KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA DAN HUKUM ISLAM Oleh: Fauzi Iswari Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat Alamat: Jl. By Pass Aur Kuning Bukittinggi Telp./Fax. (0752) 21376 Email:
[email protected]
Abstrak Kewenangan pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar menurut hukum Indonesia merupakan kewenangan delegasi dari Presiden kepada Kepala BPN Republik Indonesia, sedangkan kewenangan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar menurut hukum Islam merupakan kewenangan pemerintah pusat (khalifah/imam). Tulisan ini menganalisis tentang kewenangan pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar menurut perspektif hukum Indonesia dan hukum Islam. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme penertiban tanah terlantar menurut hukum Indonesia dilakukan melalui tahapan inventarisasi tanah terindikasi terlantar, identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar, peringatan terhadap pemegang hak, dan penetapan tanah terlantar. Tanah-tanah negara bekas tanah terlantar, mekanisme pendayagunaannya melalui peruntukan dan pengaturan peruntukan, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan negara lainnya. Sedangkan menurut hukum Islam, mekanisme penertiban tanah terlantar didasarkan pada jangka waktu lamanya tanah tersebut ditelantarkan, yakni selama tiga tahun, setelah jangka waktu tiga tahun tanah tidak juga digarap, maka hak atas tanah menjadi gugur dan negara berwenang mengambilnya. Dalam pendayagunaan tanah terlantar menurut hukum Islam, terhadap tanah bebas, mekanisme yang dipakai adalah ihya’ al-mawat dan tahjir, dan terhadap tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya, didayagunakan dengan iqtha’. Abstract Government authorities in the control and utilization of wasteland under Indonesian law is a delegation of authority from the President to the Head of BPN Republic of Indonesia, while the controlling authority and the utilization of wasteland according to Islamic law is the authority of the central government (caliphate / imam). This paper analyzes the government's authority in the control and utilization of wasteland from the perspective of Indonesian law and Islamic law. This study uses normative law research. The approach in this study using the approach of legislation and conceptual approaches. The results showed that the
control mechanism wastelands under Indonesian law is done through the stages indicated abandoned land inventory, identification and soil research indicated abandoned, notification to the holder of the rights, and the establishment of wastelands. For abandoned lands, according to positive law its mechanism through allotment and allotment setting, control, ownership, and the use of land for the benefit of society through agrarian reform, the country's strategic program, and for other benefits. Meanwhile, according to Islamic law, the mechanism controlling wastelands based on the length of time the land is abandoned. After a period of three years if a land is not well cultivated, the right of ownership of the lands is failed and the state authority takes over them. The utilization of abandoned land by Islamic law, in the case if the land is without ownerthe mechanism is by using Ihya 'al-Mawat and tahjir. Ifthe land is abandoned by its owner, it utilizes iqta'. Kata kunci: Pemerintah, tanah terlantar, hukum Islam Pendahuluan Fungsi tanah yang sangat strategis, baik sebagai sumber daya alam maupun sebagai ruang untuk pembangunan yang ketersediaannya relatif tetap (statis), dalam pemanfaatannya sudah seharusnyanya dilakukan dengan semaksimal mungkin. Hal ini disebabkan kebutuhan akan tanah terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan yang terus meningkat pula, sehingga orientasi dari pengelolaannya harus berdayaguna untuk kepentingan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Prinsip ini telah ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 33 Ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut di atas menjadi landasan konstitusional dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Berkenaan dengan hak menguasai negara atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,yang kemudian dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA.Dalam Pasal itu disebutkan bahwa hak menguasai dari Negara tersebut adalah memberi wewenang untuk (a) mengatur dan menyelanggarakan peruntukan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (2) UUPA di atas.Hal inilah yang merupakan landasan dasar bagi Negara dalam mengatur pemberian hakhak atas tanah. Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA yang menyatakan:(1) Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya berbagai macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum; (2) hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya,
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturanperaturan hukum lain yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam Pasal 16 UUPA diatur lebih lanjut tentang macam-macam hak atas tanah yang diberikan oleh negara, di antaranya: hak milik, hak guna usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Berkenaan dengan penggunaan dan pemanfaatan hak-hak atas tanah yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum, hal yang paling mendasar yang perlu diperhatikan ialah prinsip fungsi sosial. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 6 UUPA yang menyatakan, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Rumusan Pasal 6 tersebut mendapat penjelasan dalam penjelasan umum UUPA, yakni hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, tanahnya akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Jika dikaitkan antara ketentuan Pasal 6 dengan Pasal 10 UUPA tentang keharusan mengusahakan hak atas tanah secara aktif. Maka dapat dipahami bahwa dalam pemanfaatan tanah, selain harus menjunjung tinggi fungsi sosial, tetapi tanah tersebut juga harus dipelihara baik-baik. Tujuannya adalah agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemegang haknya semata, melainkan juga menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 UUPA bahwa Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah. Jika ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6, 10, dan 15 UUPA tersebut tidak direalisasikan, maka akan berpotensi sebagai pemicu adanya perbuatan menelantarkan tanah, sehingga akan berimplikasi pada hapusnya hak-hak atas tanah. Dalam ketentuan UUPA, penelantaran tanah merupakan salah satu penyebab hapusnya hakhak atas tanah. Hal ini sebagaimana dimuat dalam Pasal 27 huruf a angka 3 bahwa hak milik berakhir karena diterlantarkan, kemudian hak guna usaha (Pasal 34 huruf e) dan hak guna bangunan (Pasal 40 huruf e) juga berakhir karena diterlantarkan. Dengan demikian, semua hak atas tanah tersebut akan hapus dan jatuh ke tangan negara apabila tanah tersebut diterlantarkan. Secara yuridis hak atas tanah menjadi hapus jika dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebagai sanksi terhadap tidak dipenuhinya kewajiban atau dilanggarnya sesuatu larangan oleh pemegang hak yang bersangkutan.1 Lebih lanjut Boedi Harsono menyatakan keputusan pejabat tersebut bersifat konstitutif, dalam arti hak yang bersangkutan baru menjadi hapus dengan dikeluarkannya surat keputusan tentang
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1999), hlm. 339.
