TESIS
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM RANGKA PENATAGUNAAN TANAH DI KOTA DENPASAR
LUH PUTU SURYANI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
TESIS
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM RANGKA PENATAGUNAAN TANAH DI KOTA DENPASAR
LUH PUTU SURYANI NIM.0890561039
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM RANGKA PENATAGUNAAN TANAH DI KOTA DENPASAR
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
LUH PUTU SURYANI NIM.0890561039
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 16 SEPTEMBER 2011
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.MH NIP. 195304011980031004
Dr.I Nyoman Suyatna, SH.MH NIP. 195909231986011001
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU NIP.195604191983031003
Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K) NIP.195902151985102001
iii
TESIS INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL 16 SEPTEMBER 2011
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 1578/UN14.4/HK/2011 Tanggal 15 September 2011
Ketua
: Prof.Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.MH
Sekretaris
: Dr. I Nyoman Suyatna, SH.MH
Anggota
: 1. Prof.Dr.I Made Arya Utama, SH.MH 2. Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH.MH 3. I Gede Yusa, SH.MH
iv
SURAT PERNYATAAN
Yang bertandatangan dibawah ini : Nama
: Luh Putu Suryani
NIM
: 0890561039
Tempat/Tanggal Lahir
: Denpasar/16 Mei 1967
Alamat
: Jl. Hayam Wuruk Gg.XVII No.26 Denpasar
Telp.
: (0361) 264635
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tidak menjiplak setengah atau sepenuhnya tesis orang lain. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan apabila dikemudian hari ternyata tidak benar, maka saya bersedia dituntut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 5 September 2011 Hormat saya,
Luh Putu Suryani
v
UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan perkenan-Nyalah maka tesis yang berjudul ” Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar” dapat terselesaikan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi kewajiban penulis untuk meraih gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, dengan kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD. (KHOM), sebagai Rektor Universitas Udayana yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S-2 di Universitas Udayana; 2. Ibu Prof. Dr. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana di Universitas Udayana; 3. Bapak Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang juga
memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Udayana;
vi
4. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.MH, Pembimbing I dalam penulisan tesis ini yang telah membimbing dan memberi arahan serta semangat untuk menyelesaikan tesis ini; 5. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH.MH, sebagai Pembimbing II yang telah membimbing dan memberi arahan dalam penyusunan tesis ini; 6. Bapak Prof. Dr. I Made Sukarsa, SE.MS, Rektor Universitas Warmadewa yang telah memberikan ijin belajar kepada penulis; 7. Ibu NLM Mahendrawati, SH.M Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yang memberikan kesempatan belajar kepada penulis; 8. Seluruh Dosen dan Staf Tata Usaha Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang telah membantu kelancaran proses administrasi selama mengikuti perkuliahan; 9. Suami dan Anak-anakku tercinta atas doa dan dorongan serta dukungan moril dan materiil sejak awal kuliah sampai selesainya tesis ini; 10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis sehingga penyusunan tesis ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, baik secara materi maupun pemaparannya, oleh karena itu saran dan masukan dari semua pihak yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Hukum. Denpasar ,
September 2011
Penulis vii
RINGKASAN
Tesis ini berjudul Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalan Rangka Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar. Penelitian ini diawali dengan adanya kekaburan
norma
pendayagunaan
mengenai
tanah
kewenangan
terlantar.
Kemudian
dan dari
mekanisme hal
penertiban
tersebut
dan
dirumuskan
permasalahannya. Dalam mengkaji permasalahan tersebut dilakukan secara normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual dengan landasan-landasan teoritis hukum administrasi negara. Penelitian ini diawali dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Setelah bahan hukum terkumpul dilakukan analisis melalui deskripsi, interpretasi, sistematisasi, dan argumentasi sampai akhirnya dapat ditarisk suatu kesimpulan. Dalam Bab II dibahas secara umum mengenai Karakteristik Tanah Terlantar. Untuk lebih jelasnya dalam Bab ini diuraikan mengenai Hukum Tanah Nasional yang
ditinjau dari Perspektif Filosofis dan Perspektif Hukum. Dari Perspektif
Hukum dibahas mengenai pengertian tanah dalam hukum tanah, hak penguasaan atas tanah, hak-hak atas tanah. Juga dibahas mengenai fungsi sosial hak atas tanah. Kemudian dibahas mengenai Tanah Terlantar yang meliputi pengertian tanah terlantar, kriteria tanah terlantar, kedudukan tanah terlantar.
viii
Pada Bab III, dibahas mengenai Kewenangan dan Mekanisme Penertiban Tanah Terlantar.Dalam Bab ini diuraikan mengenai Kewenangan Penertiban Tanah Terlantar yang menguraikan konsep kewenangan, organ yang berwenang dalam penertiban tanah terlantar, ruang lingkup wewenang dalam penertiban tanah terlantar.Kemudian dibahas mengenai Mekanisme Penertiban Tanah Terlantar yang menguraikan ruang lingkup obyek penertiban tanah terlantar, tata cara penertiban tanah terlantar. Selanjutnya dalam Bab IV dibahas tentang Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan tanah di Kota Denpasar. Dalam Bab ini diuraikan mengenai pelaksanaan pendayagunaan tanah terlantar, organ yang berwenang dalam pendayagunaan
tanah
terlantar,
penatagunaan
tanah
di
Kota
Denpasar,
pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar. Akhirnya pada Bab V yaitu bagian penutup, dikemukakan mengenai kesimpulan yang dapat ditarik terhadap pembahasan permasalahan yang disampaikan. Pada Bab ini juga disampaikan saran-saran yang kiranya dapat memberikan solusi untuk mengatasi serta memberikan hasil yang diharapkan dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar.
ix
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar. Ada dua permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu kewenangan dan mekanisme penertiban tanah terlantar serta pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yang menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual.Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum maupun informasi penunjang lainnya yang telah terkumpul terlebih dahulu dilakukan deskripsi dengan menguraikan proposisiproposisi hukum kemudian diinterpretasikan untuk selanjutnya disistimatisasi, dievaluasi untuk kemudian diberikan argumentasi untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi, dimana Presiden mendelegasikan kewenangannya kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk melakukan penertiban tanah terlantar sesuai dengan ketentuan Pasal 17 PP No.11 Tahun 2010. Dalam pelaksanaan penertiban, dibentuk Panitia C yang berwenang melakukan identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar. Mekanisme penertiban tanah terlantar dilakukan melalui tahapan-tahapan yaitu inventarisasi tanah terindikasi terlantar, identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar, peringatan terhadap pemegang hak, penetapan tanah terlantar. Dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar, tanah-tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara dan cadangan umum negara harus disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar.
Kata Kunci : Penertiban, Pendayagunaan, Tanah Terlantar, Penatagunaan Tanah
x
ABSTRACT This research examines about the control and empowering abandon land in land-use management in Denpasar City. There are 2 (two) main problems are observed in this research, first: the authority and control mechanism of abandon land and the second, the empowering of abandon land to land-use in Denpasar. This research is the normative legal research, which uses the approach of Statute and conceptual. Legal materials used in this research in the form of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. The legal materials and other supporting information that had been collected were described by explaining legal proposition, to be interpreted, systematized, evaluated and analyzed before giving the arguments in order to achieve conclusions for the problems. The results showed that control of abandon land is the delegation of authority, where the President delegates the authority to Head Of National Land Authority Republic of Indonesia to conduct policing abandoned land in accordance with the provisions of Article 17 Government Regulation Number 11 of 2010. On the implementation of the control, Committee C created who responsibles to identify and research the land which indicates abandon. The mechanism of controlling the abandon land has been done through few steps those are inventory of land indicates abandon, identification and research of land indicates abandon, warning the rights’ holders, ascertainment of abandon land. With regards to the land-use management in Denpasar City; abandon lands empowered to be used for community interest through agrarian reform; program country strategy and state general reserve which has to be adjusted to the Layout Plan of Denpasar City Zone.
Key words: The Control, Empowering, Abandon Land, Land-use Management
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………… i PERSYARATAN GELAR MAGISTER……………………………………………. ii LEMBAR PERSETUJUAN ………………..………………………………………. iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI …………………………………………………iv SURAT PERNYATAAN……………………………………………………………..v UCAPAN TERIMAKASIH………………………………………………………
vi
RINGKASAN………………………………………………………………………viii ABSTRAK…………………………………………………………………………. x ABSTRACT………………………………………………………………………… xi DAFTAR ISI………………………………………………………………………... xi BAB I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah………………………………………………....1 1.2.Rumusan Masalah………………………………………………………12 1.3.Tujuan Penelitian ……………………………………………................13 1.3.1. Tujuan Umum……………………………………………………...13 1.3.2. Tujuan Khusus……………………………………………………..13 1.4. Manfaat Penelitian……………………………………………………..13 1.4.1.ManfaatTeoritis………………………………………………….....13 1.4.2.Manfaat Praktis…………………………………………………… 14
xii
1.5.Landasan Teoritis…………………………………………………….....14 1.6. Metode Penelitian………………………………………………….…..35 1.6.1. Jenis Penelitian………………………………………………… ..35 1.6.2. Jenis Pendekatan…………………………………………… .…..37 1.6.3. Sumber Bahan Hukum………………………………………… 37 1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum………………………….. ..38 1.6.5. Teknik Analisa Bahan Hukum………………………………… ..39
BAB II. KARAKTERISTIK TANAH TERLANTAR 2.1. Hukum Tanah Nasional …………………………………………...... 41 2.1.1.Perspektif Filosofis…………………………………………… 42 2.1.2. Perspektif Hukum …………………………………………… 45 2.1.2.1. Pengertian Tanah Dalam Hukum Tanah……………..... 45 2.1.2.2. Hak Penguasaan Atas tanah…………………………… 51 2.1.2.3. Hak-Hak Atas Tanah………………………………….. 61 2.1.3. Fungsi Sosial Hak-Hak Atas Tanah……………………………62 2.2. Tanah Terlantar……………………………………………………….64 2.2.1. Pengertian Atau Konsep Tanah Terlantar…...…………………65 2.2.2. Kriteria Tanah Terlantar……………………………………….69 2.2.3. Kedudukan Tanah Terlantar……………………………….......73
xiii
BAB III. KEWENANGAN DAN MEKANISME PENERTIBAN TANAH TERLANTAR 3.1. Kewenangan Dalam Penertiban Tanah Terlantar…………………….76 3.1.1. Konsep Kewenangan………………………………………......76 3.1.2. Organ Yang Berwenang Dalam Penertiban Tanah Terlantar….84 3.1.3. Ruang Lingkup Wewenang Penertiban Tanah Terlantar………87 3.2. Mekanisme Penertiban Tanah Terlantar………………………….......90 3.2.1. Ruang Lingkup Obyek Penertiban Tanah Terlantar……….......90 3.2.2. Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar……………………… 101
BAB IV. PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM RANGKA PENATAGUNAAN TANAH DI KOTA DENPASAR 4.1. Pendayagunaan Tanah Terlantar…………………………………...117 4.1.1. Pelaksanaan Pendayagunaan Tanah Terlantar…………… 117 4.1.2. Organ Yang Berwenang Dalam Pendayagunaan Tanah Terlantar………………………………………………………138 4.2. Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar………………………… 152 4.3. Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Kaitannya Dengan Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar ………………………….. 157
xiv
BAB V. PENUTUP 5.1. Simpulan ……………………………………………………………160 5.2. Saran………………………………………………………………. 161
DAFTAR PUSTAKA
xv
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar dan lahan menjadikan tanah sebagai alat investasi yang sangat menguntungkan, sehingga terjadi peningkatan permintaan akan tanah dan bangunan. Hal ini menyebabkan tanah dan bangunan menjadi sangat bernilai, sehingga orang yang memiliki tanah dan bangunan akan sedapat mungkin mempertahankan hak milik atas tanahnya. Selain itu sebagai salah satu faktor produksi, tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam kehidupan manusia, hal ini dapat dimaklumi bahwa manusia akan senantiasa memerlukan tanah untuk memenuhi kebutuhan pangan, pemukiman dan nantinya untuk pemakaman. Sebagai Negara yang berlatar
belakang agraris,
sesuatu yang memiliki nilai yang sangat
penting
di
tanah
merupakan
dalam
kehidupan
masyarakat di Indonesia, terlebih lagi bagi petani di pedesaan. Tanah berfungsi sebagai
tempat di mana warga masyarakat bertempat tinggal dan tanah juga
memberikan
penghidupan
baginya.1
dan kehidupan bagi manusia. Tanah
1
Tanah mempunyai
merupakan fungsi
sumber hidup yang
sangat
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2001, Hukum Adat Indonesia, Cetakan Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.172
2
strategis,
baik
sebagai sumber daya alam maupun sebagai ruang untuk
pembangunan. Karena
ketersediaan
tanah
kebutuhan akan tanah terus meningkat
yang
seiring
relatif
tetap
pertumbuhan
sedangkan
penduduk dan
kegiatan pembangunan yang terus meningkat pula, sehingga pengelolaannya harus berdayaguna untuk kepentingan sebesar-besar kemakmuran rakyat. itu sudah ditetapkan dalam Pasal 33 ayat Republik Indonesia Tahun 1945 yang
Prinsip
dasar
(3) Undang-Undang Dasar Negara selanjutnya
menyebutkan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam
disebut UUD 1945 yang terkandung
di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
yang
selanjutnya
disebutkan
UUPA menyebutkan : “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang
angkasa
bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (3) disebutkan
“Hubungan
angkasa termaksud
antara
dalam
bangsa Indonesia dan bumi, air serta
ayat (2)
ruang
adalah hubungan yang bersifat abadi”.
Hubungan yang bersifat abadi artinya hubungan bangsa Indonesia bukan hanya dalam generasi sekarang saja tetapi generasi seterusnya. Oleh alam harus dijaga jangan sampai dengan
itu
penyediaan,
dirusak atau
karena itu sumber daya
ditelantarkan. Sehubungan
peruntukan, penguasaan, penggunaan dan
pemeliharaannya perlu diatur agar terjamin
kepastian hukum dalam penguasaan
dan pemanfaatannya serta sekaligus terselenggara perlindungan hukum
bagi
3
rakyat, terutama bagi golongan petani dengan tetap mempertahankan kelestarian kemampuannya dalam mendukung kegiatan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan demikian penggunaan tanah harus dilakukan oleh yang berhak atas tanah selain untuk memenuhi kepentingannya sendiri juga tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, bagi pihak yang telah menguasai tanah dengan sesuatu hak sesuai ketentuan UUPA atau penguasaan lainnya, harus menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya. Dengan kata lain, para pemegang hak atas tanah maupun penguasaan tertentu tidak menelantarkan tanahnya, menjadi tanah kosong atau tidak produktif. Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis, dan tidak berkeadilan, juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah. Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosialekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial. Untuk itu perlu ditumbuhkan pengertian akan pentingnya arti penggunaan tanah sesuai dengan kemampuan peruntukkannya, sehingga tercapai penggunaan tanah yang berasaskan pemanfaatan tanah secara optimal, keseimbangan antara berbagai keperluan dan asas kelestarian dalam mewujudkan kesejahteraan
4
rakyat.Tertib penggunaan tanah merupakan sarana untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah secara optimal.2 Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang selanjutnya disebut RPJMN II Tahun 2010-2014, Buku II, Bab IX, sub 3 tentang Arah kebijakan dan Strategi Pembangunan mengenai pertanahan dinyatakan : Arah kebijakan yang dirumuskan untuk mencapai sasaran pembangunan pertanahan adalah “Melaksanakan pengelolaan pertanahan secara utuh dan terintegrasi melalui Reforma Agraria, sehingga tanah dapat dimanfaatkan secara berkeadilan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan turut mendukung pembangunan berkelanjutan. Arah kebijakan tersebut ditempuh melalui strategi sebagai berikut : (1) peningkatan penyediaan peta pertanahan dalam rangka legalisasi asset dan kepastian hukum hak atas tanah; (2) pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) termasuk pengurangan tanah terlantar; (3) peningkatan kinerja pelayanan pertanahan; (4) penataan dan penegakan hukum pertanahan serta pengurangan potensi sengketa . Pasal 6 UUPA merumuskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidak dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan sematamata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian haknya.
2
Soetomo, Indonesia, hal. 73.
1986,
Politik
Dan
Administrasi
Agraria,
Usaha
Nasional, Surabaya,
5
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya,
sehingga
bermanfaat
bagi
kesejahteraan
dan
kebahagiaan
yang
mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum
(masyarakat). UUPA
memperhatikan pula
kepentingan
perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya. Dalam kehidupan masyarakat, tanah memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka masing-masing. Oleh karena itu sebagian besar kehidupan manusia tergantung pada tanah. Tanah merupakan tempat tinggal bagi manusia dimana mereka hidup dan merupakan sumber penghidupan bagi manusia terutama bagi mereka yang penghidupannya dari usaha pertanian. Selain itu pula tanah merupakan harta yang bersifat permanen, karena dicanangkan bagi kehidupan mendatang serta tidak dapat diperbaharui.3 Oleh karena itu memerlukan penanganan yang serius dan professional. Dengan meningkatnya pembangunan disegala bidang, baik pertanian, pemukiman,
perindustrian maka kebutuhan akan tanah semakin
meningkat pula. Dengan meningkatnya kebutuhan tanah semakin meningkat pula masalah-masalah yang ditimbulkan oleh tanah yang harus segera diselesaikan. Sementara itu Hiroyoshi Kano menyatakan bahwa menjelang akhir abad ke20 masalah tanah makin menjadi isu sentral bagi
3
hal.1.
gerakan sosial di Indonesia.
Abdurrahman, 1980, Beberapa Aspekta Tentang Hukum Agraria, Alumni, Bandung,
6
Hampir setiap hari dilaporkan dalam media massa adanya sengketa tanah sebagai hasil dari perubahan-perubahan cepat dalam struktur ekonomi yang makin cepat sejak pertengahan tahun 1980-an4. Dibandingkan dengan yang terjadi di masa lalu, sengketa-sengketa yang terjadi saat ini tidak hanya terjadi pada tanah yang digunakan untuk pertanian tetapi juga pada tanah yang digunakan untuk semua jenis pembangunan seperti kehutanan, real estate, pariwisata, pertambangan, pembangunan jalan, bendungan, kawasan industri serta lapangan golf. Demikian pula kebanyakan dari sengketa tanah itu berkaitan dengan pertentangan hak dan kepentingan antara penduduk lokal dengan kekuatan-kekuatan luar yang berusaha keras mencari keuntungan komersial dari proyek-proyek tersebut. Persoalan tanah yang secara potensial mesti memberikan nilai lebih bagi peningkatan hasil-hasil pembangunan demi kesejahteraan masyarakat bangsa Indonesia tidak dapat dilaksanakan atau diberikan oleh pemerintah karena tidak semua bidang tanah dikuasai oleh Negara. Hanya sebagian saja tanah-tanah dikuasai oleh Negara, selebihnya bidang-bidang tanah dikuasai oleh warga negara, orangperorangan maupun badan hukum. Di dalam kepemilikan, penguasaan tanah baik sejengkal maupun sampai berhektar-hektar sepanjang diusahakan, digunakan, dimanfaatkan secara baik dan memberikan nilai tambah bagi tanah-tanah tersebut, pajak bagi negara sangatlah baik sesuai dengan yang diharapkan di dalam UUPA. Tetapi dengan perkembangan dunia
4
Hiroyoshi Kano, 1997, Tanah dan Pajak Hak Milik dan Sengketa Agraria: Tinjauan Sejarah Perbandingan,dalam Tanah dan Pembangunan, Penyunting Noer Fauzi, Cetakan Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 31.
7
ekonomi dan kemajuan jaman global tidaklah sedikit yang telah menguasai tanah berhektar-hektar tetapi tidak memanfaatkan tanah, mengolah tanah, membangun diatas tanah tersebut sesuai dengan permohonan izin dan rencana proyek yang telah dimiliki investor sampai bertahun-tahun. Sekarang ini nilai guna tanah di Provinsi Bali, khususnya di Kota Denpasar sungguh tinggi sekali. Tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa investasi yang paling bermanfaat di Bali sekarang ini adalah tanah. Hal itu disebabkan oleh iklim pariwisata yang kini sudah tidak bisa dikatakan sekedar meningkat tetapi terus berkembang. Investor membeli tanah berhektar-hektar karena diperkirakan akan mempunyai potensi positif di masa depan, tetapi tanah itu justru dibiarkan atau tidak dimanfaatkan atau diusahakan. Ada ratusan hak atas tanah yang dikuasai investor yang ditelantarkan dan mesti diambil langkah-langkah oleh Pemda agar segera dapat dimanfaatkan sesuai dengan permohonan peruntukannya.5 Sebagai pelaksanaan reformasi di bidang pertanahan, masalah tanah terlantar perlu mendapat penanganan segera oleh Kantor pertanahan dan Pemerintah Kota Denpasar karena masalah ini sangat rumit jika melihat adanya estalasi dari hargaharga tanah, jangan sampai tanah dijadikan barang komoditas ataupun spekulasi yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Keberadaan tanah-tanah yang ditelantarkan dalam arti tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian haknya di Kota Denpasar apabila tidak dilakukan penertiban dan penatagunaan tanah akan membawa dampak yang 5
hal. 6.
Pria Dharsana, I Made, 2010, “Mencabut Hak Tanah Terlantar”. Bali Post, Tgl.18 Agustus,
8
sangat merugikan seluruh aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, lingkungan, kesehatan dan kesejahteraan. Kota Denpasar yang merupakan ibukota Provinsi Bali dan sebagai tujuan kunjungan wisata akan kelihatan kumuh, tidak terawat, dan terlihat tidak tertata dengan baik. Dalam penataan tanah - tanah yang ditelantarkan, Pemerintah Kota Denpasar dapat mendorong pemegang hak untuk mengusahakan dan memanfaatkan tanah tersebut sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian haknya sehingga dapat mewujudkan visi misi kota Denpasar yang berwawasan budaya. UUPA dalam Pasal 6 menyebutkan bahwa “ Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”, Pasal 10 mewajibkan para pemegang hak atas tanah mengerjakan dan mengusahakan sendiri secara aktif, Pasal 15 mewajibkan kepada pemegang hak atas tanah untuk memelihara, menambah, dan menjaga kelestarian tanahnya. Hal ini juga diikuti dengan ketentuan sanksi yaitu pada Pasal 27 huruf a angka 3, Pasal 34 huruf e, dan Pasal 40 huruf e yang menentukan bahwa semua hak atas tanah tersebut akan hapus dan jatuh ke tangan negara apabila tanah tersebut ditelantarkan. Upaya yuridis yang dilakukan pemerintah untuk menertibkan tanah yang ditelantarkan, dalam arti belum dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang diundangkan pada tanggal 22 Januari 2010. Sebelumnya upaya secara yuridis untuk menangani tanah terlantar telah dilakukan Pemerintah, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998. Peraturan Pemerintah itu dimaksud untuk memperjelas kriteria tanah terlantar
9
sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 27 UUPA yang menyebutkan tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya, bagaimana melakukan penilaian serta sanksi terhadap pihak yang dipandang telah melakukan penelantaran tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 ini tidak dapat berjalan efektif karena tidak jelasnya mengenai kriteria tanah terlantar, kewenangan dan mekanisme dalam melakukan penertiban tanah terlantar. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 dikeluarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 24 Tahun 2002. Dalam keputusan tersebut diatur mengenai kriteria tanah terlantar, tata cara identifikasi tanah-tanah yang diduga ditelantarkan, namun kenyataannya di lapangan penerapannya belum maksimal sesuai dengan yang diharapkan. Walaupun telah ada instrumen hukumnya, namun pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar belum sesuai dengan yang diharapkan, sehingga dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010. Peraturan Pemerintah
Nomor 11 Tahun 2010 mengatur tentang obyek
penertiban tanah terlantar, identifikasi dan penelitian, peringatan, penetapan tanah terlantar, pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar. Dari sudut pandang kaijian hukum normatif, terjadi kekaburan norma mengenai mekanisme kewenangan dalam melakukan penertiban tanah terlantar yang melibatkan berbagai pihak yaitu Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) yang menentukan bahwa identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilaksanakan oleh Panitia. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (2) ditentukan susunan keanggotaan Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
10
terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh Kepala. Disamping itu ketentuan tentang pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar tidak diikuti dengan aturan yang mengatur mengenai mekanisme atau prosedur pendayagunaan tanah terlantar, sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat (2) yang menentukan bahwa Peruntukan dan pengaturan peruntukan, penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala. Sesuai dengan TAP MPR No.IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, permasalahan tanah terlantar yang berkaitan dengan upaya penertibannya oleh pemerintah merupakan hal yang penting untuk dikaji, karena hal itu merupakan perwujudan salah satu upaya pembaharuan di bidang agraria. Dengan demikian penertiban tanah terlantar merupakan persoalan yang baru berkembang sehingga belum banyak penelitian yang mengkaji persoalan tanah terlantar. Kelangkaan penelitian persoalan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar ditunjukkan juga dari penelusuran kepustakaan Fakultas
Hukum baik
yang berkaitan dengan berbagai karya tulis berupa skripsi, tesis, disertasi
maupun
buku ilmiah melalui media cetak dan elektronik yang ada di Universitas Udayana, ternyata belum ada yang menelitinya. Dari hasil penelusuran ditemukan hal-hal sebagai berikut : Pertama, tesis atas nama Indra Ardiansyah, mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro dengan judul “Akibat Hukum Pemegang Hak Atas Tanah Dalam Kaitannya Dengan Pengaturan Tanah
Bagi
Terlantar
11
(Studi Pada Wilayah Cisarua Kabupaten Bogor)” dengan
permasalahannya : (1)
Bagaimana akibat hukum terhadap pemilik hak atas tanah yang diterlantarkan, (2) Bagaimana perlindungan hukum bagi pihak yang menguasai dan mengelola tanah terlantar, (3) Bagaimana upaya penanggulangan penguasaan dan pemilikan tanah yang diterlantarkan. Kedua, tesis atas nama I Putu Agus Suarsana Ariesta, mahasiswa Program Studi
Magister
Kenotariatan
Universitas Diponegoro dengan judul “Penataan
Tanah Perkotaan Dalam Upaya Meningkatkan Daya Guna Dan
Hasil Guna
Penggunaan Tanah Melalui Konsolidasi Tanah (Land Consolidation) Di Denpasar Utara-Bali” dengan permasalahannya : (1) Bagaimana tanah
pelaksanaan
konsolidasi
( land consolidation) Perkotaan di Kelurahan Tonja dan Desa Dangin Puri
Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar, (2) Hambatan-hambatan apa yang terjadi dan cara penyelesaiannya, (3) Manfaat apa yang
diperoleh pemilik tanah
yang terkena konsolidasi tanah (land consolidation) dan Pemerintah Kota Denpasar. Ketiga, disertasi atas nama Suhariningsih, mahasiswa Program Studi S3 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan judul “ Aspek Yuridis Tanah Terlantar Dan Penyelesaiannya, Studi Terhadap Lahan HGU (Perkebunan) Terlantar Di Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Jawa Timur” dengan
permasalahannya
: (1) Apakah asas hukum yang terkandung dalam konsep tanah terlantar menurut hukum tanah nasional, (2) Bagaimanakah kejelasan konsep tanah terlantar dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, (3) Apakah kendala-kendala yang dihadapi Pemerintah dalam melakukan penertiban tanah terlantar HGU (perkebunan) di SWP
12
Jawa Timur, (4) Bagaimanakah penyelesaian masalah tanah terlantar HGU (perkebunan) di SWP Jawa Timur. Sedangkan tesis ini berjudul “Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar” dengan permasalahannya : (1) Kewenangan dan mekanisme penertiban tanah terlantar yang melibatkan berbagai instansi baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, (2) Pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar. Dilihat dari judul dan kajian permasalahan tesis ini dengan tesis-tesis dan disertasi yang sebelumnya mengkaji permasalahan dari sudut pandang yang berbeda maka dapat disimpulkan penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, sehingga
penelitian
tesis
ini
dapat
dijamin
keasliannya
dan
dapat
dipertanggungjawabkan dari segi isinya.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka diajukan 2 (dua) masalah pokok yang akan dibahas yaitu sebagai berikut : a. Kewenangan dan mekanisme penertiban tanah terlantar yang melibatkan berbagai instansi baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. b. Pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di kota Denpasar.
