Bab Tiga
Pengalaman Penelitian Bersama Informan
Pengantar Isi bab ini akan menjelaskan seluruh proses pengalaman penelitian yang berlangsung di lokasi penelitian. Sejak korespondensi hingga proses pengambilan data lapang dipersiapkan sebaik mungkin sesuai dengan tahapan-tahapan baku penelitian. Sehingga seluruh proses tersebut dapat dinarasikan untuk mengkonstruksi kembali kehidupan keseharian papalele sebagai satu fenomena dalam masyarakat. Dilanjutkan dengan pembahasan seputar proses, tahapan pengumpulan data penelitian. Bagi sebagian orang, pengalaman dalam meneliti mungkin telah dianggap sebagai hal yang tidak terlalu sulit karena rutin telah dijalani. Sebaliknya bagi sebagian orang lain, proses penelitian tidaklah mudah untuk menemukan dan memunculkan keunikan (unigueness) untuk menghasilkan karya penelitian yang baru (new idea) terkait konstruksi dan fenomena kehidupan masyarakat. Saya nampaknya sependapat dengan pandangan yang terakhir. Sehingga bagian ini akan menjelaskan seluruh proses dan pengalaman selama penelitian berlangsung. 53
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
Penelitian di Desa (Negeri) Hatalae Lokasi (locus) penelitian sangat menentukan proses dan hasil yang akan dicapai. Penentuan lokasi penelitian seharusnya tidak sekedar asal memenuhi syarat ‘tertentu’. Lokasi penelitian wajib memenuhi kriteria sesuai dengan konteks dan perspektif subjek yang akan diteliti berdasarkan metode penelitian. Lokasi harus memiliki pertimbangan dan argumentasi yang dapat diterima secara logis dan relevan. Atas dasar itu ada tiga pertimbangan pokok yang layak menjadikan Hatalae sebagai lokasi penelitian; pertama, di Ambon terdapat lima kecamatan dengan 19 kelurahan dan 31 negeri 1 (Kota Ambon dalam Angka, 2007). Hatalae dengan luas 5.965 ha, adalah salah satu desa di Kecamatan Leitimur Selatan 2 kota Ambon (Perda No. 6 Tahun 2006), yang memiliki jumlah papalele jauh lebih banyak dibandingkan dengan negeri-negeri lainnya. Kurang lebih terdapat 35 orang yang berprofesi sebagai papalele. Selain jumlah papalele yang signifikan, juga tingkat dinamisasi papalele di negeri ini sangat variatif. Tingkat variasi ini terkait dengan pola aktivitas yang berbeda satu dengan yang lainnya, baik secara berkelompok ataupun secara individu. Kedua, umumnya mereka yang menjadi papalele dari sini agak berbeda 1 ‘Negeri’ adalah nama lain untuk ‘Desa’. ‘Negeri’ dipimpin dan perintah oleh Raja yang dipilih oleh rakyat. Sejak penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Sistim Pemerintahan di daerah, ‘Negeri’ diganti dengan ‘Desa’. Kepala Desa tidak dipilih oleh rakyat tetapi ditunjuk oleh pimpinan setingkat di atasnya. Seiring dengan ‘reformasi’ di Indonesia, dalam perspektif Otonomi Daerah dengan munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hingga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, perubahan pun terjadi. Pemerintah kota Ambon melakukan penyesuaian dengan realitas kehidupan masyarakat, di mana wilayah-wilayah adat setiap desa/negeri dikembalikan sesuai asalnya. Kemudian ‘Desa’ diganti dan dikembalikan lagi ke kata ‘Negeri’ 2 Kecamatan Leitimur Selatan adalah salah satu kecamatan hasil pemekaran dari kecamatan Sirimau dan kecamatan Teluk Ambon Baguala. Luas wilayah kecamatan ini 50,50 km2 dengan jumlah penduduk pada saat dibentuk sebanyak 9.110 jiwa. Dalam kecamatan ini juga terdapat delapan Negeri yaitu: Negeri Hatalai, Kilang, Ema, Naku, Hukurila, Leahari, Rutong dan Negeri Hutumuri (Perda kota Ambon No 2 Tahun 2006).
54
Pengalaman Penelitian bersama Informan
dengan desa lain. Perbedaannya pada aktivitas mereka saat berkelompok dan ketika bergerak dan memobilisasi produk yang akan dijual. Walaupun memang ada juga yang bergerak secara individu. Ketiga, jarak yang ditempuh dari negeri Hatalae ke pusat kota Ambon atau sebaliknya ± 13,80 km, mengingat Hatalae terletak di jazirah Leitimor arah pantai selatan kota Ambon, dan menempati posisi di atas puncak gunung. Sehingga menurut saya lokasi ini sangat strategis terkait dengan jarak tempuh serta akan melewati beberapa desa lain yang umumnya masyarakat di sekitar desa ini memiliki profesi yang sejenis.
Pengamatan awal Pengamatan (observasi) awal terhadap papalele dilakukan untuk mematangkan penelitian. Setelah tema penelitian tentang papalele diterima dan disetujui, tanpa membuang kesempatan peneliti bergegas kembali ke Ambon untuk melakukan pengamatan tahap awal pada akhir minggu pertama Januari sampai dengan akhir Maret 2008. Setibanya, peneliti mulai berkeliling di beberapa lokasi pasar seperti, pasar Mardika, pasar lama, pasar Batu Merah-Mardika, pasar Batu Meja 3 dan depan Swalayan Citra. Lokasi ini merupakan tempat yang biasanya papalele menjajakan barang dagangan. Peneliti bertemu beberapa di antara mereka yang sedang asyik melakukan tawar menawar dengan pembeli, bahkan beberapa di antaranya juga sementara bercengkerama dengan pedagang lain sambil me3 Pasar Batu Meja merupakan pasar alternatif bagi umat Kristen yang masih bertahan sejak 1999 hingga awal tahun 2008. Kira-kira beberapa bulan kemudian, oleh Pemerintah kota Ambon pasar ini ditertibkan. Mengingat situasi keamanan sejak akhir konflik sudah kondusif, sehingga kota harus ditata kembali seperti sebelum konflik. Pertimbangannya adalah pasar Mardika yang selama ini terbakar dan hancur saat konflik telah direnovasi dan bisa ditempati lagi, selain itu diharapkan kedua komunitas yang bertikai dapat menyatu kembali.