penghapusan hak. Jika yang hapus hak-hak atas tanah primer, maka tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara.2 Menyikapi jamaknya tanah terlantar di Indonesia, salah satu upaya yuridis yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Pasal 2 Peraturan PemerintahNomor 11 Tahun 2011 menyatakan bahwa obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Berkenaan dengan kapan suatu tanah dikatakan sebagai tanah terlantar, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, yakni setelah jangka waktunya terhitung 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya sertifikat hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atau sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan tanah dari pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, demi keadilan dan kesejahteraan rakyat maka terhadap obyek tanah terlantar perlu dilakukan penertiban sehingga dapat memberikan manfaat bagi rakyatIndonesia.3 Keberadaan tanah-tanah yang diterlantarkan dalam arti tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian haknya di Indonesia apabila tidak dilakukan penertiban dan pendayagunaan tanah akan membawa dampak yang sangat merugikan seluruh aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, lingkungan, kesehatan dan kesejahteraan. Oleh karena itu, setiap jengkal tanah terlantar yang terdapat di bumi Indonesia harus ditertibkan dan dikembalikan kepada fungsi aslinya sesuai dengan amanat konstitusi, peraturan dasar pokok-pokok agraria, serta pembangunan jangka panjang nasional.4 Tanah terlantar merupakan salah satu objek reforma agraria (agrarian reform), sebagaimana telah dicita-citakan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010. Oleh karena itu, idealnya pada masa yang akan datang dalam penertiban tanah terlantar di Indonesia tidak hanya merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum negara) semata, tetapi hendaknya juga mengacu pada hukum agama. Hal ini karena Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai undang-undang payung dalam masalah pertanahan, tidak menutup diri terhadap peraturan hukum lain dalam penerapannya, seperti hukum adat dan hukum agama, sebagaiman ditegaskan dalam Pasal 5 UUPA yang menyebutkan, “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.” Ketidakjelasan spesifikasi hukum agama yang dimaksud oleh UUPA dalam Pasal 5 sebagaimana disebutkan sebelumnya, karena UUPA tersebut bersifat nasional. Dengan kata lain, bukan ditujukan untuk satu agama, tetapi untuk semua bangsa 2
Ibid.
3
Fauzie Kamal Ismail, Pendayaguanan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar Melalui Program Reformasi Agraria, Lex Jurnalica Universitas Indonusa Esa Unggul Vol. 10 No. 2, Agustus 2013, hlm. 122. 4 Supriyanto, Keriteria Tanah Terlantar dalam Peraturan Perundangan Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Fakultas Hukum Universitas Soedirman,Vol. 10 No. 1 Januari 2010, hlm. 53.
Indonesia, maka kata “dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama” tersebut menurut Boedi Harsono merupakan pesan atau peringatan kepada penguasa legislatif dalam membangun hukum tanah nasional dan bukan merupakan larangan atau ketidakbolehan UUPA bertentangan dengan hukum agama. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ketentuan hukum yang terdapat dalam UUPA tidak ada kemungkinan untuk menyimpang dari hukum agama.5 Dalam rangka menyatukan persepsepsi terhadap hukum agama yang dimaksud dalam UUPA, khususnya Pasal 5, kita dapat berkaca pada realitas sistem hukum yang belaku di Indonesia, yakni sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum Barat (baik civil law maupun common law atau hukum anglo saxon). Ketiga sistem hukum itu diakui oleh perundang-undangan, tumbuh dalam masyarakat, dikembangkan dalam ilmu pengetahuan, dan dipraktikkan pada peradilan Indonesia.6 Jadi dapat dipahami, bahwa unsur hukum agama yang dimaksud dalam Pasal 5 UUPA tersebut adalah unsur-unsur yang terdapat dalam hukum Islam. Menurut para ahli, dalam hukum Islam memang terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur soal pertanahan. Ketentuan-ketentuan tersebut ada yang bersifat pokok dan ada yang tidak pokok. Adapun yang bersifat pokok contohnya pengakuan terhadap hak milik seseorang atas tanah, sehingga apabila UUPA yang dijadikan sebagai acuan hukum tanah nasional di Indonesia tidak mengakui hak milik seseorang atas tanah maka hal itu akan bertentangan dengan salah satu unsur pokok hukum Islam. Sedangkan yang bersifat tidak pokok seperti perjanjian bagi hasil, ketentuan tersebut jika dikesampingkan karena kepentingan atau kemaslahatan umum tidaklah menjadi persoalan.7 Pada dasarnya kepemilikan manusia atas harta termasuk tanah bersifat nisbi (majazi), karena secara teologis, pemilik sebenarnya atas tanah tersebut adalah Allah Swt.8 Oleh karena itu, setiap hak milik atas tanah oleh setiap individu melekat padanya fungsi sosial.9 Maka dari itu, setiap individu yang mempunyai hak atas tanah, berkewajiban untuk memanfaatkan tanahnya untuk kemaslahatan umat manusia. Dalam konteks bernegara, Islam menempatkan kepemilikan yang tertinggi atas tanah ada pada Negara. Semua tanah yang ada dalam suatu negara Islam pada dasarnya adalah milik negara (milkiyah al-daulah). Berkenaan dengan milik negara atas tanah tersebut, menurut Afzalur Rahman,“Istilah milik negara menurut para ahli fikih, secara sederhana dimaksudkan bahwa tanah yang ada dalam suatu negara Islam merupakan pemberian Allah SWT kepada umat manusia sebagai “wakil” Allah di muka bumi yang diberikan secara individual semata-mata sebagai pemegang amanah masyarakat yang memperoleh keuntungan dari tanah tersebut”.10
5
Ibid.,hlm. 232.
6
Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995),
hlm. 36.