13
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. 1.3.1. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum Administrasi, khususnya bidang Hukum Pertanahan, melalui pemahaman tentang tanah terlantar. 1.3.2. Tujuan Khusus Berdasarkan tujuan umum di atas dan dengan menekankan pada aspek normatifnya, tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang dibahas yakni : a. untuk mengkaji dan menganalisis secara normatif mengenai kewenangan dan mekanisme penertiban tanah terlantar. b. untuk mengkaji dan menganalisis secara normatif mengenai pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di kota Denpasar. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini nantinya sangat diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat teoritis maupun praktis . 1.4.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan di bidang Ilmu Hukum Administrasi, khususnya pada bidang Hukum Pertanahan yang berkaitan dengan tanah terlantar.
14
1.4.2. Manfaat Praktis. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik kepada Pemerintah, masyarakat, maupun peneliti sendiri. Adapun manfaat yang dimaksudkan adalah sebagai berikut : a. Bahan masukan bagi pemerintah dalam menjalankan kewenangan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah. b. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bahwa pada prinsipnya tanah harus dikerjakan sendiri, tanah berfungsi sosial, tanah benar-benar dimanfaatkan sehingga tidak terjadi tanahtanah terlantar. c. Bagi peneliti sendiri, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk menambah pengetahuan serta wawasan di bidang pemanfaatan tanah dalam rangka penatagunaan tanah sehingga tidak ada tanah tanah terlantar.
1.5. Landasan Teoritis. Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, doktrin yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas masalah penelitian. Dalam pembahasan masalah penelitian ini akan digunakan beberapa teori, konsep, asas dan pendapat-pendapat para ahli antara lain konsep Negara Hukum, Teori Kewenangan, konsep Tindak Pemerintahan, Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik, konsep Penertiban, Pendayagunaan,Tanah Terlantar dan Penatagunaan Tanah.
15
1.5.1. Konsep Negara Hukum Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan “Indonesia adalah Negara Hukum”. Mengenai landasan filosofis dari Negara Hukum Indonesia adalah Pancasila.6 Penegasan ini menunjukkan komitmen lebih tegas dari bangsa dan Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila untuk memberikan kedaulatan hukum dalam penyelenggaraan
kehidupan
bernegara,
berbangsa
dan
bermasyarakat
di wilayah Negara Indonesia. Untuk dapat mengetahui bahwa suatu Negara dikatakan sebagai Negara hukum dapat dilihat dari konstitusi Negara yang bersangkutan. K.C. Wheare menyatakan “ what should a constitution contains? The very minimum, and minimum to be rules of law “ ( isi minimum suatu konstitusi adalah tentang Negara hukum)7.Selain itu Negara dikatakan sebagai Negara Hukum dapat dilakukan melalui penelusuran pandangan ilmiah para ahli, yang memberikan unsur-unsur atau ciri-ciri suatu Negara Hukum. Friedrich Julius Stahl mengemukakan ciri-ciri Negara Hukum yaitu : 1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia; 2. Adanya pembagian kekuasaan; 3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan; dan
6
Padmo Wahjono, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Pancasila, Cet.ke-1, CV. Rajawali, Jakarta, hal. 2. 7 K. C. Wheare, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press, New York, 33-34.
Hukum Page.
16
4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.8 Melengkapi
pandangan
mengenai ciri-ciri
Negara
Hukum,
Frans
Magnis Suseno mengemukakan ciri-ciri Negara Hukum sebagai berikut : 1. Asas Legalitas; 2. Kebebasan / kemandirian kekuasaan kehakiman; 3. Perlindungan Hak asasi manusia; dan 4. Sistem Konstitusi / hukum dasar.9 Sedangkan Negara Hukum menurut Joeniarto adalah kekuasaan Negara dibatasi oleh hukum (rechtsstaat), bukan didasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Lebih lanjut ditambahkan bahwa tujuan dari negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan negara oleh hukum. Disamping itu suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum perlu diketahui elemen-elemen atau unsur-unsurnya yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar beserta peraturan pelaksanaannya, dan yang terpenting dalam praktek sudah dilaksanakan atau belum.10 A. Hamid S. Attamimi yang mengutip pendapatnya Van Wijk dan Konijnenbelt, di dalam suatu Negara Hukum dapat diketemukan adanya wawasanwawasan sebagai berikut : a. pemerintahan menurut hukum ( wetmatigheid van bestuur), dengan bagianbagiannya tentang kewenangan yang dinyatakan dengan tegas tentang perlakuan yang sama dan tentang kepastian hukum ; b. perlindungan hak-hak asasi; 8
A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Cet. Kedua, Bayumedia Publishing, Malang, Jawa Timur, hal. 42. 9 F. Magnis Suseno, 1991, Etika Politik, Prinsip - Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, hal. 298-301. 10 Joeniarto, 1968, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 8.
17
c. pembagian kekuasaan dengan bagian-bagiannya tentang struktur kewenangan atau desentralisasi dan tentang pengawasan serta kontrol; d. pengawasan oleh kekuasaan peradilan.11 Negara Hukum yang dianut Negara Indonesia tidaklah dalam artian formal, melainkan dalam artian material yang juga diistilahkan dengan Negara Kesejahteraan (Welfare
State).12
Muchsan
dalam
kaitan
ini
menunjukkan
bukti-
bukti Negara Indonesia sebagai Negara hukum dengan mengacu pada 2 (dua) hal yak ni : 1. Salah satu sila dari Pancasila sebagai dasar falsafah Negara (sila kelima) adalah keadilan sosial. Ini berarti tujuan negara adalah menuju kepada kesejahteraan dari pada warganya; 2. Dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia, salah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum.13 Untuk mewujudkan adanya kesejahteraan rakyat, negara dan pemerintah Indonesia tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat, akan tetapi dituntut untuk turut serta secara aktif (proaktif) dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat. Konsekuensinya, lapangan pemerintahan yang diemban pemerintah menjadi sangat luas. Lemaire mengemukakan Pemerintah mengemban tugas “Bestuurszorg”14 yaitu tugas dan fungsi menyelenggarakan kesejahteraan umum.
Dengan semakin banyaknya campur tangan pemerintah / negara dalam
berbagai kehidupan masyarakat, bagi Negara hukum modern seperti Indonesia, 11
A. Hamid S, Attamimi, 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara , Suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 311. 12 E..Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cet.ke -4, FHPM Univ. Negeri Padjajaran, Bandung, hal. 21-22. 13 Muchsan , 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hal. 70. 14 Bachsan Mustafa, 1990, Pokok - Pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 40.
18
tindakan pemerintah tersebut jelas harus dilandasi aspek-aspek hukum agar tindakan atau perbuatan pemerintah / negara tersebut tidak menimbulkan konflik di kemudian hari, sebagaimana disebutkan oleh Norbert Wiener bahwa “ Law may be defined as the ethical control applied to communication, and to language as a form of communication, esdecially when this normative aspect is under the control of some authority sufficiently strong to give its decisions an effective social sanction”.15 Pada pihak lain, John Austin menyatakan bahwa : “The most essential characteristic of positive law, consistsin it’s imperative character. Law is conseived as a command of the sovereign .16 Bahwa hukum adalah perintah dari penguasa Negara dimana hakikat dari hukum itu sendiri terletak pada unsur perintah.Dari konsep tersebut diatas dipandang perlu adanya suatu perlindungan oleh pemerintah terhadap masyarakat melalui peraturan berupa hukum positif yang bersifat memaksa. Secara normatif, campur tangan pemerintah dimaksud dituangkan ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Melalui peraturan perundang-undangan tersebut maka kekuasaan pemerintah menjadi dibatasi di dalam bertindak dan sekaligus memberi pedoman bagi masyarakat di dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Fungsi dari peraturan perundang-undangan seperti dikemukakan oleh Sudargo Gautama sebagaimana dapat disimak dari pernyataannya yang mengemukakan “Peraturan-peraturan perundang-
15
Norbert Wiener, 1954, The Human Use Of Human Beings Cybernetics And Society, Garden City, New York, Page. 105. 16
H.Mc.Coubrey and N.D.White, 1993, Text Book On Jurisprudensi, Blakstone Press Limited, London, Page.14.
19
undangan yang telah diadakan lebih dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak negara. Undang-Undang Dasar yang memuat asas-asas hukum dan
peraturan-
peraturan hukum harus ditaati, juga oleh pemerintah atau badan-badannya sendiri.17 Dalam pembidangan ilmu hukum, peraturan perundang-undangan yang memberikan batas kekuasaan bertindak pemerintah dalam hubungannya dengan rakyat merupakan obyek kajian hukum administrasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Kirdi Dipoyudo yang menyatakan : “Negara pada hakikatnya adalah suatu kesatuan sosial atau organisasi yang mengatur dan menertibkan hubungan-hubungan antara para warganya dengan kekuasaan demi tercapainya kesejahteraan rakyat.” 18 Ada beberapa konsekuensi yang muncul dalam suatu negara hukum material atau negara kesejahteraan, diantaranya adalah : a. Semakin banyak tindakan pemerintahan yang dilakukan organ-organ pemerintah; b. Tugas-tugas Negara menjadi semakin kompleks; c. Badan pembuat undang-undang mempunyai kecendrungan kurang mampu mempertimbangkan situasi-situasi konkrit yang akan terjadi; d. Badan-badan legislatif akan memberikan lebih banyak kebebasan kepada pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan; e. Dikaitkan
dengan
aspek
perlindungan
hukum
bagi
rakyat
akan
memungkinkan lahirnya sengketa antara rakyat dan pemerintah sebagai akibat kekosongan aturan hukum. 17 18
hal.3.
Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, hal.3. Kirdi Dipoyudo, 1981, Negara dan Ideologi Negara, Suatu Pengantar, CSIS, Jakarta,
20
Dalam kaitannya dengan penelitian ini konsep negara hukum harus dikedepankan, digunakan dalam rangka tindakan pemerintah dalam melakukan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Dengan demikian konsep ini dapat bermanfaat untuk melakukan klarifikasi dan pembenaran ilmiah dalam kaitan dengan judul penelitian. Asas-asas negara hukum sangat relevan sebagai landasan teoritis dalam pembahasan ini karena pemerintah dalam melaksanakan tindakan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar harus dilandasi aturan yang tegas berdasarkan peraturan perundang-undangan sehingga tindakan pemerintah dapat dibenarkan menurut hukum. Tujuannya, agar pemerintah dalam melakukan tindakan penertiban dan pendayagunaan tanah-tanah yang ditelantarkan oleh masyarakat tidak terjadi penyalahgunaan wewenang maupun sewenang-wenang, maka pemerintah hendaknya tidak diskriminatif, dengan hanya mementingkan sekelompok orang saja, adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak, yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang. 1.5.2. Teori Kewenangan Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintah baru dapat menjalankan fungsinya
atas
dasar
wewenang
yang
diperolehnya.
pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur
Keabsahan
dalam peraturan
perundang-undangan. Suatu kewenangan harus didasarkan pada ketentuan yang berlaku
sehingga
bersifat sah.
tindakan
Perihal kewenangan dapat
hukum
dilihat dari
21
Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya.Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.19 Menurut Indroharto, kewenangan dalam arti yuridis adalah suatu kemampuan yang
diberikan
oleh
Peraturan
Perundang-undangan
yang
berlaku
menimbulkan akibat-akibat hukum.20 Philipus M. Hadjon mengemukakan
untuk ada 2
( dua) sumber untuk memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Namun dikatakan pula bahwa kadangkala mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam memperoleh wewenang.21 Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek dalam bukunya Indroharto yang berpendapat bahwa cara perolehan wewenang pada hakikatnya melalui cara atribusi dan delegasi, sebagaimana dapat disimak dari pendapat beliau : Hanya ada dua cara organ memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif) kepada organ lain ; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi. Mandat tidak mengakibatkan perubahan apapun, sebab yang ada hanyalah hubungan internal, seperti menteri dengan pegawai untuk mengambil keputusan tertentu atas nama menteri, sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap
19
SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 154. 20 Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 68. 21 Philipus M . Hadjon, dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia ( Introduction to the Indonesia Administrative Law ), Cet. I, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal.128-129.
22
berada pada organ kementerian. Pegawai memutuskan secara sedangkan menteri secara yuridis.22
teknis,
Pengaturan kewenangan pemerintahan di bidang pertanahan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang. Dalam Pasal 33 ayat (3)UUD 1945 disebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dari kata dikuasai oleh Negara terlihat bahwa kewenangan di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Berdasarkan kewenangan yang bersumber pada konstitusi dibentuklah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang mengatur masalah keagrariaan atau pertanahan sebagai bagian dari bumi. Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa negara sebagai personifikasi dari seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan, menyelenggarakan
dalam arti
melaksanakan (execution), menggunakan (use),
menyediakan (reservation), dan memelihara (maintenance) atas bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hak menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan penguasaan daan pengurusan bidang pertanahan ada pada Negara, dimana di bidang eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (Pemerintah) atau didelegasikan kepada Menteri.23
22
H.R. Ridwan, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal .46. Edy Ruchiyat, 1999, Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi, Edisi Kedua, Alumni, Bandung, hal.11. 23
23
Dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA disebutkan bahwa pelaksanaan hak menguasai negara dapat dilimpahkan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat. Dengan demikian wewenang pemerintahan di bidang pertanahan dapat dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Pelimpahan wewenang di bidang pertanahan menurut ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA tersebut sepenuhnya terserah kepada Pemerintah Pusat yang berwenang menentukan seberapa besar kewenangan di bidang pertanahan tersebut diserahkan kepada daerah atau masyarakat hukum adat. Menurut Budi Harsono, kewenangan negara berdasarkan Pasal 2 UUPA meliputi bidang legislatif yang berarti mengatur, bidang eksekutif dalam arti menyelenggarakan dan menentukan, serta bidang yudikatif dalam arti menyelesaikan sengketa tanah baik antar rakyat maupun antar rakyat dengan Pemerintah.24 Senada dengan pendapat Budi Harsono, Imam Sutiknjo mengatakan bahwa wewenang yang diperoleh dari hak menguasai Negara di tingkat pusat ada di tangan Pemerintah. Wewenang tersebut sebagian dapat dilimpahkan kepada pejabat daerah sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerahnya masing-masing guna membantu kelancaran pembangunan daerah. Dalam prakteknya pelaksanaan tugas dan wewenang di bidang keagrariaan dilakukan oleh instansi agraria di masing-masing daerah atas nama kepala daerah.25 24
Budi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.273. 25 Imam Sutiknjo, 1994, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal.56-57.
24
Dengan demikian kewenangan dibidang pertanahan adalah kewenangan Pemerintah Pusat, meskipun ada sebagian kewenangan yang didelegasikan kepada pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten / Kota. Pelimpahan wewenang Pemerintah di bidang pertanahan kepada pejabat daerah yang menjadi wakil Pemerintah secara normatif hanya diberikan kepada Gubernur selaku Kepala Daerah Provinsi. Sedangkan Bupati dan Walikota selaku Kepala Daerah Kabupaten dan Kota menurut UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak termasuk sebagai Wakil Pemerintah di Daerah. Kewenangan Bupati dan Walikota di bidang pertanahan jika ditilik berdasarkan UUPA bersumber dari pelimpahan wewenang yang diberikan oleh Gubernur selaku Wakil Pemerintah di daerah yang mendapat wewenang berdasarkan delegasi dari Pemerintah Pusat. Berdasarkan kewenangan yang diatur dalam UUPA maka kewenangan menetapkan kebijakan pertanahan dilaksanakan oleh pemerintah Pusat dan pelaksanaan kebijakan itu sebagian diserahkan kepada pemerintah daerah berdasarkan kewenangan delegasi. Kewenangan sangat relevan sebagai landasan teori dalam pembahasan ini, karena keabsahan tindakan pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 1.5.3.Konsep Tindak Pemerintahan Perwujudan tugas pemerintah dapat dilihat dari perbuatan atau tindakan pemerintahan. Van Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh Victor Situmorang mengartikan tindakan pemerintahan adalah pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa tinggi dan rendahan (prinsip
25
hierarki). Spontan artinya segera atas inisiatif sendiri menghadapi keadaan dan keperluan yang timbul satu demi satu termasuk dalam bidangnya demi untuk kepentingan umum. Dengan kata lain tidak menunggu perintah atasan serta atas tanggungjawab sendiri.26 Van Wijk dan Konijnenbelt sebagaimana dikutip oleh Johanes Usfunan membedakan tindakan pemerintahan sebagai berikut : a. Keputusan Pemerintah yang berkaitan dengan perbuatan material. b. Tindakan-tindakan hukum yang meliputi : 1. Tindakan hukum intern. 2. Tindakan hukum ekstern yang meliputi : a. Tindakan hukum perdata ekstern . b. Tindakan hukum publik ekstern yang meliputi : 1. Tindakan hukum publik ekstern yang banyak pihaknya. 2. Tindakan hukum publik ekstern yang bersifat sepihak meliputi : a. Bersifat umum ( umum abstrak – umum konkrit ) b. Bersifat individual meliputi individual abstrak dan individual konkrit.27 Sedangkan Philipus M. Hadjon memberikan gambaran lebih operasional, dimana beliau menjabarkan tindak pemerintahan secara konkrit, seperti keputusankeputusan, ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan tindakan hukum perdata serta tindakan nyata.28 Mendasarkan pada berbagai pandangan diatas, maka dapat disimak bahwa tindak pemerintahan adalah tindakan hukum publik yaitu segala tindakan dan kewenangan
alat-alat
pemerintahan
untuk
menjalankan
tugas
atau
fungsi
pemerintahan dengan menggunakan wewenang khusus atau tertentu yang dapat 26
Victor Situmorang, 1989, Dasar - Dasar Hukum Administrasi Negara, Bina Aksara, Jakarta, hal.100. 27 Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta, hal.30. 28 Ibid, hal.33
26
menimbulkan akibat hukum dibidang hukum administrasi. Tindak
pemerintahan
(berstuurshandeling) dapat digolongkan menjadi dua golongan, yakni tindak pemerintahan berdasarkan hukum (rechtshandeling) dan tindak pemerintahan yang berdasarkan fakta atau tindakan materiil (feitelijke handeling). Tindak pemerintahan yang berdasarkan hukum dapat dibagi menjadi dua macam tindakan yaitu Tindakan Hukum Privat dan Tindakan Hukum Publik. Tindakan hukum publik dapat dibagi menjadi dua yaitu tindakan hukum publik yang bersegi satu atau sepihak dan tindakan hukum publik yang bersegi dua atau berbagai pihak. Tindakan hukum publik sepihak dapat bersifat umum dan dapat bersifat individual. Tindakan hukum publik sepihak yang bersifat umum terdapat dalam bentuk pengaturan umum atau regeling yang mempunyai daya ikat konkrit dan abstrak. Sedangkan tindakan hukum publik sepihak yang bersifat individual terdapat dalam bentuk keputusan atau beschikking . Konsep tindak pemerintahan ini relevan dengan penelitian tesis, karena tindakan pemerintah dalam
penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar
menimbulkan akibat hukum atau kewajiban bagi pemegang hak atas tanah agar menggunakan, mengusahakan dan
memanfaatkan tanahnya sesuai dengan
peruntukannya atau hak atas tanahnya hapus dan menjadi tanah negara. 1.5.4. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik merupakan norma bagi perbuatan-perbuatan Administrasi Negara atau pemerintah, disamping norma-norma di dalam hukum tertulis dan tidak tertulis. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) harus dipandang sebagai norma - norma hukum tidak tertulis yang
27
senantiasa harus diperhatikan dan ditaati oleh pemerintah dalam mengambil tindakan dalam menjalankan pemerintahan. Donner dan Wiarda membagi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik ke dalam 5 (lima) macam yaitu : 1. Asas Kejujuran (fair play) 2. Asas Kecermatan (zorgvuldigheid) 3. Asas Kemurnian dalam tujuan (zuiverheid van oogmerk ) 4. Asas Keseimbangan ( evenwicthtigheid ) 5. Asas Kepastian Hukum ( rechts zakerheid )29 Menurut Kuntjoro Purbopranoto terdapat 13 ( tigabelas) asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.
Asas Kepastian Hukum (principle of legal security) Asas Keseimbangan (principle of proportionality) Asas Bertindak Cermat (principle of carefulness) Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan (principle of motivation ) Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan (principle of non misuse of competence ) 6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan (principle of equality) 7. Asas Permainan Yang Layak (principle of fair play) 8. Asas Keadilan atau kewajaran (principle of reasonable of prohibition of arbitrariness) 9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar ( Principle of meeting raised expectation ) 10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal (principle of undoing the consequences of unneled decision ) 11. Asas perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi (principle of protetcting the personal way of life ) 12. Asas kebijaksanaan (principle of sapiently) 13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principle of public service )30 29
Amrah Muslimin, 1985, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung , hal. 145. 30 Kuntjoro Purbopranoto, 1985, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, hal. 28.
28
Asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Asas Kepastian Hukum, asas ini menghendaki setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan hukum oleh hakim adminstrasi. 2. Asas Keseimbangan, asas ini menghendaki adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada. 3. Asas bertindak cermat, asas ini menghendaki agar pemerintah bertindak cermat dalam melakukan aktivitas sehingga tidak merugikan bagi warga negaranya. 4. Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan, asas ini menghendaki setiap keputusan badan pemerintahan harus mempunyai motivasi atau alas an yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan. 5. Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan, dalam asas ini aspek wewenang tidak dapat dijalankan melebihi apa yang sudah ditentukan dalam undang-undang artinya pejabat tata usaha negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang melampaui batas. 6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan, asas ini menghendaki badan pemerintah mengambil tindakan yang sama atas kasus yang faktanya sama.
29
7. Asas Permainan Yang Layak, asas ini menghendaki agar setiap warga diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta membela diri sebelum dijatuhkan putusan. 8. Asas Keadilan dan Kewajaran, asas ini menghendaki pejabat tata usaha Negara harus proporsional, sesuai, seimbang, selaras dengan hak setiap orang dengan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku ditengah masyarakat. 9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar, asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus mengabulkan harapan warga Negara walaupun tidak menguntungkan bagi pemerintah. 10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal, asas ini menghendaki jika terjadi pembatalan atas suatu keputusan maka yang bersangkutan atau yang terkena keputusan haru diberikan ganti rugi atau kompensasi atau pengembalian nama baik. 11. Asas Perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi, asas ini menghendaki pemerintah melindungi hak setiap warga negara yang merupakan konsekuensi negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi setiap warga negara. 12. Asas Kebijaksanaan, asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan formal atau hukum tertulis.