55
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
nunggu pembeli. Pada tahap ini, posisi peneliti hanya mengamati perilaku papalele dan belum berkomunikasi, prinsipnya lebih banyak memperhatikan mereka berinteraksi dengan sesama papalele, pembeli dan atau pedagang di sekitar lokasi mereka berjualan. Tidak terlalu sulit untuk menemukan para papalele di pasar. Selain itu, umumnya di kelima lokasi pasar tersebut tidak sulit untuk membedakan antara papalele dan pedagang. Bagi saya, identifikasi pembeda mereka lebih dititikberatkan pada pakaian kebaya yang dipakai. Mengingat secara umum masyarakat pun memiliki pemahaman yang sama dalam membedakan papalele dengan pedagang lain. Untuk identifikasi lanjut pada tahap ini, peneliti mulai mendekati beberapa papalele dan bertanya seputar harga buah yang dijual dan desa asal mereka. Ternyata mereka berasal dari desa berbeda yang menempati lokasi secara bersama. Di antarnya desa yang mereka sebut, seperti Desa Hatalae, Naku, Kilang, Soya dan Pulau Saparua di Maluku Tengah. Menyapa dengan hangat dan sopan sekalipun mereka tidak mengenal orang yang mengajak bicara. Sebagai penjual, ramah terhadap orang lain sangat diperlukan. Sifat ini adalah cara menarik simpati orang yang mengajak berbicara. Dengan senyum dan dialek Ambon yang khas mereka menyambut saya berdiskusi walau sebentar. Seperti papalele yang berlokasi di depan Swalayan Citra, sambil duduk dekat mereka saya bertanya seputar lamanya usaha, asal buah yang dijual, dan cara menata buah. Pertanyaan ini bersifat umum dan belum menjadi bagian dari pokok pedoman wawancara yang akan disusun. Hanya sekedar untuk menangkap informasi awal yang kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam pedoman wawancara. Sambil bercerita dengan mereka sesakali saya berkesempatan mengambil gambar (memotret) kegiatan yang sementara mere56
Pengalaman Penelitian bersama Informan
ka dilakukan. Hal yang sama juga saya lakukan terhadap beberapa papalele lain di pasar Mardika. Sebelumnya pada masa konflik di Ambon, pasar Mardika tidak lagi berfungsi karena ludes terbakar. Namun kini, pasar tersebut telah direnovasi dan dapat digunakan kembali oleh pedagang dan masyarakat seperti masa sebelum konflik. Pembangunan kembali pasar Mardika oleh Pemerintah Daerah merupakan salah satu bentuk membangun kembali persaudaraan antar kelompok masyarakat yang beberapa waktu lalu berkonflik. Setelah melakukan pengamatan awal sambil menghimpun beberapa data, peneliti menyusunnya sebagai naskah penelitian pendahuluan. Hasil pengamatan dan pencatatan kecil yang dibuat, diperhatikan dan dipelajari kembali untuk menyusun pedoman wawancara. Guna memperkuat penyusunan pedoman wawancara yang akan dipakai nanti, sesekali juga peninjauan kembali (review) pada beberapa literatur dan berbagai jurnal penelitian dari berbagai sumber yang relevan untuk menemukan gambaran aktivitas papalele. Namun demikian tinjauan terhadap buku dan jurnal yang relevan dilakukan tidak dimaksudkan untuk melandasi dan menjadikannya sebagai pokok teoritis. Paling tidak dengan cara itu, bisa ditemukan pintu masuk untuk memahami papalele dan dinamika kehidupan sehari-hari.
Penelitian lapangan Diskusi bersama Promotor dan co-Promotor dilakukan untuk mendapatkan perspektif (angle) yang sama. Pada minggu kedua akhir bulan Oktober 2008, sebelum peneliti kembali ke Ambon masuk lokasi penelitian, Promotor meminta peneliti berdiskusi bersama dua co-Promotor yang lain untuk memperjelas pedoman wawancara yang digunakan. Kami melakukan 57
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
diskusi guna persiapan masuk lokasi penelitian untuk menyatukan persepsi yang sama. Hal yang penting adalah data yang hendak diambil, tidak akan mengalami bias. Diskusi ini berlangsung dua kali setiap hendak masuk lapangan, sehingga dengan diskusi yang dilakukan akan membantu pengumpulan data. Sebelum melakukan kegiatan penelitian, berbagai persiapan sudah harus dilakukan sejak awal. Kesiapan sangat diperlukan sebelum peneliti mulai masuk lokasi penelitian. Semua kebutuhan terkait secara matang dipersiapkan sehingga tidak mengganggu jalannya penelitian. Kebutuhan itu seperti pedoman wawancara, korespondensi, buku catatan lapangan, kamera voice recorder dan external storage hard disk. Kebutuhan akan peralatan penunjang dan pendukung penelitian setidaknya jangan terabaikan. Mengingat peralatan penelitian sering tidak mendapat pehatian serius ketika akan melaksanakan penelitian. Bahkan dianggap hal sepele karena barang yang diperlukan bisa didapatkan saat di lapangan. Kedua hal ini peneliti hindari sehingga saat di lapangan tidak mengalami kendala. Dukungan peralatan pendukung seperti alat perekam wawancara dan dokumentasi merupakan penunjang yang vital. Kedua peralatan ini telah disiapkan sejak awal. Kamera Sonny tipe DSC-S730 dengan resolusi 7,2 mega pixels dipergunakan untuk mendokumentasikan suasana saat wawancara berlangsung dan aktivitas informan lainnya. Digital Voice Recorder merek Xenix tipe VR-W.750 untuk merekam suara informan (rekaman proses). Hasil rekaman ini setidaknya sangat membantu untuk didengar kembali dan dibuat transkripnya. Rekaman suara dari informan sangat vital, sehingga menghindari catatan yang terlupakan atau yang tidak sempat terakomodasi. Computer portable (notebook) Acer Aspire 3684 dan external storage 2.5 (hard disk) Axio 250 giga bite tipe ESAX 58
Pengalaman Penelitian bersama Informan
2S0250XU merupakan peralatan penunjang untuk mengetik naskah dan menyimpannya. Kedua alat ini akan digunakan setiap hari setelah beraktivitas bersama informan, pengetikan terhadap hasil wawancara dan berbagai pengamatan yang dilakukan, termasuk setiap tindak-tanduk perilaku informan. Selain itu pengetikan terhadap hasil wawancara yang diperoleh setiap hari menjadi transkrip untuk kemudian disimpan dalam folder. Hal ini dimaksudkan semua yang dilihat, didengar dan dirasakan tidak terlupakan dalam pengetikan. Semua peralatan penelitian yang diuraikan ini merupakan kunci penunjang penelitian (Moleong, 2000: 91). Korespondensi dan pemantapan lokasi dengan pimpinan kecamatan dan jajarannya. Perijinan dengan pimpinan kecamatan merupakan tindak lanjut surat ijin yang telah dikeluarkan oleh Program Pascasarjana UKSW pada minggu kedua bulan Oktober 2008. Prinsip surat ijin ini untuk memohon kesediaan (pemberitahuan) kepada pemerintah kota Ambon terhadap pelaksanaan penelitian sehingga mendapatkan kemudahan administrasi pemerintahan dan dukungan fasilitas oleh pemerintah kecamatan dan desa. Berbekal surat ijin program studi, peneliti kemudian melakukan perjalanan ke Ambon. Surat pun diteruskan kepada pihak Pemerintah Kota Ambon. Tidak memerlukan waktu lama – pagi hari surat dimasukkan ke bagian pemerintahan pemerintah kota, dua jam kemudian surat pemberitahuan lanjutan kepada Pemerintah Kecamatan Leitimor Selatan dan Pemerintah Desa Hatalae dikeluarkan. Sempat peneliti terbantu dengan komunikasi telepon (hand phone) seluler Kepala Bagian Pemerintahan Kota Ambon (Drs. Edy Tutupoho) yang menghubungi Kepala Kecamatan Leitimor Selatan (Drs. Wem Pattiruhu). Melalui sambungan telepon keduanya membicarakan penelitian yang peneliti akan 59
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
lakukan. Beberapa saat kemudian peneliti diminta berbicara langsung dengan Camat. Kami berdua bersepakat bertemu keesokan harinya untuk membicarakan tujuan dan lokasi penelitian yang hendak peneliti laksanakan. Keesokan hari pada tanggal yang disepakati peneliti dan Camat bertemu di kantor pemerintah kota Ambon bagian pemerintahan. Pertemuan itu untuk menyampaikan tujuan penelitian kepada Kepala Kecamatan Leitimor Selatan. Pembicaraan kami berlangsung sekitar dua jam. Pokok percakapan seputar rencana penelitian di Desa Hatalae dan keinginan untuk menetap selama beberapa waktu. Kami berbicara dalam suasana santai dan tidak bersifat formal. Kesantaian kami bukan tanpa alasan, mengingat sebelumnya kami sudah saling mengenal 4 . Singkat pertemuan, prinsipnya Camat akan membantu memfasilitasi komunikasi dengan Pimpinan Desa Hatalae dan membantu semua keperluan selama penelitian berlangsung. Bahkan Camat pun telah menyiapkan salah satu staf kantornya dengan dua sepeda motor jenis Honda untuk digunakan ke Hatalae selama penelitian. Dugaan peneliti sebelumnya terbukti benar, peneliti difasilitasi. Drs. Agus Rehatta staf pemerintah kecamatan telah dipersiapkan oleh Camat sebagai penghubung dengan perangkat Desa Hatalae. Tawaran Camat ini lebih karena pertimbangan angkutan umum yang agak sulit pada sore hari. Selain keterbatasan itu, sepeda motor tersebut bisa membantu setiap saat jika harus pergi-pulang kota ke Hatalae dan sebaliknya selama beberapa hari sebelum menetap di sana. Saya bertemu Sekretaris Desa dan memperkenalkan serta mensosialisasikan diri dengan masyarakat. Waktu terus berjalan, peneliti tidak mengabaikan sedikit pun waktu. Sejak Drs. Wem Putiruhu sebelum menjabat sebagai Kepala Kecamatan Leitimor Selatan, pernah menjadi Kepala Kelurahan Ahusen Kecamatan Sirimau Kota Ambon. Kelurahan ini merupakan wilayah tempat tinggal kami.
