiga Wilayah Kerja Pembangunan (WKP). Kota dan Kabupaten Tangerang yang termasuk dalam WKP 1 diarahkan untuk kegiatan utama sebagai industri, perdagangan, jasa, dan permukiman. Kabupaten Bogor yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Tangerang terbagi dalam berbagai zona, mulai perumahan hunian padat, sedang, sampai rendah serta kawasan hutan produksi, juga hutan konservasi atau eagar alam. Jadi fungsinya sangat beragam, mulai sebagai area industri, permukiman, pertanian, hingga konservasi air. Luasnya wilayah ini yang membentang dari utara hingga ke selatan mulai dengan kontur atau roman yang mendatar hingga berbukit-bukit menunjang keragaman zonasi ini. Namun daerah yang maju pesat dan padat dengan kegiatan ekonomi lebih banyak berada di bagian utara, dimana konturnya relatif datar. Sekali lagi, hal ini sejalan dengan pandangan para pakar perkotaan dimana daratan yang berkontur mendatar relatif maju lebih pesat daripada yang konturnya berbukit-bukit. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 juga Perpres Nomor 54 Tahun 2008 menyatakan bahwa wilayah Kabupaten Bogor yang berbatasan dengan Tangerang sebagian besar diperuntukan bagi kawasan permukiman, baik itu pusat permukiman pedesaan dengan intensitas lahan terbangun rendah hingga pusat permukiman perkotaan dengan intensitas lahan terbangun sedang hingga padat (Pp 1, Pp2, dan PD 1), hanya sebagian kecil yang diperuntukan bagi lahan persawahan. Hasil estimasi yang tidak signifikan untuk sektor permukiman menunjukkan bahwa pada bidang ini perkembangan Bogor beserta Depok memang akibat kemandirian ekonominya semata. Seperti banyaknya perguruan tinggi yang mendorong menjamumya permukiman di Kota Depok dan sekitamya. Sementara adanya perambatan dalam sektor manufaktur menyiratkan kesesuaian dengan peraturan yang ada. Kabupaten Serang, yang termasuk dalam WKP 2 peruntukannya sebagai wilayah pengembangan kawasan perkotaan, industri serta pertanian lahan basah dan kering. Bersama dengan Kota Cilegon, dimana pada bidang industri Serang diarahkan sebagai daerah dengan kegiatan industri rendah, sedang, dan besar
78
yang ditunjang pula dengan adanya Pelabuhan Merak dan Ciwandan. Kawasan industri disini dititikberatkan pada dua kawasan, yakni bagian barat dan timur Kabupaten Serang. Sesuai dengan hasil estimasi yang didapat berdasarkan data tahun 1986 - 2007 dimana terjadi kecenderungan perambatan sektor manufaktur dari Tangerang menuju daerah ini namun dengan nilai koefisien yang tidak terlalu besar.
Tabel 5.5. Arahan Pemanfaatan Ruang Bogor, Serang, dan Lebak '
,_
-' .. ' • . " -.
:
'
'
~~:
- ...
•
Kabupaten Bogor
Kabupaten Serang
Kabupaten Lebak
.,.,,...
q
~~"...
•
•
'
~·
- ""': ~3~" ~~
... ..,..,,~
'l{
< I
''
- -
~'f"
:'-- ;tc~~ r,'~ ~ ;r·-. >~1·;,~:-.~ :_~ : ::~
1·',
- ...
_-- - -
-'
'""~~:a~.! ..t~. -'-"-~""·---..~~-::_~.~L~"'j
: ..