30
13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum, asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum. Tindakan pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik sehingga tindakan pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak merugikan masyarakat atau pihak-pihak yang terkena tindakan tersebut. 1.5.4. Fungsi Sosial Hak-Hak Atas Tanah Dalam Pasal 6 UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu dipergunakan ( atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat. Penggunaan tanah itu harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut tidaklah berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum ( masyarakat ). UUPA memperhatikan pula kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga tercapai tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat selurunya. Tanah harus dipelihara baik-baik agar bertambah kesuburan serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara ini tidak saja dibebankan kepada pemegang
31
haknya melainkan menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu.31 1.5.5. Konsep Penertiban, Pendayagunaan, Tanah Terlantar dan Penatagunaan Tanah Penertiban berasal dari kata “tertib” yang menurut Pius Abdillah dan Danu Prasetya dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia berarti tertata dan terlaksana dengan rapi dan teratur menurut aturan.32 Penertiban merupakan suatu tindakan penataan
yang diperlukan dalam suatu negara atau daerah. Penertiban tersebut
dilakukan dalam rangka mewujudkan kondisi negara atau daerah yang aman, tenteram dan tertib dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan kegiatan masyarakat yang kondusif. Pendayagunaan berasal dari kata “daya guna” yang berarti kemampuan mendatangkan hasil dan manfaat.33 Dengan demikian pendayagunaan berarti kemampuan untuk memanfaatkan sesuatu sehingga berhasil guna dan bermanfaat untuk kepentingan masyarakat. A.P. Parlindungan mengemukakan konsep tanah terlantar dengan merujuk pada hukum adat yaitu sesuai dengan karakter tanah terlantar ( kondisi fisik ) yang telah berubah dalam waktu tertentu ( 3,5 sampai 10 tahun ) maka haknya gugur,
31
Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Edisi pertama, Prenada Media, Jakarta, hal.60. 32 Pius Abdillah,Danu Prasetya, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Arkola, Surabaya, hal.575. 33
Ibid, hal.80.
32
tanah kembali pada hak ulayat.34 Sudargo Gautama, menyatakan bahwa
istilah
ditelantarkan diartikan antaranya keadaan jika tanah yang tak dipakai sesuai dengan keadaannya, sifat atau tujuannya.35 Berdasarkan pendapat tersebut
maka tanah
terlantar lebih mengarah pada kondisi fisik tanah yang sudah tidak produktif dan tidak bertuan ( ditinggalkan oleh pemegang haknya). Penjelasan Pasal 27 UUPA menentukan tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya. Dalam Pasal 2 PP No.11 Tahun 2010
tentang Penertiban Dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar dinyatakan bahwa obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Dengan demikian tanah yang sudah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Begitu pula tanah yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan
34
A.P. Parlindungan, 1990, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah UUPA ), Mandar Maju, Bandung, hal.7 35 Sudargo Gautama, 1993, Tafsiran Undang - Undang Pokok Aditya Bakti, Bandung Cet. Kesembilan, hal.136.
( Menurut Sistem Agraria, PT.Citra
33
pemberian hak, surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dan / atau dalam izin / keputusan / surat lainnya dari pejabat yang berwenang. Penertiban tanah terlantar dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar adalah proses penataan kembali tanah terlantar agar dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat dan negara. Penertiban tanah terlantar dimaksudkan untuk mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat, kegiatan pembangunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Pasal 1 angka 8 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar
menentukan
Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar adalah pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar melalui peruntukan dan pengaturan peruntukan, penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan masyarakat, melalui reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan negara lainnya. Tanah- tanah negara bekas tanah terlantar akan diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan cadangan negara lainnya. Reforma agraria merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan asset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah yang dapat dilakukan melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar. Program strategis negara antara lain untuk pengembangan sektor pangan, energi, perumahan
34
rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cadangan Negara lainnya antara lain untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan pemukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah menentukan
penatagunaan tanah adalah sama dengan pola
pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Penatagunaan tanah dimaksudkan untuk mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
untuk kepentingan
masyarakat sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Kemudian dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah disebutkan penatagunaan tanah bertujuan untuk : a. Mengatur penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah; b. Mewujudkan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah; c. Mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah; d. Menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan, dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan.
35
Dengan demikian penertiban tanah-tanah terlantar dimaksudkan untuk menata kembali agar penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat dilakukan seoptimal
mungkin
untuk
kepentingan
masyarakat
dan
Negara,
kegiatan
pembangunan, tertib pertanahan dan menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan. 1.5. Metode Penelitian Menurut Morris L Cohen dan Ken C Olson, “ Legal Researcht, is the prosess of Finding of Law that govern activities in human society. It involves locating both the rule which are enforced by the state and commentaries which explain or analyze these rule “ ( Penelitian Hukum secara umum dapat diartikan suatu proses dalam penemuan hukum dari aktivitas pemerintah di dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menempatkan peraturan perundang-undangan maupun penegakannya oleh Negara dan memberikan penjelsan analisis undang-undang tersebut ).36 1.6.1. Jenis Penelitian Penelitian pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang terencana yang dilakukan dengan metode ilmiah yang bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala yang ada. Penelitianhukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-
36
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Edisi Pertama,Cet.Ke-1, Prenada Media, Jakarta, hal. 29.
36
prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.37 Dalam ilmu hukum dikenal dua jenis penelitian yakni penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dalam kaitan ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif . Penelitian hukum normatif, menurut Sunaryati Hartono, merupakan penelitian yang monodisipliner yaitu penelitian yang digunakan untuk mengetahui dan mengenal hukum, menyusun dokumen-dokumen hukum, menulis makalah, menjelaskan atau menerangkan bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah tertentu, untuk mencari asas-asas hukum, teori-teori hukum, dan sistem hukum terutama dalam hal penemuan dan pembentukan asas-asas hukum baru, pendekatan hukum yang baru dan sistem hukum nasional (yang baru). 38 Penelitian ini berangkat dari adanya kekaburan
norma yang berkaitan dengan
kewenangan dan mekanisme penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah terlantar . Oleh karena itu penelitian ini dapat dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif dengan fokus penelitian terhadap bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Dengan kata lain, penelitian ini menekankan kepada penelitian bahan-bahan hukum yang ada dalam rangka menjawab masalah yang berkaitan dengan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah. Dalam membahas pokok permasalahan akan didasarkan pada hasil penelitian kepustakaan, baik terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier. 37
Ibid, hal. 35. C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Edisi Pertama, Cet.I, Alumni, Bandung, hal.140-141. 38
37
1.6.2.Jenis Pendekatan Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, menurut Johnny Ibrahim dapat digunakan beberapa pendekatan sebagai berikut :39 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pendekatan Perundang-undangan ( statute approach ) Pendekatan Konsep ( conceptual approach ) Pendekatan Analitis ( analytical approach ) Pendekatan Perbandingan ( comparative approach ) Pendekatan Historis ( historical approach ) Pendekatan Filsafat ( philosophical approach ) Pendekatan Kasus ( case approach )
Pendekatan yang akan diterapkan untuk membahas permasalahan
dalam
penelitian ini adalah melalui pendekatan perundang-undangan ( statute approach ) dan pendekatan konseptual ( conceptual approach ).
Pendekatan perundang-
undangan diterapkan untuk mendapatkan ketentuan hukum yang melandasi tindakan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah. Pendekatan konseptual dilakukan untuk menemukan konsep-konsep yang berkaitan dengan tanah terlantar, kriteria tanah terlantar, kewenangan dan tindakan dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. 1.6.3.Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dari penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer dari penelitian ini berupa peraturan perundang-undangan, seperti
UUD
1945,
UU No.5 Tahun 1960, UU No.32 Tahun 2004, PP No.16 Tahun 2004 , PP No.38 Tahun 2007, PP No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah 39
Johnny Ibrahim, 2006, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Kedua, Bayu Media Publishing, Malang, Jawa Timur, hal.300.
38
Terlantar, Kepres No. 34 Tahun 2003, Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Bahan hukum sekunder diperoleh dari bahan-bahan bacaan di bidang Hukum Tata Negara, Hukum Adminstrasi Negara, Hukum Pertanahan dan bahan-bahan bacaan yang lainnya yang berkaitan dengan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka peñatagunaan tanah. Sedangkan bahan hukum tersier berupa ensiklopedia, kamus hukum, serta dokumen-dokumen penunjang lainnya yang dapat mendukung maupun memperjelas bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. 1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan melakukan studi dokumentasi yakni dengan melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang relevan dengan masalah penelitian ini dengan menggunakan sistem kartu. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, ada dua macam kartu yang perlu dipersiapkan yaitu : a. Kartu Kutipan, yang dipergunakan untuk mencatat atau mengutip data beserta sumber dari mana data tersebut diperoleh. b. Kartu Bibliografi, dipergunakan untuk mencatat sumber bacaan yang dipergunakan. Kartu ini sangat penting dipergunakan pada waktu peneliti menyusun daftar kepustakaan sebagai bagian penutup dari laporan penelitian yang ditulis atau disusunnya.40
40
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 53.
39
1.6.5.Teknik Analisa Bahan Hukum Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat digunakan berbagai teknik analisis sebagai berikut :41 a. b. c. d. e. f.
Deskripsi Interpretasi Konstruksi Evaluasi Argumentasi Sistematisasi Teknik Deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari
penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Teknik Interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual,dan lain-lain. Teknik
Konstruksi
berupa
pembentukan
konstruksi
yuridis
dengan
melakukan analogi dan pembalikan proposisi ( acontrario ). Teknik Evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Teknik argumentasi tidak bias dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.Dalam
41
Anonim, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana, hal. 13-14.
40
pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat. Dalam penelitian ini bahan hukum yang telah dikumpulkan berkenaan dengan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar terlebih dahulu diolah dan dianalisis secara sistematis berdasarkan deskripsi analisis yaitu penguraian proposisiproposisi
hukum sesuai pokok permasalahan yang dikaji. Berdasarkan deskripsi
tersebut selanjutnya dilakukan interpretasi atau penafsiran secara normatif terhadap bahan hukum yang diperoleh kemudian diberikan argumentasi. Argumentasi hukum sebagai hasil akhir yang merupakan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas.
41
BAB II KARAKTERISTIK TANAH TERLANTAR
2.1. Hukum Tanah Nasional Dengan berlakunya UUPA dapat menghilangkan sifat dualistis yang terdapat dalam lapangan agraria karena Hukum Agraria yang baru itu didasarkan pada ketentuan-ketentuan Hukum Adat. Hukum adat adalah hukum yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia serta merupakan hukum rakyat Indonesia yang asli. Hukum adat sebagai dasar dari pada Hukum Agraria adalah hukum adat yang sudah disanneer yaitu hukum adat yang
berlaku bagi golongan rakyat pribumi, yang
selanjutnya merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis, dan yang mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi suasana keagamaan. Hukum adat yang merupakan dasar bagi hukum agraria sudah mengalami perubahan. Perubahan hukum adat yang menjadi dasar dari pada hukum agraria yang baru harus memenuhi syarat-syarat : a. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan asas persatuan bangsa b. Tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia c. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA d. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. e. Harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada agama.42
42
Mudjiono, 1997, Politik Dan Hukum Agraria, Edisi Pertama,Liberty , Yogyakarta, hal. 23.
42
2.1.1. Perspektif Filosofi Dari segi filosofis, UUPA menginginkan suatu masyarakat yang berkeadilan sosial. Keinginan tersebut timbul berdasarkan pengalaman pada masa penjajahan dimana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya telah diambil manfaatnya bukan untuk kepentingan rakyat. Sejak Indonesia menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai sebuah negara, Indonesia telah menetapkan luas wilayah tertentu, rakyat yang bergabung menjadi suatu bangsa yaitu Indonesia. Konstitusi negara yakni UUD 1945 menjadi hukum dasar bagi seluruh kebijakan di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian sebagai negara yang merdeka Indonesia mempunyai kedaulatan untuk mengatur sendiri jalannya pemerintahan, kehidupan berbangsa dan bernegara, serta perekonomian demi kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Dalam Pembukaan UUD 1945, dinyatakan bahwa Negara Indonesia yang merdeka ini mempunyai
falsafah
Negara
yang
disebut
Pancasila,
dalam
mewujudkan
kesejahteraan rakyat dengan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan filosofi tersebut, pasal-pasal UUD 1945 telah memberi arah atau petunjuk bagaimana kesejahteraan rakyat dapat dicapai, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 sebagai berikut :
43
(1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. (2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3). Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (4). Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, effesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5). Ketentuan lebih lanjut mengenai pasal-pasal ini diatur dalam undangundang. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan landasan bagi pengelolaan agraria yang ada di wilayah Indonesia. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Oleh sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Menurut pasal tersebut negara memegang peranan penting dalam hal menguasai dan mempergunakan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya secara maksimal. Dalam hal ini tugas dan wewenang negara adalah untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Konsepsi ini sejalan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang dianut negara Indonesia. Sebagai Negara agraris maka pemilikan tanah merupakan kebutuhan untuk memenuhi hak mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak. Konsep penguasaan tanah oleh negara serta konsep kepemilikan individu terpadu dalam tujuan yang sama yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Para ahli yang menyusun hukum tanah nasional (UUPA) bahwa konsep hukum tanah nasional digali
menjelaskan
dari sumber Hukum adat, yaitu
44
Komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara individu dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung kebersamaan. Sifat komunalistik religius ini dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa
: “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.” Kalau dalam hukum adat tanah ulayat merupakan tanah bersama masyarakat hukum adat yang bersangkutan, maka dalam rangka Hukum Tanah Nasional semua tanah dalam wilayah Negara kita adalah tanah bersama seluruh rakyat Indonesia. Unsur religius dapat dilihat dari pernyataan bahwa bumi, air dan ruang angkasa Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Secara Religius dapat dikatakan bahwa hubungan antara Bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa adalah hubungan yang memang ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.43 Dengan demikian konsep ini mengandung pengertian bahwa tanah yang berada diwilayah Indonesia ini merupakan modal atau asset bangsa yang sangat berharga, dan kekayaan nasional sebagai perwujudan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia secara turun-temurun dan tidak terputus. Hubungan antara tanah dan manusia (bangsa Indonesia) bersifat abadi.
43
H. Mohammad Hatta, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perpektif Negara Kesatuan, Cet. I, Media Abadi, Yogyakarta, hal. 20.
45
2.1.2. Perspektif Hukum Pembahasan tanah dari perspektif hukum maksudnya adalah mengkaji tanah dari sisi hukumnya saja bukan dari sisi yang lain. Hukum tanah bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu dari aspek yuridisnya yaitu hak-hak penguasaan atas tanah. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem yang disebut dengan Hukum tanah. Ketentuan-ketentuan hukum tanah meliputi pengertian tanah, hak-hak penguasaan atas tanah dan hak-hak atas tanah. 2.1.2.1. Pengertian Tanah dalam Hukum Tanah Pada umumnya sebutan tanah selalu dikaitkan dengan hak atas tanah yang diberikan atau dimiliki oleh seseorang, agar dapat dinikmati manfaatnya, dan digunakan sesuai dengan peruntukkannya. Dalam hukum tanah sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UUPA yaitu : (1)
Atas dasar menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. (2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4 ) UUPA, tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
46
Tanah diberikan kepada pemegang hak, dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja, untuk keperluan apapun pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh karena itu dalam ayat (2) dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya. Dengan demikian, maka yang dipunyai dengan hak atas tanah adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi, tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah dan air serta ruang yang ada diatasnya. Sedalam berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada diatasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundangundangan yang bersangkutan. Secara etimologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanah adalah : 1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali; 2. Keadaan bumi di suatu tempat; 3. Permukaan bumi yang diberi batas;
47
4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu ( pasir, cadas, napal dan sebagainya ).44 Berdasarkan pengertian etimologi di atas, dapat kita pahami bahwa tanah adalah permukaan bumi dengan segala kandungan atau bahan yang ada didalamnya. Andi Hamzah memberikan pengertian tanah dengan mengacu pada pengertian agrarian seperti yang diatur dalam UUPA. Pasal 1 ayat (4) UUPA dalam penjelasan umum menyatakan bahwa dalam pada itu hanya permukaan bumi saja yaitu yang disebut tanah yang dapat dikuasai oleh seseorang. Jadi tanah adalah permukaan bumi.45 Secara geologis-agronomis Iman Sudiyat menjelaskan bahwa tanah adalah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas yang dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan. Itu sebabnya kemudian dikenal istilah tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan bangunan dinamakan tanah bangunan. Kedalaman lapisan bumi (tanah) adalah sedalam irisan bajak, lapisan pembentukan humus dan lapisan dalam. Secara yuridis dikatakan bahwa tanah dikualifikasi sebagai permukaan bumi.46 Berbeda dengan pendapat Ter Haar BZN yang memandang tanah tidak dapat dipisahkan dengan manusia yang mempunyai hubungan hidup antara sesama manusia yang teratur sedemikian pergaulannya. Tanah dimana mereka berdiam, tanah yang
44
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. 45 Andi Hamsah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.32. 46
Iman Sudiyat, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat Sedang Berkembang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, hal.1
48
memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan yang menjadi tempat kediaman orang-orang halus pelindungnya beserta leluhurnya. Pertalian yang terjadi demikian inilah terasa sangat berakar dalam alam pikiran masyarakat (umat manusia) terhadap tanah.47 I Gede Wiranata menjelaskan bahwa tanah mempunyai sifat : 1. Tanah adalah benda yang menyimpan kekayaan yang menguntungkan. 2. Tanah merupakan sarana tempat tinggal bagi persekutuan hukum dan seluruh anggotanya sekaligus member penghidupan kepada pemiliknya. 3. Tanah merupakan kesatuan dimana nanti pemiliknya akan dikubur setelah meninggal, sekaligus merupakan tempat leluhur persekutuan selama beberapa generasi sebelumnya.48 Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka pengertian tanah adalah permukaan bumi (yuridis) yang menyimpan kekayaan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan kehidupan manusia perseorangan dan kelompok (ekonomi). Tanah sebagai tempat tinggal atau kediaman, tempat mereka mengembangkan kehidupan keluarga secara turun- temurun dan bersifat abadi. Dalam Black’S Law Dictionary disebutkan tanah (land) diartikan dalam dua arti yaitu : a. An immovable and indestructible three-dimensional area consisting of a portion of the earth’s surface, the space above and below the surface and everything growing on or permanently affixed to it; b. An estate or interest in real property.49
47
Ter Haar BZN, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K.Ng Soebakti Poesponoto, PT. Pradnya Paramita,hal. 71-73 48 I Gede Wiranata, 2004, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 224-225
49
Dengan demikian tanah berarti : a. area tiga dimensi yang tidak dapat dipindahkan dan yang tidak dapat dihancurkan yang terdiri atas bagian di atas permukaan tanah, ruang di atasnya dan bagian yang berada di bawah permukaan tanah dan
segala
sesuatu yang tumbuh di atasnya dan terikat secara permanen ) b. sebuah perumahan atau keuntungan dari kepemilikan lahan dan bangunan. Sejalan dengan hal tersebut, Peter Butt yang dikutip dalam buku Ida Nurlinda memberi pemahaman yang lebih luas terhadap pengertian tanah (land), bahwa the word “land” is not only the face of the earth, but everything under it or over it.50 Jadi kata tanah tidak hanya berarti permukaan tanah, tetapi segala sesuatu di atas dan di bawahnya. Sementara itu, National Land Code of Malaysia memberikan pengertian yang luas terhadap tanah (land), yaitu termasuk ke dalam pengertian land adalah : a. That surface of the earth and all substances forming that surface; b. The earth below the surface and all substances there in; c. All vegetation and other natural product, whether or not requiring the periodical application of labour to their production and whether on or below the surface; d. All things attached to the earth or permanently fastened to anything attached to the earth, whether on or below the surface ; and e. Land covered by water 51. Berdasarkan National Land Code of Malaysia yang termasuk kedalam pengertian tanah adalah :
49
Black’s Law Dictionary, 1999, editor : Bryan A. Garner, seventh edition, USA : West Publishing, Minnesota. Page. 67. 50 Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum, Edisi I, PT. Raja Grafindo Persada, hal.36. 51 Boedi Harsono, op.cit. hal.21.
50
a. Permukaan dari bumi dan semua substansi yang membentuk permukaan tersebut; b. Bagian bawah permukaan dan segala sesuatu didalamnya; c. Semua vegetasi dan produk alami baik yang memerlukan proses pengerjaan secara periodik maupun yang tidak, di atas maupun di bawah permukaan tanah; d. Segala sesuatu yang melekat di bumi atau terikat secara permanen pada apapun yang menmpeldi bumi, di atas maupun di bawah permukaan bumi; dan e. Tanah yang tertutupi oleh air. Pasal 4 Land Titles Act Singapura 1993 juga mendefinisikan land secara luas, yaitu sebagai berikut : The surface of any defined parcel of the earcth, and all substances thereunder, and so much of the column of air above the surface as is reasonably necessary for the proprietor’s use and enjoyment, and includes any estate or interest in land all vegetation growing thereon and structures affixed thereto or any parcel of airspace or sub-terranean space held apart from the surface of the land as shown in an approved plan subject to any provisios to the contrary the proprietorship of land includes natural rights to air, light, water and support and the right of access to any highway on which the land abuts. 52 ( Banyak kolom udara di atas permukaan yang penting untuk keperluan dan kenyamanan “propietor” dan juga termasuk beberapa lahan atau semua tanaman yang dikembangbiakkan di atas dan struktur yang disertakan bersamanya atau beberapa bagian berupa tempat udara atau tempat subteranian di buat terpisah dari permukaan tanah seperti yang terlihat di sebuah perencanaan yang sudah disetujui dimana mengacu pada beberapa penyediaan terhadap perbedaan hubungan antar propietor lahan termasuk hak atas udara, cahaya, air dan hak untuk mengakses ke segala lahan yang letaknya bersebelahan). Berdasarkan pemaparan diatas ada persamaan hakiki tentang pengertian tanah dalam arti yuridis adalah permukaan bumi. Hal ini dapat diketahui dalam Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (4) UUPA yang menyebutkan : -
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 UUPA ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan 52
Ibid.
51
bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. -
Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.
2.1.2.2. Hak Penguasaan Atas Tanah Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik dan dalam arti yuridis, juga beraspek perdata dan beraspek publik.53 Dalam arti fisik secara nyata pemegang hak
menguasai
tanah
( tanah dalam penguasaan).
Penguasaan dalam arti yuridis dilandasi oleh “hak” yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang menjadi haknya. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah haknya secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain, misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik, atau tanah tersebut dikuasai pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan penguasaan yuridisnya berhak menuntut diserahkannya kembali tanah itu secara fisik kepadanya. Pengertian penguasaan dan menguasai tersebut di atas dipakai dalam aspek perdata.
53
Urip Santoso, 2005, op. cit, Jakarta, hal.73.
52
Pengertian penguasaan dan menguasai dalam aspek publik tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian dalam UUPA dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA yang menyatakan : (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur; (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. UUPA menetapkan tata jenjang /hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional yaitu : 1. Hak Bangsa, 2. Hak menguasai dari Negara, 3. Hak ulayat masyarakat Hukum Adat, 4. Hak-hak perorangan/individual yaitu :
53
a. Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang disebut dalam Pasal 16 dan 53 UUPA. b. Wakaf, yaitu hak milik yang sudah diwakafkan yang disebut dalam Pasal 49 UUPA. c. Hak jaminan atas tanah yang disebut “hak tanggungan” sebagaimana disebut dalam Pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA. Hak penguasaan atas tanah dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Hak Bangsa Hak Bangsa sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi diatur dalam Pasal 1 ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang berbunyi : (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. (3) Hubungan hukum antara bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. Hak Bangsa merupakan hak penguasaan tanah tertinggi dimana hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, secara langsung ataupun tidak langsung bersumber padanya. Hak Bangsa mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya. Hak Bangsa atas tanah bersama tersebut bukan hak pemilikan dalam pengertian yuridis, maka dalam rangka Hak Bangsa ada Hak Milik perorangan atas tanah. Tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan
54
memimpin penggunaan tanah bersama tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada Negara. Yang menjadi subyek Hak Bangsa adalah seluruh rakyat Indonesia sepanjang masa yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia, yaitu generasi-generasi terdahulu, sekarang dan generasi-generasi yang akan datang. Tanah Hak Bangsa meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Hak Bangsa merupakan hubungan hukum yang bersifat abadi artinya selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun, tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. 2. Hak Menguasai Dari Negara Pengertian “ dikuasai “ negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, tidak dijelaskan secara rinci dalam penjelasan baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal. Hal ini memungkinkan hak menguasai Negara itu ditafsirkan atas berbagai pemahaman, tergantung dari sudut pandang dan kepentingan yang menafsirkan. Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut diatas, berarti hak menguasai Negara meliputi semua tanah, tanpa terkecuali. Notonagoro menetapkan adanya tiga macam bentuk hubungan langsung antara Negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa, yaitu sebagai berikut: 1. Negara sebagai subyek, yang dipersamakan dengan perorangan, sehingga dengan demikian hubungan antara Negara dan tanah itu mempunyai sifat privat-rechtelijk. Hak Negara terhadap tanah sama dengan hak perseorangan dengan tanah. 2. Negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai perorangan, tetapi sebagai Negara. Dengan demikian, Negara sebagai badan kenegaraan,
55
sebagai badan yang publiekrechtelijk. Dalam hal ini Negara tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan perorangan. 3. Hubungan antara Negara langsung dengan tanah ini tidak sebagai subyek perseorangan dan tidak dalam kedudukannya sebagai Negara, yang memiliki akan tetapi sebagai Negara yang menjadi personifikasi tentang rakyat seluruhnya sehingga dalam konsepsi ini Negara tidak terlepas dari rakyat, Negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung kesatuankesatuan rakyat. Bentuk ini masih dapat diadakan dua macam bentuk, yaitu : a. Betul memegang kekuasaan terhadap tanahnya atau b. Hanya memegang kekuasaan terhadap pemakaiannya. 54 Mengacu pada pendapat Notonagoro di atas, maka bentuk hubungan antara negara dengan bumi, air dan ruang angkasa yang sesuai dengan makna hak menguasai negara adalah bentuk hubungan yang ketiga. Hubungan tersebut adalah hubungan yang bersifat abadi. Dalam arti, bahwa selama bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa itu masih ada, maka hubungan itu tidak akan terputus oleh kekuasaan apapun. Sejalan dengan pendapat Notonagoro, Iman Soetiknjo pun sependapat bahwa hak menguasai negara masuk ke dalam bentuk hubungan negara sebagai personifikasi seluruh rakyat, karena jika ditinjau dari sudut perikemanusiaan, hal itu sesuai dengan sifat mahluk sosial. Dengan demikian Negara mempunyai dua hak yaitu sebagai berikut : 1. Hak Communes, apabila Negara sebagai personifikasi yang memegang kekuasaan atas tanah dan sebagainya. 2. Hak Imperium, apabila Negara memegang kekuasaan tentang pemakaian tanah saja.55
54
Notonagoro, 1984, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 101.