4
60
Pengalaman Penelitian bersama Informan
bertemu Camat, sekitar pukul 08.30 WIT, peneliti menuju Hatalae didampingi Agus Rehatta mengendarai sepeda motor Honda yang telah disiapkan. Jarak tempuh dari kota ke Hatalae sekitar delapan kilometer ke arah pegunungan di sekitar pantai selatan Ambon dengan waktu tempuh sekitar 30 menit pejalanan. Hatalai berada pada wilayah pesisir pantai selatan dengan ketinggian kurang lebih 300 meter di atas permukaan laut. Bagi peneliti lokasi Hatalae sangat menarik karena berada pada posisi lembah, di antara gunung dan bukit sehingga ketika memasuki negeri ini – dari posisi ketinggian, akan terlihat bangunan sebuah gereja dan dua gedung: Sekolah Dasar (SD) dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Untuk sampai ke pusat desa harus menuruni sekitar 100 anak tangga (stage) dari semen yang dibuat oleh masyarakat. Pemandangan indah Hatalae juga terlihat dengan jelas pada latar belakang hamparan laut Banda yang luas.
Gambar 1. Anak tangga: Jalan masuk Desa Hatalae (doc. 2008) 5 5
Dokumentasi pribadi, tanggal 17 Oktober 2008.
61
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
Kesediaan pemerintah desa dengan dukungan staf turut membantu memperlancar jalannya penelitian. Kami berdua bertemu dengan Sekretaris Desa Hatalae Hans Dominggus Alfons (50) dan beberapa staf desa yang kebetulan masih bekerja. Saat kami bertemu, atap zenk kantor desa sedang diperbaiki. Bunyi ketokan palu silih berganti menimbulkan bunyi yang agak mengganggu. Ruang kantor desa tidak terlalu besar, kira-kira berukuran 5x7 meter persegi. Pergantian zenk dilakukan karena hujan lebat beberapa hari telah berakibat ruang kantor tergenang air karena bocor. Suasana perbaikan ini disampaikan oleh Sekretaris desa yang biasa disapa ‘Buke’, sambil mohon maaf atas kebisingan bunyi perbaikan kantor. Agus kemudian membuka pembicaraan sambil memperkenalkan peneliti kepada sang sekretaris desa. Kemudian peneliti juga menyampaikan hal ikhwal dan rencana penelitian untuk menetap selama beberapa waktu. Pak Buke, mulai membuka pembicaraan tentang informasi yang telah disampaikan Camat kepadanya, bahwa peneliti akan hadir dan berdiam di desa mereka. Pada prinsipnya pak Buke dan seluruh jajaran desa ‘siap’ menerima dan membantu peneliti selama penelitian di desa ini 6 . Bahkan menurut beliau, salah satu penduduk desa telah dihu-bungi dan diminta kesediaan untuk menerima peneliti mengi-nap dan menetap di situ. Rupanya apa yang disampaikan ini, telah ditindak-lanjuti dan dikoordinasikan bersama Camat. Bahkan seluruh pengurus LMD, LKMD, Pendeta dan Majelis Jemaat setempat juga telah mengkoordinasikan kehadiran saya. 6 Sejak pertama kehadiran saya di Hatalae, tidak bertemu dengan Drs. Arche Loppies Raja (Kepala Desa) setempat. Beliau dalam beberapa tahun terakhir sejak menjadi Raja, harus pergi-pulang Ambon-Jakarta karena bekerja. Selain itu, beliau juga menjadi salah satu fungsionaris dan koordinator Dewan Pimpinan Pusat salah satu partai politik di Jakarta. Roda pemerintahan lebih banyak dijalankan oleh Sekretaris Desa bersama perangkat desa lainnya. Kondisi dan situasi ini juga disampaikan oleh Camat kepada saya.
62
Pengalaman Penelitian bersama Informan
Pihak pemerintah desa mengumumkan kepada masyarakat, kehadiran peneliti di desa melalui ibadah minggu. Koordinasi sekretaris desa dengan staf desa dan perangkat jemaat setempat cukup solid. Semua perangkat desa dan jemaat telah mengetahui dan memahami rencana penelitian ini di desa mereka. Kebetulan memang, pak Buke, juga mempunyai jabatan rangkap sebagai sekretaris Majelis Jemaat, Gereja di Hatalae. Dengan jabatan rangkap yang dimiliki tersebut membuat koordinasi tidak terlalu sulit untuk penanganan masalah seperti ini, dan bahkan mungkin masalah kemasyarakatan yang lain. Karena koordinasi tersebut, peneliti diberitahu oleh pak Buke agar hadir dalam ibadah minggu untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat dan jemaat setempat. Peluang ini tidak peneliti sia-siakan, dan nampaknya cara yang sama dilakukan juga bagi tetamu yang hadir di desa tersebut. Saya memperkenalkan diri kepada masyarakat dan jemaat pada saat ibadah minggu. Setelah usai ibadah minggu di gereja bersama jemaat, pendeta menuju mimbar kecil dan meminta jemaat untuk tahan sebentar. Pendeta jemaat kemudian memperkenalkan peneliti dan rencana menetap selama penelitian di Hatalae. Peneliti kemudian diminta tampil ke depan memperkenalkan diri dan menyampaikan rencana penelitian yang akan dilakukan. Kesempatan itu peneliti manfaatkan untuk menyampaikan beberapa hal penting antara lain: menetap untuk delapan bulan secara tidak berturut-turut. Termasuk akan menginap di salah satu rumah papalele selama satu atau dua hari. Akhir dari perkenalan itu peneliti pun meminta kesediaan dan kerelaan semua papalele, tokoh agama, tokoh masyarakat dan berbagai pihak, jika seandainya peneliti akan mendatangi setiap rumah mereka untuk melakukan wawancara.
