Pengantar
Sri
Moertiningsih
dalam
Naskah
Akademik
Arah
Kebijakan
Ketenagakerjaan 2014-2019 mengungkap suatu analisa penting yaitu Indonesia telah mencapai bonus demografi (demographic dividend) sejak 2010 dan akan mencapai puncaknya sekitar 2020-2030 (Pusat Litbang Ketenagakerjaan, 2013). Peningkatan jumlah dan proporsi populasi usia kerja/ produktif adalah definisi bonus demografi dari Cai (2010). Dalam Population Bulletin disebutkan bahwa bonus demografi adalah pertumbuhan ekonomi yang cepat, yaitu dimulai dengan perubahan struktur usia dalam populasi negara, yaitu menurunnya angka kelahiran dan kematian (Gribble & Bremner, 2012). Bonus demografi adalah proporsi penduduk usia produktif yang sangat besar atau sekitar 69% dari jumlah penduduk, sedangkan rasio angka ketergantungan (dependency ratio) mencapai titik terendah. Artinya, pada saat itu jumlah angkatan kerja sangat besar, dengan tanggungan beban kelompok usia anak dan lansia yang sangat kecil (Pusat Litbang Ketenagakerjaan, 2013). Sebagian besar penduduk usia produktif yang ada pada satu hingga tiga dekade mendatang adalah para remaja dan generasi muda saat ini (Pusat Litbang Ketenagakerjaan, 2013). Proporsi angkatan kerja yang berpendidikan menengah ke atas dari 6,85% menjadi 8,98% selama kurun waktu 2008-2012 (Pusat Litbang Ketenagakerjaan, 2013). Proporsi penduduk yang bekerja pada Agustus 2013 menurut tingkat pendidikannya adalah:
Gambar 1. Diagram Proporsi Penduduk Yang Bekerja Pada Agustus 2013 Menurut Tingkat Pendidikannya (Badan Pusat Statistik, 2013)
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014, individu boleh mulai bekerja (penduduk usia
1
2
kerja/ tenaga kerja) untuk mendapatkan penghasilan adalah ketika mencapai umur minimal 15 tahun. Sementara itu, tidak ada batasan kaku bagi individu untuk berhenti bekerja, karena selepas usia pensiun (tertinggi 62 tahun menurut PP No 65 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32 tahun 1979 tentang pemberhentian Pegawai Negeri), orang masih dapat bekerja jika masih produktif dan memberi kontribusi positif dalam bidang yang digelutinya. UU No. 13 tahun 2003 tentang keternagakerjaan sendiri tidak mengatur Batas Usia Pensiun (BUP) untuk pekerja sektor. Menurut teori perkembangan, remaja (13-18 tahun) laki-laki ingin pekerjaan yang menarik dan bermartabat tinggi versus tuntuan pekerjaan dan kesempatan untuk bekerja. Remaja juga belajar membedakan antara pilihan pekerjaan yang disukai dengan yang dicita-citakan. Mereka juga sadar bahwa biaya hidup besar dan tinggi sementara penghasilan fresh graduate kecil (Hurlock, 1980). Super (dalam Eliason & Patrick, 2008) mengemukakan bahwa umur kronologis 15-24 tahun merupakan tahap exploratory yang dicirikan dengan fase tentatif dimana pilihan-pilihan (karir) sudah mengerucut tetapi belum difinalisasi. Tahap ini menjadi tahap yang tepat bagi individu untuk mempersiapkan diri sebelum memasuki tahap berikutnya, yaitu establishment (25-45 tahun). Remaja juga harus mampu mengambil keputusan tentang masa depan, diantaranya yaitu pilihan karir atau penjurusan sebagai salah satu pemenuhan tugas perkembangannya (Santrock, 2002). Anak usia sekolah saat ini perlu dipersiapkan dengan baik karena ketika berusia sekitar 25-35 tahun akan berkontribusi di dunia kerja (Fachri, 2014).