56
Kewenangan negara untuk menguasai tersebut, menurut Pasal 2 ayat (2) UUPA memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan Bangsa Indonesia, untuk pada tingkatan tertinggi : 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Atas
dasar
kewenangan tersebut,
maka
ke dalam,
negara dapat
melakukan : a. Membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk keperluan yang bersifat politis, ekonomis, dan sosial ( Pasal 14 ayat (1) UUPA ), sedangkan pemerintah daerah juga harus membuat perencanaannya sesuai dengan rencana pemerintah pusat ( Pasal 14 ayat (2) UUPA ). b. Menentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang dapat diberikan dan dipunyai oleh perorangan ( baik sendiri maupun bersama-sama ) atau badan hukum ( Pasal 4 UUPA ). Hal ini berarti bahwa bagi perorangan atau badan hukum tertentu dimungkinkan mempunyai hak milik privat atas tanah. c. Berusaha agar sebanyak mungkin orang mempunyai hubungan dengan tanah, dengan menentukan luas maksimum tanah yang boleh dimiliki atau dikuasai perorangan ( Pasal 7 dan 17 UUPA ), mengingat tiap-tiap Warga Negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya ( Pasal 9 ayat (2) UUPA ). d. Menentukan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah, mengusahakan tanah itu sendiri dengan beberapa perkecualian ( Pasal 10 UUPA ). Hal ini untuk menjaga jangan sampai ada tanah absentee. e. Berusaha agar tidak ada tanah terlantar dengan menegaskan bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial, dan mencegah kerusakannya
55
Iman Soetiknjo, op.cit. hal.20.
57
f.
g. h. i.
merupakan kewajiban siapa saja yang mempunyai hak atas tanah ( Pasal 6 dan Pasal 15 UUPA ). Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Misalnya hak guna usaha, hak guna bangunan, sewa-menyewa, sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 UUPA. Mengatur pembukaan tanah, pemungutan hasil hutan ( Pasal 46 UUPA ) dan penggunaan air dan ruang angkasa ( Pasal 47 dan 48 UUPA ). Mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa ( Pasal 8 UUPA ). Mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, untuk menjamin kepastian hukum ( Pasal 19 UUPA ). 56
Dalam hal wewenang ke luar, Negara dapat melakukan : a. Menegaskan bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam wilayah Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, dan karenanya bersifat abadi ( Pasal 1 ayat (3) UUPA ). Hal ini berarti hubungan tersebut tidak dapat diputus oleh siapa pun. b. Menegaskan bahwa orang asing ( bukan WNI ) tidak dapat mempunyai hubungan penuh dan kuat dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di wilayah Indonesia. Hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dan terkuat di seluruh wilayah Indonesia ( Pasal 21 UUPA ).57 Dalam kaitannya dengan kewenangan,
negara bukanlah “ pemilik “
sumber daya agraria yang ada dalam wilayah Republik Indonesia, melainkan hanya sebagai “penguasa“. Kalaupun negara hendak dikatakan sebagai “pemilik “ maka harus dipahami dalam konteks hukum publik ( Publiekrechtstelijk ), bukan sebagai pemilik
( eigenaar )
dalam
pengertian yang
bersifat
keperdataan
( privaatrechtstelijk ). Artinya, negara memiliki kewenangan secara yuridis formal sebagai
pengatur,
penguasaan,
perencana,
pemilikan, penggunaan,
agraria lainnya. 56
Iman Soetikjno, op.cit. hal. 51 Iman Soetikjno, op.cit. hal.52
57
pelaksana
dan
pengendali
kegiatan-kegiatan
dan pemanfaatan tanah dan sumber daya
58
Negara memperoleh kewenangan untuk menguasai bumi, air, dan ruang angkasa karena tidak semua permasalahan atau urusan dapat diselesaikan sendiri oleh masyarakat. Kewenangan negara untuk menyelesaikan kepentingan masyarakatnya, menurut Maria Sumardjono dibatasi oleh dua hal, sebagai berikut : 1. Pembatasan oleh Undang-Undang Dasar. Pada prinsipnya, hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hakhak dasar manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar. 2. Pembatasan yang bersifat substantif. Pembatasan ini berkaitan dengan pertanyaan apakah peraturan yang dibuat itu relevan dengan tujuannya. Sesuai dengan Pasal 2 ayat ( 3 ) UUPA, semua aturan agraria harus ditujukan pada sebesar-besar kemakmuran rakyat, sedangkan ruang lingkup pengaturannya dibatasi Pasal 2 ayat (2) UUPA .58 Bagir Manan memaknai ketentuan Pasal 33 ayat ( 3 ) UUD 1945 dengan dua aspek kaidah yang terkandung didalamnya yaitu kaidah “ hak menguasai negara “ dan kaidah “ dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kedua aspek kaidah ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena keduanya merupakan satu kesatuan sistemik.
“Hak
menguasai negara merupakan instrument ( bersifat
instrumental ), sedangkan “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” merupakan tujuan. Selanjutnya disebutkan wewenang menguasai tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.59 Dari pendapat tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa timbulnya istilah “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan konsekuensi logis dari adanya istilah “dikuasai negara.” Kewenangan untuk menguasai sumber
58
Maria S.W. Soemarjono, 1998, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 14 Februari, Yogyakarta, hal. 6-7. 59 Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. Ketiga, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hal. 231.
59
daya agraria yang dimiliki oleh negara hanyalah dalam rangka mewujudkan sebesarbesar kemakmuran rakyat demi tercapainya kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia yang menjadi tujuan negara.
Keterkaitan
antara kaidah “hak
menguasai negara” dengan “sebesar-besar kemakmuran rakyat” akan menimbulkan kewajiban negara sebagai berikut : a. Segala bentuk pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, harus secara nyata dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. b. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam dan diatas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat. c. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan akses terhadap bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 60 Ketiga aspek tersebut diatas harus menjadi arahan atau acuan dalam menentukan dan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. 3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam UUPA pengertian hak ulayat secara eksplisit tidak ditemukan. Pasal 3 UUPA hanya menyatakan bahwa : “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang memurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
60
Ida Nurlinda, op.cit. hal.63.
60
Menurut Boedi Harsono, hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.61 Secara teknis yuridis, Sumardjono mengatakan hak ulayat merupakan hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang atau kekuasaan untuk mengurus dan mengatur tanah dan isinya, dengan daya laku baik ke dalam maupun ke luar masyarakat hukum adat itu.62 Dengan demikian hak ulayat merupakan hak yang spesifik dan khas, yang keberadaannya tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari masyarakat hukum adat itu sendiri, karena meskipun hak ulayat merupakan hak suatu komunitas masyarakat hukum adat, tetapi tetap membuka peluang akan adanya pihak lain di luar komunitas tersebut untuk memanfaatkan hak ulayat tersebut, dengan berbagai persyaratan. Hak ulayat suatu masyarakat hukum adat, berisi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah ( untuk pemukiman, bercocok tanam ), persediaan tanah ( pembuatan pemukiman/ persawahan baru ), dan pemeliharaan tanah; b. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah ( membe rikan hak tertentu pada subyek tertentu ); c. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah. 63 Isi wewenang
hak ulayat tersebut menyatakan bahwa hubungan antara
masyarakat hukum adat dengan tanah dan wilayahnya adalah hubungan menguasai, 61
Boedi Harsono, op.cit. hal.283. Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan: antara Regulasi dan Implementasi, Cet. Pertama, Kompas, Jakarta, hal.55. 63 Ibid, hal .71. 62
61
bukan hubungan milik, sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara Negara dengan tanah menurut Pasal 33 ayat ( 3 ) UUD 1945. 4.
Hak-Hak Individual : a. Hak-hak atas tanah ( Pasal 4 ) :
-
Primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang diberikan oleh Negara dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara ( Pasal 16 )
-
Sekunder : Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa ( Pasal 37, 41, dan 53 ).
b. Wakaf ( Pasal 49 ) c. Hak jaminan atas tanah; Hak Tanggungan ( Pasal 25, 33, 39, 51 UUPA ). Berdasarkan urutan hak penguasaan tanah tersebut di atas, maka Hak Bangsa merupakan hak penguasaan tanah yang tertinggi, sehingga hak-hak yang lainnya bersumber pada Hak Bangsa.
Hak Bangsa dipakai sebagai dasar bagi
pemberian hak-hak atas tanah yang lainnya. 2.1.2.3. Hak-Hak Atas Tanah Ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.
62
Hak atas tanah yang bersumber dari hak menguasai negara atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik Warga Negara Indonesia maupun warga negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik. Hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA yang bunyinya sebagai berikut : “Hak-hak atas tanah sebagai dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) adalah : a. b. c. d. e. f. g. h.
Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Sewa Hak membuka tanah Hak memungut hasil hutan Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara, sebagai yang disebut dalam Pasal 53.
Hak-hak atas tanah yang sifatnya sementara tersebut diatur dalam Pasal 53 ayat (1) yang bunyinya sebagai berikut : “Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu singkat.” 2.1.3. Fungsi Sosial Hak-Hak Atas Tanah Dalam Pasal 6 UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas
63
tanah yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hakhak atas tanah menurut konsepsi hukum adat yang mendasari konsepsi Hukum Tanah Nasional. Tidak hanya Hak milik, tetapi semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, demikian ditegaskan dalam Penjelasan pasal 6 UUPA tersebut. Dalam Penjelasan Umum, fungsi sosial hak-hak atas tanah tersebut disebut sebagai dasar yang keempat dari Hukum Tanah Nasional. Dalam Penjelasan Umum tersebut dinyatakan : “Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan ( atau tidak dipergunakan ) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan
umum (masyarakat). UUPA memperhatikan pula kepentingan-
kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan
bagi rakyat seluruhnya ( Pasal 2 ayat
3).64 Berdasarkan fungsi sosial hak atas tanah tersebut, maka tanah yang dihaki seseorang bukan hanya mempunyai fungsi bagi yang empunya hak itu saja, tetapi
64
Boedi Harsono, op.cit. hal.299
64
juga bagi bangsa
Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya, dalam
mempergunakan tanah yang bersangkutan bukan hanya kepentingan yang berhak saja yang dipakai sebagai pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan yang mempunyai dan kepentingan masyarakat. Untuk itu perlu adanya perencanaan, peruntukan dan penggunaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UUPA. Dengan menggunakan tanah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan oleh Pemerintah terpenuhilah fungsi sosialnya. Kepentingan umum harus diutamakan daripada kepentingan pribadi, sesuai dengan asas-asas yang berlaku bagi penyelenggaraan berkehidupan bersama dalam masyarakat. Walaupun demikian juga tidak boleh diabaikan, karena hak individu atas tanah dihormati dan dilindungi oleh hukum. Jika kepentingan umum menghendaki didesaknya kepentingan individu, hingga mengalami kerugian maka kepadanya harus diberikan ganti kerugian. 2.2. Tanah terlantar Sesuai dengan TAP MPR No.IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, permasalahan tanah terlantar yang berkaitan dengan upaya penertibannya oleh pemerintah merupakan hal yang penting untuk dikaji, karena hal itu merupakan perwujudan salah satu upaya pembaharuan di bidang agraria. UUPA merupakan dasar dari lahirnya perundang-undangan lainnya dan peraturan-peraturan pendukung dalam mengatur kebijakan di bidang pertanahan. Pemberian hak-hak atas tanah ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan lain-lain ) kepada perorangan atau badan hukum oleh Negara untuk diusahakan, dikelola dan dipergunakan dalam rangka memberikan kesejahteraan
65
kepada masyarakat, merupakan suatu kebijakan di bidang pertanahan yang harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Jika kewajiban itu sengaja diabaikan, maka dapat mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan. Dengan kata lain dalam pemberian hak itu ada maksud agar tidak menelantarkan tanah. 2.2.1. Pengertian atau Konsep Tanah Terlantar Menurut J.J.H. Bruggink, Het begrip is datgene dat in ons denken ontstaat als de betekems van het woord, gezien de verwijzing van dat woord naar een bepaald object of person. Hierboven is nog eens gezegd dat die betekenis afhangt van zowel de talige als de buiten-talige contekst.65 Pengertian adalah apa yang timbul dalam pikiran kita sebagai arti dari perkataan, mengingat penunjukan perkataan itu pada obyek tertentu atau orang tertentu. Jadi bergantung pada baik konteks kebahasaan maupun bukan kebahasaan. Sebelum menjelaskan konsep tanah terlantar perlu dipahami pengertian konsep sebagaimana dijelaskan oleh Radbruch. Ia mengemukakan pendapatnya yang berkaitan dengan konsep hukum sebagai berikut : “Terdapat dua jenis konsep hukum yakni konsep hukum yang yuridis relevan ( legally relevant concepts ) dan konsep hukum asli ( genuine legal concepts ). Konsep yuridis relevan adalah konsep hukum yang merupakan komponen aturan hukum, khususnya konsep yang digunakan untuk mendapatkan situasi fakta dalam kaitannya dengan ketentuan undang-undang yang dijelaskan dengan interpretasi misalnya konsep fakta seperti benda, membawa pergi, atau 65
J. J. H. Bruggink, 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie, Deventer, Kluwer, Page. 40.
66
mengambil. Sedangkan konsep hukum adalah konsep konstruktif dan sistematis yang digunakan untuk memahami sebuah aturan hukum, misalnya konsep hak, kewajiban, hubungan hukum dan sebagainya”. 66 Satjipto Rahardjo, mengemukakan pentingnya sebuah konsep digunakan untuk menyebutkan secara ringkas apa yang ingin dicakup oleh suatu peraturan hukum.67 Dengan demikian konsep-konsep hukum yang dipakai hendak merumuskan pengertian-pengertian
yang
tercakup
di
dalamnya
atau
digunakan
untuk
menyebutkan secara ringkas apa yang ingin dicakup oleh suatu peraturan hukum. Konsep tanah terlantar dapat ditemukan dalam pengertian-pengertian tanah terlantar . 1. Menurut UUPA. Pengertian tanah terlantar tidak ditemukan dalam UUPA. Dalam UUPA disebutkan bahwa hak atas tanah akan berakhir atau hapus karena tanahnya ditelantarkan.
Beberapa ketentuan UUPA yang berkaitan dengan tanah terlantar
dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena ditelantarkan ( Pasal 27 poin a. 3 ). Penjelasan Pasal 27 menyatakan : “Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”. 2. Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan ( Pasal 34 e ).
66
Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian tentang Pondasi Kefalsafahan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandar Maju, Bandung, hal. 154. 67 Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cet. Keenam, PT. Citra Aditya Abadi, Bandung, hal. 311-312.
67
3. Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan ( Pasal 40 e ). Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, menunjukkan bahwa setiap hak atas tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan ) haknya hapus apabila ditelantarkan. Artinya ada unsur kesengajaan melakukan perbuatan tidak mempergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya. 2. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Peraturan
Pemerintah
Nomor
36
Tahun
1998
dikeluarkan
karena
dilatarbelakangi semakin banyaknya jumlah tanah terlantar di Indonesia dan karena tidak ada upaya penertiban yang dilakukan oleh Pemerintah. Oleh karena itu dalam Menimbang pada huruf b disebutkan , “bahwa dalam kenyataannya masih terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh perorangan, badan hukum atau instansi yang tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. Dalam ketentuan Menimbang huruf c dinyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya ditelantarkan. Pasal 1 ayat (5) PP No. 36 Tahun 1998 menyatakan, “Tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan, atau pihak yang telah memperoleh dasar penguaasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku .” Selanjutnya pengertian tanah terlantar diulang kembali dalam Pasal 3 yang menyatakan : “Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja
68
tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik “. Apabila diperhatikan, ternyata banyak pengertian yang diberikan oleh PP No.36 tahun 1998 untuk menyatakan sebidang tanah adalah terlantar. Jika di inventarisasi sebagai berikut : a. Tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya, bila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai peruntukannya menurut RTRW yang berlaku. b. Tanah yang ditelantarkan oleh pemegang haknya. c. Tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. d. Tanah sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. 3. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Pengertian tanah terlantar dapat dilihat dalam penjelasan pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010 yang menyatakan bahwa : “ Tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Demikian pula tanah yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat keputusan
69
pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat lainnya dari pejabat yang berwenang. Dengan demikian tanah terlantar adalah tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan atau tanah yang ada dasar penguasaannya
yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak
dimanfaatkan, sesuai dengan keadaannya, sifat dan tujuan haknya. 2.2.2. Kriteria Tanah Terlantar Kriteria tanah terlantar dapat ditemukan dengan cara mensistematisasi unsurunsur yang ada dalam tanah terlantar. Adapun unsur-unsur yang ada pada tanah terlantar : 1. Adanya pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek). 2. Adanya tanah hak yang diusahakan atau tidak (obyek). 3. Adanya tanah yang teridentifikasi telah menjadi hutan kembali atau kesuburannya tidak terjaga. 4. Adanya jangka waktu tertentu dimana tanah menjadi tidak produktif. 5. Adanya perbuatan yang sengaja tidak menggunakan tanah. 6. Status tanah kembali kepada Negara. Dengan mengetahui unsur-unsur esensial terjadinya tanah terlantar maka kriteria atau ukuran yang dapat dipakai untuk menetapkan sebidang tanah adalah terlantar dengan cara kembali menjelaskan dengan melakukan penafsiran-penafsiran terhadap unsur yang ada, dengan fokus terhadap tujuan pemberian hak atas tanah. Sehingga apabila dari kondisi fisik tampak tanah tidak terawat atau tidak terpelihara
70
itu berarti tidak sesuai dengan tujuan pemberian haknya. Dengan demikian kriteria tanah terlantar adalah : 1. Harus ada pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek). 2. Harus ada tanah hak ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,dan lain-lain ) yang tidak terpelihara dengan baik sehingga kualitas kesuburan tanahnya menurun. 3. Harus ada jangka waktu tertentu. 4. Harus ada perbuatan yang dengan sengaja tidak menggunakan tanah sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Berdasarkan konsep tanah terlantar yang diatur dalam Penjelasan Pasal 27 UUPA yang menyatakan : Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya, maka kriteria tanah terlantar dalam UUPA kurang jelas atau masih kabur karena hanya ditentukan subyek hak/pemegang hak atas tanah, obyek hak ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan ), dan ada perbuatan yang mengakibatkan tanah menjadi terlantar, sedangkan jangka waktunya tidak ditentukan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 kriteria tanah terlantar diatur dalam Bab III, yang dibagi menjadi tiga bagian : Bagian Kesatu mengenai tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai meliputi : Pasal 3 yang menyatakan bahwa : “Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak
71
dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.” Pasal 4 yang menyatakan bahwa : “Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut.” Pasal 5 yang menyatakan bahwa : (1) Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah itu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar. Pasal 6 menyatakan bahwa : (1) Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak diperginakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipecah dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana kerja yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar. Bagian Kedua mengenai Tanah Hak Pengelolaan, meliputi : Pasal 7 yang menyatakan behwa : (1) Tanah Hak Pengelolaan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila kewenangan hak menguasai dari Negara atas tanah tersebut tidak dilaksanakan oleh pemegang Hak Pengelolaan sesuai tujuan pemberian pelimpahan kewenangan tersebut. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
72
Bagian Ketiga Tanah Yang Belum Dimohon Hak meliputi : Pasal 8 yang menyatakan bahwa : (1) Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria tanah terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 rumusan kriteria tanah terlantar masih kabur karena dalam peraturan tersebut tidak ditentukan jangka waktu tanah dinyatakan sebagai tanah terlantar. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut ditentukan subyek/pemegang hak atas tanah, obyek hak ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan ), adanya perbuatan yang dapat mengakibatkan tanah menjadi terlantar Dalam Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 ditentukan tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Kemudian dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 dinyatakan bahwa identifikasi dan penelitian dilaksanakan : terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang.
73
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 ditentukan kriteria tanah terlantar meliputi, subyek/ pemegang hak atas tanah, obyek hak atas tanah ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan), adanya perbuatan yang mengakibatkan tanah terlantar, jangka waktunya terhitung 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya sertifikat Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau sejak berakhirnya izin/ keputusan/ surat dasar penguasaan tanah dari pejabat yang berwenang. 2.2.3. Kedudukan Tanah Terlantar Berdasarkan tata jenjang / hierarki hak-hak penguasaan atas tanah, hak menguasai dari negara itu merupakan perwujudan dari hak bangsa yang memberi wewenang kepada negara untuk mengatur penggunaan, pengusahaan dan peruntukan tanah, yang implementasinya dapat diberikan kepada perorangan/ individu atau Badan hukum berupa hak-hak atas tanah. Pemberian hak atas tanah oleh negara kepada perorangan atau badan hukum dimaksudkan agar masyarakat dapat menggunakan, mengusahakan tanah untuk mencapai kecukupan di bidang ekonomi, kesejahteraan atau kemakmuran. Agar tujuan dapat tercapai, maka setiap pemegang hak atas tanah memahami bahwa setiap hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan
atau
larangan untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Hak-hak atas tanah memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanahnya. Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi dua yaitu :
74
1. Wewenang Umum Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi, air dan ruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi ( Pasal 4 ayat (2) UUPA ). 2. Wewenang Khusus Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah hak milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau untuk mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian, perikanan, peternakan, atau perkebunan.68 Disamping itu juga hak-hak atas tanah menentukan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah. Pasal 10 UUPA menyebutkan “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.” Kemudian Pasal 15 menyebutkan “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak yang ekonomi lemah.” Hak-hak atas tanah disamping memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanahnya, juga menentukan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang haknya. Pemegang hak atas tanah agar menggunakan,
68
Soedikno Mertokusumo, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Karunika, Universitas Terbuka, Jakarta, hal. 45.
75
mengusahakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan pemberian haknya sehingga tidak menelantarkan tanahnya. Pemegang hak atas tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 27 huruf a angka 3, Pasal 34 huruf e, Pasal 40 huruf e yang menentukan semua hak atas tanah tersebut akan hapus dan jatuh ke tangan negara apabila tanah tersebut ditelantarkan. Secara yuridis hak atas tanah menjadi hapus jika dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebagai sanksi terhadap tidak dipenuhinya kewajiban tersebut atau dilanggarnya sesuatu larangan oleh pemegang hak yang bersangkutan.69 Lebih lanjut Boedi Harsono menyatakan keputusan pejabat tersebut bersifat konstitutif, dalam arti hak yang bersangkutan baru menjadi hapus dengan dikeluarkannya surat keputusan tersebut. Jika yang hapus hak-hak atas tanah primer, maka tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara.70 Jadi dapat dikatakan bahwa kedudukan tanah terlantar akhirnya menjadi tanah negara atau kembali dalam hak penguasaan negara. Selanjutnya dapat diserahkan kepada subyek lain untuk segera diberdayakan kembali atau diusahakan kembali.
69 70
Boedi Harsono, op.cit, hal.339. Ibid.
76
BAB III KEWENANGAN DAN MEKANISME PENERTIBAN TANAH TERLANTAR 3.1. Kewenangan Dalam Penertiban Tanah Terlantar 3.1.1. Konsep Kewenangan Kewenangan berasal dari kata “wenang” yang artinya adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak sehingga kewenangan berarti kekuasaan untuk membuat/melakukan sesuatu. 71 Menurut Juanda, kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, yaitu kekuasaan yang berasal dari atau yang diberikan oleh Undang-Undang, yang disebut kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif atau administratif. Sedangkan wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, misalnya wewenang menandatangani surat izin dari seorang pejabat atas nama Menteri atau Gubernur, sedangkan kewenangannya tetap berada ditangan Menteri atau Gubernur, sehingga dalam hal ini terdapat pendelegasian wewenang. Jadi di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. 72 Dari segi praktis, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid”.
Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa
kalau dikaji secara cermat ada sedikit perbedaan antara istilah wewenang atau
71
hal.1130.
72
W.J.S. Poerwadaminta, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, hal.271.
77
kewenangan dengan istilah “bevoegdheid”. Perbedaannya terletak dalam karakter hukumnya. Istilah “bevoegdheid” digunakan baik dalam konsep hukum publik maupun dalam konsep hukum privat. Sedangkan istilah wewenang atau kewenangan selalu digunakan dalam konsep hukum publik.73 Kadangkala istilah wewenang dikaitkan dengan suatu kekuasaan hukum (rechtskracht). Terkait dengan kekuasaan hukum maka ada dua hal yang perlu dicermati yaitu :
berkaitan dengan keabsahan suatu tindak pemerintahan dan
kekuasaan hukum. Suatu tindak pemerintahan dianggap sah jika dapat diterima sebagai suatu bagian dari ketertiban hukum, dan suatu tindak pemerintah mempunyai kekuasaan hukum jika dapat mempengaruhi pergaulan hukum.74 Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa kewenangan itu diperoleh melalui tiga (3) cara yaitu : a. Atribusi adalah wewenang untuk membuat keputusan yang langsung bersumber kepada Undang-undang dalam arti materiil. Dari pengertian tersebut nampaknya kewenangan yang didapat melalui cara atribusi oleh institusi pemerintah merupakan kewenangan asli. b. Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain dalam artian adanya perpindahan dari pemberi delegasi (delegans) kepada penerima delegasi (delegetaris). c. Mandat adalah suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan dalam artian memberikan wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat yang memberi mandat dan tanggung jawab ada pada pemberi mandat, bukan merupakan tanggungjawab mandataris.75 Atribusi adalah pembentukan dan pemberian wewenang tertentu kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang 73
Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid), Pro Justitia, Jakarta, hal.91. 74 Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Hukum Administrasi, Laksbang, Prescindo, Yogyakarta, hal. 59. 75 Philipus M. Hadjon I, loc.cit.