63
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
Rumah tempat menginap dan menetap ditentukan oleh pemerintah desa dalam rapat staf desa. Melalui hasil kesepakatan sekretaris desa dan stafnya, memutuskan untuk memberikan tempat tinggal kepada peneliti selama penelitian di keluarga Ronald Kastanya, SE (42). Masyarakat setempat sering menyebut dan menyapanya dengan nama ‘Ronny’ 7 . Rumah mereka cukup sederhana, ukuran rumah sekitar 5x8 meter persegi, beratap zenk. Di rumah itu Ronny bersama Evie (istri) dan dua orang anak laki-laki mereka. Kehidupan keseharian mereka sangat bersahaja dan apa adanya. Ronny adalah salah satu tokoh pemuda Hatalae yang memiliki ‘cukup’ pengaruh bagi organisasi kepemudaan desanya. Kebetulan memang dalam tugas-tugas sosial keagamaan beliau sehari-hari sebagai Majelis Jemaat Gereja setempat. Selain sebagai Majelis Jemaat, pekerjaan tetapnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kantor Pemerintah Kota Ambon. Istrinya Evie tidak bekerja, sementara kedua anaknya masih bersekolah. Anak laki-laki yang sulung di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 6, dan yang nomor dua Sekolah Dasar (SD) Negeri 2, sekolah keduanya di kota Ambon. Guna mempermudah jalannya penelitian, kepada Ronny peneliti meminta satu tenaga pendamping penelitian. Sejak menetap dengan keluarga Kastanya, peneliti meminta kesediaan Ronny menentukan satu orang pemuda sebagai pendamping. Kebutuhan tenaga pendamping bukan untuk menjadi asisten dalam mengumpulkan data dan wawancara, tetapi bantuannya 7 Sebelum menetap di keluarga ini, sesungguhnya kami sudah juga saling mengenal. Ronny menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu (S1) di Fakultas Ekonomi Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Kristen Indonesia Maluku. Dia juga merupakan anak bimbingan saat menulis Skripsi. Penempatan tempat tinggal ini oleh pemerintah desa, sesungguhnya tanpa saya sadari. Meskipun demikian, penempatan ini sangat membantu saya mengenal lebih dekat profil papalele di Hatalae. Pada sisi lain, saya tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk menyesuaikan diri dengan pihak keluarga dan lingkungan sekitar.
64
Pengalaman Penelitian bersama Informan
lebih bersifat teknis. Ronny kemudian menawarkan salah seorang keponakannya untuk mendampingi penelitian. Renny Loppies, pemuda berusia 23 tahun, yang kemudian membantu peneliti. Tugas utama dan perannya sebagai penunjuk jalan dan rumah setiap informan yang dituju. Mengingat luasnya desa dan tempat tinggal informan yang agak berjauhan satu dengan yang lain. Selain itu, kadang-kadang kami harus bertemu dan mewawancarai informan di malam hari, sehingga jalan menuju ke rumah informan telah dipahami secara baik. Tugas lain yang diberikan kepadanya adalah membawa alat-alat pendukung penelitian, seperti tas penyimpan dokumen dan kamera untuk pengambilan gambar/foto saat mewancarai informan dan kegiatan penunjang lainnya.
Proses dan Dinamika Pengumpulan Data Sebelum melakukan proses pengambilan data, langkah yang harus dipersiapkan lebih awal adalah memeriksa kembali pedoman wawancara yang telah disusun. Pedoman wawancara diperiksa kembali untuk disesuaikan dengan tujuan penelitian. Seluruh indikator dan hasil identifikasi informan kunci dalam pedoman harus secermat mungkin dapat terangkum sehingga pada waktunya akan menjawab tujuan penelitian. Walaupun nanti dalam perkembangan wawancara, bukan tidak mungkin (dan biasanya) ada indikator dan pertanyaan lainnya yang akan muncul untuk kemudian ditelusuri dalam wawancara 8 . Selain itu, wawancara terstruktur dimaksudkan agar peneliti tidak dengan sesukanya mengajukan pertanyaan kepada informan, tetapi harus disesuaikan dengan tema dan struktur tema yang telah disusun dalam pedoman wawancara. 8 Proses wawancara seperti ini yang disebut wawancara tidak terstruktur (Moleong, 2000:138-139).
65
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
Memetakan posisi dan jumlah informan berdasarkan lokasi tempat tinggal untuk mempermudah daya jangkau. Topografi Hatalae yang menantang karena berada di antara gunung dan lembah pada posisi kemiringan membuat peneliti harus memetakan setiap rumah informan secara baik. Mengatur urut-urutan rumah agar tidak mengakibatkan pengulangan kunjungan. Hatalae memiliki dua Rukun Warga (RW) dan enam Rukun Tetangga (RT), setiap RW terdapat tiga RT. Secara jelas dapat dikemukakan sebagai berikut: Ketua RW 01 Daniel de Lima (alm), Ketua RT 001/01 Alm Johanis Hehanusa, tugas dilaksanakan oleh Sekretaris Simon Paays, RT. 002/01 Ketua Reni Muskita dan Ketua RT. 003/01 Franskois Loppies 9 . Sementara Ketua RW 02 Simon Loppies, Ketua RT. 001/02 Karel Paays, Ketua RT.002/02 Josias Alfons, dan Wellem Gomies sebagai Ketua RT. 003/02 10 . Lima Rukun Tetangga (RT) berada pada pusat desa, sementara satu RT lain berada agak jauh dari pusat desa, kirakira sekitar setengah kilometer. Bersama dengan pak Buke, Ronny dan Renny kami memetakan lokasi setiap rumah informan. Baik yang berdekatan tempat tinggal maupun yang berjauhan. Setelah kami menyusun dan mengidentifikasi informan, daftar disiapkan dan diketik untuk disesuikan pada waktunya. Renny berperan sebagai penunjuk jalan dan rumah setiap informan yang dituju. Walaupun semua telah tersusun, kadangkadang kami tidak berjumpa dengan informan, tidak ada pilihan selain keesokan harinya harus kembali ditemui. Terlibat sebagai partisipan bersama informan di pasar dan berkeliling berjualan sejak pagi hingga sore hari. Tidak hanya 9 Pada saat penelitian berlangsung, beberapa bulan sebelumnya Ketua RW 01 dan Ketua RT 001 telah wafat (meninggal dunia) dan belum dilakukan pergantian. Tugas sehari-hari dilaksanakan oleh Sekretaris RT.
10
Wawancara dengan Sekretaris Desa Hatalae, 6 November 2008.