7
Budi Harsono, Hukum Agraria, ….., Op.Cit., hlm. 232-233. Lihat juga Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Cet. V, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1994),hlm. 221. 8 Q.S. an-Nisaa’ Ayat 132, Q.S. an-Nur Ayat 42, dan Q.S. al-Hadid Ayat 2 9 Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Juz V, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1989), hlm. 515-517. 10 Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam (Doktrin Ekonomi Islam) Jilid 2, Alih bahasa oleh Soeroyo dan Nastagin, Cet. II, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002), hlm. 317.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa semua tanah yang ada dalam negara Islam, bukan milik negara secara mutlak, tetapi negara hanya berfungsi sebagai pihak yang diberi amanah oleh masyarakat yang mempunyai hak atas tanah untuk melindungi hak mereka. Namun demikian, terhadap tanah yang dalam kondisi tertentu ada hak negara untuk mengambil alih kepemilikannya. Kondisi tertentu tersebut apabila terjadi penyalahgunaan hak atas tanah, tanah tidak dikelola dengan semestinya (ditelantarkan), atau ada alternatif lain yang lebih baik dalam penggunaan tanah, maka negara berhak untuk mengambil alih hak milik pribadi tersebut.11 Pengambilalihan hak kepemilikan individu atas tanah oleh negara karena sipemilik hak tidak menggunakan atau memanfaatkan tanahnya semaksimal mungkin.12 Padahal Islam telah mewajibkan para pemilik tanah, baik yang dimiliki dengan cara ihya’ al-mawat (menghidupkan lahan mati),tahjir (memagari atau mematok tanah) maupun yang dimiliki dengan cara lainnya, untuk mengelola tanah itu agar produktif. Hal ini dapat diartikan bahwa kepemilikan identik dengan produktivitas, sehingga jika memiliki berarti berproduksi (man yamliku yuntiju).13 Jadi pengelolaan lahan merupakan bagian integral dari kepemilikan lahan itu sendiri. Oleh karena itu, kepemilikan seseorang atas tanah hanyalah hak untuk mengembangkan tanah, sehingga jika seseorang gagal mengembangkan tanah tersebut dalam jangka waktu tertentu, klaimnya atas tanah tersebut akan hilang dan lenyap.14 Merujuk pada adanya perbedaan yang mendasar (obyek penertiban tanah terlantar) antara hukum Indonesia dan hukum Islam, jika dilakukan pebahasan yang lebih komprehensif, tentu akan berimplikasi pada ketidaksamaan kewenangan Pemerintah serta mekanisme dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar yang diatur dalam hukum negara dengan yang ada dalam hukum Islam. Hal ini karena hukum Indonesia bersumber dari seperangkat aturan yang dibuat oleh manusia, sedangkan hukum Islam yang menjadi sumbernya adalah al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw. Kewenangan Pemerintah dalam Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Menurut Hukum Negara Berkaitan dengan kewenangan pemerintah dalam penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi dari pemerintah (Presiden) kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Ketentuan ini tersirat dalam Pasal 17 Peraturan PemerintahNomor 11 Tahun 2010 yang menyatakan, “Pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar dilakukan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan secara berkala kepada Presiden.” Pelaksanaan penertiban tanah terlantar sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, dilaksanakan oleh panitia. Susunan keanggotaan panitia ini terdiri atas unsur Badan Pertanahan Nasional dan instansi terkait yang diatur oleh Kepala. Jika diamati ketentuan yang ada dalam Pasal 5 tersebut terdapat kekaburan norma karena panitia yang dimaksud tidak jelas. Ketidakjelasan yang terdapat dalam Pasal 5 tersebut kemudian dijelaskan dalam Ketentuan Umum (Pasal 1) angka 13 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Panitia 11
Ibid., hlm. 315.
12
M. Ridwan, Hak Kepemilikan Rakyat dan Negara Atas Tanah, Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat STAIN Purwokerto Vol. 6 No. 2 April 2009, hlm. 200. 13 Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah al-Mutsla, (t.tp: t.p., 1963), hlm. 61.
14
Sabahuddin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam, (Bandung: Nuansa, 2005), hlm. 118.
yang dimaksud Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 adalah Panitia C yang terdiri atas Kanwil BPN, Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanahnya yang mempunyai wewenang untuk melakukan identifikasi dan penelitian tanah terindakasi terlantar. Sedangkan, untuk penetapan tanah terlantar sesuai dengan yang ditentukan dalam Pasal 19 Ayat (1) Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2010, merupakan kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atas usulan Kepala Kantor Wilayah. Merujuk uraian di atas, dapat dipahami bahwa instansi Pemerintah yang berwenang dalam penertiban tanah terlantar adalah Panitia C yang terdiri atas Kanwil BPN, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Sedangkan untuk penetapan tanah terlantar merupakan kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atas usulan Kepala Kantor Wilayah. Adapun organ yang berwenang dalam pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Sedangkan pemerintah daerah, dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar hanya berwenang di bidang inventarisasi dan identifikasi tanah terlantar. Kewenangan Pemerintah dalam Penertiban Tanah Terlantar Menurut Hukum Islam Produktivitas tanah dalam Islam merupakan hal yang urgen dan esensial sekali, karena Allah SWT memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola tanah sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Hal ini bertujuan untuk kemaslahatan manusia serta menjunjung tinggi fungsi sosial. Namun apabila tujuan ini tidak terealisasi, dan pemilik tanah tidak memanfaatkan dan mengelola tanah semaksimal mungkin maka negara berhak untuk mengambil alih kepemilikan tanah tersebut. Alasan yang mendasari negara berhak untuk mengambilalih tanah tersebut adalah berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mawardi dalam kitab AlAhkam As-Sulthaniyyah, menurut Al-Mawardi tujuan Negara (khilafah) didirikan adalah untuk menggantikan tugas kenabian dalam memelihara agama dan mengelola dunia.15 Dalam pandangan Abdul Wahhab Kallaf, negara didirikan untuk kemaslahatan rakyat sehingga pengelolaan negara bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk kepentingan bersama.16 Berdasarkan teori kedaulatan penguasaan,17 negara berdaulat atas suatu wilayah dan berhak juga mengelola segala macam kekayaan alam yang ada di dalamnya. Teori kedaulatan penguasaan menempatkan negara sebagai aktor dominan dalam mengelola kekayaan alam. Selain itu, dengan teori ini, negara didudukkan sebagai aktor yang dapat meminta agar pihak-pihak tertentu tidak atau terlibat dalam pengelolaan kekayaan alam. Negarapun dapat menjalankan kewajiban otoritatifnya dalam mengontrol setiap aktivitas ekonomi masyarakat yang berada di wilayah yurisdiksinya, serta dapat menarik sejumlah retribusi secara kontinu dari mereka.18 Negara juga memiliki hak penuh sumber-sumber kekayaan milik publik, melalui pembuatan regulasi dan pengelolaan. Sebagai lembaga publik, negara memiliki 15
hlm. 3.
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Shulthaniyyah, Cet. I, (Kuwait: Daar Ibn Qutaibah, 1989),
16
Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih Siyasah, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 61. 17 Ija Suntana, Pemikiran Ketatanegaraan Islam, Cet. I, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
hlm. 73.
18
Ibid., hlm. 73-74.