3
Gambar 2. Diagram Alur Proses Berkarir Remaja Mulai Dari SMA
Poin penting yang perlu dicatat adalah bahwa bonus demografi hanya akan dialami sekali bagi sebuah bangsa (Pusat Litbang Ketenagakerjaan, 2013) karena setelah tahun 2045 jumlah penduduk Indonesia akan semakin meningkat sebagai dampak banyaknya penduduk lanjut usia karena usia harapan hidup yang meningkat (Fachri, 2014). Namun pandangan Cai (2010) menjadi kabar baik, yaitu bahwa bonus demografi muncul untuk kedua kalinya dengan syarat terpenuhinya beberapa kondisi institusional yang penting, yaitu peningkatan usia harapan hidup, orang memiliki usia yang panjang dan lebih sehat. Untuk
mendapatkan
buah
dari
bonus
demografi,
negara
harus
menanamkan modal dalam bidang sumber daya manusia (SDM) pada segi kesehatan dan pendidikan, menerapkan kebijakan ekonomi dan tata kelola, dan mempertahankan komitmen politik (Gribble & Bremner, 2012). Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Fasli Jalal, peluang tersebut dapat diraih dengan adanya kesempatan kerja produktif, iklim investasi yang kondusif, dan peningkatan kualitas SDM Indonesia (Fachri, 2014). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hasil sensus penduduk 2010 angka rasio ketergantungan adalah 51,3%. Chris Manning (Guru Besar Ekonomi Australian National University) mengingatkan bahwa bonus demografi ini kemungkinan besar tidak akan dapat dimanfaatkan oleh Indonesia melihat
4
rendahnya kualitas penduduk Indonesia baik dari aspek pendidikan maupun keterampilan (Pusat Litbang Ketenagakerjaan, 2013). Dorodjatun
Kuntjoro
Jakti
(Pusat
Litbang
Ketenagakerjaan,
2013)
menambahkan, jika tidak dilakukan aksi sejak sekarang, maka yang akan terjadi bukanlah windows of opportunity, melainkan door to disaster. Pengangguran akan didominasi oleh penduduk muda dan terdidik yang dapat mendorong timbulnya sosial unrest dan peningkatan jumlah penduduk miskin. Jalal menjelaskan, untuk mengantisipasi ancaman kegagalan pemanfaatan bonus demografi tersebut, maka sejumlah faktor penentu harus diperhatikan. Faktor tersebut meliputi penanganan anak usia sekolah, peningkatan etos kerja, pendidikan
kewirausahaan,
peningkatan
keahlian
dan
kesehatan,
serta
pemberdayaan perempuan (Fachri, 2014). Survey BPS (2014) menunjukkan angkatan kerja pada 2004-2013 berjumlah 121,19 juta orang, dengan tingkat pengangguran terbuka mencapai 11,24% (2014). Sementara itu, sepanjang 2008-2012, penduduk Indonesia yang setengah menganggur atau yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu masih cukup tinggi, yakni sekitar 30% (Pusat Litbang Ketenagakerjaan, 2013). Sebagian besar dari penganggur terbuka ini berumur muda, yaitu 15-24 tahun dan 25-29 tahun (Pusat Litbang Ketenagakerjaan, 2013). Kelompok umur 15-19 tahun didominasi oleh mereka yang berpendidikan SMTA Kejuruan dan SMTP, dan kelompok umur 20-24 tahun didominasi oleh mereka yang berpendidikan Diploma dan SMTA UMUM (Pusat Litbang Ketenagakerjaan, 2013). BPS (2016) juga menemukan bahwa selama 15 tahun terakhir (2000-2015) lulusan SMA (meliputi SLTA Umum dan Kejuruan) masih menepati prosentase terbesar dari pengangguran terbuka, yaitu 40%. Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa sebagian dari para penganggur tersebut sudah mengikuti pelatihan kerja dan bersertifikat. Selain itu, pada kenyataannya TPT antara yang pernah mengikuti pelatihan dan yang tidak mengikuti pelatihan hampir sama saja. Ini menunjukkan bahwa tidak ada atau sangat kecil civil effect dari pelatihan terhadap kesempatan untuk memperoleh pekerjaan atau berusaha. Jenis pelatihan kerja yang dilaksanakan, antara lain: otomotif, listrik, tata niaga, bangunan, aneka kejuruan, pertanian, dan pariwisata (Pusat Litbang Ketenagakerjaan, 2013). Disebutkan dalam rangkuman diskusi kelompok terarah yang diselenggarakan oleh kelompok Facebook Pemerhati