66
Pengalaman Penelitian bersama Informan
wawancara dengan informan, tetapi terlibat bersama mereka seharian berjualan. Kegiatan bersama ini dilakukan untuk mengamati secara langsung setiap kegiatan yang dilakukan. Mengingat pengamatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses ini, bahkan menjadi kelengkapan dalam pengumpulan data, terutama yang berkaitan dengan perilaku. Sehubungan dengan itu maka jenis observasi non-partisipasi atau pengamatan tidak berperanserta digunakan. Untuk maksud ini, peneliti hanya bertindak dan melakukan satu fungsi yakni pengamatan (Maleong, 2000: 126-127). Untuk maksud ini tiga informan diminta kesediaannya, mereka masing-masing, mama Le, mama Tine dan tanta Evie. Ketiganya secara sengaja ditentukan sesuai dengan ciri papalele yang dilakukan. Mama Le dengan ciri tandeng (menetap), mama Tine (baronda), dan tanta Evie (tandeng-baronda). Sebelum partisipasi bersama ketiga informan, peneliti harus mengatur waktu bertemu di setiap rumah untuk wawancara. Semua mekanisme dan tata cara papalele yang diceritakan, kemudian dipelajari dan didalami, untuk keesokan harinya peneliti hanya mengamati kebenaran setiap tindakan seperti yang disampaikan. Bagi informan keterlibatan peneliti bersama mereka, nampaknya dianggap sebagai suatu ‘keberanian’. Untuk menjumpai ketiga informan ini (juga yang lain), tidak bisa pagi atau siang hari. Bertemu mereka setidaknya sore atau malam hari setelah mereka kembali dari pasar. Mama Le, Mama Tine dan tanta Evie secara terpisah ditemui di rumah mereka masingmasing. Tentu terlebih dahulu informasi telah peneliti sampaikan kepada anggota keluarganya satu hari sebelumnya. Ketika saatnya bertemu, mewawancarai dan meminta kesediaan berpartisipasi saat berjualan, mereka agak terkejut. Karena tidak biasa bagi mereka ada ‘orang lain’ yang ingin terlibat. Karena itu secara terpisah, mereka mengatakan bahwa mengikuti kegiatan 67
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
papalele sepanjang hari akan sangat melelahkan dan bisa muncul perasaan ‘malu’ bagi orang yang tidak terbiasa. Pernyataan ini diungkapkan dari ketiga informan tersebut. Karena itu, peneliti pun mempersiapkan fisik secara baik agar kendala itu tidak terjadi. Demikian halnya perasaan ‘malu’ sedapat mungkin dihindari pada saatnya. Lika-liku menjumpai informan dalam suasana malam hari di musim penghujan. Kota Ambon, setiap akhir tahun sejak bulan September hingga Desember selalu diguyur hujan lebat dan merata di seluruh kota dan desa. Kalaupun ada secercah cuaca panas, itu pun tidak bertahan lama, kadang setengah hari dan kadang dapat bertahan sehari. Intensitas hujan mempengaruhi aktivitas masyarakat seperti banjir dan tanah longsor di beberapa wilayah lain. Namun demikian hujan yang turun tidak mempengaruhi peneliti dalam pengambilan data. Suatu kesempatan di malam hari bersamaan dengan hujan yang turun sejak siang, kami bertandang ke rumah informan. Sebelumnya dua informan sudah berhasil peneliti temui untuk diwawancara. Target peneliti, untuk malam ini setidaknya ada satu lagi informan yang harus ditemui. Karena rumah sang informan agak jauh dari pusat desa dan jalan setapak dari tanah yang menurun, pasti licin karena guyuran hujan. Rumah mama Le yang kami tuju. Dengan payung dan senter batu baterai ukuran sedang, kami berjalan melewati pepohonan dalam suasana gelap gulita. Sempat, peneliti tergelincir karena tanah yang licin, demikian hal yang sama dengan Renny teman pendamping. Kami berdua hanya bisa saling menertawai satu dengan yang lain. Baju yang peneliti kenakan sudah basah karena hujan dan terjatuh tadi, kami tiba di rumah tanta Le. Kami mengetuk pintu, dan suaminya menyambut kami. Sambil mama Le, mengatakan “tuang
68
Pengalaman Penelitian bersama Informan
ampong pa su babasa lai, mari maso (ya ampun, bapa sudah basah, silahkan masuk)”. Suguhan kopi panas dan beberapa potong roti disajikan kepada kami malam itu, mengingat kami sudah basah karena hujan sehingga sebagian tubuh mulai terasa dingin. Mama Le, kemudian sebentar ke dapur dan beberapa saat muncul lagi dengan membawa nampan yang di atasnya telah tersedia minuman kopi panas dan beberapa potong roti. Perlu ditegaskan bahwa ‘tindakan’ yang sama dan sering terjadi di setiap rumah informan lain yang kami datangi. Setiap kali kami kunjungi, mereka selalu memberikan hidangan ringan seperti ini. Nampaknya cara ini merupakan satu penghargaan terhadap ‘tamu’ yang berkunjung di rumah mereka. Tanpa menunggu, tanta Le mempersilakan, kami mencicipi hidangan ringan yang telah disiapkan. Sambil mencicipi hidangan yang telah disediakan, peneliti mulai bertanya kegiatan dan pengalaman papalele yang ditekuninya, sambil peneliti memperhatikan semua situasi dan keberadaan keluarga mereka. Apa yang dilakukan ini merupakan bagian untuk mengenal secara lebih dalam aktivitas kese-harian pada informan tersebut.
Penelitian di Pasar Mardika Selain Desa Hatalai sebagai lokasi pengambilan data— pengamatan dan wawancara informan juga dilakukan untuk beberapa informan lain guna melengkapi keterandalan data. Para informan yang ditemui, memang tidak menetap pada satu lokasi desa atau kelurahan, tetapi tersebar. Bahkan ada di antara mereka—pedagang, yang menetap di kios tempat usaha. Untuk berjumpa dengan para informan ini peneliti mengalami kesulitan tersendiri. Selain tempat tinggal yang menyebar, kesulitan lain adalah komunikasi yang “tertutup”. Terbukti saat 69
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
peneliti pertama kali di tanggal 24 April 2009 masuk Pasar Mardika Ambon tiga hari berturut-turut untuk mencari informan sekedar berkomunikasi, tidak banyak komentar atau respon terhadap pertanyaan yang peneliti ajukan. Komunikasi hanya sebatas pada tawar-menawar barang yang mereka jual, walaupun peneliti sempat menyampaikan maksud dan rencana penelitian. Dugaan peneliti, sepertinya mereka telah terbentuk dalam satu ‘jaringan’ yang ‘dikendalikan’ sebagai satu kelompok. Dugaan ini ada benarnya ketika peneliti berupaya mencari alternatif lain untuk berjumpa dengan para informan di pasar Mardika. Beberapa hari sejak gagal menentukan informan, pada hari keempat peneliti sempat menghubungi seorang teman— John Richard 11 (40) untuk berdiskusi mengenai kendala yang ditemui dan cara mengatasi masalah tersebut. Mengingat kesulitan menemukan informan penelitian, dalam diskusi kami, sepertinya kami berdua sepaham bahwa untuk menemui dan mewawancarai informan harus melalui ‘jaringan’ di pasar tersebut, paling tidak melalui salah satu anggota jaringan mereka. Kepada peneliti, John Richard menyanggupi untuk mencari informasi siapa yang harus dia hubungi. Singkatnya, melalui salah seorang teman Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Maluku, John berhasil mendapatkan nama salah seorang pedagang yang harus kami temui di pasar keesokan harinya. Kepada peneliti, John menyebut nama pedagang tersebut yakni Jamal. Tanpa menunggu, peneliti meminta kesediaan John untuk menghubungi si Jamal mengatur waktu bertemu dengannya untuk menjelaskan tujuan penelitian. Melalui sambungan telepon seluler—hand phone, John berkomunikasi Salah satu rekan Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon. Aktivitas lain yang bersangkutan adalah mantan Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Maluku Periode 2002-2005 dan Pengurus salah satu Partai Politik di Provinsi Maluku.