78
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan dan distribusi wewenang ditetapkan dalam konstitusi atau UUD. Dalam atribusi terjadi pemberian wewenang baru oleh suatu ketentuan perundang-undangan sehingga dilahirkan suatu wewenang baru. Kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintahan adalah kewenangan asli, karena kewenangan baru itu sebelumnya tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat suatu keputusan oleh pejabat pemerintah (delegans) kepada pihak lain (delegataris) dan wewenang itu menjadi tanggungjawab dari delegataris. Syarat-syarat delegasi adalah : 1. Harus definitive, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah diserahkan; 2. Harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundangundangan; 3. Tidak kepada bawahan, artinya bahwa dalam hubungan hirarki kepegawaian, tidak diperkenankan adanya delegasi; 4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya bahwa delegans berhak meminta penjelasan pelaksanaan wewenang tersebut; 5. Merupakan peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya bahwa delegans memberikan intruksi tentang pengaturan wewenang tersebut.76 Dengan demikian pada delegasi selalu didahului oleh atribusi wewenang, sehingga menurut Indroharto, “ penerima wewenang atas dasar delegasi (delegataris) dapat pula mendelegasikan wewenang yang diterimanya dari pemberi wewenang asli (delegans) kepada organ atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) lainnya. Pelimpahan wewenang ini disebut dengan sub delegasi “.77
76
Philipus M. Hadjon,I, op.cit. hal.123 Indroharto, op.cit. hal. 66.
77
79
Mandat
merupakan
suatu
pelimpahan
wewenang
kepada
bawahan
(mandataris) untuk membuat suatu keputusan atas nama yang memberi mandat (mandans). Dalam pelimpahan wewenang secara mandat tidak perlu adanya peraturan perundang-undangan yang melandasi, karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan intern. Dengan demikian dalam pelimpahan wewenang ini tanggungjawab tidak berpindah kepada mandataris, tetapi tanggungjawab tetap berada pada pemberi mandat. Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Administrasi Negara, karena pemerintah baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperoleh. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Suatu kewenangan harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku sehingga bersifat sah. Kewenangan dapat dilihat pada konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada badan publik dan lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya.78 Legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan dibedakan antara lain : a. Yang berkedudukan sebagai original legislator, dalam Negara Republik Indonesia di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan Peraturan Daerah; b. Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti Presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintah kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara tertentu.79 78
H. Suriansyah Murhaini, 2009, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang Pertanahan, Cet. Ke-1, Laksbang Justitia, Surabaya, hal. 14. 79 H.R. Ridwan, op.cit. hal.73.
80
SF. Marbun dan Mahmud MD, menyatakan cara untuk memperoleh kewenangan ada dua yaitu : Pertama, kewenangan atas inisiatif sendiri berarti bahwa pemerintah (Presiden) tanpa harus dengan persetujuan DPR diberi kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya setingkat dengan UndangUndang bila keadaan terpaksa. Kedua, kewenangan atas delegasi berarti kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya dibawah UndangUndang.80 Sedangkan H.D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt dalam bukunya H.R. Ridwan mendefinisikan atribusi, delegasi dan mandat sebagai berikut : a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan ( atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah ). b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander, ( delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya ). c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, ( mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya itu dijalankan oleh organ lain atas namanya ).81 Jika dikaitkan dengan wewenang untuk membentuk peraturan perundangundangan di Indonesia, maka yang dapat diklasifikasikan sebagai pembentuk undangundang orisinil adalah : MPR sebagai pembentuk konstitusi, DPR bersama Pemerintah yang melahirkan undang-undang, Kepala daerah bersama dengan DPRD melahirkan Peraturan Daerah. Sedangkan yang diklasifikasikan sebagai pembentuk undang-undang yang diwakilkan adalah Presiden yang berdasarkan pada suatu
80
SF. Marbun & Mahmud MD, 2000, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hal.55. 81 H.R. Ridwan, op.cit. hal.74
81
ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal ini Presiden mendapat kewenangan delegasi dari Badan Legislatif untuk membuat suatu undang-undang yang berlaku khusus dalam bidang administratif untuk menjalankan pemerintahan, karena undang-undang yang dibuat oleh Badan Legislatif pada dasarnya bersifat umum. Hal pernyataan dari Jay A. Sigler yang menyatakan :
ini
sejalan
dengan
“ Legislative bodies often
delegate considerable power to Administrative agency to effect the purposes of statutes. This has given rise to administrative policies, since statutes are often quite general “.82 Jadi atribusi menunjuk kepada kewenangan asli sedangkan delegasi dan mandat merupakan suatu kewenangan yang berasal dari pelimpahan oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Perbedaan antara kewenangan berdasarkan delegasi dan mandat menurut Philipus M. Hadjon adalah terletak pada prosedur pelimpahannya, tanggungjawab dan tanggung gugatnya serta kemungkinan dipergunakannya kembali kewenangan tersebut.83 Dilihat dari prosedur pelimpahannya, pada delegasi terjadi pelimpahan wewenang dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada mandat, 82
Jay A. Sigler, 1977, The Legal Sources Of Public Policy, DC. Heath and Compay, Lexington Massachusetts, Toronto, Page. 27. 83 Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNAIR, Surabaya, 10 Oktober 1994, hal.8.
82
pelimpahan wewenang umumnya terjadi dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan. Ditinjau dari segi tanggungjawab dan tanggung gugatnya, pada delegasi tanggunjawab dan tanggung gugat beralih pada penerima delegasi (delegataris), sedangkan pada mandat tetap pada pemberi mandat (mandans). Ditinjau dari segi kemungkinan pemberi wewenang berkehendak menggunakan kembali wewenang tersebut, pada delegasi pemberi wewenang
(delegans) tidak
dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas contrarius actus, sedang pada mandat pemberi mandat (mandans), setiap saat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan. Wewenang terdiri sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu : 1. Pengaruh, 2. Dasar Hukum, 3. Konformitas hukum.84 Komponen pengaruh dalam wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum. Sedangkan komponen dasar hukum dari wewenang dimaksudkan bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus untuk jenis wewenang tertentu. Suwoto
Mulyo
Sudarmo,
mempergunakan
istilah
kekuasaan
untuk
kewenangan. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberian kekuasaan dapat dilakukan melalui tiga macam yaitu : 84
1997, hal. 2.
Philipus M. Hadjon, 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, No.5 & 6 Tahun XII September
83
1. Melalui pengakuan kekuasaan (Attributie) Perolehan kekuasaan dengan cara attributive menyebabkan terjadinya pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada. Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara attributive bersifat asli. 2. Melalui Pendelegasian Kekuasaan (Delegatie) Pada pendelegasian kekuasaan delegetaris melaksanakan kekuasaan atas nama sendiri dan dengan tanggungjawab sendiri. 3. Melalui Pemberian Kuasa (Mandaatsverlening) Mandat merupakan bentuk pelimpahan kekuasaaan, namun berbeda dengan delegasi. Pihak yang diberi mandat, melaksanakan kekuasaan tidak bertindak atas nama sendiri, karena itu tidak memiliki tanggung jawab sendiri. 85 Dengan demikian kewenangan merupakan kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu berdasarkan ketentuan dalam peraturan yang telah ditetapkan baik oleh legislatif maupun eksekutif. Pemerintah dalam menjalankan fungsinya dapat melakukan berbagai macam perbuatan hukum. Perbuatan hukum pemerintah yang bersifat mengatur itu haruslah sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keabsahan perbuatan pemerintah itu memiliki tiga fungsi yaitu : 1. Bagi
aparat
pemerintah,
asas
keabsahan
berfungsi
sebagai
norma
pemerintahan (bestuurnormen). 2. Bagi masyarakat, asas keabsahan berfungsi sebagai alasan untuk mengajukan gugatan terhadap tindak pemerintahan (beroepsgronden). 3. Bagi Hakim, asas keabsahan berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindak pemerintahan (toetsingsgronden).
85
Suwoto Mulyo Sudarmo, 1999, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 39.
84
Berdasarkan pendapat tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, kewenangan merupakan konsep inti dalam rangka hubungan antara pemerintah dengan warga masyarakat. 3.1.2. Organ Yang Berwenang Dalam Penertiban Tanah Terlantar Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesarbesar kemakmuran rakyat.” Dari kata “dikuasai oleh Negara” terlihat bahwa kewenangan
dibidang
pertanahan
dilaksanakan
oleh
negara
yang
dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Berdasarkan kewenangan yang bersumber pada konstitusi maka kemudian diterbitkan UU No. 5 Tahun 1960 yang mengatur masalah keagrariaan atau pertanahan sebagai bagian dari bumi. Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa negara sebagai personifikasi dari seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan, menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution), menggunakan (use), menyediakan (reservation), dan memelihara (maintenance), atas bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Berdasarkan hak menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada negara, di mana di bidang eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (Pemerintah) atau didelegasikan kepada Menteri.86
86
Edy Ruchiyat, loc.cit.
85
Penetapan dan pengaturan tersebut meliputi perencanaan peruntukan tanah, penguasaan dan perbuatan hukum mengenai tanah. Kewenangan di bidang pertanahan yang dalam UUPA ditetapkan sebagai wewenang Pemerintah Pusat didasarkan pada beberapa hal, pertama, seluruh wilayah Indonesia adalah merupakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Kedua, seluruh bumi,air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Ketiga, hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa adalah bersifat abadi. Dengan demikian kewenangan untuk mengurus bidang pertanahan ada pada Negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan Pemerintah Pusat. Kewenangan yang ada pada pemerintah adalah sebagai dasar dalam penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan yang artinya setiap penyelenggaraan kenegaraan harus memiliki legitimasi yaitu adanya kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang. Konsep ini sesuai dengan konsep Negara Hukum dimana setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus ada aturan yang mengaturnya. Wewenang ini sangatlah diperlukan oleh pemerintah, mengingat pemerintah adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi Negara. Pemerintah
untuk dapat
menjalankan kekuasaannya dengan baik dan lancar perlu diberi wewenang. Adanya pengaturan pemberian wewenang tersebut akan memberikan keabsahan bagi tindakan yang dilakukan pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan urusan pemerintahannya haruslah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tindakan pemerintah sah adanya dan mempunyai kekuasaan hukum. Sudah tentu ketentuan
86
dalam peraturan perundang-undangan tersebut harus jelas dan pasti, sehingga tidak dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Ketentuan yang dapat ditafsirkan secara berbeda-beda disebut dengan istilah norma kabur, sehingga lingkup kewenangan yang diaturnyapun menjadi tidak jelas. Hal itu senada dengan apa yang dikemukakan oleh J.J.H Bruggink, yaitu “ Vage begrippen, Dit zijn begrippen waarvan de inhoud niet precies te bepalen is, zodat ook de omvang onduidelejk “
87
( pengertian yang
kabur adalah pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara pasti, sehingga lingkupannya tidak jelas). Kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi dari pemerintah ( Presiden ) kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Ketentuan ini tersirat dalam Pasal 17 PP No.11 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa : “ Pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah terlantar dilakukan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan secara berkala kepada Presiden “. Dalam pelaksanaan penertiban tanah terlantar dibentuk sebuah panitia. Susunan keanggotaan panitia ini terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan instansi terkait yang diatur oleh Kepala ( Pasal 5 PP No.11 Tahun 2010 ). Melihat ketentuan tersebut terjadi kekaburan norma karena instansi terkait yang dimaksud tidak jelas. Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 14 PP No.11 Tahun 2010 dikeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Panitia yang dimaksud Pasal 5 PP No.11 Tahun 2010, dalam Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010 adalah Panitia C yang terdiri dari
87
Bruggink, J.J.H, op.cit. hal. 438
87
Kanwil BPN, Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanahnya yang mempunyai wewenang untuk melakukan identifikasi dan penelitian tanah terindakasi terlantar. Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010, Susunan keanggotaan panitia C terdiri atas : a. Ketua b. Sekretaris
: Kepala Kantor Wilayah : Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat, merangkap anggota
c. Anggota
: 1. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota 2. Dinas/Instansi Provinsi yang berkaitan dengan peruntukan tanahnya 3. Dinas/instansi Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan peruntukan tanahnya. 4. Kepala Kantor Pertanahan.
Dengan demikian maka organ yang berwenang dalam penertiban tanah terlantar adalah panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan berwenang dalam melakukan identifikasi dan penelitian terhadap tanah yang terindikasi terlantar. Sedangkan penetapan tanah terlantar merupakan kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. 3.1.3. Ruang Lingkup Wewenang Penertiban Tanah Terlantar. Berdasarkan pada PP No. 11 Tahun 2010 dan Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010 organ yang berwenang dalam penertiban tanah terlantar adalah Panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah dan instansi
88
yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan dan Kepala
Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Adapun wewenang yang dimiliki adalah : A. Panitia C Berdasarkan Pasal 7 PP No.11 Tahun 2010 dan Pasal 11 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 Panitia C memiliki wewenang untuk melakukan: 1. Kegiatan identifikasi dan penelitian yang meliputi : a. Melakukan verifikasi data fisik dan data yuridis; b. Mengecek buku tanah dan / atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak; c. Meminta keterangan dari Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait, dan Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus memberi keterangan atau menyampaikan data yang diperlukan; d. Melaksanakan pemeriksaan fisik; e. Melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan; f. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar; g. Menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian; h. Melaksanakan sidang Panitia; dan i. Membuat berita acara. 2. Menyampaikan laporan hasil identifikasi, penelitian dan Berita Acara kepada Kepala Kantor Wilayah. B. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional berwenang : 1. Memberikan peringatan kepada Pemegang Hak yang telah menelantarkan tanahnya berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian yang telah dilakukan oleh Panitia C. Berdasarkan Pasal 8 PP No.11 Tahun 2010 dan Pasal 14 Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010 dinyatakan : (1) Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) disimpulkan terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama kepada Pemegang Hak, agar dalam jangka
89
waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai izin / keputusan / surat sebagai dasar penguasaannya. (2) Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama. (3) Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan ketiga dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan kedua. 2. Mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 8 ayat (6) yang menyatakan bahwa : Apabila Pemegang Hak tetap tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Kepala Kantor Wilayah mengusulkan kepada Kepala untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar. C. Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berwenang untuk membuat keputusan penetapan tanah terlantar terhadap tanah yang diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 9 PP No.11 Tahun 2010 dan Pasal 19 Perraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010. Pasal 19 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 menyatakan bahwa : (1) Kepala menetapkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar atas usulan Kepala Kantor Wilayah; (2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat hapusnya hak atas tanah, pemutusan hubungan hukumnya, dan sekaligus menegaskan bahwa tanah dimaksud dikuasai langsung oleh Negara.
90
3.2. Mekanisme Penertiban Tanah Terlantar 3.2.1. Ruang Lingkup Obyek Penertiban Tanah Terlantar Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa “Atas dasar hak menguasai negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Pemberian hak-hak atas tanah ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan lain-lain ) kepada perorangan atau badan hukum oleh Negara untuk diusahakan, dikelola dan dipergunakan dalam rangka memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, merupakan suatu kebijakan di bidang pertanahan yang harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Jika kewajiban itu sengaja diabaikan, maka dapat mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan. Dengan kata lain dalam pemberian hak itu ada maksud agar tidak menelantarkan tanah. Beberapa ketentuan UUPA yang berkaitan dengan tanah terlantar dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena ditelantarkan ( Pasal 27 poin a. 3 ). Penjelasan Pasal 27 menyatakan : “Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”.
91
2. Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan ( Pasal 34 e ). 3. Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan ( Pasal 40 e ). Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, menunjukkan bahwa setiap hak atas tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan ) haknya hapus apabila ditelantarkan. Ruang lingkup tanah terlantar berdasarkan UUPA meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya. Dalam
rangka
mencegah
terjadinya
tanah-tanah
yang
ditelantarkan
pemerintah mengeluarkan PP No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 PP No. 36 Tahun 1998 menyatakan, “Tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan, atau pihak yang telah memperoleh dasar penguaasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku .” Selanjutnya Pasal 2 menyatakan bahwa : “Peraturan Pemerintah ini mengatur tanah terlantar yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 ruang lingkup tanah terlantar dibagi menjadi tiga bagian :
92
Bagian Kesatu mengenai tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai meliputi : Pasal 3 yang menyatakan bahwa : “Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.”
Pasal 4 yang menyatakan bahwa : “Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut.” Pasal 5 yang menyatakan bahwa : (1) Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah itu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar. Pasal 6 menyatakan bahwa : (1) Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak diperginakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipecah dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana kerja yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
93
Bagian Kedua mengenai Tanah Hak Pengelolaan, meliputi : Pasal 7 yang menyatakan behwa : (1) Tanah Hak Pengelolaan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila kewenangan hak menguasai dari Negara atas tanah tersebut tidak dilaksanakan oleh pemegang Hak Pengelolaan sesuai tujuan pemberian pelimpahan kewenangan tersebut. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Bagian Ketiga Tanah Yang Belum Dimohon Hak meliputi : Pasal 8 yang menyatakan bahwa : (1) Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria tanah terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar. Berdasarkan PP No. 36 Tahun 1998 ruang lingkup obyek penertiban tanah terlantar adalah tanah yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik. Obyek penertiban tanah terlantar yang diatur dalam PP No. 36 Tahun 1998 hanya perbuatan yang dengan sengaja tidak mempergunakan tanahnya sesuai dengan keadaannya dan sifat serta tujuan pemberian haknya, sedangkan bagaimana jika pemegang hak tidak dengan sengaja tidak mempergunakan
94
tanahnya, apakah menjadi obyek penertiban atau tidak. Ketentuan ini tidak diatur dalam peraturan pemerintah tersebut. Masih banyaknya bidang-bidang tanah yang ditelantarkan dan PP No.36 Tahun 1998 tidak dapat diterapkan maka Pemerintah
mengeluarkan
No.11 Tahun 2010. Berdasarkan Pasal 2 PP No. 11 Tahun 2010
PP
dinyatakan
bahwa : “ Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Berdasarkan Pasal 2 PP No.11 Tahun 2010, ruang lingkup obyek penertiban tanah terlantar meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan atau dasar penguasaan atas tanah. 1. Hak Milik Pengertian hak milik dirumuskan dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA sebagai berikut : Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat fungsi social hak atas
tanah
(
Pasal 6 ). Dengan demikian sifat-sifat hak milik adalah : a. Turun-temurun artinya Hak Milik atas tanah dimaksud dapat beralih karena hukum dari seorang pemilik tanah yang meninggal dunia kepada ahli waris. b. Terkuat artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut yang paling kuat diantara hak-hak yang lain atas tanah.
95
c. Terpenuh artinya artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut dapat digunakan untuk usaha pertanian dan juga untuk mendirikan bangunan. d. Dapat beralih dan dialihkan. e. Dapat dibebani kredit dengan dibebani hak tanggungan. f. Jangka waktu tidak terbatas. Hak milik hanya dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia, seperti apa yang dirumuskan dalam
Pasal 21 ayat (1) UUPA. Selain itu dalam
ayat (2)
disebutkan bahwa badan hukum juga dapat memiliki hak milik, sebagaimana ditentukan lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1963 yaitu : 1. Bank-bank Negara misalnya : Bank Indonesia, Bank Dagang Negara, Bank Negara Indonesia 1946. 2. Koperasi Pertanian. 3. Badan-badan sosial. 4. Badan-badan keagamaan. 2. Hak Guna Usaha Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu 25 atau 30 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan yang luasnya paling sedikit 5 Hektare dengan ketentuan bila luasnya 25 Ha atau lebih, harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain (Pasal 28 UUPA), serta dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan (Pasal 33 UUPA). Sifat-sifat Hak Guna Usaha adalah :
96
a. Hak atas tanah untuk mengusahakan tanah Negara untuk keperluan perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. b. Jangka waktu 25 atau 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 25 tahun. c. Luas minimum 5 Hektare jika luasnya lebih dari 25 Ha, harus mempergunakan teknik perusahaan yang baik. d. Dapat beralih dan dialihkan. e. Dapat dijadikan jaminan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan. Sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) UUPA, yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha adalah : a. Warga Negara Indonesia. b. Badan-badan Hukum yang didirikan dan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 3. Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan adalah Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (Pasal 35), serta dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan (Pasal 39). Dengan demikian sifat-sifat Hak Guna Bangunan adalah : a. Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri, Tanah Negara atau tanah milik orang lain. b. Jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi.
97
c. Dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain. d. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani dengan Hak Tanggungan. Berdasarkan Pasal 36 ayat (1), yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan adalah : a. Warga Negara Indonesia. b. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 4. Hak Pakai Berdasarkan pada Pasal 41 UUPA Hak Pakai adalah Hak untuk menggunakan dan / atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan
dalam
keputusan
pemberiannya
oleh
pejabat
yang
berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Hak Pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu dan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsure-unsur pemerasan. Jadi sifat-sifat Hak Pakai adalah : a.
Hak Pakai atas tanah bangunan maupun tanah pertanian.
b. Dapat diberikan oleh Pemerintah maupun si pemilik tanah. c. Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
98
d. Hak Pakai dapat diberikan dengan cuma-cuma dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. e. Hak Pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, sepanjang dapat izin Pejabat yang berwenang, apabila mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan apabila mengenai tanah milik. f. Hak Pakai tidak dapat dijadikan jaminan hutang. g. Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung pemerasan. Sesuai dengan Pasal 42 UUPA yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah : a. Warga Negara Indonesia. b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia. c. Badan-badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia. d. Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. 5. Hak Pengelolaan Hak Pengelolaan adalah Hak Penguasaan atas tanah Negara, dengan maksud disamping untuk dipergunakan sendiri oleh si Pemegang, juga oleh pihak Pemegang memberikan sesuatu Hak kepada pihak ketiga. Kepada Pemegang Hak diberikan wewenang untuk : a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut. b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
99
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga, dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Pemberian hak atas bagianbagian tanah tetap dilakukan oleh Pejabat yang berwenang. d. Menerima uang pemasukan / ganti rugi dan / atau wajib tahunan. Dengan demikian sifat-sifat Hak Pengelolaan adalah : 1. Hak penguasaan atas tanah Negara. 2. Untuk dipergunakan sendiri oleh si Pemegang dan sebagian atas tanah tersebut diberikan kepada pihak ketiga sesuatu Hak. 3. Kepada si Pemegang Hak diberikan beberapa wewenang termasuk dapat menerima uang pemasukan dan / atau wajib tahunan. 4. Setelah jangka waktu Hak atas tanah yang diberikan kepada pihak ketiga berakhir maka tanah dimaksud kembali kedalam penguasaan sepenuhnya dari Pemegang Hak Pengelolaan yang bebas dari Hak tanggungan. 5. Apabila sebagian dari Hak Pengelolaan itu diberikan dengan Hak Milik kepada pihak ketiga, maka dengan sendirinya Hak Milik tersebut lepas dari Hak Pengelolaan dan / atau hapus, sejak Hak Milik tersebut didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten setempat. Sedangkan yang dapat diberikan Hak Pengelolaan adalah : a. Departemen-departemen dan Instansi Pemerintah. b. Badan-badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, yang seluruh modalnya dimiliki oleh pemerintah dan / atau Pemerintah Daerah yang bergerak dalam kegiatan usaha Perusahaan Industri ( Industri Estate) dan Pelabuhan.
100
Apabila disimak ketentuan Pasal 2 PP No.11 Tahun 2010 yang mengatur obyek penertiban tanah terlantar, maka tanah Hak Milik dan Hak Guna Bangunan yang berbentuk Badan Hukum atau yang dimiliki oleh perusahaan yang menjadi obyek penertiban tanah terlantar, karena Tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya, begitu juga tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara / Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya
dikecualikan atau
tidak termasuk obyek penertiban tanah terlantar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa : “Tidak termasuk obyek penertiban tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah : a. Tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya; dan b. Tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara / Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Dikecualikan dari obyek penertiban tanah terlantar didasarkan pada alasan karena Pemegang Hak perseorangan tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi, untuk mengusahakan, mempergunakan atau memanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dari pemberian haknya. Begitu juga karena keterbatasan anggaran Negara / daerah
101
untuk
mengusahakan,
mempergunakan
atau
memanfaatkan
sesuai
dengan
keadaannya atau sifat dari pemberian haknya. Di Kota Denpasar tanah-tanah yang terlantar dalam arti tidak diusahakan, dipergunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dari pemberian haknya cukup banyak. Berdasarkan data dari Dinas Tata Ruang dan Perumahan Pemerintah Kota Denpasar, lahan di kota ini yang terbengkalai atau terlantar tersebar di 80 lokasi. Lahan atau tanah yang tidak dimanfaatkan sang pemilik tersebut tersebar diluas jalan utama kota seperti di Jalan Sudirman, Jalan Diponegoro, Jalan Hayam Wuruk. Bukan hanya lahan yang mangrak, bangunan yang sudah ada juga ada yang mangkrak. Hal ini terjadi dikawasan Taman Bali Festival Padanggalak Kesiman.88 Kondisi ini dapat membuat kawasan ibu kota provinsi daerah tujuan wisata internasional tersebut tampak seperti tidak berpenghuni, kumuh dan tidak tertata dengan baik. Dari banyaknya lahan atau tanah yang terbengkalai atau terindikasi terlantar ini, kebanyakan berstatus Hak Guna Bangunan.. 3.2.2. Tata Cara Penertiban tanah Terlantar Pemberian hak atas tanah oleh negara kepada perorangan atau badan hukum dimaksudkan agar masyarakat dapat menggunakan, mengusahakan tanah untuk mencapai kecukupan di bidang ekonomi, kesejahteraan atau kemakmuran. Agar tujuan dapat tercapai, maka setiap pemegang hak atas tanah memahami bahwa setiap hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan
atau
larangan untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. 88
hal.7
Bali Post, 2011, Lahan Mangkrak Rusak Wajah Denpasar, Bali Post tanggal 11 Maret,
102
Hak-hak atas tanah memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanahnya. Disamping itu juga hak-hak atas tanah menentukan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah. Pasal 10 UUPA menyebutkan “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.” Kemudian
Pasal 15
menyebutkan “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak yang ekonomi lemah.” Pemegang hak atas tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 27 huruf a angka 3, Pasal 34 huruf e, Pasal 40 huruf e yang menentukan semua hak atas tanah tersebut akan hapus dan jatuh ke tangan negara apabila tanah tersebut ditelantarkan. Tanah hak milik, tanah hak guna usaha, tanah hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan atau dasar penguasaan atas tanah tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak
dimanfaatkan, sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan
pemberian hak atau dasar penguasaannya, atau ditelantarkan maka hak atas tanahnya tersebut akan hapus dan tanah yang bersangkutan jatuh kepada negara, yang artinya tanah tersebut menjadi tanah negara kembali. Secara yuridis hak atas tanah menjadi hapus jika dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebagai sanksi terhadap tidak dipenuhinya
kewajiban
tersebut atau
dilanggarnya sesuatu larangan oleh
pemegang hak yang bersangkutan. Lebih lanjut Boedi Harsono menyatakan keputusan pejabat tersebut bersifat konstitutif, dalam arti hak yang bersangkutan baru
103
menjadi hapus dengan dikeluarkannya surat keputusan tersebut. Jika yang hapus hakhak atas tanah primer, maka tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara.89 Dalam menata kembali tanah-tanah yang ditelantarkan, pemerintah diberikan kewenangan untuk mengambil tindakan-tindakan terhadap pemegang hak yang menelantarkan
tanahnya.