Ppl, Pp2, Pp3
Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Padat, Sedang, dan Rendah)
PDI , PD2
Kawasan Permukiman Pedesaan (Hunian Rendah dan Jarang)
PB dan TT
Kawasan Perkebunan dan Tanaman Tahunan
ZI dan IN
Zona Industri dan Sentra Industri Kecil serta Kawasan Industri
LBdanLK
Kawasan Pertanian Lahan Basah, Perikanan serta Pertanian Lahan Kering
HKdanHL
Kawasan Hutan Konservasi dan Hutan Lindung
-
Kawasan Perkotaan
-
Kawasan Industri
-
Budidaya Lahan Kering
-
Budidaya Lahan Basah
-
Kawasan Permukiman
-
Budidaya Lahan Kering dan Lahan Basah
-
Kawasan Hutan
Sumber: Perda Propinsi Banten Nomor 36 Tahun 2002 dan Perda Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008, telah diolah kembalL
Yang terakhir adalah Kabupaten Lebak dimana menurut Perda Nomor 36 Tahun 2002 yang sejalan dengan Pola Dasar (Poldas) Provinsi Banten yang
79
berlaku tahun 2002-2022 dititikberatkan pada bidang pertanian, pariwisata, dan direncanakan untuk pembangunan permukiman skala besar bersama dengan Kabupaten Tangerang. Adapun dalam bidang industri diarahkan untuk kegiatan industri berskala kecil dan sedang, selain juga terdapat arahan untuk bidang pertambangan, kehutanan, dan pendidikan. Penulis menduga ketidaksesuaian hasil estimasi dengan peraturan tata ruang yang ada disebabkan bahwa Kabupaten Lebak yang memang lebih unggul dalam sektor pertanian, belum menyadari akan potensi sektor jasa di daerahnya yang layak untuk dikembangkan. Padahal apabila dibenahi bukan tidak mungkin dapat mendorong peningkatan laju pertumbuhan ekonomi wilayah tertinggal ini. Dari keseluruhan hasil estimasi serta tinjauan akan peraturan tata ruang menunjukkan bahwa terjadi peralihan peruntukan yang semula sebagai areal persawahan
dan
perkebunan
menj adi
permukiman,
perkantoran,
pusat
perdagangan, serta industri. Perkembangan wilayah yang semula sebagai daerah pertanian menjadi kekotaan memang suatu hal tidak dapat dihindari. Temuan ini searah dengan penelitian Murakami (2005) yang mendapati bahwa selama 15 tahun terjadi alih fungsi lahan yang cepat dari persawahan menjadi lahan terbangun di Filipina. Sementara Kelly dan Yokohari et al. pada Murakami (2005) menyatakan bahwa pembangunan area pinggiran kota-kota besar di Asia seringkali menghambat perkembangan lahan persawahan.
Universitas Indonesia
BAB6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan basil analisis yang dilakukan selama peri ode penelitian tahun 1986-2007 dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a.
Pada awalnya diketahui bahwa aktivitas ekonomi Tangerang yang terdiri atas Kabupaten dan Kota Tangerang pada umumnya masih berlangsung didalam wilayah administratifnya sendiri. Seiring munculnya industri manufaktur pada awal dekade 1970-an, Tangerang mulai menggeliat maju. Selanjutnya mengalami perkembangan meskipun belumlah terlalu besar. Proses perambatan aktivitas ekonomi ini belumlah menghabiskan seluruh lahan yang ada dalam wilayah administratifnya, kemudian perlahan mulai terdapat kecenderungan menuju hal tersebut. Dimana kebutuban akan laban bagi pertumbuhan kekotaan Tangerang mulai tidak dapat lagi dipenuhi oleh Tangerang sendiri sehingga harus meminta lahan dari daerah disekitarnya. Selama periode penelitian yang diobservasi melalui nilai output sektor manufaktur, jasa, serta PDRB per kapita yang diambil dari publikasi PDRB Kabupaten dan Kota Tangerang serta Kabupaten Serang, Lebak, juga Bogor yang digabung beserta dengan Kota Depok, diketahui mulai muncul fenomena urban sprawl terhadap wilayah-wilayah tersebut.
b. Hasil yang signifikan secara statistik menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur mengalami proses perambatan kearah selatan menuju Kabupaten Bogor, serta kearah barat menuju Kabupaten Serang. Sementara Lebak dipengaruhi dengan nilai koefisien positif. Artinya aktivitas sektor manufaktur Tangerang mengakibatkan berpindahnya laban persawahan ke Kabupaten Lebak. c. Untuk aktivitas sektor jasa didapat basil bahwa peningkatan aktivitas sektor jasa di Tangerang cenderung merambat ke Kabupaten Lebak. Sementara pada Kabupaten Serang aktivitas sektor jasa akan berdampak pada dibukanya laban pertanian baru diwilayab ini, yang ditunjukkan dengan angka koefisien positif.