kewenangan menentukan peruntukan kekayaan alam milik publik, terutama untuk kesejahteraan rakyat. Hak lain yang menempel pada negara terkait dengan kekayaan alam adalah hak melakukan pelarangan perbuatan tertentu yang dilakukan oleh individu atau kelompok, terutama menyangkut tindakan-tindakan yang memiliki efek terhadap fisik tempat kekayaan alam itu berada.19 Pengelolaan kekayaan alam seperti tanah, agar manfaatnya dapat dirasakan oleh semua orang maka tanah tersebut harus memiliki fungsi sosial atau memperhatikan kemaslahatan umum. Dalam hal pengaturan fungsi-fungsi sosial tanah, sebagaiman dikutip oleh M. Ridwan, Imam Al-Mawardi mengatakan negara (dalam hal ini pemerintah atau khalifah atau imam, dan sebutan lainnya) mempunyai otoritas atau kewenangan membuat regulasi terkait dengan tanah, untuk mengatur dan menata penggunaan tanah untuk menciptakan kemaslahatan umum. Justifikasi yuridis atau otoritas Pemerintah untuk membuat regulasi tersebut didasarkan pada Hadis berikut: “Dari Ibn Abbas, bahwa Sha’ab Ibn Jisamah menceritakan sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: tidak ada batasan kecuali batasan Allah dan Rasulullah.” Imam Syafi’i memahami hadis ini dengan mengemukakan dua kemungkinan pengertian. Pertama, tidak ada seorangpun yang berhak membuat batasan (penggunaan tanah) kecuali oleh Rasulullah dan tidak bisa digantikan oleh siapapun. Kedua, seseorang boleh membuat batasan-batasan sebagaimana batasan yang telah dibuat oleh Rasulullah, yaitu para khalifah pengganti beliau (dalam kapasitas mereka sebagai seorang imam atau kepala negara). Berdasarkan pada argumentasi Imam Syafi’i tersebut, pendapat kedua merupakan pendapat yang terkuat. Dengan demikian, seorang imam/kepala negara berhak untuk mengatur (membuat batasan) penggunaan tanah tertentu dengan alasan yang rasional, logis, dan objektif dengan dilandasi semangat merealisasikan kemaslahatan umum sebagai tugas pokok kepala negara, sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah disebutkan bahwa kebijakan seorang kepala negara harus berorientasi pada upaya menciptakan kemaslahatan umum (public interest).20 Merujuk pada kaidah fiqhiyah tersebut maka dalam hal terjadinya tindakan penelantaran tanah oleh seseorang, demi menciptakan kemaslahatan, seorang kepala negara/khalifah diberi legitimasi untuk menertibkannya. Sebagai contoh konkritnya ketika imam/kepala negara bermaksud untuk memberikan sebidang tanah kepada masyarakat (iqtha’), hal yang harus jadi pertimbangan adalah kemaslahatan umum. Oleh karena itu, ketika seseorang yang menerima tanah iqtha’ tidak mempergunakan atau tidak mengelola tanah tersebut (ditelantarkan) maka khalifah/imam boleh menarik kembali tanah yang diberikannya. Penarikan tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya merupakan wewenang khalifah atau kepala negara sebagai wakil masyarakat. Dalam konteks perekonomian modern, proses pemindahan hak milik tanah sebaiknya dilakukan oleh negara, sebab jika setiap individu diperkenankan bertindak sendiri-sendiri maka hal ini dapat menimbulkan kekacauan. Pada prinsipnya negara harus melakukan berbagai upaya yang diperkenankan oleh syariat Islam agar tanah tidak terbengkalai dan dimanfaatkan secara optimal. Dalam rangka menjamin kepastian hukum, maka kebijakan ini sebaiknya diatur dalam undang-undang yang memuat ketentuan tentang kriteria tanah yang terlantar, mekanisme pengambilalihan, kriteria pihak lain yang berhak memanfaatkan, dan hal lain yang menjamin kebijakan ini dapat terlaksana dengan baik. Proses pemindahan hak milik karena adanya 19
Ibid., hlm. 75. M. Ridwan, Hak Kepemilikan Rakyat ….., Op.Cit., hlm. 198.
20
penelantaran dan pemanfaatan tanah ini akan lebih menjamin adanya optimalisasi pemanfaatan tanah sebagai sumber daya ekonomi.21 Kewenangan Pemerintah dalam penertiban tanah terlantar atau tanah yang ditelantarkan oleh masyarakat, dalam negara Islam merupakan wewenang pemerintah pusat atau khalifah. Hal ini karena negara Islam menurut Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Muqaddimah Ad-Dustur aw Al-Asbab Al-Mujibah Lah, sebagaiman dikutip oleh Ija Suntana adalah negara kesatuan22 (nizham al-wahdah), yakni negara yang menempatkan pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan wewenang legislasi (tasyri’).23 Dalam negara Islam, khalifah tidak diperkenankan menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah daerah secara otonom, baik dalam hal hukum, politik, maupun ekonomi. Semua kebijakan dan peraturan dalam negara kesatuan Islam, diproses dan diputus oleh khalifah (pemerintah pusat). Sementara itu, penguasa daerah (amir al-bilad) hanya pelaksana dari kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh khalifah.24 Meskipun demikian, Islam tidak melarang khalifah untuk mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat yang ada di bawahnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Hasan Al-Banna yang mengatakan bahwa tidak ada larangan dalam Islam bila seorang kepala negara melimpahkan wewenangnya kepada perdana menteri untuk menangani langsung urusan-urusan rakyat, sebagaimana fakta yang banyak disaksikan di beberapa pemerintahan negeri-negeri Islam. Para ulama fiqih juga telah memberikan rukhsah (dispensasi) dan keringanan selama demi mewujudkan kemaslahatan bersama. Kaidah yang digunakan dalam situasi dan kondisi semacam ini adalah melindungi kemaslahatan umum.25 Berdasarkan penjelasan di atas, jika dikaitkan dengan kewenangan Pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar maka dalam hal itu merupakan kewenangan dari khalifah (pemerintah pusat). Namun demikian selama berorientasi pada kemaslahatan umum, kewenangan tersebut dapat di delegasikan kepada pejabat yang ada di bawahnya seperti gubernur (penguasa daerah) atau diserahkan kepada lembaga khusus seperti baitul mal. Mekanisme Penertiban Tanah Terlantar Menurut Hukum Indonesia Setiap hak atas tanah memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanahnya. Selain itu, hak-hak atas tanah juga menuntut kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah. Berkenaan dengan kewajiban tersebut, dalam Pasal 10 UUPA disebutkan bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara 21
Pengelolaan Tanah Dalam Islam, dalam http://makalahjurusansyariah.blogspot.com/2012/04/pengelolaan-tanah-dalam-islam.html, diakses Tanggal 1 Maret 2013. 22 Dalam praktik umat Islam, sejak mulai lahir di zaman Nabi hingga Al-Khulafa alRasyidun, Umayyah dan awal Abbasiyah, negara dipraktikkan dalam bentuk negara kesatuan. Negara khalifah yang pernah berdiri dalam sejarah Islam adalah negara kesatuan di mana kekuasaan tidak dibagi-bagi, melainkan terpusat dalam satu kekuasaan. Ahmad Sukardja, Op.Cit., hlm. 115. 23 Ija Suntana, Pemikiran Ketatanegaraan Islam ….., Op.Cit., hlm. 92. 24
Ibid.