Tindak
pemerintahan
dalam
hukum
administrasi
digolongkan menjadi dua golongan yaitu tindak pemerintahan berdasarkan hukum (rechtshandeling) dan tindak pemerintahan yang berdasarkan fakta (feitelijke handeling). Tindak pemerintahan yang berdasarkan hukum dapat dibagi menjadi dua macam tindakan yaitu tindakan hukum privat dan tindakan hukum publik. Tindakan hukum publik dibedakan menjadi dua yaitu tindakan hukum publik bersegi satu atau sepihak dan tindakan hukum publik bersegi dua atau berbagai pihak. Tindakan hukum publik sepihak dapat bersifat umum dan dapat bersifat individual.Tindakan hukum publik sepihak bersifat umum terdapat dalam bentuk pengaturan umum atau regeling yang mempunyai daya ikat konkrit dan abstrak. Sedangkan tindakan hukum publik sepihak yang bersifat individual terdapat dalam bentuk keputusan atau beschikking. Dalam hal terjadinya penelantaran tanah pemerintah dapat mengambil tindakan penertiban yang merupakan wewenang badan atau Jabatan Tata Usaha Negara untuk diterapkan secara nyata dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap kewajiban yang lahir dari suatu hubungan Hukum Tata Usaha Negara maupun pada pelanggaran terhadap suatu ketentuan undang-undang. Badan atau Pejabat TUN berwenang untuk bertindak secara nyata tanpa memerlukan adanya putusan 89
Boedi Harsono,op.cit, hal.339.
104
pengadilan lebih dahulu. Sebelum tindakan penertiban itu dilaksanakan, tentunya pihak yang bersangkutan harus diberitahu terlebih dahulu. Pemberitahuan bahwa akan dilaksanakan suatu tindakan penertiban merupakan penetapan tertulis yang dapat digugat keabsahannya.90 Pemberitahuan akan dilakukan suatu tindakan penertiban harus berisi antara lain : -
Gambaran tentang keadaan atau sikap yang bersifat illegal dari peraturan yang dilanggar disebutkan.
-
Pemberitahuan harus jelas, sehingga yang diberitahu itu mengerti apa yang harus dilakukan.
-
Tenggang waktu yang diberikan harus jelas dan tegas.
-
Pemberitahuan itu harus mengandung suatu kepastian, bahwa akan benarbenar dilaksanakan, sebab kalau hanya kira-kira akan dilakukan penertiban, maka hal itu akan bertentangan dengan asas kepastian. Berdasarkan
PP
No.11
Tahun
2010
tentang
Penertiban
dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, penertiban tanah terlantar dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : a. Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi terlantar; b. Identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar;
90
Indroharto, op.cit. hal.239.
105
c. Peringatan terhadap pemegang hak; d. Penetapan tanah terlantar. a. Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar Informasi tanah terindikasi terlantar diperoleh dari hasil pemantauan lapangan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan, atau dari laporan dinas / instansi lainnya, laporan tertulis dari masyarakat, atau pemegang hak. Inventarisasi tanah terindikasi terlantar meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, tanah yang telah memperoleh dasar penguasaan dari pejabat yang berwenang sejak diterbitkan izin / keputusan / surat dasar penguasaan tanah tersebut. Kegiatan inventarisasi ini dilaksanakan melalui: 1. Pengumpulan data mengenai tanah yang terindikasi terlantar meliputi data tekstual dan data spasial. a. Data tekstual meliputi nama dan alamat pemegang hak, nomor dan tanggal keputusan pemberian hak, nomor, tanggal dan berakhirnya sertifikat, letak tanah, luas tanah, penggunaan tanah, luas tanah terindikasi terlantar. b. Data spasial merupakan data grafis berupa peta yang dilengkapi dengan koordinat posisi bidang tanah terindikasi terlantar. 2. Pengelompokan data tanah terindikasi terlantar yang telah terhimpun menurut wilayah kabupaten/kota dan jenis hak/dasar penguasaan tanah. 3. Merekapitulasi data hasil inventarsasi menjadi basis data tanah terindikasi terlantar.
106
c. Identifikasi dan Penelitian Tanah terindikasi terlantar yang telah diinventarisasi ditindaklanjuti dengan identifikasi dan penelitian. Identifikasi dan penelitian dilakukan 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya sertipikat Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, serta tanah yang telah memperoleh izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang terhitung sejak berakhirnya dasar penguasaan tersebut. Kakanwil BPN menetapkan target tanah hak yang terindikasi terlantar, dengan mempertimbangkan lamanya tanah tersebut ditelantarkan dan / atau luas tanah yang terindikasi terlantar. Untuk mempercepat proses identifikasi dan penelitian, Kakanwil BPN menyiapkan data dan informasi tanah terindikasi terlantar yang meliputi : 1. Verifikasi data fisik dan data yuridis meliputi jenis hak dan letak tanah; 2. Mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak; 3. Meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait, apabila pemegang hak/kuasa/wakil tidak memberikan data dan informasi atau tidak ditempat atau tidak dapat dihubungi, maka identifikasi dan penelitian tetap dilaksanakan dengan cara lain untuk memperoleh data; 4. Melaksanakan pemeriksaan fisik berupa letak batas, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan tehnologi yang ada; 5. Melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik;
107
6. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar antara lain menyangkut permasalahan-permasalahan penyebab terjadinya tanah terlantar, kesesuaian dengan hak yang diberikan, dan kesesuaian dengan tata ruang; 7. Menyususn laporan hasil identifikasi dan penelitian; 8. Kakanwil BPN memberitahukan secara tertulis kepada pemegang hak yang akan dilakukan identifikasi dan penelitian sesuai dengan alamat atau domisili pemegang hak; 9. Apabila pemegang hak tidak diketahui
alamat atau domisilinya, maka
pemberitahuan dilakukan melalui pengumuman di Kantor Pertanahan dan di lokasi tanah yang bersangkutan, bahwa tanah tersebut sedang dalam tahap identifikasi dan penelitian oleh Kakanwil BPN. Setelah data hasil identifikasi dan penelitian dinilai cukup sebagai bahan pengambilan keputusan upaya penertiban, Kakanwil membentuk Panitia C yang terdiri dari unsur Kantor Wilayah, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan. Susunan keanggotaan Panitia C terdiri dari : a. Ketua b. Sekretaris
: Kepala Kantor Wilayah : Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat, merangkap anggota
c. Anggota
: 1. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota 2. Dinas/instansi Provinsi yang berkaitan dengan peruntukan tanahnya
108
3. Dinas/instansi Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan peruntukan tanahnya 4. Kepala Kantor Pertanahan Panitia C melaksanakan sidang panitia dengan menggunakan konsep laporan hasil identifikasi dan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Kakanwil BPN, dan apabila diperlukan
Panitia
C
dapat
melakukan
pengecekan
lapangan.
Panitia
C
menyampaikan laporan akhir hasil identifikasi dan penelitian serta Berita Acara kepada Kepala Kantor Wilayah BPN. d. Peringatan Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian dan saran pertimbangan Panitia C ( Berita Acara Panitia C) disimpulkan terdapat tanah yang diterlantarkan, Kepala Kantor Wilayah BPN memberitahukan kepada pemegang hak dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan tersebut, pemegang hak mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya atau dasar penguasaannya. Dalam surat peringatan pertama, disebutkan hal-hal konkrit yang harus dilakukan pemegang hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila pemegang hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan tersebut. Tindakan konkrit yang harus dilakukan pemegang hak antara lain : a. Mengusahakan, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya;
109
b. Dalam hal tanah yang digunakan tidak sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya, pemegang hak harus mengajukan permohonan perubahan hak atas tanah kepada Kepala sesuai dengan peraturan yang berlaku; c. Mengajukan
permohonan
hak
untuk
dasar
penguasaan
atas
tanah
mengusahakan, menggunakan atau memanfaatkan tanahnya sesuai dengan izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang. Apabila
pemegang
hak
tidak
melaksanakan
peringatan
pertama,
setelah
memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan pertama, Kakanwil BPN memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama. Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan kedua, Kakanwil BPN memberikan peringatan tertulis ketiga yang merupakan peringatan terakhir dengan jangka waktu sama dengan peringatan kedua. Dalam masa peringatan (pertama, kedua, dan ketiga) pemegang hak wajib melaporkan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah secara berkala setiap 2 (dua) mingguan kepada Kakanwil BPN dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dan dilakukan pemantauan dan evaluasi lapangan oleh Kanwil BPN pada setiap akhir peringatan. d. Penetapan Tanah terlantar Apabila pada akhir peringatan ketiga, setelah dilakukan pemantauan dan evaluasi, masih terdapat tanah yang diterlantarkan (berarti pemegang hak tidak mematuhi peringatan tersebut), maka Kepala Kanwil BPN mengusulkan kepada Kepala BPN
110
RI agar bidang tanah tersebut ditetapkan sebagai tanah terlantar. Yang dimaksud tidak mematuhi peringatan, adalah apabila : 1. seluruh bidang tanah hak tidak digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak; 2. sebagian tanah belum diusahakan sesuai dengan Surat Keputusan hak atau dasar penguasaan tanah; 3. sebagian tanah digunakan tidak sesuai dengan Surat Keputusan hak atau dasar penguasaan tanah; 4. seluruh tanah telah digunakan tetapi tidak sesuai dengan Surat Keputusan hak atau dasar penguasaan tanah; 5. tidak ada tindak-lanjut penyelesaian pembangunan. 6. tanah dasar panguasaan telah digunakan tetapi belum mengajukan permohonan hak. Tanah yang telah diusulkan sebagai tanah terlantar dinyatakan dalam kondisi status quo sampai terbitnya penetapan tanah terlantar. Artinya terhadap tanah tersebut tidak dapat dilakukan perbuatan hukum atas tanah. Kepala BPN RI menerbitkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar atas usul Kakanwil BPN, sekaligus memuat hapusnya hak atas tanah, pemutusan hubungan hukum dan menegaskan tanahnya dikuasai langsung oleh negara. Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam jangka waktu 1 (satu) bulan wajib dikosongkan oleh bekas pemegang hak. Apabila tanah terlantar tersebut dibebani hak tanggungan, maka hak tanggungan tersebut juga menjadi hapus dengan hapusnya hak atas tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar. Akan tetapi hapusnya hak tanggungan tersebut tidak menghapus perjanjian kredit atau
111
utang piutang yang terjadi antara kreditur dengan debitur, karena hubungan hukum tersebut bersifat keperdataan. Terhadap pemegang hak yang hanya menterlantarkan tanahnya sebagian, dan pemegang hak mengajukan permohonan hak baru atau revisi atas luas bidang tanah yang benar-benar diusahakan, dipergunakan dan dimanfaatkan, maka setelah hak atas tanahnya yang baru terbit, pemegang hak dapat melakukan pembebanan hak tanggungan sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Keputusan Penetapan tanah terlantar yang ditetapkan oleh Kepala BPN RI merupakan tindakan hukum publik
sepihak, sehingga agar tidak menimbulkan
kerugian bagi pemegang hak atas tanah maka sebelum keputusan itu ditetapkan perlu diperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik merupakan norma bagi perbuatan-perbuatan Administrasi Negara atau pemerintah, disamping norma-norma di dalam hukum tertulis dan tidak tertulis. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) harus dipandang sebagai norma - norma hukum tidak tertulis yang senantiasa harus diperhatikan dan ditaati oleh pemerintah dalam mengambil tindakan dalam menjalankan pemerintahan. Menurut Kuntjoro Purbopranoto terdapat 13 ( tigabelas) asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu : 1. 2. 3. 4.
Asas Kepastian Hukum (principle of legal security) Asas Keseimbangan (principle of proportionality) Asas Bertindak Cermat (principle of carefulness) Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan (principle of motivation )
112
5. Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan (principle of non misuse of competence ) 6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan (principle of equality) 7. Asas Permainan Yang Layak (principle of fair play) 8. Asas Keadilan atau kewajaran (principle of reasonable of prohibition of arbitrariness) 9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar ( Principle of meeting raised expectation ) 10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal (principle of undoing the consequences of unneled decision ) 11. Asas perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi (principle of protetcting the personal way of life ) 12. Asas kebijaksanaan (principle of sapiently) 13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principle of public service )91 Asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Asas Kepastian Hukum, asas ini menghendaki setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan hukum oleh hakim adminstrasi. 2. Asas Keseimbangan, asas ini menghendaki adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada. 3. Asas bertindak cermat, asas ini menghendaki agar pemerintah bertindak cermat dalam melakukan aktivitas sehingga tidak merugikan bagi warga negaranya. 4. Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan, asas ini menghendaki setiap keputusan badan pemerintahan harus mempunyai motivasi atau alas an yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan.
91
Kuntjoro Purbopranoto, loc.cit, hal. 28.
113
5. Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan, dalam asas ini aspek wewenang tidak dapat dijalankan melebihi apa yang sudah ditentukan dalam undang-undang artinya pejabat tata usaha negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang melampaui batas. 6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan, asas ini menghendaki badan pemerintah mengambil tindakan yang sama atas kasus yang faktanya sama. 7. Asas Permainan Yang Layak, asas ini menghendaki agar setiap warga diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta membela diri sebelum dijatuhkan putusan. 8. Asas Keadilan dan Kewajaran, asas ini menghendaki pejabat tata usaha Negara harus proporsional, sesuai, seimbang, selaras dengan hak setiap orang dengan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku ditengah masyarakat. 9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar, asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus mengabulkan harapan warga Negara walaupun tidak menguntungkan bagi pemerintah. 10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal, asas ini menghendaki jika terjadi pembatalan atas suatu keputusan maka yang bersangkutan atau yang terkena keputusan haru diberikan ganti rugi atau kompensasi atau pengembalian nama baik. 11. Asas Perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi, asas ini menghendaki pemerintah melindungi hak setiap warga negara yang merupakan konsekuensi
114
negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi setiap warga negara. 12. Asas Kebijaksanaan, asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan formal atau hukum tertulis. 13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum, asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum. Secara yuridis asas-asas umum pemerintahan yang baik dituangkan dalam UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepoteisme. Asas-asas Penyelenggaraan Negara terdiri dari : 1. Asas Kepastian Hukum; 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3. Asas Kepentingan Umum; 4. Asas Keterbukaan; 5. Asas Proporsionalitas; 6. Asas Profesionalitas; 7. Asas Akuntabilitas. Dalam melakukan tindakan penertiban tanah terlantar pemerintah harus memperhatikan
asas-asas umum pemerintahan
yang baik yaitu asas bertindak
cermat, dan asas keseimbangan. Asas kecermatan berkaitan dengan tindakan dalam melakukan identifikasi dan penelitian tanah terlantar yang meliputi : nama,dan alamat
115
pemegang hak ; letak, luas, status hak atau dasar penguasaan atas tanah dan keadaan fisik tanah yang dikuasai pemegang hak, dan keadaan yang menyebabkan tanah terlantar. Asas keseimbangan terkait dengan pemberian sanksi atas pelanggaran yang dilakukan. Dalam mengeluarkan keputusan penetapan tanah terlantar
harus
dipertimbangkan berapa luas tanah yang tidak dimanfaatkan, dan berapa luas tanah yang dimanfaatkan sehingga dalam penetapan sanksinya ada keseimbangan terhadap kewajiban yang dilanggar apalagi bila disimak ketentuan PP No 11 Tahun 2010 tidak mengatur tentang ganti rugi yang diperoleh pemegang hak yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Dalam PP No 11 Tahun 2010 dan Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010 pasal 20 dinyatakan : Sebagai bahan pertimbangan dalam Penetapan tanah terlantar dengan memperhatikan luas tanah terlantar terhadap tanah hak/dasar penguasaan, dilakukan pengelompokan berdasarkan persentasenya sebagai berikut: 1. seluruh hamparan tanah hak/dasar penguasaan terlantar atau 100% diterlantarkan; 2.sebagian besar terlantar, dengan kisaran > 25% – < 100% diterlantarkan, dan 3. sebagian kecil terlantar, dengan kisaran ≤ 25 % diterlantarkan. Apabila seluruh hamparan tanah yang ditelantarkan maka keputusan penetapan Tanah Terlantar diberlakukan terhadap seluruh hamparan hak atas tanah tersebut. Jika sebagian hamparan yang ditelantarkan maka keputusan penetapan tanah terlantar diberlakukan terhadap seluruh hak atas tanah tersebut, dan selanjutnya kepada bekas pemegang hak diberikan kembali sebagian tanah yang benar-benar
116
diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan sesuai dengan keputusan pemberian haknya, dengan melalui prosedur permohonan hak atas tanah. Terhadap tanah yang ditelantarkan kurang dari atau sama dengan 25 (dua puluh lima ) persen maka keputusan penetapan tanah terlantar diberlakukan hanya terhadap tanah yang ditelantarkan dan pemegang hak dapat mengajukan permohonan revisi luas bidang tanah tersebut. Dengan demikian akibat hukum dari pemegang hak atas tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya, hak atas tanahnya akan hapus dan negara, dan tanahnya langsung dikuasai negara.
jatuh ketangan
117
BAB IV PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM RANGKA PENATAGUNAAN TANAH DI KOTA DENPASAR
4.1. Pendayagunaan Tanah terlantar 4.1.1. Pelaksanaan Pendayagunaan Tanah Terlantar Tanah- tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar akan menjadi tanah negara. Sebagai langkah selanjutnya
tanah- tanah
terlantar tersebut akan
didayagunakan untuk kepentingan masyarakat . Berdasarkan Pasal 15 PP No. 11 Tahun 2010, dinyatakan bahwa Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan Negara lainnya. Dengan demikian pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar adalah pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar melalui peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan negara lainnya. 1. Reforma Agraria Istilah pembaharuan agraria (agrarian reform) dalam arti rekstruturisasi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria sudah dikenal cukup lama, meski dalam bentuk dan sifat yang berbeda-beda tergantung pada jaman dan Negara tempat terjadinya pembaharuan agraria tersebut. Hal ini mengingat setiap Negara
118
mempunyai struktur agraria dan sistem politik yang berbeda-beda meskipun ada beberapa persamaan yang mendasar dalam pembaharuan agraria itu. Gunawan Wiradi dalam bukunya Ida Nurlinda menyatakan pada intinya pembaharuan agraria adalah upaya perubahan struktural yang mendasarkan diri pada hubungan-hubungan intra dan antar subjek-subjek agraria dalam kaitan akses (penguasaan dan pemanfaatan) terhadap obyek-obyek agraria. Namun secara konkret, pembaharuan agraria diarahkan untuk melakukan perubahan struktur penguasaan tanah dan perubahan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya.92 Pengertian pembaharuan agraria tidak hanya terbatas pada aspek landreform semata, tetapi mencakup juga penataan hubungan-hubungan produksi (penyakapan, kelembagaan) dan pelayanan pendukung pertanian secara umum. Dalam tataran implementasi, pembaharuan agraria sering dipadankan dengan landreform.
Pada
intinya, landreform diartikan sebagai restrukturisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dalam praktek Elias H. Turma dalam buku Ida Nurlinda berpendapat bahwa konsep landreform telah diperluas cakupannya dengan menekankan peran strategis dari tanah untuk pertanian dan pembangunan.93 Maria Sumardjono menyatakan bahwa pada intinya pembaharuan agraria merupakan : a. Suatu proses yang berkesinambungan; b. Berkenaan dengan restrukturisasi pemilikan/penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan;
92 93
Ida Nurlinda, op.cit. hal. 77. Ida Nurlinda,op.cit. hal. 78
119
c. Dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah dan pemanfaatan sumberdaya alam /agraria, serta terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. 94 Dari rumusan yang demikian luas tampak bahwa konsep pembaharuan agraria bukanlah semata- mata konsep redistribusi tanah, tetapi merupakan sebuah konsep pembanguan yang bertujuan untuk pemerataan pendapatan dan keadilan sosial. Menurut Elias H. Tuma, konsep operasional antara landreform dan pembaharuan agraria sama saja, yaitu mencakup lima bentuk pembaharuan yaitu : a. Pembaharuan diarahkan pada struktur pemilikan tanah dan ketentuanketentuan penguasaan; b. Redistribusi kepemilikan tanah dari individu yang satu kepada individu yang lain, dari individu kepada kelompok/komunitas yang lebih besar, atau dari suatu kelompok kepada individu-individu; c. Penataan skala usaha pertanian dengan cara memperbesar atau memperkecil skala operasinya; d. Perbaikan pola budidaya pertanian dari segi teknis untuk mempengaruhi produktivitasnya secara langsung; e. Perbaikan pada aspek diluar wilayah pertanian, seperti kredit, pemasaran dan pendidikan.95 Secara normatif, Pasal 2 Tap MPR No.IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menyatakan bahwa
“ Pembaharuan
Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
94 95
Maria S.W. Sumardjono, op.cit. hal.2. Ida Nurlinda, op.cit, hal.80
120
Dari pemahaman diatas, tampak bahwa pembaharuan agraria ditujukan untuk merestrukturisasi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria agar lebih berkeadilan, berkelanjutan dan menyejahterakan rakyat dalam upaya mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state), karena dalam negara kesejahteraan, negara harus mengutamakan kepentingan rakyat (umum), turut secara aktif dalam pergaulan sosial sehingga kesejahteraan sosial semua orang tetap terpelihara. Sumber
daya
agraria
yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya
sebagai karunia Tuhan Yang Maha
Esa kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dimanfaatkan secara optimal
untuk generasi mendatang
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila. Pemanfaatan sumber daya agraria yang menggunakan asas sentralisasi banyak
menimbulkan
penurunan
kualitas
lingkungan,
ketidakadilan
dalam
penguasaan, pemilikan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Untuk mengatasi semua permasalahan itu diperlukan adanya deregulasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu, dan menampung dinamika, aspirasi, dan peran serta masyarakat . Pembaharuan
agraria
sebagai
upaya
untuk
merestrukturisasi
aspek
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor IX tahun 2001 merupakan komitmen politik
awal
di bidang
pertanahan dan sumber daya
121
agraria lainnya untuk mereformasi (merestrukturisasi) berbagai peraturan dan kebijakan yang terkait dengannya. Restrukturisasi perlu dilakukan karena selama ini telah terjadi ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan pada akhirnya menimbulkan konflik, disamping terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Pembaharuan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian, dan perlindungan hukum serta keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di darat, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Untuk mengoperasionalkan konsep pembaharuan agraria, diperlukan prinsipprinsip yang menjadi landasan dan arahan yang mendasari pelaksanaannya. Prinsipprinsip itu seyogyanya bersifat holistik, komprehensif, dan mampu menampung halhal pokok yang menjadi tujuan pembaharuan agraria. UUPA telah menggariskan prinsip-prinsip reforma agraria : 1. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat 1). Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur ( Pasal 2 ayat 3);
122
2. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6); 3. Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (Pasal 7); 4. Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2. Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya (Pasal 9 ayat 1 dan 2); 5. Setiap orang atau badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan (Pasal 10); 6. Menjamin perlindungan terhadap kepentingan ekonomi yang lemah; 7. Usaha bersama dalam lapangan agraria dalam bentuk koperasi dan gotong royong (pasal 12); 8. Pemerintah berkewajiban mengelola sumber-sumber agraria agar mempertinggi produksi dan kemakmuran rakyat serta menjamin bagi warganegara derajat hidupnya sesuai dengan martabat manusia (Pasal 13); 9. Pemerintah dalam lapangan agraria mencegah adanya monopoli; 10. Pemerintah memajukan kepastian dan jaminan social termasuk di bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria; 11. Pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; 12. Memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban semua pihak (Pasal 15). Menurut Maria S.W. Sumardjono, prinsip-prinsip dasar pembaharuan agraria tersebut adalah :96 a. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena hak atas sumber daya agraria merupakan hak ekonomi setiap orang; b. Unifikasi hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum setempat (pluralisme); c. Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria (keadilan gender,keadilan dalam suatu generasi dan antar generasi, serta pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraris yang menjadi ruang hidupnya); d. Fungsi sosial dan ekologi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya; bahwa hak yang dipunyai seseorang menimbulkan kewajiban sosial bagi ruang yang
96
Sumardjono, op.cit, hal.96
123
e. f. g. h. i. j.
bersangkutan karena haknya dibatasi oleh hak orang lain dan hak masyarakat yang lebih luas; Penyelesaian konflik pertanahan; Pembagian tanggungjawab kepada daerah berkenaan dengan alokasi dan manajemen sumber-sumber agraria; Transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan; Landreform/restrukturisasi dalam pemilikan, penguasaan, pemanfaatan sumber-sumber agraria; Usaha-usaha produksi di lapangan agraria; Pembiayaan program-program agraria. Tidak jauh berbeda dari prinsip-prinsip tersebut di atas , ketentuan Pasal 4
Ketetapan MPR RI Nomor :
IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, menetapkan prinsip-prinsip pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam sebagai berikut : 1. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; 3. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum; 4. Menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia; 5. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan optimalisasi partisipasi rakyat; 6. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatannya, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam; 7. Memelihara keberlanjutan yang dapat member manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tamping, dan daya dukung lingkungan; 8. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; 9. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan, dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaharuan agraria, dan pengelolaan sumber daya alam; 10. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat, dan keanekaragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam; 11. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat, dan individu;
124
12. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi, dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam. Atas dasar prinsip-prinsip pembaharuan agraria tersebut, maka arah kebijakan pembaharuan agraria adalah : a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sector demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pembaharuan agraria; b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat; c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi, dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform; d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip diatas; e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi; f. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agrariadan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi. Sedangkan arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah : a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangkaian sinkronisasi kebijakan antar sektor yang berdasarkan pada prinsipprinsip tersebut diatas; b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan nasional; c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya, dan mendorong terwujudnya tanggungjawab sosial untuk menggunakan tehnologi ramah lingkungan termasuk tehnologi tradisional;
125
d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut; e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik pada masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip diatas; f. Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan; g. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi kepentingan masyarakat, dan kondisi daerah maupun nasional. Dengan demikian reforma agraria dimaksudkan untuk merestrukturisasi aspek penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya. Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) PP No.11 Tahun 2010, Reforma agraria merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan asset masyarakat dan akses masyarakat terhadap tanah sesuai dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan MPR RI Nomor IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Pasal 10 UUPA. Penataan asset masyarakat dan akses masyarakat terhadap tanah dapat dilakukan melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar. Menurut Arie Sukanti Hutagalung, redistribusi tanah adalah pembagian tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara dan telah ditegaskan menjadi obyek landreform yang diberikan kepada para petani penggarap yang telah memenuhi syarat ketentuan PP No.224 Tahun 1961.97 Dengan tujuan untuk memperbaiki keadaan
97
Arie Sukanti Hutagalung, 1985, Program Redistribusi Tanah di Indonesia; Suatu Sarana ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan dan Pemilikan Tanah, CV. Rajawali, Jakarta, hal.57.