11
70
Pengalaman Penelitian bersama Informan
dengan Jamal dan memintakan kesediaanya untuk kami berjumpa. Kesepakan kami dengan Jamal baru terjadi keesokan harinya. Pada 27 April 2009 pukul 07.15 pagi, peneliti dan John menuju pasar Mardika menemui Jamal yang telah dihubungi sehari sebelumnya. Kios tempat berdagang Jamal berada di lantai dasar bagian belakang bangunan pasar Mardika. Bangunan pasar Mardika terdiri dari tiga lantai. Lantai satu untuk pedagang pakaian dan berbagai kebutuhan sandang, lantai dua untuk sayur-sayuran, bumbu-bumbuan dapur, serta buah-buahan, dan lantai tiga untuk pedagang daging, antara lain: daging ayam, daging sapi dan daging kambing. Sempat kami kesulitan menemui kios tempat dagangan Jamal, mengingat di pagi itu banyak pedagang baru membuka dan memulai menjajakan barang dagangan mereka. Kepadatan hilir mudik pedagang dan pembeli meramaikan suasana pasar sehingga kami harus berjalan perlahan-lahan sambil melihat dan memastikan lokasi kios Jamal. Selain itu, peneliti dan John sebelumnya belum pernah mengenal Jamal. Setelah berputar lokasi beberapa kali, akhirnya kami bertemu dengan Jamal. Postur tubuh Jamal agak tinggi tegap sekitar 1,80 meter, kulit sawo matang, berambut agak cepak dan sedikit berjenggot. Hari itu Jamal mengenakan kemeja koko warna putih, dan bercelana setengah panjang warna putih. Dilengkapi dengan topi haji khas kaum muslim warna putih. Jamal menerima kami dengan ramah sambil berkata “dong dari atas 12 ka? Oh yang abang kontak itu ka?” (kalian dari atas ya, Kalimat “dari atas” menegaskan segregasi wilayah pasca konflik Ambon. Pasca konflik Ambon, terjadi pergeseran istilah di kalangan masyarakat terutama di pasar yang menegaskan bahwa “dari atas” untuk pedagang komunitas beragama Kristen, dan “di bawah” untuk pedagang komunitas beragama Islam. Istilah ini mirip dengan istilah “obed” untuk kelompok Merah/Kristem dan
12
71
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
yang kemarin abang menelpon saya?). Peneliti dan John membenarkan pernyataannya, sambil John turut menjelaskan, pihak yang memberikan dan memfasilitasi rencana pertemuan itu. Jamal juga membenarkan bahwa sebelumnya dia telah dihubungi untuk maksud pertemuan tersebut. Kepada jamal, peneliti menjelaskan tujuan dan rencana penelitian serta situasi yang terjadi sebelumnya saat peneliti berinisiatif mewawancarai beberapa papalele dan pedagang, namun gagal. Dengan senyum, Jamal menanggapi permintaan peneliti untuk membantu memfasilitasi pertemuan peneliti dengan pedagang. Kesediaan Jamal mempertemukan peneliti dengan papalele dan beberapa pedagang semakin membuat peneliti yakin dapat mewawancarai informan. Setelah percakapan singkat, kami kemudian langsung diajak Jamal untuk menemui beberapa papalele dan pedagang. Sambil berjalan, Jamal bercerita bahwa, dia dan beberapa temannya hanya menjadi koordinator usaha bagi pedagang di pasar Mardika. Koordinasi yang dilakukan untuk mengatur tempat dan lokasi para pedagang secara baik, dan mereka tetap berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dalam menata pasar. Selain itu, koordinasi terhadap para pedagang sangat diperlukan, mengingat pedagang dari komunitas Kristen yang selama ini terpisah telah bergabung kembali ke pasar Mardika. Hal ini dilakukan Jamal dan teman-temannya agar pengaturan lokasi tidak menimbulkan konflik baru yang dapat mengarah ke halhal yang tidak diinginkan bersama. Menurut Jamal, pengalaman tahun-tahun sebelumnya pada masa konflik menjadi pengalaman yang diharapkan tidak terulang lagi. Jamal juga menyampaikan kepada peneliti, bahwa pedagang dari komunitas Kristen yang kembali ke pasar “acang”untuk kelompok Putih/Muslim sebagaimana bahasan pada bab delapan.
72
Pengalaman Penelitian bersama Informan
Mardika pasca konfik dilindungi jika terjadi keributan atau pertikaian. Setelah penjelasan singkatnya, kami bertemu dengan mama Habsah. Jamal kemudian memberitahukan mama Habsah tentang rencana penelitian ini. Setelah peneliti berkenalan dengan mama Habsah, kami kemudian berjalan untuk menemui Thalib pedagang buah. Jamal juga menjelaskan hal yang sama kepada Thalib, “oe, ose nanti bantu basudara ini e, dong mau tanya-tanya usaha dari ose, bantu e,e” (hi, nanti kamu membantu saudara ini ya, mereka mau mewawancarai kamu tentang usaha yang dilakukan, harap dibantu ya!). Kalimat ini terus berulang diucapkan Jamal setiap kali bertemu beberapa pedagang. Singkatnya, kami berhasil menemui beberapa papalele dan pedagang untuk diminta kesediaannya diwawancara. Kesempatan Jamal memperkenalkan kami kepada calon informan, peneliti juga menyempatkan untuk meminta kesediaan mereka pada waktu yang lain saat peneliti akan datang wawancara. Hari itu, sejak Jamal memfasilitasi pertemuan peneliti dengan beberapa pedagang, semua proses lanjutan berjalan tanpa halangan berarti. Akhirnya peneliti berkesempatan mengagihkan waktu, disepakati dengan informan untuk proses wawancara. Kelima informan itu terdiri dari tiga orang papalele, dan tiga orang pedagang buah. Mereka masing-masing, mama Habsah Tuanaya (57), diwawancarai di pasar Mardika, mengingat beliau lebih sering di pasar. Mama Jackia Marasabessy (53) berasal dari berasal dari Desa Kailolo, peneliti bertandang ke rumahnya di Kelurahan Hunipopu. Mama Calasum Marasabessy (55) berasal dari Desa Kabau, diwawancarai di rumahnya di desa Batu Merah. Sementara tiga pedagang yaitu Thalib (44) berasal dari desa Kabau Pulau Saparua Kabupaten Maluku Tengah. Adam (42), berasal dari Desa Manipa Kabupaten Seram Bagian Barat, sedangkan Umar (67) berasal dari Pulau Buton Sulawesi 73
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
Tenggara. Ketiga pedagang tersebut semuanya diwawancarai di Pasar Mardika Ambon. Proses wawancara ketiga pedagang di pasar Mardika dengan maksud, peneliti ingin melihat secara langsung kegiatan antara mereka dengan papalele berlangsung.
Metode Penelitian Kualitatif Penelitian ini akan menggunakan penelitian kualitatif dengan model yang dipakai adalah studi kasus 13 . Tentang studi kasus, berdasarkan Konferensi Cambridge 14 tahun 1976 menyebutkan (Liek Wilardjo, 1994: 4) bahwa: “…studi kasus ialah istilah umum yang mencakup serumpun metode penelitian yang sama-sama memumpunkan perhatian pada penelaahan di seputar suatu kejadian”.