5
Bonus Demografi (Indragara, 2015) bahwa ternyata kursus atau pelatihan ketrampilan untuk siap bekerja masih perlu dikembangkan. Hasil survey yang dilakukan oleh International Labor Organozation (ILO)-International Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC) pada tahun 2006 terhadap pasar pekerja muda Indonesia dan dampak dari putus sekolah di usia muda dan pekerja anak menunjukkan bahwa di bagian Timur Indonesia, 88% dari responden tidak pernah menerima bimbingan karir. Sedangkan 12% responden pernah menerima bimbingan karir. 80% dari responden yang mendapatkan bimbingan karir menyatakan bahwa bimbingan karir yang diterimanya berguna dalam mencari pekerjaan. Tahun 2009-2014 peneliti tergabung dalam tim rekrutmen dan seleksi karyawan baru perusahaan pertambangan dan penyedia jasa pertambangan. Seleksi dilaksanakan terhadap kandidat berasal dari SMU dan SMK pilihan di kota Cilacap, Yogyakarta, Solo, Semarang, Madiun, Blitar, Kediri, dan Malang. Pelaksana seleksi adalah sekolah diwakili guru bimbingan konseling dan karir (BKK), tim human resource and development (HRD) yang terdiri dari perwakilan HRD perusahaan dan mahasiswa magister psikologi profesi dan user yang terdiri dari perwakilan Departemen Engineering, Operation, Production, Plant, dan Warehouse, serta Direksi. Sepanjang penugasan tersebut peneliti melakukan diskusi kelompok terarah dengan tim HRD dan user. Secara ringkas hasil diskusi tersebut menunjukkan bahwa kandidat yang gugur pada umumnya: kurang wawasan mengenai dunia kerja dan kurang siap memasuki dunia kerja tersebut. Jika dirinci, maka yang dimaksud adalah kurang minat karena salah jurusan, tidak mengembangkan/ meningkatkan kemampuan, belajar hanya secara formal, tidak membekali dengan keterampilan, pemahaman rendah mengenai safety, kurang inisiatif dan mandiri, motif kerja kurang jelas, dorongan belajar rendah, kurang mampu mempromosikan diri dan membangun jaringan, kurang aktif organisasi, kurang mampu berpikir alternatif termasuk alternatif karir jika gagal seleksi, pengelolaan sumber daya kurang efektif dan efisien, pemahaman diri yang rendah, sikap yang kurang tepat terhadap pekerjaan dan orang lain, tidak paham compensation dan benefit, pemahaman rendah terhadap organisasi dan bisnis perusahaan, tidak siap menghadapi roster kerja atau enggan bekerja di seluruh Indonesia, enggan mencoba karir yang berbeda dengan latar belakang pendidikan, tidak punya pandangan tentang potensi
6
aktualisasi minat dan bakat di dalam berkarir, tidak lolos medical check-up (MCU), dan mengembangkan perilaku hidup kurang sehat. Kondisi-kondisi tersebut masih ditemui, meski BKK sudah melakukan seleksi awal, yaitu administrasi berupa menyaring kandidat, dari segi nilai akademis; sikap secara umum; fisik (tinggi badan sesuai persyaratan dan tidak terlalu gemuk); serta memiliki potensi bagus dan tekun. Temuan peneliti di atas didukung hasil penelitian Buff & O’Connor (2012) yaitu bahwa menyiapkan siswa untuk berkarir merupakan hal penting dan banyak siswa yang tampak kurang sadar mengenai pilihan karir yang ada. Secara umum, rendahnya kepedulian atau kesadaran (awareness) dan perilaku karir pada siswa SMA juga terbukti dalam penelitian yang dilakukan Mitchell (Johnson, 2000) yang secara khusus tampak pada kesulitan yang mereka alami untuk melihat manfaat bidang akademis dalam dunia kerja dan mencari hubungan antara pembelajaran akademis dan kinerja. Secara khusus, hanya separuh dari subyek yang mampu mengidentifikasi keterampilan yang diperlukan agar sukses berkarir; tidak satupun yang menyebutkan mengenai pengetahuan yang mereka pelajari saat ini berguna bagi kesuksesan karir; dan hanya sebagian kecil yang mampu merefleksikan kesadaran mengenai cara untuk mengembangkan keterampilan, pengetahuan, dan sikap bagi kesuksesan karir; sangat minimnya pengetahuan tentang hal apa yang termasuk dalam jenis pekerjaan yang menjadi apirasi karir mereka (Johnson, 2000). Berdasar data Susenas 1995, 2001, 2004, Riskesdas 2007 dan 2010, perokok remaja laki-laki meningkat lebih dari 2 kali lipat tahun 2010, perokok remaja perempuan meningkat tajam lebih dari 5 kali lipat, dan perokok usia anakanak (10-14 tahun) diperkirakan naik 6 kali lipat selama duabelas tahun terakhir (studi KPAI dan UHAMKA, 2007). Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI Abdillah Ahsan, SE, MSE mengungkapkan, “Anak-anak SMP saat ini akan memasuki usia kerja pada 2020. Jika usia SMP sudah merokok pada saat ini, maka pada saat dia bekerja malah akan sakit” (NB-Dishumas IPD, 2012). Perilaku anak muda saat ini akan membentuk kehidupan selanjutnya, dimana merokok, konsumsi alkohol berlebih, kurang gerak (sedentary life style), dan obesitas akan meningkatan hambatan sektor kesehatan (Gribble & Bremner, 2012). Selain gaya hidup di atas, penyalahgunaan narkoba juga berdampak
7
buruk pada perjalanan karir (Mahoney, Tedrick, Jackson, & Zografos, 2013; Agumba, 2011; Smith, 2007). Hal-hal tersebut di atas, merefleksikan rendahnya career awareness (CA) pada remaja atau generasi muda seperti yang disampaikan Newlon, Nye, & Hill (1985) dimana banyak pemuda menunjukkan kurangnya CA memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki pemahaman tentang bidang-bidang tertentu, training yang diperlukan, atau tugas yang dikerjakan. CA didefinisikan oleh Fadale (1975) sebagai pengetahuan, sikap sosial, pengalaman pribadi dan aspirasi seseorang terhadap karir. Sembilan aspek yang menyusun
CA
dalam
career
awarenes
inventory
adalah
identification,
relationship, function, training, prestige, role models, future, importance, dan advantages. Ia kemudian meringkasnya menjadi 5 aspek, yaitu basis of preparation for work, basis of decision conceming prestige, basis of job importance, source of role models, dan basis of future aspirations. Secara implisit, menurut McLure (1975) pendidikan karir di sekolah dasar (SD) dinyatakan untuk menghasilkan CA, yaitu pemahaman terhadap dunia kerja dan self-awareness. Pemahaman terhadap dunia kerja meliputi: paham bahwa pilihan karir itu kompleks dan berpengaruh terhadap seluruh kehidupan; memiliki sikap positif terhadap pekerjaan dan kontribusinya bagi pemenuhan diri dan kesejahteraan keluarga, komunitas, negara dan dunia; menghargai dan menghormati seluruh pekerja; sektor ekonomi dan hubungannya dengan pekerjaan dan kesejahteraan ekonomi seseorang; kemampuan seseorang berpengaruh terhadap produktivitas; macam-macam reward dan kepuasan kerja yang dihasilkan dari profesi mereka; cluster pekerjaan dan mengapa orang memilih karir dengan alasannya; hubungan antara kerja dan sekolah; dan bahwa orang lebih penting daripada mesin (McLure, 1975). Hal yang termasuk dalam self-awareness antara lain: mempertahankan perasaan self-worth, martabat, dan hasrat untuk mencapai tujuan pribadi; memiliki sikap positif terhadap orang lain dan menghargai perbedaan individu; memahami bagaimana bekerjasama untuk menghasilkan barang dan jasa secara maksimal; mengenali kemampuan pribadi, minat, dan potensi karir; memahami pengaruh pihak lain terhadap sikap dan nilai kerja; mengembangkan kebiasaan kerja dan karakter yang baik (McLure, 1975). Definisi CA dari Makay (1980) dan Mague (1982) adalah tingkat pengetahuan dan sikap terkait tujuh bidang perkembangan dari pendidikan karir
8