80
81
Berdasarkan teori perkotaan mengenai bid rent pada pola penggunaan laban perkotaan monosentris yang menyebutkan babwa aktivitas sektor jasa dan perkantoran menempati posisi dipusat kota (CBD), pada kasus Tangerang tidaklab terbukti demikian. Ini mungkin diakibatkan struktur Tangerang yang bukan merupakan kota monosentris, melainkan polisentris karena terdiri dari satu kota dan satu kabupaten. Selain itu perkembangan sektor jasa yang sensitif terhadap waktu dan aksesibilitas juga berlangsung memita sepanjang jalan utama terutama jalur Jakarta-Merak serta ke selatan menuju Serpong. d. Pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk Tangerang menunjukkan hasil yang tidak signifikan bagi ketiga wilayab sekitar Tangerang. Ini berarti babwa Tangerang masih merupakan tujuan bagi aktivitas permukiman, dimana pada daerah ini tersedia berbagai tipe hunian yang diperuntukan bagi kalangan bawah, menengab, hingga atas. Tangerang juga memang menyediakan kelengkapan sarana dan prasarana bagi kenyamanan penduduknya baik dari sisi transportasi, fasilitas pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, juga penyediaan layanan kesehatan. e. Dalam hal tanda koefisien yang positif, muncul adanya dugaan babwa berpindahnya lahan persawahan keluar Tangerang merupakan pergeseran menuju kualitas lahan yang lebih rendab, mengingat pembukaan laban sawab beririgasi baru di Jawa sangat terbatas (Anwar:1993). Ditambah pada umumnya upaya pencetakan sawab baru dalam rangka pemulihan produksi pangan hingga mencapai kondisi semula membutuhkan jangka waktu cukup panjang yakni sekitar 5-15 tahun (Bambang, 2005). Hal ini patut diwaspadai agar tidak terjadi penurunan ketahanan pangan baik pada skala regional maupun nasional.
6.2. Rekomendasi Kebijakan a. Kerjasama antar daerab kabupatenlkota dalam mengembangkan wilayahnya perlu dilakukan lebih intensif, terutama dalam pengembangan wilayah peri urban (WPU). Seperti menurut Yunus (2008) bahwa tatanan kehidupan kekotaan pada masa yang akan datang sangat ditentukan oleh bentuk, proses, dan dampak perkembangan yang terjadi di WPU tersebut. Tanpa ada
82
perhatian khusus pada WPU, sangat dimungkinkan terjadi suatu bentuk dan proses perkembangan fisikal kekotaan baru yang mengarah ke dampak negatif, seperti misalnya pembangunan dan densifikasi permukiman yang tidak terkontrol. b. Di Indonesia belum terlihat adanya upaya pencegahan maupun koreksi terhadap proses perambatan yang berlebihan (excessive urban sprawl) seperti di negara maju. Penerapan konsep smart growth merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan agar perkembangan kota dapat berjalan dengan efisien. Penataan pembangunan kawasan juga penyediaan moda transportasi masal serta kenyamanan bagi warga dalam menggunakan akses transportasi altematif seperti jalur sepeda dan pejalan kaki tentunya akan mendorong terciptanya kawasan kota yang lebih ramah lingkungan. Melindungi lingkungan tidak saja bermanfaat bagi masyarakat generasi sekarang akan tetapi juga bagi generasi mendatang sehingga mereka memiliki sumberdaya yang memadai demi pencapaian kemakmuran ekonomi mereka.
6.3. Keterbatasan Studi Dalam melaksanakan penelitian ini penulis menemui hambatan sebagai berikut: 1. Data yang digunakan dalam studi ini menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu yang sifatnya terbatas, sehingga mungkin ditemukan sejumlah kekurangtepatan dalam mendeskripsikan kondisi yang sesungguhnya. 2. Dalam penelitian ini model estimasi yang digunakan untuk melihat pengaruh aktivitas ekonomi Tangerang terhadap daerah sekitamya terbatas hanya pada beberapa variabel bebas yang ada dalam model penelitian. Untuk itu perlu dipertimbangkan untuk menambah variabel-variabel lain diluar model penelitian ini sehingga dimungkinkan adanya model estimasi baru yang lebih tajam dan mencerminkan keadaan yang sebenamya.