Lebih lanjut Wilardjo menyebutkan bahwa metode ini berusaha memberikan penjelasan yang jujur dan seksama tentang kasus tertentu sedemikian rupa, sehingga memungkinkan pembacanya menembus ke dalam apa yang tampak ke permukaan dan juga untuk memeriksa kebenaran tafsiran penulisnya dengan meninjau sejumlah data objektif pilihan yang sesuai, yang dijadikan tumpuan untuk membangun studi Strategi-strategi penelitian hanya merupakan perangkat-perangkat; tanggung jawab peneliti adalah memahami berbagai model yang tersedia dan tujuan yang berbeda-beda dari masing-masing strategi agar peneliti bisa menyadari sepenuhnya konsekuensi-konsekuensi yang muncul ketika dia lebih memilih satu model dari pada yang lainnya, dan agar menjadi tegas dan akurat dalam memilih satu model dari pada yang lainnya (Morse. Janice.M, 2009: 277). 14 Studi kasus mengalami perubahan istilah pada Konperensi Cambridge kedua 1980. Howard Becker dalam Konperensi tersebut ketika ditanya tentang istilah yang digunakannya, dia menyebutnya dengan “tugas lapangan” (fieldwork), sambil menandaskan bahwa istilah tersebut hanya sedikit melengkapi pemahaman tentang apa yang dilakukan seorang peneliti (Stake E. Roberth, 1997:299). 13
74
Pengalaman Penelitian bersama Informan
kasus itu. Pandangan Wilardjo terhadap studi kasus, serupa dengan yang dikemukakan Yin (2002: 18), bahwa ciri khas studi kasus dapat dibedakan dari strategi lain, karena studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak tegas, dan di mana multi sumber bukti dimanfaatkan. Berdasar pada pandangan tersebut, studi kasus pada
papalele dimaksudkan untuk menggambarkan kasus yang diamati apa adanya berdasarkan kenyataan empiris dan menggambarkan apa yang sulit dari subjek, tetapi kenyataannya ada (Suwondo et.al, 2008: 3; Muhadjir, 2000: 17). Dengan menjelaskan dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari atau pengalaman subjektif akan memahami realitas kehidupan mereka, akan ditemukan berbagai perspektif pengetahuan (Berger dan Luckman 1990:29-30). Selanjutnya jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian ekploratif dan eksplanatoris. Ekploratif dimaksudkan untuk memahami fenomena yang dilakukan papalele terutama yang terkait dengan sikap dan perilaku keseharian. Sementara eksplanatoris dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena dan realitas objek. Walaupun memang sangat dipahami bahwa model studi kasus ini memiliki tingkat kesulitan tertentu, maka untuk memastikannya diperlukan pengamatan secara berulangulang terutama kaitan antara persepsi dan perilaku informan. Kedua hal ini akan sangat valid dan reliabel jika didukung pula oleh fakta dan kasus-kasus tertentu yang terjadi. Data penelitian ini tentu sangat menentukan, terutama ketika akan mengkonstruksi dan menjelaskan fenomena yang diamati. Untuk mendukung penelitian ini maka data yang bersumber dari berbagai literatur perpustakaan dan dokumen75
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
dokumen pendukung sangat diperlukan sebagai data sekunder. Selain itu informan kunci dijadikan sebagai data primer dalam penelitian ini. Data primer yang akan gunakan ini hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, tokoh adat (saniri negeri) 15 , pemerintah desa yang memiliki pengalaman hidup sesuai konteks, pedagang, akademisi, dan tokoh-tokoh sejarawan di Ambon yang secara lengkap memahami akar dan budaya lokal 16 . Sementara sumber informasi dalam penelitian ini adalah para papalele itu sendiri. Mereka akan dimanfaatkan untuk mengungkapkan makna terkait dengan seluruh kegiatan keseharian yang dilakukan. Makna atas tindakan yang dilakukan akan diungkapkan, direkonstruksi dan dianalisis untuk kemudian dikembangkan sesuai tujuan penelitian. Selanjutnya untuk menguraikan bahwa satuan pengamatan (unit of observation) adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh data dalam rangka menggambarkan atau menjelaskan satuan analisis (unit of analysis) dimaksud (Suwondo, 2008: 4; Ihalauw 2004: 178). Terkait dengan hal tersebut maka papalele sebagai sumber informasi, sekaligus dijadikan unit pengamatan dan unit analisis. Penentuan satuan analisis ini dilakukan dengan menggunakan purposive sampling. Informan ditentukan secara sengaja (Lin, 1976: 158-159).
Saniri Negeri adalah perangkat pemerintah yang ada di negeri-negeri di Maluku sejak masa lalu dan hingga kini istilah ini masih digunakan (Mailoa, 2006:86). 16 Sumber-sumber informasi yang disajikan untuk memungkinkan pembaca melihat bagaimana kesimpulannya dicapai dan juga untuk memungkinkan dikembangkannya tafsiran-tafsiran alternatif. Walaupun wawancara dan pengamatan, dan bahkan pemilihan dokumen yang dipakai dalam studi ini, semuanya cenderung terpengaruh oleh pertimbangan subjektif dan prasangka pribadi, tokoh sampai derajat tertentu objektivitas dapat dicapai dengan mengungkapkan prasangka itu secara terbuka. Karena itu asas pemeriksaan silang atas temuan-temuan dan wawancara dilakukan silang dengan dokumen yang ada, dan sebaliknya (Wilardjo Liek, 1994:5). 15
76
Pengalaman Penelitian bersama Informan
Pendekatan ini sesungguhnya merupakan cara untuk membangun dan menciptakan suasana yang lebih dekat dan lebih bersifat kekeluargaan. Pertimbangan peneliti untuk berdiam dan menetap selama beberapa waktu di negeri Hatalae didasari atas beberapa hal: (1) dengan menetap maka otomatis akan merasakan suasana keseharian masyarakat dan akan lebih dekat dengan aktivitas papalele, selain itu dengan sendirinya peneliti menjadi subjek penelitian; (2) waktu dan kesempatan yang akan digunakan untuk melakukan wawancara (indepth interview) dengan papalele tidaklah terbatas secara formal, mengingat hampir sebagian besar waktu yang digunakan para papalele tersita di luar rumah, karena sejak pagi tinggalkan rumah dan baru kembali setelah sore atau menjelang malam hari; (3) pengamatan terhadap sikap dan perilaku tidak hanya dilihat saat wawancara, tetapi harus diamati sejak awal mereka mempersiapkan diri, memobilisasi sumber-sumber daya, persiapan keberangkatan ke kota, berjualan di kota atau pasar hingga mereka kembali ke rumah, hal ini harus terus diamati secara berulang-ulang; (4) pola interaksi sosial kemasyarakatan dan kehidupan rutinitas di lingkungan tempat tinggal juga menjadi perhatian peneliti, terutama dalam kaitan dengan pengungkapan kasus-kasus tertentu yang berhubungan dengan kegiatan papalele; (5) wawancara mendalam (indepth interview) dengan informan kunci (key informan), terutama tokohtokoh masyarakat dan aparatur pemerintah negeri setempat juga tidak terkendala oleh waktu, sehingga pada setiap kesempatan proses wawancara dapat dilakukan baik pada saat kegiatan pemerintahan sedang berlangsung di kantor negeri setempat ataupun dapat memanfaatkan kesempatan pada saat si informan telah berada di rumah. Kelima pertimbangan ini sesungguhnya merupakan rangkaian pengambilan data lapang yang lebih menitikberatkan 77
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
kepada pengenalan peneliti terhadap latar belakang dan riwayat hidup (life trajectory) papalele. Terutama habitus dari papalele yang terbentuk melalui sikap dan perilaku dalam memaknai kegiatan keseharian yang ditekuni dan merespons apa yang dilakukan (Harker et.al, 1990: 13 dan Pariela, 2008: 293). Terkait dengan pengambilan data tersebut, yang patut menjadi perhatian adalah, bahwa memahami teknik-teknik yang tepat perlu dipertimbangkan dalam pengumpulan data. Pertama, karena data yang diperlukan harus sesuai dengan fenomena yang dipermasalahkan; kedua, isue dan perspektif yang berbeda akan memberikan sumbangan terhadap data; dan ketiga, waktu digunakan secara efektif untuk mengumpulkan data (Glesne, 1999: 31).