atau secara operasional merupakan skor total career knowledge dan career attitude siswa dalam Ohio Career Education Inventory (OCEI). Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan, tetapi Johnson (2000) menyatakan bahwa CA adalah disposisi kesadaran seseorang mengenai self knowledge, ekplorasi pendidikan dan pekerjaan, dan perencanaan karir. Fouad (2001) menggunakan CA berdasarkan cognitive vocational maturity yang diajukan oleh Westbrook & Parry-Hill, yaitu pengetahuan mengenai bidang pekerjaan, seleksi pekerjaan, kondisi pekerjaan, pendidikan yang diperlukan bagi beberapa pekerjaan, sifat yg dibutuhkan, dan tugas pekerjaan. Doubek (2001) membuat kesimpulan tentang CA dari beberapa teori, yaitu bahwa CA merupakan hasil dari kecerdasan, kepribadian atau konsep diri, faktor lingkungan yang mempengaruhi motivasi, dan self-efficacy. Mahon & Watson (2005) menyusun manuskrip yang tidak diterbitkan tentang revised career awareness survey (RCAS) yang bertujuan mendapat informasi mengenai pengetahuan dan pemahaman anak terhadap dunia kerja. RCAS terbagi kedalam 5 bagian: personal-social knowledge, menyebutkan/ menamai profesi, melakukan nominasi mengenai keberhasilan pekerjaan dan gender, pengkodean pekerjaan kedalam kelopok pekerjaan umum, dan memasangkan mata pelajaran yang berhubungan dengan 6 pekerjaan. Perhatian terhadap muatan pekerjaan, kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap perkembangan karir mereka pribadi, dan semakin ekspresifnya mengenai apa yang akan mereka lakukan dalam pekerjaan merupakan indikator adanya perubahan CA (Ishikawa, Mizuno, & Amundsen, 2009). Sedangkan definisi yang diberikan oleh Eliason & Patrick (Nasir & Lin, 2013) adalah kesadaran atau kepedulian seseorang terhadap kesempatan karir yang tersedia dan kebutuhan karirnya. CA meliputi enam aspek, antara lain: kesadaran
atau
kepedulian
terhadap
informasi
mengenai
persyaratan
pendidikan, persyaratan keterampilan, jenis profesi yang tersedia, iklim kerja, peraturan-peraturan dan harapan dari bidang atau industri tertentu. CA dalam predictor implementation self-assessment, disebut pembelajaran mengenai kesempatan, pendidikan, dan keterampilan yang diperlukan dalam bermacam-macam jalur karir untuk memilih karir yang sesuai dengan kelebihan dan minat seseorang (NPSO & NSTTAC, 2013).
9
Karir sendiri merupakan keseluruhan pekerjaan yang dilakukan seseorang sepanjang hidupnya, termasuk kegiatannya untuk mengisi waktu luang (Hoyt, 1973). Secara umum, dalam Merriam-Webster Dictionary career adalah pekerjaan atau profesi yang dilakukan oleh seseorang dalam jangka waktu yang lama; jangka waktu yang dimanfaatkan untuk menjalankan pekerjaan atau profesi dan awareness adalah pengetahuan dan pemahaman tentang banyak hal yang sedang terjadi di sekeliling; memiliki atau menunjukkan kesadaran, persepsi atau pengetahuan (terhadap sesuatu) (Stanfy Corp, 2014). AVA-NVGA Commission on Career Guidance and Vocational Education memberikan definisi karir sebagai upaya berkelanjutan untuk mewujudkan pola hidup yang bertujuan melalui pekerjaan yang dijalani individu (Eliason & Patrick, 2008). Karir bukan saja pekerjaan dan jabatan/ profesi, tetapi proses pengambilan keputusan yang terjadi
sepanjang
hidup
mengenai
bagaimana
individu
akan
menjalani
kehidupannya (Eliason & Patrick, 2008). Sehingga dari definisi umum tersebut dapat disimpulkan bahwa CA adalah kesadaran, pengetahuan, pemahaman, dan persepsi seseorang mengenai profesi yang dilakukan oleh seseorang dalam jangka waktu yang lama. CA dinilai penting karena berpengaruh terhadap atau menjadi awal bagi munculnya: konsep diri dan penyesuaian sosial oleh teman sebaya (Makay, 1980); persiapan kerja (Barlow dalam Mague, 1982); pengambilan keputusan karir (McWhirter, Nichols, & Banks, 1984); pengambilan keputusan karir atau pendidikan, konsistensi pemilihan karir, serta pemilihan karir yang selanjutnya berpengaruh pada intensi karir (Newlon, Nye, & Hill, 1985); keakraban dengan bidang kerja, pendidikan yang dibutuhkan dan kesempatan kerja, dan dunia kerja suatu profesi (Strutt & Solomon, 1987); pengetahuan mengenai kesempatan karir (Evanoski & Tse,