126
sosial ekonomi rakyat dengan cara mengadakan pembagian tanah yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata. Kebijakan pemerintah dalam pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar melalui pendistribusian tanah negara merupakan suatu usaha untuk mewujudkan keadilan terhadap tanah untuk semua orang Indonesia. Melalui reforma agraria tanah-tanah negara bekas tanah terlantar dalam pendayagunaannya dapat dibagikan kepada masyarakat. Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar memberikan kesempatan kepada masyarakat khususnya para petani penggarap untuk memanfaatkan tanah negara bekas tanah terlantar tersebut. 2. Program Strategis Negara Menurut PP No. 11 Tahun 2010, Pendayagunaan tanah terlantar melalui Program Strategis Negara adalah untuk pengembangan sektor pangan, energi, dan perumahan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. a. Sektor Pangan Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa : (1) Perkonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandiriaan serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pangan merupakan hak yang paling mendasar dari warganegara serta salah satu unsur dari kekuatan nasional dalam politik antar bangsa. Untuk itu sangat
127
diperlukan perlindungan negara kepada produksi pangan bagi rakyat dan kedaulatan negara. Sebagai hak dasar, pangan merupakan hak asasi manusia dimana Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan masyarakat. Pasal 45 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyatakan bahwa “Pemerintah bersama masyarakat bertanggungjawab untuk mewujudkan ketahanan pangan. Jika peranan negara ini dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945, maka produksi pangan adalah cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, di dalam penjelasan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 disebutkan sebagai “Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggotaanggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan, bukan
kemakmuran orang perorang. Sebab itu, perekonomian disusun bersama berdasar asas kekeluargaan “. Penguasaan Negara dalam Pasal 33 UUD 1945, mengandung pengertian bahwa hak menguasai negara bukan dalam makna Negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa Negara merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan. Pemerintah bersama masyarakat bertanggungjawab untuk mewujudkan ketahanan pangan sebagai bagian program strategis negara. Untuk mewujudkan ketahanan pangan, program yang perlu diperkuat adalah pembangunan sektor pertanian. Pembangunan pertanian sebagai bagian dari adalah pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan
pembangunan nasional lingkungan diarahkan
128
pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien, dan tangguh, serta bertujuan untuk meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani. Terkait pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar melalui program strategis Negara di sektor pangan, pemerintah menetapkan wilayah pengembangan budidaya tanaman untuk memperkuat pembangunan sektor pertanian dalam mewujudkan ketahanan pangan. b. Sektor Energi Sumber daya energi sebagai kekayaan alam merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Selain itu, sumber daya energi merupakan sumber daya alam yang strategis dan sangat penting bagi hajat hidup rakyat banyak terutama dalam peningkatan kegiatan ekonomi, kesempatan kerja, dan ketahanan nasional maka sumber daya energi harus dikuasai Negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Pengelolaan
energi
yang
meliputi
penyediaan,
pemanfaatan
dan
pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal dan terpadu guna memberikan nilai tambah bagi perekonomian bangsa dan Negara Indonesia.
Penyediaan,
pemanfaatan dan pengusahaan energi yang
dilakukan secara terus menerus guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam pelaksanaannya harus selaras,
serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan
hidup. Mengingat arti penting sumber daya energi, pemerintah perlu menyusun
129
rencana pengelolaan energi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional yang berdasarkan kebijakan pengelolaan energi jangka panjang. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi mendefinisikan Pengelolaan energi adalah penyelenggaraan kegiatan penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan energi serta penyediaan cadangan strategis dan konservasi sumber daya energi. Dalam Pasal 19 ayat (2) dinyatakan bahwa masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok, dapat berperan dalam hal penyusunan rencana umum energi nasional dan rencana umum energi daerah serta pengembangan energi untuk kepentingan umum. Selain UU No. 30 Tahun 2007 tentang energi, terdapat pula sejumlah peraturan perundangan sektoral yang terkait yaitu UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Pembangunan
sektor
ketenagalistrikan
bertujuan
untuk
memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan pembangunan nasional, yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tenaga listrik sebagai salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam, mempunyai peranan penting bagi Negara
dalam
mewujudkan
pencapaian
tujuan
pembangunan
nasional.
Mengingat arti penting tenaga listrik bagi Negara dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam segala bidang dan sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, Undang-undang ini menyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang penyelenggaraannya dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah.
130
Disamping ketenagalistrikan, mineral dan batubara sebagai sektor energi juga memegang peranan penting bagi Negara dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat dalam rangka mencapai kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar bagi program strategis Negara sektor energi dapat dilakukan dengan menetapkannya sebagai wilayah pertambangan rakyat yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat dilakukannya kegiatan usaha pertambangan rakyat.
c. Perumahan Rakyat Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam UUD 1945, dilaksanakan pembangunan nasional,
yang pada hakikatnya adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan social berdasarkan Pancasila. Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan
131
peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan dan pemukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya dan menampakkan jati dirinya. Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan dan pemilihan setiap pembangunan rumah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Sistem penyediaan tanah untuk perumahan dan pemukiman harus ditangani secara nasional karena tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat bertambah akan tetapi harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Proses penyediaannnya harus dikelola dan dikendalikan oleh pemerintah agar supaya penggunaan dan pemanfaataannya dapat menjangkau masyarakat secara adil dan merata tanpa menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial dalam proses bermukimnya masyarakat. Disamping usaha peningkatan pembangunan perumahan dan pemukiman, perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan dan pengelolaannya. Sejalan dengan peran serta masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan pemukiman, pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk melakukan pembinaan dalam wujud pengaturan dan pembimbingan, pendidikan dan pelatihan, pemberian bantuan
dan kemudahan,
penelitian
dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek terkait antara lain tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan komponen,
jasa konstruksi
132
dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia serta peraturan perundang-undangan. Pembangunan perumahan dan pemukiman harus mencerminkan perwujudan manusia seutuhnya dan peningkatan kualitas manusia , meniadakan kecemburuan sosial
dan secara positif menciptakan perumahan dan
pemukiman
yang
mencerminkan kesetiakawanan serta keakraban sosial. Pembangunan perumahan dan pemukiman harus memperhatikan aspek sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan kemampuan masyarakat serta berwawasan lingkungan. Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia, yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan manusia untuk melindungi diri dari cuaca, iklim dan ganguan lainnya. Selain itu rumah berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal untuk mengembangkan kehidupan dan penghidupan keluarga. Perumahan dan pemukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kehidupan semata, akan tetapi merupakan proses berfikir dalam menciptakan ruang kehidupan untuk kehidupan masyarakat. Dengan demikian rumah dan pemukiman mempunyai peranan yang sangat strategis untuk mewujudkan pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya. Pembangunan perumahan oleh pemerintah dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan khusus antara lain transmigrasi, pemukiman kembali korban bencana dan pemukiman yang terpencar-pencar dan pembangunan
rumah dinas. Sedangkan
pembangunan perumahan oleh badan-badan sosial atau keagamaan antara lain untuk menampung orang lanjut usia (jompo) dan yatim piatu.
133
Obyek dari pembangunan perumahan dan pemukiman berdasarkan Pasal 32 UU No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman antara lain : 1. Tanah yang langsung dikuasai Negara; 2. Konsolidasi tanah oleh pemilik tanah; 3. Pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan keluarnya kebijakan pemerintah tentang pendayagunaan tanah terlantar yang diatur dalam PP No.11 Tahun 2010, maka tanah-tanah negara bekas tanah terlantar dapat didayagunakan dalam pembangunan sektor perumahan dan pemukiman rakyat yang merupakan program strategis negara. Penyediaan tanah untuk perumahan dan pemukiman melalui penggunaan tanah negara, selain ditujukan untuk penyediaan kaveling tanah dengan penerapan subsidi silang, juga ditujukan sebagai modal untuk cadangan tanah negara secara berkelanjutan. Penerimaan hasil pengusahaan tanah negara tersebut digunakan untuk penyediaan tanah di lokasi lain sehingga selalu tersedia cadangan tanah negara dalam jumlah yang memadai untuk pembangunan perumahan dan pemukiman pada waktu yang akan datang. 3. Cadangan Negara Berdasarkan PP No.11 Tahun 2010, Pendayagunaan tanah Negara Bekas tanah terlantar sebagai cadangan Negara diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan pemukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum.
134
Pasal 33 UUD 1945, mengamanatkan kekayaan alam dan cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai Negara dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat. Untuk mengimplementasikan Pasal 33 UUD 1945 di lapangan agraria (kekayaan alam), UUPA menegaskan bahwa setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Artinya pemanfaatan tidak hanya memberi manfaat bagi pemiliknya, tetapi juga masyarakat sekelilingnya dan tidak boleh merugikan kepentingan umum. Pasal 7 UUPA menegaskan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Kemudian dalam Pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan mengganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Artinya dengan alasan kepentingan umum Negara dapat mengambil alih tanah-tanah masyarakat maupun swasta. Tanah-tanah negara bekas tanah terlantar sebagai cadangan negara selain dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk
kepentingan
pemerintah, dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk pertahanan dan keamanan. Menurut Pasal 1 UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, disebutkan bahwa sistem pertahanan Negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warganegara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh
pemerintah dan diselenggarakan
135
secara total, terpadu, terarah dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Yang dimaksud sumber daya nasional termasuk di dalamnya adalah sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan. Sumber daya alam adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang dalam wujud asalnya dapat didayagunakan untuk kepentingan pertahanan Negara. Dengan demikian sumber daya nasional yang berupa sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan, dapat didayagunakan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan negara termasuk tanah-tanah negara bekas tanah terlantar dapat dialokasikan untuk kebutuhan pertahanan dan keamanan. Tanah negara bekas tanah terlantar yang diperuntukkan sebagai tanah cadangan negara dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam. Negara kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas dan terletak digaris katulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan kondisi alam yang memiliki berbagai keunggulan, namun dipihak lain posisinya berada dalam wilayah yang memiliki kondisi geografis, geologis, hgidrologis, dan demografis yang rawan terhadap terjadinya bencana dengan frekwensi yang cukup tinggi, sehingga memerlukan penanganan yang sistematis, terpadu, dan terkoordinasi. Dalam UU No. 24 Tahun 2009, Penanggulangan Bencana merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yaitu serangkaian kegiatan penanggulangan bencana sebelum, pada saat maupun sesudah terjadinya bencana. Untuk melaksanakan penanggulangan bencana, pemerintah (Badan Penanggulangan
136
Bencana) mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi prabencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana (Pasal 16 UU No.24 Tahun 2009 ). Proses
penanggulangan
bencana
memiliki
keterkaitan
erat
dengan
pemanfaatan tanah. Pasal 32 UU No.24 Tahun 2009 menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, pemerintah dapat menetapkan daerah rawan bencana menjadi daerah terlarang untuk pemukiman dan/atau mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap orang atas suatu benda. Keterkaitan kebijakan penanggulangan bencana dengan pemanfaatan dan penggunaan tanah adalah dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam tahap rehabilitasi, akan dilakukan perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Dalam tahap rekonstruksi, akan dilakukan pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat
dengan
sasaran
utama
tumbuh
dan
berkembangnya
kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban dan bangkitnya peranserta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana. Berdasarkan hal tersebut, maka tanah negara bekas tanah terlantar memungkinkan untuk dialokasikan atau dimanfaatkan untuk memenuhi kebutahan tanah untuk penanggulangan bencana khususnya dalam hal relokasi.
137
Walaupun melalui kebijakan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar, pemerintah dapat memanfaatkan tanah terlantar untuk kebutuhannya namun dalam prosesnya harus tetap merujuk pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam Pasal 4 ayat (1) Perpres Nomor 65 Tahun 2006 disebutkan bahwa Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan lebih dahulu. Kebijakan pemerintah dalam pendayagunaan tanah terlantar melalui reforma agraria, program strategis Negara, dan untuk cadangan Negara merupakan suatu usaha untuk mewujudkan keadilan terhadap tanah bagi orang Indonesia. Yang menjadi persoalan sekarang adalah masyarakat yang dapat memanfaatkan tanah Negara bekas tanah terlantar tersebut. Dalam Pasal 15 ayat (2) PP No.11 Tahun 2010 dinyatakan bahwa “Peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah Negara bekas tanah terlantar sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala”. Kalau disimak ketentuan tersebut terdapat kekaburan dalam pelaksanaan pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar karena peruntukan penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah terlantar melalui reforma agraria, program strategis Negara dan cadangan umum Negara ditentukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sedangkan tatacara pendayagunaan tanah terlantar tersebut kurang jelas sehingga tanah-tanah terlantar belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat.
138
4.1.2. Organ Yang Berwenang Dalam Pendayagunaan Tanah Terlantar Wewenang sangatlah diperlukan oleh pemerintah, mengingat pemerintah adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi Negara. Pemerintah
untuk dapat
menjalankan kekuasaannya dengan baik dan lancar perlu diberi wewenang. Adanya pengaturan pemberian wewenang tersebut akan memberikan keabsahan bagi tindakan yang dilakukan pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan urusan pemerintahannya haruslah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tindakan pemerintah sah adanya dan mempunyai kekuasaan hukum. Sudah tentu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut harus jelas dan pasti, sehingga tidak dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesarbesar kemakmuran rakyat.” Dari kata “dikuasai oleh Negara” terlihat bahwa kewenangan
dibidang
pertanahan
dilaksanakan
oleh
negara
yang
dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Berdasarkan kewenangan yang bersumber pada konstitusi maka kemudian diterbitkan UU No. 5 Tahun 1960 yang mengatur masalah keagrariaan atau pertanahan sebagai bagian dari bumi. Selanjutnya kewenangan Negara menguasai bidang pertanahan diatur dalam Pasal 2 UUPA yang berbunyi : (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini member wewenang untuk :
139
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa negara sebagai personifikasi dari seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan, menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution), menggunakan (use), menyediakan (reservation), dan memelihara (maintenance), atas bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Berdasarkan hak menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada negara, di mana di bidang eksekutif
(pemerintahan)
dijalankan oleh
Presiden
(Pemerintah) atau
didelegasikan kepada Menteri.98 Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut digunakan oleh pemerintah selaku wakil negara untuk menyelenggarakan dan mengatur masalah-masalah agraria dengan mengeluarkan berbagai peraturan baik yang dikeluarkan oleh presiden maupun yang dikeluarkan oleh Kepala Badan
98
Edy Ruchiyat, loc.cit.
140
Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) yang pelaksanaannya dapat didelegasikan kepada menteri-menteri. Hal ini berhubungan dengan ketentuan bahwa untuk mencapai kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Kewenangan pendayagunaan tanah terlantar yang diatur dalam PP No. 11 Tahun 2010 merupakan kewenangan delegasi dimana Presiden mendelegasikan kewenangannya
kepada
pendayagunaan
tanah
Badan Negara
Pertanahan bekas
Nasional
tanah
terlantar
untuk untuk
melaksanakan kepentingan
masyarakat.Ketentuan ini diatur dalam Pasal 17 PP No.11 tahun 2010 yang menyatakan bahwa pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar dilaksanakan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan kepada Presiden. Selanjutnya berdasarkan Pasal 15 ayat (2) PP No.11 Tahun 2010 dinyatakan bahwa “Peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah Negara bekas tanah terlantar dilaksanakan oleh Kepala.Kalau
disimak
ketentuan
tersebut
maka
yang
berwenang
dalam
pendayagunaan tanah terlantar adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UUPA hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.Dengan ketentuan pasal ini daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus bidang pertanahan. Kemudian diterbitkan Kepres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
141
Nasional di Bidang Pertanahan yang menentukan bahwa penyerahan sebagian kewenangan
pemerintah
dibidang
pertanahan
kepada
pemerintah
daerah
Kabupaten//Kota. Adapun kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah kabupaten /kota meliputi sembilan jenis kewenangan yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pemberian ijin lokasi; Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; Penyelesaian sengketa tanah garapan; Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; Penetapan dan penyelesaian masalah tanah hak ulayat; Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; Pemberian ijin membuka tanah; dan Perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota. Kemudian
dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
ditentukan bahwa daerah berwenang untuk mengarur dan mengurus bidang pertanahan sebagai urusan pemerintahan yang bersifat wajib. Untuk menjabarkan pelaksanaan otonomi daerah yang diamanatkan UU No.32 Tahun 2004 diterbitkan PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Lampiran PP No.38 Tahun 2007 huruf I disebutkan perincian kewenangan Pemerintah
Pusat,
Pemerintah
Daerah
Provinsi
dan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota dalam bidang pertanahan. Adapun perincian kewenangan Pemerintah Pusat dalam bidang pertanahan menurut lampiran PP No.38 Tahun 2007 meliputi : A. Sub. Bidang : Ijin Lokasi, kewenangan Pemerintah meliputi : 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria ijin lokasi. 2. Pemberian ijin lokasi lintas provinsi.
142
B.
C.
D.
E.
F.
G.
3. Pembatalan ijin lokasi atas ususlan pemerintah provinsi dengan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi. 4. Pembinaan, pengendalian, dan monitoring terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Sub. Bidang : Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, meliputi : 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas provinsi. 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Sub. Bidang : Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan, meliputi : 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria penyelesaian sengketa tanah garapan. 2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penanganan sengketa tanah garapan. Sub. Bidang : Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah untuk Pembangunan yang meliputi : 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. 2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. Sub. Bidang : Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee, yang meliputi : 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. 2. Pembentukan Panitia Pertimbangan Landreform nasional. 3. Pembinaan, pengendalian, dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. Sub. Bidang : Penetapan Tanah Ulayat, yang meliputi : 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. 2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. Sub. Bidang : Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong yang meliputi : 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong. 2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.
143
H. Sub. Bidang : Ijin Membuka Tanah, yang meliputi : 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemberian ijin membuka tanah. 2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan ijin membuka tanah. I. Sub. Bidang : Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota yang meliputi : 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota. 2. Pembinaan, pengendalain dan monitoring terhadap pelaksanaan perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota. Dari perincian kewenangan sebagaimana tersebut diatas terlihat bahwa isi kewenangan Pemerintah Pusat adalah pada tataran pembuatan kebijakan dan pengaturan /regulasi yang meliputi sembilan sub. Bidang tersebut. Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi di bidang pertanahan sesuai dengan Lampiran PP No. 38 Tahun 2007, yang meliputi 9 sub. Bidang yaitu : A. Sub. Bidang Ijin Lokasi, yang meliputi : 1. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan; 2. Kompilasi bahan koordinasi; 3. Pelaksanaan rapat koordinasi; 4. Pelaksanaan peninjauan lokasi; 5. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait; 6. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan ijin lokasi yang diterbitkan; 7. Penerbitan surat keputusan ijin lokasi; 8. Pertimbangan dan usulan pencabutan ijin dan pembatalan surat keputusan ijin lokasi dengan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; 9. Monitoring dan pembinan perolehan tanah. B. Sub. Bidang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, yang meliputi : 1. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas kabupaten/kota; 2. Penetapan lokasi; 3. Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 4. Pelaksanaan penyuluhan;
144
C.
D.
E.
F.
G.
H.
5. Pelaksanaan inventarisasi; 6. Pembentukan tim penilai tanah; 7. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari lembaga/tim penilai tanah; 8. Pelaksanaan musyawarah; 9. Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian; 10. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian; 11. Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian; 12. Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Sub. Bidang Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan, yang meliputi : 1. Penyelesaian sengketa tanah garapan lintas kabupaten/kota; 2. Penerimaaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan; 3. Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa; 4. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan; 5. Koordinasi dengan instansi terkait untuk meneyapkan langkah-langkah penanganannya; 6. Fasilitasi musyawarah antar para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak. Sub. Bidang penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah untuk Pembangunan, yang meliputi : 1. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; 2. Pembinaan dan pengawasan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. Sub. Bidang Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee, yang meliputi : 1. Pembentukan panitia pertimbangan landreform provinsi; 2. Penyelesaian permasalahan penetapan subyek dan obyek tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; 3. Pembinaan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. Sub. Bidang Penetapan Tanah Ulayat, yang meliputi : 1. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota; 2. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian; 3. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat; 4. Pengusulan rancangan peraturan daerah provinsi tentang penetapan tanah ulayat; 5. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat. Sub. Bidang Pemanfaatan dan Penyelesaian Tanah Kosong, yang meliputi : 1. Penyelesaian masalah tanah kosong; 2. Pembinaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. Sub. Bidang Ijin Membuka Tanah, yang meliputi : 1. Penyelesaian permasalahan pemberian ijin membuka tanah; 2. Pengawasan dan pengendalian pemberian ijin membuka tanah (tugas pembantuan).
145
I. Sub. Bidang Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota, yang meliputi : Perencanaan penggunaan tanah lintas kabupaten/kota. Apabila disimak kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi dalam mengurus pertanahan sebagaimana disebutkan dalam lampiran PP No. 38 Tahun 2007 tersebut, maka dapat dikatakan Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota. Kewenangan
Pemerintah
Kabupaten/Kota
untuk
mengurus
bidang
pertanahan ditentukan secara rinci dalam Lampiran PP No.38 Tahun 2007 yang meliputi 9 Sub. Bidang, yaitu : A. Sub. Bidang Ijin Lokasi, yang meliputi : 1. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan; 2. Kompilasi bahan koordinasi; 3. Pelaksanaan rapat koordinasi; 4. Pelaksanaan peninjauan lokasi; 5. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait; 6. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan ijin lokasi yang diterbitkan; 7. Penerbitan surat keputusan ijin lokasi; 8. Pertimbangan dan usulan pencabutan ijin dan pembatalan surat keputusan ijin lokasi dengan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; 9. Monitoring dan pembinaan perolehan tanah. B. Sub. Bidang Pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum, yang meliputi : 1. Penetapan lokasi; 2. Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 3. Pelaksanaan penyuluhan; 4. Pelaksanaan inventarisasi; 5. Pembentukan tim penilai tanah; 6. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari lembaga/tim penilai tanah; 7. Pelaksanaan musyawarah; 8. Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian;
146
9. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian; 10. Penyesuaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian; 11. Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. C. Sub. Bidang Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan, yang meliputi : 1. Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan; 2. Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa; 3. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan; 4. Koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkah-langkah penanganannya; 5. Fasilitasi musyawarah antar para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak. D. Sub. Bidang Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah untuk Pembangunan, yang meliputi : 1. Pembentukan tim pengawasan pengendalian; 2. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. E. Sub. Bidang Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee, yang meliputi : 1. Pembentukan panitia pertimbangan landreform dan secretariat panitia; 2. Pelaksanaan sidang yang membahas hasil inventarisasi untuk penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; 3. Pembuatan hasil sidang dalam berita acara; 4. Penetapan tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee sebagai obyek landreform berdasarkan hasil sidang panitia; 5. Penetapan para penerima redistribusi tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee berdasarkan hasil sidang panitia; 6. Penerbitan surat keputusan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian. F. Sub. Bidang Penetapan Tanah Ulayat, yang meliputi : 1. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota; 2. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian; 3. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat; 4. Pengusulan rancangan peraturan daerah provinsi tentang penetapan tanah ulayat; 5. Pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; 6. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.