DAFTAR REFERENSI
Anas, Alex, et, al. (1998). Urban Spatial Structure. Journal of Economic Literature Vol. XXXVI, (September 1998), pp. 1426-1464.
Anh, M.T.P., et, al. (2004). Urban and Peri-Urban Agriculture in Hanoi:
Opportunites and Constraints for Safe and Sustainable Food Production. Shanhua, Taiwan: AVRDC - The World Vegetable Center, Technical Bulletin No. 32, AVRDC Publication 04-601.
Anwar, Affendi & Pakpahan (1990). The Problem ofSawah-Land Conversion to
Non Agricultural Uses in Indonesia. Indonesian Journal of Tropical Agriculture Volume 1 Number 2 March 1990. Institut Pertanian Bogor.
Anwar, Affendi. (1993). Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Menjadi Lahan Non
Pertanian Di Sekitar Wilayah Perkotaan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 10 Desember 1993. Institut Teknologi Bandung.
Ballesteros, Marife M. (2000). Land Use Planning in Metro Manila and the
Urban Fringe: Implications on the Land and Real Estate Market. Philippine Institute for Development Studies. Discussion Paper Series No.2000-20.
Baltagi, Badi H. (2005). Econometric Analysis of Panel Data. Third edition. John Wiley & Sons, Ltd. England.
Bambang Irawan (2005). Konversi Lahan Sawah Menimbulkan Dampak Negatif
bagi Ketahanan Pangan dan Lingkungan. Warta Penelitian dan Pengembangan Volume 27, No. 6, 2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Badan Pusat Statistik. Daerah Dalam Angka, Berbagai tahun penerbitan.
83
84
_____. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten I Kotamadya di Indonesia, Berbagai tahun penerbitan. _____. Survey Pertanian Luas Lahan Menurut Penggunaan di Indonesia, Berbagai tahun penerbitan.
Brueckner, Jan K, & David A. Fansler. (1983). The Economics of Urban Sprawl:
Theory and Evidence on The Spatial Size of Cities.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Direktorat Penataan Ruang Wilayah Tengah (2003). Sistem
Informasi dan Dokumentasi Penataan Ruang Wilayah Tengah, Buku Profil Penataan Ruang Propinsi Banten 2003.
Eviews 5 User's Guide, (2004). Quantitative Micro Software, LLC. Galster, George, et, al. (2000). Wrestling Sprawl to the Ground: Defining an
Elusive Concept. Fair Growth,: Connecting Sprawl, Smart Growth, and Social Equity. Fannie-Mae Foundation.
Goldberg, David (1999). Covering Urban Sprawl: Rethinking The American
Dream. A Publication of The Environmental Journalism Center. RTNDF.
Goodwin Procter (2002). Urban Sprawl and Smart Growth: State and Local
Government Adopting "Smart" Solution to a "Growing" Problem. Environmental Advisory.
Gujarati, Damodar & Sumamo Zain. (1978). Ekonometrika Dasar. Erlangga. Jakarta.
Gujarati, Damodar. (2004). Basic Econometrics. Fourth Edition. McGraw-Hill.
Universitas Indonesia
85
_ _ _ _ (2007). Dasar-dasar Ekonometri. Jilid 1. Edisi 3. Erlangga. Jakarta.
Harmadi, Sonny H.B., & M.H. Yudhistira. (2008). Ana/isis Arah Pergerakan
Aktivitas Ekonomi Jakarta Terhadap Daerah Sekitarnya dengan Menggunakan Pendekatan Urban Sprawl. Jurnal Ekonomi Pembangunan Indonesia, Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia; him 59-76.
Kurban, Haydar & Joseph Persky (2007). "Do Metropolitan Areas with Rich
Central City Experience Less Sprawl?" Economic Development Quarterly 2007; 21; 179.
Murakami, Akinobu & Armando M. Palijon. (2005). Urban Sprawl and Land
Use Characterstics in the Urban Fringe of Metro Manila, Philippines. Journal of Asian Architecture and Building Engineering, Vol. 4 No. 1; pp. 177-183.
Nechyba, Thomas J. & Randall P. Walsh. (2004). Urban Sprawl. The Journal of Economic Perspectives; Vol.18, No.4; pp.177-200.