1989);
pengambilan keputusan karir (Beale, 2000);
perkembangan karir (Johnson, 2000); motivasi dan self-efficacy, serta kepuasan hidup (Doubek, 2001); pengetahuan tentang pekerjaan, kepercayaan diri, usaha untuk berprestasi, pemilihan jurusan di SMU, serta pemilihan kursus dan upaya individu untuk berprestasi di SMU (Fouad, 2001); perkembangan pemilihan karir (Mackie & Thomas, 2005); (bersama-sama dengan perencanan karir) proses transisi pensiun dan apresiasi terhadap kebutuhan transisi karir (Lavalle, 2006); aspirasi karir, untuk mengetahui kebutuhan karyawan dalam tuntutan kerja di masa yang akan datang, individu agar tahu bagaimana meraih pendidikan dan
10
pengalaman (Crompton, 2012); titik awal bagi perkembangan karir (Nasir & Lin, 2013); penelurusan, persiapan, dan pilihan karir (Turner & Lapan, 2013). Beberapa penelitian membuktikan bahwa CA dapat ditingkatkan melalui: integrasi CA kedalam materi umum, mengamati tugas pekerja, beberapa media, metode dan sumber dari luar (McLure, 1975); Berbasis sekolah atau contoh pendidikan karir komprehensif (Herr & Cramer, 1979); stasiun kerja, acara umum, workshops, seminar, tenda informasi (Rudnick & Wallach, 1980); konseling, diskusi kelompok, alat asesmen (McWhirter, Nichols, & Banks, 1984); workshop (studi tur, kunjungan lapangan, kejelasan nilai, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan) (Newlon, Nye, & Hi/ll, 1985); belajar mengenai pekerjaan dan orang yang terlibat secara nyata dalam pekerjaan (Zunker, 1998); fieldtrip (Beale, 2000); koneksi karir, kunjungan lapangan, pembicara, dan pendampingan (Fouad, 2001); konseling karir (Boyd, Hemmings, & Braggett, 2001); pendidikan karir (Mackie & Thomas, 2005); majalah (Alcaraz, Kreuter, Davis, Rogers, Samways, & Bryan, 2008); informasi yang berhubungan dengan karir (perusahaan dan deksripsi pekerjaan) (Ishikawa, Mizuno, & Amundson, 2009); pusat karir dan profesor (dalam bidang tertentu) (Buff & O’Connor, 2012); eksperimen dan pembacaan cerita (Lawrence & Mancuso, 2012). Beberapa peneliti memberikan saran atas pelaksanaan pendidikan dan kursus CA, yaitu: membantu mencapai dan menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap penting dalam bekerja Hoyt (1977); membantu mengembangkan pemahaman mengenai kemampuan, bakat, dan minat; pilihan pendidikan dan karir; serta kursus sesuai dengan kemampuan, minat, dan kesempatan (Eliason & Patrick, 2008); memberikan kesempatan CA yang lebih fleksibel dan dini, serta menekankan pada penemuan makna pribadi dan mencerminkan nilai pribadi seseorang melalui pilihan karir komunitas (Boyd, Hemmings, & Braggett, 2001); terpusat pada klien; sistemik dan menjadi arus utama; memiliki banyak segi; melibatkan siswa/ mahasiswa secara aktif; melibatkan komunitas sekolah/ perguruan tinggi secara lebih luas; menggunakan informasi yang relevan, mudah diakses, dan ramah pengguna (McCowan & McKenzie dalam Boyd, Hemmings, & Braggett, 2001); menyediakan informasi mengenai persyaratan pendidikan dan karakter dari pekerjaan di pasar tenaga kerja lokal, program pendidikan di pendidikan tinggi negeri harus memiliki hubungan dengan pekerjaan tersebut, keterampilan yang dimiliki siswa, dan latar
11
belakang pendidikan dan pekerjaan tersebut (Alamprese, 2011); idealnya didukung dengan peraga visual (Buff & O’Connor, 2012). Contoh isi program pendidikan karir, antara lain: eksplorasi diri, pengelolaan waktu, belajar keterampilan, perencanaan pasca pendidikan dan karir, pengambilan keputusan, penelitian kerja, keikutsertaan pencarian bakat, pemberian informasi yang rinci mengenai pemilihan perguruan tinggi, pencarian beasiswa,
kursus
kerja
kilat,
penyeimbangan
aktivitas
ekstrakurikuler,