147
G. Sub. Bidang Pemanfaatan dan Penyelesaian Tanah Kosong, yang meliputi : 1. Inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim; 2. Penetapan bidang-bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk tanaman pangan semusim bersama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian; 3. Penetapan pihak-pihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan mengutamakan masyarakat setempat; 4. Fasilitasi perjanjian kerjasama antara pemegang hak tanah dengan pihak yang akan memanfaatkan tanah dihadapan/diketahui oleh Kepala Desa/Lurah dan Camat setempat dengan perjanjian untuk dua kali musim panen; 5. Penanganan yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dalam perjanjian. H. Sub. Bidang Ijin Membuka Tanah, yang meliputi : 1. Penerimaan dan pemeriksaan permohonan; 2. Pemeriksaan lapangan dengan memperhatikan kemampuan tanah, status tanah dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota. 3. Penerbitan ijin membuka tanah dengan memperhatikan pertimbangan teknis dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; 4. Pengawasan dan pengendalian pemberian ijin membuka tanah (tugas pembantuan). I. Sub. Bidang Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota, yang meliputi : 1. Pembentukan tim koordinasi tingkat Kabupaten/Kota; 2. Kompilasi data dan informasi yang terdiri dari : a. Peta pola penatagunaan tanah atau peta wilayah tanah usaha atau peta persediaan tanah dari kantor pertanahan setempat; b. Rencana tata ruang wilayah; c. Rencana pembangunan yang akan menggunakan tanah baik rencana pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, maupun investasi swasta. 3. Analisa kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan kriteria teknis dari instansi terkait; 4. Penyiapan draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah; 5. Pelaksanaan rapat koordinasi terhadap draft rencana letak penggunaan tanah dengan instansi terkait; 6. Konsultasi politik untuk memperoleh masukan terhadap draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah; 7. Penyusunan draft final rencana letak kegiatan penggunaan tanah; 8. Penetapan rencana letak kegiatan penggunaan tanah dalam bentuk peta dan penjelasannya dengan keputusan Bupati/Walikota; 9. Sosialisasi tentang rencana letak kegiatan penggunaan tanah kepada instansi terkait;
148
10. Evaluasi dan penyesuaian rencana letak kegiatan penggunaan tanah berdasarkan perubahan RTRW dan perkembangan realisasi pembangunan. Dari ketentuan tersebut diatas dapat dikatakan bahwa kewenangan bidang pertanahan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana disebutkan dalam lampiran PP No.38 Tahun 2007 hanya bersifat teknis belaka. Dalam
Pasal 2 Kepres No.34 tahun 2003, dinyatakan bahwa sebagian
kewenangan Pemerintah Pusat di bidang Pertanahan dilimpahkan kepada daerah. Pemerintah melalui Kepres No.34 Tahun 2003 telah menentukan pembagian kewenangan BPN (Pemerintah) beserta ruang lingkup tugasnya dengan Pemerintah Daerah dalam bidang pertanahan yaitu :99 1. Wewenang BPN Pusat meliputi : a. Pengaturan penyelenggaraan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah. b. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah. c. Pengurusan hak atas tanah. d. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah. 2. Wewenang Kantor Wilayah BPN Provinsi meliputi : a. Perencanaan tata guna tanah dan tata ruang provinsi. b. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan tata guna tanah dan tat ruang c. Pengawasan, pengendalian, dan penetapan pedoman pelaksanaan landreform. d. Penetapan dan pengurusan hak atas tanah. e. Pengukuran dan pendaftaran tanah. 3. Wewenang Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota meliputi : a. Penyelenggaraan tata guna tanah dan tata ruang. b. Penyelenggaraan pengaturan penguasaan tanah (landreform) c. Penyelenggaraan pengurusan hak atas tanah d. Penyelenggaraan pendaftaran tanah. e. Penyelenggaraan pengukuran tanah. 4. Wewenang Pemerintah Daerah dibidang pertanahan meliputi : a. Pengaturan penguasaan tanah dan tata ruang 99
Suriansyah Murhaini, op.cit, hal.114
149
b. Hal-hal yang berkaitan dengan tanah. c. Hal-hal yang berkaitan dengan keuangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Kepres No.34 Tahun 2003 tersebut, keberadaan BPN sangat mutlak dalam pengaturan dan pengurusan di bidang pertanahan. Eksistensi BPN semakin kuat dengan dikeluarkannya Perpres No. 10 Tahun 2006 tentang BPN, yang dalam Pasal 2 nya menyebutkan bahwa Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral. Ada beberapa alasan yang menjadi pertimbangan bagi Pemerintah untuk tetap mempertahankan BPN dalam mengurus bidang pertanahan adalah : a. Bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang bersifat abadi dan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia; b. Bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia, karenanya perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.100 Dari alasan tersebut, Pemerintah menganggap bahwa bidang pertanahan adalah merupakan urusan pemerintahan yang bersifat nasional karena menyangkut kepentingan bangsa dan negara. Kemudian dalam Pasal 3 Perpres No. 10 Tahun 2006 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi : a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan; 100
Suriansyah Murhaini, op.cit. hal.116
150
b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r. s. t. u.
Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan; Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan; Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan; Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum; Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah; Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayahwilayah khusus; Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerjasama dengan Departemen Keuangan; Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; Kerjasama dengan lembaga-lembaga lain; Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan,dan di bidang pertanahan; Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan; Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan; Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan; Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan; Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan; Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan; Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Selanjutnya ruang lingkup kewenangan Pemerintah Daerah dalam mengurus bidang pertanahan sebagaimana disebutkan dalam Kepres No. 34 Tahun 2003 dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Pengaturan, penguasaan tanah dan tata ruang, meliputi : a. Ijin lokasi, pengaturan persediaan dan peruntukan; b. Penyelesaian tanah garapan; c. Wide occupatie, penguasaan pendudukan tanah oleh yang tidak berhak; d. Penyelesaian ganti rugi dalam pengadaan tanah; e. Penyelesaian dan penetapan hak ulayat masyarakat hukum adat; f. Penyelesaian tanah terlantar; g. Pemanfaatan lahan tidur; h. Pengaturan reklamasi;
151
i. Penetapan obyek, subyek redistribusi landreform tanah kelebihan absentee; j. Penetapan harga dasar tanah; k. Penetapan penyelenggaraan perjanjian bagi hasil tanah pertanian. 2. Hal-hal lain yang berkaitan dengan tanah, meliputi : a. Penetapan nilai obyek pajak bumi dan bangunan; b. Ijin mendirikan bangunan; c. Ijin usaha; d. Undang-undang gangguan yang berkaitan dengan penanaman modal; e. Penetapan koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai bangunan; f. Lingkungan siap bangun dan kawasan siap bangun. 3. Hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan, meliputi : a. Mendapatkan bagian dari uang pemasukan ddari pemberian hak atas tanah sebesar 80% dari total pemasukan; b. Mendapatkan bagian dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 80% untuk daerah dimana BPHTB serta PPh diperoleh, sedangkan sebesar 20% didistribusikan/dibagikan kembali kepada daerah-daerah lain sebagai subsidi silang secara merata. 101 Jadi terkait dengan kebijakan pertanahan secara nasional, dihubungkan dengan fungsi BPN dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan dibidang pertanahan serta ruang lingkup kewenangan bidang pertanahan yang diserahkan kepada daerah baik berdasarkan ketentuan Kepres No. 34 Tahun 2003 maupun dalam lampiran PP No. 38 Tahun 2007, maka dapat dikatakan bahwa hal-hal yang menyangkut kebijakan menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, sedangkan kewenangan Pemerintah Daerah hanyalah mengenai masalah teknis operasional pertanahan dan pelaksanaan kebijakan dalam bidang pertanahan yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh Pemerintah Pusat. Berdasarkan pada Pasal 2 Kepres No. 34 Tahun 2003, pasal 3 Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006, Lampiran PP No. 38 Tahun 2007, dikaitkan dengan
101
Suriansyah Murhaini, op.cit. hal 125.
152
kebijakan pemerintah dalam pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar yang diatur dalam PP No. 11 Tahun 2010, maka
organ yang berwenang dalam
pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam hal penetapan kebijakan pendayagunaan tanah terlantar. Sedangkan pemerintah daerah berwenang dalam inventarisasi dan identifikasi tanah terlantar yang akan didayagunakan atau dimanfaatkan untuk reforma agraria, program strategis Negara, dan cadangan Negara lainnya. 4.2. Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia yang dikuasai oleh Negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak baik yang telah dikuasai atau dimiliki oleh orang seorang, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat dan atau badan hukum maupun yang belum diatur dalam hubungan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berbagai bentuk hubungan hukum dengan tanah yang berwujud hak-hak atas tanah memberikan wewenang untuk menggunakan tanah sesuai dengan sifat dan tujuan haknya berdasarkan persediaan, peruntukan, penggunaan dan pemeliharaannya. Tanah adalah unsur ruang yang strategis dan pemanfaatannya terkait dengan penataan ruang wilayah. Penataan ruang wilayah mengandung komitmen untuk menerapkan penataan secara konsekuen dan konsisten dalam kerangka kebijakan pertanahan yang berlandaskan UUPA. Dalam Pasal 14 UUPA disebutkan bahwa : (1)
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasal 9 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan (2) pemerintah dalam ranga Sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya :
153
a. Untuk keperluan Negara; b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; c. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, social, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; d. Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan sera sejalan dengan itu; e. Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. (2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 UUPA dan ketentuan UU No.24 Tahun 1992 yang telah diganti dengan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka dalam rangka pemanfaatan ruang perlu dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut juga pola pengelolaan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Rusmadi Murad, menyatakan penatagunaan tanah adalah serangkaian kegiatan penataan, peruntukkan, penggunaan dan penyelesaian tanah secara berkesinambungan dan teratur berdasarkan asas manfaat, lestari, optimal, seimbang dan serasi.102 Dalam rangka penatagunaan tanah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Dalam Pasal 1 angka 1 PP No.16 Tahun 2004 disebutkan bahwa : Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pegelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang
102
Rusmadi Murad, 1997, Administrasi Pertanahan Pelaksanaannya dalam Praktek, Mandar Maju, Bandung, hal.3.
154
terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Dalam kaitan dengan penataan ruang dan administrasi pertanahan sesuai dengan Pasal 3 PP No.16 Tahun 2004 penatagunaan tanah bertujuan untuk : a. Mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana tata Ruang Wilayah; b. Mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan Rencana Tata Ruang Wilayah; c. Mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan,dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah; d. Menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan, dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan. Penatagunaan tanah merupakan kebijakan dan kegiatan di bidang pertanahan yang bertujuan mengatur dan mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan mewujudkan tertib pertanahan dengan tetap menjamin kepastian hukum atas tanah bagi masyarakat. Penatagunaan tanah dilaksanakan berdasarkan pada asas keterpaduan, berdayaguna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Dalam penjelasan Pasal 2 PP No.16 Tahun 2004 disebutkan maksud dari pada asas tersebut adalah : a. Keterpaduan adalah bahwa penatagunaan tanah dilakukan untuk mengharmonisasikan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan. b. Berdayaguna dan berhasilguna adalah bahwa penatagunaan tanah harus dapat mewujudkan peningkatan nilai tanah yang sesuai dengan fungsi ruang. c. Serasi, selaras dan seimbang adalah bahwa penggunaan tanah menjamin terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara hak dan
155
kewajiban masing-masing pemegang hak atas tanah atau kuasanya sehingga meminimalkan benturan kepentingan antar penggunaan atau pemanfaatan tanah. d. Berkelanjutan adalah bahwa penggunaan tanah menjamin kelestarian fungsi tanah demi memperhatikan kepentingan antargenerasi. e. Keterbukaan adalah bahwa penatagunaan tanah dapat diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. f. Persamaan, keadilan dan perlindungan hukum adalah bahwa dalam penyelenggaraan penatagunaan tanah tidak mengakibatkan diskriminasi antar pemilik tanah sehingga ada perlindungan hukum dalam menggunakan dan memanfaatkan tanah. Penatagunaan
tanah
meliputi
kebijakan
penatagunaan
tanah
dan
penyelenggaraan penatagunaan tanah. Kebijakan penatagunaan tanah meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dikawasan lindung dan kawasan budidaya sebagai pedoman umum penggunaan tanah di daerah. Sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam penatagunaan tanah yang diatur dalam PP No.16 Tahun 2004, maka penatagunaan tanah di Kota Denpasar diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 10 Tahun 1999. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 10 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah kota Denpasar, maka kegiatan penatagunaan tanah diarahkan pada kegiatan penatagunaan tanah di kawasan lindung dan kawasan budidaya. Di kawasan lindung penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya serta kawasan perlindungan setempat. Kawasan budidaya terdiri dari kawasan budidaya pertanian dan kawasan budidaya non pertanian. Kawasan budidaya pertanian sebagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK), meliputi : Kawasan pertanian tanaman pangan lahan basah; kawasan pertanian tanaman pangan lahan kering; kawasan pertanian tanaman tahunan;
156
kawasan peternakan; kawasan budidaya perikanan. Kawasan budidaya non pertanian terdiri dari
: kawasan pemukiman; kawasan industri kecil; kawasan pariwisata;
kawasan pertambangan; kawasan Hankam/militer; kawasan prasarana perdagangan dan jasa; kawasan prasarana transportasi; kawasan prasarana sosial. Dengan adanya penatagunaan tanah-tanah di Kota Denpasar diharapkan dapat terciptanya catur tertib pertanahan yang meliputi : 1. Tertib Hukum Pertanahan Untuk menumbuhkan kepastian hukum pertanahan sebagai perlindungan terhadap hak-hak atas tanah dan penggunaannya, agar terdapat ketentraman masyarakat dan mendorong gairah membangun. 2. Tertib Administrasi Pertanahan Untuk menciptakan suasana pelayanan di bidang pertanahan agar lancar, tertib, murah, cepat dan tidak berbelit-belit dengan berdasarkan pelayanan umum yang adil dan merata. 3. Tertib Penggunaan Tanah. Tanah harus benar-benar digunakan sesuai dengan kemampuannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3)) dengan memperhatikan kesuburan dan kemampuan tanah. 4. Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup Merupakan upaya untuk menghindarkan kerusakan tanah, memulihkan kesuburan tanah dan menjaga kualitas sumber daya alam, pencegahan pencemaran tanah yang dapat menurunkan kualitas tanah dan lingkungan hidup baik karena alam atau tingkah laku manusia.
157
4.3. Pendayagunaan
Tanah
Terlantar
Dalam
Kaitannya
Dengan
Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar Pembangunan yang dilaksanakan di Kota Denpasar semakin pesat dan kompleks, sehingga kebijakan pemerintahan Kota Denpasar ke depan diarahkan untuk mewujudkan pembangunan Kota Denpasar yang berwawasan budaya yang dijiwai Agama Hindu dan dilandasi Tri Hita Karana. Melihat kondisi fisik dan potensi Kota Denpasar tersebut maka peranan tanah sangatlah besar sekali dalam kehidupan ini. Penanganan masalah pertanahan bukan hanya teknis, yuridis, administrasi saja melainkan juga menyangkut aspek sosial, politik dan hankam sehingga penanganannya tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu pelayanan di bidang pertanahan lebih ditingkatkan secara profesionalisme sesuai dengan visi, misi, tujuan dan sasaran Badan Pertanahan Nasional yaitu memberikan pelayanan pendaftaran tanah yang cepat dan terjamin kepastian hukum menuju Catur Tertib Pertanahan yaitu Tertib Hukum Pertanahan, Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib Penggunaan Tanah dan Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, maka setiap orang, badan hukum, instansi pemerintah yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sehingga berdayaguna dan berhasil guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Dewasa ini banyak bidang-bidang tanah di Kota Denpasar yang menunggu dipergunakan sesuai dengan Rencana Tata
158
Ruang Wilayah yang berlaku, dibiarkan kosong atau terlantar, sehingga tidak memberikan manfaat apapun bagi masyarakat. Di Kota Denpasar tanah-tanah yang terlantar dalam arti tidak diusahakan, dipergunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dari pemberian haknya cukup banyak. Berdasarkan data dari Dinas Tata Ruang dan Perumahan Pemerintah Kota Denpasar, lahan di kota ini yang terbengkalai atau terlantar tersebar di 80 lokasi. Lahan atau tanah yang tidak dimanfaatkan sang pemilik tersebut tersebar diruas jalan utama kota. Kondisi ini dapat membuat kawasan ibukota provinsi daerah tujuan wisata internasional tersebut tampak seperti tidak berpenghuni, kumuh dan tidak tertata dengan baik. Berdasarkan Pasal 2 Kepres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, Lampiran PP No. 38 Tahun 2007, PP No. 11 Tahun 2010, Pemerintah Kota Denpasar dapat memanfaatkan tanah-tanah kosong atau tanah terlantar. Tanah-tanah Negara bekas tanah terlantar sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) didayagunakan untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara dan cadangan negara lainnya. Dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar, tanah-tanah Negara bekas tanah terlantar yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat harus disesuaikan dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 10 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar. Dalam Perda No. 10 Tahun 1999 sudah ditetapkan wilayah-wilayah yang dijadikan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Jika tanah-tanah terlantar itu letaknya di kawasan budidaya pertanian maka tanah terlantar didayagunakan untuk program strategis Negara di sektor pertanian atau dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau dan juga
159
untuk taman kota sehingga Kota Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali dan tujuan wisata tampak indah, sejuk dan asri. Tanah-tanah terlantar yang letaknya dikawasan budidaya non pertanian maka dapat didayagunakan untuk perumahan dan pemukiman, pariwisata, pertambangan, Hankam/militer, prasarana perdagangan dan jasa, prasarana transportasi, prasarana sosial.
160
BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan Berdasarkan uraian dan kajian terhadap permasalahan dalam tulisan ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi dimana pemerintah (Presiden ) mendelegasikan kewenangannya
kepada
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk melakukan penertiban tanah terlantar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 17 PP No.11 Tahun 2010. Dalam pelaksanaannya dibentuk Panitia C yang terdiri dari Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah dan Instansi yang terkait dengan peruntukan tanahnya yang berwenang melakukan identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010, mekanisme penertiban tanah terlantar dilakukan melalui tahapan-tahapan yaitu : a. Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi terlantar; b. Identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar; c. Peringatan terhadap pemegang hak; d. Penetapan tanah terlantar. 2. Tanah-tanah terlantar
didayagunakan
untuk
kepentingan masyarakat
melalui Reforma Agraria, Program Strategis Negara, dan untuk Cadangan Negara lainnya sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) PP No. 11 Tahun
2010.
161
Dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar, tanah tanah negara bekas tanah terlantar yang akan didayagunakan untuk kepentingan masyarakat disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar yang diatur dalam Perda No.10 Tahun 1999. 5.1.Saran 1. Terkait dengan penatagunaan tanah di Kota Denpasar, hendaknya
Badan
Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah Kota Denpasar dan instansi yang terkait dengan peruntukan tanahnya
dalam melaksanakan penertiban tanah
terlantar saling berkoordinasi sehingga tidak terjadi tumpang kewenangan. 2. Dalam pendayagunaan tanah terlantar, pemerintah ( Badan Pertanahan Nasional) hendaknya tanah terlantar yang tanah
-
tanah
dalam memperbaiki itu hendaknya
membuat kebijakan tentang tata cara pendayagunaan dapat dipakai sebagai pedoman teknis, sehingga terlantar
dapat
keadaan sosial
dimanfaatkan ekonomi
pemerintah memberikan bekal
optimal
masyarakat. Disamping ilmu
sehingga dalam melaksanakan tugasnya tidak terjadi pemegang hak yang menelantarkan tanahnya.
secara
kepada
aparatnya
konflik dengan
DAFTAR PUSTAKA
BUKU : Abdurrahman, 1980, Beberapa Aspekta Tentang Hukum Agraria, Alumni, Bandung. Anonim, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana. Arie Sukanti Hutagalung, 1985, Program Redistribusi Tanah di Indonesia; Suatu Sarana ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan dan Pemilikan Tanah, CV. Rajawali, Jakarta. Arief Sidharta, Bernard, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian tentang Pondasi Kefalsafahan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandar Maju, Bandung. Black’s Law Dictionary, 1999, editor : Bryan A. Garner, seventh edition, USA : West Publishing, Minnesota. PBlack’s Law Dictionary, 1999, editor : Bryan A. Garner, seventh edition, USA : West Publishing, Minnesota. Bruggink,J.J.H, 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie, Deventer, Kluwer. Coubrey H.Mc. and White, N.D, 1993, Text Book On Jurisprudensi, Blakstone Press Limited, London. Hadjon, Philipus M. dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia ( Introduction to the Indonesia Administrative Law ), Cet. I, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. ________, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNAIR, Surabaya. ________, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid), Pro Justitia, Jakarta. Hamsah Andi, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Harsono Budi, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan dan Pelaksanaannya, Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung.
UUPA, Isi
Hiroyoshi Kano, 1997, Tanah dan Pajak Hak Milik dan Sengketa Agraria: Tinjauan Sejarah Perbandingan, dalam Tanah dan Pembangunan, Penyunting Noer Fauzi, Cetakan Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Joeniarto, 1968, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta. Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Djambatan, Jakarta.
Pemerintah
Yang Dapat Digugat,
Johnny Ibrahim, 2006, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Kedua, Bayu Media Publishing, Malang, Jawa Timur. Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung. Kirdi Dipoyudo, 1981, Negara dan Ideologi Negara, Suatu Pengantar, CSIS, Jakarta. Kuntjoro Purbopranoto, 1985, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung. Magnis Suseno, F, 1991, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta. Manan Bagir, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. Ketiga, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta. Marbun, SF, 1997, Peradilan Administrasi Negara Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
dan
Upaya
Marbun, SF & Mahmud MD, 2000, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta. Mohammad Hatta, H, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perpektif Kesatuan, Cet. I, Media Abadi, Yogyakarta.
Negara
Mudjiono, 1997, Politik Dan Hukum Agraria, Edisi Pertama,Liberty , Yogyakarta.
Mukthie
Fadjar, A, 2005, Tipe Negara Hukum, Cet. Kedua, Bayumedia Publishing, Malang, Jawa Timur,. Mustafa, Bachsan, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung. Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta. Muslimin, Amrah, 1985, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung. Nurlinda Ida, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Edisi I, PT. Raja Grafindo Persada.
Agraria Perspektif Hukum,
Norbert Wiener, 1954, The Human Use Of Human Beings Cybernetics And Society, Garden City, New York, 1 Norbert Wiener, 1954, The Human Use Of Human Beings Cybernetics And Society, Garden City, New York. Notonagoro, 1984, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta. Parlindungan, A.P, 1990, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah ( Menurut Sistem UUPA ), Mandar Maju, Bandung. Padmo Wahjono, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, , Cet.ke-1, CV. Rajawali, Jakarta. Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Edisi Pertama,Cet.Ke-1, Prenada Media, Jakarta. Pius Abdillah,Danu Prasetya, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Arkola, Surabaya. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Poerwadaminta, W.J.S, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Ridwan, H.R, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta.
Ruchiyat Edy, 1999, Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi, Edisi Kedua, Alumni, Bandung. Rusmadi Murad, 1997, Administrasi Pertanahan Pelaksanaannya dalam Praktek, Mandar Maju, Bandung.
Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Hukum Administrasi, Laksbang, Prescindo, Yogyakarta. Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cet. Keenam, PT. Citra Aditya Abadi, Bandung. Sigler, Jay A, 1977, The Legal Sources Of Public Policy, DC. Heath and Compay, Lexington Massachusetts, Toronto, Sudiyat Iman, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat Sedang Berkembang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta. Sutiknjo Imam, 1994, Politik Agraria Yogyakarta.
Nasional, Gadjah Mada University Press,
Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung. ________, 1993, Tafsiran Undang - Undang Pokok Agraria, Cet. Kesembilan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Soedikno Mertokusumo, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Karunika, Universitas Terbuka, Jakarta. Soemarjono, Maria S.W, 1998, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. ________, 2001, Kebijakan Pertanahan: antara Regulasi dan Implementasi, Cet. Pertama, Kompas, Jakarta. Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2001, Hukum Adat Indonesia, Cetakan Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soetomo, 1986, Politik Dan Surabaya, Indonesia.
Administrasi
Agraria,
Usaha
Nasional,
Sunaryati Hartono, C.F.G, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke- 20, Edisi Pertama, Cet.I, Alumni, Bandung. Suriansyah Murhaini, H, 2009, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang Pertanahan, Cet. Ke-1, Laksbang Justitia, Surabaya.
Suwoto Mulyo Sudarmo, 1999, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Ter Haar BZN, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K.Ng Soebakti Poesponoto, PT. Pradnya Paramita. Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Edisi pertama, Prenada Media, Jakarta. Utrecht, E, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cet. ke -4, FHPM Univ.Negeri Padjajaran, Bandung. Victor
Situmorang, 1989, Bina Aksara, Jakarta.
Dasar - Dasar
Hukum
Administrasi Negara,
Wheare, K.C, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press, New York. Wiranata, I Gede, 2004, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung I Gede Wiranata, 2004, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung.
DISERTASI : Attamimi, A. Hamid S, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.
ARTIKEL / MAJALAH Hadjon,Philipus M, 1997, Tentang Wewenang, September 1997.
Yuridika, No.5 & 6 Tahun XII
Pria Dharsana, I Made, 2010, “Mencabut Hak Tanah Terlantar”. Bali Post, Tgl.18 Agustus.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria ( Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 2043). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 53). Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah ( Lembaran Negara RI tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4385 ).
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ( Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4737) Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar ( Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5098).
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 60) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.