Pengolahan dan Analisis Data Kebosanan mempelajari, menyusun data dan mengetik naskah sempat membuat hilangnya motivasi menulis. Situasi seperti itu, wajar dan sering terjadi dengan kondisi seseorang saat meneliti dan menulis. Tekun, sabar dan tetap bersemangat harus menjadi bagian dalam proses ini. Tanpa diduga, situasi stagnan dan bosan sempat penulis alami sekitar dua minggu, sehingga penulis sempat tidak mengingat kesepakatan untuk memasukkan perbaikan naskah kepada Promotor. Namun demikian, situasi tersebut serta-merta hilang sekejap tatkala Promotor mendatangi rumah penulis pada malam hari sekitar pukul 20.30. Tanpa basa-basi beliau menanyakan perkembangan pengolahan data dan penulisan naskah yang sempat kami sepakati. Kehadiran Promotor membuat penulis ‘terbangun’ dan termotivasi lagi untuk menyelesaikan tugas ini. Data empiris yang sudah disusun pun didiskusikan berempat. Kata yang tepat nampaknya harus peneliti arahkan untuk ketiga pembimbing ini “luar biasa”, mengingat tugas dan 78
Pengalaman Penelitian bersama Informan
fungsi Promotor dan Ko-promotor tidak hanya mengkritisi dan merevisi isi tulisan, tetapi melampaui semua hal tersebut. Diskusi yang dilakukan tidak jarang menemukan hal-hal menarik berupa ide yang tak terduga guna memperkaya isi tulisan. Proses yang penulis lakukan bersama mereka ternyata tidak sekedar merapikan dan membenahi isi tulisan, tetapi suasana yang terbangun memicu peneliti untuk tetap bekerja keras menyelesaikan tulisan disertasi ini. Seluruh data primer hasil wawancara dan data sekunder yang telah dikumpulkan serta catatan hasil pengamatan disusun dan diolah sesuai peruntukannya. Setiap hasil wawancara dengan informan dibuat dalam tabel matriks guna mempermudah menentukan tema-tema empiris setiap jawaban informan. Tema empiris yang telah ditentukan kemudian disusun sesuai konsepnya sehingga memudahkan memotret pola jawaban informan. Pada tahap ini memang sangat membutuhkan kecermatan dan kehati-hatian dalam memeriksa data sehingga pada akhirnya penyusunan tema-tema tersebut dapat dikategorisasikan sesuai konsep. Setelah tema-tema empiris tersusun, kemudian dilanjutkan dengan kategorisasi data berdasarkan konsep yang ditemukan. Karena sifat penelitian ini induktif, konsep tidak ditentukan sebelumnya, namun konsep disusun berdasarkan data yang ditemukan. Keseluruhan tema yang tersusun menghasilkan empat kategori konsep besar masing-masing. Pertama, kategori tentang situasi dan kondisi ekonomi keluarga; kedua, asal mula menjadi dan menjalani kegiatan papalele; ketiga kategori tentang proses papalele dan jejaring yang dibangun oleh mereka dalam berjualan; dan keempat, kategori mekanisme papalele memperhanakan usaha selama masa konflik berlangsung di kota Ambon. Setelah keempat kategori besar ini tersusun, kemudian 79
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
dilakukan proses analisis sehingga mendapatkan gambaran tentang dinamika kehidupan informan dengan aktivitas papalele yang ditekuni.
Penulisan Hasil Mengkonstruksi kembali kehidupan keseharian papalele dengan segala dinamikanya dalam bentuk tulisan tidak mudah. Kondisi ini memang menjadi hal yang wajar bagi siapa pun, tidak terkecuali peneliti sendiri, harus serius dan menghindari apa yang sering disebut banyak orang sebagai penjiplakan (plagiat). Sekecil apa pun cara seperti itu harus dihindari. Plagiat dalam bentuk apa pun merupakan pelanggaran etika dalam penelitian dan dunia akademik. Beberapa fakta memperlihatkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini banyak terjadi proses plagiat yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Yang dilakukan sekedar memenuhi ambisi memperoleh ‘pujian’ atau gelar tertentu. Karena itu, sebaiknya kita pegang pendapat ini “Lebih baik mengawali karier dengan karya original yang buruk daripada plagiat kesempurnaan, karena setiap permulaan selalu sulit” (Kasali 2010:7). Saya sependapat dengan kutipan pernyataan terakhir “karena setiap permulaan selalu sulit” sehingga tidak terhindarkan. Karena penulisan ini merupakan satu ‘proses’ maka harus diakui bahwa proses penulisan yang peneliti buat tidak terlepas dari situasi tersebut. Kadang kita beranggapan bahwa menulis itu sesuatu yang mudah, tetapi ternyata sebaliknya. Menulis penelitian kualitatif berbeda dengan menulis kuantitatif 17 17 Menurut Morse (2009:294-295), dalam berbagai kasus, laporan kuantitatif berisi sajian metode dan hasil penelitian secara sistimatis dan padat, sedangkan dalam penelitian kualitatif, laporan harus didasarkan pada susunan argument yang sangat meyakinkan tentang suatu data untuk memperkuat kasus yang
80
Pengalaman Penelitian bersama Informan
(Morse, 2009: 294). Butuh kesabaran, ketelitian, konsentrasi, dan keseriusan. Meskipun hal tersebut telah dipenuhi, ternyata menulis tidak sekali jadi. Proses konsultasi dan pembimbingan dengan Promotor dan co-Promotor terus berulang, sejak penyusunan data, kategorisasi, menentukan tema hingga menulis. Setiap bab yang selesai ditulis, dikonsultasikan dengan Promotor. Namun sebelum diperiksa, dikoreksi dan dibimbing, terkadang beberapa teman diajak untuk membaca naskah yang ada untuk diminta pendapat, baik dari sisi teknis maupun kesesuaian isi. Langkah ini guna meminimalisasi kekeliruan dalam penulisan. Selain itu cara yang dilakukan ini setidaktidaknya mendapatkan tambahan masukan dalam rangka perbaikan naskah penulisan seperlunya dan memperkaya isi tulisan. Berulangnya penulisan, bagi peneliti bukan halangan, tetapi sebaliknya semakin memacu peneliti dalam memahami ‘proses’ penulisan. Menulis naskah hasil penelitian tidak berdasarkan uruturutan sistematika yang baku. Penulisan laporan hasil penelitian tidak seperti kebanyakan proses yang sesuai tata urutan sistematika suatu penulisan. Dalam pengertian itu, penulisan karya ilmiah nampaknya sudah umum dilakukan dengan menulis bab pertama hingga bab terakhir secara berturut turut. Namun sebaliknya, dalam proses penulisan ini, peneliti memulai dan mengawali penulisan temuan dan fakta lapangan apa adanya dalam bab empiris. Ada empat bab empiris, masingditeliti dan atau untuk menolak beberapa penjelasan tertentu. Lebih lanjut dikatakan, dua pendekatan penting dalam menulis laporan kualitatif adalah: (a) menulis laporan sebagai solusi bagi teka-teki/problem yang dihadapi peneliti; (b) menyajikan ringkasan tentang temuan-temuan penting (a summary of the major findings) dan menyajikan temuan-temuan yang memperkuat kesimpulan-kesimpulan yang diambil. Peneliti harus menggunakan kutipan-kutipan untuk menggambarkan berbagai interpretasinya tentang data, dan bukan sekedar sajian diskriptif.
81
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
masing bab lima, bab enam, bab tujuh dan bab delapan yang harus lebih awal diselesaikan dan bab empat tentang konteks penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan bab sembilan tentang sintesa temuan lapangan, dilanjutkan dengan bab dua yang membahas tentang tinjauan literatur. Pada tahapan selanjutnya bab tiga tentang metode dan pengalaman lapangan dirampungkan. Yang terakhir dari penyusunan naskah ini adalah menulis bab sepuluh tentang kesimpulan hasil penelitian dan bab satu pendahuluan. Prinsipnya, untuk menyelesaikan naskah disertasi ini, proses pembimbingan berlangsung dengan membahas setiap bab—satu per satu. Bimbingan dan konsultasi bersama Promotor dan Kopromotor terus dilakukan berulang untuk mendapatkan satu pemahaman tentang hasil penelitian. Selain itu, bimbingan dan konsultasi dimaksudkan untuk mendapat koreksi dan perbaikan seperlunya. Untuk melengkapi naskah, bab-bab yang telah selesai ditulis diajukan dalam forum Seminar Hasil Penelitian Mahasiswa Program Doktor untuk mendapatkan masukan. Seminar berfungsi untuk memperkaya isi dan kajian yang sementara dilakukan oleh mahasiswa. Masukan dan kritikan diberikan oleh mahasiswa dan para dosen, termasuk dosen calon penguji pada saat Ujian Akhir. Intinya, setiap penulisan tidak pernah langsung final, pengulangan, perpindahan tema (dalam dan antar bab) dan penulisan ulang silih berganti. Hingga pada akhir seluruh proses tulisan ini, tersedia dan terbuka di tangan kita untuk dibaca.
82