pembelajaran persyaratan masuk kerja dengan bidang kerja yang berbeda, pembelajaran gaya hidup sehubungan karir yang berbeda, konseling khusus perempuan, kesempatan belajar dalam komunitas, keikutsertaan karyawan, siswa dan orangtua dalam perencanaan dan pelaksanaan, konsentrasi ulang pada kontinum pengembangan karir, pengembangan kurikulum berorientasi karir yang lebih fleksibel, kegiatan untuk membantu siswa mengembangkan peningkatan self-awareness dan CA, kejelasan nilai dalam mencari karir yang bermakna, pengalaman kerja (Boyd, Hemmings, & Braggett, 2001). Berikut ini adalah penelitian yang sudah membahas mengenai karir dan remaja atau individu pada masa dewasa awal. Peran konseling karir untuk meningkatkan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir siswa perempuan SMP (Setiawati, 2009), hasilnya kelompok siswa perempuan yang mendapat konseling karir menunjukkan tingkat efikasi diri dalam pengembilan keputusan karir yang lebih tinggi; peranan program career hope dalam peningkatan kemampuan bahasa ekspresif pada remaja autis (Fidianti, 2010) dengan hasil program career hope berperan meningkatkan kemampuan bahasa ekspresif remaja autis; Peran konseling karir “Bersama Menggapai Cita” dalam meningkatkan keterampilan penetapan keputusan karir siswa perempuan SMA (Lestari, 2010), hasilnya konseling karir “Bersama Menggapai Cita” dapat meningkatkan keterampilan penetapan keputusan karir siswa perempuan SMA; career planning program for increasing career search self-efficacy (Tarigan & Wimbarti, 2011) menyatakan bahwa program perencanaan karir dapat meningkatkan career search self-efficacy sarjana S1 yang diikuti peningkatan aktivitas eksplorasi karir; pengaruh berbagi pengetahuan dalam perencanaan karir terhadap efikasi diri para pencari kerja dalam membuat keputusan karir (Santoso, 2013) membuktikan perencanaan karir dengan metode berbagi pengetahuan secara signifikan meningkatkan efikasi diri dalam membuat
12
keputusan karir pencari kerja, yang berdampak pada munculnya respon perilaku positif terhadap tugas-tugas karir pilihannya; dan menurut Tennyson, siswa yang tidak difasilitasi sepanjang proses perkembangan karir akan mengalami kesulitan untuk memahami fungsi-fungsi dalam dunia kerja (Eliason & Patrick, 2008). Merujuk kepada pentingnya persiapan Indonesia menghadapi puncak bonus demografi, data penganggguran dari BPS, hasil penelitian yang menunjukkan pentingnya dan rendahnya CA pada siswa, hasil penelitian yang mengemukakan pernyataan dari karyawan sendiri bahwa pendidikan karir di tingkat perguruan tinggi (PT) merupakan langkah yang terlambat (Ishikawa, Mizuno, & Amundsen, 2009), hasil diskusi kelompok terarah dengan pihak HRD dan user, dan sebagai tindak lanjut penelitian Tarigan dan Wimbarti (2011), maka perlu dilakukan suatu intervensi kepada siswa sekolah sebagai calon tenaga kerja agar kedepannya siap memasuki dunia kerja setelah menyelesaikan proses belajarnya. Titik awal persiapan ini adalah career awareness (CA). Menurut Monks, Knoers, & Haditono (1998) pendidikan yang emansipatoris membantu remaja melepaskan dirinya dari status interim (sudah bukan anakanak, tetapi belum mendapat status dewasa penuh), sehingga akan menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab. Dengan demikian, untuk meningkatkan CA pada siswa SMA perlu intervensi, salah satunya melalui pendidikan yang idealnya emansipatoris. Berlandaskan teori dan hasil penelitian di atas, peneliti bermaksud mengetahui apakah program i-ACT (accelerated career training) mampu meningkatkan CA siswa SMA. Program i-ACT diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dalam meningkatkan CA siswa SMA, yaitu cepat, ringkas, menarik, dan dapat melibatkan seluruh aspek individu dalam proses belajar. Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah program i-ACT mampu meningkatkan career awareness pada siswa SMA.
13
Gambar 3. Kerangka Berpikir Penelitian