25
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna, http://www.eramuslim.com/manhaj-dakwah/fikih-siyasi/kepemimpinan-negara-dalamislam.htm#.UTCeAJg9WSo, diakses tanggal 1 Maret 2013.
pemerasan. Kemudian Pasal 15 menyebutkan bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak yang ekonomi lemah. Pemegang hak atas tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 27 huruf a angka 3, Pasal 34 huruf e, Pasal 40 huruf e yang menentukan semua hak atas tanah tersebut akan hapus dan jatuh ke tangan negara apabila tanah tersebut ditelantarkan. Ketika terjadinya penelantaran tanah, Pemerintah dapat mengambil tindakan penertiban yang merupakan wewenang badan atau jabatan Tata Usaha Negara untuk diterapkan secara nyata dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap kewajiban yang lahir dari suatu hubungan Hukum Tata Usaha Negara maupun pada pelanggaran terhadap suatu ketentuan undang-undang. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (PTUN) berwenang untuk bertindak secara nyata tanpa memerlukan adanya putusan pengadilan lebih dahulu. Sebelum tindakan penertiban itu dilaksanakan, tentunya pihak yang bersangkutan harus diberitahu terlebih dahulu. Pemberitahuan bahwa akan dilaksanakan suatu tindakan penertiban merupakan penetapan tertulis yang dapat digugat keabsahannya.26 Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Berkenaan dengan mekanisme penertiban tanah terlantar dapat dilihat dalam Pasal 3 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2010, dinyatakan penertiban tanah terlantar dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi terlantar, identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar, peringatan terhadap pemegang hak, dan penetapan tanah terlantar. Berdasarkan ketentuan yang ada dalam Pasal 3 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2010 tersebut maka dapat diuraikan secara terperinci sebagai berikut: a. Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar. Kegiatan inventarisasi tanah terindikasi terlantar sesuai dengan yang dimuat dalam Pasal 4 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN, berdasarkan informasi yang diperolehdari hasil pemantauan lapangan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan, atau dari laporan dinas/instansi lainnya, laporan tertulis dari masyarakat, atau pemegang hak. Inventarisasi tanah terindikasi terlantar tersebut meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan, tanah yang telah memperoleh dasar penguasaan dari pejabat yang berwenang sejak diterbitkan izin/keputusan/surat dasar penguasaan tanah tersebut.27 b. Identifikasi dan Penelitian. Tanah terindikasi terlantar yang telah diinventarisasi ditindaklanjuti dengan identifikasi dan penelitian. Identifikasi dan penelitian dilakukan 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya sertipikat hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai, serta tanah yang telah memperoleh izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang terhitung sejak berakhirnya dasar penguasaan tersebut. Kakanwil BPN menetapkan
26
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), hlm. 239. 27
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010, tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, Pasal 5.
target tanah hak yang terindikasi terlantar, dengan mempertimbangkan lamanya tanah tersebut ditelantarkan dan/atau luas tanah yang terindikasi terlantar.28 c. Peringatan. Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian dan saran pertimbangan Panitia C (Berita Acara Panitia C) disimpulkan terdapat tanah yang diterlantarkan, Kepala Kantor Wilayah BPN memberitahukan kepada pemegang hak dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan tersebut, pemegang hak mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya atau dasar penguasaannya. Dalam surat peringatan pertama, disebutkan hal-hal konkrit yang harus dilakukan pemegang hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila pemegang hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan tersebut.29 Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan pertama, setelah memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan pertama, Kakanwil BPN memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama. Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan kedua, Kakanwil BPN memberikan peringatan tertulis ketiga yang merupakan peringatan terakhir dengan jangka waktu sama dengan peringatan kedua.30 Dalam masa peringatan (pertama, kedua, dan ketiga) pemegang hak wajib melaporkan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah secara berkala setiap 2 (dua) mingguan kepada Kakanwil BPN dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dan dilakukan pemantauan dan evaluasi lapangan oleh Kanwil BPN pada setiap akhir peringatan.31 d. Penetapan Tanah terlantar. Penetapan tanah terlantar dilakukan apabila pada akhir peringatan ketiga, setelah dilakukan pemantauan dan evaluasi, masih terdapat tanah yang diterlantarkan atau dengan kata lain pemegang hak tidak mematuhi peringatan tersebut, maka Kepala Kanwil BPN mengusulkan kepada Kepala BPNRI agar bidang tanah tersebut ditetapkan sebagai tanah terlantar.32 Tanah yang telah diusulkan sebagai tanah terlantar dinyatakan dalam kondisi status quo sampai terbitnya penetapan tanah terlantar. Artinya, terhadap tanah tersebut tidak dapat dilakukan perbuatan hukum atas tanah.33 Sebidang tanah baru dapat dikatakan sebagai tanah terlantar apabila Kepala BPN RI telah menerbitkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar atas usul Kakanwil BPN. Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala BPN RI tersebut memuat hapusnya hak atas tanah, pemutusan hubungan hukum sekaligus menegaskan bahwa tanah tersebut dikuasai langsung oleh negara.34 Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam jangka waktu 1 (satu) bulan wajib dikosongkan oleh bekas pemegang hak atas benda-benda di atasnya dengan beban biaya ditanggung yang bersangkutan. Apabila bekas pemegang hak tidak mengosongkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, maka
28
Ibid., Pasal 7. Ibid., Pasal 14 Ayat (1), (2), dan (3). 30 Ibid., Pasal 14 Ayat (4) dan (5). 31 Ibid., Pasal 16. 32 Ibid., Pasal 17 Ayat (1). 33 Ibid., Pasal 18. 34 Ibid., Pasal 19. 29
benda-benda yang ada di atas tanah bekas haknya tersebut tidak lagi menjadi miliknya, tetapi menjadi benda yang dikuasai langsung oleh negara.35 Mekanisme Penertiban Tanah Terlantar Menurut Hukum Islam Dalam Islam diberikan ketentuan batas waktu kepada seseorang yang menelantarkan tanahnya selama tiga tahun. Jika dalam jangka waktu tersebut sipemilik masih tetap menelantarkan tanahnya maka tanah tersebut akan dialihkan hak kepemilikannya oleh khalifah kepada pihak lain. Khalifah Umar ibn al-Khatthab r.a. mengatakan, “Orang yang memagari tanah tidak berhak atas tanah yang telah dipagarinya setelah menelantarkannya selama tiga tahun”.36 Kemudian Umar juga pernah mengatakan, “Siapa saja yang mengabaikan tanah selama tiga tahun, yang tidak dia kelola, kemudian ada orang lain yang mengelolanya, maka tanah tersebut adalah miliknya”.37 Sebagai konkritisasi dari argumentasinya tersebut, Khalifah Umar r.a. melaksanakan ketentuan ini dengan menarik tanah milik Bilal bin al-Harits alMuzni38 yang ditelantarkan selama 3 (tiga) tahun. Para Sahabat menyetujui kebijakan ini sehingga menjadi Ijma’ Sahabat (kesepakatan para sahabat Nabi Saw.) dalam masalah ini.39 Berdasarkan pendapat Umar di atas, dapat dipahami bahwa Islam menegaskan bahwa tenggang waktu yang diberikan kepada manusia terhadap tanah yang tidak diusahakan selama 3 (tiga) tahun. Jika melebihi waktu tiga tahun, orang yang mengusahakan tanah tersebut tidak mampu untuk mendayagunakan tanahnya maka hak kepemilikannya hilang dan kembali menjadi tanah milik masyarakat atau milik negara. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam hukum Islam mekanisme penertiban tanah terlantar secara garis besar. Pertama, khalifah melakukan pendataan tanah yang terindikasi ditelantarkan oleh pemiliknya. Kedua, khalifah memanggil pemilik tanah untuk melakukan dialog. Ketiga, pemilik tanah diberikan waktu 3 (tiga) tahun untuk memanfaatkan tanah, setelah masa waktu tiga tahun pemilik tidak mampu mengelola tanah, baik sebagian atau seluruhnya. Keempat, pemilik harus menyerahkan tanah yang tidak dikelolanya itu kepada negara melalui khalifah untuk diserahkan kepada masyarakat.40 35
Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. 36 Taqyuddin An-Nabhani, An-Nidlam Al-Iqtishadi Fil Islam (Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Cet. V, Alih bahasa oleh Moh. Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 118. 37 Ibid., hlm. 140. 38 Tanah yang dimiliki oleh Bilal bin al-Harits al-Muzni tersebut adalah sebidang tanah yang berukuran luas yang diberikan oleh Rasulullah Saw. kepadanya, namun tanah tersebut tidak terkelola seluruhnya oleh Bilal. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khatthab, Umar mempersilahkan kepada Bilal untuk memiliki yang telah dia garap, sedangkan yang belum digarap diambil oleh Umar untuk dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin. Ibid., hlm.140-141. Hal yang tidak jauh berbeda juga dapat dilihat dalam Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Al-Fiqh AlIqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibn Al-Khaththab (Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab), Cet. II, alih bahasa oleh Asmuni Solihan Zamakhsyari, (Jakarta: Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup), 2008), hlm. 469. 39 U. Maman Kh., M.Si, Hukum-Hukum Seputar Tanah, dalam http://www.pusbangsitek.com/?p=1375, diakses tanggal 05 Desember 2012. 40 Argumentasi di atas merupakan kesimpulan penulis terhadap kebijakan Umar dalam menarik kepemilikan tanah dari Bilal bin Haris, kebijakan Umar tersebut tersebut mendapat perhatian khusus dari para pakar ketatanegaraan Islam seperti Abu Yusuf dalam kitabnya yang
Berdasarkan uraian diatas, dapatlah dipahami konsepsi hukum Islam dalam mengatasi tanah terlantar, yakni dengan didasarkan jangka waktu lamanya tanah tersebut ditelantarkan yaitu dengan batas toleransi selama tiga tahun. Setelah jangka waktu tiga tahun tanah yang ditelantarkan tidak juga digarap, maka haknya atas tanah menjadi gugur dan Negara berwenang mengambil kembali tanah tersebut sebagai tindakan penertiban, selanjutnya tanah diredistribusikan kepada orang lain. Pendayagunaan Tanah Terlantar Menurut Hukum Indonesia Tanah-tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar akan menjadi tanah negara. Sebagai langkah selanjutnya tanah-tanah terlantar tersebut akan didayagunakan untuk kepentingan masyarakat. Berdasarkan Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, dinyatakan bahwa peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan Negara lainnya. Dengan demikian, pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar ialah pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar melalui peruntukan dan pengaturan peruntukan, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan negara lainnya. Reforma agraria merupakan agenda bangsa yang diharapkan dapat memberikan titik terang bagi terwujudnya keadilan sosial dan tercapainya kesejahteraan masyarakat. Reforma agraria (agrarian reform), dalam arti rekstruturisasi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria sudah dikenal cukup lama, meski dalam bentuk dan sifat yang berbeda-beda tergantung pada jaman dan Negara tempat terjadinya pembaharuan agraria tersebut. Hal ini mengingat setiap Negara mempunyai struktur agraria dan sistem politik yang berbeda-beda, meskipun ada beberapa persamaan yang mendasar dalam pembaharuan agraria itu sendiri. Pada intinya pembaharuan agraria (agrarian reform) menurut Maria S.W. Sumardjono merupakan suatu proses yang berkesinambungan; berkenaan dengan restrukturisasi pemilikan/penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan; dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah dan pemanfaatan sumberdaya alam/agraria, serta terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.41 Dari rumusan yang demikian luas, tampak bahwa pembaharuan agraria bukanlah sematamata konsep redistribusi tanah, tetapi merupakan sebuah konsep pembangunan yang bertujuan untuk pemerataan pendapatan dan keadilan sosial. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, dalam penjelasan Pasal 15 Ayat (1) disebutkan bahwa pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar sebagai cadangan negara diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan pemukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum.
berjudul Al-Kharaj, dan juga Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah. Berkenaan dengan Uraian lebih rinci tentang kebijakan Umar tersebut dapat dibaca dalam Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishadi Li Amiril Mukminin ….., Op.Cit., hlm. 463-471. 41 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: antara Regulasi dan Implementasi, Cet.I, (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 2.
Kebijakan pemerintah dalam pendayagunaan tanah terlantar melalui reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan negara merupakan suatu usaha untuk mewujudkan keadilan dalam memanfaatkan tanah bagi orang indonesia. adapun yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah semua masyarakat yang dapat memanfaatkan tanah negara bekas tanah terlantar tersebut, karena dalam Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 dinyatakan bahwa “Peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah Negara bekas tanah terlantar dilaksanakan oleh Kepala”. Kalau disimak ketentuan tersebut terdapat kekaburan dalam pelaksanaan pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar karena peruntukan, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah terlantar melalui reforma agraria, program strategis Negara, dan cadangan umum Negara ditentukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sedangkan tata cara pendayagunaan tanah terlantar tersebut kurang jelas sehingga tanah-tanah terlantar belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Mekanisme Pendayagunaan Tanah Terlantar Menurut Hukum Islam Tanah terlantar atau tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya yang dalam istilah fiqh dikenal dengan ardh al-mawat, dapat dimanfaatkan kembali. Dalam sistem hukum Islam, berkenaan dengan mekanisme pendayagunaan tanah terlantar tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu dengan cara Ihya’ al-mawat, tahjir, dan iqtha’. Ihya’ al-mawat Menurut Sayyid Sabiq, ihya’ al-mawat adalah membuka tanah mati/tanah terlantar yang belum pernah ditamami dan menjadikan tanah tersebut dapat memberikan manfaat untuk tempat tinggal, bercocok tanam, dan lain-lain.42 Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid, ihya’ al-mawat ialah membuka tanah baru yang belum pernah dikerjakan/dipunyai oleh siapapun atau tidak diketahui siapa pemiliknya.43 Kumudian Idris Ahmad mendefinisikan ihya’ al-mawat dengan memanfaatkan tanah kosong untuk dijadikan kebun, sawah dan yang lainnya.44 Secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama fiqh tentang ihya’ al-mawat. Ulama’ Hanafiyah mendefinisikan ihya’ al-mawat dengan penggarapan lahan yang belum dimiliki dan digarap orang lain karena ketiadaan irigasi serta jauh dari pemukiman. Sedangkan ulama’ Syafi’iyah mendefinisikan ihya’ al-mawat adalah penggarapan tanah atau lahan yang belum digarap orang lain, dan lahan itu jauh dari pemukiman maupun dekat.45 Mengacu kepada dua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa Ihya’ al-mawat merupakan menggarap lahan yang belum digarap orang lain karena sebab tertentu, baik letaknya jauh maupun dekat dari pemukiman.Menurut Ibn Qudamah, lahan yang akan dihidupkan itu pada dasarnya ada dua jenis. Pertama, tanah yang belum ada pemiliknya maka lahan seperti ini menjadi hak milik bagi orang yang menghidupkannya dan tidak memerlukan izin dari imam atau penguasa. Kedua, tanah yang ada pemiliknya, tetapi tidak diketahui pemiliknya secara jelas, mungkin sudah
42
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 12, Alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: Alma’arif, 2008), hlm. 194. 43 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cet. 52, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), hlm. 335. 44 Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyyah, (Jakarta: Karya Indah, 1986), hlm. 144. 45 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Cet. I, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 45.