Nicholson, Walter. (2005). Microeconomic Theory: Basic Principles and
Extensions, 9th Edition, Thomson-Southwestern.
Pacione, Michael. (2001). Urban Geography: A Global Perspective. Routledge, New York.
Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang. (2008). Sejarah. 20 Juli 2009. http://www.tangerangkab.go.id/?pilih=hal&id=3
(2008).
Selayang
Pandang.
20
Juli
2009.
http://www. tangerangkab. go .id/?pilih=hal&id=2
Universitas Indonesia
86
Pemerintah Daerah Kota Tangerang, (2008). Laporan Akhir Penyusunan Projil
Daerah Kota Tangerang 2008. Bapeda Kota Tangerang.
_ _ _ _ (2007). Selayang Pandang: Asal Muasal Masyarakat Tangerang. 20 Juli
2009.
http://www.tangerangkota.go.id/
?tab=berita&tab2=8&hal=2&id= 162
(2007). Selayang Pandang: Sejarah Singkat Pemerintahan di
Tangerang.
20
Juli
2009.
http://www.tangerangkota.go.id/
?tab=berita&tab2=8&hal=2&id= 161
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025.
Peraturan Daerah Propinsi Banten Nomor 36 Tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Banten 2002-2017.
Reksomarnoto, Moerdiman. (2006). Megapolitan Jabodetabekjur: Gagasan
Sutiyoso dalam Menjawab Tantangan dan Perkembangan /bukota Jakarta. Pustaka Cerdasindo, Jakarta.
Roberts, Brian, dan Trevor Kanaley, (2006). Urbanization and Sustainablity in
Asia: Good Practices Approaches in Urban Region Development. Asian Development Bank.
Sarzynski, Andrea, et. al. (2006). Testing The Convetional Wisdom About Land
Use and Traffic Congestion: The More We Sprawl, The Less We Move? Urban Studies 2006: 43;601.
Sullivan, Arthur 0. (2007). Urban Economics. Sixth Edition, McGraw-Hill.
Universitas Indonesia
87
Synclair, Robert. (1967). Von Thunen and Urban Sprawl. Annals of the Association of American Geographers, Vol 57, No.I (Mar., 1967), pp. 7287. Taylor & Francis.
Tarigan, Robinson. (2002). Perencanaan Pembangunan Wilayah: Pendekatan
Ekonomi dan Ruang. Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Todaro, Michael P. & Stephen C. Smith. (2008). Pembangunan Ekonomi. Edisi 9 Jilid 1, Erlangga, Jakarta.
Tunas, Devisari. (2008). The Spatial Economy in the Urban Informal Settlement. International Forum on Urbanism (lfoU), Bandung.
Universitas Indonesia
88
Lampiran 1: Hasil Estimasi dengan Pooled Least Squares Method Dependent Variable: L? Method: Pooled Least Squares Date: 11/28/09 Time: 15:18 Sample: 1986 2007 Included observations: 22 Cross-sections included: 3 Total pool (balanced) observations: 66 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
J? M? P? _SERANG-J_TANGERANG _LEBAK--J_ TANGERANG _BOGOR-J_ TANGERANG _SERANG-M_TANGERANG _LEBAK-M TANGERANG _BOGOR-M_TANGERANG _SERANG-P_TANGERANG _LEBAK--P_ TANGERANG _BOGOR--P_TANGERANG _SERANG-KRISIS _LEBAK-KRISIS _BOGOR-KRISIS
0.004574 -0.003741 0.002020 -0.001116 -0.001451 -0.001089 -0.002635 -0.000463 -0.002916 0.015229 0.007728 0.017167 7516.776 2910.856 9494.950
0.002243 0.001066 0.001029 0.001298 0.001103 0.001284 0.000442 0.000431 0.000792 0.001833 0.000992 0.001077 3412.380 3062.341 3331.251
2.039251 -3.510807 1.962109 -0.859397 -1.316111 -0.848043 -5.957021 -1.075707 -3.682725 8.306857 7.792134 15.93974 2.202795 0.950533 2.850266
0.0466 0.0009 0.0552 0.3941 0.1940 0.4004 0.0000 0.2871 0.0006 0.0000 0.0000 0.0000 0.0322 0.3463 0.0063
R-squared Adjusted R-squared S. E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.869556 0.833748 4240.978 9.17E+08 -636.4098
Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
52288.40 10401.19 19.73969 20.23734 2.193725
Universitas Indonesia
89
Lampiran 2: Hasil Estimasi dengan Fixed Effects Method
Dependent Variable: L? Method: Pooled Least Squares Date: 11/28/09 Time: 15:20 Sample: 1986 2007 Included observations: 22 Cross-sections included: 3 Total pool (balanced) observations: 66 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Pro b.