wafat dan lain sebagainya. Tanah/lahan seperti ini boleh dimiliki dengan cara mengelolanya berdasarkan Hadis Nabi Saw. yang berbunyi: QRS TUV W ھTY ZV[\]V]ض _ وVدى اde Artinya: Tanah tertinggal adalah milik Allah dan Rasulnya, kemudian diserahkan kepadamu sekalian.46 Berkenaan dengan tanah yang sudah ada pemiliknya tetapi tanah tersebut ditelantarkan dan dibiarkan tidak terurus, ulama fikih berbenda pendapat. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah tanah tersebut tidak boleh digarap atau dikelola orang lain. Akan tetapi, Imam Abu Yusuf, salah seorang pakar fikih Hanafi menyatakan bahwa tanah tersebut boleh digarap orang lain selama penggarap sebelumnya tidak diketahui, dan tanah tersebut berada jauh dari pemukiman penduduk. Sedangkan ulama Malikiyah menyatakan tanah tersebut telah berubah menjadi tanah kosong/terlantar, sehingga orang lain boleh mengolahnya. Alasan ulama Malikiyah tersebut adalah keumuman Hadis yang menyatakan: (ىqk]iV واQro )رواه أZV Wfg hijk dlأرdjo أpk (Siapa yang menggarap/mengolah tanah terlantar maka tanah tersebut menjadi miliknya. (H.R. Ahmad dan At-Turmudzy))47
Tahjir
Tahjir adalah membuat batas pada suatu bidang tanah dengan batas-batas
tertentu, misalnya dengan meletakkan batu, membangun pagar, dan yang semisalnya. Sama dengan ihya’ al-mawat, aktivitas tahjir juga dilakukan pada tanah mati/terlantar. Aktivitas tahjir menjadikan tanah yang dibatasi/dipagari itu sebagai hak milik bagi yang melakukan tahjir, sesuai dengan Hadis Rasulullah Saw., Siapa saja yang telah memagari sebidang tanah, maka tanah itu ialah miliknya. (HR Ahmad, Thabrani, dan Abu Dawud).48 Menurut Mazhab Hanafi, tahjir diartikan sebagai suatu tanda yang dibuat oleh seseorang untuk menunjukkan ia berkeinginan mengelola tanah yang sudah diberi tanda itu dan menghalang orang lain menguasai tanah tersebut. Tanda-tanda yang dipasang bisa berupa kayu, batu dan sebagainya. Sedangkan Mazhab Syafi’i menyebutkan, tahjir ialah perbuatan permulaan yang dilakukan oleh orang yang berhak mengelola tanah terlantar, tetapi usaha tersebut belum sempurna, atau tahjir ialah perbuatan menandai bidang tanah dengan kayu atau batu. Sementara itu, Mazhab Hambali berpendapat, tahjir merupakan langkah awal dalam melakukan ihya’ atau permulaan untuk mengubah bentuk asal tanah terlantar menjadi tanah yang subur, sehingga cocok untuk dijadikan kawasan pertanian atau kawasan permukiman, seperti dengan membuat parit atau dinding. Tanah itu belum menjadi hak milik muhtajir (orang yang memagari), tetapi ia lebih berhak atas tanah yang bersangkutan.49 46
Ibn Qudamah, al-Kaffi fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Beirut: al-Maktab alIslam, 1988), hlm. 435. 47 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Cet. I,(Jakarta: Gaya Media Pratama), hlm. 47. 48 Taqyuddin An-Nabhani, An-Nidlam Al-Iqtishadi ….., Op.Cit., hlm. 136. 49 Ria Fitri, Tinjauan Tanah Terlantar dalam Perspektif Hukum Islam (The Overview on Unattended Land in Islamic Law Perspective), (Banda Aceh: Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, tt), hlm. 10.