c
60100.24 0.001615 -0.000992 0.000885 0.001245 -0.000984 0.001297 -0.000666 0.000958 -0.002768 -0.002597 -0.001487 0.002726 448.7400 -2878.419 581.0613
7593.437 0.001570 0.000816 0.000780 0.000975 0.000765 0.000963 0.000511 0.000457 0.000609 0.003739 0.002723 0.003139 2605.693 2576.128 3106.058
7.914761 1.029144 -1.215441 1.135270 1.276671 -1.286379 1.346845 -1.303314 2.099069 -4.543646 -0.694393 -0.545899 0.868566 0.172215 -1.117343 0.187074
0.0000 0.3086 0.2301 0.2619 0.2079 0.2045 0.1844 0.1987 0.0411 0.0000 0.4908 0.5877 0.3894 0.8640 0.2694 0.8524
J? M? P? SERANG-J - TANGERANG - LEBAK-J_ TANGERANG - BOGOR-J- TANGERANG - SERANG-M_TANGERANG - LEBAK--M- TANGERANG - BOGOR--M- TANGERANG _SERANG--P_TANGERANG - LEBAK-P_TANGERANG - BOGOR--P_TANGERANG - SERANG-KRISIS - LEBAK-KRISIS - BOGOR-KRISIS Fixed Effects (Cross) _SERANG-C - LEBAK-C - BOGOR-C
11144.96 -15628.28 4483.314 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S. E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.943855 0.923970 2867.982 3.95E+08 -608.5910 2.287239
Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
52288.40 10401.19 18.98761 19.58478 47.46600 0.000000
Universitas Indonesia
90
Lampiran 3: Hasil Estimasi Fixed Effects Method dengan Cross-Section Weights
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 11/28/09 Time: 12:26 Sample: 1986 2007 Included observations: 22 Cross-sections included: 3 Total pool (balanced) observations: 66 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Pro b.
c
58314.89 0.002503 -0.001470 0.001334 0.001242 -0.000932 0.000794 -0.000570 0.000886 -0.002694 -0.003180 -0.001561 0.003870 615.2630 -2757.976 2227.420
7504.863 0.000792 0.001889 0.00081 0.000322 0.000244 0.000751 0.000618 0.000392 0.001328 0.002357 0.00138 0.004462 1626.676 1305.683 4375.027
7.770281 -1.85738 1.324839 1.647013 -1.76894 3.633723 -3.58738 2.011118 -2.37695 0.598227 -1.34895 -1.13074 0.867244 0.378233 -2.11229 0.509122
0.0000 0.0694 0.1915 0.1061 0.0833 0.0007 0.0008 0.0499 0.0215 0.5525 0.1837 0.2638 0.3901 0.7069 0.0399 0.6130
J? M? P? SERANG-J_ TANGERANG - LEBAK-J_TANGERANG - BOGOR-J- TANGERANG _SERANG-M - TANGERANG - LEBAK--M- TANGERANG - BOGOR--M- TANGERANG _SERANG--P_TANGERANG - LEBAK-P_TANGERANG - BOGOR-P_TANGERANG _SERANG--KRISIS - LEBAK-KRISIS - BOGOR--KRISIS Fixed Effects (Cross) _SERANG-C - LEBAK-C - BOGOR-C
14229.88 -14527.40 297.5150 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob( F-statistic)
0.966488 0.954620 2845.902 81.43143 0.000000
Mean dependent var S.D.dependentvar Sum squared resid Durbin-Watson stat
70652.94 24804.37 3.89E+08 2.216416
Universitas Indonesia
91
(Lanjutan)
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.965315 4.02E+08
Mean dependent var Durbin-Watson stat
52288.40 2.336725
Universitas Indonesia