Itqha’
Secara etimologi, iqtha’ berarti memotong. Sedangkan secara terminologi para ulama fikih mendefinisikan iqtha’ dengan ketetapan Pemerintah tentang penentuan tanah kepada seseorang yang dianggap cakap menggarapnya, baik penetapan itu sebagai hak milik maupun hak pemanfaatan atau hak pakai.50 Jadi dapat dipahami Iqtha’ adalah kebijakan Pemerintah memberikan tanah kepada orang yang dianggap cakap mengelolanya, dalam bentuk hak milik maupun hak pemanfaatan atau hak pakai. Tanah iqtha’ merupakan tanah milik negara (milkiyah al-daulah) bukan tanah mati (ardh al-mawat) sehingga tidak dapat dimiliki dengan cara ihya’al mawat ataupun tahjir. Tanah milik negara (milkiyah al-daulah) tidak dapat dimiliki individu rakyat, kecuali melalui mekanisme pemberian (iqtha’) oleh Pemerintah. Rasulullah Saw. pernah memberikan sebidang tanah kepada Abu Bakar dan Umar. Ini menunjukkan negara boleh dan mempunyai hak untuk memberikan tanah milik negara kepada rakyatnya.51 Pemberian tanah oleh negara dalam pengertian di atas memiliki pengertian yang berbeda dengan sistem pemberian tanah (landreform) dalam sistem feodalisme. Pasalnya, sistem feodalisme bersifat khas dengan dilandasi semangat sosialisme yang tidak pernah diakui kebenarannya oleh Islam.52 Sedangkan iqtha’ dilakukan oleh pemerintah dengan pemberian tanah milik negara secara cuma-cuma. Berkenaan dengan pemberian tanah oleh khalifah kepada masyarakat (iqtha’), supaya tidak terjadi pertikaian dan perselisihan maka pemerintah harus senantiasa memperhatikan hak-hak dari masyarakat atas tanah. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Mawardi, yang intinya bahwa setiap tanah yang akan diberikan atau didistribusikan kepada masyarakat oleh khalifah, baik dengan status hak milik ataupun dalam bentuk hak pakai merupakan tanah yang belum dimiliki oleh orang lain. Pemberian tanah oleh pemerintah dengan status hak milik tersebut, menurut Imam Mawardi hanya berlaku pada tanah mati, tanah garapan, dan lokasi pertambangan. Sedang pemberian tanah dalam bentuk hak pakai hanya berlaku pada tanah zakat dan lahan pajak.53 Jadi dapat dipahami bahwa pemberian tanah oleh khalifah (iqtha’) kepada masyarakat ada dua bentuk, yaitu pemberian dengan status hak milik dan hak pakai. Jika tanah yang diberikan oleh khalifah kepada masyarakat dengan status hak milik, maka sipemilik tanah di samping berhak mengambil keuntuangan dari tanah tersebut, tetapi juga dapat memiliki, mewariskan, menjual, menghibahkan, dan lain-lain. Sedangkan terhadap pemberian dengan status hak pakai, maka sipemegang hak hanya diperbolehkan mengambil keuntungan dari tanah tersebut, tanpa berhak memiliki, mewariskan, menjual, menghibahkan, dan lain-lain. Penutup Kewenangan pemerintah dalam penertiban tanah terlantar, menurut hukum negara instansi Pemerintah yang berwenang dalam penertiban tanah terlantar adalah Panitia C yang terdiri atas Kanwil BPN, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Sedangkan untuk penetapan tanah 50
Nasrun Haroen, Fiqh ….., Op.Cit., hlm. 51-52. Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah al-Mutsla, 1963, hlm. 60. 52 Taqyuddin An-Nabhani, An-Nidlam Al-Iqtishadi ….., Op. Cit., hlm. 119. 53 Al-Mawardi, Al-Ahkam ….., Op.Cit., hlm. 248-253. 51
terlantar, merupakan kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atas usulan Kepala Kantor Wilayah. Adapun organ yang berwenang dalam pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Sedangkan pemerintah daerah, dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar hanya berwenang di bidang inventarisasi dan identifikasi tanah terlantar. Menurut hukum Islam, pihak yang berwenang dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar lebih terfokus pada pemerintah pusat (khalifah). Menurut ulama fikih kewenangan tersebut dapat juga didelegasikan kepada pejabat yang ada di bawahnya seperti menteri, gubernur (penguasa daerah) atau diserahkan kepada lembaga khusus seperti baitul mal, selama kebijakan itu menyangkut kemaslahatan masyarakat umum. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010, dalam Pasal 3 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2010 bahwa penertiban tanah terlantar dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi terlantar;Identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar;Peringatan terhadap pemegang hak;danPenetapan tanah terlantar. Kemudian sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, tanah-tanah negara bekas tanah terlantar, pendayagunaannya melalui peruntukan dan pengaturan peruntukan, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan negara lainnya. Sedangkan menurut hukum Islam, tanah yang diterlantarkan oleh pemiliknya mekanisme penertibannya dengan didasarkan pada jangka waktu lamanya tanah tersebut ditelantarkan yaitu dengan batas toleransi selama tiga tahun. Setelah jangka waktu tiga tahun, tanah yang ditelantarkan tidak juga digarap, maka haknya atas tanah menjadi gugur dan Negara berwenang mengambil kembali tanah tersebut, selanjutnya tanah diredistribusikan kepada orang lain. Adapun dalam mendayagunakan tanah terlantar (ardh al-mawat) menurut hukum Islam, terhadap tanah bebas atau tanah yang belum pernah dimiliki oleh siapapun, maka mekanisme yang dipakai adalah ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati), dan tahjir, (membuat pagar pada tanah mati), sedangkan terhadap tanah yang pernah dimiliki tetapi karena tidak diolah atau ditelantarkan oleh pemiliknya, maka pemerintah mendayagunakannya dengan iqtha’ (memberikan tanah kepada masyarakat). Daftar Pustaka Abdurrahman Al-Maliki. 1963. As-Siyasah Al-Iqtishadiyah al-Mutsla, t.tp. Afzalur Rahman. 2002. Economic Doctrines of Islam (Doktrin Ekonomi Islam). Jilid 2.Alih bahasa oleh Soeroyo dan Nastagin. Cet. II. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. Ahmad Sukardja. 2012. Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih Siyasah. Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika. Al-Mawardi. 1989. Al-Ahkam As-Shulthaniyyah.Cet. I. Kuwait: Daar Ibn Qutaibah. Boedi Harsono. 1999. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I. Jakarta: Penerbit Djambatan. Effendi Perangin. Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum. Cet. V. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Fauzie Kamal Ismail. Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar Melalui Program Reformasi Agraria, Lex Jurnalica Universitas Indonusa Esa Unggul. Vol.
10, No. 2, Agustus 2013.
Ibn Qudamah. 1988. al-Kaffi fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, Beirut: al-Maktab alIslam. Idris Ahmad. 1986. Fiqh al-Syafi’iyyah. Jakarta: Karya Indah. Ija Suntana. Pemikiaran Ketatanegaraan Islam. Cet. I. Bandung: Pustaka Setia. Indroharto. 1991. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi. 2008. Al-Fiqh Al-Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibn Al-Khaththab (Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab). Cet. II.Alih bahasa oleh Asmuni Solihan Zamakhsyari. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar Grup. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. M. Ridwan. Hak Kepemilikan Rakyat dan Negara Atas Tanah, Jurnal Hukum dan
Dinamika Masyarakat,Vol. 6 No. 2 April 2009. S.W. Sumardjono. 2001. Kebijakan Pertanahan: antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas. Mohd. Idris Ramulyo. 1995. Asas-Asas Hukum Islam, Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia. Maria
Jakarta: Sinar Grafika. Nasrun Haroen. 2000. Fiqh Muamalah. Cet. I, Jakarta: Gaya Media Pratama. Ria Fitri. Ttp. Tinjauan Tanah Terlantar dalam Perspektif Hukum Islam (The Overview on Unattended Land in Islamic Law Perspective). Banda Aceh: Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Sabahuddin Azmi. Menimbang Ekonomi Islam. Bandung: Nuansa. Sayyid Sabiq. 2008. Fikih Sunnah, Jilid 12, alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki, Bandung: Alma’arif. Sulaiman Rasjid. 2011. Fiqh Islam. Cet. 52. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Supriyanto. Keriteria Tanah Terlantar dalam Peraturan Perundangan Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 1 Januari 2010. Taqyuddin An-Nabhani. 2001. An-Nidlam Al-Iqtishadi Fil Islam (Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Cet. V. Alih bahasa oleh Moh. Maghfur Wachid. Surabaya: Risalah Gusti. Wahbah al-Zuhaily. 1989. Fiqh al-Islam wa Adillatuh. Juz V. Damaskus: Daar al-Fikr.